MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM NOVEL ADAM HAWA KARYA MUHIDIN M. DAHLAN (ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Oleh Hasti Kusuma Dewi NIM 07210141017
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA OKTOBER 2012
MOTTO
Kau boleh menjadi apapun yang kau inginkan, tapi jangan menjadi seorang pemalas. Seseorang di LPM Ekspresi UNY Apapun jalan yang kau pilih, lakukan dengan sungguh-sungguh dan bahagia, karena keduanya akan membawamu pada kesuksesan. Sudjiah Salah dan benar berada dalam satu sisi koin yang sama. Jadi ketika ada yang menjauhkan diri dari kesalahan, berarti dia menjauhkan diri dari kebenaran. Mario Teguh
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana ini untuk (alm) Nenek ku tercinta Sujiyah dan Zarkasi yang selalu memberikan dukungannya semasa hidupnya. Untuk kedua orang tuaku, terimakasih banyak. Untuk kesepuluh adikku, dimana pun kalian berada dan Dwi Fajar Wijayanto terimakasih. Teman-teman LPM Ekspresi, Anna Nurlaila, Rhea Yustitie, Azwar Anas, Muh. Habib, Mbak Tutik, dan yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Kawan-kawan Sastra Indonesia angkatan 2007, Anin, Ria, Ina, Hanna, Lina, Ifda, Ismi, Widi, Lantip, Bayu, Aan, Item, Tyo, dan semuanya terimakasih. Teman-teman KKN 63. Untuk teman-teman arsip kampung Mbak Khusna, Gusmuh, Mas Faiz dan seluruh kawan-kawan yang telah membantu saya selama ini.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya sampaikan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih secara tulus kepada Rektor UNY, Dekan FBS UNY, dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan berbagai kemudahan kepada saya. Rasa hormat, terimakasih, dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada kedua pembimbing, yaitu Wiyatmi, M.Hum, dan Kusmarwanti, M.A., yang penuh kesabaran, kearifan, dan kebijaksanaan telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan yang tidak henti-hentinya di sela-sela kesibukannya. Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada teman-teman sejawat keluarga mahasiswa sastra Indonesia (khususnya angkatan 2007), teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi UNY, teman-teman obrolan senja (Patehan), temanteman KKN 63, dan kawan-kawan Ormig. Ucapan terima kasih tulus saya ucapkan kepada kedua orang tuaku yang telah memberikan limpahan kesabaran dan kasih sayang yang tidak terbatas, sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini.
vii
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………….... HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………. HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….. HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………….. HALAMAN MOTTO ……………………………………………….. HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………... KATA PENGANTAR ………………………………………………. DAFTAR ISI ………………………………………………………… DAFTAR TABEL …………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………… ABSTRAK …………………………………………………………...
i ii iii iv v vi viii x xi xii xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………... B. Identifikasi Masalah………………………………………….. C. Batasan Masalah ……………………………………………... D. Rumusan Masalah …………………………………………… E. Tujuan Penelitian ……………………………………………. F. Manfaat Penelitian …………………………………………… G. Batasan Istilah ………………………………………………..
1 6 7 7 8 8 9
BAB II KAJIAN TEORI A. Marginalisasi Perempuan 1. Bentuk Marginalisasi Perempuan …………………………. 2. Penyebab Marginalisasi Perempuan ………………………. 3. Perjuangan Perempuan dalam Menghadapi Marginalisasi… B. Gerakan Feminis dan Kritik Sastra Feminis 1. Gerakan Feminis …………………………………………. 2. Kritik Sastra Feminis …………………………………….. 3. Macam-Macam Kritik Sastra Feminis …………………… 4. Penciptaan Perempuan ……………………………..……. C. Tokoh dan Perwatakan dalam Fiksi……………………..…… D. Penelitian yang Relevan ……………………………………... BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian …………………………………..……. B. Wujud Data ……………………………………….....………. C. Sumber Data ………………………………………..………... D. Pengumpulan Data ……………………………………...……. E. Instrumen Penelitian ………………………………………….
ix
11 17 24 27 29 32 39 43 47
49 50 50 50 51
F. Analisis Data ……………………………………………..….. G. Keabsahan Data …………………………………………..…..
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Bentuk Marginalisasi yang Dialami oleh Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan ………………………………………………......... 2. Penyebab Marginalisasi pada Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan…………... 3. Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan dalam Memerangi Marginalisasi …………………………………………….. B. Pembahasan 1. Bentuk Marginalisasi Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan a. Membatasi Daya Produktif atau Tenaga Kerja Perempuan …………………………………………… b. Kontrol Atas Hak Reproduksi Perempuan …………... c. Kontrol Atas Seksualitas Perempuan ………………... d. Pembatasan Gerak Perempuan ………………………. e. Membatasi Sumber Daya Ekonomi ………………….. 2. Penyebab Marginalisasi Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan a. Budaya dalam Masyarakat Patriarki....................…….. b. Sistem Kepercayaan ………….…………………….... 3. Perjuangan Tokoh Perempuan Melawan Marginalisasi dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan a. Menggugat Kekuasaan Laki-Laki …………………... b. Memilih Hidup Sendiri ……………………………… c. Mencari Pasangan Hidup Lain ……………………… BAB V PENUTUP A. Simpulan ……………………………………………………... B. Saran …………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. LAMPIRAN
x
52 52
55 56
57
59 64 67 70 79
81 88
96 101 104 109 111 113
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1: Bentuk Marginalisasi TerhadapTokoh Perempuan dalam Novel Adam dan Hawa Karya Muhidin M. Dahlan…………………………………………...........................
55
Tabel 2: Penyebab Marginalisasi Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Adam dan Hawa Karya Muhidin M. Dahlan …………….
57
Tabel 3: Perjuangan Melawan Marginalisasi Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Adam dan Hawa Karya Muhidin M. Dahlan ……..
58
Tabel 4: Ketergantungan Tokoh Perempuan Terhadap Orang Lain ………
78
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1: Sinopsis Novel Adam dan Hawa Karya Muhidin M. Dahlan……………………………………………………. 115 Lampiran 2: Data Bentuk Marginalisasi, Penyebab Marginalisasi, dan Perjuangan Tokoh Perempuan Melawan Marginalisasi … 117 Lampiran 3: Transkip Wawancara …………………………………….. 147
xii
MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM NOVEL ADAM HAWA KARYA MUHIDIN M. DAHLAN (ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS) Oleh Hasti Kusuma Dewi 07210141017 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk marginalisasi perempuan, penyebab terjadinya marginalisasi terhadap perempuan, dan perjuangan yang dilakukan tokoh perempuan untuk menghadapi marginalisasi dalam novel Adam dan Hawa karya Muhidin M.Dahlan. Subjek penelitian ini adalah novel Adam dan Hawa karya Muhidin M. Dahlan. Fokus penelitian adalah bentuk marginalisasi perempuan, sebab-sebab marginalisasi, dan perjuangan menghadapi marginalisasi pada tokoh perempuan. Teknik pengadaan data yang digunakan adalah teknik pembacaan secara cermat dan teliti, pencatatan, dan interpretasi. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Keabsahan data diperoleh melalui kriteria kepastian, kepercayaan, keteralihan, dan kebergantungan. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, bentuk marginalisasi pada tokoh perempuan meliputi daya produktif perempuan yang dipinggirkan, kontrol atas reproduksi perempuan, kontrol atas seksualitas perempuan, gerak perempuan yang dibatasi, dan sumber daya ekonomi yang dibatasi. Daya produktif perempuan yang dipinggirkan dilihat dari dibatasinya gerak perempuan (adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan), kontrol atas reproduksi dan seksualitas perempuan berhubungan dengan adanya dominasi laki-laki dalam menentukan jumlah anak maupun kehamilan dan dalam melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Gerak perempuan yang dibatasi ditandai dengan adanya batasan-batasan gerak maupun tingkah laku ditentukan oleh laki-laki, sedangkan sumber daya ekonomi yang dibatasi meliputi pembatasan keahlian perempuan terutama keahlian yang berhubungan dengan kemandirian perempuan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Kedua, penyebab marginalisasi meliputi kebudayaan dalam masyarakat patriarki dan sistem kepercayaan yang digunakan sebagai alat untuk menguasai perempuan. Ketiga, perjuangan untuk menghadapi marginalisasi yang dilakukan tokoh perempuan dalam novel meliputi menggugat kekuasaan laki-laki yang dilakukan dengan memprotes peraturan yang bias gender, memilih hidup sendiri, dan mencari pasangan hidup lain yang bisa menghormati bahwa hak antara perempuan dan laki-laki sama. Kata Kunci: Marginalisasi, Perempuan, Kritik Sastra Feminis,
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai
manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting dari laki-laki, sehinga perempuan menjadi termarginalkan bila dilihat dari berbagai macam aspek. Tidak dapat dipungkiri perempuan memang telah diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, dapat bekerja di luar rumah, bahkan dalam sistem sosial sudah berperan aktif, tetapi keyataannya perempuan masih dianggap lebih rendah dari laki-laki (Ratna, 2007:224). Budaya patriarki yang masih berlaku dalam tatanan hidup bermasyarakat mengakibatkan posisi perempuan maupun laki-laki tidak merdeka. Masyarakat patriarki memiliki ketentuan yang ketat untuk bagaimana hidup menjadi perempuan dan menjadi laki-laki. Perempuan harus bersikap lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, dan sifat-sifat feminin lainnya, sedangkan laki-laki itu berarti kuat, jantan, perkasa, dan rasional. Batasan tentang hal yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh perempuan dan laki-laki sangat jelas dibuat oleh masyarakat (Yuarsi, 2006:244). Perempuan akan dikatakan menyalahi kondrat jika dia tidak memiliki sifat lemah lembut dan cenderung kasar oleh masyarakat. Padahal, sifat perempuan maupun
laki-laki
masih
dapat
dipertukarkan
(Fakih,
2008:8-9).
Fakih
menyebutnya dengan istilah gender yang berarti sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikostruksikan secara sosial maupun kultural,
1
2
sedangkan untuk pembagian dua jenis kelamin secara biologis disebut seks (jenis kelamin). Hal tersebut berarti perempuan di sini didefinisikan memiliki vagina, alat menyusui, dan alat reproduksi, sedangkan laki-laki yang memiliki penis, jangkala, dan dapat memproduksi sperma. Masyarakat patriarki malah menganggap perbedaan gender ini sebagai kodrat dari Tuhan yang tidak bisa dipertukarkan. Fakih (2008:12) menjelaskan bahwa hal tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun ikut menjadi korban atas ketidakadilan tersebut. Hal ini karena setiap jenis kelamin dituntut untuk memiliki sifat yang telah ditentukan oleh masyarakat, bukan pada dirinya sendiri. Salah satu akibat ketidakadilan gender adalah marginalisasi, terutama terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan merupakan mahkluk lemah, lembut, halus, sensitif, dan sifat feminin lainnya membuatnya tidak memiliki kesempatan sama dengan laki-laki. Hak-haknya untuk diperlakukan sama dengan laki-laki dipinggirkan, bahkan diabaikan. Perempuan dianggap warga kelas dua (Abdullah,
2006:3). Dalam masalah pendidikan misalnya, karena anggapan
bahwa perempuan setelah menikah akan mengurus rumah tangga maka pendidikannya pun tidak perlu tinggi-tinggi, asal bisa memasak, mengurus anak dan rumah sudah cukup. Anggapan perempuan memiliki sifat yang lembut, emosional, dan lemah juga menjadi salah satu penyebab perempuan dipinggirkan dalam pemilihan untuk posisi menjadi pimpinan. Hal-hal semacam itulah yang menjadi perhatian para feminis di dunia. Berbagai cara dilakukan untuk memerangi ketidakadilan gender ini. Salah satu
3
caranya melalui karya sastra. Karya sastra merupakan tiruan dari kenyataan. Salah satu fungsi karya sastra adalah mencoba menangkap hal-hal yang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra dipakai oleh pengarang untuk menyampaikan pesan dan menggambarkan keadaan sekitar (Budiantara, dkk, 2002:19-20). Kemampuan tersebut menempatkan karya sastra sebagai sarana kritik sosial. Novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan mencoba menghadirkan tokoh perempuan yang memiliki karakter yang berbeda dalam menghadapi masalahnya dengan laki-laki. Dahlan mengisahkan tentang laki-laki yang membuat hukum bahwa perempuan di Taman Eden tidak boleh keluar dari rumah, karena tugas mencari makanan merupakan tugas laki-laki (Adam). Akibatnya kesempatan perempuan dalam novel Adam Hawa untuk hanya dapat menikmati dunia luar saja tidak ada. Selain itu, Dahlan juga menampilkan bagaimana Adam mendidik anak laki-lakinya dengan keras, namun tidak demikian perlakuannya pada anak perempuan. Hal tersebut dilakukan karena anggapan Adam bahwa lakilaki harus lebih kuat dari perempuan. Adam juga membuat cerita bahwa perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, maka untuk timbal baliknya perempuan harus menuruti semua keinginan laki-laki termasuk untuk tidak mengenal dunia luar. Tidak mengherankan jika Muniarti (1992:24) menjelaskan bahwa akibat dari masih berlakunya sistem patriarki masih akan ada masalah poligami, kawin paksa untuk anak perempuan, pemerkosaan, dan hukum adat tentang warisan yang merugikan perempuan. Selain itu juga masalah laki-laki yang masih memegang wewenang pengambilan keputusan dalam keluarga (ayah atau saudara laki-laki).
4
Artinya, selama masih ada ayah ibu tidak berhak mengambil keputusan, dan selama masih ada anak laki-laki, anak perempuan (walau lebih tua) tidak berhak untuk mengambil jalan terbaik bagi masalah keluarganya. Masyarakat patriarki inilah yang menyebabkan hak-hak perempuan dipinggirkan. Belum ada kesadaran dari masyarakat bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan sama. Berdasarkan wawancara dengan penulis novel Adam Hawa, Muhidin M. Dahlan, pada hari Selasa, 10 Januari 2012, dia menjelaskan bahwa novel ini ditulis untuk mengkritik budaya patriarki yang merugikan perempuan dan masih berlaku di masyarakat hingga saat ini. Dahlan ingin menyampaikan bagaimana budaya patriarki sudah ada sejak zaman manusia pertama ada. Dahlan menekankan ketidakadilan tersebut sudah ada sejak laki-laki diciptakan lebih dulu dan perempuan yang diciptakan kemudian. Jadi kesempatan laki-laki untuk menanamkan cerita tentang perempuan yang merugikannya dapat terbangun dengan sempurna. Salah satunya dengan pelanggengan cerita perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, yang mengakibatkan perempuan harus ingat hutang tersebut. Perlawanan tentang budaya patriarki inipun turut dihadirkan dalam novel tersebut dengan perlawanan Maia (perempuan pertama Adam) yang pergi dari rumah karena merasa haknya sebagai manusia dikekang. Novel Adam Hawa ditulis pada tahun 2005 dimaksudkan sebagai seri terakhir dari triloginya. Novel sebelumnya Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur dan Kabar Buruk dari Langit. Dahlan juga menjelaskan pada seri pertamanya, novel Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, dia bermaksud menggugat Tuhan
5
melalui tokoh perempuan yang semula sangat religius, tetapi kemudian berubah menjadi pelacur. Setelah itu untuk buku edisi keduanya Dahlan membuat Kabar Buruk dari Langit yang menampilkan tokoh yang sedang mencari Tuhan. Pada seri terakhirnya, Adam Hawa Dahlan memberikan kritik tentang budaya patriarki yang sedang hangat dibicarakan pada tahun tersebut (2005). Saat novel ini diterbitkan, Dahlan mengaku pada tahun tersebut isu tentang perempuan banyak dimuat di beberapa jurnal terutama jurnal yang membahas tentang perempuan, Jurnal Perempuan dan beberapa surat kabar, misalnya Media Indonesia, Kompas, dan Republika. Dahlan merupakan pengarang yang peka terhadap kritik-kritik sosial dalam masyarakat. Karya-karyanya selalu menyuarakan isu yang sedang berkembang saat itu. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa tulisannya yang dimuat di surat kabar yang berjudul Cantik Itu Dilukai (Media Indonesia, minggu 16 Maret 2003), Pram, Srikandi, dan Seks (Media Indonesia, 3 Agustus 2003), dan sebagainya. Novel Adam Hawa dipilih sebagai materi penelitian karena dua alasan. Pertama
novel
ini
terindikasi
menampilkan
tokoh
perempuan
yang
termarginalkan. Tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa ini mengalami ketidakadilan hanya karena jenis kelamin mereka perempuan.
Alasan kedua,
selain karena novel ini belum pernah diteliti, juga karena menghadirkan tokohtokoh perempuan yang membawa sifat dan sikap yang berbeda dalam menghadapi ketidakadilan gender berupa marginalisasi. Penelitian ini menggunakan kajian sastra feminis ideologis sebagai pisau analisisnya. Hal ini dikarenakan feminis ideologis
memfokuskan
kajiannya
pada
penyebab
perempuan
tidak
6
diperhitungkan atau dimarginalkan, stereotip perempuan dalam karya sastra serta perjuangan perempuan terhadap keberadaannya.
B.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang
dapat diidentifikasikan sebagai bahan penelitian adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana wujud marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
2.
Apa penyebab marginalisasi pada tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
3.
Perjuangan apa yang dilakukan oleh tokoh perempuan dalam menghadapi marginalisasi dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
4.
Bagaimana gamabaran tokoh perempuan dan perwatakan dalan novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
5.
Bagaimana hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
6.
Bagaimana gambaran tokoh perempuan dan permasalahan yang dialami dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
7.
Bagaimana tokoh perempuan menyelesaikan permasalahan yang dialami dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
8.
Bagaimana wujud pembagian kerja secara seksual dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
7
9.
Apa pengaruh pembagian kerja secara seksual terhadap citra tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
10.
Bagaimana kedudukan perempuan dalam sistem sosial di masyarakat dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
C.
Batasan Masalah Pembatasan masalah dilakukan dengan tujuan agar permasalahan yang
dibahas tidak terlalu luas dan mengacu pada judul. Dari berbagai masalah yang ada dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan, permasalahan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut. 1.
Wujud marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
2.
Penyebab marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
3.
Perjuangan tokoh perempuan melawan marginalisasi dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
D.
Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bagaimana wujud marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
2.
Apa penyebab marginalisasi pada tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
8
3.
Perjuangan apa yang dilakukan oleh tokoh perempuan dalam memerangi marginalisasi dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan?
E.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan wujud marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
2.
Mendeskripsikan penyebab marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
3.
Mendeskripsikan perjuangan tokoh perempuan dalam menghadapi marginalisasi dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
F.
Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari segi
teoretis dan segi praktis. 1.
Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan
kritik sastra dan menambah wacana analisis sastra, terutama analisis novel melalui kajian sastra feminis. 2.
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana yang
berhubungan dengan kajian kritik sastra feminis. Salah satunya menambah pengetahuan tentang makna karya sastra tentang kaum perempuan. Selain itu,
9
penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan masukan dan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
G.
Batasan Istilah
1.
Marginalisasi Perempuan Marginalisasi perempuan merupakan proses mengesampingkan hak-hak
perempuan baik dalam ranah pekerjaan di luar maupun dalam urusan rumah tangga. Proses ini akan mengakibatkan perempuan menjadi miskin dan terpinggirkan dibandingkan laki-laki (perempuan dianggap manusia kedua setelah laki-laki), dan sistem ini dilanggengkan oleh masyarakat patriarki. 2.
Kritik Sastra Feminis Kritik sastra feminis merupakan kritik yang memusatkan penelitiannya
tentang penindasan terhadap tokoh perempuan dalam sebuah karya sastra, pengarang perempuan, dan pembaca perempuan tentang karya sastra. 3.
Kritik Sastra Feminis Ideologis Kritik sastra feminis ideologis merupakan kritik yang memfokuskan
kajiannya pada stereotip perempuan dalam karya sastra, serta meneliti kesalahpahaman tentang perempuan dan penyebab perempuan sering tidak diperhitungkan (dimarginalkan). 4.
Patriarki Patriarki merupakan sebuah sistem dari struktur sosial yang menempatkan
bapak (laki-laki) sebagai penguasa dalam keluarga atau lebih dominan dan
10
cenderung menindas atau mengeksploitasi perempuan. Patriarki merupakan simbol masih berkuasanya laki-laki atas perempuan. 5.
Perempuan Perempuan merupakan salah satu jenis kelamin dengan ciri-ciri biologis
memiliki alat-alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui.
BAB II KAJIAN TEORI
A.
Marginalisasi Perempuan
1.
Bentuk Marginalisasi Perempuan Murniati
(2004:xx)
menjelaskan
menempatkan atau menggeser ke pinggiran.
bahwa
marginalisasi
berarti
Marginalisasi merupakan proses
pengabaian hak-hak yang seharusnya didapat oleh pihak yang termarginalkan. Namun, hak tersebut diabaikan dengan berbagai alasan demi suatu tujuan. Sebagai contoh, penggusuran lapak dagang yang ada di sekitar alun-alun kota. Demi alasan kebersihan dan keindahan kota maka lapak-lapak tersebut dipindah ke suatu daerah yang masih lapang yang kemudian dijadikan pusat jajanan. Namun, pemindahan tersebut tidak memperhatikan bagaimana kondisi penjualan di tempat tersebut, karena tempat tersebut tidak strategis untuk dijadikan tempat transaksi jual beli (terlalu sepi). Hal tersebut tentu akan merugikan pihak pedagang yang dipindahkan. Hak mereka untuk mendapatkan penghasilan dari berdagang dipinggirkan dan akibatnya mereka jadi bangkrut dan menambah daftar pengangguran. Menurut Fakih (2008:14), proses marginalisasi sama saja dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender ini. Sebagai contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja
11
12
dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki. Hal serupa juga diungkapkan oleh Yuarsi (2006:240) yang menyatakan bahwa posisi dan upah terendah akan dialami oleh perempuan walaupun bila dilihat dari pendidikan dan kemampuan mereka tidak kalah dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan pemilik modal usaha telah memiliki pandangan bahwa laki-laki lebih bisa fleksibel dalam berbagai hal dan perempuan dianggap tidak produktif. Jika perempuan memerlukan cuti hamil, melahirkan, dan jarang yang bisa lembur karena beban ganda mengurus keluarganya di rumah maka tidak demikian dengan laki-laki. Perempuan mendapat perlakuan tidak adil, tidak hanya di tempat kerja, namun juga di dalam keluarganya sendiri, yakni dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki terhadap perempuan
(Fakih, 2008:15). Anggota
keluarga berjenis kelamin perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan lakilaki dalam mengambil keputusan dalam keluarganya. Ayah akan memiliki kekuasaan mutlak terhadap kehidupan istri maupun anak-anaknya, begitu pula dengan kedudukan anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki akan langsung menggantikan ayah jika yang bersangkutan pergi atau meninggal, walaupun posisi anak perempuan lebih tua dari anak laki-laki. Kedudukan laki-laki yang dianggap lebih tinggi juga akan berimbas pada pendidikan yang rendah untuk perempuan. Hal tersebut dicontohkan ketika keadaan keluarga yang sedang mengalami krisis keuangan, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas utama untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi
13
daripada anak perempuan. Anak perempuan akan lebih banyak digunakan tenaganya untuk membantu urusan rumah. Hal ini karena anggapan masyarakat patriarki bahwa anak laki-laki sebagai pengganti kepala keluarga (pengganti pencari nafkah) sedangkan perempuan akan menjadi ibu rumah tangga kelak kalau sudah menikah. Stereotip masyarakat bahwa perempuan lebih cocok bekerja mengurus rumah
daripada bekerja di
luar, mengakibatkan kesempatannya
untuk
mengembangkan diri di luar terhambat. Perempuan yang sudah tidak bisa hidup mandiri karena keadaan, menjadikannya budak laki-laki. Perempuan akan melakukan semua yang diinginkan laki-laki agar tetap bisa bertahan hidup. Hal tersebut dapat dicontohkan dalam kehidupan rumah tangga, jika yang bekerja adalah suami dan istri mengurus anak serta segala urusan rumah, istri akan menuruti semua keinginan suami agar tetap diberi nafkah (secara materi) untuk terus hidup. Hal tersebut dikarenakan bila istri ditinggalkan suami, dia tidak akan memiliki uang untuk melanjutkan hidupnya termasuk untuk membiayai anakanaknya. Perempuan yang telah berhasil mendapat pekerjaan di luar pun masih harus dihadapkan dengan beberapa masalah baru, misalnya saja masalah pelecehan seksual di tempat kerja, perlakuan tidak adil sesama pekerja, dan beban kerja ganda. Perempuan menjadi pekerja kelas dua karena anggapan-anggapan yang diberikan pada pekerja perempuan membuat posisi perempuan menjadi terbelakang dan akan terus menjadi pihak yang tergantung pada laki-laki (Yuarsi dalam Abdullah, 2006:244).
14
Murniati (2004: xxi) juga menjelaskan, proses marginalisasi tidak hanya terjadi di luar perempuan saja, namun marginalisasi dalam diri pribadi pun turut melanda perempuan. Hal tersebut dikarenakan adanya ketidakpercayaan diri perempuan yang membuatnya kemudian menyingkir dari persaingan. Selain itu, juga karena paksaan dari masyarakat patriarki yang telah menanamkan sifat lemah dan lembut membuat diri perempuan sendiri seperti membentengi diri dari semua aturan tersebut. Menurut Bhasin (1996:5), ada beberapa bidang kehidupan perempuan yang dikontrol oleh laki-laki dalam masyarakat patriarki. Bidang kehidupan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut. 1.
Membatasi Daya Produktif atau Tenaga Kerja Perempuan Menurut Walby (via Bhasin, 1996: 5), ibu rumah tangga merupakan posisi
di mana perempuan dijadikan budak untuk suami dan orang-orang yang tinggal di dalam keluarga tersebut. Tenaga perempuan di sini diperas untuk melayani semua kebutuhan hidup anggota keluarga. Tidak berbeda jauh dengan perempuan yang bekerja. Perempuan yang memiliki pekerjaan di luar domestik juga tidak memiliki kemerdekaan. Jenis pekerjaan yang dapat meraka jalani sudah ditentukan oleh laki-laki,mana pekerjaan yang cocok untuk perempuan dan mana yang tidak cocok (Bhasin, 1996:6). Perempuan di sini disisihkan dari pekerjaan yang memiliki upah tinggi.
15
2.
Kontrol Atas Reproduksi Perempuan Perempuan terkadang tidak memiliki kebebasan dalam hal reproduksi,
semuanya dikontrol oleh laki-laki (Bhasin, 1996: 6). Bahkan, pada zaman modern ini reproduksi ditentukan oleh negara (yang banyak dikuasai oleh laki-laki). Hal tersebut dapat dilihat bagaimana sistem keluarga berencana yang ditentukan negara untuk hanya memiliki dua anak saja dengan alasan menekan pertumbuhan penduduk, demikian halnya dengan di negara India. Berbeda dengan Indonesia dan India, Malaysia dan Eropa malah mendorong perempuan untuk melahirkan anak banyak. Hal tersebut karena di Malaysia ingin meningkatkan perekonomian dalam negeri, sedangkan di Eropa karena rendahnya pertumbuhan penduduk. Hal tersebut menunjukkan adanya kontrol atau aturan yang dibebankan pada perempuan dalam hal reproduksi. Perempuan dipinggirkan dalam menentukan keputusan tersebut, hak mereka diabaikan oleh negara maupun penguasa. 3.
Kontrol Atas Seksualitas Perempuan Perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-
laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan (Bhasin, 1996:8). Laki-laki memiliki kuasa terhadap keinginan seksualnya. Hal tersebut berarti perempuan tidak boleh menolak keinginan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dan perempuan tidak diperbolehkan memaksakan keinginannya untuk melakukan hubungan seksual pada laki-laki. Hukum yang berlaku pun lebih membatasi perempuan daripada laki-laki. Hal tersebut akan terlihat pada masyarakat patriarki yang bagaimana perempuan dipaksa untuk memakai pakaian yang tertutup daripada memaksa anak laki-laki
16
untuk menundukkan kepala saat bertemu dengan perempuan (Bhasin, 1996:8). Hal tersebut berarti perempuan dinilai menjadi penyebab adanya tindak kejahatan (seksualitas) dan menafikan tidak adanya kontrol diri pada laki-laki. 4.
Gerak Perempuan yang Dibatasi Gerak-gerik perempuan memiliki batasan yang jelas dalam masyarakat
patriarki (Bhasin, 1996: 9-10). Hal tersebut akan terlihat ketika banyaknya aturan yang membatasi anak perempuan. Pembatasan ini dapat dicontohkan ketika anak perempuan akan keluar rumah, terdapat aturan untuk pergaulannya dengan lawan jenis maupun sesame. Terkadang bahkan ada tradisi pingitan untuk anak perempuan yang memasuki usia remaja, hal ini terjadi pada jaman sebelum Indonesia merdeka. 5.
Harta Milik dan Sumber Daya Ekonomi Lainnya Dikuasai oleh Laki-Laki Menurut Bhasin (1996:10), sebagian besar harta dan sumber daya
produktif dikendalikan oleh laki-laki kemudian diwariskan dari laki-laki ke lakilaki yang lainnya. Hal tersebut terlihat pada hukum agama maupun sosial yang memberikan bagian lebih banyak kepada pewaris laki-laki daripada pewaris perempuan. Perempuan yang mewarisi harta ayahnya pun jika dia memiliki suami maka harta tersebut akan langsung dikuasai oleh suami (bertindak sebagai kepala keluarga yang mengolah harta). Bhasin (1996:5-10) menegaskan bahwa hal-hal yang disebut di atas merupakan
batasan-batasan
yang
diberikan
masyarakat
patriarki
untuk
perempuan. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan bahkan pada dirinya sendiri. Hal tersebut terlihat ketika reproduksi, gerak, dan seksualitas mereka masih
17
dikontrol oleh laki-laki. Ketidakmerdekaan perempuan juga terlihat pada adanya pembagian kerja yang jelas yang dibuat oleh laki-laki untuk perempuan. Perempuan hanya dijadikan objek atas berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan laki-laki. Mereka tidak diberi kesempatan untuk bisa mengembangkan dirinya sesuai dengan keinginannya.
2.
Penyebab Terjadinya Marginalisasi terhadap Perempuan Marginalisasi terhadap perempuan terjadi karena adanya perbedaan gender
(Fakih, 2008:14). Penyifatan untuk laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh masyarakat tersebut
mengakibatkan adanya satu pihak yang terpinggirkan
(termiskinkan). Marginalisasi yang terjadi akibat perbedaan gender ini diciptakan oleh masyarakat patriarki. Sistem patriarki yang masih membudaya di masyarakat menyebabkan perempuan terus dijadikan manusia kedua setelah laki-laki. Hakhaknya secara umum dikebiri dan keberadaannya terpinggirkan. Bahkan, tidak sedikit dari perempuan yang mendapat perlakuan hukum secara tidak adil. Sebagai contoh adalah hukum adat yang tidak memberikan warisan kepada anak perempuan. Budaya menjadi salah satu penyebab perempuan dipinggirkan. Hal lain yang menyebabkan ketidakadilan gender adalah tafsir agama (kitab, wahyu, dalil), usia, ras, dan biologi. Budaya sendiri mencakup masalah patriarki, ideologi familialisme,
dan
stereotip
terhadap
perempuan.
Ratna
(2007:225)
mengemukakan bahwa patriarki dimulai sejak manusia mengenal berburu dan terjadinya peperangan antarkelompok. Pada masa itu perempuan tinggal di rumah
18
untuk menjaga bayi dan laki-laki berburu atau ikut berperang. Pembagian domestik dan publik terjadi pada manusia jenis ini yang kemudian terus berkembang dan dilanggengkan sebagai suatu keharusan (kodrat). Menurut Letourneau (via Saadawi, 2001:187-188), perempuan merupakan orang pertama yang menemukan teknologi pertanian baru. Perempuan memiliki pengalaman lebih dahulu dalam hal memetik buah-buahan, biji-bijian, serta akarakaran dari tanah sehingga menguatkan status ekonomi. Suku-suku pada zaman pertanian primitif ini memakai sistem matriarkat (mengikuti garis ibu). Perempuan dalam masyarakat ini juga sederajat dengan laki-laki bila menyangkut kepemimpinan di dalam struktur politik dan turut mengepalai ritual-ritual keagamaan. Sejalan dengan waktu, pertanian ini menjadi sumber makanan tetap untuk masyarakat, sehingga cara-cara dan teknologi semakin maju (Saadawi, 2001:188). Pada periode inilah sistem matriarkat mulai hilang dan melahirkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial. Selain itu, perempuan juga mulai dijauhkan dari kepemimpinannya dalam ritual-ritual keagamaan, laki-laki mulai mendominasi agama untuk tujuan-tujuan pribadi (Saadawi, 2001:189). Perempuan semakin dimarginalkan dan mulailah pelanggengan sistem patriarki di masyarakat. Pada masyarakat ini pun, jelas ditanamkan cerita tentang laki-laki setelah meninggal akan naik ke tingkat dewa, sementara perempuan sederajat dengan kawanan binatang ternak. Walby (via Wiyatmi, 2010:100-101) menjelaskan bahwa patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang pada praktiknya menempatkan laki-laki
19
pada posisi yang berkuasa dan menindas perempuan. Sistem patriarki ini terjadi tidak hanya di ruang publik namun juga di privat. Keluarga merupakan awal kekuasaan laki-laki dibentuk dan dilanggengkan. Hal senada juga diungkapkan oleh Abdullah (2006:6-7) yang menjelaskan bahwa ideologi familialisme merupakan akar dari penegasan perempuan untuk peran domestiknya. Ideologi ini membuat perempuan hanya ingin menjadi istri dan ibu yang baik. Penilaian baik dan buruk ini dilihat dari sudut pandang yang dibuat oleh masyarakat patriarki, yakni menjadi pendorong keberhasilan suami dan dapat memberikan keturunan yang baik. Jika keduanya tidak dilakukan dengan baik, maka perempuan tersebut akan dinilai tidak bisa menjadi istri maupun ibu yang baik. Hal tersebut bisa dicontohkan bila anak nakal dan tidak menuruti perkataan orang tua, maka kesalahan akan dibebankan pada ibu, bukan ayah. Ibu dinilai tidak becus mendidik anak, dia dinilai gagal menjadi seorang ibu yang baik, namun tidak demikian dengan laki-laki. Hal tersebut juga akan menjadi kesalahan perempuan jika suami gagal dalam pekerjaannya. Kesalahan dari perempuan akan terus dicari untuk dijadikan akar permasalahan keluarga. Perempuan yang sudah terlanjur ditanamkan untuk menjadi pekerja domestik ini hanya akan berada dalam keterpurukan bila hal tersebut terjadi dan sudah tidak memiliki tujuan ke depan lagi (mengingat keberhasilannya hanya diukur dari kerhasilan domestik). Sistem patriaki ini berkembang begitu subur di masyarakat bukannya tanpa sebab, ada suatu hal yang dipertaruhkan, salah satunya keuntungan yang didapat oleh laki-laki. Ketika pihak yang berkuasa itu berhasil meminggirkan hak
20
pihak yang dinilai lemah, maka kesempatannya untuk berkuasa tetap langgeng. Ada pihak yang berusaha untuk mengontrol kebebasan pihak lain, baik hal tersebut disadari maupun tidak oleh pihak yang dikuasai. Masyarakat patriarki tidak hanya menindas perempuan dengan berbagai aturannya, namun laki-laki juga memiliki batasan tersendiri. Pemiskinan karena perbedaan gender ini ternyata tidak hanya merugikan perempuan, namun laki-laki pun ikut menjadi korban atas sistem tersebut (Fakih, 2008: 12). Disadari maupun tidak, laki-laki ikut menjadi korban sistem ini karena tuntutan dari masyarakat patriarki yang keras. Hal tersebut karena masyarakat patriarki sudah menentukan sifat untuk bagaimana hidup sebagai laki-laki dan perempuan. Setiap jenis kelamin dituntut untuk menjadi sesuai ketentuan mereka jika ingin dianggap sebagai manusia normal. Jika hal tersebut dilanggar, maka hukum sosial yang akan dibebankan pada yang melanggarnya. Hal ini dicontohkan oleh Bhasin (1996: 23), jika laki-laki terlihat sopan dan tidak agresif maka dia akan mendapat julukan banci, sedangkan untuk laki-laki yang memperlakukan istrinya sederajat akan dicap sebagai suami takut istri. Keuntungan yang didapat laki-laki dari sistem patriarki ini memang lebih besar daripada kerugiannya (Bhasin, 1996: 22). Hal tersebut karena laki-laki kelas buruh pun yang mendapat tekanan dari atasannya masih bisa berkuasa atas perempuan, begitu pula sebaliknya, perempuan borjuis pun masih tunduk kepada laki-laki (suami atau ayah). Proses marginalisasi terhadap perempuan akan terus terjadi selama kekuasaanlah yang menjadi pertaruhannya. Beauvoir (Jurnal Perempuan, 1997: 42) mengemukakan bahwa perempuan merupakan ancaman untuk laki-laki,
21
karena perlahan-lahan perempuan mulai sadar bahwa keberadaannya tidak diakui. Jadi bila laki-laki ingin terus berkuasa, dia harus terus menindas perempuan. Marginalisasi juga terjadi karena cerita-cerita hutang awal perempuan kepada laki-laki yang diciptakan oleh laki-laki. Ratna (2007: 224) menceritakan bahwa secara mitologis perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok milik laki-laki (Adam). Maka perempuan harusnya mengabdi pada laki-laki karena hutangnya tersebut. Selain itu, penggambaran Sang Pencipta dan para utusan yang disimbolkan sebagai laki-laki membuat posisi perempuan semakin lemah. Perempuan tidak memiliki peranannya dalam hal tersebut. Beberapa kitab suci agama juga menjelaskan bagaimana perempuan pertama merupakan penghasut laki-laki pertama untuk berbuat dosa dengan melanggar aturan Tuhan, memakan buah terlarang dan membuat manusia diturunkan ke bumi dalam keadaan telanjang dan harus bersusah payah untuk menjalani kehidupannya. Hal tersebut dijadikan laki-laki sebagai kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan, maka perempuan harus mengingat hal tersebut jika akan memberontak pada laki-laki. Menurut
Beauvoir
(via
Tong,
2004:267),
bersamaan
dengan
perkembangan kebudayaan, laki-laki menciptakan mitos tentang perempuan karena mereka ingin menguasai perempuan. Mitos-mitos tersebut kemudian memberikan pilihan kepada perempuan untuk menjadi yang terbaik dalam hal melayani laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya ketentuan bahwa perempuan dianggap berhasil jika menjadi ibu dan istri yang baik untuk keluarga dan suaminya. Menjadi istri dan menjadi ibu, dalam pandangan Beauvoir (via Tong, 2004: 270) merupakan dua peranan feminin yang membatasi kebebasan
22
perempuan. Hal tersebut karena dua profesi tersebut akan membuat perempuan sibuk menjalani pekerjaan domestik yang terus berulang dari waktu ke waktu. Tentu hal tersebut membuat perempuan sama sekali tidak berkembang dan tidak bisa mandiri secara ekonomi, walau jika bekerja di luar perempuan akan mendapat beban ganda (masih harus mengurus rumah) namun, dengan bekerja di luar perempuan akan lebih bisa mengembangkan diri di luar. Mitos-mitos tersebut merupakan hasil dari tafsir agama yang tidak menggunakan pemahaman gender. Murniati (2004:3) menjelaskan bahwa potensi ketidakadilan itu bukan bersumber dari prinsip agama, melainkan karena proses perkembangan agama yang didominasi oleh budaya patriarki. Hal tersebut berarti tafsir agama menjadi salah satu penyebab yang menjadikan perempuan dimarginalkan. Para mufasir (kebanyakan laki-laki) yang terpengaruh dengan kebudayaan patriarki kemudian menafsirkan ayat-ayat, dalil, maupun wahyu dari Tuhan tidak memperdulikan posisi perempuan, hal tersebut dikarenakan keinginan untuk terus mendominasi. Agama kemudian dijadikan sebagai alat untuk berkuasa. Tidak heran jika kemudian laki-laki mendominasi agama dan menjauhkan perempuan dari keahlian untuk menafsirkannya. Hal tersebut juga diperkuat dengan keterangan dari Fakih (2008:143-144) bahwa beberapa permasalahan tafsir agama yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untuk dikaji. Hal tersebut dikarenakan menyangkut masalahmasalah sebagai berikut. Pertama, menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki. Hal tersebut berarti dengan adanya tafsir agama yang bias gender
23
mengakibatkan perempuan dipinggirkan dan kedudukan dianggap lebih rendah dari kaum laki-laki. Kedua, subordinasi perempuan juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian dimana nilai kaum perempuan dianggap separuh dari kaum laki-laki (Fakih, 2008:144). Hal tersebut menyangkut harta warisan anak perempuan akan lebih sedikit dari anak laki-laki, selain itu ketika terjadi suatu permasalahan kesaksian perempuan tidak sepenuhnya dipercaya seperti kesaksian laki-laki. Ketiga, dalam penafsiran Islam yang tak menggunakan perspektif gender, kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak bereproduksi. Penyebab marginalisasi terhadap perempuan yang lainnya yakni masalah usia. Menurut Beauvoir (via Jurnal Perempuan, 1997:44-45), ibu merasa bahwa anak membebaskan dia dari statusnya sebagai objek, karena anak yang diasuhnya dia golongkan sebagai yang lain dan objek ini begitu independen dan dapat diatur semaunya. Hal tersebut berarti usia ibu yang lebih tua menjadikannya merasa lebih berkuasa dari anak yang memiliki usia lebih muda. Usia menyebabkan seseorang memiliki kekuasaan karena merasa telah memiliki pengalaman hidup yang lebih daripada yang memiliki usia muda. Tidak heran jika kemudian untuk memperlihatkan pengalaman yang lebih tersebut kemudian seorang ibu (atau orang yang memiliki usia lebih tua) memperlakukan anaknya semaunya. Dia kemudian tidak memperdulikan hal-hal yang diinginkan oleh anaknya. Tindak marginalisasi usia ini hampir sama dengan perlakuan suami terhadap istri, yakni terdapat banyak kontrol terhadap kehidupan. Penyebab marginalisasi terhadap perempuan selanjutnya adalah ras. Menurut Djajanera (2000:36), kaum feminis-etnik di Amerika menganggap
24
dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Hal tersebut dikarenakan kaum feminis-etnik ini mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih, baik laki-laki maupun perempuan (Djajanegara, 2000:36). Hal tersebut berarti ras menjadi penyebab perempuan kulit hitam mengalami marginalisasi ganda. Peminggiran haknya tidak hanya dari laki-laki namun juga dari perempuan kulit putih. Biologis merupakan penyebab marginalisasi selanjutnya yang akan dibahas. Hal tersebut bertumpu pada pernyataan Firestone (via Fakih, 2008:97) yang menyatakan bahwa biologis merupakan penentu nasib perempuan, maka jika ingin mengubah nasib perempuan jalan satu-satunya adalah mengubah pula biologisnya. Hal tersebut berarti bahwa nasib perempuan yang dipinggirkan sudah tidak bisa diubah (takdir dari Tuhan).
3.
Perjuangan Perempuan dalam Menghadapi Marginalisasi Berbagai perlawanan baik dari kalangan perempuan maupun laki-laki terus
digalangkan untuk menghapuskan ketidakadilan terhadap perbedaan gender. Kelompok-kelompok feminis
yang mengusung misi berbeda-beda terus
berkembang di seluruh penjuru dunia. Walaupun berbeda-beda dalam hal wacana yang diperjuangkan oleh para feminis, namun inti tujuan kelompok ini adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan laki-laki (Djajanegara, 2000:4). Hal ini menandakan adanya perjuangan nyata untuk kedudukan setara antara perempuan dan laki-laki.
25
Perempuan pertama yang memperjuangkan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di Indonesia adalah R.A Kartini. Kartini mendirikan sekolah bagi kaum perempuan yang tidak bisa memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan pada masanya sebagai wujud untuk menjunjung derajat kaumnya (Horton dan Simmons, 2009: 214). Pada masanya, perempuan memang tidak diberi pendidikan yang sama dengan laki-laki karena anggapan bahwa mereka adalah pekerja rumahan, pekerjaan di luar pun ikut tertutup untuk perempuan melihat kondisi tersebut. Kartini mendirikan sekolah itu untuk memberi kesempatan perempuan supaya mendapat pendidikan sama dengan lakilaki, mendapatkan perkerjaan maupun memiliki kedudukan diperpolitikan yang sama dengan laki-laki. Melalui pendidikan inilah perempuan mulai sadar kedudukannya yang tidak strategis. Wacana untuk menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki mulai bermuncullan sebagai salah satu jalan awal perjuangan perempuan. Salah satu cara untuk mendapatkan hak sama dengan laki-laki adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (Djajanegara, 2000: 4). Hal tersebut berarti ada pembagian yang seimbang untuk pekerjaan domestik untuk laki-laki dan perempuan. Jadi perempuan memiliki waktu dan tenaga yang cukup untuk ikut bersaing dalam perkerjaan nondomestik. Perjalanan dalam pembebasan ini memang membutuhkan gerakan yang revolusioner. Tujuan yang diinginkan para feminis ini tidak mudah untuk dicapai, mengingat sudah berabad-abad lamanya kuasa laki-laki mendominasi kehidupan
26
bermasyarakat. Hal tersebut terbukti dengan adanya gerakan awal feminis di Amerika. Mereka terbentur dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Ratu Victoria yang banyak dianut oleh masyarakat di Amerika. Pada waktu itu sebagian warga Amerika merupakan keturunan imigran Inggris yang menganut nilai-nilai yang dicetuskan oleh Ratu Victoria tentang keharusan perempuan menjaga kesalehan, kemurnian, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus rumah dan rumah tangga (Djajanegara, 2000: 5). Perjuangan para feminis Amerika untuk memiliki hak dipilih dan memilih baru membuahkan hasil setelah 70 tahun kemudian (Djajanegara, 2000: 8). Hak tersebut pun diperoleh ketika mereka mengembangkan pendidikannya. Namun kendala lain mulai muncul, setelah kemenangan tersebut banyak perempuan yang kemudian tidak memanfaatkannya untuk berkembang lebih luas lagi. Perempuanperempuan itu malah lebih suka kembali kepada urusan domestik dan cukup puas dengan adanya hak untuk memilih dan dipilih tersebut. Menurut pandangan kelompok Marxian (via Fakih, 2008:151-152), perempuan baru akan meraih kesamaan derajat jika urusan rumah tangga ditransformasikan menjadi industri sosial serta urusan menjaga dan mendidik anak menjadi urusan publik. Hal tersebut berarti diharuskan adanya perjuangan untuk merubah penilaian masyarakat terhadap pekerjaan mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi sesuatu yang memiliki daya jual atau kehormatan yang setara dengan pekerjaan yang menghasilkan materi. Perubahan ini dimaksudkan agar pekerjaan sebagai ibu rumah tangga memiliki posisi tawar yang sama dengan laki-laki yang bekerja di luar rumah.
27
Fakih (2008:145) menjelaskan bahwa selain masalah pekerjaan dan perpolitikan
ada
beberapa
hak-hak
reproduksi
perempuan
yang
harus
diperjuangkan untuk menghilangkan ketidakadilan gender. Hal tersebut meliputi hak jaminan keselamatan dan kesehatan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan atau menolak penggunaan organ reroduksinya, hak untuk memiliki pasangan, dan hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual (Fakih, 2008: 145-146). Hal tersebut berarti jika perempuan ingin menghapuskan ketidakadilan gender dalam reproduksi ada tiga permasalahan tersebut yang harus diperjuangkan.
B.
Gerakan Feminis dan Kritik Sastra Feminis
1.
Gerakan Feminis Menurut Ratna (2007: 221), kata feminis berasal dari kata femme yang
berarti perempuan. Gerakan yang memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan disebut feminis. Masalah-masalah yang diusung oleh gerakan ini sangat beragam, mulai dari patriarki sampai wilayah politik. Fakih (2008: 7) berpendapat dalam mempelajari gender, terlebih dahulu harus memahami perbedaan arti kata seks dan gender. Seks merupakan jenis kelamin yang artinya mengacu pada penampilan fisik. Umumnya jenis kelamin ada dua yakni laki-laki dan perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam jangkauan seks terletak pada bentuk fisiknya. Hal ini bisa dijelaskan bahwa laki-laki memiliki penis, jakala atau kala menjing, dan memproduksi sperma,
28
sedangkan perempuan melahirkan, memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan saluran untuk melahirkan. Gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu lembut, cantik, emosional, keibuan dan lain-lain, sedangkan lakilaki itu jantan, perkasa, rasional dan lain-lain. Ciri tersebut dalam kenyataannya bisa dipertukarkan dan tidak harus dimiliki oleh satu jenis kelamin saja. Harding dan Siva (via Fakih, 2008: 104) membedakan adanya ideologi femininitas dan maskulinitas. Ideologi yang bercirikan femininitas memiliki kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan. Ideologi maskulinitas memiliki karakter persaingan, dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Hal tersebutlah yang menjadikan laki-laki dan perempuan mulai dikelompokkan dan terjadinya ketidakadilan hak. Ketika laki-laki dituntut untuk menjadi lebih perkasa dibandingkan perempuan yang dituntut lemah lembut membuat perempuan banyak memiliki larangan-larangan yang berakhir pada „pemasungan‟ hak, baik secara fisik maupun batin. Perkembangan berikutnya kemudian banyak perempuan yang merasa dirugikan dengan keadaan ini. Muncullah gerakan-gerakan dari perempuan untuk memperbaiki situasi tersebut. Gerakan ini pertama kali muncul di Amerika pada tahun 1776. Menurut Djajanegara (2000: 1-2), ada 3 faktor munculnya gerakan feminis di Amerika. Hal tersebut meliputi: (1) tercantumnya tulisan “All men are created equal” yang artinya „setiap laki-laki diciptakan sama‟ pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776, menyebabkan perempuan Amerika
29
merasa tidak dianggap oleh negaranya; (2) aspek agama; (3) adanya konsep Sosialisme dan konsep Marxis, yakni ketika laki-laki menjadi kelas borjuis dan perempuan menjadi kelas proletar (Djajanegara, 2000: 1-2).
2.
Kritik Sastra Feminis Menurut Wiyatmi (2010: 16), kritik sastra feminis merupakan salah satu
ragam kritik sastra (kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminis yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan baik sebagai penulis maupun dalam karya sastranya. Kritik sastra feminis berarti meneliti bagaimana keberadaan perempuan di dalam masyarakat luas, ini dilihat dari bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan dengan laki-laki. Endraswara (2004:147) berpendapat bahwa jika akan meneliti menggunakan kajian sastra feminis maka peneliti harus membaca sebagai perempuan (reading as women). Hal tersebut karena kesadaran sebagai perempuan dalam menghadapi masalah perempuan akan berbeda dengan membaca masalah perempuan sebagai laki-laki.
Kesadaran tersebut nantinya akan bermuara pada pemaknaan cipta
sastra yang diteliti. Kajian sastra feminis dapat difokuskan ke dalam lima sasaran, yakni biologi, pengalaman, wacana, proses ketidaksadaran, dan pengarang feminis (Selden, 1991:137 ). Biologi merupakan pembahasan pada perempuan yang lebih inferior, lemah, lembut, dan dianggap rendah. Hal tersebut dikarenakan atribut biologis perempuan yang dikatakan rendah oleh laki-laki. Pengalaman perempuan yang dimaksud Selden (1991: 137) merupakan pandangan dari laki-laki bahwa
30
perempuan hanya memiliki
pengalaman yang dialami oleh perempuan saja
(ovulasi, menstruasi, dan melahirkan). Pengalaman tersebut sering dipakai oleh laki-laki untuk menyingkirkan perempuan dari dunia persaingan, misalnya saja pekerjaan laki-laki dianggap lebih fleksibel dari perempuan karena mereka tidak perlu cuti hamil. Menurut Selden (1991: 138), wacana menjadi perhatian yang sangat besar dari kalangan feminis. Bahasa merupakan milik laki-laki, maka tidak heran jika perempuan dianggap terjebak dalam kebenaran milik laki-laki. Foucault (via Selden, 1991: 138) berpendapat bahwa jika bahasa dikuasai laki-laki maka tidak heran jika perempuan kemudian didominasi oleh wacana yang dibuat oleh lakilaki. Secara diam-diam penulis perempuan pun mulai menyamai kedudukan lakilaki dalam hal wacana (Selden, 1991: 138). Selden (1991:138) menjelaskan pada fokus keempat yang berupa proses ketidaksadaran beberapa penulis feminis telah mendobrak biologisme dengan mengasosiasikan perempuan dengan proses yang cenderung meruntuhkan autoritas wacana lelaki. Ketidaksadaran perempuan pada wacana yang telah ditanamkan oleh laki-laki ini kemudian memunculkan penulis perempuan yang memberikan wacana dalam pandangan perempuan dan bukan laki-laki. Selden (1991: 138) menjelaskan bahwa teori Lacan mengenai linguistik yang dipakainya dalam ruang psikoanalisis akan membangun sebuah sintesa psikoanalisasemiotika menjelaskan mengenai proses ketidaksadaran ini. Hal tersebut dapat dicontohkan misalnya pada lelucon, impian-impian, kekeliruan kehidupan seharihari dan lain-lain.
31
Fokus
yang
kelima
merupakan
pengarang
feminis.
Hal
tersebut
memfokuskan pembicaraannya pada tulisan laki-laki dan perempuan. Anggapan bahwa perempuan memiliki pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan berbagai hal dengan laki-laki, khususnya dalam sastra untuk menceritakan tokoh perempuan. Menurut Endraswara (2004: 147), kelima fokus tersebut tidak perlu dihadirkan bersama-sama untuk meneliti dengan kajian sastra feminis, cukup memilih beberapa fokus saja. Hal tersebut dimaksudkan agar peneliti bisa lebih fokus terhadap penelitianya. Tujuan kritik sastra feminis adalah dapat menganalisis relasi gender, situasi ketika perempuan berada dalam dominasi laki-laki (Wiyatmi, 2010: 17). Hal tersebut berarti suatu kritik bisa berjalan bila ada masalah dalam suatu keadaan. Jadi kritik sastra feminis ini akan berlaku bila memang ada ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung lebih merugikan perempuan baik secara ekonomi, sosial, maupun hukum. Humm (via Wiyatmi, 2010:17) menyatakan bahwa kritik sastra feminis akan mendeskripsikan adanya penindasan terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Lingkup kritik ini menitikberatkan pada karya sastra dan perempuan. Hal ini berarti perempuan yang terpinggirkan bahkan tertindas secara fisik akan coba ditelusuri dan dibahas penyebab-penyebabnya melalui kritik ini. Djajanegara (2000:51) menjelaskan bahwa kritik sastra feminis nantinya akan mengkaji tokoh perempuan terkait dengan kedudukan tokoh di masyarakat, posisinya dengan laki-laki, tujuan hidup perempuan, dan terakhir adalah pengarangnya. Kedudukan perempuan dalam masyarakat akan merujuk pada
32
kedudukannya sebagai istri, ibu, atau anak dan hidup di lingkungan yang seperti apa. Hal tersebut berarti dalam lingkungan tersebut masih tradisional atau sudah modern. Masyarakat tradisional di sini misalnya saja perempuan yang kedudukannya lebih rendah dari laki-laki. Dari hal tersebut akan diketahui bagaimana tujuan hidup dari perempuan tersebut. Selanjutnya, dilihat bagaimana hubungannya dengan tokoh lain, terutama dengan tokoh laki-laki. Hubungan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan berarti tidak ada hubungan saling mendominasi satu sama lain. Antara perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama yang tidak ada yang saling mengintervensi. Selain itu, perlu diperhatikan hubungannya dengan tokoh antarperempuan. Hal terakhir yang perlu dilihat dari kritik sastra feminis menurut Djajanegara adalah pengarangnya (penulis). Djajanegara memiliki prasangka bila karya sastra tersebut ditulis oleh laki-laki, tokoh perempuan yang ditampilkan merupakan tokoh yang tradisional. Hal tersebut berarti tokoh tersebut masih sangat tergantung pada laki-laki. Sebaliknya, jika pengarangnya adalah perempuan, mungkin yang akan ditampilkan merupakan perempuan yang mandiri dan kuat.
3.
Macam-Macam Kritik Sastra Feminis Djajanegara (2000:28) membagi kritik sastra feminisnya menjadi 5
golongan, yakni kritik sastra feminis ideologis, kritik sastra feminis sosialis, kritik sastra feminis psikoanalitik, kritik sastra feminis lesbian, dan kritik feminis ras. Kritik sastra feminis ideologis merupakan kritik yang melibatkan wanita
33
khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Kritik ini meneliti kesalahpahaman tentang wanita serta sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan. Kritik sastra feminis-sosialis atau disebut juga kritik sastra feminis-marxis yang menitikberatkan kajiannya pada kelas-kelas pada masyarakat, dalam hal ini perempuan sebagai kelas yang tertindas. Menurut Djajanegara (2000:31), kritik sastra feminis-psikoanalitik diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan. Hal tersebut dikarenakan para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan sedangkan tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. Berawal dari penentangan terhadap teori Freud yang berpendapat bahwa perempuan iri terhadap laki-laki karena penis, lalu sebagai penggantinya perempuan melahirkan anak dan memeliharanya dengan penuh kasih. Pendapat tersebut ditentang oleh penganut feminis psikoanalitik. Menurut mereka perempuan bisa membesarkan anak-anak dengan penuh kasih dikarenakan merekalah yang dapat melahirkan dan bukan laki-laki. Ditambahkan oleh Djajanegara (2000:31-32) bahwa ibu yang selalu berada di dekat anak-anak menjadikan anak lebih dekat dengan perempuan (ibu). Watak yang melekat pada perempuan dan laki-laki itu dikarenakan bentukan dari masyarakat yang patriarki. Kritik Sastra Feminis-Lesbian ini meneliti penulis dan tokoh wanita. Kata lesbian, menurut Federman (via Djajanegara, 2000: 34), menggambarkan suatu hubungan di mana perasaan saling mendalam serta kasih sayang terjalin di antara dua perempuan. Aliran ini dinilai masih sangat membatasi geraknya karena beberapa feminis aliran lain masih kurang menyukai homoseksual, hal tersebut
34
dikarenakan belum adanya kesepakatan dari kaum lesbian untuk definisi lesbianisme itu sendiri. Kritik Feminis Ras atau biasa disebut kritik sastra feminis etnik merupakan aliran yang menuntut adanya pengakuan akan karya dari penulis-penulis kulit hitam (Djajanegara, 2000: 36). Aliran ini menganggap dirinya berbeda dari feminis kulit putih. Mereka juga melihat adanya diskriminasi tidak hanya seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam penelitian ini perspektif yang dipakai adalah kritik sastra feminis ideologis. Kritik feminis ideologis selain meneliti tentang stereotipe perempuan juga meneliti tentang sebab-sebab perempuan tidak diperhitungkan. Berlandaskan kritik ini akan diungkap marginalisasi perempuan pada novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan. Perempuan yang tidak diperhitungkan atau menggesernya kepinggiran karena beberapa pencitraan yang dilekatkan padanya disebut dengan marginalisasi (Murniati, 2004:xx). Akibat dari marginalisasi ini keberadaan perempuan tidak diakui. Kesempatan untuk eksis menjadi sesama manusia ciptaan Tuhan diabaikan oleh pihak yang memarginalkannya.Tidak heran jika kemudian perempuan yang ingin diakui keberadaannya menginginkan adanya kebebasan. Menurut Jasper (via Hamersma, 1985:12), kebebasan yang diisi disebut dengan eksistensi. Hal tersebut berarti bila kebebasan seseorang telah didapat (tidak ada paksaan dari orang lain untuk melakukan sesuatu), ditandai dengan diakuinya orang tersebut dalam lingkungannya dan dapat berguna untuk kelangsungan hidupnya. Untuk dapat diakui, orang tersebut harus melakukan
35
sesuatu (isi) dalam hidupnya. Eksistensi menurut Jasper (via Hamersma, 1985:12), merupakan bentuk “ada” manusia untuk menentukan memutuskan menjadi abadi. Menurut Sartre (via Tong, 2004: 256), eksistensi manusia mendahului esensi. Eksistensi yang dimasud adalah manusia merupakan milik dirinya sendiri dan semuanya merupakan tanggung jawab dirinya sendiri, sebab yang memiliki kekuasaan atas pilihan yang baik dan buruk merupakan dirinya sendiri (Jurnal Perempuan, 1997). Dalam Jurnal ini ditegaskan bahwa kebebasan merupakan kunci dari eksistensi ini. Perempuan diistilahkan dengan sebutan Liyan, sedangkan laki-laki dengan Diri. Jika Liyan merupakan ancaman terhadap Diri, maka perempuan adalah ancaman untuk laki-laki, karena itu, jika laki-laki ingin tetap berkuasa maka ia harus terus memarginalkan perempuan (Beauvoir via Tong, 2004:262). Tidak heran jika Beauvoir (via Tong, 2004:265) menegaskan bahwa perempuan mencemburui mereka yang memiliki penis (laki-laki), karena perempuan menginginkan keuntungan material dan psikologi yang dihadiahkan kepada pemilik penis. Ketika laki-laki mendapatkan kebebasan yang kemudian mengakibatkan perempuan termarginalkan tidak lain merupakan dukungan dari masyarakat patriarki karena mereka laki-laki. Perempuan dipingit atau dibatasi geraknya merupakan hal wajar karena mereka berjenis kelamin perempuan. Pembebasan perempuan membutuhkan paling tidak penghapusan lembaga yang melanggengkan hasrat laki-laki untuk menguasai perempuan (Beauvoir via Tong, 2004:266). Lembaga-lembaga yang ada di masyarakat ini dianggap
36
merupakan bentukan laki-laki dan dengan sistem laki-laki yang merugikan perempuan. Lembaga-lembaga patriarki tersebut meliputi keluarga, agama, sistem hukum, sistem ekonomi dan lembaga-lembaga ekonomi, sistem-sistem dan lembaga politik, media, dan lembaga pendidikan serta sistem pengetahuan (Bhasin, 1996:11-14). Terdapat kontrol atas perempuan dalam setiap lembaga patriarki tersebut. Dominasi laki-laki terlihat jelas misalnya saja dalam keluarga, ketika kepala keluarga adalah laki-laki jadi dia bisa mengontrol seksualitas, kerja atau produksi, dan gerak perempuan. Agama menjadi salah satu alat sebagai kedok untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki. Sistem patriarki dibuat seolah menjadi kodrat dari Tuhan (Bhasin, 1996:11). Dasar pemikiran laki-laki yang ingin terus berkuasa dengan jalan memarginalkan perempuan ini yang dianggap merugikan pihak perempuan. Perempuan diberi batasan dalam berbagai hal dengan tujuan mereka tidak akan pernah sadar dengan peminggiran hak tersebut. Kebudayaan merupakan penyebab mengapa perempuan dianggap memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (Ratna, 2007:221). Perempuan tidak dilihat bagaimana peranannya dalam masyarakat, karena masyarakat sendiri telah memiliki perempuan sesuai dengan gambaran mereka. Masyarakat telah mematok bagaimana posisi perempuan dengan laki-laki itu. Di sini pembagian kerja telah tersuratkan sendiri, yakni perempuan mengurus rumah tangga dan laki-laki mencari nafkah di luar, serta beberapa aturan tentang pembagian kerja tersebut.
37
Pembagian tugas tersebut agaknya sudah ditanamkan oleh masyarakat kepada anak pada usia dini. Beauvoir (2003:7-8) menjelaskan bahwa sifat maskulin anak laki-laki telah ditanamkan oleh orang dewasa sejak mereka masih kecil. Anak laki-laki dilukiskan oleh Beauvoir tidak lagi boleh bermanja-manja pada ibu maupun ayahnya, karena menjadi laki-laki berarti harus lebih kuat, gagah, dan tidak boleh cengeng. Berbeda dengan laki-laki, perempuan diperbolehkan bahkan wajib memiliki sifat manja, lemah, lembut dan merupakan mahkluk yang harus dilindungi. Beauvior (2003: 95) menjelaskan pada masa remaja masih banyak batasanbatasan untuk perempuan dalam mencapai cita-citanya. Dicontohkannya jika seorang perempuan yang sudah bekerja ataupun sekolah, mereka masih memiliki pekerjaan mengurus rumah yang harus diselesaikan. Ada beban ganda yang harus perempuan pikul untuk terus dapat mancapai apa yang diinginkannya. Akan berbeda jika yang bersekolah ataupun yang bekerja tersebut adalah laki-laki. Anak laki-laki akan mendapat kelonggaran serta dukungan penuh jika dia sedang berjuang untuk kemajuan hidupnya di dunia luar. Anak laki-laki tidak lagi diberi beban mengurus rumah selepas dia pulang sekolah maupun kerja. Anggapan bahwa perempuan itu lemah dan banyaknya ancaman (seperti digoda di jalan, penculikan, dan sebagainya) di dunia luar menjadikan perempuan tidak pernah mendapatkan kebebasan penuh atas kesenangan mereka sendiri. Tradisi yang menyebabkan anak perempuan harus diawasi dan dilindungi membuat perempuan hanya memiliki ruang gerak yang sempit. Mulai dari hal
38
inilah perempuan menjadi ketergantungan pada laki-laki. Menurutnya dengan adanya laki-laki mereka seakan memiliki malaikat pelindung (Beauvior, 2003:95). Pembagian peran berdasarkan gender akan melahirkan suatu keadaan yang tidak seimbang di mana perempuan menjadi termarginalkan oleh laki-laki (Abdullah, 2006:242). Pembagian kerja ini menegaskan kekuasaan laki-laki karena posisi yang strategis telah diambil alih oleh laki-laki. Perempuan akan menjadi pekerja bawah yang tidak diakui, dihargai, dan dihormati. Bhasin dan Khan (1996:33) menegaskan bahwa setiap perempuan harus memiliki kebebasan dan kesempatan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Hal tersebut tentu dengan dorongan atau dukungan dari berbagai pihak. Perempuan diharapkan akan berkembang sesuai dengan keinginannya dan dapat setara dengan laki-laki. Bhasin dan Khan (1996 :30) juga menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang feminis tidak berarti harus bekerja di luar rumah (publik). Perempuan yang memilih bekerja di rumah atas pilihannya dan tanpa paksaan merupakan ciri perempuan bebas. Bhasin dan Khan menegaskan bahwa perjuangan pokok adalah agar pekerjaan rumah tangga diakui serta dihargai. Tujuannya agar pelaku kerja rumah tangga dapat diakui, dihargai, dan dihormati, sehingga tidak akan ada lagi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.
39
4.
Penciptaan Perempuan Menurut Saadawi (2001:191), cerita tentang Adam Hawa lahir dalam
agama Yahudi. Dalam pemahaman agama Yahudi ini juga menganggap perempuan berdosa dan dosa tersebut sangat besar karena membuat Adam (lakilaki) ikut melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah pengetahuan. Agama Kristen kemudian mengikuti langkah Yahudi dalam memarginalkan perempuan karena dosa awal tersebut. Mitos tentang Adam dan Hawa mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Kemudian, Tuhan menempatkan keduanya di surga untuk hidup dengan berbagai kesenangan, namun ada satu larangan yakni mereka tidak boleh memakan buah Khuldi (buah pengetahuan). Iblis dengan sekuat tenaga menggoda Adam untuk memakan buah tersebut, namun gagal, tapi Iblis berhasil menggoda Hawa. Hawa kemudian mengajak suaminya (Adam) memakan buah tersebut. Singkat cerita Tuhan marah pada keduanya lalu menurunkan mereka ke bumi dan harus hidup dengan perjuangan (Abdullah, 2003:25). Kisah tersebut menurut
Abdullah (2003:26), terdapat dalam Kitab
Kejadian Perjanjian Lama. Secara lebih detail, Abdullah (2003:28-29) mencantumkan kutipan dari Kitab Kejadian mengenai penciptaan dan kehidupan awal manusia pertama serta pasangannya. Hal tersebut meliputi sebagai berikut. (15) TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (16) Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia;”Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, (17) tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (18) TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. “Lalu
40
TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. (22) Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu. (23) Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Menurut Abdullah (2003:29), kutipan di atas menegaskan bahwa perempuan diciptakan hanya sebagai pelengkap laki-laki. Hal tersebut berarti perempuan sebagai manusia yang diciptakan dari bagian laki-laki harus patuh dan memenuhi semua kebutuhan laki-laki. Perempuan dalam kisah tersebut hanya dijadikan manusia kelas dua. Menurut Abdullah (2003:36), Al-Qur‟an tidak secara rinci menyebutkan asal mula kejadian laki-laki dan perempuan. Abdullah (2003:36) menjelaskan bahwa keduanya diciptakan dari nafs (diri, jiwa, individu) yang satu. Hal tersebut sesuai dengan Qs. Al-Nisa‟ [4]: 1 di bawah ini. Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu individu (nafs wahidah); darinya Allah menciptakan pasangannya (zawhaja) dan dari keduanya Allah mengembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Abdullah (2003: 36) menjelaskan bahwa secara gramatikal kata nafs dalam bahasa Arab berarti mu’annas (perempuan), sedangkan secara konseptual merupakan kata benda netral yang tidak menunjuk kepada laki-laki ataupun perempuan. Hal tersebut juga terjadi pada kata zawj bisa bermakna laki-laki atau perempuan, yakni pasangan (Abdullah, 2003:36). Menurut Abdullah (2003:37), ayat di atas tidak bisa dijadikan alasan bahwa manusia pertama yang diciptakan Allah adalah laki-laki ataupun perempuan. Abû Muslim (al-Ashfahânî) juga menolak pendapat penciptaan
41
perempuan dari tulang rusuk sesuai yang tertera dalam ayat pertama surat an-Nisâ. Hal tersebut dikarenakan Tuhan Maha Kuasa menciptakan manusia pertama dari tanah, lalu apa faedah Allah menciptakan manusia yang kemudian dari tulang rusuk (via Abdullah, 2003:37). Hal tersebut tentu berbeda dengan pendapat „Alî al-Sâyis (seorang mufasir dan ahli hukum Islam kontemporer), yang menyatakan bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk telah disebut secara tegas dalam hadis yang diriwayatkan oleh dua orang Imâm hadis terkenal, yakni Bukhârî dan Muslim. Bukhârî, Muslim, dan Tarmizî meriwayatkan hadis yang berbunyi “Saling berpesanlah kamu untuk berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok …” Hadis tersebut kemudian dijadikan sumber literatur oleh para ahli cerita zaman dahulu. Kisah tersebut dijadikan lakilaki untuk mengikat perempuan pada hutang dan dosa awal perempuan. Hal tersebut tentu akan menjadikan perempuan terpinggirkan, pasalnya dia dianggap lemah dan mudah dibujuk iblis untuk berbuat dosa (Abdullah, 2003:25). Abdullah (2003:26) menambahkan bahwa kisah tersebut juga dipercaya oleh penganut Yahudi, Kristen, dan dijadikan sumber untuk membuat karya tulis oleh mufasir yang kebanyakan orang muslim. Abdullah (2003:27) menerangkan bahwa kemudian oleh mufasir, cerita tersebut dibumbui agar memiliki keterkaitan dengan ayat Al-Qur‟an. Hal tersebut berarti para mufasir yang kebanyakan laki-laki (penganut budaya patriarki) memang melanggengkan cerita tersebut untuk keuntungan golongannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Najib (dalam Ilyas, 2008:32), yang menjelaskan bahwa
42
para mufassir (orang-orang Arab) memiliki budaya patriarki, sehingga menghasilkan penafsiran yang merugikan perempuan. Najib (dalam Ilyas, 2008:49-50) menguraikan bahwa dalam dunia penafsir pun pendapat tentang kebenaran cerita penciptaan perempuan yang terdapat dalam QS. An_Nisa‟ (4) ayat 1, masih dalam perdebatan. Mufasir masih memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hal tersebut. Najib (2008:49-50) membagi mufasir tersebut ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama merupakan mufasir yang menyetujui bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Namun, dalam kelompok yang menerima ini masih terdapat dua golongan yang menafsirkan secara tekstual dan metaforis. Golongan tekstual mengartikan ayat tersebut sesuai dengan apa yang ditulis, yakni Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Golongan metaforis menyatakan bahwa laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam menghadapi perempuan. Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa isi tafsir tersebut tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Menurut Riwayat Bukhari (via Abdullah, 2003:29), Nabi Muhammad sendiri menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak mendustakan hal tersebut. Najib (2008:43) menjelaskan konsep teologis tentang cerita penciptaan tersebut membawa implikasi lebih lanjut, baik psikologis, sosial, budaya, ekonomi, maupun politik yang bersifat misoginis. Hal tersebut berarti adanya penanaman cerita yang dihubung-hubungkan pada ayat Al-Qur‟an yang menjadikan posisi perempuan lemah dalam berbagai aspek. Sistem sosial akan memberikan lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri pada laki-laki
43
daripada perempuan. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin berlaku, yakni perempuan domestik dan laki-laki publik. Area publik lebih memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk mengembangkan diri, sedangkan perempuan tidak memiliki pilihan lain selain menjalani hidupnya sebagai manusia rumahan. Menurut Abdullah (2003:44), “Hawa” tidak pernah disebutkan dalam AlQur‟an. Bahkan Adam, menurut Muhammad Iqbal (via Abdullah, 2003:44) bukan sebuah nama, namun lebih merujuk pada konsep tentang mahkluk yang bernama manusia (dalam bahasa Ibrani Adam berarti manusia atau berasal dari kata ardhbahasa Arab yang berarti tanah).
C.
Tokoh dan Perwatakan dalam Fiksi Tokoh merupakan elemen struktural fiksi yang melahirkan peristiwa
(Sayuti, 2000:74). Tokoh menjadi salah satu pembangun fiksi yang mengalami peristiwa-peristiwa dalam karya sastra. Peranan tokoh dalam karya sangat penting, karena tokoh merupakan pelaku dari semua sebab-akibat (plot) yang menjadi jalinan sebuah cerita. Hal tersebut dapat terlihat ketika dalam sebuah karya sastra menampilkan kejadian tabrakkan maut, tentu yang akan menjadi bagian pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mengalaminya. Menurut Abarms (via Nurgiyantoro, 2007:165), tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh memiliki watak atau sifat yang dapat diidentifikasi melalui tingkah laku maupun
44
tindak tuturnya. Moral yang dimaksudpun tidak hanya berisi tentang perbuatan yang selalu baik menurut pandangan sosial. Nurgiyantoro membedakan antara kata tokoh dengan penokohan. Penokohan menurutnya lebih memiliki makna yang lebih luas daripada pengertian tokoh di atas. Penokohan mencakup tentang masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana menempatkan dan pelukisannya dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007:166). Wardani (2009:40) berpendapat bahwa konflik awal sampai akhir bermula dari tokoh. Hal ini dikarenakan seorang tokoh memiliki kepentingan atau watak yang berbeda dengan tokoh yang lainnya. Dari perbedaan inilah akan muncul beberapa konflik. Misalnya saja tokoh A memiliki watak yang pemarah dan iri hati, tokoh B memiliki sifat yang menyayang dan sabar. Tokoh A akan terus menjadikan dirinya lebih dari segala hal karena sifatnya yang tidak ingin kalah dan mudah marah, sedangkan tokoh B akan terus menjadi orang sabar yang akan disukai banyak orang dan membuat iri tokoh A. Wardani (2009:40-41) menjelaskan bahwa tokoh dibagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama membagi tokoh ke dalam protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai (Wardani, 2009:40). Tokoh protagonis disebut pula tokoh sentral. Tokoh ini memiliki hubungan yang sangat luas dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh protagonis maupun antagonis merupakan tokoh yang kemunculannya cukup banyak.
45
Golongan kedua membaginya menjadi tokoh wirawan dan antiwirawan. Menurut Sudjiman (via Wardani, 2009:40), tokoh wirawan adalah tokoh yang umumnya memiliki keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin dalam pernyataan, cita-cita, dan tindakannya yang mulia. Tokoh antiwirawan adalah tokoh yang berpribadi rendah, jahat, penghasut, dan culas. Golongan ketiga, tokoh bulat dan tokoh sederhana. Tokoh bulat (round character/ complex character) adalah tokoh yang diungkap berbagai sisi kepribadian dan jati dirinya, baik kelemahan dan kekuatan pribadinya (Wardani, 2009:40). Tokoh sederhana yaitu tokoh dengan dimensi watak statis, sederhana, tidak kompleks, atau bersifat hitam putih (yang jahat selalu jahat, yang baik selalu baik). Melukiskan kehadiran perwatakan tokoh secara tepat merupakan hal yang penting, karena akan mendukung tujuan artistik karya tersebut (Nurgiyantoro, 2007:194). Nurgiyantoro membagi teknik penggambaran watak tokoh menjadi dua yakni pelukisan secara langsung dan tidak langsung. Teknik langsung banyak dipakai oleh pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangang novel indonesia modern, sedangkan untuk teknik tak langsung banyak dipakai oleh pengarang sekarang. Sependapat dengan Nurgiyantoro, Minderop (2010:76) juga membagi menjadi dua cara dalam melukiskan watak pada tokoh, yakni: 1.
Metode Telling (Langsung) Metode ini lebih mengandalkan pemaparan watak tokoh pada komentar
langsung dari pengarang. Jadi pengarang akan menjabarkan bagaimana watak tokoh tersebut, misalnya Alina memiliki sifat yang ramah, suka menolong dan
46
rajin. Pembaca dibuat mudah memahami karakter tokohnya. Namun di sisi lain, pembaca akan dibuat bosan dengan teknik ini karena tidak ada kejutan dalam hal penggambaran tokohnya. 2.
Metode Showing (Tidak Langsung) Pickering dan Hoeper (via Minderop, 2010:76) menjelaskan bahwa
metode Showing menempatkan pengarang di luar kisah dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan aksi. Jadi, pembaca dibiarkan menebak sendiri bagaimana watak tokoh melalui lakuan maupun dialog. Hal ini akan membuat pembaca menganalisis sendiri watak tokohnya. Berbeda dengan Minderop, Sayuti (2000:88-111) membagi penggambaran tokohnya dalam empat metode, yakni diskursif, dramatik, kontekstuat, dan campuran. Metode diskursif memiliki pengertian yang sama dengan telling (langsung), yakni pengarang langsung memaparkan kualitas tokoh-tokohnya (Sayuti, 2000:90). Metode dramatis memiliki makna yang sama pula dengan teknik showing (tidak langsung) (Sayuti, 2000:92). Hal tersebut berarti pembaca dapat memahami sifat atau kualitas tokoh melalui pekerjaan yang dilakukan atau pendapat tokoh lain dalam cerita tersebut. Metode kontekstual dijelaskan oleh Sayuti (2000:109) sama dengan teknik pelukisan latar, yakni cara menyatakan karakter tokoh melalui konteks verbal yang mengelilinginya. Hal tersebut berarti karakter tokoh dapat dilihat dari penggambaran suasana tokoh maupun waktu dan tempat kejadian. metode
47
campuran merupakan metode yang menggabungkan semua metode yang ada sebelumnya untuk mendapatkan kekefektifan dalam cerita (Sayuti, 2000:111).
D.
Penelitian yang Relevan Kajian terhadap karya Muhin M. Dahlan berjudul Adam Hawa menurut
sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan, namun beberapa karya Muhidin M. Dahlan lainnya yang mengusung perempuan termarginalkan sudah pernah dilakukan sebelumnya. Judul novel tersebut adalah Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, awalnya diteliti oleh Rani Hidayatun (2004), dengan judul Konflik Internal Tokoh Utama dalam Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan (Kajian Psikologi Sastra). Penelitian tersebut menghasilkan wujud konflik internal yang dialami tokoh utama, penyebab terjadinya konflik internal, dan cara menyelesaikan konflik internal yang terjadi pada tokoh utama. Wujud konflik meliputi keraguan terhadap keyakinan agama dengan hadirnya informasi baru, keraguan terhadap pilihan yang sudah dipilih, kebingungan menemukan teman diskusi, pertentangan antara prediksi awal dengan kenyataan, pertentangan antara kenyataan dengan harapan, dan lain-lain. konflik tersebut terjadi akibat dunia kesadaran, meski dunia ketaksadaran juga berpengaruh pada terpicunya konflik internal tokoh. Konflik diselesaikan dengan melakukan perubahan, pasrah, individuasi, pencarian kebenaran, berserah diri pada Allah, kesadaran diri, pemberontakan, dan balas dendam.
48
Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, juga diteliti oleh Lusdian Desilia Rizki pada tahun 2009 (via Riberu, 2011), dengan judul Representasi Pemberontakan Perempuan dalam Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan. Penelitian tersebut menghasilkan salah satu kesimpulan tentang kekecewaan perempuan pada konsep pernikahan yang menjadikannya seorang pembantu dan anggapan bahwa perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki (Lusdian via Riberu, 2011). Kekecewaan terhadap sistem patriarki tersebut membuat tokoh perempuan dalam novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur melakukan pemberontakan pada keyakinan dan cinta terhadap Tuhan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kristianus Riberu (2011) yang berjudul Citra Tokoh Wanita dalam Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan dan Maaf Aku Terpaksa Menjadi Pelacur Karya Sutirman Eka Ardhana. Salah satu kesimpulan dari penelitian tersebut menyebutkan tentang eksistensi perempuan pada novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur pada Tuhan dan lingkungan sekitarnya. Wujud eksistensi dengan Tuhan digambarkan dengan sikap yang religius meski tidak luput dari kelemahan manusiawi, sedangkan co-eksistensi (ada bersama yang lain) terlihat dari interaksinya dengan dunia sekelilingnya (pergaulan).
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dengan kajian sastra
feminis, khususnya kritik sastra feminis ideologis. Bogdan dan Biklen (via Komara, 2005:66), menjelaskan ciri-ciri penelitian menggunakan metode kualitatif, pertama riset kualitatif mempunyai latar alami karena yang merupakan alat penting adalah adanya sumber data yang langsung dan penelitinya. Kedua riset kualitatif bersifat deskriptif, yakni penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat yang akan diteliti. Ketiga, peneliti lebih memperhatikan proses (dari suatu fenomena sosial) ketimbang hasil atau produk semata. Keempat, analisis data biasanya secara induktif, dan kelima merupakan makna (bagaimana subjek yang diteliti memberi makna hidupnya dan pengumpulannya) merupakan soal esensi untuk ancangan kualitatif (Komara, 2005:66). Penelitian dengan pendekatan feminis lebih memfokuskan analisisnya pada perempuan (Sugihastuti, 2005:18). Penelitian ini akan mendeskripsikan proses marginalisasi dapat berlangsung dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan sehingga menjadikan perempuan hanya dijadikan manusia kedua setelah laki-laki serta penyebab dan perjuangan yang dilakukan oleh tokoh perempuan.
49
50
B.
Wujud Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga akan menyajikan
data yang kualitatif. Data-data yang mendeskripsikan tentang marginalisasi, penyebab marginalisasi dan perjuangan tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa.
C.
Sumber Data Sumber data primer penelitian ini novel Adam Hawa. Novel ini diambil
sebagai bahan penelitian karena dalam novel ini menampilkan bagaimana proses marginalisasi terhadap perempuan berlangsung. Adam Hawa merupakan novel karya Muhidin M. Dahlan, karya ini terbit tahun 2005. Novel Adam Hawa diterbitkan oleh Scripta Manent. Sumber data sekunder meliputi buku-buku yang menunjang diadakannya penelitian ini. Sumber tersebut meliputi Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh PT. Karya Toha Putra Semarang pada tahun 2002, Al Kitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam terjemahan baru) yang diterbitkan oleh Lembaga Al Kitab Indonesia, pada tahun 1999, serta sumber-sumber lain dari internet.
D.
Pengumpulan Data Data penelitian didapat dari novel yang berjudul Adam
Hawa karya
Muhidin M. Dahlan. Data ini berhubungan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian serta bentuk kritik dalam novel tersebut.
51
Pengumpulan data dilakukan dengan cara teknik baca, catat, dan kajian pustaka. Teknik baca dipakai untuk membaca secara berulang-ulang dan dilakukan pemahaman yang mendalam terhadap karya sastra yang akan diteliti. Selanjutnya adalah teknik catat. Teknik ini merupakan cara yang dipakai untuk menghindari kelupaan, artinya bagian-bagian yang penting (didapat dari membaca berulang-ulang) dicatat dalam kartu data. Selain karya sastra, peneliti juga mencatat beberapa sumber literatur yang berkaitan dengan penelitian. Pengumpulan data menggunakan kartu data yang berupa kartu kutipan dan kartu komentar. Kartu kutipan berisi tentang kutipan-kutipan yang diambil dari sumber penelitian (data penelitian). Kartu komentar berisi tentang komentar maupun kritik terhadap kartu kutipan. Teknik kajian pustaka meliputi pembacaan dan penelaahan sumber literatur yang berhubungan dengan fokus penelitian sebagai alat untuk meneliti. Kajian pustaka ini bisa berupa buku maupun sumber tertulis lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan oleh penulis isinya.
E.
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Peneliti melakukan semua
proses yang ada dalam penelitian ini, mulai dari mengajukan permasalahan sampai pada melaporkan hasil penelitian (Moleong, 2011:168).
52
F.
Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Ismawati, 2009:19). Penelitian ini berupa kualitatif deskriptif, maka dalam penelitian ini nanti akan dikelompokkan data yang serupa, lalu dianalisis atau tafsir maknanya dihubungkan dengan konteksnya. Dengan demikian akan diperoleh gambaran perempuan yang termarginalkan, penyebab marginalisasi perempuan dilanjutkan dengan perjuangan yang dilakukan tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin m. Dahlan. Teknik tersebut dilakukan dengan metode kritik sastra feminis ideologis. Analisis ini akan dilakukan dengan membaca berulang-ulang sampai menemukan gambaran marginalisasi tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa, penyebab terjadinya marginalisasi dan perjuangan yang dilakukan tokoh perempuan untuk melawan marginalisasi. Kesimpulan dilakukan dengan cara induktif, artinya ditulis mendahulukan temuan yang khusus dulu baru nanti ditarik pada temuan umum.
G.
Keabsahan Data Penetapan keabsahan data dapat dilakukan menggunakan teknik
pemeriksaan (Moleong, 2011:324). Pemeriksaan tersebut dapat menggunakan kriteria keterpercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependenability), dan kepastian (confirmability). Credibility mencakup wilayah
53
kerja berupa melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemu dapat dicapai dan menunjukkan hasil penelitian dengan bukti hasil penelitian merupakan kenyataan yang sedang diteliti. Hal tersebut dapat dilakukan dengan teknik pemeriksaan ketekunan pengamatan, triangulasi (sumber, metode, penyidik, teori), kecukupan referansial, dan pengecekan data (Moleong, 2011:327). Peneliti menggunakan ketekunan dalam observasi dan mendiskusikan dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan tingkat keterpercayaan tersebut. Transferability dapat dicapai dengan pencarian dan pengumpulan kejadian empiris tentang kejamaan konsep (Moleong, 2011:325). Teknik yang ditempuh adalah dengan melakukan pendeskripsian yang mendalam. Pada teknik dependenability teknik yang biasa dipakai untuk mengukurnya adalah auditing, yakni sebagai teknik pemeriksaan data yang sudah dipolakan. Confirmability merupakan pemastian bahwa suatu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang (Moleong, 2011:325). Hal tersebut dimaksudkan jika penelitian ini berdasarkan pengalaman dan pengalaman tersebut jika hanya diakui oleh satu orang itu subjektif, namun jika disepakati oleh beberapa orang atau banyak dapat dikatakan objektif. Penelitian ini secara singkat melakukan ketekunan observasi selama kurang lebih 2 tahun dengan melakukan berbagai pelacakan terhadap data-data yang relevan dengan penelitian, selanjutnya melakukan berbagai cross reference baik melalui literature maupun wawancara untuk selanjutnya melakukan deskripsi yang mendalam dalam upaya penulisan laporan ini.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab IV ini diuraikan hasil penelitian berikut
pembahasan yang
diteliti dari novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan. Hasil penelitian ini menyajikan data-data yang diperoleh dari sumber data yang disesuaikan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Data hasil penelitian dianalisis sesuai dengan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Hasil analisis disajikan dalam tabel dan deskripsi. Setelah langkah tersebut dilanjutkan dengan pembahasan terhadap hasil analisis yang dilakukan secara deskriptif kualitatif. Pada akhir pembahasan dilakukan simpulan dengan cara mengaitkan data dengan teori-teori serta pengetahuan yang mendukung. A.
Hasil penelitian Hasil penelitian ini meliputi: (1) bentuk marginalisasi perempuan dalam
novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan, (2) penyebab terjadinya marginalisasi perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan, (3) perjuangan tokoh perempuan dalam menghadapi marginalisasi dalam Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan. Berikut hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan deskripsi. Data-data yang diperlukan dalam penelitian secara lengkap terdapat dalam lampiran.
54
55
1.
Bentuk Marginalisasi yang Dialami oleh Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan Tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan
mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi yang kompleks. Novel ini memiliki empat tokoh perempuan, yakni, Maia, Hawa, Marfu’ah, dan Maemunah (Munah). Marginalisasi pada tokoh perempuan ini diklasifikasikan ke dalam lima kategori. Bentuk marginalisasi tersebut meliputi: a) membatasi daya produktif atau tenaga kerja perempuan diperas, b) kontrol atas reproduksi perempuan, c) kontrol atas seksualitas perempuan, d) pembatasan gerak perempuan, e) sumber daya produktif lain dikuasai oleh laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel hasil penelitian di bawah ini. Tabel 1: Bentuk Marginalisasi Terhadap Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan. No
1. 2.
3. 4.
5.
Bentuk Marginalisasi Pembatasan daya produktif Kontrol atas seksualitas perempuan Pembatasan gerak perempuan Pembatasan sumber daya ekonomi Kontrol atas reproduksi perempuan Jumlah
Nama Tokoh Perempuan
Jumlah
Maia 0
Hawa 6
Marfu’ah 1
Maemunah 0
7
3
2
1
0
6
1
7
3
3
14
1
1
0
0
2
0
4
0
0
4
5
20
5
3
33
56
Tabel di atas menjelaskan bahwa bentuk marginalisasi yang menempati posisi teratas adalah membatasi gerak perempuan. hal tersebut dibuktikan dengan kemunculannya yang mencapai 14 kali. Selanjutnya, untuk bentuk marginalisasi yang sering muncul dalam novel tersebut berturut-turut adalah pembatasan daya produktif perempuan (7), kontrol atas seksualitas perempuan (6), kontrol atas reproduksi perempuan (4), dan yang jarang muncul adalah membatasi sumber daya ekonomi (2). Tokoh perempuan yang sering dipinggirkan hak-haknya sebagai sesama manusia dari data di atas adalah Hawa. Marfu’ah menempati posisi kedua yang menjadi perempuan yang dimarginalkan, kemudian secara berturut-turut adalah Maia dan Maemunah.
2.
Penyebab Marginalisasi pada Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan Penyebab tokoh perempuan mengalami ketidakadilan gender berbentuk
marginalisasi berbeda-beda dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan. Hal tersebut meliputi budaya patriarki dan sistem kepercayaan. Penyebab marginalisasi perempuan dalam bentuk budaya menduduki frekuensi tertinggi dalam hal kemunculannya. Hal tersebut dibuktikan dengan kemunculannya yang mencapai 16 kali. Sistem kepercayaan memiliki kemunculan sebanyak 8 kali. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
57
Tabel 2: Penyebab Marginalisasi Terhadap Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan No. 1. 2.
3.
Penyebab Marginalisasi Budaya Patriarki Sistem kepercayaan Jumlah
Maia 5 5
Tokoh Perempuan Hawa Marfu’ah Maemunah 4 4 3 2 0 1
16 8
10
6
24
4
Jumlah
4
Perjuangan Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan dalam Memerangi Marginalisasi Perjuangan
yang dilakukan tokoh perempuan dalam
memerangi
marginalisasi sangat beragam dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan. Perjuangan ini meliputi menggugat kekuasaan laki-laki, memilih hidup sendiri, dan mencari pasangan hidup lain. Perjuangan yang sering muncul yakni menggugat kekuasaan laki-laki yang dilakukan oleh tokoh perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Frekuensi kemunculannya mencapai 37%, sedangkan untuk memilih hidup sendiri dan mencari pasangan lain memiliki frekuensi kemunculan yang sama, yakni 31,25%. Untuk lebih jelasnya berikut tabel yang memuat frekuensi kemunculan perjuangan yang dilakukan tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
58
Tabel 3: Perjuangan Melawan Marginalisasi Terhadap Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan. No.
1. 2.
3.
B.
Perjuangan Melawan Marginalisasi Memilih Hidup Sendiri Menggugat Kekuasaan Lakilaki Mencari Pasangan lain Jumlah
Maia
Tokoh Perempuan Hawa Marfu’ah Maemunah
Jumlah
5
0
0
0
5
4
0
0
2
6
5
0
0
0
5
14
0
0
2
16
Pembahasan Dari data telah ditemukan adanya marginalisasi pada tokoh perempuan,
penyebab terjadinya marginalisasi, serta perjuangan yang dilakukan oleh tokoh perempuan dalam hal memerangi marginalisasi. Dalam sub bab sebelumnya telah ditampilkan data hasil penelitian, sedangkan pada sub bab ini akan dibahas tentang data temuan tersebut. Hal tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.
Bentuk Marginalisasi Tokoh Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M Dahlan Marginalisasi merupakan peminggiran hak-hak yang seharusnya diperoleh
oleh perempuan namun telah diabaikan oleh laki-laki dengan berbagai alasan. Marginalisasi mengakibatkan perempuan hanya menjadi manusia kedua setelah laki-laki. Posisinya dalam keluarga tidak diperhitungkan bahkan kebebasannya sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan pun dihiraukan. Tokoh perempuan yang mengalami ketidakadilan gender berbentuk marginalisasi dalam novel Adam
59
Hawa karya Muhidin M. Dahlan ada empat, yakni Maia, Hawa, Munah, dan Marfu’ah. Bentuk marginalisasi berupa beberapa aspek kehidupan yang dikontrol oleh laki-laki. Hal tersebut meliputi membatasi daya produktif, kontrol atas hak reproduktif perempuan, kontrol atas hak seksualitas perempuan, membatasi gerak perempuan, serta membatasi sumber daya ekonomi. Hal tersebut akan dibahas di bawah ini.
a.
Membatasi Daya Produktif atau Tenaga Kerja Perempuan Menurut Bhasin (1996:5), perempuan dalam sebuah keluarga harus
bekerja keras untuk dapat melayani anak, suami, dan anggota keluarga lainnya dengan baik. Tenaga mereka diperas sepanjang hidupnya. Hal tersebut disebut oleh Walby (via Bhasin, 1996:5) sebagai mode produksi patriarki. Perempuan dalam rumah tangga walaupun sudah bekerja siang dan malam untuk mengurus rumah belum dihargai sebagai pekerjaan setara seperti yang dilakukan laki-laki di wilayah publik. Hal tersebut berarti perempuan hanya dianggap sebagai manusia kedua baik di ranah publik maupun privat. Pekerjaannya mengurus rumah tangga dijadikan sebagai sebuah kewajiban dan belum dianggap sebagai pengorbanan seperti ayah yang mencari nafkah di luar rumah. Perempuan yang tenaganya diperas untuk melayani seluruh anggota keluarga dialami oleh tokoh Hawa. Sejak awal kedatangannya di Taman Eden, dia sudah diajarkan untuk menjadi pelayan yang setia. Awalnya, Hawa yang dikirim Tuhan di Taman Eden langsung menuju rumah Adam untuk meminta tempat tinggal yang aman. Hawa kemudian diterima di Rumah Batu, namun dia harus
60
menjadi pelayan abadi untuk laki-laki (suaminya). Kepatuhan tersebut ditanamkan oleh Adam sejak malam pertama pertemuan mereka berdua. “Bagus. Dan kelak bila orang bertanya kepadamu bagaimana perempuan diciptakan, ucapkanlah apa yang baru saja kuucapkan dan kuberitahukan. Masih ingat kau perempuanku?” “Aku terpanggil dari doamu dan tubuhku terbuat dari tulang rusuk lelaki Adam di mana aku mengabdi dan melayaninya.” (Dahlan, 2005:63). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Hawa diciptakan hanya untuk mengabdi pada laki-laki (Adam). Tidak heran jika kemudian Hawa menjadi pekerja domestik yang dikuasai oleh laki-laki. Adam yang diciptakan terlebih dahulu tidak mengajarkan pada Hawa untuk bisa hidup mandiri, sebaliknya dia malah membuat Hawa tergantung padanya. Adam menginginkan perempuan yang bisa menjadi umat sekaligus orang yang bisa menjadi pelayannya. Hawa kemudian dibentuk menjadi perempuan pengabdi dan tidak mandiri. “Atau ia bergembira setelah tahu ayahnya menanamkan kembang halus berwarna. Banyak yang kau dapatkan hari ini untuk orok kita ini?” sambung Hawa bertanya. “Tak seberapa. Besok aku berangkat lagi. Lebih jauh lagi. Hujan tak kunjung turun. Aku tumpuk saja semuanya di samping. Kalau orok itu lagi ngorok, kau tengoklah tanaman itu dan siram dengan air sisa agar tak mati sebelum hujan datang.” (Dahlan, 2005:71).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Adam memiliki kekuasaan untuk membagi tugas dalam rumah. Tugas mencari makanan di luar merupakan kewajiban Adam, sedangkan urusan rumah tangga ditangani oleh Hawa, namun atas perintah Adam. Hawa bisa dipastikan tidak memiliki kemampuan untuk hidup sendiri di luar. Dia memiliki ketergantungan yang tinggi pada Adam. Menurut Beauvoir (via Tong, 2004:270), perempuan harus bekerja di luar rumah untuk bisa mengembangkan dirinya. Dengan bekerja di luar rumah, dia bisa
61
merasakan diri sebagai subjek, selain itu perempuan bisa hidup mandiri. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada Hawa. Dia tidak memiliki keinginan untuk menjadi subjek, dia memilih menjadi objek karena menurutnya itulah takdir dari Tuhan untuknya. Bhasin dan Khan (1996:30) juga menjelaskan untuk menjadi merdeka, perempuan tidak harus bekerja di luar, menjadi ibu rumah tangga pun bisa menjadi perempuan yang merdeka, namun hal tersebut harus berdasarkan keinginannya sendiri. Hal yang terjadi pada Hawa sebaliknya. Dia melakukan pekerjaan rumah bukan karena pilihannya, namun karena sudah ditentukan oleh laki-laki.Hal tersebut diperparah dengan ketidaktahuan Hawa bahwa hal tersebut bukanlah takdir yang dapat dirubah. Hawa kemudian melakukan semua pekerjaan tersebut karena takut akan melanggar hukum Tuhan dan Adam, penguasa semesta. Hawa kemudian menjadi pekerja yang melakukan pekerjaan tanpa memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan Adam adalah tukang perintah. Pekerjaan Hawa kemudian bertambah berat ketika dia memiliki anak kembar, Maemunah dan Khabil. Adam sebagai ayah, sama sekali tidak menunjukkan sifat kasih sayangnya. Tugas mendidik dan memberikan kasih sayang dilimpahkan pada Hawa. Sejak masih kanak-kanak, Maemunah dan Khabil diasuh langsung oleh Hawa, perempuan dengan simpanan berkantong-kantong cadangan kasih dan harapan yang tak pernah sirna diberikannya kepada keduanya. Hawa yakin Munah dan Khabil suatu saat nanti akan tahu jalan hidupnya masing-masing. (Dahlan, 2005:100). Hawa bertanggung jawab membesarkan anak dan mengurus rumah sendirian. Adam tidak memperdulikan anak-anaknya sejak Hawa mengandung
62
keduanya delapan purnama lamanya. Adam memilih mencari kesibukan lain daripada harus berdiam diri di rumah dan bertemu dengan anak-anaknya. Sifat Adam tersebut memperlihatkan bahwa pengasuhan anak semuanya diserahkan pada Hawa, sedangkan Adam sibuk mengurusi dirinya sendiri. Tenaga Hawa diperas dalam melakukan pekerjaan di rumah. Hawa harus mempersiapkan semua kebutuhan Adam dan seluruh anggota keluarganya. Sampai-sampai untuk mengurus dirinya sendiri Hawa tidak memiliki waktu. Ketika keduanya adukan ketaksukaan itu kepada ibunya, Hawa bak seorang dewi bijak yang jarang bersolek berkata bahwa apa pun yang terjadi, Adam tetaplah seorang lelaki yang berjasa hingga mereka bisa terlahir. Bahwa dunia seisinya ini terbentuk dari kehendak Adam. (Dahlan, 2005:101). Hawa selain mendapat beban kerja secara fisik juga mengalami beban mental yang berat. Hal tersebut dikarenakan perang dingin yang dimulai Adam dengan kedua anaknya sejak dalam kandungan. Adam tidak menginginkan anaknya lagi ketika dia mengetahui bahwa Hawa memakan buah khuldi yang kemudian dikirimnya untuk orok yang dikandungnya. Hawa sering mendengar keberatan Adam terhadap kehadiran kedua anaknya, namun Hawa selalu memohon untuk bisa membesarkan mereka sampai keduanya bisa memilih jalan hidupnya masing-masing. Hawa tidak memiliki pilihan untuk keluar dari permasalahan tersebut karena posisinya yang sebagai istri dan ibu membuatnya tidak dapat berbuat apaapa kecuali mencoba mendamaikan keduanya. Hawa tidak berani memberikan kritikan maupun masukan kepada Adam jika hubungan antara anak dan suaminya semakin memburuk. Posisinya dalam keluarga yang sebagai pelayan kemudian menjadikannya pasrah melihat keadaan yang semakin memburuk karena ulah
63
Adam. Parahnya, Hawa pun tidak berani menolak apapun yang diperintahkan suaminya. “Bersihkan muka anak terkutuk ini. Kuberi pelajaran supaya tahu bagaimana patuh pada perintahku sebagai orang tuanya. Aku, Adam si putera Tuhan, adalah yang paling berkuasa di sini. Tak ada siapa pun. Semua yang tercipta haruslah tunduk kepadaku,” kata Adam sengit kepada Hawa, yang langsung ditanggap perempuan itu dengan cekatan. (Dahlan, 2005:113). Adam dalam kutipan di atas memperlihatkan kekuasaannya atas istri dan anak-anaknya. Hawa menjadi perempuan yang tidak bisa menolak apapun perintah Adam, termasuk perintah untuk tidak boleh melakukan apapun ketika Adam memukuli anak-anaknya. Adam memukuli Khabil dan Munah apabila perintahnya tidak dilaksanakan. Hawa sebagai perempuan penurut hanya diam saja melihat dua anak tersayangnya dipukuli sampai babak belur. Tindakan Hawa tersebut memperlihatkan sifat perempuan yang penurut dan tidak memiliki pendirian untuk memilih jalan hidupnya. Perempuan seperti Hawa menerima paksaan untuk hidup sesuai keinginan laki-laki tanpa mengetahui apa sebenarnya yang diinginkannya. Perempuan diperlakukan seperti pekerja dan yang memegang kekuasaan adalah laki-laki. Pembagian kelas tersebut cenderung menunjuk pada pemikiran Marx, Engels, dan pemikiran abad 19 (Tong, 2004:139-141). Mereka cenderung mengidentifikasikan kelas (classism) sebagai penyebab utama adanya bias gender. Perempuan dimasukkan dalam kelas proletar sedangkan laki-laki masuk dalam kelas borjuis. Hal tersebut berarti laki-laki mengambil hasil dari pekerjaan perempuan. Hawa melakukan pekerjaan berulang-ulang di rumah untuk melayani seluruh anggota keluarga, namun hal tersebut tidak dianggap pekerjaan.
64
b.
Kontrol Atas Hak Reproduksi Perempuan Menurut
Bhasin
(1996:6),
banyak
masyarakat
patriarki
yang
meminggirkan hak perempuan, mereka tidak memiliki hak untuk menentukan berapa anak yang diinginkannya juga dijadikan alat untuk memproduksi anak. Dalam hal reproduksi, semuanya dikontrol oleh laki-laki (Bhasin, 1996: 6). Tokoh Hawa memiliki permasalahan yang serupa, dia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan kapan dia ingin hamil dan memiliki anak. Hal tersebut terlihat ketika Hawa kehilangan kedua anaknya. Atas kepatuhannya, Hawa tidak bisa mencegah saat Adam membunuh dan mengusir anak-anaknya. Sifat penurutnya ini membuatnya tidak bisa menolak perintah ataupun keinginan Adam. Tidak heran jika kemudian Hawa menganggap kedua anaknya tercerai berai dikarenakan kehadirannya tidak diinginkan oleh Adam, sang Putra Tuhan. Hawa kemudian hanya bisa pasrah tanpa bisa berbuat apapun untuk keluar dari permasalahannya tersebut. Hawa hanya bisa diam ketika Adam kembali merayunya dan menginginkan anak pengganti. “Tak usah kau sedihkan yang sudah berlalu. Malah sebaliknya, kau mesti bersyukur. Sebab mereka bukan akhir segala kehidupan. Kita bisa buat sebanyak mungkin lagi seperti mereka. Anak-anak yang lebih patuh, lebih baik, dan lebih suci. Aku belum bisa terima pandangan keduanya anak itu. Kalau kuingat lagi, rasa-rasanya aku ingin bertanding dengan keduanya sekaligus sampai mampus,” kata Adam mengeram. (Dahlan, 2005:127). “Kau masih ingat manakala kau berkata bahwa kau tercipta dari doa dan harapanku? Maka harapanku kini, kita punya anak-anak pengganti yang banyak dan ikhlas memikul cahaya Tuhan ke Rumah Batu ini. Kau mau kan?” Adam merayu dan menenangkan gundah Hawa … (Dahlan, 2005:128).
65
Kutipan di atas menjelaskan Adam memiliki kekuasaan dalam menentukan reproduksi perempuan. Ketika Adam menginginkan anak, maka perempuan harus menurutinya. Adam menggunakan tipu dayanya tentang hutang perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, agar keinginannya terwujud. Adam tidak peduli apakah perempuan (Hawa) menginginkannya atau tidak. Keegoisan Adam terlihat ketika dia tidak memperdulikan bahwa pada saat itu Hawa sedang tidak menginginkan anak pengganti. Dia masih sangat sedih karena
kedua
anaknya
harus
terpisah
darinya.
Namun,
Adam
tidak
memperdulikannya dan tetap memaksa Hawa untuk memiliki anak lagi. Dalam hal tersebut Hawa merupakan perempuan yang dipinggirkan hak-haknya dalam hal reproduksi. Akhirnya Hawa memang benar Hamil. Pada saat kehamilannya Adam meninggalkan Hawa sendirian di rumah dan malah selingkuh dengan Marfu’ah, yang akhirnya membunuhnya. Hawa yang tidak pernah memiliki kemampuan hidup sendiri di dunia luar kemudian harus menerima kenyataan bahwa suaminya meninggal di bawah pohon khuldi pada saat keinginannya untuk memiliki anak terkabul. Dan Hawa dengan sepenuh yakin tahu bahwa lempung itu tak lain adalah lelakinya. Lempung itu adalah Adam. Dengan perasaan kosong, Hawa menatap perutnya yang sudah membesar. Kelak, tiga purnama lagi perut itu akan muntahkan sekaligus delapan anak kembar Adam. Lama Hawa berdiri di depan patung yang tertunduk kalah oleh sakit perut itu dengan raut muka setenang dan sehampa Taman Eden. Tak ada perasaan terluap kala itu. Tak ada tangis tertumpah, betapa pun semua tahu bahwa hampir seluruh hidup Hawa semata diabdikan untuk teguhkan kebesaran lelaki di balik patung lempung yang sedang duduk diam meraungkan sakitnya mati itu. (Dahlan, 2005:165-166).
66
Kutipan di atas menjelaskan bahwa ketika Hawa benar-benar hamil sesuai keinginan Adam, namun suaminya malah mati. Hal tersebut membuktikan ketika kontrol atas reproduksi hanya dipegang oleh satu pihak maka akan merugikan pihak lainnya. Kekuasaan Adam yang tidak terbatas tidak diikuti dengan kesetiaan dan rasa tanggung jawab. Adam yang telah merendahkan Hawa kemudian menjadi laki-laki yang mudah terbujuk oleh kecantikan Marfu’ah yang licik. Setelah Adam mati di tangan Marfu’ah, Hawa harus mulai belajar untuk bertahan hidup sendiri. Hawa juga harus menanggung keegoisan Adam dengan membesarkan calon anak-anaknya sendiri. Hal tersebut berarti mengharuskan Hawa untuk hidup mandiri, padahal selama ini Hawa sangat bergantung pada Adam. Diceritakan bahwa setelah kematian Adam, Hawa melahirkan delapan anak kembar. Hal tersebut tentu akan menambah beban untuk Hawa. Disamping dia harus belajar hidup mandiri, dia juga harus memikul tanggung jawab membesarkan kedelapan anaknya seorang diri. Pembagian kerja yang ditanamkan Adam berdasarkan jenis kelamin kemudian merugikan posisi Hawa. Kematian Adam di tangan Marfu’ah juga menjelaskan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk melawan laki-laki. Kekuasaan Adam di Taman Eden berhasil dikalahkan dengan kecantikan anak Maia. Marfu’ah menyadari bahwa kecantikan memiliki kekuasaan melebihi kekuasaan laki-laki yang diagungagungkan Adam.
67
c.
Kontrol Atas Seksualitas Perempuan Perempuan sebagai kaum terjajah memiliki kedudukan yang lebih rendah
dari kaum laki-laki. Hak-haknya dirampas dan kebebasannya direbut oleh pihak penjajah. Perempuan sebagai kaum yang termarginalkan belum memiliki kemampuan untuk membebaskan dirinya (pasrah) dari keadaan tersebut. Hak-hak sebagai sesama manusia tidak didapatkan oleh Maia, perempuan yang diciptakan setelah laki-laki karena jenis kelaminnya perempuan. Setelah kedua lututnya lelah, Maia si Perempuan meminta kepada Adam agar ia berbaring di atas Adam. Tapi Adam menolak seraya berkata cepat bahwa keinginan Maia si Perempuan berada di atasnya sama sekali di luar aturan. “Di taman ini, tak pernah sekali pun ada menjangan betina berada di atas menjangan jantan,” tegas Adam. Adam sampai pada kesimpulan demikian karena sepengetahuannya hanya ular sajalah yang berkawin tumpang-tindih … (Dahlan, 2005:41).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Adam mengabaikan hak Maia, yakni berupa pemarginalan dalam posisi melakukan hubungan seksual. Maia sebagai seorang perempuan harus menanggung penderitaan demi memuaskan nafsu lakilaki. Kata-kata Adam tersebut juga sekaligus menjelaskan bahwa Adam sebagai laki-laki tidak ingin berada di bawah perempuan. Menurut Bhasin (1996:8), perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan. Hal tersebut berarti perempuan tidak diperbolehkan menolak laki-laki yang mengajaknya melakukan hubungan seksual, termasuk dalam hal posisi. Hukum yang berlaku pun lebih membatasi perempuan daripada laki-laki. Hal terjadi pada
68
Maia. Maia merupakan perempuan pertama yang dikurung Adam dalam rumahnya untuk memenuhi nafsunya dan bukan bedasarkan keinginan bersama. Tak hanya itu, setiap siang, sore, atau malam bahkan seharian jika Adam tak ingin keluar dari pintu segitiga, Maia si Perempuan akan dicumbucumbunya, dipangku-pangkunya, bahkan diajaknya menggoresi hampir semua bidang dinding Rumah Batu dengan lukisan diri dan kebiasaan mereka berdua dalam Rumah Batu yang selalu dihiasi keceriaan dan pendar kebahagiaan tiada tara. Setidaknya begitu anggapan Adam. (Dahlan, 2005:44). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Adam menjadikan Maia sebagai budak seks saja. Maia dilarang keluar dari rumah untuk melindungi kulit lembut dan putih yang sangat disukai serta dapat menimbulkan nafsu Adam. Tidak heran jika kemudian karena kecantikannya tersebut Maia dimarginalkan dalam hal melakukan hubungan seks. Hal tersebut dilakukan Adam untuk mendapatkan hal yang
tidak
dimiliki
laki-laki,
Adam
mengurung
Maia
agar
bisa
mengeksploitasinya. Maia tidak memiliki hak kapan dia ingin melakukan hubungan seksual atau tidak. Hak tersebut hanya dimiliki oleh Adam (laki-laki). Ketika Adam menginginkan melakukan hubungan seksual dia bisa memaksa Maia, namun tidak sebaliknya. Kontrol atas seksual laki-laki juga terjadi pada hubungan Adam dan Hawa. Hawa yang memang perempuan penurut tidak pernah berani memberontak apa yang menjadi keinginan Adam. Hal tersebut terlihat ketika Hawa sedang meratapi kepergian kedua anaknya, Adam tanpa meminta persetujuan Hawa langsung memaksanya melakukan hubungan seksual. Adam merayu dan menenangkan gundah Hawa seraya memapahnya masuk peraduan batu dan tidurkan Hawa terlentang telanjang. Adam tak peduli bahwa ia belum bersih diri dan Hawa masih penuh tutul hitam arang dapur. Adam menaiki peraduan dan membelai-belai rambut Hawa yang
69
kusut masai dan bau asap seraya terus bisikan kata-kata rayuan yang buas. Sampai ketika birahinya merasuk, Adam menindih tubuh Hawa dan dengan cara purba ia setubuhi Hawa yang siang itu dilihatnya serupa patung lilin yang enggan terbakar, dan kaku seperti khuldi di pagi hari. (Dahlan, 2005:128).
Terlihat dari kutipan di atas bahwa Hawa sedang tidak ingin disetubuhi karena dirinya masih berduka untuk perpecahan keluarganya. Namun, Adam memperlihatkan sikap tak acuhnya dengan keadaan anak-anaknya yang cerai berai dan tetap mengedepankan birahinya. Penolakan Hawa terlihat pada sikap diamnya, walaupun kemudian tidak merubah pendirian Adam. Hawa dianggapnya sebagai patung yang bisa dipermainkan sesuai dengan keinginannya. Hawa pun tidak memiliki keberanian untuk menolak keinginan Adam tersebut. Malah dengan pasrah dia membiarkan Adam menindih tubuhnya yang sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual tersebut. Kewajiban telah menghilangkan kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual. Hawa kemudian melakukan hubungan yang seharusnya memiliki sifat rekreasi tersebut dengan rasa tanggung jawab yang harus dipikulnya. Kontrol atas seksualitas tidak hanya terjadi pada laki-laki pada perempuan, namun juga antara sesama perempuan. Hal tersebut terjadi pada Marfu’ah. Dia tidak memiliki kebebasan untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Hal tersebut dikarenakan adanya larangan dari ibunya, Maia. Keesokan harinya, Marfu’ah benar-benar berangkat menuju Taman Eden dengan dihantar Maia dan Khabil hingga tepian sungai. Disebabkan oleh tiupan dendam kian lama, si cantik Marfu’ah sama sekali lupa bahwa sampai hari kepergiannya, sekali pun dia belum merasakan bagaimana rasanya bersetubuh dengan lelaki yang dipilihnya. Padahal, batas waktu yang ditentukan ibunya jatuh pada hari itu juga. (Dahlan, 2005:148).
70
Maia mengatur kehidupan pribadi anaknya, Marfu’ah, bahkan sampai pada kontrol untuk melakukan hubungan seksual. Marfu’ah dan Khabil tidak pernah bertanya mengapa Maia melakukan hal tersebut. Keduanya kemudian hanya mematuhi segala perintah yang diberikan oleh Maia. Tidak adanya kesadaran dari Marfu’ah bahwa melakukan hubungan seksual merupakan haknya sebagai manusia membuat peraturan yang tidak memiliki dasar tersebut dijalankan. Akhirnya baru diketahui bahwa tujuan Maia melakukan hal tersebut karena dia menginginkan Marfu’ah untuk lunaskan dendamnya pada Adam terlebih dahulu. Hal tersebut karena adanya ketakutan dari Maia kalau Marfu’ah dan Khabil melakukan hubungan seksual tersebih dahulu akan membuat Adam curiga dan menggagalkan rencananya untuk balas dendam. Kontrol atas seksualitas di sini berarti dilakukan Maia untuk kepentingannya pribadi dan bukan karena alasan kebaikan Marfu’ah. Maia melakukannya untuk meloloskan citacitanya.
d.
Pembatasan Gerak Perempuan Perampasan hak perempuan juga dilakukan Adam dalam hal kebebasan
perempuan secara umum. Maksudnya, perempuan memiliki banyak batasan untuk melakukan sesuatu. Perempuan harus memiliki ijin dari laki-laki (yang dianggap lebih kuat) bila akan keluar rumah maupun mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Maia dilarang keluar dari rumahnya dengan alasan untuk menjaganya dari hal-hal yang akan merusaknya di luar. Laki-laki (Adam) melakukan hal
71
tersebut karena dia tidak ingin, perempuan jajahannya akan kehilangan kelembutan kulit yang sangat disukainya. Karena ingin memelihara kulit itu, Maia si Perempuan dilarang Adam untuk keluar dari pintu segitiga Rumah Batu yang selalu ditutupnya rapat ketika akan keluar. Adam sadar betul, tubuh halus itu bisa hangus dan kasar seperti ini tak lain karena ulah matahari. Maka jadilah hari-hari Maia si Perempuan hanya di rumah. Ia telah menjadi perempuan pertama yang hidup di belakang matahari lelaki. (Dahlan, 2005:43). Larangan-larangan yang diberikan Adam ini dibuat untuk tetap menjadikan perempuan sesuai dengan keinginannya. Membatasi gerak-gerik perempuan berarti Adam telah membatasi pula kesempatan untuk berkembang. Pembatasan gerak untuk perempuan ini diterapkan dalam masyarakat patriarki (Bhasin, 1996:9-10). Tujuannya supaya perempuan terus terpinggirkan dan tidak melampaui laki-laki yang ditakdirkan sebagai penguasa. Hal tersebut dikarenakan ketika ada pembatasan untuk gerak, berarti ada pula pembatasan untuk perempuan mendapatkan pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan salah satu cara penyadaran terhadap perempuan, termasuk kesadaran terhadap posisinya yang dimarginalkan laki-laki. Hawa juga mengalami hal serupa. Dia dilarang keluar oleh Adam karena tidak ingin Hawa menjadi perempuan yang akan menghianatinya. Hawa harus berada di dalam rumah dan melakukan pekerjaan rumah (sebagai pelayan Adam). Hal tersebut dikarenakan Adam ingin terus mengawasi gerak Hawa. Dia tidak ingin Hawa menjadi perempuan yang akan mengkhianatinya seperti Maia karena terlalu banyak diberi kelonggaran. Tidak heran jika kemudian Hawa lebih diberi batasan-batasan yang lebih ketat dibandingkan Maia dulu.
72
Hawa merupakan perempuan yang pasrah menghadapi segala macam keadaan, apalagi bila hal tersebut menyangkut keputusan yang dibuat suaminya. Hawa selalu melaksanakan tugas dari Adam dan selalu mematuhi setiap larangan Adam, termasuk untuk tidak keluar rumah dan memakan buah khuldi. Sampai pada suatu hari, dibilangnya pada Hawa bahwa orok mereka itu boleh makan segala hal buah, terkecuali buah khuldi. Akan dicarikannya di mana pun buah-buahan menumbuh, di dalam atau di luar Taman Eden, kecuali buah khuldi pedar bertutul jingga. Diberitahu demikian Hawa mengangguk. (Dahlan, 2005:69). Mulanya Hawa menduga ketakpulangan lelakinya malam itu semata dikarenakan memburu enggang di tempat yang jauh. Tapi setelah sepurnama menunggu dalam kesendirian yang membunuh, lelaki itu tak juga tampakkan diri di muka pintu Rumah Batu.Hawa pun kemudian beranikan diri untuk lewati pintu segitiga yang sesungguhnya terlarang baginya untuk mengginjak jika Adam tak sedang berada di rumah. (Dahlan, 2005:165).
Hukum-hukum kemudian dibuat untuk membatasi ruang gerak perempuan dan menonjolkan dominasi laki-laki. Aturan tersebut membuat perempuan tidak memiliki kesempatan untuk belajar hidup mandiri di luar maupun memiliki pilihan untuk hidupnya. Hal tersebut dikarenakan semua kebutuhan perempuan dipenuhi oleh laki-laki. Pembiasaan yang menjadikan perempuan menjadi bergantung pada laki-laki ini dibuat supaya perempuan sadar akan kekuatan lakilaki. Dengan tidak menjadikan perempuan mandiri, laki-laki bisa terus menjadikan mereka budak yang sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana hukum dibuat untuk melanggengkan kekuasaan lakilaki. Hal serupa dikatakan Kartono (1986: 1) bahwa hukum manusia dari dahulu sampai sekarang adalah hukumnya kaum laki-laki. Perempuan tidak
73
pernah diajak berembuk untuk menentukan hukum bagi manusia. Hak mereka dipinggirkan untuk ikut menentukan aturan-aturan tersebut. Tidak heran jika hukum lebih berpihak pada laki-laki dan merugikan perempuan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pelestarian kekuasaan laki-laki. Tidak heran jika kemudian terdapat pembagian kerja yang semata-mata untuk bisa memberikan batas gerak pada perempuan. Hawa salah satu perempuan yang mendapat batasan pada gerak-geriknya. Pekerjaan yang dilakukannya hanya sebatas pada wilayah domestik. Adam mencari makanan di luar rumah sedangkan Hawa mengolah makanan di rumah. Pembatasan gerak ini membuat Hawa hanya tahu urusan dapur saja. Dia sama sekali tidak mengenal dunia luar. Pada mulanya tak ada seorang pun yang tahu-tak juga Hawa-bahwa kesenangan terbaru Adam adalah menjebak enggang-enggang liar jantan di hutan belantara yang jauh. Mereka baru tahu setelah sebuah kendang besar di belakang Rumah Batu berdiri, dan sepuluh ekor enggang berkaok-kaok. (Dahlan, 2005:117). Kelebihan laki-laki yang diberi kebebasan untuk bekerja di area publik membuatnya bisa berkembang daripada perempuan. Hawa seumur hidupnya hanya tahu mencintai suami dan anak-anaknya, sedangkan Adam di dunia luar bisa melihat banyak hal, salah satunya bisa melarikan diri dari situasi kakunya di rumah dengan memelihara enggang. Adam lebih bisa memecahkan masalahnya dengan mengalihkan perhatiannya keberbagai hal, namun hal tersebut tidak dimiliki oleh Hawa. Tidak heran jika kemudian Adam pun memiliki pilihan perempuan selain Hawa. Dia bisa bersenang-senang dengan perempuan yang lebih muda daripada Hawa. Kebebasannya untuk bisa bergerak ke luar membuatnya mempunyai pilihan-pilihan lain untuk terus membuatnya bahagia.
74
Hal tersebut tidak didapat oleh Hawa. Hawa hanya tahu soal kesetiaan dan bakti pada suaminya karena memang tidak pernah tahu bahwa ada banyak hal lain di luar yang bisa membuatnya memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Hal tersebut juga dialami oleh Munah, anak perempuan Hawa. Dia tidak diberi pendidikan untuk mengenal dunia luar dari ayahnya. Penanaman sifat kuat, mandiri, dan gagah hanya diberikan kepada anak laki-lakinya, Khabil. Adam membenci kedua anak tersebut, namun Khabil tetap diberi perlakuan yang istimewa. Khabil diberi kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri di dunia luar. Berbeda dengan Khabil, Munah hanya dibiarkan tinggal di rumah dan dibuat untuk tidak bisa mandiri. Khabil diajarkan untuk bisa hidup di dunia luar supaya dia tidak menjadi anak yang lemah dan pesolek. Adam menginginkan Khabil bisa kuat dan berotot seperti dirinya, maka Khabil diperintahkan untuk berkelana ke dunia luar selama enam purnama sebagai pengakuan atas kedewasaannya, sedangkan perempuan tidak mendapatkan hal serupa. Perempuan sebagai kelas rendah dan laki-laki kelas atas, maka perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pembagian kelas ini terlihat dalam keluarga Adam. Kelas atas di tempati oleh Adam, kelas bawah ditempati oleh Hawa, Munah, dan Khabil. Adam sebagai kepala keluarga memiliki hak untuk mentukan nasib anggota keluarganya, termasuk dalam pilihan hidup dan gaya hidup yang harus dijalani. Hingga ketika usia mereka jelang dewasa, Adam, sang peneguh dan pembangun perbatasan dalam Rumah Batu, utarakan maksudnya di meja makan pada suatu malam. Dengan penuh ancaman ia katakan kepada ketiganya bahwa Khabil telah dewasa bila tak mungkin bisa disebut dewasa
75
bila tak berjalan enam purnama lamanya pulang balik. Dalam perkiraan Adam, perjalanan selama enam purnama sudah cukup membuat lelaki disebut dewasa. Hal itu diutarakannya setelah dipikir-pikirnya selama bertahun-tahun, agar Khabil bisa menjadi manusia kuat, berotot, dan tegar seperti dirinya, dan tak jadi lelaki pesolek yang sangat tak disukainya. (Dahlan, 2005:110). Adam sebagai kepala keluarga tidak perlu meminta pendapat anggota keluarga dalam memutuskan kebijakan untuk keluarganya. Hal tersebut terlihat dari Adam yang menentukan sendiri cara untuk mendidik anak laki-lakinya, Khabil, untuk memberikan penilaian seorang laki-laki dianggap sudah dewasa atau belum. Khabil sebagai anak laki-laki dididik lebih keras daripada Munah. Khabil
dipaksa
untuk
mengembara
selama
enam
purnama
untuk
menyempurnakan kedewasaannya. Penentuan penilaian itu diputuskan secara sepihak oleh Adam, bahkan ketika menuai protes dari Khabil dan Munah, Adam tidak menghiraukannya dan tetap memaksakan kehendaknya. Hal tersebut dilakukan Adam dengan dua tujuan, pertama untuk menegaskan bahwa laki-laki harus lebih kuat dari perempuan, dan yang kedua adalah tujuan licik untuk menjaduhkan Hawa dari kedua anaknya. Munah tidak mendapatkan pendidikan sekeras Khabil karena dia perempuan. Munah tidak dituntut untuk menjadi manusia yang kuat, berotot, dan tegar. Hal tersebut karena Munah memiliki jenis kelamin seperti ibunya, Hawa, jadi dia patut dilindungi. Jenis kelamin merupakan penentu untuk pekerjaan apa yang cocok dijalani. Kelas bawah (perempuan) akan selalu diletakkan di sektor domestik dan laki-laki publik. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah perempuan menjadi lebih mandiri dan bisa bersaing dengan laki-laki. Posisi kesetaraan gender
76
ini yang ditakutkan oleh laki-laki, karena adanya ketakutan posisi tersebut akan terbalik. Bukan hanya Khabil, tapi hukum itu juga berlaku untuk setiap anaknya laki-laki yang lahir kelak. Suasana tiba-tiba saja berubah sangat tegang. Khabil mendengus menahankan marah, sementara Munah perlihatkan wajah penuh kebencian kepada lelaki bernama Adam. Hawa hanya menunduk dan tak sanggup melihat ketiga manusia yang dicintainya sedang mengeramkan kemarahan di meja makan. (Dahlan, 2005:110).
Hal tersebut telah dijelaskan oleh Beauvoir (via Tong, 2004:262), jika laki-laki ingin tetap berkuasa maka ia harus terus mengopresi perempuan. Perempuan merupakan ancaman laki-laki dalam hal eksistensi. Ketika perempuan telah memiliki kekuasaan, laki-laki memiliki ketakutan akan diopresi oleh perempuan. Adam menanamkan sifat kuat dan gagah pada anak laki-lakinya dan bukan anak perempuannya karena ingin tetap melanggengkan kekuasaan kaumnya. Setelah sarapan beberapa potong daging bakar dan beberapa butir buah segar, Adam dengan didampingi Hawa yang sedang memeluk Munah yang terisak, melepas kepergian Khabil untuk susuri perjalanan panjang demi menjadi seorang lelaki dewasa. (Dahlan, 2005:114-115). Untuk mendukung adanya pembagian kerja secara seksual (melestarikan) dilakukan langkah awal dengan membagi pendidikan anaknya ke dalam dua jenis yakni, dikirim ke ranah publik dan dibiarkan di ranah privat. Hal tersebut dilakukan Adam untuk Munah dan Khabil. Jenis kelamin tentu menjadi penyebab mengapa Khabil kemudian dikirim untuk melakukan perjalanan ke luar rumah, sedangkan Munah dibiarkan di rumah. Munah menjadi perempuan terbelakang karena minimnya pengalaman yang diberikan untuknya. Munah hanya diperkenalkan dengan wilayah domestik
77
oleh Hawa serta sikap patuh yang harus dimiliki perempuan. Hal tersebut mengakibatkan Munah memiliki kepercayaan diri yang lemah. Dia mudah emosinal dan gampang mengalami depresi berat. Munah tidak memiliki akal untuk mengalihakan perderitaannya seperti yang dilakukan oleh Adam. Dia hanya duduk berdiam menunggu masalahnya diselesaikan orang lain. Hal tersebut dijelaskan oleh Beauvoir (via Tong, 2004), yang menegaskan bahwa jika perempuan ingin mengubah kehidupannya dia harus terus belajar. Hal tersebut dikarenakan dengan menjadi kaum intelektual membawa perempuan pada kebebasan dan memberinya bekal untuk menghadapi masyarakat patriarki. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh Munah. Dia memilih diam tidak melakukan apapun malah menegaskan bahwa Munah memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada laki-laki. Sikap lengah inilah yang diinginkan Adam ada dalam diri Munah. Ketika Munah juga telah kehilangan akal, seluruh gerak-geriknya diawasi oleh Adam dengan sangat teliti. Dia tidak menginginkan sedikit pun gerak Munah terlewat dari pengawasannya. Sampai pada suatu hari, Munah berjalan sendiri di bawah pohon khuldi, Adam lantas rampungkan rencananya, membunuh Munah. Keterbatasan gerak yang ditanamkan pada Munah membuatnya tidak mandiri dan terus bergantung pada saudara kembarnya, Khabil. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Adam untuk melakukan rencana jahat tersebut. Batasan gerak ini mengakibatkan ketergantungan yang tinggi pada perempuan. Kemandirian perempuan pada orang lain dalam novel Adam Hawa sangat tinggi. Hal tersebut yang menjadi masalah dalam hal kejiwaan maupun
78
ekonomi perempuan. Ketergantungan perempuan bisa berupa ekonomi, tempat tinggal, dan rasa aman untuk dirinya. ketergantungan ini menjadi masalah yang rawan untuk perempuan karena hal tersebut menghambat kemandiriannya. Berikut tabel ketergantungan tokoh perempuan untuk mempermudah mengidentifikasi masalah tersebut. Tabel 4: Ketergantungan Tokoh Perempuan Terhadap Orang Lain dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M.Dahlan Tokoh Perempuan Jenis Ketergantungan Maia Hawa Munah Marfu’ah Adam Adam Adam Idris Ekonomi Idris Maia Adam Adam Adam Maia Tempat tinggal Idris Idris Adam Hawa Maia Rasa Aman Diri sendiri Khabil Khabil (individu) Tabel di atas menjelaskan bahwa perempuan dalam novel Adam Hawa tidak bisa hidup tanpa orang lain. Rasa aman yang menjadi kekuasaan diri pribadi pun harus tergantung pada orang lain. Dalam tabel di atas, pada bidang ekonomi perempuan sama sekali tidak memiliki kemandirian (akan dibahas pada subbab berikutnya). Tempat tinggal juga merupakan kebutuhan pokok untuk melindungi diri dari ganasnya angin malam maupun panas. Perempuan dalam tabel di atas menunjukkan masih mengantungkannya pada laki-laki. Mereka tidak memiliki keahlian untuk membangunnya sendiri. Keahlian membangun rumah hanya dimiliki oleh laki-laki. Hal tersebut terlihat pada pemilik rumah yang ada di novel tersebut adalah laki-laki dan perempuan ditampung di dalamnya. Rasa aman yang pun masih banyak yang harus bergantung pada orang lain terutama laki-laki. Hal tersebut terlihat pada Hawa, Marfu’ah, dan Maemunah.
79
Paling parah, ketergantungan pada rasa aman ini terjadi pada Maemunah, dia kemudian tidak memiliki semangat untuk hidup ketika saudara kembarnya pergi untuk lunasi syarat dari ayahnya supaya dianggap dewasa.
e.
Membatasi Sumber Daya Ekonomi Menurut Bhasin (1996:10), sebagian harta milik dan sumber daya
produktif lain dikontrol oleh laki-laki dan diwariskan dari laki-laki ke laki-laki berikutnya. Hal tersebut berarti hal-hal yang memiliki nilai produktif dikuasai oleh laki-laki dan terus dijaga untuk tetap dikuasai oleh laki-laki. Pada masa Adam belum ada harta berupa emas, uang maupun alat tukar seperti saat ini. Sumber daya produktif masih berupa makanan dan tempat tinggal. Hal tersebut karena makanan merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan manusia untuk bertahan hidup. Makanan masih menjadi barang berharga. Pangan pada waktu itu masih dikuasai oleh laki-laki. Hal tersebut terlihat dari Adam yang menguasai wilayah publik dan melarang perempuan untuk ikut campur pada proses pencarian makanan. Perempuan ditempatkan di rumah untuk mengolah bahan makanan yang didapat oleh laki-laki. Hal tersebut menyebabkan perempuan memiliki ketergantungan yang tinggi pada laki-laki dalam hal ekonomi. Perempuan tidak diberi keahlian untuk dapat mencari makanan di luar seperti laki-laki. Ketergantungan ini membuat perempuan harus tunduk pada lakilaki. Ketakutan hidup di dunia luar membuat perempuan sepakat menjadi pelayan setia laki-laki di rumah. “Aku akan beri orok dalam perut ini buah-buah dari tangan yang kau petiki, Adam, supaya orok ini kelak tahu berterimakasih dan hormat
80
sungguh kepadamu, supaya bayi ini mengerti betapa kau sangat mencintainya lebih dari apa pun.” (Dahlan, 2005:69). Kutipan di atas menjelaskan bahwa sumber ekonomi dikuasai laki-laki. Hawa maupun Adam melanggengkan kebiasaan tersebut. Bahwa kekuasaan lakilaki atas sumber makanan merupakan hal yang lumrah. Bahkan, Hawa tidak memperlihatkan sikap ingin menyamakan kedudukan dengan Adam pada sumber daya ekonomi tersebut. Hawa tidak memiliki keinginan untuk bisa mandiri dengan bisa mencari sumber makanan sendiri. Sebaliknya dia memilih untuk terus bergantung pada Adam. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan Adam untuk memarginalkan. Hawa kemudian tidak memiliki andil dalam memutuskan peraturan dalam keluarganya. Berbeda dengan Hawa, Maia memiliki keahlian untuk mencari makan sendiri ketika dia berpisah dengan Adam. Dalam pengembaraan tersebut Maia mempelajari untuk bisa hidup mandiri baik untuk menjaga dirinya dari binatang buas maupun bertahan hidup dengan mencari makan sendiri. Namun, setelah bertemu dengan Idris, dia kembali menjadi perempuan yang mengantungkan diri pada laki-laki secara ekonomi. Bedanya, Maia masih memiliki kekuasaan atas dirinya berkat kecerdikan yang dimilikinya. Perjanjian itu berbunyi bahwa Idris tak akan masuk Rumah Batu untuk menganggu atau menyetubuhi Maia ketika anak yang dikandug Maia sudah lahir. Satu-satunya jatah untuk masuk Rumah Batu hanyalah saat makan, dan itu pun hanya sebentar. Selainitu, Idris bertugas menjadi pelayan ibu dan anak itu kelak, dan sediakan segala makanan buat mereka setiap harinya. (Dahlan, 2005:93). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Maia masih membutuhkan laki-laki untuk memenuhi kebutuhannya dan anaknya. Padahal, Maia memiliki keahlian untuk mencari makanan sendiri di dunia luar. Namun, hal tersebut tidak dipakai
81
oleh Maia. Justru dia memanfaatkan laki-laki yang telah tunduk padanya. Hal tersebut malah mempertegas keadaan perempuan yang tidak dapat hidup tanpa laki-laki. Perempuan yang mandiri pun perlu laki-laki untuk dapat bertahan hidup, termasuk dalam kebutuhan ekonominya.
2.
Penyebab Marginalisasi Perempuan dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan Marginalisasi terhadap perempuan terjadi karena adanya perbedaan gender
(Fakih, 2008:14). Penyifatan untuk laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh masyarakat mengakibatkan adanya satu pihak yang terpinggirkan (termiskinkan). Tentu hal tersebut akan sangat merugikan perempuan. perempuan dibuat untuk menjadi lemah dan pelengkap laki-laki saja. Salah satu sistem yang melestarikan peminggiran terhadapan hak-hak perempuan adalah sistem patriarki. Sistem ini menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. perempuan memiliki banyak batasan-batasan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, kebebasan perempuan direngut dari dirinya sendiri. Sebab-sebab marginalisasi yang diperoleh dari data berupa budaya, tafsir agama, dan usia. Pembahasan akan dilakukan berdasarkan penyebab marginalisasi pada tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
a.
Budaya dalam Masyarakat Patriarki Menurut Fakih (2008:12), perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Perbedaan gender ini terjadi melalui proses yang panjang. Oleh karena itu, Fakih
82
(2008:9) menjelaskan bahwa terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak
hal,
diantaranya
dibentuk,
disosialisasikan,
diperkuat,
bahkan
dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran agama maupun negara. Hal tersebut berarti masyarakat mendukung adanya perbedaan gender yang kemudian memposisikan perempuan menjadi lemah. Keadaan lemahnya perempuan ini bisa dicontohkan karena stereotip perempuan yang lemah, lembut maka mereka termotivasi bahkan dipaksa untuk menjadi seperti yang diinginkan lingkungan tersebut. Hal yang sama akan dialami oleh laki-laki, karena pelabelan sifat kuat, gagah, tangguh maka mereka dipaksa untuk menjalani hidup seperti tuntutan tersebut. Penanaman sifat berdasarkan jenis kelamin diciptakan oleh Adam. Dia merupakan laki-laki pertama yang menciptakan adanya perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan. Awalnya Tuhan mengirim Maia untuk menemani Adam di Taman Eden. Kemudian Adam memiliki aturan yang harus dituruti Maia. Salah satunya Adam melarang Maia keluar dari Rumah Batu dikarenakan adanya keinginan untuk menjaga kulit istrinya tetap halus dan putih. Mulai dari hal tersebutlah Adam (laki-laki) mendefinisikan perempuan. Diamatinya lagi, tak hanya dekat, tapi juga rinci. Dilihatnya dahi itu kecil dengan dagu yang tirus bijaksana. Lentik matanya hitam dan melipat ke atas. Bulu matanya halus dan cemerlang. Pipinya di cangkum Adam. Lembut berisi, tapi tak tembam. Seimbang dengan hidungnya yang mungil menonjol ke depan. Mulut sang pualam itu kemudian dibukanya dengan dua jari, dan diintipnya giginya. Gigi itu putih berpagar rapat, rapi, dan sangat terawat. (Dahlan, 2005:36-37). Dari perbedaan jenis kulit dan kesempurnaan tersebut kemudian Adam memberikan larangan-larangan kepada Maia. Jadilah kehidupan Maia hanya
83
dilewati di rumah saja. Keputusan tersebut dibuat oleh Adam tanpa meminta persetujuan Maia. Adam mulai memiliki penilaian sendiri terhadap perempuan yang menarik perhatiannya, yakni harus memiliki dagu yang bagus, bulu mata yang lentik, gigi putih, kulit yang halus. Kesempurnaan fisik (menurut Adam) membuat Maia tidak memiliki hak atas dirinya. Wolf (2004:26) menjelaskan bahwa mitos kecantikan mengambil alih dasar yang hilang dan terus memperluas kekuasaan sebagai kontrol sosial. Hal tersebut berarti kepercayaan Adam bahwa perempuan cantik dan menarik itu harus memiliki kulit halus, putih, bulu mata yang lentik dan sebagainya membuatnya memiliki aturan untuk terus menjaga tubuh perempuan tersebut agar terus cantik. Perempuan yang dituntut harus cantik ini kemudian diperlakukan secara tidak adil. Dia dilarang keluar dari rumah yang menurutnya akan membuat Maia menjadi jelek secara fisik. Hal serupa juga terjadi pada Hawa, istri kedua Adam. Sejak menunggu kedatangan Hawa di Taman Eden, Adam telah berharap banyak padanya. Adam memberikan definisi perempuan yang diinginkannya. Perempuan yang diharapkan Adam kemudian berkembang, tidak hanya cantik secara fisik, namun harus memiliki pengabdian dan kesetiaan padanya. “Aku ingin perempuan serupa yang lain sama sekali dari yang sudah ada. Yang mengabdi kepada laki-laki, tahu berhias dan menempatkan diri, yang suaranya tak akan lebih keras dari suara lelaki,” gumam Adam perlahan di purnama ke delapan setelah ditinggal Maia dan tujuh kurcaci yang dijadikan Taman Eden jadi kawasan mati dan hamparan kuburan tua.( Dahlan, 2005: 57). Kutipan di atas menjelaskan bahwa setelah kepergian Maia yang memberontak padanya, Adam menginginkan pengganti yang memiliki sifat
84
berbeda. Adam telah memiliki definisi sendiri untuk perempuan seperti apa yang diinginkannya untuk menjadi istrinya nanti, yakni mengabdi padanya, pandai berhias, dan tidak memiliki suara keras. Hal tersebut telah menjelaskan bahwa Adam telah memiliki batasan untuk perempuan. Tidak heran jika kemudian ketika Hawa hadir di Taman Eden, Adam langsung memberikan perintah tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan. Hawa juga dijadikan pengabdi yang setia pada Adam. Sikap setia Hawa ini kemudian diajarkannya pada anak perempuannya, Maemunah (Munah). Pelabelan sifat yang harus dimiliki perempuan ini juga terjadi pada Munah, anak perempuan Adam dan Hawa. Dia diperlakukan sebagai perempuan lemah yang harus dilindungi dan memiliki berbagai larangan untuk melakukan sesuatu. “Jangan ikuti mereka. Mereka adalah lelaki. Di mana pun, lelaki adalah jago berkelahi. Biarlah mereka selesaikan dengan cara mereka sendiri, sampai kelak mereka tahu bahwa ada jalan yang lebih baik ketimbang adu otot.” (Dahlan, 2005:112). “Munah, walau kau perempuan yang patut dilindungi laki-laki, aku tak segan-segan meremukkanmu seperti Khabil bila melawanku. Mengerti?” Adam menatap anak itu dengan sangat tajam. (Dahlan, 2005:113). Kutipan pertama menjelaskan bahwa Hawa mengajarkan pelajaran tentang masyarakat patriarki, yakni sebagai perempuan dilarang ikut campur dengan urusan laki-laki. Hawa juga menegaskan bahwa adu otot merupakan cara yang dipakai laki-laki untuk menyelesaikan masalah dan bukan yang dilakukan perempuan. Kutipan kedua memperlihatkan kuasa laki-laki. Adam menegaskan pada Munah bahwa perempuan memiliki sifat yang lemah untuk itu harus selalu dilindungi laki-laki. Oleh karena itu, perempuan tidak diperbolehkan melawan
85
kehendak laki-laki karena mereka memiliki kekuasaan untuk meremukkan perempuan. Kekuatan fisik yang tidak pernah diajarkan pada anak perempuan ini dipakai oleh Adam untuk mengendalikan tingkah laku anak perempuannya supaya terus mematuhi segala perintahnya. Hawa sebagai ibunya mendukung apa yang dilakukan oleh suaminya tersebut. Bahkan pada beberapa kesempatan Hawa menanamkan sifat patuh dan mengabdi pada laki-laki pada Munah. Pelabelan sifat ini kemudian berimbas pada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Perempuan hanya diijinkan bekerja di dalam rumah, sedangkan laki-laki di ranah publik, yakni mencari makan di luar rumah, berburu, bercocok tanam. Hal tersebut terlihat pada cara Adam mendidik anak-anaknya. Khabil, anak laki-lakinya, diajarkan untuk hidup mandiri di luar rumah, sedangkan Munah dibiarkan di rumah. Pendidikan tersebut memperlihatkan bahwa Adam menyiapkan Khabil menjadi laki-laki yang harus mencarikan makan untuk keluarga sedangkan Munah disiapkan untuk menjadi pengolah (memasak di rumah). Hal tersebut dijelaskan oleh Budiman (1981:4) melalui teori nurture yang beranggapan bahwa perbedaan pekerjaan untuk tiap jenis kelamin ini terjadi melalui proses belajar dari lingkungan (budaya). Mahkluk hidup yang berada di Taman Eden mengajarkan pada Adam bahwa laki-laki harus berada di atas perempuan, hal tersebut meliputi semua aspek, baik pekerjaan maupun yang lebih privat lagi cara melakukan hubungan seksual. Lingkungan mengajarkan pada Adam untuk mengatur pekerjaan perempuan pada ranah privat, sedangkan lakilaki yang dianggap kuat, gagah, dan pelindung bekerja di wilayah yang lebih
86
berat, yakni berburu dan mencari makan di luar. Padahal, keahlian yang dimiliki laki-laki tersebut juga sangat dibutuhkan oleh perempuan untuk bertahan hidup jika kelak tidak ada laki-laki. Hal tersebut diperparah dengan tidak adanya kesadaran pada diri Hawa untuk menjadi manusia seperti keinginannya. Hawa kemudian hidup berdasarkan keinginan Adam, yakni menjadi perempuan yang bisa menempatkan diri, halus, pengabdi setia suami, dan selalu mendukung apapun yang dilakukan Adam. Abdullah (2006:6) menjelaskan bahwa perempuan seperti Hawa merupakan penganut ideologi familialisme. Hal tersebut berarti Hawa hanya ingin menjadi istri yang baik (menurut suaminya) dan ibu yang sempurna untuk anak-anaknya kelak. Hal ini tidak menjadi persoalan asalkan ada kesadaran dari perempuan untuk memilih menjadi ibu dan istri yang baik, namun nampaknya kesadaran tersebut belum ada pada diri Hawa. Dia menginginkan hal tersebut karena sejak pertama kali bertemu Adam, dia sudah dituntut untuk menjadi perempuan sesuai dengan keinginan Adam. Hawa tidak memiliki kesempatan untuk memilih jalan hidup lain. Tapi dikuat-kuatkannya diri. Tak ingin ia perlihatkan kegugupan di hadapan perempuan. Sebab ia adalah lelaki. Dan ia selalu camkan bahwa lelaki lebih perkasa dari perempuan dan senantiasa jaga perbawa. (Dahlan, 2005:65). Terutama sekali Adam. Betapa bersyukurnya ia dengan kehadiran Hawa yang lembut, molek, dan penuh pengabdian kepadanya. Tak sama sekali Hawa perlihatkan kehendak membangkang atau membantah setiap ucapannya. (Dahlan, 2005:66). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Adam telah membangun masyarakat dengan sistem patriarki. Dia telah menentukan bagaimana hidup sebagai laki-laki
87
dan bagaimana harus hidup sebagai perempuan. Laki-laki memiliki sifat wajib kuat, mandiri dan bisa melindungi perempuan yang lemah, lembut dan penurut. Sifat tersebut tidak boleh ditukarkan karena telah menjadi kodrat dari Tuhan. Hal tersebut dijelaskan oleh Fakih (2008:9-10) bahwa sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Perbedaan-perbedaan antara sifat laki-laki dan perempuan telah dijadikan kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Tidak heran jika kemudian Maia dianggap pengkhianat oleh Adam ketika dia berani mempertanyakan kebenaran penciptaannya, menuntut adanya persamaan kedudukan, lalu berani kabur dari Rumah Batu. Kemarahan Adam mengumpul dan segera meledak. Diantara kekesalan atas ulah Maia si Perempuan yang membangkang dan memelorotkan harga dirinya sebagai putera Tuhan, Adam pun menghambur dan mengamuk mengejar satu per satu kurcaci yang tak berdaya karena telah kena ilmu layuh pikir itu. (Dahlan, 2005:50).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Maia dianggap sebagai perempuan yang membangkang. Hal tersebut berarti Maia melakukan suatu tindakan yang melanggar aturan yang berlaku, aturan yang dibuat sendiri oleh Adam. Padahal, Maia hanya menuntut adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Maia juga dituduh telah memelorotkan harga diri Adam sebagai putera Tuhan. Hal tersebut semakin membuat bulat tekad Maia untuk pergi meninggalkan Adam. Kepergian Maia tidak membuat Adam merasa bersalah justru semakin kuat anggapan bahwa dirinyalah yang benar dan tidak menginginkan adanya persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan.
88
Berbeda dengan Maia, Hawa memiliki sifat yang patuh, namun kepatuhan yang dimiliki Hawa juga mengakibatkannya dimarginalkan. Perempuan dituntut pandai bersikap dan bertingkah laku agar dikasihi suaminya, hal inilah yang membuat perempuan harus hidup berdasarkan keinginan laki-laki untuk bisa menyenangkannya. Menjadi perempuan pengabdi suami juga menjadikan Hawa manusia yang tidak diperhitungkan oleh Adam dalam pengambilan keputusan. Adam semakin semena-mena pada Hawa maupun anggota keluarga lainnya. Bahkan, Hawa kemudian dikhianati oleh Adam. Suaminya tersebut berselingkuh dengan perempuan lain lalu mati dibunuh oleh kekasihnya tersebut. Hal terebut membuat Hawa dihadapkan pada tuntutan untuk bisa hidup mandiri dan mengurus janin yang ada dalam kandungannya waktu itu.
b.
Sistem Kepercayaan Maia merasa tidak mendapat perlakuan yang adil dari Adam saat
melakukan hubungan seksual. Maia tidak diizinkan Adam untuk menukar posisinya saat melakukan hubungan seksual. Menurut Maia posisinya dalam melakukan hubungan seksual merugikannya. Penolakan tersebut dikarenakan posisi dalam melakukan hubungan seksual telah ditentukan Tuhan berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, Adam tidak ingin berada di bawah dikarenakan dia merupakan putra Tuhan. Sebagai putra Tuhan dia pantang menempati posisi bawah baik saat melakukan hubungan seksual maupun dalam hal kekuasaannya dalam rumah tangga. “Aku ingin kita berganti posisi Adam. Aku lelah dan sungguh lelah berada di bawah. Tak merasakan apa pun selain dengusan napasmu yang
89
bau sampah, yang terus memburu setelah puluhan kali aku kau sentaksentak. Aku di atas. Paling tidak mala mini!” kata-kata itu meluncur dengan berat dan seperti sudah dipersiapkan dengan sangat matang. “Tak, dan sekali tak, ya tak. Sudah berkali-kali kukatakan. Bahkan dari kita pertama kali bertemu dan melakukan hubungan ini. Laki-laki yang harus di atas. Takdir yang tentukan. Ingatkan kata-kataku itu? Laki-laki adalah langit dan ia putera Tuhan yang mulia. Yang membawa sifat-sifat Tuhan. Dan kau tahu, Tuhan tak pernah di bawah. Aturan ini berlaku bagi semuanya. Bahkan di dunia binatang pun, aturan itu berlaku.” (Dahlan, 2005:44-45).
Predikat sebagai putra Tuhan membuat Adam tidak mau diperlakukan seperti kemauan perempuan. Dia memiliki aturan sendiri yang harus dipatuhi oleh Maia si Perempuan. Kekuasaan yang dimiliki Adam seolah-olah memang diberikan Tuhan khusus untuknya. Tidak heran ketika Maia kemudian memilih meninggalkan Adam dan Tuhannya. Hal tersebut membuat Adam menilai Maia sebagai pengkhianat. Hal tersebut karena Maia telah dianggap melanggar aturan yang dibuat Tuhan. Perempuan dalam novel Adam Hawa mengalami pelabelan sifat buruk. Ketika Maia berhasil kabur dari rumah Adam, laki-laki itu mengutuk Maia sejadijadinya. Adam beranggapan bahwa Maia merupakan mahkluk yang buruk. Adam mengeluh dan seperti merintih. Membayang lagi purnama-purnama yang dilewatkannya bersama Maia si Perempuan. Namun bayanganbayangan itu kemudian selalu dikibaskannya, secepat kedatangannya. “Aku harus lebih percaya pada Tuhan dan bukan perempuan! Perempuan, di mana pun, adalah perusak dan penghancur jiwa lelaki!” Dan Adam memang terus menerus merajuk dan mendekati sisi kasih Tuhan. (Dahlan, 2005:53). Kutipan di atas menjelaskan bahwa perempuan dianggap sebagai perusak jiwa laki-laki. Hal tersebut berarti setiap pertengkaran yang terjadi antara perempuan dan laki-laki merupakan kesalahan perempuan. Label sebagai perusak
90
dan penghancur kemudian menjauhkan perempuan untuk dekat dengan Tuhan. Semua yang dilakukan Maia untuk Adam dulu kemudian tidak dianggap sebagai perbuatan baik yang dilakukan perempuan pada laki-laki. Justru sebaliknya, Adam menganggap bahwa mengingat kebahagiaannya dengan Maia sebagai perusak jiwa laki-laki. Adam kemudian kembali mendekatkan diri pada Tuhannya. Hal tersebut karena adanya janji dari Tuhan (melalui Penjaga Mimpi) bahwa Adam akan mendapatkan pengganti Maia. Mengingat Tuhan dan terus berdoa agar harapannya dikabulkan merupakan cara Adam untuk beribadah. Menurut Murniati (2004:4), ketika agama belum berkembang, manusia yang percaya kepada Sang Pencipta mengadakan hubungan secara pribadi dengan cara masing-masing, kemudian cara itu menjadi tradisi turun-temurun. Hal tersebut berarti Adam melakukan pendekatan dengan Tuhan sesuai dengan kepercayaan dan aturannya. Hal tersebut karena Adam merupakan manusia pertama yang berada di Taman tersebut. Kemudian Adam memberikan batasa-batasan dan aturan-aturan spiritual yang pada akhirnya harus dianut oleh seluruh anggota keluarganya. Tak baik lelaki dibiarkan sendiri! Kalimat Tuhan itu diyakininya akan terjewantah dan merupakan proses sekaligus harapan. Dan itu sudah menjadi semacam hukum sekaligus janji yang harus ditepati. Sebagaimana janji, ia butuh waktu sebelum tiba saatnya petik hasil. (Dahlan, 2005:54-55). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Adam memiliki keistimewaan yang diperolehnya dari Tuhan. Dia yang sebagai laki-laki tidak akan dibiarkan hidup sendiri. Hal tersebut berarti akan segera datang perempuan pengganti Maia untuk menjadi pengabdi setia Adam. Hal tersebut tidak terjadi pada Maia. Dia yang
91
sama-sama menjalani hidup sendiri di dunia luar setelah lepas dari Adam harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Dia harus berjalan jauh dan belajar hidup mandiri supaya bisa hidup dan menemukan laki-laki sesuai dengan keinginannya. Maia tidak mendapatkan janji yang sama seperti yang diberikan Tuhan pada Adam. Kutipan di atas juga menjelaskan bahwa yang bisa berkomunikasi dengan Tuhan adalah laki-laki. Hal tersebut berarti perempuan tidak bisa dekat maupun berkomunikasi dengan Tuhan. Perempuan tidak bisa menjadi menjadi wakil maupun pemimpin umat manusia. Agama dalam hal ini berarti dikuasai oleh lakilaki. Wahyu dari Tuhan hanya diberikan oleh laki-laki. Namun, hal tersebut kemudian disalah gunakan oleh laki-laki. Adam kemudian menafsirkan sembarangan wahyu maupun perintah dari Tuhan lewat si Pejaga Mimpi. Hawa kemudian menjadi orang selanjutnya yang harus taat pada hukum yang dibuat oleh Adam. Dia diberi pengertian bawah dirinya diciptakan dari tulang rusuk laki-laki serta doa dan harapannya. Tidak heran jika kemudian Hawa harus menjadi pengabdi yang setia laki-laki. Adam seperti memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada Hawa baik dalam hal mengambil keputusan dalam masalah keluarga maupun dalam hal berdialog dengan Tuhan. Laki-laki memposisikan dirinya sebagai wakil Tuhan sedangkan perempuan merupakan umat yang harus melayaninya. “Sempurnalah kau menjadi manusia pertamaku. Tahu menempatkan diri dan penuh rasa pengabdian. Kan kuberitahu Tuhan agar namamu diabadikan, bersanding dengan namaku di lembar-lembar suci penciptaan,” Adam berucap dengan segenap keyakinan bahwa nama Hawa akan bersanding dengan namanya di kitab suci penciptaan yang tersimpan di petala langit keenam. Adam tak pernah tahu, dan tak pernah
92
memastikan bahwa penulisan kitab penciptaan sudah selesai. Nama Hawa, yang diharap-harapkannya masuk dalam kitab penulisan, pun tak pernah tertuliskan. (Dahlan, 2005:64). Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa Adam terkadang asal-asalan menafsirkan firman Tuhan. Dia sembrono memberikan informasi yang dia sendiri tidak ketahui kebenarannya pada perempuan (umat). Hawa hanya percaya saja ketika hal tersebut dikatakan oleh Adam. Hawa sudah terlanjur percaya bahwa Adam merupakan putra Tuhan yang tidak akan pernah berbohong. Adam memakai kepercayaan yang dianut dalam Eden sebagai alat untuk menguasai perempuan. Dia kemudian menjadi penguasa dalam berbagai aspek tersebut. Tujuannya agar dia tetap bisa melakukan hal-hal yang diinginkan tanpa ada perlawanan dari pihak lain, termasuk menjadikan agama sebagai kedok kebohongannya. Perempuan cenderung dipaksa melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh laki-laki (budak) dengan ancaman akan melakukan suatu dosa bila tidak melaksanakan tugas yang diberikan laki-laki kepada perempuan. Hal ini dikarenakan agama pertama kali diperkenalkan oleh kaum laki-laki yang menyebabkan penafsirannya berbeda-beda. Cerita ini kemudian muncul dengan berbagai aturan yang mengikat baik perempuan maupun laki-laki, namun lebih cenderung merugikan perempuan. Murniati (2004:4) menjelaskan bahwa dalam kehidupan berbudaya, manusia menciptakan berbagai aturan main untuk mengatur hubungannya dengan Sang Pencipta. Hal tersebut berarti kepercayaan merupakan hasil dari kebudayaan yang dibuat manusia. Adam memiliki otoritas untuk menentukan aturan main
93
tersebut. Tidak heran jika kemudian dia menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Hawa memiliki keterikatan pada kepercayaan yang dibangun oleh Adam. Dia percaya bahwa Tuhan mengirimnya ke Taman Eden untuk menjadi pengabdi setia Adam. “Apa pun perkataanmu, aku percaya. Aku terpanggil dari doamu lalu membentuk tubuhku dari rusukmu. Budi itu tak terlupa dan aku lahir hanya untuk percaya. Percaya kepada lelaki yang ciptakan, hidupkan, dan hadirkan aku di sini,” kata-kata Hawa mengalir bening, membuat Adam kian yakin jeratannya sudah liliti pikiran Hawa. “Hawa sudah benar-benar terkunci,” pikir Adam. “Walau kau diciptakan dari rusukku, tapi itu semua atas izin Tuhan semata,” Adam tak ingin terlihat terlampau menepuk dada. Karena itu ia sekuat tenaga memilih kata-kata bijak. Melibatkan Tuhan sebagai peneguh alasannya adalah salah satu cara terbaik. Sekaligus ia menjaga perbawa di hadapan perempuan pengabdi ini. (Dahlan, 2005:62-63).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tuhan hanya dijadikan kedok oleh Adam untuk berkuasa. Hal tersebut menegaskan Adam telah membohongi Hawa. Dia tidak benar-benar mendapatkan petunjuk bahwa perempuan yang dikirim untuknya harus dijadikan pelayan (lebih rendah darinya). Posisi tersebut ditentukan sendiri oleh Adam karena menurutnya dia merupakan putra Tuhan, sedangkan perempuan hanya tercipta dari tulang rusuknya. Penciptaan Hawa maupun Maia yang dari tulang rusuk Adam inilah yang menjadi salah satu alasan mereka dipinggirkan hak-haknya sebagai manusia. Adam menilai bahwa perempuan memiliki hutang pada laki-laki (Adam) yang harus dibayar dengan kesetiaan seumur hidup. Penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki (Adam) ini diperoleh dari cerita Penjaga Mimpi yang selalu datang setiap malam untuk menemani Adam.
94
Masih terngiang diingatannya bagaimana Penjaga Mimpi bercerita pada suatu malam, jauh-jauh hari sebelumnya bahwa kelak ada seorang sepertinya akan datang. Seseorang yang diambil dari tulang rusuknya ketika ia terperangkap dalam lelap. (Dahlan, 2005:39). Kutipan di atas menjelaskan bahwa asal mula cerita tentang penciptaan perempuan berasal dari Penjaga Mimpi yang ditugaskan Tuhan untuk bercerita tentang hal-hal yang ingin diketahui Adam tentang seluruh isi semesta. Peran Penjaga Mimpi yang dipercaya Adam dikirim Tuhan untuk mendidikanya, kemudian menjadi salah satu faktor adanya penanaman sifat pada diri Adam yang kemudian dipraktekkan dan merugikan perempuan. Adam mencerna seluruh perkataan Penjaga Mimpi secara kontektual dan kemudian menjadikannya senjata untuk menguasai perempuan. Hal tersebut juga turut membentuk karakter Adam yang tidak demokrasi dan cenderung mementingkan kesenangannya daripada melihat kesenangan orang-orang di sekitarnya. Adam menegaskan bahwa perempuan yang tercipta dari tulang rusuk tidak akan pernah menjadi pemimpin dari laki-laki karena posisi tulang rusuk yang berada di dekat lengan untuk dilindungi. Cerita perbedaan penciptaan perempuan dan laki-laki yang berbeda ini menjadikan perempuan memiliki hutang pada lakilaki. “Dan bila kelak ada yang menanyakan kenapa dari tulang rusuk, jawablah begini: Hawa dicipta bukan dari kepala Adam untuk jadi atasannya dan bukan pula dari kakinya untuk dijadikan alasnya, melainkan dari rusuknya, dari sisinya untuk jadi teman sekutu hidupnya. Rusuk itu dekat dengan lengan untuk dilindungi dan dekat di hati untuk dikasihi.” Adam tampak puas ucapkan kata yang menurutnya seperti mantra terakhir yang dinujumkan oleh mahkluk-mahkluk penakluk di kegelapan dunia. (Dahlan, 2005:63).
95
Kutipan di atas menjelaskan posisi lemahnya mahkluk yang diciptakan dari tulang rusuk mahkluk lainnya. Dia dianggap menjadi manusia lemah sehingga harus dilindungi dan harus dikasihi. Hal ini berarti perempuan harus menjadi seperti kemauan laki-laki agar terus mendapatkan kasih dan dapat dilindungi. Penciptaan perempuan ini mengakibatkan perempuan memiliki ketergantungan tinggi dari laki-laki. Perempuan diharuskan berada di sisi laki-laki dan harus menjadi orang yang dilindungi (objek). Dia tidak pernah bisa menjadi mandiri (subjek) karena hal tersebut akan berbeda dari tujuan perempuan diciptakan. Hal tersebut menegaskan bahwa laki-laki memang diberi kekuasaan dari Tuhan untuk mengatur dunia dan seisinya.
3.
Perjuangan Tokoh Perempuan Melawan Marginalisasi dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan Adanya kesadaran dari perempuan akan posisinya yang tidak strategis
serta budaya yang membentuk menjadikannya tidak berkembang dan terus diopresi menciptakan definisi sendiri mengenai perempuan (Humm, 2002:153154). Kesadaran ini membawa perempuan untuk berjuang membenahi keadaannya tersebut. Perjuangan (Hamersma via Jespers, 1985:16) diciptakan oleh manusia yang dilakukan untuk mengembangkan eksistensi diri. Hal tersebut berarti, manusia saat melakukan perjuangan merasa bahwa eksistensinya yang dulu belum maksimal, maka muncullah keinginan untuk membuatnya menjadi lebih baik.
96
Salah satu yang dilakukan untuk mengembangkan eksistensi manusia yakni dengan memperjuangkan ketidakadilan yang menimpa dirinya. Maia sebagai perempuan pertama yang memiliki kesadaran bahwa dirinya dieksploitasi oleh Adam habis-habisan mulai menuntut adanya persamaan hak. Perjuangan lainnya dilakukan oleh Munah dengan menolak kekuasaan ayah di keluarganya. Selanjutnya, pada saat tingkat eksploitasi yang dilakukan Adam sudah mencapai titik puncak, Hawa pun mulai melawannya walau hanya dalam pikiran. Hawa mulai melakukan penolakan terhadap permintaan Adam, walaupun tetap menggunakan caranya yang halus dan pasrah. Berikut ini bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan oleh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan.
a.
Menggugat Kekuasaan Laki-Laki Maia yang sadar akan posisinya yang selalu dipinggirkan oleh Adam
mencoba melakukan tuntutan untuk adanya persamaan hak. Hal tersebut mendapat sambutan yang tidak baik dari Adam. Laki-laki tersebut menolak gagasan Maia untuk menyamakan posisi antara laki-laki dan perempuan saat melakukan hubungan seksual maupun kebebasan gerak. Hal tersebut membuat Maia menggugat semua perkataan Adam yang membuatnya jadi disisihkan dari pengambilan keputusan dalam keluarga, khususnya terhadap dirinya. “Aku ingin kita berganti posisi Adam. Aku lelah dan sungguh lelah berada di bawah. Tak merasakan apa pun selain dengusan napasmu yang bau sampah, yang terus memburu setelah puluhan kali aku kau sentak-sentak. Aku di atas. Paling tidak malam ini!! Kata-kata itu meluncur dengan berat dan seperti sudah dipersiapkan dengan sangat matang.
97
“Tak, dan sekali tak, ya tak. Sudah berkali-kali kukatakan. Bahkan dari ketika kita pertama kali bertemu dan melakukan hubungan ini. Laki-laki yang harus di atas. Takdir yang tentukan. Ingat kan kata-kataku itu? Lakilaki adalah langit dan ia putra Tuhan yang mulia. Yang membawa sifatsifat Tuhan … (Dahlan, 2005:44). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Maia mulai melakukan aksi protesnya pada Adam. Dia merasa dirugikan dengan posisi melakukan hubungan seksual di bawah. Menurut Maia, hal tersebut harus diputuskan berdasarkan kesenangan kedua belah pihak dan bukan hanya memuaskan salah satu pihak saja (Adam). Malam itu Maia tidak hanya menggugat Adam tentang peraturan dalam posisi melakukan hubungan seksual, namun juga perihal geraknya yang diatur oleh Adam. Maia tidak diperbolehkan keluar dari Rumah Batu, pembagian kerja kemudian dibuat Adam berdasarkan jenis kelamin. Hal tersebut karena Adam tidak menginginkan Maia menjadi kasar dan hitam seperti dirinya. Jadilah Maia mengurus pekerjaan domestik sedangkan Adam harus keluar mencari makan. Namun, pembagian kerja tersebut membuat Maia menjadi bosan dan merasa tidak mendapatkan kebebasan seperti yang dimiliki Adam. Keputusan sepihak yang dibuat oleh Adam tersebut kemudian menjadikan Maia berpikir bahwa kebebasannya terengut darinya. Aspirasi dalam bentuk pola pikir tersebut kemudian dikemukakan oleh Maia kepada Adam. Sama seperti dalam posisi melakukan hubungan seksual, protes terhadap peraturan gerak-gerik Maia tersebut dibalas oleh Adam dengan penolakan adanya kebebasan gerak untuk perempuan. Protes selanjutnya yang dilakukan oleh Maia yakni tentangasal mula penciptaannya. Cerita yang dibuat oleh Adam tentang keberadaan Maia yang
98
terbuat dari tulang rusuk laki-laki serta doa dan harapan laki-laki membuat Maia ragu. Hal tersebut karena Adam mulai melontarkan alasan-alasan yang bias gender untuk protesnya. “Kalau kau merasa putera Tuhan , berarti kau tak beda dengan Tuhan: pemerkosa perempuan.” “Jangan kau bawa-bawa nama penciptaku yang mulia maha mulia, yang namanya kutinggi-tinggikan itu.” (Dahlan, 2005:48-49). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Maia terus melakukan aksi protesnya untuk menggugat perkataan Adam yang membuat hak-haknya sebagai manusia dipinggirkan. Cerita tentang penciptaannya tersebut dijadikan alasan oleh Adam untuk membuat Maia tunduk padanya. Maia yang merasa tidak dihargai selama hidup dengan Adam, menginginkan adanya persamaan hak dan kewajiban. Bahkan, Maia mulai melecehkan nama Tuhan yang selama ini dipakai Adam untuk menjelaskan alasan-alasan kekuasaan Adam. Padahal, awalnya Maia mau hidup bersama dengan Adam karena adanya keyakinan bahwa hal tersebut telah diatur oleh Tuhan untuk dilakukan kedua kembaran tersebut. Namun, ketika Maia sadar bahwa posisinya yang tidak strategis merasa adanya sikap pilih kasih dari Tuhan yang dibebankan padanya. Maia kemudian juga menggugat Tuhan yang selama ini dipercaya sebagai orang tua Adam. Maia merasa Tuhan telah mengajarkan hal salah pada Adam, yakni meminggirkan hak-hak perempuan. Protes juga dilakukan oleh Munah yang menggugat kekuasaan Adam dalam Rumah Batu. Berbeda dengan Maia, protes yang dilakukan Munah tidak dengan kata-kata. Hal tersebut dilakukannya karena tidak memiliki keberanian melakukannya secara langsung. Munah yang dididik sejak kecil dengan
99
kekuasaan ayah, kemudian hanya berani melakukan protes dengan perlawanan gerak. Munah melakukan protesnya karena dia merasa ayahnya tidak memiliki alasan logis mengirim Khabil untuk melakukan perjalanan sebagai syarat pengakuan terhadap kedewasaannya. Adam dianggap hanya mencari-cari alasan untuk memisahkannya dengan kembarannya tersebut. Adam menatap anak itu dengan sangat tajam. Munah membalas dengan tatapan tak kalah tajam. Adam terperanjat, sebab tatapan itu mirip tatapan seorang perempuan dua puluh tahun silam, perempuan yang sisakan segaris rajah menyakitkan di wajahnya. “Jangan tatap aku seperti itu, anak sialan!” bentak Adam tak mau terima. Tapi Munah bergeming. Sebuah tamparan keras menyambar pipi kirinya, dan ini membuatnya terpelanting ke kanan. Badannya menubruk dinding batu. (Dahlan, 2005:113-114). Tatapan tajam Munah memperlihatkan bahwa dia sangat keberatan dengan keputusan yang dibuat oleh ayahnya. Tatapan mata tajam tersebut juga menandakan bahwa dia tidak sepakat dengan perlakuan sang ayah yang kasar pada saudara kembarnya dan tentang gagasan untuk mengirim Khabil melakukan perjalanan jauh selama enam purnama. Munah dipaksa untuk menuruti gagasan Adam tentang pembagian pendidikan tersebut. tidak heran jika kemudian Munah marah pada ayahnya yang menentukan nasib kedua anaknya tanpa meminta persetujuan mereka. Namun, protes tersebut mendapat sambutan yang menyakitkan. Adam menganggap sikap Munah sebagai tanda bahwa dia melawanannya. Adam kemudian malah memukulnya sebagai tanda bahwa dia tidak menyetujui dengan perlakuan anak perempuannya tersebut. Adam tetap beranggapan bahwa dia merupakan laki-laki yang berkuasa terhadap mahkluk yang diciptakan
100
setelahnya. Protes tersebut diaggapnya sebagai sebuah perlawanan dan bukannya mengubah pola pikir Adam untuk lebih adil. Protes lainnya dilakukan Munah dengan cara menyakiti binatang kesayangan ayahnya. Waktu itu saat dia sedang menanti kepulangan saudara kembarnya, Munah memukul enggang kesayangan Adam sehingga membuat sayapnya rusak. Hal tersebut dilakukannya supaya ayahnya tahu rasa kehilangan yang dirasakannya karena gagasan ayahnya yang memisahkannya dengan Khabil, saudara kembarnya. Tidak heran jika setelah itu, Munah dipukuli habis-habisan oleh Adam karena melihat enggangnya patah sayapnya. Niat Munah memukul binatang kesayangan ayahnya merupakan salah satu tindakan protes yang menuntut adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Munah menginginkan Adam merasakan sakit kehilangan seperti
yang
dirasakannya untuk kepergian Khabil atas keputusan sepihak ayahnya. Hal tersebut kemudian dilakukan Munah, yakni dengan keputusan sepihaknya dia ingin menghilangkan sayap indah enggang milik Adam. Namun, protes yang dilakukan Munah ini tidak dibarengi kesiapannya dengan kemungkinan buruk. Munah bahkan tidak bisa belajar dari pengalaman terdahulu. Tahu sifat ayahnya yang tidak suka diungguli dan ditolak perintahnya dia malah dengan tak acuh membuat cacat binatang kesayangan ayahnya kemudian kembali menjadi orang linglung duduk menunggu kembarannya pulang. Munah juga tidak memiliki keberanian untuk hidup sendiri di dunia luar seperti Maia. Munah memiliki kesadaran bahwa ayahnya tidak memiliki sifat adil telah tertanam jauh setelah dia mengenal Adam. Perlawanan sendiri muncul ketika
101
Munah akan dipisahkan dengan Khabil. Tidak heran jika protes tersebut berbuah celaka untuknya. Hal tersebut karena amarah Munah yang tidak terkendali dan tidak punya kecerdasan untuk melawan Adam. Alih-alih dapat lolos dari kekuasaan ayahnya dengan protes tersebut, Munah kemudian berhasil hidup sesuai keinginan ayahnya, yakni kehilangan akalnya. Adam kemudian berhasil menjalankan rencana jahatnya untuk membunuh Munah di bawah pohon khuldi setelah anak tersebut tidak bisa berpikir untuk menyelamatkan diri lagi. Protes selanjutnya dilakukan oleh Hawa yang dilakukannya dengan diam. Dia yang merasa sedih atas kepergian kedua anaknya kemudian memiliki sikap dingin ketika diajak melakukan hubungan seksual oleh Adam. Hawa memilih diam untuk menolak kemauan Adam tersebut, namun sikapnya ini tidak menimbulkan kesadaran dalam diri Adam. Ketidaksadaran Adam tersebut dibalas Hawa dengan pasrah. Dia sudah tidak memiliki kebahagiaan yang sama seperti dirasakannya dulu saat pertama mengandung. Bahkan ketika didapatinya Adam mati di bawah pohon khuldi dia bahkan tidak menangis atau bersedih, yang dilakukannya hanya diam dan perasaan kosong.
b. Memilih Hidup Sendiri Maia merupakan gambaran seorang perempuan yang memiliki karakter kuat, berpendirian tegas, mengambil keputusan dengan pertimbangan matang, dan tidak bergantung pada keputusan yang diambil laki-laki. Konsekuensi Maia sebagai perempuan pemberani tersebut kemudian dia tunjukkan pada saat dirinya mengalami tekanan dan ancaman dari pihak-pihak lain. Perlawanan-perlawanan
102
terhadap kekuasaan laki-laki ini kemudian dia tunjukkan dengan memprotes keputusan Adam yang tidak menguntungkannya, kemudian ketika protes tersebut tidak mendapatkan hasil yang diinginkannya dia memilih untuk meninggalkan Rumah Batu. Memilih untuk hidup sendiri dipilih oleh Maia. Menurutnya hidup sendiri lebih baik daripada harus hidup dengan laki-laki yang selalu tidak menghargai hak-haknya
sebagai
manusia.
Peristiwa
tersebut
berawal
ketika
Maia
menginginkan adanyapersamaan hak dan kewajiban untuk laki-laki dan perempuan. Namun, Adam menolak gagasan Maia tersebut. Maia kemudian memutuskan untuk meninggalkan Adam. Laki-laki tersebut tidak mengijinkan Maia keluar dari rumahnya. Menurut Adam, Maia merupakan perempuan yang harus mengabdikan hidupnya untuknya. Maia melawan perintah Adam tersebut, sempat terjadi perkelahian antara keduanya, namun akhirnya Maia berhasil kabur setelah melukai wajah Adam di bagian pipi. Maia berjalan tanpa tujuan, yang dia tahu hanya keinginannya untuk meninggalkan Adam. Dia kabur dari sekapan laki-laki yang menjadikannya budak seks dan pelayannya. Dia memilih untuk hidup sendiri mengembara di dunia luar, namun dia memiliki satu cita-cita yang pasti, yakni menghimpun tenaga untuk balas dendam pada Adam. Berhari-hari dalam perjalanan menyusuri sahara, memasuki hutan-hutan, tidur sembarangan di mana saja, Maia si Perempuan mulai digerogoti rasa putus asa dan, bila dendam itu tak mendorongnya dan menyalakan harapan, dia hampir memilih untuk tak lanjutkan perjalanan. Maia si Perempuan sadar bahwa hidup lebih baik dari mati. Sebab dalam hidup, segetir apa pun, ia masih bisa menaruh harapan bahwa kelak ia akan bisa limbungkan Adam. Sebab bila ia mati saat itu, dipastikan bahwa arwahnya tak akan tenang dan menjadi hantu maka urusan dendam dengan Adam
103
bisa tunai. Adam yang hidup harus dihadapi dengan hidup. “Aku harus melawannya. Telah dinistainya aku. Oh, Adam, angkuhnya engkau sebagai lelaki. Kau ciptaan Tuhan paling buruk sekaligus yang gagal!” (Dahlan, 2005:79-80).
Maia awalnya sempat hampir menyerah saat hidup sendiri di dunia luar. Semangatnya kembali pulih ketika dia sadar bahwa dia harus membenahi kehidupannya yang telah dihancurkan oleh Adam. Setelah itu Maia dengan mandiri bisa mengatasi kebutuhannya untuk bertahan hidup sendiri. Bahkan, Maia dengan cepat belajar bagaimana hidup di alam liar. Hal tersebut terbukti dengan dia yang masih bertahan hidup sendiri selama empat tahun 77 hari di dunia luar. Maia membuktikan bahwa perempuan bisa belajar tanpa bantuan laki-laki untuk bertahan hidup. Dunia publik yang selama hidupnya hanya boleh dijalani oleh laki-laki, ternyata perempuan pun bisa mencari makan sendiri dan bisa bertahan hidup seorang diri. Maia memiliki kepandaian di atas Adam. Hal tersebut terbukti pada cara bertahan hidup Maia yang tanpa dibimbing oleh siapapun. Berbeda dengan Maia, Adam justru memiliki Penjaga Mimpi yang mengajarkannya berbagai hal untuk mengenali nama-nama maupun cara bertahan hidup di taman Eden. Kesadaran untuk terbebas dari hegemoni laki-laki ini membuat Maia sadar bahwa dia juga merupakan manusia yang memiliki kehendak. Maia kemudian memiliki cita-cita untuk mencari pasangan hidup lain yang bisa memberinya anak. Dia kemudian merencanakan balas dendam untuk Adam.
104
c.
Mencari Pasangan Hidup Lain Cita-cita Maia setelah meninggalkan Adam adalah mencari pasangan
hidup yang bisa menghargai hak-haknya. Tidak heran jika Maia bisa bertahan hidup sendiri selama 4 tahun 77 hari mengarungi hutan, sahara, dan jalanan liar. Hal tersebut karena didorong oleh keinginan mendapatkan laki-laki yang diimpikannya. Dia ingin membuktikan pada Adam bahwa kekuasaan laki-laki yang dianggap sebagai putera Tuhan akan diruntuhkan oleh Maia. Hingga di siang terik, Maia dapatkan seorang lelaki sendirian di bawah pohon ranggas dan berdaun lebat ditemani oleh segerombolan domba. “Tuhan dengarkan doaku. Semoga lelaki ini mau menanamkan benihnya kepadaku. Demi dendam ini, maukah kau lelaki. Demi dendam ini, setubuhi aku sepuasmu hingga bunting dan kelak akan kunamai anak itu Ijajil. Ia yang akan membelah dada Adam dan membawakanku empedu perutnya untuk gantikan empeduku yang luka nanah bertahun-tahun karena perbuatannya. Ijajil, anakku, akan menggoyaknya. Lunasi dendam ibunya.” (Dahlan, 2005:80). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Maia kemudian menemukan laki-laki lain bernama Idris. Laki-laki tersebut lebih demokrasi. Hal tersebut dikarenakan Idris tidak pernah menentukan sendiri Maia harus hidup seperti apa, bahkan gerak-gerik Maia pun tidak diaturnya. Idris merupakan laki-laki yang tidak terbelenggu dengan sistem patriarki, tidak heran jika kemudian Maia merasa cocok hidup dengan Idris. Maia juga merasakan bahwa eksistensinya sebagai manusia dihargai. Maia mencari laki-laki yang memiliki sifat berkebalikan dari sifat Adam. Hal tersebut dikarenakan kesadaran bahwa bias gender yang diberlakukan Adam sangat merugikannya. Dia menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun, di sisi lain pikirannya Maia juga memiliki
105
tujuan lain mendekati Idris. Dia hanya ingin benih Idris untuk kemudian lahirkan anak yang bisa membalaskan dendamnya pada Adam. Maia sadar bahwa dia tidak boleh percaya pada laki-laki, pelajaran tersebut dipelajarinya selama hidup dengan Adam. Hal tersebut kemudian yang menimbulkan adanya perjanjian aneh antara Maia dan Idris. Maia mengajukan perjanjian kepada Idris bahwa dia ingin disetubuhi olehnya dan melahirkan anaknya kelak, namun jika anaknya perempuan Idris harus rela dikebiri. Idris sebagai laki-laki yang sangat mencintai Maia mengiyakan kemauan Maia. Dan satu lagi perjanjian yang disepakati Idris. Perjanjian yang sungguh aneh dan kejam, tapi entah kenapa Idris menyanggupinya. Perjanjian terakhir itu adalah bahwa daging tunjang Idris yang terbiasa menegak bila melihat Maia ngangkang itu harus dirubuhkan kalau ternyata anak yang lahir adalah perempuan. Dan anak itu sekarang telah lahir dan besar pula. Anak yang lahir itu perempuan. maka dilaksanakanlah upacara pembunuhan kejantanan, tepat di hari ketujuh setelah kelahiran anak perempuan bernama Marfu’ah. (Dahlan, 2005:93-94). Kutipan di atas menjelaskan bahwa Maia kemudian memiliki kekuasaan yang lebih tinggi di bandingkan dengan Idris. Dia memiliki prinsip bahwa daripada dikuasai oleh laki-laki, dia memilih untuk menguasai laki-laki terlebih dahulu. Tidak heran jika dengan menggunakan kecantikannya Maia menguasai Idris untuk memenuhi keinginannya balas dendam dengan Adam. Maia memiliki kecerdasan bahwa kecantikan memiliki nilai komoditas untuk lunasi dendamnya. Merasa Idris merupakan laki-laki bodoh, Maia kemudian menemukan lakilaki lain yang membuatnya kembali jatuh cinta. Khabil yang datang dalam kehidupannya menjadi laki-laki yang membuatnya memiliki cinta yang diimpikannya. Dengan Khabil dia merasakan kebebasan dalam menumpahkan
106
kasih sayanganya. Selain itu, Khabil bukan laki-laki yang suka meminggirkan hak-hak perempuan untuk berkuasa. Khabil sangat menghormati Maia sebagai perempuan yang dicintainya. Perasaan aneh Maia sebagai perempuan yang sudah belasan tahun tak disentuh lelaki pertama kali menggelegak ketika tengah malam, dengan bantuan cahay remang purnama yang hampir penuh, dilihatnya Khabil sedang duduk di dekat jendela. Ditengoknya Marfu’ah yang sedang terlelap setelah seharian berjalan-jalan dengan Khabil berkeliling-keliling Taman Kiram dan memancing ikan di sungai. Dada Maia berdegup keras melihat bayangan Khabil yang telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang kekar. Dia bayangkan pemilik tubuh seperti Adam yang legit, kuat, bergairah, tapi sekaligus laki-laki angkuh dan brengsek yang telah mengurung dan memerkosanya. (Dahlan, 2005:131).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Maia setelah terlepas dari laki-laki yang menurutnya terlalu penurut, kemudian tidak menyerah mendapatkan lakilaki yang diimpikannya. Dia kembali menemukan laki-laki yang diinginkannya. Dia tidak pernah menyerah untuk mendapatkan pasangan hidup yang sesuai keinginannya. Khabil memberinya kebebasan dalam melakukan hubungan seksual dan tidak membatasi gerak-gerik Maia. Ketidakadilan gender yang dulu didapatnya dari Adam tidak ditemukan dalam menjalani hubungan dengan Khabil. Hak-hak Maia untuk mengatur kehidupannya dan mewujudkan cita-cita membalas dendam pada Adam juga mendapat dukungan dari Khabil. Keberagaman tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan kembali mempertanyakan batasan perjuangan feminis yang sebenarnya. Seperti telah disampaikan oleh Muhidin M. Dahlan yang seorang pemeluk agama Islam dalam wawancara pada 10 Januari 2012, cerita ini diilhami dari kisah yang dipercaya orang Yahudi. Menurutnya, ada perempuan yang hidup
107
dengan Adam sebelum Hawa, yakni Lilith. Walaupun memiliki kesamaan inti cerita, novel ini merupakan hasil kreatif pengarang yang harus dipisahkan dengan kepercayaan Yahudi maupun yang terkandung dalam beberapa kitab suci. Konsep budaya patriarki ditampilkan dalam lembaga paling dasar, yakni keluarga dan kepercayaan yang dianut pada latar waktu dalam novel tersebut. Adam sebagai kepala keluarga merasa memiliki hak untuk mengontrol daya produktif perempuan, reproduksi, seksualitas, gerak, dan sumber daya ekonomi seluruh anggota keluarganya. Hal ini kemudian membentuk karakter Hawa dan Maemunah yang menjadi perempuan penurut, pasif, memiliki ketergantungan tinggi, dan lemah. Berbeda dengan Hawa dan Maemunah, Maia yang hidup lebih dahulu dengan Adam memiliki sifat yang keras setelah diperlakukan tidak adil oleh Adam. Dia memprotes seluruh pernyataan Adam tentang pemarginalan perempuan tersebut. Setelah tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Maia kemudian memilih pergi dari rumah Adam kemudian mencari pasangan hidup lain. Akibat perlakuan Adam ini, Maia menjadi perempuan yang pendendam. Dia yang kemudian mendapat kesetaraan gender dari laki-laki yang bernama Idris kemudian menginginkan kekuasaan untuk mendominasi laki-laki. Hal ini dilakukan Maia karena ada ketakutan laki-laki akan menguasainya kembali. Bukti kemenangan Maia atas laki-laki ditunjukkannya ketika memaksa Idris untuk menumbuk kemaluannya sebagai sanksi karena memberinya anak perempuan (Dahlan, 2005: 96). Maia kemudian membuktikan kembali dominasinya dengan menaklukkan anak laki-laki Adam, Khabil. Dia menikahkannya dengan Marfu’ah
108
yang tidak pernah memiliki tujuan hidup sendiri untuk kemudian dijadikan senjata untuk membalas dendam pada Adam. Novel ini secara simbolik mengisahkan riwayat (nabi) Adam dengan mendekontruksi cerita sebelumnya. Keluarga patriarki dilekatkan dalam kehidupan Adam dan dominasi perempuan pada keluarga Maia merupakan representasi abstrak dari pandangan masyarakat yang berkembang saat ini. Masyarakat kini tidak hanya menempatkan laki-laki yang berkuasa atas perempuan, namun dengan kebabalasan perjuangan perempuan untuk setara dengan laki-laki justru menimbulkan ketimpangan gender lain. Gejala dominasi perempuan atas laki-laki ini sama dengan alasan mengapa laki-laki ingin terus berkuasa, yakni adanya ketakutan untuk dikuasai. Pengarang novel Adam Hawa merupakan penulis yang sadar akan gejala sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini terlihat pada novel Adam Hawa dibuat atas kondisi masyarakat pada tahun 2005 yang gencar meneriakkan keadilan gender, kemudian memaparkan adanya permasalahan lain (selain dominasi laki-laki pada perempuan) dalam karyanya tentang dominasi antar jenis kelamin. Novel ini secara garis besar mempertanyakan tentang dominasi laki-laki pada perempuan. Hal ini disebabkan dalam novel ini memang menggambarkan Adam yang menguasai seluruh anggota keluarganya, namun di sisi lain perempuan pun memiliki kekuasaan terhadap laki-laki dan anak-anaknya. Hal ini dibuktikan dengan sikap Maia yang kemudian mendominasi Idris dan Marfu’ah.
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan Setelah dilakukan penelitian sesuai dengan fokus permasalahan, tujuan
penelitian dan uraian dalam pembahasan, diperoleh simpulan sebagai berikut. 1.
Bentuk marginalisasi yang terdapat dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan terdapat 5 bentuk. Bentuk marginalisasi tersebut meliputi pembatasan daya produktif perempuan, kontrol atas reproduksi perempuan, kontrol atas seksualitas perempuan, membatasi gerak-gerik perempuan dan sumber daya ekonomi yang dikuasai oleh laki-laki. Tokoh perempuan yang dimarginalkan adalah Maia, Hawa, Marfu’ah, dan Maemunah. Maia dimarginalkan oleh Adam dalam seksualitas dan gerakgeriknya yang dibatasi. Hal ini terlihat pada sikap Adam yang melarang Maia keluar dari Rumah Batu. Selain itu, Adam juga selalu menentukan posisi dalam melakukan hubungan seksual maupun menentukan waktunya. Hawa mengalami kelima bentuk marginalisasi di atas. Hawa tidak diijinkan keluar rumah serta harus menuruti seluruh perintah Adam. Marfu’ah dimarginalkan oleh ibunya sendiri (Maia) pada seksualitas dan gerak-geriknya. Hal ini terlihat pada tujuan hidup Marfu’ah telah ditentukan oleh Maia tanpa meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Maemunah mendapatkan kontrol atas gerak-gerik yang dilakukan oleh ayah (Adam) dan ibunya (Hawa). Maemunah mendapatkan pendidikan yang berbeda dengan laki-laki, dimana dia hanya diperbolehkan belajar
109
110
menjadi seperti ibunya yang penurut pada laki-laki dan tidak diijinkan memiliki sifat membantah dan mandiri. 2.
Penyebab marginalisasi dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan ditemukan dua sebab, yakni budaya dalam masyarakat patriarki, tafsir agama yang tidak memakai pemahaman gender, dan usia. Budaya merupakan faktor penyebab terjadinya marginalisasi paling dominan dalam novel tersebut. Marginalisasi yang disebabkan oleh budaya meliputi hal-hal yang berhubungan dengan pembentukan sistem patriarki, adanya ideologi familialisme, serta pelabelan sifat pada perempuan. Untuk sistem kepercayaan sendiri lebih pada penggunaan nama Tuhan sebagai alat untuk berkuasa. Hawa sebagai perempuan penurut yang taat pada yang menciptakannya mempercayai bahwa Adam memiliki kekuasaan dari Tuhan, padahal cerita tersebut diciptakan oleh Adam sendiri. Hal tersebut dipakai oleh tokoh Adam untuk menguasai seluruh manusia yang hidup di alam semesta.
3.
Perjuangan yang dilakukan tokoh perempuan dalam novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan peneliti menemukan 3 langkah strategis melawan marginalisasi yang dipilih oleh tokoh perempuan. Hal tersebut meliputi menggugat kekuasaan laki-laki yang dilakukan tokoh perempuan Maia dan Maemunah. Kedua tokoh ini menggugat kekuasaan laki-laki dengan dua cara, yakni tindakan dan protes dengan jalan menggugat pernyataan laki-laki. Maia menggugat seluruh pernyataan Adam tentang penciptaan perempuan yang kemudian mengakibatkan hak perempuan
111
dipinggirkan. Perjuangan selanjutnya dilakukan dengan cara memilih untuk hidup sendiri. Hal ini dilakukan oleh Maia, dia memilih hidup sendiri di dunia luar karena tidak sepakat dengan keputusan yang diambil Adam untuk menentukan jalan hidupnya. Yang terakhir adalah mencari pasangan lain. Mencari pasangan hidup lain ini dilakukan untuk mendapatkan laki-laki yang memiliki rasa saling menghormati dan menghargai dalam hubungannya. Mencari pasangan hidup lain ini dilakukan oleh Maia. Setelah meninggalkan Adam, Maia memilih Idris untuk memenuhi cita-citanya memiliki anak. Setelah dengan idris Maia mendapaSetelah meninggalkan Adam, Maia memilih Idris untuk memenuhi cita-citanya memiliki anak. Setelah dengan idris Maia kembali jatuh cinta dengan Khabil.
B.
Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, selanjutnya
akan dikemukakan mengenai beberapa saran yang diuraikan berikut. 1.
Bagi pembaca, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan bacaan dalam memahami karya sastra dengan perspektif feminis, khususnya terhadap kritik sastra feminis ideologis.
2.
Diharapkan pembaca dapat memperkaya pengetahuan dan mempelajari teori feminis lain agar bisa digunakan dalam memahami isi karya sastra ini.
112
3.
Dalam membaca hasil penelitian ini, hendaknya pembaca memperhatikan bias-bias yang mungkin muncul berkaitan dengan identitas peneliti sebagai perempuan. Posisi peneliti sebagai seorang perempuan membuat pembacaa-pembacaan yang dilakukan sangat subyektif sesuai dengan pengalaman dan sejarah personel peneliti sebagai perempuan. Hal tersebut disadari peneliti menjadi kendala dalam penelitian ini.
113
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) Universitas Gadjah Mada. ______________. 2006. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, Zurkarnaini. 2003. Mengapa Harus Perempuan?.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Beauvoir, Simone de. 2003.Second Sex. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki.Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Budiantara, Melani, Dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera. Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Ikrar Mandiri. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press. Hamersma, Harry. 1985. Filsafat Eksistensialis Karl Jespers. Jakarta: PT. Gramedia. Ilyas,
Hamim, dkk. 2008. Perempuan Tertindas?: Kajian Hadis-Hadis Misoginis.Yogayakarta: elSAQPress dan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komara, Endang. 2005. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Multazam. Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moleong. Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Muawanah, Elfi. 2009. Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Teras.
114
Muhadjir, Noeng. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Murniati, Nunuk. 2004. Getar Gender; Buku Pertama. Magelang: IndonesiaTera. Ratna, Nyaman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka pelajar. ________________. 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Said Khan, Nighat dan Bhasin, Kamla.1984. Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Tong, Rosemarie Putnam. 2006. Feminist Thought. (terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro). Bandung: Jalasutra. Wardani, Nugraheni Eko. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan UNS Press. Wiyatmi. 2010. Kritik Sastra Feminis: Citraan Perlawanan Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki Melalui Pendidikan dan Peran Perempuan Di Arena Publik dalam Novel-Novel Indonesia. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
LAMPIRAN
115
Lampiran 1: Sinopsis Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan
Adam merupakan manusia pertama yang diciptakan kemudian diperintahkan untuk menempati Taman Eden oleh Tuhan. Dia diberi kemampuan untuk mengenal nama-nama makhluk yang hidup dalam taman tersebut. Melalui Si Penjaga Mimpi, Adam merasa memiliki guru yang diutus Tuhan untuk mengajarkannya tentang kehidupan. Sampai pada suatu hari, Maia si Perempuan yang dipercaya Adam sebagai kembarannya yang diciptakan Tuhan untuk menjadi pelayan dan teman setianya berada di Taman Eden. Kepercayaan tersebut kemudian membuat Maia dipinggirkan hak-haknya sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan. Awalnya Adam memiliki peraturan yang merugikan Maia sebagai perempuan dalam melakukan hubungan seksual. Selanjutnya, Adam mulai melarang Maia keluar dari rumah dan hanya dijadikan budak seks. Lamakelamaan timbul kesadaran dalam diri Maia untuk melawan ketidakadilan tersebut. Awalnya Maia melakukan protes terhadap ketidakadilan yang diterimanya selama ini. Namun, protes tersebut malah mendapat sambutan tidak menyenangkan dari Adam. Jadilah Maia berang dan memilih untuk meninggalkan Adam dan memilih untuk hidup sendiri. Sepeninggal Maia, Hawa ditempatkan Tuhan di Taman Eden untuk menemani Adam. Belajar dari kesalahannya dengan Maia, Adam mulai menanamkan sifat patuh pada Hawa sejak pertama mereka bertemu. Hawa kemudian menjadi perempuan yang hidup sesuai dengan keinginan Adam. Sampai pada suatu ketika Hawa yang sedang mengandung anak Adam, mendapat tuduhan memakan buah khuldi yang sesungguhnya terlarang untuk dimakan dari suaminya. Hal tersebut dituduhkan Adam karena dia telah menemukan kulit buah khuldi yang berserakan di tempat pembuangan sisa makanan di samping rumahnya. Sejak saat itu Adam membenci anak yang dikandung Hawa. Ketika usia anak-anaknya menginjak dewasa, Adam menyuruh Khabil (anak laki-lakinya) untuk melakukan perjalanan selama enam purnama untuk pengakuan atas kedewasaan seorang laki-laki. Hal tersebut dilakukan Adam untuk menjadikan Khabil anak yang kuat, gagah, dan tidak menjadi pesolek. Hal tersebut tidak diberikan kepada Munah (anak perempuannya). Munah dibiarkan tinggal di rumah karena menurut Adam perempuan memang harus dilindungi jadi tidak perlu memiliki kemampuan untuk hidup mandiri di dunia luar. Siasat tersebut sebenarnya merupakan taktik Adam untuk memisahkan kedua anak kembarnya dari ibunya. Adam cemburu dengan kehadiran kedua anak tersebut karena menurutnya mereka telah menceraikan keharmonisan hubungannya dengan Hawa ditambah lagi Adam percaya anak kembarnya telah dikutuk Tuhan karena ikut memakan buah khuldi. Rencana Adam berjalan lancar, sepeninggal Khabil, Munah menjadi perempuan yang murung dan suka melamun. Munah akhirnya menjadi kehilangan akal sehatnya karena tidak tahan dipisahkan dari kembarannya. Khabil yang saat pulang ke rumah batu dan mendapati saudara kembarnya hilang ingatan menjadi semakin membenci ayahnya, apalagi ibunya hanya diam saja melihat hal tersebut dan tetap mematuhi perintah Adam. Khabil kemudian memilih meninggalkan Taman Eden. Hal ini membuat Adam semakin
116
memiliki kebebasan untuk melaksanakan rencananya membunuh Munah. Dalam kelemahan akal tersebut, Adam kemudian benar-benar membunuh Munah di bawah pohon Khuldi. Khabil yang telah meninggalkan Taman Eden kemudian bergabung dengan keluarga Maia dan Idris di Taman Kiram. Khabil kemudian menikah dengan Marfu’ah, anak Maia dan Idris. Pernikahan tersebut telah diatur oleh Maia. Bahkan kehidupan rumah tangga keduanya pun kemudian dicampuri oleh Maia. Awalnya Marfu’ah dilahirkan ke dunia dengan tujuan membalaskan dendam Maia pada Adam yang dituduhnya telah mengurung dan memperkosanya selama berpurnama-purnama lamanya. Tidak heran jika setelah pernikahannya dengan Khabil sedang berlangsung 15 hari, Marfu’ah tetap dikirim oleh Maia untuk lunaskan dendamnya. Sepeninggal Marfu’ah yang akan membunuh Adam, Maia berselingkuh dengan suami anaknya sendiri, Khabil. Akhirnya Adam berhasil dibunuh oleh Marfu’ah. Hawa yang sedang hamil mendapati suaminya mati di bawah pohon khuldi.
117 Lampiran 2: Data Tabel Bentuk, Penyebab, dan Perjuangan Terhadap Marginalisasi Perempuan dalam Novel Adam dan Hawa Karya Muhidin M. Dahlan No.
1.
Nama Tokoh Data No. PeremData puan Maia Diamatinya lagi, tak hanya dekat, tapi juga 1 rinci. Dilihatnya dahi itu kecil dengan dagu yang tirus bijaksana. Lentik matanya hitam dan melipat ke atas. Bulu matanya halus dan cemerlang. Pipinya di cangkum Adam. Lembut berisi, tapi tak tembam. Seimbang dengan hidungnya yang mungil menonjol ke depan. Mulut sang pualam itu kemudian dibukanya dengan dua jari, dan diintipnya giginya. Gigi itu putih berpagar rapat, rapi, dan sangat terawat. Masih terngiang diingatannya bagaimana 2 Penjaga Mimpi bercerita pada suatu malam, jauh-jauh hari sebelumnya bahwa kelak ada seorang sepertinya akan datang. Seseorang yang diambil dari tulang rusuknya ketika ia terperangkap dalam lelap. Adam tahu bahwa Maia si Perempuan adalah 3 betina dan ia adalah jantan. Dan setiap jantan, setiap lelaki, selalu berada di belakang untuk mencucup selongsong bewarna arang yang sedang terbakar itu. Maia si Perempuan menurut sambil tangannya memegangi salah satu akar khuldi… .
Hlm M DP
KR P
Bentuk KS MG P P
3637
V
39
41
Marginalisasi Penyebab DSDE bdy TA Pts
V
V
Perjuangan HS MPL
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P Setelah kedua lututnya lelah, Maia si Perempuan meminta kepada Adam agar ia berbaring di atas Adam. Tapi Adam menolak seraya berkata cepat bahwa keinginan Maia si Perempuan berada di atasnya sama sekali di luar aturan. “Di taman ini, tak pernah sekali pun ada menjangan betina berada di atas menjangan jentan,” tegas Adam. Adam sampai pada kesimpulan demikian karena sepengetahuannya hanya ular sajalah yang berkawin tumpang-tindih … .
4
41
“Di taman ini, tak pernah sekali pun ada menjangan betina berada di atas menjangan jantan,” tegas Adam. Adam sampai pada kesimpulan demikian karena sepengatahuannya hanya ular sajalah yang berkawin tumpang-tindih, membelit-belit, berguling-guling, tak jelas siapa di atas siapa di bawah. Apakah si Perempuan ini adalah penjelmaan ular? Adam tak peduli sama sekali. Apa yang diperlihatkan menjangan adalah tanda dan pelajaran yang langsung diberikan langsung oleh Tuhan kepadanya bila kelak ia punya kembaran yang sama. Dan
5
41-42
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
118
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P kembaran itu sudah terjumpai. Karena ingin memelihara kulit itu, Maia si Perempuan dilarang Adam untuk keluar dari pintu segitiga Rumah Batu yang selalu ditutupnya rapat ketika akan keluar. Adam sadar betul, tubuh halus itu bisa hangus dan kasar seperti ini tal lain karena ulah matahari. Maka jadilah hari-hari Maia si Perempuan hanya di rumah. Ia telah menjadi perempuan pertama yang hidup di belakang matahari lelaki Adam Tak hanya itu, setiap siang, sore,atau malam bahkan seharian jika Adam ta ingin keluar dari pintu segitiga, Maia si Perempuan akan dicumbu-cumbu, dipangku-pangkunya, bahkan diajaknya menggoresi hampir semua bidang dinding Rumah Batu dengan lukisan diri dan kebiasaan mereka berdua dalam Rumah Batu yang selalu dihiasi keceriaan dan pendar kebahagiaan tiada tara. Setidaknya begitu anggapan Adam. “Aku ingin kita berganti posisi Adam. Aku lelah dan sungguh lelah berada di bawah. Tak merasakan apa pun selain dengusan napasmu yang bau sampah, yang terus memburu setelah puluhan kali aku kau
6
43
7
44
8
44
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
V
119
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P sentak-sentak. Aku di atas. Paling tidak mala mini!! Kata-kata itu meluncur dengan berat dan seperti sudah dipersiapkan dengan sangat matang. “Tak, dan sekali tak, ya tak. Sudah berkalikali kukatakan. Bahkan dari ketika kita pertama kali bertemu dan melakukan hubungan ini. Laki-laki yang harus di atas. Takdir yang tentukan. Ingat kan katakataku itu? Laki-laki adalah langit dan ia putra Tuhan yang mulia. Yang membawa sifat-sifat Tuhan. Dan kau tahu, Tuhan tak pernah di bawah. Aturan ini berlaku bagi semuanya. Bahkan di dunia binatang pun, aturan itu berlaku.” Adam terperanggah dapat muntahan pertanyaan yang tak disangka-sangkanya. Betapa berani Maia si Perempuan lontarkan pertanyaan itu, si Perempuan yang selama ini diduganya sebagai perempuan yang sangat patuh. Ditanya demikian, Adam serta-merta merabai rusuknya. Adam sejatinya tak menjawab pertanyaan Maia si Perempuan, malahan ia berputar ke pernyataannya yang semula bahwa semuanya sudah mengikuti takdir. Dan
9
44-45
10
45
11
47
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
V
120
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P pasti akan diulanginya lagi bahwa Maia si Perempuan diciptakan dari tulang rusuknya. “Kau berutang budi padaku. Kau diciptakan dari tulang rusukku. Maka kau harus patuhi semua perintahku.” “Aku tak yakin.” “Kau harus yakin.” “Tapi tulang rusuk kita sama Adam. Jumlahnya pun sama.” “Termasuk yang menentukan bahwa aku harus di bawah dan kau harus di atas? Apakah Tuhan juga yang mengatakan itu? Apakah Tuhan juga merasakan bahwa bercinta di bawah sama sekali tak nikmat? Bertahun-tahun aku jadi perempuan terkapar. Oh, sungguh sebuah kutukan jadi perempuan pendampingmu, Adam.” “Tuhan sempurna maha sempurna. Itu sudah takdir. Perempuan ada di bawah. Dan kau mesti camkan itu baik-baik.” Adam sejatinya tak menjawab pertanyaan Maia si Perempuan, malahan ia berputar ke pernyataannya yang semula bahwa semuanya sudah mengikuti takdir. Dan pasti akan diulanginya lagi bahwa Maia si Perempuan diciptakan dari tulang
12
47
13
47
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
121
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P rusuknya. “Kau berutang budi padaku. Kau diciptakan dari tulang rusukku. Maka kau harus patuhi perintahku.” “Kalau begitu aku harus meninggalkanmu bersama Tuhanmu. Kabarkan kepadanya, bercinta di posisi bawah sangat tak nyaman.kau setuju? Tapi tanpa tunggu kau setuju atau tidak, aku harus meninggalkanmu…” “Kalau kau merasa putera Tuhan , berarti kau tak beda dengan Tuhan: pemerkosa perempuan.” “Jangan kau bawa-bawa nama penciptaku yang mulia maha mulia, yang namanya kutinggi-tinggikan itu.” “Bukankah itu yang kau inginkan, Adam? Sudahlah. Aku tak mau lagi tersiksa menjadi perempuan di belakang matahari. Hiduplah sendiri menurut caramu, Adam. Dan bercintalah dengan menjangan betina. Hanya menjangan betina yang sudi dan rela kau perlakukan seenakmu.” Tapi Maia bergegas turun dari batu peraduan dan sambar setangkai daun kering teranyam untuk lindungi selongsong di pangkal pahanya dari angina-angin.
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
14
48
15
48-49
16
49
V
17
49
V
MPL
V
V
122
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P Tapi Adam tak biarkan Maia si Perempuan pergi begitu saja. Adam sigap menangkap lengan kanannya. Maia si Perempuan meronta. Tapi otot-otot Adam mencengkeramnya dengan sangat kuat. Ia banting Maia si Perempuan, dan memaksanya untuk kembali ke batu peraduan, tapi Maia si Perempuan meronta dan menepis dengan sekuat tenaga pegangan Adam. Cengkeraman Adam terlepas. Maia si Perempuan coba menghambur, tapi salah satu …. Kemarahan Adam mengumpul dan segera meledak. Diantara kekesalan atas ulah Maia si Perempuan yang membangkang dan memelorotkan harga dirinya sebagai putera Tuhan, Adam pun menghambur dan mengamuk mengejar satu per satu kurcaci yang tak berdaya karena telah kena ilmu layuh pikir itu. Adam mengeluh dan seperti merintih. Membayang lagi purnama-purnama yang dilewatkannya bersama Maia si Perempuan. Namun bayangan-bayangan itu kemudian selalu dikibaskannya, secepat kedatangannya. “Aku harus lebih percaya pada Tuhan dan bukan
18
50
19
53
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
123
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P perempuan! Perempuan, di mana pun, adalah perusak dan penghancur jiwa lelaki!” Dan Adam memang terus menerus merajuk dan mendekati sisi kasih Tuhan. Tak baik lelaki dibiarkan sendiri! Kalimat Tuhan itu diyakininya akan terjewantah dan merupakan proses sekaligus harapan. Dan itu sudah menjadi semacam hukum sekaligus janji yang harus ditepati. Sebagaimana janji, ia butuh waktu sebelum tiba saatnya petik hasil. “Aku ingin perempuan serupa yang lain sama sekali dari yang sudah ada. Yang mengabdi kepada laki-laki, tahu berhias dan menempatkan diri, yang suaranya tak akan lebih keras dari suara lelaki,” gumam Adam perlahan di purnama ke delapan setelah ditinggal Maia dan tujuh kurcaci yang dijadikan Taman Eden jadi kawasan mati dan hamparan kuburan tua. “Aku harus punya tangan yang kuat sekali untuk membalaskan dendamku ini. Karena itu aku harus punya anak lelaki. Ijajil, demikianlah ia akan kuberi nama,” Maia si Perempuan mendengus katakana itu. Sorot matanya tajam bukan main. Ada api yang berkitar-kitar di kelopak mata yang lentik
20
54-55
21
57
22
79
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
V
124
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P itu. Bulan yang masih separuh dilahap gelap perlihatkan dendam Maia. “Karena itu aku harus dapatkan lelaki lain yang bisa memberiku benih laki-laki.” Berhari-hari dalam perjalanan menyusuri sahara, memasuki hutan-hutan, tidur sembarangan di mana saja, Maia si Perempuan mulai digerogoti rasa putus asa dan, dia hampir memilih untuk tak lanjutkan perjalanan. Maia si Perempuan sadar bahwa hidup lebih baik dari mati. Sebab dalam hidup segetir apapun, ia masih bisa menaruh harapan bahwa kelak ia akan bisa limbungkan Adam. Berhari-hari dalam perjalanan menyusuri sahara, memasuki hutan-hutan, tidur sembarangan di mana saja, Maia si Perempuan mulai digerogoti rasa putus asa dan, bila dendam itu tak mendorongnya dan menyalakan harapan, dia hampir memilih untuk tak lanjutkan perjalanan. Maia si Perempuan sadar bahwa hidup lebih baik dari mati. Sebab dalam hidup, segetir apa pun, ia masih bisa menaruh harapan bahwa kelak ia akan bisa limbungkan Adam. Sebab bila ia mati saat itu, dipastikan bahwa arwahnya tak akan
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
23
79
V
24
79-80
V
MPL
125
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P tenang dan menjadi hantu maka urusan dendam dengan Adam bisa tunai. Adam yang hidup harus dihadapi dengan hidup. “Aku harus melawannya. Telah dinistainya aku. Oh, Adam, angkuhnya engkau sebagai lelaki. Kau ciptaan Tuhan paling buruk sekaligus yang gagal!” Hingga di siang terik, Maia dapatkan seorang lelaki sendirian di bawah pohon ranggas dan berdaun lebat ditemani oleh segerombolan domba. “Tuhan dengarkan doaku. Semoga lelaki ini mau menanamkan benihnya kepadaku. Demi dendam ini, maukah kau lelaki. Demi dendam ini, setubuhi aku sepuasmu hingga bunting dan kelak akan kunamai anak itu Ijajil. Ia yang akan membelah dada Adam dan membawakanku empedu perutnya untuk gantikan empeduku yang luka nanah bertahun-tahun karena perbuatannya. Ijajil, anakku, akan menggoyaknya. Lunasi dendam ibunya.” Keleluasaan itu juga berlaku pada kehidupan sehari-hari Maia dan Idris. Bila Adam menyekapnya dalam Rumah Batu sehingga dia tak melihat matahari sepanjang berhubungan dengan Adam,
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
25
80
V
26
82
V
126
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P maka dengan Idris, Maia bebas pergi ke mana pun. Bahkan dia ikut dengan Idris bawa ternak mereka ke rumput-rumput jauh dari rumah. Perjanjian itu berbunyi bahwa Idris tak akan masuk Rumah Batu untuk menganggu atau menyetubuhi Maia ketika anak yang dikandug Maia sudah lahir. Satu-satunya jatah untuk masuk Rumah Batu hanyalah saat makan, dan itu pun hanya sebentar. Selainitu, Idris bertugas menjadi pelayan ibu dan anak itu kelak, dan sediakan segala makanan buat mereka setiap harinya. Dan satu lagi perjanjian yang disepakati Idris. Perjanjian yang sungguh aneh dan kejam, tapi entah kenapa Idris menyanggupinya. Perjanjian terakhir itu adalah bahwa daging tunjang Idris yang terbiasa menegak bila melihat Maia ngangkang itu harus dirubuhkan kalau ternyata anak yang lahir adalah perempuan. Dan anak itu sekarang telah lahir dan besar pula. Anak yang lahir itu perempuan. maka dilaksanakanlah upacara pembunuhan kejantanan, tepat di hari ketujuh setelah
27
93
28
93-94
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
127
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P
Hawa
kelahiran anak perempuan bernama Marfu’ah. Perasaan aneh Maia sebagai perempuan yang sudah belasan tahun tak disentuh lelaki pertama kali menggelegak ketika tengah malam, dengan bantuan cahay remang purnama yang hampir penuh, dilihatnya Khabil sedang duduk di dekat jendela. Ditengoknya Marfu’ah yang sedang terlelap setelah seharian berjalanjalan dengan Khabil berkeliling-keliling Taman Kiram dan memancing ikan di sungai. Dada Maia berdegup keras melihat bayangan Khabil yang telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang kekar. Dia bayangkan pemilik tubuh seperti Adam yang legit, kuat, bergairah, tapi sekaligus laki-laki angkuh dan brengsek yang telah mengurung dan memerkosanya. “Aku ingin perempuan serupa yang lain sama sekali dari yang sudah ada. Yang mengabdi kepada laki-laki, tahu berhias dan menempatkan diri, yang suaranya tak akan lebih keras dari suara lelaki,” gumam Adam perlahan di purnama ke delapan setelah ditinggal Maia dan tujuh kurcaci yang dijadikan Taman Eden jadi kawasan
29
131
30
57
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
128
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P mati dan hamparan kuburan tua. “Aha, doaku terkabul karena tak baik lelaki dibiarkan sendiri,” gumam Adam dalam hati, meluapkan kesenangan. …………………………… “Hai makhluk utusan, yang datang dari doa lelaki dan tercipta dari harapan lelaki, apakah kau tak bernama?” kata Adam dengan suara diberat-beratkan tak ubahnya seorang jawara tangguh mandraguna. Dan Adam baru sadar bahwa sejak tadi di depan gerbang batu, belum sekalipun Adam berbenturan pandang dengan Hawa. Mata itu tetap tunduk. Dan makin bertambah keyakinan Adam bahwa Hawa bukan Maia si Perempuan. paling tidak dari sikap dan pola matanya. Adam ingat mata Maia ketika pertama kali berjumpa di bawah khuldi. Mata yang sangat tajam menatapnya, yang saat itu sama sekali tak disadarinya, yang menurut Adam adalah mata penuh penentangan. Dan mata dan dikap mata Hawa di hadapan lelaki sangat bersebaliknya. Menyelip di hati Adam harapan akan memiliki Hawa seutuhnya. “Jujur kukatakan, kau memang perempuan yang sangat tahu menempatkan diri.
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
31
60
32
61
V
33
61-62
V
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
129
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P Setidaknya, itulah kesanku ketika kau datang dan berdiri pertama kalidi hadapanku. Kau memang perempuan yang sangat tahu berterimakasih. Dan kuberitahu satu soal lagi, yang mungkin tak pernah kau tahu. Selain ruhmu adalah doa dan harapanku, sejatinya tubuhmy terbentuk dari tulang rusukku.” Adam perlahan mulai kembali ke dirinya yang sejati. Ia berusaha untuk memiliki dan perlihatkan batas-batas kekuasaannya. Kelak, ucapan Adam ini menjadi siasat lelaki manapun untuk ikat semua perempuan dengan rantai balas budi. Sebab Adam sangat yakin, alasan balas budi adalah alasan penaklukan dan tak mudah ditolak perempuan. Adam sedang ikatkan simpul mati ketundukan Hawa. Dan itu tindakan awal yang harus diambilnya sebelum kejadian pertama terulang kembali lantaran diberikannya kebebasan sangat longgar kepada Maia si Perempuan. “Bagus. Dan kelak bila orang bertanya kepadamu bagaimana perempuan diciptakan, ucapkanlah apa yang baru saja kuucapkan dan kuberitahukan. Masih ingat kau perempuanku?”
34
62
35
63
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
130
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P “Aku terpanggil dari doamu dan tubuhku terbuat dari tulang rusuk lelaki Adam di mana aku mengabdi dan melayaninya. “ “Dan bila kelak ada yang menanyakan kenapa dari tulang rusuk, jawablah begini: Hawa diciptakan bukan dari kepala Adam untuk jadi atasan dan bukan pula dari kakinya untuk dijadikan alasnya, melainkan dari rusuknya, dari sisinya untuk jadi teman sekutu hidupnya. Rusuk itu dekat dengan lengan untuk dilindungi dan dekat di hati untuk dikasihi. “Sempurnalah kau menjadi manusia pertamaku. Tahu menempatkan diri dan penuh rasa pengabdian. Kan kuberitahu Tuhan agar namamu diabadikan, bersanding dengan namaku di lembarlembar suci penciptaan,” Adam berucap dengan segenap keyakinan bahwa nama Hawa akan bersanding dengan namanya di kitab suci penciptaan yang tersimpan di petala langit keenam. Adam tak pernah tahu, dan tak pernah memastikan bahwa penulisan kitab penciptaan sudah selesai. Nama Hawa, yang diharap-harapkannya masuk dalam kitab penulisan, pun tak pernah tertuliskan.
36
63
37
64
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
131
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P Tapi dikuat-kuatkannya diri. Tak ingin ia perlihatkan kegugupan di hadapan perempuan. sebab ia adalah lelaki. Dan ia selalu camkan bahwa lelaki lebih perkasa dari perempuan dan senantiasa jaga perbawa. Terutama sekali Adam. Betapa bersyukurnya ia dengan kehadiran Hawa yang lembut, molek, dan penuh pengabdian kepadanya. Tak sama sekali Hawa perlihatkan kehendak membangkang atau membantah setiap ucapannya. Hawa yang sudah hampir kena kutuk menjadi perempuan pengabdi abadi bahkan tak punya lagi keberanian untuk bertanyaapalagi menyelidiki- tentang keberadaan gambar sosok-sosok manusia, lelaki dan perempuan, yang sedang bercinta dan menyebar tak teratur di semua bidang dinding Rumah Batu dalam kamar persenggamaan mereka Adam juga sangat bahagia sebab ia bakal dikaruniai keturunan yang kini sedang meringkuk di perut Hawa. Dicarikannya makanan-makanan yang sehat untuk Hawa, dan Hawa mengolahnya dengan luapan cinta di dapur.
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
38
65
V
39
66
V
40
66
41
68
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
132
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P Adam coba pastikan itu, sebab tak ingin melihat Hawa tertawa terbahak-bahak ketika lahirkan orok. Adam berdalih, di mana pun tak baik perempuan keraskan suara. Bagaimana pun, lengkingan suara perempuan adalah buruk dan merusak dunia seisinya. Apalagi membayang dipikiran Adam bila tawa Hawa itu meledak-ledak sampai menembus dunia lain. tentu saja ini akan mengundang banyak sekali makhluk, dan bahkan malaikat pun turut datang ke Taman Eden. “Aku akan beri orok dalam perut ini buahbuah dari tangan yang kau petiki, Adam, supaya orok ini kelak tahu berterimakasih dan hormat sungguh kepadamu, supaya bayi ini mengerti betapa kau sangat mencintainya lebih dari apa pun.” “Atau ia bergembira setelah tahu ayahnya menanamkan kembang halus berwarna. Banyak yang kau dapatkan hari ini untuk orok kita ini?” sambung Hawa bertanya. “Tak seberapa. Besok aku berangkat lagi. Lebih jauh lagi. Hujan tak kunjung turun. Aku tumpuk saja semuanya di samping. Kalau orok itu lagi ngorok, kau tengoklah tanaman itu dan siram dengan air sisa agar
42
68
43
69
44
71
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
V
133
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P tak mati sebelum hujan datang.” Sejak masih kanak-kanak, Maemunah dan Khabil diasuh langsung oleh Hawa, perempuan dengan simpanan berkantongkantong cadangan kasih dan harapan yang tak pernah sirna diberikannya kepada keduanya. Hawa yakin Munah dan Khabil suatu nanti akan tahu jalan hidupnya masing-masing. Ketika keduanya adukan ketaksukaan itu kepada ibunya, Hawa bak seorang dewi bijak yang jarang bersolek berkata bahwa apa pun yang terjadi, Adam tetaplah seorang lelaki yang berjasa hingga mereka bisa terlahir. Bahwa dunia seisinya ini terbentuk dari kehendak Adam. Dengan hanya satu tangan, Adam menyeret Khabil seperti menyeret binatang buruan memasuki pekarangan dan melangkah ke rumah. Didapatinya Hawa sedang duduk terpengkur di tempat semula di hadapan meja makan. pikirnya, perempuan itu belum beranjak sedari tadi dari tempat duduknya. “Bersihkan muka anak terkutuk ini. Kuberi pelajaran supaya tahu bagaimana patuh
45
100
V
46
101
V
47
113
V
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
134
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P pada perintahku sebagai orangtuanya. Aku, Adam si putera Tuhan, adalah yang paling berkuasa di sini. Tak ada siapa pun. Semua yang tercipta haruslah tunduk kepadaku,” kata Adam sengit kepada Hawa, yang langsung ditanggap perempuan itu dengan cekatan. Pada mulanya tak ada seorang pun yang tahu-tak juga Hawa-bahwa kesenangan terbaru Adam adalah menjebak enggangenggang liar jantan di hutan belantara yang jauh. Mereka baru tahu setelah sebuah kendang besar di belakang Rumah Batu berdiri, dan sepuluh ekor enggang berkaok-kaok. “Tak usah kau sedihkan yang sudah berlalu. Malah sebaliknya, kau mesti syukur. Sebab mereka bukan akhir segala kehidupan. Kita bisa buat sebanyak mungkin lagi seperti mereka. Anak-anak yang lebih patuh, lebih baik, dan lebih suci. Aku belum bisa terima pandangan kedua anak itu. Kalau kuingat lagi, rasarasanya aku ingin bertanding dengan keduanya sekaligus sampai mampus,” kata Adam menggeram. “Kau masih ingat manakala kau berkata
Marginalisasi Penyeba b
KRP
48
117
49
127
V
50
128
V
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
135
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P bahwa kau tercipta dari doa dan harapanku? Maka harapanku kini, kita punya anak-anak pengganti yang banyak dan ikhlas memikul cahaya Tuhan ke Rumah Batu ini. Kau mau kan?” Adam merayu dan menenangkan gundah Hawa … Adam tak peduli bahwa ia belum bersih diri dan Hawa masih penuh tutul hitam arang dapur. Adam menaiki peraduan dan membelai-belai rambut Hawa yang kusut masai dan bau asap seraya terus bisikan kata-kata rayuan yang buas. Sampai ketika berahi merasuk, Adam menindih tubuh Hawa dan dengan cara purba ia setubuhi Hawa yang siang itu dilihatnya serupa patung lilin yang enggan terbakar, dan kaku seperti khuldi di pagi hari. “Aku ingin membuat anak. Aku ingin Hawa. Aku ingin buat anak. Terima kirimanku ini,” seru Adam di tengah dengusan napas bergolak-golak yang dijawab Hawa dengan rintihan dan dengan mata yang terpejam. “Istriku sudah lama membusuk ditikam hawa dapur. Sudah membosankan dan tak lagi memberi gairah... sebab kegairahan
51
128
52
128
53
154
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
V
136
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Marginalisasi Penyeba b
Bentuk
MD P
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
hanya muncul pada daun-daun yang muda. Bukankah pada daun muda ada hijau yang menyodorkan limpahan daya dan kekuatan? Bukankah begitu, cantikku, manisku?” jawab Adam mendayu-dayu. Mulanya Hawa menduga ketakpulangan lelakinya malam itu semata dikarenakan memburu enggang di tempat yang jauh. Tapi setelah sepurnama menunggu dalam kesendirian yang membunuh, lelaki itu tak juga tampakkan diri di muka pintu Rumah Batu.Hawa pun kemudian beranikan diri untuk lewati pintu segitiga yang sesungguhnya terlarang baginya untuk mengginjak jika Adam tak sedang berada di rumah. Dan Hawa dengan sepenuh yakin tahu bahwa lempung itu tak lain adalah lelakinya. Lempung itu adalah Adam. Dengan perasaan kosong, Hawa menatap perutnya yang sudah membesar. Kelak, tiga purnama lagi perut itu akan muntahkan sekaligus delapan anak kembar Adam. Lama Hawa berdiri di depan patung yang tertunduk kalah oleh sakit perut itu dengan
54
165
55
165166
V
V
137
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P
Marfu’ ah
raut muka setenang dan sehampa Taman Eden. Tak ada perasaan terluap kala itu. Tak ada tangis tertumpah, betapa pun semua tahu bahwa hampir seluruh hidup Hawa semata diabdikan untuk teguhkan kebesaran lelaki di balik patung lempung yang sedang duduk diam meraungkan sakitnya mati itu. “Jangan jual kecantikanmu begitu saja kepada lelaki,” katanya setelah dirasa bahwa Marfu’ah cukup matang. Itu hanya salah satu petuah yang diberikannya kepada Marfu’ah agar mewaspadai semua lelaki. Marfu’ah tak boleh percaya kepada lelaki mana pun sebelum terbukti benar bahwa mereka menuruti apa pun perkataannya. Dan Maia ceritakan jenis laki-laki penurut itu dengan mengambil amsal lelaki seperti Idris. Adapun lelaki seperti Adam dimasukkan Maia sebagai lelaki musuh dan harus ditentang. “Salah satu kecerobohan terbesar Tuhan di dunia ini adalah ciptakan lelaki!” kata Maia dengan suara yang pasti dan berat. Remaja kecil yang matanya masih tunjukkan kepolosan itu hanya melongo dan perhatikan saksama semua yang
56
90
57
90
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
138
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P dikatakan ibunya, yang seolah menimpakan kutukan kepada semua lelaki itu. Maia memang tak sebut nama Adam, tapi semua keburukan Adam disebutkannya secara lengkap dan rinci. “Bahkan, aku ingin sekali ajukan keberatan ini kepada Tuhan yang telah salah ciptakan lelaki, sebab hidup lelaki dihabiskan hanya untuk memerkosa perempuan,” tegas Maia. Di dapur, pada suatu hari, Maia memanggil Marfu’ah. Maia bilang, “Jadikan kecantikanmu untuk berkuasa.” Maka bisa dimaklumi, Maia sangat perhatikan tubuh dan kecantikan anaknya. Ia tak segansegan menghukum Marfu’ah bila ketahuan bermain lempung. Diusahakannya sedemikian rupa agar anaknya tetap bersih dan menawan. Dua puluh pagi setelah tewasnya Idris, Maia, tanpa kehadiran Marfu’ah, berkata kepada Khabil di kamarnya agar mengawini Marfu’ah hari itu juga. Kaget bukan main Khabil ditodong seperti itu. Apalagi Maia yang melakukannya. “Aku ingin kau menyunting Marfu’ah. Aku ikhlaskan buatmu,” kata Maia seperti tak menyimpan keraguan sedikit pun.
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
58
90
V
59
133
V
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
139
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P Walau Marfu’ah adalah sejatinya istrinya sendiri, dada Khabil toh tetap berdegupdegup dan jakunnya naik turun tahankan perasaan aneh yang menggejolak. Ingin rasanya ia langsung terkam daging mentah itu, tapi keinginannya tertekan kembali oleh rasa sungkannya pada Maia yang menurutnya bukan perempuan sembarangan. Ia tak lupakan peringatan Maia bahwa 15 hari setelah hari perkawinan, dirinya jangan coba-coba sentuh Marfu’ah di kulit yang halus dan bersinar putih seperti susu domba gembala Idris dengan tahankan air liur yang mengudar-udar. “Hah, perempuan?” Khabil melotot. Tanpa sadar tangannya sudah meremas jemari Marfu’ah yang sedari tadi hanya melongo dengarkan hamburan ucapan ibunya. Melihat mata Maia tajam memelototi tangannya yang mencangkum tangan Marfu’ah, bergegas Khabil lepaskan genggaman itu dengan perasaan yang sungguh malu. “Marfu’ah!” “Iya, Ibu,” Marfu’ah menyahut halus dan sedikit gugup lantaran teguran mata
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
60
146
V
61
146147
V
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
140
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P ibunya atas tangan Khabil yang meremas mesra tangannya. “Sudah tiba saatnya kau lunaskan dendam ibumu ini kepada seorang lelaki. Selama ini nama lelaki itu kurahasiakan, dan sekarang sudah saatnya kusebut. Lelaki itu bernama Adam. Dan ia yang sekarang di sampingmu tak lain adalah puteranya. Tapi tak usah khawatir. Lakimu itu memendam kebencian yang sama kepada lelaki Adam, yang menurut lakimu telah hancurkan keluarganya. Nah, sudah kuajarkan kepadamu semua tata caranya dengan sebaik-baiknya. Dan kuyakin kau bisa menyenangkan hati ibumu ini. Tak ada bakti yang paling kunanti darimu selain kematian Adam di tanganmu.” “Sebab aku tak ingin rencana yang kususun belasan tahun ini gagal. Khabil tetap di sini menjagai ibu hingga kau pulang engan selamat!” Maia langsung menjawab tangkas pertanyaan putrinya. Sekaligus ekor matanya melirik pada Khabil. Dan Khabil tahu betul arti sepenuhnya lirikan itu, bahwa sepeninggal Marfu’ah dirinya dan Maia bebas melakukan apa saja di Rumah Batu ini
62
147
63
148
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
141
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P
Munah
tanpa pengawasan mata siapa pun. Keesokan harinya, Marfu’ah benar-benar berangkat menuju Taman Eden dengan dihantar Maia dan Khabil hingga tepian sungai. Disebabkan oleh tiupan dendam kian lama, si cantik Marfu’ah sama sekali lupa bahwa sampai hari kepergiannya, sekali pun dia belum merasakan bagaimana rasanya bersetubuh dengan lelaki yang dipilihnya. Padahal, batas waktu yang ditentukan ibunya jatuh pada hari itu juga. Hingga ketika usia mereka jelang dewasa, Adam, sang peneguh dan pembangun perbatasan dalam Rumah Batu, utarakan maksudnya di meja makan pada suatu malam. Dengan penuh ancaman ia katakan kepada ketiganya bahwa Khabil telah dewasa, dan ia tak mungkin bisa disebut dewasa bila tak berjalan enam purnama lamanya pulang balik. Dalam perkiraan Adam, perjalanan selama enam purnama sudah cukup membuat lelaki disebut dewasa. Hal itu diutarakannya setelah dipikir-pikirkannya selama bertahun-tahun, agar Khabil bisa menjadi manusia kuat, berotot, dan tegar seperti dirinya dirinya,
64
148
65
110
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
142
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P dan tak jadi lelaki pesolek yang sangat tak disukainya. Khabil coba menanggap tapi langsung disalip oleh Adam bahwa keputusan itu sudah pasti, dan menjadi hukum yang harus dijalankan. Bukan hanya Khabil, tapi hukum itu berlaku untuk setiap anaknya laki-laki yang lahir kelak. Bukan hanya Khabil, tapi hukum itu juga berlaku untuk setiap anaknya laki-laki yang lahir kelak.Suasana tiba-tiba saja berubah sangat tegang. Khabil mendengus menahankan amarah, sementara Munah perlihatkan wajah penuh kebencian kepada lelaki bernama Adam. Hawa hanya menunduk dan tak sanggup melihat ketiga manusia yang dicintainya sedang mengeramkan kemarahan di meja makan. “Jangan ikuti mereka. Mereka adalah lelaki. Di mana pun, lelaki adalah jago berkelahi. Biarlah mereka selesaikan dengan cara mereka sendiri, sampai kelak mereka tahu bahwa ada jalan yang lebih baik ketimbang adu otot.” “Munah, walau kau perempuan yang patut dilindungi laki-laki, aku tak segan-segan meremukkanmu seperti Khabil bila
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
66
110
67
112
V
68
113
V
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
143
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P melawanku. Mengerti?” Adam menatap anak itu dengan sangat tajam. Adam menatap anak itu dengan sangat tajam. Munah membalas dengan tatapan tak kalah tajam. Adam terperanjat, sebab tatapan itu mirip tatapan seorang perempuan dua puluh tahun silam, perempuan yang sisakan segaris rajah menyakitkan di wajahnya. “Jangan tatap aku seperti itu, anak sialan!” bentak Adam tak mau terima. Tapi Munah bergeming. Sebuah tamparan keras menyambar pipi kirinya, dan ini membuatnya terpelanting ke kanan. Badannya menubruk dinding batu. Setelah sarapan beberapa potong daging bakar dan beberapa butir buah segar, Adam dengan didampingi Hawa yang sedang memeluk Munah yang terisak, melepas kepergian Khabil untuk susuri perjalanan panjang demi menjadi seorang lelaki dewasa. Hingga ia dengar kata-kata Hawa serupa senar bergetar:”Adam adalah ayahmu. Ia lelaki yang paling berkuasa di semesta ini. Mungkin menurutmu ayahmu itu Cuma sesosok angkuh. Tapi itulah takdir. Takdir
69
113114
70
114115
71
121122
Marginalisasi Penyeba b
KRP
KSP
M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V
V
144
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P bagi perempuan yang tercipta dari doa dan harapan lelaki. Karenanya, perempuan memanggul hutang budi itu sejak lahir hingga kelak dia tiada. Penuh pengabdian dan tulus. Cuma itu yang bisa tundukkan diri lelaki yang meledak-ledak. Kau tahu itu? Tak perlu kau jawab, setidaknya aku pahamlan itu kepadamu supaya hal ini tak berulang lagi. Aku tak ingin melihat lagi anak-anakku hancur seperti ini. Aku tak ingin itu. Lihatlah aku, ibumu ini, kuimbangi Adam ayahmu itu dengan caraku yang bersetia, dank au tahu apa yang terjadi? Bahkan aku tak pernah lihat Adam murka kepadaku. Sudah belasan tahun, nak. Sudah belasan sejak aku pertama kali bertemu,” Munah memalingkan wajah, apalagi ketika ibunya terus membela-bela Adam, si lelaki yang telah memapasnya dengan keji. Hawa yang sadar akan penolakan putrinya atas sosok Adam lantas merangkul Munah ke dalam pelukan kasihnya sambil mengecupngecup mesra kening Munah yang masih belepotan tanah. “Tak usah kau tahu siapa dia. Yang pasti perempuan yang lahir membawa kutukan
72
122
73
156
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
V
V 145
Nama No. Tokoh Perempuan
Data
No. Data
Hlm
Bentuk
MD P
KRP
KSP
Marginalisasi Penyeba b M GP
DSD E
bd y
SK
Perjuangan
Pt s
HS
MPL
Tuhan. Dan kematiannya pun sangat terkutuk. Tunggulah di sini. Aku hanya sebentar. Kusingkirkan dia. Keterangan: MDP: Membatasi Daya Produktif KRP: Kontrol Reproduksi perempuan KSP: Kontrol Seksualitas perempuan MGP: Membatasi Gerak perempuan DSDE: Dominasi Sumber Daya Ekonomi Bdy: Budaya
SK: Sistem Kepercayaan Pts: Protes HS: Hidup sendiri MPL: Mencari Pasangan Lain
146
147
Lampiran 3: Transkip Wawancara
Keterangan
:
Wawancara ini dilakukab peneliti dengan pengarang novel Adam Hawa, Muhidin M. Dahlan. Wawancara ini dilakukan pada hari selasa, 10 Januari 2012, pukul 18:51, bertempat di Perpustakaan Yayasan Indonesia Buku. Selamat malam, saya Hasti dari UNY, ingin menanyakan tentang karya Anda yang berjudul Adam Hawa.
Pembukaan
:
Tanya
:
Tolong ceritakan tentang alasan pembuatan novel Adam Hawa?
Jawab
:
Tanya
:
Ini sebenarnya trilogi namanya “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur”. Kalau yang “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” itu kontemporer lalu saya masuk abad menengah itu muncullah Kabar Buruk dari Langit, lalu yang abad pertama itu saya dapat Adam Hawa. Jadi tidak bisa terpisahkan karena satu tema, yakni tentang gugatan terhadap cerita tentang manusia, pertama itu gugatan seorang perempuan muslimah, yang kedua itu pencarian seorang manusia laki-laki tentang keilahian lalu yang terakhir itu tentang bagaimana manusia pertama diciptakan. Saya buat seluruhnya yang pertama itu tahun 2003, lalu yang kontemporer itu 2005, adam Hawa itu juga 2005. Kenapa mengadopsi tentang cerita Adam yang identik dengan nama seorang nabi. Lalu menciptakan Maia yang merupakan istri pertama Adam, padahal dalam kepercayaan masyarakat berbeda?
Jawab
:
Ini cerita novel, bukan teologi. Dalam novel itu ada hal-hal yang imajinatif. Tapi dalam cerita yahudi itu ada cerita perempuan bernama Lilith sebelum Hawa, ada perempuan pertama. Jadi agak susah kalau kamu cari diperjanjian lama dan Al-Qur’an. Jadi saya tidak pernah berbicara hawa seperti yang dibicarakan seperti yang dipercaya orang islam itu. jadi ini bukan mengkritik kitab suci itu tapi cerita lain dari itu. Lagi pula dia lahir bukan dari tanah tapi dari ketiak Tuhan.
148
Dituliskan dalam novel “laki-laki tidak boleh sendiri”, mengapa anda menuliskan hal demikian? Adam yang sangat berkuasa. ya lihat saja budaya patriarki itu yang ingin saya tampilkan bahwa budaya itu ada sejak awal. Alasan menulis buku Adam Hawa ini saya ingin memperlihatkan kalau budaya patriarki ini sudah ada sejak zaman manusia pertama. Kenapa kok adam dulu yang diciptakan, lalu baru hawa yang hanya dari tulang rusuk adam. Saya melanjutkan kritik dari budaya patriarki tersebut. tapi saya mengambil sudut yang ekstrim yakni sejak manusia pertama. Bahwa kejahatan kekerasan terhadap perempuan itu masif sekali dalam keluarga Adam. Bagaimana kekerasan kebencian itu diproduksi, Maia dengan kejamnya karena dendamnya pada Adam itu mengebiri adiknya adam, idris.dia tumbuk pelirnya dua sampai meledak, sampai menjerit itu Idris, bukan nabi kedua ya, tapi Idris saja.
Tanya
:
Jawab
:
Tanya
:
Apakah bisa dikatakan novel ini juga merupakan kritik terhadap feminis?
Jawab
:
Ya memang Adam terlihat dominan, ini kritik feminis juga, pada waktu itu (zaman buku ini dibuat) sedang gencar-gencarnya banyak juga jurnal perempuan, dan seterusnya.