Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
KONSEP KEADILAN GENDER DALAM PEMBAGIAN WARISAN (Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali) Oleh: Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRACT The division of inheritance between men and women are often the dispute because their ratio of 2: 1, then the study was conducted with two conflicting opinions with each other, namely the interpretation of the interpretation M. Quraish Shihab alMisbah and Munawir Sjadzali in Re-actualizing Islamic Teachings , The method used is the comparative method. Quraish explained in the commentary of al-Misbah that the division of inheritance between men and women (2: 1) is a matter that can not be changed. However, in other works Quraish allow equal division of inheritance (1: 1) in accordance with the agreement of all the heirs. While Munawir Sjadzali explicitly requires equal division of inheritance (1: 1) on the condition that women have a role. So in essence M. Quraish and Munawir have the same thought, that justice in the division of inheritance can not be seen from the property, but based on the responsibilities and roles owned. Keywords: justice, inheritance, Quraish, Munawir, tafsir al-Misbah A. PENDAHULUAN Warisan merupakan salah satu ajaran atau syari’at Islam yang sangat penting, bahkan al-Qur’an pun mengatur dengan sedemikian rupa dalam masalah warisan, baik itu mengenai rukun waris, syarat, maupun pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan antara lakilaki dan perempuan yang terlihat lebih mengunggulkan salah satu menimbulkan suatu perselisihan. Penelitian ini akan dilakukan dengan melihat dua pendapat yang terlihat saling bertentangan satu sama lain, yakni pandangan M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah yang mengemukakan bahwasanya pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan sudah menjadi ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah.1 Adapun pendapat yang kedua ialah seorang tokoh dan pemikir politik Islam yakni, Munawir Sjadzali. Beliau mengungkapkan bahwa hendaknya perempuan mendapatkan bagian yang sama dalam pembagian harta warisan.2 Skripsi ini fokus pada penafsiran M. Quraish Shihab3 dan Munawir tentang waris. Keduanya memiliki persepsi yang sama bahwa perempuan berhak mendapatkan hak yang sama (1:1), bukan 2:1. Padahal Quraish (ahli tafsir) lulusan al-Azhar Mesir yang terkenal dengan pusat kajian keislaman yang sangat dominan dengan tekstual (memahami ayat secara 1
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol. 2, hlm. 368. 2 Rodiah dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan konsep, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), cet. 1, hlm. 153. 3 M. Quraish Shihab mempraktekkan pembagian waris dengan bagi rata dalam keluarga orang tuanya yang berjumlah 6 orang (3 laki-laki dan 3 perempuan). Anak laki-laki dikuliahkan sampai S-3, sedangkan yang perempuan tidak. Sehingga ketika orang tuanya sudah wafat semua, 3 orang anak laki-laki (Umar Shihab, Quraish Shihab, dan Alwi Shihab) tidak mengambil warisan orang tua mereka. Ketiganya sepakat menyerahkan harta warisan ayah bundanya untuk 3 anak perempuan yang tidak kuliah tinggi. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 23
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
teks), sementara Munawir (ahli politik Islam) yang memang sudah sering berkolaborasi dengan pemikiran Barat di mana laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. B. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian kepustakaan (library research). Metode ini dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan sebagai berikut. 1. Metode Pengumpulan Data Tahapan yang pertama dilakukan adalah pengumpulan data, yaitu dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan data ini dibagi menjadi dua jenis sumber data, yaitu, a. Sumber data primer Sumber primer penelitian ini diantaranya, karya M. Quraish Shihab yang berjudul “Tafsir al-Misbah” dan karya tulis Munawir Sjadzali yang berjudul “Reaktualisasi Ajaran Islam”. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder adalah referensi-referensi lain yang menunjang penelitian, seperti buku, kitab, artikel, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pokok pembahasan. 2. Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data yang penulis gunakan yaitu metode deskriptif. Kemudian metode pengolahan data ini juga dilakukan dengan menggunakan metode maudhu’i. Metode Analisis dalam penelitian ini ialah komparatif atau muqaran, yang mana peneliti membandingkan antara dua tokoh atau lebih untuk mendapatkan hasil dari penelitian tersebut. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Waris berasal dari bahasa arab yang memiliki makna, harta yang diberikan kepada anggota keluarga atau kerabat yang berhak menerima dari orang yang telah meninggal dunia. Kata mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miiraats yang menunjukkan harta peninggalan yang diberikan kepada ahli waris. Hukum waris Islam didasari atas ayat AlQur’an dan hadis yang mengungkapkan dengan jelas mengenai pembagian warisan. Ayatayat tersebut diantaranya QS. An-Nisa (4): 7-8 yang berbunyi:
َاﻷَﻗْـَﺮﺑُﻮ َن ﳑِﱠﺎ ﻗَ ﱠﻞ ِﻣْﻨﻪُ أ َْو ْ ِﻴﺐ ﳑِﱠﺎ ﺗَـﺮََك اﻟْﻮَاﻟِﺪَا ِن و ٌ َاﻷَﻗْـَﺮﺑُﻮ َن َوﻟِﻠﻨِّﺴَﺎ ِء ﻧَﺼ ْ َك اﻟْﻮَاﻟِﺪَا ِن و َِﻴﺐ ﳑِﱠﺎ ﺗَـﺮ ٌ َﺎل ﻧَﺼ ِ ﻟِﻠِّﺮﺟ َﺎرُزﻗُﻮُﻫ ْﻢ ِﻣْﻨﻪُ َوﻗُﻮﻟُﻮا ْﲔﻓ ُ ِﻀَﺮ اﻟْ ِﻘ ْﺴ َﻤﺔَ أُوﻟُﻮ اﻟْﻘُﺮَْﰉ وَاﻟْﻴَـﺘَﺎﻣَﻰ وَاﻟْ َﻤﺴَﺎﻛ َ ( َوإِذَا َﺣ٧) َﻛﺜـَُﺮ ﻧَﺼِﻴﺒًﺎ َﻣ ْﻔﺮُوﺿًﺎ (٨) ﳍَُْﻢ ﻗـَﻮًْﻻ َﻣ ْﻌﺮُوﻓًﺎ “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik” Pembagian waris pada zaman sebelum datangnya Islam dan setelah datangnya Islam sangat berbeda, di mana sebelum datangnya Islam harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki yang telah dewasa yang memiliki kekuatan untuk berperang dan dapat melindungi Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 24
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
keluarganya dari musuh.4 Sedangkan kaum perempuan pada masa sebelum datangnya Islam tidak mendapatkan harta warisan sepeserpun. Maka ketika datangnya Islam derajat kaum perempuan mulai terangkat dengan mendapatkan bagian dari harta warisan yang ditinggalkan oleh keluarganya. Islam memberikan harta warisan kepada kaum perempuan dengan perbandingan 2:1 antara kaum laki-laki dengan perempuan. Hal ini benar-benar dijelaskan dalam kitab suci umat Islam, yaitu al-Qur’an. Pembagian waris secara rinci terdapat dalam al-Qur’an salah satunya surat an-Nisa ayat 11. Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya perempuan mendapatkan harta warisan setengahnya dari harta warisan yang diberikan kepada laki-laki. Adapun contoh kasusnya di mana perempuan mendapatkan bagian setengah dari laki-laki yakni sebagai berikut. Seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan warisan berupa uang sebesar 2.000.000, 00. Ia meninggalkan seorang istri, 3 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Berapakah bagian masing-masing? Istri mendapatkan bagian 1/8 karena memiliki anak. Anak laki-laki dan anak perempuan menjadi ashabah. Istri
1/8 x 2.000.000, 00
250.000, 00
Adapun anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari perempuan, sehingga asal masalahnya ( 2 orang anak laki-laki x 2 ) + 3 orang anak perempuan = 7 orang. Harta yang tersisa ialah 1.750.000, 00 : 7 = 250.000, 00 sehingga anak perempuan mendapatkan harta warisan sebesar 250.000, 00 setiap orangnya, sedangkan anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat lebih banyak dari perempuan, yakni 500.000, 00 bagi masing-masing anak laki-laki. Contoh di atas merupakan salah satu cara pembagian waris yang ada. Tetapi perempuan tidak selamanya mendapatkan warisan setengahnya dari laki-laki, karena pembagian warisan sudah ditetapkan berdasarkan keadaan setiap ahli waris. Pertama, terkadang perempuan mendapatkan harta warisan setengahnya dari laki-laki ketika ia berstatus sebagai anak lakilaki dan anak perempuan. Kedua, perempuan mendapatkan bagian yang sama besar dengan laki-laki jika statusnya sebagai saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu. Kemudian ketiga, perempuan juga mendapatkan harta warisan yang sama atau lebih sedikit dari laki-laki jika statusnya adalah ayah dan ibu.5
Muhammad Quraish Shihab 1. Sketsa Historis Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang Kabupaten Sidrap (Sidenreng, Rappang), Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944 yang merupakan anak ke-4 dari delapan bersaudara serta dari pasangan suami istri Prof. KH. Abdurrahman Sihab dan Asma Aburisyi.6 Pendidikan yang beliau tempuh berawal dari Sekolah Dasar di Ujungpandang sampai kelas 2 SMP. Kemudian pada tahun 1956 beliau melanjutkan sekolah sambil menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah di Malang di bawah asuhan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih al-Alwi dan putranya Prof. DR. Habib Abdullah bin Abdul
4
Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Faraidh, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2009), hlm.
1. 5
Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, Mukhtashar al-Fiqh al-Islami, http://islamhouse.com/ar/books/231660/ ( diunduh pada tanggal 9 Juni 2016 pukul 14.26 WIB). 6 M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi ulama nusantara, (Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA, 2010), hlm. 668. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 25
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
Qadir Bilfaqih yang terkenal sebagai ulama ahli hadis.7 Pada tahun 1959, M. Quraish Shihab melanjutkan studinya ke Kairo Mesir. Kemudian Quraish Shihab melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar dengan mengambil Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis. Pada tahun 1967, beliau meraih sarjana SI dengan mendapatkan gelar Lc, dan dua tahun kemudian beliau meraih sarjana S2 dengan mendapatkan gelar MA pada jurusan yang sama dengan judul tesisnya, Al-I’jaz at-Tasyri’ li al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan al-Qur’an al-Karim dari Segi Hukum).8 Sepulangnya ke Indonesia Quraish Shihab diminta oleh ayahnya untuk membantu mengelola pendidikan di Universitas Alauddin Makassar untuk menjadi dosen sekaligus mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan dari tahun 1972 sampai tahun 1980. Muhammad Quraish Shihab adalah seorang ulama sekaligus ahli tafsir kontemporer pada masa modern sekarang ini. Selain itu, beliau juga aktif dalam menulis dan berceramah di media elektronik, seperti televisi.9 Beliau lebih menekankan tafsirnya terhadap metode maudhu’i atau metode yang cenderung mengangkat tema-tema yang ada dalam al-Qur’an. Beliau menuturkan, hendaknya dalam menafsirkan al-Qur’an tidak terpaku terhadap teks yang ada.10 Akan tetapi lebih baik untuk melihat secara kontekstual dengan menggali latar belakang dari adanya suatu ayat, karena jika dilihat secara tekstual saja, maka ayat tersebut akan cenderung monoton dan makna yang tersembunyi di dalamnya tidak tersampaikan. 2. Tafsir al-Misbah Tafsir al-Misbah merupakan salah satu karya tulis M. Quraish Shihab dalam bidang ilmu tafsir yang termasuk dalam tafsir kontemporer. Tafsir al-Misbah mulai ditulisnya pada hari Jum’at, 14 Rabi’ul Awwal 1420 H/ 18 Juni 1999 M ketika beliau menjabat sebagai Duta Besar RI di Kairo, dan selesai ditulis pada hari Jum’at, 8 Rajab 1423 H/ 5 September 2003. 11 Latar belakang penulisan Tafsir al-Misbah dikarenakan rasa antusias masyarakat terhadap alQur’an baik dari segi membaca ataupun pemahaman terhadap isi kandungan ayat al-Qur’an. Penulisan Tafsir al-Misbah ini sebelumnya diawali dengan karya beliau yakni, Tafsir alQur’an al-Karim (Pustaka Hidayah, 1997) yang kurang diminati oleh masyarakat, karena yang dinilai terlalu panjang lebar dalam menguraikan pengertian kosakata.12 Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Quraish Shihab tidaklah berdasarkan keinginannya, tetapi hal tersebut berdasarkan kebutuhan masyarakat. Tafsir al-Misbah dalam konteks memperkenalkan ayat al-Qur’an berusaha menghidangkan suatu bahasan setiap surat dengan tujuan surat atau tema pokok surat.13 Metode penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Misbah ialah metode tahlili (analitis), yakni suatu metode dengan menguraikan atau merincikan makna ayat dari berbagai macam sudut. Tafsir al-Misbah disusun berdasarkan urutan dalam Mushaf al-Qur’an yang disebut tartib mushafi. Tafsir al-Misbah terdiri dari 15 volume atau jilid, dan pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati, Jakarta, tahun 2000.
7 8
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Tentang Penulis, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 6. Badiatul Razikin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm.
269. 9
M. Bibit Suprapto, op. cit., hlm. 670. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 88. 11 Muchlis M. Hanafi, op. cit., hlm. 20. 12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. viii. 13 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Heurmeneutika hingga Ideologi, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 98. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 26 10
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
Munawir Sjadzali 1. Sketsa Historis Munawir Sjadzali dilahirkan di Desa Karang Anom, Kecamatan Karang Anom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 7 November 1925.14 Beliau lahir, tumbuh, dan berkembang di lingkungan keluarga yang taat beragama. Munawir merupakan anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan K. H. Mughofir (Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari) dan Byai Tas’iyah binti Badruddin. Pada tahun 1950, Munawir Sjadzali menikah dengan Murni yang kemudian dikaruniai 6 orang anak. Pada tanggal 8 Juni 2004 Munawir Sjadzali dirawat di Rumah Sakit karena serangan stroke dan penyakit komplikasi lainnya. Kemudian beliau wafat pada usia 79 tahun, pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2004 pukul 11.20 di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan.15 Ketika beliau meninggal, beliau meninggalkan seorang istri, 6 orang anak dan 14 cucu. Munawir dimakamkan di Pemakaman Giritama, Tanjung Parung, Bogor. Pendidikan pertama yang didapatkan oleh Munawir berasal dari orangtuanya sendiri. Adapun pendidikan yng lainnya berawal dari Madrasah Ibtidaiyah di Karang Anom, Madrasah Tsanawiyah al-Islam Solo, Pesantren Manbaul Ulum Solo, Sekolah Tinggi Islam Manbaul Ulum, Kemudian University of Exeter (Inggris), dan Georgetown University. 16 Munawir Sjadzali berperan aktif dalam bidang politik. Beliau menjabat sebagai Menteri Agama selama dua periode (Kabinet Pembangunan IV 1983-1988 dan Kabinet Pembangunan V 1988-1993). Karir beliau terus memuncak dari satu tingkat ke tingkat lainnya, beliaupun sering menjadi utusan untuk luar negeri. Pada saat beliau menjabat sebagai Menteri Agama, beliau tetap menjadi seorang cendekiawan dan pembaharu pemikir Islam dengan memberikan materi kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah dan memasukkan fiqh siyasah ke dalam kurikulum Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah. 2. Jalan Sunyi Seorang Intelektual Munawir Sjadzali merupakan seorang intelektual ulama yang sangat kritis dan banyak mengembangkan wacana fiqh politik atau hukum ketatanegaraan Islam, dan seorang tokoh pembaharu Islam yang pernah dianggap kontroversial sebagaimana sebagian pemikir lainnya, terutama dalam masalah hukum waris.17 Landasan hukum mengenai gagasan reaktualisasi hukum Islam ialah al-Qur’an dan Hadis Nabi. Munawir juga memiliki minat yang tinggi untuk mengaktualisasikan pemikiran Islam klasik menjadi perkembangan dunia modern.18 Hal-hal yang melatarbelakangi munculnya gagasan untuk reaktualisasi yakni, munculnya sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam karena adanya kesan yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya, serta banyaknya ketentuan dalam al-Qur’an yang telah ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia baik secara langsung, maupun secara tidak langsung.19 14
M. Bibit Suprapto, op. cit., hlm. 631. Ibid, hlm. 635. 16 Administrator UNMUHA, Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, http://unmuha.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=195:prof-dr-h-munawir-sjadzali-ma1925-2004&catid=68:tokoh-a-pemikirannya&Itemid=199 (diakses pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 21.00 WIB) 17 Ibid, hlm. 631. 18 M. Bibit Suprapto, op. cit., hlm. 633. 19 Sulthan Syahrir, “Munawir Sjadzali (Sejarah Pemikiran dan Kontribusinya bagi Perkembangan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer)”, Analisis, XI, 2, (Desember, 2011), hlm. 230. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 27 15
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
Munawir Sjadzali yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama seringkali mendapatkan laporan dari Hakim Agama yang berasal dari berbagai macam daerah mengenai banyaknya tindakan yang menyimpang dari ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an.20 Hal tersebut juga beliau dapatkan dari daerah yang terkenal kuat keislamannya, seperti daerah Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Para Hakim Agama seringkali menyaksikan apabila seorang keluarga Muslim meninggal, dan atas permintaan para ahli warisnya Pengadilan Agama memberikan fatwa waris dengan hukum waris Islam atau faraidh, maka seringkali terjadi bahwa ahli waris tidak melaksanakan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan tersebut. Akan tetapi mereka pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta sistem pembagian warisan yang lain. Munawir Sjadzali pun memiliki pengalaman pribadi mengenai hal waris, yaitu ketika beliau meminta nasihat dari seorang ulama terpandang yang dipercayainya mengenai masalah pribadi.21 Beliau mengemukakan kepada seorang ulama bahwasanya ia dikaruniai 6 orang anak, 3 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Tiga anak laki-lakinya telah menyelesaikan pendidikan universitas di luar negeri yang semuanya ditanggung dengan biaya pribadi, sedangkan dua dari tiga anak perempuannya memutuskan untuk tidak meneruskan ke perguruan tinggi dan memilih dengan belajar di sekolah kejuruan dengan biaya yang jauh lebih sedikit dari tiga saudara laki-lakinya. Hal ini merupakan kemauan anaknya sendiri untuk mengambil langkah tersebut. Pokok persoalan dari hal tersebut ialah Munawir Sjadzali merasa tidak nyaman dengan kejadian seperti itu, di mana ketika ia meninggal nanti ketiga anak laki-lakinya mendapatkan harta warisan lebih besar dibandingkan dengan anak perempuannya, padahal anak lakilakinya telah mendapatkan biaya pendidikan yang lebih mahal. Maka Munawir meminta nasihat untuk jalan keluarnya hal tersebut. Tetapi ulama tersebut tidaklah memberikan nasihat atau fatwa mengenai pembagian warisan yang diminta oleh Munawir Sjadzali. Beliau hanya memberitahukan mengenai apa yang telah beliau lakukan dan para ulama lainnya, yakni dengan cara membagikan harta kekayaan ketika beliau masih hidup (hibah) dengan pembagian yang sama rata, sehingga ketika beliau meninggal harta kekayaan yang dimilikinya hanya tinggal sedikit lagi. Mendengar jawaban seperti itu Munawir hanya termenung.22 Setelah melihat berbagai macam kejadian tersebut, tentunya ada rasa yang tidak memuaskan. Tetapi memang seperti itulah kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Munawir Sjadzali mengatakan bahwa bukanlah ia yang menyatakan adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang telah ditentukan oleh al-Qur’an, tetapi justru beliaulah yang menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum waris.23 Hal-hal yang seperti itu akhirnya memunculkan suatu ide baru dari pikiran Munawir Sjadzali untuk menyamaratakan pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 1:1, sehingga keduanya mendapatkan harta warisan yang sama besar. Namun, ketentuan tersebut dengan satu syarat, yakni perempuan yang memiliki peran, karena menurut Munawir pembagian waris dengan perbandingan 2:1 dirasa tidak memiliki rasa adil bagi masyarakat yang kaum perempuannya memiliki peran.24 Adapun jika perempuan tersebut tidak memiliki peran, maka ketentuan tidak berlaku. Peran yang dimaksud di sini ialah bahwa seorang perempuan aktif dalam suatu pekerjaan atau 20
Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 3. 21 Ibid. 22 Ibid, hlm. 4. 23 Ibid, hlm. 5. 24 Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 88. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 28
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
organisasi-organisasi yang ada. Munawir Sjadzali memperkuat pernyataannya dengan mengambil suatu pemahaman kontekstual terhadap al-Qur’an yang telah dilakukan oleh ulama terkenal.25 Misalnya Khalifah Umar bin Khattab membuat kebijakan dalam pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an QS. Al-Anfal (8): 41. Redaksi ayatnya sebagai berikut.
ﲔ وَاﺑْ ِﻦ ِ ُِﻮل َوﻟِﺬِي اﻟْﻘُﺮَْﰉ وَاﻟْﻴَـﺘَﺎﻣَﻰ وَاﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛ ِ وَا ْﻋﻠَ ُﻤﻮا أَﳕﱠَﺎ َﻏﻨِ ْﻤﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ َﺷ ْﻲ ٍء ﻓَﺄَ ﱠن ِﱠِ ﲬُُ َﺴﻪُ َوﻟِﻠﱠﺮﺳ ِﻴﻞ إِ ْن ُﻛْﻨـﺘُ ْﻢ آ َﻣْﻨـﺘُ ْﻢ ِ ﱠِ َوﻣَﺎ أَﻧْـَﺰﻟْﻨَﺎ َﻋﻠَﻰ َﻋْﺒ ِﺪ َ ﻳـ َْﻮَم اﻟْﻔ ُْﺮﻗَﺎ ِن ﻳـ َْﻮَم اﻟْﺘَـﻘَﻰ اﳉَْ ْﻤﻌَﺎ ِن وَا ﱠُ َﻋﻠَﻰ ُﻛ ِّﻞ ِ اﻟ ﱠﺴﺒ َﺷ ْﻲ ٍء ﻗَﺪِﻳٌﺮ
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orangorang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Kebijakan tersebut ditentang oleh banyak sahabat Nabi karena dituduh telah meninggalkan Kitab Suci al-Qur’an, seperti Bilal, Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam. Namun, kebijakan ini pun didukung oleh Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Umar juga tidak memberikan zakat kepada muallaf sebagaimana yang terdapat dalam QS. AtTaubah (9): 60 dengan alasan situasi dan kondisi sudah berubah dan pemberian zakat kepada muallaf sudah tidak dianggap perlu lagi. Adapun redaksi ayatnya ialah
ﲔ وَِﰲ َ َﺎب َواﻟْﻐَﺎ ِرِﻣ ِ ﲔ َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ وَاﻟْ ُﻤ َﺆﻟﱠَﻔ ِﺔ ﻗـُﻠُﻮﺑـُ ُﻬ ْﻢ وَِﰲ اﻟِّﺮﻗ َ ِﲔ وَاﻟْﻌَﺎ ِﻣﻠ ِ َِﺎت ﻟِْﻠ ُﻔ َﻘﺮَا ِء وَاﻟْ َﻤﺴَﺎﻛ ُ ﺼ َﺪﻗ إِﳕﱠَﺎ اﻟ ﱠ ﻀﺔً ِﻣ َﻦ ا ﱠِ وَا ﱠُ َﻋﻠِﻴ ٌﻢ َﺣﻜِﻴ ٌﻢ َ ِﻴﻞ ﻓَ ِﺮﻳ ِ ِﻴﻞ ا ﱠِ وَاﺑْ ِﻦ اﻟ ﱠﺴﺒ ِ َﺳﺒ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menjelaskan bahwasanya perubahan dan perbedaaan fatwa dapat dibenarkan karena perbedaan zaman, tempat, dan adat istiadat. Abdussalam, seorang ahli hukum mengatakan bahwa,26 Semua usaha itu hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan dunia maupun akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua. Dia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat, dan tidak dirugikan oleh perbuatan mereka yang bermaksiat. Munawir pun merujuk kepada teori maslahah27nya al-Tufi, yakni jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma’, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat.28 Oleh karena itu, Munawir Sjadzali berpendapat, apabila suatu masyarakat menghendaki ketetapan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama besar, dan mereka menganggap hal tersebut adil, maka ketetapan tersebut yang dipakai dengan syarat perempuan yang memiliki peran. 25
Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), op. cit., hlm. 8. Munawir Sjadzali, loc. cit. 27 Secara bahasa ialah sesuatu yang baik, bermanfaat. Sedangkan menurut istilah ialah sesuatu yang akan mendatangkan manfaat atau keuntungan, serta terhindar dari kerusakan. 28 Syukri Abubakar, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris di Indonesia”, Schemata, 3, 2, (Desember, 2014), hlm. 136. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 29 26
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
Pandangan M. Quraish Shihab terhadap Pembagian Warisan M. Quraish Shihab menjelaskan mengenai warisan dalam tafsirnya, Tafsir al-Misbah. Ayat-ayat mengenai pembagian warisan sebagai berikut.
َُاﻷَﻗْـَﺮﺑُﻮ َن ﳑِﱠﺎ ﻗَ ﱠﻞ ِﻣْﻨﻪ ْ ِﻴﺐ ﳑِﱠﺎ ﺗَـﺮََك اﻟْﻮَاﻟِﺪَا ِن و ٌ َاﻷَﻗْـَﺮﺑُﻮ َن َوﻟِﻠﻨِّﺴَﺎ ِء ﻧَﺼ ْ َك اﻟْﻮَاﻟِﺪَا ِن و َِﻴﺐ ﳑِﱠﺎ ﺗَـﺮ ٌ َﺎل ﻧَﺼ ِ ﻟِﻠِّﺮﺟ أ َْو َﻛﺜـَُﺮ ﻧَﺼِﻴﺒًﺎ َﻣ ْﻔﺮُوﺿًﺎ
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisa [4]: 7)
Ayat di atas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki bagian masingmasing atau memiliki hak dari harta peninggalan yang ditinggalkan keluarganya dan telah diatur oleh Allah Yang Maha Kuasa. Ayat ini juga sebagai penekanan bahwa laki-laki yang sudah dewasa atau masih anak-anak ada hak berupa bagian tertentu yang diatur oleh Allah, begitupun bagi perempuan yang dewasa atau anak-anak ada hak berupa bagian tertentu, karena pada masa sebelumnya perempuan tidaklah mendapatkan harta warisan dengan alasan mereka tidak ikut berperang. Kata رﺟﺎلyang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti laki-laki dan kata ﻧﺴﺎءyang diterjemahkan perempuan, ada yang memahaminya perempuan yang dewasa, dan adapula yang memahami dengan perempuan yang mencakup dewasa dan anak-anak. Pendapat yang lebih tepat ialah pendapat yang kedua karena dihubungkan dengan sebab turunnya ayat tersebut.29 Sebab turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan seorang wanita bernama Ummu Kuhlah yang memiliki dua orang anak perempuan. Ia mengadu kepada Nabi Muhammad bahwasanya suaminya yang bernama Aus bin Tsabit telah gugur dalam perang Uhud, kemudian harta peninggalannya telah diambil semuanya oleh paman dari kedua anak tersebut dan tidak menyisakan sedikitpun untuk mereka. Nabi Muhammad pun menyuruhnya untuk menunggu, lalu turunlah surat an-Nisa (4) ayat 7.30 Pembagian tersebut merupakan pembagian yang tidak dapat diubah ataupun ditolak keberadaannya, karena bersumber dari Allah. Hal ini berdasarkan surat an-Nisa (4) ayat 7 yang di dalamnya terdapat kata ﻣﻔﺮوﺿﺎyang berasal dari kata ﻓﺮض, yakni bermakna wajib. Kata faradha adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi kedudukannya, dalam hal ini ialah Allah.31 Dengan demikian, hak warisan yang ditentukan itu bersumber dari Allah, maka tidak ada alasan untuk menolak atau mengubahnya. Surat an-Nisa ayat ketujuh ini menjadi semacam pendahuluan bagi ketentuan warisan dan hak-hak setiap orang yang akan dijelaskan oleh ayat berikutnya. Kemudian surat an-Nisa (4) ayat 11.
َك ََﲔ ﻓَـﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﺛـُﻠُﺜَﺎ ﻣَﺎ ﺗَـﺮ ِ ْ ْق اﺛْـﻨَـﺘـ َ َﲔ ﻓَِﺈ ْن ُﻛ ﱠﻦ ﻧِﺴَﺎءً ﻓـَﻮ ِ ْ ﻆ ْاﻷُﻧْـﺜَـﻴـ ِّ ﻳُﻮﺻِﻴ ُﻜ ُﻢ ا ﱠُ ِﰲ أَوَْﻻ ِد ُﻛ ْﻢ ﻟِﻠ ﱠﺬ َﻛ ِﺮ ِﻣﺜْ ُﻞ َﺣ َك إِ ْن ﻛَﺎ َن ﻟَﻪُ َوﻟَ ٌﺪ ﻓَِﺈ ْن َس ﳑِﱠﺎ ﺗَـﺮ ُ َاﺣ ٍﺪ ِﻣْﻨـ ُﻬﻤَﺎ اﻟ ﱡﺴ ُﺪ ِ ْﻒ وَﻷَِﺑـَ َﻮﻳِْﻪ ﻟِ ُﻜ ِّﻞ و ُ َاﺣ َﺪ ًة ﻓَـﻠَﻬَﺎ اﻟﻨِّﺼ ِ َﺖ و ْ َوإِ ْن ﻛَﺎﻧ س ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌ ِﺪ َو ِﺻﻴﱠ ٍﺔ ﻳُﻮﺻِﻲ ُ ُﺚ ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎ َن ﻟَﻪُ إِ ْﺧ َﻮةٌ ﻓَِﻸُِّﻣ ِﻪ اﻟ ﱡﺴ ُﺪ ُ َﱂْ ﻳَ ُﻜ ْﻦ ﻟَﻪُ َوﻟَ ٌﺪ وََوِرﺛَﻪُ أَﺑـَﻮَاﻩُ ﻓَِﻸُِّﻣ ِﻪ اﻟﺜـﱡﻠ ﻀﺔً ِﻣ َﻦ ا ﱠِ إِ ﱠن ا ﱠَ ﻛَﺎ َن َﻋﻠِﻴﻤًﺎ َ َب ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻧـَ ْﻔﻌًﺎ ﻓَ ِﺮﻳ ُ َِﺎ أ َْو َدﻳْ ٍﻦ آَ ُؤُﻛ ْﻢ َوأَﺑْـﻨَﺎ ُؤُﻛ ْﻢ َﻻ ﺗَ ْﺪرُو َن أَﻳـﱡ ُﻬ ْﻢ أَﻗْـﺮ َﺣﻜِﻴﻤًﺎ 29
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 2, hlm. 353. 30 Ibid. 31 Ibid. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 30
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. AnNisa [4]: 11) Asbab al-nuzul dari ayat di atas ialah salah satu riwayat menyatakan bahwa istri Sa’id Ibn Rabi’ datang bersama dua putri Sa’id sambil berkata:”Ini dua putri Sa’id, yang bapaknya gugur dalam perang Uhud bersama engkau Ya Rasulullah. Pamannya mengambil seluruh harta keduanya dan tidak meninggalkan untuk keduanya sedikitpun harta. Keduanya tidak (sulit) menikah kecuali jika keduanya memiliki harta”. Rasul menjawab, “Allah akan menurunkan ketetapan menyangkut hal yang engkau adukan ini”. Maka turunlah ayat-ayat waris, lalu Rasul mengutus seseorang kepada paman kedua anak Sa’id itu sambil berpesan, “Berikan kepada kedua putri Sa’id dua pertiga, dan ibunya seperdelapan, dan sisanya menjadi milikmu”. (HR. abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, melalui Jabir bin ‘Abdillah) Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Menurut M. Quraish Shihab, hal ini mengandung penekanan pada bagian anak perempuan, karena dengan dijadikannya bagian anak perempuan sebagai ukuran bagi anak laki-laki. Dengan begitu sejak semula sebelum ditetapkannya bagian laki-laki, terlebih dahulu telah ditetapkan bagian bagi perempuan.32 Seperti halnya ketika ingin mengukur sesuatu tentunya harus memiliki alat ukurnya, barulah dapat mengukur ukuran sesuatu itu. Penggunaan redaksi ini adalah untuk menjelaskan hak perempuan memperoleh warisan, dan tidaklah seperti yang diberlakukan pada masa jahiliah. Kata ذ ﻛﺮyang berarti anak laki-laki menegaskan bahwa pembagian waris tidak hanya untuk laki-laki dewasa saja melainkan untuk anak laki-laki juga, berbeda lagi jika kata yang digunakan ialah kata rajul yang berarti hanya mencakup laki-laki dewasa. Begitupun kata أﻧﺜﯿﯿﻦyang berarti dua anak perempuan. Asal katanya ialah أﻧﺜﻰyang bermakna perempuan, baik besar maupun kecil, binatang atau manusia.33 Dalam ayat ini lebih didahulukan hak pembagian waris bagi anak-anak, karena pada umumnya mereka lebih lemah daripada orangtua. Kemudian barulah dijelaskan bagian bagi ibu dan bapak. Ayat yang menyatakan ( آﺑَﺎ ُؤ ُﻛ ْﻢ وَ أَ ْﺑﻨَﺎ ُؤ ُﻛ ْﻢ َﻻ ﺗَﺪْرُ ونَ أَﯾﱡ ُﮭ ْﻢ أَﻗْﺮَ بُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻧَ ْﻔﻌًﺎorang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kamu). Hal tersebut mengandung makna bahwa anak dan bapak tidak dapat sama dalam manfaat masing-masing yang mereka berikan, karena manfaat yang dapat mereka berikan tergantung pada kadar kasih sayang mereka dan kebutuhan masing-masing.34 Kebutuhan setiap orang tentunya berbeda-beda dan tidak akan sama antara satu dengan yang lain, serta tidak akan adil. Oleh karena itu, Allah telah menentukan bagian warisan masing-masing anggota keluarga karena Allah Maha Mengetahui atas apa yang dibutuhkan oleh manusia dan Allah 32
Ibid. hlm. 361. Ibid. 34 Ibid, hlm. 363. 33
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 31
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
pun Mengetahui bahwasanya manusia tidak akan mampu mendapatkan hasil yang terbaik apabila diserahkannya wewenang atau kebijaksanaan dalam menetapkan bagian-bagian warisan, apalagi hal tersebut menyangkut materi. Hal tersebut didasarkan atas fitrah manusia, yakni fitrah atas sesuatu yang dapat dijangkau oleh akalnya dan sesuatu yang tidak dapat terjangkau oleh akalnya.35 Kemudian kata selanjutnya ialah ِ ﻀﺔً ﻣِ ﻦَ ا ﱠ َ ﻓَﺮِ ﯾyang bermakna ketentuan dari Allah. Hal ini menjelaskan bahwasanya manusia tidaklah mengetahui rahasia di balik pembagian warisan yang diatur oleh Allah sendiri tanpa campur tangan manusia. Tentunya suatu saat nanti terdapat hikmah yang akan mengantarkan kepada kemaslahatan dan kemanfaatan yang didapat oleh manusia tanpa ia sadari. Maka penggalan ayat ِ ﻀﺔً ﻣِ ﻦَ ا ﱠ َ ﻓَﺮِ ﯾdisambung dengan kata إِنﱠ ا ﱠ َ ﻛَﺎنَ َﻋﻠِﯿﻤًﺎ َﺣﻜِﯿﻤًﺎyang artinya sesungguhnya Allah Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Setelah ayat 11 menjelaskan mengenai bagian warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan serta bagian ibu dan bapak yang dilihat berdasarkan keturunan, ayat selanjutnya yakni ayat 12 menjelaskan pembagian warisan bagi ahli waris dari segi pernikahan, di antaranya suami dan istri. Ayat ini disimpan setelah ayat yang menjelaskan bagian anak, ibu dan bapak yang berdasarkan keturunan, karena hubungan yang berdasarkan pernikahan lemah dibandingkan faktor keturunan. Kemudian pada akhir ayat dijelaskan mengenai warisan kalalah. Kalalah ialah keadaan seseorang yang meninggal dengan tidak memiliki keturunan, baik laki-laki maupun perempuan.36 Penggalan akhir ayat 12 ialah وَ ا ﱠ ُ َﻋﻠِﯿ ٌﻢ َﺣﻠِﯿ ٌﻢyang bermakna Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Pada ayat sebelumnya pun terdapat redaksi yang sama yakni إِنﱠ ا ﱠ َ ﻛَﺎنَ َﻋﻠِﯿﻤًﺎ َﺣﻜِﯿ ًﻤﺎ. Pengulangan redaksi yang sama ini merupakan penekanan bahwa ilmu waris atau faraid ialah pasti dan sudah final. Setelah menjelaskan dengan rinci bagian-bagian yang didapat oleh ahli waris, ayat selanjutnya yakni ayat 13 dan 14 memberi dorongan, peringatan, serta janji dan ancaman atas ketentuan ditetapkannya bagian-bagian dalam warisan. Adapun bunyi ayatnya ialah
ﱠﺎت َْﲡﺮِي ِﻣ ْﻦ َْﲢﺘِﻬَﺎ ْاﻷَﻧْـﻬَﺎ ُر ﺧَﺎﻟِﺪِﻳ َﻦ ﻓِﻴﻬَﺎ ٍ ْﺧ ْﻠﻪُ َﺟﻨ ِ ْﻚ ُﺣﺪُو ُد ا ﱠِ َوَﻣ ْﻦ ﻳُ ِﻄ ِﻊ ا ﱠَ َوَر ُﺳﻮﻟَﻪُ ﻳُﺪ َ ﺗِﻠ َاب ٌ ْﺧ ْﻠﻪُ َ رًا ﺧَﺎﻟِﺪًا ﻓِﻴﻬَﺎ َوﻟَﻪُ َﻋﺬ ِ ْﺺ ا ﱠَ َوَر ُﺳﻮﻟَﻪُ َوﻳـَﺘَـ َﻌ ﱠﺪ ُﺣﺪُوَدﻩُ ﻳُﺪ ِ َوَﻣ ْﻦ ﻳـَﻌ. ِﻚ اﻟْﻔ َْﻮُز اﻟْ َﻌﻈِﻴ ُﻢ َ َوذَﻟ .ﲔ ٌ ُﻣ ِﻬ (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar (13). Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa [4]: 13-14) Pembagian waris yang ditetapkan oleh al-Qur’an merupakan suatu ketetapan yang telah disesuaikan dengan kodrat, fungsi, dan tugas yang dibebankan kepada laki-laki dan perempuan.37 Laki-laki memiliki beban untuk membayar mahar, membelanjai istri dan anakanaknya, sedangkan perempuan tidaklah demikian. Perempuan apabila memiliki harta, maka harta tersebut hanya untuk dirinya sendiri dan tidak diwajibkan untuk membelanjai suaminya ataupun anaknya. M. Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Asy-Sya’rawi menyatakan sebenarnya al-Qur’an lebih memihak kaum perempuan daripada kaum laki-laki.38 Laki-laki 35
Ibid. Ibid, hlm. 365. 37 Ibid, hlm. 369. 38 Ibid. 36
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 32
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
membutuhkan istri, tetapi ia yang harus membelanjainya. Perempuan pun membutuhkan suami, tetapi ia tidak wajib membelanjainya, bahkan dia yang harus dicukupi kebutuhannya. Sehingga pembagian waris yang terlihat lebih banyak untuk laki-laki ternyata pada hakikatnya harta tersebut untuk istrinya pula. Jika seorang laki-laki tidak wajib membelanjainya, maka setengah dari yang seharusnya ia terima itu dapat mencukupinya. Di sisi lain, bagian perempuan yang satu itu sebenarnya cukup untuk dirinya, sebagaimana kecukupan satu bagian untuk laki-laki apabila ia tidak menikah. Tetapi jika perempuan menikah, maka keperluan hidupnya ditanggung oleh suami. Bagian laki-laki yang telah menikah tentunya akan habis dan tidak utuh karena dua bagian yang dimilikinya harus dibagi dua, sedangkan satu bagian yang dimiliki perempuan akan menjadi utuh karena tidak digunakan sama sekali. Dengan demikian keterpihakan Allah kepada perempuan lebih berat daripada keterpihakannya kepada laki-laki dalam masalah pembagian warisan. Adapun keadilan sistem warisan di antaranya sebagai berikut.39 1. Hukum waris ditetapkan oleh syariat dan bukan oleh pemiliki harta, tanpa mengabaikan keinginan pemilik, karena ia masih berhak menentukan sepertiga dari hartanya untuk wasiat kepada orang yang dikehendakinya. 2. Pembagian harta warisan yang ditetapkan oleh Allah diberikan kepada kerabat terdekat, tanpa membedakan antara yang kecil dan besar. 3. Pembagian warisan diperhatikan pula sisi kebutuhan dan kewajiban masing-masing yang berbeda. Seperti halnya seorang anak mendapatkan hak yang lebih banyak karena dilihat dari masa depannya yang masih panjang. Begitupun seorang laki-laki lebih besar bagiannya karena tuntutan harta baginya lebih besar dibandingkan dengan tuntutan perempuan. 4. Ketentuan pembagian waris adalah distribusi, bukan monopoli. Sehingga harta warisan tidak hanya diberikan kepada satu orang, misalnya anak sulung saja, atau laki-laki. Kerabat yang lain pun berhak untuk menerimanya, seperti saudara, paman. 5. Perempuan tidak dihalangi untuk mendapatkan warisan, seperti halnya masyarakat Arab pada masa sebelum Islam. Islam sangat menghargai kaum perempuan dan memberikan hak-haknya secara penuh tanpa dikurangi. Keadilan dalam pembagian warisan tidak dapat diukur dari besarnya atau sedikitnya harta yang didapatkan, tetapi hal tersebut berdasarkan kebutuhan yang dimilikinya. Sistem yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an merupakan aturan yang adil. Hal ini telah diakui oleh seluruh pakar hukum di Eropa.40 6. Analisis Setelah menelaah pemikiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah dan Munawir Sjadzali dalam karyanya yang berjudul reaktualisasi ajaran Islam mengenai pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan, bahwa antara keduanya tidak ditemukan persamaan. Akan tetapi, jika dilihat dari karya M. Quraish Shihab yang lainnya, yakni buku yang berjudul “Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab”, dalam buku tersebut ditemukan sebuah penjelasan sebagai berikut. 41 “Jika dalam pembagian waris para ahli waris menghendaki pembagian yang bukan berdasarkan hukum Islam dengan membagi sama rata dan semua pihak telah menyepakati hal tersebut, maka dibenarkan, selama pembagian secara merata tersebut bukan atas dasar menilai bahwa kadar pembagian yang ditetapkan oleh Allah tidak adil atau keliru”. 39
Hamid Zarrabi, Tanzil, http://tanzil.net/#trans/id.muntakhab/4:12 (diunduh pada tanggal 3 Juni 2016 pukul 21. 58 WIB). 40 Ibid. 41 M. Quraish Shihab, Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab, (Bandung: Al-Bayan, 2002), hlm. 181. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 33
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
Hal tersebut membuktikan bahwasanya Quraish Shihab tidak selalu berpendirian teguh terhadap pernyataannya dan menyesuaikan dengan realitas yang ada dalam masyarakat. M. Quraish Shihab pun tidak memungkiri pembagian warisan yang sama rata atas dasar kesepakatan semua anggota keluarga. Dengan demikian, dalam karya tulis Quraish Shihab yang lain terdapat persamaan dengan pemikiran Munawir Sjadzali dalam pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan dengan membagi sama rata harta kekayaan kepada ahli waris yang berhak mendapatkannya. Bahkan, hal ini M. Quraish Shihab mempraktekannya langsung dalam keluarga orang tuanya. Adapun perbedaan antara keduanya bahwa dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab disebutkan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan hendaknya berdasarkan al-Qur’an dengan kadar 2:1. Hal ini dengan alasan karena pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan merupakan ketetapan dari Allah yang tidak bisa dirubah oleh siapapun dan tidak pula ditentang. Sedangkan Munawir Sjadzali menghendaki pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan dengan pembagian yang sama besar, yakni dengan kadar 1:1. Munawir Sjadzali menghendaki pembagian yang seperti itu karena melihat realitas yang ada dalam masyarakat. Adapun penulis sendiri lebih condong terhadap pemikiran M. Quraish Shihab dengan tidak merubah ketentuan atau ketetapan yang telah ada dalam al-Qur’an, karena ayat waris merupakan ayat yang tergolong ke dalam ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat hukum) yang pasti, di mana ayat muhkamat diposisikan sebagai induk dari al-Qur’an, dan tidak ada yang memposisikan ayat-ayat waris ke dalam ayat-ayat zhanniyat terlebih lagi sebagai ayat yang mutasyabihat.42 Keadilan dalam pembagian warisan dengan kadar 2:1 yang terlihat lebih memihak kepada kaum laki-laki karena jumlah harta yang diterima lebih besar, tidak bisa dipandang menjadi sesuatu yang tidak adil hanya karena kadar yang berbeda antara keduanya. Pada hakikatnya keadilan tidaklah harus sama besar dan bernilai sama. Adil berarti seimbang atau sebanding. Perbandingan 2:1 mungkin terlihat tidak adil dan 1:1 yang terlihat lebih adil di mata manusia. Namun belum tentu adil dalam pandangan Allah. Al-Qur’an mengingatkan kepada manusia bahwa sesuatu yang terlihat menyenangkan belum tentu baik, dan sesuatu yang tidak menyenangkan mungkin sebaliknya, yakni sesuatu yang lebih baik yang telah ditentukan oleh Allah. Hal ini berdasarkan QS. al-Baqarah (2) ayat 216,
َﺎل َوُﻫ َﻮ ﻛ ُْﺮﻩٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َو َﻋﺴَﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا َﺷْﻴـﺌًﺎ َوُﻫ َﻮ َﺧْﻴـٌﺮ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َو َﻋﺴَﻰ أَ ْن ُِﲢﺒﱡﻮا َﺷْﻴـﺌًﺎ ُ ِﺐ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ُﻢ اﻟْ ِﻘﺘ َ ُﻛﺘ َوُﻫ َﻮ َﺷﱞﺮ ﻟَ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠُ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن
“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. Allah telah menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Ketetapan Allah tersebut dilihat pula dampak negatif serta positif yang akan terjadi, begitupun dengan pembagian warisan. Apabila pembagian harta warisan tidak akan menimbulkan suatu dampak negatif, tentunya pembagian warisan akan diserahkan begitu saja kepada manusia dan Allah tidak akan ikut campur ke dalamnya.43 Namun, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana sampai masalah yang sekecil itu pun diaturnya dengan sedemikian rupa. Sehingga tidaklah mengherankan jika Allah 42
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan Konteks, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 83. 43 Ibid. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 34
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
menggunakan hak prerogatif-Nya dalam pembagian harta warisan tanpa ada campur tangan manusia sedikitpun, karena pada hakikatnya manusia memiliki sifat tidak puas dan serakah. Terlebih lagi dalam pembagian warisan para ahli waris lebih mementingkan dirinya sendiri tanpa melihat hak-hak orang lain yang ada di sekitarnya. Amina Wadud mengemukakan bahwasanya pembagian warisan dengan perbandingan 2:1 yang mana perempuan mendapatkan setengah harta dari laki-laki bukanlah satu-satunya cara pembagian yang terjadi. Akan tetapi hal tersebut hanya salah satu dari berbagai macam pembagian waris.44 Perempuan mendapatkan bagian setengah dari laki-laki terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari anak perempuan dan anak laki-laki. Maka jika ada ahli waris lain seperti orangtua, saudara sekandung, kerabat jauh, cucu, kakek, dan lain-lain, pembagian waris pun akan berbeda. KESIMPULAN Menutup uraian dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, maka hal-hal yang dapat disimpulkan ialah sebagai berikut. 1. M. Quraish Shihab menjelaskan penafsiran ayat tentang waris QS. An-Nisa ayat 11 dalam Tafsir al-Misbah bahwasanya pembagian waris antara laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2:1 bersifat mutlak dan tidak bisa dirubah ataupun ditolak oleh siapapun. Hal ini melihat adanya penggalan-penggalan ayat yang merupakan penekanan bahwa pembagian waris diatur oleh Allah dengan adil dan bijaksana tanpa campur tangan manusia. Namun, di lain pihak Quraish Shihab memperbolehkan sistem pembagian waris dengan cara bagi rata (1:1), sesuai dengan kesepakatan semua ahli waris. Adapun penafsiran Munawir Sjadzali dalam karyamya yang berjudul Reaktualisasi Ajaran Islam bahwa pembagian waris antara laki-laki dan perempuan hendaknya sama rata (1:1), dengan syarat perempuan yang memiliki peran dalam masyarakat. Munawir berpendapat demikian karena melihat adanya realitas dalam masyarakat yang mengabaikan ayat waris dan menginginkan sistem pembagian waris sama rata. 2. Keadilan dalam pembagian waris menurut M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali pada hakikatnya adalah sama, yakni keduanya menitikberatkan keadilan dalam pembagian warisan (hak anak perempuan sama dengan hak anak laki-laki dengan perbandingan 1:1). Hal ini dilihat berdasarkan tanggung jawab dan peran yang dimiliki dalam masyarakat.
44
Rodiah, dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 154. Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 35
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
DAFTAR PUSTAKA ‘Ali bin Ahmad, Abu al-Hasan. Asbab an-Nuzul. juz 1. Maktabah Syamilah. Abubakar, Syukri. Desember 2014. “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris di Indonesia”. Dalam Jurnal Schemata. Volume 3. Nomor 2. Adikunto, Suharsimi. 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press. as-Suyuthi, Jalaluddin. 2002. Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul. Beirut: Muassasah al-Kutub atsTsaqafiyyah.
Engineer, Ashgar Ali. 1999. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LkiS. Ependi, Ahmad. 2008. Skripsi. Konsep Dzikir Menurut M. Quraish Shihab. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Faisol, Muhammad. 2011. Hermeneutika Gender. Malang: UIN MALIKI PRESS. Fakih, Mansour. 1996. Membincang Feminisme: diskursus gender perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti Gusmian, Islah. 2003. Khazanah Tafsir Indonesia dari Heurmeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju. Hamid, Syamsul Rijal. 2011. Buku Pintar Agama Islam. Bogor: Cahaya Salam. Hamidah, Tutik. 2011. Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang: UIN MALIKI PRESS. Hasyim, Syafiq. 2001. Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam. Bandung: Mizan. Hidayat, Budi Ali. 2009. Memahami Dasar-Dasar Ilmu Faraidh. Bandung: Penerbit Angkasa. Hidayat, Rachmat Taufik. 1989. Khazanah Istilah Al-Qur`an. Bandung: Mizan. Husein al-Munawar, Said Agil. 2002. al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press. M. Hanafi (ed), Muchlis. 2010. Spiritualitas dan Akhlak. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. M. Hanafi, Muchlis. 2014. Berguru Kepada Sang Mahaguru; Catatan Kecil Seorang Murid terhadap Pemikiran dan Karya-Karya M. Quraish Shihab. Tangerang: Lentera Hati. Maruzi, Muslich. T. th. Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris). Semarang. Muhammad, Husein. 2001. Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LkiS. Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Rahman, Fatchur. 1975. Ilmu Waris. Bandung: PT Al-Ma’arif. Razikin, Badiatul dkk. 2009. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: e-Nusantara. Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam. Semarang: CV Toha Putra. Rodiah, dkk. 2010. Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep. Yogyakarta: eLSAQ Press. Rofiq, Ahmad. 2002. Fiqih Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sahabuddin (ed). 2007. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati. Saimina, Iqbal Abdurrauf (ed). 1988. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. Saleh, Ahmad Syukri. 2007. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jakarta: Gaung Persada Press. Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. ---------------------------. 2002. Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab. Bandung: Al-Bayan. 6 ---------------------------. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al8
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 36
Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan Studi Komparatif Pemikiran M. Quraish Shihab dan Munawir Sjadzali Ayu Faizah, Adib, Ahmad Faqih Hasyim
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. ---------------------------. 2003. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. ---------------------------. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. Sjadzali, Munawir. 1988. Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. ------------------------. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press. -----------------------. 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Paramadina. Suma, Muhammad Amin. 2013. Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan Konteks. Jakarta: Rajawali Pers. Suprapto, M. Bibit. 2010. Ensiklopedi ulama nusantara. Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA. TIM Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an. 2009. Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an. Wijaya, Rony. Biografi Web, http://bio.or.id/biografi-quraish-shihab/ (diunduh pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 20.30 WIB)
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 37