PENINGKATAN KINERJA ADAPTIVE CODED MODULATION (ACM) DENGAN SELECTION DIVERSITY (SD) UNTUK MITIGASI PENGARUH REDAMAN HUJAN DAN INTERFERENSI PADA SISTEM LMDS DI SURABAYA Syahfrizal Tahcfulloh Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Borneo Kampus Jl. Amal Lama No. 1 Tarakan, 77123, INDONESIA E-mail:
[email protected] Abstract—Local Multipoint Distribution Service (LMDS) is used to broadband wireless communication system requiring high capacity traffic channels, bandwidth and highspeed data. The system uses millimeter wave frequency that has very high rain attenuation and also intercell interference especially in tropical region like as Indonesia which can decrease performance of the system. In this implementation is more significant to investigate the mitigation technique. This paper is provide the improvment of ACM performance with SD. In ACM system is guaranteed to have maximum BER 10-6 and 10-11 in 4 km length between terminal station (TS) and the desired base station (BS) have link availability 99.9368% and 99.9356%, and channel capacities are 1.5847 bps/Hz and 0.7726 bps/Hz respectively. The ACM system with SD is better than the ACM system because that is effective to improve the link availability about 0.004% and 0.003% and also channel capacities about 0.022% and 0.04% for maximum BER 10-6 and 10-11 respectively. Keywords—Adaptive coded modulation (ACM), selection diversity (SD), intercell interference, millimeter wave.
I. PENDAHULUAN Sistem LMDS beroperasi pada frekuensi antara 20– 40 GHz yang menggunakan sistem akses seluler untuk arsitektur jaringannya serta receiver-nya yang tetap (fixed). Sistem ini dapat mengirimkan sinyal dengan cepat pada bit rate 1,5 GBps saat downstream dan 200 MBps saat upstream serta sistem ini mendapati gangguan minimal. Sistem komunikasi pada pita frekuensi tinggi seperti sistem LMDS sangat peka terhadap fade (pelemahan) yang disebabkan oleh hujan, sehingga bisa memberikan efek yang signifikan pada keandalan sistem komunikasi di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Oleh karena itu, penerapan sistem LMDS di Indonesia akan menjadi permasalahan yang rumit mengingat besarnya redaman hujan yang terjadi. Dimana, semakin tinggi curah hujan rata-rata maka akan semakin besar pula redaman hujan yang terjadi. Beberapa teknik mitigasi pengaruh redaman hujan sudah diteliti dibeberapa negara non tropis, diantaranya teknik penggunaan kendali daya untuk kompensasi redaman karena hujan pada sistem seluler LMDS/LMCS [2]. Sistem ini dirancang untuk bekerja pada daerah non-tropis dengan redaman hujan yang tidak terlalu besar. Akibatnya jika diterapkan di daerah tropis untuk sstem komunikasi nirkabel seluler pada gelombang milimeter akan terjadi nilai BER yang terlalu besar. Penelitian [1] hanya menerapkan kendali
daya yang berbasis AGC (automatic gain control) untuk mengatasi efek redaman hujan. Sistem mereka membedakan pelanggan dekat dan jauh dengan tujuan untuk membagi rentang dinamis AGC ke dalam dua segmen yang lebih sempit. Sistem ini tidak memanfaatkan modulasi adaptif maupun pengodean adaptif sehingga tidak dapat mencapai penggunaan sumber daya yang efisien. Teknik cell-site diversity juga telah terbukti sangat efektif untuk melawan pengaruh redaman yang diakibatkan oleh hujan di daerah non tropis [7]. Sistem transmisi adaptif menggunakan variasi laju data dan variasi daya pada sistem M-QAM telah diterapkan untuk mengatasi Rayleigh fading untuk mendapatkan efisiensi spektrum serta unjuk kerja yang optimum [4]. Teknik modulasi MQAM adaptif pada kanal komunikasi gelombang milimeter telah digunakan untuk mengoptimalkan efisiensi spektrum atau kapasitas kanal dibawah pengaruh hujan di Indonesia [10]. Pada penelitian ini dilakukan peningkatan kinerja terhadap teknik ACM dengan menggunakan kode rangkap Reed-Solomon (RS) dan Convolotional Code (CC) dengan SD yang implementasinya pada sistem komunikasi nirkabel pita lebar gelombang milimeter dibawah pengaruh redaman hujan dan interferensi di Indonesia, kususnya dilakukan pengukuran curah hujan di Surabaya. II.
ASUMSI SISTEM LMDS
A.
Sistem Nirkabel Pita Lebar Umumnya sistem LMDS menggunakan arsitektur seluler heksagonal, namun bentuk persegilah yang populer dijadikan pertimbangan dalam perancangan sistem komunikasi bergerak. Suatu sel terdiri atas satu BS dan beberapa TS. Satu sel tersektorisasi menjadi 4 sektor sebesar 90o. Gambar 1 memperlihatkan sekenario plan frekuensi untuk layanan LMDS. “A” dan “B” menyatakan polarisasi vertikal, sedangkan “a” dan “b” berarti polarisasi horizontal. Garis tebal menandakan batas sel. TS mendapatkan sinyal dari BS bernotasi nomor 1 atau disebut BS target dan BS-BS lain yang bernotasi 2, 3, dan 4 sebagai BS penginterferensi serta BS bernotasi 5, 6, 7, 8, dan 9 sebagai BS untuk konfigurasi SD. Antena BS adalah antena sektor dengan beamwidth 90o dengan gain hampir uniform yang berada di pusat sel dan beamwidth dari antena TS berjenis Cassegrain sangat sempit sekitar 3o [3]. Parameter–parameter sistem LMDS yang digunakan untuk perhitungan harga SNR pada jarak L 1
km adalah dengan menggunakan perhitungan yang bersumber dari Chu Y.C yang dinamakan SNR clear sky (SNRCS). Dalam penelitiannya Chu menggunakan parameter LMDS yang diproduksi oleh New Bridge Corporation Canada [3].
dengan waktu sampling T=10 detik. Metode synthetic storm technique (SST) [5][8] merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi redaman hujan berdasarkan kecepatan dan arah angin. Hasil pengukuran curah hujan di Surabaya menunjukan bahwa probabilitas curah hujan 0,01% untuk curah hujan lebih dari 140,1 mm/jam. Hal ini menunjukkan curah hujan di Surabaya, Indonesia sangat tinggi. Salah satu hasil perhitungan redaman hujan dengan SST yang berupa grafik complementary cumulative distribution function (CCDF) redaman hujan untuk jarak TS ke BS target sejauh 4 km dengan polarisasi horizontal tampak pada Gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terjadi redaman hujan di Surabaya (Indonesia) dengan probabilitas 0,01% sebesar 283.6 dB di lintasan TS ke BS nomor 3. 1
10
Gambar 1. Skenario plan frekuensi pada layanan LMDS, H = polarisasi horizontal, V = polarisasi vertikal, TS = terminal station dan o = base station (BS).
Pemancar Mod & Coding Adaptif
x[k] 1/
A[k ] n[k]
Demodulasi Adaptif y[k]
10 Prob.[Redaman > absis] (%)
Penerima Kanal (redaman hujan)
TS-BS1 TS-BS2 TS-BS3 TS-BS4 TS-BS5 TS-BS6 TS-BS7 TS-BS8 TS-BS9
0
^
r[k]
Estimasi Kanal
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
0
Delay
Gambar 2. Model sistem transmisi adaptif
Sistem MQAM Adaptif dan ACM Sistem nirkabel pita lebar gelombang milimeter yang dievaluasi bekerja pada frekuensi 30 GHz. Penggunaan metode ACM yang memvariasikan rate pengkodean dan modulasi M-QAM merupakan dasar pemodelan sistem transmisi adaptif pada penelitian ini, dimana sistem adaptif ini dicirikan dengan adanya feedback di dalam blok diagram sistem yang disajikan seperti pada Gambar 2. Bit informasi r[k] sebelum dimodulasi dilakukan proses pengkodean rangkap yaitu pengkodean RS dan dilanjutkan dengan proses pengkodean CC. Setelah proses pengkodean rangkap, bit informasi dipetakan sesuai dengan level modulasi yang digunakan x[k]. Level modulasi tergantung pada kondisi kanal yang dipengaruhi hujan yang ditentukan oleh harga SNR (signal to nosie ratio) pada sisi penerima. Estimasi kanal diasumsikan ideal dan waktu tunda (delay) pada umpan balik diasumsikan mendekati nol.
100
200
300
400 500 Redaman (dB)
600
700
800
900
Gambar 3. Distribusi kumulatif komplemen ter redaman hujan untuk jarak TS ke BS target 4 Km berorientasi TS ke BS1, BS2, BS3, BS4, BS5, BS6, BS7, BS8, dan BS9.
B.
C.
Redaman Hujan di Indonesia Pengukuran curah hujan dilakukan di lingkungan kampus ITS Surabaya menggunakan alat ukur disdrometer optik. Dari hasil pengukuran diperoleh data curah hujan selama 2 tahun dari tahun 2007 dan 2008
D.
Skenario Adaptive Coded Modulation Sistem adaptive coded modulation (ACM) menggunakan skenario bahwa level modulasi yang digunakan 4-QAM, 16-QAM, dan 64-QAM berturutturut sesuai dengan harga SNR yang dipengaruhi redaman hujan saat itu. Apabila selama periode tertentu nilai redaman rendah, maka nilai SNR akan naik dan memungkinkan tingkat modulasi yang tinggi diterapkan dengan BER rendah. Sedangkan, apabila nilai redaman selama periode tertentu tinggi, maka nilai SNR akan menurun dan memaksa untuk menggunakan tingkat modulasi yang rendah agar BER terjaga. Perhitungan teoritis dari BER untuk masing-masing skema modulasi dilakukan menggunakan persamaan: [9] m m ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎜ 1 2 ∑− 1 j⎜ 2m − 1⎟ Pe j ⎛⎜1 − Pe ⎞⎟2 − 1 − j ⎟ log M P ≈ ⎜⎜ ⎟⎟ cc ⎝ ⎟ 2 cc ⎠ B ⎜ m 2 −1 j = t +1 ⎝ j ⎠
⎝
⎠
(1)
dimana: m adalah banyaknya bit dalam satu simbol, M adalah nilai dari orde modulasi, dan Pecc adalah probabilitas kesalahan simbol setelah pengkodean CC. Persamaan Pecc untuk 4-QAM, 16-QAM, dan 64QAM berturut-turut yaitu: 2
⎡1 ⎛ d free rSNR ⎞ ⎤ d ⎟ ⎥ log 2 M PeCC ≈ ⎢ (1.06 ) free Ad free exp ⎜⎜ − ⎟ k 2 ⎝ ⎠ ⎦⎥ ⎣⎢
(2)
⎡1 ⎛ d free rSNR ⎞ ⎤ d ⎟ ⎥ log 2 M PeCC ≈ ⎢ (0.92 ) free Ad free exp⎜⎜ − ⎟ 5 ⎝ ⎠ ⎦⎥ ⎣⎢ k
(3)
⎡1 ⎛ d free rSNR ⎞⎤ d ⎟⎥ log 2 M PeCC ≈ ⎢ (0.81) free Ad free exp ⎜⎜ − ⎟ k 14 ⎝ ⎠⎦⎥ ⎣⎢
(4)
dimana; k adalah jumlah input enkoder, Adfree adalah nilai koefisien deret pertama turunan fungsi alih enkoder, r adalah laju pengkodean, dan dfree adalah free distance. Menggunakan persamaan (1), dilakukan perhitungan teoritis BER untuk masing-masing skema modulasi, maka didapatkan nilai operasi untuk BER 10-6 dan 10-11 seperti terlihat pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Skenario ACM BER 10-6 ACM menjamin BER maksimal 10-6 Jenis Modulasi Interval SNR (dB) No Transmisi SNR< 1.18 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 1.18< SNR<11.45 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 11.45< SNR <21.63 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) SNR >21.63
Tabel 2. Skenario ACM BER 10-11
E.
Selection Diversity (SD) SD merupakan teknik diversity combining yang paling sederhana. Pada teknik ini, penerima memilih sinyal yang paling baik, dalam hal ini sinyal dengan SNR terbesar. Blok diagram dari metode ini ditunjukkan pada Gambar 4, ada M cabang diversitas untuk sinyal yang masuk ke rangkaian pemilih, SNRg merupakan sinyal terkuat yang dipilih dan merupakan output dari rangkaian ini.
2
M Antena
G1
G2
Rangkaian Pemilih
N ⎛ k ⎞⎛ k ⎞ R = ∑ log 2 ( M i ) P( M i ).⎜⎜ RSi ⎟⎟⎜⎜ CCi ⎟⎟ (6) B i=0 ⎝ nRSi ⎠⎝ nCCi ⎠ dimana: R menyatakan effisiensi bandwidth (bps/Hz), B
N adalah jumlah data, M i adalah level modulasi, dan P( M i ) adalah probabilitas kemungkinan masing-masing modulasi, k RSi adalah jumlah bit data pada pengkodean RS pada mode ke-i, nRSi adalah jumlah bit dalam codeword mode ke-i, kCCi adalah jumlah bit data pada pengkodean CC pada mode ke-i, dan nCCi , adalah jumlah bit dalam codeword mode ke-i.
ACM menjamin BER maksimal 10-11 Jenis Modulasi Interval SNR (dB) No Transmisi SNR< 1.79 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 1.79<SNR<12.62 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 12.62<SNR<23.53 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) SNR>23.53
1
tanpa membutuhkan tambahan daya pada pengirim. Metode ini sangat mudah diimplementasikan. F. Kapasitas Kanal Kapasitas kanal atau effisiensi bandwidth merupakan laju transmisi informasi per Hz dari bandwidth yang digunakan, yang bertujuan untuk mengirimkan sinyal informasi yang maksimum dengan bandwidth minimum. Satuan yang tepat untuk effisiensi bandwidth adalah bit/s/Hz. Pada sistem modulasi adaptif, effisiensi bandwitdh dapat dinyatakan sebagai berikut [4]:
Output
GM Variabel Gain
Gambar 4. Selection diversity atau selection combining [13]
Nilai SNR dari SD dapat dituliskan sebagai berikut: γ d = max(γ 1 ,..., γ M ) (5) Persamaan (5) digunakan untuk mengevaluasi peningkatan SNR rata-rata yang diberikan oleh SD. Teknik ini menawarkan perbaikan pada link margin
III. ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Signal to Noise Ratio Sesaat Setelah mendapatkan nilai redaman hujan Ak seperti tampak pada Gambar 3 di tiap link, maka langkah selanjutnya adalah mendapatkan nilai dari signal to noise ratio sesaat SNRk. Nilai SNR sesaat sebelum proses ACM dihitung untuk masing-masing jarak TS ke BS target dari 1 km, 2 km, 3 km dan 4 km untuk TS ke BS1 sampai BS9 yang berurutan diberi nama SNRk1, SNRk2, SNRk3, SNRk4, SNRk5, SNRk6, SNRk7, SNRk8, Grafik SNRk yang diperoleh dan SNRk9. direpresentasikan dalam bentuk CCDF untuk semua event terjadinya hujan dalam interval rentang waktu 2 tahun seperti pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 di atas dapat diketahui bahwa semakin besar jarak lintasan komunikasi, semakin kecil nilai SNR sesaat. Secara detail dapat dilihat bahwa harga SNR sesaat pada penerima yang mempunyai probabilitas 0,01% sebesar -354.9 dB pada SNRk2 hal ini menandakan bahwa redaman hujan pada TS ke BS2 sangat besar karena melebihi nilai SNR clear sky-nya. B.
Signal to Interferensi plus Noise Ratio Sesaat Setelah mendapatkan SNRk untuk tiap-tiap jarak TS ke BS1 hingga BS9, maka langkah selanjutnya adalah menentukan signal to interference ratio sesaat (SIRk) yang merupakan selisih dari SNRk1 dengan SNRk2 hingga SNRk9. SIRk12 adalah selisih SNRk1 dengan SNRk2, begitu seterusnya. SIRTotal secara linear dinyatakan dengan 3
1 1 1 1 = + + SIRTotal SIRk 12 SIRk 13 SIRk 14
1
10
(7)
Untuk menentukan signal to interference plus noise ratio sesaat (SINRk) jika telah diketahui SNRk1 dan SIRTotal yaitu: S = ITotal + N
1 1 1 + SIRTotal SNRk1
10
Prob.[SNR > absis] %
SINR =
SD(SNRk1,SNRK5) SD(SNRk1,SNRK6) SD(SNRk1,SNRK8)
0
(8)
-1
10
-2
10
-3
10
1
10
SNRk1 SNRk2 SNRk3 SNRk4 SNRk5 SNRk6 SNRk7 SNRk8 SNRk9
0
Prob.[SNRk > absis] %
10
-1
10
-2
10
-4
10
-5
10 -140
-120
-100
-80
-60
-40 -20 SNR (dB)
0
20
40
60
Gambar 7. CCDF SNRk SD untuk beberapa kombinasi BS target dengan BS SD untuk jarak TS ke BS target 4 km. 1
10 -3
SINR SD15 SINR SD16 SINR SD18
10
0
10 -4
-900
-800
-700
-600
-500 -400 -300 SNRk (dB)
-200
-100
Prob.[SINR-SD => absis] (%)
10
0
Gambar 5. CCDF SNR sesaat untuk jarak TS ke BS target 4 Km berorientasi TS ke BS1, BS2, BS3, BS4, BS5, BS6, BS7, BS8, dan BS9 berturut-turut SNRk1, SNRk2, SNRk3, SNRk4, SNRk5, SNRk6, SNRk7, SNRk8, dan SNRk9.
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
1
10
-5
SINR4k9L nonSD
10
0
-160
Prob.[SINR => absis] (%)
10
-120
-100
-80
-60 -40 SINR-SD (dB)
-20
0
20
40
Gambar 8. CCDF SINRk sistem ACM dengan SD untuk beberapa BS target dengan BS SD jarak TS ke BS target 4 km.
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
-5
10
-160
-140
-140
-120
-100
-80
-60 -40 SINR (dB)
-20
0
20
40
Gambar 6. CCDF SINRk sistem ACM jarak TS ke BS target 4 km.
Tampak pada Gambar 6 merupakan CCDF dari SINRk untuk masukan bagi sistem ACM yang merupakan penerapan persamaan (8) untuk SIRk dan SNRk1 tanpa SD untuk jarak TS ke BS target 4 km. Untuk jarak TS ke BS target 1 km, 2 km, dan 3 km akan diperoleh SINRk dengan cara yang sama guna memperoleh SINRk 4 km. Dari hasil SINRk, maka diterapkan pada persamaan (1) untuk memperoleh link availability dan persamaan (6) untuk memperoleh kapasitas kanal pada kondisi BER 10-6 dan BER 10-11. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 untuk link availability dan Tabel 4 untuk kapasitas kanal sistem ACM.
Pada Gambar 7 merupakan CCDF dari SINRk untuk masukan hasil SD berbagai kombinasi konfigurasi SD ada tiga macam yaitu: SD untuk SNRk1 dan SNRk5, SD untuk SNRk1 dan SNRk6, dan SD untuk SNRk1 dan SNRk8. Ketiga kombinasi ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sudut diversity dan jarak link pada SD. Dari hasil pengamatan ketiga konfigurasi SD diputuskan diambil SD untuk SNRk1 dan SNRk6 karena memberikan nilai SINRk yang terbaik yaitu yang paling rendah nilai dB-nya seperti tampak pada Gambar 8. Setelah diperoleh SINRk SD maka hasil ini diterapkan ke persamaan (8) untuk menjadi SINRk sistem ACM dengan SD untuk jarak TS ke BS target dari 1 km sampai 4 km. Dari hasil SINRk sistem ACM dengan SD, maka diterapkan pada persamaan (1) untuk memperoleh link availability dan persamaan (6) untuk memperoleh kapasitas kanal pada kondisi BER 10-6 dan BER 10-11. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 untuk link availability dan Tabel 6 untuk kapasitas kanal sistem ACM dengan SD. C.
Kinerja Sistem Adaptive Coded Modulation Kinerja sistem ACM untuk jarak TS ke BS target 1km, 2km, 3km dan 4 km dievaluasi pada pengamatan untuk BER maksimum 10-6 dan 10-11. Nilai link 4
availability merupakan suatu syarat esensial dalam perencanaan sistem komunikasi radio. Tabel 3. Nilai Link Avalability Sistem ACM Jarak TS ke BS Target
Mode Transmisi
ACM 1 km
2 km
3 km
4 km
BER maks 10-6 Link Availability (%) 99.9995
BER maks 10-11 Link Availability (%) 99.9995
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9995
99.9995
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9991
99.9990
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7799
96.7376
ACM
99.9880
99.9874
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9880
99.9874
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9789
99.9756
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7621
96.7358
ACM
99.9619
99.9612
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9619
99.9612
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9416
98.1186
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7480
96.7318
ACM
99.9368
99.9356
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9368
99.9356
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.8970
97.8175
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7742
Tampak dari Tabel 3 dan 4 menyatakan bahwa nilai effisiensi bandwidth akan sangat berkaitan dengan nilai link avalability. Nilai effisiensi bandwidth juga dipengaruhi jenis pengkodean rangkapnya seperti kode rate pada kode konvolusionalnya serta ukuran (n,k) dari kode RS-nya. Sistem 16-QAM+RS(63,51)+CC(1/2) lebih tinggi effisiensi bandwidthnya ketimbang jenis lain tapi masih dibawah sistem ACM. Tabel 4. Perbandingan Efisiensi bandwidth Sistem ACM Jarak TS ke BS Target
Efisiensi Bandwidth (bps/Hz) BER BER maks maks -6 10-11 10 1.6726 1.6450
Mode Transmisi
ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3280
0.3280
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.6184
1.6184
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0952
0.0467 1.6195
1 km
2 km
96.7571
ACM
1.6396
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3268
0.3268
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.6060
1.6044
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0566
0.0236
ACM
1.6081
0.9022
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3243
0.3242
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.5875
0.7152
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0317
0.0136
ACM
1.5847
0.7726
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3218
0.3217
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.5634
0.5588
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0287
0.0095
3 km
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa sistem ACM gelombang milimeter pada BER maksimal 10-6 pada jarak TS ke BS target sejauh 4 km mempunyai link availability 99.9368%, sedangkan untuk BER maksimal 10-11 mempunyai link availability 99.9356%. Dari Tabel 3 akan didapati nilai link avalability sistem ACM akan selalu sama dengan nilai link avalability pada sistem 4-QAM+RS(63,31)+CC(1/3). Hal ini disebabkan pada sistem ACM hanya menggunakan 3 mode sistem transmisi yaitu 4-QAM, 16-QAM dan 64-QAM, sehingga sistem adaptif itu akan menggunakan mode transmisi 4-QAM untuk kondisi SNR yang terburuk dari data SNR yang memenuhi syarat untuk dilakukan transmisi gelombang. Disamping itu pada subbahasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin jauh jarak link komunikasi maka akan didapati nilai outage yang semakin besar sehingga akan menurunkan nilai link avalability sistem. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa nilai link availability akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya level modulasi dan semakin menurun seiring dengan bertambahnya panjang lintasan pada penggunaan mode transmisi yang sama. Hasil simulasi efisiensi bandwidth dilakukan pada sistem ACM maupun sistem non-adaptif pada berbagai jarak TS ke BS target dari 1-4 km seperti yang disajikan pada Tabel 4. Nilai efisiensi bandwidth sistem ACM pada jarak TS ke BS target 4 km untuk BER 10-6 mencapai 1.5847 bps/Hz dan untuk BER 10-11 mencapai 0.7726 bps/Hz. Hal ini dapat disimpulkan bahwa efisiensi bandwidth sistem ACM mempunyai nilai yang lebih besar daripada nilai efisiensi bandwidth untuk modulasi non adaptif.
4 km
D.
Kinerja Sistem ACM dengan Selection Diversity Kinerja sistem ACM dengan SD untuk jarak TS ke BS target 1km sampai 4 km dievaluasi pada pengamatan untuk BER maksimum 10-6 dan 10-11. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa sistem ACM dengan SD pada BER maksimal 10-6 pada jarak TS ke BS target sejauh 4 km mempunyai link availability 99.9404% naik sebesar 0.004% dari sistem ACM saja, sedangkan untuk BER maksimal 10-11 mempunyai link availability 99.9389% naik sebesar 0.003%. Hasil simulasi efisiensi bandwidth untuk sistem ACM dengan SD pada berbagai jarak TS ke BS target dari 1-4 km seperti yang disajikan pada Tabel 6. Nilai efisiensi bandwidth sistem ACM dengan SD untuk BER 10-6 mencapai 1.5850 bps/Hz naik sekitar 0.022% dari sistem ACM saja dan untuk BER 10-11 mencapai 0.7729 bps/Hz naik sebesar 0.04% dari sistem ACM saja. Tabel 5. Nilai Link Avalability Sistem ACM dengan SD BER maks 10-6 Link Availability (%) 99.9995
BER maks 10-11 Link Availability (%) 99.9995
Jarak TS ke BS Target
Mode Transmisi
1 km
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9995
99.9995
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9991
99.9990
ACM + SD
5
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
BER maks 10-6 Link Availability (%) 96.7799
Jarak TS ke BS Target
2 km
3 km
4 km
Mode Transmisi
BER maks 10-11 Link Availability (%) 96.7376
ACM + SD
99.9880
99.9874
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9880
99.9874
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9789
99.9756
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7621
96.7358
ACM + SD
99.9630
99.9623
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9630
99.9623
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9422
98.1191
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7472
96.7310
ACM + SD
99.9404
99.9389
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9404
99.9389
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.8996
97.8202
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7718
96.7547
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem ACM dengan SD efektif meningkatkan kinerja sistem ACM dalam memitigasi pengaruh redaman hujan dan interferensi. Tabel 6. Perbandingan Efisiensi bandwidth Sistem ACM dengan SD Jarak TS ke BS Target
Mode Transmisi ACM + SD
Efisiensi Bandwidth (bps/Hz) BER BER maks maks 10-6 10-11 1.6726 1.6450
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3280
0.3280
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.6184
1.6184
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0952
0.0467
ACM + SD
1.6396
1.6195
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3268
0.3268
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.6060
1.6044
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0566
0.0236
ACM + SD
1.6082
0.9023
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3244
0.3243
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.5875
0.7152
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0317
0.0136
1 km
2 km
3 km
ACM + SD
1.5850
0.7729
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3221
0.3220
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.5634
0.5588
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0287
0.0095
penginterferensi, serta jenis modulasi koding rangkapnya. Teknik sistem ACM dengan SD mampu meningkatkan link availability sistem ACM sebesar 0.004% pada BER maksimal 10-6 untuk jarak TS ke BS target sejauh 4 km dan meningkatkan link availability sebesar 0.003% untuk BER maksimal 10-11. Sedangkan pada efisiensi bandwidth, sistem ACM dengan SD mampu meningkatkan efisiensi bandwidth sistem ACM sebesar 0.022% untuk BER 10-6 dan 0.04% untuk BER 10-11. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem ACM dengan SD efektif meningkatkan kinerja sistem ACM dalam memitigasi pengaruh redaman hujan dan interferensi. REFERENSI [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6] [7]
[8]
[9] [10]
[11]
4 km
[12] [13]
Secara umum setelah dibandingkan antara nilai efisiensi bandwitdh sistem ACM dengan dan tanpa SD untuk BER maksimum 10-6 dan BER maksimum 10-11, maka dapat dianalisa bahwa semakin kecil nilai BER maka akan semakin kecil nilai efisiensi bandwidth yang diperoleh. IV. KESIMPULAN Dapat dinyatakan bahwa kinerja sistem LMDS dipengaruhi oleh redaman hujan dan interferensi sebagai fungsi panjang lintasan TS ke BS, sudut antara TS ke BS target dan arah kecepatan angin maupun BS
Abbiati Fausto, Gaspare L., Santacesaria C, “Reception And Transmission Power Gains Control in a Point-to-Multipoint System”, EP 1427117A1, 1994. Boch,Yee, Ployer, “Power Control of LMDS/LMCS Base Station to Provide Rain Fade Compensation”, EP 0987832A2, 2000. Chu, C. Y., Chen, K. S. “Effects of Rain Fading on the Efficiency of the Ka-Band LMDS System in the Taiwan Area”, IEEE Transactions on Vehicular Technology, vol. 54, no. 1, Januari 2005. Goldsmith, A.J. dan Chua, S.G. “Variable-Rate Variable Power MQAM for fading Channels”, IEEE transactions of communication, vol. 45, no. 10, October 1997 Haniah Mahmudah, Achmad Mauludiyanto dan Gamantyo Hendrantoro “Prediksi Redaman Hujan Menggnakan Synthetic Storm Technique (SST)”, Tesis, Jurusan Teknik Elektro, ITS, Surabaya, 2006. Haykin, S. “Digital Communication System”, Jhon Wiley & Sons, 2004 Hendrantoro, G. R.J.C. Bultitude and D.D Falconer, “ Use of Cell-Site Diversity in Millimeter –Wave Fixed Cellular Systems to Combat the Effects of Rain Attenuation”, IEEE Journal on Selected Areas in Communications, Vol. 20, No. 3, Page 602, April 2002 Kanellopoulos, J. D. and P. Kafetzis, ”Comparison of the Synthetic Storm Technique with a Conventional Rain Attenuation Prediction Model”, IEEE transactions on Antennas and Propagation, Vol. AP-34, No. 5 hal: 714, May 1986. Sklar, B. “Digital Communication”, Prentice Hall, New Jersey, 1994 Suwadi, Hendrantoro, G. dan Kurniawati, T. “ Evaluasi Kinerja Modulasi Adaptif Untuk Mitigasi Pengaruh Redaman Hujan di Daerah Tropis Pada kanal komunikasi gelombang Milimeter” Seminar EECCIS, Juni 2008. ITU-R P.530, “Propagation Data and Prediction Methods Required for Design of Terrestrial Line-Of-Sight Systems”, 2005. ITU-R P.838-3, “Specific attenuation model for rain for use in prediction”, 2005. Rappaport, T.S., “Wireless Communications Principles and Practice”, Prentice Hall, hal 386, 2002.
Syahfrizal Tahcfulloh, dilahirkan di Kediri, 17 Juni 1980. Pada tahun 2003 menamatkan program sarjana di Teknik Elektro UGM. Penulis sejak tahun 2004 sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Elektro Universitas Borneo Tarakan dan sekarang sedang studi pada program pascasarjana bidang keahlian Telekomunikasi Multimedia di Jurusan Teknik Elektro ITS, serta aktif sebagai anggota penelitian bidang propagasi dan komunikasi gelombang milimeter. 6