MAKNA SAHUN MENURUT MUFASSIRIN
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S. Ush)
OLEH : MUHAMMAD ARIF NIM. 10632004049 PROGRAM S1 JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2011
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “MAKNA SAHUN MENURUT MUFASSIRIN”. Dalam penelitian ini mengangkat permasalahan tentang Adapun rumusan masalahnya adalah Apa Makna Sahun Menurut Para Mufassirin. Oleh karena itu, tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk Mengetahui Makna Sahun Menurut Para Mufassirrin. Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library reseach) tentang makna sahun menurut para Mufassirin. Adapun yang melatarbelakangi penulis mengangkat makna sahun menurut mufassir, karena sekilas penulis melihat terdapat perbedaan di kalangan mufassir klasik dan moderen dalam menafsirkan kata sahun tersebut. Selanjutnya, penulis ingin mengetahui lebih detail makna lalai yang dimaksud oleh al-Quir’an terutama dalam permasalahan ibadah (shalat). Karena, banyaknya umat Islam kurang memahami bahwa dikatakan melalaikan shalat hanya dari segi waktu dan pelaksanaan shalat itu sendiri, dan tidak dalam hal dampak dan pengaruh shalat dalam kehidupan. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari Data Primer, yaitu data utama yang bersumber dari al-Quran al-Karim dan kitab-kitab tafsir, dan Data Sekunder adalah sumber data selain sumber data primer. Data ini bisa berasal dari kitab tafsir, hadis-hadis Nabi SAW, buku-buku atau literatur lain yang berkaitan lagi mendukung bagi pembahasan ini. Data-data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui (1) Mencari dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber bacaan yang ada di perpustakaan dan dalam kitab tafsir yang membahas tema sahun. (2) Mengklasifikasikan data yang sudah di peroleh untuk selanjutnya di bagi menjadi data primer dan data sekunder. (3) Memadukan berbagai sumber yang telah di dapat, baik dengan cara mengutip secara langsung maupun tidak langsung dan lain sebagainya. Selanjutnya, setelah data terkumpul dilakukan analisa melalui metode tafsir tematik, dengan dua pendekatan yaitu (1) Penetapan sahun sebagai
tema sentral. (2) Mengkaji secara ilmiah seluruh data yang telah di peroleh dengan menggunakan perangkat-perangkat tafsir tematik. Setelah dilakukan pengumpulan bahan-bahan dan selanjutnya dilakukan pengkajian secara mendalam tentang makna ”sahun” (lalai) yang terdapat dalam surat Adz-Dzaariyaat [51] ayat 11 dan surat al-Maa’uun [107] ayat 5 menurut Mufassirrin klasik dan moderen, sehingga diperoleh suatu kesimpulan bahwa mufassir klasik dalam melakukan penafsiran lebih bersifat khusus, seperti makna lalai dalam surat adz-Dzaariyat ayat 11 adalah lalai karena kekufuran dan kesesatan. Sementara mufassir moderen bersifat umum, yaitu lalai karena melanggar perintah dan mengerjakan larangan dan lalai terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT baik yang bersifat qauliyah (al-Qur’an) maupun kauniyah (alam semesta). Adapun dalam menafsirkan surat al-Maa’un ayat 5, ulama klasik kepada lalai dalam bentuk pelaksanaan shalat, sehingga habisnya waktu shalat dan masuk waktu shalat yang baru. Sementara mufassir moderen dalam menafsirkan surat alMaa’un ayat 5 tidak hanya dari segi pelaksanaan shalat, akan tetapi lebih kepada pengaruh shalat dalam kehidupan, yang berdampak terhadap kurangnya kepedulian terhadap sesama (fakir miskin) yang mengakibatkan mereka terjerumus kepada kelompok orang-orang yang mendustakan agama.
61
DAFTAR ISI
PENGESAHAN NOTA DINAS TRANSLATOR MOTTO KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................
1
B. Alasan Pemilihan Judul .....................................................
4
C. Penegasan Istilah ...............................................................
5
D. Batan dan Rumusan Masalah ............................................
7
E. Tinjaun dan Manfaat Penelitian ........................................
7
F. Tinjauan Kepustakaan .......................................................
8
G. Metodelogi Penelitian ......................................................
9
H. Sistematika Penulisan .......................................................
11
METODE TAFSIR AL-QUR’AN A. Pengertian Metode Tafsir ..................................................
12
B. Perkembangan Metode Tafsir ...........................................
14
C. Pembagian Metode Tafsir .................................................
19
GAMBARAN UMUM TENTAG SAHUN A. Pengertian Sahun ..............................................................
28
B. Dampak Sahun Terhadap Ibadah dan Pribadi Manusia .............................................................................
32
C. Usaha-Usaha untuk Menghindari Perilaku sahun .............
39
BAB IV
BAB V
PEMBAHASAN A. Makna Sahun Menurut Mufassirin ....................................
44
1. Mufassir Klasik ............................................................
45
a. Thabari ...................................................................
45
b. Ibnu Katsir .............................................................
46
2. Mufassir Moderen .......................................................
48
a. Ahmad Musthafa al-Maraghi ..............................
48
b. Muhammad Quraish Shihab ...............................
51
B. Analisa ...............................................................................
57
PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................
61
B. Saran ..................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA BIBLIOGRAFY RIWAYAT HIDUP
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril sebagai pedoman bagi umat manusia dan membacanya merupakan ibadah. Oleh karena itu, al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, secara harfiah berarti “bacaan yang sempurna”. Sehingga tidak adanya satupun bacaan atau tulisan yang mampu menandingi kesempurnaan dan makna yang dari isi kandungan di dalam al-Qur’an. Meskipun umat manusia telah mengenal tulis dan baca sejak lima ribu tahun yang lalu. 1 Di samping itu, al-Qur’an tidak hanya dipelajari dari bentuk susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya saja, tetapi juga terdapat kandungan di dalamnya baik dalam bentuk tersurat maupun tersirat dan bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkan yang terdapat di dalamnya. Semuanya dituangkan dalam jutaan jilid buku dari generasi ke generasi. Selanjutnya, setiap yang dituangkan dari al-Qur’an terbut melahirkan hasil atau karya yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan yang dimiliki, akan tetapi karya yang dihasilkan mengandung kebenaran. Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.2 Satu di antara ribuan kosakata atau term menarik yang tertulis dalam al-Qur’an adalah kata sahun yang artinya lalai. 1 2
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2007, h. 3. Ibid.
1
2
Lalai adalah salah satu penyakit yang paling berbahaya yang menimpa individu dan umat Islam. Ia adalah penyakit yang amat membinasakan, yang membunuh kebaikan dan penghancur semagat. Ia adalah pohon yang buruk, yang disirami dengan air kebodohan dan membuahkan suul khatimah3. Lalai merupakan penyakit yang keras, yang membuat seseorang kehilangan tujuannya, dan menghabiskan energinya. Jika lalai mengenai seorang alim, maka ia akan meninggalkanya dalam keadaan jahil. Jika lalai mengenai orang kaya, niscaya ia akan meninggalkannya dalam keadaan miskin. Jika lalai menimpa orang yang terhormat, niscaya ia akan mengubahnya menjadi orang hina.4 Lalai juga dapat membinasakan tanpa kematian. Kesia-sian tanpa adanya yang hilang. Hijabnya tampak lembut, kemudian bertambah tebal sedikit demi sedikit sehingga hijab itu pun menjadi tebal dan membuat hati menjadi terbalik tanpa ada kebaikan padanya.5 Di dalam “Mu’jam al-Muhfahris Li Alfadzil Qur’an” dituliskan bahwa term sahun terdapat dua kata dalam dua surat yaitu surat Adz-Dzaariyaat ayat 11 dan al-Ma’uun ayat 56, yaitu:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai” (TQS. adz-Dzaariyaat [51]: 11).7 Allah SWT berfirman di dalam surat al-Ma’un ayat 5. 3
Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-Orang Lalai, Penerjemah : Abdul Hayye al-Kattani dan Arif Chasanul-Muna, Jakarta: Gema Insani Press, 2005 h, 1. 4 Ibid. 5 Ibid. 6 Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqi, Mu’jam al-Muhfaris Li al-Fadzil Qur’an, Beirut: Darel Fikr, 1980, h. 451. 7 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta, Syamil Cipta Media, 2005, Cet. Ke-3, h. 521.
3
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (TQS. al-Maa’uun [107]: 5).8 Makna Sahun di dalam kedua surat tersebut yaitu sama-sama bermakna lalai. Akan tetapi, makna Sahun di dalam surat ath-Dzaariyaat ayat 11 bermakna lalai secara umum, yaitu lalai dalam menjalani kehidupan dunia, sehingga lupa akan akhirat. Sedangkan di dalam surat al-Ma’un ayat 5, kata ”sahun” bermakna lalai dalam shalat. Kata lain yang bermakna sesuatu itu dikatakan lalai adalah kata ”Lahwun” (senda gurau), yang tersebar di beberapa surat dalam al-Qur’an. Para mufassirin berbeda pendapat dalam memaknai kata ”sahun” di dalam al-Qur’an terutama dalam memahami kata ”sahun” di dalam surat alMa’un ayat 5. Ibnu Katsir yang merupakan seorang mufassir klasik berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “sahun” (lalai) tersebut bisa mencakup tiga hal, yaitu: Pertama, senantiasa atau sering mengundur-undurkan waktu shalat. Kedua, Sahun dari syarat dan rukun yang diperintahkan.
Ketiga, tidak
khusyu’ dan tidak menghayati makna-makna yang terkandung didalamnya.9
8
Ibid, h. 602. Muhammad bin Qusri al-Jifari, Agar Shalat Tak Sia-Sia, Solo: Pustaka Iltizam, 2007, h. 24. 9
4
Sedangkan Sayyid Qutub yang mewakili mufassir modern mempunyai perbedaan persepsi tentang sahun (lalai) dalam shalat yaitu orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna10. Melihat dari beberapa persepsi ulama tafsir dalam menafsirkan ayat tentang sahun (lalai), maka dengan inilah timbul inisiatif untuk mengangkat masalah tersebut sebagai bentuk penelitian ilmiah dengan judul “MAKNA SAHUN MENURUT MUFASSIRIN.”
B. Alasan Pemilihan Judul Adapun yang memotivasi untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan diatas disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 1. Sebagian besar umat Islam telah mengenal term sahun (lalai). Tetapi diantara mereka banyak juga yang belum sepenuhnya dapat menghindari sahun (lalai) dalam berbagai konteks lainnya. Hal ini boleh jadi disebabkan karena kekurang-pahaman mereka terhadap makna sahun, atau bahkan ada yang memang belum mengerti sama sekali. 2. Secara spesifik belum ada penelitian ilmiah, baik berbentuk Skripsi, Tesis, maupun Disertasi, yang membahas secara khusus tentang masalah ini. Namun demikian tidak menutup kemungkinan ada kesamaan dengan penelitian lain yang secara tidak sengaja, tetapi belum atau tidak pernah dijumpai atau dibaca karya yang dimaksud.
10
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, Cet. Ke-1. h. 265.
5
3. Selain itu, penulis menilai bahwa judul penelitian ini belum pernah dibahas dilingkungan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau. Disisi lain, judul ini relevan dengan spesialisasi jurusan yang penulis tekuni dan penulis sanggup untuk melaksanakan penelitian ini dalam menyelesaikan S1. C. Penegasan Istilah Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan kekeliriuan dalam penelitian ini, maka perlu untuk memberikan penegasan istilah atau kata kunci yang terdapat pada judul ini, adalah: 1. Penafsiran Kata ini berasal dari bahasa Arab dari akar kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Selain itu tafsir dapat pula berarti al-idhlah wa al-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan.11 2. Sahun Sahun artinya lalai mempunyai beberapa makna diantaranya : (1) Lengah yaitu tidak mengindahkan kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya. (2) Terlupa yaitu tidak ingat.12 3. al-Qur’an Berasal dari bahasa Arab, qoro-a, yaqro-u, qur’anan, artinya bacaan. Secara etimologi lafal al-Qur’an ini mempunyai pengertian; pertama menurut al-Lihyani, al-Qur’an berasal dari kata
˛ ﻗﺮاة ﻗﺮا˛ ﻳﻘﺮا
sebagai masdar dengan isim maf’ul artinya yang dibaca,13 kedua, menurut 11 12 13
Abuddin Nata, Metode Studi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 161. Ibid., h. 816. Masfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 2002, h. 2.
6
al-Hajjat, al-Qur’an berasal dari kata ﻗﺮاﻧﺎartinya menghimpun karena alQur’an merupakan kitab suci sebelumnya.14 Seperti yang disebut dalam surat al-Baqarah ayat 2-4 yang artinya “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.15 Secara terminology, menurut Jalaluddin as-Sayuthi adalah “Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk melemahkan orang yang menentangnya sekalipun hanya dengan surat yang paling pendek, dan yang membacanya itu terbilang ibadah”.16 Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang keseluruhannya mengandung mukjizat dan juga merupakan bacaan yang sangat mulia, tempatnya terpelihara di Lauhul Mahfuz, diturunkan kepada penutup segala Nabi, didahului oleh surat alFatihah dan diakhiri oleh surat al-Nash. Dengan memahami istilah-istilah di atas, maka yang dimaksud dengan judul ini adalah meneliti secara ilmiah makna sahun (lengah, tidak mengindahkan kewajiban). Ditinjau dari segi pemahaman para mufassir al-Qur’an. Sehingga pemahaman makna sahun tersebut dapat dipahami secara benar. 14
Ibid. Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Depag RI, Bandung: Gema Risalah Press, 1989, h. 8-9. 16 Shalihun A.Nasir, Ilmu Tafsir al-Qur’an., Surabaya: Al-Ikhlas, 1987, h.32. 15
7
D. Batasan Dan Rumusan Masalah Agar penelitian yang penelitian ini lebih terarah dan fokus kepada permasalahannya, terlebih dahulu penulis membatasi permasalahan yang diteliti dalam penelitian, agar pembahasannya tidak meluas. Dalam kaitannya dengan makna “sahun” menurut para Mufassirin. Penulis mengutip pendapat para mufassirin klasik dan moderen. Adapun mufassirin klasik dalam hal ini adalah Thabari dan Ibnu Katsir, sementara mufassirin moderen dalam hal ini adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi dan Muhammad Quraish Shihab. Dari latar belakang permasalahan di atas, penulis merumuskan suatu permasalahan, adalah “Bagaimana makna sahun menurut para Mufassir klasik dan moderen?” E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Dari perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui makna sahun menurut Mufassirin. Adapun kegunaan penelitian adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan menarik minat peneliti lain, khususnya dikalangan mahasiswa untuk mengembangkan penelitian lanjutan tentang masalah yang sama atau yang serupa. Dan dari hasil penelitian ini dapat dilakukan generalisasi yang lebih komprehensif, sehingga akan memberi sumbangan bagi pengembangan pengetahuan ilmiah. 2. Penelitian ini diharapkan berguna bagi kepentingan Akademis sebagai penambah informasi dan khazanah kajian Qur’aniy maupun masyarakat luas yaitu umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
8
3. Penelitian ini berguna untuk memenuhi persyaratan akademik guna menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana Theology Islam pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Riau. F. Tinjauan Kepustakaan Sahun (lalai) merupakan suatu perlakuan yang salah terhadap segenap potensi dan energy yang ada. Tentunya sikap seperti itu sama sekali tidak memberikan faedah, malah membahayakan dan membinasakan. Al-Qur’anul Karim menegaskan rusaknya kecendrungan seperti hal ini dan menamakannya sebagai kelalaian.17 Allah berfirman dalam surat ar-Ruum : 7
Artinya: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” Sebenarnya di kalangan ulama sudah banyak memberikan pengetahuan tentang makna sahun baik dalam bentuk lisan maupun penelitian. Di antara ulama yang telah membahas tentang sahun adalah seluruh mufassir klasik dan modern seperti Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,18 dan Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,19
17
Khalid A. Mu’thi khalif, Nasihat untuk orang-orang yang Lalai, Jakarta: Gema Insani, 2005, h, 3. 18 Di dalam ringkasan Ibnu Katsir di jelaskan bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehan mengakhirkan sholat dengan sengaja dari waktu yang telah di tentukan, sehingga orang yang mengakhirkan sholat dengan sengaja itu mempunyai dalil untuk menyusul dan mengqadha’ nya. Lihat Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2000, h. 9. 19 Di dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa Orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai, mereka tenggelam dalam kesesatan dan ilusi dan tidak sadarkan diri dan tidak kunjung bangun. Ungkapan itu memberikan nuansa tersendiri yang
9
Secara umum, kitab para ulama di atas hanya membahas tentang sahun dalam arti yang umum. Oleh karena itu, maka penelitian akan lebih memfokuskan kajiannya dari sisi tafsir untuk mengungkap makna-makna Sahun menurut para mufassir klasik dan modern.
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach) yang membahas dari pemikiran mufassirin klasik dan moderen tentang makna “sahun” dalam al-Qur’an. Adapun mufassir klasik yang dikutip dalam penelitian ini adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi dan Ibnu Katsir. Sementara mufassirin moderennya adalah Sayyid Quthub dan Quraish Shihab. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan kepada dua kategori yaitu: a. Data Primer, yaitu data utama yang bersumber dari al-Quran al-Karim dan kitab-kitab tafsir dari mufassirin klasik dan moderen tersebut. b. Data Sekunder, yaitu sumber data selain sumber data primer. Data ini bisa berasal dari kitab tafsir, hadis-hadis Nabi Saw., buku-buku atau literatur lain yang berkaitan lagi mendukung bagi pembahasan ini.
menggambarkan kaumyang terbenam dalam kelalaian, yang tidak mersakan apapun disekitarnya, dan yang tidak kunjung bangun. Mereka bagaikan orang mabuk yang tidak sadarkan diri.
10
3. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Mencari dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber bacaan yang ada di perpustakaan dan dalam kitab tafsir yang membahas tema sahun. b. Mengklasifikasikan data yang sudah di peroleh untuk selanjutnya di bagi menjadi data primer dan data sekunder. c. Memadukan berbagai sumber yang telah di dapat, baik dengan cara mengutip secara langsung maupun tidak langsung dan lain sebagainya. 4. Teknik Analisa Data Setelah data dikumpulkan, maka data tersebut dianalisa melalui metode Tafsir Tematik, dengan dua pendekatan yaitu : a. Penetapan sahun sebagai tema sentral. b. Mengkaji secara ilmiah seluruh data yang telah di peroleh dengan menggunakan perangkat-perangkat Tafsir Tematik. c. Menarik kesimpulan berdasarkan semua data dan fakta yang telah di teliti. 5. Teknik Penulisan a. Metode Deskripsi, adalah metode dengan mengemukakan dan menggambarkan permasalahan secara tetap dan apa adanya, kemudian dianalisa sesuai dengan data yang diperoleh. b. Metode Induktif, adalah metode dengan menganalisa data-data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum
11
c. Metode Deduktif, adalah metode dengan menganalisa data-data atau kaedah-kaedah yang bersifat umum, kemudian diambil kesimpulan secara khusus. d. Metode Komperatif, adalah dengan mangadakan perbandingan diantara data-data yang telah diperoleh, kemudian diambil kesimpulan dengan cara mencari persamaan, perbedaan.
H. Sistematika Penulisan Adapun sistematika dalam penelitian ini terdiri dari lima bab penelitian, masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab penelitian, adalah sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, penegasan istilah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, adalah bab tentang metodologi penelitian. Dalam bab ini akan menguraikan tentang pengertian metode tafsir, perkembangan metode tafsir, dan pembagian metode tafsir. Bab ketiga gambaran umum tentang sahun. Dalam bab ini menguraikan tentang Pengertian Sahun, Dampak Sahun terhadap ibadah dan pribadi manusia, Usaha-Usaha untuk menghindari sahun dalam kehidupan. Bab keempat merupakan bab pembahasan. Dalam bab ini akan membahas pandang mufassirin klasik dan moderen tentang makna sahun dalam al-Qur’an serta analisa peneliti dari makna sahun menurut pandangan ulama klasik dan moderen. Bab kelima merupakan bab kesimpulan dan saran.
12
BAB II METODE TAFSIR AL-QUR’AN A. Pengertian Metode Tafsir Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan6. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpkir baik-baik untuk mencapai maksud [dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan. 1 Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisikpun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.2 Metode tafsir Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Maka, apabila seseorang menafsirkan ayat Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’y almahdh [tafsir berdasarkan pikiran.3 1
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, h. 580-581. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988, h. 1-2. 3 Tafsir bi al-ra’y al-mahdh [tafsir berdasarkan pemikiran] yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram [Ibnu Taymiyah. 1971/1391. Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir, Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, 1391 H/ 1971 M, Cet. Ke-1. h. 105. Lihat Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 2. 2
12
13
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Katakan saja, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode Muqarin [perbadingan], misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat al-Qur’an, disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayatayat al-qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Qur’an4. Di dalam penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan metode penafsiran, seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab, dan Allaunu. Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia5, kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran, dan kata laun bermakna corak, warna dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an 4
Nashrunddin Baidan. Loc. Cit. Ahmad Warso Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP, 1984.”al-Munawwir” Krapyak. Kata: Thariqah [jalan, cara], h. 910-1645. Manhaj [cara, metode], h. 1567, Ittijah [arah], h. 1645, dan Allaunu [warna,corak], h. 1393. Sebagai perbandingan: Menurut Hans Wehr: thariqah [jamak: thara’iq] berarti cara, mode, alat, jalan, metode, prosedur dan system. Manhaj [jamak: ittijahat] berarti terbuka, dataran, jalan, cara, metode, dan program. Ittijah [jamak:alwan] berarti warna, mewarnai, corak, macam, dan contoh [Hans Wehr. A Dictionary of Modern Written Arabic. ed.J.Milton Cowan. London: Macdonald and Evans Ltd, 1974. h. 559]. 5
14
yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan thariqah adalah digunakan dalam metode Tahlili, Muqarin , Ijmali dan mawdlu’i. Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan dan madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan ayatayat al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang ahli fiqih cenderung menafsirkan ayat Qur’an ke arah fiqih dan seorang filosof menafsirkan Qur’an ke arah fisafat6, dan seterusnya. Allaunu yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayatayat al-Qur’an. Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang sufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf. Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya. B. Perkembangan Metode Tafsir Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu: [1] metode Ijmali [global], [2] metode Tahlili [analitis], [3] metode Muqarin [perbandingan], dan [4] metode Maudhu’i [tematik]. Sejarah 6
Contoh Ittijah dalam penafsiran al-Qur’an, buku karangan Abdul Majid Abdus Salam Al-Muhtasib. Ittijah al-Tafsir fy al-Ashr al-Hadis, al-Kitab al-Awwal: Ittijah Salafy, Ittijah Aqly Taufiqy, Ittijah Ilmy. Beirut: Dar al-Fikir, 1973. yaitu tentang orientasi tafsir pada masa modern, dan buku karangan Nasr Hamid Abu Zaid. al-Ittijah al-Aqly fi al-Tafsir; Dirasah fy Qadliyah al-Majaz fy al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah. Beirut: al-Markaz alTsaqafly al-Araby, 1996; yaitu tentang orientasi tafsir yang rasional menurut Mu’tazilah. [Muqowin. Metode Tafsir, Makalah Seminar al-Qur’an Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 18 Desember 1997, hlm.5]
15
perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu secara Ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode Ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an. Metode ini, kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam kitabnya alJalalain, dan al-Mirghami di dalam kitabnya Taj al-Tafsir. Kemudian diikuti oleh metode Tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’sur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i, atau disebut juga dengan metode Maudhu’i [metode tematik]. Lahir pula metode Muqarin [metode perbandingan], hal ini ditandai dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil oleh al-Khathib al-Iskafi [w.240 H] dan al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an oleh Taj al-Qurra’ al-Karmani [w.505 H], dan terakhir lahirlah metode tematik [maudhu’i]. Meskipun pola penafsiran semacam ini [tematik] telah lama dikenal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, namun menurut M.Quraish Shihab, istilah metode Maudhu’i yang dikenal sekarang ini, pertama kali dicetuskan oleh Ustadz alJil [Maha Guru Generasi Mufasir], yaitu Prof. Dr. Ahmad al-Kuumy7.
7
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Qur’an dengan Metode Mawdhu’i, dalam Bustami A. Ginani et.,al, Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu alQur’an, 1986. h. 34. dalam Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an..., h. 3-4.
16
Lahirnya metode-metode tafsir tersebut, disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmal]. Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an seperti lafal [
] dalam ayat 82 surah al-An’am:
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-An’aam [6]: 82) Ayat ini cukup mengganggu pikiran ummat pada saat itu, karena mengandung makna bahwa mereka yang mencampuradukan iman dengan aniaya tidak akan memperoleh keamanan dan petunjuk. Ini berarti, seakanakan percuma mereka beriman karena tak akan bebas dari azab, sebab mereka percaya bahwa tak ada di antara mereka yang tidak pernah melakukan aniaya. Tetapi, mereka merasa tenang dan puas setelah Nabi saw menafsirkan [ dalam ayat itu dengan [ berikut:
] di
] dengan mengutif ayat 13 surah Luqman, sebagai
17
Artinya:
“janganlah
kamu
mempersekutukan
Allah,
sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS. Luqman [31]: 13) Berdasarkan kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan ummat Islam saat itu terpenuhi olah penaafsiran yang singkat [global], karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dimungkiri bahwa memang pada abad pertama berkembang metode global [Ijmali] dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global [Ijmali] terasa lebih praktis dan mudah dipahami, kemudian metode ini banyak diterapkan. Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode Ijmali pada periode awal, seperti: al-Suyuthi dan al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental yaitu al-Jalalain, al-Mirghani di dalam kitab Taj al-Tafsir, dan lain-lain. Tetapi pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam8. Maka, konsekuensi dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam. 8
Perkembangan pemikiran Islam; berbagai peradaban dan kebudayaan non-Islam masuk ke dalam khasanah intelektual Islam. Akibatnya kehidupan ummat Islam menjadi terpengaruh oleh berbagai khasanah peradaban dan kebudayaan itu
18
Kondisi ini, merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis [Tahlili], sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab tafsir Tahlili, seperti tafsir al-Thabrani dan lain-lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Ummat merasa terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Maka pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diiukuti oleh ulama-ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: alma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain9. Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, ummat Islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Selain itu, ummat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat alQur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda. Kondisi ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [Muqarin ] seperti yang diterapkan oleh al-Iskaf di dalam kitabnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat alTa’wil, dan oleh al-Karmani di dalam kitabnya al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an”, dan lain-lain10.
9
Nashruddin Baidan. Ibid. h. 6 Ibid, h. 7.
10
19
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat11. Untuk itu, ”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik [maudhu’i]12.
C. Pembagian Metode Tafsir Pada pembahasan awal, telah dibicarakan bahwa dalam perkembangan ilmu tafsir secara umum terdapat empat macam metode tafsir, yaitu: [a] metode Ijmali [Global], [b] Metode Tahlili [analitis], [c] Metode Muqarin [perbandingan], dan [d] Metode Maudhu’i [tematik]. Maka untuk lebih jelasnya, penulis berusaha menguraikan secara singkat masing-masing metode tersebut, sebagai berikut: 1. Metode Tafsir Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. ”Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya,
11
Masyarakat modern, memiliki mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, juga masyarakat berbeda dengan masyarakat terdahulu. Masyarakat ini memerlukan metode baru untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an secara kontekstual, memerlukan metode untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara cepat tanpa menghabiskan waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar-besar, tetapi cukup membaca tafsir tematik yang sesuai dengan permasalahan yang ingin mereka pecahkan dan dapat dijumpai dalam kitab tafsir. 12 Nashruddin Baidan. Loc. Cit.
20
tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an13. Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar. Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang []ﻣﻼ, misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran [
],
hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman 14. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga tidak ketinggalan argumen semanti15.
13
Nashruddin Baidan. Ibid. h. 13 Baca Tafsir al-Maraghi, juz I, jilid I, Cet. Ke-3, Dar al-Fikr, 1989, h.39-45, dan dalam Nashruddin Baidan, h. 17. 15 Nashruddin Baidan. Loc. Cit. 14
21
2. Metode Tahliliy Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan ayatayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut16. Jadi, ”pendekatan analitis” yaitu mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun di dalam al-Qur’an. Maka, tafsir yang memakai pendekatan ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang ia yakini efektif [seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji], sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut17. Metode tahlili, adalah metode yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadzlafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya. 16
‘Abd al-Hayy Al-Farmawi. al-Bidayah fi al-tafsir al-Maudhu’i. Mathba’at alHidharat al-‘Arabiyah, 1977. Cet., Ke-2., h. 24. M. Quraish Shihab. Tafsir al-Qur’an dengan Metode Maudhu’i, di dalam Bustami A. Gani [ed], Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an, Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an, 1986. Cet. Ke-1, h. 37. 17 Muhammad Baqir al-Sadr. Pendekatan Tematik terhadap Tafsir al-Qur’an, Ulumul Qur'an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No.4, Vol.1, 1990/1410H, h. 28.
22
Ciri-ciri metode tahlili. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]: [a] Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir alThabari [w.310H], Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir [w.774H], dan al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H]. [b] Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain: Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin [w.741H], Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H], al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H], ’Arais alBayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H], al-Tafsir alKabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H], tafsir alJawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari, Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain. Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitabkitab tafsir yang dinukilkan di atas terlihat jelas, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun alra’y18. Maka untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan beberapa corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlil, sebagai contoh, yaitu:
18
Nashruddin Baidan. Op. Cit. h. 32.
23
Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat alQur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin19. Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsir i al-ra’y yang menggunakan metode analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat alQur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar”. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqih, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya 20. Kebebasan serupa 19
Manna’ al-Qattan. Mabahits fy Ulmum al-Qur’an, Riyadh: Mansyurat al-Ashr alHadis, 1973. h. 182-183., dalam Muqowin. Metode Tafsir, Makalah Seminar al-Qur’an Program Pasca [S-2] IAIN Sunan Kalija Yogyakarta, 1997, h.7. 20 Nashruddin Baidan. Op. Cit. h. 50.
24
itu sulit sekali diterapkan di dalam tafsir yang memakai metode global [ijmali] sekalipun bentuknya al-ra’y. Dikarenakan adanya kebebasan serupa itulah, maka tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan21. Tetapi menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan syarat-syarat diterimanya tafsir ra’y yaitu, bahwa penafsirnya: [1] benarbenar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, [2] mengetahui asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiraat dan syarat-syarat keilmuan lain, [3] tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, [4] tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, [5] tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut, [6] tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti22. 3. Tafsir Muqaran (Komparatif) Tafsir al-Muqaran adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
21
Manna’ al-Qattan. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadis, ttp, 1973. h. 342, dalam Nashruddin Baidan. Loc. Cit. 22 Muhammad Husain Adz-Dzahabi. Tafsir wa al-Mufassiran. h. 48., dalam Muqawin. Op. Cit. h. 7
25
Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah: [a] membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, [b] membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan [c] membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan alQur’an23. Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas. Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. Maka, M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa ”dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat [juga ayat dengan hadis]... biasanya mufassirnya menejelaskan hal-hal yang berkaitan denagan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus masalah itu sendiri24. Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan” [komparatif]. Di sinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.
23 24
Nashruddin Baidan. Ibid. h. 65 M. Quraish Shihab. Loc. Ci
26
4. Metode Maudhu’i (Tematik) Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional25. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam
al-Qur’an,
pendekatan
al-Qur’an
terhadap
ekonomi,
dan
sebagainya. M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an
25
al-Farmawi, h. 52., dalam Nashruddin Baidan. Ibid. h. 151.
27
dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu 26. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja27. Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir28.
26
M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992. h. 74. M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Mau atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997. h. xiii 28 Nashruddin Baidan. Op. Cit. h. 152 27
28
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG SAHUN
A. Pengertian Sahun Kata sahun berasal dari bahasa Arab yaitu “saha” yang berarti “lupa, lalai” yakni seseorang yang hatinya menuju kepada yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya. Munawwir kata (
22
Sedangkan di dalam kamus al-
) berarti lupa atau melupakan.23
Sementara menurut para mufassir dan ulama tentang kelalaian dalam shalat adalah: 1. Beberapa ulama serta beberapa tafsir al-Qur’an (misalkan Syaamil AlQuran), mengartikan "lalai dari sholatnya" adalah tidak menghargai serta melalaikan pelaksanaan dan waktu-waktu sholat, seperti sholat di akhir waktu, atau terlambat sholat. 2. K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Prof Dr Dawam Rahardjo, Dr. Nurcholish Madjid, dan beberapa tafsir al-Qur’an (misalkan Yassarnal-Quran), maksud "lalai" dari sholatnya dalam al-Qur’an adalah orang tersebut menjalankan dan mengerjakan shalat, tetapi ternyata ia melalaikan pesan-pesan, makna dan tujuan yang terkandung dalam amalan shalatnya, di antaranya tidak mau membantu fakir miskin serta 22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002 h. 550 23 A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, Anggota IKAPI, 1997, h, 674.
28
29
berbuat rriya.
24
Mereka juga berpendapat, bahwa pengertian kata "lalai",
tidak menekankan kepada orang yang lupa atau tidak melaksanakan shalat karena alasan tertidur, kesibukan kerja, dalam perjalanan, dan sebagainya. 25 Sikap lalai merupakan suatu perlakuan yang salah terhadap segenap potensi dan energi yang ada pada diri seseorang. Tentunya sikap seperti ini tidak memberikan manfaat, akan tetapi membahayakan dan membinasakan. Al-Qur’an al-Karim menegaskan rusaknya kecendrungan seperti ini dan menamakannya sebagai kelalaian.26 Kelalaian itu bisa terjadi karena prilaku yang tidak sadar akibat dari faktor-faktor sebelumnya, seperti terbiasa melakukan kemaksiatan, rusaknya lingkungan, dan berteman dengan orang-orang yang suka lalai. Hal ini, bisa membuat seseorang menjadi lalai yang dapat mengantarkannya menjadi tidak merasakan lalai terhadap agama dan dunianya. Di sisi lain, kelalaian juga bisa terjadi karena direncanakan oleh pihak lain terhadap seseorang.27 Ada beberapa penekanan tentang pembahasan “lalai”. Makna lalai adalah kondisi lupa karena kurangnya kesadaran yang menyebabkan seseorang berada kondisi lalai. Kondisi lalai juga merupakan kondisi yang menurunkan martabat manusia menjadi martabat yang lebih rendah dari binatang. Sehingga manusia kelak akan ditempatkan ke dalam Jahannam,
24
www.forum agama islam.com, Ditulis oleh Ahmad Saat Hariadi Cirebon, 2 Maret 2009 Jam 12:40:06. Dan pendapat ketiga diatas penulis kutip dari website tersebut. 25 Ibid. 26 Khalid A. Mu’thi Khalif, op cit. h. 3. 27 www.forum agama islam.com, op cit.
30
sebagai firman Allah SWT yang artinya “Sungguh telah kami ciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk nantinya memenuhi neraka jahanam sebagaimana manusia diciptakan dengan diberi akal supaya mereka berpikir dengan menggunakan indranya untuk beribadah kepada Allah SWT ”.28 Orang-orang seperti di atas di dalam al-Qur’an dikriteriakan sebagai orang-orang yang lalai. Masalah kelalaian ini
adalah masalah yang
membedakan kita sebagai manusia dengan hewan. Ayatullah Jawadi Amuli, mengatakan bahwa sangat naïf apabila pada bulan Ramadhan hanya punya harapan terbebaskan dari api neraka sebagaimana binatang dan orang gila yang di bebaskan dari api neraka. Makna lalai juga dapat diartikan sebagai tidak melakukan perhitungan sesuatu yang sudah dilakukan dalam setiap harinya dengan kata lain melewatkan hari hari begitu saja sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Musa: “sungguh, bukan termasuk pengikutku bagi orang yang tidak melakukan perhitungan amal kebaikan dan keburukan setiap hari
di akhir harinya”. Imam Ali juga meriwayatkan bahwa
“kehidupan ini ada dua macam yang dimana kita diberi kesempatan berbuat baik sebagaimana melakukan perhitungan setiap harinya dan kehidupan kedua dimana tidak diberi kesempatan untuk melakukan introspeksi (muhasabah); kondisi seperti itu termasuk orang-orang yang lalai”.29
28 29
www.alifnews.com. Pendapat Ust Zahir Yahya dalam Acara Sambut Ramadhan. Ibid.
31
Imam Ja’far Shodik mengatakan pada seorang pendosa “Anda boleh melakukan dosa, akan tetapi jangan dibumi Allah, jika hal tersebut tetap dilakukan maka janganlah engkau berbuat dosa dengan menggunakan fasilitas yang Allah SWT berikan dan apabila masih tetap melakukan kemaksiatan, maka kiat terakhir dalam rangka menyadarkan pendosa tersebut beliau juga mengatakan “Anda boleh berbuat dosa dibumi Allah SWT dan menggunakan kenikmatan yang telah diberikannya, akan tetapi jangan berbuat dosa di hadapan Allah SWT.”30 Dari ayat di atas, terdapat kerancuan dalam memaknai kata lalai. Sementara, kata lalai dalam bahasa Arab adalah kaslan, dan orang yang melakukan sesuatu dengan lalai atau malas dalam al-Qur’an dikatakan dengan kusaalaa (orang-orang yang lalai atau malas), hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nisaa’ [4] ayat 142, yang berbunyi:
Artinya
“…Apabila mereka (orang munafik) melakukan shalat, mereka melakukan dengan lalai dan malas (kusaalaa)”. (TQS. an-Nisaa’ [4]: 142).
Dari ayat di atas, sangat jelas bahwa kata lalai diungkapkan dengan kata “kusaalaa” bukan dengan “sahun”. Sementara dalam surat al-Maun kata lalai diungkapkan oleh Allah SWT dengan kata “sahun”. Kata itu berasal dari akar kata ‘sahaa’ yang artinya lupa. Sebagaimana halnya dengan sujud “sahwi” adalah sujud yang dilakukan karena lupa melakukan salah satu gerakan shalat, misalnya tahiyat awal. Jadi, ayat tersebut adalah orang-orang yang dalam shalatnya lupa.
30
Ibid
32
Di samping itu, makna ayat tersebut di atas, merupakan arti klimaks dari ayat pertama yang merupakan ‘pengkhianat atau pendusta agama’, yaitu orang yang pelit dan kikir, tidak peduli pada fakir miskin dan anak yatim”. Oleh karena itu, memiliki sikap dermawan dan tidak pelit merupakan esensi dari shalat atau dampak dari shalat yang dilakukan oleh seseorang. Di sisi lain, bila seseorang yang melakukan shalat, namun ia masih bersikap pelit, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang melalaikan (lupa) shalat, meskipun ia shalat di awal waktu.
B. Dampak Sahun Terhadap Ibadah Dan Pribadi Manusia 1. Dampak Sahun Terhadap Ibadah Di dalam al-Qur’an sangat jelas, bahwa tujuan Allah SWT menciptakan manusia adalah untuk ibadah, hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (TQS. adz-Dzariyat [51]: 56)31. Dari dalil di atas, dapat dipahami bahwa apapun yang dilakukan manusia memiliki motivasi ibadah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang mengarahkan kepada hal-hal merusak nilai ibadah atau mengaburkan dari tujuan dan motivasi ibadah, hendaknya dijauhi, seperti sikap lalai (sahun).
31
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Syamil Cipta Media, 2005, Cet. Ke-5, h. 523.
33
Secara umum makna “sahun” adalah orang yang melalaikan atau mengabaikan shalat. Di dalam shalat dapat diartikan sebagai orang yang mengerjakan shalat fardhu secara utuh dan sempurna, orang yang bermalas-malasan mengerjakan shalat, atau yang sering menunda-nunda mengerjakan shalat. Oleh karena itu, shalat yang dikerjakan seseorang menjadi sia-sia. Menurut al-Jifari, ada beberapa faktor yang mengakibatkan sholat seseorang menjadi sia-sia, yaitu faktor internal dan eksternal, sebagai berikut: a. Faktor Internal Sebenarnya, sebab yang menjadikan shalat seseorang sia-sia adalah tidak terpenuhinya syarat wajib dan sahnya shalat. Selanjutnya, terdapat beberapa kesalahan dalam mendirikan shalat sehingga mengakibatkan shalat yang dilakukan sia-sia, yaitu: 1) Mengabaikan bersuci, 2) Tidak menyempurnakan wudhu’ 3) Tidak membaca al-fatihah. Kondisi demikian berbeda dengan seseorang melaksanakan sholat berjama’ah, sebagai berikut: a) Bila imam membaca dengan keras, makmum tidak membaca, b) Diamnya makmum untuk mendengarkan bacaan imam merupakan kesempurnaan makmum, c) Wajib membaca al-fatihah dalam shalat sir (bacaan tidak dikeraskan)
34
4) Tidak menyempurnakan rukuk dan sujud, 5) Sengaja mendahului imam 6) Tidak tumakninah 7) Tidak khusu’. 8) Tidak shalat berjemaah di masjid bagi laki-laki.32 b. Faktor Eksternal Adapun faktor eksternal yang mengakibatkan shalat seseorang menjadi sia-sia adalah sebagai berikut: 1) Mempercayai dukun atau paranormal, 2) Meminum minuman keras, 3) Menyakiti tetangga, 4) Memakai minyak wangi saat pergi ke masjid bagi wanita, 5) Memakai pakaian atau makan sesuatu yang haram 6) Membuat marah suami33. Di samping itu, di tengah masyarakat sering kita melihat dan menilai bahwa shalat seseorang hanya dari sisi 'cara' dan 'waktu'-nya dia mengerjakan
shalat.
Padahal
di
dalam
surat
al-Ma'un,
ketika
menggambarkan ciri-ciri orang yang sahun (lalai), Allah SWT justru menampilkan perilaku si pengabai shalat sebagai orang yang mendustai agama (tidak mau menjalankan ajaran-ajaran agama), menghardik anak yatim, tidak mau memberi makan anak yatim, riya', dan tidak mau memberikan barang-barang atau sesuatu yang berguna kepada orang lain.34
32
Muhammad Bin Qusri al-Jifari, Agar Shalat Tak Sia-Sia, Solo: Pustaka Iltizam, 2009, Cet. Ke-12, h. 97-113. 33 Ibid, h. 119-134. 34 www.infocondet.com/melalaikanshalat. oleh Zainal Abidin Shahab. Tanggal 6 April 2007.
35
Dari persoalan di atas, seseorang lebih disorot dari kesalehan sosialnya, bukan dari sisi pelaksanaan shalatnya. Oleh karena itu, makna sahun sebenarnya adalah orang yang melupakan janji dan doa-doa yang ia ucapkan ketika shalat, dan malah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ucapanucapannya itu. Dalam doa iftitah, kita berjanji, "Sungguh, shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Pemelihara alam."35
2. Dampak Sahun Terhadap Pribadi Manusia Sahun (lalai) merupakan suatu perlakuan yang salah terhadap segenap potensi dan energi yang ada. Tentunya, sikap seperti itu sama sekali
tidak
memberikan
manfaat
bagi
pelakunya,
akan
tetapi
membahayakan dan membinasakan. Al-Qur’anu al-Karim menegaskan bahwa rusaknya kecenderungan seperti ini dinamakan sebagai sikap kelalaian.36 Lalai juga memperhatikan urusan-urusan dunia semata dengan mengalahkan urusan akhirat. Dalam urusan dunia, seseorang yang memiliki sikap lalai akan berusaha semaksimal mungkin untuk meraihnya dan menguasainya, sementara dalam urusan akhirat ia merupakan sosok yang lalai dan gagal. Ada beberapa hal yang mengakibatkan timbulnya perilaku lalai pada diri seseorang, yaitu:
35
Ibid. Khalid A. Mu’thi khalif, Nasihat untuk orang-orang yang Lalai, Jakarta: Gema Insani, 2005, h, 3 36
36
a. Kelalaian itu bisa terjadi karena perilaku yang tidak sadar akibat dari factor-faktor sebelumnya. Misalnya banyak dosa, terbiasa melakukan kemaksiatan, rusaknya lingkungan, dan berteman dengan orang-orang lalai. Semua hal ini bisa membuat seseorang lalai, yang dapat menghantarkannya menjadi tidak merasakan lalai yang terjadi pada agama dan dunianya. b. Sengaja lalai dan memilih untuk lalai dengan sadar. Hal ini ia lakukan karena berdzikir dan terjaga itu asing bagi kebiasaan jiwanya yang sakit serta berkuasa serta berkuasanya hawa nafsunya yang buta. Seperti orang yang mabuk yang tak ingin sadar dari mabuknya. Ia tak memikirkan apapun. c. Kelalaian itu bisa juga terjadi karena direncanakan oleh pihak lain, yang ditujukan untuk mengamankan ketundukkannya kepada pihak lain atau untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin didapatkan jika pihak yang lalai itu tersadar. Ini adalah dinamakan proses pelalaian. Contohnya, seperti tindakan setan yang melalaikan manusia sehingga manusia berjalan dibelakang setan itu bagai kucing buta. Juga seperti tindakan musuh-musuh islam yang sengaja membuat kaum muslimin lalai tehadap kondisinya. Adapun ciri-ciri manusia yang memiliki sifat lalai, adalah sebagai berikut: : a. Orang yang tidak mengetahui kondisi hatinya, apakah sakit atau sehat, adalah orang lalai.
37
b. Orang yang tidak hati-hati terhadap tipu daya setan adalah orang lalai. c. Orang yang tidak mengetahui jalan keselamatan adalah orang lalai. d. Orang yang menyia-nyiakan usianya secara tidak berguna adalah orang lalai. e. Orang yang tidak mau mencapai hal-hal yang tinggi dan senang perkara yang rendah adalah orang lalai. f. Orang yang tidak memperhatikan rencana musuh terhadap umatnya adalah orang lalai.37 Menurut Khalid A. Mu’thi Khalif dalam bukunya “Nasihat Untuk Orang-Orang Lalai”, mengatakan ada 5 jenis kelalaian, yaitu : a. Kelalaian dari apa yang membahayakan hamba dan membuat turunnya kemurkaan Allah, yaitu kelalaian dari hal-hal yang membinasakan. b. Kelalaian dari apa yang menyelamatkannya dari azab Allah, kelalaian dari hal-hal yang menyelamatkan. c. Kelalaian dari modal hamba dan bekalnya di jalan, yaitu kelalaian dari segi usia dan waktu. d. Kelalaian dari tujuan diciptakannya manusia, yaitu kelalaian dari misimisi agung. e. Kelalaian dari kondisi Islam dan dakwah kepada Islam.38 Di samping itu, menurut Akhmad Faozan, terdapat 500 jenis kelalaian dalam sholat, di antaranya Kelalaian yang berkaitan dengan waktu shalat dan kelalaian umum yang berkaitan dengan shalat. Masingmasing dari kelalaian tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 37 38
Ibid., h. 5 Ibid., h. 9
38
a. Kelalaian yang berkaitan dengan waktu shalat. Terdapat bentuk kelalaian yang berkaitan dengan waktu shalat, adalah Mengerjekan shalat sebelum waktunya, Tidak bersegera mengerjakan shalat ketika sudah masuk waktu, Sengaja menunda shalat hingga keluar waktunya, Kelalaian dalam melakukan qadha shalat, Melakukan sunah mutlak setelah shubuh hingga terbit matahari dan setelah ashar sempat terbenam matahari, dan Mengerjakan shalat ketika matahari sedang terbit, tergelincir dan terbenam.39 b. Kelalaian umum yang berkaitan dengan shalat Adapun jenis kelalaian umum yang berkaitan shalat, yaitu (1) Tidak mengerjakan shalat lima waktu, (2) Bercanda ketika sedang shalat, (3) Shalat dengan tergesa-gesa, (4) Menyambung shalat wajib dengan shalat sunah tanpa dipisah dengan pembicaraan atau membaca zikir, (5) Tidak memelihara shalat sunah rawatib, (6) Mengulangi shalat, padahal shalatnya sudah benar, (7) Berjalan di hadapan orang yang sedang shalat, (8) Melakukan shalat tahiyatul masjid setelah iqomah, (9) Orang yang shalat membiarkan orang lain lewat di depannya, (10) Menunda-nunda shalat tanpa ada alasan. 40 (11) Tidak segera mengerjakan shalat setelah suci dari haidh, (12) Seorang wanita menunda shalat hingga datang masa haidhnya, (13) Mengatupkan bibir dan tidak menggerakkan lidah saat shalat, (14) Memejamkan mata tanpa ada alasan, (15) Tidak shalat dan puasa 39
Akhmad Faozan, 500 Kelalaian Dalam Shalat, Jakarta: Qultum Media, 2010, Cet. Ke-3, h. 20-21. 40 Ibid, h. 73-78..
39
apabila telah suci dari masa nifas yang kurang dari 40 hari, (16) Orang sakit yang shalat dengan isyarat telunjuk, mencium mushaf, (17) wanita yang shalat tidak mengeraskan suara pada saat jahr (shalat dengan bacaan yang kencang, seperti shalat maghrib, isya dan shubuh), (18) Sholat dengan duduk bagi orang yang mampu berdiri, (19) Sering mengusap debu. 41 (20) Melakukan qadha shalat untuk orang mati, (21) Orang sakit tidak shalat hingga sembuh, (22) Sengaja bersedawa dalam shalat, (23) Menguap ketika shalat, (24) Menutup mulut atau wajah dalam shalat tanpa alasan, (25) Melakukan shalat ketika makan sudah dihidangkan, (26) Shalat dengan menahan buang air atau angin, (27) Makmum mengeraskan bacaan takbir, (28) Membaca bacaan tidak pada tempatnya.42 C. Usaha-Usaha Untuk Menghindari Perilaku Sahun Menurut Syuaibi Mahmud al-Jarjani, ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari perilaku lalai (sahun), yaitu: 1. Dzikir (Mengingat Allah SWT) Begitu sulitnya orang menghilangkan sifat lalai sampai-sampai ia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. Meskipun demikian, hendakanya manusia senantiasa berusaha keras untuk menghilangkan sikap lalai tersebut dari dirinya. Salah satunya dengan melakukan dzikir secara kontinue dengan seiring rasa ikhlas dan benar-benar ingin berlindung dari hal-hal yang bisa membuatnya menjadi lalai.43 41
Ibid, h. 76-78. Ibid, h. 79-81. 43 Syuaibi Mahmud al-Jarjani, Jangan Lalai, Jakarta: Pustaka Group, 2009, Cet. Ke1, h. 203. 42
40
Di dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat-ayat Allah SWT yang menganjurkan untuk berdzikir kepada-Nya, di antaranya firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (TQS. ali Imran [3]: 191).44 Selanjutnya, terdapat beberapa keutamaan dan manfaat dalam berdzikir, yaitu: a. Dzikir dapat mengusir syetan dan melindungi orang yang berdzikir darinya. b. Dzikir dapat menghilangkan kesedihan, kegundahan dan depresi serta dapat mendatangkan ketenangan, kebahagiaan dan kelapangan hidup.45 Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (TQS. ar-Ra’d [13]: 28). 46
44
Departemen Agama RI, op.cit, h. Syuaibi Mahmud al-Jarjani, op.cit, h. 206-207. 46 Departemen Agama RI, op.cit, h. 45
41
c. Dzikir dapat menghidupkan hati. d. Dzikir menghapus dosa dan menyelamatkannya dari adzab Allah SWT e. Dzikir menghasilkan pahala. f. Dzikir adalah tanaman syurga.
47
Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT yang berbunyi:
Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (TQS. alAn’aam [6]: 122). 48 g. Dzikir menjadi sebab mendapatkan sholawat dari Allah SWT dan para malaikat-Nya49, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya{41} Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang {42} Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya 47
Syuaibi Mahmud al-Jarjani, op.cit, h. 207-209. Departemen Agama RI, op.cit, h. 49 Syuaibi Mahmud al-Jarjani, op.cit, h. 209. 48
42
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (TQS. al-Ahzab [33]: 41-43). 50 h. Dzikir adalah amalan yang paling baik, paling suci, dan paling tinggi derajatnya. 51 2. Ingat akan kematian Mengingat akan kematian adalah salah satu upaya manusia dalam menghilangkan sikap lalai. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan seseorang dalam mengingat kematian seseorang, di antaranya: a. Mengingat orang-orang yang terlebih dahulu meninggal dunia. b. Merenung, betapa kematian itu tidak peduli siapa saja yang akan dijemput baik tua maupun muda. 52 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (TQS. al-A’raaf [6]: 34). 53 c. Mengingat akan kebesaran Allah SWT dengan menyedikitkan ingat akan kenikamatan duniawi. d. Menghargai nyawa orang lain yaitu dengan tidak semena-mena atau berlaku dzalim pada orang lain. 54 50
Departemen Agama RI, op.cit, h. Syuaibi Mahmud al-Jarjani, op.cit, h. 2010. 52 Ibid, h. 212-213. 53 Departemen Agama RI, op.cit, h. 54 Syuaibi Mahmud al-Jarjani, Ibid, h. 212-213. 51
43
3. Menggapai kebersihan hati Ibnu Qayim menerangkan bahwa hati yang bersih adalah hati yang selamat dari kesyirikan, sikap dengki, dendam, sombong, hasad, bakhil, cinta kepada dunia, dan lain sebagainya. Ada beberapa cara yang dapat mengantarkan kepada kebersihan hati, yaitu (1) Ikhlas, (2) Ridha dengan ketentuan Allah SWT, (3) Membaca dan merenungkan ayat-ayat alQur’an, (4) Shadaqah, (5) Do’a, (6) Puasa tiga hari dalam satu malam, (7) Nasehat, (8) Saling memberi hadiah, (9) Menyebar salam. 4. Takwa kepada Allah SWT Seseorang memahami bahwa akar dari kelalaian adalah karena lemahnya iman yang dimiliki. Oleh karena itu, seseorang harus meningkatkan kualitas keimanannya dengan cara membangun keimanan tersebut melalui proses berpikir. Dengan berpikir, seseorang akan memiliki keimanan jazm (pasti), sehingga akan melahirkan individuindividu yang bertakwa kepada Allah SWT. Takwa merupakan modal utama bagi seseorang untuk menghindari sikap lalai (sahun). Karena takwa merupakan tingkatan atau derajat seorang hamba Allah SWT yang benar terjamin dan selamat baik dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa orang yang mulia di sisi Allah SWT dilihat dari ketakwaannya, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (TQS. alHujurat [49]: 13). 55
55
Departemen Agama RI, op.cit, h.
44
BAB IV PEMBAHASAN
A. Makna Sahun Menurut Mufasirin Setelah dilakukan penelusuran ayat-ayat yang memuat lafal “sahun” di dalam al-Qur’an, maka keseluruhannya ditemukan berjumlah dua ayat. informasi ini diperoleh dari Kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, semua ayat tersebut mengungkapkan mengenai makna “lalai”. Dua ayat ini merupakan objek kajian yang akan dideskripsikan satu persatu secara singkat, karena pengetahuan terhadap konteks umum ayat merupakan petunjuk yang penafsirannya memberikan penjelasan-penjelasan lebih lanjut untuk mengantarkan kepada pemahaman terhadap ayat tersebut. Ayat-ayat ini akan dideskripsikan secara global baik dari segi munasabah1 ayat ataupun dari segi asbab al-nuzul-nya. Adapun dua ayat tersebut terdapat dalam surat adzDzaariyaat [51] ayat 11 dan al-Ma’un [107] ayat 5, sebagai berikut:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai” (QS. adz-Dzaariyaat [51]: 11)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. al-Maa’un [107]:5)
1
Munasabah adalah istilah dalam Ulum al-Qur’an yang berarti hubungan suatu ayat dengan ayat dan sesudahnya ataupun surat dengan surat dalam al-Qur’an.
44
45
Selanjutnya, dalam melihat makna “sahun” dari dua ayat di atas dari pendapat para mufassirin, penulis melakukan pengelompokkan ulama tafsir yang dilihat dari segi masanya, yaitu klasik dan kontemporer. Dengan mengklasifikasi dari segi klasik dan kontemporer ini, maka akan terlihat perbedaan dari pendapat mereka dalam memahami makna “sahun” di dalam al-Qur’an. Adapun mufassir klasik adalah Thabari dan Ibnu Katsir, sementara mufassir moderen adalah al-Maraghi, dan Quraish Shihab.
1. Mufassir Klasik a. Thabari Dalam menafsirkan ayat 11 surat adz-Dzaariyat, Thabari menjelaskan makna sahun adalah orang-orang yang terjerumus dalam kesesatan dan berlarut dalam kesesatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena mereka tidak menerima kebenaran yang telah dibawa oleh Rasululllah SAW. Sementara dalam menafsirkan surat al-Maa’un ayat 5 tentang makna lalai, Imam Thabari mengemukakan beberapa pendapat, adalah Pendapat pertama adalah pendapat yang disampaikan oleh ahli ta’wil berbeda pendapat dalam memaknai ayat tersebut. sebagian mereka berpendapat bahwa orang-orang yang menunda (mengakhiri) waktu shalat, sehingga mereka shalat setelah waktu tersebut habis (berakhir). Hal ini didasari pada hadits Ibnu Mutsanna, yaitu; “Berkata Ibnu Mutsanna: saya telah bertanya kepada ayahku, bagaimana pendapatmu tentang firman Allah:
46
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. alMaa’un [107]:5) “apakah mereka meninggalkan shalat”? Ayahku menjawab: “Bukan, tetapi ia mengakhirkan shalat dari waktunya”. Adapun pendapat kedua adalah Bahwasanya mereka itu lalai, lengah terhadap shalat. Dari dua pendapat di atas, Thabari pendapat bahwa pendapat yang lebih utama dari makna sahun dalam ayat 5 surat al-Maa’un adalah orang yang lalai, lengah terhadap waktu shalat, dan sibuk mengerjakan yang lain, sehingga waktu shalatnya habis. b. Ibnu Katsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan kata “sahun” yang terdapat dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 11 dengan mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama lainnya, yaitu “mereka yang tenggelam dalam kekufuran dan keraguan, mereka lengah lagi lalai”. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekufuran dan keraguan tersebut, karena keraguan mereka tentang adanya hari pembalasan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat sesudahnya (adzDzaariyaat ayat 11), yang artinya “mereka bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?” Pertanyaan tersebut diucapkan tidak lain sematamata hanya untuk mendustakan, mengingkari, meragukan, dan menganggap mustahil2. 2
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2000, Cet. Ke-10, h. 529.
47
Di sisi lain, ketika seorang muslim meragukan akan datangnya hari pembalasan, maka akan mengakibatkan rusaknya keimanan yang dimiliki seseorang, yaitu beriman kepada yang ghaib. Dalam hal ini, banyak sekali firman Allah SWT yang memerintahkan agar beriman kepada hal-hal yang ghaib, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib3....,..” (TQS. al-Baqarah [2]: 3).4 Selanjutnya, juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam ayat sebelumnya (TQS. adz-Dzaariyaat ayat 10) bahwa orang-orang yang ragu tentang datangnya hari pembalasan, maka mereka adalah orangorang yang terkutuk dan binasa. Pendapat ini dikutip oleh Ibu Katsir dari ungkapan yang disampaikan oleh Ali bin Thalhah dan Muadz, ketika beliau saat berkhutbah. Sementara, Qatadah berpendapat yang dimaksud dengan berdusta (al-Kharrashun) yaitu orang-orang yang suka berprasangka dan menduga-duga5. Di samping itu, dalam menafsirkan kata “sahun” dalam surat al-Maa’uun [107] ayat 5, yaitu “Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat, mengandung makna orang-orang yang lalai dari shalatnya.6Ibnu Katsir berpendapat bahwa tidak ada satupun dalil yang menunjukkan
3
Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. Percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti adanya Allah, Malaikat-Malaikat, Hari akhirat dan sebagainya. Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Syamil Cipta Media, 2005, Cet. Ke-5, h. 2. 4 Ibid. 5 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, loc.cit. 6 Ibid, h. 1054.
48
keboleh seseorang mengakhiri shalat dengan sengaja dari waktu yang telah ditetapkan, sehingga orang yang mengakhirkan shalatnya dengan sengaja itu mempunyai dalil untuk menyusul dan mengqadhanya. Dan, tidak ada dalil yang ditetapkan oleh orang-orang yang berpandangan tentang kebolehan mengqadha shalat kecuali sabda Rasulullah SAW yang artinya; “Barangsiapa tertidur dari melaksanakan shalat atau lupa, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ingat. Tidak ada kafarat baginya, kecuali melakukan hal itu.” Hadits di atas sangat jelas, dan membantah tentang seseorang dengan
sengaja
mengakhiri
mengerjakan
shalat
dengan
cara
mengqadha shalat tersebut. Karena, mengqiyaskan antara orang yang mengakhiri shalat karena udzur dan mengakhiri shalat dengan sengaja. Hal ini dibantah oleh Ibnu Katsir, karena qiyas yang digunakan adalah qiyas ma’al fariq, yaitu qiyas untuk dua permasalahan yang berbeda.7Selanjutnya, Ibnu Katsir membantah bahwa kebolehan mengakhiri shalat dengan sengaja berdasarkan qadha shalat yang dilakukan oleh Rasul SAW dan para sahabat pada perang Khandaq.8 2. Mufassir Moderen a. Ahmad Musthafa al-Maraghi Menurut Ahmad Mustafa al-Maraghi, bahwa yang dimaksud dengan makna “sahun” dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 11 adalah orang-orang yang lalai dari apa yang telah diperintahkan kepadanya.9 Dari makna di atas, penulis memahami kelalai yang dilakukan adalah 7
Ibid, h. 1056. Ibid, h. 1057. 9 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 26, Semarang; Toha Putra, 1993, h. 293. 8
49
kelalaian dalam hal menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Padahal di dalam al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan sikap ideal seorang muslim yaitu mengikuti yang diperintahkan oleh Rasul SAW dan meninggalkan yang dilarangnya, sebagaimana frman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” (TQS. al-Hasyr [59]: 7).10 Berkaitan dengan peritah ini Allah SWT, memerintahkan untuk memasuki Islam secara total, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkahlangkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (TQS. al-Baqarah [2]: 208) 11. Di samping itu, dalam menafsirkan surat adz-Dzaariyaat ayat 11, Ahmad Mustafa al-Maraghi menafsirkan bahwa terbunuhlah orang-orang pendusta itu, yaitu orang-orang yang mempunyai perkataan yang berbeda-beda, yaitu mereka yang berada dalam kebodohan yang dalam dan kelalaian yang kelalaian yang besar terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka.12 10
Departemen Agama RI, op.cit, h. 546. Ibid, h. 32. 12 Ahmad Mustafa al-Maraghi, op.cit, h. 298. 11
50
Dijelaskan lebih lanjut oleh Ahmad Mustafa al-Maraghi, bahwa ayat ini merupakan kutukan terhadap mereka yang maksudnya dalam tradisi dialog, bahwa Allah SWT melaknat mereka. Karena orang yang dilaknati oleh Allah SWT, ia seperti halnya orang yang terbinasa dan terbunuh. Dalam kamus dikatakan “Qutila al-Insaanu maa akfarohu” maksudnya adalah mereka itu dikutuk karna amat besar kekafirannya. Sedangkan, bila dikatakan Qutalahumullah, itu artinya Allah SWT melaknati mereka. 13 Sementara dalam menafsirkan kata “sahun” dalam surat alMaa’uun ayat 5, bahwa yang dimaksud dengan lalai dikarenakan shalat yang dilakukan tidak membekas di dalam jiwa sedikit pun. Shalat hanya sekadar gerakan jasad saja, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan shalat. Hal ini karena hatinya kosong, tidak menghayati apa yang dikatakan oleh mulutnya, dan shalatnya tidak membekas atau berpengaruh terhadap tingkah lakunya.14 Ia melakukan ruku’, sedang hatinya kosong. Ia melakukan sujud, tetapi kosong dari pengertian sujud. Ia mengucapkan takbir, tetapi hatinya tidak mengerti makna takbir itu. Shalatnya hanya merupakan gerakan-gerakan rutin yang biasa dilakukan, tanpa adanya penghayatan dan tidak dapat menikmati pengaruhnya.
13
Ibid. Ibid, h. 436. 15 Ibid. 14
15
Hal ini karena shalat yang dilakukan hanya karena
51
ingin mendapatkan pujian dari orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam ayat sesudahnya (al-Maa’uun [107] ayat 6). Oleh karena itu, mereka yang demikian memiliki sikap riya dan berpengakuan dusta, sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya (al-Maa’uun [107] ayat 4). b. Muhammad Quraish Shihab Quraish Shihab dalam menafsirkan kata “sahun” dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 11 yaitu “mereka yang terbenam dalam kesesatan dan kebodohan lagi lalai terhadap bukti yang dipaparkan”.16 Dari penafsiran tersebut dapat dipahami bahwa makna “sahun” atau lalai dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 11 adalah lalai terhadap bukti-bukti yang dipaparkan oleh Allah SWT melalaui ayat-ayatnya baik bersifat Qauliyah (al-Qur’an) maupun Kauniyah (alam semesta/sains). Akan tetapi, ditafsirkan oleh Quraish Shihab dalam ayat sebelumnya bahwa karena kemalasan yang dimiliki oleh manusia dalam melakukan penelitian dan pengkajian, sehingga seseorang melakukan kesalahan dengan cara melakukan perkiraan yang salah dan tanpa dasar yang kuat,
di
antaranya
mempertanyakan
tentang
datangnya
hari
pembalasan, sebagaimana terdapat dalam ayat sesudahnya (surat adzDzaariyaat ayat 12).
16
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah-Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. Ke-9, h. 328.
52
Di samping itu, dalam menafsirkan kata “sahun” dalam surah adz-Dzaariyaat ayat 11, Quraih Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan juga tentang makna kata “ghumratun” dengan makna “air yang memenuhi atau menutupi sosok seorang hingga tenggelam”. Oleh karena itu, dijelaskan oleh beliau bahwa secara umum dalam surat adzDzaariyaat ayat 11 bahwa dalam ayat tersebut menggambarkan keadaan seseorang yang berfoya-foya dan tidak berpikir tentang hakikat hidup. Keadaannya seperti seseorang yang diliputi oleh air, tanpa sadar bahwa sebentar lagi air akan menghanyutkan dan menenggelamkannya.17 Dari penafsiran kata “ghumratun” di atas, dapat dipahami bahwa yang mengakibatkan seseorang lalai terhadap bukti yang dipaparkan oleh Allah SWT kepadanya karena sikap mereka yang suka berfoya-foya dan tidak berpikir tentang hakikat kehidupan, yaitu kehidupan setelah mati. Hal ini sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepadaNya-lah kamu dikembalikan?” (TQS. al-Baqarah [2]: 28).18
17 18
Ibid, h. 329. Departemen Agama RI, op.cit, h. 5.
53
Dari ayat di atas, jelas bahwa hakikat kehidupan bagi manusia adalah kehidupan setelah mati ketika kembali kepada Allah SWT. Dalam hal ini, aqidah Islam mengajarkan bahwa adanya kehidupan setelah mati bagi manusia, dalam rangka mempertanggung jawabkan dari setiap apa yang telah dilakukan semasa hidup di dunia19, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (TQS. al-Muddats-tsir [74]: 38)20 Dengan memahami dan mengamalkan ayat di atas, maka seseorang
akan
memanfaatkan
semaksimal
mungkin
untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqorrub ila Allah), dengan senantiasa selalu melakukan investasi amal, ia tidak terlena dengan kehidupan
yang
serba
sementara
ini,
yang
pada
akhirnya
mengakibatkan ia hanyut dan tenggelam dalam air tersebut. Di samping itu, di dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa sebelum Quraish Shihab menafsirkan surat al-Maa’uun [107] ayat 5 dan seterusnya, terlebih dahulu beliau menerangkan pendapat dari sebagian ulama tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) surat alMaa’uun tersebut.
19
Imam An-Nabani, Sistem Peraturan Hidup Dalam Islam (terj), Diterjemahkan oleh Abu Yasin, dkk, Bogor: Thariqul Izzah, 2005, h. 36. 20 Departemen Agama RI, h. 576.
54
Telah dikemukakan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa awal surat al-Maa’uun turun di Mekah (Ayat Makiyyah) yaitu dari ayat 1 sampai 3, sedangkan ayat 4 dan 7 turun di Madinah (Ayat Madaniyyah). Ditegaskan oleh Quraish Shihab bahwa tidak ada alasan yang kuat untuk memisahkan waktu turunnya kedua surat al-Maa’uun ini. Bahkan redaksi dan kandungannya saling berkaitan erat satu sama lain, sehingga justru menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa keseluruhan surat ini turun sekaligus. Hal ini antara lain terlihat dari “fa” yang memiliki makna “maka” pada awal ayat 4 di atas yang berfungsi menghubungkan kalimat sebelumnya dengan kalimat sesudahnya bagaikan hubungan sebab akibat.21 Selanjutnya, dalam menafsirkan kata “sahun” dari surat al-Maa’uun [107] ayat 5, beliau menguraikan kata “sahun” tersebut yang diambil dari kata “sahaa” memiliki makna “lupa, lalai” yakni seseorang yang hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.22 Sebelum kata “sahun” diawali dengan kata “an” yang berarti tenang atau menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi “fi sholaatihim”, maka ia merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang yang pada saat shalatnya, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesutu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang 21 22
Quraish Shihab, op.cit, h. 549. Ibid.
55
tidak khusu’ shalatnya. Untung ayat ini tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian itu halnya. Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi “’an shalatihim” sehingga tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat. 23 Di samping itu, membahas tentang shalat menurut sementara ulama dalam shalat yang dilaksanakan seorang muslim, telah terhimpun segala bentuk dan cara penghormatan serta sejarahnya. Ada orang yang menunjukkan cara penghormatan dan pengagungannya kepada sesuatu dengan pengakuan dan ucapan memuji atau memuja, ada juga dengan berdiri tegak lurus, atau dengan ruku’, atau sujud dan sebagainya. Itulah cara-cara yang ditempuh manusia guna memberi penghormatan dan pengagungan kepada sesuatu, dan itu pula sebagian dari seorang muslim di dalam shalatnya. Walhasil,
disimpulkan
bahwa
shalat
menggambarkan
kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah SWT, sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesarannya, oleh karerna itu tidaklah wajar manusia menipu Allah SWT. Mereka demikian, karena tidak memahami esensi shalat serta lalai dari tujuan shalat tersebut. Dijelaskan juga oleh Quraish Shihab bahwa yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah SWT serta mendambakan bantuannya. Oleh karena itu, tidaklah wajar yang membutuhkan
23
Ibid.h. 550.
56
bantuan menolah membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan. Oleh karena itu, secara umum dari surat alMaa’uun [107] ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama dari pemenuhan hakikat shalat, yaitu: 1) Keikhlasan melakukannya demi Allah SWT 2) Merasakan
kebutuhan
orang-orang
lemah
dan
kesediaan
mengulurkan bantuan walau yang kecil sekalipun. 24 Demikian terlihat bahwa agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi SAW ini menuntut kebersihan jiwa, jalinan kasih sayang, kebersamaan dan gotong royong antara sesama makhluk Allah SWT, karena tanpa semua itu mereka yang shalat pun diniliai oleh Allah SWT sebagai pendusta agama atau hari kemudian. 25 Berdasarkan penafsiran Quraish Shihab di atas, sehingga dapat dipahami ada dua makna lalai dalam surat al-Maa’uun [107] ayat 5, yaitu: 1) Mereka yang lalai karena tidak memahami esensi dari shalat seperti tidak mau peduli dengan urusan dan nasib saudaranya (tidak mau membantu); 2) Mereka yang lalai dari tujuan shalat, dimana di dalam shalat mereka tidak khusu’. Padahal shalat yang diterima adalah shalat yang khusu’ dan merupakan salah satu kriteria dari para penghuni syurga firdaus, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi: 24 25
Ibid.h. 552. Ibid.h. 553.
57
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya” (TQS. al-Mukminuun [23]: 2).26 B. Analisis Setelah
dilakukan
pengumpulan
bahan-bahan
dan
selanjutnya
dilakukan pengkajian secara mendalam tentang makna ”sahun” (lalai) yang terdapat dalam surat Adz-Dzaariyaat [51] ayat 11 dan surat al-Maa’uun [107] ayat 5, selanjutnya dilakukan analisis dari penafsiran yang dilakukan oleh mufassirin klasik dan moderen. Dari beberapa pendapat mufassir klasik dan moderen tentang makna “sahun” di atas, sehingga diperoleh suatu pemahaman bahwa pada dasarnya antara penafsiran yang dilakukan oleh mufassir klasik dan moderen memiliki makna yang sama baik dalam menafsirkan surat adz-Dzaariyat ayat 11 maupun surat al-Maa’un ayat 5. Adapun persamaannya dalam menafsirkan surat adz-Dzaariyat ayat 11 adalah karena kelalaian mereka terhadap tandatanda kebesaran Allah SWT tentang keberaadaan hari pembalasan (hari kiamat), yang membuat mereka bertanya tentang datangnya hari tersebut. Sementara dalam menafsirkan surat al-Maa’un ayat 5, dimana mereka lalai tidak hanya lalai dalam melakukan shalat sehingga mereka menunda-nuda melaksanakan shalat sampai waktu shalatnya habis, tetapi juga lalai karena shalat yang dilakukan tidak berpengaruh terhadap kehidupannya, seperti kurangnya kepedulian dengan kondisi dan keadaan yang dialami oleh
26
Departemen Agama RI, op.cit, h. 342.
58
saudaranya (fakir dan miskin). Hal ini yang akan mengantarkan mereka kepada kelompok orang-orang yang mendustakan agama. Dengan demikian, orang-orang yang lalai tersebut akan berbuat dan berperilaku yang jauh dari nilai-nilai
keislaman
serta
yang
dilarang
oleh
Allah
SWT
untuk
melakukannya, seperti riya, tidak peduli dengan nasib fakir miskin dan anak yatim, serta meragukan keberadaan dan datangnya hari kiamat. Padahal tandatanda dan berita tentang hari kiamat sudah sangat jelas dan cukup baginya untuk dijadikan sebagai dasar dan pedoman untuk diyakini. Oleh karena itu, shalat yang dilakukan tidak membekas dalam diri dan perbuatannya baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Di sisi lain, bila diperhatikan, dari beberapa pendapat mufassir klasik dan moderen tentang makna sahun di dalam al-Qur’an, maka dari pendapat tersebut akan ditemukan perbedaan, yaitu: 1. Surat adz-Dzaariyat ayat 11 Menurut mufassir klasik yaitu Imam Thabari, “makna lalai dalam surat adz-Dzaariyat ayat 11 sama kesesatan, dan mereka berlarut dalam kesesatan tersebut. Adapun menurut Ibnu Katsir, lalai disebabkan mereka yang telah melakukan kekufuran. Sementara menurut mufassir moderen adalah Musthafa al-Maraghi, dalam menafsirkan makna lalai dalam surat adz-Dzaariyat ayat 11 lebih bersifat umum, dimana lalai karena tidak menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Padahal seorang muslim wajib mengikuti segala yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan
59
yang dilarangnya. Adapun dalam menafsirkan makna lalai dalam surat adz-Dzaariyat ayat 11 menurut Quraish Shihab adalah lalai terhadap buktibukti yang dipaparkan oleh Allah SWT melalaui ayat-ayatnya baik bersifat Qauliyah (al-Qur’an) maupun Kauniyah (alam semesta/sains). Dari dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan mereka dalam menafsirkan surat adz-Dzaariyat ayat 11, dimana mufassir klasik memfokuskan penafsirannya kepada kesesatan dan kekufuran. Sementara mufassiri moderen dalam menafsirkan lebih bersifat umum dan menyeluruh, yaitu lalai karena tidak menjalankan perintah dan meninggalkan larangan atau lalai dari bukti-bukti qauliyah dan kauniyah.
2. Surat al-Maa’un ayat 5 Menurut Thabari makna lalai dalam surat al-Maa’un ayat 5 adalah orang yang lalai, lengah terhadap waktu shalat, dan sibuk mengerjakan yang lain, sehingga waktu shalatnya habis. Sebelum Thabari mengambil kesimpulan terlebih dahulu mengemukakan pendapat dari ahli ta’wil. Adapun lalai menurut Ibnu Katsir adalah lalai karena tidak mengerjakan shalat dan tidak ada qadha terhadapnya, karena mereka meninggalkan shalat dengan sengaja. Sementara menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi makna lalai dalam surat al-Maa’un ayat 5 adalah lalai karena shalat yang dilakukan tidak membekas di dalam jiwa sedikit pun. Shalat hanya sekadar gerakan jasad saja, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan shalat. Hal ini karena
60
hatinya kosong, tidak menghayati apa yang dikatakan oleh mulutnya, dan shalatnya tidak membekas atau berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Adapun makna lalai menurut Muhammad Quraish Shihab adalah lalai dari tujuan shalat. Dari dua pendapat mufassir klasik dan moderen di atas, sehigga dapat ditarik kesimpulan tentang perbedaan mereka dalam menafsirkan surat al-Maa’un ayat 5, yaitu mufassir klasik lebih memfokuskan tentang makna lalai dari pelaksanaan shalat. Sementara mufassir moderen lalai tidak hanya dari sisi melaksanakan shalat yaitu habisnya waktu shalat, akan tetapi lebih kepada pengaruh shalat dalam kehidupan.
61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Setelah
dilakukan
pengumpulan
bahan-bahan
dan
selanjutnya
dilakukan pengkajian secara mendalam tentang makna ”sahun” (lalai) yang terdapat dalam surat Adz-Dzaariyaat [51] ayat 11 dan surat al-Maa’uun [107] ayat 5 menurut Mufassirrin klasik dan moderen, sehingga diperoleh suatu kesimpulan bahwa mufassir klasik dalam melakukan penafsiran lebih bersifat khusus, seperti makna lalai dalam surat adz-Dzaariyat ayat 11 adalah lalai karena kekufuran dan kesesatan. Sementara mufassir moderen bersifat umum, yaitu lalai karena melanggar perintah dan mengerjakan larangan dan lalai terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT baik yang bersifat qauliyah (alQur’an) maupun kauniyah (alam semesta). Adapun dalam menafsirkan surat al-Maa’un ayat 5, ulama klasik kepada lalai dalam bentuk pelaksanaan shalat, sehingga habisnya waktu shalat dan masuk waktu shalat yang baru. Sementara mufassir moderen dalam menafsirkan surat al-Maa’un ayat 5 tidak hanya dari segi pelaksanaan shalat, akan tetapi lebih kepada pengaruh shalat dalam kehidupan, yang berdampak terhadap kurangnya kepedulian terhadap sesama (fakir miskin) yang mengakibatkan mereka terjerumus kepada kelompok orang-orang yang mendustakan agama. 61
62
B. Saran Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi mahasiswa dan kaum intelektual dalam menafsirkan ayat al-Qur’an khususnya tentang makna “sahun” (lalai) dalam al-Qur’an dengan menggunakan metodologi penafsiran yang benar, sebagaimana para mufassirrin dalam menafsirkan al-Qur’an, atau dengan mengkaji dan mengutip dari pendapat para mufassirrin dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an, t.th. al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. Mu’jam al-Muhfaris Li al-Fadzil Qur’an, Beirut: Darel Fikr, 1980. al-Bilaly, Abdul Hamid. al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa alMufashirun, Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405 H. al-Jarjani, Syuaibi Mahmud. Jangan Lalai, Pustaka Group, Jakarta, 2009, Cet. Ke-1. al-Jifari, Muhammad bin Qusri. Agar Shalat Tak Sia-Sia, Solo: Pustaka Iltizam, 2007. al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi, Jilid 26, Semarang; Toha Putra, 1993. An-Nabani, Imam. Sistem Peraturan Hidup Dalam Islam (terj), Diterjemahkan oleh Abu Yasin, dkk, Bogor: Thariqul Izzah, 2005. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2000, Cet. Ke-10. Ar-Ruumi, Fahd bin Abdurrahman. Buhuts fi Ushul at-Tafsir, Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1413 H, Cet. Ke-1. ______________. Madrasah al-‘Aqliyah al-Haditsah fi at-Tafsir, Riyadh, Muasasah ar-Risalah, 1414 H, Cet. Ke-4, Juz 1. Faozan, Akhmad. 500 Kelalaian Dalam Shalat, Jakarta: Qultum Media, 2010, Cet. Ke-3. http;//www.google-riwayat-mufassirin.com//17/3/2011// http;//www.tafsironline.com//17/3/2011// Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-Orang Lalai, Penerjemah : Abdul Hayye al-Kattani dan Arif Chasanul-Muna, Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Munawwir, A. W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, Anggota IKAPI, 1997, h, 674. Nasir, Shalihun A. Ilmu Tafsir al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987.
Nata, Abuddin. Metode Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001. Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, Cet. Ke-1. RI, Departemen Agama. al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta, Syamil Cipta Media, 2005, Cet. Ke-3. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran, Bandung, Mizan, 1994, Cet. Ke-20. _________________. Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Cet. Ke-9. _________________. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2007. www.alifnews.com. Pendapat Ust Zahir Yahya dalam Acara Sambut Ramadhan. www.forum agama islam.com, Ditulis oleh Ahmad Saat Hariadi Cirebon, 2 Maret 2009 Jam 12:40:06. www.infocondet.com/melalaikanshalat. oleh Zainal Abidin Shahab. Tanggal 6 April 2007. Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Depag RI, Bandung: Gema Risalah Press, 1989. Zuhdi, Masfuk. Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 2002.