REPRESENTASI CITRA ORANG INDONESIA DALAM PUISI MBELING KARYA REMY SYLADO Ilham Mahendra Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia Surel:
[email protected] Abstrak Penelitian terhadap kumpulan puisi berjudul Puisi Mbeling (PM) dilatarbelakangi oleh eksistensi puisi mbeling yang tenggelam pada saat ini, pandangan masyarakat, khususnya masyarakat sastra yang memandang rendah puisi mbeling serta tidak berbobot, tidak berpesan, dan tidak berestetik. Penelitian ini menjawab beberapa persoalan, yakni mendeskripsikan struktur puisi mbeling dalam kumpulan puisi PM, mendeskripsikan representasi citra orang Indonesia dalam kumpulan puisi PM, dan mendeskripsikan model representasi yang dilakukan dalam kumpulan puisi PM. Untuk menjawab persoalan tersebut digunakan teori struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode desktiptif analisis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukan tema yang diusung pada umumnya kritik dan sindiran terhadap orang Indonesia, citra orang Indonesia yang direpresentasikan orang Indonesia suka menyingkat salam, tidak pernah menggunakan otaknya, suka tobat sambal, berpikir praktis, berperilaku norak, sombong, dan hanya memikirkan urusan perut, serta model representasi yang dilakukan pada umumnya model representasi aktif. Kata kunci: puisi mbeling, struktur puisi, sosiologi sastra, representasi citra orang Indonesia Abstract The research on the collection of poems entitled Puisi Mbeling (PM) is motivated by the worsen existence of mbeling poems, the point of view of society, especially the literary society which sees mbeling poems as something classless and the stereotype which considers mbeling poems as shallow poems which have poor quality, and are inaesthetic. This research answers to several problems. And these are to describe the structure of mbeling poems in the collection of PM, to describe the image of Indonesian people in PM, and to describe the representation model which is done in PM. To answer these problems, this research uses the structural theory and socio-literature approach. The method that is used in this research is analytic descriptive method. The field study and the literature study is used to collect the data in this research. The result of this research shows that the theme in PM is mainly sarcasm on the image of Indonesian people that always shorten the greetings, never think deeply, never really mean their remorse, think practical, acts in an inappropriate way, arrogant and think of only about the advantages for
1
them, also the representation model which is used in this research is mainly the active representation model. Keywords: mbeling poems, structure poems, socio-literature, the image of Indonesian people
2
3
PENDAHULUAN Puisi mbeling muncul pertama kali pada bulan Agustus 1972 di sebuah majalah musik ternama di kota Bandung bernama Aktuil. Salah seorang penggagasnya adalah Remy Sylado. Tujuan dilahirkannya puisi mbeling adalah memberi kesempatan bagi para kaum muda yang baru menulis puisi agar dapat memunculkan karyanya, sekaligus untuk menggugat hakikat dan estetik puisi yang dikurung oleh teori-teori yang bersifat kaku dan baku (Soedjarwo, 2000: 6). Di awal kemunculannya, puisi mbeling mampu menjadi topik pembicaraan utama di tengah publik. Sylado (1974) mengaku bahwa puisi mbeling pada saat itu mampu menarik antusias publik, sehingga dalam kuantitasnya melahirkan hampir 10.000 penyair. Namun nyatanya pada masa kini, eksistensi puisi mbeling telah tenggalam. Hal tersebut disebabkan oleh stigma dan stereotip masyarakat, khususnya masayarakat sastra (sastrawan, pembaca, dan penelaah) yang menyatakan puisi mbeling adalah puisi kosong, tidak berpesan, tidak berbobot, dan hanya berisi humor belaka, sehingga mereka seolah anti untuk memahami, membaca, atau melakukan penelitian yang lebih mendalam. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat Soedjarwo (2001: 20-21), yakni masyarakat sastra masih cenderung menilai puisi seriuslah yang memiliki nilai yang tinggi. Mereka menganggap bahwa yang bersungguh-sungguh akan lebih berharga daripada yang hanya main-main. Akan tetapi, stigma dan stereotip tersebut tidaklah benar-benar terbukti. Pernyataan tersebut berdasarkan temuan yang peneliti dapatkan dalam kumpulan puisi berjudul Puisi Mbeling (selanjutnya disingkat PM) karya Remy Sylado. Dalam kumpulan puisi PM peneliti melihat tidak ada persoalan kehidupan yang luput dibicarakan, salah satunya mengenai orang Indonesia. Gambaran tersebut terefleksi pada empat puisi, yakni puisi berjudul Menyingkat Kata (MK), Teks Atas Descartes (TAD), Mental Spiritual Orang Indonesia (MSOI), dan Ciri-Ciri Orang Indonesia (CCOI. Gambaran orang Indonesia yang direfleksikan pada keempat puisi tersebut disampaikan dengan lugas, lugu, dan kuat akan unsur humor atau canda, sesuai dengan dasar estetik dari puisi mbeling.
4
Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas mengenai keberadaan dan stereotip mengenai puisi mbeling dan temuan yang peneliti dapatkan dari kumpulan puisi PM menjadi daya tarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian, khususnya mengenai representasi citra orang Indonesia dalam kumpulan puisi PM. Dengan kalimat lain, penelitian ini merupakan sebuah usaha agar masyarakat, khususnya masyarakat sastra dapat lebih objektif menilai puisi mbeling, tidak lagi menilai dari permukaan saja. Penelitian ini menjawab beberapa persoalan sebagai berikut. Pertama bagaimana struktur puisi mbeling dalam kumpulan puisi PM? Kedua bagaimana representasi citra orang Indonesia dalam kumpulan puisi PM? Ketiga bagaimana model representasi yang dilakukan dalam kumpulan puisi PM? Kemudian tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh jawaban atas persoalan-persoalan yang peneliti telah sebutkan. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis struktur untuk mengetahui makna dan gambaran orang Indonesia yang direfleksikan dalam puisi MK, TAD, MSOI, dan CCOI. Teori yang digunakan adalah teori struktur yang terdiri atas struktur fisik dan struktur batin. Teori ini peneliti gunakan berdasarkan pandangan bahwa unsur-unsur pembangun puisi bersifat fungsional dalam kesatuannya dan dengan unsur lainnya (Waluyo, 1897: 25), sehingga struktur puisi tidak dapat dilepaskan untuk memahami sebuah puisi. Penelitian dilanjutkan dengan melihat keterkaitan dan kesejajaran antara gambaran orang Indonesia yang direfleksikan dengan citra orang Indonesia berdasarkan stereotip yang beredar dalam kenyataan sosial melalui pendekatan sosiologi sastra. Pemilihan ini didasari atas pandangan Ian Watt (dalam Damono: 1979: 3) yang menyatakan bahwa sastra merupakan cerminan dari kenyataan sosial. Selanjutnya, analisis dilanjutkan kepada model representasi yang dilakukan dalam merepresentasikan citra orang Indonesia. Menurut Budianta (Aisyah, 1997: 29), representasi memiliki dua model, yaitu model pasif dan model aktif. Kedua model tersebut yang peneliti jadikan acuan dalam analisis model representasi.
METODE
5
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang melakukan fokus kajian terhadap kumpulan puisi berjudul PM karya Remy Sylado. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Ratna (2011: 53) menjelaskan, metode desktiptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang dikandung dalam objek penelitian, kemudian disusul dengan analisis terhadap fakta-fakta tersebut. Selain itu, karena penelitian ini mengacu kepada pendekatan sosiologi sastra, peneliti menggunakan metode pendekatan perspektif teks sastra yang merefleksi kehidupan masyarakat dan kenyataan sosial (Ratna, 2011: 340). Dan teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah studi pustaka dan studi lapangan—observasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Puisi Menyingkat Kata a. Struktur Puisi Menyingkat Kata Secara jelas, persoalan yang dibicarakan dalam puisi MK dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca, yakni mengenai kritik terhadap perilaku orang Indonesia yang kerap menyingkat salam. Persoalan ini didapat melalui analisis struktur meliputi struktur fisik dan struktur batin. Dalam menyampaikan gagasan atau kritiknya, penyair mengemasnya dengan sederhana. Bahasa yang dipilih adalah bahasa yang lugas atau bersifat denotatif. Penyair juga memilih kata-kata yang mengindikasikan kepada sebuah sebab-akibat, yakni kata karena pada larik pertama dan maka pada larik kelima. Sebab-akibat tersebut mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk tertawa, karena akibat yang diungkapkan terkesan berasal dari logika konyol penyair. Akan tetapi jika melihat konteks kata wr. wb yang merupakan singkatan dari warohmatullahi wabarokatu dengan kata rahmat dan berkah ilahi, memberi kejelasan bahwa akibat tersebut bukan berasal dari logika konyolnya. Hal ini menunjukan bagaimana penyair mengkritik subjek, yakni orang Indonesia. Imaji yang hadir hanya imaji penglihatan. Imaji ini dapat dilihat pada larik kedua orang Indonesia dan larik keempat kata wr. wb. Kedua kata tersebut
6
merangsang pengalaman sensoris pembaca akan sebuah bentuk yang dapat dilihat wujudnya. Dalam menyampaikan kritiknya, penyair mengonkretkannya dengan akibat yang diperoleh atas perilaku orang Indonesia, yakni maka/ rahmat dan berkah ilahi/ pun/ menjadi singkat/ dan tidak utuh buat kita. Bahasa figuratif yang hadir dalam puisi ini adalah sinekdoce, hiperbola, dan sinisme. Sinekdoce (totem pro parte) terlihat dari kata kita orang Indonesia pada larik kedua yang dimaksud menyebut sebagian, namun disebut secara keseluruhan. Hiperbola hadir pada larik kedua dan ketiga dan keempat, kita orang Indonesia/ suka/ menyingkat kata wr. wb. Kalimat tersebut mengindikasikan seolah-olah seluruh orang Indonesia melakukan hal tersebut. Sinisme hadir dari akibat yang dimunculkan penyair, maka/ rahmat dan berkah ilahi/ pun/ menjadi singkat/ dan tidak utuh buat kita. Larik-larik tersebut mengindikasikan bahwa penyair mengkritik perilaku yang dilakukan, atas akibat tersebut orang Indonesia mendapat ganjaran yang setimpal. Dari keseluruhan larik puisi MK ditemukan adanya kombinasi huruf vokal /a/, /i/ dan konsonan /k/ yang menimbulkan bunyi parau dan berirama kakofoni. Irama tersebut mendukung sikap ketidaksukaan penyair atas perilaku orang Indonesia. Tipografi yang digunakan dalam puisi MK adalah tipografi dengan tulisan rata tengah. Tipografi tersebut menggambarkan bahwa puisi ini harus diperhatikan, karena bentuk visual puisi ini yang rata tengah dan menjadi pusat. Seperti yang telah disinggung, tema dari puisi MK adalah kritik terhadap perilaku orang Indonesia yang suka menyingkat salam. Kritik tersebut terlihat dari akibat yang dimunculkan penyair. Hal ini menunjukan bahwa persoalan menyingkat salam, baik dalam lisan maupun tulisan tidak dianjurkan untuk dilakukan, sebab hukum agama tidak bisa digugat karena memiliki nilai kepastian. Perasaan penyair yang terasa dalam puisi ini adalah perasaan geram. Perasaan tersebut muncul karena kebiasaan menyingkat salam yang dilakukan oleh orang Indonesia. Hal ini yang mempengaruhi nada penyair dalam puisi ini, yakni nada menyindir, Dengan nada tersebut meciptakan suasana yang membuat pembaca berpikir dan introspeksi diri. Amanat yang dapat diperoleh adalah
7
menyingkat salam baik dalam tulisan maupun lisan tidak dianjurkan untuk dilakukan, hukum agama merupakan hal yang bersifat mutlak, dan setiap yang dilakukan mendapatkan balasan Tuhan yang setimpal.
b. Representasi Citra Orang Indonesia dalam Puisi Menyingkat Kata Berdasarkan hasil dari analisis struktur didapat bahwa gambaran orang Indonesia yang direfleksikan dalam puisi ini adalah orang Indonesia suka atau kerap menyingkat salam. Data spesifik mengenai citra orang Indonesia yang suka menyingkat salam peneliti peroleh dari hasil wawancara yang peneliti lakukan kepada para mahasiswa UPI tanggal 23 Mei 2014. Hasil yang didaptkan dari wawancara tersebut adalah narasumber mengatakan bahwa, orang Indonesia memang suka menyingkat salam. Hal ini menunjukan gambaran orang Indonesia yang suka atau kerap menyingkat salam yang direfleksikan dalam puisi ini memiliki keterkaitan dengan citra orang Indonesia yang distereotipkan, yakni orang Indonesia suka menyingkat salam.
Data
yang peneliti peroleh
memperlihatkan bagaimana gambaran orang Indonesia yang direfleksikan dalam puisi MK merepresentasikan citra orang Indonesia, yakni orang Indonesia suka menyingkat kata pada umumnya dan orang Indonesia suka menyingkat salam pada khususnya.
c. Model Representasi dalam Puisi Menyingkat Kata Dalam merepresentasikan citra orang Indonesia, penyair tidak sekadar menggambarkannya secara apa adanya. Namun penyair memberikan kritiknya yang disampaikan lewat larik kelima sampai larik kesembilan, yakni maka/ rahmat dan berkah ilahi/ pun/ menjadi singkat/ dan tidak utuh buat kita. Dengan demikian model representasi yang penyair lakukan dalam mereprsentasikan citra orang Indonesia, yakni orang Indonesia suka menyingkat kata pada umumnya dan salam pada khususnya adalah model representasi aktif. Indikasinya mengacu kepada gambaran perilaku orang Indonesia yang direfleksikan ditanggapi oleh penyair dengan cara mengkritiknya.
8
2. Puisi Teks Atas Descartes a. Struktur Puisi Teks Atas Descartes Persoalan yang dibicarakan dalam puisi TAD mengenai orang Indonesia yang tidak pernah menggunakan pikirannya. Dalam menyampaikan persoalan tersebut penyair mengungkapkannya secara lugas dan terkesan main-main atau berkelakar yang dimaksud untuk menyindir orang Indonesia. Bahasa yang dipilih adalah bahasa lugas atau bersifat denotatif. Penyair terlebih dahulu memunculkan sebuah wacana yang dilandaskan atas pandangan filsuf Rene Descartes pada bait pertama, yakni orang Perancis/ berpikir/ maka mereka ada. Kemudian diungkap persoalan inti dari puisi ini yang terefleksi pada bait kedua, yakni orang Indonesia/ tidak berpikir/ namun terus ada. Susunan tersebut dimaksudkan untuk memperjelas posisi perbandingan antara pandangan Rene Descartes dengan orang Indonesia. Imaji yang hadir adalah imaji penglihatan. Dapat dilihat dari kata orang Perancis, orang Indonesia, dan ada. Kata-kata tersebut merangsang indera penglihatan pembaca akan sosok yang dapat dilihat. Kemudian, dalam menyampaikan subjek yang dibicarakan, penyair konkretkan dengan kata orang Indonesia dan dalam menyampaikan sindirannya penyair konkretkan dengan bait kedua orang Indonesia/ tidak berpikir/ namun terus ada. Bahasa figuratif yang hadir dalam puisi TAD adalah bahasa figuratif sinekdoce (totem pro parte), hiperbola, dan ironi. Ketiga bahasa figuratif tersebut dapat dilihat pada bait kedua, yakni orang Indonesia/ tidak berpikir/ namun terus ada. Dalam puisi TAD ditemukan adanya dominasi bunyi vokal /a/ dan /i/ yang berkombinasi dengan bunyi liquida /r/. Kombinasi tersebut memberikan bunyi merdu yang mendukung suasana kelucuan yang dihadirkan penyair. Selain itu, ditemukan juga adanya repetisi kata, yakni kata orang, berpikir, dan ada. Pengulangan ini memberikan efek yang intens pada kata-kata tersebut. Tipografi yang digunakan adalah tipografi dengan tulisan rata kiri. Hal ini memberikan kesan bahwa puisi ini sederhana, terus terang, dan apa adanya. Seperti yang telah disinggung, tema puisi TAD adalah sindiran terhadap orang Indonesia yang tidak berpikir.
9
Nada atau sikap penyair kepada pembaca adalah berkelakar. Dengan berkelakar, Persoalan yang dibicarakan penyair dapat lebih mudah diterima oleh pembaca. Sikap tersebut terefleksi pada bait kedua yang menyebut orang Indonesia/ tidak berpikir/ namun terus ada. Atas sikap tersebut menciptakan suasana yang penuh dengan kelucuan, keakraban, dan santai. Akan tetapi setelah itu, pembaca akan berpikir atas sindiran yang dilakukan oleh penyair. Amanat yang dapat diperoleh dari puisi TAD adalah jangan pasrah terhadap keadaan dan jangan pasrah terhadap stigma yang diucapkan orang lain.
b. Representasi citra orang Indonesia dalam Puisi Teks Atas Descartes Setelah melakukan analisis stuktur, diperoleh bahwa pada puisi TAD penyair membicarakan persoalan orang Indonesia yang tidak berpikir. Gambaran orang Indonesia yang tidak berpikir yang direfleksikan dalam puisi ini memiliki keterkaitan dan kesejajaran data yang peneliti peroleh dari Drs. Memen Durachman, M. Hum., dosen jurusan Bahasa dan Sastra UPI. Beliau mengatakan bahwa citra orang Indonesia yang tidak berpikir banyak ditemukan dalam bentuk anekdot. Salah satunya—secara singkat—“jika otak orang Indonesia dijual harganya mahal, syarafnya tidak ada yang terputus karena tidak pernah digunakan”.
Anekdot
yang
sama
pun
peneliti
peroleh
dari
http://misterrakib.blogspot.com/. Anekdot tersebut menyebut bahwa orang Indonesia tidak akan pusing, jika pusing orang Indonesia akan pergi mancing. Kedua anekdot di atas secara garis besar mencitrakan bahwa orang Indonesia tidak pernah berpikir. Melihat hal tersebut dapat peneliti katakan bahwa puisi TAD merepresentasikan citra orang Indonesia, yakni orang Indonesia tidak pernah menggunakan otaknya atau tidak pernah berpikir. Indikasi tersebut berasal dari adanya kesejajaran dan keterkaitan antara gambaran orang Indonesia yang tidak berpikir yang direfleksikan dalam puisi TAD (orang Indonesia/ tidak berpikir/ namun terus ada) dengan anekdot yang merefleksikan citra orang Indonesia adalah tidak pernah menggunakan otaknya atau tidak berpikir.
c. Model Representasi dalam Puisi Teks Atas Descartes
10
Dalam merepresentasikan citra orang Indonesia, yakni orang Indonesia tidak pernah menggunakan otaknya atau tidak berpikir, penyair tidak hanya menggambarkannya seperti apa adanya, melainkan citra tersebut disampaikan dengan cara unik yang membuat puisi ini terkesan hanya berkelakar saja dan ada semacam sanggahan penyair. Atas temuan tersebut, peneliti dapat katakan bahwa dalam model representasi yang penyair lakukan adalah model representasi aktif. Hal tersebut dapat dilihat dari keseluruhan isi dari puisi ini, yakni orang Perancis/ berpikir/ maka mereka ada/ orang Indonesia/ tidak berpikir/ namun terus ada. Pada bait pertama penyair terlebih dahulu memunculkan sebuah wacana awal, yakni mengenai ungkapan Rene Descartes. Kemudian wacana tersebut dibandingkan dengan kehidupan orang Indonesia, sehingga memberikan gambaran bahwa penyair tidak hanya “menyalin” kenyataan, dalam hal ini mengenai orang Indonesia.
3. Puisi Mental Spiritual Orang Indonesia a. Struktur puisi Mental Spiritual Orang Indonesia Pada puisi MSOI, penyair membicarakan persoalan mengenai mental kerohanian orang Indonesia. Adapun mental yang digambarkan merefleksikan lemahnya mental kerohanian orang Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari keseluruhan isi puisi ini, yakni doa/ kala lupa/ dosa/ kala sadar. Setiap larik kata yang dipilih penyair tidak lebih dari dua kata. Tujuan penyair adalah untuk memberikan intensitas terhadap kata-kata dalam puisi ini, khususnya untuk kata doa dan dosa bagi subjek, yakni orang Indonesia. Selain itu, sedikitnya kata yang digunakan memberikan kesan puisi ini lugas dan langsung kepada pokok permasalahan serta memberikan suasana yang senyap. Imaji yang hadir dalam puisi MSOI adalah imaji penglihatan. Imaji ini dapat dilihat dari kata orang Indonesia dan keseluruhan isi puisi ini, yakni doa/ kala lupa/ dosa/ kala sadar yang mampu memberikan pengalaman sensoris pembaca, seolah perilaku yang dilakukan oleh orang Indonesia dapat dilihat. Untuk mengonkretkan subjek yang dibicarakan dalam puisi ini penyair menggunakan kata orang Indonesia. Dalam puisi ini juga terlihat bagaimana
11
penyair bersikap menyindir orang Indonesia yang dikonkterkan dengan isi dari puisi ini, yakni doa/ kala lupa/ dosa/ kala sadar. Bahasa figuratif yang hadir dalam puisi MSOI adalah bahasa figuratif sinekdoce, hiperbola, dan sinisme. Sinekdoce (totem pro parte) dapat dilihat dari penggunaan kata orang Indonesia pada judul. Hal ini juga berkaitan dengan bahasa figuratif hiperbola. Puisi ini terkesan berlebihan karena seolah-oleh seluruh orang Indonesia berperilaku seperti itu. Sinisme dapat dilihat dari keseluruhan isi puisi ini, yakni orang Indonesia yang direfleksikan tidak bersungguh-sungguh dalam tobatnya dan beribadah kepada Tuhan. Irama yang terasa dalam puisi ini adalah efoni (merdu), dapat dilihat dari hadirnya kombinasi bunyi vokal /a/ dengan bunyi konsonan bersuara /d/. Selain itu, ditemukan adanya repetisi kata kala yang dimaksudkan untuk memberikan intensitas mengenai waktu saat orang Indonesia berdoa dan berdosa. Tipografi yang penyair gunakan dalam puisi ini adalah tipografi dengan tulisan rata kiri. Dengan tipografi ini pembaca dapat dengan mudah memahami gagasan penyair yang disampaikan secara langsung. Berdasarkan penjelasan di atas tergambar bahwa tema dari puisi MSOI adalah sindiran terhadap lemahnya mental kerohanian orang Indonesia. Seperti yang direfleksikan dalam puisi ini doa/ kala lupa/ dosa/ kala sadar. Saat orang Indonesia sadar akan kesalahannya, mereka akan berdoa atau memohon ampun (tobat). Setelah itu orang Indonesia lupa dan kembali berbuat dosa. Selain itu, puisi ini juga merefleksikan bagaimana orang Indonesia yang berdoa jika ada maunya dan setelah kemauannya dikabulkan orang Indonesia akan lupa Tuhan dan berbuat dosa. Gambaran didapatkan atas interpretasi peneliti yang melihat konteks kata sadar dan lupa. Penjelasan di atas berkaitan dengan perasaan penyair yang terasa dalam puisi MSOI. Perasaan yang terefleksi dalam puisi ini adalah perasaan sinis. Perasaan ini terlihat dari kesangsian penyair yang melihat bahwa perilaku orang Indonesia dalam bertobat dan beribadah kepada Tuhan terkesan main-main. Sikap penyair dalam puisi ini adalah menyindir. Sindiran tersebut disampaikan dengan lugas dan langsung. Akan tetapi tidak disampaikan dengan
12
nada yang keras, hal ini berdasarkan irama merdu yang hadir dalam puisi ini. Selain itu, terefleksi juga bahwa persoalan mengenai mental orang Indonesia yang disampaikan dalam puisi ini terkesan main-main. Hal ini yang kemudian menimbulkan senyum bagi para pembaca. Namun suasana yang hadir setelahnya adalah suasana yang mampu membuat pembaca berpikir dan introspeksi diri atas sindiran yang dilakukan oleh penyair. Hal ini juga dikuatkan dengan kesenyapan yang diciptakan dari sedikitnya kata yang digunakan penyair. Amanat yang dapat dipetik dari puisi MSOI adalah tobat dan beribadah kepada Tuhan harus dijalankan dengan kesungguhan hati dan kita harus mengingat Tuhan dalam situasi dan kondisi apapun.
b. Representasi Citra Orang Indonesia dalam Puisi Mental Spiritual Orang Indonesia Berdasarkan analisis struktur diketahui puisi ini membicarakan persoalan lemahnya mental kerohanian orang Indonesia. Lemahnya mental orang Indonesia digambarkan dengan orang Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh dalam menjalani tobatnya. Dan saat orang Indonesia menginginkan sesuatu, mereka akan ingat dan berdoa kepada Tuhan. Setelah keinginannya terkabul, mereka lupa Tuhan dan kembali berbuat dosa. Gambaran orang Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh dalam menjalani tobatnya memiliki keterkaitan dan kesejajaran dengan data yang peneliti peroleh dari sebuah komentar dalam artikel yang dipublikasi oleh https://bundadontworry.wordpress.com. Dalam artikel tersebut Baha Andes pada tanggal 27 September 2011 menyebut bahwa, “orang Indonesia paling suka Tobat sambal.” Data yang sama pun peneliti peroleh berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan. Pada tanggal 2 Juni 2014, Yahya Nursidik menyebut bahwa, “Tobatnya orang Indonesia itu tobat sambal…”Kedua stereotip tersebut merefleksikan citra orang Indonesia, yakni tobatnya orang Indonesia itu tobat sambal atau orang Indonesia suka tobat sambal. Hal ini sesuai dengan gambaran orang Indonesia yang direfleksikan dalam puisi ini, yakni doa/ kala sadar/ dosa kala lupa.
13
Selain itu, perihal lemahnya mental spiritual orang Indonesia juga memiliki keterkaitan dengan stereotip yang disampaikan Lubis (2012: 34) mengatakan manusia Indonesia punya watak yang lemah. Stereotip mencitrakan bahwa orang Indoesia memiliki watak yang lemah. Hal ini sesuai dengan persoalan yang direfleksikan dalam puisi MSOI.
c. Model Representasi Citra Orang Indonesia dalam Puisi Mental Spiritual Orang Indonesia Dalam merepresentasikan citra orang Indonesia, yakni tobatnya orang Indonesia itu tobat sambal atau orang Indonesia suka tobat sambal, orang Indonesia berdoa kalau ada maunya, dan watak orang Indonesia yang lemah, penyair menggambarkannya dengan apa adanya, tanpa ada usaha penyair untuk mengkritisi ataupun membuat kenyataan baru yang ideal menurutnya. Tema dari puisi ini adalah sindiran terhadap lemahnya mental kerohanian orang Indonesia, seperti yang diisyaratkan dalam judul puisi ini, yakni Mental Spiritual Orang Indonesia. Kemudian persoalan lemahnya mental kerohanian orang Indonesia secara jelas diungkap penyair dalam isi puisi ini, yakni doa/ kala sadar/ dosa/ kala lupa. Temuan tersebut menunjukan model yang penyair lakukan dalam merepresentasikan citra tersebut adalah model representasi pasif.
4. Puisi Ciri-Ciri Orang Indonesia a. Struktur Puisi Ciri-Ciri Orang Indonesia Puisi CCOI membicarakan persoalan pola pikir, perilaku, dan pandangan hidup orang Indonesia berdasarkan kesan yang menjadi perhatian penyair. Puisi ini terdiri atas empat bait yang masing-masing bait menampilkan sebuah peristiwa, khususnya pada larik pertama hingga ketiga. Adapun persitiwa yang penyair gambarkan memiliki latar tempat, yakni show room mobil, toilet internasional, dan di sebuah seminar gastronomi. Hal yang menarik dalam puisi CCOI, pada larik keempat penyair menggunakan bahasa daerah, yakni bahasa Sunda, Jawa, dan Manado.
14
Gambaran mengenai orang Indonesia disampaikan penyair dengan katakata lugas dan langsung mengarahkan pembaca kepada kesannya mengenai orang Indonesia. Adapun gambaran yang direfleksikan adalah orang Indonesia berpikir praktis pada bait pertama, perilaku orang Indonesia yang norak pada bait kedua, orang Indonesia yang sombong pada bait ketiga, dan orang Indonesia hanya mengurusi urusan perut atau makan. Gambaran-gambaran tersebut disajikan dengan unsur humor yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar intensitas kesan penyair dapat dengan mudah dirasakan dan ditangkap oleh pembaca. Karena puisi CCOI bersifat naratif, maka imaji yang hadir dalam puisi ini lebih banyak dari pada puisi-puisi sebelumnya. Imaji yang hadir adalah imaji penglihatan, pendengaran, dan gerak. Imaji penglihatan terlihat dari salah satu kata, yakni kelihatan kakinya pada bait kedua larik kedua. Imaji pendengaran muncul karena kata bertanya pada bait pertama larik kedua hingga keempat. Dan imaji gerak muncul pada kata berjongkok di atas Cuma melepaskan sepatu pada bait kedua larik keempat. Kemudian, dalam menyampikan kesannya mengenai orang Indonesia, penyair mengonkretkannya pada seluruh bait dalam puisi ini, salah satunya adalah pada bait kedua larik ketiga dan keempat yang merefleksikan kesan orang Indonesia yang norak, yakni orang Indonesia tidak kelihatan kakinya/ berjongkok di atas cuma melepaskan sepatu. Bahasa figuratif yang hadir dalam puisi CCOI adalah bahasa figuratif sinekdoce (totem pro parte) yang dapat dilihat dari kata orang Indonesia, hiperbola yang dapat dilihat dari perilaku orang Indonesia yang terkesan berlebihan, metafora yang dapat dilihat dari kata ciri-ciri orang Indonesia adalah perutnya, dan sinisme yang dapat dilihat dari kesan yang penyair sampaikan digunakan untuk menyampaikan sindirannya. Puisi CCOI, didominasi oleh bunyi vokal /a/, /i/, dan /e/ yang berkombinasi dengan bunyi sengau /n/ dan bunyi liquida /r/ yang memberi kesan riang dan sesuai dengan kelucuan-kelucuan yang penyair hadirkan. Dan tipografi yang penyair gunakan adalah tipografi dengan tulisan rata kiri.
15
Berdasarkan pemaparan di atas, tema dari puisi ini adalah sindiran terhadap pola pikir orang Indonesia yang berpikir praktis pada bait pertama, orang Indonesia yang norak pada bait kedua, orang Indonesia yang sombong pada bait ketiga, dan orang Indonesia yang hanya memikirkan urusan perut pada larik keempat. Sebagai contoh, sindiran terhadap orang Indonesia yang sombong atau suka pamer direfleksikan dengan orang Indonesia memamerkan kekayaan kosa katanya. Kesan sombong (suka pamer) muncul karena apa yang dipamerkan orang Indonesia terasa percuma, sebab bahasa lain memang tidak memiliki kekayaan kosa kata yang dimiliki bahasa atau orang Indonesia, namun memiliki kosa kata lainya yang juga tidak dimiliki oleh bahasa atau orang Indonesia. Dari kelucuan-kelucuan yang disampaikan penyair mengenai orang Indonesia, terefleksi bahwa perasaan penyair yang terasa dalam puisi ini adalah perasaan geli. Misalnya kegelian penyair mengenai orang Indonesia yang hanya mengurusi urusan perut, direfleksikan pada bait keempat larik keempat, yakni biar bodoh di sekolah asal jangan bodoh urusan makan. Dengan kalimat lain, kegelian penyair muncul karena hal yang menarik perhatiannya dan kelucuan yang ditunjukan oeh orang Indonesia.
b. Representasi Citra Orang Indonesia dalam Puisi Ciri-Ciri Orang Indonesia Gambaran mengenai orang Indonesia yang direfleksikan dalam puisi ini adalah orang berpikir praktis pada bait pertama, orang Indonesia yang norak pada bait kedua, orang Indonesia sombong atau suka pamer pada bait ketiga, dan orang Indonesia hanya mengurusi urusan perut pada larik keempat. Gambaran tersebut disajikan dengan berbagai peristiwa, di mana orang Indonesia berperan sebagai subjek inti. Peristiwa yang digambarkan merupakan sebuah analogi untuk menggambarkan orang Indonesia yang sebenarnya. Dengan kalimat lain, penyair mengungkapkan gambaran kecil untuk merefleksikan gambaran besar. Terdapat keterkaitan antara gambaran orang Indonesia yang norak yang direfleksikan pada bait kedua dengan data yang peneliti peroleh dari artikel yang berjudul 4 Kenorakan Pengguna Twitter (Indonesia) pada tanggal 10 Desember 2010 yang dipublikasi oleh http://yasiralkaf.wordpress.com/. Dalam artikel
16
tersebut M. Wijianto secara jelas menstereotipkan bahwa orang Indonesia norak, kalau tidak norak bukan orang Indonesia. Gambaran mengenai orang Indonesia yang hanya mengurusi urusan perut yang direfleksikan pada bait keempat memiliki keterkaitan dan kesejajaran dengan data yang peneliti peroleh dari sebuah artikel yang dipublikasi pada tanggal 13 Juni 2014 oleh http://musik.kapanlagi.com/. dalam artikel tersebut, Agnes Mo menstereotipkan bahwa “Sebagian besar orang Indonesia cuma memikirkan isi perut masing-masing ketimbang bermimpi yang tinggi. Data tersebut menunjukan juga bahwa gambaran orang Indonesia yang direfleksikan pada bait ini memiliki keterkaitan dengan data yang menunjukan bahwa citra orang Indonesia adalah hanya memikirkan urusan perut. Secara keseluruhan, puisi ini merepresentasikan citra orang Indonesia, yakni orang Indonesia berpikir mudahnya saja, norak, sombong atau suka pamer, dan hanya memikirkan urusan perut. Hal ini didasari atas adanya keterkaitan dan kesejajaran antara keempat gambaran orang Indonesia yang refleksikan dalam puisi ini dengan citra orang Indonesia berdasarkan stereotip yang diperoleh dalam kenyataan sosial.
c. Model Representasi Citra Orang Indonesia dalam Puisi Ciri-Ciri Orang Indonesia Dalam merepresentasikan citra orang Indonesia, yakni orang Indonesia berpikir mudahnya saja, norak, sombong atau suka pamer, dan hanya memikirkan urusan perut, penyair tidak hanya sekadar menyampaikannya secara apa adanya. Dengan arti, representasi tersebut disampaikan dengan sesuatu yang unik, sehingga terkesan kenyataan tersebut adalah kenyataan yang baru. Maka model representasi yang dilakukan penyair dalam puisi ini adalah model representasi aktif. Hal ini karena dalam representasi tersebut turut melibatkan ideologi penyair sebagai penyair mbeling dengan menampilkan sebuah sindiran atas refleksi tentang orang Indonesia melalui unsur humor dan kelucuan yang kuat.
SIMPULAN
17
Bedasarkan penjabaran mengenai analisis terhadap puisi MK, TAD, MSOI, dan CCOI didapatkan beberapa simpulan yang menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Pertama dalam mengungkapkan gagasannya mengenai orang Indonesia, penyair mengemas dengan struktur yang sederhana yaitu dengan maksud agar puisi ini terkesan lugas, terus terang, dan apa adanya, sehingga pembaca dapat dengan mudah untuk memahaminya. Kedua, citra orang Indonesia yang direpresentasikan dalam kumpulan puisi PM adalah orang Indonesia suka menyingkat salam pada puisi MK, orang Indonesia tidak pernah menggunakan otaknya pada puisi TAD, orang Indonesia suka tobat sambal pada puisi MSOI, orang Indonesia berpikir praktis, berperilaku norak, sombong, dan hanya memikirkan urusan perut pada puisi CCOI. Ketiga, model representasi yang dilakukan pada umumnya adalah model representasi aktif. Dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan kepada representasi citra orang Indonesia. Sementara dalam kumpulan puisi PM pada khususnya banyak puisi-puisi lainya yang mengandung aspek sosiologis, sehingga dapat dilakukan penelitian dengan mengaitkannya dengan kenyataan di luar dari puisipuisi tersebut. Selain itu, penelitian terhadap puisi mbeling, khususnya kumpulan puisi PM tidak hanya terbatas kepada gaya atau style, melainkan peneltian dapat dilakukan secara lebih objektif, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi penelitian selanjutnya untuk memperlakukan puisi mbeling seperti puisi-puisi konvensional. PUSTAKA RUJUKAN Aisyah, N. L. (1997). Representasi Ideologi Gender dalam Cerpen-cerpen Karya Wanita pada Cerpen Pilihan Kompas 1992-1996. Tesis SPs UPI. UPI Bandung: tidak diterbitkan. Bundadontworry’s. (2011). Sensasi Sambal. [Online]. Tersedia http://bundadontworry.wordpress.com/2011/09/27/sensasi-sambal/. [Diakses: 12 Juni 2014].
di:
Damono, S. D. (1979). Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
18
Jamari, R. (2013). Humor Otak Indonesia Jarang Dipakai. [Online]. Tersedia di: http://misterrakib.blogspot.com/2013/05/humor-otak-indonesia-jarangdipakai.html. [Diakses 17 Juni 2014]. Lubis, M. (2012). Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Monica. A. (2014). Agnez Mo: Orang Indonesia Cuma Mikirin Perut!. [Online]. Tersedia di: http://musik.kapanlagi.com/berita/agnez-mo-indonesia-inisaatnya-kamu-punya-mimpi-besar-8430a9.html. [Diakses: 16 Juni 2014]. Ratna, N. K. (2011). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soedjarwo, dkk. (2001). Puisi Mbeling Kitsch dan Sastra Sepintas. Magelang: Indonesiatera. Sylado, R. (1974). Ketakutan akan Inflasi Penyair Kakerlak. Bandung: Aktuil, No. 164. Sylado, R. (2004). Puisi Mbeling. Jakarta: Keperpustakaan Populer Gramedia. Tarigan, M. (2014). Dubes Malaysia: Orang Indonesia Suka Akronim. [Online]. Tersedia di: http://www.tempo.co/read/news/2014/02/18/118555228/DubesMalaysia-Orang-Indonesia-Suka-Akronim. [Diakses 29 Mei 2014]. Waluyo, H. (1987). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Wijianto, M. (2010). 4 Kenorakan Pengguna Twitter (Indonesia). [Online]. Tersedia di: http://yasiralkaf.wordpress.com/2010/05/05/4-kenorakanpengguna-twitter-indonesia/. [Diakses 16 Juni 2014].