KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM UPACARA ADAT
(Analisis Komunikasi Simbolik Penggunaan Bahasa Kiasan dalam Upacara Pernikahan “manjapuik marapulai” pada Masyarakat Minangkabau di Nagari Paninjauan Kecamatan Sepuluh Koto Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)
SKRIPSI
ZIKRA KHASIAH 110904002
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015
1
KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM UPACARA ADAT (Analisis Komunikasi Simbolik Penggunaan Bahasa Kiasan dalam Upacara Pernikahan Manjapuik Marapulai di Nagari Paninjauan Kecamatan Sepuluh Koto Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat) Zikra Khasiah ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk melihat simbol-simbol bahasa kiasan dan menganalisis arti dan makna dari simbol bahasa kiasan dalam upacara pernikahan “manjapuik marapulai” di Nagari Paninjauan. Subjek penelitian adalah ninik mamak dan mamak kedua belah pihak.Penelitian menggunakan analisis semiologi Roland Barthes berupa signifikasi dua tahap (two order of signification) yaitu denotasi dan konotasi, serta mitos sebagai pengembangan dari konotasi. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat 15 kalimat yang bersumber dari alam, sesuai dengan falsafah “alam takambang manjadi guru” seperti kalimat Tantangan kato ayam lai barinduak, yang merupakan pelajaran dari alam yaitu ayam yang membutuhkan induk dalam menuntun kehidupannya begitu juga dengan manusia yang membutuhkan orang tua dalam menunjukkan tentang adat istiadat. 1 kalimat yang bersumber kepada ajaran agama Islam yaitu Adat badiri di nan patuik, syarak mamakai pado dalil, limbago duduak bajauahan, tarapak sambah ka tangah, taunjuak ka muko rapek, yaitu ajaran untuk mengucapkan salam kepada orang yang hadir dalam suatu acara. Kemudian 11 kalimat yang bersumber kepada tradisi, falsafah, ideologi dan etika masyarakat seperti kalimat Pusako duduak di nan rapek, kato surang dibulati, kato basamo dipaiyo, direnjeang kato jo mupakat yang merupakan ideologi masyarakat di Nagari Paninjauan yaitu Musyawarah. Kata kunci : komunikasi simbolik, bahasa kiasan, manjapuik marapulai.
PENDAHULUAN Komunikasi merupakan dasar bagi manusia dalam memulai aktivitasnya, demikian juga dengan hubungan antarsesama. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari interaksi sosial sehingga komunikasi bukan hanya sekedar kepentingan saja, akan tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Komunikasi yang dilakukan baik secara lisan (verbal) maupun dengan isyarat (non verbal), seperti saat kita mengerjakan tugas baik itu sekolah, kuliah, dan tugas lainnya, kita akan meminta bantuan teman agar bisa menyelesaikan tugas dengan baik.
2
Dalam konteksnya, komunikasi terdiri dari komunikasi di depan umum (komunikasi publik), bicara dengan teman (komunikasi antarpribadi) dan sebagainya. Masyarakat Minangkabau juga memiliki berbagai jenis komunikasi. Ada empat hal yang merupakan dasar bagi masyarakat Minang dalam berkomunikasi terhadap semua orang, yang dikenal dengan istilah kato nan ampek atau jalan nan ampek (kata yang empat/jalan yang empat) yaitu “kato mandaki” yang artinya perkataan yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua dari kita yaitu dengan bahasa yang sopan santun dan menghormatinya. “Kato manurun” untuk berbicara kepada orang yang lebih muda/kecil dari kita dengan bahasa kasih sayang. “kato mandata” untuk berbicara dengan teman sebaya dengan bahasa yang menghargainya dan “kato malereng” yang merupakan kata sindiran dan kata kiasan yang digunakan kepada seluruh elemen masyarakat (Sayuti, 2005 : 17). Kata kiasan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pertimbangan tentang suatu hal dengan perbandingan atau persamaan dengan hal yang lain, perumpamaan; ibarat, arti kata yang bukan sebenarnya, lambang, sindiran, pelajaran (dari suatu cerita dan sebagainya) (http://kbbi.web.id/kias). Sumber lain menyebut kata kiasan sebagai kata-kata yang berbunga-bunga, bukan dalam arti kata yang sebenarnya; kata kiasan dipakai untuk memberi rasa keindahan dan penekanan pada pentingnya hal yang disampaikan, misalnya : "cita-citanya setinggi langit," dan "wajahnya bagaikan rembulan" (Ensiklopedia). Jadi, bahasa kiasan adalah bahasa perumpamaan yang digunakan untuk memberi rasa keindahan bagi pendengarnya. Orang Minang, terutama pada Nagari yang diteliti ini sering menggunakan bahasa kiasan dalam acara formil maupun dalam pembicaraan sehari-hari sesuai dengan pepatah Minang yang menyatakan :“manusia tahan kias, kerbau tahan pukul” yang artinya manusia dengan bahasa kiasan saja sudah mengerti maksud dan tujuan dari si pembicara (komunikator), dan menunjukan bahwa kiasan merupakan bahasa yang disukai dan menjadi salah satu keunikan dan ciri khas masyarakat Minangkabau (Oktavianus, 2012 : 1). Setiap pertemuan adat di alam Minangkabau selalu melaksanakan Alur Panitahan, yakni pidato adat yang diucapkan sewaktu duduk bersama untuk musyawarah menyetujui suatu maksud (Jamin, 2006 : 3). Dalam panitahan (percakapan adat) tersebut, terdapat bahasa kiasan yang digunakan oleh mamak baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki untuk menyampaikan maksud dan tujuannya dalam hal meminang, bertukar tanda, menjemput marapulai (lakilaki yang dilamar), dan juga mengantarkan marapulai ke rumah anak daro (perempuan yang melamar). Penelitian ini mengkaji lebih dalam bahasa kiasan dalam salah satu proses upacara pernikahan di Nagari Paninjauan, yaitu Manjapuik Marapulai. Manjapuik marapulai adalah proses menjemput pengantin pria yang akan tinggal bersama istri di rumah keluarga istri. Acara ini merupakan proses akhir dalam upacara pernikahan di Nagari Paninjauan. Hal ini terjadi karena sistem kekerabatan Minangkabau yang menganut Matrilineal.Peneliti akan mengungkap makna dari bahasa kiasan dalam acara manjapuik marapulai dan alasan historis yang terdapat dalam penggunaan bahasa tersebut.Hal inilah yang menjadi fokus masalah dalam penelitian mengenai bahasa kiasan dalam acara manjapuik marapulai tersebut.
3
KAJIAN PUSTAKA Komunikasi sebagai Proses Simbolik Semua makna budaya diciptakan menggunakan simbol-simbol.Simbol mengacu kepada pendapat Spradley (1997) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk kepada sesuatu.Semua simbol melibatkan tiga unsur yaitu (1) simbol itu sendiri, (2) satu rujukan atau lebih, (3) hubungan antara simbol dengan rujukan.Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik (Tinarbuko, 2010:19). Susanne K. Langer (dalam Mulyana, 2008 : 92) mengemukakan bahwa salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang, dan inilah yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk hidup lainnya. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Seperti sirih dan pinang yang merupakan suatu objek yang maknanya begitu penting dalam upacara adat di Minangkabau. Cincin yang merupakan lambang bagi sepasang kekasih dalam menjalin hubungan ke tahap yang lebih serius, dan sebagainya. Lambang adalah salah satu kategori tanda (Mulyana, 2008 : 92). Littlejohn (dalam Sobur, 2004 : 15) berpendapat bahwa tanda-tanda merupakan basis dari seluruh komunikasi. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2004 : 15). Semiologi Dasar penelitian ini dengan menggunakan “semiology” merujuk kepada gagasan Ferdinand de Saussure yang menjadi acuan bagi Roland Barthes dalam mengembangkan ilmu semiotika. Saussure menyatakan perlunya suatu ilmu yang mengakaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat, dan disebutnya ilmu itu adalah semiologie. Kita dapat menafsirkan bahwa ilmu tersebut dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan suatu masyarakat (Hoed, 2011 : 84). Semiologi menurut Saussure, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, di belakangnya harus ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, disitu ada sistem (Tinarbuko, 2010 : 11). Budaya suatu masyarakat merupakan hal yang terdapat makna didalamnya. Sehingga, ada unsur lain yang membentuk makna dan terbentuklah sistem yang bisa ditelaah dengan kajian semiologi. Semiotika berasal dari bahasa yunani yaitu semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda.Paul Cobley dan Litza Jansz mengungkapkan munculnya studi khusus tentang sistem penandaan benar-banar merupakan fenomena modern. Peirce juga berpendapat mengenai tanda adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated), ia hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir (Sobur, 2004 : 17). 4
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2011 : 5). Upacara pernikahan sebagai salah satu unsur kebudayaan juga dipandang sebagai tanda, baik non verbal maupun verbal. Dalam penelitian ini lebih menekankan kepada tanda verbal (kata) dalam proses upacara pernikahan tersebut dengan menggunakan semiologi “Roland Barthes”. Semiologi Roland Barthes Roland Barthes (1915-1980) merupakan salah satu ahli semiotika pascastrukturalis yang mengembangkan Semiologi Ferdinand de Saussure dengan analisis strukturalnya (Sobur, 2004 : 63). Barthes mengemukakan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya.Lebih tepatnya konsep itu disebut signifikasi dua tahap (two order of signification). Barthes menjelaskan bahwa konsep ini diawali dengan hubungan antara signifier (ekspresi/penanda) dan signified (content/petanda) dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal yang merupakan signifikasi tahap pertama. Hal ini disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda.Signifikasi tahap kedua yang disebut konotasi oleh Barthes, menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011 : 17). Barthes mengembangkan teori konotasi sebagai dasar untuk mengkaji budaya dan membangun teori tentang kebudayaan.Konotasi tentang suatu gejala budaya dapat terbentuk pada suatu komunitas.Dalam kajian tentang kebudayaan, konotasi tersebut dikembangkannya menjadi teori tentang mitos yang berbeda dengan mitos yang dikenal secara umum.Mitos dalam arti khusus ini merupakan perkembangan dari konotasi, yaitu pemaknaan tanda yang bersifat arbitrer (sewenang-wenang) sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Mitos dengan arti tersebut dikatakan Barthes sebagai sistem semiologi (Hoed, 2011 : 66-67). Bicara tentang mitos, merupakan suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud.Mitos dirangkai menjadi mitologi yang berperan penting dalam kesuatuan-kesatuan budaya. Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalamnya (Wibowo, 2011 : 18). Upacara Pernikahan Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya dan juga kelas sosial.Upacara pernikahan itu biasanya merupakan acara yang
5
dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat yang berlaku (Wikipedia). Proses upacara pernikahan di Minangkabau secara umum adalah : (1) Mancari minantu yaitu penjajakan untuk mencari calon menantu yang dilakukan secara diam-diam dan biasanya dilakukan oleh bako, yaitu saudara kandung dari ayah calon mempelai. (2) Batimbang tando yaitu pihak laki-laki dan perempuan saling bertukar tanda menurut adat. Biasanya batimbang tando dilaksanakan setelah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Tanda tersebut bisa berupa cincin, keris dan sebagainya, sesuai adat yang berlaku di Nagari tersebut. (3) Menikah, hari pernikahan ditentukan pada saat batimbang tando. (4) Baralek, yaitu peresmian pernikahan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan yang biasa dikenal dengan Kenduri. Hari kenduri ini juga ditentukan pada saat batimbang tando. Kenduri ini juga berbeda pelaksanaannya di tiap Nagari (Zulkarnaini, 2003 : 51). Manjapuik Marapulai Manjapuik marapulai merupakan salah satu proses dan acara yang terdapat dalam upacara pernikahan di Minangkabau. manjapuik marapulai berasal dari bahasa minang itu sendiri yang artinya adalah menjemput pengantin pria. Acara manjapuik marapulai berlangsung setelah acara baralek (kenduri) di rumah pengantin pria tersebut. Acara ini merupakan proses terakhir dari upacara pernikahan di Nagari Paninjauan. Bahri Rangkayo Mulia (dalam Amir, 2003 : 17) salah seorang tokoh pemuka adat menguraikan adat manjapuik marapulai dalam majalah kebudayaan Minangkabau. Beliau mengungkapkan bahwa marapulai yang bersumando/bermenantu (akan pindah) ke rumah yang bermamak (beradat), maka adalah haknya menurut adat untuk dijemput oleh pihak mamak rumah dari keluarga istrinya. Pelaksanaan acara manjapuik marapulai, mamak dari pihak perempuan datang beserta urang sumando untuk menjemput marapulai.Urang sumando adalah orang yang berada di lingkungan tempat tinggal istri yang mengiringi mamak dalam acara tersebut, dengan membawa bingkisan adat sebagai penjemput marapulai.Bingkisan adat ini merupakan lambang pesan dan amanat dari keluarga penjemput, yang terdapat dalam rempah-rempah pada bingkisan tersebut.Adapun pesan yang disampaikan oleh keluarga melalui bingkisan adat tersebut bahwa pihak keluarga istri telah menyambut kedatangan urang sumando tersebut dengan hati yang tulus dan suci, dan sebagai wujud penghargaan dari pihak keluarga terhadap urang sumando mereka. METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada penafsiran, dengan konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis wawancara tertentu.Dalam penelitian kualitatif, teknik penelitian dengan menggunakan
6
analisis isi (simbolik) ini ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknai isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2008 : 156). Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah maknabahasa kiasan yang digunakan dalam upacara pernikahan manjapuik marapulai di Nagari Paninjauan tersebut. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Wawancara Mendalam (in depth interview) Wawancara ini tidak berstruktur dan tidak ada settingan wawancara yang baku. Wawancara dilakukan secara intens untuk mendapat data yang lengkap dan mendalam.Pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini yaitu ninik mamak, mamak dan stakeholder yang terkait dalam upacara pernikahan “manjapuik marapulai” di Minangkabau. 2. Studi Kepustakaan Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan dan menghimpun data melalui literatur dan sumber bacaan yang mendukung penelitian.Bahasa dianalisis dengan menggunakan teks dan referensi yang jelas sumbernya, dan menunjang topik penelitian.Bahan bacaan dikumpulkan baik dari buku maupun internet yang berkaitan dengan bahasa kiasan dan panitahan Minangkabau menjadi hal utama yang dilakukan. 3. Observasi (pengamatan langsung) Peneliti mengobservasi upacara pernikahan manjapuik marapulai di Nagari Paninjauan dengan menghadiri resepsi pernikahan dan merekam semua percakapan yang terjadi dalam acara tersebut. 4. Analisis Simbolik Penelitian ini menelaah bahasa kiasan pada panitahan manjapuik marapulai dengan menganalisis simbol yang terdapat dalam bahasa kiasan.Bahasa kiasan tersebut dianalisis dengan menggunakan perangkat analisis semiologi Roland Barthes dengan signifikasi 2 tahap yaitu tanda denotatif sebagai signifikasi tahap pertama dan tanda konotatif sebagai signifikasi tahap kedua.Mitos juga terdapat dalam unsur semiologi Roland Barthes yang merupakan pengembangan dari tanda konotatif. Mitos merupakan pemaknaan tanda yang bersifat arbitrer (sewenang-wenang) digunakan dalam mengkaji kebudayaan (Hoed, 2011 : 66-67). Mitos dalam semiologi Roland Barthes berbeda dengan mitos dalam arti sebenarnya, namun mengungkapkan nilai-nilai yang terdapat dalam tanda kebudayaan seperti yang dikemukakan Van Zoest (1991).Zoest mengemukakan bahwa siapapun bisamenemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalamnya. Teknik Analisis Data
7
Analisis data berlangsung melalui tahapan berikut : 1. Mencari bahan yang terkait dengan topik penelitian dengan studi kepustakaan. 2. Melakukan observasi ke lokasi penelitian untuk memperoleh data. 3. Melakukan wawancara dengan informan yang sesuai dengan kriteria pada subjek penelitian. 4. Memilah-milah data yang akan dianalisis. 5. Menganalisis data dengan semiologi Roland Barthes. 6. Hasil analisis tersebut dibahas dan ditarik kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Proses yang dilakukan dalam penelitian yaitu observasi terhadap dua resepsi pernikahan yang berlangsung pada tanggal 25-26 Desember 2014. Pengantin pria merupakan orang Paninjauan asli yang tinggal di jorong Hilie Balai, dan pengantin wanitanya berasal dari jorong Ngalau Kota Padang Panjang.Suku pengantin pria “pisang” dan pengantin wanita adalah “jambak”.Pengantin ini berasal dari daerah yang berbeda yang disatukan dalam pernikahan.Observasi selanjutnya dilakukan pada tanggal 27 Desember 2014 di hari pernikahan pengantin yang tinggal di jorong Tabu Baraie. Kedua pengantin berasal dari Nagari dan jorong yang sama yaitu Nagari Paninjauan dan jorong Tabu Baraie, yang membedakannya adalah suku. Suku pengantin wanita adalah “pisang” dan suku laki-laki adalah “sikumbang”. Peneliti melakukan wawancara mendalam setelah memperoleh data melalui observasi.Peneliti mewawancarai empat informan yang merupakan ninik mamak dan mamak yang sudah berpengalaman dalam membawakan panitahan pada acara manjapuik marapulai sesuai dengan subjek penelitian.Informan tersebut diantaranya Sutan Majo Kayo/Mak Kayo Bancah yang merupakan mamak orang Paninjauan. Banyak pengalaman yang telah dijalani beliau dalam mengikuti upacara pernikahan, mulai dari menjadi urang sumando yang disuruh menjemput marapulai, sampai kepada menjadi mamak pihak laki-laki (tuan rumah) dalam menyempaikan dan menjawab panitahan dari berbagai pemuka adat yang datang dalam upacara pernikahan yang diikutinya. Bahkan Mak Kayo juga sering diminta menjadi mamak pihak laki-laki dalam upacara manjapuik marapulai dari berbagai Nagari untuk menggantikan mamak marapulai tersebut.Kemudian Datuk Lelo Kayoyang merupakan ninik mamak yang berpengalaman dalam panitahan dalam upacara pernikahan, informan ketiga adalah Datuk Basa nan Kuniang, ninik mamak suku lain di Nagari Paninjauan yang meguasai panitahan disetiap upacara adat Minang, dan yang terakhir mak Win (Edwin Budianto) merupakan mamak yang berprestasi dalam membawa panitahan pada acara manjapuik marapulai yaitu ditingkat kabupaten/kotapun sudah ditaklukkannya dengan meraih juara pertama pada lomba panitahan manjapuik marapulai di Padang tahun 2003. Panggung di tingkat kelurahan dan kecamatan juga sudah dikuasainya.Kemampuannya sudah diakui oleh provinsi dalam hal panitahan manjapuik marapulai tersebut. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan para informan menemukan bahwa terdapat 27 kalimat yang mengandung kata kiasan dalam 8
panitahan manjapuik marapulai.Kata kiasan tersebut mengandung makna dan terdapat simbol yang tersirat di dalamnya.Bahasa tersebut dianalisis secara historis dengan mencari informasi kepada para informan mengenai asal kata, alasan penggunaan kata kiasan tersebut dan hal-hal terkait yang mendukung penelitian.Bahasa yang telah dianalisis, kemudian di susun dengan menggunakan alat analisis pada penelitian ini, yakni analisis semiologi yang digagas Roland Barthes. Hasil penelitian menemukan bahwa dari 27 kalimat yang mengandung kata kiasan yang digolongkan dalam tiga kategori yaitu : (1) terdapat 15 kalimat yang bersumber dari fenomena, aktivitas dan kejadian yang terdapat di alam, (2) terdapat 1 kalimat yang bersumber dari ajaran agama Islam yang sesuai dengan falsafah Minang yaitu “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” artinya adat yang bersendikan kepada agama Islam (syarak), dan syarak bersendikan alqur’an (kitabullah), (3) terdapat 11 kalimat yang bersumber dari hal-hal lain yaitu : etika masyarakat yang terdiri dari 6 kalimat, ideologi masyarakat Minang terdiri dari 2 kalimat, dan tradisi/kebiasan masyarakat sebanyak 3 kalimat. Umumnya simbol yang terdapat dalam kata kiasan menunjuk kepada alam, hal tersebut sesuai dengan falsafah Minang yaitu “alam takambang manjadi guru” dimana masyarakat Minang dalam mengkonstruksi/menciptakan budayanya berdasarkan apa yang terdapat di alam. Aktivitas, fenomena, atau apapun yang terdapat di alam ini bisa dijadikan pelajaran.Hal tersebut mengisyaratkan bahwa orang Minang, khususnya masyarakat di Nagari Paninjauan hendaknya selalu belajar.Belajar tidak hanya dilakukan di bangku sekolah saja, namun dimana saja dengan memperhatikan fenomena dan peristiwa yang terdapat di alam.Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran sehingga manusia hendaknya selalu terus belajar. Mengacu kepada gagasan Mulyana (2008 : 92) yang mengatakan bahwa lambang atau simbol merupakan salah satu kategori tanda, Littlejohn (dalam Sobur, 2004 : 15) juga berpendapat bahwa tanda merupakan basis dari seluruh komunikasi. Tanda menjadi dasar dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama manusia.Komunikasi yang terjadi baik secara verbal maupun nonverbal terdapat tanda di dalamnya.Komunikasi verbal yang terjadi antara mamak dari kedua belah pihak mempelai lewat panitahan juga terdapat tanda.Tanda tersebut yang ditelaah maknanya oleh peneliti, dalam menganalisis tanda pada panitahan tersebut peneliti menggunakan suatu ilmu atau metode analisis mengkaji tanda.Ilmu tersebut adalah “semiotika”, dalam istilah Barthes yaitu “semiologi” yang telah dijabarkan dalam analisis data penelitian. Sesuai dengan pendapat spradley (1997)bahwa simbol, baik secara verbal maupun nonverbal menunjuk kepada sesuatu.Simbol bahasa kiasan dalam panitahan manjapuik marapulai menunjuk kepada alam.Alam yang menjadi sumber inspirasi dan falsafah hidup orang Minang yaitu “alam takambang manjadi guru”.Simbol merupakan kebutuhan bagi setiap manusia yang memiliki akal dan pikiran. Susanne Langer (dalam Mulyana, 2008 : 92) mempertegas dengan menyatakan bahwa simbol merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang inilah yang menjadi
9
pembeda antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Komunikasi simbolik yang terdapat pada panitahan dalam acara manjapuik marapulai tersebut membuktikan bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya.Manusia dengan akal pikirannya menciptakan dan mengkonstruksi simbol-simbol tersebut sesuai dengan budaya yang ada sehingga dapat dipahami oleh masyarakat yang ada dalam komunitasnya. PENUTUP Kesimpulan 1. Simbol yang terdapat dalam bahasa kiasan pada panitahan manjapuik marapulai umumnya merupakan simbol menunjuk kepada alam, yaitu terdapat 15 kalimat yang mengandung kata kiasan dengan simbol yang terdapat di alam. 1 kalimat yang terdapat nilai agama di dalamnya, yaitu ajaran agama Islam yang menjadi agama masyarakat di Nagari Paninjauan. Selebihnya kalimat yang mengandung etika, ideologi dan tradisi masyarakat sebanyak 11 kalimat. 2. Makna yang terdapat dalam bahasa kiasan tersebut merujuk kepada alam. Hal ini sesuai dengan falsafah Minang yaitu “alam takambang manjadi guru” seperti yang terdapat pada kalimat Tantangan kato ayam lai barinduak, simbol dari ayam merupakan sesuatu yang terdapat di alam, dimana ayam membutuhkan induknya yang menuntun kehidupannya kelak, seperti generasi muda yang memerlukan ninik mamak yang menuntunnya dan memberi petunjuk mengenai adat istiadat Minang. 3. Makna yang mengandung nilai agama yaitu Adat badiri di nan patuik, syarak mamakai pado dalil, limbago duduak bajauahan, tarapak sambah ka tangah, taunjuak ka muko rapek. Ajaran agama yang terdapat dalam kalimat ini adalah mengucapkan salam kepada orang yang hadir pada acara manjapuik marapulai tersebut. 4. Makna yang mengandung ideologi, etika serta tradisi masyarakat seperti pada kalimat Kok buni lah samo tadanga, kok rupo lah samo taliek, tabik kabanaran dari si alek, merupakan etika masyarakat di Nagari Paninjauan dalam menyampaikan suatu keinginan yaitu tidak menyampaikan secara langsung, namun dengan menggunakan kata kiasan yang tersirat pesan di dalamnya. Pesan tersebut juga dimengerti oleh komunitas, yaitu masyarakat Nagari Paninjauan. Saran 1. Penelitian mengenai bahasa kiasan dalam upacara pernikahan manjapuik marapulai diharapkan menjadi referensi baru dalam memberikan kontribusi bagi perkembangan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara. Peneliti juga berharap agar penelitian dengan topik serupa nantinya dilanjutkan oleh peneliti lain, mengingat masih banyak kekurangan dalam hasil penelitian ini. Penelitian selanjutnya diharapkan menjadi penyempurna penelitian ini, sehingga pengetahuan terus berkembang.
10
2. Ideologi dan falsafah hidup orang Minang yang terdapat dalam penelitian ini hendaknya menjadi pelajaran bagi para pembaca, khususnya bagi masyarakat Minang itu sendiri, agar tidak kehilangan jati diri sebagai orang Minang. DAFTAR REFERENSI Amir.2003. Adat Minangkabau : Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya. Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hoed, Benny H. 2011.Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Jamin, Jamilus. 2006. Alur Panitahan Adat Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Oktavianus.2012. Bertutur Berkias dalam Bahasa Minangkabau. Padang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Sayuti, M. 2005. Tau Jo Nan Ampek (Pengetahuan yang Empat Menurut Ajaran Budaya Alam Minangkabau). Padang: Mega Sari. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Tinarbuko, Sumbo. 2010. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakatra: Jalasutra. Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Zulkarnaini. 2003. Minangkabau Ranah nan Den Cinto : Budaya Alam Minangkabau, Buku Pelajaran untuk Sekolah Dasar Kelas 5. Bukittinggi: Usaha Ikhlas. Internet (http://kbbi.web.id/kias), diakses tanggal 22 September 2014, pukul 13.00 WIB. (http://Katakiasan-WikipediabahasaIndonesia,ensiklopediabebas.html), tanggal 22 September 2014, pukul 13.00 WIB.
11
diakses