JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Pembelajaran Sastra di Sekolah Arif Hidayat
*)
Penulis adalah penyair, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. *)
Abstract: Literature learning can be used as student’s self development, in form interest and talent realization. This implemented with reading, writing, and appreciation activity. From these three activity, literature learning at school can reach there main learning competence, namely affective, cognitive, and psychomotor competence. But literature learning still not reaches optimal outcome, explicit from lack of Indonesia writer that “born” from literary faculty. Keywords: learning, literature, school.
Pendahuluan Sastra sebagai pelajaran di sekolah merupakan materi yang memiliki peranan penting untuk memicu kreativitas peserta didik. Penyebabnya adalah sastra memiliki sisi kemanusiaan yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca. Oleh karena itu, sastra mampu memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengembangan kepribadian dan kreativitas peserta didik. Dengan membaca karya sastra, penginderaan seseorang menjadi peka terhadap realitas kehidupan. Rendra1 mengatakan bahwa panca indera yang peka akan melahirkan kepekaan penghayatan kehidupan sehingga mutu perbendaharaan pengalaman menjadi unggul. Akan tetapi, panca indera yang tidak peka hanya mampu menangkap lingkungannya secara global, kurang mampu menangkap secara detail.2 Kegiatan ini dapat diimplementasikan melalui kegiatan membaca, menulis, dan mengapresiasi karya sastra. Oleh karena itu, sastra berfungsi sebagai materi pelajaran yang memberikan pengetahuan. Secara mekanisme, pengajaran sastra di sekolah dapat mencapai tiga pokok kemampuan belajar, yaitu pada kemampuan afektif, kemampuan kognitif, dan kemampuan psikomotorik. Kemampuan afektif adalah kemampuan dasar manusia yang berkaitan dengan emosional seseorang. Kemampuan kognitif adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia berdasarkan pikiran. Kemampuan psikomotorik adalah kemampuan mengatur sisi kejiwaan untuk bertahan terhadap berbagai persoalan. Ketiga kemampuan tersebut secara serempak dapat ditemukan dalam pengajaran sastra. Akan tetapi, pembelajaran sastra di sekolah belum berjalan dengan baik. Beberapa dekade ini, sastrawan di Indonesia mengalami kebimbangan mengenai kesusastraan Indonesia yang berjalan di tempat. Selain adanya stagnasi kritik sastra yang dimulai tahun 1990-an, penyebab terjadinya kebimbangan tersebut adalah kegagalan dalam pengajaran sastra di sekolah. Alasan utama mengapa pembelajaran sastra di sekolah menjadi penting karena peserta didik adalah tulang punggung bangsa. Karena itu, pembelajaran sastra sejak dini di sekolah menjadi sangat penting.
Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Arif Hidayat
1
INSANIA|Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009|221-230
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
E. Mulyasa3 mengatakan bahwa kaitannya dengan pendidikan, banyak analisis mengindikasikan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang perlu mendapatkan penanganan secepatnya. Lebih lanjut E. Mulyasa menambahkan bahwa penanganan itu harus berkaitan dengan masalah relevansi atau kesesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan masyarakat pembangunan. Dalam hal ini, metode pendidikan Indonesia disinyalir tidak tepat apabila diterapkan di zaman yang sudah serba modern ini. Dengan melihat rumitnya permasalahan yang penulis telah paparkan di atas, penulis hanya membatasi masalah pada pertanyaan mengapa pengajaran sastra di Indonesia dinilai masih mengalami kegagalan?
Penerapan Pengajaran Bahasa dan Sastra Pengajaran sastra dalam pendidikan diterapkan bersamaan dengan pengajaran bahasa. A. Teeuw4 mengatakan, sastra umumnya dan puisi khususnya menggunakan bahasa dan penjelmaan bahasa yang khas tidak mungkin kita pahami dengan sebaik-baiknya tanpa pengertian, konsepsi bahasa yang tepat. Oleh karena itu, hubungan bahasa dan sastra tidak dapat dipisahkan, dan keduanya sebagai syarat yang berkesusunan. Antara bahasa dan sastra dalam pengajarannya memiliki aspek yang sama, yaitu aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan adanya kesamaan aspek tersebut bahasa dan sastra saling melengkapi. Bahasa dan sastra menjadi satu kepaduan untuk menciptakan manusia yang komunikatif terhadap perkembangan zaman. Bahasa berada pada tata cara menyampaikan informasi ataupun pemikiran kepada orang lain. Sastra berada pada cara memahami dinamika kehidupan dan metode-metode mengetahui gejala yang akan terjadi sehingga dapat menumbuhkan kecerdasan adaptif terhadap lingkungan. Dengan kemampuan itulah manusia mampu menghadapi gejolak dunia. Akan tetapi, dalam praktiknya sastra lebih mengarah pada kemampuan pengembangan diri untuk berinteraksi langsung dengan dinamika kehidupan. E. Mulyasa5 menjelaskan, kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pembentukan karir peserta didik. Burhan Nurgiyantoro6 mengatakan sastra sebagai karya seni tidak semata-mata hanya berurusan dengan bahasa saja, melainkan juga unsurunsur sastra yang lain, yang tak kalah pentingnya. Sastra tidak hanya tersusun oleh bahasa yang membentuk arti. Sastra juga tersusun oleh fenomena kehidupan yang membutuhkan perenungan. Dalam hal ini, bahasa hanya sebagai “pakaian” dan isinya terletak pada fenomena kehidupan yang terangkum dalam dunia bahasa.
Hal-hal yang Berpengaruh Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Dalam kegiatan pengajaran, antara komponen tujuan, bahan yang diajarkan, dan penilaian terhadap hasil kegiatan pembelajaran berkaitan erat.7 Sastra sebagai pelajaran di sekolah membutuhkan ketiga unsur di atas saling berkaitan erat dan memiliki kejelasan. Hal ini mengingat sastra diwacanakan sebagai
Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Arif Hidayat
2
INSANIA|Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009|221-230
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
bidang yang tidak jelas dan terlalu bebas. Mitos ini bersumber pada beberapa orang yang menjadi sastrawan dengan penampilan yang gondrong, pakaian compang-camping, kumal, dan sebagainya, meskipun secara eksistensinya sastrawan dinilai dari karya, bukan dari penampilan. Mitos seperti di atas menjadikan sastra secara akademik kurang mendapatkan tanggapan positif dari peserta didik dan guru. Kejelasan tujuan pengajaran (sastra) penting sebab ia akan memberikan pedoman bagi pemilihan bahan yang sesuai.8 Dengan adanya tujuan yang jelas, pengajaran sastra akan lebih terkonsentrasi pada materi yang telah disiapkan untuk mencapai kemampuan afektif, kognitif, atau psikomotorik. Secara praktis, penulis mengamati bahwa hal-hal yang berpengaruh terhadap pengajaran sastra di sekolah ada empat faktor, sebagai berikut. 1. Faktor Kurikulum Dengan adanya kurikulum yang berganti-ganti telah menyebabkan guru dalam menerapkan kurikulum di sekolah menjadi bingung. Sejauh ini, pemerintah sudah melakukan pembaruan kurikulum sebanyak enam kali. Dari kurikulum 1994 diganti dengan kurikulum 1995, setelah itu diganti dengan kurikulum 1997 dan 1999. Pada tahun 2004, pemerintah mengganti kurikulum yang lama dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tidak lama kemudian, hanya dalam selang waktu dua tahun, pada tahun 2006, pemerintah mengadakan pembaruan lagi, yaitu dengam mengganti KBK menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebenarnya, dalam sistem pendidikan nasional telah dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan isi, dan lahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berarti kurikulum memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan pembelajaran di setiap sekolah. Pada hakikatnya, pembaruan kurikulum atau bisa disebut gonta-ganti kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dalam kurikulum yang baru, yaitu KTSP, sekolah diberi kebebasan untuk menentukan sendiri kriteria ketuntasan belajar per indikator karena KTSP adalah satuan ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Dalam Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 ayat 15 dikemukakan bahwa KTSP adalah kurikulum yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing Satuan Pendidikan. Hal itu sebenarnya terkait dengan kebijakan politik Negara Indonesia yang sudah tidak lagi menggunakan sistem sentralisasi, tetapi menggunakan sistem desentralisasi. Oleh karenanya, daerah memiliki kewenangan untuk melakukan otonomi, dan tata letak pemerintahan tidak mutlak di pusat. Selain itu, KTSP juga merupakan bentuk reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing. Dalam pemberdayaannya, sekolah memiliki hak otonomi yang lebih besar atas pelaksanaan pendidikan. Pihak sekolah harus mewujudkan sikap tanggap dari pemerintah terhadap tuntutan masyarakat yang berupa sarana peningkatan kualitas, efisiensi, dan pemerataan pendidikan. Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Arif Hidayat
3
INSANIA|Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009|221-230
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Akan tetapi, dari gagasan yang sangat baik dalam KTSP tersebut, tidak semua sekolah menjalankan dengan baik. Pihak sekolah merasa belum siap menghadapi kurikulum baru. Beberapa sekolah masih beradaptasi dengan kurikulum baru ini. Dampak yang terjadi adalah beberapa pengajaran sastra masih terlihat monoton. Dalam pengajaran puisi, guru masih berkutat membahas puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan “Aku Ingin”-nya Sapardi Djoko Damono yang dianggap puisi kamar, dan beberapa Balada karya Rendra yang dianggap sebagai puisi auditorium. Dalam prosa, masih berkutat membahas novel “Siti Nurbaya”, “Salah Asuhan”, dan “Pada Sebuah Kapal”. Dari segi teori, hanya diperkenalkan pada unsur-unsur struktur. Dalam hal ini, siswa mengalami kebosanan karena tidak sebanding dengan dunianya dan pengajaran itu terlihat jadul. Dalam hal ini, pengajaran sastra di sekolah haruslah merujuk pada konteks realitas di masyarakat sekitar sehingga tidak menjenuhkan. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi.9 2. Faktor Guru Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik (Djamarah, 2005: 31). Dalam kurikulum lama, guru memiliki peran sebagai pengajar dan pemateri. Guru memberikan materi secara penuh dengan berbagai metode yang telah dimilikinya. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru memiliki peran sebagai fasilitator atas berjalannya proses belajar-mengajar di sekolah. Untuk menjadi fasilitator yang baik, guru harus mengetahui tujuan pembelajaran dan karakteristik siswa di sekolah sehingga pada akhirnya seorang guru juga mampu menjadi motivator yang baik. Cara guru mengetahui bagian dari tujuan pembelajaran yang belum dicapai oleh siswa secara individual adalah dengan cara mengetahui karakteristik siswa. Hal itu dikarenakan karakteristik siswa merupakan variabel dalam proses pembelajaran. Di sini, guru diharuskan selektif dan kritis terhadap fenomena yang terjadi di kelas dengan baik. Akan tetapi, untuk memahami karakteristik siswa sangatlah rumit karena terkait dengan bakat, minat, motivasi belajar, kemampuan berfikir, dan kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa tersebut. Karakteristik siswa juga dapat meliputi latar belakang keluarga, keadaan sosial ekonomi, usia, kegemaran pengetahuan. Namun demikian, ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru ketika tujuan pembelajaran belum dapat dicapai oleh siswa, yakni: a. Pengetahuan guru terhadap bidang setudi (subject matter knowledge). Pengetahuan ini merupakan pengetahuan seorang guru yang menekankan pada organisasi dan penyajian materi, pengetahuan akan pemahaman peserta didik terhadap materi dan juga pengetahuan tentang bagaimana mengajarkan materi tersebut. b. Pengetahuan guru terhadap sistem tindakan (action system knowledge). Pengetahuan ini merupakan bentuk pengetahuan seorang guru yang menekankan pada aktivitas guru, seperti Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Arif Hidayat
4
INSANIA|Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009|221-230
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
mendiagnosis, mengelompokkan, mengatur, dan mengevaluasi peserta didik, serta mengimplementasikan aktivitas pembelajaran dan pengalaman belajar. Kedua pengetahuan tersebut diperlukan guru dalam mengembangkan tujuan pembelajaran.10 3. Faktor Anak Didik Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam hal ini, anak didik sebagai manusia yang membutuhkan pendidikan untuk dibimbing dan dibina menjadi insan yang lebih baik. Pembinaan tersebut melalui sebuah proses, melalui pembenahan pengalaman, dan latihan untuk menghadapi kehidupan. Dalam pengajaran sastra di sekolah, ternyata masih ada sebagian siswa menganggap sastra sebagai materi yang menjenuhkan. Saiman11 mengatakan bahwa mengajar pelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan sebuah tantangan karena kurang diminati siswa. Siswa di sekolah menganggap bahwa bahasa Indonesia mudah dan tak perlu dipelajari secara serius. Saiman juga mengatakan bahwa siswa menganggap membaca dan menulis sastra sebagai kegiatan yang membosankan. Hal ini terjadi tentunya bagi mereka yang kurang bersemangat untuk belajar. Siswa sekarang tidak menyukai sastra karena menulis dan mengapresiasi sastra dianggap hanya pekerjaan orang pengangguran. Fenomena ini dapat dilihat pada puisi, cerpen, dan novel yang dianggap sebagai pencurahan perasaan saja. Siswa sekarang ternyata lebih cenderung mempelajari ilmu pasti yang mengarah pada olimpiade. Selama ini jarang sekali (mungkin belum ada) olimpiade bidang sastra. Adanya hanya lomba penulisan sastra yang lenyap setelah lomba itu selesai. Padahal, kepenulisan sastra membutuhkan ketelatenan. Oleh karenanya, dalam diri siswa tidak terbentuk sifat kritis untuk menulis karya sastra. 4. Faktor Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana menjadi bagian penting untuk menunjang pembelajaran sastra. Dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai akan memudahkan proses belajar. Dalam hal ini, sarana dan prasarana yang dapat menunjang pembelajaran sastra adalah buku di perpustakaan. Melalui buku, seseorang dapat membaca dan mendapatkan pengetahuan yang luas. Berdasarkan pengamatan penulis, tidak semua sekolah memiliki perpustakaan yang memadai. Dalam tulisan “Kreativitas Novel Bekas” di Majalah Horison, Mardi Luhung mengajak siswanya untuk mengumpulkan uang Rp 15.000,- per anak untuk membeli novel bekas. “Dari uang yang jumlahnya tak seberapa itu, aku pun mengajak mereka ke pasar loak di kotaku. Dan mengajari mereka membeli novel bekas. Dan tiap anak, harus membeli dengan judul yang berbeda-beda. Dan karena jumlah anak didikku di kelas sekitar 40 anak, maka kami pun mendapatkan sekitar 40 judul novel yang berbeda. Dan 40 novel itu aku bawa ke kelas. Tentu saja, karena novel itu bekas, pasti ada yang robek, tercoret, atau ada stempelnya. Tapi itu tak mengapa, sebab lewat kondisi yang bekas itu, aku dapat memberi pengajaran pada mereka, bahwa yang terpenting dari sebuah buku, bukanlah baru atau tidak, melainkan isinya.”12
Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Arif Hidayat
5
INSANIA|Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009|221-230
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Apabila mencermati pernyataan Mardi Luhung di atas, maka terindikasi bahwa sarana dan prasarana pengajaran sastra di sekolah masih sangat minim. Buku novel yang menjadi tumpuan pengajaran sastra, ternyata adalah novel bekas. Hal itu juga sebagai solusi untuk mengatasi minimnya koleksi perpustakaan sekolah.
Peningkatan Kualitas Pembelajaran Sastra di Sekolah Salah satu hal yang dibutuhkan ketika pembelajaran sastra dinilai belum mencapai hasil yang optimal adalah peningkatan pembelajaran sastra. Peningkatan pembelajaran sastra dapat melalui penelitian pengajaran sastra. Disadari atau tidak, penelitian pengajaran sastra sangat penting untuk meningkatkan pengajaran dan sekaligus mengembangkan sastra.13 Menurut pengamatan penulis, penelitian mengenai pembelajaran sastra di sekolah masih sangat minim. Penelitian yang dilakukan selama ini lebih mengarah pada penelitian terhadap teks sastra. Dengan adanya penelitian pembelajaran sastra di sekolah akan dapat diketahui mengenai indikasi secara rinci sekaligus sebab-sebab sastra Indonesia tidak berkembang. Melalui penelitian tersebut diharapkan dapat terselesaikan permasalahan-permasalahan yang selama ini terpendam. Banyak faktor yang menjadi pemicunya, misalnya guru kurang terampil mengontekstualisasikan materi pelajaran, kurangnya minat belajar siswa, atau faktor lingkungan yang tak pernah mengenal dunia sastra.
Penutup Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa keempat faktor tersebut saling terkait untuk menyukseskan pembelajaran sastra di sekolah. Akan tetapi, hal terpenting yang dapat meningkatkan mutu dari pengajaran sastra di sekolah adalah penelitian pengajaran sastra. Selama ini yang terjadi adalah adanya penelitian tentang teks sastra, jarang sekali penelitian pengajaran sastra.
Endnote Perkataan Rendra tersebut berdasarkan latihan yang telah dijalani oleh Raden Mas Sujono, pemuda remaja yang hidup pada ujung abad ke-18, ketika ia mengembara dan menggembleng diri di hutan. Remaja tersebut kemudian menjadi Pageran Mangkubumi, dan akhirnya pada tahun 1755 menjadi Sultan Hemengku Buwono I. W.S. Rendra dalam esainya berjudul “Kepekaan” yang kemudian dibukukan, dan buku tersebut diberi judul Memberi Makna pada Hidup yang Fana (Jakarta: Pabelan Jayakarta, 1999). hal. 147. 2 Ibid. hal. 143. 3 E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 19. 4 A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1982), hal. 1. 5 Mulyasa, Kurikulum, hal. 284. 6 Burhan Nurgiyantoro, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (Yogyakarta: BPFE 2001), hal. 284. 1
Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Arif Hidayat
6
INSANIA|Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009|221-230
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Ibid., hal. 320. Ibid. 9 Elain B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan (Bandung: Mizan learning Center, 2007), hal. 35. 10 Mulyasa, Kurikulum, hal. 223-224. 11 Saiman, “Mengekspresikan Diri Lewat Puisi” (Jakarta: Horison, XLIII, No. 8/ 2008, Agustus 2008), hal. 17, Kolom Kaki Langit. 12 Mardi Luhung, “Kreativitas Novel Bekas” (Jakarta: Horison, XLIII, No. 7/ 2008, Juli 2008), hal. 19, Kolom Kaki Langit. 13 Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), hal. 189. 7 8
Daftar Pustaka Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Johnson, Elain B. 2007. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Terj. Ibnu Setiawan. Bandung: Mizan learning Center. Luhung, Mardi. 2008. “Kreativitas Novel Bekas”. Jakarta: Horison. XLIII, No. 7/ 2008, Juli 2008. Hal. 19. Kolom Kaki Langit. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE. Rendra. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: PT Gramedia. . 1999. Memberi Makna pada Hidup yang Fana. Jakarta: Pabelan Jayakarta. Saiman. 2008. “Mengekspresikan Diri Lewat Puisi”. Jakarta: Horison. XLIII, No. 8/ 2008, Agustus 2008. Hal. 17. Kolom Kaki Langit. Sudjana, Nana. 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Arif Hidayat
7
INSANIA|Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009|221-230