KEMELUT UKSW 1994-1995 Oleh : Budi Kurniawan
Kata Pengantar Kalau buku ini menarik perhatian Anda, besar kemungkinan Anda adalah warga atau bekas warga Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Mungkin Anda mahasiswa salah satu fakultas di sana, dosen, alumni atau pernah punya talian dengan sivitas akademikas universitas di kota adem itu. Atau, kalau tidak, mungkin Anda pengamat politik atau sedang melakukan penelitian seputar apa yang pernah terjadi di sana. Apa yang akan Anda baca adalah kisah nyata tentang kekerasan, tipu daya, kelicikan, keserakahan, dan kebencian. Namun, buku ini juga mencatat ketulusan, kelurusan, kebersihan, sekaligus kenaifan. Kalau Anda pernah terlibat dalam episode "perang" di UKSW pada periode 1993-1997, ada kemungkinan Anda tidak akan menyukainya. Bahkan, kalau hendak berkata jujur, tidak banyak yang punya komentar baik tentang buku ini (sebelum terbit, naskahnya sempat beredar cukup luas). Bahkan kelompok yang menamakan dirinya Kelompok Pro Demokrasi (KPD), kelompok yang bertentangan dengan kubu rektor + yayasan UKSW, juga menganggapnya jelek. Bagi sebagian dari mereka, buku ini tidak berkenan di hati. Dari antara orang-orang yang menganggap buku ini tidak layak terbit, keberatan mereka adalah buku ini lebih mirip kumpulan kliping koran. Tidak ada kesimpulan, tidak ada analisa. Memang betul. Buku ini juga tidak menggambarkan kemelut UKSW secara lengkap. Sebabnya, saya masuk UKSW tahun 1990 sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Elektronika dan lulus 14 Februari 1995. Tidak lama setelah lulus, saya meninggalkan Salatiga, jadi apa yang saya tulis ini berfokus pada kejadian mulai tahun 1993 sampai Februari 1995. Kemelut UKSW sendiri berlangsung terus sampai tahun 1998. Sebetulnya waktu tahun 1994 saya sudah kepingin menulis tentang peristiwa ini. Saya ikut terlibat dalam perang selebaran dan masuk dalam kubu KPD. Maka itu, ada beberapa bagian buku ini yang berdasarkan catatan pribadi saya. Tapi, niat itu belum kesampaian. Ide untuk menulis itu tercetus lagi sekitar awal 1996. Waktu itu saya bekerja di Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), salah satu unit kelompok Kompas-Gramedia. Waktu itu belum jadi penerbitan seperti sekarang ini. Kepala KPG Dr. Parakitri Simbolon saat itu bertanya apa saya tertarik menulis tentang UKSW, yang waktu itu beritanya masih ramai dimuat di koran. Saya senang dan bersemangat sekali dengan penugasan itu. Sayangnya, Parakitri maunya kesimpulan buku itu haruslah menyalahkan Arief Budiman dan KPD. Baru laku dijual, begitu alasannya. Parakitri dan Arief kenal secara pribadi. Makanya, permintaan itu tidak masuk di akal saya. Karena permintaan itu, projek buku tersebut lalu dibatalkan karena saya tidak bersedia mengikuti atasan saya itu. Namun, karena saya selalu menyelesaikan apa yang sudah saya mulai, buku itu
http://slamethdotkom.wordpress.com
1
[email protected]
terus saya lanjutkan. Bahan awal dikumpulkan dari perpustakaan Kompas di Palmerah Selatan. Tempat itu memang jadi favorit saya karena ber-AC, bebas asap rokok, dan banyak buku bagus. Tentunya saya harus mengucapkan terima kasih pula pada Kelompok Kompas Gramedia untuk fotokopi arsip koran yang cukup banyak. Buku ini adalah projek tersulit yang pernah saya lakukan dalam hidup saya sampai sekarang ini. Buku ini lebih berat dari skripsi saya di Satya Wacana, lebih berat dari tesis Master saya di University of Sydney, lebih berat dari semua buku yang pernah saya tulis. Ada beberapa sebab yang menjadikan buku ini sulit buat saya. Pertama, projek ini bukanlah projek kantor lagi, jadi saya kerjakan waktu malam hari sepulang kerja dan akhir pekan. Tumpukan fotokopi koran yang menjadi bahan saya mungkin tingginya satu setengah sampai dua meter. Sebab kedua adalah saya tidak tahu akan diapakan tulisan ini setelah selesai. Menulis buku itu berat, tapi lebih berat lagi bila si penulis tidak tahu akan diapakan karyanya itu setelah selesai. Waktu menulis buku itu, saya hanya merasa menjalankan tugas yang entah kenapa harus saya selesaikan. Akhir 1996 saya sempat mampir ke Salatiga untuk mengumpulkan bahan lebih lanjut. Saat itu saya sempat mewawancarai Arief Budiman di rumahnya yang rindang. Saat itu saya ingat Arief baru sedang melamar kerja sebagai dosen di University of Melbourne, jabatan yang dipegangnya sampai saat ini. Ironis juga, dipecat dari UKSW, Arief malah diangkat sebagai profesor di salah satu universitas top di Australia. Waktu di Salatiga, saya ditampung oleh keluarga Tante Flora, pemilik tempat kos saya yang lama di Pungkursari 192. Selama beberapa hari itu, saya habiskan waktu di Yayasan Geni. Otto, salah seorang pengurus Geni, berbaik hati membiarkan saya memfotokopi kliping koran koleksi mereka. Sempat juga saya mewawancarai John Titaley, tapi akhirnya malah tidak enak karena dia marah dengan pertanyaan saya. Kesan saya, dia sangat marah pada KPD. Rekaman wawancara yang sedang dilakukan dilarangnya untuk disiarkan. Buku ini makan waktu hampir 2 tahun. Ketika saya berangkat ke Sydney pada Februari 1997, buku itu belum selesai juga. Beberapa bab terakhir malah saya tulis ketika saya menjadi mahasiswa riset program Master di Department of Electrical Engineering, University of Sydney. Projek riset saya waktu itu adalah membuat program komputer untuk memanfaatkan tulisan tangan sebagai perangkat biometrik yang bisa digunakan untuk autentikasi komputer. Di Sydney, saya terus melanjutkan menulis sampai saya memutuskan bahwa buku ini sudah selesai. Saat itu masih banyak bahan yang bisa dimasukkan, tapi saya sudah sampai pada taraf terlalu lelah secara mental untuk terus. Setelah itu, naskahnya saya simpan saja di disket. Bagi saya, tugas sudah selesai. Ketika tahun 1997 naskah ini selesai, orang pertama yang saya kabari adalah Dr. Bintoro Gunadi, mantan dekan Fakultas Biologi yang saat itu bekerja di Sosro. Naskah itu lalu beredar di kalangan KPD di Salatiga. Saat itu Bintoro memang masih tinggal di Salatiga. Oleh orang-orang KPD, naskah itu diseminarkan lalu dibenci. Disket yang merekam seminar itu dikirimkan ke saya,
http://slamethdotkom.wordpress.com
2
[email protected]
jadi saya bisa menyimak semua kata mereka. Kritikan mereka macam-macam. Transkrip rekaman seminar saya lampirkan bersama file-file bab buku ini. Sebagian kritikan bagus, menyorot kelemahan buku ini, dan saya terima. Sebagian kritikan ngawur. Seperti misalnya ada yang meminta saya harus meminta maaf kepada KPD kalau ingin menerbitkan buku ini karena buku ini tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Tahun 1997 Arief Budiman pernah mencoba membantu menerbitkan naskah ini. Di antaranya dengan menghubungi Kelompok Penerbitan Tempo. Entah mengapa, tidak jadi. Mungkin karena dirasa tidak ada pasarnya. Waktu terakhir saya ketemu Arief, di International House University of Sydney, ketika dia memberikan ceramah, masalah penerbitan tidak saya tanyakan lagi. Lalu, pernah pula salah satu alumni FTJE UKSW angkatan tahun 1969 berniat menerbitkannya. Pikir punya pikir, akhirnya dia membatalkan niatnya. Akhirnya, buku ini saya pajang saja di situsnya FTJEnet.
Selamat membaca.
Budi Kurniawan Sydney, 4 November 2002
http://slamethdotkom.wordpress.com
3
[email protected]
PENDAHULUAN Jam setengah sepuluh pagi Selasa, 25 Oktober 1994 cuaca Salatiga benar-benar membuai. Angin semilir mendinginkan kulit, namun tidak terlalu kencang sehingga menyakitkan tulang. Rocky Sapto Prasetyo, mahasiswa FT UKSW angkatan 1990, duduk dengan mantap di jok belakang motor temannya yang melaju menuju kampus hijau di Jalan Diponegoro. Hari ini ia akan menemui dosen untuk mendiskusikan skripsinya. Kuliahnya sudah selesai dan untuk lulus ia tinggal menyelesaikan tugas akhir berupa pengerjaan sejenis riset dan penulisan skripsi. Hariharinya bakal menggembirakan, seperti pagi yang cerah ini. Jalan-jalan memang tidak pernah terlalu ramai di Salatiga. Berbelok masuk kampus, Rocky mulai merasa aneh. Banyak orang berteriak-teriak. Suasana sedikit gaduh. Sungguh kontras dengan suasana di jalan tadi. Tidak ada bazaar, tidak ada pasar murah. Lalu apa? "Ada apa?" "Gawat," kata Danang, mahasiswa FT angkatan 1991, "Arief dipecat!" "Kapan?" "Hari ini anak-anak baru tahu. Kita akan demo jam sepuluh nanti." Rocky tidak tahu bahwa percakapan singkat yang baru saja terjadi akan mengendap lama di memori. Lebih lama lagi peristiwa besar yang menyusul sesudahnya. Tidak akan hilang dalam satu atau dua tahun. Rocky, dan ratusan mahasiswa yang ikut dalam keramaian hari itu, tidak pernah mengira bahwa peristiwa hari ini adalah rantai pertama dari serangkaian peristiwa lain yang datang susul-menyusul. Peristiwa hari ini sungguh menentukan masa depan banyak orang. *** Pada saat yang sama Eddie Wie, mahasiswa FT angkatan 1989, datang menemui dosen pembimbing skripsinya Dr. Ferryanto. "Pak," katanya cepat, "hari ini saya tidak bimbingan. Saya mau demo di depan." Eddie Wie pun tergopoh-gopoh ke kampus bagian depan, di halaman parkir mobil dekat i BARA . Halaman depan gedung tempat rektor berkantor itu pun segera dipenuhi orang. Tak ada yang tahu siapa yang punya inisiatif mengumpulkan orang-orang. Kemungkinan besar malah tak ada yang punya inisiatif itu. Orang-orang tetap berdatangan. Makin lama kerumunan itu semakin besar dan semakin gaduh. Semakin siang semakin banyak yang tahu kalau Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) melalui Surat Keputusan No. 237/B/YSW/1994 yang ditandatangani Ketua Umum YPTKSW Prof. Dr. Haryono Semangun dan Sekretaris Umum Drs. Melky Oemboe Nganggoe tertanggal 17 Oktober 1994 telah memutuskan untuk memberhentikan Dr. Arief Budiman secara tidah hormat. Arief, dosen Program Pascasarjana Studi Pembangunan (PPs-SP) yang pertama kali masuk UKSW tanggal 1 Oktober 1981 dengan gaji Rp250 ribuii, menerima surat itu di ruang kerjanya sekitar pukul 11.00 tanggal 24 Oktober 1994. Setelah bertemu Danang, yang dilihat Rocky selanjutnya adalah para penjaja koran yang sedikit kegirangan. Koran-koran daerah mulai menuai tiras besar dari kejadian itu. Kompas, koran nasional dengan perolehan iklan terbesar, membuktikan bahwa mereka bukan yang paling cepat karena baru memberitakan peristiwa itu pada 26 Oktober.
http://slamethdotkom.wordpress.com
4
[email protected]
Walau tidak berbicara apa-apa, Rocky menjadi saksi dan turut dalam demonstrasi hari itu. Bagi Rocky sendiri, ini pengalaman pertamanya berdemonstrasi. Sesungguhnya, sebagian besar mahasiswa Salatiga tidak pernah berdemonstrasi. Kalaupun ada mahasiswa berunjuk rasa, hanya segelintir aktivis mahasiswa yang maju. Di kota itu demonstrasi masih dianggap tidak lumrah. Misalnya saja waktu mahasiswa UKSW turun ke jalan memprotes pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik pada akhir Juni 1994, masih ada yang memandang para pengunjuk rasa dengan sorot mata tidak mengerti. Padahal, saat itu jumlah pengunjuk rasa mencapai ratusan. Kini lain. Tak ada panitia, tak ada yang mengurus, namun jumlahnya sangat besar. Semua orang merasa ini memang hal yang harus dilakukan. Orang-orang spontan berkerumun. Dan, tak mau pergi-pergi. Poster dan spanduk dikibar-kibarkan. Semuanya meneriakkan protes terhadap perbuatan Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW). Salah satu poster menjelaskan mengapa mereka berkumpul: "Bukan Arief yang kami bela tapi demokrasi". Sebelum matahari terbit lagi keesokan harinya, hampir seluruh penduduk Salatiga sudah pernah mempercakapkan masalah tersebut minimal satu kali. Tahun 1994 peristiwa pemecatan Arief Budiman dan kelanjutannya merupakan salah satu dari dua peristiwa nasional yang paling banyak disorot media massa. Peristiwa satunya lagi adalah pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik. i
Begitulah panggilan untuk gedung dua lantai tempat administrasi yang sekaligus menjadi tempat rektor dan para pembantu rektor berkantor. ii Suara Merdeka, 26 Oktober 1994
http://slamethdotkom.wordpress.com
5
[email protected]
BAB 1
UKSW di Salatiga Dibandingkan kota lainnya di negara tropis, Salatiga termasuk sejuk. Apalagi dulu, sebelum gergaji raksasa menggeseki pohon-pohon besar yang rajin memasok oksigen dan sepanjang waktu memberi bayang-bayang teduh. Kota di kaki Gunung Merbabu ini juga menyimpan kemolekan alam yang menyejukkan mata. Dari salah satu jalan besar Diponegoro, misalnya, pejalan kaki bisa menatap langsung Gunung Merbabu yang puncaknya sering kali tertutup kabut. Yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di sana biasanya berhenti sebentar untuk memuaskan diri dengan pemandangan alam itu. Beberapa orang mencubit pantat sendiri untuk memastikan mereka tidak sedang bermimpi, lalu tersenyum bahagia. Hanya ada dua pusat ekonomi penting yang mendatangkan banyak uang ke Salatiga. Pertama, kelompok pabrik tekstil PT Damatex dan PT Timatex yang memberi pekerjaan bagi ribuan buruh. Kedua, Universitas Kristen Satya Wacana dengan sekitar 7000 mahasiswa dari seluruh bagian Indonesia. Walau bukan satu-satunya pendidikan tinggi di kota itu, UKSW-lah yang berperan menghidupkan industri rumah kos dan tempat makan yang bertebaran di sepenjuru kota. Jalan-jalan di kota itu teraspal baik dan selalu terasa panjang untuk jumlah mobil dan motor yang ada. Mahasiswa biasanya berkendaraan motor karena harga motor lebih terjangkau. Lagipula tidak ada dua tempat di Salatiga yang tidak bisa ditempuh dalam tempo sepuluh menit saja. Naik motor juga lebih asyik bagi pasangan yang berpacaran. Ke mana-mana tak perlu diburu waktu dan berkendaraan tak perlu cepat-cepat walaupun selalu ada saja pengendara motor yang mati karena kebut-kebutan. Yang mati di jalan biasanya mahasiswa atau pelajar sekolah menengah yang takut tua. Kehidupan berlangsung santai kendati tidak sedikit pula mahasiswa yang melatih gaya hidup spartan dengan bekerja keras sepanjang semester. Tentu saja untuk cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan baik. Suatu hal yang sungguh-sungguh biasa. Namun, biasa pula mahasiswa yang benar-benar menikmati hidup di sana, berfoya-foya sambil menghamburkan uang orangtua. Yang paling banyak mungkin jenis mahasiswa yang menggabungkan keduanya. Belajar cukup rajin (terutama saat menjelang tes tengah semester dan tes akhir semester) sambil sekali-kali berlatih tenis atau bermain bulutangkis. Juga, sekali-kali nonton bioskop dan main bowling di Semarang. UKSW juga unik bila ditilik dari komposisi asal mahasiswanya. Bila dikatakan bahwa UKSW adalah Indonesia mini, itu mempunyai arti harfiah bahwa memang benar mahasiswanya berdatangan dari seantero negeri, dari setiap propinsi. Makanya tak heran bila huruf depan nomor polisi kendaraan pun sangat beragam. Ada P, E, S, T, A, dan lainnya. Yang tidak ada mungkin cuma nomor polisi yang depannya CD. Lulusan UKSW, selain mendapatkan sertifikat tanda tamat belajar dan kemampuan akademis sesuai kerja kerasnya, juga biasanya tanpa sadar hapal huruf khas nomor polisi dari daerah-daerah. Contohnya, D Bandung, BK Sumatra Utara, dan DK dari Bali. Kampus UKSW ada di Jalan Diponegoro. Kampus ini sering disebut kampus hijau karena
http://slamethdotkom.wordpress.com
6
[email protected]
pohon besar dan tua masih tetap bertahan. Kadang ada ular yang terjatuh dari salah satu pohon besar itu. Di kampus itu juga ada lapangan sepak bola. Pada pagi hari belasan anjing berlarian riang di lapangan bola. Sorenya, belasan mahasiswa menggantikan mereka sambil menendangnendang bola. Hari Senin pagi lapangan yang sama digunakan untuk upacara siswa menengah pertama dan atas Sekolah Laboratorium milik UKSW yang gedungnya ada di samping Gedung C. Gedung F, gedung lima lantai yang juga merupakan gedung tertinggi di Salatiga, ada di tengahtengah. Di bagian lain ada Gedung A, B, E, dan G. Tidak banyak yang tahu di mana letak Gedung D. Kesemua gedung itu bisa digunakan oleh mahasiswa fakultas apa saja. Tidak ada pembagian. Namun, biasanya ruang kelas di Gedung C untuk anak Elektro, Biologi, atau Pertanian. Juga mahasiswa pascasarjana lebih banyak berkumpul di Gedung G. Seluruhnya ada delapan fakultas ditambah dua program pascasarjana. Fakultas yang ada yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP), Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Theologi (FTh), Fakultas Biologi (FB), Fakultas Pertanian (FP), Fakultas Sains dan Matematika (FSM), Fakultas Teknik Jurusan Elektronika (FTJE), Fakultas Hukum (FH), sedangkan program pascasarjananya adalah Program Pascasarjana Studi Pembangunan (PPs-SP) dan Program Pascasarjana Agama dan Masyarakat (PPs-AM). Sejarah UKSW dimulai ketika Ds Basuki Probowinoto, Ds. Tan Ik Hay, dan S.M.A. Pasariboe menggagas berdirinya suatu Yayasan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen. Pada tanggal 3 Februari 1956 dengan Akta Notaris Tan A Sioe No. 21 di Semarang dibentuk Yayasan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (YPTPGKI) yang kemudian mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia yang diresmikan pada 30 November 1956 di Hotel Kalitaman Salatiga dengan O. Notohamidjojo sebagai dekan pertama. Tanggal 30 November kemudian dijadikan sebagai hari jadi Universitas. Dalam Anggaran Dasar tahun 1994 tersebut 9 Gereja pendiri dan 10 Gereja pendukung. Ke-9 Gereja pendiri adalah: 1. Gereja Kristen Jawa 2. Gereja Kristen Jawi Wetan 3. Gereja Injili di Tanah Jawa 4. Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah 5. Gereja Kristen Pasundan 6. Gereja Kristen Sumba 7. Gereja Kalimantan Evangelis 8. Gereja Toraja 9. Gereja Gereformeerd
1. 2. 3. 4.
Sedang yang termasuk Gereja pendukung adalah Gereja Isa Almasih Persatuan Gereja-Gereja Kristen Muria Indonesia Gereja Kristen Protestan di Bali Gereja Kristen Injili di Irian Jaya
http://slamethdotkom.wordpress.com
7
[email protected]
5. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat 6. Gereja Protestan Maluku 7. Gereja Masehi Injili di Timor 8. Gereja Kristen Sulawesi Tengah 9. Banua Niha Keriso Protestan 10.Gereja Protestan Sulawesi Tenggara Sesuai dengan kebijakan pemerintah pada masa itu untuk mengubah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, maka pada tanggal 17 Juli 1959 diputuskan oleh Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Indonesia. Menginat bahwa FKIP seharusnya merupakan bagian dari sebuah universitas, maka Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah universitas yang pendiriannya diumumkan secara resmi pada 5 Desember 1959 dengan nama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Sejak 1 Oktober 1960 UKSW berkembang dengan 3 fakultas, FKIP, Fakultas Hukum, dan Fakultas Ekonomi. Pada tahun 1964 FKIP dikembangkan menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Berdasarkan SK Mendikbud No. 082/0/1977 tanggal 29 Maret 1977, IKIP diintegrasikan ke dalam Universitas dan menjadi FKIP lagi. Perkembangan kelembagaan ini diikuti dengan pembaruan Akta Notaris No. 21 tanggal 3 Februari 1956 dengan Akta Notaris Tan A Sioe Semarang No. 83 tanggal 26 Oktober 1960 dan Akta No. 70 tanggal 22 November 1962 dari notaris yang sama, kemudian diperbarui lagi dengan Akta Notaris J. Moeljani, Semarang No. 113 tanggal 25 Mei 1973, sementara itu dilakukan pengembangan kelembagaan dengan didirikannya Fakultas Biologi (semula bernama Fakultas Ilmu Hayat) dan Faklutas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) pada tanggal 2 Oktober 1962, kemudian Fakultas Pertanian pada tanggal 1 Januari 1967, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro (FTJTE) pada tanggal 1 Januari 1968, Fakultas Theologia pada 1 Januari 1969, dan Fakultas Sains dan Matematika yang mulai dibuka pada tahun akademik 1992/1993. Sejak 1987 juga dimulai pendidikan aras S-2 untuk Program Studi Pembangunan, kemudian diperluas dengan Program Studi Agama dan Masyarakat pada tahun 1992. Program profesional setelah diselenggarakan selama dua tahun kemudian disahkan oleh Dewan Pegnurus YPTKSW dengan SK No. 099/Kep./1988. Kecuali Fakultas Ilmu pasti dan Ilmu Alam yang dihentikan pada akhir tahun 1960-an semua fakultas dan program profesional terus dikembangkan sampai dengan wujudnya seperti sekarang ini. Susunan Dewan Pengurus lengkap masa jabatan 1989 - 1994: Anggota Kehormatan: Dr. Radius Prawiro Ketua Umum: Prof. Dr. Ir. Haryono Semangun Ketua I: Pdt. Charles Christano, MTh Ketua II: Drs. Jitzach Alexander Sereh Sekretaris Umum: Drs Melky Oemboe Nganggoe Sekretaris: Drs Tedjaprasada Yudio
http://slamethdotkom.wordpress.com
8
[email protected]
Bendahara: Benjamin Tedjorahardjo, SH Anggota: - Prof. Dr. J.E. Ismael - Ir. Jonathan L. Parapak, MEngSc - Dr. Sem Willem Lontoh - Pdt. Prof Sri Wismoady Wahono, Ph.D - Pdt. Weinata Sairin, MTh - Yulius Saludung, SH - Pdt Dr. Esther Harso Andries, MTh - Pdt. Ketut Suyaga Ayub, STh. - Dr. Mochtar Riady
http://slamethdotkom.wordpress.com
9
[email protected]
BAB 2
Mencari Rektor Baru Tahun 1993 adalah akhir masa bakti Rektor UKSW III Willi Toisuta, Phd. Setelah menduduki dua kali masa jabatan rektor dari tahun 1983 - 1993, Willy tak bersedia dipilih lagi meskipun tak ada aturan yang melarang rektor UKSW menjabat lebih dari 2 periode. Willi adalah rektor ketiga setelah Dr. O. Notohamidjojo (alm) dan Dr. Sutarno, Phd. (sekarang pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan). Pada 11 Januari 1993 Willi berkirim surat kepada Senat mengabarkan bahwa masa jabatannya akan habis pada 30 November, dan Senat mengadakan rapat pada tanggal 18 Februari untuk membicarakan calon rektor baru. Senat memutuskan untuk menggunakan SK Pengurus YPTKSW No. 133/A/KP/DPI/88 tanggal 27 Mei 1988 sebagai dasar tata cara pemilihan rektor periode 1993-1997 karena tidak ada ketentuan lain yang mengatur hal itu. Masa jabatan rektor UKSW biasanya 5 tahun, tetapi untuk menyesuaikan dengan peraturan pemerintah, masa jabatan rektor sesudah Willi dipersingkat menjadi 4 tahun. Selain SK No. 133 yang memuat syarat-syarat calon serta prosedur pencalonan rektor dan pembantu rektor UKSW, peraturan lain yang digunakan adalah SK Pengurus Yayasan No. 29/1990 tentang Senat Universitas. Pembahasan terhadap kedua SK tersebut menghasilkan keputusan Senat sebagai berikut. 1. Setiap unit hanya mengajukan satu calon rektor. 2. Tidak dipersoalkan besar-kecilnya unit, apakah itu unit pengajaran atau unit pelayanan. Semua unit dinilai sama mempunyai satu suara. 3. Perlu ditetapkan anggota Senat yang berhak memilih. 4. Mahasiswa mempunyai 2 suara. 5. Hal lain yang diputuskan adalah mengenai Pasal 2 ayat 11 yang berkaitan dengan hak prerogatif Yayasan. Hal ini perlu karena antara rapat Senat dan rapat pengurus Yayasan ada tenggang waktu yang cukup lama. Ada kemungkinan dalam tenggang waktu tersebut calon rektor kemudian diketahui bermasalah, sehingga Yayasan bisa menolaknya. Terhadap hal ini disepakati bahwa kalau calon dari Senat ditolak Yayasan, Yayasan perlu meminta Senat melakukan proses pemilihan calon baru. Kalau calon yang kedua pun ditolak lagi, Yayasan diminta untuk membicarakan calon yang dipilih Yayasan dengan Senat, sebelum calon itu diangkat.ii Peserta rapat sebenarnya sadar bahwa SK No. 133 sudah tidak memadai lagi, tetapi karena itu yang ada sekarang, maka SK itulah yang dipakai. Sekretaris Senat Ir. Ruminto Adi yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Pertanian diangkat menjadi Ketua Panitia Pemilihan, dibantu Amin Suyitno dan Tjahjakartana, MSc. sebagai anggota. Rapat Senat itu diikuti rapat pada tanggal 4 Maret 1993. Dalam membahas tambatan
http://slamethdotkom.wordpress.com
10
[email protected]
rapat Senat tanggal 18 Februari 1993, diputuskan beberapa hal. 1. Rapat Senat Pemilihan Calon Rektor diadakan tanggal 27 Mei 1993. 2. Jumlah unit dengan hak suara 21. Jadi, ada dua puluh satu suara yang dianggap sah. 3. Panitia Pemilihan diangkat dengan SK Rektor. Rapat Senat selanjutnya dilangsungkan pada tanggal 8 April 1993. Wakil Ketua Senat Dr. John Titaley mengingatkan Senat bahwa surat tertanggal 2 April 1993 tentang pengajuan calon Rektor UKSW periode 1993-1997 yang dikeluarkan oleh Panitia Pemilihan ke unit-unit bertentangan dengan SK No. 133 pasal 2 ayat 2 dan 3 karena Ketua Senatlah yang harus memberitahu unit/fakultas kapan rapat Senat pemilihan calon rektor akan diadakan. Terhadap hal ini rapat memutuskan tidak ada masalah karena Senat sudah memberi wewenang kepada Panitia melalui SK Rektor. Kampus terbesar di Salatiga itu tetap tenang dan adem. Mahasiswa dan dosen tetap seperti biasa, sama sekali tidak menunjukkan antusiasme. Siapa pun yang terpilih jadi rektor tak ada pengaruh bagi kebanyakan mereka. Ada juga memang orang yang sibuk mengelus-elus jagonya sembari menyebarkan pengaruh ke sana kemari. Tiga calon kuat yang muncul adalah Dr. Liek Wilardjo, Dr. John (JOI) Ihalauw, dan Dr. John Titaley. Sempat pula ada yang mengusulkan Dr. R. Subagyo yang saat itu menjabat PR I dan ketua YPTKSW Haryono Semangun. Namun, yang akhirnya mencuat adalah tiga yang pertama. Nama Haryono Semangun di kemudian hari juga mencuat, tetapi untuk masalah yang lain.ii (Suara Merdeka, 2 Juni 93) Liek Wilardjo dikenal sebagai orang pandai dan sederhana. Selalu terlihat bersandal di kelas, Liek juga tak senang berdandan. Prestasinya tak hanya di bidang fisika yang menjadi mata kuliah yang diampunya, namun juga di pengembangan bahasa Indonesia. Orang sering kali menyebut Liek kaku, namun yang bersangkutan tentu saja menolak disebuk begitu. Pernah majalah mahasiswa Fakultas Teknik, Imbas, memuat wawancara George Junus Aditjondro yang menyebut Liek sebagai calon rektor yang kaku, yang tidak pandai bernegosiasi dan tidak suka upacara.ii Kontan saja Liek menyurati redaksi majalah itu, memprotes wawancara George sembari melampirkan sejumlah bukti bahwa ia pun sering bernegosiasi dan mengikuti upacara di sejumlah negara mewakili UKSW. Alumnus FMIPA UGM pada 1964 ini juga terlibat dalam penyusunan kamus istilah untuk bidang fisika. “Pembakuan istilah itu perlu, dan bukan bagian dari persekongkolan dengan penguasa untuk menghambat kebebasan masyarakat Indonesia,” katanya. Karena obsesi dan keterlibatannya itu, pada November 1990 Vrije Universiteit Amsterdam menganugerahinya gelar doktor kehormatan. Tinggal di Jalan Kasuari 2, Salatiga, bersama istri dr. Mariani, MS (kepala BKKBN Kodya Salatiga) dan 2 putri Era dan Ita, doktor fisika dari Michigan State University tahun 1970 ini sering menjadi tutor bagi anaknya. Selain jadi dosen di Satya Wacana, Liek juga aktivis yang menentang pembangunan PLTN di Jepara. Liek mengaku kurang sreg dengan PLTN fisi. “Bila PLTN fusi, saya cenderung setuju. Mungkin akan setuju penuh. Fusi itu berupa penggabungan inti-inti ringan menjadi lebih berat. Dari proses muncul sejumlah energi yang bisa dipakai. Contohnya, matahari, bom hidrogen,
http://slamethdotkom.wordpress.com
11
[email protected]
energinya dari fusi. Luar biasa besar energinya. Cuma bom hidrogen fusinya tidak terkendali sehingga merusak. Yang kita inginkan dalam PLTN adalah fusi yang terkendali, sehingga energinya bisa dikenadlikan, bisa dipakai, disadap tanpa ledakan. Bila itu bisa dikembangkan dalam 30-40 tahun yang akan datang dengan prototipe komersialnya sudah ada di Barat atau Jepang, saya cenderung setuju. Itu baik sekali, dari segi cadangan energi besar sekali. Sebaliknya, di Jepara yang akan dikembangkan bukan penggabungan, tapi inti yang besar dibelah. Uranium dipecah jadi dua atau tiga bagian lebih kecil, lalu timbul energi yang diciptakan. Uranium ditambang, ada yang bilang ada di Timtim, Kalimantan. Setelah ditambang diolah, dipisahkan, dimurnikan, diperkaya. Karena yang bisa dibelah isotop U235. Padahal ini sedikit sekali karena hanya 0,07% dari keseluruhan bijih uranium. Karena itu, kadarnya harus ditinggikan dalam proses pengayaan supaya jadi 3%. Pengayaan ini kita teknologinya tidak punya. Harus ke luar negeri. Uranium kita harus dikirim ke luar negeri untuk diperkaya. Baru dibawa ke sini lagi difabrikasi, jadi pelet-pelet bahan bakar. Itu yang dipakai dalam PLTN fisi. Dalam penambangan ... kalau dibongkar dari dalam tanah akan terlepas bahan radioaktif berupa gas. Dan, gas gampang ke mana-mana. Kalau semula dalam tanah tidak apaapa tapi kalau dibongkar menyebar. Gasnya akan terlepas, yang dulunya ditutup uranium. Keberatan (saya yang) lain, yang bisa diambil sedikit, tapi yang dibongkar banyak sekali. Lalu, sisanya diapakan? Karena mungkin bisa ratusan atau ribuan ton, ini jadi limbah atau sampah. Tapi, limbah ini berbahaya juga karena ada unsur-unsur yang beradioaktif. Biasanya ditinggalkan begitu saja. Kebiasaannya kan cari untungnya. Itu mau diapakan? Padahal ada rantai radioaktif. Ini jadi anak, anak jadi cucu, cucu jadi cicit, dan seterusnya. Dalam rantairantai ini ada unsur radioaktif. Ini akan ada dalam onggokan yang terbuang yang jumlahnya besar. Akibatnya, sangat berbahaya sebab menangani sampah saja kita tidak bisa. Lebih berbahaya lagi bila ada sabotase. Karena ini rawan, dapat dipakai (sebagai) senjata. Kalau ada teroris gelap atau nekat, ada risiko disalahgunakan, atau dipakai untuk memeras. Karena reaktor yang sudah aktif beroperasi di dalamnya banyak unsur radioaktif sangat berbahaya. Kalau disandera oleh teroris dan mengancam akan meledakkan, risikonya sangat besar. Pengaruhnya sampai ke mana-mana, bahkan mungkin ke seluruh dunia karena bisa dibawa angin dan sebagainya.” ii John (JOI) Ihalauw adalah lelaki berdarah Ambon kelahiran Sumba, NTT. Kalau menyambut tamu, John selalu dipenuhi keramahan khas Jawa. "Monggo, monggo, silakan," begitu selalu katanya. Lelaki bercambang yang berbahasa halus ini memang sudah lama tinggal di Salatiga. “Awalnya saya mendengar kabar dari seorang ketua Partai Kristen Indonesia tentang kota Salatiga,” tuturnya. Ia sangat tertarik. Setelah lulus SMP, bersama 10 rekannya John datang ke kota sejuk itu, bahkan keberangkatannya pakai naik perahu segala. Usai SMA, John melanjutkan ke FE UKSW dan lulus pada 14 Agustus 1967. Di UKSW ini pula John bertemu jodohnya, seorang gadis keturunan Cina bernama Annie Kristiani Budiono. Annie memberinya 4 anak, Eugene Erick Ihalauw, Fairly Fransisca Ihalauw, Guenevere Ihalauw, dan Herald Hannoch Ihalauw. John Ihalauw kemudian jadi dosen di almamaternya, dan kariernya melejit pesat. Dari
http://slamethdotkom.wordpress.com
12
[email protected]
dosen FE, lelaki yang punya nomor ijazah 001 ini kemudian sempat jadi dekan FE dan Direktur Lembaga Penelitian Ilmu Sosial di UKSW. Sebelum meninggalkan UKSW tahun 1988, pria yang menggondol gelar doktor dari Iowa State University di Department of Sociology ini sempat menjadi pembantu rektor I UKSW selama 5 tahun, 1983-1988. . Lelaki yang wajahnya mengingatkan pada seorang pimpinan organisasi pemuda itu selalu berpenampilan rapi dan selalu terlihat dandy. Sebelum kembali ke UKSW, John pernah cuti besar selama lima tahun (1988-1992) dan tinggal di Jakarta. Bahkan, ia pernah pula jadi presiden direktur perusahaan farmasi PT. Praja Pharin (Prafa). John adalah penggemar jogging dan olahraga sepeda. Mengapa tahun 1988 aktif di perusahaan? "Tahun 1988, saya kan selesai bertugas sebagai PR I selama lima tahun. Peraturan kepegawaian di UKSW itu memungkinkan bagi seseorang untuk mengambil cuti di luar tanggungan. ... Untuk menambah pengalaman dan untuk variasi di dalam pengalaman. Nah, saya mengambil kesempatan itu. Begitulah. Jadi, saya mengambil cuti di luar tanggungan selama lima tahun.... Jangan lupa, saya ini ekenom. Saya mmpelajari manajemen. Jadi, saya perlu juga mempunyai pengalaman bagaimana mengelola sebuah organisasi perusahaan." Mantan dosen di Universitas Pattimura, Ambon ini mengaku terlibat bisnis barangkali karena keterlibatannya dalam penelitian. “Kebetulan banyak yang kita publikasikan. Lalu, banyak lembaga yang minta saya jadi konsultan. Saya pernah diminta World Bank dan Asian Development Bank untuk mengadakan evaluasi dan penelitian terhadap proyek-proyek yang dibiayai dengan bantuan mereka. Untuk konsultan perusahaan, saya pernah diminta PT Lima Sempurna Makmur di Semarang selama dua tahun membenahi sistem manajemennya. Lalu, terakhir pada PT Prafa. Kebetulan direktur marketing-nya adalah teman saya waktu di SMA. Ia minta saya dan teman-teman mendesain program pelatihan sumber daya manusia pada tahun 1985." Tidak merasa sayang meninggalkan jabatan di perusahaan yang penjualannya nomor tiga terbesar di bidang farmasi? "Yaa, tidak ada yang langgeng, ya? Iya kan? Itu satu. Yang kedua, kalau you sudah membuat satu janji, ditaatilah janji itu.” John yakin kiprahnya di perusahaan cuma semacam refreshing. "Namun demikian, selama saya di Jakarta pun, saya kan terlibat di dalam kegiatan akademis. Saya kan pernah menjadi dekan, mulai tahun 1989 sampai 1992 di Ukrida. Motivasi saya sederhana saja, saya ingin mendapatkan pengalaman praktek, pengalaman lapangan."ii Calon satunya lagi, John Titaley, adalah seorang doktor lulusan Amerika dan pernah jadi PR III UKSW. Saat ini, ia menjabat ketua Program Pascasarjana Agama dan Masyarakat (PPs-AM) *** Tanggal 17 Mei 1993 Ketua Panitia Pemilihan Rektor Ruminto Adi meminta Wakil Ketua Senat John Titaley mendampingi Panitia yang berinisiatif menemui Yayasan untuk meminta ketegasan Yayasan soal interpretasi SK 133/1988. Panitia dinilai tidak bisa mendatangi Yayasan secara langsung tanpa lewat Senat. John Titaley bersedia. John Titaley sendiri memang ingin menemui Yayasan untuk mengundang secara langsung kehadiran Yayasan dalam rapat tanggal 27 Mei 1993, setelah undangan tertulis dikirim sebelumnya. Dalam percakapan telepon antara
http://slamethdotkom.wordpress.com
13
[email protected]
John Titaley dengan sekretaris Yayasan mengenai maksud Titaley itu, ditegaskan pula rencana kedatangan Panitia Pemilihan oleh sekretaris pengurus Yayasan, dan sekaligus John Titaley sebagai wakil ketua Senat dimintanya mendampingi Panitia pula. Pertemuan diadakan pada 19 Mei 1993. Selain ketiga orang Panitia Pemilihan dan Wakil Ketua Senat John Titaley, pengurus Yayasan yang hadir adalah Haryono Semangun, Melky Oe. Nganggoe, Tedjorahardjo, Teja Prasada, W.L. Lontoh. Dalam pertemuan itu, Panitia untuk pertama kalinya membagikan interpretasi Panitia tentang SK 133/1988ii kepada yang hadir. Berikut kutipannya. BEBERAPA CATATAN TENTANG PEMILIHAN REKTOR UKSW 1. Dasar Hukum Dasar Hukum yang dapat dipakai untuk pembahasan ”Pemilihan Rektor UKSW” adalah: (1) Statuta UKSW (2) Peraturan Tata Tertib Senat (3) SK Pengurus Yayasan PT UKSW No 133/A/KP/DPI/88 tgl. 27 Mei 1988. Selain dasar tertulis tersebut, Konvensi dapat digunakan walaupun kepastian hukumnya sangat diragukan. Keputusan Pengurus No 133/A/KP/DPI/88 tanggal 27 Mei 1988 tidak terlalu rinci dan pada saatnya perlu diperbaharui untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan baru dalam UKSW. Walaupun demikian, dalam Pemilihan Rektor UKSW untuk periode 93-98, SK Pengurus No. 133 tersebut perlu dipegang teguh dan diinterpretasikan seobjektif mungkin dalam konteks keadaan UKSW 1993. 2. Siapa Yang Berhak Mengangkat Rektor Dalam Statuta UKSW pasal 4 ayat 2 jelas dikemukakan bahwa Rektor UKSW diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengurus YPT Kristen Satya Wacana, sesudah mendengar pendapat-pendapat yang hidup dalam kalangan UKSW. Mengingat pasal 5 ayat 1 Statuta UKSW juncto pasal 1 Peraturan Tata Tertib Senat di mana Senat UKSW merupakan lembaga perwakilan dan permusyawaratan tertinggi Sivitas Akademika UKSW, maka ”Pendapat-pendapat yang hidup dalam kalangan UKSW” haruslah ditafsirkan pandapat yang hidup dalam Senat UKSW. Tafsiran di atas didukung pula oleh SK Pengurus No. 133/A/KP/DPI/88 tgl. 27 Mei 1988 di mana diatur hak dan wewenang Senat untuk memilih calon Rektor UKSW yang akan diajukan ke pengurus Yayasan PTK UKSW (pasal 2 ayat 4) setelah melalui pencalonan di tingkat unit/fakultas dalam UKSW. 3. Prosedur Pencalonan Pasal 2 ayat 4 juncto pasal 5 dan 6 dari Skep Pengurus YPT UKSW no.133 jelas mengatur adanya dua tahapan dalam pemilihan Rektor. Tahap Pertama Adalah tahap dimana unit/fakultas memilih calon atau calon-calon yang akan dinaikkan menjadi calon atau calon-calon dari unit/fakultas pada pemilihan tahap kedua.
http://slamethdotkom.wordpress.com
14
[email protected]
Tahap Kedua: Adalah tahap pemilihan di tingkat Senat. Dalam tahap ini Senat memilih calon atau calon- calon dalam pemilihan di Senat. Mekanisme pemilihan pada tingkat unit atau fakultas diatur dalam pasal 2 ayat 5 dan 6 SK Pengurus No 133. Mekanisme pemilihan pada tahap kedua yaitu di tingkat Senat diatur dalam pasal 2 ayat 7, 8 dan 9 SK Pengurus No 133. (1) Panitia Pemilihan Rektor yang dituntut sesuai dengan pasal 2 ayat 1 SK Peng. No. 133 mengemukakan/membuka amplop yang berisi nama calon atau calon-calon yang diusulkan oleh unit/fakultas setelah dilaksanakannya pemilihan pada tahap pertama (di tingkat unit). Nama-nama calon tersebut diungkapkan dalam suatu rapat Senat yang beracara khusus Pemilihan Rektor yang dihadiri oleh pengurus Yayasan (ayat 7 jo ayat 9). (2) Apabila Panitia Pemilihan mendapatkan fakta bahwa hasil nominasi (dari unit/fakultas) ada calon yang mendapatkan dukungan lebih besar dari 1/n x jumlah anggota Senat yang berhak suara adalah calon yang berhak jadi calon dalam pemilihan di tahap Senat. Ini berarti hanya calon yang minimal mendapatkan suara (1/n x 21) + 1 yang berhak maju ke tahap pemilihan di Senat. (3) Apabila ternyata dari seleksi dengan rumus (1/n x 21) + 1 diperoleh calon sejumlah dua orang barulah diadakan pemilihan dalam Senat. (4) Hanya calon yang mendapatkan suara 75% atau lebih, itu berarti 75% x 21 voters, maka kedua calon secara bersama-sama diajukan kepada pengurus Yayasan untuk dipilih satu di antaranya yang akan ditetapkan sebagai Rektor UKSW. (5) Apabila dari proses no (2) di atas calon yang memenuhi ketentuan (1/n x 21) + 1 hanya terdapat satu orang calon, maka calon tersebut menjadi calon tunggal Senat yang tidak perlu lagi diadakan pemilihan, melainkan suatu penetapan bahwa calon tersebut menjadi calon Senat yang diajukan ke Pengurus Yayasan untuk ditetapkan sebagai Rektor UKSW. 4. Senator Adalah Wakil Unit Di dalam Statuta pasal 5 ayat 1 terdapat ketentuan sbb: Senat UKSW adalah lembaga perwakilan dan permusyawantan tertinggi di UKSW. Dalam Peraturan Tata Tertib Senat terdapat ketentuan bahwa Senat adalah lembaha nonstruktural yang merupakan perwakilan dan permusyawaratan tertinggi Sivitas Akademika UKSW (pasal 1) Dari kedua ketentuan tersebut jelas bahwa Senat adalah Lembaga Perwakilan dan oleh karena itu senator adalah wakil unit/fakultas yang diwakilinya. Bahwa senator adalah wakil unit mendapat dukungan pula dalam pasal 4 Pertatib Senat yang mengatur keanggotaan dalam Senat. Dalam pasal 4 jelas bahwa ketua unit/dekan fakultas adalah anggota Senat yang mewakili unit/fakultasnya, kecuali senator yang mewakili unit/fakultas. Oleh karena itulah senator sebagai wakil unit/fakultas berhak suara sedangkan senator wakil kepakaran tidak berhak suara. Sebagai konsekuensi senator adalah sebagai wakit unit/fakultas, dalam hubungannya dengan pemilihan rektor adalah:
http://slamethdotkom.wordpress.com
15
[email protected]
(1) Ia
mengirimkan calon yang dipilih oleh fakultas/unit sebagai calon di tingkat pemilihan Senat dengan persyaratan yang diatur dalam pasal 2 ayat 5 dan 6 a dan b. (2) Pada pemilihan tingkat dua (di Senat) ia secara konsekuen memilih calon yang telah diusulkan oleh unitnya. (3) Pada pemilihan tingkat dua, unit yang calonnya terkena eliminasi, berdasarkan ketentuan (1/n x 21) + 1, senator yang mewakilinya berhak memilih calon-calon yang tak terkena eleminasi, terlepas dari keputusan unit yang semula. Dengan demikian dependensi senator terhadap keputusan unit tetap ada bagi senator yang calon dari unitnya tidak terkena eliminasi, sedang senator yang calon dari unit/fakultasnya terkena eliminasi mempunyai dependensi dalam memilih calon-calon dalam pemilihan rektor tahap kedua (tingkat Senat), setelah ada perundingan kembali dengan unit/fakultasnya. Salatiga, 17 Mei 1993 Tekanan tentang interpretasi terutama diberikan kepada dua hal, yaitu berlakunya rumus lebih dari 1/n dan dependensi Senator. Alasan Panitia adalah bahwa pemberlakuan rumus lebih dari 1/n itu dimaksudkan untuk memperkecil jumlah calon sebelum pemilihan diadakan. Selain itu, juga mengenai dapat-tidaknya senator berbicara lain dari yang diusulkan oleh unitnya, apalagi ini menyangkut nama orang. Dalam hal kebijakan umum yang lain, mungkin masih bisa, tetapi tidak untuk calon Rektor. Kepada Yayasan sampai tiga kali dijelaskan tentang hal ini, baru dijawab DPH bahwa interpretasi Panitia bisa diterima. Sekalipun demikian, masih ada yang menanyakan siapa yang dimaksud dengan yang mempunyai hak suara dalam SK 133/1988 pasal 2 ayat 9a dan suara yang hadir dalam pasal 2 ayat 9b. Pertanyaan ini terutama datangnya dari wakil ketua Senat. Disepakati bahwa kalau demikian halnya, maka interpretasi itu yang akan disampaikan oleh wakil ketua Senat dalam rapat Senat tanggal 27 Mei 1993 mendatang. *** Tetapi, penafsiran Panitia ternyata mengundang kontroversi. Pada tanggal 23 Mei, misalnya, beredar lembaran berisi pemikiran tiga sarjana hukum UKSW, yaitu Krisna D. Darumurti, Djoko O. Soeropati, dan Jerry G. Tambun. Sumbangan pemikiran itu diberi judul Amicus Curiae: Sebuah Sumbangan Pemikiran. Menurut mereka, ada 4 interpretasi yang bisa muncul dari peraturan pemilihan rektor.ii Penafsiran pertama yang mengartikan bunyi pasa12 ayat 9 sub a dan b dapat otomatis berlaku, segera setelah nama-nama dari unit disampaikan ke Senat. Senat tidak perlu melakukan pemilihan jika nama-nama yang diajukan telah didukung oleh jumlah suara yang sudah memenuhi rumus 1/n lebih atau telah terpenuhi ketentuan yang tercantum dalam ayat 9 sub b (1) dan (2). Dengan kata lain, bila jumlah calon nominee yang masuk ke Senat telah: a) sesuai dengan rumus I/n lebih, dan atau
http://slamethdotkom.wordpress.com
16
[email protected]
b)
sesuai dengan ketentuan ayat 9 sub b (1) dan (2), maka usulan nominee tersebut (menjadi nominee) otomatis menjadi calon yang akan diajukan ke Pengurus Yayasan tanpa perlu pemilihan lagi.
Kelemahan penafsiran ini adalah bahwa kewenangan dan otonomi Senar inenjadi diabaikan dan digantikan oleh Panitia Pemilihan Rektor. Lalu, kata mereka, apa perlunya diatur kuorum 2/3 dari seluruh anggota jika cukup didengar suara Panitia yang hanya terdiri dari Sekretaris Senat dan dua orang Senator? Bukankah dalam SK tersebut Panitia hanya ditugasi sekadar untuk menerima usulan, membuka sampul usulan dan mengemukakan nama-nama? Penafsiran kedua berangkat dengan pemikiran bahwa pasal 2 ayat 4 adalah gagasan sentral, yaitu pemilihan calon rektor dilakukan di tingkat unit/fakultas dan di tingkat Senat. Pemilihan di tingkat unit/fakultas adaiah pemilihan yang sifatnya mencari calon nominee dan di tingkat Senat adalah pemilihan untuk menentukan nominee. Ayat 9 sub a hanya berlaku setelah pemilihan di Senat terjadi, yaitu apabila calon yang dipilih oleh senator ternyata lebih dari 2 maka pemilihan harus dilakukan untuk memperoleh maksimal hanya dua nominee dengan menggunakan rumus 1/n. Apabila kemudian dengan rumus tersebut menghasilkan dua calon, maka ketentuan b (1) atau b (2) dapat digunakan. Dengan demikian, bila ketentuan pasal 2 ayat 9 sub a dan b dibaca dengan teliti, seharusnya ketentuan pasal 2 ayat 9 sub a harus berdiri sendiri dan terpisah dari ayat 9 sub b, tidak dirumuskan dalam satu pasal sebagaimana yang ada sekarang. Kerancuan ini yang juga menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan maksud pasal 2 ayat 4. Penafsiran kedua ini juga berhasil menangkap gagasan perumus peraturan ini yang menginginkan calon maksima1 yang boleh diajukan ke Yayasan adalah 2. Apabila ada calon yang lebih dari 2, maka pemilihan harus dilakukan dan hasil pemilihan tersebut diberlakukan ketentuan ayat 9 sub a atau ayat 9 sub b (1) dan (2), dengan kata lain ketentuan ayat 9 sub a dan sub b adalah ketentuan yang harus diberlakukan apabila pada pemilihan di Senat terdapat lcbih dari dua (9 sub a) dan pemilihan menghasilkan 2 calon (9 sub b (1) dan (2). Kelemahan penafsiran kedua ini adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan makna dari ”pemilihan dilakukan bertahap”. Penafsiran ini juga tidak dapat menerangkan perbedaan kata ’diteruskan’ pada sub a dan ”diajukan” pada sub b, padahal apabila proses nominasi itu diteruskan, mungkin akan berhasil diajukan dua nominee untuk dipilih oleh Pengurus. Penafsiran ketiga mirip dengan penafsiran kedua. Penafsiran ketiga melihat bunyi pasal 2 ayat 9 sub a terutama pada kalimat ”boleh dilanjutkan pencalonannya” dan kalimat ”pemilihan dilakukan bertahap” mengiktiarkan masih dipcrlukan tindakan lain (pemilihan) agar supaya calon yang lebih dari dua menjadi hanya dua calon. Dengan kata lain, pemilihan di Senat dapat dilakukan berkali-kali (bertahap) tidak mengartikan adanya hierarki pemilihan tetapi cukup bahiva pemilihan harus dilakukan sampai menghasilkan dua nominee calon saja. Jika sudah terdapat dua nominee, maka terhadap kedua nominee tersebut diberlakukan ketentuan 9 b (1) atau (2) untuk menentukan siapa yang akan diajukan ke Yayasan.
http://slamethdotkom.wordpress.com
17
[email protected]
Penafsiran keernpat hampir sebangun dengan penafsiran kedua dan ketiga. Penafsiran keempat bertitik-tolak dari kata ”boleh diteruskan pencalonannya” bersifat permisif. Artinya, boleh diteruskan dan juga boleh tidak diteruskan (argumento acontrario). Dengan kata lain, jika hasil pemilihan di Senat rnasih saja menghasilkan lebih dari dua calon nominee dan tidak berhasil memperoleh dua nominee maksimal, maka pemilihan boleh diteruskan dan juga boleh tidak diteruskan. Penafsiran ini mengandung kelemahan, yaitu apakah perumus ketentuan ini memang menghendaki terjadinya ”stagnasi” dalam proses pemilihan. Ketiga orang itu menganjurkan dipakainya penafsiran ketiga karena tidak mengandung kelemahan berarti. *** John Titaley juga tidak setuju dengan penafsiran Panitia Pemilihan. Karena tidak puas, John Titaley dan Ruminto Adi menemui Tedjorahardjo di Semarang pada 23 Mei 1993. Dalam pertemuan itu diajukan interpretasi terhadap SK No. 133/1988 yang berbeda dengan interpretasi Panitia yang sudah disepakati dalam pertemuan tanggal 19 Mei 1993. Tedjorahardjo mengusulkan agar Haryono Semangun ditemui juga. Dua hari sesudahnya, pada tanggal 25 Mei 1993, John Titaley dan Ruminto Adi pun menemui Haryono Semangun di Yogyakarta. Perbedaan interpretasi yang disampaikan Wakil Ketua Senat John Titaley dengan interpretasi Panitia terletak dalam rumusan pasal 2 ayat 9. Menurut John Titaley, rumusan ini mensyaratkan adanya tindakan pemilihan, bukan tindakan seleksi. Hal ini diperkuat dengan rumusan pasal 2 ayat 9a. Yang mempunyai hak suara dan suara yang hadir adalah senator, bukan unit/fakultas. Jika yang dimaksud adalah unit/fakultas, maka rumusannya tidaklah demikian. Seleksi itu sudah tentu harus disebutkan sebelum pasal 2 ayat 7, tentang rapat Senat. Sedang mengenai dependensi Senator, John Titaley berpendapat bahwa kalau interpretasi Panitia benar, maka pemilihan pada aras Senat tidak diperlukan lagi. Dari unit bisa langsung saja ke Yayasan. Selain itu, bahwa ada rumusan “diteruskan pencalonannya” menunjuk kepada kebebasan Senator untuk memilih calon lain setelah calonnya sendiri gugur. Esoknya, wakil ketua Senat, tiga orang Panitia Pemilihan, dan DPH Yayasan bertemua lagi. Dari Yayasan hadir Haryono Semangun, Melky Oe. Nggangoe, Tedjorahardjo, dan Tedja Prasada Pertemuan ini terjadi atas undangan DPH yayasan yang disampaikan lewat telepon sebelum jam 12 pada hari yang sama. Dalam pertemuan tersebut Yayasan menyatakan bahwa interpretasi yang benar terhadap SK No. 133 adalah sebagaimana terdiri atas 7 butir. Untuk itu Yayasan akan menjelaskan dalam rapat esoknya tanggal 27 Mei 1993 dalam rapat Senat, yang masih dipimpin oleh wakil ketua Senat. Interpretasi baru yang ditandatangani oleh Ketua Umum YPTKSW Haryono Semangun ini bunyinya sebagai berikut.
http://slamethdotkom.wordpress.com
18
[email protected]
Penjelasan SK Pengurus YPTKSW No 133/A/KP/DPI/88 tgl. 27 Mei 1988 1. Pasal 2 ayat 9 mengatur: Apabila dalam taraf nominasi ada lebih dari 2 calon, pemilihan dilakukan bertahap. Dalam taraf nominasi ini tidak diperhatikan jumlah unit yang mencalonkan masing-masing nama. 2. Pasal 2 ayat 9 adalah pemilihan tahap pertama oleh Senat atas calon-calon hasil nominasi. 3. Rumus 1/n baru diterapkan pada hasil pemilihan tahap pertama 4. Bila pemilihan tahap pertama ini menghasilkan 2 calon, kedua calon tersebut diteruskan ke pemilihan tahap kedua sesuai pasal 2 ayat 9.b. 5. Meskipun pemilihan tahap pertama hanya menghasilkan 1 calon, pemilihan tahap kedua tetap diteruskan untuk mencapai pasal 2 ayat 9.b no 1. 6. Apabila pemilihan tahap kedua tidak mencapai 75% dari jumlah suara yang hadir, maka pemilihan ini harus diulang, paling banyak dua kali. 7. Apapun hasil dari pemilihan ulang ini diserahkan kepada Pengurus. Salatiga, 26 Mei 1993 *** Pada hari yang sama sekitar 100 mahasiswa dan sejumlah dosen meminta kepada Panitia Pemilihan Rektor agar rapat Senat pemilihan rektor ditayangkan melalui televisi kampus. Dosen yang ikut menandatangani surat pernyataan tersebut antara lain Arief Budiman dan Nico L. Kana. Tujuan utama permintaan itu adalah agar jalannya pemilihan dapat diketahui seluruh warga kampus. "Ini ide bagus. Jadi, yang mengerti jalannya pemilihan bukan hanya pengurus Yayasan saja tapi seluruh mahasiswa dan karyawannya juga mengerti," ujar Stephen Kakisina, salah seorang dosen FE. ii Permintaan itu ditolak.
http://slamethdotkom.wordpress.com
19
[email protected]
BAB 3
Rapat Senat 27 Mei 1993 Rapat Senat tanggal 27 Mei 1993 dihadiri oleh Haryono Semangoen, Melky Oe Nganggoe, dan Tedjorahardjo (Dewan Pengurus YPTKSW), 21 senator yang mempunyai hak suara, dan 2 senator yang tidak mempunyai hak suara, sudah termasuk Rektor Willi Toisuta dan ketiga pembantu rektor. Mahasiswa termasuk yang mendapat 2 suara dan diwakili oleh Ketua SMU John Theodore Weohau dan Ketua BPMU Theofransus Litaay.ii Dalam rapat itu diedarkan penafsiran YPTKSW tentang Peraturan Pemilihan Rektor. Rapat yang berlangsung dari pukul 11 sampai 16 ini dipimpin oleh Wakil Ketua Senat John Titaley. Berikut adalah suasana rapat yang dikutip dari transkrip rapat. Sayangnya, beberapa bagian tidak dapat diketahui karena rekaman kaset tidak jelas. Rapat dibuka dengan doa yang dibacakan oleh Kris H. Timotius, dekan FSM. Lalu, Haryono Semangoen memberikan sambutan. Haryono memulai pidatonya dengan menggambarkan situasi kampus akhir-akhir ini yang memanas. Tetapi, itu hal yang wajar saja, katanya. Memanas karena semangat lebih baik daripada dingin karena apatis. Selanjutnya, Haryono mensinyalir mulai tumbuhnya bibit-bibit fanatisme. Ia mengingatkan, keilmuan tidak akan bisa maju kalau kita fanatik. Sesuai iman Kristen juga, dalam filsafat ilmu dikatakan kita bebas berpikir, tetapi selalu dengan kerendahan hati. “Kita semua mengetahui universitas lebih luas daripada unit, karena unit hanya merupakan bagian dari universitas. Salah satu jiwa dari peraturan keputusan yang ada, yaitu SK No. 133, itu bahwa kita mengenal pemilihan di dalam unit. Dengan sendirinya, scope-nya scope unit. Lalu, dalam Senat Universitas dengan scope yang lebih luas. Pemikiran kita sebagai suatu universitas, sebagai suatu keseluruhan. Hasilnya dinaikkan ke scope yang lebih luas lagi, yaitu nanti dalam pengurus Yayasan. Memang kami mengetahui bahwa semua—sejak dari unit pun— berusaha memikir yang lebih luas. Tapi, saya kira tidak bisa kita bantah bahwa pengetahuan teman-teman di unit pada umumnya, dengan sendirinya tidak seluas yang dalam aras universitas. Meskipun ada usaha untuk berpikir yang lebih luas. Bagaimanapun kemampuannya, itu bertingkat-tingkat,” kata Haryono. Haryono kemudian menjelaskan interpretasi pengurus mengenai SK No. 133 yang dijadikan ketentuan pemilihan rektor. “Yang pertama, untuk pasal 2 ayat 9, yang itu mengatur: apabila dalam taraf nominasi ada lebih dari dua calon, pemilihan dilakukan bertahap. Di sini keyword-nya atau kata kuncinya adalah nominasi, yang nanti di tempat lain ada pemilihan. Jadi, nominasi itu maksudnya berbeda dengan pemilihan. Dalam taraf nominasi ini tidak diperhatikan jumlah unit yang mencalonkan masing-masing nama. Jadi, nominasi memang hanya nomos, hanya nama. Kedua, pasal 2 ayat 9a adalah pemilihan tahap pertama oleh Senat atas calon-calon hasi nominasi. Yang ketiga, rumus 1/n baru diterapkan pada hasil pemilihan, bukan pada hasil nominasi. Rumus 1/n baru diterapkan pada hasil pemilihan tahap pertama ini. Keempat, bila pemilihan tahap pertama ini menghasilkan dua calon, kedua calon tersebut diteruskan ke
http://slamethdotkom.wordpress.com
20
[email protected]
pemilihan tahap kedua sesuai dengan pasal 2 ayat 9b. Tidak ada masalah ini. Nah, itu kalau ada dua. Kalau hanya satu bagaimana? Nah, ini butir 5: Meskipun pemilihan tahap pertama hanya menghasilkan satu calon, pemilihan tahap kedua tetap diteruskan untuk mencapai pasal 2 ayat 9b nomor 1, yaitu 75% ke atas.” Menutup sambutannya, Haryono tak lupa menyatakan kegembiraan karena calon rektor lebih dari satu. Ini dianggapnya suatu kemajuan karena pada pemilihan sebelumnya, selalu hanya ada satu calon. Kembali ke John Titaley. “... Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, ingin saya jelaskan bahwa interpretasi yang disampaikan dalam bentuk copy-an yang kita bagi kemudian, sehubungan dengan sambutan dari ketua pengurus Yayasan, ini terjadi karena memang ada beberapa pemahaman yang berbeda-beda. Nah, hal itu terjadi ketika hari Rabu yang lalu Panitia bertemu dengan, bukan Panitia, saya mendampingi Panitia bertemu pengurus Yayasan untuk meng-clarify hal ini. Dan, klarifikasi itu akhirnya dapat kita peroleh kemarin sore, dan klarifikasi itu adalah dalam bentuk seperti yang sudah dibacakan dan diterangkan oleh ketua Yayasan Perguruan Tinggi (Kristen) Satya Wacana ini. Nah, ... kita berharap lewat interpretasi ini, kita tidak lagi mempunyai interpretasi yang berbeda-beda terhadap khusus pasal 2 ayat 9 tadi itu. ... Proses (pemilihan rektor) ini sudah kita siapkan sejak tanggal 19 Februari 1993, dan kita sudah bekerja tiga-empat bulan untuk hal itu. Baiklah kita tuntaskan pekerjaan kita pada hari ini dengan baik, sehingga semua bisa terlaksana dengan baik.” Beberapa senator mengomentari penjelasan Haryono yang tidak diduga. Komentar pertama datang dari wakil mahasiswa di BPMU. Ia mengucapkan terima kasih untuk penjelasan Haryono. “Kenapa kami anggap penting (penjelasan) ini, karena bagi kami bahwa bila kita belum menyatakan bahwa sepakat untuk itu, maka hal ini kami sangat khawatirkan. Disebabkan hanya kita berbeda interpretasi terhadap isi SK Yayasan dan sejak awal pemilihan, maka tanda-tanda ke arah terjadinya polarisasi kampus dan segala macam itu mulai muncul, begitu. Jadi, itu kami sangat mengharapkan itu sekali, terutama klarifikasi dari semua pihak, karena ada juga beberapa hal yang kami anggap, bahwa kita harus selesaikan semuanya, sebelum kita melakukan pemilihan. Misalnya, tugas Panitia yang dulu melakukan tugas administratif itu juga, kami mendengar bahwa (Panitia) melakukan interpretasi terhadap isi SK Yayasan. Nah, itu menjadi bahan pembicaraan dari banyak senator dan kami tidak berharap bahwa gara-gara hal itu saja juga kita harus punya potensi untuk polarisasi. Maupun berita pagi hari di Suara Merdeka yang di mana kami sangat menyesalkan sekali bahwa di antara para pengajar, ada juga yang menggerakkan mahasiswa untuk meminta bahwa rapat Senat harus terbuka dengan disiarkan oleh televisi (kampus), dan mereka menggalang juga tanda tangan dari mahasiswa. Kami sangat merasa sedih, begini!” kata wakil dari BPMU. SMU menyatakan bahwa siapa pun yang terpilih, harus didukung. Tunjung Mahatma, senator dari Puspelkom, meminta agar penjelasan SK No. 133, terutama nomor 6, dijelaskan ulang karena penjelasan itu baru diterima saat ini. “Jadi, di situ disebutkan: pemilihan harus diulang paling banyak dua kali. Apakah itu berarti bahwa langkah
http://slamethdotkom.wordpress.com
21
[email protected]
itu dilakukan tiga kali?” Suwandi, dekan Fakultas Hukum, mendapat giliran selanjutnya. “Langsung saja untuk nomor 4 dan nomor 5. Saya mengharapkan tidak akan terjadi. Ini kalau nanti pemilihan tahap pertama menghasilkan dua calon. Bagaimana seandainya pemilihan tahap pertama sama sekali tidak menghasilkan satu calon pun? Karena tidak ada yang memenuhi syarat lebih dari 1/n. Tampaknya di sini belum diatur. Kemudian yang kelima. Untuk mencapai, menghasilkan satu calon, kalau seandainya hanya ada satu calon, ini nanti cara pemilihannya itu bagaimana? Yang saya dengar, satu calon, kemudian ada kemungkinan untuk abstain. Saya pikir akan lebih baik kalau satu calon ini disandingkan dengan kotak kosong, sehingga antara kotak kosong dan abstain itu berbeda. Dan menurut saya, abstain itu dan kotak kosong itu memang harus dibedakan. Abstain itu tidak menggunakan hak suara kita, tapi kalau kotak kosong ada kemungkinan dia tidak mendukung satu calon itu. Sehingga bagi pengurus barangkali akan lebih baik nanti untuk mengambil suatu keputusan.” Direktur LPU Richard Hutapea, yang mendapat giliran berbicara, menyatakan keprihatinan karena penejelasan muncul justru pada saat akan diadakan pemilihan. “[K]ami sebagai orang yang mewakili unit, wakil Senat, wakil unit kami, tidak ada kesempatan untuk membicarakan ini di unit kami. Bagaimanapun, kami merasa datang ke sini adalah atas nama unit. Yang kedua, saya ingin mempertanyakan status penjelasan ini. Apakah ini sesuatu yang terbuka untuk didiskusikan atau sesuatu yang harus diterima oleh Senat. Oleh karena nampaknya, ini disusun sedemikian rupa sebagai suatu penjelasan atau suatu SK yang tentu penjelasan itu bisa merupakan suatu interpretasi pengurus. Orang lain bisa juga mempunyai interpretasi yang berbeda. Maka pertanyaan saya, apakah ini terbuka atau tidak?” tanya Richard Hutapea. Sunarso, ketua Departeman Matakuliah Umum, menganggap penjelasan itu bisa dipertanyakan. Tetapi kalau terjadi perdebatan, kata Sunarso, instansi terakhir yang mana yang akan menentukan? “Apa pun (yang) ditafsirkan di sini, saya hanya ingin mengingatkan kepada para anggota senator, dan peringatan ini memang tidak berdasarkan kitab suci atau berdasarkan interpretasi saya. Saya hanya membaca peraturan Senat pasal 7, mengenai hak, yang akan saya baca di sini, supaya hal ini juga menjiwai di dalam pemilihan ini. Di situ dikatakan: setiap anggota Senat memiliki, satu, hak, pendapat dan mengeluarkan pendapat yang mencerminkan pandangan yang hidup di dalam unit yang diwakilinya. Jadi, saya rasa pasal ini sudah ada. Dan, saya rasa menjadi kewajiban bagi setiap senator untuk menaati pasal ini selama pasal ini belum dicabut,” ujar dosen senior yang rambutnya sebagian sudah memutih itu. I Made Markus, dekan FKIP, bertanya tentang proses yang sudah dilaksanakan, di mana sudah ada calon-calon yang masuk. “[A]pakah itu tahap nominasi namanya atau masih tetap pranominasi atau bagaimana?” “Yang kedua,” lanjut I Made Markus, “... [K]alau ternyata calon yang kita ajukan itu tidak berkenan di Yayasan, dan Yayasan terpaksa memilih orang lain, pada waktu itu kita minta supaya andai kata itu terjadi, maka itu perlu diadakan sejenis pembicaraan lebih lanjut dulu,
http://slamethdotkom.wordpress.com
22
[email protected]
sebelum hal itu bisa ditetapkan. Nah, sekarang, mungkin ada kaitan dengan itu, kira-kira bagaimana penjelasan berkaitan dengan ayat itu?” Liana Pudjiastuti pun punya sesuatu untuk dikatakan. Pertama, ia mengusulkan ada evaluasi untuk meninjau peraturan. Senator dari Pusat Bimbingan ini juga bertanya, siapa yang berhak memilih calon rektor. Apakah itu senator yang 21 kepala ini? Atau bisa dari sivitas akademika? “Karena barangkali, itu akan menentukan langkah kita berikutnya. Karena di pasal 2 ayat 4 dikatakan: pemilihan calon rektor dilakukan dalam beberapa tahap, di tingkat unit, di tingkat Senat, dalam pemilihan calon rektor. ... (Kemudian) apakah ada perbedaan di dalam pasal 9 ayat a dan b, yaitu yang mempunyai hak suara dan jumlah suara yang hadir? Apakah ada perbedaan? Jadi, pasal 9 ayat a dan b itu ada dua hal yang menurut saya kurang saya pahami. ... [T]erakhir, kalau melihat penjelasan yang sudah kita terima pagi ini, butir kelima, dikatakan: Meskipun pemilihan calon rektor hanya menghasilkan satu calon dan seterusnya. Nah, saya tidak melihat itu di peraturan yang ada. Apakah memang itu tidak ada di situ atau bagaimana? Karena kalau ada dua calon, baru diteruskan ke tahap berikutnya. Tapi, kalau ada satu calon, ya itu satu calon tadi. Karena tidak ditulis secara tersurat tentang apa yang dijelaskan pagi ini.” Senada dengan Richard Hutapea, Kris Timotius menyayangkan penjelasan Yayasan yang baru diterima sekarang. “Padahal, menurut saya, potential problem-nya sudah lama kita dengar. Begitulah. Saya ingin mohon penjelasan untuk nomor enam: Apabila pemilihan tahap II tidak mencapai 75% dari jumlah suara yang hadir, maka pemilihan ini harus diulang. Nah, apakah itu harus diulang saat ini juga atau diulang, misalnya, minggu depan? Karena, misalnya, saya tidak mungkin merubah suara dari unit di mana saya mewakili saat sekarang ini. Sebab, kehadiran saya tentunya mewakili unit, disebutkan bahwa dalam peraturan Senat, keanggotaan ini, antara lain dekan fakultas. Jadi, kalau memang pemilihan ini harus diulang, menurut saya, sebaiknya ya ditunda, supaya saya bisa berkonsultasi dengan unit terlebih dahulu. ... Sesungguhnya, salah satu potential problem yang belum muncul di sin, terus-terang saja, itu, apakah saya senator ini mewakili unit atau independen, begitu. Sebab, masalah itu yang saya pandang penting, tapi justru tidak muncul di sini, di penjelasan ini. Nah, ini saya pikir, kalau memang dirasa belum jelas, lebih baik memang acara yang berikutnya kita tunda dulu sampai prosedur ini cukup jelas bagi semua, atau kalau tidak, ini akan memecah-belah kita. Saya rasa itu kurang baik. Lebih baik, saya setuju kita semua menerima keputusan apa pun juga yang dihasilkan dalam rapat Senat ini, tetapi lebih baik prosedurnya ini bisa jelas. Kalau dipandang diperlukan waktu untuk ditunda, ya lebih baik kita tunda sampai SK pengurus ini benar-benar bisa dimengerti dengan baik.” Setelah semua penanggap mengutarakan isi hati mereka, fokus kembali ke John Titaley. “Memang saya berharap kita masih ingat ketika rapat kita tanggal 19/2/93 kita lakukan itu. Saya kan bertanya, apakah kita akan pilih pakai ini (SK No. 133) atau bukan. Kita semua setuju pakai ini, gitu. Karena memang tidak ada yang lain lagi, gitu. Hanya lalu saya tanya, ok kalau ini kita pakai, tolong kita bicarakan adakah pokok-pokok yang belum jelas atau sudah jelas atau belum? Kita bahas beberapa pokok yang menurut kita kurang jelas. Tapi, rupanya pasal 2 ayat 9 ini terlewatkan, begitu. Sehingga asumsinya, kita mempunya pemahaman yang sama.
http://slamethdotkom.wordpress.com
23
[email protected]
Karena tidak diajukan itu sebagai pokok untuk dibicarakan. Tetapi, ternyata dalam praktek, kelihatannya berbeda pemahaman itu, sehingga lalu muncul itu, atau itu, pokok pikiran yang dibuatkan oleh Panitia. Nah, saya sendiri sebelum Panitia itu saya ketahui membuat semaacm itu, tidak membayangkan akan ada interpretasi yang seperti itu. Interpretasi saya berkembang semula seperti itu, lalu yang kedua, lebih dari itu, ternyata yang ketiga lain lagi, dan yang terakhir rupanya penjelasan dari pengurus lain lagi sama sekali dari interpretasi. Tetapi, itulah sebabnya ada upaya untuk menanyakan kepada pengurus, apa itu. Di pelbagaian inilah kita minta petunjuk dari pengurus menganai hal itu. Kerana penguruslah yang membuat SK itu, maka penguruslah yang tahu dengan baik pikiran-pikiran, konsep yang ada di belakang SK tersebut. Oleh karena itu, kami lalu meminta pengurus untuk memikirkan hal itu, dan sudah ada interpretasi itu. Memang sayang bahwa interpretasi itu datang kemudian. Sesudah prosees itu selesai. Artinya, interpretasi yang resmi dari pengurus. Tetapi interpretasi yang berbeda itu juga berkembang, baru kita sadari sesudah proses pemilihan juga selesai. Artinya, kalau Panitia dilihat, apa yang dibuat oleh Panitia itu tertanggal 17 Mei 1993. Jadi, munculnya pemahaman yang berbeda itu baru kita sadari setelah 15 Mei batas waktu, apa itu, pemasukan nama-nama calon dalam tahap nominasi itu. Nah, karena ada hal semacam itu, memang kita sudah terlanjur melakukan pemilihan itu, dan memang lalu kami minta pengurus untuk menerangkannya. Nah, saya akan mempersilakan pengurus untuk menjelaskan itu, pokok-pokok, terutama butir-butir yang diungkapkan oleh para senator itu. Pertanyaannya, apakah itu harga mati? Ini rumusan bahasa saya, ya. Interpretasi dari pengurus itu atau interpretasi itu bisa dipertanyakan lagi. Saya berpikir, kita lihatlah. … [K]arena pengurus yang membuat SK itu, asumsi di balik itu adalah penguruslah yang tahu dengan baik maksud dari SK itu, sehingga apa itu, apa yang dirumuskan oleh pengurus, kita akan lihat dalam perspektif semacam itu, walaupun tidak menutup kemungkinan kita bisa bertanya juga, kan? ... Saya akan mempersilakan pengurus untuk menerangkan dan menjelaskan itu, tetapi dengan pemahaman seperti tadi. Kita lihat apa yang pengurus katakan sebagai pihak yang membuat SK itu, dan kita coba berpikir dalam kerangka seperti ini. Silakan Pak Haryono atau Pak Tedjo.” Tedjo Rahardjo yang menjawab. “... Yang pertama adalah mengenai mengapa baru hari ini pejelasan pengurus itu disampaikan, sehingga tidak sempat dipikirkan ataupun tidak sempat dikonsultasikan dengan unit. Jadi, proses kelahiran penjelasan pengurus yang tertanggal Salatiga, 26 Mei 1993 kemarin itu, terjadinya karena pada hari Rabu tanggal 18 Mei 1993 Panitia Pemilihan Senat dan ketua Senat (maksudnya wakil ketua Senat—penulis) menghadap pengurus mempertanyakan interpretasi dari pasal 2 ayat 9 itu. Jadi, sebagaimana diketahui, pengurus hanya berkumpul tiap hari Rabu, dan pertanyaan diajukan hari Rabu tanggal 19 Mei 1993 kemarin. Jawaban diberikan pada kesempatan yang pertama, yaitu hari Rabu tanggal 26 Mei kemarin. Jadi, itulah kesempatan pertama yang ada pada pengurus untuk membicarakan masalah ini. Yang kedua adalah pertanyaan mengenai siapa atau instansi mana yang berwenang untuk memutuskan. Saya kira masalahnya cukup jelas. SK ini dikeluarkan oleh pengurus. Jadi, kalau pengurus ditanya ini, ada ketentuan-ketentuan yang kurang jelas, apa yang dimaksud dengan ini dan itu. Nah, keterangan pengurus inilah yang merupakan kata akhir, sekalipun tidak dalam arti kata yang mutlak, tidak bisa dirubah istilah titik dan komanya. Tetapi, sebagai
http://slamethdotkom.wordpress.com
24
[email protected]
lembaga yang mengeluarkan SK ini, tentu saja pengurus yang memutuskan. Di samping itu, tentunya kita semua sepaham bahwa dalam masalah-masalah, dalam bidang kewenangannya, pengurus Yayasan adalah lembaga yang tertinggi di dalam perguruan tinggi ini. ... Kalau ditanyakan apakah penjelasan pengurus ini bisa didiskusikan, saya kira jawabnya: Kalau Anda membutuhkan penjelasan yang bersifat informatif, tentu saja bisa. Tapi, kalalu Anda tidak bisa menyetujui atau tidak bisa menerima penjelasan atau SK pengurus ini, itu hak Anda. Seseorang bisa mengatakan setuju, bisa tidak setuju, bisa lain lagi tanggapannya, itu adalah hak Anda. Tetapi, inilah peraturan dan penjelasan yang dibuat oleh pengurus dalam bidang kewenangannya. Pertanyaan mengenai mengapa nomor lima itu yang semula tidak ada, lalu sekarang dikatakan bahwa meskipun pemilihan tahap pertama hanya menghasilkan satu calon, pemilihan tahap kedua tetap diteruskan untuk mencapai pasal 2 ayat 9b no. 1. Nah, inilah penjelasan kami. Mungkin Anda bisa mengatakan ini tambahan dari pasal-pasal yang tercantum di sini, dan masih terdapat suatu gap antara pasal 2 ayat 9a dengan 9b. Oleh karena itu, kami memberikan penjelasan atau tambahan yang tercantum dalam penjelasan nomor lima ini, sehingga tidak menimbulkan keraguan, bagaimana kalau yang terpilih itu hanya satu. Pertanyaan lain tadi, kalau dari awal mula tidak menghasilkan satu calon pun yang mencapai suara 1/n. Kemungkinan teoretis ini tentu saja bisa kami tampung untuk disempurnakan kelak pada waktunya. Oleh karena saat ini dapat kami informasikan bahwa satgas AD/ART dan statuta sedang bekerja untuk menyempurnakan AD/ART dan statuta dan untuk menyesuaikan AD/ART dan statuta ini dengan peraturan-peraturan pemerintah, khususnya PP 30 tentang perguruan tinggi. Jadi, segala masukan yang bertujuan untuk menyempurnakan ketentuan-ketentuan dalam SK pengurus ini, kami terima dengan senang hati secara terbuka. Pertanyaan lain adalah, apa perbedaan antara yang mempunyai hak suara dan suara yang hadir. Saya kira jawabannya akan diberikan oleh ketua Senat. Karena ini masalah umum dari Senat, bukan masalah ini saja. Ini mengenai ketentuan teknis di dalam pengambilan suara dalam rapat.” Haryono menambahkan bahwa penjelasan SK No. 133 dimaksudkan untuk memudahkan. Ia juga berpikir penjelasan itu dapat diterapkan walaupun pada waktu pemilihan di unit penjelasan itu belum ada. “Saya kira, pemilihan di unit pun tidak terpengaruh dengan adanya penjelasan ini.... Demikian pula yang keenam, yaitu kalau misalkan nanti keluar satu calon yang kurang 75%, ya, kami punya harapan, oleh karena Senat ini yang diharap itu memikirkan keseluruhan. ... Kami harapkan hari ini juga supaya dapat segera ada keputusan.” John Titaley melanjutkan. “Tadi dikatakan Pak Tedjo mengenai yang berhak suara dan suara yang hadir. Dalam pemahaman saya, memang itu rapat Senat yang diadakan khusus untuk pemilihan rektor itu. Sehingga yang berhak suara dan suara yang hadir adalah senator yang punya hak suara dan hadir di dalam rapat Senat itu, yang kalau kita lihat di pasal 2 ayat 8, dikatakan: Rapat sah kalau dihadiri oleh paling sedikit 2/3 jumlah anggota suara yang berhak suara. Jadi di situ, yang berhak suara dan suara yang hadir, menunjuk specificly kepada rapat Senat yang diadakan untuk itu, yaitu rapat Senat pemilihan rektor. ... [K]alau tadi Pak Tedjo
http://slamethdotkom.wordpress.com
25
[email protected]
mengatakan itu teknis Senat, dijelaskan oleh saya, saya memahami dalam arti semacam itu, sehingga tidak berbeda yang dimaksud dengan orang yang berhak suara dan suara yang hadir. Itu sama, dalam satu orang, yaitu senator yang berkumpul dalam rapat yang diadakan khusus untuk pemilihan rektor. ... Saya sendiri melihat bahwa penjelasan ini sebenarnya menegaskan apa yang telah kita lakukan lima tahun yang lalu. Kecuali kita belum mengantisipasi seperti yang Pak Wandi katakan, kalau kemudian calon-calon itu mendapatkan suara yang kurang seluruhnya dari 1/n. Nah, Pak Tedjo tadi katakan itu teoritis, sehingga kita harus antisipasi hal itu. Lalu, mengenai tambahan calon yang satu dipilih dua kali menjadi tiga kali, saya kira Pak Haryono sudah menjelaskan maksud dari ayat itu. Tapi, berdasarkan tahun 1988, itu juga calon yang satu itu— saya tidak hadir, saya belum di sini—calon satu itu juga dipilih hanya pada waktu itu, kalau nggak salah, dia sudah 75% sehingga kita tidak pilih lagi, gitu! Dan, saya mau mengatakan, interpretasi yang ini, itu juga di luar dugaan saya ... sehingga rupanya ... semua harus menerima interpretasi yang sebenarnya kita belum secara serius berusaha memahaminya. Sehingga menurut hemat saya, adalah sangat baik bahwa pengurus memberikan interpretasi itu kepada kita sebelum kita melakukan pemilihan ini. ... Oleh karena itu, saya ingin mengusulkan, di dalam situasi dan pemahaman semacam ini, baiklah kita lakukan pemilihan itu hari ini.” Tetapi, Richard Hutapea masih ingin mengatakan sesuatu sebelum pemilihan dimulai. “Saya sangat kecewa atas penjelasan dari Pak Tedjo. Beliau mengatakan: Kalau Saudara tidak setuju, terserah. Itu kira-kira. Bagi saya, ini bukan demokrasi Pancasila dan bukan juga demokrasi Kristen. Ini sudah memaksakan sesuatu kepada kami. Ini interpretasi saya, Pak. Maaf! Yang kedua, interpretasi ini lahir dari suatu kemelut. Sebagai manusia, kita akan larut dalam proses, dan ini adalah interpretasi. Maka, orang akan dipengaruhi oleh suasana atau proses itu. Maaf, saya bukan meragukan integritas dari Bapak-Bapak berdua, tetapi bagaimanapun juga, karena ini lahir dari suatu kemelut, saya terus-terang agak meragukan apakah ini interpretasi yang sungguh-sungguh, suatu interpretasi yang objektif. Yang berikutnya adalah bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar. Pak Timotius menyarankan supaya kita menunda pemilihan berikutnya karena harus consult dengan unit. Pak Haryono menginginkan itu terus. Itu berarti Pak Haryono mempunyai pandangan yang berbeda secara mendasar dengan Pak Kris tentang apakah sebenarnya peranan seorang senator. Yang kami pahami adalah, senator itu menyuarakan apa yang hidup di unitnya, seperti yang tertulis di dalam peraturan dan di statuta. Kemudian Saudara Ketua mengatakan bahwa kita lima tahun yang lalu atau beberapa han yang lalu sudah melakukan yang begini. Saya kira itu tidak bisa dibanding-bandingkan karena masalahnya lain. Kita ada satu kemelut. Dulu tidak ada penjelasan peraturan, Pak. Itu menunjukkan ada perbedaan suasana, ada perbedaan aspirasi yang muncul. Calon juga berbeda.” Hendrawan Supratikno, dekan FE, ikut bicara. “... [I]nterpretasi yang sudah kita terima bersama siang hari ini. Jadi, saya setelah terlibat di dalam proses pemilihan calon rektor ini juga belajar sedikit-sedikit, berkonsultasi dengan teman-teman di kiri-kanan, untuk, katakanlah, berusaha melihat SK 133 tahun 1988
http://slamethdotkom.wordpress.com
26
[email protected]
tersebut. Nah, baik belajar dalam konteks interpretasi lateral-gramatikal maupun interpretas liberal-teleologis, liberal-sistematis, dan liberal-historis. Nah, saya berterima kasih karena penjelasan yang disampaikan oleh Yayasan mengandung sesuatu yang tidak dimiliki oleh kita semua yang berada di ruangan ini, yaitu psikologi legal practing (?), ketika perumusan ini dilakukan. Jadi dengan kata lain, saya sangat menghargai otoritas yang dimiliki Yayasan. Nah, izinkanlah dalam konteks seperti ini saya ingin membawa persoalan krusial, persoalan yang penting yang dibawa oleh Pak Kris dan juga oleh Pak Narso yang untuk derajat tertentu belum kita jawab dengan tuntas. Yang pertama, saya kira untuk memahami peraturan ini kita harus menggunakan interpretasi semangat ketika peraturan ini dibuat. Semangat dari peraturan ketika ini dibuat, jelas, yaitu bahwa di Satya Wacana di dalam proses pemilihan calon rektor terdapat tiga hierarki otonomi. Yang pertama adalah hierarki yang paling rendah otonominya, pada tingkat unit. Yang kedua adalah hierarki yang lebih tinggi otonominya, adalah pada tingkat senat, dan yang ketiga adalah hierarki dengan tingkat otonomi paling tinggi, yaitu Yayasan. Apa yang dilakukan oleh Yayasan, apa yang dipilih oleh Yayasan, seperti kita tahu pada pasal yang ke-11. Dengan memperhatikan ini, Yayasan boleh memutuskan calonnya sendiri. Nah, jadi kita harus menyadari bahwa ada tingkatan otonomi. Senat memiliki otonomi yang lebih tinggi dibanding unit, tetapi Yayasan juga mempunyai otonomi yang lebih tinggi. Ini, psikologi ini harus dikuasai lebih dulu. Itu yang pertama. Jadi, aspek teleologis ini harus dikuasai. Aspek teleologis yang kedua adalah bahwa sistem yang diterapkan di sini adalah two stage system, pada taraf nominasi—maaf kalau saya agak sedikit menggunakan istilah hukum— prinsip yang berlaku bukan prinsip premus interparus, tetapi prinsip par in parm. Jadi dari prinsip ini—nanti Pak Wandi bisa menjelaskan kalau ada istilah-istilah yang tidak bisa dipahami, maaf—jelas. Jadi, semangatnya jelas. Itu sebabnya disebutkan pada pasal 2 ayat 9, pengantarnya itu: Apabila dan seterusnya. Kemudian disebutkan, Panitia mengemukakan nama-nama, nomos! Jadi, dengan konteks teleologs seperti itu saya kita, Ibu, Bapak, dan Saudara-Saudara, saya ingin berusaha masuk ke pertanyaan independensi dan dependensi senator. Saya ingin masuk ke persoalan yang dibawakan oleh Pak Kris dan Pak Narso. Pak Narso tadi mempersoalkan apakah...” Kris Timotius menginterupsi. “Maaf ya. Saya mau interupsi sebentar, supaya kita tidak dipengaruhi oleh pendapat senator. Sebetulnya pertanyaan saya itu belum dijawab oleh pengurus. Saya ngin supaya secara murni penafsiran tentang itu dari pengurus. Ya, jadi jangan...” Hendrawan menyela, “Tidak, tidak. Saya hanya ingin menyampaikan pandangan. Begini....” “Menurut saya, pertanyaan dari Pak Kris itu sudah dijawab oleh Pak Haryono, itu tadi! Sudah dijawab, ya kan?” sela John Titaley. “Ya, saya rasa belum. Karena, ini terbukti kan, belum, belum jelas, ya,” jawab Kris Timotius. “Kalau ini, lain lagi! Hhaaa.” John Titaley mendengus dengan gayanya yang khas. Hendrawan melanjutkan. “Pak Narso dan rekan-rekan yang lain, pada saat saya membaca peraturan ini, saya berusaha mengaitkan dengan ketentuan Senat pasal ...,
http://slamethdotkom.wordpress.com
27
[email protected]
keputusan Yayasan No. 29a YSW 1990, tentang tata tertib senat dan seterusnya. Saya mendapatkan ada suatu perbedaan. Contohnya, di pasal 2 ayat 8. Kalau ada yang tidak datang, tidak memenuhi 2/3 jumlah suara yang berhak suara, Senat menunda 30 menit. Kemudian ternyata apa? Ternyata boleh berjalan dengan sah. Saya lihat peraturan itu di Senat nggak ada. Karena di rapat Senat jelas bahwa kuorum tercapai, terpenuhi kalau 2/3. Jadi kemudian, saya berpikir, ini yang di dalam prinsip hukum disebut—maaf sekali lagi menggunakan istilah hukum—lex specialis da roga lex generalis. Jadi, sesuatu yang khusus, sesuatu yang diatur khusus. Contohnya tadi, tunggu 30 menit, dan seterusnya. Itu sesuatu yang khusus, meniadakan atau mengatasi sesuatu yang diatur secara umum. Nah, dalam konteks tadi, senator, sekali lagi saya ingin katakan, dalam konteks independen dan teleologis seperti tadi, two phase system dan seterusnya dengan hierarki otonomi yang jelas, maka kita harus menyadari bahwa di satu pihak senator independency. Tetapi, sekali lagi, bukan independency mutlak. Tetapi di lain pihak, juga senator mempunyai dependency, tetapi juga bukan dependency mutlak. Nah, kalau begitu, solusinya apa? Solusinya, seperti yang dikatakan Yayasan tadi, dengan jelas, the wisdom of us, the wisdom of senator. Karena kita di sini duduk berpikir dalam konteks kepentingan Satya Wacana secara menyeluruh, dan itu yang saya kira saya sudah lima tahun menghadiri rapat-rapat senat yang besar kita yakinkan bersama, bahwa setiap senator yang duduk di sini harus melepaskan topi unitnya dan harus berbicara untuk kepentingan UKSW secara keseluruhan. Jadi, itu pimpinan sidang. Terima kasih. Giliran Suwandi, dekan FH, untuk berbicara. “...Yang pertama, saya ingin mengulang kembali apa yang pernah saya katakan dalam rapat Senat bahwa kita, kecuali pengurus, ... sebenarnya buruhnya pengurus Yayasan... Dengan demikian, sebenarnya apa yang diinginkan, kebijakan yang ada pada pengurus Yayasan, itu mestinya memang harus kita dukung dan harus kita jabarkan di dalam kita mengelola universitas ini... Yang kedua, perkenankan saya membacakan keputusan dewan pengurus No. 29, 31 Mei 1993, tentang kewajiban anggota Senat. Dan ini barangkali ada kaitannya dengan masalah yang dikemukakan oleh Pak Narso, Pak Richard, dan juga Pak Kris. Di situ dikatakan bahwa Pasal 8 Ayat 1c, bahwa ada dua kemungkinan tentang kewajiban anggota Senat. Yang pertama, senator mewakili dan menyampaikan aspirasi dari unit yang diwakili. Tetapi, kemudian ada klausal yang menyusul, yaitu bahwa juga menyampaikan pandangan pribadinya sesuai dengan wawasan dan kepakarannya. Di sini saya mencoba untuk mencari penjelasan, dan saya menemukan penjelasan Pasal 7 Ayat 1 dalam peraturan yang sama, yang mengatakan bahwa hak senator untuk mengeluarkan pendapat. Dijelaskan bahwa di samping pendapat dari unit yang diwakilinya, sebagai seorang individu anggota Senat dapat mengeluarkan pendapat yang mencerminkan wawasan dan hati nuraninya sendiri. Jadi saya pikir, seandainya saya, katakanlah nanti memilih orang yang tidak dicalonkan oleh unit saya, saya tidak salah. Karena kemungkinannya toh sudah dituangkan dalam Pasal 8 Ayat 1c dan penjelasannya di dalam Pasal 7 Ayat 1. Saya pikir tidak salah, sehingga kita tidak harus memilih di sini calon yang dicalonkan oleh unit, meskipun barangkali ada baiknya kita memilih. Tapi, kalau kita sudah mengalami, selama ini barangkali ada suatu proses yang kita lihat dan kita melihat situasi yang lain, dan saya kalau bicara soal primus interpares, sebenarnya pada saat nominasi, sudah ada primus interpares. Tiga orang sama haknya. Tapi, dari 3 orang
http://slamethdotkom.wordpress.com
28
[email protected]
ini, ada satu orang yang menonjol dan itulah primus-nya.” Dekan FTh Nugroho Adi merasa perlu berbicara. “... Saya tidak akan mengemukakan banyak hal. Tapi paling tidak 2 atau 3 hal. Yang pertama, saya rasa kita akan terus-menerus terlibat di dalam kelanjutan dari perbedaan interpretasi. Bahkan kadang-kadang saya tergoda untuk berpikir dan merasa bahwa penjelasan surat keputusan pengurus ini pun, salah satu interpretasi dari sekian banyak interpretasi. Oleh karenanya, memang kadang-kadang agak terasa pahit kalau interpretasi inilah yang final, dan harus kepadanyalah kita tunduk. Itu agak sedikit, ya, minta maaf, mungkin tidak memberikan kebebasan untuk juga berargumentasi tentang interpretasi. Oleh karena itu, saya juga sebenarnya ada dalam semacam pergumulan yang sulit, dan merasa bahwa hal yang semacam ini mungkin tidak sedang dalam kondisi yang sehat. Karena, rasanya interpretasi-interpretasi ini muncul justru sesudah … calon-calon itu diketahui oleh semua unit. Jadi, ada pemilihan unit, dan orang setiap hari menghitung siapa dapat suara berapa, dan sebagainya. Itu bukan rahasia, saya kira. Dan kalau saya katakan demikian pun, saya kira, saya tidak mengada-ada. Dan sesudah posisinya demikian, maka timbul interpretasi yang mudah-mudahan dapat menjadi satu alternatif lain, supaya ada perubahan-perubahan posisi semacam itu. Saya mendengar juga bahwa interpretasi itu pun, dari waktu ke waktu, oleh suatu pihak bisa juga berubah. Ini yang membuat saya merasa, bahwa ada sesuatu yang tidak fair dalam hal ini. Dan terus-terang, saya sebagai seorang yang berusaha bergumul, mudah-mudahan masih bisa disebut Kristen, agak panas pantat saya untuk duduk di sini. Dalam permainan interpretasi, saya hanya berpikir bawah mana toh yang fair, mana toh yang jujur, dan mana toh yang tulus sesuai dengan yang seharusnya. Kami sendiri, baik secara pribadi maupun secara unit, tidak mempersoalkan siapa yang bakal menjadi rektor. Siapa, dalam arti orangnya. Tetapi komitmennya, integritasnya, dan sebagainya. Kami tidak mempunyai kepentingan untuk menjagokan si A dan si B, tetapi menjagokan profil atau integritas atau kapasitas yang dimiliki oleh orang-orang itu. Dan dalam hal yang semacam itulah kami sebelumnya bertarung, atau bergumul, atau berargumentasi. Nah, oleh karena itu, saya harap pengurus mungkin secara sederhana—karena waktunya mungkin sangat mendesak—itu menjelaskan secara operasional saja. Kalau begitu, peraturan ini, begini, kemudian begitu. Begini, kemudian begitu. Dengan begitu, interpretasi akan mulai nampak dalam praktek. Kalau kita adu argumentasi, ayat per ayat, mungkin tidak akan selesai hari ini. Dan, saya khawatir bahwa keputusan atau pengambilan suara akan dilakukan dan diteruskan dengan saling interpretasi terus. Sesudah keputusan dilakukan, perdebatan mengenai interpretasi itu masih akan terus terjadi. Dan kasihanlah orang yang bakal menjadi rektor. Karenanya, saya kadang-kadang berpikir, kalau ada orang yang tidak disetujui atau orang yang tidak terpilih atau orang yang tidak disenangi dipaksa jadi rektor, kalau mau, kadang-kadang, saya pikir, agak bodohlah orang yang ditempatkan pada posisi yang sulit tapi dia mau, begitu. Atau orang-orang yang sungguh mau berkorban untuk celaka, gitu. Oleh karena itu, kami mohon pengurus menjelaskan secara prosedural, supaya kita tahu bahwa interpretasi kita secara praktis telah sama.” Ditimpali oleh I Made Markus. “...Jadi, sebenarnya pertanyaan saya sama dengan yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
29
[email protected]
tadi. Karena ternyata belum dijawab, itu nyatanya. Jadi yang pertama, saya ingin penerapan ini ditunjukkan secara operaional ... , itu mungkin memudahkan pengertian, walaupun itu sama saja dengan pengertian kami sebenarnya. Karena dengan kata-kata seperti ini, bisa juga keliru interpretasinya, begitu, itu yang pertama. Lalu yang kedua, mengenai hasil rapat Senat kami beberapa waktu yang lalu, yaitu yang berkaitan dengan pasal 7 itu. Andai kata nanti bahwa usulan kita itu berbeda dengan keinginan pengurus, bagaimana? Saya takut mungkin ini bukan forumnya, begitu, sehingga tidak dijawab tadi. Jadi, maaf, ini membuang-buang waktu lagi, begitu, karena tidak dijawab tadi.” Suasana sudah memanas. Kata Kris Timotius, “Saya merasa bahwa pertanyaan saya tadi belum dijawab, begitu. Dan saya sesungguhnya menyayangkan. Maksud saya, memang kalau bisa itu dijawab langsung oleh pengurus sehingga nanti tidak muncul berbagai macam pengaruh dari floor, begitu, untuk menginterpretasikan apakah seorang senator itu independen atau dependen itu khususnya harapan saya. Sebab, kalau interpretasi bergulir seperti tadi, kita akan terus mempermasalahkan. Tetapi, tadi dijelaskan itu hanya kalau nomor 5 itu dilalui. Apa namanya kalau ada satu calon, kemudian mungkin senator memikirkan, ohhh ini calon unitnya A, kemudian apa, pindah atau ganti ke B begitu. Nah, sesungguhnya pertanyaan saya lebih mendasar. Karena apakah sejak awal itu boleh senator menyuarakan selain suara dari unit, itu? Masalahnya juga memang saya setuju kita, katakanlah lepas baju dari unit-unit ini. Lalu, kita berpikir secara bersama, berpikir secara universitas. Tapi juga apakah baik kalau dengan demikian saja kita kemudian menyampaikan suatu yang berbeda dengan pendapat unit yang kita wakili? Apakah tidak lebih baik ada peluang untuk konsultasi? Sebab, ya, memang keterlibatan teman-teman di unit penting juga sehingga bila perlu memang saya usulkan ada satu penundaan sehingga ada kesempatan untuk konsultasi. Sehingga kalau misalnya calon unit itu tidak diterima dan harus memilih yang lain, itu betul-betul bisa dibahas di unit lagi. Ini caonnya begini, mau pilih bagaimana. Sehingga keterlibatan staf, katakanlah tingkat yang paling bawah betul-betul bisa terasa. Kalau kita ingin benar-benar melibatkan mereka. Kalau tidak, ya, akhirnya pemilihan ini hanya tergantung pada 21 orang saja. Nggak ada artinya pemilihan di unit itu. Artinya, kita melibatkan hanya setengahsetehgah saja.” John Titaley mempersilakan Haryono Semangun menjelaskan. “Saya kira yang digambarkan oleh pengurus ini sebetulnya suatu proses yang umum, proses pemilihan yang umum terjadi. Ya, kebetulan di universitas saya juga begitu. Yang nomor satu itu, nominasi dulu. Silakan nama-nama. Skor tidak dihitung. Ohhh, namanya ini, ini, ini. Ya, lalu dipilih bertingkat. Jadi bahwa nominasi itu sebelum pemilihan, itu saya kira itu suatu hal yang biasa. Nah, ini tad ada, saya tidak tahu, leks apa, leks trio atau apa, saya tidak tahu. Ada dasar hukumnya, terima kasih itu. Saya belajar banyak hari ini. Mengenai yang dikomentarkan Pak Richard, memang, ini, ya, terserah apakah ini dianggap memaksa atau bagaimana. Tapi memang kita sering kali para orang pintar ini, kalau mau memutuskan sesuatu itu, ya, bingng. Karena satu dilihat dari sini tidak baik, darisitu tidak baik, dari sana baik. Ini sebetulnya kan, kami itu tidak menginginkan kalau pemilihan ini ada deadlock. Dan, ya, karena masalahnya timbulnya belum lama, ya, kan, pada waktu itu tentunya kami harus berpikir, apa ditunda dulu? Ditunda dulu, biar mendiskusikan prosedur? Waduh!
http://slamethdotkom.wordpress.com
30
[email protected]
Nah, ini kan lama sekali! Nah, ini suatu proses sudah berjalan. Nah, kita kan perlu mengambil keputusan. Ada macam-macam interpretasi. Atau kita rapatkan dulu, biar interpretasi yang macam-macam ini jadi satu dulu. Nah, saya kira itu nanti belum tentu bisa selesai 3 bulan. Kan dengan sendirinya harus ada wasit. Nah, ini apa yang diberikan oleh pengurus ini semacam ada macam interpretasi. Kita harus mengadakan pemilihan segera. Proses sudah berjalan. Dengan sendirinya dengan dipandang dari macam-macam sudut, betul ada minusnya. Tapi ini banyak plus-nya. Oleh pengurus, ini diputuskan. Ya, begitu, Pak Richard! Dalam hal tertentu kita perlu mengambil keputusan seperti itu. Yang dari Pak Wandi, terima kasih. Memang secara hukumlah, dan juga secara peraturan Senat, demikian. Tapi apa yang saya kemukakan tadi pada Pak Kris, itu jiwanya juga seperti itu. Jadi kita di sini, ini berusaha menggolkan kepentingan universitas. Itu yang nomor satu. Kalau bisa, calon saya yanmasuk. Jadi itu yang nomor dua. Saya kira ini hampir sama dengan yang dikemukakan Pak Wandi itu tadi. Memang kalau batas hitam-putih, dependenindependen, saya kira kok sulit dalam banyak hal yang pengaturan dalam ilmu sosial, sering kali ini sulit. Jadi itu tadi, pokoknya yang saya tekankan. Yang saya harap, Saudara-Saudara nanti dapat mengusulkan calon dari universitas. Dalam hati, syukur kalau calonnya bisa masuk. Ini yang kami harapkan. Dari Pak Markus mngenai pasal 7, ya, kalau misalkan nanti calon yang dikemukakan itu pengurus belum setuju, silakan kembalikan dulu ke Senat. Saya kira itu jawabannya sudah pasti, ya. Karena hal ini sudah diputuskan dalam rapat DPI yang lalu. Dalam rapat DPI yang lalu kami sudah menerima usul, kalau misalkan saja calon dari Senat itu belum bisa diterima, itu jangan putuskan sendiri dulu. Tapi silakan kembalikan dulu kepada Senat. Itu memang sudah disetujui sepanjang, ya ini tadi, waktunya nanti masih bisa sesuai dengan jadwal dihubungkan dengan dies yang akan datang. Mengenai contoh-contoh, ini dari Pak Nugroho dan Pak Markus, saya kira kalau dijabarkan, bagaimana? Ya, menurut gambaran saya kok begini. Jadi nominasi dari unit, unit, unit, kita mendapat nama A, B,C, D misalkan. Kita nggak tahu A ini dapat berapa, B dapat berapa, C dapat berapa, D dapat berapa. Ini dari unit-unit yang akan dibuka nanti. Nah, ini adalah nominasi itu tadi. Nah, setelah itu, di sini, para anggota Senat bilang, ooohh, itu calonnya ini, ini yang ke satu, dengan memasukkan kertas di situ, saya memilih ini. Saya pilih ini, Saya memilih itu. Misalkan A dapat 15, B dapat 10, C dapat 5, D dapat 1. Nah, yang dapat diteruskan ke tahap kedua, yang lebih banyak dari 1/n. Misalnya jumlahnya orang 31. Dalam contoh ini n=4. Jadi lebih tinggi dari 1/n adalah lebih tinggi dari 8. Ini yang lebih dari 1/n. Dengan begitu, yang kita teruskan adalah A dan B ke tahap dua. Nah, karena ini ada dua calon, maka kita pakai peraturan yang ada, yaitu dua calon ini akan kita pilih kembali. Sekarang dalam tahap kedua, kita sudah pilih A atau B saja. Nah,kalau salah satu bisa dapat 75% atau lebih, misalkan dari 31, misalnya A dapat 25, B dapat 4, jadi 75% dari 31 adalah 24. Jadi di sini mana yang lebih tinggi dari 24. Kalau ketentuannya lebih tinggi dari 24, nah ini jadi pasal 2 ayat 9.b.1. Tapi kalau misalkan saja yang ini 20, yang ini 11, dua-duanya adalah, karena ini tadi adalah 24, dua-duanya adalah kurang dari 24, dua-duanya diteruskan sesuai dengan ayat 9.b.2. Jadi itu gambaran kami demikian. Saya kira ini yang umum dipakai di banyak tempat,” Haryono mengakhir penjelasannya. Toh Kris Timotius belum puas juga. “Apakah sebelum pemilihan pertama dan sebelum
http://slamethdotkom.wordpress.com
31
[email protected]
pemilihan kedua, apakah ada diskusi terlebih dahulu? Kita kan diharapkan supaya kita memikirkan secara universitas. Sekarang yang ingin saya pertanyakan, apakah nanti kita hanya sekadar menulis dan memasukkan saja? Apakah itu berarti sudah menampung aspirasi bahwa ada diskusi-diskusi, ada pembahasan tentang caon yang bersangkutan. Karena, saya kira kita memikirkan secara universitas. Kalau hanya sekadar menulis nama dan memasukkan saja, peluang itu tentunya ada di Senat. Apa yang telah dibahas, mungkin atau kita akhirnya menyuarakan suara kita sendiri. Sehingga ada baiknya kalau ada semacam pembahasan terlebih dahulu.” Langsung dijawab oleh Haryono. “Mengenai hal ini, belum pernah terpikir. Tapi, saya kira, kalau yang tidak ada, jangan dikerjakan itu. Itu saya kira, terserah pada kita. Setelah satu tahap diadakan diskusi, itu memang belum diatur. Dan apa yang belum diatur, saya kira terserah pada rapat Senat ini.” Tetapi, Liana memikirkan kemungkinan lain. ‘Saya tertarik tentang hal ini. Dan mungkin menyangkut pertanyaan saya tadi mengenai siapa yang akan kita pilih sebelumnya. Tapi mungkin andaikan misalnya yang di A, B, C, D tadi tidak ketahuan siapa-siapa. Andaikan misalnya di unit A itu mendapat mayoritas. B, C, dan D tidak. Tapi kemudian di Senat itu tidak A, tetapi mungkin B, C, atau D, misalnya. Nah, itu berarti apa yang hidup di unit itu berbeda dengan yang hidup di Senat. Nah, itu bagaimana cara pengatasannya. Karena itu harus dipikirkan. Kalau menurut saya itu begitu, psikologisnya. Kalau soal angka, itu nggak jadi persoalan. Tapi itu kan berbeda. Itu contoh yang ekstrim, Pak. Misalnya, 1,1,1, 28. Tapi kemudian ada muncul satu yang dapat 25. Karena yang hidup di unit berbeda dengan yang di Senat. Itu contoh ekstrim, kan? Nah, kita bagaimana? Kita memakai cara pemilihan dengan cara pertama itu, atau haruskah pengurus yang menentukan. Lho, ini bagaimana? Terima kasih.” Haryono menjawab. “Saya bukan ahli hukum. Tapi saya dengar-dengar, itu memang membuat peraturan itu nggak pernah ada yang bisa dipakai untuk segala macam variasi, yang secara statistik bisa dihitung, kalau ada sekian angka, itu bisa divariasi, bagaimana? Yang saya kira itu tidak bisa kalau peraturannya,bagaimana? Saya kira kalau itu, ya, adalah hak dari Senat. Dan kami dari pengurus tidak tahu hati masing-masing. Dan juga karena kertasnya pun sama dan diminta pakai nama, kami tidak tahu ini dari siapa. Dan kami percaya mungkin kelemahan saya, kami percaya bahwa para anggota senator itu berusaha yang sebaik-baiknya. Nah, maaf mungkin itu. Bu, kalau ini kombinasinya dibuat supaya peraturannya tidak sampai ada yang mbrojol, itu mungkin satu buku sendiri.” Liana lagi. “Ndak, saya hanya ingin mempersoalkan, apakah senator itu mengeluarkan suara unit atau tidak. Kalau misalkan saya, kalau keluar dari unit... (rekaman tidak jelas)... Bu Liana ini ada di situ. Karena mewakili senator ... (rekaman tidak jelas)... Kalau Pak Wandi tadi mengatakan,yang boleh menyuarakan, yang boleh berbicara tapi ... (rekaman tidak jelas). Dijawab Haryono. “Ya, mengenai peraturan Senat, itu terserah pada Senat, begitu.” John Titaley menanggapi. “Mengenai Senat mewakili unit, ini saya hanya mau katakan, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, kita juga memang tidak bisa sama sekali mengatakan dependen, gitu kan. Itu merugikan kita sendiri saja, gitu. Tetapi, saya juga tidak berpikir senator itu lalu sangat independen sekali. Saya pikir itu juga merugikan universitas. Sebaiknya itu ditampung dalam peraturan Senat itu, yang kita sudah mengatakan sejak awal, peraturan senator itu bisa begitu. Sehingga memang kita lalu terjebak kepada nama orang. Lalu kita tidak bisa lain, begitu.
http://slamethdotkom.wordpress.com
32
[email protected]
Tapi memang juga kita katakan dalam rapat-rapat Senat tolong, deh, kita berpikir sebagai senator pada aras universitas, gitu kan. Itu kita ungkapkan begitu, memang itu bisa dikatakan buat policy, ya. Tapi kalau sudah menyangkut nama, kita lihat lagi lah. Tetapi yang utama adalah bahwa baiklah saya ingin usulkan supaya ini kita katakan saja, dan biarkan kepada masing-maisng senator untuk memutuskan menurut hati nuraninya sendiri, seperti yang dikatakan tadi. Dia mau bersikap independen, dia harus ingat dia harus kembali ke unit, kan gitu kan? Dia mau setia kepada unit dengan cara berpikir sangat dependen, itu juga barangkali merugikan. Tapi memang Senat, saya kadang-kadang pikir, pemilihan kita pada aras Senat ini sebenarnya pemilihan pada aras elit, gitu. Biarkan rakyat nominated, lalu elit yang memutuskan. Sehingga kaalau kita bicara soal elit, memang elit diharapkan mewakili rakyat, aspirasi-aspirasi rakyat, tetapi elit dituntut oleh pihak yang lain untuk melihat secara menyeluruh dan kepentingan menyeluruh secara sebagai bersama. Sekali lagi, tidak bisa mengatakan elit hanya berpikir secara menyeluruh saja, karena dia harus membawa juga aspirasi rakyat. Nah, elit ini terperangkap di antara dua kepentingan ini. Nah, kapan dia harus memutuskan secara tepat. Saya pikir, let the elite decide-lah begitu. Dengan itu, dia mempertanggungjawabkan keputusan dia bagi dirinya terutama, saya pikir itu. Sehingga itu saya mau katakan merupakan jiwa dari senator kita sebagaimana yang dituangkan di dalam SK mengenai peraturan mengenai Senat. Itu sudah ada, dan kita lakukan berdasarkan itu saja. Itu yang saya usulkan, begitu. itu mengenai dependensi dan independensi. Saya juga tidak setuju sama sekali independensi. Jangan kira saya setuju itu. Walaupun sama tidak setujunya saya dengan dependensi. Kalau begitu, kita tidak membuat senator menjadi orang yang berpikir melanglang buana ke sana, lupa akarnya, tetapi kalau dependensi kita hanya orang macam kaca mata kuda saja tidak mau melihat ke, saya kira akan merugikan kita pada kedua belah pihak. Saya pikir itu jiwa dari apa yang dirumuskan di dalam peraturan Senat. Saya tadi melihat Pak Richard, Pak Tjahja angkat tangan, mudah-mudahan ini terakhir. Pak Richard, silakan.” Richard tidak setuju dengan John Titaley. “Saudara-Saudara, Ibu-Ibu, serta Bapak-Bapak, saya kira kita ini berkumpul untuk suatu kesempatan yang sangat penting. Yang akan menentukan pimpinan kita selama lima tahun, dan dengan sendirinya akan menentukan juga warna perguruan tinggi kita ini. Sehingga saya kira kita prlu hati-hati betul di dalam berbicara mengenai peraturan. Saya agak khawatir, kalau kita tidak tegas dalam membuat peraturan. Jangan seperti ngono ya ngono, ning ojo ngono. Itu kan nggak jelas. Karena kalau peraturan tidak boleh. Kita harus jelas. Apakah senator itu seorang yang harus menyuarakan unit atau independen. Tidak bisa semi-independen, semi mewakili unit. Kita sedang berbicara mengenai peraturan. Jadi, saya kira kita harus tegas. Dan yang kedua, saya kira ini akan dicatat sebagai sejarah tentang pemilihan rektor di Satya Wacana pada tahun 1993. Peraturan mana yang diberlakukan haruslah peraturan yang tegas, yang dipikirkan secara matang-matang dan bukanlah dilahirkan atas dasar kemelut dan yang ditawarkan tiba-tiba. Ini yang kami rasa kurang bisa kami terima. Jadi, ini tetap, mengenai senator itu adalah mewakili unit. Saya kira kita ini sudah melalui suatu prosedur yang cukup panjang juga.
http://slamethdotkom.wordpress.com
33
[email protected]
Apa gunanya kita memungut suara di unit kita masing-masing, kalau toh kemudian kita belakangi teman-teman kita itu. Sayalah elitmu, sayalah senatormu, sayalah yang akan memutuskan. Saya kira ini sangat elitis pandangan ini. Saya tahu, kita harus berpandangan kerakyatan. Saya kira sebagai orang Kristen. Jadi, kita harus menyuarakan orang yang kita wakili, sebab seperti di dalam statuta dikatakan, senator adalah wakil dari unit. Dan saya melihat peraturan yang lain juga, Senat adalah lembaga perwakilan. Jadi, yang dua ini perlu kita perhatikan.” Tjahjakartana, yang sedari tadi diam, ikut berbicara. “Saya berbicara sebagai anggota Panitia pemilihan ini. Rasanya saya sendiri juga, hati nurani saya tidak bisa diam, tanpa mengungkapkan isi hati saya yang jujur, yang tulus, dan tidak mempunyai maksud untuk timbulnya suatu perbedaan pendapat yang lebih jelek, begitu. Sebenarnya, di dalam pemilihan ini, memang ada dua peraturan yang dijalankan bersama. Di satu pihak, peraturan dari pengurus. Tapi di pihak lain, karena ini dilakukan di forum Senat, maka peraturan Senat pun berlaku di dalam forum ini. Karena itu, sebetulnya pada minggu yang lalu tanggal 19, sebetulnya Pak Amin—saya sama sekali tidak mempengaruhi Pak Amin—Pak Amin membuat sendiri interpretasi dari peraturan pengurus dan peraturan Senat yang digabung menjadi satu. Dan, itu yang sebenarnya telah terjadi. Jadi apa yang dikatakan oleh Pak Nugroho, saya kira betul juga bahwa interpretasi ini timbul di dalam sebuah proses. Dan, memang saya bisa menerima kalau tadi sore lalu ada suatu perubahan, karena sebetulnya pada tanggal, saya mengatakan ini dengan jujur. Tetapi, saya harap ini dipakai untuk kita merenungkan untuk mencari titik temu yang baik. Tetapi saya ingin bahwa ini justru (tidak) memperkeruh suasana. Jadi pada hari Rabu, 19 Mei itu Panitia sudah ketemu dengan pengurus disaksikan oleh Pak John sebagai ketua Senat dengan membawa suatu interpretasi dari pada peraturan pengurus dan peraturan Senat. Dan waktu itu memang sudah ada satu keputusan. Tapi tadi sore, memang dijelaskan memang ada kemarin sore, ada, kita diundang kembali dan ada satu keputusan yang baru yang sama dengan yang dikeluarkan hari ini. Karena itu, tapi saya bisa mengerti bahwa alasan pengurus, karena di dalam menginterpretasikan ini membutuhkan waktu. Jadi, saya tetap bisa mengerti alasan pengurus dengan ini. Tetapi, saya juga tetap bahwa peraturan pengurus dan peraturan Senat ini, apakah tidak sebaiknya berjalan bersama-sama di dalam forum ini?” Suwandi menanggapi. “[K]alau kita bicara soal peraturan atau hukum, sebenarnya tidak akan ada kemungkinan hukum itu tegas. Tidak akan terjadi. Kecuali kalau kita bicara hukum alam. Dalam hukum alam itu memang terjadi hubungan sebab-akibat. Tapi, dalam hukum positif, dan kita sedang bicara hukum positif, itu tidak akan mungkin terjadi. Sehingga dengan demikian, barangkali kita memang harus memahami ada banyak penafsiran, antara lain dalam penafsiran sosiologis, penafsiran di mana hukum yang sama, bunyinya sama, tetapi karena pandangan masyarakat yang sudah berbeda, kita membuat penafsiran yang berbeda. Dan itu memang selalu akan terjadi. Sehingga barangkali kalau kita menunda, saya memang sebelumnya punya gagasan juga untuk menunda. Karena lebih baik kita mencari suatu kesepakatan dulu untuk penafsiran. Tetapi dari pengurus ada penafsiran. Dan saya menganggap penafsiran yang dibuat oleh pengurus ini adalah penafsiran yang otentik. Dan penafsiran yang otentik itu memang harus kita akui, harus kita ikuti. Kita tidak
http://slamethdotkom.wordpress.com
34
[email protected]
boleh membuat penafsiran yang lain. Seandainya pengurus yang membuat peraturan itu memang sudah membuat interpretasinya. Itu saja. Terima kasih.” Amin Sujitno tidak terima. “Suatu interpretasi otentik, saya tidak sepaham. Tapi kalau itu interpretasi otoritatif, barangkali! Karena justru yang punya otoritas membuat peraturan itu, itulah yang barangkali interpretasinya bisa kita ikuti. Kalau yang otentik, karena ternyata di dalam keputusan ini tidak ada interpretasi atau penjelasan tentang aturan itu, jadi tak ada yang otentik. Terima kasih.” Sesudah Amin, ada komentar dari wakil mahasiswa. Sayangnya kata-kata itu tidak terekam dengan baik. Akhirnya, kembali ke John Titaley. “Saya mau kembali ke penjelasan operasional yang dilakukan oleh Pak Haryono. Saya kira ini, penjelasan ini sudah menerangkan dengan jelas kepada kita tahapan-tahapan yang harus kita lakukan dalam proses pemilihan itu. Dan sudah jelas bagi kita dan, saya kira, tidak ada keberatan tentang hal ini. Sehingga saya berpikir bahwa ini bisa kita pakai sebagai pedoman bagi kita melakukan pemilihan ini. Saya tidak tahu otentik, otoritatif. Tapi bahasa Pak Wandi yang pertama ini, kita ini buruhnya dari pengurus, sehingga pengurus sudah tetapkan ini, kita pakai ini. Dan di dalam penjelasan ini, bisa kita lihat cara berpikirnya yang jelas. Mengenai dependensi-independensi itu, kita sudah aturkan di peraturan mengenai Senat itu, yang tadi dibacakan oleh Pak Wandi. Setiap anggota Senat berkewajiban untuk membawakan, mewakili, dan menyampaikan pandangan pribadinya, sesuai dengan wawasan dan kepakarannya. Dalam rumusan ini, kedua hal itu tercakup di dalamnya. Sehingga saya pikir, mungkin kita tidak perlu memperpanjang percakapan emngenai hal itu, karena sudah diatur di dalam peraturan Senat. Nah, dengan mengatakan hal ini, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, saya hanya mau menghimbau kepada kita semua, dalam melakukan tindakan pemilihan itu, tolonglah dipikirkan dengan sungguh-sungguh, berdasarkan hati nurani Anda, apa yang menjadi aspirasi unit, apa pandangan pribadi dengan wawasan kepakaran dalam rangka semacam ini. Saya kira kita perlu menghargai aspirasi unit itu, tetapi jangan kita mengorbankan kepentingan bersama sebagai universitas. Dalam jiwa besar semacam inilah, di dalam keterbukaan untukj menempatkan diri di antara dua pemikiran inilah yang saya himbau kepada kita semua. Baiklah kita lakukan pemilihan pada hari ini tahun 1993 ini dengan pemahaman semacam itu. Kita tahu bahwa interpretasi ini muncul baru hari ini. Kita lihatlah evaluasi dia sesudah selesai proses ini. Kita lakukan bagaimana nanti di dalam perbaikan dan penyempurnaannya. Itu yang saya usulkan, supaya kita bisa melangkah ke acara yang berikut.” Richard jadi naik pitam mendengarnya. “Anda adalah ketua Senat, dan sekaligus memimpin rapat ini. Tadi Anda memihak. Saya keberatan dengan cara Saudara memimpin rapat ini. Terima kasih.” John Titaley membela diri. “Saya hanya mau mengatakan, ok deh. Kalau itu dianggap memihak, tadi saya hanya mau katakan, apa yang Pak Wandi katakan. Saya tidak akan berkomentar untuk hal ini. Silakan Pak Sekretaris. Ruminto Adi, sekretaris Senat, melanjutkan acara rapat. “[K]alau memperhatikan jalannya diskusi ini, saya melihat memang ada pihak yang tidak setuju dengan apa yang dikatakan pengurus, dan juga ada yang kelihatannya setuju. Kalau kita
http://slamethdotkom.wordpress.com
35
[email protected]
mengambil kesepakatan Senat, saya usulkan konkret bahwa kita perlu voting untuk, terutama masalah dependen atau independen.” Seorang penanggap berbicara, tetapi tidak terekam dengan baik. Akhirnya John Titaley lagi. “Nah, itu sebabnya, pada waktu awal saya bertanya, apakah saya boleh memimpin sidang ini. Dan Anda mengatakan setuju. Sekarang ada suara senator yang mengatakan saya memihak. Saya ingin bertanya, apakah saya masih dipercaya memimpin acara ini sampai selesai acara ini, atau saya harus mundur?” Tanggapan dari beberapa orang senator secara spontan, “Teruskan, teruskan.” John Titaley lagi. “Terima kasih. Nah, saya hanya mau melanjutkan, dalam arti, saya akan berusaha untuk, bagi saya itu bukan soal kita setuju atau tidak setuju tentang saya memimpin terus. Tetapi, saya mau katakan bahwa catatan Pak Richard akan saya lihat sebagai peringatan. Terima kasih untuk itu. Dalam rangka semacam begini, saya kira setelah ada penjelasan semacam itu, saya tidak tahu harus bilang apa, Pak Richard. Ada interpretasi yang sudah dibuat oleh pengurus Yayasan, dan sudah diterangkan secara operasional dan itu sudah jelas. Kecuali dependensi atau independensi. Dan saya mau mengusulkan itu diserahkan pada senator masing-masing, gitu. Nah, apakah dengan demikian saya bertanya percakapan mengenai acara ini, pengarahan ini, sudah bisa kita akhiri untuk masuk pada acara berikut?” Ada seorang penanggap lagi, suaranya tidak terekam dengan baik. John Titaley berbicara lagi. “Saya hanya mau mengatakan secara terbuka, kalau ada usul semacam begitu, kita bicarakanlah, dalam pengertian bahwa memperhatikan keadaan kita yang terjadi dalam rapat hari ini, itu. Dan apa yang sudah kita kerjakan selama tiga-empat bulan mengantisipasi November 30. Saya kira kita bisa mempertimbangkan hal itu, tetapi ingat saya hanya mau ingatkan bahwa itu kalau dilakukan dengan pengertian kewajiban dan hak senator tadi, sebagaimana yang sudah ada dalam peraturan mengenai Senat, Pak. Ok. Dengan demikian kita melangkah kepada acara pemilihan, dan saya serahkan kepada...” “Interupsi, Pak. Saya kira kita belum sepakat,” potong Richard Hutapea. “Oh, saya, saya tidak melihat apakah ini harus disepakati atau tidak,” jawab John Titaley. “Kok gitu?” Richard tak mengerti. “Maaf!” Richard melanjutkan. “Anda sudah mendengar aspirasi dari para senator. Dan Anda mengatakan tidak melihat apakah ini harus disepakati atau tidak. Saya tidak mengerti dengan jalan pikiran Anda.” John Titaley menjelaskan. “Oh, tidak. Saya hanya mengatakan, saya nggak tahu bagaimana memimpin ini. Tapi saya mau katakan, ada interpretasi yang sudah dibuat oleh yang membuat SK itu. Sebenarnya, pertanyaan yang lebih mendasar adalah, bisakah kita tolak interpretasi itu sebagai Senat? Pertanyaannya adalah di situ. Saya, maaf, kalau saya tidak bertanya lebih dulu. Tapi asumsi saya seperti yang Pak Wandi katakan tadi adalah ini dibuat oleh yang membuat SK yang bersangkutan. Maka apalah namanya itu otentik, otoritatif, saya tidak tahu bahasa hukum itu. Tapi itu yang dimengerti oleh yang membuat SK itu. Bahwa kita sudah sampai di sini, baru kita harus menyamakan bahasa kita, yaitu saya kira terjadi untuk semua interpretasi yang macam-macam itu. Dan terhadap interpretasi yang macam-macam,
http://slamethdotkom.wordpress.com
36
[email protected]
saya kira harus ada satu interpretasi yang menjadi pegangan. Saya nggak tahu, barangkali salah kalau saya berpikir semacam itu. Pak Wandi saya lihat angkat tangan.” “Saya ingin kembali ke contoh yang operasional yang sudah dikemukakan oleh Pak Haryono. Ada A, B, C, D, dan A=15, B=10. Saya pikir senator yang lain yang barangkali tadinya memilih C atau D, itu mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari A atau B sehingga di sini kita tidak harus tergantung kepada unit kita. Karena kalau kita selalu harus memilih C dan D, ini tidak akan terselesaikan. Di situlah saya melihat ada kebebasan kita untuk mencoba memilih, untuk keperluan universitas, bukan untuk unit kita masing-masing,” tanggap Suwandi. John Titaley melanjutkan rapat. “Saya harus mengatakan, bagaimana kalau kita harus menyatakan setuju? Saya ingin tanyakan kepada kita. Apakah kita harus meyatakan setuju atau tidak terhadap kepada interpretasi pengurus? Dipersilakan! Keberatan-keberatan, pertanyaanpertanyaan sudah dikemukakan kepada pengurus dan dijawab. Pertanyaan saya, apakah bisa kita putuskan, unit untuk setuju atau tidak terhadap interpretasi pengurus yayasan ini? Pak Narso, Pak Ruminto, dipersilakan. Sunarso dulu. “Saya mengakui memang pengurasa tertinggi dari universitas ini adalah pengurus, seluruhnya. Dan itu sangat disayangkan. Dan yang kedua, seperti kita ketahui bahwa pengurus memang akan memperhatikan segala sesuatunya, semua pembicaraan-pembicaraan kita. Dan ternyata sekarang tampaknya, ya, agaknya—kalau pakai agaknya—memang semua menyaksikan bagaimana perbedaan-perbedaan pendapat yang, dan tampaknya sukar disatukan. Nah, apakah tidak lebih baiknya juga kita kembalikan ke pengurus? Apakah hal ini hanya untuk kita biarkan saja? Apakah masih ada suatu upaya untuk mencari titik temu dari hal itu? Kalau secara hierarkis, otomatis, jelas pengurus yang berkuasa. Tapi, saya rasa pengurus sudah mempertimbangkan segala gejolak yang ada. Dan memang tidak ada keharusan sebagai anggota Senat harus taat kepada unit-unit. Saya sebetulnya juga tidak berpendapat bahwa senator itu lebih mutlak, juga tidak. Tapi bagaimanapun juga seharusnya, dan itu memang seharusnya, itu saya merasa akan keliru kalau begitu saja. Itu yang hendak saya katakan. Jadi dalam hal ini, saya sebetulnya merindukan bagaimana melihat gejolaknya. Dan ini, lalu pengurus punya kerja sama, apa, untuk menyatukan kita semuanya. Karena bagaimanapun juga, ya, kita akan melihat. Jangan sampai pemilihan rektor ini lalu jadi suatu perpecahan. Untuk itu, saya pribadi betul sangat menyayangkan. Tapi bagi saya, yang paling penting adalah bagaimana kehidupan universitas ini dapat dilangsungkan. Kita tunggu persembahan. Dari dalam kehidupan organisasi memang tidak bisa kita lupakan, tentu ada toleransi-toleransi tertentu yang memungkinkan kita kerja sama.” Lalu, Ruminto Adi. “Mungkin dalam situasi yang sangat panas sekarang ini, apakah tadi yang disebut oleh ketua Senat, bahwa tampaknya kita akan sulit mengatakan setuju atau tidak.Ya, kalau kita sudah sulit untuk mengatakan kata sepakat tentang kebulatan tekad, apakah akan berakhir voting? Saya tidak setuju!” Lalu ada seorang penanggap. “Mengacu kepada apa yang dikatakn Pak Narso, bahwa secara hierarkis, dan juga dalam hal yang lain, pengurus adalah pihak yang berkuasa dan tertinggi. Tapi yang juga mestinya dituntut peka dan tanggap terhadap aspirasi yang hidup di
http://slamethdotkom.wordpress.com
37
[email protected]
lingkungan universitas ini. Memang agak janggal kalau kita diminta voting untuk memveto haknya pengurus. Tapi juga agak janggal kalau pengurus mengharuskan harus begini! Sepertinya tidak tanggap, begitu! Saya punya usul, sekarang pengurus yang telah diundang dan duduk di sini, mendengar apa yang hidup. Dimintalah, apa memang mau dibeginikan atau diberi kesempatan. Atau pengurus mau memberi kesempatan kepada kita untuk berpikir ulang, begitu! Sehingga tidak dilanggar kedua-duanya. Pengurus diberi kesempatan untujk memutuskan dengan menimbang aspirasi yang hidup. Walaupun mungkin saya harus minta maaf, pengurus mungkin dipojokkan pada sikap yang agak sulit ini. Bagaimana harus di dok saja, atau diberi kesempatan untuk memberikan dinamika aspirasi. Tapi saya kira, itu yang kami usulkan.” Suwandi kembali berbicara.”Saya melihat di dalam pasal 14 Peraturan Senat, sebenarnya yang memegang kekuasaan tertinggi di lingkungan UKSW itu bukan pengurus, tetapi rektor. Sehingga di situ rektor mempunyai hak prerogatif. Di dalam pasal 14 ayat 2.b. dikatakan, hak prerogatif ini hanya digunakan jika terjadi keadaan-keadaan luar biasa yang semula belum diperhitungkan rapat Senat dalam mencapai keputusan-keputusannya. Sehingga menurut saya,...” Dipotong oleh John Titaley. “Jadi ada 2 usul ini, Ibu-Ibu dan BapakBapak.Menyerahkannya kepada pengurus. Yang satu menyerahkan kepada rektor. Saya pikir dalam hal ini karena pengurus sudah membuat interpretasi, rektor, maaf Bapak Rektor. Bapak Rektor juga mau bilang apa, gitu! Pengurus sudah ini. Sehingga sudah bisa saya simpulkan pecakapan ini? Ini terakhir, ya! Lalu, kita simpulkan saja. Hendrawan masih perlu memberi tanggapan. “Saya merasa sebagai senat, bahwa saya bisa bekerja di sebuah institusi yang pengurusnya sudah memberikan kesempatan yang luas kepada semua, untuk duduk di sini berdiskusi. Kalau di tempat lain?” Interupsi oleh seseorang. “ Stop! Stop, Bung!” Hendrawan tetap melanjutkan. “Jadi, itulah sebabnya, saya kok di dalam hati saya dan di dalam pikran saya, merasa kok tidak sopan. Pak Tjahja sudah menjelaskan dengan baik, bahwa sebelum pengurus sampai ke penafsiran seperti ini, ada proses. Apakah kita mau menafsirkan pengurus mau begitu? Kan ndak! Ada proses pada dua minggu yang lalu, dan seterusnya dan seterusnya ... “(rekaman tidak jelas) Kata Amin Sujitno. “Saya yakin bahwa senator berkeinginan menyelesaikan pekerjaan kita. Kalau Panitia ingin, saya untuk saya ingin cepat-cepat berbuat sesuatu, begitu. Tapi apa pun, saya kira, perlu ada kesepakatan atau interpretasi yang terbuka. Nah, kalau sesuatunya terbuka apakah tidak baik kalau itu diterapkan untuk mendinginkan suasana? Sehingga, dalam arti, masih ada waktu sampai dengan tanggal 25 Juli, itu masih cukup waktu. Kita akan bertemu lagi di situ, sehingga maisng-masing sudah mengendapkan apa yang terjadi di sini. Sehingga, mungkin bisa lebih bisa dipecahkan. Itu usulan saya. Jadi, saya...” (rekaman tidak jelas) John Titaley lagi. “Yang pertama, itu mengenai voting itu. Saya kira, apakah kita setuju voting untuk hal ini? Pertanyaan saya, apakah kita harus memutuskan ini atau tidak gitu. Pak Ruminto mengusulkan, kita voting untuk memutuskan. Kita setuju atau tidak gitu. Alternatif yang kedua adalah Pak Amin mengusulkan supaya kita tunda satu minggu. Lalu yang ketiga, kita serahkan pada pengurus. Mengenai penundaan itu, penundaan akan terjadi lama, itu Pak.
http://slamethdotkom.wordpress.com
38
[email protected]
Ada interupsi. “Saya kira satu minggu cukup.” John Titaley tidak setuju. “Tidak, karena ketua Panitianya akan ke Timtim, begitu. Dia akan pergi dua minggu, ya, sehingga batas waktu 25 Juli itu kan harus satu bulan sebelumnya! Tapi tadi, saya terbuka kepada kita semua. Apakah kita mau ambil: serahkan pada pengurus mengatakan the last word? Kita mau voting? Atau kita mau tunda? Nah, kalau voting, untuk ini barangkali bisa, atau bagaimana? Atau bagaimana? Dari segi practicality-nya saya hanya mau bilang, Pak Sekretaris ini yang mengurus SK itu, harus memimpin rapat pemilihan, tidak akan berada di sini.” Seorang wakil mahasiswa menanggapi, tapi rekamannya tidak jelas. Sesudah itu, Limson U. Sangalang, sekretaris PPs-SP, yang berbicara. “ Seperti yang rekan-rekan lain mengatakan, dan juga kalau saya amati, di dalam pertemuan ini, memang ada satu hal yang membuat rupanya perbedaan pendapat begitu. Oleh karena memang penjelasan ini baru disampaikan hari ini. Nah, saya mengusulkan, saya kira beberapa orang juga mengakui, bahwa otoritas tertinggi adalah pengurus. Kalau bersetuju, gitu, ya, kita tidak adakan pemilihan hari ini. Tetapi mengusulkan apa usul dari para senator untuk memperbaiki penjelasan ini. Nah, keputusan terakhir yang dibuat pengurus harus kita terima, apa pun keputusannya. Jadi menampung aspirasi yang ada dari rapat ini, salah satu alternatif. Dan saya kira, kalau itu ditunda satu minggu, itu sudah cukup.Kalau sekretaris Senat yang berfungsi sebagai ketua pemilihan itu bertugas ke luar, saya kira itu soal teknis. Dan kalau perlu, itu ditangguhkan.” Wakil mahasiswa menginterupsi. “Interupsi, Pak. Mungkin begini. Penjelasan sudah dibuat terhadap SK... (rekaman tidak jelas). Usul konkrit kami adalah kita dengar yang dari Yayasan saja.” John Titaley menyimpulkan. “Ada dua usul. Mau dengan Yayasan atau kita tunda? Yayasan saja, setuju? Setuju!” Richard berbicara lagi. “Masalah kita adalah terletak pada soal independen atau tidak dependen itu. Itu pokok permasalahan yang saya kira sampai sekarang kita belum sepakat. Dan untuk ini, sudah ada ketentuan di dalam peraturan Senat dan juga di dalam statuta, seperti tadi sudah disampaikan oleh teman-teman. Nah, saya merasa, apakah kita harus menyerahkan ini kepada pengurus untuk memutuskan, atau kita berpaling atau bertitik tolak dari statuta kita? Ini pertanyaan saya.” Dijawab John Titaley. “Memang saya kurang solving the problems, itu kan! Kalau bisa dikatakan ini sudah kita bisa terima, tinggal dependensi atau independensi. Saya setuju dengan Pak Richard. Kita lihat apa yang ada dalam peraturan kita, dan peraturan kita, saya kira pada waktu kita bicara SK ini, kan, dua peraturan ini yang kita pakai, kan. SK pengurus dan peraturan mengenai Senat. Banyak hal yang kita bahas di peraturan mengenai Senat. Akhirnya sampai kepada senator itu siapa, sih? Lalu, akhirnya Ibu Listianti (?) bergabung dengan kita. Tetapi yang mau saya katakan bahwa sudah ada acuan yang kita pakai. Pak Richard mengatakan juga dengan statuta. Tapi kita tidak perlu bahas itu. Nah, di peraturan mengenai Senat ini, sudah dituliskan tentang hal itu, saja, ya, tentang dependensi-independensi setiap anggota Senat berkewajiban untuk membawakan, mewakili, dan menyampaikan aspirasi dari unit yang diwakili. Itu yang kita lihat kepada Senat. Dan menyampaikan pandangan pribadi, sesuai dengan wwasan dan kepakarannya. Saya ingin usulkan, kalau itu kita pakai! Ini kita
http://slamethdotkom.wordpress.com
39
[email protected]
terima, kan sebagai peraturan Senat? Lalu, kita pakai saja itu. Dengan demikian, kita tidak usah bertanya kepada pengurus mengenai dependensi dan independensi. Kita pakai itu saja. Dan setiap senator diminta dalam melakukan vote-nya, paka itu. Kan itu sudah ada. Itu yang mau saya usulkan. Karena kita tidak bisa keluar dari itu. Nah, apakah ini bisa kita setujui? Setuju? Setuju! Ok, berarti kita sendiri sudah setuju bahwa soal dependensi dan independensi dengan mengacu kepada pasal 8 ayat 1.c. ini. dan biar senator mengacu ke situ untuk melakukannya. Nah, apakah dengan demikian, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak kembali kepada menyeluruh, kita sudah bisa, sekali lagi, apakah kita tidak, pertanyaan apakah perlu kita serahkan kepada pengurus atau tidak, kita bisa selesaikan. Dengan demikian, penjelasan operasional inilah yang kita pakai sebagai pedoman dalam pemiilhan. Setuju? Setuju! Acara berikutnya, saya serahkan kepada Sekretaris untuk melakukan pemilihan.” Sekretaris Senat Ruminto Adi melaporkan kerja Panitia. “Untuk pemilihan calon rektor, tanggal 1 April 1993, maka pada tanggal 2 April 1993 telah disampaikan atau diedarkan surat pengajuan calon rektor dan surat pernyataan kepada 21 unit (yang) mempunyai hak suara ditingkat Senat universitas. Kedua, sesuai dengan pemberitahuan Panitia Pemilihan, maka sampai pada batas akhir waktu pengiriman kembali formulir-formulir, yaitu surat pengajuan calon rektor, dan surat pernyataan. Telah diterima sampai dengan tanggal 15 Mei 1993 sebanyak 21 suara. Yang ketiga, sampai dengan kemarin, Panitia telah menerma surat-surat penting dari berbagai pihak. Yang pertama, surat dari Pusat Bahasa yang menanyakan tentang minta penjelasan posisi dan kesempatan untuk ikut serta dalam tahap pemilihan ini. Kemudian dari Dewan Pegawai, adanya keinginan Dewan Pegawai untuk mengirimkan saksi, mendampingi senator apabila ada pemilihan bertahap pada waktu pemilihan calon rektor. Lalu, yang ketiga, surat dari unit perpustakaan tertanggal 12 April tentang pernyataan absensi dari proses pencalonan rektor. Surat keempat, surat dari unit perpustakaan tertanggal 15 Mei, tentang pencabutan pernyataan absensi dan ikut mencalonkan dalam proses pemilihan calon rektor. Surat yang kelima, yaitu surat dari pendukung ... yang ditandatangani oleh 59 orang, yang menyatakan proses pemilihan tanggal 27 Mei 1993 (agar) dijelaskan secara terbuka melalu jaringan televisi UKW. Laporan yang keempat, dengan didasari iktikad yang baik Panitia telah menyampaikan kepada pengurus tentang beberapa catatan pemilihan calon rektor UKSW ... (rekaman tidak jelas) Laporan yang kelima, dengan mengacu pada ... dan prosedur pemilihan rektor ... maka pada tanggal 18 Mei, Panitia sepakat membuka amplop-amplop dari unit pemilih sebagai langkah dari Panitia untuk dapat mengemukakan nama-nama calon dari hasil nominasi. Dengan demikian, maafkanlah Panitia bila di dalam menjalankan tugas ada kekurangan. Mungkin ada tanggapan tentang laporan dari Panitia?” Seorang menanggapi. “Saya hanya bertanya, berdasarkan syarat-syarat calon rektor, apakah tidak ada surat-surat yang masuk kepada Panitia, yang menyatakan keberatan atau pertanyaan terhadap integritas, tingkah laku, atau kepribadian seseorang yang mungkin akan dicalonkan?” “Untuk hal itu memang sudah diatur, Pak. Persyaratan itu kita perlukan dalam
http://slamethdotkom.wordpress.com
40
[email protected]
mengajukan calon rektor,” dijawab oleh penanggap lain. Penanggap pertama melanjutkan. “Maaf, kami bertanya, karena sebetulnya kami bergumul juga, misalnya seandainya ada syarat-syarat yang tercantum yang jumlahnya 10, tapi di mana syarat itu diyakini dipenuhi, begitu. Apa pada taraf unit atau pada taraf Senat atau pada taraf yang terakhir nanti pada taraf pengurus. Sehingga kiranya saya boleh bertanya seandainya ada keberatan-keberatan, mungkin perlu juga disebutkan, seandainya. Tetapi, kalau tidak, kami tidak akan mengada-ada.” Sekretaris melanjutkan laporannya. “Langsung kami menginjak kepada kegiatan Panitia yang kedua, yaitu di dalam proses pemilihan calon rektor. Sesuai dengan peraturan yang sudah kita sepakati, bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Panitia, di samping kegiatan administratif, kami akan melaporkan nama-nama calon yang muncul dari hasil nominasi itu mengacu pada pasal 2 ayat 9. Dari hasil nominasi, ternyata calon tiga, yaitu Dr. Liek Wilardjo, Dr. John Ihalauw, dan Dr. John Titaley. Sesuai dengan ketentuan, bahwa kita akan memasuki pemilihan tahap satu. Karena dari hasil nominasi, nampak ada tiga calon yang muncul, maka kita berikan kesempatan kepada para senator untuk masuk di dalam pemilihan tahap satu. Untuk mempermudah teknis pengisian, memang Panitia sepakat untuk memberikan petunjuk tentang pengisian. Jadi Bapak tinggal mengisi dengan tanda silnag pada calon yang dipilih. Kemudian silakan memasukkan ke dalam kotak yang sudah tersedia.” `
Proses perhitungan suara pun dimulai.
Ruminto Adi lagi. “Sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan kita juga, bahwa kita akan teruskan pilihan pada tahap II. Dan pilihan tahap II ini kita bisa memperhatikan hasil sementara bahwa yang memenuhi kriteria untuk dipilih ada 2, yaitu LW dan JOI. Karena rumus 1/n+1 adalah LW dan JOI. Semua sudah?” Proses perhitungan lagi. “LW, ada dua nomor yang dicoret sekaligus, jadi tidak sah. Satu tidak sah. LW, JOI, JOI, JOI, LW, JOI, JOI, kosong, LW, LW, LW, blangko, LW, JOI, JOI, LW, JOI, blangko, LW. Jadi ada ... (rekaman tidak jelas). Demikian. Jadi tugas yang dipercayakan kepada Panitia sudah kami lakukan dengan sebaik mungkin. Jadi kami bisa mundur. Dan tugas kami yang terakhir, kami bersama dengan ketua Senat, kami akan melaporkan mengenai hasil ini kepada pengurus Yayasan. Terima kasih.” John Titaley mengambil alih rapat. “Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, sebagai wakil ketua Senat, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk kerja sama dan hati besar, jiwa besar, dan keberanian kita untuk keluar dari apa yang kita alami tadi pagi sampai siang ini, dengan hasil yang sangat memuaskan bagi kita semua. Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, dengan ini Senat akan mengusulkan, menurut peraturan dari SK Yayasan, kepada pengurus Yayasan 2 nama yang menjadi calon-calon rektor UKW periode
http://slamethdotkom.wordpress.com
41
[email protected]
93-98 yang terdiri dari, satu: Dr. Liek Wilardjo dengan jumlah suara 9; dua: Dr. JOI dengan jumlah suara 8. Menurut SK ini kan ketua Senat bukan wakil ketua Senat. Ketua Senat kan sekarang ini Pak Rektor. Jadi, Pak Sekretaris nanti kalau suratnya dibuat, Pak ketua Senat yang menandatangani. Saya kira ini perlu dalam hal yang lain, saya sebagai wakil ketua bisa melakukannya. Tetapi dalam hal ini, karena rektor adalah mandataris atau wakil yang ditugaskan dari universitas, saya kira, saya akan meminta Pak Rektor menandatangani surat usulan itu kepada pengurus Yayasan.” Ada interupsi, tetapi tidak terekam dengan baik apa yang dikatakan penginterupsi ini. John Titaley: “Bukan setuju, harus itu, Pak. Baik, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, sekali lagi terima kasih. Saya kira kita telah melakukan hal yang besar bagi universitas ini. Dan seperti yang tercantum dalam SK itu, biarlah kita memberikan kepada pengurus. Saya ingin supaya kita mendoakan apa yang kita kerjakan hari ini supaya pengurus di dalam segala kebijaksanaannya, di dalam segala kearifannya menentukan yang terbaik bagi universitas ini, supaya pada waktunya seperti yang kita rencanakan awal tahun ini. Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, saya mau katakan bahwa ini bukan hasil kerja dari Panitia saja, bukan hasil kerja dari senator saja, atau kita sebagai Senat, tetapi ini hasil kita kerja dari seluruh sivitas akademika yang selama beberapa bulan terakhir. Ini terlihat dengan intens dalam merumuskan dan mencalonkan calon-calon rektornya untuk periode 1993-1998. Untuk itu, sebagai wakil ketua Senat yang saat ini ditugaskan untuk itu saya mengucapkan terima kasih, kepada semua kita baik yang ada di sini maupun seluruh sivitas akademika Satya Wacana. Marilah kita mengucap syukur kepada Tuhan untuk apa yang sudah kita kerjakan hari ini. Ada interupsi lagi, tetapi lagi-lagi tidak terekam dengan baik. John Titaley lagi. “PBM kita akan berapat minggu depan. Undangannya sudah ada, kita akan berapat minggu depan, dengan pokok bahasan masalah-masalah aktual secara khusus, topiknya adalah PBM, yang diusulkan oleh mahasiswa. Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak kita punya masalah teknis dan biasanya kalau kita ada masalah kan rektor yang turun tangan menyelesaikan itu. Yang pertama, saya pada tanggal 1 Juni, bukan menjadi ketua PPs-AM. Karena saya harus pergi ke luar. Dan jabatan saya akan dijabat oleh Dr. Sumartana. Dan apakah dia langsung jadi ketua Senat? Kan, tidak. Yang kedua, Pak Sekretaris ini besok akan ke Timtim. Jadi, besok kalau rapat minggu depan, nggak ada kita. Yaitu, saya katakan tadi, Pak. Kita punya rektor yang jadi ketua senat. Setuju, Pak Rektor... (rekaman tidak jelas)... Dibalik, Pak! Untuk itu, Pak Rektor akan menunjuk seeseoarng untuk menambat rapat itu, melaksanakan fungsi sekretaris. Jadi, kalau biasanya rektor nggak ada, wakil ketua yang diminta. Sekarang wakil ketua yang nggak ada, rektor yang pimpinlah. Kalau gitu, ya, minggu depan kita akan berapat dipimpin oleh Pak Rektor dengan sekretaris yang akan ditunjuk untuk menambat rapat itu. Sekretaris Senat sudah mengirim undangan . Besok akan jalan. Dikirim kepada kita semua. Rapat tempatnya masih akan ditentukan. Di sini tidak bisa. Mungkin kita akan berapat di Pusat Sumber Belajar di SMP/SMA Lab Satya Wacana. Jadi, itu acara kita Pak Mahasiswa. PBM apa yang sudah digumuli mahasiswa, tolonglah acara ini Anda yang usul, kita setujui. Tolong Anda buat presentasi itu dalam waktu yang tersedia supaya kita bisa membahasnya dengan baik.
http://slamethdotkom.wordpress.com
42
[email protected]
Nah, sekali lagi kita akan menginjak acara yang terakhir, yaitu penutupan.Untuk itu bolehkan saya meminta Pak Nugroho Adi sebagai dekan FTh. Tadi sudah ada modin yang berdoa pembukaan. Kita minta pendeta. Kita kan sangat toleran. Boleh kan saya tunjuk pendeta yang lain, Pak Nugraho untuk menutup dengan doa. Sekali lagi, kita panjatkan syukur atas apa yang sudah kita kerjakan hari ini. Silakan.” Acara itu ditutup dengan doa oleh Nugroho Adi. Sesudah rapat itu, Senat mengirim surat kepada Ketua Pengurus YPTKSW. Surat yang ditandatangani Ketua Senat Willi Toisuta dan Sekretaris Ruminto Adi itu bunyinya begini. Memperhatian SK Dewan Pengurus YPTKSW Nomor 133/A/KP/DPI/88 tertanggal 27 Mei 1988 tentang Syarat-syarat Calon dan Prosedur Pencalonan Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, serta berdasarkan Keputusan Rapat Senat UKSW tanggal 27 Mei 1993, perkenankanlah dengan ini kami mengajukan Calon Rektor UKSW periode 19931998, yaitu Dr. Liek Wilardjo dan Dr. John J.O.I. Ihalauw. Perlu kami laporkan, bahwa perolehan suara dalam pemilihan di Rapat Senat UKSW tanggal 27 Mei 1993 untuk kedua calon adalah sebagai berikut: Dr. Like Wilardjo: 9 (sembilan) suara Dr. John J.O.I. Ihalauw: 8 (delapan) suara Untuk selanjutnya, kami menyerahkan keputusan penetapan Rektor UKSW periode 1993-1998 kepada kebijaksanaan Pengurus YPTKSW, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mempertimbangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengangkatan Rektor uKSW. Bersama surat ini, kami sampaikan pula berkas arsip-arsip yang berkaitan dengan proses pemilihan Calon Rektor UKSW periode 1993-1998, dengan harapan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatian Bapak, kami sampaikan terima kasih. Salam hormat kami, Willi Toisuta, S.Pd., Ph.D. Ketua
http://slamethdotkom.wordpress.com
Ir. Ruminto Adi, M.S. Sekretaris
43
[email protected]
BAB 4
UKSW Mulai Panas Rapat Senat pemilihan rektor meninggalkan tanda tanya besar bagi para pendukung Liek Wilardjo. Jelas, ada dua unit yang membelot. Lewat bisik-bisik sebelumnya sudah ketahuan bahwa Liek mendapat dukungan 10 unit, John Ihalauw 6, dan John Titaley 5. Kenapa di Senat Liek hanya dapat 9 dan John Ihalauw dapat 8? Dengan demikian, Liek tidak lagi otomatis menjadi calon tunggal. Selang beberapa saat, para pendukung Liek pun mengadakan rapat. Dari situ, ketahuanlah wakil unit mana yang tidak menyuarakan aspirasi unitnya. Jumat, 11 Juni 1993 adalah hari yang naas buat Soekarno. Karyawan UKSW bagian Tata Usaha itu dijotos oleh Sudi Winarno hingga kacamatanya pecah. Sudi Winarno, kabag Urusan Kepegawaian UKSW, naik pitam karena Soekarno menanyakan mengapa dalam rapat Senat pemilihan rektor Sudi mengkhianati unitnya, mengapa Sudi tidak memilih calon yang telah disepakati bagian kepegawaian. Cerita lengkapnya begini. Dalam rapat bagian kepegawaian, seluruh staf bagian kepegawaian UKSW sepakat untuk memilih Liek. Unit ini juga memilih Sudi Winarno untuk mengikuti rapat Senat dan mewakili Bagian Kepegawaian dalam pemilihan calon rektor untuk diajukan ke pengurus Yayasan. Ternyata Sudi Winarno kemudian malah memilih John Ihalauw. Ini tentu saja membuat seluruh karyawan bagian UP marah padanya. Soekarno, salah satu dari yang merasa dikhianati, lalu mengirim surat pada Sudi Winarno, mempertanyakan tindakannya itu. Surat yang dikirimkan Soekarno malah membuat marah Sudi Winarno. Ia lalu mendatangi ruangan Soekarno dan terjadilah perang mulut. Dalam keadaan panas, Sudi menonjok muka Soekarno dan menyebabkan kacamata minus Soekarno pecah dan pecahannya mengenai muka Soekarno.ii Buntutnya, sejumlah karyawan melayangkan surat protes kepada rektor agar menindak tegas pelaku pemukulan. "Kami sangat menyayangkan sikap pimpinan urusan kepegawaian yang bertindak sewenang-wenang dengan melakukan pemukulan terhadap stafnya sendiri," kata Yoppy L. Jari, salah seorang karyawan Unit Kepegawaian. Menurutnya, ia dan sejumlah rekan sekerja lainnya telah melayangkan surat kepada Rektor Willi Toisuta, meminta agar Sudi Winarno dikeluarkan.ii Tetapi, Sudi Winarno tidak pernah dipecat karena kasus pemukulan itu. *** Satu lagi senator yang membelot adalah Agna Sulis Krave yang mewakili Fakultas Biologi. Sebenarnya Agna bukan dekan FB, tetapi karena Adjar Subadi, dekan FB waktu itu, berhalangan, maka Agna-lah yang diberi mandat untuk mewakilinya. Saat pemilihan di Senat, Agna memberikan suara kepada John Ihalauw, padahal FB memilih John Titaley. Apakah Agna memilih John Ihalauw karena pesan Adjar Subadi? “Dalam pemilihan di tingkat fakultas yang sifatnya nominasi itu FB ada dua calon. Sebenarnya tiga, kemudian dua yang terbanyak yang muncul, yaitu John Titaley 9 suara kemudian JOI 8 suara. Kemudian
http://slamethdotkom.wordpress.com
44
[email protected]
diputuskan, jika John Titaley tidak bersedia dicalonkan, maka otomatis Biologi mencalonkan John Ihalauw. Nah, dari sini teman-teman di Biologi mempertimbangkan, tidak saya saja. Artinya, pendukung JOI tidak kecil. Kemudian kalau voting di sana dan John Titaley diperkirakan tidak menang, daripada votenya percuma, itu pesan pimpinan fakultas waktu itu, (suara) itu diberikan kepada John Ihalauw.” Tapi, dari mana tahu kalau John Titaley tidak akan menang? “Nah, sebelumnya bisikbisik, bukan lagi rahasia. Kelihatan sekali Liek Wilardjo mantap, kemudian suaranya John Ihalauw juga kuat. Secara total di tahap nominasi itu 10-6-5. Sebelum itu kalau tidak salah setiap kandidat rektor diminta Yayasan membuat program. Nah, di boks surat saya kebetulan ada program. Itu ada amplop tanpa tahu siapa yang mengirimkan. Kemudian di dalamnya ada memo ‘Saya mendengar bahwa Anda akan mewakili FB dalam pemilihan rektor yang akan datang. Berikut saya kirimkan program yang dicanangkan...’ Memang programnya JOI lebih komprehensif daripada Liek. Kebetulan di dalam situ hanya ada dua, punyanya John Titaley tidak ada. Karena saya harus memilih the coming rector, saya harus mempertimbangkan baik-baik. Saya tidak melihat orang, tapi melihat idenya. Nah, yang paling bisa saya tangkap adalah idenya dari JOI, walalupun di tingkat fakultas saya memberikan voting untuk John Titaley. Atas pertimbangan beberapa teman juga di FB, kemudian Pak Adjar. Tetapi, kemudian Pak Adjar juga mengatakan, terserah Anda.” *** Anggota YPTKSW adalah orang-orang yang supersibuk. Sebagian besar dari mereka tinggal di luar Salatiga. Bagi mereka, UKSW bukanlah prioritas pertama. Jumat 25 Juni 1993 YPTKSW gagal memilih calon rektor UKSW karena tak memenuhi kuorum 10 orang. Dari 21 pengurus dan anggota YPTKSW yang berhak memberikan suara pada hari pemilihan, hanya sembilan orang yang datang, antara lain Drs Radius Prawiro, Wainata Sairin, MTh (wakil sekretaris Persatuan Gereja Indonesia). Yang diundang tapi tak datang antara lain Mochtar Riyadi, Jonathan Parapak, Prof Ismail, J. Sareh. Akhirnya, rapat ditunda sampai tanggal 13 Juli, dan baru pada rapat kali inilah—dengan peserta 11 orang yang berhak memberikan suara—pengurus YPTKSW berhasil memilih rektor. Tetapi, mereka tidak mau mengumumkan siapa yang telah terpilih. "Seperti biasanya, setelah mendapatkan persetujuan dari mendikbud baru bisa diumumkan. Kami baru akan membuat laporan pada Pak Menteri dulu. Kalau beliau sudah memberikan persetujuan baru boleh disiarkan. Ini sudah aturan," kata Haryono Semangun seusai pemiilhan rektor di ruang seminar UKSW yang berlangsung dari pagi hingga pukul 14.50. Pengurus YPTKSW yang hadir adalah Charles Kristano, J. Sareh, Melki Tejo Raharjo, Wismo Adi Wahono, Pendeta Suyogo, Pendeta Wainata Sairin, Dr SW Lantas, Julius Saludung, Pendeta Dr.Ester, Narwani, dan Haryono Semangun. Anggota kehormatan Radius Prawiro pun hadir. Saat rapat pemilihan berlangsung, di sekeliling Gedung E, tempat berlangsungnya rapat, berdiri Satkam dan Menwa. Tak sembarang orang boleh memasuki ruang lewat pintu utama. Mahasiswa yang berkepentingan dipersilakan memasuki ruangan lewat pintu barat. Nama rektor diajukan ke mendikbud lewat Kopertis VI Jateng, kata Haryono Semangun
http://slamethdotkom.wordpress.com
45
[email protected]
di kediamannya Jalan Gondok Baru Cc 17/40, Yogyakarta.ii Tetapi, pilihan YPTKSW pada rapat 13 Juli bocor dan menimbulkan reaksi. Ternyata pengurus Yayasan mengajukan John JOI Ihalauw sebagai calon rektor UKSW yang ke-4. Ini tidak bisa diterima oleh pendukung Liek yang semula mengira Liek yang diusulkan jadi rektor. Sepuluh pimpinan unit UKSW menandatangani surat terbuka kepada YPTKSW. Surat yang langsung memancing kontroversi itu ditandatangani oleh Dr. Sahat Richard Hutapea (direktur LPU), Dr. I Made Markus (dekan FKIP), Nugroho Adi, MTh (dekan FTh), Sunarso, MA (ketua DMU), Dr. K.H. Timotius (dekan FSM), Dr. Limson U. Sangalang (Sekretaris PPs-SP), Endro Sulistyo, Mpsy. (direktur Pusat Bimbingan), Ir. Barkah Sancoyo (Presidium FTJE), dan Triyanto, NBA (sekretaris Dewan Pegawai). Isi suratnya begini. PERNYATAAN PENDIRIAN (Surat Terbuka kepada Yayasan Perguruan Tinggi UKSW) Bertalian dengan keputusan rapat Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi UKSW tentang Rektor Baru (yang hingga kini masih dirahasiakan), dengan ini kami yang bertanda-tangan di bawah ini menyatakan pendirian sebagai berikut. I. Rektor perlu mendapat dukungan yang luas dari masyarakat kampus yang dipimpinnya. Ini bukan saja sesuai dengan asas keadilan dan demokrasi, tapi juga didasarkan pertimbangan praktis. Tanpa dukungan yang luas dari warga kampus, akan sulit bagi Rektor untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik II. (1) Kita semua mengetahui hasil pemilihan claon Rektor pada aras unit. Dr. Liek Wilardjo memperoleh 10 suara, Dr. John Ihalauw 6 suara, dan Dr. John Titaley 5 suara. (a) UKSW merupakan sebuah universitas. Pendukung utamanya adalaha fakultasfakultas atau unit pengajaran. Dengan perkataan lain, tulang pungung universitas ini adalah unit pengajarannya, di mana para staf pengajar berkumpul. Dari 21 unit yang menjadi anggota Senat Universitas yang memberikan suaranya dalaam pemilihan calon Rektor, ada 12 unit pengajaran, dan 9 unit pelayanan. Unit pelayanan misalnya Perpustakaan, Pusat Pelayanan Komputer, Pusat Bimbingan, Lembaga Penelitian Universitas, Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, dan sebagainya. (b) Dalam pemilihan pada aras unit, Wilardjo memperoleh 10 suara, dan 7 suara datang dari unit pengajaran (FKIP, DMU, FTh, FTJE, FSM, FP, dan PPs-SP). Ihalauw memperoleh 6 suara, dan hanya 3 suara yang datang dari unit pengajaran (FE, FH, dan PNG). Sedangkan Titaley memperoleh 5 suara, hanya 2 suara datanga dari unit pengajaran (FB dan PPs-AM). Maka tampak bahwa Wilardjo bukan saja mendapat dukungan terbesar dari unit-unit yang ada di UKSW, tapi juga dukungannya terutama datang dari unit-unit pengajaran. (c) Juga perlu dicatat, pemilihan pada aras ini dilakukan secara sangat demokratis di masing-masing unit. Karena itu, tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa hasil pemilihan ini merupakan hasil yang paling murni dan paling mencerminkan apa yang hidup di masyarakat kampus UKSW. (2) Pemilihan kemudian dilanjutkan di aras Senat Universitas. Hasilnya: Wilardjo memperoleh
http://slamethdotkom.wordpress.com
46
[email protected]
9 suara (7 dari unit pengajaran), Ihalauw 8 suara (4 dari unit pengajaran), dan 4 suara abstain. Hasil ini diperoleh akibat dipakainya penafsiran bahwa wakil-wakil unit yang menjadi anggota Senat Universitas boleh memilih tanpa mengikuti keputusan yang telah diambil oleh unitnya. Penafsiran seperti ini jelas bertentangan dengan asas demokrasi karena penafsiran ini membenarkan bahwa suara satu orang lebih penting dari suara mayoritas anggota unitnya. Kemudian, penafsiran ini juga bertentangan dengan peraturan yang ada. (Keputusan Dewan Pengurus YPTKSW No. 29/A/YSW/1990 tanggal 31 Mei 1990 tentang Senat UKSW Pasal 6 Ayat 1c menyatakan bahwa kewajiban anggota Senat antara lain: “membawakan, mewakili, dan menyampaikan pandangan dari unit yang diwakili, dan menyampaikan pandangan pribadinya sesuai dengan wawasan kepakarannya” Bagian muka ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa kewajiban anggota Senat adalah membawakan, mewakilik, dan menyampaikan pandangan dari unit yang diwakili. “ Baru pada bagian kedua dinyatakan bahwa anggota Senat dapat “menyampaikan pandangan pribadinya sesuai dengan wawasan kepakarannya.” Bagian kedua ayat ini jelas tidak berarti bahwa anggota Senat tersebut bisa mengingkari pilihan calon Rektor yang dititipkan kepadanya oleh unitnya. Bagian ayat ini lebih menunjuk kepada hak menyatakan pendapat dari anggota Senat, bukan hak suara. Dalam menyatakan pendapatnya, anggota Senat tentunya tidak usah selalu berkonsultasi dengan unitnya. Tapi dalam menggunakan hak suara, anggota ini terikat pada pilihan yang sudah sangat jelas ditentukan oleh unitnya. Juga bagian kedua ayat tersebut lebih dimaksudkan untuk anggota Senat yang diangkat berdasarkan kepakarannya. Anggota Senat seperti ini tidak memiliki hak suara, karena dia tidak mewakili unit manapun. Di sini berlaku prinsip bahwa unit lebih penting dari pribadi. Dr. Sutarno, salah seorang senior dan mantar rektor UKSW, pernah menjelaskan bahwa penafsiran yang memperbolehkan anggota Senat untuk tidak mengindahkan keputusan yang sudah ditentukan oleh unitnya, adalah tidak benar. Penafsiran ini sudah ditentang pada waktu sidang Senat Universitas ketika memilih calon Rektor. Kemudian, penafsiran ini juga diprotes oleh beberapa warga kampus melalui pernyataan-pernyataan, baik yang dinyatakn dalam wawancara, maupun yang diungkapkan dalam surat pembaca di koran-koran. Tapi tampaknya, suara-suara ini tidak dipedulikan oleh Pengurus YPTKSW. Akibat penafsiran yang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan peraturan yang ada ini, timbul keresahan di kalangan warga kampus. Keresahan ini bahkan meledak menjadi tindakan pemukulan. Ketua Dewan Pegawai yang diduga telah mengkhianati keputusan unitnya dalam pemilihan calon Rektor di Senat Universitas, digugat oleh warga unit ini untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Ketua ini menjadi emosional dan memukul salah seorang anggota unit tersebut di kantornya. (3) Terlepas dari ramai-ramai yang terjadi akibat praktek-praktek yang tidak demokratis dalam proses pemilihan calon Rektor, suara kenyataan yang tidak bisa disangkal tampil secara kuat: Wilardjo tetap merupakan calon yang mendapat dukungan terbanyak, baik
http://slamethdotkom.wordpress.com
47
[email protected]
pada pemilihan di aras unit, maupun di aras Senat Universitas. III. Karena
itu, bila Pengurus YPTKSW benar-benar memakai asas demokrasi dalam mendasarkan keputusannya, artinya memperhatikan apa yang hidup di kalangan mayoritas warga kampus ini, maka sudah sepantasnyalah bila calon Dr. Liek Wilardjo yang ditetapkan menjadi Rektor baru. Bila calon Dr. John Ihalauw yang dipilih, maka pihak Pengurus Yayasan dapat dianggap telah bertindak otoriter dan melanggar asas demokrasi dan prinsip keadilan yang selama ini telah menjadi jiwa dari kehidupan kampus kita. Karena itu, Pengurus YPTKSW perlu memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada warga kampus yang menjadi objek dari keputusan ini. Kalau hal ini tidak dilakukan, dikhawatirkan keresahan dan perpecahan akan timbul di kalangan masyarakat kampus yang kita cintai ini. IV. Kalau Pengurus YPTKSW memutuskan untuk menolak kedua claon yang diusulkan oleh Senat Universitas dan mau mengambil calon baru, maka keputusan ini pun harus disertai dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada warga kampus. Kemudian, proses pemilihan harus diulang kembali. Calon baru hanya bisa dinyatakan sah kalau dimunculkan dari bawah melalui pemilihan di unit-unit. Ini untuk menjamin asas demokrasi dalam rangka memunculkan Rektor yang benar-benar mendapatkan dukungan dari mayoritas warga kampus. V. UKSW memiliki cita-cita luhur untuk menciptakan masyarakat yang adil di mana pun juga. Salah satu cara menegakkan keadilan ini adalah dengan menumbuhkan sikap yang demokratis, dan mempraktekkannya di lingkugnan kita sendiri, sebelum menyebarkannya ke kalangan masyarakat luas. Tanpa kita sendiri berani memprotes keputusanyang kita anggap tidak demokratis di lingkungan kita, kita tidak akan memiliki keberanian moral untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi di masyarakat yang lebih luas. Inilah yang sedang kami upayakan sekarang. Kami, penanda tangan pernyataan ini, akan terus berjoang untuk menegakkan demokrasi di kampus ini. Karena kami sadar, usaha kami menegakkan nilai-nilai demokrasi di masyarakat Indonesia hanya bisa berhasil, kalau kami pun berjoang di lingkungna kecil di sekitar kami. Semoga Tuhan memberkati kita! Tindasan: 1. Anggota Senat UKSW 2. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 3. Dirjen Dikti Departemen P & K
Sepuluh kelompok penanda tangan surat di atas kemudian dikenal sebagai Kelompok 10. Dan, mereka tampaknya surat itu tidak main-main. Bahkan, Arief Budiman dan Nico L Kana—keduanya dosen Program Pascasarjana Studi Pembangunan (PPs-SP)—menegaskan, mereka mungkin akan mogok mengajar. "Beberapa di antara penanda tangan sudah membuat kesepakatan, kalau Yayasan tetap tak ada respons terhadap surat terbuka itu, mungkin tindak lanjut yang bisa dilakukan adalah mogok kerja," tutur Nico. Tetapi kemungkinan mogok dibantah oleh I Made Markus. Menurut dekan FKIP yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
48
[email protected]
hampir pensiun ini, mogok kerja tak akan menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah penjelasan pengurus Yayasan mengapa mereka mngajukan JOI sebagai rektor terpilih, padahal sejak tingkat unit sebenarnya JOI sudah kalah. Menanggapi surat terbuka Kelompok-10, Sekum YPTKSW Melky Oe Nganggoe menyatakan, "Kami khawatir dan prihatin terhadap tindakan ketua-ketua unit yang membikin dan menandatangani surat terbuka itu. Lebih-lebih mempersoalkan masalah rektor UKSW, rektor pengganti Dr Willi Toisuta. Namun demikian, kami juga bangga dengan kekritisan unitunit yang ada di UKSW. Paling tidak ini bisa jadi peringatan bagi pihak Yayasan," ujar Melky. Tentang ancaman mogok, Melky mengatakan itu hanya ancaman Arief (Budiman) saja. Arief tidak akan mungkin melakukan tindakan mogok kerja di UKSW. Masalahnya, Arief itu orang yang kritis dan bijaksana di UKSW. Arief tidak akan tega membiarkan mahasiswa dengan cara mogok kerja. "Tidak mungkin Arief mengorbankan mahasiswa. Saya yakin itu hanya gertakan saja dan ini upaya untuk berdialog saja antara Arief dengan pengurus Yayasan. Dan buktinya, Arief mengancam mogok tidak melalui surat resmi pada Yayasan, dia hanya memberikan move pada pers saja. Buktinya, sampai saat ini Yayasan belum menerima surat ancaman mogok Arief," kata Melky. Namun demikian, tambah Melky, bukan berarti pihak Yayasan tidak akan menanggapi pernyataan Arief. Yayasan akan menanggapinya dengan serius pula. Karena dalam keadaan apa pun itu tetap keluar dari lubuk hati Arief yang terkenal kritis.ii Melky juga menyatakan, pengurus Yayasan pada hari Jumat, 20 Agustus akan mengadakan rapat darurat untuk mengantisipasi surat terbuka sepuluh ketua unit tersebut. Lain Melky lain Haryono. Haryono Semangun menganggap masalah yang berkaitan dengan pemilihan rektor UKSW hanya masalah keluarga. Karena itu, penyelesaiannya pun akan dilakukan secara intern. Haryono merasa sangat sedih atas kemelut yang terjadi belakangan ini, yang muncul setelah beredarnya surat terbuka yang dibuat oleh sepuluh ketua unit. Menurut Haryono, permasalahan ini sebenarnya tidak perlu terjadi kalau unit yang merasa tidak puas langsung kontak dengan pegurus Yayasan. Sebab, sampai saat ini dia belum tahu-menahu apa isi surat terbuka yang dikirimkan oleh 10 ketua unit itu.ii Soal calon rektor sendiri, Haryono Semangun punya pendapat begini. "Sekadar idealis jelas nggak jalan karena (UKSW) harus ditopang dana. Sebaliknya, ekonomi melulu, ya bisa melenceng." Terhadap tudingan bahwa pengurus Yayasan lebih menyukai rektor yang pintar berbisnis, ia bilang, "Kalau semua menilai itu ya terserah. Hahaha..."ii Masih menurut Haryono Semangun, untuk menyelesaikan masalah ini pihaknya cukup akan memanfaatan rektor UKSW saat ini sebagai mata rantai manajemen dalam lingkungan UKSW. Kalau ada masalah antara pengurus Yayasan dan staf pengajar, maka rektorlah yang akan berperan sebagai perantaranya.ii Rektor UKSW Willi Toisuta sendiri menyatakan siap jadi moderator.ii Sikap pengurus YPTKSW yang enggan memberikan penjelasan tentang proses pemilihan rektor yang sesungguhnya membuat Kelompok-10 jengkel. "Seharusnya pengurus Yayasan secepatnya memberi respons menyangkut proses pemilihan rektor yang oleh sementara kalangan dinilai tidak demokratis. Sebab, dengan penjelasan itu, pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan itu tahu apa arti demokrasi yang dikehendaki oleh pengurus Yayasan," kata
http://slamethdotkom.wordpress.com
49
[email protected]
Arief Budiman. Menurut Arief, pemilihan rektor hanya demokratis pada tingkat unit. Juga, pengurus Yayasan seharusnya menerima usulan rekonsiliasi karena dengan jalan itulah permasalahan bisa diselesaikan. Dengan mengadakan rekonsiliasi intern UKSW, justru diharapkan tidak mengundang campur tangan pihak luar, terutama Depdikbud. Dikhawatirkan, apabila pengurus Yayasan tidak secepatnya mengambil tindakan, pemerintah akan turun tangan membantu penyelesaian kemelut di UKSW. Masih tidak ada respons yang memuaskan, Arief Budiman lalu berkirim surat ke mendikbud meminta agar mendikbud membatalkan pemilihan rektor di UKSW yang dinilai Arief tidak demokratis. Ia juga meminta mendikbud untuk menurunkan tim pencari fakta soal pelanggaran yang diduga terjadi dalam proses pemilihan rektor. "Mas Wardiman yang baik," tulisnya. "Saya harap Anda masih ingat saya. Kita berkenalan pada 1968, ketika Anda masih menjadi kepala Biro II Pemda DKI Jakarta, semasa Gubernur Ali Sadikin. Saya menulis atas permintaan teman-teman, para dosen di Universitas Kristen Satya Wacana. Kami ingin meminta Anda memperhatikan pemilihan rektor yang baru-baru ini dilangsungkan di UKSW. Mayoritas warga kampus beranggapan, apa yang sudah terjadi merupakan kecurangan dan menginjak-injak sistem demokrasi. Akibatnya, timbul keresahan di kalangan warga kampus. Bahkan, pernah terjadi kasus pemukulan akibat pemilihan yang curang itu...."ii Dalam surat itu Arief mengatakan, yang layak memegang jabatan rektor periode mendatang adalah Liek Wilardjo, sedangkan dari desas-desus saat ini yang dipilih YPTKSW adalah JOI. Padahal, berdasarkan hasil pemilihan calon rektor tingkat unit dan tingkat Senat, Wilardjo mendapatkan suara terbanyak. Pemilihan pada tingkat unit dan Senat lebih demokratis daripada yang dilakukan oleh pengurus Yayasan. Karena itu, apabila yang terpilih nanti JOI, maka pemilihan yang dilakukan oleh pengurus Yayasan dianggap otoriter dan melanggar asas demokrasi. Bila Ihalauw jadi rektor, dikhawatirkan nanti dapat timbul keresahan di kalangan kampus. Arief menjelaskan, ia berkirim surat ke mendikbut bukan berarti ingin pemerintah campur tangan. "Sejak dulu hingga sekarng tidak pernah punya niat atau terbetik dalam hati pemerintah agar turut campur segala urusan yang ada di UKSW. Surat itu dibuat karena adanya hubungan pribadi yang baik dengan mendikbud.” ii Arief menyatakan, surat pribadi ke mendikbud atas permintaan rekan-rekan dosen lain yang telah mengirim surat kepada pengurus Yayasan. "Saya dalam surat terbuka yang dikirimkan kepada pengurus Yayasan memang sengaja tidak diajak. Mereka khawatir kalau nanti dikira saya yang mendalangi aksi mengirim surat yang dilakukan oleh para ketua unit itu," tutur Arief.ii Menurut Arief, ketidakpuasan yang dilontarkan oleh sepuluh ketua unit pengajaran bukannya soal siapa yang akan menjadi rektor, namun lebih pada mekanisme pemilihan rektor yang dinilai tidak demokratis. Hal senada diungkapkan Dra. Liana P. Santoso, mantan ketua Pusat Bimbingan dan Informasi UKSW Liana yang semula mewakili Pusat Bimbingan dalam pemlihan calon rektor di Senat menilai, memang dalam proses pemilihan rektor itu jelas tidak demokratis, sebab hasil suara yang diperoleh pada pemilihan tingkat Unit dan Senat tidak ada
http://slamethdotkom.wordpress.com
50
[email protected]
pengaruhnya pada pemilihan tingkat pengurus yayasan. "Lalu sebenarnya apa tujuan pemilihan rektor pada tingkat unit dan Senat itu dilakukan, sedangkan keputusan terakhir tetap ditentukan dari pengurus Yayasan, sementara suara yang diperoleh pada tingkat unit dan Senat tidak berpengaruh sama sekali," katanya. ii Di tempat terpisah, Koordinator Kopertis VI Prof.Ronny Hanitijo, SH menyatakan, YPTKSW seharusnya tidak menuruti kemauannya sendiri dalam pemilihan rektor UKSW. Hal ini sangat penting karena keberadaan PTS merupakan karya kolektif antara masyarakat dan pemerintah serta pihak lain yang terkait. Menurutnya, Yayasan hanya sebatas penyelenggara. Masih menurutnya Ronny, mengacu PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, dalam Pasal 1 Ayat 9 disebutkan. "Penyelenggara perguruan tinggi adalah departemen, departemen lain, atau pimpinan lembaga pemerintah lain bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah atau badan penyelenggara perguruantinggi swasta bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat. "Oleh karena itu, PTS bukanlah milik BP PTS melainkan milik masyarakat.” *** Surat ketua sepuluh unit dan surat pribadi Arief Budiman kepada mendikbud rupanya mendapat tanggapan baik. Menurut Nico L. Kana dan Arief Budiman, mendikbud menunda persetujuannya tentang rektor terpilih UKSW, Dr John Ihalauw karena di dalam tubuh UKSW terjadi ontran-ontran hingga menyebabkan 10 ketua unit (Kelompok-10) dan Arief mengirim surat kepada mendikbud mengenai soal pemilihan rektor UKSW. Menurut Nico, kepastian penundaan rektor terpilih dikatakan langsung oleh Dirjen Pendidikan Tinggi kepadanya ketika keduanya bertemu di Jakarta pada acara "Raker Ujian Negara bagi Program Magister dari PTS" pada tanggal 8 September. "Ketika saya ketemu dirjen Dikti di Jakarta, beliau mengatakan kepada saya bahwa persetujuan rektor terpilih di UKSW ditunda karena datangnya surat dari Kelompok-10 dan Arief Budiman sendiri," katanya. "Bahkan saya mendengar kalau mendikbud akhirnya kirim surat kepada pengurus (YPTKSW) yang tembusannya diberikan kepada Senat Universitas. Mendikbud sangat menghendaki para pengurus YPTKSW untuk mengirim berita acara seputar proses pemilihan rektor," tambah Nico.ii Namun, pernyataan Nico mengenai penundaan ini dibantah Haryono Semangun. Ia mengatakan bahwa penundaan itu itu karena inisiatif pengurus Yayasan. "Setelah kami mendengar berita dari Salatiga mengenai adanya rasa tidak puas di lingkungan UKSW terhadap "bocoran berita" tentang pemilihan rektor, tanggal 21 Agustus 1993 kami langsung menghadap Bapak Direktur Jendral Pendidikan Tinggi dan secara resmi meminta agar proses pemberian persetujuan kepada calon rektor UKSW ditangguhkan untuk sementara. Ini adalah pencerminan perhatian Yayasan terhadap keinginan-keinginan yang terdapat dalam kampus, meskipun kami mengetahui bahwa Pernyataan Pendirian 10 Unit itu bukan keputusan Senat Universitas, bahkan pada waktu itu kami mendengar bahwa 2 di antara 10 tanda tangan dinyatakan tidak sah oleh yang merasa berhak. Permohonan penundaan tersebut kami ulangi lagi dalam surat kami ke Depdikbud permulaan September yang kami lampiri surat Senat Universitas tentang pengusulan calon rektor hasil pemilihan rapat Senat."ii ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
51
[email protected]
Upaya dialog bukannya tidak ada. Pada tanggal 31 Agustus YPTKSW memanggil Kelompok-10 untuk dimintai masukan.ii Lalu, pada tanggal 17 September pengurus YPTKSW kembali bertemu dengan 10 ketua unit yang menentang hasil pemilihan rektor. Langkah ini, kata Haryono Semangun, untuk saling bertukar informasi antarpihak yang terlibat langsung dalam pemilihan rektor.ii Namun, kedua pertemuan tidak berhasil mematikan benih konflik yang tumbuh semakin besar. Cekcok ini bahkan mulai mengganggu rencana suksesi kepemimpinan di UKSW. Rencananya, rektor terpilih sebelum dilantik pada Dies Natalis 30 November 1993, harus menjalani masa magang selama tiga bulan mulai September hingga November. Namun, hingga tanggal 17 November mendikbud belum menyetujui rektor terpilih sehingga beredar spekulasi bahwa jabatan Willi akan diperpanjang satu tahun.ii Penantian pengurus YPTKSW baru berakhir pada hari Minggu, 28 November. Direktur Perguruan Tinggi Swasta Prof Sambas memberikan SK Mendikbud tentang terpilihnya John JOI Ihalauw, lewat Ketua YPTKSW pada Rapat Senat Universitas Istimewa.ii Ketua SMU Neil S. Rupidara langsung mengirimkan surat kepada YPTKSW menyatakan bahwa LK mendukung sepenuhnya keputusan Yayasan tentang rektor UKSW, sementara Kelompok 10 tidak dapat menyembunyikan rasa kecewa mereka terhadap keputusan mendikbud.ii Tapi sikap LK berbeda dengan sikap warga kampus lainnya. Terpilihnya JOI secara resmi disambut aksi protes sejumlah staf pengajar dan mahasiswa. Mereka mengumpulkan tanda tangan sebanyak-banyaknya ke dalam lembaran "Surat Pernyataan Bersama" untuk memprotes terpilihnya John Ihalauw. Di Papan Demokrasi FTJEii tertempel tulisan "Turut berduka cita atas terpilihnya JOI", "JOI jadi rektor, demokrasi dikebiri."ii *** Pelantikan John Ihalauw pada 30 November diwarnai aksi unjuk rasa mahasiswa dan aksi boikot dari Kelompok 10. Situasi tegang dimulai menjelang dan saat pelantikan berikut serah terima jabatan. Di dalam Balairung Universitas (BU), tempat acara berlangsung, deretan kursi bagian depan tidak terisi penuh. Di luar BU dua kelompok mahasiswa saling bergerombol dan menunggu perkembangan di dalam gedung. Aparat keamanan kampus serta Menwa melakukan pengamanan ketat. Seusai pelantikan, mahasiswa pendukung Liek langsung menggelar poster yang menentang terpilihnya JOI. Mereka melakukan aksi dengan membawa bunga dahlia putih, disaksikan ratusan mahasiswa lain. Sejumlah poster dibentangkan, di antaranya: "Demokrasi tanpa kekerasan", "Mahasiswa menggugat: Proses pemilihan rektor memalukan banget", "Prosesnya kasak kusuk, sih", "Jangan biarkan keculasan merajalela", "Demokrasi ditindas dengan penunjukan rektor". Kelompok itu tidak sendirian, soalnya ada juga spanduk yang isinya tidak senada, yang jelas mendukung rektor baru John Ihalauw. Tidak tanggung-tanggung, salah satu spanduk yang mereka gotong dibuat di atas kain biru dan kuning sepanjang enam meter. Jelas tampak mewah. Bunyinya: "Pak Willi, terima kasih atas jasamu dan selamat jalan. Kepada rektor baru Pak John Ihalauw selamat berkarya dan kami mendukung". Spanduk lainnya berbunyi: "Selamat
http://slamethdotkom.wordpress.com
52
[email protected]
dan sukses atas terpilihnya Dr John Ihalauw sebagai Rektor UKSW". Kedua spanduk itu direntang oleh beberapa mahasiswa berbadan kekar yang kebanyakan dari Indonesia Timur. Merasa ditandingi, kelompok pendukung Liek membentangkan spanduk bertuliskan "Bangkitnya Demokrasi Semu". Satkam dan Menwa lebih memberi peluang kepada mahasiswa pendukung JOI. Saling bersitegang antarsesama mahasiswa masing-masing pendukung sempat terjadi beberapa saat. Kelompok pro-JOI memperlihatkan dukungannya dengan mengiringi retor hingga ke ruang peresmian perpustakaan. "Kemandirian Universitas dan Yayasan tidak bisa dicampuri pihak luar. Oleh sebab itu, segala keputusan Yayasan menyangkut pemilihan rektor harus dijunjung tinggi," kata Theodore Weohau, mantan ketua Senat Mahasiswa Universitas.ii Sementara demonstrasi berlangsung, Liek Wilardjo, calon rektor yang mendapat suara terbanyak di tingkat unit dan Senat sedang mengikuti Konferensi Persatuan Intelegensi Kristen Indonesia (PIKI) di Puncak, Jabar, di mana ia menjadi salah satu pembicara di forum itu. *** John JOI Ihalauw, lulusan FE UKSW tahun 1967, dan mendapat PhD dalam Sosiologi Pedesaan dari Iowa State University di AS tahun 1979 akhirnya menjadi rektor ke-4 setelah O. Notohamidjojo (1956-1973), Sutarno (1973-1983), dan Willi Toisuta (1983-1993). JOI menanggapi unjuk rasa pada hari pelantikannya dengan komentar: "Itulah dinamika kampus. Biasa orang-orang muda. Asalkan tidak merugkan kepentingan sivitas akademika, unjuk rasa itu masih wajar," kata JOI. Ia juga berkomentar tentang kelompok yang tidak mendukungnya. "Pertama-tama titik tolak saya bahwa semua sumber daya manusia yang ada di UKSW ini aset bersama. Berarti bilamana terjadi suatu beda pendapat, sejauh tetap masih terkoordinasi, maka saya berkeyakinan bahwa titik temu itu pasti ada. Tentu saja, di dalam UKSW ini semua menggunakan jalur-jalur komunikasi yang efektif. Sejauh semua bersedia berkomunikasi dan ada kemauan baik dari semua pihak, saya kira terjadinya beda pendapat itu bisa kita selesaikan secara baik dalam suatu keluarga besar."ii Pada hari yang sama dengan hari pelantikan, YPTKSW juga mengeluarkan press release yang menerangkan seputar masalah pemilihan rektor. Menurut selebaran yang ditandatangani oleh Haryono Semangun itu, sesudah menerima surat Senat tanggal 27 Mei 1993 tentang pencalonan rektor, Dewan Pengurus Inti YPTKSW mengadakan rapat pada 13 Juli dan memutuskan bahwa kedua calon memenuhi syarat. Setelah membahas dan menyetujui beberapa kriteria calon rektor, rapat memilih kedua calon secara tertulis dengan hasil 10 suara untuk John Ihalauw dan 1 suara untuk Liek Wilardjo. “Dengan mengingat perkembangan universitas dalam masa 4 tahun mendatang, Dewan Pengurus memutuskan untuk lebih dulu mengusulkan Dr. John Ihalauw kepada Mendikbud melalu Kopertis Wilayah VI. Jika karena satu dan lain hal Mendikbud tidak dapat menyetujui, YPKTSW akan mengusulkan Dr. Liek Wilardjo. Sesuai dengan keputusan Rapat DPI, keputusan ini dirahasiakan sampai terbitnya persetujuan Mendikbud.” “Yayasan mendahulukan Dr. Ihalauw berdasarkan pertimbangan yang masak, demi kepentingan UKSW. Pengurus mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab dalam dua kali rapat. Dalam penentuan pimpinan lembaga seperti ini, dukungan suara terbanyak bukan merupakan kriterium yang pertama. Adanya perbedaan penilaian dalam pemilihan aras
http://slamethdotkom.wordpress.com
53
[email protected]
pertama (Unit) dengan aras kedua (Senat), dan aras ketiga (Pengurus) mudah dimengerti, karena pada aras pertama penilaian lebih bersifat mikro, sedang pada aras ketiga lebih makro.” *** Pelantikan JOI jelas membikin panas kubu Kelompok 10. Menurut Arief Budiman, Kelompok-10 akan menuntut perdata pengurus Yayasan sebab dalam melakukan pemilihan rektor pengurus Yayasan tidak demokratis dan menyalahi aturan. Tapi, ulah Arief dan temantemannya ini justru menjengkelkan Dekan FE Hendrawan Supratikno, MBA. Ia mengatakan, Kelompok 10 yang menyatakan pemilihan rektor UKSW tidak demokratis itulah yang tidak demokratis. "Bukan cara pemilihannya yang tidak demokratis, tapi 10 unit itulah yang tidak demokratis sebab semuanya berjalan menurut peraturan yang ada," ujar Hendrawan.ii Tuduhan Kelompok-10 bahwa Yayasan memakai hak prerogatif secara sewenangwenang dibantah Haryono Semangun. Menurutnya, Yayasan belum memakai hak prerogatifnya dan pengurus dalam proses pemilihan rektor masih berpegang dalam batas-batas usulan Senat UKSW. Mengenai pro dan kontra terhadap terpilihnya JOI, Haryono mengatakan, "Adanya pro dan kontra dalam proses pemilihan rektor yang baru saja berlangsung itu wajar-wajar saja, asalkan timbulnya pro dan kontra ini jangan sampai ada perpecahan. Kalaupun sampai ada perpecahan, justru menunjukkan demokrasi yang ada masih mentah," katanya dalam jumpa pers tanggal 2 Desember 1993.ii Penjelasan yang sama dikatakan berkali-kali. Dalam surat kepada redaksi Bernas yang dimuat pada 13 Desember 1993, Haryono menulis: "Setelah mengadakan dua kali rapat dengan mempertimbangkan perkiraan perkembangan UKSW empat tahun mendatang, pengurus yayasan memutuskan untuk lebih dahulu memintakan surat persetujuan mendikbud bagi Dr. John Ihalauw. Jika karena satu dan lain hal mendkibud tidak dapat menyetujui calon ini, Dr. Liek Wilardjo akan segera diajukan. Keputusan pengurus yayasan ini masih berada dalam batasbatas usul senat jadi belum memakai hak prerogatif. Yayasan menghargai demokrasi, tetapi tidak ingin menarik demokrasti terlalu jauh. Keputusan dengan dukungan suara terbanyak hanya cocok untuk dipakai dalam pemerintahan. Di Amerika Serikat saja penentuan pmpinan organisasi profit maupun nonprofit tidak didasarkan atas dukungan suara terbanyak. Rektor universitas swasta di AS ditunjuk oleh Board of Trustees (pengurus yayasan). Hal-hal tersebut dapat dilihat dalam buku-buku. Dengan demikian, tindakan pengurus yayasan yang membatasi pemilihannya pada dua calon yang diajukan oleh Senat adalah tindakan yang sangat demokratis. Lebih-lebih jika diingat bahwa dalam Demokrasi Pancasila tidak dibenarkan adanya dominasi mayoritas." Surat Haryono Semangun ini mendapat tanggapan keras oleh Richard Hutapea yang mengatasnamakan Kelompok 10. Katanya: "Hingga 7 Oktober 1993 Senat UKSW masih mempersoalkan tindakan pengurus Yayasan yang mengajukan pencalonan rektor baru UKSW kepada mendikbud. Rapat Senat UKSW itu tidak mencapai kata sepakat. Bahkan, Senat bersepakat untuk tidak menyerahkan keputusan akhir tentang pencalonan itu secara sepihak dan tuntas kepada pengurus Yayasan. Maka, tindakan pengurus Yayasan menunjuk dan melantik rektor baru melanggar peraturan pemerintah yang berlaku (PP 30/1990 pasal 38 ayat 2).
http://slamethdotkom.wordpress.com
54
[email protected]
Dalam surat yang sama Ketua Umum YPTKSW membuat sejumlah pernyataan yang saling bertolak belakang. Misalnya, ia menolak prinsip demokrasi dalam pemilihan rektor dengan alasan demokrasi hanya cocok untuk dipakai dalam pemerintahan. Tapi ia memperalat slogan pemerintah Orde Baru untuk membenarkan tindakannya dalam penunjukan rektor: dalam Demokrasi Pancasila tidak dibenarkan adanya dominasi mayoritas."ii *** Konflik di UKSW terus berlangsung tajam. Setelah sebelumnya menyatakan Yayasan belum memakai hak prerogatif, Haryono Semangun menegaskan hak itu memang ada. Menurutnya, kalaupun toh pemilihan rektor di tingkat unit dan seat yang terpilih Liek, perlu dimengerti bahwa unit dan senat itu hanya punya hak mengajukan calon ke tingkat pemilihan pengurus Yayasan. Pengurus Yayasanlah yang berhak menetapkan untuk diajukan ke mendikbud untuk disetujui. Ditambahkannya, pemilihan rektor berlangsung demokratis.ii Pendapat Haryono ini disetujui Marten Ndoen, MA. Menurut dosen senior FE ini, sebenarnya tidak ada peraturan pemilihan rektor yang dilanggar. "Bahwa peraturan itu lemah sehingga bisa melahirkan penafsiran yang berbeda, itu harus kita akui. Maka, sivitas akademika UKSW harus berjuang untuk mengubah peraturan itu."ii Itu tidak lantas membuat masalahnya tuntas. Ketidakpuasan mengenai masalah rektor yang baru masih berlanjut terus. Sembilan belas mahasiswa Program Pascasarjana Studi Pembangunan (PPs-SP) menulis surat pernyataan sikap menentang proses pemilihan rektor baru. Surat pernyataan yang mereka tanda tangani itu ditujukan kepada Gereja pendri dan pendukung, pegurus YPTKSW, dan pihak universitas. Tembusannya dikirim ke Kopertis Wilayah VI, pers, dan unit-unit UKSW. Mereka mendesak pengurus Yayasan membuat forum terbuka guna membahas masalah pemilihan rektor dengan melibatkan seluruh sivitas akademika. Mereka juga mendesak Gereja pendiri dan pedukung membahas masalah dan proses pemilihan rektor dengan memanggil wakil-wakil Gereja di Yayasan guna mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas mereka. Beberapa hal yang dianggap ganjil oleh ke-19 mahasiswa PPs-SP antara lain penafsiran terhadap SK No. 133/A/DPI/88 tanggal 27 Mei 1988 yang menimbulkan dua tafsiran, yakni tidak adanya dasar hukum untuk pemilihan di tingkat pengurus Yayasan dan pemilihan yang dilakukan di tingkat perngurus Yayasan tak sesuai pasal 11 SK itu.ii Pernyataan ke-19 mahasiswa ini kemudian ditentang Hendrawan Supratikno. Menurutnya, surat 19 mahasiswa PPs-SP itu banyak cacatnya. Tetapi, tulisnya kepada ke-19 mahasiswa program S2 itu, “Saya bisa memakluminya, karena memang sangat sulit menggambarkan proses pemilihan Rektor UKSW secara objektif dan akurat dalam surat sependek itu. Orang-orang yang tidak sependapat dengan kalian, yang populasinya menurut perhitungan kasar sekitar 64,2% dari sivitas akademika UKSW, dengan mudah akan menganggap kalian bersifat apriori, dan sekadar ikut-ikutan unjuk solidaritas. Sayang bukan?” Itu sebabnya, Hendrawan akan senang dan akan membantu jika ke-19 mahasiswa itu bisa menyelenggarakan sebuah diskusi yang berbobot tentang masalah-masalah di sekitar pemilihan rektor UKSW 1993-1997. Para peserta diskusi, menurut Hendrawan, harus netral dan terbuka untuk menerima pandangan lain. Diskusinya pun harus terbuka dengan waktu minimal 6 jam.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
55
[email protected]
*** Kekuatan Kelompok-10 ini memang tidak bisa dianggap enteng. Rapat Senat hari Kamis 9 Desember di ruang E-201 batal karena para senator anggota Kelompok 10 memboikotnya, padahal kuorum mensyaratkan kehadiran 2/3 dari 21 anggota Senat yang memiliki suara. Menurut Wakil Ketua Senat John Titaley, meskipun Kelompok 10 tetap akan melakukan aksi boikot, hal tersebut tidak akan menjadikan persoalan berkaitan dengan pengambilan keputusan. Sebab dalam tata kerja Senat, apabila rapat pertama batal karena tidak memenuhi kuorum, rapat dengan materi yang sama dapat diadakan untuk kedua kalinya tanpa memandang 2/3 suara yang hadir. Ketidakhadiran Kelompok 10 ditandai dengan dilayangkannya surat resmi kepada Ketua Senat (rektor) yang ditembuskan ke Yayasan. Rapat ini seharusnya membahas Rencana Induk Pengembangan (RIP) dan penjelasan Rektor tentang susunan Pembantu rektor.ii Senat UKSW dalam rapat keduanya pada hari Kamis, 16 Desember 1993 menyetujui 4 pembantu rektor yang diajukan John Ihalauw. Keempatnya adalah orang yang dalam konflik sebelumnya berada di pihak John Ihalauw. Mereka adalah Suwandi, SH (dekan FH) sebagai PR I menggantikan Dr. R. Soebagijo, MA. PR II dijabat Hari Sunarto, SE MBA (PD I FE) menggantikan Santosa Adi Kusumo, SE. PR III Adjar Subadi, MS (dekan FB) menggantikan I Made Samiana, SH. Sementara Drs. Pirenomulyo, MA (dosen DMU) menduduki jabatan pembantu rektor yang tidak ada dalam masa Willi Toisuta, yaitu bidang perencanaan dan luar negeri. Dari 31 anggota Senat (21 punya hak suara), yang hadir dalam rapat Senat itu 18 orang.ii Membuat macet rapat Senat jelas bukan tujuan akhir Kelompok-10. Mereka tetap bersikeras bahwa rektor yang dilantik telah terpilih secara tidak demokratis dan curang. Mereka juga menganggap pengurus Yayasan campur tangan dalam proses pemilihan untuk memenangkan John Ihalauw. Tetapi, sebagian besar mahasiswa justru bersikap tak acuh. Kelompok diam ini kemungkinan tak peduli dengan apa yang terjadi, atau mungkin juga tidak jelas dengan konflik yang sedang terjadi. Usaha Kelompok 10 adalah menjelaskan kepada setiap orang tentang proses pemilihan rektor yang baru lalu. Juga, mengapa proses itu mereka sebut curang. Dua minggu sebelum tutup tahun 1993, Kelompok-10 menerbitkan buku Wati dan Fernandez. Buku yang dijual dengan dititipkan pada penjaja koran di dalam kampus ini mengisahkan proses pemilihan rektor yang mereka anggap kotor.ii Selain dijual dengan harga 1000 perak, buku ini pun dikirimkan ke Gereja-Gereja pendiri dan pendukung UKSW. Segera saja buku itu menghebohkan, apalagi setelah muncul selebaran gelap yang menuduh bahwa buku Wati dan Fernandes menyulut pertentangan ras dan etnik, antara etnis yang berada dalam wilayah Indonesia Timur dan Indonesia bagian Barat. Selebaran itu tidak menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi. Ya, namanya saja selebaran gelap. Buku ini juga diserahkan kepada mendikbud waktu Arief Budiman berada di Jakarta pada tanggal 22 Desember. Dalam pertemuan selama satu jam dengan mendikbud Arief menjelaskan proses pemilihan rektor UKSW yang ke-4. Wardiman menyatakan bahwa ia tidak mengetahui adanya pemilihan di unit-unit, dan dia mendapat laporan bahwa semuanya sudah beres karena sudah disetujui Senat dan Yayasan. Karenanya, mendikbud menyetujui calon yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
56
[email protected]
diusulkan. Mendikbud menyatakan bahwa ia bersedia membatalkan persetujuannya kalau memang mayoritas sivitas akademika menginginkannya. Lebih jauh lagi, Kelompok 10 juga menerbitkan buletin berkala mulai Januari 1994. Mereka pun bertekad membantu beberapa mahasiswa yang diintimidasi dosen karena ikut demonstrasi menentang pemilihan JOI pada saat pelantikan tanggal 30 November. Konon, beberapa mahasiswa diancam akan diberi nilai E (tidak lulus) kalau tetap mendukung Liek dan bukan JOI.ii Dalam buletin pertamanya, Kelompok 10 menyatakan bahwa mereka mengakui rektor yang sekarang sebagai rektor yang ditunjuk oleh pengurus Yayasan, bukan yang dipilih oleh sivitas akademika. Ini demi kelancaran tugas-tugas rutin kampus. Dengan demikian, bagi Kelompok 10 tidak ada masalah untuk berhubungan secara resmi dengan rektor yang ditunjuk ini dalam tugas sehari-hari. Tetapi, Kelompok 10 juga menganggap bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses pemilihan rektor 1993 sehingga pemilihan ini menjadi cacat. Perjuangan Kelompok 10 adalah memperbaiki kesalahan itu. Ini akan terus dilakukan sampai berhasil karena Kelompok 10 beranggapan bahwa kesalahan tidak bisa dibiarkan dan harus diluruskan. Kelompok 10 menganggap kesalahan terutama dibuat oleh pengurus YPTKSW.ii Pengurus YPTKSW tampaknya sudah mengambil langkah-langkah persiapan kalau sekiranya Kelompok 10 akan ke pengadilan. Langkah pertama pengurus adalah memberi kuasa kepada 5 orang sarjana hukum—Danny Zacharias, Krishna D. Darumurti, Djoko Oentoeng Soerapati, Hermawan, dan Jerry Tambun—untuk menuntut 19 mahasiswa PPs-SP yang mengkritik YPTKSW. Para kuasa hukum juga mengancam akan menuntut Ariel Heryanto lantaran wawancaranya di majalah Imbas dianggap menghina pengurus Yayasan. Sebagian isi wawancara Ariel yang dipersoalkan ternyata akibat salah tulis majalah mahasiswa itu. Kedua ancaman itu tidak jadi dilaksanakan. Tetapi kemudian, terbitnya buletin Kelompok 10 diimbangi oleh buletin serupa yang tidak ketahuan penulisnya. Buletin dengan nama Pamflet Demokrasi ini beredar bebas di kampus mulai Mei 1994 dan mengambil posisi berseberangan dengan Kelompok 10. Tetapi, Kelompok 10 lebih berhasil membentuk opini publik. Ini antara lain karena Arief Budiman dan rekannya sesama dosen PPs-SP Ariel Heryanto punya akses lebih luas ke pers.
http://slamethdotkom.wordpress.com
57
[email protected]
BAB 5
Pemilihan Rektor Ada dua versi mengenai pemilihan rektor UKSW tahun 1993, satu dari Kelompok 10 dan para pendukungnya, satu lagi dari John Titaley yang diamini pendukungnya juga. Versi Kelompok 10 Menurut Kelompok 10 dalam buku Wati dan Fernandez: Mencari Kebenaran dalam Pemilihan Rektor UKSW 1993, pemilihan rektor 1993 dilakukan dalam tiga putaran. Putaran pertama, pemilihan di tingkat unit, yakni di fakultas dan unit pelayanan seperti perpustakaan, lembaga penelitian, dan unit perwakilan mahasiswa. Unit yang mempunyai hak pilih ada 21 unit. Putaran kedua di Senat Universitas. Putaran ketiga dilakukan di pengurus YPTKSW. Baru sesudah itu nama yang “menang” diusulkan ke Mendikbud untuk dimintai persetujuannya. Pada putaran pertama, hasilnya Liek Wilardjo 10 suara, 7 di antaranya dari unit pengajaran. John Ihalauw 6 suara, 3 dari unit pengajaran, John Titaley 5 suara, 2 dari unit pengajaran. Unit pengajaran ini penting sebab merupakan tulang punggung Satya Wacana, sedangkan unit nonpengajaran tugasnya melayani unit pengajaran. Menurut peraturan yang sejak dulu dipakai dalam pemilihan rektor, maka berdasarkan pemilihan putaran pertama ini, yang bisa diajukan sebagai calon untuk diteruskan ke putaran kedua adalah Liek Wilardjo saja. Dua lainnya gugur karena berdasarkan Statuta UKSW, dan kemudian diperkuat oleh Keputusan Dewan Pengurus YPTKSW No. 133/A/KP/DPI/88, maka calon yang bisa diteruskan adalah mereka yang mendapatkan suara lebih dari 1/n dari jumlah unit yang ada, di mana n adalah jumlah calon, yaitu 3. Dengan demikian, calon yang bisa diluluskan dalam putaran pertama adalah mereka yang paling sedikit mendapatkan 21/3 + 1 = 8 suara. Maka, hanya Liek yang lulus. Ini juga yang menjadi pemahaman dari Panitia Pemilihan Rektor UKSW 1993, yang terdiri atas Ruminto Adi, Amin Sujitno, dan O. Tjahjakartana. Mereka lalu membuat konsep keputusan tentang peraturan Pemilihan Rektor UKSW tahun 1993. Konsep yang sudah disepakati oleh Pengurus Yayasan ini sebenarnya sudah mau diumumkan pada 27 Mei 1993, yakni tanggal pemilihan Rektor di tingkat Senat. Setelah mengetahui Liek Wilardjo akan jadi calon tunggal di putaran kedua, tiba-tiba secara sepihak Pengurus YPTKSW mengeluarkan peraturan baru pada tanggal 26 Mei 1993, sehari sebelum pemilihan di Senat. Isinya menyatakan bahwa pada putaran pertama, tidak diperhatikan jumlah unit yang mendukung seorang calon. Semua calon sama bobotnya, karena, katanya, ini cuma tahap nominasi. Cuma nama yang diambil, bukan suara. Jadi, calon yang dapat dukungan 20 unit sama nilainya dengan calon yang dapat dukungan 1 unit. Jadi, untuk apa unit bersusah-susah mengumpulkan para anggotanya untuk melakukan pemilihan? Kalau cuma mau usul nama saja, kan tidak usah capek-capek mengadakan pemilihan di tingkat unit. Padahal, pemilihan di tingkat unit dilakukan dengan serius sekali. Misalnya, ketika
http://slamethdotkom.wordpress.com
58
[email protected]
mencalonkan seseorang, tiap unit harus mendapatkan tanda tangan persetujuan dari si calon yang menyatakan bahwa dia menyetujui. Jadi, kalau cuma nominasi nama saja, buat apa tiap unit harus mendapatkan tanda tangan si calon? Satu unit saja mencalonkan, sudah cukup. Namanya sudah masuk. Buat apa si calon harus membuat tanda tangan pada beberapa unit yang mencalonkannya? Bukti lain bahwa pemilihan di tingkat unit dilakukan secara serius: Adanya peraturan bahwa pegawai di unit yang sudah memberikan suara di Dewan Pegawai tidak boleh memberikan suara di unit tempat dia bekerja. Supaya tidak ada orang yang memberikan suara dua kali. Kalau suara unit tidak penting dalam tahap nominasi ini, buat apa susah-sudah harus menjaga supaya orang tidak memberikan suara dua kali? Pendeknya, pemilihan di unit dilakukan secara sangat cermat, diawasi supaya benar-benar demokratis. Juga, ketika unit perpustakaan memberikan suara netral, Sekretaris Senat Ruminto Adi menegur ketua unit perpustakaan supaya tidak memberikan suara netral. Akibatnya, perpustakaan memberikan pilihan kepada John Ihalauw, dan membatalkan suara yang sebelumnya. Kalau suara unit tidak penting, buat apa orang yang netral dikejar-kejar untuk memberikan suaranya? Apalagi John Ihalau sudah dipilih oleh 5 unit lainnya. Mengapa sampai pengurus membuat interpretasi yang menyimpang dari peraturan pemlihan rektor yang ada? Beberapa hari sebelum pemilihan calon rektor di Senat tanggal 27 Mei 1993, John Titaley dalam kapasitasnya sebagai wakil ketua Senat dan Ruminto Adi sebagai wakil ketua pemilihan rektor, datang ke Ketua Pengurus Yayasan Haryono Semangun. Hal ini dinyatakan dalam press release tanggal 30 November 1993, pada butir 8. Kedua orang tersebut mengatakan bahwa interpretasi yang benar tentang aturan pemilhan rektor adalah seperti yang kemudian diikuti oleh Pengurus. Yang jadi masalah, John Titaley tidak mendapat mandat dari Senat dan Ruminto Adi tidak mendapat mandat dari Panitia Pemilihan Rektor. Keduanya mengatasnamakan kedua lembaga itu secara tidak sah. Mengapa? John Titaley adalah salah seorang calon rektor yang pada putaran pertama mendapat 5 suara unit, sedangkan Ruminto Adi adalah pendukung calon rektor John Ihalauw yang mendapat 6 suara unit. Sebenarnya keduanya gugur pada putaran pertama. Kalau peraturan baru ini diterima, maka kedua calon yang sudah gugur ini jadi hidup lagi. Pendukung Liek tentu saja protes, tapi tidak diperhatikan. Lalu, mengapa mereka tidak walk out saja meninggalkan ruangan? Itulah salahnya para pimpinan unit yang mendukung Liek. Mereka terlalu sopan dan enggan membuat keributan. Selanjutnya, pemilihan di tingkat Senat diadakan juga dengan peraturan yang baru. Anggota Senat adalah pimpinan dari 21 unit yang ada. Ketua unit otomatis menjadi anggota Senat. Ini berbeda dengan Senat di perguruan tinggi negeri. Di sana anggota Senat adalah mereka yang sudah mendapat gelar profesor, di samping pimpinan unit yang ada. Di sana, para profesor mewakili dirinya sendiri, sebagai individu. Mereka telah lama mengabdi di universitas, dan punya banyak pengalaman. tapi di UKSW, karena belum ada profesor, wakil-wakil unitlah yang jadi anggota Senat. Jadi seorang senator adalah wakil unitnya. Kalau seorang senator habis masa jabatannya di unitnya, maka dia juga secara otomatis berhenti jadi senator. Jadi, senator harus mengikuti suara unitnya. Bukti lain bahwa senator harus mengikuti suara unitnya: Pernah di Senat diusulkan supaya unit boleh mengusulkan lebih dari satu nama
http://slamethdotkom.wordpress.com
59
[email protected]
karena baru taraf nominasi. Usul ini ditolak karena dianggap akan membingungkan senator kalau harus memilih di Senat. Mau pilih yang mana kalau unitnya mengusulkan lebih dari satu nama. Ada juga senator yang mewakili dirinya sendiri, yakni mereka yang ditunjuk karena kepakarannya. Ada dua senator pakar seperti ini, yakni Amin Suyitno dan O. Tjahjakarata. Tapi, karena mereka tidak punya unit, mereka juga tidak mempunyai hak suara. Yang aneh dalam pemilihan di Senat ini, hasilnya tidak sama dengan pemilihan tingkat unit. Liek mendapat 9 suara, John Ihalauw 8 suara, dan John Titaley 4 suara. Ada 2 unit yang berkhianat, yaitu Dewan Pegawai dan Fakultas Biologi. Yang lebih gila lagi, Ketua Umum Haryono Semangun dalam penyataan persnya mengatakan, “Di sini anggota Senat diharap lebih mendahulukan kepentingan Universitas daripada kepentingan unit. Dengan demikian, anggota Senat yang memilih calon yang berbeda dengan calon dari unitnya tidak dapat disebut berkhianat.” Memangnya para anggota unit yang melakukan pemilihan rektor tidak memikirkan kepentingan universitas? Lagipula, apa bedanya anggota unit dengan ketuanya? Hanya karena dia ketua unit, dia tiba-tiba bisa memikirkan kepentingan universitas secara lebih luas dan suaranya lebih penting. Apakah suara satu orang dari unit teresebut, yang kebetulan menjabat ketua, lebih penting daripada suara banyak orang dari unit tersebut? Kan di unitnya sang ketua atau dekan itu juga ikut memilih dan suaranya sama dengan suara anggota lain. Mengapa tibatiba, ketika dia di Senat, suaranya bisa jadi lebih sakti melebihi rekan-rekannya di unit? Ini benar-benar keterlaluan dan sangat tidak demokratis. Akhirnya, berdasarkan pemilihan di Senat, diajukanlah dua nama: Liek Wilardjo dan John Ihalauw. Selanjutnya, semuanya berjalan rahasia. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Orangorang tahunya, ada pertemuan pengurus YPTKSW sampai dua kali dan kemudian sudah ada calon rektor yang diajukan ke mendikbud. Akhirnya, memang ketahuan bahwa YPTKSW mengajukan John Ihalauw ke mendikbud, padahal John Ihalauw sudah dikalahkan dalam dua putaran pemilihan. Menurut cerita Haryono Semangun sendiri di muka anggota-anggota Senat, setelah melihat keadaan UKSW sekarang, maka untuk calon Rektor mendatang ditetapkan yang bisa manajemen, harus bisa bergaul secara luwes. Nah, sesudah itu, kepada para anggota YPTKSW ditanyakan: “Siapa yang tidak setuju dengan John Ihalauw?” Ada 1 yang angkat tangan, 10 lainnya diam saja. Ini artinya 10 memilih John, satu memilih Liek. Sesungguhnya, yang paling bertanggung jawab adalah Haryono Semangun, sekretaris YPTKSW yang digaji Melky Oe Nganggoe, dan bendahara Tedjo Raharjo. Anggota Yayasan yang lain adalah orang-orang Gereja yang tidak mengetahui apa yang terjadi di kampus UKSW. Mereka juga tidak mengenal secara baik siapa itu Liek Wilardjo, siapa itu John Ihalauw. Sesuai PP No. 30 tahun 1990, calon rektor diajukan ke mendikbud untuk dimintai persetujuannya. Mula-mula mendikbud tampaknya tidak mau begitu saja menyetujui. Akibatnya, rektor yang seharusnya diumumkan 3 bulan sebelum dies natalis tanggal 30 November 1993 baru diketahui beberapa hari saja sebelum tanggal tersebut. Artinya, baru pada saat-saat terakhirlah mendikbud memberikan persetujuannya. Menurut keterangan mendikbud kepada seorang anggota DPR seperti yang dimuat di harian Suara Merdeka tanggal 7 Desember 1993, pihaknya “hanya dapat mengesahkan apa yang telah menjadi keputusan
http://slamethdotkom.wordpress.com
60
[email protected]
yayasan dan senat PTS tersebut.” Apakah Senat mengesahkan pencalonan John Ihalauw? Ini yang membingungkan. Haryono Semangun dalam press release-nya tanggal 30 November butir 6f mengatakan bahwa “surat tanggal 18 Oktober 1993 Senat memberikan jawaban bahwa Senat tidak menarik keputusan 27 Mei, disertai catatan bahwa sebagian anggota Senat berpendapat bahwa keputusan 27 Mei adalah benar, tetapi ‘Kelompok 10’ menyatakan bahwa terdapat sejumlah cacat pada keputusan itu.” Padahal, rapat Senat tentang masalah ini mengalami kemacetan karena kedua kelompok tidak bisa mencapai kata sepakat. jadi, sama sekali bukan menyetujui keputusan 27 Mei, yang mengajukan Liek Wilardjo dan John Ihalauw sebagai dua calon rektor. Kelompok 10 jelas menganggap ada cacat di sana, kelompok lainnya menganggap semuanya sudah sah. Nah, kedua kelompok ini bersepakat untuk tidak sepakat. Eh, tahu-tahu keluar press release Haryono Semangun yang menyatakan bahwa keputusan 27 Mei tidak ditarik. Sudah terjadi manipulasi di sini. Mendikbud mendasarkan persetujuannya atas informasi yang tidak benar. Kelompok 10 secara de jure tidak menerima John Ihalauw sebagai rektor yang sah. John hanya diterima sebagai rektor yang ditunjuk oleh pengurus saja. Ini agar UKSW sebagai lembaga tidak terganggu kegiatan sehari-harinya.
Versi John Titaley Inilah pendapat Titaley dalam buku yang ditulisnya mengenai pemilihan rektor UKSW tahun 1993. Karena sampul buku itu berwarna kuning, maka sebut saja buku itu Buku Kuning Titaley. Ada tujuh hal yang dibahasnya sehubungan pemilihan rektor tahun 1993, yaitu: l. Interpretasi SK 133/l988: 1.1. Berlakunya rumus lebih dari 1/n 1.2. Dependensi-independensi senator 2. Kewenangan Panitia Pemilihan 3. Intervensi Pimpinan Senat 4. Sah tidaknya Rapat 27 Mei 1993: 4.1. Rapat Senat 27 Mei 1993 4.2. Rapat Senat 13 Oktober 1993 5. Interpretasi Pengurus yang dipaksakan 6. Demokrasi 7. Perlu tidaknya Tim Interpretasi SK 133/1988
1. Interpretasi SK 133/1988 Munculnya interpretasi yang berbeda terhadap SK No. 133/1988 adalah akibat perumusannya yang kabur. Dalam proses kali ini, kekaburan sebenarnya terjadi karena ada tendensi tertentu. Benarkah interpretasi Panitia Pemilihan bebas dari tendensi tertentu dan
http://slamethdotkom.wordpress.com
61
[email protected]
karenanya interpretasi itulah yang benar dan adil? Benarkah interpretasi Yayasan setelah mendengar penjelasan Pimpinan Senat adalah interpretasi yang dilakukan berdasarkan kepentingan tertentu, atau interpretasi yang dipaksakan? Dengan interpretasi Panitia, pemilihan tidak dilakukan di tingkat Senat, karena hanya ada satu calon saja yang memenuhi kriteria rumus 1/n + l. Akibatnya, Senat hanya mempunyai satu calon. Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah, benarkah interpretasi Panitia yang dengan asumsi-asumsi yang digunakan telah meniadakan tindakan pemilihan di tingkat Senat? Padahal dengan interpretasi Pengurus Yayasan, pemilihan tetap harus dilakukan. Dua hal nyata dalam interpretasi terhadap SK 133/1988 sebagaimana yang ditanyakan oleh Panitia, yaitu kapan berlakunya rumus 1/n + 1, dan dependensi-independensi senator. Dua hal ini sebenarnya merupakan dua konsep yang berbeda. Karenanya, keduanya harus dibahas secara tersendiri. l.l. Berlakunya rumus lebik dari 1/n Oleh Panitia Pemilihan rumus lebih dari 1/n telah diubah menjadi 1/n + 1. Merumuskan begitu saja sudah salah karena SK 133 pasal 2 ayat 9a dengan tegas menyebut: ”Kalau ada n calon, yang boleh diteruskan pencalonannya ialah yang mendapat lebih dari 1/n dari yang mempunyai hak suara.” Karenanya, Panitia telah salah mengutip rumus tersebut. Kesalahan ini bukan hanya sekadar kesalahan redaksional saja, melainkan mengandung pula kesalahan substansial. Rumus 1/n + 1 tidak sama dengan rumus lebih dari 1/n. Apabila jumlah senator adalah 22 orang, maka yang berhak diteruskan pencalonannya menurut rumus 1/n + 1 adalah calon yang sudah mendapatkan 8 1/3 suara atau lebih. Karena suara pada dasarnya adalah bilangan utuh (maksudnya bilangan bulat – penulis), maka calon yang mendapatkan hanya 8 suara tidak dapat diteruskan pencalonannya. Hanya yang mendapatkan minimal 9 suara yang bisa diteruskan pencalonannya. Sedangkan menurut rumus lebih dari 1/n, yang dapat diteruskan pencalonannya adalah calon yang mendapatkan 7 1/3. Karenanya, calon yang mendapatkan 8 suara saja sudah dapat diteruskan pencalonannya. Itu berarti dua rumusan itu berbeda konsekuensinya. Sebenarnya interpretasi yang dibuat oleh Panitia, terutama yang menyangkut waktu pemberlakuan rumus lebih dari 1/n, tidak ada dasar hukumnya sama sekali. Yang dimaksud adalah dasar yang ada dalam SK 133/1988 itu sendiri yang memandatkan diterapkannya rumus tersebut tanpa pemilihan di Senat. Penjelasan Panitia tentang hal itu tidak ada sama sekali, terutama dukungan bukti hukumnya. Yang digunakan hanyalah anggapan perlunya ada seleksi terhadap calon. Anggapan ini dimasukkan dari luar SK 133/1988. Dua dasar yang digunakan yaitu statuta dan Peraturan Tata Tertib Senat. Pertama, statuta yang dimaksud Panitia Pemilihan adalah statuta yang masih berupa konsep, yang baru dibicarakan oleh Senat dan belum disahkan dalam suatu SK Yayasan. Karenanya, statuta tersebut tidak sah. Kedua, UKSW tidak mempunyai Peraturan Tata Tertib Senat. Yang ada hanyalah Peraturan Tentang Senat, yaitu SK 29/1990 yang sudah disebut di atas. SK 29/1990 tentang Peraturan Tentang Senat Universitas Kristen Satya Wacana Pasal 1 yang berbunyi:
http://slamethdotkom.wordpress.com
62
[email protected]
”Senat adalah lembaga non-struktural yang merupakan perwakilan permusyawaratan tertinggi Civitas Acadamika Universilas Kristen Satya Wacana.”
dan
Kedua dasar itu sama sekali tidak mengatur waktu diberlakukannya rumus lebih dari 1/n itu. Keduanya hanya berbicara tentang status Senat. Karenanya, keduanya tidak dapat dijadikan dasar bagi penerapan rumus lebih dari 1/n sebelum adanya pemilihan di tingkat Senat. SK 133/1988 Pasal 2 ayat 9 secara tegas malah memandatkan perlunya dilakukan pemilihan dulu baru rumus tersebut dapat diberlakukan. Bunyinya sebagai berikut: ”Dalam taraf nominasi, Panitia Pemilihan Calon Rektor mengemukakan nama-nama calon yang telah disampaikan kepada Panitia dengan cara tersebut pada butir 6 di atas. Apabila dari hasil nominasi ternyata ada calon lebih dari dua, pemilihan dilakukan bertahap: a. Kalau ada n calon, yang boleh diteruskan pencalonannya ialah yang mendapat lebih dari 1/n dari yang mempunyai hak suara. b. Kalau ada dua calon: 1) Calon yang mendapat 75% atau lebih dari jumlah suara yang hadir diajukan kepada Pengurus sebagai calon tunggal; 2) Kalau masing-masing mendapat suara kurang dari 75% dari jumlah suara yang hadir, kedua-duanya diajukan kepada Pengurus sebagai calon-calon Rektor.” Dalam pasal 2 ayat 9 ini sudah jelas bahwa kedudukan rumus lebih dari l/n adalah di bawah rumusan ”pemilihan dilakukan bertahap.” Dalam SK 133/1988 ini kata pemilihan disebut pada pasal 2 ayat 4: ”Pemilihan calon Rektor dilakukan dalam dua tahap: a. Di tingkat Unit/Fakultas untuk memilih calon yang akan diajukan Unit/Fakultas ke Senat, b. Di tingkat Senat untuk memilih calon yang akan diajukan kepada Pengurus Yayasan.” Dengan demikian, kata pemilihan digunakan dengan dua pengertian, yaitu pemilihan di tingkat unit/Fakultas dan pemilihan di tingkat Senat. Arti dari kata pemilihan adalah adanya perbuatan memilih. Hal itu ditegaskan dalam ayat 9 dengan rumusan ”pemilihan dilakukan bertahap.” Rumusan in mensyaratkan adanya (1) perbuatan, tindakan memilih, dan (2) tahapan tindakan memilih itu. Tahapan-tahapan itulah yang diatur dengan rumus lebih dari
http://slamethdotkom.wordpress.com
63
[email protected]
1/n dan 75%. Karenanya, rumus lebih dari 1/n baru bisa diterapkan setelah ada tindakan, perbuatan memilih. Pengertian seperti inilah yang dimandatkan oleh SK 133/1988 itu. Tindakan menerapkan rumusan lebih dari 1/n terhadap para calon sebelum ada tindakan pemilihan, bukan hanya tidak mempunyai dasar hukumnya, melainkan merupakan tindakan yang anarkis. Kalau ada dasarnya, maka dasarnya adalah pada logika bahwa karena Senator adalah wakil unit, maka ketika pemilihan dilakukan, sudah pasti hasilnya akan sama dengan nominasi dari Unit/Fakultas. Logika ini benar dalam dirinya sendiri. Akan tetapi logika ini bukanlah logika yang digunakan dalam SK 133/1988. Kalau logika ini yang digunakan, maka pemilihan pada tingkat Senat tidak perlu lagi. Nyatanya, dalam SK 133/1988 ini, pemilihan itu masih harus dilakukan. Malah pada tingkat Senat inilah sebenarnya pemilihan itu baru terjadi, karena untuk itulah rumus-rumus yang disebut diatas, yaitu lebih dari 1/n untuk menyeleksi calon rektor berdasarkan pemilihan di Senat, dan 75% untuk menjadi calon tunggal itu diadakan, yaitu pasal 2 ayat 9 butir (a) dan (b): 1 dan 2. Jadi, dasar interpretasi Panitia Pemilihan terhadap SK 133/1988 hanpalah pada dependensi atau independensi senator, bukan tentang kapan diberlakukannya rumus lebih dari 1/n. Panitia tidak berhasil menunjuk dasar hukum yang jelas bagi ditiadakannya tindakan pemilihan pada tingkat Senat. Karenanya, tindakan pemilihan di Senat harus dilakukan. Upaya meniadakan tindakan pemilihan di tingkat Senat melalui interpretasi Panitia itu, sama saja halnya dengan mencabut hak Senat dan senator untuk memilih, padahal hak tersebut dijamin oleh peraturan yang jelas. Siapakah yang memanipulasi proses pemilihan ini?
Keharusan untuk melakukan pemilihan adalah satu konsep yang dijamin oleh peraturan, sedangkan bagaimana senator memilih adalah konsep lain yang berbeda dengan keharusan untuk memilih. Untuk itu aturannya juga sudah ada. 1.2. Dependensi-independensi senator. Bagaimana senator memilih berhubungan erat dengan konsep dependensiindependensi senator. Tentang hal tersebut, SK 133/1988 tidak mencantumkannya sama sekali. Karenanya, harus dicari dasar hukumnya pada SK 29/1990, yaitu Peraturan tentang Senat UKSW. Selain Pasal 1 mengenai status Senat, maka pemahaman tentang hak dan kewajiban seorang Senator diatur oleh Pasal 7 mengenai Hak, dan pasal 8 mengenai kewajiban seorang senator. Pada Pasal 7 ayat 1 disebutkan:
http://slamethdotkom.wordpress.com
64
[email protected]
”Setiap Anggota Senat memiliki hak mengeluarkan pendapat.” Penjelasan terhadap pasal 7 ayat 1 ini demikian: ”Di samping pendapat dari unit yang diwakilinya, sebagai seorang individu Anggota Senat dapat mengeluarkan pendapat yang mencerminkan wawasan dan hati nuraninya juga.” Hal ini menunjukkan adanya kebebasan seorang Senator untuk berpendapat sendiri. Karenanya, adalah tidak benar bahwa seorang senator itu harus kaku dengan pendapat unitnya. Sudah tentu kebebasan itu tidak berarti bahwa seorang senator boleh sembarangan saja mewakili unitnya. Batasannya ada, yaitu pertimbangan hati nuraninya. Ini berarti bahwa seorang senator bisa lain pendapatnya dengan unitnya, asal dia dapat mempertanggungjawabkannya berdasarkan pertimbangan hati nuraninya. Karenanya, seorang senator tidak bisa dibatasi (dipenjara) oleh unitnya sendiri. Kebebasan sebagai senator tetap ada. Kebebasan itu harus dipertanggungjawabkannya, entah unitnya mau menerimanya atau tidak. Kalau unit tidak bisa menerimanya, sudah tentu dia harus di-recall (diganti). Kalau senator tersebut yakin dengan pendapatnya itu, karena pertimbangan hati nuraninya, sudah tentu dia tidak perlu risau kalau di-recall. Dia secara pribadi harus yakin terhadap tindakannya itu. Dalam kasus Kelompok 10, apakah tindakan senator yang membentuk Kelompok 10, dan tindakan-tindakannya ikut kelompok 10, sesuai dengan pertimbangan unitnya? Dalam kasus Fakultas Theologi, baru pada bulan Januari 1994 unit itu mendukung tindakan-tindakan senatornya dalam Kelompok 10. Selama Mei 1993 sampai Januari 1994, tidakkah senator tersebut sudah mempraktekkan kebebasan hati nuraninya sebagaimana dijamin dalam penjelasan pasal 8 ayat 1? Hal itu nyata dalam pernyataan senator tersebut bulan November 1993 tentang Rektor terpilih 1993. Tidakkah karena kebenaran dan keadilan sebagaimana yang dipahami oleh hati nuraninya senator tersebut berani membuat pernyataan dan tindakan yang belum merupakan pendapat dan pertimbangan unitnya? Bagaimana dengan unit-unit lainnya? Begitu pula dengan upaya sejumlah senator tertentu untuk meminta Senat menarik Ketua Dewan Pegawai dari kedudukannya sebagai senator. Sudahkah unit seperti LPU membicarakannya dalam rapat LPU? Begitu pula dengan menghadapnya beberapa Senator ke Komisi IX DPR-RI. Jadi, sadar atau tidak, independensi senator telah diterapkan dalam praktek selama ini dalam dependensinya. Karenanya, masalahnya bukanlah dependensi atau independensi senator, akan tetapi apakah senatornya berani mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak. Dalam kasus adanya dua Senator yang dinilai membelot, unitnya harus mencari tahu apa tindakan senatornya, dan kalau ternyata diketahui berbeda dengan pertimbangan unit, dia perlu didengar pertimbangan hati nurarinya pula. Apakah kalau setelah didengar penjelasan dari tindakan Senator tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan pertimbangan unitnya, lalu dinilai bukan tindakan senator, sehingga rapat itu tidak sah? Pemecahan terhadap hal itu sudah dipahami dalam bentuk adanya lembaga
http://slamethdotkom.wordpress.com
65
[email protected]
recall. Proses sudah berjalan dan proses itu tidak bisa diulangi hanya oleh ulah satu dua orang senator. Dalam kasus pemilihan di Senat tanggal 27 Mei 1993, apakah itu berarti bahwa keputusan tersebut tidak sah karena adanya ”pembelotan” dua orang senator terhadap pertimbangan unitnya? Tidakkah kedua senator itu telah bertindak sesuai dengan peraturan ketentuan tentang Senat yang berlaku? Rapat itu sendiri sah karena dihadiri oleh seluruh anggota Senat. Keputusannya juga dengan demikian sah. Peristiwa tersebut sudah terjadi dan tidak bisa diulangi. Pengulangan baru akan terjadi 4 tahun lagi. Pemecahan terhadap ”pembelotan” itu adalah me-recall senator tersebut. Ini demokratis. Interpretasi yang dilakukan oleh Panitia untuk tidak memungkinkan Senat dan senator melakukan tindakan memilih selain merampas hak Senat dan senator yang dijamin oleh peraturan, juga berarti ketidakpercayaan Panitia terhadap kedewasaan seorang senator. 2. Kewenangan Panitia Pemilihan Apakah tindakan Panitia maju ke Yayasan sesuai dengan ketentuan mengenai Panitia dalam SK l33/1988 itu? Selain itu, apakah tindakan Panitia itu sesuai dengan pernyataan anggota Penitia sendiri bahwa Panitia hanya bertugas secara administratif? Apakah kedatangan Panitia ke Yayasan itu administratif? Apakah karena sudah diangkat dengan SK Rektor, lalu Panitia bisa bertindak secara otonom dan independen tanpa menghiraukan batas-batas tugasnya? Berdasarkan SK 133/1988 susunan dan tugas Panitia diatur dalam Pasal 2 ayat 1 dan pasal 2 ayat 7 (a). Pasal 2 ayat 1: ”Panitia Pemilihan calon Rektor terdiri dari Sekretaris Senat sebagai Ketua Panitia dan dua orang Senator yang dipilih oleh Senat.” Pasal 2 ayat 7 (a): ”Rapat Senat pemilihan calon Rektor dipimpin oleh Sekretaris Senat dengan dibantu oleh dua orang anggota Panitia Pemilihan.” Dari rumusan dalam dua ayat ini, jelas bahwa tugas Panitia baru ada ketika rapat Senat untuk pemilihan calon Rektor diselenggarakan. Di luar rapat tersebut, Panitia tidak mempunyai tugas sama sekali. Karenanya, tindakan mengirimkan surat pemberitahuan tanggal rapat Senat pemilihan calon Rektor beserta ketentuan tentang syarat-syarat dan prosedur pencalonan Rektor sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Sekretaris Senat sebagai ketua Panitia, tidak mempunyai dasar hukum alias bertentangan dengan SK 133/1988. Demikian pula tindakan Panitia mendatangi Pengurus Yayasan untuk mendapatkan kepastian cara pemilihan calon Rektor, terutama yang berhubungan dengan interpretasi itu terhadap pasal 2 ayat 9 itu. Apakah Panitia baru mempunyai interpretasi seperti itu setelah proses pencalonan selesai di tingkat unit tanggal 15 Mei 1993? Mestinya interpretasi seperti itu sudah dimiliki oleh Panitia sebelumnya karena demikian halnya, maka seyogyanya Panitia bisa membicarakan interpretasi terhadap pasal 2 ayat 9 tersebut dalam salah satu rapat Senat, karena Panitia mengetahui bahwa sejauh ini, interpretasi terhadap SK 133/1988 itu dilakukan oleh Senat, seperti yang terjadi tanggal 18 Februari 1993 itu. Rapat Senat terakhir sebelum pemilihan calon Reltor adalah tanggal 13 Mei 1993. Karenanya, seharusnya Panitia bisa
http://slamethdotkom.wordpress.com
66
[email protected]
menyampaikan hal tersebut dalam rapat Senat tersebut. Tindakan Panitia yang baru memunculkan interpretasinya sendiri setelah selesai proses pencalonan dari unit-unit tidakkah juga mengindikasikan adanya maksud-maksud tertentu di kalangan Panitia sendiri? 3. Intervensi Pimpinan Senat Kalau interpretasi yang tidak mempunyai dasar legalnya dijalankan dalam pemilihan calon Rektor tanggal 27 Mei 1993, apakah kebenaran sudah ditegakkan? Tidakkah tindakan pimpinan Senat justru hendak menegakkan kebenaran dan keadilan, karena hendak mencegah terjadinya cacat hukum karena interpretasi dari Panitia? Kedatangan John Titaley dan Ruminto Adi ke pengurus Yayasan adalah dalam kapasitas mereka sebagai pimpinan Senat. Hal ini terjadi, karena mengenai interpretasi SK 133/l988 sebagaimana yang diusulkan oleh Panitia, pengurus Yayasan menghendaki wakil ketua Senat mendampingi Panitia. Wakil ketua Senat telah dilibatkan sejak awal dalam urusan interpretasi ini sehingga ketika interpretasi yang lebih benar hendak disampaikan kepada Pengurus Yayasan, maka yang datang adalah Wakil Ketua dan Sekretaris Senat. Untuk itu mereka tidak memerlukan mandat Senat. Keterlibatan mereka sejak awal sudah dalam kapasitas mereka sebagai pimpinan Senat. Selain itu, kalau memang pengurus merasa bahwa interpretasi yang rnereka sampaikan itu tidak benar, maka sudah tentu pengurus bisa saja mengabaikan interpretasi yang disampaikan oleh pimpinan Senat itu. Walaupun begitu, pimpinan Senat merasa berkewajiban untuk mengusahakan digunakannya interpretasi yang benar dalam pemilihan calon Rektor ini, karena hanya dengan begitu mereka hendak konsekuen dengan keputusan Senat tanggal 18 Februari 1993, bahwa pemilihan calon Rektor dilakukan dengan SK 133/1988 dan SK 29/1990. Tindakan korektif terhadap kegiatan Panitia ini bukan untuk yang pertama kalinya dilakukan oleh pimpinan Senat. Ini merupakan tindakan yang kedua. Tindakan pertama terjadi ketika Panitia menyurati Unit/Fakultas untuk memberitahukan tanggal rapat Senat pemilihan calon rektor bersama syarat dan prosedur pemilihan calon Rektor. Tindakan-tindakan korektif ini semuanya dilakukan supaya proses pemilihan calon Rektor di Senat bisa terjadi sesuai dengan keputusan bersama tanggal 18 Februari 1993. 4. Sah-tidaknya rapat tanggal 27 Mei 1993. Apakah rapat Senat tanggal 27 Mei 1993 yang dihadiri oleh semua Anggota Senat yang berhak suara bisa disebut rapat yang tidak sah? Dan apakah rapat yang memenuhi kuorom seperti itu bisa membuat keputusan, apalagi dengan voting, yang tidak sah? 4.1. Rapat Senat 27 Mei 1993 Dalam kasus rapat Senat tanggal 27 Mei 1993 tentang pemilihan calon Rektor, apakah rapat itu tidak sah, keputusannya tidak sah, karena prosesnya mengalami cacat? Dalam pasal 2 ayat 2 SK 133/1988 disebutkan: ”Rapat sah: a. Kalau dihadiri oleh paling sedikit 2/3 jumlah anggota yang berhak suara. b. Kalau yang hadir kurang dari 2/3 jumlah anggota yang berhak suara, rapat ditunda 30 menit. Sesudah penundaan 30 menit, rapat itu sah tanpa memperhatikan jumlah yang hadir.”
http://slamethdotkom.wordpress.com
67
[email protected]
Rapat Senat tanggal 27 Mei 1993 dihadiri oleh semua anggota Senat yang berhak suara. Karenanya rapat itu sah, sehingga bisa dimulai. Apakah keputusannya lalu tidak sah? Bisakah suatu rapat yang sah mernbuat keputusan yang tidak sah? Apakah keputusan tanggal 27 Mei 1993 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku? Ketentuan keputusan yang berlaku sah bagi rapat Senat pemilihan calon Rektor diatur dalam pasal 2 ayat 9 SK 133/1993. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dua calon yang muncul dengan perbandingan suara 9 dan 8, adalah akibat dari diterapkannya ketentuan lebih dari 1/n [pasal 2 ayat 9 (a)] untuk menyeleksi calon dari tiga menjadi dua, dan ketentuan 75% [pasal 2 ayat 9 (b.2)], karena salah satu dari keduanya tidak mendapatkan 75%, sehingga keduaduanya diajukan sebagai calon Rektor. Karenanya, keputusan itu sah, sesuai dengan SK 133/1993. Apakah rapat tersebut mengalami cacat? Rapat tersebut membuat semua keputusannya dengan aklamasi, kecuali mengenai calon Rektor yang dilakukan dengan voting? Dalam rapat tersebut pula interpretasi yang diusulkan oleh Pengurus dapat diterima oleh Senat, sehingga atas dasar persetujuan itu, Senat lalu mulai voting untuk memilih calon Rektor. Dalam rapat tersebut, pada akhirnya keberatan bukannya pada waktu diberlakukannya rumus lebih dari 1/n melainkan terutama kepada dependensi-independensi senator. Karena itu yang menjadi masalah, maka rapat lalu memutuskan untuk memilih sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Mengenai rapat ini, apakah ada unsur paksaan dari Pengurus Yayasan, akan disinggung dalam bagian berikutnya. 4.2. Rapat tanggal 13 Oktober 1993. Apakah rapat tersebut menghasilkan keputusan Senat yang sepakat untuk tidak bersepakat? Apakah rapat tersebut memang telah menjawab pertanyaan Pengurus untuk meneruskan atau mencabut keputusan Senat tanggal 27 Mei 1993 dengan jelas? Keputusan tanggal 13 Oktober 1993 merupakan keputusan akhir dari tiga rapat Senat, yaitu rapat tanggal 10 September 1993, 7 Oktober 1993, dan 13 Oktober 1993. Dalam rapat tanggal 30 September 1993, Senat memutuskan untuk mengusahakan adanya pemahaman bersama terhadap interpretasi SK 133/1988 dalam rapat tanggal 7 Oktober 1993. Akan tetapi sayangnya, dalam rapat tanggal 7 Oktober 1993, para senator akhirnya menolak membicarakannya, padahal dalam rapat sebelumnya sudah disetujui. Hal ini sangat disayangkan. Ada ketakutan di kalangan para senator untuk menemukan hasil yang tidak diinginkan, yaitu kebenaran itu. Karena itu, keputusan Senat untuk menerima berbagai interpretasi terhadap SK 133/1988 itu pada dasarnya adalah pelarian terhadap kebenaran. Dalam rapat tanggal 13 Oktober 1993, keputusannya adalah bahwa rapat tanggal 27 Mei 1993 sudah terjadi. Terhadapnya ada dua pemahaman, yaitu rapat itu sudah sesuai dengan SK 133/1988, dan ada yang mengatakanya tidak sah karena ada cacat. Akan tetapi, tentang pertanyaan Pengurus terhadap Senat apakah Senat hendak mencabutnya atau rneneruskannya, tidak dibuat keputusan. Kalau keputusannya adalah bahwa berbagai interpretasi bisa diterima, apakah itu tidak lalu berarti bahwa interpretasi yang Pengurus buatkan juga lalu tidak bisa diterima? Tentu juga bisa Senat terima. Kalau interpretasi itu bisa diterima, maka sudah tentu Rapat 27 Mei 1993 itu yang diselenggarakan dengan interpretasi Pengurus juga bisa diterima.
http://slamethdotkom.wordpress.com
68
[email protected]
Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya bahwa rapat 27 Mei 1993 itu disetujui oleh semua pihak dalam Senat Terhadap ini, tidak ada yang keberatan. Bahkan dalam rapat tersebut sudah disepakati bahwa apa yang terjadi dalam rapat tersebut, berakhir di situ pula, setelah rapat itu ditutup dengan doa yang mendoakan hasil Senat itu supaya Tuhan menentukan salah satu dari kedua calon itu lewat Pengurus Yayasan. Karenanya, rapat 13 Oktober 1993 tidak bisa dikatakan juga lalu mementahkan rapat 27 Mei 1993. Rapat 27 Mei 1993 tetap seperti apa adanya. 5. Interpretasi Pengurus yang dipaksakan Benarkah interpretasi itu dipaksakan, atau adalah merupakan upaya Pengurus untuk menegakkan kebenaran dan keadilan terhadap upaya untuk memutarbalikkan kebenaran dan keadilan? Kalau interpretasi pengurus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, menjadi jelas bahwa Pengurus hanya berbicara tentang pemberlakuan rumus l/n. Pengurus tidak memberikan interpretasi tentang dependensi-independensi Senator. Terhadap interpretasi pemberlakuan rumus 1/n itu seperti yang dibuat Pengurus adakah kesalahan di dalamnya? Ini sejalan dengan interpretasi yang disampaikan oleh pimpinan Senat Tentang dependensi-independensi Senator, dalam rapat 27 Mei 1993 itu diserahkan kepada Senat untuk memutuskannya. Itu pula yang diusulkan oleh Senator dari LPU bahwa baiklah Senat melakukan pemilihan saja dengan memperhatikan ketentuan yang ada. Atas dasar usul itulah rapat lalu memutuskan untuk memilih, dan tidak menunda rapat pemilihan, seperti yang diusulkan oleh beberapa Senator lainnya. Berdasarkan analisis terhadap berlakunya rumus 1/n seperti yang ada dalam uraian ini, maka rumusan Pengurus melakukan paksaan, itu sesuatu yang harus ditinjau kembali. Tidakkah rumusan Panitia yang tidak mempunyai dasar hukumnya itu yang merupakan paksaan? Benarkah bahwa semua sivitas akademika UKSW pada saat Panitia maju ke Pengurus Yayasan mempunyai interpretasi terhadap SK 133/1988 yang sama dengan interpretasi Panitia? Lembaga Kemahasiswaan (LK) baru membuat keputusan pencalonannya tanggal 16 Mei 1993 malam dengan memilih John Titaley sebagai calon mereka. Padahal, sebelumnya John Titaley baru mendapatkan nominasi dari tiga unit/Fakultas. Dengan tambahan nominasi dari dua unit, yaitu SMU dan BPMU, jumlahnya baru menjadi lima. Kalau LK mempunyai interpretasi yang sama dengan Panitia, sudah tentu mereka akan memilih calon yang berpeluang menjadi calon, yaitu Ihalauw atau Wilardjo, daripada Titaley yang akan mati. Kalau LK masih memilih Titaley, itu disebabkan karena fungsionaris LK masih mempunyai interpretasi terhadap SK 133/1988, terutama rumus 1/n, yang berbeda dengan interpretasi Panitia. Karenanya, mengatakan bahwa Pengurus baru menyodorkan interpretasi yang baru, sama sekali tidak benar, karena interpretasi seperti itu sudah hidup juga dalam kalangan UKSW. Yang justru harus dipertanyakan adalah interpretasi Panitia itu. 6. Demokrasi Demokrasi yang dianut oleh SK 133/1988 adalah demokrasi bertingkat yang elitis, apalagi memberi wewenang yang sangat besar sekali kepada Yayasan. Dalam SK tersebut tidak
http://slamethdotkom.wordpress.com
69
[email protected]
terbersit gagasan suara terbanyak. Yang ditegaskan adalah jumlah tertentu, yaitu lebih dari 1/n dan 75% sebagai pemenang. Karenanya, pemahaman bahwa pemenang pada tingkat unit dan tingkat Senat sebenarnya merupakan pemaksaan dari luar terhadap SK 133/1988. Karenanya, antara 9 dan 8 suara, sebenarnya tidak ada pemenangnya. Penerimaan terhadap digunakannya SK 133/1988 tanggal 18 Februari 1993 oleh Senat dengan gagasan-gagasan yang ada di dalamnya sebagai konsensus bersama Senat itulah yang harus diikuti. Itulah konsensus Senat, dan itulah yang demokratis. Jangan gagasan demokrasi yang lain dipakai dalam gagasan demokrasi yang sudah disepakati. 7. Perlu tidaknya Tim Interpretasi SK 133/1988 Ketidakmauan para Senator untuk membicarakan interpretasi SK 133/1988 tanggal 6 Oktober 1993 sangat mengecewakan, karena hal itu mencerminkan ketidakberanian para Senator untuk menerima kebenaran. Karenanya, pembentukan Tim seperti itu sebenarnya tidaklah perlu. Interpretasi terhadap SK 133/1988, terutama mengenai kapan diberlakukannya rumus kebih dari 1/n sudah jelas, terutama kalau pemahamannya dilakukan sebatas SK 133/1988 itu saja. Siapapun pasti bisa memahaminya dengan baik. Hanya ketika pemahaman hendak dikaitkan dengan ketentuan yang lain, lalu menjadi kabur. Karenanya, tidak perlu. Yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan diri dengan perangkat peraturan yang lebih jelas lagi untuk masa depan. III. KESIMPUL4N Proses pemilihan Rektor UKSW periode 1993-1997 sudah berakhir dan Rektornya sudah dilantik setelah mendapat persetujuan dari Mendikbud. Pertimbangan Senat, sebagaimana disayaratkan oleh PP 30/1990 telah dipenuhi. Senat melalui berbagai rapat dan keputusannya telah memenuhi tuntutan semua peraturan dan ketentuan, baik yang merupakan ketentuan dan peraturan UKSW, maupun peraturan dan ketentuan pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, sudah jelas bahwa apa yang disebut sebagai masalah oleh beberapa orang tertertentu, semuanya telah dibicarakan dan dibahas dalam berbagai rapat Senat. Pembahasan terhadap berbagai masalah tersebut telah melahirkan berbagai keputusan Senat. Keputusan ini keputusan yang dibuat oleh Senat dan semua Senator. Karenanya, Senat dalam batas-batas kewenangannya telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan tuntutan berbagai peraturan dan ketentuan. Satu hal yang harus digumulkan lebih lanjut, pengertian tentang pertimbangan Senat dalam PP 30/1990 itu. Apakah pertimbangan Senat itu selalu harus berbentuk voting? Tidakkah pertimbangan Senat itu bisa tidak voting, melainkan ulasan terhadap prospek universitas di bawah kepemimpinan masing-masing calon, dan atas pertimbangan seperti itu, Pengurus lalu membuat keputusan? Salatiga, 22 Juli 1994
http://slamethdotkom.wordpress.com
***
70
[email protected]
BAB 6
Peringatan Perselisihan di UKSW semakin meruncing. Setelah bosan dengan ulah Kelompok 10 yang sering bikin malu mereka, pengurus Yayasan dan rektor sampai pada kesimpulan bahwa sudah saatnya mengambil tindakan tegas terhadap Kelompok 10. Kalau perlu sampai ke akar-akarnya. Caranya, mula-mula dengan membungkam motor Kelompok 10, yakni Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Kedua tokoh inilah yang dekat dengan wartawan dan punya akses ke pers. Di korankoran memang suara dua tokoh inilah yang selalu bikin kuping merah. Saking gemasnya pada Arief dan Ariel, Rektor John Ihalauw dan pengurus YPTKSW mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang mengancam akan memecat dua dosen PPs-SP itu. Dasar ancaman itu, Arief dan Ariel dinilai sering menjelek-jelekkan UKSW lewat media massa. Jika keduanya tidak menghiraukan peringatan tersebut, pihak Yayasan dan rektor akan mengambil tindakan yang lebih tegas. Khusus dalam surat untuk Arief disebutkan, surat ini merupakan peringatan terakhir baginya karena Arief pernah mendapat surat peringatan serupa pada tahun 1988. Arief mengaku sama sekali tidak takut karena merasa apa yang telah ia lakukan selama ini benar. "Saya sudah bilang kepada JOI bahwa selama ini saya melakukan hal yang benar. Jadi, silakan saja kalau mau memberi sanksi administratif," tegas Arief. "Surat itu tidak akan mengendurkan perjuangan saya untuk meluruskan apa yang sudah terjadi. Saya tetap akan berjuang dalam Kelompok 10, apa pun risikonya," tutur Arief. Arief menerima surat peringatan bernomor 235/B/REK.-YSW/Rhs/1994 pada hari Selasa, 29 Maret 1994, sedang Ariel menerima yang bernomor 236/B/REK.-YSW/Rhs/1994 pada hari Kamis sebelumnya. Ariel juga tampak tenang-tenang saja. "Saya tidak memberikan komentar karena memang tidak paham apa yang sedang terjadi. Tidak ada pengadilan, tidak ada orang yang mengajak saya ngomong, tahu-tahu datang vonis," katanya. "Kalau saya salah, seharusnya ketua unit saya yang menegur saya. Dan, kalau dia tidak menegur, dia juga harus disalahkan. Logikanya kan begitu. Jadi, saya anggap bahwa hal seperti inilah yang sebenarnya mencemarkan nama baik UKSW di mata orang luar. Apalagi, (itu) juga membuktikan ketertutupan untuk berdialog," kata Ariel. Pimpinan PPs-SP pun tidak senang dengan surat peringatan untuk kedua staf senior tersebut. Mereka menganggap kedua surat itu tidak melalui prosedur yang benar. "Terus-terang, kami merasa dilangkahi. Karena itu, kami menolak surat peringatan itu dan menganggap surat itu tidak sah. Apalagi, jika dilihat dari prosedur kepegawaian yang ditetapkan Yayasan sendiri," kata Dr. Limson U. Sangalang, sekretaris PPs-SP. Dalam peraturan pokok kepegawaian UKSW dan penjelasannya yang dikeluarkan pada 1985 memang antara lain disebutkan bahwa perigatan tertulis oleh pejabat rektor boleh diberikan jika teguran yang diberikan ketua unit/dekan/atasan lain diabaikan.ii Limson menyatakan, kalau YPTKSW dan rektor beranggapan bahwa pendapat Arief dan Ariel di media massa merugikan nama baik, mereka harus dapat menunjukkan bagian atau alinea mana yang dirasakan merugikan. Untuk langkah ini, YPTKSW dan rektor pun bisa menggunakan hak jawab seperti yang diatur dalam UU Pokok Pers.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
71
[email protected]
Mengenai turunnya surat peringatan untuk Arief dan Ariel, Rektor John Ihalauw menjelaskan, ada dua ketentuan atau rambu di UKSW. Pertama diatur dalam kebijakan umum YPTKSW yang dikenal dengan Buku Kuning. Isinya antara lain "Dalam universitas perlu ada kebebasan akademik, yaitu kebebasan utnuk membicarakan dan meneliti hal-hal yang kontroversial. Meskipun, penyiarannya keluar kampus harus seizin universitas dengan memperhatikan keadaan atau lingkungan". Rambu kedua adalah Buku Biru yang berisi peraturan pokok kepegawaian dan penjelasannya. Salah satu dasar pengurus Yayasan dan rektor melayangkan surat peringatan adalah penjelasan Bab V tentang Hak dan Kewajiban. Pada salah satu ayat dalam bab itu disebutkan keharusan menjunjung tinggi nama baik kampus. Misalnya, tidak menjelek-jelekkan, tidak melakukan hal-hal yang mencemarkan nama kampus, bersikap wajar dengan pihak ketiga jika menyangkut kampus. Selain itu, tidak mengemukakan hal yang tidak benar dan tidak menyiarkan rahasia kampus.ii Haryono Semangun, yang juga Guru Besar Ilmu Penyakit Tumbuhan FP UGM, ketika dimintai komentarnya malah tidak mau menyebutkan siapa saja yang diperingatkan karena sifat rahasia surat itu. Ia mengatakan, surat peringatan yang diberikan pengurus didasarkan pada ketentuan yang ada. "Pokoknya saya tak menegaskan secara persis siapa-siapa yang diperingatkan. Pengurus tetap bekerja sesuai dengan aturan. Pengurus bukan orang-orang sembarangan." Seorang pengurus YPTKSW lainnya juga menyatakan bahwa sebelum mengeluarkan SKB tersebut, Yayasan dan rektor sudah mendapat pertimbangan yang masak dari penasihat hukum mereka yang kebetulan staf pengajar di FH, yaitu Djoko Oentoeng Soeropati, Jerry G. Tambun, Danny Zakarias, dan Hermawan.ii SKB itu mendapat protes dari mana-mana. Pertama dari redaksi majalah Imbas. Protes ini kemudian diikuti protes tiga doktor pengajar program pascasarjana, George Junus Aditjondro, Soegeng Hardiyanto, dan Th Sumartana. George adalah dosen PPs-SP, sedangkan Soegeng dan Sumartana dosen Program Pascasarjana Agama dan Masyarakat. Ketiganya melayangkan surat bertanggal 5 April 1994 yang mereka sebut sebagai "peringatan atas peringatan" kepada kedua rekan mereka.ii Tiga butir dalam surat protes mereka adalah (1) bukan hanya pengurus Yayasan dan Rektor yang berhak menentukan martabat perguruan tinggi. (2) tidak setuju dengan pengurus Yayasan dan rektor yang menggunakan pendekatan kekuasaan semata-mata, dan (3) yang membedakan universtias dari lembaga dagang adalah daya kritis dosen-dosennya. Tanpa daya kritis itu, universitas akan jadi lembaga dagang semata yang tidak memiliki identitas.ii Karena itu, George dan kawan-kawan mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas kebijakan pengurus Yayasan dan rektor dan dengan tegas menolak kebijakan yang memperingatkan serta mengancam untuk memecat Arief dan Ariel.ii Surat bernada menggugat kebijakan rektor juga datang dari mahasiswa berbagai fakultas UKSW yang tergabung dalam Komite Solidaritas Mahasiswa (KSM). Surat yang ditandatangani koordinator KSM, Otto A. Yulianto, menuntut agar pengurus YPTKSW dan rektor mencabut SKB serta minta maaf pada Arief dan Ariel.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
72
[email protected]
Selang beberapa waktu kemudian, SKB ini juga menarik perhatian The American Association for Advancement of Science (AAAS). AAAS adalah federasi masyarakat ilmuwan terbesar di dunia. Lembaga yang berkedudukan di Washington DC itu mempertanyakan berbagai masalah di kampus UKSW melalui suratnya kepada rektor UKSW. Mereka mempertanyakan SKB untuk Arief dan Ariel, serta surat untuk George Aditjondro.ii Menurut kepala AAAS CK Gunsalus, jika hal itu benar, itu merupakan tindak kejahatan serius terhadap kebebasan akademik dan hak asasi ketiga ilmuwan tersebut, sebab prinsip dasar kebebasan akademik adalah adanya jaminan bahwa anggota suatu masyarakat akademik tidak mendapat ancaman apa pun karena mengekspresikan haknya yang secara internasional dilindungi hukum, termasuk hak untuk mengekspresikan dan mempublikasikan pandangannya.ii Tanggapan resmi PPs-SP turun pada tanggal 6 April lewat surat yang ditandatangani ketua dan sekretaris PPs-SP. PPs-SP menganggap SKB tidak sah sebab selain tidak melalui proses berjenjang, SKB juga melecehkan pimpinan unit. "Yang perlu saya tekankan, masalah ini bukan urusan rumah tangga, sebab UKSW ini merupakan institusi yang bertanggung jawab kepada masyarakat." ujar Ketua PPs-SP Nico L. Kana. Ia menambahkan, "Mengutarakan akan kejelekan bukan berarti menjelek-jelekkan."ii Esoknya, 7 April 1994, puluhan mahasiswa KSM berunjuk rasa pada acara wisuda 485 sarjana baru di lapangan sepakbola UKSW. Mereka membentangkan poster yang bertuliskan: "Buruk Muka ... Bercermin", "UKSW-ku Sayang yang Malang", "Sikap Kritis Jangan Dibungkam", "Memaparkan Kejelekan Tidak Sama dengan Menjelek-jelekkan", "Cabut SK yang Membungkam Kebebasan Berpikir", "Fair Play Dong", serta sebuah spanduk berbunyi, "Cabut SK Pengangkatan Tuan Rektor". Aksi yang menarik perhatian para undangan itu diwarnai pembakaran tujuh buah poster bertuliskan kata yang dinilai sangat merugikan, yaitu Antikritik, otoriter, represif, SKB Pengangkatan rektor, SKB No. 235/B/Rek-YSW/Rhs/1994, SKB No. 236/B/Rek-YSW/Rhs/1994, Kesewenang-wenangan. Aparat keamanan kampus sudah siaga sebelum pengunjuk rasa bergerak, sebab mereka telah mendengar akan adanya aksi itu sebelumnya. Aksi itu dimulai sekitar pukul 09.30 dan baru berakhir setelah para pengunjuk rasa digiring oleh ke ruang sekretariat yayasan sekitar pukul 11.00. Di sana dua wakil KSM, Susiyanto dan Wiwil, keduanya mahasiswa FH, menyerahkan pernyataan sikap KSM kepada Sekum YPTKSW Melky. Melky berjanji akan menindaklanjutinya. Namun aksi KSM tidak menarik simpati lembaga kemahasiswaan. SMU menyayangkan unjuk rasa itu. Mereka menilai pengunjuk rasa tidak menghargai suasana tenang dan gembira bagi rekan-rekan yang diwisuda. "Kenapa aksi itu tak dilakukan saat kuliah saja? Mengapa harus dilakukan saat-saat peristiwa penting seperti acara wisuda dan pelantikan rektor yang baru lalu?" tanya ketua BPMU Hida Diyanto yang didampingi ketua SMU Neil S. Rupidara. "Sebenarnya, mereka yang tergabung dalam KSM kemarin sudah mengundang untuk berdialog Jumat besok. Tetapi, mengapa mereka justru melakukan aksi di peristiwa yang penting ini?" tanya Hida Diyanto. Rektor menanggapi aksi itu dengan santai. "Itu menunjukkan jalannya demokrasi di UKSW," tegasnya. Sedang Melky mengatakan, "Mereka kan anak muda yang merasa memiliki
http://slamethdotkom.wordpress.com
73
[email protected]
UKSW. Itulah demokrasi," katanya. Otto A. Yulianto, koordinator KSM, memilih demonstrasi sebagai cara memperjuangkan aspirasi sebab hal itu memang harus dilakukan menginngat terjadinya banyak penyelewengan otoritas dalam kampus, seperti proses pemilihan rektor yang tidak jujur seta keluarnya SK peringatan bagi dua orang dosen pascasarjana.ii SKB hanya salah satu duri dalam hubungan antara pengurus Yayasan/rektor dengan Kelompok 10. Hal lain yang menjadi masalah adalah belum adanya tindakan untuk Sudi Winarno yang memukul rekan sekerjanya. Karena itu, para senator yang tergabung dalam Kelompok 10 melakukan aksi walk-out sehingga rapat Senat tanggal 14 April pun gagal total. Menurut Dekan FTh. Nugroho Adi, sebulan sebelumnya para senator sudah memberikan masukan kepada rektor yang intinya menyebutkan pemukulan yang dilakukan Sudi Winarno indisipliner. Mereka minta rektor menindak Sudi. "Namun, hingga hari ini (14/4) Rektor belum memberikan tindakan apa-apa, sehingga saya langsung walk out dari rencana rapat Senat Universitas." Aksi ini diikuti 9 anggota Senat lainnya sehingga rapat yang semula akan dipimpin Wakil Ketua Senat John Titaley pun urung berlangsung karena tidak mencapai kuorum. Menurut Dekan FP Rukmadi, selain 10 senator yang tergabung dalam Kelompok-10, senator dari FH dan FB pun berniat walk out dari rapat yang dimulai pukul 11.00. Aksi Kelompok-10 ini ditanggapi dengan sengit oleh Sudi Winarno. Menurut Sudi, K-10 tak punya hak untuk menolak kehadirannya dalam rapat Senat, sebab ia masih menjabat Ketua Dewan Pegawai yang dipilih rapat pleno. Ia juga menjelaskan dua hal yang dianggap "dosa" oleh Kelompok-10. Pertama, tindakannya menganiaya Sukarno, rekan kerjanya.. Katanya, ia tak akan memukul kalau saja Sukarno tak memfitnahnya melalui selebaran. "Siapa yang tak marah kalau difitnah tanpa bisa menunjukkan bukti-bukti kesalahan. Fitnah itu saya anggap sebagai penistaan sehingga saya punya hak untuk membela diri. Sebenarnya persoalan tersebut sudah diselesaikan di tingkat Dewan Pegawai. Bahkan dalam rapat Senat Universitas, saya telah menjelaskannya, mengapa diungkit-ungkit terus?" tanya Sudi. Yang kedua, soal ia dianggap mengkhianati unitnya. Ia menjelaskan, sebelum Dewan Pegawai memberikan suara pada rapat Senat Universitas, pihaknya telah meminta suara pada semua anggotanya. Langkah ini sebenarnya dilakukan secara tertutup dan sangat rahasia. "Kalau saya dituduh berkhianat menyelewengkan aspirasi mayoritas pegawai, mereka juga harus bisa menunjukkan bukti-buktinya," katanya. John Titaley di tempat terpisah menyatakan Senat Universitas pada prinsipnya tak berhak menolak kehadiran senator. Secara konstitusional, lanjut Titaley, Sudi Winarno masih tetap senator sehingga senator lain tak bisa menolak kehadirannya dalam rapat Senat.ii Pertikaian pengurus Yayasan/rektor dengan sebagian warga kampus juga mulai merembet ke luar. Alumni yang tergabung dalam Ikatan Alumni Satya Wacana (Ikasatya) cabang Timor Timur menyatakan simpati untuk Arief dan Ariel. Bahkan, para pengacara alumni FH menyediakan diri membela kedua staf PPs-SP itu bila Arief dan Ariel berniat menuntut pengurus Yayasan dan rektor sehubungan SKB yang dijatuhkan kepada keduanya.
http://slamethdotkom.wordpress.com
74
[email protected]
"Apa pun yang terjadi dan meskipun dalam persidangan nanti harus berhadapan dengan mantan dosen saya sendiri, saya siap membela Arief dan Ariel sampai ke pengadilan tingkat tertinggi sekalipun," kata Handoko Wibowo, SH, salah seorang alumni. Ia juga bersedia bergabung jika Arief dan Ariel menunjuk penasihat hukum lain. Sampai saat ini, Arief dan Ariel masih percaya pertikaian mereka bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Mereka belum punya rencana ke pengadilan. Sementara itu, keterlibatan kelima dosen FH sebagai penasihan hukum Yayasan yang sering mengklaim mewakili FH dipertanyakan. Pimpinan FH merasa belum pernah dimintai izin oleh kelima dosen FH itu. "Keterlibatan kelima dosen FH sebagai penasihat hukum Yayasan terlepas dari tanggung jawab FH. Apalagi, sampai saat ini saya belum menemukan file dari Yayasan yang meminta FH menjadi lawyer YPTKSW," ujar Indra Budiman, SH, ketua Unit Pelayanan dan Bantuan Hukum. Kelima dosen itu adalah Jerry G. Tambun, Danny Zacharias, Krishna D Darumurti, Oentoeng Soeropati, dan Hermawan.ii Pukulan terhadap kubu Yayasan dan rektor masih datang lagi. Ir. Ruminto Adi, mantan dekan FP dan mantan ketua Panitia Pemilihan Rektor yang dikenal sebagai pendukung JOI, dilanda isu suap yang mencuat sejak awal Maret 1994. Kejadiannya bermula ketika seorang calon mahasiswa tahun akademik 1992/1993 yang tidak lulus tes akhirnya diterima di Fakultas Pertanian setelah menyerahkan uang sebanyak Rp3,6 juta, dengan perincian Rp2,4 juta sebagai sumbangan orangtua mahasiswa dan selebihnya sebagai "uang kesejahteraan" fakultas yang diserahkan pada Ruminto Adi. Ketika si mahasiswa yang berinisial HTHS merasa kesulitan menempuh studinya di FP dan ingin pindah ke FKIP, maka di FKIP mahasiswa tersebut ditanya berapa jumlah sumbangan yang diberikan pada universitas waktu masuk fakultas sebelumnya. Pada saat itulah mahasiswa tersebut, entah karena gugup entah karena kurang cerdik, mengakui telah menyerahkan uang pelicin sebesar Rp1,2 juta pada Ruminto. Masalah menjadi melebar ketika orangtua mahasiswa asal Pontianak itu dimintai keterangan oleh universitas. Untuk menutupi kejadian yang sesungguhnya, Ruminto Adi mengajak ibu HTHS ke sebuah rumah makan dan membekali sang ibu dengan "jurus-jurus" untuk menjawab pertanyaan rektor. Karena si ibu itu takut jawabannya salah, maka dia meminta kepada Ruminto Adi untuk menuliskan skenario jawaban tersebut pada sebuah kertas. Karena si ibu ketakutan, maka skenario jawaban yang berisi enam butir itu—di antaranya mewanti-wanti agar menyatakan bahwa uang yang telah diserahkan telah dikembalikan—bukannya dihapalkan seperti keinginan Ruminto tapi justru diserahkan kepada Dekan FP Rukmadi Warsito. Selain itu, semua pembicaraannya dengan Ruminto Adi juga diceritakan. Akibatnya, borok yang telah tersimpan sekian lama itu pun terbuka juga. Buntutnya, beberapa staf pengajar FP menuntut agar Ruminto Adi dikeluarkan dari UKSW karena dinilai telah mencoreng nama fakultas. Sebelum keputusan itu terlaksana, pada 11 Maret lalu secara tak terduga Ruminto Adi mengirim surat pengunduran diri yang ditujukan pada rektor.ii Setelah lama didesak, baru pada bulan Mei rektor mengeluarkan surat keputusan untuk mencopot mantan dekan FP itu. "Saya sudah mengeluarkan surat itu sejak awal bulan lalu. Ini
http://slamethdotkom.wordpress.com
75
[email protected]
terhitung cepat karena jauh-jauh hari Ir. Ruminto Adi memang sudah mengajukan surat pengunduran diri dan mengakui seluruh tindakan yang dilakukannya beberapa waktu lalu," kata Rektor John Ihalauw.ii Sesudah kasus yang menggemparkan yang menimpa Ruminto Adi, pukulan kembali menimpa rektor UKSW yang belum setahun menjabat itu. Kali ini Sudi Winarno dalam rapat pleno Dewan Pegawai Jumat 22 April dicopot dari posisinya sebagai ketua. Bermula dari Triyanto dan Soekarno PW, masing-masing sebagai sekretaris dan bendahara Dewan Pegawai, yang mengundurkan diri, rapat Dewan Pegawai kemudian memutuskan untuk membentuk presidium dengan ketua Soembada. Rapat pleno itu diikuti 40 dari 42 ketua unit Dewan Pegawai yang membawahi 383 anggota. Rapat pleno tersebut membahas masalah-masalah DP yang akhir-akhir ini mendapat sorotan, terutama meninjau kembali kepengurusan pimpinan DP yang dirasakan tak mampu menjalankan aspirasi bawahannya secara jujur. Namun, Sudi Winarno merasa tidak dipecat. Ia masih menganggap dirinya sebagai ketua Dewan Pegawai dan karenanya masih sah mewakili Dewan Pegawai dalam rapat Senat Universitas. "Saya masih merasa menjadi ketua, sehingga kalau ada undangan untuk mengikuti rapat Senat Universitas, saya akan tetap mewakili," jelasnya seraya menyatakan ketidaksetujuannya jika penunjukan Soembada sebagai ketua presidium itu diartikan sebagai pencopotannya sebagai ketua Dewan Pegawai. Menurut Sudi Winarno, mundurnya sekretaris dan bendahara tidak jelas alasannya. Mungkin keduanya malu, setelah kecurangan dan kesalahan mereka terbongkar. Untuk mengatasi itu, forum sepakat membentuk presidium. Akan tetapi, karena masih belum jelas bentuk dan tugas presidium, Soembodo ditunjuk untuk mempersiapkan segalanya. "Jadi Sumbodo bukan ketua presidium. Karena tugas persidium masih belum jelas, maka saya masih berstatus sebagai Ketua Dewan Pegawai dan tetap berhak hadir dalam rapat Senat UKSW," katanya. Ia juga mengemukakan, hanya beberapa anggota dewan saja yang menginginkan dirinya mundur, sedang anggota DP seluruhnya 42 orang. Soal tuduhan ia mengkhianati unitnya, ia mengatakan, persoalan siapa jago Dewan Pegawai yang sebenarnya sudah rusak di tingkat Dewan Pegawai. Sebab, secara de jure, Liek Wilardjo mendapat 23 suara, JOI 15, dan 4 untuk Titaley. Namun, sebanyak lima orang pendukung Liek itu di kemudian hari berkhianat dengan memberikan suaranya kepada JOI sehingga JOI mendapat suara terbanyak. "Jadi, yang berkhianat bukan saya, akan tetapi kelima orang ketua unit di tingkat Dewan Pegawai, yang menyimpangkan aspirasi anak buahnya. Bahkan, sebanyak delapan dari 23 pendukung Pak Liek Wilardjo itu menyampaikan aspirasinya sendiri tanpa meminta suara dari anak buahnya. Saya punya data lengkap siapa-siapa namanya. Kalau perlu akan saya tunjukkan nama-namanya," tambah Sudi Winarno.ii Kemelut UKSW membuat SMU dan BPMU merasa harus melakukan sesuatu. Mereka memberi batas 60 hari sejak 22 April 1994 bagi perbaikan suasana di UKSW, atau mereka akan mundur. Surat bernomor Ist/LK/UKSW/IV/1994 itu ditandatangani Neil Rupidara dan Hida Diyanto. Namun menurut dosen FE Stephen Kakisina, konflik tak boleh dipakai untuk mengultimatum. Sebagai pemimpin, mereka harus tegar menghadapi masalah yang menghadang.
http://slamethdotkom.wordpress.com
76
[email protected]
Kakisina juga menjelaskan, konflik bisa dihindarkan jika setiap orang tahu diri. Mereka harus tahu posisi dan kewenangan masing-masing. Jika mereka tak bersedia menghormati setiap jenjang organisasi, maka akan timbul kekacauan. Sebab, organisasi di UKSW mempunyai aturan main sendiri. "Yang saya pertanyakan, apakah mereka mendahulukan interes pribadi atau interes organisasi? Konflik di sini terjadi memang karena setiap orang mempertahankan pendapat pribadi yang mereka anggap benar," jelasnya. Menanggapi ultimatum LK, Sekretaris YPTKSW Melky mengatakan, YPTKSW memang berniat menyelesaikan semua konflik intern kampus.ii Tetapi, berbeda dengan Stephen Kakisina, Perhimpunan Mahasiswa Salatiga mendukung rencana pengunduran diri ketua LK. Akan tetapi, pengunduran tersebut harus didasarkan pada pemikiran yang jelas sehingga bukan semata-mata dilakukan karena kasus tersebut sudah selesai, atau sebaliknya.ii Untuk meredakan ketegangan, hari Senin, 2 Mei lima orang pimpinan YPTKSW serta rektor secara bergantian bertemu dengan 28 anggota pengurus LK dan Kelompok-3 yang terdiri atas Dr. Sugeng, George Aditjondro, dan Th Sumartana. Dalam pertemuan tersebut dari pihak Yayasan hadir Haryono Semangun, Charles Christano, Julius Saludung, Melky, Tejaprasada Yudha, sedangkan rektor ditemani PR I. Pimpinan UKSW menemui LK dari pukul 12.15 sampai 15.15, sedangkan dengan Kelompok-3 dari pukul 16.00 sampai 18.15. Seusai pertemuan, pengurus LK menolak berkomentar mengenai hasil pertemuan. "No comment. Mari kita berdoa bersama agar bisa cepat selesai." kata Ketua Umum BPMU Hida Diyanto. Begitu pula sikap Sonny Zaluchu, sekretaris BPMU. Ia tak mau memberitahu hasil pertemuan itu Langkah LK menutup mulut ini disayangkan Otto Adi Yulianto. Mahasiswa FE ini mengemukakan, dengan menutup diri terhadap wartawan, mahasiswa yang lain pun tidak mendapat informasi apa-apa. "Padahal, selaku mahasiswa, kami ingin segera mengetahui apa yang telah dihasilkan LK dalam ikut menyelesaikan konflik yang terjadi di kampus. Jika mereka tutup mulut, bagaimana kami bisa mengetahui hasil rapat tersebut?" ujarnya.ii Pertemuan itu sama sekali tidak menyelesaikan konflik. *** Tepat setahun sesudah rapat Senat yang kontroversial, pada hari Jumat, 27 Mei 1994 mahasiswa, dosen, dan karyawan UKSW menggelar aksi keprihatinan bertema "Mengenang Hari Malapetaka Demokrasi di UKSW" di depan Gedung G. Aksi ini dikomandoi Kelompok 19 (kelompok mahasiswa PPs-SP) yang koordinatornya Johny Simanjuntak dan KSM. Dalam acara itu terlihat 2 spanduk besar "Demokrasi jawaban tunggal kemelut suksesi rektor" dan "Bersatulah UKSW: selesaikan kemelut suksesi rektor". Juga terlihat puluhan poster yang dibawa mahasiswa. Dalam kerumunan massa tampak Arief Budiman, Ariel Heryanto, Nico L. Kana, Limson U. Sangalang, dan beberapa dosen senior lain.ii Dalam kesempatan berbicara, Arief dan Limson menyampaikan rencana untuk mengundurkan diri. Sebelumnya, Arief mengemukakan alasannya mengajar di UKSW. "Setelah menyelesaikan program S3 di AS, begitu pulang ke Indonesia saya sebenarnya mendapatkan banyak tawaran pekerjaan di Jakarta. Namun, karena berbagai alasan, akhirnya saya memilih
http://slamethdotkom.wordpress.com
77
[email protected]
bekerja di UKSW dengan alasan ingin mengembangkan sekaligus mmperjuangkan kampus yang demokratis dengan keilmuan yang tinggi. Tetapi, sejak tanggal 27 Mei 1993 lalu, saya benar-benar marah karena tekad saya untuk memperjuangkan kampus yang demokratis ternyata diinjak-injak. Saya marah bukan karena Pak Liek kalah, (tetapi) karena dia bukan dikalahkan oleh perolehan jumlah suara akan tetapi (oleh) pemaksaan peraturan oleh pengurus Yayasan. Mereka tak memperhatikan suara yang hidup di kampus. Inilah yang membuat saya sakit hati. Dan, saya merasa apa yang menjadi dasar atau lngkungan yang paling berharga dari suatu kampus menjadi hilang. Saya bekerja di sini untuk memperjuangkan apa yang paling mendasar di kampus ini. Kalau itu tak ada, maka tak ada alasan sama sekali saya untuk tetap tinggal lagi di UKSW. Kami akan mundur dari UKSW. Di sini, soal keuangan pun sama sekali tak ada harapan. Terima kasih. Hidup demokrasi."ii Ketika aksi tengah berlangsung, tiba-tiba muncul Liek Wilardjo yang selama ini tidak pernah terlihat dalam unjuk rasa. Liek ditemani istrinya sedang berjalan menuju Gedung LPU. Para pengunjuk rasa langsung bertepuk tangan. Nico L. Kana langsung menyalaminya. Saat disalami Nico, Liek berkomentar, "Ini bos-bos kita."ii Aksi ini selesai pukul 10.15. Setelah aksi, terlihat beberapa orang berambut pendek dan rapi berjaga-jaga di depan gedung rektorat.ii *** Soal mengapa Yayasan dan rektor menjatuhkan ancaman untuk Arief dan Ariel tampaknya bukan soal yang akan dibahas YPTKSW dengan suka cita. Ketika PPs-SP menanyakannya, jawaban dari pengurus Yayasan mengecewakan mereka. Jawaban YPTKSW kepada PPs-SP datang dengan surat No. 17/PH-YSW/Rhs/IV/1994 tertanggal 6 Mei dan berisi empat poin yang ditandatangani penasihat hukum Yayasan Djoko Oentoeng Soeropati. Dalam surat itu, pihak Yayasan menilai bahwa SKB yang ditujukan bagi dua orang staf PPs-SP sebagai suatu ketetapan administratif yang mengandung pengenaan sanksi disipliner sifatnya sah secara material maupun prosedural. "Mengingat konfidensialitas SKB tersebut dan fakta bahwa sampai saat ini tidak ada pengajuan keberatan oleh pribadi-pribadi yang bersangkutan, maka tanggapan, pernyataan, dan desakan yang disampaikan menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan," kata Djoko. Agaknya pihak Yayasan ingin menutup rapat surat tersebut. Butir nomor empat dalam surat itu mengingatkan agar staf inti PPs-SP tidak membeberkannya kepada umum. "Itu bukti ketertutupan pihak Yayasan dan rektor terhadap masalah yang berkembang selama ini. Untuk apa ditutupi, toh semua orang sudah tahu masalah ini sejak awal," tegas Limson.ii Ketertutupan Yayasan membuat masalah UKSW tidak selesai-selesai. Bahkan, semakin banyak yang menaruh simpati pada Kelompok 10. Karena banyaknya orang yang bergabung, Kelompok 10 pun merasa perlu mengganti nama menjadi Kelompok 10 Plus. Kelompok baru ini terdiri atas 66 dosen dan karyawan. Mereka mengancam apabila pengurus YPTKSW dan rektor tidak mencabut SKB maka Kelompok 10 Plus akan mendukng sepenuhnya jika Arief dan Ariel memperjuangkan pencabutan SKB tersebut melalui gugatan hukum di pengadilan. Ancaman ini
http://slamethdotkom.wordpress.com
78
[email protected]
dinyatakan dalam surat kepada Dewan Pengurus Yayasan, pimpinan UKSW, Gereja pendiri dan pendukung, pengurus YPTKSW, pimpinan fakultas, Lembaga Kemahasiswaan, Kelompok 19, dan pers.ii Tetapi, ini pun tidak menggentarkan Rektor John Ihalauw. JOI menjawab ini dengan mengatakan, SKB dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang. Di samping itu, surat tersebut dibuat karena ada aturan mainnya. Menanggapi kemungkinan Arief dan Ariel ke pengadilan, JOI menjawab, apa pun yang ditempuh boleh-boleh saja. Sedangkan mengenai jumlah penentangnya yang menjadi 66 orang, JOI merasa itu tidak besar karena total dosen di UKSW 380 orang.ii *** Pengurus YPTKSW dalam keputusannya tanggal 3 Juni 1994 membentuk sebuah panitia yang bertugas menginventarisasi masalah-masalah yang selama ini menjadi sumber ketegangan di UKSW. Panitia yang dinamakan Panitia Tiga ini akan merumuskan hasil kerjanya “untuk menjadi agenda forum pertemuan di kalangan para senator UKSW dan orang-orang yang dipandang terkait dalam ketegangan tersebut, dalam upaya memulihkan keadaan dan mengadakan perbaikan di masa depan.” Panitia Tiga terdiri atas Julius Saludung, Richard Hutapea, dan seorang wakil mahasiswa, Bona Saut Simatupang. Panitia Tiga diberi waktu kerja tiga minggu sampai tanggal 24 Juni 1994. *** Jemu dengan komunikasi yang mandeg, sembilan orang wakil mahasiswa, K-10, dan K19 datang ke DPR pada 28 Juni 1994, mengadukan masalah UKSW. "Dalam dialog dengan kami, beberapa anggota komisi IX menjanjikan daatng ke kampus ini sekitar tanggal 19 Juli mendatang. Setelah mendapat penjelasan dari kami, mereka memang ingin mengkaji lebih dalam emngenai kemelut di uKSW," kata Limson. ii Sementara itu, pengurus YPTKSW masih mencoba menjaga agar masalah UKSW tak merembet ke luar. Mereka mencoba menenangkan kelompok penentang dengan dialog, antara lain pada hari Kamis 14 Juli di Gedung E yang dihadiri 106 orang yang mewakili Yayasan, pimpinan universitas, mahasiswa, Kelompok 10, Kelompok 19, Lembaga Kemahasiswaan, dan Wakil Ketua Senat John Titaley. Dialog itu juga dihadiri tokoh penting seperti Radius Prawiro, J. Sereh, dan J. Parapak yang duduk di Yayasan. Sementara pertemuan berlangsung, di luar gedung puluhan mahasiswa yang tergabung dalam KSM menggelar poster. KSM memprotes pertemuan itu. Mereka menganggap, pertemuan itu diselenggarakan secara slintutan. Mereka mengadakan aksi yang disebut "Kongkow Keprihatinan". Beberapa poster dipampangkan di depan lokasi pertemuan antara lain: "Cry for Democrazy", "Idih... "Rektor" Kita Tidak Sah", "Hati-Hati Banyak Diktator Kampus Berkeliaran", "Kasus Rektor Bukan Monopoli Elite Kampus", "SK JOI Turun", "Demokrasi Kampus Hancur", dan "Hatiku Hancur Karenamu Yayasan". Setelah pertemuan dibuka, Panitia Tiga dipersilakan melaporkan hasil kerja mereka. Ada seederetan masalah yang diidentifikasi untuk dibicarakan dan diselesaikan. Kemudian, dipersilakan kedua belah pihak yang bersengketa menjelaskan posisi masing-masing. Orangorang dari kedua kubu, yakni mereka yang beranggapan bahwa pemilihan rektor sudah sah dan
http://slamethdotkom.wordpress.com
79
[email protected]
mereka yang beranggapan pemilihan itu tidak sah, diberi kesempatan untuk berbicara. Maka, persoalan pun menjadi tajam karena masing-masing kubu menampilkan pembicara terbaiknya untuk membela posisinya. Dalam pertemuan itu juga Panitia Tiga dibubarkan. Menurut Radius, "Pertemuan tadi memang baru tahap awal. Dari forum ini, kami berusaha mencari titik temu untuk menyelesaikan berbagai friksi yang terjadi. Ya, jangan sampai masalahnya ruwet terus," tuturnya. Namun Arief Budiman tidak puas dengan hasil pertemuan itu. Arief menyatakan, pihaknya memang diberi waktu untuk mengutarakan semua masalah, namun begitu selesai pengurus YPTKSW tak memberi keputusan yang signifikan. "Dalam pertemuan tersebut kami dianggap anak kecil saja. Sebab, mereka (pengurus Yayasan) meminta kepada kami agar melupakan masalah-masalah yang lalu. Kalau seperti ini, kan kayak omongan pejabat saja." kata Arief. Arief juga kecewa dengan hadirnya Radius Prwairo yang pada kesempatan itu tak bisa memberikan keputusan penyelesaian kemelut. Bahkan, Arief beranggapan, Radius kurang bisa memahami secara keseluruhan pokok-pokok masalah suksesi rektor. "Dia hanya tahu dari kejauhan saja, tanpa tahu pokok persoalan yang sebenarnya," lanjutnya. Beda dengan Arief, JOI melihat sisi positif dari pertemuan itu. "Yang penting, pertama kita bisa saling bertemu, sehingga langsung menyampaikan permasalahan-permasalahan. Yang jelas, dalam satu pertemuan, kan tak langsung bisa menyelesaikan suatu masalah." Ia melanjutkan, ada banyak pekerjaan rumah untuk semua.ii Tanggal 22 Juli 1994 Komisi IX DPR datang ke UKSW. Namun, anehnya, mereka tidak menjumpai pihak yang pernah mengundang mereka. Mereka hanya bertatap muka dengan Dewan Pengurus YPTKSW serta rektor. Acara itu dijaga ketat oleh petugas satkam kampus. Terlihat petugas keamanan dari Korem, Kodim, dan Polres Salatiga di depan Gedung E, tempat acara berlangsung. Wartawan yang mau meliput harus izin khusus dari Kabag Keamanan UKSW. Komisi IX itu dipimpin Prof Drs. Wuryanto. Anggota Komisi IX yang datang: Wuryanto (FKP), Slamet Effendi (FKP), Djumayanti Gautama (FABRI), A Tyas Satyono (FPDI), Cholig Murad (FPDI), dan Sih Waluyo (FABRI). Dari pihak YPTKSW terlihat Haryono, Melky. Rektor didampingi para pembantunya, Wakil Ketua Senat John Titaley, serta fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan. Pada kesempatan itu Haryono dan JOI mengakui ada sedikit masalah dan menyanggupi untuk menyelesaikan secara intern. Sedang Titaley mengatakan proses terpilhnya rektor tak ada masalah sebab semua prosedur sudah dipenuhi. Seusai pertemuan Wuryanto mengatakan, "Kami akhirnya mengerti permasalahannya. Sebab, semuanya diambil atas dasar peraturan yang dimiliki oleh Satya Wacana. Senat Universitas mengajukan dua calon kepada Yayasan. Dan, Yayasanlah yang berhak menentukan. Kami pun bertanya mengapa kok Yayasan akhirnya memilih calon yang mendapatkan suara lebih sedikit. Alasan yang disampaikan mereka sangat rasional." Kelompok 10 menyatakan kekecewaan mereka karena tidak diikutsertakan. Limson U. Sangalang dengan jengkel mengatakan, "Kami tak mengetahui alasan komisi IX tak menemui kami. Padahal, kedatangannya ke sini itu atas undangan lisan dari Kelompok 10. Ini yang kami sesalkan." Arief Budiman pun tak dapat menyembunyikan kekecewaannya. "Saya kira tak etis. Mereka tak ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah." katanya.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
80
[email protected]
Reva Natigor, mahasiswa PPs-SP yang tergabung dalam Kelompok 19 menyatakan akan melayangkan surat protes ke Komisi IX, termasuk mempertanyakan kenapa justru yang memimpin dialog dengan rektor, Senat Universitas, dan Lembaga Kemahasiswaan adalah Prof Wuryanto. "Saat kami datang ke sana (DPR RI), dia tak ada, sehingga apakah Pak Wuryanto mengetahui persoalan substansialnya. Memang hanya satu-dua orang anggota Komisi IX yang datang ke sini saat kami datang ke DPR."ii Melihat perkembangan yang tidak menguntungkan itu, pada Selasa malam tanggal 26 Juli Kelompok 10 mengadakan rapat dengan Kelompok 19 dan KSM untuk menggalang kekuatan dan membahas perkembangan di UKSW. Rapat itu berhasil membentuk tim kecil yang bertugas merumuskan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah suksesi rektor.ii Kelompok 10, Kelompok 19, dan KSM sepakat melakukan mogok bicara, minimal selama sepekan, sebagai protes atas berlarut-larutnya penyelesaian kemelut oleh Dewan Pengurus YPTKSW, kata mahasiswa PPs-SP Reva Natigor. Tapi ini tidak menjadi masalah buat Haryono Semangun. "Silakan kalau mereka akan melakukan itu. Nyatanya mereka yang akan mengundurkan diri, juga tak mengundurkan diri." Ia menambahkan, "Kami akan mengambil langkah seperti yang sudah-sudah. Kepada DPR pun sudah saya katakan itu semua anak-anak saya sehingga sebagai bapaknya, saya berhak mengatur. Anggaran dasar kan mengatakan begitu. Bahwa ada pihak yang tak puas, memang boleh. Yang berhak mengatur, sesuai peraturan, kan yayasan. Nyatanya, hingga sekarang Senat tetap pada pendiriannya. Lembaga kemahasiswaan dan Yayasan juga tetap pada pendiriannya. Begitu pula dengan menteri dan DPR RI, sama. Lalu, kami mengetuk hati, hendaknya kita ini jangan mau menangnya sendiri." Ketika ditanya mengapa ketika DPR datang, Kelompok 10, Kelompok 19, serta KSM tidak diundang, Haryono mengatakan singkat, "Sekurang-kurangnya bukan inisiatif kami."ii *** Setelah usaha dialog menemui jalan buntu, Arief Budiman berniat memperkarakan pengurus YPTKSW lewat pengadilan. Niatnya itu dinyatakan dalam surat kepada pengurus YPTKSW. Surat bertanggal 25 Agustur 1994 itu meminta pencabutan SKB, sebab terbitnya SKB dinilai mengalami cacat dalam argumen maupun prosedurnya. "SKB berupa peringatan terakhir tersebut jelas merugikan status saya sebagai dosen yang telah bekerja 13 tahun di kampus ini. Menurut saya, dasar dibuatnya SKB tersebut lemah dan mengalami cacat dalam argumentasi maupun dalam prosedurnya. SKB tersebut hanya didasarkan pada kekuasaan yang ada di tangan YPTKSW dan rektor yang mau memaksakan kepada saya, bukan didasarkan pada prinsip keadilan. Karena itu, saya menolak keseluruhan SKB itu." Ada tiga alasan kenapa Arief menilai SKB cacat hukum, argumen, dan prosedural. Pertama, tidak pernah disebutkan secara spesifik pernyataan atau tulisannya yang dianggap merugikan martabat dan nama baik lembaga. Kedua, sebelum SKB turun, Arief tidak pernah dipanggil untuk mendiskusikan masalahnya. Sanksi diberikan secara tiba-tiba tanpa ada pembicaraan sebelumnya. Ketiga, SKB tersebut dianggap melanggar Pasal 19 Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW dan Penjelasannya Tahun 1985. Pasal itu pada intinya mengharuskan sanksi diberikan secara berjenjang, yakni dalam bentuk peringatan tertulis pertama oleh ketua
http://slamethdotkom.wordpress.com
81
[email protected]
unit, kemudian oleh pembantu rektor, dan baru akhirnya oleh rektor. "Ketua unit saya dan pembantu rektor belum pernah memberi peringatan tertulis apa pun juga," katanya. Atas ketiga alasan itu, Arief merasa sudah jadi korban penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang oleh ketua Yayasan dan rektor. "Karena itulah saya minta supaya SKB No. 235/B/Rek-YSW/Rhs/1994 dicabut secepatnya," tegas Arief. Mengapa persoalan yang sudah diam sekitar empat bulan baru sekarang dipersoalkan? "Saat itu saya menunggu tanggapan mereka atau dari lembaga-lembaga lain seperti PPs-SP (dan) dosen yang turut memprotesnya. Tetapi tak ada tanggapan juga," akunya. Batas waktu bagi Yayasan dan rektor adalah sebulan setelah suratnya dibuat, yakni tanggal 25 September 1994. Haryono, menanggapi Arief, menganggap kemauan Arief untuk menuntutnya merupakan hal yang layak bagi seorang warga negara. Untuk itu, pihaknya akan melayani kemauan Arief dalam mempermasalahkan SKB itu. Haryono belum bersedia menerangkan alasan konkret peneguran terhadap Arief dan Ariel mengingat SKB adalah surat rahasia. "Saya pun tak boleh mengemukakan isi surat yang sifatnya rahasisa. Kalau memperoleh dari orang lain, terserah. Lagipula, tak etis kalau membeberkan kesalahan pegawai atau bawahan ke orang lain," jelasnya seraya menegaskan alasan peneguran sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan UKSW. Tentang tak dipakainya urutan-urutan peneguran sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW, menurut Haryono, hal itu semata dilakukan untuk kesalahan disiplin saja. Sama seperti Haryono, JOI tak bersedia mundur selangkah pun. Terhadap tekad Arief untuk menuntutnya, JOI justru menganggapnya sudah betul. "Saya pikir kita harus menghormati hak seseorang untuk mencari keadilan. Jangan lupa, ada pula hak suatu lembaga atau institusi untuk menjalankan aturan main." Bagaimana dengan Ariel yang juga mendapat surat serupa? Ariel lagi ada di Australia. Melalui Limson, selama Ariel di Australia, segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada dua pengacaranya, Budi Lazarusli dan Indra Budiman.ii Sebulan kemudian, pada batas waktu 25 September, YPTKSW membalas surat Arief. Pengurus YPTKSW menolak mencabut SKB. Buntutnya Arief langsung meminta bantuan Unit Pelayanan Bantuan Hukum UKSW guna menuntut yayasan secara perdata. Djoko Oentoeng siap menghadapi tuntutan Arief. Namun, sebelum persoalan benarbenar diteruskan ke pengadilan, Djoko menyarankan agar Arief memikirkan kembali. Djoko kasihan dengan Arief sebab seolah-olah dianggap sebagai "pemukul genderang" sendiri. "Penuntutan ke pengadilan akan sia-sia. Tak ada pengadilan yang bisa membatalkan SK. Palingpaling, kalau misalnya dia menang, maka hanya akan dipertimbangkan kembali," jelas Djoko.ii Pengacara Arief, Indra Budiman dan Budi Lazarusli yang mewakili UPBH FH UKSW memperkirakan ganti rugi material serta immaterial antara Rp100 juta dan Rp1 miliar. Arief sendiri tidak menyebut besarnya tuntutan ganti rugi material. "Mengenai jumlah ganti rugi, tergantung dari perhitungan kuasa hukum saya. Yang jelas, ganti rugi tersebut akan kita kembalikan lagi ke intern UKSW, yakni dibagi secara merata untuk pegawai golongan II ke
http://slamethdotkom.wordpress.com
82
[email protected]
bawah," jelas Arief. Kerugian materi Arief, kata Indra Budiman, bisa berasal dari kegagalan dia berbicara pada seminar-seminar. Padahal, setiap berbicara di seminar, dia sering mendapatkan honor. Kemudian, kerugian tak dapat membuat artikel di media massa, dan sebagainya. Kerugian immaterial didasarkan unsur pencemaran nama baik, terganggunya waktu tidur, dan lain-lain. Hanya saja, sampai 4 Oktober 1994 gugatan Arief belum didaftarkan ke Pengadilan Negeri Salatiga karena muncul pernyataan terbuka dari 12 pimpinan lembaga/unit di UKSW yang meminta masalah ini diselesaikan dengan dialog terbuka. Pengacara Arief, Indra Budiman menghargai pendapat mayoritas unit yang ada itu. "Namun, kami hanya memberi kesempatan pihak rektor dan Yayasan selama tiga minggu untuk berdialog. Jika batas waktu itu juga dilewati, maka kami akan membawa kasus ini ke pengadilan," jelasnya. Bila pihak rektor dan yayasan bersedia berdialog, kubu Arief menetapkan persyarat bahwa dialog harus dihadiri oleh para kuasa hukum dan Kelompok 10. "Dialog itu jangan hanya melibatkan saya, rektor, dan Yayasan saja. Namun, juga harus menghadirkan Kelompok 10 karena kasus ini tidak hanya masalah saya dengan JOI, namun sudah menjadi masalah universitas," tambah Arief.ii Belum adanya kepastian penyelesaian kemelut mendorong KSM untuk berunjuk rasa. Kali ini, "sasaran" mereka adalah acara wisuda tanggal 6 Oktober. Tatkala rektor sedang memindahkan kucir wisudawan satu-persatu, sekitar pukul 10.05 tiba-tiba muncul puluhan mahasiswa KSM, membuat hadirin terpecah perhatiannya. JOI tetap tenang melanjutkan tugasnya, sedangkan satpam dan menwa langsung bersiap mengamankan acara itu. Para pengunjuk rasa dihentikan di pinggir lapangan sehingga terjadi saling dorong dengan satkam yang bertindak agak keras. Mereka tetap didorong kendati sudah ada di pinggir lapangan. Di saat dorong-mendorong inilah mulai muncul kekerasan. "Jangan halangi kami... Ini kampus kami. Katanya kampus demokrasi kok kami dikerasin," kata pengunjuk rasa berulangulang. Salah seorang anggota satkam langsung diamankan karena diduga berbuat kasar kepada salah seorang demonstran. Kejadian itulah yang membuat suasana semakin panas dan penuh emosi. Suparto, Ketua Satkam, datang memberikan pengarahan kepada anggotanya maupun mahasiswa pengunjuk rasa. "Saya mohon, ini demi kebaikan kita bersama. Demi Satya Wacana. Kasihan para orangtua. Anak saya sendiri sekarang sedang diwisuda. Saya sakit kalau kalian begini," kata Suparto. Ia minta agar mereka yang punya masalah pribadi disalurkan lewat saluran yang benar. Helio, salah seorang pengunjuk rasa mengatakan, "Kami tak meminta dialog. Ini pengalaman dengan demo kemarin. Bapak yang kami minta untuk menghubungkan dengan Yayasan, tetapi kenyataannya mana? Kami hanya ingin nongkrong di sini, Pak." "Ingat ya, saya ada jalur struktural. Tak ingin pimpinan saya Anda lecehkan." kata Suparto. "Saya sebagai mahasiswa juga sama-sama dilecehkan," sergah Helio lagi.
http://slamethdotkom.wordpress.com
83
[email protected]
Akhirnya Suparto menyarankan kepada anggotanya untuk mengisolasi tempat demonstrasi. Mereka tak boleh masuk tengah lapangan. Karena ketatnya barikade satkam dan menwa, demonstran rupanya mengubah strategi. Beberapa di antaranya secara diam-diam berhasil menyusup ke panggung wisuda. Begitu berada di arena wisuda, Danang, salah seorang demonstran, langsung beraksi dengan membentangkan posternya. Para Menwa dan Satkam yang kecolongan langsung mengejar mahasiswa FT angkatan 1991 itu. Seorang anggota Menwa dengan gerakan loncat menendangnya dari belakang. Luput. Namun, kemudian Danang berhasil ditangkap. Neil Rupidara, ketua SMU, menyayangkan terjadinya aksi pada saat mahasiswa dan orangtuanya sedang berbahagia. Sedang Bertus, anggota menwa UKSW, menyatakan tindakan keras terpaksa dilakukan karena memegang prinsip, acara wisuda yang dihadiri berbagai pihak harus berlangsung aman. JOI mengaku tidak melihat adanya demonstrasi dan insiden yang berlangsung di depan matanya. "Saya tidak melihat telah terjadi demonstrasi. Saat itu saya happy dengan lima ratusan wisudawan yang datang dengan keluarganya. Karena saya tidak melihatnya, saya tidak bisa berkomentar," jelas JOI. Walaupun tidak melihat, JOI menganggap demonstrasi itu hal yang wajar. "Tetapi, semuanya ada aturannya. Sejauh tidak mengganggu orang lain, saya tidak melarang." ujarnya. UKSW periode April -6 Oktober 1994 meluluskan 502 orang, terdiri atas program diploma 81, S1 berjumlah 428, dan 13 sarjana S2.ii *** Sikap kalem JOI tidak diimbangi dengan sikap kerasnya saat menjawab pertanyaan seputar rencana tuntutan Arief Budiman. "Tolong tulis, gugatan Arief itu hanya mimpi saja," ujar JOI mengenai tuntutan Arief. Mengenai tawaran dialog, JOI berkata "Sebagai rektor UKSW, pintu saya terbuka setiap saat (bagi) siapa pun yang ingin berdialog. Kalau dia mau dialog silakan datang ke saya. Dalam masalah ini perlu dilihat siapa yang menjadi pengelola universitas ini." Secara terpisah Djoko Oentoeng mengatakan, Arief telah berusaha memecah belah UKSW lewat kasus ini karena dalam menggugat Arief menggunakan jasa UPBH FH UKSW yang nota bene di bawah Yayasan. "Dari sini saja, Arief ingin memecah belah UKSW. Sebab, UPBH itu otomatis bisa diperintahkan oleh Yayasan karena berada di bawah Yayasan," ujarnya. Namun perkataan Djoko ini dibantah Indra Budiman. "UPBH didirikan dengan idealisme untuk membela pihak yang lemah. Sedangkan dalam kasus ini, Arief Budiman berada di posisi yang lemah, maka sudah seharunya UPBH membela Arief." Selain itu, kata Indra, UPBH tidak harus membela kepentingan rektor, sebab UPBH tetap memegang teguh idealis saat lembaga hukum yang bernaung di bawah FH didirikan. ii Sebelum berangkat ke pengadilan, pihak Arief Budiman mempertimbangkan sekali lagi upaya penyelesaian secara kekeluargaan. Hal ini sesuai dengan imbauan para tokoh senior kampus, yang sekali lagi dinyatakan oleh para dosen di Fakultas Hukum. Pimpinan dan dosen FH ingin penyelesaian kemelut antara Arief dan YPTKSW dan rektor diselesaikan tanpa lewat pengadilan, demikian Dekan FH Budi Lazarusli dan PD III Indra
http://slamethdotkom.wordpress.com
84
[email protected]
Budiman. Keputusan itu disepakati saat para dosen FH dalam rapat mingguan Bulan Oktober. Langkah pertama adalah mmbentuk tim khusus. Pada tahap awal, tim itu hanya para pengajar FH, di luar para kuasa hukum. Tim akan mengadakan pendekatan terhadap masingmasing pihak. "Kalau bisa, tim sudah harus bekerja sebelum tanggal 26 Oktober mendatang," jelas Budi. Tanggal 26 Oktober adalah batas waktu "ultimatum" dari kuasa hukum Arief. Menurut Arief, kalau kedua pimpinan tersebut ada niat untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, dia mengharapkan adanya forum dialog. Dalam dialog itu, harus dicapai suatu keputusan mengikat. "Kemauan saya juga menyelesaikannya tanpa melalui pengadilan. Tetapi ada suatu hasil dari dialog berupa keputusan yang sifatnya mengikat. Kalau hanya ngomong-ngomong dengan JOI, itu tak mengikat. Bahkan, rumah saya kalau hanya auntuk ngomong-ngomong, pintunya terbuka 24 jam," kata Arief. ii Jadi, sekali lagi pihak-pihak bertikai mencoba menyelesaikan konflik dengan dialog. Sembari menunggu hasilnya, kebanyakan mahasiswa hanya mengikuti peristiwa di kampus mereka dari koran. Selain upaya damai Arief-pimpinan UKSW, salah satu yang hangat dibicarakan adalah surat mahasiswa FT Bernard Widjanarko dan kawan-kawan di Suara Merdeka tanggal 21 Oktober 1994. Judul surat itu memang cukup mencolok, “Bapak Rektor, Jangan Pukuli Kami”. Isinya memprotes penggunaan kekerasan dalam penanganan demonstrasi saat Wisuda. PR III Adjar Subadi kemudian membantah pemukulan itu di harian yang sama, tetapi polemik selesai ketika Danang, si korban pemukulan, menulis surat untuk meluruskan polemik mengenai dirinya. Ia menulis: "Saya memang benar dipukul!"
http://slamethdotkom.wordpress.com
85
[email protected]
BAB 7
Arief Budiman Dipecat Siang itu, tanggal 24 Oktober 1994, waktu menunjukkan sekitar pukul 11.00 ketika Krishna Djaja Darusmurti, SH dan Danny Zacharias, SH mengetuk pintu ruang kerja Dr. Arief Budiman di lantai 4 Gedung G. Arief sedikit terkejut melihat kedua penasihat hukum YPTKSW itu, namun tetap menyilakan mereka masuk. Krishna dan Danny tampak sedikit gugup. Kening Arief pun sedikit berkerut. Tak biasa-biasanya mereka datang. No news is good news, pikir Arief. Kini mereka datang, pastilah ada sesuatu. Sesuatu itu tampaknya bukan kabar baik. Kedua tamu itu tampak salah tingkah ketika menyerahkan sepucuk surat berkop Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana. Isi suratnya: Arief diberhentikan sementara terhitung tanggal 31 Oktober 1994. Suratnya sendiri bertanggal 17 Oktober 1994. Pada Danny Zacharias, Arief bertanya: "Kok kamu berani sih ambil tindakan ini." "Kenapa nggak berani, kita kan lembaga." jawab Danny.ii Arief menggelengkan kepala. Baginya, jawaban penasihat hukum itu kedengaran bodoh. Pasti akan terjadi reaksi. Arief benar, besoknya Salatiga meledak. Tanggal 25 Oktober 1994 semua koran yang masuk ke kota sejuk itu mestilah memasang headline soal pemecatan itu. Kalau tidak, mustahil tiras mereka akan terdongkrak. Arief Budiman Di-PHK tak Hormat. Demikian judul di harian Suara Merdeka hari itu. Segera terbitan hari itu laris manis di kota Salatiga. Jawa Pos menurunkan berita serupa dengan judul Arief Budiman Dipecat dari Satya Wacana. Juga laris habis. Agaknya, media massa sadar kalau Arief Budiman termasuk tokoh selebriti yang terkenal sampai ke luar negeri. Dan, tokoh semacam itu laku dijual, apalagi kalau dipecat secara tidak hormat. Melalui Surat Keputusan No. 237/B/YSW/1994, Dr. Arief Budiman, dosen Program Pascasarjana Studi Pembangunan (PPs-SP) yang mulai mengabdi di UKSW sejak 1 Oktober 1981, diberhentikan sementara sebagai tenaga akademik di UKSW Salatiga. Dalam SK yang ditandatangani oleh Ketua Umum YPTKSW Prof. Dr. Ir. Haryono Semangun dan Sekretaris Umum YPTKSW Drs. Melky Oemboe Nganggoe itu tertulis empat pertimbangan YPTKSW dalam memberhentikan dosen yang telah mencapai pangkat pegawai utama madya/guru besar madya, golongan IV D, tersebut. Pertama, yang bersangkutan telah diingatkan untuk mematuhi peraturan UKSW agar tidak dikenai tindakan administratif. Kedua, Arief telah diberi peringatan terakhir secara tertulis agar mematuhi ketentuan-ketentuan Peraturan Pokok Kepegawaian khususnya tentang kewajibannya untuk menjunjung tinggi martabat serta nama baik YPTKSW dan UKSW. Pertimbangan ketiga, Arief Budiman tidak menunjukkan ketaatan terhadap etika kritik yang berlaku di UKSW dan sebaliknya justru menyebarluaskan masalah yang tidak diketahuinya secara jelas yang justru merugikan nama baik Dewan Pengurus YPTKSW dan Rektor UKSW. Pertimbangan keempat, Arief telah melanggar peringatan-peringatan di atas dengan sengaja. . Lewat surat keputusan tersebut, YPTKSW juga menetapkan untuk menghentikan segala tunjangan dan menyelesaikan hak Arief sebagai peserta Dana Pensiun Satya Wacana menurut ketentuan yang berlaku. Butir terakhir surat kontroversial tersebut berbunyi bahwa pemutusan
http://slamethdotkom.wordpress.com
86
[email protected]
hubungan kerja dengan tidak hormat itu untuk seterusnya terjadi dengan sendirinya setelah dipenuhinya ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemutusan hubungan kerja sementara tersebut. Dengan pemecatan itu, selain tidak lagi mendapat gaji, Arief juga harus menyisihkan dana untuk kesehatannya. Sebelumnya, sebagai dosen UKSW, biaya kesehatan Arief mulai dari ongkos dokter sampai operasi ditanggung penuh UKSW. Pada wartawan yang mengkonfirmasi pemecatannya, Arief berujar, "Sudah tahu kabar tentang saya? Saya dipecat dengan tidak hormat. Ini tindakan sewenang-wenang."ii Arief juga menilai bahwa SK pemecatan tersebut cacat hukum. Menurutnya, YPTKSW mengeluarkan keputusan PHK tanpa minta izin lebih dahulu pada Depnaker sehingga YPTKSW menggunakan istilah "PHK sementara", padahal istilah tersebut tidak ada.ii Arief sendiri menantang dengan mengatakan bahwa ia akan tetap masuk kampus seperti biasa karena surat keputusan pemecatannya ia nilai cacat hukum.ii Arief sebenarnya sudah mendengar isu pemecatannya sebulan sebelumnya, tetapi dalam perhitungannya, YPTKSW tidak mungkin akan mengeluarkannya karena keluarnya SK ini justru akan semakin merugikan Yayasan.ii Orang-orang lain yang ikut bergelut dalam persoalan pemilihan rektor tahun 1993 juga tidak menduga Yayasan akan melakukan tindakan seperti itu. Arief punya reputasi besar, dan memecat seorang dosen, seorang doktor, hanya karena yang bersangkutan susah diatur bukanlah tindakan populer, kendati di negara seperti Indonesia. Lalu, ke mana kalau tidak lagi mengajar di UKSW? Arief yang tampak tenang dan tidak menunjukkan kesedihan atas pemecatannya tersebut berkata, "Saya belum berpikir tentang di mana saya akan mengabdi. Yang jelas, saya akan berkonsolidasi dengan rekan-rekan dan pengacara saya."ii Mulai hari itu juga keluarga Arief Budiman pun kebanjiran simpati. Dering telepon dan faksimile seakan tak pernah berhenti. Arief yang biasanya tidur jam 21.30 kini masih harus menerima telepon sampai pukul 10 malam. Yang menelepon tak kurang dari Goenawan Mohamad, Sritua Arief, sampai Matori Abdul Djalil. Sementara itu, Rektor UKSW Dr. John JOI Ihalauw mengatakan bahwa tindakan YPTKSW mengeluarkan SK pemecatan itu tidak perlu dijelaskan lagi. Menurutnya, SK pemberhentian itu sudah sesuai dengan aturan main yang berlaku. "Kalau lembaga merasa tidak cocok, kan hal yang biasa bila lembaga memutuskan ikatan kerjanya dengan individu yang bekerja di lembaga tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila individu itu merasa tidak cocok dengan lembaganya, ia bisa saja memutuskan hubungan kerjanya."ii Dalam surat penjelasan bertanggal 19 Oktober yang muncul belakanganan, pengurus YPTKSW menerangkan bahwa PHK sementara terhadap Arief Budiman merupakan kelanjutan dan konsekuensi dari 2 SK teguran yang pernah diberian pada Arief. Yang pertama SK Dewan Pengurus YPTKSW No. 126/D/DPH/88 tanggal 18 April 1988 dan yang kedua SKB Pengurus YPTKSW dan Rektor UKSW No. 235/B/Rek.-YSW/Rhs/1994 tanggal 10 Maret 1994. Menurut pengurus YPTKSW dalam penjelasannya, sejak peringatan terakhir Arief masih menulis artikel di Kompas tanggal 26 Maret 1994, memberikan keterangan kepada media massa mengenai SKB No. 235 yang sifatnya rahasia, menolak SKB itu, dan mengancam akan menuntut Yayasan bila SKB tidak dicabut. YPTKSW tidak bermaksud membatasi kreativitas karyawannya, tetapi untuk hal-hal yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
87
[email protected]
kontroversial, penyiarannya ke luar kampus harus seizin universitas. Beberapa pernyataan dan tulisan Arief dianggap kontroversial dan disiarkan tanpa seizin pimpinan UKSW atau Pengurus YPTKSW.ii *** Newton benar waktu mengatakan bahwa setiap aksi akan mendapat reaksi yang besarnya sama namun dengan arah yang berlawanan. Reaksi pertama yang muncul adalah demonstrasi mahasiswa pada hari Selasa, 25 Oktober 1994, sehari setelah Arief mendapat surat itu. Ribuan mahasiswa bergabung dengan sejumlah dosen dan karyawan menggelar aksi unjuk rasa menentang pemecatan. Mula-mula hanya sekelompok mahasiswa yang bergerombol, lalu ada yang punya ide untuk mengambil megafon dari kantor Sema FT. Selanjutnya, mulailah pidato-pidato. Sebagian mahasiswa rupanya sudah tahu kabar pemecatan Arief sejak sehari sebelumnya sehingga mereka telah menyiapkan poster dan spanduk. Puluhan poster dan spanduk dibentang, di antaranya: Pengurus YPTKSW Otoriter, Bukan Arief yang Kami Bela tapi Demokrasi, Yayasan dan Rektor Anak Didik Rejim Militer yang suka main pecat, Hanya JOI dan Haryono cs yang Layak Dipecat, Kubur ketidakadilan, Yayasan dan Rektor ... Ha ... Ha.ii Sebagian besar peserta unjuk rasa adalah mahasiswa yang belum tahu kabar pemecatan itu sebelumnya. Mereka datang ke kampus lalu bergabung dengan para demonstran. Semakin lama kumpulan mahasiswa semakin besar. Pada pukul 10 kerumunan sudah tidak bisa dihitung jumlahnya. Mereka berkumpul di dekat pelataran parkir sepeda motor. Sonny Eli Zaluchu, mahasiswa FKIP angkatan 1989, dengan bersemangat berteriak-teriak lewat megafon di tangan. Tak lama kemudian megafon itu pindah ke tangan Teguh Budi Santosa, mahasiswa FH angkatan 1989 yang juga salah seorang anggota Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU) UKSW. Di depan para demonstran ia mengatakan, "Mungkin kali ini hanya Arief Budiman. Tapi siapa tahu besok Anda, saya, atau yang lainnya kena SK semacam ini. Bisa jadi hal ini kalau tidak kita sikapi ... akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di kampus kita. Ini harus kita lawan."ii Teguh Budi Santosa juga menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua Komisi A BPMU UKSW. Secara demonstratif Teguh juga menyobek-nyobek SK pengangkatannya sebagai pejabat BPMU. Ia lalu membakar SK yang dikeluarkan rektor itu.ii Megafon pindah tangan lagi. Beberapa mahasiswa bergantian berbicara. Isinya semua mengecam YPTKSW dan rektor. Karena hari dan hati semakin panas, para demonstran kemudian meringsek mendekati BARA, tempat rektor dan sebagian anggota YPTKSW berkantor. Mereka ingin masuk tapi pintu kaca gedung itu sudah tertutup. Beberapa petugas keamanan kampus dengan seragam putihnya berdiri tegap berjaga-jaga. Tampak di antara pengunjuk rasa beberapa pentolan Kelompok 10 seperti Nico L. Kana, Limson U. Sangalang, Nugroho Adi, serta Indra Budiman. Karena tidak bisa masuk, para demonstran lalu berteriak-teriak menyerukan agar rektor dan anggota YPTKSW segera keluar untuk memberi penjelasan. Tak ada tanggapan. Massa lalu mengubah halaman depan yang sempit itu jadi mimbar bebas, dan mulailah mereka mengeluarkan unek-unek. Para demonstran bersemangat sekali. Cara bicara mereka pun berapi-api. Untung ada
http://slamethdotkom.wordpress.com
88
[email protected]
megafon, jadi semua orang bisa mendengar. Pada mimbar bebas dadakan itu, kebanyakan mahasiswa yang berbicara, lalu diikuti dosen. Danang, mahasiswa FT angkatan 1991, sempat berdarah bibirnya karena ketika berbicara seorang teman menyenggol megafon yang dipegangnya di dekat mulut. Darah mengucur cukup deras tapi Danang tidak peduli. Ia terus berbicara. Danang kemudian memanggil Widyastomo, dosen muda Fakultas Teknik Jurusan Elektro, dan mendaulatnya untuk berbicara. Widyastomo menganggap tindakan YPTKSW tidak rasional. Dengan wajah gusar ia mengumumkan pemogokannya sebagai staf pengajar di FT UKSW. Ia dosen pertama yang dengan tegas menyatakan mogok. Yang kemudian juga mogok adalah dosen-dosen dari lima unit, yaitu FTJE, FSM, FP, FTh, dan PPs-SP. Tidak semua dosen di unit-unit tersebut mogok, namun jumlahnya merupakan bagian terbesar. Ketika hari semakin siang, massa tidak puas hanya berbicara saja. Mereka semakin ngotot mau masuk. Akhirnya, dua orang mahasiswa, Teguh Budi Santosa dan Eddy Wie (mahasiswa FTJE angkatan 1989) diizinkan masuk sebagai wakil para demonstran. Pengunjuk rasa yang menunggu di luar tetap berteriak-teriak dan bernyanyi-nyanyi mengejek. Di dalam BARA, Teguh dan Eddy meminta bertemu dengan Ketua Umum YPTKSW Haryono Semangun. Haryono ternyata tidak ada, maka mereka ditemui oleh Sekretaris YPTKSW Melky dan anggota YPTKSW Julius Saludung, SH. Di dalam gedung juga ada PR III Adjar Subadi. Yang tidak mereka sangka-sangka, mereka justru bertemu Umbu Rauta, sekretaris umum SMU. Umbu mengaku mewakili mahasiswa dan berkeras untuk ikut menemui para pimpinan universitas. Teguh dan Eddy keberatan, namun akhirnya mengizinkan dengan syarat Umbu tidak ikut ngomong. Di dalam Teguh dan Eddy menyatakan tuntutan mahasiswa agar SK pemecatan Arief Budiman dicabut, pengurus YPTKSW mengundurkan diri, dan meminta pengurus Yayasan menjelaskan alasan pemecatan. Dua tahun kemudian, Eddy berkomentar soal pertemuan di dalam BARA ini. "Lucu sekali kalau ingat muka sekretaris Yayasan yang sangat tersinggung dengan ucapan yang blak-blakan tersebut." Teguh dan Eddy mendapat penjelasan bahwa Arief mempermalukan YPTKSW. Juga, pengurus YPTKSW menolak menemui mahasiswa di luar. Akhirnya, PR III bersedia turun menemui mahasiswa. Tepat pukul 11.50, setelah sekitar 15 menit di dalam, Teguh dan Eddie keluar. Keduanya diikuti PR III Drs. Adjar Subadi. Rupanya, Adjar yang akan memberi penjelasan. Sebelum Adjar angkat bicara, Teguh dan Eddie mengatakan bahwa Ketua Umum YPTKSW sedang ke Irian Jaya, sedangkan rektor tengah mengikuti acara di luar. Dengan wajah tegang Adjar membacakan tulisan di kertas yang telah disiapkan. Hanya sebentar saja, mengulangi alasan pemecatan Arief yang telah diungkapkan rektor. Tentu saja para pengunjuk rasa tidak puas. Adjar bergegas masuk kembali diiringi teriakan yang menghinahinanya. Yel-yel terus bergema. Orang bergantian berbicara di mimbar bebas itu. Kebanyakan pembicara mengecam Yayasan dan rektor, namun mimbar bebas juga diisi seorang karyawan yang menyesalkan tindakan unjuk rasa yang dinilainya melanggar batas kesopanan. Sebagai contoh, ia menunjuk tulisan yang digoreskan di salah poster. Bunyinya: JOI asu. Asu dalam bahasa Jawa ngoko artinya binatang mamalia berkaki empat yang sering menyalak. Satuan pengaman kampus dan anggota menwa tetap mengawasi demonstrasi tanpa
http://slamethdotkom.wordpress.com
89
[email protected]
berniat menghambat. Malah seorang anggota menwa yang menolak disebutkan jati dirinya berkomentar, "Meski dapat perintah untuk mengamankan, tapi kami berusaha tidak menghalangi unjuk rasa. Saya secara prinsip setuju terhadap unjuk rasa ini." Anggota keamanan luar kampus yang berpakaian preman, seperti biasa, juga hadir. Sebuah sumber resmi di Mapolres Salatiga menyatakan bahwa pihak kepolisian tidak akan menghambat aksi sejauh tidak ada tindakan merusak.ii Aksi tersebut berakhir sekitar pukul 12.00. Mungkin karena para mahasiswa sudah lelah, mungkin pula karena sebagian sudah merasa puas dengan pengalaman pertama mereka berdemonstrasi. Seperti datangnya, kerumunan mahasiswa itu hampir seluruhnya lenyap tanpa bekas, meninggalkan kantor rektor tanpa insiden apa pun. Beberapa mahasiswa mendirikan tenda dari plastik biru di pelataran parkir motor. Entah siapa yang punya ide, tenda tersebut kemudian diberi nama "Tenda Keprihatinan". Ketika mereka sedang sibuk mendirikan tenda, seorang pria muda berkulit hitam yang entah berasal dari mana mencoba memancing keributan dengan menendang salah satu pasak tenda. Ini membuat Helio Maria Soares, mahasiswa FE angkatan 1990, marah besar. Untung temantemannya berhasil menenangkannya. Mereka menasihati Helio agar tidak mudah terpancing provokasi. Otto Adi Yulianto, salah seorang anggota Yayasan Geni, yang ikut menjagai Tenda Keprihatinan mengaku kaget karena peserta demonstrasi ternyata jauh lebih besar dari perkiraan semula yang hanya 50 orang. Di kemudian hari, ketika diminta mengenang peristiwa itu, ia bercerita. Siang itu tanggal 24 Oktober, Otto dan teman-teman sedang ngobrol-ngobrol di Yayasan Geni ketika seorang mahasiswa (Otto sudah lupa siapa) menelepon, mengabarkan Arief dipecat. Untuk memastikan, Otto dan kawan-kawan datang ke kampus menemui Limson U. Sangalang. Setelah jelas bahwa Arief memang dipecat, mereka segera mengontak teman-teman yang lain untuk sosialisasi dan mengajak mereka untuk membahas apa yang bisa mereka lakukan. Pertemuan untuk membahas masalah tersebut terjadi malam harinya (tanggal 24 malam) di Geni dan diikuti oleh sekitar 30 orang, ada Helio Maria Soares, Sonny Eli Zaluchu, Susiyanto, Yoga, Amin, Djoni, Wahyu, Dode, Dedy, Dewi, Kiki, dan Otto sendiri. Semuanya mahasiswa UKSW. Rapat memutuskan bahwa besok harinya (tanggal 25) perlu diadakan demonstrasi. Di tengah acara, Witjaksana, dosen FSM yang sering mampir di Yayasan Geni, datang. Juga ada yang mengusulkan agar demonya jangan besok pagi, tetapi 2-3 hari lagi. Kami yang ada di pertemuan tersebut tidak sepakat dengan usul itu. Pokoknya tetap ada demo besok pagi, begitu kata teman-teman yang hadir. Akhirnya, kami hanya mengubah target demo. Yang tadinya bertujuan untuk mengecam tindakan Yayasan dan JOI yang telah berlaku kasar dengan memecat Arief, diubah menjadi meminta pertanggungjawaban dan pandangan Lembaga Kemahasiswaan terhadap perkara pemecatan ini. Malam itu juga kami mempersiapkan segalasesuatu yang diperlukan untuk demo tersebut (untuk "tenda keprihatinan", kami pinjam dari salah seorang teman esok harinya). Nama Kelompok Prodemokrasi (KPD) juga muncul di situ. Kami yang tadinya mengira bahwa yang ikut demo paling-paling tak lebih dari 50 orang, jadi kaget sendiri waktu menyaksikan bahwa massa (peserta demo) jumlahnya lebih dari 100 orang dan memenuhi halaman depan kampus. Tidak hanya itu saja, mereka yang berperan aktif dalam demo tersebut, misalnya ikut memberikan orasi, kebanyakan bukan mereka yang ikut dalam
http://slamethdotkom.wordpress.com
90
[email protected]
pertemuan persiapannya. Kami yang sebelumnya mendapat jatah tugas, misalnya untuk ngomong, dll, jadi ringan kerjanya. Tak perlu ikut ngomong, tetapi demo dapat berjalan lebih seru dari yang direncanakan. Bahkan "isi" demo tidak sekadar mengecam LK, tetapi lebih dari itu, yakni mengecam pemecatan Arief oleh Yayasan dan JOI, seperti yang kami rencanakan semula. Dan demo terus berkelanjutan di hari-hari berikutnya, bahkan juga didirikan Tenda Keprihatinan. *** Gelombang reaksi kedua datang dari luar kampus. Reaksi mereka hampir seragam, mengecam pemecatan terhadap Arief Budiman. Salah satu tanggapan yang cukup keras datang dari Dr. Nurcholish Madjid. "Sangat ironis keputusan Yayasan UKSW yang memecat Arief Budiman. Itu keputusan primitif dan sangat disesalkan," katanya. Bahkan, Mendikbud Wardiman mengaku kaget. "Andaikan Arief Budiman melakukan kesalahan, kenapa tidak diperingatkan? Pertimbangannya harus secara matang sebelum terjadi PHK itu," katanya.ii Yayasan Pijar dalam siaran persnya yang ditandatangani Triagus S. mengatakan, Pijar mencela tindakan antidemokrasi yang dilakukan YPTKSW dan rektor UKSW yang memecat Arief tanpa ada dialog dan proses pembelaan diri darinya. Karena itu, Pijar mengimbau agar seluruh komponen prodemokrasi di UKSW bersatu untuk menentang kesewenang-wenangan rektor dan YPTKSW.ii Luhut M.P. Pangaribuan, SH menyatakan, dengan pemecatan ini Arief bisa mengajukan dua gugatan ke pengadilan secara terpisah. Gugatan pertama untuk memprotes proses pemilihan (rektor) yang (dinilai) tidak demokratis. Gugatan kedua, berkaitan dengan peristiwa pemecatan yang sewenang-wenang.ii Surat yang datang dari luar negeri jumlahnya pun sangat banyak. Para ilmuwan dan badan dari seluruh belahan dunia ikut menyatakan sikap. Kebanyakan surat itu menyayangkan pemecatan tersebut. Surat-surat itu ada yang ditujukan ke mendikbud, YPTKSW, rektor, maupun Arief sendiri. Dari Jepang datang pernyataan solidaritas 72 orang yang berprofesi sebagai ilmuwan, aktivis LSM, peneliti, dan wartawan. Dari Malaysia ada surat yang ditandatangani oleh 84 orang yang terdiri atas para ilmuwan, peneliti, dan akademisi. Kemudian ada Randy David, seorang profesor di Departemen Sosiologi Universitas Philipina. Benedict Anderson, Takashi Siraishi, Saya Shiraishi, James Siegel, Alton Becker, dan Ann L. Stoler dari AS juga menyatakan sikap. Dari Australia 42 orang ilmuwan seperti David T. Hill, Herb Feith, Gerry van Klinken, Anton Lucas, Colin Brown, Hal Hill, Harold Crouch, Heinz Arndt, ikut menulis surat menyayangkan pemecatan itu. Lalu, ada pula pernyataan dari Committee for International Academic Freedom yang bermarkas di New York serta The American Association for the Advancement of Science. Para ilmuwan dari negara-negara Asia Pasifik yang berkumpul di Manila dalam suatu workshop tentang HAM juga menulis surat. Surat itu ditandatangani oleh 40 orang, termasuk di antaranya Michael Kelly (Australia), Kao Chi Jen (Taiwan), Byung-sun Oh (Korsel), Björn Beckman (Stockholms Universiteit). Surat-surat yang belum disebutkan di sini masih banyak lagi. Kesemua surat itu isinya mungkin bisa dirangkum dalam satu surat yang ditulis Daniel S. Lev dari University of Washington kepada Arief.
http://slamethdotkom.wordpress.com
91
[email protected]
Dear Arief, Astaga. Needless to say, we are all shocked—not surprised, just shocked—at your dismissal. You don't deserve this, Arief, and I wish you did not have to put up with it. Many of us are writing to the UKSW dewan in the hope of generating pressure from abroad. The reason for writing now, however, is simply to express admiration for the courage you have somehow maintained for so long. It is easy to be sympathetic, I know, especially from this distance, so I won't bother you with that. But respect is something else, and both as friend and as colleague, I want you to understand just how much respect I personally have for you. Every scholar in this country who knows you, I am sure, will share that view. Sejumlah aktivis HAM di Jakarta juga memberikan komentar tajam. Prof. Dr. Muladi, anggota Komnas HAM yang juga rektor Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan bahwa pemecatan tersebut harus diprotes. Bukan untuk membela kepentingan pribadi Arief, tetapi harus didasarkan pada upaya menjaga citra dunia kampus dari tindakan sewenang-wenang YPTKSW. Arief sendiri, menurutnya, tidak perlu dirisaukan. "Sekarang pun barangkali dia sudah ditawar untuk mengajar di perguruan tinggi lain," katanya. Memang benar. Beberapa hari kemudian Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Malik Fadjar mengatakan UMM bersedia menerima sosiolog tersebut karena menghargainya sebagai seorang ilmuwan yang hebat dan sangat dibutuhkan untuk pengembangan perguruan tinggi. Katanya, "Terserah Pak Arief, apakah dia yang akan melamar atau UMM yang akan melamarnya." Menurut Malik, pihaknya memang belum menghubungi Arief karena terganjal kesepakatan Badan Permusyawaratan Perguruan Tinggi Swasta (BPPTS). "Karena sekarang persoalan Arief Budiman dengan UKSW belum selesai, rasanya kurang etis kalau kami menawarkan. Kami menunggu kalau persoalan sudah selesai. Itu pun kami tetap akan bicara dengan UKSW." Malik merasa Arief bisa jadi dosen di Program Pascasarjana UMM atau di lingkungan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.ii Sejumlah mahasiswa IAIN Suka Yogyakarta juga ingin agar Arief bergabung dengan IAIN. "Kalau UKSW keberatan menerima Arief, maka kami mahasiswa IAIN siap menampung dan berkeinginan menjadikan Arief sebagai dosen kami," ujar Asep Muslim, koordinator Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi. Hal senada dikatakan ketua Badan Pelaksana Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Imam Marsudadi, dan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Adab, Tatik Tauhidah. Keduanya menilai, Arief layak menjadi dosen IAIN mengingat kapasitas keilmuannya akan memberi nuansa baru bagi kegiatan akademis dan proses belajar mengajar di kampus IAIN.ii Arief sendiri beberapa hari kemudian mengatakan, dia tidak berniat kembali ke UKSW kendati ada permintaan atau perubahan sikap pihak rektorat. Pemecatan ini justru sangat menyenangkan baginya karena begitu banyaknya orang yang bersimpati pada konsistensi sikapnya. Kalau tidak ada pemecatan ini, jelas masyarakat ilmiah di dalam dan di luar kampus tidak akan mengetahui betapa bobroknya sistem dan tak terjaminnya kehidupan suasana demokratis di UKSW. Jadi, pemecatan ini bagi Arief adalah strategi yang salah kaprah dari rektorat.
http://slamethdotkom.wordpress.com
92
[email protected]
Arief mau kembali hanya setelah terpenuhinya 4 syarat: penggantian rektor dan pemilihan ulang rektor baru yang lebih demokratis; pemilihan personel lainnya seperti pengurus Yayasan, pejabat di lingkungan rektorat ditetapkan setelah mendengarkan aspirasi anggota kampus; kehidupan harus melegalkan terjadinya pluralisme sikap dan pendapat dalam proses kehidupan akademis dan nonakademis; adanya kesetaraan hubungan antara rektor dan Yayasan dengan anggota masyarakat ilmiah kampus, artinya hubungannya bukan seperti antara buruh dan majikan.ii Arief menyatakan minatnya untuk mengajar di Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta karena sejak lama telah mengenal rektor Romo Sastro yang jujur dan suka membela kebenaran. Arief merasa, bisa juga ia pindah ke Unika Soegiya Pranata Semarang, walaupun beberapa hari kemudian Rektor Unika Soegijapranata, Dr. Ir. P. Wiryono, SJ, mengungkapkan, hal itu masih menghadapi kendala berupa fasilitas dan belum adanya fakultas ilmu sosial. "Kami hanya bisa mengusulkan untuk menjadi dosen terbang di Fakultas Teknik Arsitektur dengan mata kuliah Sosiologi Pembanguan Kota," kata rektor yang juga mantan Rektor Universitas Timor Timur yang kerap dipanggil Romo Wir ini. Tak lupa ia menyatakan dirinya bersimpati terhadap keinginan Arief untuk bergabung dengan perguruan tinggi yang dipimpinnya.ii Selain mencari universitas mana saja yang punya suasana kebebasan berpikir dan berkreasi, Arief sebenarnya lebih tertarik bekerja independen seperti menulis.ii *** Menanggapi komentar di koran, Rektor John JOI Ihalauw menjawab tak kalah sengit. Katanya, UKSW tidak merasa rugi dengan memecat Arief Budiman, sebab UKSW tidak pernah menggantungkan diri pada satu orang saja. Apa yang dilakukan merupakan tindakan proporsional dengan cara profesional. JOI menambahkan, sebagai rektor ia tidak takut bila ada pihak yang melakukan penuntutan lewat jalur hukum. Hal senada diungkapkan pengacara rektor dan YPTKSW, Djoko Oentoeng Soerapati, SH. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh YPTKSW terhadap Arief bukan tindakan yang sekadar hantam kromo. Tindakan itu merupakan langkah untuk menegakkan tata krama.ii Reaksi serius yang melebihi dampak omongan di koran adalah pemogokan dosen. *** Demonstrasi hari ke-2 pada 26 Oktober 1994 dipelopori para mahasiswa Program Pascasarjana Studi Pembanguan dan mahasiswa Program Pascasarjana Agama dan Masyarakat. Demonstrasi kali ini lebih ramai dari hari sebelumnya. Ribuan mahasiswa ditambah dosen ikut serta dalam unjuk rasa itu. Yang mengagetkan, dosen Fakultas Theologi, yang selama ini dianggap sebagai komunitas "alim" lantaran isinya kebanyakan para pendeta, ikut turun ke arena unjuk rasa dan menyatakan mogok kerja. Selain spanduk dan poster, para demonstran juga membawa keranda orang mati. Keranda ini, kata mereka, adalah simbol kematian demokrasi. Sambil berjalan mengelilingi kampus, mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti Berkibarlah Benderaku yang diganti syairnya menjadi Berkibarlah Demokrasi. Tujuan akhir mereka tetap halaman depan BARA. Mimbar bebas kembali terbentuk di depan BARA. Mahasiswa dan dosen bergantian berbicara. Isinya mengecam tindakan YPTKSW yang memecat Arief dan meminta para pengurus
http://slamethdotkom.wordpress.com
93
[email protected]
Yayasan itu untuk mundur. Waktu sedang asyik-asyiknya para pengunjuk rasa bermimbar bebas, tiba-tiba ada banyak orang berlarian. Para demonstran sejenak terpecah perhatiannya dan mengira terjadi kerusuhan. Rupanya para wartawan melihat Arief Budiman muncul, lalu mengejar untuk mengambil foto dan wawancara. Arief didampingi Leila, istrinya. Arief maju ke depan mimbar dan duduk di undakan tangga BARA. Leila duduk di sampingnya. Arief tampak ceria. Ia gembira karena ternyata ada banyak reaksi terhadap pemecatannya. Reaksi sebesar ini sama sekali tidak diduganya. Ia menyatakan bahwa ini membuatnya bersemangat untuk terus berjuang. Selain menjadi motor demonstrasi, mahasiswa PPs-SP juga mengeluarkan pernyataan sikap menolak PHK atas dosen mereka. Alasan penolakan itu ada 7 butir, di antaranya PHK tersebut sangat merugikan mahasiswa PPs-SP; pemecatan ini merupakan tindakan sewenangwenang dan ungkapan arogansi kekuasaan pengurus; "Untuk itu kami menuntut pengurus YPTKSW mencabut SK PHK tanpa syarat, membubarkan penasihat hukum pengurus YPTKSW, memberhentikan JOI sebagai rektor UKSW," kata Johni Simanjuntak, SH, salah seorang mahasiswa PPs-SP. Selain itu, mereka juga mengimbau pihak Gereja pendiri dan Gereja pendukung untuk segera membubarkan pengurus YPTKSW yang sekarang menjabat. Johni menambahkan, sivitas akademika UKSW harus segera membentuk pengurus baru yang mampu memahami aspirasi warga UKSW. "Kami juga mendesak agar segera diselenggarakan pemilihan rektor UKSW yang baru berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi umumnya" Demonstrasi hari itu juga diwarnai munculnya demo tandingan. Demo ini dilakukan oleh 10 orang yang mengaku sebagai kelompok yang dirugikan oleh para dosen yang melakukan mogok kerja. Tetapi, aksi ini tidak mengundang orang lain bergabung.ii Ketika hari sudah mulai siang, para demonstran dari kedua kubu pun hilang tak berbekas. Beberapa orang siang itu berteduh di Tenda Keprihatinan sekaligus menjagainya. Mereka tidur-tiduran sembari menikmati angin semilir di kota sejuk yang sudah lama tidak hujan itu. Kampus UKSW lumpuh karena banyak dosen yang mogok mengajar dan ribuan mahasiswa mogok belajar. Hari itu ada juga forum terbuka di Fakultas Pertanian. Di kemudian hari forum semacam ini juga sering dilakukan mahasiswa fakultas lain. Mereka menyebutnya open forum dan merupakan pertemuan mahasiswa fakultas itu. *** Para demonstran pulang ke rumah untuk kembali lagi keesokan harinya. Juga, untuk memulihkan tenaga dan mengajak kawan baru. Hari Kamis tanggal 27 Oktober keesokan harinya terjadi lagi demonstrasi yang lebih besar dari segi peserta. Kali ini motornya adalah mahasiswa Fakultas Teknik. Orang berbaris hingga lebarnya lima meter dan berarakan mengelilingi kampus. Sambil berjalan mereka menyanyikan yel yang biasa diserukan suporter sepakbola. "Ole... ole..." tapi diganti menjadi "Turun... turun..." Massa mengelilingi lapangan sepakbola, baru kemudian ke depan BARA. Salah satu mahasiswa seluruh tubuhnya dibalut seperti mumi. Disebutkan, "mumi" itu merupakan lambang demokrasi yang telah mati. Tetapi, "mumi" itu bisa bicara, bisa juga merokok. Ada
http://slamethdotkom.wordpress.com
94
[email protected]
yang bertanya kepada "mumi" itu, "Mengapa Anda mati?" Sang "mumi" menjawab, "Karena kesewenang-wenangan pengurus Yayasan." Kegiatan belajar-mengajar, kecuali di FE, boleh dikatakan tidak ada. Selain itu, sebagian dosen FKIP, terutama program nirgelar, juga tidak mogok. Di tengah hingar-bingarnya ribuan manusia yang memprotes pemecatan Arief Budiman, ada juga serombongan mahasiswa yang bergantian berpidato dengan megafon, mengecam dosen-dosen yang mogok. Tapi, suara mereka menjadi tertelan ketika rombongan demonstrasi datang. Karena pendukung Arief jauh lebih besar, aksi mimbar bebas tandingan antimogok kuliah yang digelar beberapa mahasiswa jadi tenggelam. Melihat pudarnya aksi yang dilancarkan para kelompok antimogok, "panitia" demonstrasi pendukung Arief langsung memberi kesempatan kepada para penentang mogok itu untuk tampil ke mimbar. "Walaupun mereka menentang seruan kami untuk melakukan mogok, demi demokrasi mereka kami beri kesempatan menyampaikan pendapatnya." ujar salah seorang pendukung Arief. "Saya adalah mahasiswa yang datang dari desa. Namun, dengan adanya mogok ini, saya menjadi rugi karena tidak mendapat kuliah," ungkap seorang mahasiswa penentang mogok. "Saya juga dari desa. Tetapi, apa artinya saya kuliah kalau yang terjadi adalah penindasan dan otoriter yang membuat saya tidak tenang kuliah. Karena itu, lebih baik saya mogok hingga hilangnya kesewenang-wenangan," ujar Marius Parlindungan, mahasiswa FT angkatan 1990 yang menjadi salah seorang pendukung mogok kuliah.ii Dosen-dosen juga ikut serta. Mereka tidak peduli pada surat rektor No. 200/XXXVII/Rek./1994 tertanggal 25 Oktober 1994. Lewat surat ini, rektor memperingatkan agar dosen tidak menelantarkan kepentingan mahasiswa. Rektor juga tak lupa menyebutkan bahwa dosen yang melakukan mogok kerja akan mendapat sanksi. Pada hari itu juga beredar selebaran gelap yang salah satu isinya menuduh Arief Budiman memfitnah karena mengatakan "Lebih baik menjadi tunakarya daripada tunasusila." Dari mana selebaran gelap itu datang, beginilah ceritanya. Dalam demo 26 Oktober, Arief dan Leila datang dan ikut duduk di tangga BARA. Arief mengenakan kemeja lusuh yang bagian sakunya sudah robek. Dalam dialog, ketika ada demonstran yang mengomentari itu, Arief menjawab sambil tersenyum, "Ini bukan disengaja, lho." Ia lalu menyambung, "Saya memang tunakarya sekarang. Tapi, tunakarya lebih baik daripada tunasusila." . Kemudian ada orang yang merujuk kutipan Arief sebagai menghina pengurus Yayasan, menuduh Arief mengatakan bahwa pengurus Yayasan tunasusila. Selebaran gelap satu lembar dengan judul "Kebohongan-Kebohongan Arief Budiman" itu bahkan beredar pula di Solo.ii Hari itu (27/10) juga majalah mahasiswa FT Imbas menerbitkan laporan dalam bentuk buletin dua halaman. Buletin itu mereka jual Rp50. Kira-kira 150 habis. Yang dimaksud dengan
http://slamethdotkom.wordpress.com
95
[email protected]
buletin adalah fotokopian selembar tulisan dengan tata letak yang dibuat dengan program Ami Pro 3.0. Didesain di rumah kos di Jalan Pungkursari 192 dan dijual oleh mahasiswa FT sendiri. Penjualannya tidak terorganisir karena terbitnya dadakan dan para pengasuhnya belum belajar cara menjual yang baik. Buletin ini habis dan yang tidak kebagian pun memfotokopi sendiri. Pembeli yang bersimpati sering kali membayar lebih. "Untuk buat lagi," begitu kata mereka. Buletin ini menurunkan tulisan tentang dipecatnya kepala satkam UKSW, Suparto. Berita ini juga membuat marah para demonstran. Koran Bernas juga memberitakan Suparto dipecat. Sesungguhnya, Suparto Resowijoto (48), lelaki yang sudah 25 tahun mengabdi di UKSW dan 10 tahun menjadi Ka Satkam, hanya digeser dari jabatan kepala satkam. Alasannya, penggemar silat Minangkabau dan anggota wasit internasional silat ini tidak bersedia menggunakan kekerasan untuk membubarkan pengunjuk rasa. Beginilah kisahnya. Rabu (26/10) sekitar pukul 12.00 saat demonstrasi dan mogok mulai melanda UKSW, secara mendadak Suparto dipanggil PR III atas instruksi rektor. "Saya datang bersama tiga orang Ketua Kelompok yang masing-masing membawahi puluhan Satkam." ujar mantan Kepala Kantor Administrasi Laboratorium UKSW itu. Lalu pria yang berprinsip ucapan pimpinannya (rektor) adalah sabda pandita ratu -sawiji dadi ini menirukan kata-kata pimpinannya tersebut. "Tugas Pak Parto terlalu berat. Ini secara sistem tidak baik. Ini harus dibagi." Kemudian, lanjutnya tetap menirukan penjelasan pimpinannya, pengamanan di UKSW mendadak berubah bentuk menjadi pengamanan kelompok. Selanjutnya dibentuk koordinasi. "Tetapi yang secara manusiawi menjadi pertanyaan saya, saya masuk kotak. Dari decision maker yang membawahi 40-an orang menjadi petugas khusus pencari informasi," ujarnya sambil menambahkan bahwa sebelumnya dia sudah mendengar bocoran tentang penggeserannya. Meski lelaki itu mengaku belum mengerti penjelasan pimpinan yang sangat dihormatinya, apalagi penggeserannya dilakukan tanpa sesobek SK, secara penuh akan dia patuhi perintah pimpinannya. "Meski tanpa SK, apa yang diinstruksikan pemimpin akan saya patuhi," tegasnya sambil menjelaskan bahwa dia tidak bekerja untuk seorang melainkan untuk lembaga dan orang banyak. "Kini posisi saya adalah Petugas Khusus Pencari Informasi," ujar Suparto. Kini di tengah gelombang mogok kerja dan demonstrasi dia pun mengambil sikap. "Saya memilih di-PHK daripada dikotakkan."ii Mengenai penggeseran Suparto, PR III Adjar Subadi mengatakan, itu cuma pembagian tugas, bukan pemecatan. Senada dengan Adjar, Julius Saludung mengatakan yang termuat dalam Bernas dan Imbas tidak benar. Suparto hanya dibatasi tugasnya saja dan dimutasikan. Mirip Julius Saludung, JOI mengatakan, Suparto bukan dipecat tapi dibatasi dalam kerjanya.ii *** Kendati demonstrasi besar yang melanda, Ketua Umum Dewan Pengurus YPTKSW Haryono Semangun mengatakan, keputusan pemecatan Arief Budiman tidak akan dicabut kendati ada unjuk rasa dan pemogokan di kampus tersebut. Menurutnya, keputusan itu telah
http://slamethdotkom.wordpress.com
96
[email protected]
diambil secara aklamasi dalam rapat Dewan Pengurus Yayasan tanggal 30 September 1994. Sebelumnya, pihak Yayasan telah memberikan surat peringatan sebanyak dua kali, Maret dan April 1994. Haryono menyebutkan alasan pemecatan Arief karena yang bersangkutan dinilai telah melanggar kewajiban kepegawaian, merugikan martabat dan nama baik pengurus Yayasan dan pimpinan universitas, serta telah diberi surat peringatan. Tujuan tindakan itu sendiri agar yang bersangkutan lebih etis dan institusional dalam memperjuangkan pendapatnya. Lanjutnya, Arief juga tidak mampu menjunjung tinggi nama baik universitas serta melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan kewenangannya. Juga, pemecatan Arief tidak bertentangan dengan Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW dan peraturan perburuhan Depnaker. Untuk itu, pemecatan itu bersifat semerntara waktu sambil menunggu dipenuhinya ketentuan perundang-undangan yang berlaku.ii Haryono Semangun menegaskan "Mahasiswa Program Pascasarjana yang masih ngotot ingin diajar Arief tak dapat mengikuti ujian negara karena Arief sudah tidak lagi terdaftar di UKSW." Begitu pula pihak dosen yang mogok kerja, pihak UKSW tidak akan nggondheli. Pemecatan terhadap Arief akan berlaku mulai tanggal 31 Oktober 94, namun jika tanggal 31 Oktober 1994 atau sesudahnya Arief tetap masuk kantor, akan diambil tindakan. "Ibaratnya kita punya rumah, jika ada tamu tak diundang, tentu kita persilakan pergi, jika tidak mau ke luar terpaksa kita memanggil yang berwajib." ujar Haryono.ii Waktu mendengar pernyataan Haryono Semangun dan rektor, Arief membantah alasan pemecatan yang mereka kemukakan. Menurut Arief, alasan yang mengatakan dia merusak suasana kampus dan menentang kebijakan rektor dan Yayasan sangat mengada-ada. Justru seharusnya rektor dan Yayasan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu karena selama ini rektor dan Yayasan tidak mau berdialog dengannya untuk menyelesaikan permasalahan di UKSW. Kuasa hukum Arief Budiman yang juga dosen FH, Indra Budiman (tidak punya pertalian saudara dengan Budiman yang dipecat) membantah bahwa ia pernah melakukan pembicaraan dengan pihak Yayasan soal PHK. Pembicaraan yang pernah dilakukan antaran Indra dan Yayasan bukan atas nama kuasa hukum, tetapi antara Yayasan dengan staf akademik UKSW. Ia kemudian menunjukkan surat panggilan PR I bernomor 311/PR-1/IX/94 dan ditandatangani PR I Soewandi, SH. Saat itu, ia ditanya keterlibatannya dalam rencana gugatan Arief Budiman. Indra perlu mengemukakan bantahan ini karena sebelumnya Julius Saludung, SH salah seorang pengurus inti YPTKSW mengemukakan bahwa PHK Arief sudah melalui prosedur yang benar. Sebelum SK diturunkan, menurut Saludung, Yayasan telah memanggil Arief melalui kuasa hukumnya. Arief sendiri Jumat tanggal 28 Oktober 1994 pagi bertolak ke Hongkong. Leila, istri Arief, mengatakan Arief memperoleh undangan dari panitia seminar tentang pembangunan Asia. "Sebenarnya Arief tidak berniat meninggalkan Salatiga, apalagi dalam saat-saat seperti sekarang. Tetapi karena sudah terlanjur janji, ya terpaksa berangkat."ii Kata Arief: "Saya sebenarnya tak ingin meninggalkan Salatiga karena di UKSW sedang ada kemelut besar. Tapi demonstrasi mahasiswa dan dosen tak lagi membela saya melainkan menuntut adanya keadilan dan keterbukaan di kampus. ... Karena sudah ada janji hadir, saya tak bisa menolak undangan."ii Sementara itu, Ariel Heryanto, yang juga mendapat peringatan terakhir sedang berada
http://slamethdotkom.wordpress.com
97
[email protected]
di AS. Mendengar kabar pemecatan Arief, ia langsung berkampanye di gereja-gereja di AS, menjelaskan terjadinya pemecatan itu serta mendesak pimpinan UKSW mencabut SK pemecatan.ii *** Tanggal 28 Oktober, mahasiswa kembali berdemonstrasi dalam bentuk mimbar bebas. Salah satu mimbar bebas diadakan oleh mahasiswa Fakultas Hukum di pinggir lapangan sepakbola. Keributan hampir terjadi dalam mimbar bebas itu. Ketika dosen FH Krishna Jaya Darumurti, SH naik ke mimbar, Pembantu Dekan III FH Indra Budiman, SH yang juga kuasa hukum Arief, merasa pidato Krishna menyudutkan dan menyinggung nama baik seseorang. Indra mencoba membujuk Krishna agar turun, namun ditolak. Perang mulut pun terjadi di mimbar bebas yang diadakan oleh Senat Mahasiswa FH.ii Waktu panas-panasnya, masuklah Sudi Winarno dan Djoko Oentong Soerapati, keduanya pendukung Rektor Dr. John JOI Ihalauw. Saat itulah nyaris terjadi bentrok fisik, namun berhasil dilerai mahasiswa. "Ini forum mahasiswa, silakan dosen menjadi penonton saja, jangan memperkeruh suasana," seru seorang mahasiswa. Sorenya, di depan mimbar bebas yang diadakan para mahasiswa antipemogokan, Jerry G. Tambun, SH, salah satu penasihat hukum YPTKSW, menyatakan mengundurkan diri sebagai penasihat hukum YPTKSW mulai petang itu. Ia mengatakan, langkahnya tersebut tidak memihak, tetapi merupakan upaya menyelamatkan UKSW serta para mahasiswa, agar keadaan tidak menjadi lebih parah. Unjuk rasa di depan BARA Jumat petang diikuti para mahasiswa, dosen, pendeta serta mahasiswa pascasarjana yang menamakan diri "kelompok netral". Mereka ingin agar mahasiswa tidak menjadi korban, perguruan tinggi tetap berkelanjutan, serta menentang pemogokan oleh dosen. Di samping menggelar poster yang bunyinya "Kami malu punya dosen tukang mogok", mereka juga menyanyikan lagu-lagu persatuan dan kesatuan dan ditutup dengan doa bersama.ii Selama dua hari belakangan muncul aksi tandingan dari sejumlah mahasiswa yang menentang pemogokan dosen. Mereka menamakan diri Gerakan Mahasiswa Korban Konflik (GMKK).ii *** Beberapa tokoh mencoba menguraikan apa penyebab demonstrasi besar-besaran selama empat hari berturut-turut. "Pangkal masalah ini sebenarnya tetap bersumber dari suksesi rektor tahun silam. Jadi, kalau masalah itu kemudian dianggap sebagai telah kadaluarsa atau tidak bisa ditinjau kembali, maka krisis ini akan terus berkembang," ujar Pendeta Menak Soebagyo dari GKJ Salatiga. Sumber persoalan yang lain, ujar pendeta yang aktif di dunia pendidikan ini, terjadi karena aturan main yang semenstinya tidak dijalankan oleh wakil-wakil Gereja yang duduk di yayasan. "Yaysan itu kan masih berada di bawah deputat, jadi untuk kebijakan yang sifatnya riskan, seperti pemecatan Arief, tentunya harus dikonsultasikan pada deputat." katanya. Haryono Semangun, sebagai ketua YPTKSW, khusus menyangkut kebijakannya memecat Arief dinilai Menak melangkahi deputat, sebab dalam memutuskan kebijakan tersebut Haryono
http://slamethdotkom.wordpress.com
98
[email protected]
tidak pernah mengkonsultasikan atau membicarakannya di Deputat. "Yayasan bagaimanapun kan bukan yang paling kuasa. Apalagi ini mewakili kepentingan Gereja, jadi tidak bisa lantas dipaksakan berdasarkan kehendak orang-orang tertentu," katanya lagi. Sementara itu, Tjahjakartana, anggota majelis GKI yang juga dosen senior UKSW yang mengajar di FP, mengatakan, pihaknya merasa cukup sulit untuk melihat konteks persoalan yang menjadi sumber konflik di UKSW. Tetapi, dihadapkan pada kondisi seperti itu hendaknya kepentingan Gereja harus diprioritaskan. "Berpijak pada kesaksian Kristen, maka kebenaran dan keadilan harus menjadi napas dalam menentukan setiap kebijakan Yayasan." ujarnya.ii Tidak sependapat dengan Menak dan Tjahjakartana, Drs. Melky Nganggoe mensinyalir gerakan unjuk rasa untuk membatalkan SK PHK serta menuntut turunnya rektor sudah tidak murni lagi. Ada pihak-pihak yang sengaja membuat keruh dan resah dalam tubuh UKSW. Ia tidak menyebutkan pihak-pihak yang membuat keruh itu.ii Kemungkinan adanya pihak yang menunggangi juga diungkapkan Kapolres Salatiga Letkol Pol Drs Ig Hari Suprapto saat menemani Kapolwil Semarang Kol. Pol. Drs. Gendro memantau demo di UKSW pada hari Jumat, 28 Oktober. Demonstrasi selama ini, kata Kapolres, masih berjalan tertib, tak ada kekerasan. Oleh karenanya, pengamanan masih dilakukan wajarwajar saja. "Kalau sudah keluar kampus, itu menjadi tanggung-jawab aparat keamanan, namun mudah-mudahan mereka tak keluar kampus." Namun demikian, lanjutnya, demonstrasi itu sudah menjurus ke arah penghinaan terhadap salah satu pimpinan UKSW dan menyinggung unsur SARA. Juga, ada pihak ketiga yang mencoba ingin memperkeruh suasana. "Kami berharap mahasiswa dan dosen kembali kuliah dan mengajar. " Sama seperti Melky, ia tidak memerinci pihak yang diduganya menunggangi. *** Pemecatan Arief Budiman sendiri ditolak oleh unit tempat Arief bernaung, PPs-SP. Penolakan itu dituangkan dalam surat yang ditujukan kepada Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW, bertanggal 25 Oktober 1994. Surat itu ditandatangani oleh Dr. Nico L. Kana selaku ketua dan Dr. Limson U. Sangalang selaku Sekretaris Pmipinan PPs-SP UKSW, tembusan dikirim kepada rektor UKSW. Penolakan ini berdasarkan keputusan Rapat Staf Inti PPs-SP yang diperluas tanggal 25 Oktober.ii Namun, pengurus YPTKSW sudah bertekad untuk mempertahankan keputusan mereka memecat Arief. Setelah rektor menantang Arief Budiman ke pengadilan, ketua YPTKSW Haryono Semagun juga mempersilakan semua pihak yang keberatan dengan SK pemecatan Arief mempersoalkannya lewat pengadilan.ii *** John Ihalauw mengaku selalu dapat tidur nyenyak kendati terus diganggu unjuk rasa. Ia juga mengaku mendapat pernyataan simpati dari beberapa pakar PT di luar negeri maupun dalam negeri melalui telepon. Hanya saja, ia tidak menyebutkan siapa orang-orang yang bersimpati padanya itu.ii Namun, tampaknya John Ihalauw tidak berbohong kalau ia mengatakan ia pun mendapat simpati atas "keberanian"-nya memecat tokoh tenar seperti Arief. Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Soeyono, misalnya, mengibaratkan Arief sebagai
http://slamethdotkom.wordpress.com
99
[email protected]
sopir yang dalam mengemudikan kendaraan sering nabrak-nabrak. "Kalau sopir semacam itu diberhentikan, apa tidak boleh? Wajar toh tindakan ini untuk menjaga keselamatan para penumpangnya," ujar Pangdam.ii Soeyono bahkan memperingatkan dosen UKSW untuk tidak memanfaatkan mahasiswa untuk mendramatisir perlawanan mereka terhadap pemecatan Arief Budiman. Pangdam mengatakan, mahasiswa dan dosen tidak boleh menggunakan teknik seperti demonstrasi jalanan atas nama demokrasi untuk memaksakan kehendak mereka. "Masalah ini semata-mata antara Arief Budiman dan pimpinan universitas," katanya.ii Prof Ronny Hanitijo Soemitro, SH, Koordinator Kopertis Wilayah VI Jateng, mengatakan PHK itu wewenang YPTKSW. "PTS punya hak otonom mengatur rumah tangganya sendiri. Kopertis bersifat koordinatif bukan komando dan instruktif," kata Ronny. Ronny mengatakan, UKSW pernah berkonsultasi mengenai masalah Arief Budiman. Saat itu Kopertis memberikan arahan. "Bila dinilai tidak bisa bekerja sama dengan Yayasan dan dapat mempengaruhi lajunya peningkatan kualitas pendidikan tinggi secara keseluruhan, ya wewenang Yayasan untuk bersikap tegas," kata Ronny. "Karena bukan dosen Kopertis, maka Kopertis tak punya sangkut paut," tambahnya.ii *** Tanggal 31 Oktober, kelompok penentang Yayasan/rektor yang menamakan diri Kelompok Prodemokrasi (KPD) mulai menerbitkan buletinnya yang bernama Suara Demokrasi, disingkat SD. Buletin ini mengatasnamakan semua unsur yang diperkirakan penerbitnya menentang Yayasan dan rektor. Dalam tiap terbitannya tertulis pada halaman pertama bahwa buletin itu diterbitkan oleh Kelompok 10, Kelompok 19, Kelompok 3, Komite Solidaritas Mahasiswa, Kelompok Pro Demokrasi, Imbas, dan AgaSSi. AgaSSi adalah majalah mahasiswa Fakultas Pertanian. Pemimpin redaksi buletin ini adalah Danang, mahasiswa FT angkatan 1991 yang juga menjadi pemimpin redaksi majalah Imbas. Dilihat dari mottonya: Buletin Antikesewenangwenangan dan Antiketidakadilan, mereka jelas memihak KPD, namun bahasa yang digunakan tidak kasar memaki-maki. Mereka juga tampak berusaha mewawancarai kubu Yayasan dan rektor, meskipun ditolak. Dalam salah satu edisinya, mereka menulis bahwa dua reporter Suara Demokrasi berusaha menemui JOI. Sayangnya, rektor tidak bersedia diwawancarai. Rektor menganggap Suara Demokrasi adalah buletin yang tidak legal. Kedua reporter itu diminta untuk minta izin pada PR III. "Memang sungguh sangat disayangkan, maksud baik redaksi dicurigai sejak dini, padahal Suara Demokrasi adalah satu-satunya buletin resmi yang mencantumkan identitas. Bahkan, di setiap penerbitannya Suara Demokrasi mencantumkan nama pemimpin redaksinya, Danang. Ia yang akan bertanggung-jawab bila ada berita yang tidak benar, dan tentu saja siap dituntut. Orangnya mudah ditemui karena setiap hari gentayangan di seputar kampus. "Walaupun masih berusia muda, SD selalu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Contohnya, ya itu tadi. Setiap pihak diberi kesempatan berbicara. Susah juga kalau untuk memberitakan kebenaran pun harus minta izin." tulis mereka.ii Kata pengasuhnya, semua orang boleh menulis di situ. Dalam setiap edisi juga diumumkan bahwa setiap sumbangan tulisan bisa diserahkan ke Tenda Keprihatinan. Yang diangkat dalam edisi pertama Suara Demokrasi adalah wawancara dengan Pendeta
http://slamethdotkom.wordpress.com
100
[email protected]
Broto Semedi, mantan dekan FTh yang juga memberikan mata kuliah Agama Kristen dan Etika. Menurut Broto, segala keributan ini harus ditelusuri dari akar permasalahannya, yaitu pemilihan rektor UKSW tahun 1993. Ketika itu pengurus Yayasan telah mempunyai pilihannya sendiri dan pilihannya itu harus naik. Liek Wilardjo sebenarnya yang diinginkan oleh suara mayoritas, dan John JOI Ihalauw sudah gugur pada babak pemilihan pertama sehingga tak boleh maju ke babak berikutnya. Namun, karena pengurus dari semula menginginkan JOI yang naik, maka segala jalan ditempuh, termasuk menafsirkan peraturan dengan cara lain. Moral Kristen diganti dengan dalil "tujuan menghalalkan segala cara". Apa yang dilakukan pengurus Yayasan tidak hanya tidak adil dan tidak demokratis, namun juga tidak bermoral. Pengurus tidak menginginkan Liek karena beranggapan bahwa Liek adalah orang yang kaku, dalam arti memegang prinsip moral secara teguh dan tidak akan mau diajak 'membelok ke sana kemari'. Masih menurut Broto, pengurus Yayasan berani memecat Arief walaupun sudah memperkirakan akan ada gelombang protes karena pengurus menganggap Arief adalah jiwa dari Kelompok 10, sehingga dengan memenggal jiwa kelompok itu diharapkan seluruh perlawanan akan terhenti. Haryono Semangun adalah profesor negara dengan birokrasi di sekelilingnya, sehingga menganggap bawahan akan tunduk saja pada atasannya. Kenyataannya, Arief Budiman hanyalah bagian dari Kelompok 10. Salah tafsir ini berlanjut dengan perhitungan bahwa Arief tidak disukai pemerintah, sehingga dengan 'memukul' Arief akan menyenangkan pemerintah. Yang tak dimengerti pengurus adalah bahwa mayoritas warga kampus bukan berada di belakang Arief atau Kelompok-10, tapi mereka menuntut adanya demokrasi. Menurut perkiraan Broto, pemerintah, dalam hal ini mendikbud, akan ikut campur tangan dalam masalah ini. Mendikbud bertanggung-jawab terhadap proses belajar-mengajar, karenanya mendikbud akan memanggil kedua belah pihak yang bersengketa. Ada dua kemungkinan tindakan yang akan diambil mendikbud. Pertama, mendikbud tidak mau mengingkari fakta bahwa mayoritas tidak setuju akan kepemimpinan penguasa kampus. Kedua, mendikbud harus menyelamatkan muka pengurus di mana di dalamnya ada Haryono Semangun yang merupakan profesor negara. Maka, akan ada kompromi untuk menyelamatkan pengurus dan tidak menyangkal fakta. Bagi Broto, satu-satunya cara penyelesaian yang terhormat adalah JOI harus berjiwa besar mengakui bahwa dia tak didukung mayoritas warga kampus dan langkah pengurus membuat UKSW dan kekristenan dipermalukan di pandangan umum dan juga tidak menghormati prinsip moral Kristen. Langkah yang bisa diambil JOI adalah mengundurkan diri. Jika ini dilakukan JOI, ia akan dihormati orang karena berjiwa besar dan menyelamatkan keadaan. Broto meramalkan, tentara akan masuk kampus jika demonstrasi-demonstrasi yang ada berkembang menjadi kerusuhan. Jika demonstran-demonstran dapat bersikap bijaksana dan tak terpancing ke arah bentrok fisik atau pengrusakan, maka tentara tak punya alasan untuk masuk kampus.ii *** Masalah pemecatan Arief Budiman terbawa-bawa sampai Sidang Raya XII PGI. Pdt. B. Fobia di hadapan peserta SR XII PGI Minggu, 30 Oktober menyampaikan keprihatinan atas dipecatnya Arief. Sementara itu, Gereja Kristen Pasundan (GKP) mendukung langkah pengurus
http://slamethdotkom.wordpress.com
101
[email protected]
YPTKSW dan menyarankan agar kemelut itu diproses lewat jalur hukum. Penegasan itu disampaikan anggota GKP Pdt. Weinata Sairain. "GKP mendukung keputusan YPTKSW memberhentikan Arief Budiman. Tindakan Yayasan itu sudah tepat sesuai ketentuan yang berlaku di lembaga tersebut. Jadi, keputusan itu sah," tegas Weinata. Ketua Sinode Gereja Kristen Injili di Irian Jaya (GKII) Pdt. WF Rumsarwir merasa prihatin atas kemelut yang menimpa UKSW. "Sinode GKII selaku Gereja Pendukung merasa priatin atas terjadinya kemelut itu dan mengusulkan agar masalah ini segera diselesaikan agar tidak mempengaruhi proses belajar-mengajar di PTS ini," katanya.ii *** Menurut berita di koran, UKSW lumpuh karena kegiatan belajar-mengajar terhenti. KPD membenarkan hal ini. Namun, JOI dan pengurus Yayasan berusaha mengecilkan masalah kampus itu dengan mengecilkan jumlah dosen yang mogok. "Yang perlu saya katakan, pertama sebenarnya (UKSW) tidak lumpuh. Kalau ada yang tak melaksanakan kegiatan tatap muka, memang betul. Saya kira tak semuanya. Tetapi bervariasi dari fakultas ke fakultas lain. Kedua, meskipun kegiatan tatap muka nggak berjalan, tetapi kegiatan tersetruktur dan kegiatan mandiri tetap berjalan. Jadi, dasar untuk melakukan evaluasi itu ada. Dan itu sah-sah saja untuk sebuah sistem SKS. Kalau kita nomong dalam proses belajar-mengajar, jangan ngomong dalam konsep yang sempit, yaitu hanya terbatas pada kegiatan tatap muka saja. Pada hemat saya, yang nggak jalan adalah kegiatan tatap muka.ii JOI juga menyatakan hanya segelintir dosen yang mogok. Umpamanya saja, katanya, dosen DMU yang mogok hanya 10%. Pernyataan JOI ini kemudian menjadi tertawaan para penentangnya. Buletin Suara Demokrasi, misalnya, pada terbitan 4 November menurunkan headline yang berjudul "JOI Lagilagi Berbohong". Dosen-dosen yang berkumpul di Gedung FSM bahkan menertawakannya. "Memangnya JOI tidak bisa menghitung? DMU itu kan 13 dari 15 dosennya mogok. Bagaimana dibilang 90% tidak mogok?" komentar salah seorang dosen senior. Untuk membuktikan JOI tidak jujur, KPD bahkan menyusun nama semua dosen yang mogok. Menurut Ferryanto, jumlah dosen di UKSW sekitar 300 orang, termasuk 75 yang sedang studi lanjut. "Yang mogok 129." katanya. Sementara dari wawancara Kompas dengan 9 dosen Prodemokrasi, tercatat 129 dosen UKSW yang mogok mengajar.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
102
[email protected]
BAB 8
Dendam Pribadikah? Mengapa Arief dipecat? Apakah karena tekanan pemerintah? Banyak yang menduga begitu lantaran Arief terkenal kritis dan sering membuat kuping pejabat jadi merah. Tetapi, Julius Saludung mengatakan bahwa pemecatan Arief Budiman sepenuhnya hasil rapat pengurus. Haryono Semangun, waktu ditanya benar-tidaknya ada tekanan dari pemerintah, juga menegaskan, “Saya merasa tak dipengaruhi. Alasan yang dikeluarkan berdasarkan aturan yang ada di UKSW. Saya tegaskan, tak ada pengaruh dari luar." Pangdam Diponegoro saat itu, Mayjen Soeyono, juga mengatakan, kemelut UKSW sebenarnya adalah masalah keluarga di UKSW sendiri sehingga tidak sewajarnya jika Kodam turun tangan. Pangdam juga menilai, kemelut UKSW belum pada tingkat membahayakan dan masih murni, tidak ada rekayasa pihak ketiga. Lalu mengapa? Bukankah memecat Arief besar risikonya? Untuk apa ia dipecat padahal gaung perlawanan Kelompok 10 sudah terus memudar? Apakah karena masalah pribadi? "Saya nggak merasa punya konflik pribadi. Ini saya tegaskan, lho. Tolong, jangan salah mengutip. Kalau pihak lain punya masalah dengan saya, saya nggak tahu. Saya mau yang profesional sajalah,” kata Rektor John Ihalauw ketika ditanya apakah benar pemecatan itu karena masalah pribadi.ii Tetapi tidak banyak yang tahu kalau pada tahun 1987-1988 pernah terjadi konflik yang lumayan seru di UKSW. Tidak heran kalau kemudian merebak spekulasi bahwa pemecatan itu dilandasi dendam pribadi. Dugaan ini belum tentu benar, tetapi toh tetap enak disimak. *** Tanggal 31 Juli 1987 Arief berkirim surat pada rektor Willi Toisuta.ii Surat itu berisi teguran dan peringatan Arief tentang keterlibatan UKSW maupun pimpinan kampus secara pribadi dalam bisnis dan proyek, serta mahasiswa dan karyawan yang masuk ke UKSW dengan sistem koneksi, yang “dipaksakan” pihak pimpinan. Selain itu, Arief juga menyentil beberapa skandal moral yang melibatkan tokoh kampus. Karena itu, “Saya ingin supaya pimpinan UKSW dikontrol oleh sebuah lembaga yang efektif,” tulisnya. “Pada saat ini saya anggap pimpinan kurang dikontrol. Bagi saya, kontrol selalu baik karena saya percaya pada pepatah yang mengatakan Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Di awal suratnya Arief mengingatkan apa yang mendorongnya memilih UKSW waktu pulang dari AS setelah meraih gelar PhD di Universitas Harvard. “Saya tertarik ke UKSW karena idealisme yang dikembangkan di sini,” tulis Arief. “Setelah saya bekerja, saya merasa saya tidak salah pilih.” Pada bagian lain, Arief bahkan menyebut ia bahagia. “Alasannya adalah karena saya melihat orang-orang di sekeliling saya juga bekerja dengan idealisme yang sama, mengabdikan diri untuk pengembangan ilmu di Indonesia.” Idealisme itulah yang kini mulai memudar. Karena itu, pimpinan harus tegas. “Kalau tidak, sendi-sendi universitas ini akan menjadi goyah,” kata Arief. “Dalam keadaan seperti ini
http://slamethdotkom.wordpress.com
103
[email protected]
saya tidak mantap bekerja. Hati saya menjadi bimbang. Untuk siapa saya sebenarnya bekerja? Apalagi sudah mulai banyak orang menyindir saya bahwa idealisme saya hanya dieksploitir oleh orang lain yang lebih cerdik. Saya tampak dungu di antara orang-orang ini,” sambung Arief. Maka, jika rektor tak bisa memenuhi permintaan itu, Arief mengancam untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai sekretaris Program Pascasarjana. Arief memang dikenal puritan. Waktu menjadi anggota Badan Sensor Film, misalnya, Arief menolak uang saku yang disediakan produser yang filmnya dinilai. Ia adalah contoh anggota ‘parlemen jalanan’ yang diterima berdialog oleh Presiden Soeharto. Lalu, apa yang dimaksud Arief proyek dalam suratnya? “Proyek pribadi. Misalnya, dosen menjadi konsultan perusahaan di Jakarta. Akibatnya, ia hanya muncul dua kali dalam satu minggu di kampus, padahal dia menjabat struktural di sini. Juga, proyek kerja sama Universitas dan Departemen.”ii Menurut Arief, dosen-dosen senior yang terlibat proyek di luaran sudah tidak teratur lagi mengajarnya. “Saya tidak anti sama sekali terhadap proyek, karena universitas tanpa proyek juga tidak bisa jalan, hanya saja harus ada suatu kontrol terhadapnya,” kata Arief. Untuk itulah pentingnya keterbukaan pimpinan terhadap proyek-proyek tersebut. Apa dan siapa yang terlibat, berapa besar honornya, semua harus diketahui. Setelah itu, dibuat peraturan yang lebih menguntungkan Satya Wacana. “Hal itu penting agar tidak hanya menguntungkan segelintir orang saja, terlebih lagi agar tidak mengganggu kualitas Satya Wacana sebagai suatu institusi pendidikan,” tandas Arief.ii Ketidakberesan lain? Menurut Arief, ada juga monopoli pembelian alat praktikum elektro dan alat laboratorium FB dan FP oleh perusahaan SGK (Salatindo Graha Kreasi) yang bekerja sama dengan pengusaha pemasok modal. Harga barang dari perusahaan ini 10-20% di atas harga umum, namun menang terus dalam tender pengadaan barang. Theo van Beusekom, dosen pendiri FT yang berasal dari Belanda, bisa membuktikan adanya barang yang sama dengan harga yang lebih murah. Tapi, Theo tak digubris. Dosen ini lalu tak memperpanjang kontraknya. Pulang. Arief juga menuntut agar Senat Universitas dihidupkan kembali, karena “Senat itu perlu, kendati (senat) di UKSW tidak sama dengan senat di universitas lain. Senat di sini bukan lembaga kontrol, tapi lembaga konsultasi. Memang tak bisa mencampuri kekuasanan rektor, tapi rektor akan malu bila senat mau bersuara yang bertentangan dengan rektor. Senat ini dibekukan sejak rektor baru (1984). Jadi, selama ini nampaknya rektor tanpa kontrol.” Arief, yang saat itu gajinya Rp350.000 sebulan, mau mundur karena tak mau dibodohi. “Sebagai sekretaris Fakultas Pascasarjana kan berat kerjanya. Saya nggak bisa nulis. Padahal, saya masuk UKSW dulu sudah berjanji menolak jabatan struktural. Tapi okelah, untuk UKSW saya bersedia, dan Pasca adalah bayi saya. Saya yang mengusulkan, membentuk, dan Willi sebagai rektor ketika itu mendukung penuh. Saya kerja mati-matian untuk UKSW, ternyata pimpinan UKSW bekerja untuk orang lain di luar.” Arief kemudian benar-benar mundur dari jabatan Sekretaris Pascasarjana karena suratnya tidak ditanggapi. Ia mundur per 1 September 1987, setelah mengantar 2 angkatan pasca. “Loyalitas saya tetap pada UKSW, tapi bukan pada rezim yang berkuasa sekarang. Buktinya, saya masih mengajar di Pasca,” ujar Arief. Arief merasa surat kritiknya itu merupakan karya sastranya yang paling bagus, tetapi
http://slamethdotkom.wordpress.com
104
[email protected]
Arief tidak menduga kalau “pelor” yang dilepaskannya berdampak kericuhan, bahkan nyaris perpecahan. Fotokopi surat itu kemudian beredar luas dan majalah Imbas, majalah mahasiswa FT, menurunkan tulisan tentang proyek-proyek pribadi. Para pengasuh Imbas, yang mempaskan penerbitan majalah itu dengan acara dies tanggal 30 November, juga menyertakan fotokopi surat Arief kepada “Willi yang baik” ke dalam tiap eksemplar. Penyebaran majalah itu bahkan sampai ke para anggota Yayasan yang datang untuk menghadiri acara dies dan sedang menginap di Guest House universitas. Akibatnya jelas, anak-anak muda yang merasa bahwa surat Arief pantas dibaca setiap orang itu lantas dikaitkan erat dengan Arief Budiman. Mahasiswa-mahasiswa FT itu kemudian juga dituduh sebagai otak penyebaran surat Arief. Dan ternyata kemudian, tidak semua pihak suka dengan “keterbukaan” ini. Ada kalangan yang malah menuduh Arief ‘tidak beradab’. “Kami mempertanyakan moralitas dan etika baik dari pengirim surat itu maupun dari pengedarnya,” kata John Ihalauw, yang kala itu menjabat sebagai PR I. Banyaknya fotokopi surat itu “Menyebabkan kami mempertanyakan motivasi perbuatan itu,” tambah John. “Tidakkah maksud sebenarnya dari surat pribadi itu untuk menimbulkan keresahan di dalam kampus?”ii Rektor Willi Toisuta dalam pidato Dies Natalis ke-31 tanggal 30 November 1987 secara tertulis menyoroti adanya segelintir oknum dalam yang secara sangat negatif menghubungkan kecurigaan akan adanya penumpukan keuntungan material secara pribadi, bahkan secara lancang mencampuri urusan dapur orang lain. Rektor antara lain menyatakan, menyebarluaskan sesuatu prasangka pribadi dengan jalan dan maksud untuk menimbulkan keresahan massal adalah perbuatan yang cenderung tidak beradab.ii Arief membantah telah sengaja menyebarkan fotokopi surat itu. Meluasnya fotokopi surat itu bermula dari beberapa dosen dan mahasiswa yang datang kepada Arief dan bertanya soal mundurnya Arief sebagai sekretaris Pasca. "Agar mudah menjawabnya, kepada yang bertanya saya berikan tembusan surat saya kepada rektor. Ada sepuluh orang yang saya pinjami surat itu, dua di antaranya mahasiswa," tutur Arief. Tapi kemudian surat itu menjadi puluhan dan menyebar luas, "Entah siapa yang memperbanyak." katanya. ii Menanggapi isu-isu tentang banyaknya dosen yang terlibat proyek di luaran, John JOI Ihalauw mewakili pimpinan mengatakan bahwa selama ini Satya Wacana telah banyak menerima berbagai sumbangan, entah uang kuliah atau sumbangan lainnya. Sudah saatnya Satya Wacana memikirkan alternatif baru dalam pemasokan dana. Sudah saatnya Satya Wacana mencoba terus eksis tanpa menggantungkan diri dari sumbangan. “Kita bisa terlibat dalam proyek-proyek di luar semacam proyek pengembangan pendidikan, sosial, atau yang lain,” ujar Ihalauw. “Untuk itu, kita tak luput dari isu-isu yang sudah biasa terjadi. Bahkan saya seirng dituduh menerima komisi,” sambungnya dengan gemas. John Ihalauw menjelaskan, hendaknya jangan ada pihak yang terpancing dengan isu-isu tersitanya tenaga dosen yang terlibat dalam proyek. Menurut peraturan, seseorang boleh terlibat proyek sekitar setengah sampai dua bulan berturut-tutur, dengan ketentuan sebagian dari gaji yang diterima akan dipotong untuk Satya Wacana, dan dikenalkan pula institutional fee atau yang sepada dengan itu.ii Dalam satu kesempatan sesudah surat Arief menyebar ke mana-mana, Pembantu
http://slamethdotkom.wordpress.com
105
[email protected]
Rektor III Urip Setiono membantah tuduhan Arief bahwa para pimpinan universitas terutama rektor telah terlibat kegiatan bisnis yang dikaitkan dengan proyek-proyek UKSW. "Memang ada proyek universitas, seperti penelitian Repelita Daerah Timor-Timur, dan proyek itu memang memberikan konsekuensi dana kepada Universitas. Juga, proyek-proyek lain yang semuanya juga mendatangkan uang." Tetapi Urip membantah bahwa keuntungan itu masuk kantung pimpinan universitas. Begitu pula ia mengakui ada yang menjadi konsultan di Jakarta dan juga mendatangkan uang. "Tapi uang yang masuk tidak untuk pribadi yang melakukan tugas itu, melainkan masuk ke kas Universitas. Tentu sangat wajar kalau untuk yang melaksanakan tugas mendapat uang saku." Mengenai mahasiswa titipan, Urip mengatakan, "Sistem titipan itu sudah sejak lama ada, tapi kami masih berpegang pada peraturan, minimal mereka harus lulus tes masuk."ii Kendati dibantah, Arief tetap berkeras bahwa isi suratnya benar. "Benar-tidaknya apa yang saya kemukakan harus dibuktikan di forum pertemuan terbuka," katanya penuh keyakinan. Arief sendiri menilai tuntutannya sangat wajar, apalagi masalahnya sudah berkembang sedemikian sehingga dikhawatirkan akan timbul sesuatu yang tidak diinginkan.ii Tetapi, reaksi-reaksi yang muncul semakin lama semakin besar. *** Senin, 7 Desember 1987 seusai kebaktian pukul 9.30, sekitar 30 mahasiswa berunjuk rasa dengan membawa poster dan spanduk. Motor unjuk rasa adalah sejumlah mahasiswa yang tinggal di Asrama Mahasiswa Jalan Kartini. Diawali dengan mars Satya Wacana, seorang mahasiswa FTh kemudian membacakan petisi di depan BU. Petisi yang kemudian diberikan juga kepada Rektor Willi Toisuta itu intinya meminta agar siapa yang menjual kampus, harus ditindak. Pimpinan UKSW diminta segera mengeluarkan Arief Budiman dan membreidel majalah Imbas. Para pengunjuk rasa kemudian berarak mengelilingi kampus dengan membawa spanduk yang antara lain bertuliskan "Arief Budiman go to hell", "Imbas majalah gosip", "Singkirkan orang-orang yang ingin menjatuhkan UKSW", dan "Imbas go to hell". Mereka sempat mampir di toko buku kampus yang terletak di lingkungan BU untuk “menyita” Imbas yang masih dijual, tetapi perampasan itu gagal dilakukan. Hanya saja, seorang demonstran sempat menyerobot satu eksemplar. Sambil berjalan mereka memasang poster di papan pengumuman di belokan gedung C yang ramai sehingga orang-orang bisa membacanya. "Arief Teh Botol (Tehnokrat Bodoh dan Tolol), "Imbas Majalah Gosip". Aksi diakhiri di depan Gedung C dengan membakar majalah Imbas. Beberapa anggota Menwa tampak menjagai poster agar tidak dijahili. Sementara demonstrasi berlangsung, petugas dari Polres, Kodim, dan Sospol berpakaian preman berjaga-jaga di samping Satkam. Mereka sudah mendapatkan informasi akan adanya demonstrasi sejak sehari sebelumnya. Pagi itu juga para pengunjuk rasa mengedarkan selebaran berjudul Berpikir Yang “Anarkis” Musuh di dalam Selimut? yang ditulis oleh Rui Augusto Gomes, mahasiswa yang tinggal di Asrama Mahasiswa UKSW, Jalan Kartini 11A. Surat terbuka ini ditujukan kepada sivitas akademika UKSW. Isinya begini.
http://slamethdotkom.wordpress.com
106
[email protected]
... Suhu kampus meninggi, apalagi dengan adanya tulisan yang cukup memalukan. ... Mungkin itulah cara penulis majalah Imbas yang sengaja menjatuhkankredibilitas dan integritas golongan suprastruktur di kampus kita. Terlepas dari ada-tidaknya fakta, tulisan itu dinilai sebagai vonis yang terlalu dini karena tidak didasarkan pada penyelidikan yang akurat dan lengkap. Ungkapan yang memalukan kepemimpinan UKSW itu sebenarnya adalah luapan emosi suatu kelompok yang tidak matang berpikir. Tulisan-tulisan di Imbas itu isinya hanya gosip,mengadu domba, dan menjatuhkan kredibilitas seseorang. Sementara UKSW berusaha melebarkan sayap idealismenya untuk menolong masyarakat di daerah terbelakang, muncul pihak oposisi yang tidak lebih dari "musuh di dalam selimut"! Sebagai "creative minority" seharusnya kita mampu berpikir positif, tidak memihak, analitis dan kritis, serta menempatkan persoalan pada tempatnya. Hei, Imbas! Kau tidak lebih dari manipulator yang anarkis, yang memprovokasi stabilitas; katu tidak leibh dari pencemar lingkungan!!! Ingat! Jika kau merasa diri hebat, tunjukkanlah kehebatanmu itu secara bertanggung jawab! Berpikirlah yang objektif! Belajarlah berterima kasih jika kau harus berterima kasih! Jangan kau mengkhianati UKSW sebagai bagian darimu, Gereja, masyarakat, dan bangsa, seperti seorang yang setelah diberi makan lalu "berak" di piringnya..... *** Komentar Arief mengenai demonstrasi? "Seorang demonstran didemonstrasi. Ini memang baru berita," ujar Arief sambil tertawa. "Saya sama sekali tidak tersinggung. Demonstrasi adalah ungkapan kritik," kata Arief. Padahal dalam demonstrasi 7 Desember 1987 tak sedikit kata kotor dan keras yang ditujukan padanya. Misalnya, Arief digelari 'teh botol', teknokrat bodoh-tolol. Juga, ada yang berteriak 'Arief tahi!' atau ungkapan lain yang tak patut ditulis. Komentar Arief? "Itu kan cuma sinisme. Kata-kata kotor juga sering saya gunakan ketika mahasiswa. Yang penting, misi jangan kabur."ii Yang justru sewot adalah Liek Wilardjo. Liek menolak Arief dijuluki teh botol. "Saya orang pertama yang menerima Arief masuk ke UKSW, dan saya sangat menolak anggapan bahwa Arief dijuluki teh botol atau teknokrat bodoh dan tolol. Dia mempunyai penalaran yang tinggi," kata Liek.ii Menurut Arief, demonstrasi itu wajar selama tidak menjurus ke kekerasan atau bentrok fisik. "Dalam hal ini yang paling dirugikan sebenarnya pimpinan, bukan saya," katanya. Arief juga mengatakan, kalau memang ia dinilai merongrong pimpinan, ia bersedia dihadapkan dalam forum terbuka yang mengundang semua pihak terkait dan bebas diikuti seluruh sivitas akademika.ii Selasa, 8 Desember PR III Drs. Urip Sutiono, MA memanggil dan meminta keterangan dari redaksi Imbas. Tetapi anehnya, yang dipanggil ternyata hanya mereka. Yang berdemonstrasi sama sekali tidak disebut-sebut, apalagi dipanggil. Karenanya, para redaktur Imbas merasa diperlakukan tidak adil. "Edisi Imbas yang terakhir adalah sebagai momentum saja. Sebenarnya, ada masalah besar yang sudah lama tidak teratasi dan mengapa yang dipanggil hanya kami, yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
107
[email protected]
demonstrasi kok tidak?" tanya salah seorang redaktur.ii Karena kontroversi itu, edisi Imbas kali itu jadi sangat laris. Cetakan pertama sebanyak 500 eksemplar yang dijual dengan harga Rp500 segera habis, sampai-sampai kemudian edisi itu dicetak ulang.ii Keributan kemudian terus berlanjut. Sesudah dipanggil Urip Sutiono, malamnya Andreas Harsono, pemimpin redaksi Imbas, ketiban sial. Sekitar pukul 18.00 pemuda Jember ini berjalan pulang. Sesampai Andreas di depan rumah kontrakannya di Jalan Cemara Raya 30, 3 pemuda— John Manu, Resi, dan Karl Nyong Tua Hatu—sudah ada di sana. Ketika Andreas mendekat, salah satu dari mereka bertanya, di mana rumah Andreas. Andreas menjawab, dirinyalah orang yang mereka cari. Tanpa ba bi bu, John Manu langsung menghantam hidung dan mulut Andreas hingga bibirnya pecah. Sesudah itu, Andreas masih dihadiahi tendangan keras oleh alumni FE UKSW yang jago karate itu. Tersangka kemudian buru-buru melarikan diri dengan kendaraan. Malam itu juga Andreas melapor ke Polres Salatiga. Tetapi, karena luka sudah dibersihkan, Andreas gagal mendapatkan visum dokter. Tak lama sesudah pemukulan itu, datang teman-teman Andreas dan tinggal di rumah kontrakan itu untuk berbincang-bincang mengenai masalah barusan danmenentukan sikap. Akhirnya, mereka sepakat untuk meneruskan perjuangan tanpa kekerasan. Tetapi teror terhadap para pengasuh Imbas tidak berhenti sampai di situ. Pada pukul 20.00 datang lagi dua orang pria yang menggedor-gedor pintu rumah kontrakan itu. Setelah berhasil memaksa masuk, mereka mengancam mau memukul Andreas. Salah seorangnya Dedi, bukan warga UKSW dan mulutnya berbau alkohol. Setelah sempat bertengkar, kedua orang itu meminta Andreas agar esoknya menemui Resi. Setelah itu mereka pergi. Tetapi selang beberapa saat, pintu kembali digedor dengan kasar. Kali ini datang Resi dan seorang temannya. Resi bahkan mengeluarkan rencong dan mengancam penghuni rumah untuk menunjukkan persembunyian Andreas. Tak berhasil menemukan Andreas, Resi nekad menggeledah setiap kamar. Resi bahkan sempat mendobrak dan memukul anak SMA teman kontrakan Andreas. Andreas aman mengunci diri di kamar mandi. Puas mengobrak-abrik seluruh rumah, Resi pun keluar. Akibat kejadian itu, Andreas yang terancam harus mengungsi berpindah-pindah. Bahkan, ia sempat menginap di dalam gudang tembakau selama sepuluh hari sampai situasi Salatiga dirasa aman. Pada hari-hari selanjutnya, aksi kekerasan diwarnai isu SARA yang mencekam Salatiga. Sebenarnya, sehari sebelum pemukulan Andreas, Bidramnata, seorang mahasiswa FB, juga sempat ditendang dan dipukuli oleh oknum Menwa di Pos Komando Menwa Yon 0914. Pemukulan itu terjadi karena mahasiswa itu meludahi poster pada unjuk rasa 7 Desember. Para pengunjuk rasa kemudian marah dan hampir terjadi perkelahian kalau tidak dipisah anggota Menwa. Bidramnata kemudian dibawa ke markas Menwa di kampus bagian depan. Pada mulanya, oknum Menwa setempat dalam menyidik masalah ini bersikap ramah, tetapi entah bagaimana mulanya, tiba-tiba si Menwa jadi buas. Korban dipukul dan ditendang hanya untuk mendapatkan kepastian bahwa ia yang meludahi poster.ii Pemukulan ini berakibat lanjut karena kemudian teman-teman Bidramnata—yang merupakan gabungan anak-anak muda dari Malang dan Salatiga—tak bisa menerima perlakuan
http://slamethdotkom.wordpress.com
108
[email protected]
para Menwa itu. Mereka datang beramai-ramai dan memporak-porandakan kantor Menwa sampai-sampai setiap anggota Menwa lari tunggang langgang. Tanggal 9 Lembaga Kemahasiswaan (BKK) menulis surat kepada rektor. Lewat surat yang ditandatangani Ketua Umum Yosafati Guloe dan Sekretaris Umum Paulus W. Rattoe itu LK menyatakan tidak tahu apakah pemukulan terhadap Andreas Harsono ada hubungan dengan unjuk rasa 7 Desember. Kalau ya, LK (BKK) sangat menyesalkan karena masalah unjuk rasa sedang ditangani LK dan pimpinan universitas. LK (BKK) juga menghimbau agar pengunjuk rasa dan redaksi Imbas tetap waspada dan menghindari tindakan emosional dan bentrokan fisik.ii Rektor Willi Toisuta, yang menganggap kasus pemukulan urusan polisi, tidak dapat menyembunyikan rasa tidak senangnya. "Saya amat tidak senang atas tindakan main-main pukul di luar kampus itu," katanya.ii Akibat rentetan kejadian yang dimulai dengan demonstrasi mahasiswa tanggal 7 Desember, dosen dan mahasiswa jadi terpecah dua, walaupun situasi kampus sudah kembali tenang. Sebagian pro, sebagian menentang Arief. Ke-19 mahasiswa yang pada tanggal 7 berdemonstrasi malah ingin berdemo lagi pada Senin pagi 14 Desember. Niat itu urung karena petugas dan Kodim 0714 sudah berjaga-jaga sejak Senin pagi. Melihat ada petugas, para demonstran tak bergerak karena sekitar BU sudah dijaga. Mereka akhirnya bubar sendiri.ii Tetapi, situasi kampus dan kota Salatiga tetap panas. Isu pun bergulir jadi perseteruan Arief Budiman vs. Rektor Willi Toisuta. Suasana jadi tambah kisruh setelah terjadi penyerbuan terhadap mahasiswa yang tinggal di asrama. Padahal, kejadian itu tak ada hubungannya dengan kampus Satya Wacana. Peristiwa lain yang menarik dicatat adalah serangkaian interogasi terhadap pemimpin umum Imbas oleh kejaksaan. Interogasi ini baru dihentikan sesudah Ferryanto, PD III FT saat itu, menelepon PR III Urip Setiono. Di kemudian hari juga ketahuan, Urip Setiono pernah mengadukan Imbas, majalah di lingkungan kampusnya sendiri, ke Kodim dengan alasan Imbas tidak punya izin.. *** Akhirnya persoalan kampus UKSW diambil alih Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana. Sebelum pergantian tahun, pihak Yayasan sudah memanggil Pemimpin Umum Imbas Sutanto Gunawan, Senat Mahasiswa FT, Dekan FTJE Ir. Mulyawan Sumartono, Ketua BPMU Abraham Mamesah, Ketua Badan Koordinator Kemahasiswaan, dan pimpinan UKSW. Arief, si pelepas “peluru”, tentu saja juga akan dipanggil bila sudah pulang dari Thailand.ii Ketika akhirnya bertemu dengan pengurus YPTKSW pada bulan Januari 1988, Arief setuju untuk dipertemukan dengan Rektor.ii Pertemuan Arief-rektor akan diadakan tertutup, hanya pihak Yayasan yang akan mendampingi pertemuan itu. Wakil Ketua Yayasan UKSW Dr. Soedarmo mengaku optimis masalah akan selesai.ii YPTKSW kemudian membantuk Panitia 4 pada 13 Februari. Panitia ini terdiri atas Drs. Wasis, Tjahjakartana (konvokator, dekan FP), Drs. Gultom, dan Prof Haryono Semangun.ii Suasana kampus jadi tenang kembali. Orang percaya bahwa masalah Arief dengan pimpinan UKSW akan selesai dengan baik. ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
109
[email protected]
Tetapi, PR III Urip Sutiono membuat ulah sehingga kampus jadi panas lagi. Dalam memonya tanggal 16 Februari 1988, Urip mengimbau BKK agar seluruh media kampus untuk sementara tidak usah terbit dulu. Himbauan itu berlaku untuk kedelapan penerbitan kampus yang ada, yakni buletin Sketsa dari Sema FKIP, majalah Dian Ekonomi, majalah Rekayasa (FH), buletin Biota (FB), buletin Agronomi (FP), majalah Elka (FT), majalah Imbas (FT), dan buletin Syalom (FTh). Memang pantas kalau Urip sewot. Soalnya, kesemua penerbitan fakultas yang muncul itu membela Arief Budiman dan majalah Imbas. Memo ini kontan membuat mahasiswa marah. Ketua BKK tanggal 19 Februari minta supaya Urip mencabut surat tanggal 12 Januari dan memo tanggal 16 Februari 1988. BKK mengancam kalau memo tidak dicabut, BKK akan “enggan” bekerja sesuai penugasan rektor.ii Urip lewat suratnya nomor 68/II/UM/88 tanggal 24 Februari 1988 menjawab bahwa pengistirahatan itu bersifat sementara, sampai kemelut di UKSW selesai. Selain itu, penghentian penerbitan kampus itu sebenarnya dalam rangka pengurusan pemilikan Surat Tanda Terbit (STT). Namun, Sketsa, buletin mahasiswa FKIP, nekad terbit pada 25 Februari 1988. Buletin yang dikelola Humas UKSW juga tetap terbit.ii Akhirnya, untuk menjernihkan persoalan, sebulan kemudian PR 3 mau menerima para pemimpin redaksi penerbitan kampus di BU. Pertemuan pada Selasa malam tanggal 29 Maret itu berlangsung sampai pukul 2 pagi. Setelah ngobrol-ngobrol, mereka sepakat bahwa masalah tersebut timbul karena kurangnya komunikasi. Sesudah itu, penerbitan fakultas pun boleh terbit kembaliii, kecuali Imbas dan Sketsa. Buntomi WH, pemred Sketsa mengatakan bahwa alasan penghentian itu tidak jelas. Andreas Harsono, pemred Imbas, menantang dengan mengatakan Imbas akan terbit kembali April mendatang.ii *** Belum lagi masalah selesai, Ikasatya, yang saat itu diketuai oleh John Ihalauw,ii mengusulkan kepada Yayasan dalam surat tanggal 19 Maret 1988 agar Arief dipecat. Pernyataan Ikasatya sebenarnya dirahasiakan, jadi bocornya usulan pemecatan itu membuat para pengurusnya kalang kabut. Wakil Ketua II Ikasatya Marthen H. Toelle, SH, yang pernah menjadi mahasiswa Arief di Program Pascasarjana, kemudian membenarkan usulan Ikasatya ini. Selain diusulkan untuk dipecat, Arief juga dituduh telah mengajarkan Marxisme kepada mahasiswa sehingga jika dibiarkan bisa merugikan UKSW. Untuk menangkal ini, Ikasatya dalam rapatnya juga mengirim surat kepada Komando Resort Militer (Korem) 07 Makutarama agar Arief diawasi. Kata Marthen, Ikasatya juga mempertanyakan sampai di mana kewenangan Arief hingga berani menggugat pimpinan. Bahkan dengan mengirim surat secara pribadi. "Ini tak lain hanya ingin menjatuhkan nama pimpinan," ujarnya.ii Arief tentu saja marah dengan usulan Ikasatya. Ia menuduh pengurus Ikasatya pengecut karena mengadakan rapat secara tertutup. Juga, rapat itu diadakan di saat rektor Willi mengeluarkan imbauan agar kemelut UKSW diredakan dulu. "Namun anehnya, Rektor sendiri tampaknya menyetujui, meski ia tidak hadir dalam forum rapat itu," kata Arief. Lebih jauh Arief mengatakan, soal PHK bagi dirinya tidak maasalah, tapi yang dirasa tidak jantan adalah Ikasatya yang mengadakan rapat tanpa melibatkan Senat Universitas, bahkan rapat itu tertutup. "Kalau memang benar-benar jantan, bukan pengecut, mestinya
http://slamethdotkom.wordpress.com
110
[email protected]
mengundang saya dalam rapat itu." katanya. Arief juga yakin banyak alumni yang tidak setuju dengan pernyataan Ikasatya. Arief mengakui telah mengajarkan Marxisme kepada mahasiswa. "Bagaimana orang tahu akan Marxis kalau tidak tahu Marxisme. Apalagi kita sepakat anti-Marxisme. Saya kira di universitas lain juga diajarkan."ii Arief juga menambahkan, "Saya tak pernah menganjurkan dan mengajak mahasiswa menjadi marxis. Marxisme saya ajarkan karena ada kaitannya dalam satu paket mata kuliah teori dan ideologi pembangunan," tutur Arief.ii Mengenai mengapa dalam pertemuan Ikasatya yang menyangkut Arief justru Arief tidak diundang, Ketua Ikasatya Cabang Salatiga John Manopo, "Ini kan Ikasatya, ia kan bukan alumni UKSW dan rapat menghasilkan keputusan sebagai pernyataan sikap," ucapnya.ii Usulan Ikasatya ini diimbangi oleh pernyataan terbuka dari 235 dosen, alumni, dan mahasiswa yang menyatakan prihatin dengan keadaan UKSW. Para penanda tangan antara lain Ferryanto, Ariel Heryanto, Liek Wilardjo, dan Dekan FT Mulyawan. Tetapi, seorang karyawan kemudian mencabut tanda tangannya karena tekanan pihak pimpinan kampus. Akibat perkembangan yang tidak terduga arahnya ini, kampus UKSW sejak Rabu, 6 April pagi dijaga oleh Satkam dan pihak berwajib.ii Sebelum Ikasatya mengadakan pertemuan dan membuahkan kesepakatan itu, sebenarnya Pengurus Yayasan dan Panitia 4 sedang asyik-asyiknya bekerja mencari penyelesaian yang bijaksana.ii *** Pernyataan terbuka yang ditandatagani 235 orang diserahkan pada hari Senin, 11 April 1988 oleh Broto Semedi dan mahasiswa Yosep Adi Prasetyo kepada Rektor di BARA yang dijaga ketat oleh Satkam. Sayangnya, rektor tidak di tempat sehingga surat itu diserahkan kepada PR III Urip Setiono. "Isinya tentang keprihatinan warga kampus, melihat kemelut yang terus berlarut-larut tiada akhirnya," kata Broto. "Pernyataan ini terbuka tanpa memihak siapa-siapa, dan menginginkan agar kemelut UKSW segera berakhir. Pendek kata, minta keadilan" tutur Broto.ii Tetapi, penyelesaian masalah UKSW belum terlihat akan terwujud. Apalagi setelah rapat YPTKSW pada 13 April malam gagal menemui kata sepakat. "Kami harus mengkaji lebih banyak lagi permasalahan yang sedang melanda kampus UKSW ini," kata seorang anggota pengurus. Menurutnya, kemelut ini bukan hanya masalah kritik Arief yang kemudian memicu demonstrasi dan usulan pemecatan dari Ikasatya, "Tetapi kemelut yang melanda UKSW sebenarnya menyangkut sistem yang mesti diluruskan." Rapat Yayasan itu dihadiri Haryono Semangoen, Melky, Tedjo Rahardjo, Joas Budiono, dan Djojodihardjo.ii Baru pada tanggal 18 April YPTKSW menyimpulkan apa yang telah terjadi di UKSW. Kesimpulan yang ditandatangani oleh Ketua I Pdt. S. Djojodihardjo dan Sekretaris I Drs. Melky Oe. Nganggoe.ini didasarkan para laporan dan rekomendasi Panitia 4 tanggal 17 Maret 1988: 1. Keresahan dan kemelut terjadi karena kesalahpahaman. 2. Perbedaan pendapat masih dalam batas kewajaran. 3. Semua pihak menyatakan diri bertindak demi kebaikan. Karena itu, pengurus Yayasan minta kepada warga UKSW agar:
http://slamethdotkom.wordpress.com
111
[email protected]
1. Bersifat krits, tidak terpengaruh isu dan mudah terpancing provokasi. 2. Dalam semua tindakannya, termasuk mengeluarkan pendapat, berusaha memikirkan sejauh mungkin akibat yang mungkin terjadi karena tindakan itu. 3. Meningkatkan komunikasi. 4. Tetap memelihara suasana kristiani. Jadi, Arief tidak di-PHK, kata Haryono Semangun dalam penjelasannya. "Bahkan, sebenarnya tidak ada usul PHK seperti yang termuat dalam surat kabar."ii Selesaikan persoalan? Tidak, kata Arief yang tidak puas dengan keputusan Yayasan. Menurutnya, permasalahan bukan pada dirinya di-PHK atau tidak. Yang lebih penting adalah bagaimana pihak Yayasan UKSW menyelamatkan perguruan tinggi itu sebab sumber kemelut adalah kurang terbukanya Rektor. "Cara penyelesaian kemelut seperti ini tidak substansial," kata Arief. Terjadinya kemelut bukan terletak pada kesalahpahaman, kata Arief. Apa yang ia sampaikan kepada Rektor sangat jelas sekali, semua orang paham dan tahu masalahnya.ii "Rektor tahu apa yang saya maksud, tahu tentang tindakan saya, dan sebaliknya, tak ada salah paham," ujar Arief.ii “Saya sebenarnya menuntut supaya apa yang saya tuduhkan, yakni bahwa JOI sebagai PR I punya pekerjaan di Bank Dunia dengan gaji US$2.000 sebulan, dibuktikan di muka umum. Kalau ini tidak terbukti, saya akan mengundurkan diri karena telah menuduh orang tanpa dasar. Tapi ini tidak dilakukan. Saya tidak dipersalahkan, kecuali dikatakan secara umum kalau melontarkan kritik hendaknya memperhatikan etika, dan juga JOI maupun Willy tidak diberikan sanksi apa-apa. Jadi, semuanya serba ngambang,” kata Arief. "Saya khawatir, penyelesaian yang ditempuh Yayasan ini justru nantinya akan menimbulkan gejolak yang lebih besar lagi, dan muncul kelompok tertentu lagi yang akan menuntut adanya penyelesaian kemelut ini," kata Arief.ii *** Andreas Harsono resah. Ia merasa ada yang tidak beres dengan kasus pemukulannya. Sudah berlangsung lama, tetapi pelakunya masih belum disidang juga. Karena itulah pada hari Kamis, 23 Juni 1988 ia mengadu ke LBH Yogyakarta. "Peristiwanya terjadi sekitar tujuh bulan yang lalu," kata mahasiswa FT itu. Ditambahkannya, kalau kasus ini ditangani secara mulus, mestinya tak akan memakan waktu berbulan-bulan. Sebelum pulang, Andreas berharap agar berkat bantuan LBH Yogyakarta, perkara itu segera tuntas menurut hukum yang berlaku. Direktur LBH Yogya Artidjo Alkostar, SH berjanji akan segera mengirim surat kepada Kapolres Salatiga.ii Andreas juga membuat surat terbuka mengenai kasusnya yang tidak diurus-urus ke harian Suara Merdeka dan dimuat pada tanggal 25 Juni 1988. Tetapi kemudian, karena teror fisik John Manu, Andreas mencabut surat ke Suara Merdeka itu. Tepat seminggu sesudah mengadu ke LBH Yogyakarta, Andreas dipanggil sebagai saksi oleh Polres. Dalam persidangan kemudian, akhirnya John Manu, SE (31), alumnus UKSW dan terdakwa pemukul Andreas, dijatuhi hukuman denda Rp7.500 atau satu bulan kurungan karena terbukti melakukan pemukulan terhadap Andreas Harsono. Keputusan ini dijatuhkan hakim
http://slamethdotkom.wordpress.com
112
[email protected]
tunggal Lego Sumakno, SH setelah mendengar keterangan saksi Yosep Adi Prasetyo, Yosep Perhusip, dan Andreas Harsono sendiri sebagai saksi korban. John Manu juga diwajibkan membayar ongkos perkara Rp500.ii Persidangan itu sendiri berlangsung tegang karena ada pengerahan sidang dari kedua kubu. John Manu membawa serta anak-anak Sumba, Ambon, dan Manado, sedangkan mahasiswa FT mengerahkan anak-anak Malang dan Salatiga. *** Penyelesaian masalah 1987-1988 memang tidak pernah tuntas. Urip Setiono tidak pernah mencabut larangan terbit bagi majalah Imbas sampai akhir masa jabatannya, dan Arief Budiman mendapat peringatan tertulis dari YPTKSW dengan SK Dewan Pengurus YPTKSW No. 126/D/DPH/1988 (sifat rahasia). Isinya antara lain: 1. Menyampaikan terima kasih kepada Dr. Arief Budiman atas perhatiannya kepada UKSW dan kritiknya kepada Pimpinan UKSW, yang mendapat banyak perhatian dari Dewan Pengurus. 2. Memperingatkan Dr. Arief Budiman sebagai staf pengajar UKSW agar: 2.1 Lebih etis dan institusional di dalam sikap dan tindakannya untuk memperjuangkan pendapatnya. 2.2 Di dalam mengemukakan kritik hendaknya tidak melepaskan diri dari lingkungan Indonesia, UKSW, dan masyarakat sekitar agar kritiknya lebih lebih dapat diterima dan tidak dinilai sebagai “kritik demi kritik” atau demi kepentingan pribadi. 2.3 Pemberian kritik disertai dengan saran pemecahan masalah. Kritik yang hanya menunjuk segi negatif dari suatu keadaan (terlepas dari keseluruhan masalah) sukar diterima, bahkan dinilai sebagai kritik yang kurang bermutu dan dapat menimbulkan pertentanganpertentangan. 2.4 Bertindak secara lebih dewasa dengan memikirkan akibat-akibat yang patut diduga dapat terjadi karena tindakan itu, lebih-lebih yang dapat merugikan pihak lain. Persoalan intern UKSW hendaknya diselesaikan secara intern, dan tidak perlu menyiarkannya keluar. 2.5 Membantu terciptanya suasana yang menunjang usaha UKSW dalam mendidik lulusan yang sesuai untuk bekerja dalam lingkungan Indonesia. 2.6 Selalu ingat bahwa semua tindakannya, langsung ataupun tidak langsung, akan membawa nama Satya Wacana.
http://slamethdotkom.wordpress.com
113
[email protected]
BAB 9
Radius Prawiro Turun Tangan Walaupun hari Sabtu dan Minggu 29-30 Oktober 1994 tidak ada kegiatan apa-apa di kampus, unjuk rasa di UKSW jelas belum akan berhenti dalam waktu dekat. Baik YPTKSW maupun rektor tentu saja pusing dengan keadaan serba tak pasti seperti ini. Bagaimanapun, mereka bertanggung-jawab terhadap kelangsungan proses belajar-mengajar di UKSW, sehingga sudah sepatutnya mereka membuka pintu dialog. Pada Senin pagi 31 Oktober pengurus YPTKSW menerima Soegeng Hardijanto, Th. Sumartana, George Junus Aditjondro, Prajarta Hardjosanjoto, I Made Samiana, dan Pdt John Ruhusselin di Guest House UKSW di Jalan Osa maliki Salatiga. Dalam pertemuan itu Ketua YPTKSW Haryono Semangun didampingi Julius Saludung dan Melky Oembu Ngangoe. Mereka mencoba mencari solusi bagi kemelut UKSW.ii Tuntutan Soegeng dan kawan-kawan ada tiga, yaitu pembatalan PHK Arief Budiman, pengunduran diri rektor dan pengurus YPTKSW, serta pembentukan pengurus baru dengan tugas menyusun tata cara pemilihan rektor secara demokratis dalam tempo sesingkatsingkatnya.ii Menurut George Aditjondro, pemecahan kemelut UKSW adalah dengan penggantian pengurus YPTKSW. Hanya saja, menurut George, proses pemilihan pengurus Yayasan itu sendiri perlu diubah. Jika mekanisme pemilihan pengurus masih seperti dulu, maka dominasi pengurus dalam menentukan setiap kebijakan di UKSW akan tetap besar. Terlebih lagi seperti yang berlaku sekarang di mana hak-hak prerogatif pengurus masih sangat besar. Jika hak-hak prerogatif tidak dicabut, demokratisasi di kampus masih akan menemui banyak hambatan. George mengusulkan agar khusus untuk pemilihan rektor lebih baik dilakukan melalui pemilihan langsung. "Rektor kan bukan hanya pimpinan dosen, tetapi mahasiswa. Untuk itu mahasiswa pun perlu diberi hak untuk memberikan suaranya."ii Tuntutan itu ditolak pengurus Yayasan dan pertemuan berakhir tanpa hasil. Selain karena waktu yang terbatas, masing-masing pihak juga bertahan dengan argumen sendiri. Sesudah pertemuan di Guest House, pada pukul 10 hari yang sama pengurus YPTKSW memenuhi undangan LK UKSW untuk bertemu dengan warga kampus. Pada pertemuan yang berlangsung di Balairung Universitas sampai pukul 13.30 itu sekitar 20 orang angkat bicara. Mereka memberondong Yayasan dan rektor dengan berbagai pernyataan dan pertanyaan, mulai dari soal pemecatan Arief sampai masalah dosen yang mogok. John Theodore Wehao, mantan ketua SMU periode sebelumnya, menyatakan mendukung sepenuhnya kebijakan Yayasan dan rektor. Menurut John, jika ada pihak yang tak puas dengan keputusan itu, mereka seharusnya menggugat ke pengadilan. "Kami mahasiswa tidak ingin menjadi korban akibat para dosen yang mogok, kini kampus dalam keadaan krisis, setiap orang diajak mogok. Mogok tak menyelesaikan masalah, dan pers ikut bikin suasana panas. Pers hendaknya memberitakan seimbang," katanya. Sebagian besar mahasiswa yang hadir di BU merasa kecewa karena dialog yang mereka harapkan diganti penjelasan satu arah. "Kami sudah tidak membutuhkan lagi, sebab yang kami
http://slamethdotkom.wordpress.com
114
[email protected]
butuhkan adalah langkah-langkah konkret untuk menuntaskan kemelut ini," ujar Susiyanto, mahasiswa FH. Lebih lanjut Susiyanto mengatakan bahwa pertemuan antara pengurus Yayasan dan mahasiswa UKSW itu sama saja dengan membohongi mahasiswa, sebab dalam setiap pertemuan pihak Yayasan hanya memberikan penjelasan melulu. "Percuma saja diadakan pertemuan kalau pengurus Yayasan dan pimpinan UKSW tidak mengevaluasi diri." Senada dengan Susiyanto, Reva Natigor, mahasiswa PPs-SP, mengatakan bahwa pihaknya sangat menyesalkan sikap pengurus Yayasan dan pimpinan UKSW yang tidak tanggap terhadap aspirasi mahasiswa. Juga, pengurus YPTKSW secara kentara menyeleksi mana pertanyaan yang harus dijawab, mana pertanyaan yang harus dibiarkan menguap begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan seperti mekanisme pemilihan rektor atau soal pemecatan Arief yang tidak prosedural, tidak dijawab. Malahan Haryono Semangun terus-menerus mengatakan bahwa Arief Budiman telah memutarbalikkan fakta. Seorang peserta bertanya, tidakkah sampai saat ini justru Yayasan dan rektor yang membuat malu UKSW. Ini dijawab oleh seorang pengurus Yayasan dengan kasar, "Saudara harus bertanggung-jawab dengan perkataan Saudara tersebut."ii Paling tidak dua kali nyaris terjadi bentrok antarmahasiswa karena berebut ngomong. Seorang mahasiswa terpaksa dikeluarkan dari ruangan karena berusaha menginterupsi. Mahasiswa yang kecewa sedikit demi sedikit kemudian keluar dan bergabung dengan rekan-rekan mereka di Bukit Demokrasi, sebuah gundukan kecil di pinggir lapangan sepakbola dan di depan Gedung E. Di sana sedang diadakan acara menyantap daging kambing kurban. Acara potong kambing ini dimaksudkan sebagai simbol matinya demokrasi di UKSW. Daging kambing dalam bentuk sup dibagi-bagikan kepada setiap orang yang mau. Ribuan mahasiswa tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan makan gratis ini.ii Pesta itu juga dimaksudkan sebagai upaya memboikot pertemuan YPTKSW - mahasiswa yang diadakan oleh Lembaga Kemahasiswaan UKSW di Balairung. "Ngapain ikut ke pertemuan itu, paling dikuliahi Haryono," kata Limson U. Sangalang, Sekretaris PPs-SP. Pesta itu dilangsungkan setelah kebaktian khusus yang diadakan staf pengajar FTh. Kebaktian ini, kata salah seorang staf pengajar fakultas tersebut, merupakan kesaksian iman atas kemelut yang terjadi di UKSW.ii Besoknya demonstrasi kembali marak di kampus UKSW. Dari segi jumlah peserta, demonstrasi hari Selasa, 1 November ini lebih besar dari semua demonstrasi sebelumnya. Bahkan, mahasiswi FB yang manis-manis ikut bergabung. Kalau biasanya mahasiswa berdemonstrasi didampingi para dosen, kali ini dosen yang tampak memegang kendali pimpinan. Unjuk rasa ini diikuti tujuh dekan UKSW, ketua PPs-SP, ketua DMU, Ketua LPU, direktur Pusat Bimbingan, serta puluhan dosen lain. Rombongan mulai dari Bukit Demokrasi. Mahasiswa FP tampil dengan mengenakan caping hijau sambil membunyikan tetabuhan. Dengan bangga mereka menyebut diri sebagai "Drum Band Dapur". Lain lagi dengan mahasiswa FTh. Mereka mengusung apa yang mereka sebut Tabut Demokrasi. Mahasiswa dari fakultas lain juga bergabung menjadi satu. Ketika melewati gedung F, para pengunjuk rasa mengejek warga FE yang mereka nilai tak mau berpartisipasi. Menurut seorang mahasiswa FE, mahasiswa FE selama ini berdiam diri karena adanya
http://slamethdotkom.wordpress.com
115
[email protected]
intimidasi dosen. Contohnya, katanya, ada seorang dosen FE yang ke mana-mana selalu membawa kamera dan tape kecil.ii Sebenarnya, di antara para pengunjuk rasa ada beberapa mahasiswa FE, namun mereka turun tanpa restu fakultas. Para pengunjuk rasa bergerak ke depan kampus, menuju termpat yang biasa dipakai rektor memarkir mobil. Tempat itu ternyata sudah diduduki sekitar 35 mahasiswa GMKK yang sudah siap dengan alat musik pukul mereka. Jadi, sekarang ada dua kelompok yang berunjuk rasa. Pertama, kelompok besar yang menentang Yayasan dan rektor. Yang kedua adalah kelompok kecil yang mengecam dosen mogok. Kelompok kecil ini juga membuat surat pernyataan terbuka memprotes dosen mogok. Pengunjuk rasa penentang Yayasan dan rektor akhirnya memilih tempat di depannya. Para dosen penentang rektor bergantian berbicara. Mereka semua meminta perhatian pengurus Yayasan untuk meninjau kembali SK PHK Arief Budiman dan meminta rektor rmundur karena tidak becus menangani kemelut seminggu ini. Sementara mereka berbicara, kelompok GMKK terus bernyanyi diiringi tetabuhan yang mereka bawa. Mereka sempat berhenti sejenak ketika dekan FKIP, I Made Markus, dari atas "podium" demonstran penentang PHK mengajak mereka berbicara. Menurut Markus, ia telah melakukan apa yang dilakukan para mahasiswa GMKK selama setahun dan tanpa hasil. Markus merasa aksi mogok terpaksa dilakukan sebagai jalan terakhir karena penguasa kampus semakin sewenang-wenang. Padahal, selama ini ia selalu menolak mogok. Walaupun jumlah mahasiwa besar, tidak ada tanda-tanda aksi itu akan mengarah pada tindak kekerasan. Ini tampaknya dijaga betul oleh KPD. Alasannya sederhana saja, begitu ada bentrok fisik, tentara akan punya alasan untuk masuk. Peristiwa dramatis terjadi ketika Sekretaris PPs-SP Dr. Limson U. Sangalang mewakili PPs-SP membakar SK PHK terhadap Arief Budiman, sebagai tanda bahwa PPs-SP tidak mengakui keabsahan SK PHK itu. Tak ada dosen atau mahasiswa FE yang bicara. Baru keesokan harinya mahasiswa FE menggelar demonstrasi sendiri. Mahasiswa FE pada Rabu, 2 November berkumpul dan membawa poster plus spanduk. Mereka menuntut pencabutan SK pemecatan. "Kalau selama ini mahasiswa ekonomi tidak berani tampil, (itu) karena ada yang diintimidasi oleh dosen bila terlibat dalam mimbar bebas," ujar Nick, mahasiswa FE angkatan 1988. Hal senada juga diungkapkan Otto, mahasiswa FE yang masuk FE tahun 1990. Otto kemudian membacakan ikrar proklamasi mahasiswa FE, yang pada intinya menjelaskan mahasiswa FE mulai terbebas untuk menyatakan sikap seperti yang ada di hati nurani.ii Menurut seorang mahasiswa FE, suasana belajar sekarang tidak lagi kondusif, malahan cenderung terjadi ketegangan dan kecurigaan dari tiap warga kampus. Perbedaan pendapat yang terjadi di kampus bahkan sampai dibawa ke masalah fisik dan SARA. "Saya jadi bingung dan tidak lagi (merasa) enak kuliah di UKSW ini. Semua berantem dengan legitimasi prinsip yang dianutnya, demokrasi, sesuai peraturan YPTKSW, atau petunjuk rektor, bah bosan. Tapi saya yakin suatu saat apa yang diributkan akan normal kembali. Kita lihat saja siapa benar akan menang," ujar mahasiswa FE yang enggan disebut namanya karena takut intimidasi dosennya. Menurutnya, apa yang diperjuangkan oleh KPD patut diacungi jempol. "Saya salut dengan mereka meski saya tidak terlibat," tambahnya.
http://slamethdotkom.wordpress.com
116
[email protected]
Sikap para mahasiswa FE yang tidak puas juga tercermin dalam forum "Sambung Rasa" yang diadakan di BU pada Kamis, 3 November. Acara yang diselenggarakan LK FE itu diikuti oleh sekitar 750 mahasiswa dan seakan-akan menjadi pengadilan bagi para pimpinan FE. Para mahasiswa tampaknya sudah tidak sabar dengan sikap dosen mereka yang tidak mengambil sikap. Pihak pimpinan FE yang hadir dan duduk di kursi depan adalah Dekan FE Roos Kities Andadari, Bambang Yandoyo, Gatot Sasongko, Konta Damanik, dan Stephen Kakisina. Raut wajah mereka tampak tegang. Para mahasiswa FE pada intinya mempertanyakan, mengapa pada saat para pengajar di fakultas lain menyatakan tidak setuju terhadap PHK Arief, pimpinan FE tidak mengambil sikap. Pimpinan FE menyatakan mereka menghargai perbedaan pendapat dan upaya menjaga keutuhan UKSW, namun dosen FE tidak akan mogok karena mereka merasa mempunyai komitmen terhadap pelaksanaan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab. Pimpinan FE juga bertekad ikut menyelesaikan konflik di UKSW dengan membentuk tim sendiri. Tim akan bertugas menelusuri fakta-fakta yang diperlukan guna penyelesaian kasus itu. Bambang dan Roos Kities menegaskan, pimpinan FE mempunyai sikap tersendiri dan tidak ada pihak lain yang bisa memaksakan kehendak pada mereka.ii Kejutan datang dari FB yang selama ini tidak secara eksplisit menyatakan ikut bergabung dengan KPD. Pimpinan FB mengirimkan mosi tidak percaya dengan surat bernomor 3116/I/1/FB/XI/1994 bertanggal 3 November 1994 kepada rektor yang mereka anggap tidak becus menangani kemelut UKSW. Rupanya, FB yang selama ini berdiam diri pun akhirnya tidak sabar. Mosi tidak percaya yang ditandatangani Dekan FB Bintoro Gunadi ini keluar setelah surat mereka sebelumnya kepada rektor tidak mendapat tanggapan positif, padahal selama in UKSW resah karena PHK terhadap Arief Budiman sampai hari ini tidak ditinjau ulang. Keputusan untuk mengeluarkan mosi tidak percaya diambil lewat rapat fakultas. Di Fakultas Biologi sebenarnya ada dua dosen yang sangat setia mendukung JOI, yaitu Drs. Rully Adi Nugroho dan Drs. Agna Sulis Krave, MSc, tetapi mayoritas dosen FB rupanya sudah tidab sabar lagi terhadap rektor.ii *** Kalau ada universitas di Indonesia yang proses belajar-mengajarnya terganggu, Depdikbud jelas tidak suka. Bisa-bisa nanti masyarakat resah dan Depdikbud yang disalahkan. Kecemasan Depdikbud terlihat dari perintah mendikbud kepada Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VI Jawa Tengah Prof. Ronny Hanitijo Soemitro, SH pada hari Senin, 31 Oktober. Lewat telepon Wardiman minta agar Ronny memantau situasi UKSW. Ronny kemudian memanggil 30 dosen kopertis yang diperbantukan di UKSW. Dalam pertemuan yang dihadiri 16 dosen itu Kopertis mengharapkan agar dosen Kopertis yang ditempatkan di UKSW tidak ikut mogok.ii Mendikbud juga mengisyaratkan akan memanggil pihak-pihak yang bertikai bila kemelut UKSW terus berlanjut. Namun, terlebih dahulu pemerintah akan memberi kesempatan pihak intern menyelesaikan masalah serius ini. Mendikbud mengatakan bahwa kemelut yang terjadi di UKSW adalah persoalan intern sehingga pemerintah tidak dapat campur tangan terlalu jauh. Katanya, "Untuk PTS, campur tangan yang dilakukan pemerintah lebih bersifat pembinaan
http://slamethdotkom.wordpress.com
117
[email protected]
terhadap hal-hal yang bersifat akademis dan peningkatan kualitas pendidikan untuk melindungi masyarakat, sementara pihak universitas tetap memiliki otoritas menyusun keibjakan menyangkut hal-hal lain yang bersifat interen." Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah akan melibatkan diri sebagai penengah jika kemelut di UKSW berlangsung berkepanjangan dan merugikan mahasiswa.ii Seperti apakah penyelesaian intern? Bagaimana mau menyelesaikan kalau kedua pihak sama sekali tidak melihat kemungkinan dialog. KPD jelas sebal dengan pengurus Yayasan dan rektor, sebaliknya kubu Yayasan/rektor pun tidak merasa mereka harus mengalah menuruti kehendak KPD. Jadi? Pertanyaan ini terjawab sedikit demi sedikit. Pada hari Kamis, 3 November sebuah pertemuan diadakan mulai pukul 9.00 di Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Sompok Lama Semarang. Pertemuan ini seharusnya diadakan tanggal 7 November, namun karena adanya konflik UKSW pertemuan tersebut dimajukan. Pertemuan ini dihadiri antara lain oleh pengurus YPTKSW, Pimpinan UKSW, anggota KPD, dan para pendeta dari Gereja-Gereja pendiri YPTKSW. Datang ke pertemuan tersebut Haryono Semangun, Pdt Charles Christano (ketua I YPTKSW), Melky Oemboe Ngangoe, Tejaprasaja Yudi, B. Tedjoraharjo, Julius Saludung, Pdt. Esther H. Andries, dan rektor UKSW John Ihalauw. Pertemuan tidak mengundang Arief Budiman dan Kelompok 10, namun dari kelompok ini hadir beberapa pendukung seperti Dr. Kris Timotius dan O. Tjahjakartana.ii Bertindak sebagai tuan rumah mewakili GKMI Sompok Lama adalah Pdt. Mesakh dan Pdt. Kris Timotius. Tjahjakartana sendiri adalah anggota majelis GKI Salatiga. Juga hadir seorang tokoh yang diharapkan bisa menjadi kunci penyelesaian kemelut UKSW: Radius Prawiro. Pertemuan itu berjalan ramai. Haryono Semangun menjelaskan alasan pemecatan Arief Budiman, yaitu karena sosiolog itu telah melakukan banyak kesalahan yang bisa menjatuhkan nama baik UKSW. Namun, pernyataan Haryono ini dibantah anggota KPD. Mereka menyatakan bahwa alasan para pejabat Yayasan sangat memihak dan berat sebelah. Pendeta Mesakh, Pdt Kris Timotius, dan Tjahjakartana mempertanyakan keobjektifan Yayasan dalam memberikan penjelasan.ii Walau pertemuan itu belum membawa apa-apa, namun dilihat dari semangat Radius dalam menyelesaikan kemelut di UKSW, setidaknya ada angin segar. "Pertemuan-pertemuan lebih lanjut kita harapkan segera akan membawa perubahan di UKSW." komentar George Aditjondro. Sementara itu, setelah menyulut kontroversi nasional, PHK Arief belum juga mendapat pengesahan P4D Depnaker Jawa Tengah dan karenanya legalitas keputusan YPTKSW belum ada.ii Akan tetapi, KPD tidak yakin kalau pertemuan di GKMI Sompok Lama dapat menyelesaikan konflik di UKSW. George Aditjondro, Ferryanto, serta dosen-dosen KPD lainnya menandatangani surat permohonan kepada mendikbud agar mencabut persetujuannya atas dilantiknya rektor John Ihalauw. Sebelumnya, mendikbud memang pernah mengatakan kepada Arief, jika memang sebagian besar warga sivitas akademika UKSW meminta, pihaknya tidak keberatan mencabut pengesahan atas JOI Ihalauw sebagai rektor UKSW.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
118
[email protected]
Jalan Radius tampaknya memang sengaja dibuat mulus. Soalnya bukan apa-apa. Arief itu terkenal luas ke seluruh dunia. Kalau pemecatan ini tidak terselesaikan, bisa-bisa citra pemerintah jadi tambah jelek. Karenanya, harus cepat-cepat. Tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri memerintahkan agar pihak luar tidak ikut campur dalam masalah UKSW. Bagi beberapa kalangan, perintah presiden ini adalah isyarat agar aparat setempat tidak menghalangi gerak Radius. Perintah yang sama juga diberikan kepada mendikbud. "Saya laporkan kepada Bapak Presiden, telah terjadi PHK atas Saudara Arief Budiman dan PHK itu menimbulkan gejolak di dalam. Dari awal, Depdikbud tidak ikut campur dalam masalah tersebut," kata Mendikbud Wardiman. "Kalau gejolak itu terlalu lama sehingga merugikan mahasiswa, khususnya dalam proses belajar-mengajar, maka presiden setuju Depdikbud campur tangan. Namun, sekarang persoalan itu hendaknya diselesaikan secara intern dulu," tambah Menteri. Menanggapi laporan tersebut, presiden hanya manggut-manggut. Hal itu, menurut Wardiman, menandakan presiden menyetujui langkah-langkah yang ditempuh Depdikbud selama ini. "Dengan demikian, untuk sementara kami tidak perlu ikut campur tangan," kata Wardiman selesai diterima Soeharto di kediamannya Jalan Cendana, Jakarta 5 November. Kasus UKSW, ujar Wardiman, merupakan masalah intern Yayasan mem-PHK seorang dosen. Yayasan mendirikan PTS tentu memiliki aturan sendiri. "Jadi kami tegas, tidak ingin masuk ke dalam, tetapi tetap prihatin dan berharap masalah ini secepatnya diselesaikan, agar ketenangan terjamin dan mahasiswanya dapat belajar dengan tenang." Ketika ditanya, kapan mendikbud akan "masuk" UKSW, Wardiman menjawab, "Saya bilang, saya tidak tahu kapan. Mungkin sekarang sudah selesai. Tadi pagi saya baca di koran tidak ada. Saya telah mengutus Sambas Wiranata Kusumah, Direktur Perguruan Tinggi Swasta, ke sana untuk melihat di lapangan." Tentang kemungkinan surat pengangkatan rektor UKSW dibatalkan, mendikbut menyatakan, hubungan Depdikbud dengan UKSW melalui Yayasan, sehingga Yayasan yang harus menulis surat kepada Depdikbud, perlu atau tidak diganti. Saat ini mendikbud merasa tidak perlu memanggil ketua Yayasan. Menurutnya, persoalan UKSW seperti halnya suami-istri yang sesekali bertengkar.ii Sebelumnya, Wardiman pernah mengatakan bahwa dalam soal pemilihan rektor, peranan Senat universitas sangat penting. "[T]ergantung dari Senat Universitas bagaimana pendiriannya," kata Wardiman waktu itu. Baik Arief maupun Haryono menyambut baik ajakan presiden agar kemelut diselesaikan secara intern. Arief menyatakan, ajakan presiden tersebut merupakan sebuah sinyal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Ini bukan karena masalah UKSW menyangkut dirinya, namun apa yang diungkapkan presiden itu bagi Arief sangat bijaksana. Haryono Semangun juga senang dengan himbauan presiden. "Itu merupakan keinginan kami semua yang ada di sini. Kami sejak semula memang tidak menginginkan pihak ketiga." Mengenai kemungkinan pencabutan SK pemecatan, menurut Haryono, "Belum ada gagasan mencabut". Alasannya, SK tadi diambil berdasarkan suara aklamasi rapat pleno Yayasan, sehingga rapat pleno pula yang harus bersikap. Rapat pleno selanjutnya baru diagendakan tanggal 30 November mendatang, itupun dengan acara tunggal memilih kepengurusan baru Yayasan untuk lima tahun mendatang. ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
119
[email protected]
Sementara itu Direktur PTS Sambas Wirakusumah di Cimahi Jumat, 4 November mengatakan, Depdikbud bisa saja mencabut kembali SK persetujuan yang telah diberikan kepada rektor UKSW. Namun, tindakan yang dilakukan Departemen harus mendidik. Oleh karena itu, Departemen tetap berharap permasalahan yang menimpa perguruan tinggi tersebut diselesaikan oleh UKSW sendiri. Ia menegaskan, yang penting bagi Depdikbud adalah kemelut yang terjadi di UKSW tidak boleh merugikan mahasiswa. Artinya, kegiatan belajar mengajar tidak boleh terganggu.ii Besoknya Sambas kembali berkomentar soal UKSW. Katanya, kemelut UKSW adalah intern kampus. "Jadi, penyelesaiannya tergantung pada kemandirian kampus yang bersangkutan. Sebab, semuanya ada aturan-aturan dan statutanya. Pemerintah telah memberikan guidance kepada universitas untuk membuat statuta sesuai dengan PP 30/1990," katanya. Diingatkannya, keributan yang berlarut-larut justru akan merusak nama almamater dan merugikan mahasiswa. Ia meminta agar mahasiswa dapat mengambil sikap untuk penyelesaian kasus tersebut sehingga tak berlarut-larut. Sambas menduga, kemelut tersebut terjadi karena sejumlah sisvitas akademika hanya terbelenggu pada sisi penilaian bahwa pemilihan rektor dianggap kurang demokratis. "Apa betul, itu tidak demokratis? Sebab, kecenderungannya, mahasiswa hanya mengetahui ekornya, tidak mengetahui tata cara pemilihan rektor. Padahal, dalam demokrasi aturan-aturan tersebut harus diikuti," tuturnya.ii Komentar Direktur PTS ini dianggap menuduh mahasiswa yang berdemonstrasi tidak tahu apa-apa dan sekadar ikut-ikutan. Ini tentu saja bukanlah komentar yang menyenangkan bagi mahasiswa KPD. D. Prabowo, seorang mahasiswa KPD, menjawabnya dalam surat terbuka kepada redaksi Suara Merdeka. Surat itu sendiri dimuat dalam Suara Merdeka edisi 12 November 1994. Berikut isi suratnya. "Saya sebenarnya agak ragu-ragu menanggapi komentar Direktur PTS Prof. Dr. Ir. Sambas Wirakusumah (Suara Merdeka, 7 November 1994). Jangan-jangan membuat marah yang bersangkutan. Tetapi kalau tidak nulis, kok ya ada yang patut dipertanyakan dari pernyataan-pernyataan Pak Sambas. Pertama, Pak Sambas menuduh kami—mahasiswa yang demonstrasi—hanya tahu ekornya saja soal demokrasi. Saya ingin bertanya, seberapa jauh pengetahuan (Bapak) tentang mahasiswa yang turut demonstrasi? Pengetahuan itu berasal dari mana: dari pengurus Yayasan dan rektor, yang menerangkan bahwa yang demonstrasi sedikit jumlahnya? dari koran? dari hasil fact finding di lapangan, dengan mewawancarai pihak-pihak yang lebih seimbang? Kemudian Pak, apakah Bapak bersedia kami undang untuk berdebat mengenai soal masalah-masalah di sekitar suksesi rektor di UKSW, untuk menguji apakah pengetahuan kami lebih sedikit atau lebih banyak dibanding Bapak? Kedua, Pak Sambas menyimpulkan bahwa pemilihan rektor itu telah berlangsung demokratis dan sesuai aturan. Konsekuensinya, pemecatan terhadap diri Dr. Arief Budiman pun sah-sah saja. Apa benar demikian? Apa tidak ada aturan yang dilanggar dalam proses peringatan dan pemecatan terhadap Dr. Arief Budiman? Mengapa mereka takut menghadapi gugatan Arief Budiman lewat pengadilan (ketika mereka menelorkan SKB untuk Arief); lalu
http://slamethdotkom.wordpress.com
120
[email protected]
memvonisnya dengan SK PHK tidak hormat? Apakah Pak Sambas telah memahami segala peraturan di UKSW? Termasuk juga konteksnya mengapa peraturan itu lahir? Kalau telah demokratis dan sesuai aturan yang disepakati bersama, mengapa puluhan dosen bergelar doktor—beberapa di antara mereka telah senior dan lama mengabdi di UKSW— turut unjuk rasa dan mogok? Apakah mereka kurang waras, kurang rasional, kurang kerjaan, dan hanya keras kepala? Tidakkah ini bisa dijadikan indikasi bahwa memang ada masalah genting di UKSW? Tetapi memang Pak, tidak semua mahasiswa yang demonstrasi mengaitkannya dengan proses pemilihan rektor di masa lalu, walaupun kami merasa itu bermasalah. Sebagian dari kami berdemonstrasi karena takut bahwa budaya main ancam, main pecat tumbuh di komunitas uKSW yang terkenal dengan iklim dialognya dan saling kritiknya. Justru kami merasa asing dengan pihak-pihak yang punya kuasa untuk memecat itu, dan sangsi akan pemahaman dan keterlibatan mereka di dalam komunitas akademis UKSW. Kadang-kadang muncul pertanyaan jelek di benak kami: Jangan-jangan mereka yang berkuasa itu bukan orang UKSW dan datang ke kampus ini untuk mengobrak-abrik iklim yang ada. Tetapi kami tepis anggapan ini. Kami yakin mereka warga UKSW dan berusaha untuk mencintai perguruan tinggi ini dan mencoba memperbaiki diri. Semoga demikian." Gereja-Gereja pendiri dan pendukung UKSW semakin intensif mencari upaya penyelesaian atas kemelut UKSW. Upaya ini dimulai ketika utusan dari empat Gereja pendiri pada Senin, 7 November mengadakan pertemuan tertutup di Sekretariat Sinode Gereja Isa Almasih (GIA). Pertemuan di Jalan Pringgading, Semarang, ini, seperti pertemuan Kamis pekan sebelumnya, juga tertutup. Pertemuan ini dihadiri 10 pendeta dari Gereja pendiri dan pendukung, yakni GKJ, GKI Jateng, Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), dan GIA. Tidak ada orang dari yayasan maupun rektorat yang hadir di sana. Sesudah pertemuan itu, Radius mengaku hanya mendengarkan laporan dari pendetapendeta yang hadir. Para pendeta yang hadir juga menolak mengungkapkan isi pertemuan. "Tidak ada komentar," kata Pdt. Iman Sugiri, sambil terburu-buru masuk ke mobil meninggalkan tempat pertemuan. Masalah UKSW juga dibawa ke Sidang Sinode ke-21 Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Wisma Elika - Pelkris Bandungan, Ambarawa 7 -15 November 1994. Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Dr. Sularso Sopater mengingatkan, GKJ sebagai salah satu pendiri dan pendukung UKSW harus ikut bertanggung-jawab atas persoalan yang menimpa universitas itu. Hal itu disampaikan dalam sambutan tertulis yang dibacakan Bendahara II PGI Dra. Endang M. Supardan, MA pada upacara pembukaan Sidang Sinode Ke-21 GKJ di Wisma Nafila, Banyumanik, Senin malam 7 November. Sidang sinode tiga tahunan yang diikuti 22 klasis itu dibuka Pembantu Gubernur Wilayah Semarang Drs. R. Panji Sumonarto mewakili gubernur Jawa Tengah. Seluruh peserta menyatakan keprihatinan mendalam dengan munculnya kemelut tersebut dan mengharapkan semua pihak kembali kepada langkah yang didasarkan kasih Tuhan dan tidak membawa diri pada pengaruh setan yang memang sengaja akan merusak citra UKSW.ii Banyak orang yang menduga, sidang itu akan diwarnai debat sengit karena selain
http://slamethdotkom.wordpress.com
121
[email protected]
anggota KPD, Haryono dan kawan-kawannya juga hadir. Akan tetapi, kehadiran Radius sangat membantu kelancaran sidang itu ketika pembicaraan sampai pada masalah UKSW. Radius dari sini juga masih bisa menyelinap ke Salatiga dan Kaliurang.ii Radius hari Selasa, 8 November selama tiga jam bertemu dengan para dosen KPD di ruang seminar Pusat Bimbingan UKSW. Hadir pula beberapa utusan dari Gereja seperti Ny. Sahetapi (GPIB), Pdt. Agus Karmite (GKI), dan Pdt. Messakh. Dosen KPD yang hadir antara lain Budi Lazarusli, Richard Hutapea, Pradjarto, Ferryanto, Dra. Liana, Rukmadi, dan Tjahjakartana. Pertemuan itu dimaksudkan sebagai forum penyampaian pandangan dari dosen KPD kepada Radius. Sementara pertemuan berlangsung, sekitar 300 pengajar dan dosen pengajar mengadakan forum trerbuka dan arak-arakan mengelilingi kampus. Forum terbuka itu sendiri ditutup dengan dikuburnya "mayat demokrasi UKSW" oleh beberapa mahasiswa di Bukit Demokrasi. Selesai bertemu dengan para dosen KPD, Radius Prawiro bertemu dengan Arief Budiman. Arief menyatakan, Radius hanya mau mendengar informasi saja. "Pertemuan dengan saya ini sebenarnya karena dia diminta Wardiman untuk menemui saya," ucap Arief. "Saya menjelaskan mengenai SKB dan SK PHK, dan sedikit tentang kemelut di UKSW yang berkepanjangan. Dia tidak tahu soal SKB dan SK PHK," ujar Arief seraya menambahkan optimis kasus di UKSW akan selesai dengan hadirnya Radius.ii Arief tampak akrab dengan Radius. Di sela-sela pertemuan, Radius, Arief, dan staf pribadi Radius sempat menikmati makan siang nasi bungkus. "Saya tadi dikasih makan Pak Arief. Hal itu mengingatkan saya pada waktu perjuangan pada tahun 1966. Jadi, saya nostalgia," tuturnya. Arief sendiri mengatakan, pembicaraannya dengan Radius tak hanya masalah PHK, tapi justru lebih banyak membicarakan isu nasional dan internasional. Presiden Soeharto sudah memberi isyarat bahwa penyelesaian UKSW lewat Radius. KPD tentu saja menghargai usaha ini. Makanya, KPD ingin sedikit tahu diri untuk tidak mengganggu hajat para petinggi di Jakarta sehubungan dengan penyelenggaraan APEC di Bogor. KPD juga tidak mau kalau tentara sampai masuk kampus dengan alasan menjaga stabilitas sehubungan dengan kegiatan internasional tersebut. Mahasiswa dan dosen KPD secara resmi menyatakan tidak akan melakukan kegiatan unjuk rasa atau kegiatan lainnya selama 6 hari mulai 12 November mendatang, yaitu selama berlangsungnya sidang APEC. Dalam masa tenang mereka akan melakukan "Gerakan Doa".ii Namun, KPD mengingatkan, bila saatnya nanti tidak ada perubahan berarti, maka perjuangan akan ditingkatkan lagi. Sementara mereka beristirahat di rumah dan menghentikan segala macam unjuk rasa, usaha-usaha negosiasi tetap berlangsung. Sebagian dekan dan mahasiswa KPD optimis Radius akan berhasil menyelesaikan masalah, namun sebagian besar malah tidak yakin. Karenanya, mereka sama sekali tidak mengendurkan "serangan". Mendukung mosi tidak percaya FB, rapat Fakultas Teknik memutuskan untuk
http://slamethdotkom.wordpress.com
122
[email protected]
mengeluarkan mosi tidak percaya juga. Sebelum sampai pada keputusan itu, kata Ferryanto, rapat telah membahas segala konsekuensinya dengan panjang lebar. Para dosen FT menerjemahkan konsekuensi itu bahwa mereka tidak lagi menganggap rektor dan para pembantu rektor. Karena itu, sesudah keluar mosi tidak percaya, dalam korespondensi mereka selalu menulis jabatan rektor tanpa nama, atau nama pembantu rektor tanpa menyebut jabatannya. Misalnya, Suwandi di kantor PR1, dan sebagainya. "Konsekuensi lainnya, kalau mereka mereka ndablek ya kita yang mundur atau keluar dari UKSW," kata Ferryanto. "Teman-teman setelah mengetahui konsekuensi ini, ada banyak pertimbangan, misalnya hubungan keluar, uang, program yang harus minta persetujuan rektor, dan lainnya. Tapi, mereka akhirnya setuju untuk mengeluarkan mosi tidak percaya." Ada tiga alasan yang berkaitan dengan surat mosi tak percaya itu. Pertama, menyetujui langkah Dekan FB yang membuat surat mosi tak peraya. Kedua, ketidakpercayaan pimpinan FTJE terhadap semua kebijakan rektor. Semua kebijakan rektor yang menyangkut perintah tak akan ditanggapi jika rektor tak segera menyelesaikan kemelut di kampus UKSW. Ketiga, tak setuju terhadap kebijakan rektor yang selama ini dianggap sebagai tindakan standar ganda. Misalnya, Ferry pernah secara lisan melaporkan Ir John Darius, mantan dekan FTJE, yang nyambi di sebuah pabrik elektronik di Semarang. Namun, menurut dia, rektor tak memberikan penyelesaian. Alasannya, dosen yang nyambi sedang mengikut job training. "Padahal, data saya tentang dosen FTJE yang nyambi valid. Sudah nyambi dengan gaji yang besar, di sini (UKSW) masih mendapatkan fasilitas gaji, tunjangan rumah, tunjangan kesehatan, dan lain-lain. Anehnya, ada dosen yang mengkritik pimpinan malah dipecat."ii Mosi tidak percaya FT memang tidak keluar begitu saja. Slamet Harijono, seorang dosen muda FT bertutur. "Sewaktu FB mengeluarkan mosi tidak percaya, kita memperoleh ide bahwa bila mosi itu diikuti oleh sebagian besar unit, maka hal itu bisa menunjukkan kepada publik bahwa rektor memang tidak didukung. Oleh karena itu, rapat memutuskan untuk mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap rektorat. Tidak semua peserta rapat setuju pada saat itu, dan ada juga yang tidak datang (seperti Oki Doku yang sakit). Hal itu ditunjukkan oleh daftar tanda tangan yang tidak penuh, ada seorang (atau dua?) yang tidak membubuhkan tanda tangannya. Risiko yang terpikirkan saat itu adalah, bahwa FTJE akan mengalami kesulitan keuangan, tidak mendapat supply dari rektorat, mengingat sistem keuangan yang terpusat saat itu. Juga kemungkinan tidak menerima gaji. Tetapi kita siap menghadapi itu." Sedangkan dosen FT lainnya, Budi Murtianta, menjelaskan risiko itu dengan kalimat singkat. "Konsekuensinya, kalau pihak atasan lebih kuat posisinya ya yang mengajukan mosi tidak percaya bisa tidak diakui sebagai rekan kerja lagi." Setelah keluarnya mosi tidak percaya dari FB dan FT, mosi tidak percaya juga keluar dari FP, FSM, FTh, FKIP, FH, DMU, PPs-SP, Pusat Bimbingan, dan LPU. Jadi, total ada 11 unit yang tidak lagi mengakui kepemimpinan JOI di UKSW. Mosi tidak percaya juga diberikan kepada ketua SMU dan BPMU karena tidak bersikap terhadap pemecatan Arief Budiman. Mosi tidak percaya ini ditandatangani bersama oleh 5 ketua Sema fakultas dan 8 ketua BPM fakultas dan jurusan.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
123
[email protected]
Dengan adanya mosi tidak percaya, tidak berarti demonstrasi mahasiswa dan dosen berhenti. Mereka kembali berdemonstrasi pada hari Rabu, 9 November. Ini adalah demo akbar ke-2. Kali ini Arief Budiman, dedengkot demonstrasi yang juga korban pemecatan, ikut hadir. SM Dharmanto, seorang dosen pengajar bahasa Inggris di FKIP, membacakan puisi buatannya sendiri yang berjudul Ode Untuk Arief Budiman. Ketika seorang penegak kebenaran tiba-tiba dianggap salah Orang-orang sabar menjadi marah Orang-orang berkuasa jadi salah tingkah Ketika seorang pejuang ditendang TIba-tiba saja orang sabar jadi berang Para pendiam tiba-tiba jadi bersuara lantang Orang-orang cerdas jadi beringas Ketika seorang pembela keadilan tiba-tiba diadili dan dihakimi tanpa diberi kesempatan membela diri semua pada menggertakkan gigi gundukun di ujung lapangan bola dinamai Bukit Demokrasi dijadikan ajang protes dan demonstrasi dijadikan benteng melawan tirani Sayang para pembuat keputusan tidak tahu SK PHK tak ‘kan membuat Sang Macan jadi Menjangan Diancam harus keluar tak ‘kan membuat Sang Naga jadi Ular...
Arief Budiman pun didaulat naik panggung. Sebelum naik mimbar Arief sempat bergurau, dirinya serba salah, sebab kalau tidak ikut demo dikira pengecut tapi kalau ikut dikira dalangnya. Arief menceritakan sejarah keluarnya surat peringatan pertama, terakhir, dan PHK. "Waktu rektor dipegang Dr. Willi Toisuta, saya menjagokan John Ihalauw supaya menjadi Pembantu Rektor urusan akademik, ternyata di kemudian hari ada dosen ngobyek. Ini saya protes," ujarnya.
http://slamethdotkom.wordpress.com
124
[email protected]
Jumat siang 11 November KPD kembali mengadakan unjuk rasa. Kali ini cukup unik sebab KPD menggelar konser musik. Musisi dadakan langsung muncul menyanyikan lagu aneka gaya. Syair lagu-lagu itu telah diubah, memprotes JOI dan kawan-kawannya.ii Arief dan Leila pun menyumbangkan lagu. Lagu pertama lagu Batak Lisoi. Untuk kesempatan kedua, Arief menyanyikan lagu kesukaannya Halo Halo Bandung.ii Ariel Heryanto yang juga didaulat menyanyi menyumbangkan dua lagu yang syairnya sudah diubah kocak.ii Saat konser juga diadakan pengumpulan dana dan berhasil terkumpul Rp111.425. Uang sumbangan spontan itu akan digunakan untuk membeli spanduk dan membuat poster.ii Usaha mendongkel JOI juga dilakukan dengan mengadu pada Gereja. Dekan FKIP Dr. I Made Markus menyampaikan surat pernyataan sikap yang ditandatangani oleh delapan ketua jurusan dan para dosen di FKIP. Dalam surat itu mereka meminta agar Gereja-Gereja segera membentuk pengurus lagi dan pemilihan rektor diulang, sebab mereka menilai pimpinan UKSW tak lagi bisa dipercaya karena tak mampu menyelesaikan kemelut. Surat senada kepada Gereja-Gereja pendiri dan pendukung juga dikeluarkan Pusat Pelayanan Rohani (Puspelroh). Lewat surat bertanggal 7 November 1994 yang ditandatangani ketuanya Pdt. Iskandar K. Saher, Puspelroh menyatakan, sejak proses pemilihan rektor hingga terpilihnya JOI, nilai-nilai dan hubungan kerja sama yang baik semakin berkurang. Bahkan diwarnai pendekatan hukum segala. Apalagi dengan terbitnya SK PHK kepada Arief, hal ini merupakankejadian yang melampaui batas kesabaran. Dan cukup banyak orang tak melihat jalan lain kecuali mogok. Satu-satunya kemungkinan menyelesaikan: mengganti semua pengurus Yayasan secepatnya.ii *** KPD memenuhi janjinya untuk menghentikan demonstrasi selama APEC berlangsung. Kampus UKSW Sabtu siang (12/11) tampak lengang, Satpam dan petugas keamanan berpakaian preman tampak masih berjaga-jaga. Sejumlah mahasiswa lalu lalang dengan kepentingannya sendiri.. Tenda Keprihatinan masih dijaga sekitar 10 mahasiswa. Spanduk masih terlihat utuh, bahkan pagi harinya ditambahkan lagi spanduk berwarna kuning bertuliskan “Sukseskan Konferensi APEC' dan spanduk biru berukuran besar bertuliskan "Selamatkan Kampus UKSW Kasih". Selain demonstrasi dan mosi tidak percaya, YPTKSW dan JOI juga menghadapi kemungkinan lain yang lebih gawat. KPD yang tampak tidak puas dengan segala usaha penyelesaian yang tengah berjalan merencanakan presidium rektor apabila hingga batas waktu 18 November tidak ada perubahan yang berarti. Menurut mahasiswa PPs-SP Johny Simanjuntak, SH, presidium rektor itu akan bekerja untuk menyelesaikan persoalan macetnya proses belajar-mengajar dan administrasi, sesuai dengan aspirasi KPD. "Kami akan meminta dosen-dosen untuk membentuk presidium rektor. Dan sudah menjadi kesepakatan, (presidium rektor) akan langsung dibentuk bila dalam minggu tenang tidak ada perubahan, " demikian pengumuman KPD yang dibacakan Johny di tengah Konser Musik untuk demokrasi. Menurut Arief Budiman, presidium rektor itu masih usulan yang pernah disampaikan oleh KPD saat bertemu Radius. Arief setuju dengan usulan itu dan presidium nantinya akan
http://slamethdotkom.wordpress.com
125
[email protected]
menyelenggarakan pemilihan rektor ulang.ii Usaha KPD menekan YPTKSW dan rektor juga dilakukan lewat perhitungan keuangan. Tujuh dekan dan ketua PPs-SP menyerukan mahaasiswa untuk menunda pelunasan pembayaran uang kuliah dan sumbangan untuk semua angkatan selama seminggu. Dengan demikian, mahasiswa akan membayar melalui bank tanggal 21 sampai dengan 25 November 1994. Surat pemberitahuan kepada mahasiswa tertanggal 14 November itu ditandatangani oleh Dekan FKIP Dr. I Made Markus, Dekan FH Budi Lazarusli, SH, Dekan FB. DR. Bintoro Gunadi, Dekan FP Dr. Ir. Rukmadi Warsito, Dekan FTJE Dr. Ferryanto, Dekan FTh Drs. Nugroho Adi, MTh, PD I FSM Dr. Nggandi Katu atas nama Dekan FSM, dan Ketua PPs-SP Dr. Nico L. Kana. Pengumuman penundaan ini disambut gembira karena saat ini sebagian besar mahasiswa memang belum siap membayar karena situasi kampus yang tidak menentu. Biasanya mahasiswa didenda kalau terlambat membayar, eh ini kok malah diminta menunda. Tentu saja pengumuman ini disambut dengan suka cita. Besarnya pembayaran uang SKS bervariasi dari Rp17.5000 sampai Rp25.000 tergantung angkatan, begitu juga uang sumbangan besarnya bervariasi dari Rp250.000 sampai Rp1,5 juta untuk tiap angsuran selama satu tahun.ii Usaha Radius menampakkan hasilnya ketika YPTKSW dan KPD duduk di satu meja untuk pertama kalinya. Pertemuan ini terjadi pada tanggal 14-15 November dan dihadiri lima Gereja Pendiri dan Pendukung, yaitu GKJ, GKI, Gereja Isa Al Masih, Gereja Kristen Muria, dan Gereja Protestan Indonesia bagian Barat. KPD diwakili 11 unit dan dekan fakultas, para senator senior dan dua orang mahasiswa, Teguh Budi Santoso dan Andi Kristanto Yuwono. Teguh mahasiswa FH angkatan 1989 dan Andi mahasiswa FKIP jurusan Bahasa Inggris angkatan 1991. Dari pihak YPTKSW, selain Haryono Semangun, juga hadir Tedjaprasada, Tedjorahardjo, dan Yulius Saludung. Seluruh peserta 29 orang. Begitu pertemuan di Wisma Kinasih Kaliurang Yogyakarta itu dibuka, Haryono Semangun mengatakan bahwa pengurus Yayasan akan meninggalkan ruangan dan diwakili oleh 5 orang, yaitu JOI, John Titaley, Siliwoloe Jurumana (Direktur Lembaga Pengabdian Masyarakat), Daniel Kameo (dosen FE), dan Agna Sulis Krave. Ini ditolak oleh KPD karena kelima orang itu tidak diundang dan pengurus Yayasan sendiri yang harus berunding agar apa yang dicapai mempunyai ikatan moral terhadap mereka. Kelima orang itu pun keluar. Demikian pula, sebagian dosen KPD harus meninggalkan ruangan.ii Kelima orang pendukung Yayasan sebenarnya hadir atas ajakan Ketua YPTKSW Haryono Semangun. KPD menolak kehadiran mereka karena menganggap KPD tidak punya urusan
http://slamethdotkom.wordpress.com
126
[email protected]
dengan JOI dan teman-temannya. Menurut KPD, perundingan dilakukan antara pengurus YPTKSW yang memecat Arief Budiman dan KPD yang memprotes pemecatan itu, sama sekali tidak ada hubungan dengan JOI dan kawan-kawan. Namun, lain lagi pendapat John Titaley. Ia menuduh KPD pengecut. "Mereka melarang kehadiran kami karena pada dasarnya Kelompok 10 yang menyebut diri mereka prodemokrasi itu takut kalau kami menyuarakan kebenaran. Mereka itulah yang justru tidak demokratis," kata Titaley. Menurut Agna, alasan penolakan adalah karena mereka tidak tercantum dalam agenda. "Padahal kalau memang tujuan mereka mencari kebenaran, dari siapa pun kebenaran itu bisa didapatkan. tidak hanya harus dari mereka yang diundang Gereja." Sambil duduk-duduk di luar, Titaley juga mengemukakan kekecewaannya kepada wartawan atas pemberitaan beberapa media. "Selama ini pers hanya meliput dari satu sisi, yaitu KPD." Karena itu, ia kemudian membuat buku kuning berisi penjelasan seputar pemilihan rektor. Buku itu merupakan bahan yang dia gunakan dalam dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu. "Hari Sabtu (12/11) lalu Suara Merdeka sudah memuat lengkap isinya. Saya mengucapkan terima kasih untuk itu," kata Titaley mengenai iklan yang dimuat Suara Merdeka ii Pertemuan hari pertama dari dua hari yang dijadwalkan baru penjajakan dengan mendengarkan semua pihak. Lain di Kaliurang, lain pula di Salatiga. Kendati wakil-wakil mereka tengah berunding, dosen dan mahasiswa KPD yang lain tidak menggantungkan nasib dengan menunggu. Mereka pun mengadakan gerakan sendiri. Di Salatiga empat dosen KPD, yaitu George Aditjondro, Nggandi Katu, Witjaksana, MSc, dan Ir. Agus Kristanto mengadakan jumpa pers. Menurut KPD, buku kuning yang dibuat Titaley sangat membiaskan kepentingan pribadi, sebab Titaley dulu salah seorang calon yang mendapat suara tidak banyak. "Sekalipun Titaley merupakan wakil ketua Senat, yang dilakukan sangat tidak etis dan melecehkan para senator lainnya. Yang disampaikan ke Komisi IX dan diiklankan di koran belum pernah dibicarakan dengan para senator lainnya," kata George Aditjondro.ii Jumpa pers itu juga menjelaskan, hingga kemarin telah terkumpul 142 tanda tangan dosen yang ditujukan pada pengurus Yayasan dan mendikbud, yang meminta pencabutan berbagai SK bermasalah dari pengurus, pengunduran diri pengurus dan rektor, serta pembubaran tim pengacara Yayasan. Di UKSW saat ini terdapat 300 dosen, 75 di antaranya tengah tugas belajar di luar negeri, 25 merupakan dosen asing yang diperbantukan. Dampak kemelut UKSW tidak hanya menimpa mahasiswa dan dosen saja. Sebuah program kerja sama antara UKSW dan University of Sydney terancam terganggu. Dalam memorandum of understanding (MOU) yang ditandatangani kedua pihak, hubungan itu diwujudkan dalam bentuk Contemporary Indonesia Program (CIP) dan Program Intensif Bahasa dan Budaya Indonesia (PIBBI) yang diselenggarakan di UKSW. Dua kali dalam setahun lebih dari seratus mahasiswa dari University of Sydney dan empat perguruan tinggi terkemuka lainnya di
http://slamethdotkom.wordpress.com
127
[email protected]
Australia mengikuti program itu, yaitu pada bulan Desember-Januari serta bulan Juli. Mereka mendatangkan banyak devisa serta meningkatkan kegairahan ekonomi masyarakat, khususnya di Salatiga dan Jateng. Kedua program itu juga mengangkat reputasi akademis UKSW di luar negeri karena program itu diakreditasi oleh lima universitas terkemuka di Australia, selain sejumlah universitas di Denmark, AS, dan Jepang.ii Kembali ke Kaliurang, pertemuan tanggal 15 November dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu komisi rektor, komisi yayasan, dan komisi hukum. Kelompok I terdiri atas Pdt. Agustinus Kermite dan Pdt. Pudjaprijatna (Gereja), Pdt. Charles Christano dan Drs. Tedja Prasada Judio (YPTKSW), serta Pradjarta, Tjahjakartana, dan Richard Hutapea (KPD). Kelompok II terdiri atas Radius Prawiro, Ny. Sahetapy Engel, Pdt. Paulus Sardjono, dr. Teguh Wijaya, Pdt. Iman Sugiri, Pdt. Mesach Krisetya, dan Pdt. Indrawan Eleeas. Sedangkan Pdt. J. A. Prayogo, Pdt. Yahya Widjaya, S.Th (Gereja), Yulius Saludung, B. Tedjorahardjo, SH (YPTKSW), serta Budi Lazarusli dan Rukmadi Warsito (KPD) masuk ke Kelompok III. Perundingan di Kelompok II dan III berlangsung mulus. Kelompok II yang terdiri atas Radius Prawiro dan wakil 5 Gereja sepakat untuk melakukan perbaikan AD/ART YPTKSW supaya kedudukan Gereja-Gereja pendukung terefleksi dalam kepengurusan YPTKSW. Mereka juga sepakat untuk mengadakan pertemuan pada hari Kamis 24 November 1994 di Kampus UKSW. Pertemuan itu akan membicarakan dua masalah, yaitu laporan Gereja pemrakarsa (Kaliurang) mengenai penyelesaian kemelut UKSW yang telah dilakukan dan status hubungan YPTKSW dengan Gereja mengingat AD/ART YPTKSW saat ini kurang memberi tempat bagi peran Gereja. Lebih lanjut, 4 dari 5 Gereja kecuali GPIB sudah memutuskan untuk mengganti wakil mereka di YPTKSW. Hanya saja, pergantian akan dilakukan tepat pada saat masa jabatannya berakhir, yaitu 30 November 1994. Kelompok III sepakat untuk meninjau kembali SKB bagi Ariel Heryanto dan Arief Budiman, juga meninjau ulang penerbitan Surat Kuasa No. 211/A/YSW/1993. Kelompok I berjalan alot. Kelompok ini menelorkan hasil paling penting, yaitu pembentukan presidium yang akan menggantikan rektor. Tugas presidium ada empat, yaitu menjalankan fungsi kepemimpinan di UKSW, memulihkan keadaan kampus, menghidupkan kembali senat universitas, dan menyempurnakan peraturan pemilihan rektor dan peraturanperaturan lain yang dianggap perlu. Presidium yang akan dilantik pada tanggal 23 November ini direncanakan mempunyai lima orang anggota. Dua dari KPD, 2 wakil dari rektorat, dan 1 dari kelompok netral. Siapa-siapa yang akan duduk di sana belum bisa dipastikan, namun dua dari rektorat kemungkinan JOI dan PR II Hari Sunarto. Keputusan pembentukan presidium diambil dalam sidang pleno yang dipimpin Radius Prawiro pukul 21.30 tadi malam, padahal pertemuan dijadwalkan berakhir pukul 16.00. Menurut Wakil GKI Agustinus Kermite, keputusan tersebut belum menyelesaikan berbagai persoalan yang melanda UKSW. "Apa pun keputusan yang diambil dalam sidang pleno pertemuan Kaliurang ini tetap akan memunculkan PR bagi UKSW. Tetapi yang jelas, sudah ada perkembangan maju dalam pertemuan kali ini." katanya. Sejauh ini kelompok JOI menolak rencana pembentukan presidium. Dua kali kelompok
http://slamethdotkom.wordpress.com
128
[email protected]
Ihalauw, yang sejak hari pertama tidak diizinkan masuk ruang sidang, dipanggil Komisi Rektor. Sekitar pukul 16.00, selama 30 menit Ihalauw bersama Titaley serta Agna Suliskrave bertemu anggota Komisi. Panggilan kedua sekitar pukul 18.00 Pertemuan malam itu sebenarnya sempat terancam deadlock. Setelah KPD mengusulkan dibentuknya presidium, kelompok Ihalauw menolaknya dengan alasan hal itu bertentangan dengan PP 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi. Namun menurut Budi Lazarusli, karena keadaan darurat, pembentukan presidium sangat memungkinkan. "Tapi tentu saja kita juga masih harus minta izin ke mendikbud soal ini," jelasnya. Radius kemudian melakukan lobi secara khusus dengan kelompok Ihalauw. Bila memang mereka tidak setuju dengan usulan pembentukan presidium, mereka dipersilakan membuat kontra proposal untuk merumuskan aspirasi mereka. Sebenarnya, pembentukan presidium sejalan dengan usul GKJ seperti dilaporkan Panitia Ad Hoc yang dibentuk dalam Sidang Sinode Ke-21 GKJ di Bandungan. Dalam menghadapi krisis UKSW, GKJ mengusulkan kepada Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung yang lain untuk bersama-sama membentuk sebuah presidium guna mengatasi krisis di UKSW.ii Dalam laporan yang dibacakan Ketua Panitia Ad Hoc Pdt Dr. Kadarmanto disebutkan, sivitas akademika UKSW hendaknya melaksanakan proses belajar mengajar kembali sambil memberikan kesempatan kepada presidium untuk melaksanakan tugasnya menyelesaikan segala permasalahan UKSW secara internal. Tim ad hoc yang terdiri atas Ketua Dr. Kadarmanto, dengan anggota Pdt. Prof Dr. Sularso Sopater, Pdt Handoyo, STh, Pdt. Iman Sugiri, STh, dan Pdt. Pudjotrijatma, STh, juga menyatakan, karena masa bakti wakil GKJ pada YPTKSW berakhir 30 November 1994, lembaga itu perlu segera menunjuk dan mengangkat pengganti. Hasil pertemuan di Kaliurang memang mencengangkan. Belasan mahasiswa KPD yang menunggui Tenda Keprihatinan tidak dapat tidak meluapkan kegembiraan mereka. Tengah malam tanggal 15 itu, begitu Andi yang ikut ke Kaliurang menyampaikan berita turunnya JOI, mereka langsung menyebarkan berita itu. Teman yang sudah enak tidur mereka telepon agar datang. Selanjutnya, mereka bersama-sama membongkar spanduk dan poster. Lalu, setelah makan kacang dan minum limun serta berfoto di depan spanduk yang menjadi favorit mereka. Tulisan spanduk itu: "Tuhan Memberkati Orang-Orang Berani". Paginya, suasana ceria tampak di mana-mana, walaupun secara mencolok sejumlah orang tidak dikenal yang berbadan kekar berkeliaran di dalam kampus. Ariel, salah satu orang yang terkena peringatan akan dipecat, menyatakan kegembiraannya dengan kesepakatan Kaliurang. Menurutnya, paling tidak ada tiga pihak luar yang ikut berjasa dalam tercapainya pemecahan, yang sementara ini dibilang terbaik. Pertama dan mungkin ini yang terutama, adalah rekan-rekan wartawan dan media massa tempat mereka bekerja. Kedua, aparatur pemerintahan, khususnya depdikbud dan aparat keamanan. Sumbangan mereka berbentuk kerelaan menahan diri untuk tidak buru-buru mencampuri proses pemecahan yang diusahakan kalangan UKSW sendiri. Ketiga, masyarakat luas, khususnya penduduk setempat dan komunitas akademik dari berbagai tempat. Dengan berbagai cara, mereka memberikan dukungan moral, lewat petisi atau konsultasi.ii Hari itu pula KPD mengadakan jumpa pers. Bagi KPD, Kesepakatan Kaliurang adalah penyelesaian ideal yang karenanya harus didukung dengan serius. Dalam jumpa pers di kantor
http://slamethdotkom.wordpress.com
129
[email protected]
FSM 16 November, Ferryanto dan Pradjarto Dirjosantoso, sebagai juru bicara KPD mengatakan, salah satu tugas presidium yang signifikan adalah memfungsikan kembali Senat Universitas. "Begitu Senat Universitas bisa menyelesaikan peraturan pemilihan rektor dan Senat mengusulkan itu, maka kita jalan. Bisa seminggu atau sebulan."ii Pada hari yang sama Leila Budiman, seorang staf pengajar UKSW, diterima mendikbud di ruang kerja mendikbud di Jakarta. Leila menyampaikan petisi kepada mendikbud agar mencabut persetujuan yang telah diberikan kepada JOI sebagai rektor. Petisi tersebut ditandatangani 14 dari 25 anggota Senatii, dan 153 mahasiswa. Leila bertemu 4 mata dengan wardiman selama 30 menit. Baik Leila maupun Wardiman tidak bersedia menjelaskan isi pertemuan.ii Pada 17 November KPD mengadakan rapat di ruang rapat FTJE, antara lain untuk menentukan 2 wakil KPD di presidium. "Kesepakatan untuk memulihkan kegiatan belajarmengajar kami capai hari ini. Hari Jumat fotokopi hasil kesepakatan untuk menjalankan tugas mengajar akan kami sebar ke sebelas unit dan fakultas." kata Ferryanto. Begitu pula, imbauan agar menunda pembayaran uang kuliah dari 14-18 November menjadi 21-25 November menjadi tak berlaku lagi. Bagi mahasiswa yang belum membayar uang kuliah, para pemimpin fakultas dan unit akan memberikan dispensasi, tidak akan didenda.ii Tak hanya KPD yang gembira, Haryono Semangun (65) pun menyatakan bahwa keputusan Pertemuan Kaliurang merupakan keputusan aklamasi yang amat baik dalam perumusannya karena melibatkan unsur Yayasan, pimpinan universitas, Gereja, senat, serta KPD. "Yang penting menurut saya, titik tolak keputusan ini adalah keinginan semua pihak untuk tidak saling menyalahkan, demi keadaan yang lebih baik untuk UKSW," kata Haryono.ii Haryono Semangun yang lahir di Salatiga, 15 Agustus 1930 dan mengabdi di UKSW sejak tahun 1960 atau 4 tahun setelah lulus dari FP UGM, mengibaratkan kesepakatan itu seperti kesepakatan yang disetujui antara para perunding Israel dan PLO di Oslo yang dimoderatori Menlu Norwegia. Agar mempunyai kepastian hukum, Ketua PLO Yasser Arafat dan PM Israel Yitzak Rabin kemudian menandatangani persetujuan di Washington. "Rapat Dewan Pengurus Inti Yayasan tanggal 22 November akan membicarakan anjuran kesepakatan pertemuanKaliurang yang perlu dicarikan bentuk dan formulasi hukumnya. Hal itu perlu dilakukan karena kesepakatan membentuk Presidium Rektorat tidak tercantum dan tidak diatur dalam AD Yayasan maupun PP No. 30 tahun 1990," tuturnya. Lalu, apakah mendikbud setuju dengan usulan pembentukan presidium? Radius mengatakan, seluruh keputusan Pertemuan Kaliurang itu telah mendapat sambutan melegakan mendikbud yang dilapori lewat telepon pada pukul 8.30 pagi hari tanggal 16 November. "Saya juga telah meminta pengertian Pak Wardiman mengenai pembentukan presidium yang sebenarnya menyimpang dari PP 30 Tahun 1990, dan Pak Wardiman menjawab tidak ada masalah karena sifatnya sementara," kata Radius. Sekalipun telah melapor lewat telepon, Radius menyatakan secepatnya akan menghadap mendikbud langsung di Jakarta untuk maksud yang sama. "Pengurus Yayasan juga akan melaporkan secara resmi di Jakarta. Pokoknya sesegera mungkin," tegasnya.ii Beberapa hari kemudian pada tanggal 21 November di Manado mendikbud mengatakan
http://slamethdotkom.wordpress.com
130
[email protected]
senang dengan penyelesaiaan cekcok di UKSW. Wardiman percaya kerja presidium mampu menelurkan putusan-putusan penting untuk kebaikan UKSW sendiri. "Secara prinsip kami tidak ikut campur penyelesaian UKSW. Sekarang saya sudah senang, karena beberapa minggu terakhir ini masalahnya sudah menuju proses penyelesaian."ii Isu kemudian bergulir ke soal siapa pihak netral yang akan duduk dalam presidium. KPD diwakili oleh Pradjarto dan Hutapea, sementara JOI dan PR II Hari Sunarto, MBA dipastikan mewakili kelompok rektor. Banyak yang mengusulkan Radius, namun tampaknya Radius tidak bersedia tinggal terlalu lama di Salatiga. Sementara itu, pengurus GKJ Nugraha Adi, MTh menjelaskan GKJ telah menarik Haryono dan menggantikannya dengan Pdt. Kadarmanto Harjowarsito dari GKJ Jakarta. Pergantian ini bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan Haryono 30 November 1994, padahal sebenarnya Haryono boleh saja dipilih kembali.ii JOI tampaknya masih sulit menerima bahwa gara-gara kumpul-kumpul di Kaliurang, ia akan kehilangan kursi empuk rektor. Bagaimanapun, ia mulai mencintai kursi itu dan juga kursikursi lain di ruang rektorat. Ia mengatakan, pertemuan Kaliurang bukan pertemuan pengambilan keputusan final. Artinya, kesepakatan yang dihasilkan hanya usulan yang akan disampaikan kepada Dewan Pengurus YPTKSW yang selanjutnya menggodoknya dalam rapat 29 November mendatang. Ia akan tetap menjalankan fungsinya sebagai rektor sampai ada keputusan lain dari pihak Yayasan.ii "Kalau kita lihat aturan-aturan main yang berlaku, baik aturan di UKSW maupun aturan pemerintah, istilah presidium kan nggak ada. Yang ada hanya rektor dan pembantu rektor," kata JOI. JOI juga menganggap dirinya masih sah sebagai rektor, sampai SK pengangkatannya dicabut. Karenanya, ia akan tetap menjalankan tugas sebagai rektor sampai keputusan lain.ii Pendukung JOI juga tidak puas. Ketidakpuasan mulai muncul dalam bentuk selebaran gelap yang mempertanyakan keabsahan pertemuan di Kaliurang. Salah satu contoh selebaran itu adalah: "Pertemuan Kaliurang membanggakan namun memalukan. Yang selalu memekikkan demokrasi di kampus, justru berperilaku tak demokratis. Para pendukung JOI ditolak kehadirannya. Bukankah demokrasi sepatutnya memperhatikan pula aspirasi mereka? Itulah demokrasi dari Kelompok Prodemokrasi."ii Tapi, orang-orang tampaknya tidak peduli. Mereka senang telah keluar dari kesulitan. Mereka berterima kasih pada Radius yang telah mau membantu menyelesaikan kemelut ini. Hari-hari itu Radius menghiasi koran-koran di Jawa Tengah. Ia dianggap sebagai pahlawan. Radius lahir di Yogyakarta 29 Juni 1928. Ayahnya seorang guru bernama Prawiro di Yogyakarta. Neneknya termasuk generasi pertama penganut kristen di Yogyakarta, yang waktu itu masih berguru pada Kiai Sadrah, seorang penginjil. Menginjak SMP ia pernah berdagang rokok. Di masa revolusi, sebagai Sekretaris Badan Keamanan Rakyat (BKR), 1946, Radius ikut bergerilya dan tinggal bersama penduduk desa. Radius kemudian menjadi staf bagian studi pada Markas Tertinggi Perhubungan Tentara RI (1947-1948), tahun 1949-1951 menjadi Staf Gubernur Militer DIY dan anggota TP Brig XVII Detasemen III, dan demobilisasi sebagai anggota Det III Brig XVII. Radius kemudian meninggalkan karier militernya dengan berkuliah ekonomi di
http://slamethdotkom.wordpress.com
131
[email protected]
Universitas Rotterdam, Belanda. Setelah mengantongi Nederlandshe Economische Hoogeschool Rotterdam (ijazah sarjana ekeonomi) dan menyelesaikan studi di FE UI Jakarta (ijazah sarjana akuntan), ia memegangn jabatan penting seperti Gubernur Dana Moneter Internasioal (IMF) untuk Indonesia, Gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB), Ketua Dewan Moneter, dan Ketua Badan Pembina Pasar Modal (1983-1988). Tahun 1965 menjabat sebagai menteri Pemeriksaan Keuangan Agung Muda/Anggota pimpinan Bepeka, 1966-73 Gubernur Bank Sentral, anggota Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional, Gubernur IMF untuk Indonesia, Wakil Gubernur ADB untuk Indonesia, disusul jabatan lain sebagai Gubernur IBRD, Menperdag dan Koperasi RI, Menkeu, dan 1988-1993 sebagai Menko bidang Ekuin dan Pengawasan Pembangunan RI. Salah satu arsitek ekonomi Orde Baru ini termasuk pejabat terlama dalam lingkaran Presiden Soeharto. Total Radius mengabdi selama 28 tahun, sampai pensiun Maret 1992. Ia sempat dinobatkan sebagai menteri terlama dan masuk Museum Rekor Indonesia oleh Jaya Suprana pada Maret 1990. Berkat keberhasilannya menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara sahabat, ia menerima bintang jasa dari Pemerintah Jerman Barat (1991), Spanyol, Belgia, Belanda, Korea Selatan, dan Jepang. Radius menikah dengan Leonie Supit dan berputra empat yang semuanya sudah menikah. Konon, ke mana-mana dia didampingi tenaga khusus, Drs. Bambang Subandriyo, STh. Pada saat itu umurnya 67. Mendapat gelar kehormatan doctor of laws di National University of Singapore 31 Agustus. Pada 29 Juni 96 ia berusia 68 tahun. Ia bersyukur diberi umur panjang meski nyaris "lewat" ketika harus menjalani delapan kali operasi besar. Di antaranya, operasi menghilangkan tulang yang tumbuh dan menekan sumsum tulan belakang di RS Queen Elizabeth, Hawaii, 1979. Selanjutnya, ia harus menghadapi operasi-operasi lain, seperti ginjal, jantung koroner, dan prostat di luar negeri. "Pertolongan Tuhan betul-betul saya rasakan saat saya dioperasi di Hawaii. Karena kans operasi itu fifty-fiftyii
http://slamethdotkom.wordpress.com
132
[email protected]
BAB 10
Mengingkari Kesepakatan Mahasiswa FT Edo KH dan Pangdam IV/Diponegoro, Mayjen TNI Soeyono punya feeling yang sama mengenai penyelesaian kemelut UKSW. Pangdam merasa, kemelut UKSW belum selesai. Apa yang terjadi sekarang ini masih koma, belum sampai titik. Bila masing-masing tetap tidak mau menyadari, tidak mungkin permasalahan yang ada akan cepat selesai. "Saya kok ragu apakah persoalan itu akan cepat selesai," kata Pangdam.ii Sedangkan Edo merasa, tidak pantas KPD bergembira bila hasil kesepatan belum direalisasikan. Apalagi saat ia membaca wawancara pengurus Yayasan Julius Saludung di Suara Merdeka, 17 November 1994. tanya (t): posisi rektor bagaimana? jawab (j): Masih tetap. Akan didampingi presidium. Rektor masih ditunjuk. Tanggal 23 November, presidium itu dilengkapi. Kalian tunggu saja. t: Rektor turun? j: Saya kira ndak begitu. Dia tetap di situ. t: Keputusan Kaliurang kan begitu? j: Tidak. Saya tak melihat tulisan begitu. t: Jadi ketua presidium? j: Mungkin begitu. Tetapi format resmi presidium baru ketahuan pada 23 November. t: Kapan pemilihan ulang rektor? j: Nggak ada. Nggak ada rencana sekarang. Menurut konstitusi, baru tahun 1997. t: Kepemimpinan UKSW akan selalu presidium? j: Dalam PP 30 nggak ada presidium. t: Anda tak mengakui presidium? j: Ndak. Saya nggak mengatakan hal itu. Peraturan yang berlaku itu, baik PP 30 maupun anggaran dasar, memang tak ada presidium. t: Tujuan pembentukan presidium? j: Itu formulasi politis. Nggak tahu saya. Nanti 23 November baru formatnya. Tim itu akan bertemu lagi di sini. t: Siapa? j: Saya nggak masuk ke tim itu, saya masuk ke tim hukum. Jadi, tak berkompeten ngomong
http://slamethdotkom.wordpress.com
133
[email protected]
masalah itu. t: Bagaimana tentang PHK Dr. Arief Budiman? j: Itu akan diselesaikan tersendiri oleh pihak terkait. t: Pak Arief bisa mngajar lagi? j: Saya belum tahu. Keputusan itu akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak terkait. Pihak terkait itu adalah Pak Arief dan Yayasan. t: Rektor masih tetap? j: Ya! Masih tetap di situ. t: Presidium akan diajukan ke Mendikbud. j: Saya nggak jelas. t: Yayasan puas dengan Keputusan Kaliurang? j: Saya kira Yayasan, sebagai pihak di situ, harus mematuhi kesepakatan yang dicapai. Karena dia pihak yang merundingkan hal itu. Indikator utama dari kesepakatan itu adalah proses belajar mengajar akan jalan. Nanti kita lihat. Anda semua bisa menjadi saksi dari kesepakatan itu.ii Edo menutup koran sambil menarik napas panjang. Pendukung Yayasan dan rektor mulai melakukan move untuk menandingi opini bahwa Kesepakatan Kaliurang adalah penyelesaian terbaik. Pada tanggal 18-19 November diadakan rapat Pengurus Pusat Ikatan Alumni UKSW (Ikasatya) di Asrama Kartini Salatiga. Rapat dengan tema “Ikasatya Bertekad Mempertahankan Keutuhan dan Cita-Cita UKSW” ini yang diikuti wakil-wakil dari cabang Ambon, Kediri, Lampung, Magelang, Salatiga, Semarang, Ujung Pandang, Wonosobo & Banjarnegara, Wonogiri, Surabaya, dan Jakarta. Dalam suatu kesempatan, Rektor John Ihalauw yang diberi kesempatan berbicara sempat menangis, sampai-sampai sebagian peserta juga terharu dan menitikkan air mata. Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikasatya Stephen Kakisina, pertemuan diadakan karena permintaan beberapa pengurus. Juga, karena banyak pertanyaan dari orangtua dari luar kota yang anaknya kuliah di UKSW. Kesimpulan pertemuan pengurus Ikasatya itu mirip dengan pendapat Stephen Kakisina, apa pun yang terjadi di UKSW, para dosen tidak boleh mogok. Peserta rapat juga ingin agar semua penyelesaian mengacu pada aturan main yang berlaku di UKSW. Mereka menganggap pertemuan Kaliurang hanya pertemuan informal, bukan forum untuk mengambil keputusan. Selanjutnya, hasil pertemuan di Asrama Kartini ini akan dijadikan masukan bagi pengurus Yayasan.ii Kelompok-kelompok yang tidak pernah kedengaran sebelumnya juga muncul. Kelompok-kelompok baru ini tidak ingin Kesepakatan Kaliurang dilaksanakan karena mereka menganggap kesepakatan itu terlalu merugikan kubu Yayasan. Kelompok itu adalah Love and
http://slamethdotkom.wordpress.com
134
[email protected]
Peace, Silent Majority, Kelompok Penegak Kebenaran dan Keadilan, serta Gerakan Mahasiswa Korban Konflik (GMKK). Kecuali kelompok terakhir, ketiga kelompok adalah kelompok yang baru kali itu terdengar. Senin malam 21 November Asrama Mahasiswa di Jalan Kartini 11A kembali menjadi tempat pertemuan penting. Keempat kelompok pro-Yayasan bertemu dengan tujuh pejabat teras YPTKSW, yaitu Haryono Semangun, Charles Christano, Jitzach Alexander Sereh, Tedjaprasada Yudio, B. Tedjorahardjo, SH, Yulius Saludung, dan Ester Harso Adries. Sifat pertemuan, menurut Suwandi, sama dengan pertemuan di Kaliurang, informal dan inkonstitusional, dan dalam rangka penyelesaian kemelut UKSW. Hasil pertemuan: keempat kelompok berpendapat bahwa Kesepakatan Kaliurang tidak sesuai dengan AD/ART dan PP 30 tentang Perguruan Tinggi. Bersamaan dengan munculnya kelompok baru, muncul pula selebaran Berita Kampus UKSW Edisi I yang mempertanyakan sikap demokratis pertemuan Kaliurang. Mengapa pertemuan itu hanya melibatkan kubu KPD, sementara kubu rektor tidak disertakan, tanya mereka.ii Pertemuan di Asrama Kartini itu juga dimaksud untuk memberikan masukan kepada Dewan Pengurus Inti yang pada hari Selasa keesokan harinya mengadakan rapat bersama dengan Radius Prawiro dan John Ihalauw. Usai pertemuan hari Selasa itu, Radius menolak berkomentar, sedangkan Haryono Semangun menyatakan pertemuan telah menunjuk empat orang untuk mendalami saran-saran yang masuk. Keempatnya adalah Pdt. Charles Christano, MTh, Drs Tedjaprasada Yudio, Julius Saludung, dan Suwandi. "Jadi, kesepakatan Kaliurang akan disimpulkan oleh empat orang itu karena yang lain sudah pulang," katanya.ii Haryono Semangun mengatakan, penolakan terhadap Kesepakatan Kaliurang karena sifat kesepakatan tersebut tidak mengikat. “Setelah kami berkonsultasi dengan pejabat Dikti dan Kopertis, pembentukan presidium seperti ditetapkan dalam kesepakatan itu tidak dibenarkan pemerintah,” katanya.ii Menurut Ketua I YPTKSW Charles Christiano, rapat istimewa DPI Yayasan hari itu memutuskan untuk menolak presidium. Rapat di kantor Yayasan di UKSW yang dipimpin Haryono dan berlangsung 5 jam itu dihadiri 12 dari 15 anggota, termasuk Radius. Menurut Charles, DPI YPTKSW berhak menolak kesepakatan Kaliurang karena itu bukan keputusan final, melainkan hanya pertemuan informal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Charles, yang dalam jumpa pers didampingi Tedjaprasada Yudio, Julius Saludung, dan John Ihalauw, mengatakan, "Saya tetap menghargai Pak Radius Prawiro yang sudah menjadi aktor di koran-koran, tetapi penyelesaian yang kami inginkan adalah penyelesaian yang sesuai dengan AD/ART dan PP 30." Sedangkan Julius Saludung menyatakan, "Latar belakang penolakan presidium hanya karena faktor historis. Dalam UU Pendidikan tahun 1961 pada masa Nasakom presidium memang dikenal. Tetapi dengan UU yang baru tahun 1989, istilah dan fungsi itu tidak dikenal lagi."ii “Secara historis konsep presidium hanya dikenal di zaman Nasakom,” jelasnya.ii Tetapi Julius Saludung menilai bahwa hal-hal yang menguntungkan Yayasan masih bisa dijalankan. Semangat atau roh untuk mengembalikan kondisi belajar-mengajar seperti semula,
http://slamethdotkom.wordpress.com
135
[email protected]
menurunkan pamflet-pamflet, dan sebagainya, didukung pihak pengurus. Sedangkan mengenai presidium, Saludung berucap, "Kami hanya ingin perbaikan berdasarkan konstitusi kami." Besoknya Dewan Pengurus Inti YPTKSW menyampaikan penolakan ini. Wakil-wakil KPD, Pradjarto, Hutapea, dan Tjahjakartana meninggalkan ruang dengan kecewa seusai bertemu dengan pengurus Yayasan. Pertemuan itu sebelumnya dijadwalkan akan membahas pembentukan presidium yang merupakan kesepakatan Kaliurang. Dalam konferensi pers KPD kemudian, Ferryanto, didampingi Nico L. Kana, Limson, dan Witjaksana, menyatakan, pembentukan presidium bukan kehendak KPD, namun kesepakatan pertemuan. "Tuntutan KPD sejak semula adalah turunnya Ihalauw sebagai rektor UKSW. Kami mengalah dan setuju ketika ada kesepakatan pembentukan kepemimpinan model presidium."ii KPD menganggap YPTKSW telah melakukan penipuan dengan menolak kesepakatan Kaliurang sekaligus menampar muka Radius Prawiro sebagai tokoh pemrakarsa pertemuan Kaliurang. Kesepakatan Kaliurang merupakan kesepakatan moral yang dilahirkan lewat suatu perdebatan kedua pihak yang terlibat secara aktif. Kesepakatan tersebut bukan hanya berdasarkan keinginan KPD semata, namun juga merupakan hasil pemikiran kubu Yayasan dan rektor serta atas dukungan penuh Radius Prawiro yang menjadi mediator. "Dalam rapat pleno, baik pengurus Yayasan maupun Rektor sangat aktif merumuskan kesepakatan itu. Bahkan Rektor John Ihalauw berkali-kali melakukan pembenahan redaksional yang berarti rektor pun mempunyai komitmen moral dengan kesepakatan Kaliurang. Dengan ditolaknya kesepakatan, kami menilai Yayasan telah beritikad tidak baik dalam menyelesaikan persoalan yang ada," ujar dekan FT ini. Lebih lanjut Ferryanto menambahkan, pembentukan predisium rektor memang tidak tercantum dalam AD/ART, tapi bukan berarti itu salah. Bagaimanapun, pembentukan presidium adalah langkah terbaik untuk menyelamatkan kampus dari situasi yang tidak menentu. "Jadi, pembentukan presidium rektor bukan inkonstitusional, melainkan langkah ekstrakonstitusional yang harus ditempuh." kata Ferryanto. KPD masih mengharap Gereja-Gereja pendiri UKSW dapat menyelesaikan kemelut UKSW, namun bila Gereja tidak berhasil, "Kami akan mengambil langkah-langkah penyelesaian sendiri," kata Ferryanto. Langkah apa? "Saya tidak bisa mengatakan kami akan mogok dan berdemonstrasi kembali. Tapi perlu diketahui, KPD mempunyai kekuatan melakukan mogok kuliah dan menggerakkan massa untuk berdemonstrasi. Dan aksi semacam itu bisa jadi muncul setiap saat," jelas Ferryanto. "Anda sudah tahu, kami bisa menghentikan PBM. Kami bisa menggerakkan massa untuk berdemonstrasi. Dari situ, apa yang dimaui, bisa kami lakukan.Kami bisa memulai, juga bisa menghentikan. Tetapi, selama tiga minggu mereka tak bisa menghentikan kami." KPD juga menjelaskan, pihaknya tidak mencabut mosi tidak percaya kepada rektor yang ditandatangani 11 senator yang mewakili tujuh fakultas dan empat unit lain. Selain itu 130 dosen aktif juga ikut menandatangani mosi itu.ii Akibat pengingkaran YPTKSW, Arief Budiman bertekad akan menggugat pengurus YPTKSW dan rektor secara perdata karena hingga tanggal 23 November rektor dan Yayasan belum melakukan langkah-langkah pencabutan SKB untuk Arief.
http://slamethdotkom.wordpress.com
136
[email protected]
"Saya telah konsultasi dengan Unit Pelayanan dan Bantuan Hukum (UPBH) dan Dekan FH, Budi Lazarusli untuk menuntuk rektor dan pengurus Yayasan ke pengadilan." kata Arief. Dasar gugatan yang diajukan adalah Perundang-undangan Perburuhan atau faktor pencemaran nama baik. Seorang kuasa hukum YPTKSW dan rektor, Djoko Oentoeng Soeropati, SH mengatakan, pihaknya siap menghadapi tuntutan Arief. Kuasa hukum yang dibentuk berdasarkan surat keputusan YPTKSW itu, menurut dia, terdiri atas empat orang. "Kami siap. Menurut saya, tugas tersebut sebenarnya merupakan tugas yang enteng." katanya ii Radius menyatakan sedih kalau ada sesuatu yang berhasil, lalu mentah lagi. "Itu merupakan pengulangan keputusan, sehingga memerlukan waktu dan memakan tenaga. Tetapi, demi proses belajar-mengajar, kita terpaksa harus melayani sebaik-baiknya," kata Radius.ii Di Jakarta hari Kamis, 24 November, Mendikbud Wardiman tidak mau mengomentari proses penyelesaian UKSW yang mentah kembali. Ia hanya menyatakan, ia masih memberikan kesempatan kepada pihak yang bertikai di UKSW untuk menyelesaikan masalahnya secara intern. Sementara itu, seperti menguatkan pendapat empat kelompok penentang presidium, Dr. John Titaley selaku wakil ketua senat UKSW saat pemilihan rektor tahun 1993-1997 berkirim surat kepada mendikbud. Surat itu ditembuskan ke 20 instansi, mulai dari presiden, ketua DPR RI, menko polkam, menhankam, pangab, muspida Jateng, sampai media massa. Dalam surat setebal lima halaman itu, Titaley mengaku terusik untuk menjelaskan proses terpilihnya John Ihalauw. Ia saat itu yang memimpin rapat Senat Universitas saat pemilihan. Dalam surat itu, ia memaparkan bahwa KPD yang menilai pemilihan rektor tidak sah tidak memiliki landasan kuat. Titaley juga menolak pembentukan presidium rektor karena menurutnya pendirian presidium rektor merupakan keputusan yang ilegal karena tidak sesuai dengan AD/ART dan PP 30/1990 yang mengatur perguruan tinggi. Bila bentuk presidium diterima, katanya, akan mempunyai konsekuensi yang sangat luas, yaitu situasi khaostis sehingga siapa bisa berbuat apa saja, asalkan bisa mengerahkan massa. "Apabila mendikbud ikut menyetujui usulan tersebut, berarti harus juga ikut bertanggung jawab dengan situasi UKSW yang ilegal itu," katanya. TItaley juga mengkritik pernyataan mendikbud yang menyambut positif pembentukan presidium. Menurutnya, tidak sepantasnya mendikbud bersikap demikian, mengakui presidium rektor tidak ada dalam PP 30 namun juga membenarkan pendirian lembaga presidium rektor itu. ii Memang KPD harus mengakui, tidak semua warga kampus UKSW menyetujui langkah mereka. Seorang alumnus menulis surat terbuka yang dimuat di Suara Merdeka edisi 7 Desember 1994. Judulnya, “Beberapa Pertanyaan kepada KPD UKSW” Demokrasi, kebenaran, dan keadilan merupakan tiga hal yang indah yang diperjuangkan KPD dalam kemelut UKSW (bila benar demokrasi, kebenaran, dan keadilan telah hilang dari peredaran kampus UKSW).
http://slamethdotkom.wordpress.com
137
[email protected]
Ketiga hal yang indah tersebut berhasil membuai mahasiswa dan dosen (sebagian besar), sehingga kelompok tersebut berhasil memperoleh dukungan mayoritas dalam lingkungankampus an menggiring opini publik/masyarakat dengan memanfaatkan keterdekatan mereka dengan pers dan nama besar mereka. Secara ideal/teoretis, apa yang tengah diperjuangkan oleh kelompok tersebut patut mendapat acungan jempol. Namun, dalam pelaksanaan perjuangannya, menimbulkan beberapa pertanyaan dalam diri saya sebagai salah seorang alumnus UKW. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain: 1. Bagaimana Anda (KPD) memperjuangkan demokrasi, sementara cara-cara yang Anda tempuh tidak mencerminkan sikap demokrat sejati? Hal ini terbukti dari ketidakmauan Anda menerima/mendengarkan pendapat lain atau pendapat yang tidak mendukung Anda. Dengan dukungan mayoritas dalam kampus, Anda memaksa agar tuntutan dipenuhi. Bukankah berarti dalam hal ini Anda telah membentuk suatu "Diktator Mayoritas"? Lantas apa bedanya Anda dengan apa yang Anda sebut dengan kekuasaan otoriter kampus? Dalam perjuangan Anda, emosi nampaknya lebih berperan daripada kapasitas intelektual Anda, seperti apa yang dilakukan dengan merobek/membakar SK PHK Arief Budiman,caci maki melalui yel-yel, dan karikatur, yang sebenarnya tidak diperlukan titel yang tinggi untuk melakukan hal itu. Juga lobbying kasak-kusuk untuk mencari dukungan. Jadi, demokrasi macam mana pula yang Anda perjuangkan? 2. Bagaimana Anda memperjuangkan kebenaran, kalau Anda tidak mau mendengarkan pendapat lain/dari pihak lain yang mungkin juga mengandung kebenaran? Bukankah kebenaran relatif sifatnya? Apa yang benar bagi Anda, belum tentu benar bagi pihak lain dan benar pula bagi masyarakat.Bahkan, belum tentu benar bagi hati nurani Anda sendiri. Lantas kebenaran macam mana pula yang Anda perjuangkan? 3. Bagaimana Anda mewujudkan keadilan, sedangkan cara-cara Anda tidak mencerminkan bahwa Anda memiliki rasa keadilan. Anda tidak memberi kesempatan bagi pihak lain mengemukakan pendapatnya. Dengan memanfaatkan keterdekatan Anda dengan pers, menyebabkan informasi yang diterima masyarakat tidak seimbang dari masing-masing pihak. Dengan dukungan mayoritas memaksakan tuntutan dengan penuh emosi, tuduhantuduhan yag belum berdasar pada kenyataan, bukankan hal tersebut merupakan wujud main hakim sendri, yang jelas-jelas menyimpang dari rasa adil/keadilan yang sedang Anda perjuangkan? Lantas keadilanmacam mana pula yang Anda perjuangkan? Jangan sampai nama KPD berubah menjadi "Kelompok Pro-Demo Emosi" atau lebih para lagi menjadi "Kelompok ProDeminasi". Marilah kita bersama-sama berdoa kepada Tuhan dengan sementara menanggalkan segala beban pikiran, petentangan di antara kita, dan berserah kepada Tuhan, karena Dialah yang empunya demokrasi, kebenaran, dan keadilan hakiki. Semoga Tuhan melimpahkan semuanya kepada kita. Amin. GVAJ Januar Pattisina Jl Osa Maliki 138 Salatiga
http://slamethdotkom.wordpress.com
138
[email protected]
Warga UKSW sadar, semua harus dimulai kembali. Pdt. Pudjo Prijatmo dari GKJ mengatakan, 15 dari 18 Gereja Pendiri dan Pendukung pada 24 November mengadakan rapat di sinode GKJ Jalan Muwardi Salatiga. Salah satu keputusan rapat itu, mengusulkan kepada pengurus YPTKSW untuk menyelenggarakan dialog dengan semua pihak yang berkepentingan di UKSW 14-15 Desember. "Gereja memandang hal itu sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah," katanya.ii Tapi, siapa yang bisa berharap bahwa pertemuan selanjutnya akan membawa UKSW ke arah perbaikan?
http://slamethdotkom.wordpress.com
139
[email protected]
BAB 11
Presidium Pernah Ada di UKSW Usai kebaktian Senin pagi, 5 April 1993, mahasiswa elektro dikejutkan dengan adanya kain hitam dan bunga di papan pengumuman FT di Gedung C. Bunga juga ditaburkan di beberapa bagian universitas. Juga ada selebaran yang berbunya: "FTJE sedang berduka cita atas kematian idealisme yang dahulu dipegang teguh dan dibanggakan.Uang telah melanda dan menginjak pengetahuan dan keilmiahan yang seharunya bebas nilai. Uang dapat membeli nilai mata kuliah." Mula-mula tak banyak yang tahu untuk apa itu, tetapi lama-kelamaan berita pun merebak bahwa aksi tabur bunga dan “penghiasan” papan pengumuman itu dilakukan oleh sejumlah mahasiswa FT.yang mnduga adanya jual-beli nilai mata kuliah dan permainan dalam penerimaan mahasiswa baru oleh John Darius Limantara, Dipl EDE, dekan FT UKSW. Aksinya hanya berlangsung setengah jam saja, tetapi kelanjutannya berlangsung berbulan-bulan. Konon, John, yang sering dipanggil JDL oleh mahasiswa dan mengajar beberapa mata kuliah seperti Teknik Komputer dan Untai Arus Searah, memasang tarif Rp250 ribu - Rp300ribu untuk setiap nilai A. "Itu telah berkali-kali dilakukan, dan kami mempunyai daftar mahasiswa yang pernah membeli nilai tersebut," ujar seorang mahasiswa angkatan '91. Selain itu, mahasiswa angkatan ’91 itu menilai ada dua dosa yang dilakukan dekan FT itu. Pertama, JDL juga sering memasang tarif bagi mahasiswa baru titipan, nilainya sampai jutaan rupiah. Sebagai dekan, JDL tentu saja dapat dengan mudah memasukkan mahasiswa baru ke fakultas tersebut. Kedua, John sering membebankan mahasiswa dengan tugas makalah, lalu makalah itu dijadikan semacam diktat dan diaku sebagai karangannya. Sesudah aksi tebar bunga yang dimuat di koran-koran itu, UKSW pun gempar. Hanya saja orang masih bertanya-tanya karena di koran pelaku pelecehan akademik ini ditulis dengan inisial: JDL.ii John Darius sendiri menyangkal adanya pelecehan intelektual di FTJE. Ia juga menyangkal adanya pemasangan tarif harga untuk mahasiswa baru. Di koran ia malah mengatakan akan memecat dosen yang terbukti memperjualbelikan nilai mata kuliah. "Bila kasus ini terbukti, dosennya akan dipecat dan mahasiswanya akan di-DO." JDL menyayangkan adanya aksi hari Senin pagi karena menurutnya, aksi itu tidak memberikan jalan keluar. Seharusnya masalah yang dihadapi mahasiswa termasuk kasus tersebut dapat dibicarakan antara pimpinan fakultas dan mahasiswa. "Kami pimpinan fakultas tetap terbuka." Aksi kembang duka cita itu, katanya, dilakukan oleh orang tidak bertanggung-jawab. Ia menilai orang-orang yang melakukan aksi hanya sekadar memanfaatkan suasanan kampus saat ini yang sedang hangat karena isu suksesi rektor dan kenaikan uang SKS.ii Situasi kampus, terutama Gedung C lantai pertama, terus menghangat. Koran-koran daerah terus berusaha melacak kasus yang saat itu tengah ditangani Unit Pelayanan dan Bantuan Hukum FH UKSW (UPBH UKSW). Tetapi, toh JDL masih tetap kuat di kursinya. Sampai kemudian, suatu hari di bulan Mei staf pengajar FT secara serempak menyatakan keberatan
http://slamethdotkom.wordpress.com
140
[email protected]
atas keterlibatan JDL sebagai penguji skripsi mahasiswa. Alasannya, JDL sedang dalam penyidikan UPBH.ii Belum selesai UPBH menjalankan tugasnya, JDL dinonaktifkan sementara. PD I Barkah Sancoyo membenarkan dekan dinonaktifkan selama dua bulan. "Ada SK rektornya." kata Barkah. Barkah mengaku ditunjuk rektor untuk sementara menjadi dekan, tapi seluruh staf pengajar FTJE telah mengusulkan kepada rektor agar dibentuk suatu presidium kedekanan untuk menjalankan tugas-tugas dekan.ii Rektor Willi Toisuta, SP PhD menyangkal penonaktifan JDL. "Tidak ada penonaktifan. Yang bersangkutan cuti sampai bulan Juni nanti," katanya. I Made Samiana, PRUMA, menjelaskan, dekan FT memang cuti karena sakit. Permohonan cuti itu dilampiri surat keterangan dokter yang menyarankan agar yang bersangkutan istirahat. Menurut Samiana, pihak pimpinan Universitas sampai saat ini masih menunggu hasil kerja tim UPBH yang meneliti dan mencari fakta menganai kasus jual-beli nilai dan kasus-kasus lainnya.ii Memang JDL minta cuti selama dua minggu, tapi oleh rektor justru diberi cuti sampai 2 bulan. Rektor memberi cuti dua bulan dengan alasan banyak suara dari mahasiswa elektro yang intinya masih menganggap kalau JDL melakukan tindakan yang tidak benar di UKSW, melakukan pelecehan nilai.ii *** Masalah itu tak hanya memunculkankeprihatinan warga FT saja. Arief Budiman dan beberapa dosen lain mengancam mogok jika kasus JDL tidak diselesaikan tuntas secepatnya. "Saya akan mogok mengajar di UKSW bila rektor tidak secepatya menyelesakan permasalahan adanya dugaan penjualan nilai di UKW ini. Pernyataan ini akan saya buktikan bila permasalahan benar-benar tidak ditangani secara tuntas." Arief juga mengatakan, bila JDL terbukti menjual nilai, rektor harus memberi sanksi sepadan, bukan asal sanksi saja. Demikian pula mahasiswa yang membelinya harus diberi sanksi berat. "Saya dan kawan-kawan bekerja demi UKSW. Kalau ada yang mencoreng tidak dikenai sanksi yang berat, bag saya tidak ada gunanya. Apakah artinya harus bertahan demi UKSW kalau ada masalah yang sangat fatal tidak diselesaikan secara total. Itu perminattan saya pada rektor yang pernah saya kemukakan secara langsung beberapa hari yang lalu." kata Arief.ii Arief bersama Ariel Heryanto dan Liek Wilardjo juga ikut menandatangani petisi yang diprakarsai mahasiswa untuk menuntut pihak pimpinan UKSW segera mengambil langkah konkrit. Setelah adanya petisi tersebut, pimpinan UKSW memerintahkan UPBH menyidik kebenaran dugaan selama ini. Sementara itu, JDL yang merasa tidak bersalah berniat menuntut pihak-pihak yang dituduhnya mencemarkan nama baiknya.ii Dan inilah hasil penyelidikan UPBH. Menurut Jerry G. Tambun, salah seorang anggota UPBH yang meneliti kasus JDL, tidak ada bukti yang kuat. Bukti petunjuk pun tidak ada, katanya. Apa yang dimaksud bukti dan petunjuk?
http://slamethdotkom.wordpress.com
141
[email protected]
"Kalau bukti itu misalnya kuitansi. Petunjuknya bisa orang yang melihat saat penyerahan kuitansi atau setidak-tidaknya tahu perihal kuitansi tersebut," lanjut Jerry yang menganggap setiap penyuapan baru terbukti bila ada kuitansi. Menanggapi suara yang menginginkan pembentukan tim untuk menilai hasil kerja UPBH, Jerry tidak keberatan. Tim UPBH siap adu argumentasi menganai hasil penelitian yang mungkin mengecewakan beberapa pihak. Namun, Jerry meminta agar semua jangan berangkat dari rasa apriori. "Tim melakukan pencarian fakta dalam hubungan secara kedinasan, bukan untuk mengadili seseorang. Jadi, tim bekerja dalam konteks administratif," tegasnya. Menurutnya, tim hanya melaporkan hasil penelitian, keputusan sepenuhnya ada di tangan pimpinan Universitas.ii Secara resmi hasil kerja tim pencari fakta kasus jual beli nilai di FT UKSW Salatiga pada 11 Juni dibeberkan. Menurut Haryanto, ketua tim, dua tuduhan utama, yakni jual-beli nilai dan menerima suap dalam penerimaan mahasiswa baru tidak terbukti. "Tim hanya menemukan bukti bahwa yang bersangkutan pernah menjiplak hasil karya mahasiswanya. Indikasi inilah yang dapat dijadikan alasan untuk menjatuhkan sanksi," tambahnya. Anggota tim lain adalah Jerry Tambun dan Heru Hiswanto.ii Hasil penyelidikan UPBH ini tentu saja mengecewakan banyak pihak. Bahkan, PD I FSM Hendra Kurnia sejak awal Juni selama dua minggu melakukan mogok kerja. Ia akan masuk kembali bila kasus pelecehan nilai itu selesai dan yang bersangkutan diberi ganjaran yang sepadan. Hendra mengatakan, sebagai alumnus FTJE, ia merasa malu.ii Akhirnya, Rektor lewat SK Rektor Nomor 081/Kep/Rek/1993 tanggal 16 Juni 1993 mencopot JDL dari jabatan dekan FTJE. JDL dinilai melakukan pelecehan berbagai norma akademik. Sebagai hukumannya, JDL dalam satu semester diserahkan dalam pembinaan Universitas. Selain itu, JDL juga diwajibkan membuat laporan resmi selama menjabat dekan 1992/1993. Laporan kedekanannya harus sudah diserahkan ke rektor palng lambat 15 Juli 1993. Senat Mahasiswa dan BPM FT serta UPBH kecewa dengan keputusan itu karena, kata mereka, menurut hasil rapat beberapa hari sebelumnya antara rektor dan UPBH, JDL akan diberhentikan dari UKSW selama dua semester, tapi kenyataannya hanya satu semester.ii Lalu, siapa yang akan menempati posisi sebagai dekan FT? Untuk sementara, jabatan dekan FTjE diserahkan kepada sebuah Presidium Kedekanan yang dibentuk rektor.ii Setelah diberi sanksi oleh rektor, apakah JDL mengakui perbuatannya? Tentang tuduhan bahwa dirinya mengatasnamakan karya mahasiswa menjadi diktat hasil karyanya, JDL menyatakan, di UKSW belum ada ketentuan apa itu yang namanya diktat dan buku. "Untuk diktat yang dipermasalahkan tersebut, memang karya mahasiswa," akunya. "Tetapi, kalau kita mau mengkaji secara teliti bahwa diktat tersebut sebenarnya merupakan cuplikan dari teks book, sehingga bisa dikatakan isi diktat tersebut sebagian merupakan hasil kuliah saya, yang kemudian dijadikan bahasan seminar mahasiswa melalui bimbingan saya," tambah JDL. Berbagai kumpulan bahan seminar itu lantas dijilidnya sehingga berbentuk diktat, bukan buku, "Sebab kriteria buku pasti ada penerbitnya, daftar pustaka, dan sebagainya.Sedangkan khusus untuk diktat, ketentuan untuk membuat buku itu tidak ada sama sekali," ujarnya. Merasa tidak puas, JDL juga akan menuntut Senat Universitas merehabilitas namanya. "Tuduhan Senat Universitas tanpa disertai bukti otentik secara tertulis," katanya. Menurutnya,
http://slamethdotkom.wordpress.com
142
[email protected]
sebelum ada keputusan dari pimpinan universitas, semestinya Senat Universitas tidak secara langsung memberikan pendapatnya yang kemudian berakibat tercemarnya nama baiknya. Menurut JDL, Tim UPBH UKSW saja tidak menemukan bukti jual-beli nilai, tetapi Senat Universitas secara langsung menyatakan dirinya melakukan kesalahan, padahal Senat Universitas juga tidak bisa memberikan bukti. "Saya merasa terpojok akibat munculnya pernyataan tersebut," kata JDL.ii Jerry Gabriel Tambun, salah seorang tim UPBH, mengatakan, yang perlu diketahui JDL yakni tuntutan yang pernah dia sampaikan itu salah alamat. Kalau mau menuntut, jangan ke Senat UKSW, tapi Senat FTJE, sebab selama ini Senat UKSW hanya mendapatkan laporan saja. Dalam hal ini LK-nya. Jadi, jangan ke Senat UKW. Itu salah alamat. Senat UKSW tugasnya memutuskan laporan dan penelitian. Jerry mengemukakan, meskipun isu penjualan nilai itu tidak adanya bukti yang kuat seperti adanya kuitansi, tapi indikasi ke arah itu jelas ada dan ini cukup kuat.ii *** Ketua Sema FT Mien Setiawan dan ketua BPMF FTJE Eddy Wie mengadu ke Ketua BPMU UKSW Theofransus Litay karena akan digugat JDL dengan tuduhan mencemarkan nama baikii. Tuntutan JDL itu, entah kenapa, akhirnya memang urung dilaksanakan. Enam bulan kemudian, ketika masa skorsing JDL berakhir, JDL ditolak mengajar lagi di FTJE. Dekan FT yang baru, Dr. Ferryanto, menyatakan. "Kami tetap menolak meskipun nanti pihak Universitas memaksakan kehendak, sebab selama ini citra FTJE menjadi buruk lantaran adanya dugaan manipulasi nilai." ii
Sampai bertahun-tahun kemudian, JDL memang tidak pernah kembali ke FTJE lagi.
http://slamethdotkom.wordpress.com
143
[email protected]
BAB 12
Kekerasan
Senin, 28 November 1994 konflik UKSW memasuki babak baru: babak kekerasan. Indikasi ke arah itu dimulai pada pagi harinya ketika sejumlah anggota Satkam menyobeki undangan FT yang tertempel di pohon dan ruang kelas. Saat Ketua Sema FT Anindita mempertanyakan tindakan itu, Kepala Satkam yang baru, Widodo, menjawab bahwa penempelan itu melanggar peraturan dan tidak mendapat izin dari pimpinan. Waktu dijelaskan bahwa itu undangan resmi Fakultas Teknik, suasana memanas dan seseorang yang berada di sana mengumpat, "Ferryanto kon mrene!" Akhirnya mahasiswa menyebar undangan dari tangan ke tangan.ii Pagi itu juga John Ihalauw dan Yayasan melakukan sosialisasi SK Yayasan No. 288/A/YSW/1994 yang berisi 4 hal. Pertama, menegakkan kembali keabsahan status dan fungsi rektorat masa bakti 1993-1997. Kedua, menugaskan rektor mengamankan pelaksanaan keputusan itu. Ketiga, penegasan bahwa pembentukan presidium tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keempat, bila ternyata ada kekeliruan dalam keputusan ini, segera akan dilakukan perbaikan. Sayangnya, dari sekitar 300 pengajar UKSW, hanya 75-an orang yang menghadiri forum terbuka dari rektor. Pengajar lain lebih suka bergabung dengan forum KPD yang dilangsungkan pada saat yang sama. Di semua fakultas, kecuali FE, para pimpinan fakultas menjelaskan bahwa sivitas akademika menolak SK Yayasan No. 288/A/YSW/1994. Sekitar pukul 11.00, usai forum terbuka, dosen dan mahasiswa KPD bergabung di Bukit Demokrasi. Acara di situ adalah pembakaran SK Yayasan yang mereka tolak. Sebuah tong telah disediakan untuk niat tersebut. Saat Ferryanto akan memulai acara, tiba-tiba saja Kepala Satkam Widodo mendekatinya dan berusaha merebut megafon. Beberapa mahasiswa berusaha menghalangi Widodo, namun Widodo tetap memegangi tali megafon yang menggantung di leher Ferryanto. Seorang mahasiswa berusaha melepaskan pegangan itu dengan berteriak, "Hai, barang mahal ini!" Kalah tenaga, Widodo lantas mendorong kerumunan di sekitarnya. Saat keributan kecil itu terjadi, para mahasiswa saling menyeletuk, "Foto saja, foto saja!" Anehnya para anggota Satkam tampak takut dan mundur beberapa langkah. Setelah itu, Ferryanto berbicara tanpa megafon. "Saya tidak tahu mau bicara apa. Selama satu bulan ini kita mampu membuktikan bahwa kita dapat melakukan aksi tanpa keonaran. Bahkan, kita tidak pernah sekali pun menjawil orang lain. Peristiwa hari ini jelas-jelas menunjukkan bahwa kitalah yang berusaha menyelamatkan UKSW. Kitalah UKSW!" Pekik Ferryanto ini segera disambut gemuruh tepuk tangan seluruh mahasiswa dan dosen. Namun, massa yang sudah kembali tenang dikejutkan oleh ulah Widodo yang tiba-tiba berlari ke arah tong yang akan digunakan untuk tempat membakar SK Yayasan. Widodo menendang tong itu keras-keras hingga mengenai kaki seorang mahasiswa. Massa terperanjat dan keadaan hampir tidak terkontrol, siap mengamuk. Widodo terancam babak-belur. Saat itu juga ada mahasiswa yang berkomentar keras-keras, "Vid, udah terekam belum,
http://slamethdotkom.wordpress.com
144
[email protected]
tuh?" Seketika perhatian massa beralih ke atas bukit dan tampaklah David, mahasiswa FT angkatan 1991, yang sedang membidikkan handycam-nya. Orang-orang tertawa dan ketegangan cair seketika. Widodo tampak marah dan malu. Ia langsung menyingkir ketika kamera-kamera dijepretkan. Secara spontan massa menyanyikan Mars Satya Wacana. Lagu itu terdengar gegap gempita dan mengharukan. Setelah itu dilakukan acara singkat pembakaran SK. Ketika massa sudah mulai meninggalkan lokasi, seorang anggota Satkam berlari kepayahan mengangkat selang hidran dari Gedung F. Maksud hati ingin membubarkan massa dengan menyemprotkan air, anggota Satkam itu terpaksa menelan malu ketika mendapatkan selang itu bocor sehingga air yang seharusnya mengalir deras hanya membentuk pancuranpancuran kecil di tengah lapangan. Massa bertepuk tangan dengan gembira.ii Tanda-tanda kekerasan berlanjut pada hari berikutnya. Hari Selasa, 29 November pagi, ketika sedang membagi-bagikan Suara Demokrasi, Danang dihampiri oleh Widodo. Kepala Satkam baru itu mencoba merebut buletin yang dibawa Danang. Widodo juga menantang Danang berkelahi. Katanya, "Saya siap buka baju untuk menghadapi Anda!" Tantangan itu tidak digubris, namun Widodo mengancam untuk menganiaya Danang di luar kampus. Tampaknya Widodo keberatan atas berita Suara Demokrasi hari itu tentang 17 anggota satkam yang menerima insentif dari John Ihalauw bila mau melakukan aksi kekerasan. Pukul 15.00, ditemani mahasiswa PPs-SP Idrus, Danang datang ke BARA untuk menjernihkan masalah. Danang juga menjelaskan tentang hak jawab, sehingga bila ada isi Suara Demokrasi yang dianggap tak benar, Widodo berhak membantah dalam edisi berikutnya. Menanggapi keterangan itu, Widodo menendang sebuah meja hingga melukai kaki pemimpin redaksi Suara Demokrasi itu. Kemudian Danang melaporkan masalah itu ke Polres.ii Langkah KPD berikutnya adalah mengadakan acara Dies Natalis ke-38 di lapangan sepakbola kampus. Sebuah panitia telah terbentuk. Koordinator dies versi KPD, Widiastomo WW, sudah menyebarkan undangan kepada segenap sivitas akademika guna menghadiri kegiatan tersebut. John Ihalauw juga diundang, tapi dalam kapasitasnya sebagai dosen FE, bukan sebagai rektor. Acara dies versi KPD ada tiga, kebaktian ucapan syukur, upacara nasional, serta sambutan. Yang ingin hadir diharapkan membawa koran bekas, topi, dan payung sendiri. Menanggapi adanya rencana perayaan dies versi KPD tersebut, rektor mengatakan, "Tidak ada yang namanya dies tandingan. Saya katakan itu gelap." Karena itu, ia memberikan penjelasan melalui suratnya yang bertuliskan "amat segera". Intinya, JOI menyatakan bahwa akhir-akhir ini beredar selebaran yang isinya seolah-olah Dies Ke-38 UKSW akan diselenggarakan di lapangan sepakbola. "Perlu ditegaskan, selebaran itu gelap dan bertujuan nyata-nyata untuk mengacau serta mengganggu ketertiban umum dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, khususnya keluarga besar UKSW," tulis rektor. Acara dies yang resmi, katanya, berlangsung di BU pada hari Rabu, 30 November 1994. JOI juga telah menulis surat teguran kepada Widyastomo pada tanggal 28 November. Menurut JOI, pimpinan UKSW telah mengumumkan dalam buletin Satya Wacana edisi 21 November bahwa pimpinan UKSW mengangkat panitia dies yang tertuang dalam SK rektor No. 177/KEP/1994 tanggal 12 Oktober 1994 dan dalam SK tersebut tidak ada nama Widyastomo.
http://slamethdotkom.wordpress.com
145
[email protected]
Dalam SK Rektor No. 177/KEP./REK./1994 yang diangkat sebagai ketua panitia dies adalah LJH Acharias. Wakil ketua dijabat Caecilia Triwahyanti, sekretaris I Ferry Revino, sekretaris II Elisabeth Lawira, bendahara Annie Ihalauw, dan dokumentasi Agus Rahardi. Terhadap tuduhan bahwa undangan yang disebarkan KPD adalah selebaran gelap, Ferryanto mengatakan bahwa SK Pengangkatan Widyastomo sebagai ketua panitia dies ditandatangani dan dicap oleh 11 unit, jadi sah. Ferryanto juga menolak jika dies KPD disebut dies tandingan. "Ini dies yang resmi karena kita yang UKSW. Mereka yang tandingan."ii Acara dies sebelumnya tak pernah istimewa. Peringatan hari ulang tahun UKSW itu pada tahun-tahun sebelumnya hanya merupakan acara seremonial yang nyaris tanpa arti. Sudah merupakan sesuatu yang rutin, yang kalau tidak diadakan akan terasa aneh. Tetapi, kali ini dies mempunyai arti strategis. KPD memanfaatkannya untuk menunjukkan eksistensi mereka, sedangkan bagi rektor dan pengurus Yayasan, dies kali ini untuk membuktikan bahwa merekalah penguasa yang sah. Penyelenggaraan acara dies jadi penting bagi pimpinan UKSW. Tak ada pihak lain yang boleh menyelenggarakannya. KPD berusaha menghindari terjadinya kekerasan, makanya mereka mempertimbangkan kembali tempat pelaksanaan dies. Harus dicari tempat strategis yang sedikit terisolasi sehingga dies itu tidak gampang diserang. Akhirnya diputuskan, dies tak mungkin diselenggarakan di lapangan sepakbola. Lalu di mana? Masih rahasia. Sehari menjelang dies KPD tampak sangat sibuk. Di gedung FSM berlangsung pertemuan antara dosen dan mahasiswa, tetapi mereka sengaja tidak merinci rencana lebih lanjut. Mereka khawatir ada mata-mata di sana. Rapat penyelenggaraan dies KPD sesungguhnya dilakukan pada pukul 7 malam di Jalan Imam Bonjol 82. Sekitar 100 mahasiswa dari semua fakultas berkumpul. Tak sembarang orang boleh datang, hanya yang dipercayai yang diundang, itu pun dengan undangan yang disebarkan dari mulut ke mulut. Danang yang punya masalah dengan Satkam ada di sana. Begitu pula Widyastomo, dosen muda ketua panitia dies KPD yang merasa terancam. Ia tampak bingung dan sedikit pucat. Suparto, kepala Satkam yang telah dicopot, diundang untuk membicarakan masalah keamanan. Ia memberi banyak informasi mengenai soal keamanan di kampus. Walaupun sudah turun jabatan, Suparto masih punya pengaruh cukup besar di kalangan petugas keamanan kampus. Ia juga punya orang-orang yang bersedia memberikan informasi. Koordinator keamanan Indra Budiman semula mengusulkan agar dies KPD diadakan di depan Pusat Bahasa. Dosen FH ini merasa lapangan sepakbola terlalu terbuka. Namun, karena di undangan sudah ditulis bahwa dies KPD akan diadakan di lapangan sepakbola, mereka pun membicarakan strategi pengamanan. Tiba-tiba datang Jorge, mahasiswa FP yang juga aktivis Yayasan Geni, dengan sepeda motor yang berhasil dipinjamnya. Ia membawa kabar mengejutkan. Widodo dan 14 anggota Satkam kampus lainnya ditambah sejumlah pemuda tak dikenal mendatangi Yayasan Geni naik sepeda motor. Mereka mencari Danang. Tampaknya mereka tidak bersahabat, lapor Jorge. Mereka tampaknya mempersoalkan tulisan di Suara Demokrasi. Dalam tulisan itu, Suara Demokrasi melaporkan bahwa JOI memberikan insentif kepada sejumlah petugas keamanan
http://slamethdotkom.wordpress.com
146
[email protected]
kampus agar mau bertindak. Mendengar laporan Jorge, mahasiswa menjadi cemas, sebagian lagi naik pitam. Suparto juga ikut panas. Ia mengumpulkan mahasiswa. Katanya, mereka harus menghadapi orang-orang yang mendatangi Yayasan Geni. Sekarang. Sekitar 20 sukarelawan bersedia datang ke Geni, dengan risiko dipukuli. Tak semua berbadan besar. Salah satu sukarelawan adalah Eddy Wie, pemuda ceking berkacamata yang pasti bisa dijatuhkan dengan mudah oleh orang yang berlatih bela diri. Ketika hampir berangkat, datang lagi mahasiswa mengabarkan perkembangan yang terjadi. Gagal menemukan Danang, Widodo dan kawan-kawan berkonvoi mendatangi rumah Ferryanto. Ferryanto dalam bahaya. Mereka langsung membatalkan rencana ke Yayasan Geni. Dua orang berboncengan melapor polisi. Sementara itu dalam waktu bersamaan Budi dan Eddy Wie bersepeda motor mencari bantuan. Tujuan mereka adalah menelepon Ferry. Mereka ngebut ke Kentucky Fried Chicken Jalan Diponegoro. Di sana ada pesawat telepon kartu. Seorang gadis yang tengah menelepon memberikan kesempatan melihat wajah mereka yang pucat. Budi menekan tombol: 24449. Ferry sendiri yang mengangkat. Ferry mengenali suara bergetar itu. "Saya mau dibunuh, Bud," kata Ferryanto. Tapi suaranya tetap tenang, tak ada getaran sedikit pun. Atau mungkin pula Budi yang terlalu bergetar untuk menangkap getaran lawan bicaranya. "Pak, Bapak jangan ke mana-mana. Kita sudah memanggil polisi. Apa mereka sudah datang?" "Belum. Tapi mereka sudah pergi." jawab Ferryanto. Mereka yang dimaksud Ferryanto adalah gerombolan Satkam yang dipimpin Widodo serta beberapa pemuda lain yang tidak dikenal. Budi dan Eddy berpandang-pandangan dengan bingung. Polisi belum datang, padahal mereka sudah melapor sejak tadi. Apa mungkin polisi tidak mempercayai para mahasiswa pelapor? Ataukah polisi yang tidak bisa dipercayai? "Ayo ke Arief," ajak Eddy Wie. Budi pun melarikan Honda bebeknya ke rumah Arief Budiman. Saat itu pukul sepuluh malam, Salatiga sudah sangat sepi. Mereka berharap polisi mau mendengarkan Arief. Dua menit kemudian mereka sampai di rumah Arief yang pekarangannya besar itu. Mereka disambut bebek-bebek penjaga. Sejenak keduanya mengagumi suara nyaring bebek-bebek itu. Luar biasa, mereka berfungsi persis seperti anjing penjaga. Arief keluar dengan bersarung. "Saya sudah dengar. Saya juga sudah menelepon polisi." kata Arief. Kabar rumah Ferry diserbu rupanya sudah menyebar ke mana-mana sekarang. Menurut Arief, rumah kontrakan Widyastomo juga didatangi orang dan dilempari batu. Budi dan Eddy kembali ke Jalan Imam Bonjol, kemudian Budi dan Jorge berusaha mengecek apakah polisi telah datang ke rumah Ferryanto. Kemudian Budi dan Jorge datang ke rumah Ferryanto. Di sana sudah ada tiga mahasiswa dan Marcellino, wartawan Forum Keadilan yang saat Widodo cs datang sedang mewawancarai Ferryanto. Saat itu Ferryanto sudah mengungsikan istrinya Ningsih dan putranya ke Semarang. Ferryanto memang baru saja dikaruniai anak pertama yang mereka namai Ersta. Artinya, pertama dalam bahasa Jerman.
http://slamethdotkom.wordpress.com
147
[email protected]
Menurut Ferryanto, Widodo dan rombongannya datang untuk meminta pertanggungjawabannya mengenai isi Suara Demokrasi. Ferryanto menjelaskan bahwa buletin itu diterbitkan oleh sebelas unit, dan bukan dia penanggung jawabnya. Widodo tampak siap untuk melakukan kekerasan, namun untung ada Marcellino. Marcellino ini kebetulan orang Timtim. Dia juga yang berbicara dalam bahasa 'sana' kepada orang-orang yang kebetulan berasal dari tempat yang sama. Ia berhasil menenangkan pemudapemuda yang menyertai Widodo. Widodo jadi tidak punya alasan untuk langsung memukul. Beberapa mahasiswa lagi datang ke rumah Ferryanto. Mereka mengobrol dan telepon terus saja berdering. Kebanyakan para dosen KPD yang ingin tahu apa yang terjadi dan yang mengkhawatirkan keselamatan Ferryanto. Berita yang paling kecil pun beredar cepat di Salatiga. Salah satu telepon mengabarkan berita buruk. Telepon itu dari Tjahjakartana yang mengabarkan bahwa pengurus Yayasan yang lama masih menguasai kepengurusan yang baru. Ferryanto sangat terpukul. Semula ia dan teman-teman mengharapkan masalah UKSW bisa diselesaikan dengan pergantian pengurus. Beban tidak terdistribusi secara merata dan Ferryanto memikul bagian yang paling besar saat itu. Berita itu membuatnya menangis di depan tamu-tamunya. Suasana sangat hening. Salah satu ujung tombak KPD mentalnya down. Tampaknya Ferryanto akan menyerah. Yang lebih mengejutkan, Haryono Semangun, mantan Ketua YPTKSW yang sudah ditarik oleh Gerejanya, masuk kembali ke YPTKSW sebagai ketua I. Ia masuk sebagai tenaga pakar. Anggaran Dasar YPTKSW memang mengizinkan sejumlah tenaga pakar yang dipilih oleh wakilwakil Gereja. Tidak hanya Ferryanto yang menitikkan air mata. Beberapa dosen senior yang berharap banyak pada susunan pengurus YPTKSW yang baru juga sama terpukulnya. Budi dan Jorge kembali lagi ke Imam Bonjol. Pertemuan sudah selesai tanpa mereka ketahui hasilnya. Mereka tidak memberitahu orang-orang di Imam Bonjol mengenai struktur YPTKSW yang baru agar orang-orang yang baru selesai rapat itu tidak kecewa dan agar semangat mereka tetap tinggi. Lalu, Jefrry, Eddy Wie, dan Budi kembali lagi ke rumah Ferryanto. Mereka memutuskan untuk menginap di situ menemani Ferryanto. Ferryanto yang rumahnya selalu rapi itu tidak menolak. Ada tiga kamar, dan dua kosong. Sebelum semuanya masuk kamar, telepon berdering. Dari intel, aku penelepon itu. Ferryanto meladeni dengan baik. Intel itu bertanya apakah semua aman-aman saja. Ia juga bertanya apakah Ferryanto akan hadir di acara dies besok. Ferryanto menjawab, ia tidak tahu. Teman-teman dosen yang lain akan dimintai pendapatnya dulu. Selesai menerima telepon Ferryanto tersenyum geli. Ia sempat merekam telepon itu dengan alat kecil yang canggih. Cukup menempelkan alat itu ke gagang telepon dan menghubungkannya ke tape kecil untuk merekam percakapan telepon. Yang aneh, logat "intel" tadi seperti orang dari Indonesia bagian timur. Mana ada di Salatiga ini intel yang dari Indonesia bagian timur? Aneh juga, mengapa intel itu ingin tahu apakah Ferryanto akan hadir besok. Mereka pun berkesimpulan, penelepon itu intel palsu. Obrolan dilanjutkan. Marcellino ditanyai banyak hal mengenai kewartawanan dan gosip-gosip terbaru di Jakarta. Tengah malam Indra Budiman kembali ke Imam Bonjol 82 dan membangunkan Widyastomo yang malam itu tidak berani pulang ke kosnya. Indra memaksa agar acara dies
http://slamethdotkom.wordpress.com
148
[email protected]
dipindah ke Gedung C. Kalau tidak, Indra tidak mau jadi koordinator keamanan acara itu. Sesudah itu Indra menemui Samiana, mantan PR III, di Blotongan. Samiana setuju dengan usul dosen muda kelahiran 1957 itu. *** Pukul 5.50 ketika mereka semua sudah bangun, Ferryanto mendapat telepon dari Tjahjakartana, menanyakan apakah ia tetap akan datang. Kalau Ferryanto tidak datang, maka ketua unit yang lain pun akan tinggal di rumah dan acara dies akan gagal. Ferryanto sendiri tidak tahu pasti mengapa semua orang jadi bergantung padanya. Mungkin karena penyelenggara dan panitia dies versi KPD itu adalah dosen dan mahasiswa FT. Atau mungkin pula FT dianggap ujung tombak di KPD karena FT paling kompak dan tegar. Hal ini rupanya juga terbaca oleh si intel palsu tadi malam. Kalau Ferryanto tidak datang, acara dies KPD pasti batal. Ferryanto ragu-ragu, tetapi para mahasiswa mendesaknya, acara dies harus tetap dilaksanakan. Keraguan Ferryanto sirna dan dia memang datang. KPD menyelenggarakan acara Dies Natalis UKSW ke-38 di dalam Gedung C. Acara ini menarik jauh lebih banyak minat dibandingkan acara serupa yang diselenggarakan pihak rektorat di BU. Yang hadir di BU kebanyakan dosen FE dan guru-guru Sekolah Laboratorium Satya Wacana yang masuk daftar undangan. Acara di Gedung C dimulai pada pukul sembilan lewat beberapa menit. Acara itu terkesan sangat sederhana. Gedung C disebut gedung hanya untuk formalitas saja. Sesungguhnya bangunan dua lantai ini adalah kompleks kantor, ruang kelas, dan laboratorium yang sudah tua. Di tengah bangunan terhampar lapangan luas beratap langit. Lapangan ini jadi terasa sesak karena dipenuhi pohon, kandang hewan, serta tanaman percobaan. Ada sebuah kolam ikan di pojok tempat mahasiswa FT menceburkan rekan mereka yang baru lulus dan mahasiswa baru. Atau, biasanya kalau suhu di Salatiga lagi tinggi-tingginya, tempat menceburkan rekan mereka yang rasanya pantas bergabung dengan ikan-ikan di sana. Hari itu orang memenuhi lapangan dan seluruh bagian Gedung C yang bisa dipijak. Acara itu dibuka dengan kebaktian. Hadir dalam acara istimewa itu 11 ketua unit di UKSW, ditambah dosen-dosen senior seperti Wahyo, George Aditjondro, Arief dan Leila Budiman, serta Pdt. Broto Semedi. Dosen-dosen KPD yang tidak sedang sakit tentu ada di sana juga. Lebih dari seribu pengunjung memadati lantai satu dan dua gedung itu. Jumlah itu terus bertambah karena banyak hadirin yang semula datang ke BU bergabung dengan mereka yang ada di Gedung C. Beberapa menit setelah acara dimulai, listrik mati. Pihak panitia yang sudah merasa kalau acara mereka akan disabotase sudah mempersiapkan generator. Begitu listrik nyala kembali, hadirin dikejutkan oleh kehadiran beberapa anggota Satkam dengan tiba-tiba. Mereka tidak melakukan apa-apa, karenanya acara pun dilanjutkan. Ketika acara sudah berlangsung kira-kira satu setengah jam dan dosen FSM Dessy Sigilipu sudah berdiri di depan podium siap menyumbangkan lagu, tiba-tiba masuk Widodo dan beberapa rekannya. Mereka minta acara itu dihentikan. George Aditjondro berusaha menenangkan Widodo. Tidak berhasil. Widodo tetap berkeras acara harus dibubarkan. Anindita, ketua Sema FT, menyatakan akan mentaati perintah itu. Namun, entah karena emosi atau karena sudah diinstruksikan untuk membuat keributan, Widodo tiba-tiba berusaha
http://slamethdotkom.wordpress.com
149
[email protected]
merebut mike. Saat itu seorang dosen perempuan sedang menyanyikan sebuah lagu dari Tapanuli. Hadirin pasrah, mereka berpikir acara sudah akan berakhir di sini. Tiba-tiba Eddy Wie berteriak. "Pagar betis! Pagar betis!" Spontan belasan mahasiswa yang berada di dekat podium membuat pagar betis dua lapis dengan cara mengaitkan lengan mereka dengan lengan orang di sebelah. Mereka melingkari dosen tersebut dengan radius 1 meter. Ini terbukti efektif untuk melindunginya dari kekerasan dan menjaga acara tetap berlangsung. Suasana saat itu benar-benar mencekam dan mengharukan karena hadirin tak menduga akan ada aksi kekerasan seperti itu. Dessy sendiri tak kuasa menahan rasa harunya. Sambil memejamkan matanya yang berlinangan air mata, istri Halomoan itu terus bernyanyi dengan suara bergetar. Mahasiswa-mahasiswa yang mengelilinginya terus bersiaga. Seorang mahasiswa FT yang berkulit hitam dan berbadan kekar yang menjadi pagar betis mengedipngedipkan matanya. Namun, air matanya mengucur juga. Otto, mahasiswa FE yang ikut hadir, merasa seperti tersihir sehingga tak bisa bergerak. Hadiri di lantai satu dan dua serentak bertepuk tangan memberi dukungan. Mereka secara spontan mengumandangkan Mars Satya Wacana. Satya Wacana Satya Wacana. Hiduplah garba ilmiah kita. Mengabdi TUhan, Greja, dan Bangsa Proklamasikan Krajaan Sorga. Bela k'adilan, Bela kebnaran, Pantang mundur maju perkasa Bina negara, Hamba Allahnya, Amalkan hikmat Pancasila. Kendati berhasil melindungi podium, beberapa mahasiswa yang turut membuat pagar betis mendapat pukulan dari belakang. Tindak pemukulan pun terjadi di dekat gerbang Gedung C. Pemukulan ini dilakukan orang-orang tak dikenal. Tak satu pun pukulan dibalas. Selesai acara, hadirin tidak bisa langsung pulang karena pintu Gedung C sengaja dikunci agar mereka tidak diserbu masuk. Mereka khawatir akan menjadi korban pemukulan bila mereka keluar. Dosen-dosen baru bisa pulang dengna mendapat pengawalan para petugas dari Polres, Kodim, dan Korem. Kendati begitu, orang-orang berbadan kekar yang masih menunggu di luar mengancam Arief Budiman saat Arief berjalan keluar. Saat pulang Arief dikawal 6 orang petugas. Ferryanto juga dikawal beberapa polisi dan diajak keluar lewat belakang kampus, menembus bagian belakang gedung perpustakaan baru dan gedung SD. Di sana sudah ada mobil menunggu. Ferryanto diantar ke rumah untuk mengambil pakaian. Sesuai saran polisi, Ferryanto lalu meninggalkan Salatiga untuk beberapa hari. Siapa pemuda-pemuda kekar dari luar kampus yang meneror dan mengancam dosen serta mahasiswa KPD? Benarkan mereka sengaja diundang oleh Yayasan dan rektor? “Saya tidak tahu ada tindak kekerasan, jadi saya tidak bisa memberi komentar,” ujar John Ihalauw.ii ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
150
[email protected]
Sorenya dalam wawancara untuk berita BBC pukul 6, Witjaksana meminta mendikbud untuk segera ikut campur tangan menyelesaikan masalah UKSW karena konflik itu sudah mengarah pada tindak kekerasan. Danang yang sedang bersembunyi di rumah dosen FSM ini manggut-manggut setuju dengan wawancara Witjaksana. Walaupun cemas, ia berusaha tampak ceria. Tapi Danang menolak untuk ikut serta ke rumah Dekan FP Rukmadi pada pukul 7 malamnya. Lebih baik ia tetap tinggal di situ, katanya. Lagipula, rumah Witjaksana pun kosong karena istri dan anaknya sudah diungsikan. Para mahasiswa lain tidak bisa berlaku arif seperti Danang. Mereka tidak bisa menolak undangan makan gratis di rumah Rukmadi malam itu walaupun mereka tidak tahu apa yang hendak dirayakan. Pihak-pihak yang bertikai bertemu muka pada tanggal 2 Desember malam. Kali ini di rumah dinas Danrem 073/Makutarama Kolonel Art.Ign. Mulyono di Jalan Diponegoro Salatiga. Acaranya, "Silaturahmi antara Muspida dan Sivitas Akademika UKSW". Dari kelompok Yayasan/rektor muncul Julius Saludung, JOI, keempat PR, John Titaley, Dekan FE Rooskities Andadari, dan sejumlah dosen FE lainnya. Dari kubu KPD hadir Ferryanto, Pradjarta, Nico L. Kana, Limson, Budi Lazarusli, Rukmadi, Nugroho Adhi, I Made Markus, Indra Budiman, Endro Sulistyo Eklas, dan lainnya. Turut diundang Muspida Salatiga, Ketua DPRD Rupa Ginting, dan beberapa anggota DPRD. JOI tampak berbincang akrab dengan KH Timotius dan pertemuan berjalan lancar berkat keramahan tuan rumah. Mulyono tampak akrab dengan semua tamunya. JOI, seperti biasa, tampil ramah dan mengesankan. Bahkan JOI menyumbangkan lagu untuk menghibur hadirin. Namun, permusuhan tidak bisa disembunyikan dengan sempurna. Itu terlihat dari tempat duduk undangan dari UKSW. Para dosen FE duduk dengan rekannya sendiri, sementara KPD membentuk kelompok sendiri pula. Hanya Marten Ndoen yang membaur dengan dosendosen KPD. Dalam sambutannya, JOI mengatakan bahwa Ign Mulyono datang di kota Salatiga pada saat yang tepat. Sebab, bersamaan dengan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Soeyono yang berceramah di kampus UKSW. "Selain itu, Bapak datang di Salatiga ketika kampus UKSW hirukpikuk," kata JOI sembari meminta maaf kepada Danrem dan Muspida Salatiga. "Selama 1,5 tahun ini UKSW hiruk-pikuk, sehingga menambah kesibukan Bapak-Bapak. Karena itu, kami mohon maaf." Tuan rumah menyampaikan pesan melalui perumpamaan kepada tamu UKSW-nya. Arah ucapannya kadang-kadang sulit diterka sehingga banyak yang harus mendengarkan dengan saksama. "Semoga kita yang berkumpul di rumah ini mendapatkan berkah dari Tuhan," katanya pada akhir sambutan. Dia menyatakan itu karena rumah dinasnya pernah ditinggali Danrem Makutarama pertama Letkol Soeharto yang sekarang menjadi presiden RI.ii Memang, karier Letkol Soeharto menanjak cepat dan jabatan sebagai presiden pun sangat langgeng. Bisa jadi karena berkah rumah dinas di Salatiga itu. Bagi dosen KPD, pertemuan itu sama sekali tidak mengesankan. Mereka datang hanya untuk menghormati tuan rumah semata. Mereka pun pulang bersama-sama.
http://slamethdotkom.wordpress.com
151
[email protected]
*** Kemelut UKSW tampaknya akan berkepanjangan. Ketua YPTKSW Salatiga yang baru, Pdt. Sri Wismoady Wahono, Phd, mengaku belum mempunyai program untuk mengatasi kemelut di yayasan tersebut. "Saya masih belum bisa menemui teman-teman yang lain karena sibuk, sehingga belum bisa menentukan program," katanya Sabtu, 3 Desember. Untuk menyusun program umum pengelolaan Yayasan, ia perlu mendapat masukan dari pengurus yang lain dan semua sivitas akademika yang terlibat. "Begitu juga untuk menyusun program penyelesaian kemelut di UKSW, perlu pengkajian secara saksama dan penyelesaiannya juga perlu lebih bijaksana. Sehingga tidak menambah polemik." "Sampai hari ini saya masih sibuk, sehingga belum bisa menentukan kapan menemui pengurus yang lain di Salatiga," tegasnya.ii Rupanya, ia tidak begitu memprioritaskan urusan UKSW.
http://slamethdotkom.wordpress.com
152
[email protected]
BAB 13
Mogok Lagi Awal Desember 1994 itu Edo Kurniadi Hartono agak kacau. Masalah pribadi dan masalah kampus membebani pikirannya. Hari Sabtu sore tanggal 3, Edo menemukan kosnya dalam keadaan kosong-melompong, tak ada orang yang bisa diajak bertukar kata. Dengan lemas ia lalu berjalan sendirian ke warung Tante Rawon di Jalan Pungkursari, sekitar 100 meter dari kosnya. Setelah perutnya kenyang dan perasaannya lebih enak, ia mampir ke kos sahabatnya, Budi Kurniawan, yang letaknya hanya sepuluh meter dari sana. Budi sedang menyiapkan air panas untuk mandi malam itu. Bulan Desember di Salatiga selalu dingin. Selesai mandi, Budi mulai bercerita tentang krisis yang sedang terjadi di KPD, bagaimana semangat dosen dan mahasiswa KPD sudah mulai surut, dan keraguan dosen untuk mogok kembali. Dosen sebenarnya mau mogok, tapi mereka takut disalahkan oleh mahasiswa. Pengalaman mogok pada bulan Oktober sampai November membuktikan, mogok tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kemudian Budi mendesak Edo sebagai "pejabat berpengaruh" di badan mahasiswa fakultas untuk menggerakkan mahasiswa. Karena saat itu Edo sedang kacau, ia jadi lebih nekad dan panasan dari biasanya. Begitu didesak, Edo langsung melontarkan ide untuk menggerakkan asisten. "Ide bagus!" kata Budi yang bagai api disiram oli. Budi langsung mengajak membuat surat pernyataan dengan dilengkapi tanda tangan. Malam itu juga, ditemani Ketua BMP FT Tandy, mereka berkeliling dari satu rumah kos ke rumah kos lain dan berhasil mengumpulkan sekitar 20 tanda tangan asisten FT. Esoknya, jumlah itu menjadi 49. Malam tanggal 4 Desember jumlah tanda tangan bertambah beberapa lagi. Tanggal 5 Desember, diadakan pertemuan dengan seluruh asisten di Ruang C-107. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 50 atau hampir seluruh asisten FT itu berlangsung cukup alot karena beberapa asisten menuntut penjelasan mendalam mengenai aksi mereka sebelum kemudian menyetujuinya. Para asisten FT akhirnya sepakat untuk mogok. Dua asisten dari angkatan 1992, Yessy dan Rani, menolak menandatangani pernyataan itu karena alasan pribadi. Malamnya, dalam rapat di Yayasan Geni, Budi menantang mahasiswa dan dosen dari fakultas lain. Ia menyodorkan tanda tangan asisten FT. Dari situ, mereka tergerak pula untuk melakukan aksi serupa. Tanggal 6 Desember Edo dan Budi menyerahkan pernyataan mogok 59 asistenii kepada Pembantu Dekan IV Sonny Novianto. Sesudah itu, keduanya masuk ke Ruang C-107. Di sana mahasiswa FT sedang mengadakan open forum. Anindita, ketua Sema FT, menjelaskan kondisi kampus saat ini yang tidak aman, apalagi pada dini hari itu terjadi pemukulan terhadap Hartanto, seorang mahasiswa FT angkatan ’89. Ceritanya, mahasiswa ini baru pulang dari laboratorium skripsi setelah lembur menyelesaikan tugas akhirnya. Pukul 2.00 ketika si mahasiswa sedang membuka pintu gerbang kampus untuk mengluarkan motornya, tiba-tiba dari dalam mkampus muncul sebuah mobil kijang yang pengemudinya minta dibukakan pintu lebih lebar. Sekonyong-konyong turunlah beberapa orang berbadan kekar dan langsung
http://slamethdotkom.wordpress.com
153
[email protected]
memukuli mahasiswa bertubuh kurus itu. Untung saja Hartanto dapat lolos kendati menderita luka cukup serius di bagian muka. Mahasiswa FT pun sepakat untuk mogok. Satu-satunya suara yang menentang pemogokan berasal dari Bungkus, mahasiswa angkatan 1990 yang juga pejabat LK Universitas. LK FT kemudian menyerahkan pernyataan mogok mahasiswa kepada pimpinan universitas. Langkah mogok diikuti mahasiswa beberapa fakultas lain pada keesokan harinya, dan pada hari Kamis (8/12) siang mahasiswa FT, FP, FSM, FKIP jurusan Pendidikan MIPA, dan PPs-SP secara serentak menyatakan mogok kuliah sampai waktu yang tak ditentukan. Pernyataan mogok bersama secara tertulis tersebut juga diikuti oleh sedikitnya 104 dosen KPD. Aksi itu didukung sebagian mahasiswa FH, FB, dan FTh yang menyatakan ikut mogok kuliah. Mahasiswa FB memutuskan ikut mogok keesokan harinya dalam open forum di lantai pertama Gedung C. Aksi serupa juga kemudian dilancarkan oleh mahasiswa FKIP jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Pernyataan terbuka mahasiswa kelima fakultas/unit tersebut secara berurutan disampaikan kepada pers di kantor FSM masing-masing oleh Ketua Sema FTJE Anindita, Ketua BPM FP Jorge, Ketua Komisariat Mahasiswa FKIP jurusan Pendidikan MIPA Wiyanto, Ketua Sema FSM Charles, mahasiswa PPs-SP Idrus, dan terakhir Dr. Nggandi Katu yang mewakili dosen-dosen KPD. Alasan pemogokan adalah situasi di kampus saat ini tidak ideal bagi proses belajar-mengajar, selain terjadi banyak ancaman dan teror mental, serta tidak ada tanda-tanda penyelesaian kemelut. Selain menyatakan mogok, ribuan mahasiswa dan dosen menuntut agar Kesepakatan Kaliurang segera dilaksanakan. Bahkan, Idrus, mahasiswa PPs-SP ingin agar fakultas dan unit KPD membentuk komisi rektorat sendiri. Yang berpendapat begitu bukan Idrus sendirian. Sepuluh pimpinan unit berjanji tidak akan memberi sanksi mahasiswa yang mogok, malahan mereka mengimbau agar mahasiswa tetap menjalankan pemogokan sebagai suatu tindakan terpaksa yang bersifat sementara. Menanggapi mahasiswa yang mau mogok, JOI mengharapkan agar semua mempertimbangkan kembali niat untuk mogok belajar, sebab langkah mereka tak akan menyelesaikan masalah, justru berpeluang sebaliknya. JOI menjelaskan, mahasiswa yang mogok melanggar aturan karena dalam PP 30/1990 dan UU Pendidikan No. 2/1989 tidak disebut bahwa mahasiswa memiliki hak mogok. Sebelumnya, JOI sudah menulis surat kepada para orangtua mahasiswa FT, FP, dan FSM, meminta mereka mendorong para mahasiswa yang mogok kembali ke kelas. JOI juga meminta dosen untuk tetap mengajar berapa pun jumlah mahasiswa yang hadir di kelas. Penyelenggaraan pendidikan di tiap unik, katanya, merupakan tanggung-jawab dekan. Sementara itu, Ketua YPTKSW Sri Wismoady Wahono hanya mengatakan, "Kita berdoa agar semua baik-baik saja." Situasi kampus UKSW kini semakin mencekam. Beredar selebaran gelap yang isinya menuduh beberapa aktivis KPD terlibat atau punya hubungan dengan G-30-S/PKI. Pembuat selebaran itu menyebut diri sebagai Biro Inteligen Kampus. Selain itu, warga kampus juga dibayang-bayangi kemungkinan munculnya kekerasan fisik dari para pendukung Yayasan dan rektor.
http://slamethdotkom.wordpress.com
154
[email protected]
KPD dan satkam kampus juga saling mengadu ke Kapolres. Pihak KPD melaporkan satkam karena telah melakukan kekerasan fisik, sementara satkam mengadu karena nama baiknya dicemarkan.ii KPD tak hanya mogok dan berdemonstrasi. Mereka juga mengadakan pameran foto demonstrasi yang terjadi sejak pertengahan Oktober lalu. Pameran bertema Aksi Demo di UKSW itu berlangsung pada tanggal 11-12 Desember dan menempati lantai I dan II Gedung C. Foto-foto diletakkan di dalam tempat-tempat pengumuman yang berkaca. Tadinya mereka akan menempelkan foto-foto di dinding, namun mereka khawatir foto-foto itu mudah dilepas. Kalau di dalam lemari kaca, untuk melepasnya perlu memecah kaca dulu. "Yang bukan anggota KPD juga boleh ikut. Jadi, peserta tidak wajib memiliki garis politik yang sama dengan KPD. Sikap mengajak kelompok di luar kami sebagai sikap demokratis untuk menghargai kelompok lain," ungkap Eddy Wie, ketua panitia. Selain pameran foto juga diputarkan rekaman video dies natalis di laboratorium fisika di Gedung C. Video itu masih acak-acakan karena belum diedit sama sekali, namun mahasiswa menonton dengan antusias. Mereka terpakas menonton secara sembunyi-sembunyi karena khawatir satkam akan menyerbu dan mengamuk lagi. Ada juga mahasiswa yang mengedarkan kotak sumbangan di FT dan berhasil mengumpulkan Rp87.300 dalam tempo satu jam. Uang itu diserahkan kepada Witjak, petugas TU FT. Situasi tetap panas dan suhu semakin meninggi karena beredarnya selebaran gelap yang memojokkan anggota-anggota KPD. Salah satu korban selebaran ini adalah Anindita, Ketua Sema FT. Tetapi, KPD masih menahan diri dan bertekad menyelesaikan semuanya lewat jalur hukum yang ada. Mahasiswa yang beberapa waktu lalu mendapat kekerasan fisik menegaskan akan menyelesaikan kasusnya melalui hukum secara tuntas. Idrus, mahasiswa PPs-SP yang dianiaya Sudi Winarno, akan menuntut kasus ini hingga ke pengadilan. Masalah ini telah dilaporkan ke Polres Salatiga. "Yang melaporkannya adalah Pak Nico." ujar Idrus. Bukti perbuatan Sudi Winarno adalah rekaman video. Selain itu, banyak saksi yang siap memberi kesaksian dari peristiwa itu. Waktu sedang berlangsungnya pameran foto beberapa mahasiswa juga merencanakan datang ke mendikbud untuk minta perhatiannya. Para mahasiswa juga didukung dosen yang agaknya sudah tidak sabar. Bagi mereka, sudah saatnya Wardiman campur tangan. Namun, rencana itu tak pernah terlaksana. Sebabnya, sebagian dosen senior di KPD masih mengharapkan penyelesaian internal. Tanggal 14-15 Desember dilangsungkan dialog antarunsur. YPTKSW lewat Ketua I Haryono Semangun dan Sekretaris Umum Julius Saludung, mengundang KPD dan kelompok lain ke Ruang E-201 Gedung E pukul 10.00. Menurut Julius Saludung, jumlah undangan seluruhnya 80 orang, terdiri atas 18 wakil Gereja Pendiri/Pendukung, 5 pengurus Yayasan, 3 pimpinan Universitas, 34 anggota Senat, serta 20 wakil berbagai kelompok. Julius Saludung dalam kepengurusan YPTKSW yang baru mewakili Gereja Toraja. Menurut Julius, Radius Prawiro bersama empat pendeta dari Solo, Salatiga, dan Semarang diundang sebagai mediator. Ke-4 pendeta itu adalah Agus Karmitte, Puja Priyatna, Paulus Wijaya, dan Mesakh Krisetya. Juga
http://slamethdotkom.wordpress.com
155
[email protected]
diundang para dekan dan ketua unit KPD. Lalu, diundang pula dosen-dosen seperti Witjaksana, Th. Sumartana, serta Liek Wilardjo. Di antara yang hadir tampak Ketua Umum YPTKSW Wismo Adi, Soewandi, Adjar Subadi. Arief dan Ariel tidak diundang karena tidak memegang jabatan struktural di UKSW.ii Radius Prawiro tidak hadir dalam dialog itu. Konon, Radius pesimis dengan pertemuan yang akan mengulang hasil pertemuan Kaliurang. Kata sebuah sumber, Radius hanya mau datang apabila yang mengundang pihak Gereja Pendiri. Rektor juga tidak hadir dalam dialog itu. "Saya tidak harus hadir, karena pembantu rektor bisa menjadi wakil pimpinan rektorat" kata JOI. "Kalau semua pimpinan rektorat hadir, siapa yang menjalankan roda rektorat," katanya. Dalam pertemuan itu JOI diwakili PR I Suwandi, SH. Haryono pun merasa tidak perlu hadir dalam dialog tersebut karena sudah ada perwakilan dari Yayasan, padahal dalam 80 surat undangan yang disebar Haryonolah yang membubuhkan tanda tangan. Dari sekitar 80 orang yang diundang, sekitar 70 orang hadir. Forum kemudian memilih Pdt. Paulus Wijaya, Pdt. Pujapriyatna, Pdt Priyatna, dan Pdt Fobiaempat sebagai moderator. Pada hari pertama dialog masih bersifat menginventariskan persoalan, belum masuk ke pembahasan materi.ii Hari kedua tanggal 15 pertemuan berlangsung lancar. Lagu rohani Serikat Persaudaraan menutup pertemuan menyusul terbentuknya Tim Rekonsiliasi yang beranggotakan 10 orang. Segala permasalahan UKSW akan diserahkan ke tim ini dan keputusan yang dicapai tim ini mengikat semua pihak. Pertemuan ditutup sekitar pukul 14.00. Lancarnya pembentukan tim rekonsiliasi serta menyatunya antarunsur berkat kepiawaian pimpinan sidan Pdt Dr. Beny Fobia dari Gereja Masehi njili Timor serta Pdt. Pudjaprijatma, STh dari GKJ Salatiga. Pimpinan sidang didampingi Pdt. Supriyatna dari Gereja Kristen Pasundan dan Pdt. Paulus Sugeng Wiajaya dari Gereja Kristen Muria. Menurut Pdt. Pudjaprijatma, tugas utama Tim Rekonsiliasi adalah menginventarisasi sekaligus menyelesaikan semua masalah yang ada di UKSW, terutama yang menyangkut rektorat, yayasan, dan AD/ART UKSW. Untuk menyelesaikan tugas tersebut, tim diberi waktu hingga Maret 1995. Selama jangka waktu itu diharap tak ada lagi mogok kuliah, perang pernyataan di media massa, tempelan poster, selebaran, intimidasi, kekerasan , serta bentukbentuk tindakan fisik dan psikologis lain, yang bisa mengganggu kerja tim serta proses belajarmengajar. Peserta pertemuan antarunsur UKSW menyepakati harapan itu. Pdt. Pudjaprijatma juga menambahkan, keputusan tim rekonsiliasi mengikat semua pihak sehingga apa pun yang diputuskan harus dihormati oleh semuanya. Dengan diserahkannya pemecahan masalah ke Tim Rekonsiliasi, maka segala kelompok kecuali yang resmi dinyatakan dibubarkan dan tidak ada lagi. Menurut Th Sumartana, suasana menjelang berakhirnya pertemuan sangat mengharukan, apalagi ketika Pdt. Iman Sugiri dari GKJ Kebumen yang ditugasi memimpin doa, memanggil ke depan satu per satu anggota tim rekonsiliasi.
http://slamethdotkom.wordpress.com
156
[email protected]
"Bagi saya pribadi, yang paling membanggakan adalah tidak adanya unsur eksternal yang masuk. Upaya penyelesaian masalah benar-benar ditangani secara khas UKSW meski pada awalnya banyak benturan dan cukup alot," tutur Sumartana yang dalam pertemuan itu mewakili KPD.ii Nama ke-10 anggota tim adalah: John JOI Ihalauw (rektorat), Drs Himawan (yayasan), Pdt. Pudjapriyatma, STh dan Agustinus Karmitte, STh (Gereja pendiri/pendukung), ditambah tiga orang dari KPD (Pradjarta, Hutapea, Tjahjakartana), serta tiga orang dari unsur di luar KPD (John Titaley, Danny Zakarias, SH, dan Dr. Siliwolu Jurumana). *** Hasil dialog itu mengagetkan para aktivis mahasiswa. Rencana ke Wardiman diminta ditunda. Juga, Suara Demokrasi yang telah siap tidak jadi diterbitkan. Budi, salah seorang pengasuh Suara Demokrasi, keberatan sekali. Ia termasuk yang tidak percaya pengurus YPTKSW punya itikad baik. Ia juga menganggap pada dosen KPD yang mau memulihkan proses belajar-mengajar itu bodoh sekali. Mogok adalah senjata KPD dan sekarang senjata itu diberikan begitu saja kepada musuh. Seharusnya, kalau KPD cukup cerdik, mogok tetap dijalankan sembari berunding. Itu diungkapkannya kemudian dalam pertemuan tertutup KPD pada tanggal 16 Desember. Malam 15 Desember itu di Yayasan Geni terjadi perdebatan cukup sengit antara mahasiswa yang mendukung Tim Rekonsiliasi dan mahasiswa yang tidak percaya pengurus YPTKSW bisa diajak berunding. Budi akhirnya berhasil meyakinkan teman-temannya untuk terus menerbitkan SD. Namun, kemudian datang telepon dari Witjaksana yang membujuknya. Akhirnya SD tidak jadi diterbitkan. Esoknya, perkuliahan mulai lancar kembali. Untuk mengejar ketinggalan pelajaran, menurut Slameto, staf pengajar FKIP, dilakukan rembukan bersama antara dosen dan mahasiswa. Ada di antaranya yang menempuh cara pemadatan materi kuliah dengan memberi materi tertulis untuk didiskusikan. Lalu, ada pula dosen yang menyediakan waktu kuliah pengganti di luar jadwal kuliah. Misalnya dengan menambah jam tatap muka dari 2 jam menjadi 3 jam. Ada juga yang memberkan tugas khusus kepada mahasiswa. Tugas ini metodenya agak lain dari tugas biasa, yang merupakan bagian dari evaluasi mengajar, yaitu tugas-tugas tentang pendalaman materi yang tertinggal selama istirahat. Paling tidak, suasana damai melegakan mahasiswa. Bagaimanapun, mereka rindu kuliah! Juga, seluruh warga kampus dapat merayakan hari Natal dan Tahun Baru dengan damai. Tapi Tim Rekonsiliasi tidak berhasil menguraikan benang kusut UKSW.
http://slamethdotkom.wordpress.com
157
[email protected]
BAB 14
Panas Lagi
Suasana Natal masih terasa dan tahun 1995 baru empat hari ketika pimpinan UKSW menggali kapak peperangan kembali. PR I Soewandi menolak merekomendasikan aktivis KPD Witjaksana Tjahjana sebagai calon PD II FSM. Alasan penolakan itu karena Witjaksana yang lahir tahun 1962 itu terlibat kegiatan menentang kebijakan pimpinan UKSW, padahal semua pihak sudah sepakat, segala bentuk kelompok dibubarkan bersamaan dengan terbentuknya Tim Rekonsiliasi. Witjaksana sebelumnya diusulkan untuk menggantikan PD II Suyoto yang akan studi lanjut. Kalau disetujui, dosen berkacamata suami Cynthia Ogi itu akan menduduki jabatan sebagai PD II sampai masa jabatan Suyoto berakhir Juni 1996. Dekan FSM KH Timotius dan Witjaksana sendiri menolak berkomentar karena, sesuai kesepakatan, yang boleh memberi keterangan ke luar hanya anggota Tim Rekonsiliasi Pdt. Pudjapriyatma, STh. Penolakan itu diketahui dari tempelan fotokopi surat Soewandi di papan pengumuman FSM. Yang mencolok, surat itu bertanggal 16 Desember 1994, hanya satu hari sesudah terbentuknya Tim Rekonsiliasi.ii Dengan demikian, jelas sudah. Tim Rekonsiliasi tidak punya wibawa. Pihak rektor dan YPTKSW tidak menghormatinya dan KPD tidak mempercayainya. Selanjutnya, Ariel dan beberapa temannya meluncurkan program Sahabat Arief Budiman (SAB) di Gedung G pada 24 Januari 1995. Menurut Ariel, selama ini KPD telah berjuang untuk mengatasi kemelut UKSW. Berbagai upaya interen dan kekeluargaan telah dan sedang diupayakan, namun belum jelas kapan akan berakhir. Arief Budiman sudah dan masih akan terus menanggung beban mental maupun material yang bukan menjadi kewajibannya. Sejak 1 November 1994 ia tidak lagi menerima gaji, padahal belum pernah diajak dialog, apalagi dibuktikan telah melakukan suatu kesalahan. Untuk itu, Arief telah mengajukan gugatan di lembaga pengadilan. Urusan ke pengadilan ini menuntut pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya. Sungguh tidak adil bila ia harus menanggung sendirian beban perjuangan yang sejak semula diusahakan bersama. Karenanya, Ariel meminta kepada siapa pun yang bersimpati untuk meringankan beban biaya pengadilan dengan mengirim uang ke rekening 03.062-003281.1 di Bank Panin Salatiga atau rekening lain di Eropa, Australia, dan Amerika. Ariel menegaskan, dana yang terkumpul akan diserahkan kepada Arief Budiman sebulan sekali dan sama sekali bukan hadiah atau bantuan ekonomis yang memang tidak dibutuhkannya. "Kita meminta Arief menerimanya sebagai simbol kecil bagi hasrat besar kita untuk ikut memiliki perjuangan yang sedang dijalaninya." Gerakan ini terbukti cukup efektif karena dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 14 Maret 1995, SAB sudah memperoleh Rp4,7 juta lebih dari 479 orang/lembaga. Para penyumbang antara lain Umar Kayam, Permadi, Dr. Joel S. Khan (La Trobe University, Melbourne), Dr. David Chandler (Monash University, Melbourne), Prof. Michael van Langenberg (University of Sydney), dan Dr. Rita Smith Kipp. Sumbangan juga datang dari para sais dokar dan Persatuan Pedagang Kaki Lima di Salatiga.
http://slamethdotkom.wordpress.com
158
[email protected]
Pada bulan Januari itu, suasana kampus nyaris normal. Kegiatan berlangsung seperti biasa, walaupun rasa was-was masih menyelimuti kampus. Rocky adalah salah satu yang paling gembira dengan kembalinya proses belajar-mengajar, apalagi jadwal kolokium awalnya sudah keluar. Mahasiswa FT ini akan mempresentasikan usulan tugas akhirnya pada tanggal 13 Januari. Kolokium Awal di FT UKSW adalah sidang penentuan apakah tugas akhir seseorang disetujui atau tidak. Bila ini dilalui dengan mulus, mahasiswa yang bersangkutan boleh mengerjakan tugas akhirnya sampai nanti ujian akhir, biasanya dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Di antara Kolokium Awal dan ujian akhir ada satu tahap lagi, yakni Kolokium Lanjut. Namun, Kolokium Awal lebih menentukan. Selama ini Rocky cemas. Ia telah mempersiapkan diri dengan belajar hampir setiap waktu, tetapi kepastian belum ada sehingga ia belum bisa mengerjakan tugas akhirnya. Beberapa kali Kolokium Awal-nya ditunda karena situasi kampus yang kacau-balau. Rocky berharap, suasana tenang seperti ini akan berlangsung selamanya, paling tidak sampai ia lulus. Pada tanggal 13, usulan tugas akhir Rocky diterima. Rocky yang kegirangan terus bekerja tanpa ada yang bisa menghentikannya. Ketika pada 21 Januari malam cuaca menjadi sangat dingin dan angin bertiup kencang, Rocky hanya menengok sebentar dari dalam kamarnya sementara teman-teman kosnya berdiri di luar rumah dan menjajal kahangatan sweater masing-masing. Pada hari Kamis, 16 Februari di ruang rapat FT diadakan rapat terbatas. Dosen-dosen senior KPD plus dua mahasiswa berkumpul dan membahas masalah kampus dengan serius. Anggota Tim Rekonsiliasi dari KPD, Richard Hutapea, Tjahjakartana, dan Pradjarta, mengemukakan sulitnya perundingan yang mereka hadapi. Ferryanto, dekan FT yang ruang rapatnya dipakai, tampak segan bergabung. Ia tampaknya kecewa pada perkembangan yang ada. Baru pada akhir sidang ia mau masuk. Rapat membahas kemungkinan KPD menyerah. Para dosen merasa sudah terlalu lama mereka berjuang tanpa hasil. Kuliah terbengkalai dan situasi kampus kacau balau. Yang jelasjelas menentang kemungkinan menyerah adalah mahasiswa dan dosen FSM Witjaksana. Tetapi, dosen yang mendapat gelar MEngSc dari University of Melbourne itu tak mungkin bertempur sendiri. Dalam perkembangannya, tiga anggota Tim Rekonsiliasi UKSW, yaitu Drs. A. Himawan, MPd, Pdt. Agustinus Kermite, STh, dan Pdt. P. Pudjaprijatma, STh mengambil inisiatif membentuk Tim Mediasi yang didukung oleh mantan KPD maupun oleh mantan kelompok nonprodemokrasi. Tim Mediasi ini secara terpisah melakukan serangkaian percakapan dengan pihak-pihak yang bertikai yang duduk dalam Tim Rekonsiliasi. Rangkaian percakapan dilakukan sebanyak tiga kali dengan mantan Non-KPD dan enam kali dengan mantan KPD. Ketiga orang dalam Tim Mediasi berkesimpulan bahwa semua pihak sebenarnya sangat mendambakan keutuhan UKSW dan dambaan itu terhambat karena rasa saling curiga yang mendalam antara keduanya. Tetapi, Tim Rekonsiliasi memang gagal dan UKSW marak kembali dengan unjuk rasa. Senin, 3 April KPD muncul kembali. Puluhan mahasiswa KPD berunjuk rasa menagih hasil kerja Tim Rekonsiliasi. Dalam peristiwa itu, empat mahasiswa, yaitu Trihawanto, Danang, Otto
http://slamethdotkom.wordpress.com
159
[email protected]
Yulianto, dan Helio, menjadi korban tindakan kasar anggota Satkam. Trihawanto (mahasiswa FT angkatan 1989) luka di tengkuknya. Sekitar pukul 10.30 para demonstran mula-mula bergerak dari Gedung G dengan perlengkapan seperti biasa, spanduk dan poster. Tulisan di spanduk antara lain, "Kami Tak Butuh Janji, Kami Butuh Keputusan", "Jangan Obrak-Abrik Idealisme UKSW", dan "Janji Memang Manis. Buktinya Mana?". Begitu mendekati rektorat, mereka dihalangi Satkam dan beberapa penasihat hukum Yayasan seperti Danny Zacharias, Kustadi, dan Krisna Djaja. Karena tidak boleh masuk, demonstran mengadakan mimbar bebas di depan rektorat. Insiden pecah di sini karena orang-orang tak dikenal berusaha merebut megafon. Dalam huru-hara itulah terjadi pemukulan terhadap mahasiswa KPD. Para pengunjuk rasa lalu melakukan aksi duduk sambil menyanyikan Mars Satya Wacana. Bingung menghadapi demonstrasi, PR III Adjar Subadi mengundang para demonstran berunding. Wakil KPD, yaitu Helio (FE), Jorge (FP), dan Ladislau de Souza (FP) menghadap PR III itu. KPD minta Adjar menarik mundur Satkam. Adjar menolak, bahkan ketika anggota delegasi mempertanyakan pemukulan yang dilakukan oelh beberapa pendukung rektor, Adjar menjawab bahwa itu sudah risiko yang harus ditanggung demonstran. "Kami sudah berusaha untuk tidak melayani tindakan mereka, namun karena diperlakukan seperti itu, kami akan mengadu ke polisi," kata Budi Susilo, dosen FKIP yang menjadi juru bicara demonstran. Demonstrasi pun berlanjut. Di hadapan ratusan hadirin, Budi Susilo membacakan "Deklarasi April 1995" yang menyebutkan empat hal. Pertama, mereka menganggap Tim Rekonsiliasi telah gagal, karenanya komitmen KPD terhadap kesepakatan itu sudah berakhir. Kedua, menegaskan kembali tekad bagi perjuangan dan cita-cita KPD untuk menegakkan dasar dan idealisme UKSW, termasuk pernyataan mosi tak percaya kepada pimpinan rektorat serta pengurus YPTKSW. Ketiga, memberlakukan kembali tuntutan KPD seperti yang telah dirumuskan dalam Kesepakatan Kaliurang. Keempat, meminta sivitas akademika menyegarkan kembali tekad dan perjuangan untuk mengamankan dasar dan idealisme UKSW. Pukul 11 akhirnya mahasiswa memutuskan untuk mundur karena situasi semakin tidak terkendali, bahkan beberapa mahasiswa tampak emosional karena terus-menerus dipukul dan ditendang. Mahasiswa mundur ke kantor FSM, tetapi mereka dikejar oleh beberapa penasihat hukum YPTKSW dan para pendukung rektor. Di halaman kantor FSM Danny Zacharias berteriak sambil mengacung-acungkan tangan, “Kalian akan berhadapan dengan kami jika tetap melanjutkan demonstrasi ini.” Karena tidak ditanggapi, akhirnya para pengejar pun pergi. *** Hari itu juga dalam kesempatan terpisah Nico menyampaikan rencana aksi mogok untuk semua kegiatan PPs-SP. Nico menyatakan PPs-SP akan membekukan diri mulai 17 April sebagai tanda keprihatinan atas kemelut UKSW yang tidak berkesudahan. Membekukan diri itu sama saja dengan melakukan pemogokan atas segala bentuk perkuliahan, bimbingan tesis, ujian, seminar, dan bentuk kegiatan akademik lain. Juga, tidak akan ada rapat dinas, kegiatan administrasi dan keuangan, serta wisuda. Selain itu, mereka juga tidak akan menerima tamu
http://slamethdotkom.wordpress.com
160
[email protected]
dinas.ii Seruan mogok PPs-SP didukung mahasiswa program pascasarjana lewat para wakil mereka, yakni Budiawan, Prasojo, Abner Korwa, Nick T. Wiratmoko, PH Wongkar, Johny Simanjuntak, dan Kubo Yasuyuki.ii Sementara PPs-SP baru mengancam akan beraksi, Simon Rachmadi langsung mengundurkan diri dari jabatan PD III Fakultas Teologi. Dalam suratnya kepada rektor dan pengurus Yayasan tanggal 4 April 1995, Simon menyatakan mengundurkan diri sebagai protes terhadap kekerasan hati rektor dan pengurus Yayasan dalam menyelesaikan kemelut UKSW. Ia mendesak agar PHK terhadap Arief Budiman dicabut dan rektor serta pengurus meminta maaf kepada Arief Budiman. Pada hari Selasa, 4 April para pendukung rektor melakukan aksi balasan. Sayangnya, aksi balasan ini berlangsung kasar. Yang pertama terkena aksi balasan ini adalah Ariel Heryanto. Siang hari sekitar pukul 13.00 dosen PPs-SP ini baru saja memarkir mobil kijangnya di depan Gedung G ketika sekitar 30 orang mendekati dan mengerumuninya. Ia dimaki dan ditantang berkelahi. Ariel mengenali mereka sebagai orang-orang dari kubu YPTKSW. Yang disesalkan Ariel adalah tindakan Satkam UKSW yang bersikap masa bodoh. "Mereka kita lapori hanya ya... ya... saja tapi tidak datang melakukan sesuatu. Yah, maklum, mereka kan dari kubu sana," tambahnya. Setelah meneror Ariel, sekitar pukul 13.30 gerombolan itu sampai di Gedung C. Di sini mereka mulai merobeki tulisan-tulisan bernada menentang rektor dan Yayasan yang tertempel di papan mahasiswa FT, FP, dan FB. Hanya saja, tulisan di balik lemari kaca tidak bisa mereka raih. Beberapa orang kemudian berusaha mendapatkan kunci majalah dinding di pos Satkam Gedung C dan ruang tata usaha FT. Gagal menemukan kunci, mereka lalu mencongkel kunci lemari dinding itu hingga kuncinya rusak. Pihak Polres Salatiga yang dilapori kemudian menyatakan akan mengusut tindakan itu karena tindakan itu sudah mengarah pada aksi kriminal.ii Para pendukung rektor juga alergi dengan buletin Suara Demokrasi yang diterbitkan KPD. Buletin yang tertempel di papan di Gedung C dirobek begitu saja oleh seorang anggota Satkam waktu buletin itu tengah dibaca bersama oleh belasan mahasiswa. Pendukung rektor yang lain kemudian merebuti Suara Demokrasi dari siapa saja yang terlihat membawanya. Seorang mahasiswi sempat merah mukanya saat buletin yang tengah dibacanya direbut begitu saja. Para pendukung rektor dan Yayasan tidak puas sampai di situ saja. Besoknya mereka kembali melakukan aksi serupa. Sekitar 40 orang pendukung rektor yang menamakan diri Penegak dan Penyelamat Universitas (PPU) berarakan mulai dari Gedung F. Kelompok baru ini terdiri atas para penasihat hukum YPTKSW, dosen prorektor dan Yayasan, serta mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa yang bergabung adalah aktivis LK Universitas dan penghuni asrama di Jl. Kartini. Aksi siang itu dimotori Djoko Oentoeng, Krisna, Heru, dan Danny Zacharias. Dari pihak mahasiswa terlihat antara lain Neil Rupidara (ketua SMU), Umbu Rauta, dan Hida Diyanto (Ketua BPMU). Motor PPU yang tidak pernah turun langsung tapi kemudian mengaku sebagai penanggung jawab PPU adalah John Titaley, calon rektor yang mendapat dukungan paling sedikit. Mereka menuju lantai 4 Gedung G tempat para dosen PPs-SP berkantor. Di sana mereka
http://slamethdotkom.wordpress.com
161
[email protected]
meneriakkan nama Ariel, Arief, Nico, dan Limson. "He Ariel. Inikah demokrasi yang kalian mau? Ayo keluar jangan sembunyi di situ," teriak salah seorang dari mereka. Mereka juga merobek beberapa pengumuman di ruangan itu dan mengkampanyekan nama kelompok baru mereka, PPU. "Hidup PPU ... hidup PPU. PPU kelompok penyelamat UKSW. Apa itu KPD?"ii Para aktivis PPU juga membentangkan poster dan memukul-mukul dinding ruang dosen yang terbuat dari teksblok. Sekitar sepuluh mahasiswa PPs-SP yang kebetulan berada di sana hanya menonton tanpa beraksi ketika Danny Zacharias berteriak, “Target kami bukan penjara tapi mati!” Staf TU PPs-SP, Yola Wiratmoko, yang tengah hamil tua ketakutan dan memucat wajahnya ketika dimintai kunci papan pengumuman. Namun, dengan tegar ia menolak. "Kalau mau dipecah, silakan," jawabnya. Ariel yang ruangnya dipukul-pukul sangat terganggu karena sedang menerima telepon. Ia berusaha tidak peduli. Kejadian itu dilaporkan oleh staf PPs-SP ke Satkam kampus, tapi tak satu pun petugas keamanan yang datang. Puas di Gedung G, mereka pun pergi. Ketika melewati sebuah ruang kelas di Gedung E, salah seorang bertanya, “Ini kelas Pertanian, ya?” Ketika dijawab ya, Oentoeng Soeropati langsung mengangkat-angkat posternya tinggi-tinggi. Para mahasiswa yang sedang belajar tidak bergeming saking terkejutnya. Tetapi, ketika rombongan PPU pergi, mereka tertawa-tawa geli. Sampai di Gedung C, PPU mencari beberapa mahasiswa aktivis KPD seperti Danang dan Anindita. Mereka berteriak-teriak, "Mana poster ... Mana poster ... Mana Anindita... Mana Danang?" Anindita yang tengah berada di depan kantor dosen mereka maki-maki dan mereka kejar. Danny Zacharias tampak paling beringas. Ia siap memukuli ketua Sema FT itu. Anindita pun lari dikejar sekitar 20 orang yang marah. Aktivis KPD ini berhasil masuk dan mengunci diri bersama beberapa dosen dan dekan yang kebetulan berada di ruang rapat FT. Massa memaksa masuk ke ruang tata usaha FT dan sudah berada di depan ruang rapat. Untungnya kunci pintu ruang rapat tidak berhasil dibuka. Ketika kawanan itu bergerak keluar, mereka berhasil menemukan Danang. Mahasiswa FT angkatan 91 ini mereka seret ke arah SMA Lab. Danang dilepaskan setelah mereka ancam. Selanjutnya, gerombolan bergerak ke arah Gedung FSM. Nggandi Katu, dosen FSM yang hari sebelumnya kena teror, terpaksa melarikan diri ke ruang Tata Usaha FSM. Entah apa yang dipikirkan tamu dari Universitas Diponegoro yang kebetulan berada di gedung itu. Tetapi, PPU menolak bila dikatakan bahwa mereka sengaja melakukan intimidasi dan melakukan provokasi. Ditanya apa motivasinya mendatangi kantor PPs-SP secara bergerombol, Danny Zacharias mengatakan, pihaknya tidak senang ada protes terhadap rektor dan pengurus Yayasan. Demo dan seruan mogok Senin lalu, yang menurutnya dipelopori oleh PPs-SP, akan sangat mengancam proses belajar-mengajar di kampus itu. "Rektor saat ini sedang menjalankan tugas negara. Bagaimanapun, proses belajarmengajar harus berjalan terus." Lalu, mengapa harus berteriak-teriak? "Kami tidak teriak-teriak. Kami hanya menyuarakan pernyataan ketidaksenangan. Kebetulan suara kami keras-keras semua." Memukul-mukul ruang dosen? "Ah, itu kan sekadar musik. Biar meriahlah," jawab
http://slamethdotkom.wordpress.com
162
[email protected]
Danny enteng. Lain lagi pendapat Krisna. "PPU hanya menuntut agar kegiatan pendidikan di UKSW tidak lagi terganggu. Kami bertekad membersihkan semua yang mengganggu proses belajarmengajar, melindungi kepentingan negara yang dipercayakan pada rektor UKSW dan YPTKSW. Kami muak dan bosan dengan kelakuan KPD yang merugikan UKSW," katanya. Mulai 4 April PPU juga menerbitkan buletin Gema PPU. Dalam edisi pertama mereka memperkenalkan diri. Penyelamat dan Penegak UKSW (PPU) adalah gerakan moral sivitas akademika UKSW yang ingin menyelamatkan UKSW dari kehancurannya. PPU ingin UKSW berjalan secara normal menurut visi dan misinya yang resmi kini, bukan lewat ucapan-ucapan atau keinginan pihak-pihak tertentu tetapi lewat terselenggaranya PBM yang normal. Mereka juga mengatakan bahwa setiap sivitas akademika yang menginginkan kampus UKSW normal lagi adalah bagian dari PPU. PPU secara tegas menyatakan bahwa PPU lahir dengan tujuan menyatakan perang atas kebohongan-kebohongan dan tindakan yang tidak menghormati aturan dan sopan santun ketimuran dan kehidupan bersama di UKSW. Mereka juga menuduh KPD yang dulu dimulai dengan nama Kelompok 10 telah berusaha mensabotase keputusan rapat Senat yang sah dalam memilih calon-calon rektor UKSW periode 1993-1997. Menurut PPU, Kelompok 10 menyatakan pemilihan rektor tidak sah dan cacat hukum tetapi tidak bisa membuktikan. “KPD melalui cara-cara inkonstitusional ingin menurunkan rektor dan ketua YPTKSW lewat demonstrasi bulan Oktober-November 1994, dan melalui pertemuan Kaliurang yang ingin menggantikan rektor dengan presidiumnya. KPD melalui para fungsionarisnya telah memboikot kepemimpinan UKSW yang sah dengan menyatakan berbagai pernyataan mosi tidak percaya, melakukan tindakan-tindakan pengingkaran wewenang yang ada, menyelenggarakan Dies Natalis tandingan, dan lain-lain,” tulis mereka. *** Arief Budiman merasa heran dengan tindakan PPU. Menyatakan pendapat, katanya, tidak harus dengan cara-cara intimidasi dan teror yang memancing kekerasan. Arief juga berencana mengadukan para pengacara Yayasan itu ke pengadilan lewat penasihat hukumnya, Pramudya, SH. "Kalau mereka berdemonstrasi di lapangan, kami tidak ada masalah. Tetapi, perbuatan PPU sudah lebih daripada sekadar demonstrasi karena memasuki kantor orang lain dan berteriak-teriak (sehingga) mengganggu hak pribadi."ii Lalu, Arief menambahkan, "Sudah waktunya mendikbud bertindak. Kemelut sudah berjalan dua tahun dan belum tampak ada titik terang. Kalau tidak ada intervensi, kampus ini akan mengalami kerusakan yang parah. Apalagi, intervensi itu dimungkinkan oleh Keputusan Menteri No. 0399/1994 yang dikeluarkan baru-baru ini."ii ii *** Aksi keempat penasihat hukum YPTKSW yang mendatangi lawan perkaranya secara langsung juga mendapat tanggapan Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Jawa Tengah Samekto, SH. "Kami tidak dapat memberikan tindakan disipliner maupun pencabutan izin usaha mereka, karena mereka bertindak sebagai pengacara praktek yang tidak masuk menjadi anggota Ikadin," ujarnya.
http://slamethdotkom.wordpress.com
163
[email protected]
Langkah paling tepat untuk menindak keempat kuasa hukum Yayasan yang telah menyalahi kode etik profesi pengacara itu, menurut Samekto, adalah melaporkan mereka ke polisi. Dengan begitu mereka bisa dikenai tuduhan melakukan tindak pidana karena terbukti bersama mahasiswa lainnya melakukan intimidasi dan pengrusakan.ii Dua hari sesudah kejadian menegangkan di kampus UKSW itu, entah ada hubungannya atau tidak, hari Jumat, 7 April dekan FTh Nugroho Adi diancam akan dibunuh oleh seorang penelepon gelap. Sebelumnya, ban mobilnya juga digembosi tangan-tangan tak dikenal. Namun, di tengah ketidakpastian yang melanda kedua pihak yang bertikai, pada hari Minggu, 2 April sebenarnya John Ihalauw telah menemui ketua/konvokator Tim Rekonsiliasi A. Himawan. Seperti yang diketahui kemudian, JOI mengusulkan kepada Tim Rekonsiliasi agar ia diizinkan menjabat sampai 30 November 1995 saja. JOI juga merasa perlu dilakukan perbaikan peraturan-peraturan khususnya peraturan tentang Senat dan peraturan tentang pemilihan calon rektor. Sesudah peraturan itu diperbaiki, diadakan pemilihan ulang rektor. Namun, usul itu belum sempat dibahas Tim Rekonsiliasi. Dalam Kesepakatan Tim Rekonsiliasi UKSW yang tercapai pada 5 April itu juga, usul JOI hanya dicantumkan pada butir ketiga kesepakatan. Kesepakatan Tim Rekonsiliasi lainnya adalah menerima laporan kerja Tim Mediasi sejak tanggal 16 Desember 1994 sampai 31 Maret 1995, memperpanjang masa kerja Tim Rekonsiliasi sampai tanggal 5 April 1995, dan menyerukan kepada sivitas akademika untuk saling percaya serta meminta pengurus dan pimpinan UKSW untuk mengambil langkah-langkah yang bisa membantu menumbuhkan rasa saling percaya itu. Meskipun Arief Budiman menganggap JOI hanya berpura-puraii, KPD menyambut baik usul JOI untuk mundur. Dalam jumpa pers di kantor FSM tanggal 10 April, Budi Susilo menjelaskan, tiga butir usulan JOI kepada Tim 10 pada intinya dapat diterima KPD. Malahan, para pimpinan empat fakultas—FB, FP, FT, dan FSM—berjanji akan melaksanakan PBM dengan tenang supaya menarik simpati calon mahasiswa baru. Mereka memberi batas waktu sampai 1 Mei. Tetapi, rekan mereka di PPs-SP tetap akan mogok kalau SK kontroversial tidak dicabut.ii "Rencana peletakan jabatan rektor seperti usulan Ihalauw kepada Tim Rekonsiliasi sebenarnya bukan hal yang baru. Hasil Kesepakatan Kaliurang 15 November 1994 sebenarnya merupakan bentuk yang serupa dengan itu, namun dibatalkan," kata Budi Susilo. Namun demikian, mereka berharap, niat baik JOI jangan diingkari lagi. "Kalau ludah sudah keluar, jangan sampai dijilat kembali," kata Johny Simanjuntak yang juga penerima Yap Thiam Hien Award tahun 1992. Sambil menunggu 30 November mendatang, KPD, kata Johny, menyarankan Dewan Pengurus YPTKSW khususnya Dewan Pengurus Inti untuk segera mengambil langkah nyata atas hasil Tim Rekonsiliasi dengan melakukan tiga hal. Pertama, segera mengadakan rapat istimewa membahas usulan JOI. Kedua secara bersama-sama mempersiapkan proses pemilihan rektor dalam waktu yang tak terlalu lama. Ketiga, mengaktifkan Senat Universitas.ii KPD kemudian membentuk tim kecil untuk memantau perkembangan kampus, terutama tindakan nyata YPTKSW setelah Tim Rekonsiliasi menerima proposal JOI. Tim ini terdiri atas dosen dan mahasiswa KPD.ii Akan tetapi, sebagian warga kampus rupanya salah mengartikan usulan rektor sebagai hasil kesepakatan Tim Rekonsiliasi. Pada tanggal 13 April John Titaley berkirim surat kepada
http://slamethdotkom.wordpress.com
164
[email protected]
Gereja-Gereja pendiri dan pendukung serta pengurus Yayasan. Menurut John Titaley, usulan John Ihalauw untuk mengundurkan diri bukanlah hasil kesepakatan Tim Rekonsiliasi. Tim hanya mendengarkan usulan tersebut. Jadi, yang perlu ditindaklanjuti adalah rekomendasi Tim Rekonsiliasi pada butir 4, yaitu menumbuhkembangkan rasa saling percaya, bukan proposal pengunduran diri John Ihalauw. Rektor sendiri juga memberikan penjelasan bahwa proposal yang ia ajukan dalam kapasitasnya sebagai anggota Tim Rekonsiliasi hanya didengarkan, bukan disepakati.ii Bersama Siliwoloe Djoeroemana, Danny Zacharias, dan Hida Diyanto, John Titaley atas nama Penyelamat dan Penegak UKSW (PPU) pada hari Sabtu, 15 April 1995 juga memberi peringatan kepada KPD untuk tidak melakukan tindakan yang merusak kehidupan kampus seperti demonstrasi, mogok, pemajangan poster dengan isi yang menghasut, menyebarkan selebaran yang berisi hasutan, dan sebagainya. PPU menyatakan akan menghadapi semua tindakan yang merusak kehidupan kampus dari mana pun datangnya dengan bertanggung jawab. *** Polres Salatiga cukup tanggap dalam kasus penganiayaan yang terjadi pada aksi KPD tanggal 3 April. Kasus penganiayaan terhadap Awan Tri Hananto disidangkan di PN Salatiga pada hari Rabu, 12 April dengan terdakwa Widodo, kepala Satkam UKSW. Tuduhannya: penganiayaan ringan. Para saksi yang dipanggil antara lain Awan sendiri dan Danang. Dalam pemeriksaan terungkap, pada saat pengunjuk rasa sampai di depan rektorat, terjadi rebutan megafon yang dibawa Awan. Waktu mempertahankan megafon, tengkuk Awan dicederai oleh seseorang sehingga lecet. Ia yakin pelakunya Widodo. Selain itu, kakinya kena tendang dan punggungnya kena pukul. Widodo tak mengakui tuduhan itu. "Kalau tahu begini, dulu lebih baik saya pukul dia sekalian. Sebab, sudah tak merasa memukul, kok tiba-tiba dilaporkan," katanya. Kepala Satkam UKSW barusia 40 itu menerangkan, saat itu ia tengah berusaha membubarkan keributan yang terjadi di sekitar gedung rektorat.ii Widodo kemudian dinyatakan terbukti melanggar pasal 352 KUHP. Asisten pelatih Klub Atletik "Tiger" Salatiga ini dijatuhi denda Rp4.500 subsider 5 hari kurungan. Dalam sidang yang dipimpin hakim Hartanti itu, Widodo juga diharuskan membayar biaya perkara Rp500.ii *** Dalam tiap konflik, selalu muncul bunga-bunga yang menambah ramai suasana. Tanpa diduga, kuasa hukum YPTKSW Djoko Oentoeng Soeropati mengungkapkan bahwa Depdikbud mungkin akan menutup PPs-SP karena seluruh staf pengajarnya belum memiliki Nomor Induk Registrasi Dosen, sehingga tidak dapat melaksanakan ujian negara sesuai ketentuan pemerintah. Menurut Djoko, ancaman ditutupnya PPs-SP berawal dari munculnya surat Dirjen Dikti Depdikbud No. 3858/D/I/1994 tanggal 30 Agustus 1994. Surat ini merupakan kelanjutan dari Keputusan Dirjen Dikti No. 299/Dikti/Kep/1994 tentang penetapan mata uji, dosen, dan peserta ujian negara bagi program magister. Ketentuan itu ditindaklanjuti dengan surat dari Dirgutiswa Ditjen Dikti No. 197/D4/IV/T/D2/95 tertanggal 3 Februari 1995 yang ditujukan kepada rektor
http://slamethdotkom.wordpress.com
165
[email protected]
UKSW tentang ujian negara bagi program magister studi pembangaunan. "Jika mengacu dengan ketentuan itu, maka tidak ada staf pengajar PPs-SP yang berhak melakukan ujian negara karena tidak memiliki NIRD," kata aktivis PPU itu. Nico L. Kana menyangkal ini. "Sebanyak 13 dosen termasuk Dr Arief Budiman sedang kami proses untuk memperoleh NIRD itu. Proses itu sampai sekarang belum selesai. Tetapi kami yakin, program ini akan terus berjalan," ujarnya. PPs-SP didirikan sejak tahun 1987 di bawah supervisi Institut Pertanian Bogor. Lima tahun kemudian, IPB merekomendasikan PPs-SP UKSW untuk berdiri sendiri tanpa supervisi lagi.ii Bantah-membantah antara Djoko dan staf PPs-SP diakhiri oleh mendikbud. "Saya kaget baca koran tadi pagi, Pasca Sarjana UKSW akan dibubarkan. Yang dipersoalkan kok nomornya. Itu kan hanya persyaratan administratif. Yang penting adalah berapa jumlah dosen riilnya," kata Wardiman.ii Setelah yakin tak akan ditutup, lewat rapat bersama dosen dan mahasiswa PPs-SP pada hari Sabtu 15 April 1995, PPs-SP menunda mogok dari 17 April menjadi awal Mei. "Penundaan ini dilakukan sembari menunggu langkah-langkah nyata terhadap pelaksanaan hasil Tim Rekonsiliasi, dan untuk memberi kesempatan terhadap penyelesaian kemelut di UKSW," kata Nico L. Kana.ii Demonstrasi KPD yang rencananya digelar pada hari Senin, 17 April juga dibatalkan. Alasannya juga untuk memberi kesempatan kepada Tim Rekonsiliasi untuk melakukan perundingan.ii Tetapi, Tim Rekonsiliasi memang tidak bisa diharapkan. Konflik di UKSW masih belum ketahuan ujungnya. Karena merasa nasib mereka tak jelas, Fakultas Teknik, Pertanian, Sains dan Matematika, serta PPs-SP mengancam akan memisahkan diri dari UKSW dan melakukan aktivitas sendiri, mulai dari soal administrasi, keuangan hingga proses belajar-mengajar. Ini diungkapkan juru bicara KPD Budi Susilo setelah dekan dari 4 fakultas mengadakan pertemuan dengan JOI. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil. KPD kemudian mengancam akan melakukan aksi "Pembangkangan Sosial" dalam bentuk menghentikan kegiatan belajar-mengajar mulai awal Mei. Mereka juga akan memboikot acara wisuda yang akan dilakukan pada hari Sabtu, 22 April. Danny Zacharias mengatakan, langkah lima fakultas memisahkan diri itu adalah ide gila. Karenanya, ia akan minta kepada Yayasan dan rektor untuk menindak tegas pihak-pihak yang berniat memisahkan diri.ii *** Wisuda hari Sabtu, 22 April 1995 berlangsung kacau. Pertama, acara wisuda 453 dari 508 lulusan itu diwarnai beredarnya selebaran, paling tidak Suara Demokrasi dari KPD dan Gema PPU dari PPU yang dibagikan kepada orangtua wisudawan. Salah satu orangtua yang berbahagia, Siliwoloe Djoeroemana, juga membuat surat himbauan yang ditujukannya kepada para pengganggu upacara wisuda. Ia mengajak mereka untuk menghormati upacara wisuda. “Bagi para orangtua, upacara wisuda merupakan cerminan dari keberhasilan putra-putri kami yang selama ini kami dukung dengan doa dan dana yang kami uashakan dengan penuh perjuangan berat,” demikian antara lain bunyai suratnya.
http://slamethdotkom.wordpress.com
166
[email protected]
Tiga lulusan UKSW, Otto Adi Yulianto (FE), Yusak A. Supriyanto (FTh), dan Budi Kurniawan (FT) menyatakan, kemelut di UKSW belumlah selesai, bahkan makin parah. Universitas masih dipimpin oleh orang yang tak dikehendaki mayoritas warga kampus; Dr. Arief Budiman yang dipecat secara sewenang-wenang belum dipulihkan haknya. Kemudian, penggunaan teror dan kekerasan untuk merepresi berbagai bentuk perjuangan bagi demokratisasi kampus kini mulai dilazimkan, bahkan didukung dan direstui oleh penguasa kampus yang tidak lagi mempedulikan nilai-nilai moral. Beberapa mahasiswa yang mengikuti wisuda mengatakan, kendati ikut wisuda, mereka tidak bersedia kalau rektor yang mengalungkan samirnya. Jadi, di dalam gedung mereka hanya akan berdiri saja. Dekan FT, FTh, FB, FSM, FP, dan ketua PPs-SP tidak menghadiri wisuda yang meluluskan 453 mahasiswa mereka.ii *** Karena merasa pasti bahwa Tim Rekonsiliasi tak akan mampu menguraikan benang kusut, KPD merencanakan aksi pembangkangan sosial mulai Mei 1995 sampai waktu yang tidak ditentukan. Menurut juru bicara KPD Budi Susilo pada hari Kamis, 20 April, sudah ada dukungan dari 5 fakultas (FT, FB, FP, FSM, PPs-SP) dan simpati dari tiga fakultas (FTh, FKIP, FH). Sejumlah dosen juga telah menyatakan dukungan atas nama pribadi. Yang dimaksud dengan pembangkangan sosial tak lain adalah memacetkan PBM serta melakukan desentralisasi keuangan dan administrasi akademik. Pokoknya, segala sesuatu yang bisa dilakukan tanpa menyertakan pimpinan UKSW. "Aksi pembangkangan sosial ini merupakan perjuangan untuk menegakkan kembali idealisme yang bertumpu pada nilai-nilai kristiani dan Pancasila seperti kasih, keadilan, dan demokrasi," kata Budi Susilo.ii Julius Saludung menuduh rencana KPD itu mengingkari kesepakatan rapat 14-15 Desember 1994. Katanya, KPD dalam rapat itu telah dibubarkan. "Pembubaran itu ada dokumen tertulisnya. Kalau KPD kini bangkit kembali, pihak universitas tidak mengerti sama sekali," kata Julius Saludung.ii Aksi pembangkangan sosial KPD kemudian diperhalus namanya menjadi gerakan moratorium. *** Soal melontarkan isu yang bisa membuat pimpinan UKSW kalang-kabut, KPD memang jagonya. Selain isu pembangkangan sosial, mereka juga mempermasalahkan utang UKSW sebesar 8 milyar. Alasan KPD mendesak yayasan menyelesaikan masalah ini, kata Budi Susilo, karena banyaknya keluhan dari sivitass akademika. KPD mengusulkan untuk membentuk tim penyelidik dan hasilnya diumumkan secara terbuka. KPD juga mendesak YPTKSW membubarkan kuasa hukum YPTKSW dan PPU yang menurut KPD justru memperuncing konflik. Tapi isu ini tak dianggap berat oleh kubu Yayasan dan rektor. "Saya kira itu hanya alasan yang selalu dicari-cari saja. Jangankan Rp8 milyar, punya utang Rp50 milyar saja tidak menjadi soal. KPD maunya apa?" tanya Danny Zacharias. "UKSW punya utang atau tidak bukan soal.
http://slamethdotkom.wordpress.com
167
[email protected]
:Kalau punya utang apakah dosen dan karyawannya lantas tidak dibayar, kan tidak. Yang penting setiap bulan saya tetap menerima gaji," tambah Danny. Juga soal kuasa hukum dan PPU, Danny mengatakan seharusnya KPD sendiri yang harus bubar. "Kita tidak akan bubar. Kalau KPD tidak mau bubar, jelas selalu akan berhadapan dengan PPU. Mereka itu kan sudah berada di luar sistem. Kepada orang-orang ini kita memang harus tegas. Kalau perlu, sikat semua," katanya.ii Tapi, KPD tetap bertekad meneruskan perjuangan mereka. Apa pun risikonya. Nico L. Kana menjadi korban pertama gerakan moratorium ketika ia dicopot dari jabatannya sebagai ketua PPs-SP lewat surat rektor tanggal 25 April 1995.ii Pencopotan yang berlaku mulai 1 Mei 1995 ini diikuti dengan pemecatannya sebagai anggota Senat.ii Tanda-tanda bahwa Nico tidak akan terlalu lama lagi memegang jabatan itu sebenarnya sudah terlihat seminggu sebelumnya, ketika rektor mengubah struktur program pascasarjana. PPs-SP yang semula berdiri sendiri kini berada di bawah direktur pascasarjana bersama PPs-AM dan Program Magister Manajemen. Direktur pascasarjana yang pertama dijabat oleh Dr. John Titaley yang diangkat oleh rektor pada 19 April 1995ii Menanggapi pencopotan itu hari Rabu, 26 April Nico langsung mengirim surat balasan. "Kami menolak dengan tegas teguran atau peringatan yang ditujukan oleh PR I dan rektor UKSW kepada individu-individu PPs-SP UKSW," ujarnya. Nico menilai teguran kepada staf pengajar PPs-SP telah menyalahi dan melenceng dari kesepakatan Tim Rekonsiliasi agar mengembangkan sikap saling percaya.ii Berikutnya, yang dicopot adalah Dekan Fakultas Biologi Bintoro Gunadi.ii Dosen kelahiran 1959 yang memperoleh gelar doktor dari Belanda ini dicopot pada tanggal 3 Mei dan untuk sementara Fakultas Biologi dipimpin oleh caretaker Drs. FX Soejono, MSc.ii Pencopotan Bintoro disambut unjuk rasa mahasiswa FB dan fakultas lain pada pagi keesokan harinya. Halaman depan kantor rektorat kembali dipenuhi mahasiswa yang membawa poster dan spanduk. Mereka mempertanyakan alasan pemecatan dekan FB. Para pengunjuk rasa yang kebanyakan mahasiswi itu minta berdialog dengan rektor. Mereka dijanjikan untuk bertemu rektor di BU, tapi ketika mereka tiba di gedung itu, mereka hanya mendapatkan petugas keamanan kampus. Lalu, mereka kembali ke kantor Rektorat. JOI akhirnya keluar menemui para pengunjuk rasa. Dia menjelaskan alasan-alasan pencopotan. Ketika pengunjuk rasa mengajukan beberapa pertanyaan, rektor segera membalikkan badan dan masuk kembali ke kantornya. Rombongan pengunjuk rasa akhirnya meninggalkan tempat pada pukul satu siang.ii Juga ikut dicopot pada hari yang sama Dekan FTh. Pdt. Nugroho Adi. Menurut mantan dekan yang juga pendeta GKJ ini, dirinya dicopot karena telah menulis surat kepada YPTKSW yang intinya "bersyukur" bila JOI mundur dari jabatan rektor. "Surat pernyataan itu merupakan keputusan fakultas, bukan pribadi saya, namun saya tetap diberhentikan. Tapi, tak apalah karena jabatan bagi saya hanya kesempatan saja, (namun) pemberhentian itu seharusnya yang proporsional," tuturnya.ii Menurut JOI, Bintoro Gunadi dicopot karena dekan FB itu tidak bisa diajak bekerja sama dalam suatu oraganisasi lantaran sudah mengeluarkan mosi tidak percaya. Tindakan itu sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkup pendidikan tinggi. Selain itu, Dekan FB telah menahan dana dari Suntory Research Centre (SRC) Jepang yang akan masuk universitas itu.
http://slamethdotkom.wordpress.com
168
[email protected]
Tetapi, pernyataan JOI ditolak Bintoro Gunadi. Ia mengatakan, yang dilakukannya sudah melalui rapat fakultas. Sebagai dekan FB, lanjutnya, ia dipilih oleh staf dan mahasiswa. Kalau kemudian ia diberhentikan oleh rektor, maka semua diserahkan kepada staf dan mahasiswa FB. Mengenai dana dari Jepang senilai US$15.000, Bintoro mengatakan bahwa dana itu akan digunakan untuk kerja sama penelitian antara FB dan Suntory Research Centre Jepang. "Kami mengajukan proposal enam bulan lalu dan tembusannya (ditujukan) pada rektor, namun tak ada jawaban dari rektor. Tapi, setelah dana itu cair kok ditanyakan, padahal dana itu dikelola FB untuk penelitian bersama yang saat ini tengah berlangsung," paparnya.ii Pencopotan kedua dekan membuat kedua fakultas memulai moratorium pada hari Kamis, 4 Mei. Gerakan itu, walaupun deklarasinya ditandatangani pada tanggal 2 Mei oleh 14 anggota presidium KPD, sedianya baru akan dilaksanakan mulai hari Senin, 8 Mei. Terhadap pencopotan yang terjadi, KPD tidak takut. Lima fakultas KPD malah bertekad mendirikan PTS tandingan. Mereka akan mundur bersama-sama untuk mendirikan PTS baru. "Kami sudah melakukan penjajakan-penjajakan untuk mendirikan PTS baru secara bedhol desa. Ini sudah tekad kami, kalau kemelut di UKSW ini tidak segera berakhir," ujar Arief Budiman seusai mengikuti sidang gugatan PTUN di Semarang pada 4 Mei 1995. Menurut Arief, sebenarnya ada 2 cara yang akan ditempuh oleh KPD, yakni dengan bedhol desa atau mundur sendiri-sendiri. Pilihan pertama yang dipilih karena mundur sendirisendiri sangat tidak menguntungkan dosen yang masih yunior. Ketua Kopertis VI Jateng Prof. Dr. Ronny Hanitijo menyatakan membuka diri secara penuh terhadap rencana pendirian PTS baru oleh para dosen UKSW, asal saja semuanya memenuhi persyaratan pendirian PTS baru.ii *** Tidak puas dengan demonstrasi kemarinnya, mahasiswa FB dan FTh kembali berunjuk rasa pada hari Jumat siang, 5 Mei. Demonstrasi di lapangan sepakbola kali ini diwarnai baku hantam antara mahasiswa KPD dengan PPU. Semula anggota PPU dan Satkam minta agar demonstrasi dihentikan. Ini ditolak. Di tengah perang mulut itu, tiba-tiba ada anggota PPU melayangkan tinjunya kepada seorang mahasiswa KPD. Bogem mentah itu tidak mengenai sasaran, namun langsung menyulut perkelahian antara anggota PPU dan KPD. Jeritan dan teriakan para mahasiswi makin membuat kacau suasana. Baku hantam itu baru berhenti setelah petugas keamanan berhasil mengendalikan suasana. Mahasiswa KPD meninggalkan tempat menuju Gedung C tapi dikejar mahasiswa PPU. Pintu gerbang Gedung C akhirnya ditutup. Merasa lawan mereka takut, anggota PPU jadi semakin panas. Mereka malah ingin memanfaatkan Satkam untuk masuk ke gedung itu. Usaha ini dapat digagalkan oleh dua dosen asing, Siwon, PhD dan Schafer Christoph, PhD. Puluhan mahasiswi juga membuat pagar betis menghalangi anggota PPU yang semakin menggila itu. "Saya sangat menyesalkan cara para Satkam ini. Seharusnya mereka tahu, kalalu pintu gerbang sampai dibuka tentu ada orang yang akan masuk. Itu berarti akan menimbulkan perkelahian lagi. Saya sangat menyayangkan," ujar Siwon yang sempat berdebat seru dengan Danny Zacharias. Mahasiswa KPD baru keluar setelah petugas dari Polres Salatiga datang. Demonstrasi
http://slamethdotkom.wordpress.com
169
[email protected]
hari itu berlangsung dari pukul 10 sampai 12.15 Dalam pernyataan sikapnya, mahasiswa FB dan FTh menuntut pencabutan SK pemberhentian dekan-dekan mereka. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka mereka akan melakukan aksi moratorium sampai batas yang tidak ditentukan dan mendukung segala bentuk aksi, baik di FB maupun di fakultas-fakultas lain, kata Aniek, salah seorang demonstran sebelum terjadinya perkelahian.ii Sementara itu, 10 pimpinan unit (FB, FT, FTh, FP, FSM, PPs-SP, FKIP, FH, Pusat Bimbingan, dan DPU) mengeluarkan pernyataan sikap kepada YPTKSW, pimpinan UKSW, serta Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung. Mereka menyatakan bahwa pengurus Yayasan periode lalu telah menimbulkan suasana tidak harmonis di UKSW karena kontroversi pemilihan John Ihalauw sebagai rektor UKSW ke-4. Pemecatan Arief Budiman merupakan titik kulminasi kemelut tersebut, yang kemudian diikuti serentetan pemecatan. Insiden pada 5 Mei akhirnya mempercepat moratorium di semua fakultas.ii Selain mogok, mahasiswa juga dihimbau untuk menunda pembayaran SKS dan pengisian Kartu Rencana Studi. Himbauan ini disambut gembira. Di sebelah salah satu pengumuman tercoret sebuah pantun: "Air jeruk rasanya kecut. Paling enak dicampuri es. Kalau mogok terus berlanjut. Maka lebih baik tidak ambil es ka es." Mulai 8 Mei kampus UKSW tampak sepi. Yang terlihat sibuk hanya 20-an mahasiswa PPU yang membagikan selebaran Gema PPU.ii *** Menurut Rektor John Ihalauw, moratorium tidak dapat dibenarkan. "Dalam dunia pendidikan tidak ada istilah mogok, boikot, ataupun moratorium, karena tindakan-tindakan seperti itu berarti menghambat tujuan negara dalam menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya. Apalagi bila itu dilakukan oleh pendidik atau dosen. Jelas merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan tidak bertanggung-jawab." kata JOI.ii Menghadapi aksi mogok untuk ketiga kalinya, JOI tetap tegar. Ia dengan tegas menolak tuntutan moratorium. Katanya, gerakan itu menggerogoti dan merusak UKSW dengan jalan membentuk "universitas" di dalam universitas atas beban UKSW. "Kami tidak akan tunduk terhadap tuntutan-tuntutan dari kelompok yang berada di luar sistem dan yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku. Proses belajar-mengajar harus tetap berjalan. Pimpinan UKSW akan mengatasi setiap rintangan yang menghadang." kata JOI. JOI juga menyatakan bahwa moratorium itu jelas merupakan coup d'etat (kudeta). Pernyataan moratorium KPD ditandatangani oleh 13 orang dari 11 unit dan wakil mahasiswa, yaitu Th. Sumartana, Nico L. Kana, Ferryanto, I Made Markus, Bintoro Gunadi, Nugroho Adhi, Rukmadi Warsito, Endro S. Eklas, Sunarso, Nggandi Katu, Budi Lazarusli, Budi Susilo, dan Anindita.ii Menurut Budi Susilo, apabila rektor dan pengurus Yayasan akan memecat semua anggota KPD yang terlibat moratorium, maka akan terjadi pemecatan massal di UKSW. Menurutnya, 150 dari 300 dosen telah masuk KPD. Dari jumlah itu 75 di antaranya sedang belajar di luar negeri, dan 25 adalah dosen asing. Dosen yang bergelar doktor yang masuk KPD 22 dari 27 doktor di UKSW. Mahasiswa yang terlibat KPD sekitar 5000 dari 7000 mahasiswa UKSW.
http://slamethdotkom.wordpress.com
170
[email protected]
Tetapi, tampaknya Yayasan telah bertekad untuk bertempur keras lawan keras. Mereka siap mencopot siapa pun yang tidak mau tunduk. Yang dianggap sebagai biang keladi malahan tidak hanya akan diturunkan dari jabatan. Mereka juga akan ditendang keluar UKSW selamanya. Begitulah, Yayasan pada 11 Mei 1995 pun memanggil Limson, Nico, dan Ariel untuk pertemuan bipartit, membicarakan masalah PHK, tetapi ketiganya tidak datang. Limson, misalnya, hanya mau datang bila Yayasan menerima syarat yang diajukannya. Pertama, yang memanggil adalah ketua umum dan sekretaris umum yang merupakan wakil resmi Gereja pendiri UKSW. Kedua, pertemuan itu harus dihadiri oleh Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, yaitu Dr. Rugas Binti. Limson menjadi pengajar UKSW atas permintaan UKSW kepada Gereja Kristen Evangelis Kalimantan. Karena itu, kalau mau memecatnya, Yayasan harus menghubungi dulu Gereja Pendukung YPTKSW ini. Sedangkan Ariel tidak memenuhi panggilan pengurus Yayasan karena pengacaranya sedang ke luar kota. "Ya saya harus menghormati mereka, dong. Mereka kan pakai pengacara, kalau nanti saya tidak pakai pengacara, saya nanti dituduh tidak menghormati mreka. Nanti dikira sok gentle," kata Ariel. Nico L. Kana juga tidak memenuhi panggilan karena sedang berada di luar kota.ii KPD tidak mungkin melakukan mogok selamanya. KPD mulai memikirkan secara serius gagasan untuk membuat universitas baru sendiri. Sebuah tim kecil telah dibentuk. Tim ini bertugas mencari investor untuk mendirikan PTS baru. Tim ini bahkan telah berangkat ke Jakarta beberapa hari sebelum tanggal 16 Mei 1995.ii *** Sekitar 300 mahasiswa FB kembali berunjuk rasa pada hari Jumat, 19 Mei. Mereka menolak caretaker FB Drs. FX Soejono yang diangkat sebagai dekan baru.ii Soejono didampingi oleh PD I Soenarto Ns., MSc dan PD II Drs. Rully Adhi Nugroho. Jabatan PD III dirangkap dekan.ii Aksi mahasiswa dimulai pukul 9.00 hingga 12.00. Nugroho Adiweda, mahasiswa semester VIII FB, mengatakan bahwa 305 dari 400 mahasiswa FB menandatangani surat pernyataan yang tidak mengakui Soeyono dan hanya mengakui Bintoro Gunadi. Di tengah hangatnya aksi, tiba-tiba muncul Soejono. Ia langsung didaulat untuk berdialog. Di hadapan Soejono para mahasiswa dengan tegas menyatakan tidak akan mengakui Soeyono sebagai dekan FB, tidak akan mengikuti kegiatan akademik yang dipimpin Soejono, dan tidak akan membayar uang SKS dan biaya-biaya lain beserta dendanya. Soejono membela diri dengan mengatakan, ia menjadi dekan FB sekadar menjalankan tugas dari atasan. Sebagai pegawai negeri, katanya, ia harus menerima penugasan atasas untuk menyelamatkan FB dari kehancuran. Berdasarkan pengalaman yang telah lalu dan untuk menghindari gangguan dan intimidasi kelompok prorektor, maka para pengunjuk rasa menutup gerbang Gedung C. Tanpa mereka sadari, dua anggota satkam UKSW ikut terkurung di sana. Karena panik, kedua anggota Satkam ini kemudian memecahkan kaca agar bisa keluar.ii Aksi unjuk rasa tak membuat YPTKSW surut. Dewan Pengurus Harian YPTKSW malah mengeluarkan surat No. 086/A/YSW/1995 yang sebenarnya sudah dibuat pada tanggal 13 Mei 1995. Lewat Sk ini pengurus Yayasan menugaskan rektor untuk:
http://slamethdotkom.wordpress.com
171
[email protected]
1. Menunda dan/atau menghentkan gaji dan tunjangan pimpinan unit/staf akademik/non akademik yang melakukan moratorium mulai bulan Juni 1995 sampai janga waktu tak terbatas. 2. Mencopot pejabat struktural yang melakukan moratorium serta tidak ingin menghentikan kegiatan yang merugkan mahasiswa. 3. Melakukan tindakan administratif terhadap staf akademik/non akademik yang tidak ingin menghentikan aksi moratorium. (SK Dewan Pengurus Harian YPTKSW No. 086/A/YSW/1995 tanggal 13 Mei 1995 dan ditandatangani oleh Ketua I Haryono Semangun dan Sekretaris Umum Julius Saludung. SK ini dikuatkan oleh SK Dewan Pengurus Inti YPTKSW No. 089/A/YSW/1995 tanggal 17 Mei 1995 yang ditandatangani Ketua Umum Sry Wismoady Wahono dan Sekretaris Umum Julius Saludung) Fotokopi surat itu beredar dan membuat UKSW makin panas. Surat itu ditandingi oleh selebaran yang mengajak mahasiswa menunda pembayaran uang SKS serta biaya-biaya akademik lain. ii *** Senin, 22 Mei giliran sekitar 500 mahasiswa FH dan FB ditambah mahasiswa fakultas lain berdemonstrasi menentang pemecatan dosen. Aksi ini kembali diwarnai perkelahian. Bentrok terjadi antara mahasiswa FH dengan Satkam yang ada di bawah komando PR III. Mula-mula sekitar seratus mahasiswa FH menggelar aksi duduk di lantai sambil mengacungkan poster. Kemudian mereka membacakan deklarasi mengecam SK YPTKSW No. 086/A/YSW/1995. Mereka juga menyatakan mendukung dekan mereka Budi Lazarusli, SH, MH. Namun, Satkam tidak suka ada demonstrasi di ruangan tersebut sehingga terjadilah tarikmenarik poster. Para demonstran berhasil mempertahankan poster dan menarik diri turun ke bawah menuju Bukit Demokrasi. Sesampai di lantai pertama mereka keluar sambil mengacung-acungkan poster. Ini membuat anggota Satkam kurang senang dan berusaha merebut poster yang sebagian dibawa demonstran wanita. Suasana semakin panas ketika salah seorang Satkam merobek poster. Perkelahian pun tak terhindarkan. Mahasiswa yang saat itu masih berada di depan Gedung F segera menghambur ke Bukit Demokrasi. Melihat mahasiswa FH diperlakukan kasar oleh Satkam, demonstran dari FB yang sedang menggelar tenda keprihatinan di depan kantor dekan mereka segera bergabung. Di Bukit Demokrasi mereka menyanyikan mars Satya Wacana sambil membakar SK DPHYPTKSW No. 086/A/YSW/1995. Isi SK itu menyetujui rektor untk mengambil tindakan kepada dosen dan karyawan yang bermoratorium. Awan Tri Hananto, mahasiswa FT, kembali menjadi korban pemukulan. Walaupun dipukul secara membabi buta oleh anggota Satkam, dia tidak membalas ataupun melawan. "Aksi kami adalah aksi moral dan aksi damai. Mereka boleh saja memukuli fisik saya, tetapi mereka tidak mungkin memadamkan semangat kami," tegasnya.ii Dekan dan Pembantu Dekan FH kemudian malah dicopot.ii Untuk sementara FH dipimpin oleh Hermawan, SH yang diangkat menjadi caretaker.ii Untuk memperkuat posisi di
http://slamethdotkom.wordpress.com
172
[email protected]
FH, rektor juga menempatkan Danny Zacharias sebagai tenaga tetap di Fakultas Hukum.ii *** Tanda-tanda berakhirnya konflik sama sekali tidak terlihat, malah perseteruan itu kian meruncing. Pada 23 Mei seluruh staf pengajar FT telah menyatakan bahwa FT tidak mungkin menerima mahasiswa baru karena kemelut yang belum usai dan mereka sedang melakukan moratorium. Beberapa fakultas lain juga menyatakan hal serupa pada waktu yang hampir bersamaan. Tetapi, pimpinan universitas nekat menyelenggarakan penerimaan mahasiswa baru sendiri, sesuatu yang biasa diurus bersama fakultas. Dosen dan mahasiswa menjalankan aksi moratorium untuk menekan pengurus Yayasan dan rektor, tapi pimpinan UKSW malah menahan gaji dosen dan staf yang ikut gerakan moratorium. Mahasiswa kemudian mengumpulkan dana untuk dosen yang dipecat.ii Maukah pemerintah sedikit repot untuk membenahi masalah di sana? Tidak, atau belum untuk saat ini. Menteri telah menolak untuk campur tangan. Menanggapi imbauan Ketua Subkomisi Pendidikan Tinggi Komisi IX DPR-RI Marsetio Donoseputro mengenai perlunya pemerintah turun tangan mengatasi krisis UKSW, Mendikbud Wardiman menegaskan, kasus UKSW adalah masalah intern yang harus diselesaikna sendiri. Ia mengatakan tidak tahu-menahu mengenai kelompok-kelompok yang bersengketa di UKSW "Kita tidak bersedia ikut campur tangan. Misalnya ada 10 kubu di sana, kesepuluh kubu itu yang harus minta kepada saya untuk campur tangan," kata Wardiman.ii Tak seorang pun tahu kapan mahasiswa bisa belajar dengan tenang kembali. Para mahasiswa sendiri kini asyik menerbitkan buletin. Selain Suara Demokrasi dan Gema PPU yang sudah muncul duluan, mendadak ada banyak penerbitan lain. Ada Deteksi dari mahasiswa FKIP, Kompos (FP), Obor (FTh bersama FH), Solder (FT), Corong (tanpa identitas), SUwEK (FE), Pro Justitia (FH), Biösfer (FB), Viva Justitia (FH), Nurani (FSM), dan Jasmine (buletin terbitan mahasiswi). Semua buletin tidak ada yang berumur panjang. Muncul seperti jamur di musim hujan dan kemudian lenyap sendiri. Yang jelas, kehadiran buletin-buletin itu membuat suasana tambah ramai. Orang yang belum tahu situasi UKSW bisa-bisa menyangka Satya Wacana itu sekolah jurnalistik. ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
173
[email protected]
BAB 15
Moratorium “Moratorium bagi kami adalah cara untuk mempertahankan idealisme dan sekaligus menjaga keutuhan kami selaku sebuah gerakan moral. Ketika kecenderungan kehidupan kampus UKSW telah semakin mengeras dan menyempit, maka tak bisa lain, kami harus menciptakan ruang untuk gerak kami sendiri. Ketika Pengurus Yayasan dan rektor memahami persoalan dalam bingkai kewenangan dan aturan belaka, maka tak ada lagi celah yang bisa menghargai aspirasi yang bertumbuh di kampus. Sebab itu kami melakukan moratorium, dalam arti memutuskan hubungan sementara dengan mereka yang memiliki pemikiran hitam-putih dan hanya mengenal kenyataan dalam penglihatan satu dimensi. Ketika universitas hanya dipikirkan sebagai sebentuk loyalitas dalam hubungan antara yang memberi dan yang menerima kerja, maka universitas semacam itu telah menjerat dirinya sendiri. Oknum-oknm di Yayasan dan rektorat selalu mengatasnamakan hukum serta aturan yang berlaku di Satya Wacana, padahal di balik kedok itu mereka hanya membela kepentingan mereka sendiri. Kami menolak hukum tanpa moral. Kamimenolak aturan tanpa dialog. Kami menolak loyalitas tanpa kritik. Kami menolak kehidupan akademis tanpa kemerdekaan mengemukakan pendapat. Kami menolak penanganan masalah yang semata bercorak formal-legalistis. Kami lebih menjunjung martabat manusia daripada taurat. Dalam hubungan ini perlu kami tegaskan bahwa moratorium adalah celah untuk menunjukkan penolakan kami terhadap kebuntuan pengurus dan rektor untuk melihat kemelut di UKSW. Moratorium bukan sekadar mogok kerja, tapi cara untuk menghadapi kesewenang-wenangan Pengurus dan Rektor. Sepanjang Pengurus dan Rektor menekan aspirasi kampus dengna kekuasaan, selama itu moratorium akan tetap diberlakukan. Kami tidak bisa loyal terhadap siapa pun yang memiliki cara berpikir yang akan membawa UKSW pada jalan kehancuran.” (Presidium KPD, Kemelut UKSW dalam Persepsi dan Perspektif KPD, 21 Juni 1995) Moratorium didukung oleh seluruh dosen PPs-SP, FT, FSM, dan FP.Lebih dari 75% dari jumlah dosen FTh, FB, dan DMU serta lebih dari 50% dari jumlah dosen FH dan FKIP mendukung moratorium. Dosen PPAM Th. Sumartana juga menyatakan bermoratorium. Basis pendukung JOI ada di FE. Tetapi, itu tidak berarti tidak ada pendukung KPD di fakultas itu. Aloysius Gunadi Brata menjadi satu-satunya dosen FE yang bermoratorium. Menanggapi gerakan moratorium, pengurus YPTKSW sudah mengeluarkan dua SK yang bernomor 086 dan 089/A/YSW/1995. Lewat kedua SK itu pengurus menugaskan rektor menghentikan gaji dosen yang moratorium mulai 1 Juni. JOI kemudian mencopot dekan FB, dekan FH, PD II FH Christina Tri Budhayati, dan PD III FH Indra Budiman. Senin, 29 Mei PR I Soewandi dan PR II Hari Sunarto mengeluarkan ultimatum kepada dosen KPD yang menandatangani pernyataan moratorium. Dosen KPD yang melakukan moratorium diberi kesempatan sampai 30 Mei pukul 15.00 untuk membuat pernyataan tertulis mencabut dan menghentikan aksi moratorium. Bila tidak, mulai 1 Juni gaji dan tunjangan mereka akan dihentikan ii Ancaman itu sama sekali tidak diindahkan.
http://slamethdotkom.wordpress.com
174
[email protected]
"Surat peringatan itu salah alamat karena seharusnya ultimatum itu ditujukan kepada semua pendukung moratorium, bukan ditujukan kepada person tertentu saja," kata Ferryanto. Sementara itu, Musyawarah Orangtua Mahasiswa UKSW di Surakarta pada 24 Mei juga memberi batas waktu kepada pengurus yayasan dan rektor sampai tanggal 30 Juni untuk memulihkan suasana damai di UKSW. Jika tidak berhasil, pengurus YPTKSW dan rektor diminta mengembalikan pengelolaan UKSW kepada Gereja pendiri. Melalui surat pernyataan yang ditandatangani Drs. Suwitadi Kusumodilogo, para orangtua mnta jaminan agar dosen dan dekan di UKSW memiliki kualitas akademis dan pengabdian yang bisa dipertanggungjawabkan. Juga, mereka mendesak pengurus yayasan dan rektor agar tidak memecat serta menghentikan gaji dan tunjangan dosen KPD. Mereka juga minta agar tidak ada ancaman penurunan nilai bagi mahasiswa.ii *** Surat peringatan YPTKSW dan rektor justru menyulut aksi lagi. Demo besar yang diikuti ribuan mahasiswa, termasuk mahasiswa FE, digelar pada 1 Juni mulai pukul 10. Demonstran menuntut JOI mundur. Mereka juga minta agar SK Yayasan dan rektor yang kontroversial segera dicabut. Selain itu, mahasiswa FT memprakarsai aksi kolekte untuk mengumpulkan dana bagi dosen yang gajinya dihentikan.ii Tiga fakultas KPD yang paling kompak, FT, FP, dan FSM, bahkan menolak penerimaan mahasiswa baru.ii Sinode Gereja Kristen Jawa Salatiga tidak menyetujui demonstrasi. Ini dinyatakan dalam surat tertanggal 29 Mei yang ditandatangani Ketua Sinode Pdt. Djimanto Setyadi, STh dan Sekretaris Pdt. Imanuel Harno Sakino, STh.ii Tetapi, Sinode mendukung wakil GKJ di YPTKSW Pdt. Dr. Kadarmanto Hardjowasito, MTh yang menolak keterlibatan penasihat hukum YPTKSW dalam menyelesaikan kemelut. Para pejabat di Gereja Kristen Jawa Salatiga juga tidak setuju dengan pemecatan dan penghentian gaji. Dalam surat kepada pengurus YPTKSW hari Jumat, 2 Juni, Sinode GKJ mendesak pengurus YPTKSW membatalkan SK Dewan Pengurus Harian No. 086/A/YSW/1995 dan SK Dewan Pengurus Inti No. 089/A/YSW/1995.ii Seruan ini sama sekali tidak dipedulikan. Demonstrasi tetap berjalan dan pihak Yayasan/rektor malah memberi tugas kepada 8 orang untuk menjadi dosen pengganti di FTh ii Selang beberapa hari, Rektor John Ihalauw mencopot Ferryanto sebagai dekan FT dan Kepala Jurusan Teknik Elektro dengan alasan Ferryanto melakukan moratorium dan menolak admisi mahasiswa baru.ii Pencopotan Ferryanto ditolak oleh staf pengajar FT. Mereka tetap mengakui dan menghormati Dr. Ferryanto sebagai dekan FT dan ketua jurusan FT jurusan teknik elektro. Pada hari yang sama rektor mencopot Sunarso Hardjosuwarno dari jabatan Ketua Departemen Matakuliah Umumii dan mengangkat Ph. Pirenomulyo, MA sebagai caretaker Ketua DMU.ii Besoknya rektor memberhentiakn Rukmadi Warsito dari jabatan dekan Fakultas Pertanian.ii Staf pengajar FP menolak pemberhentian dekan mereka lewat rapat tanggal 5 Juni 1995, tetapi rektor mengangkat Drs. Siliwoloe Djoeroemana, MS sebagai dekan FP yang baru,ii mencopot Drs. Endro Sulistyo Eklas, M. Psi dari jabatan Direktur Pusat Bimbingan,ii dan
http://slamethdotkom.wordpress.com
175
[email protected]
memberhentikan Budi Susilo, S.Psi dari jabatan Koprogdi PPB pada JIP FKIP.ii Jabatan Budi Susilo diisi oleh Drs. Slameto.ii Kini tinggal dekan FSM Dr. Kris Timotius yang belum dicopot dari kedudukannya. Dekan FKIP I Made Markus telah habis masa jabatannya dan Drs. Bambang Suteng Sulasmono telah terpilih sebagai dekan FKIP yang baru. Namun demikian, kendati didukung mayoritas dosen di FKIP, Bambang belum tentu akan direstui pimpinan untuk menjadi dekan.ii Menanggapi SK-SK rektor, Anindita, anggota presidium KPD yang mewakili mahasiswa, mengisyaratkan bahwa mahasiswa kemungkinan akan menunda pembayaran uang kuliah. Ia menyatakan, kalau rektorat berhak menunda pembayaran gaji terhadap staf akademik yang melakukan moratorium, pihaknya juga berhak menangguhkan pembayaran SKS. Lagipula, katanya, sudah beberapa waktu tidak ada perkuliahan. Selain itu, mahasiswa saat ini telah berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp5 juta untuk para dosen yang dihentikan gajinya.ii *** Dalam jumpa pers di Gedung rektorat JOI membantah perihal dugaan keterlibatannya atas intimidasi dan tekanan yang dilakukan oknum tertentu dari luar kampus terhadap wartawan. Terungkap dalam pertemuan yang dihadiri para wartawan dari berbagai media, seperti Kompas, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, dan Wawasan, belakangan ini muncul tekanan dari pihak tertentu yang dialami para wartawan yang biasa meliput peristiwa di UKSW. Bentuk tekanan itu antara lain berupa imbauan, ancaman, dan bahkan intimidasi agar para wartawan tidak menulis pernyataan KPD.ii *** Tanggal 2 Juni 1995 lewat suratnya kepada Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ), Majelis GKJ, dan Sri Wismoady Wahono, Novembri Choeldahono antara lain menulis bahwa Ruminto Adi (mantan Sekretaris Senat dan mantan Ketua Pemilihan Rektor tahun 1993) telah bersaksi dan mengaku kepada salah seorang dekan, yang intinya adalah sebagai berikut. a. Pdt. John Titaley, DTh. (mantan wakil ketua Senat) dan Ruminto Adi sebelum menemui Tedjorahardjo pada tanggal 23 Mei 1993 dan Haryono Semangun pada tanggal 25 Mei 1993 telah membuka amplop-amplop dari unit-unit yang berisi calon rektor pilihan unit, sehingga mengetahui secara pasti berapa jumlah pemilih untuk dirinya. b. Pdt. John Titaley, DTh. sangat berambisi untuk menjadi rektor ke-4 UKSW. Hal ini baru mungkin terjadi kalau dilakukan interpretasi secara berbeda terhadap SK 133/1988. Kunjungan kepada kedua oknum dari Dewan Pengurus dilakukan dalam rangka untuk mencapai kepentingan tersebut, sehingga lahirlah Penjelasan Surat Keputusan Pengurus YPTKSW No. 133/A/KP/DPI/88 tanggal 27 Mei 1988 yang dikeluarkan di Salatiga, 26 Mei 1993. c. Pdt. John Titaley, DTh. menjanjikan kepada Ruminto Adi suatu jabatan/posisi kalau ia berhasil menjadi rektor. John Titaley yang mendapat tembusan surat ini tidak membenarkan dan tidak menyangkal tuduhan Novembri. Ia malah menyurati Novembri mengajak Novembri untuk bertemu 4 mata. Novembri menolak dan hanya mau bertemu John dalam sebuah forum terbuka.
http://slamethdotkom.wordpress.com
176
[email protected]
***
Insiden terjadi lagi saat mahasiswa FP menggelar mimbar bebas di depan kantor rektorat. Begitu ratusan mahasiswa memasuki pelataran ini, Satkam secara paksa menghalau mereka dengan alasan mahasiswa baru akan melakukan pendaftaran ulang. Akibatnya, 9 mahasiswa, Danang Damarsurya (FE), Helio (FE), Awan Prihananto (FT), Ivan (FT), Adi Djaya (FSM), Moses Gunarto (FB), Kristian, Agung Kritiano (FP), dan Ignatius Ari (FP) menderita lukaluka. KPD langsung melaporkan kejadian itu pada Polres Salatiga.ii Orangtua mahasiswa tidak bisa tinggal diam. Perwakilan Musyawarah Orangtua Mahasiswa dari FT yag tinggal di Semarang pada 7 Juni menghadap rektor untuk meminta gambaran situasi terakhir di UKSW. Mereka juga menyampaikan hasil pertemuan sekitar 50 Otma FT di Semarang pada tanggal 31 Mei. Hasil musyawarah Otma antara lain, Otma tidak ikut campur masalah di UKSW tetapi minta yayasan dan rektor bertanggung jawab atau pendidikan karena Otma telah memenuhi kewajiban. Para orangtua minta agar proses belajar-mengajar tidak terganggu kemelut. Otma Semarng juga memberi batas waktu penyelesaian kemelut sampai tanggal 30 Juni. Kalau pada tanggal itu belum selesai juga, Otma minta agar masalah UKSW diserahkan kepada Gereja dan segala kerugian ditanggung pengurus YPTKSW dan rektor. Surat ini ditandatangan lima orangtua mahasiswa, D. Wahyu Gunawan, I Budi Wahono Haryanto, Thomas Susanto, Bambang Sutedjo, dan Andi S. Wijaya. Kelimanya mewakili sekitar 50 orangtua.ii Tuntutan otma Semarang diikuti rekan mereka dari Surakarta yang untuk kedua kalinya bermusyawarah pada 7 Juni 1995. Mereka juga memberi batas waktu kepada Rektor sampai 30 Juni untuk mengembalikan PBM. Tiga hari kemudian, pada 10 Juni, giliran otma di Jawa Barat dan Jakarta yang berapat. Seperti dikomando, mereka juga memberi batas waktu yang sama bagi pulihnya PBM. GKI Jateng juga menyatakan sikap. Suara GKI diawali dengan pernyataan A. Himawan, wakil GKI di YPTKSW, yang prihatin dengan SK Dewan Pengurus Inti No. 089/A/YSW/1995 tanggal 17 Mei. Himawan meminta DPH YPTKSW menyerahkan kemelut UKSW kepada GerejaGereja Pendiri dan Pendukung karena menilai langkah yang diambil rektor UKSW tidak akan menyelesaikan masalah. Pernyataan Himawan didukung oleh Badan Pekerja Majelis Sinode GKI Jawa Tengah di Magelang, melalu surat No. 347/BPMS/ps/V/III/95. Tentang sikap Gereja, JOI mengatakan itu urusan Gereja dengan pengurus Yayasan. "Saya cuma melaksanakan apa yang menjadi keputusan Yayasan karena Yayasan yang memberi mandat kepada saya selaku rektor. Kalau Yayasan memerintahkan saya untuk membatalkan SK yang saya tanda-tangani, sekarang juga saya batalkan," tegasnya. Julius Saludung mengatakan, hanya GKJ dan GKI yang tidak puas atas tindakan YPTKSW terhadap dosen yang moratorium.ii Sekum DP YPTKSW yang turut menandatangani SK kontroversial ini mengatakan, SK itu terbit sesudah rapat yang dihadiri 14 utusan Gereja dan tujuh staf ahli di Yayasan. "Karena cuma empat utusan Gereja yang tidak hadir dalam rapat 17 Mei 1995 itu, keputusan sudah sah," tegasnya. "Jika kemudian yang tidak hadir menyampaikan
http://slamethdotkom.wordpress.com
177
[email protected]
pemikiran lain, ya, kita bahas dalam rapat-rapat mendatang," ujarnya enteng.ii Tuntutan agar kemelut UKSW diserahkan pada Gereja semakin keras. Bahkan, dalam tatap muka dengan Komisi IX DPR RI, para mahasiswa yang tampil rapi dengan jas almamater berpendapat bahwa keputusan rektor kontraproduktif. Hermawan, juru bicara kelompok mahasiswa itu, menuntut YPTKSW menyerahkan semua masalah kepada Gereja. Para mahasiswa juga minta agar Gereja lebih aktif dan tegas dalam masalah UKSW. “Kami meminta DPR RI mendukung upaya penyelesaian dilaksanakan oleh Gereja," kata Hermawan. Mereka juga ingin agar mendikbud mendukung penyelesaian yang dilakukan Gereja.ii Tidak semua sependapat dengan mahasiswa. Danrem 073/Makutarama, misalnya, lebih menyesalkan sikap mogok mengajar daripada SK Yayasan. Tetapi, ia merasa campur tangan dari pihak luar belum perlu, walaupun ia mengaku bahwa sekitar 40 orangtua mahasiswa telah datang kepadanya, meminta ABRI membantu menyelesaikan kemelut. Mengenai dosen yang ditunda gajinya untuk bulan Juni, ia berkomentar. "UKSW memberikan gaji tanggal 1 Mei. Mereka sudah menerima gaji. Namun setelah itu menyatakan moratorium. Ya terpaksa gaji bulan Juni ditunda untuk para penggerak moratorium itu."ii Karena tak mendapat tanggapan yang mereka inginkan, mahasiswa terus melakukan aksi. Pada 27 Juni kampus UKSW diguncang protes lagi. Kali ini mahasiswa FH menentang perkuliahan sistem blok, yakni menggantikan fungsi sejumlah dosen dengan dosen pendukung rektor. Aksi protes di BU itu mendapat dukungan LK FH dan dikuti puluhan mahasiswa. Pada kesempatan itu mahasiswa menuntut dialog terbuka dengan pimpinan fakultas. Tuntutan ini dipenuhi pihak fakultas dengan hadirnya Hermawan dan Oentoeng Soeropati, wakil dari rektorat. Keduanya menjelaskan bahwa sistem blok justru untuk membantu mahasiswa. Namun, mahasiswa menuduh bahwa penggantian dosen itu hanya trik untuk menggantikan dosen KPD.ii *** Walaupun terus diprotes—antara lain pada 16 Juni 1995 ketika mahasiswa FKIP Thomas Wibowo atas nama seluruh mahasiswa PPB JIP-FKIP menulis surat pada rektor menolak pencopotan Budi Susilo, Spsi sebagai Koprogdi PPB JIP-FKIP dan tetap mengakui Budi Susilo sebagai dosen—pemecatan kembali terjadi. Kali ini yang nasibnya naas adalah lima dosen Fakultas Biologi. Bintoro Gunadi, Susanti, Lusianawati, Santoso S., dan Sri Hartini diberhentikan sebagai dosen FB. Kelimanya digantikan oleh staf pengajar muda yang belum lama direkrut rektor. Seperti yang bisa diduga, ini segera memancing reaksi mahasiswa. Mereka langsung mendatangi kantor dekan tempat dilangsungkannya rapat yang dipimpin dekan FB yang baru, Drs. Suyono. Kendati ditolak, para mahasiswa tetap memaksa bertemu. Dalam pertemuan itu, mahasiswa menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap pernyataan dekan FB yang kurang serius menanggapi protes yang mereka lontarkan. "Saya tidak tahu-menahu masalah politik di kampus. Tugas saya hanya melangsungkan proses belajarmengajar," kata Drs. Suyono. Dalam waktu yang hampir bersamaan, 15 mahasiswa FH mendatangi Kopertis VI Jateng di Semarang, mengadukan perkuliahan sistem blok di FH. Mereka menolak sistem itu karena
http://slamethdotkom.wordpress.com
178
[email protected]
tidak proporsional. Sistem blok dilangsungkan hanya dalam 10 hari, menggantikan kuliah normal yang berjalan sekitar 5 bulan. Delegasi yang dipimpin Bona Saut Simatupang ini diterima Ketua Kopertis Rony Hanityo Sumitro. Ronny menyayangkan kalau perkuliahan diatur dengan sistem blok, karena yang menjadi korban justru para mahasiswa.ii Suasana proses belajar-mengajar yang terganggu paling tidak enak bagi mahasiswa PPsSP yang mendapat tugas belajar. Uang kuliah mereka dibayari dan mereka harus lulus dalam jangka waktu tertentu. Pemogokan tentu saja tidak mengenakkan bagi mereka. Makanya, tidak heran bila sebagian mahasiswa yang rata-rata mendapat tugas belajar di PPs-SP UKSW mulai pindah ke IPB karena kemelut berkelanjutan. "Saya rasa langkah yang dilakukan mereka ini cukup positif. Sebab, apabila mereka terus bertahan menunggu perkuliahan kembali normal, ini jelas tidak pasti. Apalagi banyak di antaranya mahasiswa tugas belajar pemerintah daerah yang ditargetkan selesai dalam waktu 3 tahun," kata Limson Umbuk Sangalang. Limson bersedia membantu mengurus kepindahan itu. Akibat pencopotan sejumlah staf PPs-SP, pada tahun ajaran 1995/1996 program studi ini tidak menerima mahasiswa baru. Pembatalan ini ditandatangani langsung oleh Direktur PPs-SP John Titaley.ii Tetapi sementara beberapa mahasiswa keluar, ternyata masih banyak calon mahasiswa yang ingin masuk UKSW. Dalam gelombang pertama, UKSW masih mendapatkan sekitar 600 mahasiswa baru, masih cukup jauh dari target 1500 mahasiswa seperti yang diharapkan Wakil Sekretaris YPTKSW Melky. Jumlah ini masih bisa ditambah dari gelombang kedua tes masuk yang akan diselenggarakan 28-29 Juli 1995.ii *** Gereja mulai peduli. Di sela-sela Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan GerejaGereja di Indonesia (MPL-PGI) 22-29 Juni 1995 di Kotamobagu, Sulawesi Utara, sekitar 225 km di sebelah selatan Manado, wakil 18 Gereja pendiri dan pendukung melakukan pertemuan tertutup untuk menyelesaikan kemelut UKSW. Karena tidak termasuk agenda sidang, perundingan terpaksa dilakukan malam hari. Pertemuan pertama dilakukan pada hari Sabtu, 24 Juni malam dan dilanjutkan pada Minggu malam sampai Senin dinihari, Hasilnya, mempercayakan pembahasan lanjutan kepada sebuah tim beranggota tiga orang, Pdt. Fobia, Dr. Natan, dan Dr. IP Lambe. Hasil kerja tim kecil ini kemudian diplenokan pada Selasa, 27 Juni malam. Hasil sidang pleno 18 Gereja: dibentuk Tim Pemanggil yang terdiri atas lima orang dari GKI, GKJ, Gereja Masehi Injili Timor, Gereja Protestan Bali, dan Gereja Kristen Toraja. Tim yang kemudian dikenal sebagai Tim Lima ini beranggotakan Pdt Widjojo Pranoto (GKJ), Pdt. Natan Setyabudi (GKI), Pdt. Benny Fobia (GMIT), Pdt. Suyaga Ayub (GKPB), dan Pdt. Isaak Lambe (Gereja Toraja).ii Keputusan pembentukan Tim Pemanggil juga disetujui 67 Gereja anggota PGI yang hadir. Sebelum memulai tugasnya, Tim Pemanggil meminta semua pihak bersabar dan PBM tetap dijalankan. Sumartana menyatakan cukup optimis terhadap Tim Pemanggil, namun ia mengingatkan bahwa ini tim terakhir yang bisa ditolerir.ii ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
179
[email protected]
Sementara Tim Lima dinanti-nantikan hasil kerjanya, ada kejadian lain yang membuat mehasiswa KPD turun ke jalan. Pada 6 Juli ratusan mahasiswa yang menamakan diri Masyarakat Kampus Anti-SARA (Makasara) berarakan mengelilingi kampus. Sesudah mampir di rektorat, peserta aksi menuju Mapolres Salatiga untuk mengadukan soal selebaran yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Selebaran yang sebelumnya juga telah beredar di forum MPL-PGI di Kotamobagu itu ditandatangani oleh lima mahasiswa dan seorang alumnus. Keenam orang itu adalah John Theodore Weohau (FE), Theo Litaay (FH), Hida Diyanto, (FTh), Nicholas Rahallus (FKIP), Yunita Sondi (FP), dan Neil Rupidara (alumnus FE). Mereka menulis, KPD adalah koalisi dari kelompok aliran berpikir “anti-establishment”, dosen dan karyawan yang “sakit hati” terhadap kebijakan YPTKSW dan rektor selama ini, serta ikatan primordial dan nepoteisme (terutama Jawa dan Cina) yang ingin menonjol di UKSW. Ini tampak dalam koalisi GKJ, GKI Jateng, GKMI, dan GIA. Menurut mereka, target akhir KPD ada tiga, yaitu menguasai YPTKSW, menguasai rektorat, dan menjadikan UKSW basis gerakan beraliran ”anti-establishment” (pendukung Arief Budiman) di Indonesia. Para mahasiswa yang ke Mapolres membawa spanduk dan meminta para penanda tangan selebaran diadili. Menurut Helio, pernyataan di selebaran itu menfitnah KPD sebagai pemicu dan pemacu kemelut berkepanjangan di UKSW. “Memperhatikan pernyataan itu, tampak penulis selebaran telah sengaja memecah-belah secara tak beralasan," kata Helio Laporan kepada Kapolres diketik resmi dan ditandatangani 20 mahasiswa. Laporan itu langsung diterima Kapolres Salatiga Letkol Pol Drs. Ig hari Soeprapto dan Wakapolres Mayor Pol AR Soetrisno. Keduanya berjanji akan mengundang keenam penanda tangan selebaran. (Suara Merdeka, 7 Juli 1995) Esoknya, 7 Juli, mahasiswa Makasara kembali turun ke jalan, kali ini disertai sekitar 300 anggota masyarakat yang menamakan diri RIAS (Rakyat Indonesia Anti SARA). Barisan sepanjang 100 meter yang sempat memacetkan lalu lintas itu menuju DPRD dan diterima Ketua DPRD Letkol (purn) Rupa Ginting di lapangan depan Gedung DPRD. Demonstran mengatakan bahwa keenam penanda tangan telah melecehkan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, mereka patut diseret ke pengadilan. Rupa Ginting berjanji akan meneruskan masalah ini.ii Menindaklanjuti laporan mahasiswa, Polres Salatiga kemudian memanggil 10 mahasiswa pengadu. Empat diantaranya—Bekti Wiratmaka, Nugroho Adiweda, Christian Evert, dan E. Hartono—memberikan keterangan kepada tim penyidik Polres. Tim penyidik antara lain menanyakan di mana saja selebaran beredar dan sejak kapan. "Selain itu, kami juga diminta untuk menjelaskan soal kalimat mana saja yang dapat menjadi pemicu terhadap meluasnya isu SARA," kata E. Hartono. Menurut Hartono, selebaran itu beredar luas di kampus UKSW sejak 2 Juli 1995. Kalimat yang bisa memicu isu SARA adalah yang tertulis dalam butir ketiga pada subjudul "Siapa KPD". Di situ disebutkan, "KPD adalah koalisi dari ikatan primordial dan nepotisme (terutama Jawa dan Cina) yang ingin menonjol di UKSW. Ini tampak dalam koalisi GKJ, GKI Jateng, GKMI, dan GIA."ii Tidak sabar, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Makasara kembali melakukan
http://slamethdotkom.wordpress.com
180
[email protected]
aksi pada 13 Juli 95 dengan membakar sedikitnya 6 ban bekas di beberapa lokasi kampus. Aksi pembakaran diawali dari Gedung G. Mereka minta pembuat selebaran ditindak tegas. Sejak pukul 9.30 mereka mulai bergerak menuju rektorat. Satkam yang hendak mengambil ban yang tengah dibakar terpaksa mengalah dan membiarkan demonstran. Pembakaran ini menimbulkan asap hitam yang mengotori udara.ii *** Situasi UKSW sudah mirip benang kusut. Rektor pun nyata sekali kepayahan. Dalam laporan dan masukan Rektor kepada Rapat DPH-YPTKSW tanggal 11 Juli, misalnya, Rektor John Ihalauw jelas-jelas mengemukakan situasi yang tidak menguntungkan itu. JOI dalam laporannya menyebutkan: 1. Kegiatan PBM terutama di FT, FP, dan FSM sangat tersendat. 2. Terhitung 10 Juli 1995 pendaftaran admisi gelombang II dimulai, tetapi belum terdapat tanda derasnya pendaftaran para calon. Karena itu, perlu dipikirkan hal-hal berikut: • mengantisipasi dampak finansial, terutama beban hutang dengan bunga yang telah neik menjadi 20,8% setahun. • mengusahakan penyelesaian masalah UKSW di mana YPTKSW pro aktif dan intensif • menjadwalkan admisi gelombang IiI untuk progdi tertentu. Sementara itu, setelah batas waktu yang ditentukan untuk Yayasan dan rektor lewat, 89 Otma yang diwakili lima orang menghubungi LBH Semarang untuk menuntut perdata rektor dan pengurus YPTKSW. "Setelah kami melakukan penyelidikan dan melihat perkembangan selama 2 tahun, kami bekesimpulan bahwa rektor dan yayasan memang tidak sanggup bekerja dengan baik. Buktinya, mereka hanya mempu menciptakan konflik tanpa bisa mencari jalan keluarnya," ujar lima wakil OTMA di LBH Semarang tanggal 11 Juli 1995.ii Menurut Bambang Sutejo, salah satu otma, "Kami berani bayar uang gedung sampai delapan juta rupiah, karena kami percaya anak-anak kami akan memperoleh pengajaran dari tenaga-tenaga pengajar yang bermutu baik seperti tercantum dalam buku panduan. Tapi sekarang, akibat adanya kemelut berkepanjangan yang disertai pemberhentian tenaga-tenaga pengajar yang bermutu baik itu, kami sungguh merasa dirugikan."ii Tuntutan otma Semarang diikuti 13 otma di Surakarta yang hari Senin, 31 Juli mengajukan gugatan kepada rektor dan YPTKSW lewat PN Salatiga. Menurut Drs. A. Budhianto, koordinator Otma UKSW di Surakarta, upaya itu dilakukan karena langkah yang pernah ditempuh gagal. "Gugatan yang akan kami lancarkan kepada YPTKSW dan rektor ini nantinya akan dilakukan beberapa gelombang karena hingga saat ini kami masih mengumpulkan para otma yang bersedia menggugat, maka yang sudah terkumpul sebanyak 13 orang ini maju dulu," kata salah seorang juru bicara Otma-UKSW. Mereka juga berencana mengadakan pertemuan Otma-UKSW se-Jawa.ii *** Hari Rabu, 19 Juli, sepuluh mahasiswa yang mewakili sekitar 80 mahasiswa FH mendatangi Ketua Kopertis Ronny Hanitijo Soemitro. Mereka kembali menolak sistem kuliah
http://slamethdotkom.wordpress.com
181
[email protected]
blok. Ronny tidak berhasil ditemui tapi meninggalkan memo. "Saya tidak pernah menyetujui sistem blok, tetapi juga tidak menjanjikan apa-apa pada para mahasiswa. Semua menjadi tanggung jawab pimpinan UKSW." katanya dalam memo itu.ii *** Tanggal 25 Juli 1995 KPD diwakili C. Widodo Utomo dan Witjaksana Tjahjana mengeluarkan tiga butir seruan agar UKSW dikembalikan ke keadaan semula sebelum terjadinya konflik dengan: 1. Mencabut semua SK kontroversial yang diterbitkan sejak proses pemilihan rektor ke-4. 2. Diadakan pemilihan ulang rektor dengan diawasi Gereja Pendiri/Pendukung dan tau mendikbud. 3. Untuk jangka panjang, perlu dilakukan perubahan AD/ART untuk mengembalikan hak-hak istimewa Gereja Pendiri/Pendukung. *** Tim Pemanggil berusaha menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka mencari masukan dari sana-sini, termasuk dari mahasiswa dan wakil Otma. Hasil kerja tim itu dituangkan dalam Pernyataan Sikap dan Seruan Forum Gerejawi Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung UKSW dalam Rangka Mengatasi Kemelut UKSW, hari Rabu, 2 Agustus 1995 dan ditandatangani oleh Pdt. K.L Suryadi, STh, Drs. Musa Toding, MBA, dan Pdt. Agustinus Kermite, STh. Selengkapnya sebagai berikut. 1. Kami menegaskan bahwa Rektor UKSW periode 1993-1997 adalah rektor UKSW yang sah, dan bersama-sama mendukungnya untuk menjalankan tugasnya sampai akhir masa jabatannya. 2. Sebagai pengejawantahan “living constitution” dengan dukungan penuh dari YPTKSW, selambat-lambatnya sampai dengan akhir Agustus 1995 Rektor memutuskan, menata, dan menyusun kembali agihan tugas dan formasi jabatan Pembantu Rektor sesuai kebutuhan objektif dengan memperhatikan perimbangan aspirasi positif-konstruktif dari semua pihak yang ada untuk mengembangkan UKSW. 3. Selambat-lambatnya sampai dengan akhir bulan Agustus 1995, sebagai penampakan dari tekad dan jiwa besar untuk secepat mungkin menyelesaikan kemelut UKSW, YPTKSW dan rektor meneliti dan kemudian menarik kembali SK-SK yang telah diterbitkan, yang berkaitan dengan kemelut UKSW. Demikian pula surat-surat yang dikeluarkan oleh pejabat struktural UKSW, yang berkaitan dengan kemelut UKSW, agar diteliti dan ditarik kembali. 4. Kami menyerukan agar demonstrasi, pemogokan, intimidasi dan teror dalam berbagai bentuk serta moratorium dihentikan, sebagai perwujudan dari tekad dan jiwa besar untuk memulihkan kembali predikat Kristen dari UKSW< yang didirikan oleh Gereja-Gereja untuk melayani masyarakat dan bangsa. 5. Kami mendesak seluruh sivitas akademika UKSW untuk menjamin dan melaksanakan Proses Belajar Mengajar dan penerimaan mahasiswa baru tahun 1995. 6. Kami menyerukan kepada semua pihak untuk bersama-sama memelihara ketertiban dan ketenagan kampus serta lingkungan masyarakat umum Kotamadya Saltiga, untuk menciptakan dan memanatapkan iklim yang kondusif dalam rangka mencari penyelesaian
http://slamethdotkom.wordpress.com
182
[email protected]
yang tuntas atas kemelut UKSW. Sekaligus dengan itu kita bersama-sama menciptakan suasana yang tenang dalam rangka merayakan Tahun Emas 50 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. 7. Kami sepakat untuk memperpanjang mandat Tim Lima mendampingi YPTKSW, rektor, dan semua pihak yang terkait di dalam tubuh UKSW dalam rangka mengupayakan penyelesaian yang tuntas atas kemelut UKSW, khususnya dalam mengimplementasikan hal-hal di dalam butir 2 dan 3 di atas. Keputusan ini mengecewakan KPD. "Dengan mensahkan rektor yang sekarang artinya Gereja membela salah satu pihak yang terlibat dalam kemelut UKSW dan tak mengatasi masalah. Padahal kami berharap Gereja pendiri mengambil alih pengelolaan UKSW dari rektor dan yayasan. Kalau itu yang dilakukan, baru kami bisa menerima," kata Witjaksana. Sebenarnya, KPD tidak lagi mempermasalahkan rektor. Karena forum Gereja-Gereja mengungkit-ungkit kembali, maka KPD juga tetap pada sikap semula, yaitu menganggap rektor masa bakti 1993-1997 tidak sah. Karena itu, KPD bertekad meneruskan moratorium. Bagi KPD, tanpa pencabutan SK PHK Arief Budiman, hasil pertemuan Gereja pendiri dan pendukung UKSW tidak menyelesaikan persoalan.ii Ketetapan Tim Pemanggil juga membuat Arief Budiman naik pitam. "Gereja tidak akan bisa menjadi juri bagi kemelut yang terjadi di UKSW. Apalagi kalau hanya mempersoalkan sah atau tidaknya rektor. Satu-satunya yang bisa menjadi juri yang adil hanyalah dengan melakukan referendum atau pemilihan ulang," ujar mantan dosen kelahiran Jakarta, 3 Januari 1941 ini.ii KPD kemudian mengeluarkan pernyataan resmi: 1. Hak bagi setiap orang untuk berpendapat tentang sah atau tidaknya pengangkatan rektor UKSW ke-4, adalah sesuatu yang nista bila berbeda pendapat dengan penguasa UKSW dipecat. 2. Suatu misteri bila ada pihak yang terus mengungkit isu kontroversial pemilihan rektor. 3. Kemelut UKSW telah berlarut-larut, sangat naif jika ada yang menganggap mampu mengakhiri kemelut dengan mengandalkan kekuasaan formal, intimidasi, kekerasan fisik, menyulut sentimen rasialis, penghentian gaji, atau pernyataan yang meremehkan aspirasi sebagian terbesar dan terpenting dari suatu lembaga universitas, yakni dosen dan mahasiswa. 4. Hanya keadaan luar biasa yang telah mendesak hampir seluruh unit/fakultas/lembga serta nyaris seluruh lembaga LK untuk menyatakan mosi tidak percaya kepada rektor. 5. Dengan sepenuh akal budi, jiwa, dan tenaga, kami telah menyumbangkan keterangan, saran, dan peringatan kepada pimpinan Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung tentang keadaan di UKSW. Adalah hak para pimpinan Gereja untuk mengabaikan atau mempertimbangkan semua itu. Pada akhirnya, akibat dari pilihan itu menjadi tanggung jawab mereka pula.
Reaksi lain terhadap kemelut berkepajangan adalah diajukannya gugatan oleh Otma
http://slamethdotkom.wordpress.com
183
[email protected]
Solo yang mendatangi PN Salatiga untuk mengajukan gugatan Jumat 4 Agustus siang. Berkas gugatan diterima Kasub Perdata, Ny. Sri Prih Utami, SH dan diberi nomor perkara 21/Pdt.g/1995/PN SG. Otma Solo selain menginginkan pulihnya PBM juga menuntut uang paksa sebesar Rp10 juta per hari sampai para tergugat mampu menyelenggarakan pendidikan sesuai dengna tuntutan Otma.ii Mereka yang berjumlah 13 orang diwakili empat kuasa hukum. Tergugat I adalah Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, tergugat II Rektor JOI. Ke-18 Gereja Pendiri dan Pendukung diikutkan sebagai tergugat I. Sebelumnya, ke-13 orangtua mahasiswa masih berharap Tim Pemanggil akan menyelesaikan semua kemelut di UKSW.ii Menanggapi Pernyataan Sikap dan Seruan FG GGPP tanggal 2 Agustus, rektor John Ihalauw menulis surat kepada para pimpinan aras fakultas agar mereka segera menjalankan PBM sebagai kompensasi terhadap bagian-bagian substansi perkuliahan tatap muka yang belum atau tidak terselenggara sejak Mei 1995 disertai evaluasinya. Rektor juga meminta mereka agar menyiapkan perkuliahan tahun akademik 1995/1996.ii Seruan ini tidak ditanggapi, dan moratorium tetap berlangsung. Pada tanggal 23 Agustus 1995 rektor juga menawarkan kepada Rukmadi dan Ferryanto untuk diangkat kembali sebagai dekan FP dan FT. John Ihalauw memberi waktu dua hari kepada keduanya untuk menyatakan kesediaan diangkat kembali.ii Keduanya menolak. Pada tanggal 25 Agustus, Rektor mengangkat staf Puspelkom Ir. Daniel Herman Fredy Manongga, M.Sc sebagai pejabat dekan FT.ii Kondisi di FT sendiri cukup parah karena sampai diangkatnya pejabat dekan yang baru, di FT tinggal 10 orang pengajar karena 9 dosennya cuti di luar tanggungan atau keluar. Kekecewaan staf pengajar dan mahasiswa antara lain karena proses admisi tetap dijalankan walaupun tanpa keterlibatan fakultas. Ferryanto sendiri kemudian mengajukan pengunduran diri per 1 Oktober 1995. Pada 28 Agustus 1995 12 dosen DMUii menolak kembalinya Drie S. Broto Sudarmo, M.Th ke DMU. Mereka menyatakan mendukung pernyataan sikap staf FTh tanggal 25 Agustus 1995 yang menolak Drie sebagai pejabat dekan. Mereka mendukung pernyataan staf FTh itu. Para dosen Dmu menilai, kesediaan Drie menerima kedudukan sebagai pejabat dekan FTh dalam situasi kemelut di UKSW sekarang ini merupakn tambahan bukti bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kualifikasi sebagai dosen DMU UKSW, terlebih-lebih untuk mengampu matakuliah Etika Kristen dan Agama Kristen. ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
184
[email protected]
BAB 16
Arief Menang Bulan Agustus 1995 adalah masa penting buat Arief Budiman. Tuntutannya di PTUN akan terjawab. Mantan dosen yang lebih percaya diri tampil gondrong ini, seperti juga temanteman seperjuangannya di KPD, menaruh harapan besar di sini. Kesibukan sudah mulai pada tanggal 6 ketika mahasiswa menyebarkan undangan ke seluruh kampus. Mereka ingin agar warga kampus mau menghadiri sidang pembacaan putusan pada tanggal 7 di PTUN Semarang. Di selebaran undangan itu—seperti layaknya iklan—juga disebut bahwa sidang itu akan dihadiri tokoh-tokoh terkenal seperti Emha Ainun Nadjib, Adnan Buyung Nasution, Sri Bintang Pamungkas, Ali Sadikin, dan Luhut MP Pangaribuan. Tetapi, bukan karena itu kalau sidang keesokan harinya dipenuhi mahasiswa dan dosen KPD. Dimulai pukul 10.30, sidang itu dijaga ketat. YPTKSW diwakili enam orang kuasa hukumnya, sedang Arief didampingi Adnan Buyung Nasution dan Hadi Mulyono Upas. Sidang selama tiga jam itu mendapat liputan luas, termasuk dari TV ABC, Australia. Ketika putusan mulai dibacakan, banyak yang menahan napas, tetapi begitu sudah ketahuan arah putusan majelis hakim, mata mereka jadi berbinar-binar. Majelis hakim yang diketuai Sugiyo menyatakan SK pemecatan Arief Budiman merupakan perbuatan melawan hukum. PTUN juga mengabulkan seluruh gugatan Arief Budiman atas YPTKSW. Sesuai dengan statuta UKSW, majelis hakim dalam amar putusan setebal 73 halamannya menegaskan, pemecatan Arief bukan kewenangan YPTKSW. Meskipun harus dengan izin Yayasan, rektorlah yang berhak memecat dosen. Apa yang dilakukan Arief, lanjut Majelis Hakim, semata-mata hanya melontarkan kritik. Jika kritik yang dilontarkan dianggap mencemarkan nama baik, Yayasan harus membuktikan secara pidana. Ternyata, tergugat tidak pernah melapor ke polisi. Kritik yang disampaikan penggugat tidak dilakukan di dalam kampus, tetapi melalui media massa. Dengan demikian, aturan yang berlaku di kampus tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Meskipun SK pemecatan Arief dinyatakan bersifat sementara, namun gaji dan hak-hak penggugat telah dihentikan, sehingga pemecatan itu sudah final. Selain berakibat penggugat kehilangan penghasilan, pemecatan itu juga telah merugikan mahasiswa PPs-SP UKSW. Karena YPTKSW de facto tidak berhasil menunjuk pengganti Arief Budiman. Selain ganti rugi Rp5 juta, PTUN juga mengharuskan YPTKSW merehabilitasi nama baik Arief Budiman, membayar gaji yang telah dihentikan sejak November 1994 sampai sekarang sebesar Rp880.700 sebulan, membayar biaya yang timbul akibat sengketa ini sebesar Rp2.750.000, dan menanggung ongkos perara Rp60.000. Vonis hakim langsung disambut lagu Indonesia Raya dan Mars Satya Wacana. Usai sidang, Leila mendekati suaminya menyerahkan mawar merah, dan pasangan itu pun berangkulan. Leila tak bisa menahan air matanya yang menetes jatuh. Sesudah adegan mengharukan itu, ratusan mahasiswa pendukung Arief memaksa menggotong mantan tokoh mahsiswa ini. Arief, yang mulanya menolak karena takut jatuh, akhirnya memasrahkan diri dibawa-bawa oleh mahasiswa pendukungnya yang kegirangan.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
185
[email protected]
Arief terharu. "Kebanggaan saya bukan karena hanya semata-mata memenangkan gugatan ini, namun yang lebih prinsip saya menilai bahwa majelis hakim benar-benar bisa mengambil keputusan sesuai dengan fakta dan data yang benar. Ini yang sangat penting dan harus kita hormati," kata Arief. Baginya, putusan hakim PTUN ini mempunyai banyak makna. Putusan ini membuktikan bahwa PTS ternyata bisa digugat melalui PTUN. Dan tentu saja, bagi UKSW ini membuktikan bahwa Yayasan telah bertindak sewenang-wenang sehingga proses belajar-mengajar terganggu.ii Menurut Rektor Undip Muladi, SH, paling tidak keputusan PTUN dalam kasus Arief merupakan yurisprodensi baru. "Keputusan itu benar-benar hebat dan surprise." katanya. Muladi melihat ada dua penafsiran dari keputusan itu. Pertama, dosen PTS dengan pimpinan ternyata berbeda dari hubungan antara buruh-majikan. Dengan demikian, tenaga kependidikan menempati posisi khusus dalam kehidupan nasional karena merupakan posisi yang strategis. Kedua, keputusan rektor PTS tetap ada hubungannya dengan birokrasi, sebab pengangkatannya harus dengan persetujuan mendikbud.ii Menurut hakim Soegija, SH, alumnus FH UKSW yang lulus tahun 1983 dan menjadi hakim sejak tahun 1989, PTS seperti UKSW bisa di-PTUN-kan karena pada prinsipnya penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini mendikbud. Pihak swasta dapat menyelenggarakan pendidikan setelah mendapat persetujuan dari pemerintah. Sejak mendapat persetujuan mendikbud, maka kewenangan yang dimiliki pemerintah itu melekat pada yayasan swasta tersebut. Jadi, sejak yayasan mendapat persetujuan mendikbud untuk menyelenggarakan pendidikan, sudah dapat diajukan ke PTUN jika melakukan kekeliruan. Mengenai kekuatan PTUN, hakim yang menggantikan Soegeng pada Juni 1995 itu mengatakan, "Pada dasarnya semua orang harus tunduk pada hukum. Jadi, sejak vonis ini, penggugat berhak menerima gaji dan mengajar kembali. Jika YPTKSW tidak bersedia, PTUN hanya bisa mengingatkan dan tidak dapat memaksa untuk memenuhi keputusan kepada yang kalah. Tapi, saya yakin YPTKSW akan melaksanakan vonis dengan sukarela, sebab sudah pasti akan malu kalau mengabaikan vonis hakim."ii Dan, ternyata YPTKSW tidak bisa menerima keputusan itu. "Baru pertama kali saya mendengar UKSW yang murni swasta disamakan (dengan) lembaga negara, padahal ini bukan tata usaha negara," kata Julius Saludung.ii Salah satu penasihat hukum YPTKSW, Oentoeng Soeropati mengatakan, vonis hakim tidak bisa dilaksanakan. Dalam UU No. 5 tahun 1982 tentang PTUN disebutkan, jika vonis tak dilaksanakan dapat memerintahkan atasannya untuk menegus. "Tapi YPTKSW tidak mempunyai atasan." Begitu pula soal pembayaran ganti rugi, dalam UU dijelaskan, yang membayar adalah pemerintah, padahal Yayasan bukan pemerintah dan tidak mempunyai atasan. Mengenai SK PHK yang diputuskan harus dibatalkan, kuasa hukum tergugat mengatakan, pencabutan SK HK merupakan urusan internal Yayasan. YPTKSW pun naik banding. Alasan banding yang akan dikemukakan antara lain masalah keberadaan Yayasan sebagai lembaga swasta yag diajukan ke PTUN. Menurut Oentoeng, tidak bisa dibenarkan
http://slamethdotkom.wordpress.com
186
[email protected]
swasta dijadikan objek perkara di PTUN, sebab pengadilan itu merupakan lembaga untuk mengadili pejabat tata usaha negara yang membuat kesalahan. Dia menganggap vonis hakim kurang pas. Bahkan, bisa memancing kebingungan kalangan lembaga swasta. "Bahaya jika putusan itu dibenarkan,” kata Oentoeng.ii Pramudya, seorang kuasa hukum Arief, mengatakan pada 18 Agustus, kalau YPTKSW tidak memberikan gaji kliennya, pihaknya akan menuntut secara perdata. Menurut Pramudya, meskipun tergugat mengajukan upaya banding ke PTTUN Surabaya, kewajiban membayar gaji tetap harus dilaksanakan. Karena itu, sejak vonis, gaji Arief sebenarnya sudah menjadi haknya. Tapi Danny Zacharias mengatakan, YPTKSW tidak punya atasan. Jika Arief menghendaki uang ganti rugi Rp5 juta, silakan minta kepada presiden. "Jika Yayasan disamakan dengan tata usaha negara, ya silakan minta uang kepada presiden."ii *** Merayakan kemenangan Arief, ratusan mahasiswa dan dosen UKSW pada 11 Agustus 1995 berkumpul di Gedung C untuk mensyukuri keputusan PTUN. Berbagai acara dan atraksi menarik juga digelar, mulai dari baca puisi, musik, pidato, dan sebagainya. Danny Salim, pemain keyboard paling berbakat di UKSW, mengiringi setiap penyanyi dadakan. Arief, seperti biasa, menyanyikan Padamu Negeri. Berbagai macam makanan seperti nasi tumpeng, nasi rames, sampai sate dan gulai kambing sumbangan sejumlah orangtua mahasiswa membuat suasana jadi tambah semarak.ii KPD boleh bersuka, tetapi kemenangan Arief di PTUN tidak lantas berarti kemelut UKSW selesai. Belum dan tampaknya masih jauh. Apalagi Mendikbud menegaskan, kemelut di UKSW hendaknya bisa diselesaikan secara intern, tanpa campur tangan pemerintah. "Sebab peraturan itu dibuat mereka sendiri, dan yang lebih mengetahui persoalan juga mereka sendiri. Mengapa kita orang luar harus ikut campur, nanti malah repot jadinya," katanya.ii "Mendikbud bisa mengatasi kemelut di UKSW Salatiga, jika tiga langkah pertama upaya penyelesaian dinilai gagal menumbuhkan kesepakatan bersama," kata Direktur Perguruan Tinggi Swasta Dirjen Dikti Prof. Joetata Hadihardaja. Ketiga langkah awal tersebut adalah diadakannya musyawarah internal antara pihak-pihak yang berselisih pendapat di kampus Satya Wacana. Bila musyawarah gagal, langkah kedua adalah pembentukan tim penuntasan masalah yang bekerja selama enam bulan, khusus bertugas untuk mencari jalan keluar permasalahan. Langkah ketiga adalah pengajuan gugatan ke pengadilan. "Saya tegaskan dulu, sampai sekarang Depdikbud masih merasa belum perlu turun tangan. Sebabnya ya itu,kemandirian PTS adalah unsur utama pemecahanmasalah. Tetapi kalau ketiganya sudah dilalui dan gagal, ya bisa saja mendikbud mengatasinya dengan melakukan langkah keempat," tuturnya. Langkah keempat adalah menunjuk pimpinan sementara untuk menjalankan kembali PBM di UKSW.ii Hampir bersamaan dengan pernyataan para pejabat Depdikbud, 98 orangtua mahasiswa di Semarang menuntut pihak Gereja menarik seluruh wakilnya yang ditempatkan di YPTKSW dan mengganti dengan pengurus lain. "Pihak Yayasan jelas sudah bertindak sewenang-
http://slamethdotkom.wordpress.com
187
[email protected]
wenang dan melawan hukum," ujar juru bicara otma Semarang Wahyu Gunawan pada 20 Agustus 95. Jika ini dipenuhi Gereja, otma juga bersedia membatalkan gugatan di PN Salatiga.ii Otma Surakarta tak mau kalah. Gugatan Otma Surakarta terhadap YPTKSW dan rektor diubah dari Rp10 juta sehari menjadi 1 milyar tunai dan seketika karena para tergugat dinilai tidak menunjukkan itikad baik setelah kalah di PTUN Semarang.ii Kejadian lain yang semakin memperkeruh suasana adalah ancaman terhadap rektor. Pada 21 Agustus 1995 John Ihalauw melapor ke Polres Salatiga secara tertulis karena Sabtu sebelumnya mendapat ancama via telepon. Kapolres Pol Drs. Ig. Hari Soeprapto berjanji segera mengusut ancaman tersebut. Langkah pertama adalah meminta bantuan Telkom Salatiga. "Kita harus bekerja sama dengan Telkom untuk mengetahui nomor telepon yang menghubungi rektor saat itu," kata Hari Soeprapto. Menurut Hari, bila hubungan telepon itu dilakukan melalui jasa interlokal, maka nomor telepon penelepon akan lebih mudah diketahui. Dalam surat pengaduannya No. 191/XXXVIII/Rek./1995, JOI mengatakan bahwa pada tanggal 18 Agustus sekitar pukul 16.15 Endang, operator telepon UKSW, mendapat telepon dari seseorang yang mengaku orangtua mahasiswa. Kepada Endang, si penelepon mengancam rektor akhir Agustus ini harus dapat menjamin terlaksananya kegiatan belajar-mengajar. Bila tidak, rektor akan diancam di jalanan.ii *** Salah satu akibat dari kemelut adalah turunnya jumlah calon mahasiswa yang mendaftar. Dalam tahun ajaran baru 1995/1996, UKSW hanya menerima tak lebih dari 1200 mahasiswa baru, padahal tahun lalu,mahasiswa baru mencapai 1500 lebih. Menurut rektor, ada tiga sebab yang mendasari penurunan penerimaan mahasiswa itu. Salah satunya mungkin adalah konflik intern kampus. Dua hal lain adalah bertambahnya jumlah PTS di Kopertis Wilayah VI, dan trend penurunan minat di kalangan lulusan SLTA terhadap beberapa program studi tertentu.ii Kejadian menyedihkan lain juga menimpa UKSW. Hermawan, SH, satu dari enam pengacara YPTKSW yang diangkat jadi caretaker FH Sabtu 19 Agustus 1995 meninggal dunia di Ruang Intensive Care (ICU) RS Elisabeth Semarang sekitar pukul 14.00. Menurut Danny Zacharias, Hermawan terkena stroke. Menurut Danny, tekad terakhir almarhum adalah YPTKSW harus naik banding. Jenazah akan dimakamkan di Ambarawa tepat pukul 12.00 Rabu 23 Agustus. Dua jam sebelumnya akan diadakan acara kebaktian di tempat tinggalnya di Perumsat Karangpete.ii *** Rektor dan pengurus Yayasan belum bisa tenang. Setelah dikalahkan di PTUN, pada Selasa, 22 Agustus 5 orangtua mahasiswa UKSW asal Semarang mendaftarkan gugatan di PN Salatiga. Pengacara LBH Semarang bertindak selaku kuasa hukum penggugat datang sendiri di PN Salatiga. Berkas perkaranya diberi nomor 24/Pdt.G/1996/PN Sal.
http://slamethdotkom.wordpress.com
188
[email protected]
Penggugat adalah Dwiyanto Wahyu Gunawan, Bambang Sutedjo, Andhi Sujadi Wijaya, I Budi Wahono Haryanto, dan Thomas Susanto. Kerugian penggugat materiil dan imateriil sebesar Rp143 juta berupa uang kuliah, bayar kos, dan lainnya Rp43 juta. Untuk imateriil Rp100 juta, sebab dengan adanya kasus ini penggugat terganggu perasaannya. Selain ganti rugi, penggugat minta tergugat melaksanakan PBM.ii Otma Semarang menilai Tim 5 yang mendapat mandat dari Forum Gerejawi UKSW telah gagal. Salah satu bukti kegagalan, menurut Koordinator Otma D. Wahyu Gunawan, adalah dikeluarkannya SK caretaker dekan fakultas pada bulan Agustus lalu. Yang dimaksud adalah caretaker FTh, yang semula dijabat Daniel Nuhamara, tetapi kemudian diganti Drie Broto Doedarmo, MTh. Caretaker lain adalah Ir. Daniel Manungga yang menggantikan Ferryanto. SK itu, kata Wahyu, sekaligus mementahkan perjuangan PD III FT Soedigno, MSc yang berjanji memulihkan PBM mulai 4 September mendatang. Soedigno sudah berjuang mengumpulkan dosen-dosen FT dari berbagai kota di Jawa. Otma Jakarta juga akan menggugat.ii Sementara itu pada Rabu, 30 Agustus di Gedung E kembali berlangsung perundingan penuntasan konflik antarpihak yang bertikai. Hadir dalam pertemuan itu Sekretaris YPTKSW Julius Saludung, John Ihalauw beserta para PR, Pdt. Lambe, dan Pdt. Benny Fobia. Dari KPD hadir Richard Hutapea, Th Sumartana, Witjaksana, dan Budi Susilo. Tetapi negosiasi gagal lagi.ii Sehari sebelumnya, 29 Agustus, KPD menyurati FG GGPP dan menyatakan sikap bahwa: 1. Segala upaya yang telah dilakukan pihak Rektorat, YPTKSW, dan Tim Lima tidak menyelesaikan masalah, justru menambah permasalahan baru. 2. Seruan dan pernyataan FG GGPP perlu ditinjau kembali dan diperbaharui sehingga mencerminkan aspirasi yang hidup pada sebagian besar sivitas akademika UKSW 3. Penyelesaian kemelut di UKSW hanya dimungkinkan apabila: 3.1. Semua SK kontroversial dicabut. 3.2. Rektor UKSW ke-4 dan para pembantu rektor uKSW segera mengakhiri masa jabatannya dan dibentuk kepemimpinan (rektorat) UKSW sementara. 4. Perlu dilakukan pemilihan rektor UKSW ke-5 dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 5. Dukungan kepada FG GGPP UKSW untujk meninjau dan memperbaiki AD dan ART YPTKSW. 6. Agar GGPP UKSW menarik utusannya dalam Pengurus YPTKSW dan menggantinya dengan yang baru, serta merevisi keanggotaan dan fungsi para pakar dalam kepengurusan YPTKSW. 7. Agar FG GGPP UKSW meminta pertanggungjawaban Pdt. Widjojo Hardjopranoto, S. Th. dan Pdt. Dr. I.P. Lambe atas keterlibatan mereka dalam ‘Tim Khusus’ (Tim Persiapan Pemulihan PBM) di UKSW. 8. Tidak bertanggung jawab atas penerimaan mahasiswa baru UKSW 1995/1996 dan segala konsekuensinya. 9. PBM yang tertib, lancar, dan berkualitasn hanya bisa diselenggarakan apabila telah tercapai penyelesaian kemelut UKSW secara mendasar. Surat itu ditandatangani Nico L. Kana, Bintoro Gunadi, Witjaksana, Halomoan H. Pulungan, Danar Pramonosidhi, Th. Sumartana, Budi Susilo, Widodo Utomo, dan Susatyo Adi Nugroho. ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
189
[email protected]
Hari Jumat, 1 September 1995 FG GGPP UKSW kembali mengeluarkan pernyataan baru, yaitu Pernyataan Sikap dan Pendirian FG GGPP UKSW sebagai Tindak Lanjut “Pernyataan Sikap dan Seruan 2 Agustus 1995” Kali ini isinya lebih menguntungkan KPD. Setelah mempelajari secara saksama dan mendalam perkembangan UKSW dan seluruh permasalahannya sampai dengan tanggal 31 Agustus 1995 melalui laporan Tim Lima tentang implementasi Pernyataan Sikap dan Seruan FG GGPP UKSW 2 Agustus 1995, maka FG GGPP UKSW dengan ini menyatakan sikap dan pendirian sebagai berikut. 1. GGPP UKSW tetap berpegang teguh pada Pernyataan Sikap dan Seruan FG GGPP UKSW 2 Agustus 1995, yang butir-butirnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan yang pada prinsipnya harus dilaksanakan secara terpadu dan serempak. 2. Dalam rangka pelaksanaan secara tuntas butir-butir 2,3,4, dan 5 Pernyataan Sikap dan Seruan FG GGPP UKSW 2 Agustus 1995, menugasi Tim Lima mengupayakan kesepakatan prinsip yang tertulis dari semua pihak dalam UKSW mengenai pokok-pokok sebagai berikut. 2.1 Rektor UKSW segera mengadakan reshuffle para PR dengna emngacu pada prosedur dan peraturan yang berlaku dan memperhatikan prinsip “living constitution”. Adapun jumlah PR cukup empat. Untuk kepentingan penanganan akreditasi dan penggalangan dana dapat dibentuk tim khusus. 2.2 Pencabutan serempak SK-SK dan surat-surat, dan penghentian demonstrasi, pemogokan, intimidasi, teror, dan moratorium berdasarkan jiwa besar dan saling mengampuni semua pihak, seperti yang dimaksudkan oleh butir 3 dari Pernyataan Sikap dan Seruan FG GGPP UKSW tanggal 2 Agustus 1995. 2.3 Semua pihak dalam UKSW mejamin perwujudan butir 2.2.1 dan 2.2.2 di atas dan GGPP UKSW melalui Tim lima mendampingi prosesnya sampai akhir dan melalui pertemuan bulanan dari FG GGPP, supaya PBM yang didukung oleh semua pihak dalam UKSW dapat berjalanmulai tanggal 4 September 1995. 3. Semua pihak harus sudah menyelesaikan kemelut UKSW secara kristiani selambatlambatnya tiga bulan terhitung dari 2 September 1995. Apabila sampai batas waktu tersebut belum terjadi, maka GGPP UKSW akan mengambil sikap dan keputusan akhir yang tegas untuk menyelesaikan kemelut uKSW. 4. Mengingat status dan fungsi Tim Lima sebagai pendamping, maka keterlibatan Tim Lima dan Panitian Khusus Persiapan PBM UKSW, sebagaimana dinyatakan dalam SK YPTKSW No. 146/A/YSW/VIII/1995, tidak dibenarkan. 5. GGPP UKSW menunjuk kembali Tim Lima yang terdiri atas (1) Pdt. Widjojo Hadipranoto, BD; (2) Pdt. Agustinus Kermite, STh; (3) Pdt. DR. Benny Fobia; (4) Pdt. DR. I.P. Lambe; (5) Pdt. Ketut Suyaga Ayub, STh. 6. Selama proses upaya penyelesaian berlangsung, semua pihak tidak dibenarkan mengeluarkan surat dan melakukan tindakan yang dapat menghambat proses penyelesaian kemelut dan makin merusakn kondisi UKSW. Bandungan, 1 September 1995 FG GGPP
http://slamethdotkom.wordpress.com
190
[email protected]
Pimpinan Pertemuan Pdt. P. Pudjaprijatma, Pdt. J.J. Radjah, Pdt. Y. Matari *** Tak terasa 4 September datang juga. Hari itu adalah hari pertama perkuliahan hari itu UKSW kembali diguncang demonstrasi plus kekerasan. Demonstrasi oleh KPD, kekerasan oleh Satkam kampus. Sekitar pukul 10.00 aksi dimulai dan mahasiswa membakar ban sebagai tanda protes di lapangan sepakbola. Pada intinya, KPD menggugat penempatan caretaker pimpinan fakultas. Terakhir, Drs Siliwoloe Djoeroemana, MS ditunjuk sebagai caretaker di Fakultas Pertanian menggantikan Dr Rukmadi Warsito, MSc. Sebelumnya rektor telah menunjuk caretaker FTh Drie Broto Soedarmo, STh dan caretaker FT Ir. Daniel Manungga. Dalam peryataan sikap yang dibacakan di tengah aksi, KPD mengemukakan dua sikap. Pertama, mendukung pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP. Kedua, KPD akan melaksanakan PBM setelah pencabutan semua SK dan surat kontroversial serta reshuffle PR. Demonstrasi diakhiri KPD karena suasana semakin memanas. Karena tidak punya ruang gerak, mereka akhirnya kembali ke Gedung C dan langsung mendatangi ruang dekan FP. Di sana caretaker Siliwoloe telah mulai bertugas. Dia segera mendapat pengawalan dari Satkam begitu mahasiswa hendak memaksanya keluar dari ruang kerja. Aksi mahasiswa pun gagal. Tetapi, kemudian puluhan mahasiswa dengan mudah memasuki BARA karena Satkam sedang berkonsentrasi di ruang dekan FP. JOI berhasil "dipaksa" keluar kantor dan berdialog. Berikut cuplikannya. mahasiswa: Kami ingin menanyakan soal penempatan caretaker-caretaker di fakultas. Padahal sesuai seruan Gereja pendiri, justru SK-SK kontroversial Rektor harus diteliti ulang, bukan malah ditambah. JOI: Bagi saya, sebagai rektor, yang penting adalah kembalinya PBM, sebab tahun ajaran 1995/1996 dimulai pada hari ini, 4 September 95. Soal penempatan orang-orangnya, menurut saya, semua orang yang bekerja di bawah bendera YPTKSW bisa ditempatkan di mana saja, termasuk diberi tugas sebagai caretaker di fakultas. Mengapa kok ditempatkan caretaker, ya karena dekan tidak menjalankan PBM di fakultas dengan baik. Padahal, kelancaran PBM itu tugas utamanya. Karena itu, penempatan caretaker merupakan langkah alternatif mengatasi masalah. mhs: Anda tadi mengatakan semua orang yang bekerja di YPTKSW berhak ditempatkan di mana saja. Hal itu memang benar.Tetapi yang harus diingat, bukan rektor yang memutuskanpimpinan-pimpinanitu,sebab bukankah tradisi UKSW selalu menomorsatukan arus bawah sebagai dasar utama pemiilhan pejabat. Dan sejalan dengan seruan Gereja, bukankah butir kedua menandaskan bahwa SK-SK itu harus dicabut. JOI: Seruan GF GGPP itu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling berhubungan satu sama lain, atau terpadu, terintegrasi. Jadi,jagnan hanya melihat per butir pernyataan. Yangjelas, implementasi dari pernyataan tanggal 1 September 1995 akan dicetuskan dalam kesepakatan,
http://slamethdotkom.wordpress.com
191
[email protected]
berupa prinsip-prinsip tertulis dan semua pihak, seraya menjamin kelancaran PBMmulai 4 September 1995. mhs: Anda menjamin PBM per 4 September hari ini? Buktinya mana? Kok banyak yang tidak kuliah? JOI: Soal mahasiswa yang tidak kuliah, tidak mau belajar, itu hak danurusanmereka. Sebab, meskipun ada mahasiswa yang tidakmau kuliah, tetapi ada juga mahasiswa lain yang giat belajar. mhs: Pokoknya begini. Anda terbukti tidak mampu memimpin UKSW. Karena kemelut sudah berjalan selama 2 tahun tanpa penyelesaian berarti, lebaih baik kalau Anda undur saja. Berani mundur atau tidak? (Mahasiswa bersorak dan memberikan aplaus, dan JOI tidak menjawab). mhs: Okelah begini saja. Anda berani atau tidak menjawab permintaan Gereja untuk melakukan reshuffle pembantu rektor dan mencabut SK kontroversial. Kami berjanji akan mencabut moratorium. JOI: Saya akan mempertanggungjawabkan kebijakansaya pada forum Gereja, bukanpada forum seperti ini. Saya rasa tidak ada yang bisa dibicarakan lagi. (Jawa Pos, 5 Sep 95 dan Suara Merdeka, 5 Sep 95) Tak lama para demonstran pun bubar. Malamnya, Kapolres Letkol Pol Drs. Ig Hari Soeprapto bersama Dandim Letkol Inf R. Hardiwan dan PR III UKSW memberikan pengarahan kepada 32 dari 38 anggota Satkam UKSW. Kapolres mengharapkan, pimpinan UKSW bersedia menyerahkan pembinaan Satkam UKSW kepada Polres Salatiga, sebagaimana layaknya di tempat lain dan sesuai aturan bahwa pembinaan Satpam di Indonesia di bawah Satbimmas Polres. Pertemuan ini, menurut Kapolres, berkaitan dengan langkah-langkah Satkam yang keliru dalam mengendalikan massa pengunjuk rasa di kampus itu. Mereka ikut-ikutan bertindak keras terhadap demonstran, padahal tugas utama Satkam adalah melokalisasi tempat kejadian perkara, mengamankan barang bukti, dan mengamankan tersangka. Adjar berjanji akan mengadakan perubahan struktur Satkam. (Suara Merdeka, 7 Sep 95) Widodo, ketua Satkam UKSW, sangat setuju bila pembinaan Satkam UKSW dilakukan polisi. Tetapi, katanya, semua berpulang kepada PR III. Selama ini Satkam UKSW memang berada di bawah PR III. "Pembinaan yang dilakukan selama ini hanya latihan fisik bersama menwa. Jadi, sama sekali belum pernah mendapatkan teknik bagaimana cara mengendalikan massa yang brutal, misalnya," Kata Widodo. Mengenai perlakuan kasar anak buahnya, Widodo menjawab, bila ada sebagian anak buahnya bertindak keras saat mengendalikan aksi unjuk rasa, itu hanya reaksi karena aksi pengunjuk rasa menyakiti badan Satkam. "Masak kalau disakiti, kita akan membiarkan disakiti terus. Ya, tentu membalas,"
http://slamethdotkom.wordpress.com
192
[email protected]
cetusnya.ii Untuk menangani mahasiswa pengunjuk rasa yang menjadi korban kekerasan, Polres Salatiga membentuk tim khusus untuk menangani segala bentuk pengaduan dan pelanggaran tindak pidana di kampus UKSW. Tim ini diketuai Kasatserse Lettu Pol.Agung Setya Imam Effendi, SH dan beranggotakan tujuh petugas reserse. *** Sampai awal September ada 79 dosen yang tidak lagi menerima gaji. Mereka bertekad tidak akan mengemis ke rektor. "Perjuangan untuk menegakkan keadilan memang membutuhkan pengorbanan, seperti harus berlapar-lapar dengan tidak menerima gaji, misalnya. Dan untuk saat ini kami belum bereaksi karena kami memang masih menghendaki adanya penyelesaian demi UKSW," kata Witjaksana.ii Sesuai dengan hasil forum gerejawi, tutur Sumartana, jika dalam waktu 3 bulan suasana belajar-mengajar tidak dikembalikan, maka Gereja pendiri dan pendukung akan mengambil sikap yang tegas dan akhir untuk mengatasi kemelut tersebut. Forum gerejawi juga menyerukan pada seluruh sivitas akademika untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, unjuk rasa, pemogokan, dan moratorium. Bersamaan dengan itu, semua SK yang dinilai memicu kemelut ditarik secara serentak, serta dilakukan pemilihan ulang empat PR.ii Tapi, dosen yang gajinya ditahan tidak bisa tinggal diam. Sekitar 20 dari 79 dosen yang ditunda gajinya mendatangi rektor di kantornya sekitar pukul 10.30 5 September 1995. Puluhan mahasiswa yang berada di sana bertepuk tangan. Beberapa saat sebelumnya, kembali terjadi bentrok fisik antara Satkam dan mahasiswa yang ingin menggelar demonstrasi di depan Gedung G. Wakil dosen yang hadir adalah Ariel Heryanto, Budi Susilo, Witjaksana, Limson, Widodo Utomo, Sutoyo, Retnaningsih, dan Sukoco, SH. Selama dialog mahasiswa tetap di luar BARA. Menurut Budi Susilo, ada tiga hal yang diungkapkan para dosen di hadapat para PR. Pertama, soal penghentian gaji dosen, kedua, sikap KPD terhadap pernyataan Forum Gerejawi Gereja-Gereja Pendiri/Pendukung. Ketiga, menyangkut perilaku Satkam terhadap mahasiswa belakangan ini. Tetapi, para dosen tidak puas dengan hasil pertemuan itu. Surat keputusan soal penundaan gaji yang ditandatangani PR II pada tanggal 31 Agustus 1995, menurut Widodo, kurang rasional, sebab acuan pokok kebijakan itu adalah hasil rapat FG GGPP tanggal 1 September dan rapat YPTKSW tanggal 6 September. "Bagaimana mungkin surat yang dikeluarkan tanggal 31 Agustus 1995 berdasar rapat tanggal 1 dan 6 September. Sedangkan sekarang saja baru tanggal 5 September." katanya. Masih menurut Widodo, "Dalam memutuskan penangguhan gaji tersebut, selain rektorat dan Yayasan, ditengarai juga ada keterlibatan Tim Lima yang terdiri dari lima Gereja perutusan." Kalau ini benar, kata Widodo, berarti Tim Lima perlu disangsikan keberadaannya. Ia juga menegaskan bahwa KPD siap menjalankan PBM dengan catatan pihak rektorat dan Yayasan konsisten menjalankan butir-butir keputusan Forum Gerejawi. Tetapi PR IV Pirenomulyo menganggap positif pertemuan itu. Kendati belum menyimpulkan apa-apa, katanya, tetapi dengan adanya pertemuan itu berarti sudah ada kontak batin antara dosen-dosen dan pimpinan universitas. "Kami saling mengerti, ada itikad baik
http://slamethdotkom.wordpress.com
193
[email protected]
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan demikian, ini modal baik untuk langkah selanjutnya."ii *** Pada tanggal 6 September kembali pecah unjuk rasa oleh mahasiswa FTh dan pendukung KPD lainnya. Tiga mahasiswa FTh, Indri Jatmiko, Handono, dan Oen Bun Nyu, bertemu dengan PR I, mempertanyakan caretaker FTh serta penempatan dosen pengganti. Dari 20 dosen FTh, 15 orang di antaranya adalah dosen pengganti. Dalam aksi unjuk rasa hari itu tercatat tiga kali perkelahian di tempat berbeda dalam kampus. Pada saat demonstrasi, seorang pendukung PPU ketahuan membawa senjata tajam. Ia langsung dikejar para mahasiswa KPD dan diserahkan ke polisi. Pada tanggal 8 kembali terjadi aksi. Sekitar 200 mahasiswa mendatangi Pirenomulyo yang membekukan DMU. Pirenomulyo memberikan penjelasan, tetapi jawabannya tidak memuaskan sehingga ia pun ditinggalkan sendirian. Mereka bergerak ke Gedung C. Di Gedung C mahasiswa KPD memaksa Daniel Manungga keluar dari kantor dekan FT dan berdialog dengan mereka. Daniel menolak sehingga kaca kantornya digedor-gedor dan mahasiswa meneriakkan kata-kata ejekan terhadapnya. Aparat kepolisian yang melihat gelagat tidak baik berusaha membujuk Daniel untuk keluar. Begitu keluar, puluhan tomat beterbangan ke wajahnya. Beberapa tomat mengenai polisi yang mengawalnya. Kapten (Pol) Darmono yang memimpin puluhan anggota kepolisian di kampus itu menganggap tindakan mahasiswa sudah kelewatan. Ia memberi peringatan. "Jangan melempar-lempar kayak begitu, dong. Kalau mahasiswa bertindak kasar kami juga bisa mengandalkan tindakan fisik." Daniel yang marah dan ketakutan segera dikawal menuju BARA. Mahasiswa yang ingin menemuinya di BARA dihadang aparat keamanan.ii Satkam UKSW, yang kini di bawah pembinaan Polres, tampil kalem dan tidak beringas, seakan-akan sudah lupa gaya kasar mereka biasanya.ii *** Sementara itu, Assistant Representative Ford Foundation, Suzanne E. Siskel, pada tanggal 7 September 1995 menulis surat kepada pimpinan UKSW. Ford Foundation prihatin dengan apa yang terjadi di UKSW. Ford Foundation sebelumnya menyediakan grant untuk tiga tahun sebesar US$300.000 pada tanggal 1 Agustus 1990 untuk PPs-SP untuk mendukung beasiswa, pengajaran, dan riset di PPs-SP, tetapi pemakaian dana lambat. Karena hubungan yang baik, grant itu diperpajang sampai 30 Juni 1996 dan didasarkan pada rencana dua tahun yang diberikan oleh Nico L. Kana pada 9 Juni 1994. Bahkan, Ford Foundation mentransfer semua dana ke UKSW. Grant ini disediakan untuk UKSW karena pertimbangan khusus dari Ford Foundation, dan dianggap sebagai kasus istimewa. Ford Foundation yakin bahwa penting untuk mendukung PPs-SP. Tetapi, kemudian Ford Foundation tahu bahwa John Titaley menjadi direktur PPs-SP yang baru, dan PPs-SP direstrukturisasi, dan tidak ada mahasiswa baru yang diterima. karena
http://slamethdotkom.wordpress.com
194
[email protected]
itu, grant itu tidak lagi berlaku. Tidak ad amahasiswa baru berarti dana beasiswa tidak akan digunakan. Juga, karena kuliah dan riset sudah berhenti, tidak ada lagi pengeluaran dari grant untuk pengembangan staf, dosen tamu, dan riset. Menurut laporan terakhir dari UKSW tanggal 29 April 1995, jumlah dana US$243.606,67 ditambah bunga US$34.154,14, jadi saldonya US277.760,81. Karena krisis UKSW dan kenyataan bahwa semua aktivitas yang bisa didukung lewat grant telah berhenti, tidak ada lagi cara untuk menggunakan grant. Ford Foundation minta UKSW mengembalikan semua dana yang tersisa, dikurangi bunga, secepat mungkin. Ford Foundation tidak mungkin mempertimbangkan bantuan pada masa depan bila dana grant tidak dikembalikan. “Otherwise, according to the US tax laws governing the Foundation’s operations, we would be compelled to place UKSW on a prohibited payment list. This would mean that the Foundation could not consider any further support for the University at any time in the future,” tulis Suzanne. PR IV Philipus Pirenomulyo kemudian menjelaskan bahwa restrukturisasi sesuai dengan PP30/1995 dan statuta. Sisa dana akan dikembalikan, tulis Pirenomulyo pada tanggal 13 September 1995. Tetapi, baru pada 19 Oktober 1995 UKSW mengembalikan US25.000 karena keterbatasan cashflow saat itu. *** Menghadapi kemelut yang berlarut-larut, 236 orangtua mahasisswa UKSW asal Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah sepakat untuk mempertahankan dosen yang berkualitas. Untuk itu, mereka bersedia memberi dukungan finansial kepada dosen yang tidak digaji. Menurut Dwiyanto Wahyu Gunawan, kesepakatan itu merupakan salah satu keputusan dalam pertemuan Otma di Rumah Makan Prima, Semarang, Jumat, 8 September malam. Salah satu keputusan meminta Gereja Pendiri dan Pendung segera mengambil tindakan tegas agar PBM bisa berjalan kembali. Orangtua mahasiswa juga menilai, YPTKSW dan rektor cenderung mengandalkan kekuasaan.ii Drs. A. Budhianto dan Darmaji, dua orangtua mahasiswa dari Solo, berpendapat bahwa Gereja seharusnya berani bersikap tegas dengan mengambil alih UKSW, tidak perlu menunggu jatuhnya korban. Apalagi, kata Darmaji, KPD sudah bersedia menaati seruan FG GGPP. Sekarang, katanya, giliran rektorat dan Yayasan mencabut semua SK kontroversial dan mencairkan gaji puluhan dosen yang ditahan sejak 1 Agustus.ii Sementara itu, Pdt Kermite tetap berkeras bahwa konflik di UKSW masih bisa diselesaikan secara intern, tidak perlu bantuan pihak luar. Makanya, FG GGPP memberi waktu 3 bulan kepada pihak bertikai, sebelum bertindak tegas.Tetapi, apa bentuk tindakan tegas itu Kermite belum tahu.ii *** Masyarakat Kampus Anti-SARA hari Rabu, 13 September kembali mendatangi Mapolres Salatiga. Mereka menanyakan tujuh kasus yang telah dilaporkan ke Polres, namn belum ada kelanjutannya. Aksi tertib sekitar 100 orang itu mendapat kawalan ketat petugas Polres maupun dari
http://slamethdotkom.wordpress.com
195
[email protected]
jajaran lain. Demonstran menanyakan kasus pelecehan terhadap KPD dan sebuah lembaga swasta oleh oknum tertentu di UKSW, kasus pemukulan mahasiswa oleh Satkam maupun mahasiswa pendukung rektor. Kapolres menyatakan, pihaknya tidak pernah menghentikan penyidikan kasus itu. "Semua pengaduan itu telah diproses, tidak ada niat untuk menghentikan penyidikan. Kami siap dlaporkan ke atasan jika benar menghentikan penyidikan kasus itu," tegas Kapolres. Kapolres juga menjelaskan, untuk melakukan penyidikan suatu perkara, mereka harus benar-benar teliti dan jeli, tidak boleh salah. Karena itu, Polres perlu mendatangkan saksi ahli, khususnya dalam penyidikan kasus SARA. Saksi ahli itu dimintai pendapatnya apakah selebaran itu berbau SARA atau tidak. Mengenai mahasiswa pembawa senjata tajam saat demonstrasi, Kapolres menyatakan bahwa mahasiswa itu diizinkan untuk ditahan luar karena masih muda dan statusnya mahasiswa. Setelah mendengar penjelasan itu, para pengunjuk rasa pulang. Tetapi Helio Soares dan Bekti Wiratmoko, dua mahasiswa yang ikut unjuk rasa itu, menyatakan, pihaknya akan datang lagi ke Polres sampai ada penyelesaian tuntas tujuh kasus yang telah dilaporkan.ii *** Tanggal 14 September 1995, Presidium KPD (Nico L. Kana, Budi Lazarusli, Witjaksana, Budi Susilo, Susatyo Adi Nugroho, Th. Sumartana, C. Widodo Utomo, Halomoan Pulungan, Danar Pramonosidhi, Bintoro Gunadi) menulis surat kepada Tim Lima, menyatakan mendukung isi dan semangat pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP tanggal 1 September 1995. KPD juga memohon Tim Lima untuk segera melaksanakan tugasnya sesuai dengan pernyataan sikap dan pendirian, serta memohon Tim Lima untuk menghentikan semua tindakan YPTKSW dan Rektor yang memaksakan berlangsungnya PBM dengan cara yang tidak konsisten dengan sikap dan pendirian FG GGPP. KPD menyatakan bersedia menjalankan PBM bersamaan dengan dicapainya kesepakatan prinsip tertulis sesuai dan sejalan dengan pernyataaan sikap dan pendirian FG GGPP tanggal 1 September 1995 butir 2.
http://slamethdotkom.wordpress.com
196
[email protected]
BAB 17
Kekerasan Lagi
Demonstrasi disertai kekerasan melanda UKSW pada Jumat, 15 September 1995. Kerusuhan ini mengakibatkan kaca-kaca gedung Lembaga Pengabdian Masyarakat hancur dan meja-kursi dijungkirbalikkan mahasiswa. Selain itu, dosen FB Agna Sulis Krave babak belur dihajar massa. Aksi ini dimulai karena ketidakpuasan mahasiswa FP terhadap pengumuman Siliwoloe yang akan memulai kembali PBM pada 18 September dengan dosen-dosen baru. Semula, 22 dari 25 dosen FP yang menolak mengajar telah sepakat untuk bermusyawarah pada Sabtu, 16 September, tetapi entah apa sebabnya rektor ternyata mengubah pikiran dan tidak menunggu hari Sabtu. Pada 12 September, pihak fakultas menetapkan dosen berikut jadwal perkuliahan. Dosen baru ini ternyata ada yang tidak punya latar belakang untuk mengajar di Fakultas Pertanian. Mereka ada yang berasal dari FKIP UKSW, namun ada pula yang datang dari Universitas Gajah Mada. Misalnya saja Djoko Prayitno, seorang dosen UGM yang biasa mengajar statistik. Di FP UKSW ia mengajar teknologi benih. Juga, banyak di antara dosen yang namanya tercantum di pengumuman Siliwoloe ternyata belum menyatakan kesediaan mengajar. Mahasiswa menolak dosen drop-dropan tersebut. Sekitar 300 mahasiswa menandatangani pernyataan menolak keberadaan dosen baru tersebut. Setelah terlebih dahulu berkumpul di Bukit Demokrasi, mahasiswa menuju Gedung LPM untuk menuntut dialog dengan Siliwoloe. Tuntutan itu tidak ditanggapi sehingga mahasiswa menjadi panas. Entah siapa yang memulai, mereka kemudian mulai melakukan perusakan. Kaca jendela hancur dan perabotan lain berantakan. Pasukan antihuru-hara segera turun-tangan menghalau mahasiswa. Dihalangi begitu, mahasiswa pindah ke gedung rektorat untuk mencari Siliwoloe. Sesampai di depan BARA, mereka kembali dihadang Satkam. Akhirnya, mereka kembali ke Gedung LPM untuk melanjutkan perusakan. Saat itu, kebetulan Agna Sulis Krave sedang berada sendirian di Gedung C lantai II. Cerita Agna kemudian. “Nah, sebelum itu saya bertanya kepada ibu yang baru pulang makan, katanya sudah selesai. Apa namanya, rame-ramenya di LPM sudah selesai. Terus saya turun. Setelah turun kemudian saya ambil jalan ke luar kampus yang di sebelah lapangan. Tapi karena tertutup bukit, saya tidak tahu ada rombongan KPD, mahasiswa KPD yang baru merusak LPM turun, ke arah Gedung C. Kemudian, saya sudah masuk ke dekat bukit., saya melihat dari jarak sekitar 15 meter rombongan KPD. Salah satu mahasiswa itu berteriak, ‘Itu Agna, Agna. Hajar, hajar.’ Tiga yang saya kenal.” Dan, Agna pun langsung menjadi korban keberingasan massa. “Saya diinjak-injak di tengah lapangan dan pengamanan dari Satkam dan polisi datang terlambat karena mereka konsetntrasinya di BARA dan LPM. Kemudian ada beberapa
http://slamethdotkom.wordpress.com
197
[email protected]
mahasiswa yang mengamankan saya, dilarikan ke Gedung E. Mahasiswa itu saya tidak tahu persis, kelihatannya ada satu -dua anak Elektro yang mengamankan saya. Kemudian anak itu malah dipukul. ’Kamu PPU ya, PPU ya? Mati kamu!’ Kemudian anak itu terkena pukulan. Terus baru kemudian Satkam dan ini datang dan saya diamankan di Gedung E. Setelah itu saya melaporkan diri ke kepolisian dan saya membuat pengaduan ke polisi dan mendikbud, tapi kelanjutannya tidak ada.” Agna memang tidak sampai harus dirawat di rumah sakit karena luka di bagian muka dan pantatnya, tetapi Agna terpaksa harus menjalani CT-Scan dan pusing kepalanya tidak hilang sampai 1 bulan kemudian. Selain itu, untuk beberapa hari jalannya pun masih pincang. Sebagian staf administrasi LPM kemudian menuntut agar mahasiswa yang melakukan kekerasan ditindak tegas. Kerugian akibat peristiwa itu ditaksir Rp4-5 juta. Ir. Danar Pramonosidhi, salah seorang dosen FP yang ikut menandatangni moratorium, menyayangkan aksi mahasiswa itu.ii Sementara itu KPD tetap mempersoalkan gaji para dosen yang belum dibayarkan. Selain 14 dosenii yang ditunda gajinya pada bulan Agustus, gaji beberapa dosen untuk bulan September juga belum dibayarkan, padahal sistem pembayaran gaji di UKSW adalah sistem pembayaran di muka. Artinya, setiap awal bulan gaji dikirim ke rekening bank dosen dan setelah itu yang bersangkutan menandatangani daftar gajinya di kantor biro keuangan. Sebelas dosen yang disebutkan pertama di atas, yang terkena skorsing, juga belum menerima 50% komponen gaji untuk bulan September dan Oktober. Sementara itu, beberapa dosen KPD juga menganggap UKSW tak bisa diselamatkan lagi. Ferryanto mengundurkan diri per 1 Oktober 1995, Simon Rachmadi mengajukan cuti di luar tanggungan per 1 September 1995, dan Novembri mengajukan cuti di luar tanggungan per 1 Oktober 1995. *** Tetapi aksi perusakan tanggal 15 Oktober itu belum seberapa dibandingkan aksi pada hari Senin, 18 September. Aksi dimulai sekitar pukul 9.30 di Bukit Demokrasi oleh ratusan mahasiswa yang menggelar mimbar bebas dan membakari ban-ban bekas. Satu jam kemudian, massa bergerak menuju Gedung F untuk meminta dialog dengan dosen-dosen FE yang kebanyakan mendukung rektor. Sampai di depan gedung, mereka mendapati pintu masuk telah dijaga ketat oleh aparat keamanan. Mahasiswa mendesak untuk masuk tetapi ditolak. Mahasiswa lalu mulai melakukan hitungan mundur mulai dari 60. Karena tetap dihalangi, ratusan mahasiswa mendobrak pintu masuk dan menghambur ke setiap lantai. Beberapa kaca di lantai I dan IV hancur. Di lantai III mereka melihat Danny Zacharias. Beberapa orang segera mengejarnya sampai penasihat hukum YPTKSW itu jatuh dari tangga lantai III ke lantai II. Aparat keamanan segera mengamankannya dari amukan massa. Karena kecewa tidak menemukan dosen FE yang dicari, mahasiswa bergerak menuju kantor rektorat. Ketika mereka sampai di BARA sekitar pukul 11.15, BARA juga dijaga ketat oleh aparat keamanan dan demonstran tidak diizinkan masuk. Rundingan antara mahasiswa dan aparat pun tidak membuahkan hasil. Akhirnya, mahasiswa melakukan hitungan mundur dari 60,
http://slamethdotkom.wordpress.com
198
[email protected]
tetapi baru pada hitungan ke-40, tiba-tiba ada lemparan batu. Massa yang sudah marah langsung terpancing untuk mengamuk. Mahasiswa melempari kaca-kaca di kantor tersebut dan merusak barang-barang di dalamnya. Aparat keamanan tiba pada pukul 11.25 dan langsung berusaha membubarkan massa. Dalam kejadian ini ada beberapa mahasiswa yang terkena pukulan aparat. Tetapi, kantor berlantai 2 itu hancur. Kaca-kaca dan kertas berserakan di lantai. Kerugian yang terjadi akibat rusaknya Gedung F dan BARA, menurut rektor John Ihalauw kemudian, sekitar Rp200 juta. PR I Soewandi yang saat itu berada di antara massa hampir saja menjadi korban amarah kalau tidak diamankan petugas. "Anda tahu ini semua gara-gara Anda. Gara-gara kalian UKSW hancur. Kamu mau UKSW hancur?" bentak seorang mahasiswa FT sambil menuding-nuding PR I itu. Pukul 11.50 Kaporlse Salatiga meminta ribuan massa yang memadati pelataran kantor rektorat untuk segera ke lapangan karena di sana akan ada dialog. Mahasiswa tidak bersedia. Dandim dan Kapolres akhirnya turun tangan meminta mereka untuk segera ke lapangan. Massa tetap tidak mau karena takut terkecoh dan khawatir rektor lari ke luar kampus. Akhirnya, Kapolres meminta Helio untuk membawa mereka ke lapangan. Barulah massa mau ke lapangan. Pukul 12.30 massa yang sudah mencapai jumlah ribuan berkumpul dan dialog di lapangan UKSW dilangsungkan. Dialog hanya berlangsung lima menit karena rektor tidak bersedia menjawab pertanyaan mahasiswa. Rektor dikawal ketat oleh aparat keamanan dari Polres, Brimob, dan Kodim. Dalam dialog itu mahasiswa menanyakan kesediaan rektor menaati seruan dari Forum Gereja. "Pak JOI, kami telah menyepakati apa yang diserukan oleh Gereja. KPD setuju usulan tersebut. Nah, pertanyaannya sekarang, apakah Pak JOI juga menyepakati itu?" tanya Andono, mahasiswa FTh. Jawaban JOI tidak tegas. "Sikap kami akan disampaikan kepada Tim Lima." ujarnya. Jawaban itu tidak memuaskan para pengunjuk rasa dan dialog hanya berlangsung sekitar 5 menit. Seusai dialog, mahasiswa mendirikan tenda di depan kantor BARA, tetapi sekitar pukul 16.45 tenda itu dirobohkan aparat keamanan. Tujuh belas mahasiswa dipukuli dan dibawa.ii Jumlah itu kemudian menjadi 19 karena 2 mahasiswa lain kemudian ikut diciduk. Ke-19 mahasiswa itu adalah Kisworo Santi Prihantono (FH), Wiratmoko (FH), Imelda Christianti (FKIPPDU), Luhur Novianto (FP), Agung Kristiono (FP), Darmawan Zagotto (FP), Alphian (FP), Adriansyah (FP), Hamong Sntoso (FP), Jorge Manuel Pinto Soares (FP), Helio Maria Pinto Soares (FE), Anthony Fernando Pakpahan (FE), Ivan Virgantoro (FT), Aprianto Situmorang (FP), Awan Tri Hananto (FT), Antonius Danurwenda (FB), Hot Sanggam Panjaitan (FB), Ignatius Hermawan Budi Susetyo (FB), dan Bambang Agung Setyabudi (FB).ii Penangkapan ini langsung melahirkan aksi solidaritas mahasiswa KPD. Senin malam itu ratusan mahasiswa melakukan aksi diam di Mapolres setempat. Sejumlah dosen wanita dengan setia menyediakan nasi, lauk pauk, dan air minum kepada para mahasiswa yang tetap menanti perkembangan pemeriksaan oleh aparat keamanan. Polisi melarang ke-19 mahasiswa itu ditengok. Bahkan, polisi juga menolak kedatangan kuasa hukum
http://slamethdotkom.wordpress.com
199
[email protected]
para mahasiswa yang ingin mendampingi mereka selama proses pemeriksaan. Selasa, 19 September pukul 1 dini hari, 19 mahasiswa yang ditahan mulai diinterogasi. Mereka tidak diperbolehkan kencing, makan, dan minum. Tiga di antara mereka bahkan tidak diizinkan shalat. Hari Selasa itu juga sekitar pukul 17.00 enam belas mahasiswa dilepas, sedang tiga mahasiswa, Helio Maria Pinto Soares, Darmawan Zagotto, dan Anthony Fernando Pakpahan, tetap ditahan. Menurut mahasiswa, perlakuan polisi cukup baik. Tiga mahasiswa yang ditahan didampingi tiga pengacara dari LBH Semarang, Sarastomo, SH, Sri Nurherwati, SH, dan Ida Budhiati, SH. "Sejak hari ini (19 September) kami akan mendampingi mereka selama dalam pemeriksaan. Kalau kasus ini naik tentu kami harus terus mendampingi mereka. Sampai sore ini kami masih meminta surat penangkapan dan surat penahanan dari Kasatserse," kata Ida.ii Jumlah penasihat hukum yang bersedia membela ketiga mahasiswa yang ditahan kemudian bertambah. Indra Budiman, Budi Lazarusli, Pramudya, Johny Simanjuntak, dan beberapa staf Unit Pelayanan dan Bantuan Hukum UKSW menyatakan bersedia membela mereka. Sehari setelah kerusuhan di BARA, Pdt. Drs. Th. Bonai, wakil ketua Badan Pekerja Am Sinode Gereja Kristen Injili Di Irian Jaya, menulis surat kepada Tim Lima GGPP UKSW. Pdt Bonai meminta agar Badan Pengurus Yayasan dan Tim Lima berperan aktif selaku mediator dan pengendali sehingga Rektor UKSW tidak gegabah mengeluarkan SK kontroversial yang berdampak keresahan. Selain itu, Pendeta Bonai juga menilai, permohonan naik banding dari Badan Pengurus Yayasan terhadap Arief Budiman merupakan tindakan yang tidak terpuji karena usaha ini akan menimbulkan masalah-masalah baru yang pada gilirannya akan menghambat upaya penyelesaian kemelut UKSW. Sementara itu, mengomentari peristiwa 18 September di UKSW, Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Yusuf Kertanegara meminta kedua pihak yang bertikai di UKSW tidak ngotot, sementara Rektor Undip Dr. Muladi, SH merasa sudah saatnya pemerintah turuntangan.ii Perlunya pemerintah segera turun tangan juga dikemukakan Koordinator Orangtua Mahasiwa dari Surakarta, Drs. Budiyanto. Menurutnya keadaan UKSW sudah sangat memprihatinkan. Tetapi mendikbud menolak. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Itu urusan intern mereka. Selesaikan saja secara intern," katanya saat rehat sacara rapat kerja dengan anggota Komisi IX DPR RI pada 20 September 1995. Ketika diingatkan bahwa di hadapat anggota Komisi IX DPR beberapa waktu lalu ia pernah mengatakan Depdikbud akan melakukan intervensi jika dalam beberapa bulan UKSW tidak dapat menyelesaikan kemelut tersebut, dengan enteng Wardiman menjawab, "Ya, memang saya pernah mengungkapkan hal tersebut. Tetapi setelah itu kan saya mengatakan kepada kalian (wartawan), tentunya bukan di gedung ini, bahwa kita tidak akan melakukan intervensi. Itu urusan intern mereka." ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
200
[email protected]
LBH Surabaya mengutuk tindakan rektor UKSW yang mengundang aparat keamanan dalam kemelut di unniversitas itu. Tindakan rektor tersebut dinilai menunjukkan ketidakmampuan pmpinan UKSW melindungi dan mengembangkan wawasan sebagai institusi pendidikan tinggi.ii Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendesak Panglima ABRI untuk mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap aparat militer yang melakukan tindakan kekerasan terhadap mahasiswa pengunjuk rasa. Mereka juga menuntut agar 3 orang yang masih ditahan Polres Salatiga dibebaskan tanpa syarat. Situasai kampus UKSW terus tegang. Sejak Rabu, 20 September pagi kampus dijaga ketat oleh sekitar 200 aparat keamanan dari Kodim dan Polres Salatiga. Bahkan, dosen-dosen yang mengajar pun mendapat pengawalan ketat.ii Di Mapolres, para mahasiswa terus melakukan aksi solidaritas bagi 3 mahasiswa yng belum dilepas dan belum boleh dijenguk oleh siapa pun kecuali kuasa hukum mereka. Mahasiswa dan dosen bergiliran menunggu.ii Melihat perkembangan UKSW yang terus memanas, Muladi kembali mengungkapkan perlunya pemerintah turun tangan. Menurutnya, konflik di UKSW tidak lagi hanya meresahkan mahasiswa dan orangtua mahasiswa, masyarakat Jawa Tengah pun merasakannya. Apalagi kemelut sudah menjurus pada perusakan gedung serta bentrokan fisik. Tetapi, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Jawa Tengah Ir. Widjatmoko tidak sependapat. Ia menilai, pemerintah belum perlu turun tangan menempatkan pimpinan sementara di UKSW. Menurut Widjatmoko yang juga rektor Universitas Semarang itu, SK Mendikbud Nomor 0339 memang mengatur tentang penempatan pimpinan sementara di sebuah PTS, akan tetapi, langkah itu bisa dilakukan bila yang muncul di kampus adalah konflik antara pengurus yayasan dan rektor, yang pada akhirnya memacetkan PBM. Dengan demikian, SK itu tidak bisa diterapkan di UKSW, mengingat di PTS itu yang sedang cekcok adalah rektor-yayasan lawan dosen dan mahasiswa.ii *** Sembilan anggota presidium KPD 20 September menyatakan bahwa pada intinya KPD dapat memahami sepenuhnya kemarahan massa mahasiswa sehingga terjadi perusakan gedung. Menurut mereka, kerugian material Rp200 juta seperti yang diperkirakan rektor jumlahnya teramat kecil dibandingkan dengan kerugian mahasiswa selama lebih dari dua tahun terakhirn ini.ii Sementara itu di tempat terpisah John Ihalauw menuduh bahwa aksi perusakan brutal itu sudah direncanakan secara matang oleh KPD. Karena tindakan massa berada di bawah koordinasi dan tanggung jawab KPD, maka presidium dan anggota KPD tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab.ii *** Tiga dosen, Indra Budiman, Danar Pramono, dan Witjaksana bersedia menjadi penjamin bagi tiga mahasiswa yang masih ditahan. Ketiga mahasiswa diancam Pasal 170 KUHP dengan
http://slamethdotkom.wordpress.com
201
[email protected]
hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan.ii KPD mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani 9 orang. Surat pernyataan tanggal 20 September 1995 itu menyatakan bahwa rektor dan YPTKSW yang bertanggung jawab atas berbagai kejadian akhir-akhir ini, maupun seluruh kemelut dalam 2 tahun terakhir.ii *** Hari Jumat pagi, 22 September, Yosi, seorang mahasiswa FP, membagi-bagikan selebaran yang isinya menyerukan agar mahasiswa tetap tenang menghadapi peristiwa yang berlangsung di UKSW akhir-akhir ini. Sialnya, ia dipergoki oleh Satuan Keamanan Kampus bersama aparat keamanan yang telah 5 hari menjaga kampus. Ia kemudian ditangkap dan dibawa ke Polres Salatiga. Di sana ia diinterogasi dan sore harinya dilepaskan. Penangkapan itu membuat mahasiswa FP, pengacara, dan pendukung KPD semakin prihatin terhadap suasana kampus. Mereka menyesalkan tindakan penangkapan dan interogasi yang tidak disertai surat penangkapan itu. Indra Budiman, salah seorang penasihat hukum 3 mahasiswa, mengecam tindakan aparat keamanan yang terlalu sensitif dan gampang menangkap mahasiswa. Sedangkan KPD sangat kesal dan menyesalkan tindakan penangkapan oleh pihak keamanan yang sudah terlalu jauh mencampuri urusan intern kampus UKSW. Menurut Indra, seharusnya aparat keamanan lebih jeli dan objektif dalam melakukan tugasnya di UKSW. "Tidak langsung main tangkap saja. Itu kan menyalahi aturan, apalagi tidak pakai surat penangkapan," ujarnya. Dosen FSM Widodo C. Utomo yang sejak penangkapan 19 mahasiswa setia mendampingi mahasiswa yang ditahan mempertanyakan sikap Polres atas situasi UKSW. Polres Salatiga bersikap tidak adil, katanya. Pasalnya, peristiwa pemukulan, perusakan gedung yang pernah dilakukan anggota PPU beberapa waktu yang lalu tidak pernah diproses lebih lanjut. "Lebih dari itu, orang-orang PPU yang menyebarkan selebaran yang berisi isu SARA sama sekali tidak diproses. Padahal isu itu jauh lebih membahayakan daripada sekadar perusakan gedung yang belum tentu disengaja. Tapi lihat apa yang terjadi sekarang. Ini kan berarti tidak adil. Isu SARA kan jauh lebih membahayakan. Apalagi kami memperjuangkan kebenaran. Siapa yang jadi sumber kekacauan kan jelas. Orang luar seperti Prof. Dr. Muladi pun bisa menilai siapa yang salah," ujar Widodo. Sejumlah mahasiswa merasa suasana tidak mendukung proses belajar-mengajar. Mereka merasa seperti pesakitan saja. Mereka terganggu oleh kehadiran petugas di kampus. Bahkan, saat kuliah ada aparat yang menengok-nengok ke kelas. "Kami ini belajar di kampus sendiri kok seperti dicurigai," komentar seorang mahasiswa. *** Selain menuduh KPD dalang perusakan, Rektor John Ihalauw pun mengeluarkan SK bertanggal 22 September yang memotong 50% gaji 20 dosen KPD dan menskors mereka. Ke-20 dosen itu juga dilarang menggunakan sarana dan prasarana kampus. SK skorsing yang dikeluarkan rektor ini ada kaitan dengan keputusan Dewan Pengurus YPTKSW No. 169/A/YSW/1995 tanggal 21 September 1995 yang memerintahkan rektor mengenakan sanksi administratif skorsing atau PHK kepada pegawai YPTKSW sesuai dengan keterlibatan dan
http://slamethdotkom.wordpress.com
202
[email protected]
tingkat perbuatan/tindakan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan aksiaksi KPD, serta mewajibkan rektor melaporkan pelaksanaan pengenaan sanksi administratif tersebut kepada pejabat pemerintah yang berwenang untuk mendapatkan izin PHK antara pegawai yang bersangkutan dengan YPTKSW. Tanggal 26 September 1995, lewat surat No. 264/XXXVIII/Rek/1995, Rektor mengirim surat kepada para pimpinan fakultas, jurusan, dan progdi; para direktur dan sekretaris lembaga; para ketua unit, ketua Dewan Pegawai, ketua LK; para tenaga akademik administrasi dan pekarya UKSW. Menurut JOI, karena adanya tindakan brutal perusakan, penganiayaan, dan pemogokan oleh KPD yang berada di luar sistem dan struktur UKSW, maka DPH YPTKSW telah memutuskan untuk menjatuhkan skorsing kepada sejumlah tenaga akademik sesuai SK 169/A/YSW/IX/1995. Menurut JOI, sedapat mungkin tindakan administratif memang jangan sampai dilakukan, namun demi tegaknya peraturan dan ketentuan, serta agar fair bagi saudara-saudara yang setia, tekun, dan berdedikasi melaksanakan tugas pelayanan Gereja antara lain melalui PBM yang tertib dan lancar, maka dengan berat hati tindakan administratif harus dilakukan. JOI juga mengutip komentar Direktur Perguruan Tinggi Swasta Ditjen Dikti Prof. Ir. Joetata Hadihardaja, MSc tentang kemelut UKSW yang menurut JOI mencerminkan sikap formal pemerintah. Komentar yang dimuat di Suara Merdeka, 26 Sep 1995 itu berbunyi: "Siapa saja yang mengaku dirinya dosen atau pengajar, harus mengutamakan proses belajar-mengajar. Ini harus dihormati. Masalah kemelut, harus dipisahkan." Kalau ada dosen yang berprinsip hanya mau mengajar jika kemelut sudah selesai, jangan jadi dosen. Memang, dimulai pada tanggal 22 September, 57 orang dosen dikenai sanksi skorsing oleh rektor. Masa skorsing dikelompokkan dalam 3 kategori, 1 bulan (24 orang), 2 bulan (11 orang), dan 3 bulan (21 orang) dan 1 orang tidak mau menerima SK. Makin tinggi tingkat keterlibatannya dalam aktivitas KPD, makin singkat masa skorsingnya. Mereka yang diskors berhak atas 50% beberapa komponen gaji, yaitu gaji pokok ditambah tunjangan masa kerja, tunjangan keluarga, dan tunjangan perumahan. Berdasarkan unit, yang diskorsing adalah dosen dari unit PPs-AM (1 orang), PPs-SP (3), LPU(1), FB (1), FKIP (1), FE (1), FH (9), FTh (3), FSM (3), Pusat Bimbingan (4), FP (19), DMU (11). Sistem pembayaran gaji di UKSW adalah sistem pembayaran gaji di muka. Oleh karena itu, seharusnya gaji bulan September 1995 belum dipotong 50%, atau paling tidak dapat dihitungkan secara proporsional. Selain yang terkena skorsing, 6 orang dosen dihentikan gajinya walaupun tidak terkena skorsing. Mereka adalah Dra. Deassy S. Pulungan (FKIP), Dra. Lusiawati Santoso, MSc (FSM, mantan dosen FB), Dra. Susanti (FSM, mantan dosen FB), Dra. Hartini (FSM, mantan dosen FB), Drs. Santoso (FSM, mantan dosen FB), Ir. Nugraheni Widyawati (FP). *** KPD gagal menyelenggarakan kebaktian di kapel kecil di dalam kampus. Rektor tidak memberi izin karena merasa tidak mengenal dan mengakui KPD. Kebaktian itu dimaksudkan untuk memanjatkan doa agar kemelut di UKSW segera terselesaikan. Pusat Pengendalian Kerohanian UKSW juga sebenarnya sudah mengizinkan. Selain itu, Rektor JOI juga secara resmi mengirim surat ke Kapolres menyatakan tidak
http://slamethdotkom.wordpress.com
203
[email protected]
mengakui lagi ketiga mahasiswa yang ditahan sebagai mahasiswa.ii Akan tetapi, tindakan rektor tidak menghalangi niat LBH Semarang untuk minta kepada penyidik untuk membebaskan tiga mahasiswa. Alasannya, penahanan itu dtidak pada tempatnya karena dilakukan terhadap mahasiswa yang masih mengikuti proses belajarmengajar di kampusnya. Menurut Direktur LBH Semarang Girsang Tarigan, proses penangguhan penahanan yang telah diajukan ternyata berbelit-belit, seakan-akan kliennya adalah penjahat kelas kakap yang mengkhawatirkan dan membahayakan masyarakat. LBH juga mempertanyakan keikutsertaan aparat keamanan dalam kasus ini dengan ikut mencari mahasiswa yang diduga terlibat dalam keramaian di kampus itu. Cara yang dilakukan rektor yang membentengi kampus dengan aparat keamanan tidak pernah menjadi tradisi di UKSW. Cara tersebut bertentangan dengan makna otoritas perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam PP No. 30 tahun 1990. Aksi yang dilakukan para mahasiswa haruslah dipahami bahwa kejadian itu adalah akumulasi dari rasa kecewa. Ini akibat ketidakseriusan pihak rektor merealisasi proses belajarmengajar yang kondusif dan penanganan kasus di UKSW yang tidak kunjung selesai.ii Alih-alih dibebaskan, tiga mahasiswa UKSW yang ditahan pihak Polresta hingga 24 September malam tetap tidak boleh dijenguk, bahkan oleh keluarga mereka sekalipun.ii Tiga mahasiswa yang ditahan hari Senin, 25 September sekitar pukul 17.00 malah dipindah ke Mapolwil Semarnag di Ungaran. Alasannya, Polres Salatiga sangat terbuka sehingga membahayakan dari sisi keamanan. Sartono, SH dari LBH Semarang, salah satu penasihat hukum ketiga mahasiswa, merasa pemindahan itu tidak lazim. "Saya pikir ini sesuatu yang tidak lazim, sebab saya tadi sudah ketemu salah seorang penyidik. Katanya, pemeriksaan sudah selesai," kata Sartono. Menurut Sartono, semestinya tidak ada alasan ketiga mahasiswa harus ditahan. Lebih lanjut Sartono mengatakan. "Saya memang sudah beberapa kali mengajukan permohonan itu. Tapi, karena ada surat dari rektor UKSW yang menyatakan ketiga mahasiswa itu bukan lagi mahasiswa UKSW, permohonan kita—yang salah satu alasannya memang menunjuk mereka sebagai mahasiswa—tidak dikabulkan," tambah Sartono mengenai permohonan penahanan luar bagi ketiga mahasiswa. Bersamaan dengan dipindahkannya ketiga mahasiswa tersebut, mahasiswa KPD yang menggelar lesehan keprihatinan juga ikut berkemas mengikuti kepindahan kawan-kawan mereka. Mereeka merencanakan menggelar aksi serupa di halaman kantor Polwil Semarang di Ungaran.ii *** Aksi kekerasan memang tidak bisa dibenarkan, tetapi Arief Budiman, yang sedang melakukan riset di Australian National University, Canberra, bisa memaklumi aksi kekerasan tanggal 15 dan 18 September 1995. "Sekarang sudah waktunya bagi aparat keamanan untuk bertindak tegas. Pertama, hukum semua orang yang melakukan kekerasan, termasuk yang dulu memukul orang-orang KPD, termasuk surat yang mengadu domba suku, yang ditandatangi oleh orang-orang yang sekarang masih ada di kampus. Kalau tindakan hanya dilakukan kepada satu pihak saja, pasti
http://slamethdotkom.wordpress.com
204
[email protected]
yang tidak puas akan membalas. Dan, ini akan merepotkan pihak aparat keamanan saja. Kedua, semua yang telah melakukan kekerasan diampuni. Kumpulkan mereka, beritahu, kalau ada tindakan kekerasan lagi, maka tindakan tegas akan dijalankan, bagi pihak mana pun. KPD tidak memaksakan pendapat dan bertindak di luar prosedur. Kalau tidak salah, yang memaksakan pendapatnya secara memaksa adalah pihak YPTKSW ketika pemilihan rektor tahun 1993 dulu," kata Arief. Mengenai keberingasan mahasiswa KPD yang merusak kampus, Arief menjawab. "Sangat bisa dimaklumi terjadinya penghancuran kantor rektorat. Sebagai penyandang gelar S-1 di bidang psikologi, saya sangat bisa memahami kondisi psikologis mereka. Apalagi kalau terjadi perlakuan yang tidak adil oleh aparat keamanan." Menurut Arief, "Penyelesaian yang paling baik adalah diadakan pemilihan rektor ulang. Kedua belah pihak, KPD dan PPU termasuk rektor dan YPTKSW dipaksa duduk bersama dan membuat aturan pemilihan yang bisa disetujui kedua belah pihak, dihadiri pihak ketiga sebagai wasit. Kalau perlu mereka dikarantina dan tidak boleh meninggalkan tempat sampai ada kesepakatan. Seperti pemilihan Paus di Vatikan." Dalam demokrasi, kata Arief, kalau seorang pemimpin hanya menimbulkan kekacauan yang terus-menerus dari masyarakat yang dipimpinnya, maka sudah sepantasnya dia menantang untuk mengadakan pemilihan baru untuk membuktikan apakah dia masih dipercaya oleh mayoritas warga yang dipimpinnya. Ini adalah aturan elementer dari sistem demokrasi, tentu saja kalau pemimpin tersebut memang seorang pimpinan yang punya kehoramatan. Arief juga menyatakan protes keras atau tindakan aparat keamanan yang over acting, karena Arief tahu rekan-rekannya di KPD pasti tidak akan melawan.ii *** Tuduhan JOI bahwa aksi perusakan kampus didalangi KPD, tidak berlalu begitu saja. Tanggal 29 September Widodo Utomo, Slamet Luwihono, SH, Bintoro Gunadi, Nggandi Katu melaporkan JOI ke Polres dengan tuduhan pencemaran nama baik. Hari itu juga pimpinan FKIP (Dekan Bambang S. Sulasmono, MSi, PD I Drs. Prasetyo, PD II Drs. Soeroso, PD III Drs. Tritjahjo Danny Soesilo) menulis surat kepada rektor sehubungan dengan skorsing dosen. Menurut pimpinan FKIP, dasar pertimbangan skorsing kepada sekitar 40 dosen mengandung tuduhan yang seharusnya dibuktikan lebih dahulu. Para pimpinan FKIP yang dekat dengan sebagian besar mereka yang diskors mengetahui perusakan terjadi di luar pengetahuan apalagi kendali mereka. Pimpinan FKIP dapat memberikan kesaksian bahwa ketika Pernyataan Sikap dan Pendirian Forum Gerejawi Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung (PSP FG GGPP) UKSW tanggal 1 September 1995 dikeluarkan, konstelasi dalam tubuh KPD telah berubah. Pernyataan sikap KPD terhadap PSP FG GGPP UKSW tanggal 4 September 1995 jelas menunjukkan betapa KPD sudah mundur dari tuntutan semula, yaitu turunnya rektor UKSW ke-4. Bahkan KPD menyatakan kesediaan menjalankan PBM. Namun kesediaan KPD malah diikuti diangkatnya pejabat dekan FP oleh rektor sehingga makin menjauhkan upaya tercapainya penyelesaian masalah yang adil. Sebenarnya tidak ada yang dapat dikatakan bertanggung-jawab sepenuhnya atas perusakan. Jika tindakan kedua
http://slamethdotkom.wordpress.com
205
[email protected]
belah pihak langsung ataupun tidak telah mendorong terjadinya perusakan, maka tidak adil kalau kemudian hanya salah satu pihak yang harus bertanggung jawab. KPD sudah menyatakan kesediaan mengajar, tapi kesedian itu tidak dapat terwujud. Buktinya, walapun sudah ada pernyataan kesediaan mengajar staf akademik dalalm KPD, namun jadwal yang diterbitkan oleh beberapa unit tidak melibatkan mereka. Bahkan kesediaan tertulis sebagian dosen FH untuk menguji mahasiswa yang dibimbing mereka tidak diakomodasi oleh pihak penyelenggara UNTA di FH. Begitu pula yang dialami dosen DMU dengan dialihkannya kewenangan mengatur jadwal perkuliahan MKDU kepada fakultas dan/atau jurusan/progdi. Jadi, belum terlaksananya PBM dari para staf akademik dalam KPD tidak semata-mata disebabkan oleh mereka sendiri. Pimpinan FKIP meminta pimpinan UKSW untuk kali terakhir berdialog dengan KPD. Kami siap jadi penyelenggara dialog tersebut dan siap melepas jabatan struktural kami apabila pertemuan itu tidak membuahkan hasil. Selain dari pimpinan FKIP, sehari sebelumnya KPD juga mendapat simpati dari Forum Pengkajian Gereja dan Masyarakat (FPGM) Sawokembar Yogyakarta dan orangtua mahasiswa UKSW di Yogyakarta. Mereka mencoba menekan YPTKSW dengan mengusulkan agar Gereja Pendiri dan Pendukung UKSW menunjuk tim caretaker netral dan berpangaruh secara nasional untuk mengambil alih kepengurusan dan pengelolaan UKSW untuk sementara. Nama yang diusulkan untuk caretaker antara lain Radius Prawiro, Sularso Sopater, Warsito Utomo, Sabam Sirait,dan Sahetapy. Mereka menganggap, Tim Lima sudah tidak bisa diharapkan lagi.ii Senin, 2 Oktober, setelah ditahan selama semingggu di Polres Salatiga dan seminggu di Polwil Semarang, sekitar pukul 13.30 penahanan 3 mahasiswa ditangguhkan. Ketiganya wajib lapor tiap hari Kamis di Polres salaatiga. Jaminannya adalah beberapa dosen, Indra Budiman untuk Antony Fernando, Witjaksana untuk Helio Maria Pinto Soares, dan Danar Purnomosidhi untuk Darmawan Zagoto.ii *** Dan, inilah babak-babak akhir upaya penyelesaian kemelut UKSW oleh Gereja. Tim Lima mengundang YPTKSW, rektor, KPD, dan PPU untuk kembali ke meja perundingan. Pernyataan yang dikeluarkan Tim Lima seperti di bawah ini. 1. Tim Lima sangat menyesali tindakan brutal/emosional dan perusakan beberapa gedung dan peralatan di UKSW yang terjadi pada tanggal 18 September 1995. 2. Dengan peristiwa tersebut, maka “operasionalisasi” pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP UKSW 1 September 1995 telah diabaikan/dilecehkan. Oleh karena itu, pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP UKSW perlu ditinjau kembali agar pelaksanaannya lebih realistis dan diterima oleh semua pihak. 3. Menghimbau kepada semua pihak untuk menghormati PBM yang telah dimulai sejak tanggal 4 September 1995. 4. Mendesak kepada 4.1 YPTKSW dan rektor untuk meneliti/meninjau dan mencabut SK-SK yang berkaitan dengan kemelut UKSW. 4.2 Para pejabat struktural/mantan, untuk mencabut:
http://slamethdotkom.wordpress.com
206
[email protected]
4.2.1 Pernyataan Pendirian 10 orang pimpinan unit tanggal 19 Agustus 1993 4.2.2 Surat mosi tidak percaya, tanggal 14 November 1994 4.2.3 Maklumat Mogok, tanggal 31 Maret 1995 4.2.4 Pemberitahuan pemberlakuan Moratorium, tanggal 2 Mei 1995 4.2.5 Pernyataan Bersama Pejabat Struktural 4 Fakultas eksakta UKSW. 4.3 YPKTSW dan Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung UKSW untuk segera
menyusun dan
mengesahkan perangkat-perangkat peraturan di UKSW, antara lain: 4.3.1 AD dan ART UKSW 4.3.2 Statuta UKSW 4.3.3 Peraturan Senat UKSW 4.3.4 Peraturan Pemilihan Rektor UKSW Untuk menggumuli dan mencari kesepakatan bersama atas hal-hal tersebut, maka kami mengundang semua pihak untuk hadir di dalam pertemuan pada Rabu, 4 Oktober 1995 pukul 10.00 di ruang rapat Hotel “Nugraha Wisata” Bandungan. a.n Tim Lima GGPP UKSW Pdt. Widjojo Hadipranoto, B.D. (Moderator) Undangan itu ditanggapi dengan baik. Di Bandungan kemudian diadakan pertemuan terbatas yang dihadiri oleh: 1. K.S. Ayub (T5) 2. Budi Susilo (KPD) 3. Widodo Utomo (KPD) 4. Danar Pramonosidhi (KPD) 5. John Titaley (UKSW) 6. Agna S. Krave (UKSW) 7. Tedjaprasada (YPTKSW) 8. Julius Saludung (DP YPTKSW) 9. S. Wismoady Wahono (DP YPTKSW) 10. John Ihalauw (rektorat) 11. Agustinus Kermite (T5) 12. Widjojo Hadipranoto (T5) 13. Adjar Subadi (PR III) 14. Pirenomulyo (PR IV) 15. Siliwoloe (PPU) Hasilnya adalah seperti ini. Risalah: Pertemuan Percakapan, Bandungan, 4 Oktober 1995 1. Atas undangan Tim Lima GGPP UKSW, pada hari Rabu, 4 Oktober 1995 terselenggara pertemuan percakapan yang dihadiri wakil-wakil dari pengurus YPTKSW, rektorat, KPD, PPU,dan Tim Lima. Tujuan pertemuan percakapan adalah untuk menindaklanjuti
http://slamethdotkom.wordpress.com
207
[email protected]
Pernyataan Sikap dan seruan FG GGPP 2 Agustus dan Pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP 1 September 1995, yaitu mengupayakan adanya kesepakatan prinsip tertulis dari semua pihak dalam uKSW agar masalah kemelut UKSW dapat segera selesai. 2. Setelah berlangsung percakapanyang intensif semua pihak menyepakati untuk 2.1 Menegaskan kembali bahwa GGPP UKSW mendirikan UKSW dengan misi untuk meningkatkan kecerdasan bangsa, oleh karena itu PBM adalah suatu hal yang mutlak dilaksanakan di UKSW, dan tidak membenarkan siapa pun menggunakan PBM sebagai alat perjuangan. 2.2 Bahwa PBM tidak dikaitkan dengan masalah kemelut UKSW. 2.3 Menyusun agenda percakapan bersama, guna menyelesaikan masalah -masalah yang masih ada, oleh pihak-pihak yang berwenang/berkompeten. Percakapan bersama tersebut dilaksanakan antra tanggal 10 s/d 13 Oktober 1995. Dalam percakapan bersama tersebut Tim Lima GGPP UKSW adalah sebagai pendamping dan pengundang. 3. Hal-hal yang belum dapat dicapai kesepakatannya di dalam pertemuan percakapan 4 Oktober 1995 ialah tentang materi agenda percakapan bersama. 3.1 Pihak PPU mengusulkan materi agenda percakapan hanya 2 pokok seperti yang tercantum pada Pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP UKSW, 1 September 1995: 3.1.1 Pelaksanaan reshuffle para PR. 3.1.2 Penelitian dan pencabutan SK-SK yang diterbitkan oleh Pengurus YPTKSW dan rektor, serta surat-surat yang diterbitkan oleh para pejabat struktural (mantan). 3.2 Pihak PPU dengan adanya perkembangan yang terjadi pada pasca 1 September 1995 (aksi tnaggal 4,6,8,15, dan 18 September), mengusulkan agar di dalam percakapan bersama dipercakapkan: 3.2.1 Pertanggungjawaban KPD atas aksi-aksi teror, penganiayaan, perusakan, dan penggunaan kekerasan. 3.2.2 Pencabutan pernyataan Moratorium tanggal 2 Mei 1995 oleh KPD. 3.2.3 Pengakuan KPD bahwa proses pemilihan rektor UKSW periode 1993-1997 sah 3.2.4 Permintaan maaf dari KPD untuk semua pihak yang terkait dengan moratorium, aksi-aksi perusakan di UKSW. 3.2.5 Operasionalisasi Pernyataan Sikap dan seruan FG GGPP UKSW, 2 Agustus 1995 dan Pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP UKSW, 1September 1995 dilaksanakan oleh Pengurus YPTKSW. Dengan adanya perbedaan usulan materi percakapan bersama tersebut, maka kesepakatan prinsip secara lengkap dan tertulis secara khusus belum dapat dicapai. Namun semua pihak menyetujui bahwa beberapa kesepakatan (seperti pada butir 2) cukup dicantumkan dalam risalah pertemuan percakapan. 4. Mengusulkan kepada FG GGPP UKSW untuk mengoreksi butir 2.1 dalam pernyataan sikap dan pendirian FG GGPP UKSW, 1 September 1995, yaitu bahwa kewenangan mengadakan reshuffle para PR menurut AD dan ART UKSW dan PP 30 adalah Pengurus YPTKSW (DPI) bukan oleh rektor. Bandungan, 4 Oktober 1995, Tim Lima GGPP UKSW, moderator, Pdt. Widjojo Hadipranoto
http://slamethdotkom.wordpress.com
208
[email protected]
Pertemuan yang berakhir Kamis, 5 Oktober itu nyaris tanpa arti karena agenda pertemuan selanjutnya tidak berhasil disepakati. KPD meminta persoalan pencabutan berbagai SK kontroversial dan reshuffle pembantu rektor sesuai seruan Gereja Pendiri dan Pendukung UKSW tanggal 1 September secara tegas diagendakan, namun PPU, rektorat, dan pengurus YPTKSW menolak. PPU pada 8 Oktober 1995 bahkan mengeluarkan surat pernyataan sikap berisi empat tuntutan. Jika ini tidak dipenuhi, mereka tidak mau berunding. Tuntatan yang diajukan adalah meminta KPD bertanggung jawab terhadap aksi kerusuhan dan perusakan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir, menuntut KPD mencabut pernyataan moratorium, meminta KPD mengakui bahwa proses pemilihan rektor UKSW periode 1993-1997 sah, dan meminta KPD minta maaf keapada Gereja Pendiri dan Pendukung serta semua pihak yang ada di UKSW. "Persyaratan ini kami ajukan karena menurut hemat kami tidak ada masalah yang harus diributkan," kata John Titaley, salah satu anggota PPU. Menurut Titaley, akar permasalahan yang terjadi adalah saat KPD yang waktu itu bernama Kelompok 10 mempermasalahkan keabsahan proses pemilihan rektor. "Sayangnya, sejak bulan September 1993 sampai saat ini KPD tidak dapat membuktikan tuduhan mereka karena berkali-kali mereka menolak undangan berbagai pihak untuk membuktikannya," tutur Titaley. Seharusnya, kata John Titaley, kalau KPD menganggap proses pemilihan rektor tidak benar, mereka bisa memperkarakannya melalui Pengadilan Negeri sehingga yang menentukan benar atau tidaknya adalah lembaga ini. Dia juga menilai kemelut berkepanjagan yang melanda kampus UKSW sebenarnya tidak terlepas dari keterlibatan pihak luar yang ingin UKSW hancur. Kondisi ini sangat disayangkan olehnya, terlebih lagi cukup banyak dosen yang ternyata mau ditunggangi oleh oknum luar tadi. Siapa oknum yang ingin kampus ini hancur, Titaley tidak bersedia menyebutkan.ii *** Sementara itu, 11 mahasiswa pada hari Kamis, 8 Oktober melaporkan pelanggaran HAM di kantor Komnas HAM di Jalan Veteran 11, Jakarta Pusat. Mereka diterima Prof. Miriam Budiardjo. Menurut delegasi mahasiswa tersebut, sejak diangkatnya John Ihalauw sebagai rektor UKSW, perguruan tinggi itu dilanda kemelut yang hingga kini belum terselesaikan. Mereka menuduh, rektor dengan pendukungnya telah melakukan provokasi, intimidasi, dan penganiayaan terhadap sivitas akademika. Menanggapi pengaduan itu, Miriam Budiardjo mengatakan, "Kami masih harus mencari keterangan lebih lanjut sebanyak mungkin, tidak hanya keterangan sepihak saja mengingat masalahnya sangat complicated."ii Tiga hari kemudian, dua dosen Budi Susilo dan Widodo ditemani 10 mahasiswa KPD mengadu ke Komnas HAM di Semarang. Prof Dr. Muladi, anggota Komnas HAM yang juga rektor Undip menyatakan, tanggal 19 Oktober 1995 Komnas HAM akan turun ke UKSW dengan lima anggota, Muladi, Bambang Soeharto, Asmara Nababan, Brigjen Roekmini, dan Falentino de Amaral.ii Menurut Muladi, seharusnya mendikbud sudah turun tangan untuk mengatasi kemelut
http://slamethdotkom.wordpress.com
209
[email protected]
di UKSW itu. Dalam hal ini, bukan lagi persoalan pemenuhan aturan penyelesaian kemelut yang diutamakan, tetapi kepentingan masyarakat. Karena kemelut yang berlarut-larut di UKSW juga telah menimbulkan banyak pelanggaran HAM, khususnya hak masyarakat memperoleh pendidikan yang bermutu.ii *** Perkembangan yang mengejutkan justru terjadi karena staf Fakultas Pertanian pada 8 Oktober datang beramai-ramai ke BARA untuk menandatangani sebuah surat perjanjian “damai”. Peristiwa selengkapnya bisa ditangkap dari surat mahasiswa FP Susatyo Adi Nugroho kepada staf pengajar FP pada 10 Oktober 1995. Saya menyesalkan apa yang terjadi pada 8 Oktober 1995 di mana telah tercapai kesepakatan antara dosen FP dengan rektor. Ada lima butir yang tertuang, di mana isi dari poin-poin itu mengecewakan kami mahasiswa, terlebih pada butir ke-4 di mana dosen mengakui kepemimpinan Drs. Siliwoloe J. Apakah hanya sampai di sini saja tekad dan kesepakatan kita bersama untuk tetap menegakkan mutu dan idealisme UKSW? Saya masih ingat, pada awal kemelut kita bersamasama mengutarakan kena satu kena semua. Bahkan sempai terakhir open forum di Gedung C107 s. di mana di hadapan lebih kurang 300 mhs dosen-dosen FP cukup tegas dan berani. Saya juga menyesalkan, ketika beberapa rekan mahasiswa menanyakan pada dosen-dosen FP tertentu tentang pernyataan tanggal 8 Oktober 1995 tampak ditutupi. Bahkan ada dosen yang menyangkal pernyataan itu, padahal kami tahu persis pernyataan itu ada. Apakah memang seperti ini langkah yang diambil oleh dosen Pertanian yang mulai mencoba meninggalkan serta tidak mau mendengar suara mahasiswa? Apakah dengan alasan klise demi menyelamatkan FP khususnya mahasiswa, maka Pernyataan 8 Oktober terpaksa ditandatangani? Di sini saya mencoba memaparkan lima butir perjanjian antara staf pengajar FP dengan rektor UKSW: 1. Tidak akan menggunakan PBM sebagai sandera dan mengakui GGPP sebagai pemilik UKSW. 2. Menyesali kemelut yang terjadi di UKSW sehingga PBM terganggu. 3. Tidak melibatkan diri dalam suatu organisasi yang menggunakan PBM sebagai alat perjuangan. 4. Mengakui kepemimpinan Fakultas yang sah (Siliwoloe) 5. Bersedia dipecat jika melakukan perbuatan yang tidak sesuai (cat; pernyataan ini berasal dari sumber yang dapat dipercaya, dosen FP) Dengan menandatangani itu, otomatis dosen FP mengakui bahwa apa yang telah kita perjuangkan selama ini salah. Kalau begini yang terjadi, alangkah celakanya ratusan mahasiswa FT karena selama ini kami mendukung dan membela orang-orang yang "bersalah". Akhir kata, saya harap FP tidak membuat friksi dengan KPD. Kita berjuang bersama dengan semua unit KPD tanpa ada yang lebih superior, kita saling membutuhkan dan melengkapi, serta melindungi, sehingga nilai-nilai moral, idealisme,s erta muta UKSW dapat kita tegakkan kembali.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
210
[email protected]
*** Dengan pita putih di kepala, empat mahasiswa UKSW, Anindita W (FT 90), Fabby U.Chandra (FT '94), Andono Pawoko (FTh '94), dan Djoni Andreas Ferdy (FP '91) mulai Senin, 9 Oktober 1995 melakukan aksi mogok makan menuntut YPTKSW dan rektor melaksanakan hasil kesepakatan Forum Gerejawi 1 September 1995. Sementara itu, di Sinode Gereja Kristen Jawa, Tim Lima bersama Forum Gerejawi Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung mengadakan rapat membahas kemelut UKSW. Rapat itu dihadiri antara lain anggota Dewan Kehormatan YPTKSW Radius Prawiro, mantan rektor ke-2 Dr. Sutarno, anggota Tim Lima Pdt. Widjoyo Pranoto, Pdt Agustinus Kermite, dan Pdt. Pudjoprijatno. Semula 4 mahasiswa yang mogok makan akan melancarkan aksinya di Sinode GKJ, namun oleh utusan Gereja mereka disarankan pindah ke kampus. Mogok makan di tenda keprihatinan nyaris menimbulkan bentrok dengan Satkam yang akan membongkar tenda. Sekitar 100 mahasiswa yang berada di lokasi menghalangi pembongkaran paksa tersebut. Akhirnya, tenda dibongkar. Mahasiswa tetap duduk menunggui 4 aktivis yang mogok makan.ii Selasa, 10 Oktober mahasiswa yang mogok makan diperiksa dr.Shinta Rini dari RSU Salatiga. "Kondisi mereka masih baik. Secara fisik masih segar," kata dokter Shinta. Menurut alumus Unpad Bandung itu, penurunan kondisi kesehatan seseorang yang tak makan dan minum akan terlihat setelah 70 jam. Gangguan yang mudha terlihat adalah badan yang tampak lemah karena terjadinya dehidrasi.ii Jumat, 13 Oktober dini hari empat mahasiswa yang mogok makan menghentikan aksi mereka setelah adanya himbauan berbagai pihak. Tepat pukul 00.30 dilakukan upacara yang dhadiri para aktivis. Mereka mulai dengan menyanyikan mars UKSW yang selanjutnya diikuti penurutan bendera merah putih yang diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dalam kesempatan itu, Anindita mewakili ketiga rekannya membacakan pernyataan yang intinya mengharapkan apa yang telah dilakukan keempat mahasiswa dapat menyentuh akal budi dan nurani pengurus YPTKSW dan rektor. Sebelumnya, ada lima Gereja yag menghimbau agar pelaku berhenti mogok makan, GKJ, Gereja Injili Tanah Jawa, GKI, Gereja Isa Almasih, dan Evangelis Kalimantan. Surat dari GKJ diantar oleh Presidium KPD Th Sumartana langsung ke Tenda Keprihatinan pada tengah malam. Sebelum memutuskan mengakhiri aksi, empat mahasiswa berembuk satu jam.Setelah itu, mereka langsung minum. Pagi harinya, sekitar pukul 8 mereka menyantap bubur ayam dari rekan-rekan mereka dengan lahap. Mereka menyatakan terima kasih atas kesediaan GerejaGereja untuk turun tangan.ii Menjelang pertemuan forum Gereja Pendiri dan Pendukung UKSW, KPD menyerukan semua pihak saling menahan diri. Seruan itu dimaksudkan agar pada pertemuan yang dilangsungkan 20 Oktober dapat tercapai kesepakatan yang memuaskan semua pihak.ii Sabtu malam, 14 Oktober, lima Gereja Pendiri, GKJ, GKI Jateng, Gereja Injili di Tanah Jawa, Gereja Kristen Muria Indonesia, dan Gereja Isa Almasih menyerukan semua pihak untuk melaksanakan PBM. Th Sumartana kepada tim Gereja pendiri menyatakan siap melaksanakan kegiatan PBM.
http://slamethdotkom.wordpress.com
211
[email protected]
Namun, menurut beberapa dosen, usaha untuk melancarkan PBM masih ada ganjalan. "Dosen yang ingin kembali mengajar diharuskan mengaku dosa terlebih dahulu, menandatangani surat pernyataan," kata seorang dosen FP.ii *** Sidang Otma Semarang ditunda dua minggu. Berbeda saat sidang pertama 26 September, sidang kali ini sedikit sekali pendukung KPD yang datang. Tetapi, polisi masih tampak berjaga-jga. Para pengunjung yang bermaksud menyaksikan jalannya persidangan diminta meninggalkan kartu identitas. Bertindak sebagai Ketua Majelis hakim Ny.Maria Anna S. SH dengan anggota Sutriadi Yahya, SH dan Ny. Sudarmawatiningsih, SH. Ini sesuai dengan permintaan YPTKSW yang baru menerima perubahan subjek tergugat, dari ketua dewan pengurus YPTKSW menjadi YPTKSW. Mereka minta penundaan 2 minggu.ii *** Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) ketiga mahasiswa yang dituduh melakukan perusakan kampus tanggal 18 September 95 dilimpahkan ke Kajari Salatiga tanggal 16 Oktober 1995. Kajari Salatiga Gatot Sunarto, SH, melalui beberapa pertimbangan akhirnya mengabulkan permohonan kuasa hukum tiga mahasiswa tersebut untuk tidak ditahan. Ketiganya kemudian ditahan rumah. Kejari Salatiga juga telah menunjuk jaksa penuntut umum untuk menangani masalah ini, yakni Sutrisno, Karyono, dan I Budi Rukito.ii *** Tanggal 19 Oktober 1995 Komnas HAM mengunjungi UKSW untuk memeriksa apakah benar ada HAM yang dilanggar, seperti yang diadukan mahasiswa dan dosen. Kendati bukan untuk menyelesaikan masalah, Muladi berjanji untuk membantu menyelesaikan kemelut sekiranya Gereja gagal dalam pertemuan 20 Oktober. Pertama, Komnas HAM bertemu dengan rektor dan YPTKSW (diwakili Julius Saludung), dan Tim 5 (diwakili Pdt. Wijoyo Pranoto). Pertemuan itu berlangsung tertutup di Pusat Admonistrasi. Pertemuan kedua yang terbuka dilangsungkan dengan KPD. Dalam keterangannya, Th Sumartana selaku wakil KPD memaparkan seluruh permasalahan yang menimpa dosen, termasuk sanksi skorsing yang dijatuhkan pihak rektorat dan Yayasan. "Kami bukannya tidak menghormati Gereja karena universitas ini milik Gereja. Tapi, yang sangat kami sayangkan kenapa pihak rektorat dan Yayasan tidak menghormati keputusan Gereja yang dikeluarkan pada 1 September lalu," kata Sumartana. Dalam kesempatan itu Leila Budiman menyerahkan buku tebal yang bermaterikan sekitar kasus PHK suaminya. Buku tebal tersebut antara lain berisi hasil putusan sidang PTUN di Semarang, yang memutuskan pihak rektorat harus membayar gaji Arief, meski hingga sekarang keputusan sela itu tidak dihiraukan rektor. Dra.Murniati BU, staf pegajar SMA Satya Wacana, istri Nggandi Katu, melaporkan gajinya yang dipotong tanpa pemberitahaun dan kuasa dari dirinya. Potongan itu dilakukan untuk menutup angsuran suaminya Selanjutnya, Komnas HAM bertemu PPU secara tertutup di lantai 5 ruang Pascasarjana.
http://slamethdotkom.wordpress.com
212
[email protected]
Anggota Komnas HAM yang ikut selain Muladi adalah Bambang Suharto, Clemento D. Amaral, Brigjen Rukmini, dan Asmara Nababan.ii *** Forum Gerejawi Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung UKSW dalam rapatnya di Kantor Sinode GKMI, Jalan Sompok Lama, Semarang, Jumat, 20 Oktober menyerukan agar perkuliahan segera dilaksanakan secepatnya tanpa syarat. Rapat dimulai pukul 11.00 dan dipimpin Pdt. Pudjaprijatna. Menurut ketua Tim Lima Widjojo Hadipranoto, langkah ini diambil mengingat kedua pihak selalu melontarkan syarat sebelum bersedia menjamin berlangsungnya PBM. KPD selalu meminta SK-SK kontroversial dicabut dahulu, sedang PPU berpendapat PBM dijalankan dahulu baru penyelesaian masalah dituntaskan kemudian. Para narasumber, Radius Prawiro, Jakob Tobing (mantan anggota DPR RI), Sutarno (mantan rektor UKSW), Warsito Utomo (Fisipol UGM), dan Aris Pangtuluran (ahli manajemen pendidikan IKIP Yogyakarta) tidak ada yang hadir memenuhi undangan. Selain masalah PBM, rapat juga menetapkan rencana pertemuan final Gereja-Gereja Pendiri dan Pendukung UKSW dengan rektor,YPTKSW, serta pihak-pihak terkait dalam waktu dekat. Sementara di Solo sekitar 50 mahasiswa SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) cabang Solo, Semarng, dan Yogyakarta tanggal 20 Oktober menggelar aksi solidaritas untujk dosen dan mahasiswa KPD di kampus Universitas Sebelas Maret, Kentingan, Solo. Mereka menuntut penyelesaian kemelut di UKSW Salatiga dan menolak campur tangan ABRI dalam masalah tersebut. Ada enam butir tuntutan SMID, antara lain menolak intervensi militer ke kampus UKSW. Mereka minta Kapolres Salatiga Letkol Ign. Hari Suprapto dan Dandim Letkol Hardiwan menarik pasukannya dari UKSW dan minta maaf kepada sivitas akademika UKSW atas tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Mereka juga menghimbau pihak-pihak yang berkepentingan dalam kemelut UKSW untuk segera berunding dengan mengundang pihak ketiga yang netral sebagai penengah.ii Pada akhir Oktober 1995 juga mulai beredar isu adanya dosen UKSW yang pernah terlibat G30S/PKI dan pernah 12 tahun ditahan di Pulau Buru dengan kategori B.ii Beberapa hari kemudian, isu itu berkembang, dari 1 orang yang terlibat menjadi 3 orang. Kasdam IV/Diponegoro Brigjen TNI Djoko Subroto mensinyalir ada tiga dosen UKSW yang salah satunya eks-tapol di Pulau Buru—terlibat PKI. Ketiganya, menurut Kasdam, berhasil menyusup ke UKSW. (Bernas, 26 Oktober 95) Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI M. Yusuf Kartanegara meminta rektor UKSW untuk tidak lagi memberi kesempatan mengajar kepada 3 orang dosen UKSW yang terlibat PKI. "Mereka bisa saja ditempatkan sebagai staf ahli atau yang lain, yang sesuai dengan peraturan yang ada. Mereka jangan diberi wewenang untuk mengajar karena hal ini bisa digunakan untuk mempengaruhi massa," ujar Pangdam pada hari Selasa, 31 Oktober 1995. JOI mengatakan kalau memang terbukti, ketiga orang dosen tersebut akan dikenai tindakan sesuai dengan prosedur yang berlaku.ii ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
213
[email protected]
4 November 1995, lewat surat keputusan nomor 380/KEP./REK./1995, Rektor UKSW memberhentikan atas permohonan sendiri Drs. C. Widodo Utomo, MSc terhitung 1 Desember 1995. Widodo terakhir menduduki pangkat kepegawaian Golongan IIIB. *** Forum Gerejawi GGPP UKSW merumuskan langkah penyelesaian yang harus diterima semua pihak. Keputusan itu dituangkan dalam surat penugasan kepada Tim Pendamai untuk mengimplementasikan hasil keputusan sidang FG GGPP pada 31 Oktober 1995 dan ditandatangani Pdt. Rugas Binti dan Drs. Darius Lamaliwa, berisi 5 keputusan. Pertama, mendekati dan meyakinkan semua pihak agar bersedia menandatangani Akta Perdamaian paling lambat 20 November 1995. Kedua, penandatanganan dilakukan bersamasama oleh semua pihak dalam sebuah pertemuan dengan Tim Pendamai selaku pengundang. Ketiga, pemanggil untuk Tim Pendamai adalah Pdt. Widjojo Hadipranoto. Keempat, Tim Pendamai melaporkan hasil kerjanya kepada FG GGPP pada pertemuan tanggal 21 dan 22 November 1995. Kelima, segala beban dana yang menjadi akibat penugasan ini akan diusahakan oleh FG GGPP. Sidang dihadiri semua Gereja pendiri dan pendukung, sementara ada desas-desus adanya perpec ahan di antara Gereja yng menyebabkan beberapa Gereja akan keluar dari FG GGPP.ii Tim Pendamai memang kemudian berhasil mengajak semua pihak untuk menandatangani Akta Perdamaian. Akta itu memang tampak ideal, bunyinya pun cukup indah.
Akta Perdamaian Memperhatikan keputusan Forum Gerejawi Gereja Gereja Pendiri Pendukung UKSW tanggal 31 Oktober 1995 dengan ini kami bersama-sama menyatakan: 1. Bersedia untuk berdamai dalam semangat saling mengasihi, mengampuni, dan menerima demi terciptanya keutuhan dan masa depan yang baru dari uKSW. 2. Bersedia bersama-sama membaharui tekad untuk mewujudkan misi Gereja dalam dunia pendidikan tinggi dengan melaksanakan PBM yang baik, tertib, lancar, dan berkualitas. 3. Persoalan-persoalan lain yang masih ada dalam rangka penyelesaian kemelut secara menyeluruh akan diselesaikan dlaam semangat perdamaian dan kekeluargaan dengan memperhatikan aspirasi semua pihak. Mengenai jabatan struktural di tiap fakultas/unit segera diproses dalam semangat musyawarah kekeluargaan sesuai aturan dan statuta yang berlaku di UKSW, dan sudah berfungsi selambatn-lambatnya pada saat semester genap tahun ajaran 1995/1996 dimulai. 4. Sejak ditandatanganinya Akta Perdamaian ini “Kelompok-kelompok” yang ada di UKSW yang tidak sesuai dengan PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi membubarkan diri dan dianggap tidak ada.
http://slamethdotkom.wordpress.com
214
[email protected]
Selanjutnya semua pihak mengerjakan tugasnya sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.
Salatiga, November 1995 Kami yang menandatangani Akta Perdamaian Julius Saludung (mewakili YPTKSW) John J.O.I. Ihalauw (mewakili Rektorat) Budi Susilo (mewakili KPD) Slameto (mewakili PPU) Pdt Widjojo Hadipranoto (Tim Pendamai), Pdt. Dr. I.P. Lambe (saksi)
Sesudah itu, FG GGPP masih terus memantau pelaksanaan perdamaian di UKSW. FG GGPP dengan pimpinan ketua sidang Tony Waworuntu dan Sekretaris Pdt. Indrawan Eleeas di Gereja Isa Almasih Semarang tanggal 21 November 1995, setelah membaca, mendengar, dan membahas laporan Tim Pendamai FG GGPP dan Tim Penyusunan usulan perubahan AD/ART YPTKSW maka FG GGPP memutuskan:
1. FG GGPP UKSW menerima laporan Tim Pendamai bersama dengan Akta Perdamaian yang telah ditandatangani semua pihak. 2. FG GGPP menugaskan Tim Pendamai yang terdiri atas Pdt. Widjojo Hadipranoto, BD, Mayjen TNI (Purn) Sarwono, Pdt. Dr. Benny Fobia, Prof. Dr. A. Pongtuluran, Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, S.Th, dan Pdt. Dr. I.P.Lambe untuk terus melanjutkan proses penyelesaian kemelut UKSW dan mengimplementasikan Akta Perdamaian bersama YPTKSW dan rektor UKSW. 3. FG GGPP menerima dan mengesahkan konsep usulan perubahan AD/ART YPTKSW yang disampaikan oleh Tim Penyusunan perubahan AD/ART YPTKSW. 4. Menghimbau seluruh GGPP untuk menugaskan utusannya di Dewan Pengurus Lengkap YPTKSW untk memperjuangkan konsep usulan AD YPTKSW yang dihasilkan FG GGPP agar dapat diterima dan disahkan menjadi AD YPTKSW yang baru dalam persidangan Dewan Pengurus Lengkap YPTKSW tanggal 28-29 November 1995. 5. FG GGPP menetapkan Sdr. Tony Waworuntu sebagai wakil FG GGPP untuk berhubungan dan menyampaikan keterangan kepada pers.
*** Sesaat, masalah UKSW dianggap akan selesai dengan baik. Fokus kembali ke isu adanya tiga dosen yang terlibat G30S/PKI.
http://slamethdotkom.wordpress.com
215
[email protected]
"Setelah diselidiki, ternyata benar. Mereka adalah tahanan politik PKI yang sudah menjalankan masa hukumannya di Pulau Buru," kata Ketua Forum Gerejawi GGPP Tony Waworuntu hari Jumat 24 November 1995. Terbongkarnya rahasia tiga dosen eks PKI tatkala terjadi kemelut UKW. "Setelah Bakorstanasda Jawa Tengah membongkar file-file yang dimiliki, ternyata ketiga dosen yang berada dalam KPD adalah bekas eks Tapol PKI berkualifikasi B," ujar Tony.ii Lalu Pangdam menambahi. "Prinsipnya untuk jabatan strategis harus orang yang bersih diri dan bersih lingkungan. Namun, untuk 3 dosen di UKSW itu masih terus dalampenyidikan. Jika memang terbukti, harus meninggalkan tugas dan jabatan sebagai dosen," katanya.ii Tetapi Sumartana tidak sepaham. "Tidak benar mengaitkan ketiganya dengan KPD. Kami malah perlu bertanya siapa yang mengelompokkan mereka dalam KPD," kata Th. Sumartana. Anggota KPD Pradjarta malah mempertanyakan kewenangan Forum Gerejawi menyatakan hal tersebut. "Kalau betul itu pernyataan resmi Forum Gerejawi, saya bertanya apakah forum telah meneliti sendiri atau sekadar mngambil pernyataan Bakorstanasda?" ujarnya. Menurut Pradjarta, ketiga dosen itu, kalaupun benar terlibat, memiliki kategori berbeda sehingga mereka tidak bisa disebut dalam satu kategori. "Tapi mengapa itu yang ditonjolkan? Bukankah pertemuan dirancang untuk persoalan yang menyangkut Akta Perdamaian?" tanyanya. Mengenai tuduhan keterlibatan PKI terhadap ketiga dosen UKSW, Sumartana tidak membantah. Justru, kata dia, yang perlu ditelusuri lebih lanjut adalah, mengapa mereka bisa masuk dan menjadi dosen begitu lama di UKSW. Tidak lantas main tuding bahwa mereka kelompok ini atau kelompok itu. "Perlu diruntut, siapa rektornya waktu itu. Sebab, tidak mungkin mereka masuk UKSW tanpa persetujuan formal," ujarnya. Sumartana menilai, yang dilontarkan Tony lebih sebagai upaya mengalihkan persoalan. "Tuduhan tersebut hanya dipakai untuk memukul KPD. Dan, itu sama sekali jauh dari upaya penyelesaian masalah yang sebenarnya, yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Ngawur tuduhan yang mereka lakukan itu," tandasnya. Terlepas dari semua itu, Sumartana menambahkan, persoalan yang menimpa ketiga dosen tersebut harus dipandang sebagai persoalan masyarakat. Artinya, KPD memberikan simpati pada ketiganya tidak dalam kaitan politik ataupun ideologi, tetapi simpati secara kemanusiaan. "Kalau tidak menjadi dosen, mereka harus tetap diberi kesempatan menyambung hidup. Banyak yang mengetahui kalau mereka tidak bisa berbuat apa-apa, artinya tidak melakukan kegiatan politik di UKSW. Semua tahu persis, mereka menjadi dosen di UKSW hanya mencari hidup semata. Karena itu, yang menjadi perhatian KPD sebagaimana perhatian masyarakat umumnya, meski mereka nanti tidak bisa lagi menjadi dosen, tetap harus ada kesempatan bagi mereka untuk mencari nafkah," tambahnya bijaksana.ii Gubernur Jateng Soewardi ikut-ikutan. Katanya, rektor UKSW harus bersikap tegas kalau sudah mendengar informasi 3 dosennya terlibat G30S/PKI. Bila ketiga dosen tetap dipertahankan pada jabatannya, itu sangat riskan karena mereka dengan mudah dapat menggalang massa. Soewardi mengingatkan agar rektor segera mengeluarkan ketiga dosen dari UKSW, jangan menunggu petugas yang mengambil tindakan.ii
http://slamethdotkom.wordpress.com
216
[email protected]
Anggota Komnas HAM Muladi pun tak mau ketinggalan. "Menurut saya, eks PKI tidak boleh membina sekumpulan orang. Jadi, jangan sampai menjadi anggota ABRI, guru, atau dosen, misalnya."ii Dan, tentu saja Kasum ABRI Soeyono. "Aturan perlu diberlakukan secara tegas. Mereka yang berada pada posisi strategis, seperti pendidik, tidak boleh terlibat pada kelompokkelompok yang merusak. Dosen atau guru itu kan pembentuk watak," ujarnya.ii *** Dies Natalis ke-39 oleh mahasiswa KPD pada 30 November 1995 berlangsung singkat, diwarnai dengan pembakaran ban dan ditutup dengan doa, pembongkaran tenda keprihatinan dan pembakaran poster-poster. Setelah itu, mereka menuju BU untuk menyerahkan pernyataan sikap kepada salah seorang Tim 5, Pdt. I.P. Lambe. Kepada Lambe dibacakan pernyataan sikap yang intinya menyatakan bahwa perjuangan KPD belumlah selesai meskipun Akta Perdamaian telah ditandatangani. IP Lambe di hadapan mahassiwa berjanji akan terus mengupayakan perdamaian di UKSW sampai keadaan normal kembali. Sementara itu, dalam dies resmi yang dihadiri antara lain oleh Danrem 073/Makutarama Kol (Inf) Gleny Kairupan dan Muspida Salatiga, JOI menyampaikan laporan pertanggungjawaban. Rektor JOI masih menitikbertakan ganjalan selama ia menjabat rektor, termasuk di dalamnya aksi-aksi KPD. Masalah AD/ART YPTKSW, PBM, reorganisasi program studi di beberapa fakultas juga menjadi sorotan pertanggungjawaban rektor.ii Tampak beberapa eksponen KPD di antara undangan acara dies resmi. Bagi Anindita dan kawan-kawan, hari itulah akhir perjuangan KPD. Bila apa yang diperjuangkan KPD tidak berhasil, apa boleh buat. Mereka sudah melakukan apa yang mereka bisa. Peristiwa-peristiwa selanjutnya memang menandakan bahwa pertikaian segera memadam. Otma Solo sepakat untuk mencabut gugatan kepada YPTKSW karena menghargai tim penasihat hukum tergugat I dan II (YPTKSW dan rektor UKSW) yang datang ke Solo untuk mengajak damai. Hal itu dilakukan kuasa tergugat 2 Desember 1995. Mereka juga menghargai pembentukan tim pendamai yang didukung Gereja, juga karena menghormati Akta Perdamaian. Pencabutan itu ditandatangani oleh Drs. Suwitadi, dr. Budi Susanto, dan Drs. Budhianto dan dikirim ke Majelis Hakim PN Salataga 11 Desember 1995.ii "Kami punya itikad baik untuk mengajak damai karena di kampus tersebut juga ada upaya perdamaian, seperti ditandatanganinya Akta Perdamaian," kata Girsang Tarigan, SH dari LBH Semarang. Ini disetujui tergugat dan akta perdamaian otma Semarang-YPTKSW akan ditandatangi tanggal 8 Januari 1996.ii *** Sidang terhadap 3 aktivis KPD dalam kasus perusakan Gedung Administrasi Pusat (GAP) di PN Salatiga memasuki sidang ke-4. Dalam putusan selanya, majelis hakim memutuskan dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum karena kabur dan tidak menjelaskan perbuatan material dari para terdakwa.
http://slamethdotkom.wordpress.com
217
[email protected]
Majelis Hakim yang diketuai Sunaimin Roby, SH memutuskan ketiga terdakws dinyatakan bebas dari tahanan rumah. Semua biaya perkara ditanggung negara dan semua barang bukti dikembalikan kepada jaksa. Putusan itu tidak berarti kasus selesai karena Jaksa bisa mengajukan banding atau memperbaiki dakwaan. Majelis hakim, dalam persidangan mengungkapkan, dakwaan jaksa bahawa ketiga mahasiswa UKSW itu telah melanggar Pasal 170 (2) ke 1 KUHP uraiannya tidak menjelaskan perbuatan delik material dari masing-masing terdakwa. Pasal 43 (3) KUHAP untuk dakwaan subsidair juga dibatalkan demi hukum karena penyusunannya kurang cermat.ii Sial bagi Sunaimin Roby yang tinggal di Jalan Osa Maliki 47, Salatiga. Senin, 11 Desember 1995 pukul 2.15 dini hari ia diteror oleh sekelompok orang yang melempari rumahnya sehingga kaca depannya pecah.ii Hari Selasanya pada pukul 3 untuk kedua kalinya pelempar batu gelap memecahkan kaca depan rumahnya yang baru diganti. Selain itu, ia menerima surat ancaman. “Hati-hati. Pengrusakan rumah Bapak belum seberapa. Tunggu klimaksnya.” Identitas pengirim surat hanya ditulis “Orang-orang kecewa.”
http://slamethdotkom.wordpress.com
218
[email protected]
BAB 18
PTUN
Sidang Arief Budiman di PTUN terutama menarik karena sidang ini sangat terkait dengan peristiwa di UKSW. Juga, yang tak kalah menariknya, karena Arief mengajukan gugatan ke PTUN, bukan Pengadilan Negeri. Segera saja muncul polemik yang memperdebatkan apakah PTUN bisa mengadili gugatan terhadap sebuah perguruan tinggi swasta seperti UKSW. Arief mendaftarkan gugatannya pada tanggal 12 Januari 1995. Gugatan ini belum sempurna sehingga harus beberapa kali diperbaiki sebelum diterima PTUN Semarang. Majelis hakim PTUN semula diketuai Soegeng Hardjowinoto, SH dengan anggota Soegija, SH dan Ariyanto, SH. Tetapi kemudian, Hakim Soegeng dipindahtugaskan sehingga ketua majelis hakim digantikan Soegija, SH. Setelah berulang kali mengalami perbaikan, berkas gugatan diserahkan lagi ke PTUN pada tanggal 28 Februari 1995. Arief diwakili oleh 12 pengacara, yaitu Adnan Buyung Nasution, Nursyahbani Katjasungkana, Luhut MP Pangaribuan, Bambang Widjojanto, Pramudya, Handoko Wibowo, Indra Budiman, Samekto, Hadi Mulyono Upas, Heru Kisbandono, Yuliono, dan Dyah Kartika. Yang digugat adalah Ketua Umum Dewan Pengurus YPTKSW dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW. Berkas gugatan Arief dikirimkan oleh panitera PTUN Semarang ke Sekum Dewan Pengurus YPTKSW pada 1 Maret 1995. Yayasan dibela enam pengacara: Danny Zacharias, Djoko Oentoeng Soeropati, Khrisna Djaja Darumurti, Hermawan, Kustadi, dan Heru Wismanto Sidi. Alasan gugatan yang dikemukakan Arief dalam sidang tanggal 6 Maret 1995 adalah sebagai berikut. Pemerintah Indonesia cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah penyelenggara pendidikan dan penyelenggaraan ini dapat dilakukan oleh badan atau organisasi masyarakat. YPTKSW, yang merupakan badan penyelenggara UKSW, telah menerima pendelegasian wewenang dari pemerintah sehingga YPTKSW dapat dikategorikan sebagai badan atau pejabat tata usaha negara yang menyelenggarakan urusan pemerintah. Yang dituntut adalah ketua umum dan sekretaris umum Dewan Pengurus YPTKSW karena tergugat adalah pejabat yang mengeluarkan SK Dewan Pengurus YPTKSW No. 237/B/YSW/1994 tertanggal 17 Oktober 1994. Dengan demikian, telah tepat dan benar subjek gugatan diajukan. Objek gugatan sendiri adalah SK PHK Arief Budiman seperti disebutkan di atas. Penggugat merasa, SK tersebut haruslah dianggap penetapan tertulis (beschikking) karena: • Surat Keputusan yang dikeluarkan Tergugat berbentuk penetapan tertulis. • Penetapan tertulis itu dikeluarkan Tergugat dalam kapasitas mereka sebagai "jabatan Tata Usaha Negara". • Kalimat dalam penetapan tertulis tersebut merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara karena pada prinsipnya suatu tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah suatu keputusan
http://slamethdotkom.wordpress.com
219
[email protected]
• •
•
yang menciptakan atau menentukan mengikatnya atau menghapuskan suatu hubungan hukum Tata Usaha Negara yang telah ada. Pembahasan mengenai penetapan tertulis ini harus berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Keputusan Tata Usaha Negara bersifat konkrit (tidak abstrak, berbentuk tertulis), individual (ditujukan kepada Penggugat dan menimbulkan kerugian imateriil dan materiil), dan final (keputusan itu dalam sistemnya tidak dikenal banding administrasi dan telah menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat). Gugatan telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 5 tahun 1986.
Juga, gugatan telah memenuhi ketentuan tentang batas waktu pengajuan gugatan, yaitu bahwa gugatan harus diajukan selambat-lambatnya sembilan puluh hari sejak diterimanya SK Dewan Pengurus YPTKSW No. 237/B/YSW/1994. Menurut Arief Budiman, permasalahannya begini. Penggugat, seorang pegawai akademik di UKSW, pada sekitar tahun 1993-1994 menyampaikan pendapatnya tentang pemilihan rektor di UKSW, yang berbeda dengan pendapat Tergugat, tetapi sama dengan pendapat sejumlah besar sivitas akademika di UKSW. Karena mengritik ini, Penggugat menerima surat peringatan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama Dewan Pengurus YPTKSW dengan Rektor UKSW No. 235/B/Rek-YSW/Rhs/1994 tertanggal 10 Maret 1994. Dengan SKB tersebut, Penggugat telah menegur Tergugat untuk mencabut surat itu, sebab bentuk SKB tidak dikenal di dalam AD YPTKSW tahun 1994 dan Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985. Karenanya, SKB bertentangan dengan peraturan yang berlaku di UKSW. Tetapi, Arief kemudian malah dipecat. Menurut Arief, SK pemecatan melanggar peraturan yang berlaku, yaitu: 1. Tergugat tidak berwenang untuk mem-PHK Penggugat (Pasal 13 AD YPTKSW Akta No. 7 tahun 1994 yo Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985 yo Pasal 19 Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985). 2. SK PHK didasarkan dari adanya SK peringatan Dewan Pengurus YPTKSW No. 126/D/DPH/1998 kepada Arief Budiman yang tidak ada hubungannya dengan pemilihan rektor. 3. SK PHK didasarkan adanya SK Dewan Pengurus PTKSW No.126/D/DPH/1988 yang tidak dikenal dalam peraturan-peraturan yang berlaku di UKSW. 4. SK PHK didasarkan dari adanya SKB yang tidak dikenal dalam peraturan di UKSW. 5. SK PHK didasarkan atas SKB yang bernomor 235/B/Rek-YSW/1994 yag berbeda dengan yang diterima Penggugat yang bernomor 235/B/Rek-YSW/Rhs/1994. (Perbedaannya terletak pada kata Rhs) 6. SK PHK tidak didasarkan ketentuan jenjang-jenjang surat peringatan. 7. SK PHK didasarkan dari pertimbangan "Penggugat tidak menunjukkan ketaatan terhadap etika kritik yang berlaku di UKSW". Pertimbangan "etika kritik" adalah pertimbangan subjektif Tergugat dan sewenang-wenang sebab tidak pernah diatur dalam AD YPTKSW dan Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW. Bahkan, justru pertimbangan itu bertentangan
http://slamethdotkom.wordpress.com
220
[email protected]
dengan Pasal 3 butir c AD YPTKSW. 8. SK PHK berjudul "SURAT KEPUTUSAN DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI SATYA WACANA..." Nama Yayasan berbeda, tidak dikenal dan bertentangan dengan Pasal 1 AD yang berbunyi YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN SATYA WACANA. 9. SK PHK membatasi kebebasan berpendapat sehingga bertentangan dengan UU No. 2 tahun 1989 yo PP 30 tahun 1990. Untuk ganti rugi, Arief menuntut ganti rugi sebesar gajinya Rp880.70 tiap bulan dihitung sejak 1 November 1994 sampai adanya penundaan SK tersengketa dan atau Tergugat membayar kembali gaji Penggugat. Arief juga menuntut ganti biaya yang timbul akibat pengurusan sengketa, yaitu sebesar Rp2,75 juta. Tetapi, karena ganti rugi maksimum yang diperbolehkan dalam perkara PTUN besarnya Rp5 juta, maka itulah jumlah yang dituntut Arief. Selain itu, Arief juga minta namanya direhabilitasi dan SK PHK ditunda sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Permohonan penundaan SK PHK didasarkan: 1. Penggugat sangat dibutuhkan tenaganya di Program Pascasarjana jurusan Studi Pembangunan. 2. Penggugat sedang membimbing sejumlah mahasiswa Program Pascasarjana dalam pembuatan tesis. 3. Penggugat kehilangan mata pencariannya, sedangkan SK tersengketa melawan hukum dan Penggugat telah dihentikan gaji dan tunjangannya sejak bulan November 1994. Akhirnya, menutup gugatan setebal 8 halaman itu, Arief meminta PTUN agar menerima dan mengabulkan seluruh gugatannya, menyatakan SK PHK bertentangan dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku, menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan SK PHK tidak sah, menghukum Tergugat membayar ganti rugi Rp5 juta, merehabilitasi Penggugat, menghukum tergugat membayar biaya perkara yang timbul. *** Jawaban Tergugat tanggal 23 Maret 1995 Jawaban Tergugat disampaikan dalam sidang pemeriksaan perkara kedua tanggal 23 Maret 1995. Jawaban Tergugat setebal 17 halaman itu ditandatangani oleh Kustadi, Hermawan, J.D. Zacharias, Dwi Heru Wismanto Sidhi, Djoko Oentoeng Soeropati, dan Krishna Djaya Darumurti. Berdasarkan surat kuasa Dewan Pengurus Harian YPTKSW No. 015/A/YSW/1995 tanggal 18 Januari 1995, diajukanlah jawaban terhadap gugatan Arief Budiman terhadap Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW yang disampaikan ke PTUN pada tanggal 12 Januari 1995. Sistematika jawaban Tergugat ada dalam eksepsi, provisi, pokok perkara, dan ganti rugi dan rahabilitasi. Dalam Eksepsi Tergugat menuduh Penggugat telah salah alamat dalam menuntut. Sesuai dengan Akta No. 6 tanggal 24 Maret 1994 pasal 13 ayat 3, yang berwenang mewakili YPTKSW di dalam dan di
http://slamethdotkom.wordpress.com
221
[email protected]
luar pengadilan adalah Dewan Pengurus Harian. Juga, ketentuan tentang wewenang Dewan Pengurus Harian tidak menunjuk pada keterwakilan terhadap Dewan Pengurus YPTKSW tetapi terhadap YPTKSW. AD YPTKSW tidak mengenal peralihan wewenang secara otomatis dari DPH kepada Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW. Adalah salah jika Penggugat mengira bahwa Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW dapat digugat ke PTUN hanya karea mereka yang menandatangani SK tersengketa. Anggapan demikian tidak benar karena kedua pejabat yang menandatangani SK tersebut bukanlah Badan di dalam tubuh Dewan Pengurus YPTKSW yang mengambil keputusan PHK di antara YPTKSW dengan Penggugat. Selain itu, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW yang dijadikan Tergugat tidak dikenal dalam sistem hukum YPTKSW. Yang dikenal adalah Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW. Kekeliruan Penggugat lainnya juga ditunjukkan dalam alasan-alasan gugatan yang tidak masuk akal. Menurut Tergugat, tidak masuk akal sama sekali bila YPTKSW didalilkan telah menerima delegasi wewenang dari pemerintah. Pemerintah RI cq Depdikbud bukanlah penyelenggara pendidikan bagi masyarakat dan tidak benar YPTKSW sebagai Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta telah menerima pendelegasian wewenang dari pemerintah bagi penyelenggaraan dan pengelolaan satuan pendidikan tinggi yaitu UKSW. Tergugat juga menolak sumber hukum yang dirujuk Penggugat, antara lain Pasal 47 ayat 1 UU No. 2 tahun 1989 yang berbunyi "Masyarakat sebagai mitra pemerntah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional". Isi pasal ini seharusnya diartikan sebagai pengakuan terhadap kesetaraan kedudukan masyarakat dan pemerintah pada peran sertanya dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Isi penjelasan pasal ini memperjelas kesetaraan kedudukan tersebut ke dalam pengelolaan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh karena YPTKSW adalah organisasi masyarakat, maka YPTKSW dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi berkedudukan sama dengan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Identitas kemasyarakatan YPTKSW tersebut tidak berarti dapat dijadikan dasar hukum untuk menyatakan bahwa YPTKSW telah menerima pendelegasian wewenang dari pemerintah. Tergugat juga membahas Pasal 53 UU No. 2 yang berbunyi "Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggara satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU ini". Ketentuan pasal ini membatasi kewenangan Menteri pada penerapan sanksi administratif apabila penyelenggaraan satuan pendidikan bertentangan dengan ketentuan UU No. 2 tahun 1989. Ketentuan pasal 53 ini harus dipahami dalam konteks tujuan dan makna pengawasan yang diatur dalam Bab XVI agar pengawasan dan tindakan yang diambil tak mematikan peran serta badan penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.. Menurut Tergugat, delegasi wewenang tak dapat dilepaskan dari maxim tiada delegasi wewenang tanpa atribusi wewenang. Teori tentang atribusi dan delegasi wewenang dapat dipahami dengan mengikuti pendapat Stroink dan Steenbeek dan Laporan Komisi tentang Ketentuan Umum Hukum Administrasi Belanda Gerald Hogan dan David Morgan serta Wade. Kewenangan (pemerintahan) dari suatu organ hanya dapat diperoleh baik dari atribusi maupun delegasi. Suatu organ dapat memperoleh kewenangan baru dengan cara atribusi, sedangkan delegasi dapat terjadi jika ada pengalihan kewenangan tertentu dari suatu organ yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
222
[email protected]
mendapatkan kewenangan dari atribusi, kepada suatu organ lain. Oleh sebab itu, delegasi selalu harus didahului dengan atribusi. UU No. 2 tahun 1989 jelas menganut konsepsi atribusi wewenang. Kewenangan atribusi masyarakat secara otomatis terdelegasi kepada Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta, sedangkan kewenangan atribusi pemerintah dilaksanakan oleh Mendikbud. Dengan demikian, YPTKSW dalam menyelenggarakan dan mengelola UKSW tidak menerima delegasi dari pemerintah dan tidak juga dari Mendikbud; Mendikbud-lah yang sebenarnya memenuhi ketentuan pasal 1 ayat 2 UU No. 5 tahun 1986 sebagai Pejabat/Badan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan. Mengenai objek gugatan, dalil Penggugat bahwa gugatannya telah memenuhi syarat tidak dapat diterima, khususnya tentang penetapan tertulis yang dikeluarkan Tergugat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam kapasitas "jabatan Tata Usaha Negara", sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dan status final dari keputusan PHK. Dalil Penggugat tidak berdasar dan tak masuk akal karena tidak disertai rujukan sumber hukum yang layak. Penggugat juga tidak berhasil menunjukkan peraturan perundang-undangan yang mendasari keputusan PHK yang dilakukan Tergugat. Sesungguhnya, PHK tersebut didasarkan ketentuan peraturan yang dikeluarkan oleh YPTKSW dan rektor UKSW sebagai badan hukum perdata, diputuskan oleh badan Dewan Pengurus Yayasan yang berwenang berdasarkan ketentuan AD-nya, ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW sebagai Pejabat struktural Dewan Pengurus YPTKSW dan bukan sebagai Pejabat/Badan TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku. Dalam Provisi Seharusnya Penggugat menggunakan upaya penyelesaian sengketa perburuhan secara tuntas. Upaya administratif tersebut dapat ditempuh mula-mula lewat Pegawai Perantara Departemen Tentaga Kerja di Ungaran. Jika penyelesaian sengketa melalui Pegawai Perantara tidak tercapai, Penggugat masih dapat menempuh penyelesaian lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah Jawa Tengah di Semarang. Selanjutnya, jika Penggugat tidak puas terhadap putusan Panitia tersebut, Penggugat dapat mengajukan banding lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat di Jakarta. Lebih lanjut, jika putusan Panitia Pusat masih juga belum memuaskan, Penggugat bisa mengajukan banding lewat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau kasasi lewat Mahkamah Agung. Penyelesaian lewat P4D dimungkinkan karena Penggugat terikat kontrak kerja dengan Tergugat. Permohonan Penggugat harus ditolak sehubungan dengan asas lis alibi pendens, yaitu bahwa pengadilan harus menunda persidangan jika suatau kasus sedang dalam proses proses penyelesaian dalam forum lain, seperti dijelaskan Pasal 48 UU No. 5 Th. 1986. Berhubung Tergugat sampai saat ini masih menunggu izin P4D untuk mem-PHK Penggugat dan Penggugat juga masih dapat memperjuangkan hak-haknya melalui Panitia tersebut, maka penyidangan gugatan Penggugat dalam Pengadilan Tata Usaha Negara dapat menimbulkan kesan pihak yudikatif telah mencampuri kewenangan penyelesaian administratif yang dimiliki oleh pihak eksekutif.
http://slamethdotkom.wordpress.com
223
[email protected]
Jelaslah, SK PHK yang dimohonkan penundaannya oleh Penggugat memang secara legal formal masih belum dilaksanakan Tergugat. Oleh karena itu, dalil Penggugat dalam hal ini sama sekali tidak masuk akal, maka haruslah ditolak oleh Majelis Hakim. Dalam Pokok Perkara SKB sama sekali tidak menyebut perbedaan pedapat antara Penggugat dengan Tergugat sebagai salah satu alasan, tetapi antara lain dengan memuat pertimbangan bahwa kegiatan dan pernyataan Penggugat telah secara langsung atau tidak langsung merugikan martabat dan nama baik YPTKSW dan UKSW serta Penggugat telah pernah diperingatkan agar lebih etis dan institusional dalam memperjuangkan pendapatnya. Juga tidak benar bahwa pendapat Penggugat sama dengan pendapat sebagian besar sivitas akademika UKSW. Justru pendapat itu sama dengan pendapat sebagian kecil sivitas akademika UKSW. Soal SKB yang dikatakan tidak dikenal dalam AD YPTKSW tahun 1994, haruslah diingat pasal 21 (2) SK rektor UKSW No. 110/KEP./REK./1983 yang berbunyi: "Hal-hal lain yang belum tercantum dan diatur dalam Peraturan Pokok ini akan diatur secara tersendiri melalui Keputusan Rektor dan atau Keputusan YPTKSW". Maka, dibuatlah SKB dalam bentuk khusus tersebut. Penggugat keliru karena mendalilkan SKB melanggar peraturan yang berlaku karena Tergugat tidak berwenang memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat. Dalam Pasal 13 ayat 3 (a) AD YPTKSW tahun 1994 dengan jelas dinyatakan bahwa Dewan Pengurus Harian berkewajiban untuk melaksanakan segala keputusan rapat Dewan Pengurus Lengkap dan Dewan Pegurus Inti. Dalam hal ini Tergugat memperhatikan dan melaksanakan keputusan rapat Dewan Pengurus Inti YPTKSW tanggal 5 Maret 1994 dan keputusan rapat Dewan Pengurus Inti YPTKSW tanggal 30 Septeber 1994 tentang PHK dengan Penggugat. Sedangkan Pasal 13 ayat 3 (d) AD tersebut menyatakan bahwa Dewan Pengurus Harian berwenang "Memutuskan masalah yang mendesak dengan mempertanggungjawabkan kepada Dewan Pengurus Inti". Dengan demikian Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus Harian YPTKSW sebagai Tergugat mengeluarkan SK tersengketa berdasarkan keputusan DPI dan dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengurus Inti. Pasal 1 ayat 2 memang menyatakan bahwa Pejabat yang diberi wewenang dari Pengurus Yayasan untuk mengangkat dan atau memberhentikan pegawai UKSW ialah Rektor UKSW dengan ketentuan bahwa "pengangkatan dan atau pemberhentian pegawai golongan ruang IV/c sampai dengan IV/e perlu mendapat persetujuan tertulis dari Pengurus Yayasan terlebih dahulu". Tetapi, pasal 11 ART YPTKSW tahun 1993 sebagaimana diubah pada tahun 1994 menyatakan bahwa "pengangkatan dan pemberhentian pegawai adalah wewenang Dewan Pengurus yag diatur dalam peraturan tersendiri". Karena itu, Dewan Pengurus Harian YPTKSW sendirilah yang akhirnya mengeluarkan SK PHK terhadap Penggugat. Tergugat tetap beranggapan bahwa SK peringatan tahun 1988 yang dikeluarkan 6 tahun sebelumnya merupakan peringatan pertama mengingat masalahnya juga menyangkut etika kritik yang telah dilanggar oleh Penggugat. Di samping itu, sampai saat ini Tergugat belum pernah merehabilitasi Pengguat dengan mencabut berlakunya SK tersebut. Pernyataan Penggugat bahwa SK tersengketa tidak didasarkan ketentuan jenjang-
http://slamethdotkom.wordpress.com
224
[email protected]
jenjang surat peringatan yang berlaku dapat dijawab sebagai berikut ini. Tergugat beranggapan bahwa Penggugat bukannya telah melanggar tata tertib kepegawaian sehingga harus dikenakan sanksi menurut Pasal 19 Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985. Tergugat beranggapan bahwa Penggugat telah melanggar kewajiban pegawai, khususnya untuk menjaga dan menjunjung tinggi nama baik UKSW berdasarkan pasal 8 ayat (2) 2.1 tentang kewajiban pegawai. Penggugat juga dianggap telah melanggar disiplin kerja sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) 2.3 Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985. Maka dalam hal ini, tidak ada pengaturan yang pasti mengenai jenjang-jenjang peringatan yang dimaksud Penggugat. Jelas bahwa SK tersengketa tidak melanggar peraturan yang berlaku dan atau melawan hukum serta dikeluarkan sewenang-wenang. Dalam Ganti Rugi dan Rehabilitasi Tergugat tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum, karenanya Tergugat tidak bertanggung jawab atas semua kerugian Penggugat. Kerugian dan tercemarnya nama baik Penggugat adalah akibat ulah dan kesalahan Penggugat sendiri, karena itu segala kerugian menjadi beban dan tanggung jawab Penggugat sendiri. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, Tergugat mohon agar menerima dan mengabulkan eksepsi Tergugat untuk seluruhnya menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara, menolak permohonan provisi Penggugat, dan menolak gugatan Penggugat seluruhnya atau setidaknya tidak menerima gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan menghukum Penggugat membayar biaya perkara. ***
Replik 6 April 1995 Atas jawaban Tergugat, Penggugat mengajukan Replik setebal 19 halaman Penggugat menolak semua dalil sanggahan Tergugat dan Penggugat tetap pada dalil gugatannya karena dalil sanggahan Tergugat tidak menggoyahkan dalil gugatan Penggugat. Mengenai subjek gugatan, Penggugat berpendapat bahwa kalau Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW yang mengeluarkan SK PHK dianggap sah, maka tentunya Ketua Umum dan Sekretaris Umum yang menandatangani SK tersengketa bertindak sebagai Ketua umum dan sekretaris umum Dewan Pengurus Harian. Kalau tidak, seperti yang diakui Tergugat, SK ini tidak sah. Atas dasar ini, maka sudah benar dan tepat alamat gugatan Penggugat, karena Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW yang mengeluarkan SK tersengketa tentunya bertindak sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW, kecuali kalau Tergugat mau mengakui bahwa SK tersengketa tidak sah karena dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Yang lebih aneh lagi adalah jawaban Tergugat yang menyatakan bahwa ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW yang dijadikan Tergugat dalam perkara ini tidak dikenal dalam struktur organisasi di lingkungan YPTKSW, dan yang dikenal adalah Ketua Umum dan Sekretaris UmumYPTKSW. Pernyataan ini mengingkari fakta yang dibuatnya sendiri. SK tersengketa jelas dibuat oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPKSW yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
225
[email protected]
oleh Tergugat dinyatakan tidak dikenal. Kalau benar begitu, maka SK tersengketa jadi tidak sah karena dikeluarkan oleh pejabat yang tidak dikenal atau paling sedikit tidak punya wewenang dalam struktur organisasi di lingkungan YPTKSW. Mengenai jawaban Tergugat bahwa YPTKSW adalah badan hukum perdata yang mendapat wewenang menyelenggarakan pendidikan tinggi dari masyarakat dan karenanya kedudukan YPTKSW setara dengan pemerintah, Penggugat menilai sanggahan Tergugat sangat lemah. Sanggahan yang didasarkan dari pendapat para ahli hukum bangsa lain itu tidak berhasil menggoyang dalil gugatan Penggugat yang didasarkan pada hukum yang berlaku di negara Indonesia dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam pelaksanaan hukum di Indonesia. Tergugat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi membutuhkan pengaturan dari pemerintah cq mendikbud. Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dalam penjelasannya juga menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah itu dibuat untuk mengatur antara lain: 1. syarat-syarat dan tata cara pendirian; 2. struktur perguruan tinggi; 3. penyelenggaraan pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional; 4. bentuk-bentuk satuan pendidikan tinggi yang terdiri atas universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi. Dalam kenyataannya, izin, misalnya, harus diperoleh untuk mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan di UKSW, untuk mengangkat rektor, untuk mendapatkan kewenangan bagi dosen yang menguji, untuk menetapkan kurikulum, untuk menyelenggarakan ujian, dan sebagainya. Contoh yang paling jelas adalah Tergugat hanya berani mengangkat rektor yang sekarang ini setelah SK persetujuan Mendikbud turun. Karena itu, absurd sekali kalau Tergugat menyatakan diri sebagai badan hukum perdata yang sejajar dengan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Penggugat juga mengacu pada pendapat mantan Ketua Muda Peradilan Tata Usaha Negara di Mahkamah Agung RI, Indroharto, SH, dalam bukunya yang berjudul Usaha Memahami UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I. Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1994. Dalam buku itu, Indroharto mengatakan bahwa badan atau pejabat TUN adalah "apa dan siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan". Yang menjadi patokan bukanlah kedudukan struktural suatu badan atau orang dalam jajaran pemerintahan, melainkan fungsinya. Apabila fungsi seseorang atau sebuah badan merupakan tugas urusan pemerintahan dan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka orang atau badan tersebut merupakan badan atau pejabat TUN. Juga, dalam penjelasan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 tahun 1986 dinyatakan bahwa "yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah urusan yang bersifat eksekutif." "Urusan pemerintahan" adalah segala macam urusan mengenai masalah masyarakat, bangsa, dan negara ini yang bukan merupakan tugas legislatif maupun yudikatif. Kata "bersifat eksekutif" berarti mempunyai sifat seperti eksekutif atau mempunyai sifat kegiatan seperti urusan
http://slamethdotkom.wordpress.com
226
[email protected]
pemerintahan. Dengan demikian, jelas badan ini tidak usah merupakan badan yang ada di dalam struktur pemerintahan. Kalau tidak, tidak usah dinyatakan sebagai urusan yang "bersifat eksekutif". Indroharto juga menyatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan kepada apa dan siapa saja di luar aparat resmi negara (pihak swasta) berdasarkan suatu peraturan perundangundangan tertentu diberi tugas untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Hal ini terjadi umpamanya dalam bidang pendidikan, kesejahteraan rakyat, kesehatan, dan sebagainya. Sedangkan pengertian 'berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku' haruslah dipahami berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian, penugasan suatu urusan pemerintahan baik kepada suatu instansi pemerintah maupun kepada pihak di luar jajaran pemerintahan (umpamanya bidang pendidikan tinggi kepada suatu yayasan), itu umumnya tidak berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan formal, melainkan dengan jalan suatu keputusan TUN. Umpamanya, berdasarkan izin atau persetujuan Mendikbud. Untuk lebih meyakinkan, dalam tanya jawab yang diajukan oleh staf Menpan kepada MA tentang apakah BUMN dapat diajukan sebagai Tergugat di peradilan TUN, MA menjawab: "Siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap sebagai badan atau pejabat TUN." Jawaban MA ini menunjukkan bahwa MA tidak menafsirkan badan atau pejabat TUN terbatas pada aparat pemerintah saja. Juga, dari jawaban itu tampak bahwa kata urusan pemerintahan bukan hanya berarti urusan aparat resmi pemerintah saja. MA berpendapat, urusan pemerintahan dapat dijalankan oleh badan di luar aparat resmi pemerintah, seperti misalnya BUMN. Dalam persidangan ini, Tergugat diwakili oleh pegawainya, bukan oleh seorang pengacara. Pada pemeriksaan sidang tanggal 9 Maret 1995, Majelis Hakim pemeriksa perkara ini menyatakan bahwa hal ini dimungkinkan, dengan memberi contoh gugatan-gugatan yang ditujukan kepada walikota, gubernur, dan sebagainya, semuanya badan atau pejabat TUN. Penjelasan ini tepat dan benar karena kalau contohnya adalah lembaga yang bukan badan atau pejabat TUN, maka hal ini tidak dimungkinkan. Lembaga yang bukan badan atau pejabat TUN harus diwakili oleh orang yang berprofesi pengacara di muka pengadilan. Pada waktu hal ini terjadi, pihak Tergugat tidak mengajukan bantahan dan/atau keberatan. Dengan demikian, telah jelas Tergugat mengakui dalil Penggugat bahwa dirinya adalah badan atau pejabat TUN. Penggugat juga tetap berpendapat bahwa SK PHK sudah final karena SK itu telah mengandung unsur kepastian, bahkan begitu pastinya sehingga keputusan ini sudah dilaksanakan oleh Tergugat yang sejak tanggal 1 November 1994 telah menghentikan hubungan kerjanya dengan Penggugat. Hak Pengguggat untuk menerima gajinya telah dihentikan sejak tanggal 1 November 1994. Selain itu, di Indonesia tidak dikenal PHK sementara. Yang dikenal adalah tindakan skorsing dan untuk ini pegawai yang terkena skorsing berhak mendapatkan upah serendahrendahnya 50% dan berlaku paling lama 6 bulan. Dengan demikian, status "PHK sementara" yang dikenakan kepada Penggugat merupakan status yang diciptakan oleh Tergugat sendiri, tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia, dan karenanya merupakan tindakan yang sewenang-wenang yang cacat hukum.
http://slamethdotkom.wordpress.com
227
[email protected]
Selanjutnya mengenai apakah ini merupakan masalah perburuhan atau masalah kesewenang-wenangan tindakan TUN. Penggugat menolak pernyataan Tergugat bahwa SK tersengketa belum final karena masih menunggu izin P4D. Menurut Penggugat, objek gugatan bukanlah masalah perburuhan, melainkan kesewenang-wenangan Tergugat sebagai badan dan pejabat TUN dalam mengeluarkan SK tersengketa. Kesewenang-senangan itu tampak dari diacuhkannya UU No. 12 tahun 1964 yang mengatur pemutusan hubungan kerja. Seharusnya, sebelum PHK antara pengusaha dan buruh harus ada pertemuan bipartit. Tetapi, ini belum pernah dilakukan, dan karena itu tidak bisa membawa kasus ini ke P4D atau yang dikenal dengan pertemuan tri-partit (majikan, buruh, dan pemerintah). Pertemuan tri-partit tidak bisa dilaksanakan karena perundingan bi-partit seharusnya dijalankan lebih dulu. Karena itu, jelas bahwa SK tersengketa dikeluarkan dengan sewenang-wenang tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku. Bahwa masalah SK tersengketa bukan masalah perburuhan juga dapat dibuktikan dari masalah yang menyebabkan dikeluarkannya SK itu. Sebagaimana diketahui, SK tesengketa dikeluarkan karena adanya perbedaan pendapat di kalangan sivitas akademika tentang keabsahan pemilihan rektor UKSW tahun 1993. Perbedaan ini mengakibatkan polemik yang tidak saja terjadi di dalam kampus, tapi juga di luar kampus. Di luar kampus, polemik ini terjadi antara lain di media massa. Penggugat juga terlibat dalam polemik ini dan pendapat Penggugat dinyatakan dalam bentuk wawancara dan tulisan. Bahan-bahan inilah yang dijadikan alasan oleh Tergugat untuk mengeluarkan SK PHK. Mengenai penundaan SK tersengketa. Sesuai Pasal 67 ayat (4) UU No. 5 tahun 1986, SK tersengketa bisa ditunda jika terdapat "keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan". Dalam kenyataannya, SK tersengketa membuat PBM di PPs-SP terganggu, bahkan terjadi penundaan bagi para mahasiswa yang akan menempuh ujian. Hanya karena kesadaran supaya kepentingan yang lebih besar ini tidak terganggu, maka Penggugat terus melakukan tugasnya meskipun tidak mendapat gaji atau honor lainnya. Ini membuktikan SK tersengketa telah menimbulkan keadaan mendesak. Selain itu, Penggugat juga dirugikan karena gajinya tidak dibayarkan sejak 1 November 1994. SKB No. 235/D/YSW-Rek/1994 tanggal 10 Maret 1994 tidak dikenal dan tidak pernah ada. Karena itu, semua argumen tentang perbedaan pendapat menjadi tidak ada artinya karena didasarkan pada sebuah SK yang tidak ada. Yang dikenal dan diterima oleh Penggugat adalah SKB No. 235/B/Rek-YSW/Rhs/1994 tanggal 10 Maret 1994. SKB yang diterima Penggugat memang tidak menyebutkan perbedaan pendapat sebagai alasan dikeluarkannya, tetapi dinyatakan bahwa "kegiatan" dan "pernyataan" Penggugat dianggap merugikan martabat dan nama baik Pengurus YPTKW dan UKSW. Kalau kita melihat secara nyata "kegiatan" dan "peryataan" Penggugat seperti dimaksud oleh SKB tersebut, maka jelas semua ini berkaitan dengan ketidaksetujuan Penggugat terhadap keabsahan pemilihan Rektor UKSW tahun 1993. Jadi, "kegiatan" dan "peryataan" Penggugat merupakan perwujudan dari perbedaan pendapat tentang pemilihan rektor UKSW tahun 1993. Sebenarnya, pernyataan bahwa Penggugat "merugikan martabat dan nama baik"
http://slamethdotkom.wordpress.com
228
[email protected]
YPTKSW dan UKSW merupakan pendapat sepihak dari Penggugat. Ada banyak warga UKSW yang berpendapat bahwa "kegiatan" dan "pernyataan" Penggugat seperti yang dimaksud dalam SKB di atas bahkan meninggikan martabat UKSW karena dengan demikian kebebasan untuk berbeda pendapat yang merupakan esensi sebuah universitas masih tetap hidup di UKSW. Justru, tindakan memecat Penggugat merugikan martabat dan nama baik UKSW. Juga tidak benar bahwa pendapat Penggugat hanya didukung sebagian kecil sivitas akademika. Menunjuk kepada lampiran yang disertakan pada surat kepada Mendikbud tanggal 14 November 1994 yang memohon pencabutan persetujuan pengangkatan rektor UKSW tahun 1993, tercatat daftar penanda tangan sebagai berikut: • 75% dari seluruh unit pengajaran (9 dari 12) • 52,4% senator yang punya hak suara (11 dari 21) • 75% senator yang tidak punya hak suara (3 dari 4) Selain itu, SKB juga terasa lucu dan aneh karena tidak lazim, seperti misalnya kalau kita mendengar dikeluarkannya SKB dari presiden RI bersama salah satu menteri kabinetnya. Mengenai SK No. 126/D/DPH/1988 yang dinyatakan Tergugat sebagai peringatan terhadap Pengugat, Penggugat menyatakan bahwa SK itu mengenai masalah lain yang sudah diselesaikan dan sudah tidak berlaku lagi. Apalagi, lazimnya sebuah peringatan tentunya ada batas waktunya (kalau dilanggar dalam jangka waktu tersebut, baru akan dikenai sanksi). Kalau sebuah peringatan berlaku selama-lamanya tanpa ada batas waktu, maka peringatan tersebut menjadi sewenang-wenang. Kesimpulan bahwa SK No. 126 tahun 1988 telah kehilangan masa berlakunya dibuktikan dengan adanya dua kali kenaikan pangkat Penggugat setelah dikeluarkannya SK. Kenaikan pangkat Penggugat terjadi pada tanggal 1 April 1989 dari golongan IV/b ke IV/c dan pada tanggal 1 April 1993 dari golongan IV/c ke IV/d. Adanya kenaikan pangkat ini menunjukkan bahwa Penggugat tidak dalam keadaan terkena sanksi administratif mengingat seorang tenaga akademik UKSW baru boleh mengajukan kenaikan jabatan apabila tidak sedang terkena sanksi administratif, padahal SK No. 126 tahun 1988 merupakan sebuah sanksi administratif. SK tersengketa tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sah karena didasarkan pada SK 1988 yang sudah tidak berlaku dan SKB yang tidak dikenal dalam peraturan yang ada dan karena itu, SK tersengketa cacat hukum. Selain itu, SK tersengketa mencantumkan judul "SURAT KEPUTUSAN DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI SATYA WACANA" (tanpa kata "Kristen"). Yayasan dengan nama ini tidak dikenal dalam AD YPTKSW Akta No. 6 tahun 1994. Dengan demikian, yayasan yang membuat SK tersengketa bisa dianggap sebagai yayasan liar. Karenanya, SK tersengketa menjadi cacat hukum karena dibuat oleh sebuah yayasan yang tidak dikenal. Tergugat juga salah menafsirkan Pasal 11 ART YPTKSW tahun 1994 yang berbunyi "Pengangkatan dan pemberhentian pegawai adalah wewenang Dewan Pengurus yang diatur dalam peraturan tersendiri." Pasal di atas menunjuk pada wewenang Dewan Pengurus untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai, dan wewenang ini diatur oleh peraturan tersendiri. Peraturan
http://slamethdotkom.wordpress.com
229
[email protected]
tersendiri yang dimaksud adalah Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985 Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: "Pejabat yang diberi wewenang dari Pengurus Yayasan untuk mengangkat dan atau memberhentikan pegawai UKSW ialah Rektor UKSW..." Hal ini terjadi karena peraturan pelaksana bagi Pasal 11 ART 1994 belum dibuat. Karena itu, peraturan pelaksana yang sudah ada, yakni Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985, masih tetap berlaku. Dalam aturan ini secara jelas dinyatakan bahwa Rektorlah yang diberi wewenang untuk mengangkat atau memberhentikan pegawai. Karena itu, SK tersengketa menjadi tidak sah karena cacat hukum. Tergugat menyatakan bahwa Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW tahun 1985 tersebut menyatakan bahwa wewenang yang diberikan kepada Rektor untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai diikuti dengan ketentuan bahwa "pegawai golongan ruang IV/c sampai IV/e perlu mendapat persetujuan tertulis dari Pengurus Yayasan terlebih dahulu." Ketentuan ini dengan sangat jelas tidak mengingkari bahwa Rektorlah yang mengangkat dan memberhentikan pegawai UKSW. *** Duplik, Rabu, 19 April 1995 Atas Replik Penggugat, Tergugat menyampaikan Duplik setebal 15 halaman Kuasa Hukum Dewan Pengurus Harian YPKTSW sebelum mengajukan duplik memandang perlu untuk menegaskan kembali status hukum mereka dalam Nota Keberatan (Bezwaarheidsnota). 1. Bahwa kehadiran mereka sejak pemeriksaan sampai persidangan adalah sebagai Kuasa Hukum DPH YPTKSW dan bukan sebagai Kuasa hukum Tergugat (Ketua Umum dan Sekretaris Umum DP YPTKSW). 2. Bukan Tergugat yang menandatangani surat kuasa kepada mereka karena surat kuasa harus ditandatangani oleh 5 orang pejabat DPH YPTKSW, yaitu ketua umum, ketua I, sekretaris umum, sekretaris, dan bendahara. 3. Bahwa pada pemeriksaan persiapan tanggal 26 Januari 1995 dan tanggal 2 Februari 1995 mereka telah memberikan penjelasan tentang status hukum mereka. Hanya karena alasan itikad baik dan rasa hormat mereka terhadap PTUN-lah mereka hadir untuk memberikan penjelasan. 4. Penggugat sampai pada penyajian repliknya terus mempertahankan pendiriannya walaupun didasarkan pada penafsiran yang keliru tentang subjek gugatan atau siapakah yang sah, tepat, layak, dan adil menjadi Tergugat dalam perkara ini. Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW yang justru tidak berwenang mewakili YPTKSW di dalam dan di luar PTUN disahkan sebagai "Tergugat" secara tidak adil oleh pemikiran otoriter Penggugat. Sebaliknya DPH YPTKSW yang seharusnya secara hukum sah, tepat, layak, dan adil menjadi Tergugat dikesampingkan begitu saja menurut kemauan Penggugat sendiri. 5. Menurut Indroharto dalam bukunya Usaha Memahami UU tentang PTUN (II), persidangan PTUN mempunyai tiga fungsi: fungsi informatif, fungsi konfrontatif, dan fungsi korektif. 6. Fungsi informatif telah mereka penuhi dalam sidang pemeriksaan persiapan kepada Majelis Hakim pada tanggal 26 Januari 1995 yang lalu dengan memperjelas Badan DP YPTKSW mana y ang sah menjadi Tergugat dalam perkara ini. Pada pemeriksaan kedua tanggal 2
http://slamethdotkom.wordpress.com
230
[email protected]
Februari 1995 mereka memperjelas status belum finalnya SK tersengketa dengan menyerahkan dokumen hukum pengambilan keputusan dan keputusan-keputusan rapat PHK sementara tersebut yang dilengkapi dengan dokumen permohonan persetujuan kepada P4D Jawa Tengah. Mereka juga telah menyampaikan bahwa pada saat itu PHK Sementara tersebut sedang dalam proses permohonan persetujuan ke P4D Jawa Tengah, dan hingga saat ini masih dilakukan proses pemerantaraan oleh Pegawai Perantara Kantor Depnaker Kodya Salatiga di Ungaran, dan dalam waktu dekat akan direkomendasikan ke P4D Jawa Tengah. Fungsi informatif ini mereka penuhi dengan maksud agar pemeriksaan perkara ini menghormati proses permohonan persetujuan PHK ke P4D sesuai dengan ketentuan pasal 48 yo. pasal 51 UU No. 5 tahun 1986 dan ketentuan pasal 8 UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yo. pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 UU No. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta. 7. Fungsi konfrontatif mereka laksanakan dengan memberikan jawaban terhadap gugatan Penggugat pada tanggal 23 Maret 1995 yang lalu dan mengajukan duplik dalam persidangan hari ini. 8. Fungsi korektir mereka lakukan terhadap PTUN dan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara No. 01/G/TUN./1995.Smg. dengan memohon kepada Majelis Hakim untuk tidak melakukan pemeriksaan perkara. 9. Menurut Surat Edaran MA No. 2 tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991, angka III.1 dan 4, apabila tujuan pemeriksaan persiapan untuk mematangkan perkara tidak dicapai, "Majelis Hakim yang menangani suatu perkara berwenang sepenuhnya untuk memberikan putusannya terhadap perkara tersebut, termasuk pemberian putusan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima untuk seluruhnya atau sebagian gugatan, meskipun perkara ini telah lolos dari dismissal proses." 10. Bahwa di samping itu Majelis Hakim harus juga menerapkan asaa dominis litis untuk secara aktif mencari kebenaran materiil seperti diingatkan dalam Penjelasan angka 5a UU No. 5 tahun 1986. Dalam dupliknya Tergugat yang selalu menulis kata Tergugat dalam tanda kutip menolak semua dalil dalam replik Penggugat. Menurut Tergugat, Penggugat dalam repliknya sengaja tidak menyinggung pasal 13 ayat 3 huruf a AD YPTKSW untuk menutupi kelemahan gugatannya yang tanpa dasar hukum Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW sebagai Tergugat. Tergugat kembali menegaskan bahwa Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW tidak berwenang mewakili YPTKSW di dalam dan di luar pengadilan dan kehadiran kuasa hukum dalam persidangan adalah bukti dari penerapan pasal 13 ayat 3 tersebut. Surat kuasa Kuasa Hukum ditandatangani oleh lima pejabat yang duduk dalam jabatan DPH YPTKSW untuk bertindak atas nama DP YPTKSW. Kekeliruan Penggugat mencantumkan Ketua Umum dan Sekretaris Umum DP YPTKSW sebagai Tergugat oleh karena di satu pihak Penggugat telah menyamakan pejabat yang menandatangani SK PHK dengan Badan Dewan Pengurus YPTKSW yang memutuskan PHK tersebut, sementara di pihak lainnya menyamakan keduanya dengan Badan yang berwenang mewakili YPTKSW di dalam dan di luar pengadilan. Sesungguhnya, kedua pejabat tersebut
http://slamethdotkom.wordpress.com
231
[email protected]
hanya menandatangani SK PHK tersengketa berdasarkan keputusan DPI YPTKSW, tanggal 30 September 1994 dan penyusunannya oleh DPH YPTKSW dalam rapat tanggal 5 dan 12 Oktober 1994. Oleh karena itu, tindakan Penggugat mencantumkan Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW sebagai Tergugat karena diangggap pembuat dan karena itu menandatangani SK tersengketa, harus ditolak. DPH YPTKSW tidak pernah mendelegasikan wewenangnya kepada Ketua Umum dan Sekretaris Umum untuk bertindak atas nama DPH YPTKSW di dalam dan diluar pengadilan. Oleh karena mencantumkan kedua pejabat tersebut sebagai Tergugat adalah perbuatan yang tidak layak, tidak adil, dan karena itu bersifat mencemarkan nama baik kedua pejabat teras YPTKSW tersebut. Dalam replik, Penggugat mengutip pasal 1 angka 6 UU No. 5 tahun 1986 dan secara serampangan dan tidak masuk akal menyatakan gugatannya terhadap Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPTKSW sebagai penanda tangan sudah benar dan memenuhi peraturan. Peraturan manakah yang dimaksud Penggugat? Apakah AD YPTKSW atau peraturan perundangundangan yang berlaku? Jika yang dimaksud adalah pasal 1 angka 6 UU No. 5 tahun 1986, maka sungguh tidak masuk akal karena Penggugat tidak membuktikan: 1. Apakah Ketua Umum dan Sekretaris Umum DP YPTKSW adalah badan atau pejabat TUN. 2. Dasar hukum yang menjadi sumber wewenangnya membuat keputusan tentang SK PHK dengan Arief Budiman, PhD. 3. Apakah wewenang tersebut diperoleh atas dasar atribusi, delegasi, ataukah mandan dan dari manakah sumber wewenangnya. 4. Apakah Tergugat yang dianggap Penggugat sebagai Pejabat TUN yang membuat dan menandatangani keputusan tersebut bertanggung jawab terhadap akibat hukum yang ditimbulkan. Dalil Penggugat yang mengatakan YPTKSW sebagai badan atau pejabat TUN didasarkan pada kelemahan logika Penggugat yang tidak membedakan antara badan penyelenggara pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan badan penyelenggara pendidikan tinggi yang dilaksanakan masyarakat (baca: Perguruan Tinggi Swasta). Karena kelemahan itulah maka Penggugat tidak membandingkan dasar-dasar pembedaan penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen/Pemerintah dengan masyarakat seperti diperbedakan dalam pasal 50 dan 51 UU No. 2 tahun 1989 yo. pasal 1 angka 9 dan pasal 116 ayat (1) PP. 30 tahun 1990. Bahwa YPTKSW adalah badan hukum perdata justru dapat dibuktikan dari pasal-pasal yang dirujuk Penggugat sendiri. Misalnya, pasal 52 UU No. 2 tahun 1989 jelas menunjukkan bahwa pemerintah melakukan pengawasan terhadap satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat agar penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat sesuai dengan tujuan pencerdasan kehidupan bangsa seperti diamanatkan dalam alinea IV UUD 1945 dan GBHN tentang pendidikan. Jangan sampai terjadi kebebasan mimbar dan kebebasan akademik yang diatur dalam pasal 22 ayat (1) dan penjelasannya UU No. 2 tahun 1989 yo. pasal 18 dan penjelasannya serta pasal 19 PP No. 30 tahun 1990, disalahgunakan dengan mengajak mahasiswa berdemonstrasi mempraktekkan anarkisme, anarkisme dengan dalih anti-otoriter,
http://slamethdotkom.wordpress.com
232
[email protected]
kesewenang-wenangan, dan kebebasan mimbar bertujuan untuk tidak disalahgunakan seperti tersebut di atas. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan pengawasan, pengaturan, dan pembinaan bagi perkembangan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat. Sedangkan pasal 97 angka 2 PP 30 tahun 1990 menyatakan "Susunan organisasi, rincian tugas, fungsi, dan tata kerja perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur dalam statuta perguruan tinggi bersangkutan yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta atas usul Senat Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan berpedoman pada ketentuan dalam Bab VII". YPTKSW sebagai Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi telah menetapkan statutanya pada tanggal 5 Oktober 1994 tanpa persetujuan Mendikbud, karena itu (YPTKSW) jelas bukan perpanjangan tangan ataupun organ bawahan dari Mendikbud. Karena itu, tidak benar pendapat Penggugat yang mengatakan (bahwa) Pemerintah mengatur secara ketat Perguruan Tinggi Swasta. Pasal 53 memberikan kewenangan publik kepada Menteri untuk mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggaraan satuan pendidikan yang melanggar ketentuan UU ini. Kewenangan Menteri yang lahir dari tanggung jawabnya seperti diatur dalam pasal 1 angka 12 dan pasal 49 UU No. 2 tahun 1989 yo pasal 1 angka 12 PP No. 30 tahun 1990, terdiri atas perencanaan pendidikan nasional, pembuatan peraturan pelaksanaan, pemberian izin penyelenggaraan program pendidikan, dan kewenangan melakukan tindakan materiil (seperti pencabutan izin) berada di tangan Menteri dan tak dapat didelegasikan kepada badan mana pun termasuk YPTKSW. Pengawasan dan perizinan jelas tidak dapat didelegasikan kepada organ di luar jajaran Depdikbud, termasuk YPTKSW. Tetapi, Mendikbud dapat menerapkan sanksi administratif terhadap satuan pendidikan yang melanggar persyaratan perizinan. Penggugat keliru memahami jiwa, makna, dan hakikat perizinan yang lahir dari status hukumnya dalam pengawasan pendidikan. Karena itu, "Tergugat" merasa berkewajiban memberikan pemahaman kepada Penggugat bahwa izin adalah suatu "instrumen yuridis" sebaga otoritas pemerntah untuk melakukan pengawasan preventif terhadap kegiatan masyarakat agar tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan atau menghambat usaha peningkatan kualitas pendidikan. Pemberian izin bukanlah pemberian wewenang publik tetapi pembebanan kewajiban sekaligus pengakuan kemampuan dan kebebasan penyelenggaraan program pendidkan yang dimohonkan izin penyelenggarananya oleh masyarakat/pihak swasta. Misalnya, Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW telah lama memperoleh izin penyelenggaraannya tetapi belum sepenuhnya memenuhi persyaratan akademik, namun pemerintah masih memberikan peluang kepada UKSW dan tidak begitu saja melakukan tindakan materiil dengan membekukan program tersebut. Bukankah Penggugat mengetahui hal ini dan menikmati kebebasan yang diberikan pemerintah? Entah mengapa dalam repliknya Penggugat mengatakan "betapa pendidikan tinggi yang diselenggarakan masyarakat diatur secara ketat oleh pemerintah" tanpa mau mengakui kebebasan yang diberikan pemerintah kepadanya sebagai mantan dosen PPs-SP UKSW. Sanggahan Penggugat terhadap eksepsi Tergugat yang dikuatkan dengan teori tentang delegasi wewenang disanggah secara aneh dan tidak masuk akal oleh Penggugat dengan cara retorika yang sok nasionalis. Penggugat mengatakan bahwa teori yang digunakan Tergugat didasarkan pada pendapat ahli-ahli yang berasal dari bangsa lain. Penggugat ingin menutup diri dari kenyataan bahwa perkembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia dan proses
http://slamethdotkom.wordpress.com
233
[email protected]
penyusunan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimungkinkan karena pengaruh dari kerja sama dengan pemerintah Belanda dan Prancis. Hakim-hakim dan pengajar Hukum Administrasi Negara di Indonesia kebanyakan dididik oleh ahli-ahli Belanda dan Prancis. Buku Indroharto sebagai satu-satunya buku pintar yang menjadi sumber teoritis Penggugat diramu dari 27 pustaka yang semuanya berasal dari 29 penulis Belanda dan hanya satu buku yang ditulis oleh seorang Indonesia dengan guru besar dari Belanda. Indroharto, mantan ketua muda peradilan tata usaha negara MA Republik Indonesia, juga pernah belajar di negeri Belanda. Dalam wawancara dengan majalah Forum Keadilan No. 28, Hakim Agung Indroharto, SH, ketika ditanya tentang PTUN negara mana yang dijadikan acuan, memberikan jawaban bahwa pada saat ini yang paling dekat adalah di Negeri Belanda. Hakim Agung itu juga menyatakan kita tidak boleh mengingkari sejarah bahwa perkembangan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh hukum Belanda. Pendapat Indroharto itu perlu diperhatikan, apalagi kenyataan menunjukkan bahwa rumusan pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 tentang pengertian sengketa TUN, misalnya, sangat mirip dengan rumusan Wet tentang AROB (Administrative Rechtsspraak Overheids Beschikkingen) di Belanda. Penggugat mendalilkan, PHK bukan masalah perburuhan tetapi perbedaan pendapat di kalangan akademis tentang masalah pemilhan rektor. Dalil Penggugat tersebut adalah alasan yang dicari-cari dan tidak benar karena rektor yang terpilih melalui proses yang benar menurut SK Dewan Pengurus YPTKSW No. 133 tahun 1988, telah disahkan mendikbud berdasarkan pasal 38 ayat 2 PP 30 tahun 1990 dan telah dilantik oleh Dewan Pengurus YPTKSW berdasarkan AD YPTKSW pada tanggal 30 November 1993. Bukan perbedaan pendapat yang terjadi, melainkan Penggugat tidak mau mengakui kekalahan calonnya dari Rektor terpilih sekarang ini. Ketidaktaatan Penggugat inilah yang menyebabkan Penggugat mengemukakan pendapat di media massa agar pemilihan rektor yang telah sah menjadi kontroversi di mata publik Indonesia, bahkan luar negeri. SK PHK dikeluarkan karena Penggugat dengan sengaja dan berulang kali mengemukakan pendapat yang tidak benar, memutarbalikkan fakta tanpa mencek kebenarannya dengan sumber yang berwenang dan karena itu mencemarkan martabat dan nama baik Dewan Pengurus YPTKSW dan rektor terpilih dan bersifat menista. Karena itu, adalah tidak benar bahwa SK tersengketa dikeluarkan karena perbedaan pendapat yang ditandai dengan polemik di media massa. Melalui media massa Ketua Umum YPTKSW pernah menganjurkan agar Penggugat mengundurkan diri, tetapi Penggugat malah menantang untuk dipecat. Setelah dipecat, barulah Penggugat mencari pembenaran melalui PTUN Semarang. SK tersengketa merupakan masalah perburuhan karena sampai saat ini telah diadakan persidangan atas pemerantaraan pegawai perantara Kantor Depnaker Kodya Salatiga di Ungaran sebanyak 4 kali, tanggal 31 Januari, 26 Februari, 21 Maret, dan 11 April 1995. Keempat persidangan yang dihadiri Penggugat dan Penasihat Hukum DPH YPTKSW itu diakui kedua belah pihak sebagai perselisihan perburuhan. Juga, alasan kepentingan umum yang dikemukakan Tergugat dan penguatan rekomendari dari Ketua Program Nico L. Kana yang disampaikan pada sidang 9 Maret yang lalu tidak perlu dipertimbangkan dan sangat wajar dikesampingkan karena pada awal April Penggugat dan Ketua Program yang bersangkutan mengumumkan maklumat mogok yang akan
http://slamethdotkom.wordpress.com
234
[email protected]
dilaksanakna pada tanggal 17 April 1995. Setelah diperingatkan Rektor, barulah rencana mogok tersebut ditunda sampai awal Mei 1995 yang akan datang. Oleh karena itu, permohonan Penggugat harus ditolak PTUN Semarang karena bertentangan dengan kenyataan di UKSW. *** Putusan Dan, inilah putusan akhir yang telah ditunggu-tunggu, setebal 105 halaman. Putusan itu diambil setelah mendengarkan para saksi. Saksi ahli Prof. Ronny Hanitiyo Sumitro, SH, guru besar Universitas Diponegoro dan pejabat Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah, sebagai saksi ahli di bidang Administrasi Perguruan Tinggi Swasta dan selaku pejabat Koordinator Kopertis, berpendapat begini: • Persamaan antara PTS dan PTN adalah hanya di bidang program studi saja; • Yang bertanggung jawab terhadap PTS adalah yayasan yang mengelolanya, yayasan mengatur PTS dan dosen berdasarkan peraturan tersendiri yang berlaku di masing-masing lingkungan PTS; • Bila terjadi perselisihan di lingkungan PTS, maka penyelesaiannya didasarkan pada hukum perdata; • Prosedur pemberhentian dosen di PTS berbeda dari PTN; • Karena PTS adalah badan hukum perdata, maka penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan seharusnya diselesaikan di Depnaker setelah terlebih dahulu menempuh upaya keberatan yang disampaikan kepada atasan dosen tersebut; • Saksi belum pernah mengetahui tentang pemberhentian dosen di PTS diselesaikan di Depnaker; • YPTKSW selaku Tergugat adalah badan hukum berbentuk yayasan yang menyelenggarakan pendidikan di UKSW; • Saksi belum pernah mendengar istilah pemberhentian untuk sementara waktu seperti dalam perkara ini; • Pegawai Negeri Sipil yang menjabat sebagai dosen di PTS diberlakukan disiplin pegawai seperti PNS umumnya; • Pembinaan untuk dosen PTS ada di tangan yayasan yang menyelenggarakan pendidikan; • Di PTS tidak ada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) • Pendirian badan hukum berupa yayasan yang menyelenggarakan pedidikan harus disahkan oleh pemerintah; • Kedudukan dosen dan karyawan di PTS berbeda karena dosen adalah buruh intelektual; • Yayasan yang menyelenggarakan pendidkan telah mendapat pendelegasian wewenang dari pemerintah, hal tersebut sudah termasuk dalam pengesahan pendirian badan hukum yayasan yang diberikan oleh pemerintah; • Pemecatan terhadap dosen tidak perlu dilaporkan kepada Kopertis; • Kopertis hanya mengawasi UKSW saja, tidak mengawasi yayasan penyelenggara pendidikan. Saksi ahli lainnya adalah Broto Semedi, seorang pendeta dan sarjana theologi dari Sekolah Tinggi Theologi Jakarta yang setara dengan S1 dan pernah mempelajari Dogmatika tentang
http://slamethdotkom.wordpress.com
235
[email protected]
ajaran Gereja khususnya Kristen selama 2 tahun di Amsterdam. Saksi sudah sering menulis artikel di media massa dan pernah menulis buku lebih dari 4 buah. Juga, saksi merasa cukup ahli menerangkan tentang etika kritik. Kesaksian Broto Semedi adalah sebagai berikut: • Etika kritik adalah tata cara menyampaikan dan menerima kritik; • Karena ide dasar UKSW adalah agama Kristen, maka yang berlaku adalah etika kritik Kristen; • Di UKSW tidak ada peranturan tentang etika kritik; • Kritik adalah kebutuhan manusia yang terikat dalam tiga solidaritas, yaitu kepentingan bersama, kewajiban bersama, dan tanggung jawab bersama; • Tata cara kritik menurut Alkitab adalah: 1. Orang yang dikritik memang harus dikritik; 2. Kalau masalah pribadi harus diselesaikan dengan tatap muka, sedangkan masalah yang bersifat umum dapat dengan cara terbuka; 3. Penerima kritik harus berjiwa besar, yaitu kalau memang salah harus mengakuinya dan bila menyangkut pekerjaan dapat dilanjutkan dengan meletakkan jabatan; • • •
•
Dalam menyampaikan kritik di UKSW keterikatan dengan moral Kristen, yaitu kebenaran, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia yang terikat dengan kasih; Kritik dapat disampaikan melalui media umum atau kepada umum bila menyangkut masalah yang sudah diketahui oleh umum; Karena seseorang yang berkuasa adalah orang yang dipercaya dan dibatasi oleh etika guna mencapai tujuan, maka (orang yang berkuasa) tidak boleh mengambil tindakan yang merugikan pengkritiknya; Tindakan Penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan karena mendapat peringatan dari Tergugat dapat dibenarkan karena hal tersebut merupakah upaya mencari keadilan.
Saksi ahli lain, Romo Sastro Pratedjo, rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan sebelumnya ketua yayasan penyelenggara Akademi Kimia Industri Santo Paulus yang merasa cukup ahli dalam bidang pengetahuan PTS, memberikan pendapatnya sebagai berikut: • Indonesia menganut pola tunggal pembinaan perguruan tinggi, yaitu dengan memberlakukan peraturan yang sama terhadap PTN dan PTS seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 dan PP No. 30 tahun 1990; • Di perguruan tinggi terdapat kebebasan akademik, yaitu pengajar diperkenankan mengemukakan pendapat di dalam dunia pendidikan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan aspirasi pribadi yang dilandasi oleh kaidah keilmuan, di mana hal itu diatur oleh peraturan perundangan; • Kebebasan akademik dapat dilakukan di kampus maupun di forum akademika lainnya; • Dosen berbeda dengan buruh karena dosen diatur tersendiri dalam UU No. 2 tahun 1989 dan PP No. 30 tahun 1990, sedangkan buruh diatur dalam peraturan lain; • Bila terjadi perbedaan pendapat antara rektor dengan dosen dapat diselesaikan melalui beberapa tingkatan guna mencapat penyelesaian: 1. Berdialog; 2. Pendekatan dengan senat mahasiswa;
http://slamethdotkom.wordpress.com
236
[email protected]
•
3. Penyelesaian melalui mimbar atau majelis profesi; PTS menyelenggarakan pendidikan atas pendelegasian wewenang yang dalam prakteknya dituangkan dalam SK Mendikbud yang mensyaratkan adanya yayasan.
Saksi ahli keempat adalah Prof. Dr. Philiphus Mandirihajhon, SH, guru besar ilmu hukum di Universitas Erlangga dengan spesifikasi Hukum Tata Negara dan mengajar Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Inilah kesaksian guru besar yang telah menulis lebih dari 4 buku ini: • Secara absolut masalah pemberhentian Penggugat bukan wewenang PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya, tetapi saksi tidak dapat menerangkan tentang lingkungan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya; • Berdasarkan pasal 1 butir 4 UU No. 5 tahun 1986, ada 3 kriteria untuk menentukan adanya suatu sengketa TUN, yaitu: 1. Sengketa itu dalam bidang tata usaha negara (pemerintahan); 2. Sengketa itu terjadi antara orang atau badan hukum perdata melawan pejabat atau badan TUN; 3. Objek sengketa adalah suatu keputusan TUN; • Saksi mengartikan pengertian urusan pemerintahan dalam pasal 1 butir 1 dan pasal 1 butir 2 UU No. 5 tahun 1986 secara sempit, baik itu urusan pemerintahan maupun penyelenggaranya yaitu badan atau pejabat TUN; • Pengertian badan atau pejabat TUN dan Keputusan TUN tidak lepas dari arti pasal 1 butir 1, butir 2, butir 3, dan butir 4, dan juga harus dihubungkan dengan ketentuan pasal 1 butir 6 UU No. 5 tahun 1986 yang mengatur tentang kewenangan dari pihak yang menjadi Tergugat; • Karena YPTKSW hanya mempunyai izin menyelenggarakan pendidikan dari pemerintah akan tetapi tidak mendapat pelimpahan wewenang dari pemerintah, maka YPTKSW bukan badan atau pejabat TUN dan tindakannya menerbitkan surat keputusan pemberhentian terhadap Penggugat bukan keputusan TUN. Dengan demikian, penyelesaian perkara ini secara absolut bukan wewenang PTUN; • Pihak Tergugat di PTUN haruslah pihak yang mempunyai wewenang, baik itu wewenang yang bersifat atribusi, pendelegasian wewenang, maupun mandat; • Suatu izin melahirkan hak dan kewajiban, tetapi izin tidak dapat diartikan sebagai pelimpahan/pendelegasian wewenang; • Saksi tidak sependapat dengan orang yang menafsirkan pasal 1 butir 1 UU No. 5 tahun 1986 secara luas seperti Indroharto karena mereka hanya mengartikan urusan pemerintah dari segi fungsinya saja, tidak dari segi organ yang melaksanakannya. Dengan kata lain, mereka mengartikan urusan pemerintahan terlepas dari kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 6; • Tidak ada ahli hukum lainnya yang sependapat dengan pendapat saksi di atas; • Saksi tidak cukup ahli untuk menerangkan apakah sengketa perkara ini termasuk hukum perburuhan atau bukan; • Yayasan penyelenggara pendidikan adalah mitra pemerintah dalam menyelenggarakan
http://slamethdotkom.wordpress.com
237
[email protected]
• •
pendidikan; Urusan pendidikan bukan semata-mata urusan pemerintah saja; Statuta PTS berdasarkan PP No. 30 tahun 1990 harus disahkan oleh pemerintah, ini berarti dalam rangka pengawasan oleh pemerintah.
Selain saksi ahli, juga dihadirkan beberapa saksi. Salah satunya adalah Limson U. Sangalang, dosen program pascasarjana UKSW dengan jabatan terakhir selama 4 tahun sebagai sekretaris PPs-SP. Menurut Limson: • Di UKSW belum pernah terjadi pegawai/dosen yang dipecat atau diberhentikan untuk sementara waktu; • Tindakan disiplin terhadap dosen di UKSW dilakukan secara bertahap, sebagai berikut: 1. Mula-mula peringatan secara lisan; 2. Kemudian peringatan tertulis. • Di UKSW tidak pernah pegawai dipecat, karena hal itu bertentangan dengan iman kristiani. Oleh karena itu, yang bersangkutan dianjurkan untuk mengundurkan diri; • Di UKSW tidak ada peraturan tentang pemberhentian sementara waktu; • Unit program Pascasarjana belum pernah memberikan peringatan kepada Penggugat; • Saksi tidak tahu tentang sebab dan maksud PHK Penggugat; • Proses pemberhentian Penggugat tidak melalui prosedur dan sangat mendadak karena tidak ada teguran melalui unit Pasca Sarjana; • Program Pasca Sarjana sangat dirugikan dengan pemberhentian Penggugat karena Penggugat adalah tenaga yang langka; • Pemberhentian Penggugat tidak diikuti dengan penunjukan penggantinya; • Penggugat sering mengkritik Tergugat baik dengan menulis surat maupun melalui media massa karena adanya perbedaan pendapat antara Penggugat dan Tergugat.
• • •
• • • •
Saksi Budiawan, mahasiswa PPs-SP angkatan tahun 1992, berpendapat: PHK Penggugat sangat merugikan mahasiswanya akrena Penggugat adalah tenaga langka dan pembimbing utama dalma penulisan karya tulis; Program Pascasarjana tidak berjalan lagi karena dosen-dosennya mogok mengajar karena solider dengan Penggugat sejak pertengahan April 1995; Di dalam Program Pasca Sarjana hanya ada 3 dosen inti. Saksi Soewandi, SH, pejabat PR I bidang akademik dan dosen di UKSW sejak tahun 1966: Di UKSW pernah terjadi PHK terhadap dosen dan pegawai yang melakukan pelanggaran, tetapi teknis pelaksanaannya ybs atas permintaan universitas mengundurkan diri; Dalam masalah PHK Penggugat, saksi ikut mendengarkan rapat Dewan Pengurus yang membicarakan pemberhentian Penggugat; Saksi pernah membaca di surat kabar, Penggugat diminta oleh Tergugat untuk mengundurkan diri; Saksi juga pernah membaca di surat kabar, Penggugat pernah minta Tergugat mencabut surat pemberhentian atas nama Penggugat;
http://slamethdotkom.wordpress.com
238
[email protected]
• • • • • • • •
• •
Proses pemberhentian Penggugat saat ini sedang dalam proses di kantor Depnaker; Penyampaian surat-surat peringatan terhadap Penggugat tidak dilakukan sebagaimana mestinya; Program Pasca Sarjana di UKSW masih berfungsi, akan tetapi kegiatan belajar-mengajar tidak ada karena sudah selesai; Sebagai pengganti Penggugat di Program Pasca Sarjana, sudah ada orang yang bersedia menggantikannya; Di Program pascasarjana telah terjadi pemogokan oleh dosen maupun mahasiswa, dan untuk mengatasinya rektor telah memberi peringatan terhadap dosen-dosen tersebut; Unjuk rasa yang telah terjadi meminta agar rektor dan pengurus yayasan mundur; Moratorium tanggal 2 Mei 1995 di ikuti sekitar 360 mahasiswa dan 11 dosen berisi agar surat pemberhentian terhadap Penggugat dicabut; Sampai saat penerbitan surat pemberhentian Penggugat, antara Penggugat dan Tergugat belum pernah diadakan dialog dan tidak melalui proses sebagaimana proses pemberhentian dosen-dosen lainnya; Surat pemberhentian terhadap dosen-dosen sebelumnya ditandatangani oleh rektor; Pemberhentian terhadap Penggugat dilakukan karena adanya pencemaran nama baik UKSW melalui media massa.
Saksi John Titaley, Direktur Program Pasca Sarjana UKSW sejak tanggal 1 Mei 1995, sebelumnya Ketua Program Pasca Sarjana Agama dan Masyarakat, memberikan kesaksian: • Pada awalnya ada 2 program pascasarjana yaitu studi pembangunan serta agama dan masyarakat, tetapi kemudian direstrukturisasi dijadikan satu dengan pimpinan seorang direktur; • Di PPs-SP terjadi kemacetan PBM karena sebagian besar dosen dan mahasiswanya mogok; • Untuk mengatasinya saksi telah menyurati mahasiswa yang mogok dan menghubungi dosen-dosen yang tidak mogok; • Terhadap pemberhentian Penggugat telah dicarikan pengajar lain yang bersedia menggantikannya; • Terhadap penulisan karya tulis mahasiswa yang dibimbing Penggugat, Tergugat telah mencari dosen pengganti; • Di UKSW telah terjadi demonstrasi yang menuntut agar rektor mengundurkan diri, penasihat hukum dibubarkan, SK PHK Penggugat dicabut, SK kontroversial lainnya dicabut. Untuk lebih memperjelas permasalahan sengketa, juga didengar keterangan para pihak, masing-masing dari Sekretaris Umum YPTKSW dan Penggugat in person, yang menerangkan sbb: Menurut Sekretaris Umum YPTKSW Julius Saludung, SH, yang menjadi hak dan kewajiban Dewan Pengurus (seperti) tersebut (dalam) pasal 8 Akta No. 6 adalah seperti yang diatur dalam pasal 13 Akta No. 6 tersebut. Menurut Penggugat:
http://slamethdotkom.wordpress.com
239
[email protected]
• •
•
Demonstrasi di UKSW disebabkan karena masalah pemilihan rektor, sedangkan pemberhentian Penggugat merupakan akibat kritikan Penggugat terhadap pemilihan rektor; Kekacauan di UKSW berakibat antara lain: - banyak mahasiswa dan karyawan/dosen yang solider terhadap Penggugat; - Untuk menegakkan disiplin, pihak pengurus telah mengancam dengan menunda gaji 14 dosen - mahasiswa dan orangtua mereka ikut dirugikan karena PBM terhenti; Banyak surat dari luar negeri yang menyatakan ikut prihatin dengan keadaan d UKSW dan pihak pemberi bantuan akan menghentikan bantuannya. ***
Menimbang bahwa Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara ini terhitung mulai 10 Juni 1995 dipindahtugaskan sebagai Ketua Pengadilan TUN Samarinda, maka oleh ketua PTN Semaang melalui Penetapan No. 01/Pen-G/TN/1995/PTUN.Smg tanggal 12 Juni 1995 telah dibentuk Majelis Hakim baru sebagai pengganti guna melanjutkan pemeriksaan, memutus, dan menyelesaikan perkara ini sebagai beriut: 1. Sugiya, SH sebagai Ketua Majelis 2. Ny. Ratna Harmani, SH sebagai Hakim Anggota I 3. Ariyanto, SH sebagai Hakim Anggota II 4. Marsudi sebagai Panitera Pengganti. Pertimbangan selanjutnya adalah tentang objek dan subjek sengketa pada pihak dalam perkara ini, yaitu sebagai berikut. • Sengketa dalam perkara ini menyangkut masalah kepegawaian tentang pemberhentian terhadap diri Penggugat, yang berpangkal pada surat pemberhentian hubungan kerja atas diri Penggugat, maka Pengadilan berpendapat bahwa tindakan Tergugat meneribitkan surat tersengketa sebagai dasar dan objek sengketa sudah tepat; • Surat PHK ditujukan kepada Penggugat, maka Pengadilan berpendapat bahwa Penggugat adalah orang yang kepentingannya dirugikan, karena itu berdasarkan pasal 53 ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 Penggugat adalah orang yang berkualitas untuk mengajukan gugatan dalam perkara ini; • Setelah meneliti SK tersengketa, ternyata surat itu dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pengurus YPTKSW; • Setelah membaca dan memahami Akta No. 6 tentang AD YPTKSW, khususnya pasal 8, ternyata YPTKSW dikelola oleh suatu Dewan Pengurus yang terdiri atas 3 Dewan Pengurus, yaitu Dewan Pengurus Lengkap, Dewan Pengurus Inti, dan Dewan Pengurus Harian. Dengan demikian, di YPTKSW tidak dikenal adanya lembaga/badan maupun pejabat yang bernama Dewan Pengurus; • Berdasarkan hal tersebut di atas, Pengadilan berpendapat bahwa sulit untuk menentukan ketua umum dan sekretaris umum yang membuat dan menandatangani objek sengketa bertindak untuk atas nama dewan pengurus yang mana; • Pengadilan juga kesulitan menentukan dengan tepat pihak yang menjadi Tergugat dalam sengketa ini;
http://slamethdotkom.wordpress.com
240
[email protected]
•
•
•
• •
• •
•
•
•
Dalam Pasal 13 Akta No. 6 tentang AD YPTKSW juga tidak diatur tentang adanya kewenangan dari dewan-dewan pengurus YPTKSW untuk memberhentikan seorang pegawai dengan status dosen, karena hal tersebut berdasarkan Peraturan Pokok Kepegawaian UKSW pasal 1 ayat 2 jo. pasal 2 adalah wewenang rektor, baik itu pegawai akademik maupun non-akademik, maka Pengadilan berpendapat bahwa tindakan Tergugat menempatkan Dewan Pengurus YPTKSW sebagai pihak Tergugat dalam perkara ini dapat dibenarkan oleh Pengadilan; Walaupun dalam acara Penjelasan pihak Tergugat menyerahkan surat tentang Tambatan Rapat Kerja Dewan Pengurus Inti YPTKSW tertanggal 30 September 1994 yang isinya antara lain memutuskan pemberhentian Peggugat secara tidak hormat terhitung sejak tanggal 31 Oktober 1994, dan keputusan tersebut menjadi dasar surat keputusan objek sengketa, akan tetapi karena pasal 13 ayat 1 Akat No. 6 menyebutkan Dewan Pengurus Lengkap adalah dewan tertinggi dalam tubuh YPTKSW, maka Pengadilan berpendapat Dewan Pengurus Lengkaplah yang harus bertanggung jawab terhadapa SK objek sengketa yang ternyata tidak jelas pembuatnya dan menempatkannya selaku pihak Tergugat; Masalah untuk menentukan kewenangan absolut memeriksa dan mengadili perkara ini sebenarnya lebih merupakan penerapan hukum daripada pembuktian, dikarenakan faktafakta yang menjadi pokok sengketa sudah jelas sejak awal; UKSW adalah lembaga pendidian yang dikelola dan diselenggarakan oleh YPTKSW yang berupa badan hukum swasta berbentu yayasan; Pasal 31 UUD 1945 jo. UU No. 2 taun 1989 tentang pertimbangan huruf a secara tegas disebutkan Pemeritnah mengusahakandan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional; Pasal 49 UU No.2 tahun 1989 juga secara jelas menyebutkan Menteri bertanggung jawab dalam sistem pendidkna nasional; Pasal 1 butir 12 UU No. 2 tahun 1989 jo. pasal 1 butir 11 dan 12 serta 13, PP No. 30 tahun 1990 dapat disimpulkan salah satu pihak yang ikut bertanggung jawab atas pendidikan nasional adalah Menteri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selain Menteri lain atau pimpinan lembaga lainnya, dengan demikian hanya pemerintah atau kekuasaan eksekutif sajalah yang berhak menyelenggarakan pendidikan; Berdasarkan pasal 1 butir 3 UU No. 2 tahun 1989, yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pengadilan berpendapat bahwa kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh badan hukum swasta/perdata yang mengelola suatu perguruan tinggi atau universitas seperti UKSW yang dikelola oleh YPTKSW termasuk urusan yang bersifat eksekutif atau urusan pemerintahan seperti maksud pasal 1 butir 1 UU No. 5 tahun 1986, sepanjang badan hukum swasta tersebut memperoleh kewenangan dari Menteri yang berhak untuk itu seperti maksud pasal 1 butir 6 UU No. 5 tahun 1986; Pasal 47 ayat 1 beserta penjelasannya UU No. 2 tahun 1989 jo. pasal 12 PP No. 30 tahun 1980 menyebutkan bahwa masyarakat adalah mitra pemerintah yang dapat ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan kedudukan mereka sama; Pasal 116 jo. pasal 118 PP No. 30 taun 1990 menentukan penyelenggaraan pendidikan
http://slamethdotkom.wordpress.com
241
[email protected]
•
•
•
•
•
•
•
tinggi yang dilaksanakan oleh masyarakat harus berbentuk yayasan yang telah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri; UKSW adalah suatu lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh YPKTKSW, di mana syarat dan tata cara pendiriannya telah memenuhi peraturan perundangan yang berlaku termasuk di dalamnya persetujuan tertulis dari Mendikbud, maka Pengadilan berpendapat bahwa sejak mendapat persetujuan tertulis dari Mendikbut selaku wakil dari pemerntah, berdasarkan peraturan perundangan secara atribusi YPTKSW mendapat wewenang dari pemerintah untuk berperan serta dan bertindak sebagaimitra pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi, dengan demikian sebagai suatu organ/lembaga harus disebut sebagai badan TUN, sebagaimana maksud ketentuan pasal 1 butir 1 jo. pasal 1 butir 2 dan pasal 1 butir 6 UU No. 5 tahun 1986; SK PHK diterbitkan Penggugat dalam kapasitasnya sebagai badan TUN yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang merupakan urusan pemerntahan, maka Pengadilan berpendapat bahwa gugatan Penggugat yang mempermasalahkan SK PHK itu termasuk dalam pengertian sengketa TUN, sebagaimana dimaksud UU tentang peradilan tata usaha negara No. 5 tahun 1986; Setelah mempelajari semua peraturan perundangan yang berlaku bagi sengketa Tata Usaha Negara dalam perkara ini, baik peraturan yang berlaku di dalam maupun di luar lingkungan UKSW, Pengadilan tidak mendapatkan adanya ketentuan upaya administrasi yang wajib dilakukan Penggugat sebelum mengajukan gugatan ke Peradilan TUN SEmarang, maka PTUN menyatakan secara absolut maupun secara relatif berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa perkara ini; Terhadap Eksepsi Tergugat yang menyatakan SK objek sengketa belum bersifat final, ternyata setelah meneliti dengan saksama, dalam kenyataannya berdasarkan dalil Penggugat yang tidak dibantah kebenarnnya oleh Tergugat tanpa alasan dan bukti yang mendukungnya, Pengadilan mendapatkan fakta dan berpendapat bahwa surat PHK telah bersifat final dan menimbulkan akibat hukum sebagaimana maksud pasal 1 butir 3 UU No. 5 taun 1986, oleh karena itu alasan Eksepsi Tergugat harus ditolak; Tergugat dalam jawabannya mendalilkan sengketa terhadap PHK terhadap Penggugat adalah sengketa perburuhan, tetapi karena Pengadilan berpendapat dalam sengketa ini Tergugat bertindak sebagai badan TUN, maka penyelesaiannya tidak harus melalui prosedur ke P4D sebelum Penggugat mengajukan gugatan ke PTUN; Eksepsi lainnya ternyata diajukan Tergugat dengan alasan yang tidak bersifat eksekutif, maka Eksepsi tersebut harus dkesampingkan dan akan dipertimbangkan menjadi satu dalam pertimbangan hukum tentang pokok perkara; Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tentang Eksepsi di atas, Pengadilan berpendapat Eksepsi Tergugat harus ditolak dan untuk selanjutnya akan dipertimbangkan pokok perkaranya;
Tentang Pokok Perkara • Terlebih dahulu akan dipertimbangkan masalah kewenangan dari Tergugat dalam menerbitkan SK PHK terhadap Penggugat yang berstatus dosen; • Dalam statuta yang berlaku, khususnya pasal 13 Akta No 6 tentang AD yang mengatur
http://slamethdotkom.wordpress.com
242
[email protected]
•
•
•
•
•
•
•
•
tentang hak dan kewajiban Dewan Pengurus, ternyata tidak diatur tentang kewenangan dewan-dewan pengurus yang ada di YPTKSW untuk dapat memberhentikan Penggugat yang berstatus dosen dengan pangkat IVd, karena kewenangan tersebut berdasarkan peraturan pokok Kepegawaian UKSW dalam pasal 1 ayat 2 jo pasal 2 adalah menjadi wewenang rektor baik bagi pegawai akademik maupun pegawai non-akademik, dan untuk yang berpangkat IVc sampai dengan IVe terlebih dahulu harus mendapat persetujuan pengurus Yayasan yaitu YPTKSW, akan tetapi hal itu tidak berarti Pengurus Yayasan dapat begitu saja mengeluarkan SK PHK tersebut; Walaupun Tergugat adalah lembaga yang lebih tinggi dari rektor dan tergugat adalah pihak yang memutuskan pemberhentian terhadap Penggugat, namun demikian seharusnya administrasi penerbitan SK PHK harus dilakukan oleh rektor; Selain itu, apabila Tergugat akan menerbitkan SK PHK terhadap Penggugat, kewenangan yang semestinya di tangan rektor harus terlebh dahulu secara tegas diambil alih kembali oleh Tergugat; Berdasarkan pertimbangan di atas Pengadilan berpendapat tindakan Dewan Pengurus telah terbukti melanggar Statuta dan peraturan yang berlaku di UKSW, dengan demikian merupakan perbuatan melawan hukum yang berupa perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 huruf a UU No. 5 tahun 1986; Sebelum SK PHK Penggugat diterbitkan oleh YPTKSW telah terlebih dahulu diberi peringatan secara tertulis yang pada intinya agar Penggugat selalu menjunjung tinggi nama baik dan martabat YPTKSW, mematuhi perautran yang berlaku di lingkungan UKSW, dan melakuan kritik sesuai dengan etika kritik yang berlaku; Berdasarkan keterangan saksi Soewandi, SK, LImson U. Sangalang, dan John Titaley, dapat disimpulkan bahwa surat-surat peringatan tersebut disampaikan kepada Penggugat tidak melalui unit administrasi Program Pascasarjana, suatu unit tempat Penggugat bertugas. Dengan demikian, Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan Dewan Pengurus YPTKSW telah melanggar tata tertib administrasi yang seharusnya ditaati dan karenanya pula yayasan tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 huruf c UU No. 5 tahun 1986; Berdasarkan bukti surat dan saksi di persidangan, ternyata penerbitan SK PHK atas diri Penggugat sama sekali tidak melalui prosedur penyelesaian masalah yang selayaknya berlaku, dalam hal ini tidak pernah diadakan pertemuan/tatap muka antara para pihak yang bersengketa guna musyawarah untuk mencapai penyelesaian masalah yang berkaitan dengan perbuatan Penggugat melakukan kritik terhadap Tergugat, sebagaimana pendapat saksi ahli Romo Sastro Pratejo, di mana penyelesaian masalah seperti itu dapat diselesaikan melalui beberapa tingkatan, yaitu dialog langsung antara para pihak, pendekatan dengan senat mahasiswa, dan penyelesaian melalui mimbar atau majelis profesi; Berdasarkan fakta tersebut, Pengadilan berpendapat bahwa secara prosedural pihak Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 c UU No. 5 tahun 1986; Dalam SK PHK, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa Penggugat telah tidak mewujudkan ketaatan etika kritik di UKSW dengan cara menyebarluaskan masalah yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
243
[email protected]
•
•
•
•
•
• •
tidak diketahuinya secara jelas sehingga merugikan nama baik Dewan Pengurus YPTKSW dan karena itu Tergugat memutuskan untuk melakuakn PHK terhadap Penggugat; Perbuatan menyebarluaskan sesuatu masalah yang dapat merugikan nama baik seseorang atau sekelompok orang adalah perbuatan yang diancam dengan pidana sebagaiana diatur dalam Kitab UU Hukum Pidana Bab XVI tentang Penghinaan; Tergugat dalam jawabannya yang diakui oleh Penggugat dan diperkuat dengan keterangan saksi Limson U. Sangalang ternyata bahwa Penggugat telah melakukan kritik terhadap Tergugat melalui media massa; Bila Tergugat merasa nama baiknya dirugikan oleh Penggugat karena kritik tersebut, seharusnya Tergugat menindaklanjuti denga nmengadukan perbuatan Penggugat tersebut kepada Penyidik untuk diproses secara pidana dan apabila berdasarkan putusan Pengadilan yang berlaku tetap ternyata Pengugat dinyatakan terbukti bersalah merugikan nama baik Tergugat, maka barulah pihak Tergugat dapat mengambil tindakan disiplin terhadap Penggugat dengan menerbitkan SK PHK dengan pertimbangan Penggugat telah melakukan perbuatan yang merugikan nama baik Tergugat; Karena dalam penerbitan SK PHK dilakukan Tergugat dengan pertimbangan Penggugat telah melakukan perbuatan yang merugikan nama baik Tergugat tanpa terlebh dulu perbuatan Penggugat dibuktikan oleh Pengadilan Pidana dengan adanya putusan Pengadilan yang berlaku tetap, maka Pengadilan berpendapat Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 a dan c UU No. 5 tahun 1986; Apabila kritik Penggugat diartikan sebagai kebebasan akademik sebagaiaman diaksud Bab VI PP No. 30 tahun 1990, dan dalam hal ini kebebasan akademik tersebut dilakukanoleh Penggugat di luar kampus, maka dalam hal ini Pengadilan sependapat dengan Prof Dr. Ing Wardiman Djojonegoro yang dimuat di harian Kompas tanggal 15 Juni 1995 halaman 9, di mana setiap ucapan maupun tindakan di muka umum harus dipertanggungjawabkan atas dasar peraturan perundangan yang berlaku di masyarakat, oleh karena itu perbuatan Tergugat mengambil tindakan disiplin terhadap Penggugat dengan dasr peratura dan Statuta ang berlaku di UKSW, adalah tidak dapat dibenarkankarena kritik dilakukan di luar kamus, sehingga karenanya Tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 huruf c UU No. 5 tahun 1986; Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka Pengadilan tidak akan mempertimbangkan apakah Penggugat telah melakukan kritik sesuai dengan etika kritik di UKSW atau tidak; Berdasarkan serangkaian pertimbangan hukum tentang pokok perkara di atas, di mana telah terbukti bahwa dalam penerbitan SK PHK pihak Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pasal 53 ayat 2 huruf a dan c, maka petitum pokok dari gugatan Penggugat harus dikabulkan;
Tentang Tuntutan Ganti Rugi • Pengadilan berpendapat bahwa penghasilan per bulan yang menjadi hak Penggugat dikurangi dengan tunjangan fungsional dan honor per bulan yang dibayarkan pada tiap semester adalh Rp880.700; • Terhitung mulai 31 Oktober 1994 sampai 7 Agustus 1995, gaji Penggugat yang tidak dibayar dikurangi tunjangan fungsional dan hono per bulan yang dibayarkan tiap psemester sudah
http://slamethdotkom.wordpress.com
244
[email protected]
• •
ada Rp880.700 x 10 = Rp8.807.000; Karena tuntutan pokok dikabulkan, maka Pengadilan berpendapat tuntutan tambahan tentang ganti rugi juga harus dikabulkan; Tetapi karena PP No. 43/1991 dalam pasal 3 memberikan batasan tentang besarnya ganti rugi yang dapat dibebankan kepada Tergugat untuk dibayarkan kepada Penggugat yaitu sebesar Rp5 juta, maka Pengadilan berpendapat tuntutan selebihnya dapat dituntut melalui upaya gugatan di Peradilan Umum;
Tentang Tuntutan Rehabilitas Dengan terbitnya SK PHK, pihak Penggugat menanggung akibat sebagai berkut. • Penggugat dianggap Tergugat tidak menunjukkan ketaatan terhadap etika kritik yang berlaku di UKSW; • Penggugat dianggap Tergugat merugikan nama baik Dewan PEnguru YPTKSW; • Penggugat telah kehilangan haknya sebagai seorang dosen yang mengajar di PPs-SP UKSW dan segala jabatan di UKW; • Penggugat telah kehilangan penghasilan dan segala tunjangan sebagai seorang tenaga yang mengajar di UKSW; • Penggugat telah kehilangan hak sebagai peserta Dana Pensiun Satya Wacana; Karena tuntutan pokok dikabulkan dan berdasarkan fakta-fakta di atas serta sengketa perkara ini adalah tentang masalah kepegawaian, maka berdasarkan pasal 53 ayat 1 jo pasal 121 UU No. 5 taun 1986, Pengadilan berpendapat bahwa tuntutan rehabilitas dari Penggugat patut dikabulkan; Tentang Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Terhadap permohonan Penggugat tentang penundaan pelaksanaan Keputusan yang menjadi objek sengketa, Pengadilan mempertimbangkan dan berpendapat sebagai berikut. • Dengan diberhentikannya Penggugat berakibat kegiatan belajar-mengajar di Program Pascasajana menjadi tidak lancar; • Akibat dari pemberhentian Penggugat tersebut, keputusan objek sengketa berakibat terjadinya pemogokan di UKSW, khususnya program pascasarjana yang dilakukan oleh sebagian dosen/karyawan dan mahasisawanya yang solider dengan nasih Penggugat; • Pemberhentian Penggugat juga menjadi salah satu sebab moratorium yang dilakukan sebagian dosen/karyawan dan mahasiswa di UKSW; • Pemberhentian Penggugat menjadi salah satu sebab di UKSW serng terjadi unjuk rasa dan demonstrasi; • Berdasarkan keadaan di atas mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar di UKSW menjadi tersendat-sendat sehingga sangan merugikan mahasiswa; • Berdasarkan keterangan saksi Limson U. Sangalang yang dikuatkan oleh saksi Budiawan, Penggugat adalah tenaga dosen yang sangat dibutuhkan UKSW karena merupakan pengajar yang langka; • Berdasarkan keterangan saksi John Titaley dan dikuatkan oleh saksi Limson U. Sangalang
http://slamethdotkom.wordpress.com
245
[email protected]
• •
dapat disimpulkan belumjelas tenaga dosen yang menggantikan Penggugat; Berdasarkan keadaan dan fakta di atas, Pengadilan berpendapat dengan terbitnya SK PHK berakibat sangat merugikan kepentingan UKSW; Dilihat dari sisi kepentingan Penggugat, terbitnya SK PHK berakibat Penggugat kehilangan pekerjaan pokok sebagai dosen dan terhentinya pembayaran gaji dari Tergugat, padahal gaji tersebut merupakan satu-satunya penghasilan utama Penggugat, dengan demikian Pengadilan berpendapat Penggugat sangat dirugikan kepentingannya;
Berdasarkan fakta-fakta di atas, Pengadilan berpendapat Penggugat telah dapat membuktikan akibat terbitnya SK PHK telah mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika keputusan tersebut tetap dilaksanakan, dan oleh karena kepentingan umum tidak mengharuskan kepputusan tersebut tetap dilaksanakan, akan tetapi sebalinya untuk lebih lancarnya PBM di UKSW yang merupakan kepentingan umum, menghendaki agar keputusan tersebut ditunda pelaksanaannya, dengan demikian pasal 67 ayat 4 UU No. 5 tahun 1986 telah terpenuhi; • Karena tuntutan pokok dari Penggugat dikabulkan, maka permohonan penundaan pelaksanaan keputusan yang menjadi objek sengketa tetap harus dikabulkan; • Karena gugatan Penggugat dikabulkan,maka Tergugat harus membayar biaya perkara; ***
http://slamethdotkom.wordpress.com
BAB 19
Penutup 246
[email protected]
Selesaikah permasalahan di UKSW? Berikut kutipan surat terbuka dosen FP Lasmono Tri Sunaryanto, di Suara Merdeka, 26 Desember 1995. Menurut Lasmono, ada tiga hal menarik yang perlu disimak: 1. telah ditandatanganinya Akta Perdamaian oeleh semua pihak yang bertikai, 2. pernyataan rektor saat dies bahwa UKSW telah berhasil melewati jalan yang sempit dan licin, dan 3. berdamainya Otma Semarang dengan tergugat. Dan, masih menurut Lasmono, inilah fakta-faktanya: 1. PBM belum berjalan mulus. FTJE belum mampu mencari dosen pengganti bagi mereka yang mengundurkan diri, PPs-SP hanya dapat melayani sebagian angkatan dengan kualitasn penyajian program yang belum kembali seperti semula. Pengajar FTh bukan lagi seluruhnya berasal dari utusan Gereja. 2. Meskipun Akta Perdamaian telah ditandatangani, skorsing bagi pengajar masih belum dicabut secara otomatis, masih menunggu dipenuhinya syarat dari rektor yang dirasakan memberatkan pengajar yang menerima skorsing. Skorsing, yang disertai pemotongan gaji, yang seharusnya hanya antara 1 sampai 3 bulan ternyata berlarut-larut dan tidak ada kejelasan apakah selesai, dicabut, atau diteruskan dan pemotongan gaji masih berjalan terus. 3. Upaya menjalankan PBM di FP, yang sebelumnya menurut pihak rektor adalah yang paling mudah dan bisa dijadikan test-case bagi penyelesaian menyeluruh, ternyata juga tidak menjadi mudah dan malah berlarut-larut, sehingga meskipun pengajar FP sudah bertekad menjalankan PBM, masih ada berbagai hambatan dari pihak Rektor sehingga PBM pun belum berjalan kondusif. *** Posisi YPTKSW dan rektor kian bertambah kuat, sementara KPD semakin tidak kedengaran napasnya. Untuk semakin memperkokoh posisinya, Rektor John Ihalauw mengeluarkan Keputusan Rektor No. 060/KEP./REK./1996 tentang Ketertiban Penyelenggaraan PBM dan Ketahanan Kampus UKSW, tanggal 9 Februari 1996. Isinya: • Melarang segala bentuk kegiatan yang mengganggu dan menghambat admisi mahasiswa baru dan PBM. • Melarang segala bentuk surat, edaran, poster, atau bentuk tertulis lain yang mengganggu admisi dan PBM. • Melarang pemogokan terhadap admisi dan PBM. • Menegaskan bahwa hak untuk menyampaikan pendapat dan pandangan mengenai hal yang menyangkut UKSW disalurkan melalui wadah yang telah ada. • Melarang digunakannya kampus untuk kegiatan di luar kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi tanpa izin khusus rektor. • Sanksi kepada staf berupa: teguran lisan, teguran tertulis, peringatan keras, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, pembebasan tugas, skorsing, pemberhentian.
http://slamethdotkom.wordpress.com
247
[email protected]
•
•
Sanksi kepada mahasiswa berupa: teguran lisan, teguran tertulis, peringatan keras, penundaan pemberian ijazah/diploma/sertifikat, pembatalan nilai akademik, larangan mengikuti kuliah dan kegiatan akademik, pencabutan hak sebagai mahasisawa. Sanksi dijatuhkan oleh rektor dengan persetujuan Senat Universitas. ***
Dosen KPD yang bisa mendapatkan pekerjaan di luar lebih memilih keluar dari UKSW, sementara dosen yang tidak cukup beruntung memilih kembali bekerja dengan menanggung beban perasaan yang tidak bisa dilukiskan betapa beratnya. Tetapi, ada pula dosen yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan di luar yang bertekad tetap tidak mau minta maaf karena meyakini apa yang mereka perjuangkan benar. Masuk dalam kelompok pemberani ini antara lain Mardimin, Indra Budiman, dan Widodo. Juga, ada pula dosen yang bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan lain di luar tetapi memilih tinggal dengan alasan tertentu. Salah satunya adalah Liek Wilardjo, calon rektor yang sebenarnya mendapat dukungan paling banyak dari sivitas akademika UKSW. Liek punya alasan tersendiri, seperti yang terungkap dalam suratnya kepada teman-temannya. Surat LW kepada AB, AH, NLK, Th.S., LUS, SRH, Ng. K, P.Ds., c.s./et al., 31 Mei 1996 Pada tahun 1983 ada pejabat yang mengakhiri masa jabatannya. Ia mengibaratkan dirinya sebagai nakhoda yang meninggalkan ruang komando di kapalnya. Ia juga mengatakan bahwa kapalnya tidak hanya dalam keadaan jalan asal, tetapi jalan dengan baik sekali. Menjelang lima tahun kemudian, sudah mulai terasa ada gangguan pada jalannya kapal itu. Kelaik-layarannya menurun, dan riak serta ombak mulai membuatnya sedikit oleng. Lima tahun lagi sejak waktu itu, keadaan kapal itu kian parah. Sementara itu samudra yang diarunginya makin ganas. Kapal itu beserta semua penumpangnya diguncang gelombang dan diterpa badai. Keadaan gawat itu sekarang barangkali telah berlalu, namun kapal tersebut masih tetap rawan. Sewaktu-waktu prahara masih bisa datang menghadirkan amukan yang dahsyat. Sewaktu-waktu kapal itu bisa pecah dan karam. Dalam situasi kacau itu ada kelompok yang setidak-tidaknya secara de facto muncul sebagai pemenang. Itulah kelompok penguasa. Di luar kelompok ini ada kelompok yang kalah dan tersisih. Ini dapat dipilah menjadi beberapa subkelompok. Pertama, kelompok yang tercampak ke luar dari geladak kapal itu. Sebagian dari mereka, sebut saja kelompok (1), terpaksa naik embali ke kapal itu melalui tangga penghinaan. Lalu ada kelompok (2) yang tidak mau menaiki tangga itu, dan memilih untuk tetap di luar. Kedua, kelompok minoritas yang sebenarnya dapat tetap berada di dalam kapal, tetapi dengan sengaja memilih melompat ke luar. Mereka itu, yang dapat kita sebut kelompok (3), tidak kerasan tinggal di dalam kapal, dan tidak mau menenggang peri-kehidupan di bawah penguasa kapal itu. Ketiga, kelompok yang tidak terlempar ke luar. Ini dapat dipilah lagi menjadi dua subkelompok, yakni subkelompok (4) dan (5). Subkelompok (4) ialah mereka yang sebenarnya masih mempunyai opsi untuk meninggalkan kapal itu, tetapi karena alasan-alasan tertentu memilih tetap tinggal. Subkelompok (5) terdiri atas mereka yang memang tidak mempunyai pilihan lain, selain bertahan di dalam kapal itu.
http://slamethdotkom.wordpress.com
248
[email protected]
Peri-keadaan kita berbeda dari seorang ke orang lain. Kemampuan finansial dan/atau kemampuan berkarya secara produktif kita beragam. Kontak dan koneksi kita dengan dunia luar juga berbeda-beda. Usia, kesehatan, dan beban tanggung jawab kita kepada keluarga pun tidak sama. Ini semua, dan perbedaan tingkat afinitas kita dengan kapal itu, yang juga tidak sama, membuat saya dapat memahami sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi peristiwa yang merebak sejak April 1993 ini. Saya tidak menaruh kedengkian kepada siapa pun. Saya justru dapat ikut merasakan beban batin yang mungkin diderita subkelompok (1). Saya sendiri merasa bahwa saya termasuk dalam subkelompok (4). Ketika kemelut sedang memuncak dulu, saya menyodorkan tiga sikap moral, yakni sikap Wibisono (kebenaran, di mana pun ia berada), sikap Kumbakarno (benar atau salah, negaraku), dan sikap Karno (kapitulasi kreatif). Secara tersirat, saya menyarankan agar kapitulasi kreatif a la Karno itu dipertimbangkan. Namun, seperti telah saya katakan di atas, saya dapat memahami dan bahkan menghargai sikap lain yang mana pun. Saya merasa bahwa peran seperti Karno di Astina itulah yang sekarang ini tengah saya coba mainkan. Ikatan batin antara saya dan kapal itu sangat kuat, sebab sudah mendarahdaging dan berurat-berakar sejak tahun 1962. Waktu itu secara sadar dan dengan sengaja saya memilih memasuki kapal ini. Waktu itu, seperti juga ketika saya memperbaharui tekad untuk tetap bergabung dengan kapal itu pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1970, pertimbangan saya irasional. Landasan untuk memilih kapal itu, juga pada tahun 1970 ketika kapal itu hampir-hampir tenggelam, terutama bukan nalar, melainkan memberat ke naluri dan nurani. Karena itulah, pernah saya menghimbau kepada Anda, agar dalam permusuhan dengan para penguasa kapal itu janganlah kapal itu dihancurkan. Demi orang-orang baik yang masih tinggal di dalamnya, hendaknya kapal itu tidak ditenggelamkan. Juga, demi kapal itu sendiri, hendaknya prahara itu hanya menyambar nakhoda dan ABK-nya. Saya tahu bahwa ini tidak mudah. Saya sendiri tidak berilusi bahwa keadaan akan (segera) kembali baik, walaupun tetap berharap. I do not expect (objectively), but still hope (subjectively), that things will be alright again some day. Seperti telah saya katakan di muka, sewaktu-waktu taufan itu dapat datang lagi, dan bahkan dapat memecahkan kapal itu serta menenggelamkannya. Kalau, atau bahkan bila, itu terjadi yah... apa boleh buat! Mungkin kalian akan tertawa bahagia, tetapi saya akan menangis. Dapat pula yang terjadi ialah bahwa saya dicampakkan ke luar. Dan saya kira saya akan masih mempunyai ‘dignity’ untuk tidak mengemis, minta diizinkan menaiki tangga penghinaan. Tetapi samapai sekarang ini keberadaan saya di dalam kapal ini tidak membuat saya malu. Tak ada alasan itu, sebab saya memang berhak, bahkan barangkali lebih daripada yang lain, untuk berada di dalam kapal ini. Sumbangan saya cukup substansial, dan saya sudah ikut terlibat penuh dalam pasang-surut dan jatuh-bangunnya kapal itu di dalam perjalan(an)nya selama lebih dari 34 tahun, sejak saya bergabung pada tahun 1962. Sekarang, setelah saya keluarkan isi hati saya, mudah-mudahan kalian bisa mengerti. Kalau tidak dapat mengerti juga, saya sedih; tetapi tak apalah. Itu pun merupakan konsekuensi dari sikap yang saya ambil. Not palatable though it is, I’d nevertheless try to swallow it up!
http://slamethdotkom.wordpress.com
249
[email protected]
Saya katakan bahwa sewaktu-waktu bisa saja saya dilempar ke luar. Itu karena tidak mustahil bahwa my incessant, critical memos could get no longer tolerable. LW *** Tanggal 14 Juni 1996 Arief Budiman dan penasihat hukumnya Pramudya, SH mendatangi PTUN Semarang untuk menyerahkan surat kepada Ketua PTUN Semarang. Surat itu mempertanyakan amar keputusan PTUN Semarang 7 Agustus 95 dalam perkara No. 01/G/TUN/1995/PTUN. Dalam amar putusan Dewan Pengurus Lengkap YPTKSW harus menunda PHK Arief selama pemeriksaan terhadap perkara ini berjalan. Tetapi, YPTKSW belum melaksanakan keputusan tersebut. Maka, pada 13 Mei 1993 Arief menulis surat kepada YPTKSW meminta lembaga ini melaksaanakan amar putusan PTUN. Kalau nanti YPTKSW membayar gaji Arief, uang itu tidak dipakai sendiri tapi diberikan kepada karyawan golongan rendah UKSW, kata Arief. Sampai saat ini surat Arief kepada YPTKSW belum ditanggapi.ii *** Awal Agustus 1996 tiga mahasiswa UKSW yang terlibat dalam aksi perusakan di kampus UKSW pada September 1995 dihukum penjara oleh PN Salatiga. Ketiganya adalah Helio Mario Pinto Soares (24) diganjar 5 bulan penjara, Darmawan Zagato (24) 4 bulan, dan Tonny Fernando (25) 2 bulan 15 hari. Kecuali Tony yang vonisnya lebih ringan 15 hari, putusan majelis hakim sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang terdiri atas Sutrisno, Budi Raharjo, dan Karyono. Ketiga mahasiswa sejak Oktober 1995 diadili PN Salatiga, dituduh merusak kampus dan aksi menentang kepemimpinan rektor UKSW pada September 1995. Menurut pembela Hadi Sasono yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang, “Dalam putusan majelis hakim tak memerintahkan ketiganya segera masuk. Selain itu, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Karena itu, kami mengajukan banding.” Dalam persidangan, lanjutnya, juga tak terungkap dan terbukti adanya peran menonjol dari ketiganya.ii *** Tanggal 30 Agustus 1996 Komnas HAM berkirim surat kepada Rektor UKSW dan Ketua YPTKSW. Begini isinya. Drs Halomoan S. Pulungan dkk yang menyatakan mewakili dosen dan mahasiswa melaporkan bahwa YPTKSW dan rektorat tidak melaksanakan Akta Perdamaian karena masih
http://slamethdotkom.wordpress.com
250
[email protected]
ada beberapa dosen yang diskorsing dan tidak dibayar gajinya, serta ada beberapa mahasiswa yang dihambat studinya. Seandainya laporan tersebut mengandung kebenaran, seyogyanya pihak-pihak yang telah menandatangai Akta Perdamaian tanggal 22 November 1995 menghayati dan mentaati isinya. Baharuddin Lopa, Sekretaris Jendral, atas nama Ketua KOMNAS HAM. *** Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Pusat (P4P) memutuskan menolak permohonan PHK YPTKSW thd Arief Budiman. Keputusan P4P tanggal 25 Juni 1996 itu menguatkan putusan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Daerah) di Semarang. P4P mewajibkan pihak YPTKSW memanggil Arief Budiman, untuk dipekerjakan kembali di UKSW, paling lambat 14 hari setelah putusannya dikeluarkan. Pihak Yayasan juga harus membayar sebagian gaji Arief Budiman selama enam bulan sejumlah Rp4.148.700.ii Arief menyatakan siap mengajar kembali di UKSW sesuai keputusan P4P, namun semua tergantung sikap YPTKSW dan rektor untuk mau memenuhi dan melaksanakan putusan tersebut. John Ihalauw tak bersedia mengomentari putusan P4P karena jawaban terhadap putusan P4P maupun permasalahan dengan Arief Budiman telah diserahkan sepenuhnya pada penasihat hukumnya. *** Tanggal 7 Agustus 1996 Ketua PTTUN Semarang Soeseno mengaku telah menerima salinan putusan bernomor 78/B/TUN/1995/PTTUN Surabaya tertanggal 14 Maret 1996 mengenai kasus Arief Budiman melawan YPTKSW. Majelis Hakim PTTUN Surabaya di tingkat banding diketuai Ny. Hj. Dra. Tamroekmi C. Chanijoen dengan anggota Ny. Syarifah Chadidjah dan Ny. Siti Djuwariyah. Putusan PTTUN mengambil alih dan memperkuat seluruh pertimbangan putusan di tingkat PTUN Semarang.ii Tetapi, kemenangan Arief di PT TUN itu dianggap bukan sesuatu yang luar biasa oleh penasihat hukum YPTKSW Djoko Oentoeng. "Kami tidak terkejut dan kemenangan Arief di tingkat banding tidak ada yang aneh dan belum apa-apa. Baru luar biasa bila Arief bisa memenangkan kasasi di tingkat MA,” kata Djoko. Menurut Djoko, selama ini YPTKSW tidak atau belum pernah menerima dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seperti lembaga tata usaha negara. Hal ini meyakinkan tim kuasa hukum YPTKSW kalau MA tak akan membuat keputusan salah dengan menetapkan kliennya lembaga TUN. Meskipun PTTUN telah memenangkan Arief, lanjutnya, tetapi yang bersangkutan tidak dapat kembali mengajar ke UKSW karena YPTKSW maupun UKSW tidak bersedia mempekerjakan Arief kembali. Dalam hal ini, PTUN Semarang dan PTTUN Surabaya tidak dapat memaksakan agar keputusannya dilaksanakan. "YPTKSW maupun UKSW itu kan sudah tidak mau mempekerjakan Arief. Jadi Jangan
http://slamethdotkom.wordpress.com
251
[email protected]
dipaksa menerimanya kembali. Apalagi PTUN bukan lembaga eksekusitorial (pelaksana eksekusi) yang dapat memaksakan keputusannya untuk dilaksanakan. Jadi kami di sini, ya tenang-tenang saja," tandasnya. Mengenai putusan P4P yang juga memenangkan Arief, kuasa hukum YPTKSW itu menyatakan ketidakmengertiannya. "Kami ini kan minta izin untuk memecat seseorang. Kalau tidak diizinkan, ya kami akan minta izin lagi. Bahkan mungkin saja putusan itu digugat ke PTUN, karena P4P merupakan lembaga TUN," ungkapnya lagi seraya menambahkan bahwa mereka akan segera mengajukan kasasi ke MA.ii Komentar Djoko Oentoeng bahwa baru luar biasa bila Arief menang di MA mendapat tanggapan Direktur Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH LLM dan praktisi hukum Henry Yosodiningrat, SH. Keduanya menilai kuasa hukum YPTKSW telah mengeluarkan pernyataan yang tidak etis. Sekalipun berkeyakinan akan memanangkan perkara, Djoko tidak patut mengeluarkan pernyataan yang konotasinya sinis terhadap putusan di tingkat "bawah". Pernyataan dimaksud terkesan menghina pengadilan terkait.. Hakim dan Henry sama-sama berpendapat bahwa dalam berperkara ke pengadilan ada etika yang sepatutnya dipahami oleh setiap orang yang berperkara, apakah dia orang awam ataupun advokat/pengacara. "Setiap putusan pengadilan yang belum berkekuatan tetap sepatutnya tidak dikomentari secara 'sinis', artinya putusan terkait tetap harus dihormati," ucap Henry. Sewajarnya, sambung Henry, kuasa hukum YPTKSW tetap menyatakan keterkejutannya tentang putusan PTTUN Suragaya itu. :Memang tidak berhenti di situ saja. Dia bisa melanjutkan dengan menyatakan bahwa kami akan mengupayakan untuk mengajukan kasasi ke MA. Kalau langsung mengeluarkan pernyataan seperti itu akibatnya orang-orang di PTTUN Surabaya bisa terkejut dengan pernyataan itu," tandas Henry. *** Sampai batas akhir 8 Agustus 1996, YPTKSW belum memanggil Arief untuk mengajar kembali. Karena itu, Pramudya akan melakukan upaya paksa terhadap YPTKSW untuk melaksanakan keputusan P4P dan PTTUN. "Jika YPTKSW tetap membangkang dan tidak mau melaksanakan baik terhadap putusan P4P maupun PT TUN, kami akan melakukan upaya paksa. Dalam perkara ini, kewibawaan Pemerintah jelas dipertaruhkan," kata Pramudya. "Dengan penolakan resmi YPTKSW, kami akan berkirim surat kepadan Menteri Tenaga Kerja RI di Jakarta. Intinya, meminta Pemerintah untuk tetap konsekuen terhadap putusan yang memenangkan klien kami," katanya. Surat penolakan YPTKSW tertanggal 14 Agustur 1996 ditujukan kepada Kepala Kantor Depnaker Salatiga, dengan tembusan pada Dewan Pengurus YPTKSW, Rektor UKSW, Arief Budiman, serta P4P dan P4D Jawa Tengah.ii Djoko Oentoeng Suropati menyatakan tidak dapat melaksanakan putusan P4P, bahkan saat ini YPTKSW tengah menyiapkan gugatan terhadap P4P untuk disampaikan kepada Ketua
http://slamethdotkom.wordpress.com
252
[email protected]
PTUN di Jakarta. Selain itu, telah disiapkan 50% dari 6 bulan gaji yang menjadi hak sah Arief sebesar Rp4.148.700 yang siap dibayarkan bila Arief mau melaporkan diri ke YPTKSW. Namun, Arief, sebagaimana diungkapkan kuasan hukumnya Pramudya, tidak pernah melaporkan diri ke YPTKSW. "Pemberian gaji itu tidak mempunyai relevansi keputusan P4P, karena itu patut kami abaikan," ujar Pramudya. Kuasa hukum YPTKSW selanjutnya menitipkan kepada Kepala Depnaker Kodya Salatiga untuk dibayarkan kepada yang bersangkutan. Namun, Arief malah minta Kepala Depnaker untuk menolak titipan uang itu karena tidak terkait dengan perkara YPTKSW dengan dirinya dan tidak terkait dengan putusan P4P dalam perkara tersebut. Apalagi, dalam putusan P4P disebutkan, YPTKSW ahrus membayar upah penuh dan bukan 50% serta selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima putusan P4P harus mempekerjakan Arief kembali. Pelaksanaan putusan ini di bawah pengawasan Depnaker Salatiga. Namun, ternyata YPTKSW telah berkirim surat kepada Kepala Depnaker Salatiga, menyatakan tidak bersedia melaksanakan putusan P4P. Bahkan sampai 12 September Arief belum menerima upah 100% sebagai konsekuensi atas kesanggupan siap melaksakan putusan P4P.ii ***
Arief Budiman merupakan satu dari 44 orang dari 23 negara yang diberi penghargaan Hellman/Hammets 1996 dari sebuah lembaga di Amerika, Human Rights Watch. Dia menerima US$3.500. Arief, intelektual yang dikenal bisa menjelaskan berbagai teori rumit secara mudah, mengaku pernah didatangi Sydney Jones dari Human Rights Watch untuk pencalonan dirinya. "Tapi, saya enggak berpikir kalau menang," tuturnya. Arief mengaku dirinya kecil dibanding penerima hadiah lain seperti Ken-Saro Wiwa dari Nigeria, yan dijatuhi hukuman mati atas perjuangannya. "Saya memang pernah dipenjara, tapi itu karena berdemonstrasi," katanya menyebut saat ia memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1970-an. Arief juga mengaku, ia tidak seberani Sri Bintang Pamungkas dan kawan-kawan muda lainnya, tapi "Saya tetap konsisten." "Tambahannya, kini nama saya ada di tingkat internasional. Itu menjadi semacam proteksi politik buat saya, kalau ada apa-apa dengan saya, minimal ada orang yang teriak-teriak. Ada payunglah untuk berlindung. Apakah penghargaan itu diberikan karena tulisan-tulisannya berani? “Ya, selain di Kompas, atau Jakarta Post, memang saya juga menulis di Asiaweek, Far Eastern Economic Review, dan Strait Times. Di pengumumnan ditulis bahwa saya memonitor perkembangan hak asasi di Indonesia dan disebut sebagai courageous writer, penulis yang berani. Artinya, menulis dengan risiko. Rupanya pemecatan saya dari UKSW dianggap sebagai risiko yang harus diambil atas sikap dan tulisan saya yang mereka anggap kritis terhadap pemerintah. Semua menggambarkan represi negara yang terlalu besar. Karier saya dihancurkan. Padahal, kalau melihat pemenang yang lainnya, saya ini bukan apa-apa,” kata Arief.
http://slamethdotkom.wordpress.com
253
[email protected]
Lampiran I KEPUTUSAN DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN SATYA WACANA NOMOR 133/A/KP/DPI/99 TANGGAL 27 MEI 1988 Tentang
http://slamethdotkom.wordpress.com
254
[email protected]
SYARAT-SYARAT CALON DAN PROSEDUR PENCALONAN REKTOR DAN PEMBANTU REKTOR UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Dewan Pengurus Inti Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, Menimbang: a. Bahwa perlu menetapkan syarat-syarat calon Rektor dan Pembantu Rektor serta prosedur pencalonannya. b. Bahwa Surat Keputusan Dewan Pengurus Inti Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana tanggal 18 Juni 1980 nomor 71/A/DPI/80 tentang Syarat-syarat Calon dan Prosedur Pencalonan Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, perlu ditinjau kembali untuk disempurnakan, Mengingat: a. Ketentuan dalam pasal 13 ayat 2 huruf b angka 1 Anggaran Dasar Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana; b. Keputusan Rapat Dewan Pengurus Inti Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana tanggal 27 Mei 1988; Memutuskan Menetapkan, PERTAMA: SYARAT-SYARAT CALON DAN PROSEDUR PENCALONAN REKTOR UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA, sebagai berikut: Pasal 1 Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon Rektor Universitas Kristen Satya Wacana adalah sebagai berikut: 1. Warganegara Republik Indonesia yang berjiwa Pancasila dan beragama Kristen; 2. Tidak sedang menjalani siasat dari Gerejanya. 3. Bergelar Doktor atau Sarjana yang sudah menduduki pangkat Lektor Kepala golongan IV/b, sesuai dan atau berpedoman PGPS 1977. 4. Pernah menjabat pimpinan dalam suatu lembaga dan mendukung dasar dan tujuan Satya Wacana. 5. Memiliki kepribadian yang sesuai dengan jabatan Rektor, terutama mengenai integritas, dedikasi, kreativitas dan dinamika. 6. Berani menengakkan, mempertahankan serta membela keadilan, kejujuran dan kebenaran. 7. Mempunyai prestasi akademik atau prestasi profesional yang baik. 8. Tidak menjadi anggota organisasi yang dilarang oleh Pemerintah Republik Indonesia. 9. Bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal di Salatiga selama memangku jabatan Rektor. 10. Tenaga tetap atau bersedia menjadi tenaga tetap pada Universitas Kristen Satya Wacana.
http://slamethdotkom.wordpress.com
255
[email protected]
Pasal 2 Prosedur pencalonan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana adalah sebagai berikut: 1. Panitia Pemilihan calon Rektor terdiri dari Sekretaris Senat sebagai Ketua Panitia dan dua orang Senator yang dipilih oleh Senat. 2.a. Ketua Senat memberitahukan kepada semua Unit/Fakultas kapan rapat Senat pemilihan calon Rektor akan diadakan. b. Pemberitahuan itu diberikan paling lambat empat minggu sebelum rapat Senat tersebut diadakan. 3. Ketentuan tentang syarat-syarat calon dan prosedur pencalonan Rektor disebar-luaskan kepada semua Unit/Fakultas oleh Ketua Senat, bersamaan dengan ketentuan dalam butir 2.b tersebut di atas. 4. Pemilihan calon Rektor dilakukan dalam setiap dua tahap: a. Di tingkat Unit/Fakultas untuk memilih calon yang akan diajukan Unit/Fakultas ke Senat. b. Di tingkat Senat untuk memilih calon yang akan diajukan kepada Pengurus Yayasan. 5. Di tingkat Unit/Fakultas diadakan pemilihan calon untuk memilih calon yang bersedia. Calon tersebut tidak harus dari Unit/Fakultas yang bersangkutan. 6.a. Nama calon terpilih disertai lampiran pernyataan kesediaan dicalonkan dari calon yang bersangkutan kepada Panitia Pemilihan dalam amplop tertutup paling lambat satu hari sebelum rapat Senat pemilihan calon Rektor. b. Apabila Unit/Fakultas tidak berhasil memilih seorang calon, hal itupun dilaporkan kepada Panitia Pemilihan Calon Rektor dengan cara yang sama. c. Amplop-amplop itu dibuka oleh Panitia Pemilihan Calon Rektor sebelum rapat pemilihan calon Rektor (taraf nominasi). 7.a. Rapat senat pemilihan calon Rektor dipimpin oleh Sekretaris Senat dengan dibantu oleh dua orang Panitia Pemilihan. b. Pengurus yayasan diundang dalam rapat tersebut. 8. Rapat sah: a. Kalau dihadiri oleh paling sedikit 2/3 jumlah anggota yang berhak suara. b. Kalau yang hadir kurang dari 2/3 jumlah anggota yang berhak suara rapat ditunda 30 menit. Sesudah penundaan 30 menit, rapat itu sah tanpa memperhatikan jumlah yang hadir. 9. Dalam taraf nominasi, Panitia Pemilihan Calon Rektor mengemukakan nama-nama calon yang telah disampaikan kepada Panitia dengan cara tersebut pada butir 6 diatas. Apabila dari hasil nominasi ternyata ada calon lebih dari dua, pemilihan dilakukan bertahap: a. Kalau ada n calon, yang boleh diteruskan pencalonannya ialah yang mendapat lebih dari 1/n dari yang mempunyai hak suara. b. Kalau ada dua calon: 1) Calon yang mendapat 75% atau lebih dari jumlah suara yang hadir, diajukan kepada Pengurus sebagai calon tunggal. 2) Kalau masing-masing mendapat suara kurang dari 75% dari jumlah suara yang hadir, keduaduanya diajukan kepada Pengurus sebagai calon-calon Rektor. 10.a. Paling lambat 4 bulan menjelang saat habisnya masa jabatan Rektor, Senat sudah
http://slamethdotkom.wordpress.com
256
[email protected]
mengajukan calon Rektor kepada Pengurus. b. Paling lambat sebulan sesudah menerima nama-nama calon, Pengurus sudah menentukan pilihannya, supaya Rektor terpilih dapat mengikuti perkembangan kepemimpinan dari Rektor yang masih aktif. 11. Dengan tetap menghargai usul Senat dan pendapat-pendapat yang hidup dalam lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana, atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu, Pengurus berhak menolak calon yang diusulkan Senat dan mengangkat orang lain sebagai Rektor.
KEDUA: Memberi wwewenang sepenuhnya kepada Rektor untuk memilih dan mengangkat para Pambantu Rektor dengan memperhatikan suara-suara yang hidup di lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana. KETIGA: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. KEEMPAT: Dengan berlakunya surat keputusan ini, maka Surat Keputusan Dewan Pengurus Inti Nomor 71/A/DPT/80 tanggal 18 Juni 1980 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ditetapkan di: Salatiga Pada tanggal: 27 Mei 1988 DEWAN PENGURUS INTI YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN SATYA WACANA
Pdt. S. Djojdihardjo Ketua I
Drs. Melky Oe. Nganggoe Sekretaris I
Lampiran 2 LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN SATYA WACANA NOMOR 20/A.1/YSW/1990 TANGGAL 31 MEI 1990
http://slamethdotkom.wordpress.com
257
[email protected]
PERATURAN TENTANG SENAT UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA BAB I STATUS, FUNGSI, DAN TEBA TUGAS Pasal 1. Status. Senat adalah lembaga non-struktural yang merupakan perwakilan dan permusyawaratan tertinggi Sivitas Akademika Universitas Kristen Satya Wacana. Pasal 2. Fungsi. Senat berfungsi merumuskan pokok-pokok pikiran untuk kebijakan umum dan mengevaluasi pengelolaan Universitas Kristen Satya Wacana untuk diteruskan kepada Rektor dan Pengurus Yayasan. Dalam hal-hal tertentu, Senat menyampaikan pokok-pokok pikiran dan hasil evaluasi pengelolaan Universitas hanya kepada Dewan Pengurus Yayasan Satya Wacana. Pasal 3. Teba Tugas. (1). Dalam mewujudkan fungsinya, Senat berugas untuk: (a) mengusulkan claon Rektor kepada Dewan Pengurus. (b) mengusulkan claon Pembantu Rektor bila Rektor menghendakinya. (c) Mengusulkan pokok-pokok pikiran tentang: i. rencana induk dan strategi pengembangan jangka pendek dan panjang, ii. anggaran belanja dan pendapatan tahunan, iii. rancangan peraturan-peraturan yang mengatur tindakan dan kegiatan di lingkungan Universitas. (d) memberikan tanggapan tentang pokok-pokok seperti tersebut dalam (c) yang telah (e) (f)
disiapkan oleh Rektor dan diajukan kepada Senat. evaluasi kerja berkala. pembahasan masalah-masalah penting dan mendesak yang menyangkut kelangsungan Universitas.
BAB II KEANGGOTAAN, HAK, DAN KEWAJIBAN Pasal 4. Keanggotaan. (1) Senat beranggotakan:
http://slamethdotkom.wordpress.com
258
[email protected]
(a) Dekan Fakultas dan Ketua Jurusan di lingkungan FKIP. (b) Direktur Lembaga, Ketua Departemen, Direktur Unit Pelayanan terhadap kegiatan
pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian masyarakat. (c) Ketua BPMU dan ketua BKK. (d) Ketua Dewan Pegawai. (e) Rektor dan para Pembantu Rektor. (f) Tenaga edukatif senior di lingkungan UKSW yang telah mencapai sekurang-kurangnya
4 D serta mendapat persetujuan Senat, dalam bidang-bidang kepakarannya sebagai berikut: i. bidang sains dan teknologi. ii. bidang ilmu-ilmu sosial dan kependidikan. iii. bidang humaniora. Untuk masing-masing bidang hanya dapat diangkat maksimal 2 orang. Pasal 5. Pengangkatan. Anggota Senat diangkat dan diberhentikan oleh Rektor. Pasal 6. Masa Keanggotaan Anggota Senat. (1) Masa keanggotaan Anggota Senat sama dengan masa jabatan yang bersangkutan seperti tersebut dalam pasal 4 butir 1 a sampai e. (2) Masa keanggotaan Anggota Senat yang diangkat karena kepakarannya adalah 3 tahun. Pasal 7. Hak. Setiap Anggota Senat memiliki: (1) Hak mengeluarkan pendapat. (2) Hak suara diatur sebagai berikut: (a) unsur fakultas masing-masing 1 suara. (b) unsur perwakilan badan/lembaga/unit di lingkungan UKSW masing-masing 1 suara, kecuali Rektor dan Pembantu Rektor yang tidak mempunyai suara. (c) unsur perwakilan mahasiswa masing-masing 1 suara. (d) unsur perwakilan pegawai 1 suara (e) unsur kepakaran tidak mempunyai suara. (3) Hak usul tentang sesuatu hal untuk menjadi agenda rapat Senat yang diatur sbb.: (a) Usul tersebut berasal dari Senator. (b) Usul tersebut diajukan kepada Senat secara tertulis minimal seminggu sebelum Senat bersidang. (c) Usul tersebut merupakan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi dan teba tugas Senat. (d) Usul tersebut dibicarakan dalam rapat Senat untuk menentukan apakah usul tersebut dapat diterima menjadi agenda rapat Senat. Pasal 8. Kewajiban. (1) Setiap Anggota Senat berkewajiban untuk: (a) menghadiri rapat Senat.
http://slamethdotkom.wordpress.com
259
[email protected]
(b) melaksanakan tugas-tugas Senat. (c) membawakan, mewakili, dan menyampaikan pandangan pribadinya sesuai dengan
wawasan dan kepakarannya. (d) mendukung dan melaksanakan keputusan-keputusan Senat yang masih dalam batas-
batas wewenang di lingkungan Unit yang diwakilinya. (2) Ketidakhadiran Anggota Senat dalam rapat Senat karena tugas yang mendesak dan atau halangan-halangan lain diatur sebagai berikut: (a) Anggota Senat yang mewakili unit wajib mengutus seorang wakil dari unitnya. Wakil yang ditunjuknya harus membawa Surat Kuasa untuk menggunakan hak-hak Anggota Senat yang diwakilinya. Pemberitahuan tidak dapat hadir dari Anggota Senat yang bersangkutan dan Surat Kuasa disampaikna kepada Pimpinan Senat sebelum rapat Senat dimulai.
BAB III ALAT-ALAT KELENGKAPAN DAN AGIHAN TUGAS Pasal 9. Alat-alat Kelengkapan. Senat mempunyai alat kelengkapan sebagai berikut: (1) Pimpinan Senat, dan (2) Panitia. Pasal 10. Pimpinan Senat. (1) Pimpinan Senat terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris. (2) Ketua Senat adalah Rektor. (3) Wakil Ketua dan Sekretaris Senat dipilih oleh Senat dari anggota Senat selain Rektor dan Pembantu Rektor. (4)
Pemilihan wakil Ketua dan Sekretaris Senat masing-masing dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pencalonan nama-nama dan tahap pemilihan. (b) Hanya tiga dari calon yang memperoleh suara terbanyak masuk dalam tahap pemilihan. (c) Calon terpilih menjadi Ketua dan Sekretaris Senat, apabila mendapat suara lebih dari setengah jumlah anggota yang hadir dan mempunyai hak suara. (a)
(5) Wakil Ketua dan Sekretaris Senat diangkat oleh Rektor. (6) Masa jabatan Wakil Ketua dan Sekretaris adalah dua tahun. (7) Agihan tugas Pimpinan Senat diatur sebagai berikut: (a) Ketua Senat memimpin Rapat Senat Terbuka. (b) Wakil Ketua Senat memimpin Rapat Senat yang lain. (c) Sekretaris Senat mengundang Rapat Senat, merekam dan menyebarkan hasil-hasil
keputusan rapat Senat kepada Anggota Senat, serta menghimpun dan memelihara dokumen-dokumen milik Senat.
http://slamethdotkom.wordpress.com
260
[email protected]
(d) Apabila karena sesuatu hal Wakil Ketua Senat tidak dapat memimpin rapat Senat,
maka Sekretaris Senat memimpin rapat Senat. (e) Apabila Wakil Ketua dan Sekretaris Senat tidak dapat hadir, maka Anggota Senat yang ditunjuk Wakil Ketua Senat memimpin rapat Senat. (f) Apabila karena sesuatu hal Sekretaris Senat tidak dapat menghadiri rapat Senat, maka Pimpinan Senat menunjuk salah seorang Anggota Senat untuk merekam hasil-hasil keputusan rapat Senat. Pasal 11. Kepanitiaan. (1) Apabila dipandang perlu Senat membentuk Panitia untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang diputuskan oleh rapat Senat. (2) Panitia melaporkan hasil kerjanya untuk dikaji lebih jauh dan diputuskan dalam Rapat Senat. (3) Panitia mempertanggungjawabkan tugas-tugasnya kepada Senat. (4) Panitia memulai dan mengakhiri tugasnya berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Senat. BAB IV RAPAT-RAPAT Pasal 12. Tata Kerja Rapat Senat. (1) Senat berapat sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan atas undangan Pimpinan Senat. (2) Senat berapat atas prakarsa Pimpinan Senat atau permintaan tertulis dari sekurang-
kurangnya sepertiga dari jumlah anggota Senat. Permintaan tertulis tersebut ditunjukkan kepada Pimpinan Senat dengan tembusan kepada seluruh anggota Senat dan Pimpinan Senat wajib untuk mengundang rapat. (3) Rapat Senat sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota. (4) Rapat Senat dapat mengundang Dewan Pengurus Yayasan dan atau pihak-pihak lain bila dipandang perlu. (5) Masukan untuk rapat Senat sudah diterima anggota Senat selambat-lambatnya seminggu sebelum Senat berapat. (6) Keputusan diambil melalui musyawarah. (7) Apabila melalui musyawarah tak tercapai mufakat, keputusan diambil melalui pemungutan suara. Keputusan sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya separo tambah dari jumlah anggota yang hadir yang mempunyai hak suara. Penggunaan pemungutan suara sebagai jalan terakhir untuk mencapai keputusan dan caranya ditetapkan oleh Pimpinan rapat. Pasal 13. Tata Kerja Rapat Panitia. (1) Masa kerja Panitia ditetapkan oleh Rapat Senat. (2) Rapat Panitia dianggap sah apabila dihadiri oleh separo ditambah satu dari jumlah anggota. (3) Dalam berapat Panitia dapat mengundang orang atau badan lain bila dipandang perlu demi untuk perampungan tugas yang dibebankan Senat kepadanya. (4) Keputusan diambil melalui musyawarah.
http://slamethdotkom.wordpress.com
261
[email protected]
BAB V PENGGUNAAN HAK PREROGATIF REKTOR TERHADAP KEPUTUSAN RAPAT SENAT Pasal 14. (1) Sejalan dengan kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di lingkungan Universitas Kristen Satya Wacana, Rektor memiliki hak prerogatif. (2) Hak prerogatif ini hanya digunakan jika: (a) Keputusan-keputusan Rapat Senat ternyata bertentangan dengan kebijakan umum Dewan Pengurus. (b) Terjadi keadaan-keadaan luar biasa yang semula belum diperhitungkan rapat Senat dalam mencapai keputusan-keputusannya. (3) Jika dengan menggunakan hak prerogatif itu dipakai oleh Rektor, maka tindakan tersebut harus dikemukakan dan dijelaskan kepada Senat segera sesudahnya, atau di dalam rapat Senat berikutnya. BAB VI PENYAMPAIAN KEPUTUSAN RAPAT SENAT KEPADA REKTOR DAN ATAU DEWAN PENGURUS YAYASAN Pasal 15. Keputusan rapat Senat disampaikan kepada Rektor dan atau Dewan Pengurus Yayasan secara tertulis. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 16. (1) Usul perubahan peraturan ini hanya dapat diterima apabila disetujui oeh sekurangkurangnya dua pertiga anggota yang hadir. (2) Hal-hal yang belum tercantum di dalam peraturan ini akan diatur lebih lanjut oleh Senat sejauh tidak menyimpang dari jiwa peraturan ini. Pasal 17. Peraturan ini mulai berlaku sejak ditetapkan oleh Dewan Pengurus Yayasan.
DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN SATYA WACANA
Prof. Dr. Ir. Haryono Semangun
http://slamethdotkom.wordpress.com
Drs. Melky Oe. Nganggoe 262
[email protected]
Ketua Umum
Sekretaris Umum
PENJELASAN TENTANG PERATURAN TENTANG SENAT UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Pasal 1. : Senat UKSW bersifat konsultatif terhadap Rektor. Pasal 2. : jelas. Pasal 3. : jelas. Pasal 4. : (1). (g) : Tenaga edukatif senior yang dimaksud ialah selain Anggota Senat. i. sudah jelas ii. sudah jelas. iii. bidang humaniora misalnya Seni, Bahasa/Etika, Filsafat, dll. Pasal 5. : jelas. Pasal 6. : jelas Pasal 7. : (1) Di samping pendapat dari unit yang diwakilinya, sebagai seorang individu Anggota Senat dapat mengeluarkan pendapat yang mencerminkan wawasan dan hati nuraninya juga. (2) jelas. (3) jelas. Pasal 8. : jelas. Pasal 9. : jelas. Pasal 10 : Rapat Senat Terbuka adalah Rapat Senat untuk upacara-upacara Wisuda, Dies Natalis dan Pengukuhan yang dihadiri oleh seluruh Civitas akademika dan para undangan. Pasal 11: (1) Selain Anggota Senat, panitia dapat beranggotakan orang-orang yang bukan anggota Senat yang mendapat persetujuan dari Senat. Ketua Panitia sebaiknya adalah salah seorang Anggota Senat yang duduk dalam kepanitiaan tersebut. ` (2) jelas. (3) jelas. (4) Rektor akan mengakui pengangkatan dan jumlah beban tugas anggota panitia sesuai dengan SK Pimpinan Senat. Apabila ada Anggota Senat yang berhenti sebagai anggota Senat karena jabatannya berakhir, keanggotaannya dalam panitia akan dipertimbangkan oleh panitia. Pasal 12 : jelas. Pasal 13 : jelas. Pasal 14 : jelas. Pasal 15 : Keputusan rapat Senat ini mencakup tugas Senat seperti tercantum dalam Pasal 3. Pasal 16 : jelas Pasal 17 : jelas DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN
http://slamethdotkom.wordpress.com
263
[email protected]
SATYA WACANA Prof. Dr. Ir. Haryono Semangun Ketua Umum
Drs. Melky Oe. Nganggoe Sekretaris Umum
Lampiran 3 KEPUTUSAN DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN SATYA WACANA Nomor: 151/A/YSW/VIII/1996
http://slamethdotkom.wordpress.com
264
[email protected]
tentang KETENTUAN PENCALONAN, PEMILIHAN CALON DAN PENGANGKATAN REKTOR DAN PARA PEMBANTU REKTOR UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Pasal I KETENTUAN UMUM
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan 01. Badan Penyelenggara adalah Dewan Pengurus YPTKSW. 02. Badan Pelaksana Harian YPTKSW untuk Universitas Kristen Satya Wacana (BPH-Universitas) adalah Badan yang dibentuk oleh Dewan Pengurus YPTKSW untuk melaksanakan secara langsung fungsi dan tugas sehari-hari Badan Penyelenggara. 03. Panitia Khusus adalah panitia khusus penyiapan bakal calon Rektor yang dibentuk oleh DPYPTKSW. 04. Senat adalah Senat Universitas Kristen Satya Wacana. 05. Badan Perwakilan Mahasiswa adalah Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana. 06. Senat Mahasiswa adalah Senat Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana. 07. Dewan Pegawai UKSW adalah organisasi para pegawai bukan-dosen di lingkungan UKSW. 08. Pertimbangan Senat adalah pikiran-pikiran yang disepakati Senat mengenai kapabilitas masing-masing bakal calon Rektor yang disampaikan secara tertulis kepoda Badan Penyelenggara sebagai masukan. 09. Ukuran-ukuran empirik adalah operasionalisasi pemenuhan atas calon Rektor. 10. Rektor adalah unsur Pimpinan Universitas tertinggi dolam penyelenggaraan Perguruan Tinggi di Universitas. 11. Pembantu Rektor adalah unsur Pimpinan Perguruan Tinggi Universitas. 12. Hasil suara 50% tambah 1 adalah 50% dari jumlah suara yang hadir, ditambah 1 suara. Apabila 50% hasil suara itu, nilainya pecahan maka hasil suara tersebut dibulatkan ke atas. 13. Menteri adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pasal 2 SYARAT-SYARAT CALON REKTOR Syarat-syarat Calon Rektor adalah sebagai berikut:
http://slamethdotkom.wordpress.com
265
[email protected]
01. Warga Negara Republik Indonesia yang taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berwawasan kebangsaan serta tidak terlibat dalam organisasi terlarang. 02. Orang Kristen yang taat, berwawasan teologis Alkitabiah dan bersemangat ekumenis. 03. Anggota sah dan salah satu Gereja Pendukung YPTKSW dan tidak berada di bawah penggembalaan khusus gerejanya. 04. Tenaga tetap atau bersedia menjadi tenaga tetap YPTKSW dan berdomisili di Salatiga. 05. Berpendidikan Sarjana dan diutamakan yang mempunyai jenjang fungsional akademik minimal Lektor. 06. Memahami, menghayati serta mentaati Visi dan Misi UKSW dan mampu menerjemahkannya secara kreatif ke dalam program-program yang realistik 07. Mempunyai pengalaman positif dalam melaksanakan tugas keorganisasian dan hubungan kemanusiaan di lingkungan UKSW dan atau di luar UKSW 08. Mempunyai kemampuan dalam hal manajemen organisasi di lingkungan UKSW dan atau di luar UKSW 09. Mempunyai kemampun mencari dana untuk kepentingan UKSW 10. Mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan bernegosiasi. 11. Berkelakuan baik, mempunyai integritas, rendah hati, mempunyai komitmen yang tinggi kepada UKSW, tegas dalam bertindak, adil dalam pengambilan keputusan. 12. Berusia sedapat-dapatnya maksimal 56 tahun pada saat pelantikan sebagai Rektor. 13. Sehat jasmani dan rohani. 14. Bersedia bekerjasama dengan Dewan Pengurus YPTKSW sesuai tugas Rektor dan ketentuan yang berlaku. Pasal 3 TATA CARA PENCALONAN BAKAL CALON REKTOR Tata cara pencalonan bakal calon Rektor adalab sebagai berikut: 01. Badan Penyelenggara membentuk Panitia Khusus yang terdiri atas orang-orang yang mewakili Badan Penyelenggara 2 (dua) orang, Senat 2 (dua) orang, BPMU 1 (satu) orang, SMU 1 (satu) orang, Dewan Pegawai 1 (satu) orang dan menyusun struktur Panitia Khusus dengan susunan sebagai berikut: Ketua 1 (satu) orang, Sekretaris l (satu) orang dan para anggota. Wakil-wakil tersebut ditunjuk oleh masing-masing lembaga yang bersangkutan secara tertulis. 02. Sebelum melaksanakan tugas, Panitia Khusus mengucapkan janji di hadapan Dewan Pengurus YPTKSW c.q. BPH-Universitas untuk melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. 03. Panitia Khusus mencari bakal calon-calon Rektor dengan berpendoman pada syarat-syarat calon Rektor dan ukuran-ukuran empirik dari Badan Penyelenggara. 04. Apabila ada anggota Panitia Khusus yang termosuk bakal calon Rektor, keanggotaannya digantikan oleh lembaganya.
http://slamethdotkom.wordpress.com
266
[email protected]
05. Panitia Khusus meminta kesediaan tertulis dari para bakal calon Rektor potensial untuk dicalonkan dan melengkapi syarat-syarat yang diperlukan. 06. Bakal calon-calon Rektor yang memenuhi persyaratan dan ukuran-ukuran empirik dan bersedia untuk dicalonkan, didiskusikan di dalam Panitia Khusus untuk menentukan kadar peluang masing-masing bakal calon Rektor untuk dicalonkan sesuai dengan syarat-syarat calon Rektor. 07. Berdasarkan hasil diskusi Panitia Khusus mengenai kadar peluang masing-masing bakal calon Rektor kemudian ditentukan minimal 2 (dua) orang, maksimal 3 (tiga) orang bakal calon Rektor menurut kadar peluangnya masingmasing dan selanjutnya disampaikan kepada Badan Penyelenggara melalui BPH-Universitas secara tertulis. 08. BPH-universitas menyampaikan bakal calon Rektor tersebut secara tertulis kepada Senat untuk dimintakan pertimbangan Senat secara tertulis. Tembusan kepada Badan Penyelenggara. 09. Senat mendiskusikan kapabilitas masing-masing bakal calon Rektor dengan mengacu kepada syarat-syarat calon Rektor. 10. Senat menyampaikan secara tertulis pertimbangan-pertimbangan yang dirumuskan dalam rapat Senat tersebut kepada Badan Penyelenggara melalui BPH-Universitas.
Pasal 4 TATA CARA PEMILIHAN CALON REKTOR Setelah semua ketentuan pasal 3 (tiga) ayat 01 sampai 10 terpenuhi maka: 01. Badan Penyelenggara meminta dua atau tiga orang bakal calon Rektor menulis makalah mengenai gagasan-gagasan dan pokok-pokok program yang akan dilakukannya bila terpilih menjadi Rektor. 02. BPH-Universitas menilai makalah dari para bakal calon Rektor untuk menentukan kualifikasi masing-masing calon. 03. BPH-Universitas melakukan percakapan dengan masing-masing bakal calon Rektor mengenai hal-hal yang relevan dengan tugas dan tanggungiowob kerektoran. 04. Badan Penyelenggara mengadakan rapat khusus untuk: 1. mendiskusikan laporan Panitia Khusus. pertimbangan-pertimbangan Senat, hasil penilaian BPH-Universitas atas makalah para bakal calon Rektor, hasil percakapan BPH-Universitas dan pertimbangan-pertimbangan masing-masing anggota Badan Penyelenggara. 2. melakukan pemilihan calon Rektor secara bebas, rahasia dan bertanggungjawab. 05. Dengan memperhatikan hasil diskusi tersebut pada butir (04), masing-masing anggota Badan Penyelenggara secara jujur, behas, rahasia dan
http://slamethdotkom.wordpress.com
267
[email protected]
bertanggungjawab memilih calon Rektor. 06. Bakal calon yang memperoleh minimal 50% tambah 1 suara dari jumlah suara yang hadir ditetapkan sebagai calon Rektor terpilih. 07. Apabila pada pemilihan pertama calon Rektor tidak ada calon yang memperoleh suara minimal 50% tambah 1 suara dari jumlah suara yang hadir, rapat diskors sementara sebelum dilakukan pemilihan kedua. 08. Apabila pada pemilihan kedua belum juga dicapai calon Rektor yang memperoleh suara 50% tambah 1 dari jumlah suara yang hadir, dan terdapat tiga bakal calon, maka dilakukan pemilihan ketiga terhadap dua orang calon yang mendapat suara lebih banyak 09. Apabila pada pemilihan ketiga belum juga dicapai calon Rektor yang memperoleh suara 50% tambah 1 dari jumlah suara yang hadir, maka Dewan Pengurus menenetapkan calon Rektor melalui musyawarah untuk mufakat.
Pasal 5 PENGANGKATAN REKTOR 01. Setelah ada calon Rektor terpi/ih selanjutnyo Badan Penyelenggara meneruskan calon Rektor terpilih kepada Menteri untuk persetujuan beliau. 02. Agar cukup waktu untuk mempero/eh persetujuan Menteri, maka paling lambat tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Rektor, Dewan Pengurus YPTKSW sudah menentukan calon Rektor terpilih. 03. Setelah ada persetujuon Menteri, Badan Penyelenggara mengangkat calon Rektor terpilih menjadi Rektor untuk periode kerektoran berikut dengan Surat Keputusan.
Pasal 6 PEMILIHAN DAN PENGANGKATAN PARA PEMBANTU REKTOR Badan Penyelenggara memberikan wewenang kepada Rektor untuk memilih dan mengajukan para calon Pembantu Rektor untuk diangkat Badan Penyelenggara dengan Surat Keputusan dengan memperhatikan Ketentuan Statuta Universitas.
Pasal 7 PENUTUP 01. Dengan berlakunya Surat Keputusan ini, maka semua Surat Keputusan yang menyangkut Tata Cara Pencolonan, Pemilihan Calon dan Pengangkatan Rektor serta Pembantu Rektor Universitas Kristen Satya Wacana dinyatakan tidak berlaku lagi. 02. Surat Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan. Dan bila
http://slamethdotkom.wordpress.com
268
[email protected]
kemudian ternyata terdapat kekeliruan di dalamnya segera akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: Salatiga Pada tanggal 30 Agustus 1996
DEWAN PENGURUS YAYASAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN SATYA WACANA
Pdt. Prof. Sri Wismoady Wabono, Ph.D
Julius Saludung, S.H.
Ketua Umum
Sekretaris Umum
http://slamethdotkom.wordpress.com
269
[email protected]
Di Mana Mereka Sekarang (bab ini belum selesai, kalau Anda tahu keberadaan mereka yang terlibat bentrok di UKSW, harap hubungi saya di
[email protected] dan menulis UKSW di bagian subjek)
Arief Budiman, diangkat sebagai professor di University of Melbourne, salah satu universitas terbaik di Australia. Ariel Heryanto, mengajar di University of Melbourne. Bintoro Gunadi, bekerja di PT Sosro sekeluar dari UKSW. Sekarang menjadi peneliti di salah satu universitas di Amerika Serikat. Budi Kurniawan, penulis buku ini, sekarang menjalani hidup bebas asap rokok di Sydney, Australia. Danang, ICW, Jakarta. Eddie Wie, bekerja di perusahaan swasta di Jakarta. Ferryanto, tinggal di Windsor, Kanada dan bekerja di Detroit, AS. Tiap hari dia menyetir lintas batas ke tempat kerjanya, dan kembali ke rumahnya di mana istrinya, Ningsih, dan dua anak lelakinya menunggu. John Ihalauw John Titaley, menjadi rektor ke-5 UKSW. Rocky Sapto Prasetyo, mantan mahasiswa FT UKSW angkatan 1990, tidak diketahui rimbanya.
http://slamethdotkom.wordpress.com
270
[email protected]
HASIL REKAMAN DISKUSI BUKU "KEMELUT UKSW" (tulisan Budi Kurniawan)
Pembukaan oleh Pak I Made Samiana :
Saya senang kita semua sehat-sehat, tidak stroke. Sesuai dengan undangan, kita mediskusikan buku itu. Saya tidak tahu apakah nama forum ini. Yang penting kita berdiskusi bersama, dengan pengulas Mas Tono dan Mas Totok, moderator Pak Wisnu. Kita mulai sekarang, silahkan .....
Moderator (Wisnu Tri Hanggoro) :
Ya baik, terima kasih Pak Sam . Ibu, bapak-bapak dan saudara-saudara, selamat pagi, selamat datang, selamat bertemu kembali. Yah, entah apa namanya, mau saya katakan sebagai pertemuan KPD dalam kenyataannya KPD secara formal mestinya sudah tidak ada lagi, sejak ada akta perdamaian. Tapi toh roh KPD sendiri masih ada. Nah, salah satu wujud dari KPD masih bisa tetap kita rasakan antara lain adalah dengan timbulnya draft ini, yang sampai sekarang sebenarnya belum ada judulnya. Jadi judul ini judul sementara yang direka-reka oleh seseorang, bukan dari penulisnya, kemudian diberikan untuk draft buku ini. Juga halaman-halamannya sampai sekarang belum urut. Jadi nanti kalau misalnya dalam diskusi harus mengacu ke halaman mana, kita akan kesulitan. Ya, mungkin kita coba saja bagian bab mana, kemudian baru kita masuk. Seperti yang disampaikan oleh Pak Sam tadi, dihadapan kita hadir dua orang pengulas dari buku ini, yang akan memberikan pengantar dan mungkin juga sekaligus kritik-kritiknya kalau ada, yaitu Pak Pradjarta dan Pak Tono. Dan tentu ulasan ini akan berkembang, setelah saudara-saudara, ibu dan bapak nanti akan menambahkan dalam diskusi ini. Nah, untuk mempersingkat waktu, saya berikan kepada Pak Pradjarta dulu ........
http://slamethdotkom.wordpress.com
271
[email protected]
Pengulas I (Pradjarta DS)
:
Saya dulu ? Terima kasih Pak Wisnu .... Saya harus mulai dari mana, karena waktu saya lihat undangan, saya mengharapkan bisa nggantung/nggandul pada Mas Tono, dan saya yang kedua. Bapak-bapak dan ibu, saya membaca draft ini kira-kira enam bulan yang lalu, saya kira, waktu draft ini diedarkan oleh Pak Bintoro. Waktu itu saya diberi pinjaman untuk empat hari, tapi sebelum saya sempat selesai, lalu diminta kembali karena ada teman lain yang ingin membaca draft dari Pak Budi ini. Kemudian tadi malam saya coba lagi untuk membaca, tapi ya hanya bisa sampai kira-kira tigaperempatnya, tidak bisa selesai walaupun saya mulai membaca sore sampai kira-kira setengah tiga. Jadi, kalau Pak Tono tadi sampai jam dua, saya sebenarnya lebih lama setengah jam dari dia . Saya ingin memberi kesan-kesan umum dulu. Tentu judul ini bukan dibuat oleh yang menulis atau yang membuat tulisan, sehingga kalau dikatakan ada catatan yang tercecer dari kemelut UKSW, saya melihat itu bukan suatu catatan yang tercecer, tapi itu suatu kompilasi yang lengkap dari berbagai informasi yang tersedia sebenarnya, khususnya lewat surat-surat kabar. Dan, saya ingin menghargai inisiatif dari penulisnya, yang kalau dilihat sepintas saja sudah nampak bahwa cukup berusaha untuk memakai sebanyak mungkin sumber yang tersedia. Nah, tentu penilaian apakah usaha itu memenuhi harapan kita bersama atau tidak, itu soal lain, tapi saya ingin menghargai itu. Yang kedua, dan saya kira, itu juga menjadi salah satu kekuatan dari buku ini. Karena buku ini konteksnya kan suatu pergerakan, dan yang menulis terlibat di dalamnya. Sehingga kalau saya bayangkan orang harus menulis dalam suasana begitu, pasti dia sangat sulit untuk melepaskan dari yang subyektivitas, yang terlalu ekstrim , walaupun ini juga sekaligus kritik saya, kekecewaan saya terhadap buku ini, karena jatuh pada kompilasi-kompilasi yang benang merahnya kadang-kadang tidak jelas, tapi juga nuansa-nuansa penting penting yang ada itu menjadi kabur. Ini saya menduga merupakan akibat dari suatu usaha yang sungguh dari yang bersangkutan, untuk sedapat mungkin mau bersikap netral, sehingga sangat takut memberi
http://slamethdotkom.wordpress.com
272
[email protected]
interpretasi, sangat takut memberi satu visi penulisnya sendiri. Waktu saya bicara dengan Pak Bintoro, Pak Bintoro memang mengemukakan ini. Bahkan kemarin, tiga hari yang lalu, waktu saya telepon dia, dia masih juga mengatakan tolong sampaikan bahwa buku ini sebenarnya supaya diperhitungkan bukan hanya dari visinya KPD, karena yang bersangkutan juga berusaha untuk mengintervieww teman-teman, bukan teman-teman ... saya salah untuk memakai kata itu, tapi dari pihak PPU, dari kedua belah pihak. Nanti orang pikir saya sudah masuk kubunya PPU ..... Itu catatan saya yang kedua. Nah, yang ketiga. Yah, tadi malam sebenarnya kelelahan yang saya rasakan, yang pertama tentu karena saya tidak dalam keadaan 'fresh'. Minggu ini dengan Pak Wisnu dan Pak Indra dan sebagainya sibuk ke Yogya, pagi hari berangkat malam hari baru pulang. Tapi juga kelelahan membaca ini, bersumber dari ya tidak diatur secara kronologis, walaupun tidak harus sebenarnya satu tulisan itu mengikuti kronologis seperti apa kenyataannya, orang bisa pakai flash-back dan sebagainya, tapi kelihatannya entah itu sistem komputer yang menyebabkan ini terjadi, potongan-potongan itu diletakkan begitu saja. Menjadi satu kesatuan memang, tapi dari segi tata urut, apa peristiwanya menjadi hilang, dan ini sangat sulit sekali bagi orang untuk mengikuti jalan ceritanya. Jadi tersendat-sendat begitu.Bahkan misalnya saja persoalan PPU, sebenarnya ada pertanyaan yang tentu harus dijawab oleh buku ini, mengapa PPU lahir. Ya, PPU itu sebenarnya satu strategi saja dulu untuk mementahkan persetujuan Kaliurang misalnya. Ini kalau penafsiran ini benar. Tapi usaha untuk memperjelas itu saya kira harus dibuat. Catatan saya berikutnya, kalau saya membaca buku ini memang jadi Arief sentris. Ya, saya bisa mengerti karena sumber yang dipakai adalah sumber koran, dan saya kira peran daripada wartawan yang ingin juga korannya menjadi laku.Karena ya, kalau memberitakan Pradjarta sih tidak ada orang beli, tapi kalau Arief Budiman gampang oplag itu didongkrak ke atas. Mengapa ini, saya kira, menurut saya itu merupakan suatu kelemahan ? Karena persoalan Satya Wacana bagi saya, bukan hanya persoalan pemecatan terhadap Arief, dan kalau saya lihat dari buku ini, ini juga nyata sekali pada akhir itu seolah-olah ditutup juga dengan selesainya kasus Arief atau menangnya kasus Arief. Padahal ada beberapa hal yang
http://slamethdotkom.wordpress.com
273
[email protected]
menjadi, saya kira bagi pembaca, pasti juga ingin tahu sebenarnya apa yang menjadi persoalan mendasar yang ada di dalam atau dibalik kemelut Satya Wacana itu. Tentu kritik saya itu tidak sepenuhnya benar, karena pada awalnya juga cukup dibahas tentang diskusi mengenai pemilihan rektor, tentang apa kemelut yang sudah ada di senat dan sebagainya itu, tapi kalau dilihat secara keseluruhan memang masih, pada hemat saya, terlalu Arief sentris. Misalnya ada beberapa persoalan mendasar yang saya kira perlu juga diangkat ke permukaan, misalnya diskusi tentang sentralisasi dan desentralisasi, pertentanganpertentangan yang bersumber di situ misalnya, di fakultas-fakultas, di pasca sarjana, lalu penggunaan kekuasaan pemaksaan dari atas, itu saya kira bisa diletakkan dalam tema semacam itu. Nah, kalau baca ini kita tidak dapatkan itu. Yah, saya bisa kasih contoh Fakultas Hukum misalnya, oleh karena saya sangat mengenal situasi di situ, di sana pecah menjadi masalah yang serius di lingkungan fakultas, pada saat rektor memaksakan Danny Zakharias masuk ke Fakultas Hukum, dan diterima oleh fakultas ini sebagai suatu pemaksaan, suatu pengingkaran terhadap kewenangan fakultas atau tradisi yang sudah selama ini dipakai dan sebagainya. Soal semacam ini pada hemat saya juga toh dialami di Pasca Sarjana. Reaksinya dulu sebenarnya lebih juga diwarnai oleh persoalan itu, dan kita bisa mengambil contoh-contoh semacam ini di berbagai macam fakultas. Kalau saya pahami di Fakultas Theologia juga demikian, ada unsur semacam ini, dan itu pada hemat saya luput dari perhatian si penulis. oleh karena fokusnya lalu lebih menjadi ceritera tentang Arief. Saya tidak anti Arief, tentu saja, artinya saya tidak ingin itu dikeluarkan, karena kita harus juga mengakui sumbangan daripada figur Arief, dan itu juga dari banyak segi punya peran penting juga. Tetapi tentu jangan, tidak harus itu menutup beberapa, ya kalau saya katakan, 'mutiara-mutiara lain' yang bisa disalurkan ke atas. Yah, saya sering berpikir bahwa dalam proses kemelut ini, bagaimana dulu KPD menghentikan perjuangannya itu. Itu suatu situasi yang unik pada hemat saya, pergumulan yang berat yang dialami oleh kita bersama, sehingga masing-masing mengambil keputusan untuk terus atau tidak terus, atau kapan harus berhenti. Tentu itu dipengaruhi oleh perbedaan antara perbedaan pemahaman tentang situasinya, dan juga harapan dan kalkulasinya. Tetapi
http://slamethdotkom.wordpress.com
274
[email protected]
pada hemat saya ini juga merupakan salah satu mutiara yang perlu untuk dicerminkan dalam buku ini. Bagaimana masing-masing kelompok begitu .... saya sangat terkesan pergumulannya Ferryanto misalnya, dengan segala perhitungannya dia dia mengatakan 'oke, saya cukup sampai di sini', dan itu kita terima. Tapi bagaimana negosiasi-negosiasi itu terjadi, dan ada temanteman lain juga yang berkata 'oke, saya cukup sampai di sini', ya hal-hal semacam itu juga bisa muncul di sini. Tentu saya bisa memahami karena sumber yang dipakai adalah koran, pergumulan-pergumulan semacam itu tidak muncul di dalam buku semacam ini. Jadinya akan lain misalnya, kalau buku ini merupakan suatu kumpulan dari tulisan para pelaku, kita bisa mengatakan para pelaku sejarah, dengan segala kompleksitas pergumulannya masing-masing. Itu juga salah satu alternatif, yang mungkin akan memberikan bentuk lain. Tapi mungkin gabungan dari itu juga masih bisa dibuat, artinya gabungan dari bahan yang sekarang sudah dikerjakan dan disediakan oleh saudara Budi, dengan kemungkinan revisinya, dengan lebih banyak mencoba memperhatikan pergumulan-pergumulan yang bersifat individual. Tentu orang bisa mengatakan itu nanti akan sangat subyektif. Lho, kita tidak bisa meminggirkan subyektivitas itu pada titik nol, dan itu tidak menjadi satu kesalahan untuk juga diperhitungkan di dalam buku semacam ini. Saya kira karena tadi Pak Made bilang kita itu kan hanya untuk memberi pengantar singkat, saya kira cukup di sini. Matur nuwun, Pak Wisnu .
Moderator
: Baik, terima kasih Pak Pradjarta.
Saya kira sangat jelas apa yang disampaikan Pak Pradjarta, dan sangat sistematis. Ada lima hal di situ, antara lain menyangkut subyektivitas penulis, kemudian kronologi dari tulisan ini, aspek Arief sentris, dan masalah pergumulan dari para pelaku sejarah dalam kegiatan gerakan KPD. Saya kira untuk menyingkat waktu, saya persilahkan Pak Sumartana bisa menyampaikan apa yang sudah dipersiapkan.
Pengulas II (TH. Sumartana)
:
http://slamethdotkom.wordpress.com
275
[email protected]
Ya, saya rasa memang kemelut UKSW sudah menjadi sejarah ya, sudah menjadi hal yang lewat. Tapi orang bilang katanya 'those who ignores history will be condemn to be repeated', mereka yang melupakan sejarah akan dikutuk hukum untuk mengulanginya kembali. Jadi saya pikir memang penting untuk memberi semacam perhatian yang agak serius, tentang apa sebenarnya makna peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu itu di UKSW, dan kita memang sudah sangat dibantu oleh Budi dengan tulisan ini, yang memang seperti dikatakan oleh Mas Totok tadi, memang banyak sekali semacam kekurangankekurangan yang justru tidak lengkap untuk melukiskan apa yang sebenarnya terjadi pada kemelut UKSW tersebut. Saya mulai dengan pendekatan sejarah. Dalam pendekatan sejarah itu ada dua mazhab atau dua aliran, yang sangat berpengaruh untuk membuat semacam apa yang disebut rekonstruksi dari peristiwa-peristiwa sejarah. Untuk gampangnya saya sebut saja menjadi: pemahaman/aliran/mazhab dari atas, yang kedua mazhab/aliran dari bawah. Aliran yang pertama, atau mazhab yang pertama, menyatakan bahwa sejarah itu merupakan peristiwa-peristiwa yang mengalir di sekitar orang-orang besar ya : para tokoh, pelopor, para genius, para penggagas, penguasa, pemimpin dan lain-lain. Merekalah yang dianggap menjadi pembuat sejarah yang sebenarnya. Jadi dengan kata lain sejarah pada dasarnya adalah sejarahnya orang-orang gede. Rakyat dan orang kebanyakan hanya dianggap sebagai bayang-bayang atau dekor atau paling-paling hanya figuran saja. Jadi ada pusat, ada pinggiran, ada figur yang terkenal dan ada massa yang anonim. Dan rakyat memang sudah diwakili, direpresentasikan oleh para tokoh tersebut. Jadi, kalau dalam penulisan sejarah Indonesia, kita lihat bahwa cerita tentang rakyat Indonesia tidak ada, tetapi yang ada hanya Soekarno-Hatta, Syahrir dan lain-lain. Jadi sejarah Indonesia adalah sejarahnya Soekarno-Hatta, Syahrir dan lain-lain. Tidak ada peristiwa yang sesungguhnya terjadi di kalangan rakyat sendiri. Sejarah Cina adalah sejarahnya Mao, India adalah Gandhi, dan Amerika adalah Thomas Jefferson, Lincoln dan lain-lain. Itu suatu sejarah yang biasanya dianggap sebagai...... yang selama ini memang sudah banyak dikritik. Yang kedua, sejarah dari bawah adalah sejarah yang memang tidak monosentris ya, tetapi sejarah yang berakar pada rakyat, pada massa. Dan terutama yang disebut 'under-curent'
http://slamethdotkom.wordpress.com
276
[email protected]
dari sejarah itu, memang merupakan sejarah yang sebenarnya. Jadi sejarah dari kolektivitas dari seluruh masyarakat itu, itu yang disebut sejarah yang sesungguhnya. Jadi, kalau ada ombak ada buih, ada orang yang kayaknya nampak di permukaan, itu hanya salah satu ekspresi dari 'undercurent' tadi, dari sejarah yang sesungguhnya, dari massa yang sesungguhnya, dari rakyat yang sesungguhnya. Jadi pelaku atau protagonis yang sesungguhnya dari sejarah adalah masyarakat, yang sebenarnya mempunyai banyak pusat, jadi tidak monosentris akan tetapi polisentris. Sejarah menjadi sejarah yang tidak lagi bersentral pada tokoh-tokoh di istana, akan tetapi menjadi sejarah lokal, yang banyak, dan merupakan gerakan dari rakyat itu sendiri. Dan rekonstruksi dari peristiwa sejarah yang sedemikian, memang tidak lagi dibangun atas dasar ketokohan dari orang-orang, tetapi didasarkan atas kejadian-kejadian itu sendiri, pada peristiwa-peristiwa yang menyangkut seluruh masyarakat itu sendiri. Itu pemahaman sejarah yang kira-kira ada diskrepansinya. Dan memang saya pikir penulis-penulis sejarah yang ada, kadang-kadang memang tidak konsisten dengan teori-teorinya sendiri ya, misalnya kita melihat sejarah Rusia yang seharusnya ditulis dalam perspektif sosialis-marxis, yang menekankan sejarah rakyat, tapi pada dasarnya kita melihat bahwa sejarah Rusia menjadi sejarahnya Lenin atau sejarahnya Marx, dan itu dengan gamblang kita bisa lihat di lapangan merah, yang setiap kali ada upacara atau segala macam itu, kepala Lenin jauh lebih besar daripada seluruh gambar tentang Rusia. Jadi ini memang banyak inkonsistensi dari hal-hal yang merupakan dasar pemahaman mengenai sejarah. Nah, memang saya agak setuju dengan ini, dengan Mas Totok tadi, saya membaca bukunya Budi ini yang nampak adalah tokoh-tokoh. Itu adalah seolah-olah identik fenomena kemelut UKSW menjadi fenomenanya Arief begitu, atau lebih kecil lagi fenomenanya Ariel, atau lebih kecil lagi mungkin fenomenanya Ferryanto. Jadi itu yang menjadi garis merah dari ini, sehingga banyak memang nuansa dari kemelut UKSW sendiri menjadi agak terselaput dengan ketokohan dan fenomena dari orang-orang ini. Padahal sebenarnya nuansa-nuansa dari kemelut Satya Wacana itu banyak sekali dan sangat kaya. Dan karena kemelut ini adalah kemelut sebuah universitas atau lembaga akademis, maka saya pikir kita harus sedikit banyaknya mempertanyakan hal ini : apa sebenarnya esensi atau substansi dari kemelut sebuah universitas ? Apakah dia mempunyai semacam karakteristiknya sendiri atau dia hanya
http://slamethdotkom.wordpress.com
277
[email protected]
merupakan bagian dari sebuah proses perubahan yang ada di masyarakat, dan menampungnya, akan tetapi tidak mampu dengan baik mengelolanya. Jadi, jelas saya tidak setuju sama sekali bahwa kemelut Satya Wacana hanya dilihat sebagai fenomena Arief Budiman. Terlalu kecil menurut saya. Dan mungkin saya dalam hubungan ini setuju dengan Parakitri bahwa setiap kali kita melihat peristiwa seperti itu, kita akan kehilangan hal-hal yang paling pokok dari kejadian itu sendiri, setiap kali kita hanya menempelkan sebuah peristiwa pada seorang tokoh, begitu. Jadi lebih daripada hanya fenomena Arief, JOI, Haryono Semangun, atau Liek Wilardjo, begitu ya. Karena seluruh interaksi dari kemelut UKSW itu melibatkan dan pada akhirnya juga akan memberi dampak yang besar sekali pada masa depan dari orang-orang yang terlibat ini. Jadi nuansa lain yang sebenarnya bisa dikemukakan adalah kenapa tidak ada pemaparan yang cukup jelas tentang konteks dari perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat luas, yang bisa diasumsikan mempengaruhi Satya Wacana sehingga timbul krisis tersebut. Jadi ada perubahan ekonomi, politik, ada masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam soal SARA misalnya, sehingga semuanya itu menjadi semacam agenda yang di 'brug'-ke begitu ke Satya Wacana, dan Satya Wacana sebagai sebuah lembaga nampak memang tidak siap menghadapi masalah-masalah tersebut. Dan memang juga tidak cukup ada semacam pemaparan tentang latar belakang kelembagaan dari UKSW sendiri. Jadi saya pikir perlu ada semacam analisis yang agak mendalam tentang organisasi atau Satya Wacana sebagai institusi, sehingga dengan demikian kita bisa menelusuri kenapa kemelut ini muncul. Karena ada kelemahan-kelemahan institusional, tidak ada antisipasi organisatoris terhadap masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi, sehingga kemudian memang seperti 'piring' dimuati terlalu banyak ya menjadi pecah, tidak bisa menampung. Dan saya pikir juga kemampuan, katakanlah kemampuan intelektual, kemampuan akademis, dari orang-orang Satya Wacana sendiri yang saya pikir juga belum mampu untuk berbeda pendapat, belum mampu mengelola perbedaan pendapat, dan ini barangkali juga merupakan kegagalan dari pendidikan di tahun limapuluhan - enampuluhan. Mereka tidak mempersiapkan intelektual-intelektual yang mampu untuk mengelola perbedaan pendapat,
http://slamethdotkom.wordpress.com
278
[email protected]
dan menurut saya intelektual tahun limapuluhan - enampuluhan sangat miskin di dalam pengalaman-pengalaman mereka menghadapi sistem-sistem pemikiran yang terbuka. Dan ini yang menyebabkan Satya Wacana gagal dan mengalami desintegrasi, karena secara intelektual mereka tidak siap menghadapi benturan-benturan pendapat dari mereka sendiri sebenarnya. Jadi, karena mereka tidak terlatih berbeda pendapat, biasanya mereka yang beda pendapat itu dieliminasi. Bila terjadi bentrokan yang tidak ada solusinya, yah logika dari sikap semacam ini adalah dieliminasi, jadi orang lain yang berbeda pendapat itu ya dia harus dihancurkan habis. Dan juga saya pikir nuansa yang perlu dianalisis lebih lanjut itu adalah tentang leadership. Saya pikir di sini, leadership dari khususnya UKSW sebagai universitas Kristen sangat lemah . Pola kepemimpinan di UKSW juga menurut saya tidak terlatih, tidak mampu, tidak dewasa, untuk menghadapi masalah-masalah kepemimpinan semacam ini. Dan hampir bisa dikatakan juga tidak memiliki visi yang jelas, apalagi juga tidak mempunyai referensi terhadap masalah-masalah baru yang akan dihadapi, khususnya menjelang abad XXI ini. Dan, khususnya kalau kita melihat kiprah dari gereja-gereja, kita sangat yakin bahwa baik kepemimpinan di Satya Wacana maupun gereja-gereja memang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat solusi-solusi terhadap masalah-masalah semacam ini : demokrasi, masalah desentralisasi, masalah bagaimana mengelola sebuah lembaga akademis yang mempunyai visi ke depan dan segala macam itu. Jadi karena ini tidak dibahas, dan barangkali juga saya tidak bisa menuntut banyak dari penulis, ini karena relatif dia juga tidak melakukan wawancara-wawancara yang teramat dalam tentang pemahamannya terhadap kemelut Satya Wacana itu sendiri. Sehingga seperti yang dikatakan oleh Mas Totok tadi, saya sangat setuju bahwa ini memang menjadi semacam komik 'kungfu', dengan Arief sebagai protagonisnya, JOI sebagai penjahat dan si Haryono Semangun, menurut saya, sebagai germo atau saya kira mucikari. Dan kita-kita ini hanya dekor saja, hanya figuran-figuran yang kecil-kecil di sana-sini. Itu jadinya ! Satu hal yang saya pikir penting, ini menurut persepsi saya, yang sangat penting yang juga dilupakan oleh Budi penulis ini, adalah peranan tentara. Saya itu begitu yakin bahwa sebenarnya kemelut UKSW ini tidak lain adalah hasil sebuah operasi intelejen tentara.
http://slamethdotkom.wordpress.com
279
[email protected]
Mengenai hal ini boleh diperdebatkan, tapi saya sangat yakin seperti sekarang ini. Dari hasilhasil yang sekarang ini ada, memang menunjukkan bahwa tentara memang masih kuat ya. Ada lima (5) bukti yang bisa saya kemukakan mengenai keterlibatan tentara itu : Pertama, mestinya pertemuan Kaliurang itu sudah mampu untuk memecahkan persoalan, dan sudah pada tingkat Wardiman. Di situ ada keterlibatan Radius, kemudian Haryono "mucikari' ini dan segala macam, kemudian sudah ada konsensus, tapi Suyono, Pangdam waktu itu, bilang "ini belum selesai!" Dan, betul apa yang dia katakan bahwa ini belum selesai, dan mentah lagi. Ini salah satu bukti ! Kedua, dalam wawancara-wawancara, baik sadar nggak sadar, langsung nggak langsung, kami berdua dengan Mas Totok mendapatkan informasi bahwa Wardiman tidak pernah berani untuk melangkah lebih jauh menyelesaikan Satya Wacana, padahal dia bermaksud untuk itu, karena tentara. Alasannya hanya karena tentara. 'Ada orang yang bermain dibelakang ini, tentara, dan saya nggak bisa apa-apa, sudahlah mau dibilang apa terserah. Saya tidak berani melangkah lebih jauh daripada langkah yang sudah secara formal dikemukakan oleh Wardiman'. Dan dia memang agak zig-zag ya, pertama dia setuju Kaliurang, kemudian berikutnya tidak dan segala macam ....dan segala macam, dan akhirnya memang mengambang dan menyerahkannya kepada tentara. Bukti ketiga, akhirnya kemelut Satya Wacana menjadi masalah orang-orang yang terlibat dalam G 30 S. Ini model, yang sebenarnya kita sudah kenal sekali, model yang sudah menjadi 'trade-mark'. Satya Wacana harus dihabisi dengan cara ini, dan biasanya cara ini efektif. Dan memang ketika soal G 30 S / PKI dimasukkan, sejak saat itu sebenarnya boleh dikatakan lumpuh seluruh diskursus yang terjadi di kemelut UKSW itu. Dan ini khas tentara ! Yang kempat, kami berdua ini, dengan Mas Totok ini, mungkin lima-enam kali bertemu sendirian dengan Komandan Korem Mulyono. Bertiga kami ngomong-ngomong, dan di situ memang sangat meyakinkan sekali dia mau membiayai, dia mau berbuat apa saja untuk mendamaikan antara KPD dan kubunya Yayasan dan sebagainya. Dia akan sewa hotel dengan biaya dia, dia akan menekan dan dia akan menjamin betul bahwa dosen-dosen akan dikembalikan bekerja. Kalau tidak dia akan, boleh dibilang, hantam Haryono Semangun dan JOI. Asal. lha ini asal, asal Arief dan beberapa orang lagi tidak usah diributkan lagi. Biarlah dia
http://slamethdotkom.wordpress.com
280
[email protected]
dipecat, diterima pemecatannya. Ini bisa di'check' sama Mas Totok di sini. Bisa dikemukakan sekarang. Kemarin-kemarin nggak pernah kita ngomong-ngomong soal itu. Ini lebih-lebih lagi meyakinkan kepada saya, bahwa ya memang maunya tentara Arief harus dikeluarkan dari Satya Wacana, dan itu yang kemudian melalui si 'mucikari' Haryono Semangun ini ya dilakukan pemecatan. Dan, yang kelima, saya yakin betul bahwa Yayasan dan Rektorat, Haryono Semangun dan JOI, tidak mampu bertahan seperti itu, ya seperti yang terjadi ini dari gempuran KPD, pers, masyarakat, gereja, tanpa dukungan kekuatan yang riel. Tentu dukungan, yang pasti akan disangkalnya, tapi saya tidak bisa membayangkan mereka berani bertahan tanpa dukungan tentara. Dan kami sebenarnya pada waktu Arief dipecat itu, kami berenam sudah datang ke Haryono Semangun. Dan saya sudah jelas-jelas bilang, Pak Sugeng ada di sini, ada Mas Totok, ada Pak Samiana, saya sudah bilang sama Haryono Semangun 'kalau anda memecat Arief, berarti anda memecah Satya Wacana'. Jelas-jelas dikatakan ! Cuma Haryono Semangun kan germo betul dia. Haryono Semangun menurut saya tipe dari intelektual yang bodoh, yang saya kemukakan tadi itu. Dan biang keladi dari kemelut UKSW, menurut saya, adalah Haryono Semangun. Dan dia orang yang harus bertanggungjawab terhadap proses desintegrasi dari UKSW ini. Dan dia memang tipe dari orang yang paling miskin pengalaman intelektualnya menghadapi pemikiran-pemikiran yang kritis dan terbuka, dari model yang saya sebut tadi, model intelektual yang menjerumuskan UKSW dalam perpecahan. Itu, dan Haryono Semangun waktu itu masih mengatakan begini, gilanya dan tidak tahu malunya itu, "saya jamin anda tidak akan dipecat", "anda-anda ini Pradjarta, George Aditjondro, Sugeng, saya, pak Samiana terus John Ruhulessin", enam orang kami datang ke sana, dia meyakinkan " saya betul-betul menjamin bahwa anda tidak akan dipecat, yang dipecat hanya Arief." Gila sekali ! Padahal yang kita persoalkan di sana adalah soal pemecatan Arief dan kriterianya itu lho : kenapa dia kok dianggap sebagai orang yang menjelek-jelekkan UKSW ? Kalau itu masih polemis artinya masih bisa dipersoalkan, kenapa nggak dipersoalkan, kenapa itu sudah menjadi keputusan ? Dan, kayaknya dia memang nggak mundur, dan saya sudah meraba saat itu dia sudah membuat semacam jual-beli begitu ya, seperti Yudas Iskariot, jual beli dengan penguasa tertentu untuk melakukan tindakan pengkhianatannya terhadap UKSW.
http://slamethdotkom.wordpress.com
281
[email protected]
Nah, saya rasa itu saja point-point yang saya kemukakan. Jadi, menurut hemat saya, buku ini lemah dalam soal analisis dan tidak mempunyai kerangka-bingkai yang jelas. Dia hanya mengemukakan dan hanya berdasarkan koran-koran. Dia tidak sadar bias dari koran-koran itu, dan juga misalnya peranan dari para mahasiswa itu kurang detail dia ungkapkan di sana. Jadi, kalau buku ini terbit, saya pikir, saya merasa bahwa justru KPD dirugikan dengan ini. Meskipun orangnya cukup semangat ya, mestinya KPD bisa diungkap sebagai sebuah peristiwa yang lebih serius daripada hanya seperti cerita silat. Jadi, saya pikir itu saja. Saya memang agak provokatif ya, supaya kita ada diskusi. Terima kasih .
Moderator
: Ya, terima kasih Pak Martono.
Kita tadi mendengar apa yang baru saja disampaikan Pak Martono. Beliau tidak saja memberikan alasan dan pandangannya terhadap buku ini semata. tetapi juga lebih dalam lagi mengenai kasus UKSW. Diharapkan kita bisa melihat tidak semata-mata dari cerita-cerita atau apa yang diungkapkan dari koran, tapi lebih dari itu adalah makna dari kemelut yang tidak semata-mata menggambarkan atau dibayang-bayangi oleh figur-figur, tokoh-tokoh tertentu, yang nampak sekali dalam buku ini menonjol dalam diri Arief-Ariel-Ferry, sementara kekuatankekuatan lain atau nilai-nilai lain kurang begitu ter'cover' di sana. Oke, saya kira biar lebih gayeng, di antara kita hadir beberapa tokoh, bukan tokoh tapi pelaku sejarah, ya semuanya pelaku sejarah, tapi banyak yang sudah mengalami langsung pahitnya kemelut ini, juga saya kira mengenal kemelut atau mengetahui kemelut ini sejak awal munculnya, ada Pak Liek, ada Pak Limson, Pak Meno dan tentu saja nanti kita semua.
------------------- s e l a ---------------------
Liek Wilardjo : Kedua, memang kita tidak bisa mengharapkan yang lebih dari penulis ini melihat keterbatasannya. Keterlibatannya dengan Satya Wacana juga belum seberapa. Dan kalau dilihat dari segi ini, ini juga bisa dianggap suatu prestasilah dari segi dia, diukur dari dia sendiri.
http://slamethdotkom.wordpress.com
282
[email protected]
Ketiga, saya melihat buku ini diusahakan oleh penulisnya untuk bersifat naratif dan komprehensif, walaupun tidak exhaustive. Dan jelas hanya dekriptif, hanya menggambarkan apa adanya seperti dia lihat, dia baca dan dia dengar, tidak lebih mendalam dari itu. Bahkan kalau mau dijadikan sungguh-sungguh komprehensif, menyeluruh, mencakupi hal-hal yang penting, pokok-pokok yang penting, ini perlu ditambahi dengan beberapa informasi. Saya sendiri mempunyai beberapa tambahan yang bisa dimasukkan, yang saya tahu betul karena saya alami sendiri. Kalau perlu nanti saya katakan kata-katanya. Lalu, berikutnya kalau KPD tidak puas dengan buku ini, dan saya kira cukup beralasan untuk tidak puas, sebaiknya jangan menyetop usaha penerbitan ini. Biar saja itu terbit, tapi harus ditandingi atau dilengkapi dengan versi KPD sendiri, yang lebih mendalam, dan latar belakangnya mungkin ditarik tidak seperti ini hanya pada saat Willy akan masuk periode kedua. Ini sejauh-jauhnya hanya sampai di situ. Tapi kita harus lebih jauh lagi sampai Sutarno akan turun, di situ sudah mulai soal Jawa - luar Jawa. Itu sudah muncul ! Dan tentu saja yang bisa menuliskan hal-hal seperti ini, ya orang-orang yang lebih lama bergumul dengan hal-hal itu di Satya Wacana. Tidak bisa orang seperti Budi ini. Oleh karena itu pertanyaannya apakah KPD punya semangat dan punya kegigihan untuk menyusun buku yang lebih bermutu itu. Tentu saja ini memerlukan kerja keras. Kalau jawabannya ya, secara kongkret saya mengusulkan supaya dibentuk team kecil, yang bertugas membuat kompilasi bahan, dan bahan itu sudah banyak yang ada. Dan kemudian secara berkala seminggu sekali, sebulan sekali, terserah begitu, membuat diskusi yang nanti berkulminasi pada draft. Tapi itu tentu akan memakan waktu yang cukup banyak, kerja keras dan tidak mudah. Tapi hasilnya tentu lebih baik. Tadi saya sebutkan ada beberapa hal yang bisa dipakai untuk membuat buku ini lebih komprehensif, dalam arti tidak melupakan pokok-pokok penting. Misalnya, apa yang terjadi ketika ada Dies Natalis dan Dies Natalis Tandingan. Itu ada informasi tambahan. Misalnya yang terjadi di rumah kami. Ada ancaman, lalu campur tangan polisi, ada dua orang polisi - sersan kepala, Sunarto dan Sugeng, yang menjaga rumah kami sampai sore itu, walaupun saya tidak minta perlindungan polisi. Saya hanya melaporkan bahwa ada ancaman-ancaman tentang
http://slamethdotkom.wordpress.com
283
[email protected]
pembunuhan dan sebagainya, dan mereka datang sendiri karena perintah atasan. Supaya pembaca tahu bahwa begitu jahatnya atau situasinya begitu jeleknya. Lalu saya kira, inti sari setidak-tidaknya atau kalau bisa lengkap, dari tulisan pendeta Karmite di Kairos itu perlu ditampilkan. Kemudian juga surat, yang saya kira bagus, yang disusun dan ditulis oleh Jay Losher kepada gerejanya itu harus ditampilkan juga. Itu bukti otentiknya ada, semuanya tertulis dan sudah diterbitkan. Lalu di majalah Kairos kan sudah terbit kemanamana. Hal-hal seperti itu bisa ditambahkan. Lalu hal kecil menyangkut diri saya itu bisa dikoreksi juga di sana-sini, saya tidak tahu karena dia tidak mewancarai saya. Misalnya, kalau saya dikatakan menjadi tutor anak-anak itu, nggak betul ya, hal-hal kecil tapi demi akurasi sebetulnya bisa dibetulkan. Kenyataannya justru anak-anak kami ketika masih sekolah itu, Saul lebih percaya kepada gurunya daripada kepada saya. Kalau saya mengkritik gurunya karena ini salah, karena keterangannya salah, mereka tidak mau terima itu atau kalaupun terima tetap mengerjakan PR-nya seperti yang dimaui guru, tidak seperti yang seharusnya yang betul. Juga tentang kutipan, mungkin kutipan uraian verbatim dari saya mengenai PLTN itu ada sedikit yang perlu direvisi. Tapi memang kita nggak bisa mengharapkan lebih dari ini, kecuali dipoles, sehingga 'train of thought' atau rentetan pikiran itu bisa enak gitu. Kalau ini kan kadang-kadang macet, lalu sudah ganti hal. Itu saya kira perlu editing, entah siapa yang akan mengerjakan, apakah KPD atau dia sendiri saya nggak tahu. Tapi kalau seperti apa adanya ini dipublikasikan, saya kira jelek sekali, jangan sampai. Terima kasih .
Moderator
: Ya, terima kasih Pak Liek.
Nah, Pak Liek mengingatkan saya pada teman-teman lain yang mungkin namanya juga disinggung di sini. Kalau ada tambahan dari para pelaku yang disebutkan, silahkan. Ingin menambahkan koreksi .......
http://slamethdotkom.wordpress.com
284
[email protected]
Liek Wilardjo : O ya, yang saya ingin sebutkan lagi, yang menurut saya dari segi moral itu perlu ditonjolkan, adalah sikap dan juga tindakan kongkret dari Hendra S. Kurnia. Dia bermain 'solo', tidak berlindung di bawah organisasi atau KPD atau apa. Dia berani bermain 'solo' ya, dengan sikapnya sendiri, dengan suratnya yang tajam kepada pengurus, bahkan sampai puasa mogok makan juga sendiri.Itu mulai, bukan hanya mulai sesudah kemelut, tetapi sebelumnya sudah mulai dengan peristiwa jelek 'JDL'. Itu sudah mulai ! Studi lanjut sampai terminasi program S3-nya, walaupun prestasi dia bagus sekali menurut profesornya, sebagai konsekwensi sikap moralnya. Sayang kalau itu tidak ditonjolkan, atau tidak masuk.
Moderator
: Oke, ada ... kalau tidak ... O, pak Indra silahkan .
Indra Budiman : Ya, kesan saya barangkali sama seperti yang sudah diungkapkan oleh Pak Pradjarta, Pak Tono dan Pak Liek Wilardjo. Cuma ada beberapa hal barangkali yang perlu saya tambahkan. Saya ingat pak Arief waktu kami sering bolak-balik ke Salatiga-Semarang pada saat sidang, pak Arief pernah sebenarnya juga mengusulkan seperti apa yang dikatakan pak Pradjarta tadi, kalau bisa barangkali setiap pelaku atau mereka yang bisa bercerita tentang kasus UKSW itu menulis, nanti ada yang mengedit. Jadi itu juga salah satu saran pak Arief pada saat kami ngobrol di mobil, pada saat menghadiri sidang. Itu tambahan seperti yang dikatakan pak Pradjarta. Tambahan lain, tadi Pak Liek menyinggung sekitar Dies Natalis Tandingan. Di sini di bab 12 halaman 2, itu tidak lengkap ya. Barangkali kalau si Budi bisa menanyakan secara detail, sebenarnya bukan hanya di Imambonjol. Seharusnya itu sudah dimulai pada pertemuan rapat mahasiswa di rumahnya Pak Sam, antara mahasiswa dan pada waktu itu pengajar, saya - pak Sam, dan Johnny Simanjuntak, itu dari sisi senior di luar mahasiswa, baru dilanjutkan di Imambonjol. Tetapi sebenarnya yang mau saya katakan bahwa pada saat diputuskan di Blotongan, bahwa Dies itu harus di depan Kantor Pusat Bahasa, tetapi oleh teman-teman KPD yang saya katakan 'KPD elit', mengapa saya sebut 'KPD elit' karena ada kekecewaan-
http://slamethdotkom.wordpress.com
285
[email protected]
kekecewaan saya terhadap teman-teman KPD, tiba-tiba memutuskan bahwa Dies Natalis itu di lapangan. Nah, itu yang dibawa ke pertemuan di Imambonjol. Tetapi waktu itu, saya tidak mau menonjolkan di sini, saya mau meluruskan di sini, saya memutuskan sendiri jam 12 malam bahwa itu harus di Gedung C . Saya tantang Widyastomo 'kalau saya masih diangkat sebagai koordinator keamanan harus di Gedung C, kalau tidak saya mengundurkan diri'. Nah, saya memaksa begitu, Widyastomo setuju dengan saya. Akhirnya tanpa sepengetahuan siapapun, itu dipindahkan. Saya hanya beritahu kepada Pak Sam. Saya mengharap supaya Pak Sam mem'back-up' saya dengan pemindahan itu tanpa diketahui oleh teman-teman dari KPD elit itu. Nah, itu semacam satu cerita bagaimana sebenarnya proses Dies Natalis tandingan itu. Barangkali catatan-catatan kecil yang saya lihat tidak terisi di sini. Memang apa adanya pengungkapan dari Budi. Sehingga kalau Pak Pradjarta katakan Arief sentris sebenarnya bisa dipahami, karena si Budi hanya berdasarkan data-data dari mass-media. Menurut saya, memang pihak UKSW sengaja, dan kita mungkin terjebak di sana, seakan-akan kemelut di UKSW itu antara Arief dan Yayasan. Padahal esensi yang sebenarnya, persoalan yang sebenarnya, bukan antara Arief dan Yayasan. Nah, itu juga di sini tidak tergambar secara jelas apa yang dikatakan Pak Sumartana tadi, esensi dari konflik yang sebenarnya apa itu tidak terungkap. Nah, ini juga, saya risih di bab 19 halaman 1 di penutup, saya baca 'masuk dalam kelompok pemberani antara lain Mardimin, Indra Budiman dan Widodo'. Hebat sekali ini Indra Budiman ? Saya tidak setuju begitu, mungkin teman-teman lain akan tidak sependapat juga. Jadi ini apa alasannya, saya juga tidak tahu, kok bisa Mardimin-Indra Budiman dan Widodo dimasukkan sebagai kelompok pemberani ? Apakah karena saya punya lima anak dan sampai sekarang tidak punya pekerjaan tetap, saya dikelompokkan sebagai pemberani ? Saya nggak ngerti. Saya risih ini. Lha, ini yang menurut saya, Budi tidak cermat untuk melihat fenomena yang terjadi. Tambahan dari saya barangkali itu saja.
Pradjarta
: Saya tahu, punya anak banyak tapi berani juga ?
http://slamethdotkom.wordpress.com
286
[email protected]
Moderator
: Ya, terima kasih Pak Indra.
Ada lagi, silahkan. Pak Iskandar, mari ......
Iskandar Saher: Ya, terima kasih. Semula saya sangat antusias membaca buku ini, sangat berminat, mulai dari bab 01, tapi kemudian agak kecewa juga karena memang akhirnya, menurut saya, jadi klipping koran begitu, sedangkan penulisnya sendiri tidak tampil. Tujuannya adalah supaya obyektif, tapi sebetulnya dengan tindakan itu dia mengatakan bahwa yang benar itu adalah wartawan. Itu buat saya agak kurang pas begitu ! Yang kedua, kelihatannya dia tidak menambah sumber lain. Saya sempat sebetulnya ketemu dengan orang ini, saya lupa ya sudah lama, kami ngomong di cafe waktu itu, dan dia mengatakan akan menulis buku ini. Waktu itu dia minta mewancarai saya, saya bilang 'jangan saya karena saya bukan orang apa-apa di dalam itu, sebaiknya cari orang yang memang terlibat langsung'. Dan dia mengatakan 'ya'. Setelah itu juga dia meminjam dari saya, ya sampai sekarang tidak dikembalikan, misalnya statuta dan segala macam. Dokumentasi saya itu banyak yang sama dia tidak dikembalikan sampai sekarang, tapi tidak digunakan. Itu yang saya kecewa. Jadi saya sudah kasihkan barang itu kok tidak digunakan. Saya sendiri sebetulnya menghargai, usaha dia sangat jenius. Tetapi memang, kritik saya yang pertama adalah dia tidak melengkapi dengan bahan lain selain pada umumnya klipping koran. Dan yang kedua, kalau seandainya dia ingin berlaku sebagai seorang yang obyektif, tidak memihak kemana-mana, mestinya dia memberi sesuatu supaya pembaca bisa menilai apakah yang terjadi ini betul atau salah. Sehingga saya pikir yang perlu ditambahkan disini mungkin adalah idealisme Satya Wacana, yang sama sekali tidak masuk. Mesti dimasukkan apa sih idealisme Satya Wacana? Lalu,ini kejadian begini-begini, lalu pembaca bisa mengambil kesimpulan yang salah itu siapa? Begitu mestinya! Tapi kesulitannya adalah memang saya tidak tahu penulisnya maunya apa sih sebetulnya dengan buku ini. Apakah hanya sekedar memberi informasi kepada orang yang di
http://slamethdotkom.wordpress.com
287
[email protected]
luar Jawa, yang tidak tahu apa-apa tentang kasus Satya Wacana, tidak membaca koran di Jawa, atau apa mungkin itu. Kalau seandainya itu tujuannya, saya pikir itu sudah tercapai. Toh, masih perlu ditambahi juga dengan dibantulah pembaca itu, untuk membuat kesimpulan terhadap berita-berita yang ditempel-tempel di sini saya pikir. Yang lain, juga saya setuju, bahwa karena tidak ada sumber-sumber lain yang dimasukkan disini, selain dari kliping koran, dampak terhadap Fakultas dan pribadi-pribadi itu memang tidak terasa apa-apa, padahal disana itu yang sangat luar biasa ya..? Misalnya, retaknya hubungan saudara.Selain dari yang dikatakan oleh pak Pradjarto, di fakultas itu ada keretakan. Tapi, hubungan saudara pun ada yang retak begitu ya... Bahkan, suami isteri juga ada yang sampai tegang pada saat itu, luar biasa begitu. Untung saja nggak cerai, karena masalah yang begini. Tapi, itu saya pikir hal-hal yang mau ndak mau perlu juga disampaikan, karena ini bukan masalah manusia yang bisa dilepas dari urusan pribadi. Walaupun ini urusan lembaga, tapi masalah pribadi itu terkait dengan hal-hal yang begitu. Dan, yang lain saya lihat, kelihatannya si penulis ini memang tidak begitu persis tahu ya, misalnya dengan hal-hal yang dia katakan, di situ misalnya Dewan Pegawai itu dia sebutkan apa, bukan Dewan Pegawai padahal namanya itu sudah jelas Dewan Pegawai, sehingga kelihatannya dia tidak menguasai terminologi-terminologi tertentu. Kemudian juga GKI IRJA ditulis GKII, itu tidak ada. Sehingga, dia tidak mau cari tahu lebih dalam lagi tentang hal-hal yang semacam itu. Saya sudah menduga ya, waktu saya membaca buku ini nama ada yang salah, termasuk nama Pak Meno jadi Menak - Menak Soebagyo, bukan Meno Soebagyo. Untung saja bukan Menak Jinggo ? Waktu saya membaca ini, saya sudah menduga akan ada nanti buku tandingan, akan keluar begitu, dan kebetulan Pak Liek tadi sudah mengatakan itu. Saya menduga, dulu yang akan keluar nanti, kalau ini diterbitkan, mungkin akan keluar dari versi PPU atau apa begitu ya. Tapi mungkin KPD juga akan mengeluarkan yang lain, karena kelihatannya memang mau begitu. Dan yang repotnya lagi, kalau nanti seandainya ada orang yang dibayar untuk menulis itu dengan tujuan tertentu, kan jadi rame juga. Tapi ya tidak apa-apalah, kalau seandainya memang itu akan terjadi.
http://slamethdotkom.wordpress.com
288
[email protected]
Itu beberapa hal saya pikir yang mau saya sampaikan. Dan sekali lagi, kalau seandainya ini mau terbit, saya mengusulkan supaya ditambahilah tentang idealisme Satya Wacana atau sesuatu, supaya orang bisa membuat kesimpulan dari peristiwa-peristiwa yang ditulis di sini. Itu saja. Terima kasih .
Moderator
: Ya, terima kasih Pak Iskandar.
Ada lagi, silahkan ... dari kalangan muda ? Oke, kalau nggak ada, tadi ada beberapa persoalan yang sangat esensial dari Pak Pradjarta, Pak Sumartana, Pak Liek juga, terutama yang menyangkut masalah besar di balik peristiwa ini. Ternyata tidak semata-mata konflik antara pimpinan UKSW dan Arief, atau Arief saja, tapi merupakan konflik yang sebenarnya memiliki akar yang jauh sebelumnya. Dan saya kira bagi kita yang bekerja di Satya Wacana sejak lama, tahun 80-an itu sudah terasa sekali issu yang menonjol seperti masalah SARA, kemudian beberapa konflik di unit-unit seperti di antara DMU dengan pimpinan misalnya, yang waktu itu beberapa pengajar sampai mogok, dan juga konflik-konflik lain. Juga tadi disinggung peran militer dan juga situasi sosial, situasi eksternal yang juga memiliki pengaruh langsung terhadap konflik. Pak Pradjarta atau Pak Sumartana ingin menambahkan lagi, silahkan ..... Pradjarta
: Ya, saya merasa yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kita menyingkapi buku
ini. Dan bila tadi ada usul dari Pak Liek bahwa kalau KPD memang ada versi lain, jangan sampai men'stop' ini. Saya memandang Budi ini orang KPD begitu. Ya, ini salah atau betul ? Cuma masalahnya adalah apakah kita bisa menerima buku ini untuk di'publish', karena dia punya hak penuh begitu. Saya kira dia juga mengharap bahwa dirinya tetap diidentifikasikan sebagai orang KPD. Itu sebabnya lewat Bintoro misalnya, dia berharap ada komentar, ada tambahan, ada perbaikan. Nah, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita bisa meningkatkan mutu buku ini. Itu menurut pendapat saya, daripada kita misalnya, dibiarkan ini terbit lalu kemudian kita bikin versi lain dan sebagainya. Kecuali kalau kita memutuskan bahwa ada buku yang bercerita saja, naratif, tanpa interprestasi itu, lalu ada buku lain yang sebenarnya lebih mencerminkan sikap, pemikiran, idealisme, pemahaman KPD terhadap kemelut ini. Itu bisa juga begitu !
http://slamethdotkom.wordpress.com
289
[email protected]
Tapi masalahnya adalah apakah dalam situasi kita sekarang, hal itu mungkin atau tidak. Nah, saya ingin mengusulkan kalau diterima, ya kita bikin satu team kecil, komisi begitu, untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang kemungkinan-kemungkinan untuk merevisi buku ini. Jadi, misalnya sistematikanya dirubah, lalu tambahan-tambahan yang esensial seperti misalnya apa latar belakang yang bersifat internal, pergumulan-pergumulan, konflik, ketegangan yang sudah mulai sejak awal atau akhir jabatannya Pak Tarno, dan ada team 17 atau 19 yang mulai dengan perbedaan pandangan tentang mau kemana Satya Wacana ini. Bahkan saya belum periksa, tetapi Pim Schoorl menitipkan satu dokumen waktu dia bersama dengan Hans Botsma merencanakan tentang staff development di Satya Wacana. Katanya ada ide-ide yang tercermin di situ juga, yang bisa sebenarnya menjadi background dari perjalanan Satya Wacana di masa lalu. Mungkin kalau kita anggap itu perlu masuk, harus dimasukkan, ada team atau team itu juga menggarap misalnya konteks eksternal tadi. Dan, saya kira itu memang sangat penting ya, untuk membicarakan konteks Satya Wacana walaupun sarat dengan persoalan internal, tetapi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat itu sebenarnya bisa menjelaskan kenapa konfliknya bisa seperti itu. Jadi bagaimana kepentingan Suyono, bagaimana kepentingan militer terhadap usaha untuk memotong supaya Arief tidak mempunyai basis massa misalnya di lingkungan universitas atau apa. Kayak-kayak begitu pada hemat saya perlu ada tempat, di mana hal itu didiskusikan. Kalau yang memikirkan tentang itu team kecil, saya kira akan jauh lebih bermakna dan punya kemungkinan besar untuk selesai. Saya sendiri tidak bisa membayangkan kalau kita rame-rame begini, saling memberi masukan begitu, toh tetap ada persoalan, karena persoalan yang utama adalah justru 'frame'nya itu yang harus diselesaikan lebih dulu.
Moderator
: Mari, silahkan ......
Liek Wilardjo : Itu yang saya kurang setuju. Paling banter menurut saya, ini bisa diperbaiki dengan memberikan tambahan-tambahan di sana-sini point-point yang sedapat mungkin tercecer tadi. Tapi lebih dari itu saya kira tidak bisa, karena yang dibutuhkan tidak hanya sekedar 'tune-up' melainkan 'over-haul', harus turun mesin, dibongkar semuanya. Daripada
http://slamethdotkom.wordpress.com
290
[email protected]
mengerjakan seperti itu lebih baik mulai dengan sistematika yang betul, dengan kemungkinan yang betul.
Moderator
: Atau sebelum itu, saya pengen tahu karena saya sendiri juga tidak tahu persis
bagaimana proses buku draft ini sampai di tangan kita. Mungkin ada di antara rekan-rekan atau Pak Lomo sendiri mungkin, yang berhubungan langsung dengan Budi Kurniawan.
Sumartana
: Saya usul begini, kongkret ini.
Di antara kita di sini ada seorang editor yang saya kenal, mungkin editor terbaik di Indonesia, saudara Johnly Purba, yang kita nggak ragukan lagi kemampuannya. Jadi andaikata bisa dipikirkan sebuah kumpulan karangan yang bisa dilihat dari beberapa 'angle' tergantung pada orang-orang yang dipilih, tema-tema spesifik yang ada. Ya, memang tidak berpretensi exhaustive ! Saya pikir pasti ada sesuatu yang lewat, tapi minimal dia di kelilingi dengan beberapa tema tentang peristiwa UKSW ini, mungkin dari segi etikanya, dari segi akademiknya, dari segi institusi, dari segi eksternal, dari segi persepsi dan visi mahasiswa sendiri misalnya. Ini porsinya harus besar, karena menurut saya garis paling depan dari kemelut UKSW ini mahasiswa, dan itu memang harus diberi porsi yang agak banyaklah dan agak mendalam. Dan, barangkali kalau misalnya Bung Johnly Purba ini bisa menuliskan semacam 'TOR' pendek begitu, dan kemudian lewat PERCIK bisa dibahas oleh team kecil, ini bisa menjadi sesuatu yang sangat kongkret, bisa kita lakukan sebagai hasil dari diskusi kita sekarang ini. Sehingga macam-macam segi, macam-macam pandangan yang mungkin berbeda-beda atau bahkan fokusnya juga saling bertentangan satu dengan yang lain itu, menjadi gambar yang utuh, komprehensif, tentang apa yang kita sebut sebagai kemelut UKSW. Nah, tapi memang menurut saya, saya setuju dengan Mas Liek, bahwa buku ini sebagai yang ada sekarang ini jelek. Menurut saya jelek bukan hanya dia tidak bisa mewakili perspektif, tapi juga untuk mengulas tentang kemelut Satya Wacana dia banyak kekurangannya. Tetapi memang terserah pada dia ya, karena tanggungjawabnya tanggungjawab pribadi. Kita hanya bisa memberikan masukan-masukan tertentu untuk melengkapi buku semacam ini. Dan saya
http://slamethdotkom.wordpress.com
291
[email protected]
kira, saya yakin bahwa dia terbuka kepada tambahan-tambahan, koreksi-koreksi dan lain-lain ini. Supaya dia lebih cermatlah menulisnya ! Tapi untuk membiarkan buku ini terbit, kita seperti membiarkan sesuatu yang jelek untuk masyarakat. Jadi, kalau misalnya 'Michael Jackson' editor ini (Johnly Purba) bisa langsung berpikir ke arah sana, barangkali kita bisa kongkret melangkah, dan PERCIK punya dalih gitu. Dan saya pikir buku semacam ini laku, karena ini saya dengar-dengar, Parakitri dari Kompas Gramedia itu sudah meng'claim' ini, karena Budi menulisnya waktu dia bekerja di Kompas dengan Parakitri dan dia dianggap memakai sebagian waktu kantornya untuk menulis ini, sehingga dia di'claim' sebagai miliknya Kompas. Barangkali ini mengindikasikan bahwa dari mata pemasarannya Kompas, ini memang bisa laku. Bukan hanya laku, tapi ini penting sekali. Kemelut UKSW itu menurut saya adalah kemelut dari Indonesia. Problem-problem dasarnya, dilema-dilemanya, pilihan-pilihannya dan perspektifnya adalah sebenarnya merepresentasikan ke mana masyarakat kita ini hendak berjalan. Terlalu penting untuk dibiarkan. Jadi, kalau kita serius, ya langsung saja ini ditangkap sebagai salah satu yang kongkret kita lakukan.
Moderator
: Terima kasih Pak Sumartana, atau Pak Johnly ingin menambahkan .... silahkan ....
Johnly Purba : Kalau saya sepertinya sangat setuju dengan apa yang disampaikan terakhir tadi oleh Pak Liek. Dan saya memang banyak berpikir mengenai apa yang disampaikan oleh Pak Tono tadi. Setelah saya di Jakarta, saya renung-renungkan lagi, kayaknya memang peristiwa di Satya Wacana ini adalah tidak terlepas dari 'setting' penataan Orde Baru sekarang untuk melumpuhkan komponen- komponen dari civil society di Indonesia. Saya sendiri memang belum baca apa yang disampaikan oleh saudara Budi, dan juga belum mengenalnya, tetapi dengan memakai 'setting' kelumpuhan civil society saya pikir apa yang disampaikan oleh Pak Liek tadi patut dipertimbangkan, ya karena sebagai bahan mentahnya begitu untuk kita masukkan nantinya ke dalam frame itu.
http://slamethdotkom.wordpress.com
292
[email protected]
Nah, kalau saya berpikir hanya menambahkan dari 'angle-angle' tertentu, tetap saya pikir dia akan pecah tidak terintegrasi. Paling yang bisa dilakukan adalah pemerkayaan saja, tapi untuk menyajikan beginilah wujud dari konflik itu sendiri saya pikir ya bisa maksimal. Saya pikir itu .....
Moderator
: Ya, jadi nampaknya memang ada kemungkinan buku ini terbit begitu saja, atau
terbit dengan revisi atau tambahan-tambahan dari informasi yang ada, atau juga terbit dengan tambahan tulisan-tulisan mungkin dari para pelaku sejarah langsung dengan bermacam-macam pandangan ......
Sumartana
: Tapi maksud saya 'buku baru' sebenarnya, bukan tambahan saja .....
Moderator
: Lha ini .... atau yang terakhir ini, jadi ini terbit entah istilahnya tandingan atau
buku lain sebagai buku yang memang ditulis oleh para pelaku sejarah , yang diedit oleh team atau seseorang mungkin Pak Johnly. Tapi sebelum itu saya masih pengen mendengar dari Pak Lomo yang tahu prosesnya buku ini sampai ke tangan kita, bagaimana saudara Budi Kurniawan mengharapkan dari diskusi ini ....
Lomo Pulungan : Sudah dijelaskan oleh Pak Sumartana tadi. Jadi, saya mendapatkan bahan ini pertama ya sudah rapi dari Pak Sumartana, walaupun belum di jilid begitu ....
Pradjarta
: Ini yang bawa sebenarnya Pak Bintoro Gunadi. Pak Bintoro Gunadi menerima
lewat internet begitu, lalu dia copy, sudah dicopy tadinya, lalu saya tidak tahu orang ke berapa saya diminta baca, dikasih waktu empat hari, kemudian diambil dan saya kira dari saya ke Pak Limson ya . Begitu ! Saya sudah mendengar bahwa buku ini sudah dibaca oleh Arief, dan pada waktu itu juga ada pembicaraan dengan salah seorang yang mau menghubungkan dengan Penerbit Jakarta begitu. Tapi saya tidak jelas bagaimana pengaturan berikutnya ini.....
Indra Budiman : Tapi barangkali kalau mau ditarik ke belakang, ide pertama buku ini itu kan sebenarnya idenya Parakitri, kalau menurut Budi. Cuma Parakitri maunya, karena Parakitri dapat
http://slamethdotkom.wordpress.com
293
[email protected]
informasi dari Agna bahwa Pak Arief itu salah begitu. Tapi begitu dijelaskan oleh Budi, Parakitri tidak jadi menulis, karena dia bilang 'wah, ini tidak laku kalau Pak Arief yang benar.' Buku ini akan laris kalau Pak Arief yang salah. Nah, terus Budi mengambil inisiatif sendiri menulis, sehingga waktu dia datang pertama ke Salatiga, waktu itu dia datang juga ke PERCIK, maunya Budi sebenarnya tokoh-tokoh PPU juga diwawancarai. Dia sudah pernah ke John-Tit, dan di situ dia sudah menyembunyikan bahwa dia bukan KPD. Tetapi akhirnya dia tahu bahwa Budi itu KPD, sehingga dia mengatakan 'KPD itu anjing', si John-Tit itu sampai kasar begitu. Sampai Budi kaget, dia datang ke mari, dia menemui saya 'Mas Indra kenal ndak John Titaley ?' 'Kenal orangnya, tapi saya tidak pernah punya hubungan pribadi'. 'Omongannya kasar, ndak ?' Saya nggak ngerti, karena John-Tit sampai mengatakan begitu 'KPD itu kan anjing-anjing semua.' Nah, karena John-Tit itu sudah sangat marah, karena dia itu sudah banyak mengeluarkan, ternyata si Budi baru di tengah-tengah wawancara ketahuan KPD, dia terus mencabut semua pernyataan-pernyataannya 'saya anggap saja tidak ada wawancara', lantas si Budi diusir oleh John-Tit. Nah, barangkali di situ kesulitannya si Budi, barangkali dia juga mau netral, mau mewawancarai orang-orang/tokoh-tokoh PPU, buktinya sudah kena sama John-Tit ketahuan bahwa dia KPD begitu. Sehingga barangkali ini berat sebelah juga, walaupun tadi bilang dia mau coba netral tapi informasi dari pihak PPU tidak diperoleh. Itu tambahan mengapa barangkali buku ini menjadi apa adanya seperti begini, karena kesulitan si Budi sendiri, karena dia kerja di Jakarta waktu dia di Salatiga sangat terbatas. Itu mungkin bisa menambah informasi .
Moderator
: Ya, oke, terima kasih . Tadi saya melihat Pak Meno .......
Meno Soebagyo : Yah, kalau Mas Budi ini orang KPD, mungkin perlu juga diberitahu bahwa kalau dia toh mau menerbitkan, ini kesan saya baca buku ini, dia orang KPD yang tidak sadar bahwa justru gambaran yang diberikan itu adalah persis dengan skenario yang dikehendaki oleh Haryono. Karena Haryono mau supaya ini menjadi konflik antara Arief dengan Satya Wacana. Jadi ini tergambar di sini memang ! Dan oleh karena itu, maka mendapat dukungan tentara, karena Arief juga punya persoalan dengan tentara. Saya ingat sebelum peristiwa itu, pada waktu Wismoyo Arismunandar itu diangkat menjadi Kasad, Arief pernah komentar bahwa ini bukan
http://slamethdotkom.wordpress.com
294
[email protected]
yang terbaik. Lalu di koran Suara Merdeka Suyono yang menjadi Pangdam mengatakan ... justru yang marah ini Suyono. Dia Pangdam waktu itu, marah kepada Arief. Nah, sekarang ada masalah, tentara bisa masuk jadinya. Dan juga dukungan tentara kepada penguasa sekarang ini di Satya Wacana kan juga jelas dari surat-surat pimpinan yang tembusannya kepada Komandan Korem dan Kapolres. Itu kan jelas ! Masakan universitas kok tembusan suratnya kepada pimpinan tentara ? Jadi ini sebagai bukti tambahan yang dikemukakan oleh Mas Sumartana tadi itu. Bahwa ini ada hubungan dengan tentara. Begitu barangkali, supaya nanti jangan menjadi buku yang justru orang KPD menopang skenarionya Haryono. Terima kasih .
Moderator
: Ya, terima kasih Pak Meno.
Juga saya perlu mendengar suara dari kaum muda. Silahkan ..... ya Mas Toni .....
Toni Pakpahan : Ada beberapa hal yang mau saya tambahkan yang berkaitan dengan buku ini. Terus terang saya belum membaca ya buku ini, tapi sekilas tadi saya baca, dapat dari Pak Samiana tadi, saya lihat betul tidak nama saya ditulis. Ternyata penulisan nama saya salah ! Walaupun keterlibatan saya di KPD sangat kecil, tapi tidak tahu bagaimana ya penilaian terhadap saya. Waktu saya bertiga, saya-Darmawan dan Helio, ditahan di Polwil itu, banyak polisi yang datang yang bilang begini 'kamu bertiga itu mestinya sudah punya saham'. 'Kenapa ?', kami bertanya demikian. 'Karena biasanya orang-orang yang jadi orang besar itu adalah orang-orang yang pernah masuk penjara, lihat saja seperti Pak Arief Budiman yang pernah masuk penjara dulu'. Jadi menurut saya, nama-nama itu penting juga, penulisannya dilakukan dengan benar. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa pada saat kami bertiga ditahan di Polwil Ungaran, suatu kali kami pernah melakukan tes psychologi. Pada saat tes psychologi ini, kami tidak tahu apa gunanya dan dilakukan di ruangan rapat Staff Polwil, saya melihat di papan pengumuman Polwil perolehan suara masing-masing OPP dari tahun ke tahun. Dari tahun ke tahun untuk Jawa Tengah, antara tahun 1987 sampai 1992 itu terjadi peningkatan suara PDI sebesar 150% untuk yang di bawah Polwil Ungaran. Lantas apa hubungannya dengan masalah Satya Wacana ? Di situ tertulis Satya Wacana adalah basis PDI.
http://slamethdotkom.wordpress.com
295
[email protected]
Jadi saya tidak tahu apa memang ada kaitan yang sebenarnya antara Satya Wacana dengan politik Indonesia keseluruhan, saya tidak mengerti. Hanya saja saya sependapat dengan beberapa pendapat tadi yang mengatakan bahwa kalau memang kita mau menulis tentang buku ini, penelitian lebih lanjut mungkin yang sifatnya ke arah intelejen atau ke arah politik keseluruhan mestinya diungkapkan, Jadi tidak hanya sebatas masalah Arief dan Satya Wacana. Sebelumnya kan juga memang banyak issu-issu bahwasanya adalah Satya Wacana akan dihabisi orang-orang ICMI atau kelompok-kelompok lain. Cuma kita tidak punya data-data kongkret yang bisa menjelaskan ke arah situ, jadi paling lebih menarik benang-benang merahnya saja. Setelah kasus Satya Wacana, kemudian kita melihat bahwa PDI digembosi dan Megawati dijatuhkan. Untuk hal-hal seperti itu apakah kita tidak punya ketertarikan atau keinginan untuk menyelidikinya lebih lanjut ? Itu yang kedua yang ingin saya katakan. Kemudian yang ketiga adalah permasalahan yang masih ada di masyarakat saat ini, khususnya masyarakat gereja. Saat ini saya sedang mengikuti program KPK pengganti KKN-nya Pers. Saya ikut di GKJ Prambanan di Klasis Klaten Selatan. Ternyata di Klaten ada dua klasis dari ketigabelas jemaat GKJ yang ada di Klaten. Kemana pun saya pergi, pasti ada pertanyaan tentang permasalahan di Satya Wacana dulu. Dan apa yang mereka katakan adalah bahwasanya yang membuat usil ini adalah Arief Budiman. Hampir semua majelis mengatakan demikian.
------------------ s e l a ----------------------
Toni Pakpahan : Terus terang, saya secara pribadi tidak bisa menanggapi dengan baik dan pas untuk mengcounter mereka. Itu menurut saya. Mungkin juga baru kita pikirkan bagaimana mengantisipasi hal yang terburuk akan pandangan itu. Kemudian, mungkin saya tidak sistematis, tadi sempat Pak Tono menyinggung pertemuan dengan Pak Mulyono mantan Danrem di sini. Pak Mulyono itu memang adalah orang intelejen, orang BAIS. Saya kenal secara pribadi dengan Pak Mulyono sejak di Medan tahun 1986. Tahun 1986 waktu itu dia menjabat Danyon 011 Arhanud di Medan, dan memang karena saya dari keluarga militer, kita tahu kalau dia benar-benar seorang intelejen. Hanya itu dari saya. Terima kasih .
http://slamethdotkom.wordpress.com
296
[email protected]
Moderator
: Terima kasih Mas Toni. Ada lagi dari kaum muda ? Silahkan !
Danang
: Yang pertama sekedar catatan, bahwasanya Budi Kurniawan itu terlibat di KPD
pada saat masa pertama di tahun 1994, ketika Arief dipecat. Waktu itu dia terlibat, dan setelah itu dia sudah meninggalkan Salatiga, sehingga dia tidak meliput langsung berbagai peristiwa sejak tahun 1995 itu, yang puncaknya kan tahun 1995, saat kita mogok berbulan-bulan, dan dia terlepas sama sekali. Sehingga memang akhirnya bagi saya, Budi Kurniawan mau nggak mau terpaksa mengambil dari klipping-klipping koran. Dan lagi pula ketika dia aktif pun, dia sedang sibuk skripsi, jadi jarang ke kampus, dia cuma nyeting Suara Demokrasi dan kami serahkan naskah-naskahnya untuk disetting, sehingga sama sekali dia kurang intens mengikuti konflik-konflik dan segala macam, dan disamping itu juga
kurang mengetahui persis ideologi dan segala
latar belakang teknik, yang
kurang di situ, sehingga memang karena seperti
saya sendiri pun, bagi saya dia tidak bisa kurang
macam, karena memang
diharapkan lebih. Budi Kurniawan juga
tertarik pada masalah sosial, dia lebih tertarik
komputer, sehingga jangan diharapkan
pada masalah
lebih dari sekedar klipping koran. Kira-kira
hanya itu.
Moderator
: Ada yang ingin menambahkan ? Ya, Mas Otto .....
Otto Yulianto : Kalau misalkan kita KPD itu berniat menerbitkan buku, entah buku ini setelah dikoreksi, atau dilengkapi, atau membuat buku yang lain, saya hanya sekedar mengingatkan ini adalah lumrah. Sebelumnya mungkin perlu ditentukan lebih dulu untuk apa buku ini ditulis, untuk apa kita merasa perlu menulis buku ini, kemudian kepada siapa dan pesan apa yang hendak kita sampaikan. Soalnya, kalau misalkan hanya sekedar dokumentasi, saya pikir koreksi dan revisi dari buku ini mungkin sudah cukup, dan itu untuk intern KPD dan alumni Satya Wacana. Kalau misalnya untuk publik yang lain, saya pikir perlu disajikan dengan cara yang berbeda, mungkin perlu buku baru. Hanya sekedar itu yang dapat saya sampaikan.
http://slamethdotkom.wordpress.com
297
[email protected]
Moderator
: Jadi, dari pembicaraan yang sudah ada, dan mungkin nanti bisa ditambahkan,
nampaknya diskusi ini bukan semata-mata pada persoalan buku ini saja, tetapi juga esensi dari konflik di UKSW yang jauh lebih luas, lebih besar, lebih dalam persoalannya dari apa yang terlihat dalam buku ini. Masalah yang sedang kita hadapi bersama sekarang ini mungkin membiarkan buku ini terbit sebagaimana adanya, atau dengan tambahan-tambahan kecil setelah mendapatkan informasi yang dengan berbagai kemungkinan bisa laku keras misalnya. Karena memang masyarakat mungkin akan senang sekali membaca buku yang menggambarkan konflik dua tokoh silat atau tokoh penting. Dan ternyata dari pandangan-pandangan yang sudah ada, kita bisa menyimpulkan untuk sementara mengenai terbitnya buku ini justru akan merugikan KPD. Penilaian orang akan KPD itu justru akan negatif karena buku ini. Itu bisa diatasi mungkin dengan terbitnya buku lain yang lebih bisa mengungkapkan masalah kemelut UKSW secara lebih luas dan lebih dalam. Dan tentu saja perlu waktu, butuh tenaga, sementara orangnya sudah terpencar-pencar di mana-mana. Saya tidak tahu, mungkin ada pandangan-pandangan yang lain. Tapi setidak-tidaknya sebenarnya sebelum diskusi ini dilangsungkan, beberapa rekan yang di Salatiga, yang kebetulan bertemu saya, telah menyinggung draft, umumnya sependapat dengan pandangan misalnya Pak Indra Budiman, Pak Sumartana, untuk menerbitkan buku kumpulan yang ditulis oleh para pelaku secara langsung. Nah, nanti siapa yang akan mengedit, nanti kita membentuk sekelompok kecil, bisa kita tentukan sekarang atau bisa nanti pada waktu rekan-rekan muda ini akan mengadakan reuni KPD. Mungkin nanti bisa juga ditentukan .........Ya , silahkan !
Limson U.S. : Saya, sebelum hal itu kita putuskan, saya kira khusus mengenai buku ini, kalau judulnya itu "Catatan Yang Tercecer", ya memang kelihatannya ya tercecer. Tapi kalau dibaca, jadi bingung gitu, ya ? Nah, mungkin karena tercecernya itu, ya ada hal-hal yang kalau buku ini mau diterbitkan, ada sumber-sumber yang menurut hemat saya tidak bisa dipakai. Misalnya selebaran yang tidak jelas identitasnya, itu dipakai sebagai sumber. Itu saya kira ya tidak benar, kalau kita mau menulis. Nah, kalau itu mau dilacak ke siapa yang membuat itu, bagaimana jalan pikirannya, ya mungkin bisa. Tapi kalau hanya mengambil selebaran tanpa identitas yang jelas, ya saya kira itu juga harus dikoreksi.
http://slamethdotkom.wordpress.com
298
[email protected]
Nah, begitu juga kalau soal pemilihan rektor awalnya. Kalau kita baca, yah saya yang tahu masalahnya, sedikit agak bingung juga. Tapi sebetulnya kan ada dijelaskan, misalnya SK tentang pemilihan rektor. Sebetulnya itu ada kaitannya dengan idealisme Satya Wacana, dasar dan tujuan Satya Wacana, yang muncul di aturan. Itu tidak dikaitkan ! Jadi, seolah-olah kita itu, ini kesan saya, kalau membaca ini seolah-olah pertentangan kita itu pertentangan karena pemilihan rektor, karena KPD misalnya mendukung Liek yang suaranya banyak lalu yang pihak lain muncul yang kurang didukung oleh sebahagian besar warga Satya Wacana. Kemudian karena Arief dipecat, lalu timbul demonstrasi ini, tetapi mengapa orang mau demonstrasi, apa memang karena ada orang yang dipecat ini atau ada sesuatu yang lain, ini tidak nampak ! Kalau dulu konflik Arief dengan JOI, apa sebanyak sekarang ? Orang demo itu kan beda ? Kan pernah dulu konflik JOI dengan Arief pada tahu 1985 -1986. Nah, jadi ada sesuatu yang sebenarnya, kalau bisa dijelaskan, yaitu mengenai aturan. Sehingga orang sebenarnya bukan berpikir karena ada fakta begini lalu orang demo. Itu yang saya lihat. Jadi kalau dia terbit, menurut hemat saya, ya memang bias apa yang dikemukakannya. Misalnya, koran dia tulis, koran kan nggak semua, saya kira berita yang di koran itu bisa dipakai, harus selektif juga. Karena ada beberapa hal yang saya lihat, misalnya di koran itu, tidak cocok dengan fakta yang sesungguhnya, nah inilah hasil koran. Jadi menurut hemat saya, kalau ini terbit ya mungkin membuat orang jadi bingung saja baca ini, nggak tahu apa sih sebetulnya kemelut di Satya Wacana. Oleh karena itu saya secara pribadi sebenarnya, kalau ada yang mau menulis lebih baik dari ini memang saya setuju. Tapi kalau yang ini, saya kurang setuju. Sebagai bahan acuan, sumber, yang kita singkapi secara kritis. oke ! Tapi kalau ini muncul, terbit, saya memang kurang begitu setuju.
Moderator
: Ya, saya kira sama pendapatnya dengan yang sudah-sudah tadi. Pak Iskandar
.......
Iskandar Saher: Saya pikir, yang pertama, kita menyingkapi buku ini dulu. Kalau menurut saya sih, karena ini menyangkut biaya menulis, keputusan kita serahkan saja pada dia. Tetapi kita berikan catatan kita terhadap buku ini, dari pertemuan ini, dengan
http://slamethdotkom.wordpress.com
299
[email protected]
mengatakan bahwa sebetulnya orang-orang yang hadir di sini, mungkin sebelumnya, tidak setuju dengan ini diterbitkan begitu saja, karena memberikan gambaran yang tidak utuh. Terserah dia, apakah mau pergunakan kritik-kritik kita di sini itu, kemudian mau menuliskan ulang, itu silahkan. Tapi, kalau seandainya itu tidak, artinya catatan-catatan yang kita berikan tentang kekurangan-kekurangan itu tidak diikutinya, saya pikir sebaiknya, saya sendiri berharap, nanti mungkin ada pendahuluan, kan biasanya ada ucapan-ucapan terima kasih pada bagian pendahuluan, mestinya saya berharap dia juga menulis bahwa di situ minta maaf kepada KPD, karena ini sebetulnya KPD sendiri juga tidak setuju dengan buku ini, sehingga orang tahu bahwa sebetulnya ini bukan buku yang disetujui oleh KPD. Jadi selain ucapan terima kasih, mestinya juga ada itu. Supaya jelas, ya begitu, jangan dikira ini nanti buku proyek KPD. Itu kan jadi lain lagi ? Nah, setelah itu ya terserah dia mau diapakan buku ini. Kalau dia mau terbit dengan itu, ya silahkan . Yang berikutnya adalah baru kita pikirkan atau sekarang kita mungkin perlu memikirkan, apakah memang kita perlu untuk menulis lagi sesuatu yang lain. Jadi tidak merevisi ini, tetapi pikirkan menulis yang baru saja yang lebih kongkret, daripada memikirkan yang ini. Begitu saja, terima kasih .
Moderator
: Terima kasih Pak Iskandar. Ini saya baru dapat catatan ... yang tercecer.. .
Ada satu usulan untuk menulis buku, judulnya "Negara dan Pelumpuhan Masyarakat Sipil di Perguruan Tinggi : Refleksi Atas Kasus UKSW ". Sebagai proyek penerbitan buku baru, tampaknya ini sebagai gagasan tentang penulisan buku dari kumpulan tulisan-tulisan yang tadi diusulkan oleh para pelaku sejarah di UKSW, yang akan diedit oleh suatu team atau salah satu dari kita . Saya tidak tahu bagaimana harus menyerahkan hasil diskusi ini, kepada siapa, kepada penulisnya atau kepada PERCIK. Saya kira PERCIK yang akan menindak-lanjuti. Tetapi secara umum kita mendapat kejelasan bahwa kalau buku ini terbit, nampaknya yang rugi bukan PPU tapi justru KPD, meskipun diterbitkan dari orang yang sudah berpihak pada KPD. Secara umum bahkan bisa dikatakan, kalau ini terbit sebenarnya sama artinya dengan membenarkan tindakantindakan PPU atau Haryono Semangun cs. Karena alasan-alasan mereka selama ini toh, kemelut
http://slamethdotkom.wordpress.com
300
[email protected]
ini disebabkan karena Arief, pertentangan Arief dengan pimpinan, dan pemecatan itu sendiri alasannya juga jarena Arief, dan di dalam buku ini tokoh sentralnya Arief, seperti kita dengar berulang-ulang istilah Arief sentris dalam buku ini. Jadi, memang saya sendiri sependapat dengan pandangan itu ketika membaca buku ini beberapa kali, nampak sekali figur Arief, Ariel, Ferry, nampaknya menjadi idolanya si penulis .
Sumartana
: Saya ingin menegaskan ya, keberatan saya kepada buku ini bukan karena yang
menguntungkan KPD atau tidak, tetapi karena kualitas dari tulisan ini menurut saya masih elementer begitu. Jadi....karena itu merupakan hak penulisnya ya, penulis punya hak sendiri untuk mengatakan sesuatu berdasarkan persepsinya. Kita tidak bisa mengutik-utik hal itu ! Jadi lepas dari apakah dia merugikan KPD atau menguntungkan KPD, terserah kepada Budi sendiri untuk menimbangnya. Yang paling merugikan KPD adalah kalau tulisan ini jelek. Ini yang ingin saya katakan. Bukan karena beda perspektif, bisa saja kita berbeda, dan ngak apa-apa itu, kita adalah bagian dari demokrasi yang kita bela. Jadi pertimbangan saya bukan menguntungkan siapa atau merugikan siapa, tapi kualitas buku ...kua calon buku menurut saya tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan, kecuali kalau ada perbaikan-perbaikan di sana-sini, dan Budi terbuka terhadap catatan-catatan kritis dari kita. Suatu peristiwa besar yang terjadi .... saya pengen tahu sebenarnya dalam mencari sampai habis tadi malam itu .... tentang peristiwa "pengrusakkan" itu, tidak ada sama sekali di sini ! Jadi, kalau itu ada, misalnya, makin lengkap, dan dia makin menjadi sesuatu dari apa dan mengapa sampai itu terjadi. Dan dia juga
mesti harus lebih serius untuk mewawancarai
orang-orang yang merupakan kunci dari peristiwa
kemelut.
Itu yang pertama ... yang kedua, saya sebenarnya juga pengen komentar yang 'fresh' dari Pak Yan Hospers, apakah ada perspektif, ada semacam kritik dan juga pendapat mengenai bagaimana memahami kemelut UKSW dalam perspektif orang ketiga. Saya juga ingin kalau ada semacam ....sudah datang jauh-jauh dari Yogya ...
Yan Hospers
: Bagi saya memang sulit untuk menjawab langsung, karena dengan demikian
saya juga harus bereaksi secara spontan saja , bukan ?
http://slamethdotkom.wordpress.com
301
[email protected]
Tetapi, kalau untuk melihat perspektif, sebenarnya bagi saya masih sulit, karena saya melihat dari luar sebagai orang asing yang memang mengikuti banyak sekali perkembangan di sini. Tetapi bagi saya masih sulit sekali untuk mendapat suatu gambaran yang cukup menyeluruh. Jadi bagi saya ya, bagaimana tahap analisa apa yang sebenarnya terjadi, apa sebenarnya akar masalah, sampai sekarang belum begitu jelas. Yang jelas bagi saya bahwa sebenarnya ada keinginan luar biasa supaya orang sebenarnya ... yang istilahnya sebenarnya demokrasi, tetapi demokrasi dari ...agar supaya mereka bisa mempengaruhi kebijaksanaan entah misalnya dalam kelas, atau dalam universitas, atau dalam masyarakat. Bagi saya yang jelas ada keinginan semacam itu, dan di situ sebenarnya kemelut UKSW, kalau saya melihat dari segi mahasiswa, mirip sekali dengan apa yang terjadi dalam tahun 60-an dan awal 70-an di dunia Barat, waktu banyak sekali demonstrasi di universitas juga, di mana mereka menuntut supaya ada demokrasi. Tapi demokrasi waktu itu sampai ke tahap, yang kami memang waktu saya di sekolah kecil di kampung, tapi sebagai mahasiswa pada akhirnya kami sampai ke menentukan kurikulum . Jadi, kalau misalnya ada beberapa buku, kami memang sebagai mahasiswa bilang 'ya tapi bagi kami buku ini kurang menarik dengan alasan begini-begini'.Syukurlah kalau dosen mau menerima itu, dan dari situ sebenarnya saya belajar cukup banyak. Tetapi harus mengakui juga bahwa bahkan di dunia Barat semua yang diperoleh pada tahun 60-an dan 70-an sekarang sebenarnya dihilangkan lagi. Pertama-tama, karena mahasiswa sebenarnya tidak berminat lagi untuk duduk di senat fakultas atau senat universitas, karena mereka hanya mau cepat selesai, dan sebenarnya mereka kurang berminat untuk ikut dalam diskusi. Dan ini mungkin gejala juga yang muncul dalam era postmodern, bukan ? Yah, bagaimana perspektif di sini, saya kurang tahu. Saya hanya melihat ya memang ada kebersamaan waktu, tetapi ada perbedaan besar juga. Dan saya belum sampai kepada satu pemahaman yang menyeluruh, bukan ? Tetapi ini karena saya diminta ya, bagaimana pandangan saya secara mendadak, ya saya akan menjawab begini . Moderator
: Terima kasih Pak Yan ..... masih ada lagi ?
Yah, saya kepengen juga dengar dari Pak Nggandi Katu, karena saya tahu persis waktu peristiwa pemilihan rektor dulu baru mulai, juga tentang figur rektor yang mana yang menjadi idola di UKSW, pak Nggandi pernah menyebarkan pool juga...
http://slamethdotkom.wordpress.com
302
[email protected]
Nggandi Katu : Yah, saya sebenarnya tidak membaca semua apa yang ditulis dalam buku itu. Karena setelah dibahas tadi dan dibaca beberapa kali akhirnya bosan, karena isinya hanya cerita deskriptif dari apa yang terjadi. Tetapi saya kira tentang kemelut itu sendiri, saya setuju dengan yang lain bahwa itu sebenarnya bermula sudah jauh sebelumnya. Tetapi tentang alasan kita mencalonkan Pak Liek Wilardjo, yang saya ikuti terus pada pertemuan kelompok 10 waktu itu dari awal, saya kira tidak muncul dalam buku jambon. Mengapa kita waktu itu dengan pertimbangan, walaupun kita melihat Pak Liek sakit-sakitan atau sedang sakit waktu itu, tetapi ada alasan yang utama yang kita diskusikan, saya kira Pak Limson tahu. Waktu itu kelompok 10, yaitu 10 pimpinan unit/wakil pimpinan unit, yang waktu itu unitnya cenderung memilih Pak Liek, mempunyai alasan yang sangat kuat mengapa kita waktu itu mencalonkan Pak Liek.Dan itu saya kira satu hal yang mendorong kita mengapa kita kuat sekali mendukung, melihat berdasarkan situasi Satya Wacana yang pada saat itu kami lihat sudah cenderung mau ambruk. Jadi saya kira kalau ini diterbitkan tanpa ada kronologis mengapa ... mengapa waktu itu kita berkeras menentang rekayasa dalam pemilihan rektor, itu ada alasannya, bukan hanya karena figur Pak Liek atau pribadi Pak Liek atau apa, tetapi ada alasannya. Kemudian saya juga membaca sepintas tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di buku jambon ini. Juga saya melihat banyak ketidakcermatan informasi. Salah satu contoh saya kira penyerbuan ke FSM itu, tiba-tiba muncul bagaimana dengan tanggapan orang dari UNDIP, seakan-akan itu tiba-tiba ya, karena sebenarnya waktu itu memang waktu diserbu, sayangnya itu saya sedang menjamu tamu dari UNDIP karena UNC, tetapi seakan-akan saya melarikan diri katanya. Itu kantor administrasi ya di situ, bagaimana saya melarikan diri ? Saya dikeroyok oleh kelompok yang dimotori oleh Danny Zakharias. Bagaimana melarikan diri saya di situ ? Jadi, penulis ini mendengar dari siapa saya tidak tahu, tapi itu tidak cermat menurut saya. Jadi banyak hal yang saya lihat seakan-akan peristiwa itu pecah-pecah, karena penyerbuan ke FTJE dan FSM itu sama harinya, hanya jamnya berbeda. Kemudian, tadi Pak Wisnu menyinggung tentang semacam sigi pendapat, tentang profil calon rektor yang diharapkan oleh para pimpinan unit di Satya Wacana. Waktu itu idenya memang dari kami berdua, saya dan Pak Liek. Jadi, Pak Liek mengusulkan bagaimana kalau kita coba. Itu jauh-jauh hari sebelum Pak Liek sendiri menjadi calon. Kami waktu itu ingin tahu pendapat dari pimpinan-pimpinan unit dengan mengadakan questioner, dan hasilnya itu akhirnya
http://slamethdotkom.wordpress.com
303
[email protected]
dimuat bukan di Gita Kampus tapi di Suara Merdeka. Sebenarnya ya itu yang menarik, hampir semua pimpinan unit menginginkan pimpinan universitas yang menyelenggarakan managemen partisipatif, berarti semua unit dilibatkan dalam pengambilan keputusan.Saya kira hampir mayoritas 80 % . Tetapi dalam hal kemelut itu akhirnya semua itu tidak jalan, akhirnya juga hasilnya, yang kami janjikan dulu hasilnya akan kami serahkan kepada pimpinan universitas terpilih, tetapi karena kemelut akhirnya tidak jadi kami serahkan ....
Sumartana
: Questioner itu dikasihkan kepada anggota senat atau siapa ?
Nggandi Katu : Anggota Senat, semua anggota senat yang punya hak suara .
Liek Wilardjo : Jadi yang ingin diselidiki lewat sigi itu atau survey itu adalah pendapat pimpinan-pimpinan unit yang diharapkan juga diambil dari pendapat unitnya masing-masing, tentang gaya pengelolaan atau spektrum kedemokratisan gaya pengelolaan di masa yang akan datang, mulai dari yang ekstrim, sangat otokratis sampai yang sangat longgar, sampai yang laissez-faire dalam arti jelek. Dan ternyata kesimpulannya banyak yang ingin demokratis ya, walaupun mungkin bukan yang ekstrim sampai kolaboratif, tetapi toh partisipasi itu sangat dipentingkan. Cuma ketika terjadi mulai bursa calon dan proses pemilihan, semua itu terbalik. Dugaan saya antara lain karena ada kabar burung atau issu tentang hal-hal yang sangat negatif tentang saya. Katanya didaftarkan dalam intelejen militer dan anti establishment, anti nuklir dan macam-macam. Dan di lain pihak ada semacam janji yang juga tidak jelas, kalau JOI terpilih Satya Wacana makmur, gaji akan naik berlipat ganda. Dan itu juga pernah dipakai oleh Willi Toisuta pada waktu pemilihannya yang kedua. Pada waktu itu dia sudah secara positif mengatakan mengundurkan diri, tidak mau dijadikan calon lagi. Tetapi kemudian dia justru memberikan kenaikan gaji hanya sedikit 15 % atau 20 % . Tapi timingnya tepat sekali, bulan Juli pada waktu para orangtua membutuhkan dana untuk sekolah putra-putrinya. Tepat sekali ! Lalu langsung semuanya menginginkan dia menjadi rektor kembali. Karena dia merasa dalam posisi yang baik, dia mengubah sikapnya mau jadi rektor. Jadi plin-plannya di situ, mau balik lagi menjadi rektor .
http://slamethdotkom.wordpress.com
304
[email protected]
Moderator
: Situasi kalau kita kembali ke masa-masa awal konflik, sebenarnya banyak kisah
yang tidak bisa terekam, dan memang sangat sulit melacaknya. Saya ingat persis waktu pemilihan di DMU, waktu itu kita semua berbicara, dan suara di DMU waktu itu bisa 100 % mendukung Pak Liek. Jadi, kita sudah punya satu suara dari satu unit yang mutlak. Dan sesudah rapat pemilihan di unit, saya malah mendengar dari pak Pir yang sekarang menjabat pembantu rektor IV, dia ngomong ke saya bahwa baru saja ditelepon salah seorang dari JPBS yang mengatakan 'lho, kok tidak memilih pak JOI saja ?' Pak Pir dengan sinis menjawab 'lho, apa alasannya ?' 'Yah, kan akan memberi kesejahteraan?' Pak Pir bahkan membantah 'kesejahteraan dari mana ?' begitu, 'bagaimana bisa sejahtera ?' Kemudian juga Christantius menghubungi Pak Pir 'mbok kalau bisa diarahkan saja ke memilih JOI?', 'alasannya apa', ya kesejahteraan. Dan cerita-cerita itu disampaikan juga ke saya , dan dia kelihatan jawabannya sinis. Tapi akhirnya toh dalam perkembangannya setelah pemilihan rektor, rektor terpilih, pak Pir justru nyebrang ke arah lain. Dan penyeberanganpenyeberangan ini ternyata tidak saja terjadi di DMU, karena setelah pak Pir nampaknya diikuti juga beberapa orang seperti Bu Karni, Bu Seno, Pak Haris dan seterusnya, bahkan sekarang banyak yang terpecah-pecah. Saya kira di unit-unit lain selain DMU, juga terjadi perpecahan-perpecahan itu. Di Theologia, misalnya, pemilihan waktu itu juga memilik Pak Liek, tetapi kemudian di dalam Theologia terpecah-pecah. Fak. Hukum yang tadinya memilih JOI, kemudian terpecah juga. Yah, ini sebenarnya menggambarkan bahwa situasi yang terjadi di unit-unit itu memang ada konflik-konflik intern dan sebagainya, sudah berlangsung dan bisa ditarik ke masa-masa sebelumnya. Nah, ada juga pandangan-pandangan yang bermunculan, bahwa di era pak Willi itu banyak kasus-kasus yang bermunculan dari unit, tapi tidak terselesaikan. Setiap ada issu, atau konflik, atau keresahan, penyelesaiannya tampaknya gampangnya saja, dengan menaikkan gaji, memberikan tambahan insentif dan sebagainya. Dan itu nampaknya juga ikut berpengaruh terhadap kasus di UKSW. Itu tentu tidak bisa terekam oleh buku yang mendasarkan pada data atau informasi saja dari koran, percikan-percikan itu. Yah, itu tambahan saja dari saya. O ya, saya masih pengen sebenarnya mendengar dari Pak Simon, seorang tokoh muda, pengajar Theologia, yang waktu itu juga pernah melakukan protes keras terhadap pimpinan UKSW ......
http://slamethdotkom.wordpress.com
305
[email protected]
Simon Rachmadi: Saya mengikuti pembicaraan kita, saya terangsang untuk berpikir dua hal. Yang pertama, persoalan teknis. Kalau kita menjumpai bahwa ada kesalahan-kesalahan di buku ini, yah kita catat, kita beri tanda, dan kita minta dia mengedit. Teknis sekali ! Yang kedua, lebih pada masalah perspektif. Buku ini kan disusun berdasarkan satu perspektif dan satu kepentingan dari penulisnya. Nah, ini yang agak rumit, karena kepentingan dia berbeda dengan kepentingan kita. Saya melihat Pak Meno misalkan bereaksi 'wah, buku ini justru membahayakan perjuangan KPD, karena terlalu Arief sentris', dan ditafsirkan oleh Pak Meno 'ini sesuai dengan skenarionya Haryono'. Tentang hal ini saya menafsirkan banyak orang berpendapat begitu di sini. Saya berpikir mungkin itu yang menjadi kelemahan kita. Kita mengaku bahwa kita membela idealisme Satya Wacana, atau kita membela nilainilai kekristenan. Tetapi kita membayangkan bahwa nilai yang kita bela itu adalah suatu benda yang bisa dipegang, yang kita bawa sebagai bendera atau simbol. Kita lupa bahwa nilai itu hadir dalam ruang dan waktu melalui orang. Jadi, kalau kita mengatakan kita membela nilai, kita harus bicara siapa sih orang yang kita bela. Nah, kalau sudah bicara tentang orang, kita akan melihat bahwa kita harus berpihak kepada orang-orang yang kita pandang merupakan wadah dari nilainilai itu. Dan saya pikir, selama ini secara tidak langsung batin kita itu seolah-olah sudah berpihak kepada Arief. Hanya ketika dipepetkan kepada masalah politik, itu bergetar .....kayak takut 'ah, saya nggak berpihak ke Arief, saya membela nilai'. Tetapi bagaimana kita membela nilai kalau nggak ada wadahnya ? Jadi, saya berpikir kalau nanti kita akan membuat suplemen atau buku pelengkap dari buku ini, yang isinya
kumpulan karangan, pertanyaan saya 'kenapa takut sih menyatakan
keberpihakan kita kepada orang atau kelompok/golongan ?' Itu saja .
Moderator Sumartana
: Ya, terima kasih . : Oke, ini langsung saja, karena bukan berarti bahwa ... Arief itu kita kenal, ya ?
Saya kenal lebih dulu adiknya, Soe Hok Gie. Dan kenal Arief itu memang mulai tahun 67-an, dan orangnya memang seperti itu, dari dulu sampai sekarang ya begitu tuh, orang yang sangat jujur, tulus, dan apa yang di depan sama apa yang di belakang. Dan, memang seorang pejuang
http://slamethdotkom.wordpress.com
306
[email protected]
khususnya sesudah Hok Gie meninggal dia tampil menjadi kiri. Tadinya kan dia sangat kanan, dia itu Manikebu, anti PKI, tetapi kemudian dia 'switch' ke kiri . Tetapi tidak perlu kita mengidentikkan sebuah nilai dengan Arief. Khususnya dalam kemelut Satya Wacana, kita juga kritis ya. Arief juga kadang-kadang naif sekali, banyak kritik teman-teman itu misalnya, dan cenderung sangat dogmatis. Kemampuannya untuk berbeda pendapat juga kadang-kadang tidak lebih besar dari JOI misalnya. Jadi begini, kalau sebuah nilai kita bela, kita tidak pernah akan menjadikan sepenuhnya dengan seseorang, sekalipun untuk beberapa pikiran-pikiran Arief betul-betul sama dan sebangun dengan pikiran-pikiran kita. Sehingga
menurut
saya
kelemahan
mendasar
dari
orang,
seperti
Budi,
kecenderungannya untuk mengkultuskan Arief sangat besar. Dan kita justru tidak mempunyai jarak kritis kepada Arief. Dia sebenarnya juga saya pikir tidak diuntungkan dengan ketergantungan semacam ini. Yah, jadi kalau misalnya Mas Totok dan saya sangat sadar akan kecenderungan Arief sentris yang tidak baik itu, tidak berarti bahwa kami tidak menganggap Arief sebagai seorang, katakan, figur dari pejuang demokrasi, sama sekali tidak. Kita sama-sama, cuma apa kultusnya itu kadang-kadang perlu penelitian. Dan banyak kan sekarang, kalau di Amerika Latin orang punya foto-fotonya Che Guevarra ,gambar-gambarnya. Sekarang ini, di Yogya beberapa tahun yang lalu itu, gambarnya Arief sebagai pengganti, karena kita tidak mempunyai model, tidak mempunyai panutan, tidak mempunyai idola, dan Arief memang mampu sebagai public figur itu, yang bisa memenuhi idola anak-anak muda itu. Dan ini, saya pikir juga, harus di satu pihak kita syukuri, tetapi di lain pihak juga tetap harus kritis terhadap posisi semacam itu. Karena, kalau anak-anak muda itu juga tidak mampu mengambil jarak kritis kepada Arief, lalu di mana kita mendewasakan seluruh kehidupan perguruan kita dan lingkungan kita berdemokrasi. Ketidaksetujuan Arief sentrisme itu, bukan karena tidak menghargai Arief, tapi justru karena menghargai Arief. Dan Arief sendiri kan mengatakan bahwa 'ini bukan gerakan mendukung saya, tetapi mendukung demokrasi'. Saya rasa ini visi yang sehat .
Moderator
: Ya, gimana, kalau masih ada satu ... silahkan....
http://slamethdotkom.wordpress.com
307
[email protected]
Sih Mirmantyo : Ya, hanya tambahan sedikit, bahwa memang harus dicermati betul kalau buku itu mau dipublikasikan, soalnya public opinion yang sudah terbentuk di masyarakat itu, kemungkinan besar mereka menganggap bahwa persoalan di Satya Wacana merupakan persoalan di mana Arief itu berlawanan dengan yayasan. Buku ini kalau menurut penilaian saya hanya sebuah dokumentasi tertulis, dari sekian banyak surat atau catatan-catatan di koran yang kemudian dibundel. Jadi sangat riskan sekali kalau sampai akhirnya terbaca oleh masyarakat. Kita membutuhkan suatu penjelasan yang memang benar kepada masyarakat, bahwa kemelut UKSW adalah merupakan suatu kemelut pertentangan suatu sistem atau nilai-nilai, jadi bukan suatu pertentangan antara satu tokoh dengan lembaga itu sendiri. Soalnya saya pernah ketemu sama pembantu rektor IV sekarang, Pirenomulyo, saya dulu pernah tanya 'apakah betul akreditasi itu mau turun ?', ketika Suara Merdeka memberitakan bahwa status akreditasi Satya Wacana beberapa fakultas akan turun. Dia secara spontan, dan mengekspresikan sikap emosionalnya, mengatakan bahwa 'oh, itu kan muridnya Arief ?' Jadi, menurut gambaran saya, ternyata memang yayasan dan rektorat itu sudah membangun suatu pemikiran yang menurut dia itu benar, bahwa Arief memang menjadi biang kerok. Jadi sangat riskan kalau buku ini sampai meluncur ke masyarakat. Terima kasih .
Moderator
: Yah, tadi saya sudah diberi aba-aba, sebenarnya dari PERCIK, bahwa setelah
diskusi ini ada sekelompok pemuda yang ingin berbicara untuk keperluan reuni, besok di bulan Oktober. Tetapi saya juga tidak ingin menyimpulkan seluruh pembicaraan kita, tapi masih ada saya kira agenda yang perlu kita tindak lanjuti. Saya kira kita semua sepakat bahwa kita memberikan penghargaan yang tinggi bagi Budi Kurniawan, yang telah dengan susah payah mencoba meramu beberapa, ya sekian banyak, data dari media massa, dari surat-surat yang pernah dikumpulkannya, untuk itu saya kira penghargaan besar bagi Budi. Meski demikian kita juga perlu menyingkapinya secara kritis, dari apa yang sudah ada dalam draft. Sebagai draft, ini tidak layak untuk terbit begitu saja, tetapi ada niat baik dari kita semua untuk memberikan tambahan-tambahan informasi bagi Budi, untuk mengembangkan
http://slamethdotkom.wordpress.com
308
[email protected]
buku ini. Dan tentu kita tidak bisa menyetop begitu saja keinginan Budi untuk menerbitkan buku ini, apapun hasilnya. Jadi, tetap ada hak-hak penerbitan pada dia yang sudah menyusunnya. Tapi toh ada keinginan juga dari pihak kita untuk mencoba menulis, dan ini sebenarnya gagasan yang sering dilontarkan oleh para pelaku sejarah di antara kita, untuk mencoba menuliskan, masing-masing membuat kesaksian-kesaksian apa yang pernah dialami dulu yang mungkin terekam di sini tapi sebagian, mungkin terekam tetapi salah atau meleset, atau mungkin sama sekali tidak terekam atau belum. Nah, dari kita-kita ini, nanti bisa diedit oleh Bang Johnly, dan itu yang kita harapkan. Saya kira diskusi tentang buku ini saya tutup sampai di sini, dan saya serahkan pada Yayasan PERCIK .
PENUTUP.
Sih Mirmantyo (Yoyok)
:
Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Gagasan untuk mengadakan suatu Reuni KPD sebetulnya memang menjadi satu pergumulan yang sudah cukup lama di kalangan para aktivis KPD, terutama di kalangan anak muda. Saya menangkap satu pergumulan tersebut, sehingga bagi saya dan bagi teman-teman juga, perlu dibentuk satu forum khusus, artinya suatu forum yang bersifat santai, untuk bagaimana akhirnya kesempatan itu dipakai untuk saling kontak, saling komunikasi dan saling mengerti tentang keberadaan aktivis KPD. Terus, kita kemudian bersepakat untuk membentuk satu kepanitiaan, yang sudah terbentuk, dan kemudian kami juga sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi kalau itu memakai terminologi Reuni KPD. Karena bagi aparat, saya terus terang, mungkin alergi itu sampai sekarang. Ada usulan-usulan dari dosen-dosen senior untuk bagaimana jangan memakai suatu istilah KPD, tetapi bisa diadakan suatu seminar yang mungkin bisa dikatakan berkategori cukup besar, untuk secara otomatis bisa mengumpulkan keluarga atau simpatisan KPD dari berbagai daerah. Dari pertemuan itu kita harapkan ada satu bentukan jaringan komunikasi atau ikatan aktivis KPD, yang akhirnya bisa didokumentasikan dan dibangun kembali, untuk bisa mempererat hubungan kembali. Dan, itu memang ada satu termin khusus untuk membicarakan persoalan itu dalam reuni.
http://slamethdotkom.wordpress.com
309
[email protected]
Jadi kita sudah membentuk satu kepanitiaan yang memang sudah berjalan, tiga kali rapat, dan memang sudah cukup efektif berjalan sampai kepada pemikiran untuk bagaimana membentuk suatu reuni yang lebih efektif dan bisa dikatakan 'safe' begitu. Kemarin waktu ketemu dengan SC (Steering Commitee), yang kita kenal orang per orang dan dipakai sebagai SC, SC kemudian memberi usul. Karena waktu itu panitia menginginkan suatu yayasan baru, atau suatu lembaga baru, yang bisa menaungi kelompok pro demokrasi. Muncul satu persoalan baru bahwa untuk membentuk satu yayasan itu sangat sulit, membutuhkan suatu tenaga yang memang punya skill khusus dan kemampuan dana yang cukup besar. Oleh karena itu masukan dari SC adalah kenapa tidak mendukung yayasan yang memang sudah terbentuk dan didukung oleh orang-orang KPD itu sendiri. Bukan persoalan profitnya yang akan ditekankan dalam operasionalnya, tetapi yayasan ini adalah merupakan suatu "homebase" atau "centre" dari komunikasi, atau suatu "pusat" dari jaringan anggota-anggota KPD. Jadi, oleh karena itu sekarang pun kami membutuhkan satu informasi dari pengurus PERCIK, untuk menyampaikan hal-hal yang telah kita sampaikan kepada PERCIK itu sendiri. Silahkan Pak Samiana, terima kasih .
I Made Samiana
:
Begini saudara-saudara, ada dua hal yang saya jawab. Bersamaan dengan keinginan teman-teman mengadakan reuni, juga ada percakapan dengan seseorang yang sangat concern dengan kita, dengan Satya Wacana, dengan nasib kita, yaitu Pak Philip Quarles namanya, dari Belanda. Orang ini sebenarnya yang mendirikan LPIS di Satya Wacana hingga menjadi besar. Nah, ada dua percakapan itu yang menyebabkan kemudian ada sejumlah dosen senior mengadakan pertemuan, lalu mencoba menampung itu. Nah, tampungan dari kedua hal itu akhirnya disepakati bahwa PERCIK dijadikan "home-base" seperti dikatakan begitu, wadah bagi kegiatan-kegiatan kita bersama. Cuma memang dibentuk atau dibuat di dalam struktur yang sudah ada. Dilalah (istilah Jawa), dalam AD/ART PERCIK hal seperti itu terwadahi. Jadi dengan pikiran seperti itu sudah ada pertemuan dua kali di kalangan kami. Akhirnya memang diputuskan bahwa kita akan mencoba menampung aspirasi seperti itu, terutama kegiatan bagi teman-teman, istilahnya teman-teman yang muda, yang sedang berkembang, yang sedang energik. Lalu di PERCIK dibuka satu struktur, disebut Departemen Kepemudaan. Itu komandannya Indra Budiman, demonstran 'kenceng'.
http://slamethdotkom.wordpress.com
310
[email protected]
Maksud saya, nanti gagasan-gagasan yang ada di teman-teman panitia yang sudah dibentuk tetap saja jalan, dalam struktur begitulah dia bentuknya. Nah, kemudian silahkan teman-teman memikirkan kegiatan-kegiatan dan lain sebagainya, kemudian bicarakan dengan SC yang sudah ada di dalam. Pada akhirnya tentu PERCIK sebagai lembaga yang akan bertanggungjawab, saya kira, sebagai konsekwensi logis. Nah, kalau teman-teman semua setuju dengan pikiran seperti begitu ; mari, saya kira lembaga ini - PERCIK, kita galang kembali persatuan, apapun impian yang sudah ada asal dirumuskan dengan jelas, kemudian juga kita punya visi bersama, Pak Tono mengatakan kita harus punya visi ke depan yang cemerlang. Dan mungkin kita bersama-sama, sementara itu ada bidang-bidang lain tetap juga akan dikembangkan. Dan sekarang PERCIK sedang juga membuat semacam kelompok kerja terdiri dari sejumlah orang pakar, ada Pak Tono, ada Pak Nico di dalamnya, Pak Pradjarta, Pak Budi dan beberapa teman. Nah, itu juga yang akan mencoba mempercakapkan kegiatan-kegiatan PERCIK, bagaimana mengisinya juga hubungan ke luar dan segala macam itu. Yang berkaitan dengan Departemen Kepemudaan, Mas Indra akan dibantu, juga ada usulan ada beberapa teman yang menjadi semacam kelompok kerjanya, merumuskan itu semua, lalu kemudian kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Dalam bayangan saya misalnya, kelompok yang ada di sini itu adalah membuat kegiatan untuk diri anda. Disinggung di dalam rapat kami yang terbatas itu misalnya, kalau teman-teman menginginkan ada penambahan tentang pengetahuan metodologi, dibuat programnya, mungkin Pak Nico bisa memberikan satu sessi, gratis barangkali. Ya, itu mungkin ada kegiatan apa namanya lagi, mungkin bahasa Inggris atau apa lagi, itu dirancang bersamasama. Tetapi kegiatan lain di antaranya yang disebut 'studi-penelitian' dan lain sebagainya, itu tentu sudah dianggap dalam "program-program yang bisa dilaksanakan, bisa dijual, bisa menghasilkan uang", supaya PERCIK bisa hidup. Kalau anda sudah 'jagoan' di bidang penelitian dan jadi enumurator, kalau ada program silahkan masuk menjadi enumurator sambil belajar menjadi peneliti. Suatu ketika akhirnya kita sama-sama, ya membesarkan ini. Itu ide besarnya ! Bagaimanapun juga ini ide-ide yang masih besar, yang masih harus digodok. Besok kami berapat lagi, saya berharap juga Mas Indra akan mengadakan rapat dengan teman-teman. Ada tambatan, moga-moga bisa di'share' pada saatnya, sekarang masih dibuat terbatas. Tetapi
http://slamethdotkom.wordpress.com
311
[email protected]
baiklah kita saling memberikan informasi, kita saling ngomong apa saja, kalau ada gagasangagasan mari kita lihat, sepanjang kita mampu melaksanakannya. Itu yang saya bisa katakan pada teman-teman. Dengan demikian Mas Yoyok bersama dengan teman-teman, saya kira teruskan gagasan itu, letaknya saya kira seperti itu. Jadi, silahkan saja.Kami yang tua, 'tut wuri handayani'lah ? Kalau ada tambahan, Pak Pradjarta ?
Pradjarta DS
: Ada, hanya untuk memberi penekanan saja .
Waktu diskusi dengan Philip itu ada dua hal yang dirasa penting. Yang pertama adalah bagaimana menghimpun kembali atau mencegah tercerai-berainya potensi-potensi yang dulu ada di Satya Wacana. Kita kan sekarang tercerai-berai ? Kita tidak hanya bicara tentang apa yang disebut Pak Samiana dengan orang-orang pakar itu, tetapi juga orang-orang yang punya idealisme. Lalu yang kedua, bagaimana melakukan memberi wadah kepada generasi muda. Itu kan yang
sibuk, yang dipikir-pikir kan semua tentang hal yang muluk-muluk itu, padahal ada
tanggung jawab juga untuk memperhatikan generasi muda. Nah, itu yang kemudian dipikir bahwa mungkin PERCIK bisa jadi "home-base", di mana aktivitas-aktivitas dari mereka dulu yang bergabung di dalam KPD ini bisa ditampung, bahkan juga yang ada di luarnya. Itu saya kira tambahan, mungkin Pak Tono bisa menambahi.
I Made Samiana
:
Jadi, begitu saudara-saudara. Pak Tono ndak tahu punya program besar di Yogya, punya lembaga besar di Yogyakarta, tapi itu juga merupakan bahagian yang nanti bisa diatur. Jadi kalau saya boleh katakan ya mungkin di Yogya juga menjadi support dari PERCIK, juga apa yang bisa dilakukan oleh PERCIK dengan DIAN di Yogya, ada lembaga LSP, ada UB, ada teman-teman di GENI, ya bagaimana kita sebetulnya menjadikan itu semua menjadi kekuatan. Karena asumsi saya, sepanjang ya cara pandang kita sama, ideal kita sama, dan kalau sudah berbeda ya lain. Tapi sementara saya melihat itu kemungkinan-kemungkinan yang ada. Itu saja, ada pertanyaan ?
Danang
: Saya langsung kemukakan saja.
http://slamethdotkom.wordpress.com
312
[email protected]
Selama ini ada keluhan juga dari teman-teman di GENI bahwa sebelumnya mereka dulu waktu UKSW masih ada, ada semacam tradisi diskusi dulu, mungkin di kampus sehingga melembaga, tetapi semenjak kami ramai-ramai ke luar dari kampus, kami sering kehilangan itu. Alangkah baiknya, saya tidak tahu modelnya apa, tetapi yang jelas ada rencana studi terutama untuk anak-anak muda ini, sangat kami harapkan. Kami mau mengelola itu, apa kerjasama dengan PERCIK, atau LSP tadi dan lainnya. Tapi mungkin perlu pembicaraan komprehensif lagi tentang kelompok kecil itu, semacam bikin kerangka kerja begitu. Itu saja !
I Made Samiana
:
Yah, jadi itulah yang sedang dilakukan sekarang. Saya kadang-kadang juga merasakan prematur untuk menginformasikan pada anda, karena baru akan ada percakapan besok lagi secara intensif. Syukur-syukur kalau itu sudah jadi, kemudian dalam bentuk leaflet, kemudian kita buka, lalu kembali bersama, kemudian kita bisa menempatkan dan bisa melihat. Saya kira saya setuju mesti ada percakapan kembali mengenai kerangka kerja, programnya, kemudian kita letakkan bersama-sama. Begitu saya kira .....
Sih Mirmantyo
:
Saya tambahi. Rencana reuni itu akan diadakan tanggal 25 Oktober 1997. Itu bersamaan dengan demonstrasi akbar pertama waktu pemecatan Arief Budiman, teman-teman mengusulkan begitu. Tetapi ini tidak menutup suatu kemungkinan untuk diundur atau diajukan, itu bisa, tergantung nanti keputusan rapat. Begitu, Pak !
I Made Samiana ( Kata Penutup ) : Jadi kita saling berkomunikasi berbagai kemungkinan-kemungkinan tentang reuni itu. Silahkanlah digodok ! Masih ada ? Kalau seandainya tidak ada, saya kira ini kesempatan baik bagi kita mulai bertemu, mulai menata, moga-moga pada kesempatan lain, kalau diskusi atau apa saja di masamasa mendatang, kita bisa bertemu kembali, kita sharing kembali, kita saling berbicara. Akhirul kata, terima kasih banyak atas perhatian saudara-saudara. Sampai jumpa ……!!!!
http://slamethdotkom.wordpress.com
313
[email protected]