PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 93
Pendidikan Anak Pra-Sekolah dalam Perspektif Psikologi M. Syahran Jailani Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstraks: Hari ini banyak lembaga pendidikan mulai prasekolah sampai perguruan tinggi menawarkan konsep pendidikan “plus” dengan berbagai strategi dan metode. Khusus pada anak prasekolah, fasilitas dan beragam estetika lembagalembaga pendidikan memberikan berbagai akses yang bertujuan memberikan kepuasan pada anak didik. Artikel ini melihat lika-liku pendidikan anak prasekolah. Perspektif yang digunakan adalah psikologi. Kata Kunci: Anak usia dini, pendidikan pra-sekolah, perkembangan anak.
Pendahuluan Saat ini semakin banyak TK yang menawarkan keterampilan “plus” dalam penyelenggaraan pendidikannya dengan metode pengajaran yang mereka tawarkan sangat beragam, dan orangtuapun ikut tergiur dengan penawaran itu, sehingga hukum demand dan supply pun berlaku. Kendati mengklaim bertujuan untuk mendidik generasi penerus bangsa, tak pelak unsur bisnispun muncul (Suryobroto, 1994:5-22). Implikasinya, lembaga dan orangtua terlampau mengharapkan dan menargetkan anak-anak agar menguasai kepandaian tertentu, misalnya anak harus pandai membaca, menulis, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
94 M. SYAHRAN JAILANI
berhitung, menggambar dengan bagus, berbahasa asing (Inggris, Arab, dan lain-lain) dengan pengawasan yang sangat ketat, padahal kemampuan anak-anak sangat berbeda. Untuk anak yang kurang mampu akan membuat mereka frustasi dan hilang semangat untuk belajar. Kalaupun anak mampu memenuhi harapan orangtua yang kemudian orangtua menjadi bangga karenanya, maka kebanggaan orangtua itu belum tentu merupakan panggilan hati dan kesenangan anak-anak. Situasi pendidikan seperti inilah yang membuat psikologis anak tidak sehat. Memanfaatkan momen “memberi yang terbaik” untuk anakanak, banyak media bermunculan yang bertemakan pendidikan anak, seperti majalah Bobo, si Kancil, Anakku, Anak Shaleh, Ayah Bunda, juga sering ada program yang menawarkan seminar, ceramah, diskusi atau kursus bagaimana mendidik anak yang efektif melalui media cetak maupun elektronik. Demikian pula perusahaan permainan anakanak ikut berlomba menawarkan produknya karena memahami bahwa orangtua tidak akan menolak permintaan anak, meskipun kadang-kadang alat-alat permainan tersebut kurang mempunyai nilai edukatif. Dari tawaran tersebut agaknya cukup menyadarkan orangtua, terutama pasangan muda di kota, akan pentingnya arti stimulasi dan perhatian orangtua terhadap anak usia dini, sehingga tidak sedikit mereka harus menghabiskan uang, tenaga, dan pikiran demi kualitas anak. Tulisan singkat ini bermaksud untuk meninjau secara psikologis mengenai pendidikan anak pra-sekolah.
Pengertian Anak Pra-Sekolah Sampai abad XVIII masih berkembang anggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk kecil, terutama di Eropa, di mana kondisi ekonomi di sana memungkinkan agar anak tidak terlalu lama tergantung kepada orangtua. Berdasarkan atas anggapan itu maka implikasinya, perlakuan dan harapan orangtua terhadap anak sama dengan perlakuan dan harapan terhadap orang dewasa. Hal ini terlihat misalnya dalam memberi perhatian, memenuhi kebutuhan pokok, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 95
atau menargetkan kepandaian yang sama dari anak kecil dan orang dewasa. Perlakuan dan harapan terhadap anak karena kesalahan mempersepsi perkembangan anak ini akan menimbulkan masalah psikologis di kemudian hari pada perkembangan emosi, sosial, moral, kognisi anak tersebut. Oleh karena itu, anak harus dipandang sebagai individu yang berbeda dengan orang dewasa. Anak bukan orang dewasa kecil karena anak memiliki kemampuan, kekuatan, pengalaman dan penghayatan yang berbeda dengan orang dewasa dalam memandang dunia. Anak memiliki dunia sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Dari sisi paedagogi usia anak terbagi menjadi dua bagian, anak pra-sekolah usia 3-6 tahun dan anak sekolah usia 7-12 tahun (Biechler dan Snowman, 1993:8). Anak usia pra-sekolah umumnya mengikuti program penitipan anak (Day Care) usia 3 bulan sampai 5 tahun, program kelompok bermain (Play Groups) usia 3-4 tahun, dan program Taman Kanak-kanak (Kindergarten). Saat ini, seiring dengan kemajuan emansipasi perempuan, lembaga pendidikan anak pra-sekolah sehari penuh (fullday) menjadi trend di kota besar. Menurut mereka, lembaga penitipan anak seperti ini jauh lebih beruntung daripada anak-anak diasuh oleh pembantu rumah tangga di rumah, selain karena semakin sulitnya mencari tenaga pembantu rumahtangga, juga anak-anak tidak memperoleh pendidikan dari para pembantu yang umumnya kurang melek pendidikan. Mereka rela membayar berapapun demi anak-anak mereka. Namun demikian, perlu mencermati, apakah anak-anak merasa cukup menikmati model pendidikan seperti ini, atau bahkan anak-anak merasa jenuh dan lelah. Apapun model pendidikan, seyogyanya bukan berdasarkan kepentingan orangtua secara sepihak.
Perkembangan Anak Pra-Sekolah Perkembangan Fisik Pada saat anak mencapai usia pra-sekolah (3 – 6 tahun) terdapat ciri Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
96 M. SYAHRAN JAILANI
yang jelas yang membedakan antara usia bayi dan usia anak prasekolah. Perbedaan ini dapat terlihat dalam penampilan, proporsi tubuh, berat dan tinggi badan maupun keterampilan yang mereka kuasai. Pada anak usia pra-sekolah telah tampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi mereka untuk melakukan keterampilan. Semakin usia bertambah, perbandingan bagian tubuh anak akan berubah, sehingga anak memiliki keseimbangan di tungkai bagian bawah. Gerakan anak pra-sekolah lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola seperti: menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai dengan santai, mampu melangkahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki. Terbentuknya tingkah laku ini, memungkinkan anak merespon pelbagai situasi. Pertumbuhan gigi anak pra-sekolah mencapai 20 buah, di mana gigi susu akan tanggal pada akhir usia pra-sekolah dan gigi permanen tidak akan tumbuh sebelum anak berusia 6 tahun. Otot dan sistem tulang akan terus berkembang sejalan dengan usia mereka. Kepala dan otak anak prasekolah telah mencapai ukuran orang dewasa. Demikian pula jaringan saraf mereka berkembang mengikuti pertumbuhan otaknya. Anak pra-sekolah membutuhkan kondisi kondusif untuk berkembang sehingga motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi, kognisi dan moral mereka akan berkembang dengan optimal. Perkembangan Motorik Perkembangan motorik anak merupakan proses memperoleh keterampilan dan pola gerakan yang diperlukan untuk mengendalikan tubuh anak. Ada dua macam keterampilan motorik yaitu keterampilan koordinasi otot halus, dan keterampilan koordinasi otot kasar (Milles dan Browne, 1994:280). Keterampilan koordinasi otot halus biasanya dipergunakan dalam kegiatan motorik di dalam ruangan, sedangkan keterampilan koordinasi otot kasar dilaksanakan di luar ruangan karena mencakup kegiatan gerak seluruh tubuh atau sebagian besar tubuh. Dengan menggunakan bermacam-macam koordinasi Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 97
kelompok otot tertentu, anak dapat belajar untuk merangkak, melempar atau meloncat. Koordinasi keseimbangan, ketangkasan, kelenturan, kekuatan, kecepatan, dan ketahanan merupakan kegiatan motorik kasar. Sedangkan motorik halus merupakan kegiatan yang menggunakan otot halus pada kaki dan tangan. Gerakan ini memerlukan kecepatan, ketepatan, keterampilan menggerakkan, seperti menulis, menggambar, menggunting, melipat atau memainkan piano. Seefell (Verna, 1986:144) menggolongkan keterampilan motorik menjadi tiga bagian sebagai berikut: 1. Keterampilan Lokomotorik terdiri atas: keterampilan berjalan, berlari, melompat, berderap, meluncur, bergulung-gulung, berhenti, mulai berjalan, menjatuhkan diri dan mengelak. 2. Keterampilan Non Lokomotorik, yaitu menggerakkan bagian tubuh dengan posisi diam di tempat seperti: berayun, merentang, berbelok, mengangkat, bergoyang, melengkung, memeluk, menarik dan memutar. 3. Keterampilan memproyeksi dan menerima, menggerakkan dan menangkap benda seperti: menangkap, menarik, menggiring, melempar, menendang, memukul, dan melambung. Keterampilan motorik sebagaimana tersebut di atas memerlukan latihan-latihan. Latihan untuk keterampilan motorik halus misalnya dengan kegiatan menggambar, melipat, menyusun, mengelompokkan, membentuk, melipat atau menggunting. Latihan untuk keterampilan motorik kasar dengan cara menangkap (bola), menendang, meloncat, melempar atau melompat. Perkembangan Bahasa Kemampuan anak memahami bahasa orang lain masih terbatas. Anak pra-sekolah hanya memahami bahasa dari persepsi dirinya sendiri dan akselerasi perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil perkembangan fungsi simbolis. Apabila fungsi simbolis telah berkembang, akan memperluas kemampuan memecahkan persoalan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
98 M. SYAHRAN JAILANI
dengan belajar dari bahasa orang lain. Menurut Welton & Mallon (1981:118), bahasa merupakan bentuk utama dalam mengekspresikan pikiran dan pengetahuan jika anak mengadakan hubungan dengan orang lain. Anak yang sedang tumbuh kembang mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran dan perasaan melalui bahasa dengan kata-kata yang mempunyai makna. Berbahasa menghasilkan bunyi verbal. Kemampuan mendengar dan membuat bunyi verbal merupakan hal utama untuk menghasilkan bicara. Kemampuan bicara anak meningkat melalui pengucapan suku kata yang berbeda-beda yang diucapkan anak secara jelas. Kemampuan bicara ini akan lebih baik lagi bila anak memberi arti kata-kata baru, menggabungkan kata-kata baru, memberikan pernyataan atau pertanyaan. Semua ini merupakan penggabungan proses bicara, kreativitas dan berfikir. Berfikir adalah awal berbahasa, dan berfikir lebih luas dari bahasa. Kendatipun demikian, berfikir tidak tergantung pada bahasa, meskipun bahasa dapat membantu perkembangan berfikir. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak terhadap objek-objek atau hubungan-hubungan dalam lingkungan, memperkenalkan mereka pada perbedaan cara pandang dan menanamkan informasi abstrak. Bahasa adalah salah satu alat dalam berfikir. Hal ini sebagaimana Wertsch (dalam Miller) menjelaskan, Although thinking is not dependent on language, language can aid cognitive development. Language can direct children’s attention to new objects or relationships in the environment, introduce them to conflicting point of view, and impart abstract information that is not easily acquired directly. Language is one of many tools in our cognitive toolkit (Patricia, 1993:53). Menurut Vygotsky (Dworetzky, 1990: 275) ada tiga tahap perkembangan bicara anak yang menentukan tingkat perkembangan berfikir dengan bahasa, yaitu tahap eksternal, egosentris dan internal. Tahap eksternal di mana sumber berfikir anak dalam berbahasa datang luar dirinya, misalnya saat ibunya mengajukan pertanyaan kepada anak, lalu anak berfikir untuk menjawabnya. Tahap egosentris di Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 99
mana pembicaraan orang lain tidak lagi menjadi prasyarat awal terjadinya proses berfikir dan berbahasa. Tahap internal di mana anak menghayati sepenuhnya proses berfikir tanpa ada orang lain yang menuntutnya. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial anak akan berjalan seiring dengan pertambahan usia di mana anak mempunyai kebutuhan untuk bergaul dan berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, yang sebelumnya terbatas dalam tataran lingkungan keluarga. Untuk keperluan pergaulan ini anak membina hubungan dengan orang dewasa, membina hubungan dengan anak lain, membina hubungan dengan kelompok sebaya dan membina diri sebagai individu. Pengenalan anak terhadap lingkungan di luar rumah akan membantu anak yang baru memasuki pendidikan prasekolah untuk lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan kehidupan yang beragam. Lingkungan luar rumah memberi pengalaman kepada anak untuk mengenal aturan-aturan yang berbeda dengan lingkungan rumah, menemukan teman yang tidak memberi perhatian, mengalami sendiri bagaimana harus mengalah kepada orang lain, mengalami sendiri bagaimana harus mengikuti aturan-aturan sosial. Pengalaman berinteraksi di luar rumah merupakan satu tahapan membangun kemampuan menyesuaikan diri. Ketidakmampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, akan menyebabkan anak merasa terganggu mentalnya. Kondisi mental seperti ini sering terwujud dalam tindakan seperti mengompol, menangis, menjerit saat tidur, gelisah, selalu ingin ke belakang, tidak bergairah dan tidak senang berlama-lama berada dalam lingkungan luar rumah. Menyadari akan pentingnya perkembangan sosial anak, maka perlu ada bimbingan dan latihan dari orangtua maupun guru untuk mencapai perkembangan sosial yang sehat. Perkembangan sosial yang yang sehat menurut Karen Horney (Mesta, 1999 : 25-29) terwujud dalam moving toward others, moving againts others dan moving away Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
100 M. SYAHRAN JAILANI
others secara fleksibel dan seimbang. Perkembangan Kreativitas Kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan gagasan baru yang asli dan imaginatif berdasarkan gagasan yang sudah ada. Menurut Gordon & Browne, apabila ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu anak untuk mengembangkan fleksibilitas dan menggunakan imaginasi, kesediaan untuk mengambil resiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar. Cara untuk mengembangkan fleksibilitas adalah dengan perlakuan guru yang tidak otoriter dan memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan pilihan, memberi kepercayaan untuk melakukan pilihan, membangun hubungan yang penuh keterbukaan sehingga anak menyaksikan sendiri sesuatu yang boleh berbeda. Pada mulanya anak biasa tidak ingin terlihat berbeda dengan orang lain karena ia tidak berani menghadapi resiko akibat perbedaan itu. Akan tetapi, apabila guru terus mendorong anak untuk menentukan pilihan yang berbeda dan memberi pengharapan atas perbedaan itu, maka secara berangsur-angsur akan menumbuhkan kreativitas pada anak. Perkembangan Emosi Emosi berfungsi untuk mengkomunikasikan kebutuhan, suasana hati dan perasaan. Melalui ekspresi perasaan, anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, seperti menghormati orang lain, memperoleh hubungan dan memelihara hubungan sosial yang harmonis, serta menenangkan perasaan. Jika perkembangan emosi anak itu baik, mereka akan belajar bagaimana menggunakan kedalaman perasaan dengan tidak mengekspresikan secara berlebihan dan dapat mengikuti perasaan orang lain sehingga menumbuhkan pengertian dan kerja sama dengan orang lain. Masing-masing anak mengekspresikan emosi sesuai dengan suasana hati dan pengaruh lingkungan, terutama pengalaman kelekatan dengan pengasuh (caregiver) dan teman-temannya. Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 101
Oleh karena itu, anak pra-sekolah selayaknya memperoleh bimbingan yang memadai dari guru dan orangtua untuk mengenal dan menerima perasaannya agar mereka belajar menghargai perasaan orang lain. Dalam hal ini teknik orangtua mengasuh (child rearing) dan gaya orangtua mengasuh (parenting style) anak sangat mewarnai perkembangan emosi anak pra-sekolah. Perkembangan Kognitif Kognitif dapat berarti kecerdasan, berfikir dan mengamati, yaitu tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan. Dengan pengertian ini, maka anak yang mampu mengkoordinasikan pelbagai cara berfikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dengan merancang, mengingat dan mencari alternatif bentuk penyelesaian persoalan merupakan tolok ukur perkembangan kognitif. Apabila mengamati cara berfikir dan tingkah laku anak usia ini, maka cara berfikir mereka termasuk semi logis, yaitu setengah masuk akal (pra-logis). Keadaan ini oleh Jean Piaget, seorang ahli psikologi kognitif, sebagai tahap pra-operasional, yaitu suatu tahap di mana proses berfikir anak berpusat pada penguasaan simbol-simbol (misalnya, kata-kata) yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu. Piaget (Patricia, 1993:5356) menjelaskan karakteristik utama anak prasekolah adalah egocentrism, regidity of thought, semilogical reasoning dan limited social cognition. Egosentris pada anak prasekolah tidak berarti mereka mementingkan diri sendiri, tetapi karena mereka tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain, misalnya saat anak berbicara satu sama lain dalam kelompok bermain tetapi di antara mereka tidak terjadi saling berinteraksi dalam topik pembicaraan. Mengenai karakteristik egosentris ini Piaget (dalam Miller) menjelaskan: Egocentrism does not refer to selfishness or arrogance, and Piaget does not use it. In a derogatory way. Rather, the term refers to (a) the incomplete differentiation of the self and the world, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
102 M. SYAHRAN JAILANI including other people, and (b) the tendency to perceive, understand, and interpret the world in terms of the self. One implication is that the child cannot take another person’s perceptual or conceptual perspective.
Karakteristik kedua, regidity of thought yaitu kekakuan berfikir, yakni kecenderungan berfikir hanya pada satu pandangan dan mengabaikan pandangan yang lain (centration), misalnya ketika melihat air di gelas yang tinggi dan gelas yang pendek lebar, meskipun isi air di kedua gelas itu sama, anak tetap akan mengatakan bahwa air di gelas tinggi lebih banyak, karena anak hanya memandang dari satu sisi, yaitu ketinggian gelas dan mengabaikan pada isi yang terkandung dalam kedua gelas yang berbeda tersebut. Centration dan egocentrism merefleksikan ketidak mampuan anak menghadapi beberapa segi dari suatu situasi pada saat yang bersamaan dan menyebabkan pandangan yang bias. Anak pra-sekolah dalam memandang suatu keadaan lebih memfokuskan pada tampilan keadaan (focus on states atau focus on appearance), bukan pada isi atau kenyataan di balik tampilan itu. Anak pra-sekolah berfikir hanya pada keadaan “sebelum” dan “sesudah”, tidak pada proses perubahan dari sebelum dan sesudah melihat tampilan suatu keadaan. Kekakuan berfikir ini karena mereka tidak dapat berfikir dari sisi kebalikannya (irreversible) dari suatu rangkaian kejadian atau perubahan bentuk. Piaget menjelaskan tentang centration dan egocentrism anak prasekolah sebagai berikut: Centration and egocentrism are similar in that they both reflect an inability to deal with several aspects of a situation at the same time and that they both cause a biased view of the world. We also find a regidity, or lack of flexibility, of thought in the tendency to focus on states rather than on the tranformation linking the states, the child thinks about the “before” and “after” states but ignores the process of changing from A to B, children focus on appearance rather than reality. Interest in the appearance reality distinction made a “comeback” within the recent study of children’s concepts about the mind. Perhaps the clearest example of the regidity of thought is its lack of reversibility.
Semilogical Reasoning merupakan cara berfikir anak praMedia Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 103
sekolah yang masih egosentris dan kaku dalam menjelaskan kejadiankejadian alamiah sehari-hari dengan jalan melakukan personifikasi, misalnya bulan mempunyai kaki karena dapat berjalan mengikutinya. Limited Social Cognition yaitu keterbatasan berfikir dalam menangkap peristiwa sosial. Anak pra-sekolah berfikir cenderung bersifat kuantitas dan serba fisik. Mereka belum dapat berfikir pada tataran abstrak yang bersifat kualitas. Piaget membuktikan keterbatasan anak pra-sekolah menangkap peristiwa sosial adalah saat anak mengatakan bahwa si A yang memecahkan 1 lusin gelas ketika sedang membantu ibunya sangat bersalah, daripada si B yang memecahkan 1 buah gelas ketika sedang mencuri minuman ibunya. Dengan perkembangan kognitif anak yang demikian, maka perkembangan moral anak pra-sekolah menurut Kohlberg berada pada pra-konvensional, yaitu suatu tahap yang mengawali untuk terbentuknya perilaku moral. Dengan demikian perkembangan kognitif sangat erat berkaitan dengan perkembangan moral. Perkembangan Moral Anak pra-sekolah menurut Piaget dalam perkembangan kognitifnya berada pada tahap pra-operational, sedangkan menurut Kohlberg dalam perkembangan moralnya berada pada tahap pra-konvensional. Tahap ini mengindikasikan bahwa anak pra-sekolah belum memiliki kesadaran moral karena perkembangan berfikirnya masih sangat terbatas. Kalaulah anak usia ini melakukan aturan-aturan, hal tersebut bukan karena mereka faham bahwa aturan tersebut penting baginya, melainkan karena mereka ingin memperoleh pujian atau menghindari hukuman karena perbuatan tersebut. Moral anak pra-sekolah lebih mendasarkan diri pada prinsip meraih kesenangan (hedonism). Anak pra-sekolah belum dapat menangkap ide yang mendasari mengapa aturan tersebut berlaku bagi dirinya. Semakin anak tersebut berkembang penalarannya, semakin terbukalah pemikirannya untuk menerima norma. Ini berarti terbentuknya moral seiring dengan berkembangnya pola berfikir mereka, karena penalaran moral Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
104 M. SYAHRAN JAILANI
sesorang memacu timbulnya perbuatan moral (Knoers, 1994 : 305309). Dengan mengenal perkembangan anak usia prasekolah baik dari segi fisik, motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi, kognisi dan moral, meskipun dengan paparan yang sangat terbatas dan singkat ini, kiranya dapat berguna untuk mengenal bagaimana pendidikan untuk anak pra-sekolah menurut tinjauan psikologi yang sesuai dengan perkembangan usia mereka.
Sejarah Perkembangan Pendidikan Anak Pra-Sekolah Tahun 1900-an merupakan awal sejarah berdiri pendidikan prasekolah dengan tokoh yang terkenal yaitu Frobel dan Montessori. Maria Montessori adalah seorang dokter dan antropolog perempuan yang pertama. la memiliki pemikiran-pernikiran dan metode-metode pendidikan yang sampai saat ini masih populer di seluruh dunia. Montessori menjadi sangat berminat terhadap pendidikan anak sejak ia bekerja untuk anak-anak terbelakang mental, dan ternyata Montessori dapat menerapkan metode untuk anak-anak terbelakang mental itu kepada anak-anak normal. Minat besar Montessori terwujud dengan mendirikan sekolah, sebagaimana Soemiarti Patmonodewo mengemukakan: Sekolah yang pertama didirikan Montessori di Roma pada tahun 1907 dan dalam waktu singkat sekolah semacam itu berkembang di seluruh dunia. Apabila Frobel terkenal dengan Kindergartennya, Montessori menyebut sekolahnya dengan Casa Dei Bambini. Montessori seperti Frobel memandang, perkembangan anak usia dini sebagai suatu proses yang berkesinambungan. la juga memahami bahwa pendidikan sebagai aktivitas diri, yang mengarah pada pembentukan disiplin pribadi dan kemandirian (Soemiarti, 2000:9-10).
Pendidikan anak model Montessori menurut Soemiarti Patmonodewo berlandaskan pada falsafah yaitu ingatan yang meresap (absorbent mind), lingkungan yang disiapkan (the prepared environment), belajar mengorganisasi sendiri (auto education) dan memperhatikan masa peka anak (sensitive period). Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 105
Absorbent mind adalah prinsip yang penting dalam falsafah Montessori. Ia percaya bahwa bayi telah mampu mengabsorsi stimulus lingkungan secara tidak sadar. Semakin usia bertambah, anak semakin menyadari ingatan yang kemudian mengorganisasikan dan menggeneralisasikan terhadap stimulus lingkungan. Contohnya anak mengenal ibunya meskipun ibu mengenakan pakaian yang berbeda. Atas dasar ini, maka seseorang ketika dewasa dapat mengingat dan menceriterakan peristiwa masa prasekolah karena usia tersebut dianggap masa mulai timbul kesadaran dan mulai dapat mengingat peristiwa. Semakin usia bertambah, semakin sempurna daya mengingat peristiwa-peristiwa masa lalu. Prepare environment adalah mempersiapkan lingkungan pembelajaran misalnya dengan penataan warna dan sarana yang memadai yang menumbuh- kembangkan kreativitas anak. Menurut Montessori anak harus dapat mengenal kekayaan lingkungan. Dengan prinsip ini, misalnya jika anak hanya mengenal alat-alat permainan yang terbuat dari kaleng atau plastik yang tidak pecah, perbuatan itu sangat merugikan jiwa anak, sebab bukankah anak tersebut dapat memperlakukan cangkir kaleng atau plastik itu sekasar-kasarnya tanpa menyadari bahwa perbuatan tersebut kasar. Itulah sebabnya pendidikan model Montessori memerlukan biaya mahal yang biasa diselenggarakan oleh lembaga swasta di perkotaan. Sensitive period adalah masa dalam perkembangan anak, di mana suatu konsep/pengertian tertentu lebih mudah dipelajari oleh anak karena mereka telah memiliki kesiapan (readness). Setiap anak berkembang pada masa yang berbeda. Falsafah dari Montessori ini penting untuk menyelenggarakan pendidikan anak pra-sekolah, sebab keberhasilan anak dalam pendidikan tergantung pada saat mana seorang anak mengalami masa peka dan siap untuk menerima pelbagai penguasaan sebagai harapan orangtua terhadap anak-anak usia ini. Jadi harapan orangtua terhadap pendidikan anak-anak harus menyesuaikan dengan masa kematangan dan kesiapan mereka, bukan malah hanya memenuhi kebanggan orang tua dengan cara memaksakan harapan orang tua. Akibat harapan orang tua yang Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
106 M. SYAHRAN JAILANI
terlampau tinggi untuk anak seusia pra-sekolah, maka anak mungkin akan merasa terbebani oleh harapan orang tua yang terlampau idealis, padahal, anak belum cukup umur dan belum siap untuk memenuhi harapan orang tuanya. Di Indonesia kehadiran pendidikan pra-sekolah terkait dengan sejarah Belanda ketika menjajah negeri ini sebagaimana Patmonodewo mengemukakan: Usaha pendidikan anak pra-sekolah di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1904 pada saat Pemerintah Hindia Belanda membuka kelas persiapan (Voorklas) yang fungsinya menyiapkan anak-anak memasuki HIS (bentuk sekolah rendah di Indonesia pada zaman Belanda). Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh gerakan di lingkungan Perguran Taman siswa, mendirikan Taman Indria, yaitu suatu sarana pendidikan untuk anak pra-sekolah. Bersamaan berdiri Taman Indria, berdiri pula Taman Kanak-kanak dengan nama Bustanul Athfal atau Raudhatul Athfal yang disponsori oleh organisasi-organisasi Islam.
Pada tahun 1950 Departeman Pendidikan dan Kebudayaan mulai ikut mengelola keberadaan pendidikan pra-sekolah dan mulai mengakui bahwa pendidikan pra-sekolah sebagai salah satu komponen dari ssitem Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang Pokk-pokok Pendidikan dan Pengajaran, juncto NO. 12 tahun 1954 tentang dasardasar pendidikan di sekolah berikut ini: Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar di sekolah-sekolah Republik Indonesia. Di TK dan tiga kelas yang terendah di sekolah dasar, bahasa daerah boleh dipergunakan sebagai bahasa pengantar (Pasal 5). Menurut jenisnya, maka pendidikan dan pengajaran dibagi atas : Pendidikan dan Pengajaran TK, Pendidikan dan Pengajaran Rendah, pendidikan dan Pengajaran Menengah, Pendidikan dan Pengajaran Tinggi serta Pendidikan dan Pengajaran Luar Biasa yang diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6). Pendidikan dan Pengajaran TK bermaksud menuntun tumbulmya Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 107 rohani dan jasmani anak-anak sebelum ia masuk sekolah rendah (pasal 7).
Pada tahun 1964 pemerintah mulai menyusun kurikulum TK yang sebelumnya hanya merupakan sebuah Pedoman Bermain seiring dengan berdirinya Sekolah Guru TK (SGTK). Cikal bakal ini berkelanjutan, di mana pemerintah berupaya terus untuk menyempurnakan kurikulum TK tahun 1968, kurikulum TK tahun 1976, kurikulum TK tahun 1984, dan kurikulum TK tahun 1994. Dalam Undang-undang RI No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (2) menyebutkan: Pendidikan prasekolah yang diselenggarakan adalah untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup. Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Pra-sekolah pada Bab I, Pasal 1, ayat (2) menyatakan: Yang dimaksud dengan Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan pra-sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun menjelang memasuki pendidikan dasar. Satuan pendidikan pra-sekolah meliputi Taman Kanak-Kanak, kelompok bermain dan Penitipan Anak. Taman Kanak-Kanak terdapat di jalur pendidikan sekolah, sedangkan kelompok Bermain dan Penitipan anak terdapat di jalur pendidikan luar sekolah.
Kurikulum TK tahun 1994 menjelaskan bahwa pembinaan segi pendidikan anak pada Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan usaha kesejahteraan anak bagi Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Sosial. Lamanya pendidikan di TK adalah satu atau dua tahun sesuai dengan usia anak. Jika suatu TK memilih program satu tahun, TK tersebut dapat menyelenggarakan kelompok A (usia 4-5 tahun) atau kelompok B (usia 5-6 tahun). Jika memilih program dua tahun, maka TK tersebut Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
108 M. SYAHRAN JAILANI
menyelenggarakan program A dan B, masing-masing lamanya satu tahun. Pelaksanaan pendidikan TK yang tercantum dalam kurikulum TK tahun 1994 mencantumkan antara lain : 1. TK adalah salah satu bentuk pendidikan sekolah yang bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, perilaku, pengetahuan, keterampulan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan keluarganya dan untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. 2. Pendidikan TK tidak merupakan persyaratan untuk memasuki Sekolah Dasar 3. Program pendidikan kelompok A dan kelompok B bukan merupakan jenjang yang hsrus diikuti oleh setiap anak didik. 4. Pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip bermain sambil belajar, atau belajar seraya bermain, karena dunia anak adalah dunia bermain. Dengan peraturan pemerintah, perundang-undangan yang berlaku maupun kurikulum yang secara terus menerus disempurnakan, berarti pemerintah menaruh kepedulian yang cukup untuk penyelenggaraan pendidikan anak pra-sekolah dan kiranya setiap lembaga atau pihak yang terkait dan berminat menyelenggarakan pendidikan untuk anak pra-sekolah ini seyogyanya mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tentunya telah memperhatikan pemikiran dan temuan-temuan para pakar di bidang ini. Dalam kenyataan di lapangan masih banyak TK yang berlomba menawarkan program yang menggiurkan orangtua dengan program yang belum tentu sesuai dengan perkembangan anak, bahkan hanya memenuhi kebanggaan orangtua saja. Misalnya TK yang menjanjikan anak-anak didiknya setelah lulus dari pendidikan akan pandai menulis, membaca, berbahasa asing dan pelbagai penguasaan lain yang umumnya menjadi trend zaman seperti bermain komputer, bermain piano, terampil matematika dengan metode kumon, pandai membaca Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 109
al-Qur’an dengan metode Iqra dan sebagainya. Oleh karena itu di akhir tulisan ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana kepandaian baca tulis pada anak usia prasekolah menurut tinjauan psikologi.
Kepandaian Baca-Tulis Anak Pra-Sekolah Meskipun berfikir anak pada usia ini sudah berada pada arah praoperasional di mana anak sudah menguasai simbol-simbol (sign) yang tertangkap melalui bahasa verbal atau kata-kata, tetapi mereka belum dapat belajar berfikir secara kebalikannya dari perspektif orang lain. Itulah yang mengantarkan Piaget pada suatu kesimpulan bahwa masa anak pra-sekolah sebagai persiapan untuk tahapan berikutnya, this period as a time of preparation for the next stage. Sebagai periode persiapan, maka pelbagai macam kegiatan dan bahan pelajaran dalam pendidikan pra-sekolah sifatnya terbatas pada aspek pengenalan dan persiapan, bukan pada hasil yang ditargetkan. Orang tua atau sekolah yang terlampau mengharapkan dan mentargetkan anak-anak agar menguasai kepandaian tertentu, misalnya anak harus pandai membaca, menulis, berhitung, menggambar dengan bagus dengan pengawasan yang sangat ketat, akan membuat anak frustasi dan hilang semangat untuk belajar. Kalaupun anak mampu memenuhi harapan orangtua yang kemudian orangtua menjadi bangga karenanya, maka kebanggaan orangtua tersebut belum tentu merupakan panggilan hati dan kesenangan anakanak. Situasi pendidikan seperti inilah yang membuat psikologis anak tidak sehat. Menyadari akan bahaya psikologis pada anak-anak pra-sekolah, maka kurikulum TK 1994 telah berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan anak pra-sekolah sebagaimana prinsip-prinsip psikologi perkembangan, terutama mengikuti frame teori Piaget. Dalam kaitan ini kurikulum 1994 menyatakan: Taman Kanak-Kanak bukan sekolah. TK merupakan tempat bermain sambil belajar, sedangkan Sekolah Dasar merupakan tempat belajar. Di TK tidak diberikan pelajaran membaca, Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
110 M. SYAHRAN JAILANI menulis, berhitung/ matematika seperti di SD, yang diberikan di TK adalah usaha atau kegiatan persiapan membaca dan menulis serta permulaan berhitung/matematika. Dalam kegiatan ini di TK dibatasi pada usaha meletakkan dasar-dasar kesanggupan membaca, menulis dan berhitung/ matematika. Setelah anak mengikuti program pendidikan TK, anak diharapkan telah memiliki kesanggupan-kesanggupan dan pengetahuan tertentu yang memungkinkan ia dapat mengikuti pelajaran permulaan membaca, menulis dan berhitung/matematika tanpa banyak kesulitan. Kegiatan-kegiatan di atas harus dilakukan dengan menyenangkan, misalnya melalui bernyanyi, bermain, mengucapkan syair, pengenalan menulis,dan berhitung sambil melihat-lihat gambar yang sesuai dengan minat anak.
Menurut Vygotsky (Dworetzky, 1990 : 27), manusia lahir dengan seperangkat fungsi kognitif kasar yaitu kemampuan untuk memperhatikan, mengamati dan mengingat. Dengan kemampuan dasar itu lingkungan tinggal mentranformasi dalam bentuk interaksi atau pengajaran dengan menggunakan bahasa. Pendapat Vygotsky tersebut di atas meskipun memberi peluang optimis untuk pendidikan anak pra-sekolah, namun ia tidak menjelaskan lebih rinci kapan idealnya anak menerima pengajaran baca tulis dengan seperangkat kemampuan kognitif kasar yang diperoleh sejak lahir itu. Oleh karena itu hanya dengan mengandalkan pendapat Vygotsky kiranya sangat lemah untuk melegalisasi kepandaian baca tulis pada pendidikan anak pra-sekolah. Akan tetapi, Montessori (Soemiarti, 2000:10) percaya bahwa sebaiknya membaca diajarkan pada anak sejak dini dan periode yang tepat adalah pada usia 2-6 tahun, karena masa tersebut dianggap sebagai masa sensitif (sensitive period) untuk belajar membaca. Meskipun demikian, Montessori berpesan, “pendidikan seharusnya tidak dibebankan kepada anak. Dengan lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan anak bereaksi secara bebas dan mengembangkan dirinya sendiri dalam garis-garis pikirannya sendiri. Maka harus ada kebebasan dalam lingkungan yang telah dipersiapkan (prepared environment) tersebut untuk pengembangan fisik, mental, dan perkembangan spiritualnya”. Kemungkinan mengajarkan Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 111
membaca untuk anak usia ini juga perlu ditunjang oleh metode yang sesuai dengan perkembangan mereka sebagaimana pendapat Sumadi Suryabroto (1994 : 153), bahwa sebetulnya sangat mungkin anak umur 3 – 4 tahun diajarkan membaca, asal dipakai cara-cara yang tepat serta kriteria dan didaktiknya disesuaikan. Memperhatikan pendapat-pendapat yang berbeda seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa boleh tidaknya pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah seyogyanya dengan memperhatikan kesiapan (readness) anak itu sendiri yang tidak selalu harus seiring dengan usia kalender (cronological ages), akan tetapi lebih terkait dengan usia mental (mental ages). Artinya, anak sudah mencapai kesiapan untuk membaca bukan karena usia mereka sekian tahun, tetapi apakah secara mental anak terlihat siap untuk menerima pengajaran membaca. Dengan demikian, boleh jadi anak secara usia kalender belum saatnya menerima pengajaran membaca, akan betapi secara mental mereka memiliki semangat dan mudah menerima pengajaran membaca. Maka dalam hal kesiapan ini cenderung bersifat individual, sehingga Institusi sekolah tidak boleh menerapkan pengajaran membaca secara klasikal sama rata untuk anak didik di TK. Di samping perlu memperhatikan kesiapan anak, faktor kecerdasan anak juga sangat menentukan terhadap efektifitas pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah, sebab pada anak-anak yang sangat cerdas dalam usia yang sangat muda sering kali mereka “secara main-main” sudah belajar membaca sebelum mereka masuk sekolah,. Kasus semacam ini agaknya yang terjadi pada para sahabat Nabi, di mana pada usia yang sangat muda mereka sudah dapat menghafal sekian ayat al-Qur’an atau sekian jumlah hadits, karena lingkungan saat itu sangat menunjang sehingga anak-anakk dengan usia yang sangat belia mungkin dengan secara tidak sengaja mereka sudah terbiasa belajar baca tulis. Dengan memperhatikan rambu-rambu kesiapan dan kecerdasan anak-anak, maka metode pengajaran membaca untuk anak prasekolah patut menyesuaikan dengan potensi anak yang secara Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
112 M. SYAHRAN JAILANI
individual tentu berbeda. Dalam perspektif inilah pengajaran membaca dapat diselenggarakan di pendidikan anak pra-sekolah bukan untuk memenuhi kebanggaan orangtua atau institusi, tetapi karena sesuai kemampuan dan kemampuan anak. Berdasarkan tinjauan psikologi, kiranya kurikulum TK patut menjadi acuan pendidikan pra-sekolah secara klasikal, karena bimbingan khusus untuk anak-anak yang tergolong cerdas tidak dapat dilakukan secara klasikal, tetapi lebih bersifat individual, dengan tetap memperhatikan aspek bermain, untuk itu, pendidikan prasekolah harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. TK merupakah salah satu bentuk awal pendidikan sekolah. Untuk itu TK perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan. 2. Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang bersifat individual sesuai dengan kebutuhan anak usia pra-sekolah. 3. Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan belajar. 4. Kegiatan belajar di TK adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari. 5. Sifat belajar di TK merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah. 6. Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik (Soemiarti, 2000 : 69-70) Bermain mempunyai makna penting bagi perkembangan anak pra-sekolah. Frank dan Theresa Caplan (Moeslihatoen, 1999 : 25) menjelaskan ada enam belas (16) makna bermain bagi anak yaitu: 1. Bermain membantu pertumbuhan anak. 2. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela 3. Bermain memberi kebebasan anak untuk bertindak. 4. Bermain memberikan dunia khayal yang dapat dikuasai 5. Bermain meletakkan dasar pengembangan bahasa 6. Bermain mempunyai pengaruh yang unik dalam pembentukan hubungan antar pribadi. 7. Bermain memberi kesempatan anak untuk menguasai diri secara fisik. Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 113
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Bermain memperluas minat dan pemusatan perhatian Bermain mempunyai unsur berpetualang di dalamnya. Bermain merupakan cara untuk menyelidiki sesuatu. Bermain merupakan cara, untuk mempelajari peran orang dewasa. Bermain merupakan cara dinamis untuk belajar. Bermain menjernihkan pertimbangan anak. Bermain dapat distruktur secara akademis. Bermain merupakan kekuatan hidup. Bermain merupakan sesuatu yang esensial bagi kelestarian hidup manusia.
Penutup Sebagai penutup tulisan kiranya beberapa hal berikut ini dapat menjadi masukan untuk memahami pendidikan anak pra-sekolah : 1. Pendidikan anak pra-sekolah merupakan persiapan memasuki sekolah dasar agar anak kelak tidak banyak mengalami kesulitan untuk mnyesuaikan diri dengan pelbagai lingkungan yang berbeda dengan lingkungan di rumah. 2. Sebagai persiapan sekolah, maka anak selayaknya tidak mendapat beban yang berlebihan yang hanya memuaskan dan membanggakan orangtua dan pihak institusi secara sepihak, akan tetapi faktor kemampuan anak harus menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan pendidikan pra-sekolah. 3. Anak usia pra-sekolah memiliki ciri-ciri alamiah masa bermain. Maka orang tua perlu memberi kesempatan kepada anak untuk mengenal lingkungan sosial di luar rumah. 4. Suatu saat anak dapat menunjukkan sikap suka atau tidak suka secara silih berganti dalam pendidikannya, maka kepandaian guru sangat penting dalam menerapkan metode yang sesuai dengan perkembangan anak, sehingga, membuat anak selalu merasa ingin hadir di sekolah. 5. Anak mempunyai tahap kematangan, kemampuan berinteraksi Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
114 M. SYAHRAN JAILANI
dan kecerdasan yang berbeda satu dengan lainnya, maka masingmasing anak perlu memperoleh perhatian secara individual.
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012
PENDIDIKAN ANAK PRA-SEKOLAH 115
DAFTAR PUSTAKA BM dan Newman, PR. (1978). Infancy and Childhood. New York : John Wiley & Sons. Biecher, Rf. & Snowman, J. (1993). Psychology Applied to Teaching. Toronto : Houghton Mifflin Company. Dworetzky, John F. (1990) Introduction to Child Development. New York : West Publishing Company. Gordon, Ann Milles and Katheryn Williams Browne. (1985). Beginning and Beyond : Foundations in Early Childhood Education. New York : Delmar Publisher. Hildebrand, Verna. (1986). Introduction to Early Chilhood Education. New York : McMilan Publishing Company. Miller, Patricia H. (1993). Theories of Developmental Psychology. New York : WH. Freeman and Company. Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditono. (1994). Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : UGM Press. Moeslihatoen, Mesta P. (1999). Kesehatan Mental Khususnya Mereka yang Baru Memasuki Pendidikan Pra-sekolah Ditinjau dari Teori Interpersonal Karen Hornye, (Jurnal) Dinamika Pendidikan. Jakarta : UKI. Patmonodewo, Soemiarti. (2000). Pendidikan Anak Pra-Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta. Suryobroto, Sumadi. (1994). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Rake Sarasin. Team. (1994). Kebijaksanaan Pemerintah di bidang Pendidikan TK. Jakarta: Depdikbud. Welton, David & Mallan, John, T. (1981). Children and Their World Strategis for Teaching Social Studies. New Jersey : Houghton Mifflin Company Boston.
Media Akademika, Vol. 27, No. 1, Januari 2012