MENJADI SAHABAT KEADILAN PANDUAN MENYUSUN AMICUS BRIEF
Penyusun : Siti Aminah
MENJADI SAHABAT KEADILAN PANDUAN MENYUSUN AMICUS BRIEF © ILRC - HiVOS 2014
Penyusun Siti Aminah
Diterbitkan atas kerjasama : THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC) atas Dukungan : HIVOS
Alamat Sekretariat : Jl. Tebet Utara IIB No. 4B, Jakarta Selatan - INDONESIA Phone : +62-21 9382 1173 | +62-21 3275 7775 Fax : +62-21 9382 1173 Email :
[email protected] Website : www.mitrahukum.org Cetakan pertama
November 2014
ISBN : 978 - 602 - 70291 - 6 - 3
xii + 130 halaman, ukuran 15 x 21 cm;
Design dan Layout - Canting Press - www.mitracetak.com Isi diluar tanggung jawab Percetakan - Delapan Cahaya Indonesia Printing
ii
MENJADI SAHABAT KEADILAN PANDUAN MENYUSUN AMICUS BRIEF
Penyusun : Siti Aminah
Diterbitkan Oleh : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Didukung Oleh : HiVOS
Jakarta 2014 iii
Diterbitkan Oleh : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Didukung Oleh : HiVOS
iv
KATA PENGANTAR
THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC)
S
istem hukum kita tidak mengenal Amicus Curiae atau Amici Curiae atau sering juga di sebut friends of the court di dalam Bahasa Inggris, walaupun beberapa organisasi masyarakat sipil telah mencoba untuk menggunakan amicus curiae dalam beberapa kasus yang menarik perhatian masyarakat seperti kasus-kasus pelanggaran hak-hak azasi manusia (HAM). Beberapa negara sudah mengakui dan mengakomodir amici curiae di dalam sistem hukumnya, seperti di Argentina dan Honduras yang mengakui dan mengakomodir amici curiae di dalam hukum acara perdatanya. Tidak ada definisi yang baku tentang Amici Curiae, tetapi yang ditemukan di Wikipedia mungkin bisa memberikan gambaran ruang lingkup Amici Curiae yaitu someone who is not a partyto acase, who offers information that bears on the case but who has not been solicited by any of the parties to assist a court. Amici Curiae tekanannya pada seseorang/institusi yang bukan pihak/diminta oleh para pihak di dalam sebuah perkara di pengadilan, yang memberikan informasi tentang hukum dan kasus v
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
yang sedang disidangkan secara independen dengan tujuan untuk membantu pengadilan. Fungsi dari Amici Curiae tidak sekedar untuk membantu pengadilan, tetapi juga untuk memajukan perkembangan hukum itu sendiri seperti pendapat Salmon LJ di dalam kasus Allen v Sir Alfred McAlpine & Sons Ltd [1968] 2 QB 229 at p. 266 F-G di Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) : I had always understood that the role of an amicus curiae was to help the court by expounding the law impartially, or if one of the parties were unrepresented, by advancing the legal arguments on his behalf. Lebih jauh, Amici curiae ini untuk memberikan gambaran hukum dan kasusnya khususnya dampaknya terhadap pihak lain di luar para pihak yang tidak ikut berperkara di pengadilan, dan juga menilai hukum dan kasusnya harus secara independen. Sebenarnya tradisi amici curiae berasal dari sistem hukum eropa kontinental (civil law) pada masa hukum romawi menurut beberapa jurist, tetapi justru belakangan sistem hukum anglo saxon (common law) yang banyak mengakomodir amici curiae. Di tingkat domestik, terdapat kebutuhan untuk mengakomodir dan mengakui keberadaan amici curiae. Harus diakui amici curiae belum diakomodir di dalam sistem hukum kita khususnya perkara-perkara yang berhubungan dengan kepentingan publik seperti pelanggaran HAM dan korupsi. Mungkin, ke depan hukum kita atau preseden pengadilan perlu mengakui dan mengakomodir amici curiae yang bertujuan untuk membantu pengadilan menjelaskan substansi hukum dan kasusnya yang sedang disidangkan secara independen. Karena perkembangan hukum itu sendiri dinamis tergantung ruang dan waktu, untuk itu perlu melihat pendapat pihak lain di luar para pihak yang berperkara di persidangan tentang hukum dan kasusnya. Walaupun organisasi masyarakat sipil sudah mencoba mengajukan amici curiae, akan tetapi sejauh ini belum ada putusan pengadilan atau aturan hukum yang mengakui dan mengakomodirnya. vi
P ENGANTAR ILRC
Amici curiae bukanlah intervensi yang mempengaruhi putusan pengadilan. Tetapi tidak lain adalah ekspresi hak untuk berpendapat atas hukum dan kasusnya yang sedang disidang di pengadilan dari seseorang atau institusi, yang mana putusan pengadilan itu mempunyai dampak tidak hanya terhadap para pihak di pengadilan tetapi lebih jauh dari itu. Di negara-negara yang sudah mengakui dan mengakomodir amici curiae ataupun pengadilan-pengadilan international yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, biasanya hakim di dalam putusannya mempertimbangkan dan menilai amici curiae tersebut. Khususnya berkaitan dengan pertanyaan apakah pendapat-pendapat atas hukum dan kasusnya dari amici curiae tersebut diterima atau tidak. Indonesia Legal Resource Center (ILRC) menyusun buku panduan amicus curiae yang berkaitan dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama, namun panduan ini dapat digunakan untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik.Buku panduan ini secara sederhana menjelaskan penyusunan amici curiae. Kami berharap, panduan ini bisa berguna untuk individu atau institusi yang ingin menggunakan mekanisme amici curiae dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik. Terimakasih
Jakarta, 30 November 2014
Uli Parulian Sihombing Direktur Eksekutif
vii
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
viii
Daftar Isi
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan C. Sistematika Buku
v ix 1 1 5 6
BAB II : MEMAHAMI AMICUS CURIAE A. Pengertian B. Sejarah Amicus Curiae C. Penerapan Amicus Curiae Dalam Peradilan di Indonesia
7 7 11 13
BAB III : PANDUAN MENYUSUN AMICUS BRIEF A. Panduan Umum Penulisan B. Struktur Penulisan C. Contoh Surat Pengantar D. Pengiriman
21 21 22 24 25
DAFTAR PUSTAKA
27
ix
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
LAMPIRAN 1. Amicus Brief Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang PerkawinanTerhadapUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Keterangan Amicus Curiae oleh Asian Human Rights CommissionHong Kong untuk Kasus Alexander AanTerdakwav. Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia (No. Reg. Perkara 45/PID.B/2012/PN.MR) di Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung 3. Amicus Brief Oleh The Becket Fund For Religious Liberty (Organisasi Non-Pemerintah Memegang Status Konsultatif Dengan Dewan Ekonomi Dan Sosial PBB (Ecosoc) Of The United Nations) Washington, DC, Amerika Serikat untuk Permohonan Untuk Uji Materi UU No.1/PNPS/1965 tentang PencegahanPenyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (No. 140/PUU-VII/2009) di Mahkamah Konstitusi
29 31
Tentang ILRC
129
x
63
83.
MENJADI SAHABAT KEADILAN Panduan Menyusun Amicus Brief
xi
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 kepulauan, Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 700.000 mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta. Menurut sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, 87,18% penduduk Indonesia memeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan1. Dan didalam setiap agama/keyakinan terdapat berbagai aliran, sekte atau denominasi. Keragaman agama dan keyakinan tersebut, telah disadari dan mencapai konsensus dalam pendirian Negara Indonesia. Sejak awal, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menjamin hak kebebasan beragama dan menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan 1 Biro Pusat Statistik (BPS), Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Seharihari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2010, http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/ kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html BPS, Jakarta, 2011, hlm 7.
1
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”2 UUD 1945 juga menyatakan pula bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut memberikan batasan hubungan agama dengan Negara. Yaitu Negara Indonesia tidak akan didasarkan kepada suatu agama tertentu, namun menyatakan keyakinan kepada adanya Tuhan. Rumusan tersebut berasal dari sila pertama Pancasila sebagai ideologi nasional Negara. Dan untuk mengikat keberagaman untuk mencapai tujuan Negara, Indonesia diikat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik keagamaaan sering kali tidak terelakkan. Dan akhir-akhir ini terjadi kecenderungan peningkatan pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan. Intoleransi semakin nyata terjadi di masyarakat dengan adanya tindakan kekerasan oleh kelompok masyarakat terhadap kelompok agama tertentu, maupun tindakan diskriminatif yang berpengaruh terhadap hak setiap orang untuk menjalankan agama dan keyakinannya secara leluasa. Pada sisi lain, negara gagal memberikan pemenuhan dan perlindungan bagi setiap penganut agama dan kepercayaan, bahkan tidak jarang negara menjadi aktor yang juga melakukan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama melalui kebijakan yang dikeluarkan. Kondisi di atas, nampak dari hasil monitoring yang dilakukan oleh Wahid Institute pada tahun 2011, menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18% menjadi 93 kasus dan tindak intoleransi yang terjadi pada tahun 2011 ini berjumlah 184 kasus, atau sekitar 15 kasus terjadi setiap bulannya. Angka ini naik 16 % dari 2
2
Pasal 29 UUD 1945
BAB I - PENDAHULUAN
tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 134 kasus.3 Dan menurut Setara Institut, terdapat sekitar 299 kasus peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi pada tahun 2011.4 Kedua laporan tersebut menunjukkan pelanggaran dan intoleransi terus meningkat setiap tahunnya, khususnya sejak era reformasi. Intoleransi agama semakin menguat terlihat dari hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang mengungkapkan bahwa sebanyak 15-80 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas. Secara umum, angka tingkat intoleransi ini meningkat dibandingkan hasil survey sebelumnya. Dan toleransi masyarakat terhadap penggunaan kekerasan sebagai salah satu cara dalam menegakkan prinsip agama juga meningkat.5 Selain berdasarkan survey, aksi intoleransi berbasis agama semakin marak terjadi. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan menjadi sasaran intimidasi, koersi, persekusi, perusakan properti, penutupan paksa tempat ibadah, penjarahan, penganiayaan, dan bentuk kekerasan lainnya. Seperti penyerangan dan pengusiran Ahmadiyah di berbagai kota di Indonesia, penyerangan dan pengusiran Syiah di Sampang, pengrusakan gereja HKBP Filadephia, pemukulan terhadap pendeta di Ciketing, Bekasi, gangguan ibadah terhadap agama nasrani, pembongkaran kuburan penganut Sapto Dharmo maupun tidak dilayaninya administrasi kependudukan untuk warga negara diluar enam agama yang diakui. Dan untuk kasus-kasus kebebasan beragama/berkeyakinan yang penyelesaiannya melalui sistem peradilan, akan berhadapan dengan kekerasan dan intimidasi dari kelompok intoleran. Didalam sistem peradilan pidana, proses persidangan berlangsung secara tidak 3 Lampu Merah Kebebasan Beragama : Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi 2011 dapat diakses melalui http://wahidinstitute.org 4 Negara dan kekerasan agama,http://www.bbc.co.uk 5 Survei LSI: Orang RI Tidak Nyaman Bertetangga dengan Orang Beda Identitas, http://news.detik.com
3
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
adil dan tidak tidak memihak (unfair trial), dimana korban diposisikan sebagai pelaku, sedangkan pelaku kekerasan dianggap sebagai pahlawan. Kondisi ini menyebabkan para pelaku kekerasan atas nama agama divonis ringan atau dibebaskan. Demikian halnya dalam kasus-kasus di lingkup tata usaha negara (TUN) maupun uji materi di Mahkamah Konstitusi. Disamping kekerasan dan intimidasi dari kelompok intoleran, terdapat kelemahan hakim dalam memahami hak kebebasan beragama/berkeyakinan, dan bagaimana memposisikan diri antara sebagai penganut agama dan hakim sendiri. Tekanan massa, kurangnya pemahaman hakim dan ketidaknetralan dalam memeriksa dan mengadili, menyebabkan pengadilan menjadi sarana pengadilan agama yang menentukan salah atau tidaknya keberagamaan seseorang atau kelompok. Akibatnya, hukum tidak lagi menjadi alat untuk mencapai keadilan, namun menjadi alat untuk melakukan pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan. Namun, dalam konteks advokasi kebebasan beragama di Indonesia, peran dan partisipasi perguruan tinggi, khususnya fakultas hukum masih sangat minim. Padahal peran kalangan akademisi sangat strategis untuk memperkuat upaya advokasi yang selama ini sudah dijalankan oleh organisasi masyarakat sipil dan komunitas korban. Sumber daya yang ada di fakultas hukum dapat berpartisipasi dalam mendorong pemenuhan hak kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya untuk memperkuat aspek analisis hukum dan mentransformasi pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa hukum, yang nantinya akan bekerja sebagai praktisi hukum (jaksa, hakim, pengacara, legal drafter). Bentuk partisipasi akademisi dalam proses peradilan yang terkait hak kebebasan beragama/berkeyakinan dapat dengan menjadi Ahli atau dengan memberikan keterangan tertulis atau amicus brief. Untuk menjadi seorang Ahli, akademisi biasanya dipanggil dalam persidangan untuk memberikan keterangan sesuai keahliannya, yang di4
BAB I - PENDAHULUAN
berikan dalam persidangan, dan diajukan oleh para pihak berperkara atau dipanggil atas perintah hakim. Sementara untuk amicus brief, para akademisi sesuai kompentensinya dapat memberikan keterangan tertulis, tanpa perlu hadir di persidangan, dan dapat mengajukan secara independen sesuai kebebasan akademiknya. Dalam rangkaian program mendorong partisipasi kalangan akademisi dalam advokasi hak kebebasan beragama/berkeyakinan, terungkap bahwa kalangan akademisi telah meneliti atau menulis issue yang terkait dengan hak asasi manusia, termasuk hak kebebasan beragama. Namun, umumnya hasil penelitian tidak digunakan untuk memperkuat pengadilan dalam memeriksa sebuah perkara. Hal ini juga disebabkan karena bentuk amicus brief masih belum familiar dalam sistem peradilan di Indonesia. Maka berdasarkan hal tersebut, The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) memandang penting untuk menyusun sebuah panduan penyusunan amicus brief, yang bisa digunakan untuk seluruh issue terkait kepentingan publik
B. Tujuan Buku ini bertujuan untuk memberikan panduan yang aplikatif bagi kalangan akademisi untuk : 1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman civitas akademika pendidikan tinggi hukum tentang amicus brief. 2. Mendorong partisipasi civitas akademika pendidikan tinggi hukum dalam advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan, melalui penyampaian amicus brief untuk kasus kebebasan beragama/berkeyakinan di wilayahnya. 3. Membangun jaringan antara pendidikan tinggi hukum, NGO dan kelompok/komunitas untuk mendorong pemenuhan hak kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
5
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
C. Sistematika Buku panduan ini terdiri dari tiga bab, termasuk bab pertama pengantar panduan ini. Bab kedua memberikan informasi dasar untuk memahami amicus curiae dan bagaimana penerapannya dalam sistem peradilan di Indonesia. Dan bab ketiga, memberikan panduan penulisan bagaimana menulis amicus brief. Di bagian lampiran, diberikan tiga contoh amicus brief yang terkait dengan issue hak kebebasan beragama/berkeyakinan yang pernah disampaikan dalam pengadilan di Indonesia. Yaitu amicus brief perkara (1) Pengujian Materi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan TerhadapUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Kasus Alexander Aan (No. Reg. Perkara 45/PID.B/2012/ PN.MR) di Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung; dan (3) Uji Materi UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (No. 140/PUU-VII/2009) di Mahkamah Konstitusi
6
BAB II MENGENAL AMICUS CURIAE
A. Pengertian Amicus Curiae adalah istilah hukum, yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin yang berarti "friend of the court," atau “"sahabat pengadilan”". Jika pengaju lebih dari satu orang/organisasi maka disebut “"Amici Curiae"” dan pengajunya disebut dengan amici(s). Miriam Webster Dictionary memberikan definisi amicus curiae sebagai “one (as a professional person or organization) that is not a party to a particular litigation but that is permitted by the court to advise it in respect to some matter of law that directly affects the case in question”.6 Dan kamus hukum mendefinisikan sebagai “A person with strong interest in or views on the subject matter of an action, but not a party to the action, may petition the court for permission to file a brief, ostensibly on behalf of a party but actually to suggest a rationale consistent with its own views.7 Dan situs amicus curiae sendiri memberikan pengertian bahwa amicus curiae merujuk pada “someone 6 7
http://www.merriam-webster.com/dictionary/amicus%20curiae http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Amicus+brief
7
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
who has no relevance to any particular side in a case. Instead, they volunteer information regarding a point of law or something else relevant to the case that they feel may help the court in deciding a matter related to it. This information comes in different forms as well. One way is a legal opinion that is available as something known as a brief. It may also be a testimony that neither party solicited. It may also be through a discourse known as a treatise”.8 Sedangkan di dalam sistem peradilan Amerika Serikat sendiri, amicus curiae didefinisikan sebagai : A person or an organization which is not a party to the case but has an interest in an issue before the court may file a brief or participate in the argument as a friend of the court. An amicus curiae asks for permission to intervene in a case usually to present their point of view in a case which has the potential of setting a legal precedent in their area of activity, often in civil rights cases.....The term may also refer to an outsider who may inform the court on a matter a judge is doubtful or mistaken in a matter of law. An amicus curiae application by a non-relative may be made to the court in favor of an infant or incompetent person. The court may give the arguments in the amicus curiae brief as much or as little weight as it chooses.9
Dan Mahkamah Agung Amerika Serikat mendefinisikannya secara singkat sebagai “a person or group who is not a party to a lawsuit, but has a strong interest in the matter, will petition the court for permission to submit a brief in the action with the intent of influencing the court's decision”.10 Dengan demikian dalam sistem peradilan Amerika Serikat, amicus curiae merujuk pada tiga kategori yaitu : 1. Mengajukan permohonan untuk intervensi terhadap kasus yang sedang disidangkan, dengan tujuan mempengaruhi putusan pengadilan; 2. Menginformasikan ke pengadilan tentang masalah yang masih diragukan oleh hakim atau keliru dipahami oleh hakim; 8 9 10
8
http://amicuscuriae.org/ http://definitions.uslegal.com/a/amicus-curiae/ American Airlines v. Wolens, 513 US 219 (1995).
BAB II - MENGENAL AMICUS CURIAE
3. Amicus curiae oleh seseorang/pihak yang tidak memiliki hubungan keluarga untuk kepentingan bayi atau orang yang tidak cakap hukum. Dan amici curiae biasanya diajukan untuk kasus-kasus yang dalam proses banding dan isu-isu kepentingan umum seperti masalah sosial atau kebebasan sipil yang sedang diperdebatkan, yang putusan hakim akan memiliki dampak luas terhadap hak-hak masyarakat.11 Untuk di Indonesia sendiri, Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) berdasarkan pengertian kamus hukum yang telah ada, dalam amicus brief kasus Prita menyimpulkan pengertian amicussebagai berikut : ”.... amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas”12 Namun kesimpulan tersebut mengalami perubahan dalam amicus brief kasus majalah playboy, menjadi : “amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; atau dapat juga seorang Seperti Hak Sipil, Hukuman Mati, perlindungan lingkungan, kesetaraan gender, Adopsi bayi, dan Affirmative Action. Amici curiae juga memberitahu pengadilan tentang isuisu sempit, seperti kompetensi juri; atau prosedur yang benar untuk menyelesaikan akta atau kemauan; atau bukti bahwa kasus ini kolusi atau fiktif 12 “Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Kemerdekaan Berpendapat yang Inkonstitusional”. "Amicus Curiae (Komentar Tertulis) diajukan oleh: ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI dan YLBHI Pengadilan Negeri Tangerang No Perkara: 1269/PID.B/2009/PN.TNG Kasus: “““““““““‘‘‘‘““"Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia"” Jakarta, Oktober 2009, halaman 5 11
9
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
penasihat yang diminta oleh pengadilan untuk beberapa masalah hukum, sebab seseorang dimaksud memiliki kapasitas yang mumpuni untuk masalah hukum yang sedang diperkarakan di pengadilan, dan orang tersebut bukan merupakan pihak dalam kasus bersangkutan, artinya seseorang tersebut tidak memiliki keinginan untuk mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas”13
Dari definisi terakhir, nampak terdapat perbedaan terutama dari ketertarikan amici(s) untuk mempengaruhi hasil proses persidangan, diawal dinyatakan bahwa amici memiliki ketertarikan untuk mempengaruhi hasil, namun di akhir definisi menyatakan sebaliknya. Sedangkan Hukumpedia memberikan definisi yang cukup singkat yaitu “"pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. ‘Keterlibatan’ pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan seperti derden verzet.14 Definisi yang hampir sama disampaikan pula oleh Tim Advokasi Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, dalam lembar informasi amicus curiae yaitu : Amicus Curiae adalah seseorang, sekumpulan orang atau suatu organisasi, sebagai pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam suatu perkara, namun memiliki kepentingan atau kepedulian atas perkara itu, lalu memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis, untuk membantu peradilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, karena sukarela dan prakarsa sendiri, atau karena pengadilan memintanya. Meskipun keterangan yang diberikan itu dianggap penting oleh si pemberi keterangan, keputusan untuk menerima keterangan tersebut diAmicus Brief (Komentar Tertulis) Untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung RI Pada Kasus Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia, Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),Jakarta, 2011, halaman 6. Bandingkan dengan Pengadilan Negeri Tangerang No Perkara: 1269/PID.B/2009/PN.TNG Kasus : “Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia” Jakarta, Oktober 2009, halaman 5 14 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d42718991ad6/dasar-hukumsahabat-pengadilan-%28amicus-curiae%29-di-indonesia 13
10
BAB II - MENGENAL AMICUS CURIAE
serahkan sepenuhnya kepada pengadilan. Pada dasarnya Majelis hakim tidak memiliki kewajiban untuk mempertimbangkannya dalam memutus perkara.15
Dengan demikian, dari berbagai definisi diatas, maka penulis menyimpulkan untuk disebut sebagai amicus curiae adalah : a. Seseorang, sekumpulan orang atau organisasi yang tidak memiliki hubungan dan kepentingan dengan para pihak dalam satu perkara, b. memiliki ketertarikan dan berkepentingan terhadap hasil putusan pengadilan, c. dengan cara memberikan pendapat/informasi berdasarkan kompetensinya tentang masalah hukum atau fakta hukum atau hal lain yang terkait kasus tersebut ke pengadilan, d. untuk membantu pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara (menjadi sahabat), e. secara sukarela dan prakarsa sendiri, atau karena pengadilan memintanya, f. dalam bentuk memberikan “"pendapat hukum"” (legal opinion), atau memberikan keterangan di persidangan, atau melalui karya ilmiah. g. ditujukan untuk kasus-kasus berkaitan dengan kepentingan publik, h. hakim tidak memiliki kewajiban untuk mempertimbangkannya dalam memutus perkara.
B. Sejarah, Tujuan dan Kepentingan Amicus Curiae Asal usul amicus curiae ini berasal dari Hukum Romawi. Sejak abad ke-9, praktek ini mulai lazim di negeri-negeri dengan sistem Common Law, khususnya di pengadilan tingkat banding atau pada kasus-kasus besar dan penting. Selanjutnya pada abad ke-17 dan 18, partisipasi dalam amicus curiae secara luas tercatat dalam All England TentangAmicus Curiae atau Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung,xa.yimg.com/kq/groups/17133162/.../Amicus+Curiae+JR+PNPS.pdf 15
11
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
Report. Dari laporan ini diketahui beberapa gambaran berkaitan dengan amicus curiae : 1. fungsi utama amicus curiae adalah untuk mengklarifikasi isu-isu faktual, menjelaskan isu-isu hukum dan mewakili kelompok-kelompok tertentu; 2. amicus curiae, berkaitan dengan fakta-fakta dan isu-isu hukum, tidak harus dibuat oleh seorang pengacara (lawyer); 3. amicus curiae, tidak berhubungan penggugat atau tergugat, namun memiliki kepentingan dalam suatu kasus; 4. izin untuk berpartisipasi sebagai amicus curiae16 Sejak awal abad 20, di Amerika Serikat, amicus curiae memainkan peranan penting dalam kasus-kasus hak sipil, bahkan lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke MA, para amici(s) telah berpartisipasi dalam proses persidangannya.Gagasan yang sama kemudian dipakai dalam acara hukum internasional, terutama dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan hak-hak manusia. Belakangan, pelembagaan peran “Sahabat Pengadilan” pun telah diatur oleh negara-negara dengan sistem Civil Law. Awalnya, orang mengajukan amicus curiae untuk : a. mendukung argumen yang sebelumnya dibuat oleh pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, b. menunjukkan argumen baru dalam kasus yang belum diperkenalkans ebelumnya, Erlania SH, Amicus Curiae dalam Peradilan di Indonesia, http://serlania.blogspot. com/2013/04/amicus-curiae-dalam-peradilan-di.html, baca juga Amicus Brief (Komentar Tertulis) Untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung RI Pada Kasus Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia, Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2011, halaman 6. Baca; Amicus Brief Kepada Pengadilan Negeri Tangerang No Perkara: 1269/ PID.B/2009/PN.TNG Kasus : "“Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia"” Jakarta, Oktober 2009, halaman 5 16
12
BAB II - MENGENAL AMICUS CURIAE
c. menunjukkan kepada pengadilan konsekuensi dari keputusantertentu. Misalnya, putusan pengadilan dapat menyebabkan dampak sosial, politik, hukum atau ekonomi.17 Dan pada saat ini Amicus Curiae dapat bertindak untuk tiga macam kepentingan yaitu : a. Untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok yang diwakilinya yang mungkin terpengaruhi oleh putusan perkara, terlepas dari kepentingan para pihak, agar pengadilan tidak memutus hanya berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan para pihak; b. Untuk kepentingan salah satu pihak dalam perkara dan membantu menguatkannya argumennya, agar pengadilan memiliki keyakinan untuk “memenangkan” pihak tersebut atau mengabulkan permohonannya; c. Untuk kepentingan umum. Dalam hal ini sahabat pengadilan memberikan keterangan mengatasnamakan kepentingan masyarakat luas yang akan menerima dampak dari putusan tersebut.18
C. Penerapan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan di Indonesia Walau praktik amicus curiae lazim dipakai di negara dengan sistem hukum common law, bukan berarti praktek ini tak ada atau tidak diterapkan di Indonesia. Jika kita merujuk pada semangat amicus curiae yakni untuk membantu hakim agar adil dan bijaksana dalam memutus perkara, maka hal ini telah diakui dan dipraktekkan dalam sistem hukum kita. Kewajiban hakim untuk “menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyara-
http://education-portal.com/academy/lesson/amicus-curiae-briefs-definitionexample.html#lesson 18 TentangAmicus Curiae atau Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung,xa.yimg.com/kq/groups/17133162/.../Amicus+Curiae+JR+PNPS.pdf 17
13
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
kat”,19 telah ditetapkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang berlaku untuk seluruh hakim di seluruh lingkup peradilan maupun tingkat pengadilan. Ketentuan tersebut mewajibkan Hakim untuk membuka seluas-luasnya informasi dan pendapat dari berbagai kalangan, baik yang menjadi para pihak yang berperkara, maupun melalui masukan dari pihak di luar para pihak yang berperkara, seperti menggunakan hasil penelitian, mengundang ahli atau berdiskusi dengan pihak yang dinilai memahami masalah-masalah yang sedang diperiksa. Keterbukaan pikiran dan luasnya informasi yang didapat oleh Hakim, akan membantu hakim sendiri untuk menghasilkan putusan yang adil dengan pertimbangan yang arif dan bijaksana. Jika merujuk pada pengertian amicus curiae sebagaimana dibahas sebelumnya, bahwa terdapat tiga kategori amicus curiae yaitu: 1. mengajukan ijin/permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan, 2. memberikan pendapat atas permintaan Hakim, atau 3. Memberikan informasi atau pendapat atas prakarsanya sendiri. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, pihak ketiga berupa perorangan atau badan hukum perdata yang berada di luar pihak berperkara dapat melakukan intervensi dalam proses pemeriksaan perkara. Masuknya pihak ketiga ini (intervensi) diatur dalam pasal 83 UU No. 5 tahun 1986, yaitu dengan cara:20 1. kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan; 2. karena permintaan salah satu pihak (penggugat atau tergugat); atau 3. atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu. Demikian halnya, dalam persidangan pengujian undang-undang 19 20
14
Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 5 tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
BAB II - MENGENAL AMICUS CURIAE
di Mahkamah Konstitusi (“MK”), dalam hukum acaranya terdapat ketentuan bahwa pihak ketiga yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan bisa mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam sebuah pengujian undang-undang yang diajukan oleh orang lain.21 “Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung” yang dilibatkan dalam acara sidang MK tidak ubahnya Amicus Curiae yang hadir dan didengarkan keterangannya dalam sidang. Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/ 2005 mendefinisikan Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah “pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar Keterangannya” atau “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak danatau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud.”22 Secara khusus, dalam sistem peradilan pidana, jika kita merujuk pada pasal 180 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan
duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.23 Frasa “dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”, secara tidak langsung merujuk pada konsep amicus curiae, namun tidak “dilembagakan” secara khusus dalam sistem peradilan pidana kita. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep Amicus Curiae telah diadopsi sebagian dalam hukum acara TUN dan uji materi di MK. Namun, untuk amicus curiae dalam bentuk pemberian keterangan tertulis (amicus brief) secara mandiri, sejauh ini belum terdapat peratur21 Baca Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang 22 ibid 23 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
15
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
an yang mengaturnya. Walaupun demikian, pemberian komentar tertulis (amicus brief) dalam prakteknya telah berlangsung dalam praktek hukum di Indonesia, baik di ranah peradilan pidana, perdata, maupun ketatanegaraan. Kasus-kasus, dimana terdapat amicus brief yang diajukan, yang berhasil diidentifikasi antara lain sebagai berikut: Tahun
Amici(s)
Nama Kasus
Issue
1999
Diajukan oleh lebih dari 20 LSM dan Kantor Media, diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ARTICLE 19, Associated Press
2005
The Centre On Housing Rights Dalam gugatan Class AcAnd Eviction (COHRE) tion Perbuatan Melawan Hukum dalam Perkara ganti kerugian korban eks tahanan politik 1965 (stigma 65)
Hak atas Perumahan Hak Atas Pekerjaan
2009
Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR),Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Dan Perhimpunan Bantuan Hukum Dan HAM Indonesia (PBHI)
Dalam Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri Tangerang Antara Negara Republik Indonesia Melawan Prita Mulyasari (Kasus Prita)25
Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
2009
Tempo
Dalam Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Makassar Antara Negara Republik Indonesia Melawan Upi Asmaradhana
Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (Kebebasan Pers)
Peninjauan Kembali (PK) Hak Kebebasan BerpenAntara Time Inc. Asia, Et. dapat dan Berekspresi Al Melawan H.M. Suharto (Kebebasan Pers) Tahun 1999.24
Untuk membaca amicus brief Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Antara Time Inc. Asia, Et. Al Melawan H.M. Suharto, dapat diakses di www. ibanet.org/Document/Default.aspx?DocumentUid=E0D5DF8D 25 Untuk membaca amicus brief ini, dapat diakses di https://anggara.files.wordpress. com/2009/10/prita_brief.pdf 24
16
BAB II - MENGENAL AMICUS CURIAE
2009
The Centre On Housing Rights Dalam Perkara Gugatan And Eviction (COHRE) Class Action Penggusuran Rumah Warga Di Daerah Papanggo, Jakarta Utara.
2010
Hamid Chalid, Topo Santoso, Ningrum Sirait, Laode Syarif dan Edward O.S. Hiariej.
Dalam Perkara Praperadil- Kriminalisasi Komisioner KPK an Atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra di Mahkamah Agung.26
2010
The Becket Fund For Religious Liberty
Dalam Pengujian UU Hak Kebebasan BeragaNo.1/PnPS/1965 tentang ma/Berkeyakinan Pencegahan dan Penodaan Agama terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi
2011
Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Dan Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Dalam Perkara Pidana di tingkat Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia Antara Negara Republik Indonesia Melawan Erwin Ananda (Kasus Majalah Playboy);27
Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (Kebebasan Pers)
2012
Asian Human Rights Commission Hong Kong
Dalam Perkara Pidana Penodaan Agama dengan terdakwa Alexander Aan (Kasus Facebook Atheis Minang) di Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung28
Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Hak atas Perumahan Hak Atas Pekerjaan
26 Untuk membaca amicus brief ini dapat diakses di http://katadata.co.id/berita/2014/07/16/bibit-chandra-pernah-didukung-%E2%80%9Csahabat-pengadilan%E2%80%9D#sthash.eCJOMXAV.dpuf http://katadata.co.id/berita/2014/07/16/ bibit-chandra-pernah-didukung-%E2%80%9Csahabat-pengadilan%E2%80%9D 27 Untuk amicus brief kasus inihttp://advokasi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/01/2011_amicus_brief_Kasus-Erwin-Arnanda.pdf 28 Untuk amicus brief kasus ini, dapat diakses di http://indonesiatoleran.or.id/2012/11/ amicus-curiae-kasus-alexander-aan/
17
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
2013
Erry Riana Hardjapamekas, Chandra M. Hamzah, Anis Baswedan, Kusmayanto Kadiman, Sofyan Djalil dkk.29
Mahkamah Agung Antara Negara Republik Indonesia Melawan Indar Atmanto Dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi Jaringan 3G Antara Indosat Dan IM2 (Tahun 2013)
Dampak putusan, jika hakim sependapat dengan dakwaan jaksa, akan mengancam masa depan industri dan penyelenggaraan telekomunikasi nasional serta kelangsungan pembangunan infrastruktur telekomunikasi
2013
Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague Imparsial, KontraS, dan LBH Masyarakat,
Dalam kasus tindak pidana narkotika dengan terdakwa Lindsay Sandiford yang di vonis pidana mati di tingkat kasasi di Mahkamah Agung.30
Hak bantuan kekonsuleran Hak atas Hidup Perdebatan mengenai tindak pidana narkotika yang tidak dapat dianggap sebagai kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) menurut hukum hak asasi manusia internasional
2014
34 (tiga Puluh empat) tokoh, diantaranya : Abdillah Toha, Arifin Panigoro, Albert Hasibuan, Darmin Nasution dan Denny Indrayana
Dalam kasus Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam perkara Pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penetapan PT Bank Century Tbk. Sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik antara Negara Republik Indonesia melawan Budi Mulya
Kesalahan penerapan hukum yaitu kebijakan bail out tidak dapat dipidana
http://inet.detik.com/read/2013/02/11/105328/2166419/328/mantan-menkominfo-hingga-eks-ketua-kpk-pun-turun-gunung 30 Amicus Curiae - Lindsay Sandiford, oleh Imparsial, KontraS, dan LBH Masyarakat http://lbhmasyarakat.org/Mdetail_publikasi.php?id=63 29
18
BAB II - MENGENAL AMICUS CURIAE
2014
Muktiono, SH., M.Phil. Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Pengujian UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Hak Berkeluarga Hak Kepastian Hukum
Sumber : Diolah oleh The Indonesian Legal Resource Center, 2014
Memberikan amicus brief (komentar tertulis) bagi kalangan akademisi sangat penting, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : 1. Untuk berpartisipasi dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis, 2. Menjaga proses penegakan hukum dan mendorong hakim untuk terus memperbaharui pengetahuannya, 3. Menjaga kebebasan akademik yang dimilikinya, dengan mengeksplorasi pengetahuan dan pendapatnya seluas-luasnya, tanpa kepentingan dan keterikatan dengan para pihak yang berperkara; 4. Efisiensi, karena seseorang tidak perlu menyediakan waktu khusus untuk datang ke Pengadilan.
19
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
20
BAB III PANDUAN MENULIS AMICUS BRIEF
A. PANDUAN UMUM MENULIS AMICUS BRIEF Amicus brief dapat dianggap sangat membantu pengadilan, jika informasi yang diberikan bersifat baru dan sangat bermanfaat untuk hakimdalam memutuskan sebuah perkara. Namun, disisi lain, jika tidak membawa informasi baru dan bermanfaat, maka hal tersebut akan menjadi beban bagi pengadilan, dan dalam situasi seperti itu, amicus brief tidak akan bermanfaat. Walau, pendapat amici(s) tidak wajib untuk dipertimbangkan, namun kualitas amicus brief sedikit banyak akan membantu hakim dalam memahami persoalan yang sedang diadilinya. Untuk menjaga kualitas amicus brief, maka dalam mengajukan amicus brief terdapat hal-hal yang harus dipahami, yaitu peran “sahabat pengadilan” sendiri, diantaranya yaitu : - Sahabat Pengadilan harus melayani pengadilan dalam menemukan keadilan, ia tidak bertindak sebagai "teman" untuk salah satu pihak berperkara atau ia bukan bagian dari para pihak berperkara
21
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
dan tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest). Karena tujuan utamanya untuk menemukan keadilan, maka seseorang/ kelompok harus mempertimbangkan dan memperhatikan kompetensi pengetahuan dan integritasnya agar tidak terjebak dalam ‘kepentingan’ para pihak yang berperkara; - Sahabat Pengadilan memiliki peran yang berbeda tipis antara memberikan informasi tambahan dan mendukung dalil dari salah satu pihak. Dalam hal ini, sahabat pengadilan tidak dapat mengangkat isu-isu yang para pihak berperkara sendiri tidakmengangkatnya, karena hal itu adalah tugas para pihak dan kuasa hukumnya; - Peran amici(s) apakah berpartisipasi secara mandiri, dengan izinatau undangan pengadilan, sahabat pengadilan memiliki kapasitas terbatas untuk bertindak secara hukum. Amici(s) tidak dapat mengajukan pembelaan, eksepsi atau alat bukti. Pada dasarnya Amicus Brief dapat berupa keterangan singkat tentang satu argumen atau pembahasan tentang poin tertentu saja, yang dapat dituangkan dalam bentuk makalah, artikel, atau tulisan lepas, namun bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Sehingga tidak terdapat standar baku penulisan amicus brief ini
B. STRUKTUR PENULISAN Berikut struktur penulisan, yang berkembang di Indonesia, sebagai berikut :
22
BAB III - PANDUAN MENULIS AMICUS BRIEF
I. Halaman Judul “[Judul]” KETERANGAN TERTULIS [Nama] Sebagai Sahabat Pengadilan/Amicus Curiae atau Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung Pada Perkara [Nomor dan Judul Perkara] [satu paragraph rangkuman keterangan atau kutipan dari kesimpulan] [Nama kota, tanggal dan tahun]
II. IDENTITAS DAN KEPENTINGAN PIHAK TERKAIT -
Nama, riwayat singkat pribadi dan/atau latar belakang organisasi. Kepentingan atau kepedulian terhadap perkara. Alasan keterangan perlu diterima dan dipertimbangkan. Alamat surat atau nomor yang dapat dihubungi.
III.RINGKASAN PENDAPAT/KETERANGAN - Satu halaman rangkuman dari seluruh pendapat/keterangan yang diberikan/
IV. PENDAPAT/KETERANGAN A. [Pendahuluan] B. [Pembahasan] C. [Kesimpulan]
23
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
V. DAFTAR PUSTAKA VI.LAMPIRAN -
Data, statistik. Surat, Dokumen. Kliping. Dan lain-lain.
C. CONTOH SURAT PENGANTAR Kepada Yang Terhormat, Majelis Hakim Pemeriksa Perkara [Nomor dan Judul] [Nama Pengadilan tempat perkara diperiksa] Dengan homat, Saya yang bertandatangan di bawah ini, [nama], dengan ini memohon perkenanan Majelis Hakim untuk menerima keterangan yang saya ajukan secara tertulis, serta mempertimbangkannya dalam memeriksa dan memutus perkara [Nomor dan Judul Perkara]. Keterangan ini saya ajukan sebagai “Sahabat Pengadilan” (“Amicus Curiae”/”Friend of the Court”) atau Pihak Terkait Yang Berkepentingan Tidak Langsung. Tulisan ini saya persiapkan untuk memberikan informasi dan hasil kajian akademis terhadap pokok permasalahan dalam kasus yang sedang diperiksa. Melalui tulisan terlampir, saya berpendapat bahwa: 1. [alasan] 2. [alasan] 3. [alasan] Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, saya berharap keterangan tertulis ini dapat diterima dan dipertimbangkan Majelis dalam mempertimbang dan memutus perkara dimaksud. [Nama Kota], [tanggal] [Bulan dan Tahun] Hormat kami,
[tanda tangan] [nama]
24
BAB III - PANDUAN MENULIS AMICUS BRIEF
D. Pengiriman Amicus brief dicetak di atas kertas ber-kop (bila organisasi), dan dikirimkan dengan Surat Pengantar yang dibubuhkan tandatangan ke alamat pengadilan yang dimaksud. Misalkan untuk amicus brief ke Mahkamah Konstitusi, dikirimkan ke : Kepada Yang Terhormat, Majelis Hakim Konstitusi Pemeriksa Perkara Pengujian [Nomor dan Judul Perkara]. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6 Jakarta Pusat 10110
Amicus Brief dapat dikirimkan langsung ke Mahkamah Konstitusi atau melalui jasa pengiriman tercatat. Amici(s) dapat menginformasikan amicus brief-nya kepada para pihak atau masyarakat umum.
25
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
26
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik (BPS), Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2010, BPS, Jakarta, 2011 ELSAM et all,“ "Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Kemerdekaan Berpendapat yang Inkonstitusional”", Amicus Curiae (Komentar Tertulis) diajukan oleh: ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI dan YLBHI Pengadilan Negeri Tangerang No Perkara: 1269/PID.B/2009/PN.TNG Kasus: "“Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia"”, Jakarta, Oktober 2009 Erlania SH, Amicus Curiae dalam Peradilan di Indonesia Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) et.all, Amicus Brief (Komentar Tertulis) Untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung RI Pada Kasus Erwin Arnada Vs. Negara Republik Indonesia, Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),Jakarta, 2011
27
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang Tim Advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Tentang Amicus Curiae atau Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung, leaflet, tidak dipublikasikan, Jakarta, 2010 The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama: Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi 2011 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana http://advokasi.elsam.or.id http://amicuscuriae.org http://definitions.uslegal.com http://education-portal.com http://indonesiatoleran.or.id http://katadata.co.id http://lbhmasyarakat.org http://legal-dictionary.thefreedictionary.com http://news.detik.com http://www.hukumonline.com http://www.merriam-webster.com https://anggara.files.wordpress.com http://www.ibanet.org
28
LAMPIRAN
LAMPIRAN
AMICUS BRIEF
1. Amicus Brief Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Keterangan Amicus Curiae oleh Asian Human Rights Commission Hong Kong untuk Kasus Alexander Aan Terdakwa vs. Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia (No. Reg. Perkara 45/PID.B/2012/PN.MR) di Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung 3. Amicus Brief Oleh The Becket Fund For Religious Liberty (Organisasi Non-Pemerintah Memegang Status Konsultatif Dengan Dewan Ekonomi Dan Sosial PBB (Ecosoc) Of The United Nations) Washington, Dc, Amerika Serikat untuk Permohonan Untuk Uji Materi UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (No. 140/PUUVII/2009) di Mahkamah Konstitusi 29
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
30
Lampiran 1
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------------------------------------------------------------AMICUS CURIAE Untuk mendukung Para Pemohon dalam Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 -----------------------------------------------------------------------------
Diajukan oleh: Muktiono, SH., M.Phil. Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono No. 169 Malang 65145, Indonesia
31
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
DAFTAR ISI Rumusan Pertanyaan Identitas dan Kepentingan Amicus Curiae Ringkasan Pendapat Pendapat I. Domain konstitusi terhadap kriteria perkawinan yang sah sebagai prasyarat dalam melaksanakan hak dasar untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan II. Konstruksi normatif konstitusi tentang perkawinan yang sah sebagai acuan dasar bagi penilaian dan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya terkait pelaksanaan hak dasar untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan Kesimpulan
32
LAMPIRAN 1
RUMUSAN PERTANYAAN
"Bagaimanakah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar yang menjadi acuan penilaian dan pembentukan norma-norma dalam undang-undang, secara internal merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan sebagai prasyarat dalam melaksanakan hak dasar warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan?"
33
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
34
LAMPIRAN 1
IDENTITAS DAN KEPENTINGAN AMICUS CURIAE
Amicus Curiae ini disusun sebagai bentuk partisipasi publik terhadap proses penggalian nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang dilakukan oleh para Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa kedilan yang hidup dalam masyarakat”. Penyusun Amicus Curiae adalah Ketua Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (PPHD) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang beralamat di Jalan MT. Haryono No. 169 Malang 65145, Indonesia, Telp. (0341) 553 898, Fax. (0341) 566 505. PPHD secara struktur merupakan salah satu lembaga yang bernaung di bawah aktivitas laboratorium hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan visi utamanya adalah ikut berkontribusi dalam 35
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
upaya-upaya pemajuan dan penegakan hak asasi manusia melalui aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Penyusun Amicus Curiae bukan merupakan pihak terkait dalam proses permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi untuk Perkara Nomor 68/PUUXII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyertaan Amicus Curiae ini berdasarkan kepentingan untuk ikut memajukan dan menegakan nilai dan prinsip hak asasi manusia yang telah menjadi hak-hak dasar dalam Konstitusi Republik Indonesia, khususnya Pasal 28B ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Memandang bahwa hak asasi manusi mempunyai prinsip saling ketergantungan antara pemenuhan hak yang satu dengan yang lainnya; maka, proses permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai nilai strategis terhadap keseluruhan proses pemajuan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
36
LAMPIRAN 1
RINGKASAN PENDAPAT
1. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan merupakan bagian dari hak dasar yang dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk dapat melaksanakan hak tersebut maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menetapkan prasyaratnya yaitu dilakukan melalui lembaga perkawinan yang sah. Dengan demikian, kategori dan kriteria pelembagaan perkawinan yang sah sudah menjadi bagian dari pengaturan dalam konstitusi dan karenanya menjadi aturan dasar yang harus diikuti dan menjadi acuan dalam penilaian maupun pembentukan norma-norma terkait perkawinan yang ada di tingkat undang-undang. 2. Kriteria keabsahan perkawinan dalam rangka pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengacu pada rumusan kesimpulan “Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan 37
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
prinsip negara hukum yang demokratis”. Rumusan tersebut memberikan ruang perlindungan yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap ragam nilai dan ekspresi keagamaan terkait dengan pelaksanaan perkawinan yang secara faktual ada dan berkembang di Indonesia. 3. Dengan demikian, kriteria perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” adalah bertentangan dengan pokok-pokok pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah Inkonstitusional.
38
LAMPIRAN 1
PENDAPAT I
DOMAIN KONSTITUSI TERHADAP KRITERIA PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI PRASYARAT DALAM MELAKSANAKAN HAK DASAR UNTUK MEMBENTUK KELUARGA DAN MELANJUTKAN KETURUNAN
1. Pokok masalah yang menjadi objek pengujian dari para Pemohon adalah terkait dengan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu"; 2. Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa UndangUndang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2); 3. Selain dalil-dalil sebagaimana yang telah disampaikan oleh para Pemohon maka terdapat juga beberapa pendapat hukum yang sekiranya dapat dipertimbangkan oleh para Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mendukung permohonan para Pemohon sebagaimana yang akan diuraikan dalam uraian-uraian selanjutnya yang berfokus pada aspek hak sipil kewarganegaraan berdasarkan prinsip39
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
prinsip yang ada dalam negara hukum (rule of law), keadilan sosial (social justice), dan hak asasi manusia (human rights). 4. Konstitusi Indonesia disusun oleh para founding fathers dengan tujuan utama atau cita hukum (rechsidee) yaitu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang: a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahteraan umum; c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; d. Berperan serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Cita hukum tersebut sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan (Preambule) UUD NRI Tahun 1945. 5. Dengan dasar argumentasi bahwa Pembukaan (Preambule) UUD NRI Tahun 1945 merupakan cita hukum (rechtsidee) yang menjadi dasar pikiran dari semua ketentuan yang ada dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945; dengan demikian maka kerangka tujuan dari norma “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalu perkawinan yang sah” adalah agar pemerintahan negara sebagai lembaga pelaksana (executive body) dapat mewujudkan perlindungan dalam arti seluas-luasnya secara imparsial dan setara (equal) terhadap seluruh warga negara, memajukan kesejahteraan umum (social welfare), mencerdaskan bangsa, serta ikut berperan aktif dalam mewujudkan peradaban dunia yang tertib, memerdekakan, damai dan berkeadilan sosial. Hal ini juga menegaskan kembali adanya hubungan yang tidak terpisahkan, sebagai satu kesatuan, antara ketentuan dalam Preambule dengan ketentuan pada Batang Tubuh dari UUD NRI Tahun 1945 (Pasal II Aturan Tambahan).
40
LAMPIRAN 1
6. Terkait dengan pokok masalah yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon yaitu Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, ketentuan norma yang mengatur secara khusus, langsung dan eksplisit dari UUD NRI Tahun 1945 tentang masalah Keluarga dan Perkawinan adalah Pasal 28B ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. 7. Dalan konstruksi norma Pasal 28B ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, secara gramatikal (objektif) dapat dilakukan identifikasi elemen norma sebagai berikut (sebagai frasa maka diberi tanda kutip) : a. “Setiap Orang Berhak” b. “Membentuk Keluarga” c. “Melanjutkan Keturunan” d. “Melalui Perkawinan yang Sah” 8. Sebelum secara spesifik membahas pemaknaan dan penafsiran terhadap Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 secara objektif atau gramatikal maka pertama kali perlu diperhatikan bahwa Pasal a quo merupakan bagian dari BAB XA tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM). Hal ini menegaskan bahwa isu hak asasi manusia merupakan bingkai penting dalam merekonstruksi makna dan tafsir atas Pasal a quo. HAM dalam konteks proses pengujian Pasal a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945 tentu saja telah mengalami transformasi secara hukum menjadi Hak Konstitusi (Constitutional Rights) yang bersifat domestik ke-Indonesiaan. Penyempitan tersebut merupakan konsekuensi atas prinsip Yurisdiksi Negara khususnya terkait masalah kedaulatan hukum 41
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
nasional sebuah negara (legal jurisdiction). Namun demikian, terkait konsep dan prinsip HAM tentu saja tidak bisa hanya berkutat pada konteks hukum nasional Indonesia sebab terdapat salah satu prinsip utama dan pokok dari HAM yaitu Prinsip Universalitas HAM yang dibangun dan dikembangkan melalui ranah Hukum Internasional. Dengan demikian, pendekatan analisis HAM yang digunakan berikutnya adalah bersifat koeksisten dan saling melengkapi antara cara pandang terhadap Hak Dasar yang diadopsi oleh UUD NRI Tahun 1945 dengan cara pandang terhadap HAM yang dikenal dan berlaku dalam sistem Hukum Internasional. Cara pandang dikotomis apalagi yang antagonistik terhadap Hak Dasar (constitutional rights) dan HAM (human rights) sudah semakin tidak relevan dan ditinggalkan dalam perdebatan ilmiah para cendekiawan di tingkat internasional maupun praktek-praktek peradilan terutama di negara-negara yang mempunyai sistem dan praktek peradilan yang baik. 9. Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pada awal kalimat menyebutkan frasa “Setiap Orang Berhak”. Frasa “Setiap Orang Berhak” memberikan arti bahwa penganugerahan (entitlement) hak dasar dari UUD NRI Tahun 1945 ditujukan secara setara (equal) kepada setiap warga negara Indonesia tanpa ada diskriminasi berdasarkan alasan apapun seperti, dan tidak terbatas pada, suku, jenis kelamin, agama, keyakinan, ras, warna kulit, status sosial, haluan politik, penguasaan kekayaan atau properti, dan lain sejenisnya.Dengan demikian maka Pemegang Hak (right holders) dalam konteks Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945sebagai Subjek Hukum (legal person) mempunyai kedudukan yang setara antara satu orang dengan yang lainnya. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. 42
LAMPIRAN 1
“Setiap Orang Berhak” juga merupakan bentuk realisasi dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat…”. “Kedaulatan” tersebut pada konteks pra terbentuknya negara atau prakemerdekaan negara disebut “Hak untuk menentukan nasib sendiri” (the right to self-determination) sebagai bentuk klaim yang dimiliki secara kolektif oleh kelompok individu dari suatu teritori tertentu (yang kelak kemudian disebut wilayah negara) untuk terbebas dari belenggu penjajahan atau kolonialisme. Saat era kemerdekaan seperti sekarang ini, “Kedaulatan” tidak hilang dari rakyat melainkan diserahkan sebagian kepada otoritas negara melalui instrumen hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “…dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sedangkan sebagian lain “Kedaulatan” tersebut tetap dimiliki oleh setiap warga negara melalui instrumen yang disebut “hak-hak dasar (constitutional rights)” atau yang secara lebih general atau global disebut “hak asasi manusia (human rights)”. Dengan demikian rakyat masih mempunyai ruang-ruang kemerdekaan secara privat untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan kehendaknya sendiri (positive liberty). Selain itu, kemerdekaan rakyat juga meliputi aspek terbebasnya mereka dari intervensi yang tidak legitimate yang dilakukan oleh pihak lain termasuk negara (negative liberty). Oleh sebab itu, pembatasan kemerdekaan baik yang ditujukan pada hak-hak dasar (constitutional rights) maupun pada hak asasi manusia (human rights) oleh otoritas negara diatur sangat ketat seperti ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “…ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Esensi dari pembatasan adalah untuk 43
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
menjamin terpenuhinya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar itu sendiri, dan bukan berfokus pada aspek pembatasannya. Oleh karena itu dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 digunakan frasa “…dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain…” serta “…dalam suatu masyarakat demokratis”. 10.Khusus terhadap pembatasan terhadap Hak Sipil dan Politik warga negara, yang salah satunya adalah termasuk hak untuk melakukan sebuah perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945; sebanyak 31 ahli hukum independen terkemuka di tingkat internasional secara khusus bertemu dan merumuskan sebuah pedoman terkait pembatasan hak sipil dan politik yang dikenal dengan Prinsip Siracusa (Siracusa Principles) yang kemudian diadopsi oleh PBB melalui dokumen No. UN Doc. E/CN.4/1984/4 (1984). Hakim Konstitusi dalam proses penemuan hukum (rechtsvinding) dalam perkara a quo dapat menggunakan Prinsip Siracusa tersebut sebagai salah satu sumber penggalian nilai hukum untuk menafsir dan memaknai ketentuan pembatasan pada Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa kedilan yang hidup dalam masyarakat”. Menurut penjelasan pasal tersebut, ketentuan tersebut bertujuan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Makna “hukum” dan “rasa keadilan” tentu lebih luas daripada sekedar “undang-undang”. Tentang “masyarakat” pun mempunyai makna yang lebih luas daripada hanya sekedar masyarakat di suatu teritori negara tertentu, tetapi juga meliputi masyarakat manusia yang lebih universal. Dari aspek kajian akademis yuridis, semakin 44
LAMPIRAN 1
luas suatu pendapat hukum oleh seorang yuris atau hakim dapat diterima oleh kalangan akademisi dan praktisi maka semakin kuat akan kebenaran ilmiahnya dan dapat menjadi salah satu sumber hukum yang menjadi acuan oleh para Hakim. 11.Prinsip Siracusa menekankan adanya pengujian yang ketat terhadap setiap upaya negara dalam membatasi hak sipil dan politik warga negara (selanjutnya hanya akan disebut hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan guna mempermudah membaca koherensi argumentasi dan pembacaan kasus yang dimohonkan pengujian). Berdasarkan Siracusa Principles, ketentuan umum terkait prinsip-prinsip interpretasi yang seharusnya digunakan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menerapkan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 terhadap norma Pasal 28B ayat (1) yang berupa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” adalah sebagai berikut: a. Tidak diperkenankan adanya pembatasan maupun penggunaan dasar pembatasan terhadap hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah di luar ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional terkait hak sipil dan politik itu sendiri (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR). Pasal 5 ICCPR menekankan adanya larangan bagi setiap negara, kelompok masyarakat atau individu untuk melakukan suatu aktivitas yang sekiranya bertujuan atau dapat merusak penegakan hak sipil dan politik yang mana salah satunya adalah hak atas perkawinan. Selain itu, pembatasan oleh berbagai macam aturan hukum maupun adat kebiasaan tidak diperbolehkan apabila sekiranya pembatasan tersebut akan memperlemah atau mengurangi derajat pengakuan atau eksistensi dari hak, termasuk hak atas perkawinan; b. Lingkup pembatasan terhadap hak atas perkawinan tidak boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga membahayakan eksistensi 45
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
c.
d. e.
f. g.
h.
i.
46
dan esensi dari hak atas perkawinan itu sendiri; Semua klausula pembatasan harus ditafsirkan secara teliti, ketat dan seksama serta semata-mata demi kemanfaatan untuk hak atas perkawinan itu sendiri; Semua pembatasan harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan dan dalam konteks hak atas perkawinan; Semua pembatasan harus diatur dalam hukum dengan penekanan bahwa pembatasan tersebut juga harus bersesuaian dengan sasaran dan tujuan dari pemajuan dan penegakan hak sipil dan politik; Pembatasan terhadap hak atas perkawinan harus dilakukan dengan cara yang tidak sewenang-wenang; Kepada setiap pembatasan terhadap hak atas perkawinan harus dapat dimungkinkan untuk diajukannya keberatan dan ganti rugi apabila terjadi suatu penerapan yang diwarnai dengan kekejian (abusive). Pembatasan dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang penting (necessary) apabila pembatasan tersebut: i. Memiliki dasar aturan yang dapat membenarkan (justifying) adanya pembatasan; ii. Sebagai bentuk tanggapan terhadap suatu kebutuhan sosial yang penting dan mendesak; iii. Untuk mencapai suatu tujuann yang dapat dibenarkan atau sah (legitimate aim); iv. Bersifat proporsional atau sebanding dengan tujuan yang ingin dicapai; v. Memiliki pertimbangan penilaian yang objektif. Dalam menerapkan suatu pembatasan, otoritas negara tidak diperbolehkan menggunakan cara-cara pembatasan yang melebihi daripada yang seharusnya diperlukan untuk mencapai tujuan dari pembatasan;
LAMPIRAN 1
j. Merupakan tanggung jawab otoritas negara untuk membuktikan tentang pembenaran adanya suatu pembatasan; k. Untuk pembatasan yang sah terhadap hak atas perkawinan melalui suatu ketentuan undang-undang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: i. Penentuan pembatasan hak harus melalui sebuah undangundang yang berlaku secara umum dan nasional serta konsisten dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia; ii. Undang-Undang yang digunakan sebagai instrumen pembatasan pelaksanaan hak atas perkawinan tidak boleh mengandung unsur kesewenang-wenangan serta tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat tidak layak atau tidak fair (unreasonable); iii. Peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk membatasi pelaksanaan hak atas perkawinan harus memenuhi unsur kejelasan dan dapat diakses oleh setiap orang; iv. Melalui aturan hukum harus dibentuk suatu mekanisme perlindungan dan ganti rugi yang efektif dari setiap tindakan ilegal serta pembebanan atau penerapan yang keji atas suatu pembatasan hak atas perkawinan. l. Apabila pembatasan hak atas perkawinan dilakukan berdasarkan alasan “ketertiban umum (public order)” maka harus memenuhi kriteria sebagai berikut: i. Ketertiban umum dapat dimaknai sebagai seperangkat aturan yang mampu memastikan berfungsinya tatanan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip fundamental darimana masyarakat tersebut terbentuk. Penghargaan terhadap hak asasi manusia adalah bagian terpenting dari suatu ketertiban umum; ii. Ketertiban umum harus ditafsirkan dalam konteks tujuan dari adanya hak atas perkawinan; 47
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
iii. Organ-organ kekuasaan negara yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan ketertiban umum harus dapat dijadikan objek pengawasan ketika dalam proses penggunaan kewenangan atau kekuasaannya. Pengawasan tersebut dapat melalui lembaga perwakilan rakyat, pengadilan, atau lembaga independen yang kompeten lainya. 12.Frasa “membentuk keluarga” dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan bentuk realisasi atau pelaksanaan dari “setiap orang berhak”. Jadi domain dari tindakan “membentuk keluarga” adalah pada kehendak bebas (free consent) warga negara sebagai pemegang hak dasar (right holder) yang secara asali masuk dalam ranah hukum privat atau keperdataan. Sebagaimana dijelaskan pada poin (9) di atas maka segala kegiatan keperdataan untuk “membentuk keluarga” pada prinsipnya jatuh pada aspek kemerdekaan setiap individu atau “setiap orang” untuk menentukannya (positive liberty) dan terbebas dari intervensi pihak lain yang tidak legitimate (negative liberty). Dalam tinjauan konsep hukum (rule of law), keadilan sosial (social justice), dan hak asasi manusia (human rights), aktivitas kemerdekaan setiap individu untuk “membentuk keluarga” mempunyai dimensi yang cukup kompleks dan saling melengkapi antara konsep satu dengan yang lainnya. Hakikat kehadiran hukum negara dalam proses “membentuk keluarga” adalah bersifat komplemen dan pada posisi bertindak secara pasif (negative action) berdasarkan prinsip kewajiban negara untuk menghormati terhadap hak sipil kewarganegaraan (obligation to respect). Hal ini juga menunjukkan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat…” yang masih menyisakan kemerdekaan pada setiap orang untuk menentukan tujuan hidup dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 48
LAMPIRAN 1
NRI Tahun 1945. Prinsip negara hukum (rule of law) yang diadopsi dalam Pasal yang sama mengatakan bahwa“…dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” secara konsep kesejarahan maupun filosofisnya lebih menekankan pada aspek pencegahan terjadinya tindakan kesewenang-wenangan entitas penguasa negara dalam menjalankan kekuasaannya pada rakyat. Jadi dalam negara hukum, aturan dasar beserta undang-undang dan peraturan pelaksana di bawahnya dalam konteks “setiap orang berhak membentuk keluarga” ditempatkan pada aspek penghormatan negara (obligation to respect) terhadap kemerdekaan warga negaranya (positive and negative liberty) dan mencegah setiap bentuk intervensi negara yang bersifat sewenang-wenang dan keji (abusive interference). Dalam konteks Indonesia, jika kemerdekaan dalam “membentuk keluarga” tanpa disertai turut campur negara yang tidak perlu dan tidak proporsional melalui instrumen peraturan perundangundangan maka akan memberikan ruang yang cukup luas dan memadai dalam implementasi dan ekspresi ke-Bhinneka Tunggal Ikaan melalui norma-norma sosial non-hukum lainnya seperti norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan adat istiadat. Negara hukum (rule of law) tidak bisa diartikan bahwa segala aspek kehidupan masyarakat diatur secara ketat melalui peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga resmi negara. Pada sisi yang lain negara juga perlu memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan pribadi dan sosialnya berdasarkan norma-norma sosial yang masih hidup dan berkembang secara dinamis dalam kehidupan nyata (living law). Hal ini juga telah menjadi hukum dasar Indonesia yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 khususnya Pasal 18B ayat (2) tentang pengakuan eksistensi dan penghormatan terhadap masyarakat adat beserta hak-haknya, Pasal 28I ayat (3) tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional, Pasal 29 ayat 49
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
(2) tentang kemerdekaan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing individu, dan Pasal 32 ayat (1) tentang jaminan kebebasan bagi masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan budayanya. Setelah memberi ruang yang seluas-luasnya terhadap kemerdekaan warga negara dalam mengatur diri dan sosialnya, termasuk dalam “membentuk perkawinan”, berdasarkan norma sosial selain norma hukum; maka, tugas negara selanjutnya adalah memastikan bahwa tidak terjadi penindasan, tindakan keji, dan perampasan hak-hak dasar anggota masyarakat dengan alasan-alasan komunitarianisme. Hal ini selaras dengan prinsip kewajiban negara untuk melindungi secara hukum terhadap warga negaranya berdasarkan prinsip kewajiban negara (obligation to protect) sebagaimana tertuang dalam dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hal ini berarti bahwa pembatasan pelaksanaan hak dasar berupa “membentuk perkawinan” oleh negara dimungkin jika dan hanya jika memenuhi secara ketat ketentuan yang ada dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 yang disertai penafsiran dan pemaknaan berdasarkan Siracusa Principles seperti yang sudah dibahas pada poin (10, 11). 13.Frasa “melanjutkan keturunan” dari Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan bentuk tindak lanjut atau konsekuensi dari pelaksanaan hak dasar berupa “setiap orang berhak membentuk keluarga”. Dengan demikian maka “melanjutkan keturunan” merupakan penanda penting bagi keutamaan dan nilai strategis dari sebuah pelaksanaan hak dasar berupa “membentuk keluarga”. Tanpa adanya suatu ikatan keluarga maka tidak mungkin dibentuk sebuah rantai regenarasi ras manusia yang dapat diterima secara moral 50
LAMPIRAN 1
dan kemanusiaan. Hal ini menjadi alasan mengapa upaya-upaya perkembangbiakan manusia sebagaimana binatang ditentang baik secara akademis, moral, dan hukum karena bertentangan dengan nilai-nilai dasar peradaban manusia. Nilai strategis dan agung dari pelaksanaan hak dasar berupa “membentuk keluarga” tersebut menambah derajat kewajiban bagi negara untuk memberikan penghormatan dan perlindungan terhadapnya. Jika prosedur dan proses hukum dalam “membentuk keluarga” dibatasi dan cenderung dipersulit dengan alasan-alasan yang tidak dapat diterima secara wajar dan proporsional oleh akal sehat, moral, dan juga prinsip-prinsip hak asasi manusia; maka, hal tersebut berarti negara telah melanggar kodrat kemanusiaan (humanity) berupa perlawanan terhadap proses regenerasi atau “melanjutkan keturunan” ras manusia sebagai khalifah di muka bumi. Negara wajib secara konstitusional berdasarkan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 untuk memfasilitasi proses “melanjutkan keturunan” oleh warga negaranya melalui lembaga yang disebut “keluarga”. Hak dasar berupa “melanjutkan keturunan” sebagaimana juga hak dasar berupa “membentuk keluarga” sebagai proses yang melekat pada realitas biologis, psikologis, spiritualitas dan sosial manusia meniscayakan adanya tuntutan keleluasaan dan kemerdekaan untuk melaksanakannya tanpa campur tangan yang tidak semestinya dari orang lain, komunitas, maupun negara. Hal ini tidak lepas dari status “membentuk keluarga” dan “melanjutkan keturunan” sebagai sebuah hak dasar atau hak asasi manusia yang di satu sisi dimiliki oleh warga negara (rights holder) dan di sisi lain secara paralel memberikan beban kewajiban kepada negara (duty bearer) untuk menghormati, memajukan, dan melindunginya.
51
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
52
LAMPIRAN 1
PENDAPAT II
KONSTRUKSI NORMATIF KONSTITUSI TENTANG PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI ACUAN DASAR BAGI PENILAIAN DAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAHNYA TERKAIT PELAKSANAAN HAK DASAR UNTUK MEMBENTUK KELUARGA DAN MELANJUTKAN KETURUNAN
14.Terkait dengan pelaksanaan hak dasar berupa “membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan”, terdapat frasa yang sangat penting pada bagian akhir dari Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “melalui perkawinan yang sah”. Kata “melalui” dalam frasa tersebut seolah memberikan makna yang sepadan dengan “kriteria” atau “prasyarat”. Dengan demikian, bisa saja timbul kesimpulan bahwa “melalui perkawinan yang sah” merupakan kriteria atau prasyarat dalam pemberian “hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan” kepada “setiap orang”. Dengan demikian, UUD NRI Tahun 1945 memberikan kriteria konstitusional terkait dengan pelaksanaan hak dasar untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan yaitu berupa lembaga perkawinan yang secara konstitusional sah. Kriteria keabsahan perkawinan secara konstitusional (marriage constitutionality) tidak diuraikan dan dijelaskan secara lebih rinci lagi dalam UUD NRI Tahun 1945. 53
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
15.Kriteria keabsahan perkawinan secara konstitusional (marriage constitutionality) yang diatur dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan bagian dari aturan dasar negara (verfassungnorm) yang letaknya di atas dan menjadi acuan bagi pembentukan norma-norma peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya (Gesetzgebungsnorm). Dengan menggunakan pendekatan hirarkhi norma tersebut maka isi norma dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak bisa ditafsir atau dimaknai berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundangundangan di bawahnya khususnya dalam suatu proses pengujian undang-undang terhadap UUD RI Tahun 1945 (constitutionality review). Yang menjadi landasan uji konstitusionalitas dari proses constitutional review tersebut adalah nilai internal (internal values) dari norma-norma UUD NRI Tahun 1945 itu sendiri sebagai sebuah sistem norma yang dalam proses tafsir dan pemaknaannya dapat menggunakan asas-asas hukum, nilai-nilai yang dan keadilan, teori dan prinsip hukum, nilai-nilai. 16.Standar “perkawinan yang sah” dalam konstitusi berhubungan erat dan terikat dengan pemaknaan dan interpretasi terhadap frasa lain dalam Pasal 28Bayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “Setiap orang berhak”, “membentuk keluarga” dan “melanjutkan keturunan”. Dengan demikian, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa menafsir dan memaknai “perkawinan yang sah” tidak lepas dari prinsip, standar, konsep dan nilai hak asasi manusia (human rights), kemerdekaan warga negara (positive libery, negative liberty), serta ke-Bhinneka-an bangsa Indonesia (lihat pembahasan pada poin (12)). “Perkawinan yang sah” dalam kerangka marriage constitutionality sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 harus dibedakan dengan marriage lawfulness (legalitas perkawinan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(selanjutnya disebut UU Per54
LAMPIRAN 1
kawinan) yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari segi hierarki norma, yang Pertama merupakan aturan dasar negara (verfassungnorm) yang menjadi dasar dan acuan untuk pembentukan norma-norma yang ada dibawahnya; sedangkan yang Kedua merupakan norma umum yang bersifat abstrak dari suatu tingkatan undang-undang yang sudah memiliki bentuk formal (formell gesetz). Dengan demikian maka kriteriakeabsahan perkawinan pada Pasal 2 (1) UU Perkawinan yang berbunyi “…apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” tidak dapat digunakan (invalidity and inapplicability) untuk memaknai dan menafsir frasa “…melalui perkawinan yang sah” yang ada dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 17.Selain aspek hierarki norma sebagaimana dijelaskan dalam poin (16), disparitas dan perbedaan konteks kesejarahan (historical context) juga sangat besar antara muatan norma dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. UU Perkawinan disahkan pada tanggal 2 Januari 1974 dengan dasar pertimbangan“sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional” yang apabila dilihat dari segi acuan terbentuknya undang-undang nampak terlalu abstrak dan umum serta tidak punya kaitan yang cukup jelas dan spesifik dengan lembaga Perkawinan. Padahal UU Perkawinan berada pada tingkatan Undang-Undang (formell gesetz), bukan aturan dasar negara (verfassungnorm) sehingga membutuhkan dasar pertimbangan filosofis dan sosiologis penyusunan yang lebih jelas dan spesifik. Selain itu, konsideran “mengingat” UU Perkawinan yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 serta terkait TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN sudah tidak relevan lagi dengan situasi perkembangan mutakhir sistem hukum Indonesia saat ini. Konteks politik hukum era pembentukan UU Perka55
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
winan adalah dominasi negara terhadap kehidupan warganya serta perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara masih belum menjadi perhatian dan perdebatan para pemangku kekuasaan negara. Dengan demikian, corak produk hukum yang dihasilkan juga masih mengutamakan kontrol negara yang sangat ketat terhadap kehidupan warga negaranya termasuk pada bidang kehidupan yang termasuk dalam rahan privat sekalipun seperti perkawinan. Hal tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan konteks lahirnya Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2000 yaitu lahirnya era reformasi yang mengganti rezim otoriter orde baru dengan kekuasaan negara yang lebih mengakui hak-hak sipil warga negaranya. Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar negara yang baru sebagai buah amandemen konstitusi kedua dan luaran (output) dari sebuah perjalanan panjang menuju era negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. 18.Setelah ketentuan “…melalui perkawinan yang sah” dalam Pasal 28B UUD NRI Tahun 1945 terbukti tidak bisa diinterpretasi, dimaknai atau pun disejajarkan secara hukum dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”; maka, menjadi persoalan berikutnya adalah tentang bagaimana menafsirkan dan memaknai “…melalui perkawinan yang sah” berdasarkan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 19.Untuk mencari konstruksi normatif atas perkawinan yang sah menurut konstitusi (marriage constitutionality), pada proses yang paling awal perlu ditegaskan bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakah sebuah sistem norma yang antara Pembukaan dengan Pasal demi Pasal maupun antara Pasal yang satu dengan Pasal yang lainnya mempunyai hubungan yang sangat erat (interrelated), saling tergan56
LAMPIRAN 1
tung (interdependent), dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya (coexistance and complementary). Hal ini memberikan modalitas yang cukup dan meyakinkan untuk memaknai secara internal tentang maksud dari frasa “…melalui perkawinan yang sah” dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal II Aturan Tambahan yang menyatakan bahwa “Dengan ditetapkannya perubahan UndangUndang Dasar ini, Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.” 20.Apabila “…melalui perkawinan yang sah” dianggap sebagai bentuk prasyarat atas pelaksanaan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan…”, maka kriteria konstitusi pertama yang relevan adalah terkait ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Substansi norma Pasal 1 ayat (2) menegaskan tentang prinsip supremasi demokrasi atau kekuasaan negara berdasarkan mandat rakyat yang pelaksanaannya bersandar pada mekanisme nomokrasi melalui konstitusi (lihat juga pembahasan pada Poin (9) Paragraf II). Sedangkan substansi Pasal 1 ayat (3) menegaskan tentang supremasi hukum dalam tata laksana kehidupan berbangsa dan bernegara (rule of law) yang mempunyai tujuan utama berupa pembatasan dalam penentuan dan penggunakaan kekuasaan negara. Dengan prinsip “kedaulatan rakyat” dan “negara hukum” maka kriteria “…melalui perkawinan yang sah” berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 haruslah semaksimal mungkin memberikan kemerdekaan kepada warga negara (positive liberty and negative liberty) untuk mengelola kedaulatan hak-hak sipil yang masih melekat kepada statusnya sebagai warga negara. Di sisi yang lain, “negara hukum” memberikan batas dan pengaman bagi warga negara dari setiap 57
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
pelaksanaan “kekuasaan atau kewenangan” yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara agar tidak terjadi tata kelola negara yang sewenang-wenang, keji, dan berorientasi pada pelaksanaan kekuasaan semata (abusive governance). 21.Apabila ketentuan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 terkait frasa “…melalui perkawinan yang sah” diletakkan dalam kerangka hubungan Warga Negara (citizen) dengan Negara (State), maka posisi negara adalah untuk “melindungi, memajukan, menegakan, dan memenuhi” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Kewajiban tindakan (obligation of conduct) tersebut dalam proses pelaksanaannya (obligation of process) tidak bisa dilepaskan dari prinsip dasar konstitusi yaitu negara tidak melakukan interfensi pada ranah pelaksanaan kedaulatan hak-hak sipil warga negara (non-interference principle) sesuai dengan Pasal 1 ayat (2). Selain itu, negara tidak boleh melakukan diskriminasi berdasarkan alasan apapun sesuai dengan Pasal 28I ayat (2) (non-discrimination principle) serta meletakan semua warga negara secara setara di depan hukum (equality before the law) sesuai dengan Pasal 27 jo. Pasal 28D ayat (1). 22.Dalam konteks kebudayaan masyarakat Indonesia, pelaksanaan hak konstitusi berupa “…membentuk keluarga…” tidak bisa lepas dari pelaksanaan dan ekspresi nilai-nilai keagamaan atau kepercayaan. Oleh sebab itu, UUD NRI Tahun 1945 melindungi setiap warga negara untuk melaksanakan secara internal dan mengekspresikan secara eksternal nilai-nilai keagamaan atau kepercayaan tersebut melalui ketentuan yang ada dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2). Pada semua pasal-pasal konstitusi tersebut posisi negara sebagaimana dijelaskan pada poin (21) yaitu untuk “melindungi, memajukan, menegakan, dan memenuhi” pelaksanaan hak dasar warga negara untuk “…membentuk keluarga…” dan sama sekali tidak masuk dalam ranah melakukan jus58
LAMPIRAN 1
tifikasi secara teologis terkait kebenaran suatu ajaran agama atau kepercayaan. Dengan adanya keragaman agama atau kepercayaan yang dipeluk oleh masyarakat; maka, pengakuan negara terutama oleh pemerintah terhadap hak keberagamaan atau berkepercayaan yang dimiliki oleh setiap warga negara bersifat adil, setara, dan tidak memihak atau diskriminatif. Dengan posisi netral negara terhadap semua umat beragama atau berkepercayaan tersebut; maka, tindakan hukum negara dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan sosial terkait kehidupan beragama atau berkeperacayaan bukanlah bersifat penentuan absah atau tidak absahnya secara teologis maupun spiritualitas.Negara hanya bersifat memastikan peristiwa hukumnya saja melalui fasilitas hukum administrasi negara sehingga pelaksanaan hak dasar warga negara mendapat kepastian dan perlindungan hukum. Justifikasi kebenaran teologis atau spiritualitas dari peristiwa hukum “…membentuk keluarga…” tetap menjadi domain masing-masing individu atau kelompok individu pemeluk agama atau kepercayaan. Dengan demikian, keragaman pandangan secara teologis atau spritual terhadap keabsahan suatu peristiwa “…membentuk keluarga…” tetap diserahkan pada pilihan masing-masing individu pelaku perkawinan sebagai sebuah bentuk kemerdekaan pelaksanaan hak sipil warga negara. Hukum yang bersifat umum atau publik dan dijalankan melalui kewenangan lembaga-lembaga negara berfungsi semata-mata “Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokrtis…” sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. 23.Sejauh penjelasan yang telah dibuat maka Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 memberikan tafsir yang jelas dan relevan terhadap ketentuan yang ada dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian maka frasa “…melalui perkawinan yang 59
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
sah” dapat diartikan sebagai “perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis”. 24.Sehingga, definisi beserta kriteria perkawinan yag sah secara konstitusional (contitutional marriage) yaitu “Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis”, dan bukan sebatas pada makna sempit, ambigu, dan kabur sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yaitu “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kekurangan mendasar dari norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tersebut adalah tentang kapasitas akomodatif dan fasilitatifnya terhadap realitas sosial berupa keragaman umat beragama atau berkepercayaan di Indonesia yang secara normatif telah menjadi bagian dari hak dasar yang diakui, dijamin dan dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945.
KESIMPULAN Sebagai kesimpulan maka sangat beralasan dan mempunyai landasan hukum yang sangat kuat dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945 apabila Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan yang pada pokoknya membenarkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu” sudah tidak mempunyai landasan konstitusi dan oleh karenanya sudah sepatutnya untuk dicabut dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pendapat hukum ini tidak sama sekali bertujuan untuk meng60
LAMPIRAN 1
hapus aspek relijiusitas dari proses pembentukan lembaga keluarga melalui perkawinan, melainkan sebaliknya, yaitu justru ingin memperkokoh pelaksanaan hak dasar warga negara berupa pelaksanaan baik secara internal maupun eksternal hak atas keberagamaan atau berkeperacayaan. Hal tersebut dicapai melalui peletakan secara konstitusional yang proporsional atas posisi negara terhadap pelaksanaan hak sipil warga negara dengan berpedoman pada kriteria bahwa “Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis”. Eksistensi keberagamaan atau berkepercayaan warga negara yang beragam justru akan terjamin dan terlindungi apabila jurisdiki negara terhadap justifikasi keabsahan perkawinan dilakukan pada ranah peraturan perundang-undangan dan bukan pada area teologis atau spiritualitas. Negara tidak menilai tentang bagaimana absahnya suatu agama atau kepercayaan mengatur sebuah perkawinan, melainkan negara hanya sebatas memberikan kepastian hukum terhadap suatu perkawinan yang telah disahkan berdasarkan proses keagamaan atau kepercayaan yang dianut dan dilaksanakan oleh setiap pasangan melalui pengakuan secara administratif. Dengan demikian maka baik “Warga Negara” maupun “Negara” tidak mengalami kesulitan dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya masing-masing terkait dengan pelaksanaan hak dasar berupa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” .
61
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
62
Lampiran 2
Kepada
Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung, INDONESIA Alexander Aan Terdakwa
v.
Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. Reg. Perkara 45/PID.B/2012/PN.MR
Keterangan Amicus Curiae Oleh Asian Human Rights Commission Hong Kong
63
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
DAFTAR ISI I. Pengantar II. Kewajiban Internasional hak asasi pemerintah Indonesia III. Kebebasan beragama dan berkepercayaan melindungi penyebaran atheisme IV. Kebebasan Berekspresi dan Aturan Terkait Pembatasan V. Penodaan Agama: Suatu Perspektif Hak Asasi Manusia VI. Kesimpulan
64
LAMPIRAN 2
I. Pengantar
1. Asian Human Rights Commission (AHRC) merupakan suatu organisasi regional non-pemerintah yang independen dan berlokasi di Hong Kong. AHRC bertujuan untuk memperkuat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan mendorong tindakan positif dalam bidang hukum dan hak asasi manusia di tingkat lokal dan nasional di seluruh wilayah Asia. 2. Pendapat yang tercantum di dalam keterangan ini menekankan bahwa, sebagai negara peserta Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR), pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk patuh terhadap standard dan prinsip hak asasi manusia yang terdapat di dalam kovenan yang ia telah setujui tersebut. Hal ini meliputi perlindungan terhadap atheisme sebagai salah satu bentuk kepercayaan serta pelarangan kriminalisasi penodaan agama. Keterangan ini juga hendak menyampaikan bahwa meski kebebasan berekspresi bukanlah merupakan hak yang absolut, pembatasan terhadap kebebasan tersebut haruslah dilakukan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh hukum hak asasi manusia internasional.
65
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
II. Kewajiban Internasional hak asasi manusia pemerintah Indonesia 3. Pada tahun 2005, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU No. 12 tahun 2005 yang menandai ratifikasi Indonesia terhadap ICCPR33. Indonesia tidak menyatakan reservasi terhadap kovenan tersebut yang mengimplikasikan komitmen Indonesia untuk sepenuhnya mematuhi setiap ketentuan yang tercantum di dalamnya tanpa kecuali. Kewajiban umum Indonesia sebagai negara peserta ICCPR tercantum dalam Pasal 2 ICCPR yang sebagian ketentuannya berbunyi: 1) ‘Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. 2) Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lainnya yang ada, setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan - ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.’34
4. Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 2 ayat (2), negara peserta harus mengambil langkah-langkah guna memastikan perwujudan hak-hak yang dijamin di dalam Kovenan tersebut. Salah satu tindakan tersebut ialah perubahan hukum dan praktik-praktik yang tidak bersesuaian dengan Kovenan. Komite HAM PBB (HRC) UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang HakHak Sipil dan Politik. 34 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, diadopsi pada 16 Desember 1996, Pasal 2 33
66
LAMPIRAN 2
yang pendiriannya didasarkan pada ICCPR, telah menyatakan dalam salah satu komentar umumnya, bahwa ‘apabila terdapat inkonsistensi antara hukum domestik dan ketentuan di dalam Kovenan, pasal 2 mewajibkan hukum nasional atau praktik-praktik yang ada diubah sehingga memenuhi standard yang ditetapkan oleh jaminan substansif di dalam Kovenan.’35 Meski mengakui bahwa negara peserta ICCPR memiliki diskresi dalam perwujudan hak-hak di dalam Kovenan ‘menurut prosedur konstitusional dalam negeri’, HRC menekankan bahwa negara dilarang untuk menggunakan ketentuan di dalam konstitusi atau hukum nasionalnya untuk membenarkan kegagalan pemenuhan kewajiban yang tercantum di dalam perjanjian internasional.36 Kewajiban ini mengikat bukan hanya lembaga eksekutif pemerintahan tapi juga lembaga legislatif dan yudikatif.37 5. Kewajiban negara peserta untuk mengubah hukum dan praktikpraktik yang tidak bersesuaian dengan Kovenan didasarkan pada prinsip umum dalam hukum perjanjian internasional, bahwa negara yang merupakan peserta suatu perjanjian internasional tidak diperbolehkan untuk menggunakan ketentuan hukum dalam negerinya sebagai dasar untuk membenarkan kegagalan negara dalam menghormati perjanjian tersebut.38
35 Komentar Umum No. 31 tentang karakter kewajiban hukum negara peserta terhadap Kovenan, para.13, Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/21/Rev.1/ Add.13, 26 Mei 2004. 36 Id., para. 4. 37 Id. 38 Konvensi Vienna mengenai Hukum Perjanjian, diadopsi pada 23 Mei 1969, Pasal 27, 1155 UNTS 331.
67
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
III.Kebebasan beragama dan berkepercayaan melindungi penyebaran atheisme 6. Pasal 18 ayat (1) ICCPR memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama. Pasal tersebut menyatakan: ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.’
7. Kebebasan beragama sebagaimana dijamin di dalam pasal tersebut mencakup hak untuk memiliki dan memilih suatu agama atau kepercayaan, yang kerap disebut sebagai forum internum. Hak tersebut merupakan hak yang absolut dan tidak dapat dibatasi di dalamkeadaan apapun. Kata ‘memilih’ menunjukkan bahwa Pasal 18 ayat (1) juga melindungi hak individu untuk mengubah serta mempertahankan agama atau kepercayaannya, atau memilih keyakinan atheistik.39 8. HRC menekankan bahwa istilah ‘agama atau kepercayaan’ sebagaimana tercantum di dalam ICCPR harus dipahami dalam arti yang luas. Istilah tersebut harus diterjemahkan sedemikian rupa hingga meliputi kepercayaan theistik, non-theistik maupun atheistik.40 HRC lebih lanjut menegaskan bahwa ‘dalam penerapannya, Pasal 18 tidak terbatas pada agama tradisional atau agama serta kepercayaan dengan karakter institusional atau praktik-praktik yang serupa Komentar Umum No. 22 tentang Hak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama, para. 5, Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.4, 30 Juli 1993 (selanjutnya Komentar Umum No. 22). 40 Id., para. 2. 39
68
LAMPIRAN 2
dengan agama tradisional tersebut.’41 Pelapor Khusus PBB mengenai Isu Intoleransi Beragama, Abdelfattah Amor, secara eksplisit menyebutkan paham agnostik, freethinking, atheisme dan rasionalisme merupakan contoh ‘kepercayaan’ yang dilindungi oleh Pasal 18 ICCPR.42 Ia kemudian mengusulkan perubahan nama ‘Pelapor Khusus untuk Isu Intoleransi Beragama’ menjadi ‘Pelapor Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan’ yang diterima oleh Komisi HAM dalam resolusi 2000/33. Nama baru tersebut mengakui fakta bahwa beberapa kepercayaan menyangkal pendekatan religius terhadap theism.43 9. Selain aspek internal hak atas kebebasan beragama, Pasal 18 ayat (1) menjamin hak individu untuk mempraktikkan agama atau kepercayaannya, yang kerap disebut sebagai forum externum. Berbeda dengan hak untuk memiliki atau memilih agama ataukepercayaan, hak untuk mempraktikkan agama atau kepercayaan tersebut bukanlah hak absolut dan dapat dibatasi. Pasal 18 ayat (3) ICCPR menetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh negara peserta apabila hendak memberlakukan pembatasan tersebut: a) pembatasan harus dilakukan melalui undang-undang; dan b) pembatasan tersebut dibutuhkan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, moral publik ataupun hak dan kebebasan dasar orang lain.44 10.Hak untuk mempraktikkan agama atau kepercayaan melindungi beragam aktivitas religius, termasuk pelaksanaan ritual dan sereId. Laporan oleh Abdelfattah Amor, Pelapor Khusus, sesuai dengan resolusi Komisi HAM 1997/18, para.105, UN Doc. E/CN.4/1998/6, 22 Januari 1998. 43 Laporan interim Pelapor Khusus mengenai Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, para.67, UN Doc.A/62/280, 20 Agustus 2007 (selanjutnya ‘Laporan Interim Pelapor Khusus mengenai Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan’). 44 ICCPR, supra note 2, Pasal. 18 (3). 41 42
69
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
monial, pembangunan tempat ibadah dan penampilan simbolsimbol religius seperti jilbab bagi wanita Muslim dan turban bagi laki-laki Shikh. Hak tersebut juga meliputi hak untuk menyebarkan suatu agama atau kepercayaan kepada orang lain. Hal ini bisa disimpulkan, misalnya, dari pendapat HRC dalam komentar umumnya terkait kebebasan beragama yang menyatakan bahwa individu dan komunitas memiliki hak untuk menyiapkan dan menyebarkan terbitan atau teks religius.45 HRC telah menegaskan pandangannya terhadap hal ini dalam putusannya di kasus Sister Immaculate Joseph et. al v Sri Lanka. Menanggapi kekhawatiran pemerintah Sri Lanka bahwa aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok suster dari suatu organisasi merupakan upaya penyebaran agama Kristen, HRC menyatakan bahwa ‘bagi banyak agama... merupakan suatu ajaran utama untuk menyebarkan pengetahuan serta menyebarkan kepercayaan kepada orang lain.' Aspek-aspek ini merupakan bagian dari manifestasi agama dan kebebasan berekspresi seseorang, sehingga dilindungi oleh pasal 18 ayat 1, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan di dalam ayat 3.’46 11.Pelapor Khusus PBB mengenai Kebebasan Beragama juga memiliki pandangan yang sama dengan HRC. Dengan merujuk kepada pasal 18 dan beberapa ketentuan terkait lainnya di dalam hukum hak asasi manusia internasional, beliau menyatakan bahwa aktivitas misionaris merupakan ekspresi kebebasan beragama dan berkepercayaan yang sah sehingga aktivitas tersebut mendapatkan perlindungan sebagaimana disediakan oleh ICCPR.47 Id., para. 4. Sister Immaculate Joseph et. al. v Sri Lanka, para. 7.2, No. 1249/2004, Human Rights Committee, 18 November 2005. 47 Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Laporan mengenai Penghapusan segala Bentuk Intoleransi Beragama, para.67, UN Doc.A/60/399, 30 September 2005 (selanjutnya Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama tahun 2005). 45 46
70
LAMPIRAN 2
12.Sebagai bagian dari hak untuk mempraktikkan agama atau kepercayaan, penyebaran agama dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan sesuai dengan standard dan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional. Salah satu standard yang ditetapkan oleh hukum hak asasi manusia internasional ialah bahwa penyebaran agama tidak boleh melibatkan ‘ancaman atau paksaan fisik atau sanksi pidana untuk memaksa pemeluk agama maupun mereka yang tidak beragama untuk mempertahankan agama atau keyakinan mereka atau jemaat, atau untuk meninggalkan agama atau kepercayaan mereka, atau untuk mengganti agama.’48 Menurut Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, praktik pengubahan agama secara paksa merupakan pelanggaran terhadap bagian paling mendasar dari kebebasan beragama atau berkeyakinan.49 13.Di samping penyebaran agama yang menggunakan ancaman dan paksaan, penyebaran agama atau kepercayaan juga dilarang apabila hal tersebut termasuk dalam prosetilisme yang tidak pantas. Penyebaran agama atau kepercayaan termasuk proselitisme yang tidak pantas apabila pihak-pihak yang terlibat bukanlah orang dewasa yang dapat berpikir untuk dirinya sendiri dan apabila ada hubungan ketergantungan atau hirarkis antara si penyebar agama dengan mereka yang menjadi obyek penyebaran tersebut.50 Upaya seorang petinggi militer untuk mengubah keyakinan anak buahnya, misal, dapat dikategorikan sebagai proselitisme yang tidak pantas meskipun tidak ada ancaman atau kekerasan di dalam upaya Komentar Umum No. 22, supra note 7, para. 4. Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Asma Jahangir, mengenai hak sipil dam politik, termasuk Masalah Intoleransi Beragama, para. 74, UN Doc. E/CN.4/2005/61, 20 December 2004. Lihat juga para.45-47 Laporan tersebut. 50 Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama tahun 2005, supra note 15, para. 67. 48 49
71
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
tersebut.51 14.Dugaan penyebaran agama atau kepercayaan telah menggunakan paksaan ataupun tidak pantas, meski demikian, harus selalu didasarkan pada landasan yang memiliki bukti atau faktual. Kegagalan pemerintah untuk menyediakan landasan berbukti atau faktual dalam membatasi penyebaran agama atau keyakinan merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 ayat (1) ICCPR.52
IV. Kebebasan Berekspresi dan Aturan Terkait Pembatasan 15.Dalam ICCPR, kebebasan berekspresi dijamin di Pasal 19 ayat (2) yang berbunyi: ‘Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasanpembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.’53 Istilah ‘media lain sesuai dengan pilihannya’ mengindikasikan bahwa daftar bentuk media di dalam pasal tersebut hanyalah merupakan contoh dan bukanlah daftar yang terbatas. HRC telah menyatakan bahwa media elektronik dan media berbasis internet merupakan bentuk ekspresi dan cara penyebaran yang juga dilindungi dalam konsep kebebasan berekspresi.54
Lihat kasus Larissis and others v Greece, para.51, App. No. 140/1996/759-960, European Court of Human Rights. Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan merujuk kepada kasus ini di dalam salah satu laporannya, lihat Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama tahun 2005, supra note 15, para. 63. 52 Sister Immaculate Joseph et. al. v Sri Lanka, supra note 14, para. 7.3. 53 ICCPR, supra note 2, Pasal 19 (2). 54 Komentar Umum No. 34 tentang Pasal 19: Kebebasan berpendapat dan berekspresi, para. 12, Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/GC/34, 12 September 2011 (selanjutnya Komentar Umum No. 34). 51
72
LAMPIRAN 2
16.Kebebasan berekspresi bukanlah hak yang absolut dan negara dapat membatasi hak tersebut dalam kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi, mengingat betapa pentingnya kebebasan berekspresi di dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap kebebasan tersebut haruslah dilakukan dengan tes pembenaran yang sangat ketat.55 Pasal 19 ayat (3) menetapkan aturan umum dalam pembatasan kebebasan berekspresi sebagai berikut: ‘Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a. Menghormati hak atau nama baik orang lain; b. Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum’56 (penekanan ditambahkan).
Sebagaimana dapat disimpulkan dari penggunaan kata ‘dan’, persyaratan yang ditetapkan oleh Pasal 19 ayat (3) harus dipenuhi secara kumulatif.57 17.Persyaratan pertama yang harus dipenuhi ialah bahwa pembatasan atas kebebasan berekspresi harus dilakukan melalui undangundang. Untuk memenuhi standard hak asasi manusia internasional, undang-undang yang digunakan untuk membatasi kebebasan tersebut haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut: - Kesesuaian dengan ketentuan, tujuan dan sasaran ICCPR;58 - Ketentuan yang tercantum di dalam undang-undang tersebut ha55 Lihat, misalnya, Vladimir Velichkin v Belarus, para. 7.3, Comm. No. 1022/2001, UN Doc. CCPR/C/85/D/1022/2001, 23 November 2005 56 ICCPR, supra note 2, Pasal 19 (3). 57 Lihat, misalnya, Jong-Kyu Sohn v Republic of Korea, para. 10.4, Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/54/D/518/1992 (1995) 58 Toonen v Australia, para.26, Comm. No. 488/1992, Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/50/D/488/1992 (1994).
73
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
ruslah jelas dan dapat diakses oleh semua orang.59 Dalam beberapa laporannya, HRC telah menyatakan bahwa ketentuan abstrak yang membatasi kebebasan beragama dapat melanggar Pasal 19 ICCPR;60 - Pembatasan harus ditetapkan di dalam undang-undang yang telah ada dan dikeluarkan oleh badan legislatif suatu negara;61 - Undang-undang tersebut harus menyediakan mekanisme pemulihan atau mekanisme untuk mempertanyakan pembatasan yang tidak sah atau berlebihan;62 18.Selain memenuhi persyaratan terkait pembatasan melalui undangundang, negara peserta ICCPR harus dapat menjelaskan karakter spesifik ancaman yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kebebasan berekspresi seseorang63 baik terhadap hak atau kebebasan orang lain, keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan umum maupun moral publik. Hak atau reputasi yang dimaksud di sini melekat hanya kepada individu. Sebagaimana telah dinyatakan Pelapor Khusus PBB mengenai Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, ‘satu-satunya tujuan sah pencemaran nama baik atau aturan serupa lainnya ialah perlindungan reputasi; hal ini berarti pencemaran nama baik hanya dapat dilakukan terhadap individu dan bukan bendera, negara, kelompok, dll.64’ Lihat, misalnya, Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, para.17, UN Doc. E/CN.4/1984/4 (1984). 60 Rafael Marques v Republic of Angola, Komunikasi dimasukkan untuk pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Protokol Opsional terhadap ICCPR, Open Society Institute dan INTERIGHTS, p. 25, 5 September 2002. 61 Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue, para.79 (c), Human Rights Committee, UN Doc. A/HRC/14/23, 20 April 2010. 62 Id., para.79 (e). 63 Keun-Tae Kim v Republic of Korea, para. 12.5, Comm. No. 574/1994, Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/64/D/574/1994 (4 January 1999). 64 Laporan Pelapor Khusus untuk hak atas kebeasan berpendapat dan berekspresi, 59
74
LAMPIRAN 2
19.Alasan keamanan nasional dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi hanya apabila pelaksanaan kebeasan tersebut mengancam keberadaan suatu negara, keutuhan wilayah atau kebebasan politis atas paksaan atau ancaman paksaan.65 Alasan ini tidak dapat digunakan hanya untuk mencegah ancaman lokal atau ancaman terhadap hukum dan ketertiban yang terisolasi.66 20.Ketertiban umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) ICCPR harus diartikan sebagai ‘seperangkat aturan yang memastikan keberlangsungan suatu masyarakat atau "seperangkat prinsipprinsip dasar di mana suatu masyarakat didasarkan."67’ ‘"Kesehatan umum"’ dapat digunakan hanya apabila ada ancaman serius terhadap kesehatan populasi atau anggota populasi68 dan, ketika suatu negara memilih untuk menggunakan alasan "‘moral publik’" untuk membatasi kebebasan berekspresi, negara harus mengingat dan memastikan bahwa ‘"konsep moral berasal dari banyak tradisi sosial, filsafat dan religius; sehingga, pembatasan... yang mengatasnamakan perlindungan moral harus didasarkan bukan pada prinsip-prinsip dari satu tradisi semata."69 21.Persyaratan tambahan lainnya dalam hukum hak asasi manusia internasional yang harus dipatuhi negara ketika membatasi kebebasan berekspresi ialah persyaratan ketat terkait kebutuhan dan proporsionalitas. Hal ini bukanlah suatu kewenangan eksklusif pemerintah suatu negara.70 "Kebutuhan’" berarti pembatasan harus Abid Hussain, para.28(a), UN Doc. E/CN.4/1999/64, 29 Januari 1999. 65 Siracusa Principles, supra note 27, para. 29. 66 Id., para. 30. 67 Id., para. 22. 68 Id., para. 25. 69 Komentar Umum No. 22, supra note 7, para. 8. 70 Robert W. Gauthier v Canada, para.13.6, Comm. No. 633/1995, Human Rights Committee, 5 May 1999, UN Doc. CCPR/C/65/D/633/1995.
75
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
diterapkan hanya untuk tujuan sebagaimana yang telah ditetapkan (misal, perlindungan hak dan reputasi orang lain atau alasan keamanan nasional) dan haruslah terkait secara langsung dengan kebutuhan spesifik yang dinyatakan.71 Prinsip proporsionalitas berarti pembatasan yang dilakukan haruslah relevan untuk mencapai tujuan tersebut dan harus merupakan cara yang sebisa mungkin tidak menginterupsi kebebasan seseorang guna mencapai tujuan yang dapat dibenarkan. Prinsip ini berlaku bukan hanya dalam hal undang-undang yang digunakan untuk membatasi tapi juga untuk pelaksanaan undang-undang tersebut baik oleh aparat administratif maupun peradilan.40 22.Dalam kasus Robert Faurisson v Perancis, HRC menekankan pentingnya prinsip kebutuhan dan proporsionalitas tersebut. Concurring opinion dari beberapa anggota HRC menyatakan bahwa: ‘Wewenang yang diberikan kepada negara peserta dalam pasal 19 ayat 3 untuk membatasi kebebasan berekspresi tidak boleh diartikan sebagai pemberian izin untuk melarang pendapat-pendapat yang tidak popular, atau pendapat yang oleh sebagian anggota masyarakat dirasa menghina... Kovenan menyatakan bahwa adanya tujuan untuk melindungi salah satu nilai sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut semata bukanlah alasan yang cukup untuk membatasi kebebasan berekspresi.Pembatasan haruslah juga diperlukan untuk melindungi nilai-nilai tersebut. Persyaratan kebutuhan ini mengimplikasikan adanya elemen proporsionalitas.Lingkup pembatasan terhadap kebebasan berekspresi haruslah proporsional terhadap nilai-nilai yang pembatasan itu ingin lindungi.Pembatasan tidaklah boleh melebihi dari apa yang dibutuhkan untuk melindungi nilai-nilai tersebut.’73 Komentar Umum No. 34, supra note 22, para. 23. Komentar Umum No. 27 tentang kebebasan berpindah: Pasal 12, para. 15, Human Rights Committee, UN Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.9, 2 November 1999 73 Robert Faurisson v Perancis, concurring opinion Elizabeth Evantt dan David Kretzmer, ditandatangani juga oleh Exkart Klein, para.8, Comm. No. 550/1993, UN Doc. CCPR/C/58/D/550/1993 (1996). 71 72
76
LAMPIRAN 2
23.Telah ada kesepakatan di masyarakat hak asasi internasional bahwa kriminalisasi pencemaran nama baik bukanlah tindakan yang proporsional untuk membatasi kebebasan berekspresi. Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, misalnya, menyatakan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk pencemaran nama baik "‘tidaklah seharusnya demikian besar sehingga berfungsi sebagai chilling effect terhadap kebebasan berpendapat dan hak untuk mencari, menerima atau meneruskan informasi; sanksi pidana, khususnya pemenjaraan, tidak boleh digunakan."’74 Dalam laporannya yang lain, Pelapor Khusus juga menegaskan bahwa undang-undang yang mengkriminalisasikan pencemaran nama baik merupakan suatu ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.75
V. Penodaan Agama: Suatu Perspektif Hak Asasi Manusia 24.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, standard internasional terkait pencemaran nama baik hanya merujuk kepada perlindungan individu dan tidak meliputi perlindungan terhadap kelompok atau simbol-simbol. Konsep tersebut dalam dunia internasional tidak pula melindungi konsep abstrak seperti agama atau keyakinan, karena kedua hal ini tidaklah memiliki reputasi sendiri. Beberapa ahli dalam isu kebebasan berekspresi dari berbagai organisasi regional dan internasional mengeluarkan Deklarasi Bersama pada tahun 2008 yang mengkonfirmasi hal tersebut. Deklarasi ini menekankan bahwa ‘"ada perbedaan penting antara kritik terhadap agama, kepercayaan atau aliran pemikiran dan penyerangan terhadap inLaporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Abid Hussain, supra note 33, para. 28(h). 75 Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Abid Hussain, diterbitkan sesuai dengan resolusi komisi 1999/36, para.48, UN Doc. E/ CN.4/2000/63, 18 Januari 2000. 74
77
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
dividu karena kepercayaan atau agama yang ia yakini."’76 Konsep penodaan agama, dengan demikian tidaklah sesuai dengan standard hak asasi manusia internasional. Konsep tersebut merupakan pembatasan tidak sah terhadap kebebasan berekspresi yang harus dibatasi hanya untuk melindungi hak individu atai kepentingan sosial.77 25.Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Bereksprssi juga telah menyatakan kekhawatirannya terhadap penggunaan undang-undang penodaan agama untuk membatasi kebebasan berekspresi. Ia menyatakan bahwa: "‘[u]ndang-undang pencemaran nama baik tidak boleh digunakan untuk melindungi konsep abstrak atau subyektif, seperti... agama... Hal ini sejalan dengan pendapat yang dipertahankan oleh Pelapor Khusus, bahwa hukum hak asasi manusia melindungi individu dan kelompok individu, dan bukan konsep abstrak atau institusi yang menjadi subyek pengawasan, komentar maupun kritik."78
26.Ada kesalahpahaman bahwa konsep penodaan agama diperlukan untuk melindungi hak atas kebebasan beragama. Meski demikian, sebagaimana telah sebelumnya dijelaskan, ruang lingkup kebebasan beragama terbatas hanya pada perlindungan atas hak untuk memiliki dan memilih agama atau keyakinan dan hak untuk mempraktikkan agama atau keyakinan seseorang. Hak ini tidak meliputi hak kelompok agama untuk tidak merasa terhina. Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama telah menegaskan hal ini dalam 76 Joint Declaration on Defamation of Religions, and Anti-Terrorism and Anti-Extremist Legislation, issued by the UN Special Rapporteur on Freedom of Expression and Opinion, the OSCE Representative on Freedom of the Media, the OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression and the ACHPR Special Rapporteur on Freedom of Expression and Access to Information, 9 Desember 2008 77 Id 78 Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank La Rue, para.84, UN Doc. A/HRC/14/23, 20 April 2010.
78
LAMPIRAN 2
laporan yang ia tulis bersama dengan Pelapor Khusus untuk Isu Rasisme. Menurut mereka, "‘hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan... tidak meliputi hak untuk memiliki agama atau kepercayaan yang bebas dari kritik atau cemoohan.’" Lebih jauh beliau menyatakan, ‘Penodaan agama mungkin menghina orang dan menyakiti perasaan religius mereka akan tetapi hal tersebut belum tentu, atau paling tidak, secara langsung tidak berdampak pada pelanggaran atas hak-hak mereka, termasuk hak untuk kebebasan beragama. Kebebasan beragama utamanya melindungi hak untuk bertindak sesuai dengan ajaran suatu agama tapi tidak memberikan hak kepada pemeluk agama untuk agama mereka terlindungi dari semua pendapat yang tidak menyenangkan.’ 79
27.Di samping alasan bahwa hanya individu yang memilliki hak dan bukannya konsep abstrak seperti agama atau kepercayaan, alasan lain mengapa penodaan agama tidak seharusnya dikriminalisasi ialah karena hal tersebut dapat menjadi kontraproduktif. Bukannya mempromosikan toleransi beragama dan kebebasan beragama, kriminalisasi penodaan agama dapat menciptakan intoleransi dan ketakutan. Hal tersebut bahkan dapat meningkatkan kemungkinan perseteruan di dalam masyarakat. Terlebih lagi, akan sulit untuk menentukan apa sebenarnya yang dimaksud dengan penodaan agama sehingga hal itu dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang lalu ‘"dapat mencegah kritik sah atau penelitian terkait praktik dan hukum yang terlihat sebagai pelanggaran hak asasi manusia akan tetapi, atau paling tidak begitulah hal tersebut dianggap, mendapatkan sanksi dari agama."’80
Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Asma Jahangir, dan Pelapor Khusus untuk Bentuk Kontemporer Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan intoleransi terkait, para. 36, UN Doc.A/HRC/2/3. 20 September 2006. 80 Id. 79
79
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
VI. Kesimpulan 28.Mengingat prinsip-prinsip umum di dalam hukum hak asasi internasional manusia di atas, AHRC menyimpulkan sebagai berikut: (a) Sebagai negara peserta ICCPR, Indonesia memiliki kewajiban untuk merevisi hukum nasionalnya yang tidak sesuai dengan jaminan tercantum di dalam Kovenan. Ketentuan-ketentuan terkait hak asasi manusia yang tercantum di dalam UUD 1945 dan undang-undang lainnya harus diinterpretasikan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh ICCPR dan HRC; (b) Kebebasan beragama atau berkeyakinan melindungi bukan hanya kepercayaan theistik tapi juga kepercayaan non-theistik dan atheistik. Dengan demikian, semua perlindungan yang dinikmati oleh pemeluk agama theistik harus pula dinikmati oleh individu yang memiliki keyakinan non-theistik dan atheistik; (c) Penyebaran agama atau kepercayaan dilindungi oleh kebebasan beragama. Menganjurkan orang lain untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu, termasuk atheisme, tidak boleh dianggap sebagai suatu tindak pidana dan tidak ada orang yang seharusnya dihukum karena hal tersebut sepanjang penyebaran agama atau kepercayaan tersebut tidak menggunakan kekerasan dan bukan merupakan proselitisme yang tidak pantas; (d) Meski kebebasan berekspresi bukanlah hak yang absolut, ada persyaratan yang harus dipenuhi supaya suatu pembatasan tidak melanggar hukum hak asasi manusia internasional. Pembatasan tersebut harus dilakukan melalui undang-undang, diterapkan dalam rangka mencegah atau menghentikan ancaman terhadap dasar-dasar yang dilindungi, serta diperlukan dan proporsional. Kriminalisasi pencemaran nama baik tidaklah proporsional dalam kondisi apapun; (e) Konsep penodaan agama tidaklah sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional. Hal tersebut bukanlah alasan yang 80
LAMPIRAN 2
sah untuk membatasi kebebasan berekspresi dan ia tidaklah dilindungi oleh kebebasan beragama. Kebebasan beragama tidak meliputi hak untuk suatu agama untuk tidak terhina atau tercemoohkan.
Wong Kai Shing Director Executive Asian Human Rights Commission
[email protected] +852 2698 6339
81
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
82
Lampiran 3
Kepada Yth : Professor. Dr. Mohammad Mahfud MD. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat No.6 Jakarta Pusat 10110
Kasus No. 140/PUU-VII/2009 Permohonan Untuk Uji Materi UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
AMICUS BRIEF OLEH THE BECKET FUND FOR RELIGIOUS LIBERTY (ORGANISASI NON-PEMERINTAH MEMEGANG STATUS KONSULTATIF DENGAN DEWAN EKONOMI DAN SOSIAL PBB (ECOSOC) OF THE UNITED NATIONS) WASHINGTON, DC, AMERIKA SERIKAT
83
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
84
LAMPIRAN 3
DAFTAR ISI Pembukaan I. Fakta dan Latar Belakang A. Pembahasan Singkat mengenai UU Penodaan Agama B. Latar Belakang Sejarah UU Penodaan Agama C. Komitmen pada Kebebasan Beragama dalam Hukum Internasional dan Domestik 1. Komitmen Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional dan regional 2. Kewajiban Indonesia berdasarkan UUD 1945 dan Hukum Domestik II. Argumentasi A. UU Penodaan Agama Melanggar Kewajiban-Kewajiban Indonesia berdasarkan Hukum Internasional 1. UU Penodaan Agama Melanggar Kewajiban-Kewajiban yang telah Indonesia Sepakati dalam Perjanjian Internasional dengan lebih Bentuk-Bentuk Melindungi Agama dan Kepercayaan daripada melindungi Pengikut Kepercayaan dan Agama 2. UU Penodaan Agama Bertentangan dengan Azas Kesetaraan dalam Mendapatkan Perlindungan dan Kebebasan untuk Berorganisasi dengan Mengasingkan Pengikut Agama yang Tidak Populer dari Masyarakat Umum 85
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
3. UU Penodaan Agama melanggar Kebebasan Beragama and Berekspresi dengan Mempidanakan Bentuk-Bentuk Ekpresi Damai ata Keimanan pada Suatu Agama B. UU Penodaan Agama Melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 1. UU Penodaan Agama Melanggar Pasal 28 I(1) UUD 1945 2. UU Penodaan Agama Melanggar UUD 1945 karena UU Penodaan Agama menciptakan ketidakpastian hukum dan menyalahi peraturan hukum 3. Ketidakjelasan yang ditimbulkan UU Penodaan Agama juga berakibat pada terhambatnya kebebasan berekspresi 4. Pengadilan Sipil secara konstitusional diwajibkan untuk melindungi Kebebasan Beragama tanpa Ikut Campur dalam Doktrin Agama a) Pengadilan Sipil Tidak Seharusnya Menafsirkan Doktrin Agama b) Pengadilan Sipil Tidak Seharusnya Memaksa Seseorang dalam Partisipasi Keagamaan c) Pengadilan Sipil Tidak Seharusnya Turut Menegakkan Hukum Agama C. UU Penodaan Agama Menimbulkan Ketidakjelasan tentang TujuanKebijakan Indonesia KESIMPULAN
86
LAMPIRAN 3
PEMBUKAAN
The Becket Fund for Religious Liberty yang bergerak memperjuangkan kebebasan beragama dengan hormat mengajukan ringkasan ini kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Ringkasan ini kami ajukan sebagai “friend of a court” demi membantu petisi yang diajukan oleh 11 pemohon termasuk diantaranya Almarhum Mantan presiden Abdurrahman Wahid; KH Maman Imanul Haq; Dawam Rahardjo; dan Dr. Musdah Mulia, yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2009, yang meminta agar Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi atas Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama81 (Penodaan Agama). The Becket Fund mengajukan ringkasan pendahuluan ini untuk melengkapi analisis Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban Indonesia untuk menjamin kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan dalam mendapatkan perlindungan hukum bagi tiap warga Negara, sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945 dan perjanjianperjanjian internasional yang telah Indonesia sepakati.82 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama UU No.1/PNPS/1965 ayat 1 (selanjutnya akan disebut sebagai UU Penodaan Agama dalam ringkasan ini) 82 Ringkasan tambahan yang diajukan oleh lembaga non-partisan, baik asing maupun domestik, yang bergerak memperjuangkan hak asasi manusia, selayaknya dapat diterima untuk uji materi di negaranegara yang memberlakukan sistem hukum yang serupa dan dalam mahkamah Internasional, termasuk diantaranya Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (European Court Of Human Rights-EHCR), Komisi Inter-Amerika untuk Hak 81
87
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
Kepentingan dan Kepakaran The Becket Fund for Religious Liberty The Becket Fund for Religious Liberty adalah firma hukum internasional untuk kepentingan publik yang berdedikasi memperjuangkan kebebasan beragama bagi pengikut semua kepercayaan. The Becket Fund telah mewakili pengikut Amish, Budha, Kristen, Hindu, Yahudi, Muslim, Sikh, Zoroaster, dan agama-agama lainnya, dalam pengadilan domestik Amerika, pengadilan domestik Negara asing seperti Swedia dan Australi, dan pengadilan internasional seperti Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (“EHCR”) dan Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Commission). The Becket Fund adalah lembaga non-pemerintah (Non governmental organization-NGO) dengan status konsultatif dengan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Economic and Social Council – ECOSOC), yang mana Indonesia tergabung di dalamnya. The Becket Fund memiliki kepentingan global dalam melindungi kegiatan beragama dan ekspresi keagamaan bagi pengikut semua kepercayaan. Kepentingan ini tertuang dalam uji materi Mahkamah Konstitusi atas UU Penodaan Agama. The Becket Fund meyakini bahwa kasus ini sangat penting bagi kemajuan hukum tentang hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan hak asasi individu yang merupakan pengikut agama-agama minoritas. Oleh sebab itu, The Becket Fund, dengan hormat meminta agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ikut mempertimbangkan pernyataan dan argumen berikut ini dengan status sebagai pakar internasional dalam materi terkait demi memperjuangkan kebebasan beragama bagi pengikut semua kepercayaan.
Asasi Manusia (Inter-American Commission for Human Rights), dan Mahkamah Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights).
88
LAMPIRAN 3
I. FAKTA DAN LATAR BELAKANG A. Pembahasan Singkat mengenai UU Penodaan Agama UU Penodaan agama melarang "dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang meyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu"83 Berdasarkan bagian Penjelasan UU penodaan Agama (“Penjelasan”), salah satu tujuan UU tersebut adalah untuk "ketentraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah..."84 bagi enam agama yang diizinkan: Islam, (Protestan) Kristen, Katolik, Hindu, Budha,dan Khong Hu Cu.85 UU Penodaan Agama menjamin bahwa pemerintah akan melindungi agama-agama resmi dengan cara menghukum siapapun yang menghina agama resmi dan siapapun yang berniat membujuk seseorang untuk mengikuti agama yang tidak resmi86 UU Penodaan Agama juga melarang umat yang mengikuti agama resmi untuk mengajarkan kepercayaan atau agama yang dianggap sebagai “penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”.87 UU Penodaan agama juga mengganjar sanksi perdata dan pidana bagi para pelanggar. Pelanggaran pertama dan kedua akan diganjar dengan sanksi perdata. Pada pelanggaran pertama, sang pelanggar “diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan83 84 85 86 87
UU Penodaan Agama pasal 1 Penjelasan UU Penodaan Agama I (3) (selanjutya akan disebut sebagai Penjelasan) Id II, ayat 1 lihat id. I (4) Id
89
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
perbuatannya itu” oleh aparat pemerintah88 Pada pelanggaran kedua, bila pelanggaran tersebut dilakukan oleh sebuah organisasi atau aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi tersebut atau menyatakannya sebagai organisasi terlarang .89 Pada pelanggaran kedua, bila pelanggaran tersebut dilakukan oleh sebuah organisasi atau aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi tersebut atau menyatakannya sebagai organisasi terlarang.90 Pembubaran atau dinyatakan sebagai organisasi terlarang berarti tidak memiliki status hukum, maka tidak berhak memiliki properti serta tidak berhak mempraktekkan atau mengekspresikan kegiatan keimanan mereka di ruang publik. Produk lain dari UU Penodaan Agama adalah pasal 156(a) KUHP yang mengganjar hukuman maksimal lima tahun penjara pada pihak yang “dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama resmi yang telah ditetapkan pemerintah.”91 Pasal tersebut melarang “interpretasi sesat” atas sebuah doktrin agama. Selanjutnya, berdasarkan pasal 157 KUHP, media dilarang untuk menerbitkan yang dianggap menghina sebuah agama.92 Demi menjamin penerapan UU Penodaan Agama, pemerintah Indonesia menciptakan sebuah sistem untuk memantau dan menyelidiki agama-agama di Indonesia. Pada tahun 2004 pemerintah memberi kuasa kepada Jaksa Agung untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan cara “memantau cabang-cabang kepercayaan yang dianggap berpotensi membahayakan masyarakat 88 89 90 91 92
90
Lihat UU Penodaan Agama pasal 2(1) Lihat UU Penodaan Agama pasal 2(2) Lihat UU Penodaan Agama pasal 2(2) Lihat UU Penodaan Agama pasal 2(2) Lihat id pasal 157
LAMPIRAN 3
dan negara” dan “mencegah penyalahgunaan dan/atau kontaminasi agama.”93 Dalam menjalankan tugas ini, Jaksa Agung dibantu oleh sebuah Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat atau PAKEM yang akan ditempatkan di setiap propinsi, kabupaten dan kotamadya.94
B. Latar Belakang Sejarah UU Penodaan Agama Awalnya, UU Penodaan Agama bukanlah bersatus UndangUndang tetapi berstatus Penetapan Presiden yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 27 Januari 1965.95 Penetapan ini merupakan bagian dari gagasan NASAKOM Presiden Soekarno yang dirancang untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan nasionalisme, agama dan komunisme demi meningkatkan kekuatan politiknya.96 Sebagaimana tertulis dalam bagian Penjelasan, UU Penodaan Agama diterbitkan karena "akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama." Diantara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai 93 Lihat UU No.16/2004 pasal 30(3). Pasal 30(3) menyatakan bahwa Jaksa Agung menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan cara “memantau pendistribusian materi cetak; (d)memantau bentukbentuk kepercayaan yang dianggap membahayakan masyarakat dan negara; (e) mencegah penyalahgunaan dan/atau kontaminasi agama” 94 Lihat Surat Instruksi by PAKEM Central Bureau, No.34/Pakem/S.E./61 (7 April 1961) (dikutip dari Trisno S. Sutanto, The Challenges of Religious Freedom: an Indonesian Experience at 4, delivered to 56th General Assembly of EKUMINDO in Stuttgart, Germany (14–16 September 2006) [selanjutnya akan disebut sebagai The Challenges of Religious Freedom], available at http://www.scribd.com/doc/20317516/The-Challenges-of-Religious-Freedom-in-Indonesia 95 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden seminggu setelah Indonesia mengundurkan diri dari PBB. Lihat The Challenges of Religious Freedom, supra note 13, at 5 (mengutip Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965) 96 Lihat ADRIAN VICKERS, A HISTORY OF MODERN INDONESIA 146 (2005). “Nasakom” adalah singkatan untuk Nasionalisme, Agama dan Komunisme.
91
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasiorganisasi kebathinan/kepercayaan yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang ‘sangat membahayakan agama-agama yang ada’, ‘membahayakan persatuan bangsa dan Negara’, dan ‘penodaan/penghinaan agama.97 Setelah Indonesia mengalami pembersihan yang sarat kekerasan dari gagasan komunisme serta jatuhnya rezim Presiden Soekarno, Presiden Soeharto mulai berkuasa pada tahun 1967. Sebagai bagian dari polisi menentang ateisme, yang diasosiasikan dengan komunisme, pemerintahan Soeharto menetapkan hukum yang mewajibkan seluruh warga negara Indonesia untuk memeluk sebuah agama.98 Pada tahun 1969, Presiden Soeharto meningkatkan status Penetapan Presiden menjadi berstatus “Undang-Undang”.99
C. Komitmen pada Kebebasan Beragama dalam Hukum Internasional danDomestik 1. Komitmen Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional dan regional Berdasarkan beberapa perjanjian internasional yang sudah Indonesia sepakati, Indonesia berkewajiban untuk melindungi kebebasan beragama. Pertama, sebagai anggota PBB, Indonesia telah berjanji untuk "menghormati prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam Piagam PBB." Piagam PBB mengikat Indonesiauntuk “menghormati hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama
Lihat Penjelasan, supra note 4, I(2) Lihat The Challenges of Religious Freedom, supra note 13, at 5. Peraturan yang menetapkan KTP harus mencantumkan agama seseorang, diskusi infra Part II.A.2. 99 Lihat id. UU No. 1/PNPS/1965 diresmikan sebagai UU No. 5/1969 97 98
92
LAMPIRAN 3
.108” Indonesia juga telah berjanji untuk memegang teguh Universal Declaration of Human Rights atau “UDHR” (Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia).109 Dalam pasal 18 UDHR dinyatakan bahwa : Setiap orang bebas memiliki pikiran, nurani dan agama ; termasuk bebasberpindah agama atau kepercayaan, dan bebas, baik sendiri maupun dalamkomunitas dengan orang lain, di ruang publik maupun pribadi, untukmemanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam bentuk ajaran, praktek,ibadah dan pengamatan.110
Dengan menyepakati untuk memegang teguh UDHR, pemerintah Indonesia berarti menjamin hak seseorang untuk mengikuti doktrin agama yang menjadi pilihan mereka, terlepas dari mayoritas masyarakat atau interpretasi pemerintah atas sebuah doktrin agama. Kedua, Indonesia juga telah berjanji untuk melindungi kebebasan beragama denganmenyetujui International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR111 (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan politik) pada tahun 2005.112 ICCPR adalah bentuk ekspresi legal prinsip-prinsip yang dijabarkan dalam UDHR dan secara langsung melindungi hak individu untuk bebas memiliki pikiran, nurani dan
Id. pasal. 55–56. G.A. Res. 217A (III), U.N. Doc. A/810 (12 Desember 1948). 110 Id. pasal 18 111 G.A. Res. 2200A (XXI), pasal 18, U.N. Doc. A/6316 (16 Desember 1966) 112 Lihat UU No. 12/2005 tentang Indonesia turut meratifikasi ICCPR pada tanggal 23 Februari 2006. 108 109
93
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
agama,113 bebas untuk berasosiasi,114 dan perlindungan hukum yang setara.115 ICCPR lebih lanjutmencantumkan bahwa agama minoritas juga dijamin dalam perlindungan-perlindungan ini.116 Tiga Pernyataan Umum yang secara langsung mempengaruhi kebebasan beragamaatau kepercayaan dan kebebasan berekspresi, lebih lanjut menyatakan bahwa batasanyang dapat dilakukan oleh negara terhadap kebebasan-kebebasan ini harus dilakukan secara khusus.117 Pernyataan Komisi Umum Hak Asasi Manusia No. 10 yang menerjemahkan pasal 19 ICCPR menyatakan : Id. pasal 18 (“1. Setiap orang bebas memiliki pikiran, nurani dan agama ; termasuk bebas berpindahagama atau kepercayaan, dan bebas, baik sendiri maupun dalam komunitas dengan orang lain, di ruangpublik maupun pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam bentuk ajaran,praktek, pemujaan dan pengamatan. 2. Seseorang tidak boleh menerima tekanan yang dapatnmengganggu kebebasannya untuk beragama atau mengikuti agama atau kepercayaan yang menjadipilihannya. 3. Kebebasan seseorang untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya hanya dapatdibatasi sebagaimana dinyatakan oleh hukum demi menjaga keamanan masyarakat, ketertiban,kesehatan, atau moral atau hak asasi dan kebebasan orang lain.”) 114 Id. pasal 21 (“Hak untuk berserikat secara damai harus diakui. Hak ini hanya dapat dibatasi, sebagaimana dinyatakan dalam hukum yang diperlukan untuk masyarakat demokratis, demi kepentingan nasional atau keamanan masyarakat, ketertiban publik, perlindungan atas kesehatan atau moral atau perlindungan atas hak dan kebebasan orang lain.”) 115 Id. pasal 26 (“Setiap orang adalah setara di mata hukum dan berhak tanpa adanya diskriminasi dalam mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Maka dari itu, hukum melarang diskriminasi dalam bentuk apapun dan menjamin perlindungan hukum yang setara dan efektif kepada semua orang terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun, termasuk ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,politik atau pendapat lain, latar belakang nasional atau sosial, properti, kelahiran atau staus lain.”). 116 Id. pasal 27 (“Di negara-negara dimana terdapat etnis, agama atau bahasa minoritas, seseorang yang merupakan anggota kelompok minoritas tersebut juga berhak, dalam komunitas dengan anggota lain dari kelompok tersebut, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menyatakan dan mempraktekkan agama mereka, atau untuk menggunakan bahasa mereka.”) 117 Lihat UN High Comm’r for Human Rights, HRC, Pernyataan Umum No. 11: Larangan propaganda perang dan menghasut demi timbulnya kebencian antar nasional, ras atau agama, pasal 20 (29 Juli 1983) [selanjutnya akan disebut sebagai Pernyataan Umum 11]; HRC, Pernyataan Umum No. 22: Hak untuk bebas memiliki pikiran, nurani dan agama, pasal 1, CCPR/C/21/ Rev.1/Add.4 (30 Juli1993)[selanjutnya akan disebut sebagai Pernyataan Umum 22]. 113
94
LAMPIRAN 3
Dalam menerapkan hak kebebasan berekspresi terdapat tugas dan tanggungjawab dan maka dari itu, terdapat pula batasan-batasan tertentu yang dapatberdampak pada kepentingan orang lain atau pada komunitas secarakeseluruhan. Namun bila negara memberikan batasan tertentu pada kebebasanberagama,
hal ini tidak boleh sampai membahayakan hak itu sendiri.118
PBB mengulangi pernyataan ini dalam Pernyataan Umum No. 22 tentang ICCPR pasal 18: Hak untuk bebas memiliki pikiran, nurani dan agama (termasuk kebebasanuntuk menganut kepercayaan) pada pasal 18.1 merupakan hak yang sangat luas dan mendalam; hak tersebut meliputi kebebasan memiliki pikiran dalam segala hal, keyakinan pribadi, dan komitmen pada suatu agama ataukepercayaan, baik dimanifestasikan secara pribadi maupun dalam komunitas bersama orang lain. Komisi Hak Asasi Manusia meminta perhatian negara untuk memperhatikan fakta bahwa kebebasan memiliki pikiran dan kebebasan bernurani juga dilindungi sebagaimana dilindunginya kebebasan beragama dan kepercayaan. Karakteristik fundamental dari kebebasan-kebe-
basan ini juga direfleksikan dengan fakta bahwa hak ini tidak dapat dilanggar, walaupun dalam keadaan darurat publik, sebagaimana dinyatakan pada pasal 4.2 dalam Kovenan tersebut.119
Lebih lanjut, dalam Pernyataan Umum dinyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama pada pasal 18 … . . . dalam penerapannya, tidak terbatas pada agama tradisional atau pada agama dan kepercayaan dengan karakterUN High Comm’r for Human Rights, HRC., Pernyataan Umum No. 10: Kebebasan berekpresi, pasal 19 (26 Juni 1983) (penebalan ditambahkan). Komisi Hak Asasi Manusia yang menerbitkan Pernyataan Umum merupakan sebuah badan yang terdiri dari pakarpakar independen yang memantau implementasi ICCPR. Komisi tersebut diberikan kewenangan demi mendengar keluhan individu dan antar-negara yang berkaitan dengan tuduhan pelanggaran ICCPR dan untuk mengeluarkan Pernyataan Umum intepretatif atas ICCPR. 119 Pernyataan Umum 22, 1 (penekanan ditambahkan). 118
95
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
istik institusional atau yang prakteknya selaras dengan agama tradisional. Maka dari itu, Komisi Hak Asasi Manusia menyayangkan segala kecenderungan untuk mendiskriminasi suatu agama atau kepercayaan atas alasan apapun, walaupun jika agama atau kepercayaan tersebut baru saja dibentuk, atau mewakili agama minoritas yang mungkin memancing permusuhan dari pihak agama yang sudah lebih dulu terbentuk dan dominan dalam suatu komunitas.120
Terakhir, sebagai anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), Indonesia setuju untuk memegang teguh serangkaian prinsip yang dicantumkan dalam Piagam ASEAN, antara lain : h) menaati azas-azas hukum, pemerintahan yang baik, prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional; dan i) menghormati kebebasan fundamental, perlindungan dan kemajuan hak asasi manusia, dan kemajuan keadilan sosial; dan j) menaati Piagam PBB dan hukum internasional, termasuk hukum kemanusiaan internasional, yang diikuti oleh negara-negara anggota ASEAN.121 Berdasarkan Konvensi Vienna122 dan Piagam ASEAN, Indonesia terikat di bawah hukum internasional untuk menaati Piagam 120 penekanan ditambahkan). Amyebi Ligabo, Special Rapporteur tentang kebebasan berekpresi pernah memperingatkan tentang bahaya mengorbankan kebebasan nerekpresi demi perasaan keagamaan. Dalam laporannya pada tahun 2008 kepada UNHRC, Ligabo menyatakan "bahwa “batasan tidak dimaksudkan untuk menekan kebebasan berekspresi atas pandangan-pandangan kritis, pendapat kontroversial atau pernyataan yang dianggap tidak tepat secara politis… batasan-batasan tersebut tidak dirancang untuk melindungi sistem kepercayaan dari kiritk internal maupun eksternal."” Lihat U.N. Doc. A/ HRC/7/14 (2008). 121 Piagam ASEAN pasal 2(h)-(j). 122 Pasal 26 Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian menyatakan bahwa "“setiap perjanjian berkekuatan untuk mengikat pihak-pihak yang menyepakati dan harus dilaksanakan dengan niat baik."” Lihat Vienna Convention on the Law of Treaties, 23 Mei 1969, 8 I.L.M. 679, 1155 U.N.T.S. 33, memiliki kekuatan mengikat 27 Januari 1980. Pasal 27 menyatakan bahwa penerapan hukum domestik further provides tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas kelalaian dalam menaati kewajiban yang telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Lihat id. pasal 27.
96
LAMPIRAN 3
PBB UU Hak Asasi Manusia (HAM) 1999 juga menyatakan bahwa UDHR dan ICCPR merupakan bagian penting dalam hukum Indonesia. Pada bagian Pembukaan dinyatakan: “"bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia"123 Pasal 7 lebih lanjut menyatakan bahwa peraturan internasional tentang hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia akan diterapkan dan mengikat secara hukum di Indonesia.124
2. Kewajiban Indonesia berdasarkan UUD 1945 dan Hukum Domestik Seiring dengan komitmen-komitmen internasional ini, Indonesia juga berkewajiban untuk melindungi kebebasan beragama, berdasarkan Undang-Undang Dasar dan hukum domestik lainnya. Pertama, Bab X-A, bagian tentang hak asasi manusiaditambahkan dalam Undang-Undang Dasar pada tahun 2001, termasuk jaminan-jaminan sebagai berikut : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.125
Kedua, kebebasan beragama dan bernurani juga dilindungi secara terpisah pada pasal28 I(1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pembukaan (d). Lihat id. pasal 7(2). 125 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (1945), Bab. X-A, pasal 28 E(1)–(3) [selanjutnyaakan disebut sebagai “UUD 1945”]. 123 124
97
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
hak-hak fundamental termasuk diantaranya "...“…hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, …...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."126” Ketiga, UUD 1945 melindungi hak seseorang untuk menjalani proses hukum dan mendapat perlindungan yang setara di mata hukum. Pasal 28 (1) UUD 1945 menjamin bahwa “"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."”127 Terakhir, UU HAM 1999 memberikan jaminan perlindangan undang-undang atas kebebasan beragama.128 Pasal 22(1) menyatakan bahwa “"Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu."129 Pasal 22(2) menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.130
Lihat id. pasal 28 I(1). Id. pasal 28 D(1). 128 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mahkamah Konstitusi menyatakan memahami artiUUD berarti tidak hanya berarti memahami teksnya, tapi juga “filosofi dan sudut pandang negara yangmencerminkan semangat UUD 1945.” Keputusan No. 006/PUU-IV/2006, 39 (7 Desember 2006). 129 Id. pasal 22(1). 130 Lihat id. pasal 22(2). 126 127
98
LAMPIRAN 3
II. Argumen Almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid meyakini bahwa pemerintah Indonesia tidak seharusnya memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah sebuah agama sah atau tidak.131 Ketika ditanya, "“Bagaimana caranya memutuskan apakah (sesuatu) merupakan suatu agama atau bukan?”" ia menjawab, “"Itu pertanyaan mudah. ‘`Sesuatu`’ disebut agama jika para pengikutnya mempercayai ‘`sesuatu`’ itu sebagai agama.”"132 Reformasi hak asasi manusia yang terjadi di dekade lampau diadopsi secara demokratis, sesuai dengan hukum, dan memberikan kebebasan beragama yang setara kepada seluruh warga negara Indonesia. UU Penodaan Agama tidak selaras dengan nilai-nilai kebebasan beragama dan berbahaya bagi kemajuan Indonesia sebagai negara demokratis. UU Penodaan Agamaharus dicabut karena alasan-alasan sebagai berikut: 1) tidak selaras dengan kewajiban Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam hukum internasional dan UUD 1945; 2) bertentangan dengan preseden terjemahan Mahkamah Konstitusi atas UUD 1945; 3) merefleksikan padangan yang sudah kadaluwarsa tentang kebebasan beragama yang bertentangan dengan kebijakan publik Indonesia yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang plural dan demokratis. Demi menepati janji teguh UUD 1945 yang berjanji melindungi hak asasi manusia, maka Mahkamah Konstitusi seharusnya mencabut UU Penodaan Agama danmenyatakan UU tersebut tidak konstitusional.
Lihat Heriyanto Yang, The History and Legal Position of Confucianism in Post Independence Indonesia, 10 MARBURG J. OF RELIGION 1, 6 (Agustus 2005), dapat diakses di http://www.unimarburg.de/fb03/ivk/mjr/pdfs/2005/articles/yang2005.pdf. 132 Id. 131
99
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
A. UU Penodaan Agama Melanggar Kewajiban-Kewajiban Indonesia berdasarkan Hukum Internasional 1. UU Penodaan Agama Melanggar Kewajiban -Kewajiban yang telahIndonesia Sepakati dalam Perjanjian Internasional dengan Lebih Melindungi Bentuk-Bentuk Agama dan Kepercayaan daripada MelindungiPengikut Kepercayaan dan Agama UU Penodaan Agama membatasi kebebasan berekpresi dan kebebasan untuk mempraktekkan keimanan yang dianggap “"penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama (yang diakui di Indonesia) itu."133 Pendekatan yang melindungi prinsip dasar agama resmi menyalahi landasan hukum hak asasi manusia dengan lebih melindungi suatu gagasan daripada melindungi individu yang memiliki/mengikuti suatu gagasan. Pemahaman radikal atas hak asasi manusia semacam ini tidak selaras dengan prinsip dasar PBB dan hukum tertulis. Lebih lanjut, perlindungan terhadap penafsiran suatu agama tidak memiliki landasan hukum baik internasional dan perundangundangan. UDHR tidak diawali dengan perlindungan agama tertentu atau gagasan-gagasan yangterkandung didalamnya, namun diawali dengan melindungi orang-orang yang memerlukan. Pada bagian Pembukaan dinyatakan bahwa: “Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak. Mereka memiliki pikiran dan nurani…”134 Landasan ini menyatakan bahwa manusia lebih dilindungi dibandingkan gagasan atau identitas kelompok. Landasan ini juga sudah diakui di berbagai perjanjian, adat, prinsip umum dan akademis. Sama halnya dengan UDHR, ICCPR mengakui bahwa dasar-dasar hak asasi manusia terletak pada individu, bukan pada agama, ideolo133 134
Lihat UU penodaan Agama pasal 1. UDHR pasal 1.
100
LAMPIRAN 3
gi, atau pemerintah. ICCPR pasal 19 (1) menyatakan “setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa tekanan.” Selaras dengan itu, ICCPR pasal 19(2) menyatakan, “setiap orang berhak memiliki kebebasan berekspresi; hak ini termasuk hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan, terlepas dari segala batasan, baik secara lisan, tulisan atau dicetak, dalam bentuk karya seni, atau melalui bentuk media apapun yang telah menjadi pilihan(nya).” Berkaitan dengan itu, ICCPR pasal (18) menjamin “hak untuk bebas memiliki pikiran, nurani dan agama” dan bebas “memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam bentuk ibadah, pengamatan dan ajaran.” Maka dari itu, pasal-pasal penting ICCPR secara eksplisit melindungi ekspresi pikiran, nurani dan agama, tapi tidak melindungi isi pikiran, nurani atau agama tersebut. Ini adalah perbedaan yang sangat penting. ICCPR tidak menjamin bahwa gagasan tertentu akan dilindungi dari distorsi atau perdebatan di ruang publik. Sebaliknya, ICCPR melindungi individu-individu yang mengekpresikan kepercayaannya –terutama individu-individu yang menganut dan mengekpresikan kepercayaan minoritas atau tidak populer. Pihak-pihak yang berwenang di wilayah regional seperti Dewan Eropa, yang sarat dengan pengaruh perkembangan standar hukum, peraturan, hak asasi manusia, dan demokrasi pada proses integrasi Eropa, juga senada dengan ICCPR, turut menyimpulkan bahwa, “wa-
laupun kita memang memiliki kewajiban untuk menghormati pihak lain dan harus menjauhi cemooh yang tak beralasan, kebebasan berekspresi tidak dapat dibatasi demi kehormatan dogma atau kepercayaan tertentu yang dianut oleh komunitas agama tertentu."135 Dewan Eropa juga menyatakan bahwa masyarakat yang moderen dan demokratis, seperti Indonesia,“ "terdiri dari 135 Eur. Parl. Assembly, Recommendation 1804: State, Religion, Secularity and Human Rights, 19(2007) (penekanan ditambahkan), dapat diakses di http://assembly.coe.int/Main.asp?link=/Documents/AdoptedText/ta07/EREC1804.htm
101
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
individu-individu yang memiliki syahadat dan kepercayaan yang berbeda-beda.136” Karena hak untuk bebas berekspresi sangatlah fundamental, “hukum penodaan agama tidak seharusnya digunakan untuk membatasi kebebasan berekpresi dan berpikiran.”137
2. UU Penodaan Agama Bertentangan dengan Azas Kesetaraan dalam Mendapatkan Perlindungan dan Kebebasan untuk Berorganisasi denganMengasingkan Pengikut Agama yang Tidak Populer dari Masyarakat Umum Dokumen internasional tentang hak asasi manusia yang telah disepakati Indonesia, mensyaratkan agar Indonesia memberikan perlindungan hukum yang setara kepada semua warga negaranya. UDHR pasal 7 menyatakan bahwa “semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan hukum yang setara tanpa adanya diskriminasi”. Maka dari itu, "hukum melarang diskriminasi dalam bentuk apapun dan menjamin perlindungan bagi setiap orang secara setara dan efektif, terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, nasionalisme atau latar belakang sosial, properti, kelahiran atau status lain." Artikel 27 dalam ICCPR menyatakan, “di negara-negara dimana terdapat agama minoritas, seseorang berhak sepenuhnya menjadi bagian kelompok minoritas tersebut, baik dalam komunitas dengan anggota kelompok lainnya, … untuk menyatakan dan mempraktekkan agama mereka.” (penekanan ditambahkan)." Kewajiban Indonesia untuk menghindari diskriminasi agama dinyatakan lebih lanjut dalam Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Eur. Parl. Assembly, Recommendation 1510: Freedom of Expression and Respect for Religious Beliefs, 3 (2006) (penekanan ditambahkan), dapat diakses di http://assembly.coe.int/ main.asp?Link=/documents/adoptedtext/ta06/eres1510.htm. 137 Id. 136
102
LAMPIRAN 3
Discrimination Based on Religion or Belief (Deklarasi untuk Menyingkirkan Segala Bentuk Ketidaktoleranan dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan), yang berbunyi: “"Kalimat ‘`ketidaktoleranan dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan’` berarti perbedaan, pengasingan, pembatasan atau pemilihan yangdilandasi oleh agama atau kepercayaan, serta memiliki tujuan atau dampak yang berbentuk penyangkalan atau kecacatan atas status keberadaan, kebahagiaan atau praktek hak asasi manusia dan kebebasan fundamental (mereka).”138 PBB telah secara jelas menyatakan bahwa negara anggota seperti Indonesia “harus melakukan segala upaya untuk memberlakukan atau mencabut jika diperlukan, demi melarang segala bentuk diskriminasi, dan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untukmemerangi ketidaktoleranan berdasarkan agama atau kepercayaan lain…”139 UU Penodaan Agama sangat bertentangan dengan komitmenkomitmen tersebut diatas. UU Penodaan Agama membatasi hak asasi manusia berdasarkan apakah seseorang merupakan penganut agama resmi sesuai dengan versi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menolak pengakuan status hukum agama minoritas, UU Penodaan Agama telah menjadi landasan bagi berbagai kebijakan yang mengasingkan orang-orang dari partisipasi dalam kemasyarakatan.” Justru karena status pengakuan hukum telah menjadi sangat penting sebagai mekanisme untuk melakukan kegiatan kelompok dalam masyarakat moderen, maka batasan yang diberlakukan terhadap kelompok agama tertentu dalam pencatatan dan mendapat status hukum menandakan gangguan terhadap kebebasan beragama, berasosiasi dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara.140 Secara spesifik, 138 Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religionor Belief, G.A. Res. 36/55, art. 2(2), U.N. Doc. A/RES/36/55 (25 November 1981), dapat diakses dihttp://www.undocuments.net/a36r55.htm 139 Id.pasal 4(2). 140 52 Lihat, e.g., Kimlya v. Russia, ECHR, App. Nos. 76836/01 and 32782/03, § 84
103
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
pasal 61 UU Administrasi Kependudukan mensyaratkan agar setiap warga negara Indonesia memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mencantumkan agama pemiliknya.141 Para penganut agama yang tidak diakui oleh negara dapat mengosongkan kolom agama yang disediakan dalam kartu KTP. Beberapa pengikut agama lain yang tidak diakui oleh negara bahkan tidak dapat mendapatkan KTP. Para penganut agama yang tidak diakui negara juga dilarang untuk menyatakan agama atau kepercayaan mereka dalam surat-surat resmi.142 Berbagai perlakuan yang mencerminkan perlakuan yang tidak sepantasnya berdasarkan perbedaan agama semacam ini jelas-jelas menyalahi komitmen internasional yang berjanji untuk menjamin setiap orang secara setara di hadapan hukum.143
(Oct. 1, 2009).Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa (The Organization for Security and Co-operation inEurope (“OSCE”)) telah mengakui pentingnya hak untuk mendapatkan status hukum bPrinciple 16.3. 141 Lihat Indonesian NGO Alternative Report on ICERD, Breaking the Smoke-screen of RacialDiscrimination and Impunity in Indonesia, at 9-10 (1 Juni 2007) [selanjutnya akan disebut sebagaiIndonesian NGO Report], dapat diakses di http://www2.ohchr.org/english/ bodies/cerd/docs/ngos/NGO-Indonesia.pdf. 142 Lebih lanjut, stigma yang didapatkan karena dianggap tidak memiliki agama dalam KTP sudahberlangsung sejak setelah masa pembersihan komunisme pada tahun 1960-an. Pada masa itu, ateismedikaitkan erat dengan komunisme. Para ateis diberi label subversif dan dapat ditangkap tanpa melaluipengadilan. 143 Lihat Indonesian NGO Report, supra note 53, halaman 9-10. Pengikut agama minoritas juga tidakdapat mendaftarkan perkawinan mereka. Sebagai contoh, pasal 2(1) UU Perkawinan (UU No.23/2006)menyatakan bahwa pasangan yang telah menikah boleh pendaftarkan perkawinan mereka selamapernikahan tersebut dilakukan berdasarkan tata cara agama resmi. Dengan demikian, orang yangmenganut kepercayaan tradisional atau adat tidak diakui oleh lembaga perkawinan dengan demikiantidak memiliki status hukum, maka tidak dapat mencatatkan perkawinan mereka. Rintangan semacamini yang diberlakukan kepada orang yang menganut agama yang tidak populer menyalahi UDHR pasal16, yang menjamin hak seseorang untuk menikah tanpa adanya batasan yang diberlakukan atas dasaragama. Lihat id. halaman 24-25
104
LAMPIRAN 3
3. UU Penodaan Agama Melanggar Kebebasan Beragama and Berekspresidengan Mempidanakan Bentuk-Bentuk Ekpresi Damai atas DasarKeimanan pada Suatu Agama UU Penodaan Agama mengkriminilisasikan para penganut agama yang tulus dan damai jika agama tersebut dan prakteknya dipandang “membahayakan agama-agama yang ada.144” Penegakan UU ini biasanya diserahkan tanpa pengawasan kepada aparat lokal yang diperbolehkan untuk bertindak berdasarkan prasangka mereka. Antara tahun 2003 sampai 2008, lebih dari 150 orang ditahan atau ditangkap, berdasarkan pasal 4 UU Penodaan Agama yang mengukuhkan pasal 156(a) KUHP.145 Pelanggaran yang dituduhkan dalam kasus kasus tersebut adalah karena dianggap membahayakan interpretasi yang diizinkan oleh negara atas agama-agama resmi. UU Penodaan Agama juga digunakan untuk menjatuhkan hukuman pidana kepada orangorang yang memeluk agama turunan dari agama-agama resmi. Salah satu contoh penting adalah Keputusan Bersama atas kasus Ahmadiyah, yang diberlakukan tahun 2008 oleh Departemen Agama, Kejaksan Agung dan Departemen Dalam Negeri.146 Mayoritas muslim di Indonesia tidak mengakui Ahmadiyah sebagai muslim karena mereka mengikuti “kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam."147 Surat Keputusan Bersama menyatakan bahwa “selama pengikut Ahmadiyah menganggap diri mereka beragama Islam, maka mereka harus menghentikan menyebarkan interpretasi dan aktivitas 145 Lihat International Religious Freedom Report 2008: Indonesia, U.S. State Dep’t, dapat diakses dihttp://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2008/108407.htm (diakses terakhir kali pada tanggal 30 desember2009). Laporan tersebut menjabarkan berbagai contoh bentuk penegakan UU Penodaan Agama yangdilakukan di wilayah lokal. 146 Lihat 2008 Keputusan Bersama tentang Ahmadiyya, ditetapkan oleh Departemen Agama, KejaksaanAgung, dan kementrian Dalam Negeri [selanjutnya akan disebut sebagai “Keputusan Bersama”], dapat diakses di http://www.thepersecution.org/world/ indonesia/docs/skb.html (terakhir kali diakses pada tanggal 18 Desember 2009). 147 Id.
105
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
yang menyimpang dari prinsip ajaran Islam.”148 Warga negara sipil dan komunitas keagamaan seharusnya dibebaskan untuk berdebat —dengan tajam sekalipun —tentang hubungan antara Ahmadiyah dan Islam; warganegara sipil dan kelompok-kelomok keagamaan bahkan memiliki kebebasan beragama dan kebebasan untuk menyatakan bahwa kepercayaan Ahmadiyah salahdan bertentangan dengan Islam. Namun, Surat Keputusan Bersama dengan tidaks emestinya menunjuk pemerintah, dengan segala kewenangannya, sebagai juru penengah atas apa dipercayai oleh Ahmadiyah dan apa yang dapat diperbolehkan untuk mereka sebarkan sebagai (prinsip ajaran Islam).” Kelompok agama lain yang juga dikaitkan dengan Islam adalah Komunitas Eden (Kerajaan Tuhan Eden), yang juga telah menjadi korban UU Penodaan Agama. Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada pemimpin Komunitas Eden, Lia Eden, atas penodaan agama Islam. Pelanggaran yang didakwakan kepadanya adalah menyatakan dirinya sebagai Nabi dan menafsirkan Al-Quran dengan cara yang tidak sesuai dengan metodologi Islam.149 Sejak saat itu, Lia Eden dan sedikitnya dua orang anggota komunitas tersebut telah dijatuhi beberapa hukuman penjara berdasarkan UU Penodaan Agama atas beberapa praktek keagamaan yang menurut pengadilan telah menodai agama Islam.150 UU Penodaan Agama juga pernah digunakan untuk memenjarakan umat muslim atas dasar beribadah dengan cara yang “tidak Lihat id. at 2. Lihat Sect Leader Lia Jailed for Blasphemy, THE JAKARTA POST (30 Juni 2006), dapat diakses dihttp://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg22918.html (terakhir kali diakses padatanggal 22 Desember 2009). 150 Lihat Andra Wisnu, Lia Eden Sentenced to Prison, Again, THE JAKARTA POST (3 Juni 2009), dapat diakses di http://www.thejakartapost.com/news/2009/06/03/ lia-eden-sentenced-prison-again.html (terakhir kali diakses pada tanggal 22 Desember 2009). 148 149
106
LAMPIRAN 3
benar”. Sebagai contoh, pada Agustus 2005, Muhammad Yusman dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun berdasarkan pasal 157 karena melakukan shalat dengan bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa Arab.151 Serupa dengan itu, Sumardi Tappaya, seorang muslim dan guru agama di sebuah sekolah dijatuhi hukuman penjara selama enam bulan karena tindakannya yang dianggap menyimpang, yaitu bersiul ketika shalat, dilaporkan oleh salah seorang saudaranya.152 UU Penodaan Agama juga mengkriminalisasikan barang siapa yang menganut agama resmi, tapi menjalankan praktek dan gagasan yang tidak lazim. Sebagai contoh, polisi menangkap pemimpin sekte Sion Kota Allah dan enam pengikutnya dibawah pasal 156a karena dianggap menyimpang dari “"ajaran Nasrani yang benar”."153 Sekte Sion Kota Allah dianggap merupakan cabang agama Kristen yang tidak dapat diterima karena hanya berlandaskan satu kitab dari Injil (Kitab Jeremiah), tata cara peribadatannya dianggap "“menyimpang dari ajaran Nasrani,"” dan penganutnya dilarang memasuki gereja hingga tahun 2011.154 Hak-hak para penganut agama resmi juga terancam oleh UU Penodaan Agama, karena UU tersebut melarang seseorang untuk membagi keimanannya, terlepas dari fakta bahwa norma hak asasi manusia internasional mengakui proselitisme— - berbagi keimanan 151 Lihat Richard C. Paddock, Separation of Mosque, State Wanes in Indonesia, L.A. TIMES, 20 Maret2006, di A1 (“‘Pemerintah dan dewan bekerja sama untuk meredam gagasan-gagasan saya,’ ujar Royketika diwawancara di penjara. Tapi ini tidak akan menghentikan saya melakukan apa yang saya percayai.”); lihat juga International Religious Freedom Report 2007: Indonesia, U.S. State Dept., dapat diakses di http://www.state.gov/g/drl/rls/ irf/2007/90137.htm (terakhir kali diakses pada tanggal 30Desember 2009). 152 Lihat Yemris Fointuna, Seven Declared Suspects of Blasphemy, THE JAKARTA POST (June 4, 2009), dapat diakses dihttp://www.thejakartapost.com/ news/2009/06/04/seven-declared-suspectsblasphemy.html (terakhir kali diakses pada tanggal 23 Desember 2009). 153 Lihat id. 154 Lihat id.
107
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
seseorang dengan orang lain sebagai bagian integral dari kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat.155 Sebagai contoh, pada tahun 2007, empat puluh dua umat Kristen dijatuhi hukuman penjara lima tahun dengan dakwaan “menghina agama.”156 Kejahatan yang didakwakan kepada mereka adalah menyebarkan video yang menginstruksikan orang-orang untuk berdoa agar para politisi Indonesia yang beragama Islam supaya berpindah agama.157 Serupa dengan kasus-kasus di atas, pada bulan September 2005 pengadilanmenjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun kepada tiga perempuan beragama Kristen yang menjalankan sebuah program bagi muda-mudi Kristen. Hukuman tersebut dijatuhkan berdasarkan hukum yang melarang tindakan yang menyebabkan seorang anak berpindah agama dengan menggunakan “tipuan, kebohongan atau rayuan.158” Walaupun anak-anak muslim dalam program tersebut telah mendapat izin dari orang tua mereka untuk menghadiri, dan tidak seorang anak pun berpindah agama menjadi beragama Kristen, para wanita Kristen tersebut tetap diputus bersalah.159 UU ini, tidak hanya melanggar hak para wanita Kristen tersebut untukmenyebarkan agama mereka, tetapi juga melanggar hak para orang tua untuk mendidik anak mereka sesuai dengan cara yang mereka pilih.160 Tidak seorang pun dari indi155 Lihat, e.g., Tad Stahnke, The Right to Engage in Religious Persuasion, in FACILITATING FREEDOMOF RELIGION OR BELIEF: A DESKBOOK 619-49 (Tore Lindholm et al. eds., 2004). 156 Lihat United States Commission on International Religious Freedom, USCIRF Annual Report 2009- The Commission’s Watch List: Indonesia (May 1, 2009), dapat diakses dihttp:// www.unhcr.org/refworld/docid/4a4f272d8.html (terakhir kali diakses pada tanggal 30 Desember2009). 157 See id. 158 Lihat PAUL MARSHALL, RELIGIOUS FREEDOM IN THE WORLD 204 (2008). 159 See id 160 Lihat , e.g., UDHR pasal 26(3) (“Orang tua berhal untuk menentukan terlebih dahulu tata cara yangakan mereka gunaka untuk mendidik anak mereka.”); lihat juga UNESCO Convention againstDiscrimination in Education, pasal 5.1(b) (“Sangatlah
108
LAMPIRAN 3
vidu-individu yang disebutkan di atas telah melakukan tindakan yang dapat disebut sebagai kejahatan berdasarkan hukum Indonesia maupun internasional. Wacana mereka disampaikan dengan damai dan tidak menggunakan bahasa yang menghasut pendengar mereka untuk melakukan kekerasan. Mahkamah ini seharusnya menyadari bahwa UU Penodaan Agama mendorong pemerintah lokal untuk mengkriminalisasi praktek hak asasi manusia dan kebebasan beragama serta berekspresi yang disampaikan dengan damai dan tulus.
B. UU Penodaan Agama Melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 1. UU Penodaan Agama Melanggar Pasal 28 I(1) UUD 1945 UU Penodaan Agama bertentangan dengan pasal 28I(1) UUD 1945, sebagaimana telah ditafsirkan oleh Mahkamah ini. Pasal 28I(1) menyatakan : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.161 (penekanan ditambahkan)
Dalam kasus pidana Masykur Abdul Kadir pada tahun 2002, Mahkamah Konstitusi memperkokoh bahwa pasal 28 I(1) harus dilaksanakan sebagaimana tertulis: hak-hak ini adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.162 Dalam kasus penting untuk menghormati kewenangan orangtua …untuk memastikan… pendidikan agama dan moral kepada anak-anak mereka sesuai dengankeyakinan mereka”). 161 UUD 1945 pasal 28 I(1) 162 Lihat Keputusan No. 013/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi Indonesia (23 Juli 2004), dapat diakses dihttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_eng_ConstitutionalCourtDecisionTerroristAct.pdf.
109
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
ini, terdakwa, Masykur Abdul Kadir, dijatuhi hukuman penjara sampai lima belas tahun atas perannya dalam pengeboman Bali pada bulan Oktober 2002. Setelah hukuman dijatuhkan, para pengacara Masykur mengajukan petisi pada Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa penuntut melanggar hak Masykur berdasarkan pasal 28 I(1) UUD 1945 untuk “tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.” Salah satu isu penting dalam kasus tersebut adalah apakah jaminan yang diberikan pada pasal 28 I(1) bisa dibatasi dengan pertimbangan “moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum,” sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28 J(2).163 Masykur menghadirkan saksi ahli yang bersaksi bahwa hak yang dijamin pada pasal 28 I(1) tidak dapat dikurangi “dalam keadaan apapun,” dan bahwa jaminan pada pasal 28 I(1) menggunakan preseden pada bahasa yang digunakan dalam pasal 28 J yang menyatakan bahwa kebebasan individu hanya dapat dikurangi dengan pertimbangan “hak kebebasan orang lain” dan berdasarkan “pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.”164 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hak Masykur di bawah pasal 28 I(1) telah dilanggar secara tidak adil. Meskipun pemerintah memiliki kepentingan untuk menghukum seseorang yang dituduh bertanggung jawab atas salah satu tindakan terorisme terburuk sepanjang sejarah Indonesia, Mahkamah Konstitusi memutuskanbahwa hak yang dijamin pada pasal 28 I(1) tetap "tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun."165 Dalam kasus terkini, Mahkamah Kon163 UUD 1945 pasal 28 J(2). Pasal 28 J(2) menyatakan bahwa dalam menjalankan haknya, setiaporang, “wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-matauntuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhituntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertibanumum dalam suatu masyarakat demokratis.” 164 Lihat Keputusan No. 013/PUU-I/2003, Mahkamah konstitusi Indonesia (23 Juli 2004) halaman 14, 165 UUD 1945 pasal 28 I(1).
110
LAMPIRAN 3
stitusi tidak dapat menegakkan UU Penodaan Agama tanpa mencabut keputusannya pada kasus Masykur Abdul Kadir dan mengabaikan bahasa tegas pasal 28 I(1). Penerapan Mahkamah Konstitusi atas kalimat “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” dalam kasus Masykur Abdul Kadir berlaku lebih kuat dalam petisi terhadap UU Penodaan Agama ini.
2. UU Penodaan Agama Melanggar UUD 1945 karena UU Penodaan Agama Menciptakan Ketidakpastian Hukum dan Menyalahi PeraturanPerundang-undangan UU Penodaan Agama juga melanggar UUD 1945 karena penggunaan istilah yang tidak jelas menyalahi peraturan peraturan perundang-undangan dengan membiarkan hak asasi manusia berada dalam posisi yang tidak pasti dan bergantung pada prasangka aparat. UU penodaan Agama mengancam warga negara melalui teguran, sanksi dan hukuman penjara jika berasosiasi dengan “kegiatan-kegiatan keagamaan yang meyerupai” kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, dan jika berasosiasi dengan “penafsiran dan kegiatan” mana “"menyimpang” dari “pokok-pokok ajaran agama itu.”166 Istilah-istilah yang digunakan sangatlah tidak jelas dan sangat tergantung pada penafsiran subjektif. Sebagai akibatnya, UU tersebut tidak memberikan instruksi untuk aparat penegak hukum tentang bagaimanakah bentuk tingkah laku yang dilarang. Mahkamah ini sudah berulang kali mengukuhkan bahwa Indonesia berkomitmenuntuk mencabut undang-undang yang menyalahi “prinsip kepastian hukum."167 Mahkamah ini sudah setidaknya dua kali membatalkan hukum yang mengatur penghinaan (hate speech) karena alasan prinsip kepastian hukum. Pada tanggal 6 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi mencabut pasal KUHP yang mempidanakan 166 167
Lihat UU Penodaan Agama pasal 1. Id. halaman 21 (mengutip Keputusan No. 013/PUU-IV/2006 halaman 21).
111
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
“penghinaan” terhadap Presiden aatau Wakil Presiden Republik Indonesia.168 Mahkamah ini memutuskan bahwa hukum yang mengatur tentang penghinaan melanggar pasal 28 D (1) UUD 1945, yang menjamin setiap orang “berhak atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Keputusan Mahkamah ini memperkokoh bahwa Indonesia adalah negara hukum yang “menghormati hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945.”169 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hak Masykur di bawah pasal 28 I (1) telah dilanggar secara tidak adil. Meskipun pemerintah memiliki kepentingan untuk menghukum seseorang yang dituduh bertanggung jawab atas salah satu tindakan terorisme terburuk sepanjang sejarah Indonesia, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hak yang dijamin pada pasal 28 I (1) tetap “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.170”
Dalam kasus terkini, Mahkamah Konstitusi tidak dapat menegakkan UU Penodaan Agama tanpa mencabut keputusannya pada kasus Masykur Abdul Kadir dan mengabaikan bahasa tegas pasal 28 I(1). Penerapan Mahkamah Konstitusi atas kalimat “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” dalam kasus Masykur Abdul Kadir berlaku lebih kuat dalam petisi terhadap UU Penodaan Agama ini. Tahun berikutnya, Mahkamah Konstitusi lagi-lagi mencabut pasal penghinaan yang mempidanakan “barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia,”175 Pengadilan memutuskan bahwa paLihat Keputusan No. 013/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi Indonesia (6 Desember 2006). 169 Lihat Keputusan No. 013/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi Indonesia (6 Desember 2006). 170 Id. halaman 31–32. 175 Keputusan No. 06/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi Indonesia (17 Juli 2007). 168
112
LAMPIRAN 3
sal penghinaan ini melanggar pasal 28 D(1) UUD 1945, yang menjamin “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Mengutip Hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, hukum yang mengatur penghinaan semacam ini “dapat menyebabkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena hukum-hukum semacam ini sangat tergantung pada penafsiran apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau ekspresi merupakan kritik sah atau penghinaan yang melanggar hukum terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.176” Hukum-hukum yang tidak jelas menyalahi peraturan perundang-undangan karena hukum semacam itu membiarkan pintu terbuka untuk penuntutan selektif yang didasarkan pada hasrat atau kebijaksanaan pribadi aparat. Mahkamah-mahkamah lain juga menyatakan bahwa “aspek penting dari doktrin ketidakjelasan adalah lembaga legislatif harus mencantumkan panduan minimal bagi penegakan hukum. Jika lembaga legislatif lalai menyediakan panduan minimal tersebut maka hukum pidana dapat membiarkan penangkapan tanpa panduan, yang mengizinkan, penuntut dan juri untuk memenuhi hasrat mereka sendiri.”177 Berkaitan dengan prinsip hukum, kewenangan hukum yang memberikan kuasa pertimbangan yang terlalu besar atau arbitrer di tangan pemerintah atas kebebasan beragama, baik merupakan dampak unsur ketidakjelasan atau sebaliknya, harus dibatasi.178
Kolender v. Lawson, 461 U.S. 352, 358 (1983) (kutipan dihilangkan). Dengan menerapkan prinsip-prinsipini, pengadilan telah mencabut hukum yang pada awalnya ditujujan untuk melindungi patriotisme. Dalam sebuah kasus, Mahkamah Agung Amerika Serikat mencabut hukum yang melarangmemperlakukan bendera “dengan penghinaan” karena hukum tersebut “gagal memberikan batasan yang jeals antara perlakuan yang … bersifat kriminal dan yang tidak.” Smith v. Goguen, 415 U.S. 566,574 (1974). 178 Lihat Manoussakis v. Greece, ECHR, App. no. 18748/91, § 47 (Sept. 26, 1996); lihat jugaReligionsgemeinschaft der Zeugen Jehovas et al. v. Austria, ECHR, App. no. 40825/98, § 71 (31 Juli2008). 177
113
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
3. Ketidakjelasan yang Ditimbulkan UU Penodaan Agama juga Berakibat pada Terhambatnya Kebebasan Berekspresi. Selain melanggar prinsip “kepastian hukum”, Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan bahwa undang-undang yang membatasi ekpresi secara luas, seperti pasal-pasal tentang penghinaan yang telah didiskusikan di atas, adalah menyalahi kebebasan berpendapat. Kata-kata kunci dalam UU Penodaan Agama seperti “kegiatan keagamaan”, “menyerupai”, “menyimpang” dan “pokok-pokok ajaran agama” sangatlah terbuka untuk berbagai interpretasi. Dengan demikian, UU Penodaan Agama telah gagal memberikan pengetahuan yang cukup kepada masyarakat tentang bentuk tindakan yang dilarang. Dalam suasana yang penuh ketidakpastian semacam ini, masyarakat dapat merasa enggan untuk mempraktekkan hak asasi mereka dalam kebebasan beragama, berekspresi dan berpendapat. Pada kasus-kasus penghinaan tahun 2006 dan 2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hukum-hukum yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap aparat pemerintah “meniadakan prinsip kesetaraan dihadapan hukum dan mengurangi kebebasan berekspresi dan berpendapat, dan kebebasan untuk mendapatkan informasi179 ”Pengadilan-pengadilan lain juga telah menyadari ancaman serupa yang ditimbulkan oleh larangan-larangan yang terlalu luas yang diberlakukan terhadap ekspresi di ranah publik dengan memberikan penekanan bahwa kebebasan berpendapat sangatlah “rapuh dan sensitif, sebagaimana juga sangat berharga (dan) ancaman sanksi dapat mengganggu prakteknya seperti hampir sebesar gangguan yang dapat diciptakan oleh penerapan sanksi tersebut.”180 Atas dasar yang sama yang digunakan oleh Mahkamah ini ketika mencabut hukum-hukum Keputusan No. 06/PUU-V/2007 halaman 21 (mengutip Kepututsan No. 013/ PUU-IV/2006 halaman21). 180 NAACP v. Button, 371 U.S. 415, 433 (1963). 179
114
LAMPIRAN 3
yang mengatur penghinaan pada tahun 2006 dan 2007, Mahkamah ini seharusnya menyadari bahwa UU Penodaan Agama berakibat pada kontraksi yang tidak konstitusional terhadap kebebasan berekspresi.
4. Pengadilan Sipil Secara Konstitusional Diwajibkan Untuk Melindungi Kebebasan Beragama Tanpa Ikut Campur Dalam Doktrin Agama Negara, pengadilan sipil dan lembaga administratif tidak seharusnya memaksa seseorang dalam partisipasi keagamaan ataupun turut menafsirkan doktrin agama. Negara yang tidak ikut campur berarti menjaga hak individu untuk bebas mempraktekkan agamanya dan menjaga hak institusi keagamaan untuk menentukan doktrin dan keanggotaan mereka sendiri. Seseorang berhak untuk menyampaikan dan mempraktekkan agama yang menjadi pilihannya tanpa adanya tekanan dari pemerintah— terlepas dari apakah pilihannya tersebut adalah agama yang populer, atau apakah penafsirannya atas suatu doktrin sesuai dengan penafsiran seorang ahli yang “diakui” pemerintah. a) Pengadilan Sipil Tidak Seharusnya Menafsirkan Doktrin Agama Pengadilan sipil dalam demokrasi yang konstitusional tidak seharusnya menafsirkan doktrin agama. Bahkan di negara-negara yang memiliki sejarah aliansi khusus dengan agama tertentu, konstitusionalisme pada akhirnya tetap melindungi kebebasan warga negara untuk menganut agama yang menjadi pilihannya, tanpa adanya tekanan atauancaman dari pemerintah. Demi menjaga hak individu agar tidak ditekan dalammasalah nurani, aparat pemerintah dan lembaga-lembaga yang menangani kelompok-kelompok keagamaan mengemban tugas untuk menjaga netralitas dan ketidakberpihakan.181” 181
Lihat , e.g., Moscow Branch of the Salvation Army v. Russia, ECHR, App. no. 72881/01,
115
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
Spanyol merupakan contoh sebuah negara demokratis yang telah menciptakan kemajuan dalam kebebasan beragama terlepas dari latar belakang sejarah mereka yang condong ke arah salah satu kelompok keagamaan. Pemerintah Spanyol dialiansikan secara resmi dengan Gereja Katolik hingga tahun 1978, ketika konstitusi baru diberlakukan yang menyatakan bahwa “melaksanakan transformasi secara bertahap status kenegaraan Spanyol (yang didasarkan pada sistem gereja) menjadi rezim yang berlandaskan kebebasan beragama tanpa secara tiba-tiba memutus tradisi sejarah negara.182 ” Konstitusi Spanyol yang baru mensyaratkan negara tetap memiliki hubungan dengan gereja, sebagaimana negara juga memiliki hubungan dengan Islam dan agama-agama lain. Hubungan ini harus dipandu oleh prinsip-prinsip netral yang telah ditetapkan dalam konstitusi dan tidak mengizinkan negara untuk berlaku memihak pada suatu agama. Walaupun Spanyol pernah memperlakukan Muslim dan kelompok minoritas lainnya secara tidak adil, kebebasan beragama dan berkeimanan telah menentukan arah kebijakan Spanyol dalam masalah keagamaan sejak diberlakukannya Konstitusi yang baru. Hukum Spanyol tidak lagi memihak kelompok agama tertentu dan mengizinkan pencatatan agama-agama non-tradisional. Sebagai contoh, dalam sebuah kasus perebutan hak asuh anak yang melibatkan kelompok agama non-tradisional, Mahkamah Konstitusi Spanyol menafsirkan pasal 16 Konstitusi Spanyol bahwa hak seorang bapak untuk mengunjungi anaknya dan juga haknya untuk mendidik anaknya tidak dapat ditiadakan berdasarkan tuduhan bahwa agama Gnostic (agama yang lahir dari penafsiran populer atas pemahaman Kristen Ortodok) yang dianut ayahnya dianggap “berbaha§§ 92, 97(5 Oktober 2006) 182 Javier Martinez-Torron, Freedom of Religion in the Case Law of the Spanish Constitutional Court, 2001 BYU L. REV. 711, 715 (2001)
116
LAMPIRAN 3
ya”183 Azas netralitas mewajibkan pengadilan sipil untuk tidak menafsirkan doktrin agamadan tidak berpihak kepada suatu agama tertentu. Komisi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (“EHCR”) telah menyatakan dalam berbagai kasus bahwa intervensi pemerintah dalam urusan keagamaan yang melibatkan evaluasi suatu kepercayaansangatlah tidak konsisten dengan kebebasan beragama.184 Dalam beberapa kesempatan, EHCR juga telah memberikan pernyataan yang menolak sistem administrasi pemerintah dalam keagamaan yang bersifat tidak netral. Sebagai contoh, dalam kasus Hasan dan Chaush v. Bulgaria,185 EHCR mewajibkan pemerintah agar menggunakan sistem administrasi yang netral dalam proses pencatatan agama yang mereka gunakan: Kecuali dalam beberapa kasus yang luar biasa, [Pengadilan] mengakui bahwa hak untuk bebas beragama …berarti meniadakan segala bentuk kebijaksanaan negara untuk menentukan apakah suatu agama atau cara yang digunakan untukmengekspresikan keimanan agama tersebut adalah sah. Tindakan Negara yang berpihak pada seorang pemimpin kelompok agama atau memaksa masyarakat untuk bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemimpin diluar kemauan mereka berarti telah mengganggu kebebasan beragama.186 Lebih lanjut, EHCR menyatakan bahwa dalam masyarakat demokratis, menyatukan kepemimpinan komunitas keagamaan bukanlah tugas negara.187 183 Lihat id. halaman 747 (mengutip Sentencias del Tribunal Constitucional Sistematizadas Comentadas (S.T.C.) 141/2000 (29 Mei 2000), FJ 4). 184 Lihat, e.g., Svyato-Mykhaylivska Paragiya v. Ukraine, ECHR, App. no. 77703/01, § 113 (14September 2007); 97 Members of the Gldani Congregation of Jehovah’s Witnesses v. Georgia, ECHR,App. no. 71156/01, § 131 (3 Mei 2007); Cha’are Shalom Ve Tsedek v. France, ECHR GrandChamber, App. no. 27417/95, § 84 (27 Juni 2000). 185 Hasan and Chaush v. Bulgaria [GC], ECHR, App. no. 30985/96,(November 2000). 186 Lihat id. 78 (citing Serif v. Greece, ECHR App. no. 38178/97, 49 (September 1999)). 187 Lihat id. “dalam masyarakat demokratis, negara tidak berkewajiban untuk memastikan bahwakomunitas agama berada dibawah kepemimpinan yang padu[.]” ECHR me-
117
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
UU Penodaan Agama secara telak melanggar prinsip netralitas. Berdasarkan kewenangan UU ini, pemerintah telah memilih enam agama yang mendapatkan perlakuan istimewa. Lebih jauh lagi, UU Penodaan Agama tidak hanya melakukan diskriminasi antar agama, diskriminasi itu pun dilakukan secara arbitrer dan tidakkonsisten. UU Penodaan Agama menjatuhkan sanksi bagi penafsiran baru atauminoritas atas agama resmi. Berkaitan dengan itu, UU Penodaan Agama lalai untukmemahami bahwa banyak dari agama-agama resmi tersebut pada suatu waktu adalah agama minoritas dan pernah dianggap pemurtadan dari agama asal muasalnya. Lebih jauh lagi, UU Penodaaan Agama mengikat pemerintah Indonesia untuk menentukan posisi yang “benar” dari “pokok-pokok” ajaran agama “yang ada”.188 Pernyataan ini melibatkan negara dalam memutuskan hal-hal yang seharusnyamenjadi domain eksklusif badan keagamaan.189 Penangkapan pemimpin sekte Sion Kota Allah yang telah disebutkan sebelumnya secara tepat mengilustrasikan kelalaian pemerintah yang mencoba untuk menentukan kebenaran atas suatu doktrin agama. Pimpinan sekte tersebut didakwa berdasarkan pasal 156a karena secara sengaja menghina Gereja Evangelikal Timor dengan tidak mengakui Komuni Suci Gereja dan upacara pernikahan.190 Pemimpin nolak untuk sampai kepada pertanyaan apakah pencatatan organisasi keagamaan berarti tidak dapat diizinkan dalam masyarakat demokratis. 188 Lihat Penjelasan, supra note 4, § II, pasal 1 (“pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui melalui Departemen Agama yang memilki instrumen penyelidikan untuk tujuan tersebut.”) 189 Lihat, e.g., Hasan and Chaush v. Bulgaria, 82; Supreme Holy Council of the Muslim Community v. Bulgaria, ECHR, App. no. 39023/97, 77 (16 Desember 2004). To say that the State should notmeddle in the internal decision-making and doctrinal interpretations of a religious group does not entailthat activities of a religious group are beyond state scrutiny. Rather, a State may be justified ininquiring into a religious group’s activities, for example, to determine whether or not the group isappropriately categorized as a religion or to satisfy itself that the religious group’s activities are notcriminal enterprises. See, e.g., Moscow Branch of the Salvation Army v. Russia, ECHR, App. no.72881/01, 94 (Nov. 2006). 190 Lihat Yemris Fointuna, Seven Declared Suspects of Blasphemy, THE JAKARTA POST (June 4, 2009), dapat diakses di http://www.thejakartapost.com/news/2009/06/04/se-
118
LAMPIRAN 3
Gereja Evangelikal Timor menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengajukan tuntutankepada sekte Sion Kota Allah; mereka bahkan menyatakan bahwa mereka tidak menganggap sekte Sion kota Allah telah menghina kongregasi mereka.191” “Jika yang merasa terhina adalah (agama) Kristen Protestan, maka siapakah yang telah melaporkan kepada polisi agar mereka ditangkap?” tanya seorang pemimpin Gereja Evangelikal Timor.192 Namun polisi tidak juga mundur. Seorang juru bicara pihak kepolisian menyatakan kami berharap pihak gereja tidak ikut campur dalam kasus ini.”193 Dengan kata lain, pemerintah tetap memburu tuduhan “penodaan agama” terhadap ajaran Nasrani, bahkan ketika kaum Nasrani yang dikatakan terlukai tidak merasa tersakiti. Hak untuk bebas berasosiasi dan bebas beribadah yang dinyatakan pasal 28 UUD1945 menjamin bahwa institusi keagamaan dibebaskan untuk menerima keanggotaan barangsiapa yang menganut ajaran mereka, dan tidak mengikutsertakan orang-orang yang tidak menganut ajaran mereka. Pasal 28 menjamin bahwa umat beragama dan institusi keagamaan bebas untuk mendiskusikan dan mengartikulasikan apa yangmenjadi interpretasi ortodok ajaran mereka dan apa yang tidak. Dengan kata lain, UUD menjamin untuk melindungi hak MUI untuk menyatakan bahwa kelompok seperti Ahmadiyah bukanlah muslim yang benar, dan hak umat Kristen mayoritas untuk menyatakan bahwa doktrin kelompok seperti Sion Kota Allah dianggap heterodoks. UU Penodaan Agama tidak memberikan kontribusi apaven-declared-suspectsblasphemy.html (lterkahir kali diakses pada tanggal 23 Desember 2009). 191 Lihat Yemris Fointuna, Religious Leaders Regret Police Arrests of ‘Deviant’ Sect Figures, THEJAKARTA POST, (9 Juni 2009), dapat diakses di http://www.thejakartapost.com/ news/2009/06/06/religious-leaders-regret-police-arrestsdefiant039-sect-figures.html (terakhir kali diakses pada tanggal 23 Desember 2009). 192 Lihat id. 193 id.
119
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
pun dalam wacana kebebasan bagi kelompok-kelompok keagamaan ini untuk menentukan keanggotaan mereka dan untuk melestarikan doktrin mereka dari pengaruh penentang. b) Pengadilan Sipil Tidak Seharusnya Memaksa Seseorang dalam Partisipasi Keagamaan Pengadilan Sipil tidak seharusnya memaksa seseorang dalam partisipasi keagamaan.Tekanan pemerintah dalam masalah keimanan dapat dikategorikan sebagai serangan terhadap nurani individu— yang dalam beberapa konteks disebut sebagai “forum internum”. “Forum internum didefinisikan sebagai “ranah pribadi dan mendalam keimanan (seseorang)194 ”Bila suatu negara tidak menyadari bahwa pertimbangan dan penilaian paling pribadi seseorang yang dilakukan berdasarkan nurani adalah sebuah ranah yang tidak boleh dilanggar, maka kebebasan beragama yang benar tidak mungkin tercapai. UU Penodaan Agama melanggar kesakralan nurani seseorang. Pada tahun 2007, kepolisian Gresik, Jawa Timur dan Makasar, Sulawesi Selatan, melakukan razia dan menangkap para anggota Al-Qiyadah al-Islamiyah atas tuduhan penodaan agama.195 Pada setiap kesempatan, polisi membebaskan para pengikut agama tersebut hanya setelah mereka bertobat dan setuju untuk kembali kepada pemahamLihat M. Todd Parker, The Freedom to Manifest Religious Belief: An Analysis of the Necessity Clauses of The ICCPR and the ECHR, 17 DUKE J. OF COMP. & INT’L LAW 91, 94 (2006). “tunduk dibawah perlindungan dalam semua instrumen hak asasi manusia” * * *. PAUL M. TAYLOR, FREEDOMOF RELIGION AND EUROPEAN HUMAN RIGHTS LAW AND PRACTICE 115 (2005). Konsep ini berasal daripemikiran hukum Eropa zaman pertengahan, see, e.g., James Q. Whitman, The Moral Menace ofRoman Law and the Making of Conscience: Some Dutch Evidence, 105 YALE L.J. 1841, 1861 (1996) (“Dalam tradisi teologis Eropa zaman pertengahan, hukum Romawi, bentuk otoritas apapun tidak mengatur forum internum, mahkamah nurani pribadi, diketuai oleh pemiliknya sendiri.”). 195 Lihat International Religious Freedom Report 2008: Indonesia, U.S. State Dep’t, dapat diakses dihttp://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2009/127271.htm (terakhir kali diakses pada tanggal 29 Desember2009). 194
120
LAMPIRAN 3
an Islam yang diakui pemerintah.196 Di Makassar, Kapolda Makassar menyaksikan seluruh proses. Dalam proses tersebut, tujuh pengikut Al-Qiyadah al-Islamiyah yang telah ditahan diperintahkan membaca kalimat syahadat dan menandatangani penyataan yang menyangkal alQiyadah al-Islamiyah dan berjanji untuk tidak pernah menganutnya lagi.197 Bagian Penjelasan menyatakan bahwa pemerintah “melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.198” Walaupun pada prakteknya pemerintah nampak hanya memaksakan kepada masyarakat untuk memeluk agama yang diakui, “pesan pemerintah tentang agama sangatlah mendorong terjadinya konversi pesan resmi tentang agama membuat orangorang tanpa agama terlihat sebagai warga negara yang tidak setia, tidak berkomitmen pada nilai-nilai Pancasila, dan juga tidak intelek dan tidak bermoral ...” 199 Pemerintah menolak untuk mengizinkan penganut “aliran kepercayaan” untuk mendeklarasikan agama mereka dalam KTP, mencatatakan perkawinan mereka, tidak mengizinkan mereka untuk melakukan upacara pemakaman sesuai dengan kepercayaan mereka.200 Kebijakan semacam itu, yang diciptakan berdasarkan UU Penodaan Agama, secara tidak layak telah mengkondisikan akses untuk program-program atau tunjangan pemerintah yang secara otomatis berkaitan dengan apakah masyarakat akan mengabaikan Lihat id. Lihat Majelis Ulama, INDONESIA MATTERS (8 November 2007), dapat diakses dihttp://www.indonesiamatters.com/1434/ulama (terakhir kali diakses pada tanggal 30 Desember 2009). 198 Lihat Penjelasan, supra note 4, § II, pasal 1. 199 Kipp & Rogers, “Introduction: Indonesian Religions in Society” in INDONESIAN RELIGIONS IN TRANSITION 645-57 (R.S. Kipp & S. Rodgers, eds. 1987). 200 Lihat Al Alfitri, Religions Liberty in Indonesia and the Rights of ‘Deviant’ Sects, 3 ASIAN JOURNAL OF COMPARATIVE LAW 1, 16 (2008) 196 197
121
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
keimanan mereka demi memeluk agama yang diakui pemerintah. Mahkamah ini selayaknya mencabut UU Penodaan Agama karena UU tersebut mengizinkan pengadilan-pengadilan lain di bawah Mahkamah ini dan aparat lokal untuk memaksakan praktek keagamaan, yang melanggar UUD 1945 yang menjamin otonomi sesorang di wilayah keimanan dan prakteknya.201 c) Pengadilan Sipil Tidak Boleh Turut Menegakkan Hukum Agama Mahkamah ini juga seharusnya mengikuti beberapa pemerintahan sipil lainnya yang menolak untuk menegakkan hukum agama, karena dengan melakukan itu berarti pengadilan tersebut diharapkan untuk menafsirkan doktrin agama atau meminta individu untuk bertindak bertentang dengan nuraninya. Sebagai contoh, pengadilan sipil boleh menegakkan kontrak yang mengandung isi keagamaan selama isi tersebut selaras dengan standar kontrak sipil. Namun, pengadilan sipil tidak boleh menegakkan kontrak keagamaan jika dalam pelaksanaannya akan memaksa pemerintah untukmelanggar perlindungan sipil atau konstitusional salah satu pihak. Salah satu kasus yang berkaitan dengan isu ini adalah kasus Perkawinan Ulang Dajani (In re Marriage of Dajani), dimana pengadilan sipil Amerika menolak untuk membelakukan Mahar (Mas Kawin), karena Mahar bertentangan dengan hukum “pencatutan melalui perceraian perundang-undangan sipil yang ada.202 Contoh lain adalah Lihat UUD 1945, Bab. X-A, pasal 28 E(1)-(3). Lihat Aziz v. Aziz, 488 N.Y.S.2d 123, 124 (N.Y. Sup. Ct.1985) (“Dokumen yang dipermasalahkanselaras dengan persyaratan bagian 5-701(a)(3) General Obligations Law (Kewajiban Umum Undang-Undang) dan istilah sekulernya dapat ditegakkan sebagai kewajiban yang merupakan bagian darikontrak, meskipun awalnya dimasukkan sebagai bagian dari upacara keagamaan.”); cf. Habibi-Fahnrich v. Fahnrich, No. 46186/93, 1995 WL 507388 (N.Y. Sup. Ct.195) (memutuskan bahwa sebuah Sadaq, dan perjanjian pra-nikah ala Islam tidak dapat ditegakkan karena bertentangan dengan Undang-Undang Pencatutan dimana 201 202
122
LAMPIRAN 3
kasus negara melawan Ran Dav’s County Kosher, Inc., yang melibatkan peraturan makanan halal yang selaras dengan prinsip kepercayaan Yahudi Ortodoks.203 Pemerintah lokal telah menerapkan peraturan yang memantau pedagang demi memastikan agar mereka tetap halal sesuai dengan ajaran aliran Yahudi tertentu. Namun, pengadilan memutuskan bahwa pemerintah akan memainkan peran dalam menetapkan standar yang didasarkan pada hukum agama, bukan sipil. Pengadilan tersebut berargumen bahwa peran pemerintah dalam menegakkan hukum agama dengan memantau proses penanganan makanan dengan bekerjasama dengan seorang Rabbi, seorang pemimpin keagamaan, dapat berakibat pada “keterlibatan yang berlebihan antara pemerintah dan agama, dan perpecahan politis dikarenakan keberpihakan pemerintah pada agama tertentu.”204 Dalam kasus di atas, pengadilan menolak untuk menggunakan hukum sipil untuk menegakkan hukum agama. Namun, pengadilan menyarankan cara yang konstitusional untuk mencegah penipuan kehalalan dengan mewajibkan agar pihak-pihak yang mengiklankan produk makanan sebagai “halal” harus menjabarkan metode yang mereka gunakan.”205 Peraturan semacam itu diperbolehkan karena pengadilan dapat menegakkan kontrak sipil diantara dua pihak tanpa harus menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan doktrin agama atau mensyaratkan individu untukmematuhi hukum agama.206 Dalam kasus-kasus ini pengadilan tidak menolak penegakkan “SADAQ ini bertentangan dalam tiga bentuk landasanhukum”—“material, spesifikasi, dan ketidakcukupan.”). Lihat juga Akileh v. Elchahal, 666 So. 2d 246,248 (Fla.Dist. Ct. App. 1996) (Sadaq dianggap sah dan dapat ditegakkan karena memenuhi hukum kontrak Florida, yang “dapat diaplikasikan sebagai istilah sekuler untuk sadaq”). 203 See Ran-Dav’s County Kosher, Inc. v. New Jersey, 129 N.J. 141 (N.J. 1992), cert. denied, 507 U.S. 952 (1993). Id. at 152. Id. at 167. 206 Lihat id. at 168 (mengutip Avitzur v. Avitzur, 459 N.Y.S.2d 572, 575 (N.Y. 1983)). 204 205
123
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
kontrak hanya dengan argumen bahwa kontrak tersebut berasal dari unsur keagamaan; namun pengadilan-pengadilan tersebut menepikan masalah keagamaan dan memfokuskan pada perlindungan hukum sipil. Sebaliknya, dibawah UU Penodaan Agama, aparat lokal seringkali memperhatikan, atau bahkan membantu menegakkan keputusan dari lembaga keagamaan. Razia terhadap anggota al-Qiyadah al-Islamiyah dimulai setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia)207 mengeluarkan fatwa yang menyatakan kelompok tersebut sebagai kelompok murtad dan menyampaikan kesimpulan mereka kepada kepolisian, “"dengan harapan Ahmad Moshaddeq dapat dituntut dengan tuduhan penodaan agama Islam."208 Pada tahun 2008, Deklarasi Bersama menentang Ahmadiyah muncul lima bulan setelah sebuah tim yang ditunjuk oleh pemerntah mulai memantau Ahmadiyah berdasarkan permintaan MUI209
C. UU Penodaan Agama Menimbulkan Ketidakjelasan tentang Tujuan Kebijakan Indonesia Pentingnya pencabutan UU Penodaan Agama tidak hanya terbatas pada meralat ketidakselarasan dengan UUD 1945 dan perjanjian perjanjian internasional. Lebih penting lagi, UU Penodaan Agama merintangi Indonesia dalam mencapai sasaran sasaran penting dalam kebijakannya (Indonesia). Dengan membatasi “tempat pertukaran gagasan” yang bebas, UU Penodaan Agama menciptakan rintangan bagi Indonesia dalam perjalanannya sebagai negara yang sedang me207 The MUI, sebuah dewan pimpinan Muslim didirikan oleh Suharto "“sebagai alat untuk memobilisasi dukungan muslim terhadap kebijakan pembangunan pemerintah."” Departemen Agama Indonesia padatahun 1985 menyatakan bahwa fungsi MUI adalah untuk “menerjemahkan kebijakan pemerintah ke bahasa yang dipahami umat muslim,” mengeluarkan fatwa untuk memberi legitimasi pada kebijakan208 See Al-Qiyadah Al-Islamiyah, INDONESIA MATTERS (Oct. 10, 2007), available at http://www.indonesiamatters.com/1435/theocracy (last visited Dec. 30, 2009). 209 See International Religious Freedom Report 2008: Indonesia, U.S. State Dep’t, available at http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2009/127271.htm (last visited Dec. 29, 2009).
124
LAMPIRAN 3
mekarkan demokrasi. UU Penodaan Agama memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menekan wacana yang dianggap tidak pantas. Bentuk kendali dari atas semacam ini membatasi arus bebas dalam “"pasar pertukaran gagasan”," dimana berbagai sudut pandang dihargai berdasarkan substansi, daya persuasi, dan/atau utilitas. Atmosfer semacam ini memperkuat mayoritas melawan minoritas dan negara melawan individu. Apabila negara diberi kekuatan untuk membatasi ekspresi dalam satu ranah, maka akan memudahkan pembatasanpembatasan lainnya. Pengadilan-pengadilan lain telah merulang kali mengukuhan pentingnya kebebasan berekspresi bagi demokrasi. Dalam keputusan atas kasus Lingens v. Austria, pada tahun 1986, ECHR mengidentifikasikan kebebasan ekspresi sebagai “salah satu fondasi penting masyarakat demokratis dan salah satu kondisi utama untuk menciptakan kemajuan dan untuk pemenuhan individu-individu”. Pengadilan menyatakan lebih lanjut bahwa undang-undang yang mengatur kebebasan berekpresi harus diberlakukan “tidak hanya” pada “informasi” atau “gagasan” yang lebih diterima atau dianggap tidak menyinggung atau dianggap tidak penting, namun juga kepada pihak-pihak yang menyinggung, mengejutkan atau menganggu. Demikianlah syarat penting pluralisme, toleransi dan berpandangan luas, yang tanpa hal-hal tersebut tidak dimungkinkan adanya “masyarakat demokratis”210 ECHR merinci bahwa sekontroversial atau setidak populer apapun, perlindungan terhadap wacana yang “buruk” - disampaikan dengan damai-merupakan cara aman untuk melindungi “wacana” baik. Lingens v. Austria, App. No. 9815/82, 103 ECHR (ser. A) at 11, ¶ 41 (1986); see also Kokkinakis v. Greece, 260-A ECHR (ser. A) ¶ 31 (May 25, 1993). (“…freedom of though, conscience and religion is one of the foundations of ‘democratic society’ …. The pluralism indissociable from a democratic society, which has been dearly won over the centuries, depends on it.”). 210
125
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
Ketika berbicara tentang wacana keagamaan, kendali pemerintah yang terlalu luas dapat membisukan dialog diantara orang-orang yang berbeda agama. Masyarakat enggan membangi keimanan mereka karena takut dianggap bertentangan dengan penafsiran resmi agama mereka, dan dapat dituntut dibawah UU Penodaan Agama. Ketakutan untuk berbagi gagasan keagamaan ini biasanya lebih parah pada para penganut agama yng tidak diakui. Ketika individu-individu dengan latar belakang agama yang berbeda-beda tidak dapat berbagi gagasan keimanan satu sama lain, maka berarti kita mengorbankan keharmonisan dan persatuan sosial. Kelompok-kelompok tersegregasi berdasarkan agama, dan kelompok minoritas atau kelompok yang tidak diakui pemerintah sering mengalami kesulitan. UU Penodaan Agama bertentangan dengan segala usaha yang bermaksud untuk menghilangkan rintangan semacam itu demi menciptakan masyarakat yang damai. UU Penodaan Agama tidak hanya meredam dialog antar agama tapi juga dialog di dalam agama itu sendiri. Jika individu-individu di dalam agama tertentu merasa takut untuk berbagi gagasan mengenai kebenaran agama mereka, maka eksplorasi keagamaan dapat terhenti. Tanpa eksplorasi keagamaan, masyarakat Indonesia dapat kehilangan pembaharuan yang menjaga suatu agama tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat yang terus berubah. UU Penodaan Agama tidak hanya membatasi kemajuan sosial, budaya dan politik, juga spiritual. Pendekatan alternatif dalam menangani knflik keagamaan adalah dengan mulai mengatur ketika konflik tersebut bergerak ke arah kekerasan fisik atau ketika konflik tersebut berdampak pada penyiksaan fisik atau penekanan oleh anggota suatu agama oleh anggota agama lain. Undang-Undang seharusnya menghukum kejahatan atau penyiksaan dengan motif keagamaan dengan cara yang sama undangundang tersebut menghukum kejahatan atau penyiksaan berdasarkan motif lainnya. Jika konflik keagamaan terjadi dalam bentuk wacana 126
LAMPIRAN 3
atau tindakan yang tidak mengandung kekerasan, maka pemerintah tidak seharusnya ikut campur. Jika individu dan organisasi dibiarkan menyelesaikan perbedaan mereka tanpa kendali pemerintah, solusi yang bertahan lama akan lebih mudah dicapai
KESIMPULAN Berdasarkan alasan-alasan yang telah disebutkan sebelumnya, dan sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasional yang mengikat Indonesia, Mahkamah Konstitusi seharusnya memutuskan UU Penodaan agama tidak konstitusional. Diserahkan dengan hormat, oleh : _______________________ ANGELA C.WU, INTERNATIONAL LAW DIRECTOR ERIC NIEUWENHUIS KNIFFIN, LEGAL COUNSEL ASMA T. UDDIN, LEGAL FELLOW MONICA BROWN, LEGAL FELLOW THE BECKET FUND FOR RELIGIOUS LIBERTY 3000 K STREET NW– SUITE 220
127
MENJADI SAHABAT KEADILAN - Panduan Menyusun Amicus Brief
128
PROFIL ILRC
MITRA PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM DI INDONESIA
129
PROFIL ILRC
Profil Lembaga THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC) adalah organisasi non pemerintah yang konsen pada reformasi pendidikan hukum. Pada masa transisi menuju demokrasi, Indonesia menghadapi masalah korupsi, minimnya jaminan hak azasi manusia (HAM) di tingkat legislasi, dan lemahnya penegakan hukum. Masalah penegakan hukum membutuhkan juga budaya hukum yang kuat di masyarakat. Fakta-nya kesadaran di tingkat masyarakat sipil masih lemah begitu juga kapasitas untuk mengakses hak tersebut. Ketika instrumen untuk mengakses hak di tingkat masyarakat tersedia, tetapi tidak dilindungi oleh negara seperti hukum adat tidak dilindungi, negara mengabaikan untuk menyediakan bantuan hukum. Peran Perguruan Tinggi khususnya fakultas hukum sebagai bagian dari masyarakat sipil menjadi penting untuk menyediakan lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan mengambil bagian di berbagai profesi yang ada, seperti birokrasi, institusi-institusi negara, peradilan, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Mereka juga mempunyai posisi yang legitimate untuk memimpin pembaharuan hukum. Di dalam hal ini, kami memandang pendidikan hukum mempunyai peranan penting untuk membangun budaya hukum dan kesadaran hak masyarakat sipil. Pendirian ILRC merupakan bagian keprihatinan kami atas pendidikan hukum yang tidak responsif terhadap permasalahan keadilan sosial. Pendidikan hukum di Perguruan Tinggi cenderung membuat lulusan fakultas hukum menjadi profit oriented lawyer dan mengabaikan pemasalahan keadilan sosial. Walaupun Perguruan Tinggi mempunyai instrument/institusi untuk menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin, tetapi mereka melakukannya untuk maksud-maksud yang berbeda. Masalah-masalah yang terjadi diantaranya: (1) Lemahnya paradigma yang berpihak kepada masyarakat miskin, keadilan sosial dan HAM; (2) Komersialisasi Perguruan Tinggi dan lemahnya pendanaan maupun sumber daya manusia di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan Pusat Hak Azasi Manusia (HAM); (3) Pendidikan Hukum tidak mampu berperan, ketika terjadi konflik hukum oleh karena perbedaan norma antara hukum yang hidup di masyarakat dan hukum negara. Karena masalah tersebut, maka ILRC bermaksud untuk mengambil bagian di dalam reformasi pendidikan hukum.
130
PROFIL ILRC
VISI DAN MISI Misi ILRC adalah “Memajukan HAM
dan keadilan sosial di dalam pendidikan hukum”.
Sedangkan misi ILRC adalah ; (1) Menjembatani jarak antara Perguruan Tinggi dengan dinamika sosial; (2) Mereformasi pendidikan hukum untuk memperkuat perspektif keadilan sosial; (3) Mendorong Perguruan Tinggi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk terlibat di dalam reformasi hukum dan keadilan sosial.
Struktur Organisasi PENDIRI/BADAN PENGURUS: Dadang Trisasongko (Ketua), Renata Arianingtyas (Sekretaris), Sony Setyana (Bendahara), Prof. Dr. Muhamad Zaidun, SH (Anggota), Prof. Soetandyo Wignjosoebroto (Anggota), Uli Parulian Sihombing (Anggota). BADAN EKSEKUTIF: Uli Parulian Sihombing (Direktur), Siti Aminah (Program Manajer), Muhammad Khoirur Roziqin (Staff Program), Evi Yuliawaty (Keuangan), Aris Mutaqien (Administrasi). Alamat Phone Fax E-mail Website
: : : : :
Jl. Tebet Utara IIB No. 4B Jakarta, Indonesia +62 21 9382 1173 | +62 21 3275 7775 +62 21 8379 8646
[email protected] www.mitrahukum.org 131