TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella DENGAN INSEKTISIDA DAN AGENSIA HAYATI PADA KUBIS DI KABUPATEN KARO Loso Winarto dan Darmawati Nazir Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Utara Jl. Jend Besar KH. A.Nasution I B Medan
ABSTRACT Plutella xylostella is the main pest of cabbage crops and it could cause harvest loss around 50 to 100 percent if no pesticides application. Most farmers in Karo District control the pest using various pesticides with high concentration rates and short control interval that leads to high pesticide residual in cabbage crops and lowering export competitiveness. The study was conducted in Karo District in 2001. P. xylostella was controlled using biological agents, namely Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana, farmers’ practice (using pesticides), control (no treatment). The assessment was carried out using demonstration plots. There were 18 participating farmers divided into 3 groups. Each group comprised 4,000 m2 of land including border plants and each group functioned as replication. Areas of treatment plots were 650 m2 each, but those of control were 250 m2 each. Distance among treatment plots was 1.5 meters, and distance between border and treatment plants was 1.5 meters. The results showed that B. thuringiensis, B. bassiana, and farmers’ practice could contain P. xylostella’s attack. Before treatments were carried out the population of P. xylostella were 0.6, 0.8, and 0.6 larva per plant, and after treatments the population became 0 larva/plant. Population at control plots after treatment was 21.7 larva/plant. Leaves damage on 64 days after treatments was 0 percent, while that of control was 74.35 percent. Yield of B. thuringiensis treatment was the highest (67,250 kg/ha), while those of B. bassiana and control were 66,000 kg/ha and 6,000 kg/ha, respectively. B. thuringiensis treatment gained highest income of Rp 33,052,200 with B/C ratio of 2.36, followed by B. bassiana treatment (Rp 32.,128,800, and B/C ratio of 2.28), insecticides treatment (Rp 24,095.700, and B/C ratio of 1.39), and control (Rp 5,964,000, and B/C ratio of -0.59). Key words: cabbage, Plutella xylostella, Bacillis thuringiensis, Beauveria bassiana ABSTRAK Dalam usahatani kubis masalah utama yang dihadapi petani adalah serangan hama. Salah satu hama utama kubis adalah Plutella xylostella. Serangan hama ini dapat mengakibatkan kehilangan hasil 50–100 persen apabila tidak dikendalikan. Pada umumnya petani Kabupaten Karo mengendalikan hama tersebut dengan menggunakan pestisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi tinggi dan interval penyemprotan yang terlalu dekat, sehingga dapat menimbulkan efek residu serta mengurangi harga saing ekspor. Untuk mengurangi adanya efek residu insektisida, maka BPTP Sumatra Utara telah melakukan pengkajian di Kabupaten Karo pada tahun 2001, mengenai pengendalian hama P. xylostella dengan agensia hayati menggunakan bakteri Bacillis thuringiensis, Beauveria bassiana, perlakuan petani (insektisida ) dan kontrol (tanpa perlakuan). Pengkajian dilakukan dengan sistem demplot di lahan petani yang diikuti 18 koperator, yang dibagi menjadi 3 kelompok. Masing-masing kelompok seluas 4.000 m2 termasuk tanaman pinggiran, tiap kelompok sebagai ulangan. Luas petak tiap perlakuan 650 m2, kecuali kontrol 250 m2, jarak antar perlakuan 1,5 m, jarak tanaman pinggiran dengan perlakuan 1,5 m. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan perlakuan petani dapat menekan P. xylostella, sebelum aplikasi populasi larva masing-masing mencapai 0,6 ; 0,8 ; dan 0,6 . Tetapi setelah aplikasi perlakuan yang ke 4 populasi larva P .xylostella menjadi 0 larva/tanaman, perlakuan kontrol masih mencapai 21,7 larva/tanaman. Intensitas kerusakan daun saat 64 hari setelah tanam (hst) masing–masing perlakuan 0 persen, kecuali perlakuan kontrol mencapai 74,35 persen. Produksi tertinggi terdapat pada perlakuan B. thuringiensis (67.250 kg/ha), B.bassiana (66.000 kg/ha), sedangkan perlakuan kontrol hanya mencapai 6.000 kg/ha. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa pendapatan tertinggi adalah B.thuringiensis Rp 33.052.200 dengan B/C ratio 2,36 diikuti oleh B.bassiana Rp 32.128.800 dengan B/C ratio 2,28; Insektisida Rp 24.095.70 dengan B/C 1,39 dan kontrol (tanpa perlakuan) Rp 5.964.000 dengan B/C ratio –0,59. Kata kunci : kubis, Plutella xylotella, Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella dengan Insektisida dan Agensia Hayati pada Kubis di Kabupaten Karo (Loso Winarto dan Darmawati Nazir)
27
PENDAHULUAN Kabupaten Karo adalah salah satu sentra produksi kubis di Sumatra Utara. Komoditas ini diekspor ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut catatan sejak tahun 1980-an ekspor kubis sering mengalami penolakan oleh konsumen luar negeri. Dalam usaha tani kubis masalah utama yang dihadapi adalah serangan hama. Salah satu hama utama yang biasanya menyerang tanaman ini adalah hama Plutella xylostella. Hama ini termasuk ordo Lepidoptera dari famili Plutelliadae dengan nama sinonimnya P. Maculipenis dan P.cruceferarum. Serangan ini umumnya dikenal sebagai “diamond back moth” karena pada sayap depan terdapat tiga titik seperti intan (Kalshoven, 1981). Imago P. xylostella berupa ngengat yang ramping dan ber warna coklat kelabu. Panjangnya 1,5–1,7 mm dengan rentang sayap 14,5–17,5 mm. Bagian tepi sayap depan berwarna terang (Suyanto, 1994). Serangga P. xylostella merusak tanaman pada stadium larva. Larva yang baru menetas akan merayap kepermukaan daun dan melubangi epidermis. Pada umumnya larva memakan permukaan daun bagian bawah, sehingga tinggal tulang-tulang daun dan epidermis daun bagian atas. Jika jumlah larva relatif banyak dapat menghabiskan tanaman kubis yang berumur satu bulan dalam waktu 3 – 5 hari. Umumnya larva menyerang tanaman muda, tetapi kadang-kadang dapat pula merusak tanaman yang sedang membentuk bunga (Rukmana, 1994). Sastrosiswojo dan Setiawati (1993) juga menyatakan bahwa P. xylostella menyerang tanaman kubis yang muda sebelum membentuk krop. Tingkat populasi larva yang biasanya terjadi pada 6-8 minggu setelah tanam, dan dalam kondisi seperti ini serangan dapat mengakibatkan kerusakan berat pada tanaman kubis. Kehilangan hasil yang ditimbulkan oleh hama P. xylostella pada tanaman kubis dapat mencapai 58 – 100 persen (Rukmana, 1994). Petani kubis dalam mengendalikan hama P. xylostella kebanyakan menggunakan insekti-
sida yang beraneka ragam konsentrasi tinggi serta interval penyemprotan terlalu dekat sehingga dapat menimbulkan efek residu pestisida yang dapat mengurangi harga saing ekspor. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatra Utara pada Tahun Anggaran 2000 telah melakukan uji adaptasi beberapa agensia hayati dari Puslit Kopi dan Kakao Jember (Jamur Beauveria bassiana). B. bassiana yang diaplikasikan dua kali seminggu pada tanaman kubis dapat menginfeksi larva P. xylostella 3 – 5 hari hingga mati sampai 66,20 persen (Abda, 1998). Demikian juga jamur Metarrhizium spp. Ditemukan dapat mematikan P. xylostella (Soper, 1985). Hasil penelitian Winarto et al., (2000) menunjukkan bahwa intensitas serangan P. xylostella akibat perlakuan B. bassiana (24,54%), Bacillus chitinosporus (24,12%), Bacillus sp. (10,27%), Metarrhizium spp. (25,47%), Deltametrin (17,50%) kontrol (85,82%). Dari uraian di atas maka teknologi secara hayati dalam mendukung pengendalian hama terpadu perlu disosialisasikan pemanfaatannya dengan melibatkan beberapa kelompok tani dalam satu percobaan/demonstrasi plot. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa demonstrasi plot saja tidak cukup untuk menjamin petani mau menerapkan teknologi baru. Mosher (1981) menyatakan, bahwa alasan pertama mengapa petani berperilaku tetap pada cara – cara yang lama (subsistance) karena mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainity). Petani beranggapan bahwa keuntungan yang akan mereka peroleh jika mereka menerapkan teknologi baru akan lebih kecil dibandingkan dengan teknologi yang biasa mereka gunakan. Dengan demikian penerapan teknologi baru dalam usaha peningkatan produksi dapat memakan waktu yang lama ditingkat petani. Sehubungan dengan hal tersebut maka pengetahuan dan keterampilan petani dalam hal teknologi baru tersebut haruslah dapat ditingkatkan. Penguasaan teknologi baru oleh petani sangat penting dalam berusaha tani yang lebih maju. Umumnya petani yang menguasai dalam
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 7, No.1, Januari 2004 : 27 -33
28
menerapkan teknologi baru selalu lebih berhasil dan lebih unggul dari petani lain di sekitarnya. Oleh karena itu upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani perlu terus diupayakan. Salah satu upaya meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap petani untuk menerapkan teknologi pengendalian hama terpadu utama dengan menggunakan agensia hayati pada tanaman kubis adalah melalui pelatihan. Dengan pelatihan ini diharapkan petani mampu memahami teknologi baru tersebut sehingga ada keinginan untuk segera menerapkannya di lapangan. Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan entomopatogen yang efektif terhadap pengendalian hama P. xylostella. METODE PENELITIAN Pengkajian ini dilaksanakan di Kabupaten Karo pada bulan Januari sampai dengan Desember 2001 dengan mengikutkan 18 orang petani koperator. Sebelum pelaksanaan pengkajian di lapangan diadakan pelatihan cara perbanyakan dan aplikasi agensia hayati. Kemudian petani kooperator di bagi 3 kelompok, masingmasing kelompok melaksanakan perlakuan yang dikaji. Perlakuan demonstrasi plot adalah B. bassiana, bakteri B. thuringiensis yang berasal dari larva P. xylostella yang terinfeksi oleh bakteri tersebut, insektisida (perlakuan petani) dan kontrol (tanpa perlakuan). Luas areal demonstrasi plot adalah 6.600 m2 dibagi 3 kelompok sebagai ulangan. Luas tiap perlakuan 650 m2, jarak antar plot perlakuan 1,5 m, sedangkan jarak tanaman pinggir dengan plot perlakuan 1,5 m. Luas plot kontrol hanya 250 m2 karena diperkirakan akan hancur. Untuk melihat perbedaan pengaruh antaragensia hayati dengan cara perlakuan petani (insektisida) dan kontrol, data pengamatan di tabulasi dan dirata-ratakan. Aplikasi agensia hayati dilakukan seminggu sekali, karena untuk agensia hayati belum didapatkan ambang kendali, sedangkan perlakuan
petani disemprot dengan insektisida dilaksanakan 2 kali seminggu. Agensia hayati ini diperbanyak di Laboratorium BPTP Sumatra Utara. Varietas kubis yang digunakan adalah KR I yang ditanam dengan jarak 50 cm x 80 cm, dan dipelihara dengan pemberian pupuk kandang ayam 20 ton/ha, 200 kg Urea/ha, 200 kg ZA/ha, 400 kg SP-36/ha, 200 kg KCL /ha. Pupuk urea dan ZA diberikan dua kali, pemberian pertama setengah dosis satu hari sebelum tanaman bersama–sama dengan pupuk kandang SP-36 dan KCL. Sedangkan pemberian yang kedua sisanya 21 hari setelah tanam (HST) bersamaan dengan pem-bumbuan yang pertama. Pengamatan meliputi intensitas kerusakan daun yang diamati 3 daun paling atas dengan menggunakan skoring sebagai berikut: 0 = tanaman sehat; 1 = daun rusak 1 – 20 persen; 3 = daun rusak 21 – 40 persen; 5 = daun rusak 41 – 60 persen; 7 = daun rusak 61 – 80 persen; 9 = daun rusak 81 – 100 persen. dengan 1992) :
Untuk mencari persentase kerusakan menggunakan rumus (Sastrosiswojo Σ n.v P = ---------- x 100 % Z.V
Dimana: P = Persentase serangan; n = Jumlah daun/bagian tanaman dari tiap kategori serangan; v = Nilai skala tiap kategori serangan (0, 1, 3, 5, 7, 9); Z = Nilai skala kategori serangan tertinggi (9); N = Jumlah daun/bagian tanaman yang diamati. HASIL DAN PEMBAHASAN Data pengamatan demplot pengendalian hama P. xylostella pada tanaman kubis di Kabupaten Karo ternyata semua perlakuan efektif kecuali kontrol tanaman hampir puso. Hasil pengamatan demplot pengendalian hayati disajikan pada Tabel 1, 2, dan 3.
Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella dengan Insektisida dan Agensia Hayati pada Kubis di Kabupaten Karo (Loso Winarto dan Darmawati Nazir)
29
Pada Tabel 1 dikemukakan bahwa pengamatan pertama dilakukan sebelum aplikasi perlakuan, populasi hama Plutella telah mencapai di atas ambang kendali (0,5 larva/tanaman). Penyemprotan pertama dan penyemprotan selanjutnya dilakukan dengan berjadwal seminggu sekali karena pengendalian hayati nilai ambang kendali belum ketahui. Sedangkan perlakuan petani dilakukan penyemprotan insektisida berjadwal 2 kali seminggu. Pengamatan kedua dilakukan setelah penyemprotan pertama, semua perlakuan yang dikaji efektif, karena larva pada instar 1 dan 2 kondisinya masih lemah. Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana, insektisida (perlakuan petani) populasi larva Plutella menurun, masing– masing mencapai 0,1; 0; 0 larva/tanaman sedangkan perlakuan kontrol populasi meningkat (2,9 larva/pohon). Udiarto dan Sudarwohadi (1997) mengatakan Diadegma sumiclousum tidak mau memarasit Plutella instar 1 dan 2 karena kulitnya masih lunak dan kondisinya masih lemah. Pada pengamatan ketiga perlakuan B. thuringiensis, dan insektisida terdapat kenaikan populasi larva masing–masing mencapai 0,5 dan 0,2 larva/tanaman maka segera dilakukan penyemprotan, sedangkan perlakuan B. bassiana dari pengamatan ketiga (29 HST) hingga pengamatan kedelapan (64 HST) tidak ditemukan larva Plutella, meskipun tidak terdapat larva Plutella pada perlakuan B. bassiana dan B. thuringiensis tetap dilakukan penyemprotan seminggu sekali, karena ambang kendali yang sudah diteliti adalah untuk perlakuan insektisida. Perlakuan insektisida pada tanaman berumur 15 HST populasi larva Plutella rata–rata
mencapai 0,6 /tanaman, setelah aplikasi populasi larva Plutella menurun pada tanaman umur 29 HST hanya mencapai 0,2/tanaman. Pada tanaman umur 36 sampai 64 HST populasi larva Plutella dapat dikatakan tidak ada lagi, karena tanaman umur 57 HST terdapat larva Plutella yang rata– rata populasinya hanya 0,1 /tanaman. Tampak bahwa efektivitas insektisida yang digunakan sangat tinggi. Perlakuan kontrol dari umur 15 HST sampai dengan 50 HST populasi larva P. xylostella makin meningkat yaitu antara 0,5–10,3 larva per tanaman, tetapi setelah 57 HST sampai dengan 64 HST mulai menurun populasinya antara 6,5–4,9 larva per tanaman. Hal ini disebabkan tanaman makin tua, karena larva P. xylostella menyerang tanaman pada tanaman masih muda. Setiawati et al. (1991) menyatakan bahwa P. xylostella menyerang tanaman kubis yang muda sebelum membentuk krop. Tingkat populasi larva yang tinggi biasanya terjadi pada 6 minggu setelah tanam, dan pada tanaman umur tersebut serangan hama dapat mengakibatkan kerusakan yang berat. Dari Tabel 2 dapat dikemukakan bahwa intensitas kerusakan daun dari pengamatan 15–22 HST belum menunjukkan adanya kerusakan, Hal ini dikarenakan populasi hama P. xylostella masih sangat rendah sehingga kerusakan daun belum nampak secara jelas. Tetapi setelah 28–57 HST perlakuan B. thuringiensis intensitas kerusakan daun mulai nampak jelas, rata–rata intensitas kerusakan daun mencapai 3,33 persen dengan 4,44 persen ini sejalan dengan populasi hama P. xylostella yang menyerang tanaman kubis, bila populasi hama Plutella tinggi maka nilai kerusakan daun kubis juga tinggi.
Tabel 1. Populasi Larva Plutella pada Denplot Pengendalian Hayati Tanaman Kubis di Karo, 2001 Perlakuan B.thuringiensis B.bassiana Insektisida Kontrol
15 0,6 0,8 0,6 0,5
22 0,1 0,0 0,0 2,9
Umur tanaman/hst (larva/ pohon) 29 36 43 50 0,5 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 3,5 8,9 12,7 10,3
Keterangan : Rataan 90 tanaman sample yang diamati sistim diagonal dari 3 ulangan (Sudarwohadi 1992)
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 7, No.1, Januari 2004 : 27 -33
30
57 0,3 0,0 0,1 6,2
64 0,0 0,0 0,0 4,9
Tabel 2. Rataan Persentase Intensitas Kerusakan Daun Akibat Perbedaan Perlakuan Pengendalian Hama Pemakan Daun Kubis di Karo, 2001
B.thuringiensis
15 0,00
22 0,00
Umur tanaman / hari setelah tanam (%) 29 36 43 50 3,33 4,44 2,22 2,30
57 3,42
64 0,00
B.bassiana
0,00
0,00
0,00
0,00
5,56
4,30
2,25
0,00
Insektisida
0,00
0,00
0,00
3,30
4,44
3,36
2,56
0,00
Kontrol
0,00
2,30
5,64
25,90
43,50
52,45
60,76
74,35
Perlakuan
Keterangan : Rataan 90 tanaman sampel yang diamati sistem diagonal dari 3 ulangan (Sudarwohadi 1992)
Tabel 3. Produksi Kubis Akibat Perbedaan Perlakuan Agen Hayati di Karo, 2001
Perlakuan
B.thuringien sis
Lua s plot (m2 ) 650
Produk si/ tanama n (kg)
Produk si/ plot (kg)
Produksi/ ha (ton)
2,69
4.707,0 0
67,25
B.bassiana
650
2,64
4.290,0 0
66,00
Insektisida
650
2,37
3.851,3 0
59,25
Kontrol
250
0,50
150,00
6,00
Keterangan : angka rataan dari 3 ulangan, untuk perlakuan kontrol luas plot tidak sama karena diperkirakan akan hancur
Sedangkan pada perlakuan B. bassiana dari tanaman berumur 15–36 HST belum memperlihatkan kerusakan daun, karena dari umur tersebut untuk perlakuan B. bassiana populasi hama pemakan daun kubis sangat rendah bahkan dapat dikatakan tidak ada larva hamanya, meskipun pada 15 HST terdapat larva Plutella 0,8/tanaman, nampaknya tidak berarti pada nilai kerusakan daun, karena setelah diaplikasi pada pengamatan berikutnya tidak ditemukan kerusakan daun. Larva Plutella yang ditemukan pada tanaman berumur 15 HST masih instar 1 sampai 2 sehingga sangat mudah mati karena infeksi jamur B, bassiana, di samping itu juga dibantu oleh curah hujan yang tinggi yang dapat membantu menekan penetasan telur ngengat P. xylostella. Sudarwohadi (1975) menyatakan bahwa curah hujan yang lebat, tidak menguntungkan
bagi hama Plutella. Di samping curah hujan, beberapa faktor lain yang mempengaruhi mortalitas larva Plutella ialah parasit, predator, penyakit dan persaingan makan. Pada perlakuan kontrol intensitas kerusakan daun dari 22 – 64 HST makin meningkat yang menimbulkan kerusakan total pada tanaman kubis. Rukmana (1994) bahwa kehilangan hasil yang ditimbulkan oleh hama P. xylostella pada tanaman kubis dapat merugikan petani antara 58– 100 persen . Dari Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa perlakuan B. thuringiensis dan B. bassiana menunjukkan angka produksi yang cukup tinggi, rata–rata per sampel mencapai 2, 69 kg dan 2,64 kg. Sedangkan perlakuan insektisida dan kontrol hanya mencapai 2,37 kg dan 0,5 kg per sampel.
Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella dengan Insektisida dan Agensia Hayati pada Kubis di Kabupaten Karo (Loso Winarto dan Darmawati Nazir)
31
Tabel 4. Analisis Usahatani Uji Aplikasi Teknologi Pengendalian Hama Kubis dengan Insektisida dan Agensia Hayati di Kabupaten Karo, 2001 No
Jenis pengeluaran / ha
A
Biaya tetap a. Sewa tanah selama 4 bulan b. penyusutan alat-alat c. Bunga modal selama 4 bulan (10%) Biaya tidak tetap 1. Biaya sarana produksi a. Bibit 25.000 batang @ Rp 60,b. Pupuk - 20 ton pupuk kandang @ Rp 166.750,- 200 kg Urea @ Rp 1.200,- 200 kg ZA @1.200,- 400 kg Sp-36 @ Rp 1.800,- 200kg KCl @ Rp1.900,c. Insektisida/Agensia hayati - 40 botol Agrimex @ Rp106.000,- 244 bks/300gr B.bassiana @ Rp5.000,- 132 liter/ b.thuringiensis @ Rp 9.000,- Perekat/perata 1 botol @ Rp 5.000,2.Biaya tenaga kerja Rp 20.000,- / hari/orang a. Pengolaham tanah (2 x traktor) b .Membuata lubang tanam 12 orang c. Pemupukan dasar 20 orang d. Penanaman 10 orang e. Penyiraman 7 orang f .Penyisipan 5 orang g .Pemupukan susulan dan pembumbunan I 15 org h. Penyiangan & pembumbunan ke II 12 org i. Penyemprotan 800 tangki @ Rp 2.500,j. Panen Total biaya produksi Produksi ( kg) Nilai produksi (Rp 700,-/ kg) Pendapatan R/C ratio B/C ratio
B
C. D E. F.
Produksi tertinggi per plot maupun konversi/ha terdapat pada perlakuan B. thuringiensis dan B. bassiana masing-masing per plot mencapai 4.707,0 kg dan 4.290,0 kg atau 67,25 t/ha dan 66 t/ha. Untuk insektisida dan kontrol produksi
Kontrol (Rp)
Insektisida (Rp)
400.000 5.000 924.000
400.000 20.000 1.580.000
400.000 20.000 1.279.200
400.000 20.000 1.274.800
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
3.335.000 240.000 240.000 720.000 380.000
3.335.000 240.000 240.000 720.000 380.000
3.335.000 240.000 240.000 720.000 380.000
3.335.000 240.000 240.000 720.000 380.000
0 0 0 0
4.240.000 0 0 5.000
0 1..220.000 0 5.000
0 0 1.188.000 5.000
700.000 700.000 240.000 240.000 400.000 400.000 200.000 200.000 140.000 140.000 100.000 100.000 300.000 300.000 240.000 240.000 2.000.000 2.000.000 400.000 400.000 17.380.000 14.059.200 59.251 66.000 41.475.700 46.200.000 24.095.700 32.140.800 2,39 3,29 1,39 2,29
700.000 240.000 400.000 200.000 140.000 100.000 300.000 240.000 2.000.000 400.000 140.22.800 67.250 47.075.000 33.052.200 3,36 2,36
700.000 240.000 400.000 200.000 140.000 100.000 300.000 240.000 0 100.000 10.164.000 6.000 4 .200.000 -5.964.000 -0,41 -0,59
rata-rata per sampel hanya mencapai 2,37 kg dan 0,5 kg atau 59,251 t/ha dan 6 t/ha. Sastrosiswojo (1975) mengatakan tanaman yang sehat, pertumbuhan figur dan produksi dapat mencapai maksimum.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 7, No.1, Januari 2004 : 27 -33
32
Jenis Agensia hayati ( Rp) Beauveria Bacillus bassiana thuringiensis
Selanjutnya hasil analisis usahatani pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pendapatan tertinggi adalah pada perlakuan B. thuringiensis yakni Rp 33.052.200,-/ha dengan B/C ratio 2,36. Ini artinya setiap pengeluaran Rp 1 akan memperoleh keuntungan Rp 2,36. Berikutnya adalah B. bassiana Rp 32.140.800,-/ha dengan B/C ratio 2,29.; Insektisida Rp 24.095.700,- dengan B/C ratio–0,59. Ini artinya setiap pengeluaran Rp 1 memperoleh kerugian sebesar Rp 0,59. KESIMPULAN 1. Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan perlakuan petani (insektisida) dapat menekan populasi hama P. xylostella masing–masing pada 15 HST populasi larva 0,6; 0,8 dan 0,6/tanaman tetapi setelah diaplikasikan mencapai 0 larva/ tanaman pada 64 HST 2. Perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana dan insektisida dapat menekan kerusakan daun kubis 0 persen, tetapi pada kontrol kerusakan daun mencapai 74,35 persen . 3. Produksi tertinggi, terdapat pada perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana kemudian diikuti perlakuan insektisida masing-masing mencapai 67 ton/ha dan 66 ton/ha dan 59,25 ton/ha, kontrol hanya mencapai 6 ton/ha. 4. Pendapatan dan keuntungan (B/C ratio) tertinggi secara berturut – turut terdapat pada perlakuan B. thuringiensis, B. bassiana yakni Rp 33.052.200,-/ ha dengan B/C ratio 2,36; Rp 32.140.800,- /ha dengan B/C ratio 2,29. Sedangkan perlakuan insektisida dan kontrol menunjukkan pendapatan Rp 24.095.700,dengan B/C ratio 1,39 dan kontrol hanya Rp 5.954.000,- /ha dengan B/C ratio – 0,59. DAFTAR PUSTAKA Abda, G. 1998. Kajian teknologi pengendalian ulat krop Crosidolomia binotalis pada tanaman kubis dengan agensi hayati (CbBx). Kumpulan Makalah Gelar Teknologi Spesifik Lokasi Karawang 5-9 Oktober. Direktorat
Jend. Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Hal.84-86.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.p 583. Mosher, A.T. 1981. Membangun dan menggerakkan pertanian. CV. Yasa Guna Jakarta. Rukmana, R. 1994. Budidaya Kubis dan Brokoli. Kanisius, Yogyakarta. Hal : 27 Sastrsiswojo, S dan W. Setiawati. 1993. Hama-hama Tanaman Kubis dan Cara Pengendalian. Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Hal. 39-41. Setiawati, W dan Tinny Suhartini Uhan. 1991. Sinergisme insektisida mikroba Bacillus thuringiensis dengan Piritroid Sentetik terhadap Larva Heliotis amegera Hbn. Bull. Penel. Hort.21 (2) : 44 – 51. Soper, R.S. 1985. Pathogen of Leaf Hoppers and Planthop Pers. In The Leaf Hoppers and Plant Hoppers (Ed. By Nault IB and J.G Rodriguez). John Willey and Sens Inc. Sudarwohadi, S. 1975. Hubungan antara waktu tanam kubis dengan dinamika populasi Plutella maculipennis Curt dan Crocidolomia binotalis Zell. Bul Penel. Hort.3 (4) : 3 – 14. Sudarwohadi, 1992. Metode pengambilan sampel. Materi pelatihan PHT. di Bandung. Suyanto, A. 1994. Hama Sayuran dan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 53 Udiarto, B.K dan S. Sastrosiswojo. 1997. Selektifitas beberapa jenis insektisida terhadap larva Plutella xylostella L. dan Parasitoid imago Diadegma sumiclausum Helln. Jur. Hort.7 (3) : 810 – 817. Winarto, L., Nova P., Siti M. dan Syarifuddin Y. 2000. Uji adaptasi beberapa agensia hayati terhadap penekanan perkembangan hama penting tanaman kubis di Karo. Laporan Intern BPTP Sumatra Utara.
Teknologi Pengendalian Hama Plutella xylostella dengan Insektisida dan Agensia Hayati pada Kubis di Kabupaten Karo (Loso Winarto dan Darmawati Nazir)
33
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 7, No.1, Januari 2004 : 27 -33
34