ISLAM DAN MANAJEMEN KEBENARAN Supawi Pawenang Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102 Telp. (0271) 717417, 719483 (Hunting) Faks. (0271) 715448
ABSTRAK Tulisan ini adalah menelusuri tentang bagaimana konsep Islam tentang masalah kebenaran, dari fakta yang diangkat kemudian didapatkan sebuah kesimpulan bahwa syarat untuk mencapai kebenaran adalah adanya penerimaan aspek-aspek metafisika sangat penting kalau kita hendak melakukan reaktualisasi Islam atau pribumisasi Islam. Karena dengan menerima aspek-aspek metafisika, kita dapat menangkap makna Al Qur’an sebagai sistem nilai dengan benar, memahami epistemologi paradigma Islam, serta menggunakan Islam sebagai ilmu sosial. Ketiga hal ini merupakan ujung tombak pencapaian rahmatan lil alamin, karena di dalam esensinya bersemayam kebenaran. Kebenaran ini akan terkuak ketika ada perpaduan antara unsur metafisika berkolaborasi dengan unsur fisis. Kata Kunci: Islam, metafisika, manajemen, kebenaran
Allah berfirman “....Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu....” (QS Al Maaidah ayat 3). Di dalam makna itu sebenarnya Allah telah menetapkan Islam sebagai sebuah sistem manajemen yang
48
diorientasikan untuk menata kehidupan dalam kerangka kebenaran. Penetapan sistem ini tentu dilatarbelakangi oleh adanya kerancuan akan kebenaran yang telah berlangsung dari zaman sebelum lahirnya Islam, bahkan hingga kini kerancuan itu masih terjadi. Kerancuan itu berkisar antara pertanyaan tentang
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
apa itu kebenaran? Kebenaran siapa yang paling benar? Sementara setiap manusia mempunyai klaim kebenarannya sendiri, yang kebanyakan berseberangan dengan klaim kebenaran orang lain, meskipun orang-orang tersebut berada dalam keimanan keagamaan yang sama, yaitu Islam. Semakin rancu lagi ketika Islam muncul dalam berbagai wajah, yang makin hari jumlah wajahnya makin banyak, dan tiap wajah mempunyai klaim kebenaran sendiri. Bahkan, akhirakhir ini ada fenomena klaim kebenaran dari kelompok wajah Islam yang satu atas wajah Islam yang lain, dengan menyatakan kesesatan. Klaim kesesatan ini ternyata mendapat perlawanan dari kelompok tertuduh, bahwa ia tetap dalam kebenaran. Lantas, dimana kebenaran berada? Sementara sistem kebenaran telah disiapkan. Bagaimana menuju kebenaran itu? Filsafat Kebenaran Dalam dunia sains, yang lingkupnya empiris, kebenaran bisa diverifikasi, namun untuk non sains, kebenaran menjadi paradoksal. Untuk segala ilmu, persoalan yang mendasar dalam memverifikasi kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan kenyataan. Tetapi apakah bila terjadi persesuaian terus dapat dikatakan dengan benar? Bagaimana dengan kondisi manusia yang senantiasa dinamis dan multidimensional? Manusia pada umumnya dinamis, dalam arti terus menuju pada kebenaran dan tidak berhenti. Sifat dinamis ini
dipengaruhi oleh sejarah, lingkungan sosial, kebudayaan, dan faktor-faktor individual. Sifat dari pengaruh ini tidak semua manusia, tergantung juga pada kemampuan respon, ruang, waktu, dan kondisi, sehingga dampak dari pengaruh itu menjadi relatif, dan manusia menjadi bersifat unik. Namun tetap dalam kemutlakan menuju kepada kebenaran. Hubungan antara relatif dan kemutlakan ini memunculkan sifat paradoksal, artinya, tidak melulu relatif (relativisme) dan tidak melulu mutlak (dogmatisme atau fundamentalisme). Sifat ini yang menjadikan pertanyaan tentang sistematika kebenaran akan dapat terjawab. Ada pengakuan atas dua kebenaran yang bertentangan, namun hanya benar dalam kesatuan keduanya. Hal seperti ini dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai hal mencapai kebenaran. Misalnya, ketika terjadi persengketaan tentang siapa yang berhak menempatkan Hajar Aswad di bangunan Ka’bah, Nabi kemudian meleraikan persengketaan dengan cara menggelarkan kainnya untuk digunakan mengangkat batu tersebut secara bersama-sama. Sehingga, dua pihak yang bersengketa tadi sama-sama menikmati kebenaran. Demikian pula ketika Nabi meleraikan klaim kebenaran antara Abu Bakar dan Umar dalam perihal puasa, Nabi dengan gaya paradoksalnya mengapresiasi keduanya dengan mengatakan bahwa Umar benar karena mencontoh perbuatan Rasul, sementara Abu Bakar juga benar, karena kehati-
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
49
hatiannya. Dua pihak yang semula berada dalam “keabsurdan” berubah menjadi sama-sama menerima kebenaran, dan persengketaanpun berakhir. Contoh perilaku Nabi ini tidak terhenti pada tataran praktis. Tataran teoritispun ada, yaitu yang tertuang dalam Al Qur’an. Dalam Al Qur’an ataupun As Sunah banyak ditemukan kebenaran mutlak sekaligus relatif, obyektif sekaligus subyektif, tetap sekaligus dinamis, empiris sekaligus metaempiris, terbatas sekaligus tidak terbatas. Karena sifanya yang paradoksal, kebenaran, menurut Van Melsen (dikutip oleh Adelbert Snijder) selalu berada on the edge of contradiction.1 Oleh karena itu, manusia sering merasa sulit hidup dengan paradoks, sehingga tergoda untuk menghapus sifat paradoksal. Ini yang kemudian memunculkan kelompok dogmatisme dan fundamentalisme, yang cenderung menghapuskan hal-hal yang bersifat relatif, enggan mengakui kelompok relativisme dan subyektivisme yang cenderung beranggapan segalanya bersifat tidak ada yang mutlak, tetap, dan umum. Sifat relatif tidak diperdamaikan dengan sifat universalitas kebenaran, tetapi diekstremkan, dan segala unsur kesamaan serta universalitas dihapuskan. Kecenderungannya berpendapat bahwa
yang benar untuk anda belum tentu benar bagi saya. Perlu diingat, relatif berbeda dengan relativisme. Relativisme menghapus kemutlakan dan universalitas. Sifat ini yang banyak merasuki wilayah moralitas dan politik, serta agama. Keputusan bias banyak terjadi akibat sifat ini. Baik dan jahat dianggap relatif, tergantung dari siapa yang menilainya, juga tergantung pada zamannya. Maka, dasar untuk dialog tidak ada, biasanya tidak akan mencapai titik temu. Orang yang berdialog dipersyaratkan pada kenyataan yang terjadi. Bukan idealitas. Dalam arena politik, relativisme ini mewujud dalam istilah tidak ada persahabatan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Benar dan tidak benar sudah bias, yang dibutuhkan adalah bagaimana teknik meyakinkan (retorika). Kondisi politik seperti itu, dalam istilah Yunani, menunjukkan adanya proses entmythologisierung. Dewa-dewa dianggap sudah mati. Peran dari the supreme being seolah tidak berlaku lagi.2 Pernyataan dalam perilaku politik di atas menunjukkan adanya reduksi kebenaran sebatas pada kepentingan sesaat. Perihal waktu yang berjalan sangat lama dan abadi tidak dipertimbangkan. Unsur metafisika juga tidak nampak. Hal yang sama terjadi ketika
1
Lihat: Adelbert Snijders, 2006, Manusia dan Kebenaran, Pustaka Filsafat, Kanisius, Jakarta, h.4 Ini telah terjadi pada zamannya Sokrates. Yunani ketika itu terjadi goncangan atas kebudayaannya. Pernyataan Nietzcshe tentang Gott ist tod (Tuhan sudah mati) juga mengakibatkan goncangan kebudayaan. Ini berarti telah terjadi transformasi dari mitos ke logos (entgotterung). 2
50
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
ilmu ukur ditempatkan sebagai referensi kebenaran. Kebenarannya hanya bersifat observatif empiris kuantitatif. Hal-hal yang bersifat kualitatif tidak tersentuh, bahkan dapat dikatakan irrelevant. Demikian juga terhadap yang bersifat metafisika diabaikan, padahal metafisika seluas segala kenyataan, tidak partikular.3 Ia terfokus pada “ada’, yaitu segala apa yang berlaku untuk “ada” karena dan sejauh ia “ada”.4 Jadi, kebenaran saat ini masih belum bersifat multidimensional. Metodologi pencarian kebenaran saat ini masih bersifat reduktif atas kebenaran itu sendiri. Hal yang menyebabkan tereduksinya kebenaran adalah pada cara memverifikasi kebenaran yang dijadikan penunjang ilmu pengetahuan saat ini. Dengan metode observasi, pernyataan bahwa Tuhan itu ada, tidak dapat dibuktikan. Metode filsafat tidak dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran ilmu alam. Dengan metode ilmu ukur, tidak dapat membuktikan bahwa dunia dan seisinya ini adalah ciptaan Tuhan. Pada dasarnya, masing-masing ilmu berupaya untuk memperoleh jawaban atas kebenaran. Benar diartikan sebagai kesesuaian dengan kenyataan. Tentu saja dasar kesatuannya adalah
kenyataan. Di dalam kenyataan itu sendiri ada sifat mutlak dan relatif. Bersifat mutlak karena dasar pengetahuan yang benar adalah yang menyatakan diri. Bersifat relatif karena relasi pada subyek yang mengenal. Kalau subyeknya manusia, maka kenyataannya harus diketahui dengan cara manusia. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah unsur korelatif dalam pengetahuan. Karena, unsur korelatif ini yang menjadi dasar keanekaragaman ilmu. Unsur korelatif ini yang menjadi penentu perbedaan antara kenyataan dengan kebenaran. Kenyataan terjadi jika ada relasi kepada subyek. Ketika relasinya mengiyakan atau setuju, maka itulah kenyataannya. Tetapi kenyataan ini belum dapat dikatakan kebenaran, karena kebenaran sendiri bersifat absolut (ab-solutum: lepas dari) atau mutlak. Dasar dari kemutlakan adalah kenyataan dalam diri sendiri. Jadi, pengetahuan bersifat relatif karena ada relasi dengan subyek. Kenyataan menyatakan diri kepada subyek. Manusia mengenal dengan cara manusia. Bukan dengan cara binatang, tumbuhan, malaikat, atau bahkan Tuhan. Orang mengenal dengan caranya sendiri, tidak dengan cara orang lain. Semakin tegas bahwa kenyataan belum tentu menunjukkan kebenaran.
3
Bahasa Aristoteles atas Metafisika: ens in quantum ens. Artinya, menyentuh everything dan all what is. 4 Opcit, Adelbert Snijder
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
51
Ilmu Fiqh sebagai Instrumen Pencari Kebenaran Islam menyadari sepenuhnya bahwa kebenaran bersifat paradoksal. Begitu pula mengakui adanya kecenderungan manusia untuk meninggalkan sifat paradoksalitasnya, dan lebih cenderung berpihak pada sisi tertentu dan membentuk corak tersendiri. Berkali-kali Nabi Muhammad SAW menampilkan gaya yang bersifat moderatif, namun pesannya bersifat universal. Ini yang tercermin dalam pesannya bahwa Islam berada pada posisi ummatan wasathan. Ini merupakan konsen Nabi yang mengakui bahwa moderasi dalam mencari kebenaran dapat dilakukan. Ulama-ulama Islam yang hidup setelah Nabi Muhammad, juga sangat konsen dengan konsep ummatan wasathan ini. Semangat yang ingin ditampilkan dan dipedomani oleh ummat muslim di dunia tercermin pada adanya penerapan metode pencarian kebenaran yang bersifat keilmuan ushul fiqh. Ilmu ushul fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’at Islam dari sumber aslinya, al Qur’an dan Sunnah. Adanya ilmu ushul fiqh ini menyiratkan bahwa ada pengakuan bahwa al Qur’an dan Sunnah yang bersifat teks ini sangat interpretatif. Ada unsur kerelatifan dan kemutlakan secara sekaligus. Kedua unsur ini yang dapat mengakibatkan munculnya kutub relati-
5
52
visme dan fundamentalisme secara bersamaan. Dengan munculnya ilmu ushul fiqh ini diharapkan dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at Islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia. Tujuan ini menunjukkan upaya perwujudan paradoksalitas kebenaran yang tersistematisasi. Untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah SAW, yang tertuang dalam al Qur’an dan Sunnah, para ulama ushul fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaidah kebahasaan dan melalui pendekatan maqashid al syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum). Pendekatan melalui kaidah kebahasaan ditujukan untuk mengetahui dalil-dalil yang umum dan yang khusus, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy, dan sebagainya. Dalam kaidah kebahasaan ini dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara dhahir, sehingga seluruh dalil yang ada dalam alQur’an dan Sunnah dapat dipahami serta diamalkan. Persoalan hukum dalam pendekatan ini terkait langsung dengan nash (al Qur’an dan Sunnah).5 Pendekatan maqashid al syari’ah, penekanannya terletak pada upaya menyingkap dan menjelaskan hukum
Nasrun Harun, 1997, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
dari suatu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum. Teori yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash-nya secara khusus, dapat diketahui melalui metode ijma, qiyas, istishan, istishlah, istishab, zari’ah, ’urf, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya inti dari maqashid al syari’ah adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, berbagai metode yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum pada setiap kasus yang tidak ada nash-nya, harus senantiasa berorientasi kepada kemaslahatan umat.6 Upaya mencapai paradoksalitas kebenaran begitu ditekankan dalam Islam. Metode ushul fiqh dapat dijadikan instrumen untuk mencapainya. Karena pendekatan yang digunakan tidak bersifat one dimensional tetapi multidimensional. Imama abu Ishaq al Syatibi, pakar ushul fiqh Maliki (w.790 H), mengemukakan bahwa mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang pokok (dharuri), karena melalui ilmu inilah dapat dipahami kandungan dan maksud setiap dalil syara’, sekaligus menerapkannya. Seorang mujtahid, di samping berijtihad langsung kepada nash, juga berijtihad dalam menerapkan hukum yang telah dihasilkan itu pada kenyataan
yang ada. Oleh sebab itu, menurutnya, seorang mujtahid dalam menghadapi suatu kasus yang harus dicarikan hukumnya, harus melakukan dua kali ijtihad. Ijtihad pertama adalah ijtihad istinbathi, yaitu berijtihad dalam memperoleh hukum dari nash, dan kedua ijtihad tathbiqi, yaitu suatu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan ketentuan hukum yang telah dihasilkan dari nash tersebut.7 Pada ijtihad pertama seorang mujtahid berhadapan langsung dengan nash, sedangkan pada ijtihad kedua ia berhadapan dengan kenyataan, subyek dan obyek hukum. Adakalanya hukum yang telah dihasilkan berdasarkan ijtihad langsung pada nash itu tidak bisa diterapkan pada subyek atau obyek hukum, karena jika hukum itu diterapkan akan berdampak negtif yang lebih besar. Artinya, kemaslahatan yang ingin dicapai dari penerapan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad istinbathi itu berhadapan dengan suatu kemudharatan atau kemafsadatan yang kualitasnya lebih besar dari kemaslahatan yang dicapai.8 Dalam kasus seperti ini, menurut Syatibi, mujtahid harus mencarikan hukum lain, sehingga kemaslahatan bisa dicapai dan kemafsadatan tidak muncul. Dalam Islam, siapapun orangnya dapat melakukan ijtihad, artinya mencari kebenaran dengan menggunakan ke-
6
ibid Al-Syatibi, 1973, Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Beirut: Dar al Ma’rifah. 8 Opcit, Narun Harun 7
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
53
mampuannya sendiri. Karena asumsinya adalah semua muslim mempunyai hak yang sama untuk menentukan kebenaran, ada kebebasan untuk berpendapat, semua diberi kemampuan untuk menggunakan akalnya, dan ada perintah melakukan iqra, yang tujuan dasarnya adalah mencapai kebenaran. Hanya saja, kemampuan manusia terkadang terbatas oleh berbagai hal seperti tingkat informasi yang diterima, kemampuan mengabstraksi pengetahuan, lingkungan yang kurang kondusif untuk mengembangkan pengetahuan, keterbatasan waktu untuk mempelajari, dan lemahnya sumber referensi. Kendala-kendala ini akan mempengaruhi kualitas kebenaran dari ijtihad yang dilakukan. Oleh karena itu, Islam menyediakan keilmuan sebagai instrumen ijtihad, yang dikonstruk oleh ilmuwan-ilmuwan yang mumpuni dalam bidang pencarian kebenaran (baca: fuqaha). Jadi keilmuan ushul fiqh merupakan instrumen referensial yang digunakan untuk memudahkan muslim untuk mencari kebenaran. Perannya adalah sebagai alat bantu, bukan pembelenggu. Bahkan, Islam sepakat mengapresiasi umatnya untuk melakukan ijtihad.9 Ini adalah bentuk apresiasi yang motivatif. Ushul fiqh, meskipun di atas telah dijelaskan hanya ada dua pendekatan ijtihad, bukan berarti hanya terbatas pada dua bahasan mikro saja. Dua pendekatan ijtihad tadi adalah dua konsep makro,
yang didalamnya terdapat beberapa konsep mikro yang digunakan sebagai pendukung metode ijtihad. Di dalamnya meliputi historisitas, sosiologi, antropologi, filsafat, psikologi, dan sebagainya. Pendekatan dalam ushul fiqh sebenarnya serupa dengan pendekatan hermeneutika. Ia lintas keilmuan, bukan hanya terbatas pada tataran teoritis, tetapi mencapai praksis sekaligus. Islam Memotivasi Umat Mencapai Kebenaran Luasnya keilmuan pendukung metode pencari kebenaran, terkadang membatasi kemampuan orang-perorang. Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan di bidang itu. Menyadari akan hal itu, maka para ulama melakukan proses transformasi kemampuan untuk mengembangkan kemampuan yang ada dalam masyarakat. Proses transformasi ini meliputi peningkatan pegetahuan hingga pada pemotivasian. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pola pendidikan yang tertua adalah pendidikan agama, yang di dalamnya ada unsur peningkatan pengetahuan sekaligus pemotivasian. Ini menunjukkan bahwa kepedulian kaumkaum beragama terhadap peningkatan kualitas kehidupan manusia menuju kepada kebenaran adalah sudah tertanam dari dulu. Hanya saja perkembangannya tidak seperti yang diharapkan. Perilaku yang transformatif tetap berlang-
9 yang dibahasakan secara kuantitatif dalam perolehan pahala, kalau benar mendapat pahala dua, dan bila salah mendapat pahala satu.
54
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
mampu. Ada upaya untuk melakukan tetapi tidak didukung oleh kemampuan yang memadai. Cara kerjanya tidak efektif, tidak efisien, kurang sistematis, probabilitasnya untuk berbuat salah adalah besar. Golongan keempat adalah kelompok orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan sekaligus tidak mempunyai kemauan. Kelompok inilah yang tergolong sebagai kebodohan, kemiskinan, apatis absolut yang terstruktur. Kondisi yang terakhir ini yang paling tidak bermanfaat, meskipun gologan kedua dan ketiga juga merupakan golongan orang-orang yang parasitis. Kemauan Tinggi
Kemampuan
sung dalam Islam, karena ajaran-ajaran Islam pada dasarnya adalah memotivasi masyarakatnya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya. Ayat yang mengatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat dibanding lainnya, ayat iqra yang menyuruh untuk senantiasa membaca kejadian, serta ayat peringatan bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan sebaik-baiknya, tetapi dapat juga menglami keterperosokan di tempat yang terendah dan tak berguna, menunjukkan bahwa motivasi dalam Islam begitu dominan. Motivasi dalam Islam tidak hanya terbatas pada tataran norma, nilai, tetapi juga pada tindakan praktis. Terdapat beberapa pernyataan yang motivatif. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa pada dasarnya manusia dapat dibedakan karakteristiknya melalui penggambaran dalam matriks antara tingkat kemampuan dan tingkat kemauan. Manusia muslim ideal adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai kemampuan didukung oleh kemauan. Orang-orang golongan ini akan berpotensi mencapai prestasi puncak dalam segala hal, baik yang bersifat materi maupun non materi. Golongan kedua adalah orang yang mempunyai kemampuan tetapi tidak mau melakukan apa saja. Golongan ini mencerminkan orang yang malas, tidak berkepedulian, daya empatinya rendah, dan bersifat apatis. Golongan ketiga adalah kelompok orang-orang yang mempunyai kemauan tetapi tidak
Tinggi
Potensi kesuksesannya tinggi
Rendah
Tidak Efektif, Tidak Efisien, Potensi Keliru Tinggi
Rendah
Pemalas, Empati Rendah, Tidak Peduli
Kebodohan, Kemiskinan, Terstruktur
Gambar. Matrik Kemampuan dan Kemauan
Matriks di atas selain hanya bertujuan untuk kategorisasi karakter manusia, di baliknya ada upaya pemotivasian dengan teknik identifikasi. Pemotivasian ini merupakan pemotivasian tingkat awal, untuk membangkitkan kesadaran seseorang. Ditinjau dari ingkat urgensinya, pemotivasian pada tahapan ini tergolong penting tapi tidak mendesak. Ini tetap perlu dilakukan. Motivasi merupakan salah satu komponen penting dalam meraih keber-
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
55
hasilan suatu proses aktivitas, karena memuat unsur pendorong bagi seseorang untuk melakukan aktivitas sendiri maupun berkelompok. Suatu dorongan dapat berasal dari dalam dirinya sendiri, yang berupa kesadaran diri untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik atau memberikan yang terbaik atau dengan alasan luhur lainnya. Tidak setiap orang mempunyai dorongan yang positif, terkadang mereka memerlukan bantuan orang lain untuk menuju kesempurnaan motivasinya hingga riil berupa aktivitas. Motivasi pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kualitas, baik kualitas tindakan, perkataan, ataupun pemikiran. Peningkatan kualitas akan tercapai bilamana didahului oleh perubahan sikap dan perilaku manusia tersebut, yang menjadi pendukung utama perubahan. Langkah-langkah perangsangnya dapat melalui pencarian nilai-nilai baru, yang kemudian dimasyarakatkan, dilaksanakan, disempurnakan terus, hingga menjadi kebiasaan. Proses ini disebut dengan proses pembelajaran (learning). Setelah menjadi kebiasaan ini baru akan menjadi budaya. Upaya yang
terkandung dalam perubahan tersebut diarahkan untuk menguatkan motivasi. Motivasi tidak akan berarti tanpa didukung oleh ketrampilan yang memadai, nilai-nilai kepribadian yang unggul, serta lingkungan yang kondusif. Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan yang menyebabkan individu itu beraksi. Kekuatan tersebut disebut dengan ketegangan (tension) yang dapat disebabkan oleh adanya berbagai kebutuhan, keingin, atapun keperluan. Kebutuhan sendiri dapat digolongkan sebagai kebutuhan biologis atau psikologis. Kebutuhan biologis meliputi makanan, air, udara, pakaian, sex, tempat perlindungan (shelter). Kebutuhankebutuhan biologis ini dapat disebut sebagai innateneeds yang tergolong sebagai primary needs (motives). Kebutuhan psikologis (psychogenic) meliputi penghargaan diri (self esteem), martabat (prestige), kasih sayang (affection), kekuasaan (power), pembelajaran (learning). Kebutuhankebutuhan ini dapat disebut sebagai acquiredneeds yang tergolong ke dalam secondary needs (motives). Learning
Unfulfilled Needs, wants, desires
Tension
Drive
Behavior
Cognitive processes Tension reduction
Gambar Model Proses Motivasi 56
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
Goal or Needs fulfillment
Model terciptanya motivasi dan pemenuhannya, hingga menjadi nilai-nilai baru dapat dimodelkan sebagai berikut: Motivasi adalah proses dasar psychology, di dalamnya meliputi personality, attitudes dan pembelajaran. Motivasi bersifat abstrak sama seperti proses kognitif, tetapi ini merupakan halhal penting untuk mengetahui perilaku. Timbulnya motivasi adalah bermula adanya kebutuhan pada sisi phisik maupun psikis sehingga mengakibatkan dorongan timbulnya perilaku untuk mencapai suatu tujuan yaitu imbalan. Tiga kata yang selalu mengikuti dalam membahas motivasi adalah kebutuhan (needs), dorongan (drives), dan imbalan (incentive). Berkaitan dengan upaya pencarian kebenaran, kebutuhan akan kebenaran sudah menjadi kebutuhan pokok yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam setiap tarikan ritual keagamaan, dalam Islam, penganut dihadapkan pada kebutuhan yang mendasar akan pencapaian kebenaran. Ketika pengucapan syahadat, setiap muslim dihadapkan pada teka-teki kebenaran. Karena obyek yang diyakini, Tuhan, tidak dapat diverifikasi dengan cara-cara yang observatif. Tidak dapat pula diukur dengan metode yang kuantitatif. Jawaban tentang kebenaran, masih berada dalam wilayah keyakinan, namun telah mampu mengurangi rasa ketegangan akan pertanyaan tentang kebenaran. Reduksi ketegangan ini dapat 10
terjadi karena ada proses pembelajaran (learning) yang diaktifkan melalui pemahaman akan referensi utamanya, yaitu al Qur’an dan as Sunah, serta mengaktifkan kemampuan spiritualitas dan filosofis yang ada dalam jiwanya. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa sebenarnya manusia meyakini kebenaran atas tindakan yang dilakukan. Ukuranukuran dalam meyakini kebenaran tentu terkait pula dengan alasan bertindaknya. Secara filosofis, alasan bertindak yang untuk mencari kebenaran, dapat dikaitkan dengan perilaku moral seseorang. Alasan untuk bermoral dapat digolongkan sebagai alasan prudensial dan alasan moral itu sendiri. Digolongkan sebagai alasan prudensial jika apa yang dilakukan dilandasi alasan keinginan untuk melakukan, atau karena mempunyai kepentingan. Ketika alasannya seperti itu, maka tindakannya tidak dapat dikatakan sebagai alasan moral.10 Alasan moral dibenarkan jika yang melatarbelakangi tindakannya adalah karena sesuatu itu hal yang seharusnya dilakukan. Alasan moral biasanya dikaitkan karena itu diperintahkan oleh Allah. Tetapi kalau alasannya mematuhi Allah agar Allah tidak memasukkannya ke dalam neraka, maka sejatinya yang terjadi adalah pergeseran dari makna moral ke makna prudensial. Barangkali atas dasar alasan ini Rabi’ah Adawiyah11 dalam permohonannya kepada Tuhan mengatakan agar Tuhan tidak menerima ibadah-
Mark Rowlands, 2004, Menikmati Filsafat Melalui Film Science Fiction, Mizan, Bandung
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
57
nya ketika terbersit keinginannya untuk masuk surga. Islam mengingatkan umatnya bahwa amal dari tindakan seseorang bergantung pada niatnya. Dalil ini menunjukkan bahwa Islam lebih dekat dengan filsafat deontologis yang melihat kebenaran atau kesalahan moral pada motif atau niat orang yang melakukan tindakan. Deontologis berbeda dengan konsekuensialis yang melihat tindakan dari konsekuensi yang ditimbulkannya. Pergeseran alasan dari alasan moral kepada prudensial, menunjukkan adanya dinamika dalam kematangan motivasi. Keimanan seseorang juga sering diindikasikan mengalami naik turun. Kadang pada puncak keimanan, di lain waktu terjerumus dalam jurangnya. Perubahan ini terkait dengan kebutuhan (needs) dan tujuan (goal) secara konstan tumbuh dan berbah. Penyebabnya adalah: 1) kebutuhan tidak dapat dipuaskan secara penuh, 2) kebutuhan yang baru timbul merupakan kebutuhan lama yang tidak terpuaskan, 3) kesuksesan dan kegagalan mempengaruhi tujuan, 4) tujuan yang tersubstitusi, 5) frustasi, seperti mekanisasi pertahanan (defense mechanism), penyerangan (aggression), kemunduran (regression), penarikan (withdrawl), proyeksi, represif, identifikatif, dan sebagainya, 6) keluahankeluahan motivasi, seperti keluahan
kondisi phisik, keluhan emosional, keluhan pemikiran, keluhan lingkungan, dan sebagainya. Henry Murray 12 mengatakan bahwa terdapat dua puluh delapan psycogenic needs yang dapat dipahami sebagai basis konstruksi untuk meningkatkan kepribadian secara luas. Caranya adalah mengidentifikasi dari prioritasprioritas yang ada pada masing-masing orang. Setiap orang mempunyai dasar kebutuhan yang sama, tetapi berbeda dalam menentukan urutan prioritas dalam kebutuhan. Dasar-dasar kebutuhan yang diidentifikasi oleh Murray meliputi beberapa motivasi yang diasumsikan akan memainkan peran penting dalam perilaku seseorang, seperti acquisition, achievement, recognition, dan exhibition. Apa yang diidentifikasi oleh Murray hampir serupa dengan berbagai psikolog lainnya. Sebagian dari psikolog membagi keadaan motives menjadi 3, yaitu: 1) primary motives, 2) general motives, dan 3) secondary motives. Dikategorikan sebagai primary motives jika sesuatu itu tidak diketahui atau tidak disadari dan berbasis pada aspek psikis, contohnya: lapar, haus, ngantuk, dll. Termasuk dalam general motives jika tidak disadari tetapi tidak berbasis pada aspek psikis. Contohnya: keingintahuan, manipulasi, aktivitas, dan lain-lain.
11
Seorang sufi wanita yang sangat terkenal. Henry A. Murray “Types of Human Needs” (dalam David C. McClelland, 1957, Studies in Motivation, New York: Appleton. 12
58
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
Kebutuhan yang ada dalam kelompok ini menyebabkan meningkatnya stimulus pada seseorang. Motives ini lebih menonjol pada organisasi dari pada primary motives. Secondary motives biasanya terkait erat dengan konsep pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran untuk memperkuat konsep maupun praktik berhubungan dengan motivasi ini. Keterkaitan inilah yang disebut dengan insentive. Untuk itu operasionalnya tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus simultan, karena dalam diri manusia mempunyai kebutuhan kekuasaan (power motive), kebutuhan prestasi (achievement motive), dan kebutuhan afiliasi (affiliation motive). Ketiganya disebut oleh Mc.CLelland sebagai n pow, n ach, dan n aff (Robbins, 2001:174). Indikator-Indikator Kebenaran Komposisi rukun Islam, yang dimulai dari syahadat, sholat, puasa, zakat, haji, menunjukkan kepada setiap umat manusia, khususnya orang beriman, bahwa rukun Islam itu tidak hanya digunakan untuk imanensi dan transendensi semata, tetapi juga untuk menyebarkan rahmat kepada seluruh alam. Antara aspek vertikal (habluminallah) dan aspek horisontal (habluminannas) seimbang. Untuk mencapai itu, ada keseimbangan antara halhal yang metafisis dengan rasionalitas. Maka, dalam berbagai tindakannya, Islam selalu mengingatkan untuk tidak melupakan hal-hal yang bersifat meta-
fisika, meskipun itu tidak dapat ditangkap secara inderawi. Rasionalitas tindakan disarankan, tetapi tetap mengacu pada hal-hal metafisika. Semua rukun Islam, menunjukkan ada gabungan tindakan, bermula dari penerimaan asasasas metafisika dan diwujudkan dengan rasionalitas. Penerimaan atas asas-asas metafisika dan mewujudkannya dengan rasionalitas merupakan wujud adanya keseimbangan yang itu menunjukkan adanya basis dari terciptanya prinsipprinsip keadilan. Prinsip-prinsip ini menunjukkan ketidak-berpihakan pada satu kutub saja (metafisika saja atau rasionalitas saja), tetapi merupakan parakdoksalitas tindakan yang sama dengan prinsip-prinsip kebenaran. Keadilanpun tentunya bersifat multideminsional. Maka dapat dikatakan bahwa untuk menunjukkan kebenaran, langkah yang perlu dilakukan adalah mewujudkan keadilan. Permasalahannya, keadilan sendiri bersifat abstrak, bagaimana mengukurnya perbuatan yang abstrak atau tidak inderawi seperti itu? Keadilan Semenjak awal Islam telah menyadari bahwa permasalahan-permasalahan di dunia banyak yang bersifat abstrak, karena nilai-nilai, norma, etika, semuanya berada di tataran abstrak. Namun itu realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Manusia tidak dapat mengabaikan begitu saja permasalahan dalam norma, etika, nilai-nilai. Ketika manusia
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
59
lari dari permasalahan norma, etika, dan nilai-nilai dalam kehidupan, manusia tidak akan menemukan kedamaian, akan menjumpai berbagai kegelisahan-kegelisahan. Apabila itu terjadi, dapat dikatakan bahwa manusia telah berada dalam keterbelahan, yang itu menunjukkan belum berada pada kebenaran. Nabi senantiasa mengingatkan untuk mengetahui kebenaran, maka tanyakanlah pada hati nurani masing-masing. Jika nurani sudah merasa tenteram, maka telah berada pada kebenaran. Namun demikian, karena hati bersifat abstrak, tidak mudah diindera, maka banyak orang yang melakukan pengabaian atas kata hati. Kemudian menumpukkan manfaat pada sisi yang lain, misalnya pada sisi yang lebih bersifat konkrit, meterialistik. Selama ada manfaat pada kepuasan dari sisi materi, sering kali orang mengabaikan apa yang terjadi pada sisi hati. Kebenaran kembali lagi ditarik untuk tidak bersifat paradoksal dan multideminsional. Kebenaran dijadikan tinjauan satu dimensi. Kalau ini terjadi, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan. Ketika tidak terjadi keseimbangan, maka semua tatanan apapun akan goyah dan mudah hancur. Baik itu tatanan dalam bentuk konstruksi bangunan phisik, bangunan hukum, bangunan kejiwaan, bangunan sosial, bangunan keamanan, ataupun bangunanbangunan lain. Rasul, sebenarnya juga sudah mewujudkan instrumen untuk mengkonkritkan hal abstrak seperti kejujuran, 60
keadilan, ke dalam wilayah konkrit, agar mudah diindera, dicermati, diverifikasi oleh setiap orang. Kalau hal abstrak tersebut dibiarkan tetap abstrak, maka akan sulit untuk diverifikasi kebenarannya. Langkah konkritisasi hal-hal yang abstrak tadi terlihat dari himbauan Nabi kepada umatnya untuk mencatat setiap transaksi yang dilakukan. Di balik himbauan ini, sebenarnya Nabi telah melakukan hal cerdas, yang manfaatnya tidak untuk sesaat itu saja, tetapi untuk jangka waktu yang sangat lama. Otentisitas, dimensi waktu, dimensi kebenaran, semua terangkum maknanya dalam himbauan tersebut. Jadi, pelaksanaan keilmuan akuntansi dalam setiap wilayah manajemen, pada dasarnya telah menerapkan metode Nabi untuk mengkonkritkan hal-hal abstrak. Amar ma’ruf nahy munkar Kebenaran dalam Islam tidak hanya diwujudkan dalam keadilan saja, tetapi perbuatan amar ma’ruf nahy munkar juga harus ditegakkan. Konsep ini terdiri dari dua kata yang maknanya serupa. Khayr berarti kebaikan yang berupa kebaikan universal, ma’ruf juga mempunyai arti baik dan ada kaitannya dengan adat dan kontekstual, ada hubungannya dengan ruang dan waktu. Islam selalu mengungkapkan bahwa Islam adalah untuk semesta alam, untuk kebaikan semua orang. Jadi jelas, bahwa Islam bukan untuk orang Islam sendiri secara eksklusif. Artinya, nilainilai Islam bisa dilaksanakan bagi seluruh
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
umat manusia, sehingga yang memanfaatkannya bukan hanya orang Islam itu sendiri, tapi semua orang. Misalnya, menciptakan kemakmuran. Kemakmuran adalah suatu nilai, ada dalam tataran norma dan etika. Disebut Islami atau tidak, itu adalah mencerminkan nilai kebaikan, dan semua orang akan merasakan kebaikan nilai tersebut. Menciptakan keadilan, demokrasi, dan sebagainya adalah nilai. Di dalam menerapkan nilai amar ma’ruf nahy munkar, yang menentukan adalah kreativitas, terutama kreativitas intelektual, yang itu dapat dicapai melalui pendidikan. Semakin banyak yang berpendidikan, maka akan semakin banyak tingkat intektualnya, dan akan berdampak ganda, baik secara vertikal maupun horisontal. Orang berpendidikan bergerak lebih mobil secara horisontal sekaligus vertikal. Sifatnya lebih banyak proaktif, dan tidak reaktif. Tindakan proaktif akan lebih banyak memperoleh kesempatan, sehingga lebih banyak mengambil bagian dalam berperikehidupan. Dampaknya adalah terjadinya pemupukan kemantapan pada diri sendiri, sehingga tidak ada kekuatiran terlalu banyak, sehingga kemudian akan menjadi pijakan untuk berbuat yang bermanfaat lebih banyak. Tindakan ma’ruf dan khayr berjalan secara simultan. Kalau yang terjadi adalah banyak perilaku reaktif, biasanya dilakukan oleh orang yang tingkat intelektualitasnya
rendah, dan biasanya disebabkan oleh deprivasi, perasaan tidak diikutsertakan, terabaikan, dan tidak dihargai, akan menciptakan lingkaran setan (vicious circle) sendiri, karena kecenderungannya menunjukkan sikap-sikap agresif yang negatif. Masalah ini biasanya dipicu oleh tiga hal, yaitu 1) sebab individual, biasanya orangnya tidak kooperatif, 2) orang yang sangat ideal, karena menuntut ukuran yang terlalu tinggi bagi masyarakat unuk memenuhi standar itu, 3) terseret oleh lingkungan, biasanya lingkungan pertemanan. Semangat menegakkan amar ma’ruf nahy munkar perlu didahului dengan mengejawantahkan perbuatan umat muslim kepada sesuatu yang lebih substansial dan kualitatif, pengembangan etika publik berdasarkan nilai-nilai Islam, serta pembebasan pengertian Islam dari penjara-penjara partikularistik. Perlu diingat, dan perlu juga jadi renungan, “untuk apa agama diturunkan oleh Tuhan jika hanya menguntungkan satu golongan saja dalam kehidupan riil?” Caranya adalah dengan mengembalikan peran dan fungsi Islam pada konteks yang universal, sehingga pengikutnya mewujudkan tujuan baik ajaran dan lebih bebas memfokuskan perhatian pada masalahmasalah yang menjadi agenda manusia secara universal. Dengan kata lain, Kalangan Islam perlu lebih leluasa berpartisipasi dalam dunia yang lebih luas tanpa tersekat oleh batas agama dan budaya. Dalam Istilah Nurcholish Majid,
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
61
to mark the worldbeyond religious boundaries with the Islamic values.13 Selain itu, umat Islam juga perlu melakukan dekonstruksi atas pemikiranpemikiran yang partikularistik. Karena, pemutlakan pikiran-pikiran dan lembagalembaga justru bersifat kontraproduktif dalam kehidupan riil, karena daya adaptasinya sangat rendah, juga telah mereduksi keagungan Islam itu sendiri dan membekukannya dalam terma dan tempat tertentu. Menerima azas-azas metafisika Di atas telah disinggung beberapa pandangan tentang manusia dan keterbentukannya. Beberapa pendapat filosof telah dipaparkan, mulai dari Plato, Hume, Kant, dan lain sebagainya. Pada bahasan ini akan secara khusus mencermati konsep manusia menurut Islam untuk dikaitkan maknanya dengan sub judul ini, yaitu menerima azas-azas metafisika. Konsep manusia dalam Islam tertuang baik dalam Al Qur’an maupun dalam Hadist Nabi. Dari keduanya terlihat bahwa manusia tersusun dari dua unsur, yaitu materi dan immateri, jasmani dan ruhani, yang menjadi satu kesatuan. Tubuh manusia berasal dari tanah dan ruh atau jiwa berasal dari substansi imateri di alam gaib. Ketika mati, tubuh akan kembali menjadi tanah dan ruh atau jiwa akan pulang ke alam gaib. Demikian QS
Al Mu’min ayat 12-16 menjelaskan, manusia diciptakan dari intisari tanah yang dijadikan nuthfah dan disimpan di tempat yang kokoh. Nuthfah tersebut kemudian menjadi darah beku, dan darah beku itu kemudian menjadi mudghah yang kemudian menjadi tulang. Tulang itu kemudian dibalut dengan daging dan jadilah manusia. Proses kejadian ini dilanjutkan ceritanya oleh QS Al Sajadah ayat 7-9 yang menjelaskan bahwa setelah ada bentuknya di dalam kandungan itu, Allah melengkapinya dengan perasaan, pendengaran, dan penglihatan. Perasaan, pendengaran, dan penglihatan data dilakukan dengan indera (panca indera) juga dapat dengan batin. Pada orang-orang tertentu dapat duaduanya mempunyai fungsi yang seimbang, tetapi kebanyakan manusia hanya pada indera saja yang dominan. Indera berkaitan dengan unsur jasmani, dan batin berkaitan dengan ruhani. Duaduanya dapat dipertajam fungsinya, tergantung pada cara latihannya. Ruhani atau batin dapat dipertajam melalui ibadah (syahadat, shalat, puasa, zakat, haji), karena tujuan ibadah adalah untuk penyucian jiwa. Ini penting karena Yang Maha Suci hanya bisa didekati dengan kesucian jiwa. Indera dapat dipertajam dengan melatih fungsi organ panca indera, dengan latihan-latihan yang bersifat psikomotorik.
13
dikutip dari tulisan Facry Ali, 1997, Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya, Butir-butir Catatan untuk Nurcholish Madjid, Kata Pengantar pada Buku Dialog Keterbukaan, Paramadina, Jakarta
62
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
Kolaborasi antara batin dan indera menghasilkan dua daya yang menentukan kualitas manusia. Dua daya itu adalah daya rasa, yang bertempat di dalam dada sanubari, dan daya akal atau pikir, yang bertempat di otak (kepala). Dua duanya digunakan untuk menangkap makna wahyu Tuhan baik wahyu qauliyah maupun kauniyah. Wahyu Tuhan yang Qauliyah ditangkap oleh dominan daya rasa yang bersemayam di kalbu. Wahyu yang Kauniyah ditangkap oleh dominan daya akal.14 Dua ayat al Qur’an (QS Asy Syu’araa’ ayat 192-195); (QS Al ’Alaq ayat 1-5) menunjukkan “pembicaraannya” pada hati dan akal manusia. Corak makna di dalam Al Qur’an sebagian besar membahas tentang moral, norma, nilai, yang aspek sosialitasnya sangat jelas. Makna-makna ini ditangkap oleh hati atau kalbu dan tereksplisitisasi dalam bentuk akhlak.15 Nabi Muhammad SAW sebagai seorang penerima wahyu Al Qur’an memiliki akhlak atau budi pekerti yang luhur, dan diperintahkan untuk menularkan keluhuran budinya itu kepada umat manusia di seluruh bumi. Montgomery Watt hingga berpendapat bahwa Nabi Muhammad selain sebagai pemimpin yang melakukan perubahan dan perbaikan di bidang sosial, juga
mengubah dan memperbaiki akhlak umat yang dipimpinnya.16 QS Al ’Alaq menunjukkan bicara dengan akal. Manusia dengan akalnya diperintahkan untuk berfikir, selain melalui ayat-ayat kosmos (kauniyah), juga melalui ajaran-ajaran yang membutuhkan argumentasi-argumentasi.17 Terhadap hal ini, Edward Montet menyatakan “Islam adalah agama yang pada dasarnya rasionalistis dalam arti seluas-luasnya...rasionalistis dalam arti sistem yang berdasarkan keyakinan-keyakinan pada prinsipprinsip yang ditunjang rasio”.18 Perpaduan antara akhlak dan akal ini menjadi sangat penting untuk menerima asas-asas metafisika. Kehidupan ini bermula dari tidak ada menjadi ada dan kembali menjadi tidak ada. Jika dilihat bahwa keberadaan manusia dalam hidup ini hanya beberapa tahun, kebanyakan tidak lebih dari 100 tahun, maka dapat dipastikan bahwa posisi ketiadaan sangat lama. Artinya, sangat lamanya manusia dalam ketiadaan ini, berarti asasasas metafisika sangat mendominasi dalam kehidupan manusia. Hanya saja, realita menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia cenderung didominasi unsur-unsur fisik, yang mengarahkan kepada pengetahuan pasti, bersifat kuantitatif. Aspek metafisika menjadi
14
(QS Asy Syu’araa’ ayat 192-195); (QS Al ’Alaq ayat 1-5). Harun Nasution menyebut ini sebagai pendidikan Qalbiah 16 Opcit, Harun Nasution 17 Harun Nasution menyebutnya sebagai pendidikan ‘aqliah 18 ibid 15
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
63
diabaikan. Kalau ini berlanjut terus, maka akan terjadi proses pemiskinan intelektual (intelectual impoverishment). Penerimaan aspek-aspek metafisika sangat penting kalau kita hendak melakukan reaktualisasi Islam19atau pribumisasi Islam.20Karena, hanya dengan menerima aspek-aspek metafisika kita dapat menangkap makna Al
Qur’an sebagai sistem nilai dengan benar, memahami epistemologi paradigma Islam, serta menggunakan Islam sebagai ilmu sosial. Ketiga hal ini merupakan ujung tombak pencapaian rahmatan lil alamin, karena di dalam esensinya bersemayam kebenaran. Kebenaran ini akan terkuak ketika ada perpaduan antara unsur metafisika berkolaborasi dengan unsur fisis.
19
Istilah ini dikembangkan oleh Munawir Sadzali, yang maksudnya menafsirkan kembali teks-teks suci dengan melihat realitas sosial di lapangan. Lihat Iqbal Abdurrauf Saimima, 1988, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas Jakarta, h.1-11 20 Istilah ini dikembangkan oleh Abdurrahman Wahid, yang maksudnya adalah upaya melakukan pemahaman nash dikaitkan dengan masalah-masalah domestik. Lihat M. Dawam Rahardjo, 1989, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, P3M, Jakarta. H.86
64
SUHUF, Vol. 21, No. 1, Mei 2009: 48 - 65
DAFTAR PUSTAKA Adelbert Snijders, 2006, Manusia dan Kebenaran, Pustaka Filsafat, Kanisius, Jakarta. Nasrun Harun, 1997, Ushul Fiqh, Logos Wacana Ilmu, Jakarta Al-Syatibi, 1973, Al Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah, Beirut: Dar al Ma’rifah. Mark Rowlands, 2004, Menikmati Filsafat Melalui Film Science Fiction, Mizan, Bandung Henry A. Murray “Types of Human Needs” (dalam David C. McClelland, 1957, Studies in Motivation, New York: Appleton. Facry Ali, 1997, Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya, Butir-butir Catatan untuk Nurcholish Madjid, Kata Pengantar pada Buku Dialog Keterbukaan, Paramadina, Jakarta Iqbal Abdurrauf Saimima, 1988, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas Jakarta. M. Dawam Rahardjo, 1989, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, P3M, Jakarta. H.86
Islam dan Manajemen Kebenaran (Supawi Pawenang)
65