157
KRITIK ATAS KRITIK EPISTEMOLOGI TAFSIR M. ABIED AL JABIRI: Studi Kritis Atas Madkhal ila al Quran al Karim Ahmad Fawaid
IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo Email:
[email protected] Abstract This paper critically views the epistemology of Muhammad Abid al Jabiri’s interpretation in his book, Madkhal ila al Quran al Karim. His latest work is projected to make the Quran relevant to mankind today and with certainly critiquing classical Quranic studies that have been constructed by previous scholars. Starting from Arab criticism, which is expected to synergize the gap between Turath and modernity, al Jabiri tried out his theory in the realm of Quranic studies oriented to maintain its originality and interpretation from sectarian influence. Focusing on al Jabiri’s review on the Quran, this paper examines and associates some of the problems with the epistemology of critique in Arab reasoning. Finally, it is inferred that the epistemologic offer of al Jabiri used in Turath is not fully applicable in Quranic studies for several reasons. First, the Quranic studies existed within the chain of sanad in its formation. Secondly, at the application stage, al Jabri often overlooked the sanad and narrations from the companions. Tulisan ini akan membahas epistemologi tafsir Muhammad Abid al Jabiri secara kritis yang tertuang dalam bukunya, Madkhal ila al Quran al Karim. Buku terakhir al Jabiri ini diproyeksikan untuk menjadikan al Quran relevan bagi umat manusia saat ini dan tentu dengan mengkritisi Quranic studies klasik yang telah dibangun oleh ulama-ulama terdahulu. Berangkat dari kritik nalar Arab, yang diharapkan akan mampu mensinergikan kesenjangan antara turats dan modernitas, al Jabiri mencoba teorinya masuk dalam ranah kajian al Quran yang diorientasikan dapat menjaga orisinilitas Quranic studies dan tafsirnya dari pengaruh sektarian. Tertarik dengan model pembacaan al Jabiri atas al
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
158
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
Quran, tulisan ini berusaha mengkajinya dan mengaitkan beberapa persoalan dengan epistemologi proyek Kritik Nalar Arab. Akhirnya, tulisan ini memberi kesimpulan bahwa tawaran epistemologi al Jabiri yang digunakan dalam turats tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam Quranic studies karena beberapa hal. Pertama, keilmuan Quranic studies ada kaitannya dengan mata rantai sanad dalam pembentukannya. Kedua, pada tahapan aplikatifnya, al Jabiri banyak mengabaikan sanad dan riwayat-riwayat dari sahabat. Keywords: epistemology, Quranic studies, critique of Arab reasoning Pendahuluan Doktrin al Quran sebagai pegangan hidup telah menancap pada sanubari kaum Muslimin. Doktrin inilah kemudian memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan keilmuan di bidang kajian al Quran. Tidak dapat dipungkiri, berbagai varian metode ditawarkan guna menggali makna besar yang dikandungnya. Mulai dari pendekatan tafsir klasik sampai kontemporer. Mulai yang bersumber dari Islam sampai yang bersumber dari agama lain. Oleh sebab itu, dalam setiap periode seakan tidak pernah lengang oleh para pengkaji al Quran. Pada abad ke dua puluh satu, dunia Islam diramaikan dengan munculnya para cendekiawan muslim yang banyak membawa pembaharuan. Diantara sekian banyak cenedekiawan tersebut adalah Muhammad Abid al Jabiri. Sosok al Jabiri adalah seorang pemikir kontemporer, filosof, dan sosiolog Arab. Pemikir yang dikenal lewat proyek struktur penalaran Arab melalui tetraloginya yang berjudul Takwin al Aql al Arabi, Biyah al Aql al Arabi dan al Aql al Siyasi al Arabi dan al Aql al Arabi. Concern pengetahuan al Jabiri sejak awal memfokuskan diri pada kajian kebangkitan kembali rasionalisme Arab, dengan harapan bisa mengejar ketertinggalan kemajuan yang dicapai oleh bangsa Eropa pada abad-abad terakhir. Menjelang akhir hayatnya, al Jabiri menulis tema-tema seputar al Quran yang dihimpun dalam sebuah buku berjudul “Madkhal ila al Quran fi al Ta’rif bi al Quran”. Sebagai bentuk aplikatif dari gagasan-gagasannya, ia tuangkan dalam “fahm al Quran al Hakim; al Tafsir al Wadih hasb tartib al Nuzul”. Sebagai “orang baru” yang meneliti Quranic studies, pandanganpandangannya mempunyai corak berbeda dari para pemikir kontemporer lainya. Distingsi ini berdampak pada kritik terhadapnya. Dalam penelitian kajian turats, hampir semua orang mengakui bahwa diantara pengkaji yang lain, al Jabiri menempati posisi teratas. Namun tidak dengan kajian-kajiannya terhadap Quranic studies.
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
159
Tulisan ini akan mengkaji secara kritis model pendekatan dan metode al Jabiri terhadap Quranic studies. Sejauh mana al Jabiri mampu menjadikan al Quran relevan untuk dirinya sendiri dan relevan bagi orang lain. Sejauh mana keberhasilan al Jabiri menggunakan epistemologi nalar Arab dalam kajian al Quran. Pengembaraan Intelektual al Jabiri 1. Biografi al Jabiri Dalam memahami pemikiran seseorang, kita tidak bisa mengabaikan perspektif sosial historis-politis ruang lingkup yang memengaruhinya. Ada berbagai faktor yang turut terlibat dalam menemukan karakteristik pemikiran seseorang. Sebab pemikiran adalah sebuah anak zaman yang menyertai pengalaman seseorang. Masing-masing orang bergumul antar relasi dengan dunianya, untuk membentuk nasibnya dan sekaligus dibentuk olehnya (Bakker dkk., 1990: 47). Inilah sebabnya, dalam memahami pemikir besar, Muhammad Abid al Jabiri, juga tidak dapat melepaskan berbagai faktor yang memengaruhi terbentuknya karakteristik dasar pemikirannya. Al Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko, pada pada tahun 1936. Pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah kelahirannya, Maroko. Al Jabiri pernah setahun menempuh pendidikan filsafat di Universitas Damaskus, Syria pada tahun 1958. Setelah itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat pada tahun 1967 dan meraih gelar master dengan tesis tentang Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Falsafah al Tarikh ‘inda Ibnu Khaldun). Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat, pada tahun 1970 dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibnu Khaldun, yaitu berjudul al ‘Asabiyyah wa al Dawlah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi al Tarikh al Islami (Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam). Disertasi tersebut kemudian dibukukan tahun 1971. Sesuatu yang perlu dicatat juga dalam diri al Jabiri adalah bahwa ia menguasai tiga bahasa: Arab, sebagai bahasa Ibu, Perancis, sebagai bahasa kedua bekas kolonial, dan bahasa Inggris. Dengan bekal tiga bahasa tersebut, al Jabiri dengan mudah mengakses beberapa referensi yang nantinya memengaruhi pemikirannya, dari negara-negara maju yang menggunakan bahasa tersebut. Setelah merdeka, negara Maroko mengenal dua bahasa resmi, yaitu bahasa Arab dan Perancis. Dalam tesis kaum post-strukturalis, bahwa bahasa
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
160
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
menentukan ukuran, bentuk dan kandungan pemikiran seseorang. Maka, tradisi Perancis memudahkan para sarjana Maroko mengenal warisan pemikiran yang menggunakan bahasa Perancis. Lebih dari itu, pemikir yang hidup semasa dengan al Jabiri, seperti Fatima Mernissi, Mohammad Arkoun dan Hassan Hanafi mengalami tradisi filsafat perancis, yaitu pemberontakan kaum strukturalis, post-strukturalis dan post-modern. Kehangatan antara Maroko dengan Perancis kemudian hari membuahkan penerjemahan karya-karya kaum strukturalis, post Strukturalis dan post modernis ke dalam bahasa Arab. Seperti karya Michel Foucault yang diterbitkan oleh penerbit al Markaz al Thaqafi al ‘Arabi di Casablanca (Baso, 2000: xvi). Berangkat dari penguasaan bahasa Perancis ini, selain arus tradisi Perancis yang sangat kental di Maroko, setidaknya dapat mengantarkan al Jabiri menjadi “kiblat” pemikir kritis Arab kontemporer. Al Jabiri muda adalah seorang aktivis politik berideologi sosialis yang sempat bergabung dalam partai Union Nationale des Forces Popularies (UNFP), di kemudian hari partai ini berubah nama menjadi Union Sosialiste des Forces Popularies (USFP). Pada tahun 1975, dia sempat menjadi anggota biro politik USFP. Selain pernah aktif di dunia politik, al Jabiri sesungguhnya lebih dikenal sebagai seorang akademisi yang sempat menjabat pengawas dan pengarah pendidikan bagi guru-guru filsafat di tingkat menengah atas, sejak tahun 1965 sampai 1967. Sejak 1967 sampai akhir hayatnya, dia masih menjadi guru besar Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra pada Universitas Muhammad V, Rabat (http://www.aljabriabed.com, 31 Oktober 2015). Dari profil singkat di atas, sebenarnya ada sesuatu yang menarik dalam sosok kritikus kelahiran Maroko ini, yaitu pengembaraan intelektualnya yang secara keseluruhan ditempuh di negerinya. Hal ini berbeda dengan kritikus Islam kontemporer lainnya, seperti Muhammad Arkoun dan Hassan Hanafi, yang pengembaraan intelektualnya ditempuh di kota Paris itu. Baik al Jabiri, Arkoun dan Hassan Hanafi dapat disejajarkan sebagai pemikir yang melakukan proyek pembaharuan Islam dalam bentuk narasi yang besar. Al Jabiri memproyeksikan diri secara intens untuk melakukan Kritik Nalar Arab (Naqd al ‘Aql al ‘Arabi), Arkoun memproyeksikan diri untuk melakukan Kritik Nalar Islam (Naqd al ‘Aql al Dini) dan Hassan Hanafi tekun dalam proyek besarnya, yaitu Tradisi dan Pembaharuan (al Turats wa al Tajdid). Namun, bagi penulis, al Jabiri memiliki keunikan tersendiri.
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
161
2. Karya Akademis Sebagai seorang akademisi, al Jabiri dapat dikatagorikan sebagai akademisi yang cukup produktif. Karya-karyanya dalam bentuk tulisan telah mencapai angka belasan. Bukunya yang pertama terbit pada tahun 1971 dengan judul Ibnu Khaldun, al Asabiyyah wa al Daulah, berasal dari disertasi doktoralnya di Universitas Muhammad al Khamis di Rabat, Maroko. Dalam buku ini, al Jabiri tidak hanya menampilkan sosok Ibnu Khaldun yang historis, yang bergulat dengan persoalan kemasyarakatan, kultur dan politik di masanya. Lebih dari itu, al Jabiri sukses menampilkan pemikiran penulis al Muqaddimah tentang pemikirannya yang berkaitan dengan asabiyyah dan ‘umran, metode penulisan tafsir sejarah dan juga klasifikasi ilmu yang berkembang pada masanya (al Jabiri, 1994: 34). Buku keduanya terbit pada tahun 1973 dengan judul, al Adwa’ ala Mushkil al Ta’lim. Buku ini membahas tentang persoalan-persoalan pendidikan dan tradisi pengajaran di Maroko. Pada tahun 1976, al Jabiri menulis dua jilid buku yang membahas tentang epistemologi ilmu pengetahuan, Madkhal ila falsafat al Ulum. Satu tahun setelah penulisan buku madkhal, pada tahun 1977, al Jabiri mengangkat persoalan-persoalan yang sedang melanda negerinya, ia memberi judul dengan min Ajl al Ru’yah Taqaddumiyyah li Badl Mushkilatina al Fikriyyah wa al Tarbawiyyah. Tiga tahun kemudian, buku Nahnu wa al Turats terbit pertama kali pada tahun 1980. Buku ini menjadi buku kontroversial di kalangan intelektual Arab. Hal ini disebabkan oleh keberanian al Jabiri menyebutkan bahwa filsafat Ibnu Sina sebagai titik awal kemunduran peradaban Islam, karena Ibnu Sina dianggap tidak rasional dan mengajarkan ilmu-ilmu sihir dan astronomi. Seri trilogi pertama kali terbit dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1982, dengan judul Naqd al ‘Aql al ‘Arabi. Seri kedua berjudul Binyah al ‘Aql al ‘Arabi, Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al Ma’rifah fi al Thaqafah al ‘Arabiyyah terbit pada tahun 1986. Seri ketiga dari proyek Naqd al ‘Aql al ‘Arab terbit pada tahun 1990 dengan judul al ‘Aql al Siyasi al ‘Arabi, Muhaddidah wa Tajalliyatuh. Dari trilogi ini, buku pertama dan kedua membahas konsep yang bersifat abstrak, sementara buku ketiga al Jabiri menekankan pada nalar realitas konkrit bangsa Arab (al ‘Aql al Waqi’ al ‘Arabi). Ketiga buku ini merupakan bentuk kritik atas nalar Arab klasik, sementara yang membahas nalar Arab modern ditulis dalam al Khitab al ‘Arabi al Mu’asir, dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah yang terbit pada tahun 1982 (al Jabiri, 2005: xiii-xiv).
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
162
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
Buku-buku lain al Jabiri adalah berasal dari kumpulan makalah seminar, tulisan jurnal harian dan artikel yang tersebar di berbagai tempat dalam jumlah yang banyak. Dari tulisan yang berserakan tersebut, kemudian dikompilasikan menjadi sebuah buku, antara lain adalah Ishkaliyyah al Fikr al ‘Arabi al ‘Mu’asir, al Turats wa al Hadatsah, Dirasah wa Munaqashah dan al Muthaqqafun al ‘Arab fi al Hadarah al Islamiyyah. Dari beberapa karya di atas, ada karya al Jabiri yang membahas tentang al Quran yang berjudul madkhal ila al Quran al Karim, terbit pada tahun 2006. Buku ini direncanakan oleh al Jabiri menjadi trilogi pendekatan kontemporer terhadap penafsiran al Quran (al Jabiri, 2006: 15). Namun di tengah-tengah penyelesaian buku kedua, pada tahun 2010, al Jabiri harus merelakan segala aktifitas yang bersifat keduniaan menuju Sang Khaliq. Basis Epistemologi Tafsir al Jabiri Ketokohan al Jabiri dalam bidang turats tidak perlu diragukan lagi. Ia hadir sebagai orang yang banyak memberikan pengaruh terhadap revolusi di dunia Arab. Pemikiran tokoh teoritis turats ini dianut oleh beberapa tokoh, tak terlewatkan tokoh asal Indonesia. Ahmad Baso menganggap bahwa, teoriteori al Jabiri dalam kritik turats banyak mepengaruhi Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, ketua PBNU saat ini, ketika mengkritik konsep aswaja dan kajian Islam lainnya (al Jabiri, 2005: xiii) Memang diantara pengkaji turats, diakui oleh banyak orang, meskipun juga dikritik, al Jabiri lebih teoritis dan aplikatif dalam memahami dan menyikapi warisan masa lalu. Adalah perkenalannya dengan pemikir-pemikir Perancis pada tahun 1950-an membentuk pemikiran al Jabiri. Ini bermula pada saat al Jabiri masih kuliah di Universitas Muhammad al Khamis, Rabat, Maroko. Saat itu, sebagaimana dinyatakan dalam bukunya, al Turats wa al Hadatsah, dirasat wa munaqasat, pemikiran-pemikiran Marxisme sedang berkembang subur di kawasan Arab. Literatur perancis yang membahas tentang Marx, termasuk buku Marx sendiri, ia kuasai (al Jabiri, 1991: 307). Kendatipun dipengaruhi, al Jabiri meninggalkan berbagai kritik atas pendekatan metodologis Marx. Bukan di sini tempatnya untuk memerpanjang penjelasan kritik al Jabiri atas Marx dan kaum orientalis lainnya. Sejumlah nama pemikiran filsafat, terutama yang beraliran strukturalisme, Perancis turut mengisi alam pemikirannya. Misalnya Claude Levi-Strauss (Strukturalisme dan Antropologi), Jacques Lacan (Strukturalisme dan Psikoanalisa), Roland Barthes (Strukturalisme dan Kritik Sastra), Louis
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
163
Althusser (Strukturalisme dan Marxisme), Michel Foucault (Strukturalisme dan Epistemologi) (Bartens, 2006:195-243). Aliran strukturalisme ini yang kemudian mengilhami al Jabiri untuk memisahkan kerja akal manusia, khususnya Andre Lalande. Dari beberapa penelitian tentang al Jabiri, hampir seluruhnya menampilkan kritik George Tharabishi, pemikir asal Syria, yang mengkritik bahwa kutipan al Jabiri dari Lalande tentang akal adalah kurang tepat. Menurutnya, Lalande tidak pernah menyebut satu definisi akal sebagai kompilasi aturan-aturan dan hukumhukum berpikir yang diberikan oleh satu kultur tertentu bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Selain itu, masih dalam kritik Tharabishi, al Jabiri dianggap mengadopsi pengertian akal dari tangan kedua Lalande, yaitu Paul Fulquie, penulis kamus Dictionnaire de Langue Philosophique, karena secara redaksional dan substansial berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Lalande (al Jabiri, 2005: xxxi). Selebihnya untuk keterangan kritik Tharabishi atas al Jabiri, lihat (Tharabishi, 1996: 12). Selain Tharabishi, Muhammad Arkoun juga mengkritik al Jabiri dalam penggunaan Akal Arab. Menurutnya, pemilihan kata Arab , bukan Islam, karena faktor ketidaksiapan bahasa Arab menanggung beban apabila kata kritik dikaitkan dengan Islam. Berbeda dengan karya Muhammad Arkoun, yang secara tegas diberi nama kritik nalar Islam dalam bahasa Perancis, sebab bahasa Perancis sendiri sangat mendukung dalam melakukan proses kritik filosofis, historis dan Ilmiah, kendati ada nama Levi-Strauss dan Michel Foucault yang banyak disebut dalam karyanya (Arkoun, 1995: 12). Selanjutnya, untuk mendefinisikan nalar Arab yang menjadi teorisasi dalam kritik turats, al Jabiri dalam Takwin al ‘Aql al ‘Arabi meminjam teori Lalande tentang perbedaan la raison constituante (al ’aql al mukawwin aw al fail) dengan la raison constituée (al ‘aql al mukawwan aw al said). La raison constituante adalah bakat intelektual (al malakah) yang dimiliki setiap manusia guna menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal, sedangkan la raison constituee adalah akumulasi teori-teori atau prinsip-prinsip, bentukan dari la raison constituante, yang berfungsi sebagai pencarian konklusi, atau kaidah-kaidah sistematis yang ditetapkan, diterima dan dinilai sebagai nilai mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu. La raison constituee memiliki relativitas dan oleh karenanya, ia dicirikan dengan sifat berubah-ubah secara dinamis setiap waktu. Dalam hal ini, nalar Arab adalah la raison constituee, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah yang diciptakan oleh ulama Arab-Islam di tengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai alat produksi pengetahuan (al Jabiri, 1991: 15-16). Nalar ini, dalam teori Michel Foucault, disebut sistem
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
164
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
kognitif (nizam ma‘rifi) atau sistem pemikiran (episteme). Berdasarkan definisi di atas, objek kritik nalar Arab adalah kritik epistemologis terhadap la raison constituee sebagai sistem metodologis dalam kebudayaan Arab, dan sekaligus kritik terhadap la raison constituante. Kritik nalar Arab, secara operasional, menganalisis proses-proses kinerja la raison constituante dalam membentuk la raison constituee pada babakan sejarah tertentu dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang tidak terungkap dari la raison constituante dalam membentuk teori-teori baru. Selain menggunakan metode strukturalisme Perancis, dalam proses objektifikasi, al Jabiri menawarkan tiga pendekatan; pendekatan historisitas (tarikhiyyah), objektifitas (maudluiyyah) dan kontinuitas (istimrariyyah). Pendekatan pertama dan kedua sama-sama bertujuan untuk pemisahan antara pembaca dan objek, sementara pendekatan ketiga bertujuan untuk menghubungkan pembaca dengan objek bacaannya. Bentuk pemisahan dalam bentuk pertama dan kedua bertujuan menempatkan tradisi sebagai objek kajian kritis. Hal ini penting dilakukan sebab, menurut al Jabiri, ketika membaca tradisi seseorang terkadang menyelinapkan subjektifitasnya demi kepentingan tertentu. Analisis al Jabiri terhadap kajian-kajian turats pada tahapan selanjutnya berkembang pada kajian ilmu al Quran dan tafsir al Quran. Dalam konteks kajian al Quran ini, al Jabiri terlihat ingin menjaga objektifitas ilmu al Quran yang telah dibukukan dan dibakukan pada era Dinasti Abbasiyyah. Sebab pada era tersebut, kodifikasi al Quran, termasuk di dalamnya juga ilmu al Quran dan Tafsir, disusun atas dasar madzhab pemikiran. Hal ini juga terlihat dari kehati-hatian al Jabiri dalam menangkap setiap pesan yang ada dalam teks al Quran dengan melihat asbab al nuzul sebelum melangkah pada tataran kebahasaan. Konsep penertiban tafsir sesuai asbab al nuzul adalah sebuah bukti bahwa al Jabiri tidak ingin terjebak pada hirarki keilmuan produk penguasa. Dengan demikian, al Jabiri menawarkan pendekatan baru yang telah banyak dikesampingkan oleh para mufassir terdahulu. Selain itu, dimensi rasionalitas dalam pembacaan teks menurutnya sangat perlu untuk diperhartikan supaya al Quran mampu berdialektika dengan audiens tanpa tersekat oleh ruang dan waktu. Oleh sebab itu, sebagai metode memahami al Quran, sebagaimana yang ia tawarkan dalam dalam pembacaannya terahadap turats, al Jabiri menawarkan teorinya” «( هتاذ تقولا يف انل ارصاعمو هسفنل ارصاعم ءورقملا لعجmenjadikan al Quran relevan untuk konteksnya pada masa lalu dan juga pada konteks kontemporer) (al Jabiri, 1993:12). Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat mengikis
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
165
kecenderungan sebagian kalangan yang sering menafsirkan al Quran secara tekstual dan ahistoris. Lahirnya pandangan ini karena maraknya fenomena politisasi al Quran oleh beberapa kalangan demi tujuan ideologis maupun politis tanpa melihat konteks historis pada saat diturunkan. Politisasi teks-teks al Quran (tasyis al nushush) merupakan bentuk reduksi terhadap otentisitas kandungan al Quran. Dari tawaran pendekatan pembacaan tersebut, al Jabiri berharap agar sebuah penafsiran concern terhadap konteks sosio-historis al Quran. Pendekatan ini dengan sendirinya akan meminimalisir reduksi makna. Kemudian setelah melakukan pembacaan historis, penafsir hendaknya mengaktualisasikan makna teks sesuai dengan kebutuhan kontemporer. Prinsip pertama yang harus dilakukan dalam pembacaan terhadap teks adalah adalah menjadikanya kontemporer untuk dirinya sendiri dalam artian seorang pembaca harus mampu menemukan otentitas teks (al asalah) yakni kemandirian teks dari segala bentuk pemahaman terhadapnya pada tataran problematika teoritis, kandungan epistemologis dan substansi ideologis (al Jabiri, 2006: 16). Al Jabiri dalam berbagai bukunya tentang al Quran maupun Tafsirnya memang tidak pernah mengutip tokoh-tokoh hermeneutika Barat, seperti Gadamer, Hebermes, Schleiermacher atau yang lainya, namun dengan mengangkat teori yang diusungnya tadi, al Jabiri seakan telah mengadopsi teori hermeneutika yang pernah ada. Diantara sekian teori hermeneutika, setidaknya ada dua teori yang hampir sepadan dengan gaya yang ditawarkan al Jabiri. Pertama, hermenutika theory, yang berisi aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang (author). Kedua, hermeneutika philosophy yang lebih mencermati dimensi filosofis fenomenologis pemahaman. Perbedaan keduanya adalah jika hermeneutika teoritis memusatkan perhatian kepada bagaimana memperoleh makna yang tepat dari teks atau suatu yang dipandang tepat sebagai teks, maka hermeneutika filosofis melangkah lebih jauh dengan menggali asumsi-asumsi epistemologis dari penafsiran dan melangkah lebih jauh ke dalam aspek historis tidak hanya dalam dunia teks tetapi juga dunia pengarang dan juga dunia pembacanya (Faiz, 2011: 7). Nampaknya hermeneutika al Jabiri tergolong pada kedua corak hermeneutika di atas, dalam ranah hermeneutika teoritis al Jabiri tampak dengan konsep titik tekan historisitas al Quran dengan konsep asbab al nuzulnya dalam membedah kandungan al Quran, sedangkan dalam sisi yang lain al Jabiri masih mengakui keazalian al Quran yang notabene menjadi wilayah hermeneutika filosofis (Kurdi dkk., 2010: 107). Dalam buku tafsirnya “Fahm
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
166
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
al Quran al Hakim” al Jabiri memulai tafsirnya dengan surat al Alaq. Langkah ini sesuai konsep yang diusungnya dalam memahami teks al Quran, sesuai asbab al nuzul.
الَّ ِذي٣ ا ْقرَأ ْ وَرَبُّ َك أْال َ ْكرَ ُم٢ ْسا َن ِم ْن َعلَ ٍق َ خَ لَقَ إْالِن١ اس ِم رَب ِّ َك الَّ ِذي خَ لَ َق ْ ِ ا ْقرَأ ْ ب ٥ْسا َن َما لَ ْم ي َ ْعلَ ْم َ َعلَّ َم إْالِن٤ َعلَّ َم بِالْ َقلَ ِم
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al Alaq ayat 1-5).
Sebelum melangkah pada tataran pentafsiran, al Jabiri terlebih dahulu memberikan penjelasan kenapa surat yang pertama ini diawali dengan perintah menyebut nama Tuhan. Al Jabiri berusaha menampilkan sisi historisitas untuk menjawab teka-teki ini dengan pendekatan konteks budaya dan tradisi masyarakat Arab kala itu yang membiasakan menyebut salah satu nama Tuhan mereka ketika hendak beraktifitas, semisal demi nama Lata, demi nama Uzza, dan lain sebagainya. pada tataran ini al Jabiri berhasil mengaplikasikan teorinya ja’lu al Quran mu’assiran lahu, dengan membedah teka-teki dengan analisa konteks saat turun. al Jabiri pun menyitir sebuah hadits peristiwa perjanjian Hudaibiyah kala Nabi memerintahkan Ali bin Abi Talib untuk menuliskan isi perjanjian (al Jabiri, 2008: 21). Kemudian melangkah pada kandungan arti al Jabiri menguraikan bahwa kandungan lima ayat ini menetapkan aqidah Islam dengan bertumpu pada perenungan dua dasar: yaitu َم – خَ لَق َ َّ( َعلmenciptakan dan mengajar), kemudian mengaitkannya pada satu obyek yaitu manusia, yang dikehendaki disini adalah Nabi Muhammad SAW. Setelah itu mengaitkanya lagi dengan aktifitas sehari-hari yang difahami dari:
ْسا َن َما لَ ْم ي َ ْعلَ ْم َ َعلَّ َم إْالِن٤ الَّ ِذي َعلَّ َم بِالْ َقلَ ِم
Yang berarti: “bertabarruklah wahai Muhammad, dengan nama Tuhanmu, dan ketahuilah bahwa Tuhanmu yang menurunkan wahyu kepadamu adalah Tuhan yang menciptaakan dari darah yang ada dalam rahim ibumu yang dicampur oleh air sperma ayahmu. Ketahuilah juga bahwa Dia sendirilah yang mengajarkan dengan perantara kalam dan mengajarkan kepadamu halhal yang belum kamu ketahui” (al Jabiri, 2008: 22).
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
167
Kemudian al Jabiri lebih dalam mengurai hubungan antara penciptaan dari segumpal darah dengan men-jar-kan dengan Qalam, menurutnya hubungan ini akan dapat ditilik jika kita merujuk kembali pada tradisi pada masa ayat ini diturunkan. Ia pun mengajak pembaca untuk menilik hadits Nabi SAW tentang mimpi didatangi Jibril sambil membawa bejana dari dibaj. Dalam mimpi itu Nabi SAW disuruh untuk membaca, dan Nabi pun berkata tidak dapat membaca. Peristiwa itu sebagai simbol bahwa Nabi SAW kelak akan mengemban wahyu, dan inilah yang dimaksud dengan “yang mengajar manusia” dalam ayat al Alaq tersebut. Jadi, menurut hemat al Jabiri ayat ini berbicara khusus kepada Nabi Muhammad SAW semata (al Jabiri, 2008: 23). Dari sekilas uraian di atas, al Jabiri tampak dengan lihai mengaitkan ayat dengan kondisi kala itu, kemudian menganalisa dari tinjauan historis sehingga pada akhirnya benar-benar dapat ditangkap pesan di dalamnya. Kritik atas Epistemologi Tafsir al Jabiri dalam Madkhal ila al Quran Dalam setiap bangunan keilmuan yang tertuang dalam karya-karya al Jabiri, hampir dapat dipastikan ada pengaruh besar dari pemikiran strukturalisme Perancis. Pemikiran ini mengantarkan al Jabiri pada analisis struktur tersembunyi dari obyek-obyek yang dipelajari. Pengaruh ini nampak pada bangunan epistemologis yang tertuang dalam karyanya yang berjudul “madkhal ila al Quran al Karim”. Karya Madkhal ila al Quran al Karim ini adalah proyek al Jabiri yang ditulis menjelang wafatnya pada tahun 2010. Sebagian besar tema yang diangkat al Jabiri dalam karya terakhir tersebut sudah sering diperbincangkan oleh sarjana Islam baik yang klasik maupun modern. Secara garis besar, dalam buku yang baru sempat ia selesaikan satu juz ini, al Jabiri membincang seputar tema definisi al Quran, risalah samawiyyah, konsep kenabian serta wahyu, variabel bacaan al Quran (qira’ah al sab’ah), mukjizat al Quran, kodifikasi al Quran, orisinilitas al Quran, konsep asbab al nuzul, kisah al Quran dan hubungan al Quran dengan nabi Muhammad SAW. Dalam setiap tema, al Jabiri menawarkan formulasi baru yang sedikit menggelitik dan terkesan menggugat kemapanan formulasi metodologi yang dicanangkan oleh para sarjana Islam sebelumnya. Untuk lebih jelasnya berikut pembahasan yang akan kita uraikan; 1. Definisi al Quran Pada awal pembahasan bukunya, al Jabiri mulai mempertanyakan urgensitas pendefinisian atas al Quran. Disini al Jabiri mulai memainkan peran strukturalisme sebagai alat untuk membongkar definisi al Quran yang
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
168
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
digagas oleh ulama klasik. Menurutnya, bangunan definisi al Quran selama ini didasarkan atas pengaruh idealisme sekterian-ideologis. Disebut sektarian, karena al Quran hanya seolah-olah diturunkan untuk umat Islam saja, bukan untuk seluruh alam dan Ideologis karena menyokong madzhab tertentu (al Jabiri, 2006: 17). Misalnya sebagaimana teks berikut:
نزل به جبريل على نبينا محمد وهو،القرآن الكرمي هو كالم اهلل سبحانه وتعالى . اخملتتم بسورة الناس، املبدوء بسورة الفاحتة،املكتوب في املصحف
“Al Quran al Karim adalah kalamullah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Jibril, ditulis dalam mushaf, diawali dengan surat al Fatihah, diakhiri dengan surat”.
Al Quran dengan definisi semacam ini hanya akan berlaku di kalangan kaum muslim saja. Sebab ketika dibawa pada konteks dan kalangan non Islam, definisi ini pasti akan digugat karena tidak adanya kepercayaan non Muslim bahwa al Quran adalah kalam Allah (al Jabiri, 2006: 17-18).
باللغة، املنزل على النبي محمد،هو كالم اهلل سبحانه وتعالى غير مخلوق املنقول إلينا، املتعبد بتالوته، املتحدى به العرب، املعجزة املؤيدة له،العربية .بالتواتر
“Al Quran adalah kalamullah, bukan makhluk, diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan bahasa Arab, diberi mukjizat tertentu, sebagai tantangan bagi masyarakat Arab, dianggap ibadah bagi pembacanya, dan diriwayatkan kepada kami dengan cara mutawatir”.
Menurut al Jabiri, definisi yang kedua ini ditengarai terbentuk sejak era kodifikasi pada masa Abbasiyyah. Dimana struktur nalar Arab diformulasikan, disistematisasikan, dan dibakukan, sehingga dunia pemikiran yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi besar dalam menentukan orientasi pemikiran Arab-Islam yang berkembang hingga kini dan memengaruhi persepsi zaman berikutnya terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya. Era kodifikasi ini kemudian menjelma menjadi kerangka acuan otoritatif (al i’ar al marji’i) bagi pemikiran Arab hingga kini dan menjadi latar belakang terbentuknya syarat-syarat keabsahannya (al Jabiri, 2002: 62). Untuk mendefinisikan al Quran agar tidak terjebak pada otoritas keilmuan dan aliran madzhab manapun, al Jabiri menegaskan bahwa seharusnya diambil dari ayat-ayat al Quran yang menjelaskan tentang dirinya. Misalnya
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
169
Ahmad Fawaid
yang termaktub dalam QS. al Syu’ara ayat : 192-196:
“Dan sesungguhnya al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. dia dibawa turun oleh al ruh al Amin (Jibril). ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu”.
Dalam QS. al Isra’: 106, juga disebutkan:
َ َّاس َعلَ ٰى ُم ْك ٍث وَنَزَّلْنَا ُه تَنْزِيل ِ وَ ُقرْآن ًا َفرَ ْقنَا ُه لِ َت ْقرَأ ُه َعلَى الن “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”.
Begitu juga dalam QS. Ali Imran: 3-4:
َْاب ب ِ ح َ ِي ي َ َدي ْ ِه وَأَنْزَ َل ال َّت ْورَا َة وَ إْال جْن ِم ْن٣ يل َ ْص ِّد ًقا مِلَا ب َ ن َ الَقِّ ُم َ نَزَّ َل َعلَ ْي َك الْ ِكت ِ َّلله َّلله ُ َ اب َعزِي ٌز ذُو ش ِدي ٌد وَا ٌ ات ا ِ لَ ُه ْم َع َذ ِ َ َّاس وَأَنْزَ َل الْ ُفرْ َقا َن إ ِ َّن الَّ ِذي َن َك َف ُروا بِآي ِ َق ْب ُل ُه ًدى لِلن ٤ َام ٍ ان ْ ِتق “Dia menurunkan al Kitab (al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil sebelum (al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa)”.
Dari ketiga ayat di atas, al Jabiri kemudian menarik kesimpulan bahwa al Quran mengandung tiga sisi yang perlu diperhatikan yaitu sisi sejarah, spiritual kemudian sosial. Tinjauan ini dengan melihat kaitan al Quran dengan risalah sebelumnya, dan posisinya sebagai pembenar risalah samawi terdahulu. Sedangkan sisi spiritual adalah tinjauan proses penyampaian wahyu itu sendiri yang melibatkan Jibril sehigga melibatkan faktor psikologis Nabi SAW. Sedangkan sisi sosialnya adalah kaitan al Quran dengan realitas sosial dimana al Quran itu turun. Al Quran sendiri, pada beberapa bagiannya sengaja merespon problematika yang terjadi pada bangsa Arab, sehingga
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
170
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
menjadi sebuah keniscayaan jika al Quran harus berupa bahasa Arab (al Jabiri, 2002: 23). Konsep Tartib al Nuzul Pada bagian ini al Jabiri sedikit berani berbicara tentang konsesus yang telah digadang para ulama sebelumnya. Al Jabiri merekontruksi lagi wacana pembangunan kembali urutan ayat dan surat sesuai kronologis, bukan seperti yang ada pada mushaf sekarang ini. Wacana ini dimaksudkan al Jabiri untuk menjaga objektifitas dan mengenali pergeseran berbagai aspek yang melatarbelakangi turunya, baik itu dari segi historis, sosial maupuan spiritual Nabi SAW (al Jabiri, 2006: 233). Dengan memahami secara kronologis, maka al Quran akan lebih dialogis dan seorang penafsir akan melihat sisi dinamis al Quran saat berdialektika dengan realitas sosio-historis sejarah Nabi. Al Jabiri juga menyatakan bahwa wacana ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, pada masa lalu sudah ada beberapa ulama yang menggagas pengurutan al Quran sesuai dengan urutan turunnya, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin Zaid, al Baihaqi dari Ikrimah, Husain bin Abi Hasan dan yang terakhir dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. Adapun mengenai urutan surat al Quran yang ada seperti sekarang ini, al Jabiri dengan nada menggugat mempertanyakan dasar dan tujuan para sahabat khususnya Utsman bin Affan sebagai pencetus ide ini. Setelah melalui beberapa penelitian, al Jabiri sampai pada suatu kesimpulan bahwa alasan yang mendasari pengurutan tersebut adalah sangat sederhana, yaitu diurutkan sesuai dengan panjang dan pendeknya surat, dan ia juga berkesimpulan bahwa hal ini atas inisiatif Utsman dan para tim bentukannya saja oleh sebab itu ia menafsiri al Quran sesuai urutan turunnya (al Jabiri, 2006: 234). Kesimpulan al Jabiri ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa relasi kuasa dengan produk keilmuan saat itu sangat berpengaruh besar. Statemen ini agaknya semakin menguatkan tesis Michel Foucault bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu al Quran tidak bisa dipisahkan dari adanya relasi kekuasaan (baca: politik) (Mustaqim, 2003). Analisis kritik sejarah (al Tahlil al Tarikhi) model demikian menjadi ciri khas bagi al Jabiri dalam karya-karyanya. Dalam hal ini, Muhammad Imarah, pemikir Islam progresif asal Mesir, juga mengkritik model pendekatan al Jabiri yang digunakan dalam Madkhal ila al Quran al Karim. Dalam pandangan Imarah, al Jabiri terlalu memaksakan kerangka metodologi turats yang notabene dari
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
171
Barat masuk dalam kajian ilmu al Quran (Imarah, 2011: 21). Kendatipun demikian, dalam mengaitkan konsep tertib al Quran dengan relasi kuasa, al Jabiri terkesan gegabah mengambil kesimpulan bahwa pengurutan al Quran didasarkan atas inisiatif Utsman dan mengikuti aturannya, yaitu mendahulukan surat-surat yang panjang atas surat-surat yang pendek. Dalam menegaskan pendapatnya, al Jabiri mengutip hadits nabi riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab al Tirmidzi, al Nasai, Ibnu Hanbal, Ibnu Hibban dan Hakim (al Jabiri, 2006: 234). Berkaitan dengan hadits yang dijadikan dasar, al Jabiri tidak mendiskusikan lebih lanjut, baik terhadap penelitian hadits tersebut ataupun mengaitkannya dengan hadits-hadits lain sebagai pertimbangan. Setidaknya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan sebelum ia menegaskan penyusunan al Quran digagas oleh Utsman secara ijtihadi. Pertama, berkaitan dengan otentisitas hadits riwayat Ibnu Abbas, baik secara sanad ataupun matan. Secara kualitas sanad, hadits yang dijadikan sandaran al Jabiri masih dalam perdebatan atas kesahihannya. Di antara yang menganggapnya sahih adalah Syaikh Abdullah al Jadi’, sementara Syu’aib al Arnauth dan Nasr al Din al Albani mendha’ifkannya (Hanbal, 1998: 140). Objek kedha’ifan hadits terletak pada seseorang yang bernama Yazid al Farisi. Dalam pandangan Imam Ahmad, apabila yang dimaksud Yazid al Farisi tersebut adalah Ibnu Hurmuz, seseorang yang dianggap thiqah oleh mayoritas ulama hadits, maka hadits ini dapat diterima (Hanbal, 1998: 141). Kedua, persoalan matan hadits. Secara mendasar, hadits tersebut memang mengesankan bahwa Utsman yang mengatur urutan atas susunan al Quran sebagaimana yang diyakini oleh al Jabiri. Namun sayangnya kenyataan bahwa penyusunan al Quran pada masa Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak dilibatkan dalam data tersebut. Lebih dari itu, Nabi SAW dalam waktu-waktu tertentu mengambil sikap atas penyusunan al Quran walaupun tidak secara keseluruhan. Pendapat ini didasarkan pada; pertama, ijma’ sahabat pada waktu kodifikasi al Quran yang dilakukan oleh Utsman tanpa ada yang menggugat. Jika memang pada masa sebelumnya pembacaan sesuai urutan bacaan, maka sangat mustahil para sahabat akan diam saja dengan yang dilakukan Utsman.
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
172
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
Kedua, adanya beberapa riwayat dari Nabi SAW yang menceritakan bahwa Jibril sendiri yang menunjukan urutan ayat tersebut setelah ayat yang lain. Seperti riwayat dari Imam Ahmad:
“Diriwayatkan dari Utsman bin Abi al Ash berkata: aku berada didekat Rasulullah SAW yang sedang duduk, kemudian melirikkan pandangannya dan lalu membenarkannya seolah-olah akan terpeleset di lantai. Kemudian Rasul SAW berkata: Jibril telah datang padaku dan menyuruhku untuk meletakan َ َّلله ayat ini pada tempat ini dari surat ini َاء ذِي الْ ُقرْبَى وَيَنْهَ ى َ إ ِ َّن ا يَأ ْ ُم ُر بِالْ َع ْد ِل وَاإل ِ ْح ِ ان وَإِيت ِ س ِ َ َع ِن الْ َف ْحkemudian Nabi SAW memanggil اء وَ مْالُن َْكرِ وَالْ َب ْغي ي َ ِع ُظ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم ت َ َذ َّك ُرو َن ِ ش sekretarisnya untuk menulis sesuai yang diajarkan Jibril” (Hanbal, 1998: 2).
Adapun terjadinya perbedaan mushaf yang ada pada sebagian sahabat, dalam hal ini al Zurqani memberikan jawaban bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terjadi sebelum mereka mengetahui urutan surat yang sudah ditetapkan oleh Nabi SAW (tauqifi), atau perbedaan tersebut hanya pada hal yang memang tidak ada penjelasan ke-tauqifian-nya, tidak seluruh ayat al Quran (Zurqani, 2001: 298). Posisi al Jabiri sebagai tokoh teoritis kajian turats tidak banyak mendialogkan nash-nash pendukung tentang penyusunan al Quran yang terkadang sering bertentangan. Berbeda halnya yang dilakukan oleh kebanyakan ulama tafsir yang dalam upaya menjelaskan kontroversi penyusunan al Quran ini memulainya dengan mendialogkan pertentangan teks-teks hadits atau athar sahabat. Keyakinan al Jabiri bahwa penyusunan al Quran ada kaitannya dengan intervensi manusia, menguatkannya untuk menggagas tafsir ulang dengan disesuaikan asbab al nuzul. Hal ini dilakukan dengan maksud dapat melacak sejarah yang terbesit dibalik urutan- urutan al Quran itu sendiri. Temuan-temuan al Jabiri dalam melacak sejarah yang menyertai proses turunnya al Quran juga dinilai oleh beberapa sarjana al Quran tidak lebih dari karya-karya sebelumnya, misalnya karya Muhammad Izzah Darwazah “al Tafsir al Hadith Tartib al Suwar Hasb al Nuzul”. Hal ini, hemat penulis, disebabkan oleh tidak cukup banyak riwayat-riwayat hadits yang menginformasikan seputar asbab al nuzul. Misalnya riwayat-riwayat yang dihimpun oleh al Suyuti hanya ada Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
173
888 ayat dari keseluruhan ayat yang memiliki asbab al nuzul. Ini berarti bahwa hanya sekitar 14% persen dari semua ayat yang ada dalam al Quran (Suyuthi, 1968: 24) Sementara al Wahidi hanya menyebutkan 472 ayat yang memepunyai sebab turunya, dan itu berarti hanya 7,5 % dari sekain ayat al Quran (Wahidi, 2001: 35). Dari sini, tidak berlebihan jika Muhammad Imarah mengomentari tafsir al Jabiri sangat mustahil akan bisa melacak semua kronologi penyebaran dakwah dari sisi kandungan al Quran (al Jabiri, 2001: 40). Simpulan Upaya memahami al Quran terus berkembang seiring munculnya berbagai problematika kehidupan yang menuntut sebuah peyelesaian. Dalam keadaan ini para cendekiawan muslim seolah berlomba-lomba menawarkan metode penafsiran yang dapat diaplikasikan dalam setiap situasi dan kondisi. Al Jabiri datang menawarkan pendekatan baru, menjadikan al Quran relevan pada masanya dan juga relevan untuk masa kini dengan metode pembacaan sebagaimana yang ia gunakan dalam kajiannya terhadap turats. Layaknya gagasan, sebuah metode dapat saja diterima namun juga dapat ditolak. Metode yang konsisten menjaga kode etik dalam disiplinnya masing-masing akan lebih membawa kemajuan ilmiyah. Al Jabiri memang sedikit mengundang kontroversi dalam kalangan sarjana Islam kekinian, termasuk dari kawannya sendiri, Muhammad Imarah. Namun demikian, tawaran kritis pembacaan al Jabiri terhadap Quranic studies jelas patut diapresiasi, tanpa harus menegasikan kritik. Kendatipun demikian, tawaran epistemologi al Jabiri yang digunakan dalam turats tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam Quranic studies karena beberapa hal; Pertama, keilmuan Quranic studies, pada bab-bab tertentu, memiliki kaitan dengan mata-rantai sanad dalam pembentukannya. Kedua, pada tahapan aplikatifnya, al Jabiri banyak mengabaikan sanad dan riwayatriwayat dari sahabat. Misalnya dalam tartib al nuzul dan asbab al nuzul. Daftar Pustaka Arkoun, Muhammad. 1995. Ayna Huwa al Fikr al Islami al Mu’asir. Terjemahan oleh Hasyim Salih. Libanon: Dar al Saqi. Al Jabiri, M. Abied. 1991. Al Turats wa al Hadatsah, Dirasat wa al Munaqasat. Beirut: Markaz Dirasat al Wahdah al Arabiyyah. Al Jabiri, M. Abid. 1993. Nahnu wa al Turats . Beirut: al Markaz al Turats al Arabi.
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
174
Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri
Al Jabiri, M. Abied. 1994. Fikr Ibnu Khaldun; al Ashabiyyah wa al Daulah, Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi al Tarikh al Islami. Beirut: Markaz Dirasat al Wahdah al Arabiyyah. Al Jabiri, M. Abied. 2005. Post-Tradisonalisme Islam. Terjemahan oleh Ahmad Baso. Yogyakarta: LkiS. Al Jabiri, M. Abied. 2006. Madkhal ila al Quran. Beirut: Markaz Dirasat al Wahadah al Arabiyah. Al Jabiri, M. Abied. 2008. Fahm al Qur’an al Hakim. Maroko: Dar al Baida’. Al Jabiri, M. Abied. 2002. Takwin al ‘aql al arabi Muhammad Abd Al Jabiri. Beirut: Markaz Dirasat Al Wahdat Al ‘Arabiyya Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair. 1990. Metodelogi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Bartens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Faiz, Fakhruddin. 2011. Hermeneutika al Quran. Yogyakarta: eLSAQ. Foucault, Michel. 1994. The Order of Things: an Archaeology of the Human Sciences. New York: Vintage Books. Hanbal, Ahmad bin. 1998. Musnad Ahmad bin Hambal. Beirut: Alam al Kutub. Hermaneh, Wahid. 2003. Kritik kontemporer Atas Fisafat Arab Islam. Terjemahan oleh N. Nur Ichwan. Yogyakarta: Islamika. http://www.aljabriabed.com/IDENTITE.HTM. 31 Oktober 2015 Imarah, Muhammad. 2001. Radd fi Iftira’at al Jabiri ala al Quran. Kairo: Dar al Salam. Kurdi dkk. 2010. Hermeneutika al Quran dan al Hadits. Yogyakarta: eLSAQ, Mustaqim, Abdul. 2003. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al Quran Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka. Suyuthi (al) Jalal al Din. 1968. Asbab al Nuzul. Kairo: al Halabi.
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015
Ahmad Fawaid
175
Tharabishi, George. 1996. Naqd Naqd al ‘Aql al ‘Arabi, Nadzariyat al ‘Aql. Libanon: Dar al Saqi. Wahidi, al. 2001. Asbab al nuzul. Kairo: Dar al Hadits. Zurqani, Muhammad Abdul Adhim. 2001. Manahil al Irfan. Kairo: Dar al Hadits.
Ulul Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015