The fundamental problem of Islamic jurisprudence (usul al-fiqh) is its focus of attention which tends to emphasize a law in book than law in action. In history, the crisis of method caused to conflict and tension between theory and practice of Islamic law. Nowadays, it is needed to formulate precise method to eliminate both of them. The paper discuses Louay Safi’s thought in the case of a univied approach to syari’ah and social inference. Base on this idea, Safi tries to reconcile simultanly between textual (normatif) and contextual (historical) approach in endeover to Islamic law discovery. According to writer, the thought is more promised to be developed as alternative method of contemparary istinbat (Ijtihad), because of its operasionble caracter will enable to discover or produce a sui generis–cumempirical caracter of Islamic law. Keywords: Proyeksi, Metodologi Hukum Islam, dan Pendekatan Terpadu Hukum Islam-Sosial
Proyeksi Metodologi Hukum Islam: Mempertimbangkan Pendekatan Terpadu Hukum Islam dan Sosial Mahsun Fuad A. Pendahuluan Fiqih hukum Islam bisa dipahami dan diartikan sebagai kelanjutan logis atau produk jadi dari us ūl al-fiqh metodologi hukum Islam. Ketika seseorang ingin mengetahui seluk-beluk hukum Islam, maka menelisik kembali kepada kajian metodologi ini merupakan satu keniscayaan. Apabila diterawang, memang dengan satu ilmu ini hukum Islam –bahkan seluruh ilmu-ilmu ke-Islam-an— diyakini akan menjadi lebih dinamis dan mantap di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada dataran empiris, sebuah teori yang diidealkan rumusannya‚ seringkali gagal pada tingkat aplikasi‚ sehingga yang “seharusnya” menjadi lumpuh dan tak berarti di depan yang “senyatanya”. Begitu juga implikasi yang dibawa oleh metode dan pola pikir umat Islam selama ini. Dalam hal ini historiografi Islam tidak kurang telah menunjukkan bahwa kemunduran dan skeptisisme intelektual telah melanda umat ini sejak abad pertengahan. Lebih dari itu, sejarah hukum Islam bahkan telah mencatat satu istilah insidād bāb al-ijtihād closing the gate of ijtihad sebagai fenomena yang hampir disepakati keberadaannya –suatu bukti malaise intelektual di dalam struktur keilmuan hukum Islam secara keseluruhan. Implikasi menumpuk yang ditimbulkan oleh fenomena di atas adalah kemunduran umat Islam di hampir seluruh areal garap hidup dan kehidupan mereka sendiri. Untuk sebagian pengamat, hal itu lebih disebabkan oleh alam dan pola berpikir umat Islam Arab yang sejak awal bersifat atomistik dan menolak rasionalisme. Sebagai konsekuensinya, bangsa Arab –dan umumnya umat Islam– juga tidak percaya terhadap semua konsep kebenaran universal yang abstrak dan a priori, seperti hukum alam dan keadilan.1 Memasuki domain hukum Islam, cara berpikir yang demikian itu pada akhirnya telah membentuk karakteristik dalam pola fiqh klasik‚ yang kajiannya lebih terfokus pada law in book dari pada law in action. Hal inilah‚ dalam pandangan Coulson‚ yang telah melahirkan semacam “konflik dan ketegangan”
1
H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, alih bahasa Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm. 10 dan 11.
antara teori dan praktek dalam sejarah hukum Islam. 2 Semua bisa dikatakan berakar dari krisis metodologi hukum Islam us ūl al-fiqh yang memberikan penekanan dan perlakuan berlebihan kepada teks-teks wahyu dan sebaliknya kurang memperhatikan realitas di sekitarnya. Akhirnya, studi hukum Islam seolah menjadi semata-mata studi teks. Implikasi kontra produktif dari hal ini adalah ketika ilmu hukum Islam –dan juga ilmu-ilmu ke-Islam-an lain– dituntut merespon perubahan dan persoalan sosial riil, sangat terasa adanya beban dan kuranganya metode empiris yang memadai. Jika diamati‚ kekurangan metodologi inilah di antaranya‚ yang telah menggelisahkan para pemikir hukum Islam kontemporer‚ untuk selanjutnya mereka coba mendesain ulang dan membangun pola atau metode-metode penemuan hukum Islam baru. Upaya kontekstualisasi fiqih mazhab klasik dan rekonstruksi penafsiran yang selama ini dikembangkan dan banyak bermunculan adalah wujud dan artikulasi nyata dari kegelisahan mereka semua. Walaupun patut dihargai kontribusinya dalam upaya perintisan dan pencarian metode baru‚ namun upaya yang dilakukan belum menunjukkan rumusan-rumusan metodologi yang padu‚ yang mungkin bisa menghasilkan ketetapan-ketetapan hukum Islam yang sui generis-kum-empiris bagi ijtihad yang dilakukannya. Upaya kontekstulisasi fiqih mazhab‚ sebagaimana berkembang di kalangan pemikir tradisionalis, lebih terasa sebagai langkah dan upaya “pemaksaan” kehendak pemikiran ortodoksi manusia‚ dari pada “pemaksaan” langsung kehendak Tuhan. Logikanya‚ jika kehendak Tuhan –setidaknya dalam bingkai makna teks– seringkali digugat sebagai yang kurang humanis egalitarianisme‚ anti demokrasi‚ tidak universal‚ dan karena dianggap kurang bisa menyahuti perubahan dan tuntutan sosial yang empiris‚ bagaimana dengan kontekstualisasi produk akal manusia masa lalu? Jawaban yang mungkin hadir secara tepat – setidaknya dengan bertumpu pada paradigma teologi kebesaran ilahi teosentris– adalah bahwa upaya kontekstualisasi fiqih klasik pemikiran manusia merupakan metode yang kurang simpatis dan relevan bagi penemuan dan pengembangan hukum Islam modern sekarang ini. Sedangkan upaya rekonstruksi penafsiran sebagai metode penemuan hukum‚ yang telah diusahakan oleh sebagian pemikir dewasa ini juga masih terasa artifisial‚ terputus-putus‚ kurang padu‚ dan agak parah lagi tidak operasional. Terlepas dari itu‚ menurut hemat penulis wa hum bi as-śabqi h āizūna tafdīla‚ mustaujibūna sanā’iyā al-jamīla sebagaimana dikatakan Ibnu Malik3 pantas diapreasisikan dan diberikan‚ sebagai penilaian atas upaya yang telah mereka rintis dan lakukan selama ini. Berdasarkan pemikiran dasar di atas maka pada kesempatan kali ini‚ penulis coba mengulas sebuah metode alternatif mutakhir yaitu a univied approach to shari’ah and social inference.4 Secara sederhana, metode ini berusaha 2 Noel James Coulson, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), hlm. 58-76. 3 Lihat Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusi‚ Naz -Khalāsah li-Alfiyah Ibn Mālik‚ (Surabaya: al-Hidayah‚ tt)‚ hlm. 1. 4 Upaya ini ditawarkan oleh Louay Safi, dalam bukunya The Foundation of Knowledge A Comparative Studying Islamic and Western Methods of Inquiry, (Selangor: IIU & IIIT, 1996), hlm. 171-196.
menjembatani dan “memadukan” pendekatan tekstual normative dan pendekatan kontekstual historis-empiris secara simultan dalam model penelitian ilmiah yang “Islami”. Menurut penulis‚ metode ini lebih menjanjikan untuk dikembangkan sebagai sarana ijtihad kontemporer‚ karena sifat operasionalisasinya yang jelas‚ dan lebih memungkinkan untuk menghasilkan ketetapan-ketatapan hukum yang sui generis-kum-empiris. Uraian berikut mencoba mengetengahkan bagaimana upaya terpadu tersebut bermanfaat bagi metode penemuan hukum Islam masa depan. Sebelum sampai pada pembahasan inti‚ perlu kiranya diulas latar belakang perlunya pembaruan‚ yaitu adanya krisis metodologi hukum Islam. B. Tekstualitas Metodologi Penemuan Hukum Islam sebagai Problem Sebagaimana sedikit disinggung di atas, terdapat kesan yang kuat bahwa studi hukum Islam selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan suigeneris. Kesan demikian sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena us ūl alfiqh sendiri –yang nota bene merupakan metode penemuan Islam– selalu saja didefinisikan sebagai " "اﻟﻘﻮاﻋﺪ ﻹﺳﺘﻨﺒﺎط اﻵﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ اﻟﻌﻤﻠﯿﺔ ﻣﻦ أدﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔyaitu “seperangkat kaidah untuk mengistimbatkan hukum syar’i amali praktis dari dalildalilnya yang terperinci”.5 Kata kunci yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi us ūl alfiqh tersebut adalah kalimat ﻣﻦ أدﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔ. Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks6. Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teksteks wahyu saja law in book. Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat living law kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik. Miskinnya analisis sosial empiris lack of empiricism inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi salah satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan yang ada dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.7 Hal demikian semakin terlihat dengan jelas ketika serangkaian metode us ūl al-fiqh memberi ruang gerak yang luas bagi dimasukannya data-data sosial empiris dalam analisis teoretis dan metode penemuan hukumnya. Studi us ūl al-fiqh pada 5
Abu Zahrah misalnya mendefinisikannya sebagai اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﺘﻲ ﺗﺮﺳﻢ اﻟﻤﻨﺎ ھﺞ ﻹﺳﺘﻨﺒﺎط . اﻷﺣﻜﺎم اﻟﻌﻤﻠﯿﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔ. Lihat Abu Zahroh, Us ūl al-Fiqh, ( ttp.: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt.), hlm. 7. Wahhab Khallaf juga mendefinisikannya sebagai اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻘﻮاﻋﺪ واﻟﺒﺤﻮث اﻟﺘﻲ ﯾﺘﻮﺻﻞ ﺑﮭﺎ إﻟﻰ إﺳﺘﻔﺎدة . اﻷﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ اﻟﻌﻤﻠﯿﺔ ﻣﻦ ادﻟﺘﮭﺎ اﻟﺘﻔﺼﯿﻠﯿﺔ. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us ūl al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 12. 6 Secara tegas Hasyim Kamali bahkan menyebut bahwa Us ūl al-fiqh merupakan ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum dan sekaligus metode deduksi hukum dari sumbersumber tersebut. M. Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991), hlm. 1. Cetak miring dari penulis. 7 Lihat Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1994), hlm. 87-92. Idem, Crisis in the Muslim Mind, alih bahasa Yusuf Talal Delorenzo, 1st Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 43-45. Lihat juga Akh. Minhaji, “A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies”, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. iv-v.
akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.8 Problematika demikian masih sangat terasa dalam berbagai tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti alGhazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Sebagian kalangan menyatakan bahwa, meskipun kedua tokoh ini telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi secara praktek dan dalam kebanyakan tulisan mereka masih memusat pada analisis normatiftekstual.9 Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan untuk menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas10. Artinya, meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan makna teks melalui berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Paling tidak secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong jarak antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya. Tekstualitas metode penemuan hukum Islam us ūl al-fiqh tersebut di atas tentu saja bukan suatu kebetulan. Sebaliknya, ia merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem epistemologi dan bahkan pandangan hidup weltanschauung tertentu. Jika dilacak lebih jauh, hal ini dapat ditemukan pada pola pemikiran sebagian besar umat Islam yang menganut subjektifisme teistik‚11 yang menyatakan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan asSunnah. Keyakinan inilah yang tampaknya telah menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci tersebut. Patut disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum di atas tadi‚ pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespons dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action –sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya– tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.12 8
Bandingkan dengan Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. 16-17. 9 Syamsul Anwar, “Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, dalam M. Amin Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 198. 10 Wael B. Hallaq, A History f Islamic Legal Theories An Introduction to Sunni Usul alFiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 245, dan 253. 11 Syamsul Anwar, “Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994), hlm. 74. 12 Dalam konteks yang lebih luas, Syamsul Anwar mencatat ada lima (5) karakteristik studi fiqh yang dominan, yaitu (1) pemusatan studi hukum Islam sebagai law in book, tidak mencakup law in action, (2) pencabangan materi yang rumit tanpa memperhatikan relevansi dengan permasalahan yang berkembang (3) sifat polemik-apologetik, (4) inward looking dan (5)
Dalam pandangan Louay Safi, adanya keterbatasan metode-metode klasik untuk diterapkan dalam menghadapi realitas modern itulah, yang telah mengantarkan kesulitan dan masalah tersendiri bagi pemikir Muslim saat ini.13 Ketidak-cakapan metode tradisional juga terungkapkan dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral, yaitu pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik dan adanya kecenderungan menghilangkan seluruh kriteria dan standar rasional dengan menggunakan metodologi yang murni intuitif dan esoteris.14 Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis. 15 Serba keterbatasan dan ketidakcakapan metode klasik tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis metodologi yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam‚ termasuk di bidang hukum. Pada situasi seperti ini‚ kemunculan satu tawaran alternatif yang bisa menutupi kekurangan metode sebelumnya menjadi sangat diharapkan. Khusus dalam hukum Islam, adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan hukum Islam. C. Pendekatan Terpadu Hukum Islam dan Sosial Sebagaimana dipaparkan Abu Sulayman, krisis metodologi keilmuan Islam, yang berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas serta tidak adanya sistematisasi secara menyeluruh, telah disadari oleh para pemikir Muslim untuk segera mendapatkan terapi intelektualnya.16 Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak bisa semata dilakukan dengan pola menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hal ini lebih disebabkan karena metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami krisis epistemologis yang tidak kalah akutnya. Jika metode dan pendekatan keilmuan Islam terjebak pada analisis tekstual dan kurang mengapresiasi dimensi sosial-empiris, maka sebaliknya, keilmuan Barat atomistik. Secara epistemik kajian fiqh juga ditandai oleh karakteristik (1) kurang memisahkan mitos dan sejarah, (2) univokalisasi makna dan (3) nalar transhistoris. Syamsul Anwar, “Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh”, Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, tanggal 28 Agustus, 2002, hlm. 8-9. Karakteristik lebih sederhana diberikan oleh Hasyim Kamali, yaitu: (1) tidak mendukung efektifitas dan efisiensi administrative, karena ditulis mengikuti style abad pertengahan serta tidak mempunyai klasifikasi yang rapi, (2) consern kajiannya tidak lagi relevan dengan isu dan kondisi aktual umat Islam, dan (3) adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme mazhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran lain. M. Hasyim Kamali, “Fiqh and Adaptation to Sosial Reality” dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari, 1996, hlm. 78-79. 13 Louay Safi, The Foundation of Knowledge…, hlm. 12. 14 Ibid. Lihat juga Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan, (Herndon, Virginia: IIIT, 1989), hlm. 24-26. Idem, Towards an Islamic Theory of International Relation…, hlm. 62. 15 Louay Safi, The Foundation of Knowledge…, hlm. 13. 16 Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relation, hlm. 87-92, 92-96. Idem, Crisis in the Muslim Mind, hlm. 43-63.
terjebak pada positivisme yang tidak pernah memperhitungkan dimensi normatif wahyu dalam metode dan pendekatannya.17 Melihat kenyataan itu, maka sesuatu yang diperlukan adalah sebuah upaya mendekatkan aspek epistemologis, dari dua karakteristik keilmuan tersebut sehingga melahirkan sintesa positif yang diharapkan bermanfaat bagi keduanya, yaitu dapat diterimanya dimensi normatif di dalam analisis sosial keilmuan Barat; sementara bagi ilmu-ilmu keislaman dapat membantu memasukkan fakta-fakta sosial empiris di dalam analisis tekstualnya. Menyatukan elemen religius ke wilayah ilmu sekuler ini, menurut Abu Sulayman, bisa saja berarti suatu proses restorasi wahyu dan akal yang harus “berhenti” pada proses metodologis tertentu.18 Akan tetapi integrasi dimaksud‚ bukanlah suatu percampuran secara eklektik19 dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagi reorientasi seluruh bidang pengetahuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria baru atas dasar Islam. Dalam kerangka melahirkan sintesa positif dari dimensi normatif wahyu dan dimensi emprisitas tersebut di atas itulah‚ menurut hemat penulis‚ upaya yang dilakukan oleh Louay Safi melalui Towards a Unified Approach to Shari’ah and Sosial Inference‚ dapat ditempatkan. Dalam usulannya, Safi terlebih dahulu menjelaskan bagaimana setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari pra-anggapan tertentu atau tidak bebas nilai value free; bagaimana wahyu juga mengandung suatu “rasionalitas” tertentu dan; bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan.20 Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah akibat dari ontologi tertentu yang mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar motivasional. Sebaliknya, aktivitas ilmiah mengandaikan sejumlah pernyataan tentang sifat eksisten, suatu kebenaran yang harus diakui sebelum terlibat dalam berbagai studi empiris. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran keagamaan metafisika, wahyu dari wilayah ilmiah –terutama wilayah ilmu-ilmu sosial– adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.21 Bisa ditekankan digarisbawahi di sini bahwa “ilmu sosial” yang dimaksudkan oleh Safi dalam Towards a Univied Approach to Shari’ah and Sosial Inference, adalah ilmu sosial kemanusiaan humaniora secara umum. Oleh karena itu, ia tidak hanya terbatas pada ilmu sosiologi saja‚ tetapi mencakup pula ilmu sejarah, antropologi, politik dan sebagainya‚ dengan karakternya yang “historis” dan empiris. Hal ini setidaknya tampak ketika Safi memaparkan kekhasan “ilmu sosial” yang dihadapan dengan metode-metode kealaman naturalistic methods.22 Penolakan wahyu dalam analasis ilmiah‚ karena itu menjadi tidak relevan terutama dalam bidang ilmu-ilmu sosial humaniora. Sebagai konsekuensinya, maka sumber-sumber pengetahuan juga harus digali baik dari wahyu maupun dari 17
Louay Safi, The Foundation of Knowledge…, hlm. 4-9. Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Crisis in the Muslim Mind, hlm. 21. 19 Islamil R. al-Faruqi, sebagaimana dikutip oleh Louay Safi, The Foundation of Knowledge, hlm. 6. 20 Ibid., hlm. 172, 174, 176. 21 Ibid., hlm. 172-173, dan 178,179. 22 Ibid., hlm. 149-155. 18
realitas empiris-historis. Meski demikian, model pemaduan univied model yang dilakukan, disadari oleh Safi, tidak dimaksudkan untuk mengharmonisasikan mencampuradukkan secara eklekstis antara dua tradisi keilmuan Islam dan Barat itu, tetapi mengintegrasikan pengetahuan yang diperoleh dari wahyu dengan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman manusia.23 Lebih lanjut‚ bagaimana upaya merumuskan kerangka dasar dan bagaimana langkah-langkah metodologis dari integrasisasi normativitas wahyu dan rasionalitas empirisitas itu coba dilakukan? Bagi Safi‚ hal ini mungkin dilakukan dengan –terlebih dahulu– membuat inferensi tekstual dan historis-empiris‚ untuk kemudian baru dibuatkan analisisnya yang bersifat “terpadu” antara keduanya. Kedua inferensi tersebut dilakukan dengan suatu prosedur inferensi yang diberikan sendiri oleh Safi sebagai berikut: a. Prosedur Inferensi Tekstual Prosedur inferensi tekstual ini dimaksudkan untuk menderivasi aturanaturan dan konsep-konsep dari wahyu secara sistematis dan memadai. Ada empat langkah yang harus dilewati dalam prosedur ini, yaitu: (1) Mengindentifikasi teks al-Qur’an dan Sunnah yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas. Tetapi identifikasi ini tidak sematamata inventarisasi, tetapi mencakup pula analisis dan pendalaman linguistik secara tematis. (2) Memahami menafsirkan makna pernyataan teks secara memadai dan relevan baik secara individual leksikal maupun dalam kaitanya dengan yang lain secara kontekstual. (3) Menjelaskan ta’līl terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa efisien ‘illah yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks. Ini bertujuan mengindentifikasi sifat umum yang dimiliki oleh benda yang berbeda-beda yang menjustifikasi acuan pengunaan term yang sama sebagai langkah awal menemukan prinsip-prinsip universal yang mengatur berbagai pernyataan syari’ah. (4) Membangun suatu aturan dan konsep umum yang diderivasi dari teks. Ini dapat dicapai dengan proses abstraksi terus-menerus, sehingga aturan/konsep hasil derivasi dari teks itu dapat dimasukkan ke dalam aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi. 24 Secara sederhana dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:
23 24
Lihat kata pengantar Louay Safi, Ibid., ix-x. Ibid., hlm. 182-187.
Diagram I Diagram Prosedur Inferensi Tekstual25 1
Identifikasi Pernyataan-pernyataan yang relevan
2
Interpretasi (tafsir) pernyataan
3
Penjelasan (ta’lil) pernyataan
Derivasi konsep dan aturan general
4 Sistematisasi aturan dan konsep yang telah diderivasikan
Sebelumnya harus disadari bahwa bagaimanapun canggihnya sistem aturan dan konsep yang berhasil diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak cukup memadai untuk mendasari perbuatan/tindakan tertentu, karena dua alasan. 26 Pertama, sistem itu sendiri terdiri dari aturan general dan universal, aplikasinya terhadap kasus partikular membutuhkan pertimbangan dan spesifkasi lebih lanjut. Ini dapat dilakukan dengan memasukkan informasi tentang watak aksi dan interaksi individual dan kolektif. Kedua, aplikasi aturan universal mensyaratkan pengetahuan tentang syarat-syarat yang ada. Aplikasi aturan dimungkinkan ketika syarat teoretis dari suatu aksi bersesuaian dengan kondisi aktualnya. Berdasarkan hal itu diperlukan suatu studi terlebih dahulu terhadap aksi dan interaksi manusia sebelum suatu aturan wahyu diimplementasikan. Di sinilah diperlukan satu inferensi sosial-historis empiris –yang berbeda dengan metode Barat– harus dimulai dari menganalisis elemen-elemen dasar yang membentuk fenomena, yakni aksi manusia dengan prosedur inferensi seperti di bawah ini.
25 26
Ibid., hlm. 194. Ibid., hlm. 187-189.
b. Prosedur Inferensi Historis27 (1) Menganalisis aksi individu yang termasuk ke dalam fenomena sosial yang sedang dibahas. Maksud yang ingin diketahui di sini adalah tujuan, motif dan aturan aksi tersebut. Tujuan adalah seluruh obek yang dikemukakan oleh aktor. Motivasi adalah dorongan psikologis aktor. Sedangkan aturan adalah suatu prosedur teknis hukum-hukum sosial yang harus diikuti untuk mencapai tujuan aksi. (2) Mengklasifikasi berbagai bentuk atau tipe aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponennya tujuan, motif dan aturannya. Aksi yang bertujuan sama akan membentuk satu kelompok homogen, sebaliknya aksi yang bertujuan berbeda akan terbagi dalam populasi heterogen. (3) Mengidentifikasi aturan-aturan universal yang membangun interaksi antara berbagai kelompok yang diidentifikasi pada langkah kedua. Guna menarik aturan-aturan universal atau hukum-hukum interaksi, pola-pola kerja sama dan konflik, dominasi dan submisi, pertumbuhan dan kemunduran sosial harus dikaji secara komparatif melampaui batasan waktu dan geografi. (4) Sistematisasi aturan-aturan universal yang didapatkan dari langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem aturan yang dihasilkan. Berikut digambarkan diagram prosedur inferensi historis. Diagram II Diagram Prosedur Inferensi Historis28 1
Identifikasi proses dan aksi yang terseleksi
2
Pengelompokkan aksi yang sama ke dalam satu kategori
3
Identifikasi aturan universal yang membangun realsi inter-kelompok
4
Sistematisasi aturan-aturan universal
Setelah dilakukan inferensi tekstual dan historis sosial-empiris, maka kemudian dapat disusun suatu prosedur inferensi yang padu antara 27
Ibid., hlm. 189-190. Kata “historis” di sini tampaknya lebih bermakna “empiris” untuk membedakannya dengan hermeneutik/linguistik dan fenomenologis –sebagaimana kategori Donald Polkinghorne dalam Methodology for the Human Sciences, (Albany: State University of New York Press, 1983). Inferensi historis, dengan demikian adalah suatu penyimpulan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-empiris. 28 Ibid, hlm. 194.
keduanya. Hal ini, menurut Safi, dikarenakan keduanya memiliki suatu pola-pola general inferensi ilmiah. Inferensi terpadu tersebut dapat dilakukan melalui prosedur berikut:29 (1) Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan wacana dan aksi fenomena (2) Pengelompokkan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori (3) Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori (4) Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang membangun interaksi atau inter-relasi berbagai kategori (5) Sistematisasi aturan-aturan yang diperoleh melalui prosedur-prosedur sebelumnya menghilangkan kontradiksi. Keterpaduan pola-pola inferensi tekstual dan historis di atas tidak terbatas pada persamaan prosedur analisis tektual dan historis, tetapi juga dapat diperluas kepada struktur aksi dan wacana. Baik aksi maupun wacana, menurut Safi, sesungguhnya memiliki sistem aturan motif dan tujuan yang memungkinkan penyatuan dan koherensi serta memperbandingkan dan mempertentangkan antara keduanya. 30 Di sinilah kiranya, hemat penulis, dapat dicari lebih lanjut tentang pola hubungan antara wayhu di satu pihak dan rakyu, empirisitas di pihak lain. Tentang langkah-langkah pemaduan analisis tekstual dan historis dapat digambarkan dalam diagram berikut ini: Diagram III Diagram Prosedur Inferensi Tekstual dan Historis Padu31 Analisis Teks/Fenomena ke dalam komponennya
1
29
2
Pengelompokkan pernyataan dan aksi yang sama ke dalam satu kategori
3
Identifikasi aturan yang menyatukan beragam kategori
4
Identifikasi aturan universal yang membangun pernyataan dan inter-relasi aksi
5
Sistematisasi aturan yang diperoleh melalui prosedur teks/aksi
Ibid., hlm. 190. Ibid., hlm. 190-191. 31 Ibid., hlm. 195. 30
D. Menuju Metode Penemuan Hukum Islam Kontekstual Gagasan Louay Safi tentang pendekatan metodologis terpadu di atas, sesungguhnya hanya menyajikan suatu model penelitian ilmiah sosial alternatif yang dekat dengan aspirasi Islam.32 Namun demikian, ancangan metodologi alternatif tersebut barangkali bisa dijadikan inspirasi bagi pengembangan studi hukum Islam yang mencoba mengapresiasi dan memasukkan data-data sosial empiris dalam analisisnya, meskipun disadari, bahwa Safi sendiri tidak memaksudkan kajiannya ini sebagai suatu pengembangan metode yang khusus di dalam hukum Islam. Karena demikian‚ maka apabila ia dibawa ke dalam metode hukum Islam, maka integrasi berjalan di atas peta yang sedikit berbeda. Jika proses integrasi wahyu dan ra'yu empirisitas dalam ilmu-ilmu sosial modern bergerak untuk memasukkan wahyu –yang sekian lama telah disingkirkan– ke dalam analisis sosial-historis empiris, maka hal itu terjadi pada arah yang sebaliknya dalam metode penemuan hukum Islam, yaitu membawa data-data dan fenomena sosialhistoris empiris masuk ke dalam analisis hukum Islam tekstual-wahyu.33 Hal ini diakibatkan oleh karena dimensi sosial empiris-lah yang telah disingkirkan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Dalam dataran metode keilmuan yang lebih operasional, proses tersebut mengandaikan adanya pendekatan “induksi sosial” dalam hukum Islam yang dilakukan secara simultan dengan pendekatan deduktif. Artinya, metode penemuan hukum Islam –mengikuti inferensi terpadu á la Louay Safi– harus memasukkan data realitas empirik dalam proses analisis dan penyimpulan -ahkām, bukan semata-mata diderivasi dari teks. Pola induksi ini menurut Qodri Azizy, 34 akan lebih terasa hidup dan leluasa, namun perlu pembatasan sejauh mana seseorang dapat berinduksi dalam berhukum. Kesulitan yang masih ditemukan dalam memasukkan realitas empiris itu adalah melalui jalan manakah realitas dan data-data sosial empirik itu dapat ditarik dan disertakan dalam analisis teori dan metode penemuan hukum Islam us ūl al-fiqh? Dalam banyak hal pendekatan induksi sosial sendiri tampaknya lebih relevan bergerak untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan causa efisien maupun causa finalis ‘illah dan atau hikmah dari obyek-obyek hukum dengan
32
Ibid., hlm. 192-193. Lihat Syamsul Anwar, “Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, hlm., 205. 34 Menurut Qodri, setidaknya diberi batasan bahwa dalam proses induksi itu dalil (teks) diposisikan sebagai inspirasi proposisi atau landasan (starting point) analisis, terutama dari sisi epistemologi, sekaligus sebagai alat kontrol terhadap proses dan esensi/hasil yang ditemukan. Tetapi, pembatasan itu harus tetap memberi kebebasan berpikir. Lihat A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional‚ Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 47. Bandingkan dengan Noeng Muhadjir, “Wahyu dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodologik: Metodologi Kualitatif”, dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 61dan 62. 33
memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dan kealaman.35 Ketika kasus hukum telah disebut dalam teks tanpa disertai illat dan hikmah, analisis empiris bertujuan untuk menjelaskan atau mengungkapkan ‘illat dan hikmah-nya guna memantapkan penerimaan terhadap hukum tersebut, atau juga mungkin untuk merubahnya. Bagi kasus hukum baru yang belum ada dalam teks, analisis empiris bertujuan untuk membangun fondasi hukum kasus tersebut.36 Dalam teori hukum Islam‚ hal ini disebut ta‘līl al-ahkām atau kausasi hukum. Menurut penulis‚ hal ini sesuai dengan inferensi historis Louay Safi, bahwa analisis aksi – pada langkah pertama inferensi historisnya– berupaya membongkar tujuan, motif dan aturan. Metode ini paralel dengan analisis ta‘līl dalam prosedur inferensi tekstual. Di sinilah kemudian dimensi sosial empiris dapat dimasukkan dalam setiap analisis hukum Islam. Pada posisi ketika antara keduanya berhadapan secara kontradiktif, maka realitas empiris misalnya adat harus direkonstruksi –sistem aturan dan tujuannya– sedemikian rupa dengan tetap memberinya hak hidup. Hal ini didasarkan kepada kesimpulan inferensi terpadu Safi, bahwa suatu aksi kolektif fenomena sosial empiris maupun wacana wahyu memiliki sistem aturan dan tujuan sehingga memungkinkan dilakukannya penyatuan, memperbandingan atau mempertentangkan.37 Berdasarkan hal itu maka pola hubungan yang terbangun bersifat bukan hirarkis, tetapi alternatif-saling mendukung antara realitas empiris dan wahyu dalam metode hukum Islam. Realitas empiris dan wahyu harus berfungsi komplementer dan berhubungan dialektis selamanya, baik ketika realitas sosial itu tidak terdapat dalam teks wahyu maupun ketika ia berseberangan dengan teks wahyu. Bisa dimungkinkan bahwa berbagai bentuk pembaruan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, seperti taklik talak pasal 45, pengaturan harta bersama/gono-gini pasal 85-97, ahli waris pengganti plaatsvervulling untuk cucu yatim pasal 185, wāsiat wājibah untuk anak dan orang tua angkat pasal 209 serta harta hibah yang diperhitungkan sebagai warisan pasal 221, sebagai contoh sekaligus aplikasi pendekatan terpadu hukum Islam dan sosial ini. Menurut pengetahuan penulis, semua bentuk pembaruan tersebut telah banyak terinspirasi sekaligus merupakan kreasi hukum Indonesia berhadapan dengan realitas sosial dan kultural yang benar-benar menjadi living law di masyarakat. Sebagai ilustrasi dan eksplorasi lanjut‚ di bawah ini akan dibahas harta hibah orang tua kepada anaknya‚ yang kemudian –ketika orang tua tersebut meninggal– harta hibah tersebut diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkutan. Istilah “hībah” merupakan bentuk masdar dari kata وھﺐyang artinya memberi. Secara terminologis, hībah atau hibah adalah pemilikan suatu benda melalui transaksi atau akad tanpa mengharap imbalan apapun dari orang yang
35
Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), hlm. 68. Lihat juga Syamsul Anwar, “Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, hlm. 207. 36 Ibid. 37 Louay Safi, The Foundation of Knowlwdge, hlm. 190-191.
diberi ketika pemberi masih hidup.38 Dalam hal ini‚ rumusan KHI pasal 171 huruf g, menyebutkan bahwa “Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang cakap tanpa adanya unsur paksaan. Sebagaimana hal itu disebutkan dalam pasal 210 ayat 1 dan 2 KHI: (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebaganyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. (2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah Perihal hibah orang tua kepada anaknya yang selanjutnya diperhitungkan sebagai harta warisan belum pernah ditemukan pembahasannya dalam literatur kitab-kitab fiqh. Pendeknya, hal ini merupakan suatu fenomena baru dalam kontekss pemikiran hukum Islam. Di Indonesia sendiri, persoalan ini hanya dapat ditemukan dalam hukum adat, sebuah realitas sosial-kultural empiris di masyarakat kita. Menurut Hilman Hadikusuma, dalam hukum adat, penerusan harta warisan yang bersifat individual –seperti dalam hukum waris Islam– kepada para ahli waris dapat terjadi sebelum pewaris wafat maupun sesudahnya. Terjadinya penerusan harta warisan ketika pewaris masih hidup, di kalangan keluarga Jawa disebut “lintiran”. Hal ini berlaku melalui penunjukkan dalam bentuk hibahwasiat tertulis maupun tidak tertulis yang berupa pesan dari orang tua pewaris kepada ahli warisnya. Penunjukkan itu dilakukan dengan cara menentukan harta warisan tertentu kepada ahli waris tertentu, atau dengan menunjukkan batas-batas tanah pertanian, atau dengan menunjukkan jenis barangnya. Sedangkan di Aceh, apabila dilakukan wasiat, maka harta yang dapat dipesankan bagi ahli waris tertentu tidak boleh melebihi 1/3 jumlah seluruh warisan. Jika terjadi kelebihan, maka ketika diadakan pembagian warisan, bagian yang lebih itu dapat ditarik kembali.39 Dalam persoalan hibah sebagai warisan ini, KHI secara tegas mengkonstruksikannya menjadi ketentuan hukum Islam yang positif. Dalam pasal 221 disebutkan bahwa‚ “hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”. Apabila kita perhatikan lebih jauh, maka terobosan baru KHI dalam bidang kewarisan ini ternyata mendasarkan diri pada realitas sosial yang hidup disekelilingnya, yaitu fenomena aksi kolektif berupa hibah wasiat. Meminjam inferensi historis Louay Safi, dapat dijelaskan bahwa formulasi hukum tersebut juga dilakukan dengan memasukkan analisis empiris terhadap fenomena hibah wasiat, dengan mengungkapkan motif dan tujuannya, yaitu mendistribusikan keadilan ekonomis dan menjaga perdamaian di antara anakanaknya. Muatan pasal 221 KHI yang bertendensi untuk mendistribusikan 38
As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), III: 388. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: Mandar Maju, 1992), hlm. 215-217. 39
keadilan bagi para ahli waris berarti sesuai dengan asas hukum kewarisan Islam, yaitu asas keseimbangan dan keadilan. 40 Sedangkan sistem aturannya di rekonstruksi sesuai dengan aturan furūd al-muqaddarah dalam hukum waris Islam. Menurut Azhar Basyir, penyerahan semacam ini dipandang sah dalam hukum Islam, karena sesungguhnya dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari kemungkinan adanya rasa ketidakadilan di kalangan anak-anaknya.41 Para orang tua biasanya memberikan bagian-bagian tertentu dari hartanya kepada anakanaknya yang telah berkeluarga. Kemudian, ketika orang tua meninggal maka harta tersebut diperhitungkan sebagai warisan, dengan ketentuan jika kurang maka dapat ditambah. Sebaliknya, jika dipandang lebih –sepanjang tidak merugikan orang lain– dapat dikembalikan.42 Sampai di sini maka dapat dikatakan bahwa hibah sebagai waris tidaklah bertentangan dengan hukum waris Islam. Memang benar bahwa hartanya diserahterimakan pada saat pewaris orang tua masih hidup –sehingga menurut sebagian ahli tidak bisa anggap waris—‚ tetapi itu hanya serah-terimanya. Sedangkan akadnya masih tetap hibah pada saat si orang tua masih hidup. Sebaliknya, sebutan harta warta waris baru muncul setelah pewaris orang tua meninggal – sesuatu yang memang diharapkan demikian oleh orang tua dalam tradisi di masyarakat. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ketentuan KHI dalam hal ini tampak sekali mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum adat yang telah hidup dan mapan di tengah masyarakat. Ketentuan KHI tentang hibah sebagai warisan, di samping mempertimbangkan tujuan dan motifnya, yaitu nilai-nilai kemaslahatan, berupa keadilan dan kedamaian tanpa saling cemburu secara sosial dalam pembagian tersebut, juga melakukan revisi sistem aturannya dengan memasukkan sistem pembagian tidak melebihi 1/3 harta keseluruhan, yang sesuai dengan hukum waris Islam. E. Beberapa Catatan Akhir Tawaran metode penemuan hukum Islam dengan pendekatan terpadu berupa analisis inferensi historis dan tekstual, hemat penulis, merupakan satu capaian intelektual yang ideal –meskipun masih terasa sangat abstrak dan belum sepenuhnya mengejawantah. Sifat sui-generis dalam metode penemuan hukum Islam tampaknya merupakan trade mark, yang mungkin memang harus demikian. Namun demikian, hal ini perlu diimbangi dengan apresiasi proporsional terhadap realitas sosial yang harus dapat dibawa dan masuk ke dalam analisis penyimpulan hukumnya. Dengan melihat contoh pada sejumlah pasal KHI‚ terbukti bahwa dengan membawa realitas empirik masuk ke dalam analisis penemuan hukum,
40 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 71-84. 41 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1982), hlm. 154; Id., “Corak Lokal dalam Hukum Positif Islam di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filosofis”, dalam Cik Hasan Bisri (peny.), Hukum Islam dalam Tatanaan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 154. 42 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, hlm. 61
hukum Islam di Indonesia dapat tampil lebih kreatif dan hidup di tengah-tengah proses regulasi sosial modern. Pola atau model pendekatan Louay Safi tampaknya sengaja diarahkan pada suatu upaya merekonstruksi suatu pemahaman di dalam wilayah baru yang belum ada teks-teks hukumnya dengan menghargai tradisi secara proporsional sekaligus mengurangi kesan arogansi intelektual. Hal ini dilakukan melalui penggabungan teori sistem dan teori aksi di dalam perangkat analisisnya. Menurut penulis‚ hal inilah yang secara substansial harus diakui berbeda dari tawaran pembaruan pemikiran hukum Islam yang diajukan oleh Fazlur Rahman, Muhammad Sahrur dan kawan-kawannya. Meskipun begitu, paradigma pembacaan al-Qur’an yang mendasari kerja keilmuan ini masih menggunakan kategori qat ī dan z ī– satu kategori yang dalam studi ilmu al-Qur’an hingga sekarang masih kontroversial. Pembaruan yang ditawarkan Rahman, Sahrur dan kawan-kawannya, berdasarkan analisis Hallaq, lebih tertuju pada interpretasi makna baru terhadap teks-teks yang telah ada. Sebaliknya, kurang memberikan mekanisme yang jelas tentang bagaimana bersikap secara metodologis terhadap suatu fenomena yang tidak terdapat teksnya. Inilah yang memberi kesan abstrak dan intelektual oriented, sehingga kurang membumi. Mengakhiri diskusi ini, penulis berpendapat bahwa suatu pendekatan terpadu hukum Islam dan sosial –sebagaimana di antaranya telah diformasikan oleh Louay Safi– memang menjadi suatu kebutuhan mendesak yang perlu terus ditindaklanjuti. Ini penting agar hukum Islam dapat terus dan kembali bermain dalam proses regulasi masyarakat modern‚ mampu menyahuti seluruh bidang garap hidup dan kehidupan manusia. Pendekatan dengan pola demikian itulah yang akan mengantarkan hukum Islam untuk selalui selaras dengan perubahan dan tantangan zaman. Daftar Pustaka Abu Sulayman, Abdul Hamid A., Crisis in the Muslim Mind, 1st Edition, Herndon, Virginia: IIIT, 1983 _________, Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan, Herndon, Virginia: IIIT, 1989 _________, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition, Herndon, Virginia: IIIT, 1994 Andalusi‚ Muhammad bin Abdullah bin Malik al-, Naz -Khalāsah liAlfiyah Ibn Mālik‚ Surabaya: al-Hidayah‚ tt. Anwar, Syamsul, “Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin ed., Ke Arah Fiqh Indonesia, Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994 _________, “Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh”, Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, tanggal 28 Agustus, 2002
_________, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq ed., Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Usul Fiqh Komtemporer, Yogyakarta: Pustaka Ar-Ruz, 2002 _________, “Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, dalam M. Amin Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002 Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Basyir, Ahmad Azhar, “Corak Lokal dalam Hukum Positif Islam di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filosofis”, dalam Cik Hasan Bisri peny., Hukum Islam dalam Tatanaan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos,1998 ------------------, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Press, 1982 Coulson, Noel James, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969 Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, Jakarta: Mandar Maju, 1992 Hallaq, Wael B., “On the Origins of the Controversy About the Exsistence of Mujtahids and the Gate of Ijtihad” dalam Studia Islamica, Vol. 63, Tahun 1986 _________, “Was the Gate of Ijtihad Closed ?”, dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 16, No. 1, Tahun 1984 _________, A History of Islamic Legal Theories An Introductin to Sunni Usul Fiqh , Cambridge: Cambridge Universyti Press, 1997. Kamali, M. Hasyim, “Fiqh and Adaptation to Sosial Reality” dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari, 1996 _________, Principles of Islamic Jurisprudence, Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991 Khallaf, Abdul Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, tt. Minhaji, Akh., “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999 _________, “A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies”, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999 Muhadjir, Noeng, “Wahyu dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodologik: Metodologi Kualitatif”, dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim ed. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989 Parman, Ali, Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Rajawali Pers, 1994 Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995 Sabiq, As-Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, 1989 Safi, Louay, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Sosial dan Barat, alih bahasa Imam Khoiri, Yoyakarta: Tiara Wacana, 2001.
_________, The Foundation of Knowledge, A Comparative Studyin Islamic and Western Methods of Inquiry, Selangor: IIU & IIIT, 1996 Zahrah, Abu, Ushul al-Fiqh, ttp.: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt. Mahsun Fuad, M.Ag. Pemerhati Buku, Alumni Program Pascasarjana IAIN Jogjakarta.