PERTUKANGAN LOGAM PADA MASA JAWA KUNO : DATA PRASASTIPRASASTI RAJA BALITUNG Oleh Iqbal Fitrah Hanif Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Terdapat banyak informasi mengenai kehidupan masyarakat Jawa Kuno, khususnya masa Mataram Kuno di bawah kepemerintahan raja Balitung (820 Ś-832 Ś). Hal ini dibuktikan dengan keberadaan kurang lebih 45 buah prasasti, selama ±12 tahun masa pemerintahannya. Salah satu informasi yang dapat diperoleh di dalam prasasti masa Balitung adalah mengenai alat-alat logam yang biasanya tercantum pada bagian pasĕk-pasĕk, serta bagian sesajian yang dipersembahkan pada saat upacara penetapan sīma. Alat-alat yang terbuat dari logam tersebut biasanya digunakan untuk keperluan sehari-hari ataupun untuk keperluan sakral. Di dalam tulisan ini juga dilakukan studi lewat kegiatan etno arkeologi. Studi tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kegiatan pertukangan logam di masa lampau yang diindikasikan lewat kemiripan-kemiripan budaya yang ada pada masyarakat masa kini dengan budaya masyarakat Jawa Kuno yang menjadi data dalam penelitian ini, juga lewat kemiripan penggunaan alat yang masih dipergunakan di masa kini. Selain alat-alat logam, informasi mengenai masyarakat pembuatnya juga tercakup dalam prasasti-prasasti masa Balitung. Hal itu diindikasikan dengan adanya pengaturan mengenai profesi yang dikenakan dan dibebaskan dari pajak didalam prasati sima. Pada masa Jawa Kuno khususnya pada masa pemerintahan raja Balitung, masyarakat pembuat dan pengolah logam (pandai logam) memegang peranan penting. Tidak hanya sebagai profesi yang menjual barang dagangannya, namun juga sebagai abdi dalem raja.
Metal Working During Ancient Javanese Era: Inscriptions Data of King Balitung Abstract Currently, there are a lot of information available about Ancient Javanese people, especially about Ancient Mataram which were under the governance of King Balitung (820 Ś-832 Ś). This is proven by the existence of 45 pieces of inscription in the span time of 12 years of his reign. Not only information about daily lives of the society during Balitung’s era inscription, but also politics, economy, law, and religion. One of the information obtained is about metal tools. Metal tools are usually enlisted in the pasĕk-pasĕk section and also at sacrifices during śima ceremony. Sometimes things made from metal are also for daily use, sometimes they are used for religious conducts. In this writing, there is also a study about etno archeology which is done to gain insights about ancient metallurgy practice, seen by similarities between existing culture with Ancient Javanese culture currently exists as the source of this thesis, and also by similarities on tools used today. Besides metal tools, information about the society is also included in Balitung’s era inscription. This is indicated by legislation about profession which in śima inscription. In Ancient Javanese particularly on Balitung’s reign, blacksmiths holds a very important role. Not only as a seller which has the ability to sold his product, but also a king’s inside follower (abdi dalem raja). Keywords: King Balitung, inscription, metal tools, etno archaeology, blacksmiths.
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi, di awali sejak sebelum manusia hidup menetap dan mengenal sistem pertanian yaitu sejak masa berburu dan meramu dengan kegiatan membuat alat-alat batu, tulang dan tanduk (teknologi paleolitik). Dengan ditemukannya logam, disertai dengan kepandaian manusia dalam memanfaatkan teknologi, dalam hal ini mengolah bahan mentah logam menjadi alat, maka terciptalah suatu kegiatan penting dalam kehidupan masyarakat di luar sektor pertanian dan juga berburu. Kegiatan penting tersebut ialah kegiatan pertukangan logam atau perundagian, yang membuktikan adanya proses adaptasi baru oleh manusia terhadap lingkungan alamnya (Kosasih 1993: 3). Kegiatan pertukangan logam diawali semenjak jaman neolitik, kegiatan pertukangan logam tersebut tercipta karena ada upaya manusia untuk beradaptasi atau menaklukkan lingkungannya. Sehingga manusia dalam hidupnya selalu menggunakan alat yang memungkinkan manusia lebih efisien dalam mengolah lingkungannya (Haryono 1993: 341). Benda-benda logam yang dihasilkan dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Benda yang terbuat dari logam, memiliki dua fungsi semenjak jaman prasejarah. Kedua fungsi tersebut yaitu fungsi profan yang berkaitan dengan sarana mata pencaharian seperti kampak atau beliung untuk keperluan berburu, bertani dan menangkap ikan; dan juga fungsi sakral yang menyangkut dengan sistem kepercayaan seperti nekara dan moko untuk upacara pemujaan ataupun ritual penguburan. Benda logam memiliki unsur yang secara fisik bersifat mengkilat, serta memiliki daya hantar yang kuat, khususnya terhadap panas dan aliran listrik. Maka dari itu, diperlukan teknik pengolahan khusus terhadap benda logam yang lebih dikenal dengan sebutan “metalurgi” (Kosasih 1993: 163). Prasasti-prasasti raja Balitung memberi gambaran mengenai berbagai aspek kehidupan sosial masa Jawa Kuno, namun ternyata tidak hanya kehidupan sosial yang terdapat dalam prasasti, juga gambaran politik, ekonomi, aspek hukum, dan keagamaan. Mengenai aspek perekonomian, terdapat penjelasan adanya alatalat logam yang biasanya tercantum pada bagian pasĕkpasĕk, serta pengaturan mengenai profesi yang dikenakan dan dibebaskan dari pajak. Dengan adanya keterangan mengenai profesi yang dikenakan dan dibebaskan dari pajak, berarti sejak masa Jawa Kuno sudah ada kelompok kerja spesialis atau kelompok kerja keahlian (yang dikenal dengan tukang/undahagi) yang terdapat dalam berbagai prasasti masa Jawa Kuno, juga dalam prasasti-prasasti masa Balitung. Salah satu kelompok keahlian tersebut adalah kelompok pandai yang memiliki keahlian mengolah bahan mentah logam menjadi barang setengah jadi atau siap pakai.
Alasan perlunya dilakukan penelitian ini adalah karena kegiatan pertukangan logam, dalam hal ini industriindustri rumah adalah salah satu jenis perekonomian penting yang mendukung kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa Jawa Kuno di luar sektor pertanian. Aspek tersebut penting untuk dibahas karena perekonomian berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan suatu kerajaan. Dalam sistem pemerintahan kerajaan masa Jawa Kuno dituntut adanya pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh berbagai institusi yang ada dalam suatu pemerintahan tersebut (Subroto 1993: 207). Selain hal tersebut, kegiatan metalurgi melalui pengungkapan data arkeologi di masa lampau, atau dalam hal ini disebut “arkeo-metalurgi”, di Indonesia belum banyak diungkap dibandingkan dengan kegiatan metalurgi di negara lain. Padahal sejumlah data mengenai masyarakat serta budayanya di masa lalu dapat dilacak keberadaannya lewat studi metalurgi. Dari telaah prasasti-prasasti masa Balitung juga dapat diketahui gambaran mengenai alat-alat yang menunjang dalam kehidupan masyarakat pada masa prasasti tersebut dibuat, serta pembagian kerjanya berdasarkan barang-barang yang dihasilkan (pandai besi, pandai emas, pandai tembaga, pandai perunggu, pandai timah, dan lain lain). Hal tersebut dilakukan untuk mencari awal kemunculan kegiatan dan proses dalam pertukangan logam pada masa kerajaan Mataram Kuno tersebut. Maka dari itu, menjadi menarik untuk dapat mengetahui bagaimana pentingnya pertukangan logam di masa lampau khususnya pada masa Jawa Kuno sebelum kegiatan pertukangan logam berkembang menjadi semodern saat ini. 1.2 Gambaran Umum Data Informasi yang memuat mengenai kelompok masyarakat yang memiliki kepandaian khusus, dalam hal ini kelompok kerja pengrajin atau kelompok pandai, yang termasuk kelompok kerja tukang (undahagi), dapat ditemukan dalam beberapa prasasti yang berasal dari jaman Raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Kerajaan Mataram Kuno di bawah pemerintahan Raja Balitung tersebut berlangsung dari tahun 820-832 Ś. Sepanjang 12 tahun pemerintahan tersebut, Raja Balitung mengeluarkan sekitar 45 buah prasasti. Dari 45 prasasti yang dikeluarkan, 26 diantaranya merupakan prasasti sīma. Beberapa prasasti yang memuat mengenai kelompok kerja pengrajin atau kelompok pandai yang juga dikenal sebagai salah satu kelompok mangilāla drawya haji dan kelompok pedagang yang diberlakukan pembatasan barang dagangannya bila daerah mereka ditetapkan menjadi sīma (dikenal dengan istilah masamwya wahāra), antara lain terdapat dalam: Prasasti Ayam Tĕas (822 Saka), prasasti Taji (823 Saka), prasasti Watukura (824 Saka), prasasti Telang (893 M), serta prasasti Kubu-kubu (827 Saka). Selain
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
data prasasti digunakan pula data Sekunder atau pelengkap, di antaranya; data relief (Candi Sukuh), data studi etno arkeologi, dan data naskah sastra kuno seperti isi dari kitab Slokantara dan kitab Tantu Panggelaran yang dapat memberikan gambaran mengenai profesi pandai. 1.3. Permasalahan Dalam prasasti sīma terdapat penyebutan mengenai mata pencaharian selain pertanian yang menyokong perekonomian masyarakat Jawa Kuno, salah satunya adalah kegiatan pertukangan logam. Hal tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu mengenai bagaimana kehidupan kelompok pandai pada masa tersebut. Pada prasasti tidak ditemukan keteranganketerangan yang lengkap mengenai hal tersebut. Kita belum dapat mengetahui secara rinci mengenai status sosial dari profesi pandai, ataupun bagaimana sistem pembagian kerjanya berdasarkan jenis-jenis logam yang dihasilkan. Selain itu, juga belum dapat diketahui mengenai rangkaian proses produksi sehingga dapat menghasilkan barang, atau jumlah secara rinci dari barang yang dihasilkan. Proses produksi tersebut menyangkut bagaimana proses pencarian bahan baku, perbengkelan (pembuatan, pengolahan, dan perbaikan), penggunaan alat tersebut sebagai apa, sampai sampah produksinya. Lalu, mungkin kita juga dapat mengetahui mengenai peran penting kelompok pandai dalam sistem perekonomian masa Balitung setelah penelitian ini. Maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki 2 pokok permasalahan yang menjadi perhatian, yaitu: 1. Benda-benda logam apa yang dihasilkan, dan kaitannya dengan rekonstruksi kehidupan sosial masyarakat pada masa Balitung? 2. Sejauh apa pentingnya fungsi dari benda-benda logam yang dihasilkan tersebut, serta bagaimana peranan pandai dalam sistem ekonomi masa Balitung? Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang akan mengawali penelitian ini. Dengan meneliti beberapa prasasti masa Balitung yang diindikasikan mengandung unsur logam, serta data arkeologi dan data etnografi lain, maka diharapkan dapat diperoleh jawaban-jawaban mengenai kegiatan pertukangan logam pada masa Balitung. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penulisan ini dapat bertujuan untuk; mengetahui salah satu faktor produksi logam pada masa Balitung (profesi pandai), menjabarkan manfaat dari benda-benda logam yang dihasilkan oleh para pandai, serta untuk merekonstruksi sejarah Indonesia Kuno. Manfaat yang dapat diberikan dengan dilakukannya penelitian ini adalah diharapkan dapat melengkapi perkembangan ilmu pengetahuan yang belum terungkap, khususnya di bidang Arkeologi. Selain itu, manfaat lain dari
penelitian ini ialah dapat menjadi data penting bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 1.5 Metode Untuk mengetahui mengenai kegiatan pertukangan logam pada masa Balitung, pertama-tama dilakukan tahapan pengumpulan data yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pengumpulan data diawali dengan studi literatur. Dilakukan pengumpulan literaturliteratur yang berhubungan dengan topik, yakni tulisantulisan mengenai sejarah kuno khususnya masa Balitung. Selain itu, dilakukan pula pengumpulan data alih aksara prasasti-prasasti dari masa Balitung yang telah dilakukan sebelumnya. Prasasti-prasasti dari jaman raja Balitung tersebut, merupakan data primer dalam penulisan ini. Data yang berupa relief juga dapat dijadikan pembanding, seperti relief dari Candi Sukuh. Selain itu, data etnografi dan juga naskah sastra Jawa Kuno berguna untuk mengungkap kegiatan pertukangan logam di masa lampau. Setelah data terkumpul, lalu dilakukan tahap pengolahan data. Pengolahan data dilakukan di dalam tahap deskripsi. Pada tahap ini, setelah alih bahasa prasasti yang menjadi data ditentukan, akan dilakukan pemilahan dan pengolahan data yang mengindikasikan adanya aspek yang berhubungan dengan kegiatan pertukangan logam. Pemilahan data dilakukan dengan mengambil kutipan-kutipan yang berkaitan dengan kegiatan pertukangan logam beserta hasil kegiatan pertukangan logam tersebut. Kutipan-kutipan yang ada di prasasti berkaitan dengan pertukangan logam terdapat pada bagian prasasti yang memuat bagian pasĕk-pasĕk pada saat penetapan suatu daerah menjadi sīma atau pada saat adanya kasus-kasus seperti sengketa pajak dan hutang piutang. Di samping itu, penyebutan mengenai barang-barang yang terbuat dari logam juga dapat diketahui dari bagian sesaji sebagai kelengkapan upacara sīma. Dari pemaparan tersebut kita dapat mengetahui, jenis-jenis logam apa saja yang dipersembahkan serta barang-barang logam sebagai sesajian tersebut. Untuk mendapatkan informasi tambahan dari prasasti mengenai profesi yang terkait dengan kegiatan pertukangan logam, dilakukan identifikasi dengan pencarian penyebutan profesi, dalam hal ini pandai, dalam prasasti-prasasti masa Balitung yang terkadang penyebutannya dalam prasasti termasuk kelompok mangilāla drawya haji ataupun pada bagian yang memuat masamwyawahāra. Data prasasti yang dipakai dalam penelitian ini terbatas hanya pada prasasti yang telah dialihaksarakan sebelumnya. Kemudian, setelah diperoleh pengetahuan mengenai berapa jumlah dari pasek serta jenis-jenis sesaji yang dihasilkan yang terbuat dari logam, dan diketahui pula jenis-jenis profesi yang terkait dengan kegiatan pertukangan logam. Maka dapat dilanjutkan dengan melakukan proses pengklasifikasian berdasarkan posisi dan fungsi pandai dalam masyarakat, peranan penting
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
pandai dan kegiatan pertukangan logam dalam masyarakat Mataram Kuno khususnya jaman pemerintahan raja Balitung, status sosial dari profesi tukang (dalam hal ini pandai) dalam masyarakat masa tersebut, serta komoditas apa saja yang dihasilkan berdasarkan data prasasti dan data sekunder. Untuk melakukan penelitian mengenai logam, dalam hal ini untuk mengungkap kegiatan pertukangan logam di masa lampau berdasarkan data etnografi, perlu diketahui pula pengetahuan tentang ilmu metalurgi, yakni merupakan suatu perkembangan teknologi yang melibatkan bahan baku berbagai jenis logam. Selanjutnya, terjadi proses produksi di mana dilakukan kegiatan mengolah bahan baku menjadi sejumlah artefak yang diperlukan bagi kepentingan hidup manusia (Sharer dan Ashmore, 1980). Sedangkan teknologi logam adalah keterkaitan antara pengetahuan yang satu dengan yang lainnya yang saling berhubungan erat. Keterkaitan pengetahuan tersebut terdiri dari kemampuan menghasilkan dan mengendalikan suhu pada tungku, melumerkan bijih logam, mencampur dan melebur logam, serta ketrampilan menempa (Lowie 1955: 138; Beals dan Hoijer 1956: 245). Setelah klasifikasi tersebut selesai, tahap terakhir adalah melakukan interpretasi atau penafsiran data. Asumsi dikaitkan satu sama lain dengan konteksnya, untuk mengungkapkan hubungan antara data prasasti, data relief, dan data etnografi dengan gambaran kegiatan pertukangan logam masa Balitung yang tergambar dalam proses pengklasifikasian yang telah dilakukan pada tahap pengolahan data. 2. GAMBARAN UMUM INDUSTRI LOGAM Teknologi logam atau metalurgi, memiliki sejarah yang panjang. Menurut beberapa ahli yang berkecimpung dalam penelitian arkeologi di Asia menyatakan bahwa pengetahuan tentang metalurgi berpusat di Asia Barat, kemudian menyebar ke Eropa dan ke India, Cina, sampai akhirnya ke Asia Tenggara. Daerah yang terakhir disebut inilah yang kemudian dianggap sebagai tempat pertemuan antara pengaruh kebudayaan India dan Cina (Fischer, 1964: 81). Untuk mengetahui mengenai perkembangan teknologi logam di Indonesia, ada baiknya untuk memahami terlebih dahulu mengenai konsepsi dasar dari perkembangan prasejarah Indonesia berdasarkan pandangan atau ‘model sosial-ekonomis’ (mata pencaharian hidup) (Soejono, 1976: 4-16). Hal ini sebagai pedoman untuk dapat mengetahui tradisitradisi teknologis, yang merupakan salah satu gejala penting dalam kehidupan sosial. Adapun kerangka dasar berdasarkan model sosial-ekonomis tersebut adalah: 1. Masa Hidup Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Sederhana. 2. Masa Hidup Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Lanjut.
3. Masa Bercocok Tanam. 4. Masa Kemahiran Teknik/Perundagian. Dalam masa kemahiran teknik atau perundagian adalah suatu masa dimana manusia mengenal logam pertama kali. Masa perundagian ini diduga berlangsung sejak beberapa abad sebelum masehi atau sekitar 300 tahun yang lalu. Teknologi pembuatan alat pada masa ini jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini dimungkinkan, seiring dengan telah tersusunnya golongan-golongan dalam masyarakat yang dibebani pekerjaan-pekerjaan tertentu. Kegiatannya diawali dengan penemuanpenemuan baru, berupa beberapa teknik dalam pengolahan logam. Teknik-teknik tersebut antara lain; teknik peleburan, pencampuran, penempaan, dan pencetakan jenis-jenis logam. Sebelum tingkat-tingkat teknik ini dikenal, rupa-rupanya telah dikenal adanya tembaga dan emas (Soejono, 1984: 218-226). Kedua macam logam ini sangat mudah dilebur karena titik leburnya yang tidak begitu tinggi. Dengan adanya perkembangan pengetahuan tentang penuangan dan peleburan, kemudian ditemukan suatu campuran antara timah dan tembaga yang ternyata menghasilkan bendabenda yang lebih kuat. Terciptalah logam jenis perunggu. Kegiatan cetak-mencetak logam ini dikenal dengan adanya 2 (dua) teknik yang sudah diketahui umum sejak lama, yaitu teknik setangkup (bivalve) dan teknik lilin hilang (a cire perdue). Teknik setangkup dapat dilakukan berulang-ulang, sedangkan teknik lilin hilang hanya dipergunakan satu kali saja. Menurut R.P. Soejono, masa kemahiran teknik atau perundagian di Indonesia dibagi menjadi 2 tradisi berdasarkan hasil utama teknologi alat-alatnya, yaitu: a. Tradisi seni-tuang perunggu; dengan hasil utama berupa alat-alat seperti nekara, kapakkapak corong, kapak-kapak upacara, bejanabejana upacara dan boneka-boneka. b. Tradisi penuangan besi; dengan hasil utamanya adalah alat-alat kerja dan senjata tajam. Di antaranya pisau (belati), sekop (pacul), parang, dan lain sebagainya (Soejono, 1976: 4-16). Heekeren juga mengemukakan pendapat yang sama dengan R.P. Soejono, mengenai adanya “Masa Perunggu dan Besi” atau The Bronze Iron Age of Indonesia. Pendapat ini didasari atas adanya temuantemuan perunggu dan besi di Indonesia. Menurut Heekeren, periode ini berlangsung setelah masa bercocok tanam (Jatmiko, 1993: 68). Teknologi logam di Indonesia itu sendiri diperoleh dari Asia Tenggara Daratan, hal ini terlihat dari sebaran ragam bentuk dan teknik serta urutan kronologi/ pertanggalan yang lebih tua (Nurhadi, 2000: 30). Penemuan teknologi logam ini mempunyai dampak yang luas bukan hanya terbatas pada aspek teknologi saja, tetapi juga merambah pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Kelangkaan dalam hal bahan logam
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
itu sendiri, mendorong terbentuknya jaringan perdagangan bahan baku yang lebih luas. Di samping, penguasaan teknologi yang lebih terbatas pada kelompok undagi saja atau kelompok tukang. Sehingga kelompok undagi atau pengrajin logam menempati posisi tersendiri dalam penataan suatu masyarakat. Logam campuran (alloy) dan logam mulia yang lebih langka dan tinggi nilainya lebih dikhususkan untuk pembuatan benda-benda yang dapat difungsikan sebagai alat regalia atau simbol bagi elit penguasa (Nurhadi, 2000: 30). Contoh alat regalia tersebut di antaranya keris, yang merupakan puncak dari teknologi tempa di tanah air. Dari segi kepercayaan, masyarakat Jawa Kuno memiliki kecenderungan untuk tidak mau melepaskan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan dengan teknologi. Karena masyarakat Jawa Kuno dikenal juga sebagai masyarakat yang religius (Subroto, 1993: 215). Biasanya seorang tukang, atau pandai, mengucapkan mantra-mantra pada saat proses pengerjaan logam. Baik itu saat persiapan alat-alat sebelum proses pengerjaan logam, ataupun pada saat proses penempaan (apabila alat logam tersebut dibuat dengan teknik tempa). Bahkan pengucapan mantra tetap diucapkan bersamaan waktunya dengan pekerjaan mengolesi alat yang sudah jadi dengan larutan garam dalam air (Jawa: nyepuh). Jenis-jenis mantra yang diucapkan tersebut ditujukan kepada dewa Trimurti dalam agama Hindu, yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa/Iswara. Brahma dapat disamakan dengan api, Wisnu dengan air, dan Siwa dengan angin. Secara berurutan, mantra yang diucapkan: Hang (untuk Brahma), Hung (untuk Wisnu), dan Mang (untuk Siwa). Ketiga unsur dunia, yaitu api, air dan angin diwujudkan dalam ketiga dewa Trimurti lewat mantramantra yang diucapkan yang juga merupakan tiga unsur utama di dalam proses kepandean (Angelino, 1921: 238-239). Suatu keterangan yang amat menarik mengenai unsurunsur penting dalam memandang pekerjaan pande terdapat dalam kitab Tantu Panggelaran (TP). TP merupakan sebuah karya sastra Jawa Tengahan yang berbentuk prosa. Karena berasal dari daerah Jawa Tengah, maka bahasa yang dipergunakannya pun adalah bahasa Jawa Tengahan. Poerbatjaraka (1952: 56) berpendapat bahwa bahasa Jawa Tengahan adalah bahasa Jawa yang ada di antara bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa dewasa ini. Mengenai keterangan waktu penulisan dan pengarang dari karya sastra ini juga merupakan suatu perkiraan. Namun untuk sementara ini, TP diperkirakan ditulis pada abad ke-15 dan kemungkinan ditulis oleh kalangan agamawan diluar keraton, atau ditulis oleh seorang pendeta desa (Sri Mulyono, 1982: 70; Setyani, 1988: 1-2). Dari salah satu bagian kitab tersebut dapat diketahui bahwa Dewa Brahma dianggap sebagai dewanya golongan pande. Lalu disebutkan bahwa dalam diri dewa Brahma terkandung lima unsur utama
(pañcamahabhuta) yaitu Prtiwi, Teja, Bayu, Akasa, dan Apah. Prtiwi yang merupakan unsur bumi/tanah, dapat disamakan dengan paron (pelandas) dalam kepandean. Teja merupakan unsur cahaya atau sinar, dan dipercayai memiliki sifat api atau apuy. Bayu atau unsur angin, dipercaya mempunyai sifat seperti ububan. Akasa yang dipercaya memiliki unsur angkasa atau langit, dianggap mempunyai sifat sebagai palu. Serta Apah yang dapat disamakan dengan air dianggap seperti capit atau sapit. Dari uraian ini dapat diketahui bahwa kepercayaan dari kelompok kerja pandai, cukup memegang peranan terhadap kontrol teknologi mereka (Subroto, 1993: 215). Pada cerita ke-2, dari 48 jenis cerita dalam teks Tantu Panggelaran edisi Th. Pigeaud, juga dapat diketahui bahwa Dewa-dewa Brahma, Wiswakarma, Iswara, Wisnu, Mahadewa, serta Ciptagupta turun ke bumi Jawa untuk secara umum mengajarkan manusia Jawa agar dapat mengembangkan 18 kelengkapan kebutuhan manusia itu sendiri, sehingga pengetahuan manusia pun berkembang, sedang ke-18 kelengkapan kebutuhan manusia itu berguna untuk 6 lapangan pekerjaan bagi manusia. Ke-18 kelengkapan kebutuhan manusia Jawa tersebut adalah: senjata panah, arit, pahat, kayu pematik api, cangkul, beliung, rumah, pengetahuan bahasa, sepuluh sila, dan lima macam pelajaran, pengetahuan mengantih, menenun, memakai cawat, berpakaian dodot, berkain, berselendang, perhiasan emas, serta lukisan (Setyani, 1988: 25-28). Sedangkan enam lapangan pekerjaan yang dimaksud adalah; pandai besi, ahli bangunan (=tukang kayu), guru desa (mengajarkan bahasa dan ilmu pengetahuan), guru dari manusia (memberi contoh mengenai tingkah laku yang baik, dan juga mengajarkan cara mengantih serta menenun), pandai emas, dan pelukis. Dari sepotong cerita di dalam kitab Tantu Panggelaran, dapat diketahui bahwa pandai logam (dalam hal ini pandai besi dan pandai emas) memegang peranan yang penting bagi awal perkembangan kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Karena mereka bertanggung jawab atas 7 (tujuh) kelengkapan kebutuhan manusia Jawa Kuno. 2.1. Teknologi Ranah arkeologi, termasuk ke dalam ilmu tentang masa lalu, yang tergolong ‘interpretative science’. Arkeologi mendasarkan eksplanasinya kepada penafsiran dari fakta dan data yang diperoleh. Masalah timbul ketika semakin sedikitnya data dan fakta yang tersedia, maka semakin banyak pula masalah tersebut. Semakin kurangnya daya eksplanasi artefak, maka makin rendah mutu interpretasinya. Untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai interpretasi fungsional yang seringkali dihadapi oleh para ahli arkeologi dalam rangkaian kegiatan eksplanatif. Maka diperlukan beberapa tahapan penelitian yang mencakup analisabentuk (formal analysis) dan juga analisa-konteks (contextual-analysis). Apabila tidak cukup, maka
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
diperlukan studi melalui analogi-etnografi (etnographical analogy) dan percobaan peniruan (imitative experiment) yang dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium, sehingga mampu menghasilkan suatu hipotesa yang akan diuji pada penelitian lapangan berikutnya. Untuk melihat gejala alam pada masa lalu yang berkenaan dengan stratifikasi, erosi, gerakan tektonis dan sebagainya, dapat ditafsirkan melalui studi mengenai gejala-gejala serupa pada masa kini. Tingkah laku manusia dalam penciptaan dan penggunaan sistem peralatan untuk menanggapi lingkungan alam pada masa lampau, dapat dipelajari dengan studi etnografi dari berbagai masyarakat sekarang yang belum banyak mengalami perubahan-perubahan (Moendarjito 1977: 59-69). Dengan dijumpainya istilah “ububan”, dalam prasasti masa Balitung sebagai batasan ketentuan pajak, menyiratkan bahwa alat tersebut sudah dipergunakan untuk suatu proses penciptaan barang dari logam. atah ikana ajňa haji kinonakan ikaŋ masamwyawaharā hanaŋ–kāna hiŋhiṅana kwaiḥhanya paṇḍai mas paṇḍai wsi tambaga gaŋ(s)a tluŋ ububan iŋ sasīma (Sangsang : 12-13)
Terjemahan: demikianlah perintah raja yang memerintahkan pedagang yang dikenai pajak yang ada di sana dibatasi banyaknya pandai emas, pandai besi, pandai gangsa 3 ububan setiap sīma (Wujantoro, tt-: 383).
Ububan adalah sejenis alat yang digunakan untuk menghembuskan udara yang diperlukan dalam proses pembakaran logam. Dari data relief, juga dapat diketahui mengenai ububan, yaitu di Candi Sukuh (abad XV, yang masih merupakan kelanjutan dari tradisi Jawa Kuno) yang menggambarkan adegan di sebuah tempat pembuatan keris. Di dalam sebuah rumah bertiang 4 dan beratap kayu (sirap), seorang pandai dengan pembantunya sedang bekerja di antara berbagai alat perlengkapan dan hasil produksinya. Tampak sepasang ububan silendrik yang sedang dipompa oleh seorang pekerja.
Gambar 1. Nampak ububan sebagai alat penghembus udara pada relief Candi Sukuh
Saat ini, istilah tersebut masih bisa dijumpai sebagai alat dalam proses penciptaan barang-barang logam di kalangan pandai logam tradisional. Sehingga model kerja yang digunakan untuk mendapatkan setidaknya gambaran mengenai kegiatan pertukangan logam pada masa Jawa Kuno, dapat dilakukan dengan melakukan studi analogi-etnografi. Selain ububan tersebut, dari data relief di Candi Sukuh juga dapat diketahui pula beberapa alat yang digunakan dalam proses pengerjaan alat logam. Beberapa alat tersebut antara lain; supit/sapit (alat untuk menyapit benda-benda yang akan ditempa ke dalam perapian), palu (alat untuk memukul dalam proses penempaan), serta paron (pelandas). Pada relief di Candi Sukuh, paron diletakkan bersama-sama atau sekelompok dengan palunya (Subroto, 1993: 213). Berbagai macam peralatan tersebut ada persamaannya dengan data etnografis di masa sekarang, setidaknya dapat dijumpai dalam perbengkelan pandai logam tradisional. Studi tersebut dilakukan dengan memperhatikan bagaimana cara kerja/ proses pembuatan alat logam (tercakup teknik pembuatan didalamnya); pengolahan bahan logam menjadi alat yang berguna; bentuk alat (baik peralatan yang digunakan dalam proses kerja pandai, atau peralatan yang dihasilkan dari kegiatan pertukangan logam tersebut); juga dilakukan pengamatan terhadap bahan yang digunakan. Kegiatan pengamatan dilakukan di daerah Ubud, Celuk, Budaga, Kamasan, serta Denpasar (Bali). Penelitian ini mengambil tempat di Bali karena kemiripan kebiasaan serta tingkah laku masyarakatnya dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi masa lalu. Kemiripan alat, dalam hal ini alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan logam di masa lalu, juga menjadi pertimbangan mengapa penelitian ini dilakukan di Pulau Bali. Sebelum membahas mengenai cara kerja atau proses pembuatan alat logam yang dikerjakan oleh pandai tradisional di Pulau Bali, ada baiknya untuk memahami terlebih dahulu teknik pembuatan alat-alat logam yang telah dikenal secara umum. Dikenal dua teknik dasar dalam pembuatan alat-alat dari logam, yaitu teknik tempa dan teknik cetak (cor). Teknik cetak adalah pengolahan logam dengan melalui proses peleburan sampai pada titik lebur tertentu, kemudian dituang dan dicetak ke dalam cetakan sesuai dengan bentuk yang dikehendaki. Teknik cetak logam itu sendiri dibagi menjadi 2 jenis, yaitu teknik cetak langsung dan teknik cetak tidak langsung (cire perdue atau lost wax). Lain daripada itu, teknik tempa merupakan teknik pembuatan alat logam dengan menggunakan alat dasar berupa pemukul besar sebagai penempa dan bara api untuk memanaskan logam yang akan ditempa, tanpa proses peleburan. Secara garis besar, teknik tempa dikelompokkan atas dua teknik, yaitu : 1. Penempaan primer, yaitu penempaan yang dilakukan pada benda-benda yang mempunyai bentuk sederhana, dengan menggunakan pemukul
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
2.
dan pelandas. Ada dua cara dalam penempaan primer, teknik sinking dan teknik raising. Penempaan sekunder, yaitu penempaan yang dilakukan pada benda-benda logam yang sudah selesai dicetak untuk menambah kekerasan dan kekuatannya sehingga tidak mudah retak atau pecah. Biasanya penempaan dilakukan pada bagian-bagian tertentu saja. Benda-benda logam yang biasanya ditempa setelah dicetak adalah kapak, pisau, ujung tombak dan mata kail. Proses menempa dan kemudian memanaskan kembali secara berturut-turut disebut annealing, yang akan merubah struktur metalografi yang dapat dibaca dari irisan artefaknya.
2.2. Teknik Tempa/ Pandai Besi Kegiatan studi etnografi yang dilakukan terhadap pengrajin besi tradisional, di Banjar Pandai desa Pliatan Ubud diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kegiatan pertukangan logam pada masa Jawa Kuno. Bengkel kerja ini dimiliki oleh Pandai Wayan Septiana Kawita/ Epong, satu-satunya tempat di daerah tersebut yang sampai saat ini masih menggunakan peralatan tradisional, berupa ububan yang digunakan untuk menghembuskan udara yang diperlukan dalam proses pembakaran logam. Penyebutan mengenai ububan tersebut, juga masih dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti masa Balitung yang menjadi data utama penelitian ini. Kami dapat merekam seluruh situasi dengan mudah dikarenakan keterbukaan pemilik yang benar-benar mempunyai keahlian secara turuntemurun. Suatu hal yang sering dijumpai dalam perbengkelan logam tersebut, memiliki ciri-ciri: (1) tebaran arang di sekitar perapian;1 (2) perapen berbentuk prisma segi enam tidak beraturan yang berundak-undak di bagian atap. Dengan ruang terbuka di salah satu sisinya (bagian yang simetris terhadap sumbu-y).2 Terbuat dari bata dan semen, penuh terisi arang dan abu; (3) terdapat bak air sebagai tempat mendinginkan logam membara yang sedang dibentuk; (4) terdapat dua buah landasan sebagai tempat menempa besi panas untuk dibentuk menjadi suatu alat yang diinginkan; (5) wadah pelebur logam, yang berbentuk seperti cawan, dalam bahasa Bali wadah itu dikenal dengan nama musa.3
1 Dalam bahasa Bali, tungku pembakaran atau perapian, disebut dengan istilah “perapen”. Pada umumnya perapen ini terletak di bagian selatan pekarangan rumah. Hal ini dihubungkan dengan dewa yang menguasai arah mata angin yaitu Pengider-ideran (Ardana, 1974).
Dengan ditemukannya musa tersebut, dapat saja mengindikasikan bahwa ditempat itu tidak hanya barang yang terbuat dari besi yang diolah. Tetapi juga logam jenis lain yang memerlukan proses peleburan, seperti perunggu. Namun ternyata dalam perkembangannya, wadah ini sudah jarang digunakan untuk pencampuran atau peleburan logam. Karena pemande lebih sering menggunakan bahan besi yang sudah siap ditempa,4 sehingga fokus pengerjaan lebih kepada proses penempaannya. Akan tetapi, terkadang musa digunakan kembali untuk melebur limbah-limbah besi sisa pembakaran atau pemanasan logam, limbahlimbah tersebut akan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam musa untuk dilebur dan diolah kembali; (6) alatalat dari besi, seperti berbagai macam palu bergagang kayu yang memiliki guna dan nama sendiri, berbagai bentuk alat pencapit yang terbuat dari besi, serta gagang besi dengan ukuran panjang antara 1 sampai 2 meter yang digunakan sebagai alat pencungkil; (7) Alat penghembus udara itu dikenal dengan istilah (ububan). Alat ini tersambung ke perapian, dengan pipa yang terletak di dasar dinding. Pipa tersebut terbuat dari bambu, yang berguna mengalirkan udara dari ububan ke dalam perapian; (8) terdapat sebuah ruang kecil di dekat perapen berbentuk persegi, yang kira-kira muat untuk satu orang saja. Ruangan kecil tersebut memiliki kedalaman atau ketinggian lantai yang berbeda dengan ketinggian di sekitarnya, dan biasanya digunakan untuk pemande ketika proses penempaan agar badan pemande tidak terlalu membungkuk. Kedalaman dari ruangan seluas 50 cm x 50 cm itu, 5 ± 80 cm dari ketinggian permukaan lantai di sekitarnya. Barang-barang yang dihasilkan di perbengkelan tersebut antara lain; pisau kotak (digunakan untuk mencincang), pisau pengutik (untuk memotong-motong janur), golok, serta pisau blakas (yang dipergunakan sebagai alat untuk menguliti hewan). Dengan adanya 2 (dua) orang pekerja di bengkel ini, salah satunya termasuk Epong, mereka sanggup menghasilkan 1 (satu) buah pisau yang besar dalam 1 hari. Untuk pisau-pisau dengan ukuran yang lebih kecil, dapat dibuat atau diproduksi sebanyak 2 buah pisau per hari. Bila dihubungkan dengan data utama dari penelitian ini, yaitu prasasti-prasasti masa Balitung, maka penyebutan mengenai pandai besi juga terdapat dalam beberapa prasasti. Penyebutan mengenai pandai besi itu sendiri terdapat dalam beberapa prasasti masa Balitung, di antaranya dalam prasasti: Ayam Tĕas (822 Śaka), prasasti Watukura I (824 Śaka), prasasti Telang (825
2
Bentuk dari perapen, dapat saja berbeda-beda di tiap bengkel pemandean tradisional di Bali.
Pulau Jawa disebut juga dengan istilah kowi, atau tambika (Minangkabau). 4 Besi-besi sudah siap tempa itu disebut juga besi pir, merupakan besi apkiran bekas per truk atau bis.
3
5
Wadah pelebur logam ini berbentuk silindrik seperti gelas, atau cawan yang bercekungan ke dalam, memiliki ukuran tinggi 14 cm dan diameter 7 cm. Juga berdinding tebal, serta terbuat dari bahan utama tanah liat. Di daerah lain seperti di
Luas dari ruangan yang memiliki ketinggian berbeda dengan sekelilingnya tersebut menyesuaikan dengan pemakainya, kira-kira muat untuk satu orang saja.
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
Śaka), prasasti Kubu-kubu (827 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka), dan prasasti Kaladi (831 Śaka). 2.3. Cara Kerja Pandai Salah satu kegiatan pengamatan yang dilakukan terhadap pengrajin besi tradisional, di Banjar Pandai desa Pliatan Ubud adalah dengan memperhatikan bagaimana pandai tradisional tersebut bekerja mengolah bahan besi yang sudah siap ditempa sampai menjadi suatu alat yang berguna. Urutan kegiatan yang kami amati adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan pertukangan logam diawali dengan persiapan pembakaran dengan menggunakan arang yang terbuat dari kayu abesia. 2. Selanjutnya arang dimasukkan ke dalam tungku atau perapian, untuk kemudian dibakar. 3. Proses pembakaran arang ini dibantu dengan hembusan udara yang berasal dari ububan. Ububan itu sendiri terletak persis di samping perapen. Di antara lubang yang ada di dasar dinding ububan dengan lubang yang terdapat di perapen, disambungkan oleh bambu yang berfungsi sebagai jalur masuknya udara dari ububan ke perapen. Untuk memperkeras sambungan bambu tersebut, diperkuat dengan tanah liat pada beberapa bagian supaya udara yang dihembuskan dari ububan ke perapen tidak bocor. 4. Proses kerja ububan, yakni dengan cara menekan pegangan kayu ububan secara silih berganti yang bekerja seperti piston, dan di bagian dasar dari pegangan tersebut terdapat semacam kipas yang terbuat dari bulu-bulu ayam. Ketika tongkat ububan secara silih berganti ditekan, dengan bulubulu ayam yang naik turun tersebut, maka tekanan yang terjadi di dalamnya akan menghasilkan angin atau udara yang kemudian mengalir ke dalam perapen. 5. Setelah api menyala dan arang panas terbakar dengan besar api yang telah dianggap cukup untuk melebur besi oleh pemande, maka besi yang siap ditempa tersebut dimasukkan ke dalam perapen untuk dipanaskan. Besi dimasukkan menggunakan alat pencapit, sedangkan untuk mengatur posisi arang, digunakan alat yang disebut culik. 6. Besi yang sedang dipanaskan tersebut, kemudian akan berubah warna menjadi kemerahan. Lalu besi tersebut diangkat dari perapen untuk ditempa di atas landasan. Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang sampai penempaan atau pemukulan pada besi menghasilkan bentuk yang diinginkan. Berdasarkan sudut teknik pembuatannya, dapat diamati bahwa alat-alat logam yang dihasilkan di bengkel kerja ini dikerjakan dengan teknik tempa. Terdapat pula fenomena lain, berupa limbah-limbah dari sisa pembakaran besi. Limbah pembakaran
tersebut berbentuk lelehan yang menyisa di dalam perapen. Sisa-sisa hasil pembakaran tersebut merupakan campuran dari besi yang meleleh, dengan arang. Selama kunjungan penulis ke tempat-tempat pengrajin logam tradisional di Bali daerah Ubud, Celuk, Budaga, Kamasan, Tihingan serta Denpasar. Hanya satu tempat di Ubud yang benar-benar masih menggunakan ububan sebagai alat untuk menghembuskan udara yang diperlukan dalam proses pembakaran logam. Sebagian besar para tukang (undahagi) logam ini beralih menggunakan blower yang menggunakan listrik. Dari penuturan para narasumber, yaitu pengrajin perak di Celuk, pengrajin emas di Kamasan, pembuat gong di Tihingan, serta seorang pandai keris di Denpasar, mereka beralih menggunakan blower dikarenakan kebutuhan akan produksi yang meningkat. Bahkan pandai besi di Ubud pun, juga memiliki alat blower disamping ububan sebagai alat utama yang biasa digunakan. Sebagai contoh, Epong, selaku pemande besi tradisional di Ubud dapat saja menghasilkan bentuk kasar (kerangka) dari 2 buah pisau besar (blakas) dan 4 buah pisau dengan ukuran yang lebih kecil secara sendiri dalam waktu satu hari apabila menggunakan blower. Sebagai perbandingan dengan menggunakan ububan dan pekerja minimal dua orang (seorang memainkan peran menekan pegangan kayu ububan secara silih berganti, sedangkan seorang yang lain menempa), bentuk kasar dari pisau besar yang dihasilkan sehari sebanyak 1 buah dan hanya dapat memproduksi 2 buah pisau kecil. Namun ububan memiliki keunggulan dibandingkan dengan blower. Untuk mengatur kecepatan dan besaran api yang diinginkan, lebih mudah dengan menggunakan ububun. Hal ini dikarenakan ububan menggunakan tenaga manusia yang lebih mudah mengaturnya, sedangkan blower hanya memiliki satu kecepatan saja. Pemande yang memiliki naluri dan pengetahuan mengenai suhu api yang dibutuhkan, juga merasa apabila menggunakan ububan maka konsentrasi api yang dihasilkan lebih baik. Angin yang dihembuskan dari ububan dapat terkonsentrasi dengan baik, di dekat lubang keluar angin dari ububan yang tersambung oleh pipa bambu. Sedangkan angin yang dihasilkan oleh blower, menyebar ke seluruh ruangan perapen. Hal ini mungkin karena manusia yang menggerakkan ububan tersebut memiliki nilai rasa, sedangkan mesin tidak mempunyai rasa atau feeling. Dikarenakan terbatasnya masyarakat pandai yang masih menggunakan ububan, sehingga kegiatan mencari keterkaitan antara kegiatan pertukangan logam masa sekarang dengan masa Jawa Kuno terbatas pada pandai besi saja yang masih menggunakan ububan sebagai alat pengembus udara. Perkembangan teknologi, efisiensi kerja dan tuntutan pasar tidak dapat dipungkiri, menjadi alasan-alasan yang kuat mengapa
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
para pandai yang tadinya menggunakan ububan beralih menggunakan blower.
dan prasasti Kinewu tahun 829 Śaka (‘sengketa pajak’).
3.
4.
PRASASTI-PRASASTI RAJA BALITUNG SEBAGAI SUMBER DATA PERTUKANGAN LOGAM Prasasti menjadi data utama dalam penelitian ini. Jenisjenis prasasti yang menjadi data utama penelitian inidapat dibedakan menjadi prasasti sīma, prasastijayapattra, serta prasasti yang berisi mengenai‘sengketa pajak’. Pada bahasan kali ini akan diuraikanmengenai struktur tetap prasasti sīma yang memberibanyak sumbangan data. Beberapa prasasti sīma yangmenjadi sumber data penelitian ini di antaranya,adalah; prasasti Ayam Tĕas (822 Śaka), prasasti Taji (823 Śaka), prasasti Kayu āra Hiwang (823 Śaka), prasasti Rongkab (823 Śaka), prasasti Watukura I (824 Śaka), prasasti Panggumulan (824 Śaka), prasasti Telang (825 Śaka), prasasti Rumwiga I (826 Śaka), prasasti Poh (827 Śaka), prasasti Kubu-kubu (827 Śaka), prasasti Kikil Batu II (827 Śaka), prasasti Kasugihan (829 Śaka), prasasti Mantyasih I (829 Śaka), prasasti Mantyasih III (829 Śaka), prasasti Bhaṭārī (829 Śaka), prasasti Rukam (829 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka), prasasti Wanua Tengah III (830 Śaka), prasasti Kaladi (831 Śaka), dan prasasti Wukajana (tanpa tahun). Prasasti sīma dapat disamakan dengan surat ketetapan, yaitu ketetapan pendirian sīma. Ketetapan ini disahkan dan diumumkan dengan upacara keagamaan. Dalam struktur tetap penetapan sīma, terdapat bagian yang memuat keterangan tentang sistem pertukangan logam adalah disebutkan adanya penyebutan mengenai larangan dan batas pajak usaha, yang menandai adanya profesi-profesi yang dikenakan dan dibebaskan dari pajak pada saat penetapan sīma. Salah satu profesi tersebut adalah pandai. Dalam beberapa prasasti, kelompok pandai yang termasuk dalam kelompok mangilāla drawya haji. Mangilāla drawya haji adalah abdi dalem keraton yang tidak mendapatkan daerah lungguh sehingga hidupnya tergantung dari gaji yang diambil dari perbendaharaan kerajaan (Boechari, 1977: 13). Kelompok itu mendapatkan larangan untuk memasuki desa yang ditetapkan sebagai sīma. Jenisjenis sesaji, serta persembahan (pasek) yang diberikan untuk penetapan sīma, beberapa di antaranya juga terbuat dari bahan logam. Uraian mengenai profesi pandai yang terkait dengan pajak, larangan atau batasan usaha, sesajian dan juga pasĕk-pasĕk dalam beberapa prasasti sīma masa Balitung akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya. Selain prasasti-prasasti sīma yang telah disebutkan, beberapa prasasti yang juga menjadi data utama dalam penelitian ini antara lain; prasasti Luitan tahun 823 Śaka (‘sengketa pajak’), prasasti Rumwiga II tahun 827 Śaka (‘sengketa pajak’), prasasti Palepangan tahun 828 Śaka (‘sengketa pajak’), prasasti Guntur tahun 829 Śaka (prasasti-jayapattra),
ALAT-ALAT LOGAM DAN KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM PADA MASA BALITUNG 4.1 Besi Pada prasasti Ayam Tĕas (822 Śaka), terdapat penyebutan mengenai pedati (maguluṅan). Alat angkut pedati terdiri dari gerobak yang ditarik oleh sapi atau kuda. Gerobak tersebut dibentuk oleh rangkaian potongan kayu yang disatukan satu sama lain dengan semacam paku atau pasak yang menghubungkan antara badan gerobak dan roda. Pasak tersebut biasanya ada yang terbuat dari kayu, atau ada juga yang terbuat dari besi. Apabila dalam prasasti Ayam Tĕas I, penyebutan pedati mengindikasikan adanya sarana transportasi yang menghubungkan antar desa, penyebutan perahu di dalam prasasti Telang mungkin saja mengindikasikan adanya perhubungan antar wilayah lewat jalur sungai ataupun bahkan melintasi lautan. Dari data relief dapat dilihat dan diperkirakan secara jelas tentang bentuk dari perahu. Pasak, yang juga merupakan salah satu bagian penting dari sebuah pedati, digunakan sebagai partikel penguat hubungan antar papan kayu. Meskipun mungkin pasak yang digunakan berbeda jenis dan ukuran antara pasak untuk pedati dan pasak untuk pembuatan perahu. Pasak ada yang terbuat dari kayu, ataupun ada juga yang terbuat dari besi. Akan tetapi biasanya terbuat dari bahan logam yaitu besi, yang lebih sering digunakan. Dengan dibutuhkannya bahan logam, dalam hal ini besi untuk pembuatan pasak sebagai salah satu bagian dari perahu, menandai pentingnya logam untuk kebutuhan penunjang pembuatan sarana transportasi lain selain pedati, yaitu perahu. Selain menjadi bagian dari kendaraan, besi juga dapat dimanfaatkan sebagai mata uang. Terbukti dengan adanya penyebutan wsi ikat (ikat besi) pada Prasasti Taji (823 Śaka) bagian pasĕk-pasĕk. Mata uang ikat besi penyebutannya juga dapat dijumpai di dalam prasasti Panggumulan (824 Śaka), prasasti Rukam (829 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka), dan prasasti Bhaṭārī (829 Śaka), yang biasa digunakan sebagai salah satu sesajian pada saat penetapan sīma. ...saŋ makudur arpaṅuyup wḍihan yu 1 tamwakur mesi wĕas ku 1 wṣi ikĕt 5 mas mā 4 wĕas pada 1 wsi ikat 10 wḍus 1 taṇḍas 1 kumol 1 pras mewak salaran 1 skul dinyun 5 mewak sarwwa māṅsa. (Taji III.a.: 1-2)
Terjemahan: ...Sang Makudur yang melakukan upacara sepasang kain, bakul yang berisi beras seharga 1 kupang, 5 ikat besi, 4 māsa uang emas, beras 1 pada 10 ikat besi, seekor kambing, satu kepala hewan, seekor kumol, 1 sesaji dengan lauk seekor ikan salaran, 5 buah nasi yang dimasak dalam periuk dengan lauk
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
pauk bermacam macam daging (Wurjantoro, –tt-: 257).
Prasasti sīma memiliki stuktur tetap, yang pada salah satu bagiannya terdapat pemberian sesaji pada saat upacara penetapan sīma. Pada bagian jenis-jenis sesaji tersebut, terdapat barang-barang yang terbuat dari logam khususnya besi. Jenis-jenis sesaji yang terbuat dari besi di antaranya terdapat di dalam prasasti: Taji (823 Śaka), Panggumulan (824 Śaka), prasasti Poh (827 Śaka), prasasti Rukam (829 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka), prasasti Bhaṭārī (829 Śaka), dan prasasti Wukajana (tanpa tahun). Bentuk dari sesaji itu dapat berupa: kampak atau beliung (waduŋ), kapak untuk menebang kayu (rimbas), beliung/alat pukul palu atau ganco (patuk), sebuah alat atau perkakas dari logam (tampilan), keris (kris), senjata kampit, garpu berujung tiga (gulumi), alat sejenis pisau (gurumbhāgi), alat ketam (pamajha), jarum (dom), alat untuk menebang/ pemecah kayu (wsi paŋhatap), sebilah parang atau sejenis tombak berukuran kecil atau bisa juga sebagai pisau pengerat (lukai), linggis, cangkul/sekop kecil (waŋkyul), pacul (laṇḍuk), sebuah senjata runcing yang menonjol pada bagian belakangnya (twĕk punukan), sebuah alat pemotong kuku (nakhacceda), sepotong besi, sebuah pelita, alat pahat (tatah), gurdi/bor (jara), dan alat siku-siku. Selain itu, salah satunya pada prasasti Taji, terdapat pula penyebutan keris yang merupakan alat regalia bagi elit penguasa. Dalam proses pengolahannya, keris tidak hanya menggunakan besi semata. Namun juga menggunakan pamor sebagai campurannya yang berasal dari logam lain. Pengertian pamor disini ialah lukisan atau ukiran yang terdapat pada wilahan (bilah keris) (Montana 1993: 266). Kepercayaan masyarakat Jawa Kuno terhadap pamor bukan semata-mata hiasan pada keris sebab mempunyai peran yang penting dalam kehidupan kejiwaan masyarakat. Biasanya bahan pamor di antaranya adalah nikel, selain nikel ada juga pamor keris yang berasal dari batu meteorit. Dalam proses memilah bijih besi yang terdapat dalam meteorit, diperlukan kemampuan mengekstrak yang harus dimiliki empu atau pandai keris. Proses penempaan dan pembakarannya pun jauh lebih rumit dibanding barang lain yang menggunakan bahan dasar besi. Proses peleburan besi dan nikel itu dilakukan secara berkali-kali agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Jadi dapat disimpulkan, bahwa dari ke-25 prasasti masa Balitung yang menjadi data utama penelitian ini, 9 (sembilan) prasasti menyebutkan tentang alat-alat yang terbuat dari logam besi. Ke-9 buah prasasti tersebut adalah: prasasti Ayam Tĕas, prasasti Telang, prasasti Taji, prasasti Panggumulan, prasasti Rukam, prasasti Sangsang, prasasti Bhaṭārī, prasasti Poh, dan prasasti Wukajana. 4.2 Emas Emas merupakan jenis logam mulia yang memiliki nilai kandungan tertinggi. Logam emas memiliki nilai
yang tinggi karena memiliki warna kuning yang indah dan mengilap sangat tajam serta tahan terhadap semua senyawa penyebab terjadinya korosi kecuali gas chlor (Cl2), air raja, air raksa, dan larutan KCN. Artefak emas kebanyakan berbentuk perhiasan, peralatan upacara, serta mata uang emas (Priyono, 1993: 294). Mata uang emas itu sendiri pun ada yang fungsinya sebagai peralatan upacara (sesaji), ataupun sebagai persembahan bagi para pejabat pada saat penetapan sīma (pasĕk-pasĕk). Mata uang emas yang digunakan sebagai sesaji terdapat pada prasasti-prasasti masa Balitung di antaranya; prasasti Taji (823 Śaka), prasasti Panggumulan (824 Śaka), prasasti Poh (827 Śaka), prasasti Rukam (829 Śaka), prasasti Mantyāsih III (829 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka), dan prasasti Bhaṭārī (829 Śaka). Lalu penyebutan mata uang emas yang peruntukkannya sebagai persembahan atau hadiah (pasĕk-pasĕk) bagi para pejabat pada saat penetapan sīma antara lain terdapat di dalam: prasasti Luitan (823 Śaka), prasasti Kayu Ara Hiwang (823 Śaka), prasasti Panggumulan (824 Śaka), prasasti Kubu-kubu (827 Śaka), prasasti Rukam (829 Śaka), prasasti Mantyasih I (829 Śaka), prasasti Mantyāsih III (829 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka), prasasti Bhaṭārī (829 Śaka), prasasti Wanua Tengah III (830 Śaka), dan prasasti Kaladi (831 Śaka). Meskipun prasasti Rumwiga II (827 Śaka) bukan merupakan prasasti sīma. Namun juga terdapat penyebutan pasĕk-pasĕk yang terbuat dari mata uang emas dalam prasasti Rumwiga II tersebut. Dari data epigrafi dapat disimpulkan bahwa kerajaan kerajaan di jaman kuno tidak ada yang berbentuk suatu negara dengan kekuasaan tunggal yang mutlak. Demikian halnya dengan kerajaan Mataram Kuno, yang biasanya terdiri dari 3 kesatuan territorial di wilayah kerajaan. Pembagian teritori pada masa Mataram Kuno mencakup; rājya/ pemerintah pusat (tercakup pejabat tinggi dan militer di dalamnya), daerah watak, dan daerah wanua. Watak merupakan suatu daerah lungguh/otonom yang diperintah oleh penguasa setempat. Seorang pemimpin watak biasanya bergelar rakai atau rakryan, bisa juga bergelar samgat ataupun haji. Di belakang gelar tersebut selalu disebut daerah asal mereka. Selanjutnya daerah wanua yang merupakan di bawah watak, dan umumnya penguasa watak itu mempunyai hubungan erat dengan keraton raja (Tedjowasono, 1981: 44). Kalaupun bukan keluarga raja, maka biasanya daerah yang dikuasainya itu diwariskan kepada keturunannya secara turun temurun. Informasi tersebut, mungkin dapat memberikan sedikit gambaran tentang struktur birokrasi pada masa Balitung. Bahwa terdapat 3 daerah kekuasaan; rājya/pemerintah pusat (di bawah perintah raja, termasuk pejabat tinggi/menteri dan pejabat-pejabat militer), daerah watak (pemimpinnya merupakan kerabat dekat keraton), dan daerah wanua (dikuasai oleh penguasa setempat). Berdasarkan prasasti-prasasti
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
masa Balitung, terkait dengan pasĕk-pasĕk yang dipersembahkan pada saat upacara penetapan sīma, biasanya hampir semua pejabat tinggi pemerintah pusat dan juga tingkat watak memperoleh persembahan berupa mata uang emas. Mungkin saja, pejabat di bawahnya atau pejabat tingkat desa (wanua) mendapat persembahan dengan nilai lebih rendah, seperti perak. Akan tetapi pada prasasti Rongkab, terdapat suatu pengecualian yaitu pejabat seperti Wahuta dan Pinghai yang merupakan pejabat tingkat watak memperoleh persembahan berupa mata uang perak. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya, satuan mata uang emas Jawa Kuno terdiri atas 5 tingkatan yaitu : kati, swarna, kupang dan sa… (nama kepanjangannya tidak diketemukan). Menurut penelitian Stutterheim yang dikutip oleh Suhadi (1993: 178), berat masingmasing satuan dalam konversi gram atau kilogram adalah: 1 suwarna = 38,601 gram 1 masa = 2,412 gram 1 kupang = 0,0603 gram Adapun perbandingan berat antara satuan-satuan tersebut; 11 suwarna = 1 tahil = 16 masa = 64 kupang. Selain untuk keperluan mata uang, barang-barang yang terbuat dari bahan emas memiliki fungsi sakral yaitu sebagai objek dalam ritual pemujaan terhadap tokoh tokoh atau dewa-dewa tertentu (Lelono, 1993: 397). Pada prasasti Taji, terdapat penyebutan sim-sim prasada (cincin) yang merupakan salah satu bagian dari persembahan atau hadiah (pasĕk-pasĕk) pada saat upacara penetapan sīma. Selain dalam prasasti Taji, penyebutan mengenai adanya cincin emas juga terdapat di dalam prasasti Kayu Ara Hiwang (823 Śaka) dan prasasti Panggumulan (824 Śaka). Dalam prasasti Taji dan prasasti Kayu Ara Hiwang, ada sebuah nama jabatan yang mempunyai pekerjaan khusus membuat cincin, yaitu pasimsim. … dmuŋ irikaŋ kāla pu cintyâ anak wanua i gurantiŋ watak ranyū. inaŋsĕan wḍihan raṅga yu 1 simsim prāsāda woḥ brat su 1 saŋ pamgat anakwi rake śrī bharu dyaḥ dhetā inasĕan ken bu at wetan wlaḥ 1 simsim prāsāda woḥ 1 brat mā 8 taṇḍa rakryān iŋ burawan tumūt pinaka sākṣi niŋ manusuk sīmâ. samgat kayo pu cara. Samgat wrigwrik pu liṅga. rake kiwa pu narawīra. Rake padlagan pu tandaŋ. samgat paŋharwṅan pu galuŋ. samgat putat pu jagul. samgat hampuṅan pu basu. samgat kiniwaŋ pu bnat. samgat kaliki pu arjja. samgat watu antan pu basa. rake muṅgaŋ pu swaŋ. samgat rimwañcak pu pṛṣṇa. samgat puluŋ kajaŋ pu ananta kapua winaiḥ wḍihan raṅga yu 1 simsim prāsāda woḥ 1 brat mā 4 sowaŋ sowaŋ (Taji III.a.: 5-9).
Terjemahan: … demung saat itu bernama Pu Cintyâ penduduk desa di Guranting yang masuk wilayah Ranyū, diberi sepasang kain untuk lelaki jenis Rangga, sebentuk cincin jenis prāsāda seberat 1 suwarna, istri Saŋ Pamgat yaitu Rake Śrī Bharu Dyaḥ Dhetā diberi sehelai kain untuk wanita buatan Timur,
sebentuk cincin jenis prāsāda seberat 8 māsa, Taṇḍa Rakryān di Burawan yang ikut menjadi saksi pembatasan sīmâ, Samgat Kayo yaitu Pu Cara, Samgat Wrigwrik yaitu Pu Liṅga, Rake Kiwa yaitu Pu Narawīra, Rake Padlagan yaitu Pu Tandang, Samgat Paŋharwṅan yaitu Pu Galung, Samgat Putat yaitu Pu Jagul, Samgat Hampuṅan yaitu Pu Basu, Samgat Kiniwang yaitu Pu Bnat, Samgat Kaliki yaitu Pu Arjja, Samgat Watu Antan yaitu Pu Basa, Rake Muṅgang yaitu Pu Swang, Samgat Rimwañcak yaitu Pu Pṛṣṇa, Samgat Pulung Kajang yaitu Pu Ananta semuanya diberi masing-masing sepasang kain untuk lelaki jenis Raṅga, sebentuk cincin jenis prāsāda seberat 4 māsa (Wurjantoro, tt-: 257-258).
Pada masa pemerintahan raja Balitung, mata uang emas juga digunakan sebagai alat pembayaran pajak dan pembayaran perkara hutang piutang. Hal tersebut tercantum dalam baris ke 4-5 sisi depan dari prasasti Telang I. Kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan oleh desa di Tlang, Mahe, dan Kalang (Paparahuan) untuk pemerintah pusat sebesar 9 māsa uang emas. Pajak tersebut diberlakukan sebelum ketiga desa itu ditetapkan sebagai daerah sīma. Setelah Paparahuan ditetapkan menjadi sīma, kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah pusat dialokasikan bagi pemeliharaan bangunan suci untuk keperluan sīma. …. jar ya tan wuara saŋgahan. inujaran saŋ huwusan pu waluḥ anakwanua i manŋahi. De rakryān mapatiḥ kinon umaparṇnākna ikanaŋ wanua i tlaŋ muaŋ iŋ mahe […..] wusan makakmitana ikanang kamulān muang parahu, umantassakba sang mahawān pratidina pangguhanya mas mā 7 pasang ning kalang mā 2 piṇḍa mā 9 ing satahun. (Telang I.a.: 4-5)
Artinya: ...jar tidak ada yang keberatan, diberi tahu Sang Huwusan bernama Pu Waluh penduduk desa di Manngahi. Oleh Rakryan Mapatoh disuruh memberi hadiah kepada desa di Tlang dan di Mahe [....] wusan memelihara bangunan suci dan Parahu, untuk menyeberangkan orang yang lewat setiap hari penghasilan pajaknya 7 māsa uang emas, Kalang yang ikut bergabung (sebanyak) 2 māsa, jumlahnya semua 9 māsa satu tahun (Wurjantoro, tt-: 297).
Hal yang serupa juga diterapkan kepada desa di Poh, kewajiban pajak yang dinyatakan dengan 4 suwarna uang emas dialokasikan untuk mengelola bangunan silunglung bagi orang yang telah meninggal dunia dan didharmakan di Pastika. Bagi desa di Sangsang, satuan pembayaran pajaknya juga menggunakan mata uang emas sebesar 7 suwarṇa. Lain pula pada prasasti Guntur (829 Śaka), yang berisi mengenai jayapattra dalam suatu sengketa yang dimenangkan oleh seseorang. Disitu tercantum mata uang emas sebesar 1 suwarna sebagai jumlah yang diperkarakan. Selain itu juga terdapat penyebutan pilih mas dalam prasasti Rumwiga II (827 Śaka). Pilih mas merupakan emas
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
yang terpilih, bisa berupa mata uang ataupun perhiasan yang terbuat dari emas. Berbicara mengenai perhiasan yang terbuat dari logam berbahan emas, selain cincin emas yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalam prasasti Watukura I, pada bagian pasĕk-pasĕk untuk upacara penetepan sīma terdapat jenis persembahan berupa pelindung bahu (bāhurakṣa), gelang lengan atas (kirat bāhu), dan hiasan kepala (bukaśri). Apabila dihubungkan dengan artefak arkeologis yang ditemukan dari benda-benda tersebut, ataupun fungsi dari benda itu di masa kini, biasanya digunakan oleh pejabat tinggi pemerintahan tingkat pusat (dalam hal ini, raja) ataupun oleh pemuka agama dalam upacara keagamaan. … sahana saṅkarmma kummit bhaṭāra makadṛwya ya muaŋ gaway bhusana de rāmanta, bāhurakṣa, kirat bahu, bukaśrī, pakna ri bhaṭāra dharma, muaŋ paṅguhaniŋ tahil, su 3, mā 14, ku 2, mijil riŋ aśujimāsa.(Watukura I, IIB.: 2-3) Terjemahan : … Saṅ Karmma yang memelihara seluruh Bhaṭāra ia memilikinya dan membuat pakaian oleh kepala desa, pelindung bahu (bāhurakṣa), gelang lengan atas (kirat bahu), hiasan kepala (bukaśrī), diberikan kepada Bhaṭāra Dharma, dan pajak Paṅguhan sebesar 3 suwarṇa, 14 māsa, dan 2 kupang uang emas, dikeluarkan di bulan Asuji. (Wurjantoro, -tt-: 2760)
Di luar mata uang untuk keperluan sesaji dan pasĕkpasĕk serta perhiasan emas, istilah gawai juga terdapat dalam prasasti masa Balitung yaitu prasasti Kinwu (829 Śaka). Pengertian gawai disini adalah bentuk dari buat haji, kewajiban yang seharusnya dilakukan suatu desa lewat kerja bakti namun dapat diuangkan atau dapat diwujudkan dalam bentuk uang (Susanti, 1999: 121). Gawai yang harus dibayarkan oleh para rama di Desa Kinwu berupa satuan mata uang emas. Disebutkan adanya permasalahan pajak di Desa Kinwu yang termasuk dalam wilayah Randaman. Para rama di desa tersebut tidak sanggup membayar pajak sebanyak pajak yang telah ditetapkan yaitu katik 28 orang dan gawai 8 masa, karena sawah mereka dihitung seluas 6 lamwit dan 3 tampah. Lalu mereka menghadap kepada Rakryan I Randaman Pu Wama untuk memohon izin memperluas sawah mereka. Setelah melewati birokrasi yang panjang, akhirnya permohonan mereka dikabulkan oleh raja yang menetapkan bahwa para rama di Kinwu memiliki sawah 6 lamwit dan harus menyerahkan katik 12 orang dan gawai 6 masa. (Boechari, 1981: 75-76). Pada prasasti Kinewu, saat mereka mengajukan permohonan itu, mereka juga harus membayar biaya sebanyak 3 kati dan 1 suwarna emas, 1 ekor kerbau, masuya (?), 1 suwarna dan 2 suwarna emas lagi yang diberikan kepada para juru semua. Di samping uang emas 5 kati kepada raja dan rakryan yang 5 orang sebelum permohonan mereka itu dikabulkan. Selain kerbau dan masuya, kesemua biaya yang dikeluarkan
untuk pengajuan permohonan dinyatakan dalam mata uang emas. Ada juga fungsi lain dari mata uang emas, yaitu diperuntukkan sebagai pemberian dari raja kepada rakyat di suatu daerah untuk melaksanakan upacara sīma. Seperti dalam prasasti Watukura I, yang upacara sīmanya dimaksudkan sebagai peringatan pembangunan Dharmma Paṅasthūlan. 4.3. Perak Penyebutan barang logam yang terbuat dari bahan perak, yang terdapat di dalam beberapa prasasti Balitung, tercantum pada bagian pasĕk-pasĕk atau persembahan bagi pejabat pada saat upacara penetapan sīma. Biasanya berbentuk mata uang perak. Mata uang perak tersebut, dinyatakan dalam satuan kāti, dhārana, dan ada juga yang disebut dalam satuan māsa perak. Mengenai mata uang perak Jawa Kuno, perbandingan nilainya sebagai berikut: 1 kati = 16 dharana = 250 masa 1 kati = 617,610 gram 1 dharana = 38,601 gram 1 masa = 2,412 gram Penyebutan mata uang perak dalam prasasti-prasasti masa Balitung selaku data utama (primer) penelitian ini, antara lain terdapat pada: prasasti Kayu Ara Hiwang (823 Śaka), prasasti Rongkab (823 Śaka), prasasti Panggumulan (824 Śaka), prasasti Rumwiga II (827 Śaka), prasasti Kubu-kubu (827 Śaka), prasasti Palepaṅan (828 Śaka), prasasti Kasugihan (828 Śaka), prasasti Rukam (829 Śaka), prasasti Mantyāsih I (829 Śaka), prasasti Mantyāsih III (829 Śaka), prasasti Bhaṭārī (829 Śaka), prasasti Wanua Tengah III (830 Śaka), dan prasasti Kaladi (831 Śaka). Seperti telah disebutkan, fungsi dari mata uang perak yang terangkum dalam prasasti-prasasti masa Balitung ialah sebagai bagian dari persembahan (pasĕk-pasĕk) yang diberikan kepada pejabat kerajaan pada saat upacara penetapan sīma. Selain sebagai pasĕk-pasĕk, juga terdapat penyebutan mengenai mata uang perak yang fungsinya berbeda di dalam prasasti Rumwiga II. Segala macam jenis pajak yang dibayarkan dari Desa Rumwiga kepada pemerintah pusat (dalam hal ini pihak kerajaan), menggunakan mata uang perak, serta pilih mas. tatkāla nikanaŋ rama i rumwiga watak rumwiga mapuluŋ tandas muaŋ pinakānak kabaiḥ manamwaḥ i samgat momaḥ umah mamrati pu uttara muaŋ rakryān wuŋkaltihaŋ pu wirawikrama rakryān ri hino mahāmantri śrī dakṣottama bāhubajra pratikpakṣakṣaya maminta inanugrahān mapasaŋ gunuṅa pirak ka 4 muaŋ piliḥ masnya sāmas ri saŋ tahil satahun (Rumwiga II, I.a.: 2-4).
Terjemahan: pada saat itu pejabat desa di Rumwiga yang masuk wilayah (watak) Rumwiga berkumpul bersama seluruh penduduk, menghadap kepada Samgat Momaḥumaḥ, (yaitu Samgat) Mamrati yang
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
bernama Pu Uttara dan Rakryān Wuŋkaltihaŋ bernama Pu Wirawikrama, Rakryān di Hino Mahāmantri Śrī Dakṣottama Bāhubajra Pratikpakṣakṣaya, mohon dianugrahi ketentuan membayar pajak setahunnya 4 kāti perak dan pilih masnya 400 māsa setiap kali membayar pajak (Wurjantoro, -tt-: 311).
4.4. Tembaga Penyebutan tembaga di dalam prasasti-prasasti masa Balitung termasuk yang paling sering, di samping jenis logam lainnya seperti besi, emas, dan perak. Sebagian besar prasasti masa Balitung yang dipahatkan pada sejenis logam pun, berbahan dasar tembaga. Dalam isi prasasti, tembaga dipergunakan sebagai bahan pembuatan bagi peralatan-peralatan yang dipergunakan sebagai sesaji. Peralatan-peralatan yang termasuk ke dalam jenis sesaji tersebut di antaranya; tarai, tempat mandi (padyūsan), dan belanga untuk menanak nasi [daŋ] (dalam prasasti Taji, 823 Śaka); skul dyun atau periuk nasi (prasasti Panggumulan, 824 Śaka); paŋliwětan atau periuk nasi, padyusan, dan lentera [papañjutan] (prasasti Poh, 827 Śaka); sebuah dandang [daŋ], tarai, periuk nasi atau paliwtan, padyussan, lentera/ pelita [papañjuttan], tempat makanan [saragi pangaṅannan], tempat minuman [saragi inuman], dan periuk nasi [skul dinyun] (prasasti Rukam tahun 829 Śaka); periuk belanga, sebuah kawah, sebuah periuk, sebuah buri, sebuah periuk penanak nasi, sebuah mangkuk tembaga [tarai], sebuah pelita/obor [papañjutan], sebuah periuk kecil [saragi cpak] (prasasti Sangsang tahun 829 Śaka); obor [papañjutan], tempat makanan [saragi pangaṅannan], tempat minuman [saragi inuman] (prasasti Bhaṭārī tahun 829 Śaka); lalu yang terakhir pada prasasti Wukajana (prasasti tanpa tahun) dapat dijumpai cerek [kawaḥ], periuk, dandang, sebentuk bejana [buri], paṅliwettan, talam/tahas [sejenis baki], obor, dan seperangkat cepuk/periuk kecil di bagian sesajinya. 4.5. Perunggu Perunggu merupakan sejenis logam yang kandungannya merupakan campuran antara tembaga (Cu) dan timah, baik timah putih (Sn) ataupun timah hitam/timbal (Pb), dengan unsur tembaga yang paling dominan (Triwurjani 1993: 103). Meskipun penyebutan pandai perunggu (gangsa), terdapat dalam beberapa prasasti masa Balitung. Namun tidak banyak yang dapat diketahui dari prasasti-prasasti masa Balitung hasil produksi benda-benda yang terbuat dari perunggu. Benda semacam baki (tahas), yang diketahui terbuat dari campuran tembaga dan timah, tercantum dalam bagian sesaji prasasti Panggumulan (824 Śaka). prasasti Poh (827 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka). Disamping itu, dalam prasasti Sangsang juga terdapat penyebutan benda-benda yang terbuat dari perunggu
(gangsa) yaitu periuk besar (saragi magöŋ) dan 3 buah mangkuk minuman (saragi inuman). Benda–benda yang terbuat dari perunggu yang merupakan bagian dari sesaji pada saat penetapan sīma juga terdapat pada prasasti Wukajana (tanpa tahun), yang termasuk di dalamnya saragi magöŋ, sebuah baki (tahas), serta 3 perangkat tempat minum (saragi inuman). Fragmen perunggu juga dapat dijumpai dalam bentuk prasasti masa balitung, yaitu prasasti Bhaṭārī (829 Śaka). 4.6.
Barang-barang Belum Teridentifikasi Jenis Logamnya yang Penyebutannya Terdapat dalam Prasasti-prasasti Masa Balitung, Namun Diindikasikan Terbuat dari Bahan Logam Dalam prasasti-prasasti masa Balitung, terdapat penyebutan mengenai barang-barang yang diindikasikan terbuat dari logam, namun belum dapat dipastikan terbuat dari bahan logam apa. Saat suatu daerah ditetapkan sebagai daerah sīma, terdapat upacara yang menyebutkan jenis sesajian disajikan untuk penyelenggaraan upacara tersebut. Salah satunya pada prasasti Taji (823 Śaka), adanya penyebutan ‘saragi pewakan’ yang diindikasikan terbuat dari bahan logam. Pada masa kini, saragi pewakan dapat pula disamakan dengan wadah untuk ikan. Selain saragi pewakan, pada prasasti Taji ini juga terdapat penyebutan beberapa peralatan yang diindikasikan berbahan logam, namun tidak diketahui secara pasti terbuat dari apa jenis logamnya. Benda-benda logam itu antara lain; alat penjepit (aṅkup), alat upacara berupa saṇḍi/sṛnti, serta wadah berbentuk tas atau pundi-pundi (kampil). Begitupun pada prasasti Panggumulan (824 Śaka), terdapat juga penyebutan sebuah wadah berbentuk tas atau pundi-pundi (kampil) dan (tempat) air pencuci kaki (argha) yang diindikasikan terbuat dari bahan logam namun belum dapat diidentifikasi jenis logamnya apa. Dalam bagian sesaji untuk perlengkapan upacara penetapan sīma prasasti Poh (827 Śaka), muncul penyebutan beberapa kata yang diindikasikan merupakan barang yang terbuat dari logam namun belum dapat diketahui terbuat dari bahan apa. Barangbarang tersebut di antaranya pamāse, kampil, saragi inuman, dan saragi paiwakan. 4.7.
Komunitas Pengrajin Logam dalam Prasasti-Prasasti Masa Balitung Beberapa prasasti pada masa Balitung menyebutkan adanya profesi pandai dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, di antaranya terdapat pada: prasasti Ayam Tĕas (822 Śaka), prasasti Taji (823 Śaka), prasasti Watukura I (824 Śaka), prasasti Panggumulan (824 Śaka), prasasti Telang (825 Śaka), prasasti Kubukubu (827 Śaka), prasasti Sangsang (829 Śaka), dan prasasti Kaladi (831 Śaka).
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
Tabel 1. Penyebutan Pandai pada Prasasti Masa Balitung N Prasas o ti
Pandai Besi Timah
Tem baga
Perung gu
1 Ayam
v
v
v
v
-
-
2 Taji
v
v
-
-
v
-
3 Watu -kura
v
v
v
-
v
v
4 Pang gumu lan 5 Telan g 6 Kubu -kubu 7 Sangsang 8 Kaladi
v
-
-
-
-
-
v
v
v
-
V
-
-
-
v
-
-
-
v
v
v
-
V
-
v
v
v
-
V
-
Tĕas
Ema s
Dadap
Selain dari penyebutan 6 jenis profesi pandai di atas, pada prasasti Ayam Tĕas juga terdapat penyebutan mengenai pandai malang. Namun dari berbagai literatur dan juga dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia (Zoetmulder) terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, tahun 2006, belum dapat diketahui definisi dari “malang” itu sendiri apa. Sehingga penulis tidak memasukkan pandai malang sebagai salah satu jenis profesi pandai yang ada pada masa Balitung. Peran dari masing-masing pandai yang disebutkan di atas berbeda pada setiap prasasti. Seperti dalam prasasti Ayam Tĕas, ditetapkan bahwa para pandai tembaga, perunggu, besi, dan timah yang juga menjual barang dagangannya di daerah tersebut menjual dengan menggunakan pikulan. Batas yang tidak dikenai pajak ialah lima pikul tiap satu tuhan atau tiap pemimpin kelompok (Wurjantoro 1982: 76), selebihnya dikenai pajak. Dari prasasti ini juga dapat diketahui mengenai adanya batasan ububan bagi tiap satu kelompok pandai, yakni satu ububan tiap kelompok. Apabila ada kelebihannya, maka dikenai pajak. Perlu mendapat perhatian disini ialah mengenai adanya pembatasan bagi pandai tembaga, perunggu, besi, dan timah. Dengan adanya penyebutan profesi-profesi tersebut, mengindikasikan adanya barang-barang produksinya berupa tembaga, perunggu, besi, dan timah. Namun tidak ada satupun penyebutan barang-barang terbuat dari timah yang penulis temukan dalam prasasti prasasti masa Balitung.
Berbeda dengan prasasti Ayam Tĕas yang penyebutan jumlah barang jualan ataupun jumlah maksimal ububan yang dikenai pajaknya jelas. Pada prasasti Taji, hanya didapat keterangan bahwa kesemua jenis pandai menyerahkan pajaknya untuk keperluan bhaṭāra, namun tidak disebutkan secara jelas batasan dari barang dagangan yang dijual ataupun maksimal jumlah ububan. Pengertian bhaṭāra disini mungkin saja ‘tuan yang mulia’, karena ada penyebutan kata “gosali” dalam satu kalimat yang memuat kata bhaṭāra tersebut. Sehingga mungkin maksud dari bhaṭāra disini adalah pemimpin dari para pandai, mengingat pengertian yang sama dari juru/tuha gosali. Apabila dalam prasasti Ayam Tĕas dan prasasti Taji, para pandai berlaku sebagai pedagang yang menjual barang dagangannya, pada prasasti Watukura I profesi pandai mas, pandai tamra, pandai perunggu, dan pandai besi termasuk dalam golongan Mangilala Dṛwya Haji, yang dilarang memasuki desa-desa sīma tercantum dalam prasasti Watukura I. Mereka dilarang memasuki desa-desa tersebut dikarenakan mereka merupakan abdi dalem raja yang bertugas membuat barang-barang logam untuk kepentingan raja atau pemerintah pusat, bukan untuk menjual barang-barang dagangannya di desa tersebut. Sementara itu berbeda dengan ketiga prasasti yang telah disebutkan, pada prasasti Panggumulan. Penyebutan profesi pandai pada prasasti ini, dalam hal ini pandai tembaga, bukan termasuk golongan pedagang ataupun mangilala dṛwya haji. Akan tetapi sebagai salah satu pihak yang menerima persembahan pada saat upacara penetapan sīma. Pada prasasti Telang, sama dengan prasasti Ayam Tĕas terdapat pula pengaturan mengenai pajak terhadap profesi pandai dengan adanya penyebutan batasan ububan. Pandai emas, pandai besi, dan pandai gangsa batasnya 3 ububan setiap satu daerah yang ditetapkan sebagai sīma. Selain itu, menyangkut penetepan sīma di Desa Tlang, Mahe, dan Desa Paparahuan terdapat suatu ketentuan dimana hanya boleh ada satu penjual barang dari besi, satu penjual barang dari tembaga, dan satu penjual barang dari perunggu (gangsa). Hal ini didasari oleh penyebutan ‘tlung tuhān ing sasīma’ atau 3 pemimpin di satu sīma pada baris ke-7 dan ke-9. Jika terdapat lebih daripada salah satu penjual tersebut, maka yang sedemikian itu pajaknya akan dikenakan langsung oleh Sang Mangilala. Dari prasasti Sangsang juga diperoleh keterangan yang sama dengan prasasti Ayam Tĕas, mengenai adanya batasan barang dagangan yang diberlakukan bagi para penjual barang barang dari besi, tembaga, dan perunggu. Apabila barang-barang yang dijual dengan pikulan batasannya yaitu 5 buntalan di setiap satu pemimpin, selebihnya dikenai pajak langsung oleh Sang Mangilala. Hampir sama dengan adanya penyebutan profesi pandai di prasasti Watukura I, di dalam prasasti Kubukubu juga memuat mengenai pembatasan bagi beberapa profesi, khususnya pedagang, untuk
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
memasuki daerah śīma. Salah satu jenis pedagang yang dilarang masuk ke daerah śīma tersebut adalah penjual barang dari besi. Mungkin saja pelarangan yang diberlakukan terhadap penjual barang dari besi tersebut dikarenakan penjual barang dari besi itu termasuk ke dalam golongan maṅilala drawya haji. Hal ini juga berlaku bagi pandai besi di desa Sangsang, yang diberlakukan pelarangan memasuki daerah śīma karena termasuk dalam golongan maṅilala drabya haji. Lalu, apabila dalam prasasti Ayam Tĕas dapat diketahui mengenai adanya batasan ububan bagi tiap satu kelompok pandai, yaitu satu ububan tiap kelompok. Sedangkan dalam prasasti Sangsang, batasnya bagi pandai emas, pandai besi, dan pandai perunggu adalah 3 ububan bagi tiap pemimpin kelompok. Sementara bagi pandai tembaga dan penjual perunggu, batasnya satu ububan. Hal ini mengisyaratkan mungkin saja kebutuhan masyarakat di desa Sangsang akan logam jenis tembaga atau pun perunggu lebih tinggi jumlahnya dibanding benda-benda yang terbuat dari emas dan besi. Sedangkan pada masa tersebut, ketersediaan akan sumber daya tembaga itu sendiri di pulau Jawa terbatas.6 Sehingga pemerintah pusat perlu memberlakukan peraturan yang lebih ketat terhadap pandai tembaga. Pada prasasti Kaladi juga terdapat penyebutan mengenai profesi pandai yang termasuk golongan maṅilala drawya haji, yaitu pandai emas, pandai besi, pandai tembaga, dan pandai perunggu. Menyangkut profesi pandai, dari kajian prasastiprasasti masa Balitung dapat dijumpai beberapa pekerjaan tukang yang terkait keahlian mengolah logam yang awalnya bahan mentah, menjadi barang setengah jadi ataupun barang siap pakai. Dapat dilihat bahwa terdapat enam kelompok pandai, yaitu pandai tembaga (pandai tamwaga/tamra), pandai perunggu (pandai gangsa/kangsa), pandai besi (pandai wsi), pandai timah (pandai timah), pandai emas (pandai mas), dan pandai tameng/perisai (pandai dadap). Kelompok pandai ini diurus oleh para pejabat yang
6
Menurut Sabtanto Joko Suprapto lewat tulisannya yang berjudul “Pertambangan Tembaga di Indonesia, Raksasa Grasberg dan Batu Hijau” dalam majalah “Warta Geologi” No. 3 vol. 3 edisi September 2008, tambang Grasberg dan Batu Hijau (termasuk kategori ukuran raksasa kedalam skala dunia) merupakan pertambangan di Indonesia dengan hasil komoditas utama berupa tembaga primer berjenis Cu-Au porfiri berdimensi besar dengan metode tambang terbuka. Cebakan Grasberg dan Batu Hijau yang ada di Indonesia terkonsentrasi di daerah Papua dan Sumbawa. Meskipun di Pulau Jawa sendiri, terdapat juga cebakan tembaga tipe porfiri. Akan tetapi 82, 6 % dari keseluruhan distribusi tembaga berdasarkan busur magmatik, menunjukkan bahwa sumber daya tembaga terkonsentrasi berada di bumi Papua, sedang sisanya tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia (Suprapto, 2008: 6-8). Hal ini memang suatu kenyataan di masa kini, namun dari sini dapat diperoleh gambaran mengenai terbatasnya sumber daya tembaga di Pulau Jawa sejak masa lampau.
dalam prasasti biasanya disebut tuha gosali atau juru gosali. Penyebutan mengeni tuha/juru gosali pada prasasti masa Balitung terdapat di dalam prasasti Kikil Batu II dan prasasti Sangsang. Terdapat sebuah fenomena yang menarik di mana tidak terdapatnya penyebutan pandai perak (pandai salaka), pada satu prasasti pun pada masa Balitung. Padahal hampir semua prasasti yang menyebutkan adanya pasĕk-pasĕk dalam suatu penetapan sīma, tercantum persembahan mata uang perak. Lain halnya dengan disebutkan adanya pandai tameng/perisai (pande dadap) pada prasasti Watukura I, namun secara terperinci penyebutan benda tameng atau perisai sebagai kelengkapan persenjataan tidak dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti masa Balitung yang menjadi data utama penelitian ini. Profesi pandai dalam sistem sosial kemasyarakatan masa Mataram Kuno, juga ternyata tidak berdiri sendiri. Selain adanya tuha/juru gosali, hal ini dibuktikan dengan adanya profesi pendukung pekerjaan keahlian pandai. Dengan adanya penyebutan profesi masayang dalam prasasti Telang sebagai salah satu pihak yang dibebaskan dari pajak. Masayang dapat diartikan sebagai tukang patri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 736), tukang patri dapat disamakan istilahnya dengan pematri. Sedangkan pematri itu sendiri memiliki pengertian orang yang mematri. Mematri merupakan melekatkan dan sebagainya dengan patri (menyolder). Berarti pada masa pemerintahan raja Balitung, sudah ada profesi yang diperlukan untuk mematri atau memperbaiki alatalat rumah tangga yang terbuat dari logam yang bocor. 4.8. Fungsi Alat-alat Logam Fungsi dari alat-alat logam tidak hanya digunakan sebagai sarana praktis, tetapi juga sarana yang bernilai spiritual. Hal ini dapat dibedakan menjadi dua jenis benda, yaitu kelompok benda profan (benda keperluan sehari-hari) dan kelompok benda sakral (benda yang dianggap suci untuk keperluan upacara ritual). Fungsi ini erat kaitannya dengan masyarakat pendukung kebudayaan logam, baik sebagai pembuatnya, pemakai maupun yang menyimpannya. A. Fungsi Profan Pada dasarnya penyebutan mengenai benda-benda logam di dalam prasasti-prasasti masa Balitung, sebagian besar penyebutannya terdapat pada bagian pasĕk-pasĕk ataupun sesajian untuk kelengkapan upacara penetapan sīma. Sesaji yang sesungguhnya merupakan kelengkapan upacara tersebut, dapat saja digolongkan sebagai benda sakral. Tapi yang yang menjadi fokus perhatian disini adalah bagaimana kegunaan benda tersebut bagi kehidupan sehari-hari masyarakat masa Balitung. Kelompok benda keperluan sehari-hari tersebut banyak sekali jenisnya, dapat dibedakan menjadi:
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
(1)
sebagai bagian dari kendaraan seperti pedati dan perahu (bagian pasak yang terbuat dari besi); (2) mata uang (emas, perak, dan ikat besi) sebagai persembahan atau pasĕk-pasĕk, pembayaran pajak, untuk sesaji sebagai kelengkapan upacara penetapan sīma, sebagai pembayaran upeti, dan juga gawai; (3) untuk keperluan alat-alat pertanian yang didominasi oleh alat-alat besi; (4) peralatan rumah tangga; (5) senjata, di antaranya kampit dan sejenis senjata runcing (twěk punukan); (6) benda budaya yang memiliki nilai seni tinggi, contohnya keris. (7) perhiasan yang terbuat dari emas, di antaranya kirat bāhu dan hiasan kepala (bukaśri); dan (8) peralatan pertukangan, yaitu bor/gurdi dan alat pahat (tatah). Dari pembagian fungsi tersebut, berdasarkan jenis logam yang digunakan sebagai bahan pembuatan alat, dapat diketahui bahwa bagian dari kendaraan, alat-alat pertanian, alat-alat untuk kegiatan pertukangan, dan senjata terbuat dari besi. Sedangkan alat-alat rumah tangga pada umumnya dibuat dari tembaga, meskipun ada juga yang terbuat dari campuran tembaga dengan timah (perunggu) seperti baki (tahas), tempat minuman, ataupun periuk juga ada yang terbuat dari perunggu. Hal ini dikarenakan sifat perunggu, yang dilapisi oleh timah, sehingga menjadi lebih kuat. Mata uang didominasi oleh bahan-bahan berupa logam mulia, seperti emas dan perak. Meskipun ada juga mata uang yang terbuat dari besi (wsi ikat). Sementara itu, untuk barang semacam perhiasan biasanya terbuat dari emas. Ada benda logam khusus yang pembuatnya bisa juga disebut empu, yaitu keris. Pembuat atau pandai keris (empu) tidak hanya memiliki keahlian pertukangan yang tinggi saja, namun bisa juga berfungsi sebagai tokoh keagamaan yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat pada masa itu. Keris terbuat dari bahan besi campuran pamor (biasanya berupa batu meteorit, ataupun nikel). Selain itu, dari prasasti masa Balitung terdapat penyebutan senjata kampit dan sejenis senjata runcing (twěk punukan) pada bagian sesajian saat penetapan suatu daerah menjadi sīma. Dari situ, dapat diketahui bahwa kedua jenis senjata itu saja yang dihasilkan pada masa Balitung. Akan tetapi, dengan adanya penyebutan Pandai Dadap pada prasasti Watukura I, mengindikasikan adanya produk tameng atau perisai sebagai bagian dari persenjataan pada masa tersebut. Namun barangnya itu saja yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam prasasti masa Balitung. Pengklasifikasian alat-alat logam berdasarkan fungsi yang menyebutkan di antaranya alat-alat pertanian,
pertukangan, mata uang, senjata dan peralatan rumah tangga sebagai benda-benda keperluan sehari-hari (profane), tidak menutup kemungkinan bahwa bendabenda tersebut bisa juga berfungsi menjadi benda sakral apabila dijadikan sesajen pada saat upacara penetapan suatu daerah menjadi sīma. Hal tersebut tergambarkan dalam struktur tetap prasasti sīma yang ketetapannya disahkan dan diumumkan lewat upacara keagaaman. Dari situ dapat dilihat bahwa sesaji merupakan salah satu syarat yang tercantum dalam upacara keagamaan tersebut. B. Fungsi Sakral Benda sakral atau untuk kepentingan upacara keagamaan sifatnya berbeda dengan benda profan yang kegunaannya untuk keperluan sehari-hari, melainkan hanya digunakan pada saat-saat tertentu saja. Di antaranya pada prasasti Taji, terdapat penyebutan sim sim prasada (cincin), benda terbuat dari emas yang memiliki fungsi sakral yaitu sebagai objek pemujaan terhadap tokoh-tokoh atau dewa-dewa tertentu (Lelono, 1993: 397) 5. KESIMPULAN Berdasarkan telaah prasasti dapat diketahui gambaran mengenai alat-alat logam yang menunjang dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Dapat pula diperoleh informasi pembagian kerjanya berdasarkan barang-barang yang dihasilkan (pandai besi, pandai emas, pandai tembaga, pandai perunggu, pandai timah, dan pandai dadap). Dengan meneliti beberapa prasasti masa Balitung yang diindikasikan mengandung unsur logam, serta data arkeologi dan data etnografi lain, maka diharapkan dapat diperoleh jawaban jawaban mengenai kegiatan pertukangan logam pada masa Balitung. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan, agar dapat mengetahui bagaimana pentingnya kegiatan pertukangan logam di masa lampau khususnya pada masa Jawa Kuno, sebelum kegiatan pertukangan logam berkembang menjadi semodern saat ini. Sementara itu berkaitan dengan profesi pande, ternyata dalam kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat Jawa Kuno khususnya pada masa Balitung, peran dari pandai itu memiliki peranan yang penting. Dalam hal ini memproduksi peralatan yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Mengenai fungsi dari alat-alat logam itu sendiri dapat dibedakan menjadi; bagian dari kendaraan, mata uang, alat-alat pertanian, peralatan rumah tangga, senjata, perhiasan, dan peralatan pertukangan yang dapat saja berfungsi sebagai benda benda keperluan sehari-hari (profane) ataupun sebagai benda sakral. Secara umum kelompok kerja pengrajin atau kelompok pandai ini, berdasar prasasti masa Balitung, dapat dibedakan menjadi dua. Salah satu kelompok dikenal sebagai mangilāla drawya haji atau abdi dalem raja. Dalam beberapa prasasti Masa Balitung, kelompok ini terkadang dilarang memasuki desa-desa yang
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
ditetapkan sebagai sīma. Hal ini dimungkinkan karena kewajiban mereka ialah membuat segala peralatan logam untuk keperluan istana, bukan untuk di perjualbelikan di desa-desa sīma. Kelompok ini juga memperoleh penghasilannya dari kerajaan di mana tempat mereka bekerja. Kelompok satunya merupakan kelompok kerja profesional, yaitu pedagang (dikenal dengan istilah warrga kilalān) yang barang dagangannya diberlakukan pembatasan barang dagangannya/masamwya wahāra. Seperti kelompokkelompok mata pencaharian lain, mereka juga juga dikenakan pajak yang jumlahnya diatur oleh kerajaan dalam menjalankan tugas mereka di dalam sistem perekonomian masa Jawa Kuno. Aturan pajaknya tergantung dari jumlah ububan yang mereka miliki (menyangkut produksi dari barang-barang logam), dan juga berdasarkan jumlah barang dagangannya (ada yang dipikul, dan ada juga yang dijual dengan buntalan). Berdasarkan penyebutan profesi pandai dalam prasastiprasasti masa Balitung, terdapat enam jenis kelompok pandai yaitu; pandai tembaga (pandai tamwaga/tamra), pandai perunggu (pandai gangsa/kangsa), pandai besi (pandai wsi), pandai timah (pandai timah), pandai emas (pandai mas), dan pandai tameng/perisai (pandai dadap). Kelompok pandai ini diurus oleh pejabat yang dalam prasasti biasanya disebut tuha gosali atau juru gosali. Di dalam menjalankan fungsinya di masyarakat, ternyata kelompok pandai juga tidak berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya penyebutan masayang dalam prasasti Telang yang dapat diartikan sebagai tukang patri. Berarti dapat disimpulkan bahwa selain terdapat perbengkelan pandai sebagai tempat pengolahan dan pembuatan alat-alat logam, terdapat pula suatu bengkel perbaikan pada masa Balitung yang tugasnya dijalankan oleh tukang patri tersebut. Daftar Acuan _________. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 2, cetakan 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa/ Balai Pustaka. Angelino, P. de Kat. (1921). “Over de Smeden en Eenige Andere Ambachtslieden op Bali” dalam TBG, LXI: 370-424. s’Gravenhage-Martinus Nijhoff. Ardana, I Gusti Gede. (1974). Unsur-unsur Kepercayaan Megalitik dalam Kebudayaan Bali. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Ascher, Robert. (1980). “Time’s Arrow and The Archaeology of Contemporery Community” dalam Experimental Archaeology. New York: Columbia University Press. Beals, Ralph L. & Hoijer Harry. (1956). An Introduction to Anthropology. New York: The Mac Millan Company. Boechari, M. (1977). “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna Ditinjau dari Sejarah dan Arkeologi”
dalam Majalah Arkeologi, TH. 1 No.1: 5-23. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ----------------. (1977 ). “Epigrafi dan Sejarah Indonesia” dalam Majalah Arkeologi, TH. I No.2. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ----------------. (1981). “Ulah Para Pemungut Pajak di Dalam Masyarakat Jawa Kuna” dalam Majalah Arkeologi, TH. IV No.1-2. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ----------------. (1985/86). Prasasti Koleksi Museum Nasional, Jilid I. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional. ----------------. (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Damais, L.Ch. (1970). Repertoire Onomastique de L’Epigraphie Javanaise.Paris: Elde Française D’extreme-Orient. Djafar, Hasan. “Prasasti dan Historiografi” dalam Seminar Sejarah Nasional IV: Sub Tema Historiografi. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Fischer, Charles A. (1964). Southeast Asia: A Social, Economic and Political Geography. London: Methuen and Co. Ltd. Haryono, Timbul. (1983) “Metalurgi dan Metalografi” dalam Berkala Arkeologi No. IV (2), September 1983. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. ---------------------. (1985). “Arkeometalurgi: Prospeknya dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei 1983. Jakarta: Puslit Arkenas. ---------------------. (1999). “Gambaran Kebudayaan Logam pada Masa Formatif di Asia Tenggara” dalam Cerlang Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Heekeren, H. R. van. (1958). “The Bronze-Iron Age of Indonesia”, VKI, 22. ‘s-Gravenhage, M. Nijhoff. Jones, A. M. B. (1984). Early Tenth Century Java from the Inscriptions. Dordrecht, Holland. Foris Publication. Kartodirjo, Sartono, dkk. (1993). 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Jawa Timur. Kosasih, E.A. (1993). “Fungsi Benda Logam dalam Kehidupan Masyarakat Masa Lampau: Suatu Tinjauan Umum” dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV, Metalurgi dalam Arkeologi, Kuningan, 10-16 September 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lelono, T.M. Hari. (1993). “Tradisi Alat Logam bagi Masyarakat Jawa (Kajian Awal Etnoarkeologi)” dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV, Metalurgi dalam Arkeologi, Kuningan, 10-16 September 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moendardjito. (1976). “Wadah Pelebur Logam dari Ekskavasi Banten 1976: Sumbangan data Bagi Sejarah
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013
Teknologi” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, jilid VII No. 2. Jakarta: Bhratara. Montana, Suwedi. (1993). “Pande dalam Masyarakat Jawa, Pelaku Mysterious Art of Metallurgy” dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV, Metalurgi dalam Arkeologi, Kuningan, 10-16 September 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nastiti, T. S., dkk. (1982). Tiga Prasasti Masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Nastiti, Titi Surti. (1993). “Pandai Logam dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Kuno” dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV, Metalurgi dalam Arkeologi, Kuningan, 10-16 September 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nurhadi. (2000). “Teknologi dan Kesenian” dalam Temuan Satu Abad (1900-1999) Perjalanan Sejarah Kebudayaan Indonesia, hlm. 21-35. Jakarta: Museum Nasional. Poerbatjaraka, R.M.Ng. (1922). “Transcriptie van een Koperen Plaat in het Museum te Solo”, O.V. Bijlage L. hal.85. Poerbatjaraka, R.M.Ng. (1952). Kapustakaan Jawi. Jakarta: Djambatan. Poerwadarminta. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan ke-5. Jakarta: P.N. Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened. (2009). Sejarah Nasional Indonesia II, cetakan ke-3 Edisi Pemuktahiran, hlm. 168-169. Jakarta: Balai Pustaka. Rahardjo, Supratikno. (2012). Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno, hlm. 297. Jakarta: Komunitas Bambu, 2002. Rani, Sharada. (1957). Slokantara an Old Javanese Didactic Text. International Academy of Indian Culture. Setyani, Turita Indah. (1988). Analisis Struktural Visi Tantu Panggelaran. Skripsi Sarjana. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sharer, Robert J. & Wendy Ashmore. (2003). Discovering Our Past. New York: McGrall Hills. Siswandi, Ronny. (1980). Sisa-Sisa Kegiatan Pertukangan Logam di Banten Lama: Sebuah Analisis Hasil Penggalian Tahun 1976, 1977, dan 1979. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Soejono, R.P. (1976). “Tinjauan Tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia”, dalam Aspekaspek Arkeologi Indonesia, No. 5. Jakarta: Puslit Arkenas. -----------------. (1984). Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soesanti, Ninie. (1997). “Analisis Prasasti” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, Jilid I, hlm. 171-182. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. -------------------. (1999). “Hubungan Raja dan Rakyat : Kasus Perpajakan di Jawa Abad 10 Masehi” dalam Cerlang Budaya Gelar Karya untuk Edi Sedyawati. Penyunting: Rahayu S. Hidayat. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Subroto, PH. (1977). “Kelompok Kerja Pandai Besi pada Relief Candi Sukuh”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi I, Cibulan, 21-25 Februari 1977. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Subroto, Ph. dan Slamet Pinardi. (1993). “Sektor Industri pada Masa Majapahit” dalam 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai, halaman: 207-216. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Jawa Timur. Suhadi, Machdi. (1983). Berkala Arkeologi, Th.IV No. 1 Maret: 37-39. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. -------------------. (1993). “Peranan Logam dan Pandai Logam Pada Masa Jawa Kuno” dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV, Metalurgi dalam Arkeologi, Kuningan, 10-16 September 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tedjowasono, Ninny Soesanti. Struktur Birokrasi Jaman Balitung: Data Prasasti, Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1981. Triwurjani, Rr. (1993). “Hubungan Antara Bahan, Bentuk dan Fungsi Artefak Perunggu di Indonesia” dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV, Metalurgi dalam Arkeologi, Kuningan, 10-16 September 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. White, Leslie A. (1959). The Evolution of Culture. New York: Mc Graw Hill Book Company. Wurjantoro, Edhie. (1982). “Pajak dalam abad Kesebelas dan Keduabelas” dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jilid XI No.1: 73-79. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. -----------------------. “Bahan perkuliahan epigrafi” (tidak diterbitkan). Zoetmulder, P.J. (1982). Old Javanese English Dictionary’s Gravenhage, Martinus Nijhoff. ---------------------. (2006). Kamus Jawa KunaIndonesia. Bekerja sama dengan S.O. Robson. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pertukangan logam..., Iqbal Fitrah Hanif, FIB UI, 2013