KRITIK SOSIAL DALAM ANTOLOGI PUISI AKU INGIN JADI PELURU KARYA WIJI THUKUL (SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA) Panji Kuncoro Hadi Abstrak Penelitian ini bertujuan (1) menjelaskan tema-tema yang terdapat dalam antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul, (2) menjelaskan tema-tema kritik sosial yang terdapat dalam antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul, (3) menjelaskan kritik sosial Wiji Thukul dalam perspektif sosiologis, dan (4) menjelaskan nilai etika, moral, budi pekerti dalam antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul. Penelitian ini, merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis). Metode analisis isi, yaitu dengan menggunakan pendekatan struktur dan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi pengarang digunakan untuk mengetahui latar belakang pengarang. Teknik pengambilan data menggunakan teknik pengambilan data purposive sampling. Dengan demikian, dari 136 puisi yang terdapat dalam antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul diambil 5 puisi yang mewakili tema kritik sosial. Untuk mendapatkan keabsahan data penelitian ini menggunakan triangulasi teori, yaitu menggunakan lebih dari satu teori dalam membahas masalah yang dikaji, selain untuk mengukur validitas data penelitian ini digunakan 2 teori atau pendekatan 1) teori struktur, 2) teori sosiologi sastra. Setelah dilakukan analisis data diperoleh simpulan Kesatu dari perspektif sosiologis kritik sosial Wiji Thukul berdasarkan dua aspek, yaitu aspek 1) protes sosial; dan 2) realisme sosial. Jelas kedua aspek tersebut masuk dalam “rumah” kritik sosial, lengkapnya kritik sosial dengan media sastra (puisi). Kedua, nilai etika, moral, dan budi pekerti dalam antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul merupakan nilai etika, moral, dan budi pekerti yang dimiliki kelas sosial bawah dari kalangan masyarakat dengan profesi: buruh, tukang becak, pemulung, dan sebagainya. Kata Kunci: Kritik Sosial, Antologi Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, dan Sosiologi Sastra A. Pendahuluan Kumpulan puisi “Aku Ingin Jadi Peluru” karya Wiji Thukul merupakan kumpulan puisi yang menarik untuk diteliti. Kemenarikan yang dimaksud tidak hanya muncul pada isi kumpulan tersebut, tetapi juga penyairnya yang unik sehingga memunculkan pendekatan sosiologi sastra. Kemenarikan yang pertama, kumpulan puisi AIJP terutama dari aspek struktur, baik struktur fisik maupun struktur batin puisi. Untuk struktur fisik puisi terutama dari aspek pilihan kata (diksi), sedangkan struktur batin puisi terutama pada aspek tema. Kemenarikan yang kedua, yaitu dari sosok penyairnya yang bernama Wiji Thukul. Nama lengkapnya, yaitu Wiji Thukul Wijaya. Tidak seperti penyair lain Indonesia yang hampir semuanya berlatar belakang sosial mapan atau cukup, Wiji Thukul adalah penyair Indonesia yang dilahirkan dari keluarga kelas bawah, dan dia sendiripun hidup dalam keadaan sosial yang tidak berkecukupan. Wiji Thukul hidup dalam perkampungan kumuh di kota Solo dan bekerja sebagai buruh dan mungkin karena dia juga aktif dalam gerakangerakan buruh maka dia menjadi salah satu korban penghilangan orang pada Mei 1998 lalu pada masa pemerintahan Soeharto (Rezim Orba)
Kemenarikan yang ketiga, lebih disebabkan pada aspek kemenarikan kedua, yang berbicara tentang persoalan sosial (pengarang). Dengan demikian, kajian yang dianggap relevan untuk meneliti kumpulan puisi AIJP karya Wiji Thukul adalah dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Di dalam pendekatan ini dinyatakan bahwa terdapat “hubungan” antara sastra dan masyarakat, begitupun sebaliknya ada “hubungan” antara masyarakat dan sastra. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana aspek kritik sosial dalam kumpulan puisi AIJP karya Wiji Thukul yang meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Bagimana kritik sosial dalam perspektif sosiologis Wiji Thukul dalam antologi puisi Aku Ingin Jadi Peluru? 2. Bagaimana nilai-nilai moral, budi pekerti, dan etika dalam antologi puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul? Selanjutnya kajian pustaka atau teori yang digunakan, yaitu pertama teori struktur dalam puisi beserta pengertian puisi yang dinyatakan oleh beberapa ahli sebagai berikut. Susan Giansanti, Jules Nelson Hill dan Ellen Beck mengidentifikasi beberapa pengertian dasar puisi, yaitu 1) poetry is the most compressed form literature; 2) poetry is composed of carefully chosen words expressive great depth of meaning; 3) poetry uses specific devices such as connotation, sound, and rhythm to express the appropriate combination of meaning and emotion (http://depts.gallaudet.edu/englishworks/literature/poetry.html) Beberapa pengertian di atas merujuk pada pengertian struktur fisik puisi. Berikut ini pengertian puisi yang merujuk pada struktur batin puisi. Bentuk fisik dan bentuk batin disebut juga dengan istilah bahasa dan isi atau dan struktur atau bentuk dan isi. Marjorie Boulton (Herman J Waluyo, 1987: 23) menyatakan kedua unsur pembentuk puisi dengan bentuk fisik (physical form) dan bentuk mental (mental form). Bentuk fisik dan bentuk mental bersatu padu. Namun demikian, keduanya dapat dianalisis karena bentuk fisik dan bentuk batin juga didukung oleh unsur-unsur yang secara fungsional membentuk isi. Berdasarkan beberapa pengertian puisi dapat disimpulkan sebagai berikut. a) Dalam puisi terjadi pengkonsentrasian atau pemadatan segala unsur kekuatan bahasa. b) Dalam penyusunannya unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaikbaiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi. c) Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair berdasarkan mood atau pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif. d) Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif. Hal ini ditandai dengan adanya kata konkret melalui pengimajian, pelambangan, dan pengiasan atau dengan kata konkret dan bahasa figuratif. e) Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh menyaturaga tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhannya. Selanjutnya, pengertian di atas dapat disingkat menjadi puisi adalah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (Herman J Waluyo, 1987: 25). Berikutnya adalah unsur “pembangun” puisi. Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur yang dimaksud bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa mengaitkan unsur yang lain. Jadi, unsur dalam puisi bersifat fungsional dalam kesatuannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya.
1) Unsur Fisik Puisi Herman J Waluyo (1987: 27) menyatakan bahwa struktur fisik puisi sering disebut juga struktur sintaksis puisi. Kesatuan unsur-unsur kebahasaan dalam puisi membentuk baris-baris puisi. Baris-baris puisi membangun bait-bait puisi. Selanjutnya, bait-bait puisi itu membangun kesatuan makna di dalam keseluruhan puisi sebagai sebuah wacana. Struktur fisik puisi adalah media pengungkap struktur batin puisi. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam struktur fisik puisi menurut Rachmad Djoko Pradopo (2002: 51) adalah sebagai berikut. a) Kosakata Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata, segala kemungkinan di luar kata tak dapat dipergunakan (Slametmuljana, 1956:7). Misalnya, mimik, gerak, dan sebagainya. b) Diksi (Pilihan Kata) Barfield (dalam Rachmad Djoko Pradopo, 2002: 54) menyatakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara sedemikian rupa sehingga artinya menimbulkan imajinasi estetis maka hasil itu disebut diksi puitis. Jadi, fungsi diksi untuk mendapatkan kepuitisan dan nilai estetik. b) Denotasi dan Konotasi Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan. Bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek, 1968:22). Jadi, satu kata itu menunjuk satu hal saja. Yang seperti ini ialah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan. c) Bahasa Kiasan (Figurative Language) Menurut Herman J Waluyo (1987: 83) bahasa yang digunakan penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. d) Citraan (Imagery) Juga imaji klise atau konvensional tidak dapat memberi efek puitis dan tidak menghidupkan gambaran. Misalnya "seputih kertas". Jadi, akan lebih efektif kalau dikatakan "Ia sangat pucat". Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh pendengaran disebut citraan pendengaran (auditory imagery) dan sebagainya. Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu tidak dipergunakan secara terpisah-pisah oleh penyair dalam sajaknya, melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah sarana kepuitisan. e) Gaya Bahasa Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca. 2) Unsur Batin Puisi Herman J Waluyo (1987: 106) menyatakan bahwa struktur batin puisi merupakan hakikat puisi. Struktur batin puisi berisi pengungkapan sesuatu yang dikehendaki oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam struktur batin puisi sebagai berikut. a) Tema (Sense)
Tema menurut Herman J Waluyo (1987: 106) adalah gagasan pokok (subject matter) yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran merupakan deakan jiwa penyair yang menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan maka puisinya bertemakan kritik sosial atau protes sosial. Herman J Waluyo (2001: 28) menyatakan bahwa tema keadilan sosial ditampilkan puisi-puisi yang menuntut keadilan bagi kaum tertindas. Puisi ini disebut puisi protes sosial karena mengungkapkan protes terhadap ketidakadilan di dalam masyarakat yang dilakukan oleh kaum kaya, penguasa, bahkan negara terhadap rakyatnya. b) Perasaan (Feeling) Herman J Waluyo (2001: 39) menyatakan bahwa nada dan perasaan penyair akan ditangkap kalau puisi itu dibaca keras, seperti poetry reading atau deklamasi. Membaca puisi dengan suara keras akan lebih membantu menemukan perasaan penyair yang melatarbelakangi terciptanya puisi. d) Nada dan Suasana Nada puisi menurut Herman J Waluyo (2001: 39) adalah sikap tertentu penyair terhadap pembaca. Misalnya, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas. Berbicara tentang sikap penyair berarti berbicara tentang nada. Jika berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi maka berbicara tentang suasana. e) Amanat (Pesan) Herman J Waluyo (2001: 130) menyatakan amanat yang hendak disampaikan penyair dapat ditelaah setelah memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Makna karya sastra bersifat kias, subjektif, dan umum. Setelah penjelasan tentang teori struktur puisi di atas, di bawah ini penjelasan yang merupakan kajian teori tentang sosiologi sastra. 1. Pengertian Sosiologi Sastra Sociology of literature, a branch of literary study that examines the relationships between literary works and their social contexts, including patterns of literacy, kinds of audience, modes of publication and dramatic presentation, and the social class positions of authors and readers (Robert Rushing http://www.answers.com/topic/sociology-of-literature). Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengkaji karya sastra sehingga diperoleh penghayatan yang maksimal. Salah satu teori yang dapat digunakan dalam mengkaji karya sastra itu adalah mealui pendekaan sosiologi sastra. Pengkajian karya sastra yang memfokuskan diri pada analisis hubungan antara pengarang, karya sastra dan pembaca yang disebut kajian sosiologis ini dapat menyoroti karya sastra dari sudut pandang pengarang, karya sastra dan pembaca sehingga dapat menghasikan kajian sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca atau gabungan diantara ketiganya. Hasil kajian itu, di samping dapat dijadikan sebagai sarana untuk memehami karya sastra, juga merupakan salah satu metode dalam pengajaran sastra (Kristi Siegel http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptums-gdl-jou-2006-drssuhardi-514#publisher). The course allows the possibility of integrating two ways in which sociologists examine literature. The dominant approach of the course is that of the Sociology of Literature, focusing on the production and consumption of literature in society. The course will demonstrate how social structures and processes govern the relationships among creators, audiences, and gatekeepers, both now and in the past. Analysis of works of fiction, representing a sociology through literature approach, provides a means to exemplify concepts, theories, and issues raised by the Sociology of Literature. The merging of these two approaches highlights the integral part literature plays in society (Karen A. Hegtvedt http://www.sociology.emory.edu/syllabi/soc324_kh.pdf).
Wolf (dalam Faruk, 1994: 3) menyatakan bahwa sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisi dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan antara seni/kesusastraan dengan masyarakat. Jadi, ada sosiologi sastra yang mungkin menyelidiki dasar sosial kepengarangan seperti yang dilakukan Laurenso, ada sosiologi tentang produksi dan distribusi karya kesusastraan seperti yang dilakukan oleh Escarpit, kesusastraan dalam masyarakat primitif seperti yang dilakukan oleh Radin dan Leach, hubungan antara nilai-nilai yang diekspresikan dalam karya seni dengan dalam masyarakat seperti yang dilakukan oleh Albrecht, data historis yang berhubungan dengan kesusastraan dan masyarakat seperti yang dilakukan oleh Goldmann, Lowenthal, Watt dan Webb. Wolf sendiri menawarkan sosiologi verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level “makna” dari karya sastra. Sapardi Djoko Damono (dalam Faruk, 1994: 4) mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dikemukakan Wolf di atas. Dari Wellek dan Warren ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Dari Ian Watt, Sapardi juga menemukan tiga macam pendekatan yang berbeda. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti dalam pendekatan ini adalah (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang terutama mendapatkan perhatian adalah (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis, (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya, (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat, (b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, (c) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan (a) dengan (b) di atas. Penelitian sosiologi sastra yang serius dimulai dari Glickberg (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 77 ), yaitu seperti apapun bentuk karya sastra akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Pernyataan Wolf (dalam Faruk, 1994: 3; Suwardi Endraswara, 2003: 77) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Jadi, menurut Suwardi Endraswara (2003: 77), sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif . Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi daya picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses, yaitu karya sastra yang mampu merefleksikan zamannya. 2. Beberapa Karakter dalam Sosiologi Sastra
Suwardi Endraswara (2003: 78), menyatakan bahwa penelitian sosiologi sastra memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan adalah pernyataan Levin (dalam Elizabeth dan Burns, 1973: 31; Suwardi Endraswara, 2003: 79) bahwa penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu. Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi Endraswara , 2003: 79) terdapat 3 (tiga) perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai berikut. 1. Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. 2. Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya. 3. Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. 4. Selanjutnya, berkaitan dengan pernyataan di atas, Suwardi Endraswara (2003: 78), menyatakan sosiologi sastra meneliti sekurang-kurangnya 3 (tiga) perspektif. Pertama, perspektif teks sastra. Artinya, peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Menurut Jabrohim (2003: 159), tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan haris dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat. Menurut Escarpit (2005: ix), kedudukan sastra dalam masyarakat, tidak dilihat sebatas biografi pengarang sebagai individu, tetapi sampai pada sifat-sifat kolektif dan asal-usulnya. Umar Junus (1986 : 3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah 1) karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya; 2) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra; 3) penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya; 4) pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas; 5) pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan 6) pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Selanjutnya, di bawah ini kejian atau teori tentang kritik sosial sebagai berikut. The poems are effective as social criticsm because the criticsm is not obvious, but if one looks closely, it be comes apparent. However it was unlikely that people read country house poetry to be provided with political or social insights, so it is likely that many of the allusions were lost on the majority of readers (Emma Jones. 2003 http://www.literaturestudy-online.com/essays/renaissance-poetry.html). Istilah sosial dapat diartikan sebagai hubungan manusia di dalam masyarakat, yaitu berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat terutama dalam bidang kesejahteraan (Abdul Syani, 1987: 3). Dalam kehidupan sehari-hari kritik sosial sering diartikan sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparaturnya. Tujuan adanya kritik sosial, yaitu untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakat untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan (Soerjono Soekanto, 1986: 184). Selanjutnya, dalam wacana tema, kritik sosial adalah sebuah tema dalam karya sastra tentang adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dengan tujuan untuk mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan (Herman J. Waluyo, 1987: 119). Tentang kritik sosial, Rendra menyatakan adalah kewajiban seorang penyair untuk mengritik semua operasi di masyarakat, baik yang bersifat sekuler maupun spiritual yang menyebabkan kemacetan di dalam kehidupan kesadaran. Sebab kemacetan kesadaran adalah kemacetan daya cipta, adalah kemacetan daya hidup, dan melemahkan daya pembangunan (Rendra, 2001: 6). Ideologi dan utopia dalam puisi, merupakan dua bentuk praktik imajinatif, dua ekspresi yang disebut Ricoeur sebagai imajinasi sosial. Dengan imajinasi seseorang tidak akan memahami satu refleksi belaka atau bayangan ilusi beberapa realitas yang praada. Imajinasi adalah hal yang produktif, dimensi kreatif bahasa, tindakan dan kehidupan sosial. Ia tidak sekadar refleksi tentang realitas, tetapi sebagai sebuah medium untuk memunculkan realitasrealitas baru dan untuk mengkritisi apa yang diterima sebagai “kenyataan” (Thomson B. John, 1994: 296). B. Metode Penelitian 1. Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk penelitian ini deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis). Penelitian ini mendeskripsikan, menganalisis, dan menafsirkan data. Metode analisis isi, yaitu dengan menggunakan pendekatan struktur dan pendekatan sosiologi sosiologi sastra. 2. Sumber Data Sumber data penelitian ini sebagai berikut. 1) Buku kumpulan puisi AIJP karya Wiji Thukul. Penerbit Indonesia Tera Magelang tahun 2000. Kumpulan puisi AIJP terdiri dari 5 (lima) buku. Buku I yang berjudul “Lingkungan Kita Si Mulut Besar” terdiri dari 46 puisi; Buku II yang berjudul “Ketika Rakyat Pergi” terdiri dari 17 puisi; Buku III yang berjudul “Darman dan Lain-Lain terdiri dari 16 puisi; Buku IV yang berjudul “Puisi Pelo” terdiri dari 29 puisi; dan Buku V yang berjudul “Baju Loak Sobek Pundaknya” terdiri dari 28 puisi. Jadi, jumlah seluruh puisi dalam antologi “AIJP” karya Wiji Thukul 136 puisi. 2) Wawancara dengan informan terdekat dari pengarang, yaitu istri penyair Wiji Thukul. Sebab, si pengarang sampai sekarang belum ditemukan dan dianggap telah meninggal. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data penelitian ini sebagai berikut. 1) Wawancara dengan informan, yaitu dengan istri penyair Wiji Thukul. 2) Analisis dokumen, yaitu analisis kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul. 4. Validitas Data Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses penelitian. Untuk mendapatkan keabsahan data penelitian ini menggunakan triangulasi teori, yaitu menggunakan lebih dari satu teori dalam membahas masalah yang dikaji sehingga menghasilkan simpulan yang lebih mantap (HB Sutopo, 2006: 98 – 99). Untuk mengukur validitas data penelitian ini digunakan 2 teori atau pendekatan 1) teori struktur, 2) teori sosial (sosiologi sastra). 5. Teknik Analisis Data
Teknis analisis data meliputi 1) analisis struktur kumpulan puisi AIJP karya Wiji Thukul; 2) analisis latarbelakang sosial pengarang dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Kritik Sosial Wiji Thukul dalam Perspektif Sosiologis Berdasarkan hal di atas, peneliti akan menyajikan satu puisi dalam Antologi AIJP karya Wiji Thukul yang dianggap mewakili pandangan di atas. Puisi yang akan dijadikan bahan sajian hasil penelitian ini adalah puisi yang memuat aspek 1) protes sosial; dan 2) realisme sosial. Jelas kedua aspek tersebut masuk dalam “rumah” kritik sosial, lengkapnya kritik sosial dengan media sastra (puisi). Jadi, menurut peneliti, kritik sosial Wiji Thukul didasari kedua aspek di atas. Sebagian besar antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul berisikan puisi-puisi realis – sosial dan protes sosial. Berikut contoh puisi yang memuat aspek realisme sosial dan protes sosial. NYANYIAN AKAR RUMPUT Jalan raya dilebarkan Kami terusir Mendirikan kampung Digusur Kami pindah-pindah Menempel di tembok-tembok Dicabut Terbuang Kami rumput Butuh tanah Dengar! Ayo gabung ke kami Biar jadi mimpi buruk Presiden! Juli 1988
Berikut ini ulasan sosial puisi “Nyanyian Akar Rumput” di atas. Kebetulan analisis sosial yang digunakan menurut Andi Widjajanto (2007: 44 – 45) juga berjudul “Menyuarakan Akar Rumput”. Tentunya setelah memastikan istilah “akar rumput” pada puisi “Nyanyian Akar Rumput” sama dengan istilah “akar rumput” pada tulisan Andi Widjajanto. Akar rumput adalah metafora untuk menggantikan orang-orang yang secara status sosial dan posisi sosial ada di bawah. Misalnya, kaum pekerja (buruh), dan sebagainya. Dinyatakan bahwa konsepsi masyarakat sipil sebagai suatu arena dan sistem interaksi di antara berbagai institusi negara, pasar, dan berbagai institusi negara, pasar, dan masyarakat memiliki peran yang strategis. Potensi peran yang dimiliki oleh masyarakat sipil adalah sebagai katalis dialog, menjaga keseimbangan kepentingan, pemberian sinyal dan mobilisasi untuk aksi bersama. Inti dari perjuangan akar rumput adalah bagaimana mereka mendapatkan kesejahteraan tanpa harus mengorbankan kebutuhan mendasar mereka lainnya, seperti jaminan kesehatan atau prospek masa depan anak-anak mereka. Berbeda dengan prinsip organisasi tradisional dan pergerakan massa politik, pengembangan komunitas akar rumput secara umum bersifat pragmatis dan memfokuskan pada pembangunan melalui partisipasi luas.
Juan J. Linz dan Alfred Stepan (dalam Andi Widjajanto, 2007: 47) membagi masyarakat dalam sebuah Negara dengan tiga kelompok, yaitu 1) masyarakat ekonomi yang oleh Antonio Gramsci disebut dengan masyarakat privat, 2) masyarakat politik selaku institusi yang memiliki instrumen, dan 3) masyarakat sipil yang merupakan perwujudan rakyat kebanyakan (proletar) sebagai system kelas social yang dihegemoni. Selanjutnya, pergerakan masyarakat sipil didominasi oleh dua bentuk aktivitas, yaitu 1) lobi yang dijalankan oleh sebagian kecil masyarakat sipil yang cenderung dekat atau memiliki akses dengan kekuasaan, dan 2) masyarakat akar rumput yang bersifat massif dan plural. 1) Wiji Thukul dan Realisme Sosial Wiji Thukul dilahirkan dari keluarga miskin, keluarga buruh. (baca biografi Wiji Thukul). Latar belakang sosial tersebut mempengaruhi pandangan-pandangannya dalam menulis puisi atau dalam berkesenian sekaligus dalam menyikapi keadaan-keadaan dalam hidupnya. Puisi-puisi yang ditulis menggambarkan kenyataan yang sebenarnya yang dialaminya. Sekaligus Wiji Thukul adalah “pemotret” yang baik bagi lingkungannya. Jadi, karya-karyanya, dan pandangannya dalam berkesenian, dalam bersastra mengarah pada realisme sosial. Realisme sosial menurut pandangan Herman J. Waluyo (1987: 38) adalah kenyataan yang dialami oleh golongan masyarakat yang menderita, yakni kaum buruh dan tani. Pernyataan di atas semakin menggarisbawahi bahwa penyair Wiji Thukul dapat digolongkan pada penyair yang berhaluan realisme sosial. Georg Lukacs (dalam Eka Kurniawan, 1999: 8), menyatakan sebagai berikut. bahwa realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dengan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat realisme social ini sungguh-sungguh menempatkan seni sebagai wahana “penyadaran” masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (ter-alienasi dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan. Berikut ini adalah uraian-uraian yang merupakan hasil penelitian yang menjelaskan secara rasional dengan didukung hasil wawancara dengan beberapa pihak terkait yang semakin mengarahkan bahwa Wiji seorang penyair realisme sosial. Selanjutnya, akan diuraikan aspek realisme sosial dalam contoh puisinya, yaitu yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput”. Puisi berikut terdiri dari 2 bait. Bait pertama terdiri dari 8 baris dan bait ke-2 terdiri dari 5 baris. Bait pertama menggambarkan sebuah masyarakat yang tidak bisa mengakses sarana publik karena masyarakat ini sepertinya adalah masyarakat atau “warga kelas dua”. Bait pertama mempersoalkan lokasi atau wilayah yang merupakan sarana tinggal sebuah masyarakat yang selalu terkena gusur karena ada pelebaran jalan raya. Seperti yang biasa terjadi pada negara berkembang bahwa setiap pembangunan akan menyebabkan dua sisi hasil seperti dua mata uang. Pasti ada yang menjadi korban. Bait pertama menjelaskan bagaimana masyarakat yang kurang beruntung itu menjadi terpinggirkan karena pembangunan jalan raya. Tidak cukup berhenti di situ. Saat mereka mendirikan kampung lagi mereka kembali digusur. Ibaratnya mereka menempel di tembok-tembok, sangat terpinggirkan, tidak berharga, lalu ketika sudah tidak berharga itu mereka masih dicabut dan dibuang – terbuang. Bait kedua menggambarkan bahwa mereka adalah sejenis rumput yang membutuhkan tanah. Hanya itu sebenarnya, tetapi mengapa yang hanya “itu” saja mereka juga tidak punya. Untuk itu, jalan satu-satunya adalah menggalang pemufakatan di antara mereka yang senasib itu untuk mengadakan protes kepada presiden. Pucuk pimpinan tertinggi sebuah negara,
penanggungjawab pelaksanaan pembangunan. Minimal protes mereka menjadi mimpi presiden, tentunya mimpi buruk. 2) Wiji Thukul dan Kritik Sosial Puisi “Nyanyian Akar Rumput” selain merupakan realitas sosial pada diri penyair, yaitu keluarga, tetangga, teman, dan lingkungannya sekaligus juga merupakan kritik sosial pada situasi dan keadaan yang menimpa mereka orang-orang yang terpinggirkan. Selanjutnya, realitas sosial itu dapat menjadi kritik sosial. Hanya permasalahannya adalah pada pilihan di dalam melakukan kritik sosial. Sebenarnya, kalau dilogika saat seorang penyair menuliskan kondisi sosial masyarakatnya, di mana dia tinggal, secara tidak langsung telah melakukan kritik sosial melalui tulisannya. Bait pertama jelas merupakan kritik yang ditujukan kepada negara sebagai pengelola tidak bisa adil pada masyarakat yang dikelolanya. Jalan raya dilebarkan hanya untuk kepentingan orang-orang tertentu. Bait kedua menggambarkan kesadaran dari masyarakat yang terpinggirkan itu untuk mengadakan protes kepada pimpinan negara. Jelas ini merupakan sbuah kritik bahkan tidak ahanya sosial tetapi juga politik. Memang keberangkatannya dari kritik sosial. 2. Nilai Etika, Moral, dan Budi Pekerti dalam Antologi Puisi AIJP karya Wiji Thukul Nilai etika, moral, dan budi pekerti secara definitif mempunyai kesamaan atau terdapat benang merah yang menghubungkan ketiganya. Nilai etika, moral, dan budi pekerti di atas, dalam penelitian ini ada dalam koridor sosial. Jadi, pengertiannya, yaitu etika sosial, moral sosial, dan budi pekerti sosial. Berdasarkan hal tersebut, peneliti membahas ketiga nilai tersebut secara bersamaan dalam satu kerangka bahasan. Dengan demikian, puisi yang dijadikan data atau contoh diambil satu puisi dari antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul, tentunya setelah dikaji berdasarkan pembacaan heuristik. Puisi “Megatruh Solidaritas” dipandang mewakili nilai etika, nilai moral, dan nilai budi pekerti. Berikut kutipan puisi “Megatruh Solidaritas” karya Wiji Thukul dalam Antologi AIJP. MEGATRUH SOLIDARITAS akulah bocah cilik itu kini aku datang kepada dirimu akan kuceritakan masa kanak-kanakmu akulah bocah cilik itu yang tak berani pulang karena mencuri uang simbok untuk beli benang layang-layang akulah bocah cilik itu yang menjual gelang simbok dan ludes dalam permainan dadu akulah bocah cilik itu yang tak pernah menang bila berkelahi yang selalu menangis bila bermain sepak-sepong aku adalah salah seorang dari bocah-bocah kucel yang mengoreki tumpukan sampah mencari sisa kacang atom dan sisa moto buangan pabrik
akulah bocah bengal itu yang kelayapan di tengah arena sekaten nyrobot brondong dan celengan dan menangis di tengah jalan karena tak bisa pulang akulah bocah cilik itu yang ramai-ramai berebutan kulit durian dan digigit anjing ketika nonton telepisi di rumah Bah Sabun ya engkaulah bocah cilik itu sekarang umurku dua puluh empat ya akulah bocah cilik itu sekarang aku datang kepada dirimu karena kudengar kabar seorang kawan kita mati terkapar mati ditembak mayatnya dibuang kepalanya koyak darahnya mengental dalam selokan Solo, 31 Januari 1987
a) Nilai Etika dalam Antologi Puisi AIJP karya Wiji Thukul Nilai etika dalam puisi “Megatruh Solidaritas” secara implisit terdapat pada bait ke-5. Jelas, si bocah – tokoh dalam puisi “Megatruh Solidaritas” sebenarnya kurang mengindahkan etika sosial, tetapi harap dimaklumi juga bahwa dia hanyalah seorang bocah. Selain itu, dia adalah bocah yang berasal dari masyarakat, dari orang tua yang miskin. Si bocah yang tidak mendapat perhatian dan pendidikan baik dari orangtuanya harus melakukan pelanggaran sosial. Dia mencuri milik umum, tetapi sebenarnya juga pada acara sekatenan (baris ke-2) makanan dan minuman itu untuk umum. Jadi, bila dia menyerobot itu hanya untuk mendapatkan secepatnya makanan dan minuman gratis setahun sekali itu. Selain itu, acara sekatenan juga dapat dikatakan perwujudan kepedulian sosial pihak pemerintah daerah yang dalam hal ini keraton Yogjakarta dalam memperhatikan budaya tradisi dan sekaligus merupakan kepedulian sosial penguasa pada rakyatnya. b) Nilai Moral dalam Antologi Puisi AIJP karya Wiji Thukul Nilai moral dalam puisi “Megatruh Solidaritas” secara implisit terdapat pada bait ke2. Berikut kutipan dan cuplikaannya. akulah bocah cilik itu yang tak berani pulang karena mencuri uang simbok dan ludes dalam permainan dadu Cuplikan dari puisi “Megatruh Solidaritas” menggambarkan seorang bocah cilik yang berasal dari keluarga – masyarakat miskin dank arena kemiskinannya itu, keluarga itu tidak punya akses untuk mendidik anak-anak mereka. Tentunya sang bocah kerena terjebak pada permainan dadu, sebuah permainan nasib dan kekuasaan preman pada lingkungan masyarakat
kelas bawah. Untuk itu, dia mecuri uang ibunya sendiri. Anak-anak miskin seperti itu jauh dari pendidikan moral yang mengajarkan mereka berbuat baik. Bagi mereka perbuatan baik adalah untuk orang-orang yang dari kelas sosial di atas mereka. Bagi mereka dapat makan sudah sangat hebat, alih-alih berpikir tentang moral. c) Nilai Budi Pekerti dalam Antologi Puisi AIJP karya Wiji Thukul Nilai budi pekerti dalam puisi “Megatruh Solidaritas” secara implisit terdapat pada bait ke-6. Berikut cuplikan dan kutipannya. ya akulah bocah cilik itu sekarang aku datang kepada dirimu karena kudengar kabar seorang kawan kita mati terkapar Cuplikan dari kutipan bait ke-6 atau bait terakhir puisi “Megatruh Solidaritas” di atas menggambarkan solidaritas antara teman. Apalagi dikabarkan temannya mati. Lebih menarik lagi sebenarnya solidaritas tersebut terjadi pada orang-orang miskin dan papa. Termasuk nilai solidaritas itu juga ada pada diri penyair Wiji Thukul. Banyak teman-teman penyair karena solidaritasnya mereka mengadakan aktifitas sastra dalam mengkampanyekan proses klarifikasi atas hilangnya Wiji Thukul. Seorang penyair yang bernama Sosiawan Leak mengatakan Wiji Thukul dikenal berani menyuarakan pembelaan kaum tertindas. Termasuk para buruh yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha (Harian Surabaya Post, 02 Juni 2000, halaman 15). Berkaitan dengan solidaritasnya sebagai penyair terhadap orang-orang di sekelilingnya dinyatakan sebagai berikut. Thukul is completely dedicated to the people among whom he has always lived – the urban poor. His involvement on the fringes of mainstream artistic life in Central Java has given him a wider perspective than that of most of his peers. He is unequivocal about the fact that he writes about kampung people, for kampong people in an attempt to raise awareness among them and to break down the culture of silence, which, he thinks, is suffocating any hope for social change in Indonesia (Majalah Inside Indonesia Nomor 12 Oktober 1987) D. Simpulan dan Saran 1. Simpulan Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, terutama pada bab I, yaitu pendahuluan, bagian rumusan masalah maka simpulan yang didapat sebagai berikut. 1. Bahwa dari perspektif sosiologis kritik sosial Wiji Thukul berdasarkan dua aspek, yaitu aspek 1) protes sosial; dan 2) realisme sosial. Jelas kedua aspek tersebut masuk dalam “rumah” kritik sosial, lengkapnya kritik sosial dengan media sastra (puisi). Jadi, menurut peneliti, kritik sosial Wiji Thukul didasari kedua aspek di atas. Di dalam kritik sosial sajak atau puisi menjadi semacam media untuk menyampaikan kritik. Jadi, ada kesadaran dalam diri penyair untuk melakukan kritik terhadap kondisi sosial yang terjadi, sedangkan realisme sosial lebih merupakan ”catatan harian” seorang penulis tentang kehidupan sehari-harinya secara apa adanya. 2. Nilai etika, moral, dan budi pekerti dalam antologi puisi AIJP karya Wiji Thukul merupakan nilai etika, moral, dan budi pekerti yang dimiliki kelas sosial bawah dari kalangan masyarakat dengan profesi: buruh, tukang becak, pemulung, dan sebagainya. 2. Saran Berdasarkan simpulan di atas maka saran yang dapat diberikan sebagai berikut.
1. Perlunya banyak penelitian sastra dengan berbagai model pendekatan dan teori dan selanjutnya bagaimana mengkompilasikan pendekatan dan teori yang dimaksud untuk mengkaji karya sastra, baik puisi, prosa fiksi, maupun drama. 2. Perlunya perhatian yang menyebar bagi penelitian sastra dengan objek penelitian karyakarya sastra, baik puisi, prosa fiksi, maupun drama yang ditulis pengarang-pengarang muda di Indonesia. Jadi, tidak ada pemitosan pada salah satu atau segolongan pengarang tertentu. Dengan demikian, ada banyak nilai yang bisa ditransformasikan kepada pembaca sastra dan pembaca penelitian atau studi kritis – sastra, siswa, mahasiswa. Misalnya, manfaat mengadakan penelitian sastra, dan juga nilai moral, etika, dan budi pekerti yang dapat “dibaca” dari karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA Eka Kurniawan. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogjakarta: Yayasan Aksara Indonesia. Elly M. Setiadi., et al. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Elizabeth and Tom Burn. 1973. Sociology of Literature and Drama. Penguin Books Ltd. Harmondsworth. Middlesex. England Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Faruk HT. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogjakarta: Pustaka Pelajar Giansanti,
Susan, Jules Nelson Hill dan Ellen Beck. 2001 dalam http://depts.gallaudet.edu/englishworks/literature/poetry.html, diakses 27 Januari 2009)
Hegtvedt,
A Karen. 2008. Literature and Society dalam http://www.sociology.emory.edu/syllabi/soc324_kh.pdf diakses 18 Desember 2008)
Herman J Waluyo. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Jabrohim (Ed). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogjakarta: PT Hanindita Graha Widya Jones, Emma. 2003. Renaissance Poetry dalam (http://www.literature-study-online.com/essays/renaissance-poetry.html, 27 Januari 2009)
diakses
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Rachmad Djoko Pradopo. 2002. Pengkajian Puisi. Yogjakarta: Gajah Mada University Press Rendra. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogjakarta: Kepel Press
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Rushing, Robert. 2004. Theory of Literature; Modern Critical Theory dalam (http://www.answers.com/topic/sociology-of-literature, diakses, 16 Desember 2008). Siegel,
Kristi. 2005. Introduction to Modern Literary Theory http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptums-gdl-jou-2006-drssuhardi514#publisher, diakses, 17 Desember 2008)
dalam
Soediro Satoto dan Zainuddin Fanani (Ed). 2000. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastyra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogjakarta: Pustaka Widyatama Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Thomson B. John. 1994. . Studies in the Theory of the Ideology. University of California Press Wiji Thukul. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Indonesia Tera Wellek, Rene dan Austin Weren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia