Kiblat Cinta
Kiblat Cinta
Kumpulan Sajak Suara Bunga Patani
Mahroso Doloh
CV E Sastra Management Enterpise
i
Mahroso Doloh
Diterbitkan dan diedarkan di Indonesia oleh: E Sastra Management Enterprise (EsMe) Jl. Bujana Tirta 2 No.5, RT 011/RW 006, Pisangan Timur, Pulogadung, Jakarta Timur 13230 Phone: +6221.4721382 | Fax: +6221.4721382 www.esastraindo.com facebook : EsMeIndo
[email protected]
Kiblat Cinta, antologi puisi Mahroso Doloh Penulis : Mahroso Doloh Editor : Yo Sugianto Sampul: Gie Tata Letak Isi : Setiyo Bardono Cetakan I : November 2014 ISBN 978-602-71008-5-5 Dicetak di Indonesia
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG ! Dilarang keras menerjemahkan, menyalin, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta. ii
Kiblat Cinta
Dari Penerbit Puisi mampu menjadi medium dari pergulatan perjalanan estetik penulisnya, termasuk pengalaman religiusitasnya. Dalam puisi tercermin ekspresi diri sang penyair, pertarungan yang telah dilakoninya, termasuk hubungan bathin dengan Tuhan perasaan ketuhanan, kesadaran akan kebesaran Tuhan, dan akan takdir. Pengalaman religious itu mewarnai puisi-puisi Mahroso Doloh, penyair dari Patani, Thailand Selatan yang terhimpun dalam kumpulan puisi “Kiblat Cinta” ini. Bukunya yang pertama, dan menjadi catatan penuh makna, karena untuk pertama kalinya penulis Patani meluncurkan kumpulan puisinya di Indonesia. Dalam “Kiblat Cinta” ini terasa kental warna budaya Melayu (baca : bahasa) yang tak terelakkan, namun berpadu dengan bahasa Indonesia, terasa enak untuk dicerna. Ia tak hanya bersajak tentang perasaannya, atau Patani, tapi juga Indonesia yang dikenalnya dalam sentuhan keseharian. Selain, tentunya lantunan perjalanan religiusitasnya yang membuat puisi-puisi di dalamnya menjadi renungan tersendiri. Melalui karya pertamanya yang diterbitkan atas prakarsa eSastera Malaysia ini, Mahroso Doloh memberi warna tersendiri bagi khasanah kesusastraan Indonesia. Tak hanya karena ia berasal dari Patani, tapi juga keakraban sehari-hari pada budaya lokal di Jawa Tengah, terutama Banyumas dan Purwokerto. Penerbitan karya penyair Patani ini, setelah diawali dengan peluncuran kumpulan puisi dari penulis Malaysia (Nimoiz T.Y dan Irwan Abu Bakar), semoga menjadi pintu bagi saudara serumpun Melayu lainnya untuk memperkenalkan guratannya kepada masyarakat Indonesia. Salam sastra, EsMe iii
Mahroso Doloh
Daftar Isi Dari Penerbit Kupasan Cinta Nilai-Nilai Insani Berkiblat Pada Cinta
iii ix xii xiv
1. Lorong-lorong Cinta
xx
Kiblat Cinta 1 Cinta di Atas Cinta 2 Benang Putih 3 Biji-biji Rindu 4 Selimut Tahajud 5 Hanya Dia 6 Surga Sebelum Surga 7 Sajak di Rahim Subuh 8 Kutuliskan Cinta 9 Kopi Rindu 10 Kutbah Hujan 11 Deraian Kata 12 Mencari Maksud 13 Setangkai Duri Cinta 14 Antara 15 Perbedaan Cinta 16 Tetesan Manis 17 Suara 18 Bunga dalam Hujan 19 Mencari Kata-kata 20 Mahligai Cinta 21 Melati 22 Pagi yang Kemarau 23 Gelap Dalam Cahaya 24 Dialog Melati 25 iv
Kiblat Cinta
Kehabisan Kata-kata Anak Malaikat Tersungi Dalam Rindu Puncak Rindu Aroma Dalam Sujud Tanaman Kalbu Mentari Senja Kabut yang Bertahyat Buah Bermusim Gerimis Bidadari Sampingku Sayap Merpati Sepasang Merpati Tetesan Surga Hamba Hyang Cinta di Pohon Kuldi Ketika Itu Jam Dua Belas Malam Setangkai Tasbih Kenangan Dalam Gerimis Kesucian Bunga Malam Pertama Lamuanan Cahaya Sholawat Cinta Cemburu dengan Senyummu Wajah Jelita Jelita Duri Manis
2. Untukmu Patani Wasiat Bumi Patani Kiai Menjelang Malam Tangis Dalam Rindu Di Bawah Air Mata Bumi Patani Suara Patani Takkan Surut Belalai Gajah v
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
51 52 53 54 55 57 59 60
Mahroso Doloh
Tangisan Mencari Bahasa Semarak Darah Hilal di Padang Pasir Ketika Itu
3. Untuk Pohon Cinta
4.
61 64 63 64
65
Dalam Tenda Cinta Akar Tafsir Cinta Telor Goreng Pohon Tua Itu Bidadari Tercinta Jembatan Bidadari
66 67 68 69 70 71 72
Catatan Indonesia
73
Saat Langit Bersalam pada Bumi 74 Rapi dan Api 75 Semarak Tikus 76 Ku singgah Negeri Indah 77 Dakwah Seorang Rakyat 79 Mata Langit Diruncing 80 Lilin Jepara 81 Melukis Cahaya 82 Kau 83 Kartini 84 Warisan si Salam Kartini 85 Kepayang Kursi (1) 86 Kepayang Kursi (2) 87 Kepayang Kursi (3) 88 Kepayang Kursi (4) 89 Ucapan Selamat 90 Keunikan Senyum 91 vi
Kiblat Cinta
Bait Puisi Para Pejabat Doa Sebelum ke Makam Ulang Tahun Sepuluh April Risalah Rakyat Kepada Siapa Aku Bertanya Bunga-bunga Rakyat Suara di Kaki Bumi Kabut di Kampus Biru Smokol Merah Putih Mengecewa Raja Pemilu Banyumas Seindah Negerimu Nafas Sajak Seorang Merantau Setangkai Gelombang Karyamin
92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106
Mengkiblatkan Cinta Kepada Cahaya 107 Endorsment 114
vii
Mahroso Doloh
Buku ini; Akan kupersembahkan pada kedua orang yang mulia Ayah dan Ibu yang telah mengasuhku dengan penuh cinta luhur sejak dari buaian sampai sekarang. Kedua orang itulah yang menjadi sebuah payung melindungi kami dari hujan, panas dan sebagainya. Dengan berkah doanya sehingga anaknya dapat mengenal bangku kuliah mengenal dunia yang lebih luas, walaupun keduanya tak pernah merasakan. Semoga buku ini dapat menjadikan penyejuk jiwamu wahai Ayah dan Ibuku tercinta. Untuk saudara sekandungku yang selalu menjadi motivasiku dalam meraihkan ilmu Allah yang tak terhingga. Dengan senyum, tawa, dan tangis kita berempat selalu mengindahkan hidup ini.
viii
Kiblat Cinta
Kupasan Hati Terbitnya “Kiblat Cinta” sungguh menjadi suatu hal yang sangat istimewa bagi saya. Allhamdulilah jutaan puji syukur hamba pada-Nya, karena buku ini takkan hadir tanpa kuasa-Nya. “Kiblat Cinta” merupakan karya pertama kumpulan sajak tunggal, dan buku ketiga setelah Cakap Berbahasa IndonesiaThailand (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) dan Buku Lentera Sastra II Antalogi Puisi Lima Negara (Baten, 2014). Terbitnya sepilihan puisi ini sesuatu yang luar biasa. Saya teringat, saat duduk di bangku SMP dan SMA dapat dikatakan sulit untuk mencerna dengan baik pelajaran bahasa (membahas Rumi, Bahasa Indonesia). Tapi, dalam kesulitan itu masih ada rasa cinta terhadap bahasa sehingga saya memilih untuk hijrah ke Indonesia, untuk mendalami ilmu bahasa (bahasa serumpun Melayu). Teringat pula, saat pertama menulis sajak sebagai tugas mata kuliah Kajian Puisi dengan dosen Abdul Wachid B.S. dan semua tulisan itu dicoret. Saat itu beliau mengatakan ini bukan puisi atau sajak, serta dengan penjelasan yang panjang lebar. Baru di semeter dua saya mengenal puisi atau sajak, yang terus saya pelajari hingga kini. Abdul Wachid B.S. menularkan ilmu sajak itu. Hampir setiap minggu, malam Selasa dan Rabu, saya membiasakan diri untuk berdiskusi dengan beliau di kontrakannya. Dalam proses beberapa tahun kemudian, dengan semangat yang membara serta hidup dengan warna cinta yang keruh maupun jernih, melingkupi hidup ini dan beribu ujian yang dihadapi, hadirlah “Kiblat Cinta”. Istimewanya buku ini bukan dalam arti hebat, tapi karena bagi saya “Kiblat Cinta” ini dapat menjadi suatu hadiah, untuk menghapuskan air mata, keringat dan penyejuk jiwa bagi kedua orang, yang penulis senantiasa memanggilnya “Ayah ix
Mahroso Doloh
dan Wae1”, yakni kedua orangtua (Kosim dan Zainab) yang sangat menyayangi anak-anaknya. Tidak salah jika penulis mengatakan tanpa mereka “Kiblat Cinta” tak akan hadir. Dalam ruang yang tak luas ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih bagi semua yang telah mempertegas jalan dalam dunia sastra ini. Mereka yang percaya bahwa saya bisa meniti jembatan itu, meski masih tertatih. Untuk tiga saudara sekandung; Rosidah, Bukhori, dan Nurmayuti, yang mengindahkan hidup saya. Tak terasa, air mata mengalir setelah menyebut nama-nama itu, tidak tahu kenapa. Mereka sudah menaburkan ribuan tetesan kasih sayang yang tak akan hilang dalam jiwa ini. “Kiblat Cinta” yang sedang dibaca ini tak akan hadir juga jika tanpa orang-orang yang memberi semangat dan menguatkan, diantaranya pak Abdul Wachid B.S. (penyair sekaligus guru favorit saya), pak Heru Kurniawan (dosen, sekaligus teman dan saudara saya), pak Eko Sri Israhayu (dosen), pak Teguh Trianton (dosen), dan semua dosen di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Selain itu, ada Arif Hidayat, mbakYanwi Mudrikah, Titi Anisatul Laely, Dimas Indianto S., Irfan M. Nugroho, Usman Tanjung, Wanto Tirta, Mulasih Tary, Endah Kusumaningrum, Otih Nurhayati, bapak Ibu serta adik-adikku di Rumah Kreatif Wadas Kelir, dan teman-teman lainnya. Tak lega rasanya jika belum menghaturkan terima kasih buat Ibu Santhy Hawanti, pak Regawa Bayu Pamungkas, bu Laily Nurliana, teman-teman KUI yang senantiasa membantu dalam urusan imigrasi maupun hal yang lain selama berada di Indonesia. Tak kecuali juga keluarga angkat di Indonesia; bu Nani, pak Ruat, Dani dan Dendi serta teman-teman asal Patani Thailand Selatan yang kuliah di UMP. “Wae” adalah ganti nama untuk memmanggil pada seorang ibu yang sering digunakan oleh beberapa masyarakat di Patani 1
x
Kiblat Cinta
Melalui “Kiblat Cinta” saya mencoba untuk menuangkan rasa cinta yang dianugrahkan oleh Yang Mahacinta pada hambaNya kedalam sajak-sajaknya. Kata “cinta” pada umumnya banyak di kalangan remaja maupun dewasa yang menganggap atau menjadikan cinta itu hanya untuk memuaskan hawa nafsu saja, sedangkan cinta yang sebenarnya itu adalah cinta yang melibatkan Yang Mahacinta pada cinta itu. Mahroso Doloh Pemilik “Kiblat Cinta”
xi
Mahroso Doloh
Nilai-Nilai Insani
Alhamdulillahi Rabbil’alamin, kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat yang telah dilimpahkan kepada kita. Kesejahteraan semoga Allah SWT curahkan kepada junjungan kita manusia pilihan Rasulullah SAW, juga keluarga, para sahabat, dan kita sebagai umatnya. Saya menyambut dengan baik atas terbitnya buku kumpulan sajak Kiblat Cinta yang ditulis oleh Mahroso Doloh, mahasiswa asal Patani, Thailand Selatan yang sedang melanjutkan studi di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Saya sangat senang dan bangga dengan seorang mahasiswa asing dari Patani, Thailand Selatan yang ada di Universitas Muhammadiyah Purwokerto aktif di bidang kepenulisan, sehingga ia dapat menerbitkan buku ketiganya yang merupakan kumpulan sajak dengan judul Kiblat Cinta. Kumpulan sajak Kiblat Cinta karya Mahroso Doloh, merupakan kumpulan sajak yang tidak hanya mengandung nilai-nilai romantisme atau hiburan saja, tapi juga mengandung nilainilai insani sebagai makhluk profetik. Bagaimana terlihat pada sajak-sajaknya yang berusaha mengarahkan pembaca untuk melibatkanYang Maha Cinta pada semua yang kita cintai. Baik cinta terhadap sesama manusia, cinta terhadap kedua orang tua, cinta terhadap bangsa, dan cinta kepada seluruh makhluk Allah SWT.
xii
Kiblat Cinta
Harapan saya semoga kumpulan sajak Kiblat Cinta dapat mengarahkan semua pembaca untuk menempatkan sebuah cinta yang dianugerahkan oleh Allah SWT sesuai dengan yang dikehendaki oleh Islam. Selain itu,juga dapat memotivasi mahasiswa saya agar aktif di bidang kepenulisan yang banyak manfaatnya. Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, M.H. Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto
xiii
Mahroso Doloh
Berkiblat Pada Cinta Oleh Teguh Trianton
Kejahatan terkejam yang ada pada diri manusia adalah cinta, lantaran kau, aku dan waktu pernah dibuat menangis karenanya, tapi aku justru hanya dapat hidup dengan dilukai, dan lukaku adalah kau.
Seperti puisi, cinta adalah seni. Cinta merupakan hakekat yang paling inti dari hidup dan kehidupan. Tanpa cinta, maka manusia tak lagi lengkap syaratnya untuk menduduki kapasistas kemanusiaan. Cinta adalah api dan air sekaligus. Cinta menjadi nyala, penerang dalam kegelapan, tapi ia juga dapat berubah menjadi cahaya yang sangat menyilaukan, atau bahkan api yang menyala dan membakar. Tapi, dengan cinta itu pula, nyala akan dapat dipadamkan, panas menjadi dingin, keriuhan menjadi kedamaian, lantaran cinta juga air, air kehidupan. Hidup adalah seni, maka cinta adalah seni (Erich Fromm). Jika untuk menulis puisi dibutuhkan dua laku; mengetahui dan mempraktekan, maka untuk perkara cinta, juga dibutuhkan laku; belajar mengetaui, merasakan dan melaksanakan cinta. Belajar mengetahui cinta merupakan aktivitas intelektual, belajar merasakan cinta merupakan aktivitas afektif yang mengedepankan fungsi emosi, kesadaran diri dalam kontrol pengetahuan. Sedangkan belajar melakukan cinta adalah aktivitas mewujudkan cinta dalam tindakan, atau amalan. Cinta menjadi perkara terbesar dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya persoalan cinta dalam konteks apapun, tak pernah kering diperbincangkan. Cinta menjadi inspirasi terbesar bagi para penulis sastra. Dalah khazanah sastra, cinta dikonstruksi dan direproduksi menjadi teks, cinta dikonstruksi menjadi persoalan sekaligus penyelesaian.
xiv
Kiblat Cinta
Agaknya, cinta pula yang menginspirasi Mahroso Doloh, menulis puisi tentang cinta,pada kitab puisi Kiblat Cinta; Kumpulan Sajak Suara Bunga Patani ini. Penyair membahas dan membahasakan cinta, dalam tiga kutup berbeda. Kutub pertama, merupakan kutub paling subjektif yang ada dalam diri aku lirik. Penyair, melalui kutub yang paling primordial ini mencoba menempatkan puisi sebagai alat ucap. Puisi sebagai ekpresi untuk merepresentasikan subjektivitasnya terhadap persoalan cinta. Kemana akan ku simpan sebuah cinta/ jika aksara tak menjadi kata-kata/ bahkan terucap hanya terpaksa/ menjadi ombak hanya ketika// dalam puisi menggunung cinta/ mencari arah tak hingga/ tak ingin cinta;/ yang menjadi titi neraka. Penyair melalui dua episode cinta dalam larik-larik puisi berjudul “Kiblat Cinta” ini, tengah mengabarkan subjektivitasnya terhadap arah atau posisi cinta yang paling hakiki. Itulah sebabnya, penyair menempatkan puisi ini sebagai pintu masuk untuk menjelajahi keseluruhan puisi yang ada dalam buku ini. Meski aku lirik menyediakan pintu dan kunci untuk memasuki kedalam serta arah cinta dalam puisi ini, namun sebagai teks yang terbuka, kelak kumpulan puisi ini akan dimasuki dari berbagai sisi. Bahkan pintu yang disediakan penyair, boleh jadi ditinggalkan begitu saja oleh para pembaca. Lantaran, pada pintu ini pula, mula-mula penyair mendeklarasikan keluasan ruang jelajah –baca dan tafsirmelalui larik pembuka yang menanya; Kemana akan kusimpan sebuah cinta. Lewat lirik pendek ini, penyair secara subjektif menawarkan keluasan medan tafsir tentang cinta. Aku lirik secara subjektif, hendak membiarkan aku publik mencari sendiri kiblat cinta. Meski demikian, secara subjektif pula, aku lirik memberikan arah cinta; tak ingin cinta;/ yang menjadi titi neraka/. Pada xv
Mahroso Doloh
titik ini, penyair agaknya memposisikan puisinya sebagai ekspresi religiusitas yang paling pribadi. /dengan cinta; beribu cinta/ membuat taubat di sela-sela malam/ menderai gerimis hitam/ menjadi secawan zamzam// (fragmen tiga). Bait ketiga ini menegaskan bahwa perkara cinta sesungguhnya dapat membawa manusia pada situasi penuh masalah, itulah sebabnya, sebaik-baik cinta adalah ketika ia merupakan jalan terang menuju pertaubatan, di waktu yang paling sunyi dan pribadi. Lihatlah bait empat, episode akhir ini menjadi semacam konklusi penyair dalam melihat cinta secara subjektif. /dengan cinta; beribu cinta/ angin, panas, hujan/ semua terasa pada telubuk kalbu/ hanya mencari kiblat Cinta/. Aku lirik menutup fragmen ini dengan sebuah kalimat penegasan, bahwa persoalan kehidupan adalah persoalan mencari kutub, hanya mencari kiblat. Kutub pertama yang menjadi kiblat aku lirik ini kemudian dipertegas pada bagian ketiga buku puisi ini. Aku lirik menegaskan pencarian arah cinta dengan tajuk “Untuk Pohon Cinta”. Bagian ketiga ini merupakan perwujudan kerinduan aku lirik akan kiblat yang dapat ia temukan dimana saja. Lantaran kiblat cinta bukanlah arah yang dipandu dengan kompas, melainkan hakekat cinta itu sendiri yang tak mengenal arah secara geografis. Kutub yang kedua adalah kutub kultural penyair. Kutub kultural ini menjadi titik berangkat dan titik tuju pulang sekaligus. Patani adalah nama sebuah kawasan di Thailand Selatan, tempat moyang penyair lahir dan dibesarkan. Patani dalam kumpulan puisi Kiblat Cinta, merupakan kutub kedua yang juga primodial. Bagaimanapun, subjektivitas yang pertama akan muncul sebagai buah ranum pohon budaya tempat penyair ditanamkan oleh orang tuanya atau menanamkan dirinya sebagai bagian dari entitas sosial.
xvi
Kiblat Cinta
Patani adalah kutub kultural penyair. Itulah sebabnya, meski saat puisi-puisi ini ditulis; aku lirik berada di Indonesia, namun pengetahuannya dan emosinya tentang cinta membuat ia terus dihinggapi rasa rindu pada kampung halaman. Rindu yang menggelegak ini menyebabkan aku lirik secara sentimentil mengingat tanah tumpah darahnya. Saat cinta berada pada orbit yang berbeda, maka seseorang akan mengalami situasi rindu. Rindu sebenarnya merupakan akibat, yang pada situasi tertentu akan menjadi sebab. Bersebab subjek cinta berada pada ranah budaya yang berbeda, maka rindu adalah keniscayaan. Lantaran rindu yang menggebu, maka subjek cinta akan mengalami situasi kegalauan; Apa yang harus kutulis/ untukmu bumi Patani/ sekian lama kau ditindih/ tenggelam air dan darah-darah// hari ke hari/ tulangmu selalu dihimpit/ tak ada ruangan untuk bertumbuh/ menjadi subur agar bisa berlari di cakrawala//. Intensitas pergulatan bathin pada medan rindu; antara kenangan yang bertumpuk, dendam tentang masa silam yang ingin ia bayar di masa depan (cakrawala), membuat aku lirik memiliki optimisme, berwasiat secara literer pada bumi Patani. Kutub yang ketiga adalah kutub cinta ketiga. Saya menyebut cinta ketiga, lantaran aku lirik telah memiliki cinta pertama pada hakekat cinta yang tengah ia cari kiblatnya, cinta kedua adalah cinta penyair pada tanah moyangnya yang menjadi ibu kandung kebudayaan yang mengasuhnya, sementara cinta ketiga adalah keterpesonaan penyair pada Indonesia. Meski bertajuk ‘Catatan Indonesia’ namun, sesungguhnya roh kutub cinta ketiga ini berasal dari bumi cabalaka; Banyumas. Pergulatan intelektual dan kultural penyair dengan wong Banyumas sebagai subjek individu maupun sebagai entitas sosial budaya, telah mengkontruksi cinta yang ketiga. “Banyumas Seindah Negerimu”, demikian aku lirik memberi tajuk pada puisinya, yang merupakan presentasi kekaguman atau mungkin buah keterpecahan pengetahuan budayanya. xvii
Mahroso Doloh
Banyumas seindah negerimu/ embun pagi memaniskan mataku/ gunung Slamet merayu-rayu kalbu/ Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju/ fajar menyingsing kumelihat di setiap penjuru/ sungai serayu mengalirkan jiwa luhur, mataku terpaku.// Telaga sunyi/ pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi/ bumi perkemahan kebun raya terperi/ negeri mutiara pusaka Ilahi/ yang tak terlukis dada sebelum kukunjungi.// Cinta selalu lahir dalam ketegangan antara keinginan, harapan, dan kenyataan. Puisi selalu lahir dari pergolakan; pemikiran, emosi, dan pergulatan sosial. Penyair pada hakekatnya adalah manusia biasa yang lahir dengan ketidak seimbangan. Untuk itulah, tugas mulia manusia di muka bumi ini adalah berkreasi dan berekreasi menciptakan keseimbangan. Tugas penyair adalah menciptakan keseimbangan melalui puisi, berkreasi dan berekreasi. Barangkali inilah yang dilakukan Mahroso Doloh, Penyair muda asal bumi PataniThailand Selatan, yang saat menulis puisi ini merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Sebagai mahasiswa dari negara jiran tentu saja ia memiliki kutub intelektual yang berbeda dengan mahasiswa setempat. Namun dengan latar budaya Melayu, yang setali tiga uang merupakan moyang bahasa Indonesia, membuat puisi-puisi yang ia tulis menarik untuk ditilik dari perspektif kebahasaan.Pada sudut yang lain, keterpesonaanya pada kultur Banyumas membuat penyair yang satu ini memiliki potensi untuk mengawinkan kutub budaya Banyumas dan Patani (Melayu) dalam karya-karyanya yang lain di masa datang. Lewat kumpulan puisi Kiblat Cinta ini, Mahroso menawarkan kiblat, atau kutub cinta yang ia sendiri tengah mencarinya. Cinta, sekali lagi; merupakan inti kehidupan manusia. Cinta dalam berbagai dimensi dan konteksnya berada di satu titik, yang dapat berpendar ke segala arah. Saat cinta berpendar xviii
Kiblat Cinta
inilah, cinta seperti berangkat dari satu titik menuju titik lain sebagai kiblat yang entah. Tapi melalui kesadaran yang paling dalam, sesungguhnya kiblat cinta tak lagi perlu dicari, lantaran kiblat cinta adalah cinta itu sendiri. Melalui puisi-puisinya, penyair ingin mengajak aku publik menjelajah berbagai dimensi dan kutub cinta, hingga pada akhirnya menemukan keseimbangan dan kembali pada titik yang disebut kiblat Cinta. Teguh Trianton adalah Peneliti Beranda Budaya Purwokerto, Siswa Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengajar di Prodi PBSI FKIP UMP.
xix
Mahroso Doloh
1
Lorong-lorong Cinta
xx
Kiblat Cinta
Kiblat Cinta Kemana akan kusimpan sebuah cinta jika aksara tak menjadi kata-kata bahkan terucap hanya terpaksa menjadi ombak hanya ketika dalam puisi menggunung cinta mencari arah tak terhingga tak ingin cinta; yang menjadi titi neraka dengan cinta; beribu cinta membuat taubat di sela-sela malam menderai gerimis hitam menjadi secawan zamzam dengan cinta; beribu cinta angin, panas dan hujan semua terasa pada telubuk kalbu hanya mencari kiblat Cinta Patani, September 2014
1
Mahroso Doloh
Cinta di Atas Cinta Ingin kutanya kabarmu tapi teringat duri dalam soalan tak ingin membuat waktu menangis lagi hanya Dia nakhkoda seorang hamba dengan sajadah dan lingkaran tasbih ditemani hujan menari malam dan siang nyanyian malaikat dan ayat-ayat; kutanam benih cinta masih teringat saat kata-kata menjadi salju hanya sepatah apa kabar mendayu kalbu dengan cinta memuncak menjadi rantingranting kembali cinta atas cinta; hening Purwokerto, September 2014
2
Kiblat Cinta
Benang Putih Benang putih dan kekasih yang dipintal oleh kapas cinta dan selalu menjahit antara kalbu aku dan kau merenung tunggu benang yang sepertinya telah putus tapi, masih terasa terlekat kalbu pada badan memberi hangat; selimut malam akhirnya benang itu tersambung kembali menenun jadi bersih sehelai kain putih menjadi hamparan di sini, di sebuah ruang tempat kita bertatap mata kain itu tak terasa, lekasnya berubah menjadi sebuah kelambu kelambu hitam yang dulu aku benci tiba di ruang, dalam keruhan cinta dan sekalikali merasa nikmat saat badan di selimut malam itu tapi, dalam kelambu hitam itu masih terlihat sebuah lampu, berkedip-kedip hingga kelambu itu terbakar oleh cahaya kesadaran tinggal hamparan kain putih kembali dan kain itu, aku bentuk menjadi sebuah perahu berlayar di samudra-Nya; hingga air mata tak tersurut sujud pada-Nya Purwokerto, September 2014 3
Mahroso Doloh
Biji-biji Rindu Aku melihat senyummu yang bertasbih atas rembulan dengan taburan bintang sebiji rindu hingga berderai jutaan sanjung agar dikau dan aku; dilingkar cincin oleh-Nya sampai dikau menjadi alasan yang tak mau kuhentikan nafas ini Purwokerto, September 2014
4
Kiblat Cinta
Selimut Tahajud Jika kau mengantuk lelaplah sejenak dan bangun kembali; menjemput dua rokaat tahajud untuk menjadi selimut pada tidurmu. Purwokerto, September 2014
5
Mahroso Doloh
Hanya Dia Bunga berbunga tanpa musim belum tentu terwujud jika bukan Kehendak cinta tak terbatas waktu hanya milik Dia, Hyang dengan dzikir-dzikir mentari pagi dan rembulan membawa kesayangan-Nya pada kedipkedip bintang terlihat ayatayat Maha Kuasa sekalipun malam yang gelap masih terlintas cahaya bisa saja kau pelajari dalam sendirian rimba; Dia menemani selalu kau lihat daundaun yang hitam dan lebat masih saja berbunga dengan indah di situ boleh kau bartanya boleh kau bertanya siapa pencipta bunga itu? Purwokerto, September 2014
6
Kiblat Cinta
Surga Sebelum Surga surga dari kecil sering aku dengar demikan juga dirimu; surga tak terhapus lauhul mahfuzh tapi, dimana kau berada kalbu terasa remang mutiara yang terkunci dalam puisi tak terkurang walau serintik doa pada pagi ditelan bulan bulan ditelan mentari sekalikali ingin terdapat surga itu dengan api membara birahi hingga surga menjadi durhaka surga tak dipanggil surga dan jaga sebelum hijab kabul; hingga hingga malam pertama sejemput ciuman tertulis cinta di sela kening itu dengan kalimat Cahaya hening sepotong kata karena-Nya mengundang rombongan malaikat dan pohonpohon mengirimkan doa dengan izin-Nya sepasang burung terbang menemani sepasang cinta melayang dalam surga sebelum surga Purwokerto, September 2014
7
Mahroso Doloh
Sajak di Rahim Subuh Rahim subuh tak semua orang melabuh tinggal aku sendirian melihat bayang yang mencoba membiasakan diri menyanyi, menangis, di panggung sajadah di rahim subuh sebelum ditemani segelas kopi rasa sepi selalu menjadi membungkus rindu; bait puisi aku lontari di rahim subuh aku bernyanyi dengan lirik puisi yang pernah dibaca Muhammad walau jutaan tahun lamanya penyair besar takkan sampai sebatas Dia rahim subuh hingga ke bibir pagi tak terhenti menjilat bait puisi Dia membuka mata dan otak yang tajam melihat mentari bertasbih di sebelah selatan dan keikhlasan embun pada-Nya menghilangkan diri; taat pada-Nya yang tak kecuali hanyalah milik Dia Bait-Bait Puisi yang tersurat sekalipun tidak; masih bisa terlihat tapi hanya dengan lautan iman dan takwa menjadi air mata melihat segala semesta terselip Qudrat dan Iradat-Nya Purwokerto, September 2014
8
Kiblat Cinta
Kutuliskan Cinta Kutuliskan cinta pada dedaun yang selalu memberi mendung di telubuk hati tempat dikau dan aku menghirup angin menjadi rantai senyum berbunga tapi, jangan membuta siapa pemilik angin itu Purwokerto, September 2014
9
Mahroso Doloh
Kopi Rindu Pagi membasah kalbu dengan sebiji rindu ditemani dua gelas kopi tinggal satu tak dihabisi hanya tunggu yang sudi penghirup kopi sudah tersaji Purwokerto, September 2014
10
Kiblat Cinta
Kutbah Hujan Dalam sendirian bibir malam terdengar kutbahkutbahnya berjamaah dengan dedaun membasahi leluhur cinta Dan dikau, terdengar dalam kutbah hujan merenung tunggu bisikan malaikat yang sudah tertulis di atas tenda biru Tapi, takkan indah sajadah cinta jika kabut tak ditaubati dengan gerimis purnama menghanyut segala dosa menjadi sepucuk risalah senja untuk kutitip pada mentari pagi Purwokerto, September 2014
11
Mahroso Doloh
Deraian Kata Dua tahun merantau angin dan dedaun; jadi saksi dalam rintis melewati menemui lautan basahi kata dari sana hingga kesini merajut cinta ibu pertiwi hinga gerimis tak kecuali melewati lorong-lorong aksara aku merangkai agar melayu terkibar tinggi walau tersesat jangan abadi tetapkan detik untuk kembali Patani, Agustus 2014
12
Kiblat Cinta
Mencari Maksud Pada tetesan hujan dan mungkin beribu suara; berdzikir pada-Mu begitu juga; aku dalam kegelapan hamba mencari sebuah maksud terselip di sela-sela hujan dan waktu kujunjungkan asma-Mu dengan renungan sebuah cinta tersembunyi di sebalik duka walau gelisah; tak terhanyut pada-Mu duri yang tertancap kepala mungkin salam Sang Pencipta dalam mencari rahmat melintasi rimba-rimba dan air mata Patani, Agustus 2014
13
Mahroso Doloh
Setangkai Duri Cinta Terpaksa kubiarkan waktu pejam dalam gerimis kemarau dan tertelan setangkai duri bernyanyi dalam bisu tersimpan riwayat cinta Yala, Agustus 2014
14
Kiblat Cinta
Antara kehangatan bulan yang melintasi awan tertulis sebuah risalah cinta kau tersenyum pejamkan mata menjadi titian pada-Nya kuingin bulan yang selalu; tak ada purnama kecuali malam itu manakah bunga tahajudku antara beribu kuntung; salam kasturi jadi embun membasahi kehangatan bulan melintasi awan tersurat sebuah risalah cinta terasa menjadi seorang raja dalam mahligai tak tersangka matapun terbuka membaca beribu pertanyaan hanya kalbu yang mengatakan; dia berada di antara Patani, Agustus 2014
15
Mahroso Doloh
Perbedaan Cinta sementara ini angin tak berjilbab hanya sesekali terlihat dalam ragu hati kecil bertunang keyakinan sementara cincin terikat pada jilbab belum menjadi satu lingkaran hanya bersiap dan berharap dia terpaku dalam semoga bulan; sungguh setia pada malam tapi sesekali menyinari pada pagi walau tak pernah engkau datangi tak sedikit yang menunggu untuk menyaksi walau terasing pada mula tapi cahaya selalu berseri menjadi hijrah seorang hawa semoga kehendak oleh Dia walau berbeda bumi namun masih dibawah langit yang sama walau terasing gaya budaya mungkin saja menjadi cahaya perbeda dalam cahaya tercatat sejarah budaya cinta Patani, Agustus 2014
16
Kiblat Cinta
Tetesan Manis Tetesan manis di sekuntum mawar ingin simpan manis itu agar menemani selalu tapi belum mampu untuk menghirup tunggu dan mencari detik untuk melepaskan; semua kehangatan yang tersimpan kudus kalbu tetesan manis itu mendung dalam jiwa jadi bayang-bayang setiap nafasan memberi warna pada hidup dan akan menjadi ombak, badai jika; 18tetesan manis itu telah dimilik atau diisap seekor madu Yang lain Purwokerto, Mai 2014
17
Mahroso Doloh
Suara suara pertama tersujud gerimis menetes limpah rahmat; tak pernah tersurut dan suara selalu menemaniku tak asing beristikomah dan melewati dari bertaburan embun hingga ke malam berdayu pada kalbu terdengar suara-Mu Patani, Agustus 2014
18
Kiblat Cinta
Bunga Dalam Hujan Wajah dipenuhi bunga-bunga dan selalu menunggu kedatangan hujan di saat itu—mungkin hujan istikomah merindui terpendam sesuatu, tapi tak bisa terucap begitu juga dengan kemarau yang tanpa hujan, hidup menjadi parau apakah di antara itu terselip cinta cinta yang tersujud karena cinta dan tersenyum, menangis pada embun terlelap dalam hujan, tercium alis dalam sujud Purwokerto, 21 Juni 2014
19
Mahroso Doloh
Mencari Kata-kata tak mampu kucari katakata indah tapi; tulisanku melukis mawar di jilbab itu aku tunggu saja; waktu biar rembulan berbicara padamu ketika bulan melepaskan katakata dengan harapan jilbab itu bertahajud pada-Mu hanya air mata dan doa bulan Ramadan kepada bidadari berwajah embun doa senja ke senja melontar dalam jamaah dan semoga Purwokerto, Juni 2014
20
Kiblat Cinta
Mahligai Cinta kepada angin yang menemani saat kucium alismu ingin mencoba berpuisi padamu mohon tancapkan kupingmu di pipi ini selamat datang isteriku apakah kau yakin aku mencintaimu apakah kau yakin rembulan setia pada malam apa jawabmu itulah mawar yang kutanamkan di pagi hari embun berdoa pada Cahaya agar hujan menemani bungabunga saat kau mencium tanganku Qudrat di atas qudrat tertulis; semoga di dalam mahligai cinta Purwokerto, Juni 2014
21
Mahroso Doloh
Melati Melati—manis menghangatkan kalbu yang melayani seribu bintang padamu ingin kutangkaikan manis itu dengan ayat-ayat mencium kembang dalam sujud asmara kau terwujud tak kesudahan jutaan malaikat jadi saksi sebelum ijab kabul terucap Titian sirat kupimpin tanganmu Purwokerto, Mai 2014
22
Kiblat Cinta
Pagi yang Kemarau Sungguh pagi telah menyapa, tapi belum saat untuk diteguk cukup hanya simpan aroma jadi tetesan embun pada kalbu kejernihan benih tentu saja menjadi doa walau tak terlukis aksara anugerah yang terdiam ingin jadikan hidangan sejemput kata di saat pagi yang kemarau Purwokerto, April 2014
23
Mahroso Doloh
Gelap Dalam Cahaya Kaulah Puisiku cinta terpendam kalbu tak mampu bernyanyi dengan merdu Perempuan Pelukis Senja Purwokerto, April 2014
24
Kiblat Cinta
Dialog Melati Jika pagi telah menyapa teguklah setetes kesegaran setetes embun niatkan dalam hati yang menyapa tumbuhkan benih kejernihan aksara yang mencerah walau hanya sejumput kata sungguh pagi telah menyapa tapi belum saat untuk diteguk cukup hanya simpan aroma jadi tetesan embun pada kalbu kejernihan benih tentu saja menjadi doa walau tak terlukis aksara anugerah yang terdiam ingin jadikan hidangan sejemput kata di saat pagi yang kemarau embun pagi terlalu hangat mendekap tubuh ini hingga keringat yang peluh semakin tanggal mari bertasbih pada bunga yang mekar tersenyum pada pagi yang pagi Purwokerto, April 2014
25
Mahroso Doloh
Kehabisan Kata-kata Sunyi berwarisan segala mimpi tertulis diam terlihat karat membara tidurmu melihat pagi berlutut setan sebelum mentari memuak cahaya jutaan kepala berbarisan menjerit menunggu singgah hiris separuh luka menjadi senja selalu pada-Nya Purwokerto, April 2014
26
Kiblat Cinta
Anak Malaikat Dingin menyelimuti suluk ini menjadi doa-doa tanpa kehabisan rantingranting melihat akar; berceding penuh makna daun tersenyum menjadi saksi di situ— sementara aku tak kuasa memberi salam pada sore hari itu tertatap pelangi yang cantik selalu mengharu pada kalbu terkunci tasbih cinta tersimpan rapi dalam nadi di setiap angin melintasi rongga mata terpejam di setiap waktu selalu menjerit mengharu air mata sajadah dan lingkaran tasbih menabur aroma bak taburan bunga-bunga pada pernikahan kutitipkan salam pada angin melewati malaikatmalaikat menjadi saksi pada ijab kabul semesta ini menciptakan sebuah titi berganding mencari-Nya Purwokerto, April 2014
27
Mahroso Doloh
Tersunyi Dalam Rindu Selalu ada senja di jernih embun yang memikat risalah cinta di detik embun mulai diteguk mentari tak lagi hangat seperti tersurat dengan tahajud kumencari Ilahi dalam doa tersebut jilbabmu apakah pantas menyebut imam ikhlaskah kau mengikuti jejak ini hanya terjawab dalam diam di antara senyum dan tangis menjadi malaikat untuk cari mencari arti sebuah cinta langit dan bumi menjadi saksi pada kalbu tersunyi dalam rindu Purwokerto, Juni 2014
28
Kiblat Cinta
Puncak Rindu di butiran nafasmu menjadi bait puisi di puncak rindu Purwokerto, Juni 2014
29
Mahroso Doloh
Aroma Dalam Sujud Cinta selalu membisu berbunga dalam kalbu kau selalu mengisi waktu dengan tetesan salju mewujud malam yang gemilang kembang melati tak kuasa dimaknai menunggu detik terarus aroma surga sampai waktu akan kupanen tersimpan rapi jadi malaikat memberi aroma di setiap sujud, merantai pujian tersimpan pada senyum— Purwokerto, April 2014
30
Kiblat Cinta
Tanaman Kalbu Cintaku, wahai bidadari haruman mawar bersajadah merekah kalbu menggembur salju sebongkah baris puisi kulayani Mengalir di dalam darah menderai rindu kudus dan sunyi angin menjilat jilbab merahmu mata bertatap gairah langit biru senyuman bintang di sepertiga malam merantai mimpi; lautan cerita laut dan sawah itu ku bernapas merawat kalbu, sebening rindu nada suci rahim senyummu bunga wangi, memekar merekah menunggu ketukanmu di gembur kalbu; kabul sebongkah baris puisi Purwokerto, April 2014
31
Mahroso Doloh
Mentari Senja dedaun dan embun bersujud itikaf gedung-gedung semua mendiam menyaksi cahaya mentari senja yang selama bersumpah di terikit dunia— rerumput bergeliat teriki di ulang tahun tangan bermusik meniup lilin yang membara sembilan april; napas rerumput tumbuh di pinggiran jalan beribu kesyahduan mengombak rumput kering; bungabunga kamboja Hanya kasidah-Mu menghijau rerumput yang tumbuh dari sisa-sisa dan kerdil kalau begitu; kembangkan taman abadi dapatkan kami menjelma sebongkah mawar atau melati Purwokerto, April 2014
32
Kiblat Cinta
Kabut yang Bertahyat Kabut yang melentang bumi itu pohon-pohon di selimuti embun Lafal Terindah menjilat kupingkuping menyeru hewan menghamparkan sajadah didampingi jutaan Malaikat sekepal daging menari dalam kabut menghiriskan oksigen oleh sarung bertahayat melangkah menghamparkan kening di taman kuldi melukis kata-kata pada angin mengisi Rindu dalam diam embun bergelombang jutaan tasbih yang sejati untuk Ilahi Purwokerto, 4 Maret 2014
33
Mahroso Doloh
Buah Bermusim Gerimis Musim gerimis tiba kembali ketika mawar bertepuk sebelah tangan empat mata melihat sinaran rembulan empat telinga mendengar putaran jarum sudah memjadi bayangan kosong Oh...Yang Maha Penyayang kenapa gerimis ini sulit dihentikan gerimis yang mengiris kalbu hamba-Mu gerimis menyamarkan kemanisan asmara yang selama ini menjadi lampulampu hamba-Mu pantas tanah-tanah campuran menjadi pohon-pohan bermusim membuat aku tertagih dengan buah-buahan yang tak dapat melayani kalbu yang derita ini Purwokerto, 4 Maret 2014
34
Kiblat Cinta
Bidadari Sampingku Engkau ikhlas membisu waktu aku berteriak terlepas di rahimnya dan beribu syukur waktu aku berbahasa lewat tangis waktu aku mengenal dunia melintasi jalan siang dan malam menikung, bertabung oleh bingung kaulah kaki tanganku siapa diriku? dari mana? apa yang membuat diriku lebih bermakna hingga kemana malam dan siangku akan pergi selamanya keringat asin engkau meladeni makan dan minum buatku engkau milih secawan jernih dan sedikit sayur untuknya sedangkan kopi dan daging untukku menahan diri lapar dan haus dari terbit dan jatuh mata sang surya embun kembali basahi bumi engkau betapa menahan sejuta rintangan engkaulah bidadari dinapasku Purwokerto, 4 Maret 2014
35
Mahroso Doloh
Sayap Merpati Pagi yang hijab kabulkan merpati yang menari dalam jurang untuk membuta dan bisu tulang punggungnya yang tak ingin buah hatinya berbunga ditepi jalan setiap kali mata merpati betina berkaca selutut menghamparkan kening dan bernyanyi merayu-rayu dalam diam meresapkan air tasbih pada-Nya senantiasa tahlilan sepasang merpati yang menari di runcing angin, rungcingruncing gerimis takkan mustahil jika embun yang berhembur di bibir menjadi keras yang tak bisa berganti-ganti Duhai Pemeluk Teguh wujudkan dan kekalkan sayap ini sayap senantiasa bergoyang membawa bahtera hidup yang senantiasa menabik badai, untuk bisa memanjat di pohon khuldi-Mu abadi Purwokerto, 4 Maret 2014
36
Kiblat Cinta
Sepasang Merpati Embun bersholawat sekeping kalbu membasahi sepasang merpati bersa lim senyum-senyuman saat sang surya berloncat-loncat bumi membawa ranting-ranting bidadari berseri seri bidadari, bidadari seri seberapa kilometer kau melayang pasti saja jendela memanggilmu jendela berdzikir bersyahadat padamu kau tak akan tersesat kau pasti tersimpan rumah semut ini menjadi Padang Arafah sepasang merpati walaupun bocoran air yang menderai di pipi yang membawa duri dan rindu yang nantinya kau kembali berjalan di duri ke kanan ke kiri menjadi air tersimpan kendi menjadi minuman pagi, siang dan malam yang abadi Purwokerto, 4 Maret 2014
37
Mahroso Doloh
Tetesan Surga Hamba Hyang Hyang teteskan tetesan surga hamba Hyang Hyang dengan mata-Mu tak akan tengggelam Hyang yang tak di senyum Hyang Hyang jatuhkan tetesan surga kedalam bunga bayi yang Hyang Hyang yang Kau siapkan menjadi bunga matahari dan bulan Hyang yang menjadi bunga rumah bukan ditepi jalan Hyang jadikan tetesan surga hari ini dan besok Hyang janganlah tumpah ila ijab kabul Hyang yang Kau tulis Lauh Mahfuz itu yang ditunggu Purwokerto, 4 Maret 2014
38
Kiblat Cinta
Cinta di Pohon Kuldi Kertas di dada yang melimpah melati dan melati membayang seorang bidadari yang akan menjadi jamaah di rembulan dan surya shalatku yang akan bertabur Nur-Hayat kanan dan kiri tanganku menari-nari ketika angin menjadi duri-duri menjilati kanan dan kiri untuk kau,aku bersumpah yang abadi yang terbayang nanti lorong-lorong di padang arafah namanya di situ, padang itulah kau,aku mulai melangkah dan meloncat, bercocok tanam di situ, kebun-kebun bunga tak bisa menilai kasturi di situ, kau, aku melewati duri-duri tak berduri di situ, sampailah kau, aku di bawah pohon kuldi di situ, kau, aku istirahat yang abadi Purwokerto, 4 Maret 2014
39
Mahroso Doloh
Ketika Itu Ketika itu detak-detak menjilat kuping bumi menikmati keringat pelangi dedaun bersama sajadah berkata dalam diam bernyanyi dan pipi; mengisi tetesan zamzam berjunub dalam kering kepada Ilahi. Purwokerto, 4 Maret 2014
40
Kiblat Cinta
Jam Dua Belas Malam Sampai aku di tengah perjalanan malam tibatiba aku bertemu malaikat membawa mawar pada Cahaya hingga alis terkapar oleh tibatiba Dengan Cahaya aku mencari cahaya merasa sepi saat tahajud tanpa niat seorang imam aku mencari dan mencari setangkai tahajud pada-Nya jika dia ikhlas menyusuri jejak kasturi maka; malam hingga tetesan embun terakhir kuyakin; ada keindahan dalam kesendirian itu adalah hadiah Ilahi dengan gairah tertulis namamu terdengar amin di sebalik jilbabmu dan semoga— Purwokero, Juni 2014
41
Mahroso Doloh
Setangkai Tasbih Di sela puji berdeburan embun setangkai tasbih terselip nama-Mu Purwokerto, Juni 2014
42
Kiblat Cinta
Kenangan Dalam Gerimis Sepertinya kembang bunga tak mau menghirup embun; sebagai mana dulu dan sapaan embun yang biasa membasahi sudah menjadi kenangan dalam gerimis Purwokerto, Juni 2014
43
Mahroso Doloh
Kesucian Bunga Kalbu diselimuti bunga-bunga yang selalu menjaga kesucianmu walau waktu sudah terlarut sepertinya kau selalu menunggu kata cinta tak terucap, karena cinta kaulah air menyegari bunga Purwokerto, Juni 2014
44
Kiblat Cinta
Malam Pertama Malam pertama; kau dan aku saling senyum saat katakata terkunci surga senyum pertama dalam hidup kau lihat cahaya selalu setia pada rembulan yang selalu menemani bayangbayang ingin kunikahi bayang itu apakah kau ikhlas jika aku berada di bintangbintang hanya pertanyaan mengisi waktu; saat aku kehabisan katakata bukan dengan sederhana sebuah cinta tapi sepucuk surat dari Cahaya Purwokerto, Juni 2014
45
Mahroso Doloh
Lamunan Cahaya Kau selipkan setangkai cinta pada duri sehingga gerimis tersesat dalam lamunan Cahaya Purwokerto, Juni 2014
46
Kiblat Cinta
Sholawat Cinta Hanya Basmalah; kulingkarkan jari manismu senyum mesra, simpul yang selalu tujukan padamu saat kubaca suara kalbumu melalui kata-kata malaikat selalu menggunung impian-impian yang terbayang dan tercatat surya rembulan silih berganti membawa gemilang kepada semesta silih senyuman dikau dan aku tak kesudahan apakah itu sholawat sebuah cinta Purwokerto, Januari 2014
47
Mahroso Doloh
Cemburu dengan Senyummu Aku cemburu tanpa sebab akibat melihat jilbab dijilat angin barat daun menggugur menjadi adat dikau dan aku tak mau berjabat senyum manismu itu menabur dan buta matamata membuat damai jadi perang kemana dikau dan aku sekarang kau hanya embun dini hari saat malam menjelang tak kembali senyummu hanya pencuri memekar melati dan tinggal pergi jilbab merahmu kalbu menjadi abu hidup jadi palsu semesta penuh nafsu Purwokerto, Januari 2014
48
Kiblat Cinta
Wajah Jelita Jari manis berduri menari menemani sepi tak terhenti niat yang bening ombak menjadi setiap detak kecapi-kecapi rindu berdetingan batin mengguyur oleh gerimis dalam diam namamu bertaburan di telubuk kalbu diiringi suluk-suluk gairah ini zikir kerikilkerikil menderas namamu tak henti-henti jari manismu bergolong menjadi-jadi jika itu adalah bukti; menghangus takbir cinta setiap alunan darasdaras memancarkan aura gairah pada Mu mimpimimpi dan harapan kali ini menjadi abu wajah jelita yang mengharu sekalipun telah raihkan hasrat indah dan tersimpan sudah bertatap tapi malu pada keterangan sendiri meskipun lidah mampu menjelaskan dengan terang disini sebelum ombak gerimis terbenam menghilang tolong jelaskan dengan terang persoalan-persoalan Purwokerto, Desember 2013
49
Mahroso Doloh
Jelita Duri Manis wajah berlumur mutiara indah saaat dipandan; berkerudung setengah badan rasa cinta menghiba bunga-bunga yang terasa kelopak yang melekatimu menetes air mata ketika pelangi terbuka menitip duka cahaya jelita hanya mampir, mengantar pergi rasa yang tersimpan menjadi fana hanya bunga berduri terlukis dan tingal pergi ketika embun dalam sehari;dikau menjadi bait-bait puisi menjadi beji-biji berputar di puncak rindu angin membawa dingin diiringi aura jilbabmu dan menitip salam membuatku menangis dalam diam lalu pelangi menhilang rembulan tidakpun tiba hanya luka dan air mata tak bisa dicerita Purwokerto, Desember 2013
50
Kiblat Cinta
2
Untukmu Patani
51
Mahroso Doloh
Wasiat Bumi Patani Apa yang harus kutulis untukmu bumi Patani sekian lama kau ditindih tenggelam air dan darah-darah hari ke hari tulangmu selalu dihimpit tak ada ruangan untuk bertumbuh menjadi subur agar bisa berlari di cakrawala Hai...Bumi Patani nasib seorang bayi mungkin sudah melayang dan tanpa kutahu kemana arahnya kemana kiblatnya dengan sajak ini; kusimpan jiwa malaikat membangun para pejabat yang terlena dalam selokan kafir membuka mata, menyambung lidah dan bertakbir Bangun! jangan biarkan para tikus-tikus mengerik ladang ini tempat kita menanam nyawa sehari-hari belakanlah ladang ini, walau usia tenggelam bumi Purwokerto, September 2014
52
Kiblat Cinta
Kiai Menjelang Malam Suatu hari ia akan pergi umurnya sudah menjelang malam hari bahkan sudah melayang pergi tapi, perginya berteduh di pohon kuldi dikelilingi beribu bidadari pada pagi dilayani; di kolam mandi kolam yang tak siapapun pernah kunjungi dia pergi; tinggal telapak para sufi bertaburan merata, walau penuh duri-duri tak kecuali ia mencari Cahaya Ilahi mungkin sekarang sedang menyaksi butiran dzikir yang dulu ia tanami apakah ada yang membajai untuk berteduh di hari nanti jangan kau lupa, perginya harus kau ganti untuk menjadi matahari pagi sejernih embun yang dititipi jadi amanah tak kecuali walau sedikit hujung jari satu huruf menderai beribu sanjungi dia pergi; iktikaf di tempat yang tinggi yang harus kita telusuri membawa sebuah janji-janji Purwokerto, September 2014
53
Mahroso Doloh
Tangis Dalam Rindu Langkasuka dalam kesamaran aku terdengar angin-angin yang menangis terbungkus sebuah rindu ibu pertiwi bukit bukau menjadi rahim rezeki melalui embun dan hujan penuh berkah sekarang tak; buah-buahan kehilangan manis berbagai biji dan emas walau bergunung hanya angin melewati kuping-kuping dan pergi dalam mata yang lampau; tercermin Melayu penuh cinta teringat permata mutiara— dan air mata selalu berkunjung dalam kata cinta menghangat sebuah jiwa kebangkitan mengikis najis-najis dalam cakrawala yang tersurat Nusantara tersubur para ulama Syed Daud tertulis di merata tapi siapa yang sanggup di atas telapaknya jika sang bayi dibisu Huruf Melayu menjadi kata tangis dalam rindu Patani, Agustus 2014
54
Kiblat Cinta
Di Bawah Air Mata Bumi Patani
—Mujahidin bumi Patani
Di bawah air mata yang sering kau bercerita serta cinta terbangun sebuah pondasi menjadi cermin sampai puncak suluk mujahid walau aku tak terlihat air mata bahkan darah membasahi di sungai itu tapi ku rela menjadi bungabunga bunga yang disuburkan oleh air mata cinta dan terus membawa sejarah tak terhingga pergimu tak begitu saja bahkan beribu langkah telusuri jejakmu menyambung lidah hingga darah menjadi air mata terarus kesungai yang melimpah cinta; budaya, bangsa, negara dan agama aku takkan hilang gambaran jasad yang terlayang berlapisan di sebuah kendaraan dia si baju hitam dan jahanam keadilan hanya menjadi sebatas hiasan palsu membisu rakyat dalam kepanasan keganasan bermaharajalela penindasan tak kecuali seorang bayi yang sedang mengenal dunia bahkan orang seumuran mentari tenggelam bumi
55
Mahroso Doloh
apa yang terjadi di sini siapakah dia yang kau kenal selama ini penjajah manis wajah menjadi topeng-topeng apa yang harus kau laku wahai anak cucu Purwokerto, September 2014
56
Kiblat Cinta
Suara Patani Matahari terbit menyinari angkasa dengan cahaya membawa beribu cita-cita orang-orang berkumpul dibawah cahaya Sang Kuasa menayangkan semangat terpendam kalbu dengan sebiji cinta; budaya bangsa agama tak terhingga september dua puluh empat belas dua puluh satu tanggalnya berbicara beribu suara melontar menggali kedamaian hakhak yang terkurung hingga berlumut hitam kini harinya untuk kita bersama menebang lumut dan hutan-hutan yang selama ini mengganggu taman anak cucu hutan yang penuh likaliku para penjajah menyesat umat bahkan lenyap mayatmayat jangan mudah terlena wajah berbunga belum tentu itu surga disana dan merata banyak penjaga tapi kenapa selalu menderita darahdarah mengalir dibalas dengan jutaan ketawa ini negara apa? kau bilang kedamaian milik kita tapi kenapa kau sendiri membakarkannya anak-anak dihilangkan ayah penuh sengsara para ustadz, ulama menjadi tersengka ini permainan politik belaka menabur najis tak terhingga hari ini mari kita bicara jangan biar begitu saja jangan sampai anak cucu kecewa 57
Mahroso Doloh
ayo kita bangkitkan surga dalam negeri yang tercinta bumi bertuah bumi pusaka hapuskan penindasan yang menggoda peri kemanusiaan kita tegakan semula ketidakadilan kita hanyutkan di samudra dengan satu syahadat menjadi rantai kita berjuang sampai jasad melayang cinta walau hujan kunjungi sebentar dengan campuran airmata walau dalam lautan darah; yakinkan itu balasan surga simpulkan tangan sesama Satu Patani Harapan Kita Purwokerto, September 2014
58
Kiblat Cinta
Takkan Surut Derita tak kunjung surut jika usaha tak membasahi bumi selalu menangis melihat umat membuta kalbu sekalipun ditindas tak terasa sengsara saat darah dibalas selembaran itu menemani saku kelaparan memakan darah anak sendiri gunungkan sadar jiwa Patani selama ini sedang dicoba diuji Purwokerto, September 2014
59
Mahroso Doloh
Belalai Gajah Belalai gajah sumber negara tahukah akan terjadi sengsara jika seekor gajah tanpa belalai itu bahkan jadi negeri kurus ekonomi kau jadi kepala gajah dan tubuh gemuk, gagah dan kuat dengan putaran belalai yang terlingkar itu tapi kenapa selalu dilihat tak berharga dulu ku tahu belalai itu bukan milikmu setelah pemilik dibunuh kau ambil tanpa izin anak cucu anak cucu menanam padi dan buahan menjadi makan pada pagi kepagi malah petani itu diinjak oleh seekor ibu gajah sudah memberi kekayaan tapi ditekap tenpurung belalai hanya berlikar dalam rimba tak kuasa melihat semesta yang berbunga dalam rimba beribu anak yang haus pendidikan tapi hanya bisa minum tetestetes tersisa dan bekasbekas apa akan terjadi jika seekor ibu gajah tak mau berlaku adil rumputrumput selalu kepanasan tak sedikit terasa embun cinta nasib lingkaran belalai gajah jangan biar begitu saja Patani, Agustus 2014
60
Kiblat Cinta
Tangisan Mencari Bahasa Selama terpendam lautan apakah kuasa memetik lezatnya saat melayu menjadi biru jangan terpudar oleh dia tahankan melayu yang selalu walau terbanting menjadi pepasir dari hidup miskin bahasa tanamkan sebiji cinta pada embun harapan beribu aksara jangan biarkan sebuah kata tenggelam begitu saja terkubur sebuah bangsa karena bahasa diselimut hampahampa dengan tetesan cinta terderai membasahi melayu tersimpan tinggi sebuah kalbu anak Patani Patani, Agustus 2014
61
Mahroso Doloh
Semarak Darah tak ada jiwa manusia di dzikir matahari membara sudah menjadi riwayat dunia anak dan wanita korban Kau menegak pusaka cinta yang terkandung jutaan cahaya yang bertatih pada-Nya basahi badan oleh saksisaksi sungguh kau pergi berkumpul di Istana penuhi bungabunga yang; tak kau temui sebelumnya setetes darah dalam mahligai tiara Patani, Agustus 2014
62
Kiblat Cinta
Hilal di Padang Pasir Saat tangisan dunia mengguyur batu dalam diam ufuk sang surya menambah jumlah hitungan dunia pernah kau menyaksi pohon-pohon berdzikir di bintang bertaburan? untuk menjadi kecapi-kecapi rindu berdentingan serombongan Unta di padang pasir menuju ke Makam Surga tapi kalau kandang gajah putih ini peristiwa itu di kebun berdaun merah putih, malah menjadi makanan sambil berjalan tidak ada kain dan tidak lilin yang bernari di sepanjang jalanan tidak ada kursi-kursi bersholawat seperti di altar yang penuh pesinggahnya saat Januari menjelang kenapa bisa terjadi di kaki tangan mayoritas Muahammad? dengan puisi gajah putih yang miskin kalam ini sejuta harapan kebun ini merunduk meratap jiwa ditemani suluk-suluk kesendirian para sufi semoga-Nya tampakkan hilal itu yang beserta taufik untuk bertatih kejalan Engkau ridhoi Purwokerto, 4 Maret 2014
63
Mahroso Doloh
Ketika Itu Ketika itu detak-detak menjilat kuping bumi menikmati keringat pelangi dedaun bersama sajadah berkata dalam diam bernyanyi dan pipi; mengisi tetesan zamzam berjunub dalam kering kepada Ilahi. Purwokerto, 4 Maret 2014
64
Kiblat Cinta
3
Untuk Pohon Cinta
65
Mahroso Doloh
Dalam Tenda Cinta mungkin sembilan bulan aku di dalam tenda cinta tak ternilai harga bunda menulis cinta, walau ombak luka setelah itu, aku diberi tenda biru agar lebih nyaman dan penuh iman dia lagi yang memerah susu berikan aku dengan tak kenal kemarau malam hari menjadi malaikat siang hari menjadi pelayan pelayan yang tak kuasa digaji hingga dua belah paha jadi tempat mandi bahkan tempat aku kotori dia hanya senyum dan memuji aku terlihat lagi tak kecuali posisi tenda biru selalu menemani kekanan dan kekiri cinta yang kau tulis di atap biru tak sedikitpun kurangi selalu menghangat diri tak pernah habis dari buaian sampai berkumis apa yang harus kuganti selain doa tak terhenti nanti kau akan pergi sampai jumpa di sana nanti Purwokerto, September 2014 66
Kiblat Cinta
Akar
—Al-marhum H Husin Bin H Abdulrahman
akar selalu sanggup menembus; sekalipun itu tanah dan batubatu dia tempuhi segala permintaan bungabunga keluarga yang melayang tengah udara semesta indah tapi, suatu hari akar itu tak lagi berlari melayani sampai detik janji untuk kembali dia pergi, tinggal bayang dan sayang pergi menemui Yang Maha Penyayang akar selalu sanggup menembus; sampai titik arti pasrah meninggal buah dan bunga akan jadi akar dan jangan kau lupa cinta tak hanya menyiram air mata selain merta doa membasahi tanah memberi kesegaran sampai kebawah tempat akar terdiam diri kau pergi tak kembali di sisi Ilahi kau terpuji dengan ayatayat dan al-fatihah hanya itu dapat ku telusuri padamu Purwokerto, September 2014
67
Mahroso Doloh
Tafsir Cinta Sekian lama aku bisa membaca menafsir sebuah cinta yang tenggelam di airmata seberat apapun tak ditolak walau harus menjadi gandar tulangtulang sanggup bersujud menjadi pondong dalam keluarga sekalipun panas tak sedikitpun terasa panas melewati rimba dan batubatu dengan airmata dia berlayar dan pergi airmata yang mengalir dari hati menuju ke hati kalau sudah kita maklumi dia pergi tanpa permisi tinggal airmata menjadi saksi sebuah cinta yang diberi Purwokerto, September 2014
68
Kiblat Cinta
Telor Goreng Telor goreng sebelum pagi Terlukis rindu dalam samudera Tak seenak keringat bunda Sebuah nikmat ketulusan luhur sungguh; perlu sebuah renungan ayat-ayat yang terselip embun jika sejarah hanya mengisi kekosongan telor tersaji tak berbuah sebuah arti kehangatan begitu datang saat kenangan terderai waktu merasa sesuatu tertulis dalam diam dengan lirik nyanyian sebuah kunut saat merayu tasbih cinta ayat-ayat terbungkus dalam sujud dengan selalu sebuah kepastian semoga Dia yang selalu Purwokerto, Juli 2014
69
Mahroso Doloh
Pohon Tua Itu Di hutan tua itu aku tumbuh bawahan dua pohon tua yang kokoh mengembangkan bunga-bunga warna-warni dalam kebun yang sama yang saling bertahan dari angin-angin ribut betapa kokoh pohon tua itu langit menangis piring api tak menjadi halangan melangkahi jalur yang penuh asap-asap untuk merawat empat bunga sedang mengenal dunia dalam kepak kutung bunga ini terisi oleh bintang rindu yang berputarputar mencari pohon tua yang kokoh itu di kebun itu firdaus dalam perjalanan kebun itu mengalirkan air manis melahirkan dialog-dialog menawarkan ikan dan daging di timur, tengah dan barat tapi untuknya hanya sayur dan segelas air putih Purwokerto, 4 Maret 2014
70
Kiblat Cinta
Bidadari Tercinta Di jendela itu melihat Hawa menari-nari dan ditimpa oleh banjir-banjir yang tak kenal musimnya Hawa itu tetap saja menari-nari dari titisan embun ke ayam yang membisu seorang menyaksi Adam pulang Adam pergi bersama besi hitam dan keras di bahunya untuk melukis bidadari yang tercinta Purwokerto, 4 Maret 2014
71
Mahroso Doloh
Jembatan Bidadari Bintang-bintang yang bertasbih air yang berderai tetesan mutiara di sudut-sudut bertaburan emas menjadi jembatan bertemu bidadari dengan pohon yang bertatih-tatih, berdzikir dan bercabang ranting-ranting firdaus yang menjadi taman teduhan kembali bagi Adam Hawa yang bernari ketika panggilan-Mu merayu-rayu Purwokerto, 4 Maret 2014
72
Kiblat Cinta
4
Catatan Indonesia
73
Mahroso Doloh
Saat Langit Bersalam pada Bumi kuberi salam pada mata hari yang tak sedikitpun sinarnya membisu walau berada setinggi langit selalu menyapa rumputrumput begitu juga bulan; selalu tersenyum pada segenap semesta berkedip mencari umat sedang bersenang maupun tak dari situ aku pelajari; hidup jadi hampa jika senyum hanya pada rembulan dan bintang sedangkan rumputrumput dan kerikil kecil masih berjejeran di sepanjang jalan sampai kapankah kekeringan terpaku pada rumput dan itu, tak bisa tetepkan waktu jika nurani tak tertancap pada kalbu jika kita sesama rumput dan berbunga tetaplah pada tanah kejujuran menegak sebuah kebun membagi harum tak kecuali Purwokerto, Juni 2014
74
Kiblat Cinta
Rapi dan Api Tak sedikipun terbayang malaikat apalagi pada-Nya saat keringat membasahi telapak tangan hanya bersibuk dengan ombak-ombak uang kau lihat tari-tarian bintang berusaha menolak kegelapan kau fikirkan apa maksud mentari setia pada siang dan bulan selalu bertahajud pada malam demikian embun pada pagi semua itu dengan keikhlasan pada Ilahi apakah kau tak mampu bersandar pada-Nya yang setiap daun-daun membawa angin padamu hentikanlah! tanganmu sudah tak sanggup lagi untuk menari dalam api sungguh selama ini kau sudah merasa akrab tapi ingatlah; api menyala tidak hanya hari ini tapi dalam tanah sekalipun tetap saja membara apakah kau tak merasa kasihan pada orang-orang kepanasan dengan senyum manismu dan merasa bangga saat kantong kemeja rapi; berisi api Purwokerto, Juni 2014
75
Mahroso Doloh
Semarak Tikus Tikus kecil sudah bersekolah yang tua sudah merata ufuk Nusantara di bawah meja, kursi, dan di manapun dikuasai tikus tikus mengikis semua tak kecuali seperakpun tapi pantas rombongan tikus adalah sarjana-sarjana bahkan doktor apa jadi negara ini; jika salah tak lagi merasa salah saat ombak hitam membasahi telapak tangan di ruangan berbesi hitam sudah bergunung; tapi jutaan ekor masih saja menjadi keturunan mengikis bumi dan pohon-pohon; dengan senyuman tawar sepertinya para petani dan pedagang adalah korban mencari nafkah dari embun hingga mata hari terkubur hanya mendapat sepiring sayur dan segelas air putih berbeda dengan para tikus; yang hanya merangkai kata-kata palsu palsu dianggap benar itu cermin pembuktian; tikus sudah mengikis nurani nurani menjadi ombak-ombak hitam dan mengalir melingkupi sepatu kulit; yang tak pernak diselimuti kabut permukaan bumi diterpa segenap penjuru terik mentari; hanya satu yang kau kejar bukan malaikat dan bukan juga nabi apa lagi mencari Cahaya jika bukan demikian siapkah kau hampar alis berjamaah para malaikat Purwokerto, Juni 2014 76
Kiblat Cinta
Ku Singgah Negeri Indah Aku singgah sebentar melihat taman ini; sungguh indah tapi kenyamanan tak pernah menyinggah ada apa dengan taman ini, taman riuh dengan kesuburan tapi kenapa pemiliknya masih saja bernari; di pintu ke pintu dan di jalan terlihat sebongkah daging ikut bertepuk tangan mengucap terimakasih, pak Aku merasa tersinggung sepertinya ada sesuatu terhadap hal itu bagaimana aku mau membangun rumah jika kegelisahan selalu tertancap kalbu, kenyamanan tak apa yang harus kugunakan untuk menjadi fondasi sehingga tak gampang diruntuh atau dikerik tikus-tikus bersepatu kulit kenapa taman ini terasa seram setiap angin melewati kuping kecil ini membawa pilu; saat aparat tersenyum di televisi dengan kasus hanya melayani ketebalan dompet bribadi nurani tak lagi menjadi jiwa yang sujud pada bangsa setiap masalah menjadi komoditas diperdagangkan di bawah meja tak lagi merasa seram jika mata sudah terbuka; melihat duri-duri yang merusak dan takkan ku diam lagi merela kemiskinan semarak di ibu pertiwi kesehatan Nusantara; adalah kewajiban tak kecuali menghapus kecemasan yang hanya mementingkan pada kursi empuk dan kekenyangan perut sendiri 77
Mahroso Doloh
menghapus egoisme di seekor serigala mencari mangsa tak kesudahan wahai bapak yang terhormat sudah, cukup disinilah kau tak perlu merangkai kata-kata agar jadi indah karena dengan suara indah itu; adalah butiran menambah jumlah kemiskinan kau tanamlah nurani pahlawan bangsa dengan tetesan darah terakhir menjadi fondasi agar berkibar dipuncak dunia Purwokerto, Juni 2014
78
Kiblat Cinta
Dakwah Seorang Rakyat Aku tak bisa bermain kata-kata seperti yang engkau ucapkan aku tak bisa berpuisi bermain irama yang sedang kau lakukan sungguh itu indah jika suara itu, takkan hanyut begitu saja tak membuat mimpi seorang anak menjadi mimpi seekor kambing bermain atas rembulan ingin ku ajak untuk selalu; dengan ikhlas dua tangan menari di atas; dengan terbuka jangan hanya melayani pada suatu tak dibutuh panggung tersedia kau menarilah, bukan di bawah meja; tak terlihat mata telanjang ingin mengucap terima kasih jika lidah-lidah ini tak terputus juataan telapak tangan tak mampu berkeringat jika kau tak menjadi matahari jutaan jiwa akan kelaparan jika kau tak menjadi hujan-hujan karena di bawah pohon tua ini tempat kami berdarah kesuburan yang senantiasa; itu menjadi harapan dan cita-cita Purwokerto, Juni 2014
79
Mahroso Doloh
Mata Langit Diruncing berkedip di lapangan langit hitam manisan doa melintasi separuh kuburan memberi salam pada kumpulan itu pintu terbuka senyum yang terluka terhunus malam yang setia pada gelap berikan rahim embun membasahi; tiangtiang bangsa selalu— mengikis asap menerobos mendung pada jalanan danaudanau yang buta arus menunggu hujan sebilah pisau kapal mencari ikan, pasaran tersenyum menjadi pagi iktikaf pada embun Purwokerto, April 2014
80
Kiblat Cinta
Lilin Jepara Kita dipertemukan lilin Jepara selalu menderaikan terang tak kehabisan cahayanya melumuri anak cucu disini pribumi; terdengar di Nusantara terpaku di jutaan kalbu cinta membara mengilhami Hawa dalam sukma dengan tulus pengorbanan dari belenggu antara langit dan bumi hitam dan putih habis malam datanglah pagi membuka mata pada kepala yang terpicik habis gelap terbitlah terang terkubur malang menggunung doa dalam sujud terbungus kebangkitan mewariskan terang jadi titi— kepada-Nya Purwokerto, April 2014
81
Mahroso Doloh
Melukis Cahaya Kaulah puisiku selalu terkunci di pintu kalbu sungguh wajahmu mata tak bertatap tapi aroma selalu jadi sahabat kuping-kuping waktu bertabur sehingga cinta terpendam kalbu tak mampu bernyanyi dengan merdu; kau bebaskan hawa di Nusantara Purwokero, April 2014
82
Kiblat Cinta
Kau Usai di makam itu subuhmu merambat menjadi aksara embun yang selalu bermadah hingga kupu-kupu bershalawat tak kehabisan apakah kau selalu mendengarnya sebagaimana kau dengar suara perempuan menjerik pada dunia; dan ketika itu kau bertatih menggali surga dan hamburkan mewariskannya menjadi benihbenih berdiri dengan diri hingga tarianmu menjadi-jadi tak terlihat kaku kau kuburkan lumpuh pada hawa menjadi pohon, sayur mayur menakluk kehijauan kembali setelah begitu lama namamu berlayar dalam nadi, aku berlabuh pada dadamu; begitu kukuh melintas ombak dan segala badai di cakrawala dibanting doa pulau ke pulau hingga teluk dadamu sampai terdengarlah suarasuara disegenap pelosok dunia Purwokerto, April 2014
83
Mahroso Doloh
Kartini KARam kembali memberi salam pada dedaun yang lama lumpuh dan kering dalam basah menunggu hujan membalik nasib yang selama hanya diam pada doa TInta setitik kata menjadi senjata pembuka mata dan tak lagi buta, tak mendiam katakata seolah-olah nabi kaum hawa NIat tulus; pagi sampai mentari ditelan bumi kau dan kami berjabat kalbu menetes gerimis rindu hanya pada angin kulihat indah wajahmu biarpun lama sekian tahun tetap disanjung setiap ulang tahunmu jutaan cahaya lilin shalawat tak kesudahan membalas tetesan keringatmu dulu menyuburkan di segenap cakrawala Purwokerto, April 2014
84
Kiblat Cinta
Warisan di Salam Kartini Semoga kau dengar salamku ini lihatlah kembang salam cinta; hawa biarlah tangan tak sempat berjabat tapi tetesan dari keringat tanganku sudah menjadi kehijauan yang begitu indah pada alam dan ku harap lanjutkan keringat ini jangan sampai kekeringan singgah pada bumi semoga kau dengar salamku ini jangan kau takut dengan hal-hal belum kau teguk walau sepanas apapun jangan biar begitu saja mainkan sedikit otak jernih itu untuk bebas sepanjang waktu dalam hidup seorang anak ke anak cucu yakinkan itulah rela dari-Nya Purwokerto, April 2014
85
Mahroso Doloh
Kepayang Kursi (1)
Terbening kursi dalam ruangan pada fajar menyingsing menunggu calon ratusan mata dua mata yang jutaan mata mata melihat kursi itu kursi melihat mata itu dan itu bukan permainan metafora; tapi metafora itu dipermainkan bukan permainan hidup hidup dipermainkan— memang kita adalah boneka tak dapat menempati kursi empuk Purwokerto, April 2014
86
Kiblat Cinta
Kepayang Kursi (2) Di kamar tidur boneka dipeluki hujan membasahi dan kedinginan seberapa mahal boneka itu ku senyum tanpa kecuali tapi apakah boneka itu diletak di kursi empuk, senantiasa harum bajunya, tidak terlihat di jalanan dan lampu-lampu merah senyum rumit kau berikan tak bisa dibaca; boneka bernapas ikan berbaring melihat kursi sedang permimpi kursi penuh oleh dasi-dasi Purwokerto, April 2014
87
Mahroso Doloh
Kepayang Kursi (3) Malam di siang hari mimpi hangat atas kursi berjuta kaki berjuta kaki di kursi tanpa kaki kepayang kursi kau riuh yang menjadi bertabur bidadari menutup mata selembar-selembar tangan terbuka penuh udara kursi sekolah tak pernah kududuki keras lembutnya sekalipun tak nikmati kau di kursi surga; melihatkah kaki tenggelam tanah— Purwokerto, April 2014
88
Kiblat Cinta
Kepayang Kursi (4) Dedaun silih berganti indah pohon; dedaun hijau yang tulus daun di puncak badai bertamu meskipun begitu, tetap dengan kukuh menjaga kehijauan memberi teduh di bawah pohon aku bersekolah menanam pohon aku bernapas naungan pohon merantai gerobak jadikan pohon di puncak takwa cumbuan waktu tidak sesaat memberi medan penuh warna kesana kemari senyuman makmur Purwokerto, April 2014
89
Mahroso Doloh
Ucapan Selamat Hari masih tersisa sepertiga menjelang malam kami menyaksi sumpah-sumpah telah kasidah akan membara jadi perigi; dan doa-doa kami ucapkan selamat atas kursi yang kau ingin rembulan silih berganti dan mentari pagi selalu mendaki kursi yang kau isikan sumpah— sumpah jadi ayah dan ibu tercinta kami tunggu layanan—sang bayi melihat dunia senyum manis yang kau papar itu atas kursi di puncak awan kau menatap cerahan di langit biru jangan hanya berziarah; kau berikan Purwokerto, April 2014
90
Kiblat Cinta
Keunikan Senyum Senyum salju penuh di depan rumah warga pohon-pohon ikut bersenyum di sepanjang jalanan apakah matahari sepuluh april masih tersenyum jika iya, ku harap kau tersenyum merantai kalbu penuh melati terima kasih kau ucapkan dengan Basmalah kau langkah tebah semak-semak hutan simbah keringat menjerat di atas sajadah memberi penawar kakek tua penjaga mushola jangan kau tanam bunga kamboja pada mimpi-mimpi tapi tanamkan para sufi atas kuburan berdoa oleh ribuan orang kepergian diselimuti aroma melati dan suci senyum kau merata; kau pergi bertemu sang Maha Cinta Purwokerto, April 2014
91
Mahroso Doloh
Bait Puisi Para Pejabat Selamat pagi bapak ibu suara pejabat melontar kuping-kuping dengan manis senyumnya; menjadi sulit dimaknai senyum bunga kamboja apa melati sekalipun penuh wangi bisa membusuk sampai ke hati sekuntum bait puisi merekah darah gembur di hati nada-nada mengalun aroma surga beri ceramah bagai kasidah cinta sebening puisi menetes awan sunyi menjadi kabut untuk yakin para Nabi Purwokerto, April 2014
92
Kiblat Cinta
Doa Sebelum ke Makam Matahari pagi nakhoda hidup ini aku sudah tua tak melihat langkah di depan tapi, anak cucuku masih bayi semua apakah itu akan ku tinggal begitu saja ku selalu berdoa agar di jendela dunia tempat kau sumpah; menjadi tepat— tempat aku merenung, melihat kekuningan sawah yang penuh senyuman mewujud kehijauan mendatang kutitipkan gunung, lautan dan semesta ini menjadi kaki tangan dalam seharihari mengisi waktu jangan kau tanam untuk kepentingan pribadi menyulap mentah menjadi emas menghias diri khalifah Ilahi kemarau kau rimbah keringat menjadi-jadi memberi mendung pada pintu ke pintu terima kasih kau menjadi khalifah yang selalu Purwokerto, April 2014
93
Mahroso Doloh
Ulang Tahun Sepuluh April Harapan berpijar di rengkut lautan karena redam dengan nanar sumpah-sumpah bukankah Dia untuk mengikat keyakinan kepada-Nya kening-kening menghampari ulang tahunmu sepuluh april sempatkah kau menyala lilin dan merata menabur melati memberi harum di pintupintu seperti Dia; purnama bulan di pelusuk dunia ku ingin, di mushala itu terang gemilang kau jadi imam menular para jamaah merenung kepada Cinta; dan doa dengan Zamzan itu Dia memandikan kita Purwokerto, April 2014
94
Kiblat Cinta
Risalah Rakyat Kau hidangkan nyala matahari sebelum subuh menjelma kau beri beribu doa tercatat di surat kabar kau merapat bunga-bunga; kelopak— berjuta medan merantai doa memekarkan kemilauannya, sinar di ufuk-ufuk hingga fajar jadi hakikat dan bermakna aroma jalanan kau reguk sebagai sang kekasih sebelum matahari berkubur lima tahun kelak berikan embun yang mengkobar membasahi rerumput kepanasan; kering membuka hutan menjadi ladang-ladang ; napas Purwokerto, April 2014
95
Mahroso Doloh
Kepada Siapa Aku Bertanya Umpama badai menjelma dalam hidupku menutup mata dalam gelombang ; bernapas ikan beribu kapal bersuara mengundangku semua berhias penuh warna dan senyuman saat gemuruh dan gelegar kemanakah aku harus mengatur telapak apakah ada yang melabuh bahtera cinta memberi ikan menjadi lauk untuk sarapan aku sudahkah i’tikaf dalam sujud apakah sujud hanya sisa yang menghanyut aroma surga dan air mata bisakah diuntai mutiara gemilang menjadi doa di penghujung senja Purwokerto, April 2014
96
Kiblat Cinta
Bunga-bunga Rakyat Butiran embun hening di kelopak bunga semua merah dan semakin runcing memberi hias taman ke taman saat embun mengatarkan rembulan Sepeti mimpi yang berkerut saat melepas aroma surga yang bertakbir jutaan amin dengan harapan kehijauan menyejuk mata, relung kalbu pada sunyi dalam udara berteduh kuldi menghalang nestapa menyemai doa dengan jasad yang kau selami jadikan bunga di rembulan yang mengantar : kuburan mentari Purwokerto, April 2014
97
Mahroso Doloh
Suara di Kaki Bumi Di kursi yang mana layak ku tempati kau persila penuh dengan irama dan berpuisi singgasana kau ikhlas untuk siapa pada ku atau menjadi altar untukmu sungguh gemang saat kau melontar doa-doa menjadi mimpi-mimpi revolusi anak cucu berangkutan bertemu guru tanpa sembilu mewujud hari-hari istikharah aroma surga kemarau tak juga kemarau bumi merindangkan hujan hujan merindangkan hijau kau beserta aku merindang tangan-tangan— dalam hujan dan cahaya yang redup lapangkah kau berbunga bersedia ditimpa badai dalam ruang yang sudah-sudah berbenah bidadari sudi menghanyut geram derita saat sapa melontar Purwokerto, April 2014
98
Kiblat Cinta
Kabut di Kampus Biru Kampus biru kau selalu menyebut taat dan sujud suara bergema ayat-ayat kau selalu menyebut bukan Kitab kau tak kenalan dan berkata bidah tapi menjilat mata dan membumi bayang-bayang hitam dengan membuta mata-mata yang nyata saat kabut bernyala menjilat kepala dan kau menari kau jadi wadah terbuka meledani kabut hitam apa arti apakah tafsirmu kata unggul dan apakah arti modern dan islami ketika tembok-tembok dan suara-suara menjerik-jerik kau memejam, tuli dan membuta satu kata kau tak berkata bibir telah dikunci oleh budaya seni yang kau setia tanpa setetes menguranginya budaya bukan cahaya tapi kabut memunuhi jiwa-jiwa Purwokerto, 4 Maret 2014
99
Mahroso Doloh
Smokol
-Tugas Analisis Cerpen Smokol
Smokol kau jadi puisi aku malam ini kau masukan kepayang kepala kecil ini oh...aku pergi aku balik aku tersesat tak bisa aku tembuskan jalan kau, Smokol Smokol aku bengong aku tanya ke pohon-pohon tua di kebun tapi jawabannya aku juga tertutup pohon-pohon kepayang Smokol, ini harus bagaimana? padahal bumi memuntah cahaya aku harus pergi, tiket satu minggu lalu aku sudah tetap aku harus bagaimana? kau suruh aku menyeberang aku menyeberang malah kau memutarkan aku harus bagaimana Purwokerto, 4 Maret 201
100
Kiblat Cinta
Merah Putih Mengecewa Di puncak pohon-pohon tanah ini terbayang merah putih serambi Mekah berlari-lari di televisi tidak ada yang Cina kebanyakan wajah memuat gatungan baju merah putih di puncak pohon-pohon ini engkau sudah bebas dari batas-batasan barat semua umat mayoritas Muhammad kaum ibu berjalanan Aisyah tapi setelah aku tumbuh di kebun-kebunnya ternyata semua itu bayang-bayangan kosong rakyat-rayat yang lapar di pinggir-jalan serambi Mekah berada di tangan-tangan barat aku kecewa kenyataan di kebun SBY aku kira kebun ini dapat aku menumpan mandi tapi ternyata kebun ini hanya berisi rumput-rumput yang kering yang mengalami lapar dan dahaga Purwokerto, 4 Maret 2014
101
Mahroso Doloh
Raja Pemilu Aku pribadi pendatang saat fajar menyingsing mata terlihat memandang; barisan gerobak-gerobak mencari nafkah di sepanjang— jutaan tangan mengayung-ngayung yang menari di jalan getir menggendong sebongkah jantung tanpa berdosa dan bertelanjang di segenap rute-rute di bumi tercinta Hyang aku menghitung lampu-lampu jalan yang berurutan dan diakhiri oleh sebilah tongkat serta kaki yang patah membelalang membawa kecapi-kecapi yang dibikin dari tasbih dan madah berdetingan kotoran lumang tapi setiap hari tongkat itu menjadi raja angin membawa gelombang menjilat kuping-kuping kita gelombang yang lahir dari bibir politisi, pusat dan daerah serta kota beragam dan selalu dijunjung, tapi setelah pemilu tiba dan usai, fajar menyingsing tongkat dan tangan-tangan yang mengayung fakta menjadi getir dan membawa gelombang keruyuk untuk lima tahun ke depan yang derita— Purwokerto, Januari 2014
102
Kiblat Cinta
Banyumas Seindah Negerimu Banyumas seindah negerimu embun pagi memaniskan mataku gunung Slamet merayu-rayu kalbu Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju fajar menyingsing ku melihat di setiap penjuru sungai serayu mengalirkan jiwa luhur, mataku terpaku Telaga sunyi pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi bumi perkemahan kebun raya terperi negeri mutiara pusaka Ilahi yang tak terlukis dada sebelum ku kunjungi Ahmad Tohari cukup indah namamu, senantiasa terperi yang persis tajam otaknya tak terhenti Srintil menjadi bidadari dan menari teguh menggalas adab budaya tak pernah goyah dan bakti menjilat daun kudus di dadaku rantai memuji lantaran aku berlari disini tak pernah ku duga jalanan ini; bertemu dengan seorang penyair selama ini ku cari-cari yang dicintai ranting-ranting budaya dan seni yang tersimpan filosof dan Sifatul Din bercabang tak henti diiringi ahlussuluk kesendirian para sufi sekelumit rindu takkan hanyut menumpang mandi dan berteduh larut agar bisa ku temui cablaka, blakasuta untuk ku rangkut setetes dzikir bisa kutitip, tuntut menabur bunga-bunga profetik ke jauh-jauh ufuk dan sudut semoga persih tabliq di talapak Muhammad melesat salut Purwokerto, Januari 2014 103
Mahroso Doloh
Nafas Fajar menyingsing membawa gairah terbening setiap langkah tanpa merinding Kau menjelita rerumput; kering di pegunungan dingin ku sapa kaki tangan mengayuh bersama berbakti, makruf bumi tercinta memapar hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga diiringi rengkong saat panen tiba jalan pulang-pergi silih senyum dan suara bekerjacowog, mbloak wongdesa umat limpah rahmat Sang Kuasa marak fajar rute-rute untuk bersujud jutaan gerimis menyelimut badan penuh maksud setetes lautan nafas sang bayi yang menakjub Rahmat selalu shalawat semesta bertahajud Purwokerto, Januari 2014
104
Kiblat Cinta
Sajak Orang Merantau Tak tahu bulan sabit yang harus ku tulis aku adalah rembulan dikelilingi bintang romantis orang berkata sajakku adalah puitis aku bilang anggap saja ini setangkai bunga narsis aku merantau menggali doa-doa pafas dingin kulit menjadi kata-kata gunung Slamet ku menjilat dua belah mata menggalas cahaya taaruf berbagai budaya ada bongkel yang bernadanada tangan dan kaki dilingkar gelang-gelang setiap gerakan diiringi kerincingan senyum Srintil sangat menyenang sungai serayu jutaan kata walaupun belum sampai di muara mengalir dengan gelombang sayang dan cinta memberi nafas pada penduduk cablaka hidup sama rata adalah doa pulau jawa Purwokerto, Januari 2014
105
Mahroso Doloh
Setangkai Gelombang Karyamin Sepertiga rembulan kumelihat senyummu demi waktu terus membuat terpaku diijab-kabul bidadari hanya mengumpul batu aku mengerti rembulan menyinari kerikil tubuh rubah batupun tumpah mengalir hiburan dan omong brecuh mekar bunga melihatmu yang mbloak aku pungut akarmu yang ksatria Diktum jadi kolam renang bagi aku yang sambil menyelam menangkap ikan untuk mengisi lambung yang keruyuk walau keruyuk, tapi merantai senyuman merasa bajul buntung— jika tanpa merajut senyummu itu sebelum rembulan di telan tanah sudikan aku melafal kulanuwun Purwokerto, Januari 2014
_____________________
*Sajak “Setangkai Gelombang Karyamin” ditulis dengan berdasarkan cerpen “Senyum Karmin” karya Ahmad Tohari. 106
Kiblat Cinta
Mengkiblatkan Cinta Kepada Cahaya Oleh Dimas Indianto S.1
Cinta memang luar biasa. Cinta tak pernah habis dituliskan. Cinta meruang dan mewaktu. Semua orang mengalami perasaan yang disebut cinta. Cinta mempunyai banyak dimensi, dari cinta eros sampai cinta mahabbah. Cinta tak pernah selesai dibahas, tak pernah usang dijadikan cerita. Pun dengan puisi. Penyair tak bosan menuliskan puisi ikhwal cinta. Sehingga puisi cinta akan terus ada dan mengada. Padahal, menulis puisi cinta itu hal yang sangat sulit. Setidaknya itu yang diakui oleh Paul B. Janeczko dalam pengantarnya di buku “Ketika Kau Tersipu” (2004). Puisi cinta menuntut penyair untuk bisa membuka teks, agar pembaca bisa hadir dan mengatakan “penyair ini begitu memahami perasaanku”. Artinya, agar puisi tidak menjadi aku-penyair semata, namun aku-publik. Sebab, semua orang merasakan cinta, mempunyai cerita cinta, dan kenangan-kenangan indah tentang cinta, maka itu, ketika dituangkan ke dalam sebentuk puisi, tantangannya adalah bagaimana “pengalaman” yang menjadi isi puisi itu tidak kehilangan ruh ketika puisi sampai pada pembacanya. Contohnya adalah puisi cinta berjudul “aku ingin” karya Sapardi Djoko Damono. Puisi itu sederhana, namun maknanya—meminjam istilah W.S. Rendra—meruang dan mewaktu, sehingga usia cinta lebih lama dari usia percintaan.
1 Dimas Indianto S. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, artikel, dan jurnal. Sering diundang membaca puisi baik di pertemuan sastrawan bertaraf lokal, nasional, maupun internasional. Puisinya sering memenangkan lomba kepenulisan puisi. Puisinya tersebar di berbagai buku antologi dan korankoran nasional. Buku kumpulan puisi pertamanya berjudul Nadhom Cinta (2012). Sekarang bergiat sebagai pengasuh komunitas Pondok Pena, Purwokerto. 107
Mahroso Doloh
Membaca buku kumpulan puisi berjudul “Kiblat Cinta”, saya dihadapkan dengan sebuah kitab cinta. Mahroso Doloh, seorang penyair kelahiran Thailand yang belum genap tiga tahun berada di Indonesia, menawarkan puisi-puisi manis yang sarat muatan cinta, dari cinta eros kepada lawan jenis, cinta nasionalis kepada tanah kelahirannya, cinta berdimensi sosial kepada lingkungan sekitar, juga cinta yang berdimensi ruh atau transendental. Kiblat Cinta Kemana akan kusimpan sebuah cinta jika aksara tak menjadi kata-kata bahkan terucap hanya terpaksa menjadi ombak hanya ketika dalam puisi menggunung cinta mencari arah tak terhingga tak ingin cinta; yang menjadi titi neraka dengan cinta; beribu cinta menbuat taubat di sela-sela malam menderai gerimis hitam menjadi secawan zamzam dengan cinta; beribu cinta angin, panas dan hujan semua terasa pada telubuk kalbu hanya mencari kiblat Cinta Patani, September 2014 Puisi ini merepresentasikan esensi dari buku ini. Adalah sebuah keresahan yang dirasakan oleh Mahroso Doloh yang menjadikan ia terpanggil untuk menuliskannya dalam 108
Kiblat Cinta
sebentuk puisi, ia mencurahkan pemikiran, perasaan, dan harapan-harapannya. Ia melihat dan merasakan bahwa fenomena “cinta” baik dalam konteks spesial yakni cinta antar jenis kelamin manusia maupun cinta yang hakiki, yakni cinta yang berdimensi transendental. Ia mengatakan /Kemana akan kusimpan sebuah cinta/ jika aksara tak menjadi kata-kata/ bahkan terucap hanya terpaksa/ menjadi ombak hanya ketika. Ia khawatir jika cinta yang ada tidak memberikan kemanfaatan. Apalagi jika cinta menimbulkan suatu yang merugikan. Jika dalam konteks lebih sempit, cinta antar dua insan manusia misalnya, adalah cinta yang sekadar kamuflase-kamuflase belaka, sehingga aksara tak menjadi kata-kata/ bahkan terucap hanya terpaksa/, padahal cinta itu memberi, tanpa berharap menerima, sebagaimana disampaikan Erich Fromm, bahwa dalam mencintai, yang dibutuhkan adalah kesanggupan untuk senantiasa memberi kepada yang dicinta, tanpa mengharapkan balasan. Sebaliknya, jika cinta hanya dipahami sebagaimana definisi umum yakni give and receive, maka cinta akan timpang, ketulusan akan dipertanyakan, dan bisa jadi akan berakhir menjadi ombak hanya ketika. Maka itu, Mahroso Doloh khawatir dan /tak ingin cinta;/yang menjadi titi neraka. Sebaliknya, Mahroso menginginkan /dengan cinta; beribu cinta/ membuat taubat di sela-sela malam/ menderai gerimis hitam/ menjadi secawan zamzam. Artinya, keberadaan cinta, memberikan kontribusi positif: cinta menjadikan seseorang justru menjadi lebih baik. Maka itu, Mahroso menuliskan puisi “Kutuliskan Cinta”; /Kutuliskan cinta pada dedaun/ yang selalu memberi mendung di telubuk hati/ tempat dikau dan aku menghirup angin/ menjadi rantai senyum berbunga/ tapi, jangan membuta/siapa pemilik angin itu/. Mahroso menginginkan, agar cinta mengingatkan—sekalipun dalam euporia—siapa pemberi cinta itu: Dzat Yang Maha Cinta. Dalam ranah itu, Mahroso banyak menyimbolkannya dengan diksi “cahaya” dalam puisi-puisi cintanya, seperti puisi “Mahligai Cinta”:/di pagi hari/ embun berdoa pada Cahaya/ 109
Mahroso Doloh
agar hujan menemani bungabunga/ saat kau mencium tanganku/ Qudrat di atas qudrat tertulis; semoga/ di dalam mahligai cinta//. Pun dalam puisi “Semarak Tikus”/ permukaan bumi diterpa segenap penjuru/ terik mentari; hanya satu yang kau kejar/ bukan malaikat dan bukan juga nabi/ apa lagi mencari Cahaya/ jika bukan demikian/ siapkah kau hampar alis berjamaah para malaikat/. Namun begitu, Mahroso—melalui puisi-puisinya—juga menebarkan cinta terhadap tanah kelahirannya: Patani. Untuk itu terdapat sub judul tersendiri, yakni Untukmu Patani. Menjelaskan bahwa sebagai seorang warga negara, Mahroso mempunyai tanggungjawab untuk senantiasa menjaga rasa cintanya sekalipun ia sedang tidak berada di negeri asalnya. Suara Patani …. jangan mudah terlena wajah berbunga belum tentu itu surga disana dan merata banyak penjaga tapi kenapa selalu menderita darahdarah mengalir dibalas dengan jutaan ketawa ini negara apa? kau bilang kedamaian milik kita tapi kenapa kau sendiri membakarkannya anak-anak dihilangkan ayah penuh sengsara para ustadz, ulama menjadi tersengka ini permainan politik belaka menabur najis tak terhingga hari ini mari kita bicara jangan biar begitu saja jangan sampai anak cucu kecewa ayo kita bangkitkan surga dalam negeri yang tercinta bumi bertuah bumi pusaka hapuskan penindasan yang menggoda 110
Kiblat Cinta
peri kemanusiaan kita tegakan semula ketidakadilan kita hanyutkan di samudra dengan satu syahadat menjadi rantai kita berjuang sampai jasad melayang cinta walau hujan kunjungi sebentar dengan campuran airmata walau dalam lautan darah; yakinkan itu balasan surga simpulkan tangan sesama Satu Patani Harapan Kita Purwokerto, September 2014 Puisi ini adalah bentuk kepeduliannya terhadap negeri asalnya. Sementara itu, tersebab dirinya tinggal di Banyumas untuk kepentingan studi, ia pun menuliskan sebuah puisi yang merepresentasikan perasaannya terhadap bumi Banyumas. Tentu apa yang ia tuliskan adalah lesatan-lesatan ingatan, dan segala yang ia tangkap dari hasil permenungan dan pengalamannya selama hidup di Banyumas. Mahroso menjadikan puisi sebagai kesaksian atas lingkungan hidup tempat ia menjalani hari-harinya. Banyumas Seindah Negerimu Banyumas seindah negerimu embun pagi memaniskan mataku gunung Slamet merayu-rayu kalbu Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju fajar menyingsing ku melihat di setiap penjuru sungai serayu mengalirkan jiwa, mataku terpaku Telaga sunyi pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi bumi perkemahan, kebun raya terperi negeri mutiara pusaka Ilahi yang tak terlukis dada sebelum kukunjungi 111
Mahroso Doloh
Ahmad Tohari cukup indah namamu, senantiasa terperi yang persis tajam otaknya tak terhenti Srintil menjadi bidadari dan menari teguh menggalas adab budaya tak pernah goyah dan bakti menjilat daun kudus di dadaku rantai memuji lantaran aku berlari di sini tak pernah diduga, jalanan ini bertemu dengan seorang penyair selama ini ku cari-cari yang dicintai ranting-ranting budaya dan seni yang tersimpan filosof dan Sifatul Din bercabang tak henti-henti diiringiahlussuluk kesendirian para sufi sekelumit rindu takkan hanyut menumpang mandi dan berteduh larut agar bisa ku temui cablaka, blakasutauntuk ku rangkut setetes dzikir bisa kutitip, tuntut menabur bunga-bunga profetik ke jauh-jauh ufuk dan sudut semoga persih tabliqdi tapak Muhammad melesat salut Purwokerto, Januari 2014 Religiusitas perpuisian Mahroso Doloh yang direpresentasikan dengan diksi “cahaya” di dalam buku ini, mengingatkan saya pada konsep cahaya sebagaimana didefinisikan Murata dan Chittick, adalah apa yang menghilangkan kegelapan, dan ketidakjelasan, iluminasi, irradiasi, ketakterselubungan, dan penampakan (2005: 128&132). Sementara, dalam perspektif Islam, cahaya merupakan representasi Tuhan. Cahaya dalam pengertian mistik ini dapat ditelusuri dari Q. S. an-Nur [24]: 35 yang artinya: Tuhan adalah cahaya (pada) Langit dan Bumi. Perumpamaan cahaya Tuhan adalah seperti sebuah relung yang tidak tertembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca 112
Kiblat Cinta
(dan) aca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah Barat (nya), yang minyaknya saja (hampir-hampir) menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).
Cahaya dalam ayat di atas diartikan sebagai “sang cahaya” sebagai salah satu nama indah Tuhan (al-asma al-husna). Cahaya (al-Nur) merupakan cahaya yang memancar dari Cahaya Tuhan Yang Tercipta yang keberadaannya menyinari suatu objek menjadi jelas dan terang sehingga mata manusia menjadi bisa melihatnya (Kurniawan, 2009: 87). Definisi ini senada dengan yang disampaikan Muhammad Mahmud Hijazi, bahwa cahaya adalah sinar yang tertangkap oleh indera, dan dengannya mata dapat melihat sesuatu (Ensiklopedi Islam, 1994: 45). Hal ini berarti, cahaya diartikan sebagai esensi yang tampak dengan sendirinya, dan membuat benda-benda di sekeliling menjadi nampak. Cahaya menjadikan segala objek wujud di alam semesta dapat terlihat dan diidentifikasi oleh penglihatan manusia. Maka itu, dengan puisi-puisi dalam buku ini, Mahroso ingin mengajak kepada jamaah pembaca, agar cinta yang sudah terlanjur dan menjadi keniscayaan manusia, diarahkan kepada cahaya: agar cinta menjadikan manusia menjadi lebih baik, lebih mengenal siapa pemberi rasa cinta itu: dengan kata lain, Mahroso mengajak pembaca untuk mengkiblatkan cinta kepada Cahaya. []
113
Mahroso Doloh
Endorsement “Mahroso Doloh, anak muda yang sangat berbakat. Dengan tempo waktu yang terhitung sangat singkat mampu menembus dinding batas antara Indonesia dan Melayu Pattani baik secara kebahasaan, maupun kultural. Hingga akhirnya mampu menggunakannya dalam kumpulan karya puisinya “Kiblat Cinta” bernuansa romantis-religius.” Hamam Supriyadi, Ph.D (Wakil Kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada, Indonesia
“Saya sangat apresiatif dengan puisi dari Mohroso Doloh ini. Ia mampu menjalin simbol-simbol sebagai kekuatan puisi. Bahkan, ia juga turut memunculkan unsur alam sebagai pesona di dalam puisi. Maka, ia mudah saja ketika harus menulis tema religius maupun nasionalisme untuk diwacanakan pada publik seperti yang ada dalam buku ini.” Arif Hidayat (Dosen dan Sastrawan)
"Sajak-sajak yang indah dan bermakna.” Yanwi Mudrikah (Penyair dan pemilik Kumpulan Sajak Rahim Embun)
“Sajak dalam Kiblat Cinta pantas dan layak dibaca untuk memahami sebuah cinta. Good Luck Mahroso! Yustin Safrilia Nur Alfian (Penyiar Radio Gradiosta dan Mahasiswa PBSI) 114
Kiblat Cinta
Puisi-puisi Mahroso Doloh itu sejuk. Serupa angin pagi hari yang berbeda. Berbeda karena teknik, corak, dan nuansa yang ada dalam puisi-puisinya adalah nuansa Melayu dalam keindonesiaan. Hal ini tak terlepas dari proses imajinatif hidup Mahroso yang Melayu, tetapi pengalaman imajinatif ini disampaikan dalam citra-citra keindonesiaan yang kental. Inilah khasnya puisi-puisi Mahroso Doloh. Heru Kurniawan (Penulis cerita anak, sastrawan dan dosen ilmu bahasa dan sastra)
Menikmati puisi karya Mahroso Doloh, seperti menikmati secangkir coklat. Hangat, manis serta romantis. Penyair dari Patani ini seolah mengajak saya menyelami lautan bernama cinta. Ada puisi di dalam puisi. Ungkapan yang estetik dan apik mampu membius saya ke dasar yang paling dalam. Hati. membuat saya terhanyut bahkan tersesat. Tasbih-tasbih cinta untuk pencipta, membuat saya seolah kembali jatuh cinta dengan cinta. Puisi yang mendamaikan, menyejukkan, seperti pohon rindang di tengah tanah gersang. Mulasih Tary (Novelis dan penikmat sastra)
“Membaca puisi Mahroso Dolloh membuat saya merasa tenang. Seperti embun yang menetes di dedaunan, indah dan selalu ada hikmah pada tiap tetes kata-katanya. Sentuhan Melayu yang ada dalam sajak Negeri Patani ini membuat semuanya unik dan indah dalam bingkai kesederhanaan.” Titi Anisatul Laely (Penulis Kreatif di Rumah Kreatif Wadas Kelir)
115
Mahroso Doloh
“Mencermati puisi-puisi yang ditulis Mahroso Doloh pada Kiblat Cinta ini, saya seperti disuguhi fenomena-fenomena yang sarat akan renungan pikir dari penyairnya. Fenomena air mata, saya tangkap cukup dominan pada penggalan “Untukmu Patani”. Yang menarik, Mahroso justru mampu menjelmakan fenomena air mata itu menjadi mata air karya! Dengan apik Mahroso mampu mengerahkan seluruh panca inderanya untuk kerja kreatifnya, sehingga ada jarak estetis antara “aku lirik” penyair dengan fenomena yang menjadi pijakan idenya. Meski, nuansa kesedihan muncul pada beberapa puisi yang ditulisnya, tetapi optimisme dan respon kritis atas fenomena tersebut justru membuat puisi-puisi yang ditulis Mahroso memiliki ruh. Ia tidak terjebak pada gaya penyair sentimentil yang cenderung hanya meratap-ratap. Mahroso justru mengajak para pembaca puisinya untuk melakukan refleksi, perenungan yang dalam, sehingga puisi yang ditulisnya bukan sekadar puisi curhat, tetapi puisi yang sarat dengan pesan moral. Puisi yang membuat pembacanya berpikir”. Eko Sri Israhayu, Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto sekaligus sebagai dosen Prodi PBSI FKIP UMP
“Kumpulan sajak ini seolah menjadi tetesan hujan yang membersihkan kekeruhan cinta yang pernah kita jilati hingga melahirkan cinta sejati dari-Nya. Dengan bahasa yang sederhana penulis mengajak kita untuk merenung dan mengembalikan cinta pada Pemilik Cinta.” Wanto Tirta, Penyair, dan “Presiden Guritan Banyumas” Indonesia
116
Kiblat Cinta
“Kumpulan sajak ini membuat saya termenung. Buah karya penulis muda kelahiran Patani ini mampu menuangkan citacitanya dan berdaya bangkitkan jiwa anak bangsa yang lama terlena.” Usman Tanjung, Ketua Program Studi Pbs. Melayu JISDA Jala Thailand Selatan.
“Dalam kesempatan menekuni sajak-sajak Mahroso Doloh; terutama lewat fb, saya dapat merasakan kemampuannya yang sangat terserlah dan mempunyai potensi yang menjanjikan berbanding penulis-penulis Patani yang seusiabahkan yang lebih veteran daripadanya. Dengan persekitaran kehidupan masyarakat Merlayu Patani yang jauh berbeza dengan realiti kehidupandi di Malaysia, Indonesia mahupun Brunei, saya yakin kesempatannya untuk mengangkat isu-isu kontempora melalui sajak-sajaknya cukup luas.” Nawawee Mohammad, Penyair, Jerteh, Terengganu, Malaysia 27 September 2014
Membaca sajak-sajak yang ditulis oleh penyair Mahroso Doloh, saya menemukan nafas ke-Melayu-an. Namun, penyair ini berusaha menuliskan sajaknya dengan Bahasa Indonesia. Di antara kedua bahasa ini di dalam sajaknya tarikmenarik. Sebagaimana tarik-menarik antara tradisionalitas dan modernitas, antara religiositas dan romantisme cinta remaja yang berangkat dewasa. Abdul Wachid BS, Penyair Indonesia, dosen-tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, Jawa Tengah.
117
Mahroso Doloh
“Membaca sajak-sajak dalam Kiblat Cinta kita dapat merasakan bahwa puisi Mahroso Doloh tidak hanya mengandung nilainilai romantis atau hiburan saja, tapi juga mengandung nilainilai seorang hamba terhadap Yang Maha Kuasa atau hakikat manusia sebagai makhluk profetik.” Muhammad Abdul Khodir, Mahasiswa Jurusan Derasat Islamiah Al Azhar University, Cairo
118
BIODATA
Mahroso Doloh, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwoketo, Indonesia. Lahir pada 24 Februari 1992, di Pakalesong, No.31/1, 6 Tuyong, Nongchik, Patani 94170 (Thailand Selatan). Mahroso adalah anak yang kedua dari empat saudara. Ibunya Zainab binti Husen dan ayahnya Kosim bin Ismail, seorang pedagang minuman (air tebu). Mahroso dikenal juga dengan nama Muhammad Rosul bin Kosim dan sekarang ia dikenal sebagai Penyair Muda Negeri Patani (Thailand Selatan). Masa kecil, Mahroso sangat dekat atau akrab dengan kakeknya (al-marhum H. Abdul Kodir), kakeknya adalah seorang imam masjid Nurul Huda Pakalesong. Dengan pendekatan tersebut dapat dikatakan Mahroso berkembang di ranah religius yang agak kuat. Sejak kecil Mahroso dididik oleh kakek dan kedua orangnya untuk senantiasa shalat berjamaah di masjid dan setiap malam setelah maghrib Mahroso dan adik-adiknya ngaji bersama. Mahroso bersekolah SD, SMP, dan SMA di sekolah yang sangat biasa, bukan sekolah yang favorit seperti teman-temannya. SD-nya di Sekolah
Pakalesong yang berada di desanya. Setelah lulus SD Mahroso langsung ditempatkan ke sebuah pesantren di Sekam, Palas, Patani atau yang dikenal dengan Pondok Ji. Loh Sekam. Tapi, sayangnya Mahroso bisa bertahan di pesantren tersebut hanya satu tahun saja, kemudian ia melanjutkan lagi di sebuah sekolah sekaligus dengan pesantren yang dekat dengan rumahnya, yaitu Pondok Takdam atau Ma’had Al-hidayah. Di pondok Takdam Mahroso hanya menjadi siswa biasa (pulang-pergi atau laju), tidak menjadi santri yang benar-benar tinggal atau menginap di ma’hadnya. Cukup satu tahun, Mahroso pindah ke sekolah atau pondok yang lain lagi dan di sekolah inilah yang dapat dikatakan sebagai sumber atau taman yang paling banyak menumbuhkan ilmu agama dan religiusitas ke dalam jiwanya. Sekolah tersebut adalah Sekolah Bakong Pitaya atau Ma’had Al-Islahiyah Addiniyah Pondok Hutan Agu. Kebetulan sekolah tersebut bersedia sampai tingkat SMA sehingga Mahroso pun tamat SMA di sekolah tersebut. Perlu diketahui bahwa di Patani atau wilayah Selatan Thailand kebanyakan sekolah yang dilahir dengan latar belakang pesantren, jadi sekolah-sekolah di sana tidak hanya mempelajari ilmu dunia saja, tapi malah lebih memperkuatkan ilmu agama atau ilmu akhirat. Setelah lulus SMA Mahroso memilih jalur studinya di Program Studi Mass Communication di Ramkhamheng University Bangkok Thailand (kampus terbuka) sementara itu, Mahroso mengiringi juga dengan ilmu agama atau kelas sanawi di Mahad Darul Ma’arif Patani. Satu tahun di Ramkhamheng University kemudian pada tahun angkatan 2012 Mahroso mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto Indonesia. Mahroso, saat berada di kampungnya ia sering disuruh untuk membaca Kutbah Jumat dan Kutbah Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Dengan nada yang kuat, permainan suara yang membuat para jamaah meneteskan air mata, bahkan ada beberapa warga yang mengatakan Mahroso adalah calon seorang imam atau khotib di hari mendatang.
Dengan latar belakang demikian, hingga menjadikan puisi yang ditulis oleh Mahroso bernuansa romantis sekaligus religius yang tarik menarik antara kemelayuan dengan bahasa Indonesia, hal ini pernah diungkapkan oleh Penyair Indonesia (Abdul Wachid B.S.). Adanya kemelayuan karena tidak terlepas dari lingkungan di Patani yang berbahasa Melayu dalam sehari-hari dan Mahroso sendiri sebagai salah seorang keturunan Melayu. Mahroso sangat mencintai kesenimanan. Sebelum ia berhijrah ke Indonesia ia bergiat juga sebagai penyanyi lagu anasyid. Grup anasyidnya adalah Mutiara. Hijrah Mahroso ke Indonesia. Dalam waktu tak berapa tahun dia diminta untuk menjadi guru kursus bahasa Thailand di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto dan di wilayah sekitar Kota Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Sambil proses mendalami ilmu berkaitan dengan Bahasa dan Sastra Indonesia sehingga ia sempat mengajar menulis puisi di Jamiah Islam Syeh Daud Al-Fathoni (JISDA) Yala Thailand Selatan untuk memenuhi permintaan Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastera Melayu. Selain itu, ia pernah menjadi Guru Al-Quran dan Guru Agama di Sekolah Melayu Nurulhuda Pakalesong. Mahroso tertarik dengan karya sastra (puisi); setelah mengikuti mata kuliah Kajian Puisi pada semester dua tahun 2012 dengan dosen Abdul Wachid B.S. (penyair). Sekarang ia aktif di Forum Diskusi Sastra Pojok Stasium, menjadi Relawan di Komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir, bergiat juga di Komunitas Penyair Institute dan ia sempatkan dirinya untuk mengikuti kelas belajar menulis (fiksi dan non fiksi) di Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto (SKSP). Bukunya yang telah diterbit adalah Cakap Berbahasa IndonesiaThailand (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014). Puisinya pernah bergabung di Lentera Sastra II: Antologi Puisi Lima Negara (Cilegon, 2014). Karya ilmiahnya berupa proposal makalah yang diajukan sebagai perlombaan membuat PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) 2013-2014 lolos dan didanai oleh DIKTI. Profil prestasinya sudah dimuat di beberapa media surat kabar dan majalah. Mahroso pernah mendapatkan penghargaan pembaca puisi
terbaik dalam kegiatan pementasan musikalisasi puisi di “Panggung untuk Puisi” yang diselenggarakan oleh panitia Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Selain itu, Mahroso pernah menjadi perwakilan baca puisi di acara Temu Penyair Asia Tenggara di Cilegon Indonesia sebagai perwakilan dari Patani Thailand Selatan. Hp : +62857-2622-6705/ +6684-747-9852, Email :
[email protected], www.facebook.com/Mahroso Doloh.