Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID)
RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016 Koreksi Harga Paska Idul Fitri Dorong Deflasi Agustus INFLASI IHK
Mtm
: - 0,02%
Yoy
: 2,79%
Ytd
: 1,74%
Avg yoy : 3,67%
Wilayah Deflasi Tertinggi KTI = -0,12% Kota Deflasi Tertinggi Kupang = -0,87%
Paska Idul Fitri, Indeks Harga Konsumen (IHK) mereda dan mengalami deflasi sebesar 0,02% (mtm) di bulan Agustus. Deflasi di bulan Agustus tahun ini berbeda dari historis inflasi di bulan Agustus dan lebih rendah dari periode paska Idul Fitri dalam lima tahun terakhir yang biasanya mencatat inflasi (Tabel 1). Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK secara year to date (ytd) dan tahunan (yoy) masing-masing mencapai 1,74% (ytd) dan 2,79% (yoy). Deflasi di bulan Agustus terutama bersumber dari penurunan harga sejumlah komoditas pada komponen volatile foods (VF) dan komponen administered prices (AP) (Grafik 1). Secara spasial, deflasi disumbang oleh wilayah KTI dan Jawa, yang masing-masing tercatat deflasi 0,12% dan 0,09%. Sementara itu, wilayah Sumatera dan Kalimantan justru mengalami inflasi 0,22% dan 0,16% (Gambar 1). Deflasi maupun rendahnya inflasi terutama disumbang oleh subkelompok transportasi di berbagai wilayah, khususnya komoditas angkutan udara dan angkutan antar kota. Hal ini merupakan gejala normalisasi harga paska mencapai puncaknya pada Juli 2016 lalu terkait momen Lebaran. Sejalan dengan itu, penurunan harga komoditas daging ayam ras di Jawa serta komoditas tomat sayur, ikan cakalang dan wortel di KTI, menyumbang terjadinya deflasi di kedua wilayah ini. Di sisi lain, kenaikan harga terutama pada komoditas cabai merah di Sumatera serta komoditas tarif pulsa ponsel di Kalimantan menyumbang terjadinya inflasi di kedua wilayah ini. Sampai dengan bulan Agustus 2016, secara rata-rata tahunan (rata-rata yoy), realisasi inflasi di hampir seluruh provinsi masih dalam target 4±1%, kecuali dua provinsi, yaitu Bengkulu (5,24%) dan Kalimantan Selatan (5,59%) (Gambar 2). Ke depan, inflasi diperkirakan tetap terkendali dan berada pada kisaran bawah sasaran inflasi 2016, yaitu 4%±1% (yoy). Koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi akan terus dilakukan, khususnya mewaspadai tekanan inflasi VF akibat dampak fenomena La Nina. Koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia akan difokuskan pada upaya menjamin pasokan dan distribusi, khususnya berbagai bahan kebutuhan pokok, dan menjaga ekspektasi inflasi.
Hal 1 dari 9
Tabel 1. Disagregasi Inflasi Agustus 2016
INFLASI INTI Mtm
: 0,36%
Yoy
: 3,32%
Ytd
: 2,24%
Avg yoy : 3,48% mtm(%) = 3,24% = 3,99% = 2,79% = 1,61%
= 0,51% = 0,53%
= 0,59%
Inflasi inti tercatat cukup rendah untuk periode Agustus, yaitu sebesar 0,36% (mtm) atau 3,32% (yoy). Sesuai polanya, inflasi inti bulan Agustus meningkat dibanding bulan lalu karena dimulainya tahun ajaran baru. Namun khusus untuk tahun ini, inflasi inti di bulan Agustus lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata inflasi inti bulan Agustus dan historis paska Idul Fitri (Tabel 1). Secara tahunan inflasi inti masih melanjutkan tren perlambatan sejak awal tahun yang bersumber dari kelompok inti non traded, sementara inflasi inti traded dalam tren meningkat (Grafik 2 dan Grafik 3). Rendahnya inflasi inti tersebut terutama akibat masih terbatasnya permintaan domestik, terkendalinya ekspektasi inflasi dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah. Inflasi inti non traded bulan ini melambat dari 3,45% (yoy) pada bulan sebelumnya menjadi 3,08% (yoy). Inflasi core non traded bulan ini terutama bersumber dari kenaikan biaya masuk sekolah menengah atas (3,24%, mtm), sekolah menengah pertama (3,99%, mtm), sekolah dasar (2,79%, mtm), dan akademi perguruan tinggi (0,59%, mtm) (Tabel 2). Seperti polanya, inflasi jasa pendidikan terjadi di bulan Agustus 2016. Jika dibandingkan dengan dua tahun terakhir, inflasi yang terjadi di bulan Agustus ini relatif lebih rendah (Grafik 4). Secara spasial, inflasi biaya masuk sekolah menengah atas tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat (20,30%), Bali (7,02%), dan Jawa Timur (5,11%). Sementara kenaikan biaya masuk sekolah menengah pertama tertinggi terjadi di Provinsi NAD (11,72%), Kalimantan Tengah (11,49%), dan Sumatera Utara (10,82%). Komponen inti non traded lainnya yang mengalami inflasi adalah kontrak rumah (0,51%, mtm) dengan provinsi yang mengalami kenaikan tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah (1,73%), DIY (1,44%), dan Kalimantan Barat (1,35%). Nasi dengan lauk juga tercatat mengalami inflasi sebesar
Hal 2 dari 9
0,53% (mtm) dan secara spasial kenaikan tertinggi terjadi di Provinsi Lampung (5,95%), Kalimantan Timur (1,36%), Kalimantan Selatan (1,35%). Rendahnya inflasi inti juga didorong oleh penurunan tarif pulsa telepon (0,84%, mtm) dan gula pasir (1,85%, mtm) (Tabel 2). Deflasi tarip pulsa ponsel terdalam terjadi di Provinsi DKI Jakarta (3,36%), Bangka Belitung (2,94%), dan NTT (2,44%), sementara deflasi gula pasir terdalam terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (7,36%), Kalimantan Barat (5,20%), dan Kalimantan Tengah (5,11%). Sementara itu, inflasi inti traded meningkat dari 3,54% (yoy) pada bulan Juli menjadi 3,63% (yoy) pada bulan Agustus. Inflasi inti traded terutama disumbang oleh emas perhiasan yang mengalami peningkatan harga sebesar 1,61% (mtm) seiring kenaikan harga emas global dan pelemahan rupiah sebesar 0,27% (mtm). Inflasi emas perhiasan tertinggi terjadi di Provinsi Sulawesi Barat (4,15%), DKI Jakarta (2,80%), dan Sumatera Utara (2,35%). Rendahnya inflasi inti mengindikasikan tekanan permintaan yang masih lemah sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya pertumbuhan kredit konsumsi di bulan Juli dan M2 di bulan Juni, masing-masing sebesar 8,19% (yoy) dan 8,71% (yoy) (Grafik 5). Ekspektasi akan kondisi perekonomian melemah sebagaimana ditunjukkan oleh Indeks Keyakinan Konsumen dan Pedagang dan Penjualan Riil yang mengalami penurunan (Grafik 6). Ekspektasi inflasi yang masih dalam tren menurun turut berpengaruh terhadap rendahnya inflasi inti. Hal ini tercermin dari ekspektasi inflasi di tingkat pedagang eceran baik dalam periode 3 dan 6 bulan yang menurun (Grafik 7). Sementara itu ekspektasi inflasi pasar keuangan stabil (Grafik 8) sebagaimana ditunjukkan Concensus Forecast (CF) Agustus 2016 yang sama dengan bulan lalu yaitu 3,90% (average, yoy). Namun demikian, ekspektasi inflasi di tingkat konsumen menunjukkan peningkatan (Grafik 9). Tabel 2. Komoditas Penyumbang Inflasi Kelompok Inti
Hal 3 dari 9
INFLASI VOLATILE FOOD Mtm
: -0,80%
Yoy
: 5,28%
Ytd
: 3,88%
Avg yoy : 7,80% mtm(%) = -3,35% = -21,58% = -3,53% = -10,77% = -3,33% = -2,87% = -0,20% = -0,85%
mtm(%) = 7,21% = 13.05% = 4,49% = 0,80%
Kelompok volatile food (VF) tercatat mengalami deflasi 0,80% (mtm) atau secara tahunan 5,28% (yoy). Deflasi VF di bulan Agustus tahun ini berbeda dari historis inflasi di bulan Agustus dan lebih rendah dari periode paska Idul Fitri dalam lima tahun terakhir yang biasanya masih mencatat inflasi (Tabel 1). Deflasi kelompok ini terutama disebabkan karena menurunnya permintaan paska Idul Fitri dan meningkatnya pasokan akibat mulai masuknya musim panen beberapa komoditas. Terkendalinya harga juga tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah serta koordinasi yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia dalam menangani inflasi pangan pada tahun ini. Deflasi kelompok ini terutama bersumber dari penurunan harga daging ayam ras, wortel, bawang merah, tomat sayur, jeruk, bawang putih, beras, dan daging sapi (Tabel 3). Daging ayam ras mengalami penurunan harga sebesar 3,35% (mtm) dan berada di level Rp32.530/kg. Level tersebut sudah di bawah target harga Pemerintah sebesar Rp35.300/kg. Turunnya harga daging ayam ras disebabkan oleh berlebihnya pasokan daging ayam dan menurunnya permintaan paska Idul Fitri. Meskipun terjadi deflasi, harga daging ayam ras secara rata-rata tahunan masih meningkat sebesar 6,48% dibanding tahun lalu. Secara spasial, penurunan harga terdalam terjadi di Provinsi NTT (14,95%), Sumatera Selatan (14,87%), dan Jambi (8,85%). Selanjutnya komoditas wortel juga mengalami penurunan harga sebesar 21,58% (mtm) dengan deflasi terdalam terjadi di Provinsi Maluku (42,39%), Bali (41,96%), dan NAD (34,29%). Bawang merah tercatat mengalami deflasi sebesar 3,53% (mtm) meskipun masih di level tinggi sebesar Rp41.203/kg. Level tersebut masih di atas target harga Pemerintah (Rp25.000/kg). Penurunan tersebut didorong oleh mulai masuknya musim panen di sejumlah daerah. Meskipun terjadi deflasi, harga bawang merah secara rata-rata tahunan masih meningkat sebesar 42,44% dibanding tahun lalu. Secara spasial, penurunan terdalam terjadi di Provinsi Jambi (16,0%), Kepulauan Riau (11,55%), dan Kalimantan Selatan (11,0%). Deflasi juga terjadi pada komoditas tomat sayur (10,77%, mtm), jeruk (3,33%, mtm), dan bawang putih (2,87%, mtm). Komoditas beras mengalami deflasi sebesar 0,20% (mtm). Harga beras turun menjadi Rp10.568/kg, akibat meningkatnya produksi seiring masuknya panen gadu. Level tersebut masih di atas target harga Pemerintah (Rp9.500/kg). Meskipun terjadi deflasi, harga beras secara rata-rata tahunan masih meningkat sebesar 4,82% dibanding tahun lalu. Komoditas daging sapi mengalami deflasi sebesar 0,85% (mtm). Harga daging sapi turun menjadi Rp114.252/kg akibat menurunnya permintaan dan realisasi impor yang meningkat. Meskipun mengalami deflasi, harga Hal 4 dari 9
daging sapi masih di atas target harga Pemerintah (Rp80.000/kg) serta secara rata-rata tahunan masih meningkat sebesar 10,11% jika dibandingkan dengan harga tahun lalu. Sementara itu, harga cabai merah, cabai rawit, kentang, dan minyak goreng mengalami peningkatan. Harga cabai merah meningkat sebesar 7,21% dan mencapai Rp31.917/kg. Tingkat harga ini secara rata-rata tahunan masih meningkat sebesar 18,47% jika dibandingkan harga tahun lalu. Inflasi cabai merah tertinggi terjadi di Provinsi Bali (34,54%), Sumatera Utara (15,26%), dan Sumatera Selatan (14,13%). Harga cabai rawit mengalami inflasi sebesar 13,05% (mtm) menjadi Rp44.285/kg. Kenaikan harga tertinggi terjadi di Provinsi Gorontalo (55,55%), NAD (28,51%), dan Sumatera Utara (27,24%). Kenaikan harga cabai rawit terutama disebabkan karena adanya gangguan produksi akibat curah hujan yang tinggi. Komoditas kentang kembali mengalami inflasi pada bulan ini sebesar 4,49% (mtm) dengan kenaikan tertinggi terjadi di Provinsi Bali (25,55%), Jawa Tengah (15,38%), dan Maluku (13,72%). Minyak goreng juga mengalami inflasi bulan ini sebesar 0,80% (mtm) dengan inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Barat (2,40%), DKI Jakarta (2,20%), dan Bengkulu (2,13%). Tabel 3. Komoditas Penyumbang Inflasi/Deflasi Kelompok Volatile Food
Hal 5 dari 9
INFLASI ADMINISTERED PRICES Mtm
: -0,52%
Yoy
: -0,91%
Ytd
: -1,59%
Avg yoy : 0,77%
mtm(%) = -13,51% = -5,91% = -3,89% mtm(%) = 1,90% = 0,76%
Komponen administered prices (AP) secara bulanan mencatat deflasi sebesar 0,52% (mtm), atau secara tahunan mencatat deflasi sebesar 0,91% (yoy). Deflasi AP di bulan Agustus tahun ini berbeda dari historis inflasi di bulan Agustus dan lebih rendah dari periode paska Idul Fitri dalam lima tahun terakhir yang masih mencatat inflasi (Tabel 1). Deflasi kelompok administered prices terutama bersumber dari komoditas angkutan antar kota, angkutan udara, dan tarif kereta api (Tabel 4) seiring menurunnya permintaan paska Idul Fitri. Deflasi tarif angkutan antar kota tercatat sebesar 13,51% (mtm), lebih dalam dibandingkan deflasi paska Idul Fitri tahun 2014 dan tahun 2015. Deflasi angkutan antar kota terdalam terjadi di Provinsi Sumatera Selatan (21,98%), Bali (21,18%), dan Jawa Tengah (19,39%). Tarif angkutan udara juga tercatat mengalami deflasi sebesar 5,91% (mtm) serupa dengan tahun 2015 (Grafik 20). Deflasi tarif angkutan udara terdalam terjadi di Provinsi Sulawesi Barat (36,80%), Kalimantan Utara (23,39%), dan Maluku (21,05%). Selanjutnya tarif kereta api juga mengalami penurunan sebesar 3,89% (mtm), dengan penurunan terdalam terjadi di Provinsi Jawa Tengah (17,04%), DIY (13,33%), dan DKI Jakarta (6,43%). Sementara itu, tarif listrik tercatat mengalami inflasi sebesar 1,90% (mtm) seiring dengan peningkatan tarif listrik pelanggan paska bayar yang baru terjadi di bulan Agustus akibat kenaikan harga ICP, inflasi dan depresiasi Rupiah pada bulan Mei. Rokok kretek filter juga mengalami inflasi sebesar 0,76% (mtm) seiring dengan kenaikan cukai.1
Tabel 4. Komoditas Penyumbang Inflasi/Deflasi Kelompok Administered prices
1
Cukai rokok rata-rata naik sebesar 11,19% pada tahun 2016 (Kemenkeu). Pengusaha menaikkan harga secara gradual setiap bulan. Hal 6 dari 9
LAMPIRAN GAMBAR DAN GRAFIK Inflasi Nasional: -0,02%, mtm
Sumber: BPS, diolah
Gambar 1. Peta Inflasi Regional, Agustus 2016 (% mtm) Inflasi Nasional : 3,67%, avg yoy
Sumber: BPS, diolah
Gambar 2. Peta Inflasi Daerah, rata-rata Januari - Agustus 2016 (% yoy)
Hal 7 dari 9
Grafik 1. Disagregasi Inflasi
Grafik 2. Disagregasi Inflasi Core
Grafik 3. Disagregasi Inflasi Core Non Traded
Grafik 4. Inflasi Jasa Pendidikan
Grafik 5. M2, Kredit Konsumsi dan Inflasi Inti
Grafik 6. Penjualan Riil dan Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik 7. Ekspektasi Inflasi Pedagang Eceran
Grafik 8. Ekspektasi Inflasi Consensus Forecast
Hal 8 dari 9
Grafik 9. Ekspektasi Inflasi Konsumen
Grafik 11. Perbandingan Inflasi Subkelompok Bumbu-bumbuan (% mtm)
Grafik 10. Perbandingan Inflasi Subkelompok Padi-Padian, Umbi-Umbian dan Hasilnya per Wilayah
Grafik 12. Perbandingan Inflasi Subkelompok Daging dan Hasil-hasilnya (% mtm)
Jakarta, 1 September 2016
Hal 9 dari 9