Penafsiran Maulana Muhammad Ali Terhadap Hal-Hal Gaib, Mukjizat Nabi Serta Peristiwa di Luar Kebiasaan Dalam Alquran Oleh: Nurasiah
Pendahuluan Pemurnian Islam Maulana Muhammad Ali M. Ali yang hidup antara tahun 1874 sampai 1951 ini dilahirkan di kota Murar (Kapurthala), India. Beliau adalah seorang pemikir muslim Ahmadiyah yang mendirikan aliran Ahmadiyah tandingan diberi nama Ahmadiyah Anjuman Isya’at Islam dan berpusat di Lahore. Belum didapati informasi tentang latar belakang keluarga dan riwayat pendidikan beliau, hanya disebutkan bahwa dia menamatkan sekolah tingginya pada jurusan bahasa Inggris (1896) dan hukum (1899) di Lahore. Muhammad Ali dikenal sebagai pemikir Islam yang kontroversial dan telah menyebarkan penafsiran Islam yang sangat rasional di Barat. Misi Muhammad Ali adalah untuk memunculkan Islam yang sejatinya, bukan membawa teologi dan ideologi Islam baru. Muhammad Ali hendak mendakwahkan Islam sebagai agama yang paling benar, murni, rasional, adil, dan baik untuk manusia. Latar belakang yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Ali adalah kepentingan menjelaskan Islam pada masyarakat Barat yang rasional, realistis, dan humanis. Selanjutnya, Muhammad Ali pun menciptakan perangkat hermenetik yang akan mengkemas Islam sebagai agama rasional, realistis, dan humanis. Dalam wacana pemikiran Islam, persepsi rasionalitas dan insaniyah Islam jelas bukan merupakan usulan baru. Begitu juga dengan pendekatan (sejarah) dan metodologi (hermenetik dan verifikasi kitab nabi-nabi sebelumnya) Muhammad Ali. Kelebihan Muhammad Ali adalah dalam memberikan detil contoh-contoh dan aplikasi metode tersebut. Beliau memiliki waktu untuk menguji dan membuktikan ke-realistisan Islam pada semua ayat-ayat yang selama ini dipahami secara gamblang sebagai sebuah keajaiban, yang hal ini secara sengaja atau tidak dalam banyak hal seakan mengejek kesederhanaan atau lebih tepatnya kemalasan intelektualitas masyarakat muslim umunya. Muhammad Ali memancangkan posisinya sebagai seorang pemikir Islam karena beliau secara gigih mengumpulkan semua materi yang menjadi persoalan rasionalitas Islam dari tokoh-tokoh pemikir sebelumnya, dari tasiran-tafsiran agama wahyu 60
sebelumnya dan dari praktek dan pemahaman yang berkembang dalam masyarakat muslim kebanyakan sendiri dan lalu membedahnya dan menjadikannya titik tolak uraian pemikirannya sehingga uraiannya bersifat responsif dan solusif yang membuat tulisannya tidak membosankan untuk dibaca. Ide-Ide Pokok Pemikiran Kalam Muhammad Ali 1. Monoteistik mutlak, ketauhidan Tuhan dan peletakan Tuhan sebagai zat yang Maha Kuasa dan sama sekali berbeda dari makhluknya tetapi tidak terpisah dan adil. 2. Ajaran agama dan shari’ah adalah sesuatu yang mutlak diperlukan manusia untuk mendapatkan tuntutan dan keselamatan. Karenanya keberadaan nabi adalah keharusan dan bukan pencapaian manusia tetapi amanah Tuhan. 3. Agama adalah untuk manusia dan semua ajaran agama dapat dipahami dan semua hukum agama memiliki motif-motif moril. 4. Manusia adalah makhluk Tuhan tetapi merupakan makhluk yang sangat mulia, memiliki kekuasaan penuh sesuai dengan batas ukuran hakikatnya sebagai makhluk (taqdir). 5. Taqdir adalah ukuran konfigurasi seluruh makhluk, jadi merupakan hukum alam dan universal, bukan predestinasi atau pembatasan pilihan dan juga dominasi penilaian baik dan buruk. 6. Alam terdiri dari dua bagian, alam dunia dan akhirat. Keduanya berbeda tetapi tidak terpisah melainkan tersusun sebagai fase dan tahapan. 7. Makhluk juga terdiri dari dua jenis, Materil dan Immateril. Makhluk Immateril tidak dapat berubah menjadi makhluk materi dan manusia tidak mungkin dapat berhubungan secara fisik dengan makhluk im-materi (yang terjadi adalah melalui mimpi atau secara ruhaniyah) Karena dunia ini adalah alam materi dan manusia adalah bagian dari alam maka segala yang terjadi di alam dan pada diri manusia adalah peristiwa materi dan berlaku hukum materi, tidak mungkin terjadi penyimpangan dan di luar hukum malam.
Penafsiran Rasional Terhadap Ayat-Ayat di luar Kebiasaan
I.
Malaikat dan Jin (Religion of Islam, hal. 169-200)
Makhluk Gaib tidak bisa dilihat dengan mata fisik Malaikat dan jin adalah merupakan makhluk gaib. Sebagai makhluk immateri, menurut M. Ali, malaikat dan jin tidak akan bertukar tempat dan alam ataupun berubah-ubah menjadi makhluk materi. Sebagai makhluk immateri, malaikat dan jin tidak dapat dilihat maupun disentuh oleh makhluk manusia dengan mata dan tubuh fisik mereka. Makhluk materi atau manusia dan makhluk immateri yaitu jin dan malaikat menurut M. Ali berada pada ruang dan alam yang berbeda, walaupun memang tidak terpisah dan tidak berjarak. 61
Berbagai interpretasi maupun keterangan hadis-hadis tentang kontak fisik manusia ataupun penjelmaan fisik malaikat dan jin, kata M. Ali, terbantahkan dengan keterangan al-Qur’an misalnya surat 9:26; 33:9; 7:27; 17:94-95. Ayat yang disebutkan terakhir menurut M. Ali adalah penolakan tegas al-Qur’an akan penjelmaan malaikat ke alam dunia untuk menjadi rasul Tuhan seperti yang dituntut oleh penentang nabi, yang menginginkan nabi-nabi mereka berasal dari makhluk yang mulia. Allah mengatakan bahwa malaikat akan menjadi rasul di bumi kalau penghuni bumi adalah malaikat juga. Berikut akan diperlihatkan beberapa contoh bagaimana M. Ali menafsirkan dan memahami ayat-ayat maupun hadis-hadis tentang malaikat yang mendatangi para nabi ataupun jin-jin yang berkomunikasi dan berada di lingkungan manusia. 1* Mengenai tamu nabi Ibrahim dan nabi Luth (QS.11:69-70; 15:51-52; 51:24-25). M. Ali mengatakan bahwa redaksi Rusuluna dalam ayat-ayat ini tidak mutlak berarti malaikat sebab malaikat menyampaikan pesan Tuhan dengan menginformasikannya ke hati manusia (2:97). Bila tamu-tamu itu tidak mengambil makanan yang disuguhkan, hal ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa mereka adalah malaikat, karena bisa jadi mereka tidak menginginkannya atau mereka sedang puasa. Kalaupun yang mendatangi nabi Ibrahim dan nabi Luth itu malaikat, maka nabi-nabi tersebut pasti telah menyaksikannya dengan visi spiritual mereka sebab para nabi selalu menerima wahyu dengan visi spiritual. Kalau nabi-nabi tersebut menyaksikannya dengan mata fisik mereka maka dipastikan bahwa tamu-tamu tersebut bukanlah malaikat. Dan M. Ali lebih meyakini bahwa kedua tamu itu bukanlah malaikat terbukti baik nabi Ibrahim maupun nabi Luth keduanya mendapat wahyu langsung tentang apa yang akan terjadi pada mereka; untuk nabi Luth misalnya Q.S. 15:66. Bukti lainnya, kata M. Ali, adalah bunyi redaksi ayat 55 surat 15 “…Qala basysyarnaka bi al-haqq …”. M. Ali mengartikan kalimat ini dengan “…tamu-tamu itu mengatakan, “Kami memberikan berita gembira ini berdasarkan jalan yang benar (yaitu wahyu Tuhan)…”. Bukan seperti terjemahan kebanyakan, “…Kami menggembirakan kamu dengan sesuatu yang benar…,” seakan-akan tamu itu yang membawa wahyu. Dengan penerjemahan yang pertama berarti tamu-tamu itu sendiri mendapatkan berita itu melalui kesaksian spiritual mereka dan lalu menyampaikannya kepada nabi Ibrahim. 2* Begitu juga dengan malaikat yang mendatangi nabi Muhammad untuk mengajarkan beliau tentang iman dan islam. Hanya ada dua kemungkinan, kata M. Ali. Nabi dan beberapa sahabat terdekatnya memang menyaksikan kedatangan malaikat, dalam hal ini mereka mesti menyaksikannya secara visi spiritual. Kemungkinan kedua, tamu itu bukan malaikat dan dalam hal ini terjadi kesalah-pahaman para sahabat akan ucapan nabi. Menurut M. Ali, nabi tidak tegas menerangkan siapa yang dimaksudkannya sebagai malaikat, apakah orang yang datang memberikan pertanyaan ataukah seseorang yang membisikkan kepadanya jawaban atas 62
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang yang datang tersebut. Dan M. Ali memilih kemungkinan kedua ini dalam memahami hadis tersebut. 3* Adapun hadis-hadis yang menceritakan bahwa istri nabi ‘Umm Salamah atau ‘Aisyah r.a pernah melihat malaikat yang datang kepada nabi, dibantah M. Ali dengan argumen telah terjadi kesalahpahaman terhadap ucapan ‘Umm Salamah, sementara hadis tentang ‘Aisyah yang datang dari Ibn Sa‘ad adalah lemah. ‘Umm Salamah hanya menyatakan dugaannya saja dan tidak mengkorfimasi dugaannya tersebut kepada nabi. Adapun kisah tentang ‘Aisyah terbantahkan dengan pernyataan ‘Aisyah sendiri dihadapan nabi, “…aku tidak melihat malaikat yang dilihat olehmu (nabi)…”. 4* Tentang interpretasi bahwa dalam islam terdapat kisah-kisah mengenai malaikat Harut dan Marut yang memiliki sifat kemanusiaan dan membangkang kepada perintah Allah, dibantah dengan tegas dalam al-Qur’an surat 2:102. 5* Keterangan al-Qur’an tentang ‘jin-jin yang bekerja dan tunduk kepada nabi Sulaiman’ (QS. 34:12-13, 38:37) menurut M. Ali bukanlah merujuk kepada makhluk jin yang gaib melainkan suatu ungkapan metaforis yang ditujukan kepada kelompok tertentu manusia. Pemakaian kata jin kepada manusia memiliki dasarnya dalam bahasa Arab dan ditemukan contohnya dalam literatur-literatur Arab pra Islam, misalnya syair Musa ibn Jabir “Fama nafarat jinni.” Orang Arab juga memakaikan kata jin terhadap orang asing di luar dunia Arab dengan pengertian orang luar tersebut tidak tampak dan tidak mereka kenal. Jadi rombongan yang bekerja mendirikan bangunan-bangunan dan yang menyelam ke dasar laut dalam kisah nabi Sulaiman itu bukanlah makhluk jin—pada ayat selanjutnya dipakai kata syayatin yang menunjuk kepada objek yang sama—dalam arti ‘ruh-ruh’ yang tidak tampak mata, melainkan kelompok masyarakat asing yang ditundukkan nabi Sulaiman ke dalam kekuasaannya dan dijadikannya buruh pekerja dan suruhannya. Lagipula, terdapat ungkapan al-muqarranin fi al-asfad, yang hal ini tidak dibutuhkan kalau untuk mengontrol makhluk immateri. 6* Pengertian yang sama juga diterapkan M. Ali terhadap kata-kata jin dalam QS. 6:131, 17:88, 2:23, 46:29, 46:30, 72:1. Dalam surat 6:131, kata ma‘syar bermakna satu jamaah yang terkait dengan satu urusan. Lalu kata jin dan ins dalam ayat ini digabungkan dan menjadi sandaran dari kata ma‘syar. Artinya, jin dan ins adalah dalam ma‘syar yang satu. Bahwa jin dalam ayat ini adalah manusia menurut M. Ali dikarenakan tidak ada dasar dalam al-Qur’an dan hadis yang menginformasikan adanya rasul dari golongan jin. Kata jin disini mungkin 63
ditujukan kepada masyarakat non-Arab atau kepada pemimpin-pemimpin immoral yang telah menyesatkan banyak orang. Dalam surat 17:88, kata jin di sini harus diasosiasikan dengan 3 ayat lainnya yang isinya sama yaitu tantangan al-Qur’an untuk membuat karya serupa al-Qur’an. Ayat yang menyuruh meminta bantuan kepada ‘jin’ menurut M. Ali adalah tantangan yang pertama kali karena yang paling berat yaitu mencontoh isi kitab al-Qur’an seluruhnya, dan yang ditantang bantuannya pun karenanya adalah orang atau kelompok yang dipandang paling pintar, cerdik dan banyak akal untuk menipu dan mengelabui, yang digambarkan dengan kata ‘jin’. Selanjutnya adalah surat 11:13 yang menantang untuk membuat 10 ayat saja dan berikutnya surat 10:38 dan 2:23 yang meminta bahkan satu ayat saja untuk menirunya. Adapun pada surat 46:29-30, kata jin di sini maksudnya adalah kelompok Yahudi dari Nisibus sesuai kisah dalam hadis dan juga keterangan al-Qur’an dalam ayat berikutnya yang menyebutkan mereka ini suatu kelompok yang mengimani ajaran nabi Musa. Sementara kata jin dalam surat 72:1 adalah menerangkan orang-orang kristen, sesuai ungkapan ayat berikutnya tentang kepercayaan mereka akan doktrin anak Tuhan (72:3-4). Lagipula, penyandingan kata rijal dalam ayat berikutnya memastikan bahwa sebutan jin di sini adalah golongan manusia juga karena kata rijal adalah sebutan jender untuk makhluk manusia. Akhirnya, semua upaya penafsiran M. Ali tentang kata-kata ‘jin’ dalam ayatayat di atas—yang secara tradisional ditafsirkan sebagai makhluk gaib yang bisa mendengarkan al-Qur’an, memiliki rasul dan tunduk kepada nabi Sulaiman—selain untuk mengargumentasikan bahwa makhluk immateri tidak bisa dipersepsi secara fisik juga untuk membuktikan keyakinan beliau bahwa makhluk jin tidak ada yang beriman dan baik. Semua jin adalah jahat dan merupakan asal dari kelompok iblis atau syaitan.
Malaikat dan Jin Berbeda secara Asal, Hakikat dan Fungsi. Walaupun keduanya sama-sama merupakan makhluk immateri, malaikat dan jin berbeda secara asal, hakikat dan fungsi. Malaikat berasal dari nur (Hadis ‘Aisyah) sedangkan jin dari nar (QS. 15:27, 55:15). Begitu juga iblis diciptakan dari api (7:12). Dari segi asal penciptaannya dan dari segi karakter, hakikat keberadaan serta fungsinya, iblis bukan bagian dari kelompok malaikat melainkan berasal dan satu golongan dengan jin. Adapun redaksi al-Qur’an yang menerangkan iblis tidak tunduk ketika Allah memerintahkan malaikat untuk memberi hormat kepada Adam (QS. 2:34, 15:30-31) menurut M. Ali bukan pengecualian iblis dari golongan malaikat karena kata illa dalam ayat ini mengindikasikan istisna munqati’ yaitu yang dikecualikan bukan bahagian atau satu golongan dengan pengecualinya. Contoh lainnya; Ja’a al-Qaum illa himaran. Lantas kenapa iblis dimunculkan dan dikaitkan dalam konteks perintah kepada malaikat ? Menjawab argumentasi ini, M. Ali mengatakan bahwa perintah 64
tersebut kenyataannya bukan hanya ditujukan kepada malaikat tetapi mencakup kepada semua ciptaan. Perintah kepada makhluk yang lebih tinggi untuk tunduk otomatis termasuk atau malah lebih dipaksakan lagi kepada makhluk yang lebih rendah. Bahwa suruhan tunduk ini juga mencakup kepada iblis diperlihatkan dengan jelas dalam perkataan Tuhan yang dihadapkan kepada iblis “…iz amartuka…” dalam surat 7:12, lihat juga 15:32. Sosok Malaikat Walaupun mungkin tidak salah membayangkan bentuk malaikat, akan tetapi M. Ali menolak untuk mempersonifikasikan malaikat kepada wujud-wujud makhluk materi karena tidak akan benar dan tepat. Yang sebenarnya, walaupun malaikat adalah sejenis makhluk tetapi malaikat tidak memiliki organ-organ untuk menopang kekuatan mereka seperti halnya manusia. Malaikat adalah makhluk dengan segala atribut kekuatan untuk mengontrol dan menjalankan alam dan juga segala komponen spiritual yang mengarahkan manusia kepada kebaikan. Keterangan al-Qur’an tentang malaikat yang terbang dan memiliki dua, tiga dan empat sayap (QS. 35:1, 70:4) bukan menggambarkan wujud malaikat tetapi ungkapan metaforis akan potensi kekuatan dan kecepatan malaikat untuk melaksanakan segala perintah Allah secara siap siaga dan sempurna. Hakikat malaikat adalah kepatuhan kepada Allah dan mereka tidak dapat tidak patuh (QS. 66:6, 16:50) sedangkan jin disebut sebagai suatu kejahatan dan nafsu rendah yang menjalar di hati manusia (114:4-6), dan yang selalu membangkang (18:50). Ketika merujuk kepada kejahatan dirinya sendiri, maka jin disebut sebagai iblis (QS. 18:50, 7:11-12) tetapi ketika kejahatannya melibatkan dan mempengaruhi yang lainnya untuk melakukan hal yang sama maka dalam posisi ini dia disebut syetan. Mengenai fungsi malaikat, M. Ali menerangkan bahwa malaikat beroperasi dalam kedua aspek dan ruang kehidupan; fisik dan spiritual. Dengan dunia fisik, malaikat berhubungan dan menjalankan fungsinya di alam dunia tetapi dalam kaitannya dengan proses kehidupan dan pergerakan alam secara global. Adapun dengan manusia, malaikat secara khusus berhubungan dan memiliki tugas dan fungsi yang terkait dengan aspek spiritual manusia. Malaikat terlibat sepanjang waktu dalam kehidupan spiritual manusia, sejak dari proses awal penciptaan manusia, selama tahap perkembangan dan kehidupannya di alam dunia sampai pada alam setelah kematian, dan selama proses menuju kesempurnaan puncak spiritual manusia di surga atau dalam proses pembersihan dan pemulihan spiritual manusia di neraka. Jadi iman kepada malaikat, kata M. Ali, artinya adalah bahwa manusia hanya akan menerima bisikan-bisikan kebaikan dari hatinya, yang dengan pelaksanaan kebaikankebaikan ini akan menggiring mereka kepada kesempurnaan spiritual. Sama dengan keterangan yang diberikan sarjana-sarjana muslim lainnya, M. Ali juga menyebutkan fungsi spiritual malaikat terhadap manusia ini secara garis besar terdiri dari 7 macam yaitu :
65
1.
2. 3. 4.
5.
6.
7.
II.
Menyampaikan wahyu Tuhan kepada para nabi dan mengkomunikasikan informasi Tuhan (ilham) kepada orang-orang tertentu yang dikehendaki Tuhan (mis. QS. 26:193-4, 16:102, 16:2) Mengokohkan keimanan kaum mu’min, menanamkan kesabaran dalam musibah dan kesulitan (QS. 2:87, 255, 58:22, 8: 12). Menurunkan hukuman atas kejahatan di dunia (QS. 25:21, 2: 210) Memintakan ampun atas dosa manusia dan menyampaikan do’a manusia kepada Tuhan. Hal ini bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Bukan hanya kepada orang yang beriman tetapi juga kepada kaum kafir (QS. 42:5, 53:26, 33:43, 3:56) Membantu meningkatkan dan meraih kesempurnaan, kebersihan dan ketinggian spiritual dan ruhaniah manusia. Hal ini tidak hanya berlangsung sewaktu manusia hidup tetapi juga setelah mati. Karenanya malaikat ada di neraka dan di surga. Di neraka malaikat membersihkan penyakit-penyakit dan kotoran spiritual manusia akibat kehidupan buruk dan jahat yang dijalani di dunia sedangkan di surga malaikat membantu manusia mencapai ketinggian spiritual yang setinggi-tingginya yang tidak bisa diukur batasnya (QS. 50:21) Mendorong perbuatan-perbuatan baik dan terpuji. Jiwa manusia disertai dua kekuatan yang tarik menarik. Satunya kekuatan baik yang disebut Syahid yaitu Malaikat dan satunya kekuatan jahat yang disebut Sa’iq, yang dalam hadis dijelaskan sebagai jin (QS. 50:21-22) Fungsi malaikat lainnya yang sering sekali ditekankan dalam alQur’an adalah sebagai pencatat perbuatan manusia (QS. 82:10-12, 12:50, 17-18). Tentu saja sebagai makhluk spiritual, catatan malaikat ini tidak bisa disamakan dengan pemahaman manusia tentang catatan atau laporan. Al-Qur’an menjelaskan, kata Muhammad Ali, bahwa termasuk catatan malaikat tersebut adalah efek perbuatan seseorang yang dipikulkan ke pundak masing-masing mulai sejak di dunia ini (QS. 17:13).
Surga dan Neraka (Religion of Islam, hal. 292)
Kehidupan kedua ada di dua tempat yaitu surga dan neraka. Gambaran surga dan balasan kesenangan di dalamnya begitu juga neraka dan azabnya adalah matsal yaitu perumpamaan atau parabola (QS. 13:35, 47:15, 32:17 + hadis Bukhari + ucapan Ibn Abbas dikutip dalam Ruh al-Ma’ani karangan Mahmud al-Alusi). Surga digambarkan dalam bentuk materialisasi kesenangan dan kebahagiaan spiritualitas di dunia sedangkan neraka adalah manifestasi seutuhnya penderitaan yang sewaktu di dunia tersembunyi atau kurang dirasakan. Jadi keterangan tentang macam-macam balasan surga dan neraka tidak dapat dipahami secara literal dan diasosiasikan dengan pemakaian aktual kata atau kalimat dimaksud di dunia. Surga umumnya disebut dengan Jannah dan digambarkan dengan jannah tajri min tahtiha al-anhar. Jannah adalah manifestasi dari iman, yang 66
menggambarkan bibit yang berkembang menjadi pohon yang rimbun dan menghasilkan buah. Anhar : menggambarkan perbuatan baik (amal) yang terus mengalir mengairi bibit (iman) hingga dapat menumbuhkan pohon yang rimbun. Kedua unsur ini yang akan membangunkan surga untuk seseorang di akhirat kelak. Contoh balasan surga : = Rizq, bukan makanan untuk tubuh fisik tetapi makanan untuk jiwa spiritual (mis. QS. 20:131). = Tsamarat (mis. QS. 2:25), adalah buah dari perbuatan baik dan bukan buah yang tumbuh di bumi. Begitu juga dengan susu, madu, anggur (mis. QS. 47:15), singgasana, bantal-bantal dan permadani (mis. QS. 88:13-16), perhiasan, sutera dan dipan-dipan (mis. QS. 18:31, 44:53). Semuanya adalah untuk mengekspresikan kebahagiaan puncak, hakiki dan yang sesungguhnya. = Adapun kalimat Haza al-lazi ruziqna min qablu (QS.2:25) bukan untuk membandingkan kesenangan materi di akhirat dengan kesenangan dunia, tetapi bahwa penghuni surga merasa apa yang diberikan di surga sangat mirip dengan spiritualitas yang mereka rasakan sewaktu di dunia. Atau ayat itu bisa diartikan, ‘…penghuni surga mengatakan, ‘Inilah yang dijanjikan (telah diterangkan untuk diberikan) kepada kami sebelumnya’. Demikian pula kalimat selanjutnya, Wa utu bihi mutasyabiha, artinya ‘Mereka diberikan sama persis dengan apa yang mereka perbuat.’ Sama halnya bahwa makanan dan benda-benda surga (buah, madu, anggur atau permadani) adalah materialisasi kesenangan dan kebahagiaan spiritualitas yang tertinggi, begitu pula halnya dengan balasan surga dalam bentuk makhluk; Azwaj Mutahharah (QS. 2:25), Hur-in ‘in (mis. QS. 55:72), Abkara (QS. 56:36), atau Kawa‘ib Atraba (QS. 78:33), semuanya adalah keterangan tentang kualitas keindahan, kesegaran, dan ketinggian sifat dan karakter dari orang-orang yang ada di dalam surga sehingga penghuni surga menemukan lingkungannya terdiri dari orangorang yang membawa kepada suasana ketentraman, kedamaian dan perdamaian. = Azwaj Mutahharah (QS. 2:25), mungkin tunjukannya kepada istri-istri kaum mu’min itu sendiri, yang mereka ini dikarenakan iman dan perbuatan baik mereka dapat mendampingi suami mereka di surga beserta anak-anak mereka (QS. 2:35, 36:56, 40:8, 43:70). Istri-istri ini beserta seluruh wanita yang di dalam surga mendapatkan bentuk baru dan menjadi muda kembali, tetapi yang paling utama mereka ini memiliki karakter jiwa yang jelita dan sempurna (QS. 56:35-38). = Zawwajnakum bi-Hurin ‘Inin (QS. 52:20, 44:54) artinya ‘…Kami pasangkan atau tempatkan kamu bersama-sama dengan (orang-orang yang) Hurin ‘Inin. Pertanyaannya siapakah Hurin ‘Inin ini ? Hurin ‘Inin bukanlah bidadaribidadari yang luar biasa cantik secara fisik yang disediakan semaunya dan sebanyaknya untuk kepuasan dan kesenangan biologis seperti di dunia, alasannya ; Pertama, kawin yang diterangkan dalam QS. 52:20 dan QS. 44:54 bukanlah kawin biologis karena contoh redaksi kawin biologis adalah Zawwajtuhu imra’atan tanpa preposisi bi berbeda dengan redaksi kedua ayat tersebut yang memakai preposisi bi (Zawwajnakum bi hurin ‘inin). Dengan adanya preposisi bi tersebut maka artinya menjadi zawwaja syai’an bisyai’in yaitu ‘memasangkan sesuatu dengan 67
sesuatu’ dan qarannahum bi-hinna yaitu ‘menyatukan atau mengumpulkan mereka dengan yang sesuai atau sepantaran dengan mereka (mis. QS.81:7). Kedua, kata-kata Hur-in ‘In-in—terdapat dalam 4 surat, dua ayat ditulis bersama kata zawwaj (QS. 52:20 dan 44:54) dan dua ayat tidak (QS. 55:72, 56:22)— tidak hanya diartikan sebagai wanita dengan keindahan fisik saja tetapi juga orangorang, baik laki-laki dan perempuan, dengan kualitas karakter yang sangat suci dan indah. Kata Hur adalah jamak dari ahwar (untuk laki-laki) dan haura (untuk perempuan) yang mengandung pengertian ‘seseorang yang memiliki mata yang sangat cemerlang (hawar artinya putih). Ahwar juga mengisyaratkan makna ketajaman dan kebersihan intelek. Adapun kata ‘In yang merupakan jamak dari a‘yan (untuk laki-laki) dan ‘aina (untuk wanita) artinya seseorang yang bermata bulat indah. Kata ‘aina juga diartikan sebagai keindahan dan kelembutan tutur kata. Maka dalam ayat di atas, kata Hur adalah melambangkan keputihan, kebersihan dan kesucian sedangkan kata ‘In melambangkan keindahan, kejelitaan dan kebaikan. M. Ali mengadopsi arti ‘kesucian dan keindahan’ untuk kata Hur-in ‘In-in sehingga balasan surga ini maksudnya adalah sosok-sosok (laki-laki dan perempuan) yang memiliki karakter kesucian dan keindahan yang ideal dan sesuai dengan karakter para ahli surga, sehingga akan terbangun di dalamnya lingkungan interaksi yang damai. Al-Qur’an tidak berbicara tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks biologis dan konsekwensinya yaitu perkembang-biakan biologis manusia di dalam surga. Jadi kalau balasan surga tentang kesenangan dan kenikmatan digambarkan dengan kemewahan makanan dan benda-benda maka gambaran balasan surga untuk kualitas kesucian, kebersihan, kedamaian, ketenangan, kecantikan, keindahan dan kelembutan diterangkan dengan kata-kata ‘wanita yang cantik laksana bidadari’ (Hur-in ‘In-in) karena ‘ke-wanita-an’ atau femininitas adalah simbol dari kualitas-kualitas tersebut berbeda dengan maskulinitas, yang biasanya menyimbolkan kecerdasan, ketangkasan, keberanian, dan sejenisnya. Walhasil, keterangan tentang pasangan istri dan wanita di dalam surga memiliki sejumlah signifikansi : 1. untuk menerangkan bahwa surga adalah tempat bagi laki-laki dan perempuan atau bahwa penghuni surga terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bahwa balasan dan kenikmatan surga sama diberikan kepada laki-laki dan perempuan tanpa perbedaan sedikitpun. 2. bahwa penghuni surga baik laki-laki dan perempuan akan berada, digabungkan dan ditemani oleh orang-orang yang ideal dengan sifat mereka, yaitu sosok-sosok dengan kualitas karakter dan spiritual yang paling suci dan indah. 3. bahwa wanita-wanita yang ada di dalam surga semuanya adalah suci, bersih, indah, jelita, lembut dan menyandang segala sifat kebaikan dan kesempurnaan.
68
Begitu pula halnya dengan ancaman-ancaman hukuman neraka seperti gambaran kehancuran dan kejatuhan (QS. 2:167, 104:6-7, 22:30-31, 20:81), muka yang gelap dan hitam (mis. QS. 10:26-27, 80:40-42), penghinaan (mis. QS. 16:27, 41:16, 7:50), semuanya untuk menggambarkan manifestasi penderitaan yang total dan puncak.
III.
Mukjizat Nabi-Nabi
Nabi Musa : Membelah Laut dan Membuat mata air (QS. 26:63, 20:77, 2:60) * Membelah laut Faraqna = artinya Tuhan membelahkan laut yaitu menyelamatkan nabi Musa dan bani Israil (QS. 2: 50), dan ini terlaksana dengan memerintahkan nabi Musa agar: Idrib = berjalanlah, carilah jalan, Bi ‘Asaka = bersama rakyatmu, al-Bahr = ke arah laut (QS. 26:63). Fadrib Lahum = bawa mereka (bani Israil), Tariqan fi al-Bahri Yabasa = ke jalan di laut yang (sedang) kering (QS. 20:77). Bahwa kering dan terbelahnya laut adalah disebabkan cuaca alam (dengan mengutip keterangan Injil) yaitu angin yang berhembus ke arah Timur sepanjang malam tersebut hingga ombak laut yang disapu angin terhempas tinggi laksana gunung dan menyisakan dataran yang bisa dilalui (QS. 26:63 = …Fanfalaqa Fakana Kullu Firqin Ka al-Taudi al-‘Azim). Atau mungkin juga air laut surut karena sedang musim surut dan ketika fir‘aun lewat tiba-tiba air pasang kembali. * Membuat mata air Nabi Musa membuat mata air dengan melakukan usaha memecahkan al-Hajr atau membawa masyarakatnya ke gunung dan mencari mata air. Idrib = pergilah, Bi ‘Asaka= bersama masyarakatmu dengan segala perlengkapannya, al-Hajr = ke gunung. (al-Hajr diartikan sebagai sesuatu yang buntu atau tidak dapat dimasuki antara lain gunung) (QS. 2:60) atau bisa juga diartikan, Idrib = pukulkanlah, Bi ‘Asaka= tombakmu (alat), al-Hajr = ke gumpalan batu besar itu (hingga membelah), maksudnya pecahkanlah batu tersebut dengan tombakmu. Fanfajarat minhu itsnata ‘asyara = terpancar 12 mata air di 12 tempat di mana Musa melakukan hal di atas karena ke 12 suku bani Israil dimaksud bermukim jauh antara satu dari yang lainnya. Jadi tidak dari satu sumber lalu mengalir ke 12 tempat dengan tiba-tiba dan dengan sekali pukul. Dengan demikian yang terjadi bukanlah adanya sebuah batu yang dibawabawa nabi Musa lalu dia memukul batu itu dengan tongkatnya dan seketika memancar 12 mata air di 12 tempat. Penemuan mata air adalah hasil dari usaha mencari tempatnya, hal ini sejalan dengan ceritera ayat sesudahnya di mana ketika bangsa Israel menuntut jenis makanan yang bermacam-macam, nabi Musa menyuruh mereka pergi ke tempat atau kota di mana terdapat banyak makanan dan jenis 69
tanaman yang mereka minta, walaupun mereka sebenarnya telah diperintahkan untuk menempati daerah yang sulit tersebut sebagai latihan agar mereka kuat dan berhasil menaklukkan kota suci yang dijanjikan, tetapi mereka tidak sabar (QS. 2:61). Nabi ‘Isa : Menciptakan burung, menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta dan lumpuh (QS. 3:49). Karena menganggapnya tidak diterima akal maka M. Ali memahami perkataan Jesus secara alegoris. M. Ali mengatakan bahwa dikarenakan kondisi dan posisinya, Jesus sering berbicara secara alegoris atau kiasan tetapi penulis kitab injil tidak memahami kalau itu adalah kiasan, dan al-Qur’an datang untuk menerangkan maksud dan arti sebenarnya dari perkataan Jesus tersebut. Akhluqu = kalau kata ini digunakan manusia artinya menentukan, mengukur, menetapkan. Tin = orang biasa, Nafakh = menyempurnakan, Tayran = seorang yang progress atau bergerak mendapatkan derjat atau tingkat spiritual yang lebih tinggi. * Maka makna QS. 7:179, 25:44 = Jesus memberikan sayap dengan cara meniupkan ruh kebenaran kepada pengikut-pengikutnya yang terdiri dari orangorang biasa hingga mereka dapat terbang artinya berada lebih tinggi atau lebih mulia dari orang-orang terpandang di masyarakatnya yang terikat kepada keduniaan. * Menyembuhkan orang sakit (lepra, buta lumpuh, dsb) = menyembuhkan orang-orang yang sakit secara spiritual. Al-Qur’an juga menyebut dirinya sebagai pengobat (QS. 10:57). * Menghidupkan orang mati = menghidupkan orang yang hatinya mati. AlQur’an juga ada menyebutkan dirinya sebagai cahaya yang menghidupkan hati manusia yang mati. (QS. 6:123, 8:24, 35:22). Kisah dan keterangan nabi ‘Isa tersebut adalah menggambarkan keadaan orang-orang dalam masyarakatnya terkait dengan penerimaan ajarannya, yang tergolong kepada tiga : 1. orang-orang biasa yang menyerahkan diri dengan ikhlas kepada ajakan ‘Isa dan meninggalkan sama sekali urusan keduniaan. Ajaran nabi membuat mereka dapat melampaui keterbatasan dan kerendahan dunia dan terbang ke ruang spiritualitas yang derjatnya lebih tinggi dan mulia. 2. mereka yang secara spiritual sakit, nabi menyembuhkan mereka sehingga hati mereka menjadi bersih dan ikhlas menerima ajaran nabi 3. mereka yang secara spiritual mati, nabi menghidupkan hati mereka untuk dapat menerima ajarannya. Pesan ayat ini adalah bahwa pengikut-pengikut Jesus adalah orang-orang yang hina tetapi dia mengangkatnya menjadi di atas orang-orang yang dipandang masyarakat mulia. Jesus memberikan mereka sayap dengan meniupkan ruh kebenaran ke jiwa mereka sehingga mereka terbang lebih tinggi melebihi orangorang terpandang di masyarakatnya yang mereka ini terpaku dan terikat kepada keduniaan. 70
Nabi Yunus : Ditelan ikan (QS. 21:87-88, 37:139-158, 68:48) Nabi Yunus disebut juga dengan Zu al-Nun atau tuannya ikan (QS. 21:87) dan temannya ikan (QS. 68:48) dikarenakan peristiwa yang dialaminya bersama ikan ketika dia dibuang ke laut. M. Ali juga mengakui insiden tersebut. Kisah nabi Yunus dalam keterangan M Ali adalah sebagai berikut; * Nabi Yunus putus asa dan marah terhadap kaumnya—bukan terhadap Tuhan seperti keterangan injil—dan lalu pergi menjauh, ikut dengan sebuah kapal untuk pergi ke suatu tempat (iz abqa ilal fulki al-masyhun = QS. 37:140, iz zahaba mughadiban = QS 21:87) dengan suatu persangkaan bahwa dirinya akan diterima atau menemui kemudahan di tempat lain tersebut (fazanna an lan naqdira alaih = QS. 21:87) bukan dengan persangkaan bahwa Allah tidak memiliki kekuatan atasnya. * Tetapi di tengah jalan kapal tersebut mengalami goncangan yang mengharuskannya untuk mengurangi muatan sampai akhirnya diadakan undian siapa yang harus dibuang ke laut agar kapal tersebut selamat, dan ternyata undian jatuh ke nabi Yunus (QS. 37:141)—berbeda dengan keterangan injil yang menyebutkan Yunus jatuh ke laut karena badai. * Yunus lalu berdo’a dan pasrah di tengah kesulitan dan bahaya yang dihadapinya di laut (fanada fi al-zulumat = QS. 21:87, iz nada wahuwa makzum = QS. 68:48)—bukan diartikan bahwa nabi Yunus berdo’a di ruang kegelapan di dalam perut ikan. Lalu seekor ikan datang menggigit maksudnya mengulum tumit Yunus (faltaqamahu al-hut = QS. 37:142)—bukan menelan Yunus ke dalam perutnya. * Kalau Yunus tidak terus mengingat Tuhan (falau la annahu kana minal musabbihin = QS. 37:143) maka ikan tersebut pasti akan menelannya dan dia akan mati (lalabitsa fi batnihi ila yaum yub’atsun = QS. 37:144)—bukan diartikan bahwa Yunus akan terus hidup dalam perut ikan sampai hari kiamat. Logikanya, ikan bukan makhluk kekal yang dapat terus hidup sampai hari kiamat menyimpan nabi Yunus dalam perutnya. Ila yaum yub’atsun bukan hari kiamat yang sesungguhnya (massal) tetapi ungkapan bagi ‘kematian Yunus’, karena kematian seseorang adalah hari kiamat bagi orang tersebut. * Tetapi nabi Yunus terus mengingat Tuhan lalu Tuhan menyelamatkan nabi Yunus dengan mendamparkannya ke daratan tandus (QS. 37:145), kemudian dengan rahmat-Nya Tuhan menumbuhkan pohon di tanah tandus tersebut sehingga Yunus tidak mati di tempat itu (QS. 37:146, 68:49).
Nabi Ibrahim : Dibakar Api Menyala (QS. 21: 57-70, 37: 93-98, 29:24-26) QS. 21:64 (Qala bal fa’alahu-Kabiruhum haza fas’aluhum in kuntum yantiqun) = M. Ali mengartikannya “Ibrahim berkata, “Memang seseorang telah melakukannya, berhala yang paling besar adalah ini kalian tanyakanlah kepada mereka mungkin mereka dapat berbicara.”
71
QS. 21:68, 37:97, 29:24 = memang kaum kafir tersebut berencana hendak membakar atau membunuh Ibrahim, tetapi kata M. Ali al-Qur’an tidak menerangkan kalau Ibrahim benar-benar dilempar ke dalam api. QS. 21:70 = Disebutkan bahwa kaum kafir berencana tetapi Allah menjadikan kaum kafir sangat merugi dan (dalam QS. 37:98) menjadi hina. Ini artinya rencana mereka tidak berjalan. QS. 29:24 = Disebutkan Allah menyelamatkan nabi Ibrahim dari api, tetapi tidak ada dijelaskan Ibrahim diselamatkan setelah ia dibakar. Hanya dijelaskan bahwa Allah menyelamatkannya ke sebuah negeri lainnya (QS. 21:71, 29:26). Maka sebenarnya menurut M. Ali kisah nabi Ibrahim sama dengan kisah selamatnya nabi Muhammad ketika hijrah ke Madina, di mana waktu itu kaum kafir Quraish juga berencana membunuhnya. Jadi nabi Ibrahim menyelamatkan diri sebelum dibakar dan lari ke sebuah negeri. Tetapi M. Ali tidak menerangkan kalimat pada surat 21: 69 (Qulna YaaNar Kuni bardan wa salaman ‘ala Ibrahim).
Kehancuran Tentara Abrahah : Bukan oleh burung Ababil (QS. 105:2-5) Alam yaj’al kaidahum fi tadlil = Bukankah Kami telah menyebabkan serangan mereka berakhir dengan kebingungan. Waarsala ‘Alaihim Tayran Ababil = Dan mengirimkan burung bergerombolgerombol kepada mereka Tarmihim bihijaratin min-Sijjil = Yang menghempas-hempaskan (daging) mereka ke batu-batu yang ditetapkan Faja’alahum Ka’asfin Ma’kul = Dan membuat mereka seperti jerami-jerami yang isinya sudah di makan. Kehancuran tentara Abrahah, berdasarkan keterangan injil juga, disetujui M. Ali disebabkan wabah seperti cacar yang membuat tentaranya banyak yang tumbang menjelang ketibaan mereka ke kota Makkah, sementara untuk kembali pulang membatalkan rencana mereka pun sudah tidak mampu. Akhirnya pasukan tentara ini mati berserakan di jalan-jalan menuju kota Makkah. Setelah itu burung datang dan mencuil atau mengoyak-mengoyak tubuh mereka dan lalu memakannya dengan mematuk-matukkannya ke batu sebagaimana halnya burung makan. Kata-kata Min Sijjil terdapat juga dan sama maksudnya dalam QS. 11:82 = artinya apa yang telah ditetapkan atau diputuskan. Walhasil kehancuran negeri Luth juga adalah disebabkan gempa yang membolak-balikkan orangnya (sehingga bagian bawah tubuh mereka ke atas) bukan langit turun ke bawah atau tanah ke atas. Wa amtarna ‘Alaiha Hijarat = Kami hujani dengan batu-batu yang muntah dari gununggunung yang meletus, Min Sijjil = Sesuai dengan ketetapan Kami atau yang diputuskan bagi mereka. Kata Tayran dalam surat al-Fiil ini diterangkan maknanya dalam QS.16:79. Dan terbukti, sya’ir-sya’ir serta pepatah Arab menginformasikan bahwa masyarakat luas sudah memahami adanya burung yang selalu datang ke tempat peperangan dan mengikuti tentara yang bergerombol (dikenal dengan burung bangkai) karena 72
burung-burung ini telah paham bahwa di tempat peperangan akan ada banyak mayat sebagai makanan mereka. Contoh kata ini dalam pepatah Arab, Tabaddada bi lahmi-ka al-tayru artinya ‘mudah-mudahan burung-burung menyerak-nyerakkan dagingmu.’ Syair ini adalah kutukan mendo’akan mati di medan perang, karena tubuh mayat di medan perang biasanya dikoyak-koyak oleh burung. Juga sya’ir terkenal dari Nabighah, Ketika dia keluar dengan tentara, segerombolan burung yang mengikuti berseliweran di atas kepala mereka. Jadi burung-burung yang diterangkan di sini adalah burung-burung yang datang seperti biasanya ke tempat pasukan yang kalah. Sejalan dengan penafsiran ini maka arti kalimat Ma Yumsikuhunna illal Allah (QS. 16:79) adalah “…tidak ada yang menahan atau menunda kekalahan kecuali Allah.” Karena kalimat metaforis ‘menahan burung untuk datang’ artinya ‘tidak ada kekalahan.’
IV.
Peristiwa Di luar Kebiasaan
Adam : Bukan manusia pertama (Tentang Adam, mis. QS. 2:30-39, 3:58, 7:11-25, 15:28-44, 17: 61-65, 18:50, 20:115-124, 28: 71-85) QS. 2:30 = Kata ‘Khalifah’ menunjuk kepada spesies manusia secara umum dan bukan menunjuk satu individu. ‘Khalafa’ = artinya datang belakangan, sebagai pengganti yang sudah hilang atau mati, dan pemimpin besar penyeru kebenaran yang menempati posisi seseorang sebelum dia. Contoh lainnya QS. 6:166. Berarti sebelumnya sudah ada manusia, dan oleh karena itu malaikat sudah tahu sifat manusia. Dan lagi, pertumpahan darah yang disebutkan malaikat sebagai sifat manusia tidak terjadi atau berlangsung kalau hanya ada satu manusia. QS. 2: 31 = Kata Adam bukan nama seorang individu yang menjadi makhluk pertama diciptakan. QS. 2:35 = Jannah yang ditempati Adam ini bukan surga yang diberikan kepada anak manusia pada kehidupan sesudah mati mereka tetapi kesenangan dan kemudahan dunia (QS. 20:117). Karena orang yang sudah berada di surga tidak akan dikeluarkan lagi (QS. 15:48). QS. 2:36 = Ihbitu bukan perpindahan tempat tetapi perpindahan keadaan, dalam hal ini menjadi susah, menderita dan sebagainya. Contoh lainnya QS. 7:13. ‘Isa : Lahir Bukan Tanpa Ayah QS. 3:35 = Ibu Maryam mendo’akan Maryam dan juga anak keturunan Maryam. Artinya ibu Maryam mempersepsi anaknya akan hidup sebagaimana wanita umumnya dan menjadi ibu sebagaimana wajar dan layaknya. Kemudian M. Ali memakai hadis dari kitab al-Tabari yang menantang kaum Najran tentang kemanusiaan Jesus, konsekwensinya kealamiahan proses kehamilan Maryam. 73
QS. 3:36 = Semasa dalam pertapaan, makanan yang diberikan juga tidak datang secara ajaib. Ucapan Maryam kepada Zakaria dalam surat ini bukan bermakna bahwa makanan itu turun dari langit. Itu adalah ucapan yang menandakan kesalehannya. Yang terjadi adalah makanan datang dari rezeki yang diberikan orangorang yang beribadah ke tempat Maryam menjalani i’tikaf. QS. 3: 58 = Menyatakan bahwa Isa sama dengan manusia lainnya, diciptakan dari tanah, tidak ada yang aneh (Lihat juga QS. 22:5, 30:20, 18:37). Kata Kun Fayakun adalah kata yang selalu digunakan Tuhan untuk penciptaan makhluk secara umum. Tafsiran lain, bahwa ‘Isa sama dengan seorang manusia nabi bernama Adam, diciptakan dari tanah, disucikan dan dipilih sebagai nabi. Maka kata Kun adalah kalimat Tuhan dalam memilih dirinya sebagai hamba yang saleh. (Yang pertama lebih kuat karena Kun dalam pengertian kedua tidak dijumpai contoh lainnya dalam al-qur’an). QS. 3: 41 = Pemberitaan dalam ayat ini adalah sesudah Maryam selesai menjalani kehidupan pertapaan, yang dijalaninya dari umur 3 sampai 12 tahun tetapi M. Ali tidak menyebut sumber informasi ini. QS. 3: 43 = Ceritera tentang undian dalam ayat ini bukan undian untuk memelihara Maryam ketika bayinya tetapi undian para pemuda untuk menjadi calon suami Maryam. Kronologis ayat ini adalah sesudah Maryam selesai menjalani pertapaan. QS. 3: 44 = Yubasysyiruka bi-Kalimat artinya memberikan kabar gembira tentang suatu ‘Kalimat’ yaitu berita akan lahirnya seorang Nabi. Karena telah dikatakan Tuhan sebelumnya maka berita tentang kenabian ini disebut dengan ‘Kalimat’ atau ‘Perkataan’ atau ‘Yang telah dikatakan’. Dan nama bayi ini disebut dengan ‘al-Masih’, ‘Isa dan juga Ibn Maryam. al-Masih adalah gelar yang artinya lebih tepat ‘orang yang berjalan jauh’ dan bukan yang diurapi. ‘Isa adalah bentuk bahasa Arab dari bahasa Hebrew, Yoshua, yang dalam bahasa Yunani disebut Jesus. QS. 3: 45 = Artinya berbicara dari buaian dan sampai tua. Bukan mengisyaratkan keajaiban. Keterangan ini untuk menunjukkan bahwa bayi itu sehat. Keterangan ini adalah normal karena pada umur bayi anak memang sudah dapat berbicara. Berbicara sampai Kahl menunjukkan bahwa ‘Isa hidup sampai tua dan tidak mati muda. Terkait dengan ini berarti nabi ‘Isa menjalankan dakwahnya sampai beliau berumur lanjut. QS. 3:46 = Kemungkinannya bahwa Maryam diberitakan tentang kelahiran nabi dari dirinya sebelum dia diinformasikan tentang calon suaminya, sehingga muncul ucapannya tersebut. Perkataan Tuhan, Kazaliki Allah Yakhluqu Ma Yasya’ = tidak menunjukkan bahwa Maryam akan menjalani kehamilan di luar kebiasaan. Iza Qada Amran Fainnama Yaqulu Kun Fayakun = hanya menegaskan bahwa Tuhan telah memutuskan Maryam akan melahirkan seorang putra sesuai amanah kenabian yang ditetapkan Tuhan. Memang mengherankan bahwa al-Qur’an 74
tidak ada menyinggung nama suami Maryam, yang dalam injil Luke 1:26, 27 disebut dengan Joseph, akan tetapi kasus ‘Isa sama dengan kasus Musa, yang ayahnya juga tidak disinggung-singgung. Jadi bukan berarti tidak diterangkannya ayah ‘Isa menjadi dasar bahwa ‘Isa tidak mempunyai ayah. ‘Isa : Disalib tetapi Tidak mati di Tiang Salib * QS. 2:72 = Adalah terkait dengan kisah upaya pembunuhan Yesus oleh bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi sendiri kenyataannya bertengkar soal apakah Yesus benar-benar mati atau tidak. Wa iz Qataltum = Pernyataan bahwa orang Yahudi pertamanya yakin bahwa Yesus telah mati, tetapi bisa juga kata ini bermakna Yesus dibuat seperti mati. Selain itu kata qatl bisa dikenakan pada ‘orang yang disiksa berat’. Wa Allahu Mukhrijun Ma Kuntum Taktumun = artinya “…(Allah tidak mematikan ‘Isa) karena hendak membocorkan apa yang kamu ingin sembunyikan”. * QS. 2:73 (Faqulna idribuhu biba’diha) = “…Pukul dia sampai seperti orang mati atau serupakan dia dengan kondisi orang yang hampir (setengah) mati. Yuhyi Allah al-Mauta = “Allah memberikan lagi kehidupan kepada orang (Jesus) yang sudah persis seperti orang mati …”. Karena orang yang benar-benar mati tidak akan dikembalikan Tuhan ke dunia ini lagi. Keraguan orang Yahudi dan bantahan Tuhan akan kematian Jesus dalam ayat di atas lebih ditegaskan dalam surat 3:54 dan 4:157. * QS. 3:54 = Ayat ini merupakan janji Allah kepada ‘Isa untuk menyelamatkannya dari segala rencana orang kafir untuk membunuhnya di tiang salib, yang akan membuat nabi ‘Isa hina sekaligus membenarkan tuduhan akan ketidakabsahan kelahirannya dan menghancurkan misi kenabiannya. Bukti tidak matinya ‘Isa di tiang salib adalah perkataan Allah (QS. 3:54) ; 1. Mutawaffika = Bahwa Allah mengambil nyawa ‘Isa, mewafatkan ‘Isa di kemudian hari secara normal. 2. Rafi‘uka = Bahwa Allah akan menaikkan derjat dan membuat terhormat ‘Isa. Tidak tepat kata ini diartikan mengangkat tubuh ‘Isa ke sisi Tuhan sebab akan membuat Tuhan dibatasi oleh tempat dan arah. Di semua ayat al-Qur’an yang memakai kata Rafa‘a dengan mengacu kepada Tuhan artinya adalah mengangkat derjat. Penafsiran terangkat ke langit di sisi Tuhan adalah pemahaman yang berasal dari tradisi Kristen. 3. Mutahhiruka = Melepaskan dan membersihkan nabi ‘Isa dari segala tuduhan bahwa dia anak tidak sah 4. Ja‘ilullazina at-taba‘uka fauqa al-lazina kafaru = Bahwa pengikutnya (kaum kristen) dibuat lebih terhormat, dan kenyataannya sekarang kaum kristen lebih jaya dan mendominasi dibanding mereka yang menolak nabi ‘Isa (bangsa Yahudi).
75
* QS. 4:157 (Wa ma qataluhu) = Dan mereka tidak membunuhnya (seperti keadaan yang menimpa kedua orang pencuri yang disalib bersama-sama dengan ‘Isa pada waktu itu). Wama salabuhu = Dan mereka tidak membuatnya mati akibat siksaan salib (di tiang gantungan). Kalimat ini bukan mengingkari bahwa nabi ‘Isa ditangkap dan dipaku di tiang gantungan tetapi menerangkan bahwa penyaliban mereka tidak menghantarkannya pada kematian. Walakin Syubbiha lahum = Tetapi ‘Isa dibuat (dalam tampakan kaum Yahudi) seperti atau menyerupai orang yang mati. Makna lainnya, ‘masalah kematian ‘Isa dibuat menjadi meragukan atau simpang siur’. Ma Lahum bihi min ‘ilmin illa Ttiba‘a az-zanni, wa ma qataluhu yaqina = Redaksi ini lebih mempertegas ketidak-matian ‘Isa dan keraguan orang Yahudi sendiri akan kematian ‘Isa di tiang salib. * QS. 4:158 (Bal Rafa‘ahu Allahu ilaihi) = merupakan bantahan terhadap kematian ‘Isa di tiang salib karena kalau itu yang terjadi maka berkonsekwensi kepada kehinaan ‘Isa, kenyataannya Tuhan tidak menghinakan tetapi memuliakan nabi ‘Isa. Jadi penafsiran selama ini bahwa seseorang diserupakan wajahnya dengan ‘Isa sehingga ‘Isa selamat dari penangkapan dan akhirnya tidak dibawa ke tiang salib menurut M. Ali menyalahi aturan bahasa, karena yang menjadi objek dari fi’il majhul adalah ‘Isa, jadi beliau yang seharusnya diserupakan bukan orang yang diserupakan kepada ‘Isa. Dalam hal ini ‘Isa diserupakan dengan kondisi orang yang mati disalib. Dalil-dalil dan bukti lainnya bahwa ‘Isa disalib tetapi tidak mati karena diselamatkan, dirangkum secara mengagumkan oleh M. Ali dari berbagai keterangan dalam injil. a. Diterangkan bahwa Jesus berada di tiang gantungan hanya beberapa jam. (Sementara waktu yang dibutuhkan untuk membuat seseorang mati di tiang gantungan jauh lebih lama dari itu) b. Bahwa kedua orang yang disalib bersama Jesus masih hidup ketika diturunkan. (Hal ini memperkuat dugaan bahwa Jesus juga masih hidup) c. Hukuman memotong kaki terlaksana pada kedua orang lainnya tetapi tidak jadi dilakukan pada Jesus. (Yang terkena hukuman potong kaki saja masih hidup ketika diturunkan apalagi Jesus yang menerima siksaan lebih ringan) d. Tubuh samping Jesus tertusuk dalam dan terus menerus mengeluarkan darah. (Yang menandakan bahwa Jesus masih hidup) e. Pilate sendiri tidak yakin bahwa Jesus mati dalam waktu sesingkat itu. f. Jesus tidak dikubur oleh orang Yahudi seperti kedua orang lainnya tetapi diberikan kepada muridnya, seorang yang kaya-raya yang sangat mencintainya. Lalu muridnya tersebut meletakkan Jesus dalam sebuah peti makam dengan rongga yang luas di tanah di samping bongkahan batu besar.
76
g. Ketika dia datang melihatnya pada hari ketiga, bongkahan batu itu telah terangkat dan bergeser dari tempatnya. (Tanda-tanda fisik ini tidak perlu ada kalau memang telah terjadi kebangkitan secara supernatural) h. Sewaktu murid-muridnya menjumpainya dan mengenalinya, mereka masih melihat dengan jelas luka-luka dan kesakitan yang dialami Jesus akibat penyiksaan salib sehingga membuatnya sulit untuk menggerakkan tangannya menyambut jabatan tangan murid-muridnya tersebut. (Jadi Jesus yang dijumpai murid-muridnya adalah Jesus yang mengalami penyiksaan sebelumnya dan bukan tubuh baru yang baru tumbuh setelah kematian riil) i. Diterangkan juga Jesus saat itu merasa lapar dan haus lalu makan minum bersama murid-muridnya tersebut. j. Sewaktu Jesus datang menjumpai Maryam ibunya, Maryam lalu menjadikannya tukang kebun. (Memperlihatkan bahwa Jesus melakukan penyamaran dan penyamaran ini tentu tidak perlu dia lakukan kalau Jesus memang diutus Tuhan hidup kembali sesudah mati) k. Jesus berangkat ke Galilee dengan kedua orang muridnya yang memapahnya di sebelah kiri dan kanan. (Yang menginformasikan bahwa Jesus melarikan diri dari negeri itu dan bukan naik ke surga) l. Selanjutnya berita Jesus tidak terdengar, karena seterusnya Jesus dalam kondisi penyamaran karena takut diketahui keberadaannya m. Jesus berdo’a sepanjang malam sebelum hari penangkapannya agar dia diselamatkan dari kematian yang hina di tiang salib dan juga meminta muridmuridnya untuk mendo’akannya. Dan do’a orang yang beriman dan saleh yang dalam keadaan susah mendalam akan didengar oleh Tuhan. Keyakinan akan hal ini pula yang membuat Jesus menangis dan menghiba kepada Tuhan ketika dia akhirnya berada di tiang salib, “Tuhan…kenapa Kau tinggalkan Aku ?” n. Dan menariknya, injil juga dengan tegas menyatakan bahwa do’a Jesus diterima Keterangan injil ini, menurut M. Ali, berkesesuaian dengan pernyataan alQur’an di atas bahwa ‘Isa tidak mati di tiang salib dan tidak terbunuh sebagaimana kedua pencuri yang disalib bersamanya, melainkan diperlihatkan seolah-olah dia sudah mati ketika di tiang gantungan. ‘Isa mati secara normal (QS. 5:117), tubuhnya tidak terangkat ke langit sebab segala yang berasal dari tanah akan tertarik (Kifata) ke tanah bumi (dikumpulkan di bumi) (QS. 77:25).
V.
Kesimpulan
Penafsiran Muhammad Ali adalah penafsiran yang didasari kerangka pikir rasionalitas, realistis serta pemisahan tegas peristiwa-peristiwa akhirat dan keduniaan. Tidak hanya manusia tetapi semua nabi tidak terlepas dari hukum alam yang di dalamnya mereka hidup, karenanya segala peristiwa dan kejadian yang dipandang luar biasa dan merupakan kelebihan Nabi berusaha dijelaskan M. Ali sebagai kejadian alamiah yang memiliki kondisi dan hukum sebab akibat. 77
Metode penafsirannya adalah dengan penelusuran dan analisis semantik (akar dan arti kata) serta pendekatan historis dan budaya. M. Ali mempergunakan segala jenis sumber yang menurutnya memberikan informasi sejarah yang akurat dan rasional. Jadi walaupun dikatakannya beliau hanya mempercayai hadis dari Bukhari, kenyataannya beliau mempergunakan kesemua kitab hadis (kutub al-tis‘ah) sebagai rujukan sepanjang menurutnya memberikan fakta sejarah yang benar dan logis dan, tentunya, sesuai dengan makna yang dia pahami. Dan ketelitiannya terhadap konteks sejarah al-Qur’an membuat M. Ali, ini mengagumkan, mengetahui secara detail alur dan kronologis kisah dalam al-Qur’an serta mampu menseleksi fakta-fakta sejarah yang terkait dengan keterangan ayat-ayat al-Qur’an dari kitab-kitab nabi-nabi terdahulu. M. Ali memiliki pemahaman tersendiri tentang pesan-pesan dominan Tuhan dalam susunan ayat-ayat al-qur’an. Pesan-pesan ini kemudian menentukan bagaimana M. Ali mengkontekstualisasi suatu ayat dan mengkaitkannya dengan ayat yang lain, yang akhirnya mempengaruhi makna suatu ayat tertentu. Walaupun terkadang seperti dipaksakan tetapi M. Ali telah berhasil menyodorkan al-Qur’an sebagai suatu kisah yang runtun dan pesannya saling terkait dan mendukung. Sumber : Maulana Muhammad Ali, The Holy Qur’an : English Translation of the Qur’an and Commentary. Cet. 7 (Chicago : Specially Promotions Co. Inc., 1973). _____________________. The Religion of Islam. (Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isya’at Islam, 1950) ___________________. A Manual of Hadis. Cet. 2 (Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isya’at Islam, tt)
Tentang Maulana M. Ali, Gerakan dan Pemikirannya. 1. Stanley E. Brush “Ahmadiyah”. Sajida Alfi. “Lahori, M. Ali” dalam Encyclopedia of Religion. Editor Mircea Eliade. vol 1-2 dan vol. 7-8 (New York: Macmillan Library Reference USA, 1995). 2. John L. Esposito. Editor in Chief. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. vol. 1 dan vol. 4 (Oxford: Oxford University Press, 1995) 3. Avril. A. Powell. “Ahmadiyya”. Encyclopedia of Islam and the Muslim World. Co. Editor. Richard C. Martin. vol. 1 (New York: Macmillan Library Reference USA, 2004). 78
4. W. C. Smith. “Ahmadiyya”. The Encyclopedia of Islam. Co. Editor. H.A.R. Gibb. vol. 1 (Leiden: E.J. Brill, 1971)
79