UNIVERSITAS INDONESIA
PERLAWANAN PIHAK KETIGA YANG BERITIKAD BAIK SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SENGKETA JUAL BELI DI BAWAH TANGAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 339/PDT.PLW/2011/PN.MDO)
TESIS
EVA INDRAYANI BUIDA 1006738185
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JUNI 2012
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
PERLAWANAN PIHAK KETIGA YANG BERITIKAD BAIK SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SENGKETA JUAL BELI DI BAWAH TANGAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 339/PDT.PLW/2011/PN.MDO)
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
EVA INDRAYANI BUIDA 1006738185
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JUNI 2012
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 14 Juni 2012 KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, rahmat, karih karunia dan anugerahNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir tesis ini. Penulisan Tugas Akhir ini berjudul “Perlawanan Pihak Ketiga Yang berithikad Baik sebagai Ahli Waris Dalam Sengketa
Jual
Beli
Di
Bawah
Tangan
(Studi
Putusan
Nomor:
339/Pdt.plw/2011/PN.Mdo)” yang diajukan untuk memenuh syarat kelulusan dan meraih gelar Magister Kenotariatan (S-2) pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dan Penulis mengucapkn terima kasih sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik bantuan secara fisik maupun dorongan moral untuk menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini kepada: 1. Ibu Febby Maria Nelson, SH,MH., selaku dosen Pembimbing yang telah banyak
memberikan
bimbingan
serta
mengarahkan
Penulis
dalam
menyelesaikan tesis ini. 2. Ibu Yelly Lapian. ST selaku nara sumber yang telah membantu Penulis untuk memperoleh dokumen-dokumen terkait dengan penulisan Tesis ini. 3. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia dan selaku Penguji. 4. Bapak Pieter E. Latumenten, S.H., M.H. selaku Pengajar Akademik dan Penguji. 5. Seluruh Staf Pengajar pada program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesiadan seluruh Staf Administrasi Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 6. Orang Tua dan keluarga Penulis yang telah memberikan segala dorongan dan perhatian kepada Penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
7. Yang teristimewa sahabat-sahabat Penulis, Marshella Laksana, Erika, Namira, Audra, Icha Keizer, Yudhistira Karunias, Desca, Sari, Nessia, Nana, Dea, Ghea, Alvita dan Deska Natalia yang telah banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir penulisan tesis ini. 8. Kawan-kawan Penulis di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2010. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Depok, Juni 2012
Penulis
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
ABSTRAK
Nama : Eva Indrayani Buida Program Studi : Magister Kenotariatan Judul :PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN VERZET) YANG BERITIKAD BAIK SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SENGKETA JUAL BELI DI BAWAH TANGAN (Studi Kasus Putusan Nomor 339/Pdt.Plw/2011/PN.Mdo) Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum dalam mana tindakan-tindakan pelaksanaan putusan tersebut dijalankan. Pihak ketiga yang mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi karena adanya keberatan akan hak dan kepentingan pihak ketiga atas hak kebendaan yang menjadi obyek sengketa yang akan dijalankan eksekusinya. Eksekusi dijalankan atas permohonan pihak yang dimenangkan oleh Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pokok permasalah dalam penulisan ini adalah bagaimana keabsahan perlawanan pihak ketiga yang beritikad baik dan bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang beritikad baik sebagai ahli waris dalam sengketa jual beli di bawah tangan. Pelawan adalah pihak yang berkepentingan atas bidang tanah yang menjadi sengketa karena merupakan pemegang hak atas tanah tersebut. Sedangkan sebagai ahli waris dari pemilik tanah, Pelawan berhak atas segala tuntutan hukum berkenaan dengan tanah tersebut dan perbuatan hukum jual beli atas tanah tersebut adalah sah menurut peraturan perundang-undangan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi eksplanatoris dan preskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa antara kantor Pertanahan dan Badan Pertanahan Nasional, Pengadilan Negeri dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus membuat suatu sistem online atau sejenisnya yang bersifat sistematis dan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penguasaan hak atas tanah dan memudahkan masyarakat dalam proses perolehan hak atas tanah sehingga tidak terjadi sengketa dikemudian hari.
Kata kunci
: Perlawanan Pihak Ketiga, Akta Di bawah Tangan, Akta Otentik
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Eva Indrayani Buida : Master of Notary : RESISTANCE THIRD PARTY IN GOOD FAITH AS AN HAIR IN DISPUTE SALE AND PURCHASE UNDERHANDS (PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 339/PDT.PLW/2011/PN.MDO)
Resistance Third Party (derden verzet) filed with the District Court had jurisdiction in which enforcement actions are executed. A third party who filed the opposition to the execution because of the objections of their rights and interests of third parties of the right material that became the subject of dispute to be run execution. Execution is executed at the request of the party won by a court verdict was legally binding. Principal problems in this paper is how the validity of third-party opposition of good will and how the legal protection of third parties acting in good faith as an heir to the dispute trading underhands Interested parties are contrarian over the disputed parcels of land as the land rights holders. Whereas as an heir of the landowner. Contrarian has the right to all charges relating to land and legal acts of the land purchase was legal according to laws and regulations. This research uses Normative Juridical as its research methodology system with Explanatory and Prescriptive typology. The results suggest that the Kantor Pertanahan and Badan Pertanahan Nasional, Pengadilan and Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) have to make an online system or something else like that systematic and can provide information to the public regarding the acquisition of land rights and facilitate the public in the process of acquiring rights above the ground so there is no dispute in the future.
Keywords : Resistance Third Party, the Deed Underhand, Authentic Deed
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. KATA PENGANTAR ...................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ ABSTRAK ....................................................................................................... ABSTRACT ..................................................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................................
i ii iii iv vi vii viii ix
BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2. Pokok Permasalahan ............................................................................ 1.3. Metode Penelitian .................................................................................. 1.4. Sistematika Penulisan ............................................................................
1 15 15 17
BAB II PERLAWANAN PIHAK KETIGA 2.1. Tinjauan Mengenai Putusan Hakim ................................................... 2.1.1. Definisi Putusan ........................................................................ 2.1.2. Macam-macam Putusan ........................................................... 2.1.3. Kekuatan Putusan Hakim ......................................................... 2.1.4. Putusan Hakim Yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu .. 2.1.5. Upaya Hukum Terhadap Putusan ............................................ 2.2. Tinjauan Mengenai Perlawanan Pihak Ketiga ........................................ 2.2.1. Dasar Hukum Dan Pengertian Perlawanan (Verzet) ................ 2.2.2. Macam-macam Perlawanan Pihak Ketiga .............................. 2.2.3. Obyek Perlawanan Pihak Ketiga................................................. 2.2.4. Jangak Waktu Pengajuan Perlawanan Pihak Ketiga ................. 2.2.5. Pihak Ditarik Sebagai Terlawan ................................................. 2.3. Tinjauan Umum Mengenai Itikad Baik................................................. 2.3.1. Teori-Teori Kausalitas................................................................. 2.3.2. Azas Itikad Baik Dalam Hukum Perdata................................. 2.3.3. Itikad Baik Subjektif dan Itikad Baik Objektif....................... 2.3.4. Fungsi Itkad Baik dalam Hukum Perjanjain........................... 2.3.5. Itikad Baik dalam Hukum Pertanahan......................................
18 18 19 21 22 24 24 30 31 35 37 38 41 41 45 48 51 51
BAB. III AKTA NOTARIS DAN PPAT 3.1. Akta Notaris...............................................................................................
62
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
3.1.1. 3.1.2. 3.1.3. 3.1.4. 3.1.5.
Pengertian Akta ............................................................................. Macam-macam Akta ..................................................................... Akta Sebagai Alat Bukti ................................................................ Nilai Pembuktian Akta Notaris ..................................................... Nilai Pembuktian Akta Otentik Dalam Putusan Pengadilan ...
62 64 72 72 73
3.2. Tinjauan Mengenai Sertifikat Hak Atas Tanah...................................... 3.2.1. Tata Cara Mmperoleh Tanah ........................................................ 3.2.2. Pendaftaran Tanah .......................................................................... 3.2.3. Pemeliharaan Dan Pendaftaran Tanah (maintenance) ............ 3.2.4. Penerbitan Sertifikat Berdasarkan Alas Hak Di Bawah Tangan 3.2.4. Kepastian Hukum Pemegang Seertifikat Hak Atas Tanah .........
74 74 84 87 90 92
BAB. IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MANADO NOMOR 339/PDT.PLW/2011/PN.MDO 4.1. Uraian Kasus ............................................................................................ 4.2. Analisis ...................................................................................................... 4.2.1. Keabsahan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Yang Beritikat Baik Sebagai Ahli Waris Dalam Sengketa Jual Beli Di Bawah Tangan ............................................................ 4.2.2. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga (Derden Verzet) Yang Beritikat Baik Sebagai Ahli Waris Dalam Perbuatan Hukum Jual Beli ..............................................................................
BAB. V
93 99
100
102
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ................................................................................................... 106 5.2. Saran ............................................................................................................. 107 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
1 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Kepastian hukum sangat penting bagi setiap Warga Negara Indonesia sebagai subyek pemegang hak atas tanah. Oleh karena itu Negara harus menjamin setiap pemegang hak untuk mendapatkan perlindungan hukum akan surat tanda bukti hak yang dipunyainya sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna jika terjadi sengketa dikemudian hari. Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan undang-undang memberikan kepastian hukum bagi setiap warga negaranya yang melakukan perbuatan hukum maupun peristiwa hukum. Termasuk didalamnya memberikan kepastian hukum dalam kaitannya dengan pendaftaran tanah sebagaimana ternyata dalam surat tanda bukti pemegang hak atau sertipikat hak atas tanah. Dalam hal terjadi sengketa dikemudian hari mengenai hak atas tanah, pihak-pihak yang berperkara dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan yang berwenang. Dengan tujuan untuk menyelesaiakn pemasalahan secara tuntas dan menemukan kepastian hukum melalui putusan pengadilan. Eksekusi dilaksanakan hanya terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang bersifat condemnatoir.1 Dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut, mengandung hubungan hukum yang tepat dan pasti antara pata pihak yang beperkara.
Dengan adanya putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, pihak yang merasa dirugikan dan menurut putusan pengadilan berhak atas obyek sengketa dapat melaksanakan eksekusi melalui Panitera Pengadilan Negeri yang berwenang atas obyek sengketa tersebut, yang dengan sukarela tidak dilepaskan oleh pihak yang 1
Etto Sunaryanto, Sugiwanto dan Jose Ari Lukito, Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Jakarta, 2006, hlm 4
Universiats Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
2
menguasainya dan yang oleh putusan pengadilan dinyatakan tidak berhak atas obyek sengketa yang bersangkutan.
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraria, sehingga tanah merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang mempunyai fungsi yang penting bagi pembangunan perekonomian masyarakat Indonesia.2 Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum yaitu : ubi so cietes ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada hukum).3
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengatur segala kekayaan alam yang ada di Indonesia termasuk tanah untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan adanya hukum tanah nasional yang mampu mewujudkan penjelmaan dari asas kerohanian Negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.4
Sehubungan dengan hal tersebut maka Pemerintah Indonesia pada tanggal 24 September 1960 mengundangkan dan mulai memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria untuk selanjutnya disingkat UUPA. Dengan lahirnya UUPA ini, tercapailah suatu keseragaman (uniformitas) mengenai hukum tanah, sehingga tidak lagi ada hak atas tanah menurut Hukum Barat disamping hak atas 2
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm. 5.
3
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum,, (Bandung : Sinar Baru, 1983), hlm.
127. 4
Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) dalam konsolidasi tanah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 5.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
3
tanah menurut Hukum Adat.5 Atau dapat dikatakan pula bahwa telah terciptanya suatu Pluralisme Hukum di bidang Pertanahan.6
Adapun Tujuan pokok UUPA adalah : 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasional, sebagai alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur; 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan; 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan Kepastian Hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
UUPA mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum. Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu : 1. Hak atas Tanah yang bersifat Primer. Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara, Hak Pakai Atas Tanah Negara. 2. Hak atas Tanah yang bersifat Sekunder. Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk Bangunan,
5
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), (Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1995), hlm. 178. 6
Maria Sumardjono, Tanah, (Jakarta : Kompas, 2009), hlm. 56.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
4
Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.7 Dalam Hukum Tanah Nasional, terdapat bermacam-macam Hak Penguasaan atas tanah yang disusun dalam jenjang tata susunan sebagai berikut : 8 1.
Hak Bangsa Indonesia; Pasal 1 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti adanya hubungan hukum antara bangsa Indonesia (seluruh rakyat Indonesia) dengan tanah di seluruh wilayah Indonesia yang disebut Hak Bangsa Indonesia. Tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia dan bersifat abadi. Bagian tanah Hak Bangsa Indonesia ini dapat diberikan kepada orang atau badan hukum dan dikuasai dengan hak milik, HGU, HGB atau hak pakai. Dengan demikian Hak Bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan mengandung unsur kepunyaan serta kewenangan untuk mengatur. Oleh karena itu, maka Hak Bangsa Indonesia merupakan sumber dari hak-hak penguasaan atas tanah yang lainnya, yaitu Hak Menguasai dari Negara dan hak-hak perorangan atas tanah.
2.
Hak Menguasai dari Negara; Negara adalah organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia membentuk Negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap tanah air Indonesia dan melaksanakan tujuan bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Untuk melaksanakan tujuan tersebut maka Negara Republik Indonesia mempunyai hubungan hukum dengan tanah di seluruh wilayah Indonesia, agar dapat mengatur tanah-tanah tersebut atas nama bangsa Indonesia, melalui peraturan perundang-undangan yaitu UUPA dan peraturan pelaksanaannya. Hubungan hukum ini disebut Hak Menguasai dari Negara.
7
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 89. 8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1999), hlm. 255.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
5
Sifat Hak Menguasai dari Negara semata-mata untuk :9 a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah bersama; b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai subjek hukum atas tanah dan siapa yang dapat mempunyai hak atas tanah; c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dengan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.
3.
Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada; Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat adat yang bersangkutan sepanjang masa.10 Hak ulayat ini meliputi semua tanah yang ada di lingkungan wilayah hukum masyarakat adat yang bersangkutan baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun belum. Masyarakat hukum adatlah sebagai penjelmaan seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat. Berdasarkan Pasal 3 UUPA diatur bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat diakui eksistensinya oleh UUPA sepanjang kenyataannya hak ulayat itu masih hidup dan hak ulayat itu diatur sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. Dengan demikian, di daerah-daerah di mana hak ulayat tidak ada lagi, maka hak ulayat tidak akan dihidupkan kembali. Di daerahdaerah dimana tidak pernah ada hak ulayat, tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.11 9
Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2005), hlm. 48. 10
Harsono, op.cit., hlm. 186. Ibid., hlm. 190.
11
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
6
4.
Hak – hak individual, yaitu : a. Hak – hak atas tanah:12 1) Primer : hak atas tanah yang bersumber secara langsung dari bangsa Indonesia yang diberikan oleh Negara sebagai badan penguasa kepada perseorangan atau badan hukum melalui permohonan hak dan pemberian hak, yang termasuk didalamnya, Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, yang diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. 2) Sekunder : Hak atas tanah yang bersumber secara tidak langsung yang diberikan berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah. Contohnya, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa, dan lain-lainnya. b. Wakaf; c. Hak jaminan atas tanah, yaitu : Hak Tanggungan.
Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya. Dalam hubungan dengan ini, diatur beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh tanah yang diperlukan. Cara yang dapat ditempuh tersebut, tergantung pula pada :13 1.
Status hukum tanah yang diperlukan; Dalam hal ini ada tanah yang berstatus dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai.
2.
Status hukum yang memerlukan; Yaitu dalam hal ini harus dipastikan yang memiliki dan mempunyai hak atas sebidang tanah tersebut adalah Pribadi (orang) atau badan hukum. Bila Pribadi, maka dilihat juga apakah Warga Negara Asing ataukah Warga Negara Indonesia.
12
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta : Prenada Media, 2004),
hlm. 30. 13
Wayan Suhendra, Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 56.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
7
3.
Ada atau tidak adanya kesediaan yang empunya tanah untuk menyerahkan tanah yang bersangkutan kepada pihak yang memerlukan.
Tanah yang diperlukan tersebut, status hukumya juga bisa sebagai : 1.
Tanah Negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara;
2.
Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
3.
Tanah Hak, yaitu tanah yang dikuasai perseorangan atau badan hukum dengan salah satu hak primer seperti tersebut diatas.
Sistematika Tata cara memperoleh tanah, yaitu sebagai berikut :14 1.
Jika tanah yang diperlukan berstatus tanah Negara, maka caranya adalah permohonan hak atas Negara;
2.
Jika tanah yang diperlukan berstatus tanah Ulayat, maka caranya adalah pembebasan hak, yang diikuti dengan permohonan hak atas tanah yang sesuai;
3.
Jika tanah yang bersangkutan berstatus tanah Hak, maka harus terdapat kesediaan dari yang empunya tanah untuk menyerahkan tanah tersebut.
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada 2 macam asas dalam hukum tanah, yaitu :15 1.
Asas Accessie atau asas perlekatan. Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu kesatuan, bangunan dan tanaman tersebut bagian dari tanah yang bersangkutan, hak atas tanah dengan sendirinya karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang di hak-i, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya. Perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya karena hukum juga meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.
2.
Asas Horizontale Scheiding atau asas pemisahan horizontal. 14
Effendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah, (Jakarta : CV Rajawali, 1986), hlm. 78.
15
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, (Surabaya : Prenada Media Group, 2005), hlm. 13.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
8
Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatasnya bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik yang mempunyai tanah yang ada diatasnya.
Tanah memang sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah.16 Terdapat beberapa perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh sesama yang berkaitan dengan tanah, perbuatan hukum tersebut dapat berupa : Jual beli, Tukar Menukar, Hibah, Inbreng, Pemberian dengan wasiat, dan tindakan hukum lainnya. Bilamana telah dilakukan perbuatan hukum seperti tersebut diatas, maka terjadi pula pemindahan hak atas tanah, yang menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain17.
Dalam UUPA, istilah Jual Beli disebutkan dalam Pasal 26-nya, yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui Jual Beli, Hibah, Tukar Menukar, Hibah wasiat.18 Jadi, meskipun dalam Pasal hanya disebutkan kata “dialihkan”, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak karena Jual Beli.19 Sebelum UUPA berlaku, ada 2 (dua) pengertian jual beli tanah, yaitu : 16
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2007), hlm. 3. 17
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 1. 18
Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 tahun 1960, LN No. 104 tahun 1960, TLN No.2043, Ps. 26. 19 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm. 76.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
9
1.
Menurut Hukum Barat (Pengaturannya terdapat dalam KUH Perdata). Pasal 1457 : Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu (Penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (Hak) atas suatu benda dan pihak lain (Pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Sedangkan menurut Pasal 1458 : Jual Beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak (Penjual dan Pembeli) pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang diperjualbelikan itu serta harganya, biarpun benda tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum dibayar.20
2.
Menurut Hukum Adat. Jual Beli tanah menurut Hukum Adat bersifat “Contant atau tunai”. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Biasanya jual beli suatu tanah dilakukan dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa, yang bukan hanya bertindak sebagai saksi tetapi dalam kedudukannya tersebut menanggung jual beli tanah yang dilakukan tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan dilakukannya jual beli tanah tersebut dihadapan kepada adat, maka jual beli tersebut juga menjadi “terang”, yang dapat diartikan bahwa pembeli dapat mendapat pengakuan dari masyarakat dimana tanah yang bersangkutan berada dan dianggap sebagai pemilik yang baru serta akan mendapatkan perlindungan hukum jika dikemudian hari terdapat adanya gugatan terhadapnya dari pihak ketiga yang menganggap jual beli tersebut tidak sah.21 Berkaitan dengan adanya kepemilikan seseorang atas suatu tanah, biasanya
dibuktikan dengan adanya kepemilikan sebuah sertipikat. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak, baik untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sertipikat hak tanah adalah suatu surat tanda bukti bahwa seseorang atau suatu badan hukum mempunyai suatu hak atas tanah atau suatu bidang tanah tertentu. Surat tanda bukti hak itu, jika tanahnya sudah dibukukan. Buku tanah tersebut merupakan lembaran-lembaran daftar isian, dalam mana diisikan, dan 20
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia : Suatu Telaah dari sudut pandang Praktisi Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 1991), hlm. 14. 21
Ibid., hlm. 16.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
10
dengan demikian merupakan surat-surat bukti, mengenai macam-macam hak atau tanah yang dibukukan, subyek yang mempunyainya, tanah mana yang dihaki (menunjuk pada surat ukurnya atau gambar situasinya), dan hak-hak lain yang membebani. Sertifikat hak atas tanah terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur yang dijlid menjadi satu sampul.22 Sebagai surat tanda bukti hak, maka fungsi sertifikat terletak pada bidang pembuktian. Dengan memiliki sertifikat hak atas tanah, maka dengan mudah dapat membuktikan:23 1.
Ditinjau dari segi yuridis, yaitu: a. Status hukum tanah yang kita kuasai atau miliki, yaitu tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, ataukah hak pengelolaan; b. Bahwa nama yang tertulis dalam sertifikat itulah yang berhak atas suatu tanah; c. Beban-beban yang mungkin ada diatas tanah tersebut, misalnya terdapat hak tanggungan atau jaminan hutang atau tidak; d. Peristiwa-peristiwa hukum apa yang pernah terjadi atas tanah tersebut, misalnya : jual beli, tukar menukar, hibah, pewarisan, serta peristiwa lainnya yang tercatat dalam buku tanah dan sertifikat hak tanah tersebut.
2.
Ditinjau dari segi kadastraalnya, yaitu dapat mengetahui tanah mana yang dimiliki oleh seseorang (karena terdapat uraian mengenai letak, batas, dan luas suatu tanah).
Bilamana akan dilakukan perbuatan Jual Beli khususnya atas sebidang tanah, maka terlebih dahulu akan dilakukan pengecekan sertifikat ke Kantor Pertanahan, kemudian baru akan dilakukan pembuatan Akta Jual Beli (AJB) atas sebidang tanah tersebut. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata, pengertian akta ialah: suatu salinan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.
22
Soetomo, Pembebasan Pencabutan Permohonan Hak atas Tanah, (Surabaya : Usaha Nasional, 1984), hlm. 90. 23
Ibid., hlm. 92.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
11
Dengan demikian Unsur-unsur yang penting untuk suatu akta ialah Kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan Penandatanganan akta tersebut secara tertulis24.
Dalam Pasal 19 Ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah25.
Pengertian pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara atau Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayahwilayah tertentu, yang pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya ditujukan bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya (Sertifikat atas Tanah) dan pemeliharaan data yang tercantum didalam Sertifikat Hak atas Tanah tersebut26.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran 24
Soebekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradya Paramita, 1979), hlm. 23.
25
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : CV Mandar Maju, 2009),
hlm. 88. 26
Harsono, op. cit., hlm. 72.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
12
tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.27
Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Perubahan itu misalnya terjadi sebagai akibat beralihnya, dibebaninya atau berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar, pemisahan dan penggabungan bidang tanah.28 Data yang dihimpun pada dasarnya meliputi 2 bidang, yaitu:29 1.
Data fisik, yaitu mengenai tanahnya yang meliputi : lokasinya, batas-batasnya, luasnya bangunan, dan tanaman yang ada diatasnya;
2.
Data yuridis mengenai haknya, yaitu haknya apa, siapa pemegang haknya, dan ada atau tidak adanya hak pihak lain.
Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dijelaskan mengenai Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada Pejabat lain, yaitu kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik dan pemetaan fotogrametri. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP 24/97 ini dan Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuatan akta PPAT sementara, pembuatan akta ikrar wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh Notaris,
27
Ibid., hlm, 74.
28
Ibid., hlm, 79.
29
Ibid., hlm, 73.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
13
pembuatan Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang, dan ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik oleh Panitia Ajudikasi.
Dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan mengenai PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan. Pejabat Umum dalam hal ini adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 7 PP 24/97 yang menjelaskan bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan bahwa Objek Pendaftaran Tanah meliputi :30 a.
Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;
b.
Tanah Hak Pengelolaan;
c.
Tanah Wakaf;
d.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun;
e.
Hak Tanggungan;
f.
Tanah Negara. Adapun yang menjadi tujuan diadakannya Pendaftaran Tanah, yaitu:31
1.
Adanya kepastian hukum bagi pemegang haknya agar dapat membuktikan kepada pihak ketiga bahwa ia adalah sebagai pemegang hak yang sah atas suatu bidang tanah;
30
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 tahun 1997, LN No. 59 tahun 1997, TLN No.3372, Ps. 9. 31
Supriadi, op. cit., hlm. 164.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
14
2.
Terciptanya tertib administrasi di bidang Pertanahan, yaitu setiap terjadi perubahan data terhadap sertifikat tanah, dilaporkan ke Kantor Pertanahan, agar data yang tercatat di Kantor Pertanahan adalah sama dengan keadaan yang ada di masyarakat;
3.
Adanya kepastian hukum bagi pihak ketiga yang ingin memperoleh informasi mengenai suatu tanah agar dapat dipercaya kebenarannya dan dapat menghindari terjadinya perselisihan dibidang pertanahan.
Dalam hal terjadi sengketa dengan objek tanah dikemudian hari antara para pihak yang terkait, dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur Pengadilan untuk menemukan penyelesaikan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Agar tidak ada pihak yang dirugikan karenanya dan terpenuhinya tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Dengan didaftarkannya hak atas tanah terhadap suatu bidang tanah, maka memberikan rasa kepastian dalam pengasaannya. Kepastian atas pendaftaran tanah tersebut dibuktikan dengan sertipika tanah yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Dalam sisitem pendaftaran hak sebagaimana yang dianut di Indonesia dengan sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif , dimana lembaga Peradilan tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat hak atas tanah. Dalam sistem peradilan Indonesia, Pengadilan yang mengadili sengketa tanah, dalam pembuktiannya, menganut sistem pembuktian terbalik, yaitu Pengadilan tidak menjamin kebenaran data yang disajikan oleh salah satu pihak, namum kebenaran data dapat diperoleh dari phak lain yang dapat membuktikan sebaliknya mengenai kebenaran data yang menyangkut objek sengketa. Berkaitan dengan kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah tidak terlepas dari sengketa yang timbul baik pada saat penguasaan atas tanah tersebut berlangsung atau sengketa yang terjadi dikemudian hari yang dirasa merugikan para pihak. Sehingga yang dijadikan dasar kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah adalah akta otentik. Salah satu kasus yang terjadi adalah mengenai sertipikat hak milik yang oleh putusan Mahkamah Agung telah dinyatakan gugur, namun oleh Kantor Pertanahan dilakukan
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
15
proses balik nama sertipikat tersebut berdasarkan Akta Jual Beli. Dikemudian hari dilakukan pelaksanaan eksekusi atas Putusan Mahkamah Agung tersebut yang telah berkekuatan hukum tetap. Kasus ini berawal dari sebidang tanah yang akan dilaksanakan permohonan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Manado, dimana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI, Ernest Adolf Wangke sebagai Pemegang sertipikat hak atas tanah yang mejadi objek sengketa yaitu SHM No.73/Kombos atas nama Santosa Suhardi dan
tanah SHM
No.221/Kombos atas nama Isnora Tuturoong keduanya adalah pihak yang kalah dalam putusan tersebut. Kemudian berdasarkan surat pernyataan dan pengakuan tertanggal 29 Juni 1999 oleh Ernest Adolf Wangke tanah tersebut dialihkan kepada Rose Langi. Setelah tanah SHM No.73/Kombos dan SHM No.221/Kombos beralih hak menjadi milik Rose Langi, oleh Rose Langi tanah tersebut dijual kepada Ricky Budiman. Berdasarkan akta jual beli No.273/JB/SKL-Kombos/VI/2004 yang dibuat dihadapan PPAT Treesje Sembung, SH, kedua tanah tersebut menjadi satu kesatuan tanah dengan SHM No.9/Kombos atas nama Ricky Budiman (almarhum). Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 12 Desember 1990 oleh Pengadilan Negeri Manado dilaksanakan eksekusi terhadap tanah dengan SHM No.73/Kombos dan No.221/Kombos oleh ahli waris Ernest Adolf Wangke (almarhum) yang mana objek tanah tersebut telah dialihkan kepada Rose Langi. Kini tanah tersebut yang telah beralih kepada Ricky Budiman (almarhum) menguasai hak atas tanah tersebut secara sah dan beradasarkan akta jual beli
yang dibuat dihadapan Notaris selaku PPAT sebagai
pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya. Oleh Pengadilan Negeri Manado terhadap tanah tersebut akan dilaksanakan eksekusi oleh cucu Ernest Adolf Wangke (almarhum) yang menyatakan bahwa surat pertanyaan dan pengakuan Ernest Adolf Wangke tertanggal 29 Juni 1999 yang isinya tanah objek sengketa SHM No.73/1982 Kombos dan SHM No.221/Kombos sudah menjadi hak milik Rose Langi, yang kini tanah tersebut oleh Rose langi telah dijual dan dialihkan menjadi kepunyaan Ricky Budiman (almarhum).
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
16
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung pada tahun 1983, setelah hak atas tanah tersebut beralih kepada pihak ketiga karena hukum, pada tahun 2011 ahli waris berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut melakukan eksekusi atas sebidang tanah tersebut. Dengan demikian putusan Mahkamah Agung telah berkekuatan hukum tetap dan sertipikat hak atas tanah telah beralih kepada pihak ketiga karena perbuatahukum jual beli. Menyadari arti pentingnya suatu akta otentik sebagai dasar untuk membuktikan peralihan suatu hak atas tanah dan produk pengadulan yang berupa putusan bersifat final and binding , maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap adanya sengketa tanah ini dan menuangkan ke dalam tesis dengan judul “PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN VERZET) YANG BERITIKAD BAIK SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SENGKETA JUAL BELI DIBAWAH TANGAN (Studi Putusan Nomor : 339/Pdt.plw/2011/PN.Mdo)” 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, yang menjadi pokok permasalahannya adalah : 1. Bagaimana keabsahan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang beritikad baik sebagai ahli waris dalam sengketa jual beli dibawah tangan? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang beritikad baik dalam perbuatan hukum jual beli tersebut? 1.3 Metode Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu cara untuk menemukan data melalui bahan-bahan pustaka yang didukung dengan wawancara terhadap narasumber. Tipologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
penelitian
eksplanatoris
yaitu
penelitian
yang
bertujuan
untuk
menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala.32 32
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
17
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara terhadap narasumber. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Sumber hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat dan harus ditaati, yang digunakan sebagai landasan hukum, yaitu peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pertanahan, diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA / Kepala BPN) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Notaris, Het Herziene Indonesich Reglement (HIR), Reglement Tot Regeling Van Het Rechtsdezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBg). Sumber hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan atau menerangkan bahan hukum primer, yaitu buku-buku mengenai pertanahan dan peraturan jabatan notaris.
Jadi, alat pengumpulan datanya adalah dengan studi dokumen atau studi pustaka, yang artinya mencari data dengan mempelajari dokumen atau bahan pustaka sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu dengan cara memaknai setiap data yang diperoleh oleh peneliti sendiri dan didasarkan pada studi kasus yang berguna untuk menambah simpulan dari analisis serta mendukung hasil penelitian ini. Jadi, Hasil Penelitian berupa Simpulan yang ditambahkan dengan studi kasus Putusan Nomor 221/PDT.G/1983/PN Manado untuk memperkuat hasil temuan Penelitian.
1.4 Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
18
Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II
DERDEN VERZET Dalam bab ini penulis menguraikan pembahasan mengenai arti derden verzet, dasar hukum dan pengaturan mengeni derden verzet, siapa saja yang dapat mengajukan derden verzet, serta terhadap putusan apa saja yang dapat diajukan derden verzet.
BAB III
TINJAUAN MENGENAI AKTA NOTARIS DAN PPAT Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai jenis-jenis akta Notaris dan akta yang dibuat PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat akta tanah yang dijadikan sebagai alat bukti di Pengadilan.
BAB IV
PEMBAHASAN
DAN
ANALISIS
POKOK
PERMASALAHAN Dalam bab ini penulis menguraikan kasus posisi dan analisis terhadap sengketa jual beli berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 339/Pdt.Plw/2011/PN.Mdo. BAB V
PENUTUP Bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan dan saran yang mungin bermanfaat apabila menghadapi masalah yang sama.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
19
BAB II PERLAWANAN PIHAK KETIGA ( DERDENVERZET) Sebelum menjelasakan mengenai permohonan perlawanan pihak ketiga derden verzet), terlebih dahulu dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai putusan pengadilan atau putusan Hakim yang terkait dengan permohonan perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Terdapat berbagai macam jenis putusan pengadilan dan terhadap jenis putusan bagaimana yang dapat dimintakan perlawanan pihak ketiga (derde verzet), berikut uraiannya. 2.1. Tinjauan Mengenai Putusan Hakim Dalam hal terjadi sengketa di Pengadilan dan dalam proses peradilan, putusan Hakim sangatlah dinantikan oleh para pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan Pengadilan tersebut pihakpihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.
2.1.1. Definisi Putusan Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
di persidangan dan
bertujuan atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak33. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan.
33
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pkok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT.RinekaCipta, 2004),
hlm.125.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
20
Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata34. Produk putusan terdapat 2 (dua), yaitu putusan (vonnis) dan penetapan (beschikking). Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perselisihan atau sengketa (perkara), sedangkan penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yurisdiksi voluntair, misalnya pengangkatan wali35. Menurut R. Subekti, berdasarkan susunannya putusan terdiri dari “kepala (judul), pertimbangan-pertimbangan dan “amar” atau “diktum”36. Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan Hakim terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan dan amar37.
2.1.2. Macam-macam Putusan 1. Putusan Sela Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara38. Dari ketentuan Pasal 136 HIR menentukan bahwa putusan sela terhadap eksepsi tentang kekuasaan hakim harus diambil dan diucapkan terlebih dahulu sebelum diteruskan memeriksa pokok perkara.
Putusan sela menurut Pasal 185 ayat (1) HIR menyatakan bahwa keputusan yang bukan keputusan akhir, sungguhpun harus diucapkan dalam
34
Ibid.
35
Ibid, hlm. 126.
36
R. Subekti, Hukum Acara Perdata Cet.I., Ke-I, (Jakarta: Binacita/BPHN, 1982), hlm. 168.
37
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm.
38
Ibid.
177.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
21
persidangan juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya dilakukan dalam surat pemberitahuan persidangan39. Mengenai putusan sela, dikenal bermacam-macam bentuk, yaitu:40 a. Putusan Premparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan
akhir.
Misalnya,
putusan
untuk
menolak
pengunduran
pemeriksaaan saksi. b. Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Misalnya, putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir. c. Putusan Incidentiel, yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden atau peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Misalnya, putusan yang membolehkan pihak ketiga ikut serta dalam suatu perkara. d. Putusan Provisional, yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yakni permintaan pihak ketiga yang beperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan perkara diputuskan. Misalnya, dalam hal atap rumah yang disewa oleh penggugat dirusak tergugat sedangkan pada waktu itu musim hujan sehingga tergugat harus segera dihukum untuk memperbaiki atap tersebut.
2. Putusan Akhir Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung41. Berdasarkan ketentuan Pasal 190 ayat (1)
39
R. Suesilo, Op.cit.,hlm. 137 .
40
Moh. Taufik Makarao, Op.cit., hlm. 129.
41
Ibid., hlm. 129.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
22
HIR/201 ayat (1) RBg, terdapat perbedaan putusan antara putusan sela dan putusan akhir. Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan menjadi42: a. Putusan Condemnatoir, yaitun putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Misalnya, mengadili: menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat; menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah yang menjadi sengketa kepada penggugat, menghukum tergugat untuk tidak menempati tanah yang menjadi sengketa. b. Putusan Declanatoir, yaitu putusan yang amarnya menyataka suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, menyatakan penggugat sebagai pemilik atas tanah sengketa, menyatakan penggugat adalah ahli waris dari almarhum. c. Putusan Constitutif, yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru. Misalnya, menyatakan ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian, menyatakan pemohon sebagai orang yang jatuh pailit.
2.1.3. Kekuatan Putusan Hakim Ketentuan
perundang-undangan,
yaitu
Pasal
180
HIR/191
RBg,
menyebutkan a hanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuata tetap. Pasal 1917 dan Pasal 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak. Pasal 21 UU No.12 Tahun 1970 menyebutkan pula putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai suatu putusan hakim atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka tentu adapula putusan hakim yang belum mempunya kekuatan hukum 42
Ibid., hlm.130.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
23
tetap. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Sehingga terhadap putusan tersebut, tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut ketentuan perundang-undangan masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya melawan putusan itu. Misalnya, perlawanan (verzet), banding dan kasasi.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam perkara perdata mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu: a. Kekuatan pembuktian mengikat. Putusan hakim sebagai suatu dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut pengertian undang-undang, sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara para pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu. b. Kekutan eksekutorial Kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menaatinya dengan sukarela. c. Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan) Kekuatan mengajukan eksepsi, yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yang sudah pernah diputus atau mengenai hal-hal yang sama, berdasarkan asas ne bis in idem (tidak boleh dijatukan putusan lagi dalam perkara yang sama).
2.1.4. Putusan Hakim yang dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu Hukum acara pada dasarnya mengatur bahwa suatu putusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
24
yang tetap (inkracht van gewijsde). Namun dalam HIR/RBg terdapat ketentuan yang memberikan kemungkinan putusan dapat dilaksanakan lebih dahulu (iut voerbaar bij voorraad). Ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg menyatakan, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar putusan dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan atau banding, jika: a. Ada surat yang sah (akta otentik) atau tulisan dibawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti; b. Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; c. Dikabulkannya gugatan yang didahulukan (gugatan provisionil); dalam hal sengketa tanah hak milik. Pada prakteknya lembaga iut voerbaar bij voorraad menimbulkan masalah, sehingga Mahkamah Agung dalam kekuasaanya mengeluarkan surat edaran yang terakhir yaitu Surat Edaran No.6 tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 yang meminta kepada semua ketua pengadilan tinggi dan ketua pengadilan negeri di seluruh Indonesia agar tidak menjatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu, walaupun syarat-syarat dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg telah terpenuhi. Dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan, putusan yang demikian yang sangat exeptional sifatnya dapat dijatuhkan. Dalam hal inipun hendaknya diingat bahwa putusan itu diberikan: a. Apabila ada consevatoir beslag yang harga barang-barang yang disita tidak akan mencukupi untuk menutup jumlah yang digugat. b. Jika dipandang perlu dengan jaminan oleh pihak pemohon eksekusi yang seimbang, dengan catatan:
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
25
1. Bahwa benda-benda jaminan hendaknya yang mudah disimpan dan mudah digunakan untuk mengganti pelaksanaan jika putusan yang bersangkutan tidak dibenarkan nati oleh hakim banding atau dakam kasasi. 2. Jangan menerima penjaminan orang (borg) untuk menghindarkan pemasukan pihak ketiga dalam proses. 3. Penentuan benda serta jumlahnya terserah kepada ketua pengadilan negeri. 4. Benda-benda jaminan dicatat dalam daftar tersendiri seperti daftar bendabenda sitaan dalam perkara perdata. 2.1.5. Upaya Hukum Terhadap Putusan Putusan Hakim atau putusan pengadilan memungkinkan terjadi kekhilafan atau kekeliruan. Sehingga untuk mencegah adanya kekeliruan dan kekhilafan tersebut, undang-undang memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang haknya terlanggar, yaitu dengan dapat mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Agar terwujud keadilan dan kebenaran bagi para pihak yang bersengketa atau pihak yang berperkara. 1. Upaya Hukum Biasa a. Perlawanan (verzet) Perlawanan adalah upaya terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (putusan verstek). Diatur dalam Pasal 125 ayat (3) HIR/ Pasal 149 ayat (3) RBg dan Pasal 153 ayat (1) HIR/ Pasal 129 ayat (1) RBg. Dalam hal perlawanan telah diajukan dan ternyata pada hari sidang yang telah ditentukan terlawan atau kuasanya tidak datang menghadap di persidangan, terlawan (semula Penggugat) dapat dipanggil sekali lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 126 HIR. Akan tetapi apabila ia tidak datang pada sidang berikutnya tersebut, dianggap bahwa terlawan tidak berhak melawan atas perlawanan yang telah diajukan terhadap putusan verstek tersebut.
Terhadap perlawanan akan diputus secara condemnatoir dengan membatalkan putusan verstek yang semula serta mengadili lagi dengan menolak gugatan semula. perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
26
biasa (Pasal 129 ayat (3) HIR/ Pasal 153 ayat (3) RBg). Ketika perlawanan diajukan kepada ketua pengadilan, maka terhadap putusan verstek dapat ditunda. Kecuali telah diperintahkan bahwa putusan itu dapat dijalankan (iut voerbaar bij voorraad) walaupun ada verzet, banding maupun kasasi (Pasal 129 ayat (4) HIR/ Pasal 153 ayat (4) RBg).
b. Banding Banding diajukan apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu Putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terlanggar oleh adanya putusan tersebut atau menganggap putusan itu tidak memutus yang seadil-adilnya, maka terhadap pihak yang haknya dilanggar tersebut dapat mengajukan
permohonan banding ke Pengadilan Tinggi yang berwenang
memeriksa dan mengadili perkara perdata tersebut.
Yang dapat mengajukan banding adalah pihak yang berkepentingan. Pada dasarnya adalah pihak yang dikalahkan dalam sidang tingkat pertama atau pihak yang gugatannya ditolak atau tidak dikabulkan atau pihak yang gugatannya tidak diterima. Asas peradilan dalam dua tingkat itu berdasarkan keyakinan bahwa Putusan Pengadilan dalam tingkat pertama belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh Pengadilan yang lebih tinggi43. Dengan diajukannya banding, perkara menjadi mentah kembali.
Yurisprudensi menentukan bahwa Putusan banding hanya dapat menguntungkan pihak yang mengajukan banding. Jelasnya apabila Penggugat/ Terbanding tidak menyatakan mohon banding, maka dianggap telah menerima Putusan Pengadilan Negeri,
sehingga
dalam
pemeriksaan
tingkat
banding
bagian
gugatan
Penggugat/Terbanding yang tidak dikabulkan tidak ditinjau kembali44.
43 44
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, hlm. 197. M.A. 22 Nopember 1974, M.A. 24 Desember 1973, Rangkuma II 1977, hlm. 250-251.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
27
Jadi, baik Penggugat maupun Tergugat dapat meminta agar perkara mereka yang telah diputus diulangi pemeriksaannya oleh Pengadilan Tinggi. Apabila putusan itu dijatuhkan diluar hadirnya Tergugat, maka Tergugat tidak boleh mengajukan banding melainkan mengajukan perlawanan. Jika Penggugat tidak menerima Putusan diluar hadirnya Tergugat, maka ia boleh mengajukan banding dan dalam hal Tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama Tergugat boleh meminta pemeriksaan ulang (Pasal 8 UU No.20/1947). Permohonan banding harus diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan Putusan, dalam 14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman Putusan kepada berkepentingan (Pasl 7 UU Np.22/1974) atau diberitahukannya Putusan kepada pihak yang bersangkutan45.
Sejak salah satu pihak menyatakan banding dan permohonannya tersebut dicatat oleh Panitera, maka pihak lawan diberitahu oleh Panitera tentang permohonan banding tersebut dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permintaan banding diterima dan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk melihat surat-surat serta berkasnya di Pengadilan Negeri selama 14 (empat belas) hari. Kedua belah pihak boleh memasukkan surat keterangan dan bukti-bukti baru, sebagai uraian alasan permohonan banding (memori banding) kepada Panitera Pengadilan Negeri yang berwenang, sedangkan Terbanding dapat menjawab memori itu dengan kontra memori banding. Kemudian salinan putusan serta suratsurat pemeriksaan harus dikirim ke Kantor Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan, selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima permohonan banding46.
Dalam tingkat banding, Hakim tidak boleh mengabulkan lebih daripada yang dituntut atau memutus hal-hal yang tidak dituntut. Hal ini berarti bahwa Hakim dalam tingkat banding harus membiarkan Putusan dalam tingkat Peradilan pertama
45
M.A. 4 Oktober 1951, H.1952 Nomor 1, hlm.24.
46
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm 198
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
28
sepanjang tidak dibantah dalam tingkat banding47. Pembuatan atau pengiriman memori banding tidak merupakan kewajiban. Undang-undang tidak mewajibkan pembanding untuk mengajukan risalah banding48. Hal ini yang membedakan banding dengan kasasi.
c. Kasasi Perkataan kasasi berasal dari kata Perancis “casser”yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga apabila suatu permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan bawahan itu diterima oleh Mahkamah Agung, maka hal itu berarti, bahwa Putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan Hukumnya49.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan, kasasi adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan lain50. Soepomo mengemukakan bahwa kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkat tertinggi51.
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan
menguji secara materiil hanya
terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
47
48
Ibid., hlm.200. M.A. 6 Agustus 1973 Reg.No.663 K/Sip/1971, Santoso, Yurisprudensi Indonesia, hlm.58
49
Retnowulan Sutanto, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, hlm. 163. 50
Moh. Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, hlm. 18.
51
Ibid.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
29
Mahkamah Agunng melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menajalankan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang halhal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
Sesudah berlakunya undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang mengatur mengenai acara kasasi, maka Mahkamah Agung tidak mengunakan penafsiran lagi dalam putusan-putusannya. Pasal 28 Undang-undang No.14 Tahun 1985 Tentang Kekuasaan Mahkamah Agung menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus: a. Permohonan kasasi b. Sengketa tentang kewenangan mengadili c. Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang tidak memperoleh kekuatan Hukum tetap. Sedangkan dalam Pasal 30 Undnag-undang No.14 Tahun 1985 menyatakan bahwa Mahkamah dalam tingkat kasasi membatalkan Putusan atau Penetapan Pengadilan. Pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena: a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang b. Salah menerapkan atau menerapkan Hukum yang berlaku c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya Putusan yang bersangkutan.
Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui panitera pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon.
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung bukanlah merupakan pemeriksaan tingkat ketiga. Dalam tingkat kasasi, perkara tidak menjadi “mentah”
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
30
lagi, sehingga mengenai faktanya sudah tidak perlu ditinjau lagi. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanya meneliti soal penerapan hukumnya saja. Yaitu apakah Putusan atau Penetapan Pengadilan yang dimohonkan kasasi itu “Melanggar Hukum” atau “tidak”52.
2. Upaya Hukum Luar Biasa a. Peninjauan Kembali (Request Civil) HIR tidak mengatur tentang peninjauan kembali atau request civil. Dalam praktek menggunakan ketentuan-ketentuan dalam RV (Reglement Op De Rechtsvordering) sebagai pedoman. Menurut Sudikno Mertokusumo, request civil yang diatur dalam Pasal 385 sampai dengan 401 RV, tidak lain adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap53. Ketentuan Pasal 66 Undang-undnag Nomor 14 Tahun 1985 menyatakan bahwa: 1. Permohonan peninjauan kembali diajukan hanya 1 (satu) kali 2. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan. 3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum putus, dan dalam hal sudah dicabut, permohonan peninjauan kembali tidak dapat diajukan lagi. Alasan peninjauan kembali adalah54: 1. Apabila putusan yag didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; 3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripaa yang dituntut;
52
Retnowulan Sutanto, Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit., hlm.167.
53
Moh. Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, hlm. 205.
54
Ibid., hlm.205-206
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
31
4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; 6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekeliruan atau kekhilafan Hakim yang nyata.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekeliruan atau kekhilafan Hakim yang nyata adalah 180 (seratus delapan puluh) hari.
RV membedakan antara pengajuan permohonan kembali di Jawa Madura dan di luar Jawa Madura. Di Jawa Madura harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung dimulai hari putusan diucapkan. Di luar Jawa Madura 6 (enam) bulan55.
b.
Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Perlawnan pihak ketiga atau bantahan dikenal juga dengan istilah Derden Verzet.
Bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihak yang beperkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda yang dipersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/ sedang disita atau akan/sedang dijual, lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan bahwa benda atau
55
Ibid., hlm. 208.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
32
barang tersebut adalah miliknya bukan milik tergugat 56. Pembahasan mengenai perlawanan pihak ketiga (derden verzet) akan penulis uraikan pada sub bab berikut. 2.2. Tinjauan Mengenai Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Upaya hukum dalam rangka menyingkirkan penetapan eksekusi, maka dapat diajukan perlawanan (verzet). Verzet merupakan perlawanan yang dapat diajukan terhadap putusan verstek dan eksekusi atau pelaksanaan suatu putusan Pengadilan, atas alasan bahwa barang yang disita dan akan dilelang adalah kepunyaan si Pelawan dan bukan kepunyaan orang yang telah dihukum oleh Pengadilan.57 Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan tidak diatur secara khusus didalam HIR, RBg maupun Rv, namun dalam praktek menurut yurisprudensi perlawanan yang diajukan pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita tersebut dapat diterima.58 Selain perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, terdapat pula perlawanan pihak ketiga terhadap sita revindikasi (Revindicatoir Beslag), dan sita eksekusi (Executorial beslag). Perlawanan terhadap eksekusi diajukan dalam hal:59 a. Perlawanan terhadap eksekusi oleh pihak ketiga tidak hanya dapat dilakukan atas dasar hak milik, akan tetapi juga dilakukan atas dasar hak-hak lainnya seperti hak pakai, HGB, HGU, hak tanggungan, hak sewa, dan lain-lain. b. Perlawanan pihak ketiga tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan eksekusi (Pasal 195 ayat (6) dan (7) HIR)/Pasal 206 ayat (6) dan (7) RBg. c. Perlawanan ini pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3) HIR /Pasal 225 RBg dan Pasal 227 RBg), kecuali apabila segera nampak bahwa
56
Ibid., hlm. 210.
57
Subekti dan R. Trjitosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm.111
58
Rangkuman Yurisprudensi II Putusan Mahkamah Agung RI tertanggal 31 )ktober 1963 No.306K/Sip/1962,, hlm. 270 59
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 101
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
33
perlawanan tersebut benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan, setidaktidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri. d. Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum.
2.2.1. Dasar Hukum Dan Pengertian Perlawanan (Verzet) Pengertian Verzet yang merupakan perlawanan dari pihak Tergugat / para Tergugat terhadap putusan verstek, sedangkan Derden verzet adalah merupakan perlawanan Pihak Ketiga terhadap Sita, baik sita jaminan (conservatoir beslag), sitaRevindikasi (Revindicatoir beslag) atau sita eksekusi ( Executorial beslag). Dasar hukum yang mengatur tentang bantahan atau perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 228RBg/ Pasal 208 HIR. Pasal tersebut mengatakan, ketentuan pasal diatas berlaku juga, jika orang lain membantah dalam hal pelaksanaan putusan tersebut, karena dikatakannya bahwa barang yang disita tersebut miliknya. Ketentun hukum acara yang megatur mengenai perlawanan pihak ketiga termasuk pada bagian menjalankan putusan, yaitu Pasal 206 RBg atau Pasal 195 ayat (6) dan ayat (7) HIR. Ketentuan ini dapat diartikan mengandung unsur bahwa: a. Pelaksanaan putusan pengadilan, dapat berupa penyitaan barang-barang atau tindakan tindakan pelaksanaan lainnya. b. Atas penyitaan atau tindakan pelaksanaan lainnya tersebut mungkin yang bersangkutan atau pihak ketiga tidak menerima / keberatan dan mengajukan verzet (perlawanan). c. Jika ada perlawanan terhadap sita/eksekusi yang dilakukan dengan pendelegasian, maka derden verzet ini diajukan kepada Pengadilan (Negeri /Agama) yang malakukan tindakan penyitaan/eksekusi itu, jadi bukan diajukan kepada Pengadilan yang memutus perkara semula. d. Pengadilan yang melaksanakan penyitaan/eksekusi wajib memeriksa dan memutus soal derden verzet tersebut.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
34
e. Jika timbul derden verzet seperti tercantum pada ayat (6) tersebut, maka Ketua
pengadilan
yang
menerima
perlawanan
tersebut,
harus
memberitahukan secaratertulis kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara pokoknya. f. Demikian pula halnya Jika Pengadilan yang menerima perlawanan tersebut telahmemberi putusan dalam verzet itu, harus memberitahukan putusannya kepada ketua Pengadilan yang minta bantuan padanya yang memutus perkara pokoknya. g. Jika ada banding terhadap putusan mengenai derden verzet tersebut, maka berlaku peraturan tentang banding atas perkara lainnya. 2.2.2. Macam-macam Perlawanan Pihak Ketiga(Verzet) Mengenai macam-macam perlawanan. Ada dua macam perlawanan yang disebutkan dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) RBg, yaitu60: a. Party Verzet (P.V), yakni perlawanan dari pihak lawan sendiri b. Deden Verzet (D.V) berupa perlawanan dari pihak ketiga Dari dua macam perlawnan diatas, perbedaan keduanya hanya terletak pada kedudukan pihak lawan. Jika ciri yang melekat pada diri Pelawan adalah orang yang terlibat langsung dengan putusan atau penetapan yang dilawan, maka bentuk perlawanan terjadi adalah party verzet. Sebaliknya, kalau yang bertindak mengajukan adalah orang lain yang tidak ikut terlibat langsung dalam putusan atau penetapan yang dilawan berbentuk perlawanan yang disebut derden verzet. Pada dasarnya derden verzet ditujukan terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah mmpunyai kekuatan hukum tetap. Namun demikian prinsip ini dikembangkan penerapannya melalui gugatan pihak ketiga terhadap suatu proses yang masih berlangsung. Dengan demikian meskipun putusan belum berkekuatan hukum tetap, telah dimungkinkan untuk mengajukan Derden Verzet sejak dilawan diproses di Pengadilan Tingkat Pertama, Banding dan Kasasi.
60
M.Yahya Harahap, Op.Cit, hlm.35
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
35
Selain membahas mengenai dua macam perlawanan, Pasal 195 ayat (7) HIR juga menggariskan beberapa masalah antara lain61: a. Perlawanan diajukan kepada putusan Jika memperhatikan bunyi ketentuan ini, seolah-oleh perlawanan hanya dapat ditujukan sebagai perlawanan terhadap eksekusi putusan yang bersangkutan. Tetapi dalam praktek, yang dimaksud dengan putusan telah diperluas: 1. Terutama ditujukan terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap yang belum dilaksanakan eksekusinya. 2. Bila juga terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum yang tetap 3. Dapat pula diajukan terhadap “penetapan”: a. Penetapan Consevatoir Beslag (CB) dalam suatu perkara b. Penetapan eksekusi, baik berdasarkan putusan iutvoerbaar bij voorraad atau penetapan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau penetapan eksekusi berdasar ketentuan Pasal 224 HIR (penetapaan grosse akta pengakuan hutang, hipotik dan vedietver band. 4. Juga terhadap eksekusi putusan perdamaian. b. Perlawanan harus berdasar alas hak milik Sepertinya dalam HIR hanya mengenal derden verzet atau perty verzet yang bersifat “mutlak” atau murni. Artinya, perlawanan yang dibenarkan harus berdasar hak kebendaan yang bersifat kebendaan absolut dalam hal ini hak milik. Padahal, dalam prakteknya, perlawanan dapat juga diajukan berdasar hak relatif seperti hak agunan atau pembelian hasil lelang. Dan oleh karena itu, perlawanan telah diperluas meliputi hak hipotik atau hak fiducia eigendom ovendraf (f.e.o).
61
Ibid, hlm.38
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
36
c. Mengatur tentang kewenangan relatif Menurut ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR, forum yang berwenang memeriksa dan memutus perlawanan adalah Pengadilan Negeri yang menjalankan eksekusi, dalam arti: 1. Tidak mutlak kewenangan jatuh kepada pengadilan negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama 2. Tidak juga mutlak menjadi kewenangan relatif pengadilan negeri yang mengeluarkan perintah eksekusi 3. Tetapi kewenangannya mutlak jatuh pada pengadilan negeri yang menjalankan eksekusi Dalam praktek terdapat 2 (dua) macam perlawanan pihak ketiga, yaitu62: a. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi Perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi adalah perlawanan pihak ketiga atas suatu penyitaan terhadap suatu benda atau barang karena putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tindakan selanjutnya pelaksanaan penjualan atau pelelangan terhadap barang atau benda yang menjadi sengketa. b. Perlawanan pihak ketiga terhadapa sita jaminan Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan adalah perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sita dapat dilakukan terhadap barang-barang tergugat (Conservatoir Beslag) dan sita yang dilakukan terhadap barang-barang milik penggugat (Revindicatoir Beslag). Terhadap barang Penggugat maupun Tergugat, jika pihak ketiga merasa bahwa barang tersebut adalah miliknya, maka pihak ketiga tersebut dapat melakukan perlawanan. Dengan demikian, dasar menentukan syarat formil kompetensi relatif perlawanan didasarkan pada faktor eksekusi dijalankan. Dalam Pasal 379 Rv mengatakan63: 62
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, hlm. 211.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
37
“perlawanan ini diperiksa hakim yang menjatuhkan putusan itu perlawanan diajukan dengan suatu pemanggilan untuk menghadap sidang terhadap semua pihak yang telah mendapat keputusan dan peraturan umum mengenai cara berperkara berlaku dalam peraturan ini”. Pasal 379 Rv menentukan dasar yang bebeda dengan apa yang digariskan dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/ Pasal 206 ayat (6)RBg. Menurut Pasal 379 Rv dasarnya yaitu dimana putusan dijatuhkan, kesitu pula perlawanan diajukan. Dengan kata lain, Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan memutus perlawanan ialah Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan yang dilawan. 2.2.3. Obyek Perlawanan Pihak Ketiga Produk pengadilan yang menjadi obyek perlawanan tidak saja produk yang bersifat putusan akhir. Tetapi bisa juga terhadap produk yang berbentuk penetapan. Asal penetapan tersebut menimbulkan kerugian terhadap kepentingan atau hak yang bersangkutan.
Menurut M.Yahya Harahap, SH, produk pengadilan yang
menjadi obyek perlawanan dapat diklasifikasi sebagai berikut64: a. Putusan pengadilan yang bersifat contentiosa Putusan yang seperti ini, terutama menjadi obyek gugat Derden Verzet. b. Putusan pengadilan yang bersifat volunter Obyek gugat perlawanan yang kedua ialah putusan pengadilan yang bersifat putusan volunter sangat beralasan. Karena putusan volunter merupakan produk pengadilan yang diberikan kepada pemohon secara sepihak c. Penetapan yang merugikan Obyek gugat perlawanan yang lain adalah penetapan pengadilan. Penetapan yang sering menyangkut hak atau kepentingan pihak ketiga atau para pihak antara lain: 1. Penetapan sita Jaminan (CB) 2. Penetapan sita Marital 3. Penetapan sita Eksekusi 63
Himpunan Perundang-undangn RI, hlm. 644.
64
Ibid, hlm.60
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
38
4. Penetapan eksekusi lelang 5. Penetapan eksekusi riil Semua jenis penetapan tersebut dapat ditentang secara formal melalui upaya perlawanan. Party Verzet pada umunya diajukan melawan penetapan pengadilan. Party verzet terutama diajukan melawan penetapan sita eksekusi atau penetapan eksekusi terhadap grose akta berdasarkan ketentuan Pasl 224 HIR/Pasal 258 RBg. Alasan perlawanan yang sering diajukan terhadap penetapan eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau hipotik yang grosse aktanya tidak memenuhi syarat formal atau jumlah hutang tidak pasti dan tidak benar jumlahnya. d. Perlawanan terhadap penyitaan eksekusi Praktek pengadilan membenarkan perlawnan terhadap penetapan atau perintah perampasan yng dilakukan jaksa, meskipun hal itu dilakukannya dalam rangka melakuakn putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan, sekalipun putusan pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap. e. Perlawanan terhadap eksekusi putusan perdamaian Terhadap putusan perdamaian tertutup upaya banding dan kasasi satu-satunya upaya yang dapat dilakukan untuk melawan putusan perdamaian atau penetapan eksekusi yang dilahirkan daripadanya, hanyalah perlawanan bisa berbentuk derden verzet atau party verzet. f. Perlawanan terhadap penangguhan dan non eksekutorial Penetapan jenis penundaan atau pernyataan non eksekutable, bukan merupakan obyek perlawanan. Alasannya penetapan yang demikian buakn tindakan penyelenggaraan pengadilan yang menyankut penyelesaian sengketa. Koreksi yang dapat diminta hanya melaui jalur dan upaya pengawasan dari instansi pengadilan yang lebih tinggi. 2.2.4. Jangka Waktu Mengajukan Perlawanan Pihak Ketiga Yang menjadi faktor keabsahan formal pengajuan perlawanan adalah diajukan sebelum putusan atau penetapan yang dilawan belum selesai sieksekusi. Jika sah
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
39
selesai sieksekusi, upaya gugat perlawanan dianggap melanggar ketentuan tata tertib beracara. Akibatnya, perlawanan dinyatakan tidak dapat diterima dan tuntutan penundaan atau permintaan berubah menjadi tuntutan pembatalan eksekusi melalui upaya gugat biasa. Tenggang waktu bagi pihak ketiga untuk melakukan perlawanan adalah sampai dengan akan dilaksanakannya eksekusi atau sebelum eksekusi dilakukan. Jadi, meskipun telah melampaui batas jangka waktu mengajukan perlawanan, tidak berakibat mati atau gugur hak yang berkepentingan untuk mempertahankannya. Hanya bentuk upaya yang berubah dari upaya perlawanan menjadi upaya gugat biasa. Untuk sita jaminan atau Consevatoir Beslag (CB), jangka waktu mengajukan perlawananya, harus melihat dua ketentuan, yaitu: a. Selama proses berlanjut mulai dari tingkat pertama, banding, dan kasasi tetap terbuka mengajukan perlawanan, meskipun amar putusan yang dilawan memerintahkan pengangkatan CB. b. Sejak juru sita melaksanakan peletakkan CB, sudah mulai terbuka hak bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugat perlawanan meskipun CB dinyatakan dan berharga. 2.2.5. Pihak Ditarik Sebagai Terlawan Penyebutan bagi pihak ketiga ini adalah perlawanan atau bantahan, sedangkan untuk penggugat semula, yang atas permohonannya sita tersebut dilakukan, disebut “Terlawan Penyita” dan pihak Terugat yang disita disebut “Terlawan Tersita”65. Pada dasarnya yang berhak untuk mengajukan perlawanan oleh pihak ketiga adalah pihak ketiga yang memiliki dasar/ alas/ title Hak Milik. Pasal 379 Rv telah menentukan paling minimal orang yang mesti ditarik sebagai pihak yang terlawan. Hal ini ditetapkan dalam kalimat yang menyatakan :“perlawanan diajukan dan
65
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, hlm. 21.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
40
diperiksa dengan suatu pemanggilan untuk menghadap persidangan terhadap semua pihak yang telah memperoleh putusan tersebut” Oleh karenanya, dapat dilihat bahwa minimal orang yang ditarik sebagai terlawan adalah mereka yang terlibat langsung sebagai pihak Penggugat dan Tergugat dalam putusan perkara yang dilawan. Kurang dari pada itu, mengakibatkan perlawanan tidak memenuhi syarat formil. Alasannya, mengabaikan salah seorang dari pihak-pihak yang terlibat dalam
putusan yang dilawan,
menyebabkan perlawanan tidak mungkin diselesaikan dengan tuntas. Yang terlibat langsung dalam penetapan eksekusi atas hak milik ialah pemohon eksekusi. Sehingga berdasar hal tersebut, dia saja yang mesti ditarik sebagai pihak Terlawan. Namun terbuka kemungkinan untuk menarik yang lain sebagai pihak Terlawan, yaitu dalam hal yang dilawan penetapan eksekusi berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan Pasal 379 Rv menggariskan pula tata cara pemeriksaan perlawanan, yaitu tunduk pada tata tertib beracara yang diterapkan pada pemeriksaan perkara gugat biasa. Sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/ Pasal 296 RBg serta Bab X, buku I Rv, ketentuan tata cara pemeriksaan yang diterapkan pada pemeriksaan gugat biasa berlaku sepenuhnya dalam proses pemeriksaan perlawanan. Dalam hal pihak ketiga berhak melakukan perlawanan terhadap suatu putusan yang merugikannya, hak-haknya bilamana mereka baik sebagai pribadi maupun sebagai kuasa tidak dipanggil di Persidangan Pengadilan atau karena adanya penggabungan perkara atau intervensi dalam perkara (Pasal 378 Rv), maka terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 279Rv yang menyatakan bahwa siapa yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan. Asas yang melekat pada acara biasa dan dengan sendirinya menurut hukum berlaku sebagai tata tertib umum beracara pada perlawanan antara lain:
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
41
a. Proses pemeriksaan secara lisan tanpa mengurangi kebolehan jawab-menjawab secara tertulis b. Tata cata pemeriksaan langsung c. Tidak mengenal stelsel proses beracara dengan perantaraan pengacara d. Hakim memimpin jalannya persidangan, termasuk memberi bantuan dan mengupayakan perdamaian e. Persidangan terbuka untuk umum f. Ultra petitum partium atau tidak boleh mengabulkan melenihi permintaan g. Proses persidangan tidak boleh merugikan pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara 2.3. Tinjauam Umum Mengenai Itikad Baik 2.3.1. Teori-Teori Kausalitas Suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan yang saling terkait yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya akibat. Yang menjadi permasalahan adalah kepada siapa akan dipertanggungjawabkannya suatu akibat tersebut. Dalam hal ini para ahli hukum berbeda pendapat. Berikut adalah teori-teori kausalitas66: 1. Teori Conditio Sine Qua Non Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat
1yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) ) dari rangkaian faktor-
faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.
66
http://setia-ceritahati.blogspot.com/2009/05/teori-teori-kausalitas.html
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
42
Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa) .Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat ), disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan. Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan kontra dari para ahli hukum, sebab teorinya dianggap kurang memperhatikan hal-hal yang sifatnya kebetulan terjadi ). Selain itu teori ini pun tidak digunakan dalam hukum pidana karena dianggap sangat memperluas dasar pertanggungjawaban (strafrechtelijke aansprakelijheid).
Van Hamel adalah satu penganut teori Von Buri. Menurut Von Hamel teori conditio sine qua non adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori conditio sine qua non “baik” untuk digunakan dalam hukum pidana, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori tentang kesalahan (schuldleer) yang dapat mengkorigir dan meregulirnya ). Teori Van Hamel disebut “teori sebab akibat yang mutlak” (absolute causaliteitsleer) ). Moelyatno menyimpulkan dari pendapat Van Hamel bahwa pada dasarnya Van Hamel sendiri merasa teori conditio sine qua non masih kurang, kecuali jika diimbangi dengan pembatasan (restriksi) yang bisa ditemukan dalam pelajaran tentang kesalahan dan kealpaan. Namun, moelyatno sendiri kurang menyetujui pendapat tersebut, karena dengan menyamaratakan nilai tiap-tiap musabab dan syarat, meskipun hal itu secara logis adalah benar, tapi itu bertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan musabab ). Secara teoritis begitulah keadaannya, namun pada prakteknya justru sebaliknya yakni membedakan antara syarat dan musabab.
2. Teori Yang Menginduvidualisir Teori ini muncul untuk memperbaiki dan menyempurnakan teori conditio sine qua non. Teori ini mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab secara pandangan khusus (mengindividualisasikan), yakni secara konkrit mengenai perkara tertentu
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
43
saja, dan karena itu mengambil pendiriannya pada saat sesudah akibatnya timbul (post- faktum) Ada beberapa teori yang termasuk dalam teori ini adalah:
a. Teori der meist wirksame bedingung Teori ini berasal dari Birkmeyer. Teori ini mencari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu yang paling banyak berperan untuk terjadinya akibat (meist wirksame) diantara rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Jadi, teori ini mencari syarat yang paling berpengaruh diantara syarat-syarat lain yang diberi nilai. Teori ini mengalami kesulitan untuk menjawab permasalahan yang muncul yakni, bagaiman cara menentukan syarat yang paling berpengaruh itu sendiri atau dengan kata lain bagaimana mengukur kekuatan suatu syarat untuk menentukan mana yang paling kuat, yang paling membantu pada timbulnya akibat) . Apalagi jika syarat-syarat itu tidak sejenis) . b.Teori gleichewicht atau uebergewicht Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Karl Binding, teori ini mengatakan bahwa musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negative) . Menurut Binding, semua syarat-syarat yang menimbulkan akibat adalah sebab, ini menunjukkan bahwa ada persamaan antara teori ini dengan teori conditio sine qua non. c. Teori die art des werden Teori ini dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang menurut sifatnya (art) menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer) . Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana yang menimbulkan akibat. d. Teori Letze Bedingung Dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa factor yang terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
44
menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan
3. Teori Yang Mengenalisir Teori ini lahir sebagaiman “teori yang mengindividualisir” lahir, yakni dalam rangka memperbaiki teori Von Buri yang dianggap terlalu luas karena tidak membedakan antara syarat dengan sebab. Sehingga, harus dipilih satu factor saja, yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai sebab. Teori ini mengadakan batasan secara umum yaitu secara abstak, jadi tidak terikat pada perkara yang tertentu saja, dan karena itu juga mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat (ante- faktum).
Ada beberapa teori yang berbeda yang termasuk dalam teori yang mengeneralisir ini. Adapun perbedaan ini berpokok pangkal pada pengertian dari istilah “perhitungan yang normal”) dalam hal penentuan syarat yang dapat diambil sebagai sebab (causa). berikut ini adalah beberapa teori yang mengeneralisir :
a. Teori Adequate (keseimbangan) Dikemukakan oleh Von Kries. Dilihat dari artinya, jika dihubungkan dengan delik, maka perbuatan harus memiliki keseimbangan dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat. Teori ini disebut “teori generaliserend yang subjektif adaequaat”, oleh karenanya Von Kries berpendapat bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat) .
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
45
b. Teori objective nachtraglicher prognose (teori keseimbangan yang objektif) Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah factor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktorfaktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi. Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu akibat. Jadi, walau bagaimanpun akibat harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan objektif setelah terjadinya delik, ini merupakan tolak ukur logis yang dicapai melalui perhitungan yang normal.
c. Teori adequate menurut Traeger Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
4. Teori Relevantie Dikemukakan oleh Mezger. Menurut teori ini dalam menentukan hubungan sebab akibat tidak mengadakan pembedaan antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan tindak pidana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undangundang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang. 2.3.2. Asas Itikad Baik Dalam Hukum Perdata Teori ini berdasarkan Pasal 1247 dan 1248 KUHP Perdata (BW),yang menyatakan bahwa “pertanggungjawaban “ hanya ada, apabila akibat yang timbul itu mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali dengan perbuatan-perbuatan yang terdahulu atau dapat dibayangkan lebih dahulu. Teori ini boleh dikatakan sama dengan teori adequate dari Von Kries. Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa teori perdata ini dapat juga dipergunakan dalam hukum pidana.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
46
Kajian mengenai itikad baik berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatur bahwa:”persetujuan-persetujuan (perjanjian) harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Ayat ini bukanlah satu-satunya yang mengatur mengenai itikad baik. KUH Perdata memahami itikad baik dalam berbagai bentuk; tidak hanya itikad baik yang dikenal dalam Pasal 1338 ayat (3) tersebut. Menurut Djaja S. Meliala, itikad baik memiliki peranan yang amat penting dalam hukum perdata, baik terkait dengan hak kebendaan (zekenrecht) sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata, maupun hak perorangan (persoonlijkrecht) sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata; bahkan tidak dapat pula diabaikan arti penting dalam bidang hukum perongan dan keluarga dalam Buku I KUH Perdata.67 Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa itikad baik sesungguhnya tidak hanya ada dalam ranah Buku III KUH Perdata semata, malinkan terkandung pula dalam Buku II dan Buku IV serta secara implisit dalam Buku I KUH Perdata. Dalam Buku II KUH Perdata ternyata dalam Pasal 530 dengan ketentuan bahwa kedudukan demikian [bezit] ada yang beritikad baik, ada yang beritikad buruk. Dalam Pasal 531 dengan ketentuan bahwa kedudukan itu [bezit] beritikad baik, manakala si yang memegang memperoleh kebendaan tado dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat-cela yang terkandung didalamnya. Pasal 548
67
Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, cet.1 (Bandung: Binacipta, 1987),
hal.6. Hukum kekayaan (vermogens rechts)----- salah satu kelompok hukum perdata yang mengatur mengenai hubungan hukum yang merupakan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang----dibedakan menjadi dua (2) bagian, yaitu hukum kekayaan yang bersifat absolut (zakenrecht atau zakelijk recht) dan yang bersifat relatif (persoonlijkrecht). Hukum kekayaan yang bersifat absolut menggambarkan hubungan antara orang dengan benda dan erupakan hak kebendaan, yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung atau suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap setiap orng yang bermaksud menggangu hak kebendaan tersebut. Contoh hak kebendaan ini, misalnya hak milik (eigendom), hak menguasai (bezit), hak gadai, hak hipotik dan sebagainya. Hak kebendaan yang bersifat absolut di dalam KUH Perdata diatur dalam Buku II Tentang kebendaan. Sedangkan, hukum kekayaan yang bersifat relatif lahir dari perjanjian yang memang memiliki sifat relatif. Hukum kekayaan ini lazim disebut dengan hak perorangan (persoonlijkrecht), yaitu hak yang lahir dari perjanjian yang mengatur hak-hak atau prestasi. Hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu saja, yakni orang yang terkait di dalam perjanjian itu saja. Dalam KUH Perdata, hak ini diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Baca darmabrata, Op.Cit.,hlm.19-21.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
47
KUH Perdata menyatakan tiap-tiap kedudukan yang berkuasa beritikad baik, memberi kepada si yang memangkunya, hak-hak atas keberadaan yang dikuasai, sebagai beikut: 1) Bahwa ia sampai pada sat kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim, sementara harus dianggap sebagai oemilik kebendaan. 2) Bahwa ia karena daluwarsa dapat memeproleh hak milik atas kebendaan itu. 3) Bahwa ia sampai pada saat penuntutan kembali akan kebendaan itu di muka hakim, behak manikmati segala hasilnya; 4) Bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya, ataupun dipulihkan kembali dalam itu, bilamana kehilangan kedudukannya. Dalam Buku IV KUH Perdata, Pasal 1965 menyatakan itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya. Sedangkan Pasal 1966 yang ditentukan adalah cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh, itikad baik itu ada. Kemudian, secara ekplisit melindungi seorang Pembeli benda bergerak beritikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata, yaitu terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa menguasainya [dengan itikad baik] dianggap sebagai pemiliknya. Istilah “pembeli beritikad baik”, juga dikenal dalam beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI sebagau berikut68: 1) Yurisprudensi Mehkamah Agung RI tanggl 26 Desember 1958 No.251 K/Sip/1958, menegaskan bahwa pembeli yang bertindak dengan itikad baik, harus dilindungi dan jual beli yang bersangkutan harus dianggap sah. 2) Yurisprudensi Mahkamah Agung Ri tanggal 6 Agustus 1973 No.663 K/Sip/1971, menegakan bahwa jual beli tanah meskipun telah memnuhi prosedur peraturan perundang-undangan agraria, namun harus dinyatakan batal karena didahului dan disertai dengan itikad tidak wajar atau itikad tidak jujur (pembeli mengetahui bahwa itu sudah dijual kepada orang lain).
68
Ibid.,hlm.10
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
48
3) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 29 Maret 1982 No. 1230K/Sip.1980, menegaskan bahwa oembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindunan hukum. Menurut Profesor Subekti, itikad baik yang dipergunakan dalam pasal-pasal tersebut ditas berbeda maknanya. Itikad baik yang digunakan dalm istilah “pemegang barang (bezitter)” dan “pembeli barang” berbeda dengan itikad baik dalam hukum perjanjian atau sebagimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Dalam istiah yang bezitter, itikad baik memiliki arti kejujuran atau bersih. Pemegang barang (bezitter) atau pembeli barang yang beritikad baik adalah orang yang jujur dan bersih. Yang bersangkutan tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang tersebut. Sedangkan, itikad baik yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengandung perngertian bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik yang pertama mengandung analisir subyektif, sedangkan yang kedua mengandung analisir objektif.69 2.3.3. Itikad Baik Subjektif dan Itikad Baik Objektif 1. Itikad Baik Subjektif Terminilogi pemegang barang (bezitter) yang beritikad baik, pembeli barang yang beritikad baik atau lainnya, sebagai lawan dari orang-orang yang beritikad buruk adalah itikad baik dengan anasir subjektif. Seorang pembeli barang yang beritikad baik adalh orang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik barang yang dibelinya tesebut. Ia sama sekali tidak mengetauhi jika seandainya ia membeli dari orang yang tidak berhak. Karena itu mengapa ia disebut seorang pembeli yang jujur. Dalam arti ini itikad baik memiliki analisir kejujuran atau bersih.70
Wirjono Prodjodikora memahami itikad baik dalam analisir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam 69
Subekti (b),Aneka Perjanjian,Cet.10 (bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.41.
70
Ibid.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
49
hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang dipelukan bagi mulai brelakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudia ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua. Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.71
Perwujudan itikad baik pada waktu mulai berlakunya perjanjian dapat ditafsirkan dari berbagai putusan haki, salah satunya berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I No.251K/Sip/1958 tanggal 26 desember 1958, yang menyatakan bahwa hak eigendom dari tanah sengketa tersebut telah selesai dibalik nama, berdasarkan Akta Kantor Pendaftaran Tanah. Dengan demikian teranglah bahwa jual beli tersebut san dan dilaksanakan dengan itikad baik (te goeder trouw). Mhakamah Agung berpendapat lebih lanjut bahwa dalam jual beli tersebut salah satu pihak, yaitu Mphammad hasan telah bertindak dengan itikad baik, dengan tidak tahu menahu tentang hubungan antara Nyonya Briet-Baumgarten dengan Verboorn sebelumnya. tidak adil apabila atas kesalahan dan kelalaian Myonya BrietBaumgarten, Mohammad Hasan, selaku Pembeli yang beritikad baik, dihukum untuk dibatalkan perjanjian jual beli tanah tersebut, yang segala sesuatunya telah diselesaikan dengan semestiny, bahkan telah dibalik nama. Oleh karenanya, hakhak pembei harus dilindungi dan jual beli tersebut harus dianggap sah. Mahkamah Agung memutus bahwa jual beli tanah antara Nyonya Briet-Baumgarten dengan Mohammad Hasan adalah sah. Dan menghukum Nyonya Briet-Baumgarten untuk membayar ganti rugi kepada Verboorn.
2. Itikad Baik Objektif Analisir subjektif yang telah dijelaskan sebelumnya bukanlah itikad baik sebagiaman yang dimaksud oleh Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Apa yang dimaksud dengan “semua perjanjian yang harus dijalankan dengan itikad baik, 71
Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Cet.11, (Bandung: Penerbit Sumur. 1992), hlm.56
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
50
yaitu menurut Profesor Subekti, pasal ini memberi pesan bahwa pelaksanaan perjanjian haruslah berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ukuran-ukuran objektif dipakai untuk menilai pelaksanaan perjanjian tersebut. Profesor subekti mengungkapkan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan di “rel’ yang benar.72 Jika ayat pertama dari Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang sebagai syarat atau tuntutan kepastian hukum----bahwa janji itu mengikat--- maka ayat ketiga harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Sebagaimana tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum selalu berupaya mencapai dua tujuan, yaitu menjamin kepastian hukum dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun demikian, dalam menuntut dipenuhinya janji itu, KUH Perdata menggariskan bahwa janganlah orang lantas meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. Dengan kata lain, dalam menuntut pemenuhan janji, seseorang hendak tetap berlaku adil.73 Terdapat eprbedan sifat antara itikad baik pada mulai berlakunya hubungan hukum dengan itikad baik dalam hal pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam hubungan hukum. Itikad baik yang pertama terletak pada keadaan jiwa seorang manusia pasa suatu waktu, yaitu pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum. Lain halnya dengan itikad baik dalam pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hubungan hukum. Disini pun itikad baik nampak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, khususnya tindakan sebagai pelaksanaan perjanjian. Dalam melakukan tindakan inilah itikad baik harus berjalan dengan sanubari seseorang berupa selalu menginat bahwa manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain dengan mempergunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu orang mulai membentuk suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihka lain untuk menguntungkan diri sendiri. Dengan kata lain, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban 72
Subekti (b). Loc.it.
73
Ibid.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
51
pada hubungan hukum bersifat lebih dinamis. Sedangkan sifat dari kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis.74 2.3.4. Fungsi Itikad Baik Dalam Hukum Perjanjian Menurut Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillem, terdapat tiga fungsi utama dari itikad baik, yaitu sebagai berikut:75 1) Fungsi yang mengajarkan bahwa perjanjian harus ditafsirkan menurut itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum). Artinya, perjanjian harus ditafsirakn secara patut dan wajar (fair). 2) Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende weking van de geode trouw). Berdasarkan fingsi ini, itikad baik dapat menambah isi atau kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul di antara para pihak yang tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian. 3) Fungsi membatasi atau menuadakan (beperkende en derogerende weking van de geode trouw), fungsi ini hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan yang amat penting (alleen in spreekende gevallen). Hoge Raad---dan juga Nieuwe Burgerlijk Wetboek di Belanda ---menerapkan fungsi ini hanya terhadap kasuskasus dimana pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian yang sungguh-sungguh tidak dapat diterima karena tidak adil. Penerapan
fungsi
ini
dapat
dipahami
sebagai
bentuk
penyimpangan
(pengecualian) terhadap asas pacta sunt servanda. 2.3.5. Itikad Baik Dalam Hukum Pertanahan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “.Selanjutnya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :
74
Prodjodikoro, Op.Cit., hlm.61-62
75
Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Cet.1 (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hlm.122-123.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
52
“ Bumi , air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “. Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA mengutarakan, bahwa Hukum menghendaki kepastian. Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak milik atau hak-hak lain atas sebidang tanah. Di dalam realitasnya, pemegang sertifikat atas tanah belum merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan yang seringkali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertifikat tanah melalui pengadilan76. Sedangkan menurut DR. Muchtar Wahid sertifikat tanah sebagai produk pendaftaran yang memenuhi aturan hukum normatif , belum menjamin kepastian hukum dari sudut pandang sosiologi hukum. Yang dimaksud oleh beliau kepastian hukum dari sudut pandang sosiologi hukum itu adalah realitas sosial yang terjadi di masyarakat. 77 Dengan memperhatikan kemampuan pemerintah , maka pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan secara bertahap. Sebagai langkah awal dilakukan pengukuran desademi desa untuk memenuhi ketersediaan Peta Dasar Pendaftaran Tanah yang memuat titik-titik dasar tehnik dan unsur-unsur geografis serta batas fiksik bidang-bidang tanah. Pada wilayah yang belum dilakukan secara sistematik , peta dasar pendaftraan tanah sangat diperlukan untuk mengidentifikasi dan menentapkan letak tanah yang akan didaftarkan secara sporadik, dan selanjutnya menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran. Pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur oleh PP. No. 10 tahun 1961 belum berjalan efektif , hal ini selain sasaran utamanya/daerah yang diutamakan adalah daerah-daerah perkotaan, juga menyangkut tata cara , administrasi dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat pemegang hak atas tanah sangatlah berat dirasakan oleh masayarakat pemegang hak atas tanah serta sosialisasi terhadap pelaksanaan PP itu sendiri belum maksimal. Dengan kondisi tersebut maka tujuan pendaftaran tanah belum 76
Maria S.W. Sumardjono, , Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Jakarta. 2001). 77
Muchtar Wahid, Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, (Jakarta : Penerbit Republika, 2008),Hlm.9.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
53
tercapai. Akselerasi dalam pembangunan nasional sangat memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pendaftaran tanah dan oleh karena PP. No. 10 Tahun 1961 dipandang tidak lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Dengan menimbang hal-hal tersebut , maka pemerintah memandang perlu membuat suatu aturan yang lengkap mengenai pendaftaran tanah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk adanya jaminan kepastian hukum dan akhirnya pada tanggal 8 Juli 1997 , Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan berlakunya PP. No. 24 Tahun 1997 tidak serta merta menghapuskan keberlakuan PP. No. 10 Tahun 1961, akan tetapi PP. No. 10 tahun 1961 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau diubah atau diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. ( Pasal 64 ayat 1 PP. No. 24 Tahun 1997). Objek pendaftaran tanah ini bila dikaitkan dengan sistem pendaftaran tanah maka menggunakan sistem pendaftaran tanah bukan pendaftaran akta, karena sistem pendaftaran tanah ditandai/dibuktikan dengan adanya dokumen Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar, sedangkan pendaftaran akta, yang didaftar bukan haknya, melainkan justru aktanya yang didaftar, yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan diciptakannya hak yang bersangkutan dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum mengenai hak tersebut kemudian. Dengan adanya PP. Nomor 24 tahun 1997 ini, kelihatanya program atau kegiatan pendaftaran tanah mulai menggeliat, saat ini pendaftaran tanah sudah berjalan, namun perlu ditingkatkan terus dan mencari solusi yang efektif agar tujuan hakiki dari pendaftaran tanah terutama bagi tanah yang akan didaftar secara sistematis dan sporadik dapat tercapai. Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh PP. No. 10 tahun 1961 adalah Sistem Negatif. Sistem ini disempurnakan atau dikembangkan oleh PP. No. 24 Tahun 1997 adalah asas negatif mengandung unsur positif, menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
54
Pemerintah harus terus mencari cara dan sistem dalam rangka optimalisasi tujuan pendaftaran tanah terutama mengenai asas sederhana, aman dan terjangkau, sehingga golongan ekonomi lemahpun dapat termotifasi untuk mendaftarkan tanahnya terutama secara sistematis dan sporadik, walaupun saat ini sudah ada program Larasita yang lebih mendekatkan pada pelayanan dan bantuan biaya. Jadi kalau dilihat dari tujuan pendaftaran tanah baik melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Nomor 24 tahun 1997 maka status kepemilikan hak atas tanah bagi warga Negara Indonesia akan terjamin dan akan tercipta suatu kepastian baik mengenai, subjeknya, objeknya maupun hak yang melekat diatasnya termasuk dalam hal ini peralihan hak atas tanah. Hanya saja Kantor Pertanahan harus lebih aktif lagi mensosialisasikan kegiatan pendaftaran tanah baik mengenai tata cara, prosedur maupun biayanya serta pentingnya pendaftaran tanah ini bagi pemegang hak. Dan yang lebih penting lagi kantor Pertanahan harus senantiasa melakukan pemutakhiran data tanah agar tidak terjadi overlapping dalam pemberian haknya atau pendaftaran haknya yang dapat menimbulkan masalah hukum yaitu sengketa/perkara yang disebabkan oleh adalanya sertifikat ganda atau sertifikat palsu. Sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam pasal 32 PP no. 24 tahun 1997,yaitu: 1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat di
dalamnya,sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. 2) Dalam atas hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
55
Ketentuan pasal ayat (1) Peraturan pemerintah no.24 tahun 1997 merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang berlakusebagai alat pembuktian yang kuat. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah no.24 Tahun 1997, maka sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif, yaitu sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti yang mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka diadakan perubahan dan penbetulan sebagaiamana mestinya. Ketentuan pasal 32 ayat (1) peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 mempunyai kelemahan, yaitu Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang disajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertifikat dikarenakan sewaktusewaktu akan mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat. Ketentuan pasal 32 ayat (1) peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 mempunyai kelemahan, yaitu Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang disajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertifikat dikarenakan sewaktusewaktu akan mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat. Untuk menutupi kelemahan dalam ketentuan pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik sertifikat dari gugatan dari pihak lain dan menjadikannya sertifikat sebagai tanda bukti yang bersifat mutlak. Maka dibuatlah ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi unsur-unsur secara kumulatif, yaitu : 1) Sertifikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum 2) Tanah diperoleh dengan itikad baik 3) Tanah dikuasai secara nyata
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
56
4) Dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat. Secara lengkap bunyi ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan: Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itutelah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Dr. Irawan Soerodjo, SH., MSi, (2002 : 187) menyatakan bahwa sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan setelah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diterbitkan; maka sertipikat tanah tak dapat digugat lagi, sehingga hal tersebut akan relatif lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Menurut kami, ketentuan ini pada prinsipnya menganut sistem publikasi positif, karena dengan adanya pembatasan waktu lewat dari 5 (lima) tahun tidak dapat digugat lagi oleh orang yang merasa berhak atas tanah termaksud. Dengan ketentuan bahwa proses permohonan dan pendaftaran maupun peralihan haknya senantiasa dilandasai oleh itikad baik atau kebenaran serta berpegang teguh pada asas Nemo Plus Yuris78. Dengan menerapkan kedua asas ini yaitu asas itikad baik/kebenaran dan asas Nemo Plus Yuris akan memberikan perlidungan hukum kepada pemegang sertifikat hak atas tanah, tentunya penerapan kedua asas ini harus dikuti pula dengan asas penguasaan fisik atas tanah termaksud,karena dengan menguasai secara fisik dan tanpa ada keberatan dari pihak lain , itu berarti masyarakat atau siapapun orangnya telah 78
Irwan Soerodjo, , Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia,( Surabaya. Arkola, 2002),
hlm.187.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
57
mengakui kepemilikan seseorang atas tanah yang dikuasainya itu. Dengan mebguasai terus menerus atas tanah termaksud berarti secara tidak langsung pemilik tanah itu menolak atau terhindar dari prinsip rechtsverwerking. Prinsip ini menyatakan bahwa pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah harus mempertahankan haknya akan tetapi kalau pemilik tanah tidak memelihara atau mempertahankan haknya atas tanah termaksud berarti dia telah melepaskan haknya. Di dalam penjelasan peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusanya berhak atas nama itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam peraturan pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negative. Demikian penjelasan peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961. Pengertian sistem pendaftaran tanah yang positif mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meniliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimaksukkan dama daftar-daftar. Dalam sistem positif, Negara menjamin kebenaran data yang disajikan, sistem positif mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan “title by registration” (dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran menciptakan suatu “indefeasible title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat) dan “the register is everything” (untuk memutuskan adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup diliat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya untuk menuntut kembali tanah yang bersangkutan. Jika pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran dia hanya dapat menuntut pemberian ganti rugi atau kompensasi berupa uang. Untuk itu Negara menyediakan apa yang disebut sebagai suatu “assurance fund”. Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan-perwujudan ungkapan-ungkapan demikian tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistim publikasi negative juga dalam sistem negative, kita yang mengandung unsure positif, Negara tidak dapat menjamin
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
58
kebenaran data yang disajikan. Penggunaannya adalah atas risiko pihak yang menggunakan sendiri. Di dalam asas Nemo plus yuris, perlindungan diberikan pada pemegang atas hak sebenarnya maka dengan asas ini selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik sebenarnya. Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya, tergugat yaitu pemegang hak terdaftar, maka hal ini berarti bahwa daftar umum yang diselenggarakan disuatu Negara dengan prinsip pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti. Ini berarti bahwa terdaftarnya seseorang di dalam daftar umum sebagai pemegang hak belum membuktikan orang itu seebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Jadi pemerintah tidak menjamin kebenaran dari sisi daftar-daftar umum yang diadakan dalam pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan dalam Undang-Undang. Sebagai contoh lihat UUPA Pasal 23, 32 dan 38 yang isinya menyatakan pula dalam peralihan hak-hak (Hak milik, HGU, dan HGB) harus didaftar dan pendaftaran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak tersebut. Kuat tidak berarti mutlak, namun lebih dari yang lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan pembuktian pemilikan, akan tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan bisa digugat sebagai mana dimaksud didalam penjelasan PP Nomor 10 Tahun 1961. Hal pokok yang penting diluar perlindungan masalah hukum dan kekuatan bukti dari daftar-daftar umum ialah masalah artihukum dari suatu pendaftaran hak ataupun pendaftaran peralihan hak atas tanah. Pasal 1 angka (20) Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf (c) UUPA. Untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 4 UUPA menentukan bahwa:
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
59
1) Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a kepda pemegang hak yang bersangkutan diberikan SERTIFIKAT ATAS TANAH. 2) Untuk melaksanakan informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b data fisik, data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum 3) Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalma Pasal 3 huruf c, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas bidang tanah atas satuan rumah susun wajib didaftar. Dalam pendaftaran tanah dikenal dua macam sistem publiaksi, yaitu : 1) Sistem publiaksi positif yaitu apa yang terkandung dalam buku tanah dan suratsurat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Artinya pihak ketiga bertindak atas bukti-bukti tersebut diatas, mendapatkan perlindungan yang mutlak, biarpun dikemudian hari ternyata keterangan yang tercantum didalamnya tidak benar. Bagi mereka yang dirugiakn akan mendapat kompensasi ganti rugi. Dlam sistem publikasi positif, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Dalam sistem ini, Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. 2) Sisitem publikasi negatif, sertifikat yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat, artinya semua keterangan yang terdapat dalam sertifikat mempunyaik kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya alat pembuktian yang lain. Lebih lanjut Boedi Harsono mengatakan bahwa pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi negatif, Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai pemegang hak benar-benar orang yang berhak karena menurut sistem ini bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
60
pembeli. Pendaftaran tidak membikan orang yang memperoleh hak dari pihak yang tidak berhak menjadi pemegang hak yang baru.
Dalam sistem publikasi negatif, jaminan perlindungan hukum yang diberikan pada pihak ketiga tidak bersifat mutlak seperti pada sistem positif. Pihak ketiga masih selalu berhati-hati dan tidak mutlak percaya pada apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah atau surat tanda bukti hak yang dikeluarkannya. Dalam sistem publikasi negatif berlaku asas nemo plus juris, artinya orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang dia sendiri dia punyai. Seseorang yang tidak berhak atas bidang tanah tertentu dengan sendidirnya tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum mendaftarkan tanah tersebut, apalagi mengalihkannya pada pihak lain. Asas nemo plus juris ini dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemilik tanah yang sebenarnya, yang tanahnya disertifikatkan pada orang lain.
Ciri-ciri sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu : a. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deed) b. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertifikat bukan sebagai satu satunya tanda bukti hak. c. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar. d. Dalam sistem publikasi ini menggunakan lembaga kedaluwarsa. e. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat ataupun gugatan ke pengadilan untuk meminta agar sertifikat dinyatakan tidak sah. f. Petugas pendaftaran bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran tanah.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
61
DR. Muchtar Wahid menyatakan bahwa sistem negatif murni dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Kelemahan yang mendasar mengenai sistem negatif adalah pendaftaran tanah tidak menciptakan hak yang tidak dapat diganggu gugat. Yang menentukan sah atau tidaknya suatu hak serta pemilikannya adalah sahnya perbuatan hukum yang dilakukan, bukan pendaftarannya79. Oleh karena itu, biarpun sudah didaftar dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat masih selalu dihadapi kemungkinan pemegang hak yang terdaftar kehilangan hak tanah yang dikuasainya karena digugat oleh pihak yang berhak sebenarnya. Dengan demikian bahwa, tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Sertifikat hak atas tanah adalah sebagai bukti hak yang merupakan perwujudan dari proses pendaftaran tanah yang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegangnya. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif yang bertendensi positif. Sistem ini pada dasarnya kurang memberikan kepastian hukum apalagi perlindungan hukum baik kepada pemegang sertifikat, maupun pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah. Untuk dapat lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebaiknya UUPA kita atau hukum tanah kita menganut sistem publikasi positif. Yang dilindungi dengan diadakannya pendaftaran tanah yaitu pemegang sertifikat hak atas tanah, karena dengan dilakukannya pendaftaran tanah berarti akan tercipta kepastian hukum, kepastian hak serta tertib administrasi pertanahan sehingga semua pihak terlidungi dengan baik, baik pemegang sertifikat, pemegang hak atas tanah, pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah maupun pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
79
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, hlm. 75-76.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
62
BAB III AKTA NOTARIS DAN PPAT
3.1. AKTA NOTARIS 3.1.1. Pengertian Akta Peraturan perundang-undangan mengatur bahwa akta yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum merupakan akta otentik. Hal ini dikuatkan pula dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan: “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Akte. Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu, pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Beberapa sarjana yang menganut pendapat pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain Pitlo mengartikan akta sebagai berikut80: “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”. Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuatan81. Selanjutnya menurut 80 81
Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta : Internusa, 1986), Hal. 52 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1979),
Hal. 106.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
63
pendapat Fokema Andrea dalam bukunya Kamus Istilah Hukum BelandaIndonesia, akte adalah82: a. Dalam arti terluas, akte adalah perbuatan, perbuatan hukum (Rechthandelling); b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu perbuatan hukum; tulisan ditujukan kepada pembuktian sesuatu; dapat dibedakan antara : surat otentik (autentieke) dan di bawah tangan (onderhandse), surat lain biasa dan sebagainya. Sementara itu akte menurut pendapat Marjanne ter Mar shui zen, istilah akte (Bahasa Belanda) disamakan dengan istilah dalam Bahasa Indonesia, yaitu83 : a. Akta; b. Akte; c. Surat. Apabila dibandingkan dengan pendapat Pitlo dan Sudikno Mertokusumo, Marjanne tidak memberi pengertian tentang akte, melainkan memberi terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa latin yang mempunyai arti perbuatanperbuatan84. Selain pengertian akta sebagai surat memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan. Yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.
82
Mr. N.E. Algra, Mr. H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki dan Boerhanoeddin St. batoeah, Kamus Istilah Hukum, (Bandung : Bina Cipta, 1983), Hal 2. 83
Marjanne ter Mar shui zen, Kamus Hukum Belanda – Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999),
84
R. Subekti dan Tirtosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya, 1980), hal.9 .
Hal 19.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
64
3.1.2. Macam-macam Akta Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan85. Tulisan otentik berupa akta otentik yng dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan undang-undang, dibuat dihadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat akta tersebut dibuat86. Akta otentik tidak
hanya dapat dibuat oleh Notaris tetapi juga oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)87, Pejabat Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil. Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan di bawah tangan. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dibedakan bahwa akta terdiri dari: a. Akta Di Bawah Tangan Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang. Pasal 1874ayat (1) KUHPerdata menyatakan: “sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.” Dari ketentuan Pasal 1878 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat kekhususan akta di bawah tangan yaitu akta harus seluruhnya ditulis dengan tangan si penandatangan sendiri, atau setidak-tidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan tangan si penadatangan adalah
suatu penyebutan yang memuat
jumlah atau besarnya barang atau uang yang terhutang.
85
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1867.
86
Indonesia, Op.cit., Pasal 1968.
87
M.Ali Boediardto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hlm. 146.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
65
Pasal 1876 KUHPerdata menyatakan bahwa “barang siapayang terhadapnya dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya adalah cukup jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili”. Hal yang sama juga dimaksudkan oleh ketentuan hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 289 RBg. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1877 KUHPerdata menyatakan bahwa ”jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, atau pun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan”. Ketentuan yang dimaksud diatur pula dalam Pasal 290 RBg. Alat bukti dibawah tangan tidak diatur dalam HIR, namun pengaturannya dalam staatsblad 1967 No.29 untuk Jawa dan Madura, dan Pasal 286 sampai 305 RBg. Sedangkan dalam KUPHPerdata mengakui adanya akta dibawah tangan, yaitu apabila memenuhi syarat sah suatu perjanjian sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dapat ditafsirkan bahwa dalam ketentuan tersebut suatu akta yang tidak dibuat oleh dan atau dihadapan PPAT sebagai pejabat umum adalah tetap sah sepanjang para pihak telah sepakat dan unsur-unsur yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi. Mengenai pembuktian dalam huk um acara perdata, keberadaan akta di bawah tangan diakui dan diatur dalam Pasal 286 ayat (1) RBg, yang dipandang sebagai akta di bawah tangan adalah akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, suratsurat mengenai rumah tangga dan surta-surat lain yang dibuat tanpa campur tangan pejabat pemerintah.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
66
Akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undangundang, tanpa perantara atau tidak dihadapan Pejabat Umum yang berwenang. Kekuatan nilai pembuktian suatu akta di bawah tangan adalah sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak88. Jika ada salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim89.
Para pihak yang membuat akta atau tulisan tersebut harus membubuhkan tanda tangan meraka diatas meterai. Keharusan ditandatanganinya suatu surat untuk dapat disebut akta dikemukannya dalam
Pasal 1869 KUHPerdata yang
menyatakan: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa untuk atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan, jika ditandatangani oleh pihak” Yang dimaksud dengan penandatanganan surat dibawah tangan menurut ketentuan Pasal 286 ayat (2) RBg adalah cap jari yang dibubuhkan di bawah surat itu dan disahkan dengan surat keterangan Notaris yang dibubuhi dengan hari dan tanggal pembuatannya.
Pembuktian dengan saksi dalam hukum pertanahan digunakan sebagai bukti kepemilikan sebidang tanah berupa bukti tertulisyang tidak lengkap atau tidak ada. Pembuktian hak dapat dilakukan dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dipercaya dari sekurang-kurangnya dua (2) orang saksi dari lingkungan mayarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang besangkutan sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan keatas maupun kesamping.
88
M.Ali Boediarto, Op.cit., hlm. 145.
89
Ibid., hlm. 136.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
67
Untuk memberi kesaksian terhadap peristiwa yang telah lama bukanlah hal yang mudah. Para saksi tidak mengarahkan untuk menjadi saksi jika terjadi sengketa dikemudian hari. Penangkapan sebuah peristiwa dan kemudian mengolahnya serta menarik sebagai kesaksian dapat mengaburkan kebenaran dikemudian hari aats sengketa tanah yang dihadapi.
1. Didaftarkan (waarmerken) Waarmerken adalah mengesahkan. Suatu akta di bawah tangan, sepertipun semua tanda tangan atau sidik jari dalam surat di bawah
tangan dapat
dimintakan pengesahannya selain kepada Notaris, juga kepada Kepala Pemerintah Daerah, ketua Pengadilan Negeri, Walikota dan Wedana90. Waarmerken (Register), artinya dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditandatangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan 91.
Pada waarmerken tidak terdapat jaminan, karena baik tanggal, tanda tangan, isi surat tersebut tidak di buat dan di ketahui oleh Notaris. Notaris mengakui bahwa pada hari tersebut telah datang di kantor Notaris, diberi bernomor, dimasukkan dalam buku daftar waarmerken, dan diberi tulisan oleh Notaris bahwa surat tersebut telah diberi nomor dan dimasukkan kedalam buku daftar yang khusus dibuat untuk itu, diberi meterai, di tandatangani oleh Notaris lalu dikembalikan kepada yang bersangkutan. Sebelum dikembalikan setiap halaman diberi bernomor dan diparaf oleh Notaris.
Dalam ketentuan Pasal 15 UUJN ayat (2) huruf a menyatakan bahwa Notaris berwenang pula mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 90
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, hlm.112.
91
http://irmadevita.com/2008/legalisasi-dan-waarmerking
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
68
2. Dilegalisasi didepan Notaris Mengenai legalisasi dalam Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan92: “Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang Pegawai umum. Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang darimana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai umum. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut. Dengan undang undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud”. Definisi di atas mengandung pengertian bahwa akta yang diperbuat oleh para pihak yang dibubuhi dengan tandatangan tersebut, mendapat pengesahannya dari Notaris atau pejabat yang berwenang untuk itu. Legalisasi dalam pengertian sebenarnya adalah membuktikan bahwa dokumen yang dibuat oleh para pihak itu memang benar-benar di tanda tangani oleh para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu diperlukan kesaksian seorang Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk itu yang dalam hal ini adalah Notaris untuk menyaksikan penandatanganan
tersebut
pada
tanggal
yang
sama
dengan
waktu
penandatanganan itu. Dengan demikian Legalisasi itu adalah melegalisasikan dokumen yang dimaksud dihadapan Notaris dengan membuktikan kebenaran tandantangan penadatangan dan tanggalnya. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf b dan c UUJN, kewenangan Notaris adalah membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus dan membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
92
Subekti, Pembuktian dan Daluwarsa, hlm.476.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
69
Pembuktian surat di bawah tangan yang dilegalisasi terletak di pembubuhan tanda tangan/cap jari dari orang yang datang kehadapan Notaris, sehingga tanda tangan akta di bawah tangan yang dilegalisasi tidak dapat disangkal kecuali Notaris dituduh membuat keterangan palsu. Dengan demikan terhadap akta di bawah tangan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti di Pengadilan. Akibat hukum dengan telah dilegalisasi akta di bawah tangan, maka bagi hakim telah diperoleh kepastian mengenai tanggal dan identitas dari pihak yang mengadakan perjanjian tersebut serta tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tandatangannya dihadapan pejabat umum tersebut. Perbedaan waarmerken dan legalisasi ialah waarmerken hanya mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian tanda tangan sedangkan pada legalisasi tanda tangannya dilakukan dihadapan yang melegalisasi, sedangkan untuk waarmerken, pada saat di- waarmerken, surat itu sudah ditandatangani oleh yang bersangkutan. Jadi yang memberikan waarmerken tidak mengetahui dan karena itu tidak mengesahkan tentang tanda tangannya.93 b. Akta Otentik Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1868 merumuskan pengertian mengenai akta otentik, yaitu : “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuknya yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegwai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya” Menurut ketentuan Pasal 165 HIR/ Pasal 285RBg, yang dimaksud dengan akta otentik adalah akta yang sedemikian rupa dibuat dalam bentuk yang ditetapkan dalam perundang-undangan oleh atau dihadapan pejabat-pejabat umum yang 93
http://irmadevita.com/2008/legalisasi-dan-waarmerking
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
70
berwenang ditempat pembuatan surat itu, menghasilkan pembuktian yang lengkap tentang segala sesuatu yang tercantum didalamnya dan bahkan mengenai segala sesuatu yang secara gamblang dipaparkan didalamnya bagi pihak-pihak dan para ahli waris serta mereka yang mendapat hak dari padanya, sepanjang apa yang dipaparkan itu mempunyai hubungan langsung dengan masalah pokok yang diatur dalam akta tersebut. Notaris sebagai pejabat umum yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris. Oleh karenanya akta Notaris akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang diatur UUJN. Berdasarkan unsur Pasal 1868 KUHPerdata yang merupakan lex specialis derogoat legi generalis dari Undang-undang Jabatan Notaris, yang dimaksud dengan bentuk akta Notaris adalah dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini ketentuan mengenai bentuk akta diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (UUJN).
Setiap akta Notaris terdiri dari awal akta atau kepala akta; badan akta; dan akhir atau penutup akta. Bentuk kedua dari akta Notaris adalah dibuat dihadapan pejabatpejabat (pegawai umum) yang diberi kewenangan dan ditempat dimana akta tersebut dibuat. Kewenangan Notaris dalam membuat akta diatur dalam Pasal 15 UUJN dan mengenai tempat kedudukan Notaris dalam membuat akta dibatasi oleh Pasal 18 UUJN, yaitu tempat kedudukan didaerah kabupaten atau kota dan wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya tersebut. Akta otentik berdasarkan para pihak yang membuatnya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu94: 1. Akta para pihak (Partij akte)
94
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR, (Semarang : Badan Penerbit Undip, 2008). Hal. 154-15.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
71
Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Mislanya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan menjual/membeli selanjutnya pihak Notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta. Partij akte ini mempunyai
kekuatan
pembuktian
sempurna
bagi
pihak-pihak
yang
bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari mereka itu. Ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah : a) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan; b)
Berisi keterangan pihak-pihak.
2. Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte) Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan pembuktian terhadap semua orang, misalnya akta Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam RUPS, Notaris adalah pejabat yang membuat akta tersebut, karena Notaris melihat, menyaksikan langsung dan hadir saat dilangsungkan RUPS tersebut. Jadi Ambtelijke Akte atau Relaas Akte merupakan : a) Inisiatif ada pada pejabat; b) Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta.
3.1.3. Akta Sebagai Alat Bukti Dalam hukum
perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum
menurut ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata terdiri dari: a. Bukti Tulisan (Pasal 1867 KUHPerdata)
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
72
b. Bukti dengan saksi-saksi (Pasal 1867 KUHPerdata) c. Persangkaan (Pasal 1915 KUHPerdata) d. Pengakuan (Pasal 1923 KUHPerdata) e. Sumpah (Pasal 1929 KUHPerdata)
Alat-alat bukti menurut ketentuan Pasal 284 RBg/Pasal 164 HIR adalah: a. Bukti Surat (Pasal 165-Pasal 167 HIR/ Pasal 285 RBg dst) b. Bukti saksi (Pasal 168-Pasal 172 HIR/Pasal 306-309 RBg) c. Persangkaan (Pasal 173 HIR/Pasal 310 RBg) d. Pengakuan (Pasal 174 HIR/Pasal 311-Pasal 313 RBg) e. Sumpah (Pasal 175 HIR/Pasal 314 RBg)
Pada dasarnya akta otentik adalah suatu akta yang dibuat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti dan tergolong dalam alat bukti tulisan. Maksud dari pegawai umum di sini adalah Hakim, Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Camat. 3.1.4. Nilai Pembuktian Akta Notaris Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai nilai pembuktian95: a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijsskracht) Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti lainnya. Jika ada yang menilai suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. b. Kekuatan Pembuktian Formil (Formele bewijskrcht) Kekutan pembuktian formil, yang berarti membuktikan antara para pihak bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Jika aspek 95
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrtif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, hlm
72.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
73
formil yang dipersoalkan para pihak maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh Notaris. c. Kekuatan Pembuktian Materil (Materiele Bewijskracht) Kekuatan pembuktian materiil, yang berarti membuktikan antara para pihak, bahwa benar peristiwa yang tersebut dalam akta tersebut telah terjadi. Jika ingin membuktikan aspek amteril dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta atau para pihak yang telah benar berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.
3.1.5. Nilai Pembuktian Akta Otentik dalam Putusan Pengadilan Aspek lahiriah dari akta Notaris dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, bahwa akta Notaris sebagai alat bukti berkaitan dengan tugas pelaksanaan tugas jabatan Notaris, contohnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973, yang menegaskan bahw judex factie dalam amar putusannya membatalkan Akta Notaris. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan bahwa96: a. Akta Notaris tidak dapat dibatalkan b. Fungsi Notaris hanya mencatat (menuliskan) apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. c. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materiil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap tersebut.
Aspek materil dari akta Notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar sebagai pernyataan atau keterangan Notaris dalam akta relaas dan harus dinilai 96
Ibid., hlm. 75.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
74
benar sebagai pernyataan atau keterangan para pihak dalam akta partij (pihak). Secara materil berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1462 K/Pdt/1989, tanggal 29 November 1993, akta Notaris tidak mempunyai kekuatan eksekusi dan batal demi hukum dengan putusan pengadilan, jika dalam akta Notaris: 1. Memuat lebih dari satu perbuatan atau tindakan hukum 2. Materi akta bertentangan dengan hukum yang mengatur perbuatan atau tindakan hukum tersebut. 3.2. Tinjauan Mengenai Sertipikat Hak Atas Tanah Untuk memeberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satun rumah susun dan hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yurudis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh sertifikat adalah hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang97. 3.2.1. Tata Cara Memperoleh Tanah Dalam rangka memperoleh tanah harus diperhatikan mengenai tata cara untuk memperoleh tanah yang tersedia yang bergantung pada98: 1. Status Tanah Yang Tersedia Status tanah yang tersedia dapat dibedakan menjadi: a. Tanah Negara Tanah Negara dapat berasal dari bekas tanah pertikelir, bekas tanah hak barat, bekas tanah hak maupun sejak semula merupakan tanah negara yang tidak ada hak pihak tertentu selain Negara. Tanah hak yang dikuasai oleh Negara, tetapi penguasaannya tidak secara langsung, sebab ada terdapat hak pihak-pihak 97
Budi Harsono,Op.cit, hlm. 500
98
Sunaryo Basuki, “Landasan Hukum Penguasan dan Penggunaan Tanah (Jakarta: Fakultas Hukum Trisakti, 2005), hlm. 2.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
75
tertentu diatasnya. Bila hak pihak-pihak tertentu itu kemudian hapus, maka tanah itu menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara. Tanah hak dapat menjadi tanah Negara karena hak yang ada diatas tanah itu dicabut oleh yang berwenang, dilepaskan secara sukarela oleh yang berhak, habis jangka waktunya dan karena pemegang hak bukan subyek pemegang hak 99. Jika status tanah yang tersedia adalah tanah Negara, maka cara untuk memperoleh tanah adalah melalui permohonan hak. b. Tanah Ulayat Jika status tanah yang tersedia adalah tanah ulayat, maka tata cara perolehan hak atas tanah adalah melalui pembebasan hak yang diikuti dengan permohonan hak. c. Tanah Hak Pengelolaan Jika satus tanah yang tersedia adalah hak tanah pengelolaan, mama tata cara memperoleh hak atas tanah adalh melalui permohonan hak. d. Tanah Hak Milik Jika status tanah yang tersedia adalah staus tanah hak milik, amak tata cara perolehan hak atas tanah adalah melalui peralihan hak dan pembebasan hak. Pemilik tanah hak milik juga dapat memberikan hak baru kepada pihak lain (hak atas tanah sekunder). e. Tanah hak lainnya yaitu HGB, HGBU dan Hak Pakai Perolehan hak atas tersebut dapat dilakukan melalui tata cara peralihan hak. 2. Status Para Pihak Status calon pemegang hak dalam memperoleh hak atas tanah yang harus diperhatikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA. Hak Milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Sedangkan terhadap Hak Guba Bangunan (HGU) dan Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan kepada WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI). Hak Pakai dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing, Badan Hukum Indonesia, Badan Hukum Asing. Jika syarat kepemilikan adalah para
99
Effendi Perangin, op.cit, hlm. 6.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
76
pihak tersebut tidak terpenuhi, maka pihak tersebut tidak dapat memperoleh tanah yang tidak sesuai dengan status hak atas tanah yang dapat dimohonkan. 3. Ada atau Tidaknya Kesediaan Pemilik Tanah Jiaka tanah tersebut telah dimiliki oleh pihak tertentu, maka untuk memperoleh tanah yang dimiliki oleh orang lain itu harus ada kesediaan dari pemilik tanah untuk mengalihkan atau melepaskan hak yang dimilikinya. Jika pihak yang memiliki hak atas tanah tidak dapat dilakukan, karena penguasaan tanah berdasarkan hak dilindungi oleh hukum terhadap gugatan pihak manapun. Jika pemilik tanah tidak bersedia melepaskan tanah sedangkan tanah tersebut diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum dan tidak dapat dipindahkan ketempat lain, maka oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang dapat melakukan pencabutan hak atau tanah disertai pemberian ganti rugi. Dalam hukum Nasional terdapat berbagai cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan baik untuk keperluan pribadi maupun untuk keperlian bisnis atau kegiatan usaha dan pembangunan. Adapun cara yang disediakan oleh hukum tanah nasional untuk memperoleh tanah, yaitu100: 1. Permohonan Hak Atas Tanah Permohonan hak adalah cara yang harus digunakan bagi perorangan, yaitu orang sebagai individu atau badan hukum untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah Negara. Permohonan hak, dapat digunakan apabila tanah tersedia berstatus tanah negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Termasuk didalamnya tanah negara yang berasal dari pembebasan hak atau pelepasan hak untuk kepentingan pihak lain. Melalui tata cara tersebut dapat diperoleh tanah dengan hak-hak atas tanah yang primer, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai. Terhadap instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah/Pusat memerlukan sebidang tanah, dapat diajukan permohonan Hak Pengelolaan kepada Negara. Tata cara untuk memperoleh hak atas tanah melalui permohonan hak atas tanah digunakan untuk memperoleh hak atas tanah apabila yang tersedia adalah tanah 100
Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah NasionalDalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2005), hlm.50
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
77
Negara atau tanah hak pengelolaan. Peraturan yang mengatur tata cara tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang mulai berlaku tanggal 24 Oktober 1999, sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.
Pasal 2 Ayat (1) PMNA / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 menyatakan bahwa Permohonan hak atas tanah dilakukan dalam rangka pemberian hak atas tanah yang primer, yaitu pemberian hak atas tanah yang terdiri dari hak milik, HGU, HGB, hak pakai dan hak pengelolaan. Pasal 2 Ayat (2) PMNA / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilaksanakan dengan Keputusan pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum. Permohonan Hak atas Tanah oleh pemohon hak disertai dengan data yuridis dan data fisik sebagai bukti penguasan tanah yang dimohonkan. Data yuridis adalah bukti-bukti atau dokumen penguasaan tanah, sedangkan data fisik adalah Surat Ukur dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah atas tanah dimaksud. Adapun data-data yang diperlukan untuk melakukan permohonan hak atas tanah adalah : a. Data mengenai pemohon. Data mengenai pemohon adalah keterangan mengenai subjek hukum yang melakukan permohonan hak atas tanah, baik perorangan maupun badan hukum. Jika pemohon adalah pihak perorangan, maka data yang diberikan dapat berupa fotokopi identitas (Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Domisili,
atau
Surat
Ijin
Mengemudi),
Kartu
Keluarga,
bukti
kewarganegaraan atau surat ganti nama. Jika pemohon badan hukum, maka data pemohonnya berupa Surat Kuasa dan Akta Pendirian badan hukum yang
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
78
telah disahkan oleh Menteri Kehakiman. Data pemohon diperlukan untuk mengetahui status pemohon dalam hubungannya dengan status hak atas tanah yang dimohon. b. Data fisik. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah, termasuk keterangan mengenai ada atau tidaknya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data fisik berupa Surat Ukur atau Kutipan Peta Bidang. c. Data yuridis. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data yuridis dapat bermacam-macam bentuknya tergantung dari status tanahnya. Untuk tanah Negara, data yuridis yang diperlukan dapat berupa surat keterangan dari kepala desa atau lurah setempat yang isinya bukan tanah adat, surat keterangan bahwa tanahnya tidak termasuk dalam buku C desa atau dalam peta rincikan desa riwayat tanah, bukti perolehan tanah (hubungan hukum sebagai alas hak) dan surat pernyataan penguasaan fisik oleh pemohon yang disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dikertas bermaterai secukup yang isinya menyatakan tanah yang dimohon dikuasai secara fisik dan tidak dalam keadaan sengketa, apabila terdapat gugatan dari pihak lain yang menjadi tanggung jawab pemohon ataupun fotokopi sertipikat hak atas tanah yang pernah diterbitkan atas tanah serta bukti perolehan hak atas tanah. d. Data pendukung lainnya. Data Pendukung untuk melakukan permohonan hak atas tanah berupa surat keterangan bahwa tanah yang dimohon tidak bersengketa di atas meterai, surat pernyataan tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon dan surat pernyataan rencana penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dimohon. Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan diproses antara lain dengan penelitian ke lapangan oleh Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A atau B), kemudian apabila telah memenuhi syarat maka sesuai kewenangannya dan
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
79
diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah (SKPH). Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan/atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Besarnya uang pemasukkan yang harus dibayar sesuai dengan PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, sedangkan BPHTB yang harus dibayar mengacu pada UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000. Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan atau BPHTB jika dinyatakan dalam surat keputusan tersebut. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran Surat Keputusan Pemberian Hak untuk memperoleh sertifikat tanda bukti hak adalah : a. Surat permohonan pendaftaran; b. Surat pengantar Surat Keputusan Pemberian Hak; c. Surat Keputusan Pemberian Hak untuk keperluan pendaftaran; d. Bukti pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila dipersyaratkan; e. Identitas pemohon. 2. Pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal Yang dimaksud dengan hak baru adalah: hak atas tanah yang diberikan oleh pemilik tanah kepada pihak lain atau hak atas tanah sekunder. Dari berbagai jenis hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA, hanya hak milik yang dapat dibebani dengan hak baru. Dengan demikian sebidang tanah yang dikuasai dengan hak milik dapat dipergunakan sendiri oleh pemiliknya maupun dapat digunakan oleh pihak lain dengan dilandasi hak baru atau hak atas tanah yang sekunder.
Hak-hak atas tanah sekunder yang diberikan di atas tanah hak milik yaitu HGB sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUPA, hak pakai sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUPA, hak sewa sesuai dengan Pasal 44 UUPA, hak usaha bagi hasil sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA juncto UU Nomor 2 Tahun 1960, hak
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
80
sewa atau hak gadai atas tanah pertanian sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA juncto UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 dan hak menumpang.101
Dalam ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, ditetapkan bahwa HGB dan hak pakai atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hak sekunder atas tanah berupa HGB dan hak pakai wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 juncto Pasal 44 PP Nomor 24 Tahun 1997. Pemberian hak sekunder tersebut dicatat pada Buku Tanah dan sertipikat hak milik, serta kepada pemegang hak sekunder (HGB atau Hak Pakai) dibuatkan Buku Tanah dan sertifikatnya.
3. Peralihan Hak (Pemindahan Hak) Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak). Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum yaitu pemindahan hak.102 Yang dimaksud dengan Peralihan Hak karena pewarisan tanpa wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka haknya itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya. Berbeda dengan perbuatan hukum pemindahan hak dimana peralihan hak dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi hak pihak lain.103 Perbuatan hukum Peralihan Hak untuk memindahkan hak atas tanah yang dimiliki kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara: a. Jual beli. Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan 101
Ibid., hlm. 55.
102
Boedi Harsono, op.cit., hlm.333.
103
Effendi Perangin, op.cit., hlm. 6
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
81
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. b. Pemasukkan dalam Perusahaan atau Inbreng. c. Tukar-menukar. Pasal 1541 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa tukarmenukar ialah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik, sebagai gantinya suatu barang lain. d. Hibah. Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. e. Hibah wasiat (legaat). Hibah wasiat adalah suatu pemberian yang dinyatakan ketika yang memberi itu masih hidup tetapi pelaksanaannya setelah yang memberi itu meninggal dunia.104 Peralihan hak atas tanah melalui jual beli mengandung pengertian yaitu perbuatan hukum pemindahan hak selama-lamanya dari si penjual kepada pembeli dan pembayaran harga baik selurunya maupun sebagian dari pembeli dilakukan dengan syarat terang dan tunai. Syarat terang berarti bahwa perjanjian jual beli tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang membuat Akta Jual Belinya yaitu PPAT dan disaksikan oleh dua orang saksi. Syarat tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu pemindahan hak dari si penjual kepada si pembeli dan pembayaran harga baik sebagian maupun seluruhnya dari pembeli kepada penjual. Pembayaran harga jual beli bisa dibayarkan seluruhnya maupun sebagian.105
104 105
K. Wantjik Saleh, Hak Atas Tanah, cet. 5, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 35. Irene Eka Sihombing, op.cit., hlm. 56.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
82
Konsekuensi dari syarat terang dan tunai mengakibatkan jual beli tanah tidak dapat dibatalkan, karena jual beli tanah bukan merupakan suatu perjanjian, melainkan perbuatan hukum pemindahan penguasaan yuridis atas tanahnya yang terjadi secara langsung dan riil. Apabila baru dibayar sebagian harganya tidak mempengaruhi selesainya perbuatan jual beli karena telah memenuhi syarat tunai, sedangkan terhadap sisa harganya yang belum dibayar dianggap sebagai utangpiutang diluar perbuatan hukum jual beli tanah. Untuk memperoleh surat bukti yang kuat dan luas daya pembuktiannya, perbuatan hukum peralihan hak harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk dicatatkan pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan. Dengan dicatatkan peralihan hak pada sertipikatnya, diperoleh surat tanda bukti yang kuat.
4. Pembebasan Hak (Pelepasan Hak) Pembebasan hak adalah: setiap perbuatan melepaskan hubungan hukum yang semula, yang terdapat antara pemegang hak dengan tanahnya disertai dengan pembayaran ganti kerugian kepada pemegang haknya atau yang berhak atas tanah yang bersangkutan yang disepakati atas dasar musyawarah. Pembebasan Hak pada dasarnya mengandung dua unsur, yaitu : 106 a. Adanya kesediaan pemegang hak untuk melepaskan haknya. b. Ganti kerugian yang diberikan kepada pemegang hak yang ditetapkan atas dasar musyawarah. Pembebasan Hak merupakan salah satu sarana bagi suatu badan hukum untuk memperoleh tanah yang diperlukan, jika tanah yang tersedia berstatus hak milik, karena badan hukum tidak boleh mempunyai hak milik dan jika badan hukum tersebut membeli tanah hak milik, maka jual beli (peralihan hak) batal demi hukum. Hak miliknya akan menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah milik Negara, sedangkan harga yang telah dibayarkan kepada penjual tidak dapat dituntut kembali sesuai
106
Sunaryo Basuki, op.cit., hlm. 25.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
83
dengan ketentuan Pasal 26 Ayat (2) UUPA. Atas dasar ketentuan tersebut, agar badan hukum dapat memperoleh tanah hak milik yang tersedia tanpa melanggar hukum, maka disediakan tata cara memperoleh tanah melalui pembebasan hak.
Dengan diperolehnya hak atas tanah yang baru dan dibuktikan dengan penerbitan sertifikat bagi pemegang hak atas tanah sebagai alat bukti yang kuat, penguasaan dan penggunaan tanah tersebut akan aman terhadap gangguan maupun gugatan di kemudian hari yang mungkin dilakukan oleh pihak yang merasa berhak atas tanah tersebut.
5. Pencabutan Hak Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari dan untuk Rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang- Undang. Pencabutan Hak adalah: pengambilan tanah hak kepunyaan orang atau badan hukum oleh pemerintah secara paksa, untuk penyelenggaraan kepentingan umum disertai pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemilik tanah. Dengan dilakukan pencabutan hak atas tanah milik seseorang, maka tanah tersebut menjadi tanah Negara.107
Pencabutan hak (Eminent domein atau Expropriation) merupakan suatu upaya hukum terakhir dalam rangka memperoleh tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum, maupun kepentingan bersama bangsa dan Negara, ketika melalui cara musyawarah dengan pemegang haknya tidak berhasil atau mencapai kata sepakat, sedangkan Negara sangat memerlukan tanah tersebut untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan proyeknya tidak dapat dibangun di lokasi lain, selain di atas bidang tanah yang bersangkutan.108 Pencabutan hak hanya dapat dilakukan oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden yang berisi tentang pencabutan hak sekaligus menetapkan bentuk dan besarnya jumlah ganti kerugian. 107 108
Ibid., hlm. 27. Soetomo, op.cit., hlm. 53.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
84
Pencabutan hak atas tanah dilakukan disertai dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan dilakukan menurut tata cara yang diatur dengan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di atasnya jo. PP Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Rugi oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda -Benda yang Ada Di atasnya.
Pencabutan hak atas tanah tidak diperlukan persetujuan pemegang haknya, artinya: keputusan pencabutan hak tidak dapat diganggu gugat. Tetapi pemegang hak masih dapat menolak penggantian kerugian yang ditetapkan oleh Presiden, yang dianggap kurang layak, dengan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 30 hari sejak keputusan pencabutan hak.109 Prosedur pencabutan hak dimulai dengan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dengan perantara Menteri Dalam Negeri, melalui Gubernur Kepala Daerah Provinsi. Presiden akan menerbitkan Keputusan Pencabutan Hak yang setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur Kepala Daerah Provinsi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bidangnya meliputi usaha atau proyek yang memerlukan tanah yang diusulkan untuk pencabutan hak. 3.2.2. Pendaftaran Tanah Dalam Pasal 19 Ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa untuk menjamin Kepastian Hukum di bidang Pertanahan, maka oleh Pemerintah Indonesia diadakanlah Kegiatan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran tanah adalah: rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan109
Sunaryo Basuki, op.cit., hlm. 28.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
85
satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur mengenai tujuan pendaftaran tanah, yaitu : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pihak Ketiga) termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah data yang tersaji di Kantor Pertanahan adalah merupakan data yang sama dengan riwayat tanah yang terjadi di masyarakat. Yang menjadi Objek Pendaftaran Tanah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 PP 24/97 Tentang Pendaftaran Tanah, meliputi : a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai; b. Tanah hak pengelolaan; c. Tanah wakaf; d. Hak milik atas satuan rumah susun; e. Hak tanggungan; f. Tanah Negara.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
86
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan:110 a. Pendaftaran Tanah untuk pertama kali. Pendaftaran tanah untuk pertama kali merupakan kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi : 1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik; 2. Pembuktian hak dan pembukuannya; 3. Penerbitan Sertipikat 4. Penyajian data fisik dan data yuridis 5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen b. Pemeliharaan Data pendaftaran tanah. Pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahanperubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi : 1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; 2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 19 Ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) UUPA tersebut diatas meliputi : a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang dimaksud tersebut diatas untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan 110
A.P. Parlindungan, op.cit., hlm. 88.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
87
hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sertipikat tersebut diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuris yang telah didaftar dalam buku tanah. Hal ini dikarenakan sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Dalam hal atas suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. 3.2.3. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (maintenance)111 Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaiakan data fsik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.112 Pemegang hak sebagaimana diatur dalan Pasal 36 PP Nomor 24 Tahun 1997 wajib mendaftarkan perubahan-perubahan. Perubahan tersebut terjadi akibat beralihnya, dibebaninya atau berubahnya nama pemegang hak yang telah didaftar, hapusnya atau diperpanjangnya jangka waktu yang sudah berakhir, pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah yang haknya sudah didaftar. Perubahan fisik terjadi jika luas tanahnya berubah, yaitu jika terjadi pemisahan atau pemecahan bidang tanah yang bersangkutan menjadi satuan-satuan baru. Sedangkan perubahan 111
Boedi Harsono. Op.cit., hlm.474
112
Ibid., hlm. 475
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
88
data yuridis bisa mengenai haknya, yaitu berakhir jangka waktunya, dibatalkan, dicabut atau dibebani hak lain. Dalam hal terjadi perubahan penggantian nama pemegang hak karena penggabungan, yaitu dua bidang tanah atau lebih yang sudah didaftar dan letaknya berbatasan, yang kesemuanya atas nama pemilik yang sama, dapat dimintakan penggabungan oleh pemegang hak menjadi satu kesatuan bidang baru, jika semuanya dipunyai dengan hak yang sama dan bersisa jangka waktu yang sama pula. Dalam hal penggabungan, hak-hak atas tanah yang digabung menjadi hapus. Penggabungan bidang tanah ini berlaku ketentuan Pasal 48 dan Pasal 50 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Data yang tersedia di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan terkini atau mutakhir. Asas mutakhir menuntut dipeliharanyadata pendaftaran tanah yang tersimpan secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahanselalu sesuai dengan keadaan di lapangan dan masyarakat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997. Perbuatan hukum berkaitan daengan tanah, sebagimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dijelaskan mengenai Peralihan Hak atas tanah melalui Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemidahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 PP 24/97 yang menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT merupakan Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat aktaakta tanah tertentu sebagai yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan Hak
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
89
Tanggungan. Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan Sumber Data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, oleh karena itu sebagai Pejabat, PPAT tersebut wajib memperhatikan syarat-syarat yang ada sehingga akta yang dibuatnya dapat dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan, sekaligus dapat membuktikan telah terjadi perbuatan hukum yang sah. Syarat tersebut misalnya adalah harus meminta Sertifikat yang diperlukan terlebih dahulu kepada para pihak dan setelah itu harus melakukan pengecekan terhadap sertifikat yang telah diserahkan kepadanya tersebut. Pembuatan akta PPAT diatur didalam Pasal 101 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu dikatakan bahwa pembuatannya harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau oleh orang yang dikuasakan dengan surat kuasa tertulis, sesuai dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Pembuatan akta tersebut juga harus dihadiri oleh sekurangkurangnya 2 orang saksi yang memenuhi syarat. Bahkan sebelum akta ditandatangani, maka PPAT yang bersangkutan wajib membacakannya kepada para pihak dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta itu serta prosedur pendaftaran yang harus dilakukan selanjutnya. Prosedur yang dimaksudkan adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 40, yaitu selambat-lambatnya dalam 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, maka PPAT, sebagai salah seorang Pejabat Pelaksana Pendaftaran tanah, wajib menyampaikan akta yang dibuatnya tersebut berikut dengan dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Pertanahan agar dapat segera dilaksanakannya proses pendaftaran dan pemeliharaan data. Bilamana pendaftaran tersebut telah dilakukan, maka oleh Kantor Pertanahan akan diberikatan tanda penerimaan kepada PPAT mengenai telah diterimanya berkas yang bersangkutan. Setelah itu, PPAT wajib menyampaikan Pemberitahuan Tertulis mengenai telah disampaikannya akta dan dokumen-dokumen tersebut kepada para pihak yang bersangkutan, bukan hanya kepada Penerima Hak.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
90
3.2.4. Penerbitan Sertifikat Berdasar Alas Hak di Bawah Tangan Pendaftaran tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastia hak kepada pemilik tanah. Terbitnya sertipikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah akan haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberi kepastian hukum, sertipikat berfungsi sebagai pembuktian yang kuat. Sertipikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang terdapat didalamnya, sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Yusridprudensi dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 598K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember 1971, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972 tertanggal 14 Maret 1973, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393K/Sip/1973 tertanggal 11 juli 1973 menyatakan bahwa setiap transaksi yang tidak dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang merupakan transaksi yang tidak sah menurut hukum, sehingga para pihak perlu mendapatkan perlindungan hukum. Berdasarkan yurisprudensi dan doktrin hukum, surat dibawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum, namun surat dibawah tangan tetap dijadikan sebagai alat bukti dengan dikaitkan dengan tanda tagan dan kesaksian. Aturan lain mengenai pendafatran tanah dalam Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah akta yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran tanah adalah Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik, Akta pemberian Hak atas Tanah Hak Milik. Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah mengandung konsekuensi hukum bahwa suatu transaksi dengan objek berupa tanah apabila dilaksanakan dibawah tangan, terancam batal, sebab bertentangan dengan peraturan yang mengharuskan setiap transaksi yang berkaitan dengan tanah dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
91
Keberadaan surat dibawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifkat Hak Milik tetap diakui dalam PP No.24 Tahun 1997, meskipun surat dibawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan Setifikat Hak Milik dan dapat memiliki kekuatan pembuktian, surat dibawah tangan tersebut harus memnuhi prosedur dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian yang berdasarkan pembuktian, bembukuan hak dapat dilakukan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya, dengan syarat penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian dari orang yang dipercaya. Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon pendaftaran taanh antara lain berisi:113 a. Fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihka yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai, tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya b. Tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa. Apabila penandatanganan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia dituntut dimuka hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu Apabila syarat bagi sebuah surat dibawah tangan telah dipenuhi untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik, berdasarkan PP No.24 tahun 1997 surat dibawah tangan terebut dapat dijadikan sebagai dasar oenerbutan sertifkat dan memiliki kekuatan pembuktian.
113
Ibid., hlm.183
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
92
3.2.5. Kepastian Hukum Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah Kekuatan pembuktian sertifikat dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 memberi arti dan persyaratan pengertian “berlaku sebagai alat bukti yang kuat” bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum didalam surat ukur dan buku tanah tersebut harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam perkara di pengadilan. Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain yang dikuasakan olehnya. Dalam hal pemegang hak sudah meninggl dunia, sertifikat diterimakan kepada ahli warisnyaatau salah seorang ahli waris dengan persetujuan para ahli waris yang lain.114 Yang berhak menajdi ahli waris menurut ketentuan undang-undang, menurtu Pasal 832 KUHPerdata adalah keluarga sederajat baik sah maupun luar kawin yang diakui, serta suami atau istri yang hidup terlama.115 Golongan ahli waris menurut undang-undang (Ab-Intestato) terdiri dari empat (4) macam, yaitu golongan pertama adalah suami atau istri dan keturunannya, golongan kedua adalah orang tua, saudara dan keturunan saudara, golongan ketiga adalah leluhur lain dan golongan keempat adalah sanak saudara lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam116. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 852a menyatakan bahwa istri sebagai orang yang hidup terlama dari Pewaris adalah ahli waris dari Pewaris.
114
Boedi Harsono, op.cit., hlm. 501
115
Surini Ahlan Sjarid & Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan Menurut Undang-Undnag, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indoneisa, 2005), hlm.49. 116
Hartono Soerjapratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Yogyakarta: Seksi notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983), hlm. 17
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
93
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MANADO NOMOR 339/PDT.PLW/2011/PN.MDO 4.1. URAIAN KASUS Berdasarkan uraian mengenai teori alas hak akta di dibawah tangn dan akta otentik pada bab-bab sebelumnya, bahwa akta di bawah tangan dapat menjadi bukti di pengadilan sebagai alat bukti yang sempurna harus ada kesaksian dari para saksi minimal 2 (dua) orang dan/atau mendapat pengakuan dari pihak yang membuatnya. Kasus yang akan diteliti dan dianalisis oleh Penulis berikut ini menjelaskan mengenai situasi dimana suatu perbuatan hukum jual beli yang dilakukan berdasarkan surat atau akta di bawah tangan dengan diikuti penerbitan sertifikat hak atas tanah. Kasus bermula dari perlawanan pihak ketiga atas pelaksanaan eksekusi atas obyek tanah yang menjadi sengketa oleh Meity Amelliana Wangke (almarhumah dan untuk selanjutnya disebut “Terlawan”), Tano Wangke, Adolf Wangke, Yanny Wangke, Clift Wangke (untuk selanjutnya dsebut “Turut Terlawan”) yang sedang dikuasai oleh Yelly Lapian (untuk selanjutnya disebut “Pelawan”). Obyek sengketa dalam perkara perdata Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 229/Pdt.Plw/2011/PN.Mdo adalah sebidang tanah Hak Milik dengan sertifikat SHM nomor 9/Kombos atas nama Ricky Budiman (almarhum) yang merupakan suami Pelawan. Sebelumnya, terhadap obyek sengketa bidang tanah tersebut telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 10185 K/Pdt/1986 juncto Putsan Pengadilan Tinggi Manado Nomor 30/Pdt.G/1985/PT.Mdo juncto Putusan Pengadilan Negeri Manado nomor 221/Pdt.G/PN.Mdo. dalam perkara perdata yang diputus oleh Mahkamah Agung tersebut, pihak yang berperkara adalah Erenst Adolf Wangke sebagai Penggugat atau Termohon Kasasi dan Ot. Dajoh, Santoso
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
94
Suhardi dan Isnoora Tuturoong sebagai Tergugat atau Pemohon Kasasi.
Sebelum
menguraikan mengenai kasus posisi dalam putusan perlawanan Pengadilan Negeri Manado Nomor 339/Pdt.Plw/2011/PN.Mdo, penulis akan menguraiakan mengenai perkara perdata yang telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Agung tersebut sebagai berikut. Telah terjadi jual beli antara Ernest Adolf Wangke dengan Ot. Dajoh pada tanggal 26 Desember 1968 atas bidang tanah yang berbatasan dengan tanah kepunyaan Santoso Suhardi. Oleh karena telah terjadi kesepakatan atas bidang tanah tersebut, OT. Dajoh menjual tanah itu kepada Santoso Suhardi dan diterbitkannya sertifikat SHM Nomor 73/Kombos atas nama Santosa Suhardi. Erenst Adolf Wangke merasa keberatan atas penggabungan bidang tanah tesebut dengan sertifikat atas nama Suhardi Santoso, maka ia mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri Manado. Dalam putusan Pengadilan Negeri Manado, menyatakan bahwa jual beli antara Ot. Dajoh dan Santoso Suhardi adalah batal demi hukum dan penerbitan sertifikat oleh Direktorat Agraria Kotamadya Manado adalah perbuatan melawan hukum, dengan dimenangkannya pihak Penggugat dalam putusan Pengadilan Negeri Manado No.221/Pdt.G/!983/PN.Mdo tersebut, pihak Tergugat, yakni OT.Dajoh, Santoso Suhardi dan Isnoora Tuturoong mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Manado dan perkara ini berlanjut hingga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Bedasarkan putusan Mahkamah Agung nomor 10185 K/Pdt/1986, yang menjadi obyek sengketa adalah bidang tanah yang batas-batasnya, sebelah utara berbatasan dengan Yelly Lapian, sebelah timur berbatasan dengan Hanny Sondak, sebalah Selatan berbatasan dengan Jalan Arie Lasur dan sebelah selatan berbatasan dengan Keluarga Wangke. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 10185 K/Pdt/1986, menyatakan bahwa sebagaian tanah dalam sertifikat nomor 73/Kombos merupakan milik Penggugat dan terhadap bidang tanah dengan obyek sengketa sertifikat atas tanah nomor 73/ Kombos atas nama Santoso Suhardi tersebut, dilakukan eksekusi yang bersifat consevatoir beslag.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
95
Sengketa yang terjadi antara OT. Dajoh dan Santosa Suhardi melawan Erenst Adolf Wangke dalam putusan Mahkamah Agung Nomo 10185 K/Pdt/1986 menyatakan dalam amar putusan bahwa menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh OT.Dajoh san Santoso Suhardi. dengan pertimbangannya, bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Manado sudah tepat, yakni tidak salah menrapkan atau melanggar hukum yag berlaku, lagipula dari surat jual beli yang disaksikan Ernest A.Wangke, OT.Dajoh menyatakan bahwa tanah yang dijual kepada Santos Suhardi adalah seluas 11/15m terletak di jalan Zainal Arifin yang berada dibelakang tanah milik Ernest A.Wangke. Oleh karena permohonan kasasi dari Ot.Dajoh dan Sontoso Suhardi ditolak oleh Mahkamah agung, maka putusan Mahkamah Agung dimenangkan oleh Pihak Termohon, dalam hal ini Ernest Adolf Wangke dan pihak yang dikalahkan adalah Ot.Dajoh dan Santoso Suhardi. Pada tahun 2004 terjadi jual beli yang dilakukan dihadapan PPAT antara Ricky Budiman (suami pelawan) dan Rose Langi atas bidang tanah dengan sertifikat hak milik nomor 221/Kombos atas nama Isnoora Tuturoong dan sibidang tanah lainnya dengan sertifikat hak milik nomor 73/kombos atas nama Santoso Suhardi. Sebelum jual beli antara Rose Langi dan Ricky Budiman tersebut telah terjadi kesepakatan untuk menjual sebagian bidang tanah dalam sertifikat nomor 73/kombos yang dibuat oleh Erenst Adolf Wangke dalam Surat Pengakuan dan Pernyataan tertanggal 29 Juni 1999 kepada Rose Langi dengan diikuti pembayar ganti rugi sebesar Rp.22.500.000,- (dua puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Jual beli yang terjadi antara Rose Langi dan Ricky Budiman tersebut meliputi bidang tanah dengan sertifikat hak milik nomo 73/Kombos atas nama Santos Suhardi dan sertifikat hak milik nomor 221/kombos atas nama Isnoora Tuturoong. Oleh karena terdapat dua bidang tanah, oleh PPAT atas permintaan Ricky Budiman sebagai Pihak Pembeli dijadikan satu bidang tanah atau penggabungan menjadi sertifkat hak milik nomor 9/kombos atas nama Ricky Budiman. Pada tahun 2011, ahli waris Erenst Adolf Wangke (Terlawan dan Turut Terlawan) mengajukan permohonan eksekusi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
96
10185 K/Pdt/1986. Atas keberatan dilakukannya eksekusi atas sertifikat nomor 9/kombos tersebut, Yelly Lapian sebagai pihak yang menguasai tanah tersebut (istri dari Ricky Budiman yang namanya tercantum dalam sertifikat hak milik tersebut) merasa keberatan sehingga mengajukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) kepada Pengadilan Negeri Manado. Dalam perlawanannya, Pelawan
menyatakan ia tidak mengetahui
mengenai
sengketa yang telah terjadi sebelumya antara Ernest Adolf Wangke dan Santo Suhardi, dikarenakan terdapat Surat Pernyataan dan Pengakuan tertanggal 29 Juni 1999 untuk melepaskan bidang tanah yang dibuat oleh Ernest Adolf Wangke kepada Rose Langi atas sepengetahuan Santoso Suhardi dan Insonora Toturoong. Sehingga Pelawan sebagai pihak ketiga yang menguasai tanah yang menjadi obyek sengketa tidak terikat oleh Putusan Mahkamah Agung No.10185 K/Pdt/1986 yang telah memeriksa dan memutus sengketa atas bidang tanah tersebut dalam menjalankan putusannya dalam bentuk eksekusi tanah yang menjadi obyek sengketa. Terlawan dan Turut Terlawan tidak mengakui surat pernyataan dan pengakuan tertanggal 29 Juni 1999 tersebut karena sesuai dengan ketentuan Pasal 1876 dan Pasal 1877 KUHPerdata. Sedangkan mengenai perbuatan hukum yang terjadi sepanjang proses pelaksanaan eksekusi secara hukum tidak sah dan batal demi hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 199 HIR. “Sejak tanggal pendaftaran sita, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum”. Terlawan dan pihak Turut Terlawan yang merupakan ahli waris dari Ernest A.Wangke yang merasa berhak atas bidang tanah yang dikuasai oleh Yelly Lapian tersebut, mengajukan pelaksanaan eksekusi atas putusan Mahkamah agung No.10185 K/Pdt/1986 atas bantuan Pengadialn Negeri Manado. Eksekusi atas Penetapan Sita Jaminan atau berita acara penyitaan jaminan tanggal 18 Oktober 1986 belum pernah dicabut atau dibatalkan.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
97
Dalam putusan Perlawanan No.339/Pdr.plw/2011/PN.Mdo, Turut Terlawan dan Terlawan menyatakan dalam dalil jawabannya bahwa tidak mengakui keberadaan surat pernyataan dan pengakuan tertanggal 29 Juni 1999 dan berdasarkan Kaidah Hukum: “Eksekusi Putusan Perdata hanya dapat dilaksanakan terhadap pihak ketiga- orang yang bukan para pihak dalam gugatan perdata tersebut sepanjang bilamana pihak ketiga ini secara nyata dapat dibuktikan sebagai “orang yang memperoleh hak” dari barang yang akan dieksekusi berdasarkan Putusan Perkara perdata tersebut” Untuk membuktikan dalil-dalil Pelawan, Pelawan telah mengjukan bukti surat dan saksi-saksi yang memberi keterangan dan terlebih dahulu bersumpah menurut aturan agamanya. Ada pun bukti-bukti surat yang diajukan dalam kasus ini adalah sebagai berikut: 1. Foto copy Surat Pernyataan dan Oengakuan Erenst Adolf Wangke tertanggal 29 Juni 1999 diberi P-1; 2. Foto copy sertifikat hak milik no.09/kombos barat a/n. Ricky Budiman suami Pelawan adalah asal tanah SHM No.73/Kombos setelah dineli Ricky Budiman dari Ny. Rose Langi dibuat SHM No.09/Kombos Barat/2004 diberi P-2; 3. Foto copy akta Jual Beli No.050/JB/009-MLSN/1999 atas tanah SHM73/Kombos, penjual Ny.Isnora Tuturoong, pembeli Ny. Rose Langi dilakukan dihadapan PPAT Joanes Tommy Lasut,SH tertanggal 1 Juni 1999 diberi P-3; 4. Foto copy akta jual beli No.042/AJB/008-MLSN/1999 atas tanah SHM No.221/Kombos, Penjual Ny.Isnora Tuturoong, Pembeli Ny.Rose Langi dilakukan dihadapan PPAT Joanes Tommy Lasut,SH tertanggal 22 April 1999 diberi P-4; 5. Foto copy akta jual beli No.272/AJB/SKL-KombosNI/2001, penjual Ny.Rose Langi, Pembeli Ricky Budiman (suami Pelawan) dibeli tanah SHM No.73/Kombos dihadapan PPAT Threesje Sembung, SH diberi P-5; 6. Foto copy akta jual beli No.273/JB/SKL-Kombos/VI/2004, Penjual Ny.Rose Langi, Pembeli Ricky Budiman dibeli tanah SHM No.221/Kombos dihadapan PPAT Threesje Sembung, SH diberi P-6;
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
98
Dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi, yaitu Saksi Cheppy Jusuf dan saksi Pieter Mangadil Sedangkan bukti-bukti yang diajukan oleh Turut Terlawan dan Terlawan adalah sebagai berikut: 1. Foto copy salinan Putusan Perkara no.221/Pdt.G/1983 tanggal 13 Juli 1984 diberitanda T.1-1; 2. Foto copy putusan MARI Reg.No. 1081/K/Pdt/1986 tanggal 12 Desember 1990 diberi tanda T.1-2; 3. Foto
copy
surat
keterangan
warisan
tanggal
22
Maret
2011
yang
diketahui lurah Kombos Barat dan Camat Singkil diberi tanda T.1-3; 4. Foto copy berita acara penyitaan Jaminan (konsevatoir beslag) dalam perkara perdata No.221/1983.G tanggal 18 Oktober 1983 diberitanda T.1-4; 5. Foto, copy surat permohonan Eksekusi tanggal 22 maret 2011 yang dibuat oleh ahli waris Alm. Erenst Adolf Wangke diberi tanda T.1-5; 6. Foto copy penetapan eksekusi No.221/Pdt.G/1983/PN Mdo tanggal 17 Oktober 2011 diberi tanda T.1-6; 7. Foto copi pemberitahuan pelaksanaan eksekusi No.W19/UI/936/HT.02/X/2011 tanggal 26 Oktober 2011 diberi tanda T.1-7; 8. Foto copy surat penjualan tanggal 16 Desember 1968 antara OT Dajoh dengan E.A. Wangke diberi tanda T.1-8; Foto. copy bukti surat-surat T-1 samapai dengan T-7 tersebut seteiah diperiksa dan dicocokan dengan aslinya dan ternyata cocok kecuali bukti; T-8 aslinya tidak diperlihatkan, oieh hakim lalu dimasukkan dalam berkas perkara; Setelah melihat bukti surat dan bukti saksi dari Pelawan dan bukti surat dari Turut Terlawan dan Terlawan, dalam pertimbangannya, Majelis hakim berpendapat bahwa untuk bukti Kuasa Pelawan P-1 yang merupakan surat penyataan dan pengakuan Ernst Adolf Wangke tanggal 29 Juni 1999 oleh Majelis hakim berpendapat bahwa surat bukti yang hanya merupakan suatu pernyatan tidak lah mengikat dan tidak disamakan dengan
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
99
kes aksian yang seharusnya diberikan dibawah sumpah sesuai Juriprudensi dari Mahkamah Agung RI No.3428K/Pdt/1985 tanggal 26 Pebruari 1990. Selanjtnya, dari seluruh pertimbangan diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa Perlawanan in casu sudah pernah diputus dan dipertimbangkan dalam perkara sebelumnya terbukti dari bukti kuasa Terlawan dan Turut Terlawan yaitu bukti surat T11, T1-2 dan T1-4 dikaitkan pula dengan bukti kuasa Pelawan bukti surat P-6. Pertimbangan diatas kuasa Pelawan tidak dapat membuktikan dalil pokok perIawanan tersebut dan oleh karena dalil pokok perlawanan tidak terbukti maka patutlah untuk ditolak. Oleh karena seluruh dalil Perlawanan ditolak maka pelawan adalah Pelawan yang tidak benar dan patut pula dibebani untuk membayar biaya perkara yang jumlahnya akan disebutkan dalam dictum putusan. Setelah memriksa perkara tersebut, Hakim Pengadilan Negeri Manado dalam putusan perlawanan mengadili: - Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar. - Menolak Perlawanan pelawan untuk seluruhnya. - Menyatakan Turut Terlawan untuk tunduk dan patuh dalam Putusan Perlawanan Ini. - Menghukum Pelawan untuk membayar biaya perkara Rp.271.000,¬(dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah). 4.2. ANALISIS Berdasarkan pada uraian kasus yang telah dikemukakan di atas, maka penulis berusaha untuk menganalisis pokok permasalahan yang terjadi dalam kasus ini sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. 4.2.1 Keabsahan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Yang Beritikad Baik Sebagai Ahli Waris Dalam Sengketa Jual Beli Di Bawah Tangan
Suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dijalankan berdasarkan amar putusan tersebut. Sesuai dengan kasus yang penulis uraikan sebelumnya, bahwa
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
100
dalam amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 10185 K/Pdt/1986 yang menyatakan bahwa terhadap sengketa tanah dengan obyek sengketa sertifikat hak milik nomor 73/kombos atas nama Santoso Suhardi. Sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) RBg, yaitu: “Perlawanan terhadap pelaksanaan putusan, juga dari pihak ketiga berdasarkan dalil tentang adanya hak miliknya atas bendabenda yang disita itu, sama halnya denga semua sengketa tentang upaya-upaya paksaan yang diperintahkan untuk diterapkan, diajukan kepada diadili oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum dalam mana tindakan-tindakan pelaksanaan tersebut dijalankan.”
Berdasarkan prosedur hukum yang dijalankan oleh pihak ketiga dalam mengajukan upaya hukum atas bidang tanah yang dihakinya, telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, gugatan perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga telah sesuai dengan ketentuan perturan perundang-undangan yang berlaku dibidang hukum acara perdata. Dengan mana perlawanan diajukan terhadap permohonan pelaksanaan eksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap. Menjadi hak bagi pihak ketiga dalam mengajukan perlawanan dalam hal terdapat kepentingan pihak ketiga terhadap bidang tanah yang menjadi obyek eksekusi.
Objek Pengajuan perlawanan oleh pihak ketiga (derden verzet) dalam kasus ini adalah putusan pengadilan yang berbentuk putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap yang bersifat condemnatoir atau putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan dalam putusan tersebut, yaitu mengenai sita jaminan (consevatoir beslag). Jangka waktu terhadap pengajuan perlawanan oleh pihak ketiga dapat dimulai sejak juru sita melaksanakan peletakkan sita jaminan (consevatoir beslag), meskipun consevatoir beslag (CB) telah dinyatakan dan berharga. Permohonan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dalam kasus ini diajukan oleh karena adanya permohonan untuk dijalankannya eksekusi berdasarkan putusan
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
101
Mahkamah Agung Nomor 10185 K/Pdt/1986 tertanggal 17 Oktober 2011 oleh para ahli waris pihak yang dimenangkan (Terlawan dan Turut Terlawan). Pihak ketiga yang mengajukan perlawanan (derden verzet) dalam kasus ini adalah pihak yang merasa berhak atas obyek sengketa dan merasa dirugikan dengan permohonan pelaksanaan eksekusi oleh Penagdilan Negeri Manado. Pihak ketiga yang menguasai bidang tanah yang menjadi obyek sengketa
yang diperolehnya
melaui perbuatan hukum jual beli yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT). Subyek pemohon perlawanan adalah istri yang merupakan ahli waris dari Ricky Budiman yang namanya tercantum dalam sertifikat hak milik nomor 9/kombos yang dimohonkan pelaksanaan eksekusi olen Terlawan dan Turut terlawan. Berdasarkan hukum waris pedata barat, istri merupkan ahli waris golongan pertama dan karenanya berhak melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai ahli waris. Termasuk didalamnya mengajukan perlawanan terkait dengan kebendaan yang berada dibawah kekuasaanya sebagai ahli waris. Bidang tanah yang menjadi obyek sengketa tersebut telah menjadi satu kesatuan dengan tanah yang dikuasai pihak ketiga yang ternyata dalam sertifikat hak milik nomor 9/kombos atas nama Ricky Budiman dahulunya terdiri dari dua (2) sertifikat, yaitu sertifikat hak milik nomor 73/kombos atas nama Santoso Suhardi yang bersengketa dengan tanah milik Erenst Adolf Wangke yang perkaranya telah diputus terlebih dahulu oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 1085 K/Pdt/1986 dan sertifikat hak milik nomor 221/kombos atas nama Isnoora Tuturoong. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung nomor 10185 K/Pdt/1986 dalam sertifikat hak milik nomor 73/kombos atas nama Santoso Suhardi yang menjadi sengketa dalam perkara perdata terdapat sebagian bidang tanah yang dimiliki oleh Erenst Adolf Wangke yang kini menjadi satu kesatuan dengan tanah dengan sertifikat nomor 221/kombos atas nama Isnoora Tuturoong yang dibeli suami Pelawan. Karena Pelawan merasa dirugikan dan mempunyai kepentingan untuk mengajukan perlawanan (derden verzet).
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
102
Sebagai ahli waris karena hukum, Pelawan berhak melakukan tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan tanah yang dihakinya yang menjadi obyek sengketa. Termasuk didalamnya menajukan gugatan perlawanan atas permohonan pelaksanaan eksekusi atas tanah yang telah dikuasai oleh Pelawan berdasarkan akta jual beli. Berdasarkan ketentuan Pasal 852a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pelawan sebagai istri Pewaris (almarhum. Ricky Budiman) adalah ahli waris dari Ricky Budiman yang namanya tercantum dalam sertifikat hak atas tanah yang menjadi obyek sengketa dalam kasus ini. Sebagai pihak ketiga yang merasa dirugikan dengan adanya pelaksanaan eksekusi yang dijalankan oleh Pengadilan Negeri Manado, dan dengan melihat subyek yang berwenang mengajukan perlawanan terhadap sita jaminan (consevatoir beslag), Pelawan adalah pihak yang benar untuk mengajukan perlawanan karena telah memenuhi unsur yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) RBg. Oleh karenanya Pernulis tidak sepaham dengan pendapat Hakim Pengadilan Negeri Manado yang menyatakan dalam amar putusannya bahwa Pelawan adalah pelawan yang tidak benar.
4.2.2 Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga (Derden Verzet) Yang Beritikad Baik Sebagai Ahli Waris Dalam Perbuatan Hukum Jual Beli Dalam kasus ini telah terjadi jual beli antara Rose Langi selaku Penjual atas bidang tanah dengan Ricky Budiman (almarhum) yang selaku Pembeli di hadapan Treesje Sembung,SH selaku PPAT. Sesuai dengan tata cara perolehan hak yang dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam kasus ini yaitu peralihan hak atas tanah melalui jual beli. Jual beli yang dimaksud adalah perbuatan hukum pemindahan hak, dimana si Penjual menyerahkan hak atas tanah kepada si Pembeli dan pada saat bersamaan Pembeli melakukan kewajibannya dengan menyerahkan ganti rugi berupa uang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Jual beli tersebut dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang mengurusi tanah, dalam hal ini dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang sesuai dengan wilayah hukumnya, yaitu di walikota Manado.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
103
Sebagai bukti telah dilakukannya jual beli antara Penjual, yaitu Rose Langi dan Pembeli, yaitu Ricky Budiman (almarhum) dihadapan Treesje Sembung,SH selaku PPAT, maka perbutan hukum tersebut dituangkan dalam Akta Jual Beli Nomor 273/JB/Skl-Kombos/VI/2004 yang kemudian dilakukan pendaftarannya di Kantor Pertanahan Manado dengan dikeluarkan Sertifikat Hak Milik nomor 9/Kombos atas nama Ricky Budiman. Dengan dikeluarkannya sertifikat hak milik oleh Pejabat pendaftaran tanah, Maka menurut ketentuan Pasal 19 ayat 2 huruf c Undang-undang Pokok Agraria sertifikat berlaku bagai alat pembuktian yang kuat. Dalam hal ini mengenai beban pumbuktian, yakni siapa yang mendalilkan kepadanya harus membuktikan apa yang didalilkannya tersebut. Terhadap sebagian bidang tanah yang terdapat dalam sertifikat hak milik No.9/Kombos atas nama Ricky Budiman telah terlebih dahulu diputus dalam perkara perdata berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.10185 K/Pdt/1986 bahwa sebagaian tanah tersebut adalah bukan kepunyaan Santosa Suhardi malainkan kepunyaan Erenst Adolf Wangke. Sebelum pelaksanaan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung tersebut, Suhardi Santoso dan Isnoora Tuturoong sebagai pihak yang namanya dicantumkan dalam sertifikat hak atas tanah tersebut mengalihkan tanah yang menjadi obyek sengketa kepada Rose Langi dengan membayarkan sejumlah uang kepada Erenst Adolf Wangke sebagai ganti rugi sebesar Rp.22.500.000,- (dua puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Kesepakatan tersebut dinyatakan oleh Erenst Adolf Wangke kepada Isnoora Tuturoong dalam Surat Pengakuan dan Peryataan tertanggal 29 Juni 1999. Dengan terpenuhinya syarat sah suatu perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, kecakapan para pihak, mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, maka berakibat mengikat bagi para pihak. Karena telah memenuhi ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perbuatan dilakukan dihadapan Treesje selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah, antara Ricky Budiman selaku Pembeli dan Rose Langi selaku Pembeli telah memenuhi unsur jual beli sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1457
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
104
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dalam hal ini bidang tanah dan pihak yang lain, yaitu Pembeli membayar harga yang telah dijanjikan. Kemudian terjadi sengketa akan dilaksanakan eksekusi atas bidang tanah yang sertfikatnya dibatalkan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 10185 K/Pdt/1986 tertanggal 17 Oktober 2011 atas permohonan ahli waris Ernest Adolf Wangke. Sebagai Pihak yang merasa dirugikan oleh pelaksanaan eksekusi tersebut, Pihak Ketiga, yakni Yelly Lapian (istri alm. Ricky Budiman selaku terlawan) mengajukan perlawanan. Dengan mana perlawanan tersebut dibantah oleh para Terlawan dengan dalil bahwa Surat Pernyataan dan Pengakuan tersebut yang dibuat oleh Ernest Adolf Wangke merupakan surat d ibawah tangan. Suatu surat di bawah tangan yang dibuat dengan memenuhi ketentuan Pasal 1878 KUHPerdata, yaitu akta di bawah tangan harus seluruhnya ditulis dengan tangan si Penandatangan sendiri, atau setidak-tidaknya, selain tanda tangan, yang ahrus ditulis dengantanda tangan si pandatangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang atau uang yang berhutang. Dengan terpenuhinya unsur Pasal 1878 KUHPerdata tersebut, maka suatu surat yang dibuat tersebut dapat digolongkan sebagai surat di bawah tangan. Surat atau akta di bawah tangan dapat menjadi bukti pada saat terjadi sengekta di Pengadilan apabila dalam proses pembuktiaanya harus dilakukan dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dipercaya dari sekurang-kurangnya dua (2) orang saksi. Sehingga fungsi pembuktian akta dibawah tangan menjadi kuat dan sempurna sebagai alat bukti dipersidangan yang menyerupai kekuatan pembuktian akta otentik. Dalam kasus ini, Pelawan telah mengajukan dua orang saksi yang menyatakan kebenaran mengenai hal tersebut.
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
105 105
BAB V PENUTUP
Dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya mengenai teori, kasus posisi dan anlisa pembahasan kasus berdasarkan teori hukum yang ada, maka pada bagian akhir penulisan tesis ini, Penulis memiliki beberapa kesimpulan dan saran sehubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang dibahas dan dianalisis. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Manado nomor 339/Pdt.Plw/20111/PN.Mdo yang menjadi studi kasus mengenai perkara yang disengketakan dan kemudian dianalisis, maka Penulis memiliki kesimpulan: 1. Keabsahan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang beritikad baik sebagai ahli waris dalam sengketa jual beli di bawah tangan adalah sah jika telah memenuhi unsur Pasal 195 ayat (6) HIR/ Pasal 206 ayat (6) RBg. Sebagai contohnya dalam kasus ini adalah Perlawanan Pihak Ketiga (derden veret) dalam kasus tersebut diatas adalah sah dan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum acara di Indonesia, bahwa perlawanan terhadap pelaksanaan putusan, juga dari pihak ketiga berdasarkan dalil tentang adanya hak miiknya atas benda-benda yang disita itu sama halnya dengan sengekta tentang upaya-upaya paksaan yang diperintahkan untuk diterapkan, diadili oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum dalam mana tindakan-tindakan pelaksanaan tersebut dijalankan.
Universiats Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
106
2. Perlindungan hukum bagi pihak ketiga dalam perbuatan hukum jual beli adalah jual beli tersebut dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang mengenai perbuatan hukum yang bekaitan dengan tanah, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan dinyatakan dalam akta jual beli sebagai akta otentik dan sebagai bukti obyek jual beli, yaitu tanah harus didaftarkan agar memperoleh sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti. Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA) bahwa sertifikat berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Sedangkan suatu surat yang dibuat dengan memenuhi unsur yang sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Pasal 1874 ayat (1) dan Pasal 1878 Kitab Undangundang Hukum dapat digolongkan sebagai akta dibawah tangan yang mempunyai fungsi sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna di Persidangan. 5.2. Saran Saran penulis dalam penulisan ini adalah: 1. Antara lembaga Negara dalam hal ini, antara kantor Pertanahan dan Badan Pertanahan Nasional, Pengadilan Negeri dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selaku pejabat umum yang membuat akta-akta berkaitan dengan tanah harus membuat suatu sistem online atau sejenisnya yang bersifat sistematis dan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penguasaan hak atas tanah dan memudahkan masyarakat dalam proses perolehan hak atas tanah sehingga tidak terjadi sengketa dikemudian hari. 2. - Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat yang berwenang membuat suatu akta atas tanah, harus memperhatikan dokumen-dokumen terkait dengan status tanah yang akan dibuat aktanya, perturan perundangundangan yang terkait dengan bidang tanah tersebut serta kode etik PPAT dan agar terhadap akta yang dibuatnya tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari. - Bagi Pemerintah, dalam peraturan hukum acara perdata berlaku mengenai perlawanan pihak ketiga tidak diatur secara jelas. Oleh karenanya terhadap
Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
107
perlawanan pihak ketiga tersebut pemerintah harus mengatur baik dalam RUU KUH Perdata atau Undang-undang lainnya yang mengatur mengenai perlawanan pihak ketiga tersebut agar tercipta kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak ketiga.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
DAFTAR REFERENSI
A. BUKU Goenawan,Kian. PanduanMengurusSertifikat Tanah danProperti. Yogyakarta : Best Publisher, 2009. Hager, Michael L. The Rule of Law In Developing Countries, dalam B.F. Sihombing,
EvolusiKebijakanPertanahandalamHukum
Tanah
Indonesia.
Jakarta :GunungAgung, 2004. Harsono, Boedi.HukumAgraria Indonesia.Cet. 9.Jakarta :PenerbitDjambatan, 2003. Kansil, C.S.T.ModulHukumPerdata (TermasukAsas-AsasHukumPerdata).Jakarta : PT PradnyaParamita, 1995. Mamudji, Sri.Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum.Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Muljadi, Kartini. Et al.Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media, 2004. Parlindungan,A.P.Pendaftaran Tanah di Indonesia.Bandung : CV MandarMaju, 2009. Perangin, Effendi.PraktekJualBeli Tanah.Cet. 1.Jakarta :RajawaliPers, 1984. _______. PraktekPermohonanHakAtas Tanah. Jakarta : CV RajawaliPers, 1987. Pitlo,
A.Pembuktian
Dan
Daluwarsa
NederlandsBugerlijkeWetboek),
(Bewijs
alihbahasaoleh
en
VerjaringNaar M.
Isa
het
Arief,
cetakanKelima.Jakarta :Intermasa, 1967. Santoso,Urip.HukumAgrariadanHak-HakAtas Tanah. Jakarta :KencanaPrenada Media Group, 2005. Siahaan,MarihotPahala. Bea PerolehanHakAtas Tanah danBangunan. Jakarta : PT RajaGrafindoPersada, 2003.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
Sihombing,
B.F.
ImplementasiUndang-Undang
No.
5
Tahun
1960
tentangLaranganPemakaian Tanah TanpaIzin yang BerhakatauKuasanya di Wilayah
DKI.
Jakarta
:
Program
PascaSarjana
Magister
IlmuHukumUniversitasTarumanegara, 1996/1997. Sihombing,Irene Eka. Segi-SegiHukum Tanah NasionaldalamPengadaan Tanah untukPembangunan. Jakarta :PenerbitUniversitasTrisakti, 2005. Sjarid,SuriniAhlan&NurulElmiyah.HukumKewarisanPerdata
Barat:
PewarisanMenurutUndang-Undang.
Jakarta:
BadanPenerbitFakultasHukumUniversitasIndoneisa, 2005. Soekanto, Soerjono.Et al.Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Soetomo.Pembebasan, Pencabutan, PermohonanHakAtas Tanah.Surabaya : Usaha Nasional, 1984. Soerjapratiknjo, Hartono. Hukum Waris Tanpa Wasiat. Yogyakarta: Seksi notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983. Soerodjo, Irwan. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia. Surabaya: Arkola. 2002.
Sutedi,
Adrian.PeralihanHakatas
Tanah
danPendaftarannya.
Jakarta
:SinarGrafika, 2008. Subekti, R. Hukum Acara Perdata. Cetakan ke-1. Jakarta : Bina Cipta, 1977. ________. Et al. KitabUndang-undangHukumPerdata.Cetakan ke-36.Jakarta : PT. PradnyaParamita, 2006. Supriadi. Hukum Agraria. Jakarta : SinarGrafika. 2008. Sutedi,
Adria.PeralihanHakAtas
Tanah
danPendaftaranya.,
Jakarta:SinarGrafika.2009. Syahrini, Riduan. HukumAcaraPerdata di LingkunganPeradila.,Cetakan ke-1, Jakarta : PustakaKatini.
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
Tan Thong Kie, StudiNotariatdanSerba-SerbiPraktekNotaris. Jakarta : PT. IchtiarBaru Van Hoeve, 2000. Wahid,
Muchtar.MemaknaiKepastianHukumHakMilikAtas
Tanah.
Jakarta:
RepublikaPenerbi. 2008
B. UNDANG-UNDANG Indonesia, Undang-UndangPokokAgraria, UU No. 5 tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043. Indonesia, Undang-UndangJabatanNotaris, UU No. 30 tahun 2004, LN No. 117 Tahun2004, TLN No. 4432. Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Indonesia, Het Herziene Indonesich Reglement. Indonesia, Reglement Tot Regelling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura. Indonesia, Reglement op De Rechtsvordering. C. PERATURAN PEMERINTAH Indonesia,Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 tahun 1997, LN No. 59 tahun 1997, TLN No.3372. D. MAKALAH Basuki, Sunaryo. Landasan Hukum Penguasaan dan Penggunaan Tanah. Makalah. Jakarta : Fakultas Hukum Trisakti, 2005.
Sumardjono, Maria S.W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas 2001
E. INTERNET http://irmadevita.com/2008/legalisasi-dan-waarmerking
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.
http://setia-ceritahati.blogspot.com/2009/05/teori-teori-kausalitas.html
Universitas Indonesia Perlawanan pihak..., Eva Indrayani Buida, FH UI, 2012.