Mata Kuliah : Hukum Pidana Lanjutan Kode Mata Kuliah : WHI 3217 Team Pengajar : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.MH I Wayan Suardana, SH.MH AA Ngurah Wirasila, SH.MH
Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar – Bali
1
HUKUM PIDANA LANJUTAN
1. Deskripsi Mata Kuliah Materi perkuliahan hukum pidana lanjutan lebih terfokus pada pemahaman asasasas hukum pidana sebagai kelanjutan dari mata kuliah hukum pidana. Ada 7 (tujuh) pokok bahasan yakni : 1) Percobaan (poging); 2) Penyertaan (deelneming) ; 3) Pembantuan (Medeplightigheid); 4) Perbarengan (samenloop) ; 5) Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Deskripsi masingmasing pokok bahasan adalah sebagai berikut : a. ”Percobaan” (poging) : Terdapat berbagai pandangan dengan dasar pemimiran masingmasing dalam percobaan (poging). Perbedaan pandangan tersebut tidak dapat dilepaskan dengan tidak ditemukannya batasan tentang percobaan dalam KUHP. Syaratsyarat percobaan (”poging”) pada dasarnya juga merupakan unsur percobaan, yakni : 1) niat (vornemen); 2) permulaan pelaksanaan (begin van uitvoerings handeling); 3) tidak selesainya pelaksanaan delik, bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri. MvT (Memorie van Toelichting) menguraikan tentang percobaan (”poging”) sebagai telah dimulainya perbuatan (tindakan), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai. Penjelasan berdasarkan Pasal 53 KUHP dan MvT, menjadi sumber adanya perbedaan pandangan yang berkenaan dengan permasalahan : Apakah perkataan ”permulaan pelaksanaan” dalam rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP harus ditafsirkan sebagai permulaan pelaksanaan atau sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri. Di samping itu, muncul pula pandangan yang mempersoalkan, apakah percobaan (”poging”) merupakan perluasan (pengertian) perbuatan pidana atau merupakan perluasan pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana. b. ”Penyertaan” (deelneming) : Dalam hukum pidana yang digolongkan/dianggap sebagai pelaku (dader) ada 4 macam yaitu: 1) mereka yang melakukan sendiri sesuatu perbuatan pidana (plegen); 2) mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana (doen plegen); 3) mereka yang turut serta (bersamasama) melakukan sesuatu perbuatan pidana (medeplegen); dan 4) mereka yang dengan sengaja menganjurkan (menggerakkan) orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking). Yang menjadi persoalan pokok didalam ajaran “deelneining” adalah menentukan pertanggungan jawab
2
c.
d.
e.
f.
dari setiap peserta terhadap delik yang dilakukannya. Di dalam doktrin penyertaan (deelneming) dibagi kedalam 2 bentuk, yaitu 1) penyertaan yang berdiri sendiri (Zelfstandige Vormen van Deelneming), yang dalam hal ini pertanggungjawaban pidana tiap peserta dinilai sendirisendiri; dan 2) penyertaan yang tidak berdiri sendiri (Onzelfstandige Vormen van Deelneining) yang dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban pidana dari seorang peserta digantungkan kepada perbuatan peserta lainnya. Pembantuan (Medeplightigheid) merupakan salah satu bentuk penyertaan (deelneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Ada pembantuan apabila dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masingmasing sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medeplichtige). Ada 2 macam pembantuan, yaitu : 1) pembantuan pada waktu kejahatan dilakukan tanpa daya upaya tertentu; dan 2) pembantuan yang mendahului/sebelum dilakukan kejahatan dengan daya upaya tertentu (ditentukan secara limitatif). Persoalan pokok dalam pembantuan (Medeplightigheid), adalah masalah pertanggungjawaban pidana yang di satu sisi dibatasi tetapi di sisi lain diperluas. Perbarengan (samenloop) : apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan, dan dengan melakukan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dimana masingmasing perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang berdiri sendirisendiri, dan terhadap salah satu dari perbuatan pidana tersebut belum ada putusan hakim, dan terhadap beberapa tindak pidana tersebut diadili sekaligus. Diadakannya pengaturan tentang perbarengan (samenloop), untuk menentukan ukuran pidana (hukuman), artinya pidana apa dan berapakah jumlahnya yang akan dijatuhkan karena ’pelaku’ melakukan beberapa tindak pidana yang masingmasing berdiri sendiri. Ada 4 sistem Pemidanaan dalam samenloop, yaitu : absorptie stelsel ; comulatie stelsel ; verscherpte ; dan gematigde comulatie stelsel. Recidive Recidive terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim, dan pidana tersebut telah dijalani oleh terpidana. Namun setelah mereka selesai menjalani masa pidana, dalam jangka waktu tertentu, ia kembali lagi melakukan tindak pidana. Recidive merupakan alasan pemberatan pidana.. Sistem penjatuhan pidana dalam recidive ada 3 macam, yaitu : 1) recidive umum (algemene recidive atau generale recidive); 2) recidive khusus ( speciale recidive atau bijzondere recidive) ; dan 3) tussen stelsel. Delik aduan (klachtdelict) Delik aduan ialah delik yang hanya dituntut atas dasar adanya pengaduan. Ini berarti bahwa sebelum adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan, maka jaksa/penuntut
3
umum belum boleh melakukan tuntutan. Dalam hal delik aduan, diadakan tidaknya persetujuan dari yang dirugikan artinya Jaksa hanya dapat menuntutnya sesudah adanya pengaduan dari yang dirugikan. Sebagai satusatunya alasan dari pembuat KUHP. untuk menetap delik aduan itu adalah adanya pertimbangan bahwa didalam beberapa hal tertentu kepentingan dari yang dirugikan agar supaya perkaranya tidak dituntut adalah lebih besar dari pada kepentingan negara untuk melakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu : delik aduan absolut (mutlak) dan delik aduan relatif (nisbi). g. Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana Gugurnya hak menuntut pidana ada yang diatur dalam KUHP dan ada pula yang diatur di luar KUHP. Ada 4 jenis alasan gugurnya hak menuntut pidana dalam KUHP, yaitu Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), matinya tertuduh (Pasal 77 KUHP), kedaluwarsa (Pasal 68 – 81 KUHP) dan penyelesaian di luar proses peradilan ”Afdoening buiten proces” (Pasal 82 KUHP). Alasan gugurnya hak menuntut pidana di luar KUHP, adalah abolisi dan amnesti, yang diatur dalam UUD dan hanya dapat diberikan oleh kepala negara. Abolisi merupakan kewenangan kepala negara berdasarkan UU untuk menghentikan atau meniadakan tuntutan, sedangkan amnesti merupakan wewenang kepala negara dengan UU atau atas kuasa UU untuk menghapuskan semua akibat hukum dari orangorang yang melakukan tindak pidana. Ada 2 alasan yang menyebabkan gugurnya hak untuk menjalankan pidana, yaitu matinya terhukum (Pasal 83 KUHP), dan kedaluwarsa (Pasal 84 85 KUIIP). h. Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Grasi merupakan hak kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap. Grasi tidaklah menghilangkan putusan hakim, dalam artian putusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanannya ditiadakan/dihilangkan atau dikurangi ataupun jenis pidananya dirubah.
2. Pokok Bahasan 1. PERCOBAAN (POGING) Pertemuan ke 1 : a. Syarat dan Unsurunsur Percobaan (poging) Syaratsyarat percobaan (”poging”) pada dasarnya juga merupakan unsur percobaan, yakni : 1) niat (vornemen); 2) permulaan pelaksanaan (begin van uitvoerings handeling); 3) tidak selesainya pelaksanaan delik, bukan sematamata
4
disebabkan karena kehendaknya sendiri. MvT (Memorie van Toelichting) menguraikan tentang percobaan (”poging”) sebagai telah dimulainya perbuatan (tindakan), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai. Penjelasan berdasarkan Pasal 53 KUHP dan MvT, menjadi sumber adanya perbedaan pandangan yang berkenaan dengan permasalahan : Apakah perkataan ”permulaan pelaksanaan” dalam rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP harus ditafsirkan sebagai permulaan pelaksanaan atau sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri. Di samping itu, muncul pula pandangan yang mempersoalkan, apakah percobaan (”poging”) merupakan perluasan (pengertian) perbuatan pidana atau merupakan perluasan pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana. Mereka yang lebih menekankan pada tindakan pelaku yang membahayakan suatu kepentingan, menyatakan bahwa percobaan merupakan perluasan perbuatan pidana, sedangkan di sisi lain menyatakan percobaan bukan menentukan bentuk khusus dari tindakan pidana, melainkan hanya menentukan tentang suatu kelakuan yang ada hubungannya dengan suatu perumusan perbuatan pidana. b. Kasus Abraham, bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di suatu rumah di kawasan pemukiman elite di daerah Sanur, yang sedang ditinggalkan oleh pemiliknya ke Jakarta. Untuk memuluskan aksinya, Abraham mempersiapkan sebuah anak kunci palsu yang akan dipergunakan untuk membuka paksa pintu kamar yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan barangbarang berharga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian, Abraham bersembunyi di semaksemak sambil menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Pada saat Abraham memulai aksinya dengan cara memanjat tembok pekarangan rumah yang akan dijadikan sasaran pencurian, iapun ditangkap oleh satuan pengamanan lingkungan setempat. c. Pertanyaan : 1. Apakah dalam kasus di atas, maksud Abraham untuk melakukan pencurian dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan ? 2. Baca secara cermat kasus di atas, kemudian saudara bahas tentang ’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar pemikiran yang ada dalam doktrin ! d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 510 551 3. Muljatno 1980. Delikdelik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23.
5
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 36 5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 265 7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 15 8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 9. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 10. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 81 11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 1 32
Pertemuan ke 2 : a. Pemidanaan terhadap Pelaku Percobaan (poging) dan Pengunduran Diri secara Sukarela sebagai Alasan Tidak Dipidananya Percobaan Sistem Pemidanaan untuk percobaan agak menyimpang dari sistem Pemidanaan delik selesai (sempurna) pada umumnya, yang mengancamkan pidana apabila unsurunsur delik telah terpenuhi. Di dalam percobaan, pemidanaan diadakan, sebelum terjadi suatu yang merugikan kepentingan hukum seperti yang seutuhnya dilindungi dalam (pasal) tindak pidana yang bersangkutan. Ada 2 pandangan yang berbeda tentang pemidanaan percobaan, yaitu : 1) pandangan subyektif yang bertolak dari diri atau jiwa pelaku (yang dinilai adalah niat dari pelaku untuk melakukan kejahatan); dan 2) pandangan obyektif yang bertolak dari tindakan atau perbuatan yang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh Undangundang. KUHP tidak menentukan secara tegas teori mana yang dianut, sehingga dalam masalah pemidanaan terhadap pelaku percobaanpun muncul berbagai penafsiran. b. Kasus Dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya di Nusa Dua, ke Sanur, Abdulah di perjalana bertemu dengan sahabat lamanya yang bernama Sanusi. Sanusi berceritera tentang kerasnya kehidupan di kota Denpasar. Abdulah sebenarnya menghadapi fenomena yang sama dengan Sanusi. Sanusi bercerita tentang jalan pintas yang pernah ditempuhnya dengan melakukan tindak pidana pencurian bendabenda sakral yang menurutnya relatif mudah dijual kepada
6
penadahnya. Abdulah tertarik dengan cerita Sanusi, dan pada kesempatan itu juga ia bersepakat untuk melakukan pencurian di suatu tempat di malam itu juga. Pada waktu dan tempat yang telah dijanjikan, keduanya bertemu dan langsung melakukan aksinya. Namun sebelum niat itu terlaksana, Abdulah dengan niat sendiri mengurungkan rencananya, sedangkan Sanusi memutuskan untuk melakukan aksinya seorang diri dan aksinya tersebut diawali dengan merusak gembok tempat penyimpanan bendabenda sakral di pura. Namun sebelum aksi Sanusi terlaksana, anggota banjar yang sedang melakukan ronda memergokinya sehingga niat tersebut tidak kesampaian. c. Pertanyaan : 1. Dilihat dari kesepakatan antara Abdulah dengan Sanusi untuk melakukan pencurian , apakah menurut pandangan subyektif dan obyektif, sudah dapat dijadikan dasar untuk memidana Abdulah dan Sanusi ? 2. Apakah mengurungkan niat dengan kesadaran sendiri, seperti apa yang dilakukan Abdulah, merupakan alasan tidak dapat dipidananya pelaku percobaan ? d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 510 551 3. Muljatno 1980. Delikdelik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23. 4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 36 5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 265 7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 15 8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 9. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 10. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 81 11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 1 32
7
Pertemuan ke 3 : a. Pertanggungjawaban Pidana dalam perbuatan Pidana Percobaan. Pertanggungjawaban pidana dalam perbuatan pidana percobaan secara tegas diatur dalam Pasal 53 KUHP bahwa maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan (“poging”) dikurangi sepertiganya. Namun demikian pembentuk Undangundang mengecualikan pertanggungjawaban pidana dalam ketentuan Buku II untuk pelaku percobaan, di samping pula menentukan secara tegas bahwa pelaku percobaan “pelanggaran” tidak dapat dipidana. b. Kasus Pagi ini, senin tanggal 1 Januari 2008, Alimudin diadili di Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus percobaan pencurian sepeda motor di bilangan Pasar Kereneng. Di dalam melakukan aksinya, Alimudin biasanya melakukan pemantauan tempat yang biasanya luput dari pengawasan juru parkir ataupun Satpam Pasar. Untuk memuluskan aksinya, Alimudin telah mempersiapkan kunci leter T yang dipersiapkan jauh sebelum aksinya dilakukan. Pada saat yang tepat, Alimudin berangkat dari rumahnya di kawasan Renon dengan mengendarai sepeda motor, dan untuk mempersingkat perjalanannya, iapun memacu sepeda motor menerobos larangan masuk. Niat untuk menerobos jalan tersebut kemudian diurungkan karena di ujung jalan ia melihat ada seorang petugas Polantas yang sedang berjaga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian, Alimudin menunggu waktu yang tepat sambil mempersiapkan peralatan yang akan dipergunakan melakukan perbuatannya. c. Pertanyaan : Di dalam melakukan aksinya, Alimudin dalam kasus di atas telah pula mencoba untuk melakukan pelanggaran dengan memasuki rambu larangan masuk. Bagaimana pendapat saudara ? d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 510 551 3. Muljatno 1980. Delikdelik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23. 4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 36 5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382.
8
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 265 7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 15 8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 9. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 10. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 81 11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 1 – 32
2. PENYERTAAN (DEELNEMING) Pertemuan ke 4 : a. Pelaku dalam Hukum Pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP, dalam hukum pidana yang digolongkan/dianggap sebagai pelaku (dader) ada 4 macam yaitu: 1) mereka yang melakukan sendiri sesuatu perbuatan pidana (plegen); 2) mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana (doen plegen); 3) mereka yang turut serta (bersamasama) melakukan sesuatu perbuatan pidana (medeplegen); dan 4) mereka yang dengan sengaja menganjurkan (menggerakkan) orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking). Yang menjadi persoalan pokok didalam ajaran “deelneining” adalah menentukan pertanggungan jawab dari setiap peserta terhadap delik yang dilakukannya, karena apabila dalam suatu delik tersangkut beberapa orang, maka pertanggungan jawab setiap orang yang merupakan peserta di dalam delik, dapat berheda satu sama lain. Di dalam doktrin penyertaan (deelneming) dibagi kedalam 2 bentuk, yaitu 1) penyertaan yang berdiri sendiri (Zelfstandige Vormen van Deelneming), yang dalam hal ini pertanggungjawaban pidana tiap peserta dinilai sendirisendiri; dan 2) penyertaan yang tidak berdiri sendiri (Onzelfstandige Vormen van Deelneining) disebut juga accessoire vormen van deelneming, yang dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban pidana dari seorang peserta digantungkan kepada perbuatan peserta lainnya. b. Kasus. Ali bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di rumah Burhan seorang saudagar ikan asin yang di kampungnya terkenal sangat kaya. Ali tidak mau bekerja seorang diri, oleh karenanya ia mengajak Yudi, Yuda dan Budi yang
9
masih berstatus sebagai karyawan Burhan. Dalam usahanya untuk memuluskan aksinya, Ali menyuruh Yudi pada malam yang telah ditentukan untuk tidak mengunci pintu kantor tempat penyimpanan brankas, sedangkan Yuda ditugaskan untuk menyiapkan tangga yang akan dipergunakan sebagai alat bantu memanjat tembok menuju ke tempat brankas. Untuk melakukan aksinya, Ali membujuk Budi pada malam yang ditentukan untuk mengambil semua isi brankas di kantor Burhan untuk kemudian dibawa ke rumah Ali. Hasil dari tindak pidana tersebut kemudian dibagibagi secara merata di antara keempat orang tersebut. c. Pertanyaan : a. Jelaskan status masingmasing pelaku tindak pidana dalam contoh kasus di atas ! b. Tentukan ancaman pidana untuk masingmasing pelaku ! c. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 556 627 3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36 4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 265 6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39 7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 8. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 9. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 82 – 97 10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 32 – 49 Pertemuan ke 5 : a. Menyuruh Orang lain, Bersamasama melakukan dan Menganjurkan Orang lain Untuk Melakukan Tindak Pidana.
10
Dalam ”menyuruh orang lain” (Middelijk Daderschaft), di dalamnya ada : orang yang menyruh lakukan (midelijk dader atau manus domina) dan orang yang disuruh (onmiddelijk dadre atau materiele dader atau manus ministra). Syarat terpenting untuk mempertanggungjawabkan mereka yang menyuruh lakukan adalah, orang yang disuruh untuk melakukan tindak pidana adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana (Pasal 44, 48, 51 ayat (2)) dan orang yang disuruh melakukan tidak mempunyai unsur ogmerk (niat) seperti yang menyuruh. Di dalam bersamasama melakukan suatu tindak pidana KUHP tidak memberikan penjelasan, tetapi dalam doktrin dapat ditemukan pendapat bahwa bersamasama melakukan berarti mereka bersmasama bekerjasama secara fisik/jasmani. Pendapat kedua mensyaratkan bahwa diantara mereka harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerja sama untuk melakukan suatu delik. Di dalam penganjuran (uitloken) juga seperti pada ”menyuruh lakukan” dalam artian ada penganjur (auctor intellectualis atau intelectuelo dader) dan ada orang yang dianjurkan (auctor materialis atau materiele dader) Pasal 55 ayat (1) ke 1 menyebutkan secara limitatif daya upaya untuk terjadinya penganjuran, yaitu : 1) memberi atau menjanjikan sesuatu ; 2) menyalahgunakan kekuasaan atau martabat ; 3) dengan kekerasan ; 4) memakai ancaman atau penyesatan ; dan 5) memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. b. Kasus Muhaimin bermaksud melakukan tindak pidana pencurian barang barang inventaris kantor di tempatnya bekerja. Dalam melakukan aksinya, ia melibatkan 4 orang temannya, yaitu : Mu’in, Mu’is, Muklas dan Muklis. Antara Muhaimin, Mu’in dan Mu’is, telah bersepakat sebelumnya tentang maksud dan tujuan perbuatannya, namun mereka menyadari tanpa adanya bantuan orang lain, perbuatan tersebut tidaklah dapat diwujudkan. Untuk itu, ia dengan menjanjikan hadiah menarik ia menganjurkan Muklas untuk meninggalkan tempat dilakukannya pencurian. Terhadap Muklas, ia memerintahkan supaya malam itu, kunci tempat penyimpanan barang inventaris kantor tidak dikunci. Muklaspun menerima suruhan itu karena Muklas adalah bawahan Muhamin di kator tersebut. Selanjutnya, pada malam yang telah ditentukan Muhaimin bersamasama dengan Mu’in dan Mu’is mengambil barangbarang inventaris kantor. Mereka bekerja sama secara fisik untuk mengangkut barangbarang tersebut ke suatu tempat. Mu’is walaupun malam itu ikut membantu Muhaimin, namun mereka tidak memehami maksud Muhaimin mengangkut barangbarang tersebut.
11
c. Pertanyaan : 1. Muklas dalam melaksanakan perintah Muhaimin, secara tidak langsung berhubungan dengan statusnya sebagai bawahan Muhaimin dalam struktur organisasi kantor tempatnya bekerja. Apakah dalam kasus di atas, Muklas dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana ? 2. Dalam kasus di atas, tentukan posisi masingmasing pelaku. Siapa yang berstatus sebagai penganjur (auctor intellectualis atau intelectuelo dader) dan siapa yang bertindak selaku auctor materialis atau materiele dader. 3. Dari kasus di atas, tentukansiapasiapa yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana dan sispasiapa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berikan argumen untuk mendukung pendapat saudara ! d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 556 627 3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36 4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 265 6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39 7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 8. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 9. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 82 – 97 10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 32 – 49
3. PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID) Pertemuan ke 6 : a. Pembantuan (Medeplightigheid)
12
Pembantuan (Medeplightigheid) merupakan salah satu bentuk penyertaan (deelneining) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Ada pembantuan apabila dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masing masing sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medeplichtige). Dari perumusan Pasal 56 dapat diketahui adanya 2 macam pembantuan, yaitu : 1) pembantuan pada waktu kejahatan dilakukan tanpa daya upaya tertentu; dan 2) pembantuan yang mendahului/sebelum dilakukan kejahatan dengan daya upaya tertentu (ditentukan secara limitatif) yaitu memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Persoalan pokok dalam pembantuan (Medeplightigheid), adalah masalah pertanggungjawaban pidana yang di satu sisi dibatasi tetapi di sisi lain diperluas. b. Kasus Abu Bakar berniat untuk melakukan penganiayaan terhadap Ibrahim di suatu tempat yang luput dari pantauan orang lain. Rencana tersebutpun disampaikan kepada Maliki, dan Abdurrahman teman dekatnya. Untuk memuluskan rencananya, Abu Bakar membutuhkan bantuan Maliki, untuk mengetahui jalanjalan yang akan dilalui oleh Ibrahim, pulang dari tempat kerjanya. Maliki dengan senang hati memberikan keterangan bahwa Ibrahim biasanya melewati Jalan setapak di pinggiran desanya pada jam 17.00 sore. Berkat keterangan Maliki, Abu Bakar dapat menyusun rencananya dan menunggu kedatangan Ibrahim pada tempat yang ditunjukkan oleh Maliki bersamasama dengan Abdurrahman. Ketika Ibrahim tiba di tempat tersebut, Abu Bakar menyerang Ibrahim, namun karena teknik perkelahian yang dimiliki Ibrahim, Abu Bakar terdesak. Pada saat itulah, Abdurrahman melemparkan sepotong kayu kepada Abu Bakar, yang kemudian dipergunakan oleh Abu Bakar untuk memukul kepala Ibrahim sampai tidak sadarkan diri, namun sebelumnya, Abdurrahman memberikan kodekode dengan isyarat fisik kepada Abu Bakar untuk melumpuhkan Ibrahim. c. Pertanyaan : 1. Tentukan status masingmasing pelaku tersebut dalam contoh kasus di atas ! 2. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan secara fisik ataun non fisik. Dengan memperhatikan contoh di atas, tentukan status Maliki dan juga Abdurrahman ! d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
13
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 556 627 3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36 4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 265 6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 62 7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 8. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 9. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 164 10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 50 – 64
3. PERBARENGAN (SAMENLOOP). Pertemuan ke 7 : a. Pengertian Perbarengan (Samenloop van Strafbaarfeiten) adalah, apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan, dan dengan melakukan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dimana masingmasing perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang berdiri sendirisendiri, dan terhadap salah satu dari perbuatan pidana tersebut belum ada putusan hakim, dan terhadap beberapa tindak pidana tersebut diadili sekaligus. Diadakannya pengaturan tentang perbarengan (samenloop), untuk menentukan ukuran pidana (hukuman), artinya pidana apa dan berapakah jumlahnya yang akan dijatuhkan karena ’pelaku’ melakukan beberapa tindak pidana yang masingmasing berdiri sendiri. Ada 4 sistem Pemidanaan dalam samenloop, yaitu : absorptie stelsel (pidana terberat yang dijatuhkan); comulatie stelsel (pidana dikomulasikan/dijumlahkan secara keseluruhan); verscherpte (pidana terberat ditambah 1/3 dari pidana terberat) ; dan gematigde comulatie stelsel (seluruh pidana dikomulasikan, namun pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi pidana terberat ditambah 1/3 nya).
14
d. Kasus Hamid di kampungnya lebih dikenal dengan sebutan ”Drunken Master”. Pada suatu malam di pesta sunatan anak teman karibnya, ia minum minuman beralkohol secara berlebihan sampai mabuk. Lewat waktu tengah malam Hamid dengan sepeda motornya, pulang menuju rumahnya yang jaraknya kurang lebih 5 Km. Di perjalanan, Polantas sedang melakukan razia suratsurat dan kelengkapan kendaraan bermotor. Hamid distop untuk diperiksa kelengkapan suratsurat sepeda motornya. Pada saat Hamid dihentikan, ia marahmarah dan memaki polisi lalu lintas yang sedang menjalankan tugasnya, bahkan perlakuan Hamid tidak hanya memaki tetapi juga memukul polisi, dan kemudian melarikan diri dengan memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Karena kurang kontrol, Hamid kemudian menabrak nenek Saonah, seorang pejalan kaki yang sedang menyeberang. c. Pertanyaan : Apakah perbuatan Hamid seperti yang tertera dalam contoh kasus di atas dapat dikatakan sebagai perbuatan berlanjut (samenloop van Strafbaarfeiten) ? dan tentukan pula pemidanaan yang dapat diterapkan. d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 642 683 3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 40 4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 175 189 6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58 7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 8. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 9. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164 10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 64 – 84
15
Pertemuan ke 8 : a. Bangunan dan Bentukbentuk Samenloop Di dalam doktrin, ada perbedaan paham mengenai beberapa bangunan dalam samenloop, yaitu mengenai :1) pengertian feit; 2) bilamanakah perbuatan seseorang dianggap sebagai eenfeit ataukah meerdere feit; dan 3) pengertian tentang vorgezette handeling. Dilihat dari segi bentuknya, ada 4 bentuk samenloop, yaitu : Eendaadse samenloop (concursus idealis) : terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan melakukan satu perbuatan tersebut, ia melanggar beberapa peraturan pidana dalam artian ia melakukan beberapa tindak pidana (Pasal 63 KUHP) ; meerdaadse samenloop (concursus realis) : terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan mana merupakan tindak pidana sendirisendiri dan terhadap perbuatan tersebut diadili sekaligus (Pasal 65 KUHP) ; dan voorgezette handeling : terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masingmasing sebagai tindak pidana tersendiri, tetapi di antara perbuatan tersebut ada hubungan yang demikian erat sehinga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP). 1. Kasus Aminah, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah Drs. Said Karim, pada suatu hari mengambil barang berupa perhiasan yang terdiri dari beberapa rangkaian yang terpisahpisah. Pertamatama ia mengambil cincin berlian, dan seminggu kemudian ia mengambil kalung, disusul 3 hari kemudian mengambil gelang emas milik Nyonya Said Karim. Sebulan kemudian, Aminah mengambil barangbarang koleksi kesayangan Drs. Said Karim berupa patung porselen berwujud burung yang bagianbagiannya bisa dilepas. Pertamatama aminah mengambil bagian kepala patung, dan secara berturutturut mengambil sayap, badan dan kaki. Barangbarang tersebut diambil dalam kurun waktu sama, yaitu 5 hari, sampai semua bagian patung diambilnya. Menjelang hari raya Idul Fitri, Aminah minta ijin kepada Drs Said Karim untuk mudik, tetapi Aminah tidak kembali lagi bekerja di rumah keluarga Drs Said Karim. Bersamaan dengan hal itu, keluarga Drs Said Karim menyadari bahwa barang barangnya telah hilang. 2. Pertanyaan : a. Dengan mencermati bangunan serta bentukbentuk Samenloop, perbuatan Aminah termasuk dalam bentuk yang mana ? b. Perbuatan Aminah, apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan berlanjut ? Berikan alasan dan tunjukkan dasar hukumnya !
16
3. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasardasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 642 683 3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40 4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 175 – 189 6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58 7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 8. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 9. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164 10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 64 84
4. RECIDIVE Pertemuan ke 9 : a. Recidive Recidive terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim, dan pidana tersebut telah dijalani oleh terpidana. Namun setelah mereka selesai menjalani masa pidana, dalam jangka waktu tertentu, ia kembali lagi melakukan tindak pidana. Recidive merupakan alasan pemberatan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Ratio pemberatan pidana, karena dengan telah dijatuhi pidana, tetapi mengulangi lagi perbuatan pidana menunjukkan bahwa yang bersangkutan tabiatnya kurang baik. Sistem penjatuhan pidana dalam recidive ada 3 macam, yaitu : 1) recidive umum (algemene recidive atau generale recidive) yaitu apabila melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu setelah menjalani masa pidana, tindak pidana mana tidak perlu sejenis dengan tindak pidana sebelumnya ; 2) recidive khusus ( speciale recidive atau bijzondere recidive) yaitu apabila melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu setelah menjalani masa pidana, tindak pidana yangh dilakukan sejenis dengan tindak pidana sebelumnya; 3) tussen stelsel, yaitu apabila melakukan tindak pidana dalam jangka waktu
17
tertentu setelah menjalani masa pidana, tindak pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undangundang. b. Kasus Lima tahun setelah Andi selesai menjalani masa pidana di LP Kelas II Kerobokan dalam kasus perampasan sepeda motor, kembali diadili di Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus pencurian, penipuan dan penggelapan barangbarang milik perusahaan tempatnya ia bekerja di bilangan Kuta. Andi selesai menjalani masa pidana pada akhir tahun 2000, dan setelah itu ia bekerja di CV Jaya Garment yang bergerak di bidang manufacturing dan eksport garmen. Di perusahaan tersebut, ia juga menanamkan saham sebesar 20 %. Pada akhir tahun 2005, Andi dilaporkan ke Polda Bali dalam kasus pencurian, penipuan dan penggelapan barangbarang milik perusahaan. Atas laporan tersebut, penyidikan dilakukan dan sampai berlanjut ke proses pemeriksaan di persidangan. Hakim memutuskan bahwa andi terbukti bersalah dalam kasus tindak pidana yang didakwakan kepadanya. c. Pertanyaan : 1. Karena Andi memiliki saham di perusahaan tempat ia melakukan tindak pidana, apakah unsurunsur tindak pidana yang disangkakan dapat terpenuhi ? 2. Dalam kasus di atas, Andi dapat dijatuhi pidana lebih berat, kenapa ? d. Bahan bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40 3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 59 62 5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 6. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 7. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164 8. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 84 93
18
5. DELIK ADUAN (KLACHTDELICT) Pertemuan ke 10 : a. Delik Aduan Delik aduan ialah delik yang hanya dituntut atas dasar adanya pengaduan. Ini berarti bahwa sebelum adanya pengaduan dari pihak yang berkepenting, maka jaksa/penuntut umum belum boleh melakukan tuntutan. Dalam hal delik aduan, diadakan tidaknya persetujuan dari yang dirugikan artinya Jaksa hanya dapat menuntutnya sesudah adanya pengaduan dari yang dirugikan. Sebagai satusatunya alasan dari pembuat KUHP. untuk menetap delik aduan itu adalah adanya pertimbangan bahwa didalam beberapa hal tertentu kepentingan dari yang dirugikan agar supaya perkaranya tidak dituntut adalah lebih besar dari pada kepentingan negara untuk melakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu : delik aduan absolut (mutlak) dan delik aduan relatif (nisbi). Delik aduan absolut adalah tiaptiap delik yang dalam keadaan apapun tetap merupakan delik aduan. Tindak pidana yang digolongkan sebagai delik aduan absolut, adalah penghinaan, kecuali penghinaan terhadap seorang pejabat pada waktu melakukan tugas dan juga beberapa tindak pidana terhadap kesusilaan. Delik aduan yang relatif, adalah : tiaptiap delik yang hanya dalam keadaan tertentu saja merupakan delik aduan. Kejahatankejahatan yang termasuk golongan delik aduan ini adalah pencurian dalam kalangan keluarga (familie diefstal), dan delikdelik kekayaan/harta benda (vermogensdlicten), yang kurang lebih sejenis, Pasal 367 KUHP b. Kasus Abdul Kadir merasa terhina oleh katakata yang diucapkan oleh Hasan, sehubungan isue peselingkuhan Abdul Kadir dengan Ngatimin istri tetangganya, yaitu Pak Komarudin. Komarudin punya buktibukti bahwa benar Ngatimin berselingkuh dengan Abdul Kadir. Kabar yang berkembang di kampung berakibat Abdul Kadir merasa terusik, kemudian melaporkan Hasan ke polisi karena menurutnya telah memfitnah dirinya. Dalam pemeriksaan polisi, Ngatimin yang diminta sebagai saksi, ternyata membenarkan isue tersebut, namun Pak Komarudin tidak melaporkan perselingkuhan istrinya dengan Abdul Kadir ke polisi. c. Pertanyaan : Tanpa adanya pengaduan, apakah dalam kasus di atas, Abdul Kadir dapat dituntut ?
19
d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40 3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 59 62 5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76 77. 6. Sianturi, SR 198 AzasAzas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311 7. Tresna, R 1959. Azasazas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164 8. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 94 101
6. GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA PIDANA
DAN MENJALANKAN
Pertemuan ke 11 : a. Gugurnya Hak Menuntut Pidana menurut Ketentuan KUHP Gugurnya hak menuntut pidana ada yang diatur dalam KUHP dan ada pula yang diatur di luar KUHP. Ada 4 jenis alasan gugurnya hak menuntut pidana dalam KUHP, yaitu Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), matinya tertuduh (Pasal 77 KUHP), kedaluwarsa (Pasal 68 – 81 KUHP) dan penyelesaian di luar proses peradilan ”Afdoening buiten proces” (Pasal 82 KUHP). Ne bis in idem berarti bahwa seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya terhadap perbuatan yang baginya telah diputuskan dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Didalam hapusnya kewenangan menuntut pidana jika terdakwa meninggal, logikanya adalah konsekuensi dari sifat pidana yang hanya didasarkan atas kesalahan pribadi dalam artian, pribadi itu sendirilah yang harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana. Kedaluwarsa (verjaring) adalah gugurnya hak menuntut pidana karena lampaunya waktu yang diberikan oleh UU. Penyelesaian di luar proses peradilan ”Afdoening buiten proces” Menurut Pasal 82 hak menuntut pidana karena pelanggaran yang sematamata diancam dengan pidana pokok tidak lain daripada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara, jika penuntutan
20
telah dilakukana, dengan ijin pejabat yang ditunjuk dalam undangundang umum, dalam tempo yang ditetapkannya. b. Kasus Drs Zulfikar Direktur PT Suka Bangun yang bergerak di bidang usaha real estate di kota Denpasar. Perusahaannya adalah perusahaan yang sah dan dalam membangun perumahan ia selalu mengurus perijinan di Dinas Tata Kota Denpasar. Berdasarkan persyaratan perijinan, serta gambar perencanaan (site plan) PT (Persero) Bank Tabungan Negara Cabang Denpasar telah mengeluarkan persetujuan kredit dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dalam gambar perencanaan (site plan) sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, dicantumkan beberapa lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pada saat penyerahan perumahan kepada konsumen, Drs Zulfikar ternyata tidak menyerahkan fasos dan fasum kepada konsumen, dalam artian tidak ada pelepasan hak atas tanahtanah yang di dalam gambar perencanaan dicantumkan sebagai fasos dan fasum, bahkan sebagian dari tanah tanah tersebut telah disertifikatkan atas namanya sendiri, dan dijual kepada pihak ketiga. Delapan tahun kemudian, para kreditur menyadari bahwa mereka telah menjadi korban penipuan dan penggelapan. Untuk itu, para konsumen yang merasa dirugikan melaporkan kasusnya ke Poltabes Denpasar. c. Pertanyaan : Cermati kasus di atas, apakah kasus tersebut termasuk kasus pidana atau sengketa perdata ! d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40 3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu 4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal 102 109 Pertemuan ke 12 : a. Alasan Gugurnya Hak menuntut Pidana Diluar KUHP Alasan gugurnya hak menuntut pidana di luar KUHP, adalah abolisi dan amnesti, yang diatur dalam UUD dan hanya dapat diberikan oleh kepala
21
negara. Abolisi merupakan kewenangan kepala negara berdasarkan UU untuk menghentikan atau meniadakan tuntutan, sedangkan amnesti merupakan wewenang kepala negara dengan UU atau atas kuasa UU untuk menghapuskan semua akibat hukum dari orangorang yang melakukan tindak pidana. Abolisi hanya rnenggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dipidana. Amnesti : mempunyal akibat hukum yang jauh lebih luas, sebab amnesti dapat diberikan kepada mereka yang sudah dipidana maupun yang belum dipidana. Artinya : tidak hanya tindakan penuntutan yang ditiadakan akan tetapi semua akibat hukum yang berupa apapun ditiadakan juga. Sedangkan yang dimaksud UU adalah bahwa apabila Presiden hendak memberikan amnesti dan abolisi harus diberikan dengan U.U., artinya harus dengan persetujuan DPR. Jadi UU nya harus diadakan lebih dahulu sebelum memberikan abolisi dan amnesti. Yang jelas, pemberian abolisi dan amnesti berkaitan erat dengan kepentingan negara b. Kasus Khairudin dan Hasannudin adalah orangorang yang ditangkap karena melakukan kegiatan kejahatan politik dalam era pemerintahan Presiden Abu Nawas. Terhadap kedua orang tersebut, Khairudin masih dalam proses penyidikan sedangkan Hasannudin telah diperiksa di pengadilan dan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, Hasanuddin terbukti melakukan tindak pidana. Kemudian terjadi reformasi di negaranya. Presiden Abu Nawas turun dan digantikan oleh Presiden Balang Tamak. Presiden Balang Tamak, ternyata mengambil sikap berbeda dengan Presiden Abu Nawas, dengan memberikan abolisi kepada Khairudin dan Amnesti kepada Hasanuddin. c. Pertanyaan : Apakah dalam pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus di atas, tindakan Presiden Abu Nawas dapat dibenarkan ? d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40 3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu 4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal 102 109
22
Pertemuan ke 13 : a. Halhal yang Menyebabkan Gugurnya Hak untuk Menjalankan Pidana Ada 2 alasan yang menyebabkan gugurnya hak untuk menjalankan pidana, yaitu matinya terhukum (Pasal 83 KUHP), dan kedaluwarsa (Pasal 84 85 KUIIP). Lamanya kedaluwarsa yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan pidana adalah 2 tahun bagi segala pelanggaran; 5 tahun bagi kejahatankejahatan yang dilaksanakan dengan alatalat pencetak ; 1/3 lebih lama dari jangka waktu kedaluwarsa yang dapat menggugurkan menuntut pidana bagi lainlain kejahatan. Sehingga berdasarkan ini maka perhitungan 8 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan, penjara yang tidak lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat 2 dan tambah dengan 1/3 tahunnya). l6 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana penjara yang lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat (3) dan tambah dengan 1/3 nya/tahunnya). Akan tetapi mengenai lamanya jangka waktu ini terdapat pembatasan yaitu bahwa lamanya untuk menggugurkan hak untuk menjalankan pidana sekalikali tidak boleh dikurangi dengan/kurang dengan lamanya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim (Pasal 84 ayat 3). Oleh karena itu hak untuk menjalankan pidana penjara seumur hidup tidak dapat gugur karena kedaluwarsa, juga hak untuk menjalankan pidana mati tidak dapat gugur karena kedaluwarsa (Pasal 84 ayat 4). b. Kasus Ali seorang redaktur koran kenamaan di kota Medan, pada tahun 2000 melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yang korbannya adalah seorang artis ibu kota bernama Diana. Pada tahun 2002, Diana melaporkan perbuatan Ali ke Polisi, namun dengan alasan tidak cukup bukti, penyidikan terhadap kasus tersebut tidak dilanjutkan. Pada tahun 2005, berkat penjelasan seorang ahli (saksi ahli), polisi memperoleh buktibukti baru dan menurut penilaian polisi dan jaksa, benar perbuatan Ali merupakan tindak pidana. c. Pertanyaan : Apakah tindakan yang dilakukan Ali termasuk kategori tindak pidana dengan menggunakan alat percetakan ? Kalau ’ya’ tentukan kapan gugurnya hak menuntut pidana ! d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
23
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40 3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu 4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal 102 109
Pertemuan ke 14 : a. Grasi dan Rehabilitasi Grasi merupakan hak kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap. Grasi tidaklah menghilangkan putusan hakim, dalam artian putusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanannya ditiadakan/dihilangkan atau dikurangi ataupun jenis pidananya dirubah. Sesuai dengan prinsip bahwa pengadilan adalah badan yang berdiri sendiri dan bebas, maka Kepala Negara sebagai badan eksekutif tertinggi, tidak dapat menghilangkan/meniadakan keputusan hakim. Apabila Kepala Negara berpendapat bahwa keputusan hakim itu terlalu keras/tinggi, maka Kepala Negara hanya dapat meringankan pelaksanaannya saja dari keputusan hakim itu, yaitu dengan jalan: 1) tidak mengeksekusi seluruh putusan; 2) hanya mengeksekusi sebagian saja dan putusan ; dan 3) mengadakan komutasi, yaitu jenis pidana dirubah/diganti, misalnya pidana mati diganti menjadi pidana penjara seumur hidup, pidana penjara diganti dengan pidana kurungan, pidana kurungan diganti dengan pidana denda. Rehabilitasi berarti mengembalikan terpidana pada kedudukan semula. b. Kasus Amrozy, Mukhlas dan Imam Samudra adalah tiga terpidana mati pelaku peledakan Bom Bali pada tahun 2002. Ketiganya saat ini sedang menunggu eksekusi di Lembaga pemasyarakatan Batu Nusa Kambangan. Dalam keterangannya, jelasjelas mereka bertiga tidak akan mengajukan permohonan pengampunan (Grasi) yang menurutnya pengampunan hanya dapat diberikan oleh Allah SWT, bukan oleh manusia (Presiden). Di samping itu, menurut penilaiannya, apabila permohonan pengampunan tersebut diajukan, secara otomatis mereka mengakui perbuatannya sebagai kesalahan. Berdasarkan pertimbangan tersebutlah mereka tidak mengajukan permohonan Grasi. Mengingat permohonan Grasi tidak hanya dapat diajukan oleh terpidana, maka keluarga terpidana mengajukan permohonan Grasi ke Presiden tanpa sepengetahuan terpidana.
24
c. Pertanyaan : Apakah tanpa persetujuan terpidana, pengacara ataupun keluarga terpidana dapat mengajukan permohonan grasi ? d. Bahan Bacaan 1. UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Undangundang tentang Grasi 3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undangundang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40 4. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu 5. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal 102 109
25