Pengantar Ekonomi Islam Oleh: Atep Firmansyah, S.E.I, M.M.
Founder & Author www.ekonomikasyariah.com 1. PEMAHAMAN MENDASAR
Pemahaman mendasar untuk memahami ekonomi islam atau sederhananya muamalah islam adalah keyakinan bahwa dinul islam yang kita anut adalah agama yang bersifat syamil dan kamil. Artinya agama islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa kecuali dan berlaku untuk semua manusia di segala ruang dan waktu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ayat Alquran dibawah ini:
Artinya: “....Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” juga Quran surat Al-an’am ayat 38.
Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam AlKitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Quran Surat Al-An’am ayat 115:
Artinya: “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quraan) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.” Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Quran Surat Annahl ayat 89:
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” Disamping itu pula Rosululloh Shollallohu ‘alaihi Wasallam sebagai pemegang amanah risalah menjadi bukti nyata bahwa ternyata Islam “hidup” dan harus ada dalam segala asfek kehidupan umat manusia. Dan menjadi wajib bagi umatnya untuk menaati dan meneladaninya karena merupakan bagian dari ketaatan dan penghambaan diri kepada Alloh itu sendiri. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu Wata’ala dalam quran surat An-Nisa ayat 80
Artinya: “Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta'ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta'atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” Juga dalam Quran Surat Alhasyr (59) ayat 7:
Artinya: “....Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Dari berbagai ayat Alquran yang dikemukakan diatas menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan semua perkara yang menyangkut kehidupan manusia pada umumnya, baik perkara Ushul (pokok-pokok agama) maupun Furu’ (cabang-cabang) Agama. Di dalam Al-Quran juga anda akan temukan lebih lanjut bahwa Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang ushul (pokok-pokok) agama seperti pembahasan seputar tauhid dengan segala macam dan berbagai konsekuensinya. Serta masalah yang sifatnya furu’ (cabang-cabang) agama Islam. Sampai tentang bergaul dengan sesama manusia seperti adab (tata krama) pertemuan, cara berjalan, tata cara minta izin dan lain sebagainya. Termasuk mengajarkan bagaimana proses mu’amalah yang benar, bagaimana jual-beli yang benar, gadai menggadai, hutang piutang dan praktik muamalah maaliyah lainnya. Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Jadi salah besar anggapan bahwa Islam hanya mengatur masalah yang berkaitan dengan asfek aqidah/ keyakinan yang sifatnya individu dan gaib serta asfek ibadah mahdzah (ritual) yang sifatnya rigid. Atau hanya mengatur urusan individu dalam hubungannya dengan yang di atas, masalah vertikal saja tanpa islam mengatur urusan horizontal.
Seolah-olah Allah alloh menciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Nya dengan membiarkan hubungan antarmanusia tanpa aturan yang jelas. Akibatnya umat manusia semakin jauh dari syariat islam yang berkaitan dengan urusan-urusan ekonomi. Riba menggurita di masyarakat, Praktik korupsi merajalela, berbagai kedzaliman di pasar demi keuntungan duniawi dilakukan, dan itu dilakukan sebagian besar oleh umat Islam. Padahal Sayid Qutb salah seorang ulama besar dari Mesir berulang kali menegaskan dalam hal ini bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mengatur urusan akidah semata yang bersifat teologis dan dogmatis. Akan tetapi juga sekaligus sebagai metode/cara lebih tepatnya sistem yang mengajarkan pemecahan berbagai persoalan umat manusia.1 Termasuk tentunya dalam hal ini persoalan-persoalan ekonomi dan muamalah Islam.
Jadi Islam tidak cukup hanya hanya berakidah yang benar (Quran-Sunnah) saja. Atau hanya beribadah yang benar (Quran-Sunnah) saja, atau yang penting akhlak pada sesama manusia baik (stop sampai disini). Jelas ini adalah pemahaman yang menyesatkan dan keliru. Karena Islam menuntut umatnya untuk berakidah dengan benar,dibuktikan dengan benarnya asfek ibadah dan mu’amalah serta disempurnakan dengan akhlak yang mulia. Karena satu asfek saja dari asfek diatas tidak sesuai dengan syariat maka neraka Alloh terbuka lebar untuk dimasuki. Dengan kata lain umat Islam yang sudah berakidah dan beribadah dengan cara yang benar pun masih terancam neraka ketika ia masih melakukan praktik penipuan dalam aktifitas ekonominya2 dan praktik transaksi terlarang lainnya yang tidak sejalan dengan syariat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam QS. Albaqoroh ayat 85
Yang artinya: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” Juga QS. Albaqoroh ayat 208
1 2
Sayyid Quthub, Fi-Zilalil Quran, 1400H/1980 M (Beirut-Lubhan: Dar as-Syuruq), hal. 1435, 1443, dan 1449 Lihat QS. Almuthaffifiin ayat 1-4
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam dengan menyeluruh, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Ibnu Jarir al-Thabari mengutip pendapat banyak mufassir terkemuka, seperti Ibnu 'Abbas, Mujahid, Qatadah, al-Sudi, Ibnu Zaid, dan al-Dhahhak yang memaknai al-silm dengan al-Islâm. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al-Thabari dan al-Samarqandi. Dengan demikian, ayat ini dapat dimaknai sebagai perintah agar memasuki Islam secara kâffah.
Sedangkan makna kâffah menurut banyak mufassir sebagaimana dikutip Ibnu Katsir-adalah jamî'a[n](semuanya, keseluruhan). Sehingga, ayat ini bermakna: Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin, yang membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintah-Nya, dan meninggalkan semua larangan-Nya, selama mereka mampu mengerjakannya. Demikian Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm. Tidak jauh berbeda, Fakhruddin al-Razi juga menjelaskan pengertian ayat ini: “Masukkah ke dalam seluruh syariah Islam, baik secara keyakinan maupun secara amalan.”3 Inilah Islam sebagai way of life dan sudah semestinya bagi seluruh umatnya mengetahui islam secara paripurna untuk kemudian diamalkan secara paripurna pula. Dalam hal ini, mu’amalah syariah hanya merupakan sub-sistem dari sebuah grand system islam yang harus difahami dan dipraktikkan dengan benar sesuai dengan sumber dan rujukan Islam itu sendiri. 1.1. Definisi Syariah
Kata syariah berasal dari bahasa Arab, yakni as-Syari’ah. Jadi untuk memahami dengan benar kata syariah harus merujuk kepada bahasa asalnya, tidak bisa diterjemahkan secara serampangan menurut selera kita orang Indonesia. Karena yang lebih mengetahui pengertian bahasa itu adalah pemilik bahasa itu sendiri. Menurut Ibn al-Manzhur dalam kitabnya Lisân al’Arab4 mengungkapkan bahwa secara bahasa, syariah memiliki beberapa arti. Diantaranya masyra’ah al-mâ’ (sumber air). Sumber air yang dimaksud syari’ah hanya merujuk kepada sumber air yang airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (tidak pernah kering). Adapun menurut Ar-Razi dalam bukunya Mukhtâr-us Shihah5 Kata syari’ah memiliki akar kata SYARA’A. Syara’a bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha(menjelaskan) dan bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum – yasyra’u – syar’an artinya adalah sanna (menetapkan).
3 4 5
http://mediaumat.com/telaah-wahyu/917.html Ibn al-Manzhur, Lisân al-‘Arab, juz I hal.175 Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihah, hal. 294
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Sementara menurut Al-Jurjani6, syari’ah bisa berarti madzhab dan tharîqah mustaqîmah /jalan yang lurus. Menurut Imam Al-Qurtubi bahwa kata syari’ah juga digunakan untuk menyebut madzhab atau ajaran agama7. Ringkasnya bahwa syariat berarti aturan dan undang-undang. Aturan disebut syariat, karena sangat jelas, dan mengumpulkan banyak hal. Ada juga yang mengatakan, aturan ini disebut syariah, karena dia menjadi sumber yang didatangi banyak orang untuk mengambilnya8. Sedangkan untuk memahami syari’ah secara istilah mari kita perhatikan ayat alquran yang memuat kata syari’ah di dalamnya. Kalau melihat kepada Alquran, setidaknya ada lima ayat yang didalamnya terdapat kata yang memiliki akar kata SYARA’A yaitu Q.S. Asy-Syuuro ayat 13 &21, Q.S. Al-A’rof ayat 163, Q.S. Almaidah ayat 48, Q.S.Al Jatsiah ayat 18. Berikut diantaranya: "Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat agama.Maka ikutilah ia dan jangan mengikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS al-Jatsiyah: 18). Imam al-Qurthubi menegaskan dalam tafsirnya bahwa syariat secara bahasa maknanya adalah madzhab, aliran, serta tempat aliran air dan tempat berkumpulnya. Namun secara istilah maknanya adalah agama yang Allah gariskan untuk hamba-Nya yang terdiri atas berbagai hukum dan ketentuan. Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Sementara itu Ibnu Abbas berkata, "Makna mengikuti syariat pada ayat di atas maksudnya mengikuti petunjuk dan tuntunan agama." Qatadah berkata, "Yang dimaksud dengan syariat adalah perintah dan larangan, serta sejumlah hukum dan kewajiban." Jadi syariat adalah sejumlah perintah dan ketentuan ilahi yang menata kehidupan setiap muslim dalam seluruh aspek kehidupan. Selain mencakup hukum yang bersifat pribadi seperti ibadah dan syiar-syiar agama, ia juga berisi kaidah politik, hukum, ekonomi, budaya etika, adab, dan perilaku sehari-hari. Oleh karena itu, seorang mukmin dan muslim dikatakan telah menjalankan agamanya dengan baik manakala segala perilakunya berkesuaian dengan syari’ah yang telah Allah dan Rasulnya turunkan untuk ummatnya. 1.2. Definisi Muamalah
Al-Jurjani, at-Ta’rifât, hal. 167 Tafsir Al-Qurthubi, 16/163 8 Al-Misbah Al-Munir, 1/310 6 7
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Kata muamalah sering kita jumpai dalam bahasa Indonesia. Baik dalam tulisan-tulisan agama, dalam seminar keislaman, atau dalam khutbah-khutbah di mesjid. Karena kata muamalah ini memang sudah lazim digunakan bahkan kadang-kadang dengan tanpa disertai penjelasan maknanya pun sebagian sudah memahaminya. Namun untuk menyamakan persepsi tentang arti dan maksud muamalah dalam buku ini, ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu.
Sama seperti kata syari’ah yang telah kita bahas, kata mu’amalah berasal dari kata dalam bahasa Arab yang jika diartikan secara bahasa artinya saling berbuat, saling bertindak dan saling mengamalkan. Pengertian secara harfiah ini menggambarkan suatu interaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang yang lain dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adapun definisi muamalah secara istilah dijelaskan dalam Al-Qamus al fiqhy karya Dr.Sa’id Abu Habib sebagaimana dikutip Tarmizi (2012)9 adalah hukum syariat yang berkaitan dengan hubungan manusia satu dengan lainnya. Dan untuk hal yang berkaitan dengan harta (Jual beli, sewa-menyewa, warisan dan lain sebagainya) biasanya ditambahkan kata “maaliyyah” yang berarti harta. Semua pengertian muamalah secara istilah merujuk kepada hukum-hukum syariat yang harus diikuti dan menjadi panduan manusia dalam interaksinya dengan manusia lainnya sebagai bentuk ketundukkan kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagai pembuat hukum.
Namun, belakangan ini kata muamalah mengalami penyempitan makna, dimana kata muamalah pada hari ini lebih berkonotasi kepada pengertian mu’amalah maaliyyah saja. Dan pengertian ini pula yang dimaksud dengan kata mu’amalah dalam buku ini. 1.3 Tujuan Muamalah dalam Islam
Mungkin diantara sebagian manusia ada yang bertanya-tanya. Kenapa perkara mu’amalah saja yang notabene menyangkut urusan duniawi masih saja diatur dalam Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama kita harus menyadari dengan sepenuhnya bahwa manusia hanya lah makhluk (diciptakan) dan Allah adalah khaliq (pencipta). Dalam hal ini tugas makhluk adalah tunduk dan taat dengan ketaatan yang sempurna mengikuti kehendak sang khaliq. Karena itu merupakan salah satu bukti keimanan yang nyata dan bagian dari ketauhidan yang lurus. Manusia diciptakan bukan tanpa tujuan dan dibiarkan bebas tanpa aturan. Untuk itulah agama Islam ini ada. Bukankah setiap pagi dan sore kita telah berikrar bahwa kita telah ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi kita. Manifes dari keridhoan tersebut adalah kita ridha diatur dengan undang-undang Allah dan Rasulnya dan melaksanakan aturan tersebut. Termasuk dalam perkara mu’amalah. Kedua, untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Entah seperti apa jadinya manusia jika Islam tidak mengatur urusan mu’amalah. Ambil contoh jika Islam tidak mengatur teori kepemilikan dan cara perpindahan hak milik yang sah, dipastikan akan terjadi kekacauan, pertengkaran dan sengketa yang tidak akan pernah usai. Dan bayangkan pula apa yang terjadi jika islam tidak berbicara banyak mengenai riba, jual-beli, risywah, dan hukum muamalah lainya, akan seperti apa kondisi pasar dan perekonomian umat manusia. 9
Lihat Erwandi Tarmizi, Harta Haram Mu’amalat Kontemporer hal. 1
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Oleh karena itu Dr. .Abdul Sattar Fathullah Sa’id dalam kitab Al-Muamalah fil Islam (1406 hlm.16) berkata : “Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hukum antara individu dan masyarakat. Karena itu syariah Ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka.”10 1.4 Jenis-Jenis Muamalah
Para Ulama Fiqh membagi jenis muamalah menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Muamalah yang hukumnya secara tegas dan lugas langsung ditentukan (ditunjuk) oleh Nash (al-Qur`an dan al-Sunnah). Contoh persoalan perdata: warisan, bilangan talak pernikahan, iddah, khulu, rujuk, keharaman (jual) khamar (minuman keras), keharaman riba, keharaman (jual) babi, keharaman (jual) bangkai. Contoh persoalan pidana: hukum pencurian, hukum perzinahan, hukum qazhaf (menuduh orang lain berbuat zina), dll.
2. Muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad para Ulama, sesuai dengan proses istinbathul ahkam yang bisa dibenarkan secara syara. Dengan tetap berpegangan kepada dalil utama yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini bisa terjadi karena muamalah dalam ragam bentuknya sangat dinamis dan memungkinkan suatu perkara dalam muamalah tidak pernah terjadi atau tidak ada bentuk transaksi yang sama pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Sehingga perlu dicari jawaban atas permasalahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan umat manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Contoh: menerapkan sistem jual beli tanpa proses ijab dan qabul seperti transaksi jual beli di supermarket, minimarket, swalayan, pasar, dan lain-lain.
10
Kitab Al-Muamalah Fil Islam,Abdul Sattar Fathullah Sa’id
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
2. PRINSIP-PRINSIP MUA’MALAH ISLAM Sebagaimana Islam telah meletakan prinsip-prinsip dan batas-batas tertentu dalam masalah aqidah dan ibadah, Islam juga meletakkan prinsip dan batas tersebut dalam kegiatan ekonomi manusia (dalam bermuamalah).
Dan prinsip-prinsip inilah yang tidak bisa dipilih-pilih dan ditawar-tawar oleh manusia dalam
menjalankannya. Sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wataala dalam Quran Surat Al-Ahzab ayat 36:
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Prinsip-prinsip ini biasanya bersifat tsabit atau tetap dan berlaku sama bagi setiap individu karena merupakan nilai dasar dari sebuah ajaran. Sehingga dalam hal ini seluruh aktifitas ekonomi/ muamalah
seperti pola produksi, konsumsi, pertukaran dan transaksi serta distribusi kekayaan harus sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah secara khusus dan prinsip Islam secara umum.
Kata prinsip sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai asas atau dasar
(kebenaran yg menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dsb). Sedangkan kata muamalah, sebagaimana
telah lewat pembahasannya adalah hukum syariat yang berkaitan dengan hubungan manusia satu dengan lainnya.
Meskipun pada asalnya Islam memandang mu’amalah sebagian besar adalah perihal keduniaan
dimana Rasululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam telah menyatakan dalam salah satu haditnya bahwa “antum ‘alamu biumuuri dunyakum” (Kalian lebih faham dalam urusan keduniaan kalian) dan sebuah
kaidah fiqih yang menyatakan bahwa “Asal dalam perkara mu’amalah itu adalah boleh”, akan tetapi Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
tidak berarti bahwa kefahaman manusia tentang dunia dan kebolehan tersebut sifatnya mutlak tanpa batas.
Kebebasan dan kebolehan tersebut harus tetap berada di dalam pagar-pagar hukum, norma dan etika yang selaras dengan aturan Alloh dan Rosul Nya. Dan inilah prinsip besarnya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Arbain Imam Nawawi no. 6 yang berbunyi:
ِ ِ َ َﺎن ﺑ ِﻦ ﺑ ِﺸﻴ ٍﺮ ر ِﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋْﻨـﻬﻤﺎ ﻗ ِ ِ ِ ِ إِ ﱠن اﻟْ َﺤﻼَ َل ﺑـَﻴِّ ٌﻦ َوإِ ﱠن: ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَ ُﻘ ْﻮ ُل ُ ﺎل َﺳﻤ ْﻌ َ ﺖ َر ُﺳ ْﻮ َل اﻟﻠﻪ َ ُ َ ُ َ َ ْ َ ْ َﻋ ْﻦ أَﺑﻲ َﻋْﺒﺪ اﻟﻠﻪ اﻟﻨـ ْﱡﻌ َﻤ ِ ِ ﺎت ﻻَ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻤ ُﻬ ﱠﻦ َﻛﺜِْﻴـٌﺮ ِﻣ َﻦ اﻟﻨ َوَﻣ ْﻦ َوﻗَ َﻊ ﻓِﻲ،ِاﺳﺘَـْﺒـَﺮأَ ﻟِ ِﺪﻳْﻨِ ِﻪ َو ِﻋ ْﺮ ِﺿﻪ ٌ اﻟْ َﺤَﺮ َام ﺑَـﻴِّ ٌﻦ َوﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ أ ُُﻣ ْﻮٌر ُﻣ ْﺸﺘَﺒِ َﻬ ْ ﻓَ َﻤ ِﻦ اﺗـ َﱠﻘﻰ اﻟ ﱡﺸﺒُـ َﻬﺎت ﻓَـ َﻘ ْﺪ،ﱠﺎس ِ ِ ِ ِ ِ ٍِ ِ ِِ ِ ِ ُ ﻋﻰ َﺣ ْﻮ َل اْﻟ ِﺤ َﻤﻰ ﻳـُ ْﻮ ِﺷ ُ أَﻻَ َوإِ ﱠن ﻟ ُﻜ ِّﻞ َﻣﻠﻚ ﺣ ًﻤﻰ أَﻻَ َوإِ ﱠن ﺣ َﻤﻰ اﻟﻠﻪ َﻣ َﺤﺎ ِرُﻣﻪ،ﻚ أَ ْن ﻳـَْﺮﺗَ َﻊ ﻓْﻴﻪ َ َﻛﺎﻟﱠﺮاﻋﻲ ﻳـَْﺮ،اﻟ ﱡﺸﺒُـ َﻬﺎت َوﻗَ َﻊ ﻓﻲ اﻟْ َﺤَﺮام ِ ِ ِ ﱡ ]رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ﺐ ْ أَﻻَ َوإِ ﱠن ﻓﻲ اﻟْ َﺠ َﺴﺪ ُﻣ ْ ﺻﻠَ َﺢ اﻟْ َﺠ َﺴ ُﺪ ُﻛﻠﱡﻪُ َوإِذَا ﻓَ َﺴ َﺪ ْ ﺻﻠَ َﺤ َ ﺖ َ ﻀﻐَﺔً إِذَا ُ ت ﻓَ َﺴ َﺪ اﻟْ َﺠ َﺴ ُﺪ ُﻛﻠﻪُ أَﻻَ َوﻫ َﻲ اﻟْ َﻘ ْﻠ 11 [وﻣﺴﻠﻢ
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Riwayat Bukhari dan Muslim). Selain dari itu, secara garis besar yang menjadi inti prinsip mumalah Islam terangkum dalam dua hal berikut yakni: 1. Menjauhi Kebathilan 2. Tercapainya saling ridho dalam transaksi
Sebagaimana tergambar dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 29:
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah fiil Ahadits Ash Shohihah An Nabawiyah, Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Ied, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan kedelapan, tahun 1423 H. 11
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Menjauhi kebatilan dalam hal ini merangkum segala bentuk proses perpindahan kepemilikan /
milkiyah, cara mendapatkan harta yang tidak sesuai dengan syariah. Atau segala bentuk transaksi yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial, kedzaliman, kerusakan, penipuan, manipulasi, spekulasi, perilaku koruptif dan hal-hal lain yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Sementara prinsip saling ridho adalah prinsip yang harus tercapai dari sebuah transaksi yang
dibenarkan secara syari. Dan prinsip ini tidak bisa berdiri sendiri. Bukan berarti asal saling ridho maka muamalah dalam bentuk apapun menjadi boleh. Tentu bukan seperti itu pengertiannya.
Saling ridho yang dimaksud adalah keridhoan atau keikhlasan yang harus ada dari berbagai transaksi
yang berasal dari transaksi yang dibenarkan oleh Syariat. Bukan asal saling ridho yang tergambar sesaat pada sebuah transaksi padahal transaksi tersebut penuh kedzaliman, penipuan, pemaksaan, penyuapan dan hal-hal lain yang dapat merugikan salah satu pihak di kemudian hari.
Jadi sekali lagi harus ditegaskan disini bahwa hanya dengan saling ridho saja, tidak bisa jadi
pembenar dari sebuah transaksi yang salah. Dengan kata lain transaksi-transaksi yang tidak dibenarkan syariah tidak bisa menjadi benar hanya karena dilakukan secara saling ridho oleh yang melakukan transaksi.
Dari 2 prinsip dasar diatas dapat dijabarkan beberapa prinsip muamalah lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Syeh Abul A’la Almaududi bahwa prinsip mu’amalah Islam adalah sebagai berikut: A.
Pengakuan hak milik individu
Islam mengakui hak kepemilikan individu. Maka dari itu Islam pula mengatur bagaimana untuk mendapatkan hak milik yang sah dan sesuai dengan aturan Agama. Serta seperti apa proses perpindahan hak milik yang seharusnya dilakukan supaya perpindahan barang dan harta menjadi halal dan diridhoi oleh Alloh Subhanahu Wata’ala. Serta apa yang harus dilakukan setelah mendapatkan hak milik supaya tetap diridhoi Alloh Subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu mekanisme perpindahan kepemilikan harta menjadi titik sentral pembahasan mu’amalah karena menyangkut hak dan kewajiban manusia. Dan menyangkut kemashlahatan umat manusia seluruhnya.
Bisa anda bayangkan jika Islam tidak mengenal konsep kepemilikan. Apa yang akan terjadi? Pasti ketidakteraturan dan kekacauan lah yang timbul. Orang akan dengan bebas merebut hak orang lain, rebutan harta, bahkan mungkin tidak akan dikenal istilah akad-akad, tidak akan pernah ada jual beli. Tidak akan pernah ada lagi kebaikan dalam bermualalah. Jika demikian peradaban manusiapun sepertinya tidak akan pernah ada. Negara dalam hal ini harus menjamin dan melindungi kebebasan hak milik individu yang diakui syariat (tentang kebolehan memilikinya) dengan regulasi yang adil. Adil yang dimaksud adalah negara tidak bisa menerapkan sebuah kebijakan ekonomi yang menghilangkan kepemilikan individu yang telah Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
diakui oleh Islam kecuali setelah ada pelanggaran. Baik pelanggaran terhadap hak milik itu sendiri atau pelanggaran terhadap hak milik orang lain. Negara hanya dapat memaksa kepada para pemegang hak milik supaya mengeluarkan hak dan menjalankan kewajiban atas harta mereka (baik berupa zakat atau pajak) dan memastikan bahwa harta yang dimilikinya bisa produktif. Jika tidak, dengan batas waktu tertentu yang telah ditetapkan maka negara bisa melakukan penarikan atas hak milik tersebut dan bisa dialihkan kepada mereka yang sanggup memproduktifkannya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir secara marfu’ (Hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi Wasallam:
ُي لَه ً َم ْن أَحْ َيا أ َ ْر َ ضا َم ِيّت َةً فَ ِه
“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, ia menyatakan “Hasan shahih”, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Bahkan Kholifah Umar Bin Khattab secara tegas memberikan batas waktu toleransi menelantarkan hak milik atas tanah dengan batas waktu tiga tahun saja. Diatas waktu tersebut tanah bisa diberikan kepada orang yang sanggup memproduktifkannya. Dari Salim bin Abdullah, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata di atas mimbar,
َث ِسنِيْن ِ َْس ِل ُمحْ ت َِج ٍر َح ﱞق بَ ْعدَ ثَﻼ ً َم ْن أَحْ يَا أَ ْر َ َولَي،ُي لَه َ ضا َم ِيّت َةً فَ ِه
“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan bagi pemberi batas tidak memiliki hak setelah tiga tahun. ”12
Jadi selama hak milik individu ada pada harta yang dibolehkan syariah dimiliki per individu, tidak menimbulkan gangguan kepada hak-hak manusia lainnya, serta mampu memproduktifkannya disertai telah ditunaikannya segala bentuk kewajiban harta tersebut baik yang berkaitan dengan agama maupun negara, maka selama itu pula kepemilikan individu dibenarkan oleh syariat.
Karena jika demikian adanya, walaupun misalnya secara ekstrem hak milik ada di tangan beberapa individu saja di sebuah kampung namun distribusi kekayaan dipastikan akan terjadi di kampung tersebut karena zakat ditunaikan, pajak dibayar, tanah dan bangunan semuanya produktif dan memberikan kemashlahatan kepada sekitar. Tidak akan ada cerita manusia kardus/ manusia gerobak yang hidup di tengah belasan rumah tak berpenghuni. Atau tidak akan ada cerita si miskin yang menganggur di tengah hektaran tanah yang dibiarkan dengan sengaja tidak digarap oleh pemiliknya.
Dengan demikian perpindahan hak milik/ harta hanya bisa terjadi jika dengan proses yang hanya dibenarkan oleh syariat. B. Prinsip kesetaraan dan keadilan sosial
Lihat Al Mulakhkhash Al Fiqhiy, Fiqhus Sunnah, dan Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah,semuanya pada pembahasan Ihyaa’ul mawat. 12
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Allah Subhanahu Wata’ala menciptakan manusia di dunia dengan kadar yang berbeda-beda, termasuk dalam urusan kekayaan yang dimiliki. Hal ini sudah menjadi ketentuan dari Alloh (sunnatulloh). Sebagaimana firman Alloh dalam quran surat An-Nahl ayat 71:
Artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni'mat Allah ?” Islam berpandangan bahwa kesetaraan itu ada pada proses bukan pada hasil dan realita yang bisa dipaksakan. Kesetaraan yang Islam yakini adalah kesetaraan kesempatan untuk mengamankan mata pencaharian dan untuk mendaki tangga kesuksesan dan kemakmuran. Oleh karenanya semua ideologi yang ingin memaksakan kesetaraan ekonomi ditengah manusia adalah keliru, tidak realistis dan tidak mungkin untuk diwujudkan. Islam tidak menghendaki adanya barriers to entry yang dilakukan negara untuk menjegal seseorang menikmati proses untuk mendapatkan harta. Sehingga praktik monopoli itu hanya untuk negara atas sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan tidak boleh dimiliki secara perorangan. Namun bukan berarti pula Islam membiarkan kebebasan mutlak individu untuk memiliki sumber daya ekonomi secara bebas tanpa batas.
Islam bertujuan mewujudkan keseimbangan antara individu dan masyarakat, yang akan mempromosikan kebebasan individu dan pada saat yang sama memastikan bahwa kebebasan tersebut adalah positif kondusif untuk pertumbuhan dan ketenangan masyarakat secara keseluruhan. Karena ketidaksetaraan itulah Islam mengatur pola distribusi harta agar keadilan dan pemerataan harta (tidak berarti sama rata) bisa tercapai dalam konteks keadilan sosial. Diantaranya melalui ajaran zakat yang sifatnya wajib dan mengikat serta infak, shodaqoh, wakaf yang sifatnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Juga melalui kerjasama usaha yang adil seperti mudharabah, musyarokah, muzaro’ah dan sebagainya, bukan dengan skema utang ribawi yang menjerat si tidak empunya modal.
Berbagai larangan Islam terkait harta seperti larangan riba, larangan menumpuk harta, larangan kikir, larangan cinta dunia, juga terdapatnya konsep waris semakin menyempurnakan dan menegaskan konsep mu’amalah islam untuk mencegah terjadinya kesenjangan terkait ketidaksetaraan manusia terhadap sumber daya ekonomi. Sekaligus menciptakan keadilan sosial dan mewujudkan kesejahteraan sosial. Target minimal yang pasti dicapai dari konsep diatas adalah terpenuhinya hak dasar manusia berupa sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu, jika kesenjangan atau ketidakmerataan masih saja terjadi di sebuah negara penganut Islam, maka dipastikan masih ada konsep Islam yang belum dijalankan secara utuh sepenuhnya oleh umatnya. Lebih khusus lagi masih banyak konsep mu’malah (terkait dengan harta) yang diabaikan sebagai indikasi masih lemahnya aqidah umat pada saat ini. Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Sebagaimana telah disindir dan dinyatakan dalam Al-Quran Surat Al-Baqoroh ayat 85:
....................................
Artinya: “....Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” C. Prinsip Kewajiban dan Hak
Prinsip ini sangat melekat dan tidak bisa dipisahkan dalam konsep mu’amalah Islam. Islam telah menjelaskan berbagai kewajiban dan hak baik secara umum ataupun terperinci yang harus dijalankan oleh umatnya dengan dasar keimanan.
Sebagaimana Islam telah menjelaskan benar salah dalam perkara aqidah dan ibadah, Islam pula telah membuat patokan, ukuran dan timbangan yang jelas untuk membedakan benar dan salah dalam hal mu’malah. Islam telah membedakan antara benar dan salah dalam hal sarana mendapatkan kekayaan yang tidak dapat ditemukan dalam sistem hukum dan sosial manapun. Islam mengutuk keras setiap cara ilegal dalam hal mendapatkan harta. Bersinggungan dengan yang haram, riba, ghoror, cara-cara yang melukai, moral atau material, mengganggu/ merugikan kepentingan individu lain atau masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu seluruh lini ekonomi dari mulai produksi, konsumsi dan distribusi wajib tunduk dan patuh pada aturan,norma,hukum serta etika Islami.
Hukum Islam dengan tegas menolak perbuatan ilegal seperti pembuatan dan penjualan minuman keras dan minuman keras, transaksi sex, penari erotis, perjudian, transaksi yang bersifat spekulatif atau penipuan, transaksi di mana keuntungan satu pihak benar-benar dijamin sedangkan bagian lainnya yang tersisa pasti dan ragu-ragu, dan harga manipulasi dengan menahan penjualan kebutuhan hidup. Dengan mempertimbangkan prinsip kewajiban dan hak inilah sebuah mu’amalah yang benar dalam Islam haruslah bersifat:
mendatangkan maslahat dan menolak madarat bagi manusia;
menghindarkan diri dari kezaliman, koruptif, penipuan, manipulasi, spekulasi, dan hal-hal lain yang tidak dibenarkan oleh syariat.
adanya keterbukaan dalam transaksi (aqad) yang dilakukan.
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Bersifat sukarela dan tanpa paksaan dalam melakukan akad/ transaksi.
D. Prinsip Kebolehan Bersyarat
Berbeda dengan perkara aqidah dan ibadah yang sifatnya tauqifiyah yang berarti Anda tidak bisa menentukan dan menetapkan suatu keyakinan atau sebuah ritual tanpa didahului adanya dalil yang menetapkan dan memerintahkannya. Atau dalam bahasa ushul fiqih al-ashlu fil ‘ibaadati al-hazhru, illaa maa warada ‘anisy syaari’i tasyrii’uhu “Hukum asal suatu ibadah adalah terlarang, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut disyari’atkan”. Dalam hal mu’amalah, Islam menganut prinsip Al Ashlu Fil Mua’malati Al Ibahah Hatta Yadullu Ad Daliilu Ala Tahrimiha artinya “Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah dan praktik yang dilakukan manusia terkait urusan keduniaan adalah halal dan mubah. Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram atau bersinggungan dengan nilai-nilai dan norma yang telah ditetapkan syariat. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya serta tidak ditemukan bersinggungan dengan batas-batas yang ditentuan syariat, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah. Kaidah ini disandarkan pada firman Allah swt Al-Quran Surat Al-Baqoroh ayat 29:
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Juga Quran Surat Al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah: 13) Juga Quran Surat Luqman ayat 20:
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya. Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah saw bersabda,
“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram; sedang apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan (diperkenankan). Oleh karena itu terimalah perkenan dari Allah itu, karena Allah tidak akan pernah lupa sama sekali.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat (surat Maryam ayat 64): “Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (HR. Al-Hakim). Dalam hadits lain disebutkan,
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kamu menyianyiakannya; dan Dia telah menentukan beberapa batas maka janganlah kamu melanggarnya; dan Dia telah mengharamkan sesuatu, maka janganlah kamu melanggarnya; dan Dia telah mendiamkan sesuatu sebagai rahmat buat kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya.” (HR. Daruquthni) Kaidah ini tidak hanya berlaku pada masalah benda, tapi juga mencakup masalah amal, adat kebiasaan atau mu’amalah yang tidak termasuk urusan ibadah. Artinya seluruh amal, adat kebiasaan atau muamalah—yang tidak termasuk urusan ibadah—itu pada dasarnya mubah; tidak haram dan tidak terikat kecuali apa yang diharamkan dan ditegaskan oleh Pembuat Syariat. Prinsip ini menjadikan manusia bebas berkreasi dan berinovasi terkait praktik-praktik yang menunjang kemashlahatannya di dunia tentu selama tidak ada dalil/ nash yang menjelaskan ketidakbolehannya serta tidak menabrak aturan dan nilai yang telah ditetapkan syariat.
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
3. SUDAH SYARIAHKAH MU’AMALAH KITA?
Yang dijadikan tolok ukur/timbangan benar-tidaknya atau syariah tidaknya suatu transaksi yang dilakukan dalam kerangka ekonomi Islam adalah syariat Islam itu sendiri. Adakah dalil yang menunjukkan keharaman dan keterlarangan dari transaksi yang dilakukan atau tidak. Atau adakah pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma yang telah ditetapkan syariat sebagai guidelines dari sebuah transaksi yang halal atau tidak.
Walaupun demikian pada praktiknya nanti akan terbuka peluang terjadinya perbedaan pendapat mengingat wilayah mu’amalah seringkali merupakan wilayah ijtihadi. Mengingat permasalahan yang terjadi, bentuk transaksi dan ragam cara yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (aktifitas ekonomi) dari satu zaman ke zaman berikutnya bergerak dinamis. Bisa jadi secara bentuk transaksi tidak ditemukan dalil yang khusus kecuali hanya mengaitkannya kepada dalil yang sifatnya umum saja. Oleh karena itu dalam perkara mu’amalah berlaku kaidah ushul Al Ashlu Fil Mua’malati Al Ibahah Hatta Yadullu Ad Daliilu Ala Tahrimiha artinya “Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Adapun transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam, secara umum disebabkan oleh faktor berikut :
A. Haram secara zatnya (objek transaksinya)
Suatu transaksi dinyatakan terlarang dalam islam adalah karena objek transaksi (barang dan/atau jasa)
merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba, bangkai, darah, organ manusia, dll.
B. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya) atau Mengandung Kedzaliman Diantara yang masuk daam kategori ini adalah maysir, ghoror, bai’ almudhtar, ikroh, ghabn, ba’i najash, ihtikar, ghish, tadlis, Talaqqil jalab atau talaqqi rukban, ba’i mulamasah, ba’i ‘inah, ba’i hashat dll
4. RIBA DAN PERMASALAHANNYA DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Jika dalam asfek aqidah kita mengenal dosa syirik yang merupakan pembatal keimanan, dan tercelanya bid’ah dalam asfek ibadah, maka dalam asfek mu’amalah kita mengenal dosa riba yang tak kalah terlaknatnya bagi para pelaku nya. Tak lebih ringan dosanya dari syirik dalam akidah dan bid’ah dalam ibadah. Mari lihat keterangan berikut:
Abu Said Al-Khudri Radiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
“Ketika melaksanakan perjalanan Isra’ aku bertemu dengan orang-orang yang perutnya ada di hadapan mereka. Masing-masing perutnya sebesar rumah yang besar. Perut mereka membuat tubuh mereka miring dan tidak bisa bergerak. Setiap kali hendak berdiri mereka dipaksa miring oleh perut mereka sendiri. Lalu aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah para pemakan harta riba. Mereka tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang senpoyongan karena kerasukan setan.’” Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Pada malam Isra’ aku mendatangi kaum yang perutnya seperti rumah. Di dalamnya terdapat banyak ular yang bisa dilihat dari luar perut mereka. Lalu aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah para pemakan harta riba.’” (Al-Musnad, 2/363 dan Ibnu Majah, 2273) Al-Bukhari meriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Malam ini aku bermimpi melihat dua orang laki-laki yang datang kepadaku kemudian membawaku keluar ke tanah suci. Lalu kami pun berangkat hingga sampai pada sebuah sungai yang berisi darah. Di situ ada seorang laki-laki yang berdiri di tengah-tengah sungai, sementara di tepi sungai ada lakilaki yang lain di depannya ada batu. Kemudian orang yang ada di sungai itu datang, lalu ketika ia hendak keluar (dari sungai), maka orang yang di tepi sungai itu melemparinya dengan batu tepat pada mulutnya, hingga membuatnya kembali ke tempat semula. Jadi setiap kali ia hendak keluar (dari sungai) maka mulutnya selalu dilempar dengan batu, hingga ia kembali seperti semula. Aku bertanya, ‘Apa ini?’ Ia menjawab, ‘Orang yang kau lihat di sungai adalah pemakan riba.’” (Shahih Al-Bukhari, 2085 ) Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu bahwa NabiShallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda,
“Riba ada 73 pintu. Yang paling ringan adalah seperti orang yang berzina dengan ibu kandungnya.” (Sunan Ibnu Majah, 2275, Al-Mustadrak, 2/37 danSyu’abul Iman, 5519) Anas bin Malik berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam pernah berkhutbah di hadapan kami lalu menyebut riba dan menganggapnya sebagai persoalan besar. Dan beliau bersabda,
“Sesungguhnya uang satu dirham yang didapat oleh seseorang dari riba itu lebih besar dosanya di sisi Allah dibanding 28 kali dosa zina yang dilakukan orang tersebut,” (HR. Ibnu Abid Dunya dalamAshShamtu, 175, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5519)
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau bersabda “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598) Melihat betapa beratnya ancaman Alloh terhadap perbuatan riba, dalam hal ini BMT harus berupaya
semaksimal mungkin untuk menjadi sebuah lembaga keuangan syariah yang menerapkan prinsip zero tolerance terhadap riba dalam segala bentuk produk dan layanan yang ditawarkan kepada nasabah. Fatwa VS FAKTA
Shariah compliance (Kepatuhan terhadap syariah) idealnya harus menjadi pijakan dasar bagi lembaga keuangan syariah dalam seluruh tataran operasionalnya. Hal ini ditandai dengan adanya kesesuaian antara fatwa (dalam hal ini FATWA DSN MUI) dan praktik di lapangan. Kesesuaian ini harus secara maksimal dilakukan mengingat bisnis yang dijalankan umat islam bukan hanya orientasi untung rugi
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016
saja tapi SURGA-NERAKA dan juga misi dakwah untuk menyampaikan kepada ummat ini lho mu’amalah syariah itu. Ketika ini tidak terjadi (baca: adanya ketidaksesuaian antara FATWA dan FAKTA) berarti ada yang salah. Ada gap antara teori muamalah islam yang dijabarkan dalam bentuk fatwa dan praktik. Gap ini seringkali yang dikambinghitamkan adalah umat (nasabah belum siap), padahal mungkin saja lembaga keuangan syariah yang tidak ada kemauan (tidak mau repot, ribet dsb) atau terninabobokan dengan sistem yang sudah baku yang memang lebih simpel. Atau berlindung diri di kata “masa transisi”. Sampai kapan transisinya? Bukankah transisi itu temporer. Bukankah lembaga ini (BMT) sudah lahir sejak 1980 atau bank syariah di Indonesia lahir di 1991. Tidak cukupkah waktu 36 tahun untuk masa transisi. Sebagai konsekuensi logis dari pembiaran adanya gap ini tidak beranjak ke tahap ideal, maka tidaklah heran pemahaman umat juga tidak beranjak ke pemahaman yang benar dengan tetap beranggapan LKS sama saja dengan LKK. Padahal sekecil apapun kesalahan yang ditoleransi akibat lanjutnya adalah semakin menjauhkan dan menutup kebenaran. 5. PENUTUP Demikian makalah ini disampaikan semoga bisa memberikan pengetahuan yang mengantarkan kepada kedalaman khazanah Islam seputar mu’amalah. Mudah-mudahan kita secara pribadi maupun lembaga mampu menerapkannya dalam praktik kehidupan. Wallohu a’lam bishowab
Disampaikan pada acara pelatihan dasar KSPPS BMT oleh PUSKOPSYAH BMT Tasikmalaya, 24 Februari 2016