KOMODIFIKASI POLITIK KHUTBAH JUM’AT Muthoin Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan
[email protected] Abstract: This Research discuse about how khutbah jum’at marginalize presidential candidate. By Critical linguistics approach introduced by Roger Fowler, the political nuances are not so obvious in khutbah, because the spirit of welcoming the fasting month is able to reduce the political heat. Nevertheless, there are two khubah jum’at that have potentially to marginalize presidential candidate, the first khutbah convey four criterias of Islamic leader but only focuses on amanah and the second khutbah invite to vote a leader who can be a prayer leader (imam shalat), even though presidential candidate attacked by black campaign with amanah and prayer leader issues. Abstrak : Penelitian ini membahas bagaimana khutbah Jum'at memarginalisasi calon presiden. Dengan pendekatan kriitk linguistik yang diperkenalkan oleh Roger Fowler. Melalui khutbah Jum’at, yang dilakukan pada Bulan Ramadhan, Suhu politik mampu diredam. Namun demikian, ada dua khutbah jumat yang memiliki potensi untuk memarginalisasi calon presiden. Khutbah pertama menyampaikan empat kriteria pemimpin Islam tetapi hanya berfokus pada amanah. Dan khutbah kedua berupa ajakan untuk memilih seorang pemimpin yang bisa menjadi pemimpin doa (imam shalat). Kata Kunci: commodification; politic; khutbah jum’at.
PENDAHULUAN Masyarakat Pekalongan yang mayoritas beragama Islam merupakan komunitas masyarakat yang sangat religius, sisi religiusitas nampak pada beberapa bidang usaha dan lembaga pendidikan Islam baik formal maupun non formal yang libur pada hari jum’at. Dan yang lebih penting adalah bahwa dalam masyarakat Pekalongan, kyai mempunyai kedudukan yang paling terhormat sebagai tokoh masyarakat dan tokoh
Komodifikasi Politik Khutbah Jum’at (Muthoin)
283
agama baru kemudian Kepala Desa, juragan dan PNS (Pegawai Negeri Sipil) (Suraji, 2003: 50). Secara kultural, Pekalongan memiliki beberapa persamaan dengan masyarakat Jawa Timur khususnya kawasan “Tapal Kuda” yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Pulau Madura hingga Banyuwangi. Kawasan “Tapal Kuda” yang di sekitar pesisir ini merupakan basis kekuatan politik para santri dimana tidak diragukan lagi peran Kyai dalam bidang politik. Dalam penelitian ini membahas kyai atau lebih khususnya ketika berperan sebagai khatib shalat jum’at, adakah idiologi seorang khatib masuk dalam ranah khutbah jum’at yang sebagian besar jamaahnya mempunyai idiologi politik yang berbeda. Dalam era reformasi ini, sisi demokrasi dan kebebasan memilih merupakan salah yang penting untuk diperhatikan, di sisi lain menjelang Pemilu Presiden 2014 kepentingan idiologi politik khatib (kyai) bisa masuk dalam ranah khutbah, baik secara samar atau jelas. Dan jika isi khutbah baik dari sisi pemilihan kata, penyusunan kalimat serta bagaimana membangun argumentasi seorang khatib mendukung atau memarjinalkan seorang capres, justru akan menjadikan perpecahan dan konflik di dalam umat Islam itu sendiri. Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang dilaksanakan masjid-masjid di Kota Pekalongan. Karena penelitian ini akan mengungkap bagaimana idiologi politik khatib masuk ke dalam ranah isi khutbah jum’at dan bagaimana isi khutbah jum’at tersebut berimplikasi pada keuntungan terhadap calon presiden tertentu atau memarjinalkan calon presiden lainnya maka penelitian ini lebih mengutamakan metode kualitatif (Moleong, 2006: 13). Data dikumpulkan menggunakan dokumentasi. Tehnik ini difokuskan pada penggunaan alat rekaman atau pendokumentasian khutbah jum’at dengan menggunakan pedoman dokumentasi. Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk mendokumentasikan isi khutbah jum’at di masing-masing masjid yang sudah ditentukan sebagai tempat penelitian. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) dengan mengutamakan pendekatan analisis bahasa secara kritis (Critical linguistics) yang diperkenalkan oleh Roger Fowler dan kawan-kawan. Dengan metode dan pendekatan analisis ini akan melihat bagaimana gramatikal bahasa membawa posisi dan makna idiologi tertentu. Dengan kata lain, khutbah jum’at akan dianalisis bagaimana pilihan kata dan struktur gramatika sebagai pilihan khatib untuk memperoleh dukungan publik kepada partai politik tertentu dalam
284
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 282-294
pemilu 2014, atau bahkan untuk memarjinalkan partai politik lainnya. (Eriyanto, 2009: 15). HASIL DAN PEMBAHASAN Kyai dan Politik Pengaruh kyai atas budaya dan politik tergantung seberapa pentingnya agama di masyarakat, jika agama dianggap penting bagi seseorang maka agama dapat mempengaruhi cara pandang dan penilaiannya atas aspek-aspek kehidupan, semakin penting seseorang memandang sebuah agama dalam kehidupan, semakin tinggi pula ia memandang aspek-aspek kehidupan dalan perspektif agama yang diyakininya. Pengaruh agama terhadap politik terletak pada sifat dasar agama itu sendiri, yakni sebagai “sebuah sistem simbol yang membentuk kegairahan (moods) dan motivasi yang kuat, besar dan berjangka panjang pada kehidupan manusia dengan merumuskan konsepsi-konsepsi mengenai tatanan umum kehidupan dan dengan membungkus konsepsikonsepsi tersebut dalam sebuah aura faktualitas sedemikian rupa sehingga tampak kegairahan dan motivasi tersebut benar-benar nyata. (Mujani, 2006: 6). Menurut Turmudi, sebagaimana dikutip oleh Moesa menyebutkan bahwa para kyai dapat dibedakan menjadi empat macam tipologi, yaitu kyai pesantren, kyai tarekat, kyai politik dan kyai panggung yang masing-masing mempunyai jumlah pengikut yang berbeda-beda. Meskipun terbagi menjadi empat tipologi, tetapi dalam kenyataannya, seorang kyai dapat digolongkan dalam lebih dari satu kategori. Misalnya, ada kyai politik yang terkenal karena menjadi anggota legeslatif di sebuah kota, tetapi ia juga tergolong kyai panggung yang hampir tiap malam menyampaikan ceramah agama di berbagai tempat. Selain itu ia juga terkenal sebagai kyai tarekat.( Moesa, 2007: 65). Sebagaimana disebutkan di atas bahwa masing-masing tipologi kyai mempunyai jumlah penganut dan pengaruh yang berbeda-beda. Berdasarkan jumlah pengikut dan besarnya pengaruh terhadap dinamika di masyarakat ada satu istilah kyai karismatik yang menjadi rujukan perilaku moral, perilaku sosial bahkan perilaku politik. Menurut Max Weber, sebagaimana dkutip oleh Gerth menyebutkan bahwa seorang kyai karismatik tidak akan pernah menggunakan karismanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan melakukan exploitasi ekonomi ataupun politik. (Gerth, 1946: 248). Namun demikian, menurut “Teori Legitimasi” nya, kyai karismatik mempunyai magnet kekuasaan cukup
Komodifikasi Politik Khutbah Jum’at (Muthoin)
285
kuat yang dapat digunakan oleh partai politik sebagai sarana untuk meraih dukungan politik dari masyarakarat. (Al Firdaus, 2013: 32-64). Magnet kekuasaan yang dimiliki kyai karismatik sedemikian besar, sehingga sering "dimanfaatkan" para politisi untuk mendulang suara. Berbagai taktik dan strategi kampanye politik yang dijalankan partai politik biasanya tidak melupakan akan arti penting peran kyai sebagai "vote getter" terdepan dalam mengumpulkan suara pemilih. Hal ini tampak sejalan dengan aktivitas kyai yang menyebarluaskan ajaran Islam. Tentu tidak dapat dihindari terjadi "pemanfaatan" kepemimpinan kyai di pesantren oleh para politisi baik yang mengusung azas Islam maupun nasionalis. Perkembangan politik praktis di Indonesia membawa sejumlah kyai terjun langsung maupun tidak langsung dalam kancah perpolitikan di tanah air. (Munandar, 2011) Kampanye Politik dalam Khutbah Jum’at Menjelang Pileg dan Pilpres 2014, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan peserta pemilu untuk tidak menggunakan tempat ibadah khususnya masjid sebagai sarana kampanye. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghimbau bahwa saat kampanye Pileg dan Pilpres semua dewan pengurus masjid bersikap independent, tidak memihak, apalagi jadi juru kampanye kontestan pemilu. Penggunaan masjid sebagai sarana kampanye politik dikhawatirkan menimbulkan perpecahan dan konflik, karena gesekan kepentingan politik golongan (Rmol, 2013). Sejalan dengan MUI, KH Abdul Manan A Ghani pengurus pusat Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) mengimbau seluruh masjid di Indonesia untuk menjaga netralitas fungsinya sebagai tempat ibadah dan pemberdayaan umat menjelang pemilihan umum presiden 2014. Menurut beliau, kalaupun masjid menjadi tempat pembicaraan politik, maka materi yang disampaikan seharusnya bersifat normatif, tidak menyudutkan atau mendukung salah satu pihak. (Khairon, 2014). Pilihlah Pemimpin Yang Amanah Analisa naskah khutbah yang menyebutkan “pilihlah pemimpin yang amanah” ini akan dibagi menjadi dua tahap yaitu analisa tingkat kosa kata dan analisa pada tingkat tata bahasa.
286
1.
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 282-294
Level kosa kata. Khatib menyebutkan bahwa calon pemimpin yang dianggap layak untuk memimpin komunitas, organisasi, daerah, hingga level negara, harus memenuhi kriteria shiddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kepada umat), dan fathanah (cerdas). Keempat kriteria tersebut sebenarnya adalah sifat-sifat Nabi Muhammad yang selanjutnya sering disebut sebagai sifat-sifat kepemimpinan Nabi Muhammad. Kriteria pemimpin yang layak ini kemudian disimpulkan dengan kata “Islami” di akhir khutbah untuk mengajak memilih pemimpin yang memiliki keempat kriteria tersebut atau paling tidak mendekati. Dengan istilah shiddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kepada umat), dan fathanah (cerdas) ini, khatib mengajak jamaah shalat jum’at untuk mengkaji fakta sejarah kehidupan Nabi yang mencerminkan keempat sifat atau kriteria tersebut sebagai berikut: a. Shiddiq (benar, jujur) Shiddiq mempunyai arti yang luas benar, jujur di dalam setiap ucapan dan perbuatan. Untuk mengetahui sifat shiddiq nya Rasulullah dapat dikaji dalam fakta kehidupan yang ada dalam sejarah perilaku beliau; a. al amin, gelar ini diberikan kepada Nabi karena beliau terkenal tidak pernah berbohong sejak kecil, b, adil, sifat adil ini diperkuat dengan ketegasan beliau ketika memberlakukan hukum potong tangan kepada mereka yang mencuri, beliau bersabda .......sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya aku potong tangannya......., ini merupakan bukti kategasan dan keadilan beliau sehingga beliau harus ikhlas menjatuhkan hukuman yang sama jika putri tercinta jika ia melakukan hal yang sama. (Qodir, 2004: 147148). b.
Amanah Amanah berarti dapat dipercaya dan tidak khianat. Amanah juga bisa berarti aman dan titipan, sehingga sifat amanah memberikan rasa aman kepada yang menititipkan sesuatu. Salah satu contoh sifat amanah Rasulullah adalah ketika Nabi mengemban amanah untuk memimpin saudagar dari Makkah ke Syam, ia mampu memberikan keuntungan yang mengagumkan kepada pemiliknya (Siti Khatijah). Di samping itu, beliau juga
Komodifikasi Politik Khutbah Jum’at (Muthoin)
287
memberikan contoh cara berdagang secara Islami kepada umatnya, dimana seorang pedagang harus jujur, tidak menipu pembeli dengan mengatakan keadaan sebenarnya tentang barang dagangannya. (Qadir, 2004: 149).
2.
c.
Tabligh Tabligh (menyampaikan kepada umat) menyampaikan ajaranajaran Allah, demi tercapainya kebahagiaan dunia dam akhirat. Rasul dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah menggunakan tabligh bil hal, beliau meneladankan kesamaan derajat antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Dalam hal ini, Rasul bukan hanya menyampaikan ajaran-ajaran Allah tetapi seluruh sikap dan perbuatan beliau mencerminkan ajaran-ajaran tersebut. (Hening, 2010: 7-8).
d.
Fathanah Fathanah (cerdas) ini bukan hanya tataran intelektualitas saja tetapi lebih dala tataran psikologis yang menggambarkan terkumpulnya sifat cerdas yang diimbangi dengan sifat bijak, aktif dan kreatif, mendalami agama dan berwawasan luas, sikap tegas dan bermoralitas yang semua tercermin dalam kehidupan Rasul sehari-hari. Contoh keteladanan beliau yang mencerminkan sifat fathanah adalah ketika beliau berhasil menyelesaikan permasalahan kaum Quraisy tentang siapa yang berhak menempatkan hajar aswad ke tempat semula. Bagi kaum Quraisy, merupakan suatu kehormatan yang sangat besar bagi yang mendapatkan tugas meletakkan hajar aswad ke tempat semula, sehingga saling berselisih. Untuk mengatasi perselisihan tersebut dibutuhkan sikap cerdas, kreatif sekaligus bijak tanpa merendahkan salah satu pemimpin Quraisy.
Level tata bahasa Sebenarnya jika khutbah membahas keempat kriteria pemimpin secara menyeluruh, maka dapat dikatakan bahwa isi khutbah ingin mengajak jamaah untuk bersikap netral dalam pemilu tanpa melupakan ajaran agama yang menyebutkan kriteria kelayakan seorang pemimpin. Tetapi ketika khatib menyebutkan “Dalam khutbah ini, kita hanya akan fokus membincangkan indikator
288
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 282-294
kedua, yakni ‘Amanah’”, maka timbul pertanyaan mengapa hanya amanah yang dibahas? Mengapa fathanah (kecerdasan) seorang pemimpin tidak dibahas padahal kriteria ini justru sangat penting dimana negara Indonesia yang sedang mengalami permasalahan yang sangat komplek membutuhkan pemimpin yang cerdas, kreatif, bijaksana dalam mencari solusi? Mengapa sifat shiddiq dan tabligh tidak dibahas? Mengapa pembahasan meloncat ke kriteria kedua tidak pertama dulu? Pemfokusan khatib pada kriteria amanah ini sangat rentan terjerumus pada penggiringan jamaah untuk tidak memilih salah satu capres dan cawapres yang sering dinilai tidak amanah. Apalagi pelabelan tidak amanah ini muncul ketika Jokowi mencalonkan sebagai presiden, padahal masa jabatannya sebagai Gubernur Jakarta belum selesai. (Tim Relawan, 2014: 321). Pilihlah Pemimpin Yang Bisa Menjadi Imam Shalat Analisa naskah khutbah tentang ajakan memilih pemimpin yang bisa menjadi imam shalat ini akan dibagi menjadi dua tahap yaitu analisa tingkat kosa kata dan analisa pada tingkat tata bahasa. 1.
Level Kosa kata Isi khutbah jum’at yang berkaitan dengan pemilu hanya pada bagian akhir saja. Beberapa kata yang berkaitan dengan politik adalah sebagai berikut: “gunakan hak pilih kita” dan “menjadi imam shalat”. a.
“Gunakan hak pilih kita” Ajakan untuk menggunakan hak pilih ini sesuai dengan perspektif Majelis Ulama Indonesia, apabila seorang muslim tidak menggunakan hak pilihnya, padahal ada calon pemimpin yang memenuhi syarat seperti beriman, bertakwa, jujur, terpercaya, dan aspiratif maka hukumnya haram.
b.
“Imam shalat” Kata “imam shalat” berarti masuk dalam kategori shalat jama’ah yang mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar sebagaimana sabda Rasulullah saw besabda: “Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat”. Sedangkan syarat-syarat menjadi imam
Komodifikasi Politik Khutbah Jum’at (Muthoin)
289
shalat adalah laki-laki, adil, faqih. Jadi tidah sah wanita menjadi imam bagi laki-laki, orang fasik yang kefasikannya sangat jelas juga tidak sah menjadi imam, begitu juga tidak sah orang bodoh menjadi imam kecuali bagi orang-orang seperti dirinya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Janganlah sekali-kali wanita dan orang berdosa menjadi imam bagi orang beriman. Kecuali jika ia memaksa dengan kekuasaan, atau cambuknya dan pedangnya yang ditakuti.” 2.
Level Tata bahasa Dari khutbah jumah tersebut yang mengandung muatan politik adalah “pemimpin yang bisa menjadi imam shalat”. Dalam konteks pemilu presiden 2014 kedua capres Prabowo maupun capres Jokowi pernah diserang dengan kampanye hitam tentang kemampuan menjadi imam shalat, tetapi jumlah serangan lebih banyak ditujukan kepada capres Jokowi. Sedangkan capres Prabowo hanya ada satu serangan berkaitan dengan masalah imam shalat. Yang mengkomentari kemampuan atau pengetahuan capres Prabowo tentang menjadi imam shalat adalah putra tokoh NU KH Salahudin Wahid, Irfan Asyari Sudirman (gus ipang), melalui twitter gus ipang menyebutkan bahwa ada capres yang berkunjung ke PBNU dan dimintai jadi imam shalat, tetapi capres tersebut meminta Yenni Wahid sebagai imam dengan alasan anak kiai. Gus ipang menyatakan dalam mazhab syafii dan kesepakatan ulama tidak ada imam shalat wanita. (Kosiana, 2014). Sedangkan komentar dan serangan terhadap capres Jokowi tentang ketidakmampuan menjadi imam shalat jauh lebih banyak. Kampanye hitam terhadap Jokowi tentang bacaan yang nyaring pada saat menjadi imam shalat dzuhur melabeli bahwa capres yang tidak bisa menjadi imam shalat adalah Jokowi. Bentuk kampanye hitam ini terdapat pada media Tempo.co kemudian dikutip oleh setidaknya dua media yaitu gemaislam.com dan suaranews.com, sebagai bentuk kampanye hitam terhadap Jokowi yang mempertanyakan kemampuan dan kefasihan dalam shalat.
Hindari Golput dan Money Politic Analisa naskah khutbah tentang ajakan menghindari golput dan money politic ini akan dibagi menjadi dua tahap yaitu analisa tingkat kosa kata dan analisa pada tingkat tata bahasa.
290
1.
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 282-294
Level Kosa Kata a. Gerakan golput. Golput lahir pada tahun 1970 sebagai bentuk protes UU pilkada yang tidak demokratis karena masyarakat dipaksa hanya untuk memilih partai yang “diizinkan hidup” oleh pemerintah, sedangkan tahun 2004 golput merupakan protes terhadap partai politik untuk memberikan alternatif pemimpin yang berbobot. (Budiman, 2006: 106). Tetapi golput pada masa sekarang ada yang menganggap bukan sebagai perlawanan tetapi justru sebagai ketidakpedulian, dan itu berarti membiarkan kejahatan kembali berkuasa. (Tim Relawan, 2014: 9). Ajakan untuk menggunakan hak pilih ini sesuai dengan perspektif Majelis Ulama Indonesia, apabila seorang muslim tidak menggunakan hak pilihnya, padahal ada calon pemimpin yang memenuh syarat seperti beriman, bertakwa, jujur, terpercaya dan aspiratif maka hukumnya haram. b.
Money politic. Politik uang adalah salah satu cara untuk menggiring agar memilih seseorang atau partai politik dengan menggunakan uang atau materi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam hal ini money politic merupakan tindak pidana pemilu yang pelakunya bisa ditindak selama enam bulan atau lebih. (Republika, 2014).
c.
Amanah Amanah salah satu kriteria seorang pemimpin yang berarti dapat dipercaya dan tidak khianat. Amanah juga bisa berarti aman dan titipan, sehingga sifat amanah memberikan rasa aman kepada yang menititipkan sesuatu. Salah satu contoh sifat amanah Rasulullah adalah ketika Nabi mengemban amanah untuk memimpin saudagar dari Makkah ke Syam, ia mampu memberikan keuntungan yang mengagumkan kepada pemiliknya (Siti Khatijah). (Qodir, 2004: 147-148).
Komodifikasi Politik Khutbah Jum’at (Muthoin)
2.
291
Level Tata bahasa a. “Dalam pandangan agama gerakan golput dengan tidak memilih adalah gerakan yang tidak terpuji” Khatib mengajak jamaah untuk tidak masuk dalam gerakan golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilpres 2014, khatib juga menghubungkan gerakan golput dengan tindakan yang tidak terpuji. Bagi khatib menggunakan hak pilihnya dalam pemilu merupakan suatu kewajiban fardhu ain (seperti kewajiban shalat) dimana setiap orang Islam wajib menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, bukan fardhu kifayah (kewajiban shalat jenazah) yang kewajiban seseorang akan gugur jika sudah ada yang melakukannya. Argumen tentang kewajiban menggunakan hak pilih dalam pemilu dikuatkan dengan menyampaikan bahwa agama perlu mengambil peran dalam proses pembentukan negara dan mengangkat seorang pemimpin. Ajakan untuk menggunakan hak pilih ini sesuai dengan perspektif Majelis Ulama Indonesia, apabila seorang muslim tidak menggunakan hak pilihnya, padahal ada calon pemimpin yang memenuh syarat seperti beriman, bertakwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif maka hukumnya haram. Dalam menyampaikan pentingnya menggunakan hak pilih dalam pemilu (tidak golput) khatib bersifat netral dan tidak mendukung atau memarjinalkan capres tertentu, bahkan tidak khatib juga tidak menyebutkan syarat atau kriteria partai yang layak dipilih. b.
“Begitu pula dengan money politic atau politik uang dengan segala bentuknya sekalipun ini sudah bukan barang rahasia dan tidak lagi dipandang tabu akan tetapi money politic tetaplah sebuah kesalahan yang seharusnya tidak terjadi”. Khatib menyoroti bahwa praktik money politic sudah menjadi sesuatu yang umum, bukan rahasia lagi dan tidak dipandang tabu, bahkan dalam masyarakat muncul istilah NPWP (Nomor Piro? Wani Piro?) sehingga ada tawar menawar antara tim sukses dengan masyarakat untuk memilih peserta pemilu. Khatib mengajak untuk menghindari money politic karena meskipun sudah menjadi suatu yang umum dan bukan rahasia, tetapi money politic merupakan suatu kesalahan.
292
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 282-294
Khatib tidak menguatkan argumennya dengan dasar lain, misalnya dalil yang menyebut “yang menyuap dan yang disuap sama sama masuk neraka”. Dalam menyampaikan himbauannya, khatib bersifat netral tidak mengarahkan kepada capres tertentu ataupun memarjinalkan capres lainnya. c.
“Semoga kita dan para pemimpin kita senantiasa diberi kekuatan untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya” Term amanah dalam konteks ini merupakan pengaharapan atau doa agar, jamaah bisa melaksanakan amanah untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, demikian juga siapapun pilihan kita mudah-mudahan bisa menerima kepercayaan (amanah) kita dengan melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya. Khatib dalam menyampaikan harapan dan doa ini tidak menguntungkan salah satu capres dan tidak pula memarjinalkan capres lainnya. Term amanah dalam khutbah ketiga ini sangat berbeda dengan term pada khutbah pertama yang menyatakan pilihlah pemimpin yang amanah, karena dalam waktu yang bersamaan term amanah sudah digunakan untuk melabeli salah satu capres yang dinilai tidak amanah.
KESIMPULAN Naskah khutbah pertama membicarakan tentang kriteria pemimpin yang layak menurut Islam. Dalam tataran analisis kosa kota penyebutan kriteria shiddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kepada umat), dan fathanah (cerdas) tidak berpotensi mendukung atau memarjinalkan capres tertentu. Tetapi pada tataran analisis tatabahasa, term amanah “Dalam khutbah ini, kita hanya akan fokus membincangkan indikator kedua, yakni ‘Amanah’” berpotensi memarjinalkan salah satu capres. Karena di masyarakat sudah tersebar pelabelan “tidak amanah” terhadap salah satu capres. Naskah khutbah kedua berisi tentang ajakan untuk tidak golput dan kriteria pemimpin yang layak adalah pemimpin yang bisa menjadi imam shalat. Pada tataran kosa kata term imam shalat masih hal netral tetapi ketika ajakan untuk memilih “pemimpin yang bisa menjadi imam shalat” padahal pada waktu itu ada salah satu capres yang dipertanyakan atau diserang melalui kampaye hitam tentang kemampuannya dan kefasihannya dalam menjalan shalat termasuk kemampuan menjadi
Komodifikasi Politik Khutbah Jum’at (Muthoin)
293
imam shalat, maka himbauan untuk memilih “pemimpin yang bisa menjadi imam shalat” berpotensi memarjinalkan capres tersebut. Naskah khutbah ketiga berisi tentang himbauan untuk tidak golput, menghindari money politic dan doa agar semua mampu mengemban amanah. Khutbah ini baik dalam tataran kosa kata ataupun tata bahasa, bersifat netral dan tidak mendukung ataupun memarjinalkan capres tertentu. Berkaitan pembahasan money politik khatib tidak menyinggung apalagi menyebutkan capres tertentu dan dengan masalah amanah berisi doa atau pengharapan semoga jamaah mampu menjaga amanah untuk memberikan hak pilihnya dalam pemilu presiden sedangkan pemimpin atau presiden siapapun yang jadi semoga mampu mengemban amanah dari rakyat yang memilihnya. DAFTAR PUSTAKA Alfirdaus, Laila Khalid. 2013. “Islam And Local Politics: In The Quest of Kyai, Politics and Development in Kebumen, 2008-2010”. Yogyakarta: Al Jamiah Journal of Islamic Studies , Vol. 51, No. 2. Budiman, Arief. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan. Jakarta: Pustaka Alfabet. Eriyanto. 2009. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Gerth and C. Wright Mills. 1946. FROM MAX WEBER: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press. Hening, Cipta. 2010. Di Dalam Diri Ada Allah. Jakarta: Elex Komputindo. Khoiron, Mahbib. 2014. “LTMNU: Bersihkan Masjid dari Kampanye Hitam”, http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44id,52653-lang,id-c,nasionalt,LTMNU++Bersihkan+Masjid+dari+Kampanye+Hitam-.phpx, (13 Juni 2014). Diakses, 18 Oktober 2014. Kosiana, 2014. “Capres Prabowo Minta Yenny Wahid jadi Imam Shalat? Pernah Shalat Gak Sih?”, http://www.indonesiamedia.com/ 2014/05/26/capres-prabowo-minta-yenny-wahid-jadi-imamshalat-pernah-shalat-gak-sih/, Diakses, 14 Oktober 2014. Moesa, Ali Machsan. 2007. Nasionalisme Kyai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
294
JURNAL PENELITIAN Vol. 12, No. 2, November 2015. Hlm. 282-294
Mujani, Saiful. 2006. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Mandiri Ikrarabadi. Munandar, Aries. 2011. “Mengkritisi Peran Kyai dalam Politik Praktis”, http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=2538:mengkritisi-peran-kyai-dalampolitik-praktis&catid=35:artikel&Itemid=210, ( 11/10/2011) Qodir, Abdul dan Sarbiran. 2004. “Kaderisasi Kepemimpinan Agama Melalui Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta”. Yogyakarta: Jurnal Penelitian dan Evaluasi 2, no. 3. Republika. 2014. “Kampanye Baru Tiga Hari Sudah Ada Money Politic”, http://www.republika.co.id/berita/pemilu/beritapemilu/14/03/19/n2n9d0-kampanye-baru-tiga-hari-sudah-adamoney-politic , (19 Maret 2014). Diakses, 10 September 2014. Rmol. 2013. “Sarana Ibadah Jadi Tempat Favorit Kampanye Pemilu 2014 Kamis, 21 Maret 2013 “, http://www.rmol.co/read/2013/ 03/21/103095/Sarana-Ibadah-Jadi-Tempat-Favorit-KampanyePemilu-2014- , (21 Maret 2013). Diakses, 19 September 2014. Suraji, H. Imam. 2003. “Kyai dan Transformasi Wacana Kesetaraan Gender di Kota Pekalongan,” ISTIQRO: Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Vol. 2 No. 1. Tim Relawan. 2014. Selamat Datang Presiden Jokowi. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.