1 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12
MELACAK PEMIKIRAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Budiarti A. Rahman Sekolah Tinggi Agama Islam DDI (STAI DDI) Maros Email:
[email protected]
Abstract: Efforts to reform Islamic law, among others, characterized by attempts a review of materials jurisprudence based on the reinterpretation of the texts. This is done because the interpretation of the results given earlier scholars are very thick with the conditions of his time which is certainly different from the situation today. So, the update is needed for the actualization of Islamic teachings relating to the rule of law as contained in the texts. In this case, does not mean changing or leaving the texts of the Qur'an or hadith of the Prophet, but just update the interpretation of the texts to fit with the times. This study is intended to explore some of the basics of thought leaders who are giving birth to a step-by-step reform of Islamic law in Indonesia. Through the identification and exploration of the reformers thought leaders can be affirmed that in some aspects of Islamic law is needed contextualization or development taking into account the social conditions and the times in order to continue dialectic with people's lives and the growing age. Kata Kunci: Hukum Islam, Pemikiran, Pembaruan
I. PENDAHULUAN Sekitar dua abad terakhir ini, di kalangan umat Islam muncul gerakangerakan pembaruan pada berbagai lapangan dan bidang kehidupan. Gerakangerakan tersebut merupakan hasil refleksi kesadaran umat terhadap kebekuan dan kejumudan sejarah Islam selama beberapa abad lamanya yang dengan sendirinya menimbulkan kegelisahan intelektual di kalangan generasi muda Islam. Maka bermunculanlah tokoh-tokoh maupun kelompok cendekiawan Islam yang berusaha mendobrak kebekuan sejarah dan mencitacitakan terwujudnya relevansi antara Islam dan pemikiran abad modern.1 Khusus dalam lapangan hukum, upaya pembaruan dilakukan akibat munculnya kesenjangan antara materi hukum,
seperti fikih, dengan kenyataan sosial. Sasaran utama dari upaya ini adalah gugatan perlunya merujukkan fikih pada sumber-sumbernya dengan komitmen menghilangkan otoritas yang berlebihan terhadap ulama-ulama abad pertengahan.2 Melalui sarana ijtihad, pengembangan materi-materi hukum Islam dapat dilakukan untuk disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan di berbagai daerah dan Kenyataan-kenyataan sejarah yang senantiasa berubah. Berarti, berupaya memunculkan ide-ide baru dalam rangka menyi-kapi perkembangan zaman. Jadi, bahwa upaya pembaruan hukum Islam antara lain ditandai dengan upaya peninjauan ulang terhadap materimateri fikih yang didasarkan atas penafsiran kembali terhadap nash. Hal ini dilakukan karena mengingat hasil penaf-
2 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 siran ulama-ulama terdahulu sangat kental dengan kondisi zamannya yang sudah tentu berbeda dengan kondisi masa kini. Jadi, pembaruan diperlukan untuk pengaktualisasian ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan aturan-aturan hukum sebagaimana terkandung dalam nash. Dalam hal ini, tidak berarti merubah atau meninggalkan nash-nash alquran atau hadis Nabi, namun sekedar memperbarui interpretasi terhadap nash-nash tersebut agar sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk konteks Indonesia, upaya penyusunan Kompilasi Hukum Islam dapat dinilai sebagai bagian dari upaya pencarian pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual. Proses kontekstualisasi hukum Islam di Indonesia memang sudah berlangsung cukup lama, sejalan dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan munculnya ide-ide pembaruan dalam pemikiran hukum Islam di Indonesia yang dilontarkan oleh beberapa tokoh sebagai jawaban terhadap perubahan kondisi sosial kemasyarakatan. Mereka merupakan para pelopor pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Olehnya itu, dalam kajian mengenai dinamika pembaruan hukum Islam di Indonesia, pemikiran-pemikiran mereka tidak bisa diabaikan. Berangkat dari pemikiran di atas, tulisan ini akan mengetengahkan bagaimana upaya para tokoh pembaharu tersebut untuk mewujudkan wajah hukum Islam yang bernuansa kekinian dan kedisinian melalui lontaran gagasangagasan mereka.Untuk lebih terarahnya pembahasan, permasalahan pokok yang diangkat dalam penulisan ini adalah: Siapa-siapa tokoh penggagas pembaruan hukum Islam di Indonesia dan bagaimana
gagasan mereka mengenai pembaruan hukum Islam di Indonesia? II. PEMBAHASAN A. Gagasan Pembaharuan Islam di Indonesia
Hukum
Jika ditelusuri, lahirnya pembaruanpembaruan hukum Islam di Indonesia semisal KHI antara lain didasarkan pada ide-ide pembaruan yang dilontarkan oleh beberapa tokoh terkemuka. Mereka ini telah melontarkan gagasan-gagasan pembaruannya dalam rangka menciptakan hukum Islam yang berkarakter keindonesiaan, yakni sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh dan gagasan-gagasan mereka akan diuraikan satu-persatu dalam uraian di bawah ini. 1. Hasbi Ash-Shiddieqy: Fikih Indonesia Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan seorang pemikir kenamaan Indonesia yang menekuni berbagai disiplin ilmu keislaman. Khusus dalam bidang hukum, beliau berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ijtihad merupakan sarana untuk melahirkan hukum-hukum lewat pemahaman terhadap wahyu dalam rangka mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Olehnya itu, beliau melihat pentingnya upaya perumusan kembali fikih yang berkepribadian Indonesia. Menurut beliau, umat Islam harus dapat menciptakan hukum fikih yang sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan religi masyarakat Indonesia.3 Ide tersebut mulai digelindingkan Hasbi pada sekitar tahun 1940-an melalui artikelnya yang berjudul “Memudahkan Pengertian Islam”. Di dalamnya beliau menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fikih dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan bangsa Indonesia agar fikih tidak menjadi barang asing dan diperlakukan sebagai barang
3 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 antik. Langkah tersebut berlanjut pada tahun 1948 melalui tulisannya yang berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat”. Di dalam tulisan tersebut beliau menyatakan bahwa eksistensi hukum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan tidak berdaya guna. Puncak dari gagasan beliau diketengahkan pada tahun 1961, saat berbicara pada Dies Natalies IAIN Sunan Kalijaga. Pada moment inilah beliau memberikan defenisi fikih Indonesia melalui orasi ilmiahnya yang bertema ”Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman.”4 Rumusan fikih yang dikehendaki Hasbi, tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurut beliau, hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks ini, beliau mengambil contoh terjadinya perubahan pendapat Imam Syafi’i dari qaul qadim ketika di Iraq menjadi qaul jadid saat di Mesir yang disebabkan karena perbedaan lingkungan dan adat-istiadat.5 Dengan demikian, sebuah hukum tertentu tidak bisa dipaksakan untuk diberlakukan sama pada kondisi yang berbeda. Bahwasanya kondisi yang melingkupi sangat mempengaruhi keberlakuan sebuah hukum. Di sinilah pentingnya sebuah pendekatan kontekstual dalam kajian hukum Islam. Sistem hukum yang dianut Hasbi berpijak pada prinsip maslahah mursalah yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan serta zadd al-zari‟ah. Karenanya, menurut Hasbi, nash baru diamalkan selama tidak berlawanan dengan kemaslahatan dan tidak mendatangkan kemudharatan. Bila terjadi pertentangan ant-
ara nash dan kemashlahatan, maka pelaksanaan nash ditangguhkan oleh syara‟ sendiri sampai kemudharatan itu hilang.6 Dengan demikian, menurut beliau, maslahat merupakan prinsip yang harus dikedepankan dalam penetapan suatu hukum, agar hukum dapat memberikan nilai kemashlahatan bagi pemakainya. Di sinilah letaknya rahasia tasyri‟. Dalam hal ini, tujuan syariat Islam bagi Hasbi adalah mewujudkan kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat, menolak kemudharatan dan kemafsadatan serta mewujudkan keadilan yang mutlak. Adapun Fikih Indonesia yang diinginkan Hasbi yakni fikih yang ditetapkan yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan watak dan tabiat Indonesia. Gagasan ini berangkat dari kondisi yang ada, di mana fikih yang berkembang dalam masyarakat Indonesia kala itu sebagiannya adalah fikih Hijazi, atau fikih Misri, yakni fikih yang terbentuk atas dasar adat-istiadat dan kebiasaan Mesir, atau fikih Hindi, yaitu fikih yang terbentuk atas „urf dan adatistiadat yang berlaku di India. Pemberlakuan fikih-fikih tersebut didasarkan taklid, bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan kemampuannya untuk berijtihad dalam rangka mewujudkan hukum fikih yang sesuai dengan kepribadian Indonesia.7 Atas dasar hal tersebut, Hasbi menyerukan agar proses perumusan hukum Islam hendaknya memperhatikan kondisi objektif dan aspek-aspek atau pranata sosial kehidupan masyarakat Indonesia sehingga hasilnya nanti akan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Olehnya itu, dalam pelaksanaanya tidak dibatasi dengan hanya menggunakan satu pendekatan saja.8 Wujud nyata dari obsesi Hasbi untuk mewujudkan pembaruan tercermin
4 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 pada pendapatnya dalam hukum-hukum praktis yang tampak berbeda dengan hukum yang telah ada sebelumnya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Di antara pemikiran-pemikirannya yang cukup aktual untuk dikaji adalah mengenai zakat. Menurutnya, zakat dapat saja dipungut dari non muslim untuk diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Hal tersebut sebagaimana telah ditempuh khalifah Umar yang memberikan zakat kepada kaum zimmi. Selanjutnya beliau melihat perlunya upaya peninjauan ulang standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib zakat dengan berpatokan pada ukuran emas. Beliau juga membolehkan pemungutan zakat secara paksa oleh pemerintah, serta pentingnya pembentukan dewan zakat yang berdiri sendiri. Demikian pula, keharusan pengaturannya dalam bentuk undangundang agar berkekuatan hukum.9 2. Hazairin: Mazhab Nasional Indonesia Hazairin adalah mantan Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Seperti diketahui, di antara sumbangsih beliau dalam pemikiran hukum Islam adalah upayanya mengintroduksi teori receptie exit. Hazairin merupakan penggagas pembentukan Mazhab Nasional, mazhab yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan kebutuhan zaman. Menurut beliau, hanya dengan menghilangkan taklid dan menggantinya dengan kebebasan berijtihad, kita dapat dengan sempurna mempertautkan hukum adat dengan kehendak Ilahi.10 Pemikiran beliau dalam hukum Islam antara lain adalah mengenai asas bilateral dalam hukum kewarisan. Menurut beliau, sistem kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) dalam alquran adalah bilateral. Pernyataan tersebut, konon merupakan kesimpulan atas hasil telaah
beliau terhadap ayat-ayat perkawinan dan kewarisan dalam Alquran. Beliau meyakini alquran adalah anti kepada masyarakat yang unilateral, yakni masyarakat yang berclan-clan menurut sistem kekeluargaan secara matrilineal dan patrilineal. Jadi, Alquran hanya meridhai masyarakat yang bilateral. 11 Keyakinan tersebut diperoleh setelah mempelajari dengan seksama surat alNisa (4) ayat 23 dan 24, di mana ayat ini berbicara mengenai larangan-larangan perkawinan. Di dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang perkawinan cross cousins dan parallel cousins antara seorang lakilaki dan seorang wanita. Ini mengandung makna bahwa tidaklah wajib melakukan perkawinan eksogami untuk mempertahankan clan (matrilineal dan patrilineal) dalam masyarakat unilateral serta tidak adanya larangan untuk melakukan perkawinan endogamy dalam clan atau usbahnya. Karena sistem kekeluargaan dalam alquran adalah bilateral, maka asas kewarisan yang merupakan bagian sistem kekeluargaan harus bilateral pula.12 Tampaknya, ide itulah yang memotivasi diakomodirnya sistem bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, yakni penempatan laki-laki dan perempuan secara serempak menjadi ahli waris. Seperti diketahui, pasal 174 KHI menyatakan: a. kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: 1) Menurut hubungan darah: - golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-;laki, paman dan kakek. - golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. 2) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenak
5 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.13 Masih terkait dengan hukum kewarisan, Hazairin juga melontarkan pemikiran mengenai ahli waris pengganti. Ide tersebut beliau angkat dari perbendaharaan Hukum Adat Indonesia. Ide itu dianggap baru karena tidak ditemukan dalam hukum kewarisan versi fikih. Hazairin dalam mengemukakan idenya didasarkan pada firman Allah surat al-Nisa (4) ayat 33 yang berbunyi:
Terjemahnya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewarispewarisnya dan (jika ada) orangorang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.14 Menurut beliau, bahwasanya terjemahan ayat tersebut adalah bahwa bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu, dan bagi mendiang aqrabun, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabunnya. Jadi, bagian yang diterima oleh ahli waris pengganti, bukan karena statusnya sebagai ahli waris yang memiliki hubungan langsung dengan si pewaris, tetapi sematamata karena harta yang diterima itu
sedianya merupakan bagian yang diterima ayah atau ibunya.15 Gagasan mengenai ahli waris pengganti tersebut, juga telah diakomodir dalam KHI sebagaimana termaktub dalam pasal 185: a. Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. b. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.16 Gagasan ini dinilai lebih mencerminkan keadilan terhadap pihak-pihak yang harusnya mendapatkan keadilan. Dengan adanya aturan tersebut, maka pihak si anak dari orang tua yang meninggal dunia akan terhindar dari prilaku semena-semena si paman yang bermaksud menguasai semua harta sang kakek dan mengabaikan perasaan anak yang telah ditinggal mati orang tuanya. 2. Munawir Syadzali: Hukum Islam
Reaktualisasi
Reaktualisasi berasal dari kata dasar “aktual” yang mempunyai arti “baru dan sedang menjadi perbincangan umum, nyata dan sesungguhnya.”17 Jadi, reaktualisasi berarti penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat.18 Dalam hal ini, penyegaran atau tindakan untuk menjadikan aktual (baru, hangat) kembali.19 Maka reaktualisasi ajaran Islam berarti penyegaran atau pembaruan kembali pemahaman dan pengamalan umat Islam atas pedoman atau petunjuk dalam agama.20 Khusus dalam hukum Islam, kata reaktualisasi menjadi sangat populer di Indonesia pada tahun 1985. ketika Munawir Syadzali melontarkan ide mengenai bunga bank dan pembagian
6 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 warisan sama antara anak laki-laki dan perempuan. Ide tersebut mendapat banyak respon dari berbagai kalangan, baik pro maupun kontra. Hal ini dapat dimaklumi , karena ketika itu Munawir menjabat Menteri Agama, ditambah cara melontarkannya dengan sangat menarik, dan materi yang dilontarkannya pun sangat aktual.21 Ide peninjauan ulang atas institusiinstitusi hukum Islam, khususnya kewarisan dan lembaga perbankan didasarkan atas pengamatan Munawir terhadap gejala sikap mendua masyarakat Indonesia dalam berbagai kasus penyelesaian kewarisan dan perbankan. Ia mensinyalir membudayanya kebijaksanaan preemptive22 dalam kewarisan, atau adanya istilah wasiat wajib seperti yang berkembang di Kalimantan Selatan. Sementara itu, dalam kasus perbankan masih diyakini secara umum bahwa bunga bank itu adalah riba yang hukumnya haram. Akan tetapi, sebagian kaum muslimin hidup dari bunga deposito, banyak sekali berhubungan dengan jasa perbankan, bahkan mendirikan bank dengan alasan darurat. Alasan ini dinilainya tidak relevan dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 173. Maka, ia mengajak umat Islam Indonesia agar memberanikan diri untuk secara kolektif mencontoh sikap khalifah Umar dalam pengambilan keputusankeputusan hukum yang pasti, tidak mendua, dengan bermodal akidah yang kuat serta memanfaatkan akal secara bertanggung jawab dan kejujuran kepada Islam.23 Seperti diketahui, dalam alquran telah ditegaskan perbandingan 2: 1 dalam pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan, sebagaimana termaktub pada ayat surat al-Nisa (4) ayat 11 yang berbunyi;
Terjemahan: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.24 Terhadap ayat di atas, Munawir secara tegas mengenyampingkan arti harfiahnya. Beliau memandang bahwa nilai kemashlahatan dan adanya adat atau nilai baru yang timbul sehingga dibutuhkan reaktualisasi, yakni pembagian waris 1:1. Aturan ini kini sudah dianut oleh Peradilan Agama, meski dalam batas adanya tuntutan kaum wanita untuk diperlakukan sama dengan saudara-saudaranya yang laki-laki dalam pembagian waris.25 Hal tersebut sebagaimana diakomodir dalam pasal 183 KHI: Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.26 Pastinya, reaktualisasi pada dasarnya dimaksudkan modifikasi terhadap hukum waris dengan berlandaskan pada keyakinan bahwa hukum muamalah sangat terbuka buat penalaran intelektual dengan mengedepankan kemashlahatan masyarakat. Munawir juga mendasarkan idenya kepada perubahan waktu, tempat, situasi, tujuan dan adat-istiadat.27 Kaitannya dengan hal ini, hasil pengamatan terhadap pengadilan-pengadilan agama yang ada di Indonesia, tampak bahwa masalah warisan jarang dibawa ke muka pengadilan. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah kewarisan lebih banyak diputuskan secara kekeluargaan. Dengan demikian, sangat terbuka peluang untuk dilakukan secara damai berdasarkan
7 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 persaudaraan dan saling pengertian dari masing-masing pihak. 4. Ibrahim Hosen: Memfikihkan Nash Qath’i Ibrahim Hosen adalah salah satu pakar fikih Indonesia yang cukup terkemuka. Beliau pernah menjabat guru besar Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang UIN) Sayarif Hidayatullah Jakarta. Pemikirannya tentang pembaruan hukum Islam dimunculkan untuk menyambut gagasan Munawir. Dasar pemikiran beliau adalah bahwasanya ketentuan hukum bagi setiap aktivitas tidak semuanya tercantum secara tegas dalam nash. Maka, perlu ada ijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan baru, dengan berdasarkan pada pedoman dan kaidah-kaidah yang telah diakui dan ditetapkan dalam Ilmu Ushul Fikih.28 Kaitannya dengan upaya ijtihad tersebut, menurut Ibrahim Hosen, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut: 1) memasyaratkan pendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka 2) menggalakkan pengkajian di dalam bidang ushul fikih, fikih muqaranah, siyasat syar‟iyat, dan hikmah tasyri‟ 3) menggalakkan pendapat yang mengatakan bahwa orang tidak harus terikat dengan salah satu mazhab 4) mengembangkan toleransi dalam bermazhab dengan mencari pendapat yang paling sesuai dengan kemashlahatan.29 Terkait dengan hal tersebut, beliau terlebih dahulu membuat kategorisasi antara syari’ah dan fikih. Syari’ah adalah hukum Islam yang ditetapkan oleh nash alquran dan Sunnah yang qath‟i aldalalah atau ma ‟ulima min al-din bi aldharurah atau mujma‟ alaih. Sedangkan fikih adalah hukum Islam yang dilahirkan dari dalil Alquran dan Sunnah yang kata-
kata dan redaksinya berstatus dzanni aldalalah karena mengandung penafsiran atau pentakwilan, demikian pula yang diperoleh melalui ijtihad bi al-ra‟yi. Maka, berdasarkan kategorisasi ini, berarti hukum Islam kategori syari’ah jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kategori fikih. Dengan demikian, lapangan ijtihad sangat luas. Selanjutnya beliau menegaskan beberapa aspek yang terkait dengan fikih, yaitu kebenarannya nisbi, wataknya berbeda, elastis dan dinamis, tidak mengikat, harus menjadi rahmat, mengutamakan kemashlahatan serta adanya campur tangan pemerintah30. Sehingga semakin teranglah bahwa memang sangat terbuka peluang untuk melakukan pembaruan di dalamnya. Namun, suatu hal yang menarik, setelah melakukan kategorisasi sebagaimana dipaparkan di atas, Ibrahim justru melontarkan gagasan tentang kemungkinan memfikihkan nas qath‟i. Menurut beliau, penetapan qath‟i atau dzanni atas suatu nash atau hukum oleh ulama terdahulu tampaknya ditentukan melalui penelitian dan ijtihad. Jika demikian halnya, maka mungkin saja ditemukan beberapa nash atau hukum yang dahulu statusnya dinilai qath‟i dari segala segi, akan tetgapi bukan tidak menutup kemungkinan ia mengandiung dimensidimensi dzanni. Sehingga masih terbuka kemungkinan untuk difikihkan.31 Sebagai contoh, Ibrahim mengemukakan hadis Nabi yang dalalahnya qath‟i mengenai penyucian bekas jilatan anjing yang harus dibasuh dengan air tujuh kali dan satu kali dengan tanah. Berdasarkan hadis ini, para ulama dahulu memandang cara penyucian seperti itu ta‟abbudi, sehingga tidak bisa diganti dengan cara lain, misalnya dengan sabun atau karbol. Namun, jika hal tersebut dipandang sebagai ta‟aqquli, bahwa penyucian dengan tanah bertujuan untuk memusnahkan bakteri atau kuman, maka
8 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 tentu fungsi tanah dapat digantikan dengan alat lain yang dinilai lebih dapat membasmi kuman atau bakteri tersebut, seperti sabun atau karbol.32 Contoh lain adalah mengenai hukum had. Berdasarkan bunyi nash, dengan pendekatan melalui teori jawabir, ulama dahulu berpendirian bahwa hukuman bagi pelaku zina mesti dirajam (muhsan) atau didera seratus kali (ghair muhsan). Jadi, hukuman yang ditetapkan nash dipandang ta‟abbudi. Namun,jika mau dipandang sebagai ta‟aqquli, maka hukuman tersebut bisa saja diganti dengan hukuman bentuk lain. Inilah yang dikenal dengan pendekatan melalui teori zawajir, bahwa hukuman dijatuhkan untuk membuat jera pelakunya dan menggugah kesadaran orang lain.33 Dari sini tampak jelas bahwa bagi Ibrahim Hosen, model atau bentuk hukuman tertentu tidak mutlak diberlakukan, namun bisa saja dikontekstualkan dengan menurut kebutuhan serta perkembangan sosial yang ada. Dengan demikian, jika dibawa ke skala yang lebih luas, bisa ditegaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki peluang untuk melakukan pengembangan-pengembangan di bidang hukum yang sesuai dengan kultur atau kondisi masyarakatnya. Sekalipun demikian, Ibrahim mengingatkan bahwa tidak semua nash atau hukum berstatus qath‟i dapat difikihkan. Hal-hal yang sudah pasti seperti kewajiban shalat, zakat, puasa dan ibadah haji, kesemua itu tidak dapat difikihkan karena memang tidak dapat difilsafatkan.34 Dengan demikian, hal-hal yang terkait dengan ibadah cenderung bersifat tetap, sedangkan yang terkait dengan bidang muamalah, itulah yang banyak menjadi objek pembaruan. Hal ini disebabkan karena tata kehidupan manusia terus mengalami perkembangan yang otomatis menuntut adanya penyesuaian-
penyesuaian dalam bidang hukum yang mengaturnya. 5. Ali Yafie dan Sahal Mahfuz: Fikih Sosial Ali Yafie dan Sahal Mahfuz dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan wacana fikih sosial. Padahal, keduanya merupakan tokoh intelektual berbasis tradisional. Banyak yang menilai, langkah mereka dimotivasi oleh maraknya wacana yang cenderung memarjinalkan fikih klasik. Melalui elaborasi yang komprehensif, mereka berupaya menggali khasanah fikih klasik untuk dibawa ke masa kini dalam melalui sebuah reformulasi kontekstual masyarakat modern. Fikih sosial (al-fiqh al-ijtima) menekankan kajiannya pada aspek ajaran tentang hubungan antar sesama manusia, yakni individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dalam hal ini, fikih sosial merupakan fikih yang berdimensi sosial atau fikih yang dibangun atas dasar hubungan antar individu atau kelompok di dalam masyarakat.35 Bagi Ali Yafie dan Sahal Mahfuz, fikih yang ada sekarang ini telah cukup memadai secara materi. Hanya saja, sistem penyajian dan reformulasinya menemui kendala-kendala. Selain itu, anomali penilaian yang hampir menjadi patologi sosial, disebabkan oleh kelaziman dalam mengimplementasikan fikih yang sering kali hanya berkutat pada dimensi ibadah saja, itupun tidak utuh. Padahal, aspek ibadah hanya seperempat dari keseluruhan kandungan fikih, karena ia meliputi juga bidang mu‟amalat, munakahat dan jinayat.36 Dengan demikian, dibutuhkan reformulasi fikih untuk dibahasakan dengan bahasa masa kini atau disesuaikan dengan kebutuhan kontemporer agar bisa menjawab masalah-masalah kekinian. Terlebih
9 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 fikih memiliki cakupan luas yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam lingkup kehidupan pribadi maupun dalam lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Sahal Mahfuz, dalam fikih memang harus selalu dilakukan pengembangan-pengembangan. Yang namanya fikih itu bukan paten. Fikih adalah hasil ijtihad. Fikih adalah hukum yang digali mujtahid yang terkait dengan amaliah dan perilaku manusia.37 Kaitannya dengan hal ini, upaya pengembangan fikih bisa dilakukan melalui komponen yang dimiliki fikih itu sendiri yakni Usul Fikih dan Qawaid al-Fiqhiyah. Kedua komponen ini tetap relevan untuk digunakan membangun fikih masa kini, karena ruang lingkupnya menjangkau dan mayoritas kaidahnya diciptakan secara global.38 Dengan demikian, bisa dipahami bahwa konstruksi fikih sosial Sahal Mahfuz bertumpu pada hal-hal sebagai berikut: pertama, ajaran syari’at Islam yang telah diuraikan oleh fikih dalam komponen-komponen ibadah, muamalah, jinayat, munakahat, jihad dan qadha, Komponen-komponen tersebut merupakan sarana mencapai kesejahteraan hakiki bagi manusia di dunia dan di akhirat. Kedua, komponen-komponen tersebut merupakan indikasi bahwa manusialah yang menjadi sasaran syari’at Islam. Oleh karena itu, segala pertimbangan hukum harus bermuara pada terciptanyakemashlahatan umum yang bersifat sosial obyektif. Ketiga, untuk mewujudkan kemashlahatan umum tersebut, dibutuhkan kontekstualisasi teks-teks fikih yang semula bersifat legal formalistik menjadi lebih bernuansa pemaknaan sosial.39 Pendapat senada dikemukakan oleh Ali Yafie. Menurut beliau, membangun harmoni antara yang lama dengan yang baru merupakan langkah yang paling adekuat dan arif untuk menegembangkan fikih. Hal ini karena fikih telah begitu
mapan dan menyatu dengan masyarakat. Begitu dominanya, fikih telah menjadi wujud paling nyata dalam perwujudan kehidupan umat Islam.40 Menelaah intisari pemikiran dari kedua tokoh tersebut, tampak semakin jelas bahwa keduanya terobsesi untuk memberdayakan fikih sebagai produk hukum Islam melalui sebuah reformulasi yang disesuaikan dengan tuntutan dunia kontemporer dengan tetap mengacu pada khasanah keilmuan Islam klasik yang telah dihasilkan oleh ulama-ulama masa lampau. Bahwasanya upaya pembaruan yang dilakukan tidak berarti harus menghapus sama sekali warisan keilmuan masa lalu, terlebih jika hal itu masih relevan untuk diterapkan di masa kini. III. PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam pembahasan, dapatlah dirumuskan kesimpulan sebagai kesimpulan bahwasanya pembaruan hukum Islam Indonesia tak lepas dari kontribusi pemikiran dari beberapa tokoh pembaru Indonesia khususnya yang konsen dalam kajian hukum Islam. Mereka ini adalah Hazairin, Hasbi AshShiddieqy, Munawir Sjadzali, Ibrahim Hozen, Sahal Mahfuz dan Ali Yafie. Tokoh-tokoh ini tampak sepakat akan pentingnya dilakukan pembaruan atau pengembangan hukum Islam yang akan diberlakukan di Indonesia melalui upaya reformulasi oleh pemikir hukum Islam Indonesia yang disesuaikan dengan kultur masyarakat Indonesia serta perkembangan modern yang diwarnai berbagai permasalahan kontemporer. Hal ini dalam rangka menjaga aktualisasi fikih sebagai salah satu khasanah keilmuan Islam agar mampu menjawab tuntutan kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, fikih akan terus berdialektika dengan kehidupan umat Islam Indonesia di segala zaman.
10 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 Catatan Akhir: 1
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam: Sebuah Pengantar (Cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 157 2
Ibid.
3
Abdul Aziz Dahlan, op. cit , h. 531.
4
Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Cet. I, Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 64-66. 5
Abdul Aziz dahlan. op.ci.t, h. 532
6
Nouruzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 65-67. 7
Ibid., h. 231
8
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia (Ed. I, Cet. I, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 93.
atau memiliki lebih dahulu. Lihat John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia (Cet. XIII, Jakarta: Gramedia, 1996), h. 443. Preemptive dalam konteks kewarisan, kepala keluarga sebelum meninggal terlebih dahulu membagikan sama besar kekayaannya kepada anak-anaknya (lelaki dan perempuan) sebagai hibah sehingga yang tersisa sedikit, malahan kalau perlu sudah habis. Jalaluddin Rahman, Metodologi Pembaruan : Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam, Orasi Pengukuhan Guru Besar di hadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Makassar, tanggal 3 Oktober 2001, h. 17. 23
Juhaya S. Praja, “Pengantar” dalam Eddi Rudiana Arief dkk (Edit), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. xii. Selengkapnya lihat Muhammad Wahyu Nafis dkk (Ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Syadzali, MA (Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1995), h. 87-89.
9
24
10
25
Abdul Azis Dahlan, op. cit., h. 532
Abdul Aziz dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II (Cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 551 11
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Ed. VI, Cet. VIII, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 289-290. Departemen Agama RI, alquran dan Terjemahnya (Cet. III, Bandung: Diponegoro, 2006), h. 81-82. 13
Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama (Cet. III, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 19995), h. 419.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia , op.cit.,h. 419. Zainal Abidin, op. cit., h. 351
17
M.D.J.Al-Barry dan Sofyan Hadi A.T., Kamus Ilmiah Kontemporer (Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 17. 18
Jalaluddin Rahman, op. cit., h. 18.
Ibrahim Hosen, “Menyongsong Abad ke21: Dapatkah Hukum Islam Direkaktualisasikan? Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 12 Tahun V, 1994, h. 1-2. 29
Ibrahim Hosen, “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” dalam Ijtihad dalam Sorotan (Cet. IV, Bandung: Mizan, 1996), h. 44. 30
Ibid., h. 2-7.
31
Ibid., h. 7-8.
32
Ibid.
33
Ibid., h. 9
34
Ibid.
35
Mahsun Fuad, op. cit., h. 109.
36
Ibid., h. 111.
37
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid VI (Cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1488. Ibid.
21
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman : Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi (Cet. II, Bandung: Mizan, 1994), h. 143. 22
Zainal Abidin Abubakar, op. cit., h. 38.
27
Ibid., h. 256
19
20
26
Departemen Agama RI, op. cit., h. 83.
15
16
Munawir Sjadzali, “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1995), h. 88-95.
28
12
14
Departemen Agama, op. cit., h. 78.
Preemptive berasal dari bahasa Inggris “Pre-empt” yang berarti menduduki lebih dahulu
Sahal Mahfuz, “Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fikih” dalam Syafiq Hasyim (Edit.), Menakar “Harga” Perempuan (Cet. I, Bandung: Mizan, 1999), h. 118. 38
Sahal Mahfuz, Nuansa Fikih Sosial (Cet. I, Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 48. 39
Sumanto al-Qur¯ub³, Sahal Mahfuz: Era Baru Fikih Indonesia (Cet. I, Yogyakarta: Cermin, 1999), h. 162.
11 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 40
Mahsun Fuad, op. cit., h. 112.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992 Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia ,Ed. VI, Cet. VIII, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000 Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi Atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, Cet. II, Bandung: Mizan, 1994
Sorotan , Cet. IV, Bandung: Mizan, 1996 Khallaf, Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Noer Iskandar Al-Barsany dengan judul Kaidahkaidah Hukum Islam, Ed. I, Cet. VII, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000 Mahfuz, Sahal, “Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fikih” dalam Syafiq Hasyim (Edit.), Menakar “Harga” Perempuan, Cet. I, Bandung: Mizan, 1999. -------, Nuansa Fikih Sosial, Cet. I, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid VI, Cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Praja, Juhaya S., “Pengantar” dalam Eddi Rudiana Arief dkk (Edit), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991
Departemen Agama RI, alquran dan Terjemahnya, Cet. III, Bandung: Diponegoro, 2006
al-Qurthubi, Sumanto, Sahal Mahfuz: Era Baru Fikih Indonesia (Cet. I, Yogyakarta: Cermin, 1999
-------, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, Cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Rahman, Jalaluddin, Metodologi Pembaruan: Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam, Orasi Pengukuhan Guru Besar di hadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Makassar, tanggal 3 Oktober 2001
Fuad,
Mahsun, Hukum Islam di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Cet. I, Yogyakarta: Lkis, 2005
Harahap, M. Yahya, “Informasi Materi Hukum Islam: Memfositifkan Abstraksi Hukum Islam” dalam Mimbar Hukum, No. 5 tahun III, 1992, Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Hosen, Ibrahim, “Menyongsong Abad ke21: Dapatkah Hukum Islam Direkaktualisasikan? Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 12 Tahun V, 1994,
Shiddiqi, Nouruzzaman S, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
-------,
“Memecahkan Permasalahan Hukum Baru” dalam Ijtihad dalam
-------, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta: Gama Media, 2001
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fikih Islam: Sebuah Pengantar, Cet. II, Surabaya: Risalah Gusti, 1996
12 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 12, Nomor 1, Januari 2014, hlm 1-12 Sjadzali, Munawir, “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1995
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Ed. I, Cet. II, Jakarta: Prenada Media, 2007
Suny, Ismail “Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Sudut pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia” dalam Mimbar Hukum No. 4 Tahun II, 1991, Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA
Syaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2006 Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Cet. I, Yogyakarta: LKis, 2001