KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR KARYA NAWAL AL-SAADAWI
Tesis ini diajukan untuk memenuhi syarat penyelesaian Program Magister di Sekolah Pascasarjana
Disusun Oleh: Minyatul Ummah 04.2.00.1.06.01.0065 Pembimbing: Dr. Thoyib IM
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB PROGRAM MAGISTER SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
1
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan identitas sebagai berikut:
Nama
: MINYATUL UMMAH
NIM
: 04.2.00.1.06.01.0065
Program Studi
: S2 Pengkajian Islam
Konsentrasi
: Bahasa dan Sastra Arab
Dengan ini menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul “KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR KARYA NAWAL AL-SAADAWI” adalah benar hasil karya saya pribadi dan bukan merupakan jiplakan, kecuali pada kutipan-kutipan langsung yang saya tuliskan sumbernya. Apabila ternyata di kemudian hari pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar magister saya. Demikian Lembar Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, agar yang berkepentingan menjadi maklum adanya.
Bekasi, 29 Desember 2009 Mahasiswa Ybs.,
MINYATUL UMMAH
2
LEMBAR PERSETUJUAN
Tesis mahasiswa berikut ini:
Nama
: MINYATUL UMMAH
NIM
: 04.2.00.1.06.01.0065
Judul Tesis
: KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR KARYA NAWAL AL-SAADAWI
Telah disetujui dan dinilai laik oleh pembimbing untuk dimajukan dalam ujian tesis.
Jakarta, 28 Desember 2009 Pembimbing,
DR. THOYIB IM
3
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis mahasiswa berikut ini:
Nama
: MINYATUL UMMAH
NIM
: 04.2.00.1.06.01.0065
Judul Tesis
: KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR KARYA NAWAL AL-SAADAWI
Telah diujikan dalam sidang munaqasyah magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, tanggal 22 Juni tahun 2009 dan telah diperbaiki sesuai syarat serta rekomendasi dari tim penguji tesis.
TIM PENGUJI
1. Prof. Dr. Suwito, MA
(
)
(
)
(
)
(
)
Ketua/Merangkap Penguji
2. Dr. Thoyib, IM Pembimbing/Merangkap Penguji
3. Prof. Dr. Chotibul Umam Penguji
4. Dr. Ahmad Dardiri, MA Penguji
4
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah swt. semata, yang karena taufiq dan inayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini meski harus melalui berbagai hambatan dan rintangan, hingga berujung pada penyelesaian masa studi yang cukup lama. Shalawat teriring salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada manusia agung, Muhammad al-Musthafa, yang warisan-warisannya senantiasa menjadi bahan kontemplasi dan rujukan di tengah arogansi manusia dalam dunia yang telah renta. Dalam penyelesaian tesis ini, tak terhitung berapa banyak lantunan doa, motivasi, dukungan dan uluran tangan yang diterima oleh penulis. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada berbagai pihak sebagai berikut: Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA., selaku ketua Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta seluruh pengajar yang telah memberikan bimbingan, pemahaman dan pemikiran baru kepada penulis selama menyelesaikan masa studi di Pascasarjana UIN ini. Juga kepada seluruh staf administrasi terutama Mbak Shelly, Pak Singgih, Pak Penny, serta staf-staf administrasi lainnya yang telah banyak membantu penulis dalam urusan-urusan perkuliahan. Dr. Thoyib IM, selaku pembimbing yang di tengah-tengah kesibukannya, tanpa pernah bosan telah banyak memberikan kontribusi yang teramat berharga kepada penulis serta berbagai bimbingan, saran maupun kritik yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA., APU., atas perkuliahan Islam dan Jender serta pemikiran-pemikiran jendernya, dan Dr. Ahmad Dardiry, M.Ag, dosen mata kuliah Balaghoh yang pemikiran keduanya memberikan inspirasi bagi penulis untuk membuat tesis tentang sastra dengan tinjauan teori feminis ini, serta Sdri. Betty
5
Maulirosa Bustam, yang tesisnya telah memperkuat tekad penulis untuk melanjutkan penulisan tesis dengan tema tersebut. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya staf perpustakaan pascasarjana: Mas Sukron yang telah banyak membantu penulis dan mengerti keadaan penulis ketika terlambat mengembalikan buku pinjaman. Juga seluruh staf perpustakaan Freedom Institute dan perpustakaan FIB Universitas Indonesia yang memberi kesempatan bagi penulis untuk meminjam buku-bukunya dan menelaah tesis-tesisnya, terutama yang bertema Feminisme dan Jender. Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya juga penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta, Almarhum Almaghfurlah KH. Drs. Moh. Dawam Anwar, yang taushiyah-taushiyahnya senantiasa penulis kenang, semangat belajarnya yang tak pernah padam hingga akhir hayat beliau menjadi motivasi terdalam bagi penulis untuk bisa menyelesaikan tesis ini demi mewujudkan cita-cita dan harapan yang sempat beliau sampaikan sebelum kepergiannya, serta untuk melanjutkan perjuangan beliau. Semoga Allah senantiasa menaunginya dalam rahmat dan cinta-Nya. Juga untuk Ibunda tersayang, Hj. Nur Haidah Abdillah, terima kasih atas curahan kasih sayang, ketulusan, kesabaran dan perhatian yang diberikan sejak ananda kecil hingga saat ini. Semoga Allah selalu menjaganya dengan kasih dan sayang-Nya. Untuk keduanya, tesis ini penulis persembahkan. Untuk Suamiku tercinta, Kanda Saifulloh, M. Si., yang selalu tulus menjadi teman berbagi dalam setiap detik yang terlewati dan selalu mendorong penulis untuk tetap semangat menulis tesis ini. Terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, ketulusan, kesabaran, pengertian, pengorbanan dan kesetiaan. Juga untuk bintang kecilku, Muhammad Syihab Nawwaf, yang menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk bisa secepatnya menyelesaikan tesis ini. Bunda berharap kelak Syihab bisa menjadi anak yang shaleh dan berguna bagi ummat. Amien. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta: Kakanda Lily Nabilah dan Ali Rahmat, Kakanda Ahmad Kholid dan Sari Damayanti, serta adinda Samhah Rozan yang selama ini telah menciptakan hari-hari yang indah 6
dalam kebersamaan. Terima kasih atas kehangatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Juga untuk teman-teman penulis di lingkungan Pascasarjana UIN yang selalu menjadi tempat diskusi dan berbagi pemikiran: Muzdalifah dan Uni Yelfi Dewi, terima kasih atas kebersamaan yang indah dalam persahabatan; Pak Ridwan, tempat penulis banyak bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan wacana keilmuan, terima kasih atas pinjaman buku-bukunya; M. Wakhid Hidayat, Ubaidillah, Ibnu Syamsul Huda, Iqbal, Akmal Walad Ahkas, Taufiq Abd. Rojih, Daelami dan Uwoh Abdulloh; Dzatil Husni, terima kasih pula atas pinjaman buku-bukunya, Rahmawati dan Miami, terima kasih atas persahabatan yang indah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman penulis di luar lingkungan Pascasarjana UIN yang telah banyak memberi dukungan dan bantuan kepada penulis: Gus Nafi'uddin Asnawi, terima kasih atas kiriman buku-buku dan novel-novel Nawal ketika beliau masih di Cairo; dan Mbak Uswatun Hasanah, terima kasih atas keikhlasan menemani Syihab di tengah hari-hari penulisan tesis ini. Jazâkillâh ahsanal jazâ`, Mbak Us… Terakhir, tesis ini tentu saja tak luput dari berbagai kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, masih dibutuhkan perbaikan dan penelitian lanjutan untuk memahami karya sastra dengan kritik feminis, khususnya pada karya sastra Arab yang masih jarang dilakukan di Indonesia. Namun penulis berharap, semoga tesis ini dapat memberi sesuatu yang berguna. Dan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu, penulis hanya bisa menyampaikan doa, semoga kelak apa yang telah mereka berikan dijadikan oleh Allah sebagai amal shaleh yang pahalanya berlipat ganda. Amin Yâ Mujîbassâilîn..
7
PEDOMAN TRANSLITERASI
1) Konsonan Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambamgkan
ب
ba
b
be
ت
ta
t
te
ث
tsa
ts
te dan es
ج
jim
j
je
ح
ha
h
ha (garis di bawah)
خ
kha
kh
ka dan ha
د
dal
d
de
ذ
dzal
dz
de dan zet
ر
ra
r
er
ز
zai
z
zet
س
sin
s
es
ش
syin
sy
es dan ye
ص
shad
sh
es dan ha
ض
dlad
dl
de dan el
ط
tha
th
te dan ha
ظ
zha
zh
zet dan ha
ع
‘Ain
‘
Koma terbalik diatas
غ
gain
g
ge
ف
fa
f
ef
8
ق
qaf
q
ki
ك
kaf
k
ka
ل
lam
l
el
م
mim
m
em
ن
nun
n
en
و
wau
w
we
ه
ha
h
ha
ء
hamzah
`
apostrof
ي
ya
y
ye
2) Vokal Tunggal Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
َ
fathah
a
a
ِ
kasrah
i
i
ُ
dlammah
u
u
3) Vokal Rangkap Tanda dan Nama Huruf
Gabungan Huruf
Nama
ي----
fathah dan ya
ai
a dan i
و----
fathah dan wau
au
a dan u
4) Maddah Harakat dan
Nama
Huruf dan Tanda
Nama
Huruf ى... ا...
fathah dan alif atau ya
â
a dan lengkung di atas
ى...
kasrah dan ya
î
i dan lengkung di atas
و...
dlammah dan wau
û
u dan lengkung di atas
9
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………………..i LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………………….ii LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………….iii KATA PENGANTAR …………………………...…………………………………..iv PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………..………...…………………...vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...ix ABSTRAK…………………..………………………………………………………xii ABSTRAK ARAB …………………………………………….……………………xii ABSTRAK INGGRIS ……………………………………………………………... xv
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………….1 2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ………………………………..…..10 3. Tujuan Penelitian ………………………………………………………………..11
Tujuan Umum ……………………………………………………………….11
Tujuan Khusus ………………………………………………………………12
4. Manfaat Penelitian ………………………………………………………………12
Manfaat Teoritis ……………………………………………………………..12
Manfaat Praktis ……………………………………………………………...12
5. Kajian Pustaka …………………………………………………………………..13 6. Metode Penelitian ……………………………………………………………….14 a) Jenis Penelitian ……………………………………………………………...16 b) Sumber Penelitian …………………………………………………………...16 c) Metode Pengumpulan Data ………………………………………………….17 d) Teknik Analisis Data ……………………………………………………......17 7. Sistematika Penulisan …………………………………………………………...19
10
BAB II NAWAL AL-SAADAWI 1. Biografi Nawal al-Saadawi …………………………………………………..….21 2. Latar Belakang Pemikiran Nawal al-Saadawi…………………………………...25 a) Kondisi budaya dan tradisi masyarakat Mesir…………..…………………...25 b) Kondisi politik masyarakat Mesir……………………………………………29
BAB III FEMINISME DAN KRITIK SASTRA FEMINIS.................................................34 1. Feminisme ...
……………………………………………………………….38
1.1. Definisi dan Ruang Sosio-Historis bagi Kelahirannya……………….…38 1.2. Gerakan Feminisme……………………………………………………..48 1.2.1. Feminisme Liberal…………………………………………………….48 1.2.2. Feminisme Radikal……………………………………………………50 1.2.3. Feminisme Makxis…………………………………………………….53 1.2.4. Feminisme Sosialis……………………………………………………55 1.2.5. Ekofeminisme…………………………………………………………56 1.2.6. Feminisme Dalam Pemikiran Islam………………………………….. 58 2. Kritik Sastra Feminis………………………………………………………….61 2.1. Pengertian dan Metodologi Kritik Sastra………………………………..61 2.2. Pengertian Kritik Sastra Feminis………………………………………..64 2.3. Kritik Sastra Arab Feminis……………………………………………...68
BAB IV ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS DAN POKOK-POKOK PIKIRAN FEMINISME DALAM NOVEL IMRA`AH 'INDA NUQTHAH AL-SHIFR 1. Analisis Kritik Sastra Feminis ………………………………………………..…74 1.1. Prasangka Jender dan Emansipasi Perempuan ……………………………..75
11
a. Topik………………………………………………………………………75 1) Kekerasan terhadap anak……………………………………………….77 2) Kekerasan dalam rumah tangga……….………………………………..82 3) Perdagangan perempuan (trafficking)………………………………….86 4) Pelecehan seksual ……………………………………….……………..88 5) Kasus penipuan dan eksploitasi tenaga kerja…………………………..93 6) Emansipasi perempuan…………………………………………………94 b. Tema………………………………………………………………………94 1.2. Tokoh Pejuang Emansipasi Perempuan, Tokoh-tokoh yang Menentang Emansipasi
Perempuan
dan
Penokohan
yang
Berprasangka
Jender…...………………………………………………………………..…108 1.2.1. Tokoh Pejuang Emansipasi…………………………………………..109 1.2.2. Tokoh-tokoh yang Menentang Emansipasi………………………….112 1.2.3. Penokohan yang Berprasangka Jender……………………………….116 1.3. Latar dan Prasangka Jender…………………………………………... 121 1.4. Hubungan Antara Gaya Bahasa dan Jender ……………………………….126 2. Pokok-pokok Pikiran Feminisme dalam Novel IINS……………………………130 2.1.Firdaus dalam Stereotipe Perempuan …..…………………………………..132 2.2.Peran Agama dan Adat dalam Subordinasi Perempuan …………………...135 2.3.Kekerasan Terhadap Firdaus Sebagai Perempuan: di Rumah dan di Luar Rumah……………………………………………………………………....141 2.4.Posisi Firdaus Sebagai Perempuan dan Aspirasinya untuk Melakukan Pemberontakan…………………………………………………………..….145
BAB V KESIMPULAN........................................................................................................148 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 152
12
ABSTRAK KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR Karya Nawal Al-Saadawi
Pengalaman masa lalu kaum perempuan yang teramat suram memunculkan satu gerakan yang dikenal dengan feminisme. Gerakan ini berupaya agar kaum perempuan memiliki hak yang sama dan setara dengan kaum laki-laki dalam berbagai aspek. Diskriminasi bagi kaum perempuan terjadi di berbagai sektor, tidak hanya dalam dunia empiris, tetapi juga dalam dunia literer. Karya sastra sebagai dunia imajinatif dapat menjadi media tumbuhnya subordinasi perempuan. Keadaan ini dapat terlihat jelas dari tema-tema dan kisah-kisah yang diangkat dalam sebuah karya sastra, yang secara tidak langsung menunjukkan adanya anggapan yang negatif tentang perempuan. Dan hal tersebut berhubungan dengan prasangka jender. Prasangka jender yang berkembang dalam masyarakat itu kemudian memunculkan ketidakadilan jender (gender inequalities), dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence) dan beban ganda (double burden). Novel Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr (IINS) adalah salah satu karya sastra Arab yang mendukung emansipasi perempuan. Penelitian terhadap novel ini sebelumnya pernah dilakukan oleh George Tharabishi dalam bukunya yang bertajuk “Untsâ Dliddl al Unûtsah”. Menurutnya kritik terhadap karya-karya sastra yang mengandung sebuah ideologi seperti novel IINS tidak akan bisa menemukan nilai seni dan sastra yang tinggi di dalamnya. Dalam bukunya “A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writer and Activist”, Diana Royer mengatakan bahwa novel tersebut menjelaskan perdebatan ilmiah yang terjadi saat ini dalam hal status perempuan kuno. Miriam Cooke dalam tulisannya “al-Dirâsât al-Nisâiyyah alAurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah” mengatakan bahwa para pengkritik sastra menganggap novel tersebut sebagai penyebaran politik radikal yang disampaikan oleh pengarang, sehingga karya tersebut tidak seperti karya-karya sastra pada umumnya yang memiliki nilai estetika sastra yang tinggi. Bahkan novel tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah karya sastra. Penelitian ini pada dasarnya adalah untuk memperkuat pendapat sebelumnya tentang minusnya nilai estetika sastra dalam karya Nawal al-Saadawi. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa penulis juga ingin menelaah beberapa unsur novel guna menilai konsistensi pengarang dalam menyampaikan ide-ide feminismenya. Adapun sumber primer dari penelitian ini adalah novel yang ditulis oleh Nawal al-Saadawi, yang bertajuk: Imra`ah 'inda Nuqthah al-Shifr. Sedangkan sumber sekunder adalah seluruh literatur yang membahas tentang konsepsi kesetaraan jender, feminisme dan kritik sastra feminis, serta yang berkaitan dengan teori-teori kesusatraaan lainnya, terutama sastra Arab. 13
"
." .
.
.
:
"
"
. .
. ."
.
"
.
" "
"
:
"
"
. "
"
"
.
14
.
"
"
.
.
.
15
ABSTRACT FEMINIST LITERATURE CRITIQUE IN THE NOVELETTE “WOMAN AT POINT ZERO” By Nawal El-Saadawi The bad experiences of women in the past had appeared the movement which is called as “feminism”. This movement strove to reach the equal rights for women as men in any aspect. The discrimination for women is still happens in many sectors. It is not only in the empiric world, but also in the literary world. A literature as an imaginative world can be a mediator to grow subordination for women. We can see that obviously from the themes and the stories in a literature, which mostly show that there is a negative opinion about women that is connected with gender bias. The gender bias that grew in the society then appeared the gender inequalities, in the forms: marginalization, subordination, stereotype, violence and double-burden. “Woman at Point Zero,” is one of Arabic literature works, which fights the women emancipation. The study of this novelette has been done before by George Tharabishi, in his book “Untsa Dliddl al-Unutsah”. He said that a critique of ideological literature works such as this novelette, will not find a high score of arts and literature there. In the book “A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writer and Activist”, Diana Royer said that this novelette introduces the current scholarly debate on ancient women’s status. And Miriam Cooke in her script “al-Dirâsât al-Nisâiyyah al-Aurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa al-Tsaqâfât alIslâmiyyah” said that the literature reviewers judge this novelette as a mediator to spread narrator’s radicalism. Because of that, this novelette is different from another literature works commonly, which have a high score of literature. Even we cannot say that this novelette is one of literature works. Actually, this study is to strengthen old studies about the less of aesthetic score in Nawal el-Saadawi’s works. And the difference between this study and old studies is that the writer also wants to study some novelette elements to make a judgment about narrator’s consistency in delivering her feminism ideas. The primary source of this research is the novelette “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr (Woman at Point Zero)”. And the secondary sources are all sources and literatures about the concept of gender equality, feminism and feminist literature critique, and also all sources about other literature theories, especially the theories of Arabic literatures.
16
BAB I PENDAHULUAN
8. Latar Belakang Masalah Perempuan, di berbagai belahan dunia mana pun, ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi yang lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksplorasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang beranggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua yang, walaupun cantik tidak diakui eksistensinya sebagai manusia sewajarnya. Tragisnya, di antara para filosof pun ada yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan oleh Tuhan hanya untuk menyertai laki-laki. Aristoteles1 menyatakan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu. St. Thomas Aquinas2 juga mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna.3 Diskursus mengenai ketimpangan jender di kalangan masyarakat –sejak kebangkitannya pada sekitar tahun 1920-an- masih merupakan isu hangat yang tak pernah reda hingga saat ini. Apabila kita melihat kembali masa lalu kaum perempuan yang teramat kelam, kita akan memperoleh gambaran bahwa eksistensi perempuan sebagai manusia di berbagai belahan dunia manapun -baik di Timur maupun di Baratseolah menjadi penghambat kelancaran aktivitas dunia, sehingga seringkali perempuan mengalami penindasan, kekerasan, penyiksaan bahkan pemusnahan speciesnya secara terang-terangan. Dan ironisnya, hal tersebut seringkali menjadi sesuatu yang sangat membanggakan bagi kaum laki-laki. 1
Raman Selden, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, terj. Rachmat Djoko Pradopo, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 1991, hal. 135. 2 Raman Selden, Panduan Pembaca …, hal. 135. 3 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002, Cet. Ke-1, hal. 32.
17
Penindasan-penindasan tersebut berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang, jauh sebelum kedatangan Islam. Saat itu, kaum perempuan pada berbagai peradaban dunia tidak lebih dianggap sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjual belikan sebagaimana hewan ternak. Di Roma, hanya kaum laki-laki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa awal Negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya –pada masa-masa tersebut- menjadi miliknya pribadi. Apabila istrinya dituduh melakukan suatu tindak kejahatan, ia sendiri yang berhak menghakiminya. Ia berhak menjatuhkan hukuman bagi istrinya mulai dari mengutuk sampai menghukum mati bagi tindak perselingkuhan atau tindak pencurian yang dilakukan istrinya. Terhadap anak-anaknya, kaum lelaki memiliki kekuasaan mutlak untuk menghidupinya, atau membunuhnya, atau menjualnya sebagai budak. Proses kelahiran menjadi sesuatu yang sangat mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.4 Orang-orang Yunani memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah dari masyarakat). Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok masyarakat elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Mereka juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain. Orang Yunani pada umumnya menganggap kaum perempuan sebagai makhluk yang tidak berarti, yang tidak dikasihi oleh para dewa.5 Hal ini terlihat dari ungkapan kaisar Hippolytus terhadap kaum perempuan pada tragedi Euripides6 yang terjadi pada tahun 428 SM.7 4
Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme dan Islam. Judul Asli: Islam The Choice of Thinking Woman, penerjemah: Abu Faiz, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 2005, Cet. I, hal. 2. 5 http://historylink102.com/greece3/women.htm 6 Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 2-3. 7 http://en.wikipedia.org/wiki/Hippolytus_(play)
18
Kaum Yahudi menempatkan perempuan dalam kedudukan sebagai pelayan. Bahkan ayahnya berhak menjualnya tanpa perempuan itu mempunyai pilihan. Dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa perempuan tidak akan mewarisi selama masih ada pria dalam keluarga. Jika suaminya meninggal, maka ia akan diwariskan kepada wali suami yang terdekat. Kaum Yahudi dan Nasrani menganggap perempuan sebagai pangkal kejahatan dan sumber kesalahan dan dosa. Perempuan (Hawa)lah yang menyebabkan laknat abadi ditimpakan kepada Adam dan seluruh keturunannya. Perempuan (Hawa) dipandang lebih rendah dari pada laki-laki (Adam) dalam hal fisik, moral, intelektual dan spiritual.8 Sikap merendahkan kemampuan intelektual perempuan ini diperjelas lagi dengan dibangunnya ruang-ruang khusus untuk perempuan di Baitul Maqdis Ke-2 yang dibangun oleh raja Herodes, yang terpisah dari ruang untuk para lelaki.9 Karena kesalahan dan kelemahannya itulah perempuan kemudian dihukum dengan kesakitan pada waktu melahirkan dan dikuasai laki-laki. Selama masa menstruasi, perempuan dianggap makhluk najis. Dalam ajaran dan peraturan untuk ibadah tampak bahwa perempuan tidak diberi hak bicara dalam pertemuan jemaat. Hierarki dikuasai oleh laki-laki, perempuan dilibatkan dalam pelayanan, tetapi hampir tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan.10 Selain itu, keunggulan anak laki-laki lebih jauh ditunjukkan dalam berbagai tradisi. Pada saat kelahirannya, orang tua menyelenggarakan sebuah acara yang disebut Kiddush, sebuah acara makan bersama setelah upacara Sabbath, yang tidak diadakan pada saat kelahiran anak perempuan. Dalam bidang pendidikan, anak perempuan tidak diberi kesempatan karena dianggap tidak layak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari pada pengetahuan seputar kewajiban-kewajiban yang ditetapkan baginya dalam kitab suci. Saat seorang anak laki-laki menghadapi masa puber, orang tua mengadakan sebuah ritual bertajuk her mitzvah (anak laki-laki wahyu Tuhan) untuk merayakan datangnya masa dewasa, suatu hal yang tidak 8
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), 2004, Cet. I, hal. 24. 9 http://www.angelfire.com/id2/yakos/Artikel/Perempuan/yudaisme.htm 10 Siti Muslikhati, Feminisme dan …, hal. 24.
19
dilakukan terhadap anak perempuan. Demikian juga, setelah dewasanya, seorang laki-laki diperhitungkan dalam suatu kuorum (minyan), suatu hal yang juga tidak diberikan kepada seorang perempuan dewasa. Pada tahun 197311 the Committee on Jewish Law and Standards (CJLS) -Komite Hukum dan Standar Yahudi- memberi izin kepada kaum perempuan agar di perhitungkan dalam minyan. Hal tersebut ditentang oleh gerakan konservatif. Dan baru pada tahun 2002 CJLS menanggapi perlawanan dari gerakan konservatif ini dengan memberikan alasan yang logis tentang keputusan mereka. Dalam hal perceraian, perempuan tidak diberi hak sama sekali untuk menuntut,12 sekalipun suaminya menghilang tanpa jejak. Tetapi laki-laki bebas menceraikan istrinya kapan saja sekehendak hatinya.13 Demikian juga dalam tradisi agama, kepercayaan dan peradaban lainnya. Dalam agama Hindu di Hindustan, perempuan harus menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya. Suaminya bagaikan dewa, yang segala perintah dan keinginannya harus diikuti, sekalipun itu bertentangan dengan ajaran agama. Seorang istri akan lebih terpuji jika ia terlebih dahulu meninggal dari pada suaminya. Jika tidak demikian, maka pada saat suaminya meninggal, ia harus juga mengikuti jejaknya dengan membakar dirinya hidup-hidup. Dalam tradisi agama Nasrani juga demikian, selain kewajiban menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami, keberadaan kaum perempuan yang dianggap tidak berharga itu sudah tertanam sejak mereka dilahirkan. Perempuan digambarkan sebagai penggoda nafsu laki-laki dan oleh sebab itu selalu dikaitkan dengan seksualitas, dan dipandang sebagai makhluk yang lemah, rusak, keturunan Hawa yang jahat yang harus dijauhi dan dihindari. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekadar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir, mereka menyatakan wanita itu tidak memiliki
11
http://en.wikipedia.org/wiki/Minyan http://www.angelfire.com/ca3/ancientchix/ 13 Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 3-4. 12
20
ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa Alaihissalam.14 Dalam peradaban masyarakat Arab sebelum Islam, kebiasaan mengubur hidup-hidup bayi perempuan bukanlah suatu hal yang mengherankan.15 Seorang lakilaki berhak mengawini perempuan sebanyak-banyaknya yang kemudian dijadikan sebagai budaknya yang bisa diwariskan jika suaminya telah meninggal. Para istri tidak memiliki hak sedikit pun untuk mengeluarkan pendapat, mereka harus tunduk sepenuhnya kepada suami, dan jika tidak dapat memiliki keturunan, seringkali hukuman mati adalah sebagai akhir hidupnya. Diskriminasi species laki-laki dan perempuan ini –seperti telah disampaikan sebelumnya- terjadi hampir di seluruh belahan dunia, termasuk juga pada bangsa Eropa.16 Maka dari pengalaman-pengalaman pelecehan dan penindasan hak asasi inilah, kaum perempuan pada masa selanjutnya melakukan pemberontakan dengan membentuk gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia, serta menuntut kesetaraan jender. Gerakan ini mengajak kaum perempuan untuk bangkit dari keterpurukannya dan meyakinkan mereka bahwa sebagai manusia, mereka juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Gerakan inilah yang pada akhirnya dikenal sebagai Gerakan Feminisme. Dengan munculnya Gerakan Feminisme dan Kaum Feminis, bukan berarti dunia kelam yang dialami kaum perempuan telah berakhir. Akan tetapi penindasan dan pelecehan hak asasi mereka itu masih terus berlanjut hingga saat ini, meski dengan wujud yang berbeda dari masa lalu. Jika pada masa itu bayi perempuan dikubur hidup-hidup, maka sebenarnya pada saat ini hal tersebut masih terus terjadi melalui praktek aborsi yang semakin marak dilakukan di masyarakat. Data statistik menunjukkan bahwa semakin hari praktek aborsi semakin banyak dilakukan. Selama 28 tahun terakhir ini, jumlah tindakan aborsi tersebut bahkan telah mencapai angka 14
http://www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1878 http://www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1878 16 Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 5-15 dan Siti Muslikhati, Feminisme dan.........., hal. 22-25. 15
21
lebih dari 1 milyar!.17 Jika dulu kaum laki-laki pergi ke pasar untuk membeli perempuan-perempuan yang bisa memenuhi syahwatnya, maka saat ini, tak bedanya mereka juga berpetualang ke berbagai tempat prostitusi, atau bahkan melakukan tindak pemerkosaan dan pelecehan seksual. Jika dulu para suami berhak membunuh istrinya kapan saja jika mereka melakukan kesalahan ataupun tidak dapat memuaskan nafsunya, maka pada saat ini seringkali perempuan didorong untuk mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol hingga akal mereka rusak bahkan mengakibatkan kematian. Ataupun berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga, keterbatasan gerak dalam ruang publik, kebebasan berbicara dan berpendapat yang masih terabaikan, dan seterusnya. Selain di dunia empiris, diskriminasi perempuan juga dapat terjadi di dunia literer. Dalam hal ini, karya sastra sebagai dunia imajinatif merupakan media tumbuhnya subordinasi perempuan. Dunia sastra dikuasai oleh laki-laki. Artinya, karya sastra seolah-olah hanya ditujukan untuk pembaca laki-laki. Kalau pun ada pembaca perempuan, ia dipaksa untuk membaca sebagai seorang laki-laki.18 Bentuknya dapat berupa pornografi dan kekerasan terhadap perempuan. Jadi, kawin paksa, pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dalam novel-novel merupakan petunjuk adanya anggapan yang negatif tentang perempuan, atau paling tidak karena pendefinisian perempuan dengan menggunakan standar laki-laki atau kualitas-kualitas yang dimiliki laki-laki. Hal ini berhubungan dengan konsep gender bias (bias/prasangka jender), yaitu anggapan yang salah kaprah tentang jender dan jenis kelamin. Jender adalah penyifatan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosio-kultural. Namun, karena adanya anggapan yang salah kaprah, jender sering dianggap sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat dirubah.19 Keadaan inilah yang kemudian membuat perempuan-perempuan “pemberani” masih terus berjuang mempertahankan hak-haknya. Di antara mereka adalah para 17
Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 19-22. Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis ……., mengutip pendapat Selden (1991: 140), hal. 32. 19 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis ……., hal. 32-33. 18
22
sastrawan dan penulis, yang memperjuangkan pemikiran-pemikirannya melalui karya sastra dan tulisan. Betapa tidak, karya sastra merupakan refleksi dari keadaan masyarakat, kehidupan sosial, dan budaya manusia setempat. Eksistensinya sebagai sebuah karya imajinasi penulis tak jarang lebih berhasil dalam menghadirkan dan menghidupkan tokoh-tokoh serta melukiskan keadaan masyarakat itu sesungguhnya. Dan tak jarang pula, ide-ide serta gagasan-gagasan feminisme lebih banyak berhasil mencapai tujuannya dengan sebuah karya sastra. Keterlibatan penulis-penulis perempuan feminis berawal pada awal abad ke19, di mana ada tanda-tanda terang untuk pendekatan baru dan berbeda dalam hubungan penulis perempuan dengan karya sastra, yang menyebabkan lahirnya Kritik Feminis.20 Kritik Feminis ini merupakan satu perkembangan dan gerakan dalam kritik teori dan pengkajian yang melaju pada akhir tahun 1960-an, di mana suatu survey di Amerika mengungkapkan bahwa kanon sastra di negri itu, dengan hanya beberapa perkecualian, merupakan tulisan kaum laki-laki. Elaine Showalter, pengkritik sastra feminis terkemuka, menyatakan bahwa sejumlah besar bentuk sastra dalam sejarah sastra Amerika selama berkurun-kurun waktu dan berabad-abad lamanya tidak menyinggung satu pun penulis perempuan. Oleh sebab itu kegiatan awal para pengkritik sastra feminis adalah menggali, mengkaji dan menilai karya penulis perempuan dari masa-masa silam. 21 Kritik Feminis adalah suatu kritik (sastra) yang berusaha mendeskripsikan dan menafsirkan (serta menafsirkan kembali) pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra, terutama dalam novel, dan agak jarang dalam drama atau puisi. 22 Para pengkritik sastra feminis menginginkan suatu kedudukan dan pengakuan bagi penulis perempuan, karena biasanya penulis laki-laki saja yang mendapatkan kedudukan dan pengakuan dari pengkritik sastra.23 Kritik Feminis mempermasalahkan ‘ideologi’ yang berkepanjangan yang didominasi dan 20
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2005, Cet. I, hal. 83. 21 Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar¸ (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2000, hal. 18. 22 Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 83. 23 Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis…, hal. 18.
23
berpusat pada (jenis kelamin) laki-laki, ditambah dengan persekongkolan laki-laki dengan sikap patriarkalnya serta penafsiran laki-laki dalam sastra dan kritik sastra. Kritik Feminis menyerang catatan-catatan kaum laki-laki tentang nilai dalam sastra dengan cara menawarkan kritik terhadap pengarang laki-laki dan peran laki-laki dalam karya sastra, selain itu mengutamakan pengarang perempuan. Di samping itu, Kritik Feminis menantang dan menentang gagasan dan pandangan tradisional dan mapan kaum laki-laki terhadap sifat dasar kaum perempuan dan bagaimana kaum perempuan merasa, berpikir dan bertindak serta bagaimana kaum perempuan pada umumnya menanggapi kehidupan dan hidup ini. Dengan demikian, Kritik Feminis ini mempermasalahkan prasangka dan praduga terhadap kaum perempuan yang dibentuk oleh kaum laki-laki, dan sedikit pun tidak membiarkan kecenderungan kaum laki-laki menjerumuskan kaum perempuan untuk berperan menjadi tokoh yang diremehkan.24 Salah satu tokoh perempuan yang “berani” mengungkapkan pemikiranpemikirannya melalui tulisan dalam rangka memperjuangkan hak-hak kaum perempuan adalah Nawal al-Saadawi, seorang novelis Mesir yang juga seorang dokter. Kondisi sosio-kultural dan sosio-politik Mesir yang masih mendiskriminasi perempuan membawa Nawal untuk melakukan protes yang disampaikan dalam berbagai karyanya. Sebagai konsekuensinya, tak sedikit karya-karya Nawal yang dicekal oleh pemerintah karena para ulama menganggapnya sesat dan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Banyak dari karyanya yang dilarang untuk diterbitkan dan diedarkan kembali di Mesir, bahkan juga di beberapa negara Arab lainnya. Keberanian Nawal ini pun telah membuatnya diberhentikan oleh Menteri Kesehatan dari jabatannya sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Bahkan pada tahun 1981 Nawal pun pernah dipenjara dengan tuduhan “perbuatan kriminal terhadap negara”.25 24
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 83. Lihat: http://www.annida-online.com; Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm); http://www.gatra.com/artikel.php?id=50268; http://guntur. name/category/wawancara/; http://www.arabworldbooks.com/authors/nawal_elsaadawi.html; dan http://www.webster.edu/~woolflm/saadawi.html 25
24
Novel “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr” atau “Perempuan di Titik Nol” adalah salah satu karya Nawal al-Saadawi yang dibuatnya berdasarkan kisah nyata seorang perempuan Mesir bernama Firdaus, yang dijumpainya di penjara Qanatir pada tahun 1974 ketika Nawal sedang melakukan penelitian terhadap gejala-gejala neurosis di kalangan narapidana wanita Mesir. Novel ini menceritakan berbagai kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami Firdaus sejak masa kecilnya. Dan secara keseluruhan, novel ini menceritakan pengalaman hidup seorang perempuan di tengah budaya patriarki dengan penderitaan sepanjang hidupnya hingga harus berakhir secara tragis di tiang gantungan.26 Sebagai karya sastra seorang feminis, maka novel ini merupakan sebuah kritikan sosial yang keras dan pedas, hingga tak mengherankan jika banyak kalangan yang angkat bicara mengomentari novel ini.27 Sebagai sebuah karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, maka novel ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur yang terstruktur (dalam hal ini unsur-unsur intrinsik), sehingga membentuk sebuah totalitas dan kemenyeluruhan yang bersifat estetik. Salah satu unsur intrinsik yang paling menonjol untuk menciptakan estetika dalam sebuah novel adalah gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Akan tetapi, mengingat eksistensi pengarang sebagai pejuang kebebasan dan hak-hak perempuan, serta pesan-pesan utama yang disampaikannya dalam novel IINS ini adalah tentang nilai-nilai feminisme, maka penulis berkeinginan meneliti lebih jauh kebenaran hal itu. Bagaimana sang pengarang mengatur penggunaan gaya bahasa dalam novel ini, serta sejauh mana gaya bahasa yang digunakannya tersebut
26
Baca: Nawal al-Saadawi, Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr, (Beirut: Dâr al-Adab), 1989, Cet. Ke-5; Perempuan di Titik Nol, diterjemahkan oleh Amir Sutaarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2004, Cet. Ke-8; dan Women at Point Zero, trans. By Sherif Hetata, (London: Zed Books Ltd.), 1983 dan dicetak ulang pada tahun 2007. 27 Lihat pernyataan yang disampaikan Mochtar Lubis dalam kata pengantar Perempuan di Titik Nol (2004); lihat pula: http://www.wmich.edu/dialogues/texts/womanatpointzero.html ; http://www.academon.com/Analytical-Essay-Women-at-Point-Zero/60566; http://www.goodreads.com /book/show/159604.Woman_At_Point_Zero
25
dapat membuat novel ini memiliki nilai estetika yang tinggi (al-fann al-kâmil), terutama dari kaca mata para penggemar kesusasteraan Arab? Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
9. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tadi, maka masalah yang akan dikaji dalam tesis ini adalah Novel berjudul “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr” (IINS), sebagai sebuah karya sastra yang diciptakan oleh pengarang berdasarkan kisah nyata yang dialaminya pada tahun 1974, dan sebagai reaksi pengarang akan ketimpangan sosial dan jender yang masih terjadi di Mesir. Penulis akan membatasi objek kajian pada pembahasan mengenai biografi pengarang, pemikiran-pemikiran dan ide-ide feminisnya yang selalu menjadi kontroversi di kalangan ulama Islam, khususnya di Mesir dan di beberapa negara Arab lainnya, termasuk di dalamnya beberapa karya sastra yang telah ditulis oleh pengarang dan berhasil dicetak dalam berbagai bahasa di dunia. Analisis karya sastra seorang feminis sudah barang tentu harus pula memberikan penjelasan mengenai feminisme. Untuk itu dalam hal ini, penulis akan membatasi kajian pada pengertian feminisme, gerakannya yang berkembang di masyarakat, juga mengenai masuknya paham tersebut ke dalam wacana masyarakat Islam, tak ketinggalan juga tokoh-tokohnya. Mengenai kritik sastra sendiri, penulis akan membatasi pembahasan pada definisi, korelasinya dengan feminisme serta eksistensinya dalam khazanah sastra Arab. Dalam pembahasan analisis novel, penulis menggunakan metode kritik sastra feminis. Pada tahap selanjutnya, penulis akan menjabarkan pokok-pokok pikiran feminisme yang terdapat dalam novel IINS ini, agar bisa menarik kesimpulan dari keseluruhan analisis yang telah dilakukan, guna memperoleh penemuan-penemuan baru pada akhirnya.
26
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Siapakah Nawal al-Saadawi? Bagaimana karakteristik dan pola pemikirannya yang dituangkan dalam karya-karyanya? Dan bagaimana respon masyarakat terhadap pemikiran–pemikiran Nawal tersebut? 2. Apakah Feminisme? Bagaimana Feminisme muncul? Apa saja gerakan Feminisme yang berkembang di masyarakat? Apa arti kritik sastra feminis dan bagaimana korelasinya dengan feminisme? Bagaimana eksistensi kritik sastra feminis dalam khazanah sastra Arab? 3. Bagaimanakah struktur novel IINS? Bagaimanakah masalah prasangka jender, cita-cita emansipasi perempuan dan ide yang dikemas dalam struktur karya sastra? Unsur-unsur apa sajakah yang dominan digunakan untuk menonjolkan ide emansipasi perempuan dan feminisme? Mampukah novel tersebut mengungkap secara estetis gagasan emansipasi perempuan dan feminisme? 4. Seperti apakah feminisme yang terdapat di dalam novel IINS? Masalah apa sajakah yang disoroti oleh tokoh Firdaus sehubungan dengan adanya prasangka jender yang hidup di dalam masyarakatnya? Bagaimanakah jika hal itu dianalisis dengan kritik sastra feminis?
10. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan-rumusan masalah yang telah disampaikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
Tujuan Umum: Untuk mengkaji salah satu karya sastra Arab yang secara umum mengemukakan topik tentang diskriminasi jender dan implikasi dari budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat Mesir, yang tertuang dalam novel Imra`ah 'Inda Nuqthah al-Shifr (IINS).
27
Tujuan Khusus: Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan latar belakang kehidupan pengarang dan ide-ide feminisnya yang tertuang dalam karya-karya sastranya, serta kontroversi masyarakat dalam menanggapi pemikiran-pemikiran pengarang. 2. Menjelaskan arti feminisme dan aliran-alirannya yang berkembang di masyarakat, menjelaskan konsep kritik sastra feminis dan korelasinya dengan feminisme, serta mengurai eksistensinya dalam khazanah sastra Arab. 3. Menganalisis novel dalam kajian kritik sastra feminis. Analisis ini diharapkan dapat menggambarkan kekuatan hubungan antara beberapa unsur novel dengan masalah prasangka jender dan emansipasi perempuan. 4. Mengemukakan pokok-pokok pikiran feminisme yang terdapat di dalam novel.
11. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
Manfaat Teoritis: Memberikan kontribusi sebagai pengembangan diskursus jender dan feminisme yang berkaitan dengan kritik sastra feminis.
Manfaat Praktis: 1. Memberikan informasi seputar pengarang dan feminisme serta kritik feminis dalam dunia sastra, khususnya sastra Arab. 2. Memberikan informasi tentang gagasan-gagasan feminisme yang terdapat dalam novel “IINS” serta hasil analisisnya dari tinjauan kritik sastra feminis. 3. Mengembangkan penelitian sebelumnya tentang kritik sastra feminis.
28
12. Kajian Pustaka Sejauh penelusuran penulis terhadap berbagai penelitian karya sastra Nawal al-Saadawi, maka penelitian dan pengkajian novel betajuk “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr” (IINS) dari aspek kritik sastra hanya sedikit yang penulis temukan. Hal ini karena karya-karya Nawal baik fiksi maupun non fiksi pada intinya membahas tentang social change, berupa pemikiran baru tentang kesetaraan jender dan kebangkitan kaum perempuan dalam menentang budaya patriarki. Sehingga analisis dan studi tentang karya-karyanya lebih banyak dari tema-tema tersebut. Adapun pengkajian terhadap novel IINS dari perspektif kritik sastra diantaranya dilakukan oleh beberapa tokoh berikut: 1. George Tharabishi meneliti karya tersebut dari aspek analisis psikologi, sebagai titik tolak untuk penelitian dari kacamata kritik sastra dan ideologi. Dalam bukunya, “Untsâ Dliddl al Unûtsah” ia berpendapat bahwa sang pengarang (Nawal al-Saadawi) dalam setiap karyanya tiada lain berbicara tentang jiwa yang teraniaya, sebagai upaya mensosialisasikan ideologi feminisme. Novel IINS menurutnya penuh dengan pujian terhadap seorang perempuan yang selalu menganggap dirinya benar, sampai ketika ia menjadi seorang pelacur dan pembunuh. Dalam analisisnya, Tharabishi berpendapat bahwa dalam novel IINS terdapat penampakan sebuah pandangan ideologi di mana simbol suatu masyarakat dapat mencapai sebuah kesempurnaaan dengan meniadakan nilai-nilai yang dianggap tinggi dan terhormat selama ini, yaitu budaya patriarki. Adapun kritik terhadap karya-karya sastra yang mengandung sebuah ideologi tidak akan bisa menemukan nilai seni dan sastra yang tinggi di dalamnya. Akan tetapi Nawal al-Saadawi menurutnya tetaplah seorang maestro dalam karya-karya sastra perempuan Arab.28 2. Dalam bukunya “A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writers and Activist”, Diana Royer dari universitas Michigan mengatakan bahwa 28
Abdullah Abu Haif, Ittijâhât al-Naqd al-Rawâ`iy fï Sûriyah, http://www.awudam.org/book/06/study06/376-A-H/book06-sd007.htm
29
novel tersebut secara kontekstual menggambarkan tentang kompleksitas masyarakat Mesir saat ini, khususnya tentang paham Islam Fundamentalis dan status perempuan. Novel tersebut juga menjelaskan perdebatan ilmiah yang terjadi saat ini dalam hal status perempuan kuno. Setiap bab dalam novel memperlihatkan teknik tradisi sastra lisan, cerita perempuan, sebuah citra, serta topik-topik tentang penyunatan perempuan, peran gender, pelacuran dan kehormatan membunuh.29 3. Miriam Cooke dalam tulisannya “al-Dirâsât al-Nisâiyyah al-Aurubiyyah wa alAmrìkiyyah wa al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah” mengatakan bahwa novel IINS berisi tentang perjuangan perempuan-perempuan Mesir dalam mencari eksistensi diri dan ekonomi. Oleh sebab itu, para pengkritik sastra menurutnya menganggap novel tersebut sebagai penyebaran politik radikal yang disampaikan oleh pengarang, sehingga karya tersebut tidak seperti karya-karya sastra pada umumnya yang memiliki nilai estetika sastra yang tinggi. Bahkan novel tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah karya sastra.30
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis pada dasarnya adalah untuk mengkaji kembali dan memperkuat pendapat-pendapat yang telah ada. Di samping, penulis juga ingin menelaah beberapa unsur novel yang mungkin saja di dalamnya masih terdapat prasangka jender. Hal tersebut dilakukan untuk menilai konsistensi pengarang dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya tentang kesetaran jender.
13. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berperspektif kritik sastra feminis, yaitu penelitian yang menjawab berbagai kondisi perempuan, pengalaman
29
Diana Royer, A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writers and Activist, (Michigan: Edwin Mellen Press), 2001, hal. 115. 30 Miriam Cooke, al-Dirâsât al-Nisâiyyah al-Aurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah, http://sjoseph.ucdavis.edu/ewic/v1arabicparted/euroamerican_woman.pdf
30
perempuan dan persepsi perempuan mengenai pengalamannya dalam kajian kritik sastra. Penelitian kualitatif ini merupakan studi terhadap karya sastra feminis, yaitu novel Imra`ah 'Inda Nuqthah al-Shifr (IINS) karya Nawal al Saadawi. Data atau informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian yang diajukan di atas, diperoleh melalui studi kepustakaan (library research). Adapun alasan penulis memilih novel IINS sebagai objek penelitian adalah karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1. Novel IINS merupakan salah satu karya sastra berbahasa Arab. 2. Novel IINS merupakan karya sastra yang mengungkap ide-ide feminisme di dalamnya. 3. Pengarang novel adalah seorang maestro yang sangat terkenal dengan gagasangagasan feminismenya. Seorang tokoh kontroversial yang meskipun karyakaryanya sering dicekal, namun semangatnya untuk memperjuangkan ide-ide feminisme tak pernah pudar. Bahkan hingga di usianya yang sudah senja saat ini, pengarang masih tetap aktif menulis dan mengkampanyekan ide-ide feminisme. Di samping itu, karya-karya yang telah dihasilkan oleh pengarang sangat banyak dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. 4. Penelitian terhadap novel IINS karya Nawal al-Saadawi ini telah beberapa kali dilakukan oleh para peneliti, namun hanya sedikit yang mengkajinya dalam perspektif kritik sastra. Dan berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis belum pernah ada penelitian yang mengkaji beberapa unsur novel yang mungkin saja di dalamnya masih terdapat bias jender, guna menilai konsistensi Nawal dalam menyajikan ide-ide feminismenya.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini mengambil novel IINS sebagai objek penelitian.
31
Untuk memberikan rincian kegiatan penelitian ini, penulis akan menguraikan beberapa hal penting seputar penelitian, yaitu:
1. Jenis Penelitian Metode penelitian dengan perspektif sastra feminis ini bersifat kualitatif. Dengan demikian, jenis data yang diambil pun data yang bersifat kualitatif. Misalnya data-data yang berkaitan dengan gaya bahasa Arab yang biasa digunakan oleh para sastrawan, dalam rangka mencari nilai sastra yang terkandung dalam novel yang disajikan pengarang ini. Gaya bahasa yang digunakan pengarang tersebut kemudian dihubungkan dengan data-data yang mendeskripsikan status dan peran perempuan dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan pekerjaan. Di dalam data ini terkandung rincian data yang lebih detail. Pengkajian variabelnya dilakukan dengan studi deskriptif kualitatif dalam bentuk studi kasus. Novel yang merupakan objek studi kasus diteliti dan hasilnya diharapkan dapat menceritakan keberhasilan atau kegagalan tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Eksistensi, cita-cita dan peranan tokoh perempuan dalam hubungannya dengan tokoh lain dan lingkungan sekitarnya menjadi poin penting. Pemahaman kaitan itu terarah pada kaitan antarunsur yang berdasarkan pada pola dan tatanan nilai budaya tertentu. Dengan demikian,
latar belakang
yang bervariasi perlu
dipertimbangkan.
2. Sumber Penelitian Sebagaimana
telah
disebutkan
sebelumnya,
bahwa
penelitian
ini
menggunakan studi kepustakaan (library research), maka sumber penelitian ini adalah dalam bentuk teks atau literatur. Sumber primer adalah novel yang ditulis oleh Nawal al-Saadawi, yang bertajuk: Imra`ah 'inda Nuqthah al-Shifr. Adapun sumber sekunder adalah seluruh literatur yang membahas tentang konsepsi kesetaraan jender, feminisme dan kritik sastra feminis, serta yang berkaitan dengan teori-teori kesusatraaan lainnya, terutama sastra Arab. 32
3. Metode Pengumpulan Data Dari sekian banyak metode yang dapat digunakan untuk pengumpulan data, maka metode yang digunakan penulis di sini adalah metode dokumenter, yaitu metode pengumpulan data melalui catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah lalu. Dalam hal ini, penulis menggunakan collecting text documents, yaitu menelusuri dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Buku-buku dan literatur yang digunakan penulis adalah yang berkaitan dengan permasalahan jender, feminisme, kritik sastra feminis dan yang berkaitan dengan teori-teori sastra lainnya, khususnya sastra Arab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
4. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis sebuah novel, maka analisis struktur perlu dilakukan. Dengan demikian, walaupun penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis, namun analisis struktur novel tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Meski tidak dilakukan secara mendalam dalam bab khusus, analisis struktur novel dapat membantu mempermudah analisis feminis. Unsur-unsur seperti topik, tema, tokoh, latar dan gaya bahasa dapat dikaji untuk menemukan hubungan yang kuat dengan ide feminisme yang akan disampaikan oleh pengarang. Dalam hal ini, penulis menghubungkan isi cerita dan cara penceritaan dengan teori-teori yang ada dalam kritik sastra feminis. Adapun kritik sastra feminis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Culler,31 yaitu membaca sebagai perempuan. Maksudnya adalah kesadaran pembaca mengenai adanya perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna karya sastra. Kritik ini meletakan dasar bahwa ada jender dalam kategori analisis sastra dan ini dianggap sebagai kategori yang fundamental. Membaca sebagai perempuan berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi
31
Jonathan Culler (lahir th. 1944). Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Jonathan_Culler
33
kekuasaan laki-laki yang androsentris dan patriarkhat. Dalam hal ini, ketika faktor pembaca
dipentingkan,
maka
pembaca
dengan
sendirinya
mempengaruhi
konkretesasi karya sastra karena makna teks, di antaranya ditentukan oleh pembaca. Sebagaimana Iser berpendapat bahwa sebuah teks baru bermakna setelah teks itu dibaca. Konsekuensinya, latar belakang sosial-budaya dan sikap pembacanya sangat menentukan keberhasilan analisis semacam ini. Perlu dicatat bahwa membaca sebagai perempuan tidak menganggap otoritas kultural sebagai kenyataan objektif, melainkan hanya sebagai batas budaya politis.32 Yang tidak dapat disingkirkan adalah jiwa analisisnya, yaitu analisis jender. Analisis harus melibatkan kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, dalam mengungkapkan kehidupan tokoh perempuan. Di sinilah studi komparatif berperan. Posisi, peran, status, latar belakang, dan pandangan hidup tokoh laki-laki dan perempuan dibandingkan untuk mengungkapkan hubungan serta kemajuan dan keterbelakangan mereka.33
Adapun langkah-langkah analisis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek, yaitu novel Imra`ah 'Inda Nuqthah al-Shifr (IINS); 2. Mengarahkan fokus analisis, yang mencakup struktur teks, eksistensi dan peran tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat, serta pandangan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh perempuan mengenai tokoh perempuan dalam teks IINS; 3. Mengumpulkan data-data dari sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan objek analisis. Data tersebut dapat berupa karya fiksi maupun nonfiksi; 4. Menganalisis novel yang menjadi objek dengan analisis struktural dan kritik sastra feminis. Caranya adalah sebagai berikut:
32 33
Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis ……., hal. 72-73. Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis ……., hal. 74.
34
a. Mula-mula dikaji terlebih dahulu struktur novel yang mengungkapkan topik, tema, latar, penokohan dan gaya bahasa. b. Setelah itu, struktur novel dianalisis dengan kritik sastra feminis (membaca sebagai perempuan) untuk mengungkapkan eksistensi dan peran tokoh perempuan secara pribadi, anggota keluarga, dan anggota masyarakat; tanggapan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh perempuan terhadap tokoh perempuan; serta korelasinya dengan ide-ide yang dikemukakan oleh feminisme. c. Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan yang menunjukkan bobot feminisme dalam novel IINS, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
14. Sistematika Penulisan Adapun rencana sistematika penulisan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II
: Pembahasan mengenai biografi pengarang, yang berupa profil pengarang, pemikiran, serta karya-karyanya yang kontroversial.
Bab III
: Pembahasan gerakan
tentang
dan
feminisme
yang mencakup definisi,
perkembangannya; serta tentang kritik sastra
feminis yang mengkaji
pengertian dan
korelasinya dengan
feminisme, serta eksistensinya dalam khazanah sastra Arab. Bab IV
: Berupa
analisis
kritik
sastra
feminis
yang
mencakup
penjabaran topik dan tema novel IINS; prasangka jender dan emansipasi
perempuan; riwayat
emansipasinya; analisis
hidup tokoh utama dan ide
mengenai
tokoh yang mendukung
emansipasi perempuan dan tokoh-tokoh yang masih merendahkan perempuan,
serta penokohan
yang
berprasangka
jender; 35
tentang
latar dan prasangka jender; serta hubungan antara gaya
bahasa dan jender. Pembahasan
selanjutnya mengenai pokok-
pokok pikiran feminisme yang terkandung di dalam novel. Hal tersebut mencakup: Tokoh utama (Firdaus) perempuan;
peran
agama
dan
adat
dalam stereotipe dalam subordinasi
perempuan; kekerasan terhadap tokoh utama (Firdaus) sebagai perempuan: di rumah dan di luar rumah; posisi Tokoh utama (Firdaus) sebagai
perempuan dan aspirasinya untuk melawan
budaya patriarki dengan melakukan pemberontakan; serta eksekusi yang menimpanya. Bab V
: Penutup dengan menyajikan dan memaparkan kesimpulan dan saran
atas keseluruhan pembahasan dan analisis
yang telah
dilakukan dalam bab-bab sebelumnya.
36
BAB II NAWAL AL-SAADAWI
1. Biografi Nawal al-Saadawi Nawal al-Saadawi adalah seorang dokter, novelis dan pengarang feminis Mesir terkemuka. Ia dilahirkan di sebuah desa kecil di tepi Sungai Nil, Kafr Tahla, 77 tahun yang lalu.34 Meski telah renta, namun sampai saat ini semangatnya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan masih terus membara.35 Nawal berasal dari keluarga yang berpendidikan. Ayahnya adalah seorang pejabat yang bekerja di kementrian pendidikan, sementara ibunya berasal dari keluarga kelas atas. Meski bagi masyarakat setempatnya hanya anak laki-laki yang boleh bersekolah, namun orang tua Nawal menyekolahkan semua anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, yang seluruhnya berjumlah sembilan orang. Kecerdasan
yang
dimiliki
Nawal
mengantarkannya
menjadi
seorang
mahasiswi Fakultas Kedokteran di Universitas Cairo pada tahun 1949. Pada tahun 1955, ia memperoleh gelar Dokternya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S2-nya di Universitas Columbia, New York, dan berhasil mencapai gelar Majister Kesehatan Umum pada tahun 1966. Berbeda dengan kesuksesannya dalam bidang pendidikan, pernikahan Nawal dua kali kandas dan berakhir dengan perceraian. Hingga akhirnya ia bertemu dan menikah pada tahun 1964 dengan Sherif Hetata, seorang dokter yang juga novelis, yang kemudian banyak menerjemahkan novel-novel dan karya tulis Nawal ke dalam bahasa Inggris. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang anak, seorang lakilaki dan seorang perempuan, yang kemudian juga menjadi para penulis yang kreatif.36
34
Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm) Hal ini dapat dilihat dari eksistensinya yang masih terlihat hingga saat ini. Bahkan beberapa bukunya diterbitkan kembali pada dua tahun terakhir ini. Lihat: BookList, (http://www.nawalsaadawi. net/books.htm) 36 Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm) 35
37
Nawal al-Saadawi memulai karirnya sebagai dokter universitas pada tahun 1955. Dan selama dua tahun, ia juga menjadi dokter di Pusat Kesehatan Desa di Kafr Tahla. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Departemen Kesehatan dari tahun 1958 sampai 1972 dan juga menjabat sebagai editor majalah Health dan sebagai asisten Sekjen untuk Asosiasi Dokter Mesir. Namun karena karya ilmiahnya yang bertajuk al-Mar`ah wa-al-Jins, pada tahun 1972, Nawal dipecat dari jabatannya di kementrian. Hal ini karena buku tersebut berisi berbagai hal yang dianggap tabu di Mesir dan tidak layak untuk dipublikasikan, yaitu seputar masalah seks, kaitannya dengan agama, serta trauma seorang perempuan yang dikhitan. Dan karena buku yang ditulisnya itu juga, majalah Health kemudian dicekal, dan semua buku Nawal pun disensor. Walhasil, gerak Nawal menjadi terbatas. 37 Karir Nawal lainnya adalah pernah bekerja sebagai penulis di sebuah Perguruan Tinggi Sastra dan Sains pada tahun 1973-1978; sebagai peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Ain Shams, Kairo; sebagai Direktur Pelatihan Bangsa Afrika dan Pusat Penelitian Perempuan-Perempuan di Ethiopia untuk PBB pada tahun 19781980; dan sebagai penasehat Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika Barat di Libanon.38 Pada tahun 1981, Nawal mengkritik sistem Partai Tunggal Presiden Anwar Sadat. Hal tersebut menjadikannya terdakwa melakukan perbuatan kriminal terhadap negara.39 Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Penjara Perempuan Qanatir, tempat di mana ia pernah melakukan penelitian pada tahun 1970-an dan menemukan inspirasi untuk novelnya yang bertajuk Perempuan di Titik Nol. Selama di penjara, meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Nawal diam-diam tetap menulis. Tulisan itu menghasilkan sebuah esai berjudul Catatan dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, ia mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan 37
Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm). Lihat: Cairo-Based Human Rights Organization, Female Genital Multilation (http://www.crescentlife.com/psychissues/fgm.htm). 39 Lihat: Central Intelligent America, The World Factbook, (http://www.cin.gov/cia/ publications/factbook/geus/eg.html). 38
38
penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut. Setelah Presiden Sadat meninggal dunia, Nawal dibebaskan.40 Pada tahun 1982, Nawal al-Saadawi mendirikan sebuah Asosiasi Solidaritas Perempuan. Namun pada tahun 1991, asosiasi ini dibubarkan. Nama Nawal kemudian dicantumkan di dalam daftar kematian kalangan fundamentalis. Jiwa Nawal terancam dan selama beberapa tahun rumahnya di Giza dijaga oleh satpam bersenjata. Hal inilah yang membuat Nawal dan suaminya pergi meninggalkan Mesir. Mereka pindah ke Amerika, dan Nawal bekerja sebagai dosen tamu di Universitas Duke dan Universitas Negeri Washington di Seattle. Nawal mengatakan bahwa ancaman kematian telah membuat hidupnya menjadi lebih penting, dan menurutnya, tidak ada sesuatu apapun yang dapat mengalahkan kematian seperti menulis. Pada tahun 1996, ia kembali ke Mesir.41 Adapun penghargaan-penghargaan yang pernah diperolehnya antara lain: Penghargaan dari Dewan Tinggi Sastra pada tahun 1974; Penghargaan Persahabatan Sastra Perancis Arab (1982); Penghargaan Sastra Gubran (1988); dan Dekorasi Tingkat Pertama Republik Libya (1989).42 Karya-karya Nawal telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Tak kurang dari 30 bahasa. Karya fiksi Nawal pertama kali dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah. Buku-buku pertamanya muncul sekitar tahun 1950an. Pada tahun 1958, ia membuat debutnya sebagai seorang novelis melalui karyanya, Catatan Seorang Dokter Perempuan. Karya tersebut kemudian dianggap sebagai pionir dalam karya fiksi feminis di Arab. Sementara kritikan-kritikannya mengenai sistem patriarki dan tulisan-tulisannya mengenai berbagai permasalahan yang dianggap tabu baru dimulainya pada tahun 1970-an. Di antaranya, melalui karya nonfiksinya yang berjudul al-Mar`ah wa al-Sirâ’ al-Nafsi, yang terbit pada tahun 1976. 40
Egyptian State Information Services, (http://www.sis.gov.eg/women/html/). Lihat: Central Intelligent America, The World Factbook, (http://www.cin.gov/cia/ publications/factbook/geus/eg.html) dan Egyptian State Information Services, (http://www.sis.gov.eg/women/html/). 42 Lihat: Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm). 41
39
Buku tersebut membahas tentang perempuan dan konflik psikogisnya, dan The Hidden Face of Eve, yang diterbitkan pada tahun 1977 di Beirut, Libanon. Adapun buku-buku terjemahannya dalam bahasa Inggris dimulai dengan pengalaman pengarang yang disunat pada usia 6 tahun. Buku Catatan dari Penjara Perempuan dipublikasikan di London oleh Penerbit Woman Press. Dan setelah novelnya yang bertajuk Jatuhnya Sang Imam (1987) dipublikasikan di Kairo, Nawal mulai menerima banyak kecaman dari kalangan Islam Fundamentalis.
Para
ulama
banyak
mengomentari novel ini, terutama Syekh Azhar, sebagai penghinaan dan pelecehan terhadap Imam. Menurut mereka, term Imam yang digunakan Nawal dalam novel tersebut adalah makna Imam yang sebenarnya dalam agama Islam. Dengan demikian, buku tersebut dianggap telah mencoreng kesucian Imam, dan mempermalukan agama Islam. Padahal menurut Nawal, kata Imam yang digunakannya itu semata-mata ditujukan kepada Anwar Sadat, bukan mengacu kepada Imam dalam konteks yang sebenarnya. Namun demikian, tetap saja, Nawal dan buku-bukunya menjadi sesuatu yang kontroversial. Karya-karya Nawal dilarang beredar di Mesir dan di beberapa negara Arab lainnya. Akan tetapi hingga saat ini, ia tetap menulis dan berkampanye demi kebebasan dan keadilan perempuan dan laki-laki. Karya-karya Nawal lainnya di antaranya adalah: Rihlati hawla al-'alam, My Travels Around the World (1986), Dirasat 'an al-mar'ah wa-al-rajul fi al-mujtama' al-'Arabi (1986), She Has No Place in Paradise (1987) (trans. by Shirley Eber), Searching (1991) (trans. by Shirley Eber), Daughter of Isis: The Autobiography of Nawal El Saadawi (1999) (trans. by Sherif Hetata), Qadaya al-mar'ah wa-al-fikr wa-al-siyasah (2001), Walking Through Fire: A Life of Nawal El Saadawi (2002) (trans. by Sherif Hetata).43
43
Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm); BookList, (http://www.nawalsaadawi.net/books.htm); Cairo-Based Human Rights Organization, Female Genital Multilation (http://www.crescentlife.com/psychissues/fgm.htm); Central Intelligent America, The World Factbook, (http://www.cin.gov/cia/ publications/factbook/geus/eg.html); Egyptian State Information Services, (http://www.sis.gov.eg/women/html/).
40
2. Latar Belakang Pemikiran Nawal al-Saadawi. Pencekalan terhadap karya-karya Nawal al-Saadawi dan berbagai ancaman yang diterimanya tak lain adalah karena pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemerintah dan nilai-nilai agama. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Saadawi baik secara langsung melalui berbagai seminar maupun melalui tulisan-tulisan ilmiah dan fiksinya seringkali memicu kontroversi di kalangan masyarakat.
Nawal
al-Saadawi
seolah
menyampaikan
keinginannya
untuk
membangkitkan kaum perempuan dari keterpurukan lewat tokoh-tokoh yang ia ciptakan dalam setiap karyanya. Bahasa yang digunakan oleh para tokoh juga terkesan memprovokasi dan membangkitkan emosi para pembaca. Pemikiran-pemikiran Nawal al-Saadawi yang ia sampaikan melalui karyakaryanya tersebut tak lain adalah karena pengaruh jiwanya yang merasa teraniaya dengan kondisi masyarakat di mana ia hidup. Oleh sebab itu, secara umum pemikiran-pemikiran
dan
karya-karya
Nawal
al-Saadawi
pada
dasarnya
dilatarbelakangi oleh dua aspek, yaitu:
a) Kondisi budaya dan tradisi masyarakat Mesir Nawal al-Saadawi melihat problem diskriminasi perempuan sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku terkenalnya alMar’ah wa al-Jins (Perempuan dan Masalah Sex), Nawal memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex.44 Dalam bukunya yang lain Woman at Point Zero (Perempuan di Titik Nol), dengan bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya tentang nasib perempuan Arab yang mengalami tekanan-tekanan. Dengan tanpa ragu-ragu, ia menyamakan status para istri di dunia Arab dengan para pelacur,
45
bahkan lebih
buruk: “Tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua
44 45
Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm) Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda….., hal. 101.
41
perempuan adalah pelacur dalam satu dan lain bentuk. Karena saya seoranng pelacur yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi pelacur yang bebas dari pada menjadi seorang istri yang diperbudak .” Menurut Nawal al-Saadawi masalah diskriminasi perempuan tidak bisa diselesaikan lewat persamaan seks atau apa lagi lewat agama. Persoalan perempuan sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global ekonomi dan politik sebuah negara.46 Luthfi As-Syaukanie membandingkan pemikiran yang berbeda antara Nawal dengan Fatima Mernissi. Dua orang feminis ini meski pada intinya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, namun keduanya berbeda cara pandang. Menurut Luthfi, Nawal al-Saadawi lebih menekankan permasalahan perempuan pada peran dan faktor ekonomi-politik, sementara Mernissi lebih melihat permasalahan pada level ideologi sosial. Menurutnya, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu “discourse tentang wanita” yang telah diciptakan oleh sosio-budaya Arab. Menurut Mernissi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif—dari perspektif apa saja. Mernissi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib perempuan, yang termasuk di dalamnya juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat. Menurut Mernissi diskusi-diskusi di sekitar turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita.47 Akan tetapi sebenarnya Nawal juga masih sependapat dengan Fatima Mernisi. Menurut Nawal perempuan menjadi tertindas juga karena struktur patriarkal sosial Arab yang terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung merendahkan
46
Lihat: http://www.gatra.com Lihat: Luthfi As-Syaukanie, Arab Feminist Movement, Jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1, Juli-Desember 1998. 47
42
perempuan. Dalam tradisi agama, perempuan dihargai setengah,48 dan yang setengah itupun selalu dihalang-halangi untuk berperan dalam masyarakat secara bebas.49 Satu contoh, di Mesir, sensus pertama mengenai partisipasi perempuan dalam dunia kerja dilakukan pada tahun 1914. Ketika itu hanya 20.000 orang atau 5% dari jumlah seluruh tenaga kerja. Pada saat itu para gadis dan perempuan dari keluarga miskin mencari pekerjaan di sejumlah pabrik dan penggilingan gandum. Jam kerja mereka adalah 14 jam perhari. Dan dibayar lebih kurang tiga piastre sehari, namun kadang-kadang turun sampai 18 millims. Namun tiga piastre ini lebih baik dari pada keluarga kelaparan. Tidak ada undang-undang tenaga kerja untuk menjamin standar kesehatan atau keselamatan yang melindungi perempuan, terlebih lagi bagian tempat mereka bekerja lebih buruk dari pada bagian laki-laki. Nilai perempuan secara sosial dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Apalagi mereka tidak memprotes atau berjuang untuk memperbaiki kondisi mereka, seolah mereka terbiasa menerima penghinaan dan pelecehan. Sebagai akibat dari kondisi kerja yang tidak manusiawi itu, jam kerja panjang, kelelahan dan gizi yang tidak memadai, perempuan tidak lagi bekerja di pabrik lebih dari empat atau lima tahun, setelah itu ia tidak lagi sehat untuk mengerjakan apapun. Pemilik perusahaan akan mengeluarkannya sehingga ia terlepas sebagai buruh yang sudah kadaluwarsa, dan segera digantikan oleh perempuan yang lebih muda. Selain itu, ketika itu belum ada izin cuti bagi ibu hamil dan melahirkan. Bagi ibu yang baru saja melahirkan, maka esok harinya sudah harus kembali bekerja. Banyak perempuan pekerja yang bahkan merahasiakan statusnya bahwa ia telah menikah, karena hal ini sering dijadikan alasan oleh para majikan untuk mengeluarkannya.
Jika
ia
hamil,
maka
sebisa
mungkin
kehamilannya
itu
disembunyikan, seperti halnya sedang mengandung anak haram. Bahkan dalam banyak kasus, ia akan melakukan cara-cara desa yang primitif untuk menggugurkan kandungannya dengan menggunakan semacam tumbuhan yang disebut mouloukhia ke dalam rahim atau leher rahim. Dan tak jarang cara ini berakhir dengan kematian 48 49
Lihat: Q.S. 4: 11. Lihat: http://www.gatra.com
43
karena
kekurangan
darah
atau
infeksi.50
Keadaan
inilah
yang
kemudian
membangkitkan semangat dan kesadaran kaum buruh perempuan Mesir pada abad ke-20
untuk
menentang
dan melawan
peraturan-peraturan pabrik,
dengan
mengadakan demonstrasi di jalan-jalan, menuntut kehormatan mereka sebagai perempuan yang dihargai, agar jam kerja diperpendek dan diatur oleh undangundang, serta adanya izin cuti bagi ibu hamil dan melahirkan. Pada saat itu, kaum perempuan dari kalangan atas sebenarnya telah mulai mendirikan organisasi perempuan pertama di Mesir, pada tahun 1923. Namun karena mereka merasakan kemakmuran dan kurangnya turun ke bawah (grass root) untuk melihat fakta yang terjadi pada masyarakat miskin, maka mereka tidak tahu apa-apa mengenai kondisi buruh perempuan dan nasib mereka yang dieksploitasi secara tidak manusiawi tersebut. Sehingga demonstrasi yang sudah dilakukan berakhir dengan suatu pertemuan yang menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah federasi perempuan yang baru. Namun realitasnya, keputusan-keputusan yang ada kurang mendukung upaya pemberdayaan kaum perempuan serta untuk meningkatkan status mereka. Malah kemudian, momentum tersebut berlalu dengan sia-sia begitu saja.51 Satu tradisi masyarakat Mesir yang juga sangat ditentang oleh Nawal alSaadawi adalah kebiasaan mereka menyunat anak-anak perempuan dengan alasan untuk mengontrol dan mengendalikan nafsu mereka agar kelak ketika dewasa tidak menjadi perempuan yang bejat dan penggoda kaum lelaki. Kebiasaan ini menurut Nawal sama saja mematikan naluri seksual kaum perempuan dan membentuknya menjadi sebuah pribadi yang dingin. Nawal sendiri pernah sangat menderita ketika dipaksa sunat oleh ibunya saat ia berusia 6 tahun. Ibunda Nawal adalah seorang muslimah tradisional -meski berasal dari keluarga kelas atas- yang mewajibkan khitan untuk anak perempuan.52 Masalah khitan ini pernah dilarang di Mesir selama beberapa waktu, namun kemudian sekitar tahun 1990-an, masalah ini dilegalkan 50
Nawal el-Saadawi, The Hidden Face of Eve, diterjemahkan oleh Zulhilmiyasri, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2001, Cet. Ke-1, hal. 353-354. 51 Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 355-356 52 Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm)
44
kembali.53 Belakangan tahun terakhir banyak anak-anak perempuan yang menjadi korban, sampai mengalami kematian. Tradisi yang sangat kuat dipercaya oleh masyarakat Mesir menyebabkan sulitnya dilakukan perubahan, meski pemerintah juga sudah melarangnya kembali. Pada tahun 2007 akhirnya mufti Mesir mengumumkan bahwa khitan bagi anak-anak perempuan hukumnya haram, karena melihat korban yang semakin banyak.54 Penindasan dan tindakan-tindakan yang merendahkan perempuan menurut Nawal sebetulnya sudah terjadi sejak lima atau enam ribu terakhir. Sejak saat itu, laki-laki telah mempertaruhkan segenap kemampuan dan pengetahuannya untuk menemukan berbagai macam ikatan untuk mengepung dan menekan perempuan, tapi sepenuhnya ia tidak pernah mampu menghalau ketakutan yang mendarah daging terhadap perempuan dan ia merasa perlu untuk mengawasinya dengan hati-hati. Di antara bukti ketakutan mereka adalah dengan membuat rantai dan belenggu yang ia pasangkan ke tubuh dan pikiran perempuan dalam bentuk: undang-undang yang kaku dan mapan, teori-teori ilmiah tentang "diri" perempuan dan psikologinya, kaidahkaidah moral atau bahkan perasaan yang berbentuk cinta, kemuliaan dan perlindungan, namun substansi sebenarnya terbuat dari kecemburuan, keserakahan, dominasi dan kepemilikan.55
b) Kondisi politik masyarakat Mesir
Sejauh pengamatan sastra Arab yang telah dikaji, dalam setiap karyanya, Nawal al-Saadawi selalu menampilkan dan menonjolkan kritik yang cukup pedas sekaligus penggambaran realitas sosial politik.56 Dalam artikel khusus Women and Islam, Nawal al-Saadawi Saadawi menyamakan persoalan perempuan dengan 53
Lihat: Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm) Lihat: http://infosyiah.wordpress.com/2007/06/27/mufti-mesir-khitan-bagi-anak-perempuan -hukumnya-haram/ . Lihat penjelasannya lebih lanjut pada Bab IV. 55 Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 310-311. 56 Lihat: Luthfi As-Syaukanie, Arab Feminist…, Vol. I. No. 1, Juli-Desember 1998. 54
45
masalah keterbelakangan. Ia mengatakan: “Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara.”57 Peradaban Mesir Kuno merupakan sumber warisan budaya tempat kemajuan tertentu yang telah dicapai dunia Timur. Akan tetapi peradaban ini kemudian dibawa ke Eropa Barat oleh orang-orang Barat dan telah menjadi inspirasi serta sumber pengetahuan bagi perkembangan dunia seni dan sains yang lebih lanjut.58 Tokohtokoh dunia Timur yang sangat berjasa dalam perkembangan sains dan seni ini kemudian tenggelam namanya, karena posisi mereka digantikan oleh orang-orang Barat. Mesir dan dunia Arab hidup melalui beberapa dekade yang gelap terutama selama abad ke-19. Kondisi rakyatnya jelas-jelas mundur. Penguasa negara yang bersahabat baik dengan penjajah Inggris dan Perancis telah menimpakan beban teramat berat ke pundak mereka dalam semua aspek kehidupan baik ekonomi, politik maupun budaya. Nasib kaum perempuan, sebagaimana biasanya, adalah yang terburuk karena mereka harus menunaikan beban ganda sistem patriarkat seperti halnya sistem kelas otokratis. 59 Kemunduran kaum perempuan menjadi salah satu sumber kelemahan dan kekalahan yang menyerang rakyat Arab, sebab mereka dirampas dari pengetahuan serta dijauhkan dari sumber-sumber pengetahuan, suatu hal yang bertolak belakang dengan yang dibutuhkan dan diperlukan oleh agama dan kehidupan.60 Meski kemudian sejak tahun 1923 Huda Sya’rawi mulai memberikan pencerahan bagi nasib perempuan Mesir, 61 namun masih banyak perempuan57
Lihat: http://www.gatra.com Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 341-342. 59 Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 343. Lihat pula: http://www.uinjkt. ac.id/index.php/organisasi/struktur-organisasi/372-beda-tafsir-jender-indonesia-mesir-dalammemandang-perempuan.html ; Lihat pula: http://www.ksg.averroes.or.id/gender/fatima-mernissirekonstruksi-teks-sejarah-dan-sistem-patriarkhal.html. Lihat lebih lanjut pada Bab III. 60 Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 344-345. 61 Lihat: Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 26. Lihat pula: http://s1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/single/id_movement_of_woman_liberation.pdf. 58
46
perempuan yang belum tersentuh kebebasannya dalam mengekspresikan segala kemampuan yang terdapat dalam jiwanya, apalagi kesempatan terjun ke dunia politik.. Bahkan seringkali perempuan menjadi korban politik pemerintah. Dalam karya-karyanya, Nawal sering menggunakan colloqualism atau gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural, dan tanpa embel-embel analitik. Nawal al-Saadawi tidak mengikuti aliran al-fann al-kâmil (keindahan) yang kebanyakan digunakan oleh sastrawan Arab. Tema yang diangkat Saadawi cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup. Seperti karya-karyanya yang terdahulu, Catatan Seorang Dokter Perempuan, Matinya Seorang Menteri, Catatan dari Penjara Perempuan, Perempuan di Titik Nol, dan Kabar dari Penjara, semua mengangkat hal yang sama. Semua tidak lepas dari uraian jiwa Saadawi (sekaligus tokoh dalam karya sastra) yang mengalami guncangan hidup dan depresi yang sangat dalam. Tidak ada satu pun karyanya bisa membuat para pembaca tersenyum atau tertawa. Aliran naturalisme-realisme yang dianut oleh Nawal al-Saadawi, di sisi lain ditemukan adanya suatu kejanggalan yang terkesan dibuat-buat, yaitu tema yang diangkat selalu menampilkan penderitaan hidup, tidak menampilkan kebahagiaan hidup di hati tokohnya, seakan hidup ini adalah penderitaan tiada akhir. Padahal Tuhan selalu menghiasi suka dan duka di hati hamba- hamba-Nya. Dan Saadawi begitu pandai menyembunyikan kesan itu dengan rising plot (alur menanjak), di mana jalinan peristiwa dalam karya yang dihasilkannya terus menanjak, tanpa ada peleraian sampai cerita itu selesai di puncak. Kesan itu benar-benar tak terbaca oleh para pembaca. Suatu hal yang menarik dari karya Nawal al-Saadawi adalah keberaniannya melontarkan sarkastis kepada pemerintah. Seperti yang ditulisnya di Catatan dari Penjara Perempuan.62 Di sisi lain, pergolakan jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal al-Saadawi tidak terlepas dari jiwanya yang berontak dengan 62
Tulisan Saadawi yang mengandung sarkastis kepada pemerintah dalam novel tersebut adalah: "Jika pihak penguasa marah pada seorang pengarang bersangkutan dapat diberangus dan suaranya dibungkam, sehingga tak terdengar lagi oleh siapa pun. Seorang pengarang tak mungkin mencapai puncak kesusastraan dan bertahan di sana, jika tak direstui oleh pemerintah" (Lihat: Nawal el-Saadawi, Catatan dari Penjara Perempuan, 1992, hal. 6-7).
47
aturan-aturan yang mengikatnya sebagai seorang perempuan. Karena itu, di dalam karya-karyanya, ia selalu menampilkan sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Ekspresionisme yang diungkapkan Nawal al-Saadawi dalam setiap karyanya kerap mendobrak doktrindoktrin dominasi laki-laki terhadap perempuan (androsentrisme). Rentetan frasa dengan nada provokatif serta suspense yang terus meningkat, membuat cerita-cerita dalam novel-novel Nawal al-Saadawi meninggalkan kesan yang sangat dalam, bahwa penulis menentang kultur sekaligus doktrin dan undang- undang di negaranya.63 Pemikiran lain Nawal al-Saadawi yang kontroversial adalah pencalonan dirinya sebagai presiden pada tahun 2005. Hal ini memunculkan perang fatwa di kalangan ulama. Seperti fatwa Syekh Prof. Dr. Yusuf al-Qardlawi dan mufti agama Islam Mesir, Prof. Dr. Ali Gomah, yang menyatakan bahwa dalam kondisi apa pun, seorang perempuan tidak diperbolehkan menjadi presiden bagi negara mana pun. Qardlawi beralasan dengan dominasi emosi perempuan pada dirinya ketimbang nalarnya, keterbatasannya secara natural karena kehamilan, melahirkan, nifas dan haid serta hukum agama yang menurutnya membedakan kesaksian antara laki-laki dan perempuan. Menurut Al-Qardhawi, perempuan lebih pantas memegang otoritas kolektif seperti menjadi anggota legislatif dalam parlemen atau menteri dalam struktur kabinet, bukan otoritas tunggal sebagai presiden.64 Sementara Syekh Al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Sayyid Tanthawi, dan Syekh Azhar, Ibrahim Al-Fayoumi, Ketua Lembaga Penelitian Islam (Majma' alBuhuts al-Islamiyah) Al-Azhar mendukung pencalonan diri Nawal sebagai presiden. Meskipun sebelumnya, keduanya sering menolak pemikiran-pemikiran Nawal, bahkan Ibrahim sendiri adalah eksekutor dalam kasus pembredelan karya Nawal. Dalam kasus kepemimpinan ini Tanthawi mengatakan bahwa "Syariat Islam tidak pernah melarang perempuan untuk menjadi presiden."Ia juga menambahkan bahwa 63 64
Lihat: Luthfi As-Syaukanie, Arab Feminist…, Vol. I, No. 1, Juli-Desember 1998 Lihat: http://www.gatra.com.
48
profesi perempuan dalam Islam tergantung kemampuan dan kelayakan. Selain itu, Islam juga tidak pernah menegaskan secara spesifik profesi perempuan."65 Menanggapi perang fatwa tersebut, Nawal hanya bisa menanggapinya secara dingin. Menurutnya, alasan fisiologis bagi perempuan –karena haid- adalah dalil yang tidak logis dan lucu.66
65 66
Lihat: http://www.gatra.com Lihat: www. gatra.com
49
BAB III FEMINISME DAN KRITIK SASTRA FEMINIS
Berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, maka setelah membahas profil pengarang novel, Nawal al-Saadawi, pembahasan mengenai Feminisme dan Kritik Sastra Feminis perlu dilakukan guna menemukan teori-teori dasar yang kemudian akan digunakan dalam analisis. Kelahiran Feminisme dan Kritik Sastra Feminis yang untuk pertama kalinya di Barat merupakan implikasi dari teori-teori Sosiologi yang berkembang di masyarakat. Dalam teori sosial, masyarakat terbentuk atas kesepakatan bersama (kontrak sosial) yang dilakukan oleh individu maupun kelompok untuk mencapai sesuatu secara bersama dengan seperangkat aturan-aturan, baik tradisi, konvensional dan aturan-aturan yang disepakati bersama. Kesepakatan itu dibuat pada prinsipnya untuk melayani dan memberikan perlindungan hak-hak dasar individu atau kelompok, demi tercapainya keadilan dan kehidupan sosial masyarakat berjalan secara seimbang dan harmonis.67 Kontrak sosial itu terus mengalami perkembangan seiring
dengan
tingkat
perkembangan
kemampuan
masyarakat.
Misalnya,
kesepakatan atau kontrak sosial pada masyarakat primitif jelas sangat berbeda dengan seperangkat aturan yang menjadi kontrak sosial pada masyarakat modern. Dan ketika terjadi pengingkaran (konflik sosial) yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap kesepakatan yang dibuat bersama, maka realitas sosial masyarakat berjalan tidak seimbang dan tidak harmonis.68 Sedikitnya ada 2 (dua) teori sosial tentang sebab terjadinya pengingkaran-pengingkaran, hingga menimbulkan ketimpangan sosial. Para sosiolog yang dikenal teorinya seputar penyebab konflik yang menimpa masyarakat diantaranya adalah69 Emile Durkheim (1815-1917)
dengan ide
67
Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren, (Jakarta: Kucica), 2003, Cet. Ke-1, hal. 45. Lihat: Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2004, Cet. Ke-1, hal. 45. 69 Lihat: Faiqoh, Nyai…………., hal. 44-47; Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam…………, hal. 42-58; 69 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and Contemporary 68
50
kolektivitasnya, yang melahirkan konsep pembagian peran dalam masyarakat dengan teori Struktural-Fungsional. Durkheim menegaskan bahwa individu merupakan ekspresi dari kolektivitas tempat individu tersebut berada. Tanggung jawab individu menurutnya diberikan oleh masyarakat itu sendiri, namun kesadaran kolektivitas akan tetap melekat dalam setiap individu. Teori pembagian kerja juga diterapkan oleh Durkheim. Menurutnya, sifat-sifat alamiah perempuan yang inheren menciptakan suatu pembagian kerja, hierarki, dan otoritas laki-laki, juga struktur moralitas. Sifatsifat alamiah tersebut memposisikan perempuan di bawah kontrol logis laki-laki dalam keluarga yang patriarkhat dan struktur sosial. Durkheim membincangkan bahwa perempuan dalam dua konteks tempat yakni dalam konteks positif perkawinan dan keluarga, di mana perempuan memainkan peran tradisional yang fungsional terhadap keluarga; dan dalam konteks negatif bunuh diri, perceraian dan seksualitas. Dalam keluarga laki-lakilah yang memiliki otoritas, karena dialah pemimpin keluarga. Dan oleh sebab itu perempuan tidak memiliki wewenang terhadap lakilaki.70 Selain Durkheim, ada pula Auguste Comte. Menurutnya, individu sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga-keluarga. Dalam keluargalah individu itu diperkenalkan kepada masyarakat. Karena tingkat keakraban dalam keluarga demikian tingginya, insting-insting dasar individu dibentuk oleh perasaan sosial yang dominan dalam keluarga itu. Keluarga dalam bentuk mikrokosmik memberikan pengalaman akan dominasi dan ketaatan, kerjasama, serta munculnya
perasaan-perasaan
altruistik.71
Menurut
Comte,
wanita
"secara
konstitusional" bersifat inferior terhadap laki-laki, sebab kedewasaan mereka Perspectives, terj. Robert M. Z. Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 1994, Cet. Ke-3, hal. 90-91; Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta), 1991, Cet. Ke-2 (edisi revisi), hal. 279-285; dan Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali Press), 1987, Cet. Ke-2, hal. 3-34 dan hal. 139-143. 70 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam ………………., hal. 45. 71 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory………….hal. 90. Lihat pula teori Comte mengenai keteraturan sosial dan pembagian kerja, pada hal. 90-91.
51
berakhir pada masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, Comte percaya bahwa wanita menjadi subordinat laki-laki begitu mereka menikah. Wanita tidak punya hak untuk bercerai, sebab mereka adalah semata-mata budak laki-laki manja.72 Selain mereka berdua, ada pula Herbert Spencer, yang menganalisis kedudukan dan fungsi perempuan dalam keluarga. Menurutnya, keberadaan perempuan dalam keluarga serta peran sosialnya sebagai istri turut membantu mengikat keluarga sebagai sebuah unit, sementara laki-laki membuka hubungan ke luar. Spencer memperjuangkan hak-hak laissezfaire individu perempuan dalam tulisan awalnya. Di mana dia menyatakan bahwa sifat-sifat alamiah perempuan tidak tetap, dan menurutnya, perempuan mempunyai hak untuk bersaing secara bebas dengan laki-laki. Namun demikian, ia menyarankan agar perempuan tidak bersaing dengan laki-laki.73 Teori Struktural-fungsional ini muncul ketika terjadinya urbanisasi dan industrialisasi pada abad ke-19 di Eropa, yang mengakibatkan ketidakstabilan dalam tatanan masyarakat. Urbanisasi dan industrialisasi telah merubah pola hidup masyarakat, dari pola hidup agraris dengan karakter paguyuban dan kebersamaan, kepada pola hidup industri yang mengedepankan aspek produktivitas, individualistik dan materialistik, yang pada akhirnya mengakibatkan banyak persoalan dalam dimensi kemanusiaan.74 Bertentangan dengan teori di atas, muncul Teori Konfliknya Karl Marx (18181883). Marx beranggapan bahwa konflik masyarakat bisa dianalisa dengan pendekatan kelas, dialektika materialisme dan lain-lain. Bahwa struktur sosial melahirkan pola kapitalisme, melegitimasi status quo yang berpihak pada satu
72
Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam……, hal. 43, mengutip tulisan Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, A Sociology of Women, terj. Budi Sucahyono, Yan Sumaryana (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 2-3. 73 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam ……, hal. 44, mengutip tulisan Herbert Spencer, The Works of Herbert Spencer, Vol. I: Essays Scientific, Political and Speculation. (Osnabruck: Otto Zeller, 1966) hal. 473. 74 Lihat: Faiqoh, Nyai ………., hal. 48.
52
kelompok dan menindas kelompok lain.75 Dalam teori Konflik tidak perlu ada pelapisan-pelapisan sosial, pembagian peran maupun status kelas. Menurut teori ini, setiap individu memiliki potensi yang bebas dan dengan sendirinya akan timbul ketidakharmonisan dan konflik ketika sumber daya terbatas. Teori ini mengkritik habis-habisan teori Struktural-Fungsional,
karena
menurutnya teori tersebut
melanggengkan sistem ketidakadilan sosial. Demikian juga pembagian peran dalam segala institusi masyarakat akan menyebabkan strata sosial, termasuk dalam keluarga akan memposisikan peran perempuan sesuai dengan sifat femininnya hanya dalam wilayah domestik.76 Karl Marx melihat masyarakat secara konstan berubah komposisinya; kekuatan-kekuatan antitesis menyebabkan perubahan sosial melalui keteganganketegangan dan perjuangan antarkelas yang berlawanan. Kemajuan sosial, karena itu diisi oleh perjuangan dan upaya keras yang mengkonflik sosial menjadi inti dari proses sejarah. Marx menentang eksistensi kelas dalam masyarakat. Menurutnya, tidak akan tercapai suatu masyarakat yang berkeadilan sosial jika masih terdapat kelas-kelas dalam masyarakat..77 Konsep-konsep kunci digunakan oleh Marx dalam analisis mengenai penindasan terhadap perempuan, yang meliputi alienasi penindasan ekonomi, nilai tambah, buruh cadangan dan dialektika. Ketika membicarakan pengaruh mesin terhadap kehidupan keluarga dalam tulisannya, Manifesto of The Communist Party, Marx menyatakan bahwa perempuan hanyalah sebagai alat produksi.78 Sentral kritik Marx dalam hal ini adalah mengenai penindasan perempuan di dalam keluarga, di mana suami memiliki posisi sebagai borjuis yang superior, sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah dan menghidupi keluarganya, sementara istrinya dalam posisi proletariat. Keberadaan perkawinan menurut Marx berarti mempertahankan posisi 75
Faiqoh, Nyai ………., hal. 46. Lihat: Faiqoh, Nyai ………., hal. 48-49. 77 Lihat: Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam ……, hal. 51-52. 78 Lihat kutipan tulisan Karl Marx dan F. Engels, Manifesto of The Communist Party, (Peking: Foreign Language Press, 1970) yang dikutip oleh Jane C. Ollenburger dan Helen A. More, A Sociology……, hal. 8 dalam Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam ……, hal. 52-53. 76
53
dasar perempuan sebagai barang kekayaan, yang di dalamnya terdapat "sifat-sifat pembagian kerja" sebagai basis kekayaan dan ketidakadilan. Di sini terjadilah penindasan perempuan dalam hal ekonomi yang membentuk struktur politik dan sosial serta kehidupan perempuan di dalamnya.79 Dan sebagai dua aliran teori sosiologi yang saling bertentangan dalam menganalisa struktur sosial ini, keduanya memberi pengaruh besar terhadap pandangan masyarakat akan peran jender yang kemudian melahirkan gerakan feminisme. Ketidakadilan jender yang dipandang oleh sebagian kaum feminis, baik di Barat maupun di Timur adalah dengan menggunakan analisa konflik sosial akibat dari teori Struktural-Fungsional. Kaum feminis beranggapan bahwa sistem sosial yang dibangun atas dasar teori Struktural-Fungsional ini telah membagi-bagi peran sosial, khususnya dalam institusi keluarga, yang pada akhirnya berimplikasi ketidakadilan pada perempuan, karena ditempatkan pada posisi yang kurang menguntungkan.
2.1. Feminisme 2.1.1. Definisi dan Ruang Sosio-Historis bagi Kelahirannya Pada umumnya, lahirnya sebuah ide merupakan reaksi kritis terhadap kondisi suatu masyarakat. Berangkat dari sebuah kesadaran yang kemudian melahirkan gerakan, Feminisme yang untuk pertama kalinya muncul pada abad ke-18 di Barat80 pada intinya membicarakan wilayah culture. Kaum feminis mempertanyakan mengapa ada label “maskulin” pada laki-laki dan “feminin” pada perempuan. Pemahaman yang baik tentang wilayah culture memungkinkan mereka mempunyai peluang untuk berbicara tentang perubahan. Pola-pola hubungan yang ada di masyarakat (termasuk pola hubungan jender) akan selalu dilihat sebagai konstrukhistoris yang tersusun dalam suatu ruang sosial dan waktu tertentu.81
79
Lihat: Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam ……, hal. 53 Lihat: “Introduction” dalam Deborah L. Madsen, Feminist Theory and Literary Practice, (London: Pluto Press), 2000, Cet. Ke-1, hal. 1. 81 Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 21-22. 80
54
Term feminisme sering diartikan masyarakat sebagai sebuah pemikiran dan gerakan budaya yang unik. Menurut Maggie Humm, seorang feminis dari university of East London, feminisme berarti gabungan antara doktrin persamaan hak untuk perempuan (sebuah gerakan untuk mencapai hak asasi perempuan) dan sebuah ideologi untuk transformasi yang bertujuan menciptakan sebuah dunia untuk perempuan yang baru. Namun menurut Maggie, tidak ada pemahaman atau definisi yang tunggal mengenai apa sebenarnya feminisme itu.82 Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan berpendapat bahwa term feminisme berarti suatu kesadaran akan penindasan terhadap perempuan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di tempat kerja, serta tindakan sadar oleh laki-laki atau perempuan untuk merubah keadaan tersebut.83 Dari sini kemudian muncul pendapat Yunahar Ilyas yang mengatakan bahwa kaum feminis bergerak pada dua aspek, yaitu gerakan kesadaran kepada pihak laki-laki dan perempuan dan gerakan untuk melakukan perubahan di masyarakat.84 Beragam
definisi
lain
tentang
feminisme
pun
bermunculan
dalam
masyarakat. Hal ini karena term feminisme seringkali dimaknai secara subjektif, sehingga terkadang menimbulkan kebingungan dan keraguan tentang makna yang sebenarnya, sebagaimana dikatakan oleh Maggie Humm, bahwa memang tidak ada pemahaman dan definisi yang tunggal untuk kata tersebut. Namun sebenarnya, inti dari definisi-definisi tersebut adalah bahwa feminisme merupakan sebuah doktrin, upaya ataupun keinginan yang aktif untuk memperjuangkan kesetaraan hak-hak sosial dan politik bagi kaum perempuan sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki serta untuk mewujudkan perubahan pada posisi perempuan dalam masyarakat. 82
Widjajanti M. Santoso, Sinetron Feminisme dan Sosiologi, salah satu artikel dalam Jurnal Perempuan edisi 48 tahun 2006, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), 2006, Cet. Ke-1, hal. 79, mengutip pendapat Maggie Humm dalam tulisannya "The Dictionary of Feminist Theory", edisi kedua, Prentice Hall, 1995, hal 94-95. 83 Lihat: Faiqoh, Nyai………., hal. 70, mengutip dari Kamla Said & Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, dalam S. Herlina (Terj.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal. 4 84 Lihat: Faiqoh, Nyai………., hal. 70, mengutip dari Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Qur`an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal. 42.
55
Sementara feminis sendiri adalah seseorang yang menjaga dan melindungi perempuan-perempuan yang menderita diskriminasi disebabkan oleh jenis kelamin mereka, di mana mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang terabaikan dan tidak terpuaskan.85 Beragam interpretasi tentang feminisme sebagaimana tersebut di atas pada intinya berawal dari satu permasalahan, yaitu perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berakibat pada perbedaan peran masing-masing dalam kehidupan sosial, sehingga memunculkan perbedaan jender (gender differences). Perbedaan jender yang ada kemudian melahirkan ketidakadilan jender (gender inequalities), yang terjadi pada kedua belah pihak, namun yang paling sering menderita hal ini adalah kaum perempuan. Erich Fromm berpendapat mengenai perbedaan jenis kelamin dua manusia ini. Menurutnya, kita tidak mungkin memahami psikologi laki-laki dan perempuan, jika tidak mengakui bahwa perang antar jenis kelamin telah berlangsung sejak enam ribu tahun lalu. Enam ribu tahun lalu patriarki telah menaklukkan perempuan, dan sejak saat itu, masyarakat mulai terorganisasi dalam dominasi laki-laki.86 Bagi Fromm, tidak akan pernah ada dominasi satu golongan yang tanpa memicu pemberontakan bawah sadar, kemarahan, kebencian dan hasrat membalas dendam dalam diri orang yang tertekan dan tertindas. Pernyataan Fromm ini mengungkapkan pemikiran mendasarnya tentang relasi problematis antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan alamiah mereka, tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan tersebut. 87
85
Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 96-97 dan Rosalind Delmar, What is Feminism?, salah satu artikel dalam Anne C. Hermann & Abigail J. Stewart (ed.), Theorizing Feminism; Parallel Trends in The Humanities and Social Sciences, (Colorado/Oxford: Westview Press), 2001, Cet. Ke-2, hal. 5-11. 86 Lihat pula penjelasan Nawal al-Saadawi yang berkaitan dengan masalah ini dalam: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face of Eve, diterjemahkan oleh Zulhilmiyasri, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2001, Cet. Ke-1, hal. 310-311. 87 Lihat: Faiqoh, Nyai, ………., catatan kaki no. 14 pada hal. 57-58 yang dikutip oleh Faiqoh dari Erich Fromm, Cinta Seksualitas Matriarkhi Jender, (Yogyakarta: Jala Sutra), 2002, hal. 9-10. Pernyataan ini dibuat Fromm dalam sebuah wawancara dengan majalah Italia, L'Epreso, tanggal 16 Februari 1975.
56
Pandangan akan perbedaan seks yang berimplikasi pada perbedaan jender menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para ilmuwan. Stereotipe yang melekat pada perempuan dan laki-laki yang diciptakan masyarakat secara otomatis telah membagi-bagi wilayah kerja keduanya. Laki-laki yang dianggap sebagai manusia "kuat", "rasional" dan "pemberani" diposisikan pada ruang lingkup publik karena dianggap lebih layak dari pada perempuan yang merupakan manusia "lemah", "emosional" dan "penakut". Sehingga perempuan dianggap hanya pantas menduduki wilayah kerja domestik, yang tidak banyak memerlukan rasio, tetapi lebih membutuhkan emosional, yang tidak bisa menghasilkan, tetapi menghabiskan. Keadaan yang telah tercipta sejak berabad-abad lamanya dalam budaya dan struktur sosial ini terus berlanjut, dan kemudian memunculkan gerakan-gerakan feminisme. Konsep mendasar yang ditawarkan oleh Feminisme untuk menganalisis masyarakat adalah Jender. Pemakaian kata Jender dalam Feminisme pertama kali dicetuskan oleh Anne Oakley dengan mengajak warga dunia untuk memahami dua istilah yang serupa, tetapi tidak sama, yaitu Seks dan Jender. Selama ini masyarakat menganggap kedua istilah itu sama saja, yaitu sebagai sesuatu yang harus diterima secara taken for granted. Padahal berbicara tentang perubahan sosial (proses konstruksi, dekonstruksi dan rekonstruksi) membutuhkan pemahaman yang baik tentang mana wilayah yang bisa diubah dan mana yang harus diterima begitu saja. Dengan kata lain, kita perlu memahami bahwa di dalam kehidupan ini ada wilayah nature dan ada wilayah culture. Kedua istilah tersebut merupakan derivasi dari bahasa Inggris yang sekarang telah banyak dipakai di Indonesia.88 Istilah Jender berasal dari bahasa Inggris Gen, atau Genus, kemudian ditransfer ke dalam bahasa Indonesia menjadi Jender.89 Dalam masyarakat Indonesia, terjadi kesalahan dalam memahami makna Jender dan Seks. Seks biasanya 88
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 19. Lihat: Faiqoh, Nyai………., hal. 60-61 dan lihat: Maria Josephine Kumaat Mantik, Gender dalam Sastra; Studi kasus Drama Mega-Mega, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra), 2006, Cet. Ke-1, hal. 35. Dalam bahasa Indonesia, terdapat ketidaksepakatan dalam penulisan kata Jender ini. Ada yang tetap menulisnya dengan "Gender" dan ada pula yang meng-Indonesia-kannya menjadi "Jender". Dalam tesis ini, penulis lebih sepakat untuk menggunakan teknik penulisan yang kedua, yaitu "Jender". 89
57
diidentikkan dengan perbuatan hubungan badan antara dua jenis manusia. Dalam bahasa Inggris, term ini diartikan sebagai jenis kelamin, yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan. Para feminis, diantaranya Simone de Beauvoir, Christ Weedon dan Barbara Lloyd sepakat bahwa pada dataran ini, ada garis yang bersifat nature, di mana laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masing-masingnya secara permanen, kodrati, dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lainnya. Misalnya perbedaan antara keduanya dari sisi biologis, seperti kepemilikan dzakar pada laki-laki, produksi sperma, dan agresivitas spermanya dan lain-lain. Sementara perempuan memiliki sel telur, alat reproduksi, rahim, dan alat menyusui.90 Berbeda dengan seks, jender adalah sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan karena dikonstruk dan dibentuk secara sosial, karena pengaruh kultural, agama dan politik, sehingga lahir beberapa anggapan yang membedakan (dalam arti: memilah dan memisahkan) peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.91 Maka jika seks berada pada dataran nature, jender berada pada dataran culture. Seks tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, dan tidak dapat berubah-ubah, karena bersifat kodrati dan terbentuk secara alamiah, sementara Jender bisa saja dipertukarkan satu sama lain, dan dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda sesuai dengan kultur masyarakat tertentu, karena itu terbentuk dari budaya masyarakat dan bukan kodrat tuhan.
90
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 19-20, Faiqoh, Nyai ………, hal. 61 dan Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang), 2006, Cet. Ke-2, hal. 4-5. 91 Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 20, Faiqoh, Nyai ………, hal. 61 dan Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik …….., hal. 5.
58
Pemahaman masyarakat yang salah tentang konsep jender dan seks ini kemudian berimplikasi pada ketidakadilan jender (gender inequalities). Ketidakadilan jender yang kemudian dirasakan oleh perempuan –sebagai korban yang paling sering mengalami hal ini
ketimbang
laki-laki-
adalah:
Marginalisasi,
Subordinasi,
Stereotype, Kekerasan dan Beban Ganda (Double-Burden).92 Kaum feminis sepakat bahwa perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan tidak dipertentangkan, perdebatan yang muncul adalah ketika mempertanyakan pengaruh perbedaan seks terhadap perbedaan sifat dan perilaku maskulin dan feminin (jender). Berkaitan dengan hal ini, ada dua argumentasi yang saling bertentangan. Argumen pertama beranggapan bahwa sifat maskulin dan feminin dibentuk atas pengaruh perbedaan jenis kelamin (seks). Argumen ini dikenal dengan aliran orientasi biologis (biologically oriented contestants). Sedangkan argumen kedua beranggapan bahwa sifat maskulin dan feminin yang melekat pada manusia bukan karena disebabkan oleh faktor seks, tetapi dibentuk oleh proses sosialisasi dan kulturisasi. Argumen ini dikenal dengan aliran orientasi kultural (culturally oriented contestant). Argumen kedua inilah yang menjadi permasalahan bagi kalangan feminis. Mereka tidak setuju dengan biologically oriented, karena dianggap sama dengan teori struktural-fungsional yang menganggap dan mengakui adanya keragaman manusia, pada selanjutnya akan melahirkan perbedaan fungsi peran akibat dari keragaman tersebut, dan akhirnya tidak dapat mengaktualisasikan kesetaraan gender.93 Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya bahwa kelahiran feminisme merupakan bentuk manifestasi dari kesadaran sekelompok orang (yang berperan sebagai agent of change) akan adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam cara pandang masyarakat tersebut. Historis tentang perempuan dan keterhinaannya telah berlangsung selama berabad-abad lamanya.94 Mitos-mitos 92
Lihat: Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik …….., hal. 15-19 dan Faiqoh, Nyai………., hal. 58-60. 93 Lihat: Faiqoh, Nyai, ………., hal. 51-52. 94 Lihat pula : http://sawali.info/2009/04/21/sosok-kartini-dan-terbebasnya-mitos-kaumperempuan/; http://agnessekar.wordpress.com/2008/11/17/perempuan-harus-independen-dan-proaktif/.
59
tentang perempuan menemukan realitasnya dalam tatanan masyarakat tradisional. Jenis-jenis kebutuhan yang sederhana, berupa tuntutan untuk memenuhi kebutuhan primer saja, menyebabkan jenis-jenis pekerjaan pun sangat sederhana. Pada umumnya pekerjaan itu bisa dilakukan hanya dengan otot dan sedikit bantuan alatalat sederhana. Dalam batas tersebut, pembagian kerja laki-laki dan perempuan berdasarkan kesesuaian, keahlian, kekuatan dan keberanian dapat diterima. Perempuan dianggap lebih sesuai mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik semisal memasak, mengatur rumah, menjaga anak dan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah yang ringan. Sementara laki-laki dianggap lebih mampu mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan otot dan keberanian seperti mencangkul dan berburu di hutan (masyarakat agraris), menangkap ikan di laut (masyarakat nelayan) dan berdagang di tempat-tempat yang jauh. Laki-laki dan perempuan saling bekerja sama dalam memikul tugas-tugas keluarga.95 Namun ketika modernisasi terjadi di dunia Barat melalui Revolusi Industri96 pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, berbagai perubahan muncul dalam kehidupan sosial. Seperti bertambahnya variasi kebutuhan, jenis pekerjaan maupun cara pemenuhan kebutuhannya. Kekuatan otot laki-laki telah tergantikan oleh mesinmesin pabrik.
Sementara kecemerlangan otak,
ketekunan dan kemampuan
manajemen menjadi kekuatan baru yang dibutuhkan dalam industrialisasi sebagai awal modernisasi. Dengan perkembangan ini, kebutuhan keluarga kemudian tidak bisa lagi ditopang oleh satu kaki (yaitu laki-laki). Para perempuan di Barat pun terpancing untuk mulai keluar ke sektor publik sebagai alat produksi, sementara sektor domestik masih menjadi tanggung jawabnya. Seiring dengan terbukanya kesempatan kerja dan juga pendidikan bagi perempuan, menyebabkan mereka mampu untuk melihat dunia lama mereka97 (yaitu sektor domestik) dengan sudut 95
Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 25. Lihat penjelasan yang berkait tentang ini pada: http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_ Industri; http://www.scribd.com/doc/13262601/Sejarah-Revolusi-Industri; http://www.scribd.com/doc /4812047/Revolusi-Industri-Inggris . 97 Lihat penjelasan lebih lanjut pada: http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme . 96
60
pandang yang berbeda, sehingga membawa pada munculnya kesadaran baru, betapa selama ini posisi perempuan sangat tertinggal jauh dari laki-laki. Hal ini memicu dan menyuburkan isu-isu penindasan dan pelecehan hak asasi, termasuk hak-hak perempuan. Muncullah kemudian gerakan perempuan sebagai reaksi terhadap perubahan
sosial
yang
terjadi.
Gerakan
inilah
yang
melahirkan
paham
keperempuanan yang kemudian kita kenal dengan feminisme.98 Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.99 Sebagian besar pejuang feminis berpendapat bahwa terjadinya diskriminasi terhadap perempuan disebabkan oleh konstruk sosial, sistem patriarki; yaitu sistem yang didominasi oleh laki-laki, dan perempuan ditempatkan pada posisi subordinat. Sistem ini mengakui adanya sistem kelas dan strata sosial dalam masyarakat. Pola hubungan dalam sistem ini adalah paternalistik; posisi di atas memegang kekuasaan dominan pada posisi bawah. Dalam institusi keluarga, aktualisasi dari budaya
98 99
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 25-26. http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
61
patriarki ini adalah dengan menempatkan suami sebagai bapak atau kepala keluarga.100
Perjuangan dan pergerakan para feminis untuk pertama kalinya di akhir abad ke-18 berasumsi bahwa ketertingalan kaum perempuan dan subordinasi yang mereka alami semata-mata karena kebanyakan kaum perempuan pada saat itu buta huruf, tidak punya skill dan miskin. Namun, seratus tahun kemudian, setelah banyak berinteraksi dengan perempuan-perempuan miskin, para pelacur, serta perempuanperempuan tua yang tidak menikah, asumsi para feminis ini berubah. Seiring dengan bergulirnya nuansa demokratisasi yang sekuler, gerakan perempuan pun makin menyadari betapa sesungguhnya keterbelakangan mereka bukanlah semata-mata karena kebodohan dan kemiskinan, tetapi bersifat struktural-sistemik. Mereka memandang adanya ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam sistem masyarakat, yang terbentuk karena pengendalian masyarakat oleh dominasi laki-laki
dalam budaya
patriarki.
Mereka
menyadari
bahwa
sesungguhnya
keterlibatan perempuan dalam dunia kerja dan pendidikan tidak secara otomatis meningkatkan status perempuan.101 Karena masuknya perempuan dalam dunia kerja di lingkup publik, justru malah menambah beban dan tanggung jawabnya. Di samping itu, upah yang mereka dapatkan pun tidak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan, berbeda dengan kaum laki-laki. Belum lagi berbagai tindakan eksploitasi dan pelecehan-pelecehan yang mereka alami.102 Menurut kaum feminis, diperlukan perjuangan yang lebih bersifat strategis untuk menyelesaikan permasalahan perempuan, yaitu melalui keterlibatannya dalam lapangan politik. Asumsi bahwa hanya perempuan yang tahu persoalan perempuan semakin memotivasi mereka untuk melakukan pemberdayaan politik perempuan. 100
Lihat: Faiqoh, Nyai, ………., hal.70-71 dan Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal.
101
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 26-27. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal.
28. 102
353-356.
62
Target terpentingnya adalah diberikan dan diakuinya keterlibatan perempuan dalam jantung kendali masyarakat, yaitu posisi penentu kebijakan (the authorities), apakah legislatif ataupun eksekutif.103 Dalam masyarakat tradisional, di mana kaum perempuannya belum memiliki kesadaran akan ketertindasannya dan hak-haknya, kaum laki-laki memiliki kekuasaan dan kekuatan dalam mendominasi kaum perempuan melalui peraturan dan hukum adat atau agama. Hester Eisentein menyebutnya sebagai constrains of religious and social custom. Hukum dan peraturan ini sekaligus menjadi perangkat sistem patriarki untuk mempertahankan subordinasi kaum perempuan dan dominasi kaum laki-laki, karena hukum dan peraturan tersebut diciptakan oleh kaum laki-laki. Dominasi semacam ini biasanya bersifat paksaan (direct coercion).104 Ideologi familialisme telah menjadi kekuatan penting dalam menyadarkan perempuan tentang peran domestik mereka, sekaligus menyebabkan perempuan hanya ingin menjadi istri dan ibu yang baik. Sebagai istri, dia harus mendampingi, melayani dan mendorong keberhasilan suami. Sebagai ibu, dia harus mampu memberikan keturunan sekaligus menghasilkan anak-anak yang berguna. Segala ketidakberhasilan dalam rumah tangga akan ditimpakan kesalahannya pada perempuan. Namun demikian meskipun sektor domestik dipegang oleh perempuan, ideologi patriarki berlaku di dalamnya, berupa keberadaan kepemimpinan di sektor ini pada tangan laki-laki (karena keterlibatannya pada sektor publik). Artinya ada realitas yang tidak terbantahkan bahwa sektor domestik ini tergantung pada sektor publik.105 Dalam perspektif feminis, spesifikasi peran-peran manusia (laki-laki dan perempuan) dalam masyarakat dipandang tidak egaliter. Artinya, konstruksi sosial selama ini dianggap sangat berpihak kepada laki-laki dan pada saat yang sama sangat 103
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 27. Tatang Iskarna, Representasi dan Rekonstruksi Perempuan Afrika dalam Novel Second Class Citizen Karya Buchi Emecheta, (Depok: Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia), 2002, hal. 25. 105 Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 29-30. 104
63
menyudutkan kaum hawa. Menurut kaum feminis, hegemoni laki-laki atas perempuan ini memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum negara, dan sebagainya serta tersosialisasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.106 Keadaan-keadaan sebagaimana tersebut di atas kemudian menggerakkan kaum feminis untuk segera memperjuangkan nasib perempuan, agar tidak ada lagi kultur hegemonis laki-laki terhadap perempuan, namun yang ada adalah kebebasan kaum perempuan untuk bergerak dan menentukan perannya. Transformasi sosial yang diperlukan untuk mengatasi hal tersebut adalah proses dekonstruksi peran jender dalam seluruh aspek kehidupan, di mana terefleksi perbedaan-perbedaan jender yang telah melahirkan ketidakadilan jender. Kemudian terjadi rekonstruksi sehingga tercipta hubungan yang secara fundamental baru dan lebih baik.107
2.1.2. Gerakan Feminisme Perjuangan kaum feminis pertama kali muncul pada akhir abad ke-18 dalam masyarakat Barat,108 dan kemudian sejak awal abad ke-20109 mulai dikenal oleh masyarakat timur, terutama masyarakat muslim. Gerakan kaum feminis ini terus mengalami perkembangan dengan alirannya yang beraneka ragam. Dan secara umum aliran-aliran feminisme yang banyak dikenal masyarakat adalah sebagai berikut:
2.1.2.1. Feminisme Liberal Dalam pemikiran kaum liberal, sebagaimana dikatakan oleh Alison Jaggar dalam bukunya Feminist Politics and Human Nature, sifat dasariah manusia yang unik adalah kemampuan rasionalitasnya. Berbeda dengan argumentasi klasik Aristoteles (384-322 SM) yang mengatakan bahwa manusia adalah animale rasionale (hayawân al-Nâthiq – binatang yang berasio), kaum liberal mendefinisikan rasionalitas dalam berbagai aspek termasuk penekanan terhadap moralitas dan 106
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 20. Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 30-31. 108 Lihat kembali: http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme 109 Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 344. 107
64
kebijaksanaan. Aliran yang mulai berkembang pada abad ke-18 ini menekankan individu untuk mempraktekan otonomi dirinya, di mana "hak" bagi kaum liberal harus diprioritaskan lebih tinggi dari pada "kebaikan".110 Setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan menurut individu itu sendiri meskipun dengan satu catatan bahwa pilihan tersebut tidak boleh merugikan orang lain. Maka kebebasan seseorang untuk beragama atau tidak beragama misalnya, sudah pasti keduanya dibolehkan karena ini berkaitan dengan soal "hak", dan karenanya juga keduanya harus dijamin.111 Kaum feminisme liberal pada saat ini sangat dominan dan menjadi dasar teori modernisasi dan pembangunan. Bagi mereka, pusat masalah dari ketimpangan jender adalah perbedaan antara pola-pola tradisional dan modern. Kehidupan modern menuntut karakter manusia yang ekspresif, yaitu rasional, kompetitif, dan mampu mengubah keadaan dan lingkungannya. Sementara kehidupan tradisional ditandai dengan karakter yang sebaliknya. Penyebab perempuan terbelakang adalah karena salah perempuan sendiri, yaitu karena kebodohan dan sikap irasional mereka dalam berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional (agama, tradisi, dan budaya yang mengungkung perempuan dalam dunia domestik yang statis tidak produktif). Nilainilai traditional inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa bersaing secara adil dengan laki-laki, karena potensi perempuan dibatasi dari dunia publik yang senantiasa produktif dan dinamis. Aturan yang adil adalah dengan membebaskan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan dan menyejajarkannya dengan laki-laki. Keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan modernisasi adalah jalan yang harus ditempuh untuk meningkatkan status perempuan.112 Dengan demikian, aliran ini mendapat respon dari masyarakat berkembang, karena
memperjuangkan
bagaimana
perempuan
harus
berpartisipasi
dalam
110
Lihat: http://revolusionermoeda.blogspot.com/2008/06/liberalisme-teori-danperkembangan .html 111 Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), 2003, Cet. Ke-1, hal. 87-88. 112 Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 31-32.
65
pembangunan. Feminisme liberal beranggapan bahwa keterbelakangan perempuan dari sisi ekonomi, karena perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan. Dari gerakan feminisme inilah lalu melahirkan konsep pembangunan yang melibatkan perempuan, yang dikenal dengan Women in Development (WID), sebagai hasil dari konferensi PBB tahun 1975 yang bertema “Equality, Development and Peace.”113 Gerakan feminisme liberal pada abad ke-18 menekankan kepada tuntutan agar perempuan mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan lakilaki. Salah satu tokohnya di antaranya adalah Marry Wollstonecraft (1759-1799). Pada abad ke-19 gerakan ini lebih menekankan kepada pemberian kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan dan laki-laki. Tokoh-tokohnya di antaranya adalah John Stuart Mill dan Harriet Taylor. Tokoh lainnya adalah Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton yang mengorganisir pertemuan akbar Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca Falls tahun 1848. Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi yang menuntut reformasi hukum-hukum perkawinan, perceraian, property dan anak. Dan di dalamnya ditekankan hak perempuan untuk berbicara dan berpendapat di dunia publik. Tokoh lainnya adalah Sejorner Truth, dari kalangan perempuan kulit hitam yang memperjuangkan penghapusan perbudakan bagi orang-orang berkulit hitam, terutama kaum perempuan.114 Di abad ke-20 bermunculan organisasi-organisasi keperempuanan seperti NOW (National Organization for Women), NWPC (National Women Political Caucus) dan WEAL (Women's Equity Action League). Salah seorang feminis yang terkenal pada saat itu adalah Betty Friedan dari NOW, yang memperjuangkan hakhak perempuan dalam tulisan-tulisannya yang berjudul The Feminine Mystique, The Second Stage dan The Fountain Age.115
2.1.2.2. Feminisme Radikal 113
Faiqoh, Nyai, ………., hal.73. Lihat pula: http://mhs.blog.ui.ac.id/harry.surjadi/2009/ 06/15/ eksklusi-sosial-gender-dan-pembangunan/ 114 Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal.89-94. 115 Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 95-99.
66
Pergerakan feminisme radikal memfokuskan diri pada akar permasalahan ketertindasan perempuan. Mereka melihat bahwa reformasi sistem melalui jalur hukum telah diupayakan kalangan feminis liberal, tapi menurut pendukung paham ini, perempuan tetap saja masih tertindas. Kaum feminis radikal kelihatannya mencurigai bahwa justru adanya pemisahan ranah publik dan ranah privat ini yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan. Pemisahan ini mengandung pengertian bahwa ranah privat lebih rendah tingkatannya dari ranah publik. Dan dari sini tumbuh subur sistem patriarki. Kalangan feminis radikal memiliki keyakinan bahwa ada penyebab dasar dari ketertindasan perempuan. Penyebab dasar itu adalah seksualitas dan sistem jender.116 Teori feminis radikal ini berkembang pesat di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Gerakannya mendasarkan perjuangan pada karyakarya yang ditulis oleh Kate Millet (1970) dan Shulamit Firestone (1972). Mereka lebih memfokuskan pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Manifesto feminisme radikal yang diterbitkan dalam Notes from The Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama feminis radikal adalah untuk menolak institusi keluarga. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki) sehingga perempuan ditindas. Bagi mereka, dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki (sistem patriarki), di mana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Mereka mereduksi hubungan jender pada perbedaan natural dan biologi. Adanya
perbedaan
ini dianggap
menimbulkan ketimpangan
hubungan
dan
subordinasi terhadap perempuan. Dan karenanya mereka melawan segala bentuk kekerasan seksual termasuk pornografi dan sexual tourism.117 Feminisme radikal cenderung membenci laki-laki.118 116
Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 100. Sexual Tourism atau Seks pariwisata adalah perjalanan untuk terlibat dalam aktivitas seksual dengan pelacur. Mulai berkembang pada tahun 1979 ketika pariwisata digalakkan. Seks 117
67
Feminisme radikal memiliki slogan the personal is political (yang pribadi adalah politis). Ini berarti bahwa berbagai penindasan yang terjadi di ruang pribadi (ranah privat) juga merupakan penindasan yang berlangsung di ruang publik. Menurut golongan ini, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri. Penindasan perempuan adalah urusan "subjektif" individual perempuan, suatu hal yang bertentangan dengan kerangka Marxis yang melihat penindasan perempuan sebagai realitas objektif.
119
Kelompok yang paling ekstrem dari gerakan ini adalah kaum feminis lesbian, yang menyatakan bahwa hubungan heteroseksual (dalam sebuah keluarga) sebagai suatu lembaga dan ideologi merupakan benteng utama bagi kekuatan laki-laki. Hubungan inilah yang menjadi ajang penindasan dan pemerkosaan terhadap perempuan. Sepanjang perempuan meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit bahkan tidak mungkin untuk berjuang melawan laki-laki. Hal ini disebabkan karena ada korelasi negatif antara kebutuhan untuk mendapatkan persamaan dengan kesempatan untuk saling mencintai. Jika keinginan untuk mendapatkan persamaan meningkat, maka harus diiringi dengan penurunan kesempatan
untuk
saling
mencintai.
Jadi,
perempuan
harus
memisahkan
kehidupannya dari laki-laki, atau paling sedikit pemisahan perasaan, dengan jalan mengembangkan kesanggupan untuk berdiri sendiri termasuk dalam hal kepuasan seksual. Elsa Gidlow (1977) berteori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley (1970) mengatakan bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan
pariwisata ini dipelopori oleh negara-negara Eropa dan Amerika. (Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 104). Lihat pula: http://en.wikipedia.org/wiki/Sex_tourism 118 Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 34-35. 119 Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 101, Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 36, dan Misiyah, Pengalaman Perempuan; Sumber Pengetahuan yang Membebaskan, salah satu artikel dalam Jurnal Perempuan edisi 48 tahun 2006……, hal. 44.
68
mandiri.120 Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Kathleen Barry, Carol Downer, Eve Ensler, MacKinnon, Kate Millet dan Marilyn French.121 Golongan feminisme radikal ini sering dikatakan sebagai informasi atau pandangan yang buruk (black propaganda) karena teori-teorinya ini. Namun di Indonesia sendiri, kelompok ini telah berjasa dalam membongkar kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, sehingga Indonesia saat ini memiliki UndangUndang RI No. 23 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).122
2.1.2.3. Feminisme Marxis Golongan ini berlandaskan pada teori konfliknya Karl Marx (1818-1883),123 yang memandang bahwa hak kepemilikan pribadi (private property) merupakan kelembagaan yang menghancurkan keadilan dan kesempatan yang pernah dimiliki masyarakat, sekaligus menjadi pemicu konflik terus-menerus dalam masyarakat. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi oleh beberapa orang telah menciptakan suatu sistem kelas yang eksploitatif. Basis kepemilikan pribadi ini juga berlaku dalam kehidupan keluarga. Frederick Engels dalam bukunya The Origin of The Family; Private Property and The State, mengupas awal jatuhnya status perempuan, yakni saat munculnya era hewan piaraan dan petani menetap. Di mana masa ini merupakan awal kondisi penciptaan surplus yang menjadi dasar private property. Surplus kemudian menjadi dasar bagi perdagangan dan produksi untuk exchange (pertukaran) mendominasi for use. Karena laki-laki mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosio-politik masyarakat, dan akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian dari kepemilikan. Dalam sebuah keluarga, suami adalah cerminan kaum borjuis, karena dialah yang menguasai basis material keluarga (nafkah), sehingga dia mempunyai kekuasaan dan posisi lebih kuat (sebagai kepala 120
Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 35-36. Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 102-110. 122 Lihat: Misiyah, Pengalaman Perempuan………., hal. 44. 123 Lihat profilnya pada: http://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Marx 121
69
keluarga). Sementara posisi istri dan anak-anak adalah kaum proletar yang tertindas.124 Bagi feminisme Marxis, perempuan borjuis (kelas menengah ke atas) tidak akan mengalami penindasan yang sama dengan perempuan dari kelas proletar (kelas buruh). Kalangan feminis Marxis mengajak kita untuk mengerti bahwa penindasan terhadap perempuan yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh perbuatan kesengajaan individu atau institusi yang merugikan perempuan. Atas dasar itu, tidaklah mengherankan jika mereka tidak percaya mengenai konsep hukum dan kebijaksanaan yang sensitif jender seperti yang selama ini diyakini oleh kalangan feminis liberal. Mereka sendiri juga tidak setuju dengan penjelasan konsep seksualitas seperti yang diutarakan oleh kalangan feminis radikal, penindasan perempuan terjadi melalui produk politik, sosial dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai sistem kapitalisme.125 Menurut Karl Marx, kapitalisme yang terjadi dalam aspek ekonomi dan politik pada akhirnya akan membawa masyarakat pada kehancuran. Hal ini karena model kapitalisme akan menciptakan kelas-kelas sosial, yakni kelas yang memiliki modal dan kelas yang miskin. Menurut kaum feminis, analisa kelas secara umum tidak dapat dijadikan alat untuk menganalisa ketertindasan perempuan, karena pada kenyataannya perempuan baik dari kalangan kelas atas maupun kelas bawah tetap saja tereksploitasi. Yang ada menurut kaum feminis adalah kelas laki-laki dan kelas perempuan. Keterperangkapan perempuan adalah bahwa ia bekerja di bidang yang tidak menghasilkan komoditi seperti laki-laki. Ia bekerja di bidang domestik yang tidak dianggap ber"nilai". Oleh sebab itu, kelas perempuan terus mengalami penindasan oleh kelas laki-laki.126
124
Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 32-33. Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 111. 126 Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal.114-115.
125
70
Marx juga memperkenalkan teori alienasi,127 yang sebelumnya pernah dipakai oleh Hegel untuk menggambarkan keterasingan manusia dari alam dan ini dapat diatasi dengan pengetahuan diri. Sementara Ann Forman dalam bukunya yang bertajuk Feminity as Alienation: Women and the Family in Marxism Psychoanalysis, melihat kondisi alienasi ini terjadi lebih parah pada kaum perempuan. Ia melihat bahwa alienasi yang terjadi pada perempuan lebih mengkhawatirkan karena pengalaman hidup perempuan lebih dirasakan hanya sebagai pelengkap bagi orang lain. Oleh sebab itu, salah satu tujuan feminisme Marxis adalah menumbuhkan jati diri perempuan yang membuatnya sebagai manusia utuh, bukan hanya sekedar sebagai bagian dari fragmen-fragmen kehidupan yang ia lalui selama ini.128 Feminisme Marxis kontemporer sering dipakai untuk menganalisa situasi buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik dan situasi kerja perempuan sendiri. Misalnya, persoalan hak gaji yang setara dengan laki-laki, hak memiliki kesempatan yang sama, atau menuntut hak-hak cuti seperti cuti haid dan cuti hamil.129
2.1.2.4. Feminisme Sosialis Golongan ini mencoba mensintesiskan berbagai perspektif feminis antara teori kelas Marxis dan the personal is political dari kaum radikal dan menyatakan bahwa subordinasi perempuan hanya bisa dijelaskan dengan uraian yang kompleks. Bagi mereka, penindasan perempuan ada di kelas manapun. Ada ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis di satu pihak dan kebutuhan untuk menjaga integritas materialisme Marxisme di pihak lain, sehingga analisis patriarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production. Mereka mengkritik asumsi umum bahwa ada hubungan antara partisipasi perempuan dalam produksi dengan status perempuan. Partisipasi perempuan dalam ekonomi memang meningkatkan status perempuan. Menurut
perlu,
tetapi tidak
selalu
mereka, meningkatnya partisipasi
127
Lihat: http://wapedia.mobi/id/Alienasi Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 115-117. 129 Lihat hasil studi surveynya pada: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 119. 128
71
perempuan dalam ekonomi membawa pada antagonisme seksual ketimbang meningkatkan status mereka.130 Oleh karena itu, kritik terhadap kapitalisme harus disertai dengan kritik terhadap dominasi atas perempuan. Zillah Eisenstein (lahir tahun 1948),131 dengan teorinya yang terkenal yaitu teori capitalist patriarchy menyamakan antara dialektika struktur kelas dengan struktur hierarki seksual, dan itu adalah bentuk sintesis tersebut. Eisenstein memulai dengan tesis perempuan sebagai suatu kelas, yakni menerapkan konsep alienasi Marx terhadap kaum perempuan. Perempuan, sebagai bagian dari kelas proletar, juga ditekan kapitalisme dan patriarki untuk mencapai nilai esensi mereka. Hanya saja banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Oleh karena itu, proses penyadaran, sebagai usaha untuk membangkitkan rasa emosi (emotional arousal) pada para perempuan agar mereka bangkit untuk mengubah keadaannya, merupakan tema sentral dari gerakan feminisme sosialis. Timbulnya kesadaran ini akan membuat perempuan bangkit emosinya dan secara kelompok diharapkan mampu mengadakan konflik langsung terhadap kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas perempuan dengan kelas dominan diharapkan dapat meruntuhkan sistem patriarki.
132
2.1.2.5. Ekofeminisme Ekofeminisme mencoba memberi pemahaman mengenai adanya keterkaitan antara segala bentuk penindasan manusia. Dalam hal ini, hubungan antara manusia dan nonmanusia (alam) memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam seluruh ekosistem.133 Pembicaraan tentang ekofeminisme berarti pembicaraan tentang adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan. Ketidakadilan terhadap 130
Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 37. Lihat: http://www.librarything.com/author/eisensteinzillahr 132 Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 37. 133 Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal.142.
131
72
perempuan dalam lingkungan ini berangkat dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia atau alam. Karena perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik dan linguistik, ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis. Karen J. Warren (lahir tahun 1947)134 mengatakan bahwa hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan dan tingkah laku yang memakai kerangka kerja patriarki. Di mana ada justifikasi hubungan dominasi dan subordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki.135 Para ekofeminis sepakat bahwa fokus dari wacana lingkungan dan perempuan bukan terletak pada kedekatan antara perempuan dengan lingkungan, melainkan melihat budaya perempuan/alam sebagai model yang lebih baik dari pada budaya laki-laki/lingkungan.136 Maksudnya, tradisi dan nilai-nilai perempuan dianggap memiliki nilai lebih sehingga model lingkungan hidup yang mengadopsi nilai-nilai
feminis
akan
lebih
baik
bagi
sistem
lingkungan
hidup
secara
keseluruhan.137 Adapun tokoh-tokoh aliran ekofeminisme ini di antaranya adalah: Mary Daly, Susan Griffin, Starhawk, Maria Mies dan Vandana Shiva.138 Golongan ekofeminisme yang muncul pada tahun 1980-an ini percaya pada pemahaman deterministik biologi, yaitu menegaskan perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan, sehingga timbul apa yang disebut sebagai kualitas maskulin dan feminin. Mereka cenderung menerima perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mereka mulai percaya bahwa perbedaan jender bukan semata-mata produk konstruksi sosial-budaya, tetapi juga intrinsic. Para feminis menamakan dirinya dengan ekofeminisme ini karena asumsinya yang cukup kuat bahwa perempuan sebagai
134
Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Karen_J._Warren Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 143. 136 Lihat: http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id= 19288 &Itemid=62 dan http://indahsurvyana.blogspot.com/2008/08/ekofeminisme.html 137 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 145. 138 Lihat: Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif ……., hal. 145-147. 135
73
individu harus dilihat secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.139 Di antara gerakan-gerakan yang muncul dari kelompok ekofeminisme ini adalah gerakan New Age,140 Moral Majority141 dan HOW (Happines of Womanhood) di AS, dan Chipko Andolan142 di India. Adapun inti perjuangan mereka adalah equity in diversity.143
2.1.2.6. Feminisme Dalam Pemikiran Islam Feminisme yang merupakan aktualisasi dari ide "perjuangan hak-hak perempuan" pun merambah ke dalam dunia Islam. Paham-paham feminisme di dunia Islam mulai dikenal pada akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Pada abad ke-19 para feminis muslim mengungkapkan perjuangan atas ketidakadilan jender dengan berbagai tulisan, baik artikel, kolom, buku, esai, novel, cerpen maupun dalam bentuk surat-surat pribadi.144 Hal ini terbukti dari pemikiran-pemikiran penulis dan penyair Mesir seperti Aisyah Taymuriyah, Huda Sya'rawi, Nabawiyah Musa dan Hifni Nasif, esais Libanon Zaynab Fawwaz, Taj al-Salthanah dari Iran, Emile Rute dari Zanjibar, Rokayah Sakhwat Hossain dari India, Fatme Aliye dari Turki, dan RA. Kartini dari Jawa.145 Pada abad ke-20 muncul feminis yang lain seperti; Nawal al-Saadawi, Lathifah Azzayyat dan Inji al-Fatun dari Mesir, Fatima Mernissi dari Maroko, Dr. Nafis Sadik dan Riffat Hassan dari Pakistan, Assia Djebar dari Aljazair, Furukh Farruzad dari Iran, Huda Na'mani dari Libanon, Fauziyah Abu Khalid dari Saudi Arabia, Taslima Nasreen dari Bangladesh, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia, Asghar Ali Engeneer dari India serta beberapa tokoh dari Indonesia seperti Wardah 139
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 38. Lihat: http://duniaesai.com/filsafat/fil7.html 141 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Moral_Majority 142 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Chipko_movement 143 Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 40. 144 Lihat: Faiqoh, Nyai, ………., hal. 77. 145 Lihat: Faiqoh, Nyai, ………., hal. 77 dan Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 46. 140
74
Hafidz, Lies Marcoes, Nurul Agustina, Myra Diarsi, Didin Syafruddin, Mansur Fakih, Masdar Faried Mas'udi, Zaitunah, Siti Ruhani Suhayatin dan Ratna Megawangi. Mereka semua adalah "para perintis besar" dalam menumbuhkan kesadaran atas persoalan sensitif jender, termasuk dalam melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak membatasi kebebasan perempuan.146 Feminisme mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an, ketika itu baru bermunculan tulisan-tulisan tentang feminisme di berbagai media massa, baik jurnal maupun surat kabar. Namun sampai tahun 1980-an, term feminisme ini masih dianggap sesuatu yang menakutkan yang berasal dari dunia Barat. Baru kemudian sekitar tahun 1990-an feminisme serta berbagai hal yang berkaitan dengannya, terutama dalam wacana keterkaitan Islam dan Feminisme, dapat diterima oleh masyarakat meski dengan sangat hati-hati. Hal tersebut karena feminisme dianggap sebagai ajaran yang sesat, yang dapat merusak pemikiran anak bangsa, terutama para penganut agama Islam. Feminisme mulai merambah dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia terutama sejak banyaknya buku-buku feminis diterbitkan di Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.147 Buku-buku tersebut di antaranya adalah tulisan para feminis seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Asghar Ali Engineer. Selain itu, di kalangan para cendikiawan muslim Indonesia sendiri mulai dirintis usaha-usaha untuk memperoleh "ijtihad baru", guna mencari interpretasi yang lebih adil dan sejajar berkait dengan isu-isu keperempuanan. Para cendekiawan muslim yang bermunculan ketika itu di antaranya adalah Dr. Quraish Shihab, Alm. Dr. Nurcholis Madjid, Djohan Effendi dan Jalaluddin Rachmat.148 Secara umum, feminisme Islam adalah alat analisis maupun gerakan yang bersifat historis dan kontekstual –sesuai dengan kesadaran baru yang berkembangdalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran. Para feminis muslim ini menuduh adanya kecenderungan 146
Lihat: Faiqoh, Nyai, ………., hal. 77-78 dan Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal.
147
Lihat: http://ern.pendis.depag.go.id/DokPdf/ern-v-05.pdf Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 46-47.
46. 148
75
misoginis (kebencian terhadap perempuan) dan patriarki (dominasi laki-laki) di dalam penafsiran teks-teks keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir keagamaan yang bias kepentingan laki-laki. Mereka mencontohkan tentang hukum kepemimpinan (apakah dalam keluarga maupun dalam politik), penguasaaan nafkah149, pernikahan150, perceraian151, pewarisan152 dan sebagainya, yang dapat menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis dan selanjutnya tergantung secara psikologis.153 Istilah feminis muslim digunakan di sini karena orang yang menyuarakan tentang keadilan perempuan adalah orang yang beragama Islam. Di samping itu, karena gugatan para feminis ini banyak menekankan pada kajian teks-teks agama. Para feminis muslim berasumsi bahwa pemahaman agama yang saat ini berkembang di masyarakat adalah pemahaman agama yang telah membentuk budaya dan pandangan yang menimbulkan ketidakadilan jender. Oleh sebab itu, para feminis muslim banyak melakukan gugatan bahkan pembongkaran pada penafsiran ulama masa lalu yang dijadikan dasar sebagai penafsiran yang paling benar.154 Yang khas dari feminisme Islam ini adalah dialog yang intensif antara prinsipprinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks keagamaan (al-Qur`an dan Hadits) dengan relitas perlakuan terhadap perempuan yang ada atau hidup dalam masyarakat muslim. Perubahan cara pandang dan interpretasi teks keagamaan adalah kata kunci yang paling penting dan merupakan tujuan feminisme Islam, untuk
149
Lihat: Q.S. 4:34. Bandingkan dengan Q.S. 2:228 dan Q.S. 33:35. Lihat: Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999, Cet. Ke-1, hal. 236237. 150 Lihat masalah pernikahan dalam Q.S. 4:2. 151 Masalah perceraian lihat Q.S. 2: 226-232. 152 Lihat dalam Q.S. 4:11 dan 4: 176. 153 Lihat: Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari'ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan nternasional dalam Islam, (Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial/LKiS), 1994, Cet. Ke-1, hal. 338-346). 154 Faiqoh, Nyai, ………., hal. 78.
76
melawan kecenderungan mempertahankan statusquo tafsir-tafsir tradisional yang mensubordinasikan perempuan sebagai manusia kelas dua.155
2.2. Kritik Sastra Feminis Kritik sastra feminis, sebuah kombinasi antara kritik sastra dengan pendekatan feminis merupakan implikasi dari gerakan-gerakan feminisme yang berkembang di masyarakat. Kebanyakan para feminis menuangkan dan mengkampanyekan ide-ide mereka melalui sebuah karya, dan yang paling banyak adalah melalui karya fiksi dalam bentuk prosa. Oleh sebab itu, pekerjaan kritik sastra feminis tidak terlepas dari pekerjaan kritik sastra yang umum dilakukan. Hanya saja, ada metodologi tambahan yang dimuat di dalamnya, yaitu metodologi feminis. Untuk itu, sebelum term kritik sastra feminis ini kita kaji, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian kritik sastra.
2.2.1. Pengertian dan Metodologi Kritik Sastra Dari akar katanya, sejarah kata Kritik dalam sastra telah mengalami perjalanan yang cukup panjang. Mulai dari istilah krites (hakim) atau krinein, kritikos dan grammatikos yang berasal dari Yunani Kuno, atau criticus (penafsiran naskah dan penafsiran kata-kata) dalam sastra Latin Klasik, atau juga pergeseran maknanya pada masa Renaissance, di mana kata criticus dan grammaticus digunakan untuk menunjuk orang-orang yang menekuni pustaka sastra lama.156
155
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 47-48. Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2005, Cet. Ke-1, hal. 55-56. 156
77
Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa, budayawan dan sastrawan tentang makna kritik sastra. Rene Wellek dan Austin Warren (1954) mengatakan bahwa kritik sastra berarti pembicaraan tentang karya sastra tertentu.157 Menurut Abrams (1958), kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan dan penilaian karya sastra.158 Lain halnya dengan Rahmat Djoko Pradopo (1988) dan Jassin (1965). Menurut Pradopo, kritik sastra ialah pertimbangan baik buruknya karya sastra, di mana suatu penelitian yang dikenakan pada karya sastra tergolong kritik sastra, yang pada pokoknya mempunyai tiga tugas, yaitu: 1) untuk keilmuan sastra; 2) untuk pertimbangan kesusastraan; 3) untuk kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.159 Adapun Jassin berpendapat bahwa kritik sastra adalah baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya, dengan kata lain, analisis, merupakan hal yang terpenting di sini.160 Sementara Culler (1977) mengatakan bahwa kritik sastra pada dasarnya merupakan upaya untuk menangkap atau memberi makna karya sastra.161 Dan Teeuw (1983) memaknai kritik sastra sebagai usaha untuk merebut makna karya sastra.162 Dari pendapat-pendapat mengenai makna kritik sastra di atas, maka jelaslah bahwa secara keseluruhan definisi yang ada menunjuk pada makna pengkajian dan 157
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 56, mengutip pendapat keduanya dalam Rene Wellek & Austin Warren, Theory of Literature, (New York: Hatcourt, Brace & World Inc.), 1954. 158 Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 56-57, mengutip dari M.H. Abrams, The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition, (New York: Norton), 1958. 159 Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 57, mengutip dari Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Lukman), 1988. 160 Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 57, mengutip dari Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya, 1965. 161 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002, Cet. Ke-1, hal. 43, mengutip dari Jonathan Culler, Structuralist Poetics, (London: Rouledge & Kegan Paul), 1977, hal. viii. 162 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 43, mengutip dari A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia), 1983, hal. 4.
78
penilaian terhadap suatu karya sastra. Hal tersebut bisa dilakukan tentunya dengan proses analisis terhadap karya sastra bersangkutan, yang meliputi penelaahan, penafsiran, penilaian dan penghakiman. Pengkajian dan analisis sebuah karya sastra berarti pengkajian dan analisis terhadap unsur-unsur intrinsik yang membentuk karya sastra tersebut, sehingga sebuah karya sastra (dalam hal ini khususnya bentuk prosa: novel) tersaji ke hadapan pembaca dalam sebuah totalitas. Oleh karena itu, dalam pengkajian sebuah prosa (novel) tidak terlepas dari pengkajian unsur-unsurnya. Atau dengan kata lain, metode strukturalisme dalam hal ini tidak mungkin dapat ditinggalkan. Strukturalisme menurut Abrams (1981) adalah salah satu pendekatan kesastraan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai “makhluk” yang berdiri sendiri. Pendekatan strukturalisme ini menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan.163 Adapun Hawkes mengatakan bahwa strukturalisme pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia (baca: dunia kesastraan) yang lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda.164 Menurut kaum Strukturalisme, sebuah karya sastra, fiksi atau puisi adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.165 Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik,
163
Lihat: Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 2002, Cet. Ke-4, hal. 36-37, mengutip pendapat Abrams dalam M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston), 1981, hal. 189 dan lihat pula: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 43. 164 Lihat: Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian…, hal. 37, mengutip dari Rahmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 1987, hal. 119-120. 165 Lihat: Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian…, hal. 36, mengutip pendapat Abrams dalam M.H. Abrams, A Glossary……, hal. 68.
79
saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.166 Unsur-unsur tersebut –sebagaimana dikatakan oleh Stanton- adalah fakta, tema dan sarana sastra. Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi alur, latar, tokoh, dan penokohan. Fakta cerita merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya dan eksistensinya dalam sebuah novel. Oleh karena itu, fakta cerita sering juga disebut struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual level). Sarana sastra (literary devices) adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita menjadi pola yang bermakna.167 Dalam tesis ini, analisis yang dilakukan bersifat objektif, sehingga sarana sastra yang dianalisis adalah sarana sastra yang besar peranannya dalam menjelaskan tema dan fakta, seperti sudut pandang penceritaan atau pusat pengisahan dan gaya bahasa. Tiga unsur pokok yang harus dimiliki oleh setiap novel dan juga merupakan unsur terpenting adalah tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ketiga unsur ini saling berkaitan erat dan membentuk satu kesatuan yang padu, yaitu kesatuan organisme sebuah cerita.
2.2.2. Pengertian Kritik Sastra Feminis Pengertian kritik sastra feminis tidak dapat dijabarkan dengan satu makna, karena terdapat pandangan yang berbeda-beda tentang term ini. Secara garis besar, Culler (lahir tahun 1944)168 memaknai Kritik Sastra Feminis sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Makna yang
166
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian…, hal. 36. Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 44-45, mengutip dari Robert Stanton, An Introduction to Fiction, (New York: Holt, Rinehart and Winston), 1965, hal. 11-36. 168 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Jonathan_Culler 167
80
dimaksud di sini adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra.169 Sementara Yoder (1987) berpendapat bahwa Kritik Sastra Feminis bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan. Adapun arti Kritik Sastra Feminis secara sederhana adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang mengarang. Kemudian Yoder mengumpamakan Kritik Sastra Feminis sebagai quilt. Penggunaan metafora quilt sebagai perumpamaan Kritik Sastra Feminis ini sangat tepat. Quilt yang dijahit dan dibentuk dari potonganpotongan kain persegi itu pada bagian bawahnya dilapisi kain lembut. Jahitan potongan-potongan kain itu memakan waktu lama dan biasanya dikerjakan oleh beberapa orang, menghabiskan waktu berhari-hari. Metafora ini dapat digunakan untuk memahami Kritik Sastra Feminis, yaitu bahwa alas quilt yang menyatukan berbagai motif potongan kain yang bervariasi dan indah itulah yang disebut sebagai Kritik Sastra Feminis. Kritik Sastra Feminis adalah alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan.170 Pendapat Culler ini jika kita kaitkan dengan pendapat Yoder yang mengibaratkan Kritik Sastra Feminis sebagai quilt berarti kesadaran pembaca dalam kerangka Kritik Sastra Feminis merupakan kritik dengan berbagai metode. Hal ini sebagaimana dikatakan pula oleh Kolodny (1985)171 bahwa hanya dengan 169
Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 5 dan 7, mengutip dari Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism, (London and Henley: Routledge and Kegan Paul), 1983. 170 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 5-6, mengutip pendapat Yoder dalam Linda Yoder, Kebangkitan, Perkembangan, dan Penerapan Kritik Sastra Feminis, Makalah, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada), 1987. 171 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Annette_Kolodny
81
mempergunakan bermacam-macam metode kita dapat melindungi diri dari godaan atau kesalahan dalam memahami teks. Kritik Sastra Feminis ini dapat dikembangkan dengan berbagai kombinasi pendekatan kritik yang lain, dari formalisme ke semiotik tanpa meninggalkan kesadaran bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang terimplisit dalam karya sastra. Kritik ini meletakan dasar bahwa ada jender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental.172 Berbeda dengan yang sebelumnya, Showalter (1985) mengetengahkan pendekatan gynocritics (perempuan sebagai penulis), sebagai prospek cerah bagi teori Kritik Sastra Feminis yang koheren serta dimungkinkan mampu untuk melepaskan diri dari ketergantungan model-model kritik kaum laki-laki dalam memaksakan teori kritik yang dikenakan pada karya perempuan. Di sini ditekankan tentang kekhasan penulis perempuan. Jika ada, maka perhatian tertuju kepada aspek yang dipandang, apakah dari segi gaya, bahasa, topik, jenis karya tertentu serta dunia karang mengarang.173 Kritik Sastra Feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru dunia.174 Sejak akhir tahun 1960-an, ketika kritik feminis dikembangkan sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional, anggapan tentang studi kritik sastra feminis pun menjadi pilihan yang menarik. Kritik Sastra Feminis menawarkan pandangan bahwa para pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi, pengertian dan dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki.175 Kritik Sastra Feminis berangkat dari sebuah permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi dan perebutan makna karya sastra. 172
Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 7, mengutip pendapat Kolodny, 1985. 173 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 7, mengutip dari Showalter, The New Feminist Criticism, (New York: Pantheon Books), 1985. 174 Lihat kembali pembahasan panjang mengenai feminisme pada halaman-halaman sebelumnya. 175 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 6.
82
Para pemula Kritik Sastra Feminis menawarkan esai yang mengetengahkan permasalahan pokok tentang pengembangan teori perbedaan seksual. Karya-karya mereka bukan suatu kecaman terhadap salah satu kritik sastra, melainkan pandangan mereka lebih menunjuk pada aneka macam cara dalam perbincangan konsep perbedaan sosial.176 Berbeda dengan kritik-kritik yang lain, masalah dalam Kritik Sastra Feminis berkembang dari berbagai sumber. Oleh sebab itu pengkritik harus memiliki pandangan yang luas yang diperolehnya dari bacaan-bacaan mengenai perempuan serta bantuan disiplin ilmu lainnya, seperti sejarah, psikologi, antropologi dan diperlukan pula pemahaman tentang teori sastra. Dari sini kemudian muncul pertanyaan tentang apa sebenarnya yang diinginkan oleh para kritisi feminis? Menurut Gilbert (1989),177 jawaban atas pertanyaan tersebut dikembalikan kepada perempuan pula bahwa di dalam kesadarannya harus ada suatu revisi atau perbaikan, suatu perubahan lengkap pada semua ide tentang dunia sastra. Kritik ini tidak saja membatasi diri pada karya-karya pengarang perempuan, tetapi meluas untuk semua karya pengarang. Kritikus feminis diharapkan
memiliki
ambisi
yang
berapi-api
untuk
mengeksplorasi
dan
mendekodekan semua hubungan yang tersembunyi di antara psikoanalisis dan otoritas kultural.178 Para 'esensialis' mempunyai keyakinan bahwa ada perbedaan yang mendasar (yang tidak berdasarkan faktor biologis, tetapi lebih banyak berdasarkan faktor sosial dan ekonomi dengan konsekuensi psikologisnya) antara cara berpikir dan menulis kaum perempuan dengan laki-laki. Sehingga ada yang disebut dengan ecriture feminine, yaitu perempuan mempunyai cara tersendiri untuk mengekspresikan dirinya yang sangat berlawanan dengan cara bagaimana kaum laki-laki menggambarkan 176
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 8. Lihat profilnya pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Sandra_Gilbert 178 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 9, mengutip tulisan Gilbert dalam Sandra M. Gilbert dan Susan Gubar, "The Mirror and The Vamp: Reflections on Feminist Criticism", dalam Ralph Cohen, The Future of Literary Theory, (New York and London: Routledge), 1989. 177
83
pandangan mereka melalui bahasa dan wacana mereka. Pandangan ini diasosiasikan dengan pandangan kaum feminis Perancis. Adapun pandangan kaum 'relativis' -yang diasosiasikan dengan para kritikus Anglo-Amerika- adalah bahwa analisis penggambaran kaum laki-laki dan perempuan oleh pengarang laki-laki ataupun perempuan menjadi sangat penting. Sebetulnya tidak ada perbedaan yang mendasar yang memisahkan karya tulis kaum laki-laki dengan kaum perempuan, kecuali bahwa cara kaum kritikus dan pengarang laki-laki cenderung melecehkan kaum perempuan.179 Dari berbagai definisi dan metode kritik sastra feminis sebagaimana dikemukakan di atas, penulis lebih sepakat dengan pendapat Culler. Hal tersebut karena Kritik Sastra Feminis yang diartikan membaca sebagai perempuan ini berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi bahkan sebaliknya menjadi pluralis dalam teori dan praktiknya, menggunakan kebebasan metodologi dan cara pendekatan yang dapat membantu pelaksanaan kritiknya. Cara ini berpijak dari sudut pandang yang mapan dan mempertahankannya secara konsisten kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang mempengaruhi dunia sastra.180 Meski membaca sebagai perempuan dapat dipahami dari kerangka kerja kritikus bahwa ia tidak menganggap otoritas kultural sebagai kenyataan objektif, melainkan hanya sebagai batas budaya politis, dan itu dapat menimbulkan berbagai pertanyaan, kritikan dan tantangan dari para kritikus laki-laki, namun keadaan ini dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan gynocritics,181 sebagaimana yang ditawarkan oleh Showalter.182
179
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 84. Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 10. 181 Lihat lebih lanjut penjelasannya pada: http://www.answers.com/topic/gynocritics dan http: //en.wikipedia.org/wiki/Gynocriticism 182 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 9-10. 180
84
Adapun para pelopor kritik sastra feminis adalah para feminis Barat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, seperti: Simone de Beauvoir,183 Kate Millet,184 Betty Friedan185 dan Germain Greer.186
2.2.3. Kritik Sastra Arab Feminis Belahan Timur dunia Arab dicirikan sebagai tempat lahirnya peradabanperadaban paling kuno yang terkenal dalam sejarah seperti Mesir, Babilonia dan Mesopotamia. Peradaban-peradaban ini, khususnya Mesir Kuno, merupakan sumber warisan budaya tempat kemajuan tertentu yang dicapainya dibawa ke Eropa Barat dan telah menjadi inspirasi serta sumber pengetahuan bagi perkembangan lebih lanjut dunia seni dan sains, yang dengan itu, orang-orang Barat, laki-laki dan perempuan, yang mengambil alih pelita manusia, mendapatkan penemuan-penemuan dan membawanya lebih jauh dalam perjalanannya. Pada gilirannya, Bahasa Arab adalah perintis sekaligus alat bagi perubahan-perubahan besar, yang setelah mapannya kerajaan Islam dibawa sampai ke Spanyol di Barat, dan Indonesia di Timur. Namun di samping kontribusi-kontribusi penting dan besar bagi sejarah dan perkembangan peradaban manusia tersebut, negara dan penduduk Arab saat ini digolongkan ke dalam kelompok negara-negara terbelakang dan berkembang serta dimasukkan dalam satu kelompok dengan sebagian besar penduduk bumi di bawah istilah "Dunia Ketiga".187 Mesir dan dunia Arab hidup melalui beberapa dekade yang gelap terutama selama abad ke-19. Kondisi rakyatnya jelas-jelas mundur. Penguasa negara yang bersahabat baik dengan penjajah Inggris dan Perancis telah menimpakan beban teramat berat ke pundak mereka dalam semua aspek kehidupan baik ekonomi, politik maupun budaya. Nasib kaum perempuan, sebagaimana biasanya, adalah yang 183
Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Simone_de_Beauvoir Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Kate_Millett 185 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Betty_Friedan 186 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Germaine_Greer 187 Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 341-342. 184
85
terburuk karena mereka harus menunaikan beban ganda sistem patriarkat seperti halnya sistem kelas otokratis.188 Namun
melewati
paruh
abad
ke-19,
meskipun
melalui
masa-masa
kemunduran, perlawanan rakyat terhadap dominasi lokal dan asing masih terus meningkat, bersamaan dengan semakin kuatnya kebangkitan dan pencerahan dalam bidang filsafat dan pemikiran. Sebut saja ketika itu, Jamaluddin al-Afghani,189 yang menjadi pelopor terkemuka dan pemimpin kebangkitan tersebut. Bersama muridmuridnya ia memainkan peranan yang sangat penting dalam mempropagandakan ideide progresif dan persoalan-persoalan yang penting. Ahmad Fares Shidyaq,190 salah satu muridnya, pada tahun 1855 telah menerbitkan sebuah buku yang dianggap sebagai buku pertama yang mendukung emansipasi perempuan. Buku tersebut berjudul One Leg Crossed Over the Other. Pemikir lainnya seperti Rifa’ alTahthawi,191 yang dengan kedua bukunya: A Guide to the Education of Girls and Boys (1872) dan A Summary Framework on Paris (1902), berjuang untuk mencerdaskan perempuan dan memerdekakan mereka dari berbagai ketidakadilan yang menelanjangi mereka.192 Para pelopor ini mengkampanyekan agar bangsa Arab baik laki-laki maupun perempuan bangkit dan bergerak menentang penjajahan dan berjuang tanpa kenal lelah untuk mencapai kemerdekaan. Ide-ide patriotik tersebut kemudian memberikan pencerahan dan menyadarkan mereka akan pentingnya kebangkitan kaum perempuan dan emansipasi wanita, demi perjuangan melawan kemunduran, kolonialisme asing dan kekuasaan reaksioner internal. Karena menurut Syekh Muhammad Abduh193
188
Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 343. Lihat pula: http://www.uinjkt. ac.id/index.php/organisasi/struktur-organisasi/372-beda-tafsir-jender-indonesia-mesir-dalammemandang-perempuan.html ; Lihat pula: http://www.ksg.averroes.or.id/gender/fatima-mernissirekonstruksi-teks-sejarah-dan-sistem-patriarkhal.html 189 Lihat profilnya di: http://en.wikipedia.org/wiki/Jamal_al-Din_al-Afghani 190 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Faris_Shidyaq; Lihat pula: http://inhouse.lau. edu.lb/iwsaw/raida100/EN/p015-019.pdf 191 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Rifa'a_al-Tahtawi 192 Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 344. 193 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh
86
bahwa salah satu sumber kelemahan dan kekalahan yang menyerang rakyat Arab adalah kemunduran kaum perempuan sebab mereka dirampas dari pengetahuan serta dijauhkan dari sumber-sumber pengetahuan, suatu hal yang bertolak belakang dengan yang dibutuhkan dan diperlukan oleh agama dan kehidupan.194 Syekh Muhammad Abduh adalah salah satu pemimpin kebangkitan intelektual dan budaya yang terkenal pada saat itu. Ia bersama Abdullah an-Nadim telah menyumbangkan hal-hal yang sangat mendasar bagi haluan progresif di Mesir dan negara-negara Arab. Pada sejumlah kesempatan, Syekh Muhammad Abduh menulis kritikan terhadap posisi inferior yang diberikan kepada perempuan dan dengan giat menyerang praktek-praktek mengawini dan menceraikan perempuan tanpa batas, di mana kedua hal ini (mengawini dan menceraikan) dianggap sebagai hak alamiah kaum laki-laki. Ia juga mengkampanyekan penghapusan pergundikan dan perbudakan perempuan, serta membela prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan sebagai buah ajaran Islam. Namun akibat ide ini, Syekh Muhammad Abduh mendapatkan serangan yang luar biasa dari para penguasa dan pemikir agama pada saat itu.195 Salah satu buku penting lainnya yang berkenaan dengan persoalan emansipasi perempuan dan kesetaraan gender adalah sebuah buku yang ditulis oleh Qasim Amin (1865-1908)196 dan diterbitkan pada tahun 1900. Buku tersebut berjudul Tahrir alMar`ah (Pembebasan Perempuan). Buku keduanya berjudul al-Mar`ah al-Jadidah (Wanita Baru). Buku tersebut dimaksudkan oleh Qasim untuk mendidik anak-anak 194
Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 344-345. Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 345. Namun menurut Nelly Van Doorn Harder, interpretasi modern atas al-Qur`an yang mereka tawarkan tidak ditujukan secara langsung untuk keuntungan perempuan atau memperbaiki hak-hak perempuan dalam keluarga. Citacita mereka adalah “melakukan sesuatu untuk melahirkan kembali moral dari masyarakat Islam” dengan mendidik perempuan “dalam tanggung jawab dan hak-hak yang telah ditetapkan bagi mereka oleh agamanya.” Dengan kata lain, kepedulian Abduh sebenarnya adalah pada “reformasi dalam hal penguatan kembali perintah-perintah agama.” (Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir: Perspektif Budaya dan Agama, salah satu artikel dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar Harga Perempuan, (Bandung: Mizan), 1999, Cet. Ke-1, hal. 25-26). 196 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Qasim_Amin; http://www.answers.com/topic/qasimamin; dan http://www.mediterraneas.org/article.php3?id_article=72 195
87
perempuan ke jalan yang benar, dan apa yang ia tulis juga berdasarkan kepada ajaranajaran Islam dan tidak melanggarnya. Namun tak bedanya dengan Syekh Muhammad Abduh, Qasim Amin pun mendapatkan serangan tuduhan dari para penguasa dan pemikir universitas al-Azhar. Tulisannya pun dikritik dan ditentang oleh banyak pemikir agama.197 Selain Qasim Amin, muncul pula pejuang emansipasi perempuan lainnya, Ahmad Luthfi as-Sayyid dan sekelompok orang yang bekerjasama dengannya. Dalam surat kabar al-Jaridah mereka mendukung dan mengkampanyekan emansipasi perempuan. Turut pula bergabung dengan kelompok ini adalah tokoh-tokoh lainnya seperti Waliuddin Yakan, Saad Zaghlul (kemudian menjadi pemimpin nasional Mesir setelah Perang Dunia I), Muhammad Hussein Haikal, Thaha Hussein dan Salama Musa, Musthafa Fahmi, Faruq Antun, Ahmad az-Zayat dan Musthafa al-Manfaluti. Surat kabar al-Manar (Cahaya) diterbitkan oleh Rasyid Ali Ridha. Tidak kurang pula al-Muktataf dan al-Hilal membuka kolom untuk artikel-artikel tentang pembebasan perempuan.198 Selain mereka yang telah disebutkan di atas, sejak awal, perempuanperempuan Arab juga turut berpartisipasi dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Di antar pelopornya adalah Aisyah al-Taimuria yang mengarang karyakarya sastra dan puisi dalam bahasa Arab, Turki dan Persia. Kemudian ia diikuti oleh Zaynab Fawwaz, yang membangun reputasi sebagai penyair dan orator. Penulis lainnya adalah Malaq Hefni Nassif (1886-1918), yang terkenal dengan Bahits alBadiya (Pencari di Padang Pasir). Ia menggunakan kekuatan penanya untuk membela hak-hak perempuan. Malaq seangkatan dengan Qasim Amin, tetapi tulisannya dianggap semaju ide-ide Rafi'i al-Tahthawi yang dianggapnya sebagai reformis. Sementara Qasim Amin mendukung ide-ide itu sebagai panggilan untuk pembebasan perempuan. Malaq Hefni Nasif adalah seorang penulis berbakat sehingga Luthfi asSayyid, sebagaimana dikutip Nawal, menggambarkan karya-karyanya sebagai contoh 197 198
Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 346. Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 347.
88
nyata seorang penulis perempuan yang melebihi banyak penulis laki-laki yang hidup pada periode yang sama. Malaq adalah pejuang yang konsisten pada hak-hak pendidikan anak perempuan.199 Pelopor
terkenal
lainnya
adalah
May
Ziadah,
seorang
perempuan
berkebangsaan Palestina dan Libanon yang tinggal di Mesir. Meski mendapat hambatan dan reaksi penguasa ortodok pada masa itu, ia mampu mendirikan Balai Sastra di Kairo selama tahun 1915 dan 1916. Di mana sejumlah pemikir Arab dan Mesir, para penulis baik laki-laki maupun perempuan biasa menghadiri debat sastra yang biasa diadakan di sana setiap Selasa. Padahal, May baru berusia 21 tahun ketika itu, namun karena kematangan dan kedewasaan pikirannya, para pemikir dan penulis senior yang disegani pun mau berkumpul di balainya.200 Pada tahun 1923, Huda Sya’rawi mendirikan Persatuan Feminis Mesir (Feminist Union in Egypt), untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, reformasi undang-undang yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian, serta menyerukan hak suara bagi perempuan (yang tidak diterima hingga tahun 1956). Sejumlah sekolah bagi anak perempuan didirikan, dan pada tahun 1928 perempuan mendapatkan kesempatan untuk meneruskan studi di perguruan tinggi. Pada tahun 1936, Zainab al-Ghazali mendirikan cabang Persaudaraan Muslim bagi Perempuan: Asosiasi Perempuan Muslim (The Muslim Brotherhood’s Branch for Women: The Muslim Women Association). Meskipun program mereka bersifat sangat politis,
Zainab
sendiri
menggambarkan
tujuan
asosiasi
ini
adalah
“untuk
mengenalkan perempuan Musim kepada agamanya.” Dan untuk selanjutnya, rezim sosialis Gamal Abdul Nasser memberikan kebebasan pendidikan bagi semua warga. Hal ini kemudian membawa dampak naiknya tingkat pendidikan perempuan secara
199
Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 347-348. Lihat: Nawal el-Saadawi, The Hidden Face……….., hal. 348 dan lihat pula: Lila AbuLughod (ed.), Remaking Women; Feminism and Modernity in The Middle East, (New Jersey/West Sussex: Princeton University Press), 1998, hal. 73-199. Lihat pula: http://fasihahpauzi. blogspot.com/2009/03/emansipasi-wanita.html 200
89
dramatis. Jumlah perempuan perkotaan yang bekerja di wilayah publik pun semakin meningkat selama 1980-an.201 Demikian, sebagaimana gerakan feminisme menjadi tonggak munculnya para kritikus feminis di Barat, Kritik Sastra Feminis di Timur, khususnya dalam khazanah sastra Arab juga muncul karena pengalaman ketertindasan perempuan Arab. Para sastrawan feminis sebagaimana yang disebutkan di atas adalah juga para feminis muslim sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka memperjuangkan hak-hak asasi perempuan melalui tulisan-tulisan, dan tak sedikit pula yang mendapatkan respon buruk dan kecaman dari berbagai pihak, terutama para penguasa dan pemikir agama. Mereka dianggap telah mencoreng ajaran-ajaran Islam, meski sebenarnya apa yang mereka lakukan tak lain adalah untuk membebaskan perempuan dari hegemoni kultur patriarki yang menindas mereka.
201
Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 26. Lihat pula: http://s1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/single/id_movement_of_woman_liberation.pdf.
90
BAB IV ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS DAN POKOK-POKOK PIKIRAN FEMINISME DALAM NOVEL IMRA`AH 'INDA NUQTHAH AL-SHIFR
Pembahasan dalam bab IV ini merupakan inti dari analisis penulis, yaitu analisis novel IINS dengan metode kritik sastra feminis. Di samping itu, dalam bab IV ini juga akan dikemukakan tentang pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel IINS yang pada dasarnya merupakan eksploitasi terhadap pikiran, sikap dan tindakan tokoh cerita dalam hubungannya dengan eksistensi perempuan. Analisis kritik sastra feminis dilakukan dengan menganalisis struktur novel dari kacamata feminisme.202 Adapun pokok-pokok pikiran feminisme yang dikemukakan kemudian merupakan pemaparan tentang ide-ide feminisme yang terdapat dalam novel dari keseluruhan unsur.
2. Analisis Kritik Sastra Feminis Langkah pertama yang tak dapat ditinggalkan dalam analisis kritik sastra feminis adalah analisis struktur novel.203 Karena dengan menelaah unsur-unsur novel secara mendalam, kajian feminisme yang akan dilakukan akan menjadi lebih mudah. Untuk itu, dalam tesis ini, penulis akan memaparkan beberapa unsur novel yang sekiranya dapat membantu analisis dari perspektif kritik sastra feminis. Namun tidak semua unsur akan dikemukakan di sini. Penulis membatasi analisis struktur ini hanya pada tiga unsur pokok novel (karya sastra),204 yaitu fakta, yang meliputi latar dan tokoh; tema yang akan dijabarkan dalam topik dan tema; serta sarana sastra, dalam bentuk kajian terhadap gaya bahasa yang digunakan pengarang. 202
Lihat kembali teori Culler tentang kritik sastra feminis pada hal. 59, juga lihat kembali: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 5 dan 7, mengutip dari Jonathan Culler, On Deconstruction………, 1983. 203 Lihat pembahasan tentang strukturalisme pada hal. 57-58. 204 Lihat kembali hal. 58, juga lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 44-45, mengutip dari Robert Stanton, An Introduction………, hal. 11-36.
91
1.1. Prasangka Jender dan Emansipasi Perempuan Tema sentral dari keseluruhan isi novel pada hakikatnya adalah mengenai prasangka jender yang kemudian memunculkan keinginan sang tokoh utama untuk mewujudkan emansipasi perempuan.205 Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis dapat mengkalisifikasikan topik-topik dan tema-tema yang dapat dijumpai dalam novel IINS sebagai berikut: a. Topik Anggapan dan pemahaman masyarakat yang salah kaprah tentang makna jender dan seks memunculkan prasangka jender.206 Jender yang sebenarnya merupakan sifat-sifat pada laki-laki dan perempuan yang muncul karena terkonstruk secara sosial oleh pengaruh budaya, agama dan politik, seringkali diartikan dalam makna seks, yaitu sifat yang melekat karena kodrat Tuhan. Oleh sebab itu, terjadilah pemilahan dan pemisahan jenis-jenis pekerjaan dan tugas-tugas bagi laki-laki dan perempuan karena pengaruh kesalahpahaman ini. Dan akibat yang muncul adalah adanya ketidakadilan jender (gender inequalities). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa menurut para feminis diskriminasi jender adalah akibat dari sistem patriarki; yaitu sistem yang didominasi oleh laki-laki, dan perempuan ditempatkan pada posisi subordinat. Ideologi patriarki ini merupakan salah satu variasi dari ideologi hegemoni, yaitu sebuah ideologi yang membenarkan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Sistem ini mengakui adanya sistem kelas dan strata sosial dalam masyarakat. Pola hubungan dalam sistem ini adalah paternalistik; posisi di atas memegang kekuasaan dominan pada posisi bawah. Dan aktualisasinya dalam sebuah keluarga adalah dengan menempatkan suami sebagai bapak atau kepala keluarga.207
205
Lihat: http://etd.eprints.ums.ac.id/644/ dan http://timoerjaoeh.net/2008/01/05/perempuandi-titik-nol-nawal-el-saadawi/ 206 Lihat kembali: Siti Muslikhati, Feminisme dan………., hal. 19-20, Faiqoh, Nyai ………, hal. 58-61 dan Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik ................ hal. 4-5 dan 15-19. 207 Lihat: Faiqoh, Nyai, ………, hal. 70-71 dan Siti Muslikhati, Feminisme dan ………, hal. 28.
92
Masyarakat Mesir pedesaan, tempat di mana tokoh utama dalam novel ini dibesarkan, sangat memegang kultur patriarki ini.208 Meskipun seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa feminisme dan gerakan-gerakan perjuangan emansipasi perempuan sudah berkembang di Mesir sejak awal abad ke-20. Namun ternyata gerakan-gerakan feminis tersebut tidak terlalu banyak membawa perubahan bagi kehidupan sosial. Kalaupun terjadi perubahan, hanyalah bersifat ekslusif dan relatif kecil. Hembusan angin emansipasi hanya dinikmati oleh kelompok perempuan elit di lingkungan perkotaan, dan tidak banyak membuahkan hasil di tingkat masyarakat bawah. Itu pun tidak sepenuhnya menjamin bahwa perempuan telah terbebas dari kungkungan laki-laki. Banyak masyarakat perkotaan (urban) yang telah berpartisipasi dalam dunia publik, tetapi dalam lingkup keluarga ternyata ketidaksetaraan jender dan patriarkat masih terus terjadi. Terutama di wilayah perkampungan, kekerasan perempuan di sektor domestik secara luas masih terus berlangsung. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis dari kalangan pemerhati feminisme di Mesir, sebagaimana Endriani mengutip pendapat Aunur Rofiq, bahwa boleh jadi feminis Mesir berhasil dalam dunia publik, namun tidak demikian jika berkaitan dengan sektor domestik. Relasi laki-laki dan perempuan masih didominasi ideologi dan sistem patriarki.209 Sebagaimana dalam pemahaman mereka: prinsip-prinsip kemerdekaan, kebebasan dan kesetaraan “hanya bisa diterapkan bagi laki-laki.”210 Dalam budaya patriarki di Mesir, selain menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan pada posisi subordinat, ada pembagian tugas berdasarkan istilah yang mereka sebut dengan “jender” ini. Pekerjaan-pekerjaan rumah lebih pantas dilakukan oleh perempuan, meskipun perempuan juga bekerja di ladang. 208
Lihat: Walter Armbrust, Long Live Patriarki: Love in the Time of 'Abd al-Wahhab, (University of Oxford), 2008 dan Walter Armbrust, The Formation of National Culture in Egypt in The Interwar Period; Cultural Trajectories, (University of Oxford), 2008. Lihat pula: http://www.blackwellcompass.com/subject/history/article_view?article_id=hico_articles_bpl575, dan lihat definisi patriarki lebih lanjut pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Patriarchy 209 Lihat: Endriani Dwi Siswanti, Perempuan di Titik Nol; Perlawanan Perempuan Melawan Tatanan Konservatif, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), 2003, hal. 22. 210 Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 29, mengutip dari Mervant Hatem, Toward the Development, hal. 39.
93
Adapun laki-laki, tidak saja mengambil posisi sebagai kepala keluarga, tetapi juga menempati posisi “raja”. Karena, segala kebutuhannya harus selalu dilayani oleh perempuan, dan apa yang menjadi kehendaknya tidak dapat ditentang dan dilawan.211 Novel Imra`ah 'Inda Nuqthah al-Shifr (IINS) mengemukakan topik212 tentang masalah kehidupan yang cukup kompleks yang dialami oleh seorang perempuan bernama "Firdaus". Banyaknya masalah yang dialami Firdaus itu sebenarnya berakar pada satu hal, sebagai topik utama dalam cerita ini, yaitu sistem budaya patriarki yang telah menjadikan perempuan mengalami ketertindasan dalam berbagai aspek. Ketertindasan yang dialami Firdaus sebagai akibat dari ketidakadilan jender (gender inequalities)213 ini berawal sejak ia masih kecil hingga dewasa, terbentuk sebagai seorang pelacur, hingga mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Seluruh topik yang ada dalam novel ini pada hakikatnya adalah tentang isu-isu ketidakadilan jender. Topik-topik tersebut adalah: 1) Kekerasan terhadap anak Hal tersebut dilukiskan dalam penuturan Firdaus tentang masa kecilnya. Ketika ia mendeskripsikan ayahnya, ibunya, pamannya dan bibinya. Budaya patriarki yang masih mengakar dalam komunitas masyarakat Mesir (di mana kisah ini diangkat) menjadikan kehidupan dalam rumah tangga sangat bergantung kepada "aturan bapak". Bapak atau kepala keluarga di sini digambarkan sebagai sosok yang memiliki kekuasaan dan otoritas penuh. Segala kehendaknya adalah perintah yang harus ditaati, segala kebutuhannya adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan, seolah terkesan bahwa ia tidak pernah salah, meskipun sebenarnya ia salah. Kekerasan yang pertama kali digambarkan dalam novel ini adalah ketika Firdaus kecil hidup bersama orang tuanya. Ayahnya hanyalah seorang petani miskin yang tidak berpendidikan, yang berniat menukar anak gadisnya dengan mas kawin
211
Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 29, 33-34. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Topic 213 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Gender_inequality dan http://www.peerpapers.com/ essays/Gender-Inequality/76888.html?read_essay 212
94
jika
telah tiba
saatnya
ia
memperbudaknya tiap malam.
menikah dan sering
memukuli istrinya
serta
214
Kemiskinan menyebabkan Firdaus dan keluarganya hidup serba kekurangan. Gubuk mereka kecil, tidak ada kamar tidur yang nyaman, kecuali lantai beralaskan tikar jerami, atau dekat ruangan tungku jika di musim dingin. Namun kenyamanan ayahnya adalah yang paling utama. Jika Firdaus dan saudara-saudaranya telah terlelap terlebih dahulu sebelum ayahnya di musim dingin, maka ayahnya akan menarik tikar jerami itu beserta bantalnya, lalu mencari kehangatan di bilik kecil dan di sudut ruangan tungku. Sementara Firdaus dan saudara-saudaranya dibiarkan menggigil kedinginan, atau menderita penyakit mencret di musim panas. Mereka dibiarkan merana, hingga akhirnya mati satu persatu seperti anak ayam.215 Kondisi ekonomi yang tidak berkecukupan membuat Firdaus dan keluarganya sering menahan rasa lapar dan dahaga. Tidak demikian dengan ayahnya. Ayahnya tidak akan pernah tidur tanpa makan malam terlebih dahulu, sementara anggota keluarganya harus tidur dengan perut kosong, atau menunggunya selesai makan dan memakan sisa-sisa makanannya bersama-sama. Sang ayah tidak pernah peduli apakah anak-anaknya kenyang atau tidak, yang ada dalam fikirannya hanyalah isi perutnya. Hal ini digambarkan dengan bagaimana ketika Firdaus memberanikan diri mengulurkan tangannya di saat ayahnya makan, namun yang ada hanyalah pukulan keras yang ia peroleh dari ayahnya.216 Ayahnya juga tidak pernah memberinya uang sepeser pun. Jika Firdaus memintanya, maka ayahnya akan marah dengan memukul tangan dan pundaknya sambil menghardik atau menyuruhnya untuk membersihkan kotoran ternak dan menggiring keledai ke ladang terlebih dahulu.217 Perlakuan ayah dan sikapnya yang demikian membuat sebuah pertanyaan menggelitik dalam benak Firdaus yang ia sampaikan kepada ibunya, tentang siapa sebenarnya ayahnya, dan mengapa ibunya melahirkan dia tanpa seorang ayah. Ibunya 214
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 16. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 22-23. 216 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 23. 217 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 73.
215
95
kemudian memukulnya, dan membawa seorang wanita untuk memotong secuil daging di antara kedua paha Firdaus dengan sebilah pisau kecil. Peristiwa itu membuat Firdaus menangis semalam suntuk.218 Pemotongan “secuil daging di antara kedua belah paha” ini dapat kita fahami sebagai
proses
khitan,
penyunatan
atau
juga
disebut
sebagai
perusakan
kelamin dengan sengaja, yang lazim dilakukan di Mesir. Menurut hasil penyelidikan kesehatan masyarakat, Demographic Health Survey tahun 2005, sekitar 95% perempuan berusia 15 tahun ke atas disunat. Sunat perempuan yang dilakukan baik oleh muslim ataupun penduduk Kristen di Mesir dengan menggores atau memotong sebagian klitoris. Hal ini menurut mereka perlu dilakukan untuk mengendalikan nafsu birahi perempuan, agar kelak tidak menjadi liar dan menjadi penggoda kaum lakilaki, sehingga stabilitas masyarakat terancam.219 Penyunatan yang dilakukan terhadap anak perempuan itu pada realitasnya tidak seluruhnya berhasil, dalam beberapa kasus hal ini justru membahayakan anakanak perempuan karena dapat menimbulkan kematian. Seperti kasus Karima, 13 tahun, meninggal di klinik akibat dosis obat bius yang berlebihan. Hal yang sama juga terjadi atas anak perempuan lainnya yang berusia 11 dan 12 tahun. Selain Mesir, Sudan, Etiopia, Eritrea dan Somalia juga memiliki tradisi yang sama. UNICEF pada tahun 2005 melaporkan bahwa 97 persen dari wanita Mesir usia antara 15-49 tahun telah dikhitan. Meski di Mesir sendiri sebetulnya telah ada pelarangan melakukan khitan dari pemerintah, namun tetap saja masyarakat Mesir memegang kuat tradisi ini. Namun setelah kasus kematian beberapa anak yang dikhitan tersebut, pada tahun 2007 Mufti Mesir mengumumkan bahwa melakukan khitan hukumnya haram.220 Kekerasan yang diperoleh Firdaus dari ibunya bukanlah hal yang jarang. Setiap pagi, sebelum matahari muncul, ibunya membangunkan dia dengan cara menyentuh bahu Firdaus dengan kepalan tangannya hingga Firdaus terbangun untuk 218
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 17. Lihat: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20070814201117 220 Lihat: http://infosyiah.wordpress.com/2007/06/27/mufti-mesir-khitan-bagi-anakperempuan -hukumnya-haram/ 219
96
kemudian segera melaksanakan rutinitas sehari-hari: mengangkat kendi tembikar dan pergi untuk mengisinya dengan air; menyapu kandang ternak; dan membuat jajaran gumpalan kotoran hewan untuk dijemur. Atau pada saatnya membakar roti, Firdaus akan membuat adonan tepung untuk membuat roti.221 Ketika Firdaus masih kecil, ibunya selalu membasuh kaki ayahnya dengan air yang ada di dalam mangkuk yang diletakkan di tangannya. Saat Firdaus beranjak remaja, hal tersebut menjadi tugasnya. Namun yang ia rasakan adalah perubahan telah terjadi pada ibunya, sehingga dalam fikirannya ibunya sudah tak ada lagi. Apalagi ketika ibunya kembali melakukan kekerasan terhadapnya dengan memukul tangannya dan mengambil mangkuk yang sedang dipegang Firdaus saat membasuh kaki ayahnya.222 Apa yang dialami oleh Firdaus menggambarkan realitas yang sering terjadi di masyarakat. Di Indonesia sendiri, kekerasan terhadap anak masih terus berlangsung sampai saat ini. Bahkan menurut data Komnas Peradilan Anak, tahun 2008 kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan ibu kandung mencapai 9,27 persen atau sebanyak 19 kasus dari 205 kasus yang ada. Sedangkan kekerasan yang dilakukan ayah kandung 5,85 persen atau sebanyak 12 kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98 persen), ayah tiri (2 kasus atau 0,98 persen).223 Ini artinya, bahwa sebagian besar kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Hal ini mungkin karena orang tua yang bersangkutan masih mempercayai paradigma lama, bahwa mendidik anak dengan cara keras adalah wajar dan sah-sah saja. 224 Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau
221
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 18. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 22. 223 Lihat: http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=70: kekerasan-terhadap-anak . 224 Seperti ungkapan ketua Komnas PA, Seto Mulyadi dalam http://www.menegpp.go.id/ index .php?option=com_content&view=article&id=70: kekerasan-terhadap-anak. 222
97
mental.225 Karena yang dianggap anak dalam hal ini adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, maka kekerasan terhadap anak berarti kekerasan yang dilakukan terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang mengakibatkan gangguan fisik atau mental.
Seorang psikiater internasional, Terry E. Lawson (dalam harian-
pikiran.rakyat.com, 2006), ketika merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak ia menyebutkan ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. 226 Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebon, dan seterusnya.227 Ketika ayah dan ibunya meninggal, Firdaus tinggal bersama pamannya. Pamannya adalah sosok yang dia senangi, karena menurutnya, pamannya itu berbeda sekali dengan ayah dan ibunya yang sering menghukumnya. Sebaliknya, pamannya sangat menyayanginya, mau mengajarinya berbagai hal karena ia adalah seorang mahasiswa al-Azhar, Cairo, dan juga sering memberinya uang tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya. Namun ketika pamannya telah berumah tangga dan Firdaus hidup bersama mereka, Firdaus harus melakukan pekerjaan menyapu, mengepel lantai, mencuci pakaian dan mencuci piring setiap hari sepulang sekolah. Keadaan ini menggambarkan kekerasan terhadap Firdaus yang masih remaja, karena istri 225
Indra Sugiarno, Aspek Klinis Kekerasan pada Anak dan Upaya Pencegahannya, Lihat: http://www.lcki.org/images/seminar_anak/Tatalaksana.pdf 226 Lihat: http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/27/bentuk-bentuk-kekerasan-anakchild-abuse/ 227 Lihat: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Unicef, Indonesia.
98
pamannya tidak melakukan tugas apa pun kecuali memasak dan meletakkan piranti kotor untuk dicuci dan dibersihkan oleh Firdaus. Suatu ketika, pamannya mendatangkan seorang pembantu baru yang ditempatkan di kamar tidur Firdaus. Tempat tidur di kamar itu kecil dan hanya cukup untuk satu orang. Maka pembantu itu tidur di lantai. Pada suatu malam yang dingin, Firdaus mengajaknya tidur bersamanya di atas tempat tidur, namun ketika istri pamannya melihat mereka berdua, dengan seketika ia memukuli pembantu itu, dan juga memukuli Firdaus.228
2) Kekerasan dalam rumah tangga Masalah kedua adalah kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat Mesir mayoritas beragama Islam. Tafsir-tafsir al-Qur`an dan Hadits sebagai sumber hukum diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena Mesir bukanlah negara sekuler. Namun seringkali sumber hukum ini disalahgunakan oleh kalangan konservatif untuk melegitimasi kepentingan mereka, terutama karena pengaruh budaya patriarki yang menomorsatukan laki-laki dan memposisikannya di atas perempuan. Dalam ajaran Islam misalnya, ada ayat tentang kepemimpinan laki-laki/suami, atau hadits Rasulullah yang menjelaskan hukuman bagi seorang istri yang menolak berhubungan seksual dengan suaminya,229 atau juga hadits yang mewajibkan ketaatan istri kepada suaminya dengan menganalogikan situasi jika saja manusia boleh sujud kepada selain Allah, maka suamilah yang paling tepat untuk menempati posisi itu.230 Itulah sebabnya dalam adat-istiadat masyarakat Jawa misalnya, ketika terjadi pernikahan, maka ketaatan istri kepada suami disimbolkan dengan mencuci telapak kaki suaminya yang telah kotor akibat menginjak telur.231
228
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 29. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan disepakati oleh Bukhari dan Muslim: “ ” 229
230
H.R. Tirmidzi dari Abu Hurairah: “ ”, hadits hasan. 231 Baca tradisi Wiji Dadi di: Panggih Temanten dalam Upacara Adat Jawa-Islam di Ponorogo (http://nuruliman1972.blogspot.com/2009/04/panggih-temanten-dalam-perkawinan-adat.
99
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.232 Kasus kekerasan dalam rumah tangga memang sudah menjadi cerita yang tak berujung di seluruh dunia hingga saat ini. Jika kita bandingkan dengan kasus KDRT yang terjadi di Indonesia sendiri misalnya, di tahun 2008 (hingga 22 Desember) menurut informasi dari Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre, jumlah perempuan yang telah diberikan bantuan dan layanan pendampingan serta pengaduan hotline sebanyak 275 perempuan dan anak yang mengalami 279 kasus kekerasan. Jumlah ini belum termasuk mereka yang melanjutkan kasusnya dari tahun sebelumnya. Mereka mengakses layanan Mitra Perempuan di 3 wilayah yakni 63,64% di Jakarta, 14,18% di Bogor dan 22,18% di Tangerang. Statistik mencatat bahwa 82,02% dari 279 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dari beragam usia tersebut merupakan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pelakunya meliputi suami (76,98%), orangtua, saudara dan anak. Juga tercatat bahwa 6,12% dilakukan oleh mantan suami.233 Pada tanggal 7 Maret 2009, Depkominfo memberi pernyataan bahwa Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan yang ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun sejak 2001. Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat (213 persen) menjadi 54.425 kasus dibandingkan 2007 (25.522 kasus KTP). Kenaikan jumlah kasus tersebut diperkirakan terjadi karena meningkatnya kemudahan akses ke data
html) ; Rangkaian Upacara Pengantin Adat Jawa (http://nuragni29.multiply.com/photos/album/47 /PANGGIH_-_rangkaian_upacara_pengantin_adat_Jawa) dan Penghormatan Alam Semesta dalam Puncak Ritual Pengantin Baru (http://www.oneearthmedia.net/ind/?p=306) 232 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab I, Pasal I, ayat I. 233 Lihat: http://www.perempuan.or.id/?q=content/tahun-2008-statistik-kekerasan-dalamrumah-tangga .
100
Pengadilan Agama sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan.234 Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang diangkat dalam novel ini adalah kekerasan yang terjadi pada ibu Firdaus dan dirinya sendiri. Ibu Firdaus digambarkan sebagai seorang istri yang sangat taat pada suami. Apapun akan ia lakukan demi kesenangan suami meski hal itu menyengsarakan diri dan anak-anaknya. Suaminya seringkali memukuli atau melakukan suatu tindak kekerasan terhadap dirinya jika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Hal itu kemudian menumbuhkan sebuah image dalam pikiran Firdaus, bahwa seorang suami pasti akan melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya. Satu contoh, ketika saudara-saudara Firdaus meninggal satu persatu, jika yang meninggal anak perempuan maka ayah Firdaus akan memukuli istrinya.235 Kisah ini sekaligus menggambarkan bahwa keberadaan anak perempuan masih kurang diperhitungkan dalam kultur mereka, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Arab -khususnya- dan masyarakat dunia pra-Islam.236 Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga Firdaus lebih kompleks lagi. Firdaus yang dipaksa menikah oleh pamannya ketika ia masih berusia 19 tahun dengan Syekh Mahmoud yang sudah berusia 61 tahun merasa sangat tersiksa, meskipun Syekh Mahmoud adalah seorang yang kaya. Awalnya Syekh Mahmoud tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Firdaus, kecuali hanya membatasi kebebasan
Firdaus
dalam
menggunakan
fasilitas
rumah
tangga.
Firdaus
menggambarkan sifat "pelit" suaminya ini dengan kebiasaannya melarang Firdaus menyisakan makanan di piring, menumpahkan beberapa butir bubuk sabun di lantai meski tanpa unsur kesengajaan, menggunakan bahan makanan untuk dimasak secara 234
Lihat: http://www.depkominfo.go.id/2009/03/07/jumlah-kekerasan-terhadap-perempuansetiap-tahun-meningkat/ 235 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 23. 236 Baca kembali masalah tradisi mengubur hidup-hidup bayi perempuan pada masa jahiliyah di antaranya: Aftab Ahmad Khan, Alqur`an Tentang Hak-hak Perempuan?, artikel yang ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews), 10 April 2009. Artikel ini dapat dilihat di: http://www.commongroundnews.org/article.php?id=25272&lan=ba&sid=1&sp=1&isNew=0
101
berlebihan, bahkan kebiasaannya memeriksa tempat sampah sebelum diangkut oleh tukangnya. Suatu ketika ia menemukan sisa makanan, ia pun berteriak-teriak dengan begitu kerasnya sehingga para tetangga dapat mendengar. Sejak saat itu, ia mempunyai kebiasaan untuk memukuli Firdaus, baik secara beralasan ataupun tidak.237 Kebiasaan Syekh Mahmoud memukuli Firdaus semakin menjadi-jadi. Suatu ketika, ia memukuli seluruh badan Firdaus dengan sepatu, hingga muka dan badannya menjadi bengkak dan memar. Kejadian itu membuat Firdaus melarikan diri ke rumah pamannya. Namun apa yang ia peroleh bukanlah sebuah perlindungan, tetapi sebuah nasihat dengan menggunakan legitimasi hukum agama bahwa setiap suami pasti memukuli istrinya sebagaimana hal itu juga ia lakukan terhadap istrinya.238 Peristiwa pemukulan yang dialami Firdaus dan ibunya dengan menggunakan legitimasi agama seharusnya tidak pernah terjadi. Karena hal ini jelas sangat merugikan bagi agama Islam sendiri, yang sejatinya datang untuk memberikan pencerahan dalam kehidupan manusia. Dan keadaan ini jelas akan memberikan pandangan buruk tentang Islam di mata orang-orang non-muslim. Pada dataran inilah tugas feminis muslim untuk mendorong masyarakat agar dapat membedakan ajaran Islam dari tradisi budaya yang secara historis dipraktikkan di wilayah muslim.
Selain
itu
feminis
muslim
juga
memiliki
tantangan
untuk
menginterpretasikan kembali ayat-ayat dalam Qur’an –terutama mengingat konteks masa kini- yang telah disalahartikan atau terlalu digeneralisir. Sekedar contoh, ada kecondongan untuk memprioritaskan perhatian pada beberapa ayat Qur’an yang memberikan otoritas bagi pria terhadap perempuan dalam struktur keluarga tetapi mengacuhkan banyak ayat lain yang menekankan kesetaraan antara keduanya.239 Feminisme Islam mendorong perempuan untuk mempelajari sendiri ayat-ayat Qur’an, dan 237
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 51. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 51. 239 Lihat: Q.S. 4: 34, Q.S. 4: 1 dan Q. S. 4: 7. 238
102
menilai apakah misogini dan kegagalan untuk menghargai perempuan di beberapa budaya disebabkan oleh ajaran Islam atau justru disebabkan oleh diterapkannya budaya atas ajaran itu. Dengan demikian, feminisme Islam memberikan landasan untuk mengubah hukum sipil dan nasional dengan cara-cara yang terbukti progresif bagi perempuan.240 Akhir dari kisah pernikahan Firdaus dengan Syekh Mahmoud adalah ketika Firdaus melarikan diri dari rumah suaminya setelah ia dipukul dengan tongkat, dan mengakibatkan darah keluar dari hidung dan telinganya.241
3) Perdagangan perempuan (trafficking) Pernikahan paksa yang dialami oleh Firdaus tak bedanya dengan masalah perdagangan perempuan (trafficking). Hal tersebut karena motif dari pernikahan ini semata-mata agar paman dan bibinya memperoleh keuntungan. Sebut saja bahwa pernikahan ini tiada lain adalah untuk menukar diri Firdaus yang masih sangat belia dengan uang 100 pound dari seorang kaya yang telah renta.242 Dalam protokol PBB disebutkan bahwa pengertian trafficking ialah: Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak, adalah: Pertama, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual. Kedua, kerja atau pelayanan paksa. Ketiga, perbudakan atau
240
Baca: Amal Mohammed al-Malki, Perempuan Muslim dan Hak-hak Relijius Mereka, artikel yang ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews), 3 April 2009, dapat dilihat di: http://www.commongroundnews.org/article.php?id=25176&lan=ba&sid=1&sp=1&isNew=0 241 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 53. 242 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 42-44.
103
praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan. Keempat, penghambaan. Kelima, pengambilan organ-organ tubuh.243 Dalam Laporan Trafficking Manusia (TIP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat tahun 2005, ada 14 negara yang dianggap tidak berupaya untuk memberantas traficking (TIER 3), diantaranya: Bolivia, Ekuador, Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait dan Sudan; 27 negara dalam pengawasan ketat AS soal perdagangan manusia (TIER 2 Watch List). Negara-negara dalam kategori ini tidak berhasil mencegah dan memberantas trafficking namun melakukan usaha yang signifikan untuk menguranginya walaupun jumlah korban trafficking di Negara tersebut sangat signifikan atau meningkat secara signifikan. Negara-negara tersebut antara lain: Armenia, Republik Dominika, Meksiko dan Gambia; kelompok negaranegara yang pemerintahnya dinilai masih gagal mencegah dan memberantas traficking tetapi melakukan usaha yang signifikan untuk menghapuskan trafficking (TIER 2) sebanyak 76 negara, termasuk di dalamnya Mesir dan Indonesia; Sementara negara-negara yang dinilai telah berhasil mencegah dan memberantas trafficking (TIER 1) ada 24 negara, seperti: Australia, Polandia, Austria, Nepal, Maroko, Belanda dan Inggris. Dan menurut hasil penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) tahun 2004, negara-negara di Asia Tenggara yang memiliki GDP per kapita tahun 2002 antara US$1.000-10.000 berperan sebagai pengirim. Negara-negara tersebut adalah Filipina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Sementara negara-negara yang relatif lebih kaya di Asia Tenggara seperti Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia berperan sebagai tempat transit maupun pasar penerima anak-anak yang diperdagangkan. 244 243
Lihat: The Annotated Guide to the Complete UN Trafificking Protocol, Ann Jordan, International Human Rights Law Group, Washington, DC, May 2002. Lihat pula definisi trafficking lainnya di: Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP; Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 5, (Jakarta: ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2005, Cet. Ke-1, hal. 6-7. Atau dapat dilihat di: http://www.elsam.or.id/pdf/05.perdagangan manusia RKUHP.pdf 244 Lihat: Perdagangan Anak: Kemiskinan Jadi Faktor Pendorong, Media Indonesia, Edisi Sabtu, 20 Agustus 2005. Atau lihat di: http://www.mail-archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups. com/msg03974.html
104
Data statistik di atas menunjukkan bahwa ‘kemiskinan’ memang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya trafficking atau perdagangan manusia (khususnya anak dan perempuan). Dan sebagai konsekuensinya, kasus perdagangan manusia (anak dan perempuan) ini selamanya tidak akan berhasil diberantas, selama kemiskinan masih meraja lela dalam masyarakat dunia. Kasus Firdaus merupakan salah satu bukti penjelasan ini, di mana pada saat itu ia tinggal bersama paman dan istrinya, yang notabene bukan termasuk keluarga kaya. Sebagaimana pula terungkap baru-baru ini dalam penelitian al-Markaz al-Mishri li Huquq al-Mar’ah (Pusat HakHak Perempuan Mesir) bahwa perempuan Mesir memang menderita dalam banyak cara. Pernikahan kadang kala dipaksakan oleh para ayah pada anak-anak perempuan dari keluarga amat miskin agar “beban ekonomi” mereka bisa berkurang.245 4) Pelecehan seksual Masalah lain yang paling menonjol dalam novel ini adalah mengenai pelecehan-pelecehan seksual yang dialami Firdaus. Di sini digambarkan bahwa hampir dalam setiap fase kehidupannya, Firdaus selalu mengalami pelecehan seksual, baik keadaan itu ia nikmati atau pun tidak. Dan hal inilah yang menyebabkan ia kemudian berprofesi sebagai seorang pelacur ketika telah dewasa. Menurut penelitian dan kajian Markaz Qoumi lil Buhuts Ijtima’iyah wal Jina’iyah –semacam LSM yang bergerak di bidang kajian sosial dan kriminalitas—di Kairo pada tahun 2006, telah terjadi 20 ribu kasus perkosaan di Mesir setiap tahunnya. Ini berarti setiap satu jam kurang lebih, terjadi satu perkosaan di Mesir. Pelakunya, 90% adalah orang-orang pengangguran (di Mesir terdapat 6 jutaan pengangguran). 246
245
Lihat: Sara Khorsid, Tempat Perempuan Mesir Bisa Minta Bantuan. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews), 23 Oktober 2009. Lihat pula: http://www.commongroundnews.org/article.php?id=26612&lan=ba&sid=1&sp=1&isNew=0 246 Lihat: http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/312/heboh-tingginya-kasusperkosaan-di-mesir-20-ribu-kasus-setahun
105
Dalam Konferensi Regional Pertama di Mesir247 pada tanggal 13-14 Desember 2009 dan diikuti oleh para aktivis dari 17 negara Arab dapat terungkap bahwa sampai sebanyak 90 persen perempuan Yaman mengatakan telah dilecehkan. Di Mesir, dari 1.000 responden perempuan, 83 persen melaporkan dilecehkan. Dan sebuah kajian di Lebanon melaporkan bahwa lebih dari 30 persen perempuan mengatakan bahwa mereka telah dilecehkan. Dari data tersebut kemudian disimpulkan bahwa kasus-kasus pelecehan seksual yang tidak terkendalikan di seluruh kawasan tersebut karena undang-undang tidak menghukum pelaku, juga karena
perempuan
tidak
melaporkannya,
atau
karena
pihak
berwenang
mengabaikannya.248 Pelecehan yang dialami Firdaus menimpanya sejak ia masih kecil, bahkan untuk pertama kalinya, pelecehan tersebut dilakukan oleh teman sepermainannya, Muhammadain. Dalam novel diceritakan bahwa Firdaus kecil mengalami kenikmatan yang luar biasa saat Muhammadain, teman bermainnya mengajak ia ke sebuah teratak kecil, mengangkat galabeya249 yang dipakai Firdaus, kemudian mereka bermain-main menjadi "pengantin perempuan dan pengantin laki-laki".250 Pemerkosaan yang dilakoni oleh anak-anak memang seringkali terjadi. Sepanjang tahun 2001, di Indonesia sendiri jumlah kasus perkosaan oleh anak di bawah umur terhadap anak lainnya meningkat.251 Pada tahun 2007, di Kota Acworth, pinggiran Georgia, Amerika Serikat (AS), terjadi pemerkosaan yang dilakukan anak berusia 9 tahun dan seorang anak berumur 8 tahun terhadap anak berusia 11 tahun.252 247
Sebuah Konferensi untuk membahas hal-hal yang dulu dianggap tabu, diketuai oleh Nehad Abul Komsan, aktivis Mesir, dengan dana dari PBB dan Badan Pembangunan Swedia. Lihat: Pelecehan Membuat Perempuan Mengurung Diri, Koran Kompas, Edisi Rabu, 16 Desember 2009. 248 Lihat: http://travel.kompas.com/read/xml/2009/12/16/09004750/pelecehan.membuat. perempuan.mengurung.diri dan http://www.ictwomen.com/news/21/tahun/2009/bulan/12/tanggal/17/ id/ 2595/ 249 Galabeya: jubah longgar dan panjang hingga ke tumit, dikenakan oleh laki-laki maupun perempuan dengan perbedaan potongan, bahan serta warna. 250 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 18. 251 Lihat: Kecenderungan Pemberitaan 2001, http://www.lbh-apik.or.id/anl-2001.htm 252 Lihat: http://www.detiknews.com/read/2007/11/20/122606/854913/10/3-bocah-perkosaanak-perempuan
106
Dari kasus-kasus yang terjadi, kebanyakan pelaku mengaku bahwa mereka melakukan hal itu karena terangsang setelah menyaksikan adegan-adegan dalam video porno. Dalam hal ini, peran dan pengawasan orang tua, juga orang-orang dewasa di lingkungan sekitar tentu sangat diperlukan.
Orang kedua yang melakukan pelecehan terhadap Firdaus adalah pamannya sendiri. Ketika membuat adonan roti, Firdaus melakukannya sambil berjongkok di lantai, dengan palung dijepit di antara kedua pahanya. Galabeya yang dipakainya, acap kali menggelosor sehingga pahanya terbuka. Keadaan tersebut merangsang birahi pamannya yang sedang membaca sebuah buku di dekatnya. Hingga ketika Firdaus tersadar, tangan pamannya tengah meraba kakinya sampai ke atas paha. Satu hal yang Firdaus rasakan ketika itu bahwa pamannya sedang melakukan sesuatu seperti yang dilakukan Muhammadain, bahkan lebih dari itu.253 Perkosaan dan pelecehan seksual yang terjadi terhadap anak di bawah umur memang pada umumnya dilakoni oleh orang-orang terdekat. Bahkan terkadang oleh mereka yang pernah mengajari sang korban tentang etika dan moral, baik dalam agama maupun masyarakat. Satu contoh pula seperti apa yang terjadi pada Firdaus. Firdaus menggambarkan sosok pamannya sebagai seorang terpelajar dan faham agama. Pernah suatu ketika ia dan pamannya menonton film di bioskop, saat melihat adegan yang tak senonoh, Firdaus menyembunyikan mukanya di balik tangan dan ia tidak berani memandang pamannya. Pamannya menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pemain film itu adalah suatu dosa. Akan tetapi, ketika ia sampai di rumah, pamannya justru kembali melakukan pelecehan seksual terhadapnya. 254 Kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur biasanya terjadi karena motifmotif tertentu. Bisa karena harta warisan, kebencian yang turun temurun antar keluarga karena suatu persoalan, dan lain-lain. Berdasarkan informasi dari Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan di wilayah Sumatera Barat, pada tahun 2008 pernah 253 254
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 18. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 26-27.
107
terjadi kasus perkosaan anak di bawah umur yang dilakukan oleh pamannya sendiri. Sang anak bukan hanya diperkosa, tetapi juga mengalami penyiksaan hingga dikubur hidup-hidup, perlakuan kasar hingga menjadi korban trafficking. Setelah diusut, ternyata motif pelaku tak lain hanyalah harta warisan.255 Pelecehan seksual yang dilakukan paman terhadap Firdaus jelas sangat bertentangan dengan identitas paman sebagai seorang mahasiswa al-Azhar yang faham agama. Apalagi paman sering mengajari Firdaus banyak hal. Seperti peristiwa di bioskop dan di rumah yang diceritakan Firdaus. Cerita tersebut secara tidak langsung menyiratkan konsep hypocrisy dalam novel ini.256 Pernikahan Firdaus dengan Syekh Mahmoud melahirkan penderitaan yang amat menyiksa. KDRT yang dialami Firdaus terjadi berulang kali, sehingga Firdaus memutuskan untuk kabur dari suaminya.257 Dari sini dimulailah penderitaanpenderitaan baru bagi Firdaus. Hampir setiap laki-laki yang berjumpa dengannya menganggapnya sebagai pelacur dan melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Ketika ia kabur dari rumahnya, ia berjumpa seorang laki-laki bernama Bayoumi, yang menolongnya ketika melihat Firdaus kelaparan di jalanan. Pada awalnya, Bayoumi memperlakukan Firdaus dengan sangat baik, ia menjanjikan kepada Firdaus bahwa ia akan mencarikan pekerjaan yang layak baginya, sesuai dengan ijazah yang dimiliki oleh Firdaus, yaitu ijazah sekolah menengah. Bahkan ia pun lebih memilih tidur di lantai, dari pada harus berdua dengan Firdaus di atas tempat tidurnya yang kecil. Firdaus menolak tidur di tempat tidur Bayoumi, ia mengusulkan agar ia saja yang tidur di lantai. Bayoumi pun tidak membiarkan itu terjadi, ia langsung menyentuh tangan Firdaus dan menggiringnya ke tempat tidur, namun kemudian ia pun menidurinya.258 Tinggal bersama Bayoumi untuk waktu yang lama menggelisahkan jiwa Firdaus, sehingga ia memutuskan untuk mencari tempat lain dan menyampaikan 255
Lihat: http://imoe.wordpress.com/2008/12/15/biadab/ Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Hypocrisy 257 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 49-53. 258 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 55-56.
256
108
usulan tersebut kepada Bayoumi. Bayoumi marah, maka ia pun melakukan kekerasan terhadap Firdaus dan menidurinya setiap malam secara kasar. Suatu malam, dengan kepasrahan Firdaus membiarkan tubuhnya disentuh dan digerayangi seperti biasanya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda yang ia rasakan, sampai akhirnya ia tersadar bahwa yang menidurinya bukanlah Bayoumi, tetapi teman-temannya. Mereka tidak sekedar melakukan pelecehan seksual terhadap Firdaus, tetapi juga mengejek Firdaus sambil menghina ibunya dan mengatakan bahwa Firdaus adalah perempuan jalang.259 Kenyataan hidup yang demikian pahitnya membuat jiwa Firdaus terpuruk dalam luka yang teramat dalam serta frustasi untuk tetap bertahan hidup. Setelah berhasil melarikan diri dari rumah Bayoumi, Firdaus merasa bahwa jalanan adalah tempat yang paling aman. Namun ia kemudian bertemu dengan Sharifa, seseorang yang telah membuatnya terjebak di dalam jurang yang teramat dalam. Firdaus disulapnya menjadi seorang pelacur kelas atas. Beberapa waktu Firdaus bertahan di sana, hingga akhirnya terjadi suatu peristiwa yang membuat ia melarikan diri dari tempat itu. Dan ketika ia meninggalkan tempat prostitusi tersebut, hari telah malam. Melihat Firdaus berjalan sendirian, seorang petugas polisi menghampirinya. Sambil memegang tangan Firdaus, ia bertanya maksud perjalanan Firdaus. Firdaus menarik tangannya sambil mengatakan bahwa ia sudah tidak percaya lagi dengan laki-laki. Namun petugas polisi itu memaksa Firdaus untuk memenuhi keinginannya dan mengancamnya akan membawa Firdaus ke kantor polisi jika ia menolak. Firdaus pun setuju, dan pelecehan seksual pun terjadi lagi padanya. Awalnya Firdaus menantang petugas polisi itu agar membayarnya dengan tarif yang tinggi. Akan tetapi setelah kejadian itu, petugas polisi tersebut malah meninggalkannya tanpa memberinya uang seperak pun.260 Pelecehan demi pelecehan terus terjadi pada diri Firdaus. Lepas dari satu lakilaki, ia berpindah ke tangan laki-laki lain, ibarat lepas dari buaya dan masuk ke mulut singa. Firdaus pernah jatuh cinta dengan seorang laki-laki bernama Ibrahim dan 259 260
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 58. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 70-71.
109
menyerahkan tubuhnya dengan sepenuh hati kepadanya tanpa mengharapkan imbalan apa pun, namun hanya perasaan kecewa yang ia dapati pada akhirnya, setelah mengetahui bahwa Ibrahim telah bertunangan dengan seorang anak Presiden Direktur di perusahaan tempat mereka bekerja. Beberapa tahun kemudian, Firdaus berjumpa lagi dengan Ibrahim setelah ia menikah. Mengingat perasaan cintanya yang pernah ada terhadap Ibrahim, Firdaus pun menerima ajakan Ibrahim untuk tidur bersama. Awalnya Firdaus membiarkan Ibrahim melakukannya secara "gratis" begitu saja, tetapi kemudian ia meminta Ibrahim membayarnya dengan harga yang tinggi. Ibrahim pun menyetujuinya, dan sejak saat itu ia tidak pernah lagi kembali kepada Firdaus untuk selamanya. Firdaus pun menyadari, bahwa apa yang dilakukan Ibrahim semata-mata hanya untuk memenuhi hasrat seksualnya saja dan untuk melecehkan harga diri Firdaus dengan tidak membayarnya.261 Ketika Firdaus memutuskan untuk kembali ke dunia pelacuran, ia tidak ingin menjalaninya setengah-setengah. Tetapi secara total, sehingga ia bisa memperoleh kekayaan yang berlimpah dan dipandang orang sebagai wanita terhormat. Seorang germo yang mencium kesuksesan Firdaus melacur, mendatangi Firdaus dan mengajaknya untuk bergabung. Menurut
germo itu, Firdaus membutuhkan
perlindungan. Germo tersebut bernama Marzouk. Firdaus menolak, tetapi kekuatan yang dimiliki germo itu telah mengalahkan dirinya. Relasinya di kepolisian mau pun di pengadilan ketika harus menghadapi kasus penangkapan, membuat Firdaus tidak berdaya dan setuju untuk bergabung dengannya. Tetapi lagi-lagi germo itu pun melakukan pelecehan terhadapnya, hingga berujung pada kematiannya sendiri, saat Firdaus sudah kehilangan kendali dan berani membunuhnya.262
5) Kasus penipuan dan eksploitasi tenaga kerja Permasalahan lain yang dapat dijumpai dalam novel ini adalah kasus penipuan dan eksploitasi tenaga kerja. Pada umumnya, seorang pelacur akan memperoleh 261 262
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 98. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 102-106.
110
bayaran dari laki-laki yang menidurinya dan ia harus memberikan sebagiannya kepada germo. Saat Firdaus memulai profesinya sebagai pelacur di bawah asuhan Sharifa, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu menghasilkan uang, padahal ia tak pernah berhenti menerima tamu di kamarnya siang malam. Sharifa memang memberikan tempat dan kamar yang paling nyaman baginya, memberikan berbagai fasilitas yang berharga, tetapi tak sepeser pun uang yang dibayarkan oleh para pelanggan kepadanya disisakan untuk Firdaus. Firdaus baru mengetahuinya setelah Fawzi menjelaskan hal itu kepadanya.263
6) Emansipasi perempuan Sebagai novel feminis, masalah emansipasi perempuan jelas dimunculkan di dalamnya. Sebagaimana tercermin dalam pembunuhan yang dilakukan oleh Firdaus untuk membela harga dirinya dan sebagai simbol kekuatan, yaitu keberaniannya memilih hukuman mati sebagai konsekuensi. Bagi Firdaus, kematian dan kebenaran adalah sama, di mana seseorang membutuhkan keberanian untuk menghadapi keduanya. Pembunuhan yang ia lakukan menurutnya adalah suatu kebenaran yang menakutkan para lelaki. Dan kebenaran yang menakutkan ini pula yang mencegah Firdaus dari rasa takut kepada kekurangajaran para penguasa dan para petugas kepolisian.264
b. Tema Selain dalam topik-topik yang telah disebutkan di atas, prasangka jender dan emansipasi perempuan juga dapat dijabarkan dalam tema. Tema–tema tersebut tersebar pada berbagai peristiwa dengan fokus masalah tertentu. Keseluruhan tema disampaikan secara implisit oleh tokoh cerita. Dalam sebuah novel, tema merupakan pesan, ide atau pun gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Untuk itulah terdapat tema pokok, 263 264
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 66. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 111-112.
111
yaitu tema yang menjadi gagasan dan ide utama pengarang dalam sebuah novel, dan tema-tema tambahan, yang merupakan makna-makna tambahan untuk mendukung ide utama novel. Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis terhadap novel IINS ini, maka penulis beranggapan bahwa tema pokok yang terdapat di dalamnya adalah "penderitaan hidup seorang perempuan di tengah budaya patriarki". Hal tersebut dapat kita lihat dari sepanjang alur cerita yang disampaikan oleh pengarang. Cerita yang disampaikan dengan alur kilas balik (flash-back) ini menjelaskan hukuman mati yang harus dijalani oleh Firdaus, sang tokoh utama dalam novel ini, sebagai akibat dari pembunuhan yang ia lakukan. Hukuman mati dan pembunuhan menjadi suatu kata kunci dari akhir cerita yang memilukan (sad ending) yang disampaikan di awal. Hal tersebut akan menimbulkan pertanyaan dalam benak pembaca tentang motif yang membuat sang tokoh (baca: pelaku) berani melakukannya. Titik nol, sebagaimana judul novel ini, menurut sebagian orang adalah titik awal di mana kita bermula. Karena setelah titik nol ini baru ada titik-tik yang kemudiannya, yaitu satu, dua dan seterusnya. Akan tetapi berdasarkan analisis penulis dalam novel ini, titik nol yang dimaksud di sini mengisyaratkan bahwa sang tokoh pada akhirnya sampai pada suatu titik di mana ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa, tiada lagi berdaya serta tiada lagi gairah dan semangat untuk menjalani hidup. Secara eksplisit judul ini juga mendeskripsikan suatu luka yang teramat dalam yang menimpa jiwa sang tokoh. Sepanjang hidupnya, penderitaan demi penderitaan terus dialami sang tokoh. Pada waktu kecilnya, Firdaus sering mengalami kekerasan di dalam rumah yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Ayahnya sering memukulnya, tidak pernah menyisakan makanan untuknya, membiarkannya tidur kedinginan di musim dingin, bahkan tak pernah memberinya uang seperak pun.265
265
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 16, 22-23.
112
Demikian pula ibunya, yang pernah meminta seseorang memotong secuil daging di antara kedua paha Firdaus, meninju bahunya ketika membangunkannya, atau memukulinya setiap kali Firdaus melakukan suatu kesalahan. Ibunya pun membiarkan ia kelaparan jika tak ada makanan, dan hanya memikirkan bagaimana agar ayahnya selalu bisa makan.266 Selain kekerasan dari ayah dan ibunya, penderitaan yang dialami Firdaus adalah kekerasan dalam rumah tangganya,267 pelecehan-pelecehan seksual yang menimpanya,268 belum lagi marginalisasi yang dilakukan oleh banyak orang terhadapnya. Hal ini tercermin ketika Firdaus ingin mencari pekerjaan dan membicarakannya kepada setiap orang bahwa ia memiliki ijazah sekolah menengah, tetapi setiap orang yang mendengarnya hanya bisa menertawakannya tanpa berusaha memberikan pertolongan sedikit pun.269 Subordinasi yang dialami Firdaus dapat dilihat dari sekian banyak kejadian dan peristiwa yang menimpanya. Subordinasi oleh ayahnya,270 suaminya,271 Bayoumi,272 dan Marzouk.273 Firdaus juga pernah menjadi korban ekslpoitasi tenaga kerja, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal ini terlihat ketika Sharifa menjadikannya pelacur kelas atas, dan meminta Firdaus agar melayani siapa saja tamu yang datang kepadanya setiap hari dan setiap waktu tanpa kenal lelah. Sehingga Firdaus mengatakan bahwa ia lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat tidur.274 Firdaus juga korban penipuan, karena dengan dieksploitasi tenaganya, Firdaus tidak memperoleh bagian upah sedikit pun. Bahkan ia tidak tahu sama sekali
266
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 17, 18 dan 23. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 51-52. 268 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 18, 26-27, 56, 58, 71, 72, 98, 102-105
267
dan 108. 269
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 54 dan 57. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 16, 22-23. 271 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 51-52. 272 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 56 dan 58. 273 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 102-105. 274 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 65.
270
113
mengenai transaksi yang terjadi antara pelanggannya dan Sharifa. Sharifa tidak pernah mengatakan hal itu kepadanya. Bahkan ia selalu menyimpan uangnya di suatu tempat persembunyian saat ia mendengar suara Firdaus. Firdaus baru menyadari hal ini ketika ia mendapat informasi dari Fawzi.275 Pelecehan seksual yang seringkali dialami Firdaus hingga membentuknya menjadi seorang pelacur, membuat ia sangat muak dengan laki-laki. Sehingga pada suatu ketika, saat rasa muaknya itu telah memuncak, Firdaus berani melakukan pembunuhan. Pembunuhan terhadap germonya, Marzouk, dan juga kekerasan dengan memukul seorang pangeran yang menidurinya. Pembunuhan dan kekerasan yang ia lakukan tercium oleh pihak kepolisian, hingga akhirnya Firdaus ditangkap dan divonis hukuman mati. Apa yang dilakukan Firdaus sebenarnya bukanlah karena kebengisan dan kejahatan yang sesungguhnya. Tetapi itu terjadi karena untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Pembelaan karena harga dirinya selalu diinjak-injak oleh para lelaki. Namun yang ia dapatkan dari peristiwa tersebut bukanlah akhir yang membahagiakan, tetapi malah kematian yang menyisakan perih berkepanjangan.276 Selain tema pokok di atas, novel ini juga mengandung banyak tema tambahan. Tema-tema tambahan itu antara lain:
1) “Pertentangan kelas antara laki-laki dan perempuan (dependensi struktural) dapat mengakibatkan ketimpangan jender.” Hal ini dapat dilihat dari kisah ibu Firdaus yang selalu sibuk melayani ayahnya, sementara ayahnya sering melakukan kekerasan terhadapnya.277 Begitu pula dengan kisah pernikahan Firdaus dengan Syekh Mahmoud, di mana Firdaus melakukan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan seorang pun. Padahal suaminya, Syekh Mahmoud tidak bekerja apa-apa dan hanya menghabiskan waktunya untuk 275
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 66 dan 76. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 105-106 dan 115. 277 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 21-23. 276
114
mengawasi Firdaus bekerja. Belum lagi rasa lelah hilang setelah melaksanakan pekerjaan rumah seharian dan Firdaus ingin beristirahat, Syekh Mahmoud mendekatinya dan ia pun harus melayani suaminya di tempat tidur.278
2) "Keperihan perempuan dalam kehidupan rumah tangga, seksual, hukum agama dan negara" Keperihan yang terjadi dalam rumah tangga disimbolkan dengan kekerasan yang dialami oleh Firdaus dan ibunya.279 Keperihan dari aspek seksual terlihat dari kesengsaraan Firdaus saat dipaksa menikah dengan seorang yang telah renta dan buruk rupa, sehingga ia harus mau melakukan hubungan seksual dengannya,280 juga pelecehan-pelecehan seksual yang ia alami,281 keperihan saat tindak kekerasan suaminya mendapat legalitas dari hukum agama282 dan ketika pembunuhan yang ia lakukan untuk pembelaan harga dirinya dianggap sebagai suatu kejahatan oleh negara, sehingga ia harus dieksekusi.283
3) “Perjuangan melawan hegemoni patriarki yang tradisionalis dan konservatif dapat disimbolkan dengan keberanian menghadapi kematian” Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan Firdaus kepada Nawal ketika menunggu kematiannya di penjara. Kematian yang harus ia hadapi dan pembunuhan yang telah dilakukannya merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya, karena telah dapat melawan kebiadaban laki-laki yang ia alami selama ini.284
278
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 49-53. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 21-23 dan 49-53. 280 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 49-53. 281 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 18, 26-27, 56, 58, 71, 72, 98, 102-105 dan 108.. 282 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 51. 283 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 5, 110-115. 284 Lihat pernyataan Firdaus dalam Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 111-113. 279
115
4) “Konsep monogami bagi perempuan merupakan simbol dari superioritas laki-laki yang dapat diruntuhkan dengan keberanian melakukan poliandri sebagai seorang pelacur” Tema tersebut dapat ditemukan secara implisit dari pelacuran yang dilakukan oleh Firdaus. Pelacuran Firdaus jelas haram hukumnya. Secara normatif keagamaan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan harus diikat oleh tali perkawinan. Madelain Farah mangatakan bahwa Islam regards sexuality as a natural part of human relations which must be regulated within the spiritual, ethical and a social framework of the religion.285 Pelacuran termasuk zina (fornication), dan sangat dilarang agama. Bahkan bagi pelakunya disediakan ancaman hukuman berat berupa deraan fisik sampai hukuman mati. Firdaus justru menjadikan pelacuran sebagai lahan hidupnya, tak hanya untuk mencari uang tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan. Bahkan anggapannya yang mengatakan tidak ada yang salah dengan kepelacurannya adalah pukulan telak terhadap penafsiran kitab suci. Pendapatnya itu kemudian membuat ia mengabaikan apa pun yang bernama norma masyarakat dan nilai kesucian agama.286 Pemaknaan kepelacuran firdaus adalah membalikkan segala apa yang diklaim sebagai privilege laki-laki. Poligami adalah umum dan menunjukkan superioritas seksual laki-laki. Ayat agama ditafsirkan dalam frame ideologi patriarki untuk mewadahi libido laki-laki dengan mengijinkannya berhubungan seks dengan banyak perempuan (harem, istri, budak). Sedangkan nilai monogami diterapkan secara otomatis pada perempuan ketika dia menikah. Karena janji perkawinan yang diucapkan merupakan pengakuan sosial bahwa perempuan hanya diperbolehkan melakukan
hubungan seks dengan seorang laki-laki saja, dan bereproduksi dari
proses itu. Perempuan harus setia kepada seorang lelaki, yaitu suaminya. 285
Endriani Dwi Siswanti, Perempuan di Titik Nol; Perlawanan……., hal. 29, mengutip dari Madelain Farah, "Marriage and Sexuality in Islam: A Translation of al-Ghazali's Book on the Etiquette of Marriage from the Ihya", salah satu artikel dalam Ruth Roded (ed.), "Women in Islam and the Middle East: A Reader" (London: I.B. Tauris Publishers), 1999. 286 Endriani Dwi Siswanti, Perempuan di Titik Nol; Perlawanan……., hal. 29.
116
Kewajibannya adalah menjamin bahwa anak-anak yang dilahirkannya adalah anak suaminya dan bukan anak orang lain. Hal ini untuk menjamin kesucian paternalitas pewaris
kekayaan dan garis
darah laki-laki.
Sebaliknya,
poliandri
adalah
penyimpangan dan tabu bagi perempuan. Dengan membuka praktek pelacuran bebas, Firdaus telah melakukan praktek 'poligami' atau poliandri dan meruntuhkan klaim keperkasaan laki-laki. Profesi pelacur telah memberinya kebebasan untuk memilih 'suami'.287 Dari topik-topik dan tema-tema yang telah dijabarkan di atas, maka kita dapat simpulkan bahwa prasangka jender di Mesir (pada saat novel ini dibuat) begitu kental. Kebiasaan ayah yang diceritakan oleh Firdaus, begitu pula pamannya, Syekh Mahmoud dan Bayoumi, 288 cukup menjadi contoh betapa pemisahan kelas laki-laki dan perempuan sangat jelas. Perempuan dalam kedudukannya sebagai istri harus melayani segala kebutuhan suami tanpa ada timbal balik yang adil. Suami sebagai ayah adalah ibarat
raja di tengah-tengah rakyatnya.
Kebutuhannya selalu
dinomorsatukan, sementara anak-anak dan keluarga sebagai rakyatnya tidak perlu diperhatikan. Contoh kisah ayah dan ibu Firdaus di atas sekaligus menunjukkan bahwa pembagian jender yang tegas di Mesir juga berimplikasi pada harapan-harapan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Bagi seorang laki-laki, dengan menaati perjanjian dalam undang-undang perkawinan (memenuhi kebutuhan finansial istrinya), maka dia sudah dianggap sebagai seorang suami yang baik. Sementara seorang perempuan diharapkan mencintai, menjaga, dan bertanggung jawab untuk menciptakan kondisi yang penuh kasih sayang dan kedamaian di dalam rumah tangga.289
287
Lihat: Endriani Dwi Siswanti, Perempuan di Titik Nol; Perlawanan……., hal. 29. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 23, 25, 28, 49 dan 55-56. 289 Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 30, mengutip dari Laila Nawar, Cynthia B. Llyoyd, dan Barbara Ibrahim, Women’s Authonomy in Gender Roles in Egyptian Families, dalam Carla Makhlouf Obermeyer, Family, Gender and Population in The Middle East, Policies in Context, (Kairo: AUC Press), 1995, h. 154, 155. 288
117
Tak bedanya dengan ayah Firdaus, Paman Firdaus, Syekh Mahmoud dan Bayoumi juga merupakan contoh superioritas laki-laki terhadap perempuan. Ketika Firdaus tinggal bersama pamannya, seluruh pekerjaan di rumah paman dilakukan oleh Firdaus, padahal saat itu ia masih duduk di bangku Sekolah dasar dan ia pun harus bersekolah.290 Begitu pula ketika Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud, seluruh pekerjaan rumah dilakukan oleh Firdaus sendiri, sementara suaminya hanya mengamati dan mengawasi gerak-gerik Firdaus. Bahkan sekali waktu, jika Firdaus dianggap melakukan kesalahan, Firdaus akan dipukulnya.291 Atau ketika Firdaus menumpang tinggal di rumah Bayoumi, maka Firdaus melakukan semua pekerjaan di rumah itu dan memenuhi segala kebutuhan makan Bayoumi.292 Selain ketimpangan jender sebagai implikasi dari prasangka jender dalam novel IINS, ketidakadilan jender dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban ganda juga ditunjukkan secara tersirat di dalamnya. Keinginan Firdaus untuk memperoleh pekerjaan dengan ijazah Sekolah Menengah yang tak dipedulikan oleh orang-orang yang dimintainya bantuan menunjukkan betapa kesempatan bekerja bagi perempuan sangat dibatasi. Ini berarti bahwa perempuan tidak mungkin memenuhi kebutuhannya secara mandiri, ia selalu tergantung dengan orang-orang yang ada di dekatnya, yaitu laki-laki. Sebagaimana dalam kisah Firdaus, saat masih kecil, ia tergantung kepada ayah dan pamannya, ketika telah menikah, ia tergantung dengan suaminya, dan saat meninggalkan suaminya kemudian bertemu dengan Bayoumi, ia juga tergantung kepada Bayoumi. Keadaan ini selanjutnya membuat perempuan (dalam kasus ini adalah Firdaus) menjadi miskin secara ekonomi. Ketika kesempatan bekerja itu telah ia peroleh, ia pun hanya menjadi karyawan rendahan dalam sebuah perusahaan, atau dalam profesinya sebagai pelacur, ia tetap memiliki ketergantungan kepada germonya. Kemandirian Firdaus secara finansial memang sempat ia peroleh ketika ia menjadi seorang pelacur yang sukses, 290
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 28-29. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 49-53. 292 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 55 dan 56.
291
118
tetapi itu hanya beberapa saat. Karena pada akhirnya, Firdaus pun terperangkap dalam hegemoni laki-laki, yaitu Marzouk. Bentuk subordinasi dalam novel ini juga dapat dilihat dari kisah ayah dan ibu Firdaus sebagaimana telah dikemukakan di atas. Ayah Firdaus menempati posisi atasan, dan ibunya adalah bawahan yang harus selalu menuruti apa perintah dan keinginan Sang ayah. Atau juga tentang pernikahan Firdaus dengan Syekh Mahmoud, kisah Firdaus bersama Bayoumi, dan juga Marzouk. Subordinasi yang berarti dominasi kekuasaan laki-laki di atas perempuan ini juga tampak dalam cerita Firdaus di perusahaannya. Posisi kepala sekolah, direktur perusahaan, pejabat tinggi dan kepala negara direpresentasikan dengan laki-laki. Bentuk ketidakadilan jender yang lain adalah kekerasan (violence). Sebagaimana telah disinggung di awal, bahwa kekerasan yang terjadi dan digambarkan di dalam novel IINS adalah kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Intinya, segala bentuk kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan, di samping karena kekuatan, juga muncul karena adanya kekuasaan yang diabsahkan secara hukum dalam pengertiannya yang luas. Kekuasaan dalam berbagai wilayahnya, kecil maupun besar, selain memiliki hak untuk mengatur, bertanggung
jawab,
dan
melindungi
kemaslahatan
(kepentingan)
komunitas
kekuasaannya, juga memiliki otoritas untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan terhadap warga yang berada di bawah kekuasaannya demi kepentingan umum. Dengan demikian, ketika seseorang atau lembaga, secara hukum diberi kekuasaan menjadi raja, penguasa, pemimpin, penanggung jawab, atau apa saja namanya, maka secara implisit maupun eksplisit ia memiliki hak sepenuhnya untuk menggunakan kekerasan terhadap rakyat yang dipimpinnya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti seorang ayah untuk mendisiplinkan anaknya. Dengan
119
logika seperti ini, kekerasan terhadap perempuan boleh jadi juga karena, antara lain, adanya kekuasaan laki-laki atas mereka.293 Dalam sistem keluarga, ketika laki-laki dipandang sebagai pemilik kekuasaan atas keluarganya dan secara khusus atas perempuan (istri), maka ia memiliki kekuasaan pula untuk mengatur segala hal yang ada di dalamnya, dan secara eksklusif ia juga dibenarkan untuk melakukan tindakan-tindakan represif, jika memang diperlukan untuk menjaga stabilitas “negara”-nya itu.294 Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah suatu bentuk penganiayaan (abuse) secara fisik maupun emosional/psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan berumah tangga. Hal ini berawal dari pandangan yang kurang benar dalam masyarakat tentang kedudukan suami sebagai pemimpin dan berhak memperlakukan isterinya sekehendak hatinya serta tidak berhaknya orang lain ikut campur dalam urusan pribadi suami isteri.295 Jika benar demikian, maka keadaan ini jelas sangat merugikan kaum perempuan. Oleh sebab itu, perlu dikaji kembali batasan dari kata pemimpin (Qawwâm) di sini, sehingga tidak terlewat dari jalur yang seharusnya. Begitu pula mengenai urusan pribadi. Ketika kekerasan sudah mulai muncul dalam kehidupan pasangan suami-istri, maka hal ini bukan lagi urusan pribadi pasangan, tetapi harus dibicarakan paling tidak dengan orang-orang terdekat sebagai tahap awal, bahkan harus dilaporkan kepada pihak yang berwenang, jika KDRT tersebut semakin menjadi-jadi. Antisipasi tersebut sangat diperlukan, karena KDRT merupakan suatu perilaku yang berulang, mengikuti pola yang khas. Masyarakat tidak menyadari adanya pola ini sehingga sering terjebak dalam mitos bahwa perilaku memukul terjadi karena suami “lepas kontrol.” Di samping itu, kita juga sering berpikir bahwa adanya pola yang berulang ini justru merupakan indikasi adanya gangguan jiwa pada diri 293
Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang kekerasan terhadap Perempuan, salah satu artikel dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar harga…, hal. 205-206. 294 Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang kekerasan…, hal. 207. 295 Lihat: Elli N. Hasbianto, Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi, salah satu artikel dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar harga…, hal. 191-192.
120
suami (pelaku) karena pada saat tertentu ia begitu baik dan menyayangi istrinya, tetapi ketika terjadi konflik ia berubah menjadi “monster” yang menakutkan.296 Dalam novel IINS, kekerasan yang dilakukan oleh Syekh Mahmoud terhadap Firdaus dikatakan sebagai suatu tindakan yang sewajarnya, bahkan merupakan perintah agama.297 Agama yang dijadikan alat untuk melegalkan kesewenangan suami ini belum tentu benar. Anggapan kebanyakan orang tentang peran agama dalam mengkonstruk jender semestinya perlu dikaji kembali. Karena mungkin saja terjadi kesalahan dalam penafsiran (interpretasi) di kalangan para ahli agama terhadap teks-teks agama itu sendiri. Salah satu contohnya adalah interpretasi kata nusyûz dalam Surah al-Nisa ayat 34.298 Nusyûz oleh para ahli Islam diartikan sebagai kedurhakaan dan ketidaktaatan istri terhadap suaminya. Kedurhakaan dalam arti teknis adalah ketidaktaatan istri terhadap suaminya, terutama dalam persoalan yang menyangkut hak-hak reproduksi perempuan, misalnya ketika menolak ajakan suami untuk suatu hubungan intim. Sebagaimana Hadits Rasulullah yang telah disampaikan terdahulu tentang laknat yang diberikan oleh para malaikat ketika seorang isteri menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seks. Mayoritas orang memahami hadits ini secara tekstual, tanpa mengkajinya secara substansial dan kontekstual. Apabila demikian yang terjadi, maka dapat
dipastikan
legitimasinya.
secara
teologis
pemaksaan
dan
kekerasan
mendapatkan
299
296
Lihat: Elli N. Hasbianto, Kekerasan dalam Rumah Tangga…, hal. 194. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 51. 298 Lihat kembali catatan kaki pada bab III no. 83, hal. 55. 299 Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang kekerasan…, hal. 207-208. Beberapa penafsir hadits mencoba memberikan penjelasan mengenai konteks hadits ini. Imam Muhyi al-Dîn alNawawi (631-676 H/1233-1277 M), komentator Shahîh Muslim dan Musthafa Muhammad Imârah, editor al-Jamî’ al-Shaghîr, misalnya memberikan catatan bahwa penolakan istri yang dianggap sebagai kemaksiatan dan karena itu berhak mendapat teguran atau hukum adalah bahwa apabila ada kesengajaan melakukannya atau tanpa ada alasan apa pun yang dibenarkan agama (syar’î). Secara lebih terperinci Wahbah al-Zuhaily mengemukakan bahwa cap nusyûz terhadap seorang istri untuk relasi seksual itu adalah ketika ia tidak disibukkan oleh berbagai urusan yang menjadi kewajibannya, atau ketika ia tidak dibayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan suaminya. Sementara Muhammad Ali al-Syaukani (1172-1250 H/1759-1824 M) dalam penjelasannya mengenai hadits ini mengatakan bahwa jika si suami bertindak zhalim terhadap istrinya, maka penolakan tersebut bukanlah 297
121
Bicara tentang ‘pemukulan’, satu wajah kekerasan fisik yang dalam ayat di atas mendapat pengesahan untuk dilakukan oleh suami sebagai tahap akhir dari upaya sang pemimpin mengembalikan stabilitas rumah tangganya, para ahli Islam sepakat bahwa ia tidak boleh sampai melukai atau yang dapat membahayakan tubuhnya, tidak pada wajah atau kepala. Mereka juga sepakat bahwa yang terbaik adalah tidak menggunakan kekuasaannya itu. Rasulullah saw., di samping tidak pernah melakukan kekerasan, juga menyatakan, “Jangan kamu memukul kaum perempuan dan jangan bertindak kasar terhadapnya.”300 Dalam kesempatan lain beliau juga mengatakan, “Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku. Tidak menghormati kaum perempuan, kecuali orang yang terhormat, dan tidak melecehkan kaum perempuan kecuali orang yang tidak bermoral.”301 Uraian di atas kiranya telah jelas untuk memaparkan bahwa sesungguhnya agama bukanlah tameng untuk melakukan penganiayaan terhadap istri sehingga muncul apa yang disebut KDRT. Agama justru merupakan pondasi yang kuat di mana sebuah bahtera rumah tangga terbangun di atasnya. Pemahaman agama yang salah dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi hubungan perkawinan, yang sebetulnya semuanya berawal dari kesalahan dalam pemahaman makna jender. Selain marginalisasi, subordinasi dan kekerasan, bentuk ketidakadilan jender yang disampaikan dalam novel IINS ini adalah stereotipe terhadap perempuan. Stereotipe atau label “makhluk yang lemah, lembut, kurang akal, emosional, cantik, penuh pesona,” dan lain-lain yang dilekatkan ke dalam diri perempuan telah mengakibatkan munculnya penderitaan-penderitaan, khususnya dalam kehidupan sang tokoh utama, Firdaus. Firdaus beberapa kali mengalami pelecehan seksual oleh para lelaki, bahkan oleh orang terdekatnya sekalipun. Ini menunjukkan betapa label pelanggaran. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk hukum. (Lihat: Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang kekerasan…, hal. 208). 300 H.R. Ibn ‘Asakir dari Ali, Shahîh, Lihat: al-Munawir, Syarh al-Jami’ al-Shaghîr, (Kairo: Dâr Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, J. II. 1954, hal. 17. 301 al-Munawir, Syarh al-Jamî’ al…, hal. 17.
122
yang melekat pada tubuhnya sangat berpengaruh negatif bagi kehidupannnya hingga menjerumuskannya ke dalam jurang kenistaan, yaitu berprofesi sebagai pelacur. Berbagai tindak pelecehan seksual dan perkosaan terjadi karena adanya anggapan bahwa identitas dan seksualitas perempuan terletak pada pihak yang harus dikuasai, ditundukkan dan diperdayakan.302 Secara psikologis, kekerasan seksual itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Psikoanalisis (psikologi totalitas) Freud,303 dorongan seksual merupakan motor tersembunyi atas timbulnya penyakit-penyakit neurotis. Masyarakat budaya mempunyai berbagai peraturan sosial, seperti norma dan agama, yang menyebabkan manusia tidak dapat secara bebas memuaskan nafsu seksualnya. Nafsu yang tidak sesuai dengan norma dan agama akan terdorong ke dalam suatu ketidaksadaran yang kemudian menjadi “kompleks terdesak.” Kompleks terdesak pada umumnya menjadi sentrum pengganggu bagi ketenangan bathin dan akan selalu mencari jalan untuk muncul ke dalam kesadaran. Jika ternyata norma dan agama lebih kuat, nafsu tersebut akan tersalurkan dalam bentuk “sublimasi” atau pengganti dan penghilang kompleks-kompleks terdesak itu, misalnya seni, religi, kultural, dan moral.304 Akan tetapi, apabila pengendalinya lemah, apalagi dipicu oleh kehadiran sosok perempuan seperti Firdaus yang dapat membangkitkan nafsu seksual, kompleks terdesak itu akan disalurkan dalam bentuk pelecehan seksual. Seperti dilakukan oleh banyak laki-laki terhadap Firdaus: Muhammadain, pamannya, Bayoumi dan teman-temannya, petugas polisi, seorang laki-laki bermobil mewah, Di’aa, Ibrahim, Marzouk dan pangeran. Selain pelecehan seksual, stereotipe “makhluk lemah lembut, polos dan tidak berdaya” yang melekat dalam tubuh Firdaus pun telah mengakibatkan dirinya sebagai korban perdagangan perempuan/trafficking
302
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 215, mengutip dari Myra Diarsi, Perkosaan dan Penanganan Korban Perkosaan, dalam Fauzie Ridjal, dkk. (ed.), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana), 1992, hal. 62. 303 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 216, mengutip dari KartiniKartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju), 1990, hal. 127. 304 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 216, mengutip dari KartiniKartono, Psikologi…, hal. 129-131.
123
(sebagai pelacur di bawah asuhan Sharifa) dan penipuan (karena melacur tanpa menerima imbalan seperakpun). Demikian pula halnya dengan beban ganda (double burden). Firdaus kecil yang masih sibuk dengan aktivitas sekolah, sepulangnya ke rumah harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah pula. Padahal ketika itu ada paman dan istrinya, yang seharusnya dapat menjadi teman berbagi, sehingga segala pekerjaan itu dilakukan bersama-sama dan tidak ada satu pihak pun yang diberatkan dan dirugikan. Satu hal lagi sebagai akibat prasangka jender adalah tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan. Ketika Firdaus melakukan pembunuhan, hukum hanya melihat secara picik, yaitu sesuai apa yang terlihat dengan mata kepala. Benar, Firdaus memang membunuh. Tetapi seharusnya hukum melihat dan mempertimbangkan motif pembunuhan yang dilakukan oleh Firdaus. Jika hukum melakukan itu, maka seharusnya Firdaus bukan pada posisi tersangka, tetapi justru sebagai korban. Karena pembunuhan yang ia lakukan adalah untuk pembelaan dirinya dari kejahatan Marzouk. Pembunuhan yang dilakukan oleh Firdaus sebenarnya merupakan simbol dari pemberontakannya terhadap sistem budaya patriarki yang telah menindas dirinya dalam rentang waktu yang cukup lama. Berbagai kekerasan, pelecehan dan penindasan yang pernah dialami Firdaus membangunkan semangat baru dari dalam hatinya untuk bangkit dari segala keterpurukan. Dengan kata lain, ada semangat emansipasi dalam jiwa Firdaus. Langkah pertama yang ditempuh oleh Firdaus untuk mewujudkan semangat emansipasinya ini melalui keputusannya untuk menjadi pelacur yang sukses. Profesi itu ia pilih sebagai alat untuk membalaskan dendamnya kepada para lelaki yang pernah merendahkan harga dirinya. Menurut Firdaus, seorang pelacur yang sukses lebih baik dari pada seorang suci yang sesat, dan semua perempuan adalah korban penipuan. Gejolak emansipasi yang ada dalam jiwanya terus menerus memaksa dirinya untuk bangkit, hingga ia memiliki kemampuan untuk menjatuhkan harga diri laki-laki, yang pada klimaksnya, sampai pada keberanian untuk membunuh. 124
Feminisme yang ada dalam novel ini memang hanya sebatas gerakan individual saja. Karena ide-ide feminisme yang disampaikan murni dari kisah Firdaus seorang. Tetapi paling tidak kehadiran novel ini merupakan kritik sosial yang amat pedas terhadap kebobrokan masyarakat dalam budaya patriarki.
1.2. Tokoh Pejuang Emansipasi Perempuan, Tokoh-Tokoh yang Menentang Emansipasi dan Penokohan yang Berprasangka Jender Novel IINS, meskipun dibuat oleh seorang aktivis feminisme, namun di dalam novel sendiri istilah feminisme tidak diuraikan secara tersurat. Novel IINS menyajikan ide-ide feminisme secara tersirat dalam alur ceritanya. Beberapa unsur novel yang ada kaitannya dengan ide-ide feminisme adalah tokoh, latar dan gaya bahasa. Oleh sebab itu dalam sub bab ini, penulis merasa perlu mengklasifikasikan mana tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan (dalam istilah lain dapat dikatakan tokoh profeminis), dan tokoh yang menentang emansipasi perempuan (atau dapat dikatakan tokoh kontrafeminis). Adapun tokoh-tokoh yang peranannya tidak memberi pengaruh terhadap ide-ide emansipasi tidak penulis klasifikasikan ke dalam kategori mana pun. Yang terpenting dalam pembahasan ini hanyalah tokoh-tokoh yang ada kaitannya dengan masalah feminisme dan kesetaraan jender. Tokoh-tokoh yang termasuk profeminis dalam novel ini adalah Firdaus sendiri sebagai tokoh utama, dan Sharifa Shalah el-Dine. Narator (Nawal) yang penulis anggap sebagai salah satu tokoh dalam novel karena keterlibatannya di awal dan di akhir novel, tidak penulis masukkan ke dalam kategori ini. Karena, meskipun narator adalah seorang pejuang emansipasi perempuan, tetapi keterlibatannya dalam novel tidak secara langsung, melainkan hanya sebagai fasilitator. Tokoh-tokoh kontrafeminis direpresentasikan oleh Ayah Firdaus, Paman, Istri Paman, Syekh Mahmoud, Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Seorang Lelaki dengan Mobil Mewah, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan Berpangkat tinggi, Ibrahim, Seorang Kepala Negara,
125
Marzouk dan Pangeran. Berikut penjelasan tokoh-tokoh ini beserta ide-ide emansipasinya.
1.3.1. Tokoh Pejuang Emansipasi Firdaus, sebagai satu-satunya tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan adalah tokoh sentral dan tokoh yang paling penting dalam menuangkan ide-ide feminisme pengarang. Ide-ide emansipasi yang ada dalam pemikiran Firdaus disampaikan oleh pengarang dalam bahasa yang jelas dan lugas, dan bahkan merupakan kritikan yang amat pedas bagi sistem budaya patriarki. Keseluruhan cerita Firdaus menggambarkan keterpurukan seorang perempuan dalam dunia yang didominasi oleh kekuasaan laki-laki, yang pada akhirnya, ketika keterpurukan itu sudah mencapai klimaksnya, sang tokoh berhasil bangkit dan melakukan perlawanan. Ide
emansipasi Firdaus
muncul sebagai bentuk
protesnya
terhadap
ketimpangan jender yang telah mengakar dalam budaya masyarakat dan telah mendiskriminasi perempuan dalam berbagai aspek. Firdaus menyoroti masalah pembagian kerja dan kekuasaan yang timpang dalam hubungan suami istri melalui kisah ayah dan ibunya, juga kisahnya sendiri dengan Syekh Mahmoud. Bagaimana seorang suami memiliki sifat egois yang tinggi dan selalu ingin dilayani, sementara istri memiliki beban dan tanggung jawab yang sangat besar: terhadap pekerjaan, terhadap suami dan anak-anaknya. Firdaus menceritakan kebiasaan ibu yang selalu melayani ayah dan mengutamakan kepentingan ayah dari pada anak-anaknya. Meski ayah sering memukul dan menghardiknya, namun posisi ayah ibarat raja, ibu tak pernah melawannya. Begitu pula dengan Firdaus, ketika menikah dengan Syekh Mahmoud, maka ia harus bertanggung jawab dengan seluruh tugas dan pekerjaan rumah. Apa yang menjadi kehendak Syekh mahmoud harus dipenuhi dan diikuti. Jika Firdaus melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perintah Syekh Mahmoud, maka Firdaus akan dianiaya dan diperlakukan dengan kasar. Posisi suami yang superior dan istri yang inferior ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan jender (gender inequalities), yang pada akhirnya dapat mengakibatkan hubungan yang tidak 126
harmonis dalam sebuah keluarga. Padahal, tujuan menikah dalam Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hasrat seksual, juga untuk membangun kedamaian dalam sebuah bahtera yang dipenuhi dengan cinta, ketenangan, kepercayaan dan pengertian. Bila kita kaitkan masalah ini dengan teori feminisme, maka pemikiran Firdaus tentang hubungan sebuah keluarga ini sejalan dengan teori feminisme Marxis, yang mengibaratkan suami sebagai cerminan kaum borjuis, karena menguasai basis material keluarga (nafkah), sehingga ia mempunyai kekuasaan dan posisi lebih kuat (sebagai kepala keluarga). Sementara posisi istri dan anak-anak adalah kaum proletar yang tertindas.305 Masalah lain yang disoroti Firdaus adalah masalah kekerasan, yang juga berawal dari dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Kekerasan yang dilakukan oleh kedua orang tua Firdaus terhadapnya ketika ia masih kecil, juga kekerasan yang ia alami selama pernikahannya dengan Syekh Mahmoud melambangkan sebuah pengalaman hidup yang sarat dengan penganiayaan, penindasan dan ketimpangan sosial yang begitu tinggi. Adanya kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain, seperti ayah terhadap anaknya, atau suami terhadap istrinya, semestinya tidak dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan pribadi atau golongan dan menindas golongan atau pihak lain (dalam hal ini terutama perempuan). Persoalan yang paling substansial dalam mengangkat kekerasan terhadap perempuan adalah adanya pemahaman keagamaan (teologis) yang menganggap bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah. Atau, dalam bahasa lain, hierarki kekuasaan laki-laki yang dianggap atau diyakini bersifat kodrat, fitrah dan bukan karena alasan sosiologis ataupun kultural yang tentu saja kontekstual dan bisa berubah. Keyakinan seperti itu dengan sendirinya merupakan pelanggengan sistem diskriminasi terhadap jenis kelamin perempuan.306
305 306
Lihat: Siti Muslikhati, Feminisme dan………, hal. 32-33. Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang kekerasan…, hal. 210.
127
Sistem sosial dan keluarga yang menoleransi kekerasan, pada gilirannya pasti akan menciptakan rasa tidak aman dan mungkin saja Faudlâ (chaos). Apalagi jika kepemimpinan atau kekuasaan dalam sistem sosial maupun keluarga digunakan untuk kepentingan duniawi (yang rendah, kini dan sesaat), maka ini berarti merupakan prakondisi untuk sebuah malapetaka, sebuah kehancuran.307 Masalah lain yang disoroti oleh Firdaus adalah masalah hubungan orang tua dan anak, atau paman (sebagai pengganti posisi ayah) dan keponakan. Dalam masalah perkawinan, semestinya orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak, apalagi mengambil keuntungan dari pernikahan anaknya tersebut. Anak harus diberi kebebasan dalam menentukan jodohnya sendiri. Jika orang tua ingin memilihkan jodoh untuk anaknya, seharusnya sang anak dimintakan persetujuannya dulu, bukan malah mengutamakan kepentingannya sendiri untuk meraup keuntungan dari mas kawin yang besar. Deskripsi Firdaus tentang ide ayahnya untuk “menukar anak gadis dengan imbalan mas kawin” yang kemudian diaktualisasikan oleh pamannya saat menikahkan Firdaus dengan Syekh Mahmoud, menggambarkan sebuah konsep kawin paksa. Perlawanan yang Firdaus lakukan dengan meninggalkan rumah paman sebelum pernikahan itu dilaksanakan, atau meninggalkan suaminya saat ia mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, merupakan simbol dari ketidaksetujuannya dengan konsep pernikahan itu. Sebuah tradisi yang memang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Mesir ini seharusnya dirombak dengan suatu perlawanan yang nyata. Karena, bahagia atau tidaknya pernikahan seorang anak perempuan bukan tergantung dalam besarnya jumlah mas kawin (meski dalam budaya masyarakat menengah Mesir hal ini dijadikan sebagai jaminan jika sewaktu-waktu terjadi perceraian atau sang suami ingin menikah lagi) yang menguntungkan orang tua atau walinya, tetapi dari ketenangan dan kenyamanan yang ia peroleh dari pasangannya (suami). Dan yang merasakan kebahagiaan itu bukanlah orang tua atau pun wali,
307
Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang kekerasan…, hal. 211-212.
128
tetapi sang anak sendiri. Oleh sebab itu, dalam Islam seorang ayah hendaknya meminta persetujuan anak sebelum menikahkannya dengan seorang laki-laki. Walaupun ada istilah “wali mujbir”, namun mestinya otoritas ini tidak digunakan sewenang-wenang, tetapi sang ayah (wali) hendaknya memilihkan jodoh yang terbaik untuk anaknya, dan bukan berdasarkan besar kecilnya jumlah mas kawin yang akan diperoleh. Ide emansipasi Firdaus sebagai tokoh profeminis juga terlihat dari cita-citanya menjadi seorang yang berguna bagi bangsa: menjadi hakim, pengacara, insinyur, pemimpin, bahkan kepala negara. Politik yang selalu dikuasai oleh laki-laki dengan segala kerakusan dan kebusukannya, membangkitkan semangat emansipasi dalam jiwa Firdaus, bahwa perempuan juga mampu menjadi pemimpin seperti laki-laki. Semangat ini juga nampak dari partisipasinya dalam sebuah demonstrasi untuk reformasi. Firdaus menunjukkan keberaniannya dengan melontarkan teriakan: “Turunkan pemerintah!”308 Beberapa kali mengalami pelecehan seksual, penindasan, kekerasan, pengkhianatan cinta dan penganiayaan yang dilakukan oleh para lelaki terhadapnya, pada akhirnya memberi inspirasi bagi Firdaus untuk melakukan “poliandri” dengan melacur, sebagai bentuk perlawanan dan balas dendamnya terhadap kebusukan lakilaki, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Perlawanan ini menjadi lebih kuat, saat akhirnya ia memutuskan untuk melakukan pembunuhan dan tidak menolak kematiannya dengan mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
1.3.2. Tokoh-tokoh yang Menentang Emansipasi Adapun tokoh-tokoh yang tidak memihak kepada emansipasi perempuan direpresentasikan oleh Ayah Firdaus, Paman, Istri Paman, Syekh Mahmoud, Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Seorang Lelaki dengan Mobil Mewah, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan
308
Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 30.
129
Berpangkat tinggi, Ibrahim, Seorang Kepala Negara, Marzouk dan Pangeran adalah tokoh-tokoh yang menentang ide feminisme. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh tokoh tersebut bertentangan dengan nilai-nilai emansipasi perempuan. Ayah Firdaus dan Syekh Mahmoud adalah dua tokoh yang pernah melakukan kekerasan terhadap Firdaus. Firdaus bagi keduanya ibarat hak milik. Kepemilikan karena status anak bagi ayahnya, dan kepemilikan karena status istri bagi Syekh Mahmoud. Makna kepemilikan ini kemudian melegitimasi berbagai tindakan kekerasan dan perbuatan semena-mena yang bisa mereka lakukan, sesuai dengan teori Feminisme Marxis. Tokoh istri paman pernah selain pernah melakukan kekerasan dengan mengeksploitasi tenaga Firdaus untuk bekerja di rumahnya, hal terpenting yang ia lakukan dan bertentangan dengan emansipasi adalah usulan kawin paksa Firdaus dengan pamannya, Syekh Mahmoud. Karena usulan yang disampaikan kepada suaminya inilah, penderitaan hidup Firdaus berawal, sampai akhirnya menjadi korban pelecehan para lelaki, menjadi pelacur dan pembunuh. Tokoh-tokoh lainnya adalah Paman, Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan Berpangkat Tinggi, Ibrahim, Seorang Kepala Negara, Marzouk dan Pangeran. Tokoh-tokoh tersebut penulis kategorikan ke dalam tokoh kontrafeminis karena pelecehan seksual yang merekalakukan terhadap Firdaus. Paman Firdaus, meski menjadi tokoh berperan ganda dalam novel ini, yaitu, orang yang menyekolahkan, melindungi dan membiayai hidup Firdaus sepeninggal orang tuanya, namun ialah yang pertama kali memperawani Firdaus. Tokoh paman ibarat “serigala berbulu domba.” Di satu sisi ia adalah seorang terpelajar yang faham agama dan mengajari Firdaus banyak hal. Namun di sisi lain, ia adalah seorang lelaki hidung belang, yang hanya bisa berlindung di bawah topeng agama untuk menyembunyikan kebusukannya. Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan Berpangkat Tinggi, Ibrahim, 130
Seorang Kepala Negara, Marzouk dan Pangeran adalah tokoh-tokoh yang juga melakukan pelecehan seksual terhadap Firdaus. Bayoumi yang awalnya baik, berubah menjadi tokoh sadis dan kejam. Bahkan ketika Firdaus minta dicarikan pekerjaan dengan ijazah sekolah menengahnya, Bayoumi yang awalnya pernah menjanjikan malah berkata bahwa ijazah itu tidak ada artinya. Karena banyak sarjana yang ijazahnya lebih tinggi dari itu masih menganggur dan belum memperoleh pekerjaan.309 Perlakuan Bayoumi terhadap Firdaus menjadi semakin kasar, Bayoumi sering memukulinya, bahkan membiarkan teman-temannya memperkosa Firdaus dan mereka kemudian mengejek Firdaus dan orang tuanya dengan kata-kata kasar, sampai mengurung Firdaus di rumahnya, agar Firdaus tidak dapat melarikan diri. Semua tindakan yang dilakukan Bayoumi dan teman-temannya ini benar-benar merendahkan harga diri Firdaus sebagai perempuan. Bahkan pemerkosaan bersama yang dilakukan oleh teman-temannya, memberi gambaran pandangan mereka terhadap Firdaus yang tak bedanya dengan binatang. Begitu pula petugas polisi, yang mengancam akan membawa Firdaus ke kantor polisi jika ia menolak melayaninya; Tiga orang lelaki yang merayunya di jalan sambil menawarkan harga yang cocok untuk Firdaus. Mereka saling menawar dengan harga tertinggi, seolah-olah Firdaus adalah barang dagangan. Di’aa, seorang wartawan dan penulis tempat Firdaus banyak berdiskusi dengannya juga demikian. Di’aa mengumpamakan profesi Firdaus sebagai pelacur tak bedanya dengan seorang dokter, karena keduanya memasang tarif untuk pasiennya. Namun bedanya, profesi dokter itu terhormat, sementara pelacur itu tidak terhormat. Mendengar pernyataan itu Firdaus merasa sangat terpukul. Namun Di’aa masih tetap minta dilayani, Firdaus sudah muak, dan akhirnya menyuruh Di’aa pergi. Seorang karyawan berpangkat tinggi pernah merendahkan Firdaus. Saat ia melihat Firdaus di jalan ketika sedang mengejar bis, ia menawarkan Firdaus untuk ikut bersamanya. Namun penawaran ini seolah-olah hanyalah sebuah penghinaan,
309
Lihat perkataan Bayoumi pada Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 57.
131
yang dapat dimengerti oleh Firdaus melalui sorotan mata lelaki tersebut.310 Penolakan Firdaus membuat lelaki ini terheran-heran, dan kemudian ia pergi meninggalkan Firdaus. Ibrahim, seorang laki-laki revolusioner yang pernah membuat Firdaus terpikat dan jatuh cinta. Ibrahim pernah menyatakan perasaannya kepada Firdaus, sampai akhirnya hubungan mereka intens dan Firdaus sempat menyerahkan tubuhnya kepada Ibrahim. Namun yang didapatkan Firdaus di kemudian hari bukanlah kebahagiaan dari rasa cintanya itu. Ibrahim ternyata telah bertunangan dengan anak seorang presiden direktur. Peristiwa ini membuat Firdaus sangat putus asa dan terpuruk. Peristiwa ini pula yang membuat Firdaus semakin membenci laki-laki, hingga memutuskan untuk melakukan praktek “poligami” dengan prostitusinya. Seorang Kepala Negara (tokoh penting) memang tidak langsung hadir dalam kehidupan Firdaus, tetapi keinginannya untuk dilayani oleh Firdaus, meski telah ditolak beberapa kali namun tak pernah menyerah mengirim utusan seorang polisi, menggambarkan sikap yang merendahkan Firdaus (perempuan). Baginya tubuh seorang perempuan dapat dibayar dengan harga berapapun yang ia minta. Firdaus memang pelacur dan sudah selayaknya diperlakukan demikian, namun ia tidak mau seperti pelacur lainnya. Firdaus ingin menjadi pelacur yang sukses dan profesional, yang berhak menentukan dengan siapa saja ia ingin melakukan hubungan seksual. Tubuhnya adalah miliknya sendiri, yang tak bisa dipaksakan untuk dimiliki oleh orang lain, tanpa sekehendak hatinya. Tokoh Marzouk meskipun ditempatkan di akhir cerita, namun perannya sangat penting. Marzouk adalah seorang germo yang licik. Sikapnya merendahkan perempuan dengan menjadikan mereka sebagai pelacur asuhannya yang mau memberinya bagian dari upah yang mereka peroleh. Tidak saja meminta bagian uang,
310
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 84.
132
tetapi Marzouk juga seringkali minta dilayani. Jika anak buahnya (Firdaus) menolak, maka ia akan memukulnya.311 Tokoh Pangeran juga penulis masukkan ke dalam kategori tokoh kontrafeminis. Pangeran yang bertemu Firdaus di jalan sesaat setelah Firdaus melakukan pembunuhan, juga telah meremehkan harga diri Firdaus. Pangeran menawar Firdaus mulai dari harga yang rendah, sampai akhirnya ia berhasil membujuk Firdaus dengan harga yang tinggi. Penawarannya untuk sebuah hubungan seksual menurut penulis merupakan salah satu tindakan yang bertentangan dengan emansipasi perempuan.
1.3.3. Penokohan yang Berprasangka Jender Dalam novel IINS terdapat beberapa penokohan yang mengandung prasangka jender. Pada saat Firdaus menceritakan sekilas tentang rasa dendam dan rasa bangga yang memenuhi jiwanya. Ia bercerita tentang kebiasaannya bersolek dengan menggunakan riasan wajah wanita-wanita kelas atas.312 Setelah Firdaus bertemu dengan Sharifa, ia menyadari tentang dirinya, bahwa ia sebenarnya memiliki kecantikan dan daya tarik yang tidak dimiliki oleh kebanyakan perempuan.313 Dan ketika Firdaus bertemu dengan Sharifa untuk pertama kali, diceritakan bahwa Sharifa menggunakan riasan eye-shadow berwarna hijau dengan sebuah selendang berwarna hijau yang melingkar di pundaknya. Sharifa datang menghampiri Firdaus saat ia sedang beristirahat di tepi sungai Nil, setelah seharian menyusuri jalan dari kepergiannya meninggalkan rumah Bayoumi. Firdaus hampir terlelap, tapi tiba-tiba suara Sharifa yang lembut membangunkannya.314 Penjelasan-penjelasan tersebut menggambarkan karakter seorang perempuan yang senang akan keindahan dan keserasian. Firdaus selalu mempercantik 311
Pernyataan-pernyataan Marzouk yang merendahkan perempuan dapat dilihat pada Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 103 dan 105. 312 Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 16. 313 Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 62. 314 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 60.
133
penampilannya dengan riasan wajah yang tepat dan selalu merawat rambutnya dengan baik.
Dan dalam ungkapan lainnya
bahkan dengan sangat
jelas
menggambarkan bahwa perempuan adalah ciptaan Tuhan yang cantik dan indah. Begitu pula Sharifa yang menggunakan riasan mata berwarna hijau untuk menyesuaikan dengan warna selendang yang dipakainya. Keindahan dan keserasian yang dimiliki Firdaus dan Sharifa menggambarkan stereotipe perempuan sebagai ciptaan Tuhan yang cantik, yang senang akan keindahan dan pemelihara. Ungkapan tentang perempuan tersebut jika kita bandingkan dengan ungkapan tentang kondisi Syekh Mahmoud akan semakin memperkuat makna prasangka jender yang terdapat di dalamnya.315 Sosok Syekh Mahmoud adalah sosok yang sangat menjijikan. Seorang lelaki tua yang tak pandai merawat diri. Kesimpulan dari pernyataan ini adalah bahwa keindahan dan kecantikan itu dimiliki perempuan. Sebab deskripsi tentang Syekh Mahmoud di atas melukiskan sebuah karakter yang sangat berbeda dengan karakter yang dimiliki oleh Firdaus dan Sharifa, yang pandai merawat diri dan senang akan keindahan dan keserasian. Selain deskripsi tentang Syekh Mahmoud, ungkapan lain yang menggambarkan sifat dan karakter laki-laki ini juga dapat dilihat dari penggambaran tokoh Direktur Perusahaan yang dibandingkan dengan tokoh Sharifa.316 Ketika narator menggambarkan tokoh Direktur lewat penuturan Firdaus, diceritakan bahwa tokoh ini adalah seorang laki-laki yang penampilannya kurang baik. Ia gemuk, botak dan suka merokok. Di samping itu, karena usianya yang sudah kepala lima, gigi-giginya banyak yang sudah rontok dan tidak diganti dengan gigi yang baru. Gigi-giginya yang masih ada tidak tertata rapi, berwarna kuning kehitamhitaman.317 Berbeda dengan sosok Sharifa yang meskipun giginya ada yang sudah rontok, tetapi ia masih tetap merawatnya. Gigi-giginya yang masih ada berwarna 315
Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 50 dan 60.. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 60 dan 82. 317 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 82.
316
134
putih dengan bentuknya yang tertata rapi, ini melambangkan bahwa ia memelihara kebersihan dan keindahan giginya, terlebih lagi pada gigi yang sudah rontok, ia menggantinya dengan gigi palsu berwarna emas, untuk mempercantik penampilan mulutnya.318
Kedua
ungkapan
tadi
mengandung
prasangka
jender
karena
menggambarkan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan menyukai keindahan, sementara lelaki, kurang memperhatikan keindahan dan tidak memiliki sifat memelihara. Hal ini serupa dengan konsepsi Jawa tentang keutamaan perempuan. Menurut konsepsi Jawa, perempuan itu merak-ati (membangun kemanisan, memperlihatkan keindahan, mampu mengombinasikan warna-warna yang beraneka ragam untuk memperindah dirinya, cantik wajahnya dan ramah-tamah pekertinya, serta lemah lembut gaya bicaranya dan luwes tingkah lakunya), gemati (memelihara, melayani kebutuhan keluarga, mendidik putra-putri dengan tekun dan penuh kasih sayang, serta teliti dan berhati-hati dalam segala tindakan), dan luluh (hati dan perasaannya berpadu menjadi satu dengan suami dan keluarganya, menerima apa adanya, serta mudah menanggapi perasaan dan kemauan orang lain). Ketiga sifat perempuan itu menjadi “lawan” dari ketiga sifat laki-laki. Sifat laki-laki adalah teguh (mengusahakan kesentosaan badan dan bathin serta bersifat melindungi), tanggon (kokoh hati, besar kemauan, dan kuat imannya), dan tangguh (bersikap bijaksana dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan keluarga). Ketiga pasang atribut itu sebenarnya bersifat komplementer atau saling mengimbangi satu sama lain.319 Akan tetapi, jika dicermati, ternyata hal ini merupakan penyifatan yang stereotipe dan mengandung prasangka jender. Sifat ini
318
Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 60. Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 259-260, mengutip dari KartiniKartono, Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, (Bandung: Mandar Maju), 1992, Jilid I, hal. 286-288. 319
135
bukanlah biologis, melainkan hanya merupakan konstruksi budaya yang dapat bertukar-tukar menurut tempat dan waktu.320 Implementasi dari konsepsi Jawa tersebut dapat pula kita lihat dari kisah hidup tokoh Firdaus yang selalu mengalami pelecehan seksual dan gangguan dari para lelaki selama hidupnya. Firdaus kecil memang belum pandai bersolek dan tubuhnya pun belum terbentuk, namun sesuai konsepsi Jawa tadi, ada kemanisan yang terpancar dari jiwa Firdaus sehingga merangsang birahi pamannya untuk melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Yang lebih menyakitkan, Firdaus dianggapnya seperti barang dagangan yang dijual oleh paman dan istrinya kepada Syekh Mahmoud dengan harga seratus pon sebagai mas kawin. Hal ini menunjukkan bahwa Firdaus tidak hanya dijadikan sebagai objek seksual, tetapi juga posisinya direndahkan secara sosial.321 Ketika Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud, Firdaus juga tidak merasakan kebahagiaan. Karena selain pernikahan yang dijalaninya atas dasar keterpaksaan, kepribadian Syekh Mahmoud juga tidak baik. Syekh Mahmoud tidak hanya menyetubuhinya, tetapi juga sering melakukan kekerasan terhadap Firdaus. Begitulah gambaran laki-laki yang mencampakkan perempuan setelah berhasil memuaskan nafsunya.322 Gangguan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap Firdaus tidak berhenti sampai di situ. Ketika Firdaus pergi meninggalkan rumah Syekh Mahmoud karena sudah tak tahan dengan perlakuannya, Firdaus jatuh dari satu tangan lelaki ke tangan lelaki lain. Firdaus selalu mengalami pelecehan seksual, sampai akhirnya ia menjadi seorang pelacur. Maka sebagai perempuan, Firdaus telah menjadi objek sekaligus pelecehan seksual yang pada akhirnya mengarah pada pelecehan harga dirinya. Persoalan ini bersumber pada dua hal. Pertama, adanya mitos kecantikan yang melekat pada diri 320
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 260, mengutip dari Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1997, hal. 8-9. 321 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 261, mengutip dari Budi Wahyuni, Terpuruk Ketimpangan Gender, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama), 1997, hal. 8). 322 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 261.
136
perempuan yang menempatkan mereka pada posisi tereksploitasi. Kedua, adanya objektivitas perempuan dalam hal seks atau dijadikannya perempuan sebagai objek pelecehan seksual oleh kaum laki-laki.323 Penggambaran kualitas tokoh juga menampakkan prasangka jender. Hal ini dapat dilihat dari tokoh Paman, Di’aa dan Ibrahim. Ketiganya dilukiskan sebagai tokoh yang lebih cerdas dan lebih pandai dari pada Firdaus. Paman yang sering mengajarkan Firdaus banyak hal, dan seolah menjadi “guru” bagi Firdaus, Begitu pula Di’aa, yang menjadi tempat diskusi dan bertanya banyak hal bagi Firdaus, atau Ibrahim, lelaki revolusioner yang membuat Firdaus jatuh hati karena kepandaiannya. Perbedaan kecakapan dan kualitas ketiga tokoh ini dengan Firdaus boleh jadi karena kelas perempuan (Firdaus) dianggap lebih rendah dari pada kelas laki-laki. Meskipun dalam kesempatan lain, Firdaus sendiri digambarkan sebagai perempuan yang cerdas, karena ia memperoleh prestasi yang membanggakan sewaktu masih duduk di sekolah menengah. Dalam novel IINS perempuan juga dilukiskan sebagai orang yang lebih menguasai pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Cerita Firdaus tentang ibunya yang selalu menyiapkan makanan untuk ayah, atau cerita tentang aktivitas rutin Firdaus dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah paman, di rumah suaminya, Syekh Mahmoud, dan di rumah Bayoumi. Kesimpulan dari uraian di atas adalah, meskipun IINS merupakan novel yang memperjuangkan emansipasi perempuan, tetapi prasangka jender masih juga muncul dalam penokohan. Dan uniknya, tokoh yang distereotipekan adalah tokoh yang profeminis, seperti Firdaus dan Sharifa. Firdaus digambarkan sebagai tokoh yang tidak lebih berpengetahuan dari pada laki-laki. Ia juga dideskripsikan sebagai tokoh yang emosional, terutama saat jatuh cinta yang membuat ia tidak dapat menyampaikan idenya di sebuah rapat besar karyawan, sementara Ibrahim lebih rasional,
karena
ia
dapat
mengontrol
perasaannya
kepada
Firdaus,
dan
323
Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, mengutip dari Budi Wahyuni, Terpuruk Ketimpangan…, hal. 74.
137
memperlakukan Firdaus seperti karyawan-karyawan lainnya setelah pertemuan mereka di taman kantor. Firdaus juga digambarkan sebagai tokoh yang lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki keberanian untuk melawan gangguan-gangguan laki-laki sepanjang hidupnya, meski pada akhirnya ia memiliki kekuatan utuk melakukan pembunuhan.
1.3. Latar dan Prasangka Jender Latar dan cara penggambaran latar juga dapat menjadi media timbulnya prasangka jender.
Penggambaran latar
dalam novel IINS,
terutama
pada
penggambaran latar tempat dan alat, hanya sedikit yang mengandung prasangka jender. Prasangka jender lebih banyak digambarkan dalam latar sosial, dan tidak digambarkan sama sekali pada latar waktu. Prasangka jender dapat dilihat pada penggambaran latar alat ketika Firdaus bertemu dengan Sharifa. Sharifa menggunakan eye-shadow berwarna hijau dengan sebuah selendang berwarna hijau yang melingkar di pundaknya. Sharifa datang menghampiri Firdaus ketika ia sedang beristirahat di tepi sungai Nil. Firdaus yang hampir terlelap dengan seketika terjaga saat tiba-tiba ia mendengar suara Sharifa yang lembut.324 Penggunaan eye-shadow yang senada dengan selendang yang dipakai menggambarkan kebiasaan yang melekat pada perempuan. Meskipun kadang-kadang eye-shadow dan selendang ini dipakai juga oleh laki-laki, tetapi kedua alat ini lebih pantas jika digunakan oleh perempuan, karena keberadaannya menunjukkan keanggunan. Di sinilah terletak prasangka jender. Artinya, ketika laki-laki memakai eye-shadow untuk suatu kepentingan, seperti saat melakoni suatu peran tertentu, atau ketika ia memakai selendang di lehernya, maka penampilannya tidak seanggun penampilan seorang perempuan yang memakai kedua benda ini.
324
Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 60.
138
Prasangka jender juga terlihat pada penggambaran latar tempat, yaitu perbandingan antara rumah Bayoumi dengan apartemen Sharifa.325 Bayoumi adalah seorang laki-laki yang tidak terlalu berkecukupan, karena ia hanya bekerja di sebuah kedai kopi miliknya. Rumahnya tidak terawat, dan tidak seindah apartemen Sharifa. Rumah Bayoumi hanyalah sebuah flat dengan dua kamar yang berada di sebuah gang sempit. Udara di rumahnya tidak bersih dan berbau tidak sedap, karena flat itu tepat berada di atas pasar ikan. Sementara rumah Sharifa sangat berbeda dengan rumah Bayoumi. Sharifa adalah seorang perempuan yang berprofesi sebagai germo untuk pelacur kelas atas. Rumahnya bukanlah sebuah flat seperti Bayoumi. Rumah Sharifa adalah sebuah apartemen mewah yang sangat nyaman dan bersih. Lantainya berkarpet, memiliki serambi yang luas dengan pemandangan ke bawah ke arah Sungai Nil. Harum semerbak bunga mawar tercium dari lingkungan di sekitarnya. Udaranya sangat bersih dan sejuk. Belum lagi perabotan yang dimilikinya sangat bagus, tempat tidur dengan sprei berbahan sutera, kamar mandi yang nyaman dan memadai, serta pakaian-pakaian sutera yang lembut dan harum. Gambaran di atas secara jelas menyatakan bahwa ada perbedaan karakter antara laki-laki dengan perempuan. Rumah Sharifa yang indah dan terawat menggambarkan bahwa perempuan senang akan keindahan. Boleh jadi rumah itu tidak dibersihkan dan dirawat sendiri oleh Sharifa, atau juga bunga-bunga mawar di sekitarnya, belum tentu ditanam dan dirawat langsung oleh dirinya, karena Sharifa adalah seorang germo yang kaya, ia bisa saja mempekerjakan orang untuk merawatnya. Sedangkan Bayoumi tidak demikian. Rumahnya tidak terurus dan tidak seindah rumah Sharifa. Bahkan, tidak ada pekarangan dan bunga-bungaan di rumahnya. Yang ada hanyalah bau tidak sedap yang tercium dari pasar ikan di bawah flatnya. Ini menggambarkan bahwa sebagai laki-laki, Bayoumi tidak menyukai keindahan. Apalagi ia hanya bekerja di kedai kopi, tidak mungkin mempekerjakan
325
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 55 dan 61.
139
orang untuk merawat rumahnya. Hal ini berkaitan dengan konsep stereotipe perempuan sebagai makhluk yang cantik dan yang tentu saja mengaktualisasikan dirinya dengan keindahan,
326
sedangkan laki-laki yang bersifat perkasa merasa tidak
perlu mengaktualisasikan diri dengan keindahan itu.327 Pada latar sosial, prasangka jender kita temukan dalam hampir setiap alur cerita novel. Prasangka jender tampak pada kebiasaan ibu Firdaus melayani ayahnya dan mengurus semua pekerjaan rumah tangga dan pada kebiasaan Firdaus melakukan semua pekerjaan di rumah paman, di rumah Syekh Mahmoud dan di rumah Bayoumi. Kebiasaan ini menggambarkan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lebih pantas dilakukan oleh perempuan, sementara laki-laki hanya pantas dilayani. Oleh sebab itulah ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah terlalu tinggi karena pada akhirnya ia hanya akan mengurus rumah tangga. Perempuan juga harus segera dinikahkan jika ia telah remaja, karena terlalu banyak resikonya jika terus-terusan tak bersuami, sebab dunia sudah penuh dengan bergajul.328 Anggapan ini belum tentu benar adanya, karena harus disesuaikan dengan kondisi si anak. Firdaus yang memiliki prestasi luar biasa di sekolah jelas lebih tepat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, agar masa depannya lebih baik, dan pada gilirannya dapat membawa kesejahteraan tidak hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi orang banyak, sebagaimana cita-cita Firdaus yang sangat tinggi: ingin menjadi pemimpin, bahkan seorang kepala negara. Adapun kekhawatiran terhadap bergajulnya dunia, tidaklah dapat dijadikan alasan yang tepat, karena semua tergantung dengan latar belakang pendidikan agama dalam keluarga serta kasih sayang dan perhatian dari orang-orang sekitar. Ada salah satu ungkapan Firdaus yang menyinggung hak istri dalam wilayah domestik.329 Ungkapan ini sesuai dengan salah satu ungkapan Jawa yang sangat 326
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 266, mengutip dari Mansour Fakih, Analisis Gender…, hal. 8. 327 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 266. 328 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 42. 329 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ........, hal. 16.
140
merendahkan perempuan (kaum ibu) tidak lebih dari sekedar barang: nek awan dadi theklek, nek bengi dadi lemek (kalau siang menjadi alas kaki, kalau malam menjadi alas tidur sang laki-laki). Mesir memang bukanlah Jawa, tetapi budaya patriarki yang telah mengakar di dalamnya juga memiliki keyakinan seperti itu. Di siang hari, perempuan ditugasi untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan suami dan anak, sedangkan pada malam hari perempuan dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seksual suami, dan suami sendiri tidak merasa bertanggung jawab kepada istri.330 Dakam novel juga disebutkan bahwa ajaran agama melegalkan seorang suami memukul istrinya, seolah-olah derajat perempuan lebih rendah dan lebih hina dari pada derajat laki-laki. Jika benar demikian, maka ini merupakan diskriminasi jender, karena adanya perlakuan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Padahal agama selalu menerapkan keadilan bagi ummatnya, dan Islam mengakui persamaan antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan di antara keduanya hanyalah ketaqwaan, bukan seks dan jender. Penafsiran teks agama tidak dapat dilakukan hanya secara tekstual, tetapi harus melihat dan mengkajinya lebih jauh secara kontekstual, agar tidak terjadi kesalahan interpretasi dan pemahaman di kemudian hari.331 Selain dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya di E6, ketidakadilan jender dapat pula dilihat melalui pelecehan-pelecehan seksual yang dialami Firdaus sepanjang hidupnya. Ketika ia masih duduk di sekolah dasar oleh pamannya, oleh Bayoumi dan teman-temannya, oleh para tamu yang minta dilayani olehnya, oleh petugas kepolisian saat ia melarikan diri dari rumah Syekh Mahmoud, oleh laki-laki bermobil mewah, yang meski ia teramat santun terhadap Firdaus dan menolongnya saat Firdaus terlunta-lunta di jalan di tengah hujan, bahkan memberi Firdaus uang sebesar sepuluh pon, namun ia juga meniduri Firdaus. Pada EFirdaus dilecehkan oleh Di’aa, di seringkali para atasan memandang rendah karyawan seperti 330
Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 268. Lihat kembali pembahasan tentang KDRT dan relevansinya dengan ajaran agama sebagaimana telah diuraikan pada hal. 231-232 yang lalu. 331
141
Firdaus dengan menggodanya dan mengajaknya kencan, terdapat kisah pelecehan Firdaus oleh Ibrahim, oleh kepala negara (tokoh penting) dan oleh Marzouk. Ketidakadilan jender yang muncul pada episode-episode tersebut sebagai akibat dari pemberian ciri terhadap laki-laki dan perempuan yang tidak netral dan sarat dengan kepentingan. Kaum perempuan diposisikan sebagai warga nomor dua yang dalam hubungan suami-istri dianggap sebagai pelayan laki-laki332 dan di dalam masyarakat dihantui oleh ancaman perkosaan dan kekerasan lainnya apabila ia berpakaian minim atau bepergian sendiri.333 Perempuan dalam rumah tangga juga dianggap sebagai barang yang dimiliki oleh suami, sehingga suami berhak untuk bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya.334 Dari uraian mengenai prasangka jender yang terdapat dalam latar di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa meski novel IINS berisi tentang semangat perjuangan emansipasi perempuan, tetapi di dalamnya, tanpa sengaja terkandung prasangka jender. Terutama yang terdapat dalam latar tempat dan alat. Hal ini merupakan akibat dari konstruksi budaya tentang perempuan yang telah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang, berabad-abad lamanya dan sulit dihindarkan oleh narator yang cenderung berpikiran feminis sekalipun. Di sisi lain, latar sosial juga mengandung prasangka jender. Tetapi itu sengaja ditampilkan, untuk memperkuat gagasan emansipasi perempuan; bahwa prasangka jender yang berkembang di masyarakat itu menjadi target sasaran bagi para tokoh profeminis untuk dihapuskan.335
332
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 269, mengutip dari Budi Wahyuni, Terpuruk Ketimpangan…, hal. 2-3. 333 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 269, mengutip dari Budi Wahyuni, Terpuruk Ketimpangan…, hal. 56. 334 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 269, mengutip dari Budi Wahyuni, Terpuruk Ketimpangan…, hal. 9-10. 335 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 272.
142
1.4. Hubungan Antara Gaya Bahasa dan Jender Dalam pembahasan mengenai hubungan antara gaya bahasa dan jender, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa gaya bahasa digunakan sebagai media untuk mengkritik prasangka jender yang berkembang dalam masyarakat serta untuk menyuarakan cita-cita emansipasi perempuan dan feminisme. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa
Nawal
al-Saadawi
menganut aliran naturalisme-realisme dalam karya-karya sastranya. Ia tidak mengikuti aliran al-fann al-kâmil (keindahan) seperti kebanyakan para sastrawan dan pujangga. Gaya bahasa yang digunakan Nawal adalah colloqualism atau gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural, dan tanpa embel-embel analitik. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis tidak menemukan kalimat yang dapat diklasifikasikan kepada al-fann al-kâmil. Terlebih lagi, analisis yang dilakukan penulis adalah terhadap kalimat-kalimat yang mengandung gaya bahasa yang berhubungan dengan jender dan emansipasi perempuan, maka gaya bahasa yang banyak digunakan oleh Nawal dalam hal ini adalah sindiran-sindiran yang berupa sarkasme, yaitu suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme akan selalu menyakiti hati dan kurang enak didengarkan.336 Di antara pernyataan-pernyataan yang mengandung gaya bahasa sarkasme adalah sebagai berikut:
"
337
".
336
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 59, mengutip dari Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia), 1986, Cet. Ke-3, hal. 143-144. 337 Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 32.
143
338
[
".
]
"
Ungkapan di atas merupakan kritikan yang sangat pedas yang dilontarkan pengarang kepada laki-laki, dalam hal ini adalah pemerintah. Karena ketika ungkapan tersebut disampaikan, cerita yang sedang berlangsung adalah cerita Firdaus tentang kegemarannya membaca sejarah politik. Dari kisah-kisah para pemimpin, ia mendapati kesamaan di antara mereka, yaitu jiwa-jiwa serakah dan munafik. Ungkapan di atas secara jelas menggambarkan semua itu. Sarkasme lainnya disampaikan dalam ungkapan berikut:
.
339
.
".
.
"
.
Kalimat di atas adalah kritikan terhadap lelaki dan lembaga perkawinan. Sebuah ungkapan yang muncul karena kekecewaan yang amat mendalam yang dirasakan oleh Firdaus ketika ia telah berkali-kali ditipu oleh laki-laki. Pelecehanpelecehan yang pernah dialaminya, perkawinannya yang gagal dan hanya menyisakan perih dengan Syekh Mahmoud, serta cintanya yang telah dikhianati oleh Ibrahim. Pengalaman-pengalaman tersebut membawa Firdaus kepada kebencian yang teramat sangat terhadap laki-laki, sehingga dia melontarkan ungkapan tersebut. Ungkapan lainnya adalah:
338 339
Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 33. Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 97.
144
. 340
".
"
.
Lagi-lagi kritikan terhadap kaum lelaki. Ungkapan tersebut disampaikan oleh Firdaus ketika Ibrahim yang telah mengkhianati cintanya, datang lagi kepada Firdaus beberapa tahun setelah perkawinannya hanya untuk minta dilayani berhubungan seks. Sesuatu yang sangat memalukan bagi seorang lelaki revolusioner yang selalu menyuarakan keadilan seperti dia. Dan tujuan ungkapan tersebut disampaikan adalah untuk mempermalukan dan membuka kedok lelaki seperti Ibrahim. Dalam kesempatan lain, Firdaus juga menyampaikan kalimat berikut sebagai ungkapan atas kekecewaannya terhadap Ibrahim dan perkawinannya dengan Syekh Mahmoud:
341
"
".
Untuk mengkritik para penguasa yang munafik, yang berpura-pura mulia di hadapan rakyat tetapi sebenarnya berperilaku busuk karena mereka selalu menggunakan kekuasaannya hanya untuk memenuhi nafsu birahi mereka. Segala cara akan mereka tempuh dan berapa pun akan mereka bayar untuk memperoleh tubuh seorang perempuan. Ketika Firdaus beberapa kali menolak tokoh penting (kepala negara), ia mengatakan kalimat berikut:
.
342
" .
". 340
Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 97-98. Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 99. 342 Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 101. 341
145
Kekecewaan yang mendalam karena telah mengalami penderitaan dan penindasan yang bertubi-tubi dari kaum lelaki, memberi kekuatan kepada Firdaus untuk membunuh. Ketika pembunuhan itu berhasil dilakukan, Firdaus pun tertangkap. Para polisi mengatakan bahwa apa yang dilakukan olehnya adalah sebuah kejahatan dan Firdaus adalah penjahat. Ia pun menolak tuduhan tersebut dan melontarkan kata-kata sebagai berikut, sebuah pelabelan negatif untuk seluruh kaum lelaki:
" 343
:
".
"
"
Terakhir, sebagai akhir dari sebuah perjalanan yang panjang dan perjuangan mengangkat derajat perempuan, Firdaus telah sampai pada tujuannya. Ia menyatakan bahwa pembunuhan yang dilakukan adalah sebuah kebanggaan karena dapat menghantam dan mengalahkan laki-laki. Meski pada akhirnya ia harus menyerahkan diri pada kematian dan semua orang men-capnya sebagai penjahat. Firdaus menyampaikan ungkapan sebagai berikut:
" . 344
345
"...
.
".
"
343
Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 110. Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 110-111. 345 Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 112. 344
146
346
".
.
"
Berdasarkan uraian tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa dapat digunakan untuk mengkritik kondisi sosial yang sarat dengan prasangka jender. Gaya bahasa yang digunakan di sini adalah sarkasme, yang berfungsi untuk menyindir dan mengejek segala sesuatu yang tidak diinginkan kehadirannya dengan bahasa yang jelas, pedas dan dapat menyakiti orang bersangkutan yang mendengarnya. Dengan sindiran itu, diharapkan dapat terjadi perubahan. Hal ini sekaligus menunjukkan keberanian sang pengarang untuk memperjuangkan kesetaraan jender dan emansipasi perempuan melalui karya sastranya. Namun karya sastra seringkali terjebak dalam prasangka jender ketika menggambarkan tokoh perempuan, yang membuat orang beranggapan bahwa merupakan suatu hal yang tak dapat dipungkiri, jika selama ini karya sastra memang seakan-akan ditujukan hanya untuk pembaca laki-laki.
2.
Pokok-Pokok Pikiran Feminisme dalam Novel Imra`ah 'Inda Nuqthah AlShifr Pembahasan berikutnya adalah mengenai pokok-pokok pikiran feminisme
dalam novel IINS yang pada dasarnya merupakan eksploitasi terhadap pikiran, sikap dan tindakan tokoh cerita dalam hubungannya dengan eksistensi perempuan. Hal ini dilakukan karena berdasarkan asumsi bahwa dalam mengemukakan gagasan kesetaraan jender, emansipasi dan feminisme, unsur-unsur cerita tidak berdiri sendiri, namun ada keterkaitan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, analisis ini dapat dikatakan sebagai analisis antarunsur. Di samping itu pula, dalam bab ini penulis mengemukakan ide-ide feminisme para tokoh secara lebih terperinci. Pikiran dan tindakan para tokoh cerita tentang eksistensi perempuan dikemukakan oleh para tokoh profeminis secara eksplisit dan implisit dalam bentuk
346
Nawal el Saadawi, Imra`ah ‘Inda…, hal. 112.
147
ungkapan maupun lakuan. Karena tokoh profeminis dalam hal ini adalah Firdaus seorang, dengan Sharifa yang tidak terlalu banyak menampakkan sisi-sisi profeminisnya, maka pikiran dan tindakan itu dapat dilihat dari kisah keduanya. Pikiran tentang feminisme dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan sarkasme yang disampaikan Firdaus, serta secara implisit dalam bentuk tindakan prostitusi dan pembunuhan
yang
dilakukannya.
Adapun
Sharifa,
ide
feminisme
yang
disampaikannya kepada Firdaus dapat kita lihat pada episode 8. Adapun pikiran-pikiran tokoh cerita tentang masalah prasangka jender dan emansipasi perempuan pada akhirnya memunculkan sikap-sikap tertentu. Seperti Sharifa, seorang germo yang menolak untuk melayani laki-laki sebelum mereka membayar dengan harga yang tinggi. Atau Firdaus yang telah banyak memunculkan lakuan-lakuan yang menunjukkan perasaan dendam dan perlawanannya terhadap laki-laki. Tokoh-tokoh profeminis dan kontrafeminis memiliki tindakan tertentu yang harus dicermati. Seperti halnya tokoh kontrafeminis setuju dengan KDRT, bahkan menganggap itu sebagai hal yang wajar. Sikap yang pro tersebut tidaklah muncul begitu saja, namun ada nilai-nilai tertentu yang melatarbelakanginya, seperti adat dan tafsir agama yang seolah-olah mendiskriminasi perempuan. Akan tetapi, benarkah demikian? Sebagaimana telah dibahas sekilas dalam bab lalu, hal tersebut belum tentu benar, karena dalam menginterpretasi teks agama tidak cukup hanya membaca teks apa adanya. Maka, dalam menganalisis novel IINS ini, kita harus membuat korelasi antara teks sastra dengan konteks agama secara objektif, agar dapat menjawab pertanyaan dan keraguan ini. Dengan demikian, pembahasan dalam bab IV tentang pokok-pokok pikiran feminisme ini mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1) Firdaus dalam stereotipe perempuan; 2) Peran agama dan adat dalam subordinasi perempuan; 3) Kekerasan terhadap Firdaus sebagai perempuan, di rumah dan di luar rumah; 4) Posisi Firdaus sebagai perempuan: sebagai anak, sebagai keponakan, sebagai istri dan sebagai anggota masyarakat; 5) Aspirasi Firdaus untuk melepaskan diri dari dunia pelacuran 148
dan eksekusi yang menimpanya. Dari pembahasan ini diharapkan kita dapat menemukan bentuk-bentuk dan sarana ketidakadilan jender di dalam novel IINS.
2.1. Firdaus dalam Stereotipe Perempuan Pelabelan atau stereotipe perempuan dalam sebuah karya sastra dapat dilihat dari lakuan dan pikiran tokoh-tokoh cerita serta penggambaran tokoh-tokoh cerita oleh narator. Dalam novel IINS, meskipun jelas merupakan novel feminis karena ideide feminisme nyata betul di dalamnya, namun ternyata masih ada sedikit prasangka jender. Hal tersebut sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat dari penggambaran fisik Firdaus pada episode 2 dan 8, juga fisik Sharifa (E8) dan Syekh Mahmoud (E6). Dalam episode 2 narator menggambarkan kebiasaan Firdaus bersolek melalui ungkapan Firdaus sendiri. Maka penokohan yang berprasangka jender muncul ketika narator menggambarkan bagaimana Firdaus menggunakan tata rias wajah, perawatan rambut, lipstik dan riasan mata yang tepat. Di episode 8 bahkan secara analitis dijelaskan bahwa Firdaus memiliki kecantikan dan daya tarik yang kuat bagi mata para lelaki. Mata yang hitam dan menggoda, bentuk hidung yang indah, tubuh yang langsing dan paha yang tegang, yang dapat merangsang birahi laki-laki manapun yang melihatnya. Gambaran-gambaran fisik ini secara nyata menampakkan pelabelan atau stereotipe ‘cantik’ dan ‘indah’ yang dimiliki perempuan. Begitu pula pada Sharifa di episode 8, Firdaus menggambarkan fisik Sharifa yang sangat lembut dan menyejukkan ketika ia pertama kali bertemu dengannya di tepi Sungai Nil. Sharifa menggunakan selendang berwarna hijau dengan riasan mata yang berwarna hijau juga karena menyesuaikan dengan warna selendang. Sedangkan Syekh Mahmoud di episode 6 digambarkan sebagai tokoh yang jelek dan sangat menjijikan. Maka dalam hal ini nampak perbedaan yang muncul dari kedua tokoh yang kemudian melahirkan prasangka jender bahwa perempuan itu cantik, senang akan keindahan, dan pandai merawat diri. Sebaliknya, laki-laki tidak peduli dengan keindahan dan tidak pandai mengurus diri. 149
Stereotipe kedua yang ada di dalam novel adalah bahwa perempuan itu biasanya ahli dalam pekerjaaan domestik, sedangkan laki-laki lebih sesuai pada sektor publik dan perempuan juga berkewajiban melayani suami (laki-laki) di rumah. Hal ini tampak pada kisah ibu Firdaus dan dirinya. Ibu Firdaus selalu menyediakan makanan untuk ayah, menyediakan segala kebutuhan ayah sehari-hari, membasuh kaki ayah di musim panas dan menghangatkan ayah di musim dingin. Adapun Firdaus, ketika ia masih tinggal di rumah pamannya, ia mengerjakan semua pekerjaan di rumah paman. Firdaus membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika baju paman dan menyediakan makanan dan minuman untuk paman. Terlebih lagi ketika ia menjadi istri Syekh Mahmoud. Firdaus mengerjakan semua pekerjaan di rumah Syekh mahmoud yang besar sendirian sambil diawasi oleh Syekh Mahmoud. Atau ketika ia tinggal bersama Bayoumi. Firdaus juga yang mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menyediakan makanan untuk Bayoumi. Adanya stereotipe yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, merupakan implikasi dari ketidakadilan jender. Dalam hal ini ada pandangan yang salah kaprah terhadap jenis kelamin (seks) dan jender.
Seks
adalah penyifatan atau pembagian jenis laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan biologis, sedangkan jender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya. Seks adalah kodrat, sedangkan jender bukanlah kodrat. Seks tidak dapat dipertukarkan satu sama lain, sedang jender dapat saja dipertukarkan dan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan adat dan kebiasaan suatu daerah tertentu. Namun dewasa ini terjadi peneguhan yang tidak pada tempatnya, apa yang disebut jender dianggap sebagai kodrat, sehingga muncul anggapan bahwa kodrat perempuan adalah mendidik anak dan mengelola rumah tangga.347 Dari stereotipe yang berkembang, maka tugas perempuan adalah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan domestik, sementara laki-laki 347
Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 292, mengutip dari Mansour Fakih, Analisis Gender…, hal. 11.
150
sebagai pencari nafkah utama, atau bekerja di sektor publik. Jika perempuan diberi kesempatan bekerja di luar rumah (sektor publik), maka biasanya perempuan akan ditempatkan pada wilayah-wilayah pekerjaaan yang kurang strategis dan sesuai dengan stereotipe yang melekat dengannya. Contohnya sebagai guru, pekerja sosial, atau sekretaris. Adapun laki-laki dapat menduduki posisi sebagai dokter, insinyur, menteri bahkan kepala negara.348 Hal ini pula yang dialami Firdaus ketika ia bekerja di sebuah perusahaan industri, statusnya hanya sebagai karyawan rendahan. Direktur perusahaan dan para pejabat tinggi perusahaan sebagaimana yang diceritakan oleh Firdaus adalah laki-laki. Wolfman menyatakan bahwa prasangka jender merupakan gagasan tradisional yang stereotipe dan merendahkan martabat kaum perempuan. Kaum perempuan sering digambarkan sebagai orang yang kurang memiliki kemampuan, bodoh dan acuh terhadap lingkungannya. Ada kalanya stereotipe itu mengandung kenyataan, tetapi stereotipe yang merendahkan perempuan dan mengunggulkan laki-laki tersebut, menurut Wolfman, merupakan penilaian yang keliru karena dapat merendahkan martabat manusia. Para feminis selain menolak pandangan stereotipe tersebut juga menentang pola perilaku tradisional kaum perempuan. Mereka menyangkal pendapat bahwa kaum perempuan dalam segala hal berlainan dengan kaum pria. Mereka juga menolak setiap anggapan bahwa ada nilai-nilai dan perbuatan-perbuatan khusus bagi perempuan. Mereka ingin mengoreksi pendapat yang salah mengenai kaum perempuan serta memperjuangkan keadilan dan persamaan kedudukan antara kaum perempuan dengan kaum pria.349 Firdaus menyadari bahwa stereotipe yang dilekatkan kepada perempuan telah membawa banyak petaka dan penderitaan bagi mereka. Firdaus meyakini bahwa perempuan dan laki-laki itu sama dan berhak memperoleh posisi pekerjaan dan 348
Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 292-293, mengutip dari Brunetika R Wolfman, Peran Kaum Wanita: Bagaimana Menjadi Cakap dan Seimbang dalam Aneka Peran, (Yogyakarta: Kanisius), 1989. 349 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 293-294, mengutip dari Brunetika R Wolfman, Peran Kaum Wanita…, hal. 38-39.
151
penghargaan yang sama. Pikiran Firdaus ini dapat kita lihat dalam E4, tentang citacitanya ingin menjadi insinyur, dokter, pengacara, hakim bahkan kepala negara. Efek buruk dari stereotipe itu juga semakin ia rasakan ketika ia kerap kali mengalami pelecehan seksual. Menyadari bahwa harga dirinya diinjak-injak, maka Firdaus bangkit dan mulai memperjuangkan prinsip dan ide kesetaraan jendernya melalui praktek prostitusi. Dari uraian yang telah dikemukakan tadi, nampak jelaslah bagi kita bahwa di dalam novel IINS masih terdapat stereotipe perempuan. Dan uniknya, stereotipe ini justru dilekatkan kepada tokoh-tokoh profeminis, terutama pada Firdaus, yang diciptakan langsung oleh narator.
2.2. Peran Agama dan Adat dalam Subordinasi Perempuan Dalam pandangan teologi, kekuasaan hierarkis laki-laki atas perempuan adalah keputusan Tuhan yang tidak bisa diubah. Argumen yang diajukan untuk ini biasanya adalah pernyataan Tuhan dalam al-Qur`an Surat al-Nisâ` ayat 34. Terhadap kata qawâmûn dalam ayat tersebut, semua mufassir al-Qur`an masa klasik maupun modern mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung jawab, penguasa, pelindung dan yang sejenisnya. Argumen yang dikemukakan untuk tugas kepemimpinan lakilaki atas perempuan ini, menurut ayat itu, adalah karena laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan perempuan.350 Dengan demikian, hierarki kekuasaan laki-laki atas perempuan telah mendapat legitimasi teologis. Dari sini selanjutnya dinyatakan bahwa pernyataan Tuhan tersebut merupakan ketentuan yang pasti dan tidak bisa diubah.351 Dalam konteks ayat di atas, dijelaskan bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan hanya dalam lingkup domestik (rumah tangga) saja. Akan tetapi, sebagian 350
Lihat hadits Rasulullah dalam Shahîh al-Buhkhâry, Kitâb al-Haidl, Bab: Tark al-Hâ`idl li al-Shaum, J. I, hal. 483 yang segera terbantah melalui kenyataan-kenyataan empirik. Seperti di jelaskan dalam Hibah Rauf Izzat, al-Mar`ah wa al-‘Amal al-Siyâsy, Ru`yah Islâmiyah, al-Ma’had al‘Amaly li al-Fikr al-Islâmy, 1995, Cet. Ke-1, hal. 101-103, dan dikutip oleh Hussein Muhammad dalam catatan kaki no. 2, Refleksi Teologis tentang Kekerasan…, hal. 277-278). 351 Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang Kekerasan…, hal. 206.
152
ulama dan mufassir memperluas makna ini. Menurut mereka, makna kekuasaan lakilaki atas perempuan juga termasuk dalam lingkup publik, yaitu dalam urusan sosial dan politik, atau dalam istilah lain disebut al-Mu’âmalah al-Madaniyyah. Teologi patriarkat seperti ini kemudian berkembang menjadi sesuatu yang berlaku bagi semua sistem kekeluargaan maupun sosial, yang konsekuensinya adalah subordinasi perempuan oleh laki-laki baik di dunia publik maupun wilayah domestik. Pada tataran realitas sosial, pandangan ini sering dijadikan legitimasi oleh laki-laki untuk tindakan superioritasnya, termasuk kekerasan terhadap kaum perempuan, baik dalam wilayah sosial, politik, ekonomi, ritual, maupun domestik. Mafhûm al-Mukhâlafah-nya adalah bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah dan tak berdaya. Selanjutnya stereotipe subordinatif dan marginal segera dengan mudah ditimpakan kepada perempuan. Misalnya, secara kodrati perempuan dikatakan memiliki tugas di rumah, mengurus dan menjaga suami dan anak-anak, oleh sebab itu ia tidak berhak untuk menjadi pemimpin, terlebih memimpin kaum laki-laki. Ia juga harus tunduk pada kekuasaan laki-laki. Pada gilirannya, keyakinan ini juga akan melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun mental.352 Adat yang berlaku dalam masyarakat Mesir di mana novel ini diangkat juga demikian. Masyarakat Mesir yang mayoritas penduduknya muslim seringkali menggunakan teks-teks agama sebagai alat untuk melegitimasi segala tindakan mereka, khususnya dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan kepemimpinan lakilaki dan kesetaraan jender. Meski sejak tahun 1980-an para perempuan Mesir telah menikmati dampak perubahan dalam berbagai sistem di Mesir, di mana pendidikan, perubahan ekonomi dan komunikasi modern telah memberi harapan baru terutama bagi mereka yang hidup di wilayah terpencil, namun pada saat yang bersamaan, konservatisme dan fundamentalisme keagamaan bersaing untuk mendapatkan perhatian dan pengaruh pada masyarakat. Mereka menolak perubahan dan
352
Lihat: Hussein Muhammad, Refleksi Teologis tentang Kekerasan…, hal. 206-207.
153
menyerukan untuk kembali kepada nilai-nilai dan pandangan hidup tradisional. Kaum konservatif maupun fundamentalis menekankan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki secara sosial maupun hukum, “kodrat perempuan dan peran mengatur rumah tangga (domesticity) sebagai pemberian Tuhan.”353 Kehormatan keluarga di Mesir bergantung pada moral anggota keluarga perempuannya. Dari sinilah kemudian muncul pembedaan berdasarkan jenis kelamin, kontrol oleh suami atau ayah, dan pementahan semangat perempuan untuk pergi dan bekerja. Pertumpahan darah terhadap seorang anak perempuan untuk membersihkan kehormatan keluarga merupakan relitas sosial yang masih terjadi di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain.354 Dengan kata lain, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, seorang anak perempuan dapat dibunuh oleh salah satu anggota keluarga laki-lakinya apabila mereka menganggapnya telah melakukan “perbuatan yang tidak terhormat.” Dan kasus-kasus pembunuhan seperti itu seringkali terjadi tanpa ada peringatan dan ancaman hukuman apa pun dari pemerintah setempat.355 Dalam
tradisi
masyarakat
Mesir,
agar
perempuan
bisa
menjaga
kehormatannya, dia harus dikontrol oleh anggota keluarganya yang laki-laki. Perempuan juga harus mengontrol dirinya sendiri dan secara terus menerus menyadari kesan umum terhadap dirinya. Harga diri yang paling mahal bagi perempuan yang belum menikah adalah menikah secara baik-baik. Banyak yang masih percaya bahwa perempuan itu seperti anak-anak dan sifat dasar mereka terlalu emosional untuk dicampurkan secara bebas dengan laki-laki.356 Bentuk kontrol yang
353
Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 27. Sebagai contoh, lihat beberapa contoh yang diberikan oleh Nawal al-Saadawi dalam bukunya The Hidden Face…, 1981, atau terj. Zulhilmiyasri, Perempuan dalam…, 2001. Sebuah artikel berjudul “In Cold Blood,” dalam The Guardian Weekly, 16 November 1997, menunjukkan suatu jumlah yang mengerikan tentang meningkatnya jumlah pembunuhan pemurnian (honor killing) di Yordania. (Lihat catatan kaki no. 24 pada Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 270). 355 Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 33-34. 356 Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 34. Lihat pula: Wiebke Walther, Women in Islam from Medieval to Modern Times, (Princeton: Markus Wiener Publishers), 1995, hal. 239. 354
154
terakhir adalah praktik pemotongan klitoris karena dipercaya untuk mengendalikan nafsu perempuan. Kebiasaan menyunat perempuan ini masih dipraktikkan secara luas di berbagai lapisan masyarakat Mesir. Hal ini masih saja terjadi sekalipun dilarang oleh pemerintah dan sekalipun para dokter menolak untuk melaksanakan operasi penyunatan tersebut. Alasan yang diberikan atas berlangsungnya praktik ini beragam: untuk memotong sifat-sifat maskulin dalam diri perempuan, untuk membuat perempuan lebih cantik, untuk menjamin si perempuan mendapatkan suami yang baik, atau demi kebahagiaannya.357 Bagi masyarakat Mesir yang plural, di mana terdapat percampuran tradisi, budaya dan agama, laki-laki Kristen merupakan kepala keluarga, dan seperti halnya laki-laki Muslim, mereka lebih suka pasangan (istri) mereka tinggal di rumah dan hanya mengizinkan mereka bekerja di luar rumah apabila dianggap perlu untuk menambah pendapatan keluarga. Para pemimpin agama juga selalu laki-laki karena para pemimpin Kristen laki-laki dianggap lebih memahami masalah keagamaan dari pada perempuan. Baik ummat Muslim maupun Kristen mempercayai bahwa seorang perempuan dalam masa reproduksinya sebagai sebuah sumber kekotoran dan godaan. Mereka tidak pernah diizinkan memasuki altar gereja, karena takut akan mengotorinya. Ketika menstruasi seorang perempuan lebih diharapkan untuk tidak pergi ke gereja.358 Berkenaan dengan tulisan seorang Muslim konservatif, “Perempuan yang berada di luar rumah, jauh dari laki-lakinya adalah fitnah yang merupakan sumber anarki sosial.”359 Seorang pemimpin Kristen Mesir menulis, “Seorang perempuan adalah perempuan dan sebagai daya tarik dan sumber godaan yang serius dari suaranya, wajahnya dan bentuk tubuhnya, dan tentu saja dari setiap gerakan dan perilakunya.”360 357
Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 34. Lihat: Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 35-36. 359 Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 36, mengutip dari Stowasser, Women’s Issues, hal. 17. 360 Nelly Van Doorn Harder, Perempuan di Mesir…, hal. 36, mengutip dari Matta al-Meskin, Women, Their Roles and Obligations in Social and Religious Life in the Early Church, Monastery of St. Macarius, 1984, hal. 37. 358
155
Dalam novel IINS, beberapa kali dijelaskan tentang aturan agama dan adat yang membuat perempuan (yang direpresentasikan oleh Firdaus) ada pada posisi subordinat. Kebiasaan ayah memukul ibunya dan tak pernah memberi kesempatan ibu untuk melawan atau bicara, karena dalam novel dikisahkan betapa ibu sangat tunduk dan patuh kepada ayah. Begitu juga dengan kisah pemukulan Firdaus oleh Syekh Mahmoud yang menurut paman merupakan suatu hal yang dilegitimasi oleh agama, eksploitasi dan pelecehan-pelecehan yang dialami Firdaus dan sebagainya merupakan wujud dari proses subordinasi perempuan. Namun yang seharusnya menjadi pertanyaan bagi kita di sini, benarkah agama merupakan penyebab perempuan tersubordinasi? Bukankah agama selalu mengajarkan prinsip-prinsip keadilan? Dan bukankah dalam beberapa teks agama juga dikatakan bahwa perempuan itu setara dengan laki-laki? Sampai pada dataran ini, kita mungkin dihadapkan dengan suatu kebingungan. Namun sebagaimana telah disampaikan di awal, bahwa ketika memahami sebuah teks agama, interpretasi yang dilakukan mestinya tidak hanya dilakukan secara tekstual, namun perlu juga dilakukan pendekatan kontekstual, untuk melihat dan mengkaji ajaran-ajaran tersebut sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan masyarakat akibat adanya perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan teknologi dari zaman ke zaman. Pendekatan tekstual dan kontekstual berusaha untuk menitikberatkan pengamatan dan dinamika masyarakat yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara teks dan konteks itu.361 Selain itu, perlunya mengkaitkan makna dan interpretasi sebuah teks agama (ayat/sabda Rasul) dengan konteks sosio-historisnya adalah agar dapat menangkap makna simbolik yang terdapat di dalamnya untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah aturan hukum dan tuntunan moral yang berlaku universal. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa formulasi syari’ah sangat banyak bergantung pada faktor manusia. Pertama, bagaimana sebuah isu menurut hukum disimpulkan dari al-Qur`an 361
Nursyahbani Katjasungkana, Pandangan Islam tentang Posisi Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga, salah satu artikel dalam Dadang S. Ansori (et.al)., Membincangkan Femnisme, (Bandung: Pustaka Hidayah), 1997, Cet. Ke 1, hal. 215.
156
dan Hadits. Kedua, konteks ayat al-Qur`an semacam apa yang melatarbelakanginya dan hadits yang dijadikan sandaran. Ketiga, apakah derajat otentitas hadits tersebut shahîh, lemah atau palsu. Penerimaan atau penolakan atas satu hadits juga bergantung pada orang yang bersangkutan. Keempat, andaikata pun hadits itu otentik, masih ada soal dalam cara bagaimana pemahaman para sahabat yang merawikannya. Semua aspek tersebut melibatkan faktor manusia, dengan segala kekurangan dan kecenderungannya untuk berbuat khilaf. Oleh sebab itu, penekanan pelaksanaan suatu ayat/sabda rasul berdasarkan teksnya saja tanpa memperhatikan konteks sosialnya sama artinya dengan mengabaikan makna serta cita-cita sosial dan moral yang dikandung dalam ayat/sabda Rasul tersebut. Karena syari’ah didasarkan pada alQur`an dan Sunnah, maka banyak ketentuan di dalamnya yang bersifat kontekstual, sehingga perlu ditinjau kembali bersama terjadinya perubahan pada konteks.362 Jika teks al-Qur`an yang menganjurkan seorang suami untuk memukul istrinya dipahami begitu saja secara tekstual, jelas itu tidak benar. Karena ini sama saja dengan melegalkan suami berbuat semena-mena terhadap istri. Padahal dalam teks lain Rasulullah melarang seorang suami memukul dan melakukan penganiayaan terhadap istrinya, bahkan beliau menyatakan bahwa sebaik-baik laki-laki adalah yang terbaik bagi keluarganya. Dari uraian tersebut, maka dapat kita seimpulkan bahwa faktor dasar subordinasi perempuan adalah adat yang telah berjalan turun temurun. Adat mempengaruhi pola pikir warganya tentang kaum perempuan. Adat juga dapat mempengaruhi tafsir agama sehingga masyarakat kadang-kadang berbuat kesalahan dalam memahami ajaran agamanya. Agama (Islam) pada dasarnya tidak mengenal subordinasi perempuan. Agama “dikalahkan” oleh adat karena umur agama jauh lebih muda dari pada adat.363
362
Lihat: Nursyahbani Katjasungkana, Pandangan Islam tentang…, hal. 218, mengutip pendapat Asghar Ali Engineer, Ulumul Qur`an 3, 1994. 363 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 305-306.
157
2.3. Kekerasan Terhadap Firdaus Sebagai Perempuan: di Rumah dan di Luar Rumah Uraian-uraian dalam bab sebelumnya telah menjelaskan bahwa perempuan memiliki banyak stereotipe dalam dirinya, salah satunya adalah makhluk yang lemah, lembut dan tak berdaya, sedangkan laki-laki sebaliknya. Laki-laki adalah makhluk yang kuat, gagah dan perkasa. Oleh karena memiliki stereotipe lemah, perempuan seringkali menjadi objek kekuatan dan keperkasaan laki-laki. Perempuan sering diperdaya, dilecehkan dan ditindas. Dengan kata lain, perempuan sering mengalami kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Kekerasan-kekerasan yang dialami Firdaus sebagaimana telah dikisahkan sebelumnya adalah kekerasan fisik maupun bathin. Ketika masih kanak-kanak, Firdaus seringkali mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ayahnya yang tak pernah peduli dengan kondisi Firdaus: apakah sehat atau sakit, dapat tidur dengan nyaman atau tidak, kedinginan atau merasa hangat, adakah Firdaus merasa lapar atau dahaga, dan sebagainya. Yang ada dalam fikiran ayah hanyalah bagaimana segala kebutuhannya dipenuhi dan dilayani oleh ibu, dan bagaimana bisa menukar anak gadisnya dengan mas kawin jika telah tiba saatnya ia menikah. Begitu pula perlakuan ibu yang kasar dan kejam terhadap Firdaus: cara membangunkan ibu yang kasar dengan meninju bahu Firdaus keras-keras, pemotongan secuil daging di antara kedua paha Firdaus ketika ia berbuat salah, mengurung Firdaus di dalam rumah, membebani pekerjaan-pekerjaan berat kepada Firdaus, dan sebagainya.364 Kekerasan juga dialami Firdaus saat ia tinggal bersama pamannya. Firdaus harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sepulang dari sekolah. Meski Firdaus melakukan semuanya dengan senang hati, tetapi pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang berat itu tidak tepat untuk dibebankan kepada anak seusia Firdaus yang masih duduk di sekolah dasar. Belum lagi pelecehan-pelecehan seksual yang
364
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 16-23.
158
dilakukan oleh pamannya.365 Menurut penulis, hal ini juga dapat dikategorikan kekerasan, yaitu kekerasan seksual dan bathin. Firdaus dalam hal ini memang seolah menikmatinya, karena kepolosannya yang masih anak-anak. Tetapi sesungguhnya itu adalah salah satu bentuk kekerasan, karena memberi pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan psikologis Firdaus dan masa depannya. Ketika Firdaus menikah, ia juga mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Betapa tidak, pernikahan yang dilakukannya secara terpaksa sangat menyiksa bathinnya. Belum lagi sepanjang harinya selama ia tinggal di rumah Syekh Mahmoud, Firdaus harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga: membersihkan rumah, memasak, mencuci dan lain-lain. Selesai mengerjakan semuanya, Firdaus harus melayani suaminya yang menjijikan di tempat tidur. Karakter suaminya yang pelit membatasi kebutuhan pangan Firdaus. Firdaus harus membiarkan suaminya melototi piring makanannya dan bersedia dimarahi jika meninggalkan sisa-sisa makanan satu butir pun. Atau jika ia menumpahkan bahan makanan, beberapa butir detergent, atau membuang sisa-sisa makanan di tempat sampah, Firdaus harus menerima pukulan-pukulan dan berbagai makian dari suaminya. Firdaus pernah menyerah menghadapi keadaan ini dan berlindung di rumah paman. Tetapi paman malah melindungi Syekh Mahmoud dan menyuruh Firdaus kembali ke rumah suaminya. Perlakuan suaminya semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya Firdaus memutuskan untuk pergi meninggalkannya selamalamanya.366 Ketika Firdaus berhasil lolos dari penganiayaan suaminya, ia jatuh ke tangan Bayoumi. Kesan awal yang baik membuat Firdaus merasa nyaman tinggal bersama Bayoumi. Namun lambat laun, Bayoumi berubah, dan Firdaus kembali mengalami kekerasan. Sesudah lelah harus membersihkan rumah dan menyiapkan makanan untuk Bayoumi, Firdaus juga harus melayani Bayoumi di tempat tidur. Tak jarang Bayoumi 365 366
memukulnya,
bahkan
suatu
ketika
membiarkan
teman-temannya
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 18, 25-27. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 49-53.
159
memperkosa dan menghina Firdaus. Kekerasan itu mencapai puncaknya dengan mengurung Firdaus di rumahnya dan tidak mengizinkannya pergi.367 Lepas dari tangan Bayoumi, Firdaus jatuh ke dalam genggaman Sharifa, seorang germo yang mengajarkan Firdaus tentang harga seorang perempuan, tetapi sebetulnya ia sendiri mengeksploitasi Firdaus. Sharifa memberi Firdaus berbagai fasilitas, sekaligus menjadikannya sebagai seorang pelacur kelas atas. Sepanjang siang dan malam, Firdaus menghabiskan waktunya di tempat tidur untuk melayani berbagai macam tamu yang datang ke kamarnya. Namun dari rasa lelah ini, Firdaus tak memperoleh upah sedikit pun. Sharifa telah memanfaatkan kecantikan dan tenaganya.
Firdaus
tersadar
ketika
Fawzi,
salah
seorang
langganannya
memberitahukan hal itu kepadanya. Fawzi ingin mempersunting Firdaus. Tetapi saat menyatakan keinginannya kepada Sharifa, Fawzi malah ditentang dan terjadilah perdebatan sengit di antara mereka, hingga akhirnya Firdaus mendapati mereka berdua sedang bergumul di tempat tidur. Firdaus kecewa, dan pergi meninggalkan tempat prostitusi itu.368 Firdaus kini telah terbebas dari penipuan para pemangsa kebebasan dirinya. Namun di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang petugas polisi, dan lagi-lagi mengalami kekerasan (pelecehan seksual). Dengan tubuh yang teramat lemah dan lunglai, Firdaus dipaksa untuk melayani petugas polisi tersebut. Terpaksa karena terancam masuk penjara, Firdaus pun menuruti keinginan sang polisi.369 Sang polisi telah membiarkannya pergi, Firdaus bertemu dengan seorang lelaki tampan bermobil mewah. Malam itu hujan turun sangat derasnya. Laki-laki tersebut menolong Firdaus dan mengajak Firdaus ikut bersamanya. Ketika mempersilahkan Firdaus masuk ke dalam mobilnya, laki-laki tersebut menyentuh dan menekan dada Firdaus, di mana pakaian basah yang dikenakannya telah enampakkan kedua buah dadanya. Sesampainya di rumah laki-laki tersebut, Firdaus dimandikan 367
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 55-59. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 60-69. 369 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 70-71.
368
160
dan diberinya kamar tidur yang hangat. Tetapi laki-laki tersebut juga meniduri Firdaus.370 Keesokan paginya, Firdaus diizinkan meninggalkan rumah lelaki tersebut dengan menggenggam uang sebesar sepuluh pon sebagai bayaran. Uang tersebut memberi
semangat
dalam
jiwa
Firdaus.
Ia
merasa
harus
bangkit
dari
ketidakberdayaannya. Firdaus kemudian membuka tempat prostitusinya sendiri. Ia kini bebas menentukan dengan siapa ia melakukan hubungan seksual. Namun suatu ketika, seorang kawannya bernama Di’aa kembali menyakitinya. Di’aa yang seorang wartawan dan penulis mengatakan bahwa profesi Firdaus itu tidak terhormat dan Firdaus adalah wanita tidak terhormat. Firdaus merasa sangat terpukul dengan katakata itu, dan ia kembali mengalami keterpurukan dalam jiwanya.371 Kata-kata yang dilontarkan Di’aa membuat Firdaus berpikir untuk mencari pekerjaan yang halal. Nasib berpihak pada Firdaus. Akhirnya Firdaus diterima di sebuah perusahaan industri. namun lagi-lagi ia mengalami kekerasan. Beberapa kali pejabat tinggi perusahaan meremehkannya bahkan terkadang minta untuk dilayani. Belum lagi cara mereka memandang rendah dan hina terhadap Firdaus. Klimaksnya, ketika Firdaus jatuh cinta dengan Ibrahim, salah seorang karyawan yang jabatannya lebih tinggi dari Firdaus, dan cintanya dikhianati. Ibrahim menikah dengan anak seorang presiden direktur.372 Patah hati yang dialaminya membuat Firdaus membenci laki-laki dan memutuskan untuk kembali ke dunia pelacuran. Kini Firdaus berhasil menjadi seorang pelacur yang sangat sukses. Bahkan beberapa kali para tokoh penting minta dilayani olehnya, dan seringkali pula Firdaus menolaknya. Akibat penolakan ini, Firdaus pernah dipenjara. Namun kesuksesan Firdaus tercium oleh seorang germo bernama Marzouk. Ia pun memaksa Firdaus bergabung bersamanya. Firdaus tak dapat menolak. Namun dari kerjasama ini, Firdaus sering dirugikan. Selain 370
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 72. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 73, 77-81. 372 Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 82-96.
371
161
kebebasannya menjadi terbatas, sebagian upahnya diberikan kepada Marzouk, dan tak jarang pula ia harus melayani birahi Marzouk. Jika ia menolak, maka Marzouk akan memukul dan melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Hingga ketika Firdaus sudah tak tahan dengan keadaan ini, Firdaus pun seolah diberi kekuatan untuk membunuh Marzouk.373 Pembunuhan yang dilakukan Firdaus trerhadap Marzouk membuat Firdaus harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Pembunuhan yang ia lakukan atas dasar kekecewaan, kebencian dan pembalasan dendamnya kepada para lelaki yang pernah menganiayanya, dibalas dengan hukuman mati karena perbuatan Firdaus dianggap salah. Firdaus pun tidak menolak. Menurutnya, ini adalah cara terbaik untuk mengimplementasikan semangat emansipasinya.374 Jadi, lengkaplah kekerasan yang dialami Firdaus sebagai perempuan. Di rumah, ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari orang tua, paman dan suaminya. Begitu pula di luar rumah, ia harus mengalami berbagai kekerasan yang dilakukan masyarakat. Seolah-olah dunia ini adalah milik laki-laki, “dunianya laki-laki.”375 Dan sementara itu, di mana pun perempuan berada, ia selalu dihantui oleh ketakutan. Hal itulah yang menyebabkan perempuan selalu merasa tidak tenang karena siksaan bathin.376
2.4. Posisi Firdaus Sebagai Perempuan dan Aspirasinya untuk Melakukan Pemberontakan Kisah perjalanan
hidup
Firdaus
menggambarkan
sebuah
penderitaan
berkepanjangan yang dialami seorang perempuan. Sebagai perempuan, Firdaus selalu berada pada posisi subordinat. Sejak masa kecilnya ketika ia menjadi seorang anak, kekerasan seringkali menyentuhnya. Hingga ia dewasa kekerasan-kekerasan yang 373
Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 96-106. Lihat: Nawal el-Saadawi, Imra`ah ‘Inda ………, hal. 106-115. 375 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 312, mengutip dari KardinahSoeparjo Roestam, Wanita, Martabat dan Pembangunan, (Jakarta: Forum Pengembangan Keswadayaan/Participatory Development Forum), 1993, hal. 3. 376 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 312. 374
162
dialaminya datang silih berganti. Kekerasan-kekerasan ini, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, adalah efek dari subordinasi perempuan. Sebagai seorang anak, keberadaan Firdaus sepertinya tidak diperhitungkan. Masa kecil Firdaus yang seharusnya adalah masa bermain, dihabiskannya dengan melakukan pekerjaan—pekerjaan berat yang dibebankan orang tuanya kepadanya. Kesejahteraan dan keberlangsungan hidup Firdaus seolah bukan menjadi hal yang penting bagi kedua orang tuanya. Karena dari gambaran Firdaus, mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Bahkan seringkali Firdaus mendapatkan hukuman (tindak kekerasan) dari mereka. Keadaan itu membuat Firdaus merasa lebih nyaman untuk tinggal bersama pamannya. Bersama paman, sebagai keponakan, ternyata Firdaus juga mengalami hal yang sama. Paman yang telah mengajari Firdaus banyak ilmu, menyekolahkan Firdaus di sekolah dasar. Sebagai keponakan, meskipun masih sangat belia, Firdaus harus bisa menyenangkan hati pamannya. Salah satunya adalah dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah paman, dan seringkali dengan melayani paman di tempat tidur. Ketika menikah dengan Syekh Mahmoud, posisi subordinat ini semakin menjadi. Firdaus seringkali menjadi korban amukan laki-laki tua ini. Firdaus sering dipukul sampai berdarah dan luka memar. Firdaus tak diperbolehkan menentangnya sedikit pun. Bahkan ketika ia kabur dari rumah suaminya sebagai upaya menyadarkan Syekh Mahmoud, yang ia dapat hanyalah sebuah nasihat agar tetap bersabar dan bahwa tindakan suaminya itu dibenarkan oleh agama. Pernikahan Firdaus dengan Syekh Mahmoud yang mengalami kegagalan membuat Firdaus frustasi dan memutuskan untuk meninggalkan suaminya. Firdaus kini telah terbebas dari kebengisan Syekh Mahmoud. Namun ini berarti ia memulai kehidupan barunya sebagai anggota masyarakat kelas dua yang selalu direndahkan, dihina dan dilecehkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pelecehan seksual yang dialami Firdaus. Pelecehan-pelecehan itu dengan kata lain adalah manifestasi dari subordinasi seorang perempuan dalam masyarakat. 163
Dari uraian di atas tadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa posisi seorang perempuan (dalam hal ini: Firdaus) dalam lingkup keluarga dan sosial adalah posisi subordinat. Posisi ini tak dapat tergantikan, karena budaya dan agama (dengan pemahaman tafsir qur`an dan hadits secara misoginis) seolah mengaturnya demikian. Akan tetapi, menyadari hal ini Firdaus tidak menyerah begitu saja. Ia malah merasa harus bangkit dan bergerak memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan perempuan. Karena sebagai makhluk Tuhan, perempuan juga punya hak untuk dikasihi, dihargai dan dimuliakan. Buah dari pemikiran Firdaus adalah keberaniannya untuk melakukan pembunuhan dan menolak meminta grasi kepada presiden. Baginya, kematian adalah kemenangan, karena ia telah memperoleh rasa bangga dari kematian itu. Rasa bangga karena telah berhasil melakukan perlawanan terhadap hegemoni budaya patriarki yang telah menindasnya hingga ke titik yang terendah, titik nol.
164
BAB V KESIMPULAN Novel Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr (IINS) sebagai salah satu karya sastra Arab yang mendukung emansipasi perempuan tidak memiliki nilai estetika sastra yang tinggi. Hal tersebut karena gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang adalah colloquialism atau gaya bahasa harian dan bersifat natural. Pengarang tidak mengikuti aliran al-fann al-kamil. Sehingga dalam novel ini penulis tidak menemukan unsurunsur Balâghah yang bisa memperindah struktur kalimatnya. Di samping itu, gaya bahasa yang dianalisis oleh penulis adalah yang ada kaitannya dengan prasangka jender dan emansipasi perempuan. Dalam hal ini, penulis menemukan bahwa pengarang menggunakan gaya bahasa sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Ekspresionisme yang diungkapkan oleh pengarang adalah untuk mendobrak doktrin-doktrin dominasi laki-laki terhadap perempuan (androsentrisme). Pengarang menggunakan rentetan frasa dengan nada provokatif serta suspense yang terus meningkat dan rising plot (alur menanjak), di mana jalinan peristiwa dalam karya yang dihasilkannya terus menanjak tanpa ada peleraian, sehingga pembaca akan terus terbawa dalam ketegangan sampai cerita itu selesai di puncak. Topik-topik dan tema-tema yang diketengahkan di dalam novel ini secara umum adalah tentang prasangka jender dan emansipasi perempuan. Hal ini kemudian dijabarkan dengan berbagai peristiwa yang menimpa Firdaus, tokoh utama dalam cerita yang ditampilkan oleh pengarang.. Selain tokoh Firdaus, pengarang juga menampilkan tokoh-tokoh lain untuk menggambarkan berbagai peristiwa yang terjadi. Maka tokoh-tokoh dalam novel ini terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. Di antara tokoh-tokoh tersebut juga ada yang mengalami perkembangan dan perubahan watak, dari yang awalnya baik berubah menjadi jahat dan kejam. Dalam kaitannya dengan kritik feminis, tokohtokoh tersebut terbagi kepada tokoh-tokoh profeminis, yaitu tokoh yang setuju dengan emansipasi perempuan dan tokoh-tokoh kontrafeminis, yaitu tokoh-tokoh
165
yang tidak setuju dengan ide emansipasi. Hal ini dapat dilihat dari sikap dan perilaku tokoh. Novel IINS
memiliki
alur
sorot
balik
(flash-back)
atau regresif.
Pengalurannya bersifat longgar atau tidak rapat dengan munculnya digresi pada beberapa episodenya. Akhir cerita dalam novel bersifat sad ending, yaitu dengan proses eksekusi yang harus dijalani oleh Firdaus. Beberapa penelitian terhadap novel ini di antaranya adalah yang dilakukan oleh George Tharabishi . Ia meneliti karya tersebut dari aspek analisis psikologi, sebagai titik tolak untuk penelitian dari kacamata kritik sastra dan ideologi. Dalam bukunya, “Untsâ Dliddl al Unûtsah” ia berpendapat bahwa sang pengarang (Nawal al-Saadawi) dalam setiap karyanya tiada lain berbicara tentang jiwa yang teraniaya, sebagai upaya mensosialisasikan ideologi feminisme. Novel IINS menurutnya penuh dengan pujian terhadap seorang perempuan yang selalu menganggap dirinya benar, sampai ketika ia menjadi seorang pelacur dan pembunuh. Dalam analisisnya, Tharabishi berpendapat bahwa dalam novel IINS terdapat penampakan sebuah pandangan ideologi di mana simbol suatu masyarakat dapat mencapai sebuah kesempurnaaan dengan meniadakan nilai-nilai yang dianggap tinggi dan terhormat selama ini, yaitu budaya patriarki. Adapun kritik terhadap karya-karya sastra yang mengandung sebuah ideologi tidak akan bisa menemukan nilai seni dan sastra yang tinggi di dalamnya. Akan tetapi Nawal al-Saadawi menurutnya tetaplah seorang maestro dalam karya-karya sastra perempuan Arab.377 Penelitian lainnya dilakukan oleh Diana Royer dari universitas Michigan. Dalam bukunya “A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writers and Activist”, ia mengatakan bahwa novel tersebut secara kontekstual menggambarkan tentang kompleksitas masyarakat Mesir saat ini, khususnya tentang paham Islam Fundamentalis dan status perempuan. Novel tersebut juga menjelaskan perdebatan ilmiah yang terjadi saat ini dalam hal status perempuan kuno. Setiap bab 377
Abdullah Abu Haif, Ittijâhât al-Naqd al-Rawâ`iy fï Sûriyah, http://www.awudam.org/book/06/study06/376-A-H/book06-sd007.htm
166
dalam novel memperlihatkan teknik tradisi sastra lisan, cerita perempuan, sebuah citra, serta topik-topik tentang penyunatan perempuan, peran gender, pelacuran dan kehormatan membunuh.378 Penelitian lainnya adalah oleh Miriam Cooke dalam tulisannya “al-Dirâsât alNisâiyyah al-Aurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah”. Miriam Cooke mengatakan bahwa novel IINS berisi tentang perjuangan perempuanperempuan Mesir dalam mencari eksistensi diri dan ekonomi. Oleh sebab itu, para pengkritik sastra menurutnya menganggap novel tersebut sebagai penyebaran politik radikal yang disampaikan oleh pengarang, sehingga karya tersebut tidak seperti karya-karya sastra pada umumnya yang memiliki nilai estetika sastra yang tinggi. Bahkan novel tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah karya sastra.379 Tesis ini pada dasarnya adalah untuk mengkaji kembali dan memperkuat pendapat-pendapat yang telah ada. Akan tetapi dalam tesis ini ada satu revisi. Menurut penulis dari pesan-pesan feminisme yang disampaikan oleh pengarang melalui novel IINS ini, kita dapat menilai bahwa pengarang menganut aliran feminisme sosialis, bukan radikal. Hal tersebut dapat dilihat dari upayanya mensintesiskan berbagai perspektif feminis antara teori kelas Marxis dan the personal is political dari kaum radikal, yang menurut mereka, penindasan perempuan ada di kelas manapun. Ada ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis di satu pihak dan kebutuhan untuk menjaga integritas materialisme Marxisme di pihak lain, sehingga analisis patriarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production. Penghapusan sistem kelas laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat, peniadaan dikotomi publik-privat, koreksi dan kritik tentang lembaga perkawinan, mengisyaratkan dengan jelas betapa aliran Marxisme dan radikal mewarnai aspirasiaspirasi pengarang, meski pengarang sendiri menolak untuk dikatakan sebagai seorang Marxis ataupun seorang yang radikal. 378
Diana Royer, A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writers and Activist, (Michigan: Edwin Mellen Press), 2001, hal. 115. 379 Miriam Cooke, al-Dirâsât al-Nisâiyyah al-Aurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah, http://sjoseph.ucdavis.edu/ewic/v1arabicparted/euroamerican_woman.pdf
167
Dalam tesis ini, berdasarkan analisis strukturalisme, dalam beberapa unsur novel, penulis menemukan bahwa ternyata pengarang kurang konsisten dengan ideide feminismenya. Hal tersebut dapat dilihat dalam penokohan dan pelataran yang masih berprasangka jender. Adapun sumber primer dari penelitian ini adalah novel yang ditulis oleh Nawal al-Saadawi, yang bertajuk: Imra`ah 'inda Nuqthah al-Shifr. Sedangkan sumber sekunder adalah seluruh literatur yang membahas tentang konsepsi kesetaraan jender, feminisme dan kritik sastra feminis, serta yang berkaitan dengan teori-teori kesusatraaan lainnya, terutama sastra Arab. Sumber-sumber tersebut dianalisis secara komprehensif, setiap kata dan pendapat yang ada pada sumber-sumber tersebut dibandingkan sebagai bahan dan data untuk dapat menarik suatu kesimpulan.
168
DAFTAR PUSTAKA
Abû Shâlih, ‘Abd. Al-Quddûs, Dr.,
Kulaib, Ahmad Taufìq, dan Badr, ‘Abd. Al-
Bâsith ‘Abd. al-Razzâq, Dr., al-Balâghah wa al-Naqd, tt., al-Mamlakah al‘Arabiyyah al-Su’ûdiyyah Wizârah al-Ta’lîm al-‘Âly; Mathâbi’ Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibn Su’ûd al-Islâmiyyah, 1411 H, Cet. I. ‘Akkâwy,
In’âm
Fuwwâl,
Dr.,
al-Mu’jam
al-Mufashshal
al-Balâghah, -al-Badî’, al-Bayân, al-Ma’âny-, Beirût: Dâr
fî
‘Ulûm
al-Kutual-
‘Ilmiyyah, 1996, Cet. Ke-2. Anshori, Dadang S.; Kosasih, Engkos dan Sarimaya, Farida (ed.), Membincangkan Feminisme; Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. I. Arfa, Faisar Ananda, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, Cet. Ke-1. Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, Cet. Ke-1. Breasted, James Henry, Ph.D., a History of Egypt from the Earliest Times to the Persian Conquest, New York/Toronto/London: Bantam Books, tth. Djajanegara, Soenarjati, Kritik Sastra Feminis, Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Faiqoh, Dra., M. Hum., Nyai Agen Perubahan di Pesantren, Jakarta: Kucica, 2003, Cet. I. El-Gibali, Alaa (ed.), Understanding Arabic; Essays in Contemporary Arabic Linguistics in Honor of el-Said Badawi, Cairo: The American University in Cairo Press, 1996. Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. Ke-1.
169
Handayani, Trisakti dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang: UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2006, Cet. Ke-2. Hardjana, Andre, Kritik Sastra, Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1981. al-Hâsyimiy, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âniy wa al-Bayân wa alBadî’, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994, Edisi Revisi. Hasyim, Syafiq, (ed.), Menakar Harga Perempuan, Bandung: Penerbit Mizan, 1999, Cet. I Hermann, Anne C & Stewart, Abigail J, Theorizing Feminism; Parallel Trends in The Humanities and Social Sciences, Colorado/Oxford: Westview Press, 2001, Cet. Ke-2. Iskarna, Tatang, Representasi dan Rekonstruksi Perempuan Afrika dalam novel Second Class Citizens Karya Buchi Emecheta, Depok: Tesis Pada Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Budaya Fakultas Sastra UI, 2002. ‘Iwadl, Luis, Dr., Târîkh al-Fikr al-Mishry al-Hadîts min al-Hamlah al-Faransiyyah ilâ‘Ashr Ismâ’îl, Cairo: Maktabah Madbûly, 1987, Cet. IV. al-Jârim, ‘Aly, dan Amîn, Musthafâ, al-Balâghah al-Wâdlihah –al-Bayân, alMa’âniy, al-Badî’-, tt., Percetakan Dâr al-Ma’arif, tth. Lughod, Lila Abu (ed.), Remaking Women; Feminism and Modernity in The Middle East, New Jersey/West Sussex: Pricenton University Press, 1998. Mantik, Maria Josephine Kumaat, Gender dalam Sastra: Studi Kasus Drama MegaMega, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006, Cet. I. Muslikhati, Siti, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. I. Mutahhari, Morteza, Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam. Judul Asli: The Rights of Women in Islam, Penerjemah: M. Hashem, Bandung: Penerbit Pustaka, 1985, Cet. I. al-Munawir, Syarh al-Jami’ al-Shaghîr, (Kairo: Dâr Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, J. II. 1954, hal. 17.
170
Al-Naim, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), 1994, Cet. Ke-1. Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian
Fiksi, Yogyakarta:
Gadjah
Mada
University Press, 2002, Cet. IV. Patel, Ismail
Adam,
Perempuan, Feminisme dan Islam. Judul Asli: Islam The
Choice of Thinking Woman,
Penerjemah: Abu Faiz, Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2005, Cet. I. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Prof., Dr., Pengkajian Sastra, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, Cet. I. al-Qardlawy, Yusuf, Prof., Dr., Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah, Judul Asli: Markaz al-Mar`ah fî al-Hayâh al-Islâmiyyah, Penerjemah: Moh. Suri Sudahri A dan Entin Rani’ah Ramelan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996, Cet. I. Ridha, Muhammad Rasyid, Panggilan Islam terhadap Wanita. Judul Asli: Nidâ` li alJins al-Lathif, Penerjemah: Afif Mohammad, Bandung, Penerbit Pustaka, 1994, Cet. II. Rofiq, Aunur, Diskursus Keadilan Gender di Mesir,” Kompas, tt. Royer, Diana, A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writers and Activist, (Michigan: Edwin Mellen Press), 2001, hal. 115. Al-Sibâ’iy, Musthafa, Dr., al-Mar`ah bayna al-Fiqh wa al-Qânûn, Cairo: Dâr alSalâm, 1418/1998, Cet. I. el-Saadawi, Nawal, Dirâsât ‘an al-Mar`ah wa al-Rajul fî al-Mujtama’ al-‘Araby, Beirut: al-Mu`assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1990, Cet. II. , Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr, Beirut: Dâr al-Adab,1989, Cet. V. , Perempuan di Titik Nol. Zero, Translation,
Judul
Asli: Women
at
Point
Penerjemah: Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004, Cet. VIII.
171
, al-khayth wa ‘ain al-hayâh; Riwâyatâni qashîratâni, Cairo: Maktabah Madbûly, 1983, Cet. III. , al-khayth wa al-Jidâr wa qisash ukhrâ, Cairo: Dâr al-Sya’b, 1972, Cet. I. , Maut al-Rajul al-Wahîd ‘ala al-Ardl, Fajâla & Iskandaria: Dâr wa Mathâbi’ al-Mustaqbal, 1999, Cet. IV. , al-Ghâib, Cairo: al-Hai`ah al-Mishriyyah al-‘Âmmah li al-Ta`lîf wa al-Nasyr, 1970. , Tak Ada Kebahagiaan Baginya. Judul Asli: Kânat Hiya al-Adl’af (She Has No Place in Paradise), Penerjemah: Ahmad Qomaruddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, Cet. I. , Tiada Tempat di Surga Untuknya. Judul Asli: Adab am Qillat alAdab, Penerjemah: Kamran As’ad al-Irsyady, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002, Cet. I. Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir al-Qur`an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Penerbit TERAJU, 2002, Cet. I. Shihab, M. Quraish, Perempuan, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2005, Cet. II. al-Sakkâky,
Abû Ya’qûb Yûsuf ibn Abû Bakr Muhammad ibn ‘Aly, Miftâh
al-‘Ulum, Beirût : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987, Cet. Ke-2. Sardar, Ziauddin, dan Loon, Borin Van, Mengenal Cultural Studies for Beginners. Judul
Asli:
Cultural
Studies for Beginners, Penerjemah:
Alfathri Aldin, Bandung: Mizan, 2001, Cet. I. Soeratno,
Siti Chamamah, Penelitian
Sastra Tinjauan Tentang Teori dan
Metode Sebuah Pengantar, Makalah
dalam
Metodologi
Penelitian
Sastra, Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003, Cet. III Sugihastuti, dan Soeharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet. Ke-1. Al-Syaukanie, Luthfi, Arab Feminist Movement, Jurnal Paramadina, Vo. I, No. I, JiliDesember, 1998. 172
Thabânah, Badawî,
Dr., Mu’jam al - Balâghah al - ‘Arabiyyah, Jeddah: Dâr al-
Manârah/Beirût: Dâr Ibn Hazm, 1997, Cet. Ke-4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Unicef, Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab I, Pasal I, ayat I. Walter Armbrust, Long Live Patriarki: Love in the Time of 'Abd al-Wahhab, (University of Oxford), 2008 dan Walter Armbrust, The Formation of National Culture in Egypt in The Interwar Period; Cultural Trajectories, University of Oxford: 2008. Walther, Wiebke, Women in Islam Frpm Medieval to Modern Times, Princeton: Markus Wiener Publishers, 1995. Yamani, Mai, (ed.), Feminism and Islam; Legal and Literary Perspectives, London: Ithaca Press, Garnet Publishing Ltd., 1996. Diterjemahkan oleh Purwanto, Feminisme & Islam; Perspektif Hukum & Sastra, Bandung: Penerbit Nuansa Yayasan Nuansa Cendekia, 2000, Cet. I Abu Haif, Abdullah Ittijâhât al-Naqd al-Rawâ`iy fï Sûriyah, (http://www.awudam.org/book/06/study06/376-A-H/book06-sd007.htm) Agnes Scott College, Dr. Nawal el-Saadawi to Speak at Agnes Scott College, (http://www.agnescott.edu/aas/news_articles/saadawi.html), 2001. Belton, Brian & Clare Dowding, Nawal el-Saadawi, (http://infed.org/thinkers /elsaadawi.htm), 2001. Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm). Book List, (http://www.nawalsaadawi.net/books.htm). Cairo-Based
Human
Rights
Organization,
Female
Genital
Multilation
(http://www.crescentlife.com/psychissues/fgm.htm). Central Intelligent America, The World Factbook, (http://www.cin.gov/cia/ publications/factbook/geus/eg.html).
173
Cooke, Miriam, al-Dirâsât al-Nisâiyyah al-Aurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa alTsaqâfât
al-Islâmiyyah,
(http://sjoseph.ucdavis.edu/ewic/v1arabicparted
/euroamerican_woman.pdf) Egyptian State Information Services, (http://www.sis.gov.eg/women/html/). Mc Millan, Stephani, A Conversation with Dr. Nawal al-Saadawi, (http://home. earthlink.net/~twoeyesmagazines/issues/nes.htm). ----------------,
Dissident
from
Birth,
(http://home.earthlink.net/~minset/words
/isis.htm). Meet
Dr.
Nawal
el-Saadawi,
(http://www.worldtrek.org/odyssey/africa/
nawal/nawalbio.html). Pelarangan
Syekh
Ibrahim:
Novel
Nawal
Menyerang
Ajaran
Islam,
(http://www.gatra.com/2004-06-06/artikel.php?id=38395). Wawancara
Nawal
el-Saadawi,
(http://www.gatra.com/2004-06-
06/versi_cetak.php?id=37980). Women’s Intellectual Contributions to the Study of Mind and Society; Nawal Saadawi, (http://www.webster.edu/~woolflm/saadawi.html). http://etd.eprints.ums.ac.id/644/ http://timoerjaoeh.net/2008/01/05/perempuan-di-titik-nol-nawal-el-saadawi/ http://www.blackwell-compass.com http://en.wikipedia.org http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=70: kekerasan-terhadap-anak . http://www.lcki.org/images/seminar_anak/Tatalaksana.pdf http://nuruliman1972.blogspot.com/2009/04/panggih-temanten-dalam-perkawinanadat.html http://nuragni29.multiply.com http://www.oneearthmedia.net/ind/?p=306 http://www.perempuan.or.id/?q=content/tahun-2008-statistik-kekerasan-dalamrumah-tangga .
174
http://www.depkominfo.go.id/2009/03/07/jumlah-kekerasan-terhadap-perempuansetiap-tahun-meningkat/
175