51
BAB III KONSEP KEPEMILIKAN ASET DAN PERANAN NEGARA DALAM PEREKONOMIAN MENURUT DOKTRIN EKONOMI ISLAM
A. Konsep Kepemilikan/Hak Milik dalam Hukum Ekonomi Islam 1. Definisi Kepemilikan Ada beberapa definisi milik yang diberikan oleh ulama fiqh, namun esensinya sama. Milik adalah pengkhususan terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda tersebut sesuai dengan keinginannya selama tidak ada halangan syara’ serta menghalangi orang lain untuk bertindak hukum terhadap benda tersebut. Artinya benda
52
yang dikhusukan kepada seseorang sepenuhnya berada dalam penguasaannya. Sehingga orang lain tidak bisa bertindak dan memanfaatkannya. 1 Menurut Wahbah Az-Zuhayly, dari sekian banyak definisi yang diberikan ulama mengenai kepemilikan, definisi yang terbaik adalah sebagai berikut:
ْف ِفُ ِه َ ُ وَُ ْم ِكن,ظاصٌ ِبان َّش ٍْ ِء َُ ْمنَ ُع ان َغُ ِْش ِم ْنه َ اِ ْخ ِح ِ َاد َبه ِمنَ انحَّظْ ِش ِ ط 2 ٍِ ْبحِذَا ِء ِ نِ َمااِ ٍع َشْ ِ ٍّي “Keterkhususan terhadap sesuatu yang orang lain tidak boleh mengambilnya dan menjadikan pemiliknya bisa melakukan pentasharrufan terhadapnya secara mendasar kecuali adanya suatu penghalang yang ditetapkan oleh syara‟.” Dengan definisi demikian, dapat disimpulkan, bahwa setiap terjadi kepemilikan, maka sebenarnya tidak ada ikatan apapun antara pemilik dan benda yang dimiliki sebelum proses yang disebut “kepemilikan”. Baru setelah proses ini, lahirlah pemilik (malik), dan bendanya disebut “mamluk” (Yang dimiliki) dan otomatis terjadi hak milik. 3 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk menggunakan atau mengambil keuntunggan dari suatu benda yang berada dalam kekuasaan tanpa merugikan pihak lain dan dipertahankan terhadap pihak manapun. 4
1
Yusdani, Sumber Hak Milik Dalam Perspektif Hukum Islam (Jurnal Al Mawarid Edisi IX Tahun 2003), h. 58., mengutip dari Mustafa Az-Zarqa, Al Fiqh Al Islami Fi Saubihi Al Jadid (Damaskus: Matabl Aliif Ba’ Al Adib, 1967-8), h.33. 2 Wahbah Al-Zuhayly, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Cet III Jilid 5 (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989). H. 489 3 Faruq Nabhan, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis (Terjemah) (Yogjakarta: UII Press, 2000), 42 4 Zaky Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Erlangga, 2009) 141.
53
2. Hakikat Kepemilikan Begitu banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan bumi (segala sesuatu yang ada di alam ini) adalah milik Allah SWT, seperti dalam QS Al-Maidah Ayat (17) berikut ini:
“... kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakanapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu....” Dalam surat lain juga terbanyak ayat yang secara subtansial serupa dengan ayat-ayat tersebut seperti dalam QS. Thahaaa: 6
Artinya: “Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah” Namun, sebagai makhluk hidup, manusia juga memiliki kebutuhan, keinginan, dan hasrat individu untuk memiliki sesuatu. Dalam istilah ekonomi, karakter manusia ini disebut dengan homo economicus. Sehingga, Islam juga mengakui adanya kepemilikan individu. Seperti dalam Ayat AlQur’an berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
54
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu....” (QS: An-Nisa’:4:29)5 Bahkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari-Muslim disebutkan, Nabi SAW pernah bersabda: “Siapa yang terbunuh karena hartanya, maka dia adalah mati syahid”6
mempertahankan
Akan tetapi, harta yang menjadi kepemilikan individu tersebut harus diperoleh7, dinikmati8 dan didistribusikan9 sesuai dengan ajaran syari’ah. Oleh karena itu, Islam memposisikan manusia pada dasarnya sebagai khalifah (pengganti atau wakil Tuhan) di muka bumi. 10 3. Macam-Macam Kepemilikan Secara umum, dalam banyak kitab-kitab fiqh, para ulama serta pemikir ekonomi Islam berpendapat bahwa kepemilikan diklasifikasikan menjadi tiga jenis, 11 yakni: kepemilikan pribadi atau individu (al-milkiyah alfardliyah/private property/ownership12); Kepemilikan Umum/Publik (almilkiyah al-‟ammah/public property/ownership); dan Kepemilikan Negara (milkiyah al-daulah/state property/ownership)
5
Atas dasar ini, Afzalur Rahman dalam bukunya, Economics Doctrine of Islam menginterpretasikan bahwa kata “amwalakum” seolah-olah menegaskan bahwa semua harta benda akan menjadi milik masyarakat (umat) dengan tendensi bahwa harta merupakan amanah dan pemiliknya mempunyai tanggungjawab sosial, seperti shadaqah, infaq, zakat, dan lain sebagainya. Lihat: Afzalur Rahman, Islamics Doktrin of Islam diterjemahkan oleh Soeroyo, Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I (Yogjakarta: Dana Bhakti Waqaf. 1995). 105. 6 Djazuli H.A. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari‟ah (Jakarta: Kencana. 2003). 209. 7 QS An-Nisa’: 29, Al-Maidah:1, Al-Maidah: 38, Al-An’am 152 8 Surat Thaha: 81 9 At-Taubah: 34-35 10 Lihat: QS Al-Baqarah: 30 11 Muhammad Baqir Ash-Shadr menyebut ini sebagai The principle of diverse froms of ownership. Lihat: M Baqir Ash-Shadr, Iqtishaduna, diterjemahkan oleh Yudi, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna (Jakarta: Zahra. 2008). 147. 12 Ownership berarti kepemilikan, sebagai kelanjutan dari hak milik. Jadi, kepemilikan bukan berarti hak guna atau hak mengatur. Sedangkan property, berarti apa saja yang menghasilkan pendapatan bagi pemiliknya. Lihat: Mohammed Aslam Heneef, Op.Cit., xxii-xxiii
55
a. Kepemilikan Pribadi (al-milkiyah al-fardliyah/private property) Kepemilikan pribadi adalah ketentuan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya, baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya, dari barang tersebut.13 Pengkajian terhadap hukum-hukum syara’ menunjukkan bahwa sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk) terdiri atas lima perkara, yaitu: 1) Bekerja (al-amwal); 2) Warisan (al-irts); 3) Harta untuk menyambung hidup; 4) Harta pemberian negara; 5) Harta-harta
yang
diperoleh
seseorang
dengan
tanpa
mengeluarkan daya dan upaya apapun. 14 Dalam kaitan ini, Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batasbatas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat. Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.15 Menurut Afzalur Rahman, pemerintah bertugas mengontrol terhadap implementasi batasan-batasan tersebut. Hal ini untuk menghindari monopoli harta oleh sekelompok kecil masyarakat sehingga tercapai keadilan sosial dalam masyarakat. 13
Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nidham Al-Iqtishad Fil Islam diterjemahkan oleh Moch. Maghfur Wachid, Membangun SIstem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) 66 14 I.M. Yusanto, Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002) 25. 15 Veitzal Rivai, Andi Buchari, Islamic Economics (Jakarta: Bumi Aksara. 2009) 94.
56
b. Kepemilikan
Umum/Publik
(al-milkiyah
al-’ammah/public
property) Konsep hak milik umum mula-mula digunakan Islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. 16 Benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT sebagai benda-benda yang dibutuhkan oleh komunitas secara bersamasama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja atau golongan tertentu. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya. Para ahli fikih mendefinisikan yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah17, fasilitas atau sarana umum; barang tambang; dan sumber daya yang dari segi bentuknya sulit untuk dimiliki individu. 1) Fasilitas atau sarana umum. Kepemilikan umum jenis ini meliputi semua hal yang menjadi kebutuhan umum seluruh masyarakat secara umum, seperti air, padang rumput dan jalan-jalan umum. Atas dasar ini, para pemikir ekonomi Islam berpendapat, bahwa segala jenis barang yang memberikan manfaat kepada masyarakat umum harus diserahkan kepada pemeliharannya kepada negara. 18 Dasar pendapat ini adalah Rasulullah pernah bersabda:
ُ َ ُ ٍِاَن ُم ِ ه ُمىوَ ُ َش َ ا ُءف اس ِ َّ فٍِ ان َك ِء َوانما ِء وانن:خ “Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: padang rumput , air, dan api”. (HR Ahmad dan Abu
16
Afzalur Rahman, Op.Cit., 112 Bandingkan dengan: Abdurrahman Al-Maliki, As-Syiyasatu Al-Iqtishadiyah Al-Mustla diterjemahkan oleh Ibnu Sholah, Politik Ekonomi Islam (Bangil: Al-Izzah, 2001), 79 18 Lihat: Afzalur Rahman., Op Cit., 114 17
57
Dawud19) dan dalam hadits lain terdapat tambahan: “...dan harganya haram” (HR. Ibnu Majah) Hadits ini bukan berarti hanya bermakna secara tekstual. Artinya, yang menjadi fasilitas umum bukan hanya ketiga jenis barang seperti dalam hadist tersebut.20 Menurut seorang ulama, penyebutan Nabi atas ketiga komoditas itu adalah “ala tsabilil mitsal”, yaitu penyebutan yang bertujuan untuk memberikan contoh atas kebutuhan yang bersifat dlaruri bagi kehidupan muslim, bukan “ala sabilil hasr”, yaitu penyebutan yang bersifat membatasi atas suatu komoditas tertentu.21 Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa tiga macam barang yang disebutkan ketiganya merupakan Isim Jamid. Di sisi lain, hadits ini memang tidak menunjukkan illat sedikit pun. Hal ini yang melahirkan dugaan bahwa hanya ketiga jenis barang itulah yang merupakan kepemilikan umum. Tentu saja tidak demikian, sebab, illat pelarangan kepemilikan individu atas ketiga hal tersebut adalah karena ketiganya merupakan fasilitas yang menjadi kebutuhan umum. Oleh karena itu, jika ketiga hal tersebut tidak menjadi kebutuhan umum, maka illat tersebut hilang sehingga kembali kepada status asal, sah dimiliki individu. 22 Hal ini dikarenakan Rasulullah juga tidak melarang air untuk dimiliki individu sebagaimana disebutkan dalam hadits
19
Berikut teks hadits tersebut dari Riwayat Abu Dawud:
ن سجم،ٍ ن َدبّاو بن صَذ ان َّششْ َب، أخبشاا ُدضَ َْش بن ثماو،ْذانجع ِذانهُ ْؤنُ ِؤي َ َد َّذ َنَا َ هٍِ َ ب ُ َ ُ َّ َّ ن سجم من،ٍ وهزا نفظ ه، نا ابُى خذاش، نا ُ ً بن َىاس، ح و نا ُم َ ذد،من قَشْ و ُ غضوت مع اننبٍ طهً هللا هُه وسهم : قال،انمهاجشَن من اطذاب اننبٍ طهً هللا هُه وسهم " واننهش، وانماء، فٍ انك ء:ا اسم َعه َقىل "انم همىو ش اء فٍ خ
Hadits No. 3477 dalam Abu Dawud Sulaiman Abi Al-Asy’asy, Sunan Abu Dawud, Jilid III (Surabaya: Al-HIdayah), h. 278. 20 Taqiyuddin An-Nabhani, Op.Cit., 237. 21 Abdul Sami’ Al-Mishri, Muqawwimaat al-Iqthisad al-Islami, diterjemahkan oleh Dimyauddin Djuwaini, Pilar-Pilar Ekonomi Islam (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 68 22 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 6, diterjemahkan Abdul Hayyie Al-Kattanie. (Jakarta:Gema Insani, 2011)., 450
58
mengenai kaum muslim di Khaibar dan Tha’if. Menurut Abdurrahman Al Maliki, sebaliknya, jika faslitas-fasilitas selain ketiga hal tersebut menurut eksistensinya menjadi fasilitas umum, maka status kepemilikannya juga menjadi milik publik. Batasnya sesuatu diklasifikasikan sebagai fasilitas umum
adalah
jika
ketiadaan
barang
tersebut
membuat
orang
bersengketa/bercerai berai dalam mencarinya. Ini juga ditekankan oleh AnNabhanni. Al-kala‟ dalam hadits tersebut, dalam ilmu fiqh, termanifestasi menjadi dua cabang, yakni Al-Kala‟ dan Al-Aajaam. Dalam interpretasi Wahbah Zuhaili23, Al-kala‟ adalah, rerumputan yang tumbuh dengan sendirinya diatas tanah tanpa ditanam yang biasa difungsikan untuk menggembala binatang ternak. Menurut pendapat yang raajih menurut keempat madzhab, status hukum al-kala‟ tidak bisa dimiliki, tetapi mubah mengambilnya untuk memanfaatkannya. Ketentuan ini juga tetap berlaku jika rerumputan tersebut tumbuh diatas tanah milik seseorang. Sedangkan, alaajaam adalah pepohonan lebat yang terdapat di hutan belantara atau tanah tak bertuan. Setiap orang memiliki hak untuk menguasai dan mengambil setiap kebutuhan darinya. Ketentuan ini tidak berlaku jika pepohonan tersebut berada di atas tanah milik seseorang. Akan tetapi, negara memiliki hak membatasi kemubahannya dengan melarang aktivitas penebangan pohon, demi menjaga kemaslahatan umum dan melestarikan cagar alam tumbuhan yang bermanfaat.
23
Lihat., Ibid., 465
59
Mengenai makna An-Naar, Al Maliki memaknainya secara lebih interpretatif. Menurutnya, termasuk dalam kategori api adalah bahan bakar yang secara eksistensial menjadi fasilitas umum. 24 2) Bahan tambang Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tambang adalah secara keseluruhan seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain sebagainya. Sebagai
landasannya,
para
ulama
fiqh
menggunakan
hadits
yang
menerangkan mengenai tambang garam (ma‟dan al-minhi) sebagai beirikut: Pertama, sebuah hadits:
فهما َونِ ٍَ قُم,ااه اِسحَقطَع سسىل هللا طهً هللا هُه وسهم المم َح بمأْسوب ُفش َج َعه َ ,َا سسىل هللا أَجَ ْذ ِسٌ ما اَ ْقطَ ْعحَه نهه اما اَ ْقطَعْثَ نه انماء ان َع ِّدذ 25
ِمنه
Sesunggguhnya dia (Abyadl bin Hamal) memohon kepada Rasulullah S.A.W agar diberikan jaminan air di Ma‟rab. Ketika beliau (Rasulullah) menyetujuinya, ada salah satu hadirin berkata, “ya Rasulullah, mengapa Rasulullah mengutamakan sumber air asin itu?”. Setelah memahami kenyataan sesungguhnya, Rasulullah lalu menolak memberikan jaminan air asin tersebut kepada Abyadl. (HR. Abu Dawud) Kedua, hadits yang sama diceritakan oleh Abu Daud dengan pernyataan sebagai berikut:
24 25
Lihat mengenai ini dalam Abdurrrahman Al Maliki, Op.Cit., 82-83 Ibid.,
60
انمهخ نه فهما ااه َوفَ َذ انً سسىل هللا طهً انههم هُه وسهم فاسحَقطَ َعه َ ْ َاو َونًِ قال سجم من انمجهس اجذسٌ ما قطعثَ فقَطَ َعه نه ااما قطعث نه انما َء انعذ قال فااحَضَ ع منه “Ia datang kepada Rasululullah SAW bersama dengan suatu perwakilan dan memohon kepada beliau untuk memberikan tambahan garam Marb yang dianugerahkan kepada beliau. Pada saat kami hampir pulang, salah satu hadirin ada yang berkata “Hai Rasulullah, mengertikan tuan apa yang telah tuan berikan itu? Tuan telah menganugerahkan air mengalir”. Kemudian Rasulullah mencabut kembali pernyataannya” Yang dimaksud objek keharamannya disini bukanlah garam itu sendiri, melainkan tambangnya. Dengan bukti bahwa ketika Nabi SAW mengetahuinya, yakni tambang tersebut tidak terbatas jumlahnya, maka beliau mencegahnya, sementara beliau juga mengetahui bahwa itu merupakan garam sejak awal beliau memberikannya kepada Abyadl. Jadi, pencabutan tersebut karena garam tadi merupakan tambang yang tidak terbatas jumlahnya. 26 Akan tetapi, Taqiyuddin An-Nabhani berpendapat bahwa bahan tambang yang menjadi kepemilikan umum hanyalah bahan tambang yang tidak terbatas.27 Menurutnya, bahan tambang ada yang terbatas dan tidak terbatas. Bahan yang terbatas adalah bahan tambang yang tidak besar menurut ukuran individu sehingga jenis ini boleh dimiliki oleh individu. Mengenai dasar kebolehan tambang yang terbatas untuk dimiliki oleh privat, An26
Taqiyuddin An-Nabhani., Op.Cit., 239-240. Lihat:Ibid., 238-239. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Afzalur Rahman yang meyimpulkan bahwa para ahli fiqh telah memutuskan bahwa seluruh jenis tambang tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan kepemilikan bersama. Dalam pendapatnya. ia tidak memberikan keterangan secara spesifik mengenai tambang yang terbatas dan tidak terbatas. Atas dasar itu, demi kepentingan bersama, negara berhak mengelolanya. 27
61
Nabhani mengutip dua hadits, yakni hadits riwayat Abu Dawud, bahwa Rasulullah SAW telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits AlMuzni dari kabilahnya, dan hadits yang ditulis oleh Abi Ikrimah dalam kitabnya Al-Amwal, diriwayatkan dari Abu Ubaid yang berkata “Rasulullah SAW memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kendungan buminya, berupa gunung atau tambang.” Terhadap barang tambang ini, berlaku hukum rikaz, yang didalamnya terdapat 1/5 harta yang harus dikeluarkan. 28 Sedangkan bahan tambang yang tidak terbatas yang dimaksud adalah bahan tambang yang besar jumlahnya seperti air yang mengalir sehingga termasuk dalam jenis (collective property) dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Secara lebih spesifik, para ahli fiqh juga mengklasifikasi dua jenis bahan tambang, yaitu 29: a. Bahan tambang yang tampak/terbuka (adz-dhahir): Menurut fuqaha klasik, tambang dhahir adalah tambang yang terdapat dipermukaan bumi dan tidak diperlukan biaya dalam mengambilnya seperti air, belerang, dan garam. Pengertian ini berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Baqir Ash-Shadr, yakni bahan-bahan yang tidak membutuhkan proses usaha serta proses
28
Ketentuan ini juga merupakan pendapat ulama Hanafiyah. Akan tetapi, ini berlaku juntuk tambang yang bisa ditempa atau dilebur seperti emas, perak, besi, tembaga, timah. Adapun hasil tambang berupa logam keras yang tidak bisa ditempa seperti intan, yaqut, dan batu bara, atau bahan tambang berbentuk cair seperti air raksa dan minyak bumi, maka negara tidak memilki hak bagian di dalamnya, karena hasil tambang yang pertama menyerupai batu dan debu, sedangkan yang kedua menyerupai air, sementara negara tidak memiliki bagian hak di dalam batu, debu dan air, kecuali ar raksa. 29 Afzalur Rahman, Op.Cit., 115-116. Lihat juga: M Badir As-Shadr, Op.Cit., 213-225. Bandingkan dengan: Jaribah Bin Ahmad Albaritsi, Fiqh Al-Iqtishad li Al-Khalifah Umar Ibn Al-Khattab diterjemahkan oleh . . . . . Fiqh Ekonomi Umar Bin Al- Khattab (Jakarta: Khalifah, 2006). 230
62
tambahan agar mencapai bentuk akhirnya seperti garam, minyak, antimoni, batu bara, aspal, dan sebagainya. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk memanfaatkan dan mengambilnya sebanyak yang mereka butuhkan dan tidak boleh dimiliki, dimonopoli atau dianugerahkan kepada individu. Walaupun diperlukan adanya usaha yang besar serta berusaha memurnikannya untuk mengeksplorasi tambang-tambang minyak tersebut, Ash-Shadr tetap berpendapat bahwa bahan mentah ini tergolong terbuka. Maksud dari dhahir berarti tidak perlu proses lebih lanjut dan akan ditemukan dalam keadaan aktualnya setelah dieksplor, tidak memandang apakah eksplorasi tersebut dilakukan dengan usaha keras dari kedalaman bumi atau masih di permukaan bumi. Ash-Shadr mengemukakan pendapat Al-Hilli dalam kitabnya At-Tadzkirah
untuk
mencontohkan kategorisasi
mineral/barang
tambang terbuka, yakni garam, minyak, batu bara, gerinda, aspal, kaolin, rubi, antimonya, batuan tambang, dan mineral-mineral lain sejenisnya. Walaupun berbeda secara definitif, para fuqaha’ klasik, baik itu ulama Syafi’iyah, Hanbaliah, Hanafiyah, Zaidiyah, dan Imamiyah, sepakat bahwa tambang jenis ini tidak bisa dimiliki kecuali dengan mengelolanya, tetapi tidak diberikan kepada seseorang. Artinya, tambang jenis ini menjadi kepemilikan umum. 30
30
Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.CIt., 230-231
63
b. Bahan tambang yang tidak tampak/tersembunyi (al-bathin): Yaitu bahan tambang yang tersembunyi dalam tanah sehingga memerlukan proses pengolahan lebih lanjut untuk menjadi bentuk aktual seperti perak, emas, tembaga, besi, timah dan sejenisnya. Demikian menurut pendapat Ash-Shadr, sedangkan ulama klasik mengartikannya sebagai tambang yang memerlukan kerja keras dan biaya untuk mengeksplorasinya, seperti emas dan perak. Diantara ahli terdapat perbedaan pandangan terhadap jenis tambang ini. Mayoritas ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah berpendapat bahwa tambang-tambang ini tidak dapat dimiliki oleh perseorangan seperti tambang yang tampak. 31 Menurut Malikiyah, konsekuensi dari tidak diperbolehkannya individu memiliki tambang ini menjadikan negara wajib mengelolanya untuk kepentingan publik. Sedangkan sebagian ulama yang lain, yakni Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika tambang-tambang tersebut tidak digunakan atau dieksplorasi dengan sebaik-baiknya tanpa kerja keras dan modal besar, maka tambang ini dapat dilimpahkan kepada beberapa orang. Dasar dari pendapat ini adalah sebuah Hadits sebagai berikut: “Seseorang dari Bani Salim menghadap Rasulullah SAW dan menyerahkan sebatang emas kepada beliau seraya berkata: “Kami memperoleh emas ini dari pertambangan kami”. Rasulullah menjawab, “Saatnya akan tiba jika orang jahat memiliki tambang tersebut (dan menganiaya orang miskin dan lemah)”
31
Ibid., Bandingkan dengan keterangan Wahbah Zuhaili yang menulis, Menurut Ulama Syafi’ah, alMaadin yang terdapat dalam perut bumi (al-maadin al-bathiniyah) adalah milik orang yang menghidupkan lahan dimana al-Ma‟adin itu berada. Wahbah Zuhaili, Op.Cit., 466
64
Mengomentari hadits diatas, dijelaskan oleh Afzalur Rahman, bahwa pada saat itu tambang-tambang tidak diproduksi dalam skala besar dan tidak mempengaruhi kepentingan umum, sehingga Rasulullah SAW tidak melarang dan tidak mengambil alih tambang tersebut. Atas tendensi ini, Imam malik berpendapat bahwa kedua jenis tambang diatas yang meliputi tambang emas, perak, tembaga, seng, antimoni, berlian, dan sebagainya, merupakan milik masyarakat umum.
Hal
ini
mengisyaratkan
bahwa
Imam
Malik
juga
membenarkan hak milik negara dalam segala jenis perdagangan berskala besar. Pendapat Afzalurahman tersebut sama dengan pendapat Baqir Shadr. Hanya saja, Ash-Shadr lebih menggarisbawahi bahwa tindakan individu
untuk
mengambil
bahan-bahan
tambang
bathin
tersebut
diperbolehkan dalam batas kewajaran sesuai kebutuhan. Lebih lanjut, AshShadr juga mengemukakan bahwa barang tambang tersembunyi terdapat dua macam, yakni yang masih di permukaan bumi dan yang jauh diperut bumi. Fuqaha seperti Al-Kulaini, Al-Qummi, Al Mufid, Ad-Dailami, AlQadhi, berpendapat bahwa barang-barang tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah untuk mengelola. Sementara, Imam Syafi’i dan Hambaliyah (ulama madzhab Hambali) berpendapat bahwa barang tambang tersebut menjadi milik semua orang dengan prinsip kepemilikan umum, dalam arti semua orang dapat mengambilnya secara bebas. Berkaitan dengan pendapat ini, dapat dipahami bahwa tambang-tambang yang tergolong dalam kategori bathin, maka
65
semua orang dapat mengambilnya tetapi tidak boleh dimiliki individu. Tidak seperti pertambangan emas dan perak di Indonesia yang selama ini diprivatisasi oleh pemilik perusahaan, mempekerjakan beberapa orang, dan dijual ke masyarakat. Pendapat fuqaha tersebut berbeda dengan pendapat Hanafiyah yang dikemukakan Wahbah Zuhaily sebagai berikut:
ُ َ ان َمعا ِدو جُمه: وقال انذن ِفَُّة األسع را ُم ِه َكث ألَ ّو: ك ب ِم ْهك األسع ِ واو ااث, فاو ااث َم ْمهَكةً نشخض ااث ِمه ًكانه,بجمُْع أجْ ضا ِئها َ ُم ِه َكث ٍغُش م ْمهكة فه َ واو ااث فٍ اسع,فٍ اسع ِنه َّذوْ ن ِة فهٍ نهذوْ نَة 32
ألاها مبادا جبعا نه سع:نهىاجذ ِ
"Ulama‟ Hanafiyah mengatakan, bahwa harta al-Ma‟adin dimiliki berdasarkan kepemilikan lahan dimana tambang tersebut ditemukan. Karena suatu lahan apabila telah dimiliki, maka semua bagian-bagiannya juga ikut dimiliki. Apabila ditemukan di tambang milik seseorang, maka itu adalah miliknya. Apabila ditemukan di lahan milik negara, maka menjadi milik negara. Apabila ditemukan di lahan tak bertuan, maka itu menjadi milik penemunya, karena dengan begitu alMaadin tersebut statusnya adalah harta mubah mengikuti status lahan dimana tambang itu berada." 3) Sumber daya alam yang bentuk materinya sulit dimiliki individu.33 Kepemilikan umum jenis ini adalah seperti seperti laut, sungai, dan danau. Muhammad Baqir Ash-Shadr mengklasifikasi kepemilikan publik ini menjadi dua bagian, yakni kepemilikan ummat (ownership of the ummah) dan kepemilikan masyarakat. Kepemilikan ummat meliputi hak penguasaan properti milik keseluruhan umat Islam. Misalnya, penguasaan yang di dapat 32 33
Wahbah Zuhayly, Al-Fiqh Al-Islam… Op.Cit., 506-507 Mustafa Edwin Nasution Dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana. 2007). 124
66
dari perang suci (jihad). Sedangkan kepemilikan masyarakat tidak hanya terbatas pada hak penguasaan umat muslim seperti laut dan sungai (aliran air) alam. An-Nabhani menjelaskan bahwa jenis ini secara esensial memang menjadi milik umum, meliputi Jalan, sungai, laut, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Termasuk dalam jenis ini adalah masjid, sekolah milik negara,
rumah sakit
negara,
leapangan,
tempat
penampungan dan
sebagainya. 34 c. Kepemilikan Negara (milkiyah al-daulah/state property) Menurut
Al-Nabhani,
milkiyah al-daulah
adalah harta
yang
merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin (rakyat) dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah (negara), dimana khalifah (negara) berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslimin (rakyat) sesuai dengan ijtihadnya, makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya. Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum, namun terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu. Atas dasar ini, maka tiap hak milik yang pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah, maka hak milik tersebut dianggap sebagai milik negara. Mengutip pendapat Abd Qaddim Zallum dalam Al-Amwal Ad-Daulah Al-Khilafah, Yulizar D. Sanrego Nz dan Rusdi Batun mengemukakan bahwa
34
Taqiyuddin An-Nabhani, Op.Cit., 241
67
terdapat beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara dan negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah: 1) Harta ghanimah (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), anfâl (tanah yang oleh penduduknya menyerah kepada kaum muslim tanpa didahului oleh penaklukan dan tanah yang para penduduknya telah binasa), fay‟ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus. 2) Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslimin atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak). 3) Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslimin dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam). 4) Harta yang berasal dari pajak. 5) Harta yang berasal dari „ushr (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasikasikan berdasarkan agamanya). 6) Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwâl al-fadla). 7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad. 8) Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan syara’. 9) Harta lain milik negara, misalnya padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya. 35
35
Yulizar D. Sanrego Nz & Rusdi Batun, Privatisasi BUMN dalam Tinjauan Dalam Islam. La Riba: Jurnal Ekonomi Islam Vol. III, No. 2, Desember 2009
68
Dalam referensi lain dikemukakan, bahwa dalam klasifikasi yang lain, ulama fiqh membagi harta yang bisa dimiliki seseorang menjadi tiga bentuk, yaitu: 1. Harta yang bisa dimilki dan dijadikan dalam penguasaan seseorang secara khusus, misalnya milik yang dihasilkan melalui sebab-sebab pemilikan. 2. Harta yang sama sekali tidak bisa dijadikan milik pribadi, yaitu harta yang ditetapkan untuk kepentingan umum, seperti jalan umum, jembatan, benteng dan taman kota. 3. Harta yang hanya bisa dimiliki apabila ada dasar hukum yang membolehkannya, seperti harta wakaf yang bisaya pemeliharaannya melibihi nilai harta tersebut. Dalam keadaan seperti ini, harta boleh dijual, dihibahkan atau dijadikan milik pribadi. 36 B. Peran Negara dalam Pengelolaan Aset Negara Menurut Doktrin Ekonomi Islam Pada dasarnya, Islam memperkenankan Negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Negara juga berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun dari Negara lain. Negara juga berkewajiban memberikan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak. 37 Secara lebih jelas, AlMawardi dalam Ahkam As-Sulthaniyah-nya mengemukakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh negara, yaitu: 1. Perlindungan terhadap agama.
36
Yusdani, Op.Cit.,.60. mengutip dari Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), IV: 1178. 37 Mustafa Edwin Nasution Dkk, Op.Cit.,. 27.Urgensi campur tangan pemerintah ini juga ditekankan oleh Nejatullah Siddiqi, namun demikian, implementasinya jauh berbeda dengan sistem sosialis. Siddiqi mendasarkan konsep ini pada perintah amar ma‟ruf nahi munkar untuk melegitimasi peran aktif negara dalam perekonomian. Nejatullah Siddiqi, The Economis Enterprise in Islam (Lahore: Islamic Publication, 1971). Dideskripsikan oleh Muhammad Aslam Haneef, Op.Cit., 46
69
2. Penegakan hukum dan stabilitas. 3. Pemeliharaan batas negara Islam dengan mempertahankannya dari musuhmusuh Islam dan memerangi mereka yang menyerangnya. 4. Menyediakan lingkungan yang kondusif bagi kegiatan ekononomi. 5. Menyediakan administrasi publik, pengadilan dan penegakan hukum Islam. 6. Pemungutan pendapatan dari sumber-sumber yang tersedia dan juga menaikkan pendapatan dengan menetapkan pajak baru jika situasi menuntutnya. 7. Penggunaan dan untuk tujuan-tujuan yang menjadi kewajiban bagi keuangan negara. 38
Sahabuddin Azmi merumuskan tugas-tugas negara sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama-ulama klasik yang meliputi: administrasi publik, pertahanan, keamanan sosial, aktivitas ekonomi publik, pembangunan ekonomi, tugas dan pendistribusian. Dalam konteks jaminan aktivitas ekonomi, negara berkewajiban menjamin sepenuhnya pemanfaatan sumber-sumber alam seperti air, rumput dan lain sebagainya. Ia mengemukakan pendapat Abu Yusuf yang pernah mengutuip sebuah hadits Rasulullah SAW: “Setelah menggunakan air untuk kebutuhanmu, biarlah ia megalir ke tetanggamu, yang dimulai dari tetangga yang paling dekat.”. Spirit dasar hadits diatas adalah bahwa sumber-sumber alam harus bisa diakses oleh semua dan tidak boleh terdapat individu tertentu yang memilikinya secara bebas. Oleh karena itu, negara bertangggungjawab atas tersedianya akses
38
Sahabuddin Azmi, Ekonomi Islam, Keuangan Publik dalam Pemikiran Islam Awal (terjemah) (Bandung: Nuansa, 2005), 70.
70
sumber daya alam ini. 39 Syed Nawwab Haedar Naqvi dalam karyanya Islam, Economics and Society juga berpendapat bahwa karena kepemilikan pribadi telah dibatasi dengan spesifikasi yang jelas seperti tidak diperbolehkannya individu memiliki lahan-lahan kosong, hutan, padang rumput, tambang dan sebagainya, maka harus tercipta keadilan distributif dengan menciptakankesempatan akses yang sama dan pendistrubusian terhadap dan dari hasil-hasil sumber-sumber ini sesuai hukum Islam. Tanggungjawab atas realisasi masalah ini harus dijalankan oleh otoritas publik (negara) sesuai untuk kesejahteraan umum. 40 Urgensi peranan negara dalam perekonomian ini juga ditekankan oleh AlGhazali dan Ibnu Khaldun.41 Menurutnya, keadaan ideal dalam sebuah masyarakat akan tercipta ketika
masyarakat
bekerjasama menciptakankedamaian demi
terwujudnya masyarakat yang beradab, akan tetapi, karena konflik masyarakat yang sering muncul, baik disebabkan oleh keserakahan, kedengkian, kompetisi yang tidak sehat, maka diperlukan pengaturan kolektif untuk mengatasi kecenderungankecenderungan yang merusak kedamaian publik tersebut. Namun demikian, AlGhazali juga tidak mengharuskan negara menjadi aktor ataupun mengintervensi perekonomian. Tindakan ini akan menjadikan masyarakat sebagai korban akibat perbedaan kapital yang cukup besar. Oleh sebab itu, negara hanya berfungsi mewujudkan kompetisi ekonomi dan keadilan distributif tanpa ikut serta didalamnya. Pendapat al-Ghazali tersebut mirip dengan pendapat Ibnu Khaldun, yakni negara tidak boleh berkompetisi dengan masyarakat demi menambah pendapatan negara.
39
Ibid., 80 LIhat: Syed Nawab Haedar Naqvi, Islam, Economics, and Society diterjemahkan oleh M. Saiful Anam dan M Ufuqul Mubin, Mengagas Ilmu Ekonomi Islam (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003). 129-131 dan 154. 41 Lihat: Arif Hoetoro, Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi (Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2007) 76-90. 40
71
Sependapat dengan Al-Ghazali, masyarakatlah yang berpotensi dirugikan akibat adanya crowding-out. Pentingnya peranan pemerintah tersebut dijelaskan dalam sejumlah karyakarya klasik seperti Al-Ahkam As-Shultaniyah, Maqashid Asy-Syari‟ah, As-Syiyasah Asy-Syar‟iyah, dan Al-Hisbah. Beberapa pemikir modern yang juga menekankan pentingnya peranan negara dalam ekonomi adalah Hasan Al-Banna, Abu A’la AlMaududi dan M Baqir Shadr.42 Mekanisme pasar yang berbasis pada aktivitas ekonomi individual, tidak mungkin mampu mewujudkan kesejahteraan umum, walaupun setiap individu menyadari terhadap barang-barang yang seharusnya menjadi kepemilikan umum. Ketidakmampuan ini disebabkan banyak faktor seperti ketidaktahuan individu dalam mengukur prioritas kesejahteraan makro ataupun karena apatisme sebagian individu terhadap kesejahteraan umum. Dalam kondisi demikian, restrukturisasin alokasi, efisiensi dan distribusi sumber-sumber alam menjadi sangat urgen. Sebagaimana penjelasan M Umer Chapra dalam Islam and The Economics Callenge, kondisi inilah yang membuat sedemikian pentingnya peranan pemerintah dalam pemikiran politik muslim dari masa awal hingga kini. M Faruq Nabhan, pemikir ekonomi Islam kontemporer, dalam karyanya AlIqtishad Al-Islami merumuskan diantara tugas-tugas negara dalam perekonomian sebagai berikut: 1. Mengawasi faktor utama penggerak perekonomian;
42
M Umer Chapra, Islam and The Economics Challenge diterjemahkan oleh Nur Hadi Ihsan dan Rifqi Amar, Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Surabaya: Risalah Gusti, 1999) 247-248.
72
2. Menghentikan muamalah yang diharamkan; 3. Mengintervensi harga kalau dibutuhkan; Berkaitan dengan itu, ia berpendapat bahwa negara hanya bertindak sebagai regulator, dari pada sebagai aktor dalam perekonomian. Peranan pemerintah sebagai aktor dalam perekonomian hanya dibutuhkan ketika kondisi menghendaki demikian, seperti terjadinya kecurangan-kecurangan pihak-pihak yang merugikan pelaku ekonomi yang lain. Dalam karyanya Iqhtishaduna, Secara filosofis, Muhammad Baqir Ash-Sadr berpendapat bahwa distribusi kekayaan pada dasarnya terdiri pada dua tingkatan, yakni distribusi sumber-sumber produksi (kekayaan primer) dan distribusi kekayaan produktif (kekayaan sekunder). Dirtribusi sumber-sumber produksi meliputi tanah, bahan-bahan mentah, alat-alat dan mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi beragam barang dan komoditas yang berperan dalam produksi pertania dan produksi industri atau keduanya. Sedangkan yang dimaksud dengan kekayaan produktif adalah komoditas yang merupakan hasil proses dari kombinasi sumber produksi dan usaha ekstraktif tenaga manusia. 43 Inilah yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Konsepsi kapitalisme menghendaki adanya kebebasan ekonomi yang luas termasuk distribusi kepemilikan sumber-sumber produksi, termasuk kekayaan alam secara eksklusif kepada individu yang mempunyai kemampuan untuk mengembangannya. Sementara, konsepsi sosialisme menghendaki adanya penyerahan otoritas penuh negara dari hasil pengelolaan sumber-sumber produksi. 43
Lihat: Muhammad Baqir Ash-Sadr, Op.Cit., 149-150.
73
Monzer Khaf (1999) berpendapat, bahwa secara umum, terdapat kaidah syar’iyah yang harus menjadi pedoman pemerintah dalam melaksanakan fungsi sebagai pelaksana kebijakan distribusi pendepatan Negara Islam modern, yaitu kaidah-kaidah syar‟iyah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan zakat; kaidahkaidah syar‟iyah yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal dari asset pemerintah; dan kaidah-kaidah syar‟iyah yang berkaitan dengan kebijakan pajak. Kaidah-kaidah syar‟iyah yang berkaitan dengan hasil pendapatan asset pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: a. Pendapatan dari asset umum pemerintah, yaitu investasi asset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. Ketika asset tersebut
dikelola
individu
masyarakat
maka
pemerintah
berhak
menentukan berapa bagian pemerintah dari hasil pengelolaan asset tersebut dengan berpedoman kepada mashlahah dan keadilan; b. Pendapat
dari aset
yang masyarakat
ikut
memanfaatnya adalah
berdasarkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam, dan semacamnya. Kaidah itu dalam konteks pemerintahan modern adalah sarana-sarana umum yang sangat dibutuhkan masyarakat.44 Dari uraian sub judul ini, hampir keseluruhan pendapat ulama dalam doktrin ekonomi Islam tidak satupun yang menunjukkan peran pasif negara. Demi menjamin tegaknya keadilan, mencegah monopoli maupun oligopoli, terpusatnyya kekayaan 45 dan aturan ekonomi yang tidak memihak, maka sebagian besar ulama menekankan 44 45
Lihat: Mustafa Edwin Nasution Dkk, Op.Cit., 221-223 Al-Hasyr: 7
74
pentingnya regulasi pemerintah terhadap aktivitas ekonomi dengan pedoman syari’ah, sehingga konsep laizzes fair sebagaimana dalam system ekonomi kapitalisme hampir tidak ditemukan dalam doktrin ekonomi Islam. Begitu juga dengan pemberian otoritas maupun intervensi penuh semua aset perekonomian seperti dalam doktrin ekonomi sosialisme juga tidak dibenarkan dalam ekonomi Islam. Karena dalam Islam, negara juga berkewajiban mengakui kepemilikan individu yang diperoleh melalui mekanisme yang sesuai dengan ajaran Islam.