Problematik Pembaruan Hukum dan Persoalan Agraria: Transplantasi Hukum, Posisi Hukum Lokal dan Agenda Pembaruan Hukum Agraria Bernadinus Steni
Perkumpulan HuMa Jakarta 2008
[Sejak lama pembaruan agraria diupayakan dalam berbagai langkah hukum, namun hingga saat ini berbagai upaya tersebut senantiasa menemukan kesulitan bekerja yang serius, karena selain dihujani masalah-masalah empirik yang kontekstual, cara berpikir hukum di Indonesia merupakan warisan tradisi Eropa yang dicangkokkan ke Indonesia. Pencangkokan tersebut menyisakan kendala teoritik dalam memikirkan ulang pembaruan hukum agraria. Karena itu, pemikiran-pemikiran baru, antara lain pluralisme hukum, perlu dimunculkan untuk mengasah ketajaman langkah dan strategi kita ke depan]
Pengantar Secara historis, di negeri-negeri bekas kolonial seperti Indonesia, hukum formal merupakan perangkat yang pernah dipakai oleh pemerintah kolonial untuk mengetatkan daya cengkeram mereka atas pribumi dan sumber daya alam yang dikuasai pribumi. Hukum kolonial tersebut, masih terus dipakai hingga kini, tidak hanya substansinya tetapi juga seringkali spiritnya yang menindas dan mengeksploitasi. Karena itu, pembaruan hukum dalam konteks negara post-kolonial seperti Indonesia, tak pelak lagi berhadapan dengan segala infrastruktur hukum yang memang dicangkokan (legal transplantation) mendekati utuh dari negeri Belanda. Tanpa proses reflektif yang lebih dalam untuk memeriksa ulang warisan-warisan Belanda tersebut, pemerintah tetap mengikuti warisanwarisan itu secara serampangan. Pada titik ini, persoalan lain segera menunggu. Hukum yang dicangkokan buta terhadap realitas sosial, sehingga ketika diterapkan, seringkali menjadi akar kekerasan struktural yang menghantam dengan keras hak-hak masyarakat lokal yang bernaung di bawah kekuatan hukum lokal. Inilah salah satu masalah yang terus diwariskan dalam tradisi hukum Indonesia. Transplantansi secara etimologis berarti pencangkokan. Dalam konteks hukum, transplantasi berawal dari warisan hukum kolonial di negara-negara bekas jajahan dimana, hukum-hukum itu serta merta digunakan sebagai bagian dari hukum negara merdeka. Tetapi penggunaan tersebut menyimpan persoalan kontekstualisasi hukum yang seringkali berbeda antara negara tempat bersemainya pemikiran, azas dan rumusanrumusan hukum dengan tempat penggunaannya. Selanjutnya, seperti lingkaran setan, negara-negara bekas kolonial terjebak kesulitan serius untuk melepaskan diri dari hukum kolonial karena senantiasa diproduksi dan direproduksi ulang dalam hukum-hukum lain di level makro maupun peraturan-peraturan dan lembaga pelaksana (Wignjosoebroto, 2002). Tulisan ini mencoba untuk melihat warisan tersebut dalam substansi peraturan agraria (bumi, air dan ruang angkasa) dan Sumber Daya Alam (pertambangan, hutan, tanah, pesisir, laut, daerah aliran sungai, dll) terutama untuk memeriksa bagaimana dan apa konsekuensi warisan tersebut ketika bertemu dengan hukum-hukum lokal yang berbasis pada identitas lokal masyarakat adat. Uraian akan berawal dari persoalan transplantasi substansi hukum agraria yang menimbulkan persoalan dalam hukum dan juga konflik lapangan. Dua persoalan ini akan diperiksa lebih luas dalam gagasan-gagasan hukum yang memperlihatkan bahwa masalah transplantasi hukum tidak hanya persoalan asimestris konsep hukum barat dalam konteks Indonesia tetapi juga pada gagasan, pengetahuan dan sejarah yang membingkainya.
©
http://www.huma.or.id
Transplantasi Hukum Agraria Dalam banyak studi tentang warisan kolonial hukum agraria (Alam dan Fitryawan [peny], 2005: 138), (Fauzi, 2003: 17-36), (Lynch dan Harwell, 2002: 19-43) sekurang-kurangnya, bisa disimpulkan ada dua warisan besar substansi hukum agraria kolonial Belanda ke dalam hukum Indonesia masa kini: pertama, domein verklaring * yang direproduksi lewat konsep Hak Menguasai Negara (HMN) dalam UUPA. Disana negara memiliki tiga kewenangan pokok, yakni: (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria; (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Secara atributif, HMN dapat dikuasakan kepada pemerintah, masyarakat hukum adat dan daerah-daerah swatantra, sehingga HMN bisa diterjemahkan sebagai hak ulayat masyarakat adat yang berada pada level lokal. Namun, dalam berbagai undang-undang sektoral, konsep HMN menyempit. UU Kehutanan menyebut HMN memberi wewenang kepada pemerintah, secara khusus Menteri Kehutanan untuk menjalankan tiga kewenangan, yakni (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. UU sumber daya air juga memberi kewenangan penyeleggaraan penguasaan air kepada pemerintah/pemerintah daerah. Peta kecenderungan HMN ini, meski terlalu simplistis, paling tidak memperlihatkan bahwa posisi masyarakat adat yang diatur secara setara dengan pemerintah dalam rezim UUPA, nampaknya ditelikung menjadi relasi yang subordinat dengan pemerintah. Ketimpangan relasi diikuti dengan mengecilnya hubungan masyarakat adat dengan sumber-sumber agraria. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air mensyaratkan pengakuan hukum sebagai basis legal sebelum masyarakat adat memiliki akses terhadap agraria dan sumber daya alam. Dalam hal ini, ada dua bentuk pengembangan baru atas rezim HMN, yakni: (1) untuk memperoleh haknya sebagai masyarakat adat, berbagai undang-undang ini mensyaratkan adanya pengakuan hukum yang diikuti oleh perangkat prosedur sebagai konsekuensi hukum untuk memastikan ukuran, tahapan dan standar hukum yang sedapat mungkin seragam sifatnya. (2) Hak penguasaan adat yang selevel dengan HMN dalam rezim UUPA dikurangi menjadi hak berbasis rezim perijinan. Disana, untuk mendapatkan hak tertentu atas hutan, masyarakat adat harus mengikuti sejumlah prosedur tertentu. Persoalannya menjadi lebih rumit di level birokrasi lapangan. Di sejumlah tempat, untuk mendapatkan hak memanfaatkan hasil hutan, masyarakat (hukum) adat harus melalui *
Domeinverklaring sebetulnya dimulai sejak jaman Raffles tahun 1813. Ketika itu, Raffles mendeklarasikan bahwa hak kepemilikan atas lahan di Jawa disatukan dalam kepentingan kedaulatan Eropa sebagai pewaris kedaulatan Jawa. Untuk menjamin penafsiran ekspansif Deklarasi Raffles, setiap lahan yang tidak digarap atau telah dibiarkan selama lebih dari 3 tahun, dianggap sebagai lahan sisa yang tidak ada pemiliknya. Pemerintah Kolonial Belanda menegakan kembali Deklarasi Raffles dengan menyatakan bahwa lahan sisa di kawasan Jawa dan Madura merupakan milik negara. Belakangan, konsep ini juga diterapkan di wilayah kekuasaan tidak langsung Belanda, seperti Domeinverklaring untuk Sumatera (pasal 1, Staatsblad 1874-94f), Domeinverklaring untuk Manado (pasal 1, staatsblad 1877-55), Domeinverklaring untuk Borneo/Kalimantan (pasal 1 Staatsblad 1888-58). Lihat Lynch dan Harwell, 2002, Whose Natural Resources ? Whose Common Good ?, Elsam, HuMa, Jakarta, hal. 19-43 ©
http://www.huma.or.id
tahapan yang berlapis. Menurut temuan Rikardo Simarmata, setidaknya ada tiga langkah yang harus ditempuh yakni (1) harus diakui keberadaannya oleh pemerintah provinsi; (2) areal hutan adatnya harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan; (3) Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota memberikan ijin pemanfaatan hasil hutan. Tahapantahapan tersebut, demikian rumitnya (birokratis, tidak ramah, high cost), sehingga hampir-hampir sulit ditempuh oleh masyarakat adat yang tidak terbiasa dengan prosedur formal (Simarmata, 2006: 316-317). Dalam hal ini, hukum negara sudah tidak lagi mengakui rezim penguasaan adat karena dengan menempatkannya dalam rezim perijinan, segera tertera implikasi konsep perijinan bahwa hak tradisional adat adalah sesuatu yang dilarang atau tidak boleh dikerjakan tapi atas ijin pejabat yang berwenang, penguasaan tersebut boleh dikerjakan dengan membayar pajak, sebagai syaratnya. † kedua, UUPA mewarisi rezim property rights hukum Barat, seperti pembagian jenis hak dalam pasal 16 maupun berbagai jenis hak lainnya dalam berbagai UU sektoral tetapi juga dalam prakteknya diterapkan di atas wilayah-wilayah tradisional yang tidak mengenal rezim hak tersebut. Sejumlah studi-studi empirik memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata antara hak kategoris dan hak konkrit. Hak kategoris adalah konsep hukum yang membentuk hubungan umum hak antara kategori individu atau kelompok dengan kategori sumber daya. Contoh, kategori kepemilikan, hak pengusahaan hutan, hak guna usaha, hak pengelolaan, hak pakai. Hak kategoris mencakup aturan-aturan dan prinsip-prinsip umum yang diungkapkan dalam istilah-istilah umum dimana tanah, air dan sumber daya alam lainnya, secara mudah diperoleh, dipindahkan maupun dialihkan. Hak konkrit, sebaliknya, hubungan hak dibentuk antara orang atau kelompok konkrit dengan sumber daya konkrit, dimana kriteria hukum dari kategori hak, hadir dalam hubungan sosial yang konkret (Franz dan Keebet von Benda-Beckmann, 2001: 37-40). Dalam konteks ini, hak privat yang diagung-agungkan dan ditulis ulang dalam UUPA, seringkali tidak kompatibel dengan kondisi empirik dalam hubungan hak di Indonesia. Di masyarakat Kayan, Limbai dan Punan, misalnya, tidak begitu tegas pembedaan antara kawasan milik perorangan dengan hak orang lain untuk memanfaatkan sumber daya di kawasan tersebut. Prinsip penguasaan lahan hutan berdasarkan siapa yang membuka hutan pertama kali, tetapi orang luar, dalam arti sesama rumah panjang, desa/dusun atau sesuku, boleh memakai asalkan minta ijin terlebih dahulu (Fauzi dan Nurjaya, 2000: 155156).
Transplantasi dan Konflik Agraria Transplantasi hukum agraria, baik konsep, azas hingga isinya memang menimbulkan jurang ketimpangan yang lebar dan dalam, terutama antara apa yang tertera dalam teks hukum dengan kenyataan di lapangan. Pasal-pasal hukum warisan kolonial yang dipertahankan secara ketat, selain menimbulkan pertanyaan kontekstualisasi hukum, juga menyumbang pada runyamnya persoalan agraria di lapangan. Tumpang tindih klaim berbasis hukum yang berbeda-beda dan manipulasi regim properti barat yang haus akumulasi modal menimbulkan konflik lapangan yang berujung pada sejumlah korban. ‡
†
‡
Ijin secara konseptual adalah penetapan timbul dari strategi dan teknik yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa ijin tertulis untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh pemerintah lihat Prajudi Atmosudirjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, cet ke 10, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 96-97 Sejak awal hukum Barat atau hukum modern merupakan pasangan sejati kapitalisme karena keduanya lahir dari semangat kaum pedagang sebagai kelas menengah untuk membuat aturan main menggantikan feodalisme Raja dan dominasi Gereja. Lihat F.X. Adji Samekto, 2005, Studi Hukum Kritis Kritk terhadap Hukum Modern, Citra Aditya Bakti Bandung, hal. 23-32 ©
http://www.huma.or.id
Pemerintah berbasis hak menguasai negara, secara sepihak mengeluarkan ijin di atas kawasan yang sudah dihuni dan dimiliki oleh masyarakat lokal/adat. Dalam catatan KPA, misalnya, sepanjang 2007, terjadi peningkatan kekerasan terhadap petani. Setidaknya ada 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa. Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar (KPA, 2007). Data ini melengkapi catatan konflik agraria struktural KPA yang merekam 1753 konflik agraria dalam periode 1970-2001 dimana cakupan luas tanah yang dipersengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengakibatkan 1.189.482 keluarga menjadi korban (Kompas, 25 Juni 2004). Sementara menurut Data BPN, hingga 2007, terdapat 2810 konflik agraria skala besar (Kompas, 30 Juni 2007). Di bidang kehutanan, pemberlakuan UU No 41 Tahun 1999 tidak banyak mengubah regim penguasaan negara dalam undang-undang sebelumnya (UU No 5/1967), sehingga memicu sejumlah konflik serius, dimana masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya, sekali lagi menjadi korban. Misalnya, pada tanggal 10 Maret 2004, di Kabupaten Manggarai, NTT, empat orang warga kampung Tangkul-Colol tewas ditembak Polisi, karena memprotes penahanan warga mereka yang dituduh merambah kawasan hutan lindung. Pemerintah daerah setempat juga menebang habis kopi petani karena menganggap kawasan produktif yang dikelolah petani tersebut, berada di areal hutan lindung. Transplantasi dan Politik Hukum Masalah-masalah agraria yang dipicu oleh pengabaian hukum negara terhadap klaimklaim hukum lokal atas sumber-sumber agraria dan sumber daya alam memperlihatkan regim pemikiran hukum yang berbeda-beda. Pemeriksaan lebih mendalam secara historis menunjukan bahwa kategori-kategori hukum barat yang dipaksakan secara semena-mena untuk konteks Indonesia, berawal dari tradisi pemikiran hukum modern yang mengalir secara kuat dan mempengaruhi pemikiran hukum Eropa. Hukum modern percaya bahwa kekuatan rasio berlaku universal dan menjadi alat utama penemuan kebenaran yang sifatnya universal. Keyakinan ini menolak pandangan hukum alam bahwa kebenaran juga dapat dicapai melalui universalitas nilai tertentu, termasuk pilihan moral. Prinsip-prinsip rasionalitas hukum modern yang mengacu pada atau bersumber dari metodologi pengetahuan barat mengadopsi hampir keseluruhan konteks sosial masyarakat barat. Karena itu, di tempat kelahirannya, hukum modern tidak begitu menimbulkan pertentangan sengit antara hukum dan kebiasaan sosial. Dalam konsep kodifikasi, misalnya, nampak benar hubungan yang kompatibel antara kepentingan norma sosial masyarakat lokal dengan hukum negara modern (Wignjosoebroto, 2002). Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, dalam sejarahnya di Eropa, khususnya Prancis, kodifikasi ditujukan kepada hukum-hukum yang pada substansi dan esensinya tidak berbeda jauh dengan kaidah-kaidah lokal. Ketika Napoleon mengundangkan ketiga kitab hukum pada awal abad 19 di Perancis, misalnya, isi ketiga kodifikasi tersebut sebenarnya tidak lain dari hasil perekaman kembali kaidah-kaidah sosial yang secara de facto telah berlaku dan dianut oleh masyarakat-masyarakat lokal di negeri itu (Wignjosoebroto, 2006). Dalam hal itu, hukum Perancis memberi tempat istimewa bagi pluralisme sosial yang eksis di negeri itu. Hukum negara tidak menjadi batu sandungan bagi tertib hukum lokal dan juga sebaliknya, hukum lokal mendukung dan bahkan menjadi isi dari hukum negara. ©
http://www.huma.or.id
Namun, masalah hukum modern segera nampak dalam sejumlah penerapannya di negerinegeri lain, termasuk negeri jajahan. Di Jerman, terjadi penolakan serius dari sejumlah ilmuwan hukum Jerman yang sering dikenal sebagai Mazhab Sejarah (Historical Jurisprudence). Karl von Savigny yang merupakan proponen penolakan tersebut mengajukan tesis yang sangat terkenal hingga sekarang, “das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke (hukum itu tidak dibuat, melainkan ada dan tumbuh bersama bangsa, rakyat atau masyarakat)”. Pemikiran utama Savigny dan para pengikutnya, mengandung tiga hal pokok: pertama, hukum itu ditemukan, bukan dibuat. Pertumbuhan hukum pada hakekatnya adalah proses yang tidak disadari dan organis, maka peraturan perundang-undangan tidak lebih penting dibandingkan dengan kebiasaan (custom); kedua, hukum yang mulai tumbuh sebagai hubungan hukum yang sudah dipahami dalam masyarakat-masyarakat primitif ke arah hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern, menyebabkan kesadaran hukum rakyat tak dapat lagi menjelma secara langsung tetapi diwakili oleh sarjana hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi Sarjana Hukum tetap merupakan alat kesadaran masyarakat yang memberikan bentuk bagi bahan-bahan mentah yang disediakan oleh masyarakat. Pembentukan undang-undang merupakan taraf terakhir dan karena itu sarjana hukum secara relatif merupakan sarana pembentuk hukum yang lebih penting daripada legislasi. Ketiga, hukum-hukum tidak lah mempunyai daya laku universal. Tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya sendiri sebagaimana yang mereka lakukan dalam bidang bahasa, tingkah laku dan konstitusinya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, Savigny percaya bahwa volkgeist (jiwa bangsa) menjelmakan dirinya pada hukum rakyat (Purbacaraka dan Ali, 1990: 21-22). Dalam konteks Indonesia, model kodifikasi diteruskan oleh Belanda ke dalam sistem hukum di Hindia Belanda, untuk tiga kitab yakni pidana, perdata dan dagang. Perdebatan muncul ketika pemerintah kolonial berniat menerapkan kodifikasi hukum Eropa ke semua golongan penduduk di Indonesia. Kelompok Uttrecht mendukung gagasan itu. Sementara kelompok Leiden yang diwakili van Vollenhoven menjadi pendukung keberadaan hukum adat dan hingga sekarang dikenang sebagai bapak hukum adat. Menanggapi upaya penerapan peraturan kolonial yang terkodifikasi atas pribumi, van Vollenhoven menyatakan hukum untuk orang Indonesia adalah hukum yang hidup dalam bangsa Indonesia (Rahardjo, 2004: 26-27). Hukum untuk orang Indonesia adalah urusan yang merupakan batin atau jiwa orang Indonesia. Sehingga, hukum yang paling cocok untuk orang Indonesia adalah hukum mereka sendiri, dalam hal ini hukum adat yang telah menjiwai perilaku mereka sebagai orang Indonesia. Ide dualisme ini diterima hingga kini dan secara moral lazim dipertahankan sebagai gagasan yang berpihak pada Indonesia. Secara kelembagaan, pemerintah kolonial memang cenderung memberi kesempatan pluralitas struktur pemerintahan berbasis model-model kelembagaan lokal. Melalui IGO (Inlandshe Gemeente Ordonantie), Staatsblad 1906 No 83, pemerintah Belanda mengakui Pemerintahan Desa di Jawa dan Madura dan IGOB (Inlandshe Gemeente Ordonantie Biutengewsten) Staatsblad 1938, No 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat di sepuluh wilayah di luar Jawa-Madura. Karena itu, di era Kolonial Belanda, pemerintah tidak berusaha menciptakan struktur baru bagi masyarakat desa, tetapi memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di pedesaan (Zakaria, 2000). Namun, dualisme hukum warisan jaman van Vollenhoven nampaknya bersifat ambigu. Di satu sisi, secara hukum tersurat adanya pengakuan tetapi sebagian besar kajian politik ekonomi menunjukan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak pernah berkehendak melindungi masyarakat adat. Sebagaimana dikatakan Dan Lev: Sejak permulaan, pihak kompeni (VOC) berketetapan menghormati hukum lokal – cara lain untuk mengatakan bahwa pada umumnya mereka tidak dapat mengesampingkannya – kecuali bila kepentingan dagang jadi taruhan. Hal yang tidak mereka hormati dan ambisi mereka pun cenderung tidak menghormatinya, ©
http://www.huma.or.id
adalah hubungan-hubungan ekonomi dan politik yang selamanya merupakan sumber pokok hukum lokal (Lev, 1990). Dalam konteks agraria, promosi hukum barat menjelma dalam sertifakt-sertifikat tanah yang tidak terjangkau oleh hukum-hukum adat. Domein Verklaring atau pernyataan tanah negara lewat Agrarische Besluit yang melaksanakan Agrariche Wet tahun 1870 dan Bosch Ordonantie (Peraturan Pelaksana Tentang Kehutanan) tahun 1920, menggusur hukum adat yang tidak memiliki bukti formal, sekaligus memperlihatkan karakter kolonial yang sesungguhnya; bahwa pengakuan atas hukum adat adalah bagian dari upaya preservasi agar masyarakat adat tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk mengklaim hak-hak yang setara, sebagaimana tertuang dalam semangat hukum liberal. Dengan demikian, di atas tanah-tanah masyarakat adat, hukum barat secara bebas diterapkan karena kawasankawasan tersebut sudah sejak dini ditetapkan sebagai kawasan negara. Struktur-struktur adat pun diakui tetapi sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial, dimana menunjuk struktur pribumi adalah kecerdikan politik yang canggih karena kekuatan kontrol kolonial melebur masuk jauh ke relung-relung ketaatan tradisional warga adat kepada tetua mereka (Zakaria, 2000, McCarthy, 2001). § Pasca kemerdekaan, tanpa banyak membicarakan konteks lokal yang beragam, pemerintah Indonesia meneruskan ambiguisitas kebijakan kolonial dengan mengakui bagian tertentu dari hukum adat, seperti perkawinan dan waris, yang nampaknya tidak langsung bersentuhan dengan sumber-sumber ekonomi pemerintah. Tetapi pada wilayah produktif seperti sumber daya alam, hukum Eropa dipaksakan secara arbitrer ke tengah berbagai komunitas melalui imperium HMN, sehingga dalam banyak fakta telah memicu api konflik antara agen-agen pemerintah dengan komunitas hukum lokal (Moniaga, 2007: 275-276).
Berbagai Pendekatan dan Konsep Baru Era pasca reformasi, pendekatan-pendekatan dan konsep-konsep baru dalam melihat hukum mulai bermunculan, antara lain sampai pada beberapa tesis, bahwa berbagai wilayah sosial memang memproduksi tatanan hukum yang plural dengan latar belakang konteks yang berbeda-beda atau dikenal dengan pluralism hukum. Argumen ini tidak hanya bersifat antropologis tetapi juga mengakomodasi hak masyarakat adat/lokal yang dalam kerangka hukum Internasional dimasukan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Karena itu, pluralisme hukum menyangkal sentralisme hukum yang tidak hanya memperkenalkan dan memaksakan berlakunya hukum negara atas situasi hukum konkrit tetapi juga telah mengingkari hak-hak masyarakat adat/lokal. Dalam suatu uraian yang padat, Griffiths menjelaskan sebagai berikut: Pluralisme hukum adalah sesuatu yang ada di segala situasi, merupakan sesuatu yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat, dimana setiap hukum dan institusi hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tidak tergabung dalam atau bersumber pada satu sistem tetapi bersumber pada tiap aktivitas pengaturan diri sendiri yang ada pada berbagai wilayah sosial yang beragam. Aktivitas tersebut dapat saling mendukung, melengkapi, mengabaikan atau mengacaukan satu dengan yang lain, sehingga “hukum” yang efektif secara nyata dalam masyarakat adalah hasil dari proses kompetisi, interaksi, negosiasi dan isolasi yang bersifat kompleks dan tidak dapat diprediksi (Griffiths, 2006: 69-118) §
Dalam studi John McCarthy, misalnya, pemerintah kolonial sudah menerapkan strategi jitu untuk melakukan kontrol atas sumber daya alam di nusantara melalui penunjukan struktur-struktur adat sebagai perwakilan administrasi kolonial. Di Tanah Alas, Aceh Tenggara, sejak 1904 pemerintah kolonial Belanda sudah menempatkan struktur adat sebagai bagian dari kontrol teritorial kolonial atas sumber daya di wilayah itu (McCarthy, 2001). ©
http://www.huma.or.id
Dalam konteks perubahan sosial hukum, pluralisme hukum bisa digunakan sebagai konsep yang bisa menjelaskan sekaligus dipakai untuk memberi ruang bagi hukum lokal. Pluralisme hukum memberi jalan bagi hukum masyarakat adat untuk bertemu dengan banyak hukum lain, tanpa harus didominasi dan dipreteli dengan berbagai syarat yang ditetapkan secara semena-mena oleh hukum negara. Karena itu, berbagai upaya untuk memperkuat dan meneguhkan kembali hukum-hukum lokal atau membentuk hukumhukum baru, diperjuangkan oleh banyak komunitas, paling tidak sebagai salah satu cara untuk mendapat legitimasi atas hak mereka yang telah dirampas di masa lalu dengan menggunakan hukum negara. Namun, upaya-upaya itu masih berhadapan dan juga menimbulkan tantangan politik tersendiri. Pertama-tama, berbagai cita-cita unifikasi hukum sudah berkali-kali tertuang dalam rencana pembangunan hukum nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, persoalan pluralisme hukum, tidak dilihat sebagai masalah serius dalam pelaksanaan dan penegakan hukum negara. Artinya, politik hukum negara memang lebih berminat untuk memaksakan penggunaan hukum yang satu dan sama dari Sabang sampai Merauke atau unifikasi hukum, daripada membuka diri untuk berdialog dengan hukum-hukum lokal untuk menentukan batas, syarat dan negosiasi lainnya yang berhubungan dengan hukum negara-hukum lokal. Dalam hal ini, negara Indonesia merdeka sebetulnya tidak berbeda jauh dengan periode kolonial Hindia Belanda. Bahkan dalam hal tertentu periode Indonesia Merdeka bisa dikatakan sebagai langkah mundur dari era Kolonial Belanda, karena Pemerintah Kolonial Belanda masih mengakui strukturstruktur adat dan dinamika-dinamika hukumnya, meski pengakuan itu bergerak dalam ruang ekonomi politik kolonial. Kedua, komunitas hukum lokal juga sangat majemuk dan dibarengi dengan perubahan-perubahan sosial yang cukup cepat. Kesulitan tetapnya adalah dalam situasi mana dan dengan definisi serta kategori mana saja, suatu kelompok bisa mengklaim haknya berbasis keistimewaan historis-genealogis sebagai masyarakat adat. Persoalannya makin pelik karena pertikaian dalam wacana antropologis juga marak dalam pertarungan politik, dalam arti politik untuk kekuasaan. Disini, hubunganhubungan patron lama dimasak ulang untuk mereproduksi kekuasaan dalam hubunganhubungan politik baru dalam berbagai perubahan politik. Di tingkat lokal, kehadiran otonomi daerah selain berdampak pada ambisi ekonomi politik, juga mempunyai beberapa akibat politik tidak sehat, antara lain karena konstelasi tradisional masyarakat politik Indonesia memang berkawan dekat dengan feodalisme. Gambaran itu makin jelas dalam kecenderungan respons daerah (otonomi daerah) yang diselimuti oleh primordialisme kesukubangsaan. Tatanan kehidupan paternalistiknya pun tetap bertahan (Suparlan, 2001). Setidaknya, dua tantangan politik ini juga bisa dikerjakan dalam diskusi pluralisme hukum. Definisi, peran dan tugas negara perlu dibicarakan ulang, sebelum mendorong pluralisme hukum sebagai kebijakan politik. Sepanjang politik hukum yang dibayangkan adalah sentralisme hukum maka sepanjang itu pula tidak akan ada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang berbasis hukum lokal. Di sisi lain, pluralisme hukum, juga perlu mendiskusikan persoalan ketimpangan struktural dalam hukum-hukum lokal. Disana, hubungannya dengan hak asasi manusia tidak hanya penting tetapi harus dikerjakan. Dalam hal ini, prinsip-prinsip makro perlu mempertemukan berbagai isu-isu analitis dari perspektif antropologi dengan kebutuhan normatif dari perspektif hukum.
Titik Pijak untuk Memulai Nampaknya, mendiskusikan gagasan pembaruan hukum agraria untuk menjawab persoalan-persoalan lokal hanya bisa dimulai dari level lokal. Dalam kajian pluralisme hukum pun, situasi-situasi lokal yang tidak didahului dengan pengandaian-pengandaian
©
http://www.huma.or.id
normatif hukum negara, jauh lebih menggiurkan secara analitis dan deskriptif (Keebet von Benda-Beckmann, 200: 27-28). Namun, lebih dari itu, membawa diskusi-diskusi gagasan hukum ke level lokal adalah bagian dari upaya menemukan jawaban yang lebih dekat ke realitas di lapangan. Karena itu, studi-studi lapangan yang memotret dan menganalisa aktor, interaksi antaraktor, faktor-faktor sosial yang mempengaruhi, sangat penting dalam memetakan dan mencari solusi yang relatif tepat untuk penyelesaian konflik agraria. Dalam kaitannya dengan konsep pluralisme hukum, membawa isu agraria ke konteks lokal merupakan bagian dari upaya untuk memotret hubungan hukum yang kompleks dan konkrit yang merupakan penentu yang riil atas persoalan-persoalan agraria. Bagaimana sejarah klaim, respons birokrasi lokal dan interpretasi hukum bekerja dalam upaya-upaya langsung pembaruan penguasaan dan pemilikan tanah, sangat jelas terjadi di level lokal. Karena itu, rekomendasi-rekomendasi konkrit pun tepat dipakai dalam level lokal-konkrit yang bisa jadi sifatnya kasuistik. Tetapi, patut dicatat, penyelesaian konkrit yang bertumpu pada pemahaman mikro yang kompleks, sangat membutuhkan energi yang lebih besar karena konflik agraria telah meluas dan menyebar hampir di semua wilayah pedesaan. Dalam hal ini, pembahasan atas hubungan hukum negara-hukum lokal di level makro tetap diperlukan terutama untuk melihat norma, konsep dan konstruksi hukum serta ideologi yang diandaikan di dalam sistem hukum (Keebet von Benda-Beckmann, 2006: 29-30). Menentukan pola-pola hubungan agraria di level makro, paling tidak memberi panduan umum bagi penataan hubungan-hubungan hukum agraria yang selama ini seringkali dipakai hanya untuk mendukung ideologi dan konstruksi kepentingan sekelompok orang tertentu. Disini, pendekatan mikro yang menelisik situasi konkrit juga bisa diartikulasikan ke level makro agar memberi kontribusi bagi pembentukan hubungan hukum baru yang menata ulang struktur-struktur agraria yang timpang di masa lalu. Masalah-masalah transplantansi hukum dalam pembaruan hukum agraria bisa segera diperiksa lagi dan seharusnya agraria segera direspons dalam konteks makro dan mikro. Dalam konteks makro, transplantasi dikerjakan ulang dengan berbasis pada apa yang menjadi tuntutan dalam level mikro. Sehingga, bukan lagi transplantasi tetapi pilihan sadar bahwa kebutuhan di level mikro memang meminta dukungan nilai-nilai dari luar. Dalam hal itu, transplantasi bergeser menjadi transformasi.
©
http://www.huma.or.id
Referensi: Alam, Rudi Harisyah dan Fitryawan, Agus (Peny), 2005, Dari Konflik Agraria ke Pengharapan Baru, Komnasham, Jakarta Ali, Chaidir dan Purbacaraka, Purnadi, 1990, Disiplin Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Atmosudirjo, Prajudi, 1994, Hukum Administrasi Negara, cet ke 10, Ghalia Indonesia, Jakarta Benda-Beckmann, Franz & Keebet von dan Juliette Koning, 2001, “Jaminan Sosial dan Manajemen Sumber Daya Alam”, dalam Benda-Beckmann, Franz & Keebet von dan Juliette Koning (eds), 2001, Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Benda-Beckmann, Keebet von, “Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis” dalam Tim HuMa, 2006, Pluralisme Hukum: Suatu Pendekatan Interdisiplin, HuMa, Jakarta Fauzi, Noer dan Nurjaya, I Nyoman 2000, Sumber Daya Alam untuk Rakyat, Elsam, Jakarta Fauzi, Noer, 2003, Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global, Insist, Yogyakarta Griffiths, John, “Memahami Pluralisme Hukum: Sebuah Deskripsi Konseptual dalam HuMa”, dalam Tim HuMa, 2006, Pluralisme Hukum: Suatu Pendekatan Interdisiplin, HuMa, Jakarta Harwell, Emily and Lynch, Owen J., 2002, Whose Natural Resources ? Whose Common Good ?, Elsam, Jakarta Kompas, 25 Juni 2004 Kompas, 30 Juni 2007 KPA, 2007, 27 Desember 2007 “Reforma Agraria: Antara Harapan dan Hambatan”, Catatan Akhir Tahun 2007, Bandung Lev, Daniel, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta McCarthy, John, Tanah Alas: Persekutuan Klien, Konservasi, dan Bentuk-Bentuk Institusi Baru di Perbatasan Hutan Sumatera, dalam Benda-Beckmann, Franz & Keebet von dan Juliette Koning (eds), 2001, Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Moniaga, Sandra, “From Bumiputera to Masyarakat Adat: A Long and Confusing Journey”, dalam Davidson, James. S dan Henley, David (eds), 2007, The Revival of Traditon in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism, Routledge Contemporary Southeast Asia Series Rahardjo, Satjipto, 2004, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Muhammadiyah University Press, Solo
©
http://www.huma.or.id
Samekto, F.X. Adji, 2005, Studi Hukum Kritis Kritk terhadap Hukum Modern, Citra Aditya Bakti Bandung Simarmata, Rikardo, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta Suparlan, P. (2001), “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 66. Hal. 4-5 Zakaria, Yando, 2000, Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, Elsam, Jakarta Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan HuMa, Jakarta Wignjosoebroto, Soetandyo, 2006, “Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran dan Kebijakan Perkembangan Hukum Nasional (Pengalaman Indonesia)”, Makalah, Seminar Nasional Pluralisme Hukum: Perkembangan di Beberapa Negara, Sejarah Pemikirannya di Indonesia dan Pergulatannya dalam Gerakkan Pembaharuan Hukum, Kerjasama HuMa dan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar, Jakarta, 21 November
©
http://www.huma.or.id