MENGKRITISI PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI DAN BERWAWASAN MORAL Oleh Rochmat Wahab
Suwarsih Madya telah melakukan kajian secara cermat terhadap Pendidikan Berbasis Kompetensi dan Berwawasan Moral dengan mempertimbangkan aspek konseptual, di samping kondisi empirik pelaksanaan pendidikan di tengahtengah masyarakat. Setelah meriviu tulisannya secara mendalam, ada beberapa hal yang perlu dikritisi, di antaranya: analisis tentang ketidakberhasilan pendidikan nasional,
alasan PBKBM sebagai pilihan orientasi yang tepat,
pemahaman tentang aliran yang mendasari pendidikan berbasis kompetensi, penentuan keberhasilan yang dikaitkan dengan proses dan produk, implikasi pendidikan guru prajabatan dan dalam jabatan, program pendidikan guru yang diarahkan pada kompetensi yang bervisi moral, dan seleksi calon mahasiswa Pertama, ketidakberhasilan pendidikan nasional. Ketidakberhasilan pendidikan nasional menurut Suwarsih Madya lebih banyak disebabkan oleh pengalaman yang diperoleh di sekolah terlalu berat pada pengembangan kemampuan akademik saja, tanpa di singgung aspek lainnya. Saya sependapat dengan dugaan tersebut, tetapi menurut hemat saya aspek lainnya yang sangat penting untuk menghadapi kompetisi global adalah kompetensi dasar yang mencakup
keterampilan
memanaj
diri,
keterampilan
berkomunikasi,
keterampilan mengelola orang dan tugas, dan kemampuan mobilisasi inovasi dan perubahan, sebagaimana dikemukakan oleh Evers, Rush, dan Berdrow (1998) melalui bukunya The Bases of Competence: Skills for Lifelong Learning and Employability. Tentu saja di samping kecakapan tersebut, yang juga sama-sama pentingnya adalah sikap dan perilaku yang religius. Hampir setiap peserta didik belum sepenuhnya mendapatkan kecakapan dasar tersebut melalui program yang sistematis dan terarah, di samping pembinaan kehidupan beragama yang belum optimal.
Di samping itu dinyatakan oleh Suwarsih Madya, bahwa tujuan pendidikan nasional jelas masih sangat jauh dari tercapai. Pernyataan ini tidaklah sepenuhnya salah, hanya yang perlu dipahami bahwa rumusan tujuan pendidikan nasional kita memang sangatlah ideal, sehingga tidaklah mudah untuk mancapainya, kendatipun implementasi pendidikan sudah diupayakan sebaik mungkin. Lain halnya dengan rumusan tujuan pendidikan Amerika Serikat (AS) yang dapat diukur dan dicapai pada waktu tertentu, karena memang dilandasi filosofi pragmatisme, misalnya pada tahun 2000, semua anak Amerika yang akan memulai sekolah siap belajar (by the year 2000, all children in America will start school ready to learn), sebagaimana yang dikemukan oleh Laurie E. Gronlund (1993) dalam artikelnya Understanding the National Goal. Bandingkan dengan rumusan tujaun pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, … Berdasarkan rumusan tersebut, kiranya perlu disadari bahwa rumusan tujuan memang sangat terkait dengan filosofi pendidikan yang mendasarinya. Namun lepas dari itu semuanya bahwa apapun wujud rumusan tujuan pendidikan, yang penting adalah bagaimana menjabarkan tujuan itu menjadi sejumlah kebijakan pendidikan yang memiliki konsistensi dari filosofi sampai ke operasionalisasinya. Sementara itu tujuan pendidikan nasional tidak selalu ditindaklanjuti secara konsisten dalam implementasinya, baik pada tataran sistem sampai ke tataran operasionalnya. Kedua, Pendidikan Berbasis Kompetensi dan Berwawasan Moral (untuk seterusnya cukup disebut
PBKBM)
dianggap sebagai pilihan orientasi
pendidikan yang tepat dalam konteks reformasi pendidikan. Jika itu hanya dikaitkan dengan upaya mengembangkan manusia berkualitas yang siap berkiprah secara berjaya dalam dunia ipteks yang mengglobal sebagaimana dinyatakan Suwarsih Madya, maka penjelasan PBKBM sebagai orientasi pendidikan belumlah cukup. Menurut hemat saya bahwa melalui PBKBM, diharapkan Indonesia tidak hanya membangun pendidikan untuk mengantarkan warga negaranya yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) saja, melainkan juga iman dan takwa (imtak), karena kedua hal
esensial inilah yang perwujudannya dapat saling menunjang secara fungsional diharapkan mampu mengantarkan kejajayaan bangsa Indonesia dalam era apapun. Ketiga, pendidikan berbasisis kompetensi yang sekarang dikembangkan lebih banyak didasarkan pada aliran
rekonstruksi sosial, sebagaimana
diungkapkan oleh Suwarsih Madya. Padahal jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional dan tantangan jaman, maka aliran yang perlu dan tepat melandasi pendidikan berbasis kompetensi adalah aliran eklektik di antara paranealisme,
essensialisme,
behaviorisme,
progressivisme,
dan
social
reconstructivisne. Dengan begitu pendidikan berbasis kompetensi dalam konteks ini, di samping diharapkan menjadikan individu yang kompeten, juga memiliki kemampuan adaptif, agen perubahan, dan bermoral. Menyadari akan tuntutan atas kondisi tersebut, kiranya sangat relevan bahwa pendidikan nasional yang kita bangun tidaklah dimaksudkan untuk mencerdaskan intelektual dan kinestetis saja, melainkan juga diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual. Individu yang kita harapkan dari sistem
pendidikan
nasional
kita, bukan yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan (kompeten) saja, melainkan individu yang juga hidupnya dilandasi dengan nilai-nilai religiusitas. Keempat, penentuan keberhasilan tidak hanya dikaitkan dengan proses dan produk saja melainkan juga input dan dampak (outacome). Menurut hemat saya, bahwa apa yang disampaikan Suwarsih Madya bahwa untuk menilai pencapaian standar kompetensi cukup dilakukan terhadap keterlibatan peserta didik selama proses pendidikan (proses) dan penguasan materi yang telah ditetapkan sebelumnya (produk) saja. Jika demikian halnya, maka belumlah memadai, karena untuk melakukan penilaian yang lebih humanis dan pedagogis,
dipandang
perlu
melakukan
penilaian
terhadap
input
dan
dampaknya. Penilaian terhadap input dianggap penting, karena setiap peserta didik memiliki keunikan dan perbedaan, sehingga tidaklah fair kalau setiap peserta didik diperlakukan dengan suatu standar yang sama untuk menentukan keberhasilannya. Demikian juga, bahwa penilaian terhadap dampak pendidikan
(pengajaran lebih khususnya) sangatlah penting, karena dampak penyerta (nurturant effect) dari setiap proses pembelajaran dan pendidikan sangatlah berarti bagi kehidupan, terutama dalam kehidupan di masyarakat. Kelima, implikasi pendidikan guru prajabatan (proses mempribadi) dan dalam jabatan (lebih dari mengajar, as researcher). Sumarsih Madya menegaskan
bahwa
implikasi
bagi
pendidikan
guru
prajabatan
lebih
menekankan pentingnya akan perbaikan keterampilan mengajar. Keterampilan mengajar
memang baik
sekali
untuk
peningkatan kompetensi,
namun
keterampilan itu belum sepenuhnya mampu memberikan bekal bagi perbaikan kepribadian guru, sehingga yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan iklim yang kondusif bagi perbaikan kepribadian mahasiswa pendidikan guru. Cara berpakaian yang rapi dan sopan serta pergaulan antar pribadi yang akrab merupakan iklim yang sehat dan kontributif, bagi terbentuknya kepribadian positif untuk seorang pendidik. Selain daripada itu, dalam
pengembangan
program
pendidikan
guru,
kiranya
perlu
sekali
dimungkinkan penanaman kompetensi yang bervisi moral. Artinya bahwa program pendidikan guru perlu mencerminkan suatu upaya penanaman kompetensi yang dilandasi dengan nilai-nilai kemanuasiaan dan keagamaan. Sementara itu implikasi pendidikan guru dalam jabatan adalah untuk peningkatan kompetensi yang menurut hemat saya bahwa tidaklah seorang guru itu hanya diarahkan untuk memperbaikan keahlian mengajar saja, melainkan perlu sekali mereka dibekali kecakapan dalam meneliti dan membimbing. Kecakapan meneliti dimaksudkan
untuk
dapat
meng-update
ilmu dan
metodologinya dalam mengajar, sehingga kegiatan pembelajarannya selalu dan lebih fungsional. Selanjutnya, kecakapan membimbing dimaksudkan untuk dapat menfasilitasi dan membantu guru secara efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, baik yang mengalami kesulitan maupun memiliki potensi unggul. Keenam, pembenahan seleksi mahasiswa calon guru (MCG). Suwarsih Madya mengintrodusir bahwa seleksi yang lebih efektif untuk MCG adalah seleksi berdasarkan tingkat kemampuan akademik dan kemampuan khusus,
serta
kepribadian. Apa yang dikemukakan memang lebih lengkap daripada
biasanya, namun yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya ditelusur minat dan track-record selama masih belajar pada jenjang sebelumnya, terutama catatan-catatan penting mengenai tingkah laku MCG, sehingga diperlukan sekali referensi dari gurunya. Di samping itu untuk menjamin kualitas MCG, menurut hemat saya tidak hanya bertumpu pada proses rekrutmen saja, namun yang juga sama-sama pentingnya adalah penilaian yang dilakukan secara terus menerus terus terhadap semua aspek MCG selama proses pendidikannya, sehingga diperoleh portofolio yang sangat bermanfaat bagi penentuan kelulusan MCG pada akhir studinya. Hasil tes kepribadian memang penting, namun yang lebih penting lagi adalah segala perilaku yang terjadi selama proses pendidikannya. Jika kondisi ini diperhitungkan benar, maka impian tentang pendidikan berbasis kompetensi dan berwawasan moral akan menjadi kenyataan (the dream comes true). Akhirnya bahwa ujung dari semua aktivitas pendidikan adalah bertumpu pada pendidikan berbasis kompetensi dan berwawasan religius (menurut hemat penulis lebih luas dan bermakna daripada berwawasan moral). Oleh karena itu pendidikan tersebut diharapkan mampu menjadikan khalifah di bumi yang bertanggung jawab dan sekaligus hamba Allah swt yang taat.
Drs. Rochmat Wahab, M.Pd.,MA Dosen UNY, S-2 alumni UPI dan University of Iowa, USA Sedang menyelesaikan program Doktor di UPI, Bandung