SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KESAKSIAN KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kasus Putusan No. 1490/Pid.B/2014/PN.Mks)
Disusun oleh : PUTRI JUWITA PERMATAHATI B111 11 068
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
i
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KESAKSIAN KORBAN ANAK DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kasus Putusan No. 1490/Pid.B/2014/PN.Mks)
Oleh :
PUTRI JUWITA PERMATAHATI B111 11 068
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka Penyelesaian Studi Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
i
ii
iii
iv
ABSTRAK Putri Juwita Permatahati ( B 111 11 068), Tinjauan Yuridis terhadap Kesaksian Korban Anak dalam Tindak Pidana Pencabulan (Studi Kasus Putusan No. 1490/Pid.B/2014/PN.Mks) dibimbing oleh H. M. Said Karim dan Hj. Nur Azisa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara anak memberikan kesaksian sebagai korban tindak pidana pencabulan dalam perkara pidana No. 1490/Pid.B/2014/PN.Mks dan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan. Penelitian ini bersifat penelitian lapangan dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara terhadap beberapa pihak yang terkait dengan topik penelitian. Selain itu, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan melalui datadata yang berkaitan, undang-undang dan buku-buku yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif. Berdasarkan analisis, penulis menyimpulkan beberapa hal, antara lain: (1) Cara anak memberikan kesaksian sebagai korban tindak pidana pencabulan dalam putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN.Mks yaitu pertama-tama dengan mengungkapkan peristiwa yang dialaminya kepada kakak korban yang Ia anggap sebagai orang terdekatnya lalu kakaknya memberitahukan kepada paman dan bibi kemudian kepada orang tua korban. Pada tahap penyidikan anak korban tersebut memberikan kesaksian kepada penyidik khusus perempuan dan anak (unit PPA) dengan didampingi oleh ibu kandungnya. Anak korban diperiksa di ruangan khusus pada kantor Polrestabes Makassar. Pada pemeriksaan di pengadilan, anak korban memberikan kesaksian dengan tidak disumpah dan tetap didampingi ibu kandungnya. Hakim memerintahkan agar dilakukan pemeriksaan secara terpisah mengingat kondisi psikologis anak yang tidak memungkinkan sehingga terdakwa dibawa keluar ruang sidang agar anak dapat lebih leluasa memberikan kesaksiannya. (2) Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kasus pencabulan merupakan tanggung jawab negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan orang tua atau wali. Orang tua korban melaksanakan upaya perlindungan anak dengan mendampingi anak dalam setiap proses hukum dan penyembuhan korban. Kepolisian memberikan perlindungan hukum dengan melakukan penyidikan terhadap anak korban pencabulan di ruangan khusus oleh penyidik khusus di unit PPA. Jaksa dan hakim memberikan perlindungan hukum di persidangan dengan melakukan pemeriksaan kepada anak korban secara terpisah, tidak dihadiri oleh terdakwa dan memberikan pertanyaan yang mudah dipahami oleh anak. LBH APIK melakukan upaya perlindungan terhadap anak korban pencabulan dengan mendampingi korban dalam seluruh proses hukum berakhir serta menyediakan rumah aman sementara bagi anak korban. LPA Sulsel melakukan upaya untuk memberikan pendampingan psikologis terhadap anak selama proses hukum hingga proses penyembuhan dan penyadaran masyarakat agar tidak melakukan labelisasi terhadap korban. LPSK Makassar berupaya untuk memberlakukan sistem peradlan pidana anak dan mengajukan permohonan restitusi kepada Pengadilan.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia yang senantiasa dicurahkan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada jenjang studi Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Salam dan shalawat kepada Baginda Rasulullah Muhammad S.A.W yang selalu menjadi contoh panutan yang baik dalam segala tingkah dan perbuatan yang kita lakukan sehingga dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Semoga semua hal yang penulis lakukan berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini dapat bernilai ibadah di sisi-Nya. Aamiin. Penyelesaian skripsi ini telah dilakukan dengan segenap kemampuan yang telah penulis curahkan didalamnya. Namun demikian, maksimalnya usaha dan doa penulis, penulis pun menyadari bahwa penulisan skrispsi ini memiliki nilai yang tidak semua orang dapat menilai baik karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan agar kedepannya dapat membuahkan tulisan yang lebih baik. Aamiin. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa dalam proses tugas akhir ini, banyak sekali pihak yang membantu penulis hingga skripsi ini dapat
vi
diselesaikan. Untuk itu, maka penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan Wakil Rektor, staf serta jajarannya. 2. Ibu Prof. Dr. A. Farida Patittingi, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., MH. 3. Ketua Bagian dan Sekertaris Bagian Hukum Pidana beserta seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Univesitas Hasanuddin yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani proses perkuliahan di Fakultas Hukum Univesitas Hasanuddin hingga penulis dapat menyelesaikan studinya. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. selaku Penasihat Akademik selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 5. Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si selaku Pembimbing I dan Ibu Hj. Nur Azisa, S.H., M.H. selaku Pembimbing II, terima kasih atas segala kesabaran, petunjuk, saran, bimbingan dan waktu yang diluangkan untuk penulis. 6. Bapak Prof Dr. Muhadar S.H., M.S., Bapak H. M. Imran Arief S.H., M.S. serta Ibu Hj. Haeranah S.H., M.H. selaku dewan penguji yang telah vii
memberikan masukan dan saran-sarannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Narasumber yang memberikan pendapatnya dalam skripsi ini yaitu Kepala Unit PPA Polrestabes Makassar, Ibu IPTU Afryanti Firman, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Makassar, Ibu Reskiyanti Arifin, S.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar Bapak, H. Suparman, S.H.,M.H., Ketua LBH APIK Makassar, Ibu Rosmiati Sain, S.H., Ketua Lembaga Perlindungan Anak
Sulsel,
Ibu
Ir.
Fadiah
Machmud,
M.Pd,
Ketua
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Makassar, Bapak Dr. Kamri Ahmad, S.H., M.Hum. 8. Staff Bagian Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Hukum Univesitas Hasanuddin Ibu Sri Wahyuni,
Bapak Bunga, Bapak Usman, Bapak
Ramalang, Bapak Hakim, Kak Tri, Kak Lina, Kak Tia dan lain-lain yang penulis tidak dapat menyebutkan satu
persatu yang telah membantu
penulis dalam pengurusan berkas ujian skripsi serta Staff Ruang Baca Fakultas Hukum Unhas yang senantiasa membantu penulis. 9. Terima kasih sebesar-besarmya kepada Orang Tua Penulis, Bapak Drs.H. Supardjono Umar dan Almarhumah Hj. Endah Ekarini yang senantiasa mendukung penulis dalam setiap aktivitas penulis sejak masih kanakkanak hingga dewasa serta selalu mendidik dan mendoakan penulis. Meskipun kali ini ibunda telah tiada namun jasa-jasa almarhum sebagai ibu tidak akan pernah penulis lupakan, Terima kasih telah melahirkan viii
penulis ke dunia. Ragamu mungkin telah tiada namun engkau selalu hidup di dalam hati, Mah. 10. Ibunda Emma Erni Harun yang senantiasa mendukung penulis dan berperan menggantikan ibu penulis. Meskipun tidak lahir dari rahimmu, tapi kami lahir dari hatimu, ummy. 11. Saudari-saudariku tersayang, kakak Putri Joice Johana, Adik Putri Cut Keumalahayati, Putri Jelita Kusumawati, dan Putri Adinda Citra Ceria yang selalu kompak tidak hanya sebagai saudara tapi sebagai teman juga 12. Opa dan Oma penulis, Bapak Mursidi dan Hj. Doris Umar, Ma epin, Om Visi, Om Iman, Tante Yuli, Kak Wati, Kak Budi, Ian, Angga, Tante Ika Mustika Putri yang insya allah juga S.H. yang semuanya senantiasa memberi dukungan khususnya finansial penulis. Terkhusus bagi Almh. Ma Ica, yang layaknya berperan sebagai Ibu bagi penulis yang mengurusi penulis sejak bayi hingga berusia duapuluh tahun. 13. Sahabat yang telah mengetahui cita-cita penulis sejak SD, Tika, Wiwik, dan Rastiti. Sejak SMP, Ayu, Tuti dan Nunu. Sejak SMA, Muti, Ila, Titi, Eni, Ime, Ririn, Ucang, Indah, Pipit, Adilah, Nisa, Yuyun, Susdiaman, Gita, Ina, Nunuu, Lily dan Ratu. Teman-teman Gelar SMPN 6 MAKASSAR dan Electron SMAN 5 MAKASSAR 14. Sahabat dan Saudara seperjuangan selama di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Ayu Alifiandri Zainal, Nur Hidayani A, Harlina SB, Rifka Juliani, Ridha Ariyaniputri Samal,
Alkisa Dwi Septiani, A. Suci ix
Febrianti, Gustia, Dinar Alqadri, Andi Hadiah Tenri Ananda Putri dan Rahmatullah Susanto yang telah menjadi keluarga penulis selama empat tahun terakhir dan mudah-mudahan seterusnya yang tak henti-hentinya mendoakan penulis, tempat berbagi suka dan duka, tempat berkeluh kesah, 15. Teman-teman seperjuangan di UKM ALSA LC UNHAS, Andi Hidayat Nur Putra, Dhian Fadlhan Hidayat, Nur Fitriani Khairunnisa, Andi Dettia, A. Rachmi, Afdhal Hidayat, Andi Maulana Arif Nur, Atifatul Ismi, Fika Faizah, Rifka Juliani, Iin Saputri, Nur Sakinah, Muh. Haedar, Ahmad, Dian Anggraeni, Helvi Handayani serta keluarga besar ALSA LC UNHAS. 16. Teman-teman Kelompok 3 Pengkaderan yang memberikan pengalaman seru sejak pertama menginjak fakultas hukum dan teman-teman MKU HUKUM-B yang seru dan setia kawan. Teman-teman cerita Akbar, Didin, Gde, Fikram, Hari, Riri, dan Hakim 17. Delegasi MCC Perdata Piala Bulak Sumur UGM 2012 Kak Audy S.H., Kak Dewi S.H, Kak Kia S.H, Kak Aso S.H, Kak Inay S.H, Kak Vita S.H, Kak Vira, S.H.,Kak Anto, S.H.,Kak Wawan, S.H.,Kak Inul, Dian, Ismi, Fadlhan, Anti, Dwi, Dede dan Adong 18. Delegasi National Moot Court Competition ALSA Piala Mahkamah Agung 2014 Maulana, Yaya, Dayat, Resha, Helvi, Adong, Feny, Noe, Lisa, Januar, Afdalis, Tjoteng, Ifah, Dian, Irsad, Wahyu dan Tita.
x
19. Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas, Arman Eki Passu, Hadrian Tri Saputra, Agus Muliadi, Muh. Nur Fajrin, Andi Ardiansyah DM, Andri Richrdo Samad, Yudhi Satria Bombing, Muh. Angga Wilantara, Muh, Azhar Pratama, dan Muh. Salman Alfarisi. 20. Teman-teman KKN Unhas Gelombang 87 Kelurahan Palattae Kecamatan Kahu Kabupaten Bone Kak Syamsul Arifin Zaleha, Kak Hastira Maiharah, Kak Endi Hermianto, Kak Muh. Niswar Yunus, Kak Muh. Rheza Pahlevi, Annisa Diasyari dan Fakhira Ahmad 21. Warga Kelurahan Palattae Kecamatan Kahu Kabupaten Bone, Khususnya Ibu Andi Rahmatia, Bapak Muh. Rifai dan Ibu Nur, 22. Penasihat Spiritual Penulis, Andi Rachmi Dwi Putri dan seluruh temanteman UKM LD Asy Syariah Akhwat, Penasihat Emosional Penulis yang tergabung dalam “6cm”, Dayat, Molen, Yaya, Rachmi dan Helvi. 23. Kakanda Akhmad Khaerul Islam, S,E, yang senantiasa mendukung, membantu penulis, tempat berkeluh kesah dan meminta saran dan berdiskusi banyak hal, serta banyak mengajar penulis 24. Seluruh pihak yang membantu penulis yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu, terima kasih atas segala semangat, doa, saran yang diberikan kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis juga memohon maaf sebesar-besarnya atas segala perbuatan dan ucapan yang sekiranya tidak bb\erkenan. Segala bentuk kritik, masukan
xi
dan saran penulis harapkan guna penyempurnaan skripsi ini akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat berguna di kemudian hari dalam memberikan informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Makassar, 12 Februari 2015
Penulis
xii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................................... PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .................................... ABSTRAK ..............................................................................................
i Ii iii Iv v
KATA PENGANTAR .............................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................
vi xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ A. Latar Belakang Masalah ....................................................... B. Rumusan Masalah ................................................................ C. Tujuan Penelitian .................................................................. D. Manfaat Penelitian ................................................................
1 1 7 8 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... A. Pengertian Tinjauan Yuridis .................................................. B. Korban ................................................................................. 1. Definisi Korban ................................................................ 2. Jenis Korban ................................................................... C. Anak ...................................................................................... D. Pengertian Tindak Pidana ..................................................... E. Tindak Pidana Kesusilaan .................................................... 1. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan .............................. 2. Jenis Tindak Pidana Kesusilaan .......................................
9 9 10 10 13 17 20 24 24 25
3. Ketentuan Pidana mengenai Pencabulan dalam KUHP ... 4. Ketentuan Pidana mengenai Pencabulan dalam Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak ... F. Alat Bukti dalam Perkara Pidana .......................................... 1. Pembuktian Menurut KUHAP .......................................... 2. Alat Bukti dalam KUHAP ................................................... 3. Keterangan Saksi dan Kekuatan Pembuktiannya ............. G. Perlindungan Hukum terhadap Korban .................................
27 37 38 38 42 44 50 xiii
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. A. Lokasi Penelitian ................................................................... B. Jenis dan Sumber Data ........................................................ C. Teknik Pengumpulan Data .................................................... D. Analisis Data ......................................................................... BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................... A. Cara Anak Memberikan Kesaksian sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan dalam Putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN.Mks ...................................................... 1. Posis Kasus ..................................................................... 2. Identitas Terdakwa .......................................................... 3. Surat Dakwaan Penuntut Umum ..................................... 4. Surat Tuntutan ................................................................. 5. Amar Putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN.Mks ............. 6. Analisis terhadap Penerapan Ketentuan Hukum Pidana . 7. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
58 58 58 59 60 61
61 61 63 63 67 68 69
terhadap Putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN.Mks ........ 69 8. Komentar Penulis ............................................................ 77 9. Keterangan Saksi Korban ................................................ 78 B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Menjadi Korban Kasus Pencabulan ................................................................ 96 BAB V PENUTUP ................................................................................... 109 A. Kesimpulan .......................................................................... 109 B. Saran ................................................................................... 110 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 112
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah yang cukup besar. Wilayah yang luas tersebut dihuni oleh penduduk dari beragam suku, agama, ras, etnis sehingga membentuk keragaman yang menjadi keunggulan Indonesia dibandingkan negaranegara lain di dunia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika 1 merupakan pemersatu keragaman yang ada di Indonesia. Penduduk yang mendiami Indonesia cukup banyak, setiap tahun kepadatan penduduk selalu meningkat sehingga jumlah penduduk
bertambah.
Penduduk
Indonesia
dikelompokkan
berdasarkan kelompok usia yaitu anak-anak, dewasa dan manula. Total jumlah penduduk Indonesia yaitu 240 juta jiwa, sekitar 34% diantaranya dikategorikan dalam kelompok usia anak. Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan di sebuah negara. Suatu bangsa akan maju
1
Bhineka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “berbeda-beda tetapi tetap satu”
1
ketika anak-anaknya telah mendapatkan pendidikan yang baik sehingga kelak dapat menjadi tonggak penopang kemandirian bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan perlindungan bagi anak khususnya di bidang hukum. Konstitusi Indonesia telah menjamin hak konstitusional bagi anak-anak Indonesia yakni, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.2 Ini berarti negara wajib mewujudkan dan melindungi hak-hak anak tersebut. Keberadaan anak di tengah masyarakat sedang dalam kondisi yang memprihatinkan. Sifat anak yang polos seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa disekitarnya. Anak biasa menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa yang semestinya melindungi anak tersebut. Kejahatan yang biasa dilakukan berupa kekerasan fisik, psikis dan seksual. Kejahatan itu semakin berdampak buruk jika dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti oleh keluarga, teman atau guru. Anak yang masih mengalami pertumbuhan tentu dapat terganggu pola pikirnya karena mengalami kekerasan yang menimbulkan trauma baginya.
2
Pasal 28 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
2
Kekerasan
seksual
menjadi
kekerasan
yang
paling
menimbulkan dampak paling buruk bagi anak karena dengan terjadinya kekerasan seksual maka sekaligus telah terjadi kekerasan fisik dan psikis bagi anak. Pemberitaan di media kerap kali memberitakan tentang kekerasan seksual yang dialami oleh anak seakan negara tidak melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Undang-undang telah mengatur tentang hak-hak anak. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.3 Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana khususnya anak dalam sistem hukum nasional masih belum memperoleh perhatian serius dari segala pihak. Anak yang merupakan generasi penerus bangsa ini harus dilindungi haknya apalagi setelah menjadi korban tindak pidana. Kebanyakan anak tidak melaporkan kasus yang menimpa dirinya karena keluguan dan ketakutan yang Ia rasakan. Pelecehan seksual sering dialami oleh anak-anak. Posisinya yang lemah mengakibatkan anak menjadi objek pelampiasan nafsu bagi orang dewasa. Anak tidak mengetahui sebab Ia diperlakukan 3
Pasal 58 ayat (!) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3
tidak sewajarnya oleh orang dewasa. Tindakan negatif tersebut mengarah ke anak-anak karena mereka tidak akan menceritakan ke orang lain apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pembuktian akan terjadinya kasus pelecehan seksual masih sulit dilakukan karena biasanya tindak pidana ini dilakukan tanpa ada saksi selain korban sendiri. Kesaksian anak masih sulit digali karena keterangannya mungkin saja bersifat subjektif berdasarkan imajinasi mereka sendiri. Terkadang juga anak-anak masih belum memahami kondisi saat terjadinya tindak pidana dan melupakan peristiwaperistiwa penting yang harus dijelaskan kepada penyidik untuk membuktikan tindak pidana tersebut. Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting
karena
menentukan
keterangan
kecenderungan
saksi
dapat
keputusan
mempengaruhi
hakim.
Seorang
dan saksi
dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim. Hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.4
4
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, 2010, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya, Putra Media Nusantara, hlm. 1
4
Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah, ialah 1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berusia lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat. Mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.5 Persoalan perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana memang merupakan hal yang sangat penting dan urgen untuk dikaji dan dianalisis, karena keberadaan atau peranan saksi dalam mengungkap suatu tindak pidana tidak sebanding dengan hak-hak yang diberikan dalam KUHAP. Terlebih jika saksi tersebut adalah korban yang juga masih dalam kategori anak-anak.
5
Andi Hamzah, 2005, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta , Sinar Grafika, hlm. 240
5
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan pemberian perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam Pasal 64 ayat (1) merumuskan bahwa “perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab masyarakat” Lawrence Meir Friedman membuat konsep mengenai unsur sistem hukum yaitu, struktur (structure), substansi (substance). Dan kultur hukum (legal culture). Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. DI Indonesia misalnya, jika kita berbicara tentang “struktur” sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.6 Substansi menurut Friedman adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga mencakup “living law” (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau “law books”. Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan siste hukum-kepercayaan,
6
Achmad Ali, 2010, Menguak Realitas Hukum, Jakarta, Kencana, hlm. 9
6
nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum.7 Terkait permasalahan anak, ketiga unsur mengenai sistem hukum
tersebut
masih
jauh
dari
kata
optimal
dalam
upaya
perlindungan terhadap anak. Struktur yang merupakan aparat penegak hukum masih belum menjalankan fungsinya dengan optimal, begitu pula dengan substansi dari peraturan perundang-undangan yang masih belum terimplementasi dengan baik. Permasalahan kultur hukum terletak pada kesadaran masyarakat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perlindungan terhadap anak baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam proses peradilan. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat hal tersebut sebagai bahan penyusunan skripsi dengan judul, “Tinjauan Yuridis terhadap Kesaksian Korban Anak dalam Tindak Pidana Pencabulan (Studi Kasus Putusan No. 1490/Pid.B/2014/PN.Mks)” B. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dikaji dan dibahas adalah:
7
Ibid, hlm. 10
7
1. Bagaimana cara anak memberikan kesaksian sebagai korban tindak pidana pencabulan dalam perkara pidana No. 1490/Pid.B/2014/PN.Mks? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Untuk mengetahui cara anak memberikan kesaksian sebagai korban tindak
pidana
pencabulan
dalam
perkara
pidana
No
1490/Pid.B/2014/PN.Mks 2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan.
D. Manfaat Peneliian Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Diharapkan
dapat
menambah
masukan
dalam
menunjang
pengembangan ilmu bagi penulis pada khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya
8
2. Diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan referensi bagi semua pihak, khususnya bagi pihak yang berkompeten dalam mengemban tugas profesi hukum. 3. Diharapkan dapat memberikan masukan pada semua pihak dalam rangka upaya perlindungan hukum kepada anak di Indonesia.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tinjauan Yuridis Istilah „Yuridis‟ berasal dari bahasa Inggris „Yuridicial” yang sering disinonimkan dengan arti kata hukum atau normatif. Jadi tinjauan yuridis berarti kajian atau analisis suatu masalah berdasarkan hukum dan perundang-undangan.
Paul
Scholten
menyatakan
bahwa
Interpretasi,
penafsiran hukum, merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan hukum.8
Setiap
Undang-undang
merupakan
bagian
dari
keseluruhan
perundang-undangan. Demikian pula halnya dengan undang-undang yang baru, yang segera diserap ke dalam struktur keseluruhan tersebut. Dengan demikian, apabila orang ingin memberi arti pada suatu undang-undang tertentu, maka ia harus melakukannya dalam konteks yang demikian itu. Dalam hubungan ini maka kata-kata suatu undang-undang mungkin tidak hanya baru menjadi jelas manakala dipahami dalam hubungannya dengan yang lain, melainkan juga mencoba untuk memahami masing-masing undang-undang sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan yang berkaitan satu sama lain. Suatu undang-undang bisa dilihat sebagai suatu 8
Satjipto Rahardjo, 2006, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 124
10
penggarapan lebih lanjut, suatu pengisian dan/atau penyimpangan dari yang lain.9
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tinjauan yuridis memuat
analisis melalui interpretasi-interpretasi hukum dan
perudang-undangan, penalaran logis, penggunaan dasar-dasar teori hukum dalam pengkajian suatu masalah hukum, dalam hal ini adalah pengkajian hukum terhadap kesaksian korban anak terhadap kasus pencabulan.
B. Korban 1. Definisi Korban Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korban adalah orang yang menjadi menderita (mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat dan sebagainya. Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undangundang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 angka 3 merumuskan pengertian korban bahwa : Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
9
Ibid., hlm. 17
11
Undang- undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga mendefinisikan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Korban adalah orang yang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi dan mengalami pengabaian, pegurangan
atau
perampasan
hak-hak
dasarnya,
sebagai
akibat
pelanggaran hak asasi mausia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat mendefinisikan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran
hak
asasi
manusia
yang
berat
yang
memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan teror, dan kekerasan pihak manapun.
12
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli bernama Abdus Salam bahwa victim (korban) adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.10
Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.11
Korban juga didefenisikan oleh Van Bouven yang merujuk pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai berikut: Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karna tindakan (by act) maupun karna kelalaian (by omission).12 Defenisi korban dalam Pasal 1 prinsip-prinsip keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (United Nation of Basic 10
9
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.
11
Ibid, hlm. 9 Rena Yulia, 2009, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Bandung, Graha Ilmu, hlm. 50 12
13
Principal of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) menyebutkan, “Victims means persons who individually or collectively have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic lost or substansial impairment of their fundamental right, through acts or omission that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse of power.”13 (Korban adalah orang-orang yang secara individu atau bersama-sama yang menderita kerugian termasuk kerugian fisik dan mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasinya, baik karena tindakan maupun kelalaian yang termasuk dalam pelanggaran pelaksanaan hukum pidana dalam negara-negara anggota, termasuk peraturan-peraturan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan). Pengertian korban yang bisa diartikan secara luas adalah yang didefenisikan oleh South Carolina Governor‟s Office of Executive Policy and Programs, Columbia. Victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the result of a crime against him. Victim also includes the person’s is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated.14 (Korban berarti seseorang yang menderita secara langsung akibat perlakuan fisik, psikologi, atau kerugian finansial sebagai hasil dari kejahatan yang menimpanya. Korban juga termasuk orang yang telah meninggal, belum dewasa, tidak cakap, seorang korban pembunuhan, dan/ atau secara fisik atau psikologi tidak mampu)
2. Jenis Korban
13 14
Ibid, hlm. 50 Ibid, hlm. 50
14
Korban dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Para ahli telah mengklasifikasikan korban antara lain : Menurut Syukri Akub, jenis-jenis korban antara lain : 1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan 2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat, karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan. 4. Participating victims, yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5. False victims, yaitu mereka mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.15
Tipologi korban menurut Chaeruddin yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban yaitu : 1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
15
Syukri Akub, Baharuddin Badaru, 2013, Wawasan Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana, Makassar, Rangkang, hlm. 126-127
15
2. Provactive victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban misalnya pada kasus perselingkuhan, dimana korban juga merupakan pelaku. 3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbaut akan tetapi dengan sikapnya itu justru mendorong dirinya menjadi korban. 4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. 5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebakan Ia menjadi korban. 6. Seff victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukan sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, dan prostitusi.16 Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu : 1. Primary
victimization,
yaitu
korban
berupa
individu
atau
perorangan (bukan kelompok). 2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum. 3. Tertiary victimization, yairu korban masyarakat luas.
16
Ibid, hlm. 127
16
4. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.17 Menurut Abdussalam mengenai penjabaran mengenai korban terdiri dari korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa dan negara sebagai berikut : 1. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun nonmateril. 2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian
dalam
menjalankan
fungsinya
yang
menimbulkan
kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam. 3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang
dan
kelestariannya
sangat
tergantung
pada
lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab. 4. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian 17
Ibid, hlm. 127-128
17
hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.18
Korban dapat menjadi faktor penting bagi timbulnya suatu kejahatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana dikemukakan oleh Mulyana W Kusumah ketika mengutip pendapat dari Sheperd yang menyatakan: dalam studi tentang kejahatan kekerasan terungkap bahwa acap kali memainkan peran kunci dalam interaksi kekerasan, bahkan tak jarang melakukan tindakan provokasi terhadap orang lain ataupun balas dendam dengan pola kekerasan yang sering pula mengakibatkan luka atau kematian.19
C. Anak Pengertian anak dalam peraturan di Indonesia bersifat pluralis, sehingga perlu didefinisikan berdasarkan ketentuan umum yang tercantum dalam peraturan tersebut. Pengertian-pengertian tersebut antara lain : Pasal 1 Convention on the Rights of the Child, Anak adalah setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. 18
12
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.
19
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, 2010, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya, Putra Media Nusantara, hlm. 46
18
Hukum perdata meletakkan batas usia anak berdasarkan Pasal 220 KUHPer ayat 1 sebagai berikut : a. Batasan antara usia belum dewasa minderjerigheid dengan telah dewasa meerderjerigheid, yaitu 21 tahun; b. Dan seorang anak yang berada dalam usia di bawah 21 tahun yang telah menikah dianggap telah menikah.20 Dalam hukum adat , menurut ahli hukum adat R. Soepomo, ciri-ciri ukuran kedewasaan sebagai berikut : a. Dapat bekerja sendiri; b. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat; c. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri; d. Telah menikah; e. Berusia 21 tahun. 21 Dengan demikian jika tidak memenuhi ciri-ciri tersebut dapat digolongkan sebagai orang yang belum dewasa atau anak-anak. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak memberikan pengertian : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
20 21
Ibid., hlm. 25 Ibid., hlm. 25
19
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur bahwa : Anak didik pemsasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil untuk dapat di didik di Lapas Anak adalah paling lama sampai umur 18 (delapan belas) tahun dan untuk anak sipil guna dapat dilepaskan di Lapas Anak maka perpanjangan penempatannya hanya boleh paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Pasal 1 ayat (5) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan definisi : Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengertian : Anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak yang menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan pengertian : Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. (Pasal 1 angka 2). Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. (Pasal 1 angka 3). Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) 20
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4). Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri. (Pasal 1 angka 5). Dalam penelitian ini penulis menggunakan definisi anak menurut Undangundang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. D. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat biasa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti terwujud in abstracto dalam peraturan pidana. Tindak pidana sering juga disebut dengan kata “delik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut : “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang;tindak pidana”22. Mengenai “delik” dalam arti straffbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberikan defenisi sebagai berikut:
22
C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan ke-I, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, hlm. 37
21
Menurut Simons : “Dalam rumusannya straafbaar feit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.23 Alasan dari Simons mengapa harus dirumuskan seperti diatas karena: 1) Untuk adanya suatu straafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang
dimana
pelanggaran
terhadap
larangan
atau
kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; 2) Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang; 3) Setiap straafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau
kewajiban
menurut
undang-undang
itu,
pada
hakikatnya
merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechmatige handeling. Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada
23
P.A.F. Lamintang, 1984 Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Armico, hlm. 34
22
dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain. Menurut E.Utrecht “Menerjemahkan straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu) Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.” Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab. Pompe memberikan dua macam defenisi terhadap perbuatan pidana, yaitu bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Berdasarkan defenisi
teoritis
maka
perbuatan
pidana
adalah
pelanggaran
norma/kaedah/tata hukum yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Sedangkan dari sisi perundangundangan, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang
23
ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat ini biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangandengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi delik (an objective of penol provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective built). Disini berlaku “tiada pidana tanpa kesalahan” (kiene strafe ohne schuld atau geen straaf zonder schuld atau nulla poena sine culpa). Culpa disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan. Van Hamel merumuskan sebagai berikut : strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersiifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwardig) dan dlakukan dengan kesalahan.24 Istilah tindak pidana juga sering disebut peristiwa pidana yaitu suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan pidana. Suatu
24
Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 61
24
peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari : 1) Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum 2) Subjektif, yaitu perbuatan seserang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).25
E. Tindak Pidana Kesusilaan 1.
Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan Kata “susila” dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-
kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan kesusilaan dan decent diterjemahkan dengan kepatutan. Dengan demikian, makna “kesusilaan” adalah berkenaan dengan moral dan etika yang telah diatur dalam perundang-undangan.26 Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan moral dan etika dalam masyarakat, yang dimana tindakan tersebut dianggap tidak dapat diterima oleh masyarakat karena menyangkut hal
25
Abdullah Marlang, dkk, 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Makassar, ASPublishing, hlm. 67. Leden Marpaung, 2008, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Pervensinya, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.2-3. 26
25
yang buruk dan berkaitan dengan harga diri seseorang. Dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana kesusilaan adalah dapat menimbulkan rasa malu bagi korban.
2.
Jenis Tindak Pidana Kesusilaan Kejahatan
kesopanan
di
bidang
kesusilaan
adalah
kejahatan
kesopanan mengenai hal yang berhubungan dengan masalah seksual (disebut kejahatan kesusilaan) terdiri dari : a. Kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (Pasal 281 KUHP) b. Kejahatan pornografi (Pasal 282 KUHP) Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal 283 KUHP) c. Kejahatan
pornografi dalam menjalankan
pencahariannya
(Pasal 283 bis KUHP) d. Kejahatan Perzinahan (Pasal 284 KUHP) e. Kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285 KUHP)
26
f. Kejahatan bersetubuh dengan perkawinan di luar kawin yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP) g. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun (Pasal 287 KUHP) h. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat lukaluka (Pasal 288 KUHP) i.
Kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal 289 KUHP)
j.
Kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk dikawin (Pasal 290 KUHP)
k. Kejahatan perbuatan cabul yang menimbulkan luka berat (Pasal 291 ayat (1) KUHP) l.
Kejahatan perbuatan cabul yang menimbulkan akibat kematian korban (Pasal 291 ayat (2) KUHP)
m. Kejahatan pencabulan sesama kelamin dengan yang belum dewasa (Pasal 292 KUHP) n. Kejahatan menggerakkan untuk berbuat dengan orang yang belum dewasa (Pasal 293 KUHP)
27
o. Kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah pengawasannya dan lain-lain yang belum dewasa (Pasal 294 KUHP) p. Kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang belum dewasa (Pasal 295 KUHP) q. Kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (Pasal 296 KUHP) r. Kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa (Pasal 297 KUHP) s. Kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan (Pasal 299 KUHP).
3. Ketentuan Pidana mengenai Pencabulan Kepada Anak dalam KUHP Pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana pencabulan terhadap anak antara lain : a. Pasal 290 angka 2 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
Unsur-unsur objektif :
28
1) Perbuatannya: perbuatan cabul 2) Objeknya dengan seorang 3) Yang : a) umurnya belum 15 tahun atau b) jika tidak jelas umurnya orang itu belum waktunya untuk dikawin Unsur Subjektif: 4) Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun Yang dimaksud dengan “perbuatan cabul” adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba buah dada, dan sebagainya.27 Ukuran patut diduga umurnya belum 15 tahun dapat disamakan dengan patut diduga belum pantas untuk disetubuhi. Ukuran tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri fisik anak tersebut misalnya, muka dan bentuk tubuhnya masih kelihatan anak kecil, belum tumbuh 27
R.Soesilo, 1998, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Sukabumi, Politeia hlm. 212
29
buah dadanya, atau belum tumbuh bulu kemaluannya dan lain sebagainya. Bisa juga ditambah dengan ciri-ciri psikis yang tampak dari sifat dan kelakuannya misalnya masih suka menangis atau merengek-rengek meminta sesuatu, atau masih suka bermain-main seperti umumnya anak yang belum berumur 15 tahun lainnya. 28 Berdasarkan
Hoge
Raad
tanggal
24
Oktober
1989
menyebutkan bahwasanya seorang berada dalam keadaan pingsan atau tak berdaya harus diketahui oleh pelaku, mengenai usia yang masih dibawah 16 tahun, tidak perlu diketahui oleh pelaku.29 b. Pasal 292 KUHP Kejahatan ini disebut homoseksual dengan rumusan pasal sebagai berikut, Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Unsur-unsur objektif : 1) Perbuatannya: perbuatan cabul
28
84
Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.
29
R. Soenarto, Soerodibroto, 2011, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 177
30
2) Si pembuatnya: oleh orang dewasa 3) Objeknya pada orang sesama jenis kelamin yang belum dewasa. Unsur Subjektif: 4) Diketahuinya belum dewasa 5) yang seharusnya patut diduganya belum dewasa. Penjelasan pasal ini menurut R. Soesilo antara lain, yang dimaksud dewasa adalah yang telah berumur 21 tahun atau belum 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah kawin. Jenis kelamin yang sama yaitu laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.30 Sama seperti seperti perzinaan, untuk kejahatan ini diperlukan dua orang terlibat. Untuk perbuatan cabul, menurut pasal ini, terjadi antara dua orang sesama kelamin. Walaupun terjadi antara dua orang sesama jenis kelamin, tetapi yang menjadi subjek hukum kejahatan (si pembuatnya) dan dibebani tanggung jawab pidana adalah siapa yang diantara dua orang itu telah dewasa. Jadi tidak mungkin terjadi kejadian menurut pasal ini bila dilakukan sesama 30
R.Soesilo, 1998, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Sukabumi, Politeia hlm. 213-214
31
jenis kelamin antara dua orang yang keduanya sudah dewasa, atau kedua-duanya belum dewasa. Pembebanan tanggung jawab pada pihak orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan umum.31 c. Pasal 293 ayat (1) KUHP Pasal ini mengatur mengenai menggerakkan orang belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul yaitu : Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Unsur objektif : 1) Perbuatannya : menggerakkan; 2) Cara-caranya : a. Memberi uang atau barang; b. Menjanjikan memberi uang atau barang; c. Menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan; d. Penyesatan; 31
Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.
89
32
3) Objeknya : orang yang belum dewasa; 4) yang baik tingkah lakunya; 5) untuk : a. Melakukan perbuatan cabul; b. dilakukan perbuatan cabul dengannya; Unsur Subjektif : 6) Diketahuinya atau selayaknya harus diduganya tentang belum kedewasaannya.
a) Perbuatan Menggerakkan Perbuataan “menggerakkan” (bewegen) adalah perbuatan mempengaruhi kehendak orang lain, atau menanamkan pengaruh pada kehendak orang lain, atau menanamkan pengaruh pada kehendak orang lain ke arah kehendaknya sendiri, atau agar sama dengan kehendaknya sendiri.32 Kejahatan pasal 293 ini bukan merupakan delik formil melainkan
delik
dilakukannya 32
materil,
perbuatan
dimana cabul
unsur
atau
akibat
yaitu
perbuatan
cabul
Ibid, hlm. 91
33
dilakukan terhadapnya adalah unsur penentu terwujudnya perbuatan ini. b) Cara-cara menggerakkan Memberi uang atau barang adalah menyerahkab uang atau barang dengan maksud untuk dimiliki atau menjadikan miliknya. Setelah perbuatan dilakukan, maka uang atau barang yang diberikan akan menjadi milik orang yang diberi. Pada perbuatan menjanjikan, setelah perbuatan dilakukan, uang atau barang itu belum diserahkan dan akan diserahkan kemudian, tidak pada saat janji diucapkan. Menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, maksudnya ialah daya pengaruh yang terpancar dari kewibawaan yang timbul dan dimiliki oleh seseorang karena hubungan yang ada antara si pembuat dengan orang yang digerakkan (korban) dalam kehidupan sosial. Misalnya, hubungan antara seorang
dosen
dengan
mahasiswa/mahasiswinya.
Penyesatan (misleiding) adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengelirukan anggapan, pengertan, pengetahuan, atau pendirian orang
34
dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar, sehingga orang lain itu menjdi salah atau keliru dalam berpendirian.33 c) Orang Belum Dewasa yang Baik Tingkah Lakunya Orang yang belum dewasa adalah orang yang masih tergolong anak-anak. Pengertian baik tingkah lakunya (onbesproken gedrag) adalah yang bersangkutan menurut kenyataan di lingkungan masyarakat tempat Ia selalu berinteraksi sosial, diketahui atau dikenal sebagai orang yang berkelakuan baik di bidang kesusilaan.34 d) Untuk Melakukan Perbuatan Cabul atau Untuk Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul Dua perbuatan ini dilakukan oleh korban atas kemauannya sendiri, tetapi atas pengaruh dari si pembuat dengan melakukan perbuatan menggerakkan dengan menggunakan cara-cara
tertentu.
Untuk
yang
pertama:
melakukan
perbuatan cabul, artinya yang berbuat cabul adalah korban yang belum dewasa tadi. Akan tetapi, pada membiarkan perbuatan cabul, perbuatan ini dari pihak korban berupa
33 34
Ibid, hlm. 93-94 Ibid, hlm. 95
35
perbuatan pasif, pihak yang berbuat cabul (aktif) adalah orang lain, maksudnya si pembuat yang menggerakkan.35 e) Diketahuinya atau Patut Diduganya Belum Dewasa Yang dimaksud belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin.36 d. Pasal 294 ayat (1) KUHP KUHP merumuskan mengenai perbuatan cabul terhadap anak, anak tirinya, anak angkatnya dan anak dibawah pengawasannya yaitu : Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Unsur Objektif 1) perbuatannya : perbuatan cabul 2) Objek : dengan anaknya yang belum dewasa; anak angkatnya yang belum dewasa; anak angkatnya yang belum dewasa; anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa;
35
Ibid, hlm, 96 R.Soesilo, 1998, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Sukabumi, Politeia hlm. 215 36
36
yang
pemeliharaannya,
pendidikan,
atau
penjagaannya
diserahkan kepadanya; pembantunya yang belum dewasa; bawahannya yang belum dewasa.
Perbuatan cabul termasuk juga bersetubuh telah tercakup di dalamya. Menurut Pasal 294 ayat (1), terdapat hubungan antara si pembuat cabul dengan orang yang dicabuli. Hubungan ini ada dua macam, yakni: 1) Hubungan kekeluargaan di mana si pembuat memiliki kewajiban hukum
untuk
melindungi,
menghidupi,
memelihara,
mendidiknya, dan hubungan ini dipandang mempermudah pelaksaan kejahatan. Hubungan kekeluargaan ini, misalnya antara orang tua dengan anak kandungnya, anak angkatnya, anak tirinya yang belum dewasa. 2) Hubungan di luar kekeluargaan, tetapi di dalamnya tumbuh kewajiban hukum untuk memeliharanya, menghidupinya, ialah pada hubungan antara si pembuat dengan : anak belum dewasa yang pengawasannya, penddikannya, pemeliharannya diserahkan kepadanya; dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa.
37
Apa yang dimaksud anaknya ialah anak kandungnya. Anak tirinya adalah anak yang diperoleh dari perkawinan bekas istri atau bekas suaminya dengan suami atau istrinya yang terdahulu. Anak angkatnya adalah anak orang lain yang diangkat anak (diadopsi) oleh suatu keluarga menjadi anak angkat, dipelihara, dibesarkan, dididik, diperlakukan sama dengan anak kandung sendiri.
Anak
yang
pemeliharaannya,
pendidikannya
atau
penjagaannya diserahkan padanya ialah anak karena hukum melahirkan kewajiban hukum seperti itu, misalnya anak yatim-piatu yang karena penetapan hakim diserahkan kepadanya sebagai walinya. Pembantunya ialah orang yang bekerja pada rumah tangganya, misalnya untuk yang laki-laki disebut bujangnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan bawahannya ialah bawahan dalam
hubungan
pekerjaan,
misalnya
pemilik
toko
pada
pegawainya.37
4. Ketentuan Pidana mengenai Pencabulan Kepada Anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
37
Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 100-101
38
Ketentuan mengenai pencabulan terhadap anak diatur dalam Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
Unsur Objektif 1) Pelakunya adalah setiap orang 2) Pebuatannya : perbuatan cabul 3) perbuatan tersebut didahului dengan kesengajaan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian
kebohongan,
untuk
melakukan
atau
membiarkan dilakukan 4) Objeknya adalah anak F. Alat Bukti dalam Perkara Pidana 1. Pembuktian Menurut KUHAP Pasal-pasal KUHAP tentang pembuktian dalam acara pemerikasaan biasa diatur dalam Pasal 183 sampai 191 KUHAP . Pasal 183 KUHAP merumuskan, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
39
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Untuk dapat menjatuhkan hukuman diisyaratkan terpenuhinya dua syarat yaitu : 1. Alat-alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen) 2. Keyakinan Hakim (overtuiging des rechters) Yang disebut pertama dan kedua satu sama lain berhubungan sedemikian rupa. Sesuai dengan ini, maka kita juga mengatakan adanya keyakinan yang sah (wettige overtuiging), atau keyakinan yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen). Pembagian hukum pembuktian pada Acara Pidana dalam tiga bagian, yaitu : 1. Penjelasan alat-alat bukti yang dipakai oleh hakim untuk mendapat gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau itu (opsomming van bewijsmiddelen) 2. Penguraian
cara
bagaimana
alat-alat
bukti
itu
dipergunakan
(bewijsvoering) 3. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti itu (bewijskracht der bewijsmiddelen)38
38
Djoko Prakoso, 1988, Alat bukti dan Kekuatan Pembuktian, Semarang, Liberty, hlm. 39
40
Menurut Andi Hamzah, mengatakan bahwa dalam hukum acara pidana mengenal teori pembuktian antara lain : a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positive wettelijk bewijstheorie) Pembuktian berdasarkan undang-undang dikatakan secara positif karena hanya didasarkan undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori
pembuktian
ini
terlalu
banyak
mengandalkan
kekuatan
pembuktian yang disebut oleh undang-undang.39
b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang39
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 251
41
kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Menurut Andi Hamzah, pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistem keyakinan hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum..40 c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee) Menurut teori pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonneee), hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan
(conclusive)
yang
berlandaskan
kepada
peraturan-
peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya atau (vrijebewijstheorie).41
40 41
Ibid, hlm. 252 Ibid, hlm. 253
42
d. Teori
Pembuktian
berdasarkan
Undang-undang
secara
negatif
(Negatief Wettelijk) KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP yaitu: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan pada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Dalam sistem atau teori pembutian yang berdasar undangundang
secara
negatif
(negatief
wettelijk
bewijs
theorie)
ini,
pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grond slag, kata D. Simons), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.42
2. Alat Bukti dalam KUHAP
42
Ibid, hlm.256
43
Yang dimaksudkan dengan alat bukti dapat kita lihat di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah sebagai berikut : Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa a. Keterangan Saksi Salah satu alat bukti adalah keterangan saksi. Pengertian mengenai keterangan saksi tercantum pada Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu, Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya sendiri. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang ia nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1)). KUHAP menganut asas Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi) itu artinya keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya (Pasal 185 ayat (2)).
44
b. Keterangan Ahli Pengertian keterangan ahli terdapat pada Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu, Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. c. Surat Perihal mengenai alat bukti surat dimuat dalam Pasal 187 KUHAP yaitu, Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan. c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atas sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan ini dari alat pembuktian yang lain. d. Petunjuk
45
Dalam KUHAP, alat buki petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP antara lain, (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keteranga saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. e. Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP antara lain, (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
3. Keterangan Saksi dan Kekuatan Pembuktiannya
46
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Sedangkan, kesaksian adalah pernyataan (keterangan) yang diberikan oleh saksi sehingga dalam KUHAP digunakan istilah keterangan saksi. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 angka 1 merumuskan pengertian saksi bahwa : Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP yaitu, Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi secara eksplisit dijabarkan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP menentukan bahwa : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti yaitu : Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan
47
Apabila seseorang dipanggil menjadi saksi, maka Ia wajib hadir di persidangan. Jika saksi telah dipanggil secara sah, dan Ia tidak hadir, Hakim Ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
Akan
tetapi
berdasarkan
Pasal
168
KUHAP
terdapat
pengecualian bagi orang-orang yang tidak dapat didengar keterangannya atau dapat mengundurkan diri sebagai saksi yaitu : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak,
juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau bersama-sama sebagai terdakwa;
Selain berdasarkan ketentuan Pasal 170 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa : Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
48
Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sedangkan yang dimaksud dengan martabatnya dapat mengundurkan diri adalah pastor agama Katolik Roma. Ini berhubung dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.43
Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahu dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Selanjutnya, dalam praktik agar keterangan saksi mempunyai nilai pembuktian pada dasarnya keterangan saksi tersebut haruslah memenuhi: 1) Syarat formal Perihal syarat formal ini dalam praktik asasnya bahwa keterangan saksi harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan sebenarnya dan tidak lain dari sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Apabila keterangan seorang saksi tanpa sumpah meskipun sesuai satu sama lain bukanlah merupakan alat bukti. Akan tetapi jika 43
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 262
49
selaras
dengan
saksi
atas
sumpah
,
keterangannya
dapat
dipergunakan sebagai alat bukti sah yang lain (Pasal 185 ayat (7) KUHAP). Berikutnya, dikategorisasikan sebagai syarat formal pula agar dihindari adanya keterangan seorang saksi saja, karena aspek ini tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah karena perbuatan yang didakwakan kepadanya (Pasal 185 ayat (2) KUHAP). Hal ini lazim disebut asas ”Unus testis nullus testis” atau “Een getuige is green getuige”.44
2) Syarat Materil Perihal syarat materil dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo. Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa : Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu pertistiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Dalam menilai kebenaran saksi hakim harus dengan sungguhsungguh memperhatikan aspek-aspek : 1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; 2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
44
Lilik Mulyadi, 2006, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Jakarta, Alumni, hlm. 173
50
3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; 4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur secara umum mengenai tata cara penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan bagi anak korban dan anak saksi. Pasal 23 ayat (2) mengatur bahwa Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban, atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
Kewajiban ini harus dipenuhi demi memberikan kemudahan anak untuk memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan dari penyidikan hingga pemeriksaan di Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat dan pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan.atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.
51
Pada proses peradilan di Amerika Serikat, metode alternatif untuk mempresentasian kesaksian anak-anak adalah dengan menggunakan Closed-Circuit Television (CCTV). Di dalam kasus Maryland v. Craig (1990), Mahkamah Agung Amerika memutuskan bahwa jika seorang anak yang menjadi korban cenderung akan mengalami trauma emosional signifikan bila dipertemukan dengan terdakwa. Para peneliti menemukan bahwa penggunaan CCTV mengurangi stres emosional yang dialami oleh anak-anak dan memungkinkan mereka memberikan kesaksian yang lebih akurat.45
G. Perlindungan Hukum terhadap Korban Perlindungan hukum bagi korban dapat diwujudkan dalam pemberian hak. Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, terdapat beberapa hak yang fundamental bagi korban yaitu : 1. Access to Justice and Fair Treatment Korban harus diperlakuan dengan rasa kasihan dan rasa hormat. Mereka berhak atas akses pada mekanisme-mekanisme dan keadilan dan untuk mengganti kerugian.
45
Mark Constanzo, 2008, Physology Applied To Law (Aplikasi Psikologi dalam Sstem Hukum) Jakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 316-317
52
Kebutuhan korban yang berkaitan dengan proses pengadilan di antaranya : (a) Memberi tahu korban-korban dari peran mereka dan lingkup, pemilihan waktu dan kemajuan dari cara bekerja dan disposisi
kasus-kasus
mereka,
terutama
kejahatan-
kejahatan yang serius dilibatkan dan mereka sudah meminta informasi; (b) Korban didengar keinginannya untuk dipertimbangkan; (c) Bantuan yang tepat kepada korban-korban sepanjang proses yang hukum; (d) Memperlakukan
korban
dengan
baik
dan
menjamin
keselamatan keluarga korban dan saksi dan ancaman intimidasi; (e) Menghindari
penundaan
dalam
mengabulkan
putusan
korban-korban46 2. Restitution Pelaku kejahatan atau pihak ketiga bertanggung jawab utuk mengganti kerugian kepada korban-korban, keluarga-keluarga atau orang yang bergantung kepada korban. Penggantian kerugian
46
Yulia, dalam Syukri Akub, Baharuddin Badaru, 2013, Wawasan Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana, Makassar, Rangkang, hlm. 137-138
53
tersebut termasuk kembalinya harta atau pembayaran untuk kerugian yang diderita dan pemulihan hak-hak.47 Restitusi dapat berupa pengembalian harta milik , pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.48 3. Compensation Penjelasan pasal 35 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia memberikan pengertian kompensasi yaitu, ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang menjadi
tanggung
jawabnya.
Kompensasi
lebih
bersifat
keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban dan dibayar
oleh
masyarakat
atau
merupakan
bentuk
pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society).49 Korban yang mendapat kompensasi yaitu : (a) Korban yang menderita luka fisik maupn psikis akibat dari kejahatan yang berbahaya (b) Keluarga korban.
47
Ibid, hlm 138 Dikdik M. Arief, Elisatris Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Bandung, Rajawali Pers, hlm. 166 49 Ibid, hlm. 167 48
54
4. Assistance Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial dan psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan atau masyarakat. Korban harus dijamin kesehatannya. Para aparat terkait harus mempunyai pengetahuan yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan korban. Sehingga bantuan yang diberikan optimal dan profesional. Bantuan yang diberikan harus tepat sasaran. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas
Undang-undang
No.
13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban mengatur mengenai hak saksi dan korban antara lain : a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama diperlukan saksi kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, karena saksi rentan mendapatkan teror, intimidasi dan lain-lain. Hal ini menyebabkan saksi enggan mengungkapkan informasi yang Ia ketahui. Saksi khawatir akan adanya balas dendam dari pelaku atau keluarga pelaku kepada dirinya, keluarganya atau kepada harta yang Ia miliki. Oleh karena itu, 55
semua pihak yang berkaitan dalam pengungkapan kasus pidana harus memeberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Apabila perlu, saksi dan korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar saksi dan korban aman. b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan Saksi dan korban dapat memilih dan menentukan perlindungan mana yang dapat diberikan untuk menjamin keamanan dirinya dari ancaman atau intimidasi yang mengarah padanya. c. Memberikan keterangan tanpa tekanan Keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti harus diberikan oleh saksi tanpa adanya tekanan dari pihak manapun agar informasi mengenai tindak pidana tersebut dapat terungkap sesuai dengan kenyataan yang terjadi. d. Mendapat penerjemah KUHAP telah mengatur mengenai hak saksi dalam pasal 177 ayat (1) yaitu : Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Ketentuan ini berlaku bagi saksi yang tidak dapat menggunakan bahasa
Indonesia
sehingga
sulit
untuk
mengungkapkan 56
keterangannya.Akan tetapi seseorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara dimana ia menjadi juru bahasanya..50 e. Bebas dari pertanyaan menjerat Pasal 166 KUHAP mengatur bahwa : Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun saksi Hal ini diatur untuk melindungi saksi dari pertanyaan-pertanyaan yang bisa saja menjadi petaka bagi dirinya. Penuntut umum maupun penasihat hukum harus memberikan pertanyaan yang relevan dan tidak bersifat menjerat. f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di Pengadilan, tetapi saksi dam korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada saksi dan korban. g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan Informasi ini penting untuk diketahui saksi dan korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan saksi dan korban dalam proses peradilan tersebut. h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan 50
Pasal 177 ayat (2) KUHAP
57
Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. i.
Dirahasiakan identitasnya Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keamanan saksi atau korban dalam menyampaikan keterangannya
j.
Mendapat Identitas baru Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisasi,
saksi dan korban dapat terancam walau terdakwa
sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu , saksi dan korban dapat diberi identitas baru. k. Mendapatkan tempat kediaman sementara Untuk menjaga keamanan, saksi dan korban dapat ditempatkan di kediaman sementara hingga dirasa telah aman, saksi dan korban dapat kembali ke kediaman asalnya. l.
Mendapatkan tempat kediaman baru Apabila keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempa baru pada saksi dan korban harus dipertimbangkan agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. Yang dimaksud dengan
tempat kediaman baru adalah
tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman. m. Memperleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan 58
Saksi dan korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara. n. Mendapat nasihat hukum Hak ini diperlukan karena seringkali seorang saksi adalah orang awam dan tidak mengetahui hukum. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan nasihat hukum adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh saksi dan korban apabila diperlukan. o. Memperoleh bantuan
biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir Biaya hidup sementara adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari. p. Mendapat pendampingan Ketentuan ini berlaku misalnya kepada anak saksi dan anak korban yang berhak didampingi orang tuanya,
59
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah lokasi dimana penulis akan melakukan serangkaian penelitian dalam rangka penyusunan skripsi ini. Lokasi penelitian yang dipilih adalah instansi Polrestabes Makassar. Kejaksaan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri Makassar, Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, Lembaga Bantuan Hukum APIK Makassar, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Makassar, Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis memilih lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian relevan dengan masalah yang diteliti.
B. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang akan digunakan yaitu: 1. Data primer yaitu data yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan (observasi) dan penelitian secara langsung dengan pihak-pihak terkait. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap berbagai macam bahan bacaan yang berkaitan dengan objek
60
kajian seperti perundang-undangan, literatur-literatur, dokumen, maupun sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian pustaka (library research), yaitu menelaah berbagai undangundang, buku kepustakaan, Putusan hakim, koran dan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan objek penelitian. 2. Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan mengamati
secara
sistematis
terhadap
fenomena-fenomena
yang
diselidiki di lapangan. C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Teknik wawancara
(interview), yaitu dengan cara melakukan proses
tanya jawab kepada pihak-pihak yang terkait ataupun yang menangani antara lain Penyidik pada Unit PPA Polrestabes Makassar, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Makassar, Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Makassar, Ketua Lembaga Bantuan Hukum APIK, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Teknik kepustakaan yaitu suatu teknik penelaahan normatif dari beberapa peraturan perundang-undangan dan penelaahan beberapa literatur yang relevan dengan materi yang dibahas. 61
D. Analisis Data Data-data yang telah diperoleh baik data primer maupun data sekunder kemudian akan diolah dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan. Kemudian disajikan secara deskriptif, guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian nantinya. Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang berupaya memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan kuantitatif dan selanjutnya data tersebut disajikan secara deskripsi yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
62
BAB IV PEMBAHASAN
A. Cara Anak Memberikan Kesaksian sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan dalam Putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN.Mks 1. Posisi Kasus Kasus ini terjadi pada bulan Januari 2014 bertempat di Jln. Maccini Gusung Makasar yang dilakukan oleh Arifin Bin Nasir alias Apping terhadap adik sepupu istrinya Nurfadillah Ramadani alias Illa yang berusia 9 (sembilan) tahun. Apping melakukan pencabulan terhadap Illa sebanyak dua kali. Kejadian pertama pada sore hari di bulan januari 2014, Apping memanggil korban yang sedang bermain di warnet dan menyuruh korban ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Apping membuka celana korban sampai diatas lutut kemudian menyuruh korban memegang alat kelamin pelaku, kemudian korban memegang alat kelamin pelaku. Setelah itu, pelaku memberikan uang sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah) lalu korban kembali ke warnet.
Setelah kejadian tersebut korban menangis dan disaksikan oleh kakak korban yang bernama Andi Anugrah yang berumur 10 (sepuluh) tahun. Kakak korban menanyakan hal tersebut, tetapi korban tidak mau menceritakan apa yang Ia alami. Kakak korban 63
mendesak dan akhirnya korban menceritakannya. Mendengar hal tersebut, Kakak korban tidak melakukan apa-apa.
Kejadian kedua pada hari Sabtu tanggal 21 Juni 2014 sekitar pukul 18.00 WITA bertempat di Jln. Maccini Gusung Makassar saat korban sedang bermain di warnet, pelaku datang sambil menarik baju korban dan menyuruh masuk ke dalam dapur yang saat itu dalam keadaan kosong. Pelaku langsung membuka celana korban sampai diatas lutut lalu menyuruh korban diam dan melarang korban memberi tahu Ibu korban sambil memasukkan jari telunjuk tangan kanannya kedalam alat kelamin korban sambil menggoyanggoyangkannya dan menyuruh korban memegang alat kelaminnya kemudian korban memegang alat kelamin pelaku. Setelah itu, pelaku memberikan uang sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) kepada korban.
Setelah kejadian tersebut, korban merasa kesakitan pada alat kelaminnya, sehingga Bibi korban dan Paman korban berdasarkan keterangan kakak korban menanyakan kepada korban apa yang terjadi sebenarnya, korban tidak mau menceritakannya. Tetapi setelah dibujuk, maka korban menceritakan ke Pamannya, kemudian Pamannya menceritakan kepada ayah korban. Setelah itu ayah 64
korban menceritakan kepada Ibu korban dan akhirnya melaporkan kejadian tersebut kepada Pihak berwajib.
2. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
: ARIFIN BIN NASIR ALIAS APPING
Tempat Lahir
: Makassar
Umur/Tanggal lahir
: 35 Tahun / 25 Mei 1979
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Jl. Maccini Gusung Stapak 8 No. 69 Makassar
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tukang Las
Pendidikan
: SMA (Tamat)
3. Surat Dakwaan Penuntut Umum Bahwa terdakwa ARIFIN Bin NASIR alias APPING pada sekitar bulan Desember tahun 2013 sampai dengan pada tanggal 21 Juni 2014 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam Tahun 2013 dan Tahun 2014 bertempat di Jalan Maccini Gusung No. 49 Kota Makassar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat-tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar,
65
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa atau melakuan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak yaitu NURFADILLAH RAMADANI untuk melakukan
atau
membiarkan
dilakukan
perbutan
cabul,
perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut : -
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, berawalnya saat saksi korban Pr. NURFADILLAH RAMADANI yang berusia 8 (delapan) tahun (berdasarkan copy kutipan Akta Kelahran dan kartu keluarga yang terlampir dalam berkas perkara) sedang bermain warnet dalam rumah lalu terdakwa Arifin Nasir Alias Apping memanggil dan menyuruh saksi korban untuk naik ke kamar terdakwa yang berada di lantai dua lalu saat berada di dalam kamar terdakwa langsung membuka celana saksi korban sampai ke lutut lalu berkata “janganko teriak, janganko kasih tahu mamamu” sambil terdakwa membuka resleting celana terdakwa dan menggosok-gosokkan alat kelamin (burung) terdakwa di luar vagina saksi korban lalu terdakwa menyuruh saksi korban memegangi alat kelamin terdakwa sampai alat kelamin (burung) terdakwa berdiri dan keras setelah itu terdakwa memberikan uang sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) kepada saksi korban setelah itu terdakwa menyuruh saksi korban untuk turun lalu saat itu saksi 66
korban merasa kesakitan dan menangis. Selanjutnya kedua kalinya pada sekitar tanggal 21 Juni 2014 sekitar jam 18.00 WITA saksi korban sedang bermain internet lalu tiba-tiba terdakwa menarik baju dan menyuruh saksi korban untuk masuk ke dalam dapur lalu dalam dapur terdakwa meraba alat kelamin (vagina) saksi korban dari luar lalu terdakwa membuka celana saksi korban sampai lutut sambil berkata “janganko teriak” lalu terdakwa memasukkan jari telunjuk tangan kanan terdakwa ke dalam alat kelamin (vagina) saksi korban lalu terdakwa menggosok-gosokkan alat kelaminnya (burungnya) di bagian luar alat kelamin (vagina) saksi korban berulang kali dan setelah selesai terdakwa menyuruh saksi korban untuk memakai kembali celananya lalu terdakwa memberikan uang sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) kepada saksi korban lalu saksi korban keluar dari dapur dan saksi korban mengeluh merasa sakit pada bagian alat kelaminnya selama beberapa hari sehingga saksi Ernita Ibu saksi korban menanyakan kenapa bisa dan saksi korban mengatakan “na kasi beginika apping” (sambil saksi korban menggerakkan jari jempolnya di selipkan diantara jari telunjuk dan jari tengah saksi korban) di di rumahnya nenek. -
Bahwa berdasarkan Visum Et Repertum RS. Bahayangkara Makassar Nomor : VER/20/VI/2014/RUMKIT tanggal 24 Juni 2014 67
yang dibuat oleh dr. Mauluddin M, Sp. F dengan hasil pemeriksaan :
Tampak luka lecet kemerahan pada serambi kemaluan;
Korban tampak cemas dan takut saat menceritakan kejadian yang dialami
Kesimpulan : a. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap seseorang berjenis kelamin perempuan, berusia anak; b. Ditemukan adanya luka lecet kemerahan pada serambi kemaluan yang dapat sesuai akibat persentuhan benda tumpul; c. Korban tampak mengalami gangguan psikis akut yang dapat sesuai akibat trauma dengan peristiwa yang dialami; -
Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut, korban merasa sakit pada alat kelaminnya beberapa kali sehingga orang tua korban merasa keberatan karena korban masih belum cukup umur dan melaporkan hal tersebut ke pihak berwajib.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
68
4. Surat Tuntutan Tuntutan penuntut umum yang dibacakan di depan persidangan Pengadilan Negeri Makassar dengan melihat fakta-fakta yang terungkap
dalam
pemeriksaan
secara
berturut-turut
berupa
keterangan saksi-saksi, petunjuk dan keterangan terdakwa maka penuntut umum pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan terdakwa ARIFIN Bin NASIR alias APPING telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan ancaman kekerasan atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul” sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ARIFIN Bin NASIR alias APPING, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dikurangi penangkapan dan masa penahanan yang telah terdakwa jalani. Dan denda sebesar Rp. 60.000.000,(enam puluh juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan. 3. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). 69
5. Amar Putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN.Mks
Adapun yang telah menjadi amar putusan dalam perkara ini adalah sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa ARIFIN BIN NASIR ALIAS APPING tersebut diatas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan ancaman atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul”; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ARIFIN BIN NASIR ALIAS APPING dengan pidana penjara selama 7 (Tujuh) Tahun dan denda Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; 3. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan; 4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan; 5. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)
70
6. Analisis Terhadap Penerapan Ketentuan Hukum Pidana Kasus yang penulis bahas dalam skripsi ini yaitu tentang perbuatan cabul yang dilakukan oleh suami sepupu korban dimana yang melakukan adalah terdakwa Arifin bin Nasir alias Apping telah terbukti melakukan perbuatan cabul terhadap adik sepupunya yang berusia
9
(sembilan)
tahun
bernama
Nurfadillah
Ramadani.
Ketentuan pidana mengenai pencabulan terhadap anak diatur dalam Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jaksa Penuntut Umum menggunakan dakwaan tunggal untuk menjerat terdakwa yaitu : Melanggar Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut Penuntut umum, Pasal ini telah sesuai karena pelaku tindak pidana ini melakukan perbuatan cabul kepada korban yang masih dalam kategori anak yaitu berusia 8 (delapan) tahun.
7. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN. Mks
71
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam membuat keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Dalam mengambil keputusan ini hendaknya hakim dapat melihat dengan cermat kesesuaian faktor-faktor yang ada dengan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan sehingga menjatuhkan suatu keputusan tidak menyimpang dari yang seharusnya dan tidak melanggar hak asasi yang dimiliki oleh terdakwa. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang memeriksan dan mengadili perkara ini pada dasarnya berlandaskan pada fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan berupa : a. Keterangan saksi-saksi yaitu : Ernita, Nurfadillah Ramadani, Andi Anugrah, Satria, Hasnah dan Muh. Sain. b. Alat bukti surat berupa Visum et Repertum dari Rumah Sakit Bhayangkara Makassar atas nama Nurfadillah Ramadhani Nomor : VeR/ 20 / VI / 2014 / Rumkit yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mauluddin M, Sp.F c. Keterangan terdakwa yaitu Arifin bin Nasir alias Apping d. Petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, alat bukti surat, dan keterangan terdakwa yang saling berkaitan satu sama lain yang menyangkut perbuatan terdakwa
72
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan tersebut dilakukan pembuktian mengenai unsur-unsur dari pada yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Adapun unsur-unsur yang dipenuhi pada perkara ini adalah Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Setiap Orang 2. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Hasil analisis terhadap unsur-unsur tersebut di atas adalah sebagai berikut : Ad.1. Unsur setiap orang. Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ke-16 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah orang perseorangan atau korporasi, setiap orang ini adalah subyek yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya, dalam hal ini menunjuk kepada terdakwa ARIFIN Bin NASIR Alias APPING.
73
Bahwa
berdasarkan
fakta
di
persidangan
dan
menurut
keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri yang membenarkan bahwa benar terdakwa bernama ARIFIN Bin NASIR Alias APPING dengan identitas lengkap sebagaimana dalam surat dakwaan, dan terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tidak ada tanda-tanda terganggu ingatannya sehingga terdakwa dapat mempertanggung jawabkan atas perbuatannya Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka unsur “setiap orang” telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Ad.2.
Unsur
dengan
sengaja
melakukan
kekerasan
atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Bahwa dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan juga dalam KUHP tidak memberikan definisi mengenai pengertian “dengan sengaja” tetapi untuk mencari petunjuk dapat dilihat dari Mut yang mengartikan kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki atas erbuatan yang dilakukannya sehingga dengan sengaja berarti menghendaki atau mengetahui atas perbuatan apa yang dilakukannya Bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah 74
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Bahwa sesuai dengan fakta yang terungkap di depan persidangan
menurut
keterangan
saksi-saksi
dan
keterangan
terdakwa sendiri yang pada pokoknya menerangkan bahwa benar terdakwa ARIFIN Bin NASIR Alias APPING telah melakukan perbuatan cabul terhadap korban Pr. NURFADILLAH RAMADANI, dimana korban masih berusia 8 (delapan) tahun dimana korban NURFADILLAH RAMADANI lahir pada tanggal 26 Oktober 2005 sesuai
Kutipan
Akta
Kelahiran
No.
7371-LT-25062012-0020.
Berdasarkan hal tersebut maka dengan demikian korban Pr. NURFADILLAH RAMADANI dikualifikasikan sebagai anak yang harus mendapatkan jaminan dan perlindungan atas hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai
dengan
harkat
martabat
kemanusiaan,
serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa kejadian pertama sekitar bulan Desember 2013 sekitar sore hari bertempat di Jl. Maccini Gusung Kota Makassar, terdakwa menyUruh saksi korban Nurfadillah Ramadani untuk masuk dalam kamar terdakwa Apping, lalu terdakwa menyuruh buka celana saksi korban lalu terdakwa menyuruh pegang burung (alat kelamin) terdakwa sehingga saksi korban pun memegang burung/alat kelamin 75
terdakwa
sampai
tegang
berdiri
dan
keras
lalu
terdakwa
memasukkan jari tangan telunjuk ke sombong (alat kelamin) saksi korban lalu tangan terdakwa digoyang-goyangkan dimana saksi korban merasa sakit dan setelah selesai terdakwa memberikan uang kepada saksi korban sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah), samil terdakwa mengatakan kepada saksi korban “janganko kasitauki mamamu sama bapakmu nah” lalu saksi korban disuruh turun oleh terdakwa. Kejadian pertama tersebut diketahui oleh bapak saksi korban yaitu saksi Satria namun saat itu terdakwa meminta maaf dan bersujud dibawah kaki saksi Satria dan akhirnya terdakwa dimaafkan dan tidak memperpanjang permasalahan tersebut. Bahwa selanjutnya ada kejadian kedua kalinya sekitar tanggal 21 Juni 2014 di dapur rumah di Jl. Maccini Gusung Makassar dimana saat itu saksi korban sementara bermain warnet lalu datang terdakwa menarik baju saksi korban dan menyuruh korban masuk ke dalam dapur yang kebetulan tidak ada orang lalu setelah di dapur terdakwa lalu membuka celana saksi korban sampai di atas lutut sambil berkata “janganko berteriak” lalu terdakwa kembali memasukkan jari telunjuk kanannya ke dalam vagina saksi sambil menggoyanggoyangkan jarinya dalam vagina saksi dan menyuruh saksi memegang burung/alat kelamin terdakwa lalu saksi memegang burung/alat kelamin terdakwa sampai berdiri keras lalu terdakwa 76
memberikan saksi uag sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) dan menyuruh saksi korban untuk keluar kembali Bahwa perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan kesusilaan, secara umum perbuatan terdakwa tersebut merupakan perbuatan
cabul,
terdakwa
yang
telah
dewasa
seharusnya
melindungi anak yang masih dibawah umur, apalagi saksi korban merupakan kelurga terdakwa sendiri karena saksi korban merupakan adik sepupu dari istri terdakwa ditambah lagi anak perempuan yang dimiliki sesuatu kehormatan yang harus dijaga sampai pada saat kelak perkawinannya. Bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwan dan
barang
bukti
saling
bersesuaian,
maka
Majelis
Hakim
berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan ancaman atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul” Bahwa oleh karena terdakwa terbukti bersalah maka akan dijatuhi
pidana
yang
setimpal
dengan
perbuatannya
dengan
memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagai berikut : 77
Hal-hal yang memberatkan : -
Perbuatan terdakwa bertentangan dengan norma agama dan norma kesusilaan;
-
Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban menjadi trauma dan dapat merusak masa depan korban yang masih berumur 8 (delapan) tahun;
-
Terdakwa merupakan ipar sepupu dari saksi korban yang seharusnya menjaga dan melindungi saksi korban;
Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa mengakui perbuatannya, menyesali dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi;
-
Terdakwa belum pernah dihukum;
-
Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga;
Dengan memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan tersebut, Majelis berpendapat bahwa pidana yang akan dijatuhkan telah sesuai dan setimpal dengan perbuatan terdakwa, oleh karenanya dipandang tepat dan adil Bahwa terdakwa berada dalam tahanan dan agar terdakwa tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak idana, maka sudah selayaknya Terdakwa diperintahkan untuk tetap dalam tahanan. Bahwa karena terdakwa 78
telah terbukti bersalah maka ia kan dibebani pula membayar biaya perkara.
8. Komentar Penulis Berdasarkan
analisis
penulis,
penjatuhan
pidana
yang
dijatuhkan oleh majelis hakim tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh tahun), setahun lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut pelaku dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun. Seharusnya majelis hakim lebih mempertimbangkan hasil Visum et Repertum yang menyatakan bahwa anak tersebut mengalami gangguan psikis akut yang terjadi akibat trauma dengan peristiwa yang dialami. Gangguan ini tentu akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari korban hingga beranjak dewasa.
Dampak
psikis bagi korban akan lebih berat dibanding dampak fisik. Oleh karena
itu,
rehabilitasi
psikologis
bagi
anak
korban
sangat
dibutuhkan.
Selain itu, masa depan anak korban ini telah dirusak akibat perbuatan terdakwa yang mencabulinya diusia yang masih sangat dini. Terdakwa sebagai orang dewasa yang masih berstatus keluarga korban seharusnya melindungi korban tersebut. Hal lain yang dapat 79
dijadikan alasan pemberatan pidananya adalah, perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang kepada korban.
Pelaku memanfaatkan kepolosan korban untuk memuluskan perbuatannya dengan menyuruh korban melakukan perbuatan cabul pelaku memberikan imbalan Rp. 2.000,- (dua rbu rupiah) yang menjadi nominal yang cukup banyak dimata anak seusia korban. Pelaku juga menyuruh korban untuk tidak memberitahukan perbuatan tercelanya kepada orang tua korban
Menurut penulis, tuntutan yang dajukan oleh penuntut umum itu lebih sesuai jika diterapkan kepada terdakwa meskipun terdakwa telah berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya, namun itu tidak akan mengembalikan keadaan anak korban kembali ke keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana ini.
9. Keterangan Saksi Korban a. di Tingkat Penyidikan berdasarkan Berita Acara Pendapat (Resume) Saksi 1 Nama
: NURFADILLAH RAMADANI, Umur 9 Tahun, Lahir di Makassar pada tanggal 26 Oktober 2005,
80
Jenis Kelamin
Perempuan, kewarganegaraan
Indonesi, agama Islam, suku Bugis, pekerjaan Pelajar kelas 2 SD, alamat Jln. Maccini Gusung No. 49 Kel. Maccini Gusung Kec. Makassar Kota Makassar/ Jln. Irian No. 49 Kota Makassar
Menerangkan : 1. Bahwa korban dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersedia untuk diperiksa dan diambil keterangan yang sebenarbenarnya. 2. Bahwa saksi korban mengerti saat diperiksa dan dimintai keterangan sehubungan dengan adanya laporan tentang dugaan terjadinya tindak pidan perbuatan cabul yang saksi alami. 3. Adapun yang telah melakukan Perbuatan Cabul terhadap saksi adalah Saudara ARIFIN alias APPING 4. Sebelumnya korban sudah kenal dengan tersangka karena suami dari sepupu korban yang bernama saudaea KARTINI. 5. Adapun kejadiannya yg pertama yaitu sekitar bulan januari tahun 2014 saat sore hari di dalam kamar tersangka dan yang ke-2 (dua) pada hari Sabtu tanggal 21 Jun 2014 sekitar jam 18.00 WITA tepatnya didalam dapur Jln. Maccini Gusung No. 49 Kel. Maccini Gusung Kec. Makassar Kota Makassar. 81
6. Bahwa tersangka melakukan dengan cara yakni : -
Yang pertama dilakukan dengan cara membuka celana korban sampai diatas lutut kemudian menggosok-gosokkan burung (alat kelaminnya) di luar vagina korban dan menyuruh korban memegang
burungnya
(alat
kelaminnya)
kemudian
korban
memegang burungnya (alat kelaminnya) sampai burungnya berdiri keras dan setelah itu tersangka memakai celana dan korban memakai celana korban kembali setelah itu korban turun ke lantai satu. -
Yang ke-2 (dua) dilakukan dengan cara membuka celana korban sampai diatas lutut kemudian memasukkan jari telunjuk tangan kanannya ke dalam vagina korban sambil goyang-goyangkan jarinya didalam vagina korban setelah itu tersangka memberikan korban uang sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) setelah itu dia keluar dan korban memakai celan dan kembali bermain diluar rumah.
7. Adapun kronologis kejadiannya bahwa awalnya sekitar bulan januari 2014 saat sore hari saat korban sedang bermain warnet didalam rumah kemudian tersangka memanggil korban dan menyuruh korban kekamarnya di lantai 2 (dua) setalah tiba di dalam kamar tersangka membuka celana korban sampai diatas
82
lutut kemudian menyuruh korban memegang burungnya (alat kelaminnya)
kemudian
korban
memegang
burungnya
(alat
kelaminnya) sampai burungnya berdiri keras dan setelah itu tersangka memberikam korban uang sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) setelah itu korban turun ke lantai satu, dan yang ke 2 (dua) pada hari Sabtu tanggal 21 Juni 2014 sekitar jam 18.00 WITA saat koran sedang bermain warnet di dalam rumah kemudian tersangka datang sambil menarik baju dan menyuruh korban masuk kedalam dapur setelah didalam dapur tersangka langsung memuka celana korban sampai diatas lutt sambil berkata bahwa “jangan ko teriak” kemudian memasukkan jari telunjuk tangan kanannya kedalam vagina korban sambil menggoyang-goyangkan jarinya didalam vagina korban dan menyuruh korban memegang burungnya (alat kelaminnya)
kemudian
korban
memegang
burungnya
(alat
kelaminnya) sampai burungnya berdiri dan keras setelah itu tersangka memberikan korban uang sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) dan langsung keluar lalu korban memaka celananya kembali kemudian korban keluar dan bermain lagi 8. Bahwa korban tidak melakukan apa-apa karena saat itu korban merasa takut
83
9. Adapun yang korban rasakan adalah sakit pada bagian vagina dan korban tidak tahu berapa lama saat tersangka melakukan perbuatan cabul terhadap diri korban. 10. Bahwa tersangka melakukan perbuatan cabul terhadap diri korban sebanya 2 (dua) kali yang pertama sekita bulan januari 2014 saat sore hari dan yang kedua kalinya pada hari sabtu tanggal 21 Juni 2014 sekita jam 18.00 WITA 11. Korban menjelaskan bahwa setiap kali setelah melakukan perbuatan cabul tersangka memberika korban uang sebesar Rp. 2.000,- (dua riu rupiah). 12. Saat tersangka melakukan perbuatan cabul terhadap korban, korban berumur 9 (sembilan) tahun. 13. Tidak ada korban yang melihat saat kejadiannya nanti setelah kejadian korban cerita ke kakak kandung korban yang bernama Lk. ANDI, tante korban Pr. JUMALIAH dan ibu kandung korban Pr. ERNITA. 14. Adapun akobat yang korban alami adalah korban merasa sakit pada bagian vagina dan masih takut bertemu dengan tersangka. 15. Sudah tidak ada lagi keterangan lain yang perlu tambahkan sehubungan dengan pemeriksaan ini, keterangan yang korban berikan adalah yang sebenarnya dan dapat dipertanggung
84
jawabkan dan korban tidak pernah merasa dipaksa atau ditekan dalam memberikan keterangan.
b. Keterangan Saksi Korban pada Pemeriksaan di Sidang Pengadlan Saksi NURFADILLAH RAMADANI (korban). Pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : - Bahwa benar saksi kenal denga terdakwa ARIFIN Bin NASIR Alias APPING karena merupakan suami dari sepupu saksi ; - Bahwa benar terdakwa melakukan perbuatan cabul kepada saksi dimana yang pertama kejadiannya di Kamar Tini istri terdakwa pada sore hari, dimana saat itu terdakwa menyuruh saksi mengambil sapu lalu saat saksi membawakan sapu terdakwa lalu menyuruh saksi untuk masuk dalam kamarnya Tini dan dalam kamar ada terdakwa Apping, lalu terdakwa menyuruh buka celana saksi lalu terdakwa menyuruh pegang burung (alat kelamin) terdakwa sehngga saksipun memegag burug terdakwa lalu terdakwa kasi masuk jari tangan telunjuk ke sombong (alat kelamin) saksi lalu tangan terdakwa digoyang-gooyangkan saat itu
85
saksi merasa sakit dan setelah selesai terdakwa memberikan uang kepada saksi sebesar Rp. 2.000,- ( dua ribu rupiah); - Bahwa benar saat itu terdakwa mengatakan kepada saksi “janganko kasih tau mamamu sama bapakmu nah” lalu saksi disuruh turun oleh terdakwa - Bahwa benar setelah kejadian tu saksi tidak memberitahukan mama karena mama waktu itu ada di Kota Palu; - Bahwa benar kedua kalinya pada tanggal 21 Juni 2014 saat saksi sementara bermain warnet lalu datang terdakwa menarik baju saksi dan menyuruh saksi bermain warnet lalu datang terdakwa menarik baju saksi dan menyuruh saksi masuk ke dalam dapur yang kebetulan tidak ada orang lalu setelah di dapur terdakwa lalu mebuka celana saksi sampai di atas lutut sambil berkata “janganko berteriak” lalu terdakwa kembali memasukkan jari telunjuk kannaya ke dalam vagina saksi sambil menggoyang-goyangkan jarinya dalam vaguna saksi dan menyuruh saksi memeang burung/alat kelamin terdakwa sampai berdiri keras lalu terdakwa memberikan saksi uang sebesar Rp. 2.000,- lalu saksi memakai celana saksi lagi dan disuruh keluar; - Bahwa benar semua kejadian pencabulan tersebut terjadi di rumah nenek saksi di Jl. Maccini Gusung kota Makassar;
86
- Bahwa benar pada saat terdakwa mencabuli saksi, saat itu saksi masih berusia 9 (delapan) tahun dan duduk di kelas 3 SD; - Bahwa benar semua keterangan saksi yang ada di BAP. Atas keterangan saksi tersebut oleh terdakwa membenarkan
Berdasarkan kasus ini, Anak korban tersebut telah lama menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh suami dari kakak sepupunya. Anak tersebut masih belum bisa menjelaskan secara rinci kejadian yang dialaminya
kepada
orang
tuanya.
Anak
korban
lebih
memilih
menceritakannya kepada orang yang paling dekat dengan dirinya, dalam kasus ini yaitu kakak korban. Hal ini terjadi, karena anak korban takut menceritakan hal tersebut kepada orang tuanya. Tata cara pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban di tingkat penyidikan diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yaitu dengan cara a. Petugas tidak memakai pakaian dinas yang dapat berpengaruh terhadap psikis saksi dan/atau korban yang akan diperiksa; b. Menggunakan bahasa yang mudah dapat dimengerti oleh yang diperiksa, bila perlu dengan bantuan penerjemah bahasa yang dipahami oleh yang diperiksa; c. Pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;
87
d. Dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau korban yang diperiksa; e. Tidak memaksakan pengakuan, atau memaksakan keterangan dari yang diperiksa; f. Tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh atau melecehkan yang diperiksa; g. Tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan kekesalan/kemarahan yang diperiksa; h. Tidak
bertindak
diskriminatif
dalam
memberikan
pelayanan/pemeriksaan; i.
Selama
melakukan
pemeriksaan,
petugas
senantiasa
menunjukkan sikap bersahabat, melindungi, dan mengayomi yang diperiksa; j.
Selama dalam pemeriksaan, petugas mendengarkan dengan saksama semua keluhan, penjelasan, argumentasi, aspirasi, dan harapan untuk kelengkapan hasil Laporan Polisi yang berguna bagi proses selanjutnya;
k. Selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian terhadap situasi dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa. Bagi Anak korban pencabulan, pada tingkat penyidikan, Penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan dalam perkara yang berhubungan dengan anak, perempuan, kesusilaan maupun kekerasan dalam rumah tangga adalah penyidik di unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik anak
88
yaitu
telah
berpengalaman
sebagai
penyidik;
mempunyai
minat,
perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak; dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.51 Dalam mengambil keterangan berupa kesaksian dari anak korban, unit PPA memiliki ruangan khusus yang di desain layaknya taman bermain. Hal ini bertujuan untuk memberi rasa nyaman bagi anak dan memudahkan penyidik menggali keterangan dari anak, sehingga menghilangkan kesan ruang interogasi yang selama ini terkesan kurang nyaman dan cenderung menakutkan bagi anak. Berdasarkan Hasil wawancara dengan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polrestabes Makassar, Iptu Afryanti Firman, pada tanggal 8 Desember 2014 di Kantor Polrestabes Kota Makassar bahwa pemeriksaan bagi anak korban dan anak saksi dilakukan oleh penyidik tanpa memakai atribut kedinasan sesuai dengan Pasal 22 Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pemeriksaan terhadap anak korban khususnya yang korban tindak pidana kesusilaan dan kekerasan dilakukan di ruangan khusus pada unit PPA Polrestabes Makassar. Penyidik yang ditunjuk adalah penyidik di unit PPA yang dalam melakukan penyidikan tidak memakai pakaian
51
Pasal 26 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradian pidana anak
89
dinas, yang biasa diistilahkan dengan pakaian preman. Penyidik tersebut biasanya adalah Polisi Wanita (Polwan), namun tidak menutup kemungkinan Polisi Laki-laki. Hal ini tergantung dari kondisi anak, lebih tertarik bercerita ke laki-laki atau perempuan. Jika pemeriksaan dilakukan oleh Polisi Laki-laki tetap harus didampingi oleh Polisi Wanita. Pada tingkat penyidikan, anak korban dan anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi atau pekerja sosial. Tujuan perlunya pendampingan orang tua karena dianggap orang terdekat dari anak adalah orang tua dan pada umumnya yang melaporkan kasus pencabulan terhadap anak tersebut adalah orang tua anak itu sendiri. Ketentuan ini diwujudkan dengan dibubuhkannya tandatangan orang tua anak di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) anak korban. Hal ini sejalan dengan Pasal 23 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial dan tenaga ahli lainnya. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejateraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. 90
Cara penyidik menggali kesaksian anak yaitu dengan menanyakan terlebih dahulu kepada orang tua anak mengenai usia anak. Penyidik mempelajari kondisi anak, terdiri dari dua kategori, anak yang masih berada di bawah sepuluh tahun serta masih belum dapat bercerita dan anak yang sudah masuk kategori remaja (berusia diatas sepuluh tahun) yang biasanya sudah dapat menceritakan hal yang ia alami. Khusus untuk anak korban yang berusia dibawah sepuluh tahun, pada mulanya ditanyakan kepada orang tuanya, mengenai kata atau istilah yang digunakan oleh orang tua untuk menyebut bagian-bagian tertentu yang merupakan bagian sensitif. Peristilahan ini seperti yang tercantum dalam BAP anak menggunakan bahasa Makassar, bahasa yang digunakan anak korban sehari-hari sehingga memudahkan anak memberi kesaksian. Setelah itu, untuk menghindari kejenuhan dari anak maka penyidik mengajak anak bermain terlebih dahulu. Keterangan yang anak berikan biasanya berubah-ubah sehingga penyidik harus merekam suara anak tersebut. Penyidik biasa meminta anak untuk menirukan hal yang dialaminya dengan menggunakan isyarat atau gerakan tangan. Terkadang anak mengalami trauma psikologis atau tidak mengetahui cara menjelaskan peristiwa tersebut dengan kata-kata karena minimnya pengetahuan anak. Dengan adanya gerakan tersebut
91
penyidik dapat menyimpulkan perbuatan seperti apa yang dilakukan oleh pelaku. Hal yang rumit ketika anak korban tersebut hanya menjadi satusatunya saksi sekaligus korban. Sehingga penyidik dapat menggali keterangan dari orang tua anak, pengasuh, saudara atau teman anak, karena anak mungkin telah menceritakan hal tersebut kepada orang lain khususnya orang yang dipercayainya. Dalam memeriksa perkara yang berkaitan dengan anak, Kepolisan Resor Kota Makassar telah bermitra dengan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK Makassar). Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur LBH APIK Makassar, Rosmiati Sain, S.H. pada tanggal 29 Desember 2014 di kantor LBH APIK Makassar, bahwa salah satu tugas LBH APIK adalah mendampingi anak korban tindak pidana pencabulan dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga pemulihan. Wawancara adalah langkah awal yang dilakukan oleh LBH APIK Makassar sebelum mememberikan bantuan hukum. Petugas LBH menanyakan terlebih dahulu identitas anak dan kronologis kejadian yang orang tua ketahui lalu kemudian mulai mewawancarai anak dengan tetap didampingi oleh orang tua. Kepentingan dan kenyamanan anak adalah
92
yang utama, jadi untuk menanyakan perihal kejadian yang dialaminya, anak diajak bermain sambil diwawancarai oleh petugas. LBH APIK Makassar memiliki cara lain untuk mengungkap kesaksian anak korban pencabulan selain dengan wawancara sambil bermain yaitu dengan menggunakan gambar. Petugas memperlihatkan gambar foto orang dewasa, laki-laki atau perempuan yang diduga melakukan tindakan tersebut dan melihat ekspresi anak, ketika terjadi perubahan ekspresi anak maka dimungkinkan telah terjadi sesuatu padanya. Meminta anak menggambar merupakan salah satu metode lain yang digunakan. Berdasarkan pengalaman kerja Direktur LBH APIK Makassar, metode ini pernah diterapkan kepada anak disabilitas dan anak tersebut menggambar bentuk alamat kelamin laki-laki secara berulang dan disimpulkan bahwa anak ini sering melihat hal tersebut bahkan mengalami trauma psikologis. Anak disabilitas mengalami kesulitan memberikan kesaksian oleh karena orang yang tidak ahli dalam menafsirkan perkataan mereka mengalami kesulitan. LBH APIK Makassar memberikan fasilitas kepada anak korban pencabulan yang disabilitas melalui koordinasi dengan organisasi disabilitas DPO (Disability People Organization) yang memiliki keahlian khusus berkomunikasi dengan anak disabilitas. Anggota organisasi ini akan mendampingi anak korban hingga seluruh proses 93
pemeriksaan selesai karena Ia yang akan membantu menafsirkan maksud pernyataan kesaksian anak. Selain LBH APIK, lembaga yang juga berperan mendampingi anak adalah Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan (LPA Sulsel). Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua LPA Sulsel, Ir. Fadiah Machmud, M.Pd pada tanggal 10 Januari 2015 di Hotel M Regency Makassar, bahwa LPA Sulsel mendampingi anak korban dalam hal pendampingan psikologis, untuk pendampingan anak korban dalam bidang hukum LPA Sulsel bekerjasama dengan LBH APIK Makassar. Pada pemeriksaan di sidang pengadilan, diatur beberapa hal mengenai anak korban dan anak saksi yaitu : 1. Pada saat memeriksa Anak Korban dan/atau Anak Saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Anak dibawa keluar ruang sidang (Pasal 58 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) 2. Pada
saat
pemeriksaan
Anak
Korban
dan/atau
Anak
Saksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Orang Tua/Wali, Advokat atau pemberi bnatuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir (Pasal 58 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) 3. Dalam hal Anak Korban dan/atau Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat
94
memerintahkan
Anak
Korban
dan/atau
Anak
Saksi
didengar
keterangannya : a. di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau b. Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya. (Pasal 58 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) 4. Dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh Hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan (Pasal 60 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
Berdasarkan hasil wawancara dengan jaksa pada Kejaksaan Negeri Makassar, Rezkiyanti Arifin, S.H. pada tanggal 14 Januari 2015 di Kejaksaan Negeri Makassar, pada saat memeriksa anak korban pencabulan, penuntut umum menghadirkan anak didampingi dengan orang tuanya dan memohon kepada majelis hakim agar terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang untuk memberikan kenyamanan bagi anak
95
dalam memberikan kesaksiannya. Anak tersebut tidak disumpah sebelum memberikan keterangan. Jaksa yang ditugaskan untuk menangani kasus pencabulan terhadap anak ini tidak harus penuntut umum anak, kecuali jika pelaku pencabulan anak tersebut adalah anak. Hal ini karena masih minimnya penuntut umum anak di Kejaksaan Negeri Makassar. Penugasan tersebut masih secara merata seperti menagani kasus tindak pidana lainnya Keterangan saksi korban tersebut menjadi yang pertama dihadirkan dalam persidangan. Dalam meminta keterangan anak korban yang juga adalah saksi dalam kasus ini, anak tersebut tidak di sumpah. Untuk memperkuat
keterangan
anak
korban
penuntut
umum
biasanya
mengajukan saksi lain antara lain, orang tua, pengasuh, saudara, atau teman dekat anak, disamping itu juga mengajukan alat bukti surat berupa Visum et Repertum serta keterangan ahli forensik. Namun, dalam kasus ini, alat bukti yang diajukan hanya keterangan saksi dan alat bukti surat. Dalam hal penyusunan Surat Tuntutan, penuntut umum menilai beberapa pertimbangan yang dijadikan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Hal-hal yang dapat menjadi faktor besaran tuntutan penuntut umum adalah adanya perdamaian, akibat yang
96
ditimbulkan dari tindak pidana (trauma yang dialami oleh anak) dan usia anak korban. Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Makassar, H. Suparman, S.H., M.H., pada tanggal 12 Januari 2015 di Pengadilan Negeri Makassar dalam hal anak korban memberikan kesaksian di persidangan wajib didampingi oleh orang tua atau walinya. Karena kasus pencabulan merupakan tindak pidana asusila maka sidang dilaksanakan secara tertutup. Hakim menilai kondisi anak apakah dapat memungkinkan memberikan keterangan saat itu meski terdakwa ada di dalam ruang sidang. Namun untuk kasus ini, terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang.untuk memberikan keleluasaan dan kenyamanan bagi anak korban dalam memberikan kesaksian. Hakim, Penuntut Umum dan Penasihat Hukum bertanya kepada anak korban dengan penuh hati-hati dan bahasa sederhana yang dipahami oleh anak. Dalam kasus ini, anak tersebut dipanggil ke persidangan karena anak tersebut telah mampu menjelaskan tentang kronologis kejadian yang Ia alami. Dalam kasus ini penuntut umum hanya mengajukan alat bukti keterangan saksi dan alat bukti surat Visum et Repertum. Namun berdasarkan pengalaman hakim, atas bantuan dari LBH maupun dari LPA Sulsel biasanya dihadirkan pula keterangan ahli
97
psikologis dalam persidangan yang menjelaskan kondisi anak korban dan dampak psikologis setelah terjadinya tindak pidana tersebut. Hakim yang menganani kasus pencabulan yang korbannya adalah anak tidak harus merupakan hakim anak, namun harus memiliki pengertian dan perhatian khusus terhadap anak karena di persidangan hakim akan menggali fakta dari kesaksian anak. Impelementasi Pasal 58 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut masih belum bisa dilaksanakan karena fasilitas yang ada di Pengadilan Negeri Makassar masih belum memadai. Berdasarkan pengalaman hakim menangani kasus pencabulan pada anak, belum pernah ada anak yang tidak dihadirkan di persidangan. Khusus untuk perkara ini, anak tersebut turut dihadirkan di persidangan untuk didengarkan kesaksiannya. Dalam pembuktian berlaku asas Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi), jadi dalam tindak pidana pencabulan ini, saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri adalah korban saja. Keterangan saksi korban yang masih anak-anak tersebut menjadi pertimbangan hakim namun harus bersesuaian dengan keterangan saksi lain yang dekat dengan korban seperti orang tua, saudara, paman, bibi dan keluarga lain serta dilengkapi dengan alat bukti surat.
98
Kasus lain yang serupa pernah ditangani oleh hakim yaitu pencabulan yang dilakukan terhadap anak yang tidak memiliki orang tua atau wali karena anak tersebut hidup di jalanan. Pihak-phak seperti pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial tidak mendampingi anak tersebut karena persoalan administrasi dan tidak adanya anggaran, sehingga anak korban tersebut hanya didampingi oleh pimpinan dari kelompoknya di jalanan selaku orang yang dipercaya oleh anak jalanan tersebut, hakim pun harus memaklumi kondisi ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan polisi, jaksa dan hakim terkait implementasi Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terkait cara anak memberikan kesaksian masih belum dapat berlaku secara optimal karena belum meratanya pelatihan mengenai sistem peradilan pidana anak dan Peraturan pelaksana untuk undang-undang ini juga belum ada.
B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Menjadi Korban Kasus Pencabulan Korban merupakan orang-orang yang menderita secara lahir dan batin akibat terjadinya suatu tindak pidana yang mengarah padanya. Wujud perlindungan hukum terhadap korban adalah dengan memberikan
99
hak-hak kepada korban agar nestapa (penderitaan) yang dialami oleh korban dapat berkurang atau bahkan hilang sama sekali, seperti tujuan dari Restorative Justice
52
yakni pemulihan kembali ke keadaan semula.
Hak tersebut tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 15 huruf f Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas
Undang-undang
No.
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak mengatur tentang setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Hal ini berarti negara memang menghendaki perlindungan anak terhadap kejahatan seksual yang mungkin saja menimpanya di rumah, sekolah atau di lingkungan masyarakat. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas
Undang-undang
No.
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan anak mengatur mengenai tanggung jawab atas upaya perlindungan anak yaitu, negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak. Ketentuan
pidana
mengenai
pencabulan
terhadap
anak
memberikan kontribusi besar terhadap upaya pelindungan anak. Hal ini 52
Restorative Justice (keadilan restoratif) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan diatur dalam pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
100
diterapakan di Pasal 82 ayat (2) Undang-undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa dalam hal tindak pidana pencabulan terhadap anak dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya. Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh dan kembangnya. Perlindungan khusus tersebut diberikan pula bagi anak korban kejahatan seksual (Pasal 59 ayat (2) huruf j Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) Berdasarkan Pasal 69 A Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengatur mengenai perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama dan nilai kesusilaan; b. Rehabilitasi sosial;
101
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
ketua
Lembaga
Perindungan Anak Sulawesi Selatan (LPA Sulsel), Ir. Fadiah Machmud, M.Pd, pada tanggal 10 Januari 2015 di Hotel M Regency Makassar bahwa peran LPA Sulsel adalah mendorong pemerintah untuk membuat peraturan atau kebijakan yang berpihak pada kepentingan anak. Hal ini telah diwujudkan dalam Perda Provinsi Sulawesi Selatan No. 4 Tahun 2013 tentang Sistem Perlindungan Anak yang pada pokoknya mengatur tentang Pencegahan kekerasan terhadap anak, deteksi dini dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Impelementasi dari Pasal 69A masih belum dapat dilaksanakan secara keseluruhan, karena Undang-undang ini masih kategori produk hukum baru dan belum ada peraturan teknis mengenai mekanisme pelaksanaannya. Terkait edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama dan nilai kesusilaan telah dilaksanakan di sekolah-sekolah sebagai upaya preventif terhadap kekerasan seksual yang dialami oleh
102
anak. Keluarga juga harus menjadi garda terdepan dalam memberikan edukasi terhadap anak. Rehabilitasi sosial bagi anak korban pencabulan adalah salah satu upaya perlindungan khusus berupa pengembalian nama baik anak di masyarakat dan menghilangkan pandangan negatif terhadap anak korban. Dalam hal pendampingan psikososial pada saat pengobatan hingga pemulihan belum dapat dilaksanakan secara optimal karena minimnya anggaran yang dimiliki oleh LPA Sulsel, namun LPA Sulsel hingga saat ini bersama LBH APIK hanya menjadi fasilitator kepada psikiolog untuk mendampingi penyembuhan anak. Wujud nyata perlindungan khusus yang diberikan kepada anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan adalah dengan melakukan pendampingan psikologis kepada anak agar menghilangkan trauma bagi anak, penyadaran kepada masyarakat sekitar bahwa masa depan anak masih panjang sehingga jangan melakukan labelisasi kepada anak korban pencabulan tersebut masyarakat harus kembali menerima anak tersebut dalam lingkungan sosialnya, mengupayakan keadilan restoratif bagi anak korban agar anak merasa bahwa keadaan menjadi lebih baik dan kembali kepada keadaan sebelum terjadinya tindak pidana tersebut dan melakukan kerjasama dengan LBH APIK untuk pendampingan kasus hukum
103
LPA Sulsel juga menyadarkan pemerintah dan masyarakat bahwa yang berkewajiban memberikan perlindungan terhadap anak adalah pemerintah, masyarakat dan terutama keluarga karena berdasarkan data LPA Sulsel lebih dari 50 % kasus pencabulan terhadap anak yang terjadi di Sulsel dilakukan oleh orang terdekat anak
yang seharusnya
memberikan perlindungan kepada anak yaitu orang tua, keluarga dekat lainnya atau guru. Faktor utama terjadinya Pencabulan terhadap anak adalah kegagalan pola asuh yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur LBH APIK Makassar, Rosmiati Sain, S.H. pada tanggal 29 Desember 2014 di kantor LBH APIK Makassar, bahwa LBH APIK Makassar menegakkan perlindungan hukum terhadap anak dengan melakukan pendampingan kasus. Pendampingan kasus tersebut terdiri dari memberikan bantuan hukum,
mendampingi
korban
melaporkan
kasus
ke
Kepolisian,
mendampingi di proses penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, membantu upaya penyembuhan, penyadaran keluarga anak korban dan menyediakan rumah aman sementara bagi anak korban. Rumah aman sementara ini berada dalam pengawasan petugas LBH APIK, untuk memantau kondisi anak yang sedang mengalami penderitaan psikis berat akibat tindak pidana pencabulan. Jika pelaku pencabulan tersebut adalah ayah anak korban maka rumah aman 104
sementara ini adalah tempat yang tepat dalam proses pemulihan anak hingga saat anak tersebut tidak canggung untuk kembali ke masayarakat, Pada tahap penyidikan, upaya LPA Sulsel adalah jika pada saat proses penyidikan, penyidik masih membutuhkan keterangan dari anak, sementara anak tersebut telah diminta hadir berulang kali di Kantor Polisi maka LPA mengajukan permohonan agar penyidik yang langsung mendatangi anak di kediamannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan gangguan psikologis anak ketika diminta berulang kali datang ke Kantor Polisi. Pada pemeriksaan di persidangan, hakim dan penuntut umum memberikan perlindungan berupa pemeriksaan terhadap anak korban dengan cara terpisah. Artinya, untuk memberikan kenyamanan kepada anak korban dalam memberikan keterangan maka terdakwa dikeluarkan dari ruang persidangan. Dalam hal memberikan keterangan, anak tersebut didampingi oleh orang tuanya. Perlindungan lain adalah jamnan kerahasiaan identitas anak sesuai dengan Pasal 19 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.. Keterangan ahli psikolog juga terkadang digunakan untuk memperkuat keterangan saksi korban di persidangan bahwa anak tersebut telah menderita secara mental setelah terjadinya tindak pidana tersebut. Ini dilakukan jika selama proses observasi yang dilakukan oleh LBH APIK atau LPA Sulsel, anak tersebut didampingi oleh psikolog dan 105
didapatkan kesimpulan bahwa anak tersebut mendapatkan trauma yang cukup berat. Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Makassar, H. Suparman, S.H., M.H., pada tanggal 12 Januari 2015 di Pengadilan Negeri Makassar menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak begitu berperan dalam melindungi saksi maupun korban khususnya anak. KUHAP lebih banyak memberikan perlindungan kepada terdakwa sehingga sedikit mengenyampingkan perlindungan hukum bagi saksi dan korban. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga kurang mengatur mengenai cara menegakkan perlindungan hukum terhadap anak saksi dan anak korban. Anak yang berkonflik dengan hukum yang lebih banyak dilindungi dari undangundang ini, karena titik fokusnya adalah anak sebagai pelaku. Dalam kasus anak sebagai saksi dan korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa masih berlaku KUHAP, namun ada beberapa ketentuan dalam undang-undang ini digunakan. Meskipun begitu, patut disyukuri karena Indonesia telah memperbarui mekanisme sistem peradilan pidana anak dari peraturan lamanya yang sangat membantu kinerja hakim dalam memeriksa perkara anak. Berdasarkan Pasal 89 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak korban 106
dan/atau anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 90 ayat (1), diatur hak lain yaitu : a. Upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga. (telah dilaksanakan oleh LBH APIK dan LPA Sulsel) b. Jaminan keselamatan baik fisik, mental, maupun sosial (telah dilaksanakan oleh LPA Sulsel, namun belum optimal) c. Kemudahan
dalam
mendapatkan
informasi
mengenai
perkembangan perkara. (belum terlaksana) Pasal 91 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur pula tentang : 1. Berdasarkan
pertimbangan
atau
saran
pembimbing
kemasyarakatan, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial atau penyidik dapat merujuk anak, anak korban,
atau
anak
saksi
ke
instansi
atau
lembaga
kesejahteraan sosial anak. 2. Dalam hal anak korban memerlukan tindakan pertolongan segera, penyidik, tanpa laporan sosial dari pekerja sosial profesional, dapat langsung merujuk anak korban ke rumah
107
sakit atau lembaga yang menangani perlindungan anak sesuai degan kondisi anak korban. 3. Berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasayarakatan dan laporan sosial dari pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, anak, anak korban, dan/atau anak saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani perlindungan anak. 4. Anak
korban
dan/atau
anak
saksi
yang
memerlukan
perlindungan dapat memperoleh perlindungan dari lembaga yang menangani perlindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rehabilirasi Medis adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk memulihkan kondisi fisik anak, anak korban, dan/atau anak saksi. Rehabilitasi Sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar anak, anak korban, dan/atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan, reintegrasi sosial adalah proses penyiapan anak, anak korban dan/atau anak saksi untuk dapat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
108
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga dapat memberikan perlindungan kepada anak korban pencabulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 A Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas
Undang-undang
No,
13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan rersebut diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali anak korban, kecuali dalam keadaan tertentu, tidak memerlukan izin orang tua atau wali namun disertai penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK. Selain upaya tersebut, diatur pula mengenai hak atas restitusi 53 bagi anak korban pencabulan yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan (Pasal 71 D Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas
Undang-undang
No.
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak). Pasal 7 A ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas
Undang-undang
No,
13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban mengatur korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa : a. Ganti kerugian atas kehilangan atau penghasilan
53
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya (Penjelasan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No, 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
109
b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana dan/atau c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan berbagai sumber, hak ini belum pernah digunakan oleh anak korban. Ada berbagai faktor terkait
tidak
terlaksananya
restitusi
kepada
anak
korban,
yakni
ketidaktahuan korban atau keluarga korban tentang hak-haknya, keluarga korban juga tidak ingin lagi berhubungan dengan pelaku dan merasa pelaku cukup menerima sanksi pidana dan melaksanakannya, serta keluarga korban tidak tahu harus menuntut restitusi dalam bentuk apa dan cara memohon resttusi. Alasan lain adalah pelaku pencabulan tersebut termasuk kategori tidak mampu. Hal ini patut disayangkan karena anak korban pencabulan mengalami penederitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana. Dalam kasus ini anak tersebut mendapat luka di alat kelaminnya yang merupakan akibat dari tindak pidana pencabulan yang dilakukan terhadap dirinya. Korban tindak pidana ini tentu juga membutuhkan perawatan psikologis karena berdasarkan hasil Visum et Repertum, anak ini mengalami trauma psikologis. Pasal 29 A Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas
Undang-undang
No.
13
Tahun
2006
tentang 110
Perlindungan Saksi dan Korban mengatur mengenai perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi saksi dan/atau korban yaitu : (1) Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi saksi dan/atau korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal: a. Orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak yang bersangkutan; b. Orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan dalam memberikan kesaksian; c. Orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali; d. Anak tidak memiliki orang tua atau wali atau e. Orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya. (3) Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi saksi dan/atau korban yang tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK. Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
Ketua
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK Makassar), Dr. Kamri Ahmad, S.H., M.Hum pada tanggal 23 Januari 2014 di Sekretariat LPSK Makassar
111
bahwa LPSK Makassar merupakan wadah perpanjangan tangan bagi LPSK pusat untuk menjalankan fungsi perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana. Namun, belum semua upaya perlindungan yang diatur dalam undang-undang dapat dilaksanakan karena LPSK Makassar baru resmi berdiri pada Oktober 2014. Selema berdiri, LPSK baru bermitra dengan LPSK Pusat dan Lembaga Bantuan Hukum Universitas Muslim Indonesia (LBH UMI). Cara kerja LPSK bersifat pasif, artinya LPSK hanya bersifat menunggu jika ada permohonan
dari
saksi
dan/atau
korban
yang
ingin
diberikan
perlindungan. Pelrindungan yang diberikan pun hanya merupakan perlindungan hukum, bukan perlindungan fisik. Dalam kasus pencabulan dimana anak seagai korban, LPSK mengupayakan
kepada
seluruh
aparat
penegak
hukum
agar
menggunakan mekanisme beracara sesuai dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Permohonan restitusi juga dimungkinkan bila anak korban mengajukan permohonan kepada LPSK Makassar, lalu LPSK Makassar akan mengajukan permohonannya kepada Pengadilan.
112
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Cara anak memberikan kesaksian sebagai korban tindak pidana pencabulan dalam putusan Nomor 1490/Pid.B/2014/PN.Mks yaitu pertama-tama dengan mengungkapkan peristiwa yang dialaminya kepada kakak korban yang Ia anggap sebagai orang terdekatnya lalu kakaknya memberitahukan kepada paman dan bibi kemudian kepada orang tua korban. Pada tahap penyidikan anak korban tersebut memberikan kesaksian kepada penyidik khusus perempuan dan anak (unit PPA) dengan didampingi oleh ibu kandungnya. Anak korban diperiksa di ruangan khusus pada kantor Polrestabes Makassar. Pada pemeriksaan di pengadilan, anak korban memberikan kesaksian dengan tidak disumpah dan tetap didampingi ibu kandungnya. Hakim memerintahkan agar dilakukan pemeriksaan secara terpisah mengingat kondisi psikologis anak yang tidak memungkinkan sehingga terdakwa dibawa keluar ruang sidang agar anak dapat lebih leluasa memberikan kesaksiannya. 2. Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kasus pencabulan
merupakan
tanggung
jawab
negara,
pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, dan orang tua atau wali. Orang tua 113
korban melaksanakan upaya perlindungan anak dengan mendampingi anak dalam setiap proses hukum dan penyembuhan korban. Kepolisian memberikan perlindungan hukum dengan melakukan penyidikan terhadap anak korban pencabulan di ruangan khusus oleh penyidik khusus di unit PPA. Jaksa dan hakim memberikan perlindungan hukum di persidangan dengan melakukan pemeriksaan kepada anak korban secara terpisah, tidak dihadiri oleh terdakwa dan memberikan pertanyaan yang mudah dipahami oleh anak. LBH APIK melakukan upaya perlindungan terhadap anak korban pencabulan dengan mendampingi korban dalam seluruh proses hukum berakhir serta menyediakan rumah aman sementara bagi anak korban. LPA Sulsel melakukan
upaya
untuk
memberikan
pendampingan
psikologis
terhadap anak selama proses hukum hingga proses penyembuhan dan penyadaran masyarakat agar tidak melakukan labelisasi terhadap korban. LPSK berupaya untuk memberlakukan sistem peradilan pidana anak dan mengajukan permohonan restitusi kepada Pengadilan
B. Saran 1. Bagi orang tua agar meningkatkan pengawasan kepada anaknya dan memberikan perlindungan terhadap anak agar tidak menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana kesusilaan yang dapat merusak masa depan anak. 114
2. Bagi masyarakat agar lebih melindungi anak dan tidak memberikan labelisasi bagi anak korban tindak pidana khususnya korban tindak pidana pencabulan. 3. Bagi
pemerintah
agar
meningkatkan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan peraturan tentang upaya perlindungan terhadap anak dan membuat regulasi-regulasi terkait pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak. 4. Bagi aparat penegak hukum agar dapat menegakkan peraturanperaturan berkaitan dengan upaya perlindungan anak khususnya anak korban tindak pidana pencabulan.
115
DAFTAR PUSTAKA Sumber Literatur: Akub, Syukri. Baharuddin Badaru. 2013. Wawasan Due Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana. Makassar: Rangkang. Ali, Achmad. 2010. Menguak Realitas Hukum.Jakarta : Kencana Arief, Dikdik M. Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. Bandung: Rajawali Pers Chazawi, Adami. 2007. Tindak Pidana Kesopanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Constanzo, Mark. 2008. Physocology Applied to Law (Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum). Jakarta: Pustaka Pelajar Hamzah, Andi. 2005. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. --------------------. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Kansil, C.S.T, Christine S.T. Kansil. 2004. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico Marlang, Abdullah.dkk. 2011. Pengantar Hukum Indonesia. Makassar: ASPublishing. Marpaung, Leden. 2008. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Pervensinya. Jakarta: Sinar Grafika
116
Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta Muhadar. dkk. 2010. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya: Putra Media Nusantara. Mulyadi, Lilik. 2006. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya. Jakarta: Alumni. Prakoso, Djoko. 1998. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian. Semarang: Liberty Rahardjo, Satjipto. 2006. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Soenarto, R. 2011. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta: Rajawali Pers. Soesilo, R. 1998. KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Sukabumi: Politeia Suyanto, Bagong. 2010, Masalah Sosial Anak. Bandung: Kencana. Waluyo ,Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika. Yulia, Rena. 2009. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung: Graha Ilmu. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
117
Undang-undang No, 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Kapolri No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana.
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146