PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
The Spiritual Experience of KH Bisri Mustofa in Manasik Haji Manuscript : A Literary Sociological Review Faiz Karim Fatkhullah Mahasiswa Magister Filologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung—Sumedang km 21 Jatinangor, Telepon: 085224027175, Pos-el:
[email protected] Naskah masuk: 24 April 2013, disetujui: , revisi akhir: 28 November 2013 Abstrak: Di dalam naskah lama tersimpan ide, pemikiran, dan pengalaman penulisnya yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Naskah Tuntunan Ringkas Manasik Haji (TRMH) karya K.H. Bisri Mustofa (KHBM) mengungkap kondisi sosial masyarakat berkaitan dengan pengalaman spiritual haji penulisnya ke Tanah Suci pada masa transportasi kapal laut sebagai kendaraan pilihannya. Penelitian ini bertujuan mengungkap pengalaman spiritual KHBM dalam naskah TRMH. Penelitian ini menggunakan metode penelitian filologi dan sosiologi sastra. Dari hasil penelitian filologi (kritik teks), dihasilkan kesalahan tulis substitusi sebanyak 16 kata, adisi 2 kata, omisi 3 kata, dan transposisi 2 kata atau kalimat. Naskah TRMH adalah potret pengalaman spiritual KHBM dan juga potret pengalaman spiritual haji masyarakat Indonesia pada saat itu. Berdasarkan analisis sosiologi sastra diperoleh lima hasil penelitian tentang pengalaman spiritual KHBM, yaitu pengalaman spiritual 1) saat di kapal laut menuju Tanah Suci, 2) saat berziarah ke makam Rasulullah, 3) saat menyaksikan jemaah bertabaruk (mengharap berkah) berlebihan di Tanah Suci, 4) saat menyaksikan air Sumur Aris yang kering, dan 5) saat salat arba’in (salat empat puluh waktu). Kata kunci: manasik haji, spiritual, ziarah, kapal laut, tabaruk Abstract: In the old manuscripts, ideas, thoughts, and author’s experience are stored. The manuscript of Tuntunan Ringkasan Manasik Haji (TRMH) by Bisri Mustafa (KHBM) reveals social conditions associated with author’s pilgrimage spiritual experiences to the Holy Land author during sea transportation as choice. The present research aims at revealing the KHBM spiritual experiences in TRMH manuscript. In addition, this study also uses philological research method and literary sociology. The results of the research indicate that in philological research (textual criticism) there are substitution errors as many as 16 words, 2 words addition, 3 words omission and two words or sentences transposition. TRMH manuscript is a portrait of a KHBM spiritual experience and also people’s pilgrimage spiritual experience that occurred at that time. Based on the analysis of literary sociology it can be summarized that there are five findings on KHBM spiritual experience: his observation on spiritual experience during on voyage to the Holy Land, during a pilgrimage to the tomb of the Prophet Muhammad, during the pilgrims praying to expect a plentiful blessing(tabarruk) in the Holy Land, during the experience to see the Aris dry well , and during prayer forty time praying (Arba’in) Key words: Hajj rituals, spiritual, pilgrimage, ships, tabarruk
65
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82
1. Pendahuluan Sarana transportasi adalah alat yang sangat penting dalam membantu kelancaran arus barang dan jasa. Dengan alat tersebut perjalanan dapat menjadi mudah dan lebih cepat, tidak hanya masalah perdagangan, tetapi juga termasuk di dalamnya masalah ibadah. Berhaji adalah ibadah yang membutuhkan alat transportasi yang mampu mengangkut jemaah dan barang bawaannya, terlebih bagi jemaah yang secara geografis letaknya jauh dari Kota Suci Mekah. Sejarah mencatat bahwa alat transportasi utama yang pertama bagi umat Islam Indonesia ketika berhaji adalah kapal layar atau perahu layar. Mereka mengarungi lautan yang bergelombang selama berbulan-bulan. Hurgronje (1993:104) menyatakan bahwa mereka sampai ke Jeddah menghabiskan sekira 5— 6 bulan (dipotong 40 hari berlayar dan 25 hari perjalanan berat di Arab Saudi). Bahkan menurut Mursyidi dan Harahap (1984:12—14), ada calon jemaah haji yang memerlukan waktu dua tahun untuk sampai ke Tanah Suci. Pada sebagian masyarakat Indonesia, orang yang baru pulang haji dari Tanah Suci pada umumnya berbagi hal-ihwal pengalaman spiritual haji kepada kerabat yang mengunjunginya. Oleh karena itu, hal tersebut kemudian memunculkan keinginan kerabat dan kaum muslimin pada umumnya untuk pergi berhaji. Mereka pun berusaha menabung, menjual sawah, menjual kendaraan, dan menjual rumah demi untuk berangkat berhaji. Mereka melakukannya dengan harapan dapat beribadah haji atau hanya demi mendapatkan gelar haji tersebut. Dari sekelumit pengalaman tersebut, kiranya keinginan untuk menunaikan rukun Islam yang kelima dan menikmati pengalaman spiritual secara bersama-sama dengan jemaah lain dari berbagai negara merupakan daya tarik tersendiri. Bahkan menurut rumor jika seseorang pernah mengalami sekali ke Tanah Suci, orang 66
tersebut akan ketagihan untuk berziarah kembali. Di lain pihak, ternyata keinginan untuk mengetahui haji dan mengunjungi Kota Suci umat Islam tersebut juga menjadi daya tarik bagi sebagian nonmuslim. Diceritakan sekira 25 orang nonmuslim berusaha dan berhasil ikut berhaji dalam rentang waktu 1503— 1931 (Ali, 1994:92). Menariknya, sepulang dari perjalanannya itu tidak sedikit dari mereka yang menuliskan pengalaman spiritualnya. Dari gambaran tersebut tampaklah bahwa tradisi menuliskan pengalaman spiritual berhaji bagi orang tertentu merupakan suatu hal yang sangat menarik. Hal tersebut menciptakan kesan yang mendalam karena berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang memiliki nilai spiritual atau pengalaman batin. Sebuah naskah menjadi salah satu bukti rekam jejak yang berisi di antaranya pengalaman seseorang pada masa lampau yang ditulis karena ada sesuatu hal yang hendak disampaikan lewat media tersebut kepada generasi setelahnya. K.H. Bisri Mustofa/KHBM (ayahanda Gus Mus) adalah salah seorang yang menuliskan perjalanan spiritualnya itu ke dalam sebuah naskah berjudul Tuntunan Ringkas Manasik Haji (TRMH). Naskah yang ditulis tangan pada tahun 1962 dan menjadi objek penelitian ini berisi rangkaian tata cara ibadah haji sekaligus berisi pengalamanpengalaman spiritual penulisnya pada saat pergi haji tahun 1936 dan 1962. Selain itu, naskah yang diperbanyak melalui mesin stensilan ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Arab. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mudah mengungkap pengalamanpengalaman spiritual KHBM yang terdapat dalam naskah TRMH yang beraksara Arab pegon dan aksara Arab tersebut. Oleh karena itu, naskah TRMH ini perlu diedisi, ditransliterasi, dan diterjemahkan agar masyarakat umum (modern) dapat memahami kandungan naskah tersebut. Penelitian masalah haji adalah penelitian yang boleh dikatakan tidaklah
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
sepi. Artinya, objek penelitian ini mendapat perhatian cukup dari para peneliti di setiap waktu dan tempat yang berbeda. Namun, penelitian yang berbasiskan pada naskah manasik haji belum ditemukan adanya. Ada beberapa penelitian serupa yang membahas tentang haji. Misalnya, penelitian Putuhena yang berjudul Historiografi Haji Indonesia mengkaji masalah haji dari aspek kesejarahan dan sosialnya. Aziz meneliti haji dengan judul Aspek Sosial Budaya Jemaah Haji pada Masyarakat Sunda. Ia meneliti aspek sosial budaya jemaah haji pada komunitas Sunda dalam rangka, di antaranya untuk merekam berbagai pengalaman yang diperoleh jemaah haji asal Sunda secara individu selama mereka melaksanakan prosesi ibadah haji di Mekah. Selain penelitian-penelitian tersebut, masih ada beberapa penelitian tentang haji lainnya. Meskipun sama-sama meneliti tentang objek haji, dari segi metodologi dan substansi penelitian-penelitian tersebut tentunya berbeda dengan penelitian penulis terhadap naskah TRMH. Penelitian pada naskah TRMH ini menggunakan objek primer berupa naskah manasik haji dengan pendekatan filologi (edisi teks). Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap atau mengkaji pengalaman spiritual haji KHBM yang terdapat dalam naskah TRMH. Dengan demikian, penelitian seperti ini belum pernah dilakukan oleh penelitipeneliti sebelumnya. Selain menggunakan metode filologi, untuk mengungkap pengalamanpengalaman spiritual KHBM dalam naskah TRMH ini digunakan pula pendekatan lain, yaitu metode terjemahan dan metode sosiologi sastra. Metode filologi digunakan untuk meneliti teks yang kemudian melahirkan edisi kritik teks. Metode terjemahan digunakan untuk mengalihbahasakan isi naskah dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Adapun metode sosiologi sastra digunakan untuk mengungkap pengalamanpengalaman spiritual yang terkandung dalam teks naskah TRMH.
2. Kajian Teori Sebagaimana telah diulas sebelumnya, penelitian ini menggunakan objek naskah lama. Oleh karena itu, perlu digunakan metode filologi yang meliputi transliterasi dan terjemahan secara memadai pada naskah TRMH. Metode filologi atau yang dikenal pula dengan metode kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang bersih dari kesalahan tulis. Sementara itu, untuk mengkaji pengalaman spiritual haji digunakan pendekatan sosiologi sastra. 2.1 Teori Filologi Dalam kajian filologi terdapat dua metode penyuntingan teks, yaitu metode naskah tunggal dan metode naskah jamak. Metode naskah tunggal dapat diedisi dengan dua metode, yaitu metode standar dan metode diplomatik. Metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam penyuntingan naskah tunggal, namun dengan catatan isi teksnya tidak sakral menurut sudut pandang agama atau sejarah. Adapun metode diplomatik merupakan kebalikan dari metode standar, teksnya dianggap sakral menurut pandangan agama dan sejarah. Dalam penelitian naskah TRMH ini penulis menggunakan metode edisi standar karena naskah ini bukan merupakan naskah sakral atau suci menurut sudut pandang agama dan sejarah. Langkah-langkah penting dalam hal penyuntingan teks dengan metode standar menurut Djamaris (2002:24) adalah sebagai berikut: mentransliterasikan teks, membetulkan kesalahan teks, membuat catatan perbaikan, memberi komentar dan tafsiran, membagi teks dalam beberapa bagian, dan menyusun daftar kosakata yang sulit dipahami (glosarium). Sebelum teks naskah ini digunakan sebagai sumber penelitian, terlebih dahulu dilakukan penelitian filologi terhadap teks. Tujuannya adalah untuk mendapatkan teks yang bersih dari kesalahan-kesalahan tulis. Menurut Reynold dan Wilson (1978:150— 154), kesalahan atau penyimpangan tulis 67
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82
dalam teks yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ada empat macam. 1) Subtitusi adalah gejala salah tulis/salin yang disebabkan oleh salah baca penyalin karena kemiripan bentuk aksara dalam tulisan atau akibat kata-kata yang serupa ejaannya; 2) Omisi adalah gejala salah tulis/salin yang disebabkan oleh kelalaian penyalin berupa hilangnya bunyi huruf atau tidak tercantumnya huruf, suku kata, atau kata pada suatu teks naskah. 3) Adisi adalah gejala penambahan, baik berupa bunyi, huruf, suku kata, kata, maupun kalimat atau pengulangan yang disebabkan oleh kelalaian penyalin. 4) Transposisi adalah perubahan beberapa bentuk aksara yang disalin terbalik atau beberapa kata tertukar dalam urutan yang salah. Setelah diadakan penelusuran dan ditemukan penyimpangan-penyimpangan kecil atau ketidakajegan penulisan, menurut Robson (1994:12-13) agar sebuah teks naskah itu dapat dibaca atau dimengerti, seorang filolog selanjutnya harus berusaha “menyajikan dan menafsirkannya”. Kedua tugas itu mesti selaras dan tidak boleh dipisahkan. 2.2 Teori Terjemahan Masalah terjemahan dalam kajian filologi tidak dapat dipisahkan sebab ia merupakan jembatan untuk memahami pesan dari bahasa teks naskah yang sebelumnya hanya dipahami oleh kalangan tertentu. Menurut Catford (1974:20), terjemahan adalah memindahkan teks dari satu bahasa (bahasa sumber) ke bahasa lain (bahasa sasaran) sesuai padanannya. Berkaitan dengan terjemahan, penulis berpegang pada pendapat Pradotokusumo (1986:269) bahwa terjemahan harfiah dapat mengungkap pesan suatu teks jika teks yang diterjemahkannya itu berbentuk prosa serta bahasa sumber atau bahasa sasarannya masuk dalam satu rumpun yang sama. Berdasarkan alasan tersebut, naskah TRMH dapat diterjemahkan secara harfiah karena selain berbentuk prosa juga bahasa sumber dan sasarannya berasal dari satu rumpun, yaitu rumpun bahasa Melayu. 68
Naskah tersebut bahasa sumbernya berbahasa Jawa dan bahasa sasarannya berbahasa Indonesia). 2.3 Teori Sosiologi Sastra Sosiologi sastra atau sosiosastra merupakan pendekatan sosiologi terhadap karya sastra. Pendekatan ini bergantung pada teori tertentu, tetapi semua pendekatan itu memiliki satu ciri kesamaan, yaitu perhatian terhadap institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat (Damono, 1978 dalam Jabrohim, 2003:159). Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia melalui bahasa. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang secara mendalam melalui proses imajinasi (Aminuddin, 1990:57). Menurut Jabrohim (2003:157), bahan sastra berkaitan dengan masalah yang timbul akibat hubungan seseorang dengan Yang Mahakuasa sebagai perwujudan sikap religiusitasnya. Bahkan, perlu diingat bahwa pada awal mula segala adalah religious (Mangunwijaya, 1982 dalam Jabrohim, 2003:158). Berdasarkan hal tersebut, naskah TRMH selain memuat hubungan sosial antara manusia dan manusia, juga memuat hubungan antara manusia dan Tuhannya. Dalam hal ini konteksnya adalah pelaksanaan ibadah haji. Dengan kata lain, meskipun naskah TRMH merupakan naskah keagamaan (fiqih), tetapi di dalamnya termuat unsur-unsur yang tak kalah menariknya dari sebuah karya sastra yang lahir karena kepekaan pengarang terhadap kondisi sosial keagamaan masyarakatnya. Hal tersebut diamini oleh pendapat Putuhena yang menyatakan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang sangat complicated dengan masalah sosial. Artinya, seorang calon haji selain harus mempersiapkan
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
dirinya sendiri, ia juga membutuhkan pihak lain agar keberangkatannya ke Tanah Suci dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan yang ia harapkan. Seorang calon haji membutuhkan banyak dukungan, baik dari segi sosial, politik maupun budaya. Dari segi sosial, seorang calon haji membutuhkan banyak dukungan dari masyarakat, misalnya dukungan berupa doa, acara walimat al-safar, atau ritual pada saat keberangkatannya ke tanah suci (2007:v-vi). Berlandaskan pada hal tersebut, sangat tepat jika penelitian naskah TRMH ini menggunakan soisiologi sastra.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Identifikasi Naskah TRMH Secara umum kondisi fisik naskah TRMH masih cukup baik. Namun, beberapa halamannya sudah mulai lepas dan sobek. Kertas naskah TRMH berwarna kuning kecokelatan dengan ukuran lebar 14,2 cm dan panjangnya 18,5 cm. Ruang tulisan naskah ini pada tiap halamannya memuat tulisan yang senantiasa diberi garis dua sejajar yang membentuk segi panjang dengan ukuran lebar 11 cm dan panjang 15,6 cm. Adapun ukuran aksara teks bervariasi. Pada judul dan halaman 3 ukuran aksara teks sekitar 1,5 cm. Akan tetapi, pada umumnya ukuran huruf (font) teks di setiap halamannya sekitar 0,5 cm. Naskah TRMH memiliki 70 halaman berisi teks dan 9 halaman kosong. Tebal atau jumlah halaman naskah ini 79 halaman. Dalam naskah ini penomoran halaman dimulai dari halaman pertama (judul). Nomor tersebut ditulis dengan menggunakan angka Arab. Naskah TRMH ditulis dengan huruf (font) yang relatif besar sehingga secara umum dalam setiap halaman jumlah tulisan perbarisnya berkisar antara 12-15 baris. Aksara naskah TRMH adalah Arab pegon dan aksara Arab. Naskah ini ditulis dengan tinta hitam dengan model tulisan jenis kaligrafi naskah. Naskah TRMH disalin dengan menggunakan jasa orang lain (santri atau pihak penerbit). Orang yang menyalin
bernama Mukhtar Sya’rani. Secara umum naskah TRMH menggunakaan bahasa Jawa. Namun, di dalam naskah ini juga terdapat kata-kata (bahasa) yang berasal dari bahasa Arab dan Indonesia atau Melayu. Hal ini diyakini dari keilmuan penulisnya yang memiliki kemampuan berbahasa selain bahasa ibunya (polyglot). Bahasa Arab dalam naskah tersebut digunakan untuk menulis hadis, doa-doa, dan ungkapan atau istilah yang umum berasal dari bahasa Arab, seperti haji, umrah, wukuf, Arafah, dan lain-lain. Naskah TRMH disalin dan dicetak oleh Penerbit Menara Kudus pada Rabi’u As-Sani 1382, bertepatan dengan 31 Agustus 1962. Umur naskah ini lima puluh tahun. Ringkasan Isi Naskah TRMH Isi Hlm. Aturan dan niat Sarana prasarana Bab salat jamak Aturan jamak takhir Aturan jamak takdim Bab salat qasar Aturan salat qasar Syarat-syarat boleh qasar Syarat-syarat jamak takdim Syarat-syarat jamak takhir Menuju Tanah Suci Memasuki Mekah Aturan haji ifrad Aturan haji tamatuk Aturan haji qiran Hal-hal yang diharamkan saat ihram Aktivitas haji Rukun haji Wajib haji Sunah haji Tawaf Wajib-wajib tawaf Penjelasan Sunah-sunah tawaf Sa'i Wajib-wajib sai Sunah-sunah sai Tawaf sunah Salat sunah
4 5 7 7 8 8 9 9 10 11 11 12 13 17 20 21 24 24 25 25 26 30 30 31 31 34 35 36 37
69
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82 Minum air zam-zam Umrah sunah Al-Hajju Arafah Muzdalifah Mina Tawaf wada Tempat-tempat bersejarah Menjaga kesehatan Ziarah ke Madinah Adab di perjalanan Tiba di kota Madinah Di dalam Masjid Nabawi Ziarah ke tempat lain
38 38 39 40 41 42 45 48 48 50 50 51 56
Al-Baqi Masjid Quba Sumur Aris Jabal Uhud Perhatian Masjid Qiblatain Al-Khandaq Salat Arbain Raudah Syarifah Ziarah Wada dan menitipkan syahadat Barang yang perlu dibawa Nasihat-nasihat penting
3.2 Hasil Penelitian Naskah TRMH Berdasarkan Kajian Filologi Berdasarkan kajian teori filologi (kritik teks), diperoleh hasil penelitian sebagai berikut. 1. Substitusi, ditemukan 16 (enam belas) kesalahan berupa substitusi huruf. Substitusi Huruf atau Suku Kata
2. Adisi, ditemukan 2 (dua) bentuk kesalahan. Adisi Huruf
3. Omisi, ditemukan 3 (tiga) bentuk kesalahan. Omisi Suku Kata
70
56 57 57 58 59 60 61 62 63 64 66
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
4. Transposisi, ditemukan sebanyak 2 (dua) kesalahan kata atau kalimat. Transposisi Suku Kata dan Kata
3.3 Hasil Penelitian Naskah TRMH Berdasarkan Kajian Sosiologi Sastra Berdasarkan hasil kajian pengalaman spiritual haji yang ditinjau dari sosiologi sastra, didapat lima pengalaman besar sebagai berikut: 1) pengalaman spiritual saat di kapal laut menuju Tanah Suci; 2) pengalaman spiritual saat berziarah ke makam Rasulullah; 3) pengalaman spiritual saat menyaksikan jemaah bertabaruk (mengharap berkah) berlebihan; 4) pengalaman spiritual saat menyaksikan air Sumur Aris yang kering; 5) pengalaman spiritual saat salat arba’in (salat empat puluh waktu). Titik perjalanan spiritual seseorang yang hendak berangkat ke Tanah Suci sebenarnya sudah dimulai sejak ia dinyatakan oleh pihak berwenang, dalam hal ini Kementerian Agama, untuk dapat naik haji pada tahun tersebut. Sejak saat itulah pengalaman spiritual calon haji mulai terasah. Ia mulai menghadiri latihan manasik haji, mengikuti pengajian-pengajian, menghadiri majelis taklim, mempelajari buku-buku haji, dan sebagainya. Dengan demikian, apabila diperinci perjalanan spiritual calon haji itu relatif panjang, mulai dari tanah air, di Tanah Suci, sampai pulang kembali ke rumah. Mengingat demikian banyaknya pengalaman spiritual calon haji tersebut, tulisan ini dibatasi pada pengalaman spiritual KHBM yang terdapat dalam naskah TRMH. Adapun yang dimaksud pengalaman spiritual dalam tulisan ini adalah setiap pengalaman yang bersifat spiritual yang terjadi ketika KHBM melakukan perjalanan suci ke Baitullâh. Pengalaman spiritual dibedakan penggunaan istilahnya dengan pengalaman ritual. Pengalaman ritual adalah setiap
pengalaman ibadah yang terjadi saat sedang melaksanakan rukun, wajib, sunah, atau hukum lainnya dalam ibadah haji. Pengalaman yang diungkapkan KHBM dalam naskah TRMH-nya ada yang bersifat tersurat dan ada pula yang tersirat. Disebut tersurat jika penulis mengungkapkan katakatanya sendiri dengan menggunakan kata ganti orang pertama (saya atau dalam bahasa Jawa kula, kawula). Adapun disebut tersirat jika penulis mengungkapkan pengalamannya dengan tidak menggunakan kata ganti orang pertama, tetapi diduga penulis melakukan atau mengalami sendiri hal tersebut. Dalam hal ini penulis menggunakan kata ganti orang kedua (Anda atau dalam bahasa Jawa panjenengan). 3.3.1
Berhaji dengan Kapal Laut
Menurut sejarah perjalanan haji Indonesia, pada tahun 1960-an jemaah haji umumnya menggunakan transportasi laut. Pada tahun yang sama, sebenarnya sudah ada pesawat terbang, tepatnya sejak tahun 1952. Pada saat itu pesawat terbang yang mengangkut haji sudah ada, hanya saja masalah ongkos yang terlalu mahal dibandingkan kapal laut membuat jemaah haji sebagian besar memilih kapal laut daripada pesawat terbang. Baru kemudian sejak tahun 1979an kapal laut tidak diminati lagi sebagi sarana angkutan jemaah haji. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, di antaranya faktor kenyamanan dan ongkos antara kapal laut dan pesawat terbang sudah tidak berbeda jauh. Salah satu pengalaman yang unik bagi sebagian masyarakat yang berhaji tahun 60an atau sebelum tahun tersebut adalah tatkala mengenang sebuah peristiwa perjalanan sucinya menuju Baitullâh dengan 71
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82
menggunakan alat transportasi kapal laut. Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu relatif lama sehingga kesan-kesannya masih terus membekas di hati. Tidak jarang kebersamaan di dalam kapal ini menjadi ajang untuk menjalin persahabatan, bahkan dijadikan ajang untuk menjodohkan sanak famili. Waktu empat bulan di atas kapal pun tidak sedikit digunakan untuk belajar mengaji dan lomba mengaji oleh para jemaah. Selain itu, hal yang lebih mengesankan para jemaah ketika naik kapal laut adalah pada saat kapal melewati wilayah Srilanka yang terkenal dengan ombak besarnya. Banyak dari para jemaah yang panik dan ketakutan. Pengalaman tersebut adalah sebagian kenangan mengesankan dari para jemaah yang berhaji menggunakan alat transportasi laut. Meskipun berbeda cerita, pengalamanpengalaman demikian ditemukan pula dalam naskah TRMH. Dalam naskah ini KHBM menceritakan kondisi kapal yang dipenuhi ribuan orang yang membuat suasana seperti pasar terapung, dipenuhi orang dari berbagai macam suku. Kondisi demikian terkadang membuat suasana tidak tenteram, gaduh, dan ribut. Bahkan, ada kalanya terjadi pertikaian di antara jemaah. Oleh karena itu, menjaga bicara dan sikap menjadi kewajiban setiap jemaah. Berikut pernyataan KHBM dalam naskah tersebut. Awit ing kapal menika kathah cobi-cobinipun. Kadang-kadang perkawis alit kemawon saged dados sebabipun tukar padu ingkang ngumbera-umbera. Panjènèngan kedah ngathah-ngathahhaken pinyuwun dhateng Allah Ta’âlâ; mugi-mugi keparingan wilujeng lan hasil maksud. Mulai di dalam kapal, banyak sekali cobaannya. Kadang-kadang masalah kecil dapat menjadi sebab pertengkaran besar. Anda harus banyak-banyak minta kepada Allah, mudah-mudahan diberi keselamatan dan maksudnya tercapai.
Dari teks tersebut dijelaskan bahwa terkadang masalah kecil bisa menjadi besar, bahkan mungkin dapat berujung pada 72
konflik. Meskipun mereka memiliki niat yang sama mau beribadah haji, tetapi tidak sedikit di tengah perjalanan mereka harus menghadapi cobaan-cobaan. Cobaan itu tidak hanya muncul dari luar, tetapi bisa juga muncul dari saudara mereka sendiri. Salah satu cara untuk menghindari terjadinya kondisi yang tidak diinginkan oleh jemaah, menurut KHBM jemaah harus menjaga diri dan banyak berdoa serta tidak mengumbar kata-kata yang menyinggung atau kata-kata kotor yang membuat orang lain terpancing. Inilah tantangan dan cobaan yang harus dialami oleh jemaah yang menggunakan kapal laut sebagai moda transportasinya menuju ke Mekah AlMukarramah. Berkaitan dengan perbekalan yang dibawa jemaah selama di kapal dan di Tanah Suci, barang-barang yang dibawa sangat sederhana jika dibandingkan dengan sekarang. Saat itu, berat barang bawaan jemaah tidak dibatasi, baik berupa pakaian maupun koper besar untuk tempat makanan. Tidak jarang koper itu diisi dengan barang-barang yang bisa dijual di Tanah Suci. Hal ini diceritakan oleh KHBM yang koper besarnya ia isi dengan 20 lembar sarung (1 kodi) dan 40 pasang sandal jepit (2 kodi). Kopernya ini berukuran panjang 1 m, lebar 70 cm, dan tinggi 80 cm. Sekelumit penggalan pengalaman KHBM tersebut menunjukkan bahwa pada saat itu para jemaah haji selain berniat beribadah, mereka juga menyelinginya dengan berdagang (bisnis). Hal tersebut dapat dimaklumi karena ongkos selama di perjalanan dan di Tanah Suci yang waktunya lama memerlukan biaya tak sedikit. Oleh karena itu, pantas saja para jemaah berusaha menambah uang perbekalannya. Mereka sengaja membawa barang-barang dari daerahnya untuk dijual kepada penduduk di Tanah Suci atau kepada sesama calon haji yang datang dari berbagai negara. Berbeda dengan cerita pribadinya, dalam naskah TRMH KHBM justru tidak menyinggung barang bawaan yang banyak untuk dijual di Tanah Suci. Sebaliknya, ia
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
menyarankan agar membawa barang yang ringan yang dapat diangkut sendiri. Menawi badhé mbektho sangu ubarampé menika boten perlu kathah- kathah, lan miliha sarwa enteng. Koper lan keranjang menika ugi ingkang sakintén sagèd dipun cangking piyambèk. Ngantos dumugi nipun obat-obatan menika unyi boten ngastho kathah-kathah, awit wontén ing kapal lan wontén ing Sa’udi ‘Arabiyah, kitho tansah dipunsarèngi rombongan kesehatan. Perabot-perabot dhahar lan wadhah-wadhah toya, menawi boten ing kelas kèdah ambektho sa’kedar nanging menawi wontèn ing kelas sampun boten perlu malih. Jika membawa bekal barang-barang itu tidak perlu banyak-banyak. Pilihlah yang serba ringan. Koper dan keranjang juga yang sekiranya dapat dibawa sendiri. Obat-obatan juga tidak perlu membawa banyak-banyak. Sebab sejak ada di kapal dan di Saudi Arabia, kita sudah disertai rombongan kesehatan. Alat-alat makan dan tempat minum, jika tidak ada di kelas sebaiknya dibawa alakadarnya saja.
Dari keterangan teks tersebut, jelas bahwa KHBM menyarankan untuk membawa barang bawaan seperlunya saja. Tentunya saran tersebut ditujukan kepada calon haji yang benar-benar berniat haji tanpa diselingi dengan usaha dagang. Pada teks lain, KHBM memaparkan barang yang disarankan untuk dibawa saat itu adalah koper kulit dan keranjang cangkingan. Koper kulit untuk tempat pakaian dan keranjang cagkingan untuk tempat perbekalan berupa peralatan atau makanan dan minuman. Koper kulit kanggo wadhah sandhangan. Sampun kesupén panjènèngan sèrat nami lan alamat panjènèngan ingkang terang. Keranjang cangkingan ingkang agèng menika kangge wadhah perabot dhahar; piring seng, gelas seng, sendhok, cérét, wadhah toya lan sanés- sanésipun. Ingkang alit kangge wadhah dhaharan keringan sallallâhu ‘alaihi wa sallam atawis; sambel-sambel lan obatobatan ingkang perlu.
Koper kulit untuk tempat pakaian. Jangan lupa di atasnya ditulis nama dan alamat yang jelas. Keranjang cangkingan yang besar untuk peralatan makan seperti: piring seng, gelas seng, sendok, ceret, tempat air, dan lain-lain. Keranjang kecil untuk tempat makanan kering seperti sambal-sambalan dan obat-obatan yang diperlukan.
Kesederhanaan barang-barang yang harus dibawa jemaah sangat tampak. Peralatan yang umum dibawa jemaah saat itu merupakan peralatan yang serba terbuat dari bahan seng seperti piring dan gelas. Sementara perbekalan makanan yang dibawa pun tidak bermacam-macam hanya sambal-sambalan yang tahan untuk beberapa minggu atau bulan saja. Inilah keterangan yang didapat dari teks naskah TRMH. Jika barang bawaan calon haji dalam TRMH dibandingkan dengan bawaan sekarang tentu sangat jauh perbedaannya. Untuk masa kini perbekalan itu sudah melibatkan peralatan digital yang perlu dibawa pula oleh calon haji seperti kamera, ponsel, dan lain-lain. Berikut sebagian barang yang dibawa oleh seorang calon haji masa kini. 1) Tas besar (koper, bagasi yang berkapasitas 32 kilogram) yang berisi 34 kain ihram dan mukena, pakaian sehari; bahan makanan (beras, mi instan, minuman bubuk, dan rendang kering); perlengkapan lain (senter, gantungan baju, tali rapia, deterjen, dan lain-lain). 2) Tas tenteng (kabin, berkapasitas 10 kilogram) yang berisi obat-obatan, pakaian ganti, alat elektronik (kamera, ponsel, charger, dan lain-lain), sajadah, makanan ringan, peralatan mandi, dan lain-lain. 3) Tas paspor yang berisi paspor, bukti pelunasan BPIH, buku kesehatan, buku doa dan panduan manasik, dan obatobatan harian.
73
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82
3.3.2 Ziarah ke Pemakaman dan Tempat Bersejarah Ziarah ke pemakaman para syuhada atau tempat-tempat suci dalam ibadah haji bukanlah termasuk ritual pokok. Ia merupakan aktivitas yang dianjurkan (disunahkan), misalnya menziarahi Masjid Nabawi dan makam Rasulullah beserta para sahabatnya. Selain dapat menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) kepada rasul, ziarah juga dapat menambah wawasan pengetahuan tentang tempat-tempat perjuangan yang pernah dialami oleh Rasulullah bersama para sahabatnya (yang selama ini para peziarah tahu hanya dari cerita dan baca dari buku-buku). Ziarah dalam sejarah Islam pada mulanya tidak diperkenankan. Hal itu terkait dengan kondisi umat Islam yang secara mental kondisinya belum siap untuk berubah dari tradisi lama. Saat itu, orang yang ketika berada di depan makam orang yang dicintainya selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak syar’i. Mereka meronta-ronta menangis di depan makam, meminta-minta kepada si mayit, atau bahkan memuja-mujanya. Baru kemudian setelah keimanan umat Islam cukup kuat, Islam memperbolehkan seseorang untuk berziarah kubur. Itu pun diperintahkan dengan tujuan agar seorang peziarah ingat pada kematian yang niscaya sewaktu-waktu akan menghampirinya sebagaimana mayat yang ia ziarahi. Dengan banyak mengingat mati, diharapkan ia banyak beramal saleh sebagai bekal di alam kubur dan akhiratnya kelak. Rasulullah bersabda dalam hadîs yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadîs No. 3651). Rasulullah sallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.
Menziarahi orang-orang mulia seperti para nabi, wali, atau orang saleh merupakan sebuah tradisi ritual dan spiritual sebagian umat muslim dunia. Hal itu dilakukan karena di setiap negara muslim terdapat tokoh-tokoh spiritual yang memiliki andil besar dalam hal perjuangan untuk agama 74
dan umatnya. Semasa hidupnya orang-orang ini bekerja melanjutkan perjuangan nabi dan para sahabat. Masyarakat setempat menyebut mereka dengan sebutan wali, syekh, sunan, dan sebagainya. Di tanah Jawa dikenal istilah wali sanga, yaitu sembilan orang yang memiliki andil besar dalam mengislamkan khususnya masyarakat Pulau Jawa dan umumnya Nusantara. Kini, makam mereka setiap saat tidak pernah sepi dari para peziarah. Mereka datang tidak hanya dari masyarakat setempat, tetapi juga dari luar daerah, bahkan dari luar negeri dengan tingkatan sosial yang beragam. Mengenai ziarah ini, KHBM mengemukakan dalam teks TRMH dua kelompok yang sama-sama memiliki argumen tentang ziarah ke Madinah. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa berziarah itu hendaknya didahulukan daripada berhaji. Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa berziarah itu sunah, sementara berhaji itu wajib, jadi dahulukan berhaji daripada berziarah. Sebelum zaman revolusi (19451950), bangsa Indonesia diberi pilihan untuk memilih dua pendapat tersebut. Namun setelah masa revolusi, pilihan itu bergantung pada waktu kedatangan jemaah ke Tanah Suci. Jika dari Jedah memiliki banyak waktu luang, jemaah bisa langsung (ziarah) ke Madinah. Dalam naskah TRMH, KHBM termasuk orang yang banyak menziarahi tempattempat suci peninggalan Rasulullah dan pemakaman para syuhada (orang yang mati syahid). Di Mekah, misalnya, beliau menziarahi Jabal Abî Qubais, Jabal Nûr, Gua Nûr, dan pemakaman Ma’lâ. Di Ma’la ini KHBM menziarahi banyak sahabat nabi dan tabi’in. Beliau menceritakannya sebagai berikut. Al-Ma’lâ menika pesarehanipun sayyidatinâ Âminah-ibunipun kanjeng Nabi Muhammad sallallâhu ‘ailaihi wa sallam, ugi Abdi Manâf lan Abdil Muthalib eyang kanjeng Nabi Muhammad sallallâhu ‘alaihi wa sallam lan ulama-ulama ingkang agéng-agéng ugi kathah ingkang kesareakén wonten ing alMa’la ngeriku. Kados Ibnu Hajar, Kiahi
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
Nawawi Banten lan sanes-sanesipun. Menawi dinten Jum’at, kathoh tiyang-tiyang ingkang sami ziyarah. Di Ma’lâ tersebut terdapat makamnya Siti Aminah (ibunya Nabi Muhammad sallallâhu ‘alaihi wa sallam), Siti Khadijah (istri pertamanya Nabi Muhammad sallallâhu ‘alaihi wa sallam), juga Abdi Manaf dan Abdul Muthalib (kakeknya Nabi). Selain itu, ulama-ulama besar juga banyak yang dimakamkan di tempat tersebut, seperti Ibnu Hajar, Kyai Nawawi Banten, dan lain-lainnya. Jika hari Jumat banyak orang yang menziarahi tempat ini.
Dari teks tersebut diketahui bahwa di antara para penghuni pemakaman Ma’lâ itu terdapat makam orang Indonesia kelahiran Banten, yaitu Kyai Nawawi Banten atau yang sering dikenal dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani. Beliau adalah seorang ilmuwan Indonesia yang disegani karena keilmuannya yang mumpuni dan karyanyakaryanya yang banyak dijadikan rujukan oleh para ulama. Dari bait teks tersebut diketahui pula bahwa tradisi berziarah ke pemakaman biasanya banyak dilakukan pada hari Jumat, termasuk di pemakaman Ma’lâ. Adapun puncak pengalaman spiritual yang dialami oleh KHBM dialaminya pada saat berziarah ke makam Rasulullah, seorang yang menjadi nabi penutup dari para nabi dan rasul, sebuah nama yang sering disebut-sebut oleh kaum muslimin di setiap salatnya (tahiyyât). Dalam tradisi keyakinan sebagian orang Islam, jasad para nabi dan orang yang mati syahid tidak busuk atau masih utuh. Bahkan, diyakini pula bahwa mereka itu hidup di alam barzakhiyah—yang tidak diketahui hakikat dan bagaimana kehidupanya kecuali oleh Allah ta’âlâ—dalam keadaan bahagia (Aziz, 1999:83—84). Oleh karena itu, ketika menziarahinya tata kesopanan bertamu atau berziarah harus kita lakukan laksana bertamu kepada mereka ketika masih hidup. Apalagi ketika kita berada di depan makam Rasulullah.
KHBM menceritakan pengalaman spiritualnya tatkala berziarah ke makam Rasulullah. Beliau tidak lupa mandi terlebih dahulu, berwudu, memakai pakaian yang bersih, dan memakai wangi-wangian. Ketika berada di depan makam Rasulullah, beliau tidak berani membuka mata, tidak duduk terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh dari depan makam. Bahkan, selama masih di perjalanan menuju Madinah (tempat Rasullullah dimakamkan) beliau menyarankan agar banyak-banyak membaca salawat, menjaga diri dari hal-hal yang menyalahi syara’ atau ajaran agama, dan senantiasa berniat untuk berziarah ke makam Rasul. Salèbètipun kita wontén ing margi tumuju Madinah badhé ziyarah kanjeng Nabi Muhammad sallallâhu ‘alaihi wa sallam. Peryogi kita ha ngathah-ngathahakén mahos salawat. Lan anjagi sampun ngantos gadhah tuminda’ ingkang boten peryogi menggahing syara’. Lan supados gadhah krentek ingkang sahe. Inggih menika krentek melulu badhé sowan wontén ngersanipun kanjeng Nabi Muhammad sallallâhu ‘alaihi wa sallam. Selama kita berada di jalan menuju Madinah hendak berziarah ke makam Nabi Muhammad sallallâhu ‘alaihi wa sallam, sebaiknya kita memperbanyak membaca salawat. Menjaga jangan sampai punya perilaku yang tidak baik menurut syariat Islam. Supaya memiliki niat yang baik, yaitu niat selalu ingin berada di samping Nabi Muhammad sallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Dari kutipan teks tersebut diketahui semangat spiritual taklîm KHBM. Meskipun Rasulullah sudah meninggal, namun tata cara memuliakan dan menghormati manusia pilihan Allah (habîballâh) itu tidak ubahnya seperti tatkala beliau masih hidup. Pada bait teks yang lain, beliau mengungkapkan rasa hormatnya dengan haru kepada Rasulullah tatkala hendak berpisah meninggalkan makam Nabi terakhir itu dengan ungkapan:
75
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82 Sa’sampunipun mekatén lajeng nilarakén Hadrat ar-Rasûl sarana perasaan alum-kanthi mahos salam lirih ingkang dipunsarengi rahosing manah sedhih jalaran badhé pisahan tebih: As-salâmu ‘alaika yâ Rasûlallâh wa rahmatullâhi wa barakâtuh. Setelah itu, Anda kemudian meninggalkan sisi makam Rasulullah dengan perasaan alum atau layu (seolah berat meninggalkan), sambil membaca salam dengan suara lirih yang disertai perasaan hati sedih karena hendak berpisah jauh: Semoga keselamatan, kasih sayang, dan berkah Allah terlimpah kepadamu wahai utusan Allah.
3.3.3 Pandangan KHBM Tabaruk
terhadap
Mekah merupakan bagian Tanah Suci yang tidak boleh dikotori oleh siapa pun yang menginjakkan kaki di atasnya. Segala ucapan dan tingkah laku manusia harus dijaga terlebih saat musim haji. Apabila seseorang menyinggung atau bahkan berbuat tidak seharusnya, ia akan menanggung segala akibat dan konsekuensinya. Allah seolah-olah memberi peringatan langsung kepada orang yang mengotori tanah yang menjadi kiblat umat Islam ini. Inilah yang membedakan Tanah Suci dengan tanah lainnya. Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (AlBaqarah:125)
Keyakinan tersebut menjadi dasar sebagian jemaah haji Indonesia untuk tidak berbuat apa pun, meskipun ada di antara mereka yang “dizalimi” oleh masyarakat Arab, bahkan oleh jemaah haji lainnya. Berkembang pula anggapan yang menyatakan bahwa apabila ditipu di 76
Mekah, itu merupakan suatu ibadah (Mursyidi dan Harahap, 1984:16). Di lain pihak, anggapan Mekah dan Madinah serta tempat lainnya sebagai tempat suci memunculkan sakralisasi tersendiri bagi sebagian jemaah haji. Tempat tersebut, misalnya adalah daerah sekitar Uhud, Madinah. Pada saat KHBM menunaikan ibadah haji, beliau menyempatkan diri berziarah ke Uhud. Menurutnya di Uhud ini terdapat sebuah tempat pemandian serupa kolam yang airnya sangat bening. Sebagian orang ada yang mengambil berkah tabaruk dengan cara mandi, wudu, dan minum dari air tersebut. Pada saat itu beliau sangat kecewa dan prihatin melihat sekelompok jemaah perempuan Indonesia yang ikut-ikutan mandi bersama-sama dengan jemaah lakilaki hingga aurat di antara mereka terbuka. Tentu saja hal itu merupakan sebuah perbuatan yang amat tidak terpuji bagi kaum perempuan dan juga laki-laki yang seharusnya menjaga diri dari hal-hal yang nista. Beliau mengilustrasikan kelompok jemaah tersebut seperti muda-mudi yang sedang asyik bermandi di pemandian Cilincing, Indonesia. Beliau sudah melakukan teguran dan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, tegurannnya tidak dihiraukan sama sekali. Mungkin hal itu dikarenakan mereka sudah berniat demikian sejak di Tanah Air. Jadi, mereka sangat sulit dinasihati. Ing Uhud. Menika wontén blumbangan ingkang toyanipun nyumber, toyanipun bening lan sahe sanget. Tiyang-tiyang haji ingkang sami wontén ing Uhud sami tabarruk, wontén igkang adus, wudu’ lan ngunju’ toyanipun. Ananging kawula sa’kanca nalika kaleres ziyarah ing ngriku, rumahos nelongsho sanget nyawang kancakanca kitho, Muslimat Indonesia ingkang sami tuminda’ anut-anutan lajeng sami adus sareng-sareng jalér istri wontén ing blumbangan sarana sami ngudis kabika’ auratipun. Kados menawi pemudha-pemudhi sami adus wontén ing pemandhiyan-
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
pemandhiyan Indonesia, ing Cilincing lan sanes-sanesipun. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Kawula sa’konco ugi sampun nyobi amar ma’rûf nahî munkar, nanging sampun boten dipungubris babar pisan. Jalaran mengkin ingkang sami tuminda’ mekatén menika sampun sami pikantu’ welingan sangking griy nipun piyambe’-piyambe’ ingkang surahose: poma-poma ajatan ora, yen ana ing Uhud padaha adus, ngumbah dosho, keben awit nom, lan sanes-sanesipun. Di Uhud terdapat balong yang sumber airnya sangat bening dan sangat bagus. Para jemaah yang berada di Uhud pada tabaruk (mengambil berkah). Ada yang mandi, wudu, dan meminum airnya. Namun, saat saya dan teman-teman kebetulan berziarah ke tempat tersebut, saya merasa sangat prihatin melihat teman-teman kita, muslimah Indonesia yang ikut-ikutan mandi bersama laki-laki di kolam tersebut sambil terbuka auratnya. Persis seperti anak muda-mudi yang sedang sama-sama mandi di pemandian di Indonesia, di Cilincing, dan lainnya. Innâlillâhi wa innâ ilaihi râji’un. Saya dengan teman-teman sudah mencoba untuk amar ma’ruf nahi munkar, tetapi tidak digubris sama sekali. Hal ini mungkin karena yang melakukan itu sudah sama-sama sepakat dari rumahnya masing-masing. Waspadalah terhadap anggapan bahwa di Uhud agar segera mandi untuk mencuci dosa dan agar awet muda serta agar tercapai maksud lainnya.
Tindakan sekelompok jemaah laki-laki dan perempuan tersebut diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan. Selain itu disebabkan pula oleh anggapan yang berkembang bahwa apa saja yang ada di Tanah Suci itu semuanya suci. Mereka menganggap dengan mandi di tempat tersebut dosa-dosa mereka menjadi terhapus
dan awet muda. Namun, anggapan tersebut justru salah dan bertentangan dengan syariat. Apalagi hal tersebut memungkinkan terjadinya percampuran (ikhtilâf) antara lakilaki dan perempuan yang bukan mahram. Pada masyarakat Indonesia, keyakinan tersebut masih banyak berkembang. Di masyarakat Minang, ritual mandi berjemaah antarwarga masyarakat saat menjelang Ramadan pun masih dilestarikan. Dengan mandi di sungai secara berjemaah ini diyakini dapat membersihakan jiwa mereka dalam menghadapai bulan suci Ramadan. Ritual yang disebut mandi balimau ini belakangan banyak dikecam oleh ulama setempat karena selain dapat menjadi ajang maksiat percampuran antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tradisi ini juga tidak ada dalam ajaran Islam. Berkaitan dengan hal tabaruk dengan air dari kolam di Uhud, KHBM memperbolehkan cukup dengan cara wudu, minum, atau mandi asalkan jangan sampai melampaui batas syariat dan menimbulkan keharaman. Hal tersebut diungkapkannya berikut ini. Sarana kitab alit menika kawula ngemutaken dhateng para sederek ingkang sami ziyarah dhateng Uhud sampun ngantos tuminda’ ingkang kawula aturaken ing ngajeng. Bilih panjènèngan badhé tabarruk, cekap sarana ngunju’ toyanipun, utawi wudu, utawi bilih ing weqdal kaleres sepen ingkang sekinten boten nimbulaken keharamanan, mangga menawi badhé siram lil-tabarruk. Melalui kitab ini saya mengingatkan kepada saudara yang ziarah ke Uhud, jangan sampai bertindak seperti yang saya terangkan di atas. Jika Anda hendak tabaruk, cukup meminum airnya saja atau berwudu. Jika saat tersebut kebetulan sepi dan sekiranya tidak menimbulkan keharaman, silakan mau mandi untuk tabaruk juga.
Berkaitan dengan tabaruk atau ngalap berkah (mengambil berkah) terdapat perbedaan pandangan di antara ulama Islam. Dalam naskah TRMH, KHBM termasuk or77
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82
ang yang memperbolehkan tabaruk, asalkan tidak melewati batas agama. Misalnya, sekelompok jemaah laki-laki dan perempuan mandi di kolam Uhud dengan anggapan bisa mencuci dosa mereka. Umumnya, kata berkah sering diartikan dengan ‘bertambahnya kebaikan’ atau ziâdatu al-khair. Jadi, mengharap berkah (tabaruk) berarti menginginkan bertambahnya kebaikan. Berkah pada hakikatnya adalah hanya milik Allah semata ‘at-tahiyyâtu al-mubârakâtu as-salawâtu attayyibâtu lillâhi’. Namun pada realitanya Allah berhak memberikan berkah-Nya itu kepada siapa pun dan apa pun yang Dia kehendaki, baik kepada manusia, hewan, malaikat, tempat, waktu, tumbuhan, makanan, minuman, maupun benda-benda lainnya. Allah memberikan berkah-Nya kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Allah memberikan berkah-Nya kepada Malaikat Jibril. Allah memberikan berkahnya kepada Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsâ, dan sebagainya. Itulah bukti-bukti bahwa Allah memberikan berkah-Nya itu bukan hanya kepada manusia saja, tetapi kepada siapa dan apa yang Dia kehendaki. Golongan yang memperbolehkan tabaruk berkeyakinan bahwa dalilnya ada dalam Al-Qur’an dan Sunah. Tabaruk merupakan tradisi salaf as-sâlih terhadap peninggalan Rasulullah dan keluarganya. Oleh karena itu, tabaruk merupakan sunah qad’iyyah (sunah yang berdasarkan hukum). Misalnya, tabaruknya Nabi Yakub yang mengusapkan baju gamis Nabi Yusuf ke bagian mukanya, atas berkat Allah, melalui baju tersebut penglihatan Nabi Yakub dapat sembuh kembali (Subhan, 1996:207—208). Ibadah haji merupakan ibadah napak tilas perjuangan keluarga Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad atau bahkan nabi-nabi sebelum keduanya. Sudah barang tentu, ritual ini sarat dengan tempat-tempat historis yang diyakini memiliki berkah bagi yang berkunjung dan melakukan ritual di tempat tersebut. Sebut saja ada Kakbah, Hajar Aswad, Air Zam-zam, Gua Hira, Hijir Ismail, Raudah, dan lain-lain. Sudah tentu 78
tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang diberkahi Allah. Segala doa yang dipanjatkan akan terkabulkan. Dalam naskah TRMH, KHBM mengungkapkan ada beberapa tempat yang dianjurkan sebagai tempat bertabaruk: Sumur Aris atau Bi’ru Al-Khâtim, kolam yang berada di Uhud, Masjid Qiblatain, Masjid Abu Bakar, Masjid Al-Fathu, dan Masjid Salman AlFarisi. Di tempat pertama dan kedua, KHBM menganjurkan bertabaruk dengan cara berwudu atau meminum airnya. Sementara di tempat ketiga dan tempat berikutnya, KHBM menganjurkan bertabaruk dengan melakukan salat sunah. 3.3.4 Ketika Sumur Aris Berisi dan Kering Dalam teks TRMH disebutkan bahwa Sumur Aris disebut juga Bi’ru Al-Khâtam yang artinya Sumur Cincin. Dinamakan demikian karena adanya peristiwa jatuhnya cincin Rasulullah ke sumur tersebut. Berdasarkan teks TRMH, memang betul bahwa yang terjatuh adalah cincin Rasulullah. Akan tetapi, cincin tersebut sudah diberikan atau diestafetkan dari masa Rasulullah kepada Abu Bakar kemudian kepada Umar dan selanjutnya kepada Usman. Pada saat dipakai oleh Usmanlah cincin itu jatuh ke Sumur Aris. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya; Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Numair dari ‘Ubaidillah; Demikian juga telah diriwayatkan dari jalur yang lain; Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membuat cincin dari perak. Pada awalnya, cincin itu ada di tangan beliau, setelah itu beralih ke tangan Abu Bakar, lalu berpindah ke tangan Umar, dan terakhir dipakai oleh Utsman, sebelum akhirnya cincin itu terjatuh ke dalam Sumur Aris. Tulisan cincin itu adalah Muhammad Rasulullah.” Ibnu Numair berkata dengan kalimat ‘Hatta waqa’a fi bi’rin’ tanpa tambahan ‘minhu.’ (HR Muslim, 3899)
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
Sumur Aris merupakan salah satu sumur yang sudah ada sejak zaman Rasulullah dan digunakan oleh masyarakat Madinah pada masa itu. Sumur-sumur yang ada pada masa Rasulullah biasanya berfungsi sebagai sumber mata air dan tempat untuk duduk bersantai. Sebagaimana lazimnya sumur seperti di tempat lainnya, pada musim hujan sumur tersebut berisi dan pada saat musim kemarau air sumur menjadi kering. Pada musim haji tahun 1926, KHBM sempat berkunjung ke Sumur Aris ini. Saat itu air dalam sumur tersebut berisi dan banyak jemaah yang memanfaatkan air tersebut. Di antara mereka ada yang minum, wudu, dan sebagainya. Namun, pada tahun 1962 di saat beliau berhaji kembali dan berniat ke tempat tersebut, air sumur itu sedang kering. Sumur Aris menika, ugi dipunwastani Bi’ru Al-Khâtam. Awit ali-alinipun Kanjeng Nabi nata kajegur wontén ing ngriku. Bilih nuju wontén toyanipun, peryogi panjènèngan wudu’ sangking toyanipun Sumur Aris menika, niyat tabarruk. Nalika kawula ziyarah ngriku tahun 1936 M, wontén toyanipun. Nanging nalika kawula ziyarah malih tahun 1962 Mîlâdiyyah, nuju asat ngglethok. Sumur Aris disebut juga Bi’ru Al-Khâtam, ceritanya, yaitu diawali dari kisah cincinnya Rasulullah yang terjatuh dalam sumur tersebut. Jika sumur itu sedang ada airnya, sebaiknya Anda wudu dari air sumur tersebut. Berniatlah tabarrk. Ketika saya ziarah ke situ tahun 1936, saat itu sumur sedang ada airnya, tetapi ketika saya ziarah kembali tahun 1962, sumur tersebut sedang tidak ada airnya sama sekali.
Nilai spiritual dari pengalaman ini adalah keyakinan bahwa apa pun yang merupakan benda peninggalan Rasulullah memiliki berkah atau kebaikan bagi yang meyakininya, termasuk di antaranya Sumur Aris ini yang airnya pernah digunakan oleh Rasulullah dan cincinnya pernah terjatuh ke dalam sumur tersebut. Secara otomatis air
ini memiliki berkah. Cara mengambil berkahnya dapat dengan meminum atau dengan menggunakannya untuk berwudu. 3.3.5 Salât Arba’in (Salat Empat Puluh Waktu) Salât arba’in adalah salat di Masjid Nabawi yang dikerjakan selama delapan hari berturut-turut tanpa terputus satu waktu salat pun. Jadi, jika seseorang selama delapan hari berturut-turut salat wajib lima kali itu berarti setara dengan empat puluh atau dalam bahasa Arab arba’in. Besarnya pahala salat di Masjid Nabawi ini setara dengan seribu kali lipat dibanding dengan salat di masjid lain di seantero dunia ini (keculai Masjidil Haram). Hal ini menjadi salah satu alasan bagi jemaah haji menyempatkan waktunya untuk melakukan salat arba’in ini. Rasulullah bersabda dalam hadîs yang diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Huzaimah dan Hakim: “Salat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama 1000 kali dibanding salat di masjid lainnya kecuali di Masjidil Haram dan salat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 kali salat daripada masjid lainnya.” (HR Ahmad Ibnu Huzaimah dan Hakim)
Meskipun sebagian ulama masih bersilang pendapat mengenai kesahihan hadis ini, tetapi paling tidak semangat untuk salat berjemaah bagai jemaah haji patut diapresiasi. Dengan demikian, hadîs ini mampu membangkitkan semangat orang untuk berjemaah. Jika hadîs ini dinilai daîf, sebagian ulama memperbolehkannya karena sifatnya yang fadhâilu al-a’mâl, yaitu hadîs yang sifatnya menggugah kesadaran seseorang untuk beribadah atau beramal. Harapannya setelah seorang haji pulang ke tanah airnya, semangat untuk salat berjemaah akan terus terbiasakan. Lantas apa alasan jemaah haji lebih mentradisikan salat di Masjid Nabawi? Padahal Masjidil Haram justru lebih besar daripada Masjid Nabawi. Ternyata, salah satu alasannya adalah di Masjid Nabawi terdapat makam Rasulullah dan para
79
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82
sahabatnya. Dengan demikian, suasana spiritual atau suasana batin di Masjid Nabawi lebih terasa khusyuk. Selain itu, suasana yang nyaman dan mendukung lebih dirasakan di Madinah daripada di Masjidil Haram di Mekah. Selain iming-iming pahala, mereka yang mentradisikan salat arba’în diduga kuat termotivasi oleh hadis Nabi yang menyatakan: “Barang siapa salat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali salat yang tidak terputus maka ia akan ditulis terbebas dari neraka, selamat dari siksa, dan terbebas dari sifat munafik.” (HR Ahmad dan Tabrani)
Jemaah haji yang melaksanakan salat arba’in pada hakikatnya adalah mereka sedang belajar atau berusaha menghilangkan sifat yang sering melekat pada diri setiap manusia, yaitu sifat munafik. Sifat tersebut dapat membahayakan diri seseorang karena tidak tampak oleh mata, tetapi bersemayam di dalam hati. Dalam kesempatan haji tahun 1962, KHBM menceritakan pengalamannya ketika melaksankan salat arba’in bersama Zainuri Noor dan teman-temannya. Mereka singgah di Madinah selama delapan hari dari tanggal 17-25 Juni. Berikut petikannya. Kawula lan sedherek Haji Zainuri Nur Kudus lan kanca-kanca sanes, muji ahamdulillâh, Ahad malam Isnain 17 Juni 1962 kinten-kinten jam sewelas waktu Jawa, kawula sedaya dumugi ing Madinah. Lajeng wiwit subuhipun dinten Isnain, Salasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabtu, Ahad, Isnain terus tumerus saged tumut jama’ah wontén ing Madinah ar-Rasûl sallallâhu ‘alaihi wa sallam. Lajeng malem Salasa 25 Juni 1962 kinten-kinten jam sedasho dalu waktu Jawa. Nilarakén kitho Madinah. Saya bersama saudara Haji Zainuri Noor Kudus dan teman-teman, bersyukur kepada Allah, pada Ahad malam Senin 17 Juni 1962, kira-kira pukul 11.00 waktu Jawa, kami sampai di Madinah. Mulai
80
subuh hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Ahad, dan Senin, terusmenerus dapat mengikuti salat berjemaah di Madinah. Pada malam Selasa 25 Juni 1926 kira-kira pukul 22.00 waktu Jawa, kami meninggalkan kota Madinah.
Meskipun jarak yang ditempuh menuju Madinah cukup jauh, KHBM menyempatkan diri untuk menjalankan salat arba’in. Hal ini diduga akibat dorongan dan keyakinan dari hadîs yang ia kemukakan, selain niat untuk berziarah ke makam Rasulullah. Inilah pengalaman spiritual seseorang yang jika ia yakin dengan ibadah itu, seberat apa pun akan ia lakukan, termasuk untuk melaksanakan salat arba’in ini.
4. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumya, simpulan yang didapat dari naskah TRMH karya KHMB yang dikaji dari sisi suntingan teks dan kajian spiritual haji adalah sebagai berikut. 1) Dari hasil analisis suntingan teks, naskah TRMH disalin dengan teliti oleh pihak pertama. Hal tersebut dapat diketahui dari kesalahan tulis yang relatif sedikit, yakni substitusi sebanyak 16 kata, adisi 2 kata, omisi 3 kata, dan transposisi 2 kata atau kalimat. Penyalin diduga merupakan orang yang memahami seluk-beluk teks TRMH. Selain itu, penyalin juga merupakan seorang yang memiliki keterampilan menulis aksara pegon dan aksara Arab yang mumpuni. 2) Kata-kata serapan bahasa Arab yang relatif banyak terdapat dalam naskah ini memunculkan dugaan penulis bahwa kosakata bahasa Arab yang ada sekarang dalam perbendaharaan bahasa Indonesia berawal dari sosok kyai yang kemudian menyebar melalui para santri-santrinya.
FAIZ KARIM FATKHULLAH: PENGALAMAN SPIRITUAL K.H. BISRI MUSTOFA DALAM NASKAH MANASIK HAJI:...
3) Berdasarkan pendekatan sosiologi sastra, diperoleh lima pengalaman spiritual yang bisa ditarik dari naskah TRMH. Pertama, KHBM berhaji menggunakan kapal laut. KHBM menceritakan bahwa di dalam kapal para jemaah harus berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Hal ini dikarenakan kondisi kapal yang mengangkut jemaah sangat penuh sehingga mengakibatkan situasi kurang kondusif. Tidak sedikit kondisi demikian menyebabkan pertengkaran dan perkelahian di antara calon haji. Kedua, KHBM berziarah ke pemakaman dan tempat bersejarah. Dalam pengalaman ini, KHBM menitikberatkan kepada jemaah untuk berziarah ke makam Rasulullah disertai dengan rasa hormat dan kerinduan kepadanya serta khusuk ketika berada di depan makamnya. Ia memperlakukan Rasulullah seolah masih hidup. Ketiga, KHBM menegur sekelompok jemaah. Jemaah perempuan dan laki-laki yang berlebihan dalam bertabaruk
(mengharap berkah) dengan mandi bersama di sebuah kolam di Uhud, mereka tidak mengindahkan syariat dan tidak mendengarkan teguran KHBM. Mereka beranggapan bahwa dengan mandi di tempat itu dosa-dosa mereka dapat terhapus dan menjadi awet muda. Keempat, Sumur Aris ada kalanya berisi penuh air dan ada kalanya kering. KHBM mengungkapkan pengalaman perjalanan spiritualnya pada tahun 1936, saat berziarah ke Sumur Aris ia dapati air sumur itu dipenuhi air. Namun, saat kembali ke Tanah Suci pada tahun 1962 beliau mendapati Sumur Aris tidak ada airnya lagi. Di sumur ini KHBM menganjurkan jemaah bertabaruk dengan wudu dan meminum airnya. Kelima, salat arba’in (salat empat puluh waktu). KHBM mengungkapkan pengalamannya bersama Zainuri Noor yang sempat melaksanakan salat arba’in tanpa melewatkan satu waktu pun. Dengan salat arba’in KHBM berharap dapat dijauhkan dari sifat munafik, dijauhkan dari api neraka, dan lain-lain seperti yang dijelaskan dalam hadîs tentang salat arba’in.
DAFTAR PUSTAKA Ali, A. Mukti. 1996. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Aminuddin. tt. Pengantar Sastra untuk SMA. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Aziz, Abdul. 1999. At-Tahqiq wa Al-Îdhâh li Katsîrin min Masâil Al-Hajj wa Al-‘Umrat wa AzZiyârat ‘ala Dzawi Al-Kitab wa as Sunnat. Thâif: Wuzârat Asy-Syuûni Al-Islâmiyyat wa AlAwqâf wa ad Da’wat wa Al-Irsyâd. Jabrohim. 2003. “Sosiologi Sastra: Beberapa Konsep Pengantar” dalam bunga rampai Metodologi Penelitian Sastra. Ed. Jabrohim. Yogyakarta: PTHanindita Graha Widya. Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: OxfordUniversity. Djamaris, Edwar. 1991. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Pusat dan Pengembangan Bahasa.
Pengembangan, Pembinaan,
Hurgronje, C. Snouck. 1993. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII. Soekarno. Jakarta: INIS.
Terjemahan Soedarso
Mursyidi, Mr. dan Sumuran Harahap. 1984. Lintasan Sejarah Perjalanan Jakarta: Mars.
Haji
Indonesia.
81
METASASTRA, Vol. 6 No. 2, Desember 2013: 65—82
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 1986. Kakawin Gajah Mada: Sebuah Karya Sastra Kakawin Abad ke-20. Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh, dan Hubungan Antarteks. Bandung: Binacipta. Putuhena, Shaleh. 2007. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Reynold & Wilson. 1978. Scribes and Scholars. Oxford: Calender Press. Robson, S.O. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. (Terj. Kentjanawati RUL.
Gunawan). Jakarta:
Subhan, Syaikh Ja’far. 1996. Studi Kritis Faham Wahabi, Tauhid dan Syirik. Muhammad al-Baqir. Bandung: Penerbit Mizan.
Te r j e ma h a n
Internet Ad-Da’îs, ‘Âliyah. 2012. “Cerita Sumur Aris dan Cincin Hilang”. Melaluihttp://www.okaz.com.sa [08/ 06/12]. Alawiyah, Tutty. 2013. “Rektor UIA Mengisahkan Pengalaman Suatu Mukjizat Bersama Suaminya”. Melalui http://www.uia.ac.id. [13/06/2013]. Aziz, Abdul. 1994. “Aspek Sosial Budaya Jemaah Haji pada Masyarakat Sunda”. Melalui http://www. balitbangdiklat.kemenag.go.id.html [24/06/13]. Harian Umum Pelita Persatuan Umat dan Kesatuan Bangsa. 2013. “Mengenang Laut”. Melalui http://www.pelita.or.id/ [13/06/13].
Kembali Haji
Hariyadi, Muhammad. 2012. “Salat Arba’in di Masjid Nabawi”. http://www.Republika Online.htm [18/ 06/13]. Hidayat, Komarudin. 2010. “Haji dari Zaman ke Zaman”. Melalui http://www.uinjkt.ac.id. [06/06/2013]. Mustofa. 2012. “Haji Mustofa Mengenang Perjalanan Haji Kapal Laut”. Melalui http://www. LombokNews.com-Lombok Sumbawa Online [08/05/2013]. Teguh, 2012. “Balimau bukan Ajaran Islam dan Budaya Minang”. http://www.haluanmedia.com’padang’ [18/06/13]. http://www.kabarislam.com. “Salat Arba’in” [18/06/13].
Surat Kabar Nurulliah, Novianti. 2012. “Periksa Daftar Bawaan Jangan Ada yang Tertinggal”. Bandung: Pikiran Rakyat, Minggu 11 Desember 2012.
Software Lidwa Pusaka i-Software – 9 Kitab Imam Hadits. www.lidwapusaka.com http://www.alquran-digital.com
82