Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXII No.2, Juli 2016
Eksistensi Perempuan dalam Novel Mudhakkirāt Ṭabībah Karya El Saadawi dan Layar Terkembang Karya Alisjahbana Deffi Syahfitri Ritonga1
Abstrak Penelitian ini menemukan bahwa eksistensi diri bukan merupakan kodrati bawaan sejak lahir, namun dibentuk dari kesadaran pribadi yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Kesimpulan besar penelitian ini sekaligus juga membuktikan bahwa karya sastra bukanlah sebuah benda budaya otonom yang berdiri sendiri, melainkan sebuah penggambaran dialektika panjang dengan banyak unsur kehidupan dan keilmuan. Misalnya budaya, agama, dan kehidupan sosial, yang memungkinkan terjadinya kemiripan antara karya sastra suatu negara dengan karya sastra negara lainnya. Keywords : Feminism, Existence, Woman Abstract The study found that the self-existence is not an innate, but it is constructed from the personal consciousness influenced by the social environment. A major conclusion of this research while also proving that a literary work is not an autonomous cultural objects that stand alone, but rather a portrayal of a long dialectic with many elements of life and science. For example, cultures, religions, and social life, which allow the occurrence of similarities between a country's literature with literary works in other countries. Kata Kunci: Feminisme, Eksistensi, Perempuan
1
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
317
Deffi Syahfitri Ritonga : Eksistensi Perempuan dalam Novel …
A. Pendahuluan Persoalan tentang tubuh dan pola pembagian peran gender tradisional yang berkembang dalam masyarakat di banyak kebudayaan telah melahirkan oposisi yang mempercayai bahwa laki-laki kuat sedangkan perempuan lemah, laki-laki pemberani dan perempuan penakut, lakilaki agresif dan perempuan pasif, laki-laki dikendalikan seks dan perempuan dikendalikan hubungan, laki-laki cerdas dan perempuan bodoh, laki-laki rasional dan perempuan irasional.2 Relasi bias gender yang menempatkan laki-laki sebagai jenis kelamin superior dan perempuan sebagai inferior, perlahan memudar dengan menjamurnya gerakan-gerakan emansipasi perempuan yang menjunjung prinsip kesetaraan gender di ruang privat dan publik. Perempuan mulai diberi kebebasan untuk menentukan arah hidupnya, berkarir sembari mengurus keluarga, dan menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bentuk kuasa atas diri dan tubuhnya. Emansipasi perempuan yang melahirkan berbagai bentuk eksistensi, mendorong banyak perempuan tampil di ruang publik dalam beragam bentuk dan ekspresi. Beberapa perempuan menunjukkan eksistensi dirinya dengan mengekspolitasi keindahan tubuh dan mematenkan dirinya sebagai perempuan yang lekat dengan barang-barang mahal dan bermerk. Beberapa lainnya tampil sebagai perempuan yang terus-menerus memperluas ruang kebencian antara laki-laki dan perempuan dengan memaksakan bentukbentuk kebebasan melampuai batas yang diingini perempuan. Pada titik ini, emansipasi dan eksistensi memberi dampak yang tidak saja positif, tetapi juga negatif terhadap perempuan. Ia tidak lagi sebatas bentuk kesetaraan gender untuk mendapatkan hak dan perlakuan sama di ruang privat maupun publik, tetapi telah beralih pada tujuan-tujuan untuk mencapai
2
Sugihastuti dan Itsna Hadi saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007): 50.
318
kebebasan yang melampaui batas-batas kodrat dan norma. Kebebasan yang dimiliki perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya, pada akhirnya berbanding lurus dengan lahirnya bentuk eskploitasi dan diskriminasi gender dalam bentuk baru. Perempuan kemudian dianggap sebagai objek yang pas untuk dieksploitasi kedirian dan tubuhnya lewat keinginan besarnya untuk eksis di dunia maya (internet), televisi (iklan, sinetron, film,3 reality show, infotainment, dll), di media cetak maupun online4 juga di kehidupan nyata. Eksploitasi yang dialami perempuan tidak hanya sebatas pada praktik human trafficking di mana perempuan (korban) sering dijadikan sebagai barang yang bisa disentuh, diperdagangkan, dan dipakai oleh siapa saja. Praktik ini sesungguhnya telah merambah pada dunia pertelevisian,5 periklanan,6 perdagangan, dan perpolitikan. Di mana perempuan sengaja dikonstruksikan dengan image seksi, gampang terpedaya, gila harta dan popularitas digaet untuk menarik lebih banyak pelanggan (utamanya laki-laki) atau untuk mengalahkan lawan bisnis maupun lawan politik. Maka tidak mengherankan jika kemudian muncul perempuanperempuan sebagai pelaku korupsi seiring dengan menjamurnya perempuanperempuan yang gemar pamer tubuh dan harta. Membincang perempuan, emansipasi, subordinasi, kesenjangan gender, dan eksistensi, tentu saja menarik jika dipotret dari sudut karya sastra. Hal ini dikarenakan ketidakadilan gender, 3
Lihat, Su-Lin Gan dan Dolf Zillman, “Stereotyping Effect of Black Women’s Sexual Rap on White Audiences,” Basic and Applied Socil Psychology, Vol. 19, No.3 (1997): 381-399. 4 Lebih lanjut lihat, Stephanie Nicholl Berberick, “The Objectification of Women in Mass Media: Female Self-Image in Misogynist Culture,” The New York Sociologist, Vol. 5 (2010): 1-15. 5 Lihat, Lynn Elber, "Are women On TV being sexually exploited? Female TV characters are sexual targets, says new study". The Huffington Post, Retrieved 21 November 2014. 6 Lihat, Erving Goffman, Gender Advertisements (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979).
Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXII No.2, Juli 2016
keterpurukan perempuan, dan ide pembebasan perempuan telah lama berkembang menjadi sebuah genre dalam kesusastraan secara umum. Bahkan dalam teori kritik sastra yang berkembang saat ini, teori kritik sastra feminis menjadi salah satu dari sekian banyak teori kritik sastra yang paling diminati. Dalam konteks ketidakadilan gender yang bersinggungan dengan agama dan budaya beserta semangat pembebasan perempuan, menarik membaca dan membandingkan Mudhakkirāt Ṭabībah karya El Saadawi7 dan Layar Terkembang karya STA,8 mewakili dinamika ketidakadilan gender dan perjuangan perempuan untuk merepresentasikan eksistensi dirinya yang terjadi dalam budaya Arab dan Indonesia. Penjelasan singkat di atas mengindikasikan titik temu kedua novel ini terletak pada keinginan penulis yang dimanifestasikan lewat tokoh utama untuk membentuk perempuan modern dan ideal versi mereka. Perempuan yang berani keluar dari konstruksi dan anggapan publik, untuk kemudian mendekonstruksikan citra dan eksistensi dirinya sebagai pribadi baru yang sanggup berdiri sejajar dengan lakilaki. Selain hampir mirip dalam penokohan, kedua tokoh utama dalam novel ini samasama terjebak dalam realita kemanusian yang dianugerahkan oleh Tuhan secara alami walau sebesar apapun dia lari dan 7
Nawal El Saadawi lahir di Kafr Tahla-tepi sungai Nil, sebuah kota kecil di Kairo pada 27 Oktober 1931. Untuk lebih lanjut mengenai Nawal El Saadawi lihat, Francesca Coin, “On The Condition of Colonized Woman: The Nervous Conditions of Firdaus in Nawal El Saadawi’s Woman at The Point Zero (1983) Giunti, Firenze 2001,” Departe Estuli Profughe (2006): 426. Amal Amireh, “Framing Nawal El Saadawi: Arab Feminism in A Transnational World,” SIGN: Jurnal of Woman in Culture and Society, Vol.26, No.1 (2000): 215. Nawal El Saadawi, Walking Through Fire: The Later Years of Nawal El Saadawi (London: Zed Books Ltd, 2002): iii. 8 S.T. Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli Selatan pada 17 Februari 1908. Untuk Lebih lanjut mengenai S.T. Alisjahbana lihat, “Sutan Takdir Alisjahbana: Pelopor Angkatan Pujangga Baru,” dalam S.T. Alisjahbana Layar Terkembang, Cet-44 (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), 199-203.
tenggelam dalam keangkuhannya sebagai model perempuan baru, yaitu kerinduan mendalam akan kasih sayang dan keinginan untuk mencintai dan dicintai. Dalam novel Mudhakkirāt Ṭabībah, isu gender dan semangat feminisme yang diangkat Nawal El Saadawi cenderung frontal dan tabu. Melalui tokoh Aku, El Saadawi memberikan gambaran tentang realitas seorang perempuan yang bergumul dalam praktik budaya patriarkis dengan dilema besar antara menerima eksistensi dirinya sebagai perempuan dengan citra yang dikonstruksikan oleh masyakarat luas, atau menolaknya dengan konsekuensikonsekuensi yang tidak mudah. Seorang perempuan muda dengan gairah, spontan, marah besar pada penindasan kaum perempuan di masyarakatnya, dan perempuan dengan harapan besar akan datangnya hari esok yang lebih baik. Selain mengangkat sisi gelap perlakuan terhadap perempuan di Mesir, novel ini juga menimbulkan kontroversi dan protes keras dari masyarakat luas khususnya Mesir dan Dunia Arab pada umumnya. Berbanding dengan novel Mudhakkirāt Ṭabībah karya El Saadawi, novel Layar Terkembang STA meskipun cenderung lebih ramah dan sangat biasa dalam alur penceritaan karena dianggap terlalu banyak kebetulan-kebetulan. Tetapi, hal penting yang tidak bisa dipungkiri dari novel ini adalah penanaman ide-ide feminisme dan semangat modernisme yang digambarkan STA lewat tokoh utama (Tuti). Melalui tokoh Tuti, STA memberikan gambaran perempuan modern versinya yang eksistensi dan citra dirinya keluar melampaui batasan-batasan yang dikonstruksikan oleh budaya dan masyarakat. Perempuan yang berani menyuarakan semangat modernisme dan pembebasan perempuan untuk berada dan bekerja di ruang publik. Misi ini terlihat jelas dengan keputusan STA untuk “mematikan” tokoh Maria, adik Tuti yang periang penurut, mudah terbuai, mudah kagum, dan mudah memuji memuja, karena dianggap STA sebagai penggambaran
319
Deffi Syahfitri Ritonga : Eksistensi Perempuan dalam Novel …
perempuan tradisionalis yang tidak cocok dengan perempuan ideal berpikiran modern sesuai dengan penggambarannya. Layar Terkembang adalah roman modern yang cemerlang, yang berani keluar jalur untuk menyuarakan semangat pembebasan bagi perempuan, mengingat novel ini ditulis pada tahun 1936 saat bangsa Indonesia belum merdeka dan kebanyakan cara berpikir kaum sezamannya masih patriarkis, kolot, tradisionalis dan tak jarang menganggap perempuan sebagai makhluk kedua yang harus selalu tunduk pada dominasi laki-laki. Hebatnya, dua tahun setelah terbit, novel ini sudah mencapai delapan kali cetak ulang dan menjadi buku bacaan wajib di berbagai sekolah menengah di Indonesia. Rusman Sutiasumarga lewat pidatonya yang dibukukan Balai Pustaka dalam Aneka Pustaka menyatakan, kalau saja novel Layar Terkembang tidak terlarang untuk sementara waktu karena situasi politik, mungkin di tahun 1967 sudah mencapai cetak ulang ke-10 atau ke-11.9 Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan kedua novel ini di negaranya masing-masing, pengakuan eksistensi perempuan sebagai dirinya yang tidak terkooptasi oleh tradisi budaya patriarkis dan semangat feminisme yang digelontorkan kedua penulis dalam menggiring pembaca, khususnya perempuan untuk melakukan pembebasan dan berjuang melawan ketidaksetaraan gender menjadi relasi yang tidak bisa dipisahkan dari keduanya. Pengkajian terhadap kedua novel ini menjadi menarik bukan hanya sebatas melihat persamaan dan perbedaan mereka, tetapi juga untuk mengkaji pesan yang dibawa keduanya dalam menjawab persoalan yang terjadi di masyarakat. Hal ini sesuai dengan semangat STA untuk menciptakan karya sastra yang bertendensi: apabila karya sastra tidak mempunyai tujuan yang mulia bagi kemajuan bangsa, karya tersebut harus 9
Denny Prabowo, “Wanita Modern di Mata Takdir,” Sebuah Pengantar, dalam S.T. Alisjahbana Layar Terkembang, vii
320
ditolak sebab hanya akan melemahkan dan melembekkan semangat pembaca.10 Citacita ini sesuai pula dengan Sutan Syahrir yang mengatakan bahwa sastra harus mendidik masyarakat.11 1.
Metode Secara umum, penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kualitatif.12 Penelitian kualitatif ini merupakan studi sastra bandingan terhadap novel Mudhakkirāt Ṭabībah Nawal El Saadawi dan Layar Terkembang STA. Sumber data penelitian ini dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang menjadi acuan utama dalam penelitian adalah novel Mudhakkirāt Ṭabībah Nawal El Saadawi dan Layar Terkembang STA. Sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku karya El Saadawi maupun STA lainnya dan hasil-hasil penelitian sebelumnya beserta seluruh literatur yang berkaitan dengan tema dalam berbentuk buku, jurnal, artikel, makalah, dan ensyclopedia serta kamus. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme dengan memakai teori feminisme eksistensialisme menurut Simone de Beauvoir13 sebagai alat untuk 10
Sastra yang bertendensi adalah sastra yang memiliki tujuan mulian. Lihat, Sutan Takdir Alisjahbana, “Kesusastraan di Zaman Pembangunan Bangsa,” Pudjangga Baru, Th.IV, No.10 (1938): 64. 11 “Kesusastraan kita tidak mesti direndahkan ukurannya sehingga dapat memuaskan keperluan rohani rakyat yang belum diasah, yang masih primitif. Akan tetapi, kesusastraan kita harus dapat mendidik rakyat banyak supaya dapat menghargai pikiran dan perasaan, kesusastraan yang halus pun jua. Kesusastraan kita harus dapat mengela pikiran dan perasaan rakyat pada tempat yang tinggi.” Lihat, Sutan Syahrir, “Kesusastraan dan Rakyat,” Pudjangga Baru, Th.V, No.11/12 (1938): 24. 12 Penjelasan mengenai penelitian kualitatif dapat dilihat dalam, Sudarnoto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1996): 62; Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik, 46-47 13 Melalui penjelasan eksistensialis tentang keberadaan perempuan (women’s being), Beauvoir berpendapat bahwa perempuan teropresi dalam keotherness-an mereka. Perempuan adalah ‘orang lain’
Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXII No.2, Juli 2016
menganalisis data dalam penelitian ini. Adapun langkah kerjanya adalah sebagai berikut: pertama, dilakukan pembacaan secara utuh dan menyeluruh, sehingga penulis bisa mengerti ide dan gagasan pengarang dengan sempurna. Teknik pembacaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah close reading sebagaimana dikemukakan oleh 14 Brummett. Kedua, setelah dilakukan pembacaan secara cermat dan menyeluruh, meliputi gagasan, ide, dan kritik agama sosial budaya yang dikemukakan pengarang, data kemudian dianalisis menurut cara kerja teori feminisme eksistensialis. Teori ini diharapkan mampu melihat secara jelas bagaimana perempuan berusaha menegaskan eksistensinya sebagai manusia yang punya kedudukan sama dengan laki-laki dan berhak untuk mendapatkan pengakuan. Feminisme Eksistensialis Simone De Beauvoir Feminisme adalah gerakan yang ditujukan untuk menentukan, membangun, dan mempertahankan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial yang sama bagi perempuan.15 Eksistensialisme adalah gerakan filosofis dan budaya dengan karena mereka bukan laki-laki. Laki-laki adalah manusia yang bebas menentukan definisi keberadaannya. Sedang perempuan adalah objek yang maknanya ditentukan. Jika ingin menjadi objek, maka mereka harus seperti laki-laki dan harus mampu mendobrak definisi, label-label, dan esensi yang membatasi keberadaannya, sehingga perempuan bisa sepenuhnya berkuasa atas diri, pemikiran, dan tubuhnya. Lihat, Simone de Beauvoir, The Second Sex........, 723-726. 14 Close reading yang dimaksudkan di sini adalah membaca secara teliti seluruh data yang hendak diteliti dengan melihat konteks historis dan konteks tekstualnya. Lihat, Brummett. B., Techniques of Close Reading (Los Angeles: SAGE Publication, 2010), 9-10. 15 “feminism-Definition and More From the Free Merriam-Webster Dictionary.” merriamwebster.com. diakses 12 Sepember 2015; “Definition of feminism noun from Cambridge Dictionary Online: Free English Dictionary and Thesaurus.” dictionary.cambridge.org. diakses 12 September 2015.
gagasan yang menyatakan bahwa titik awal pemikiran filsafat terlebih dahulu harus menjadi individu dan memahami pengalaman individu. Pemikiran moral dan pemikiran ilmiah tidak cukup untuk memahami semua eksistensi manusia.16 Filosofi ini menganalisa hubungan antara individu dengan berbagai hal, atau dengan manusia lainnya, dan bagaimana membatasi pilihan dan kondisi.17 Feminisme eksistensialis menekankan konsep-konsep seperti kebebasan, hubungan interpersonal, dan pengalaman hidup sebagai tubuh manusia. Jean Paul Sartre salah satu tokoh paling menonjol dalam filsafat eksistensialisme dalam bukunya Existentialism is a Humanism mendefinisikan eksistensialisme sebagai aliran, ajaran, dan pemahaman yang menempatkan eksistensi mendahului 18 esensi. Sartre dalam Being and 19 Nothingness mengemukakan sedikitnya ada enam teori penting dalam eksistensialisme, yaitu: 1) kebebasan. Pernyataan Sartre yang menyebutkan eksistensi mendahului esensi berimplikasi pada konsep ketiadaan Tuhan. Tiadanya Tuhan berarti kebebasan bagi manusia untuk bisa memaknai dirinya sendiri dan untuk tidak dimaknai orang lain juga lingkungan sekitarnya sebagai konsekuensi dari “kesadaran diri”. Kebebasan yang dikemukakan Sartre di sisi lain menimbulkan masalah dan kesulitan bagi manusia dalam upaya menyusun patokan nilai, norma, dan etika bagi dirinya sendiri. 16
Mullarkey, John, and Beth Lord (eds.). The Continuum Companion to Continental Philosophy. London: Bloomsbury Companions, 2009), 309; Jon Stewart, Kierkegaard and Existentialism (England: Farnham, 2010), ix 17 Nicole Abbagnano, "Existentialism (philosophy)". Britannica Online Encyclopedia. Diakses 12 September 2015. 18 Jean-Paul Sartre, Existentialism is a Humanism (London, New Heaven: Yale University Press, 1996): 40. 19 Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: A Phenomenological Essay on Ontology (New York: Philosophical Library, 1956): 56-59, 74, 78, 179, 222-223, 599.
321
Deffi Syahfitri Ritonga : Eksistensi Perempuan dalam Novel …
2) Pilihan bebas. Implikasi dari ketiadaan Tuhan bagi Sartre juga berpengaruh pada kebebasan manusia menentukan pilihan. Ketidakmampuan manusia dalam menyusun tujuan hidupnya sendiri melahirkan absurditas yang akhirnya membawa manusia pada pilihan bebas, salah satu bentuk pilihan bebas tersebut adalah bunuh diri. 3) Erte on soi dan erte pour soi. Keberadaan manusia menurut Sartre juga dibagi dalam dua jenis oposisi biner, yaitu erte on soi (berada dalam dirinya) dan erte pour soi (ada baginya). Menurut Sartre erte on soi adalah segala sesuatu yang memiliki kesempurnaan tetapi tidak memiliki kesadaran untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri. Tujuan keberadannya ditentukan oleh eksistensi lain. Sebaliknya, erte pour soi adalah segala sesuatu yang memiliki kesadaran. Kelemahannya adalah seringkali erte pour soi memiliki celah yang berisi kekurangan-kekurangan sebagai penanda kekosongan dan ketidak sempurnaaan. Contoh paling kongkrit dalam hal ini adalah manusia itu sendiri. 4) Kesadaran reflektif dan non-reflektif. Salah satu unsur yang tak kalah penting dalam eksistensialisme Sartre adalah kesadaran. Sartre membagi dua bentuk kesadaran dalam diri manusia, yakni: kesadaran reflektif dan non-reflektif. Kesadaran reflektif adalah kesadaran akan eksistensi dan kehadiran diri. Sebaliknya kesadaran non-reflektif adalah adalah kesadaran akan kehadiran dan eksistensi individu lain. Penggabungan antara dua kesadaran ini dalam satu waktu adalah hal yang mustahil karena keduanya selalu saling mengenyahkan. 5) Mauvaise Foi, adalah istilah yang digunakan Sartre menunjuk pada “keyakinan buruk” manusia. Baginya manusia hanya punya dua pilihan yakni, hidup secara otentik atau hidup dengan keyakinan buruk. Menurut Sartre seseorang bisa hidup secara otentik ketika dia bisa membebaskan dirinya dan tidak terikat oleh aturan Tuhan dan normanorma yang berlaku. Sebaliknya, hidup dengan keyakinan buruk adalah mereka yang masih terikat dengan Tuhan serta
322
aturan hukum dan berbagai norma yang ada, termasuk bentuk-bentuk streotipe dan pelabelan tertentu. 6) Other is the hell. Eksistensi orang lain yang sering mengobjekkan diri kita dan menghilangkan eksistensi dan kesadaran diri, membawa Sartre pada satu kesimpulan bahwa keberadaan orang lain adalah “neraka” bagi keberadaan diri. Filsafat eksistensialisme yang digagas Sartre, memberi inspirasi bagi Simone de Beauvoir dalam menggagas aliran feminisme eksistensialis yang berkonsentrasi pada kesadaran perempuan akan ketertindasannya dan cara bagaimana perempuan membebaskan diri dari konstruksi identitas yang disematkan oleh budaya patriarki. Beauvoir dalam bukunya The Second Sex memberikan pernyataan kontroversial bahwa, perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan tetapi untuk menjadi perempuan. Pernyataan ini dimaksudkan Beavoir untuk menjelaskan adanya perbedaan besar yang terjadi dalam relasi laki-laki dan perempuan , di mana laki-laki disebut sebagai “sang diri” dan perempuan disebut “liyan”.20 Dalam hal ini jika sang liyan adalah ancaman bagi sang diri “laki-laki”, karena itu ia harus mensubordinasi perempuan jika ingin tetap bebas.21 Beauvoir mengklaim adanya esensi feminin yang tidak bisa diubah. Seorang perempuan adalah produk budaya dari sebuah peradaban, sehingga perempuan tidak bisa dengan bebas mengkonstruksikan diri dan identitasnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa budaya menjadikan perempuan tidak punya hak kebertubuhannya. Beauvoir menetapkan tesis ini dengan menganalisa tahap perkembangan perempuan sejak dari anakanak.22 Kepercayaan yang berkembang tentang dominasi laki-laki sebagai subjek 20
Rosemary Putnam Tong, Feminst Tought, 262. Simone de Beauvoir, The Second Sex, 42. 22 Arun Prakash D’Souza, “Feminism An Existentialist Perspective.” 25. http://snphilosophers2005.tripod.com/arun.pdf diakses 12 September 2015, pukul 10.36 WIB. 21
Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXII No.2, Juli 2016
(Sang Diri) dan subordinasi perempuan sebagai objek (Liyan) dalam relasi laki-laki dan perempuan, secara tidak sadar menciptakan banyak jenis perempuan. Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex membagi perempuan dalam tiga jenis yang masing-masing memainkan peran perempuan sampai ke puncaknya yaitu, pelacur, narsis, dan mistis. Berkaitan dengan pelacur Beauvoir memiliki penjelasan yang cukup rumit. Di satu sisi pelacur adalah peran yang menjadikan perempuan sebagai Liyan yang terksploitasi kediariannya. Pelacur hanya dijadikan sebagai objek oleh subjek dengan mengeksploitasi kebertubuhannya untuk kesenangan subjek. Namun di sisi lain, pelacur merupakan subjek, sang Diri, yang mengeksploitasi laki-laki dengan pelayanannya. Dalam hal ini, perempuan menjadikan profesi pelacur bukan hanya sebagai sarana mencari uang, tetapi juga untuk penghargaan yang didapatkannya dari laki-laki sebagai bayaran keliyanannya.23 Meski begitu, Beauvoir juga membagi pelacur dalam dua golongan, yaitu pelacur kelas rendahan yang menjadi pelacur semata-mata hanya untuk mendapatkan uang dan pelacur kelas atas (hetaria) yang menjadi pelacur tidak hanya karena uang, tetapi juga untuk mendapatkan kekuasaan. Pelacur jenis ini sangat menyadari potensi dalam dirinya dan menjadikannya sebagai senjata untuk membuatnya layak diperhatikan dunia.24 Dalam situasi ini laki-laki mungkin beranggapan bahwa dia memiliki dan menguasai si perempuan, namun jika ditilik lebih lanjut, si perempuanlah yang menguasai laki-laki dan meninggalkannya sesukanya serta tidak menuruti perintahnya. Pelacur jenis hetaria secara jelas membuat batas yang jelas antara diri mereka dengan dunia. Mereka tidak membuka dunia pada semua orang melainkan hanya pada orangorang tertentu saja yang berhasil membuatnya layak diperhatikan. Perempuan jenis ini tidak jarang terjatuh
dalam kecintaan berlebihan pada dirinya sendiri dan membenci segala apa yang di luar dirinya sehingga menciptakan narsisme. Di antara jenis-jenis perempuan yang dikemukakan Beauvoir, jenis mistis adalah yang paling problematik. Perempuan jenis ini secara sadar mengelienasi diri mereka sendiri dengan kepercayaan bahwa perempuan sempurna adalah mereka yang bisa memeberikan segalanya untuk lakilaki, termasuk penghargaan, tubuh, dan seluruh hidupnya. Mereka adalah objek sempurna untuk subjek sempurna. Beauvoir dalam hal ini berpendapat bahwa perempuan mistis tidak bisa membedakan antara Tuhan dengan laki-laki. Dalam pandangan mereka, penghambaan yang sebernya adalah ketika perempuan bisa memberikan seluruh hidupnya untuk melindungi dan menyenangkan laki-laki.25 Dalam feminisme eksistensialis, selain menawarkan konsep perempuan sebagai the other (Liyan) untuk membongkar kejahatan patriarki, Beauvoir juga menawarkan tiga strategi yang harus dilakukan perempuan untuk memajukan hidup dan menegaskan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang punya kedudukan sama dengan laki-laki, yaitu: 1) perempuan harus bekerja.26 Dengan bekerja perempuan mempunyai kesempatan untuk mengembangkan dan merasakan dirinya sebagai subjek bukan sebagai objek yang selalu diliputi penilaian-penilaian. 2) perempuan harus terpelajar.27 Aktivitas intelektual membawa perempuan pada kebebasan serta memberi peremuan bkal untuk menghadapi masyarakat patriarkal yang cenderung meremehkan kemampuan perempuan, dan 3) perempuan harus dapat menjadi pelaku tindakan untuk melakukan transformasi sosial.28 Tiga strategi ini didasari pada pemikiran Beauvor bahwa pendidikan, hukum adat, norma, dan nilainilai dalam budaya patriarkis menunjukkan 25
Rosemary Putnam Tong, Feminst Tought, 418. Simone de Beauvoir, The Second Sex, 291. 27 Simone de Beauvoir, The Second Sex, 791. 28 Simone de Beauvoir, The Second Sex, 413. 26
23 24
Simone de Beauvoir, The Second Sex, Rosemary Putnam Tong, Feminst Tought, 416.
323
Deffi Syahfitri Ritonga : Eksistensi Perempuan dalam Novel …
secara rinci apa artinya menjadi perempuan sebagai individu nomor dua. Perempuan yang tidak dilahirkan, tetapi dijadikan. B. Pembahasan Pada bagian ini akan dideskripsikan hasil penelitian berkenaan dengan bentuk eksistensi perempuan dalam novel Mudhakkira’t Ṭabi’bah dan Layar Terkembang sesuai dengan prinsip kerja feminism eksistensialisme yang digagas oleh Simone de Beuvoir Eksistensi dalam Diri Tokoh Aku, Tokoh Tuti, dan Tokoh Maria Sebagai Gambaran Perempuan Modern dan Tradisionalis a. Tokoh Aku Tokoh Aku tumbuh dalam keluarga kaya yang masih berpandangan progresif. Keluarganya mengamalkan seluruh nilainilai patriarki, terutama ibu dan neneknya. Sejak masih belia, tokoh Aku telah dihadapkan pada pola kepercayaan patriarki yang menganggap laki-laki lebih istimewa dalam segala hal dibandingkan perempuan. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan konflik besar dalam diri tokoh Aku akibat keberadaannya sebagai perempuan yang selalu dibedakan dengan saudara-saudara lelakinya. Garis pembatas yang jelas direntangkan Ibu dan lingkungannya sebagai penanda ia (perempuan) berbeda dalam segala hal dan tidak akan pernah sama dengan lelaki, menjadi pemicu awal kebenciannya terhadap diri dan keperempuannya. أحسست أنها ٌقيود من دمى أنا تربطنى.كرهت أنوثتى قيود من خاليا.بالسرير فال أستطيع أن أجرى وأقفز جسمى أنا تسلسلنى بسالسل من الخزى والعار فأنطوى 29 .على نفسى أخفى كيانى الكئيب Artinya: Aku benci keperempuananku. Aku merasa ia ibarat tali rantai dari darahku sendiri, mengikatku di tempat tidur, sehingga aku tidak mampu berlari dan melompat. Rantai yang terbuat dari sel29
Nawal El Saadawi, Mudhakkirāt Ṭabībah (Beirut: Dār al-Ma’ārif, 1960), 8.
324
sel tubuhku sendiri, yang membelengguku dengan perasaan hina dan malu, membuatku harus menyembunyikan diriku yang menyedihkan ini. Kebencian dalam diri tokoh Aku akan keberadaannya sebagai perempuan semakin bertambah kala menstruasi pertamanya terjadi. Ia tak habis pikir bagaimana Tuhan menjadikan sesuatu yang menjijikkan sebagai penanda masuknya seorang perempuan pada fase dewasa. Dalam tahap ini, tokoh Aku mulai menarik dirinya dari dunia luar dan menciptakan dunianya sendiri, tempat di mana ia berlakon sebagai ratu yang bebas memerintah dan mendiskriminasi laki-laki. Di titik ini pula kesadaran diri tokoh Aku mulai terlihat dengan adanya keinginan dalam dirinya untuk menjadi seorang Diri, subjek yang akan mengalienasi objek. Seperti dikemukakan oleh Sartre, bahwa memiliki keinginan adalah satu bentuk kesadaran diri manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan mencipta dirinya juga dunianya dengan keinginan-keinginan yang datang dari dalam dirinya. Perlakuan berbeda dan pandangan negatif lingkungan terhadap tokoh Aku sebagai perempuan bukan hanya melahirkan kebencian akan dirinya, lingkungannya, Tuhan, dan tubuhnya, tetapi juga melahirkan suatu bentuk kesadaran. Kesadaran yang akan menjadi senjata kuat bagi tokoh aku untuk melawan segala bentuk diskriminasi gender dan pembagian peran tradisional untuk menjadikannya subjek (Sang Diri) dan bukan lagi sebagai objek (Liyan). Sejak kecil tokoh Aku telah menyadari bahwa ia berbeda dengan semua laki-laki manapun di dunia dan tidak akan pernah menjadi seperti meraka. Kondisinya sebagai perempuan telah menjadikan posisi tawarnya begitu rendah di mata keluarga dan masyarakatnya. Sikap ibunya yang dengan tegas menerapkan pola pembagian peran tradisional di keluarganya begitu menyiksa tokoh Aku. Hal ini diperparah dengan pertumbuhan tubuhnya yang tak
Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXII No.2, Juli 2016
terkendali dan kepercayaan kuno nenek dan ibunya untuk menjodohkan anak perempuan ketika telah sampai menstruasi pertamanya. Dalam pandangan ibunya, perempuan hanya akan dicap baik ketika dengan sadar ia memberikan seluruh hidupnya untuk kebahagian laki-laki. Memasak untuk mereka, memastikannya tidak kurang suatu apapun, dan tak lupa mengurus segala kebutuhan rumah tangga dan anak-anak yang akan terlahir di antara mereka. Tokoh Aku sebagai seorang perempuan yang mulai timbul kesadaran dirinya tidak dapat menerima semua peran gender tradisional yang bukannya menjadikan perempuan memiliki posisi tawar yang sama dengan lelaki, justru mengikat mereka dalam suatu lingkaran yang tak mereka sadari telah mengalienasi mereka dari kesadaran yang sesungguhnya. Tokoh Aku menyadari bahwa untuk keluar dari semua paradigmaa mapan tentang perempuan yang selama ini dipercayai oleh keluarga dan masyarakatnya ia harus berani mengambil jalan yang berbeda. Tak peduli bagaimana masyarakat dan budaya memandangnya, tokoh Aku percaya bahwa untuk menjadi seorang Diri ia harus menghilangkan segenap rasa takut akan cap negatif yang akan diterimanya dari masyarakat serta meninggalkan segala bentuk kepercayaan-kepercayaan dan pandangan dari luar dirinya dan memulai pertarungannya dengan kesadaran dan keyakinan.
takut yang selama ini aku rasakan terhadap ibuku. Tumbanglah sudah kharisma besarnya yang selama ini membuatku takut kepadanya. Aku sadar, ia hanyalah perempuan biasa. Tamparan-tamparan kerasnya tak lagi aku takuti, karena sekarang dia tak lagi bisa menyakitiku. Sebagai perempuan yang memiliki kesadaran diri, tokoh Aku memiliki keinginan-keinginan untuk dirinya sendiri. Pada awalnya tokoh Aku merasa takut untuk memulai pertarungannya melawan taradisi mapan yang berakar di masyarakatnya. Namun kemudian disadarinya bahwa perlakuan tidak adil yang diterimanya dari kepercayaan masyarakatnya tidak saja membawanya menjadi seorang yang merasa tidak beruntung, tetapi juga menjadi seorang yang akan kehilangan dirinya selamanya. Untuk melawan segenap rasa takut akan penilaian tidak adil dan perlakuan buruk dari masyarakatnya, perlakuan dan penilaian buruk yang diterimanya diubahnya menjadi sebuah dorongan kuat untuk membuktikan diri. Untuk mengatakan pada dunia bahwa ia sebagai perempuan adalah makhluk yang tidak kalah cakap dibanding lelaki manapun di dunia ini. سأثبت ألمى أننى أكثر ذكاء من أخى ومن الرجل ومن كل الرجال وأننى أستطيع أن أفعل كل ما يفعله أبى وأكثر 31 .وأكثر Artinya: Aku ingin menunjukkan kepada ibuku bahwa aku lebih pintar daripada saudaraku, dari lelaki itu, bahkan dari semua lelaki, dan aku mampu mengerjakan apapun yang biasa dikerjakan ayahku, bahkan lebih banyak lagi.
عرفت ألول مرة فى حياتى كيف يكون االنتصار الخوف ال يفعل شيئا إالّ الهزيمة واالنتصار ال يكون إال زال منى الخوف الذى كنت أشعر به نحو أمى.بالشجاعة سقطت عنها تلك الهالة الكبيرة التى كانت تجعلنى أرهبها أحسست أنها امرأة عادية وصفعاتها التى هى أقوى ما 30 .فيها لم أعد أخشاها ألنها لم تعد تؤلمنى Artinya: Untuk pertama kali dalam hidupku aku tahu bagaimana rasanya menang. Rasa takut hanya akan menyebabkan kekalahan, dan kemenangan hanya bisa didapat dengan keberanian. Lenyap rasa
Salah satu strategi yang dilakukan tokoh Aku untuk menjadi seorang Diri setelah memulai pertarungan terangterangan dengan ibu dan masyarakatnya
30
31
Nawal El Saadawi, Mudhakkirāt Ṭabībah, 16.
Nawal El Saadawi, Mudhakkirāt Ṭabībah, 21.
325
Deffi Syahfitri Ritonga : Eksistensi Perempuan dalam Novel …
adalah menolak perjodohan yang digagas orang tuanya dan memilih untuk melanjutkan pendidikannya sampai tingkat universitas dengan memilih fakultas kedokteran sebagai tujuannya. Melalui pendidikan, tokoh Aku percaya bahwa upayanya untuk menjadi seorang Diri pada tahap awal akan berhasil. Pilihannya pada fakultas kedokteran bukan sesuatu yang tanpa alasan. Tokoh Aku ingin menumbuhkan kekaguman dan pujaan dari ibunya sebagai perempuan yang sama dengannya, namun masih bertahan dengan pandangan-pandangan lama nan kuno yang meyakini bahwa tugas utama perempuan adalah menyenangkan dan menghambakan dirinya untuk laki-laki. Dalam hal ini, pola pikir kuno yang dimiliki ibunya dalam pandangan Beauvoir dapat disamakan dengan perempuan mistis yang lebih rendah dari pelacur rendahan. Institusi pernikahan telah menjadikan perempuan sebagai hamba yang sukarela memberikan diri dan tubuhnya dalam penghambaan terhadap laki-laki yang diikat oleh berbagai kepercayaan kuno bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang memberikan seluruh hidupnya untuk kesenangan lakilaki. Selain kekaguman dari ibunya, tokoh Aku juga ingin menumbuhkan kegaguman bahkan ketakutan dari ayahnya, saudarasaudara lelakinya, serta masyarakat yang menganggap bahwa profesi dokter adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan dan tokoh Aku mampu melakukannya. Keinginan tokoh Aku menunjukkan eksistensinya pada tahap awal menemui kendala dari dalam dirinya sendiri. Ilmu kedokteran tidak semudah yang dibayangkannya. Konsekuensi besar dari ilmu kedokteran adalah ia harus menjadikan dirinya manusia tanpa rasa. Kesehariannya yang mengharuskan bertemu mayat dan tubuh-tubuh penyakitan tanpa pakaian atau tidak, mengorek-ngorek dan memotong setiap inci tubuh mereka pada masa-masa awal menjadikannya ragu. Namun di titik ini, sekali lagi ia harus meyakinkan dirinya. Keraguan dalam dirinya hanya akan mengembalikannya pada kehidupan hina
326
sebagai seorang perempuan bodoh yang dalam pandangan masyarakatnya hanya pantas berakhir di rumah, mengurusi segala keperluan suami, anak, dan memasak serta memastikan mereka tidak kelaparan. Tidak, tokoh Aku menyadari bahwa dirinya tak ingin kembali pada kehidupan itu. Ia telah memutuskan untuk memulai pertarungannya, itu berarti bahwa ia harus siap dengan segala konsekuensi dan kepahitan dari pilihannya untuk menjadi seorang Diri. b. Tokoh Tuti Gambaran mengenai kehidupan tokoh Tuti dimulai saat dewasa dan telah berhasil melampaui gambaran-gambaran negatif tentang perempuan yang berkembang di masyakatnya dengan membuktikan dirinya sebagai perempuan berpendidikan tinggi, bekerja, berpenghasilan, dan mampu eksis dalam perkumpulan pemuda di ranah publik tanpa harus meninggalkan tugasnya sebagai perempuan di ranah domestik. Dalam episode-episode awal, gambaran kesadaran diri tokoh Tuti secara lugas diperlihatkan melalui sikapnya yang penuh perhitungan, hati-hati, dan tak lekas kagum terhadap sesuatu apapun. Tuti bukanlah seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap serta banyak yang akan dapat dikerjakan dan dicapainya. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebab itu ia jarang memuji. Tentang apa saja ia mempunyai pikiran dan pemandangannya sendiri dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasarkan pertimbangan yang disokong oleh keyakinan yang pasti. Jarang benar ia hendak melombarlombar, turut menurut dengan orang
Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXII No.2, Juli 2016
lain, apabila sesuatu tidak sesuai dengan kata hatinya.32 Kesadaran dalam diri tokoh Tuti yang tinggi telah menimbulkan keinginankeinginan besar dan tak terbatas dalam dirinya untuk melakukan sebuah transformasi sosial demi memperbaiki nasib kaumnya yang selama ini tersubordinasi oleh paradigmaa budaya yang tidak ramah gender. Berbeda dengan tokoh Aku dalam novel Mudhakkirāt Ṭabībah yang demi mempertahankan kesadaran dirinya sebagai sang Diri, ia menarik dirinya dari kehidupan berbaur dengan orang lain, tokoh Tuti justru memilih masuk ke dalamnya dan menjadi bagian dari sebuah perkumpulan pemuda dan perempuan. Bagi tokoh Tuti kesempatannya untuk menjadi sang Diri, perempuan yang tidak lagi dijadikan objek oleh subjek namun telah berubah menjadi relasi yang setara adalah dengan membuktikan dirinya mampu melakukan transformasi sosial di ruang publik tanpa harus meninggalkan tugasnya sebagai perempuan di ranah domestik. Posisinya sebagai perempuan yang memiliki kesadaran diri tinggi akan eksistensinya sebagai Diri menjadikan tokoh Tuti giat menghadiri rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan gerakan pemuda dan Puteri Sedar. Tidak hanya itu, untuk membuktikan eksistensinya sebagai tipos perempuan modern ideal yang tak lagi sibuk dan terdistorsi kediriannya akibat pandangan-pandangan negatif dari luar dirinya, tokoh Aku membekali dirinya dengan beragam pengetahuan yang mampu mencerdaskan dirinya dan membenarkan pola pikirnya, terutama yang berkaitan dengan kebangkitan perempuan. Baginya, mentalitas perempuan yang lemah akibat konstruksi budaya dan sejarah harus dihapus dan diperbaiki, jika tidak, perempuan akan selamanya terdistorsi oleh pandangan-pandangan dari luar dirinya yang tidak saja melemahkan, tetapi juga
membunuh dirinya dengan kehilangan akan kontrol terhadap dirinya. Tokoh Tuti dalam sebuah pidato, memberi gambaran betapa gelapnya kehidupan perempuan yang tidak mempunyai kesadaran diri dan merelakan segenap eksistensinya melebur dalam penghambaannya yang berlebihan terhadap lelaki. “Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukanlah manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak-anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimuliamuliakan selagi disukai, tetapi dibuang apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya.”33 Sejalan dengan konsep Beauvoir dalam feminisme eksistensialisnya, untuk melepaskan diri dari posisi keliyanan, perempuan harus berani bangkit, perempuan harus berani keluar dari segenap paradigmaa negatif yang melingkupinya dan mulai menciptakan dirinya yang baru. Perempuan harus memiliki kekuatan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, serta keberanian untuk eksis di ruang publik adalah segenap cara yang bias dilakukan perempuan untuk membuktikan dirinya. Sebagai perempuan yang aktif dalam pergerakan, tokoh Tuti menyadari betul perkara itu. Keinginannya yang kuat untuk menciptakan suatu tipos perempuan baru dalam masyarakat yang akan hidup sejajar dengan laki-laki direalisasikannya lewat sikap dan pemikiran-pemikaran yang dihembuskannya di ruang-ruang pertemuan. Kepercayaan yang telah berurat akar tentang perempuan yang baik hanyalah mereka yang secara sukarela memberikan
32
Sutan Takdir Alisjahbana, Layar Terkembang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1936): 3-4.
33
Sutan Takdir Alisjahbana, Layar Terkembang, 41.
327
Deffi Syahfitri Ritonga : Eksistensi Perempuan dalam Novel …
tubuh dan kehidupannya untuk kesenangan lelaki dalam penghambaan tak terperi harus dirubah. Perempuan harus mulai berani menunjukkan dirinya. Memperlihatkan pada dunia bahwa ia bukanlah entitas tanpa eksistensi dan esensi. “Tetapi lebih dari segalanya haruslah kaum perempuan sendiri insaf akan dirinya dan berjuang untuk mendapatkan penghargaan akan kedudukan yang lebih layak. Ia tiada boleh menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain, apalagi golongan laki-laki yang merasa akan kerugian, apabila ia harus melepaskan kekuasaannya yang telah berabad-abad dipertahankannya.kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapatkan hak kita sebagai manusia. Kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang bebas berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya melihat kepada siapapun. Yang percaya akan tenaga dirinya dalam segala soal pandai berdiri sendiri dan berpikir sendiri. Yang berani menanggung jawab atas segala perbuatan dan buah pikirannya. Malahan yang hanya akan melangsungkan suatu pekerjaan yang sesuai dengan kata hatinya. Yang akan berterus terang mengatakan apa yang terasa dan terpikir kepadanya dengan suara yang tegas dan keyakinan yang pasti.”34 Serupa tokoh Aku, pilihan tokoh Tuti untuk menjadi Diri dengan menyadari eksistensinya menimbulkan dampak lain yang berpengaruh pada dirinya. Meskipun tokoh Tuti berusaha menjaga kesadarannya dengan tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran lain di luar dirinya, namun ternyata ia tetaplah seorang perempuan yang sama seperti tokoh aku. Perempuan yang sama-sama takluk pada keinginan dirinya untuk merasakan cinta 34
Sutan Takdir Alisjahbana, Layar Terkembang, 4748.
328
dan kasih sayang dari pihak lain di luar dirinya. Walaupun begitu, terdapat perbedaan besar antara tokoh Aku dengan tokoh Tuti dalam menyikapi perasaan cinta. Jika perasaan ingin mencintai dan dicintai dalam diri tokoh Aku muncul akibat pelarian dari kelelahannya akan pilihan hidup yang telah dibuatnya, pilihan untuk mencintai dan dicintai yang benar-benar tumbuh dari dalam hatinya meski tetap berusaha mempertahankan nilai dirinya sebagai subjek tanpa dipengaruhi oleh pihak-pihak dari luar dirinya, maka tokoh Tuti berbeda. Secara sadar meski tidak sefrontal tokoh aku, tokoh Tuti membuat batasan yang jelas antara dirinya dengan orang lain, utamanya dengan laki-laki. Dalam menyikapi suatu bentuk hubungan istimewa dengan laki-laki, tokoh Tuti tampaknya tahu betul bagaimana mempertahankan posisinya sebagai mitra sejajar laki-laki, bukan sebagai hubungan subjek yang meliyankan objek. Jika kemudian tokoh Tuti terjebak dalam kekacauan perasaannya akan keinginan untuk dicintai dan mencintai, maka sepenuhnya itu didasari dari sesuatu pandangan yang berasal dari luar dirinya. C. Kesmipulan Dari analisa bandingan feminism eksistensialis yang telah di lakukan terhadap novel Mudhakkirāt Ṭabībah El Saadawi dan Layar Terkembang STA, peneliti sampai pada simpulan-simpulan sebagai berikut. Tokoh Aku sebagai tokoh sentral dalam novel Mudhakkirāt Ṭabībah digambarkan El Saadawi sebagai pihak oposisi yang memiliki kecenderung berlebih dan bahkan berseberang dengan segala macam bentuk kebudayaan dan ajaran agama yang mengacu pada subordinasi terhadap perempuan. Yang menarik dari narasi El Saadawi berkenaan dengan tokoh Aku adalah kesimpulannya yang memandang permasalahan pelik yang diiringi pandangan-pandangan sinis dan curiga tokoh Aku terhadap institusi budaya dan agama seolah menjadi persoalan yang
Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXII No.2, Juli 2016
dihadapi semua perempuan di seluruh dunia. El Saadawi lewat tokoh Aku terkesan memaksakan pandangannya untuk diterima semua perempuan dengan berbekal pandangannya yang sinis bahwa budaya dan agama selalu bersekongkol membetuk subordinasi terhadap perempuan. Berbeda dengan tokoh Aku yang memiliki kecenderungan curiga berlebihan terhadap budaya, agama, dan masyarakat dalam relasi laki-laki dan perempuan, tokoh Tuti dalam Layar Terkembang justru hadir menghidupkan pola relasi laki-laki dan perempuan yang berimbang, moderat, dan penuh kompromi. Melalui tokoh Tuti, STA menggambarkan perempuan yang memperjuangkan persamaan haknya untuk hidup setara tak harus dilakukan dengan cara radikal seperti tokoh Aku yang memilih membuat garis yang jelas antara dirinya dengan lingkungan, masyarakat, dan keluarganya sendiri, tetapi bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun, berkelas, serta menggambarkan pribadi perempuan berpendidikan yang bijaksana. Tokoh Tuti memang memiliki beberapa kesamaan prinsip dengan tokoh Aku utamanya berkaitan dengan lelaki mana yang pantas untuk menjalin suatu hubungan cinta kasih dengannya, tentang prinsip untuk lebih memilih kehilangan sepenuhnya daripada mendapatkan sesuatu yang setengah-setangah. Namun ia tidak pernah membenci dirinya terlahir sebagai seorang perempuan layaknya tokoh Aku. Sekilas pandang, tokoh Aku dan tokoh Tuti sama-sama terkesan memiliki kadasaran diri yang tinggi akan keberadaannya sebagai sang Diri yang tidak teralienasi oleh pandangan umum yang berkembang. Namun jika ditelisik lebih lanjut, tokoh Aku tampaknya lebih mendekati pada apa yang disebut filsafat eksistensialisme Sartre sebagai other is the hell. Konsep kesadaran diri adalah sesuatu yang egois. Menerima kesadaran diri orang lain berarti siap secara suka rela meliyankan diri sendiri demi langgengnya eksistensi orang lain. Akan tetapi, tembok penghalang yang dibangun tokoh Aku untuk
melindungi keberadaan dirinya sebagai subjek (Diri) seketika roboh hanya kerena ketidakstabilan dalam sikap yang ditunjukkan tokoh Aku utamanya dalam kasus mengenai percintaan. Seperti yang dikemukakan Sartre dan Beauvoir, cinta adalah permasalahan awal yang akan membawa Diri menuju kebinasaan. Meski demikian, mengikut pada konsep eksistensialisme Sartre dan Beauvoir, bukan berarti tokoh Tuti tidak memiliki eksistensi sebagai bukti akan kesadaran dirinya. Tokoh Tuti sebagai tipos perempuan baru yang hampir sempurna dengan standar-standar yang ditetapkannya dalam kehidupannya hadir dengan suatu bentuk eksistensi yang baru. Kesadaran dirinya sebagai makhluk sosial menjadikan tokoh Tuti mampu berdialektika dengan lingkungan dan perlahan-lahan mengubah cara pandang negatif tentang perempuan yang ada dalam kepercayaan masyarakatnya. Tokoh Tuti eksis dengan kesadaran diri serta keinsyafannya yang tinggi akan keberadaan dan harga dirinya sebagai tipos perempuan modern, di saat yang bersamaan tanpa menurunkan standarstandar hidupnya, ia juga hadir menerima keberadaan dan pandangan orang lain. Pada titik ini, konsep eksistensialisme Sartre menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik, “Mungkinkah erte on soi dan erte pour soi berjalan bersamaan?” D. Daftar Pustaka Alisjahbana Sutan Takdir. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka, 1936. Alisjahbana, Sutan Takdir. “Kesusastraan di Zaman Pembangunan Bangsa.” Pudjangga Baru, Th.IV, No.10 (1938). Amireh, Amal. “Framing Nawal El Saadawi: Arab Feminism in A Transnational World.” SIGN: Jurnal of Woman in Culture and Society, Vol.26, No.1 (2000): 215-249.
329
Deffi Syahfitri Ritonga : Eksistensi Perempuan dalam Novel …
B.,
Brummett. Techniques of Close Reading. Los Angeles: SAGE, 2010. Beauvoir, Simone de. The Second Sex, First Vintage Ebook Edition. New York: Vintage House, 2011. Berberick, Stephanie Nicholl. “The Objectification of Women in Mass Media: Female Self-Image in Misogynist Culture.” The New York Sociologist, Vol. 5 (2010): 1-15. Coin, Francesca. “On The Condition of Colonized Woman: The Nervous Conditions of Firdaus in Nawal El Saadawi’s Woman at The Point Zero (1983) Giunti, Firenze 2001.” Departe Estuli Profughe (2006): 423-434. Elber, Lynn."Are women On TV being sexually exploited? Female TV characters are sexual targets, says new study". The Huffington Post, Retrieved 21 November 2014. Gan, Su-Lin dan Dolf Zillman. “Stereotyping Effect of Black Women’s Sexual Rap on White Audiences.” Basic and Applied Socil Psychology, Vol. 19, No.3 (1997): 381-399. Goffman, Erving. Gender Advertisements. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979. Saadawi, Nawal El. Mudhakkirāt Ṭabībah. Beirut: Da>r al-Ma’a>rif, 1960. Saadawi, Nawal El. Walking Through Fire: The Later Years of Nawal El Saadawi. London: Zed Books Ltd, 2002 Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness: A Phenomenological Essay on Ontology. Sartre, Jean-Paul. Existentialism is a Humanism. London, New Heaven: Yale University Press, 1996. Sudarnoto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Rajawali Press, 1996. Sugihastuti dan Itsna Hadi saptiawan. Gender dan Inferioritas Perempuan: Praktik Kritik Sastra
330
Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.. Syahrir, Sutan. “Kesusastraan dan Rakyat.” Pudjangga Baru, Th.V, No.11/12 (1938). Tong, Rosemary Putnam. Feminst Tought, Edisi Ke-3. USA: Westview Press, 2009.