MEMBACA MATA
2
AGUNG SETYA
MEMBACA MATA Kumpulan Puisi
LEMBAR KERTAS 3
Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
4
1.
Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima miliah rupiah)
2.
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud dalam Ayat (1) dipidanan dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
MEMBACA MATA Oleh: Agung Setya Copyright © 2016 by Agung Setya
Penerbit Lembar Kertas lembarkertas.tumblr.com
[email protected]
Desain Sampul: Ozy (Instagram: @heyozy) Ilustrasi Dansa: Umi Andhani (Instagram: @UmiAndhani)
Diterbitkan Melalui: nulisbuku.com 5
Untuk Setiap Kehidupan
6
50 % Royalti Atas Buku Ini dipersembahkan Untuk Anak-Anak Penderita Kanker di Kalimantan Selatan
7
This is the function of poetry. To make people experience. That's where it's completely different from philosophy, where you think something out but don't have to experience it in your whole being so that you are changed. It's perfectly stated by Rilke in the sonnet “To the Archaic Torso of Apollo.” One must visualize this ideally beautiful sculpture with no head and no eyes. The poem ends, “Here there is nothing that does not see you. You must change your life.” That is what art is all about.
—May Sarton
8
9
DAFTAR ISI Dyslexia -14 Telepon -16 Teror -18 Sarjana -19 Resep Obat Insomnia -20 Harap -22 Sepatu -23 Alternatif Lain -25 Catatan Mahasiswa -26 Tinta Raga -27 Kertas Putih -28 Kirana Emas -30 Kerudung Kirana -31 Gravitasi -32 Pohon Apel -33 Kelahiran Hujan -34 Nyala Hujan -35 Kematian Hujan -36 Mengaji Saat Senja -38 Borneo -39 Nasib Adalah -40 Jeruk Sitrun -41 Ilalang dan Pohon -42 Dunia Sophie -43 Jingga -45 10
Di Teluk Kumai -46 Batu Kecubung -47 Koper Tertinggal -48 Di Pinggir Sungai -49 Varians Patetik -51 Hujan Biru -52 Menatap Pohonan -53 Petang Yang Matang -55 Platonis -56 Yang Sunyi -58 Menunggu Hujan -59 Teh -60 Kopi -61 Cokelat -62 Jingga Pecah -63 Serbuk Cahaya -64 Pluviophile -65 Di Perjalanan -67 Keraya -68 Dialektika Budi -69 Berita Utama -71 Qua Annimo -72 Luka Pada Angin -73 Teman -74 Kenangan Kunang-Kunang -75 Detak -76 11
Hujan -77 Tumpukan Buku -79 Sajak Panjang -81 Menghapus Pesan Lama -82 Drama -84 Membenahimu -86 (Bukan) Cinta Melulu -88 Puisi Wajib -89 Mengunjungi Halo -90 Kartu Pos Pemisah -91 Folk -92 Pukul Sembilan Malam -94 Burung Enggang -96 Tandan Yang Jatuh -97 Belalang -99 Tembikar Abad ke-21 -101 Agama Tapi Gama -103 Muara Warna -105 Wan An -107 Bungai dan Tambun -109 Membaca Mata -111 Senandika -112 Jendela -114
12
13
Dyslexia 1. Selly membuka kado ulang tahun dari ibunya sebuah buku dongeng berlatar cinderella merah muda, persis gaun yang dikenakannya dan balon yang perlahan mengempis 2. Selly mengeja huruf-huruf tapi tak pernah sampai di ujung lidah; sebab ada tabir-tabir bagai baja juga nafas pendek-pendek, menjamah otak mungilnya 3. Bisa saja Selly menulis sebaris kalimat berisi ucapan terima kasih kepada Ibu; dan kepada kue black forest berangka tujuh bisa saja Selly begitu, namun tak pernah sampai 4. Seorang dokter berbaju putih susu berkata lembut “barangkali trauma di masa lalu.” Ibunda Selly tak mengerti, perihal masa lalu
14
5. Selly bermain boneka barbie; sampai jenuh tapi tidak senang pada aksara; atau berbicara atau mendengar atau mengungkapkan sesuatu 6. Selly selalu sampai pada taman kebahagiaan namun tak pernah sampai mengutarakan keinginan
-2015
15
Telepon
Sebuah awan kelabu kembali tersesat ketika ingin meniti jalan pulang ke rumahnya yang adalah masa lalu. Kusaksikan kecemasan awan itu dengan perasaan mengambang dan dingin yang melekat di sekujur tubuh. Kuinjak beberapa ilalang hingga menimbulkan bunyi mesin pemotong rumput. Aku sampai di rumah dengan keengganan untuk meninggalkan awan yang masih resah menentukan akan jatuh di mana. Pukul delapan yang kukira pukul sembilan adalah kelebihanku memaknai waktu. Aku rebah di ujung ranjang dan lupa pada diriku. Tanpa mandi dan tanpa mengucap sebait doa yang kulupa pula merajutnya. Janji boleh saja tak ditepati sebab kita, manusia, mendadak lugu bila sampai pada dering telepon penuh emosi. Gemiris akhirnya menyapa delapan pot bunga tanpa tanaman. Itulah awan yang menjemput ajalnya. Sampai akhirnya kita biasa melupakan kematiannya dan kembali sibuk mengunyah roti atau sereal sambil menonton televisi. Sepuluh kali misscalled barangkali adalah semiotika dari alam. Aku tak pernah tahu apakah aku mendengar atau aku hanya membayangkan mendengar dering itu.
16
“Kalau aku tak ingin mengangkat, bagaimana?” pertanyaan pertama yang kuajukan kepada entah. “Tapi itu telepon penting.” “Dari siapa?” “Dari hal-hal yang menyedihkanmu.”
-2015
17
Teror
Ingin mati rasanya ketika mendengar sebuah nama keluar dari ruang cafe yang remang. Ada bau cappucino melayang di udara dan bertemu bau bacin dari cintanya. Kau akan lihat bahwa ramai kota hanya siluet yang diterjemahkan oleh mataku menjadi kunang-kunang dan gemetar serangga. Aku adalah gadis yang masih membenci cinta sampai kini. Berawal semenjak mataku tertusuk oleh kalimat andalannya. “Sendu rasanya,” kataku mengunyah kembali kata-kataku seperti permen karet. Angin malam mengusik telingaku dan berbisik tentang kedamaian yang jauh dari cinta. Pada akhirnya, aku memerlukan cinta dari seseorang yang tak pernah mencintaiku. Sebuah aplikasi perpesanan di ponselku tiba-tiba hilang. Atau tak sengaja terhapus oleh jariku? Atau kehilangan selalu datang tepat waktu? Semula, tubuhku berisi kenangan mengenai cinta dan lain-lain. Dan tiada adalah titiknya.
-2015
18