HUKUM MERAYAKAN IBADAH NON-MUSLIM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Muhammad Irsyad Noor NIM: 1110043100003
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 05 Januari 2015
Muhammad Irsyad Noor NIM: 1110043100003
iv
ABSTRAK Muhammad Irsyad Noor, NIM: 1110043100003, “Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim”, Program Studi perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M. Tasyabbuh merupakan perbuatan mengikuti menyerupai non-Muslim baik dalam hal gaya hidup, berpakaian, dan sebahagian perbuatan mereka termasuk di dalamnya adalah peringatan hari-hari besar non-Muslim. Oleh karena itu, tasyabbuh merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam, sesuai sabda Rasulullah “barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat hal-hal yang sangat berkaitan dengan nonMuslim yaitu hubungan antar umat beragama dan juga kehidupan seorang Muslim yang tinggal di dalam masyarakat yang mayoritas non-Muslim. Penelitian ini menggunakan library research dengan analisis deskriptif. Di samping itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data dari kepustakaan yang kemudian dikelompokan menjadi data primer dan data sekunder. Cara mendapatkan data diperoleh dengan cara membaca literatur buku, makalah dan hasil laporan penelitian. Data mengenai hukum tasyabbuh lebih banyak bersumber dari buku karya Ibnu Taimiyyah. Tujuan penelitian yaitu untuk mengkaji kedudukan tasyabbuh dalam kehidupan sosial antar umat beragama seperti yang dilaksanakan oleh Gus Nuril Arifin sewaktu ikut menghadiri perayaan Natal di Gereja Bhetani Tayu Pati Jawa tengah pada tanggal 12 Desember tahun 2013. Berdasarkan metode yang digunakan, hasil penelitian menunjukan bahwa hukum tasyabbuh terhadap perayaan ibadah non-Muslim tidak semuanya tergolong perbuatan haram, namun ada juga yang mubah bila terlepas dari kemaksiatan, kerusakan akibat mengikuti perayaan ibadah non-Muslim tersebut dan juga keadaan di mana seseorang itu menjalankan kehidupan bermasyarakat. Kata kunci : Tasyabbuh Pembimbing : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1978 s.d Tahun 2011 .
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamîn, penulis ucapkan rasa syukur yang tak terkira ke hadirat Allah SWT, yang telah menerangi, menuntun, dan membukakan hati serta pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah ke haribaan Nabi Besar Muhammad SAW. Semoga kita mendapatkan syafa’at-nya kelak. Amin. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan kelulusan strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari peran dan sumbangsih pemikiran serta intervensi dari banyak pihak. Karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya: 1. Bapak Dr. J.M. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA, Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag. Lc. MA, Sekretaris Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA, Dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini dan terimakasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati serta nasehatnasehat berharga yang telah beliau berikan. Semoga beliau selalu dalam lindungan Allah SWT. 5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari mereka menjadi amal dan bermanfaat dunia dan akhirat.
vi
6. Teristimewa orang tua penulis, Abdul Azis Noor ayahanda dan Marsiyah Ibunda tercinta yang telah mengantarkan penulis hingga seperti sekarang dengan penuh kasih sayang, do’a, kesabaran, keikhlasan, dan perjuangan hidup demi kelangsungan pendidikan putra-putrinya. Pimpinan dan segenap staff perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini. 7. Tak lupa kepada sahabat-sahabat penulis senasib seperjuangan di Perbandingan Mazhab Fiqih. Banyak kenangan yang sudah terjadi bersama kalian baik suka maupun duka, yang pasti akan menjadi sebuah cerita di masa depan. diucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan mohon maaf jika ada salah kata. Kesuksesan untuk kita semua. Aminn. Semoga semua kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan mendapat ridha dari Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Jakarta, 05 Januari 2015 M
Penulis
i
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
.................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... iv ABSTRAK .................................................................................................................. v KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi DAFTAR ISI ................................................................................................................ vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 8 D. Metode Penelitian .................................................................................. 8 E. Sistematika Penulisan ............................................................................ 11
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI IBADAH DAN TASYABBUH A. Pengetian dan Hakikat Ibadah ............................................................... 13 a. Pengertian Ibadah .............................................................................. 13 b. Hakikat Ibadah .................................................................................. 15 B. Larangan Tasyabbuh dalam Islam ......................................................... 16 C. Dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Hadits ....................................................... 20 D. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non-Muslim ........................................... 25 vii
A. Bentuk-bentuk Tasyabbuh ...................................................................... 26 BAB III HUKUM MENGIKUTI PERAYAAN HARI BESAR NON-MUSLIM A. Hukum Mengikuti Perayaan Hari Besar Non-Muslim .......................... 33 B. Hukum Memberi Salam dan Mengucapkan Selamat pada Hari Raya nonMuslim ................................................................................................... 42 BAB IV
HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM A. Hubungan Sosial Muslim dengan non-Muslim ..................................... 48 B. Alasan dan Dampak Mengikuti Peribadatan non-Muslim .................... 52 a. Alasan Mengikuti Ibadah Non-Muslim .............................................. 52 b. Dampak dari Mengikuti Ibadah Non-Muslim .................................... 56 C. Analisa Penulis Mengenai Tasyabbuh Terhadap Peribadatan NonMuslim ................................................................................................... 57
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................ 61 B. Saran-saran ............................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 64
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan beragama tidak terlepas dari pemenuhan spiritual yang telah diajarkan oleh setiap agama. Setiap umat beragama dituntut untuk melaksanakan ibadah tersebut sebagai nilai keluhuran rohani dan tingkat pengabdiannya kepada Tuhan. Pengamalan spriritual tersebut meliputi aspek eksoteris dan esoteris. Dalam aspek eksoteris, setiap agama memiliki cara atau bentuk jasmaniah yang dapat diamati di dalam praktek upacara ritual yang dilakukan masing-masing agama. Sedangkan dalam aspek esoteris, setiap agama memiliki substansi yang sama, yakni hubungan yang bersifat rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Aspek esoteris dalam setiap agama memiiliki kesamaan rohaniah mengenai ajaran kecintaan terhadap Tuhan.1 Pada waktu Nabi muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dan dalam keadaan tertentu yang tidak ada jawabannya didalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut al-Hâdis atau Sunnah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “sumber pokok hukum Islam”.2
Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tashawwuf dan Taqarrub) (Jakarta: Atisa, 1992), h.184. 1
2
Amir Syarifudin, UshulFiqh, jil. i. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 33.
1
2
Terhadap pemeluk agama lain, kaum muslimin diperintahkan agar bersikap toleran. Sikap toleran terhadap non-muslim itu hanya terbatas pada urusan yang bersifat duniawi, tidak menyangkut masalah aqidah, syariah, dan ibadah. Firman Allah Swt :
َ َ ُ ٞ َ ۠ َ َ ٓ َ َ ُ ُ َ ٓ َ َ ُ َٰ َ ُ َ ٓ َ َ َ ُ ُ َ َ ُ ُ َ ٓ َ َ ُ َٰ َ ُّ َ َٰٓ ۡۡقل ۡون وَلۡأنتمۡعبِدونۡماۡأعبدۡ وَلۡأناَۡعبِد ۡ َۡلۡأعبدۡماۡتعبد.ون ۡ يأيهاۡٱلكفِر ُ ُ ُ َ ُ ُ َ ٓ َ َ ُ َٰ َ ُ َ ٓ َ َ ُّ َ َ َّ َ كم َ ۡو ۡ (٩-٦:٩٠١ /ِين(الكافرون ِۡ ِلۡد ِين د ۡ م ك َلۡأنتمۡعبِدونۡماۡأعبدۡ ل ۡ ماۡعبدتمۡ و ِ Artinya : “Katakanlah: hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”
Seorang ahli fiqih lebih mirip seorang dokter. Seorang dokter tidak akan bisa menentukan obat bagi pasiennya kecuali setelah memperhatikan, memeriksa dan menanyakan pasien tersebut, sehingga dokter ini dapat mengetahui kapan pasiennya mulai sakit, sejauh mana rasa sakitnya, dan separah apa penyakit yang dirasakannya. Setelah itu, baru sang dokter dapat menentukan obat yang cocok bagi pasiennya. Berkaitan dengan hal ini, Imam Ibnu Qayyim berkata dalam kitab ‘al-I’lam’ yang ditulisnya: “seorang mufti dan hakim (qȃdhȋ) tidak mungkin bisa menentukan fatwa dan hukuman secara benar kecuali setelah memahami dua bentuk pemahaman. Pertama, memahami realitas dan mendalaminya, menyimpulkan hakikat satu ilmu yang tejadi akibat sebab-sebab (al-qarȃin), tanda-tanda dan isyarat-isyarat hingga ia mendalaminya secara cermat. Kedua, memahami sesuatu
3
yang wajib dan realitas tersebut, yaitu memahami hukum Allah yang telah diperintahkan dalam kitab-Nya atau melalui rasul-Nya dam hal realitas tersebut. Kemudian, mencocokan salah satu bentuk tersebut dengan bentuk lainnya. Dengan demikian, barang siapa yang telah bersungguh-sungguh dan mencurahkan kemampuannya dalam hal tersebut, ia tidak akan ditinggalkan dua pahala atau satu pahala.”1 KH Nuril Arifin atau yang biasa disapa dengan sebutan Gus Nuril menerima undangan dari Pendeta dan gembala sidang Gereja Bethany Tayu, Pati-Jawa Tengah 9 Desember 2013, bukan sekedar hadir namun sebagai salah satu pembicara atau penceramah. Gus Nuril memberikan ceramah tentang membangun hubungan antarumat beragama guna membangun kesatuan dan kekuatan bangsa dan negara. Apakah ini termasuk toleransi antarumat beragama? Toleransi antar Agama Dalam masyarakat Jawa sering disebut dengan teposeliro, Kalau aku senang orang lain pun senang, kalau aku tidak suka orang lain pun tidak suka. orang yang toleran senantiasa membina persaudaraan serta menghindari konflik dengan orang lain. Ia memiliki prinsip hidup dan falsafah, “teman seribu terasa kurang, musuh satu terlalu banyak.” Islam mengajarkan bahwa sesama muslim
1
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, fatwa kontemporer terhadap kaum muslimin di tengah masyarakat non-muslim. Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 52.
4
harus bersatu serta tidak boleh bercerai-berai, bertengkar, dan bermusuhan, karena sesama muslim adalah saudara.2 Jika memperhatikan isi ceramahnya, ada juga videonya, ceramah Gus Nuril Arifin tersebut serat dengan unsur dakwah di dalamnya, karena dalam ceramah Gus Nuril sangat mengagungkan Nabi Isa dan Nabi-nabi terdahulu tetapi sama sekali tidak ada kalimat yang menyatakan Tuhan Yesus atau Tuhan Isa, tapi beliau menyatakannya dengan Nabi Isa. Mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah lah yang telah menciptakan jin-jin itu, dan mereka berbohong (dengan mengatakan), 3
َ ۡسب َ ۡلۡۥۡبَن ُ ۡو َب َنَٰتۡب َغۡيۡعِلم َّ ُِۡش ََك ٓ َءۡٱۡل َ ني َ ۡۖنۡ َو َخلَ َق ُهم ُ َ ۡو َخ َر ُقوا َ ُ َو َج َعلُواۡۡ ِ َّّلِل َٰ َ َٰ حَٰ َن ُۡهۥۡ َوتَ َع َۡل ۡ ِ ِۢ ٖۚ ِ ِ ِ َ َ َ َ َّ ُ َ ٞ َ َٰ َ ُ َّ ُ َ َ َ ٞ َ َ ُ َ ُ ُ َ َٰ َّ َ َ ُ َ ۡۖۡحبة ۡ ۡرض ۡأَّن ۡيكون ۡلۡۥ ۡوَل ۡولم ۡتك ۡ ِ ت ۡ ۡوٱۡل ِۡ َٰ ِيع ۡٱلسمَٰو ۡ بد١٠٠ۡ ع َّماۡيَ ِصفون ِ نۡلۥ ۡص َ ُ َ َّ ُ َ َ َ َُ ٞ ۡعل (٩٠٠-٩٠٩:٦/ (الانعام١٠١ِۡيم ۡوه َوۡبِك ِلَۡش ٍء َوخل َقُۡكَۡشء Artinya : “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”
2
Moderasi Islam: Tafsir Al-Qur’an Tematik, vol. 4 (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an), h.
36. Jum’ah Amin Abdul Azis, Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiyah. Penerjemah, Abdus Salam Masykur (Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2001), h. 132 3
5
Para Rasul telah berdakwah dan menyeru manusia untuk mengesakan Allah dan melarang mereka dari menyekutukan-Nya. Mereka telah menjelaskan hakikat tauhid itu dengan uslub yang beraneka ragam, antara lain dengan memperhatikan ayat-ayat kauniyah, mengingatkan manusia akan nikmat Allah, menjelaskan akan sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada-Nya, atau dengan argument-argumen yang logis, dengan membuat permisalan-permisalan, atau dengan merenungi diri manusia itu sendiri dan cakrawala alam semesta.4 Allah SWT berfirman :
َ َّ َ َ َٰ َ ُ ُ َ َ َّ َ َ َ َ ۢ َ ُ َّ َُ ََ ُ َ َ ۡي َ ۡغ ِ ب ۡس ۡ ۡ ى د ه ٱل ۡل ني ب اۡت ِۡم د ع ۡب ن م ۡل ِۦۡ َما ِۡ ِنيۡنۡ َو ۡ يلۡٱل ُمؤ ِمن ع ب ت ي و ۡ ۡ ول ۡ س ٱلر ۡ ِق ق ا ش ۡومنۡي ِ ِ ِ ِ َ ۡو َسا ٓ َءت ً ۡم ِص َ ۡۖۡونُصل ِ ۡهِۦۡ َج َه َّن َم َ تَ َو َّ َِٰل (٩٩٤:٤/ ۡياۡ(النساء
Artintya : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Banyak orang-orang yang mengatakan bahwa Gus Nuril telah menyimpang dari ajaran Islam, karena mengikuti ibadah hari besar non-muslim (Natal) dengan alasan menyerupai orang-orang kafir.
Jum’ah Amin Abdul Azis, Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiah, h.133. 4
6
ۡحدثناۡعثمانۡبنۡايبۡشيبةۡاخربناۡابو انلرض ۡاخرنا عبد الرمحنۡبنۡثابتۡاخربنا ۡحسانۡبنۡعطيةۡعنۡايبۡمنيبۡاۡلريىشۡعن ابنۡعمرۡقالۡقالۡرسولۡاّلِلۡصَلۡاّلِل َ )( رواهۡابوۡداود.5منۡتشبه بقومۡفهوۡمنه ۡ:ۡعليهۡوسلم Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah Menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabuh (menyerupai) dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." (H.R. Abu Daud).
Hadis di atas menetapkan bahwa haramnya meniru mereka dan secara dzahir menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur.
Apakah hukum mengucapkan salam kepada non muslim? Bagaimanakah hukum berbaik hati dalam menghadiri pesta perkawinannya yang diwajibkan itu? Lalu, apa hukum mengucapkan selamat terhadap hari-hari raya non muslim, lebihlebih jika dia mengucapkan selamat terhadap hari-hari raya kaum muslimin? Bolehkah kita mengucapkan selamat kepada non muslim, khususnya di hari raya natal (cristmas).6 Sebagaimana kita melihat ada sebagian kaum muslimin yang ikut merayakan natal dan hari besar non-muslim lainnya, seperti mereka juga ikut merayakan Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi, diantara keduanya (muslim dan nonmuslim) terdapat hubungan kerabat, tetangga, teman, dan hubungan-hubungan
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aunu al-Ma’bud bi syarh sunan Abu Daud, jil. 11, no. hadis: 4031 (Dar al-fikr, 1979), h. 165. 5
6
h. 25.
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004),
7
sosial lainnya yang membutuhkan rasa cinta, kasih sayang dan hubungan yang baik, yang biasa berlaku dalam tradisi masyarakat yang sehat. 7 Oleh sebab itu, wajib bagi kita untuk melahirkan kajian fiqh yang cermat, realistis dan kontemporer. Yaitu, kajian fiqh yang berangkat dari teks-teks yang jelas hukumnya (muhkamat), dari kaidah-kaidah Syariah dan maqȃshid-nya. Akan tetapi kajian tersebut tetap relevan dengan perubahan zaman, tempat dan kondisi manusia. Kajian inilah yang kami usahakan dalam pembahasan skripsi ini. Skripsi ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan elemen-elemen atTasyabbuh ataupun penyerupaan orang Islam dengan bukan Islam dan gejolak sosial yang terjadi di Masyarakat. Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya dan kepada-Nya kami meminta pertolongan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pada penelitian ini penulis akan membatasi pembahasan hanya beberapa pendapat ulama Mazhab (di antara banyak mazhab yang ada) tentang Tasyabbuh yang terdapat kontradiktif di dalamnya. Untuk mempermudah pembahasan masalah di atas, penulis kemudian merumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut: 1. Apa Definisi Tasyabbuh? 2. Bagaimana Interaksi Sosial Muslim dengan Non-Muslim? 3. Bagaimana Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim?
7
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, h. 205.
8
C. Tujuan Penulisan Setiap penelitian yang dilakukan meniscayakan adanya tujuan. Adapun tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Khusus A) Memenuhi syarat menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. B) Untuk mengetahui bagaimana hukum mengikuti ibadah non-Muslim. C) Mengetahui gejolak sosial yang tejadi di dalam masyarakat terhadap perayaan ibadah non-Muslim. D) Mengetahui bagaimana interaksi sosial yang dibolehkan dalam Syariat. 2. Tujuan Umum a) Memberikan kontribusi kepada umat Islam dalam perbedaan pendapat. b) Menstimulus para ulama fiqih untuk membantu umat islam yang awam dalam mengamalkan ajaran agama dengan memberikan pendapat yang paling kuat dan sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. D. Metode Penelitian Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah.8 Metodologi mempunyai beberapa pengertian, yaitu (a) logika dari penelitian
8
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 3
9
ilmiah, (b) studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan (c) suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui penelitian tersebut, diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena itu, metodologi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.9 1. Jenis Pendekatan Dalam ini penulis menggunakan metodelogi dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natual setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis data kualitatif cendrung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang esensial.10 Juga perlu dikemukakan metode penelitian kualitatif tidak membutuhkan populasi dan sampel.11 Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seorang,
9
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 17.
10
Lexi J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002) cet. 13, h. 135. 11
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 105.
10
lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya. 12 2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data ini, terbagi kedalam dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu kitab-kitab fiqih dan hadis. Sedangkan datadata sekunder diambil dari kitab-kitab yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diangkat dengan menggunakan sumber-sumber baik berupa karya ilmiah, berupa buku-buku yang relevan, serta karya tulis lainnya yang membahas permasalahan terebut. 1. Instrument pengumpulan data Dengan membaca buku literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini. Pengumpulan data berasal dari artikel, buku-buku, majalah-majalah,
serta
informasi-informasi
tertulis
lainnya
yang
berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini. 2. Metode analisis data Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis dan komparatif. Metode deskriptif yaitu sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dan merujuk pada kata-kata yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian menganalisanya secara proporsional dan komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian
12
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press, 2007), h. 67
11
jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid. 3. Teknik penarikan kesimpulan Pada penelitian ini dengan menggunakan deduktif dan induktif. Induktif yaitu menarik kesimpulan yang bersifat umum dari uraian-uraian yang bersifat parsial yang terdapat dalam penelitian ini. Deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan bersifat khusus dengan menggunakan ukuran dan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang bersifat umum. 4. Teknik penulisan Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2013. E. Sistematika Penulisan Penelitian didefinisikan oleh banyak penulis sebagai suatu proses yang sangat sistematik. Penelitian menggunakan metode ilmiah, penyelidikan pengetahuan melalui metode pengumpulan data, analisis dan interpretasi data. Dikaitkan dengan metode ilmiah, suatu proses penelitian sekurang-kurangnya berisi suatu rangkaian urutan langkah-langkah.13
13
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 5
12
Penulisan ini dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis dan terarah agar hasilnya dapat diperoleh secara optimal. Pembahasan ini dituangkan dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab satu berisi pendahuluan yang melingkupi latar belakang penulisan skripsi ini, selanjutnya penulis melakukaan identifikasi terhadap masalah yang sedang penulis bahas. Untuk menghindari pembahasan yang teralalu luas maka penulis berusaha membatasinya dengan batasan yang penulis rasa cukup disertai dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Dan terakhir, penulis membuat sistematika penulisan agar penelitian ini teratur dan terarah. Bab dua berisi tinjauan umum tentang Ibadah, tasyabbuh, dasar-dasar tasyabbuh kemudian hukum tasyabbuh dan bentuk-bentuk tasyabbuh. Bab tiga berisi tentang hukum mengikuti perayaan hari besar non-muslim, hukum memberi salam dan mengucapkan selamat pada hari raya non-muslim. Bab empat berisi hubungan sosial muslim dengan non-muslim, alasan dan dampak, serta analisa mengenai hukum mengikuti peribadatan non-Muslim. Pada bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan pembahasan tema yang dipilih dan saran-saran.
BAB II TASYABBUH A. Pengertian dan Hakikat Ibadah a. Pengertian Ibadah Menurut ulama tauhid mengatakan bahwa ibadah adalah meng-Esakan Allah Swt. Dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukan jiwa setunduk-tunduknya kepada-Nya.1 Pengertian ini didasarkan pada firman Allah Swt :
ْ ُ ُۡ ُُۡ ْ ه َت َل و (٦٣:٤/َۡشكواَ(النساء َ َّلل وَٱعبدواَٱ ِ
Artinya : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”.
Menurut ulama fiqih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh keridlaan Allah Swt. Dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat. Secara bahasa, ibadah berasal dari kata يعبد- عبدmasdarnya عبادةyang berarti mengesakan; menyembah; mengabdi; menghinakan diri kepada Allah SAW.2 Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam QS Yasin 36 : 60:
1
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam (Bogor: Kencana, 2003), h. 135. 2
Kamus al-Azhar, (Jakarta Selatan: Senayan Publising, 2010), h. 486.
13
14
ا ُُۡ ْ ا ُ ۡ ۡ ۡ ۡ ّٞ َمب ُّ ّٞ ُ ۡ َُ لش ۡيطَٰن َإنا َُهۥ َل ٓ ِ ك ۡم َيَٰب ِن َءادم َأنََّل َتعبدوا َٱ أَلم َأعهد َإَِل َني َ(يس ِ َۖ ِ كم َعدو
.(٣٦:٦٣/
Artinya : “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu wahai bani adam supaya kamu tidak menyembah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu”.
Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya ada lima macam , yaitu: 1. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berdzikir, berdo’a, tahmid, dan membaca Al-Qur’an. 2. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan wujud perbuatannya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan tajhiz al-janazah (mengurus jenazah). 3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, seperti shalat, zakat, dan haji. 4. Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, iktikaf, dan ihram. 5. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.1 Kewajiban-kewajiban ini dinamakan syiar-syiar karena merupakan tanda dan simbol penampilan yang membedakan kehidupan individu Muslim dan
1
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.
137.
14
15
kehidupan non-Muslim sebagaimana membedakan masyarakat Islam dan masyarakata non-Islam.2 a. Hakikat Ibadah Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah Swt. yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya. Hal ini seperti firman Allah Swt. Dalam QS al-Dzâriyat [51]:56:
ۡ ۡ ُ ۡ ا ا َ ُ ََل ۡع ُب )٦٣:٦٥ ونَ(الذاريات د َّل إ َ نس ٱۡل ِ ِ ِ ِ وماَخلقت ِ َٱۡلنَو
Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Pada Hakikatnya manusia itu diperintahkan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Karena itu, tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya.3 Allah Swt. Berfirman dalam QS Al-Baqarah [2]:21:
ا
ا
ا
ْ
ۡ ُ ا ُ ُ ُ ُ َٰٓ ََك ۡمَت ات ُقون َوٱَّلِينَمِنَق ۡبل ِك ۡمَلعل َ اسَٱع ُب ُدواَر ابك ُمَٱَّلِيَخلقك ۡم يأ ُّيهاَٱنل
)٢٥ :٢/ (البقرة
Artinya : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa”.
2
Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, Penerjemah Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 42. 3
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.
139.
15
16
Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah Swt.4 B. Larangan Tasyabbuh dalam Islam Tasyabbuh ( )التشبّهmenurut bahasa adalah :
ماثله: أشبه الشئ الشئ
“menyerupai” sesuatu terhadap sesuatu atau saling menyerupai. Kata-kata تشبّه
بغيرهberarti si fulan menyerupai hal tersebut atau serupa dan selaras dengan orang lain, orang yang menyimpang di dalam perbuatan.
التشبيه: “perumpamaan”.
Sebagian ulama menerangkan “bertemunya satu perkara dengan perkara lain karena sifat yang mempunyai bagian antar keduanya." Seperti menyerupainya seorang laki-laki dengan macan di dalam hal keberanian.5 Bagi al-Munawi, tasyabbuh bermaksud berhias seperti mana mereka berhias, berusaha mengenali sesuai dengan perbuatan mereka, berakhlak dengan akhlak mereka, berjalan seperti mereka berjalan, menyerupai mereka dalam berpakaian dan sebahagian perbuatan mereka. Adapun tasyabuh yang sebenarnya adalah bertepatan dari segi aspek zahir dan batin.6
4
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.
5
al-Mu’jam al-Wâsit. (tp., 1985), h. 490.
140. Muhammad ‘Abd Ra’uf al-Munawi, Faid al-Qadir Syarh Jami’ al-Saghir (Beirut Dar alMa’rifah, 1408 H), h. 6. 6
16
17
Berkaitan dengan larangan tasyabbuh ini, Allah SWT berfirman:
ا ا َٰ َٰ ا َٰ ا ُ ا ُ ُۡ ا ُ ۡ َٰ ولنَت ۡر َٰ َِهو َٱل ۡ ُهد َۡۗى َّت َتتبِع َمِلت ُه ۡمَۗۡقل َإِن َهدىَٱَّلل َض َعنك َٱَل ُهود َوَّل َٱنلصرى َح ۡ ٓ ُ ۡ ا ۡ ۡ ٓ ا ا ۡ َٱتب َري ص َن َّل و َ ل َ ِنَو م َِ َٱَّلل ِن م َ ك اَل َم م ل ع َٱل ِن م َ ك ء ا ِيَج َٱَّل د ع مَب ه ء ا و ه َأ ت ع ولئ ِ ِن ِ ِ ِ ِ ي ٍ َ (٥٢٦:٢/َ(ابلقره Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. Pada ayat di atas, Allah SWT memberi khabar pada kata “millatahum” maksudnya adalah agama mereka.7, tetapi ketika melarang, Allah SWT mengungkapkannya dengan kata “ahwa’ahum” karena kaum Nasrani dan yahudi tidak akan senang kepada kamu kecuali mengikuti agama mereka secara mutlak.8 Termasuk dalam mengikuti adalah dengan menyerupai mereka karena menyerupai mereka berarti mengikuti keinginan mereka. Maka, orang-orang kafir senang jika jika orang-orang Islam menyerupai sebahagian daripada urusan mereka. Ini disebabkan dengan menyerupai satu urusan, boleh menjadi pendorong untuk menyerupai dalam hal-hal lain.9
7 Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin As- Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain berikut asbâbun nuzûl ayat, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, vol. 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), h.63.
Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr Beirut-Libanon, 2003), h. 19. 8
9
Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm, h. 19.
17
18
Berkaitan dengan sikap orang-orang muslim terhadap non-muslim, suatu ketika sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah SAW mereka berkata, “As-Saamu ‘laikum.” (semoga kematian menimpamu menjawab). Maka Aisyah berkata, “aku memahami kalimatnya.” (semoga kematian dan laknat menimpa kalian). Maka Rasulullah SAW berkata, “Tenanglah wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam setiap urusan.” Aisyah berkata, “wahai Rasulullah, apakah anda tidak mendengar apa yang mereka katakan?” Rasulullah SAW menjawab, “Aku telah berkata ‘wa’alaikum’ (dan bagimu juga).10 Berkaitan dengan dengan sikap terhadap non muslim, Allah SWT berfirman:
ا ُ ُ ُ ُ َٰ ُ ۡ ُۡ ُ ُّ ُ َٰ ۡ ا ۡ وك ُ ك ُم ا َ َب ِينَول ۡمَُي ِر ُجوكمَمِنَدِي َٰ ِرك ۡمَأنَت ََوه ۡم َٱل َِف م ل ت ق َي م َل ِين َٱَّل ن َع َٱَّلل َّلَينهى ِ ِ ِ ِ ۡ ۡ ُّ ُ ُ ۡ ُ ٓ ْ ۡ ۡ ا ا َ (٨:٣٦/َس ِطنيَ(الممتحنة وتقسِطواَإَِل ِه ۚۡمَإِنَٱَّللَُي ِ ِبَٱل ُمق Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Ketika berbicara tentang sikap adil, ayat yang sama juga mengantarkan pada hal yang menyinggung sikap adil ini dan berbuat baik kepada orang sepanjang dia tidak memerangi atau mengusir kaum muslimin.11 Seorang Filosofis Mr. N.E. Algra mengatakan bahwa keadilan itu adalah persoalan kita semua dalam suatu
Sa’id bin ShabirAbduh, Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan, Penerjemah Nurkholis (Jakarta: Griya Ilmu, 2005), h. 324. 10
Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah (Bandung: Penerbit Marja, 2006), h.193. 11
18
19
masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban itu. Orang tidak boleh netral apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.12 Dengan demikian, jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah manhaj Allah dan syari’at-Nya. Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitabNya agar manusia berlaku adil. Dengan keadilan, bumi dan langit akan menjadi makmur. Apabila tampak tanda-tanda keadilan dan tampak keadilan itu dengan cara apapun, maka itulah syari’at Allah dan rasul-Nya.13 Sunnah Allah juga memutuskan bahwa segala perkara manusia dalam dunia yang dilaksanakan dengan sikap adil sekalipun perkara dosa lebih sering sukses dibandingkan perkara yang dilaksanakan dengan sikap zalim sekalipun tidak dalam perkara dosa. Oleh karena itu, ada yang berkata: “sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil sekalipun negara kafir, dan Dia tidak akan menegakkan negara yang zalim sekalipun negara itu negara muslim.” Ada juga yang berkata: “dunia akan abadi dengan keadilan walalupun bersama kekafiran, dan tidak akan abadi dengan kezaliman walaupun bersama keislaman. Sebab, keadilan adalah sistem segala sesuatu. Maka apabila perkara dunia dilaksanakan dengan adil, pasti akan sukses sekalipun pelakunya di akhirat kelak tidak mendapatkan bagian apa-
12
Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya (Bandung : Remadja Karya Offset, 1989), hal. 25. 13
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 204.
19
20
apa, dan apabila tidak dilaksanakan dengan adil, pasti tidak akan sukses sekalipun pelakunya di akhirat kelak mendapatkan balasan atas keimanannya.14 C. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits Allah SWT berfirman :
ۡ ْ ُ ُ ْٓ ُ ۡ ۡ ا ۡ ُُ ُُ ۡ ۡ ا َََّلِك ِر َٱَّللَِوماَنزل َمِن َٱۡل ِق َوَّل َيكونوا ِ ألَم َيأ ِن َل َِّلِين َءامنوا َأن ََتشع َقلوبهم ۡ ُ ۡ ا ۡ ْ ُ ُ ُ ۡ َٱۡلم ُد َفقس ُ ُت َقُل َّ َم ِۡن ُه ۡمٞوب ُه ۡمَۖ َوكثِري كٱَّلِين َأوتوا َٱلكِتَٰب َمِن َق ۡبل َفطال َعلي ِهم ُ َ (٥٣:٦٥/َفَٰسِقونَ(اۡلديد Artinya : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”. Allah SWT berfirman, “dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras”. Allah malarang orang-orang menyerupai orang-orang yang telah menerima al-Kitab sebelum mereka, dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Ketika masa telah berlalu lama, maka diubahlah Kitab Allah dengan tangan-tangan mereka sendiri dan mereka menukarnya dengan harga yang teramat sedikit dan melemparkannya dibelakang punggung mereka, dan mulailah menghadapkan diri terhadap pendapat-pendapat yang bersimpang siur. Mereka bertaklid kepada beberapa orang laki-laki mengenai urusan agama mereka
14
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h, 207.
20
21
dan menjadikan pendeta-pendeta dan uskup-uskup mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Karena itulah hati mereka menjadi keras, mereka tidak lagi mau menerima nasihat. Hati mereka tidak menjadi lunak ketika mendengar berita baik atau kabar ancaman. “Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” Yaitu, fasik di dalam amal-amal mereka. Hati-hati mereka rusak dan amalamal mereka semuanya batil. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
ْ ۡ ُُ ۡ ُ ُ ۡ ا ا َاض ِع َهِۦَون ُسوا ِ ض ِهمَمِيثَٰق ُه ۡمَلعنَٰ ُه ۡمَوجعلناَقلوب ُه ۡمَقَٰسِيةََُۖي ِرفونَٱلَك ِمَعنَمو ِ فبِماَنق ْ ُ (٥٦:٦/َحظَاَم اِماَذك ُِرواَبِهَِ(المائدة
Artinya : “(tetapi), karena mereka melanggar janjinya, kami kutuk mereka dan kami jadikan hatinya keras membatu. Mereka semua mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah mereka diperingatkan dengannya”.
Itulah sebabnya Allah SWT melarang orang-orang beriman bersikap sama dengan mereka dalam perkara apa pun, baik masalah pokok ataupun masalah furu’.15 Nabi Muhammad SAW bersabda:
َحدَثناَعثمانَبنَايبَشيبةَاخَبناَابوانلرضَاخرناعبدالرمحنَبنَثابتَاخَبناَحسان َ(َ:َبنَعطيةَعنَايبَمنيبَاۡلريىشَعنابنعمرَقالَقالَرسوَّللَصىلَاَّللَعليهَوسلم .)منَتشبَه بقومَفهوَمنهمَ)َ(رواهَابو داود
16
15
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, vol. 4 (Jakarta: Gema Insani Press), h. 599ز Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aunu al-Ma’bud bi syarh sunan Abu Daud, h. 165.
16
21
22
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu AnNadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Barang siapa bertasyabuh (menyerupai) dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka".
Muhammad Ibn Abi Syaibah dalam Musnafnya,
َحدثناَهاشمَبنَالقاسمَقالَثناَعبدَالرمحنَبنَثابتَقالَثناَحسانَبنَعطيةَعن َ َ" َإن:َ َقالَرسولَاَّللَصىلَاَّللَعليهَوسلم:َأيبَمنيبَاۡلريشَعنَابنَعمرَقال َاَّللَجعلَرزيقَحتتَرميحَوجعلَاَّللةَوالصغارَىلعَمنَخالفَأمريََمنَتشبه .17َ)بقومَفهوَمنهم" (رواه ابو داود Artinya : “dari Abu Munib al-Jarsyi, dari ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW beersabda: Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan pedang, dan dijadikan hina dan kecil barang siapa yang menyalahi urusanku, dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum dia adalah dari kalangan mereka”.
Imam at-Tirmidzi berkata :
ََأنَرسلَاَّلل:حدثناَقتيبةَحدثناَابنَلهيعةَعنَعمروَبنَشعيبَعنَأبيهَعنَجده َ.ََّلَتشبهواَباَلهودَوَّلَبانلصار.َليسَمناَمنَتشبهَبغريَمنا:صلَاَّللَعليهَوسالمَقال َاۡلشارةَباۡلكفَ(رواهَالرتمذي َِ َ:َوتسليمَانلصار,َاۡلشارةَباۡلصابع:فإنَتسليمَاَلهود
.)
18
Artinya : “bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai dengan selain kami. Janganlah menyerupai orang yahudi dan orang Nasrani. Maka apabila berdamai dengan yahudi isyaratnya dengan jari-jari dan apabila berdamai dengan Nasrani isyaratnya dengan telapak tangan.” 17
Muhammad Ibn Abi Syaibah, al-Musnaf Ibn Abi Syaibah, juz. 7, ( Dar El-Fikr, t.t), h. 457.
18
Sunan at-Tirmidzi, jil. iv (Dar al-Fikr, t.t), h. 159.
22
23
Hadits-hadits lain berkenaan dengan Tasyabbuh: 1. Syariat makan sahur untuk membedakan dengan ahli kitab.
َ َفصل َما َبني:عن َعمر َوبن َالعاص َان َرسول َاَّلل َصىل َاَّلل َعليه َوسلم َقال َ
19
.)صيامناوصيامَاهلَالكتابَالكةَالسحرَ(رواهَمسلم
Artinya : Dari ‘Amru bin ‘Ashr.a., Rasulullah SAW bersabda: “pebedaan puasa kita dengan puasa ahli kitab, ialah makan sahur”.
2. Disyariatkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk membedakan dengan kaum musyrikin. Rasulullah SAW bersabda:
ُ ُ ُ ُْ ُْ ُ يدَبْ ُن ُ َعثْمانَح ادثناَيز ََزريْ ٍعَع ْنَعمرَب ْ ِنَُم ام ٍدَح ادثناَناف ٌِعَع ْن ح ادثناَسهلَبن ِ ا ْ ُْ ُ ُْ ُ ُ ا ُ َْاَّلل َعلي ُ َاَّللِ َص اىل ا َْشك ِني َأحفوا م َال وا ِف ل ا َخ م ل س َو ه قال َرسول:َاب ْ ِن َعمر َقال ِ ِ ُ ا 20 .)الشوارِبَوأ ْوفواَالل ِيحََ(رواهَمسلم Artinya : “meriwayatkan kepada kami Sahal Ibn Utsman, meriwayatkan Yazid Ibn Zura’ dari Umar Ibn Muhammad meriwayatkan kepada kami Nafi dari Ibn Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda berbedalah kalian dengan orangorang musyrik cukurlah kumis dan panjangkan jenggot”.
3. Larangan membangun masjid di kuburan karena menyerupai Ahli al-Kitab. Rasulullah SAW bersabda:
19
Shahih Muslim, jil. 2, hadis no. 2096 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 770.
20
Sahih Muslim, jil. 1, (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 377.
23
24
ْ ْ ا ُ ُ ح ادثِن ْ ُ ِبَص اىل ا ُ َجنْد ٌبَقالس ِم ْع تَانلا ا ََِب ْم ٍسَوهو ِ َاَّللَعليهَِوسلمَقبلَأنَي ُموت ِ ِ ُ ْ ا ا ُ ُ ْ ٌ ا ا ا ُ ْ ُ ْ َََلَمِنك ْمَخل ِيلَفإِنَاَّللَتعاَلَقدَاَتذ ِّنَخل ِيال ِ يقولَإ ِ ِّنَأبرأَإَِلَاَّللَِأنَيكون ُ ْ ْ ُْ ُ ُا ا ا ا ا ْ ا ْ ُ ْ ا َخذاَمِن َأم َِّت َخل ِيال ََّلَتذت َأباَبك ٍر ِ كماَاَتذ َإِبراهِيم َخل ِيال َولو َكنت َمت ا ا ُ ْ ُ ا ْ ِ خ ُذونَ ُق ُبورَأنْبيائه ْمَوص َجد ِ خل ِيالَأَّلَِإَونَم ْنََكنَقبلك ْمََكنوايت ِ اۡل ِي ِهمَمسا ِِ ِ ُ ْ ُ ُ ْ ُ ِ أَّلَفالَت ات .) (رواهَمسلم21َجدَإ ِ ِّنَأنهاك ْمَع ْنَذل ِك ِ خذواَالقبورَمسا
Artinya : Dari Jundab r.a., “lima hari sebelum Rasulullah SAW. Meninggal, aku mendengar beliau bersabda: aku tidak hendak mengambil salah seorang dari kamu menjadi sahabat karibku, karena Allah telah mengambilku jadi sahabat seperti Ibrahim. Kalaulah aku dibolehkan mengambil sahabat karib Siantar umatku, tentu kuambil Abu Bakar. Ketahuilah! Sesungguhnya umat yang sebelum kamu, mengambil kuburan para Nabi dan orang-orang saleh mereka menjadi masjid. Karena itu, jangan sekali-kali kamu ambil kuburan menjadi masjid. Aku sungguh melarang kamu berbuat demikian”.
4. Larangan berpakaian seperti pendeta
َحدثناَُيىيَبنَُيىيَقالَقرأتَىلعَمالكَعنَنافعَعنَإبراهيمَبنَعبداَّللَابن َحننيَعنَأبيهَعنَىلعَبنَأيبَطابلأنَرسولَاَّللَصىلَاَّللَعليهَوَسلمَنىهَعن َ(رواه22.لبسَالقيسَوالمعصفرَوعنََتتمَاَّلهبَوعنَقراءةَالقرآنَِفَالركوع )مسلم Artinya : “Dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a., katanya Rasulullah Saw telah melarang berpakaian seperti pendeta dan memakai pakaian tercelup dengan warna kuning, memakai cincin emas dan membaca Qur’an dala ruku’.”
21
Shahih Muslim, jil. 1, hadis no. 531(Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 377.
22
Shahih Muslim, jil. 3, hadis no. 2078 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 1648.
24
25
D. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non-Muslim Ibn Taimiyyah merumuskan dua penyerupaan yang bukan termasuk ke dalam syariat Islam : a. Amalan tasyabbuh yang dilakukan dengan ilmu pengetahuan bahwa ia merupakan amalan khusus bagi agama lain. Pekerjaan ini dilakukan dengan tujuan mengikuti/setuju dengan agama tersebut. Akan tetapi amalan ini hanyalah sedikit. Ia juga dikelabui di dalam perbuatan tersebut karena serupa manfaat
dunia
dan
akhirat.
Semua
ini
jangan
ragu-ragu
dalam
mengharamkannya. Karena membawa membawa kepada dosa besar atau menjadikan kekufuran. b. Orang yang mengerjakan tidak mengetahui hakikat dari apa yang ia kerjakan, yaitu terbagi dua: i)
Amalan yang pada dasarnya diambil daripada agama lain. Yang dikerjakan dalam keadaan yang serupa ataupun dengan beberapa perubahan dari segi waktu, tempat, perbuatannya dan lain-lain. Inilah tasyabbuh yang melibatkan masyarakat umum seperti ‘khamis raya’ atau perayaan krismas orang-orang Nasrani. Maka sesungguhnya mereka yang terlibat dalam amalan tasyabbuh ini biasanya anak-anak dari orangtuanya dan kebanyakan dari mereka tidak mengetahui asal-usul dari perbuatan tersebut. Maka dikategorikan seperti yang pertama apabila tidak mendapat perhatian.
25
26
ii) Amalan yang tidak diambil dari orang kafir pun tetapi mereka mengerjakan amalan yang sama secara kebetulan. Maka bagi perbuatan ini tidak dikatagorikan sebagai amalan tasyabbuh. Akan tetapi ia meluputkan manfaat membedakan diri dari mereka. Status makruhnya atau haramnya perbuatan ini tergantung atas dalil-dalil syara’ meskipun ia merupakan bentuk dari perbuatan tasyabbuh. Ini karena penyerupaan kita (orang Islam) tidak lebih utama daripada penyerupaan mereka terhadap kita. Maka disunnahkan bagi umat Islam untuk meninggalkan tasyabbuh untuk kemaslahatan perbedaan. Seperti memanjangkan janggut, memakai alas ketika salat dan sujud. Perbuatan ini dapat menjadi makruh seperti mengakhirkan berbuka puasa.23 E. Bentuk-bentuk Tasyabbuh Dalil-dalil menunjukan terhadap penyerupaaan dengan non-muslim dalam semua yang dilarang darinya, dan perbedaan di dalam hal yang disyariatkan ada dalam hal yang wajib dan adapula dalam hal yang sunah dalam beberapa tempat. dan telah diterangkan perintah-perintah apa saja yang telah Allah dan Rasul-nya bedakan dalam syariat, begitu juga dalam pekerjaan yang dengan niat menyerupai dengan mereka (non muslim) atau tidak dengan niat. Bentuk-bentuk yang dapat menyerupai mereka ada 3 bagian. Pertama, bagian yang disyariatkan dalam agama kita dan juga disyariatkan bagi mereka non-muslim
Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm: Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr BeirutLibanon, 2003), h.203 23
26
27
atau kita tidak tahu bahwa hal tesebut disyariatkan pula bagi mereka dan tetapi sama-sama kita kerjakan. Bagian yang tadinya disyariatkan kemudian di nasakh dalam Al-Qur’an. Bagian yang tidak ada dalam syariat sama sekali dan itu adalah hal yang baru. Dan inilah 3 bagian tersebut: a. Pertama, sesuatu yang disyariatkan baik bagi muslim maupun non muslim atau disyariatkan kepada kita dan mereka mengerjakannya. Seperti puasa ‘asyuro atau sholat dan puasa. Maka di sini terdapat perbedaan dalam hal mengamalkannya, seperti diperintahkan bagi kita untuk berbuka dengan yang manis-manis dan pada saat magrib, berbeda dengan Ahli kitab. Diperintahkan bagi kita untuk mengakhirkan sahur, berbeda dengan Ahli kitab. Seperti diperintahkan bagi kita untuk Sholatdiatas alas, berbeda dengan sholatnya orang Yahudi. Dan masih banyak lagi dalam ibadah dan kebiasaan.24 Rasulullah SAW bersabda :
ُ ُ ا ْ ُّ ا ْ ا ا ُح َْاَّللَعلي ُ َاَّللَِص اىل ا .)ريناََ(رواهَابوَداود ِغ ل َ ق الش اَو َنل د َالل م ل س َِو ه قالَرسول ِ
25
Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: liang Lahat bagi kita, dan diluar liang Lahat untuk selain kita.”
b. Kedua, sesuatu yang disyariatkan kemudian dinasakh. Seperti hari Sabtu, menjawab sholat atau puasa hari Sabtu. Janganlah melaksanakan hal ini karena
Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.166.
24
Abu Daud, Sunan Abu Daud. Kitab Janȃiz, bab al-Lahd, jil. 2, (Dar al-Fikr, t.t ), h, 231
25
27
28
ini adalah ibadah wajib bagi mereka (yahudi), atau segala sesuatu yang diharamkan bagi mereka. Hari-hari besar yang disyariatkan dalam ibadah, seperti sholat atau zikir, atau sodaqoh/zakat, atau ibadah haji dan juga adat istiadat. Dan jangan mengikuti pekerjaan yang membuat kita meninggalkan amal ibadah wajib. Rasulullah SAW bersabda:
ا ْ ُ ُ ا كرَإ انَل ُِكَق ْومَع ا ُ ِيداَوهذاَع ْ ُا ا َِيدنا ِ ٍ قالَرسولَاَّللَِصَىلَاَّللَعليهَِوسلمَياَأباَب ٍ ِ 26
.)(رواهَِباري
Artinya : “Rasulullah SAW bersada : wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum terdapat hari raya, dan inilah hari raya kita (Idul Fitri dan Idul Adha).”
c. Ketiga, sesuatu yang baru dari ibadah atau adat kebiasaan atau dari keduanya. Yaitu lebih buruk dari yang paling buruk. Maka apabila ada orang muslim membuat sesuatu yang baru adalah sangat buruk. Maka, bagaimana mungkin menjalankan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Nabi SAW?...sesuatu yang baru itu bagi orang-orang kafir. Maka menyetujuinya adalah buruk.27 Tidak mengucapkan salam kepada Ahlu Dzimmah.
Matan Sahih al-Bukhori. Kitab Jum’ah, vol. 1 (Jiddah: penerbit al-Haramain, tp. t), h.170.
26
Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.169.
27
28
29
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda:
ْ ُ ْ ا ا ا واَاَل ُهودَوَّلَانلاصارىَب ا ُ َاَّلل َِص اىل ا أنَر ُسول َالسال ِم َاَّللَعليْهَِوسلمَقالََّلَتبدء ِ ْ ْ ُ فإذاَلق ْ يت ْمَأحد ُه 28 )يقَفاضط ُّروهَُإَِلَأضي ِق َهَِ(رواهَابوَهريره َ ر َط َِف م ِ ِ ِ ٍ ِ
Artinya : “sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : janganlah kalian mulai mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, dan jika kalian bertemu dengan salah seorang diantara mereka di jalan, maka pepetlah jalannya itu ke arah yang lebih sempit.” Dari Annas r.a. ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
ْ ا ْ ٌ ْ ْ ا ا ُ ُ ُْ ُْ ا َِ ارَع ْنَعبْدَِاَّلل ٍ حدثناَعبدَاَّلل َِبنَيوسفَأخَبناَمال ِكَعنَعبدَِاَّللَِب ِنَدِين ا ا ا ا ُ ْ ُا ُ َاَّللِ َص اىل ا ََاَّلل َعليْهِ َوسلم َقال َإِذا َسلم َاَّلل َعن ُهماأن َر ُسول ب ْ ِن َعمر َر َِض ُ ُ ْ ُ ْ ْ ُ ُ ا ْ ُ ُ َالس ولَأح ُد ُه ْم ا 29 َ ع لي ك م .)امَعليْكَفقلَوعليْكََ(رواهَِباري َاَلهودَفإِنماَيق
Artinya : “diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika ahlu kitab mengucapkan salam kepadamu maka jawablah ‘Wa ‘Alaikum’.
Selain dari pada itu terdapat beberapa kaidah umum yang telah digariskan oleh para ulama yang dapat menjadi kriteria utama bagi mengklasifikasikan sebuah amalan sebagai tasyabbuh dan dalam menetapkan sikap yang perlu diambil dalam berhadapan dengan isu ini. Antara kriteria tersebut adalah:
28
Shahih Muslim, Kitab as-Salâm jil. 4, hadis no. 2167 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h.
1707. Al-Bukhori, Matan Sahih al-Bukhori, Kitab al-Isti’zȃn bab Ifsyȃus as-Salȃm, vol. 1, (tp., t.t), h.
29
91.
29
30
1. Tidak dikira tasyabbuh melainkan dengan niat. Ini merujuk kepada hadis yang menunjukan setiap amalan tergantung kepada niatnya.30 Maksud terpenting dari disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan ibadah dari adat, dan membedakan ibadah dari ibadah lainnya. Contoh, menahan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa, adakalnya hal itu dilakukan karena memang pantangan terhadap makanan, karena membahayakan, karena proses pengobatan, karena memang tidak butuh terhadapa makanan tersebut, atau karena diet. Duduk di Masjid adakalanya untuk istirahat, tujuan untuk iktikaf, melihat-lihat, dan lainlain.31 2. Diantara yang mereka lakukan di hari raya mereka, ada berupa kekufuran, ada yang sekedar haram, namun ada juga yang mubah, yakni bila terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan dari penyerupaan diri tersebut. Perbedaan antara satu dengan yang lain pada umumnya mudah dibaca. Namun seringkali tidak nampak jelas bagi orang-orang awam.32
30 Al-Bukhori, Sahih al-Bukhori, Kitab Bad’i al-wahyi, Bab kaifa Bad’i al-Wahyi Ila Rasulillah, no. hadis: 1; Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, penerjemah. Ma’mur daud, jil. 4, no. hadis; 1861, (Jakarta: Fa. Widjaya, 1986), h. 52.
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah: dalam perspektif fiqh, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004), h. 20. 31
Kaidah ini boleh didapati dalam Ibn Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, h. 201.
32
30
31
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan hikmah dalam sikap membedakan dengan orang kafir yang dapat menyokong kaidah ini dalam karya beliau Ahkam Ahl al-Dzimmah, yaitu : Demi mencapai perbedaan yang menyeluruh (dengan orang bukan Islam), dan tidak menyerupai mereka dalam penampilan luaran, dan melaluinya dapat mengelakkan daripada penyerupaan dari aspek batin. Ini karena penyerupaan dalam salah satu dari aspek berkenaan akan mengundang kepada penyerupaan kepada aspek yang lainnya. Ini merupakan hal diketahui secara pemerhatian. Tidaklah dimaksudkan dengan perubahan dan perbedaan dalam aspek pakaian dan selainnya hanya untuk membedakan orang kafir dan Muslim semata, bahkan ia dibina atas beberapa objektif lain. Antara objektif yang utama ialah bagi meninggalkan segala faktor yang dapat mengakibatkan penyetujuan dan penyerupaan dengan mereka secara batin. Nabi SAW mengajarkan kepada umatnya untuk meninggalkan penyerupaan dengan orang bukan Islam.33 3. Segala bentuk hari raya dan hari besar secara umum berpengaruh besar pada agama dan dunia seseorang. Sebagaimana pengaruh zakat, shaum dan haji.34 Oleh sebab itu seluruh syariat telah mengajarkannya : Firman Allah SWT :
ُ ُ ۡ ُ ُ ا ا ۡ ُ )٣٥:٢٢/َِكَأم يةَجعلناَمنسًكَهمَناسِكوهَ(اۡلج ِ ل
33
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahlu al-Zimmah, (Dar al-Hadis, 2005), 515. Ibnu Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, h. 198.
34
31
32
Artinya : “Bagi tiap-tiap umat telah kamui tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan,” Seorang hamba yang yang membiaskan diri melakukan amal perbuatan yang tidak disyariatkan sebagai bagian dari kebutuhannya, hasratnya untuk mengamalkan dan mengambil manfaat dari amal perbuatan yang disyariatkan otomatis akan berkurang, selaras dengan banyak sedikitnya amal pengganti yang ia biasakan.35
Ibnu Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, h.198.
35
32
BAB III HUKUM MENGIKUTI PERAYAAN HARI BESAR NON-MUSLIM A. Hukum Mengikuti Perayaan Hari Besar Non-Muslim Secara garis besar, orang-orang non-muslim disini dibagi menjadi 4 kelompok: Kelompok Ahli Kitab, Kelompok Atheis dan Murtad, Kelompok Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin, dan Kelompok orang-orang munafik. a. Kelompok Ahl al-Kitȃb Siapakah yang disebut ahli al-kitâb? Mereka adalah orang-orang yang beragama berdasarkan salah satu kitab samawi, dan mengikuti salah seorang nabi. 1 Menurut Maududi, Imam as-Syafi’i memehami istilah Ahl al-Kitȃb sebgai orang Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau, antara lain adalah bahwa Nabi Mûsȃ dan Isa as. Hanya diutus kepada mereka, bukan kepada bangsa-bangsa lain.2 Orang yang tetap berpegang pada agama yang dibawa nabinya sebelum kenabian Muhammad SAW. Atau sesudah kedatangan beliau tapi dakwah Islam belum sampai kepadanya, maka dia adalah orang yang Mukmin. Sedangakan Kafir menurut bahasa adalah orang yang menolak atau mengingkari sesuatu. Dalam arti teologis, sebutan kafir diberikan oleh masyarakat suatu agama
1
Abullah Nashih 'Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non Muslim, Penerjemah Kathur Suhardi, (jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), h. 32. 2
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 595.
33
34
kepada orang lain yang menolak atau tidak mempercayai seruan pembawa agama itu. Dalam teologi islam, sebutan kafir tersebut diberikan kepada siapa saja yang mengingkari atau tidak percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad (570-632 M) atau dengan kata lain tidak percaya bahwa agama yang diajarkan olehnya berasal dari Allah SWT, pencipta alam. Kendati orang Kristen atau Yahudi meyakini adanya Tuhan, mengakui adanya wahyu, membenarkan adanya akhirat, dan lain-lain, mereka dalam teologi Islam tetap saja dapat diberi predikat Kafir, karena mereka menolak kerasulan Nabi Muhammad agama wahyu yang dibawanya.1 Dari sini akan muncul satu pertanyaan, mengapa ahli kitab ini tetap kufur, padahal sudah mengetahui dakwah Nabi Muhammada SAW? Bukankah mereka pengikut salah satu seorang nabi? Bukankah mereka memeluk salah satu agama samawi? Pertanyaan yang sangat mengena, namun kalau memahami hakikatnya secara mendalam, tentu tak akan ada kebimbangan dalam diri orang yang bertanya seperti itu, dan dia boleh tarik kembali perkataannya. Sudah kita uraikan diatas bahwa risalah Islam adalah penutup seluruh risalah sekaligus mencakup semua syariat yang terdahulu. Risalah Islam mempunyai keistimewaan yaitu bersifat universal untuk seluruh alam, abadi dan aktual sepanjang zaman. Kitab- kitab samawi yang sebelum islam yang
1
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Djambatani, 1992),
h. 508.
34
35
masih beredar diantara kelompok Yahudi dan Nashara sudah bermacam-macam versinya, saling berbeda dan banyak menyimpang atau dirubah. Sedangkan AlQur'an tak akan pernah dapat dirubah ataupun diselewengkan.2 Firman Allah SWT :
َّ ح ۡ ُ ح َّ ۡ ح ذ ۡ ح َّ ح ُ ح ح ُ ح إِنا َنن نزۡلا ٱلِكر ِإَونا َلۥ ل (٩:٥١/ حَٰفِظون (احلجر
Artinya : "”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya".
Syariat Islam juga tidak akan bisa disamai oleh undang-undang atau tatanan-tatanan lain.
ح ح ۡ ح ۡ ح ُ ح َّ ُ ۡ ذ ح ۡ ُ ُ ح (١٥:١/ ومن أحسن مِن ٱَّلل ِ حكما ل ِقوم يوق ِنون (املائدة
Artinya : "dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." Atas dasar ini, sudah seharusnya setiap ahli al-kitâb, baik yahudi maupun Nashara yang telah tahu dakwah Islam untuk beriman kepada Nabi yang Ummi, yang telah dikabarkan dalam Taurat dan Injil. Mestinya ia beriman kepada yang tertulis dalam Al-Quran dan syariat-syariat yang ada didalamnya. Kalau tidak, berarti mereka menyembunyikan atau menutupi apa yang tertulis dalam Taurat maupun Injil, kitab mereka sendiri. Ada hakikat lain yang harus diketahui setiap manusia, bahwa siapa yang beriman kepada sebagian kitab samawi dan mengingkari sebagian yang lain, maka ia adalah orang kafir. Karena diantara kriteria iman ialah percaya kepada
2
Sikap Islam Terhadap Non-Muslim, h. 33
35
36
kitab-kitab samawi secara keseluruhan, dan beriman kepada semua nabi dan rasul. a. Kelompok Atheis dan Murtad Secara bahasa, murtad adalah kembali kejalan yang semula dilauli. Secara istilah, murtad bermakna kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dan sudah balig pada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain.3 Banyak sekali gambaran-gambaran atau bentuk-bentuk keyakinan yang bathil dan pemikiran menyesatkan yang dapat menyeret seseorang pada kemurtadan dan mengeluarkannya dari Islam ini, maka setiap orang muslim harus mawas diri dalam menaggapi keyakinan, atau perkataan atau perbuatan yang menyembul disekitarnya. Ia harus memagari diri dengan perbuatanperbuatan baik, berpegang teguh pada sendi-sendi Islam dan merujuki para ulama yang mampu menyajikan fatwa dalam rangka menyingkirkan setiap gangguan dan intimidasi yang dapat mengotori aqidah. Sedangkan Atheisme adalah pengingkaran terhadap dzat Illahi, menolak risalah samawi yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-rasul-Nya. Karena seorang Atheis tidak mau menerima agama Allah, mengingkari rukun iman dan dasar-dasar syariat. Meskipun Atheisme termasuk dalam kelompok pengertian kemurtadan, tapi justru ia lebih buruk dan lebih besar bahayanya bagi individu dan masyarakat
3
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, jil. 2 (Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973), h. 256
36
37
dibandingkan dengan pengertian kemurtadan lain, seperti pemeluk agama Nashrani dan Yahudi.4 b. Kelompok Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin Siapakah yang disebut Paganis itu? Mereka adalah orang-orang yang membuat sembahan selain Allah, atau ,mengambil tuhan selain Allah. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah orang-orang musyrik Arab. Penyembah api, bintang, orang-orang majusi, dan lain-lainnya yang sama menyembah patung. Untuk mendekatkan pada tujuan yang dimaksud, kita batasi pembahasan ini dalam dua kelompok, yaitu: i. Kelompok Musyrik Arab Dalam menghadapi kelompok ini, Islam menyodorkan 2 pilihan; Islam ataukah perang. Jizyah pun berlaku bagi mereka. Pendapat ini didukung oleh jumhur fiqoha, seperti Hanafiah, Imam Ahmad, Malikiah, Zaidiah, dan lainlain. Mereka berkata, "Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir selain dari penyembah berhala dari bangsa Arab." Sedang Al-Auza'I, Ats-Tsauri dan sebagian mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir, baik dari bangsa Arab atau non Arab, dari ahli kitab maupun penyembah berhala.
4
Abullah Nashih 'Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non Muslim, h. 62.
37
38
ii. Kelompok Paganis selain Arab Kata Jizyah berasal dari kata jaza’ yang berarti upah atau bayaran. Secara istilah, adalah sejumlah uang yang diwajibkan kepada orang-orang ahlul-kitab yang masuk dalam perlindungan dan perjanjian umat Islam.5 Dari Muhammad bin Hambal berkata, bahwa jaminan tidak berlaku kecuali kepada ahli kitab atau orang-orang seperti mereka, seperti orangorang Majusi. Negara harus menjamin keamanan mereka dan mereka harus melaksanakan beberapa syarat. Firman Allah SWT:
ۡ ح َّ ح حح ُحذ ُ ح ۡ ح َٰ ُ ْ َّ ح ح ُ َّ ون حما حح َّر حم ُ ُ ٱَّلل حو حر ُس وَلۥ قتِلوا ٱل ِين َل يُؤم ُِنون بِٱَّلل ِ حوَل بِٱۡلح ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِر وَل ُي ِرم ُ ُ ح ح ح ُ ح ح ۡ ح ذ ح َّ ح ُ ْ ۡ ح َٰ ح ح َّ َٰ ُ ۡ ُ ْ ۡ ح ح ٱۡل ۡز حية عن يحد حوه ۡم ِ وَل يدِينون دِين ٱحل ِق مِن ٱلِين أوتوا ٱلكِتب حَّت يعطوا ح ح (٩٩:٩/ صَٰغِ ُرون (اتلوبة
Artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan AlKitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
Para Ulama ahli Fiqih sepakat bahwa Jizyah diambil dari Ahl al-Kitȃb dan Majusi.6 Dalam kitab bidayah al-Mujtahid, Syafi’i Abu Hanifah dan Tsauri berpendapat bahwa kafir dzimmi wajib membayar zakat sama halnya
5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kitab al-Jihâd bab al-Jizyah jil. iii, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 664.
6
Imam Ibn Qayyim, Ahkȃm Ahl az-Dzimmah (Dȃrul al-Hadîts, 2005), h. 11.
38
39
orang Islam, juga seperti yang lain.7 c. Kelompok orang-orang munafik Hiprokrisi atau kemunafikan adalah suatu sikap pada diri seseorang yang mengaku-ngaku Islam, tetapi jauh dilubuk hatinya menyimpan bara kekufuran yang menyala dan tujuan-tujuan yang menjijikan. Dalam mengahadapi orangorang yahudi yang berlindung kepada Islam, maka mereka diperlakukan sebagaimana seorang Muslim yang murtad lalu memeluk agama lain. Atau mereka diperlakukan sebagaimana seorang destroyer yang memperlihatkan fanatismenya yang bakal merusak. Mengenai hukum kehadiran/mengikuti perayaan non-muslim MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa kehadiran orang Islam pada perayaan Natal adalah Haram (dilarang), karena itu umat Islam tidak boleh ikut terlibat dalam upacara-upacara semacam itu. Fatwa itu ditandatangani oleh Syukri Ghozali, ketua, dan Mas’udi, Sekretaris Komisi Fatwa.8
ْ ٓ ُ ح ح ُّ ح َّ ُ َّ ح ح ۡ ح ُ ذ ح ح ح ُ ح ح ح ح ۡ ح ُ ۡ ُ ُ ح ح ح ٓ ح ح ح ح َٰٓ َٰ يأيها ٱۡلاس إِنا خلقنَٰكم مِن ذكر وأ نَث وجعلنَٰكم شعوبا وقبائِل تلِ عارف ْۚوا َّ ح ۡ ح ح ُ ۡ ح َّ ح ۡ ح َٰ ُ ۡ َّ َّ ح ح ٌ ح (٥١:٩٩/ (احلجراتِٞيم خبِري إِن أكرمكم عِند ٱَّلل ِ أتقىك ْۚم إِن ٱَّلل عل
Artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
7
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, wa Nihayatu al-Muqtasid, (al-Haramain, t.t), h. 178.
8
Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), h. 117.
39
40
ح ۡ ُّ ۡ ُ ح َٰ ح ح ح ح ح َٰٓ ح ُ ۡ حح ح ح ٱدلن حيا م فَل ت ِط ۡع ُه حماۖ حو حصاح ِۡب ُه حما ِِفٞ ۡش حك ِِب حما ل ۡي حس لك بِهِۦ عِل ِ ِإَون جهداك لَع أن ت ح َّ ۡ ح ح ح ۡ ح ح ح ح َّ ُ َّ ح َّ ح ۡ ُ ُ ۡ ح ُ ح ذ ُ ُ ح ُ ُ ح ُ ح ُۡح نت ۡم ت ۡع حملون جعكم فأنبِئكم بِما ك ِ معروفاۖ وٱتبِع سبِيل من أناب إِل ْۚ ثم إِل مر
(٥١:١٥/ (لقمان
Artinya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
ُ ُ َٰ َّ ح ۡ ح َٰ ُ ُ َّ ُ ح َّ ح ح ۡ ُ ح ُ ُّ ذ ح ح ۡ ُ ۡ ُ ُ ذ ح َٰ ُ ۡ ح ح ح ۡوهم ۡ وك ِين ولم ُي ِرجوكم مِن دِي ِركم أن تب ٱدل ِف م َل ينهىكم ٱَّلل ع ِن ٱلِين لم يقتِل ِ ِ ۡ ۡ ُّ ُ ح ُ ۡ ُ ٓ ْ ح ۡ ۡ َّ َّ ح سط ح (٠٥:٨/ ني (الممتحنه وتقسِطوا إِۡل ِه ْۚم إِن ِ ِ ٱَّلل ُيِب ٱل ُمق
Artinya : ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Khusus berkaitan dengan perayaan hari-hari besar itu sendiri, menurut kaca mata Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyaas. Dalil-dalil Al-Qur’an yang melarang kita untuk ikut serta dalam hari-hari raya mereka. Adapun menurut Al-qur’an, adalah berdasarkan penafsiran beberapa tabi’in mengenai firman Allah :
ْ ح َّ ح ح ح ۡ ح ُ ح ُّ ح ح ۡ َّ ْ (٢٩:٩١/ ور ِإَوذا حم ُّروا بِٱللغوِ حم ُّروا ك حِراما (الفرقان وٱلِين َل يشهدون ٱلز
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”.
40
41
Abu Bakar Al-Khallaal meriwayatkan dalam al-Jâmi’, dengan sanadnya sendiri dari Muhammad bin Sirin, berkenaan dengan firman Allah :
ح َّ ح ح ح ۡ ح ُ ح ُّ ون ٱلز ح (٢٩:٩١ /ور (الفرقان وٱلِين َل يشهد Artinya : “dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan ...,”
Artinya adalah menghadiri Sya’âni (hari besar yang diperingati oleh orang kristen dalam rangka mengenang kembali masuknya Al-Masih ke Baitul Maqdis.9 Abu Syaikh Al-Ashbahani meriwayatkan dengan sanadnya sehubungan dengan “syarat-syarat yang dibebankan terhadap Ahli Dzimmah” dari AdhDhahak, bahwa arti: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan /kedustaan,” adalah: mereka yang tidak melontarkan kata-kata syirik. Masih dengan sanadnya, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak bahwa makna ayat yang artinya: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan,” mereka yang tidak menghadiri hari-hari besar kaum musyrikin. Pernyataaan para tabi’in bahwa maksud ayat tersebut adalah larangan (menghadiri) hari-hari raya orang kafir, tidak bertentangan dengan pernyataan sebagian mereka bahwa yang dimaksud dengan larangan terhadap perbuatan syirik atau berhala dimasa jahiliyyah, atau pernyataan sebagian mereka adalah larangan
Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lilMukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr Beirut-Libanon, 2003), h.169. 9
41
42
terhadap tempat digelarnya kemaksiatan.10 Adapun dalil Sunnah:
عن أنس قال قدم رسول اَّلل صىل اَّلل عليه و سلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال " ما هذان اۡلومان " قالوا كنا نلعب فيهما ِف اۡلاهلية فقال رسول اَّلل صىل اَّلل عليه و سلم " إن اَّلل قد أبدلكم بهما خريا منهما يوم األضىح ويوم ) (رواه ابوداود11الفطر Artinya : Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu meriwayatkan : “ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, Mereka (orang-orang Madinah) telah memiliki dua hari yang mereka jadikan untuk bermain-main (bersuka ria). Beliau bertanya: “Ada apa dengan dua hari ini?” mereka menjawab: “Di masa Jahiliyyah, kami biasa bermain-main pada dua hari itu.” Maka Rasulullah Saw menanggapi; “sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian hari yang lebih baik dari hari itu yakni hari Idul Adhâ dan Idul Fitri.” B. Hukum Memberi Salam dan Mengucapkan Selamat Pada Hari Raya Non-Muslim Ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan,
ح ْ ح ح ْ ح ُ ح ْ ح ح ح َّ ح ُ ح َّ ح َّ َّ ُ ح ح ْ ح ح َّ ح ح ح ح ح ْ ح ُ ْ ح ُ ح ح ح عن أبِيهِ عن أ ِِب هريرة أن رسول اَّللِ صىل اَّلل عليهِ وسلم قال َل تبدءوا اۡلهود وَل ح ْ ح ُ ح ح ُ َّ ح ِ ح ح ح ُ ْ ح ح ح ْ ح َّ ح ح ُّ 12 ْ ح )يق فاضطروه إِل أضيقِه (رواه مسلم ٍ اۡلصارى بِالسَلم فإِذا ل ِقيتم أحدهم ِِف ط ِر
Artinya ; “diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm, h. 170.
10
11
Abu Daud, Sunan Abi Daud, hadis no. 1134, jil. 1 (Dar al-Fikr, t.t), h. 364.
Shahih Muslim, Kitab as- Salâm bab al-nahyu ‘an Ibtida’ Ahlu al-Kitâb bi al-Salâm, hadis no. 2167, jil 4 (Beirut al-‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h. 1707 12
42
43
mereka di jalan, pepetlah jalannya itu ke arah yang lebih sempit”. Ulama berbeda paham mengenai makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kanlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa nonMuslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbâs. Al-Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh ‘Alqamah dan al-Auza’i. 13 Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu. Bahkan dalam riwayat Bukhori dijelaskan tentang sahabat Nabi bahwa orang Yahudi bila megucapkan salam terhadap orang Muslim tidak berkata, “Assalâmu’alaikum,” tetapi “Assâmu’alaikum,” yang berarti “kematian atau kecelakaan bagi anda”.14 Rasulullah SAW bersabda:
ح َّ ح ح ُ ْ ح ُ ْ ُ ح ح ْ ح ح ح َّ ح ح ُ ح ْ ٌ ح ْ ح ح ح ُ ح ْ ُ َّ ْ ُ ح ح ْ ْ ح ح حدثنا عثمان بن أ ِِب شيبة حدثنا هشيم أخبنا عبيد اَّلل ِ بن أ ِِب بك ِر ب ِن أن ٍس ُ َّ ِب حص َّىل ُ َّ ِض حح َّد حث حنا حأن ح ُس بْ ُن حمال ِك رح اَّلل حعلحيْهِ حو حس َّل حم إ حذا حس َّلمح َّ قح حال اۡل:اَّلل حعنْ ُه قح حال ح ُّ ِ ِ ٍ ِ ْ ُْح حْ ُ ْ ح ح ُ ُح ح 15 ْ ُ ْ ح ح )اب فقولوا وعليكم (رواه خباري و مسلم ِ عليكم أهل الكِت 13 M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 590. 14
M. Quraish Shihab, h. 590.
Shahih Bukhori, bab kaifa al-Roddu ‘ala Ahlu Dzimmah bi as-Salâm, hadis no. 5903, lihat juga Shahih Muslim, bab an-Nahyu anil Ibtida’ ahl-Kitab, hadis no. 2163, jil. 4, (Beirut al-‘Arabi: Daru Ihya, t.t), 1705. 15
43
44
Artinya : “diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, apabila Ahlu Kitab memberi salam kepadamu maka ucapkanlah ‘alaikum (bagi andalah).” Jika demikian wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “ ‘Alaikum,” sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “bagi andalah (kecelakaan itu)”. Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus. Sebenarnya dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa:
ُ ح َّ ح َٰ ُ ح ح َّ ح ۡ ح ُ ُّ ح ح ۡ ح ح ُ ُ ح ح ۡ ح ُ ۡ ح ح ذ (١١:٥٩/ وٱلسلم لَع يوم و ِدلت ويوم أموت ويوم أبعث حيا (مريم
Artinya : “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika diakitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku. Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan
44
45
“Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.16 Ucapan selamat atas kelahiran Isâ (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap agama ‘Isâ al-Maŝih berbeda dengan pandangan Islam. Mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadirin perayaannya dapat menimbulkan kesalah pahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan alMaŝih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentanga dengan akidah Islam. Dengan alasan ini lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal” sampai-sampai ada yang beranggapan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan. Dipihak lain ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan ‘Isâ,
ح ح َّ ُ ۡ ح ح ذ ح ِن ۡٱلك حِتَٰ ح ٱَّلل ِ حءاتحى َٰ ِ ح (١٥:٥٩/ ب حو حج حعل ِِن نب ِ ذيا (مريم قال إ ِ ِّن عبد
Artinya : “sesunguhnya aku ini, hamba Allah. Dia Memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi”. Salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju
16
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 590
45
46
kepada Nûh, Ibrȃhîm, Mûsȃ, Hȃrûn, keluarga Ilyas, serta para Nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh Nabi sebagai hamba dan utusan Allah ? Apa salahnya kita mohonkan curahan solawat dan salam untuk Isȃ as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh Nabi dan Rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa as.? Bukankah Nabi SAW. Juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuas ‘Asyura’, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya,
ح َّ ح ح ح ْ ح ْ ُ ح ْ ح ح ْ ح ح ح ُ ح ْ ٌ ح ْ ح ْ ح ْ ُحْ ح ْ ْ ح َّ ْ ح اس ٍ ري عن اب ِن عب ٍ ۡش عن سعِي ِد ب ِن جب ٍ ِ حدثنا ُيَي بن ُيَي أخبنا هشيم عن أ ِِب ب ح ح َّ ُ ح ْ ُ ح ح ح ح ح ح ُ ُ َّ ح َّ َّ ُ ح ح ْ ح ح َّ ح ْ ح ح ح ح ْ ح ِينة ف حو حج حد اۡلح ُهود ر ِِض اَّلل عنهما قال قدِم رسول اَّللِ صىل اَّلل عليهِ وسلم المد َّ ح ُ ُ ح ح ْ ح ح ُ ح ح ح ُ ُ ح ْ ح ح ح ح ُ ح ح ْ ح ْ ُ َّ ح ْ ح ح ح ُ ُ يصومون يوم َعشوراء فسئِلوا عن ذل ِك فقالوا هذا اۡلوم الِي أظهر اَّلل فِيهِ موَس َّ ْ ح ح ح ح ْ ح ْ ح ح ح ْ ُ ح ُ ُ ُ ح ْ ً ح ُ ح ح ح َّ ُّ ح َّ َّ ُ ح ح اَّلل عليْهِ حو حسل حم حو حب ِِن إِْسائِيل لَع ف ِرعون فنحن نصومه تع ِظيما َل فقال اۡل ِِب صىل ْ ُ ْ حح حُْ حْح ح ح ُ 17 ْ ح ح )َنن أوَل بِموَس مِنكم فأمر بِصو ِمهِ (رواه مسلم
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a., katanya: “ketika Rasulullah SAW belum lama tiba di Madinah, didapatinya orang-orang Yahudi puasa pada hari “Asyura. Lalu mereka ditanya perihal hal itu (apa sebabnya mereka puasa pada hari itu). Jawabmereka, “hari ini adalah hari kemenangan Musa dan Bani Israil atas Fir’aun.Karena itu kami puasa pada hari ini untuk menghormati Musa.” Maka besabda Nabi Saw., “kami lebih pantas memuliakan Musa daripada kamu.” Lalu beliau perintahkan supaya kaum Muslimin puasa pada hari ‘Asyura”. Bukankah “Para Nabi” sebagaimana sabda Nabi Saw., “bersaudara, hanya ibunya yang bebeda?” bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atas batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian
Shahih Muslim, Kitab Siyâm bab Soum Yaumu ‘Asyura, hadis no. 1130, jil 2 (Beirut al‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h. 795 17
46
47
halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu? Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada meraka yang dikhwatirkan kabur akidahnya. Kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai kandungan “Selamat Natal’ Qur’ani, kemudian mempertimbangkan situasi dan kondisi dimana ia diucapkan sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu.
47
BAB IV HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM A. Hubungan Sosial Muslim Dengan Non-Muslim Islam tidak hanya sekedar bangsa dan memuji prinsip ini, tapi secara praktik menjadikan hubungan antar sesama manusia, baik dalam tingkat individu, kelompok, maupun negara, adalah hubungan yang didasari rasa aman dan damai. Dan hal itu tidak hanya antar umat Islam saja, melainkan juga meliputi hubungan dengan non-muslim.1 Hubungan umat Islam dengan mereka adalah hubungan yang bersifat ta'aruf (saling mengenal), saling tolong-menolong, saling berbuat kebaikan dan berbuat adil.2 Allah SWT berfirman :
َّ ُ َ َ َ َ ٓ َ َ َ ٗ ُ ُ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ َ َ َٰ َ ُ َ َ َ ُ ۡ َ َ َّ ُ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ ارف ْۚ ٓوا إِن اس إِنا خلق َنَٰكم مِن ذك ٖر وأنَث وجعلنكم شعوبا وقبائِل ِِلع يأيها ٱنل ُ َٰ َ ۡ َ َّ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ ِٞيم َخبري َ َّ ك ۡم إ َّن ٱ ٌ َّلل َعل (٣١:٩٤/ (احلجرات ِ ْۚ أكرمكم عِند ٱَّلل ِ أتقى ِ
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Allah SWT juga menganjurkan untuk melakukan kebaikan dan dengan cara yang adil:
1
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kitab Ta’zir bab al-Salâm fi al-Islâm, (Dar al-Kutub, 1973), h.
596. 2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 603.
48
49
ُ ُ َُٰ ۡ َ َ ا َ ۡ َ ٰ ُ ُ ا ُ َ ا ُ ُّ َ َ َ ۡ ُ ٰ َ د َ َ ۡ ُ ۡ ُ ُ د ۡوهم ۡ وك ِين ولم ُي ِرجوكم مِن دِي ِركم أن تَب ٱل ِف م َّل ينهىكم ٱَّلل ع ِن ٱَّلِين لم يقتِل ِ ِ ۡ ۡ ُّ ُ َ َ ُ ۡ ُ ٓ ْ َ ۡ ۡ ا ا َ سط وتقسِطوا إَِل ِه ۚۡم إِن (٨:٠٦/ ني (الممتحنة ِ ِ ٱَّلل ُيِب ٱل ُمق
Artinya : "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil". Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh manusia
adalah keturunan Âdam dan Âdam diciptakan dari tanah.” Pada waktu haji wada’ Rasulullah Saw memberikan maklumat, “Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan nenek moyang kalian satu pula....”.1 Konsekuensi dari hubungan semacam ini adalah terjadinya pertukaran kepentingan, menjaga hal-hal yang bermanfaat, dan kuatnya hubungan kemanusiaan. Semua ini tidak termasuk kedalam larangan yang berkaitan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (penolong orang yang dicintai dan sebagainya). Sebab, yang dimaksud menjadikan orang-orang kafir sebagai wali adalah bersekutu dengan mereka, menolong mereka dalam melawan umat Islam, dan ridha (setuju) dengan hal-hal kekafiran yang mereka lakukan. Hal itu dilarang karena membantu orang-orang kafir melawan umat Islam adalah tindakan yang sangat membahayakan keutuhan umat Islam, melemahkan kekuatan jamaah umat Islam, dan sudah pasti setuju dengan hal-hal kekafiran yang mereka lakukan adalah sesuatu yang dilarang umat Islam. Sedangkan berdamai dengan orang-orang kafir,
Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah (Bandung: Marja, 2006), h. 131 1
50
interaksi yang harmonis, bertukar kepentingan, tolong menolong dalam kebaikan, maka semua ini adalah hal-hal yang diperintahkan oleh Islam.2
َ َ ٗ َ َ ٗ َ َ ۡ َ ٓ َ ا ُ ََ َ َ ُ ۡ ُ ا ُ َٰ َ ٓ َ ۡ ََُُۡد َ ۡ ْ ك ۡم فَٱ ۡستَب ُقوا َ ۡ ٰ ٰ ل ت ى ات ء ا م ِف م ك و ل ب َل ن ك ر ي ٱۡل ِ ِ ِ ولو شاء ٱَّلل َلعلكم أمة وٰحِدة و ۡۖ ِ ِ
(٨٨:٥/ (المائدة
Artinya : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” Dari sinilah, Islam menentukan bahwa tidak terdapat perbedaan antara orang Muslim dengan kafir dzimmy (orang kafir yang hidup ditengah masyarakat Islam, dan mendapatkan perlingdungan dari pemerintah Islam).3 Apabila posisi kita kuat, kita bisa menjaga kehormatan dan harta kita dari gangguan dan kezaliman kaum kafir, bahkan seandainya ada saudara kita yang bermaksud berbuat mungkar kita wajib mencegahnya. Imam Muslim meriwayatkan, sanadnya dari Abu Zaid ra. Ia berkata Rasulullah SAW. Bersabda:
حدثنا أبو بكر بن أيب يبة حدثنا كيب بن فيبا كحدثنا محدد بن لثمن ى حدثنا محدد بن عفير حدثنا يفة يالمها عن لقبس بن مسلم عن طارق بن يهاب كهذل حديث أيب بكر قال أكل من بدأ باخلطة يوم للفبد قةل للصالة مركل فقام إلبه رعل فقال للصالة قةل لخلطة فقال قد ترك ما هنالك فقال أبو ففبد أما هذل فقد قضى ما علبه مسفت رفول لهلل صلى لهلل علبه ك فلم يقول من
2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 603.
3
Fiqih Sunnah, h. 604.
51
رأى منكم منكرل فلبغريه ببده فإ مل يستط فةلسانه كمن مل يستط فةقلةه كذلك أضفف لإلميا )(ركله مسلم
4
Artinya : "siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah mengubahnya dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka (hendaklah mengubahnya) dengan lisannya, bila tidak mampu maka (hendaklah mengubahnya) dengan hatinya dan ini merupakan selemah-lemahnya iman." Memperingatkan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) agar menuju titik temu (kalȋmah sawȃ) dengan kaum muslimin, karena tiga agama ini merupakan warisan Ibrȃhȋm.
َ َ ۡ َ ُ ا ا ا ا َ ۡ َ ۡ َ ُْٓ َٰ ُ َ َ ِين َظلَ ُموا ْ م ِۡن ُه ۡم َوقُول ُ ٓوا ْ َء َامناا َ ٰ ب إَِّل بِٱل ِِت ِِه أحسن إَِّل ٱَّل ۡۖ ِ وَّل تجدِلوا أهل ٱلكِت َ ُ ۡ ُ ُ َ ُ ۡ َ َ ٞ ٰ َ ۡ ُ ُ َٰ َ ُ َٰ ۡ ُ ۡ َ َ ُ َ َ ۡ َ َ ُ ٓ ا نزل إ َِلكم ِإَولهنا ِإَولهكم وحِد وَنن لم ۥ سسل ِمون (العكبوت ِ نزل إَِلنا وأ ِ بِٱَّلِي أ (٨٠:٩٢/
Artinya : “Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." Rasyid Ridha mengatakan, “dalam penciptaan seluruh umat manusia dari satu jiwa terdapat sejumlah tanda yang sangat jelas tentang kuasa, pengetahuan, hikmah, dan ke-Esaan Allah. Pengingatan akan hal itu mengandung petunjuk untuk mensyukuri nikmat tersebut dan kewajiban untuk saling mengenal, berkasih sayang dan saling tolong menolong antar umat manusia. Eksistensi keragaman manusia ke dalam aneka bangsa dan suku ini tidak untuk memunculkan
Muslim, Shahih Muslim, kitab al-Īman, jil. 1, hadis no. 49, (Beirut al-‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h.
4
69.
52
permusuhan dan peperangan.5
ۡ ۡ ۡ ََ ْ َُ ََ ََ ٰ َ َََۡ َُ ْ ََ ۡ د َ ا (٩:٥/ ٱۡلث ِم َوٱل ُع ۡد َو ٰ ِن (الماعدة ِ َب وٱتلقوىۖۡ وَّل تعاونوا لَع ِ ِ وتعاونوا لَع ٱل
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Perbuatab Ahli Kitab diklasifikasikan menjadi tiga bagian : a. Bagian yang disyariatkan dalam agama kita, selain itu juga disyariatkan kepada mereka, atau kita tidak tahu apakah dahulu hal itu juga disyariatkan kepada mereka, namun yang jelas, sekarang mereka bisa melakukannya. b. Bagian yang lain, yang pernah disyariatkan kepada mereka, namun telah dihapus dalam ajaran Islam. c. Bagian yang lain, perbuatan yang tidak pernah disyariatkan kepada mereka. Nemun mereka mengada-adakannya (dalam agama mereka).
Ketiga bagian itu, mungkin berlaku dalam ibadah mahdhah, mungkin juga berlaku hanya dalam adab pergaulan semata, tetapi juga mungkin meliputi ibadah dan sekaligus adab pergaulan.6 A. Alasan dan Dampak Mengikuti Ibadah Non-Muslim a.
Alasan mengikuti Ibadah non-Muslim
Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah (Bandung: Marja, 2006), h. 147. 5
Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr Beirut-Libanon, 2003), h. 166. 6
53
Apabila penyerupaan diri dengan orang-orang non-muslim ini telah jelas dan terbukti, maka harus kita nyatakan bahwa mengikuti ibadah hari-hari besar mereka juga tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang diulas sebelumnya bahwa membedakan diri dengan Ahli Kitab merupakan perbuatan yang disyariatkan pada agama Islam, dan membedakan diri tersebut mengandung kemaslahatan bagi kita. Akan tetapi kita akan sangat berlebihan juga hanya memberikan perhatian kita kepadanya (mengikuti ibadah non-muslim) dan membicarakan serta membahasnya berlarut-larut dan juga menganggapnya sebagai masalah yang utama dan puncak tujuan kita. Maka sesungguhnya hal ini akan membawa kesan yang buruk terhadap pemikiran Islam dan amal Islami atau kesan yang tidak baik dalam pemikiran masyarakat awam. Keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, yang dapat membahayakan syari’at dan dakwah Islam itu sendiri.7 Untuk golongan pertama, yaitu orang-orang non-Muslim yang berlaku baik terhadap masyarakat Islam, hendaknya kita balas dengan kebaikan dan berlaku moderat terhadap mereka. Yang dimaksud moderat disini adalah berlaku adil. Sedangkan yang dimaksud berbuat baik adalah murah hati dan ramah. Jadi, dalam Islam, perbuatan baik setingkat lebih tinggi dibanding dengan perbuatan
Khojrojiah, ”Larangan Tsyabbuh Dalam Hukum Islam (studi alasan dan dampak),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 45 7
54
adil. Karena, definisi adil adalah mengambil hak anda dengan semestinya. Sedangkan berbuat baik adalah, mengambil sebagian hak anda untuk orang lain. Jadi, yang dimaksud adil dan moderat disini adalah memberikan hak seseorang sebagaimana seharusnya, jangan sampai ada sedikitpun hak dia yang terambil. Sedangkan perbuatan baik adalah memberikan hak lebih kepada seseorang dengan menambahkan sikap pemurah dan ramah. Adapun kalangan lain yang yang diharamkan untuk berlaku adil dan baik adalah mereka yang telah memusuhi Islam dan kaum muslimin, memerangi dan mengusir mereka dari tanah kelahirannya dengan cara yang zalim, kacuali ketika telah mengucapkan "Allah adalah Tuhan kami". Hal tersebut sama seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat Quraisy dan musyrik Mekah terhadap Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.8 Umat Kristen dengan senang mengundang orang-orang Islam datang keperayaan-perayaan demikian dengan alasan kerukunan antar umat beragama menurut asas ideologi negara Pancasila. Banyak orang Islam yang segan untuk menolak undanga-undangan serupa itu, justru karena takut akan dituduh tidak bertoleransi terhadap agama lain. Jika bagi pihak umat Kristen kehadiran orang-
8
Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas: Fatwa Kontemporer Tehadap Kehidupan Kaum Muslimin di Tengah Masyarakat Non-Muslim, Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 199.
55
orang Islam pada perayaan natal adalah kesempatan paling baik untuk mendekatkan tamu mereka itu pada kekristenan.9 Terdapat sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan ketika membahas solusi untuk problem pada skripsi ini, yaitu: 1.
Orang Muslim yang tinggal di Negara non-Muslim, atau kaum muslim minoritas yang jumlahnya cukup banyak, seperti di India. Jumlah kaum Muslimin di India merupakan kaum minoritas. Akan tetapi jumlah kaum minoritas ini mencapa 135 juta jiwa, sehingga tidak aneh kalau ada peraturan hukum keluarga khusus bagi mereka.10
2.
Seorang pelajar yang sedang melaksanakan pendidikannya di negara nonMuslim.
3.
Seorang pekerja/pegawai di perusahaan asing atau atasannya merupakan seorang non-Muslim.
4.
Seorang pimpinan daerah, atau bahkan juga seorang Ulama yang mendapatkan undangan demi terjalinnya hubungan antar umat beragama. Setelah kita mengetahui beberapa contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa
mereka semua adalah golongan orang-orang yang hubungannya tidak terlepas dengan non-muslim.
9 Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno (Jakarta: INIS, 1993), h. 118. 10
Jamaludin Athiyah Muhammad, Fiqih Baru Bagi Kaum Minoritas: Ham dan Supremasi Hukum sebagai Keniscayaan, Penerjemah Shofiyullah, (Bandung: Marja, 2006), h. 222.
56
Setiap perbuatan secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendapatkan manfaat atau menimbulkan madharat. Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya.11 b.
Dampak mengikuti ibadah non-muslim Meniru mereka dalam hal sepele yang dapat menjadi jalan dan tangga menuju berbagai perbuatan buruk hukumnya adalah haram, apalagi kalau sampai menggiring kepada kekufuran kepada Allah? Seperti mengambil berkah salib, atau menerima pembabtisan (dari mereka) atau seperti orang yang menyatakan: “yang kita sembah sebenarnya sama yaitu yang Esa hanya saja caranya yang berbeda-beda,” dan pernyataan-pernyataan dan perbuatan sejenis yang meliputi: Adanya anggapan bahwa syariat agama Nasrani dan Yahudi yang telah diubah dan bahkan telah dihapuskan adalah penghubung menuju ibadah kepada Allah SWT. Selebihnya ada juga yang beranggapan bahwa sebagian diantara kandungan ajaran mereka yang bertentangan dengan agama Allah itu baik.12
11
12
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 396. Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 197.
57
Tabiat dasar manusia cenderung punya hasrat untuk meniru. Yakni, bahwa manusia juga bahkan seluruh makhluk hidup telah dicipta untuk memiliki hasrat untuk dapat tampil seperti yang ditirunya. Semakin besar kemiripan antara yang ditiru dengan dirinya, semakin besar dan semakin besar hasratnya untuk dapat menyamainya dalam karakter dan sifatnya. Sehingga ujung-ujungnya akan sampai pada kesamaan antara keduanya.13 Meniru-niru gaya hidup secara lahiriyah akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang serta simpati dan loyalitas dalam hati. Demikian juga sebaliknya, kecintaan dalam hati juga menimbulkan sikap meniru gaya hidup secara lahiriyah. Ini hal yang dapat dibuktikan secara kongkrit berdasarkan pengalaman. Sehingga bila ada dua orang lelaki yang berasal dari satu negeri, kemudian keduanya saling bersua di rantau, antara keduanya pasti timbul rasa cinta, simpati dan keakraban yang amat sangat. Meskipun di negeri mereka sendiri keduanya tidak saling mengenal atau bahkan mungkin saling berjauhan.14 B. Analisa Penulis Mengenai Tasyabbuh Terhadap Peribadatan non-Muslim Telah kita sebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atsar-atsar dan qiyas, yang kesemuanya menunjukan bahwa tasyabbuh diri dengan mereka (ahli kitab) secara garis besar dilarang. Sebaliknya membedakan diri dari tata cara
13
Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 201.
14
Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 202.
58
hidup mereka adalah disyariatkan. Bisa jadi wajib, mungkin juga disunnahkan atau bahkan boleh-boleh saja, tergantung pada situasi dan kondisi. Di sini penulis akan mengemukakan beberapa pandangan penulis mengenai hukum mengikuti peribadatan non-Muslim dilihat dari beberapa sudut. Pertama, pandangan penulis mengenai seseorang yang menghadiri ibadah non-Muslim, bagi seseorang yang tinggal di daerah atau di Negeri non-Muslim akan sangat kesulitan untuk hidup bermasyarakat dengan mereka terutama apabila sedang dilaksanakannya hari-hari besar mereka. Mereka (non-Muslim) pasti akan menunjukkan sikap kegembiraan mereka dengan mengajak kita untuk mengikuti perayaan mereka. Tidak mungkin kita akan menolaknya karena bisa jadi itu merupakan penghinaan bagi mereka atau mungkin nantinya kita pun akan dikucilkan yang berakibat tidak baik bagi kehidupan bermasyarakat kita. Maka, berdasarkan kaidah tidak dikira tasyabbuh melainkan dengan niat, seseorang yang tinggal di daerah atau negeri yang mayoritas non-Muslim boleh saja mengikuti perayaan hari besar mereka demi untuk menghargai kehidupan beragama dan adat istiadat mereka. Begitu juga dengan seorang kepala daerah, yang sudah pasti akan mendapat undangan apabila sedang terjadi perayaan hari-hari besar non-Muslim. Maka bagi kepala daerah tersebut boleh saja menghadiri undangan tersebut dengan tidak disertai niat untuk merayakan hari besar tersebut. Dan bagi seorang ulama yang mendapat undangan pada hari besar non-muslim, menurut pendapat penulis itu bisa menjadi hubungan yang baik antar umat beragama dan juga menjadi jalan dakwah untuk menyebarkan Islam.
59
Kedua, pandangan penulis mengenai seseorang yang menghadiri ibadah non-Muslim adalah haram, karena diantara yang mereka lakukan di hari raya mereka ada berupa kekufuran, ada juga berupa kemaksiatan. Maka, sebagai seorang Muslim sebaiknya berusaha keras untuk menjauhi hal tersebut. Ketiga, bagi seorang pekerja atau pegawai di perusahaan asing atau memiliki atasan yang memiliki keyakinan berbeda (non-Muslim) seringkali mendapat undangan dari atasannya untuk ikut merayakan hari besar mereka. Undangan atau ajakan dari atasan tersebut biasanya mempengaruhi kepada hasil kerja atau bahkan kedudukan orang tersebut sebagai bawahannya. Maka dalam hal ini orang tersebut boleh saja mengikuti undangan atasannya selama masih tidak bertentangan dengan hal-hal yang disyari’atkan dalam Islam. Begitu juga seperti halnya seorang pelajar yang berada di negeri yang mayoritas non-Muslim atau bahkan Universitas/ sekolah tempat ia belajar adalah bukan sekolah Islam yang sering melaksanakan hari-hari besar non-muslim. Maka bagi pelajar tesebut boleh saja ikut merayakan hari besar tersebut dengan menghindari hal-hal seperti kamaksiatan dan kekufuran. Selanjutnya penulis menambahkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang mudah dipahami dan diamalkan. Ketika seseorang tidak bisa melakukan salat dengan beridiri, maka ia boleh melakukannya dengan duduk, ketika ia tidak bisa melakukan salat dengan duduk, maka ia boleh melakukannya dengan sambil berbaring, ketika ia tidak bisa melakukan salat sambil berbaring, maka ia boleh melakukannya dengan isyarat.
60
ُ ُ ُ ََ َ ۡ ُۡ ُ ُ ُُ ُ ا َ ۡ ك ُم ٱ ۡل ُع (٥٨٥:٩ /ۡس (الباقرة ِ ي ِريد ٱَّلل بِكم ٱليۡس وَّل ي ِريد ب
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhori dari Sa’id Maqbari, juga disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
َ َ ا د َ ُْ ََ ْ َُ ا د ََ ا ٌ إِن الِين ي )(رواه بخاري15ِين أ َح ٌد إَِّل غل َب ُه ۡس ولن يشاد ال
Artinya : “agama Islam ini mudah, tidaklah seseorang mempersulit urusan agama kecuali ia akan kalah”.
15
Al-Bukhori, Matan Shahih Bukhori, bab al-Din Yusro, jil. 1 (Indonesia: al-Haromain, t.t), h. 16
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam skripsi ini, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Tasyabbuh adalah perbuatan menyerupai non-Muslim, melakukan sesuatu seperti apa yang mereka lakukan, bertingkah laku seperti tingkah laku mereka, gaya hidup seperti gaya hidup mereka, berpikir seperti gaya berpikir mereka, lebih tepatnya dari segi aspek zahir dan batin. Adapun tasyabbuh pada zaman sekarang bila dikaitkan dengan cara berpakaian, berjalan, berpenampilan, gaya hidup sungguh tidak relevan lagi. Maka, yang lebih tepatnya dalam hal tasyabbuh pada zaman sekarang yaitu dalam hal cara berpikir yang lebih cenderung seperti mereka. 2. Dalam hal berhubungan dengan non-Muslim adalah hanya sebatas hubungan yang bersifat ta’aruf (saling mengenal), saling tolong menolong, saling berbuat kebaikan dan berbuat adil. Hubungan tersebut akan menciptakan perdamaian, kebaikan dan interaksi yang harmonis dengan mereka. Dari sinilah Islam tidak membedakan antara orang muslim dengan kafir dzimmi (orang yang hidup di tengah masyarakat Islam, dan mendapat perlindungan dari pemerintah Islam). 3. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah haram apabila di dalamnya terdapat kekufuran dan juga kemaksiatan. Hukum merayakan ibadah nonMuslim adalah mubah yakni apabila terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan 61
62
akibat penyerupaan diri tersebut. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah mubah apabila diniatkan hanya untuk menjaga hubungan antar umat beragama, memenuhi undangan dan menghormati mereka. Selanjutnya penulis menambahkan, bahwa Islam adalah agama yang indah dan universal, mengatur seluruh umatnya dalam segala aspek kehidupannya, baik hubungan dengan Tuhan (vertikal) maupun hubungan dengan sesama manusia (horizontal). Semua aturan dari Allah yang ditujukan kepada manusia pasti untuk kebaikan manusia itu sendiri. Menurut pendapat penulis, kita sebagai umat Islam yang berusaha memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sudah sepatutnya menjauhkan diri dari perbuatan tasyabbuh tersebut agar terhindar dari laknat Allah dan Rasul-Nya. Sudut pandang dari dampak yang ditimbulkan bagi seseorang yang mengikuti ibadah non-muslim adalah akan menimbulkan semacam simpati serta loyalitas dalam hati yang akan merusak imannya. Sebagai sabda Rasulullah Saw. “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan panjangkan jenggot” dan juga Rasul melarang memakai pakaian seperti pendeta. Apabila meniru-meniru dalam urusan dunia saja dilarang apalagi dalam masalah ibadah dan agama. A. Saran Untuk kepentingan penelitian selanjutnya, maka peneliti menyarankan : Pertama, perilaku ikut merayakan ibadah non-muslim bahkan sudah banyak diperaktekan dikalangan masyarakat kecil, karena biasanya pada hari-hari besar
63
akan ada pembagian bingkisan atau uang, yang bagi masyarakat kecil itu merupakan hal yang sangat membantu bagi kehidupan mereka. Kedua, juga diharapkan adanya penelitian tentang bagaimana kehidupan seorang muslim di tengah-tengah masyarakat non-muslim agar penelitian ini lebih sempurna dan hasilnya lebih maksimal. Ketiga, penulis menyarankan kepada berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama, agar memantau dan memberikan kontribusinya kepada masyarakat dalam pemahaman agama, lebih dalamny yaitu dalam hubungan antar umat beragama.
64
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Abduh, Sa’id bin Shabir. Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan. Penerjemah Nurkholis. Jakarta: Griya Ilmu, 2005. Abi Syaibah, Muhammad Ibn Abi Syaibah. al-Musannaf. Maktabah al-Syamilah, juz. 7. Albȃni, Muhammad Nasirudin Al-, Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah Imran Rosadi, vol. 1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003. Azis, Jum’ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiah. Penerjemah Abdus Salam Masykur. Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2001. Bisri, Cik Hasan, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi. Tangerang Selatan : PT Logos Wacana Ilmu, 1998. Bukhori. Matan Sahih Al-Bukhori. jil. 1. Jiddah: Penerbit al-Haramain, t.t. Daud, Abu, Sunan Abi Daud, hadis no. 1134, jil. 1, Dar al-Fikr, t.t. Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, kuantitatif dan kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam. Penerjemah Faturrahman A. Hamid. Jakarta: Amzah, 2005. Moderasi Islam: Tafsir Al-Qur’an Tematik, vol. 4. Jakarta: Lajnah Pentashihan AlQur’an. Moeleong, J Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Mu’jam al-Wasit. tp., 1985. Mudzar, Muhammad Atho, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia, sebuah studi tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.
65
Muhammad, jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas. Penerjemah Shofiyullah Bandung: Penerbit Marja, 2006. Munir, M, Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006. Muslim, Shahih Muslim. Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta Gadjah Mada Universitas Press 2007. Qardhawi, Al- Yusuf, Fiqih Minoritas, fatwa kontemporer terhadap kaum muslimin di tengah masyarakat non-muslim. Penerjemah Adillah Obid. Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Qayyim, Imam Ibn, Ahkȃm Ahl az-Dzimmah. Dȃrul al-Hadîts, 2005. Rifa’i, al-, Muhammad Nasib, ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin, vol. 4. Jakarta: Gema Insani Press. t.t. Rusd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, wa nihâyatu al-muqtasid. Jil. 1-2, Al-Haramain, t.t. Shihab, M. Quraish, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui. Jakarta : Lentera Hati, 2008. Sidharta, Lili Rasjidi & B. Arief. Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remadja Karya Offset, 1989. Suyuthi, As- Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin, Tafsir al-Jalâlain berikut asbâbun nuzûl ayat. Penerjemah, Bahrun Abu Bakar, vol. 1. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996. Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Taymiyyah, Ibn, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm. Dar ElFikr Beirut-Libanon, 2003. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Djambatani, 1992. Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Fikr, t.t.
66
Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-, Ensiklopedia Islam Al-Kamil. Penerjemah Achmad Munir Badjeber, dkk. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007. Ulwan, Abullah Nashih , Sikap Islam Terhadap Non Muslim. t.p, t.t.