PRODUK REKAYASA GENETIKA (GMO/GENETICALLY MODIFIED ORGANISM) SEBAGAI SUBJEK PERLINDUNGAN PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Oleh: ZAKKI ADLHIYATI, S.H. NIM: B4A 007 110
Pembimbing: Dr. Budi Santoso, S.H., M.S.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009
PRODUK REKAYASA GENETIKA (GMO/GENETICALLY MODIFIED ORGANISM) SEBAGAI SUBJEK PERLINDUNGAN PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
Disusun Oleh: ZAKKI ADLHIYATI, S.H. NIM: B4A 007 110
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal
Tesis Ini Telah Diterima Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum
Pembimbing Magister Ilmu Hukum
Dr. Budi Santoso, S.H., M.S. NIP: 19611005 198603 1 002
PRODUK REKAYASA GENETIKA (GMO/GENETICALLY MODIFIED ORGANISM) SEBAGAI SUBJEK PERLINDUNGAN PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
Disusun Oleh: ZAKKI ADLHIYATI, S.H. NIM: B4A 007 110
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal
Tesis Ini Telah Diterima Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pembimbing
Mengetahui
Magister Ilmu Hukum
Ketua Program
Dr. Budi Santoso, S.H.,M.S
Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, S.H.,M.H
NIP:19611005 198603 1 002
NIP. 130 531 702
Tesis ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku.. terimakasih atas semuanya Kepada keluarga besar Abu Amar, aku bersyukur berada di tengah-tengah kalian Kepada para guru yang telah dengan ikhlas berbagi ilmu dengan kami..murid-muridmu
KATA PENGANTAR Puji Syukur kahadirat Allah SWT, atas segala limpahan taufik dan hidayah-Nya, sehingga proses penulisan tesis yang berjudul “Produk Rekayasa Genetika (Genetically Modified Organism) sebagai Subjek Perlidungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman” ini dapat terselesaikan meskipun penulis yakin bahwa masih terdapat kekurangan didalamnya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, insan mulia pembawa rahmat dan kasih sayang. Penulis menyadari sepenuhya, tanpa bantuan dan partisipasi dari semua pihak, penulisan karya ilmiah ini tidak mungkin dapat diselesaikan, maka dari itu pada beberapa lembar halaman kata pengantar ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak. Ucapan terimakasih pertama-tama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, MS. Med.Sp.And selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang; 2. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH., MH. Selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang selalu rendah hati;
3. Ibu Ani Purwanti, SH., M. Hum. Selaku Sekretaris I Bidang Akademik
Program
Magister
Ilmu
Hukum
Universitas
Diponegoro; 3. Bapak Dr. Budi Santoso, SH, MS., sebagai dosen pembimbing sekaligus tim penguji, dengan segala ketulusan dan kearifan telah berkenan mengoreksi, mengarahkan dan membimbing dalam penulisan tesis ini. 5. Bapak /Ibu pengajar di kelas Unggulan Diknas Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, khususnya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo (Alm), S.H., Prof. Dr. Sri Redjeki, SH., MS, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Prof. Dr. Etty Susilowati, SH., MS. MS, dan seluruh dosen pengajar serta kepada seluruh staf pengajaran dan karyawan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 6. Pihak Dinas
Pendidikan Nasional (DIKNAS) yang telah
memberikan penulis kesempatan menimba ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro melalui beasiswa yang diberikan; 7. Kedua Orang tuaku, Bp Abu Amar dan Ny Kasmi, dan seluruh keluargaku tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa;
8. Sahabat-sahabat yang selalu ada dihatiku Mb No’or, Nayla, Diarina; terimakasih karena selalu mengingatkanku untuk menyelesaikan tesis dan terimakasih karena telah berbagi; 9. Teman-teman Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, khususnya Ari, Mb Muti, Ekha, Uchi, Mb Indah, Reni, Mb Rina, Mb Piah, Mb Neni, Mbak. Zoel, Mbak Dini, Rindia, Lala, dan Boby. 10. Teman-teman kos Jl Kijang II, No 27, Semarang: Mb Nuke, Mb Heni 1, Mb Heni 2, Mb Dian, Mb Danik, terima kasih atas malam-malam yang penuh dengan cerita. Pada akhirnya penulis menyadari, penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna kesempurnaan penulisan ini. Semoga tesis ini bermanfaat.
Semarang, Maret 2010 Penulis
Zakki Adlhiyati
ABSTRAK Produk rekayasa genetika sebagai hasil dari intelektualitas manusia perlu mendapatkan perlindungan dari hak kekayaan intelektual (HKI). Di indonesia perlindungan ini diberikan oleh Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Pasal 7 Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten menyebutkan bahwa paten dapat memberikan perlindungan terhadap proses non biologis maupun proses mikrobiologis untuk menciptakan tanaman atau hewan. Penemuan di bidang tersebut dapat dilindungi oleh paten asalkan memenuhi persyaratan baru, mempunyai langkah inventif dan dapat diterapkan di bidang industri. Disisi lain perlindungan varietsas tanaman didasarkan pada Undang-undang Nomer 29 tahun 2002 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. PVT hanya dapat memberikan perlindungan terhadap GMO’s dibidang tanaman dan memenuhi persyaratan baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama. Baik Paten dan PVT dapat memberikan perlindungan atas invensi (dalam hal ini GMO’s) asalkan penemuan tersebut didaftarkan, namun dalam faktanya, pendaftaran ini memerlukan waktu yang lama dan mahal. Disisi lain ditemukan pula permasalahan lain mengenai perlindungan GMO’s Biosafety issues, monopoli dan komersialisasi GMO’s melalui hak kekayaan intelektual serta bioparacy muncul sebagai permasalahan kompleks yang harus diselesaikan. Menyangkut permasalahan biosafety dan komersialisasi GMO’s, pada dasarnya World Trade Organization telah membentuk suatu peraturan yang dapat dijadikan acuan, yaitu Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dan The Technical Barriers to Trade (TBT). SPS menjadi dasar bagi negara anggota untuk dapat menerapkan suatu pengujian terhadap GMO’s, sedangkan TBT memastikan bahwa pengujian tersebut tidak akan menghambat perdagangan. Di indonesia sendiri dikeluarkan Keputusan Bersama empat menteri menyangkut permasalahan ini, yaitu keputusan Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Pangan dan Holtikulura, selain itu terdapat pula AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan) sebagai suatu pengujian terhadap GMO’s yang memasuki Indonesia, sedangkan terhadap GMO’s yang sudah ada di pasaran, pemerintah masih tetap melakukan pengawasan yang dilakukan oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Pada dasarnya pengawasan juga perlu dilakukan oleh pemerintah terhadap penggunaan dan pemanfaatan sumber daya hayati yang ada di wilayah Indonesia. Pengawasan ini ditujukan untuk mencegah bioparacy dan menerapkan ketentuan Convention on Biological Diversity yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang Nomer 5 tahun 1994. Selanjutnya pemerintah juga perlu menegakkan undang-undang ini, termasuk ketentuan tentang benefit sharing sehingga masyarakat lokal bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka.
ABSTRAK As a result of human intellectuality, genetically modified oranism (GMO’s) need to be protected by intellectual property. In indonesia, thus protection can be gain through patent and plant variety protection (PVT). Statute Number 14 years 2001, article 7 says that the patent could protect the non biological process or microbiology prosess to produce animal or plant. The invention that include to the article 7 can be protected by patent as long as its new, have an inventive step, and industrially applicable. While the plant vaiety protection regulated in Statutes Number 29 year 2002. The PVT only could protect genetically modified organism in the range of plant variety with the qualification of new, unique, uniform, stable, and namely. Both patent and PVT could give protection after the invention was registered. In fact, the process of application need a lot of time and very expensive. Giving another problem to the protection of the genetically modified organism, the protection it self was resisted due to the negative effect from the genetically modified organism. While The negative effect to the health and environment called biosafety issues emerge, another problem also need to be solve such us the monopoly and commercialization of GMO’s through intellectual property right and the bioparacy. Basically internastional society had try to balance the commercialization principle with the other issues including health and environment. The international organizations such as World Trade Organization has create Sanitary and Phytosanitary Measures and The Technical Barriers to Trade (TBT). While SPS addresses a variety of measures used by government to ensure that human and animal food is safe, TBT ensure the measurement taken each member not create obstacle to the trade Regarding to thus issues, Indonesia has establish Collective Decision of Minister of Agriculture, Minister of Forestry and plantation, Minister of Health, and Minister of Food and Holticultural. The aim of this provision was to guarantee food and variety safety for the human health, biological, and environment related to GMO’s use. Subsequently for the new variety which enter Indonesia there’s assessment called AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) before they enter to the states. Government also have control to the GMO’s that have been in the market which is done by BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). The control actually also has to be done by the government to the use of our biodiversity in order to prevent bioparacy in our country and also to comply the Convention on Biological Diversity that has been ratified by Indonesian Government with statutes No 5 years 1994. Subsequently government need to implement this provision including the issue of benefit sharing in order to give indegeneous people their right from the exploitation.
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... .. i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii HALAMAN PERSEMBAHAN......................................................................vi KATA PENGANTAR....................................................................................v ABSTRAK................................................................................................. viii ABSTRACT ...............................................................................................ix DAFTAR ISI .... ........................................................................................ ...x DAFTAR GAMBAR ..................................................................................xiv DAFTAR TABEL .......................................................................................xv BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................... ..1 A. Latar Belakang ....................................................................... ..1 B. Perumusan Masalah .............................................................. ..4 C. Tujuan Penelitian .................................................................... ..5 D. Manfaat Penelitian .................................................................. ..5
E. Kerangka Pemikiran .............................................................. 6 F. Metode Penelitian ..................................................................11 G. Sistematika Penyajian............................................................16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................18 A. Genetically Modified Organism (GMO’s) sebagai Hasil Bioteknologi...................................................................18 1. Genetically Modified Organism (GMO’s)..........................18 a. Pengertian Genetically Modified Organism (GMO’s) ......................................................................18 b. Jenis-jenis Produk Genetically Modified Organism (GMO’s)......................................................19 c. Dampak Positif dan Negatif Genetically Modified Organism (GMO’s)........................................20 2. Bioteknologi......................................................................23 a. Pengertian Bioteknologi...............................................23 b. Sejarah Bioteknologi....................................................23 c. Jenis Bioteknologi........................................................25 d. Lingkup Bioteknologi...................................................25
B. Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual...................27 1. Hak Kekayaan Intelektual.................................................27 a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual.........................27 b. Sifat Hak Kekayaan Intelektual...................................29 c. Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual....................31 d. Aspek Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual..................34 e. Lingkup dan Penggolongan Hak Kekayaan Intelektual....................................................................37 f. Pengalihan Hak Kekayaan Intelektual.........................41 2. Paten sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual a. Definisi Paten..............................................................42 b. Sejarah dan Pengaturan Paten di Indonesia..............43 c. Jenis-jenis Paten.........................................................45 d. Persyaratan Pemberian Paten....................................49 e. Pengecualian Paten....................................................54 f. Pengalihan Hak Paten................................................55
g. Berakhirnya Perlindungan Paten.................................58 h. Pelanggaran Paten......................................................60 3. Perlindungan Varietas Tanaman sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual...........................62 a. Sejarah dan Pengaturan Varietas Tanaman di Indonesia.....................................................................62 b. Subjek Perlindungan Varietas Tanaman.....................63 c. Persyaratan Pemberian Perlindungan Varietas Tanaman.......................................................67 d. Jangka Waktu Perlindungan Varietas Tanaman.........69 e. Pengalihan Hak Perlindungan Varietas Tanaman......69 f. Berakhirnya Perlindungan Varietas Tanaman............73 C. Genetically Modified Organism (GMO’s) sebagai Subjek Perlindungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman...........................................76 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PERLINDUNGAN GENETICALLY MODIFIED
ORGANISM (GMO’S) MELALUI SISTEM PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN SEBAGAI HASIL INTELEKUALITAS MANUSIA................................78 B. PERMASALAHAN DALAM PERLINDUNGAN GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO’S) DI INDONESIA..................................................................... 114 C. MENGATASI PERMASALAHAN DALAM PERLINDUNGAN GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO’S) DI INDONESIA............................122 BAB IV PENUTUP.............................................................................148 A. KESIMPULAN.................................................................148 B. SARAN............................................................................151
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.
Prosedur Permohonan Paten
Gambar 3.
Jangka Waktu Permohonan Paten
Gambar 4:
Prosedur Permohonan Hak PVT
DAFTAR TABEL Tabel 1:
Perbedaan paten biasa dengan paten sederhana
Tabel 2:
Perbandingan antara Perlindungan Varietas Tanaman dengan Hak Paten (UUP) dan Hak Pemulia (UU PVT)
Tabel 3:
Biaya Pengajuan Permohonan Paten Biasa
PRODUK REKAYASA GENETIKA (GMO/GENETICALLY MODIFIED ORGANISM) SEBAGAI SUBJEK PERLINDUNGAN PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Oleh: ZAKKI ADLHIYATI, S.H. NIM: B4A 007 110
Pembimbing: Dr. Budi Santoso, S.H., M.S.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009
PRODUK REKAYASA GENETIKA (GMO/GENETICALLY MODIFIED ORGANISM) SEBAGAI SUBJEK PERLINDUNGAN PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
Disusun Oleh: ZAKKI ADLHIYATI, S.H. NIM: B4A 007 110
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal
Tesis Ini Telah Diterima Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum
Pembimbing Magister Ilmu Hukum Dr. Budi Santoso, S.H., M.S. NIP: 19611005 198603 1 002
PRODUK REKAYASA GENETIKA (GMO/GENETICALLY MODIFIED ORGANISM) SEBAGAI SUBJEK PERLINDUNGAN PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
Disusun Oleh: ZAKKI ADLHIYATI, S.H. NIM: B4A 007 110
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal
Tesis Ini Telah Diterima Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pembimbing Magister Ilmu Hukum
Mengetahui Ketua Program
Dr. Budi Santoso, S.H.,M.S Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, S.H.,M.H NIP:19611005 198603 1 002 NIP. 130 531 702
Tesis ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku.. terimakasih atas semuanya Kepada keluarga besar Abu Amar, aku bersyukur berada di tengah-tengah kalian Kepada para guru yang telah dengan ikhlas berbagi ilmu dengan kami..murid-muridmu
KATA PENGANTAR Puji Syukur kahadirat Allah SWT, atas segala limpahan taufik dan hidayah-Nya, sehingga proses penulisan tesis yang berjudul “Produk Rekayasa Genetika (Genetically Modified Organism) sebagai Subjek Perlidungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman” ini dapat terselesaikan meskipun penulis yakin bahwa masih terdapat kekurangan didalamnya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, insan mulia pembawa rahmat dan kasih sayang. Penulis menyadari sepenuhya, tanpa bantuan dan partisipasi dari semua pihak, penulisan karya ilmiah ini tidak mungkin dapat diselesaikan, maka dari itu pada beberapa lembar halaman kata pengantar ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak. Ucapan terimakasih pertama-tama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, MS. Med.Sp.And selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang; 2. Prof. Dr. Paulus Hadisuprapto, SH., MH. Selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang selalu rendah hati; 3. Ibu Ani Purwanti, SH., M. Hum. Selaku Sekretaris I Bidang Akademik
Program
Magister
Ilmu
Diponegoro;
Hukum
Universitas
3. Bapak Dr. Budi Santoso, SH, MS., sebagai dosen pembimbing sekaligus tim penguji, dengan segala ketulusan dan kearifan telah berkenan mengoreksi, mengarahkan dan membimbing dalam penulisan tesis ini. 5. Bapak /Ibu pengajar di kelas Unggulan Diknas Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, khususnya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo (Alm), S.H., Prof. Dr. Sri Redjeki, SH., MS, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Prof. Dr. Etty Susilowati, SH., MS. MS, dan seluruh dosen pengajar serta kepada seluruh staf pengajaran dan karyawan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 6. Pihak Dinas
Pendidikan Nasional (DIKNAS) yang telah
memberikan penulis kesempatan menimba ilmu di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro melalui beasiswa yang diberikan; 7. Kedua Orang tuaku, Bp Abu Amar dan Ny Kasmi, dan seluruh keluargaku tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa; 8. Sahabat-sahabat yang selalu ada dihatiku Mb No’or, Nayla, Diarina; terimakasih karena selalu mengingatkanku untuk menyelesaikan tesis dan terimakasih karena telah berbagi;
9. Teman-teman Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, khususnya Ari, Mb Muti, Ekha, Uchi, Mb Indah, Mb Rina, Mb Piah, Mb Neni, Mbak. Zoel, Mbak Dini, Rindia, Lala, dan Boby. 10. Teman-teman kos Jl Kijang II, No 27, Semarang: Mb Nuke, Mb Heni 1, Mb Heni 2, Mb Dian, Mb Danik, terima kasih atas malam-malam yang penuh dengan cerita. Pada akhirnya penulis menyadari, penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna kesempurnaan penulisan ini. Semoga tesis ini bermanfaat.
Semarang, Maret 2010 Penulis
Zakki Adlhiyati
ABSTRAK Produk rekayasa genetika sebagai hasil dari intelektualitas manusia perlu mendapatkan perlindungan dari hak kekayaan intelektual (HKI). Di indonesia perlindungan ini diberikan oleh Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Pasal 7 Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten menyebutkan bahwa paten dapat memberikan perlindungan terhadap proses non biologis maupun proses mikrobiologis untuk menciptakan tanaman atau hewan. Penemuan di bidang tersebut dapat dilindungi oleh paten asalkan memenuhi persyaratan baru, mempunyai langkah inventif dan dapat diterapkan di bidang industri. Disisi lain perlindungan varietsas tanaman didasarkan pada Undang-undang Nomer 29 tahun 2002 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. PVT hanya dapat memberikan perlindungan terhadap GMO’s dibidang tanaman dan memenuhi persyaratan baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama. Baik Paten dan PVT dapat memberikan perlindungan atas invensi (dalam hal ini GMO’s) asalkan penemuan tersebut didaftarkan, namun dalam faktanya, pendaftaran ini memerlukan waktu yang lama dan mahal. Disisi lain ditemukan pula permasalahan lain mengenai perlindungan GMO’s Biosafety issues, monopoli dan komersialisasi GMO’s melalui hak kekayaan intelektual serta bioparacy muncul sebagai permasalahan kompleks yang harus diselesaikan. Menyangkut permasalahan biosafety dan komersialisasi GMO’s, pada dasarnya World Trade Organization telah membentuk suatu peraturan yang dapat dijadikan acuan, yaitu Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dan The Technical Barriers to Trade (TBT). SPS menjadi dasar bagi negara anggota untuk dapat menerapkan suatu pengujian terhadap GMO’s, sedangkan TBT memastikan bahwa pengujian tersebut tidak akan menghambat perdagangan. Di indonesia sendiri dikeluarkan Keputusan Bersama empat menteri menyangkut permasalahan ini, yaitu keputusan Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Pangan dan Holtikulura, selain itu terdapat pula AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan) sebagai suatu pengujian terhadap GMO’s yang memasuki Indonesia, sedangkan terhadap GMO’s yang sudah ada di pasaran, pemerintah masih tetap melakukan pengawasan yang dilakukan oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Pada dasarnya pengawasan juga perlu dilakukan oleh pemerintah terhadap penggunaan dan pemanfaatan sumber daya hayati yang ada di wilayah Indonesia. Pengawasan ini ditujukan untuk mencegah bioparacy dan menerapkan ketentuan Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang Nomer 5 tahun 1994. Selanjutnya pemerintah juga perlu menegakkan undangundang ini, termasuk ketentuan tentang benefit sharing sehingga masyarakat lokal bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka.
ABSTRAK As a result of human intellectuality, genetically modified oranism (GMO’s) need to be protected by intellectual property. In indonesia, thus protection can be gain through patent and plant variety protection (PVT). Statute Number 14 years 2001, article 7 says that the patent could protect the non biological process or microbiology prosess to produce animal or plant. The invention that include to the article 7 can be protected by patent as long as its new, have an inventive step, and industrially applicable. While the plant vaiety protection regulated in Statutes Number 29 year 2002. The PVT only could protect genetically modified organism in the range of plant variety with the qualification of new, unique, uniform, stable, and namely. Both patent and PVT could give protection after the invention was registered. In fact, the process of application need a lot of time and very expensive. Giving another problem to the protection of the genetically modified organism, the protection it self was resisted due to the negative effect from the genetically modified organism. While The negative effect to the health and environment called biosafety issues emerge, another problem also need to be solve such us the monopoly and commercialization of GMO’s through intellectual property right and the bioparacy. Basically internastional society had try to balance the commercialization principle with the other issues including health and environment. The international organizations such as World Trade Organization has create Sanitary and Phytosanitary Measures and The Technical Barriers to Trade (TBT). While SPS addresses a variety of measures used by government to ensure that human and animal food is safe, TBT ensure the measurement taken each member not create obstacle to the trade Regarding to thus issues, Indonesia has establish Collective Decision of Minister of Agriculture, Minister of Forestry and plantation, Minister of Health, and Minister of Food and Holticultural. The aim of this provision was to guarantee food and variety safety for the human health, biological, and environment related to GMO’s use. Subsequently for the new variety which enter Indonesia there’s assessment called AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) before they enter to the states. Government also have control to the GMO’s that have been in the market which is done by BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). The control actually also has to be done by the government to the use of our biodiversity in order to prevent bioparacy in our country and also to comply the Convention on Biodiversity that has been ratified by Indonesian Government with statutes No 5 years 1994. Subsequently government need to implement this provision including the issue of benefit sharing in order to give indegeneous people their right from the exploitation.
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................vi KATA PENGANTAR.......................................................................v ABSTRAK................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................ix DAFTAR ISI .... ........................................................................................ ..x DAFTAR GAMBAR ................................................................................. .xiv DAFTAR TABEL ..................................................................................xv BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................. 4 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian .................................................................. 5 E. Kerangka Pemikiran .............................................................. 6 F. Metode Penelitian ................................................................11 G. Sistematika Penyajian..........................................................16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................18
D.
Genetically Modified Organism (GMO’s) sebagai Hasil Bioteknologi..................................................................18 3. Genetically Modified Organism (GMO’s)....................... .18 d. Pengertian Genetically Modified Organism (GMO’s) ..................................................................18 e. Jenis-jenis Produk Genetically Modified Organism (GMO’s)...................................................19 f. Dampak Positif dan Negatif Genetically Modified Organism (GMO’s)....................................20 4.
Bioteknologi.............................................................23 e. Pengertian Bioteknologi...........................................23 f.
Sejarah Bioteknologi...............................................23
g.
Jenis Bioteknologi...................................................25
h.
Lingkup Bioteknologi...............................................25
E. Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual................27 4. Hak Kekayaan Intelektual.............................................27 g.
Pengertian Hak Kekayaan Intelektual.................. 27
h.
Sifat Hak Kekayaan Intelektual..............................29
i. Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual................31
j. Aspek Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual..............34 k. Lingkup dan Penggolongan Hak Kekayaan Intelektual.................................................................37 l. Pengalihan Hak Kekayaan Intelektual.....................41 5.
Paten sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual i. Definisi Paten.............................................................42 j. Sejarah dan Pengaturan Paten di Indonesia...............43 k. Jenis-jenis Paten.........................................................45 l. Persyaratan Pemberian Paten....................................49 m. Pengecualian Paten....................................................54 n. Pengalihan Hak Paten................................................55 o. Berakhirnya Perlindungan Paten................................58 p. Pelanggaran Paten......................................................60
6.
Perlindungan Varietas Tanaman sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual...........................62 g. Sejarah dan Pengaturan Varietas Tanaman di Indonesia.....................................................................62 h. Subjek Perlindungan Varietas Tanaman.....................63 i. Persyaratan Pemberian Perlindungan Varietas Tanaman.......................................................67 j. Jangka Waktu Perlindungan Varietas Tanaman.........69 k. Pengalihan Hak Perlindungan Varietas Tanaman.......69
l. Berakhirnya Perlindungan Varietas Tanaman.............73 F.
Genetically Modified Organism (GMO’s) sebagai Subjek Perlindungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman..........................................76
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN D. PERLINDUNGAN GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO’S) MELALUI SISTEM PATEN DAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN SEBAGAI HASIL INTELEKUALITAS MANUSIA................................78 E. PERMASALAHAN DALAM PERLINDUNGAN GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO’S) DI INDONESIA..................................................................... 114 F. MENGATASI PERMASALAHAN DALAM PERLINDUNGAN GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO’S) DI INDONESIA...............................122 BAB IV PENUTUP.............................................................................. 148 C. KESIMPULAN................................................................. 148 D. SARAN ........................................................................... 151
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.
Prosedur Permohonan Paten
Gambar 3.
Jangka Waktu Permohonan Paten
Gambar 4:
Prosedur Permohonan Hak PVT
DAFTAR TABEL Tabel 1:
Perbedaan paten biasa dengan paten sederhana
Tabel 2:
Perbandingan antara Perlindungan Varietas Tanaman dengan Hak Paten (UUP) dan Hak Pemulia (UU PVT)
Tabel 3:
Biaya Pengajuan Permohonan Paten Biasa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini penggunaan GMO’s atau Genetically Modified Organism telah meluas dikarenakan adanya beberapa kelebihan yang didapatkan pada produk ini. GMO’s yang merupakan hasil rekayasa genetika, tidak dapat disangkal mempunyai beberapa kelebihan. Beberapa produk pertanian yang merupakan GMO’s bisa tahan terhadap hama, tahan terhadap berbagai penyakit, penggunaan pestisida yang lebih sedikit, mempunyai penampilan yang menarik, mempunyai nutrisi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan produk yang asli, dan lain sebagainya. Beberapa kelebihan dari GMO’s tersebut diklaim dapat mengatasi masalah populasi dan pangan yang dihadapi oleh dunia. Ditemukan dampak negatif dari GMO’s yang diketahui mempunyai permasalahan dan resiko sendiri seiring berkembangnya penggunaan
GMO’s
tersebut.
Produk-produk
GMO’s
sangat
berpeluang untuk mempengaruhi kesehatan manusia, kesehatan makanan, serta permasalahan lingkungan yang muncul akibat dari GMO’s. Hasil penelitian menemukan bahwa penggunaan GMO’s dapat mempengaruhi lingkungan dan spesies yang ada dalam lingkungan tersebut, seperti dalam kasus kupu-kupu monarch. Dalam kasus ini,
para peneliti menemukan bahwa sebanyak 40% kupu-kupu mati setelah memakan serbuk sari Bt-11 yang merupakan jagung transgenik, ditemukan pula terjadinya peningkatan tingkat kematian dan pertumbuhan dari kupu-kupu ini yang melambat. Di Indonesia, kasus Monsanto yang dimulai pada tahun 2000 juga memperlihatkan adanya dampak terhadap lingkungan atas penggunaan GMO’s. Pada kasus ini, benih hasil yang disalurkan oleh PT Managro Kimia (anak perusahaan Monsanto) ditanam di Sulawesi Utara pada tahun 2000, mereka mengimpor benih “Bollgard” dan “Bt” (kapas transgenik yang diklaim mempunyai kualitas yang bagus), namun pada kenyataannya mengalami kegagalan karena menyebabkan tanaman lain terserang hama dan merusak ekosistem, hingga akhirnya pada tahun 2003 Departemen Pertanian menarik benih tersebut dari Sulawesi Utara. Dampak lain yang ditimbulkan dari kegagalan tersebut adalah petani kecil harus menanggung biaya benih yang mahal sebagai konsekuensi dari perlindungan sekaligus monopoli sistem hak kekayaan intelektual pada benih transgenik ini, dimana banyak dari petani yang menanam kapas transgenik ini tidak mampu membayar hutang karena panen atas benih ini mengalami kegagalan. Monopoli atas produk-produk GMO’s tersebut merupakan salah
satu
dampak
diberikannya
perlindungan
hak
kekayaan
intelektual terhadap produk-produk GMO’s, yang dalam hal ini adalah hak
paten.
Diberikannya
perlindungan
paten
ini
menimbulkan
permasalahan tentang monopoli penentuan harga oleh mereka yang memegang hak paten,yang tentunya sangat merugikan masyarakat kecil seperti para petani di Sulawesi tersebut. GMO’s dan aplikasi bioteknologi lainnya telah menimbulkan permasalahan menyangkut lingkungan dan permasalahan ekonomi yang
ditimbulkan
oleh
monopoli
hak
kekayaan
intelektual.
Permasalahan ini tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan dilihat dari segi ekonomi, lingkungan saja, tetapi juga harus dilihat dari segi lainnya seperti segi hukum, hal ini dikarenakan setiap segi tersebut akan selalu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum yang pada dasarnya ditujukan untuk memberikan keadilan dan kepastian diharapkan mampu mengatasi masalah yang terjadi di dalam dunia realistis melalui peraturan-peraturan yang menjadi salah satu ciri khasnya, namun dalam kenyataannya (das sein) hukum juga bisa menjadi pedang bermata dua, dibalik tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, hukum ternyata juga membawa beberapa permasalahan yang dampaknya juga dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Penelitian ini akan menyoroti tentang pro dan kontra perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap GMO’s dilihat dari segi hukum, dan bagaimana cara hukum dapat bersinergi dengan segi
lainnya sehingga hukum dapat menyelesaikan permasalahan diatas, termasuk permasalahan lingkungan. B. Permasalahan Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka perlu dirumuskan suatu permasalahan yang disusun secara sistematis, sehingga memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pemahaman terhadap masalah yang diteliti. Kerlinger dalam bukunya Burhan Asofa mendefinisaikan masalah sebagai suatu pertanyaan yang dicoba untuk ditemukan jawabannya1. Masalah-masalah yang dibahas dan dicoba ditemukan jawabannya dalam penelitian yang akan dilakukan adalah: 1. Bagaimana perlindungan
perlindungan varietas
GMO’s
tanaman
melalui sebagai
sisem hasil
paten
dan
intelektualitas
manusia di Indonesia? 2. Permasalahan-permasalahan apa yang ada dalam perlindungan GMO’s di Indonesia? 3. Bagaimana mengatasi permasalahan yang ada dalam perlindungan GMO’s tersebut?
1
Burhan Ashofa. “Metode Penelitian Hukum”. Jakarta: PT Rineka Utama. 1996. Hlm 118.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian senantiasa mengikuti apa yang telah menjadi rumusan masalah dan menjelaskan apa yang ingin deiperoleh dalam proses penelitian. Karena itu, tujuan penelitian harus jelas dan tegas serta memiliki keterkaitan dengan rumusan masalah2. Berdasarkan pada hal tersebut, maka dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, antara lain: 1. Untuk menjelaskan dan menganalisis perlindungan GMO’s melalui sisem paten dan perlindungan varietas tanaman sebagai hasil intelektualitas manusia di Indonesia. 2. Untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada dalam perlindungan GMO’s di Indonesia? 3. Untuk menjelaskan dan menganalisis cara untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam perlindungan GMO’s tersebut? D. Manfaat Penelitian Diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat penelitian menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan
masukan
yang
berguna
dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual 2
Johnny Ibrahim. “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif” Cetakan Kedua. Malang: Bayumedia. 2006. Hlm 293.
yang akan memberikan payung hukum bagi GMO’s yang sekaligus dapat memberikan jaminan kesehatan dan keamanan produk-produk GMO’s serta mengatasi permasalahan monopoli dan komersialisasi yang
sangat merugikan
masyarakat kecil. Penelitian
ini juga
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dan membangun dalam ilmu hukum khususnya hak kekayaan intelektual di Indonesia. E. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teori Disepakatinya Agreement the World Trade Organization pada tahun 1994 menjadi sebuah awal diberlakukannya suatu sistem perdagangan yang bebas antara negara-negara di dunia. World Trade Organization yang mulai berlaku pada tahun 1995 ini merupakan sebuah organisasi perdagangan dunia yang mempunyai tujuan untuk menciptakan suatu persaingan yang sehat dalam sebuah
sistem
perdagangan
dunia
dengan
penurunan
dan
penghilangan tarif dalam perdagangan. Dihasilkan melalui sebuah putaran yang dikenal dengan Putaran Uruguay di Marrakesh, Maroko pada tahun 1995, dimana putaran ini menyetujui satu paket teks peraturan "The Results of the Uruguay Round of Mulatilateral Trade Negotiations-Legaf Texts". Paket peraturan tersebut termasuk didalamnya ialah Multilateral Trade in Goods yang didalamnya terdapat Sanitary and Phytosanitary Measures serta Technical
Barriers to Trade. Kedua pengaturan tesebut sangat berkaitan dengan peraturan lainnya salah satunya adalah dengan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights. Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights berisi tentang peraturan yang mengatur tentang hak kekayaan intellektual secara umum. Persetujuan ini mengharuskan diadakannya sebuah sistem peraturan yang dapat memberikan perlindungan terhadap hasil intelektualitas manusia pada negaranegara anggotanya. GMO’s sebagai salah satu hasil kreativitas manusia berdasarkan pada hal tersebut juga harus dilindungi. Perlindungan atas GMO’s berdasarkan pada Pasal 27 TRIPS Agreement dapat dilindungi oleh paten. Paten
sebagai
salah
satu
sistem
hak
kekayaan
intelektual memberikan perlindungan yang kuat jika dibandingkan dengan
sistem
memberikan
hak
hak
kekayaan
monopoli
intelektual
kepada
yang
pemegang
lain.
Paten
paten
untuk
menentukan harga disamping hak-hak lain yang standar ada dalam perlindungan hak kekayaan intelektual lainnya. Komersialisasi yang dilegalkan oleh sistem paten terhadap produk-produk yang diberi perlindungan paten tidak dapat dipungkiri membawa dampak negatif terhadap masyarakat kecil khususnya pada negara-negara yang belum mampu untuk menciptakan teknologi sendiri. Dalam kasus GMO’s ini para petani kecil layak untuk diberikan perhatian karena
merekalah pihak yang akan terkena dampak negatif tersebut. Ditambah lagi adanya permasalahan lain yang ditimbulkan oleh produk-produk GMO’s tersebut seperti permasalahan kesehatan dan keamanan yang masih diragukan pada produk-produk GMO’s ini. Dalam hal ini maka berfungsilah perananan persetujuan Sanitary and Phytosanitary Measures. Sanitary and Phytosanitary Measures memperbolehkan setiap negara untuk memberlakukan suatu tindakan pengamanan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kesehatan, manusia, hewan, tumbuhan, serta lingkungan. Disisi lain tindakan pengamanan ini tidak boleh menghambat perdagangan dunia sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Agreement on Technical Barriers to Trade. Dunia internasional telah berusaha untuk mengatasi permasalahan perlindungan atas GMO’s diatas melalui suatu kerangka peraturan yang dibentuk bersamaan dengan didirikannya WTO, meskipun demikian secara empiris permasalahan tetap muncul dalam rangkaian perlindungan GMO’s tersebut. Berdasarkan pada hal tersebut maka dalam penelitian ini akan dianalisis tentang perlindungan GMO’s di Indonesia, permasalahan dalam perlindungan GMO’s di Indonesia, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Gambar I Kerangka Pemikiran
WORLD TRADE ORGANIZATION
TRADE RELATED INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS
MULTILATERAL TRADE IN GOODS
SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES
PASAL 27
AGREEMENT ON TECHNICAL BARRIERS TO TRADE
GENETICALLY MODIFIED ORGANISM
PERLINDUNGANNYA DI INDONESIA?
PERMASALAHAN DALAM PERLINDUNGANNYA?
UPAYA MENGATASI PERMASALAHAN
2. Kerangka Konseptual Beberapa
pengertian
yang
dipergunakan
dalam
penelitian ini perlu dipahami bersama karena bersifat dasar atau
pokok. Adapun konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Genetically Modified Organism atau produk rekayasa genetika adalah hasil dari bioteknologi. b. Bioteknologi adalah proses untuk memproduksi produk yang bermanfaat dengan menggunakan makhluk hidup. c. Paten adalah salah satu sistem hak kekayaan intelektual yang memberikan perlindungan kepada produk ataupun proses yang baru, mempunyai langkah inventif dan dapat diterapkan dalam bidang industri dalam artian yang luas. d. Perlindungan Varietas Tanaman adalah salah satu sistem hak kekayaan intelektual yang memberikan hak eksklusif kepada pemulia tanaman atas kegiatan pemuliaan tanaman yang baru, unik, stabil, dan diberi nama sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomer 29 tahun 2002 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. e. Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS) adalah
persetujuan
internasional
yang
ditujukan
untuk
memberikan perlindungan atas hak kekayaan intelektual dan menjamin ditegakkannya hukum hak kekayaan intelektual. f. Sanitary and Phytosanitary Measures adalah persetujuan internasional
yang
memberikan
landasan
hukum
dilegalkannya tindakan-tindakan pengamanan atas kesehatan
manusia, hewan, tumbuhan berdasarkan pada standarstandar internasional. g. Agreement on Technical Barriers to Trade adalah persetujuan internasional yang menghendaki agar standar-standar yang diterapkan oleh negara-negara anggota seperti standar pengemasan, persyaratan penandaan dan pelabelan tidak menghalangi perdagangan. F. Metode Penelitian Salah satu cara mencari kebenaran ilmiah adalah melalui penelitian. Penelitian adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, untuk kemudian mengadakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut3. Dalam penelitian ini dibutuhkan suatu metode yang memberi pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya4. Metode yang digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan terdiri dari: 1. Pendekatan Masalah
3
Soerjono Soekanto. “Pengantar Penelitian Hukum“. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Uniersitas Indonesia (UI-Press). 1986. Hlm 2-3. 4 Ibid. Hlm 6.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian5. Menurut Johny Ibrahim yang dikutip dari tesisnya dalam bukunya yang berjudul Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif metode ini mengharuskan peneliti untuk melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat sebagai berikut: a. Comprehensive
artinya
norma-norma
hukum
yang
ada
didalamnya terkait antara satu dengan yang lain secara logis. b. All inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. c. Sistematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma
hukum
tersebut
juga
tersusun
secara
hierarkis6. Dalam penelitian yang akan dilakukan, maka peraturanperundang-undangan yang akan dikaji adalah Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual, yaitu Undang undang No 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 5 6
Johnny Ibrahim. Op cit. Hlm 295 Ibid. Hlm 303.
2. Spesifikasi Penelitian Berdasarkan
pada
perspektif
sifatnya,
penelitian
ini
menggunakan pendekatan deskriptif analitis artinya hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti.7 3. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data sekunder yang merupakan data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, data sekunder memiliki ciri-ciri umum: a.
Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made);
b.
Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu;
c.
Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat8.
7
Soerjono Soekanto. ”Pengantar Penelitian Hukum”. UI Press. Jakarta. 2005. Hal. 9. 8 Soerjono Soekanto & Sri Mamuji. Op cit. Hlm 24.
Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari; a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 b. Peraturan Dasar (1) Batang Tubuh UUD 1945 (2) Ketetapan MPR c. Peraturan Perundang-Undangan (1) Undang-Undang dan peraturan yang setaraf (2) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf (3) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf (4) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf (5) Peraturan-Peraturan Daerah d. Bahan hukum yang tidak terkodifikasi, seperti, hukum adat e. Yurisprudensi f. Traktat g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti, KUHP (yang merupakan terjemahan yang secara yuridis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht). 2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti; a. Rancangan peraturan perundang-undangan b. Hasil karya ilmiah para sarjana c. Hasil-hasil penelitian 3) Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. 9
Kegunaan data sekunder itu sendiri adalah sebagai berikut:
9
Ibid., hal 13
a.
Untuk mencari data awal/informasi
b.
Untuk mendapatkan landasan teori/landasan hukum
c.
Untuk mendapatkan batasan/definisi/arti suatu istilah10. Dalam penelitian yang akan dilakukan, data sekunder
terdiri dari: bahan-bahan pustaka, dokumen, dan arsip. 4. Metode Pengumpulan Data Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan
untuk
kemudian
dikategorisasi
menurut
pengelompokan yang tepat. Penulis menggunakan teknik studi pustaka
untuk
mengumpulkan
dan
menyusun
data
yang
diperlukan. 5. Metode Analisis Data Metode analisis data dilakukan dengan cara, data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang mendasar kepada hal-hal 10
Burhan Ashofa. Op cit. Hlm 103.
yang bersifat umum dan kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan pokok permasalahan tersebut.
G. Sistematika Penulisan Sistematika dari suatu tulisan merupakan suatu uraian mengenai susunan penulisan sendiri yang dibuat secara teratur dan rinci.
Sistematika
penulisan
yang
dimaksud
adalah
untuk
mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dengan jelas dari isi penelitian tersebut. Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yang masing-masing bab dirinci lagi menjadi beberapa sub bab. Sistematika dari bab-bab tersebut akan diuraikan sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan, mencakup Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Pemikiran, Sistematika.
BAB II
: Tinjauan Pustaka, mencakup: A. GMO’s sebagai hasil kreatifitas manusia.
B. Paten sebagai salah satu sistem hak kekayaan intelektual C. Perlindungan Varietas Tanaman sebagai salah satu sarana perlindungan hak kekayaan Intelektual D. GMO’s sebagai subjek perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. BAB III
: Hasil Penelitian dan Pembahasan: A. Hasil Penelitian B. Pembahasan
BAB IV
: Penutup: A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Genetically Modified Organisms (GMO’s) sebagai Hasil Bioteknologi 1. Genetically Modified Organisms (GMO’s) 1) Pengertian Genetically Modified Organisms (GMO’s) GMO’s atau Geneticaly Modified Organism atau Living Modified Organism adalah hasil dari bioteknologi, sebagaimana Thomas J Schoenbaum mendefinisikan GMO’s sebagai berikut: living organism that contain novel combination of genetic material as a result of the application of biotechnology11. World Health Organization (WHO) memberikan definisi yang lebih terperinci lagi tentang GMO’s ini, dalam situsnya, WHO memberikan definisi GMO’s seperti berikut ini Genetically Modified Organisms (GMO’s) can be defined as organisms in which the genetic material (DNA) has been altered in a way that does not occur naturally. The technology is often called “modern biotechnology” or 11
Schoenbaum, J Thomas, “International Trade in Living Modified Organism”, Edited by Francioni, Francesco, “Environment, Human Rights and International Trade”. Oxford: Portland, 2001, hlm 27
“gene technology”, sometimes also “recombinant DNA technology” or “genetic engineering”. It allows selected individual genes to be transferred from one organism into another, also between non-related species12. Berdasarkan
pada
WHO
diatas,
maka
GMO’s
merupakan suatu organism yang DNA-nya telah dirubah secara tidak alami melalui suatu teknologi sehingga gen yang dimaksud dapat ditransfer dari satu organisme ke organisme lain dan juga antara organisme yang berbeda spesies. Sutrisno Koswara memberikan definisi GMO’s sebagai pangan atau produk pangan yang diturunkan dari tanaman atau hewan yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika13. Berdasarkan pada definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa GMO’s atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan produk rekayasa genetika adalah organisme yang DNA-nya telah dirubah dengan menggunakan suatu teknologi yang disebut dengan bioteknologi modern sehingga menghasilkan suatu organisme atau produk yang berbeda dengan
produk
alamiahnya
yang
mempunyai
beberapa
12
“20 Questions on Genetically Modified Foods”, http://74.125.153.132/search?q=cache:VakjAV6reW4J:www.who.int/foods afety/publications/biotech/20questions/en/+Genetically+modified+organis m+adalah&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id. (diakses tanggal 20 Januari 2009) 13 Sutrisno Koswara, “Labelisasi dan Teknik Deteksi GMO’S”, http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/LABELISASI%20DAN%20DETEK SI%20GMO’S.pdf (diakses tanggal 20 Januari 2010)
kelebihan
karena
dalam pembuatannya
dilakukan
seleksi
terhadap sifat-sifat baiknya. 2) Jenis-jenis Produk Genetically Modified Organism (GMO’s) Pada dasarnya produk-produk GMO’s sangat banyak dan tersebar di berbagai bidang, karena aplikasi bioteknologi juga telah merambah ke berbagai bidang (pertanian, farmasi dan kedokteran, industri, dan lingkungan). Termasuk GMO’’s ialah hewan transgenik, tanaman transenik dan bagiannya, ikan transgenik, dan bahan-bahan olahannya, serta jasad renik. Bahkan pada saat ini dikenal pula kloning terapeutik yang memanfaatkan sel induk (stem cells) embrionik dari janin untuk ditransplantasikan
ke
dalam
pasien
yang
diklon,
guna
memperbaiki jaringan dan organ yang rusak; dalam proses ini embrio dirusak14. Berdasarkan pada hal tersebut maka GMO’s termasuk juga bagian dari tubuh manusia, meskipun demikian pada saat ini masih ada jenis pengkloningan manusia lain yaitu kloning reproduktif, yang merupakan proses bioteknologi dengan
tujuan
untuk
menghasilkan
seseorang
dari
sel
seseorang, sehingga hasil dari klon mempunyai materi genetik yang sama dari seseorang yang dikloning tersebut, namun
14
Mae-Wan Ho, “Rekayasa Genetik: Impian atau Petaka”, Insist Press: Yogyakarta, 2008, Hlm xvi.
sampai saat ini masih terdapat kontroversi tentang kloning reproduktif. 3) Dampak Positif dan Negatif Genetically Modified Organism (GMO’s) a) Dampak Positif Genetically Modified Organism (GMO’s) Dampak positif yang dimaksud disini adalah keuntungan yang dapat diperoleh dari GMO’s, termasuk didalamnya kelebihan-kelebihan dari GMO’s tersebut jika dibandingkan
dengan
produk-produk
sesamanya
yang
alamiah. Keuntungan pangan hasil rekayasa genetika antara lain meningkatkan efisiensi dan produktivitas, nilai ekonomi produk,
memperbaiki
meningkatkan tersebut
masa
didapatkan
nutrisi, simpan dari
nilai
palatabilitas
produk15.
Dampak
hasil
bioteknologi
di
dan positif bidang
pertanian dan pangan. Di bidang farmasi dan kedokteran, hasil bioteknologi yang terdiri dari kedokteran regeneratif, terapi gen, kloning terapeutik dan penggunaan bahan organik yang tepat dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit. Selain itu, bioteknologi di bidang industri juga membawa manfaat tersendiri. Bioteknologi
industrial
dalam
hal
ini
adalah
pembuatan biofuel dari tanaman, seperti dari kedelai, kanola, 15
Sutrisno Koswara, Ibid.
jagung, dan gandum. Biofuel akan menghemat penggunaan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui, dan dikhawatirkan akan segera habis. b) Dampak Negatif Genetically Modified Organism (GMO’s) Dampak negatif yang dimaksud adalah segala resiko
yang
ditimbulkan
oleh
keberadaan
GMO’s
di
lingkungan dan di masyarakat. Sedangkan resiko yang perlu diperhatikan dari pengembangan GMO’s antara lain: kemungkinan terjadinya gangguan pada keseimbangan ekologi, terbentuknya resistensi terhadap antibiotik, dikuatirkan dapat terbentuknya senyawa toksik, allergen atau terjadinya perubahan nilai gizi16.
Proses pembuatan GMO’s (bioteknologi) dapat dimungkinkan
terjadinya
perubahan
senyawa
pada
organisme yang bersangkutan, sehingga dapat menjadi toksin. Gen baru yang dihasilkan, atau peningkatan kadar hasil produksi dari gen yang sudah ada, dapat menyebabkan metabolisme dari organisme yang dimodifikasi menyebabkan tingginya formasi toksin yang sudah ada atau bahkan menimbulkan fomasi toksin baru. Produk gen tersebut juga dapat berperan sebagai substrak untuk biosintesa toksin dengan organisma yang dimodifikasi. Hal ini penting untuk diingat bahwa bahaya-bahaya potensial tersebut ada jika susunan gen dari organisme berubah – apakah
16
Sutrisno Koswara, Ibid
melalui penanaman secara konvensional, mutagenesis atau oleh bioteknologi17.
Dampak
negatif
pada
lingkungan
dan
pada
kesehatan pada dasarnya masih terdapat pro dan kontra, Sebagian pihak masih meragukan tentang keamanan dari produk-produk GMO’s namun disisi lain beberapa pihak menyangkal dan berpendapat bahwa produk-produk GMO’s aman dan tidak ada bukti yang menyatakan bahwa GMO’s berbahaya bagi kehidupan manusia dan alam sekitarnya, namun satu hal yang pasti bahwa adanya monopoli hak kekayaan intelektual pada produk-produk GMO’s telah membawa dampak negatif bagi masyarakat kecil khususnya para petani kecil.
2. Bioteknologi 1) Pengertian Bioteknologi I Gede Putu Irawan berpendapat bahwa inti dari bioteknologi adalah teknik rekayasa genetika yang merupakan tindakan
untuk
memanipulasi
atau
melakukan
perubahan
17
“Penyehatan Makanan & Minuman Bioteknologi dan Keamanan Pangan” staff.unud.ac.id/.../bab-6-vi-bioteknologi-dan-keamananpangan.doc, (diakses tanggal 20 Januari 2010).
susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima18. Wikipedia memberikan pengertian bioteknologi sebagai salah
satu
cabang
ilmu
pengetahuan
yang
mempelajari
pemanfaatan makhluk hidup maupun produk dari makhluk hidup, pengertian ini dapat dilihat sebagai berikut: Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lainlain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa19.
2) Sejarah Bioteknologi Pada dasarnya istilah dan penggunaan bioteknologi secara sederhana atau yang disebut dengan bioteknologi klasik telah ada sejak dahulu, contoh sederhananya adalah dalam pembuatan tempe, bir, keju dan lain sebagainya. Sampai pada saat ini peggunaan bioteknologi telah meluas dan berkembang kepada
bidang
lain
seperti
bidang
medis
seperti
dalam
pembuatan insulin maupun antibiotik. Berikut garis waktu bioteknologi: 18 I Gede Putu Irawan,
Rekayasa Genetika, Siapa Takut?, http://www.eurekaindonesia.org/rekayasa-genetika-siapa-takut/,(diakses tanggal 4 Januari 2010).
19
“Bioteknologi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Bioteknologi, (diakses tanggal 4 Januari 2010).
a) 8000 SM: Pengumpulan benih untuk ditanam kembali. Bukti bahwa bangsa Babilonia, Mesir, dan Romawi melakukan praktik pengembangbiakan selektif (seleksi artifisal) untuk meningkatkan kualitas ternak. b) 6000 SM Pembuatan bir, fermentasi anggur, membuat roti, membuat tempe dengan bantuan ragi c) 4000 SM Bangsa Tionghoa membuat yogurt dan keju dengan bakteri asam laktat d) 1500 Pengumpulan tumbuhan di seluruh dunia e) 1665 Penemuan sel oleh Robert Hooke (Inggris) melalui mikroskop. f) 1800 Nikolai I. Vavilov menciptakan penelitian komprehensif tentang pengembangbiakan hewan g) 1880 Mikroorganisme ditemukan h) 1856 Gregor Mendel mengawali genetika tumbuhan rekombinan i) 1865 Gregor Mendel menemukan hukum hukum dalam penyampaian sifat induk ke turunannya. j) 1919 Karl Ereky, insinyur Hongaria, pertama menggunakan kata bioteknologi k) 1970 Peneliti di AS berhasil menemukan enzim pembatas yang digunakan untuk memotong gen gen l) 1975 Metode produksi antibodi monoklonal dikembangkan oleh Kohler dan Milstein m) 1978 Para peneliti di AS berhasil membuat insulin dengan menggunakan bakteri yang terdapat pada usus besar n) 1980 Bioteknologi modern dicirikan oleh teknologi DNA rekombinan. Model prokariot-nya, E. coli, digunakan untuk memproduksi insulin dan obat lain, dalam bentuk manusia. Sekitar 5% pengidap diabetes alergi terhadap insulin hewan yang sebelumnya tersedia. o) 1992 FDA menyetujui makanan GM pertama dari Calgene: tomat "flavor saver" p) 2000 Perampungan Human Genome Project20. 3) Jenis Bioteknologi
20
Ibid
Bioteknologi, dapat dikategorikan menjadi dua kategori; bioteknologi klasik dan bioteknologi modern. Bioteknologi klasik adalah produksi atas produk-produk yang berguna melalui mikroorganisme. Penggunaan bioteknologi secara klasik dapat ditemukan
dalam
pembuatan
tempe.
Berbeda
dengan
bioteknologi klasik, bioteknologi modern menggunakan dua teknik dasar: Recombinan DNA Technology dan Hybridoma Technology. “Began in the 1970s with the two basic techniques of recombinant DNA technology and hybridoma technology. In the first of these, also referred to as gene splicing or genetic engineering, genetic material from an external source is inserted into a cell in such a way that it causes production of a desired protein by the cell; in the second, different type of immune cell are fused together to form a hybrid cell line producing monoclonal antibodies” 21. 4) Lingkup Bioteknologi Bioteknologi dimungkinkan dapat dilakukan dalam berbagai bidang. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi yang dapat merambah ke berbagai bidang. Teknologi juga selalu terkait
dengan
ilmu
pengetahuan
lain,
sehingga
tidak
mengherankan jika teknologi ada di diantara ilmu pengetahuan dan bidang-bidang lain. Bidang-bidang tersebut diantaranya adalah bidang farmasi dan kedokteran, pertanian dan pangan, industri, lingkungan. 21
Grubb, Philip W, “Patents for Chemicals, Pharmaceuticals and Biotechnology; Fundaentals of Global Law, Practice and Strategy”. Fourth Edition, Oxford university Press, New York, 2004, hlm 246.
Bidang farmasi dan kedokteran yang biasanya disebut dengan warna merah dari bioteknologi terdiri dari: ‘kedokteran regeneratif’, ’terapi gen’, ‘kloning terapeutik’, dan penggunaan bahan organik secara lebih tepat dan terarah untuk membuat obat yang lebih baik’ guna mengobati da menyembuhkan penyakit seperti Parkinson, Alzheimer, kanker22. Disisi lain bidang pertanian pangan dapat ditemui pada tanaman
transgenik
yang
memiliki
keunggulan-keunggulan
tertentu karena sifatnya telah diperbaiki. Termasuk didalamnya adalah
penerapan
pengetahuan
ilmu
kehidupan
untuk
meningkatkan teknik pemuliaan tanaman serta menseleksi [menyeleksi]
tanaman
liar
untuk
dibudidayakan23.
Aplikasi
bioteknologi pada bidang pertanian pangan ini biasanya disebut dengan warna hijau, sedangkan warna putih digunakan untuk menyebut aplikasi bioteknologi pada bidang industri. Bioteknologi pada bidang industri ini terdiri dari pengolahan dan produksi bahan kimia, materi, dan energi, termasuk didalamnya pengolahan dan pembuatan biofuel yang menggunakan bahan-bahan tanaman seperti kanola, gandum, kedelai
dan
lain-lain
yang
ditujukan
untuk
melakukan
penghematan bahan bakar fosil serta untuk mengamankan
22 23
Mae-Wan Ho, Op cit, Hlm xxiv. Ibid, Hlm xxv.
lingkungan.
Di bidang lingkungan sendiri dimungkinkan juga
dilakukannya aplikasi bioteknologi. Aplikasi
bioteknologi
pada
bidang
lingkungan
diantaranya adalah pengembangan enzim untuk ‘bioremediasi’, guna membantu membersihkan bencana lingkungan seperti tumpahan minyak; dan mikroba untuk menyerap dan menyaring limbah dalam air di saluran kotoran24. Aplikasi ini mempunyai spectrum warna abu-abu, dan merupakan suatu warna baru dalam aplikasi bioteknologi. B.
Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual 1. Hak Kekayaan Intelektual 1) Pengertian Hak Kekayaan Intelektual Beberapa ahli hukum kekayaan intelektual memberikan definisi tentang hak kekayaan intelektual (yang untuk selanjutnya disingkat HKI) antara lain: a) Menurut OK Saidin, HKI adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja
24
Ibid, Hlm xxvi.
rasio. Hasil dari kerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda tidak berwujud25. b) Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi menyatakan bahwa HKI adalah hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Kemampuan tersebut dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra26. c) Harsono Adi Sumarto dalam bukunya Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa: “Istilah milik intelektual terjemahan dari (Intellectual Property) adalah istilah kolektif, dalam arti istilah ini mencakup tiga bidang pokok yaitu ciptaan, penemuan, dan merek Dalam pembahasan atau pengkajian mengenai milik intelektual selalu berkaitan dengan ciptaan sastra, dan seni dan ilmu serta paten dan merek. Istilahnya terdiri dari dua suku kata, intelektual [intellectual] dan property [property]. Property [property] sebagai kekayaan yang berupa hak, mendapat perlindungan hukum dalam arti orang lain dilarang menggunakan hak itu tanpa izin dari pemiliknya. Adapun kata intelektual [intellectual] berkenaan dengan kegiatan intelektual berdasarkan daya cipta dan daya pikir dalam bentuk ekspresi ciptaan
25
OK. Saidin. “Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right)”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007. Hlm 9. 26 Muhammad Ahkam Subroto & Suprapedi. “Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi”. Jakarta: PT Indeks. 2008. Hlm 14.
sastra, seni dan ilmu serta dalam bentuk penemuan atau invention sebagai benda immaterial.”27 d) Dicky R. Munaf dalam bukunya Budi Agus Riswandi & Siti Sumartiah, menyatakan bahwa HKI merupakan “hak yang berasal dari karya, karsa, cipta manusia karena lahir dari kemampuan intelektualitas manusia dan merupakan hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia juga mempunyai nilai ekonomi. Esensi yang terpenting dari setiap bagian HKI adalah adanya suatu ciptaan tertentu. Bentuk nyata dari ciptaan tersebut bisa dibidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.”28 Berdasarkan pada definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa
hak
kekayaan
intelektual
adalah
hak
kebendaan yang timbul dari kemampuan intelektualitas manusia yang diekspresikan dalam karya tertentu dibidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni
dan sastra, serta mempunyai nilai ekonomi
yang dapat dimanfaatkan pemiliknya ataupun pemegang haknya. 2) Sifat Hak Kekayaan Intelektual Mr N.E. Algra dalam bukunya Muhammad Djumhana dan Djubaedillah menyatakan bahwa terdapat beberapa sifat asli
27
Soedjono Dirdjosisworo. “Hukum Perusahaan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek)”. Bandung: CV Mandar Maju. 2000. Hlm 22. 28 Budi Agus Riswandi & Siti Sumartiah. “Masalah-masalah HAKI Kontemporer”.Yogyakarta: Gita Nagari. 2006. Hlm 3.
dari HKI yang dijadikan tumpuan dari perubahan peraturan HKI di Indonesia, yaitu: a) Mempunyai Jangka Waktu Terbatas Dalam arti setelah habis masa perlindungannya ciptaan (penemuan) tersebut akan menjadi milik umum, tetapi ada pula yang setelah habis masa perlindungannya bisa diperpanjang terus asalkan terus dipergunakan dalam perdagangan, misalkan hak merek, tetapi ada juga yang perlindungannya terus menerus tidak terbatas, bahkan tidak perlu didaftarkan, yaitu rahasia dagang. Jangka waktu Hak atas Kekayaan Intelektual di bidang tertentu (Hak Cipta, Merek, Desain Industri, dan Paten) semuanya terbatas dan telah ditentukan secara jelas dan pasti dalam undang-undang yang mengaturnya, misalnya desain industri berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, akan dilindungi selama 10 (sepuluh) tahun b) Bersifat Eksklusif dan Mutlak Maksudnya bersifat eksklusif dan mutlak, yaitu bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun. Yang mempunyai hak itu dapat menuntut terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. Si pemilik atau/pemegang Hak Atas Kekayaan Intelektual mempunyai suatu hak monopoli, yaitu bahwa dia dapat mempergunakan haknya dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat ciptaan/penemuan ataupun menggunakannya c) Bersifat Hak Mulak yang Bukan Kebendaan Berbeda dengan Mr. N.E Algra, Sri Redjeki Hartono dalam tesisnya Yusdinal menggolongkan 4 sifat dan ciri dari hak kekayaan intelektual sebagai berikut: a) Suatu hak yang bersifat khusus dengan cara perolehan sesuai dengan ketentuan, prosedur dan syarat-syarat undang-undang yang berlaku.
b) Dapat dipertahankan juga sesuai dengan ketentuan prosedur dan syarat perundang[an] yang berlaku c) Mempunyai nilai ekonomi yang tinggi d) Dapat dialihkan sesuai dengan prosedur dan syarat perundangan yang berlaku29. Meskipun terdapat perbedaan sifat yang dikemukakan oleh kedua ahli tersebut, namun pada dasarnya semua sifat yang dikemukankan oleh keduanya melekat pada hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual memang merupakan suau hak yang diberikan oleh negara yang perolehannya ditentukan berdasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku. Peraturan tersebut juga menentukan bahwa perlindungan hak kekayaan intelektual dibatasi oleh waktu tertentu kecuali rahasia dagang yang dapat berlangsung selama-lamanya asalkan tetap tersimpan
sebagai
rahasia
dan
tidak
ada
yang
mengungkapkannya. Hak kekayaan intelektual juga bersifat eksklusif dan mutlak, dalam artian bahwa di dalam hak kekayaan intelektual tersebut terkandung hak untuk memonopoli, sehingga hak kekayaan intelektual dapat menghasilkan suatu nilai-nilai ekonomis bagi pemegang haknya. 3) Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual Ada beberapa prinsip yang mendasari sistem HKI, namun demikian penekanan prinsip-prinsip ini pada setiap negara 29
Yusdinal, “Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten”, Tesis, UNDIP; Semarang, 2008, Hlm 61.
akan berbeda-beda, karena adanya perbedaan kebudayaan, filosofi, latar belakang, sistem hukum dan lain sebagainya. Muhammad Djumhana dan Djubaedillah menyebutkan beberapa prinsip tersebut, antara lain: a) Prinsip keadilan (the principle of natural justice) Adil ketika seseorang yang telah menghasilkan suatu karya, ciptaan,
atau
penemuan
atas
hasil
dari
kemampuan
intelektualnya mendapatkan imbalan baik berupa materi maupun non materi seperti rasa aman, penghargaan, dan pengakuan yang dilindungi oleh negara melalui undangundang. Keadilan pada dasarnya adalah tujuan utama dari hukum, Gustav Radbruch filosof Jerman menyatakan bahwa suatu hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Hukum hanya berarti sebagai sebuah hukum kalau hukum merupakan suatu perwujudan keadilan atau sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah itu30. b) Prinsip ekonomi (the economic argument) Hak atas kekayaan intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya seseorang
30
Theo Huijbers, “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah”, Yayasan Kanisius: Yogyakarta, 1982, Hlm 162.
akan mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalty dan technical fee31.
c) Prinsip kebudayaan (the cultural argument) Budaya dapat diartikan secara luas, dimana budaya dapat berarti
cara
kita
hidup,
dapat
pula
diartikan
sebagai
pengetahuan, pengalaman dan sebagainya.
1. Culture refers to the cumulative deposit of knowledge,
2. 3. 4.
5.
6.
experience, beliefs, values, attitudes, meanings, hierarchies, religion, notions of time, roles, spatial relations, concepts of the universe, and material objects and possessions acquired by a group of people in the course of generations through individual and group striving. Culture is the systems of knowledge shared by a relatively large group of people. Culture is communication, communication is culture. Culture in its broadest sense is cultivated behavior; that is the totality of a person's learned, accumulated experience which is socially transmitted, or more briefly, behavior through social learning. A culture is a way of life of a group of people--the behaviors, beliefs, values, and symbols that they accept, generally without thinking about them, and that are passed along by communication and imitation from one generation to the next. Culture is symbolic communication. Some of its symbols include a group's skills, knowledge, attitudes, values, and motives. The meanings of the symbols are learned and deliberately perpetuated in a society through its institutions.
31
Muhammad Djumhana&djubaedillah, “Hak Milik Intellektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia”, PT Citra Aditya Bakti; Bandung, 2003, hlm 26.
7. Culture consists of patterns, explicit and implicit, of
and for behavior acquired and transmitted by symbols, constituting the distinctive achievement of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of traditional ideas and especially their attached values; culture systems may, on the one hand, be considered as products of action, on the other hand, as conditioning influences upon further action. 8. Culture is the sum of total of the learned behavior of a group of people that are generally considered to be the tradition of that people and are transmitted from generation to generation. 9. Culture is a collective programming of the mind that distinguishes the members of one group or category of people from another32. Disisi lain karya manusia yang dihasilkan dari pengetahuan dan hasil kreativitas manusia pada dasarnya ditujukan untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik, seperti penciptaan teknologi baru yang diharapkan dapat mempermudah kegiatan manusia sehingga ada usaha dan cara dari manusia untuk menciptakan suatu kehidupan yang lebih baik. Dukungan dari hukum
hak
pengakuan
kekayaan dan
intelektual
penghargaan
hasil
melalui
perlindungan,
kreativitas
manusia
ditujukan agar manusia dapat terdorong untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, sehingga akan tercipta suatu budaya yang lebih baik dan maju pula.
d) Prinsip sosial (the social argument)
32
“Culture”, http://www.tamu.edu/classes/cosc/choudhury/culture.html, (diakses pada 2 November 2009).
pada dasarnya prinsip sosial ini sangat berhubungan dengan prinsip keadilan, dimana pada dasarnya suatu hukum harus memberikan perlindungan baik kepada individu maupun kepada masyarakat. Perlindungan kepada masyarakat inilah inti dari prinsip sosial. Berdasarkan pada hal tersebut, maka dapat disimpulkan pula hukum hak kekayaan intelektual berusaha untuk mewujudkan prinsip keseimbangan, yaitu keseimbangan kepentingan dan perlindungan kepada individu dan kepada masyarakat luas. 4) Aspek Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual Hak kekayaan intelektual pada dasarnya adalah hak milik. Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 570 menyebutkan bahwa: Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak menganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan itu dengan tidak menurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.
Berdasarkan pada Pasal diatas, maka setiap orang yang mempunyai hak milik atas sesuatu hal/benda mempunyai hak untuk menikmati manfaat yang dapat diambil dari benda
tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pemilik mempunyai kekuasaan terhadap benda tersebut, sehingga ia mempunyai hak untuk melakukan setiap
tindakan
mengalihkan
terhadap
hak
milik
benda itu
tersebut
kepada
misalnya
orang
lain
untuk atau
memusnahkannya33. Setiap hak yang kita miliki tidak boleh bertentangan dan merugikan hak yang dimiliki oleh orang lain, termasuk didalamnya hak milik intelektual. Hak kekayaan intelektual pada dasarnya adalah hak milik yang diberikan oleh negara kepada pencipta atau penemu, sehingga pencipta atau penemu atau pemegang hak mempunyai kekuasaan terhadapnya termasuk didalamnya mengalihkan hak kekayaan intelektual, disamping itu pemegang hak mempunyai kekuasaan pula terhadapnya, mengambil manfaat atas kegunaan yang dimiliki objek tersebut termasuk didalamnya hak untuk mengkomersialisaskan sehingga dapat diambil manfaat ekonomi yang ada padanya. Manfaat ekonomi yang ada pada hak kekayaan intelektual menjadikannya sebagai suatu aset yang bernilai tinggi pula, sehingga hak kekayan intelektual dapat menjadi: a) Sasaran untuk meningkatkan daya saing di dalam sistem pemasaran dan distribusi barang; 33
Muhammad Djumhana & Djubaedillah, Op cit, Hlm 31.
b) Komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sehingga menjadi objek transaksi baik legal maupun ilegal; c) Sasaran atau objek pemaluan atau penipuan yang pada akhirnya dapat merugikan konsumen, karena mutu baku tidak dipenuhi34. Selain itu menurut Sri Redjeki Hartono dalam tesisnya Yusdinal menyatakan bahwa hak kekayaan intelektual dapat meningkatkan penampilan perusahaan, karena: a) Hak milik intelektual [HKI] adalah hak khusus yang dapat dipindahtangankan karena nilai ekonominya; b) Hak milik intelektual dapat dipindahtangankan antara lain dengan perjanjian artinya dapat diperdagangkan/diperjualbelikan; c) Hak milik intelektual merupakan pakta yang dapat meningkatkan produktivitas dan pangsa pasar perusahaan35. Berdasarkan pada hal diatas maka banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari hak kekayaan intelektual berdasarkan pada posisinya yang mempunyai nilai-nilai ekonomi yang tinggi. 5) Lingkup dan Penggolongan Hak Kekayaan Intelektual Hak kekayaan intelektual mempunyai lingkup yang sangat luas, termasuk dalam hal program komputer, film, penyiaran, karya tulis, sampai pada obat-obatan dan GMO’s yang
34 35
Yusdinal, Op cit, Hlm 62. Ibid
dilindungi oleh hak kekayaan intelektual. Lionel Bentley dan Brad Sherman menyebutkan bahwa: Intellectual property law creates property rights in a wide and diverse range of things from novels, computer programs, films, television broadcasts, and performances, through to dress designs, pharmaceuticals, genetically modified animals and plants36. WIPO
(World
Intellectual
Property
Organization)
membagi hak kekayaan intelektual menjadi 2 kategori yaitu hak cipta dan hak terkait serta hak milik perindustrian. Intellectual property is divided into two categories: Industrial property, which includes inventions (patents), trademarks, industrial designs, and geographic indications of source; and Copyright, which includes literary and artistic works such as novels, poems and plays, films, musical works, artistic works such as drawings, paintings, photographs and sculptures, and architectural designs. Rights related to copyright include those of performing artists in their performances, producers of phonograms in their recordings, and those of broadcasters in their radio and television programs37.
WIPO mengkategorikan hak milik perindustrian menjadi beberapa golongan lagi yang terdiri dari Paten, Merek, Desain Industri, dan Indikasi Gegrafis. Selanjutnya WIPO membatasi lingkup perlindungan hak cipta kepada sastra dan karya aristik seperti novel, puisi, film, lukisan, patung, desain arsitektur, 36
Lionel Bently & Brad Sherman, “Intellectual Property Law”, Edisi Kedua, Oxford University Press: New York, 2004, hlm 1 37 “What is Intellectual Property?”, http://www.wipo.int/about-ip/en/, (diakses tanggal 21 Januari 2009).
sedangkan hak yang terkait dengan hak cipta seperti performing right, produser rekaman, penyiar radio dan televisi. Penggologan hak kekayaan intelektual menurut WIPO ini sedikit berbeda dengan TRIP’s Agreement yang menggologkan HKI menjadi 8, yaitu: a) b) c) d) e) f)
Hak Cipta dan Hak-hak terkait lain Merek Dagang Indikasi Geografis Desain Produk Industri Paten Desain Lay-out (topografi) dari Rangkaian Elektronik Terpadu g) Perlindungan terhadap Informasi yang dirahasiakan h) Pengendalian atas Praktek-praktek Persaingan Curang dalam Perjanjian Lisensi Pada dasarnya memang belum ada keseragaman diantara para praktisi tentang penggolongan hak kekayaan intelektual, ditambah lagi pada saat ini pengelompokan tersebut sudah kurang mempunyai daya pembeda sebab sekarang ini karya-karya hasil intelektual tersebut dalam pemanfaatannya kadang-kadang saling tumpang tindih terjadi kombinasi38. Hal senada dikemukakan oleh Deborah E bounchoux. Deborah E Bounchoux menyatakan bahwa pada dasarnya hak kekayaan intelektual terdiri dari empat jenis tipe kekayaan intelektual namun seringkali saling berkaitan dan 38
Ibid, Hlm 29.
berhubungan satu sama lain yang terdiri dari merek, hak cipta, paten, dan rahasia dagang: Intellectual property generally is viewed as comprising four separate but often overlapping types of property rights: trademarks, copyrights, patents, and trade secrets39. Indonesia, berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang telah dikeluarkan memberikan perlindungan kepada beberapa jenis hak kekayaan intelektual sebagai salah satu konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia dalam suatu ajang organisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WTO). Salah satu perjanjian yang disepakati dalam WTO ini adalah Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs). TRIP’s mewajibkan setiap anggota dari WTO untuk memberikan perlindungan yang cukup kepada hak kekayaan intelektual yang didasarkan pada Paris Convention dan Berne Convention termasuk terhadap negara-negara berkembang. “In effect, TRIPs causes developing countries to adopt intellectual property laws that mirror those of Europe and North America and adds a system to enforce them40.”
39
Bouchhoux, Deborah E, “Protecting Your Company’s Intellectual Property: A Practical Guide to Trademarks, Copyrights, Patents & Trade Secrets”, Amacom: New York, 2001, hlm 3
Di Indonesia perlindungan hak kekayaan Intelektual didasarkan pada beberapa perundang-undangan, seperti Hak cipta melalui Undang-undang Nomer 19 tahun 2002 yang merupakan revisi dari undang-undang sebelumnya; Merek melalui Undang-undang Nomer 15 tahun 2001 yang juga merupakan amandemen dari Undang-undang sebelumnya, dimana di dalam merek ini terkandung pula perlindungan terhadap indikasi geografis; Paten melalui Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 yang
juga
merupakan
amandemen
dari
Undang-undang
sebelumnya; Desain Industri melalui Undang-undang Nomer 31 tahun 2000; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu melalui Undangundang Nomer 32 tahun 2000; dan Perlindungan Varietas Tanaman yang berada di bawah Departemen Pertanian dilindungi melalui Undang-undang Nomer 29 tahun 2000. 6) Pengalihan Hak Kekayaan Intelektual Pengalihan hak kekayaan intelektual berkaitan dengan pemanfaatan aspek ekonomi dari hak kekayaan intelektual. Pengalihan hak kekayaan intelektual dapat dilakukan melalui beberapa cara yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Pengalihan ini dapat dilakukan melalui pewarisan, wasiat,
hibah,
perjanjian,
atau
sebab-sebab
lain
yang
40
Richard Schaffer et al, “International Bussines Law and Its Environment”, Edisi Keenam, Thomson South Western West; Amerika Serikat. 2005, Hlm 531.
diperkenankan pengadilan).
oleh
peraturan
Pengalihan
hak
undang-undang kekayaan
(putusan
intelektual
tidak
menghilangkan hak moral dari pencipta atau penemu. Hak moral adalah hak untuk tetap dicantumkan namanya
sebagai
pencipta
atau
penemu,
meskipun
hak
komersialnya telah dialihkan kepada orang lain melalui suatu prosedur atau tata cara tertentu. Prosedur dan tata cara pengalihan dari hak kekayan intelektual harus sesuai dengan undang-undang. Undang-undang mewajibkan pengalihan hak kekayaan intelektual untuk didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Tujuan dari pendaftaran ini adalah agar pengalihan ini dapat memberikan akibat hukum kepada pihak ketiga, dan tidak hanya mengikat para pihak saja, pendaftaran ini diwajibkan kepada semua cara pengalihan hak kekayaan intelektual, termasuk di dalamnya perjanjian. Pengalihan degan perjanjian biasanya dapat berupa lisensi, joint venture, kontrak penelitian, dan sebagainya41. Pada perjanjian
ini
berlaku
ketentuan-ketentuan
dalam
hukum
perjanjian seperti persyaratan yang harus dipenuhi, unsur perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian seperti asas 41
Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Op cit, Hlm 35.
kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ayat (1) yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, maka para pihak dapat menentukan sendiri isi dari perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undangundang sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 2. Paten sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual 1)
Definisi Paten WIPO memberikan definisi paten sebagai berikut: A patent is the right granted to an inventor by a State, or by a regional office acting for several States, which allows the inventor to exclude anyone else from commercially exploiting his invention for a limited period, generally 20 years. Undang-undang Nomer 14 tahun 2002 tentang Paten pada Pasal 1 angka (1) memberikan definisi paten sebagai berikut: Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Investor atas hasil Invensinya di bidang teknologi yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Selanjutnya Budi Santoso menjelaskan bahwa yang dimaksud invensi disini adalah penemuan dalam kategori invention bukan dalam kategori discovery. Invention adalah to create something new, artinya menciptakan sesuatu yang baru, dari dulu tidak ada menjadi ada, walaupun baru disini termasuk didalamnya hasil modifikasi. Sedangkan discovery sering diartikan sebagai to find something new, menemukan sesuatu yang baru, sebenarnya sudah ada bendanya kemudian baru ditemukan sehingga seolah-olah sesuatu yang baru, tetapi sebenarnya tidak ada ciptaan baru yang dibuat, misalnya menemukan virus (virus sudah ada), menemukan benda ruang angkasa, terjadinya hujan, kehidupan mamalia di laut42.
2)
Sejarah dan Pengaturan Paten di Indonesia Sistem paten mulai berkembang di Eropa pada daerah perdagangan pada abad ke-14 dan 15 seperti di Italia dan Inggris43. Undang-undang Venesia yang mewajibkan peemu untuk mendaftarkan temuannya misalnya merupakan salah satu undang-undang yang mempunyai persamaan prinsip paten, selain itu undang-undang ini juga melarang orang lain untuk meniru produk yang mirip selama jangka waktu sepuluh tahun tanpa ijin dari penemunya. Di indonesia sendiri pengaturan tentang paten tidak terlepas dari penjajahan belanda.
42
Budi Santoso, “Pengantar HKI (Hak Kekayaan Intellektual)”, Pustaka Magister: Semarang, 2008, Hlm 33. 43 Muhammad Djumhana & Djubaedillah. Loc cit. Hlm 109.
Pengaturan paten pertama di indonesia merupakan warisan dari belanda yang dikenal dengan octroiwet 1910 yang berlaku 1 Juli 1912. Setelah Indonesia merdeka undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan suasana negara yang berdaulat44. Hal ini dikarenakan undang-undang ini menentukan bahwa permohonan paten di wilayah indonesia yang diajukan melalui kantor pembantu di jakarta harus diteruskan ke octroiraad di Belanda. Tidak berlakunya undang-undang ini menyebabkan adanya kekosongan hukum, sehingga Menteri Kehakiman mengeluarkan pengumuman tanggal 12 Agustus 1953 No J.S, 5/41/4B.N.55 untuk menampung permohonan paten di dalam negri, sedangkan permohonan paten luar negeri ditampung melalui pengumuman tertanggal 29 Oktober 1953, No. J.G.1/2/17 B.N.53-91. Tahun
1984,
UU
paten
kembali
dirintis
melalui
pembentukan tim khusus dan menghasilkan UU No 6 tahun 1989, yang
berlaku
efektif
tahun
199145.
Selanjutnya
karena
keikutsertaan Indonesia dalam sebuah organisasi Internasional World Trade Organization, dan setelah Indonesia meratifikasi Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs), maka 44
Muhammad Djumhana & Djubaedillah. Loc cit. Hlm 110.
45
Endang Purwaningsih, “Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten”, Ghalia Indonesia: Bogor, 2005, Hlm 13
Indonesia diharuskan untuk mengikuti standar yang telah ditetapkan
oleh
peraturan
TRIP’s,
sehingga
Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Nomer 13 tahun 1997 yang merupakan revisi atas Undang-undang sebelumnya (UU No 6 tahun 1989). Selanjutnya dengan mengingat perkembangan terbaru di bidang ekonomi dan telah diratifikasinya perjanjianperjanjian
internasional
di
bidang
teknologi
industri
dan
perdagangan46. Undang-undang tersebut direvisi kembali dengan Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 yang sampai sekarang masih diberlakukan. 3)
Jenis-jenis Paten Pada dasarnya ada beberapa jenis penggolongan paten, namun Undang-undang Indonesia hanya dikenal dua jenis saja, yaitu paten biasa dan paten sederhana. Paten menurut Pasal 1 angka 1 adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya pada bidang teknologi, yang selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Pengertian tersebut kiranya diberikan kepada jenis paten biasa, sedangkan pengertian paten sederhana adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya berupa produk atau alat yang baru dan
46
Muhammad Djumhana & Djubaedillah. Loc cit. Hlm 111.
mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komponennya47. Pengertian paten sederhana tersebut didasarkan pada Pasal 6 Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten yang menyebutkan bahwa setiap invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk paten sederhana. Undang-undang
Paten
Nomer
14
tahun
2001
memberikan pembedaan yang cukup tajam dalam hal pemberian jangka waktu perlindungannya. Djumhana dan Djubaidillah menyebutkan
bahwa
pada
umumnya
negara-negara
maju
memberikan batasan perlindungan Paten selama 15 (lima belas) sampai 20 (dua puluh) tahun. Di Amerika Serikat dan Kanada perlindungan paten diberikan selama 17 (tujuh belas) tahun, sedangkan di Italia dan Jepang selama 15 (lima belas) tahun48. Pasal 8 undang-undang Paten No 14 tahun 2002 menyebutkan bahwa paten biasa diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang, sedangkan
untuk
paten
sederhana,
jangka
waktu
perlindungannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun dan tidak 47
Muhammad Ahkam Subroto & Suprapedi. Op cit. Hlm 21 Muhammad Djumhana&djubaedillah, ibid, hlm 125
48
dapat diperpanjang, sehingga setelah masa tersebut berakhir paten akan menjadi public domain (milik umum) sehingga suatu invensi akan benar-benar terbuka untuk umum. Hal ini merupakan fungsi sosial yang ada dalam hak paten, dengan adanya fungsi sosial ini teori utilitas Jeremy Bentham dapat lebih sesuai dalam sistem hukum paten. Menurut teori utilitas, hukum harus dapat memberikan sebanyak mungkin manfaat dan kebahagiaan kepada sebagian besar orang. Darji Darmodiharjo dan Sidharta meendiskripsikan pandangan Jeremy Bentham sebagai berikut: Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individuindividu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa disamping kepentingan individu, kepentingan masyarakatpun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain).49 Muhammad Djumhana dan Djubaedillah menyebutkan bahwa pada dasarnya pembedaan tersebut didasarkan pada segi materinya, selanjutnya mereka menjelaskan tentang paten sederhana sebagai berikut: Suatu penemuan dikelompokkan ke dalam paten sederhana karena cirinya, yaitu penemuan tersebut idak 49
Darji Darmodiharjo & Sidharta, “Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”, PT Gramedia Pustaka Umum: Jakarta, 2006, hlm 118.
melalui penelitian dan pengembangan (research and development) yang mendalam. Walaupun bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komposisinya demikian dan sering dikenal dengan ”utility model”, tetap mempunyai nilai kegunaan praktis sehingga mempunyai nilai ekonomis, jadi tetap memperoleh perlindungan hukum. Paten sederhana hanya memiliki hak untuk 1 (satu) klaim, pemeriksaan substantif langsung dilakukan tanpa permintaan dari pihak penemu. Bila terjadi penolakan terhadap permintaan paten sederhana ini, tidak dapat dimintakan lisensi wajib dan tidak dikenai biaya tahunan50.
Pembedaan yang lebih jelas dipaparkan oleh Etty Susilowati melalui sebuah tabel sebagai berikut: No Keterangan 1 Jumlah Klaim
2
Masa Perlindungan
3
Pengumuman Permohonan
4
Jangka waktu mengajukan keberatan Pemeriksaan Substantif
5
6
Lama Pemeriksaan
Paten Satu invensi atau beberapa yang merupakan satu kesatuan invensi 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan 18 bulan setelah tanggal penerimaan 6 bulan terhitung sejak diumumkan Kebaharuan (Novelty), langkahlangkah inventif, dapat diterapkan dalam bidang industri 36 bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan
Paten Sederhana Satu invensi
10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan paten 3 bulan setelah tanggal penerimaan 3 bulan terhitung sejak diumumkan Kebaharuan (Novelty), dapat diterapkan dalam bidang industri
50
Muhammad Djumhana & Djubaedillah. Loc cit. Hlm 122.
24 bulan terhitung sejak tanggal penerimaan
substantif 7
Objek Paten
Produk atau proses
permohonan substantif Produk atau alat
Tabel 1 Perbedaan paten biasa dengan paten sederhana51 Berdasarkan pada hal diatas, maka paten sederhana memiliki persyaratan permohonan yang lebih sederhana, dengan masa permohonan, jangka waktu pemeriksaan dan perlindungan yang lebih singkat jika dibandingkan dengan paten biasa. 4)
Persyaratan Pemberian Paten Menurut Pasal 27 Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights Agreement (TRIP’s), paten diberikan terhadap invensi apa saja, baik itu produk atau proses pada semua bidang teknologi asalkan memenuhi syarat baru, mengandung langkah inventive, dan dapat diaplikasikan dalam hal industri. Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomer 34 tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten, menentukan bahwa suatu paten dapat diberikan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Aspek kebaharuan penemuan (novelty).
51
Etty Susilowati, “Hak Kekayaan Intelektual tentang Paten” dalam “Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual”, Universitas Diponegoro: Semarang, 2007.
2.
Langkah
inventif
yang
terkandung
dalam
penemuan
(inventive step). 3.
Dapat atau tidaknya penemuan diterapkan atau digunakan dalam industri (industrially aplication).
4.
Apakah penemuan yang bersangkutan termasuk atau tidak termasuk dalam kelompok penemuan yang tidak dapat diberikan paten.
5.
Apakah penemu atau orang yang menerima lebih lanjut hak penemu berhak atau tidak berhak atas paten bagi penemuan tersebut.
6.
Apakah penemuan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum serta kesusilaan. Sebuah
penemuan
dapat
dikatakan
patentable
bila
memenuhi ketiga syarat substantif tersebut, yaitu novelty, dapat dipakai dalam industri, dan mengandung langkah inventif. Syarat kebaharuan mengharuskan agar penemuan tersebut tidak boleh diketahui terlebih dahulu oleh publik, dimanapun, dan dengan cara apapun Djumhana dan Djubaidillah menyatakan
bahwa
syarat
kebaharuan
dapat
ditentukan
berdasarkan pada batasan-batasan tertentu seperti daerah,
kapan
diketahuinya
penemuan,
dan
cara
pengumuman
penemuan. Syarat kebaharuan dapat ditemukan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten yang menyatakan sebagai berikut: (1) Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang dituangkan sebelumnya. (2) Teknologi yang dianggap sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. Tanggal penerimaan; atau b. Tanggal prioritas, (3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal dari pada tanggal penerimaan atau tanggal prioritas permohonan. Berdasarkan
pada
Pasal
diatas,
maka
suatu
penemuan dianggap baru jika pada saat pengajuan permintaan paten penemuan tersebut belum diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dengan cara lisan, tulisan, melalui peragaan atau dengan cara lain yang memunkinkan seorang ahli untuk melaksanakan penemuan tersebut sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas. Tanggal prioritas ditujukan kepada penemu asing dan berkaitan dengan hak prioritas, Pasal 1 angka (12) menjelaskan bahwa hak prioritas adalah hak Pemohon untuk
mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang bergabung dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property
atau
Agreement
Establishing
the
World
Trade
Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara adalah merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut. Pasal 4 menjelaskan lebih lanjut bahwa suatu penemuan tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan: 1.
penemuan tersebut telah dipertunjukkan dalam pameran internasional di Indonesia atau di luar Indonesia yang resmi atau diakui secara resmi atau dalam pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui secara resmi
2.
penemuan tersebut telah digunakan oleh penemunya untuk percobaan dengan tujuan penelitian atau pengembangan. Penemuan juga tidak dianggap sebagai diumumkan jika dalam waktu 12 (dua belas) bulan sebelum tanggal penerimaan ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan penemuan tersebut. Pasal 2 ayat (3) mengatur tentang
persyaratan inventive step (langkah kebaharuan). Pasal ini menjelaskan bahwa suatu penemuan harus tidak dapat diduga sebelumnya oleh orang yang mempunyai keahlian di bidang yang sama pada saat permohonan diajukan, selanjutnya Pasal 5 menjelaskan tentang persyaratan industrially applicable. Persyaratan ini mengharuskan agar suatu
penemuan
dapat
dilaksanakan
dalam
industri.
Penemuan yang bersangkutan harus dapat dibuat secara berulang-ulang dengan kualitas yang sama, atau proses dapat digunakan dalam praktek dalam hal paten proses. Penemuan yang bersangkutan dapat diproduksi atau digunakan di dalam berbagai jenis industri. Pengertian industri merupakan pengertian yang luas misalnya apa yang sekarang dipandang sebagai agrobisnis juga merupakan bidang industri52.
Berdasarkan pada hal tersebut, maka lingkup perlindungan paten sangatlah luas, karena pada saat ini teknologi mencakup hal yang luas pula, seperti teknologi pertanian, bioteknologi, farmasi, dan lain sebagainya. Cakupan yang luas dari teknologi tersebut memberikan kesempatan
yang
luas
pula
kepada
inventor
untuk
memberikan perlindungan paten atas invensinya, dalam hal 52
Muhammad Djumhana&djubaedillah, “Hak Milik Intellektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia”, PT Citra Aditya Bakti; Bandung, 2003, 115
ini
perlindungan
dapat
diberikan
asalkan
memenuhi
persyaratan paten dan sesuai dengan peraturan. 5)
Pengecualian Paten Pengecualian tentang paten didasarkan pada Pasal 27 TRIPs Agreement Pasal 27 angka 3, menetapkan hal-hal yang dikecualikan dari perlindungan Paten, yang meliputi: 1.
metode
pemeriksaan/analisa,
pengobatan/penyembuhan
dan operasi untuk menangani manusia dan hewan; 2.
tumbuhan dan hewan selain jasad renik, dan proses biologis untuk memproduksi tumbuhan atau hewan selain proses non-biologis dan mikrobiologis. Tetapi, Anggota wajib memberikan perlindungan terhadap varietas tumbuhan baik dalam bentuk paten atau sistem sui generis yang efektif atau kombinasi
dari
kedua
bentuk
perlindungan
tersebut.
Ketentuan ini akan ditinjau kembali setelah lewat waktu empat
tahun
sejak
berlakunya
Persetujuan
tentang
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Pengaturan
tentang
pengecualian
paten
diatas
kemudian diturunkan dalam undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten dalam Pasal 7, yang menyebutkan sebagai berikut:
Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang : a) proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; b) metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan/atau pembedahan yang ditetapkan terhadap manusia dan/atau hewan; c) teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;atau d) i. semua makhluk hidup kecuali jasad renik ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. Proses biologis meliputi proses penyilangan yang bersifat konvensional atau alami yang biasanya dilakukan melalui stek, cangkok, atau penyerbukan, sedangkan yang dimaksud proses non-biologis/mikrobiologis biasanya bersifat transgenik atau rekayasa genetika dengan menyertakan proses kimiawi, fisika, penggunaan jasad renik, atau bentuk rekayasa genetika lainnya (penjelasan Pasal 7 UU No 14 tahun 2001). 6)
Pengalihan Hak Paten Paten sebagaimana hak kekayaan intelektual lainnya mempunyai sifat dapat dialihkan melalui cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten sebagai berikut: Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena : a. pewarisan; b. hibah;
c. wasiat; d. perjanjian tertulis; atau e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan.
Pengalihan perseorangan
paten
maupun
dapat
terhadap
dilakukan
badan
terhadap
hukum,
namun
pengalihan ini wajib untuk didaftarkan di Direktorat Jenderal dan dicatat dalam Daftar Umum Paten sehingga pengalihan sah dan tidak batal demi hukum. Pengalihan yang paling sering dilakukan mengingat aspek ekonomisnya adalah melalui perjanjian yang dapat berbentuk perjanjian lisensi (kontrak lisensi). Kontrak lisensi yaitu kontrak yang diadakan antara pemilik teknologi (licensor) dengan penerima teknologi (licencee) dimana licensor menerima imbalan (royalty), dalam jangka waktu tertentu memberikan izin kepada licencee untuk menggunakan hak kekayaan intelektualnya yang dilindungi yaitu hak paten53.
Perjanjian pemegang
paten
ini
merupakan
terhadap
pihak
bukti lain
pemberian untuk
ijin
membuat,
menggunakan, mengimpor, menjual, menyewakan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produk paten. Menganut pada hukum perjanjian, maka perjanjian pengalihan ini harus memenuhi ketentuan hukum perjanjian 53
Etty Susilowati, “Kontrak Alih Teknologi pada Industri Manufaktur”, Genta Press: Yogyakarta, 2007, Hlm 15.
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), selain itu perjanjian lisensi juga harus memenuhi ketentuan dalam Undangundang Paten seperti dalam ketentuan Pasal 71 angka (1) dimana perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan yang merugikan perekonomian negara, atau memuat pembatasan yang menghambat
kemampuan
bangsa
untuk
mengembangkan
teknologi, karena pada dasarnya tujuan perjanjian lisensi ini adalah untuk mengembangkan teknologi indonesia yang masih sederhana, dimana dalam hal ini Indonesia belum mampu untuk membuat teknologi tinggi, sehingga untuk teknologi tinggi Indonesia masih menggunakan teknologi asing yang dilakukan melalui perjanjian lisensi ini. Perjanjian lisensi dapat berbentuk lisensi eksklusif maupun non eksklusif: Lisensi eksklusif yaitu si pemegang paten menyetujui untuk tidak memberikan lisensi-lisendi lain kepada orang lain, selain dari si pemegang lisensi, jadi hanya memberikan izin kepada 1 (satu) pihak saja, sedangkan lisensi eksklusif bisa dilisensikan lagi kepada beberapa pihak54.
Selain itu dikenal pula adanya lisensi wajib yang pelaksanaannya didasarkan pada keputusan Dirjen HKI (Pasal 74 Undang-undang No 14 tahun 2001). Selanjutnya Pasal 75 menentukan bahwa setiap pihak dapat mengajukan lisensi wajib 54
Muhammad Djumhana & Djubaedillah, Loc cit, Hlm 128.
kepada Dirjen HKI untuk melaksanakan paten yang bersangkutan setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal pemberian paten dengan membayar biaya dengan alasan bahwa paten tersebut tidak dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sepenuhnya di Indonesia oleh pemeang paten, kecuali jika pelaksanaan paten merugikan masyarakat, maka pengajuan lisensi wajib dapat dilaksanakan setiap saat. Berdasarkan pada Pasal 76 lisensi wajib dapat dilaksanakan apabila: a). Pemohonan dapat menunjukan bukti yang meyakinkan bahwa ia : 1. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan secara penuh; 2. mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan dengan secepatnya; dan 3. telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan Lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan b). Direktorat Jenderal berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat. 7) Berakhirnya Perlindungan Paten Perlindungan
paten
menurut
Djumhana
dan
Djubaedillah dapat berakhir disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
karena
penarikan
(intreking
), pembatalan (revocation), pencabutan hak milik atas paten. Penarikan yang dilakukan oleh Dirjen HKI ini dapat terjadi karena pemegang paten setelah waktu yang ditetapkan oleh undang-
undang belum melaksanakan patennya di Indonesia tanpa alasan yang layak. Pasal 88 menyatakan bahwa paten dinyatakan batal demi hukum apabila Pemegang Paten tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Undang-undang Paten, jangka waktu yang dimaksud adalah selama 48 (empat puluh delapan) bulan sejak tanggal pemberian paten. Disisi lain pembatalan paten harus dilakukan melalui gugatan Pengadilan Niaga dengan alasan karena pemberian paten bertentangan dengan ketentuan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selain itu pembatalan paten dapat terjadi karena penemuan tersebut adalah yang dikecualikan dari fasilitas mendapatkan paten, atau bertentangan dengan ketentuan tentang hak-hak pemegang paten lainnya55. Pencabutan hak milik paten dilakukan oleh pemerintah atau pengadilan dan dapat dilakukan dengan alasan kepentingan umum, dimana setiap orang dianggap akan memanfaatkan penemuan yang dipatenkan tersebut, atau demi kepentingan pertahanan, dan keamanan negara56. Pembatalan paten akan menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hal-hal yang berasal dari paten tersebut. Selain itu pembatalan paten harus harus 55 56
Muhammad Djumhana & Djubaedillah, Loc cit, Hlm 145. Muhammad Djumhana & Djubaedillah, Loc cit, Hlm 146.
dicatat dan diumumkan di Dirjen HKI sehingga masyarakat dapat mengetahuinya. 8) Pelanggaran Paten Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor, sehingga pemegang paten mempunyai hak untuk monopoli, ketika hak-hak eksklusif tersebut dilanggar maka pemegang hak paten mempunyai hak untuk menuntut secara perdata maupun secara pidana. Pelanggaran paten atas hak eksklusif termasuk pada klasifikasi kejahatan yang diancam dengan penjara paling lama empat tahun dan denda maksimal Rp. 500. 000. 000,00 (lima ratus juta rupiah), sedangkan pelanggaran terhadap hak eksklusif paten sederhana diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) Pengungkapan rahasia paten oleh pihak yang tidak berwenang akan dipidana penjara selama maksimal 2 (dua) tahun, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 132 UU No 14 tahun 2001. Muhammad Djumhana dan Djubaedillah menyatakan bahwa terdapat pula tindakan-tindakan menyalahgunakan paten yang menghambat, seperti:
Pembelian paten dari penemuan baru yang mengganggu kepentingan pribadi, dan kemudian menyimpan dan tidak melaksanakannya dalam suatu produk yang komersial untuk kepentingan masyarakat. Penyalahgunaan paten itu dapat pula berupa pencurian dari penemuan yang dilindungi paten, serrta praktek-praktek perdagangan yang menghambat secara berlebihan, dan sebagainya.
Selanjutnya djumhana dan Djubaedillah menyebutkan bahwa praktek perdagangan yang menghambat secara berlebihan tersebut
biasanya
dilakukan
oleh
perusahaan-perusahaan
transnasional yang mendaftarkan paten dengan tujuan yang tidak beritikad baik seperti menjamin monopoli pemasaran produk di negara dimana paten didaftarkan, menjamin agar penguasa tidak memproduksi dan memasarkan invensi tanpa izin pemilik paten, mencegah publik untuk dapat menemukan penemuan baru yang sama, menjamin pihak asing yang mempunyai paten atas produk yang hampir serupa untuk memasuki negaranya.
3. Perlindungan Varietas Tanaman sebagai Sarana Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual 1)
Sejarah dan Pengaturan Perlindungan Varietas Tanaman di Indonesia
Pada
dasarnya
temuan
atas
varietas
tanaman
merupakan hasil olah pikir manusia dengan menggunakan intelektualitasnya, sehingga tidak mengherankan jika temuan atas varietas tanaman dilindungi oleh sistem HKI. Perlindungan HKI atas varietas tanaman dimulai pada Undang-undang Nomer 13 tahun 1997 tentang Paten yang memberikan perlidungan atas makanan, minuman, dan varietas baru tanaman. Undang-undang paten sebelumnya tidak memberikan perlindungan atas makanan, minuman, dan varietas tanaman. Dasar perubahan tersebut pada prinsipnya
merupakan
implikasi
dari
ratifikasi
TRIPs57.
Selanjutnya Undang-undang terbaru Paten, yaitu Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 kembali mengecualikan varietas tanaman dari perlindungannya yang disebutkan dalam Pasal 7 (d) dimana paten tidak diberikan atas inensi tentang: a) semua makhluk hidup kecuali jasad renik b) proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. Berdasarkan pada hal tersebut, maka untuk memenuhi ketentuan TRIPs agreement yang mewajibkan setiap Negara anggota untuk memberikan perlindungan atas varietas tanaman, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomer 29 57
OK Saidin, Opcit, Hlm 421.
tahun 2002 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Sebelum undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman ini disahkan, varietas tanaman dilindungi melalui Undang-undang no 5 tahun 1990
tentang
Konservasi
Sumberdaya
Alam
Hayati
dan
Ekosistemnya, selain itu terdapat pula undang-undang yang lainnya seperti yang diungkapkan oleh OK Saidin sebagai berikut: Kemudian tahun 1992, terbit lagi UU No. 2 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman disusul dengan terbitnya UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tanaman. Kesemua Undang-undang itu hanya mengatur secara parsial (dan tersirat) tentang perlindungan varietas tanaman58. 2)
Subjek Perlindungan Varietas Tanaman Berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomer 29 tahun 2000, maka pemegang hak PVT adalah pemulia yang bisa orang maupun badan hukum ataupun pihak lain yang menerima lebih lanjut hak PVT dari pemegang hak PVT sebelumnya. Suatu perusahaan ataupun instansi yang membuat perjanjian kerja dengan pemulia tanaman untuk menghasilkan suatu varietas baru, maka pemegang hak atas PVT adalah pihak yang memberikan kerja kecuali jika diperjanjikan lain, sama halnya dengan varietas baru yang dihasilkan berdasarkan pesanan pihak lain, maka pihak yang memesan tersebut adalah pemegang hak PVT kecuali jika diperjanjikan lain.
58
Ibid, Hlm 423.
Pemegang hak PVT mempunyai hak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada pihak lain (baik itu individu maupun badan hukum) untuk melakukan propagasi atas varietas yang bersangkutan (berupa benih dan hasil panen), hal ini juga dapat berlaku terhadap: a)
Varietas turunan esensial yang berasal dari suatu varietas yang dilindungi atau varietas yang telah terdaftar dan diberi nama;
b)
Varietas yang tidak dapat dibedakan secara jelas dari varietas yang dilindungi;
c)
Varietas yang diproduksi dengan selalu menggunakan varietas yang dilindungi. Selanjutnya Pasal 6 ayat (3) menentukan bahwa hak
atas varietas diatas termasuk dalam beberapa kegiatan yang diantaranya adalah: a) Memproduksi atau memperbanyak benih; b) Menyiapkan untuk tujuan propagasi; c) Mengiklankan; d) Menawarkan; e) Menjual atau memperdagangkan; f) Mengekspor; g) Mengimpor;
h) Mencadangkan untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, f, dan g. Hak-hak
diatas
merupakan
hak
eksklusif
atas
pemegang hak PVT, dalam hal ini jelas terlihat terdapat monopoli bagi pihak yang memegang hak eksklusif ini. Selain hak eksklusif dalam sistem PVT ini juga terkandung hak moral, yaitu hak untuk tetap dicantumkan namanya sebagai pihak pemulia tanaman meskipun hak milik ini telah diperalihkan kepada pihak lain. Selain hak, Undang-undang PVT juga membebani pemegang hak PVT kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 9 Undangundang PVT, yang menyebutkan bahwa pemegang hak PVT mempunyai kewajiban untuk: a) Melaksanakan hak PVT-nya di Indonesia; b) Membayar biaya tahunan PVT; c) Menyediakan dan menunjukkan contoh benih varietas yang telah mendapatkan hak PVT di Indonesia. Kewajiban untuk melaksanakan hak PVT di Indonesia diangap tidak dilanggar jika ternyata pelaksanaan PVT tersebut secara teknis dan/atau ekonomis tidak layak dilaksanakan di Indonesia, pengecualian ini berlaku jika telah disetujui oleh kantor PVT bila diajukan permohonan tertulis oleh pemegang hak PVT
dengan disertai bukti-bukti dari instansi yang berwenang. Pengecualian juga terdapat pada ketentuan hak PVT, dimana Pasal 10 (sepuluh) memberikan pengecualian atas pelanggaran hak PVT apabila: a) Penggunaan sebagai hasil panen dari varietas yang dilindungi sepanjang tidak untuk tujuan komersial; b) Penggunaan
varietas
yang
dilindungi
untuk
kegiatan
penelitian, pemuliaan tanaman, dan perakitan varietas baru; c) Penggunaan oleh pemerintah atas varietas yang dilindungi dalam rangka kebijakan pengadaan pangan dan obat-obatan dengan memperhatikan hak ekonomi dari pemegang hak PVT-nya. Berdasarkan pada hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa subjek dari perlindungan PVT itu pada dasarnya diberikan hak dan dibebani pula kewajiban, hal ini terkait dengan ciri dasar dari sebuah norma, dalam hal ini hukum merupakan suatu norma. Norma
ini
didalamnya
terkandung
suatu
perintah
yang
mewajibkan, karena pada dasarnya norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk menertibkan, menuntut dan
mengarahkan
tingkah
laku
anggota
masyarakat
dalam
hubungannya satu sama lain59. 3)
Persyaratan Pemberian Perlindungan Varietas Tanaman Pasal 2 UU nomer 29 tahun 2000 menjelaskan bahwa hak varietas tanaman hanya dapat diberikan kepada varietas yang mempunyai karakteristik baru, unik, seragam, stabil, dan dinamakan. Suatu varietas dianggap baru apabila pada saat penerimaan permohonan hak PVT, bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tersebut belum pernah diperdagangkan di Indonesia atau sudah diperdagangkan tetapi tidak lebih dari setahun, atau telah diperdagangkan di luar negeri tidak lebih dari empat tahun untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk tanaman tahunan, sedangkan kriteria unik diberikan terhadap varietas yang dapat dibedakan secara jelas dengan varietas lain yang keberadaannya sudah diketahui secara umum pada saat penerimaan permohonan hak PVT. Selanjutnya suatu varietas dianggap seragam apabila sifat-sifat utama atau penting pada varietas tersebut terbukti seragam meskipun bervariasi sebagai akibat dari cara tanam dan lingkungan yang berbeda-beda, sedangkan kriteria varietas yang stabil adalah apabila sifat-sifatnya tidak mengalami perubahan
59
Satcipto Rahardjo. “Ilmu Hukum”, Cetakan Kelima, PT Citra Aditya Bakti: Bandung, 2000, Hlm 27.
setelah ditanam berulang-ulang, atau untuk yang diperbanyak melalui siklus perbanyakan khusus, tidak mengalami perubahan pada setiap akhir siklus tersebut. Selanjutnya varietas yang dapat diberi PVT harus diberi penamaan yang selanjutnya menjadi nama varietas yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa: a) nama varietas tersebut terus dapat digunakan meskipun masa perlindungannya telah habis; b) pemberian
nama
tidak
boleh
menimbulkan
kerancuan
terhadap sifat-sifat varietas; c)
penamaan varietas dilakukan oleh pemohon hak PVT dan didaftarkan pada Kantor PVT;
d) apabila penamaan menimbulkan kerancuan terhadap sifatsifat varietas, maka Kantor PVT berhak menolak penamaan tersebut dan meminta penamaan baru; e) apabila nama varietas tersebut telah dipergunakan untuk varietas lain, maka pemohon wajib mengganti nama varietas tersebut; f)
nama varietas yang diajukan dapat juga diajukan sebagai merek
dagang
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku. Hak ini tidak akan diberikan kepada varietas yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, norma, kesehatan, dan lingkungan. Hak PVT bisa diberikan kepada
pemulia tanaman, orang perseorangan, badan hukum ataupun kepada pihak lain yang menerima pengalihan hak PVT. 4)
Jangka
Waktu
Perlindungan
Perlindungan
Varietas
Tanaman Pasal
4
Undang-undang
memberikan
pembedaan
Perlindungan terhadap
Varietas
Tanaman
perlindungan
tanaman
semusim dan tanaman tahunan. Tanaman semusim jangka waktu perlindungannya adalah selama 20 (dua puluh) tahun, sedangkan untuk tanaman tahunan jangka waktu perlindungannya adalah selama 25 (dua puluh lima) tahun. Jangka waktu perlindungan tersebut dihitung sejak tanggal pemberian hak PVT, sejak tanggal pengajuan permohonan hak PVT secara lengkap diterima kantor PVT sampa dengan diberikannya hak tersebut maka pemohon diberikan perlindungan sementara. 5)
Pengalihan Hak Perlindungan Varietas Tanaman Hak Perlindungan Varietas tanaman dapat dialihkan kepada perseorangan atau badan hukum, hak PVT dapat dialihkan atau beralih karena:
a)
Pewarisan;
b)
Hibah;
c)
Wasiat;
d)
Perjanjian dalam bentuk akta notaris;
e)
Sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang. Pengalihan karena pewarisan, hibah, dan wasiat harus
disertai dengan dokumen PVT dan hak lain yang berkaitan dengan itu. Pengalihan PVT melalui sarana apapun wajib untuk didaftarkan pada Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang ditetapkan oleh menteri. Syarat dan tatacara pengalihan, termasuk didalamnya formulir permohonan pengalihan dan dokumen kelengkapannya, serta komponen dan besarnya biaya pencatatan pengalihan hak PVT ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Perlindungan PVT ini juga mengenal
adanya
pengalihan,
hak
namun
moral,
pemulia
sehingga
tetap
meskipun
mempunyai
hak
terjadi untuk
dicantumkan nama dan identitas lainnya dalam sertifikat yang bersangkutan. Selain itu Pasal 41 juga menentukan bahwa pemulia juga berhak untuk mendapatkan imbalan. Sebagai
salah
satu
bagian
dari
hak
kekayaan
intelektual, PVT juga mempunyai unsur ekonomis, dalam hal ini PVT dapat dilisensikan. Pemegang PVT mempunyai hak untuk melisensikan melalui perjanjian lisensi kepada orang lain maupun kepada badan hukum. Perjanjian lisensi ini digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan hak khusus, yang berlangsung selama jangka waktu lisensi sesuai perjanjian yang diberikan dan berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia60.
Pada dasarnya lisensi ini
hanya merupakan pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi, dimana kempemilikan hak PVT tidak ikut dialihkan, hal ini sesuai dengan penjelasan dari Pasal 42 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: Berbeda dengan pengalihan hak PVT dimana pemilikan hak juga beralih, pemberian lisensi melalui perjanjian pada dasarnya hanya pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari hak PVT dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu pula. Kepemilikan hak PVT tetap berada pada pemegangnya tidak dialihkan kepada pemegang lisensi. Dengan demikian pemegang lisensi tidak boleh memberikan lisensi kepada pihak yang lain. Oleh karena pemegang hak PVT berhak memberi lisensi kepada pihak ketiga, maka apabila terjadi perjanjian lisensi, harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, apa saja hak yang berpindah kepada pihak ketiga, selama jangka waktu sesuai dalam perjanjian lisensi. Apabila pemegang hak PVT akan membuat perjanjian lisensi kepada pihak ketiga lainnya hanya terbatas kepada hak yang belum diberikan lisensi. Pemegang hak PVT wajib memberitahukan kepada para pemegang lisensi atas pemberian lisensi baru. Lisensi ini dapat berupa lisensi eksklusif maupun lisensi non eksklusif. Hal ini akan tergantung kepada isi dari perjanjian lisensi yang merupakan kesepakatan antara para pihak, dalam hal ini para pihak juga diberikan kebebasan untuk menentukan besarnya dan cara penghitungan royalti yang dibayarkan oleh penerima lisensi kepada pemberi lisensi. 60
Etty Susilowati, “Hak Kekayaan Intelektual tetang Lisensi”, dalam “Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual”, Op cit, Hlm 2.
Perjanjian lisensi harus dicatatkan dalam kantor PVT dan dimuat dalam daftar umum PVT, jika tidak maka perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
Ketentuan
tentang
perjanjian
lisensi
ini
termasuk
didalamnya hak dan kewajiban pemberi lisensi, bagian dari pelaksanaan hak PVT yang dilisensikan, jangka waktu serta bentuk perjanjian lisensi tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Selain itu terdapat juga lisensi wajib dalam ketentuan PVT ini, lisensi wajib dapat diberikan oleh Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa hak PVT yang bersangkutan tidak digunakan di Indonesia atau hak PVT
telah digunakan dalam
bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat setelah 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal penerimaan hak PVT oleh orang maupun badan hukum. Selanjutnya Pasal 46 menentukan bahwa lisensi wajib dapat diberikan asalkan: a) Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan mempunyai kemampuan dan fasilitas untuk menggunakan sendiri hak PVT tersebut serta telah berusaha mengambil langkahlangkah untuk mendapatkan lisensi dari pemegang hak PVT atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak berhasil. b) Pengadilan Negeri menilai bahwa hak PVT tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dan bermanfaat bagi masyarakat.
Jangka waktu pemberian lisensi wajib adalah sama seperti hak PVT dan pemegang lisensi wajib untuk membayar royalti kepada pemegang hak PVT yang tata cara dan besarannya ditetapkan oleh Pengadilan Negeri. Pemegang lisensi wajib mencatatkan lisensinya pada kantor PVT dan dicatat dalam daftar umum PVT kemudian diumumkan oleh kantor PVT dalam berita
resmi
PVT,
setelah
itu
lisensi
wajib
baru
dapat
dilaksanakan. Lisensi wajib dapat dibatalkan oleh Pengadilan Negeri apabila alasan diberikannya lisensi wajib sudah tidak ada lagi, penerima lisensi wajib tidak melaksanakan lisensinya atau tidak melakukan
persiapan
untuk
melaksanakan
lisensi
yang
bersangkutan, atau karena penerima lisensi tidak mentaati persyaratan lisensi termasuk pembayaran royalti. Dibatalkannya lisensi wajib ini akan menyebabkan berakhirnya lisensi wajib. Selain itu lisensi wajib dapat berakhir karena jangka waktu lisensi telah berakhir atau pemegang lisensi wajib mengembalikan kembali lisensi kepada Kantor PVT sebelum jangka waktu berakhir. Berakhirnya lisensi wajib akan menyebabkan hak pemegang PVT kembali pulih. Ketentuan lebih lanjut tentang lisensi wajib ditentukan oleh Peraturan Pemerintah yang meliputi ketentuan
pelaksanaan,
kriteria
kemampuan
menggunakan
sendiri hak PVT secara penuh, penyediaan kelengkapan fasilitas,
dan
kemampuan
teknis
dan
financial
pemohon
untuk
menggunakan hak PVT yang berasal dari Lisensi Wajib.
6) Berakhirnya Perlindungan Perlindungan Varietas Tanaman Sama seperti paten, perlindungan varietas tanaman merupakan hak yang diberikan oleh negara sehingga mempunyai batas waktu perlindungan dan dapat berakhir. Berakhirnya Perlindungan Varietas Tanaman dapat terjadi karena tiga hal, yaitu: a) Berakhirnya jangka waktu perlindungan; Setelah jangka waktu perlindungan Perlindungan Varietas Tanaman habis, maka kantor PVT akan mencatat berakhirnya hak Perlindungan Varietas Tanaman dalam daftar umum PVT dan mengumumkannya dalam berita resmi PVT. b) Pembatalan; Pembatalan Perlindungan Varietas Tanaman dilakukan oleh Kantor PVT, dan dapat dilakukan apabila dalam kenyataannya terbukti bahwa: 1.
Tidak dipenuhinya syarat-syarat kebaharuan dan/atau keunikan pada saat hak PVT diberikan;
2.
Tidak dipenuhinya syarat-syarat keseragaman dan/atau kestabilan pada saat hak PVT diberikan;
3.
Hak PVT telah diberikan kepada pihak yang tidak berhak.
Pembatalan hak PVT hanya dapat dilakukan dengan alasanalasan diatas, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 58 Undang-undang No 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Pembatalan hak PVT akan membawa konsekuensi hapusnya akibat hukum yang berkaitan dengan hak PVT. c) Pencabutan. Pencabutan hak PVT diatur dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 66 UU no 29 tahun 2000, dimana menurut Pasal 60 pencabutan hak PVT dlakukan oleh kantor PVT yang didasarkan pada alasan: 1) Pemegang hak PVT tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan; 2) Syarat atau ciri-ciri varietas yang dilindungi telah berubah atau tidak sesuai lagi dengan ketentuan dalam Pasal 2 UU PVT; 3) Pemegang hak PVT tidak mampu menyediakan dan menyiapkan
contoh
benih
varietas
yang
telah
mendapatkan hak PVT; 4) Pemegang hak PVT tidak menyediakan benih varietas yang telah mendapatkan hak PVT; atau
5) Pemegang hak PVT mengajukan permohonan pencabutan hak PVT-nya serta alasannya secara tertulis kepada kantor PVT. Hak PVT berakhir sejak tanggal pencabutan, dimana Kantor PVT akan mencatat pencabutan hak PVT dalam Daftar Umum PVT dan mengumumkannya dalam Berita Resmi PVT. Selain itu pemegang hak PVT wajib mengembalikan sisa royalti yang telah dibayarkan oleh pihak yang menerima lisensi secara sekaligus dengan memperhitungkan sisa jangka
waktu
penggunaan, jika haknya tersebut dilisensikan. C. GMO’s sebagai Subjek Perlindungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman GMO’s adalah suatu produk yang dibuat melalui oleh pikir intelektualitas manusia, dibutuhkan pengorbanan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Penelitiannya bahkan mungkin dilakukan selama bertahun-tahun,
penelitian
yang
dilakukan
bukanlah
penelitian
sederhana, dibutuhkan proses kimia dan fisika didalamnya untuk membentuk suatu produk yang mempunyai suatu keunggulan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, bahkan untuk dapat dilindungi PVT suatu varietas GMO’s harus memenuhi persyaratan baru, stabil, seragam, dan diberi nama, sepanjang dia memenuhi persyaratan tersebut dan memenuhi ketentuan undang-undang baru varietas tersebut dapat dilindungi dan diambil aspek ekonomisnya. Berbeda
dengan paten yang mempunyai persyaratan perlindungan yang lebih berat. Paten mensyaratkan agar suatu GMO’s harus baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam bidang industri agar dapat dilindungi oleh sistem paten yang mempunyai aspek ekonomi terkuat jika dibandingkan dengan sistem lainnya ini. Perlindungan GMO’s melalui paten didasarkan pada Pasal 7 huruf (d) Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 yang secara jelas memasukkan proses mikrobiologis ke dalam perlindungan Paten, sebagai berikut: i. semua mahluk hidup, kecuali jasad renik; ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. Perlindungan GMO’s ditegaskan lagi melalui penjelasan Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut: Yang dimaksud dengan proses biologi yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan dalam butir ii adalah proses penyilangan yang bersifat konvensional atau alami , misalnya melalui teknik stek, cangkok, atau penyerbukan yang bersifat alami, sedangkan proses non biologis atau proses mikrobiologis untuk memproduksi tanaman atau hewan yang biasanya bersifat trasgenik/ rekayasa genetika yang dilakukan dengan menyertakan proses kimiawi, fisika, penggunaan jasad renik, atau bentuk rekayasa genetika lainnya Perlindungan paten terhadap GMO’s tidak terbatas pada varietas tanaman, tetapi juga bioteknologi secara luas, namun demikian paten memberikan persyaratan yang lebih sulit untuk dipenuhi daripada perlindungan varietas tanaman yang hanya
memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman sebagaimana pada Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomer 29 tahun 2000 yang menyatakan sebagai berikut: Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT, adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PERLINDUNGAN PERLINDUNGAN
GMO’S
MELALUI
VARIETAS
SISEM
TANAMAN
PATEN
SEBAGAI
DAN HASIL
INTELEKTUALITAS MANUSIA DI INDONESIA Suatu perlindungan diperlukan untuk mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan, tanpa adanya perlindungan ini kedua kegiatan tersebut tidak akan bergairah. Dibutuhkan jaminan atas perlindungan hasil kreativitas manusia dari pemerintah, meskipun sebagai Negara berkembang perlindungan hak kekayaan intelektual dirasa bukan merupakan suatu hal yang primer dan menguntungkan. Hal ini karena pada biasanya Negara berkembang akan menjadi negara tujuan untuk memasarkan produk-produk hak kekayaan intelektual. Negara
berkembang
biasanya
berkedudukan
sebagai
pembeli atau licensee teknologi, bukan pemilik kekayaan intelektual
sehingga merasa tidak relevan bila melindunginya dengan penegakan hukum terlalu ketat61. Dalam hal ini pemilik hak kekayaan intelektual yang biasanya merupakan perusahan multinasional yang berasal dari Negara
maju
dapat
memainkan
permainan
harga,
sehingga
masyarakat Negara berkembang tentu saja dirugikan, belum lagi ketergantungan yang diciptakan akan membuat Negara berkembang selalu menggunakan produk-produk ataupun teknologi dari Negara maju. Disisi lain Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari fenomena yang ditimbulkan oleh hak kekayaan intelektual ini karena Indonesia telah menandatangani TRIP’s Agreement, dapat dikatakan Indonesia telah terjebak dalam sistem dunia yang hanya menguntungkan Negara-negara yang berkuasa, sehingga Indonesia harus memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual. Pada bab sebelumnya telah disebutkan bahwa perlindungan GMO’s di Indonesia dapat melalui sistem paten dan PVT. Berdasarkan pada TRIP’s Agreement, maka sistem perlindungan atas GMO’s di Indonesia yang berbentuk varietas tanaman dapat dilakukan melalui sistem paten, sistem sui generis tersendiri, maupun sistem kombinasi antara paten dengan sistem sui generis. Hal ini sesui dengan Pasal 27 ayat 3 huruf b dari TRIP’S Agreement yang berbunyi sebagai berikut: Plants and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes for the production of plants or animals other 61
Endang Purwaningsih. Op cit. Hlm 15.
than non-biological and microbiological processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof. Setiap Negara anggota penanda tangan TRIP’s Agreement diberikan kebebasan untuk memilih memberikan perlindungan atas varietas tanaman melalui sistem paten, ataupun membuat suatu perundang-undangan sui generis yang memberikan perlindungan kepada hak pemulia, ataupun kombinasi antara kedua sistem tersebut yang sesuai dengan kebutuhan masing masing negara. Indonesia sendiri memberikan perlindungan melalui sistem kombinasi antara sistem paten dan sistem sui generis. Dasar perlindungan dari perlindungan varietas tanaman melalui sistem paten adalah Pasal 7 huruf d Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten, yang tidak memberikan perlindungan terhadap: i. semua mahluk hidup, kecuali jasad renik; ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. Berdasarkan pada Pasal 7 diatas maka dapat disimpulkan bahwa paten memberikan perlindungan kepada jasad renik, proses non biologis, atau proses mikrobiologis. Secara umum GMO’s berhubungan dengan ketiga hal diatas, dan secara khusus varietas tanaman berhubungan dengan proses non biologis. Perlindungan melalui Paten akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi Negara pemilik paten karena adanya peningkatan kegiatan ekonomi melalui
komersialisasi atas invensi. Pemilik paten akan mendapatkan royalti atas lisensi kepada orang lain. Lisensi juga dapat diberikan melalui sistem sui generis. Sistem sui generis memberikan kebebasan kepada Negara yang
bersangkutan
untuk
menentukan
lingkup
dan
isi
dari
perlindungannya. Munculnya sistem sui generis bagi varietas tanaman karena tidak tercakupnya kepentingan salah satu pihak dalam sistem HKI yang ada, misalnya karena adanya ketidaksesuaian terhadap konsep kepemilikan produk yang berupa makhluk hidup62.
Pada
biasanya sistem sui generis mengakomodasi konsep farmer’s privilege yang tidak didapatkan dalam sistem paten. Farmer’s privilege memungkinkan petani untuk menyimpan sebagian benih hasil varietas yang telah dilindungi oleh sistem sui generis tanpa harus membayar royalti kepada pemilik hak. Dalam sistem sui generis ini konsep pemafaatan sosial lebih terasa dibandingkan dengan konsep paten. Sistem ini mengakui adanya hak pemulia
tanaman63
lengkap
dengan
hak
eksklusifnya
serta
62
Andriana Krisnawati & Gazalba Saleh. “Perlindungan Hukum Varietas Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia”, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004. Hlm 37. 63 Hak pemulia tanaman merupakan hak yang dimiliki oleh pemualia tanaman. Pemulia tanaman dalam Pasal 1angka 4 Undang-undang Nomer 29 tahun 2000 adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.
memberikan manfaat kepada petani tradisional yang merupakan bagian dari masyarakat yang sering terpinggirkan oleh adanya konsep hukum impor seperti hukum paten. Hal ini dikarenakan hukum import ini merupakan hukum yang diimport dari Negara-negara maju yang mempunyai budaya yang berbeda dengan masyarakat Indonesia, sehingga tidak semua bagian dari masyarakat akan mendapatkan manfaat dari kehadiran hukum baru tersebut. Disisi lain dengan adanya sistem sui generis Negara anggota diberikan kebebasan untuk menyesuaikan konsep HKI dengan budaya masing-masing Negara anggota yang berbeda-beda. Indonesia mengakomodasi ketentuan TRIPs tersebut dengan membentuk Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman yaitu Undang-undang Nomer 29 tahun 2000. Undang-undang Nomer 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman ini memberikan pengakuan atas farmer’s privilege meskipun tidak secara eksplisit. Berbeda dengan paten, PVT dapat memberikan perlindungan kepada produk-produk atas GMO’s yang berupa varietas tanaman sepanjang varietas tersebut baru, seragam, unik, dan diberi nama. Persyaratan ini pada dasarnya diadopsi dari International Convention for the protection of variety of Plants (UPOV). UPOV didirikan oleh International Convention for the Protection of New Varieties of Plants. Konvensi ini disetujui di Paris pada tahu 1961 yang kemudian direvisi pada tahun 1972, 1978 dan
1991. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada jenis tanaman baru dengan hak kekayaan intelektual. The objective of the Convention is the protection of new varieties of plants by an intellectual property right64. Sama seperti perjanjian hak kekayaan intelektual lainnya, konvensi ini juga memberikan hak dan perlindungan kepada pemilik hak varietas tanaman; Protection of intellectual property rights on new plant varieties according to the UPOV convention facilitates such a return by providing a legal basis to prevent, under well-defined conditions, unauthorized exploitation of plant varieties by others 65. Pada tahun 2009 anggota dari konvensi ini mencapai 67 (enam puluh tujuh) negara, namun Indonesia tidak menjadi anggota dari konvensi ini dan tidak terikat dengan persetujuan dari konvensi ini, meskipun demikian Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman disesuaikan dengan ketentuan perjanjian ini, seperti persyaratan pemberian perlindungan, jangka waktu perlindungan, adanya hak pemulia tanaman, dan sebagainya, dimana karakteristik perlindungan varietas tanaman tersebut mempunyai perbedaan dengan Paten. Perbedaan tersebut secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
64
http://www.upov.int/index_en.html, (diakses 18 Maret 2009) http://www.upov.int/export/sites/upov/en/about/pdf/gurts_11april2003.pdf , (diakses 18 Maret 2009)
65
Tabel 2 Perbandingan antara Perlindungann Varietas Tanaman dengan Hak Paten (UUP) dan Hak Pemulia (UU PVT)66
Perlindungan Paten
Perlindungan Varietas Tanaman
Invensi
I. Objek Perlindungan: II. Yang
bidang Varietas tanaman
di
teknologi industri
Diperlukan
Untuk Mendapatkan Perlindungan: 2.1 Pemeriksaan
1. Diperlukan
1. Diperlukan
2. Tidak diperlukan
2. Diperlukan
Dokumen 2.2 Pemeriksaan lapangan
66
Andriana Krisnawati & Gazalba Saleh. Hlm 111.
2.3 Pengujian
3. Tidak diperlukan
3. Diperlukan
bahan tanaman 2.4 Syarat Perlindungan
a) baru
a) Baru
b) dapat
b) berbeda
diterapkan
c) seragam
dalam industri
d) stabil
c) mengandung
e) diberi nama
langkah inventif Ditentukan
Ditentukan
III. Lingkup Perlindungan:
berdasarkan
3.1
paten
Penetapan
klaim Nasional
oleh (atau
UPOV
UU oleh
Convention
lingkup
dalam
kasus
perlindungan
terjadi pada Negaranegara
yang
anggota
UPOV) Tidak diperlukan
IV. Penamaan
Diperlukan
Varietas: V. Jangka
Waktu
Perlindungan;
20 tahun sejak tanggal 18 tahun bagi pohonpohonan dan tanaman
penerimaan
merambat, 15 tahun bagi spesies lainnya dari
tanggal
pemberian
hak
(ketentuan
ini
mengalami penambahan menjadi 25 tahun dan 20 tahun pada UPOV 1991) [UU No 29 tahun 2009 memberikan perlindungan 20 tahun bagi
tanaman
semusim dan 20 tahun bagi
tanaman
tahunan] VI. Kewenangan Pemegang Hak:
1. dalam paten produk, Kewenangan meliputi membuat,
untuk
menggunakan,
atau
mengimpor,
benih,
menyiapkan
menyewakan,
untuk
tujuan
menyerahkan,
memproduksi memperbanyak
atau propagasi, untuk mengiklankan,
menyediakan dijual,
atau menawarkan, menjual
disewakan,
atau atau produk memperdagangkan,
diserahkan
yang diberi paten;
mengekspor,
2. Dalam paten proses: mengimpor,
dan
menggunakan proses mencadangkan untuk produksi yang diberi keperluan
kegiatan
paten untuk membuat yang telah disebutkan barang dan tindakan terdahulu. lainnya sebagaimana dimaksudkan
pada
nomor 1 diatas. VII. Lisensi;
Ada
Ada
VIII. Penyelesaian
Pengadilan Niaga
Pengadilan Negeri
Gugatan;
Berdasarkan pada tabel perbandingan diatas, maka dapat dilihat adanya persamaan dan perbedaan dari paten dan PVT. Dilihat dari objek perlindungannya Paten mempunyai lingkup yang lebih luas daripada PVT yang didasarkan pada klaim yang diajukan (sedangkan PVT didasarkan pada UPOV). Dalam hal GMO’s Paten lebih memberikan lingkup yang lebih luas, tidak terbatas pada bioteknologi pertanian tetapi juga dapat diberikan terhadap bioteknologi farmasi, kedokteran, industri lingkungan dan lain-lain seperti invensi atas mikroba yang dapat menyerap dan menyaring limbah dalam air di saluran kotoran67. Dalam hal persyaratan pemberian PVT maupun Paten, keduanya sama-sama mensyaratkan adanya kebaharuan dalam invensi serta adanya pemeriksaan dokumen pengajuan permohonan, 67
Mae-Wan Ho. Op cit. Hlm xxvi.
namun selain hal tersebut persyaratan yang harus dipenuhi diantara keduanya terdapat perbedaan. Paten mangharuskan adanya langkah inventive step dan adanya ketentuan industrially applicable bagi invensi yang dihasilkan. Disisi lain PVT mensyaratkan adanya keseragaman, keunikan, kestabilan dan diberi nama bagi varietas baru yang dihasilkan. Persyaratan PVT yang berbeda dengan paten ini ditujukan
untuk
membuktikan
keunggulan
yang
terkandung
didalamnya68. Hak pemulia akan dibatalkan jika dalam uji adaptasi ditemukan bukti bahwa varietas yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan keseragaman, keunikan, kestabilan dan diberi nama. Perbedaan juga ditemukan pada konsep farmer’s privilege. Konsep farmer’s privilege hanya ditemui pada PVT yang memang dikhususkan pada perlindungan varietas tanaman. Paten meskipun terhadap invensi berupa bioteknologi pertanian yang menghasilkan suatu varietas baru tanaman tidak mencakup konsep farmer’s privilege. Hal ini disebabkan karena konsep dasar dari paten adalah kepentingan ekonomis sehingga kurang mendapatkan pijakan yang kuat dalam melindungi para petani kecil. Perbedaan juga terdapat dalam jangka waktu perlindungan. Jangka waktu perlindungan Paten biasa adalah 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal penerimaan sedangkan jangka waktu 68
Andriana Krisnawati & Gazalba Saleh. Op cit. Hlm 108.
perlindungan PVT adalah 20 tahun untuk tanaman semusim dan 25 tahun untuk tanaman tahunan dan tidak dapat diperpanjang. Jangka waktu
perlindungan
PVT
tidak
dapat
diperpanjang
karena
dimungkinkan hilangnya stabilitas karakter yang ada pada varietas yang bersangkutan. Jangka waktu perlindungan paten juga tidak dapat diperpanjang, hal ini ditujukan untuk mewujudkan tujuan dasar paten untuk pengembangan teknologi. Setelah jangka waktu berakhir, invensi akan menjadi public domain sehingga teknologi dapat dimanfaatkan oleh umum tanpa harus meminta ijin dari pemilik paten karena memang teknologi tersebut telah menjadi milik umum. Sebelum jangka waktu berakhir, pada dasarnya orang lain dapat juga memakai invensi yang diberikan paten, salah satunya adalah dengan lisensi. Lisensi baik eksklusif maupun noneksklusif dapat digunakan sebagai cara untuk pengalihan teknologi. Baik Paten maupun PVT mengenal dan mengakui lisensi sebagai cara bagi orang lain untuk dapat memanfaatkan teknologi dari invensi/varietas yang ditemukan dalam jangka waktu perlindungan hak. Keduanya (paten dan PVT) juga mengenal lisensi wajib sebagai persamaan diantara keduanya, namun disisi lain lingkup ketentuan paten dan PVT yang berbeda juga mengakibatkan adanya perbedaan dalam penyelesaian sengketa litigasi.
Penyelesaian
sengketa
litigasi
(gugatan)
hak
paten
diselesaikan / diajukan ke Pengadilan Niaga, sedangkan gugatan atas hak PVT diajukan ke Pengadilan Negeri. Ketentuan ini meyebabkan penyelesaian sengketa atas hak paten lebih bayak membutuhkan biaya dibandingkan PVT karena penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga memang lebih mahal jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri. Secara keseluruhan, berdasarkan pada perbandingan paten dan PVT diatas, maka PVT lebih mendapatkan pijakan kepada masyarakat Indonesia karena memang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Negara, sehingga masing-masing Negara dapat menentukan isi dan lingkup perlindungan PVT. Perlindungan PVT atas varietas
tanaman
diberikan
kepada
produknya
(varietasnya)
sedangkan perlindungan paten terhadap bioteknologi varietas tanaman diberikan kepada prosesnya, dalam hal ini adalah proses pembuatan bioteknologi varietas tanaman. Alasan tersebut menjadikan Indonesia sebagai penganut sistem kombianasi antara paten dengan sui generis dalam hal perlindungan varietas tanaman berdasarkan pada TRIP’s Agreement Pasal 27. Konsekuensi lain dari perbedaan lingkup perlindungan tersebut adalah bahwa pendaftaran Paten diajukan ke Dirjen HKI yang berada dalam lingkup Departemen Hukum dan HAM, sedangkan pendaftaran PVT diajukan ke Kantor PVT dibawah Departemen Pertanian.
Pendaftaran
atas
paten
dan
PVT
penting
untuk
mendapatkan perlindungan. Hal ini dikarenakan sistem Paten dan PVT di Indonesia menganut sistem first to file (siapa yang terleih dahulu mengajukan pendaftaran hak kekayaan intelektual), bukan first to invent (siapa yang terlebih dahulu menemukan teknologi). Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan sistem first to invent, sehingga disana siapa yang terlebih dahulu menemukan teknologi yang pertama mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual (dalam hal ini paten). Kelebihan dan kekurangan sistem first to invent adalah sebagai berikut: Sistem ini dianggap adil karena memberikan paten kepada orang yang pertama kali menyelesaikan penemuan. Meskipun demikian sistem ini memiliki beberapa masalah, seperti kesulitan menentukan secara objektif kapan suatu penemuan diselesaikan69. Kekurangan juga terdapat dalam sistem first to file terutama dalam hal terjadi suatu kasus dimana penemuan yang sama diajukan dalam jangka waktu yang bersamaan. “Apabila terdapat kasus dua atau lebih aplikasi diajukan untuk sesuatu penemuan yang sama pada tanggal yang sama, UUP menentukan hanya satu permohonan yang disetujui atas dasar suatu konsultasi saling pengertian di antara pemohon-pemohon terkait yang bisa mendapatkan paten untuk penemuan tersebut tanpa mempertimbangkan waktu pengajuan tiap-tiap aplikasi. Harus diperhatikan bahwa urut-urutan aplikasi ditentukan berdasarkan ‘tanggal’ pengajuan aplikasi, sedangkan ‘kebaharuan’ ditentukan berdasarkan atas ‘jam’ dan ‘menit’, jika
69
Endang Purwaningsih, Op cit, Hlm 32.
konsultasi tidak memungkinkan atau tidak tercapai kesepakatan tak satu pemohon pun akan mendapatkan paten”70. Berdasarkan pada pendapat Endang Purwaningsih diatas, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Paten memasukkan nilainilai budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia. Nilai budaya yang dimaksud
adalah
nilai
kekeluargaan
yang
digunakan
dalam
menyelesaikan masalah. Pada dasarnya nilai-nilai budaya ini perlu dipertimbangkan dalam kebijakan legislatif. Suatu undang-undang yang mengatur masyarakat perlu juga untuk menyesuaikan dengan budaya masyarakat yang bersangkutan, sehingga undang-undang tersebut dapat berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan suatu Negara pada dasarnya mempunyai karakteristik hukum yang berbeda dengan Negara lain. Van Apeldorn malahan melihat hukum sebagai suatu bagian dari kebudayaan dimana tiap bangsa mempunyai kebudayaannya sendiri sehingga tidak semua bangsa mempunyai hukum yang sama, sama halnya dengan bahasa dari
tiap-tiap
bangsa
yang
berbeda-beda.
Adanya
perbedaan
kebudayaan maupun latar belakang yang berbeda dari tiap bangsa tersebut harus menjadi pertimbangan dalam pembentukan hukum, jika tidak maka dapat dipastikan akan timbul suatu permasalahan. Undangundang
Paten
merupakan
undang-undang
yang
diimpor
oleh
pemerintah, namun demikian pembuat kebijakan telah memasukkan
70
Ibid.
beberapa nilai budaya dalam Undang-undang ini, seperti dalam hal permohonan paten diatas. Terdapat beberapa persyaratan dan prosedur standar yang perlu dipenuhi agar GMO’s mendapatkan perlindungan Paten maupun PVT.
Terdapat
persyaratan
formal
dan
substantif
dalam
hal
permohonan paten, sehingga terdapat dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan
formal
dan
pemeriksaan
substantif.
Pemeriksaan
substantif meliputi pemeriksaan atas kebaharuan atas penemuan, ada tidaknya langkah inventif dan dapat tidaknya penemuan diterapkan dalam bidang industri. Di lain pihak pemeriksaan formal meliputi pemeriksaan atas kelengkapan administratif dan fisik yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menjalani pemeriksaan substantif. Insan Budi Maulana dkk, telah memberikan gambaran prosedur permohonan paten seperti pada gambar di bawah ini:
PROSEDUR PERMOHONAN PATEN (MENURUT UNDANG-UNDANG PATEN NO 14 TAHUN 2001) PERMOHONAN YA PEMERIKSAAN BERSYARAT
ADA KEKURANGAN
TIDAK DIKOREKSI
TIDAK
Ps 33
Ps 42
DITARIK
YA
PENGUMUMAN SANGGAHAN
ADA KEBERATAN?
YA
Ps 45 (3)
Ps.45 (4)
KEBERATAN
TIDAK PERMOHONAN PEMERIKSAAN
Ps.48 PEMERIKSAAN SUBSTANTIF
ADA PEMBERITAHUAN KETIDAKJELASAN
YA ADA PERMOHONAN?
ADA PERBAIKAN
KEPUTUSAN
TIDAK
TIDAK YA
DITARIK
Ps 55
DITARIK
DISETUJUI
Ps.49 (2)
Ps 53 Ps 60
TIDAK
Ps 56
PERMOHONAN BANDING
DITOLAK
KOMISI BANDING PATEN
DISETUJUI
KASASI
PENGADILAN NIAGA
SERTIFIKAT PATEN
DICATAT DALAM DAFTAR UMUM PATEN DAN DIUMUMKAN DALAM BERITA RESMI PATEN
Ps 55 (3)
Permohonan paten hanya dapat diberikan untuk satu invensi atau beberapa invensi yang merupakan satu kesatuan invensi (invensi yang mempunyai keterkaitan langkah inventif). Permohonan dapat diajukan oleh inventor maupun pihak lain (pihak yang menerima pengalihan ataupun perusahaan tempat inventor bekerja) yang mempunyai bukti bahwa ia berhak atas invensi yang bersangkutan (ataupun kuasanya) kepada Direktorat Jenderal dengan menggunakan bahasa Indonesia yang memuat: 1. 2. 3. 4.
tanggal, bulan dan tahun Permohonan; alamat lengkap dan alamat jelas Pemohon; nama lengkap dan kewarganegaraan Inventor; nama dan alamat lengkap kuasa apabila Permohonan diajukan melalui kuasa; 5. surat kuasa khusus dalam hal Permohonan diajukan oleh Kuasa; 6. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten; 7. judul Invensi; 8. klaim yang terkandung dalam Invensi; 9. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara melaksanakan Invensi; 10. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas Invensi; dan 11. abstrak Invensi71.
Pemohon
yang
berdomisili
di
luar
Indonesia
harus
mengajukan permohonan paten melalui kuasanya di Indonesia, sedangkan pemohon dengan hak prioritas harus diajukan maksimal selama 12 (duabelas) bulan sejak tanggal penerimaan pertama kali di Negara manapun yang menjadi anggota Paris Convention atau 71
Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten
Agreement Establishing the World Trade Organization dan melengkapi persyaratan yang diperlukan dalam jangka waktu enam belas bulan sejak tanggal prioritas. Direktorat Jenderal dapat meminta pemohon dengan hak prioritas untuk melengkapi dokumen-dokumen tertentu seperti: 1. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan terhadap permohonan Paten yang pertama kali di luar negari; 2. salinan sah dokumen Paten yang telah diberikan sehubungan dengan permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri; 3. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten tersebut ditolak; 4. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang pernah dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah dibatalkan; 5. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri72. Baik
dokumen-dokumen
kelengkapan
diatas
maupun
dokumen permohonan spesifikasi paten penting karena ditujukan untuk mengungkapkan lingkup perlindungan paten dan menginformasikan invensi dalam dokumen permohonan paten73. Permohonan paten akan diberi tanggal pengajuan permintaan paten (receiving date) dan bila 72
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomer 14 tahun 2001 tentang Paten. Lubis Santosa, dan Maulana Law Office Jakarta dan Pusat Pengembangan dan Pelayanan Hak Kekayaan Intelektual (P3HKI) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Mayarakat Universitas Sebelas Maret, “Workshop Penelitian Berpotensi Paten dan Teknologi Tepat Guna bagi Kemanfaatan Usaha Kecil dan Menengah”, Seminar, 17 Desember 2009, Surakarta.
73
didasarkan pemeriksaan formal yang segera dilakukan, permintaan tersebut dianggap memenuhi persyaratan administratif saja atau persyaratan administratif dan fisik maka tanggal pengajuan tersebut dinyatakan sebagai tanggal penerimaan permintaan paten (filling date)74. Pemohon akan diminta untuk melengkapi kekurangan persyaratan
administratif
jika
ditemukan
adanya
kekurangan
persyaratan administratif dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal pengiriman
permintaan
pemenuhan
kekurangan
dan
dapat
diperpanjang selama dua bulan atas permintaan pemohon setelah itu dapat diperpanjang lagi selama satu bulan atas permintaan pemohon dengan dikenai biaya, dalam hal ini tanggal filling date adalah tanggal diterimanya kekurangan tersebut. Disisi lain jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang ditetapkan maka permohonan dianggap ditarik kembali. Undang-undang juga menentukan bahwa permohonan dapat dirubah untuk memperjelas lingkup invensi dengan cara merubah diskripsi
ataupun
klaim
asalkan
tidak
memperluas
lingkup
perlindungannya yang dalam hal ini adalah menambah inti atau subjek, informasi baru, atau mengurangi ciri-ciri teknis invensi, baik di dalam diskripsi, gambar maupun klaim yang dapat berakibat lebih luasnya lingkup Invensi. Perubahan dapat pula terjadi dalam rangka untuk 74
Amir Pamuntjak, “Sistem Paten, Pedoman Praktik dan Alih Teknologi”, Djambatan: Jakarta, 1994, Hlm 84.
memecah permohonan semula yang terdiri dari beberapa invensi yang bukan merupakan satu kesatuan sebelum Direktorat Jenderal memberikan keputusannya, sedangkan filling date-nya adalah tanggal penerimaan semula. Perubahan juga diperbolehkan untuk mengubah paten biasa menjadi paten sederhana ataupun sebaliknya. Pemohon dapat menarik permohonan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Direkorat Jenderal, disisi lain jika pemohon
berkeinginan
untuk
meneruskan
permohonan
maka
Direktorat Jenderal akan mengumumkan permohonan dalam berita resmi paten ataupun sarana khusus yang disediakan oleh Direktorat Jenderal setelah memenuhi persyaratan dokumen kelengkapan dalam jangka waktu 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal penerimaan atau tanggal prioritas jika diajukan dengan hak prioritas dalam hal paten biasa, sedangkan dalam hal paten sederhana jangka waktunya adalah tiga bulan sejak tanggal penerimaan. Pengumuman dapat diajukan atas permintaan pemohon dengan dikenai biaya. Pengumuman ini akan
dilaksanakan
selama
enam
bulan
sejak
diumumkannya
permohonan paten biasa atau tiga bulan sejak diumumkannya paten sederhana. Pengumuman yang dimaksud adalah terdiri dari: 1. nama dan kewarganegaan Inventor: 2. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; 3. judul Invensi;
4. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas, tanggal prioritas, nomor dan tempat Permohonan yang pertama kali diajukan; 5. abstrak; 6. klasifikasi Invensi; 7. gambar, jika ada; 8. nomor pengumuman; dan 9. nomor Permohonan75. Setiap
pihak
dapat
mengajukan
sanggahan
ataupun
keberatan secara tertulis atas pengumuman tersebut. Sanggahan ini nantinya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemeriksaan substantif.
Direktorat
Jenderal
dapat
memutuskan
untuk
tidak
melakukan pengumuman jika invensi yang bersangkutan diperkirakan dapat mengganggu kepentingan pertahanan Negara sedangkan pemeriksaan substantif atas permohonan akan dilakukan setelah enam bulan sejak tanggal penetapan Direktorat Jenderal untuk tidak melakukan pengumuman. Pemeriksaan substantif dilakukan oleh Direktorat Jenderal melalui permohonan dengan dikenai biaya dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal penerimaan, jika pemohon tidak memenuhi persyaratan batas waktu atau tidak membayar biaya yang dikenakan, maka permohonan dianggap ditarik kembali. Direktorat Jenderal akan memberitahukan kepada pemohon ataupun kuasanya jika dalam pemeriksaan substantif ditemukan adanya kekurangan ataupun ketidakjelasan tentang invensi yang diajukan permohonan. 75
Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomer 14 tahun 2001
Pemberitahuan ini ditujukan untuk meminta tanggapan pemohon ataupun pemenuhan kekurangan tersebut. Kekurangan harus dipenuhi oleh pemohon dalam jangka waktu yang ditentukan atau permohonan dianggap ditarik kembali. Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan atas pemeriksaan substantif dalam jangka waktu maksimal 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat permintaan pemeriksaan
substantif
atau
sejak
berakhirnya
jangka
waktu
pengumuman jika permohonan diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu pemeriksaan tersebut, jangka waktu ini berlaku bagi paten biasa, sedangkan bagi paten sederhana jangka waktu yang diberikan lebih sedikit. Jangka waktu bagi pemeriksaan substantif paten sederhana adalah 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal penerimaan. Sertifikat akan diberikan kepada pemohon jika dalam pemeriksaan substantif ini invensi yang bersangkutan memenuhi persyaratan novelty, adanya inventive steps, dan industrially applicable. Paten yang telah diberikan akan dicatat dan diumumkan kecuali terhadap paten yang berhubungan dengan keamanan dan pertahanan Negara. Total prosedur permohonan paten memakan waktu selama kurang lebih 60 (enam puluh) bulan yang dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini:
Gambar 3 PERMOHONAN PATEN76
Publication of Granted/ Issued Patent Filling Date Masa Tunggu
Publication of Patent Application
Keputusan
Masa Publikasi Masa Pemeriksaan Substantif Maks. 18 bulan
6 bulan
maks. 36 bulan
Total prosedur +_ 60 bulan
Disisi lain Direktorat Jenderal akan menolak permohonan jika invensi tidak memenuhi persyaratan diatas dan ketentuan lain. Ketentuan lain yang dapat dijadikan alasan untuk menolak adalah bahwa: 1. invensi
yang
bersangkutan
termasuk
dikecualikan oleh undang-undang paten, 76
Lubis Santosa dkk, Op cit.
pada
hal-hal
yang
2. pemohon melakukan perubahan permohonan yang memperluas lingkup perlindungan paten, 3. apabila
dalam
pemeriksaan
substantif
ditemukan
adanya
kekurangan atau ketidakjelasan tentang invensi yang bersangkutan (dan kekurangan tersebut tidak dilengkapi oleh pemohon dalam batas waktu yang ditentukan) 4. pemecahan permohonan yang memperluas lingkup invensi, atau diajukan setelah melewati batas waktu yang ditentukan Penolakan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon ataupun kepada kuasanya dengan mencantumkan alasan dan pertimbangan penolakan. Sama halnya dengan sertifikat paten, surat penolakan akan dicatat oleh Direktorat Jenderal. Pemohon yang tidak puas terhadap keputusan penolakan dapat mengajukan banding kepada Komisi Banding Paten secara tertulis baik oleh pemohon ataupun oleh kuasanya dengan memberikan tembusan kepada Direktorat Jenderal. Banding dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak pengiriman keputusan penolakan, yang kemudian dicatat dan diumumkan oleh komisi banding. Pemeriksaan dilakukan paling lama satu bulan sejak penerimaan permohonan banding, kemudian keputusan akan keluar paling lama sembilan bulan setelahnya. Keputusan dapat berupa penolakan, dalam hal ini dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, paling lama diajukan selama tiga bulan sejak diterimanya keputusan penolakan tersebut Disisi lain bagi
pemohon yang permohonannya diterima, sertifikat paten menjadi bukti pemilikan hak paten dan mulai berlaku saat diberikannya sertifikat paten dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan Prosedur
permohonan
paten
di
Indonesia
memang
cenderung membutuhkan waktu lama jika dibandingkan dengan Negara lain. Selain itu untuk mendapatkan sertifikat paten dibutuhkan biaya yang sangat besar. Berikut adalah tabel biaya pengajuan permohonan paten biasa77. Tabel 3 Biaya Pengajuan Permohonan Paten Biasa
NO
BIAYA
POKOK (RP)
PER KLAIM TOTAL (RP) (RP)
1
Pendaftaran
575,000
-
575,000
2
Pemeriksaan Substantif
2,000,000
-
2,000,000
3
Penerbitan Sertifikat
250,000
-
250,000
4
Pemeliharaan Th 1
700, 000
50, 000
1, 200, 000
5
Pemeliharaan Th 2
700, 000
50, 000
1, 200, 000
77
Ins7an Budi Maulana dkk, Op cit.
6
Pemeliharaan Th 3
700, 000
50, 000
1, 200, 000
7
Pemeliharaan Th 4
1, 000, 000
100, 000
2, 000, 000
8
Pemeliharaan Th 5
1, 000, 000
100, 000
2, 000, 000
9
Pemeliharaan Th 6
2, 000, 000
200, 000
4, 000, 000
10
Pemeliharaan Th 7
2, 000, 000
200, 000
4, 000, 000
11
Pemeliharaan Th 8
2, 500, 000
250, 000
5, 000, 000
12
Pemeliharaan Th 9
3, 300, 000
250, 000
5, 800, 000
13
Pemeliharaan Th 10
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
14
Pemeliharaan Th 11
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
15
Pemeliharaan Th 12
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
16
Pemeliharaan Th 13
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
17
Pemeliharaan Th 14
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
18
Pemeliharaan Th 15
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
19
Pemeliharaan Th 16
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
20
Pemeliharaan Th 17
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
21
Pemeliharaan Th 18
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
22
Pemeliharaan Th 19
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
23
Pemeliharaan Th 20
5, 000, 000
250, 000
7, 500, 000
Total Seluruh Biaya
111,725,000
Demikian halnya dengan prosedur pendaftaran perlindungan varietas
tanaman
yang
membutuhkan
waktu
lama.
Prosedur
pendaftaran perlindungan varietas tanaman juga dimulai dengan adanya permohonan kepada Kantor PVT. Permohonan dilakukan dengan bahasa Indonesia dengan membayar sejumlah biaya yang besarannya ditetapkan oleh menteri, dimana surat permohonannya harus memuat: 1. tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan; 2. nama dan alamat lengkap pemohon; 3. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan pemulia serta nama ahli waris yang ditunjuk; 4. nama varietas; 5. deskripsi varietas yang mencakup asal-usul atau silsilah, ciriciri morfologi, dan sifat-sifat penting lainnya; 6. gambar dan/atau foto yang disebut dalam deskripsi, yang diperlukan untuk memperjelas deskripsinya78. Diskripsi
varietas
transgenik
harus
mencakup
uraian
penjelasan tentang: 1. molekular varietas yang bersangkutan; 78
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomer 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
2. stabilitas genetik sifat yang diusulkan; 3. sistem reproduksi tetuanya; 4. keberadaan kerabat liarnya; 5. kandungan
senyawa
yang
dapat
mengganggu
lingkungan,
manusia, serta cara pemusnahannya jika terjadi penyimpangan; 6. Surat pernyataan aman bagi lingkungan dan manusia dari instansi yang terkait. Permohonan dengan hak prioritas juga harus memenuhi persyaratan diatas dengan disertai salinan surat permohonan PVT yang pertama kali dan disahkan oleh yang berwenang di Negara tersebut paling lambat tiga bulan, salinan sah dokumen permohonan hak PVT yang pertama di luar negeri, dilengkapi salinan sah penolakan hak PVT bila permohonan tersebut pernah ditolak. Permohonan dengan hak prioritas ini diajukan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerimaan pengajuan permohonan hak PVT pertama kali diluar Indonesia. Permohonan dapat diajukan oleh pemulia, orang atau badan hukum yang memperkerjakan atau memesan varietas dari pemulia, maupun ahli warisnya (disertai dokumen bukti ahli waris), konsultan PVT yang terdaftar di kantor PVT). Bagi pemohon yang tidak berdomisili atau tidak bertempat tinggal tetap di Indonesia harus mengajukan permohonannya dengan diwakili oleh konsultan PVT ini.
Permohonan dianggap diajukan pada tanggal kantor PVT menerima permohonan dengan kelengkapan syaratnya serta telah membayar biaya yang ditetapkan. Tanggal ini dicatat dalam daftar umum PVT dimana
pencatatan
ini
juga
mencakup
tentang
permohonan,
pemeriksaan, pemberian hak, penolakan hak, pengalihan hak, peralihan hak, lisensi, Lisensi Wajib, berakhirnya jangka waktu, pembatalan, dan pencabutan dengan mencantumkan saat atau waktu penerimaan surat permintaan tersebut79. Kantor PVT akan meminta pemohon untuk memenuhi kekurangan persyaratan jika ditemukan adanya kekurangan dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan adalah tiga bulan sejak tanggal pengiriman permohonana pemenuhan kekuarangan dan dapat diperpanjang paling lama tiga bulan atas permintaan pemohon, dalam hal ini maka tanggal penerimaan adalah tanggal pemenuhan kekurangan tersebut. Disisi lain jika dalam jangka waktu
yang
kekurangannya,
ditentukan maka
tersebut
pemohon
permohonan
dianggap
tidak ditarik
memenuhi kembali.
Permohonan atas penemuan yang sama pada waktu yang sama akan berlaku ketentuan seperti paten. Baik paten maupun PVT memberikan ketentuan bahwa suatu permohonan atas penemuan yang memiliki persamaan dan 79
Penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomer 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
diajukan pada waktu yang bersamaan harus diselesaikan secara musyawarah,
keduanya
harus
saling
berkonsultasi
sehingga
mengasilkan keputusan namun jika tidak dihasilkan keputusan maka tidak satupun dari permohonan yang akan diterima. Penolakan juga terjadi jika dalam jangka waktu lebih dari enam bulan sejak tanggal pengiriman surat para pemohon belum memberikan keputusannya. Selain itu dalam PVT-pun pemohon diberikan kesempatan untuk merubah
permohon
sebelum
ataupun
selama
proses
proses
pemeriksaan yang berupa penambahan ataupun pengurangan uraian tentang penjelasan varietas yang dimohonkan hak PVT. Pemohon dapat pula menarik kembali permohonan dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kantor PVT. Permohonan yang tidak ditarik kembali akan diperiksa dan diberikan keputusan. Keputusan dikeluarkan paling lambat enam bulan sejak tanggal penerimaan permohonan sedangkan permohonan dengan hak prioritas 12 (dua belas) bulan setelah tanggal penerimaan permohonan dengan hak prioritas. Pengumuman atas keputusan pemeriksaan berlangsung selama enam bulan dalam berita resmi PVT dan pada papan pengumuman Kantor PVT. Pengumuman ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang varietas yang dimohonkan sehingga setiap orang ataupun badan hukum dapat mengajukan keberatan.
Keberatan diajukan secara tertulis dan ditujukan kepada Kantor PVT disertai dengan alasan keberatan dalam jangka waktu enam bulan. Keberatan akan diberitahukan kepada pemohon sehingga pemohon dapat memberikan sanggahan yang digunakan sebagai pertimbangan bagi Kantor PVT untuk memutuskan permohonan PVT tersebut.
Setelah
permohonan
diumumkan,
Kantor
PVT
akan
melanjutkan dengan pemeriksaan substantif. Pemeriksaan substantif akan dilaksanakan berdasarkan pada permohonan dari pemohon, apabila pemohon tidak mengajukan permohonan dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan sejak masa pengumuman berakhir maka permohonan dianggap ditarik kembali. Pemeriksaan substantif meliputi
persyaratan kebaharuan,
keunikan,
keseragaman, dan
kestabilan dari varietas yang dimohonkan. Kemungkinan dapat terjadi bahwa pihak Kantor PVT tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan ini karena pemeriksaan dibutuhkan suatu keahlian yang khusus, sehingga Kantor PVT dapat meminta bantuan seorang ahli untuk melakukan pemeriksaan. Ahli yang diperbantukan wajib menjaga kerahasiaan varietas yang dimohonkan tersebut. Kantor PVT dengan mempertimbangkan pada pemeriksaan tersebut akan memberikan keputusan atas permohonan hak PVT. Keputusan dapat berupa memberikan ataupun menolak permohonan. Keputusan harus diambil dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan sejak diajukannya permohonan pemeriksaan.
Dimungkinkan
dalam
pemeriksaan
tersebut
ditemukan
adanya
kekurangan, dalam hal ini kekurangan tersebut akan diberitahukan kepada pemohon, agar pemohon dapat memenuhi kekurangan yang dimaksud seperti asal-usul silsilah kurang jelas, diskripsi yang kurang jelas atau kurang sesuai, atau gambar yang kurang mendukung. Disisi lain, bagi permohonan yang telah memenuhi persyaratan dan memenuhi ketentuan undang-undang akan diberikan sertifikat paten yang mulai berlaku sejak tanggal diumumkan dalam berita resmi Kantor PVT. Hak yang diumumkan akan dicatat dalam Dafar Umum, daftar umum juga mencatat tentang penolakan atas permohonan yang diajukan. Penolakan diberitahukan kepada pemohon secara tertulis kepada
pemohon.
Pemohon
dalam
hal
penolakan
ini
dapat
mengajukan banding ke Komisi Banding PVT dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan sejak surat pengiriman penolakan. Alasan banding tidak boleh berisi tentang alasan penyempurnaan permohonan hak PVT yang ditolak. Alasan permohonan banding dapat berupa alasan ataupun pertimbangan dalam pemeriksaan substantif (seperti alasan kebaharuan, keunikan, kestabilan, dan pemberian nama). Komisi banding akan memeriksa permohonan banding paling lambat tiga bulan
sejak
penerimaan
permohonan
banding
diajukan
dan
memberikan keputusan atas pemeriksaan. Keputusan banding adalah final sehingga tidak dapat diajukan peninjauan kembali, baik itu berupa
keputusan
penolakan
maupun
keputusan
yang
mengabulkan
permohonan banding. Banding yang dikabulkan akan membawa konsekuensi diberikannya sertifikat hak PVT kepada pemohon. Secara keseluruhan, prosedur permohonan PVT adalah sebagai berikut:
G Gambar 4 PRO OSEDUR PE ERMOHON NAN HAK PVT
8 Ba agan prosed dur permoh honan PVT80
8 80
http://ppvtt.setjen.dep ptan.go.id/, (diakses ta anggal 9 Ma aret 2010)
Sampai pada tahun 2010, telah banyak varietas hasil pemuliaan yang merupakan GMO’s terdaftar di Kantor PVT yang merupakan organisasi yang bertugas untuk mengelola perlindungan varietas tanaman81. Tahun 2009 kantor PVT telah mengeluarkan sebanyak 323 sertifikat kepada pemulia tanaman (daftar terlampir). B.
PERMASALAHAN DALAM PERLINDUNGAN GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO’S) DI INDONESIA Permasalahan terkait dengan pro kontra tentang GMO’s yang dihasilkan melalui bioteknologi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini. Mae-Wan Ho mengatakan rekayasa genetika telah gagal dalam semua aspek82, tidak terbatas pada aspek etika, kesehatan, tetapi juga aspek hukum. Setiap teknologi baru pasti akan membawa dampak dan efek samping tertentu, termasuk didalamnya bioteknologi. Kehadirannya memang membawa harapan baru untuk menyelesaikan berbagai persoalan dari krisis pangan sampai deteksi awal penyakit manusia sekaligus penyembuhannya. Disisi lain bioteknologi ini ternyata tersandung permasalahan etika dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa pematenan dan pengkomersialan makhluk hidup tidak sesuai dengan nilai-nilai etika yang mereka percayai. Hal ini
81 http://ppvt.setjen.deptan.go.id/ (diakses tanggal 9 Maret 2010) 82
Mae-Wan Ho, Op cit, Hlm xiii
membawa konsekuensi terhadap penerimaan hukum atas GMO’s dan bioteknologi. Hal ini dikarenakan pada dasarnya hukum itu merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hukum menilai kehidupan
masyarakat,
yaitu
dengan
menyatakan
apa
yang
dianggapnya baik dan yang tidak83. Bioteknologi dikendalikan oleh berbagai macam peraturan seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa untuk mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual, bioteknologi harus melewati berbagai macam uji lapangan untuk membuktikan bahwa ia tidak akan mengganggu lingkungan dan kesehatan, namun kemudian peraturan produk yang dimodifikasi secara genetika mulai dilonggarkan, dengan alasan bahwa terlalu banyak peraturan akan melemahkan daya saing industri tersebut dan bahwa ratusan uji coba lapangan menunjukkan kalau bioteknologi modern ini aman84. Pendapat tentang amannya bioteknologi tersebut kemudian mulai goyah karena ditemukannya bukti bahwa bioteknologi berpotensi menimbulkan virus-virus penyebab penyakit baru sebagaimana dikemukakan oleh Mae Wan Ho sebagai berikut: Masih ada temuan lain yang menunjukkan potensi bahaya timbulnya virus-virus penyebab penyakit baru melalui rekombinasi antara melalui rekombinasi antara vektor virus buatan atau vaksin transgenik dan virus lain di lingkungan. Virus-virus yang dicipakan dengan cara ini bisa memperluas 83
Satjipto Rahardjo. Op cit. Hlm 30. Mae Wan Ho. Op cit. Hlm 3-4.
84
dan menambah jenis inang, kemudian menimbulkan infeksi dan penyakit pada lebih dari satu spesies, sehingga sulit dimusnahkan85. Secara sederhana bioteknologi dapat menimbulkan jenis virus baru yang sukar untuk dimusnahkan, seperti cacar kera yang dulu merupakan virus yang menyerang golongan tikus terakhir ditemukan dapat berpindah dari satu manusia ke manusia, virus rabies baru yang menyebar ke binatang buas seperti singa dan macan tutul. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat dasar gen yang secara mudah berkembang biak, menyebar serta berekombinasi. Uji coba lapangan menunjukkan bahwa sifat tahan terhadap herbisida dari kentang transgenik dan kanola transgenik telah menyebar ke kerabat liar kedua tanaman itu hanya dalam waktu satu musim tanam; hal ini bisa menciptakan gulma super yang tahan herbisida86. Selain itu dalam proses bioteknologi, penyisipan gen asing ke dalam genom [totalitas materi genetik dari sebuah sel atau organisme] inang telah lama diketahui mempunyai dampak berbahaya termasuk bisa memicu kangker87. Kelemahan rekayasa genetik lain adalah bahwa semua organisme dan sel mempunyai mekanisme pertahanan alami yang membuat mereka mampu menghancurkan atau melumpuhkan gen asing, dan ketidakstabilan transgen merupakan masalah besar bagi
85
Ibid. Hlm 20. Ibid, Hlm 36. 87 Ibid, Hlm 52. 86
industri88. Rekayasa genetika juga menyumbang dampak negatif pada bidang kesehatan dan farmasi. Teknologi ini juga mengalihkan perhatian dan sumber daya dari peyebab penyakit yang sebenarnya, yaitu kemiskinan dan gizi buruk serta ketidaklayakan sanitasi, perumahan, dan air bersih. Berdasarkan ideologi reduksionis yang sama, industri kimia dan farmasi justru memproduksi bahan kimia dan obat yang menimbulkan pencemaran lingkungan dan efek samping fisiologis lebih besar daripada kondisi yang seharusnya disembuhkan89. Disisi
lain
komersialisasi
atas
GMO’s
dan
proses
bioteknologi telah berkembang dengan pesat tanpa memperhatikan dampak-dampak negatifnya. Sejak 1970an komersialisasi rekayasa genetik tumbuh dengan mantap90. Pemberian paten pertama kali dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1980 atas bioteknologi terhadap mikroorganisme. Komersialisasi atas bioteknologi ini diperlancar dengan didirikannya WTO yang mencakup TRIP’s Agreement. Sebagai suatu persetujuan yang menjadi landasan atas perlindungan hak kekayaan intelektual, TRIP’s agreement menjadi suatu jalur yang bebas hambatan bagi terlaksananya komersialisasi GMO’s. GMO’s merupakan suatu hasil dari intelektualitas manusia 88
Ibid, Hlm 53 Ibid, Hlm 67 Reduksionisme adalah doktrin bahwa sistem kompleks dapat dipahami secara penuh dalam konteks bagian-bagiannya yang paling sederhana. Sebagai contoh, suatu organism bias dipaami dengan penuh dari gennya, sebuah masyarakat dari individunya, dan seterusnya. 90 Ibid, Hlm 27. 89
yang dapat dilindungi oleh HKI, salah satunya adalah melalui sistem paten yang merupakan salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual yang terkuat diantara yang lainnya. Pemberian hak kekayaan intelektual dalam hal ini paten terhadap GMO’s, memang memberikan manfaat ekonomis kepada penemu teknologi, sekaligus kepada negaranya dengan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi negaranya. Paten akan mendorong terjadinya alih teknologi dari pemilik teknologi, namun pada biasanya alih teknologi ini dilakukan Negara-negara
maju
kepada
Negara-negara
berkembang.
Ketergantungan Negara berkembang atas teknologi Negara-negara maju mulai muncul, sehingga tercipta suatu kolonialisasi modern melalui suatu sistem dunia yang legal. Kolonialisasi dilakukan dengan menjadikan Negara-negara berkembang sebagi suatu pasar bagi penggunaan paten, Negara maju memaksa Negara-negara berkembang membayar royalti atas teknologi yang dialihkan melalui lisensi. Negara-negara maju tidak jarang juga memanfaatkan sumber daya dari negara-negara berkembang. Negara maju melakukan penelitian atas sumber daya yang ada di Negara berkembang kemudian setelah berhasil menemukan suatu penemuan yang menghasilkan suatu GMO’s “baru”, mereka mematenkannya dan mewajibkan Negara asal/masyarakat lokal yang memiliki sumber daya genetika tersebut untuk membayar royalti atas temuan mereka yang sudah lama dipakai atau diketahui oleh masyarakat lokal. Pembajakan
(biopiracy) atas sumber daya genetik sering terjadi pada negaranegara berkembang. Kasus Shiseido merupakan salah satu contoh biopiracy atas sumber daya genetika Indonesia, secara ringkas, gambaran atas kasus tersebut adalah sebagai berikut: Sejak tahun 1995, perusahaan kosmetik Shiseido dari jepang telah melakukan pembajakan hayati dengan mengajukan 51 permohonan paten tanaman obat dan rempah asli Indonesia. Secara diam-diam, perusahaan ini telah mendapatkan paten bagi tanaman obat dan rempah yang telah digunakan dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia secara turun temurun. Perusahaan kosmetik Jepang ini telah memiliki 9 paten. Secara rinci bahan tanaman yang telah mendapatkan paten adalah sebagai berikut: paten perawatan kepala bernomor registrasi JP 10316541 dengan subjek paten meliputi kayu rapet (Parameria laerigata), kemukus (Piper cubeba), tempuyung (Sonobus arvensis L), belantas (Pluchea indica L), mesoyi (Massoia aromatica Becc), pule (Alstonia scholaris), pulowaras (Alycia reindwartii Bl), sintok (Cinamomum sintoc BL). Selain itu, nama tanaman lain yang termasuk dalam subjek paten adalah kayu legi, kelabet, lempuyang, remujung, dan brotowali. Semua tanaman itu terbagi dalam 3 paten, yang kesemuanya merupakan bahan antipenuaan. Sementara untuk perawatan kulit, didaftarkan nama tanaman wolo (Borassus flabellifer), regulo (Abelmoschus moschatus), dan bunga cangkok (Schima wallichii), sedangkan ekstrak cabai jawa dari Piperaceae didaftarkan untuk paten tonik rambut91.
Perusahaan Shiseido selain mendaftarkan tanaman asli di lembaga paten Jepang juga mendaftarkannya pada lembaga paten Eropa untuk Negara Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia. Tindakan Perusahaan kosmetik Jepang ini memicu penolakan oleh rakyat Indonesia,
sehingga
akhirnya
salah
satu
Lembaga
Swadaya
91
Andriana Krisnawati & Gazalba Saleh. “Perlindungan Hukum Varietas
Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia”, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004, Hlm 89-90.
Masyarakat Indonesia menggugat Perusahaan Shiseido di Lembaga Peradilan Jepang.
Perusahaan Shiseido akhirnya membatalkan
permohonan paten atas tanaman rempah Indonesia, kecuali paten atas ramuan yang menggunakan bahan baku lempuyang untuk pemutih kulit, karena yang dipatenkan adalah proses pembuatannya (paten proses). Kasus Shiseido ini memberikan gambaran betapa lemahnya perlindungan atas sumber daya genetika yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Disisi lain pematenan atas pengetahuan lokal ini dapat membawa dampak yang serius terutama bagi Negara berkembang tersebut. Kasus pematenan tanaman nimba dari India mengakibatkan hilangnya mata pencaharian masyarakat asli. Biji tanaman nimba mengandung zat anti serangga dan berkhasiat sebagai obat sudah dimanfaatkan selama berabad-abad dari masyarakat lokal dan menjadi tumpuan sistem kesehatan di India. Segera setelah manfaat itu “ditemukan” dan dipatenkan oleh perusahaan AS, W R Grace, nimba menjadi komoditi langka. Dalam jangka waktu dua tahun harga pasar menjadi 100 kali lipat dan tidak terjangkau kebanyakan orang. Dengan demikian seluruh sistem kesehatan Negara itu terganggu92.
92
Mae-Wan Ho, Op cit, Hlm 28.
Selain kasus shiseido dan kasus nimba, masih banyak kasus lain yang terjadi berhubungan dengan biopiracy yang merugikan Negara-negara berkembang. Fenomena yang terjadi ini merupakan akibat dari adanya perbedaan-perbedaan yang ada antara Negara maju dengan Negara berkembang, antara lain: 1. sistem nilai yang dianut oleh masyarakat lokal sekaligus Negaranegara berkembang dengan sistem HKI. Perbedaan ini belum mampu untuk diatasi oleh Negara berkembang. Keadaan ini diperparah
dengan
memanfaatkan
kehadiran
kelemahan
Negara-negara
ini,
sehingga
maju
yang
Negara-negara
berkembang menjadi pihak yang dirugikan. 2. perbedaan kepentingan antara Negara maju dengan Negara berkembang.
Negara
maju
sangat
mendorong
diberikannya
perlindungan atas varietas tanaman melalui Paten, karena dilatar belakangi oleh kemajuan teknologi dan kegiatan penelitian dan pengembangan yang mereka miliki sehingga dapat memanfaatkan sumber daya genetika yang lebih banyak dimiliki oleh Negaranegara berkembang yang ironisnya tidak cukup memiliki teknologi dan modal. Semestinya terdapat penyelesaian atas permasalahan ini sehingga Negara berkembang juga mampu merasakan manfaat dari adanya sistem HKI yang ditujukan untuk memberikan perlindungan
atas kreativitas manusia sekaligus meningkatkan perekonomian Negara melalui aspek ekonomisnya. . C.
MENGATASI
PERMASALAHAN
PERLINDUNGAN
GENETICALLY MODIFIED ORGANISM (GMO’S) DI INDONESIA Pada sub bab diatas telah disebutkan adanya permasalahan lingkungan
dan
kesehatan
terkait
dengan
pemanfaatan
dan
pengunaan GMO’s yang lebih dikenal dengan biosafety issues sekaligus permasalahan komersialisasi atas GMO’s yang dalam penerapannya membawa dampak yang serius, terutama bagi Negaranegara berkembang. Disisi lain sangat sulit untuk memisahkan kedua hak kekayaan intelektual tersebut dengan prinsip-prinsip kesehatan, karena seringkali hasil invensi pada GMO’s yang dilindungi dengan paten dan perlindungan varietas tanaman mengandung dampak negatif
termasuk
didalamnya
yang
berhubungan
dengan
isu
kesehatan. Sehubungan dengan hal tersebut masyarakat internasional telah berusaha untuk menyeimbangkan antara prinsip komersialisasi dengan
isu-isu
lainnya
Organisasi-organisasi
termasuk
internasional
kesehatan seperti
dan
WTO
lingkungan.
(World
Trade
Organization), telah membuat suatu peraturan yang berhubungan dengan isu kesehatan dan lingkungan, termasuk didalamnya dampakdampak negatif dari produk-produk GMO’s. Dua negosiasi yang
berhubungan dengan isu ini adalah Committee Sanitary and Phytosanitary Measures dan The Technical Barriers to Trade (TBT) Persetujuan Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) ditujukan kepada tindakan-tindakan yang digunakan oleh pemerintah untuk menjamin keamanan pangan dari zat-zat yang berbahaya. Veena Jha berpendapat sebagai berikut: The agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) addresses a variety of measures used by government to ensure that human and animal food is safe from contaminants, toxins, disease-causing organism and additives. It also provides measures to protect human health from pests or diseases carried by plant and animals93. Agreement ini mengharapkan agar setiap tindakan yang digunakan oleh pemerintah harus sesuai dengan standar petunjuk, dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional yang terkait termasuk Codex Alimentarius Commission, International Office of Epizootics dan organisasi-organisasi internasional dan regional yang beroperasi di bawah standar International Plant Protections Convention yang mempunyai tujuan untuk mengubah tingkat perlindungan manusia, hewan, tanaman, ataupun kesehatan. Codex Aliemantarius mempunyai dua fungsi yaitu melindungi kesehatan konsumen dan menjamin terciptanya perdagangan pangan yang aman. Berdasarkan pada hasil laporan dan evaluasi Codex 93
Jha, Veena, “Environmental Regulation and Food Safety: Studies of Protection and Protectionism”, Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts, 2005, Hlm 14
Alimantarius dan kerja standar makanan FAO dan WHO Food standards Work (FAO/WHO, 2002) dalam bukunya Joanne Scott, disebutkan bahwa: “Codex produces various kinds of standards: food safety standard relating to maximum levels of pesticides residues, additives, contaminants that can be present in food: standards in the form of guidelines on processes and procedures (relating for example to HACCP); commodity/product standards defining what constitutes a given commodity (for example “sardines”); and quality discriptors which often contain grading criteria”94. Sehubungan dengan isu kesehatan pada hewan, maka organisasi yang terkait adalah World Organization for Animal Health, yang lebih menitikberatkan perlindungan pada kesehatan hewan daripada pangan dan tanaman. Disisi lain perlindungan tanaman akan berada di bawah International Plant Potection Convention; International Plant Protection Convention (IPPC) concerned with preventing the spread and introduction of pests in plants and plant products, and to promote appropriate measures for their control95. Pada prakteknya dalam perlindungan makanan pemeritah harus menguji apakah zat-zat yang terkandung dalam makanan mempunyai resiko terhadap kesehatan ataupun kehidupan sebelum menerapkan tindakan keamanan pada makanan. Marsha Echols 94
Scott, Joanne, “The WTO Agreement on Sanitary and Phyosanitary Measures”, Oxford University Press, New York, 2007, hlm 246-247 95 Loc cit, 248
menyebutkan bahwa evaluasi pada resiko harus berdasarkan pada ilmu pengetahuan: “The evaluation of risk must be “based on science” and may not be maintained without “sufficient scientific evidence”96. Berdasarkan pada Pasal 3 Perjanjian SPS negara anggota dapat memperkenalkan atau memiliki tindakan-tindakan kesehatan pada manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang mempunyai standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar internasional jika dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Negara anggota lain harus menerima tindakan sanitari dan pitosanitary negara lain yang berbeda dan dianggap sebagai tindakan yang seimbang.
Pada
dasarnya tindakan pengamanan sanitari dan pitosanitari yang dilakukan oleh suatu negara dapat menimbulkan hambatan pada perdagangan pengujian
antar
negara,
kesehatan
untuk
dengan
menyeimbangkan
perdagangan
maka
tindakan
dibentuklah
persetujuan Technical Barriers to Trade (TBT). Tujuan dari TBT adalah untuk menjamin agar tindakan pengamanan yang dikeluarkan oleh suatu negara tidak menghambat perdagangan
internasional
sebagaimana
Veena
Jha
yang
menyatakan: 96
Echols, Marsha A, “Food Safety and The WTO: The Interplay of Culture, Science and Technology”, Kluwer Law International: Netherlands, 2001, Hlm 77.
“The Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) aims to
ensure
conformity
that
technical
assessment
regulations,
procedures
standards do
not
and
create
unnecessary obstacle to trade97. Perlu dicatat bahwa tidak ada satu negarapun yang dilarang untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjamin kualitas produk eksport, atau tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melindungi manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan pada tingkat yang sesuai selama tidak dilakukan untuk tujuan diskriminasi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan pada persetujuan ini maka diperlukan prinsip national treatment dan most favoured nation dalam
menerapkan
tindakan
pengamanan
ini.
Persetujuan
ini
menghendaki agar negara anggota memenuhi standar internasional kecuali jika standar internasional tersebut tidak efektif atau tidak sesuai untuk mencapai tujuan yang dimaksud, sebagai contoh karena adanya faktor iklim dan faktor geografis ataupun masalah teknologi yang mendasar. Negara lain diminta untuk menerima dan menganggap sebagai tindakan yang selevel tindakan pengamanan negara lain yang mempunyai standar yang berbeda dengan milik mereka selama mereka puas bahwa tindakan pengamanan ini memenuhi tujuan dari ketentuan mereka.
97
Op cit, hlm 14
Berdasarkan pada pasal 2 ayat (2) TBT, ketentuan teknikal tidak boleh lebih restriktif daripada yang dibutuhkan untuk memenuhi
tujuan
yang
ingin
dicapai
(yang
sah)
dengan
mempertimbangkan resiko yang akan timbul seandainya ketentuan tersebut tidak dipenuhi. Tujuan sah tersebut antara lain, persyaratan keamanan
nasional;
pencegahan
praktek
yang
menyesatkan;
perlindungan kesehatan atau keselamatan manusia, kehidupan atau kesehatan hewan atau tanaman, atau lingkungannya. Dalam mengkaji risiko semacam itu, elemen terkait yang perlu dipertimbangkan antara lain, tersedianya informasi ilmiah dan teknis, teknologi pemrosesan terkait atau kegunaan akhir yang dituju dari produk. Peraturan teknis tidak boleh dipertahankan, apabila keadaan atau tujuan yang menyebabkan ditetapkannya peraturan tersebut tidak ada lagi, atau apabila keadaan dan tujuan yang berubah tersebut dapat dicapai dengan cara yang kurang membatasi perdagangan. Berlaku ketentuan special and differential treatment bagi negara berkembang dalam ketentuan ini. Ketentuan ini sehubungan dengan hak dan kewajiban dari negara berkembang dengan mempertimbangkan
perkembangan
khusus,
perekonomian,
dan
kebutuhan perdagangan dari negara berkembang, meskipun terdapat standar internasional, namun negara berkembang tidak dapat diharuskan untuk memenuhi standar tersebut. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk mempertahankan teknologi asli, serta metode
produksi dan proses yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan mereka. Disisi lain, ketentuan ini juga mendorong adanya bantuan teknis yang diberikan kepada negara berkembang sehingga negara berkembang dapat menyesuaikan diri dengan standar internasional dan perdagangan internasional. Ketentuan ini dirasa membingungkan karena disatu pihak ketentuan ini mengakui adanya kekurangan negara
berkembang,
namun
disisi
lain
persetujuan
ini
juga
menghendaki agar negara berkembang agar mampu untuk menyamai standar internasional yang sangat sulit bagi negara berkembang untuk memenuhinya, bagaimanapun juga Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan isu terkait. Pada tahun 1999 Indonesia mengeluarkan Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Holtikultura. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menjamin keamanan dan kesehatan pangan dan varietas untuk kesehatan manusia, biologis dan lingkungan yang berhubungan dengan penggunaan GMO’s. Lingkup dari ketentuan ini meliputi jenis, kondisi, prosedur, hak dan kewajiban, pengawasan, dan pelaporan keamanan dan kesehatan pangan sehubungan dengan penggunaan GMO’s. Penggunaan produk-produk GMO’s baik itu dari dalam maupun dari luar negeri harus memenuhi standar kesehatan dan
keamanan serta agama, etika, sosial budaya dan estetika. Syaratsyarat pengkajiannya antara lain: 1. mencantumkan nama genus, spesies, dan galur; 2. mencantumkan metode modifikasi genetik yang digunakan dalam merekayasa; 3. vektor yang digunakan bukan merupakan organisme patogen, baik terhadap manusia maupun organisme lain, jika modifikasi genetik menggunakan vektor; 4. mencantumkan
keterangan
lengkap
sumber
gen
yang
digunakan dan metode pemusnahan sisa vektor; 5. upaya modifikasi genetik yang dilakukan tidak menimbulkan perubahan tingkah laku; 6. mencantumkan keterangan yang menyatakan bahwa perubahan sifat fenotipik unggul hasil rekayasa genetik tidak menimbulkan akibat samping yang tidak layak (misalnya bentuk fisik yang tidak proporsional); 7. mencantumkan keterangan mengenai kinerja reproduksi; 8. mencantumkan keterangan cara pemusnahan bila terjadi penyimpangan;
9. mencantumkan jenis pakan, kemampuan makan, dan cara makan (untuk hewan transgenik). Disamping memenuhi syarat diatas, GMO’s yang digunakan untuk bahan pangan dan pakan serta bahan baku industri harus disertai dengan keterangan mengenai hal sebagai berikut: a. stabilitas gen sisipan dan efikasi gen; b. kualitas gizi; c. kandungan senyawa beracun, antigizi, dan penyebab alergi yang bersifat alami atau hasil modifikasi; d. dipenuhi persyaratan kesepadanan substansial; e. secara umum dinilai aman untuk dikonsumsi; f. kemungkinan menyerbuki kerabat liar (pada tanaman transgenik); g. kemungkinan terjadinya ketahanan pada tanaman yang diserbuki terhadap organisme pengganggu tumbuhan, maupun herbisida (pada tanaman transgenik); h. penampilan, fungsi dan pengaruh dari modifikasi genetik; i.
perubahan ekosistem tanah, air, dan hayati yang mungkin terjadi (untuk hewan dan ikan transgenik). Prosedur pengujian keamanan pangan dan biologis dimulai
dengan pengajuan permohonan pengkajian keamanan hayati kepada pihak yang berwenang yang disertai dengan syarat-syarat sesuai dengan jenis GMO’s. Sesudah pihak yang berwenang menerima
permohonan, pihak yang berwenang akan meminta rekomendasi aspek teknis keamanan hayati dan pangan dari Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (KKHKP), rekomendasi yang diberikan akan didasarkan pada laporan yang diberikan oleh Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan. Setiap orang atau organisasi yang diberikan hak ataupun ijin untuk menggunakan GMO’s mempunyai hak untuk menjaga rahasia GMO’s yang berkaitan dengan aspek teknologi yang digunakan dan perdagangan. Disisi lain mereka juga mempunyai kewajiban untuk membuat laporan tahunan jika terjadi suatu kasus tertentu dan menimbulkan kerugian pada keamanan hayati dan kesehatan pangan. Berdasarkan pada undang-undang Nomer 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan yang mempunyai tujuan untuk mencegah masuknya hama dan penyakit hewan, hama, dan penyakit ikan, serta organism pengganggu tumbuhan ke wilayah Indonesia, ada kewajiban dari
negara asal maupun negara transit untuk melengkapi
sertifikat kesehatan bagi hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan yang masuk ke Indonesia. Selain itu undang-undang ini juga mengatur tentang tindakan karantina terhadap hewan, ikan, dan tumbuhan. Terhadap
varietas
baru
yang
memasuki
Indonesia
diberlakukan uji AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) sebelum
mereka memasuki area yang diatur dengan Undang-undang Nomer 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Peraturan
Pemerintah Nomer 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. GMO’s yang berasal dari luar harus melalui beberapa test uji tertentu yang dilakukan satu atau dua tahun, baik itu meliputi uji laboratorium maupun rumah kaca (bagi tanaman). Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat berpendapat sebagai berikut: “Proses pengujian ini seharusnya tidak dilakukan dalam waktu satu atau dua tahun saja, tapi perlu pengujian mendalam dalam jangka waktu lama (10-15) tahun seperti proses untuk pestisida baru di Negara-negara lain) untuk mengetahui segala aspek yang akan timbul dengan adanya introduksi teknologi baru ini. Selain itu juga harus dilakukan penelitian mengenai dampak lingkungan, sosial, budaya, dan aspek ekonomi bila akan mengadopsi teknologi baru tersebut. Bagi varietas baru yang akan masuk ke Indonesia ada suatu pengujian yang disebut AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) yang harus dijalani oleh varietas tersebut sebelum bisa diterima di Indonesia”.98 Berdasarkan pada pendapat diatas, maka diperlukan uji yang mendalam atas produk GMO’s untuk mengetahui segala aspek yang ditimbulkan oleh teknologi baru tersebut. Selain itu, juga diperlukan adanya penelitian tentang dampak lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi ketika mengadopsi teknologi baru tersebut. Bagi negara berkembang terdapat permasalahan tersendiri berkaitan dengan tindakan pengujian yang cukup terhadap GMO’s jika 98
http://www.idepfoundation.org/indonesia/download_files/GMO’S/GMO’S _Info_Manual_indo.pdf (diakses 5 Maret 2009)
dibandingkan dengan negara maju. Selain itu perbedaan tindakan pengujian antara negara maju dengan negara berkembang ini juga menimbulkan
permasalahan
tersendiri
terutama
dalam
hal
perdagangan di pasaran. Disisi lain produk-produk GMO’s yang telah ada di pasaran juga perlu untuk mendapatkan pengawasan dari pemerintah yang ditujukan untuk kepentingan dan perlindungan konsumen. Berdasarkan pada hal tersebut, maka harus terdapat pengaturan dan institusi yang mengatur dan berwenang terhadap sirkulasi produk-produk GMO’s di pasaran. Peraturan Pemerintah Nomer 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk GMO’s tidak mengatur secara jelas siapa yang berwenang untuk mengatur GMO’s. Sejauh ini pemerintah melakukan pendekatan terintegrasi antarsektoral berdasarkan pada analisa resiko. “Instansi yang mungkin terlibat antara lain Departemen Pertanian, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Departemen Perdagangan. Instansiinstansi tersebut memiliki peran dan kewenangan sesuai tugas pokoknya dalam pelaksanaan ruang lingkup kegiatan sebagai berikut: a. perumusan standar, kriteria, dan prosedur pengawasan mutu dan keamanan PRG; b. pemberian pembinaan dan bimbingan c. pelaksanaan pengendalian dan pemantauan mutu dan keamanan PRG pada tingkat kelayakannya; d. penegakan hukum (law enforcement)99 .
99
http://karantina.deptan.go.id/dok/GMO’S.pdf, (diakses 20 Maret 2009)
Berdasarkan pada pendapat diatas, maka sektor-sektor yang berkaitan dengan menejemen GMO’s antara lain Departemen Pertanian, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Perdagangan, dan Kementrian Lingkungan Hidup. Keempat instansi tersebut memiliki kewenangan untuk menentukan standar, kriteria, kontrol kualitas, prosedur, dan keamanan, menejemen dan panduan, keamanan GMO’s pada tingkat yang diperlukan, dan juga penegakan hukum. Selain itu, terdapat Undang-undang Nomer 8 tahun 1999 tentang
Badan
Perlindungan
Konsumen
Nasional/BPKN
yang
mempunyai kewajiban untuk melakukan penelitian pada makanan dan/ ataupun jasa sehubungan dengan perlindungan konsumen. Fungsi dari badan ini ialah untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah berkaitan dengan peningkatan perlindungan konsumen di Indonesia, termasuk didalamnya perlindungan terhadap konsumen yang berkaitan dengan penggunaan produk-produk GMO’s, apakah produk tersebut aman ataukan tidak. Badan
lain
ialah
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan/BPOM, merupakan salah satu komisi pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol obat-obatan dan makanan di pasaran. Tujuan dari badan ini adalah untuk melindungi masyarakat
dari obat-obatan dan makanan yang tidak sehat.
Endang Pujiwati
menjelaskan sebagai berikut: “mereka diberi kewenangan untuk melakukan proses pro justitia. Proses tersebut dikatakan dia bisa saja dilakukan karena kewenangan BPOM untuk melakukan penyidikan. Bahkan dikatakan dia, fungsi tugas mereka tidak jauh berbeda dengan kepolisian. Namun kewenangan mereka sebatas lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukum mereka seperti Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Pangan, serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen. “Sejauh ini kita menggunakan Undang-Undang Kesehatan, dimana tindakan dilakukan secara bertahap”.100 Berdasarkan pada pendapat diatas, BPOM mempunyai kewenangan
proses
pro
justisia,
karena
mereka
mempunyai
kewenangan untuk melakukan investigasi, selain itu, fungsi mereka tidak terlalu berbeda dengan polisi, namun mereka hanya mempunyai kewenangan di bidang Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Pangan, dan Undang-undang Perlindungan Konsumen. “Kriteria produk yang diawasi adalah yang beresiko tinggi, manyangkut hajat rakyat banyak, product range tinggi, volume sangat besar dan beredar lintas propinsi/Negara serta mempunyai “economic size” minimal Rp 200 trilyun. Produk yang memenuhi kriteria tersebut antara lain obat, produk biologi, narkotika dan psikotropika, obat tradisonal, makanan dan minuman, suplemen makanan, kosmetika, zat adiktif/rokok serta bahan berbahaya”101.
100
http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=127648 , (diakses 20 Maret 2009). 101 pkditjenpdn.depdag.go.id/download/index.php?Malaysia.pdf. (diakses pada 20 Maret 2009)
Berdasarkan pada pendapat diatas, maka dapat dikatakan objek pengawasan badan ini ialah produk yang mempunyai resiko dan volume yang besar dengan tingkat peredaran yang luas. Perlu dicatat bahwa beberapa produk GMO’s digunakan dalam penelitian dibidang biologi dan kesehatan, produksi obat-obatan, obat-obatan percobaan, dan pertanian, maka BPOM mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap sirkulasi produk GMO’s yang berkaitan dengan pangan dan obat-obatan. Permasalahannya ialah bahwa badan ini tidak mempunyai sumber dan peralatan yang mencukupi selain itu badan ini juga tidak memiliki keuangan yang mencukupi sehingga menghambat tugas dan fungsi mereka. Permasalahan lainnya adalah Indonesia tidak mempunyai suatu badan yang khusus tersendiri yang mengatur dan melakukan pengawasan terhadap GMO’s, hal ini berbeda dengan negara maju yang biasanya mempunyai suatu badan khusus yang melakukan pengawasan dan mengatur GMO’s. Dalam hal ini pemerintah perlu untuk membentuk suatu badan yang khusus untuk mengawasi sirkulasi GMO’s di pasaran, badan ini bisa menjadi sub dari badan BPOM maupun badan yang independent. Selain pengawasan terhadap sirkulasi GMO’s di pasaran, pemerintah juga perlu melalukan pengawasan dan perlindungan terhadap pengetahuan lokal serta sumber daya genetik lokal. Pengawasan harus dilakukan dengan sistem insentif. Hal ini diperlukan untuk mencegah pihak asing untuk melakukan biopiracy atas kekayaan
hayati yang telah lama digunakan oleh masyarakat lokal di Indonesia, disisi lain juga membuka peluang yang besar kepada para investor asing maupun domestik untuk mengolah dan memanfaatkan secara optimal sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional tersebut untuk kepentingan umat manusia melalui kerja sama dan pendirian usaha patungan102. Lebih
lanjut
lagi
pemerintah
perlu
untuk
mengadministrasikan kekayaan hayati pada suatu database yang khusus. Selain daripada itu, pemerintah juga perlu untuk menerapkan Pasal
15
Convention
on
Biological
Diversity
(Konvensi
Keanekaragaman Hayati) yang menganjurkan diadakannya equitable sharing. Konvensi ini muncul sebagi bentuk kekhawatiran atas berkurangnya keanekaragaman hayati yang telah dipergunakan manusia. Kerusakan lingkungan alam terutama disebabkan akses yang tidak terbatas kepadanya karena didasarkan pemikiran bahwa lingkungan adalah res communis/common properly, sehingga setiap orang berhak memanfaatkannya sementara lingkungan itu sendiri daya dukungnya terbatas yang menyebabkan lingkungan rusak berat. Kondisi ini diperparah dengan makin bertambahnya populasi yang berhak mengakses lingkungan secara bebas dari tahun ke tahun103. 102
Tomi Suryo Utomo, “Kepemilikan dan benefit sharing terhadap Komersialisasi Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional, dan Folklore (DRTFK) dalam Sistem Hukum Indonesia”, http://www.dgip.go.id/ebscript/publicportal.cgi?.ucid=374&ctid=22&type=0 (diakses tanggal 12 Maret 2010) 103 Garret Hardin dalam bukunya Efridani Lubis, “Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Penerapan Konsep
Dilain pihak Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang No 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Konvensi ini perlu untuk diratifikasi agar terdapat suatu regulasi yang dapat digunakan untuk membatasi akses eksploitasi terhadap sumber daya hayati yang ada di Indonesia oleh siapapun termasuk oleh pihak asing dan juga untuk melaksanakan konservasi alam. Konvensi ini pada dasarnya memiliki perbedaan prinsip dengan UPOV maupun Food and Agriculture Organization yang berada di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). CBD mengakui adanya benefit sharing yang timbul atas penggunaan sumber daya genetik dengan Negara asal (country of origin). Disisi lain, pada awalnya baik UPOV maupun FAO tidak mengakui adanya suatu kewajiban untuk melakukan benefit sharing bagi pengakses sumber daya genetika terhadap Negara asal, karena keduanya berpendapat bahwa sumber daya genetika merupakan suatu Common Heritage of a Mankind (warisan bersama umat manusia)104,
Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual”, Bandung: PT Alumni, 2009, Hlm 90. Res communis adalah suatu doktrin yang menyatakan bahwa suatu daerah tidak dapat dimiliki oleh setiap orang namun pemanfaatannya dimiliki oleh semua, secara bersama. 104 Common Heritage of Mankind ditemukan dalam UNCLOS (United Nation Convention Law of The Sea) yang merupakan konvensi internasional tentang kelautan. Sebelumnya konsep ini diusulkan oleh Oscar Schachter pada tahun 1952 dalam pembahasan sumber daya bulan. Common Heritage of Mankind menentukan bahwa suatu benda
dengan digunakannya konsep ini maka sumber daya genetika dianggap sebagai benda yang dapat diakses secara bebas tanpa perlu untuk diatur, sehingga tidak diperlukan ijin dan benefit sharing dari/dengan
masyarakat
adat
yang
sumber
daya
genetikanya
dimanfaatkan. Pada akhirnya konsep ini menimbulkan pertentangan antara Negara maju dengan Negara berkembang. Pertentangan
antara
negara
maju
dengan
negara
berkembang dilatar belakangi oleh kesadaran negara berkembang tentang penggunaan konsep Common Heritage of Mankind terhadap sumber daya genetika akan mengakibatkan negara maju bebas untuk memiliki dan mengambil gen secara mudah, sehingga muncullah kolonialisasi negara maju terhadap negara berkembang dalam bentuk lain. Selanjutnya pada tahun 1989 untuk mengatasi pertentangan tersebut diadakanlah konferensi International Undertaking yang dituangkan dalam dokumen resmi FAO :Resolution 4/89, twenty-fifth
yang termasuk kedalam kulifikasi Common Heritage of Mankind tidak dapat didominasi oleh suatu Negara ataupun oleh siapapun, karena ia merupakan common property. Rana dalam bukunya Efridani Lubis memberikan lima riteria agar suatu daerah dapat disebut sebagai common heritage of mankind, yaitu: (1) bukan wilayah yang dapat dimiliki, (2) pengelolaannya dibagi semua negara, (3) keuntungan atas eksploitasi sumber daya harus dibagi, (4) wilayah tersebut ditujukan untuk perdamaian, (5) wilayah tersebut harus dipelihara untuk masa mendatang. Undang-undang Nomer 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law of The sea, dalam penjelasannya menyebutkan bahwa kawasan dasar laut internasional yang merupakan dasar laut yang berada di luar landas kontinen dan berada di bawah laut lepas merupakan salah satu wilayah yang merupakan common Heritage of Mankind. Selain itu UNCLOS juga mengkualifikasikan high sea (laut bebas) dan sumber daya didalamnya sebagai common heritage of mankind.
Session of the FAO Conference-Rome Agreed Interpretation of the International Undertaking The Conference. Pada intinya International Undertaking tetap mengakui sumber daya genetika tanaman sebagai Common Heritage of Mankind dan pengakuan terhadap paten atas varietas, disisi lain negara diberikan hak untuk memberikan batasan akses sumber daya genetika secara minimum sesuai dengan kewajiban nasional dan internasionalnya. Disisi lain resolusi ini mengakui kontribusi petani atas pengembangan sumber daya genetika sekaligus mengakui national sovereignity sehingga negara asal mempunyai kepemilikan secara hukum atas sumber daya genetika yang ditemukan diwilayahnya. Diakuinya konsep national sovereignity ini memungkinkan negara asal untuk memberikan pengawasan penggunaan dan pengambilan sumber daya genetika yang ada diwilayahnya. Hamilton dalam bukunya Efridani Lubis menyebutkan bahwa pada tahun 1991 diadakan konferensi FAO yang mengesahkan Lampiran ketiga yang berisi tentang: a) bahwa bangsa-bangsa memiliki sovereign right atas sumber daya genetika didalamnya; b) bahwa galur pemulia dan pemuliaan yang dilakukan petani hanya dapat digunakan dengan izin dari pengembangnya selama masa pengembangan; c) bahwa farmers’ right akan diimplementasikan melalui dana internasional yang akan mendukung pelestarian gen tanaman dan program pemanfaatan, khususnya di Negara berkembang. FAO mengartikan farmers’ rights merujuk pada keinginan mengakui domistikasi petani atas tanaman yang
dilakukan selama ribuan tahun yang membentuk tanaman dan varietas tanaman pangan sekarang ini. d) Bahwa pelestarian efektif dan pemanfaatan berkelanjutan akan SDG [Sumber Daya Genetika] tanaman merupakan kebutuhan mendesak dan permanen, karenanya sumber daya ini harus bersifat substantif, berkelanjutan dan didasarkan pada prinsip kesetaraan dan transparasi bagi dana internasional serta mekanisme pendanaan lainnya. e) Bahwa melalui Komisi SDG tanaman, pendonor SDG, pemberi biaya dan teknologi akan menentukan dan mengawasi kebijakan, program, dan prioritas dari pendanaan dan mekanisme pendanaan lainnya, dari saran lembaga yang sesuai105. Selanjutnya pada tahun 2001 International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) disetujui 13 negara termasuk USA106. Perjanjian ini secara implisit mengakui adanya pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetika secara adil. Lampiran diatas menunjukkan bahwa konvensi ini sudah selaras dengan CBD yang menghendaki adanya pelestarian sumber daya hayati. Berdasarkan pada hal diatas, maka terjadi pergeseran konsep common heritage of mankind menjadi konsep national sovereignty atas sumber daya genetika. Pergeseran konsep ini membawa dampak positif terhadap hubungan antara negara maju dengan negara berkembang menyangkut status sumber daya genetika. Diakuinya konsep national sovereignty atas sumber daya genetika menjadikan negara berkembang yang biasanya merupakan 105 106
Efridani Lubis, Loc Cit, Hlm 100-101 Ibid
negara asal diakui sebagai pemilik sumber daya genetika yang ada di wilayah teritorialnya. Konsekuensi lainnya adalah bahwa terhadap sumber daya genetika yang berada di wilayah hukum negara asal, pihak lain yang ingin memanfaatkan sumber daya genetika tersebut harus
mendapatkan
ijin
(inform
consent)
dari
negara
yang
bersangkutan disamping itu terdapat pula kewajiban pembagian keuntungan yang adil (equitable sharing) antara kedua negara. Berdasarkan pada hal diatas, maka sumber daya genetika yang berada di wilayah Indonesia merupakan milik dari negara Indonesia. Pemanfaatan ataupun akses terhadap sumber daya genetika di Indonesia oleh pihak lain harus mendapatkan izin dari pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah sumber daya genetika berasal). Konsep national sovereignty sekaligus konsep inform consent ini juga berlaku terhadap sumber daya genetika yang ada di Indonesia terlebih karena Indonesia telah meratifikasi CBD melalui Undangundang Nomer 5 tahun 1994. Undang-undang
Nomer
5
tahun
1994
dalam
pertimbangannya menyebutkan adanya kesanggupan negara-negara maju untuk menyediakan sumber dana tambahan dan dana baru serta kemudahan akses untuk memperoleh alih teknologi bagi kebutuhan negara berkembang dan memperhatikan kondisi khusus negara terbelakang serta negara berkepulauan kecil. Berdasarkan pada hal
tersebut, maka diharapkan terjadinya pembagian keuntungan yang adil antara negara maju dengan masyarakat lokal dari pemanfaatan materi genetik. Pemanfaatan materi genetik dapat dilaksanakan asalkan telah mendapatkan ijin ataupun melaui kerjasama secara sukarela. Kontrak pembagian keuntungan (benefit sharing) bisa dalam bentuk biopartnership atau dalam bentuk lain tergantung pada bentuk yang diinginkan oleh negara sepanjang kontrak tersebut dapat ditegakkan serta mempunyai kekuatan mengikat dan adil107. Berdasarkan pada hal tersebut, maka masyarakat lokal mempunyai hak untuk memberikan izin atau menolak kerjasama pemanfaatan materi genetik. Prosedur perijinan ini merupakan salah satu wujud implementasi etika dan moral dalam hukum. Moral dalam hukum diperlukan agar hukum tetap berjiwa, tidak hampa ataupun kosong. “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?)108Hukum tanpa moral tidak akan berarti, ditambah lagi kualitas suatu hukum akan selalu diukur melalui moral yang menjiwainya. 107
Nurul Barizah, “Kebijakan di Tingkat Nasional dan Internasional, Upaya Perlindungan HKI yang Terkait dengan Pendayagunaan Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan”, dalam Buletin Media HKI, Vol. VI/No.3/Juni 2009. Hlm 13. 108 “Problematika nilai, moral, dan hukum dalam masyarakat.” http://hanstoe.wordpress.com/2009/02/21/problematika-nilai-moral-danhukum-dalam-masyarakat/ (diakses tanggal 11 Maret 2010).
Disisi lain muncul suatu permasalahan baru mengenai cara pembagian keuntungan dari sumber daya genetika yang dieksploitasi. Sebagian berpendapat bahwa solusi benefit sharing hanya bersifat aspiratif saja, dan sulit untuk direalisasikan. Berdasarkan pada hal tersebut, maka dalam pelaksanaan distribusi maupun pemanfaatan sumber daya genetika harus melibatkan beberapa pihak yang berkaitan. Pihak-pihak tersebut antara lain Negara yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas, lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai pengawas sekaligus pelaksana yang terlibat langsung
bersama
dengan
masyarakat
adat.
Pengawasan
ini
dimaksudkan agar pelaksanaan pemanfaatan sumber daya genetika tersebut dapat dijalankan secara adil, sehingga menghindarkan terjadinya “kolonialisasi” oleh negara maju terhadap negara asal. Disisi lain, Indonesia memang beluum mempunyai pengalaman dalam menerapkan konsep benefit sharing. Agus Sarjono memberikan solusi untuk dapat melihat sistem benefit sharing yang dikembangkan oleh UNEP. Langkah utama yang harus ditempuh melalui sistem yang dikembangkan oleh UNEP adalah dengan membangun capacity building
(kemampuan
nasional).
Hal
utama
sebagai
prasyarat
(prerequsite) dalam membangun kemampuan nasional itu adalah adanya kepedulian (awareness) dari semua komponen bangsa, mulai dari Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, sampai ke masyarakat
lokal109.
Pada dasarnya pemerintah telah memberikan perhatian
terkait dengan hal ini, terbukti dengan diratifikasinya CBD melalui Undang-undang No 5 tahun 1994 diatas. Pemerintah hanya perlu menjalankan amanat yang ada di dalam Undang-undang tersebut seperti
bekerja
sama
dengan
masyarakat
internasional,
mengidentifikasi dan membuat database sumber daya hayati yang ada di
Indonesia,
mengawasi
dan
mengontrol
penggunaan
dan
pemanfaatan sumber daya hayati dan sebagainya. Selanjutnya
pemerintah
perlu
untuk
membuat
suatu
peraturan yang mengatur benefit sharing yang memuat ketentuan tentang prior inform consent, peran dan tanggung jawab para pihak yang bersangkutan dalam pemanfaatan sumber daya hayati, aspek yang relevan berkenaan dengan in-situ dan ex-situ conservation and sustainable use, mekanisme benefit sharing, ketentuan tentang penghargaan, pelestarian, pengetahuan, inovasi dan praktek-praktek yang selama ini dilakukan oleh masyarakat lokal.110 Ketentuan hukum ini akan berfungsi sebagai alat pengubah keadaan sosial masyarakat (agent of change) Agent of change menempatkan hukum sebagai pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan 109
Agus Sardjono, “Hak Kekayaan Intelektual dan Pegetahuan Tradisional”, PT Alumni: Bandung, 2006, Hlm 313 110 Disarikan dari Agus Sarjono Op cit. Hlm 317-318.
di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanantekanan
untuk
menyebabkan
mengadakan
perubahan,
perubahan-perubahan
pada
bahkan
mungkin
lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya111. Dalam hal ini, masyarakat lokal kurang memperdulikan pengetahuan lokal yang mereka ketahui. Masyarakat lokal tidak mengetahui manfaat ekonomis dari pengetahuan yang mereka miliki, sehingga mereka dengan senang hati memberikan informasi kepada peneliti tentang pengetahuan yang mereka miliki. Selain itu masyarakat lokal beranggapan bahwa kekayaan hayati yang ada di daerah mereka merupakan karunia dari Tuhan yang maha esa, sehingga setiap orang boleh memanfaatkan sumber hayati tersebut walaupun tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Hukum harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya bagi indegeneus
people
bahwa
pengembangan
teknologi
yang
memanfaatkan pengetahuan tradisional maupun kekayaan hayati masyarakat lokal juga harus dapat dimanfaatkan oleh peneliti dan masyarakat lokal itu sendiri. Masyarakat lokal juga harus dapat menikmati keuntungan dari kekayaan hayati yang ada di wilayah mereka terkait dengan sovereign right. Internalisasi konsep sovereign right melalui hukum atas kekayaan hayati yang ada di wilayah mereka akan membawa dampak yang positif dalam penerapan konsep benefit sharing. 111
Soerjono Soekanto, “Pokok-pokok Sosiologi Hukum”, Ed 1-16-, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006, Hlm 122.
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. GMO’s (Genetically Modified Organism) atau produk rekayasa genetika adalah hasil dari kreativitas manusia, oleh karenanya perlu mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual. Di Indonesia
perlindungan GMO’s dapat dilakukan melalui paten dan Perlindungan Varietas Tanaman. Khusus terhadap tanaman transgenik yang menggunakan proses mikrobiologis dapat dilindungi oleh Paten (Pasal 7 Undang-undang Paten) dan dapat pula dilindungi dengan Perlindungan varietas Tanaman dengan memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan dalam Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman (Pasal 11 ayat 4). Paten juga dapat diberikan menyangkut teknologi yang berupa proses pembentukan varietas tanaman. Disisi lain perlindungan varietas tanaman memberikan perlindungan terhadap semua jenis varietas tanaman baik itu yang dikembangkan melalui sistem modern maupun sistem konvensional, sistem modern yang menghasilkan tanaman transgenik jika tidak memenuhi persyaratan perlindungan paten dapat dimintakan perlindungan varietas tanaman. Perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap GMO’s dapat diberikan setelah diajukan permohonan. Permohonan akan diproses, jika memenuhi persyaratan, maka invensi akan diberikan sertifikat sebagai bukti perlindungan. Dalam hal ini proses pemeriksaan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit (terlebih bagi paten). 2. Ditemukan
beberapa
permasalahan
dalam
perlindungan
hak
kekayaan intelektual atas GMO’s. Permasalahan pertama adalah adanya dampak negatif dari GMO’s baik itu terhadap kesehatan maupun terhadap lingkungan yang lebih dikenal dengan biosafety
issues. Permasalahan kedua adalah adanya komersialisasi dari GMO’s melalui sistem hak kekayaan intelektual terutama dari sistem paten yang membebani masyarakat lokal. Disisi lain ditemukan kasus bioparacy atas kekayaan hayati masyarakat lokal oleh masyarakat maju yang kemudian mematenkan pengetahuan lokal tersebut kedalam bentuk GMO’s “baru”. 3. Pada dasarnya dunia internasional telah mempunyai dua perjanjian internasional sebagai landasan untuk menyeimbangkan biosafety issues
dengan
komersialisasi
GMO’s,
yaitu
Sanitary
and
Phytosanitary Measures (SPS) dan Technical Barier to Trade (TBT). SPS memberikan keleluasaan kepada tiap Negara anggota untuk melakukan tindakan pengujian dan pengamanan sebelum GMO’s beredar di pasaran. Disisi lain, TBT menghendaki agar tindakan pengamanan
yang
dilakukan
tidak
menghambat
kegiatan
perdagangan. Di Indonesia sediri pada tahun 1999 telah dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Holtikultura. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menjamin keamanan dan kesehatan pangan dan varietas untuk kesehatan manusia, biologis dan lingkungan yang berhubungan dengan penggunaan GMO’s. Lingkup dari ketentuan ini meliputi jenis, kondisi, prosedur, hak dan kewajiban, pengawasan, dan pelaporan keamanan dan kesehatan pangan sehubungan dengan penggunaan
GMO’s.
Terhadap
varietas
baru
yang
memasuki
Indonesia
diberlakukan uji AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) sebelum mereka memasuki area yang diatur dengan Undang-undang Nomer 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomer 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Terhadap GMO’s yang telah beredar di pasaran, pengawasan masih dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun disisi lain belum terdapat kejelasan siapa yang berwenang untuk
mengatur
GMO’s.
Sejauh
ini
pemerintah
melakukan
pendekatan terintegrasi antarsektoral berdasarkan pada analisa resiko. Selain pengawasan terhadap sirkulasi GMO’s di pasaran, pemerintah juga perlu melalukan pengawasan dan perlindungan terhadap pengetahuan lokal serta sumber daya genetik lokal. Pengawasan harus dilakukan dengan sistem insentif. Hal ini diperlukan untuk mencegah pihak asing untuk melakukan biopiracy atas kekayaan hayati yang telah lama digunakan oleh masyarakat lokal di Indonesia disisi lain juga membuka peluang yang besar kepada para investor asing maupun domestik untuk mengolah dan memanfaatkan
secara
optimal
sumber
pengetahuan tradisional. B. SARAN
daya
genetika
dan
1. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas pengujian atas GMO’s sehingga tidak ketinggalan dengan pengujian yang diberikan oleh Negara maju terhadap GMO’s, hal ini ditujukan untuk meningkatkan tindakan keamanan dan kesehatan terhadap manusia maupun terhadap lingkungan. 2. Pemerintah perlu untuk membentuk suatu badan tersendiri yang ditujukan
untuk
mengurusi
persoalan
GMO’s
mulai
dari
pengujiannya sampai pada pengawasannya ketika GMO’s sudah berada di pasaran. Lembaga ataupun badan ini perlu untuk dibekali dengan peralatan dan financial yang memadai untuk menjalankan tugasnya. 3. Pemerintah perlu melakukan pencatatan atas sumber daya genetika yang ada di wilayah Indonesia. Database ini akan menunjukkan sumber daya genetika yang dimiliki oleh Indonesia sekaligus mencegah pihak asing melakukan pencurian atas sumber daya genetika yang kita miliki. DAFTAR PUSTAKA Agus Sardjono. 2006. “Hak Kekayaan Intelektual dan Pegetahuan Tradisional”. PT Alumni: Bandung. Amir Pamuntjak. 1994. “Sistem Paten, Pedoman Praktik dan Alih Teknologi”. Djambatan: Jakarta. Andriana Krisnawati & Gazalba Saleh. 2004. “Perlindungan Hukum Varietas Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia”. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Bouchhoux, Deborah E. 2001. “Protecting Your Company’s Intellectual Property: A Practical Guide to Trademarks, Copyrights, Patents & Trade Secrets”. Amacom: New York. Budi Agus Riswandi & Siti Sumartiah. 2006. “Masalah-masalah HAKI Kontemporer”.Yogyakarta: Gita Nagari. Budi Santoso. 2008. “Pengantar HKI (Hak Kekayaan Intellektual)”. Pustaka Magister: Semarang. Burhan Ashofa. 1996 “Metode Penelitian Hukum”. Jakarta: PT Rineka Utama. Darji Darmodiharjo & Sidharta. 2006. “Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”. PT Gramedia Pustaka Umum: Jakarta. Echols, Marsha A. 2001. “Food Safety and The WTO: The Interplay of Culture, Science and Technology”. Kluwer Law International: Netherlands. Efridani Lubis. 2009. “Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual”. Bandung: PT Alumni. Endang Purwaningsih. 2005. “Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten”. Ghalia Indonesia: Bogor. Etty Susilowati. 2007. “Hak Kekayaan Intelektual tentang Paten” dalam “Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual”. Uniersitas Diponegoro: Semarang. Grubb, Philip W. 2004. Patents for Chemicals, Pharmaceuticals and Biotechnology; Fundamentals of Global Law, Practice and Strategy. Fourth Edition. Oxford university Press: New York, Jha, Veena. 2005. “Environmental Regulation and Food Safety: Studies of Protection and Protectionism”. Edward Elgar Publishing Inc: Massachusetts. Johnny Ibrahim. 2006. “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif” Cetakan Kedua. Malang: Bayumedia. Lionel Bently & Brad Sherman. 2004. “Intellectual Property Law”. Edisi Kedua. Oxford University Press: New York.
Lubis
Santosa, dan Maulana Law Office Jakarta dan Pusat Pengembangan dan Pelayanan Hak Kekayaan Intelektual (P3HKI) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Mayarakat Universitas Sebelas Maret, “Workshop Penelitian Berpotensi Paten dan Teknologi Tepat Guna bagi Kemanfaatan Usaha Kecil dan Menengah”, Seminar, 17 Desember 2009, Surakarta.
Mae-Wan Ho. 2008. “Rekayasa Genetik: Impian atau Petaka”. Insist Press: Yogyakarta. Muhammad Ahkam Subroto & Suprapedi. 2008. “Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi”. Jakarta: PT Indeks. Muhammad Djumhana&djubaedillah. 2003. “Hak Milik Intellektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia”. PT Citra Aditya Bakti; Bandung. Nurul Barizah. “Kebijakan di Tingkat Nasional dan Internasional, Upaya Perlindungan HKI yang Terkait dengan Pendayagunaan Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan”. Buletin Media HKI, Vol. VI/No.3/Juni 2009 OK.
Saidin. 2007. “Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right)”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Richard Schaffer et al. 2005. “International Bussines Law and Its Environment”. Edisi Keenam. Thomson South Western West; Amerika Serikat. Satcipto Rahardjo. 2000. “Ilmu Hukum”. Cetakan Kelima. PT Citra Aditya Bakti: Bandung. Schoenbaum, J Thomas. 2001. “International Trade in Living Modified Organism”. Edited by Francioni. Francesco. “Environment, Human Rights and International Trade”. Oxford: Portland. Scott, Joanne. 2007. “The WTO Agreement on Sanitary and Phyosanitary Measures”. Oxford University Press: New York. Soedjono Dirdjosisworo. 2000. “Hukum Perusahaan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek)”. Bandung: CV Mandar Maju. Soerjono Soekanto. 1986. “Pengantar Penelitian Hukum“. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Uniersitas Indonesia (UI-Press).
---------------------------. 2005. ”Pengantar Penelitian Hukum”. UI Press. Jakarta. ---------------------------- & Sri Mamuji. 2004. “Penelitian Hukum Normative, Suatu Tinjauan Singkat”. Edisi Pertama. Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ----------------------------. 2006. “Pokok-pokok Sosiologi Hukum”. Ed 1-16-. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Theo Huijbers. 1982. “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah”. Yayasan Kanisius: Yogyakarta. Yusdinal. 2008. “Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten”. Tesis. UNDIP; Semarang. PUBLIKASI ELEKTRONIK I
Gede Putu Irawan, Rekayasa Genetika, Siapa http://www.eurekaindonesia.org/rekayasa-genetika-siapatakut/,(diakses tanggal 4 Januari 2010).
Takut?,
Sutrisno Koswara, “Labelisasi dan Teknik Deteksi GMO’S”, http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/LABELISASI%20DAN%20 DETEKSI%20GMO’S.pdf (diakses tanggal 20 Januari 2010) Tomi
Suryo Utomo, “Kepemilikan dan benefit sharing terhadap Komersialisasi Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional, dan Folklore (DRTFK) dalam Sistem Hukum Indonesia”, http://www.dgip.go.id/ebscript/publicportal.cgi?.ucid=374&ctid=22&t ype=0 (diakses tanggal 12 Maret 2010)
“Penyehatan Makanan & Minuman Bioteknologi dan Keamanan Pangan” staff.unud.ac.id/.../bab-6-vi-bioteknologi-dan-keamananpangan.doc, (diakses tanggal 20 Januari 2010). “20
Questions on Genetically Modified Foods”, http://74.125.153.132/search?q=cache:VakjAV6reW4J:www.who.int /foodsafety/publications/biotech/20questions/en/+Genetically+modifi ed+organism+adalah&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id. (diakses tanggal 20 Januari 2009).
“Bioteknologi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Bioteknologi, (diakses tanggal 4 Januari 2010). “Culture”, http://www.tamu.edu/classes/cosc/choudhury/culture.html, (diakses pada 2 November 2009).
“Problematika nilai, moral, dan hukum dalam masyarakat.”http://hanstoe.wordpress.com/2009/02/21/problematik a-nilai-moral-dan-hukum-dalam-masyarakat/ (diakses tanggal 11 Maret 2010). “What is Intellectual Property?”, http://www.wipo.int/about-ip/en/, (diakses tanggal 21 Januari 2009). http://www.upov.int/index_en.html, (diakses 18 Maret 2009) http://www.upov.int/export/sites/upov/en/about/pdf/gurts_11april2003.pdf, (diakses 18 Maret 2009) http://ppvt.setjen.deptan.go.id/, (diakses tanggal 9 Maret 2010) http://www.idepfoundation.org/indonesia/download_files/GMO’S/GMO’S_I nfo_Manual_indo.pdf (diakses 5 Maret 2009) http://karantina.deptan.go.id/dok/GMO’S.pdf, (diakses 20 Maret 2009) http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=127648, (diakses 20 Maret 2009). pkditjenpdn.depdag.go.id/download/index.php?Malaysia.pdf. pada 20 Maret 2009)
(diakses