PENJAMINAN KENDARAAN BERMOTOR MILIK ORANG LAIN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh: Yelia Nathassa Winstar Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Alamat kantor: Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai, Kota Pekanbaru Email :
[email protected]
Abstrak Sejak jaminan fidusia diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) hingga saat ini belum pernah direvisi. Meskipun telah dilengkapi dengan peraturan lainnya, namun dalam praktiknya permasalahan masih sering terjadi pada penjaminan misalnya eksekusi yang sering gagal dilakukan kreditur karena objek jaminan milik orang lain bukan milik debitur sendiri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Sumber data dari bahan hukum primer dan sekunder, dianalisis secara kualitatif dan disimpulkan secara deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembebanan jaminan kendaraan bermotor milik orang lain yang dilakukan oleh debitur guna kepentingannya, berdasarkan UUJF bukan merupakan suatu perbuatan melanggar hukum meskipun tidak pula diperbolehkan secara tegas dalam UUJF. Pada praktiknya, surat persetujuan pemilik kendaraan di dalam perjanjian pokoknya dipergunakan oleh beberapa kreditur guna menghindari permasalahan dikemudian hari. Meskipun surat persetujuan tersebut tidak dipersyaratkan oleh undang-undang, namun dapat dijadikan solusi untuk mencegah penyalahgunaan dan pengingkaran dari pemilik objek jaminan yang tidak beritikad baik. Sudah saatnya UUJF disempurnakan sehingga dapat memberikan perlindungan maksimal bagi para pihak. Selama undang-undang belum diubah maka kreditur dapat meminimalisir risiko dengan melibatkan pemilik kendaraan melalui pemberian persetujuan yang secara hukum tidaklah melanggar undang undang karena hukum perikatan mengenal asas kebebasan berkontrak.
Abstract Since the Fiduciary Law No. 42 of 1999 on Fiduciary (UUJF) is enacted, there has never been amended. Despite having been added with other relevant legislation, but in practice problems are still occured. One of these problems is the failure of execution carried creditors as collateral object belongs to someone else which does not belong to the debtor itself. Underwriting property of others more common in motor vehicles other than the object fiduciary. Execution failure is certain to be very detrimental to creditors. Therefore, research on how UUJF governing the imposition
1
guarantee motor vehicle belonging to someone else is needed. Through normative research it is expected to acquire the result deductively. Of the research, the imposition of a guarantee is obtained that motor vehicles belonging to others carried out by the debtor to his interests, based on UUJF is not constitute an unlawful act though neither expressly permitted in the UUJF. Kata kunci: jaminan fidusia, kendaraan bermotor, hak tanggungan Pendahuluan Maraknya kegiatan kredit, pinjam meminjam maupun pembiayaan ditandai dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun lembaga pembiayaan di Indonesia. Kondisi yang demikian menandakan bahwa lembaga-lembaga tersebut sangat diminati oleh masyarakat sebagai solusi atas keterbatasan financial. Pemberian kredit maupun pembiayaan memiliki risiko yang sangat bagi kreditur. Dalam pengelolaan risiko di atas, lembaga keuangan memiliki prinsip 5 (lima) atau The five C’s of Credit Analysis. Kelima prinsip itu sebagai standar prosedural yang selalu dipergunakan guna menguji kelayakan konsumen. Prinsip 5 C tersebut yaitu, caracter (watak), capasity (kemampuan), capital (modal), collateral (jaminan), conditio of economy (kondisi ekonomi).1 Prinsip ini merupakan indikator penilaian terhadap debitur yang berlaku umum bagi setiap dunia perbankan maupun lembaga pembiayaan. Apabila prinsip ini dilaksanakan dengan baik maka akan dapat memperkecil risiko yang harus dihadapi oleh kreditur. Prinsip dasar dalam pemberian kredit di atas yang paling menonjol adalah adanya prinsip collateral atau jaminan.2 Istilah jaminan berasal dari kata “jamin” yang berarti tanggung atau dapat diartikan sebagai tanggungan atas segala perikatan. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa jaminan secara umum ataupun tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang yang sering disebut sebagai jaminan secara khusus. Istilah itu terdapat dalam Pasal 1139-1149 KUH Perdata dan Pasal 18201850 KUH Perdata.3 Penggolongan lembaga penjaminan didasarkan atas penggolongan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan benda bergerak digunakan lembaga jaminan fidusia dan/atau gadai, sedangkan untuk benda-benda tak bergerak digunakan lembaga jaminan hipotik atau hak tanggungan (Credietverband). Jaminan hipotik saat ini hanya berlaku terhadap kapal yang berbobot lebih dari 20.M3 dan pesawat terbang. Penjaminan dengan objek tanah diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.4 Fidusia diatur oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Objeknya adalah benda bergerak dan bangunan yang tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan. Jaminan fidusia dan gadai sangat 1
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yogyakarta: Andi, 2000), hlm. 3.
2
Ibid., hlm. 4.
3
Pasal 1139-1149, Pasal 1820-1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 4 Budi Untung, Kredit Perbankan ..…,Op.Cit., hlm. 5
2
berbeda dalam hal jaminan, meskipun sama-sama penjaminan atas benda bergerak. Perbedaan tersebut terletak pada penguasaan atas objek jaminan. Dalam gadai adanya syarat inbezitstelling, yakni syarat yang mewajibkan pemberi gadai menyerahkan benda gadai kepada penerima gadai, sedangkan fidusia merupakan pengembangan dari gadai yang lahir karena beratnya syarat inbezitstelling oleh pemberi gadai. Biasanya benda yang dijaminkan adalah benda yang sangat dibutuhkan oleh pemberi gadai dalam kehidupan sehari hari. Pada jaminan fidusia, benda yang dijadikan objek jaminan masih berada di tangan pemberi fidusia. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang sering disingkat dengan UUJF ini, belum pernah terjadi perombakan atau revisi terhadap undang-undang tersebut. Dalam pelaksanaannya terdapat peraturan setingkat peraturan menteri telah lahir menunjang pelaksanaan undang-undang ini. Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Latar belakang Lahirnya peraturan menteri keuangan ini seiring marak berdirinya perusahaan-perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan pembiayaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor dikategorikan sebagai benda bergerak sebagai jaminan fidusia. Jaminan fidusia merupakan perjanjian penjaminan atas benda bergerak baik bertubuh maupun tidak bertubuh. Penjaminan itu sebagai jaminan pelunasan kewajiban atau utang dari debitur. Dasar penerbitan dari jaminan fidusia diatur dalam perjanjian pokok.5 Idealnya benda jaminan adalah milik debitur sendiri. Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang takbergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun, tidak dapat dipungkiri dalam praktik keseharian terdapat penjaminan menggunakan objek yang dimiliki oleh pihak ketiga. Penyerahan penjaminan oleh orang lain demi kepentingan debitur menimbulkan permasalahan. Permasalahan terjadi karena sifat dari jaminan fidusia mengenal penyerahan secara constitutum posesorium. Konstruksi fidusia ialah penyerahan hak milik atas barang-barang bergerak kepunyaan debitor kepada kreditor, sedangkan penguasaan fisik atas barang-barang tersebut tetap berada pada debitor (constitutum possesorium). Setelah debitur melunasi hutangnya maka kreditur harus mengembalikan hak milik atas barang-barang itu kepada kreditor.6 Penguasaan fisik kendaraan bermotor tetap berada pada debitur atau pemilik kendaraan lebih memudahkan masyarakat melakukan penjaminan. Selain 5
Ricardo Simanjuntak,Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 234. 6 Ary Subiantara, Ivan Zairani Lisi dan Nur Arifudin, Analisa Hukum Terhadap Tindakan Penggelapan Kendaraan Roda Dua di Perusahaan Leasing PT Mega Central Finance Oleh Konsumen Menturut Pasal 372 Dan 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Studi Kasus di PT Nega Central Finance Samarinda), Jurnal Beraja Niti Vol. 3 No. 7 Tahun 2014, hlm. 123.
3
itu, Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagai surat otentik atas kepemilikan kendaraan bermotor bukanlah satu satunya alat bukti kepemilikan terhadap suatu kendaraan bermotor.7 Kendaraan bermotor yang sudah dijual dan belum dilakukan balik nama dapat menjadi objek jaminan dengan menunjukkan kuitansi pembeliannya dan memperlihatkan penguasaan fisik terhadap kendaraan tersebut. Keadaan ini dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Penyangkalan yang dilakukan oleh debitur terhadap kendaraan bermotor miliknya juga merupakan permasalahan yang sering timbul dalam penjaminan ini.8 Pemberian jaminan oleh pihak ketiga guna kepentingan debitur tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. UUJF mengatur benda yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia, namun tidak mengatur dan menjelaskan baik dalam pasal maupun penjelasannya bilamana benda tersebut milik orang lain. Kegagalan dalam pengeksekusian benda jaminan milik orang lain sering kali mendatangkan kerugian bagi kreditur dan dapat merugikan pemilik benda jaminan yang beritikad baik. UUJF yang menaunginya belum dapat melindungi keadaan tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis akan memfokuskan kajian tentang bagaimanakah penjaminan atas objek penjaminan berupa kendaraan bermotor milik orang lain Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Johnny Ibrahim, penelitian hukum normatif ini adalah untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma-norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum.9 Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa bentuk penelitian hukum normatif itu dapat berupa inventarisasi hukum positif, penemuan asas hukum, penemuan hukum in concreto, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.10 Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum penelitian hukum doktrinal. Tipe penelitian yuridis normatif adalah penemuan hukum in concreto. Sumber data yang digunakan ialah data sekunder. Data sekunder tersebut dapat dibedakan lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu 1) bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan di antaranya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, KUH Perdata serta beberapa peraturan lain yang relevan dengan perumusan masalah yang diteliti. 2) Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang bersumber dari doktrin atau pendapat ahli yang terdapat dalam buku-buku literatur serta berbagai tulisan ilmiah yang berkaitan dengan 7
Ibid., hlm. 4.
8
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan ….., Op.Cit., hlm. 235. Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing, 2006), hlm. 73. 10 Burhan Ashofa,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 14. 9
4
obyek penelitian. 3) Bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum dan ensiklopedi hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi kemudian dianalisis dengan metode kualitatif. Analisis data menggunakan metode deduktif. Konsep Jaminan dalam Hukum Perdata Istilah Jaminan berarti tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan. Jaminan secara bebas dapat diartikan sebagai agunan. Iswi Hariyani dan R. Serfianto mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara jaminan kredit dan agunan kredit sebagaimana kesimpulan mereka dari UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Jaminan kredit adalah jaminan utama yang berwujud tidak nyata, yakni berupa “keyakinan” bank akan “itikad baik” nasabah debitur untuk melunasi utangnya sesuai perjanjian. Agunan kredit adalah jaminan tambahan yang umumnya berwujud jaminan fisik (misalnya: rumah, tanah, mobil, surat berharga dan lain-lain) yang dicadangkan untuk pelunasan utang.11 Hanya saja dalam peraturan perundang-undangan lainnya pengertian jaminan disamakan dengan agunan. Pada dasarnya jaminan merupakan tindakan preventif untuk mengamankan hutang debitor yang telah diberikan oleh kreditor dengan cara menjaminkan kekayaan debitor agar debitor memenuhi kewajiban untuk membayar kembali atau dengan adanya kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi prestasi debitor.12 J.Satrio mengartikan hukum jaminan sebagaimana yang dikutip oleh Salim HS, bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminanjaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur.13 Sri Soedewi Masjhoen Sofwan sebagaimana dikutip oleh Salim HS, hukum jaminan mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan harus diimbangi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah.14 Pada prinsipnya keberadaan jaminan merupakan suatu bentuk perlindungan bagi kreditur karena kreditur yang menanggung risiko kerugian. Perlindungan bagi kreditur ditegaskan dalam Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan. Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya itu menurut besar kecilnya 11
Iswi Hariyani dan R. Serfianto. D.P, Resi Gudang sebagai Jaminan Kredit & Alat Perdagangan, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 25. 12 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 201. 13 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 6. 14 Ibid.
5
piutang masing-masing. 2 (dua) pasal di atas merupakan penjaminan secara umum. Berdasarkan 2 pasal itu memberikan pengertian bahwa meskipun seorang debitur tidak memberikan jaminan secara khusus berupa kebendaan, namun demi hukum seluruh benda milik debitur merupakan pelunasan bagi utang utangnya. Hukum jaminan membedakan jaminan menjadi 2 (dua). Pertama, Jaminan Perorangan. Menurut R. Soebekti jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang Kreditor dengan pihak ketiga.15 Perjanjian penanggungan hutang (borgtoch) dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1820 sampai Pasal 1850 KUH Perdata. Penanggungan menurut pasal ini adalah suatu perjanjian dengan pihak ketiga untuk kepentingan orang yang berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan orang yang berhutang. Dalam perkembangannya penanggungan tidak hanya dapat diberikan oleh subjek hukum orang pribadi tetapi dapat pula diberikan oleh bank yang berbentuk bank garansi dan dapat pula diberikan oleh perusahaan dalam bentuk jaminan perusahaan atau company guarantee.16 Kedua, Jaminan Kebendaan. Jaminan umum menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan adalah benda jaminan itu tidak ditunjuk secara khusus dan tidak diperuntukkan untuk kreditur, sedangkan hasil penjualan benda jaminan itu dibagi-bagikan di antara para kreditur seimbang dengan piutang.17 Jaminan umum terdapat dalam Pasal 1311 KUH Perdata. Jaminan Khusus adalah jaminan dalam bentuk penunjukan atau penyerahan barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan atas pelunasan kewajiban/utang debitur kepada kreditur tertentu. Lembaga jaminan bagi benda bergerak adalah gadai atau fidusia; objek benda tidak bergerak /tetap. Lembaga jaminan bagi benda tetap atau tidak bergerak adalah hak tanggungan maupun hipotik bagi pesawat terbang dan kapal laut.18 Perbedaan antara jaminan khusus dan umum terletak pada hak istimewa yang diterima oleh kreditur. Pada penjaminan umum dalam Pasal 1131 KUH Perdata, para kreditur mempunyai kedudukan yang sama dalam pelunasan utang yang disebut sebagai kreditur konkuren. Selain itu, mendapatkan pelunasan secara proporsional sesuai besar utangnya sebagaimana dapat kita lihat pada Pasal 1132 KUH Perdata, sedangkan pada jaminan khusus kedudukan kreditur menjadi kreditur separatis. Kreditur separatis memiliki hak istimewa (privilege) karena memiliki kewenangan penuh melakukan eksekusi atas hak jaminan apabila debitur terbukti wanprestasi dan mempunyai hak mendahului kreditur lain dalam penjualan objek jaminan melalui pelelangan umum atau penjualan langsung dan memperoleh hasil penjualan untuk melunasi piutangnya.19
15
R. Soebekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberi Kredit Menurut Hukum Indonesia, Cetakan 10, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 25. 16 Ibid., hlm. 27. 17 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Pokok Hukum Jaminan di Indonesia Pokokpokok Hukum Jaminan dan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 45-46. 18 R. Soebekti, Jaminan-Jaminan ….., Op.Cit., hlm. 29. 19 Iswi Hariyani dan R Serfianto. D.P, Resi Gudang …..., Loc. Cit.
6
Fidusia merupakan suatu bentuk penjaminan khusus dengan objek benda bergerak. Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata "Fides", yang berarti kepercayaan. Berdasarkan arti kata itu, hubungan (hukum) antara debitor (pemberi kuasa) dan kreditor (penerima kuasa) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.20 Pengertian istilah jaminan fidusia terdapat dalam Pasal 1 Angka 2 UUJF yang menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berujud maupun yang tidak berujud. Pengertian itu juga mencakup benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia. Hak tanggungan itu sebagi agunan untuk pelunasan utang tertentu. Definisi di atas menggambarkan bahwa dalam Jaminan Fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa hak kepemilikannya tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dalam hal ini, yang “diserahkan hanyalah hak kepemilikan dari benda tersebut secara yuridis” atau yang dikenal dengan istilah constitutum possesorium.21 Pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata-mata sebagai jaminan bagi pelunasan hutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Penerima Fidusia. Pasal 33 Undang-Undang fidusia menyatakan bahwa setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki banda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitor cidera janji, akan batal demi hukum.22 Pasal 1 Ayat (2) UUJF menyatakan bahwa objek fidusia benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Sepeda motor dan mobil merupakan kendaraan bermotor yang menjadi objek jaminan fidusia. Pola penjaminan fidusia dari kendaraan bermotor biasanya didahului adanya perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara debitur dan kreditur diawal merupakan perjanjian pokok. Pada praktik sehari-hari perjanjian pokok tersebut dapat berupa perjanjian utang piutang, kredit, pembiayaan kendaraan bermotor atau bentuk perjanjian lain yang menyertakan penjaminan sebagai syarat yang wajib diberikan oleh pihak debitur kepada kreditur. Tahap selanjutnya, perjanjian penjaminan fidusia ditandatangani melalui akta jaminan fidusia yang harus berbentuk akta notaris berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) UUJF yang menyebutkan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dengan bahasa Indonesia dan merupakan jaminan fidusia. Hak Debitur dan Pemberi Fidusia Definisi tentang debitur dan pemberi fidusia terdapat pada Pasal 1 Ayat (5) dan Ayat (8) UUJF. Pasal 1 Ayat (5) menyebutkan bahwa Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi obyek
20
Jatmiko Winarno, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur pada Perjanjian Jaminan Fidusia, Jurnal Independent, Vol. 1 No. 1 Maret 2013. 21 Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 22.
7
Jaminan Fidusia. Pasal 1 Ayat (8) menyebutkan bahwa debitur adalah pihak yang memiliki utang karena perjanjian atau undang-undang. UUJF membedakan definisi antara debitur dan pemberi fidusia. Debitur tidak memiliki keharusan sebagai pemberi fidusia begitu pula sebaliknya. Pelbagai ayat di dalam UUJF dan penjelasannya tidak satupun menyebutkan bahwa debitur harus sebagai pemilik benda dari jaminan fidusiameskipun idealnya demikian. UUJF telah memisahkan definisi antara debitur dengan pemberi fidusia. Masing-masing memiliki pengertian tersendiri sehingga terdapat beberapa kedudukan debitur dan pemberi fidusia, yaitu (1) pemberi fidusia merupakan debitur sendiri; (2) pemberi fidusia bukanlah debitur tetapi pihak ketiga yang mempercayakan benda miliknya menjadi jaminan guna kepentingan debitur; (3) pemberi fidusia bukanlah debitur tetapi pihak ketiga yang tidak mengetahui benda miliknya dijadikan objek jaminan fidusia. Definisi tersebut tampak jelas bahwa pemberi fidusia adalah pemilik benda yang memiliki kewenangan dalam melakukan penjaminan kebendaan itu. Dengan demikian, penjaminan yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan debitur tidak bertentangan dengan hokum. Alasannya secara tidak langsung UUJF memberikan peluang untuk itu. Selain itu, KUHPerdata menguatkan pada Pasal 570 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa. Seseorang dapat berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bertentangan dengan undang-undang. Dalam pasal itu menegaskan bahwa hak milik yang melekat pada pemilik benda tidak dapat dicabut oleh kekuasaan dengan dalih apapun. Hak kebendaan pada pemilik benda itu bersifat mutlak dan dapat dijadikan sebagai alat pembayaran ganti rugi yang sah menurut undang-undang. Undang-undang memberikan jaminan bahwa pemilik suatu benda berhak dan bebas untuk berbuat apapun terhadap benda miliknya. Hak itu berlaku juga ketika benda dijadikan sebagai jaminan untuk kepentingan orang lain. UndangUndang member batasan bahwa hak pada kebendaan itu dapat dilaksanakan dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum. Pada praktiknya, pelaksanaan penjaminan benda milik pihak ketiga oleh debitur terdapat banyak hambatan. Salim HS menyebutkan beberapa hambatan dalam pelaksanaan pelelangan jaminan seperti telah penulis uraikan di atas. Hambatan utama ditemui pada saat lelang padahal benda jaminan itu milik pihak ketiga. Pihak ketiga ini menghalangi terjadinya pelelangan benda jaminan karena pemilik objek jaminan tidak pernah merasa memberikan kuasa kepada debitur untuk menjaminkan benda miliknya tersebut.23
Benda Bergerak dan tidak Bergerak sebagai Jaminan Pasal 3 huruf a UUJF menyebutkan bahwa objek jaminan berupa bangunan yang berada di atas milik orang lain yang tidak dibebani dengan jaminan hak tanggungan dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Objek
23
Salim HS, Perkembangan Hukum ….., Op. Cit., hlm. 275.
8
bangunan itu dapat dijadikan sebagai jaminan dengan persetujuan pemilik objek kebendaan. Pada objek bangunan yang dijadikan jaminan itu berada di atas tanah milik orang lain, bank mengadakan perjanjian dengan pemilik tanah. Dalam perjanjian itu pemilik tanah menyatakan persetujuan bila bank memindahkan hak sewa atas tanah tersebut. Selama bank memiliki hak milik atas kepercayaan terhadap bangunan di atas tanah tadi, dan bank juga memiliki hak untuk meneruskan perjanjian sewa kepada pembeli ketika bank terpaksa menjual bangunan tersebut.24 Alternatif lain biasanya bank mengadakan akta cessie untuk hak sewa atas tanah tempat bangunan itu didirikan. Dalam akta cessie itu dinyatakan bahwa penyewa tanah dengan persetujuan pemilik tanah mengalihkan dan melanjutkan hak sewa tersebut kepada orang lain.25 Dua kemungkinan di atas memperlihatkan bahwa bank menyaratkan adanya persetujuan pada bangunan yang berada di atas tanah milik orang lain itu meskipun tidak dipersyaratkan oleh UUJF. Keterlibatan pemilik tanah pada penjaminan sudah seharusnya dilakukan penyerahan dalam pengalihan pemilikan benda. Cara penyerahan antara benda bergerak dan tidak bergerak berbeda. Penyerahan benda bergerak umumnya cukup dilakukan penyerahan secara fisik dan secara yuridis hak miliknya sudah beralih. Pada benda tidak bergerak dilakukan penyerahan secara fisik dan yuridis. Pada umumnya penyerahan secara yuridis dilakukan dengan cara pendaftaran atau balik nama.26 Oleh karena itu, untuk benda tidak bergerak pembuatan persetujuan atau akta cessie seperti di atas lebih didasarkan pada pemenuhan administrasi pertanahan dalam rangka pengalihannya objek jaminan. Berdasarkan Pasal 1 UUJF yang menyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, hak kepemilikan pada benda yang dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pentingnya pengalihan benda pada fidusia ini, penulis menekankan pada penyerahan benda baik bergerak maupun tidak bergerak harus diperhatikan dengan serius karena dapat berimplikasi hukum. Penjaminan Kendaraan Bermotor Milik Orang Lain Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Di dalam UUJF tidak terdapat pasal yang mengatur tentang objek jaminan kendaraan bermotor milik orang lain. Penjaminan kendaraan yang dimaksud untuk kepentingan debitur. Objek jaminan fidusia baik berupa bangunan di atas milik orang lain maupun kendaraan bermotor milik orang lain, tidak ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh debitur atau pemilik kendaraan. Pada benda bergerak seperti kendaraan bermotor, register bukanlah dasar dari beralihnya hak. Cukup dengan penguasaan suatu kendaraan bermotor
24
Rachmad Cahyo Broto, Bangunan yang Berdiri di atas Tanah Milik Orang lain Sebagai Jaminan Fidusia Setelah Berlakunya Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Lihat http://eprints.undip.ac.id/11111/1/2005MNOT4647.pdf, diakses tanggal 20 Mei 2015. 25 Ibid. 26 Akhmad Budi Cahyono, Cessie Sebagai Bentuk Pengalihan Piutang Atas Nama, Lex Jurnalica, Vol. 2 No. 1 Desember 2004.
9
tersebut secara nyata maka seseorang secara hukum dianggap sebagai pemilik.27 Pemahaman ini sebagai tafsiran dalam Pasal 1977 Ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa terhadap benda bergerak, bukan berupa bunga maupun piutang maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Suatu kendaraan bermotor milik orang lain yang dikuasai oleh debitur baik atas sepengetahuan pemilik ataupun tidak, sangat mungkin untuk dijaminkan oleh debitur. Pemilik kendaraan yang dapat menunjukkan keberadaan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagai nama pemilik, namun BPKB bukanlah satu-satunya alat bukti yang membuktikan bahwa seseorang merupakan pemilik kendaraan tersebut. Seseorang yang menguasai kendaraan bermotor tersebut dan dapat memperlihatkan bukti pembeliannya maka secara hukum sudah dapat dikatakan sebagai pemilik.28 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penjaminan kendaraan bermotor milik orang lain oleh debitur untuk menjamin utangnya bukan pelanggaran hukum. Syaratnya adalah perjanjian dan pembuatan akta jaminan fidusia dilakukan dengan tepat. Pelaku perjanjian dan pembuatan akta itu dilakukan oleh orang yang berwenang dan cakap hukum serta dilakukan berdasarkan suatu perjanjian kredit yang benar. Namun demikian, perbuatan hukum ini rentan dengan berbagai persoalan. Persoalan terjadi ketika penjaminan dilakukan oleh debitur yang tidak memiliki itikad baik. Penjaminan kendaraan bermotor milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya sangat mungkin terjadi pengingkaran yang dilakukan oleh pemilik kendaraan. Pemilik kendaraan dapat mengingkari persetujuannya kepada debitur untuk menjaminkan kendaraannya.29 Dalam penjelasan atas UUJF berupaya memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.30 Kepastian hukum diberikan kepada kreditur agar dapat memberikan perlindungan maksimal dari berbagai risiko. Selain itu, perlindungan hukum kepada pemilik benda dari debitur yang beritikad buruk. Perataturan perundang-undangan dapat memberikan penegasan terhadap persoalan penjaminan milik pihak ketiga khususnya pada kendaraan bermotor. Dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipungkiri bahwa sering timbul itikad pelaku penjaminan.31 Perlindungan hukum dapat pula dilakukan atas dasar inisiatif kreditur sendiri. Inisiatif itu merujuk pada ketentuan penjaminan fidusia atas bangunan yang berdiri di atas milik orang lain maka pada kendaraan bermotor dapat diterapkan hal yang sama. Kreditur dapat meminta persetujuan tertulis dari pemilik objek jaminan. Pernyataan itu berupa persetujuan atas penjaminan benda miliknya untuk menjamin utang debitur.32 Penulis harus menegaskan bahwa surat persetujuan seperti itu tidak diatur oleh UUJF, namun surat persetujuan itu tidak melanggar hukum. Di sinilah penerapan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perikatan dan Buku III KUH 27
Jatmiko Winarno, Perlindungan Hukum ….., Loc. Cit. Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai Jaminan, …..Loc.Cit. 29 Akhmad Budi Cahyono, Cessie Sebagai Bentuk ….., Loc. Cit. 30 Muhammad Moerdiono Muhtar, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Fidusia Dalam Praktik, ejurnal Lex Privatum, Vol. 1, No.2, April-Juni 2013, hlm. 211. 31 Ibid., hlm. 214. 32 Ibid. 28
10
Perdata yang bersifat terbuka. Para pihak sangat mungkin untuk membuat perjanjian di luar dari yang telah ditentukan oleh undang undang. Perjanjian itu harus memenuhi syarat sah perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Assesoir/Perjanjian Ikutan dalam Jaminan Fidusia Pada umumnya penjaminan lahir dari adanya hubungan antarpara pihak berupa perjanjian. Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut Sudikno, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.33 Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Bentuk dari perjanjian dapat berupa memberikan/menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian dapat dibedakan pada perjanjian dasar/perjanjian pokok dan perjanjian assesoir/perjanjian ikutan. Perjanjian pokok merupakan suatu perjanjian yang berdiri sendiri dan tidak memiliki “ketergantungan”, baik dalam bentuk pelaksanaannya, maupun keabsahannya dengan perjanjian lain. Perjanjian dasar ini adakalanya diikuti dengan perjanjian assesoir atau perjanjian ikutan. Pelaksanaan perjanjian assesoir didasarkan pada syarat atau kondisi sebagaimana ditentukan dalam perjanjian dasar tersebut. Jadi, sebenarnya perjanjian assesoir tersebut adalah suatu bentuk perjanjian atau perikatan bersyarat. Pelaksanaannya atau kebatalannya didasarkan pada pemenuhan atau ketiadaan pemenuhan dari suatu syarat, kondisi atau keadaan dalam perjanjian dasar yang menjadi dasar pembentukannya. Perjanjian assesoir tidak dapat berdiri sendiri.34 Perjanjian penjaminan merupakan perjanjian assesoir dari perjanjian pokok yang dapat berupa perjanjian kredit, utang piutang, atau pembiayaan. Pada perjanjian kredit, penjaminan sering sekali menjadi syarat dalam proses pemberian kredit kepada debitur. Fungsi utama jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi kredit yang diberikan kepadanya. Kreditur dan debitur menyetujui persyaratan dan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.35 Pemberian jaminan oleh debitur kepada kreditur pada dasarnya bentuk perlindungan bagi kreditur. Adanya jaminan menjadi rasa aman bagi kreditur. Kreditur yakin bahwa piutangnya akan dilunasi dengan cara mengambil pelunasan dari penjualan barang jaminan tersebut. Perjanjian pokok yang ditandatangani para pihak dalam bentuk akta notaris. Di sini notaris memiliki peran penting dalam membuat perjanjian dengan para pihak. Notaris bertanggung jawab atas perbuatan hukum atas akta yang dibuat oleh para pihak. Para pihak dalam perjanjian itu tunduk pada perjanjian 33
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Penghantar), (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 96. 34 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 48. 35 Abdul R. Saliman dkk, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Cetakan 1, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 16-17.
11
yang telah disepakati. Perjanjian pada akta notaris itu berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) UUJF yang menyebutkan bahwa pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris degan bahasa Indonesia dan merupakan Jaminan Fidusia. Perjanjian itu harus ditulis secara tegas dan jelas sehingga maksud dalam perjanjian itu dapat dipahami dengan baik oleh para pihak. Praktik penandatanganan perjanjian fidusia dapat dilakukan di hadapan notaris oleh pemberi fidusia atau pemberi fidusia memberikan kuasa kepada wakil dari perusahaan (krediturnya). Skema dari penjaminan yang didahului adanya perjanjian utang piutang atau kredit yang timbul antara debitur dan kreditur. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian penjaminan maka sudah selayaknya jaminan diberikan oleh debitur sendiri dan dengan benda miliknya sendiri. Pemberian jaminan seperti itu sejalan dengan Pasal 1113 KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan. Pada praktiknya tidak semua debitur bisa memberikan kebendaan miliknya sebagai penjaminan utangnya. Ada kalanya debitur menjaminkan benda milik orang lain. R. Subekti menerangkan bahwa Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan debitur, atau antara kreditur dengan orang ketiga yang menjamin sepenuhnya kewajiban debitur.36 Pendapat yang sama yang disampaikan oleh Mariam Darus Badrulzaman. Ia menyebutkan bahwa jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.37 Dalam suatu perjanjian penjaminan, pihak ketiga memberikan hak kebendaannya sebagai penjaminan dari utang debitur untuk kepentingan debitur tersebut. Pengingkaran Pihak Ketiga Terkait Penyalahgunaan Jaminan Fidusia Pengingkaran yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut dapat disebabkan ia tidak memiliki itikad baik untuk mengakui bahwa ia memang telah sengaja dan sadar menyerahkan benda miliknya sebagai jaminan atas utang debitur. Sebab lain pengingkaran itu, ia tidak mengetahui BPKB yang berada di tangan debitur disalahgunakan oleh debitur. Penulis dapat memberikan ilustrasi sebagai berikut: A merupakan teman dan sangat percaya kepada B. Kemudian A meminta B untuk mengurus pembayaran pajak mobilnya tersebut dan menyerahkan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB). Namun B yang tidak memiliki itikad baik menjaminkan mobil milik A kepada suatu bank. B menghilang tanpa melakukan pembayaran dari utang-utangnya tersebut. Ketika hendak dieksekusi oleh bank, A sebagai pemilik sebenarnya tidak ingin menyerahkan mobil miliknya karena tidak merasa pernah memberikan persetujuan. Dalam kasus ini sangat mungkin pihak ketiga tidak mengetahui bahwa miliknya telah dijadikan benda jaminan oleh debitur.
36
R. Soebekti, Jaminan-Jaminan ..….. Op. Cit., hlm.25. Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 11 No. 2 Tahun 2000, hlm.12. 37
12
Pada kendaraan bermotor Bukti Kepemilikan dapat dilihat dari Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB). Persoalannya adalah BPKB bukanlah satu-satunya bukti yang menunjukkan seseorang memiliki kendaraan bermotor. Bilamana kendaraan bermotor tersebut telah dijual, sedangkan belum dilakukan proses balik nama, dengan kwitansi ia dapat dianggap telah memiliki kendaraan tersebut. Berbeda dengan benda tidak bergerak, untuk menentukan pemilik dari suatu tanah dan bangunan tergantung pada sertifikat tanahnya yang menunjukkan secara yuridis pemilik. Yang menjadi subjek hukum adalah yang namanya terterdalam sertifikat tersebut. Di sini penulis menegaskan bahwa BPKB dapat disalahgunakan sebagai objek jaminan. Peluang itu terbuka lebar ketiak undang-undang belum memberikan kepastian hukum bagi pemilik kendaraan. Peristiwa ini dapat merugikan kreditur sebagai penerima fidusia, meskipun dalam hukum jaminan mengenal adanya droit de suite. Hukum jaminan mengenal adanya asas hak kebendaan. Asas ini berarti hak pemegang tetap melekat atas barang di tangan siapa pun barang itu berada (droit de suite). Melekatnya hak kebendaan itu pada pemegang terhitung sejak tanggal didaftarkan di Kantor Pendaftaran yang bersangkutan.38 Asas Hak kebendaan ini memberikan hak kepada penerima jaminan untuk mengeksekusi benda jaminannya di tangan siapapun benda tersebut berada, termasuk pada tangan pihak ketiga. Eksekusi jaminan tidak mengenal batas. Eksekusi ini menjangkau pihak ketiga, bahkan siapa saja yang menguasai benda hipotik (termasuk fidusia dan hak tanggungan). Dalam konteks ini tidak dibedakan penguasaan itu berdasarkan hak yang sah secara formil dan materil.39 Asas di atas memberikan peluang kepada penerima fidusia atas kendaraan bermotor milik orang lain atau pihak ketiga tetap mengeksekusi benda jaminannya tersebut. Selanjutnya dalam eksekusi jaminan dikatakan bahwa daya eksekutorial yang melekat pada jaminan baru akan lahir ketika jaminan itu telah didaftarkan. Atas dasar itu, akibat hukum eksekusi berdasarkan akta hipotik atau hak tanggungan maupun jaminan fidusia dapat menjangkau siapa saja yang menguasai benda objeknya. Eksekusi atas benda itu dapat dilakukan tanpa memperdulikan apakah penguasaan berdasarkan atas hak yang sah atau tidak. Penguasaan pihak ketiga terjadi setelah didaftarkan setelah di Kantor Pendaftaran yang bersangkutan. Jika penguasaan berdasarkan atas hak yang sah terjadi sebelum didaftarkan atau baru didaftarkan setelah pihak ketiga mengusainya berdasarkan hak yang sah, daya eksekusinya menjadi lumpuh terhadap pihak ketiga.40 Ketentuan eksekusi di atas hanya mengatur pada benda yang semula milik debitur kemudian dialihkan kepada pihak ketiga. Apabila kita analogikan pengaturan eksekusi tersebut pada kendaraan bermotor yang sudah dari awal milik pihak ketiga atau orang lain maka kekuatan eksekutorial sertifikat menjadi persoalan. Di sini kepastian hukum belum menjadi perlindungan yang efektif bagi 38
M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, (Jakarta:Sinar Grafika, 2010), hlm. 344. 39 Ibid., hlm. 343. 40 Iswi Hariyani dan R Serfianto.D.P, Resi Gudang…...Op. Cit., hlm. 344.
13
para pihak. Dalam pandangan penulis bahwa kelemahan Undang-Undang Jaminan fidusia Nomor 42 Tahun 1999 masih tampak jelas karena tidak mengatur hal tersebut. Ke depan harus dirumuskan suatu aturan yang mengatur permasalan ini lebih detail agar perlindungan hukum bagi kreditur, debitur, dan pemilik kendaraan dapat lebih maksimal. Persetujuan Pemilik Kendaraan Sebagai Syarat dalam Jaminan Fidusia Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani menyatakan bahwa perlu persetujuan bilamana pembebanan fidusia ini terhadap benda milik pihak ketiga, bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan terlepas dari tanahnya. Orang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hak sewa. Pada hak ini tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Solusi yang dapat digunakan dalam penjaminan adalah fidusia. Bank Rakyat Indonesia (BRI) pernah mempraktikkan bentuk penjaminan seperti ini. Hak yang diserahkan kepada kreditur adalah hak milik atas bangunan dan hak sewa. Khusus tentang penyerahan hak sewa ini diperlukan adanya persetujuan dari pemilik tanah yang menyewakan tanah itu. Pesetujuan itu untuk sewaktu-waktu mengalihkan hak sewa atas tanah itu kepada pihak lain.41 Bank biasanya membuat akta cessie dan akta jaminan fidusia sekaligus untuk hak sewa atas tanah tempat bangunan itu didirikan. Dalam akta cessie itu dinyatakan bahwa penyewa tanah dengan persetujuan si pemilik tanah mengalihkan dan melanjutkan hak sewa tanah tersebut dari debitur kepada bank. Penyea juga menyetujui untuk melanjutkan hak sewa tanah tersebut kepada orang lain. Bagi pihak bank persetujuan ini penting bila suatu saat bank terpaksa menyita dan melelang bangunannya/menjual kepada orang lain untuk pelunasan utang debitur. Dalam penyitaaan itu hak sewa atas tanah tempat bangunan tersebut berada ikut beralih.42 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggunan dapat dijadikan contoh dalam hal pengaturan mengenai jaminan yang menyangkut hak orang lain. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 itu menyatakan bahwa sebagai konsekuesi dari ketentuan sebagaiamana dimaksud pada Ayat (4) pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman, dan hasil karya. Pada prinsipnya ayat itu menjelaskan bahwa pembebanan hak tanggungan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain dari pada pemegang hak atas tanah wajib dilakukan bersamaan dengan pemberian hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan. Pembebanan itu harus dinyatakan di dalam satu Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang di tanda tangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang hak atas tanahnya atau kuasa mereka. Keduanya sebagai pihak pemberi hak tanggungan. Penjelasan Pasal 5 di atas, apabila antara pemilik tanah dan pemilik benda tersebut berbeda, dalam pembebanan penjaminan hak tanggungan baik pemilik tanah dan pemilik bangunan bersama sama terlibat dalam penjaminan hak tanggungan tersebut.
41
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 134. 42 Rachmad Cahyo Broto, Bangunan yang Berdiri…..Loc. Cit.
14
Pembuktian kepemilikan atas benda tetap sesungguhnya lebih mudah daripada benda bergerak. Persetujuan pemilik benda sesungguhnya merupakan solusi yang baik bagi kreditur dalam menghadapi problem penjaminan bermotor milik orang lain oleh debitur. Penutup Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan definisi debitur dan pemberi fidusia secara berbeda. Tidak terdapat pasal yang menyatakan pemberi fidusia haruslah debitur. Kedudukan debitur dan pemberi fidusia dalam penjaminan, yakni (1) pemberi fidusia merupakan debitur sendiri; (2) pemberi fidusia bukanlah debitur tetapi pihak ketiga yang mempercayakan benda miliknya menjadi jaminan guna kepentingan debitur; (3) pemberi fidusia bukanlah debitur tetapi pihak ketiga yang tidak mengetahui benda miliknya dijadikan objek jaminan fidusia. Penjaminan fidusia dengan objek milik pihak ketiga bukan pelanggaran hukum. Syaratnya adalah perjanjian dan pendaftaran fidusia dilakukan dengan cara yang benar. Pembuat perjanjian dilakukan oleh orang yang benar-benar berwenang dan cakap hukum. Perbuatan hukum itu dilakukan berdasarkan suatu perjanjian kredit yang benar. Perlindungan hukum kepada kreditor mensyaratkan adanya persetujuan pemilik kendaraan atau objek jaminan fidusia untuk kepentingan debitur. Surat persetujuan tidak melanggar hukum berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perikatan serta sifat Buku III KUHPerdata yang bersifat terbuka. Para pihak dapat membuat perjanjian diluar dari yang telah ditentukan oleh undang-undang dengan ketentuan memenuhi syarat sah perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Demi kepastian hukum dalam penjaminan fidusia khususnya dengan objek kendaraan bermotor milik pihak ketiga, peraturan perundang-undangan harus secara tegas mengatur tentang penjaminan dengan objek kendaraan motor milik pihak ketiga. Penulis menyarankan untuk melakukan revisi atas undang-undang fidusia. Tujuannya untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Para pihak khususnya kreditur dapat berperan serta dalam menjaga penjaminan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dengan jaminan khususnya jaminan kendaraan milik pihak ketiga. Salah satu caranya dengan melibatkan pihak pemilik kendaraan tersebut baik dalam perjanjian pokok dan dalam akta jaminan fidusia. Perjanjian dapat melalui surat kuasa menjaminkan fidusia atau dengan persetujuan tertulis dari pemilik kendaraan. Pemberian persetujuan tertulis dari pemilik kendaraan meskipun tidak diharuskan oleh undang-undang fidusia, namun dapat dijadikan solusi dalam menghindari permasalahan dalam eksekusi jaminan.
Daftar Pustaka Abdul R. Saliman dkk. 2005. Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus. Cetakan 1. Jakarta: Prenada Media.
15
Akhmad Budi Cahyono, Cessie Sebagai Bentuk Pengalihan Piutang Atas Nama,
Lex Jurnalica, Vol. 2 No. 1 Desember 2004. Ary Subiantara, Ivan Zairani Lisi, dan Nur Arifudin. Analisa Hukum Terhadap Tindakan Penggelapan Kendaraan Roda Dua Di Perusahaan Leasing PT Mega Central Finance Oleh Konsumen Menturut Pasal 372 Dan 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (studi Kasus di PT Nega Central Finance Samarinda), Jurnal Beraja Niti Vol. 3 No. 7 Tahun 2014. Budi Untung. 2000.Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Andi. Burhan Ashofa. 2006. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Djuhaendah Hasan. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda
Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. Jakarta: Citra Aditya Bakti. Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani. 2001. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Iswi Hariyani dan R. Serfianto.D.P. 2010. Resi Gudang sebagai Jaminan Kredit & Alat Perdagangan. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Jatmiko Winarno. Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Jaminan Fidusia. Jurnal Independent Vol. 1 No. 1 Maret 2013. Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayu Media Publishing. M. Yahya Harahap. 2010. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Mariam Darus Badrulzaman. 2000. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jamindan. Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11 No. 2 Tahun 2000. Muhammad Moerdiono Muhtar. Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Fidusia dalam Praktik. Jurnal Lex Privatum Vol. 1 No. 2 April-
Juni 2013. Oey Hoey Tiong. 1984. Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan. Jakarta: Ghalia Indonesia. R. Soebekti. 1982. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberi Kredit Menurut Hukum Indonesia. Cetakan 10. Bandung: Alumni. Rachmad Cahyo Broto. Bangunan yang Berdiri di atas Tanah Milik Orang lain Sebagai Jaminan Fidusia Setelah Berlakunya Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jurnal Hukum Vol. 3 No. 2 Tahun 2012. Ricardo Simanjuntak. 2006. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: Gramedia. Salim HS. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1980. Pokok Hukum Jaminan di Indonesia Pokokpokok Hukum Jaminan dan Perorangan. Yogyakarta: Liberty. Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum: Suatu Penghantar. Yogyakarta: Liberty.
16