PROSIDING |4 PRODUKSI TUMPANGSARI KACANG MERAH (VIGNA ANGULARIS) DAN BAWANG MERAH (ALLIUM CEPA) DI ATAP (ROOFTOP CULTURE) 1) Fakultas
Agus Suryanto, Sitawati, Euis Elih Nurlaelih 1) Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145, Jawa Timur, Indonesia
email:
[email protected] PENDAHULUAN Ketahanan pangan akan selalu menjadi isu terpenting dalam kehidupan manusia di dunia karena tidak akan ada kehidupan tanpa makanan. Sementara keterbatasan lahan untuk kegiatan pertanian akan terus terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, inovasi di bidang pertanian berupa kegiatan budidaya di lahan terbatas sangat dibutuhkan saat ini dan dimasa yang akan datang. Selain itu, kondisi perkotaan yang sangat minim pekarangan atau bahkan tidak terdapat halaman rumah, sehingga Rooftop Gardening merupakan solusi untuk berkebun di atap rumah atau gedung. Rumah akan lebih produktif karena menghasilkan sayur- sayuran dan buahbuahan segar setiap hari sekaligus meningkatkan gizi keluarga, bahkan juga bisa untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Pemanfaatan taman atap sebagai lahan pertanian kini mulai dikembangkan seiring dengan keterbatasan lahan pertanian di perkotaan. Secara ekonomi, Keuntungan yang di dapat melalui adanya roof garden yakni menambah ruang aktif, mereduksi air bangunan akibat curah hujan, dan menambah nilai estetika suatu bangunan (Kuhn, 1995). Dalam melakukan budidaya pertanian untuk roof garden tentu diatur tanaman yang tidak mempunyai perakaran dalam, relatif tahan kekurangan air, tahan dan tumbuh baik pada temperature yang tinggi, perakaran dan pertumbuhan batang yang tidak mengganggu struktur bangunan, dan mudah dalam pemeliharaan. Kriteria tanaman tersebut digunakan acuan dalam pemilihan tanaman dan pemeliharaan. Keberadaan taman di atas atap (roof garden) akan menimbulkan bertambahnya beban. Timbunan tanah dan tanaman akan menambah beban mati, beban angin, dan tambahan beban air pada atap bangunan. Iklim mikro pada tanaman yang di tanam di atap gedung berbeda dengan tanaman yang di tanam di lahan. Suhu dan angin pada tanaman yang ditanam di atap gedung lebih tinggi daripada tanaman yang ditanam di lahan biasa, sedangkan kelembaban tanaman yang di tanam di atap gedung lebih kecil. kriteria tanaman untuk roof garden antara lain, tanaman tidak berakar dalam sehingga mampu tumbuh baik dalam pot atau bak tanaman, relatif tahan terhadap kekurangan air, perakaran dan pertumbuhan batang yang tidak mengganggu struktur bangunan, tahan dan tumbuh baik pada temperature lingkungan yang tinggi dan mudah dipelihara. Penanaman tanaman roof garden dengan sistem tumpangsari diharapkan dapat lebih mengefisienkan tempat yang sempit namun memberikan hasil yang optimal. Tumpangsari tanaman kacang merah (Phaseolus Vulgaris L.) yang biasa ditanam di pekarangan dengan tanaman bawang merah (Allium Ascalonicum L) diharapkan mampu memberikan memberikan out put maksimal. Lebih lanjut Guritno (2011) menjelaskan tumpangsari adalah penanaman dua jenis tanaman atau lebih yang dilakukan secara bersama-sama dalam sebidang lahan yang sama. Menurut Syarif (2004), tanaman memiliki periode kritis pada fase tertentu dan cekaman pada periode kritis dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil. Pada sistem penanaman tumpangsari, kompetisi antar tanaman pada periode kritis dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang tidak optimal. Sehingga, diperlukan pengaturan jenis
PROSIDING |5 dan waktu tanaman yang tepat agar tidak terjadi kompetisi. Manfaat tumpangsari menurut Efendi (2008) adalah dapat meningkatkan produktivitas lahan dan akan menjamin penutupan tanah sepanjang tahun dan dapat mengurangi erosi. Wahdiati (1990) menyatakan bahwa tumpangsari memiliki keuntungan produktivitas lahan tinggi, mengurangi resiko kegagalan panen, efisiensi dalam penggunaan sarana dan produksi, penekanan gulma dan mengurangi erosi sedangkan menurut Supriyatman (2011) suatu lahan yang ditanami dua atau lebih tanaman akan memberikan total produksi lebih besar dibandingkan bila hanya satu tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL) pola tumpang sari tersebut dengan jumlah dari umur panen tumpang sari. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di Rooftop Gedung Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Kota Malang pada ketinggian tempat ±460 m dpl dan rata-rata suhu udara harian antara 20-28oC. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga bulan Juni 2016. Bahan yang digunakan antara lain, bibit kacang merah Varietas Lokal dan bibit bawang merah Varietas Filipina, dan pestisida nabati Bio-care dengan bahan aktif jamur Beauveria bassiana 108 cfu.ml-1 Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dibandingkan dengan kontrol (Orthogonal Kontras) yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Perlakuan dalam RAKF diulang sebanyak 3 kali, yaitu K = Monokultur KM, Faktor I :Jumlah Tumpangsari BM (J1 = 1 tanaman, J2 = 2 tanaman, J3 = 3 tanaman), Faktor II : Umur Panen Tumpangsari BM (U1 = 20 hari, U2 = 40 hari, U3 = 60 hari). Parameter untuk tanaman utama meliputi bobot basah dan bobot kering kacang merah, bobot basah polong / tanaman. Sedangkan parameter yang digunakan tanaman sela yaitu bobot basah dan bobot kering tanaman. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (uji F) dengan taraf 5% untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan yang diberikan, jika terdapat hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji BNT dengan taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem penanaman monokultur kacang merah memiliki bobot segar biji kacang merah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem penanaman tumpang sari kacang merah dan bawang merah. Hasil bobot segar biji kacang merah yang lebih tinggi ditunjukkan pada perlakuan jumlah 1 tanaman sela bawang merah dengan umur panen 20 hst. Sedangkan bobot segar biji kacang merah yang lebih rendah ditunjukkan pada perlakuan penanaman 3 bawang merah dengan umur panen bawang erah 60 hst, namun tidak berbeda nyata dengan penanaman 3 bawang merah dengan umur panen 40 hst.
Tabel 1. Total Bobot Segar Biji Kacang Merah per Tanaman
PROSIDING |6 ∑ BM + Umur Panen
Bobot Segar Biji Kacang Merah (g/tanaman)
Monokultur KM
21,71 B
Tumpangsari KM + BM
15,84 A
1 BM Panen 20 HST
18,26 e
Panen 40 HST
17,17 d
Panen 60 HST
16,25 c
2 BM Panen 20 HST
15,97 c
Panen 40 HST
15,68 c
Panen 60 HST
15,65 c
3 BM Panen 20 HST
14,82 b
Panen 40 HST
14,75 ab
Panen 60 HST
14,06 a
BNT 5 %
0,74
Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom sama menunjukan tidak berbeda nyata, huruf besar berdasarkan uji Orthogonal Kontras dan huruf kecil berdasarkan uji BNT 5% , HST: Hari Setelah Tanam, BM: Bawang Merah, KM: Kacang Merah.
Peningkatan bobot polong berkaitan dengan besar fotosintat yang dialirkan ke bagian polong, jika transport fotosintat pada polong tinggi, maka ukuran polong semakin besar dan bobot polong akan meningkat (Falah, 2009). Selain itu, faktor yang berperan dalam menentukan produksi tanaman yaitu luas daun dan hasil fotosintesis yang dihasilkan daun berupa fotosintat. Bobot polong kacang merah yang tinggi pada sistem penanaman monokultur dibandingkan dengan sistem penanaman tumpang sari pada tanaman kacang merah dan tanaman sela bawang merah dikarenakan kompetisi dalam mendapatkan lingkungan tumbuh yang optimal seperti unsur hara, cahaya, suhu, kelembaban dan ruang tumbuh tidak telalu tinggi. Indayani et al. (2000) menyatakan bahwa kompetisi antar tanaman akan terjadi pada saat tanaman mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan tanaman tertentu. Kemampuan suatu tanaman dipengaruhi oleh daun dan akar yang merupakan bagian yang berperan aktif dalam kompetisi. Luas daun dan jumlah daun pada tanaman akan meningkatkan kompetisi, Sehingga, tingkat kompetisi tanaman akan tinggi dan menurunkan hasil tanaman. Menurut Suwarto et al. (2005), Ketika dua atau lebih jenis tanaman tumbuh bersamaan akan terjadi interaksi, sehingga setiap jenis tanaman harus memiliki ruang yang cukup untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan meminimumkan kompetisi. Gomez dan Gomez (2007) menambahkan bahwa beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam sistem tanam tumpangsari yaitu (1) pengaturan jarak tanam, (2) populasi tanaman, (3) umur panen tiap-tiap tanaman dan (4) kepekaan tanaman terhadap persaingan selama daur hidupnya (Syarif, 2004). Waktu tanam yang berbeda mempengaruhi produksi tanamanm karena waktu tanam berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan tingkat kecepatan pertumbuhan vegetatif serta dominansi tanaman dalam menguasai ruang, sehingga tanaman yang dominan
PROSIDING |7 dan memiliki fase vegetatif cepat mampu berkompetisi dalam mendapatkan air, nutrisi dan cahaya dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatifnya yang lambat dan akan berpengaruh pada produksi tanaman. Tabel 2. Bobot Segar Total per Polibag Bawang Merah dan Bobot Kering Total Per Polibag Akibat Perlakuan Jumlah Tanaman Bawang Merah dan Umur Panen Bawang Merah pada Tumpangsari Kacang Merah dan Bawang Merah. ∑ BM + Umur Panen 1 BM Panen 20 HST Panen 40 HST Panen 60 HST 2 BM Panen 20 HST Panen 40 HST Panen 60 HST 3 BM Panen 20 HST Panen 40 HST Panen 60 HST BNT 5 % Keterangan:
Bobot Segar Bawang Merah (g/polibag)
Bobot Kering Bawang Merah (g/polibag)
6,22 ab 12,62 cd 39,13 f
0,47 a 0,98 ab 4,80 e
7,77 bc 17,42 de 49,48 g
0,88 ab 1,43 bc 7,73 f
2, 30 a 19,08 e 49, 85 g 5,15
1,82 cd 2,82 d 9,05 g 0,61
Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom sama menunjukan tidak berbedanyata, huruf besar berdasarkan uji Orthogonal Kontras dan huruf kecil berdasarkan uji BNT 5%, HST: Hari Setelah Tanam, BM: Bawang Merah, KM: Kacang Merah.
Bobot segar bawang merah pada penanaman 2 dan 3 bawang merah dengan umur panen 60 hst menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan bobot segar bawang merah dengan hasil yang lebih rendah ditunjukkan oleh perlakuan jumlah 1 tanaman sela bawang merah pada umur 20 hst dan perlakuan jumlah 3 tanaman bawang merah dengan umur panen 20 hst. Bobot kering bawang merah dengan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya ditunjukkan pada perlakuan penanaman 3 bawang merah dengan umur panen 60 hst. Hal tersebut disebabkan pada kemampuan tanaman dalam mengabsorbsi energi matahari optimal dalam proses fotosintesis. Jarak tanam yang lebih rapat pada jumlah tanaman yang lebih tinggi mengakibatkan kompetisi dalam jumlah cahaya yang diabsorbsi oleh tanaman, sehingga proses fotosintesis kurang optimal pada tanaman yang mendapatkan sedikit cahaya matahari (Sarjiyah, 2002). Penurunan kuantitas dan kualitas cahaya yang diserap oleh tanaman akan mengakibatkan penurunan jumlah fotosintat dan berpengaruh pada produksi tanaman.
PROSIDING |8 Tabel 3. Hasil perhitungan LER (Land Equivalent Ratio) Pola Tanam Monokultur Tumpangsari
Kacang Merah 28,51 23,54
Hasil Produksi ton/ha Bawang Merah 22,65 21,01
Nilai LER 1,74
Pada Tabel 3. Menunjukkan bahwa hasil nilai (Land Equivalent Ratio) pada tumpangsari tanaman kacang merah dan bawang merah didapat nilai 1,74. Evaluasi keberhasilan suatu bentuk pola tanam tumpangsari dapat dilihat dengan cara mengevaluasi efisiensi penggunaan lahan (Land Equivalent Ratio). Berdasarkan nilai Land Equivalent Ratio(LER) (Tabel 3) menunjukkan bahwa sistem tumpangsari tanaman kacang merah mampu meningkatkan produktivitas lahan. Hasil nilai Land Equivalent Ratio (LER) yaitu 1,74. Hal ini sejalan dengan penelitian Sektiwi (2013) yang menyatakan bahwa tumpangsari kacang tanah dengan jagung dengan perlakuan kombinasi waktu tanam kacang tanah menghasilkan NKL yang tinggi dan menunjukkan bahwa penggunaan lahan efisien. Menurut Guritno (2011) yang menyatakan bahwa hasil perhitungan LER semakin mendekati angka 2 menunjukkan bahwa pola tanam tumpangsari semakin efisien dalam penggunaan lahan. Hiebsch et al. (1995) menambahkan bahwa nilai LER >1 menunjukkan pertanaman monokultur memerlukan lahan yang lebih luas daripada tumpangsari agar diperoleh hasil yang sama dengan yang diperoleh pada tumpangsari. Jumlah pertanaman per satuan luas merupakan faktor penting untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Pengaruh jarak tanaman yang lebar dapat menaikkan hasil tiap tanaman. Sebaliknya jarak yang sempit mengakbatkan persaingan pemanfaatan cahaya, air, unsur hara dan faktor tumbuh lainnya diantara tanaman yang tumbuh berdekatan KESIMPULAN Tumpang sari pada tanaman utama menurunkan bobot kering tanaman utama bila populasi tumpang sari 3 tanaman dengan umur panen 60 hst. Nilai NKL tumpang Sari kacang merah dan bawang merah 1 tas dengan umur panen 20 hst memiliki nilai NKL 1.74. DAFTAR PUSTAKA Efendi, S. 2008. Cropping System Suatu Cara Untuk Stabilitas Produksi Pertanian. Penataran PPS Bidang Agronomi dalam Pola Bertanam. Lembaga penelitian Bogor. Falah, R. N. 2009. Budidaya Jagung Manis. Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. Gomez, A.A. dan K. A. Gomez. 2007. Multiple Cropping in the Humid Tropic of Asia. Terjemahan. Andalas Press. Padang Guritno, B. 2011. Pola Tanam Di Lahan Kering. Universitas Brawijaya Press. Malang. Hiebsch, C. K.,F. Tetio-Kagho, A. M. Chirembo, and F.P. Gardner. 1995. Plant Density and Soybean Maturity in a Soybean-Maize Intercrop. Agron. J. R-03527. Indayani, Neny, Nasrullah, dan D. Priyanto. 2000. Kegiatan Biometrika Daya Saing antara Varietas Kedelai pada Pertananaman Campuran dan Baris Berseling. Agrosains 13 (2) : 183-184. Kuhn, M. 1995. Rooftop Resources City Farmer. Canada’s Office of Urban Agriculture Book Jilid II. Canada.