KESALEHAN SOSIAL DALAM TASAWUF PRESPEKTIF ALQURAN Suryan A. Jamrah Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Abstract Globally, the Qur'an has been much talk about science and technology, then to find out for sure we must have a faulty knowledge through comprehension and understanding of the universe and the nature and phenomenon. Science and technology is a field of activity that is continuously developed because it has a benefit as the life support manusia.Allah Subhaanahu Wa Ta'ala give sense to humans in order to make sense of this man has worked diligently to think seriously and deeply about all things and all events in the universe (universe) is both the method of induction and deduction that is achieved very nature the higher nature for then increased again so that people with minds that can recognize the highest truth that Allah Lord of the 'Alamin. Diciptaan universe Subhaanahu Allah Wa Ta'ala is a complete maha laboratory filled sign all Subhaanahu Mahaan Allah Wa Ta'ala for designing, creating, maintaining and later retrieve it. Detailed laboratory maha this will not work and will not be dynamic for human life if people do not want to contemplate and think to process them. Humans as diggers and seekers of knowledge is not enough just to read it without thinking. In the Qur'an, people are encouraged to use their minds and a lot of thinking
Kata Kunci: Tasawuf, Al-Qur’an dan Kesalehan Sosial Pendahuluan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala menciptakan alam semesta ini dalam keadaan selalu bergerak dan terus mengembang sampai pada saatnya nanti Allah Subhaanahu Wa Ta'ala sendiri yang akan memberhentikannya. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat AdzDzariyat ayat 47 ََوال َّس َما َء بَنَ ْينَهَا بِاَ ْي ٍد َواِنَّا لَ ُموْ ِسعُوْ ن “Dan langit itu Kami bina dengan kekuatan dan sungguh Kami mengembangkannya” ……1 Alam semesta yang karakternya secara dinamis bergerak maju ke depan (berkembang) merupakan suatu tanda kehidupan sebagaimana suasana hati yang 1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 862
selalu bergerak yang menimbulkan inovasi-inovasi dalam hubungannya antara sesama manusia. Kedinamisan ini menimbulkan perubahan-perubahan yang menjadi karakteristik dalam dunia mistis, dalam hal ini tasawuf. Terjadinya revolusi pemikiran dalam dunia fisika, dari fisika klasik yang berpondasikan pada pemahaman Newtonian ke fisika modern yang dikuatkan oleh fisika kuantum dan fisika relativitas, merubah pola pemikiran para fisikawan dari dunia makroskopis ke dunia mikroskopis yang ternyata mampu memunculkan penemuan-penemuan yang lebih mempengaruhi kehidupan manusia, baik itu kemashlahatan maupun kerusakan yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia fisika modern.
Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Vol.12, No.2 Juli - Desember 2015
Pengaruh fisika modern yang secara dramatis telah meluas ke kancah pemikiran dan kebudayaan, dimana pengaruh tersebut telah menuntun pada terjadinya suatu revisi mendasar atas konsepsi manusia tentang alam semesta dan relasi manusia terhadapnya2, tidak terkecuali bidang agama, yang di dalam islam pemikiranpemikiran fisika modern ini ada keparalelan dengan pemikiran-pemikiran mistis islam yang dikenal dengan tasawuf tentang masalah dunia mikroskopis yang materi-materi disini berada dalam tingkatan ( level ) subatomik, sehingga disebut sebagai entitas-entitas yang secara eksperimental dapat menunjukkan eksistensi (keberadaan) mutlak (absolut) yang berada di alam semesta ini yang disebut sebagai Tuhan sebagai Sang Pencipta. Fisika modern merupakan akibat dari perkembangan pemikiran manusia dalam bidang ilmu pengetahuan alam ( fisika ) yang menimbulkan revisi pemikiran terhadap pandangan fisika klasik yang pondasinya telah ditancapkan oleh mekanika Newton yang bersifat reduksionistik, determenistik, dan rasionalistik. Para agamawan dan intelektual islam yang memiliki pemikiran dan pandangan yang bercorak mistis ternyata tanpa disadari pemikiran-pemikirannya memberikan nilai-nilai dalam perkembangan fisika modern yang dalam perkembangannya lebih mengarah kepada metafisika daripada kepada dunia materialis. Tasawuf mengandung beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh para sufi, diantaranya yaitu : 1. Perkataan Al-Junaid ketika ditanya tentang tasawuf, yang ia menjawabnya,”Tatkala engkau
2
Frtjof Capra, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra, 2001, hlm. 3
178
Sosial
dan
Budaya,
bersama Allah dengan tanpa ada perantara”. Perkataan Ruwaim bin Ahmad, yaitu “Tasawuf adalah melepaskan jiwa bersama Allah sesuai dengan apa yang Alah kehendaki”. Perkataan Abu Muhammad AlJariri, “Tasawuf adalah masuk dalam lingkaran akhlak mulia dan keluar dari akhlak yang rendah”. Perkataan Amr bin Utsman AlMakki, yaitu “Hendaknya seorang hamba setiap saat berada pada sesuatu yang lebih utama dalam waktu tersebut”. Perkataan Ali bin Abdurrahim Al-Qannad, “Tasawuf adalah menyebarkan kedudukan spiritual (sehingga tidak terpaku dengan kedudukan spiritual tertentu) dan melanggengkan komunikasi dengan Allah (ittishal). 3
2.
3.
4.
5.
Pengertian-pengertian mengenai tasawuf sebagaimana yang diungkapkan oleh para sufi di atas memberi pengertian bahwa tasawuf didasarkan pada pemahaman langsung ke dalam alam realitas. Sementara itu fisika didasarkan atas observasi terhadap fenomenafenomena alam dan eksperimeneksperimen ilmiah, yang mana observasiobservasi diinterpretasikan dan interpretasi itu kemudian dikomunikasikan lewat katakata, dimana kata-kata terlampau abstrak ketika berdekatan dengan realitas maka interpretasi-interpretasi verbal dari gugusan eksperimen ilmiah atau dari pemahaman mistik (dalam hal ini tasawuf) pasti tidak akurat dan tidak lengkap. Kesadaran akan fakta inilah yang menjadi
3
Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya, Risalah Gusti, 2002, hlm.53
Suryan A. Jamrah: Kesalehan Sosial dalam Tasawuf Prespeltif Alquran
titik temu antara para fisikawan modern dan sufi4. Keparalelan antara tasawuf dengan fisika modern yang keduanya ada titik temu diantaranya adalah mengenai masalah : 1. Alam Semesta Fisika modern yang dipelopori oleh munculnya teori mekanika kuantum dan teori relativitas Einstein telah merubah pandangan dan pemikiran para fisikawan dalam menanggapi keberadaan alam semesta. Alam semesta tidak lagi dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang berjalan secara terpisah dengan materi-materi yang berada di dalamnya. Keberadaan benda-benda di alam semesta saling terkait dan saling melengkapi, sehingga bisa dikatakan bahwa dunia makrokosmos disifati oleh keseluruhan mikrokosmos yang membentuk suatu sistem jaringan terkait yang tak terpisahkan. Keterkaitan ini menyebabkan alam semesta dalam bergerak selalu mengikuti perubahan-perubahan atau pengaruh-pengaruh yang terjadi diantara materi-materi mikrokosmos. Hal ini merupakan suatu penyatuan yang dalam tasawuf disebut sebagai Al-Jam’u yang berarti penyatuan antara kehendak dan pencarian untuk mendapatkan apa yang dicari5, sehingga seorang hamba yang telah menyatu dengan Tuhan dalam artian hamba itu berakhlak dengan akhlak Tuhan sehingga dalam setiap gerak langkah kehidupannya selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Partikel-partikel subatomik dipandang bukan sebagai materi namun hanya merupakan entitas-
entitas yang mempunyai sifat kecenderungan untuk ada karena hal itu dapat dideteksi dan dianalisis, terlebih lagi entitas-entitas itu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi yaitu dengan kecepatan cahaya atau mendekati kecepatan itu, yang dalam tasawuf diketahui sebagai eksistensi (keberadaan) yang absolut (mutlak) yaitu Tuhan yang dapat diketahui karena emanasi-Nya yang termanifestasikan melalui sifat-sifat, asma’-asma’ Nya serta akhlak-akhlak yang terpancar dan muncul dalam diri manusia, sehingga manusia dikatakan sebagai cermin yang memantulkan cahaya sifat-sifat ketuhanan. Partikerl-partikel subatomik yang selalu bergerak relatif dengan kecepatan cahaya seperti yang dikatakan teori relativitas sehingga tidak memungkinkan para fisikawan untuk menentukan posisi dan mengamati bentuk ataupun warnanya, namun hanya mengetahui sifatsifatnya dari efek yang ditimbulkan oleh gerakannya memungkinkan untuk terjadinya kedinamisan alam semesta, sebagaimana yang dikatakan dalam tasawuf dengan mahw yang berarti segala yang ditutup dan disirnakan oleh Al-Haq dengan hilangnya sifatsifat kebiasaan, dan itsbat yang berarti segala hal yang dinampakkan dan dijelaskan oleh Al-Haqq dengan menegakkan hukum-hukum ibadat6 yang dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala surat Ar-Ra’ad ayat 39 yaitu : ُ ِيَ ْمحُوْ ا هللا ُ َمايَشَا ُء َوي ُْثب ت
6
4
Loc.Cit, hlm.35 5 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.460
Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 2001, hlm. 49
179
Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Vol.12, No.2 Juli - Desember 2015
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) ……7 Pada sudut pandang yang lain partikel-partikel subatomik adalah suatu ekuivalensi antara energi dan materi sebagaimana yang dirumuskan oleh Albert Einstein dengan E = m.c2. Energi hanya akan dapat dirasakan menjadi massa apabila berada dalam keadaan bergerak dan tentu saja gerakannya harus dengan kelajuan yang sangat tinggi ( cepat ) karena bila bergerak lambat tidak akan dapat dirasakan efeknya dan pengukurannya menjadi kurang akurat. Begitu juga dengan materi yang bila menumpahkan massanya akan memancarkan radiasi atau energi yang akan terkuantisasi bila bergerak dengan kelajuan yang tinggi, dan kelajuan ini setara dengan kelajuan cahaya ( 3 x 108 m/s ) atau mendekati kelajuan itu. Dengan demikian partikel-partikel subatomik bisa disebut materi atau benda karena dapat dirasakan atau diukur dalam gerakannya, namun demikian para fisikawan masih kesulitan dalam menentukan posisi partikel-partikel subatomik dengan akurat. Ekuivalensi antara massa dan energi ini ternyata terdapat keparalelan dengan tasawuf, yang memandang hal ini sebagai fana’dan baqa’ , dimana seorang hamba yang mengalami fana’ yang berarti kepergian hati, pengasingannya dari alam ini dan kebergantungannya kepada Zat Yang Maha Tinggi8 akan merasa bahwa dirinya sirna dalam lingkup Tuhan dan melebur menjadi suatu kekuatan tunggal yang akan dapat melakukan penyaksian
Sosial
180
Budaya,
(musyahadah) terhadap makhluq bersama Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam arti sirna dengan universalitas9. Apabila hamba kembali pada dirinya sendiri maka pancaran Ilahi akan terlihat dalam sikap dan tingkah lakunya dengan membawa akhlak yang mulia karena sifat-sifat kotornya telah sirna (fana’) sehingga tidak ada sedikitpun yang disaksikan, baik alam, kenyataan, pengaruh, rumus atau penundaan, dan ia abadi bersama AlHaqq10. Terjadinya penyirnaan dan pemunculan dalam keabadian disisi Tuhan yang absolut yang tak pernah sirna dan memiliki daya pemeliharaan yang sangat dahsyat mempunyai arti dalam fisika modern, bahwa hamba diasumsikan sebagai massa yang kokoh yang tersimpan di dalamnya sifat-sifat Rabbaniyah sebagai energi yang tinggi yang akan terpancar dengan kuat dalam sikap dan tingkah laku. Ekuivalensi antara materi dan energi ini ternyata juga memunculkan pandangan bahwa adanya suatu realitas kesadaran manusia mampu untuk mempengaruhi bahkan menciptakan materi karena adanya konsep dualitas gelombang – partikel dari cahaya. Hal ini merupakan suatu realitas bahwa manusia mampu membuat dan menempatkan dirinya sendiri ataupun materi lain dalam dunia imajiner, dimana dalam tasawuf dikatakan sebagai ghaibah yaitu keghaiban hati dari segala apa yang diketahui karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh keghaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu dengan sendirinya menjadi ghaib karena faktor yang tiba akibat mengingat
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 376 8 Loc.Cit, hlm. 453
dan
9
Loc.Cit, hlm. 36 Ibid, Loc.Cit
10
Suryan A. Jamrah: Kesalehan Sosial dalam Tasawuf Prespeltif Alquran
pahala atau memikirkan ancaman dosa11. Materi-materi muncul menjadi realitas yang termanifestasikan dalam “fisik” yang merasuki kesadaran manusia sehingga manusia dapat merubah realitas yang ada. Dualisme cahaya sebagai gelombang dan partikel telah menyingkapkan alam semesta sebagai suatu realitas yang bersifat komplementaris atau saling melengkapi antara pengamat dan yang diamati sehingga seorang sufi mengalami penyaksian ( musyahadah ) menegasikan dunia dan dirinya sendiri sebagai realitas yang terpisah. Ini merupakan pengalaman mistik dalam penyatuan dengan Tuhan dimana memandang realitas hanya satu. 2. Ruang Dan Waktu Ruang dan waktu adalah suatu yang padu dimana seseorang yang mengamati suatu peristiwa maka ia akan mempengaruhi peristiwa tersebut. Kondisi semacam ini telah sering dirasakan oleh para sufi yang melakukan perjalanan spiritual untuk mencapai tahapan ma’rifat, dimana alam yang dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari kekuasaan Keagungan-Nya, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana ( sirna ), indera dan perasaanpun menjadi hilang12. Ruang dan waktu membentuk keseluruhan yang terpadu dan bukan merupakan entitas-entitas yang terpisahkan yang berisikan sebuah kontinum empat dimensi dimana tidak 11 12
Ibid, hlm. 42 Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’,
Surabaya, Risalah Gusti, 2002, hlm. 74
ada aliran waktu universal sehingga pengamat-pengamat yang menatap peristiwa-peristiwa dalam urutan waktu yang berlainan akan bergantung pada posisi dan kecepatannya terhadap peristiwa-peristiwa yang diamati tersebut karena menurut ahli hakekat waktu merupakan wadah pembentukan secara temporal yang di dalamnya ada peristiwa yang terbayangkan yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Menurut teori relativitas, ruang dan waktu dapat berubah dari sistem inertial yang satu ke sistem inertial yang lain karena dipengaruhi oleh gerak relatif sehingga dengan diagram kerucut cahaya waktu dibagi menjadi tiga, yaitu masa depan, masa lalu, dan masa yang secara literer berada di luar ruang dan waktu yang dalam perspektif sufi hal ini merupakan strata perwujudan Ilahi melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan dirinya sendiri yang memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut ( mutlak ). Tidak ada yang disebut “satu waktu” di alam ini, yang ada ialah sejumlah waktu yang menyebabkan transformasi di alam ini tidak sanggup membuat persamaan waktu di seluruh penjuru alam sehingga sufi menyebut dirinya sendiri sebagai putra waktu (Ibnu Al-Waqt) dimana ia memandang tidak ada kemarin dan hari esok karena ia berada dalam kehadiran Tuhan yang merupakan refleksi dari kesatuan, menjadikan dirinya masuk ke dalam waktu “sekarang”nya Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian Tuhan. 3. Penyatuan Dalam Keberagaman Fenomena dalam fisika kuantum menunjukkan bahwa cahaya dapat bersifat sebagai gelombang atau 181
Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Vol.12, No.2 Juli - Desember 2015
partikel, atau gelombang – partikel. Pengamat yang melakukan percobaan harus menentukan maksud dan jenis alat-alat eksperimen yang digunakan serta tujuan akhir yang diinginkan. Hal ini jelas bahwa pengamat mempengaruhi objek yang dimaksudkan sesuai dengan maksud pengamatan yang dilakukan walaupun objek yang diamati sama. Ini mengisyaratkan bahwa manusia ketika ia dzikir kepada Yang Haqq di dalam hatinya, ia hadir dengan kalbunya bagaikan sebuah partikel diantara sisi Tuhannya sebagai gelombang yang menjalar pada kawasan yang luas dalam dimensi rasa terhadap perilaku dirinya. Realitas ini memperlihatkan adanya keterkaian antara pengamat yaitu Tuhan dan yang diamati sebagai objek yang akan berlaku sebagai sesuatu apa yang dikehendaki oleh Tuhan terhadap hambanya ketika ia (hamba) bermuwajahah dengan-Nya sehingga seorang hamba akan sampai pada ma’rifat yang mengandung kutub objektif yang berkaitan dengan transendensi dan kutub subjektif yang berkaitan dengan imanensi; disatu pihak ada “kebenaran” ( haqq ) ketajaman Yang Esa ( Tauhid ) dan dipihak lain ada “hati” ( qalb ) atau persatuan-persatuan dengan Yang Esa ( Ittihad )13. Kesadaran yang dapat membentuk realitas yang pada hakekatnya bersifat mental yang dalam mengamati atau menganalisanya menyebabkan terjadinya gangguan pada realitas itu sendiri sebagaimana yang ditekankan oleh fisika relativitas dimana ruang dan waktu akan saling terkait dengan posisi pengamat sehingga kesadaran 13
Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 178
182
Sosial
dan
Budaya,
akan memberikan pandangan atas keadaannya sendiri, yang memberi pengertian bahwa Tuhan tidak berdiri diluar alam ciptaan-Nya, melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya pemeliharaan-Nya menyebabkan dunia terus menerus bergantung pada Tuhan dan Tuhan abadi bersama materi yang menyebabkan terjadinya hubungan interaksi satu sama lain bagaimanapun jauhnya jarak pisah. Realitas ini berada diluar jangkauan waktu, energi, dan materi yang masih ada efek kausal terhadap realitas material sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Qaaf ayat 16 yang berbunyi : َُولَقَ ْد َخلَ ْقنَا ْا ِال ْنسَانَ َونَ ْعلَ ُم َما تُ َوس ِْوسُ بِ ِه نَ ْف ُسهُ َونَحْ ن لو ِر ْي ِد َ ْاَ ْق َربُ اِلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ا “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”……14 . PEMIKIRAN TASAWUF A. Realitas Kausalitas Tuhan dan dunia tidak merupakan dua hakekat yang sesungguhnya terpisah dan yang ada diluar yang lain, melainkan bahwa Tuhan sendiri merupakan segala-galanya, sedangkan segalanya itu modus, partisipasi dalam ketuhanan. Ia tinggal dalam segalanya, segalanya itu bukan Tuhan, melainkan bersifat Ilahi. Dunia terlebur dalam Tuhan, dunia merupakan bagian dari hakekat-Nya 15.
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 852 15 P.J Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 2 – 3
Suryan A. Jamrah: Kesalehan Sosial dalam Tasawuf Prespeltif Alquran
Adanya dunia ini mustahil tanpa adanya penggerak pertama, sebab musabab pertama yang mutlak ada, pengatur tertinggi yang kita namakan Tuhan16. Tuhan dalam mengatur memiliki dua macam sifat pengaturan yaitu yang bersifat spiritual (rohaniah) dan material. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-A’raf ayat 54 : ض فِي ِستَ ِة َ َااِ َّن َربَّ ُك ُم هللا ُ الّ ِذيْ خَ ل َ ْت َو ْاالَر ِ ق ال َّس َم َو ش ِ ْاَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َوى َعلَى ْال َعر Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘arsy …… 17 Menciptakan dalam ayat di atas menunjuk pada penciptaan alam fisikal, sedangkan potongan kelanjutan ayatnya yaitu : َ اَالَلَهُ ْا ُ لخ ْل َق َو ْاالَ ْم ُر تَبَ َركَ هللا ُ َر ُّب ْال َعلَ ِميْن Ingatlah menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah Maha Suci. Allah Tuhan semesta alam ……18 Memerintahkan dalam potongan ayat ini menunjuk pada dunia spiritual19. Aspek pengaturan yang berlaku dalam setiap bagian alam maujud (benda, materi) tidak meragukan bahwa Tuhan alam maujud telah membatasi ilmu-Nya sebelum alam maujud diciptakan secara menyeluruh dan secara terinci. Alam maujud (dunia) berjalan dalam dalam
tata aturan dengan tidak tetinggal (terlepas) dan tidak keluar darinya20. Dunia terus menerus bergantung pada Tuhan yang tidak berdiri di luar alam ciptaan-Nya, melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya pemeliharaan-Nya, sehingga Tuhan dan materi abadi bersama, hanya saja Tuhan bersifat tidak berubah, sedangkan materi dapat berubah. Ada dua esensi yang telah ada sejak permulaan, yaitu bahwa pelaku tidak melahirkan materi tetapi hanya menganugerahkan eksistensinya kepada mereka21. Oleh sebab itu menurut Ibnu ‘Arabi, bahwa sesungguhnya hanya ada satu zat yang mewujud dalam dirinya sendiri22. Tiada yang benar-benar ada kecuali Tuhan. Segala yang selain-Nya adalah noneksisten, baik ia berada di dalam atau di luar diri kita dan segala yang ada di dalam maupun di luar dunia ini. Segala yang disebut realitas tiada lain adalah realitas dan tidak mungkin ada dua realitas yang dapat sepenuhnya independen, sebab hal itu akan berarti bahwa ada dua Tuhan23. Abul Hasan Asy’ari berpendapat bahwa eksistensi Tuhan adalah diri (‘ain) dari sebuah kesatuan dan bukan sebagai tambahan dari luar dan eksistensi dari makhluq adalah diri dari esensi itu sendiri24. Teori emanasi (madzhab syuhudiyyah) menyatakan bahwa Tuhan hadir dimana-mana. Pengamat memang satu, namun cermin yang memantulkannya amat banyak. Banyaknya pantulan yang dihasilkan tidak mempengaruhi ke-Esa-an dari 20
16
Ibid, hlm. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 230 17
18
Ibid William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 63 19
Abu Bakar Al-Jazairi, Pemurnian Akidah, Jakarta, Pustaka Amani, 2001, hlm. 558 21 Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 30 22 Ibid, hlm. 35 23 William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 272 24 Loc.Cit, hlm. 39
183
Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Vol.12, No.2 Juli - Desember 2015
(sumber cahaya) yang dipantulkan oleh banyak cermin. Ia hadir di dalam pantulan yang ada di setiap cermin25. Penciptaan baik dunia maupun maupun bentuk-bentuk terbatas, yang ada di dalamnya merupakan nama lain dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan perbuatan-perbuantan-Nya adalah pengejawantahan dari sifat-sifat-Nya26. Manusia adalah abstrolabnya Tuhan. Ditangan seorang astronom astrolab akan sangat bermanfaat karena siapapun yang mengetahui dirinya , dia akan mengetahui Tuhannya. Ketika Tuhan membuat mengetahui dirinya melalui diri orang itu sendiri dia akan mampu menyaksikan pengejawantahan Tuhan dan keindahan sempurna-Nya saat demi saat dan kedip demi kedip27. Menyaksikan pengejawantahan Tuhan dan keindahan sempurna-Nya dilakukan dalam kondisi spritual ma’rifat yakni pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hati, Tuhan adalah kebalikannya28 dan sifat dari orang yang mengenal Allah SWT melalui Nama-Nama serta SifatSifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, kemudian menikmati keindahan dekat dengan-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua 29 keadaannya . Orang yang mengalami penyaksian (syahadah) harus 25 26
69
Ibid Loc.Cit, hlm. 40 – 42 Loc.Cit, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm.
Astrolab adalah alat kuno untuk menggambarkan altitude 27 Ibid Loc.Cit, hlm. 44 28 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000, hlm.166 29 Imam Al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 1997, hlm. 390
184
Sosial
dan
Budaya,
menegasikan dunia dan dirinya sendiri sebagai realitas yang terpisah dan setelah itu meyakini sepenuhnya bahwa keduanya merupakan pengejawantahan wujud Tuhan30 karena persetujuan dan pertentangan adalah penyebab adanya dualitas. Ketika seseorang mencapai dunia dimana tidak ada tempat untuk dualitas dan yang ada hanyalah persetujuan murni maka dia akan melepaskan kategori persahabatan dan permusuhan31. Hal di atas adalah suatu pengalaman mistik yang dialami oleh seseorang yang berjalan untuk mencapai maqam yang tinggi di sisi Allah SWT. Pengalaman mistik adalah pengalaman menyatu dengan Tuhan atau jiwa kosmik32 dengan hanya membukakan kepadanya dalam jiwa sebagaimana pula dalam alam semesta karena realitas adalah satu, suatu tindakan bergabung dengan cinta sepanjang hal itu dilakukan tanpa pamrih, dan ia bergabung dengan pengetahuan sepanjang ia diiringi dengan kesadaran bahwa Tuhan adalah agen atau pelaku sejati ; hal yang sama yang berlaku bagi penolakan, vocao deo, yang hanya dapat berasal dari Tuhan dalam pengertian bahwa kekosongan mistik memperpanjang kekosongan prinsip33. Kemenyatuan dengan gambaran-Nya adalah sebuah keadaan yang luar biasa, tetapi persatuan dengan yang tercinta diatas segalanya. Penyatuan yang oleh kalangan sufi 30
William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 272 31 Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, Bandung, Pustaka Hidayah, 2001, hlm. 280 32 Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, 1996, hlm. 157 33
Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2002, hlm. 178
Suryan A. Jamrah: Kesalehan Sosial dalam Tasawuf Prespeltif Alquran
dikatakan sebagai Al-Jam’u yang bisa diartikan sebagai penyatuan kesaksian yang diperoleh dengan pencarian dalil dengan menggunakan atsar atas pemberi atsar, dengan menggunakan ciptaan atas pencipta. Semua penciptaan merupakan kesaksian, dalil, dan atsar34. Keseluruhan masalah penciptaan atau manifestasi universal berakar pada hakekat prinsip Ilahi. Realitas absolut memproyeksikan dunia karena sifat-Nya yang tak terhingga memerlukannya, yang ingin dikenal melalui, dan di dalam pemulaan dari relativitas; mengatakan “ciptaan” Nya, bukan Dia “menciptakan” adalah suatu cara mengekspresikan kemungkinan atau relativitas dunia, dan dalam pengertian tertentu, melepaskannya dari penyebab transenden. Yang Absolut adalah realitas tertinggi dalam dirinya sendiri, seperti titik yang tak memuat apa-apa selain dirinya sendiri, karena ciptan atau manifestasi adalah hakekat Ilahi; Tuhan tidak dapat mencegah Dirinya sendiri untuk memancarkan, dan karena itu, untuk memanifesatasikan Dirinya atau mencipta, karena Dia tidak dapat mengingkari Dirinya yang tak 35 terbatas . Tuhan bagaimanapun juga eksis (ada),dan jika kita menempatkan eksistensi kita dekat pada eksistensiNya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal dari-Nya. Dengan demikian kita tidak memiliki eksistensi, kita hanya menerima pancaran 36 eksistensi-Nya . B. Tinjauan Mengenai Ruang Dan Waktu
34
Ibnu Qayyim Al-Jauzy, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm. 460 35 Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2002, hlm. 184 36 Loc.Cit, hlm. 262
Masa kini merupakan batas antara masa lalu dengan masa mendatang dan ini disebut barzakh. Barzakh masa kini adalah wahdat37. Waktu adalah seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang. Waktu adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk bekerja38. Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain39. Waktu merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan wadah pembentukan secara temporal yang di dalamnya ada kejadian.40 Esensi waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq , “Waktu adalah sesuatu yang anda berada di dalamya. Kalau anda di dunia, maka waktu anda adalah dunia. Bila di akherat, maka waktu anda adalah akherat. Ketika anda senang, maka senang itulah waktu anda. Kalau anda susah, susah itulah waktu anda”41. Artinya waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia, atau waktu adalah apa yang ada diantara dua masa, lampau dan mendatang42. Sebagaimana
37
Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 44 38 M Quraisy Shihab, Lentera Hati, Bandung, Mizan, 1994, hlm. 112 39 Ibid, hlm.417 40 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.390 41
Imam Qusyairy An-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 1977, hlm.20 42 Loc.Cit
185
Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Vol.12, No.2 Juli - Desember 2015
firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam surat Thaha ayat 40, yaitu : سى َ ثُ َّم ِجئْتَ َعلَ َى قَ َد ِريَّ ُم ْو Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa……43 Waktu yang sebenarnya menurut para sufi adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah, jika orang berjalan dengan membawa makna ini, maka dia tenggelam dalam waktunya, maka semua waktunya tidak akan terasa44. Sufi menyebut dirinya sendiri sebagai “putra waktu” (ibnu al waqt) yaitu ia ditempatkan dalam kehadiran Tuhan tanpa ada kemarin dan hari esok, dan kehadiran ini tidak lain adalah refleksi dari kesatuan; yang satu memproyeksikan diri ke dalam waktu “sekarang” nya Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian45. Kekinian (sekarang)nya Ilahi (Tuhan) adalah titik diam yang dalam dirinya sendiri memuat seluruh gerakan keabadian tanpa awal, azal, menuju keabadian tanpa akhir, abad, sebagai yang terbatas; sebab bahkan waktupun akan berakhir, karena segala sesuatu akan musnah dan hanya kekinian Ilahi yang tetap tinggal46. Oleh karena itu menurut Al-Junayd, waktu itu sangat mulia. Jika ia telah lewat maka tak akan didapatkan kembali. Waktu adalah diantara apa yang telah berlalu dengan yang bakal datang47. Waktu yang dikaitkan dengan cakrawala dunia ciptaan kita adalah 43
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 479 44 Loc.Cit, hlm. 393 45 Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 181 46
Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Bandung, Mizan, 1997, hlm. 132 – 133 47 Abu Nashr As-Sarraj, Al-Luma’, Surabaya, Risalah Gusti, 2002, hlm. 680
186
Sosial
dan
Budaya,
tahapan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari dan dimana kita bertindak, tetapi begitu waktu membawa sang pencari keluar dari dirinya sendiri dia mengalami waktu antusi, waktu ruhaniah, saat ketika pengertian normal tidak mempunyai arti lagi48. Orang sufi membagi waktu menjadi empat golongan, yaitu : 1. Orang-orang yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa hukun azaly tidak bisa dirubah oleh usaha hamba. 2. Orang-orang yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya. 3. Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan hukum-hukumnya, sebagaimana yang mereka katakana, “Orang yang arif ialah yang menjadi anak waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu mendatang”. 4. Orang-orang yang bersama pemilik waktu, penguasa dan yang menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu sendiri. 49 Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi ( ash-shahw ) maka ia tegak mandiri dengan syariat. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat50 48
Loc.Cit, hlm. 132 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998, hlm.391 – 392 50 Imam al-Qusyairy an-naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Surabaya, Risalah Gusti, 2001, hlm. 22 49
Suryan A. Jamrah: Kesalehan Sosial dalam Tasawuf Prespeltif Alquran
C. Tinjauan Mengenai Alam Semesta Dunia diciptakan dengan membungkus gagasan-gagasan Ilahi dengan sosok materi51. Kosmos dan kekuatannya merupakan kumpulan hukum alam semesta yang menggambarkan adanya kesatuan dibalik penampilan yang beragam sehingga dapat dipergunakan dengan sebiak-baiknya dalam menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur52. Alam sebagai keseluruhan, maupun bagian-bagiannya tersusun. Setiap yang tersusun mesti baru, selalu berubah-ubah dari satu form (bentuk, rupa, surah) kepada form yang lain, tidak mungkin mempunyai form yang asli, yang azali, dan qadim. Kalau tidak mempunyai form berarti tidak mempunyai wujud, karena form meliputi bentuk, volume, timbangan, warna, bau, rasa, dan sebagainya, sehingga form kehilangan (tidak mempunyai) wujud, sehingga bentuk tidak pernah memiliki wujudnya sendiri , ia hanyalah penampakan dari makna yang berada dibalik penampakan wujud luarnya53. Bentuk adalah penampakan luar, makna adalah hakekat yang tidak terlihat, realitas yang tersembunyi. Makna, hakekatnya hanya Tuhan yang mengetahui. Masing-masing bentuk memiliki maknanya sendiri-sendiri di dalam Tuhan54. Bentuk adalah ruang dan makna adalah tanpa ruang. Keduanya merupakan aspek luar dan aspek dalam 51
Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 44 52 Zaky Mubarok Latif, dkk, Akidah Islam, Yogyakarta, UII Press, 1998, hlm. 96 53 Syekh Nadim Al-Jisr, Kisah Mencari Tuhan, Jakarta, Bulan Bintang, 1994, hlm. 233 54 William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm. 29 – 30
dari realitas tunggal, masing-masing dari keduanya penting sebagai suatu kesatuan tunggal55. Ketika kata “bentuk” diterapkan, ia senantiasa mengindikasikan akan “makna” yang tersirat dalam pikiran yang berada diseberang bentuk dan memberinya wujud56. Segala penampakan luar berasal dari keragaman gambarangambaran yang tampak. Gambaran yang tercinta adalah realitas yang tercinta itu sendiri yang berada diseberang bayangbayang-Nya sendiri yang lebih nyata dibandingkan dengan realitas dunia. Unsur-unsur yang sering menunjuk pada pilar-pilar dunia materi merupakan tujuan-tujuan dasar ontologis yang diberikan pada dunia oleh sifat-sifat ketuhanan dan menggambarkan pengejawantahan dari nama-nama-Nya57. Ibnu Al-‘Arabi memetakan dunia ruhaniah dan menggambarkan strata perwujudan Ilahi melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan diri-Nya sendiri untuk mengungkapkan konsep ruang waktu yang suci. Wilayah imajinasi (mundus imajinalis) ditempatkan diantara dunia kerajaan langit dan kerajaan manusia dimana ia merupakan suatu gudang kemungkinan yang menunggu realisasi dan dapat dicela oleh ambisi ruhaniah si orang suci58. Tatanan Ilahiah sama seperti batas-batas ruang waktu yang tak dapat kita bayangkan mewajibkan kita untuk menerima Yang Tak Terhingga, dan juga fakta bahwa eksistensi terkecil adalah absolut dalam hubungannya dengan ketiadaan, atau fakta bahwa hukum-hukum fisika, matematika, dan logika selalu tetap, pada analisis 55
Ibid, hlm. 37 Ibid, hlm. 379 57 Ibid, hlm. 74 – 75 58 Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Banduung, Mizan, 1997, hlm. 114 56
187
Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Vol.12, No.2 Juli - Desember 2015
terakhirnya memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut dan membuat kita tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya59. D. Hubungan Antara Subjek Dan Objek Dalam Alam Semesta Kaum sufi menyatakan bahwa nafs adalah keinginan, qalbu dengan mengetahui, jiwa dengan pandangan, pandangan dengan perenungan, dan zat dengan muncul. Zat muncul, maka kita juga muncul dan semua citra berasal dari kemunculan ini. Karena zat merenung maka kita juga merenung (zikir). Zat melihat, maka kita juga melihat (sinar adalah tahap jiwa). Zat mengetahui, maka kita juga mengetahui (tahap qalbu). Zat berkeinginan, maka kita juga berkeinginan (tahap nafs). Pandangan dan pengetahuan bukan merupakan bagian-bagian dari jiwa60. Zat memandang diri-Nya di dalam sifat dan ini adalah iluminasi (tajalli). Sifat bagaikan raksa dalam cermin, kemudian mewujud melalui iluminasi, sehingga menimbulkan kegandaan (dualitas) yang mewujudkan dirinya sebagai jiwa. Apabila jiwa melihat dirinya sendiri maka hal tersebut hanyalah mitsal, dan lapisan pada cermin adalah jasad61. Setiap orang adalah sebuah miniatur atau mikrokosmos yang merupakan cerminan dari makrokosmos. Suatu kebenaran universal yang dinamakan hukum alam yang didasarkan pada akal manusia yang abadi dan universal. Hukum alam mengatur seluruh manusia, sehingga perbedaan antara ruh dan materi terhapus. Materi adalah kegelapan yang 59
Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyinkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 185 60 Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf : Apa Dan Bagaimana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 61 61 Ibid, hlm. 66 – 67
188
Sosial
dan
Budaya,
tidak mempunyai keberadaan yang nyata, sementara itu cahaya adalah Tuhan62. Kosmos bergantung sepenuhnya pada Tuhan untuk eksistensi dan realitasnya. Setiap kali Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakan secara berpasangan sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain atau berlawanan satu sama lain. Tuhan esa dalam esensi dan sifat-sifat. Dia tidak dapat diperbandingkan dengan setiap orang dan terpisah dari segala benda63, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Asy-Syuura ayat 11 : ض َج َع َل لَ ُك ْم ِم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم ِ فَا ِط ُر ال َّس َم َو ِ ْت َو ْاالَر ْس َك ِم ْثلِ ِه َ اَ ْز َوجً ا َّو ِمنَ ْاالَ ْن َع ِام اَ ْز َو ًخا يَ ْذ َر ُؤ ُك ْم فِ ْي ِه لَي ص ْي ُر ِ ََش ٌئ َوهُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْالب (Dia) menciptakan langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasanganpasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat……64 Cara langit dan bumi saling berhubungan menggambarkan hukumhukum yang mengatur hubunganhubungan dalam segala hal. Ciri yang paling menonjol dari langit dan bumi adalah kenyataan bahwa mereka dan segala sesuatu yang ada diantara mereka merupakan perangkat dan kerajaan Tuhan, yang melakukan kontrol mutlak 62
Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, 1996, hlm. 156 – 157 63 Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung, Mizan, 2000, hlm. 166 64 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 784
Suryan A. Jamrah: Kesalehan Sosial dalam Tasawuf Prespeltif Alquran
atas mereka. Langit dan bumi sebagai perwujudan sifat-sifat Ilahi yang saling melengkapi yang tercakup dalam istilah keagungan dan keindahan65. Mikrokosmis adalah kejayaan tertinggi dari kosmos, sebab ia mengatur makrokosmos melalui pengetahuan dan kesadarannya66. Di dalam kosmos, cahaya dan kegelapan saling membutuhkan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Meskipun cahaya secara inheen terwujud dalam dirinya sendiri – dalam Tuhan – ia tidak dapat dilihat dikarenakan itensitas perwujudannya. Ini adalah suatu sifat yang saling melengkapi dan saling membutuhkan67. Firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 35 : ض َمثَ ُل نُوْ ِر ِه َك ِم ْش َكو ٍة فِ ْيهَا ِ َهللاُ نُوْ ُر ال َّس َم َو ِ ْت َو ْاالَر ُّ َاج ٍة ا ٌلز َجا َجةُ َكاَنَّهَا َكوْ كَب َ ِمصْ بَا ٌح اَ ْل ِمصْ بَا ُح فِ ْي ُز َج Allah (Pemberi) cahaya (kepada)langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara ……68 Cahaya-Nya hanya terwujud dalam sebuah lubang yang tak tembus yang merupakan kegelapan. Tuhan dimanifestasikan dalam dunia melalui keajaiban eksistensi, dan jurang antara partikel debu terkecil dan ketiadaan menjadi absolut. Ia memanifestasikan ketakterhinggaanNya apriori lewat kosmik yang mengandung ruang waktu yang tidak bisa dibayangkan batas-batasnya lebih dari sekedar multiplisitas dan
keragaman dari kandungannya dan Dia memanifestasikan kesempurnaan-Nya melalui sifat-sifat makhluk dan benda yang melahirkan kesaksian akan arketip mereka dan karenanya, Kesempurnaan Ilahi69. Ilmu pengetahuan adalah seperti kacamata yang tidak memiliki pengelihatannya sendiri, akan tetapi ada diantara mata dan benda-benda, sehingga pada jalan mistis ini ilmu pengetahuan tidak ada gunanya, hanya cahaya kearifan, cahaya kepastian yang dicapai melalui pengetahuan intuitif yang dapat membantu dalam mendekati rahasia cinta70. Keyakinan dan ketenangan adalah tujuan fundamental Islam, karena segala sesuatu dimulai dengan keyakinan, iman kepada Yang Absolut, wujud mutlak, yang memproyeksikan dan menentukan eksistensi yang “mungkin”. Keyakinan adalah menyelamatkan sepanjang ia mulai secara obyektif dan tulus secara subyektif, yaitu sepanjang obyeknya adalah Yang Absolut dan bukan hanya kontingensi, dan subyeknya adalah hati, bukan hanya pikiran. Ini adalah esensi dasar manusia yang mengandung keseluruhan keberadaan dan aktivitasnya; manusia diciptakan untuk meyakini Yang Absolut dan ia menjadi manusia melalui keyakinannya itu71. Daftar Pustaka Al-Jisr, Syekh Nadim. 1994. Kisah Mencari Tuhan, Jakarta: Bulan Bintang Al-Jazairi, Abu Bakar. 2001. Pemurnian Akidah, Jakarta: Pustaka Amani 69
65
Loc.Cit, hlm. 173 – 175 66 Ibid Loc.Cit, hlm. 199 67 Ibid Loc.Cit, hlm. 216 68 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH, 1995, hlm. 550
Frithjof Schuon, Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2002, hlm. 188 70 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000, hlm.179 71 Loc.Cit, hlm.190 – 191
189
Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Vol.12, No.2 Juli - Desember 2015
Al-Jauzy, Ibnu Qayyim. 1998. Madarijus Salikin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar an-Naisabury, Imam Al-Qusyairy. 1997. Risalatul Qusyairiyah. Surabaya: Risalah Gusti As-Sarraj, Abu Nashr. 2002. Al-Luma’, Surabaya: Risalah Gusti Capra, Frtjof. 2001. The Tao of Physics. Yogyakarta: Jalasutra Chittick, William C. 2002. Jalan Cinta Sang Sufi. Yogyakarta: Qalam Departemen Agama RI. 1995. Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. ALWAAH. Gaarder, Jostein. 1996. Dunia Sophie. Bandung: Mizan Khan, Khan Shahib Khaja. 1996. Tasawuf: Apa Dan Bagaimana. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada Latif, Zaky Mubarok dkk, 1998. Akidah Islam, Yogyakarta: UII Press Murata, Sachiko. 2000. The Tao of Islam, Bandung: Mizan Rumi, Jalaluddin. 2001. Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, Bandung: Pustaka Hidayah Shihab, M Quraisy. 1994. Lentera Hati, Bandung: Mizan Schimmel, Annemarie. 2000. Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus Schuon, Frithjof. 2002. Prosesi Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Zoetmulder, P.J. 2000. Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
190
Sosial
dan
Budaya,