KESIMPULAN
A. Kesimpulan Kota Yogyakarta dahulu mempunyai slogan yaitu Jogja berhati nyaman yang artinya Jogja aman dan nyaman, dan lain sebagainya. Tetapi sekarang Kota Yogyakarta mempunyai slogan yang berbeda yaitu Jogja berhenti nyaman, slogan ini diberikan masyarakat karena menganggap Kota Yogyakarta sudah tidak lagi nyaman dengan segala problematikanya, salah satunya tentang maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Penelitian di atas menjelaskan bagaimana implementasi kebijakan pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini menganalisis salah satu problematika yang dialami oleh Kota Yogyakarta yaitu maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta melalui metode kualitatif dengan contoh Hotel Cavinton yang terletak di Jalan. Letjen Soeprapto No. 1, Ngampilan, Yogyakarta, dan Hotel Adonara yang terletak di Jalan. Kusumanegara No. 99, Umbulharjo, Yogyakarta. Dalam hal ini maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta membuat kota ini mendapatkan banyak masalah terkait aspek kehidupan masyarakatnya. Kegelisahan masyarakat Kota Yogyakarta pun muncul, mereka takut bahwa kota yang mereka cintai akan hilang tergerus zaman, mereka takut kota yang sarat akan
nilai-nilai budaya dan filosofisnya akan hilang berganti dengan kota yang sarat akan nilai kapitalis, yang menjadikan masyarakat semakin individualis karena adanya pembatas komunikasi antar mereka. Kemudian terkait pada kebijakan tersebut, dalam hal ini ada pemangku kepentingan atau stakeholder yang terlibat pada proses kebijakan publik yang dibagi dibagi menjadi dua, yaitu stakeholder primer yang terdiri dari Sultan dan Pemerintah Kota Yogyakarta dan stakeholder sekunder yang terdiri dari investor dan masyarakat. Dalam konteks kebijakan pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta dijelaskan bahwa aktor-aktor seperti Sultan, Pemerintah Kota Yogyakarta, investor dan masyarakat mempunyai kepentingan masing-masing dan mempunyai hubungan dengan aktor lainnya. Dalam hal ini kepentingan aktor Sultan, Pemerintah Kota Yogyakarta dan investor hampir sama yaitu ingin memaksimalkan keuntungan dan potensi dari Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Kota Yogyakarta. Sehingga hubungan antara aktor tersebut terjalin komunikasi dua arah yang saling menguntungkan.Kemudian lain halnya dengan aktor masyarakat yang mana aktor masyarakat mempunyai kepentingan yang berbeda dengan aktor lainnya, masyarakat hanya ingin Kota Yogyakarta menjadi kota yang seperti dahulu yang melekat dengan nilai kebudayaannya. Sehingga hubungan aktor masyarakat dengan aktor lainnya saling berkonflik walaupun konflik dengan aktor Sultan hanyalah konflik kecil karena kedudukan Sultan yang dihormati oleh masyarakat Kota Yogyakarta.
Tarik menarik kepentingan antara Sultan, Pemerintah Kota Yogyakarta dan investor yang ingin melakukan pembangunan di Kota Yogyakarta dan masyarakat yang tidak mau kehilangan kota yang dianggap berhati nyaman dan sarat akan budaya yang melekat, membuat permasalahan pun terjadi antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan masyarakat. Masyarakat yang marah kepada Pemerintah Kota Yogyakarta membuat slogan “Jogja ora didol” yang berarti Jogja tidak dijual. Hal itu dikarenakan masyarakat merasa hak-hak dalam mendapatkan fasilitas publik telah berganti dengan fasilitas privat yang tidak semua orang bisa mengaksesnya. Berbicara tentang kebijakan pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta awalnya menjadikan titik terang akan permasalahan tata ruang kota Yogyakarta yang semakin kacau. Kebijakan yang dibuat dari aspirasi masyarakat yang gelisah dan khawatirakan perkembangan Kota Yogyakarta yang mereka cintai, berubah menjadi kebijakan yang sarat akan kepentingan-kepentingan aktor. Hal ini terbukti kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dipengaruhi oleh kelompok kepentingan atau investor, sehingga hanya muncul Peraturan Walikota Nomor 77 Tahun 2013 tentang pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta yang berisikan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta menstop sementara pembangunan hotel mulai dari 1 januari 2014 sampai 31 desember 2016. Dalam hal ini masih diberi tempo dari mulai dibuatnya pada tanggal 20 november 2013 dan berlaku mulai 1 januari 2014 dan juga dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa investor tetap boleh melakukan pengembangan hotel yang telah ada.
Kemudian untuk menganalisis lebih dalam terkait kebijakan tersebut pada implementasinya, peneliti menggunakan empat variabel yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan yaitu idealized policy,target group,implementing organization, environmental factors. Keempat variabel tersebut nantinya dijadikan indikator apakah implementasi kebijakan tersebut sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat atau malah sesuai dengan aspirasi aktor tertentu.Dari empat variabel tersebut menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta dianggap gagal. Pembangunan hotel yang terjadi saat ini bisa membuktikan bahwa implementasi kebijakan pengendalian pembangunan hotel sarat akan kepentingan pemangku kepentingan tertentu yang berusaha untuk melobby Pemerintah Kota Yogyakarta agar dapat melakukan pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Padahal implementasi yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat sangatlah merugikan, dampakdampak tersebut dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat itu sendiri mulai dari masyarakatnya yang semakin individualis sampai masyarakatnya yang terpinggirkan akibat maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, hasil temuan dalam penelitian ini menyatakan bahwa kebijakan pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta dipengaruhi oleh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder) yang berkuasa antara lain adalah aktor pemerintah dan aktor investor. Tarik menarik kepentingan yang terjadi didalamnya hanyalah formalitas belaka yang berakhir pada kepentingan pemangku kepentingan
yang berkuasalah yang menang. Indikasi adanya transaksi politik antaraktor tersebut mengakibatkan banyaknya celah dalam kebijakan pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Hal itu terbukti dengan jangka waktu dimulainya pemberlakukan kebijakan yang tidak sesuai dan diperbolehkannya pengembangan hotel yang telah ada, membuat pembangunan hotel di Kota Yogyakarta masih tetap berjalan walaupun kebijakan moratorium hotel sudah berlaku. Sehingga seiring berjalannya waktu bukan tidak mungkin setelah kebijakan moratorium hotel berakhir, pelesatan pembangunan hotel di Kota Yogyakarta justru akan lebih menggila dibanding masa-masa sebelumnya.