Ragam Isi Salam Tabligh: Tantangan dakwah Islam pada awal masa kenabian amatlah luar biasa berat. Apabila mendengar seseorang dari kalangan terpandang masuk Islam, Abu Jahal dan kawankawannya akan memperingatkan, menakut-nakuti, menjanjikan sejumlah uang dan kedudukan. Namun apabila yang masuk Islam itu berasal dari kalangan orang biasa, mereka akan melancarkan pukulan dan siksaan. ............... 3
Tafsir al-Qur’an: Surat al-Baqarah ayat 31-35 Pelajaran yang dapat dipetik dari ayat 31-33 surat al-Baqarah ini adalah: pertama, penjelasan kekuasaan Allah dengan ilmu-Nya yang mengajarkan kepada Nabi Adam nama-nama seluruh makhluk. Kedua, menjelaskan kemuliaan ilmu pengetahuan dan juga keutamaan orang berilmu. Ketiga, keutamaan orang yang mau mengakui ketidaktahuan, ketidakmampuan dan kekurangan dirinya. Keempat, diperbolehkannya memberi teguran terhadap orang yang merasa tahu, padahal sebenarnya dia tidak tahu............. 7
Rabbana dzalamna anfusana, wa in lam taghfir lana wa tarkhamna lanakunanna minal-khasirin. “Ya Tuhan kami, kami telah mendhalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” "Our Lord! we have been unjust to ourselves, and if Thou forgive us not, and have (not) mercy on us, we shall certainly be of the losers." (7:23)
Tuntunan Akidah: Tauhidullah (Meng-Esakan Allah) (bagian ke-2) ..................... 18 Tuntunan Akhlak: Istiqomah ...................... 27 Adab Bicara: Adab Salam .................................. 31 Tuntunan Ibadah: Shalat Dhuha (bagian ke-2) ............................... 39 Tuntunan Muammalah: Asas dan Etika Bisnis dalam Islam (bag. 3) ......... 44 Syarah Hadits: Hubungan Perbuatan dan Niat ........................... 50
kaligrafi: lukisan cat minyak di atas kanvas, oleh Munichy B. Edrees | disain sampul:
[email protected] BERKALA TUNTUNAN ISLAM
ISLAM
THE WAY OF LIFE
Penasehat Ahli: Drs. H. Muhammad Muqoddas, Lc., M.A., Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, M.A. | Pemimpin Umum: Agus Sukaca | Pemimpin Perusahaan: Ismail TS Siregar. Pemimpin Redaksi: Farid B. Siswantoro. Sidang Redaksi: F. Bambang Siswantoro, Farid Setiawan, Arief B.Chum. Kontributor Materi: dr. H. Agus Sukaca, M.Kes., Drs. H. M. Yusron Asrofie, M.A., Dr. H. Syamsul Hidayat, M.Ag., Dr. Mahli Z. Tago, M.Si., Drs. H. Zaini Munir Fadloli, M.Ag., Ruslan Fariadi, S.Ag., M.SI., Dr. H. Agung Danarta, M.Ag. Manajer Pemasaran dan Periklanan: Agus Budiantoro | Manajer Keuangan: Taufiqurrahman | Manajer Operasional dan Administrasi: Fitri T. Nugroho; Diterbitkan oleh: Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Alamat: Jl. KHA. Dahlan 103 Yogyakarta-55262 telp. +62-274-375025 fax. +62-274-381031 HP. 081804085282, 085328877997, 085712923505. email:
[email protected] Akun bank: Bank Syariah Mandiri nomor: 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah
yang paling utama adalah orang Islam yang belajar suatu ilmu kemudian diajarkan ilmu itu kepada saudaranya sesama muslim.” (HR. Ibnu Majah)
metaexistence.org
Sunan Ibnu Majah, hadis no. 239 dalam Lidwa Pusaka http://id.lidwa.com/app/
minat berlangganan Tuntunan ISLAM? hubungi agen terdekat: | Ambon 0813.430.86.343 | Balikpapan 0813.90.999.159 | Banjarnegara 0813.9152.7890 | | Batang 0815.654.7164 | Berau 0811.596641 | Blora 0813.2877.1832 | | Bontang 0812.581.9262 | Boyolali 0857.2557.9118 | Demak 0857.2617.1950 | | Grobogan 0813.2562.0937 | Gunungkidul 0878.3916.2755 | | Jakarta Barat 081.707.39.789 | Jakarta Pusat 0815.8415.4260 | | Jember 081234.64794 | Jepara 0813.2524.1985 | Kebumen 0878.3779.7773 | | Karanganyar 0816.427.9538 | Kendal 08122.564.103 | Klaten 0817.942.742.3 | | Kudus 0291-333.1220 & 0815.7881.6153 | Kulonprogo 0877.3844.8284 | | Labuhan Batu Utara 081370955377 | Langkat 081370439013 | | Lampung 0812.3051.3118 | Luwuk Banggai 0817.693.5003 | | Magelang (kab.) 0813.282.565.22 | Magelang (kota) 0293-363.792 | | Malang 0812.5257.5100 | Manado 0813.5640.3232 | Medan 08126302411 | Muko-Muko 0852.6849.0850 | Padang Sidempuan 081264117005 | | Pekalongan (kab.) 0858.42.0404.77 | Pekalongan (kota) 0856.4220.5499 | | Pematang Siantar 081361173817 | Purwokerto 08564.789.5017 | | Purworejo 08522.692.1756 | Purbalingga 0821.34.600.222 | Samarinda 0812.538.0004 | | Serdang Bedagai 085261658206 | Singaparna-Tasikmalaya 085322.400.124 | | Selawan - Asahan 081375202566 | Sigambal - Rantau Perapat 081397936301 | | Sragen 0852.9371.1479 | Surakarta 0815.4854.6529 | Tapanuli Selatan 081361667759 | Tapanulis Tengah 08126382034 | Temanggung 0877.1919.7899 | | Tegal (kab.) 081228493543 | Tegal (kota) 085327910021 | |Wonosobo 0813.2871.8161 | Yogyakarta 0857.29.844.448 |
hotline bagian admin.: 0818.040.85.282 (XL) 08532.887799.7 (As) 08571.292.3.505 (IM3)
hotline pemasaran/ 0821.3461.7479 / iklan: 0274-786.3449 email:
[email protected] Akun bank: Bank Syariah Mandiri, nomor rekening: 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM
Salam Tabligh
Membiasakan Mengaji Pembaca yang budiman! Tantangan dakwah Islam pada awal masa kenabian amatlah luar biasa berat. Apabila mendengar seseorang dari kalangan terpandang masuk Islam, Abu Jahal dan kawan-kawannya akan memperingatkan, menakut-nakuti, menjanjikan sejumlah uang dan kedudukan. Namun apabila yang masuk Islam itu berasal dari kalangan orang biasa, mereka akan melancarkan pukulan dan siksaan. Di antara para sahabat yang mengalami siksaan adalah paman Usman bin Affan, Mush'ab bin Umair, Bilal dan Ammar bin Yasir. Paman Usman bin Affan pernah diselubungi tikar dari daun kurma dan diasapi dari bawahnya. Ketika ibunya Mush'ab bin Umair tahu anaknya masuk Islam, maka ia tidak memberinya makan dan mengusirnya dari rumah. Padahal anaknya itu biasa hidup enak sehingga kulitnya mengelupas seperti ular yang berganti kulit. Bilal, yang pada saat itu menjadi budak Umayyah bin Khalaf, pernah dikalungi tali di lehernya dan kemudian diserahkan kepada anak-anak kecil untuk dibawa berlari-lari di sebuah bukit di Makkah. Hal ini menjadikan leher Bilal membilur karena bekas jeratan tali. Setelah itu, Bilal disuruh duduk di bawah terik matahari dan dibiarkan kelaparan.
Agus Sukaca
Penyiksaan paling keras yang dialami Bilal adalah ketika ia ditelentangkan di padang pasir saat terik matahari. Saat itu, Umayyah meletakkan batu besar di atas dada Bilal sambil berkata: "Tidak demi Allah, kamu tetap seperti ini hingga mati atau kamu mengingkari Muhammad serta menyembah Latta dan Uzza". Bilal tetap teguh memilih Islam dan hanya mampu berkata: "ahad...ahad..." Apa yang sedang dialami Bilal itu terlihat oleh Abu Bakar yang kemudian membelinya dengan harga tinggi dan memerdekakannya. Ammar bin Yasir adalah budak Bani Makhzum yang masuk Islam bersama ibu dan bapaknya. Orang-orang musyrik yang dipimpin Abu Jahal menyeret mereka ke padang pasir yang panas dan menyiksanya. Selagi mereka disiksa, Rasulullah lewat dan kemudian bersabda: "Sabarlah wahai keluarga Yasir! Sesungguhnya tempat yang sudah dijanjikan bagi kalian adalah surga". Yasir, ayah Ammar, meninggal dunia dalam penyiksaan itu. Ibunya, Sumayyah, juga meninggal karena ditikam Abu Jahal dengan tombak. Sementara Ammar masih bertahan hidup dengan penyiksaan yang EDISI 10/2013
3
menyakitkan. Sebuah batu panas diletakkan di atas dada Ammar, dan sebagian tubuhnya dibenamkan di pasir yang panas membara. Mereka mengatakan: "Kami tidak akan membiarkanmu kecuali kamu mau mencaci Muhammad dan mengatakan hal-hal yang baik tentang Lata dan Uzza". Karena penderitaan yang sangat berat, Ammar terpaksa memenuhi permintaan mereka hingga dilepaskan. Setelah itu, ia menemui Nabi SAW sambil menangis dan meminta ampun. Kemudian turunlah ayat mengenai dirinya: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah, sesudah ia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (ia tidak berdosa) [Q.s. an-Nahl: 106]. Selain beberapa nama di atas, tentu masih ada banyak lagi orang-orang yang masuk Islam dan mendapatkan siksaan luar biasa. Abu Fakihah, budak bani AbdidDar, Khabbab bin al-Arrat, budak Ummu Ammar binti Siba' al-Khuza'iyah dan yang lainnya merupakan nama-nama orang yang masuk Islam dan telah mendapat siksaan dan tekanan berat. Menghadapi tekanan-tekanan itu, Rasulullah kemudian mengambil langkah bijaksana. Beliau melarang mereka yang masuk Islam menampakkan ke-Islamannya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Beliau menemui mereka dengan cara sembunyi-sembunyi untuk mengajarkan Islam. Beliau menjadikan rumah al-Arqam bin Abil-Arqam al-Makhzumy yang berada di atas bukit Shafa dan terpencil sehingga terhindar dari mata-mata Quraisy sebagai markas tempat pertemuan. Di situlah Beliau menyelenggarakan pengajian untuk 4
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
mengajarkan Islam dan membina para sahabat dengan sangat baik. Para sahabat saat itu mengaji langsung kepada Rasulullah, sehingga mereka memahami ajaran Islam dengan baik dan istiqamah. Pada akhirnya, semangat mereka dalam menjalankan ajaran Islam dan mendakwahkannya pun sangat luar biasa. *** Kini, tantangan ber-Islam tidak kalah berat jika dibandingkan pada jaman Rasulullah. Banyak orang yang menghalang-halangi Islam diamalkan pada semua aspeknya. Ajaran-ajaran yang menyangkut masalah individu biasanya tidak terlalu dipersoalkan. Tetapi, ajaran yang menyangkut aspek sosial dan politik banyak orang tidak suka. Ujung-ujungnya, pengamal Islam kaffah banyak dimusuhi. Terkait dengan itu, Allah mengingatkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha hingga umat Islam mengikuti millah mereka. Cara yang biasanya dilakukan adalah mengajak umat Islam menjadi pemeluk agama mereka, atau tetap beragama Islam tetapi pola pikir dan gaya hidupnya mengikuti mereka. Cara yang kedua rupanya lebih berhasil. Banyak dijumpai umat Islam yang mengikuti pola mereka dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik serta meninggalkan millah Islam. Berbagai cara dan tipu daya mereka lakukan, mulai cara-cara halus seperti iming-iming harta dan pangkat, sampai dengan cara yang kasar dan kejam seperti ancaman dan peperangan. Orang-orang yang memusuhi Islam akan tetap ada sampai hari kiamat nanti. Tetapi kita tidak perlu khawatir! Sepanjang kita tetap istiqamah dalam ber-Islam sesuai al-Qur'an dan as-Sunnah al-maqbullah, segala macam tipu daya akan dapat diatasi dengan baik. Sudah menjadi
sunnatullah, apabila di dunia ini ada baik dan buruk, ada mukmin dan kafir, ada kawan dan musuh. Kesemuanya menjadi bagian dari proses pengujian bagi umat manusia, apakah mereka menjadi pecundang atau sukses dalam melaluinya. Para sahabat memberikan contoh langsung dibawah bimbingan Rasulullah SAW. Pada masa-masa sulit, penuh ancaman dan marabahaya, mereka mengaji secara rutin di darul Arqam, sebagaimana dijelaskan di atas. Meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi, mereka tetap hadir dalam "Majelis Pengajian" untuk mendapatkan pengajaran dan bimbingan tentang bagaimana seharusnya ber-Islam langsung dari Rasulullah. Pada saat keadaan membaik dan umat Islam mulai kuat, para sahabat tetap sering berada di dalam majelis bersama Rasulullah untuk mengaji. Hasilnya, mereka menjadi generasi terbaik sepanjang jaman. Kini, Rasulullah SAW sudah tidak berada di tengah-tengah kita. Meski demikian, Beliau telah meninggalkan dua hal penting yang dapat menghindarkan dari kesesatan, yakni al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya. Berpegang teguh kepada keduanya akan membawa kita menjadi umat terbaik di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Kamu sekalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah" [Q.s. ali-Imran: 110]. Oleh sebab itu, apa yang harus kita lakukan adalah mempelajari, memahami dan mengamalkan al-Qur'an dan as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari. Semangat mempelajari keduanya hendaknya dimotivasi untuk memahami dan mengamalkannya. Kita dapat belajar sendiri atau mengikuti Majelis Ta'lim dalam pengajian.
Perintah Mengaji Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda: "Tidaklah suatu kelompok orang berkumpul di suatu rumah di antara rumah-rumah Allah di mana mereka membaca dan mempelajari Kitab Allah (al-Qur'an) melainkan mereka akan diliputi ketenangan dan curahan rahmat, dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya" [HR. Muslim]. Pengajian dikenal juga sebagai Majelis Taklim. Pengajian merupakan suatu majelis dimana orang-orang biasa berkumpul untuk belajar agama Islam kepada seorang guru atau ustadz. Di Indonesia, pengajian telah tumbuh dan berkembang menjadi media pendidikan non formal dalam pembelajaran Islam yang memiliki peranan cukup besar dalam pemahaman dan pengamalan Islam. Lokasi yang banyak menyelenggarakan pengajian biasanya dikenal sebagai daerah santri. Orang-orang yang tinggal di daerah itu umumnya taat pada ajaran Islam. Hal ini wajar, mengingat religiusitas seseorang biasanya terkait dengan kesenangannya mengikuti pengajian. Maka, semakin gemar mengaji, semakin tinggi kesalehan seseorang. Fungsi Pengajian Selain sebagai media pembelajaran Islam, pengajian juga bisa berfungsi sebagai wahana pembinaan kehidupan berjamaah dan juga pendukung atmosfer kehidupan Islami. Fungsi sebagai media pembelajaran didapatkan melalui proses taklim yang selalu ada dalam setiap kegiatan pengajian. Suatu pengajian dapat dikatakan baik apabila dilakukan secara berkala (rutin). Materi-materinya juga telah disusun menyerupai kurikulum dan EDISI 10/2013
5
silabus pada pendidikan formal. Dengan demikian, peserta yang rutin mengikuti pengajian akan mendapatkan pemahaman ajaran Islam, sebagaimana direncanakan dalam kurikulum atau silabus. Fungsi pengajian sebagai media pembinaan jamaah terjadi melalui proses berkumpulnya peserta secara rutin. Dengan seringnya peserta pengajian bertemu akan membentuk hubungan silaturrahim yang semakin kuat. Kuatnya hubungan ini akhirnya akan membentuk suatu jamaah atau komunitas pengajian yang secara kontinu dapat dilakukan pembinaan. Sedangkan, fungsi pengajian sebagai pendukung atmosfer kehidupan Islami terjadi melalui kegiatan itu sendiri dan hasil interaksi sesama peserta. Orang yang senang mengaji adalah orang yang bersemangat membangun kesalehan diri. Semangat jamaah pengajian adalah semangat menuju kesalehan. Dengan demikian, maka atmosfer yang melingkupi pengajian adalah atmosfer kesalehan. Seseorang yang sering berada dalam jamaah pengajian akan mendapatkan atmosfer kesalehan. Atmosfer ini akan mempengaruhi pikiran dan perasaannya. Karena itu, ia akan merasa nyaman sebagai pribadi yang saleh sebagaimana atmosfer yang melingkupinya. Kebiasaan seseorang mengaji akan semakin dapat memahami Islam, mendapatkan jamaah yang terdiri dari orang-orang yang bergerak menuju kesalehan dan atmosfer kesalehan yang dapat menuntunnya menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya. Tempat Pengajian Pengajian dapat diselenggarakan di mana saja dan pada tempat-tempat yang baik, seperti masjid, gedung pertemuan, gedung sekolah/perguruan tinggi, rumah 6
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
tinggal, dan lain-lain. Semua tempat tersebut baik, dan memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Masjid adalah tempat utama untuk pengajian. Keuntungan yang dapat dipetik adalah sambil membiasakan shalat jamaah di masjid; menjadi salah satu usaha memakmurkan masjid; membiasakan hati umat terikat dengan masjid. Seseorang yang hatinya terikat dengan masjid menjadi salah satu golongan yang dilindungi Allah di hari kiamat nanti. Gedung pertemuan adalah tempat yang baik untuk pengajian. Sebab, gedung yang dikhususkan untuk pertemuan biasanya telah ditata (dirancang) sedemikian rupa sehingga nyaman digunakan. Pengajian di gedung-gedung pertemuan akan menambah semaraknya syi'ar Islam. Gedung sekolah/perguruan tinggi juga merupakan tempat yang baik untuk pengajian. Jamaah pengajian ini biasanya terdiri dari para civitas akademika di sekolah/perguruan tinggi terkait. Namun demikian, lebih baik lagi apabila gedung tersebut juga dimanfaatkan untuk pengajian masyarakat sekitar, sehingga keberadaan sekolah/perguruan tinggi lebih menyatu dengan masyarakat. Rumah tinggal adalah tempat yang tidak kalah baiknya untuk pengajian. Rasulullah telah memberi contoh dengan menjadikan rumah al-Arqam bin Abil Arqam sebagai tempat pengajian yang saat itu diselenggarakan secara sembunyisembunyi ketika umat Islam masih dalam kondisi lemah. Untuk itu, rumah tinggal bagus untuk pengajian jamaah-jamaah kecil yang tinggal di sekitarnya. Semakin banyak pengajian semakin baik. Semakin banyak tempat digunakan untuk pengajian juga semakin baik. Mari mengaji dan mengajak orang mengaji!
Tafsir al-Qur’an
SURAT AL-BAQARAH AYAT 31-35
Wa ‘allama: dan Dia (Allah) mengajarkan, ( ) Aadama: Nabi Allah Adam AS, bapak seluruh umat manusia. Apabila ada orang bertanya: mengapa satu keturunan bisa warna kulitnya dan sifatnya berbeda-beda? Maka salah satu jawabannya ada di dua hadits berikut:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad bahwa Yazid bin Zurai’ dan
Yahya bin Sa’id menceritakan kepada mereka, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Auf ia berkata: telah menceritakan kepada kami Qasamah bin Zuhair, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah dari semua jenis tanah. Kemudian keturunannya datang beragam sesuai dengan unsur tanahnya. Ada di antara mereka yang berkulit merah, putih, hitam, dan antara warnawarna itu ada yang lembut dan ada yang kasar, ada yang buruk dan ada yang baik. Dan ada tambahan dalam hadits Yahya: dan ada pula di antara (sifat) itu, adapun lafadz (redaksi) hadits di atas adalah riwayat Yazid”. [HR. Abu Dawud: 4073]. Al-Albani berkata hadits ini shahih. EDISI 10/2013
7
manusia. Ketika disebut kata “nama”, maka yang dimaksud adalah suatu benda yang diberi nama. Bahwa yang dimaksud nama-nama itu, menurut Ibnu Katsir dan Imam Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, adalah nama segala sesuatu. Sebab, ada hadits riwayat Imam Bukhari yang menguatkan pendapat ini:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dan Ibnu Abu Adi dan Muhammad bin Ja’far dan Abdul Wahhab, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Auf bin Abu Jamilah al-A’rabi dari Qasamah bin Zuhair dari Abu Musa al-Asy’ari ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan Adam dari genggaman yang diambil dari seluruh bumi, lalu anak keturunan Adam datang sesuai kadar bumi (tanah), diantara mereka ada yang (berkulit) merah, putih, hitam. Dan diantaranya pula ada yang ramah, sedih, keji dan baik” Abu Isa berkata: hadits ini hasan shahih. [HR. Tirmidzi: 2879]. Al-Albani berkata hadits ini shahih. al-Asma’a kullaha: namanama (jenis benda) seluruhnya, seperti: air, tumbuh-tumbuhan, binatang dan 8
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas RA dari Nabi SAW, demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, dan Khalifah berkata kepadaku, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zura’i, telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Qatadah dari Anas RA dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Pada hari kiamat orang-orang yang beriman berkumpul lalu mereka berkata; ‘Sebaiknya kita meminta syafa’at kepada Rabb kita ‘Azza wa Jalla sehingga kita dapat pindah dari tempat kita
sekarang juga. Lalu mereka mendatangi Adam AS seraya mengatakan; Wahai Adam, engkau adalah bapaknya manusia, Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya sendiri dan menjadikan malaikat-malaikat-Nya sujud kepadamu, serta diajarkan pula kepadamu nama-nama segala sesuatu, maka mintakanlah syafa’at kepada Rabb kami ‘Azza wa Jalla agar Dia me-mindahkan kami dari tempat kami ini!….” [HR. Bukhari: 4116]. kemudian atau setelah itu,Allah mengemukakan nama-nama itu kepada para malaikat. Kata pada ayat 31 di atas dipakai untuk kata ganti nama-nama benda. Dalam ayat berikut, kata yang sama dipakai untuk kata ganti binatang:
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian mereka (hewan) itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian mereka berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Q.s. an-Nuur (24): 45]. kepada para Malaikat. anbi’uuni: kabarkanlah (beritahukanlah) kepada-Ku.
haa-ulaa’i: mereka (hal-hal tadi). in kuntum shaadiqiin: jika kamu memang orang-orang yang benar. Maksudnya adalah benar dalam perkataan dan dugaan.
Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada ilmu yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [Q.s. al-Baqarah (2): 32]. qaaluu subhaanaka: mereka (para malaikat) menjawab, “Maha Suci Engkau (Ya Allah)”. Maksudnya, kami (para malaikat) mensucikan Engkau dari apa yang kami katakan tentang khalifah (Nabi Adam). Kata subhaanaka ini digunakan untuk mensucikan Allah ‘Azza wa Jalla. Ungkapan-ungkapan Subhaan-Allah (Maha Suci Alah) Subhaanaka Allahumma (Maha Suci Engkau Ya Allah), Subhaana Rabbiyal ‘Adhiim (Maha Suci Rabb-ku yang Maha Agung) serta lainnya yang memakai Subhaana dinamakan Tasbiih. laa ‘ilma lanaa: tidak ada ilmu yang kami ketahui. illaa maa ‘allamtanaa: selain dari apa (ilmu) yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Kata bisa berarti “apa yang”, dan yang dimaksud di sini adalah “ilmu” sebagai EDISI 10/2013
9
kata ganti (badal) dari kata laa ‘ilma lanaa: tidak ada ilmu yang kami ketahui.
apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan? [Q.s. al-Baqarah (2): 33].
innaka anta al‘aliimul hakim: sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. al-‘aliim: Maha mengetahui. Allah Maha mengetahui segala sesuatu dalam seluruh aspeknya. Bagi Allah, tidak ada yang tidak diketahuinya, juga tidak ada yang terlupakan meskipun itu hal-hal yang sangat kecil atau remeh, baik yang ada di langit maupun di bumi. al-hakiim: yang Maha Bijaksana. Maksudnya adalah Allah (Rabb) itu adalah dzat yang memiliki kebijaksanaan yang sempurna. Allah menciptakan sesuatu pastilah ada hikmahnya di balik itu. Demikian pula, ketika Allah memerintahkan sesuatu, maka pasti ada hikmah di balik itu. Hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang sesuai.
qaala yaa
Allah berfirman: Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui 10
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Aadamu anbi’hum bi-as-maa’ihim: Dia (Allah) berfirman: Ya Adam, beritahukan kepada para malaikat mengenai namanama benda. Perintah Allah kepada Nabi Adam untuk memberi tahu nama-nama benda yang para malaikat tidak tahu dan tidak bisa menyebut nama-nama benda. falammaa anba’a-hum bi-asmaa’hi: maka setelah Nabi Adam memberitahukan kepada mereka (para malaikat) nama-nama benda itu, sadarlah para malaikat atas keutamaan Adam dibandingkan mereka. Di sinilah letak hikmah atas penciptaan Adam sebagai khalifah. qaala alam aqul lakum innii a’lam: Allah berfirman: Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnyaAku mengetahui! Ini adalah penegasan bahwa Allah adalah mengetahui yang dalam konteks bunyi ayat selanjutnya adalah semua yang tersembunyi dan semua rahasia yang ada di langit dan bumi. ghaibas samawaati wal-ardh: segala yang tidak tampak di langit maupun di bumi. tubduuna: yang kamu tampakkan. Dalam kaitan ini adalah ucapan malaikat yang berbunyi: “apakah Engkau... akan menjadikan...”. Taktumuun: yang kamu
sembunyikan atau rahasiakan. Dalam kaitan ini terutama adalah apa yang disembunyikan Iblis di dalam hatinya yaitu menentang perintah, merasa sombong dan tidak mau melaksanakan perintah Allah. Allah SWT memberi penjelasan tentang kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya dan juga hikmah di balik firman atau atau ciptaan-Nya. Allah mencipta Adam itu mempunyai hikmah yang besar. Allah memberi ilmu kepada Nabi Adam namanama semua makhluk yang itu tidak diajarkan kepada para malaikat. Ketika makhluk-makhluk itu ditampilkan di hadapan para malaikat dan disuruh menyebutnya, maka para malaikat mengaku bahwa mereka tidak mengetahuinya. Ungkapan di atas adalah sebagai sanggahan Allah atas “pertanyaan” malaikat yang bernada protes terhadap penciptaan Adam sebagai khalifah. Dengan pertanyaan itu, sepertinya para malaikat menganggap dirinya sebagai makhluk yang paling mulia dan pandai, karena merasa sudah tahu atas apa yang akan terjadi pada BaniAdam, atau pada umat manusia. Dan, ternyata para malaikat tidak mampu menyebutkan nama-nama para makhluk yang dihadapkan pada mereka. Sedangkan Nabi Adam bisa dan mampu menyebutkan nama-nama itu. Di sinilah letak kemuliaan Adam di atas para malaikat, yaitu bahwa Adam dan anak turunnya itu diberi anugerah ilmu.
dengan ilmu-Nya yang mengajarkan kepada Nabi Adam nama-nama seluruh makhluk. Kedua, menjelaskan kemuliaan ilmu pengetahuan dan juga keutamaan orang berilmu. Ketiga, keutamaan orang yang mau mengakui ketidaktahuan, ketidakmampuan dan kekurangan dirinya. Keempat, diperbolehkannya memberi teguran terhadap orang yang merasa tahu, padahal tidak tahu.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka bersujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan (menolak) dan takabbur (menyombongkan diri) dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” [Q.s. al-Baqarah (2): 34]. Kalau ada pertanyaan, mengapa Iblis itu sombong dan menolak perintah Allah? Maka jawabannya, di dalam kesombongan itu ada perasaan dirinya lebih baik, lebih besar, lebih mulia dan lebih hebat. Berikut ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan apa yang membikin Iblis itu sombong. Iblis Merasa Lebih Baik dari Adam
Pelajaran yang Dapat Dipetik Pelajaran yang dapat dipetik dari ayat 31-33 surat al-Baqarah di atas adalah: pertama, penjelasan kekuasaan Allah EDISI 10/2013
11
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (11). Allah berfirman: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu? Menjawab iblis: Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah (12). Allah berfirman: Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina (13) [Q.s. al-A’raaf (7): 11-13].
merupakan dataran paling bawah sejajar dengan letak telapak kaki yang menapak). Terkadang sujud juga diartikan sebagai menundukkan kepala tanpa meletakkannya di atas tanah dengan disertai rasa rendah dan tunduk. bersujudlah kepada Adam. Sujud di sini adalah sebagai ungkapan pemuliaan dan pengagungan kepada Adam, sementara peribadatan hanya kepada Allah ta’ala. fa sajaduu: maka mereka kemudian bersujud. Para malaikat menaati perintah Allah ta’ala dengan melakukan sujud. illaa ibliis: kecuali Iblis. Abu Bakr Jabir al-Jazaa’iri dalam “Aysar alTafaasiir” menyebutkan bahwa nama Iblis sebelumnya adalah al-Haarits. Ketika dia bersifat sombong dan tidak mau (menolak) untuk taat kepada Allah ta’ala, maka Allah kemudian menjadikannya Iblis, yaitu terputus dari semua kebaikan dan jadilah dia masuk golongan setan. Keterangan ini juga dapat dilihat di dalam “Tafsir Ibn Katsiir”. abaa: menentang, menolak dengan
Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu semua kepada Adam, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah? [Q.s. al-Israa’ (17): 61]. usjuduu: bersujudlah. Sujud adalah meletakkan dahi dan hidung di atas tanah (lantai atau apa pun yang 12
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
sangat atau menolak keras. Dalam alQur’an dan Terjemahnya, kata ini diterjemahkan dengan kata “enggan”. Meskipun begitu, kata enggan ini hendaknya dimaknai sebagai menentang, menolak dengan sangat atau menolak keras. Di dalam hadits Shahih, kata abaa itu disamakan dengan membangkang , siapa yang membangkang kepada diriku berarti menolak
dengan keras (masuk surga). Keterangan ini dapat dilihat dalam hadits berikut:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinan, telah menceritakan kepada kami Fulaih, telah menceritakan kepada kami Hilal bin Ali dari ‘Atha bin Yasar dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Setiap umatku masuk surga kecuali yang enggan (menolak keras). Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, lantas siapa yang enggan (menolak dengan keras)? Nabi menjawab: “Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa yang membangkang perintahku berarti dia enggan (menolak masuk surga)” [HR. Bukhari: 6737 dan HR. Ahmad: 8373]. wastakbara: dan takabbur. Kata ini berarti “dan menyombongkan diri atau merasa dirinya lebih baik, dan lebih besar atau hebat”. Kata ini juga mengandung pengertian dalam tingkat ekstrimnya yaitu menolak kebenaran yang kemudian juga me-ngandung arti membangkang. Hal ini terlihat dalam ungkapan ayat al-Qur’an yang jelas pengertiannya bahwa kata istakbara – yastakbiru . Menurut Imam al-Tabari, kata tersebut berarti sombong, tidak mau beribadah kepada Allah ta’ala.
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah (Beribadahlah) kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan (memberi pahala) bagimu. Sesungguhnya orangorang yang menyombongkan diri dari (tidak mau beribadah kepada-Ku, menolak beribadah kepada-Ku) menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” [Q.s. alMu’min (40): 60]. Dalam sebuah hadits shahih juga telah dijelaskan pengertian sombong, sebagai berikut:
“Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar serta Ibrahim bin Dinar, semuanya dari Yahya bin Hammad, Ibnu al-Mutsanna berkata, EDISI 10/2013
13
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hammad telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Aban bin Taghlib dari Fudlail al-Fuqaimi dari Ibrahim an-Nakha’i dari ‘Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi SAW, beliau bersabda: Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan. Seorang lakilaki bertanya: Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)? Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yang bagus, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia”. [HR. Muslim: 131]. Di dalam riwayat al-Tirmidzi terdapat penjelasan atas hadits ini yang terdapat dalam akhir dari bunyi haditsnya:
14
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Abdullah bin Abdurrahman. Keduanya berkata: telah bercerita kepada kami Yahya bin Hammad, telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Aban bin Taghlib dari Fudlail bin Amr dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga, seseorang yang di hatinya ada sifat sombong meski hanya sebesar biji dzarrah. Dan tidak akan pula masuk neraka, seorang yang di hatinya ada iman meski hanya sebesar biji dzarrah”. Abdullah berkata: Lalu seseorang berkata kepada Beliau, Sesungguhnya aku merasa bangga, jika pakaian dan sandalku bagus. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai keindahan. Akan tetapi yang dimaksud kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. Sebagian ahli ilmu berkata terkait tafsir hadits ini, tidak akan pula masuk neraka, seseorang yang di hatinya terdapat iman meski hanya sebesar biji dzarrah. Maknanya, tidak akan kekal di dalam neraka. Dan seperti inilah sebagaimana yang di-
riwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “Akan dikeluarkan dari neraka, seorang yang di hatinya ada iman meski hanya sebesar biji dzarrah”. Kalangan Tabi’in memberi tafsiran terkait ayat ini: siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau telah menghinakannya. Maksudnya, siapa yang Engkau kekalkan di dalam neraka, maka sungguh Engkau telah menghinakannya. Abu Isa berkata: ini adalah hadits hasan shahih gharib”. [HR. al-Tirmidzi: 1922].
sedangkan Adam cuma diciptakan dari tanah. Karena penolakan dan pembangkangan Iblis untuk tunduk dan taat kepada Allah ta’ala, maka Iblis masuk ke dalam golongan makhluk yang kafir. Alasan Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam dijelaskan di dalam ayat-ayat berikut:
Akibat dari Kesombongan Kelanjutan penjelasan kosa kata dalam surat al-Baqarah (2) ayat 34 di atas adalah ungkapan terakhir ayat itu: wa kaana minal kaafiriin: Dan dia (Iblis) itu termasuk golongan orang-orang yang kafir. Kata alkaafiriin adalah bentuk jamak dari kata kaafir. Orang kafir adalah orang yang mendustakan Allah ta’ala. Mendustakan itu berarti tidak membenarkan. Dalam ungkapan lain, orang kafir adalah orang yang menolak dan membangkang serta tidak mau menaati perintah Allah atau salah seorang utusan-Nya (Rasul-Nya). Perintah bersujud kepada Adam tersebut mempunyai arti menghormatiAdam. Para malaikat menaati dan me-laksanakan perintah Allah ta’ala dengan bersujud kepada Adam. Sedangkan Iblis tidak mau bersujud kepada Adam. Iblis merasa dirinya lebih baik dibandingkanAdam. Iblis menolak bersujud dan me-rasa dirinya lebih mulia karena dia diciptakan dari api,
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah (71). Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (72). Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya (73). kecuali iblis; dia menyom-bongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir (74). Allah berfirman: Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi? (75). Iblis berkata: EDISI 10/2013
15
Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah (76)” [Q.s. Shaad (38): 71-76]. Pelajaran yang Dapat Dipetik Pelajaran yang dapat dipetik dari ayat 34 adalah, pertama, Adam sebagai bapak umat manusia memiliki kedudukan yang tinggi karena memperoleh anugerah ilmu dari Allah ta’ala. Karena itu, manusia harus terus belajar dan menambah ilmu agar memiliki kedudukan yang mulia. Kedua, pelajaran akan bahaya sikap menolak dan berlaku sombong sampai tidak menaati perintah Allah ta’ala sehingga bisa berakibat menjadi kafir.
Dan Kami berfirman: Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim [Q.s. al-Baqarah (2): 35]. uskun: berdiamlah, bertempat tinggallah kamu. Kata ini pemakaiannya biasanya untuk mendiami atau bertempat tinggal yang sifatnya tidak abadi. Kata ini juga biasanya dipakai untuk bertempat tinggal atau berdiam setelah melakukan perjalanan. Sedangkan kata yang memiliki arti bertempat tinggal tetap (menetap) 16
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
qarra. Tempat menetap adalah kata yang lama biasanya memakai kata : mustaqarran. Berikut contohcontoh pemakaian kata mustaqarran:
Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal (65). Sesungguhnya Jahanam itu seburukburuk tempat menetap dan tempat kediaman (66) [al-Furqaan (25): 65-66].
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, (75) mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (76)”. [Q.s. al-Furqaan (25): 75-76]. Kata menetap dalam jangka waktu lama (sepanjang umur) juga menggunakan kata mustaqarran. Lihat kelanjutan ayat dari ayat-ayat yang ditafsirkan, yaitu al-Baqarah (2) ayat 36 berikut:
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan [Q.s. al-Baqarah (2): 36]. anta wa zaujuka aljannah: engkau dan istrimu di surga. Di dalam bahasa Arab, kata zauj itu artinya pasangan atau jodoh. Seringkali kata itu juga berarti istri. Yang paling umum, seorang istri itu bahasa Arabnya . Adapun untuk adalah zaujah seorang suami, al-zauj dalam bahasa Arab, maka semua orang sepakat . memakai kata zaujul mar’ah al-jannah: surga. Dalam alQur’an, kata al-jannah ini umumnya dipakai untuk kata surga. Namun, ada juga yang bermakna kebun. wa kulaa minhaa: makanlah engkau berdua (Adam dan istrinya Hawa) dari surga itu. raghadan: yang baik dan banyak (berlimpah). Hidup yang sejahtera dan berlimpah rizki itu dalam bahasa Arab disebut raghadan. haitsu syi’tumaa: di mana saja engkau berdua kehendaki.
Maka kami berkata: Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekalikali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka (117). Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang (118). dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya (119) [Q.s. Thaahaa (20): 117-119]. wa laa taqraba hadzihisy-syajarata: dan janganlah engkau berdua mendekati pohon ini. Pohon di ayat ini tidak dijelaskan pohon apa itu. Para ulama terdahulu menyebut berbagai macam nama pohon. Ada yang menyebut pohon anggur, gandum, zaitun, arak dan lain-lain. Allah-lah yang mengetahui pohon apa itu. fatakuuna min aldhaalimiin: maka engkau berdua akan termasuk orang-orang dzaalim. Dzaalim-iin di sini artinya adalah orangorang yang melanggar perintah Allah ta’ala atau bisa juga disebut sebagai orang-orang yang melampaui batas dan juga membangkang atas perintah-Ku. al-dhulmu: menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Narasumber utama artikel ini: M. Yusron Asrofie
EDISI 10/2013
17
Tuntunan Akidah TAUHIDULLAH (Meng-Esakan Allah SWT) Bagian (2)
Pada edisi-9, pembahasan Tauhidullah mencakup definisi tauhid, kedudukan, dan keutamaan tauhid serta macam-macam tauhid yang meliputi Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah. Pada edisi ini akan dijelaskan macam tauhid yang ketiga, yakni tauhid asma’ wa sifat. A. Pendahuluan: Beriman kepada asma’ wa sifatullah (nama-nama dan sifat-sifat Allah) sangat penting, karena ia bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah SWT. Seseorang tidak lurus keimanannya kepada Allah kecuali setelah ia mengenal namanama dan sifat-sifat-Nya. Di dalam AlQur’an bertebaran ayat-ayat yang berisi tentang penegasan mengenai nama-nama dan sifat Allah. Hal ini dimaksudkan agar manusia lebih mengenalAllah sehingga ia benar-benar beriman ke-pada-Nya.
22. Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. 24. Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai Asmaul Husna, bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Hasyr:22-24) Allah SWT mewajibkan hambahamba-Nya untuk selalu mendekat dan memohon kepada-Nya dengan cara menyebut dan memanggil nama Nya dengan benar. Sebaliknya, Dia melarang hamba-
18
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
hamba-Nya mengikuti orang-orang yang melakukan penyimpangan pada namanama Allah SWT
Hanya milik Allah asmaaul husna [Nama-nama yang Agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah], maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Kelak mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-A’raf: 180) Ayat di atas berisi perintah agar kita berdoa kepada Allah SWT dengan memanggil nama-nama-Nya yang agung serta kecaman Allah terhadap orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai asmaul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan asmaul husna untuk Nama-nama selain Allah. Oleh karenanya, agar hal ini tidak terjadi, setiap orang Islam seharusnya memahami Tauhid asma’ wa sifat B.Pengertian Tauhid Asma’ wa Sifaat Kalimat asma’ adalah bentuk jama’ dari kalimat ism yang berati nama. Asma Allah berarti nama-nama Allah. Sedangkan kalimat sifaat bentuk jamak dari kata sifat yang berarti sifat. Kalimat sifat dalam bahasa Arab berbeda dengan ka-
limat sifat dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab kalimat sifaat mencakup segala informasi yang melekat pada suatu yang wujud. Sehingga sifaat bagi benda dalam bahasa Arab mencakup sifat benda itu sendiri, seperti besar kecilnya, tinggi rendahnya, warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada benda tersebut. Dengan demikian, kalimat sifat Allah mencakup perbuatanNya, kekuasaanNya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala hal tentang Allah. Diantara sifat Allah adalah, Allah memiliki tangan yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah memiliki kaki yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah turun ke langit dunia, Allah ber-semayam di Arsy, Allah tertawa, Allah murka, Allah berbicara, dan lain-lain. Dan sekali lagi, sifat Allah tidak hanya berhubungan dengan kemurahan-Nya, keindahan-Nya, keagungan-Nya, dan lain-lain. Para ahli tauhid memberikan pengertian Tauhid asma’ wa sifat sebagai berikut.
Mengesakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia dalam hal namanama dan sifat-sifat-Nya. (al-Qoulul Mufid al Kitabit Tauhid: I: 16) Mengesakan Allah dalam hal namanama dan sifat-sifatNya menuntut seseorang Muslim meyakini secara mantap EDISI 10/2013
19
bahwa Allah menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan, dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya. Caranya adalah dengan: Itsbatun yakni menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan ke-Maha Sempurna-an Allah yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah SAW; dan nafyun yakni meniadakan atau menolak nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah dengan tidak melakukan tahrif (pengubahan) lafazh atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau sebagian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan kondisinya, dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk. C. Tiga Asas Tauhid Asma’ wa Sifat Berdasarkan penjelasan dari ayatayat al-Qur’an, Tauhid asma’was shifat berdiri diatas tiga asas, yaitu: Pertama: Mensucikan dan meninggikan Allah SWT dari sifat-sifat dan perkara-perkara yang menyerupai-Nya dengan makhluk-Nya atau dari segala kekurangan. Asas ini diterangkan Allah SWT dalam al-Qur’an surat as-Syura ayat 11:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis ka20
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
mu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasanganpasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. Juga diterangkan di dalam surat alIkhlas ayat 4:
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Termasuk dalam asas pertama ini, menyucikan Allah dari segala yang bertentangan dengan sifat yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau dengan sifat yang disandangkan oleh Nabi SAW. Jadi, mengesakan Allah dalam hal sifat-sifatNya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah tidak mempunyai istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi’ (pemberi syafaat), kecuali atas izinNya. Dan juga menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kurang lain-nya. Kedua: Meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana telah ditetapkan dalamAl-Qur’an dan Al-Hadits; tanpa membatasinya dengan mengurangi atau menambahi, atau berpaling, sekalipun sedikit, atau mengabaikannya. Untuk dapat memenuhi asas tersebut, metode yang dapat digunakan hanyalah metode sima’i (metode wahyu yakni suatu cara mendapatkan sesuatu melalui mendengar atau membaca wahyu Allah); bukan melalui metode aqliyah (cara men-
dapatkan sesuatu melalui akal pikiran). Karena itu, seorang mukmin dilarang memberikan sifat-sifat atau nama-nama Allah kecuali sebagaimana ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebab, hanya Dialah yang paling tahu tentang diri-Nya sendiri, firman Allah dalam alQur’an surat al-Baqarah:140:
Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah?” Misalnya, Allah menyatakan dalam surat ar-Ra’du ayat 2:
Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Kita harus mengimani bahwa Allah SWT bersemayam di atas ‘Arasy, tanpa mempertanyakan bagaimana cara Allah bersemayam, berapa luas ‘Arasy itu, mana yang lebih besar, Allah atau ‘Arasy, di manakah ‘Arasy itu, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin diajukan. Selain tidak akan bisa dijawab karena itu masalah ghaib, juga tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menghabiskan waktu saja. Ketiga: Membuang jauh-jauh khayalan untuk memvisualisasikan sifat-sifat Allah SWT. Yang demikian itu disebabkan sifatsifat Allah sama sekali berbeda dengan sifat-sifat makhluk-Nya, yang secara lazim memerlukan pembuktian baik secara
material maupun visual. Sedangkan terhadap sifat-sifat dan nama-nama Allah tidak memerlukan pendekatan Dzat atau pemvisualisasian dalam meyakini-Nya. Jika terjadi persamaan nama dan sifat antara Allah SWT dan makhluk-Nya, misalnya, Allah Maha Mendengar, manusia juga mendengar, Allah berbicara dengan Musa, manusia juga berbicara, dan lainlain, maka persamaan tersebut hanyalah persamaan nama (ismun), bukan persamaan hakiki (musamma). Nama dan Sifat untuk Allah SWT sesuai dengan Dzat dan ke-Maha-anNya, nama dan sifat untuk manusia dan makhluk lain sesuai dengan kemakhlukannya. Jadi, tidak ada alasan untuk mentakwilkan sifat-sifat Allah tertentu karena takut tasybih atau tamsil, dan lebih dari itu tentu tidak dibenarkan menolak sama sekali nama atau sifat Allah SWT yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau mengurangi kemutlakan Allah SWT dalam nama dan sifat-sifatNya. Sebab menolak salah satu nama dan sifat Allah SWT berarti mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman dalam surat az-Zumar ayat 32:
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? EDISI 10/2013
21
Asas yang ketiga menuntut seorang muslim untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh alQur’an dan As-Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai manakala mengetahui kaifiyyah Dzat. Karena sifat-sifat itu berbedabeda, tergantung pada penyandang sifatsifat tersebut. Dan Dzat Allah tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-Nya. Maka, demikian pula sifatsifat-Nya, tidak boleh dipertanyakan kaifiyyah-Nya. Karenanya, Imam Malik –Rahimahullah– saat ditanya tentang kaifiyyah istiwa (cara Allah bersemayam) ia menjawab:
Istiwa itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya (istiwa) adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. D. Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Azza wa Jalla Asma’Allah azza wa jalla adalah nama-nama yang diberikan Allah SWT kepada diri-Nya sebagaimana telah disebutkan di dalam al-Qur’an dan sabda Nabi-Nya. Menurut Syekh Ibnu Taimiyah, setiap nama dari nama-nama Allah menunjukkan kepada Dzat yang disebutnya dan sifat yang dikan-dungnya. Misalnya, nama al-‘Alim (Maha Mengetahui) menunjukkan dzat dan sifat 22
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
al-‘ilmu (mengetahui) Allah, nama alQadir, menunjukkan dzat dan sifat qudrah (kekusaan), nama ar-Rahman (Maha Pengasih) menunjukkan dzat dan sifat ar-rahmah (kasih sayang) Allah dan seterusnya. Menurut al-Qur’an dan al-Hadits, ada dua jenis sifat Allah yaitu: 1. Sifat dzatiyah, yakni sifat-sifat yang tidak pernah terlepas dari sisi Allah SWT, seperti sifat ilmu, hidup, kekal, kasih sayang, kaya, adil, dan lain-lain. Allah SWT berfirman:
22. Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. 24. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk rupa, yang mempunyai Asmaaul Husna. bertasbih kepadanya
apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 2. Sifat fi’liyah, yakni sifat-sifat yang menyangkut kehendak Allah dan kekuasaan-Nya, seperti istiwa’ (bersemayam), nuzul (turun), ta’jub (heran), tertawa, ridla, cinta, benci, gembira, marah, tipu daya, dan lain-lain. Firman Allah, surat Thaha ayat 5:
yang menunjukkan bahwa di sana ada beberapa nama lagi yang tidak diberitahukan oleh Allah kepada manusia dan hanya Dia sajalah yang mengetahuinya sebagai ilmu al-ghaib di sisi-Nya ialah sabda Rasulullah SAW:
(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy. Firman Allah surat al-Anfal ayat 30:
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaikbaik pembalas tipu daya. Firman Allah surat al-Baqarah ayat 15:
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombangambing dalam kesesatan mereka. Jumlah nama-nama Allah cukup banyak, tidak ada yang mengetahui selain Allah sendiri. Sebagian nama-namaNya diterangkan kepada manusia dan sebagian lain disembunyikan. Di antara hadits
Tidaklah seseorang mengalami kesedihan dan tidak pula duka, lalu ia mengucapkan; Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hambaMu dan anak hamba wanitaMu, ubun-ubunku berada di tanganMu, hukumMu berlaku padaku dan ketetapanMu padaku adalah adil. Aku memohon kepadaMu dengan segenap namaMu atau yang Engkau namai diriMu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhlukMu atau engkau turunkan di dalam kitabMu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisiMu agar Engkau menjadikan Al Qur`an sebagai penyejuk hatiku dan cahaya EDISI 10/2013
23
dadaku serta penawar kesedihanku dan pelenyap dukaku. Kecuali Allah akan menghilangkan kesedihan dan kedukaan serta menggantinya dengan jalan keluar.” Ia berkata; Lalu dikatakan; Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya? Beliau menjawab: “Tentu, orang yang telah mendengarnya semestinya mempelajarinya.”(HR Ahmad). Menurut penelitian al-Bani, Hadits ini shahih. Di antara nama-nama Allah, ada yang disebut dengan istilah al-asma’ul husna (nama-nama Allah yang bagus). Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 180:
Hanya milik Allah asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dalam sebuah hadits, Rasululullah menyebutkan bahwa jumlah al-asma’ul husna ada 99 nama. Beliau bersabda:
Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguh-nya Allah SWT mempunyai sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa yang menghitungnya (menghafal) niscaya masuk syurgalah ia.” (H.R. Bukhari) 24
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Dalam riwayat Turmudzi disebutkan ke 99 nama itu sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh Allah mempunyai nama 99, seratus kurang satu. Barangsiapa yang menjaganya niscaya masuk surga. Dia adalah Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, 1. (ar-Rahman) artinya Yang Maha Pemurah 2. (ar-Rahim) Yang Maha Mengasihi /Penyayang 3. (al-Malik) Yang Maha Menguasai / Merajai 4. (al-Quddus) Yang Maha Suci 5. (al-Salam) Yang Maha Selamat 6. (alMukmin) Yang Maha Melimpahkan Keamanan 7. (al-Muhaimin) Yang Maha Memelihara/Mengawasi 8. (al- Aziz) Yang
Maha Berkuasa/Yang Dapat Mengalahkan 9. (al-Jabbar) Yang Maha Perkasa/Menundukkan Segalanya 10. (al-Mutakabbir) Yang mempunyai kebesaran. 11. (al-Khaliq) Yang Maha Pencipta 12. (al-Bari) Yang Maha Menjadikan/Melepaskan 13. (al-Musawwir) Yang Maha Pembentuk 14. (al-Ghaffar) Yang Maha Pengampun 15. (al-Qahhar) Yang Maha Memaksa 16. (al-Wahhab) Yang Maha Penganugerah/Pengkarunia 17. (al-Razzaq) Yang Maha Pemberi Rezeki 18. (al-Fattah) Yang Maha Pembuka 19. (al-Alim) Yang Maha Mengetahui 20. (al-Qabidh) Yang Maha Pengekang/Menyempitkan Rezeki 21. (al-Basit) Yang Maha Melimpah Nikmat/Melapangkan Rizki 22. (al-Khafidh) Yang Maha Perendah/Merendahkan Derajat 23. (arRafi’) Yang Maha Peninggi/Meninggikan Derajat 24. (al-Mu’izz) Yang Maha Menghormati/Memuliakan 25. (al-Muzill) Yang Maha Menghina 26. (as-Sami’) Yang Maha Mendengar 27. (al-Basir) Yang Maha Melihat 28. (al-Hakam) Yang Maha Mengadili/Menetapkan Hukum 29. (al‘Adil) Yang Maha Adil 30. (al-Latif)Yang Maha Lembut/Halus 31. (al-Khabir) Yang Maha Waspada 32. (al-Halim) Yang Maha Penyabar 33. (Al Azim) Artinya Yang Maha Agung 34. (al-Ghafur) Yang Maha Pengampun 35. (asy-Syakur) Yang Maha Bersyukur/Berterima Kasih 36. (al-Ali) Yang Maha Tinggi 37. (al-Kabir) Yang Maha Besar 38. (al-Hafiz) Artinya Yang Maha Memelihara 39. (al-Muqit) Yang Maha Menjaga/Memberikan Makan 40. (al-Hasib) Yang Maha Penghitung 41. (alJalil) Yang Maha Pemilik Kebesaran 42.
(al-Karim) Yang Maha Mulia 43. (arRaqib) Yang Maha Waspada/Mengawasi 44. (al-Mujib) Yang Maha Pengkabul 45. (al- Wasik’) Yang Maha Luas 46. (al- Hakim) Yang Maha Bijaksana 47. (al- Wadud) Yang Maha Mengasihi/Penyayang 48. (al-Majid) Yang Maha Mulia 49. (alBaith) Yang Maha Membangkitkan Semula 50. (asy-Syahid) Yang Maha Menyaksikan 51. (al-Haqq) Yang Maha Benar 52. (al-Wakil) Yang Maha Mengurusi 53. (al-Qawiy) Yang Maha Kuat 54. (al-Matin) Yang Maha Teguh/Kokoh 55. (al-Waliy) Yang Maha Melindungi 56. (alHamid) Yang Maha Terpuji 57. (al-Muhsi) Yang Maha Penghitung 58. (al-Mubdi) Yang Maha Pencipta dari Asal / Memulai 59. (al-Mu’id) Yang Maha Mengembalikan 60. (al-Muhyi) Yang Maha Menghidupkan 61. (al-Mumit) Yang Mematikan 62. (al-Hayyu) Yang Maha Hidup 63. (al-Qayyum) Yang Hidup serta Berdiri Sendiri 64. (al-Wajid) Yang Maha Penemu 65. (al-Majid) Yang Maha Mulia 66. (al-Wahid) Yang Maha Esa 67. (alAhad) Yang Tunggal 68. (as-Samad) Yang Menjadi Tumpuan 69. (al-Qadir) Yang Maha Kuasa 70. (al-Muqtadir) Yang Maha Menentukan 71. (al-Muqaddim) Yang Maha Mendahului 72. (al-Muakhir) Yang Maha Mengakhiri/Penangguh 73. (alAwwal) Yang Pertama 74. (al-Akhir) Yang Akhir 75. (az-Zahir) Yang Zahir 76. (al-Batin) Yang Batin/Tak Kelihatan Dzatnya 77. (al-Wali) Yang Memerintah/ Menguasai 78. (al-Muta’ali) Yang Maha Tinggi serta Mulia 79. (al-Barr) Yang banyak membuat kebajikan/Kebaikan 80. (at-Tawwab) Yang Maha Menerima TauEDISI 10/2013
25
bat 81. (al-Muntaqim) Yang Maha Memberi Hukuman/Siksaan 82. (al-‘Afuw) Yang Maha Pengampun 83. (ar-Rauf) Yang Maha Pengasih serta Penyayang 84. (Malikul Mulk) Pemilik Kedaulatan Yang Kekal/Memiliki Kerajaan 85. (Dzul Jalal wal-Ikram) Yang Mempunyai Keagungan dan Kemuliaan 86. (al-Muqsit) Yang Maha Adil 87. (al-Jami) Yang Maha Mengumpulkan 88. (al-Ghaniy) Yang Maha Kaya 89. (al-Mughni) Yang Maha Memberi Kekayaan 90. (al-Mani’) Yang Maha Pencegah/Mempertahankan 91. (alDlarr) Yang Mendatangkan Mudharat/ Bahaya 92. (al-Nafi’) Yang Memberi Manfaat 93. (al-Nur) Memberi Cahaya 94. (al-Hadi) Yang Memimpin dan Memberi
Pertunjuk 95. (al-Badi’) Yang Maha Pencipta Yang Tiada BandinganNya 96. (alBaqi) Yang Maha Kekal 97. (al-Warith) Yang Maha Mewarisi 98. (ar-Rasyid) Yang Maha Pandai 99. (as-Sabur) Yang Maha Penyabar/Sabar (HR Turmudzi). Hadits mengenai uraian asma’ul husna yang berjumlah 99 tersebut dinilai oleh Syekh al-Bani gharib dan termasuk Hadits dlaif. Karenanya, sebagian ulama tidak menggunakan hadits tersebut sebagai landasan dalam menjelaskan uraian mengenai al-asma’ul husna. [bersambung] Narasumber utama artikel ini: Zaini Munir Fadlali
melayani: Pelatihan menerjemahkan Al-Qur’an dengan Metode Al-Khomsah Pela tihan membaca Al-Qur ’an dengan Metode 10 Jam Privat atau klasikal belajar membaca atau menerjemahkan Al-Qur’an
JUMLAH KOSA KATA AL QUR’AN (30 juz) keseluruhan 106.168 kosa kata
Lembaga Pendidikan Al-Qur’an AL-FADHL
LPA AL-FADHL Jogja Bedukan RT 04 Pleret Bantul DIY Telp. 085.729.844.448 26
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
yang dipelajari 7.323 (7%) (penelitian M. Fathul Mubin)
Tuntunan Akhlak
ISTIQAMAH
I
stiqamah berasal dari kata istiqaamayastaqiimu, yang berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen. Dalam terminologi akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman, sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Seseorang yang istiqamah laksana batu karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikit pun walau dipukul oleh gelombang yang bergulunggulung. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat yang bernama Sufyan ibn 'Abdillah meminta kepada Rasulullah SAW supaya mengajarkan kepadanya intisari ajaran Islam dalam sebuah kalimat yang singkat, padat dan menyeluruh. Dengan demikian, dia tidak perlu lagi menanyakan hal tersebut kepada siapa pun pada masa yang akan datang. Memenuhi permintaan sahabat tersebut, Rasulullah SAW bersabda: "Katakanlah: saya beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah!" [HR. Muslim]. Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi, yaitu hati, lisan
dan amal perbuatan. Seorang yang beriman haruslah istiqamah dalam ketiga dimensi tersebut. Dia akan selalu menjaga kesucian hatinya, kebenaran perkataannya, dan kesesuaian perbuatannya dengan ajaran Islam. Ibarat berjalan, seorang yang istiqamah akan selalu mengikuti jalan yang lurus, jalan yang paling cepat mengantarkannya ke tujuan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan ad-Darami dari Ibn Mas'ud RA, diterangkan bahwa Rasulullah SAW pada suatu hari membuat satu garis lurus di hadapan beberapa sahabat. Kemudian Beliau membuat pula garis melintanglintang di kanan-kiri garis lurus tersebut. Sambil menunjuk garis lurus, Beliau berkata: "Inilah jalan Allah". Kemudian Beliau menunjuk pada garis-garis yang banyak yang ada di kiri-kanan garis lurus itu, dan berkata: "inilah jalan-jalan bersimpang, pada setiap jalan itu ada setan yang selalu menggoda." Setelah itu, Beliau membacakan ayat al-Qur'an sebagai berikut:
EDISI 10/2013
27
"Sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa" [Q.s. al-An'aam (6): 153]. Jalan lurus yang dimaksud oleh ayat di atas adalah agama Allah, Islam. AlQur'an menyebut agama Allah dengan agama yang lurus. Hal ini sebagaimana disebut dalam surat al-Bayyinah ayat 5:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [Q.s. al-Bayyinah (98): 5]. Ujian Keimanan Sikap istiqamah sangatlah diperlukan orang yang beriman. Hal ini antara lain karena orang beriman pasti akan mengalami berbagai ujian. Dengan ujian itu, Allah bisa melihat kualitas keimanan seseorang. Oleh sebab itu, orang yang istiqamah tentu akan berhasil menghadapi ujian-ujian. Al-Qur'an menjelaskan:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan 28
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
“kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi?" [al-'Ankabuut (29): 2]. Ujian keimanan seseorang bisa dalam bentuk menyenangkan, dan begitu pula sebaliknya. Keberhasilan bisnis adalah ujian, demikian halnya dengan kebangkrutannya. Seorang mukmin yang istiqamah akan tetap teguh dengan keimanannya menghadapi macam ujian tersebut. Dia tidak mundur oleh ancaman, siksaan dan segala macam hambatan lainnya. Dia tidak terbujuk oleh harta, pangkat, kemegahan, pujian dan segala macam kesenangan semu lainnya. Itulah yang dipesankan oleh Nabi SAW kepada Sufyan agar "beriman dan istiqamah". Rasulullah SAW merupakan contoh teladan utama dalam istiqamah. Baik dengan siksaan, ancaman, dan celaan maupun dengan bujukan, beliau tidak bergser sedikit pun dari jalan Allah. Terhadap bujukan pemuka Quraisy misalnya, Nabi menjawab dengan tegas: "Paman, demi Allah, sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku meninggalkan tugas dakwah ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu ada di tanganku, atau aku binasa karenanya." Keteguhan hati itu pulalah yang diperlihatkan oleh Bilal ibn Rabbah tatkala disiksa oleh majikannya. Tidak sedikit pun imannya goyah. Ketika disiksa dengan diletakkan sebongkah batu besar di atas dadanya, dia berbisik: "ahad, ahad" dengan penuh keyakinan. Yasser dan Sumayyah, sepasang suami istri
syuhada awal Islam, juga rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan keimanannya.
bagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka…." [Q.s. asy-Syuura (42): 15].
Perintah Istiqamah Istiqamah merupakan salah satu akhlak yang sangat penting dimiliki oleh seorang beriman. Untuk itu Allah SWT memerintahkan agar seorang mukmin beristiqamah. Terkait dengan hal ini, Allah berfirman:
Buah Istiqamah Sebagai akhlak yang mulia, sikap istiqamah yang dimiliki oleh orang beriman akan membuahkan banyak hal-hal positif. Dalam surat Fushshilat disebutkan:
Katakanlah, bahwasanya aku hanyalah seorang manusia sepertimu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka istiqamahlah menuju kepada-Nya dan mohon ampunlah kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orangorang yang menyekutukan-Nya [Q.s. Fushshilat (41): 6].
Maka istiqamahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan kepada orang yang telah taubat bersamamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [Q.s. Huud (11): 112].
Maka karena itu serulah (mereka kepada Agama) dan istiqamahlah se-
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan di dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. [Fushshilat (41): 30-32]. Dalam ayat-ayat di atas dijelaskan bahwa orang yang beristiqamah dijauhkan oleh Allah dari rasa takut dan sedih yang negatif. Takut di sini tentu bukan EDISI 10/2013
29
takut yang manusiawi, seperti takut kepada binatang buas atau kepada halhal berbahaya lainnya. Rasa takut yang negatif misalnya adalah takut menyatakan kebenaran, menghadapi masa depan, dan mengalami kegagalan. Ketakutan seperti itu akan menghambat kemajuan dan bahkan menyebabkan kemunduran. Seseorang tidak akan dapat berbuat apaapa apabila selalu dipenuhi rasa takut. Rasa sedih yang dimaksud di sini juga bukanlah rasa sedih yang manusiawi, seperti kesedihan tatkala orangtua, anak, atau orang-orang yang dikasihi meninggal dunia, atau ketika sedang mengalami kegagalan dalam usaha. Rasa sedih yang mesti dihindari adalah rasa sedih yang berlarut-larut dan menyebabkan kehilangan semangat dan selalu diliputi penyesalan. Setiap orang yang mengalami musibah atau kegagalan tentu akan bersedih. Tapi ada orang yang dapat segera menguasai kesedihannya, ada pula orang yang larut dalam kesedihan itu. Ibarat orang yang hanyut di sungai, orang yang pertama segera berenang ke pinggir untuk mencari pegangan, sedangkan orang yang kedua terus hanyut dibawa arus. Jadi, orang yang istiqamah tidak takut menghadapi masa depan dan tidak akan hanyut dalam kesedihan. Dia dapat menguasai rasa sedih karena musibah yang menimpanya sehingga tidak hanyut dibawa arus kesedihan. Dia juga tidak gentar dan was-was menghadapi kehidupan masa yang akan datang, sekalipun dia pernah mengalami kegagalan pada masa lalu. 30
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Selanjutnya, orang yang istiqamah akan mendapatkan kesuksesan dalam kehidupannya di dunia. Hal ini terjadi karena dia dilindungi oleh Allah SWT. Lindungan Allah itu juga berarti jaminan untuk mendapatkan kesuksesan dalam hidup dan perjuangan di dunia. Sahabatsahabat yang berjuang dalam Perang Badar, misalnya, sekalipun jumlah mereka kurang dari sepertiga dari jumlah musuh kaum kafir, mereka tidak gentar dan tidak mundur menghadapinya. Mereka istiqamah, maju terus di medan peperangan dengan gagah berani. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada mereka [baca: Q.s. al-Anfaal (8): 45]. Begitu juga di akhirat. Orang yang istiqamah akan berbahagia. Allah SWT berjanji akan melindungi mereka di akhirat. Hal ini berarti bahwa mereka akan dibalas dengan surga, tempat segala kenikmatan dan kebahagiaan. Mereka akan menikmati karunia Allah di dalam surga itu. Demikianlah, sikap istiqamah sangat diperlukan dalam kehidupan ini. Tanpa sikap itu, seseorang akan mudah berputus asa, mudah lupa diri, dan mudah terombang-ambing oleh berbagai macam arus yang menggoda dalam kehidupan-nya. Orang yang tidak istiqamah, ibarat balingbaling di atas bukit. Dia berputar menuruti ke mana arah angin berhembus.
Narasumber utama artikel ini: Mahli Zainuddin Tago
Tuntunan Akhlak ADAB BERBICARA (10):
ADAB SALAM
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Hak muslim atas sesama muslim ada enam”. Ditanyakan kepada Beliau, Apa itu wahai Rasulullah? Jawab Nabi, “Jika kamu bertemu dengannya hendaklah memberi salam, jika ia mengundangmu maka penuhilah, jika ia meminta nasihat maka nasihatilah, jika ia bersin lalu mengucapkan ‘Alhamdulillah’ maka doakanlah, jika ia sakit maka jenguklah dan jika ia meninggal maka iringilah jenazahnya”.1 Memberi salam termasuk salah satu amalan terbaik. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW berikut:
Dari Abdullah bin ‘Amru bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: Islam manakah yang paling baik? Nabi SAW menjawab: “Kamu memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”.2 Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda: “Sebarkan salam di antara kalian, niscaya kalian saling mencintai”.3 A. TATA-CARAMEMBERI SALAM 1. Lafal Salam a. Kepada Sesama Muslim
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: Dahulu Allah mencipta Adam AS yang tingginya 60 hasta (tangan kalian) kemudian berfirman: Pergilah kamu dan berilah salam kepada mereka para malaikat dan dengarkanlah bagaimana mereka menjawab salam penghormatan kepaEDISI 10/2013
31
damu dan juga salam penghormatan dari anak keturunanmu. Maka Adam menyampaikan salam: “as-salaamu ‘alaikum” (salam sejahtera untuk kalian). Mereka menjawab: “as-salaamu ‘alaika wa rahmatullah” (salam sejahtera dan rahmat Allah buat kamu). Mereka menambahkan kalimat “wa rahmatullah”. Nanti setiap orang yang masuk surga bentuknya seperti Adam ‘alaihissalam dan manusia terus saja berkurang (tingginya) sampai sekarang”.4 Ucapan salam yang lengkap adalah: (semoga keselamatan tetap atas kamu sekalian, dan rahmat Allah serta barakah-Nya). Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan mengucapkan: “Assalamu’alaikum”, Nabi bersabda: “sepuluh”. Lalu datang laki-laki lain dan mengucapkan: “Assalamu’alaikum Warahmatullah”, Nabi bersabda: “dua puluh”. Dan datanglah laki-laki yang ketiga dan mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh”, Nabi bersabda: “tiga puluh”.5
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW keluar menuju areal pekuburan, lalu Beliau memberi salam kepada para penghuninya seraya bersabda: Keselamatan atas kalian semua wahai kaum muslimin, dan sungguh insya Allah kami akan menyusul kalian”.6 c. Larangan Salam kepada Ahli Kitab Nabi SAW melarang kita mendahului ahli kitab dengan salam, sebagaimana sabdanya:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mendahului orang Yahudi dan Nasrani memberi salam..... ”7 2. Memberi Salam
b. Kepada Penghuni Kubur Salam kepada penguni kubur adalah dengan ucapan sebagai berikut:
Keselamatan atas kalian semua wahai kaum muslimin, dan sungguh insya Allah kami akan menyusul kalian. Lafal tersebut seperti yang dicontohkan Rasulullah dalam hadits berikut: 32
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Dari al-Hasan, dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Hendaknya yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan, yang berjalan memberi salam kepada yang
duduk, kelompok yang sedikit memberi salam kepada yang banyak. Ibnu Mutsanna menambahkan dalam hadisnya: hendaknya yang kecil memberi ”8 Berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi tersebut, maka orang yang seharusnya memberi salam terlebih dahulu adalah: s a
l a
m
k e p
a
d
a
y a
n
g
b
e s a
r .
a. Orang berkendaraan memberi salam kepada pejalan kaki Orang yang berkendaraan diutamakan mendahului mengucapkan salam kepada para pejalan kaki. Apabila Anda naik kendaraan, usahakan mendahului mengucapkan salam jika bertemu muslim pejalan kaki lainnya. Hal ini tentu saja dilakukan apabila kendaraan yang digunakan cukup memungkinkan Anda untuk mengucapkan salam. Apabila naik kendaraan yang melaju dengan cepat, seperti misalnya kereta api, bus dan mobil, tentu Anda tidak mudah memberikan salam. Dalam hal ini, tidak mengapa apabila Anda tidak mengucapkan salam. Tetapi jika Anda mengendarai sepeda motor, becak, andong atau alat transportasi lain yang dijalankan dengan tidak terlalu kencang, tentu Anda dapat memberikan salam dengan mudah. b. Pejalan kaki memberi salam kepada yang duduk Orang yang sedang berjalan diutamakan mendahului salam kepada mereka yang diam di tempat. Bagi pejalan kaki tentu tidak menemui hambatan dalam mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya, baik dalam keadaan sedang
duduk atau berdiri. Hal ini tentu berbeda apabila dibandingkan dengan orang yang sedang berkendaraan dengan kecepatan tinggi. Oleh sebab itu, maka orang yang berjalan kaki hendaknya mendahului mengucapkan salam kepada mereka yang dijumpainya, baik sedang duduk atau berdiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kondisi seperti ini sering kita alami di berbagai tempat, baik sekolah/kampus, kantor atau tempat-tempat lainnya. Bagi pegawai yang tiba di tempat kerja dan dalam keadaan berjalan menemui rekan-rekan yang telah datang lebih dahulu serta sudah berada di ruang kerja masing-masing, maka kewajiban Anda adalah mendahului memberi salam. Bagi pelajar/mahasiswa yang baru memasuki ruang belajar dan mendapati teman-temannya sudah berada di tempat, maka kewajiban Anda adalah memberi salam kepada mereka. Apabila sedang mendapatkan layanan, seperti misalnya pemeriksaan oleh dokter, berbelanja, mengurus ijin usaha, membeli tiket, checkin atau check-out hotel, dan lain sejenisnya, maka kewajiban Anda adalah memberi salam kepada orang-orang yang melayani Anda. Demikian halnya ketika sedang bertamu, maka kewajiban Anda adalah memberi salam kepada tuan rumah. c. Kelompok sedikit memberi salam kepada kelompok yang lebih besar Apabila ada dua kelompok orang saling bertemu, maka hendaknya mereka yang paling sedikit jumlah anggotanya mendahului memberi salam. Orang yang EDISI 10/2013
33
sendirian termasuk dalam kelompok yang sedikit. Dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika berjalan sendirian atau bersama istri/suami dan bertemu sahabat yang sedang berjalan-jalan sekeluarga, atau tatkala berangkat bersama rombongan menuju tempat pengajian dan di jalan bertemu rombongan dengan jumlah yang lebih banyak, maka kewajiban Anda adalah mendahului memberi salam. Dalam kelompok tersebut cukup seorang saja yang mengucapkan salam.9 d. Anak muda memberi salam kepada orang yang lebih tua Rasulullah SAW mengajarkan agar anak muda menghormati orang yang lebih tua. Sebaliknya, orang yang lebih tua menyayangi mereka yang lebih muda. Demikian halnya dengan memberi salam, anak muda hendaknya mendahului mengucapkannya sebagai wujud penghormatan kepada orang yang lebih tua. Ketika bertemu kakek, nenek, orangtua, paman, bibi, guru, kakak dan orang-orang yang usianya lebih tua dari Anda, dahuluilah mereka dengan salam. 3. Menjawab Salam a. Salam dari Sesama Muslim 1) Menjawab Salam adalah kewajiban Menjawab salam adalah kewajiban bagi orang yang mendapatkan ucapan salam. Menerima salam balik menjadi hak orang yang telah memberikan ucapan salam. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW berikut:
34
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
“Dari al-Awza’iy berkata, telah mengabarkan kepada saya Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepada saya Sa’id bin al-Musayyab bahwa Abu Hurairah RA berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Hak muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendo’akan orang yang bersin”.10 Kewajiban menjawab salam akan berakibat kepada si pemberi salam. Dalam hal ini, pemberi akan mendapatkan salam yang sama sesuai dengan apa yang ia berikan. Tata-cara salam yang mengedepankan hak salam atas orang lain pun akan menempatkan kita pada posisi memberi kemanfaatan baginya. Dengan demikian, kita didorong menjadi manusia terbaik, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Apabila terdapat sekelompok orang, cukuplah salah satu di antaranya yang memberi atau menjawab salam. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “cukuplah salah seorang dari kelompok yang lewat memberikan salam, dan salah seorang dari orang-orang yang duduk menjawabnya”.11
2) Menjawab salam dengan yang lebih baik Menjawab salam dengan yang lebih baik didasarkan firman Allah berikut: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).12 b. Menjawab Salam dari Ahli Kitab Apabila mendapat salam dari Ahli Kitab, maka jawaban kita adalah: (Alaikum, artinya Demikian juga atas kalian). Jawaban tersebut didasarkan atas pertanyaan para sahabat kepada Nabi SAW dalam hadits berikut:
Para sahabat bertanya kepada Nabi SAW: “Sesungguhnya Ahli Kitab memberi salam kepada kami, bagaimana kami menjawabnya?” Jawab Beliau: “Ucapkan: Wa’alaikum”.16 Dalam hadits lain, juga dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “Jika Ahli Kitab memberi salam kepada kalian, maka jawablah, Wa’alaikum”.17 Salam orang Yahudi yang biasanya bukanlah salam keselamatan, karena itu perlu dijawab dengan: (demikian juga atasmu). Jawaban ini didasarkan pada hadits Nabi berikut:
Telah bercerita kepada kami Yahya, dari Sufyan, telah bercerita kepadaku Abdullah bin Dinar, ia berkata: Aku mendengar Ibnu Umar mengatakan, Rasulullah SAW bersabda: Jika orang Yahudi memberi salam, sesungguhnya ia mengucapkan, ‘Assamu ‘alaikum (semoga kecelakaan atas kalian), maka katakanlah, ‘Alaika (atasmu pula). Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar dari Nabi SAW seperti itu”.18 Dalam hadits lain, yang diriwayatkan Ahmad dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda: “Jika orang Yahudi memberi salam kepada kalian dengan mengatakan, Assaamu Alaikum (kecelakaanlah atas kalian), maka katakanlah, Wa Alaika (dan untuk kalian).”19 4. Keadaan-keadaan Khusus Tidak Menjawab Salam a) Saat Melaksanakan Shalat Tidak menjawab salam tatkala melaksanakan shalat didasarkan pada hadits berikut:
EDISI 10/2013
35
Dari ‘Abdullah RA berkata: aku pernah memberi salam kepada Nabi saat Beliau sedang shalat, Beliau membalas salamku. Ketika kami kembali (dari negeri Najasyi), aku memberi salam kembali kepada Beliau, namun Beliau tidak membalas salamku. Kemudian Beliau berkata: Sesungguhnya dalam shalat terdapat kesibukan”.13 Dalam hadits lain, dari Jabir bin ‘Abdullah RA berkata; Rasulullah mengutusku untuk menunaikan keperluan Beliau. Maka aku berangkat, kemudian kembali setelah menuntaskan tugasku itu, lalu aku menemui Nabi SAW. Aku memberi salam kepada Beliau, namun Beliau tidak membalas salamku. Kejadian itu membuat gusar hatiku yang hanya Allah yang lebih mengetahuinya. Lalu aku berkata dalam hati, barangkali Rasulullah menganggap aku terlambat menunaikan tugas Lembaga Zakat Nasional
LAZISMU Kantor Pusat Layanan: Jl. Menteng Raya no. 62 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 31 50 400 Faks. (021) 31 432 30 sms : 08561 62 62 62 22 Pin BB: 2777B132 email :
[email protected]
www.lazismu.org 36
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
dari Beliau. Lalu aku memberi salam lagi, dan lagi-lagi Beliau tidak membalasnya. Timbul lagi kegusaran hatiku yang lebih besar dari yang pertama. Lalu aku memberi salam lagi, Beliau membalasnya seraya berkata: “Sesungguhnya yang menghalangiku buat menjawab salammu adalah karena Aku sedang melaksanakan shalat”. Saat itu, Beliau sedang berada di atas hewan tunggangan yang tidak menghadap ke arah kiblat. b) Ketika Buang Hajat Tidak menjawab salam ketika sedang buang hajat berdasarkan hadits berikut:
Dari al-Muhajir bin Qunfudz, ia pernah memberi salam kepada Nabi ketika ia sedang buang air kecil, dan Nabi SAW tidak membalas salamnya. Setelah berwudlu, Beliau membalas salamnya”.14
LAZISMU, lembaga zakat tingkat nasional yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infaq, wakaf dan dana kedermawanan lainnya baik dari perseorangan, lembaga, perusahaan dan instansi lainnya.
Dalam hadits lain, dari Jabir bin Abdullah berkata: “Seorang laki-laki melewati Nabi SAW, kemudian ia mengucap salam ketika Beliau sedang kencing”. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apabila kamu melihatku dalam kondisi seperti ini, maka jangan memberi salam kepadaku. Karena sesungguhnya jika kamu melakukannya, maka aku tidak akan membalasnya”.15 B. Fadhilah Salam Menyampaikan salam dengan mengucap “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan salamsalam lain yang telah menjadi tradisi ucapan umat manusia di dunia, seperti: selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam oleh masyarakat Indonesia; atau good morning, good afternoon, dan good evening pada tradisi masyarakat berbahasa Inggris. Keistimewaannya terletak pada kandungan ucapan salam yang berisi do’a agar keselamatan, rahmat Allah dan barakah-Nya diberikan kepada orang yang diberikan salam. Bandingkan dengan ucapan selamat pagi atau good morning, yang hanya menyiratkan maksud pagi yang selamat atau pagi yang baik. Salam yang diucapkan dengan iringan senyum memberikan dorongan energi positif bagi mereka yang mengucapkan dan yang menerimanya. Menurut Hiromi Shinya, dorongan energipositif yang muncul dari cinta, tawa dan kebahagiaan dapat menstimulasi DNA untuk memproduksi limpahan enzim dasar dalam tubuh kita, yaitu
enzim ajaib yang beraksi sebagai biokatalis untuk memperbaiki sel-sel kita. Kebahagiaan dan cinta dapat membangunkan suatu potensi yang jauh di luar pemahaman kita sebagai manusia saat ini.20 Pernyataan Rasulullah tentang adanya hak-hak seorang muslim atas muslim lainnya menunjukkan adanya kewajiban kita terhadap muslim di luar diri kita. Salah satu kewajiban tersebut adalah apabila menemui seorang muslim, maka ia mempunyai hak mendapatkan salam dari kita. Hak orang lain tersebut bermakna kewajiban yang harus kita tunaikan.Apabila lalai, berarti kita telah menahan hak orang lain. Inilah salah satu indahnya ajaran Islam. Semangatnya adalah memberi kemanfaatan kepada orang lain. Jika dapat memenuhi haknya mendapatkan salam dengan kewajiban memberi salam, berarti kita telah memberi manfaat kepadanya melalui do’a dan senyuman. Do’a dan senyuman memberikan manfaat bagi kedua-duanya, baik yang memberi maupun yang menerima. Ucapan “Semoga keselamatan tetap atas Anda, demikian pula rahmat Allah dan barakah-Nya” merupakan do’a yang akan mempengaruhi pikiran bahwa Allah akan memberi keselamatan, rahmat dan barakah-Nya. Pikiran tersebut jika sering diulang-ulang (karena banyaknya orang yang mendo’akannya) akan menjadi keyakinan bahwa insya Allah ia akan mendapatkan keselamatan, rahmat, dan barakah Allah. Keyakinan itu akan membawanya menjalani hidup sesuai jalan yang dikehendaki Allah, sehingga dirinya betul-betul pantas EDISI 10/2013
37
mendapatkan keselamatan, rahmat dan barakah-Nya. Senyuman juga memberikan manfaat karena mampu menstimulasi keluarnya hormon endorphin yang dikenal pula sebagai hormon kebahagiaan. Semakin banyak hormon endorphin dikeluarkan pada diri seseorang, ia akan merasakan kebahagiaan yang meningkat. Memberi senyum kepada seseorang akan menjadi rangsangan bagi orang tersebut untuk juga ikut tersenyum. Ratarata orang akan membalas senyuman bila kita mengajaknya tersenyum. Hanya orang yang sedang mengalami gangguan jiwa sajalah yang tidak merespons senyum yang kita berikan dengan senyum. Dengan senyuman kita yang direspon dengan senyuman, setidak-tidaknya kita telah bersedekah hormon endorphin kepadanya. Keyakinan positif bahwa keselamatan dan curahan rahmat dan barakah Allah akan menjadi miliknya serta perasaan bahagia yang dirasakannya memberikan
banyak manfaat luar biasa. Ia semakin mantap dalam menjalani kehidupan dan mempersiapkan masa depannya, dan Insya Allah menjadi manusia yang sukses. Wallahu A’lam. Narasumber utama artikel ini: Agus Sukaca Catatan 1 Kitab Ahmad dalam Lidwa Pustaka HN 8490 2 Kitab Bukhari dalam Lidwa Pustaka HN 27 3 HR Al-Hakim 4 Kitab Bukhari dalam Lidwa Pusaka HN 3079 5 HR Abu Daud, Tirmidzi 6 Kitab Ahmad dalam Lidwa Pusaka HN 8924 7 Kitab Muslim dalam Lidwa Pusaka HN 4030 8 Kitab Tirmidzi dalam Lidwa Pusaka HN 2627 9 HR Abu Daud dari Ali 10 Kitab Bukhari dalam Lidwa Pusaka HN 1164 11 HR Abu Daud dari Ali 12 QS An-Nisa’ ayat 86 13 Kitab Bukhari dalam Lidwa Pusaka HN 1140 14 Kitab Nasa’i dalam Lidwa Pusaka HN 38 15 Kitab Ibnu Majah dalam Lidwa Pusaka HN 346 16 Kitab Muslim dalam Lidwa Pustaka HN 4025 17 Kitab Muslim dala Lidwa Pustaka HN 4024 18 Kitab Ahmad dalam Lidwa Pustaka HN 4469 19 Kitab Ahmad dalam Lidwa Pustaka HN 5668 20 Hiromi Shinya, The Miracle of Enzyme, Self Healing Program, Cet. I, (Qanita Mizan, 2008), hlm. 21–22.
RALAT Rubrik Tuntunan Ibadah, artikel “Shalat Dluha” pada edisi 9 No.
HALAMAN
1.
36 baris 57
TERTULIS “....menguji hambaku”
2.
41 baris 1 s/d 3
Mohon maaf, dan harap maklum. (Redaksi) 38
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
YANG BENAR “.........menguji umatku”
Tuntunan Ibadah Shalat-Shalat Tathowwu’
SHALAT DLUHA (Bagian 2) Tulisan ini merupakan lanjutan dari edisi ke-9. Pada artikel sebelumnya itu telah diuraikan tentang dasar tuntunan dan keutamaan shalat Dluha.
C.TATA-CARA SHALAT DLUHA 1. Waktu Pelaksanaan Shalat Dluha Shalat dluha mulai dilaksanakan pada saat matahari sudah naik, kira-kira sepenggal atau setinggi tonggak (maksudnya bukan pada waktu matahari baru terbit), dan berakhir menjelang masuk waktu Dzuhur. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
Dari Abu Ramlah al-Azdi, dari Ali, beliau telah melihat orang-orang melaksanakan shalat Dluha ketika terbit matahari, maka Ali berkata: “Hendaklah mereka menangguhkannya hingga matahari setinggi tombak atau dua tombak. Shalatlah Dluha, karena dia adalah shalat Awwabin (orangorang yang kembali kepada Allah)” [HR. Ibnu Abi Syaibah].
Dalam Kalender Hijriyah yang diterbitkan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah D.I. Yogyakarta tertulis bahwa jadwal waktu shalat Dluha dimulai satu jam setelah matahari terbit (syuruq). Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al‘Utsaimin, waktu shalat Dluha dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke Barat. Al-Lajnah ad-Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dluha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Sedangkan, yang utama dalam mengerjakan shalat Dluha adalah di akhir waktu, yaitu keadaan yang semakin panas. Adapun dalil tentang hal ini adalah sebagai berikut:
Dari Zaid bin Arqam, bahwa ia me-lihat orang-orang mengerjakan shalat Dluha (pada waktu yang belum begitu siang), maka ia berkata: “mereka mungkin tidak mengetahui bahwa shalat Dluha pada selain saat-saat seperti itu adalah EDISI 10/2013
39
lebih utama, karena sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (al-Awwabin) adalah pada waktu anakanak unta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari” [HR. Muslim]. Hadits tersebut menjelaskan bahwa waktu paling afdhal untuk shalat Dluha adalah ketika matahari mulai meninggi, dimana anak-anak unta terbangun karena panas matahari (sekitar pukul 08:00 atau 09:00 WIB). Meskipun demikian, shalat Dluha boleh pula dilaksanakan setelah matahari terbit hingga menjelang matahari bergeser ke barat (zawal), sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi dan para ulama Syafi’iyah. 2. Jumlah Raka’at Shalat Dluha Jika dirunut berdasarkan pendapat yang paling kuat, maka jumlah minimal raka’at shalat Dluha adalah 2 raka’at, sedangkan jumlah maksimalnya adalah tanpa batas. Adapun dalil-dalil yang mendasari hal ini adalah sebagai berikut: a. Shalat Dluha dikerjakan sebanyak 2 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah, sebagaimana telah disebutkan pada edisi ke-9. b. Shalat Dluha dikerjakan sebanyak 4 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Imam Adu Dawud dan Imam Ahmad, dari Abu Dzar, sebagaimana telah disebutkan pada edisi ke-9. c. Shalat dluha dikerjakan sebanyak 6 raka’at, berdasarkan hadits berikut: 40
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
“Dari Anas bin Malik, “Sungguh Nabi SAW telah melaksanakan shalat Dluha sebanyak 6 raka’at” [HR. at-Turmudzi]. Syaikh al-Bani berkata bahwa hadits ini adalah hadits shahih. d. Shalat Dluha dikerjakan sebanyak 8 raka’at, berdasarkan pada hadits:
Ummu Hani’ binti Abi Thalib telah bercerita, bahwa ketika tahun Penaklukan Kota Makkah dia mendatangi Rasulullah SAW, beliau sedang berada di dataran teratas kota Makkah, Nabi sedang mandi, lalu Fathimah menutupinya, kemudian beliau mengambil bajunya, lalu memakainya, kemudian shalat 8 raka’at pada waktu Dluha” [HR. Bukhari dan Muslim]. Dalam riwayat lain disebutkan:
Umu Hani’ berkata: “Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahku lalu Beliau
mengerjakan shalat Dluha 8 raka’at” [HR. Ibn Hibban]. Syaikh al-Bani menyebut hadits ini shahih li ghairih. e. Shalat Dluha dikerjakan dengan jumlah raka’at sesuai keinginan, berdasarkan hadits:
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dluha empat raka’at, dan adakalanya menambah sesukanya”. [HR. Muslim]. Dalam Syarah at-Tirmidzi, al-‘Iraqi mengatakan: “Aku tidak melihat seseorang dari kalangan Sahabat maupun Tabi’in yang membatasi jumlah shalat Dluha pada 12 raka’at. Demikian juga pendapat Imam as-Suyuti, dari Ibrahim an-Nakha’i, bahwa seseorang bertanya kepada Aswad bin Yazid, “Berapa raka’at aku harus shalat Dluha?” Ia menjawab: “terserah kamu”. [Fiqh as-Sunnah, jilid 1, hlm. 251, terbitan Dar al-Fath li al-‘Ilam al-Arabi]. Di dalam Subul as-Salam, Juz 2, hlm. 19, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiah, asSun’ani menyebut: “hadits-hadits yang menyatakan jumlah raka’atnya 12 raka’at tidak ada yang lepas dari cacat”. 3. Pelaksanaan Shalat Dluha a. Jika shalat Dluha dilakukan lebih dari 2 raka’at, hendaklah dikerjakan dengan diakhiri salam pada setiap 2 raka’at. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Shalat di malam dan siang hari adalah dua-dua (raka’at)” [HR. Abu Dawud]. Syaikh al-Bani menyebut hadits ini adalah hadits shahih. b. Shalat Dluha dapat dikerjakan secara berjama’ah, Berdasarkan hadits:
Diriwayatkan Itban bin Malik (salah seorang sahabat Nabi dalam perang Badar dari kalangan Ansar) bahwa dia EDISI 10/2013
41
mendatangi Nabi lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku sekarang tidak percaya kepada mataku (maksudnya: matanya sudah kabur) dan saya menjadi imam kaumku. Jika musim hujan datang maka mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka, sehingga aku tidak bisa ke masjid untuk mengimami mereka, dan aku suka jika engkau, wahai Rasulullah, datang ke rumahku lalu shalat di suatu tempat sehingga bisa kujadikannya sebagai tempat shalatku”. Ia meneruskan, kemudian Nabi bersabda: “Akan kulakukan insya Allah”. Itban berkata lagi: Lalu keesokan harinya Nabi dan Abu Bakar ash-Shiddiq datang ketika matahari mulai naik, lalu Beliau meminta izin masuk, maka aku izinkan. Beliau tidak duduk sehingga masuk rumah, lalu Beliau bersabda: “Mana tempat yang kamu sukai aku shalat di rumahmu?” Ia berkata, maka aku tunjukkan suatu ruangan rumah. Kemudian Nabi SAW berdiri lalu bertakbir, lalu kami pun berdiri (shalat) di belakang Beliau. Beliau shalat dua raka’at kemudian mengucapkan salam”. [Muttafaq Alaih]. c. Pada dasarnya, shalat Dluha, sebagaimana shalat tathawwu’ yang lain, baik gerakan maupun bacaannya, tidak berbeda dengan pelaksanaan shalat wajib. Satu hal yang membedakan hanyalah pada niat seseorang yang harus disesuaikan dengan shalat yang akan dikerjakan. d. Tidak ditemukan hadits-hadits maqbullah yang menjelaskan bahwa da42
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
lam shalat Dluha dituntunkan bacaan khusus dari ayat al-Qur’an atau do’a dan dzikir, baik yang dibaca saat shalat maupun sesudahnya. Bacaan yang dikenal selama ini adalah:
Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu Dluha adalah waktu Dluha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, kekuasaan adalah kekuasaan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Wahai Tuhanku, apabila rizkiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan hak dluha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-Mu, kekuatan-Mu dan kekuasaan-Mu. (Wahai Tuhanku) Datangkanlah kepadaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih”. Do’a di atas disebutkan as-Syarwani dalam kitab Syarah al-Minhaj dan adDimyati dalam kitab I’anatut-Thalibin. Meskipun demikian, menurut penelitian para ulama, tidak dijumpai satu pun
hadits (sekalipun hadits lemah) yang dapat dijadikan sebagai rujukan terhadap do’a tersebut. Dalam kitab Al-Islam, Su’alun wa Jawabun, Syaikh Muhammad Shalih alMunjid mengatakan, mereka (as-Syarwani dan ad-Dimyati) mengkhususkan bacaan-bacaan yang indah di atas pada ibadah tertentu (shalat Dluha) tanpa berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah. Di dalamnya, mereka menyebut kalimat (dengan hak Dluha-Mu). Padahal, tidak diketahui (ajaran yang menjelaskan) bahwa waktu Dluha memiliki hak dan kebesaran yang dapat dijadikan perantara (wasilah) untuk memohon sesuatu kepada Allah. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa adanya anggapan bahwa do’a di atas sunnah dibaca saat shalat Dluha adalah membuka pintu bid’ah. Itu bukan petunjuk dari para Fuqaha’ terdahulu yang mendalam ilmunya, juga tidak bersumber dari para Shalafus Shalih. Oleh kerena itu, kita semestinya tidak mengamalkannya. Anggapan di atas adalah sebuah kebohongan yang diatasnamakan kepada Nabi Muhammad SAW. [Syaikh Muhammad Shalih al-Munjid, Al-Islam, Su’alun wa Jawabun, IV/ 228]. e. Shalat Dluha dapat dikerjakan di masjid, namun lebih utama di rumah, berdasarkan pada hadits:
orang di rumahnya, kecuali shalat wajib” [HR. Bukhari]. f. Jumhur (mayoritas) ulama, selain dari kalangan Hanabilah, berpendapat bahwa shalat dluha lebih utama dilakukan secara rutin (setiap hari). Hal ini berdasarkan hadits tentang wasiat Nabi SAW kepada Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim di atas. Selain itu, pendapat ini juga didasarkan pada hadits berikut:
Hendaklah kalian melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah shalat sese-
Narasumber utama artikel ini: Zaini Munir Fadholi
Tidak ada yang memelihara shalat Dluha kecuali orang yang kembali kepada Allah. Beliau bersabda: “Dia adalah shalat Awwabin (shalat orangorang yang kembali kepada Allah)” [HR. Ibnu Khuzaimah dan al Hakim]. Syaikh al-Bani menyebut hadits ini hasan. Hadits di atas juga diperkuat oleh hadits berikut ini:
Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinyu, walaupun itu sedikit” [HR. Muslim]. Wallahu a’lam bish-shawab.
EDISI 10/2013
43
Tuntunan Muamalah
Asas dan Etika Bisnis (Bekerja) dalam Islam (Bagian 3) Tulisan ini merupakan naskah terakhir dari dua artikel sebelumnya pada edisi 8 dan 9. Pada edisi 8, membahas tentang Asas Bisnis dalam Islam, yang meliputi asas tauhid, amanah, kejujuran dan keadilan. Pada edisi 9, materi dilanjutkan dengan asas kebolehan, tolong-menolong, kemaslahatan, saling kerelaan dan kesopanan; dan ditambah pembahasan mengenai Etika Bisnis dalam Islam, meliputi: kesamaran, perjudian, penindasan, mengandung unsur riba, dan membahayakan. Pada edisi 10 ini, pembahasan Etika Bisnis dalam Islam dilanjutkan dengan menjelaskan tentang Gharar, at-Ta’assuf, Ihtikar, obyek bisnis bukan sesuatu yang haram, dan tidak boleh mubazzir.
6. Gharar (Penipuan/Kecurangan) Menurut bahasa, al-gharar berarti pertaruhan (al-mukhatharah) dan ketidakjelasan (al-jahalah). Sedangkan, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa semua praktik jual-beli, seperti menjual burung di udara, unta (binatang) yang kabur, dan buah-buahan sebelum tampak buahnya, termasuk jual-beli yang diharamkan oleh Allah SWT. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Di dalam syari’at Islam, jual-beli gharar termasuk salah satu bentuk jualbeli yang terlarang. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: 44
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan lempar kerikil dan jual-beli gharar (spekulasi)”. [HR. Muslim] Sekalipun telah dilarang, tetapi praktik jual-beli gharar masih dapat ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Pertama, seorang penjual menjajakan berbagai bentuk barang dagangan dengan variasi harga dan menyediakan batu kerikil, atau gelang yang terbuat dari rotan atau sejenisnya. Kemudian, seorang pembeli melemparkan kerikil atau gelang tersebut ke arah barang yang diinginkannya. Apabila kerikil yang dilempar mengenai salah satu barang atau gelang tersebut masuk pada barang yang diinginkannya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika kerikil
tersebut tidak mengenai atau gelang yang dilempar tidak masuk pada barang yang diinginkan, maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa, sekalipun harga barang sudah diserahkan kepada penjual. Kedua, menjual tanah atau pekarangan dengan harga tertentu sejauh batas lemparan pembeli. Apabila lemparannya jauh, maka pekarangan yang akan didapatkannya pun luas, dan sebaliknya. Ketiga, jual-beli barang yang belum ada atau belum jelas (ma’dum), misalnya jual-beli janin binatang yang masih dalam rahim induknya (habal al-habalah). Dalam syari’at Islam, larangan jualbeli gharar tentu memiliki banyak hikmah. Di antara hikmah tersebut adalah agar seseorang tidak memakan harta orang lain secara batil. Di dalam Islam, memakan harta orang lain secara batil termasuk perbuatan yang dilarang agama. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan se-bahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [Q.s. al-Baqarah: 188].
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. [Q.s. an-Nisaa’: 29]. Larangan memakan harta orang lain secara batil juga dikuatkan dengan pengharaman perbuatan judi. Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [Q.s. al-Maa’idah: 90] 7. At-Ta’assuf (Penyalahgunaan Hak) Dalam istilah fikih, penyalahgunaan hak (ta’assuf fi isti’mal al-haqq) berarti penggunaan hak secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan EDISI 10/2013
45
orang lain maupun masyarakat umum. Jika difahami secara mendalam, adanya larangan penyalahgunaan hak (at-ta’assuf) ini tidak lepas dari pembicaraan tentang hakikat kepemilikan dalam Islam. Dalam perspektif Islam, kepemilikan harta benda tidak bersifat absolut sebagaimana dianut faham kapitalis, dan juga tidak membenarkan kepemilikan serba negara seperti dianut oleh faham sosialis. Islam mengakui hak individu sebagai amanah Allah SWT, pada saat yang sama juga mengakui bahwa pada kepemilikan individu itu terdapat hak orang lain (fakir miskin). Terkait dengan masalah kepemilikan, Islam mengatur tentang dua hal sekaligus, yaitu dari mana sumbernya (halal atau haram) dan untuk apa pendistribusian atau penggunaannya. Oleh sebab itu, sekalipun harta benda merupakan milik seseorang, namun tidak berarti ia dengan leluasa menggunakannya tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan kemudharatan yang mungkin akan dialami oleh masyarakat luas. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
Dari Ubadah bin Shamit, bahwasanya Rasulullah SAW menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]. Di antara beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan hak (ta’assuf) adalah: pertama, penggunaan hak yang dapat 46
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
mengakibatkan pelanggaran hak orang lain. Islam tidak membenarkan seseorang melakukan sesuatu yang dianggapnya sebagai hak asasi dengan mengabaikan dan melanggar hak asasi orang lain. Dalam ungkapan para ulama disebutkan “haqqul mar’i mahjûbun bihaqqi ghairih” (hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. Kedua, penggunaan hak untuk kemaslahatan pribadi tetapi dapat mengakibatkan madharat yang besar terhadap pihak lain serta tidak sesuai tempatnya atau bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Ketiga, penggunaan hak secara ceroboh dan tidak hati-hati. 8. Ihtikar (Monopoli & Konglomerasi) Secara bahasa, ihtikar berarti penimbunan dan kezaliman (aniaya). Secara istilah, para ulama mengemukakan beberapa pengertian. Imam Muhammad bin Ali as-Syaukani mendefinisikan ihtikar sebagai bentuk penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali menyebut ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk dijual pada saat melonjaknya harga barang tersebut. Sedangkan, ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen, baik makanan, pakaian dan segala barang yang dapat merusak pasar. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ihtikar adalah penimbunan barang dalam jumlah banyak yang menyebabkan kelangkaan dan harganya melonjak naik, sehingga mengakibatkan harga pasar menjadi
rusak serta kebutuhan konsumen terganggu. Imam as-Syaukani dalam kitab “Nailul Authar V/338” menjelaskan bahwa penimbunan (ihtikar) yang diharamkan Islam adalah: pertama, menimbun barang kebutuhan manusia dengan tujuan menaikkan harga di pasaran. Kedua, memborong barang kebutuhan pokok dengan cara memonopoli dan menimbunnya sehingga terjadi kelangkaan dan memunculkan kemudharatan bagi banyak orang. Adapun stok barang disimpan di gudang dalam jumlah terbatas sebagaimana dilakukan oleh para pemilik toko, mini market dan swalayan pada umumnya, tidak termasuk kategori penimbunan (ihtikar). Sebab tindakan tersebut hanya dijadikan sebagai persediaan, sehingga tidak sampai mengakibatkan kelangkaan barang dan merusak harga pasar. Hal ini sesuai dengan spirit yang terkandung dalam firman Allah SWT dan sabda Rasulullah sebagai berikut:
Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orangorang kaya saja di antara kamu. Apa yang dibawa Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. [Qs. al-Hasyr: 7].
Dari Yahya, beliau adalah ibn Sa’id, berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab memberitakan bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menimbun barang, maka ia berdosa. [HR. Muslim, Ahmad & Abu Dawud] 9. Obyek Bisnis Bukan Sesuatu yang Haram Islam tidak menganut paham serba boleh, sebagaimana yang diyakini oleh kaum sekuler. Islam tidak pula menganut faham yang serba tidak boleh (haram) sebagaimana keyakinan segelintir orang. Namun, dalam syari’at Islam diatur regulasi tentang persoalan yang halal dan haram. Kehalalan sesuatu bisa disebabkan oleh zat barang itu sendiri yang dihukumi haram, atau karena cara memperolehnya yang dilarang oleh agama. Karena itu, faham Machiavellian, yang menghalalkan EDISI 10/2013
47
segala cara asal tujuan tercapai, sebagaimana dilakukan sebagian orang dalam memperoleh keuntungan materi, merupakan faham yang sangat menyimpang dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. Salah satu etika bisnis dalam Islam yang harus diperhatikan dan dipraktikkan oleh setiap muslim adalah menghindari segala sesuatu yang diharamkan walaupun hal itu menguntungkan secara finansial. Setiap muslim dilarang memperjualbelikan barang yang diharamkan oleh agama, seperti menjual daging babi, minuman keras, dan narkotika. Selain itu, setiap muslim juga haram memakan hasil penjualan barang-barang tersebut. Nabi menjelaskan beberapa contoh barang yang haram untuk diperjualbelikan:
Dari Jabir Ibn Abdullah RA, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda dalam tahun kemenangan, saat beliau di Makkah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
h
Beni ibrida Unggul cap Mutiara Bumi sedia aneka bibit sayuran dan buah-buahan
ALICIA F1
WIRA 89 F1
ketimun hibrida
pare hijau hibrida
JAKA F1
PANJALU F1
gambas hibrida
terong ungu hibrida
DIMAS F1
KIYO F1
cabe besar hibrida
cabe kriting hibrida
VARIO F1 - CALISTA F1 PURBAYA F1 - AMANDA NAYA F1 - GEMILANG F1 ANDALAS - GELORA PEPAYA CALIFORNIA
TERSEDIA JUGA: tomat sayur - tomat rampai tomat belimbing - pepaya - semangka - melon cabe rawit - bayam - kacang panjang - buncis jagung manis - kangkung darat - terong lalap - dll.
Hubungi:
RENCANG TANI 0812.7369.7685 sms / telpon oke
48
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, babi dan berhala”. Kemudian ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan untuk penerangan”. Beliau bersabda: “Tidak, ia haram”. Kemudian beliau bersabda: “Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sebab ketika Allah mengharamkan lemak itu, mereka malah mencairkannya, lau menjualnya dan makan hasil penjualannya”. [HR. al-Jama’ah].
Dari Ibnu Abbas, Nabi SAW bersabda: “Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena telah diharamkan kepada mereka lemak (bangkai) tapi mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan suatu kaum memakan sesuatu, haram pula hasil penjualannya”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]. 10. Tidak Boleh Mubazzir Salah satu persoalan yang sangat dimurkai oleh agama adalah sikap berlebihan dalam menggunakan sesuatu hingga melampui batas yang diperbolehkan oleh syari’at Islam. Dalam terminologi agama, persoalan itu disebut tabzir atau mubazzir. Bahkan orang yang melakukan
tindakan mubazzir dianggap sebagai saudaranya setan. Penyerupaan manusia yang melakukan tindakan mubazzir sebagai saudara setan tentu memiliki makna penghinaan dan larangan yang sangat keras. Karena itulah, setiap muslim harus menghindari tindakan tersebut. Allah SWT menjelaskan:
Dan berikanlah kepada keluargakeluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. [Qs. al-Israa’: 26-27]. Salah satu makna dan tindakan tabzir dalam perilaku bisnis adalah menimbun kekayaan dan keuntungan secara berlebihan (dengan tidak wajar), sehingga ia hidup dalam bergelimang harta namun keluarga dekat, tetangga dan orang yang seharusnya mendapatkan santunannya diabaikan dan hidup dalam kekurangan. Sikap semacam ini, selain merupakan tindakan berlebihan (tabzir), juga merupakan tindakan zalim, rakus, pelit, kufur nikmat dan beberapa bentuk perilaku (akhlak) yang dilarang oleh agama. Wallahu A’lam bis Shawab. [habis] Narasumber utama artikel ini: Ruslan Fariadi EDISI 10/2013
49
Syarah Hadits
KEDUDUKAN NIAT DAN AMAL Innamal A’malu Bin-niyat
Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata; bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id Al Anshari berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi; bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab di atas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” Takhrij Hadits tersebut diriwayatkan dari Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair oleh Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab “Permulaan Wahyu”, Bab “Permulaan Wahyu”, hadits pert ama. Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab. Kualitas hadits ini shahih.
50
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Mufrodat Makna “Innama” ( ) Jika merujuk ulama besar Mazhab Syafii dan Maliki, Muhammad bin Ali Wahbin atau yang dikenal sebagai Ibnu Daqiq Al ‘Ied, kata “innama” mempunyai makna pembatasan (al-hashru) sebagaimana telah tetap dalam ushul. Pembatasan tersebut terkadang secara mutlak dan terkadang khusus, hal itu
dapat difahami sesuai dengan konteks dan redaksinya. Adapun pembatasan khusus seperti firman Allah [ innama anta mundzir – sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan – QS Ar Ra’d: 7] atau “innama anta mudzakkir” [QS Al Ghasiyah 21– sesungguhnya engkau hanyalah orang yang memberi peringatan]. Ayat-ayat tersebut secara tersurat menunjukkan pembatasan tugas Rasul sebagai pemberi peringatan saja, padahal beliau mempunyai sifat-sifat lain yang terpuji seperti pemberi kabar gembira, pembaik akhlak manusia dan lain-lain. Sedangkan dalam hadits di atas, pembatasan itu bermakna secara mutlak. Artinya, innama di situ berarti “tidak ada secara mutlak, kecuali”. Makna “al-A’mal” ( ) Ini adalah bentuk jama’ dari amal. Yang dimaksud dengan amal disini ialah amalan badan dan lisan. Kalau demikian, bagaimana dengan amalan hati? Ada penjelasan dariAl Hafidz Ibnu Hajar yang mencerahkan, yakni: “Adapun amalan hati seperti niat maka tidak masuk ke dalam hadits ini agar tidak terjadi tasalsul (berantai)“. Maksud beliau adalah bahwa amalan hati tidak membutuhkan niat. Contohnya adalah niat. Ia adalah amalan hati. Tidak membutuhkan niat untuk berniat. Soalnya, jika tidak demikian, niscaya akan terjadi rantai niat yang sangat panjang yang tak ada ujungnya. Di antara contoh amalan hati adalah cinta, benci, tawakkal, takut, beriman atau lainnya.”
Makna “Bin-niyat” ( ) Huruf ba disini mempunyai makna al mushahabah (menemani) sehingga menunjukkan bahwa niat itu bagian dari amalan itu sendiri dan disyaratkan tidak boleh terlambat di awalnya. Mungkin juga mempunyai makna sababiyah (sebab) yaitu penegak amalan seakan-akan ia adalah menjadi sebab terjadinya amalan tersebut. Alif lam pada kata “an-niyat” bertugas sebagai pengganti dlamir (kata ganti) sehingga lengkapnya begini [amal itu sesuai niatnya]. Ini menunjukkan keharusan menentukan niat, seperti berniat untuk shalat atau bukan, wajib atau sunnah, shalat dzuhur atau ashar, qashar atau sempurna dan lain sebagainya. Lalu apakah harus berniat dengan jumlah raka’atnya? Dalil yang shahih tidak harus, tetapi cukup menentukan ibadah yang akan ia lakukan saja. Contohnya orang yang sedang safar (bepergian) cukup ia menentukan niat shalat qashar saja, tidak perlu menyebutkan jumlah raka’atnya karena itu adalah konsekuensi qashar. Makna “hijrah” ( ) Artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah ke selain itu. Merunut sejarah Islam, hijrah adalah meninggalkan negeri kafir (yang membuat dakwah tidak efektif) untuk menuju negeri yang lebih damai dan kondusif untuk pengembangan Islam. Dalam hadits ini, yang dimaksud hijrah adalah perjalanan panjang kaum muslimin dari Mekkah ke Madinah. Konsekuensi makna Kita dapat mengambil kesimpulan EDISI 10/2013
51
bahwa sanad hadits ahad ini adalah hujjah dalam aqidah. Sebab, niat adalah perbuatan hati yang merupakan tempat yang menentukan apakah aqidah seseorang itu bersih dari noda atau tidak. Niat adalah motif di balik suatu perbuatan, yang pangkalnya berada dalam hati –sama sekali bukan di lidah. Konsekuensi lanjut dari pemahaman terhadap hal ini adalah bahwa tidak perlu atau tidak penting niat itu dilisankan secara rapi-jali. Sebab, pelisanan atau pelafalan itu adalah pekerjaan lisan, yang bisa jadi tidak bersesuaian dengan niat hati yang sesungguhnya. Bisa jadi lisan mengucapkan “saya melakukan ini karena Allah”, tapi sesungguhnya yang menjadi motif adalah mencari pujian manusia. Di sinilah kita menemukan relevansinya dalam tindakan sehari-hari. Contohnya, dai yang memberi pengajian menyatakan bahwa dia “membina umat”, namun dalam hatinya dia sesungguhnya mengincar ‘amplop’ yang akan diterimanya. Atau, seseorang yang memberi sumbangan menyatakan ungkapan seperti itu juga, namun maksudnya adalah ‘beriklan’ untuk bisnisnya. Dalam kasus itu keduanya tidak beda dengan si “muhajir Ummu Qais” (lihat boks). Itulah sebabnya niat ibadah tidak diseyogyakan untuk dibuat dengan redaksional tertentu yang kemudian dihapal dan dilisankan, karena hal itu membuat terlena dengan membikin orang merasa cukup dengan itu belaka. Misalnya, “aku berniat shalat hanya karena Allah” – padahal motivasi shalatnya itu adalah supaya dilihat seseorang. Ikrar niat 52
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
seperti itu tidak lain hanyalah sebentuk ‘nina bobo’ dalam ibadah, yang faedahnya diragukan. Memang ada ulama yang memandang niat yang dilisankan itu berfaedah juga. Misalnya untuk membantu ketetapan hati. Namun, jika ini diikuti, maka akan bertentangan dengan tuntunan dan contoh yang diberikan Nabi Muhammad SAW. Beliau sama sekali tidak pernah menta’yin-kan (mengucapkan lafal) tentang niat seperti yang sering kita temukan dewasa ini. Sehingga, melakukan hal itu menyebabkan orang mudah terjebak di dalam bencana bid’ah (menambahnambah sesuatu dalam ibadah). Syarah Hadits ini, ditilik dari rawinya, merupakan hadits ahad gharib mutlak, karena ia hanya mempunyai satu sanad saja. Yakni tidak ada yang meriwayatkan dari kalangan shahabat kecuali Umar bin Al-Khaththab; dan tidak ada yang meriwayatkan dari Umar kecualiAlqamah bin Waqqaash Al-Laitsi; dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimi dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari – dan dari beliau banyak ulama yang kemudian meriwayatkannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullahberkata :”Telah mutawatir dari para imam mengenai keagungan hadits ini.” Dikabarkan oleh beberapa sumber bahwa Abu Abdillah, berkomentar: “Tidak ada pada hadits hadits Nabi SAW yang lebih banyak dan kaya akan faedah
dari hadits ini.” Abu Abdilah merupakan nama kuniyah atau nick name dari dua ulama yang sama-sama sangat berkompeten: Anas bin Malik dan Ahmad bin Hambal. Siapa pun dari keduanya yang berpendapat demikian, sudah tegas memperlihatkan kualifikasi hadits tersebut. Para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Abu Dawud, AtTirmidzi, Ad Daraquthni, dan Hamzah AlKinani juga sepakat bahwa hadits ini adalah “sepertiganya Islam”. Uraian istilah tersebut kita dapat dari Al Baihaqi. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sepertiga ilmu – kadang disebut juga “sepertiganya berIslam”–, yaitu bahwa perbuatan hamba terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sedangkan niat adalah wujud dari salah satu dari tiga anggota tadi, yakni
hati, yang bahkan pemberi andil yang paling kuat. Niat terkadang menjadi sebuah ibadah tersendiri dan yang lainnya sangat butuh kepadanya, sehingga dikatakan bahwa niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya. Karena niat merupakan satu dari tiga kiprah manusia, maka hadits tentang niat disebut sebagai “sepertiga ilmu”. Dalam ungkapan Hasbi Ash-Shiddiqy, hadits itu memberi pengertian yang konkretbahwa: “Segala amal mengikuti penggeraknya yang menggerakkan pembuatnya. Kalau penggeraknya karena Allah, maka berpahala dan dibalasi karunia. Kalau penggeraknya bukan karena Allah, tidaklah diganjar dengan pahala, namun mungkin malah dibalasi sebagai dosa.” Tim Redaksi Bahan dari pelbagai sumber
UMAR DI ATAS MIMBAR
H
adist di atas —tepatnya penggalan awalnya— sangatlah mashur di kalangan umat Islam: “innamal a’malu binniyat”. Fakta bahwa Imam Bukhari memuatnya sebagai hadits pertama dalam Shahih-nya; dan kemudian Imam Nawawi juga memuatnya sebagai hadits pertama dalam Arba’ain-nya, sudah membuktikan itu. Masuk akal juga mengingat niat adalah prasyarat diterima-tidaknya suatu amal perbuatan di hadapan Allah. Namun menariknya, yang menyata-
kan bahwa Umar bin Khaththab menyampaikan itu dari atas mimbar adalah dua jalur hadits yang salah satunya dari Sufyan yang mendengar dari Yahya bin Said. Jalur yang lain lagi, yang menyatakan Umar berpidato, dengan redaksional yang berbeda termaktub dalam Shahih Muslim, disampaikan oleh Abu Nu’man alias Muhammad bin Al Fadhal dari Hammad bin Zaid. Hadits yang redaksinya persis seperti itu sampai kepada kita dari 8 (delapan) jalur muttafaq alaih (Bukhari-Muslim). EDISI 10/2013
53
Bukhari meriwayatkan 3 (tiga) jalur, salah satunya dari Sufyan tadi. Sementara itu Muslim meriwayatkan 5 (lima) jalur, salah satunya juga dari Sufyan dengan matan sedikit berbeda. Mengapa lima jalur lain yang bukan dari Sufyan kok tidak menjelaskan bahwa Sahabat Umar menyampaikannya dari atas mimbar? Ada misteri tentang masalah ini. Sufyan bin ‘Uyainah itu orang yang kredibel; dan dia lah yang menyatakan Umar bin Khaththab menyampaikannya dari atas mimbar. Sementara kita tidak (atau belum) mendapati riwayat dari jalur lain selain dari Alqamah yang menyatakan demikian. Pembahasan tentang itu bisa panjang lebar – kiranya pas dalam kajian musthalah hadits. Namun yang jelas: tidak ada keraguan terhadap kualitas hadits di atas. Terlebih penjelasan “dari atas mimbar” seperti uraian dari jalur Sufyan itu juga didukung oleh hadits Abu Nu’man dari Hammad bin Zaid yang pada gilirannya juga mendengar itu dari Yahya bin Said dari Alqamah. Sufyan sendiri bukanlah orang sembarangan. Dia adalah tabiit-tabi’in kalangan menengah yang nama lengkapnya Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imran Maimun. Dia juga dikenal dengan kuniyah atau nick name Abu Muhammad. Dia seorang hafidz (penghafal Al Quran) yang jempolan, yang karena kompetensinya sangat dipercaya dalam penyampaian hadits. Para imam hadits sangat mempercayai pribadinya. Delapan dari Sembilan Imam Hadits yang di zaman kita disebut 54
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
“memiliki ingatan fotografis” (yakni mengingat sesuatu seperti melihat foto) meriwayatkan ratusan hadits melalui Sufyan bin’Uyainah ini. Dari ke-9 imam hadits hanya Imam Malik saja yang tidak memiliki hadits yang jalurnya melalui Sufyan. Mari kita cermati jumlah hadits yang disampaikan para imam besar melalui Sufyan bin ‘Uyainah berikut: Imam Bukhari meriwayatkan 416 hadits melalui Sufyan. Lalu Imam Muslim lebih banyak lagi, yakni 459 hadits. Berikutnya adalah Nasa’i 391; Ibnu Majah 298; Turmudzi 279; Abu Daud 212; dan Ad Darimi 129. Toh yang melebihi para imam itu semua adalah Imam Ahmad, yakni 821 hadits yang periwayatannya melewati hafidzul qur’an yang wafat pada tahun 198 H itu. Silsilah hadits yang menyebut bahwa Umar menyampaikannya “dari atas mimbar”, tentu berlaku juga menyangkut Abu Nu’man. Berbeda dengan Sufyan bin Uyainah (yang berasal dari kalangan menengah), Muhammad bin Al Fadhal yang panggilan karibnya Abu Nu’man itu berasal dari kalangan biasa. Dia menyampaikan tidak kurang dari 102 hadits yang diterima Imam Bukhari; sementara Imam Muslim menerima 9 (sembilan) hadist darinya. Semua itu menjelaskan betapa hadits innamal a’malu binniyat itu sungguhlah mashur di jalur belakang periwayatan. Imam Nawawi, penyusun Hadits Arbain, yakni kumpulan 40-an hadits penting, menyebut bahwa hadits niat itu diriwayatkan oleh tidak kurang dari 200 jalur berbeda.
BUKAN
ilustrasi//millerworlds.blogspot.com
DISEBABKAN ‘MUHAJIR UMMU QAIS’
S
ebagian orang ytakin bahwa sebab terjadinya hadits tentang niat yang kita bahas ini berangkat dari secuil kisah cinta. Konon di Mekkah ada seorang perempuan muslim jelita yang dikenal dengan nama Ummu Qais. ‘Kumbangkumbang’ pun mengincarnya. Namun Ummu Qais termasuk mereka yang akan berhijrah ke Yastrib. Nah, ‘kumbang’ yang mengincarnya tentu harus pula hijrah jika menginginkan Ummu Qais. Sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu menjelaskan hal itu secara tidak langsung. Ia berkata: “Barang siapa yang berhijrah karena mengharapkan sesuatu, maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya tersebut “. Yang lebih jelas adalah riwayat AthThabrani. Beliau meriwayatkan dari AlA’masy dengan lafadz : “ Di antara kami ada seorang lelaki yang melamar seorang wanita namanya Ummu Qais, akan tetapi wanita itu enggan untuk menerimanya sampai ia berhijrah. Lalu laki-laki itu berhijrah dan menikahinya. Maka kami menyebutnya ‘muhajir Ummu Qais’“. Lalu, beredarlah sebutan “Muhajir
Ummu Qais” atau “Penghijrah karena Ummu Qais”, yang nadanya bisa romantris, tapi bisa juga rada meledek. Kisah romantis seperti itu dipercayai sebagian orang sebagai awal sebab terbitnya hadits itu. Ibnu Daqiq, Ibnu Taimiyah dan As-Sayuthi mempercayai itu. Namun Ibnu Rajab dan Ibnu hajar tidak yakin demikian halnya. Al Hafidz Ibnu Hajar mengomentari: “Memang sih sanadnya (kisah itu) shahih sesuai dengan syarat Syaikhain (Bukhari-Muslim). Akan tetapi tidak menunjukkan bahwa hadits niat terjadi karena sebab itu. Saya pun belum pernah melihat pada jalan-jalan riwayat tadi yang menegaskan hal itu.” Walhasil, kisah di balik hadits tentang niat itu ternyata juga tidak kalah menariknya – bahkan sampai kini. EDISI 10/2013
55
Suplemen DINAMIKA
Pengajian Kecil-Lestari di Blunyahan, Bantul usun Blunyahan letaknya 8 (delapan) kilometer arah selatan Kraton Yogya karta. Di situ terdapat “pengajian lestari” dengan kepengurusan yang dimotori seorang ibu, yang sehari-harinya mengajar disebuah taman kanak-kanak setempat. Ibu itu bernama Hj. Rusiyah, S.Pd. Ada dua atau tiga jenis pengajianberbeda yang dikelolanya, yakni Pengajian Sholikhah, yang kemudian mengasuh juga Pengajian taman Pendidikan Al Quran (TPA) Nurul Huda; juga Pengajian Istiqamah untuk umum,dan forum pengajian ustadz-ustadzah remaja yang tidak atau belum diberi nama. Tempat pengajiannya di ruang depan rumah milik keluarga Sukardi-Rusiyah, yang berputera dua orang yang sudah dewasa. Di
ruang depan berukuran 40-an meter persegi itu tiap Selasa dan Kamis malam, mulai pukul 17 berlangsung pelajaran baca-tulis Al Quran yang sudah berlangsung hampir 12 tahun. Di situ juga dipergunakan warga untuk shalat berjamaah tiap Shubuh, Magrib dan Isya. Praktis, rumah itulah mushalla bagi RT 47 Dusun Blunyahan. Tiap Selasa malam, yang hadir mengaji adalah ibu-ibu dan bapak-bapak usia diatas 40-80 tahun sebanyak20-40 orang. Mereka duduk di atas tikar plastik atau mendong, menghadap meja pendek tempat Iqra dan Al Quran digelar, berhadapan dengan pemandu masing-masing. Sebagian di antaranya belajar Iqra jilid 1-6, yang lainnya membaca Al Quran. Pengajian untuk kaum sepuh itu disebut Pengajian Sholikhah.
Di sekitar kita mungkin ada pengajian yang sudah berlangsung lama. Cukup panjang umurnya tapi keberadaannya itu kurang dihargai. Contoh komentar seperti ini mungkin pernah terlontar: “Pengajiannya sudah berlangsung lama, tetapi kok tidak ada perkembangan yang berarti.” Penilaian demikian bisa jadi terburu-buru, atau malah gegabah. Mengapa? Karena yang dijadikan ukuran adalah “perubahan”, kalau bukan “kebesaran”. Di lain pihak, ia mengabaikan aspek-aspek lain seperti penghayatan agama, penanaman nilai-nilai, kebutuhan akan silaturahmi dan kedekatan dengan sesama orang beriman.
Karena pertimbangan bahwa pengajian ‘kecil’ itu memiliki kemuliaannya sendiri, maka Berkala Tuntunan Islam memberi perhatian kepada pengajian-pengajian kecil yang lestari, berumur relatif panjang, mungkin dikelola secara ‘amatir’, tetapi sabar, setia dan penuh dedikasi, yang dilaksanakan di pelosok atau ranting-ranting Persyarikatan. Jika di wilayah Anda terdapat pengajian demikian, jangan sungkan-sungkan untuk berbagi cerita tentangnya. Anda dapat menulisnya sendiri, atau mengirim bahanbahan kepada Redaksi. Insya Allah, hal itu akan menjadi pembelajaran yang bermanfaat bagi kita semua.
D
56
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Hj. Rusiyah, S.Pd.
“Kalau menurut ‘buku induk’-nya, yang mengikuti Pengajian Sholikha itu ada 70-an orang,” tutur Bu Rus kepada BTI di TK LKMD Kaliputih Pendowoharjo, tempatnya mengajar. Ustadz-ustadzahnya sudah belasan orang yang alumni pengajian itu, yang kemudian menyebar. Mereka yang memandu itu dulunya juga belajar di situ pula, diajari oleh alumnus sebelumnya, begitu seterusnya secara berurutan. Sementara yang paling awal, ada 13 orang termasuk di dalamnya adalah Bu Rus sendiri, belajar dari ustadzah yang didatangkan dari TPA lain di luar Kecamatan Sewon. Pada hari Selasa malam, di ruangan itu pula berlangsung pengajian lain. Dihadirkan ustadzah atau ustadz yang berbeda-beda, tergantung situasi, itulah Pengajian Istiqamah. Dewasa ini, yang didaulat menjadi ustadzah tetap adalah Ibu Mahmudiyah Firdiani, seorang aktivis pemberdayaan perempuan di DIY, yang tinggal di Dusun Dira, tak sampai satu kilometer arah selatan Blunyahan. Dari Blunyahan sendiri ada ustadz tetap juga, Ustadz Robi Cahyono. Pengajian ini membahas tema-tema bebas dalam ceramahnya, tetapi umumnya yang aktual atau bersinggungan langsung dengan praktik hidup sehari-hari, yang dikembangkan melalui dialog timbal-balik.
Apa istimewanya? Pengajian itu dikelola oleh tim 15-an orang, dengan ketua pelaksananya Bu Rus sendiri, yang sepertinya selalu membangun ‘mimpi-mimpi’ yang berkelanjutan. Semula dia mengidamkan tersebarnya kemampuan bacatulis Al Quran di kalangan warga sepuh – hal itu sudah terwujud, insya Allah. Nyatanya selama 4-5 tahun berjalan, kampung tetangga kemudian mengembangkan kelompok pengajian yang dibangun oleh kader-kader dari Pengajian Sholikhah pula. Kini, RT tetangga yang lain lagi juga membangun mushalla yang –langsung atau tak langsung– terilhami oleh terorganisasinya jamaah Pengajian Sholikhah. Sementara itu TPA di tingkat dusun, yang semula surut peminat, kini mekar kembali setelah dipindah ke rumah keluarga Bu Rus itu. TPA ini diberi nama “Nurul Huda”, sesuai dengan nama masjid milik Dusun Blunyahan. “Terus terang, saya kali ini memimpikan terbangunnya perpustakaan untuk para santri, jamaah pengajian, dan warga sekitar sini,” ujar Bu Rus menerawang. Kepengurusan pengajian itu memang sudah membuat pelbagai terobosan untuk membuat betah para santri. “Kita dulu biasanya mengadakan pengajian akbar untuk menandai khataman,” ujarnya. “Tentu dengan mengundang mubaligh yang baik, karena kita juga mengundang Muspika dan pamong desa.” Pada saatsaat seperti itu yang hadir bisa tumpah-ruah di jalan-jalan sekitar rumah Bu Rus. Bertahuntahun pengajian akbar di Blunyahan itu selalu seperti pasar malam. “Beberapa kali kita menggandeng sponsor untuk memeriahkan acara,” ujar Bu Panut (54), salah seorang peserta pengajian angkatan tahun pertama. Sponsor? Ya, mereka lah yang membuat panggung, mengisi acara yang disepakati oleh pengurus, menyediakan pelbagai hadiah dan door prize untuk pengunjung — ringkasnya sebagai EO (event organizer). Sebagai sponsor mereka akan memasang umbul-umbul dan spanduk di sekitar lokasi acara. Tentu saja pengurus mencermati etika promosi dan akhlaq mu’amalah dalam kerjasama semacam itu. Sponsor yang pernah EDISI 10/2013
57
diundang adalah perusahaan nasional susu bubuk, produsen obat sakit kepala, produsen obat batuk. Kiranya tidak banyak terjadi khataman Al Quran dimeriahkan dengan pengajian, tadarus bersama, gerak dan lagu anak-anak, tapi didukung oleh sponsor perusahaan besar. Mengapa terobosan dilakukan? Bu Rus menjelaskan secara sederhana konsep yang dikenal sebagai menggembirakan orang beragama dan belajar agama. “Dengan cara itu ibu-ibu, bapak-bapak sepuh dan anak-anak yang akan mengkhatamkan Al Quran menjadi lebih bersemangat,” tutur Pak Panut (60), yang tidak lain adalah Rois/Modin Blunyahan. “Paling tidak ada tambahan motivasi, karena sungguh sulit menetapkan target pelajaran bagi orang-orang yang sudah berumur itu.” Ibu Ngati (45) dan Bu Parinem (55), santri Pengajian Sholikhah, mengiyakan, “Kami para orang-orang tua ini otaknya sudah tidak encer lagi. Pelajaran yang diterima mudah sekali terlupakan.” Nah, dengan dicanangkannya pengajian akbar pada bulan tertentu membuat ibu-bapak sepuh itu memacu diri begitu rupa. Jika perlu, di rumah pun minta diajari anak atau cucucucu yang mengajinya sudah lebih maju. Walhasil, target khatam Al Quran pada bulan tertentu menjadi lebih mudah dicapai. Toh terobosan sederhana yang lain lagi juga dilakukan Pengajian Sholikhah-Istiqamah itu. Yakni, berombongan dengan dua-tiga bis bertandang ke masjid besar di Yogya atau di kota lain, misalnya ke Masjid Agung Semarang, ke Taman Kyai Langgeng, ke Pantai Depok. Semua itusemata-mata untuk menggenapkan silaturahmi dan menggembirakan jamaah yang memang “orang-orang biasa” itu. Sekali waktu panitia mengajak puluhan jamaah ke Masjid Kampus Universitas Gadjahmada, yang jaraknya hanya sekitar 15 kilometer. Di sana ibu-ibu dan bapak-bapak santri pengajian itu diajak shalat dhuha di masjid di kawasan Bulaksumur itu. Shalat dhuha di masjid-masjid di rantauan itu memang selalu dilakukan. Tapi di Bulaksumur mereka memperoleh pengalaman mengesankan: ikut menjadi 58
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
saksi Pak Amien Rais, Bapak Reformasi dan mantan Ketua PP Muhammadiyah itu, mensyahadatkan beberapa orang yang memperoleh hidayah masuk Islam. Bahkan, menggembirakan orang ber-Islam itu juga ditempuh oleh Bu Rus dan kawankawan dengan mengajak para santri sepuh hadir di arena Muktamar Muhammadiyah Seabad tahun 2010 itu. “Banyak yang tercengang melihat perhelatan Muhammadiyah,” tutur ibu paruh baya berputra dua itu. “Banyak pula yang saat itu baru tahu tentang pengertian muktamar.” Kali lain ibu-ibu dan bapak-bapak itu diajak bertandang ke acara Pangkur Jenggleng, suatu acara penyuluhan nilai-nilai kehidupan dengan pendekatan guyonan Mataraman, di TVRI Yogyakarta. Liputan stasiun televisi swasta terhadap kelompok pengajian itu, yang sudah ketiga kalinya dilakukan RB-TV hingga kini, ikut memengaruhi minat dan perhatian jamaah. Sudah tentu untuk bepergian jauh, seperti ke Depok, Semarang, atau Magelang itu, diperlukan perencanaan matang mengangkut transportasi dan akomodasi perjalanan yang bisa sampai sehari-semalam. Selain ongkosnya ditanggung dengan iuran bersama, ada pula penyumbang dana yang digali sendiri oleh panitia. Itu pula yang kini dibicarakan, sebelum dua-tiga bulan lagi para santri-sepuh diajak bertandang ke Masjid Agung Purworejo. Langkah-langkah sederhana itu kian membuat betah orang-orang dan kanak-kanak belajar mengaji. Program lain Masih untuk membuat betah jamaah, sebagaimana diceritakan Ibu Mahmudiyah, ustadzah di Pengajian Istiqamah itu, setiap usai mengaji selalu disediakan makan malam hangat yang bercitarasa. Menunya biasanya adalah nasi soto, yang dimasak oleh Bu Rus sendiri. Sehingga tiap pekan keluarga kecil – yang sepenuhnya mendukung prakarsa Bu Rus itu– selalu menjamu makan malam untuk sedikitnya 25-an orang. Kalau untuk anakanak TPA biasanya cukup kudapan ringan dan minuman.
Selama Ramadhan pengajian di rumah Bu Rus pun intensitasnya semakin tinggi. Buka puasa bersama tiap hari, dilanjutkan dengan shalat tarawih dan mengaji. “Kita semua senang kalau bulan Ramadhan,” ujar Bu Rus. “Khatamnya ibu-ibu dan bapak-bapak itu bisa cepat sekali.” Rupanya, semua upaya itu menghasilkan semacam rasa betahatau omah (dalam bahasa Jawa), atau sejenis perasaan karib berada di lingkungan yang menggembirakan orang beragama. Bu Rus dan kawan-kawan bahumembahu mengkondisikan semua itu dengan gembira. Terbukti, pada saat BTI menemui Bu Rus, di hadapannya ada corat-coret yang menunjukkan kesediaan para pengurus untuk menyumbang kebutuhan akomodasi kunjungan ke Purworejo nanti. Rasa kerasan seperti itu tentu bukan sesuatu yang mudah diperoleh atau ditumbuhkan. Bahkan kalau pun meniru apa yang dilakukan dalam pengelolaan Pengajian Sholikhah juga tidak semudah membalik telapak tangan. Itulah sebabnya sejumlah tokoh masyarakat tertarik untuk menengok pengajian itu. Lurah, Camat, beberapa Kepala Dinas pun pernah bertamu — dan memberi tausiyah di Pengajian Sholikhah. Beberapa waktu lalu Wakil Bupati Bantul, Sumarno, juga hadir untuk memberi tausiyah di Pengajian Sholikhah, yang lokasinya masuk ke jalan kecil di pelosok Dusun Blunyahan itu. Bulan depan Bupati Bantul, Ibu Sri Surya Widati, bahkan sudah memberi jadwal kesediaan untuk hadir bersilaturahmi dengan jamaah pengajian di pelosok dusun itu. Seperti yang sudah berlangsung sebelumsebelumnya, acara-acara seperti itu lalu menjadi “hajat orang satu dusun”. Sebab, keberadaan pengajian itu sepenuhnya sudah memperoleh dukungan dari warga dan tokohtokoh masyarakat setempat, termasuk Kepala Dusun dan Rois-Modin setempat yang resmi menjadi pengurus. Pada gilirannya, kehadiran tokoh-tokoh ‘besar’ seperti Kapolsek, Danramil, Lurah, Camat dan Bupati seperti itu ganti menumbuhkan dampak tambahan semangat bagi peserta pengajian, pengelolanya dan warga sekitar.
Setelah ini bagaimana Tanggal 18 Mei 2013 Pengajian Sholikhah akan berumur 12 tahun samsiyah. Milad itu akan diperingati dengan kunjungan ke masjid bersejarah atau penting; kali ini ke Purwokerto. Jika dirinci, forum pengajian itu sudah pula memiliki asesoris jatidiri seperti tas jinjing sederhana; memiliki empat perangkat pakaian seragam; punya kas pengajian —yang diakui tidak terlalu besar jumlahnya—; punya pendelegasian tugas di antara sesama pengurus dan jamaah; punya mekanisme reward bagi santri yang berprestasi; memiliki relawan sejumlah ustadzustadzah; punya jaringan ke sejumlah sumberdaya lain di luar dusun bahkan lembaga lain. Namun, sosok Bu Rus memang masih menjadi ‘motor’ yang mungkin belum tergantikan. Sosok bersahaja dengan ketekunan yang sudah teruji hingga kini. Diperlukan suatu mekanisme kaderisasi tertentu agar pengajian itu tetap lestari. Jika pengelolaan pengajian di sini sudah “tepat cara, tepat langkah” dan bisa dijadikan pembelajaran bagi pengajian lain mana pun, maka Pengajian Sholikhah kiranya perlu juga belajar dari tempat lain. Yakni khususnya bagaimana meneruskan kaderisasi dan estafeta majelis yang mulia itu di masa yang akan datang. FARID B. SISWANTORO EDISI 10/2013
59