Uhh.. Perut gue.. Bau ini! Sekali lagi aku muntah. Lebih hebat dari sebelumnya. Aku merasa semakin lemas. Rasanya aku ingin berbaring. Tapi tunggu dulu! Aku nggak boleh lengah. Gimana kalau pembunuhnya masih ada di sekitar sini? Dan aku yang dia incar sekarang! Pikiran ngeri itu berputar-putar di dalam benakku. Cepat-cepat kutajamkan semua inderaku. Tak kupedulikan lagi Zaki dan Dini. Mereka sudah mati, tapi aku masih hidup! Dan kemungkinan, sebentar lagi aku akan bernasib sama seperti mereka. Ternyata, pikiranku tadi terbukti benar! Aku bisa merasakannya, disaat–saat seperti ini bukan hanya indera kita yang jadi peka, firasat kita juga. Aku tidak sendirian di sini, dan aku tahu itu. Ada orang lain, kemungkinan adalah orang yang udah ngebunuh Zaki dan Dini. Kalau nggak, kenapa dia nggak nunjukkin dirinya? Srek, sesuatu bergerak disemak-semak belakangku. Sial! Kenapa dugaan gue selalu tepat sih!? Buru-buru gue cabut seribu langkah dari tempat itu. Terserah mau kemana! Yang penting lari! Aku menerobos pepohonan, menyingkap cabang demi cabang dengan liar. Kaus longgarku berkibar dan berkali-kali tersangkut, sepertinya robek di beberapa tempat. Bahkan wajahku sekarang penuh luka gores akibat tertampar dahan-dahan pohon yang rendah. Tapi apa lo semua tau apa yang lebih mengerikan dari semua itu?? Sesorang ngejar gue di belakang! Gue bisa ngerasain nafasnya yang berat, dan langkah kakinya yang nggak tanggung-tanggung bunyinya. Gilanya, dia terdengar sama sekali nggak keganggu sama semua dahan itu! Rutenya lancar aja! Aku nggak boleh noleh! Lari terus Naufal! Lari!! TOLONG!! Mana sih bumi perkemahannya?! Dimana Dante pas gue butuh dia?! Sebuah tangan tiba-tiba aja mencengkram bagian kaus belakangku dan menariknya. Dia berhasil menangkapku. Nggak! Dia nggak bakalan nangkep gue! “Aaaaa!!” aku berteriak keras dan ketakutan, sekaligus menambah kecepatan lariku. Punggungku kini dingin, memberiku tanda kalau aku berhasil lepas, karena kaus bagian punggungku pasti bolong. Ini menjelaskan bunyi aneh seperti kain robek yang terjadi tadi. “Oh, sh*t!! Sh*t!!” umpatku kencang-kencang. Detik berikutnya, aku melayang di udara. Kemudian semuanya terasa begitu sakit. Tubuhku terhantam ke tanah dan bebatuan. Rasanya luar biasa! Aku berguling-guling dan semuanya terasa jungkir balik. Akhirnya aku berhenti berguling. Nafasku memburu, dan aku mengeluarkan air mata. Tubuhku terasa begitu ngilu, perih, dan beberapa bagiannya mati rasa. “Ahh..” rintihku kesakitan sambil memaksa diriku bangun. Aku tidak boleh berlama-lama di sini, bisa-bisa dia mendapatkanku. Kuraba belakang kepalaku, rasa sakit yang memilukan terasa dari sana. Rambutku basah, basah oleh darah.
Sepertinya kepalaku bocor. Kini aku dengan panik memeriksa sekelilingku, rasa sakitku terusir oleh rasa ketakutanku. Sekarang aku tahu kenapa aku jadi begini. Aku jatuh dari bukit terjal di belakangku saat dia nyaris menangkapku lagi. Aku menatap bukit itu penuh rasa syukur. Dia tidak akan bisa menyusulku kesini, kecuali kalau dia terjun juga. Kelegaanku semakin bertambah saat aku mendapati gudang bobrok tidak jauh di depanku yang biasanya digunakan anak-anak. Gudang itu sepi dan gelap, beberapa peralatan terletak dengan asal dan begitu saja di terasnya. Contohnya, sabit mengerikan yang bersandar di depan pintu. Ini artinya, bumi perkemahan sudah dekat. Memang aku berlari cukup jauh dengan memutari separuh bukit, tapi setelah melewati hutan kecil di depan, maka semuanya akan baik-baik saja. Secercah harapan muncul dihatiku, menghangatkan tubuhku. Dengan terseok, sambil menahan rasa sakit, aku berjalan ke arah gudang. Aku harus bersandar sejenak pada sesuatu, rasa-rasanya aku hampir pingsan. Dengan sisa-sisa tenagaku, kuulurkan tanganku pada salah satu tiang kayu tua penyangga teras untuk menahan tubuhku yang nyaris jatuh lagi. Lututku sedikit menekuk, dan aku menghirup udara segar banyak-banyak. Kumpulkan energi sebanyak mungkin, lalu cepat pergi dari sini! Aku tetap tidak boleh berlama-lama. Srek, bunyi aneh itu terdengar, seperti bunyi sesuatu yang diseret menjauh. Cepat-cepat kubuka mataku, kembali waspada. Aku menyapu sekelilingku tanpa bergerak sama sekali. Mencari benda apa yang bergerak barusan. Kemudian, gelombang ketakutan itu kembali menerpaku. Seluruh tubuhku serasa membeku. Sabit di depan pintu gudang tadi sudah hilang. Tak kuhiraukan lagi rasa sakit itu, buru-buru aku meninggalkan area gudang, kembali masuk ke dalam hutan. Dengan ngeri aku mendengarkan bunyi benda tajam yang menghantam keras tanah di belakangku, tepat di tempatku berdiri tadi. Perasaanku mengatakan, kalau aja tadi aku nggak lari, mungkin sekarang aku udah mati. Kepalaku berdenyut-denyut nggak karuan, aku udah nggak kuat lagi berlari dengan luka seperti ini, tapi dia kembali mengikutiku di belakang. Aku bisa mendengar dan merasakan tiap hempasan angin yang keluar dari tiap sabetan sabit yang dibuatnya. Gila! “Waa!!” aku mendengar seseorang berteriak, jadi aku ikut berteriak. Kukira teriakan barusan berasal dari pembunuh di belakangku, tapi rupanya, suara itu berasal dari seseorang yang tak jauh lagi di depan sana. Detik berikutnya, aku menerobos semak terakhir, menubruk seseorang dengan keras sampai kami samasama terjerembap ke tanah. Teriakan kaget dan panik terdengar di sekelilingku. Walaupun pandanganku masih kabur karena rasa sakit, aku tahu ada banyak orang di sana. Syukurlah, aku selamat!
“Naufal, Naufal! Lo kenapa?” orang yang kutubruk tadi menanyaiku dengan panik. Kemudian beberapa pasang tangan cowok yang kasar membantuku untuk duduk. Kepalaku begitu pening, dan aku masih belum bisa melihat dengan jelas siapa mereka. Tapi mereka mengenaliku dan mengkhawatirkanku, itu berita bagus. “Gue kira lo genderuwo! Nerobos dari dalem hutan cepet banget! Gue teriak lo malah ikut teriak,” orang yang tadi kutubruk tertawa ngeri di sampingku. Aku mengenalinya. “Dante?” rintihku. “Ya, ini gue. Ada kak Bob dan yang lainnya juga di sini. Lo kenapa? Naufal, ngomong sama gue!” rupanya memang Dante, dia mengguncang bahuku pelan. Takdir banget gue ketemu dan tabrakannya sama dia! “Eh, palanya berdarah tuh!” ujar seorang senior dengan suara cemas. Kini aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Dante duduk di sampingku, beberapa anak kelas XII dan senior berdiri mengelilingi kami dengan wajah cemas. Salah satunya adalah Bob, yang menyuruhku memanggil Zaki dan Dini. Oh ya! Zaki dan Dini! Aku harus ngasih tau mereka. Tapi sial! Badan gue sakit semua! Rasanya terlalu lemes buat ngomong. Dante menghapus darah yang menetes dikeningku, dan Bob membantuku berdiri, mereka sadar betul aku sedang kesakitan. Ekspresi Bob tegang, mungkin sebenernya dia udah tau tentang apa yang terjadi, tapi nggak berani buat menanyaiku dulu dan memastikannya. “Van Dexter!” kataku akhirnya dengan susah payah. Suasana mencekam langsung terasa. Aku bisa merasakan pegangan Bob semakin erat di lenganku, dia masih memegangiku. “Zaki dan Dini?” tanyanya cepat-cepat. Akhirnya keluar juga pertanyaan itu. “Mati,” jawabku cepat dan ringkas. Aku nggak mau lama-lama mikirin jawabannya. Beberapa orang terpekik ngeri. Dante shock, mulutnya ternganga lebar sampai-sampai dia nggak bisa ngomong. Muka Bob langsung pucat. “Shanty, panggil senior-senior cewek yang lain, dan bangunin anak-anak cewek ditenda, suruh semuanya kumpul di paviliun utama. Lo berdua, Arif sama Heru, kawal kakak kelas lo! Bantuin dia. Sisanya kasih tau anak-anak cowok! Suru cepet ngumpul! Kecuali lo berlima, kasih tau orang lain yang lagi pada berkemah juga, warga sekitar, dan keamanan di bawah, setelah itu gabung sama yang lain! Gerak cepet! Gue telepon polisi, nanti gue gabung. Inget! Nggak ada yang boleh sendirian!” kemudian dia memberi perintah dengan tegas kepada semua orang yang ada disitu, dan seiring dengan kata-katanya, semakin banyak orang yang meninggalkan kerumunan kami. “Dan lo berdua,” kemudian dia beralih pada aku dan Dante. “Obatin tuh luka!” berkata ketus dan berlalu pergi. “Lo tau? Mungkin Bob dan beberapa senior mungkin nggak jahat-jahat amat. Mereka begitu karena disuru Zaki. Gue denger-denger sih, LDK tahun ini
emang harusnya Bob yang megang, tapi Zaki mengambil alih. Mungkin Bob sempet ngeselin karena emang dia lagi kesel,” ujar Dante sambil membantuku berdiri. Pikirannya sama denganku. “Jangan ngomongin orang yang udah meninggal. Seenggaknya salah satu dari mereka udah nggak ada,” aku mengingatkan. “Oh, sori! Gue lupa! Tapi emang, bener apa?” Dante tampak malu. Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya itu. “Lo keliatan parah. Ayo, kita harus cepet ngobatin luka lo!” ajak Dante sambil menatapku simpati. Dia merangkulku untuk memapahku setelah sebelumnya menyilangkan sarungnya ke bahu kanannya. “Ya iyalah! Gue baru lolos dari maut,” ucapanku itu entah bercanda entah serius. Maut? Omong-omong tentang maut, kenapa aku jadi inget tante Asha ya? Yang sekaligus ngingetin aku ke anak perempuannya. “Dan, Bunga ada dimana sekarang?” tanyaku cepat-cepat. “Dia di tenda dome, itukan tenda khusus yang lagi sakit. Kenapa?” dia balas bertanya. Aku yakin tenda besar itu pasti hanya berisi Bunga dan salah seorang penjaganya, karena nggak mungkin Zaki ngebiarin sembarang orang istirahat di tenda itu. “Yang harusnya giliran jaga tenda dome siapa?” tanyaku dengan suara bergetar. Sebenernya aku tau siapa yang harusnya menjaga tenda itu sekarang. Orang yang ngebawa Bunga pergi tadi, orang yang sekarang udah nggak ada. “Kak Dini!” jawab Dante ngeri. Terjadi perubahan drastis di wajahnya. Sepertinya pikiran kami sekarang sama. Bunga sendirian. Bahkan mungkin, nggak ada yang inget dia lagi tidur di tenda itu. Apa Van Dexter kesitu juga? “Ayo, Fal! Tenda dome jauh dari tenda-tenda yang lain! Kita harus cepet, Bunga mungkin dalam bahaya!” seru Dante panik sambil melepaskan pegangannya padaku dan buru-buru berlari. Dia tersandung sesaat, tapi dengan cepat berdiri lagi. Halo?? Apa dia lupa sama siapa yang nyadarin dia kalau Bunga sedang dalam bahaya besar? Tapi walau begitu, aku kagum sama semangatnya nyelametin Bunga. Dan karena itu, aku jadi nggak tega buat ngasih tau dia kalau celananya yang di bagian pantat udah robek akibat dia jatuh tadi. Takut kalau aku bakal ngerusak moodnya. Kami sudah hampir sampai di tenda dome. Tenda itu tentu saja lebih besar dan mencolok dibanding tenda-tenda lainnya, letaknya di ujung, nyaris dekat tebing, hanya terpisah beberapa meter dari area tenda anak-anak cewek. Dan rupanya (sialnya), dugaanku sekali lagi terbukti tepat. Anak-anak cewek berlarian ke arah kami, beberapa menangis ketakutan. “Ada apa?!” tanyaku langsung sambil menyambar tangan salah satu cewek. Jelas saat ini, dia mungkin gak sadar kalau aku adalah aku. “Salah satu cewek ngeliat si pembunuh, si VAN DEXTER!! Masuk ke dalam tenda dome! Sekarang kita mau kabur, ngasih tau senior-senior!” jawabnya
buru-buru. Ketara dia mau cepat-cepat pergi. Rasanya perutku bagai diremas. Selain dugaanku benar, ternyata pembunuh itu benar-benar Van Dexter! Maksudku, pas dia ngejar aku tadi, aku nggak sempet liat mukanya! Tapi sekarang aku tau itu bener-bener dia. Emang seganas dan seberbahaya kayak yang media beritakan! “Senior udah tau kok. Mending sekarang lo ke paviliun, bawa temen-temen lo yang lain! Oh ya, suru kak Bob cepet kesini, kasih tau kalian ngeliat Van Dexter! Bilang Naufal sama Dante pergi duluan, soalnya ada anak lain di tenda itu!” aku mengguncang-guncang bahunya, berharap dia bakal mengingat perintahku kalau aku begitukan. “Apa lo berdua udah gila!? Kesono tanpa bantuan!? Eh, tunggu dulu! Lo Naufal sama Dante?? Ya ampun! Lo Naufal!” pekik cewek itu nggak percaya. “Makanya, gak ada waktu! Cepet bilang kak Bob! Gue sama Naufal nggak mungkin ngadepin Van Dexter berdua aja!” teriak Dante sambil melepaskan tanganku dari cewek itu, dan mendorong cewek itu menjauh. Cewek itu menatap kami sekilas, antara ketakutan dan kagum, baru kembali berlari dengan tementemennya yang lain. “Dan,” aku menatap Dante terkesima. Dia mungkin shock dengan rencanaku untuk menyelamatkan Bunga hanya berdua secara spontan. Dia belum siap, aku sendiri belum. Tapi dia tetep tegar buat ngelaksanain dan nyetujuin rencana aku. Kami nggak punya pilihan lain. Keinginan dia sama gue buat nyelametin Bunga sama-sama besar. “Diem!” suruh Dante tegas, walaupun masih kelihatan sedikit takut. “Ini nggak kayak Amfut. Kita harus hati-hati, jangan gegabah!” ditatapnya aku dengan serius. Kadang aku emang suka bertindak seenaknya, dalam pertandingan juga begitu, tapi tindakanku sering kali malah membawa keuntungan ekstrem buat tim. Tapi kali ini dia bener, ini bukan permainan. “Oke,” anggukku sambil menatap kapten timku meyakinkan. Dante akhirnya ngasih isyarat. Kami berdua mulai mengendap-ngendap ke arah tenda dome. Tapi sesaat kemudian, kami mendengar jeritan Bunga dan suara botol-botol pecah yang menyebabkan kami buru-buru berlari ke arah tenda, menyibak kain penutupnya, menghambur ke dalamnya, dan nggak peduli lagi seandainya kami ketahuan. Yang kami lihat selanjutnya begitu mengerikan, kami nyaris nggak percaya dan tercenggang dibuatnya. Seorang laki-laki yang tampak berumur tiga puluh lima tahun, lagi ngejar-ngejar Bunga ke seluruh tenda. Rambut laki-laki itu gondrong dan awut-awutan, beberapa di antaranya udah ubanan, dan sisanya cokelat kotor. Wajahnya dekil dan mengerikan dengan mata cekung dan hidung mancung. Dia menyembunyikan pakaiannya dibalik jaket panjang bepergiannya yang berwarna cokelat lusuh. Sedang Bunga, dia make piama putihnya. Dan
keliatan nggak apa-apa selain lengan piama sebelah kanannya robek besar, dan wajahnya yang luar biasa ketakutan. Mereka berdua berkejaran di dalam, memecahkan dan menggulingkan apapun yang ada di dalam sana. Bunga berteriak-teriak histeris, sedang laki-laki itu berteriak marah. Aku dan Dante kenal laki-laki itu. Wajahnya sudah terpampang dipuluhan media sebagai salah satu pembunuh terbanyak dan tersadis di Asia tenggara. Van Dexter. Aku dan Dante cuma bisa mematung di depan tenda, bingung mau melakukan apa. Tiba-tiba hal itu terjadi begitu saja. Van Dexter berhasil menyambar Bunga, ngebanting cewek itu ke tanah, dan mulai mencengkram lehernya keras-keras. Wajah Bunga mulai berubah kebiruan, dan kakinya mulai menendang-nendang liar, tangannya berusaha keras melepaskan cekikan pembunuh itu. Tapi tentu aja, Van Dexter jauh lebih kuat daripada dia.