‘Hama dan Musuh Alami’, ‘Obat dan Racun’: Dinamika Pengetahuan Petani Padi dalam Pengendalian Hama Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia) Abstract
This article presents the author’s examination of the dynamic aspects of farmers’ knowledge on pest management strategies among rice farmers on the north coast of West Java. In detail, the author takes into account the differences in farmers’ reception and learning process in the context of different modes of transmission: 1) the transferral of technology in the Green Revolution programme; and 2) the transmission of knowledge through the Integrated Pest Management Farmers Field Schools. In both settings, metaphor and analogy played a significant role in knowledge acquisition and transmission. Farmers’ existing schemes or models of interpretation, or what is called as ‘simplified world’ of areas of particular experiences dominately underlying farmers’ interpretation of the new transmitted ideas and concepts. In the transferral of technology, without the transmission of the related schemes, farmers’ interpretations led to undesirable consequences resulting from the misleading and misused metaphors, e.g. ‘medicine’ for pesticide. On the other hand, knowledge transmission of the integrated pest management not only shifted the existing paradigm of pesticide use, but also enriched farmers’ own knowledge through the improved ways of learning in the context of a continuous pest outbreak and economic constraints.
Pendahuluan1 Tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan penduduk setempat tentang kondisi lingkungan hidupnya adalah rinci dan kaya. Pengetahuan lokal memiliki pula kesejalanan dengan prinsipprinsip ilmiah, tetapi ia lebih kaya dalam hal terakumulasinya pengalaman-pengalaman 1
Materi untuk tulisan ini berasal dari data yang diperoleh selama melakukan penelitian di dua desa di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada tahun 19901992. Penelitian ini dilaksanakan sebagai bagian dari program Ph.D. di bidang Antropologi pada Department of Antropology, Research School of Pacific and Asian Studies, the Australian National University, Canberra. Penulis berterima kasih pada FAO-Program Nasional Pengendalian
setempat yang unik. Karena itu, Richards (1994:166) menyatakan bahwa pengetahuan lokal itu memiliki kemampuan yang lebih baik dari pada pengetahuan ilmiah bila digunakan untuk menilai faktor-faktor resiko yang menyangkut keputusan-keputusan produksi. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa Hama Terpadu dan The Ford Foundation yang telah membeayai penelitian penulis. Antara bulan SeptemberDesember 1996, penulis melakukan beberapa kali kunjungan singkat di Ciasem dan Indramayu untuk mengikuti perkembangan yang terjadi dalam hal pengetahuan dan praktek pengendalian hama. Terima kasih penulis sampaikan pada Ezra M. Choesin yang telah memberikan saran dan komentarnya dalam penyiapan naskah ini.
penduduk setempat memiliki pengetahuan menyeluruh tentang segala aspek dalam lingkungan hidupnya. Chambers (1991 dalam Bentley 1992:10) mengamati bahwa: ‘…farmers know some things that scientists don’t know while scientists know some things that farmers don’t know.’
Pengetahuan atau sebaliknya, ketidaktahuan penduduk setempat, dipengaruhi oleh dua prinsip utama yakni: 1) kemudahan melakukan pengamatan, dan 2) pentingnya sesuatu hal itu dalam lingkup wacana budaya penduduk setempat (Bentley 1989, 1992). Mudah tidaknya sesuatu hal untuk diamati akan menentukan seberapa jauh penduduk memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Semakin besar bentuk dan ukuran sesuatu benda, akan semakin mudah penduduk menangkapnya melalui panca indera, dan demikian sebaliknya. Namun, makna yang diberikan penduduk pada aspek yang teramati, yakni sejauh manakah hal itu menyumbang pada kepentingan dan kebutuhan hidupnya, juga mempengaruhi pengamatan. Kepentingan budaya, atau seberapa pentingnya sesuatu hal itu sesuai dengan wacana budaya setempat, menentukan apa yang menjadi fokus pengamatan mereka. Dalam kondisi ini, pengetahuan lokal itu tidaklah statis. Ia selalu mengalami perubahan sepanjang waktu. Lave (1993:17) menegaskan bahwa kemampuan untuk mengetahui itu: ‘…routinely in a state of change rather than stasis, in the medium of socially, culturally and historically ongoing systems of activity involving people who are related in multiple and heterogeneous ways, whose social locations, interests, reasons and subjective possibilities are different, and who improvise struggles in situated ways of each other over the value of particular definitions of the situation,…’
Keller dan Keller (1993:127) pun menyatakan bahwa pengetahuan itu selalu mengalami penyempurnaan, pengayaan atau
pun perbaikan melalui pengalaman para pelakunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan tertentu. Keragaman perilaku dan uji coba yang berlangsung terus menerus merupakan dua mekanisme utama yang menurut Johnson (1972) dapat menyebabkan terjadinya evolusi kebudayaan. Hal lain yang besar pengaruhnya pada kedinamisan pengetahuan lokal adalah keberadaannya dalam lingkup dunia yang senantiasa berubah. Perubahan-perubahan ekologi, sosial dan ekonomi merupakan hal yang wajar dan bahkan, pada masa kini, berlangsung dalam proses yang sangat dinamis. Salah satu penyebab utama dari perubahan ini adalah pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di pelbagai penjuru dunia yang berbasis pada kerangka pengetahuan ilmiah dan teknologi. Dalam konteks adanya intervensi ilmu pengetahuan dan teknologi itu, penduduk setempat tetap kreatif. Rhoades dan Bebbington (1995; lihat juga Arce dan Long 1992) menekankan bahwa penduduk setempat adalah pencipta dari solusi-solusi yang dihasilkannya sendiri dalam menghadapi pelbagai tantangan dan masalah yang timbul sebagai konsekuensi dari penerapan teknologi yang baru, tidak melulu sebagai penerima yang pasif. Dengan adanya introduksi beragam teknologi dan pengetahuan dengan logika, epistemologi dan wacana yang berbeda dari pengetahuan penduduk setempat yang rinci, adaptif dan dinamis, tetapi yang ditentukan oleh kemampuan pengamatan empiris dan wacana budaya, bagaimanakah perubahan dalam pengetahuan penduduk setempat itu terjadi? Dalam hal mengkaji pengalihan ilmu pengetahuan, Ortony (1993) menyatakan adanya dua pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan literal (literal) dan constructivist (konstruktif). Pendekatan pertama bertolak dari gagasan bahwa komunikasi ilmiah itu melibatkan pengalihan informasi secara lang-
sung dari seorang pelaku ke pelaku yang lain, berdasarkan atas teaching-as-transmission or learning-as-reception metaphor (metafor pengajaran sebagai transmisi/pengalihan dan metafor belajar sebagai penerimaan). Pendekatan kedua, yakni constructivism (konstruktivisme) bertolak dari gagasan bahwa pemahaman manusia itu merupakan hasil konstruksi mental oleh pelaku, berdasarkan pada learning-as-construction metaphor (metafor belajar sebagai konstruksi). Dalam pendekatan konstruktif ini, bahasa ilmu pengetahuan itu dipandang membantu pelaku dalam membangun suatu pemahaman terhadap deskripsi ilmiah yang diperkenalkan (lihat Mayer 1993). Aspek dinamis dari pengalihan pengetahuan dengan memandang pelaku sebagai penerima yang aktif dan kreatif melandasi pendekatan konstruktivisme ini. Dalam hal ini, metafor berperanan besar dalam membantu pemahaman dan pembentukan ide-ide atau pengetahuan yang baru. Kuhn (1993:539) berargumentasi bahwa metafor memainkan peranan yang esensial dalam menciptakan jembatan antara bahasa ilmiah dan dunia nyata. Petrie dan Oshlag (1993:580) pun menegaskan bahwa metafor memungkinkan seseorang untuk mengalihkan pengertian dari sesuatu yang diketahui dan dipahami secara baik ke sesuatu yang kurang diketahui atau dipahami dalam cara yang gamblang dan mudah diingat. Lebih lanjut, hal ini memudahkan dan juga meningkatkan kemampuan belajar. Dengan mengacu pada Lakoff dan Johnson (1980 dalam Collins dan Gentner 1985), Collins dan Gentner (1985) mengemukakan bahwa bahasa itu penuh dengan metafor dan analogi. Analogi menurut Collins dan Gentner (1985:243) merupakan cara yang ampuh atau mempunyai daya yang besar dalam memahami bagaimana sesuatu itu bekerja dalam domain yang baru. Sekali pun banyak ahli mengutarakan peran
yang besar dari metafor dan analogi dalam proses pengalihan pengetahuan, Petrie dan Oshlag (1993:581) menyatakan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman atau kesalahpenggunaan dari metafor yang dapat mempengaruhi perkembangan lebih lanjut dari pengetahuan yang dialihkan. Dalam tulisan ini saya akan mengkaji bagaimanakah pengalihan pengetahuan itu terjadi dengan menyimak pada dinamika pengetahuan petani padi dalam hal pengendalian hama. Petani yang menjadi fokus kajian adalah mereka yang tinggal di dua desa di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, di daerah Jalur Pantai Utara Jawa Barat. Daerah ini dikenal sebagai daerah intensifikasi padi dan ‘lumbung beras’ terluas di Propinsi Jawa Barat. Para petani di daerah ini mengalami transformasi kegiatan cocok tanam padi dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir, sejak paket intensifikasi pertanian diintroduksikan pada awal tahun 1970an hingga diperkenalkannya pengetahuan tentang pengendalian hama secara terpadu pada awal tahun 1990. Dalam fase pertama, introduksi teknologilah yang dialami petani, sedangkan dalam fase terakhir, pengalihan pengetahuanlah yang terjadi. Karena itu, merupakan suatu hal yang menarik untuk disimak apa yang terjadi dalam proses learning-as-construction metaphor dalam konteks yang berbeda dari pertemuan kedua domain pengetahuan itu.
‘Padi yang sehat, padi yang sakit’: penilaian atas pertumbuhan padi Melalui pengamatan–mekanisme utama dalam perolehan pengetahuan–petani melakukan penilaian atas hasil dari strategi budidaya padi. Sejak sebelum diperkenalkannya program intensifikasi padi hingga saat ini, pertumbuhan padi yang baik, yakni subur, ‘mulus’ dari gangguan ‘penyakit’ dan menghasilkan bulir padi yang banyak dan berisi, meru-
pakan kriteria utama dalam menilai keberhasilan strategi budidaya seseorang. Tersirat dalam penilaian ini adalah pandangan yang metaforis: kondisi pertumbuhan padi dipandang sama dengan kondisi pertumbuhan fisik manusia. Fase-fase pertumbuhan padi dianggap sejalan dengan fase-fase pertumbuhan manusia, yakni melalui masa pertumbuhan, dewasa, hamil dan beranak. Bila manusia dapat berada dalam kondisi sehat, kurang sehat, atau sakit, maka begitu pula halnya padi. Persepsi petani ini menunjukkan terjadinya analogi dari dua domain yang berbeda: domain pertumbuhan fisik manusia dan domain pertumbuhan tanaman. Dalam kaitan dengan analogi ini perlu diingat berkembangnya legenda Dewi Sri di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagian petani di wilayah ini pun masih memiliki keyakinan terhadap Dewi Sri (Nyi Pohaci) yang menitis dalam wujud padi. Sebelum tanam padi atau sebelum panen, sebagian petani masih melaksanakan upacara dengan sesajian yang diperuntukkan bagi Nyi Pohaci.2 Di samping ketergantungan hidupnya pada padi, melalui kepercayaan ini para petani menaruh respek yang besar pada tanaman padi. Padi lebih dari sekedar bahan pangan. Ia memiliki makna budaya yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat petani. Dengan menggunakan konsep Bourdieu, Nils dalam tulisannya di edisi ini menjelaskan posisi padi bagi masyarakat Bicoli di Halmahera sebagai ‘modal simbolis’ (symbolic capital). Dalam menilai pertumbuhan padi, ada tiga macam kondisi yang acap dikemukakan petani, yaitu: 1) padi yang sehat dan mulus (paré nu 2
Dalam upacara sebelum panen yang disebut dengan mipit, selain sesajian lengkap dan doa yang dipersembahkan bagi Nyi Pohaci, dipotonglah lima malai padi dengan ani-ani. Kelima malai padi yang dipotong pertama ini dipandang sebagai indung (ibu) bagi benih padi pada masa datang dan tidak diperkenankan untuk dikonsumsi (lihat Wessing 1974; Adimihardja 1989). Lihat pula tentang fase-fase pertumbuhan padi pada Prawirasuganda (1964).
sèhat, mulus); 2) padi yang kurang sehat (paré nu kirang sèhat); dan 3) padi yang sakit (paré nu geuring). Kriteria yang digunakan petani dalam mengklasifikasikan kondisi pertumbuhan padi itu menunjukkan persepsi mereka atas penyebab gejala terganggunya kondisi padi. ‘Kena penyakit’ merupakan jawaban yang lumrah disampaikan petani bila pertumbuhan padi menunjukkan gejala yang ‘kurang’ atau ‘tidak sehat’. Aktivitas yang kemudian menjadi orientasi petani adalah menyembuhkan ‘penyakit’ pada padi, dan sedapat mungkin, menjaganya agar tidak jatuh ‘sakit’. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sillitoe (1983) bahwa apa yang dipikirkan petani terhadap tanamannya mempengaruhi apa yang mereka lakukan terhadap tanaman. Tidak terlepas kaitannya dengan upaya petani dalam menjaga ‘kesehatan’ pertumbuhan padi adalah keinginannya untuk dapat memperoleh hasil panen yang baik guna meningkatkan penghasilan. ‘Berapa ton per bahu (0.7 ha)’ atau ‘berapa kuintal (100 kg)/ bahu’ adalah pertanyaan yang sering diajukan petani pada sesamanya saat selepas panen. Hasil panen ini merupakan kriteria yang sangat penting dalam menilai keberhasilan strategi budidaya seseorang (lihat Winarto 1996).
‘Penyakit’: hama, penyakit dan cara penanggulangannya Petani menggunakan istilah ‘penyakit’ untuk mengindikasikan gejala akibat serangan hama dan penyakit pada padi, serta hama atau penyakit itu sendiri. Lebih lanjut, sejumlah petani dapat melakukan pembedaan antara penyakit yang disebabkan oleh hewan (a y a satoanana)–yang kadang diucapkan juga sebagai ‘orang’ (aya manungsana)–dengan penyakit yang ‘tidak ada hewannya, tidak ada orangnya, atau tidak terlihat hewannya’ (enteu aya satoanana atau enteu aya manungsana). Pembedaan ini kemudian menjadi dasar
bagi pemilahan antara hama untuk ‘penyakit yang ada hewannya’, misalnya tikus, ulat daun atau ulat grayak; dan penyakit untuk ‘penyakit yang tidak ada hewannya’. Untuk hal terakhir, tidaklah berarti bahwa sebutan penyakit itu senantiasa mengacu pada gejala serangan yang disebabkan oleh bakteri atau jamur seperti yang dikenal dunia ilmu pertanian. Bagi petani, ‘penyakit’ dapat mengacu pada gejala yang disebabkan oleh hama, tetapi yang tidak teramati oleh petani. Misalnya, hama yang berada di dalam batang padi: penggerek batang padi yang gejalanya dikenal dengan sebutan sundep (pada tanaman muda) dan beluk (pada tanaman yang telah berbuah); atau hewan penyebab gejala ganjur (sejenis nyamuk) yang dikenal petani sebagai kelèb (menguncup seperti daun bawang) atau pèntil (seperti pentil ban sepeda). Sebagaimana dikemukakan oleh Bentley (1989, 1992), petani kurang memiliki pengetahuan tentang parasitoid dan mikro organisma, apalagi penyakit yang tidak kasat mata. Karena itu, tidak banyak petani yang tahu bahwa gejala penyakit yang ‘tidak ada hewannya’–yang disebutnya sebagai krèsèk – itu disebabkan oleh bakteri. Petani menggunakan istilah krèsèk untuk mendeskripsikan tanaman padi yang menjadi kering pada tahap reproduksi (berbunga dan berbuah) dan menimbulkan bunyi: ‘…krèsèk… krèsèk… krèsèk…’ bila tertiup angin. Dalam kasus lain, petani menggunakan istilah ‘penyakit’ untuk kondisi padi yang ‘tidak sehat’ yang disebabkan oleh faktorfaktor seperti: kekurangan pupuk atau air, keadaan cuaca, benih yang kurang baik, atau strategi cocok tanam yang kurang tepat. Sebutan penyakit bagi gejala maupun penyebab serangan, dan tidak selalu dapat dibedakannya hama dari penyakit, menunjukkan bahwa kategori-kategori yang digunakan petani dapat bertumpang tindih dan tidak secara tegas terpilah sebagai kategori yang ekslusif (lihat
pula Healey 1978/79). Dengan persepsi penyakit seperti tersebut di atas, tindakan yang dilakukan petani dalam menanggulangi gangguan ‘penyakit’ pada masa sebelum dilaksanakannya Revolusi Hijau terwujud dalam upacara ritual untuk memulihkan kondisi pertumbuhan padi. Bila ditemukan gejala sundep misalnya, dilakukan penancapan ‘payung kertas dicat warna merah’ atau ‘botol merah’ di tengah atau di tepi sawah disertai pembacaan mantera; pencipratan air beras dicampur dengan air daun dringo benglé, atau air dari tujuh macam bunga. Upaya lain misalnya dengan melakukan pengeringan sawah. Dalam model pemahaman petani tentang penyakit dan pertumbuhan padi ini, petani menerima introduksi pestisida untuk pengendalian hama.
‘Menyemprot obat’: menjaga dan menyembuhkan tanaman dari ‘penyakit’ Introduksi teknologi pestisida dalam program intensifikasi padi tidak disertai pengalihan pengetahuan yang rinci tentang sifat dan daya kerja pestisida itu sebagai pembunuh hama. Di pihak lain, istilah yang lazim digunakan oleh petugas pertanian yang kemudian diadopsi secara luas oleh petani adalah ‘obat’. Kata obat telah merupakan bagian dari wacana budaya petani sebagai penyembuh atau pencegah penyakit pada manusia. Pestisida, sebaliknya, merupakan istilah yang tidak dikenal sebelumnya, termasuk pula cara dan daya kerjanya. Meski petani memahami fungsi pestisida sebagai pembunuh hama, seperti tikus dan wereng, skema pemahaman tentang fungsi pestisida sebagai ‘obat’ bagi tanaman padi dominan melandasi persepsi petani. Hal ini merupakan contoh bagaimana konsep dari luar diintegrasikan dalam pengetahuan petani secara metaforik. ‘Obat’ dianalogikan mempunyai fungsi yang sama dalam dua
domain yang berbeda: tubuh manusia dan tubuh tanaman. Adopsi pestisida oleh petani menunjukkan keefektifan penggunaan metafor dalam proses pengalihan pengetahuan dengan cara yang gamblang, mudah dipahami dan diingat. Penyebarluasan istilah ‘obat’ ini dikaitkan dengan peribahasa: ‘Sedia payung sebelum hujan’. Peribahasa ini kemudian menjadi motto bagi petani dalam menggunakan bahan kimia ini. Sebelum tanaman padi terserang hama, gunakanlah pestisida sebagai pencegah dan pelindung tanaman. Bau menyengat dari pestisida dianggap bermanfaat dalam ‘mengusir hama agar tidak menyerang tanaman’. Agar berdayaguna efektif, maka tindakan pencegahan hendaknya dilakukan secara ‘berjadwal’ dengan ‘sistem kalender’ (penanggalan). Cara aplikasi pestisida dengan tangki sprayer (penyemprot) menimbulkan istilah baru, yakni. ‘menyemprot obat’ (nyemprot obat). Cara lain adalah ‘menaburkan obat’ untuk aplikasi pestisida butiran (karbofuran), yakni dengan cara menaburkannya dalam campuran pupuk sebaga ‘obat dasar’, yakni ‘obat’ yang harus diaplikasikan pada tahaptahap awal pertumbuhan padi. Terintegrasinya istilah ‘obat’ ini dalam khasanah bahasa dan wacana budaya petani merupakan pertanda dari kenyataan bahwa pengalaman itu selalu terbentuk oleh cara pelaku merepresentasikan atau memahami dunia yang melingkupinya melalui skema, model-model, atau ‘dunia yang telah disederhanakan’ (simplified world ) dari bidangbidang pengalaman manusia yang tertentu (lihat Sweetser 1987; Petrie dan Oshlag 1993). Pestisida yang diintroduksikan dalam paket intensifikasi padi ditanggapi petani sesuai dengan cara mereka memahami skema pertumbuhan padi, timbulnya pelbagai ‘penyakit’ pada padi dan cara penanggulangan atau pencegahannya. Dalam budidaya padi,
orientasi pada pertumbuhan padi yang baik, sehat, dan berproduksi tinggi merupakan pusat perhatian utama setiap insan petani. Segala daya dan upaya sesuai dengan situasi ekonomi dan tenaga kerja yang dimiliki, akan mereka kerahkan untuk menjaga tanamannya dari pelbagai gangguan yang dapat mengacaukan tercapainya tujuan itu. Dalam skema interpretasi semacam ini, maka pestisida itu dengan mudah diterima sebagai sarana untuk membantu mereka ‘mencegah’ atau ‘melenyapkan gangguan’ pada pertumbuhan padi. Bila gejala ‘kurang sehat’ atau ‘sakit’ muncul yang ditandai dengan warna daun kuning kemerah-merahan saat tumbuh, atau menjadi layu, kering, terkulai tidak tumbuh lagi, menguncup tidak dapat berbuah, atau tidak meratanya pertumbuhan batang padi, maka pestisida kini tersedia dengan mudah untuk dapat digunakan sebagai ‘obat’. Hal ini menunjukkan bahwa belajar itu merupakan kemampuan memproses pengalaman pelaku dalam konteks dan skema yang telah ada, serta hubungan-hubungan di antara skema-skema atau konteks-konteks itu. Hal-hal yang berkaitan dengan substansi kimiawi, karakteristik dan daya kerja pestisida, serta ketepatan penggunaannya untuk membasmi bermacam-macam hama dan penyakit, bukannya untuk ‘menjaga dan menyembuhkan tanaman’, berada di luar konteks atau skema pemahaman petani tentang fungsi ‘obat’ bagi pertumbuhan padi. Petrie dan Oshlag (1993:583) mengemukakan kemungkinan adanya proses belajar dengan mengubah representasi atau pemahaman si penerima pengetahuan. Hal ini selanjutnya dapat berakibat pada penciptaan atau perolehan pengetahuan yang baru sama sekali. Dalam kasus pestisida, perubahan mendasar dari model pemahaman terhadap pertumbuhan padi tidak terjadi. Sebaliknya, informasi yang diperoleh dari pelbagai sumber memperkuat
aplikasi pestisida dalam konteks skema di atas. Informasi yang diterima itu memfokus pada ‘obat’ apa yang paling ‘baik dan ampuh’, tidak hanya untuk membunuh hama atau penyakit, tetapi juga dalam menyembuhkan penyakit dan melindungi tanaman. Jenis pestisida yang diketahui petani dapat ‘langsung membunuh hama’ menjadi pestisida ‘favorit’ dan tersebar luas dengan cepat, sekali pun mahal harganya. Untuk mengimbangi ‘obat’ yang mahal ini tetapi yang sekaligus dapat membunuh beberapa macam hama, dilakukan macammacam oplosan obat atau ‘pencampuran pelbagai obat yang mujarab, efektif tetapi tidak terlalu mahal’. Petani sangat kreatif dalam memanfaatkan pelbagai ‘obat’ yang ada dalam menghadapi ancaman hama dan penyakit dalam kondisi ekonomi yang terbatas. Terdapat keragaman yang sangat besar dari campuran beragam jenis ‘obat’ yang formulanya diciptakan sendiri oleh petani. Tindakan yang menimbulkan bahaya bagi kesehatan pun dilakukan petani untuk meringankan biaya, misalnya menggunakan cairan hasil ‘menggodok karbofuran’, suatu tindakan yang sangat tidak dianjurkan (Winarto 1996 passim). Kreativitas petani ini mencerminkan sisi lain dari alih pengetahuan secara metaforik, yakni kesalahpenggunaan metafor yang mempengaruhi perkembangan pengetahuan ke arah yang mungkin juga tidak diduga dan diharapkan oleh para pencipta dan pengintroduksi pestisida itu sendiri. Dalam konteks pemahaman seperti ini serta adanya kendala dalam perolehan pengetahuan, dapatlah dipahami mengapa petani menjadi terheran-heran dalam menghadapi kenyataan bahwa ‘semakin banyak obat, semakin banyak penyakit yang menyerang padi’. Petani tidak mengetahui apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Bentley (1992:10) menceritakan, petani di Honduras pun, ‘…noticed that the number of insect pest in-
creased the more they used agrochemicals, but they were ill-equipped to understand why’.
Ironisnya, semakin banyak ‘penyakit’ semakin sering pula petani ‘menyemprot obat’. Erat berkaitan dengan pemahaman petani tentang ‘obat’ ini adalah pengetahuan mereka tentang hama dan penyakit setelah diperkenalkannya program intensifikasi padi.
‘Semua serangga itu hama’ Salah satu dampak yang tidak diduga dari introduksi paket intensifikasi padi adalah berkembangbiaknya populasi serangga yang kemudian dapat berubah status menjadi hama (lihat tentang pelbagai dampak Revolusi hijau dalam Schiller 1980; Shiva 1988, 1991, 1993; Fox 1991; Conway dan Pretty 1991). Pelbagai macam serangan hama dan penyakit datang silih berganti. Salah satu implikasi dari konsekuensi yang tidak diduga ini adalah berkembangnya klasifikasi hewan yang didasarkan pada derajat kerusakan yang ditimbulkannya pada padi. Apa yang terjadi adalah pengayaan kategori tentang hewan dalam konteks pemahaman mereka tentang pertumbuhan padi. Ada tiga klasifikasi yang menjadi acuan petani dalam menjelaskan posisi hewan dalam habitat sawahnya, yakni: • hewan yang merusak padi (satoan nu ngarusak paré) seperti tikus, wereng, walang sangit, lembing hitam dan ulat grayak; • hewan yang mengganggu, tetapi tidak menimbulkan kerusakan parah (satoan nu ngeganggu, enteu ngarusak paré) seperti ulat daun, belalang daun, kepiting, anjing tanah, sejenis nyamuk (rembetug); dan • hewan yang tidak mengganggu atau merusak padi (satoan nu enteu ngarusak jeung enteu ngeganggu paré) misalnya ulat, ikan, katak, belut, cacing tanah, capung, dan laba-laba.
Dalam klasifikasi ini tidak tersirat adanya pemilahan yang didasarkan pada hubungan antara pemangsa (predator) dan yang dimangsa (hama). Sekali pun demikian, tidaklah berarti bahwa petani tidak memiliki pengetahuan tentang hubungan hama dan pemangsanya ini. Sebagian besar petani mengetahui secara gamblang bahwa pada masa sebelum diintroduksinya benih unggul, populasi tikus tidak pernah meledak karena banyak hewan yang memangsanya seperti: ular, katak, musang, serigala, burung elang atau alap-alap. Tidaklah demikian halnya pada masa kini dengan lenyapnya hewan pemangsa tikus. Namun, pengetahuan ini tidak berlaku bagi hewan berbentuk serangga yang sulit diamati perilakunya tanpa pengamatan secara khusus, teliti atau dengan peralatan. Hama wereng, misalnya, tidak dikenal sebagai hama saat mereka menanam padi ‘tradisional’. Secara budaya hama ini tidaklah penting bagi pertumbuhan padi. Wereng juga berbentuk serangga kecil yang berada di bagian bawah tanaman yang tidak mudah teramati. Hewan apa yang memangsa wereng juga tidak menjadi bagian dari pengetahuan mereka. Bahwa wereng menjadi hama karena hewan pemangsanya punah oleh ‘semprotan pestisida’ secara berlebihan, juga tidak mereka ketahui. ‘Dulu saya kira semua serangga itu hama,’ demikian ungkap seorang petani yang kemudian mengikuti pelatihan dalam Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) pada musim kering 1990. Karena ketidaktahuan itu pulalah maka dengan mudah mereka mengambil keputusan untuk melakukan ‘penyemprotan’ bila melihat banyaknya serangga di sawah. ‘Bersih dari hama,’ itulah yang diidamkan petani. Baru setelah petani mengalami hancurnya padi mereka oleh meledaknya hama wereng pada tahun 1976 dan seterusnya, wereng berubah menjadi fenomena penting dalam wacana budaya petani, terutama
dalam upaya menyelamatkan tanaman dari serangan hama ini. Lebih lanjut hal ini mencerminkan bagaimana introduksi paket intensifikasi padi dilaksanakan melalui alih teknologi, tanpa melibatkan pengenalan jalinan skema yang komprehensif tentang keterkaitan perlakuan pestisida, dinamika populasi dan hubungan pemangsaan. Bahwa ada sebagian serangga yang ternyata berfungsi memangsa hama, merupakan pengetahuan baru yang diperoleh sejumlah petani saat mereka mengikuti pelatihan dalam ‘sekolah tanpa dinding’.
‘Hama’ dan ‘musuh alami’ ‘Sekolah tanpa dinding’, sebutan lain untuk SLPHT, merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden no. 3/1986. Inpres ini tidak hanya melarang penggunaan 57 jenis insektisida bersprektrum luas berbahan aktif organofosfat untuk padi, tetapi juga menganjurkan pelatihan bagi para petugas pertanian dan petani untuk melaksanakan strategi nasional pengendalian hama secara terpadu. Tersurat dalam program nasional ini adalah sasaran utama untuk mengubah perspektif petani dari ‘membunuh hama dengan pestisida’ menjadi ‘mengelola ekosistem melalui pembudidayaan tanaman padi yang sehat, melindungi musuh alami, makukan pengamatan berkala mingguan dan menjadikan petani sebagai ahli PHT di lahannya sendiri.’ Pestisida hanya digunakan bila perlu, sebagai upaya terakhir (FAO 1990; IPM n.d.; Oka 1995). Dalam pelatihan ini, sejumlah 25 peserta dalam satu SLPHT (empat SLPHT untuk dua desa) bertemu seminggu sekali selama sekitar 3-4 jam dalam jangka waktu 10 minggu selama satu musim tanam. Mereka dipandu oleh seorang pengamat hama dibantu seorang penyuluh pertanian. Aktivitas belajar dalam ‘sekolah’ ini dilandasi oleh ‘upaya menemu-
kan sendiri dari hasil pengamatan dan uji coba’ melalui pengamatan secara teliti dan rutin atas kondisi pertumbuhan padi dan lahan. Dari hasil temuan, diskusi dan analisis dengan bimbingan dan penjelasan pelatih, petani belajar mengenali perbedaan antara hama dan musuh alami, kondisi populasi keduanya, kondisi sawah dan pertumbuhan padi, tindakantindakan yang perlu dilakukan dan strategi pengendalian hama/penyakit yang tepat. Mereka belajar tentang hubungan kepemangsaan, pentingnya melakukan penghitungan populasi hama dan predator dalam pengambilan keputusan, alasan-alasan tidak digunakannya pestisida dalam kaitan dengan konservasi musuh alami, penghematan biaya, dan pencegahan terjadinya pencemaran. Melalui pelatihan inilah, mereka untuk pertama kalinya memahami bahwa tidak semua serangga adalah hama seperti yang mereka perkirakan semula (Winarto 1996). Konsep musuh alami ini merupakan konsep termudah yang dipahami petani dibandingkan dengan konsep lain yang lebih abstrak seperti: ambang ekonomi, ekosistem dan kekebalan hama (Winarto 1996, [akan terbit]). Petani telah memiliki pengetahuan tentang hubungan kepemangsaan dalam kaitan dengan hama tikus. Mereka juga telah memiliki klasifikasi untuk hewan yang tidak mengganggu padi. Saat mereka menerima konsep tentang ‘mush alami’ ini, apa yang terjadi adalah perluasan dari skema atau model untuk memahami kenyataan tentang tidak meledaknya hama tikus selama ada sejumlah pemangsa yang cukup. Apa yang terjadi adalah pengayaan skema atau model ini dengan memperlakukannya pada hewan serangga. Dalam hal klasifikasi hewan yang telah mereka miliki sebelumnya, apa yang terjadi adalah modifikasi klasifikasi itu dengan melibatkan kriteria pemangsaan. Hewan yang tergolong tidak merusak padi itulah yang kemudian
diistilahkan oleh petani PHT sebagai ‘musuh alami’. Hewan yang tergolong ‘merusak’ itulah yang merupakan ‘hama’. Salah satu hal yang mempermudah proses penerimaan konsep ini adalah penggunaan istilah ‘teman petani’ (batur petani) untuk menganalogikan peran musuh alami sebagai rekan yang bermanfaat dalam upaya menghilangkan gangguan pada pertumbuhan padi. Hal ini memudahkan petani untuk menerima konsep yang lain, yakni perlunya musuh alami itu dilestarikan. Pelestarian musuh alami dalam konteks upaya pemeliharaan padi, merupakan suatu pengayaan dalam skema atau modelmodel untuk menginterpretasikan kenyataan yang dihadapi petani dalam hal budidaya padi.
Pestisida: ‘obat’ dan ‘racun’ Berbeda dengan penerimaan petani tentang konsep ‘musuh alami’, pemahaman bahwa pestisida adalah ‘racun’ dengan konsekuensinya yang negatif bagi lingkungan, kesehatan, dan kondisi ekonomi petani, tidaklah diterima petani PHT dengan mudah dan cepat. Diskusi dan argumentasi di antara petani dan pelatih pada minggu-minggu pertama pelatihan SLPHT diwarnai dengan kecenderungan petani untuk tetap mengandalkan pada pestisida sebagai tindakan pengendalian hama. Petani juga tidak mudah percaya bahwa tanpa pestisida tanaman mereka akan selamat dari serangan hama dan penyakit. Hanya secara lambat laun, melalui uji coba tentang pengaruh pestisida pada musuh alami yang dicelupkan dalam cairan pestisida, arahan dan penjelasan pelatih dalam pelbagai kegiatan pengamatan, diskusi, dan tanya jawab, petani PHT dapat memahami bahwa pestisida itu sebenarnya racun. Sebagai racun, pestisida tidak hanya membasmi hama, tetapi juga musuh alami bila tidak digunakan secara bijaksana. Bahwa keputusan melakukan ‘penyemprotan pestisida’ itu harus didasarkan pada hasil
pengamatan tentang kondisi populasi hama dan serangga, merupakan suatu hal yang baru. Untuk pertama kali para petani mengetahui bahwa tindakan mereka selama ini dalam penggunaan pestisida secara berulang tanpa memperhatikan kondisi populasi hama dan musuh alami adalah cuma-cuma saja dan hanya membuang biaya. Sebaliknya, hal ini mendorong terjadinya ledakan hama karena punahnya musuh alami. Tidak mudahnya petani mengadopsi pemahaman seperangkat gagasan yang baru ini menunjukkan bahwa analogi tidak lagi berlaku dalam proses mengkonstruksi pemahaman petani terhadap konsep yang baru tersebut. Petani bahkan diminta untuk memutarbalikkan persepsi mereka tentang pestisida dari ‘obat’ menjadi ‘racun’. Alih paradigma (paradigm shift) dalam persepsi petani tentang pestisida ini memang menjadi tujuan utama yang ingin dicapai oleh para perencana puncak program nasional PHT. 3 Apa yang terjadi memang merupakan suatu alih paradigma. Petani mengambil simbol yang berlaku dari paradigma yang lain, yakni pemusnahan hewan, dan bukan perlindungan tanaman, meski sebenarnya petani telah memiliki simbol tersebut dalam hal pengendalian hama tikus, yakni ‘racun tikus’ dan bukan ‘obat tikus’. Namun, untuk pestisida atau khususnya insektisida (untuk serangga), paradigma yang melandasi simbol ‘obat’ (insektisida) itu adalah perlindungan tanaman. Dengan demikian, proses belajar yang terjadi sejalan dengan apa yang dikemukakan Petrie dan Oshlag (1993), yakni dengan mengubah re3
Para perencana puncak program PHT menggunakan istilah yang diperkenalkan Thomas Kuhn yakni paradigma ( paradigm). Kuhn (1962:viii) mendefinisikan paradigma sebagai: ‘…the universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners.’ Dengan kata lain, paradigma adalah model atau pola-pola yang diterima oleh komuniti yang bersangkutan (Kuhn 1962:23).
presentasi penerima. Sekali pun demikian, rasa khawatir yang besar bahwa tanaman mereka tidak akan terlindungi bila tidak ‘disemprot obat’ mendasari keraguan mereka tentang kebenaran paradigma yang baru ini. Keyakinan merupakan suatu hal yang dominan dalam pengintegrasian ide atau informasi yang baru dalam tubuh pengetahuan dan strategi subsistensi petani. Karena itu, hanya dengan menerima penjelasan secara naratif atau ‘hanya katanya…katanya saja…’ tidaklah cukup bagi petani untuk memutarbalikkan persepsi mereka tentang pestisida. Uji coba secara nyata merupakan syarat utama. Selama berlangsungnya pelatihan, sejumlah petani PHT secara sengaja melakukan uji coba dengan tidak melakukan penyemprotan, karena berdasarkan pengamatan mereka tidak banyak hama dijumpai di sawah. Mereka pun mengamati bahwa pertumbuhan padinya tidak terganggu ‘penyakit’ meski tidak ‘disemprot obat’. Setelah panen, mereka memperoleh bukti bahwa hasil panen yang diperoleh tidak berbeda dengan sesama petani yang tetap melakukan penyemprotan. Salah seorang peserta PHT bahkan melakukan uji coba dengan cara perbandingan secara terbalik dari apa yang dilakukan dalam pelatihan. Petani ybs. menyemprot secara sengaja sebidang sawahnya yang dinamakan: ‘petak PHT’ dan tidak melakukan penyemprotan untuk ‘petak Supra Insus atau paket lokal’. Dari pengamatan diketahuinya bahwa populasi hama meningkat kembali dengan cepat dalam petak yang disemprotnya dan tidak demikian halnya dalam petak yang tidak disemprot pestisida. Bukti nyata ini kemudian memperkuat penjelasan pelatih tentang manfaat tidak dilaksanakannya penyemprotan pestisida secara berkala. Penghematan biaya produksi menjadi indikator yang dengan mudah dan gembira diterima petani sebagai salah satu mafaat utama SLPHT.
Di pihak lain, kata ‘obat’ telah sejak awal tahun 70an menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa petani. Selama dan sesudah pelatihan hingga saat saya kembali pada tahun 1996, kata ‘obat’ masih merupakan terminologi yang digunakan untuk pestisida. Secara sengaja bila mereka menjelaskan fungsi pestisida, kata ‘racun’ kadangkala muncul dalam perbincangan. Dalam percakapan sehari-hari di antara sesama petani, kata ‘obat’lah yang digunakan. Perubahan paradigma yang total di antara seluruh petani belum terjadi, sekali pun kegiatan penyemprotan ‘obat’ sudah jauh berkurang dibandingkan pada tahun-tahun sebelum diperkenalkannya program PHT. Patut diingat bahwa petani yang dilatih hanya sebagian saja dari sekian ribu petani di dua desa di Ciasem. 4 Di samping itu, skema atau model interpretasi petani tentang pertumbuhan padi dan kriteria yang digunakan untuk menilai keberhasilan strategi budidaya padi tidak mengalami perubahan (Winarto 1997). Tanpa memahami konsep musuh alami, hubungan pemangsaan, dan akibat negatif dari punahnya musuh alami, alih pengetahuan tentang tidak perlunya penyemprotan pestisida yang tidak bijaksana itu pada petani non-PHT tidak berlangsung dengan mudah. Introduksi pelbagai macam pestisida yang baru tetap pula secara gencar dilakukan oleh distributor pestisida, pemilik kios, atau bahkan petugas pertanian setempat dan para petani sendiri. Upaya petani PHT untuk memperoleh paket KUT tanpa komponen pestisida tidak berhasil mereka perjuangkan (Winarto 1995, 1996). Serangan 4
Kebetulan di dua desa di Ciasem tempat penelitian saya, tidak dilaksanakan kegiatan tindak lanjut berupa: pelatihan untuk petani sebagai pelatih, pelaksanaan SLPHT dari petani ke petani atau kegiatan bersama di antara kelompokkelompok tani seperti Pertemuan Teknis atau Perencanaan Petani seperti yang dialami petani PHT di wilayah-wilayah lain. Dengan demikian, hingga kunjungan saya tahun 1996 hanya sejumlah 25 petani saja yang pernah mengikuti pelatihan dalam satu SLPHT.
hama dan penyakit pun masih dialami petani silih berganti. Dalam situasi tanpa adanya pendampingan yang intensif dari para petugas PHT, yang diibaratkan ketua kelompok tani bagaikan ‘…tanaman yang layu karena tidak disiram…’, maka semangat dan keteguhan petani PHT dalam mempertahankan eksistensi paradigma yang baru ini kerap tergoyahkan. Pengintegrasian paradigma baru dalam wacana budaya petani memang masih dalam proses dengan tingkat keyakinan yang beragam di antara para petani PHT dan non-PHT.
Siklus hidup hama Pemahaman petani tentang siklus hidup atau siklus reproduksi hama, metamorfosa yang terjadi, serta pentingnya pemahaman tentang hal ini dalam kegiatan pengendalian hama, merupakan pengayaan pengetahuan yang bermakna penting bagi petani. Dalam SLPHT pelatih menjelaskan tentang siklus hidup hama penggerek batang padi putih (PBPP, Scirpophaga innotata) yang menyerang tanaman padi secara fatal pada musim tanam 1989/90, serta cara penanggulangannya dengan memperhatikan siklus hidup tersebut (lihat Winarto 1997). Apa yang terjadi selama pelatihan (musim tanam 1990) dan pada masamasa sesudahnya (hingga musim tanam 1991/ 92) mencerminkan proses pengayaan pengetahuan petani seperti yang disebut oleh Ortony (1993) serta Petrie dan Oshlag (1993) sebagai proses belajar yang konstruktif. Dengan mengamati perkembangan pengetahuan yang terjadi melalui respons petani terhadap serangan hama PBPP dalam kurun waktu dua tahun (1990-1992), terlihat bagaimana perubahan pengetahuan terjadi, tidak hanya di antara petani PHT tetapi juga petani non-PHT. Perubahan itu terlaksana melalui: pengamatan, uji coba dan perbandingan; belajar dari kesalahan, hal yang tidak terduga dan keragaman atau keseragaman
hasil-hasil strategi pengendalian hama; serta modifikasi yang dilakukan petani pada strategi pengendalian hama yang diajarkan pelatih (Winarto [akan terbit]). Melalui mekanisme itu pengetahuan petani berkembang dari garis besar siklus hidup hama dan cara pengendaliannya menjadi pengetahuan yang rinci tentang detail reproduksi hama tersebut, sifat-sifat serangan pada tanaman padi, dan cara pengendalian yang tepat dengan memperhatikan detail tahapan dan waktu berlangsungnya reproduksi hama. Adopsi petani tentang ide reproduksi hama ini dilandasi oleh pemahaman yang telah mereka miliki sebelumnya, yakni tentang reproduksi yang berlangsung pada hewan lain, misalnya ayam. Model inilah yang memberikan makna dan konteks pada label yang baru diterimanya, yakni ‘siklus hidup’ pada hama serangga. Namun, dengan model ini pulalah petani sulit menerima gagasan tentang cara pengendalian hama yang direkomendasikan, yakni menunggu hingga ngengat PBPP meletakkan kelompok telurnya di tanaman, mengambil sejumlah kelompok telur dan mengamati apa yang menetas: ulat penggerek batang atau parasitoid pemangsa ulat. Dalam hal pertama, penaburan karbofuran yang dianjurkan; dalam hal terakhir, pengembalian parasitoid itu ke sawah yang diharapkan. Dengan mengacu pada reproduksi ayam bahwa tidak akan ada telur tanpa induknya, mengapa mereka harus menunggu hingga induknya bertelur? Mengapa tidak memusnahkan sang induknya langsung? Bertolak dari argumentasi inilah berkembang kemudian strategi pengendalian hama PBPP secara mekanis: memusnahkan sang ngengat dengan langsung menepuknya di tanaman atau di rumah melalui daya tarik lampu, dan mengumpulkan kelompok telur untuk kemudian dimusnahkan. Dari pelbagai uji coba dan pengamatan
berkembang pulalah pemahaman tentang perlunya pengendalian secara mekanis dilakukan berulang, perlunya cocok tanam secara dini pada awal musim hujan, kapan tepatnya karbofuran ditaburkan di sawah, dimodifikasikannya jumlah dan cara penaburan karbofuran, dihindarinya penggunaan karbofuran yang terlalu mahal, ditanamnya varietas padi yang dianggap tidak rentan pada hama ini, atau bahkan memadukan cara pengamatan dan ‘penyemprotan obat’. Perkembangan signifikan yang dirasakan pula oleh petani adalah perlunya pemahaman tentang reproduksi hama dan sifat serangan pada tanaman sebagai titik tolak penyusunan strategi pengendalian hama, tidak melulu mengacu pada kondisi populasi hama dan musuh alami sebagaimana diajarkan di SLPHT. Cara pengamatan yang lebih rinci dan sistematis sebagaimana diperoleh dari SLPHT terbukti bermanfaat dalam meningkatkan cara belajar petani, sekali pun dalam konteks terbatasnya peralatan yang dimiliki.5
Penutup Dinamika pengetahuan petani padi tentang pengendalian hama dalam konteks pengalihan pengetahuan teknologi dan ilmiah menunjukkan adanya peranan yang dominan dari metafor dan analogi dalam proses pemahaman petani tentang ide-ide dan konsepkonsep baru yang diintroduksikan. Namun, cara pengalihan informasi yang berbeda di antara kedua model program pembangunan, yakni: 1) model introduksi teknologi, dan 2) model alih pengetahuan dengan upaya mengembangkan kemampuan belajar petani sendiri, menunjukkan konsekuensi yang ber-
5
Lihat pula aktivitas petani di Indramayu dalam program Aksi Riset Petani (Action Research Facility) yang dipandu oleh seorang fasilitator selama beberapa musim berturutturut (Busyairi dkk. 1997).
beda dalam perkembangan pengetahuan petani. Analogi dan metafor memang terbukti sangat bermanfaat dalam upaya pengadopsian penggunaan pestisida dalam paket intensifikasi pertanian. Tetapi, tanpa disertai dengan alih pengetahuan yang komprehensif dalam skema hubungan interaksi antara berbagai komponen dalam domain aplikasi pestisida itu, adanya keterbatasan kemampuan pengamatan petani, dan dominannya model-model pemahaman petani tentang pertumbuhan padi, maka proses yang kemudian terjadi mendukung apa yang dikemukakan Petrie dan Oshlag (1993). Mereka mengemukakan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman atau kesalahpenggunaan metafor yang mempengaruhi perkembangan lebih lanjut dari pengetahuan yang dialihkan. Koreksi yang dilakukan kemudian oleh para perencana program pengendalian hama terpadu dalam mengubah perspektif petani dengan memperkenalkan model-model pemahaman yang baru serta cara pengamatan yang lebih rinci dan sistematis, terbukti mampu memperkaya pengetahuan petani. Proses yang terjadi selama dan setelah pelatihan menunjukkan kreativitas petani dalam upaya meng-
konstruksi pemahaman mereka tentang fenomena serangan hama yang kompleks dalam situasi ekonomi yang tidak menunjang. Hasil yang positif terlihat dalam pengayaan kategori, konsep dan ide-ide, dengan indikasi adanya perubahan dalam wacana budaya mereka terhadap pengendalian hama. Sekali pun demikian, terdapat kendala dalam kemampuan pengamatan dan interpretasi atas hal-hal yang abstrak. Paradigma baru tentang fungsi pestisida belumlah secara meluas diintegrasikan dalam wacana budaya warga komunitas petani yang tidak memperoleh pelatihan. Kelangsungan paradigma yang baru di tengah-tengah komunitas petani memerlukan suatu daya upaya, pendampingan dan pemikiran yang konsisten dengan komitmen yang tinggi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu yang menapaki usia satu dasa warsa telah merintis dan melaksanakan berbagai program tindak lanjut dalam fase perkembangan pemantapan lembaga PHT di kalangan petani. Perlu disimak dan diamati kelangsungan program ini dalam membantu perkembangan pengetahuan petani dalam skala luas pada masa datang.
Kepustakaan Adimihardja, K. 1989 Manusia Sunda dan Alam Lingkungannya: Suatu Kajian Kes mengenai Kehidupan Sosiobudaya dan Ekologi Komuniti Kasepuhan Desa Sirnarasa Jawa Barat Indonesia. Thesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Bangi: Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, University Kebangsaan Malaysia. Arce, A. dan N. Long 1992 ’The Dynamics of Knowledge: Interfaces between Bureaucrats and Peasants’, dalam N. Long dan A. Long (peny.) Battlefields of Knowledge: the Interlocking of Theory and Practice in Social Research and Development. London: Routledge. Hal. 211-246. Bentley, J.W. 1989 ‘What Farmers Don’t Know Can’t Help Them: the Strengths and Weaknesses of Indigenous Technical Knowledge in Honduras’, Agriculture and Human Values 6(3):2531.
1992
‘Alternatives to Pesticides in Central America: Applied Studies of Local Knowledge’, Culture and Agriculture 44:10-13.
Busyairi, M.A. (peny.) 1997 Membangun Pengetahuan Emansipatoris: Kasus Riset Aksi di Indramayu Studi Kehidupan dan Gerakan Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Putih. Manuskrip. Indramayu: Bumi Tani Kalensari. Collins, A. dan D. Gentner 1985 ’How People Construct Mental Models’, dalam D. Holland dan N. Quinn (peny.) Cultural Models in Language and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 243-265. Conway, G.R. dan J.N. Pretty 1991 Unwelcome Harvest: Agricultural Pollution. London: Earthscan Publications. Food and Agricultural Organization. 1990 Mid-term Review of FAO Intercountry Program for the Development and Application of Integrated Pest Control in Rice in South and South East Asia. Mission Report phase II. Jakarta. Fox, J.J. 1991 ‘Managing the Ecology of Rice Production in Indonesia’, dalam J. Hardjono (peny.) Indonesia: Resources, Ecology, and Environment. Singapore: Oxford University Press. Hal. 61-84. Healey, C.J. 1978/79 ‘Taxonomic Rigidity in Biological Folk Classification: Some Examples from the Maring of New Guinea’, Ethnomethodology 5(3/4):361-383. Indonesian National IPM Program. n.d. Farmers as Experts. Jakarta. Johnson, A.W. 1972 ‘Individuality and Experimentation in Traditional Agriculture’, Human Ecology 1(2):149159. Keller, C. dan J.D. Keller 1993 ‘Thinking and Acting with Iron’, dalam S. Chaiklin dan J. Lave (peny.) Understanding Practice: Perspectives on Ativity and Context. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 125-142. Kuhn, T.S. 1962 The Structure of Scientific Revolution. Chicago: The University of Chicago Press. 1993 ‘Metaphor in Science’, dalam A. Ortony (peny.) Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 533-542. Lave, J. 1993
‘The Practice of Learning’, dalam S. Chaiklin dan J. Lave (peny.) Understanding Practice Perspectives on Activity and Context. University of California, Berkeley: Cambridge University Press. Hal. 3-32.
Mayer, R.E. 1993 ‘The Instructive Metaphor: Metaphoric Aids to Students’ Understanding of Science’, dalam A. Ortony (peny.) Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 561-578. Oka, I.N. 1995 Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ortony, A. 1993 ’Metaphor, Language, and Thought’, dalam A. Ortony (peny.) Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 1-16. Petrie, H.G. dan R.S.Oshlag 1993 ‘Metaphor and Learning’, dalam A. Ortony (peny.) Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 579-609. Prawirasuganda, A. 1964 Upatjara Adat di Pasundan. Bandung: Sumur Bandung. Rhoades, R.E dan A. Bebbington 1995 ‘Farmers Who Experiment: an Untapped Resource for Agricultural Research and Development’, dalam D.M. Warren, L.J. Slikkerveer and D. Brokensha (peny.) The Cultural Dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. London: Intermediate Technology Publications. Hal. 296-307. Richards, P. 1994 ‘Local Knowledge Formation and Validation: the Case of Rice Production in Central Sierra Leone’, dalam I. Scoones dan J. Thompson (peny.) Beyond Farmer First: Rural People’s Knowledge, Agricultural Research and Extension Practice. London: Intermediate Technology Publications. Hal. 165-170. Schiller, B.L.M. 1980 ‘The Green Revolution in Java: Ecological, Socio-economic and Historical Perspectives’, Prisma 18:71-93. Shiva, V. 1988 ‘Reductionist Science as Epistemological Violence’, dalam A. Nandy (peny.) Science, Hegemony and Violence: a Requiem for Modernity. Oxford: Oxford University Press. Hal. 232-256. 1991 The Violence of the Green Revolution: Third World Agriculture, Ecology and Politics. London: Zed Books and Penang: Third world Network. 1993 Monocultures of the Mind: Perspectives on Bodiversity and Biotechnology. London: Zed Books and Penang: Third World Network. Sweetser, E.E. 1985 ‘The Definition of Lie: an Examination of the Folk Models Underlying a Semantic Prototype’, dalam D. Holland dan N. Quinn (peny.) Cultural Models in Language and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 43-66. Wessing, R. 1974 Cosmology and Social Behaviour in a West Javanese Settlement. Athens: Ohio University Center for International Studies.
Winarto, Y.T. 1995 ‘State Intervention and Farmer Creativity: Integrated Pest Management among Rice Farmers in Subang, West Java’, Agriculture and Human Values 12(4):47-57. 1996 Seeds of Knowledge: the Consequences of Integrated Pest Management Schooling on a Rice Farming Community in West Java. Thesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Canberra: The Australian National University. 1997 ‘Pengendalian Hama Terpadu: Pengalihan dan Perubahan Pengetahuan pada Petani Padi di Subang, Jawa Barat’, dalam E.K.M. Masinambow (peny.) Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. Hal. 165-189. [Akan terbit] ‘Creating Knowledge: Scientific Knowledge and Local Adoption in Rice Integrated Pest Management in Indonesia (a Case Study from Subang, West Java)’, dalam S. Toussaint (peny.) Applied Anthropology in Australasia. Perth: University of Western Australia. In press.