Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 46
REKONTRUKSI METODOLOGI HUKUM ISLAM KONTEMPORER Oleh: Materan Abstract: This paper aims to explore ways of view (weltanshaung) Al-Quran for the establishment of Islamic law, the ethical principles of the Qur'an in the form of universalism, justice, equality, and general welfare of the contextual and contemporary. It is important to remember that Islamic law is the most fundamental part in creating public improvements in accordance with the times and places, both in aspects of family law, economics, criminal, female (gender), medical, technological, political and even religious aspects. Therefore, the reconstruction methodology of Islamic law is an absolute, so that the application of Islamic law itself does not ignore the ethical principles of the Al-Qur’an. Kata Kunci: Hukum Islam, rekonstruksi metodologi, prinsip etis Alquran, kontemporer, kontekstual. PENDAHULUAN Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan, yaitu ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan filsafat, fikih (hukum islam) merupakan disiplin ilmu yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang Islam akan agama mereka, sehingga ia paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka. Kenyataan ini dapat ditelusuri melalui berbagai proses historis pertumbuhan masyarakat muslim masa lalu, juga melalui sebagian dari inti semangat ajaran agama itu sendiri.1 Sebagai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, hukum Islam memiliki karakteristik tersendiri, di antaranya adalah coraknya yang responsive, adaptif, dan dinamis yang membuka peluang bagi kehidupan, perubahan, dan pembaharuan sesuai dengan semangat zaman. Namun, di sinilah yang menjadi perdebatan dalam proses pergumulan, yakni dalam hal relevansi maupun aktualisasi hukum itu sendiri, terutama bila dikaitkan dengan keadaan tempat (lokal) maupun zaman (temporal). Tulisan ini mencoba menyoroti kontekstualisasi hukum Islam dalam menghadapi perubahan-perubahan yang begitu dahsyat beberapa decade terakhir ini. Yang paling utama ingin dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana hukum Islam bergumul dengan kenyataan riil perkembangan baru dalam kehidupan umat manusia. Apa saja faktor dinamika yang harus terus dikembangkan dalam rangka pengembangan hukum Islam kontemporer. Apakah kerangka metodologi yang selama ini dipakai masih cukup memadai atau perlu reformulasi kearah yang lebih menyentuh semangat perubahan itu sendiri. Pada bagian akhir, sungguhpun serba singkat, juga akan dibahas masa depan hukum Islam kontemporer di tengah perubahanperubahan dahsyat yang senantiasa membutuhkan etika dan paradigm baru. PENGERTIAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hukum Islam kontemporer itu? Andai hukum Islam kontemporer merupakan padanan dari Masa’il fiqhiyah, maka ada kecenderungan untuk mereduksi pengertian hukum Islam kontemporer kepada wilayah kajian fikih atau isu-isu yang berkembang pada kurun waktu terakhir ini . Misalnya, hal ini dapat dilihat dari berbagai buku secara khusus diberi judul Masa’il Fiqhiyah atau problematika
Penulis adalah Ketua Jurusan Syariah STAIN Samarinda Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, cet. III, 1995), hal. 235. 1
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 47
hukum Islam kontemporer.2 Dalam buku ini memang tidak ada definisi eksplisit mengenai hukum Islam kontemporer, tetapi dengan melihat tema-tema yang diangkat, maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “Hukum Islam Kontemporer” adalah perspektif hukum Islam terhadap masalah-masalah kekinian dan kedisinian. Kecenderungan pemaknaan seperti ini dianut oleh banyak kalangan muslim di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia. Buku-buku yang ditulis dengan judul Masa’il Fiqhiyah atau Problematika Hukum Islam Kontemporer memuat banyak sekali kasus baru atau problematika kekinian yang belum pernah muncul sebelumnya. Karena itu, sangat logis jika pengertian hukum Islam kontemporer seperti itu dikesankan bersifat responsif. Artinya, fikih dewasa ini semata-mata merespon persoalan-persoalan baru yang meminta penjelasan dari aspek status hukum (halal-haram)nya. Jika kita mengacu kepada pengertian “kontemporer” sebagai “dewasa ini” seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka hukum Islam Kontemporer sesungguhnya bisa juga dimaknai dengan “perkembangan pemikiran hukum Islam dewasa ini”. Pengertian hukum Islam kontemporer yang kedua ini tidak serta merta merespons aspek hukum (halalharam) dan persoalan-persoalan baru, tetapi mencoba untuk melihat perubahan-perubahan signifikan hukum Islam dari masa ke masa. Perubahan-perubahan signifikan itu muncul sebagai akibat, antara lain yang paling menonjol, perkembangan zaman yang selalu meminta etika dan paradigm baru. Buku Ijtihad Kontemporer-nya Yusuf Qardhawi atau Al-Ijtihad Wa Muqtadhayat Al-Ashr-nya Muhammad Hisyam Al-Ayyubi dapat digolongkan kedalam pengertian hukum Islam kontemporer yang kedua tersebut. Baik pengertian pertama maupun kedua dapat dikatakan merupakan salah satu wujud yang paling nyata dari munculnya kesadaran baru dalam wacana kebangkitan hukum Islam belakangan ini. Fenomena kebangkitan hukum Islam yang lain adalah ditandai dengan semakin maraknya kajian-kajian fikih perbandingan (fiqh muqran). Ada beberapa fakor yang melatarbelakangi munculnya isu hukum Islam kontemporer. Pertama, arus moderenisasi yang meliputi hampir sebagian besar negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Adanya arus modernisasi tersebut mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat Islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat Islam dari nilai agama. Ini terjadi karena aneka perubahan tersebut melahirkan simbol-simbol sosial dan cultural yang secara eksplisit tidak dimiliki oleh simbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan modernisasi yang tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan. Dengan kata lain, arus modernisasi telah melahirkan sejumlah tantangan baru yang harus dijawab sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pembaharuan pemikiran Islam. Kedua, munculnya keadaan baru dikalangan cendikiawan muslim kontemporer untuk menggugat kemapanan sistem hukum Barat di banyak Negara Islam. Bagaimana mungkin kaum muslim diatur dengan sistem asing? Pertanyaan serupa ini menyadarkan kalangan muslim untuk berupaya mewujudkan fikih Islam yang relevan dengan perkembangan zaman. Ketiga, masih terpakunya pemikiran fikih klasik (lawan kontemporer) dengan pemahaman yang tekstual, ad hoc dan parsial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensif dan actual, sekaligus kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan yang ada. Yusuf Qardhawi secara eksplisit meenegaskan signifikansi kajian-kajian yang serius dalam hukum Islam kontemporer. Ia berkata, “dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, timbul pertanyaan bagi kita, mampukah fikih menghadapi zaman modern? Tentu saja kita 2
Buku-buku yang membicarakan masalah kontemporer dalam perspektif Hukum Islam antara lain Masa’il Fiqhiyah karya Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah karya M. Ali Hasan, Problematika Hukum Islam Kontemporer dan Masa’il Fiqhiyah karya M. Mahyudin.
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 48
sebagai muslim akan menjawab hukum Islam mampu menghadapi zaman dan masih relevan untuk diterapkan. Akan tetapi, untuk menuju ke sana, perlu syarat yang harus dijalani secara konsekuen, yakni dibukanya pintu ijtihad.”3 OBJEK KAJIAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER Dengan melihat muatan pembahasan dalam buku-buku Masa’il Fiqhiyah dan Fatwafatwa Kontemporer, maka kajian hukum Islam kontemporer dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek: 1. Aspek hukum keluarga. Hukum keluarga yang dimaksud di sini adalah semua hal yang terkait dengan pembahasan al-ahwal al-syakhshiyah, antara lain meliputi pembagian harta waris, akad nikah via telepon, perwakafan, nikah hamil, dan KB. 2. Aspek ekonomi. Hal ini banyak terkait dengan penafsiran terhadap persoalan riba dan pengelulaan modern zakat. Karena itu, hukum Islam kontemporer selalu menyoroti masalah sistem bunga bank, zakat mal dan perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, zakat produktif dan konsumtif, asuransi, dan lain-lain. 3. Aspek pidana. Biasanya pembahasan tentang aspek pidana sarat dengan isu-isu HAM dan humanism agama. Hukum Islam kontemporer mencoba memberikan tafsiran baru terhadap masalah kisas, potong tangan, hukum Islam dan sistem hukum nasional dan seterusnya. 4. Aspek kewanitaan (gender). Gaung dari mereka yang menyuarakan isu-isu gender cukup mendominasi pembahasan hukum Islam kontemporer, di samping peran serta kalangan wanita dalam aktivitas-aktivitas yang dahulu dianggap sebagai “wilayah laki-laki”. Di sini hukum Islam kontemporer terlihat banyak menyoroti masalah busana muslimah, wanita karier, kepemimpinan wanita, dan lain sebagainya. 5. Aspek medis. Perkembangan dalam ilmu kedokteran yang sangat pesat mendapat perhatian besar dalam kajian-kajian hukum Islam kontemporer. Sejumlah isu-isu medis menghiasi pembahasan masa’il fiqhiyah, antara lain pencangkokan organ tubuh, donor darah, bedah mayat, alat-alat kontrasepsi, euthanasia, infertilitas, dan fertilitas, operasi ganti kelamin, pemilihan jenis kelamin janin, cloning, bayi tabung, atau insemenisasi buatan dan bank air susu ibu. 6. Aspek teknologi. Perkembangan teknologi yang menciptakan berbagai kemudahan juga tidak luput dari sorotan hukum Islam kontemporer. Misalnya, penyembelihan binatang secara mekanis, seruan azan melalui kaset, makmum kepada radio dan televisi, memberi salam dengan bel, dan penggunaan hisab dengan meninggalkan rukyat. 7. Aspek politik. Di sekitar isu-isu politik, beberapa kasus menarik adalah perdebatan tentang istilah “Negara Islam”, proses pemilihan pemimpin, loyalitas kepada penguasa, wanita sebagai kepala Negara (presiden), dan sebagainya. 8. Aspek ibadah. Dalam persoalan ibadah wacana yang berkembang juga tidak kalah menariknya. Kita bisa menyebut beberapa hal yang banyak dibahas dalam buku-buku Masa’il fiqhiyah, misalnya tabungan haji, tayamum dengan selain tanah (debu), ibadah kurban dengan uang, menahan haid demi ibadah haji, naik haji dengan travel, dan seterusnya.4 Dari berbagai persoalan yang dikaji dalam buku-buku masa’il fiqhiyah, semakin menguatkan hipotesis tentang keteraturan dan keterkaitan fikih fikih dengan konteks-konteks kehidupan yang nyata. Fikih pada dasarnya bukanlah ilmu-ilmu teoritis (‘ulum al-
3
Yusuf Qardhawi, Syari’ah Islamiyah Khuluduha Wa Shalahuha Litathbiqiha Fi Kulli Zaman Wa Makan,(Kairo: Dar al-‘Arabi, 1986), hal. 105 4 Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neo-Modernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 22-24.
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 49
nazhariyah), tetapi bidang garapannya adalah ketentuan-ketentuan yang berlaku positif (ahkam ‘amaliyah).5 Bahkan, jika kita ingin melihat benturan-benturan Islam dengan kenyataan-kenyataan sosial, maka kita harus mengkaji fikih, bukan ilmu kalam atau tasawuf. Sejak awal, hukum Islam telah dianggap sebagai pengetahuan par excellence, suatu posisi yang belum pernah dicapai teologi. Itulah sebabnya para pengamat Barat menilai, mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. REKONSTRUKSI METODOLOGI HUKUM ISLAM KONTEMPORER Untuk merekonstruksikan metodologi hukum Islam yang sistematis dan komprehensif dan mengoprasikannya, hal yang mendesak untuk dirumuskan dalam kaidah ini adalah, pertama-tama memformulasikan tentang pandangan Alqur’an terhadap dunia (weltanschaung). Weltanschaung ini akan menyangkut tentang Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, serta peran-Nya dalam sejarah manusia dan masyarakat. Dengan menjernihkan pemahaman mengenai hakikat Tuhan, eksitensi manusia atau memungkinkan suatu analisis sistematis terhadap ajaran-ajaran moral Alqur’an, yang pada gilirannya akan menghasilkan etika Alqur’an. Selanjutnya adalah merumuskan hukum yang selaras dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer berdasarkan etika tersebut. Sehubugan dengan perumusan pandangan dunia menurut Aqur’an, dan upaya untuk membangunnya, menurut Fazlur Rahman belum pernah dilakukan dalam sejarah Islam. 6 Dan ketiadaan wawasan yag padu tentangnya telah membawa malapetaka hebat terhadap gagasan rasional- filosofi.7 Sebab ia memandang upaya di bidang ini merupakan suatu kebutuhan mutlak dan mendesak. Akan tetapi perlu ditekankan sekali lagi bahwa pandangan dunia alqur’an terkait secara organisasi dengan etika Alqur’an dan formulasi hokum. Hal ini dikarenakan sebagaimana telah disinggung di atas, hanya dengan menjernihkan pengertian terhadap pandangan dunia Alqur’an, barulah etika Alqur’an sebagai sumber formulasi hokum Islam kontemporer dapat dibangun. Dengan kata lain etika Alqur’an memiliki basis nyata dalam pandangan dunia tersebut.8 Bahkan lebih jauh lagi, bagian-bagian metafisis Alqur’an ini merupakan latar belakang bagi elaborasi,9 yang koheren atas pesan-pesan Alqur’an di bidang moral, social dan legal.10 Tugas kedua dalam operasi metodologi hukum yang sistematis dan komprehensif itu adalah penyusunan etika Alqur’an yang sistematis. Sebagaiman mengenai pandangan dunia alqur’an upaya penyusunan etika Alqur’an, baik secara sistematis ataupun sebaliknya, oleh kaum muslim belum pernah dilakukan.11 Padahal etika Alqur’an ini merupakan esensi ajaran kitab suci tersebut dan merupakan mata rantai penghubung yang penting antara teologi dan hokum.12 Memang benar bahwa Alqur’an cenderung mengkongkritkan hal-hal yag bersifat etis, membungkus hal-hal yang umum ke dalam perintah-perintah legal atau quasi-legal.akan tetapi hal ini, tepatnya, merupakan pertanda dari semangat moral Alqur’an, bahwa ia tidak hanya puas dengan proporsi-proporsi etis yang dapat digenaralisasi, tetapi mendesak untuk menterjemahkannya kedalam paradigm-paradigma yang actual. Walaupun demikian, 5
Lihat Ali Yafie, dalam kata pengantar buku Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, cet. II, 1996), hal. viii. 6 Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, I: 13-14 7 Muhammad Iqbal, The Reconstruction, hlm. 148 8 Fazlur Rahman, Islam, hlm. 256 9 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 3 10 Fazlur Rahman, Islam, hlm. 257 11 Ibid, hlm. 154 12 Ibid
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 50
Alqur’an selalu menjelaskan tujuan-tujuan atau prinsip-prinsip yang merupakan esensi hokum-hukumny.13 Akibatnya ketiadaan rumusan etika Alqur’an ini, teologi dan fiqh tidak pernah terkait secara organis antara satu dengan yang lainnya dalam sejarah Islam.14 Sekalipun teologi mengaku sebagai pembela asumsi-asumsi hokum dan menjustifikasi fiqh, namun dalam kenyataannya ia tumbuh dan berkembang demikian bebasnya dari fiqh dan terkadang berlawanan dengan dasar-dasarnya yang asasi.15 Bahkan lebih jauh ketiadaan formulasi sistematis etika Alqur’an dan ketegaran pada fuqaha dalam berpegang secara harfiah pada ayat-ayat individual, telah membuat hokum-hukum seringkali dirumuskan dari ayat-ayat Alqur’an yang tidak dimaksudkan dalam hokum. Contohnya adalah QS XXXII: 2829. Ayat-ayat ini, jelas mengandung pengertian moral bawa istri-istri Nabi sehsnya tidak menuntut harta benda duniawi. Akan tetapi para fuqaha mengartikan ayat-ayat tersebut bahwa seorang laki-laki sewaktu-waktu dapat member pilihan keapada istrinya apakah akan tetap hidup bersamanya atau bercerai darinya sebagai prosedur legal.16 Dari kasus semacam ini, jelaslah menunjukkan perlunya dan segeranya penanganan nilai-nilai etika dalam Alqur’an secara terpisah, kemudian merumuskan hokum berpijak pada etika tersebut dengan mempertimbangkan konteks kekinian. Dalam hubungan ini, empat ilustrasi berikut ini tentang qisas, poligami dan perbudakan, serta konsumsi alcohol, memperlihatkan bagaimana gerakan pertama di atas dari dua langkah sebagaimana dikemukakan di muka dapat diaplikasikan. Sehubungan dengan qisas, bahwa Alqur’an (sura II: 178; IV:92) memperkuat hokum pembunuhan yang telah berjalan dalam masyarakat Arab pra Islam. Solusi spesifik Alqur’an ini member kebebasan kepada keluarga korban memilih anatara menuntut balas (qisas)atau meminta sejumlah uang ganti rugi (diyat). Disamping Alqur’an juga menambahkan pengampunan atau pemberi maaf dari keluarga korban yang dipandang sebagai kebajikan bernilai tinggi. Solusi-solusi Alqur’an ini memandang pembunuhan sebagai kejahatan terhadap keluarga, sehingga keluarga tersebut bias menuntut diyat. Akan tetapi ditempat lain, ketika berbicara tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil (keluarga putera Adam).Alqur’an menyatakan: Untuk alas an-alasan inilah kami tetapkan bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh tanpa hak yaitu membunuh seseorang yang tidak bersalah, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia, dan barang siapa menyelamatkan kehidupan seseorang, maka seolah-olah ia telah menyelamatkan seluruh manusia (QS V : 27 dan 32). Ayat ini jelas telah menjadikan pembunuhan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan terhadap keluarga korban. Dengan demikian, solusi Alqur’an dalam surah II: 178 dan VI: 12, harus dimasukkan kebawah prinsip yang memandang pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.17 Sementara poligami dalam QS IV : 3, menjelaskan bahwa masalah ini muncul dalam konteks gadis-gadis yatim. Di dalam QS V: 2, Alqur’an mengutuk penyalahgunaan kekayaan anak-anak yatim oleh para wali. Tema semacam ini telah dikemukakan Alqur’an sejak di Makkah ( QSVI: 152; XVII: 34), dan lebih ditekankan lagi pada periode Madinah (QS II: 220: IV: 2,6,10,127). Selain itu Alqur’an menyatakan bahwa agar tidak terjadi penyelewengan harta gadis-gadis yatim, para wali harus berlaku adil (QS IV : 3), penafsiran semacam ini, 13
Ibid Ibid 15 Ibid 16 Fazlur Rahman, Islamic Studies and The Future Of Islam, Islamic Studies : Tradition and Ed. Malcolm H. Kerr, Malibu, California, 1988, hlm. 126-127. 17 Fazlur Rahman, ‘’Function Interdependence of Law and Theologi’’, Theologi and Law in Islam, Ed. G.E. von Grunebaum (Wiesbaden: Otto harrssowits, 1971), hlm. 89-97 14
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 51
didukung oleh keteranagan (QS IV: 127), yang mungkin turun lebih awal dari (QS IV: 3). Ketentuan untuk berlaku adil, sebagai syarat berpoligami, kembali ditekankan (QS IV: 129), dengan menegaskan bahwa adalah mustahil untuk berlaku adil di antara istri-istri.18 Jadi dalam kasus poligami tersebut, klausa mengenai berlaku adil harus mendapat perhatian dan ditetapkan memiliki urgensi yang lebih mendasar dari pada klausa spesifik yang mengizinkan poligami. Tuntutan untuk berlaku adil dan wajar merupakan salah stu tuntutan dasar keseluruhan ajaran Alqur’an.19 Lebih jauh lagi adalah, bahwa Alqur’an berkehendak untuk memaksimalkan kebahagian hidup keluarga, dan untuk tujuan ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan monogamy secara normal adalah ideal. Akan tetapi tujuan-tujuan ideal-moral ini harus berkompromi dengan kondisi actual masyarakat Arab pada abad ke tujuh, dimana poligami berakar dalam dan tegar sehingga secara legal tidak bias dicabut seketika karena akan menghancurkan tujuan moral itu sendiri.20 Dan tampaknya memang benar bahwa kebolehan berpoligami adalah bidang legal, sedangka sanksi-sanksi yang diletakkan di atasnya adalah dalam bentuk ideal moral yang masyarakat diharapkan poligami dalam seketika secara legal.21 Sedangkan kasus perbudakan, juga berjalan paralel dengan poligami. Secara legal Alqur’an menerima institusi perbudakan karena kemustahilan untuk menghapuskan secara seketika. Akan tetapi secara moral, Alqur’an menggalakkan pembebasan budak (QS XC:13 ; V: 89; LVIII: 3 ; XXI:33).22 Dengan demikian, tujuan alqur’an dalam kasus perbudakan dihapuskan sama sekali. 23 Ilustrasi terakhir adalah tentang gerakan pertama diatas, yaitu tentang pelarangan konsumsi alkohol, dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada periode Makkah Alqur’an menyebutkan alcohol sebagai salah satu ciptaan Tuhan bersama-sama dengan susu dan madu (QS XVI:66-69). Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, diberi kabar bahwa terdapat sekelompok orang, Umar bin Khatab ada di antara mereka yang menginginka agar Alqur’an melarang mengkonsumsi alcohol dalam (QS II: 219). Setelah beberapa waktu, ada sebuah pesta diselenggarakan di rumah salah seorang Ansar, beberapa oarangmuslimin mabuk. Ketika salah seorang dari pemimpin salat malam, ia keliru membaca Alqur’an. Ketika peristiwa ini disampaikan kepada Nabi, maka turunlah ( QS IV:43) dan menurut laporan lain, bahwa diadakan pesta lain sejenis, yang mana pada peristiwa ini terjadi baku hantam, dikatakan bahwa hidung Sa’ad bin Abi Waqas patah. Peristiwa ini juga samapai kepada Nabi, dan turunlah (QS V: 90-91) Berpangkal tolak dari ayat tertentu, alcohol pertama kali diumumkan sebagai salah satu di antara rahmat Tuhan, yang kemudian ada penyempitan: disahkan dalam dua ayat berikutnya (QS II: 219 dan IV: 43) dan akhirnya dideklarasikan sebagai perbuatan setan dan kekejian.24 Keempat ilustrasi diatas, sekalipun member penekaan berbeda-beda, tetapi secara pasti dapat member gambaran yang sangat jelas mengenai aplikasi gerakan pertama metodologi hokum Islam sistematis yang berpijak pada konteks situasional dan koherensi Alqur’an. Bahka etika Alqur’an inilah yang harus dijadikan fondasi bagi seluruh pemikiran hokum Islam.25 Apabila formulasi etika Alqur’an telah tergarap selaras dengan langkah-langkah yang telah dikemukakan itu, maka tugas selanjutnya adalah menumbuhkan etika Alqur’an tersebut kedalam konteks konkrit sosio-historis dewasa ini. Di sini gerakan kedua yang telah 18
Fazlur Rahman, Islam,hlm.275 Fazlur Rahman, Interpreting The Qur’an, Inquiry, Mei,1968, hlm. 46 20 Fazlur Rahman, Major,hlm. 47 21 Ibid, hlm.48 22 Fazlur Rahman, The Impact, hlm. 121-122 23 Fazlur Rahman, Major, hlm. 488 24 Ibid 25 Fazlur Rahman, Islam and Modernity,hlm. 19 19
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 52
digariskan dalam gerakan gandanya bekerja. Penumbuhan ini sebagaimana telah disinggung, meliputi modifikasi aturan-aturan lama selaras dengan situasi kekinian asalkan tidak memperkosa prinsip-prinsip yang telah disistematiskan kedalam etika Alqur’an serta pengubahan hal-hal yang ada dalam situasi dewasa ini. Namun sebelumnya, situasi dewasa ini perlu dikaji secara kritis, politik, sosio-kultur dan sebagainya terlebih dahulu demi keberhasilan penubuhan etika Alqur’an tersebut.26 Proses penubuhan tujuan-tujuan atau prinsip-prinsip Alqur’an dan Sunnah perilaku actual Nabi dengan cara mengdakan terobosan aturan-aturan lama/atau mengubah sesuai situasi baru, memerlukan formulasi metodologi yang sistematis dan komprehensif. Penubuhan ini akan mewujudkan maslahat (kepentingan umum) yang terkait secara organis dengan prinsip-prinsip yang telah terumuskan dalam etika Alqur’an, serta tidak lepas mengambang secara bebas dari nilai-nilai religious.27 Selanjutnya, bahwa dalam proses penubuhan itu, perbedaan-perbedaan lingkungan religional dan cultural antara negara-negara Islam memiliki hokum atau pranata Islam yang bercorak local, selaras dengan situasi dan kondisi Negara itu.28 Dengan demikian Indonesia, misalnya, bisa saja memiliki hokum Islam atau fiqh ala Indonesia, demikian pula negaranegara Islam lainnya-asal saja penubuhan dalam bentuk hokum atau pranata local tersebut didasarkan pada etika Alqur’an. Dengan demikian jelas, bahwa suatu rekonstruksi total masyarakat Islam pada abad ini hanyalah mungkin bila hokum Islam yang merupakan hasil ijtihad ditinjau kembali secara kritis dengan Alqur’an sebagai kriterium penilai. Bahwa untuk menjurus kea rah itu, pandangan dunia dan etik Alqur’an dirasa perlu untuk segera dirumuskan. Bahwa pandangan dunia dan etik Alqur’an itulah yang diharapkan untuk dijadikan fondasi bagi seluruh pemikiran hokum Islam, dan sebagai dasar teori tata sosio-politik umat dalam rangka membangun suatu dunia yang bermoral. Perlu ditekankan bahwa ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dan mendatang. Ijtihad, sebagai sumber ketiga ajaran Isalam setelah alqur’an dan hadis, inilah yang membuat Islam sesuai dengan semua tempat dan zaman. Hal ini telah dibuktikan oleh para ulama dari berbagai bidang ilmu keagamaan dan sains pada zaman keemasan Islam.29 Karena kompleksnya masalah-masalah keagamaan yang dimunculkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, masalah-masalah yang dihadapi oleh para ulama pada abad kesembilan belas, apalagi pada abad kedua puluh, berbeda dengan masalahmasalah yang dihadapi oleh ulama mujtahid sepuluh abad yang lalu. Pada masa itu, selain ilmu dan teknologi belum berkembang pesat seperti sekarang, sehingga seorang ulama dapat menguasai berbagai bidang ilmu yang ada pada zamannya, contoh jelas tentang hal ini adalah Ibn Rusyd, yang pada dirinya melekat predikat faqih (ahli dalam hokum Islam), dokter dan filosof, masalah-masalah keagamaan yang muncul pun tidak kompleks.30 Hal ini menyebabkan seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu itu dapat secara individual melakukan ijtihad dengan baik. Untuk mendapatkan tenaga yang all round artinya, mengertinya segala ilmu, sangat sulit, sedang masalah-masalah baru selalu akan muncul. Sedangkan pada abad sekarang ini, ilmu pengetahua dan teknologi telah demikian berkembang sehingga tak mungkin lagi bagi seorang ulama untuk menguasai berbagai bidang ilmu, dan spesialisasi pun telah berkembang pada berbagai cabag ilmu.31
26
Fazlur Rahman, Interpreting,hlm. 46-47 Ahmad Syafi’I Maarif, ‘’Menyimak’’, hlm. 77 28 Harun Nasution, ‘’Ijtihad’’, hlm. 112-113 29 Ibid , hlm. 114 30 Ibid 31 Ibid 27
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 53
Pengetahuan ulama banyak dibatasi oleh bidang spealisasinya, sedangkan masalahmasalah yang dihadapinya sedemikian kompkes (dalam arti berbagai cabang ilmu berkaitan erat dengan masalah yang timbul). Misalnya, masalah KB berkaitan erat dengan ilmu kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu kedokteran, ilmu jiwa dan ilmu lain, disamping itu tentu saja ilmu keagamaan, seperti menetapkan hokum yang berasal dari bahan yang dibuat secara kimiawi, tentu memerlukan penguraian ahli kimia. Contoh lain, kalau yang dibahas untuk ditetapkan hukumnya itu berkenaan dengan masalah kedokteran tentu memerlukan tanaga ahli ilmu pengetahuan kedokteran untuk memberikan penjelasan, sehingga masalahnya menjadi jelas. Karena itu, di zaman modern ini ijtihad individual tidak mampu lagi memecahkan masalah yang ada, dan yang sekarang diperlukan ialah lembaga ijtihad yang beranggotakan ulama dari berbagai disiplin ilmu agama, ekonomi, politik, teknologi, kedokteran, hokum, dan sebagainya.32 Dengan demikian, satu masalah dapat ditinjau dari berbagai aspek, sehingga tampaklah hakikat suatu masalah, dan cara menyelesaikan masalah itupun dapat dipikirkan bersama. Dengan kata lain, karena masalah kehidupan bermasyarakat dewasa ini makin kompeks, maka pemecahannya pun memerlukan partisipasi dari banyak tenaga ahli, sehingga amat sukar seorang tenaga ahli dapat menemukan pemecahan atas persoalan-persoalan masyarakat tanpa bersama-sama dengan tenaga ahlinya. Karena itu, ijtihad dalam hokum Islam harus dilakukan secara jama’I kolektif, tidak secara Fardi (perseorangan).33 Ijtihad jama’I bila didukung dengan fasilitas-fasilitas kenegaraan, tanpa mengurangi kebebasan para mujtahid akan lebih berhasil. Dari uraian di atas jelaslah bahwa di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, ijtihad individual tidak berlaku lagi. Bahkan ijtihad kelompok ulama agamapun tidak akan bias menyelesaikan dengan baik masalah zaman ini dan zaman-zaman selanjutnya.34 Pada masa-masa akhir ini, ramai dibicarakan tentang ijtihad kolektif terutama dikalangan para penulis di bidang fiqih. Menurut Nadiah Syarif, sebenarnya ijtihad kolektif sudah dilaksanakan dalam bentuk pertemuan-pertemuan ulama sedunia, seperti yang diadakan oleh Majma’ al- Buhus al-Islamiyah di Kairo, dan pertemuan serupa itu harus dihadiri oleh ulama di bidang sains sebagai penasihat dan juga anggota. Sebab, putusan bersama dari para anggota yang berbeda bidang keahliannya itu lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat dari pada putusan yang diambil secara sendiri-sendiri oleh anggota-anggota yag memiliki satu bidang keahlian.35 Dewasa ini, sebenarnya yang paling diperlukan di Dunia Islam bukanlah lembaga ijtihad kolektif yang bersifat internasional, tetapi lembagaijtihad kolektif yang bersifat nasional. Sebab, masalah-masalah keagamaan yang muncul di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak sama, di samping beragamnya penafsirandan pengalaman agama di Negara-negara Islam yang beraneka ragam itu. Karena itu, yang lebih berwenang untuk memahami dan mencari penyelesaian atas sesuatu masalah yang sesuai dengan keadaan umat Islam bersangkutan ialah ijtihad kolektif masing-masing Negara.36 KESIMPULAN Dari elaborasi di atas, dapat ditarik benang merah bahwa persoalan hukum Islam kontemporer di masa yang akan lebih kompleks lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak pada semakin menumpuknya
32
Ibid, hlm. 115-116 Ibid 34 Ibid,hlm. 116 35 Ibid 36 Ibid 33
Materan, Rekonstruksi Metodologi Hukum Islam… 54
berbagai persoalan kemanusiaan, baik antar sesame maupun dengan kehidupan alam sekitarnya. Kompleksitas permasalahan tersebut tentunya membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Di sinilah letak betapa pentingnya rumusan-rumusan metodologi hukum Islam kontemporer, baik yang ideal-moral dan formal. Kerangka metodologi yang ideal-moral dan formal bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai-nilai keilahian, kemanusiaan dan kesemestaan, yang memberikan arah yang benar bagi perkembangan kehidupan. Untuk sampai kearah ini diperlukan semangat historisme dan empirisme dalam melakukan kajian-kajian terhadap bangunan khazanah hukum Islam. Semangat historisme ini dapat menumbuhkan sikap penghargaan kita secara wajar dan obyektif terhadap karya-karya klasik yang kaya itu (tsarwah fiqhiyah). Sedangkan semangat empirisme akan membantu kita menghindari sikap simplistic. Kedua bentuk sikap ini akan memunculkan komitmen pengembangan bukan pengorbanan, komitmen masa depan bukan nostalgia, komitmen kesadaran intelektual bukan kejumudan historical. Cita-cita itu akan terwujud, apabila kita berani meninjau kembali sejarah mereka di masa silam dan mengkaji sumber-sumber Islam itu untuk menjawab tantangan dan permasalahan kini dan esok. Hasil ijtihad ulama-ulama klasik itu memang apa adanya, tetapi kita harus menyikapinya secara rinci dan dinamis untuk menemuukan jawaban-jawaban komprehensif terhadap berbagai persoalan kekinian yang senantiasa meminta etik dan paradigma baru. DAFTAR PUSTAKA Ali Yafie, dalam kata pengantar buku Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, cet. II, 1996 Buku-buku yang membicarakan masalah kontemporer dalam perspektif Hukum Islam antara lain Masa’il Fiqhiyah karya Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah karya M. Ali Hasan, Problematika Hukum Islam Kontemporer dan Masa’il Fiqhiyah karya M. Mahyudin. Fazlur Rahman, Islamic Studies and The Future Of Islam, Islamic Studies : Tradition and Ed. Malcolm H. Kerr, Malibu, California, 1988. Fazlur Rahman, ‘’Function Interdependence of Law and Theologi’’, Theologi and Law in Islam, Ed. G.E. von Grunebaum, Wiesbaden: Otto harrssowits, 1971. Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neo-Modernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, cet. III, 1995. Yusuf Qardhawi, Syari’ah Islamiyah Khuluduha Wa Shalahuha Litathbiqiha Fi Kulli Zaman Wa Makan, Kairo: Dar al-‘Arabi, 1986.