I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai potensi besar dalam menyediakan daging untuk memenuhi gizi masyarakat dan berperan penting dalam meningkatkan pendapatan masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, dimana pada tahun 2004 tercatat 104.109 ekor, sedangkan tahun 2009 tercatat 89.995 ekor (laporan Dinas Peternakan, 2010). Selain itu kemurnian sapi pesisir ini juga hampir mengalami kepunahan karena sistem perkawinan yang tidak terkontrol melalui Inseminasi Buatan maupun kawin dengan bangsa sapi lain seperti sapi Bali, Ongole dan bangsa sapi lainnya. Sebagai plasma nutfah sapi pesisir perlu dipertahankan kemurniannya untuk sumber daya genetik dan ditingkatkan produktivitasnya. Kesulitan pejantan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktifitas sapi pesisir karena pemeliharaannya masih tradisional dan belum mendapatkan sentuhan teknologi reproduksi, sehingga angka kelahiran dan calving interval menjadi panjang. Pada peternakan rakyat calving interval masih relativ panjang berkisar 16-18 bulan, sedangkan normal calving interval adalah 12 bulan (Hafez, 2000). Untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak perlu diupayakan suatu teknologi reproduksi. Berbagai teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan (IB), in vitro fertilisasi, transfer embrio, sampai dengan teknik
1
intracytoplasmic sperm injection (ICSI) telah berkembang pesat (Foote, 2000) tetapi untuk kondisi Indonesia, IB adalah satu-satunya teknologi reproduksi yang paling aplikatif dan telah memasyakarat secara luas terutama pada ternak sapi. Teknik IB adalah pemasukan atau penyampaian semen ke dalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan alat-alat buatan manusia bukan secara alam. Teknik IB dirasakan banyak memberikan manfaat bagi perkembangan dunia peternakan, diantaranya adalah dapat mengoptimalkan penggunaan pejantanpejantan unggul (Campbell et al., 2003), memperpendek calving interval, mengatasi kendala jarak dan waktu, mencegah penularan penyakit menular, dan menghemat biaya pemeliharaan pejantan. Berhasilnya suatu program kegiatan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak tidak hanya tergantung pada kualitas dan kuantitas semen yang diejakulasikan seekor
pejantan,
tetapi
tergantung
juga
kepada
kesanggupan
untuk
mempertahankan kualitas dan memperbanyak volume semen tersebut untuk beberapa saat lebih lama setelah ejakulasi sehingga lebih banyak betina akseptor yang akan diinseminasi. Usaha untuk mempertahankan kualitas semen dan memperbanyak hasil sebuah ejakulasi dari jantan unggul adalah dengan melakukan pengenceran semen menggunakan beberapa bahan pengencer. Syarat setiap dari bahan pengencer adalah harus dapat menyediakan nutrisi bagi kebutuhan spermatozoa selama dalam penyimpanan, harus memungkinkan sperma dapat bergerak secara progresif, tidak bersifat racun bagi sperma, menjadi penyanggah bagi spermatozoa, dapat
melindungi sperma dari kejutan dingin (cold shock)baik
untuk semen beku maupun semen yang tidak dibekukan (semen cair).
2
Semen cair adalah semen segar yang telah diberi bahan pengencer dan disimpan pada suhu 40‒50 C dan dapat digunakan dalam 3 sampai dengan 4 hari. Prinsip utama pengawetan semen cair adalah menekan metabolisme spermatozoa. Menurut Mc. Kinnon (1999), setiap penurunan suhu 100 C akan menurunkan metabolisme spermatozoa sampai 50%. Dengan menghambat metabolisme spermatozoa, maka akan dapat mempertahankan viabilitasnya beberapa hari sampai saat digunakan untuk IB. Keberhasilan program IB antara lain dipengaruhi oleh kualitas semen khususnya motilitas spermatozoa, kondisi induk yang sedang birahi, dan keterampilan inseminator agar deteksi birahi, thawing dan penanganan semen serta pelaksanaan IB yang tepat waktu. Semen yang akan digunakan untuk IB minimal harus memiliki persentase motilitas spermatozoa setelah thawing sebesar 40%, jumlah spermatozoa motil minimal 12 juta/straw dan persentase spermatozoa yang abnormal maksimal 10% (Toelihere, 1993), dan agar daya tahan semen khususnya spermatozoa tersebut baik selama penyimpanan maka dibutuhkan bahan pengencer karena selain untuk mempertahankan kualitas semen dan memperbanyak hasil sebuah ejakulasi, bahan pengencer merupakan penyedia nutrisi bagi kebutuhan spermatozoa selama dalam penyimpanan, menjadi penyangga bagi spermatozoa, untuk melindungi spermatozoa dari kejutan dingin. Berbagai bahan pengencer sudah diteliti oleh para ahli, diantaranya susu segar, susu skim, tris kuning telur dan sitrat kuning telur
(Vishwanath dan
Shannon, 2000). Beberapa masalah pengenceran dan terutama penyimpanan semen sudah dapat diatasi dengan menempuh jalur pembekuan semen. Namun untuk kegiatan IB pada Sapi Pesisir yang memanfaatkan semen cair karena
3
ketiadaan semen beku Sapi Pesisir di daerah yang telah memiliki jenis pejantan, maka pengenceran dan penyimpanan akan menjadi masalah. Masalah utama adalah bahan pengencer apa yang mudah diperoleh secara lokal, cepat dan murah, namun mampu mempertahankan daya tahan semen cair Sapi Pesisir yang lebih lama. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul “Daya Tahan Semen Cair Sapi Pesisir pada Beberapa Bahan Pengencer yang Disimpan pada Temperatur 40 C dan 270 C”.
1.2 Perumusan Masalah Bagaimana kemampuan berbagai bahan pengencer dan suhu penyimpanan terhadap daya tahan hidup spermatozoa, motilitas, persentase hidup, abnormalitas, dan membran plasma utuh (MPU) spermatozoa Sapi Pesisir.
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui daya tahan semen cair sapi pada berbagai bahan pengencer dan suhu penyimpanan yang berbeda terhadap motilitas, persentase hidup, abnormalitas, daya tahan hidup spermatozoa dan membran plasma utuh spermatozoa Sapi Pesisir.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas spermatozoa sapi pesisir pada berbagai bahan pengencer dan suhu penyimpanan.
4
1.5 Hipotesis Penelitian Bahan pengencer semen dan suhu penyimpanan meningkatkan daya tahan semen sapi pesisir.
5