Ragam Isi Manusia terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Zakat, infaq, dan shadaqah merupakan sebagian dari amal-amal yang memberikan manfaat bagi orang lain. Perintah membayar zakat, berinfak, dan bershadaqah kita dapati bertebaran di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Allah memerintahkan zakat berdampingan dengan perintah shalat pada 82 tempat dalam al-Qur’an. Ini menunjukkan hubungan erat antara keduanya. .......................... 3
Tafsir al-Qur’an: Surat al-Baqarah ayat 8-20 (Bagian ke-2) Allah menjelaskan tingkah laku dan sifat-sifat golongan munafik, yaitu orang-orang yang menampakkan keimanan dan kebaikannya, tetapi merahasiakan kejahatannya. Menurut Ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang perkataannya tidak sama dengan perbuatannya, batinnya tidak sama dengan lahirnya............................. 6
Tuntunan Akidah: Makna dan Konsekuensi La Ilaha illa Allah (Bagian ke-3) .............................. 14
foto: fbs
Salam Tabligh:
Pengajian adalah lembaga pendidikan non formal untuk pembelajaran Islam. Dalam pengajian, usaha untuk menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dilakukan melalui interaksi antara ustadz (guru) dan jamaah (anggota).
Tuntunan Akhlak: Berlaku Adil (2) ................ 18 Adab: Larangan Berbohong................................ 27 Tuntunan Ibadah: Shalat Layl Rasulullah ...........................................32 Tuntunan Muammalah: Tuntunan Hutang Piutang (4- Habis).....................37 Syarah Hadits: Benarkah Perbedaan itu Rahmat? ...............................51 Dinamika: Pengajian Umum Ahad Pagi Mojokerto Ibarat Sungai yang Besar ................. ....................55 sampul, foto & kaligrafi:
[email protected]
Pemimpin Umum: Agus Sukaca. Wakil Pemimpin Umum: Ahmad Supriyadi. Pemimpin Perusahaan: Ismail Siregar. Pemimpin Redaksi: Farid B. Siswantoro. Dewan Ahli: Drs. H. Andy Dermawan, M.A. (Koordinator); Prof. Drs. H. Sa’ad Abdul Wahid, Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A. (Tafsir); H. Fathurrahman Kamal, Lc., M.Si., Dr. H. Syamsul Hidayat, M.Ag., Drs. H. Zaini Munir, M.Ag. (Aqidah); Dr. Mohammad Damami, M.Ag., Drs. H. Hamdan Hambali, Drs. Yusuf A. Hasan, M.Ag., Drs. H. Muhsin Haryanto, M.Ag., Drs. Marsudi Iman, M.Ag. (Akhlak); Syakir Jamaluddin, S.Ag., M.A., Ghofar Ismail, S.Ag., M.Ag., Asep Salahuddin, S.Ag., Drs. H. Kamiran Qomar (Ibadah); Drs. H. Dahwan, M.Si., H. Okrisal Eka Putra, Lc., M.Ag., Drs. H. Najib Sudarmawan, Drs. H. Khamim Z. Putra, M.Ag. (Muammalah). Sidang Redaksi: M. Yusron Asrofie (Tafsir), Ahmad Muttaqien (Akidah), Farid Setiawan (Akhlak), Ridwan Hamidy (Ibadah), Wijdan Al-Arifin (Muamalah), Arif Jamali (Dinamika), Mahli Zainuddin Tago (Sosok), Adim Paknala (Rancang Grafis), Munichy B. Edrees (Artistik), Nuruddin T. Widiyanto (Dokumentasi), Sutoto Jatmiko (Sekretaris Redaksi). Manajer Pemasaran: RCA Pradipto Kuswantoro. Manajer Keuangan: Zulbahri Sutan Bagindo. Distribusi & Iklan: Sukirman, Purwana. Diterbitkan oleh: Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Alamat: Jl. KHA. Dahlan 103 Yogyakarta-55262 telp. +62-274-375025 fax. +62-274-381031 email:
[email protected]
Rekening bank: Bank Syariah Mandiri nomor: 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM.
? ?
Anda belum bisa ceramah Anda belum bisa pidato Itu bukan penghalang untuk berdakwah
!
Anda bisa berdakwah dengan cara memberikan
TUNTUNAN ISLAM kepada teman, kerabat, tetangga, saudara dan handai taulan...
minat berlangganan Tuntunan ISLAM? hubungi agen terdekat: | Ambon 0813.430.86.343 | Balikpapan 0813.4741.7222 | | Banjarnegara 0813.9152.7890 | Banyumas 08564.789.5017 | | Batang 0815.654.7164 | Berau 0811.596641 | Blora 0813.2877.1832 | | Bontang 0812.581.9262 | Boyolali 0857.2557.9118 | Demak 0857.2617.1950 | | Grobogan 0813.2562.0937 | Gunungkidul 0878.3916.2755 | | Jakarta Barat 081.707.39.789 | Jakarta Pusat 0815.8415.4260 | | Jember 081234.64.793 | Jepara 0813.2524.1985 | Kebumen 0878.3779.7773 | | Karanganyar 0816.427.9538 | Kendal 08122.564.103 | Klaten 0817.942.742.3 | | Kudus 0291-333.1220 & 0815.7881.6153 | Kulonprogo 0877.3844.8284 | | Lampung 0812.3051.3118 | Luwuk Banggai 0817.693.5003 | | Magelang (kab.) 0813.282.565.22 | Magelang (kota) 0293-363.792 | | Malang 0812.5257.5100 | Manado 0813.5640.3232 | | Muko-Muko 0852.6849.0850 | Pekalongan (kab.) 0858.42.0404.77 | | Pekalongan (kota) 0856.4220.5499 | Purworejo 08522.692.1756 | | Purbalingga 0821.34.600.222 | Samarinda 0812.538.0004 | | Singaparna-Tasikmalaya 085322.400.124 | Sragen 0852.9371.1479 | | Surakarta 0815.4854.6529 | Temanggung 0877.1919.7899 | | Tegal (kab.) 081228493543 | Tegal (kota) 085327910021 | |Wonosobo 0813.2871.8161 | Yogyakarta 0857.29.844.448 | 0818.040.85.282 (XL) 08532.887799.7 (As) 08571.292.3.505 (IM3) (administrasi/pemasaran)
0813.2824.8448 (iklan, sms) email:
[email protected] Akun bank: Bank Syariah Mandiri, nomor rekening: 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM
Salam Tabligh
Agus Sukaca
M
anusia terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) merupakan sebagian dari amal-amal yang memberikan manfaat bagi orang lain. Perintah membayar zakat, berinfak, dan bershadaqah kita dapati bertebaran di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Allah memerintahkan zakat berdampingan dengan perintah shalat pada 82 tempat dalam al-Qur’an. Ini menunjukkan hubungan erat antara keduanya. Di antaranya Allah berfirman: Dan dirikanlah shalat dan berikan zakat (QS an-Nur, 24: 56).
Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mendirikan shalat, menunaikan zakat, beramar makruf nahi mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS al-Hajj, 22: 41)
Zakat merupakan salah satu pilar dari lima pilar utama bangunan Islam, sebagaimana sabda Rasulullah: “Islam itu dibangun di atas lima pilar: persaksian bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah” (HR Muttafaq ‘alaih) Ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW memerintahkan: “Ajarilah mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang miskin di antara mereka”. (HR Bukhari) Zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) adalah ibadah dengan dimensi sosial tinggi yang menjadi solusi bagi pengentasan kemiskinan dan pembiayaan perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam. Oleh karena itu nilai kemanfaatannya bagi orang lain sangatlah besar. “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”, demikian sabda Nabi SAW. (Kitab Bukhari hadis no. 1339). Persoalannya, kebanyakan justru merasa lebih senang ketika menerima. Beberapa kasus berikut ini sebagai bukti. EDISI 6/2012
3
Kasus pertama, dalam pembagian zakat sering menimbulkan kerumunan orang banyak. Mereka rela berdesakdesakan selama berjam-jam sekedar untuk mendapatkan bagian yang jumlahnya tidak seberapa, ada yang sampai pingsan bahkan meninggal dunia. Kenapa mereka melakukan itu? Apakah karena mereka miskin? Kasus kedua, pada saat launching produk telepon seluler merek tertentu dengan harga diskon beberapa waktu lalu, banyak orang rela mengantri, berdesak-desakan, sampai ada korban. Mereka ingin mendapatkan HP dengan harga lebih rendah. Apakah karena mereka miskin? Kasus ketiga, banyak orang kegi-rangan ketika menerima sesuatu, tetapi diam atau bahkan cemberut saat diajak berinfaq. Senang menerima tanpa diikuti senang memberi mempersempit rejeki. Nabi SAW bersabda dalam tiga riwayat berikut. “Berinfaqlah dan jangan kamu hitung-hitung (pelit) karena nanti Allah akan berhitung kepadamu dan jangan kamu tutup rapat guci tempat menyimpan makanan itu karena nanti Allah akan menutup rejekimu” (Kitab Bukhari hadits no. 2402). “Perumpamaan bakhil (orang pelit bershadaqah) dengan munfiq (orang yang suka berinfaq) seperti dua orang yang masing-masing me-ngenakan baju jubah terbuat dari besi yang hanya menutupi buah dada hingga tulang selangka keduanya. Adapun orang yang suka berinfaq, tidaklah dia berinfaq melainkan bajunya akan me4
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
longgar atau menjauh dari kulitnya hingga akhirnya menutupi seluruh badannya sampai kepada ujung kakinya. Sedangkan orang yang bakhil, setiap kali dia tidak mau berinfaq dengan suatu apapun maka baju besinya akan menyempit sehingga menempel ketat pada setiap kulitnya dan ketika dia mencoba untuk melonggarkannya maka dia tidak dapat melonggarkannya” (Kitab Bukhari hadits no.1352). “Janganlah kamu berkarung-karung (kamu kumpulkan harta dalam karung lalu kamu kikir untuk menginfaqkannya) sebab Allah akan menyempitkan reziki bagimu dan berinfaqlah dengan ringan sebatas kemampuanmu” (Kitab Bukhari hadits no. 1344). Orang suka memberi yang diniatkan hanya untuk mencari ridha Allah, pasti diberikan balasan pahala buatnya (Kitab Bukhari hadits no 1213). Bentuk dan jumlahnya bermacam-macam. Bersabda Rasulullah: “Barangsiapa menginfaqkan hartanya yang utama di jalan Allah, maka baginya tujuh ratus pahala” (Kitab Ahmad hadits no. 1598). “Sesungguhnya shalat, puasa dan dzikir akan dilipat gandakan di atas berinfaq di jalan Allah sebanyak tujuh ratus kali lipat” (Kitab Abu Daud hadits no. 2137). Memberi dengan ikhlas karena Allah adalah bentuk kesyukuran kepada-Nya. Allah mempersiapkan tambahan nikmat bagi orang-orang yang bersyukur. Membiasakan memberi berarti membangun sikap keberlimpahan. Orang berkelimpahan adalah orang kaya. Perasaan
berkelimpahan adalah fondasi utama orang kaya. Orang yang bersyukur dengan membiasakan memberi berarti ia sedang memanggil nikmat Allah untuk menghampirinya dan telah memiliki fondasi kuat menjadi kaya. Anda merasa lebih berbahagia ketika sedang menerima sesuatu atau ketika sedang memberi? Lebih senang memberi adalah mental orang kaya dan sebaliknya adalah mental orang miskin. Bila Anda lebih merasa bahagia ketika menerima sesuatu (tangan di bawah) dibanding saat memberi, sebenarnya Anda sedang memelihara kemiskinan, terlepas berapapun harta yang Anda miliki. Allah memerintahkan kita menjadi kaya dengan mewajibkan membayar zakat. Abubakar, saat menjadi khalifah, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Kebolehan tidak membayar zakat hanya dalam keadaan darurat, yakni ketika tidak mampu. Orang yang tidak mampu akan menjadi obyek yang berhak menerima bagian zakat. Tentu Anda tidak mau dalam kondisi darurat sepanjang hayat! Artinya, Anda harus berjuang melaksanakan perintah Allah tersebut dengan berusaha menjadi kaya. Siapapun yang bersungguhsungguh, Allah pasti menunjukkan jalan mencapainya. Jalan menuju kaya diawali dengan memiliki perasaan senang ketika memberi. Berapapun Anda memberi tidak masalah. Yang penting merasakan kebahagian ketika memberi dan perasaan itu lebih kuat dibanding yang Anda
rasakan ketika mendapatkan uang atau harta lainnya. Berapa anggaran Anda untuk menjadi “tangan di atas”? Membiasakan memberi perlu anggaran khusus. Tidak mungkin hanya dengan sisa anggaran pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga. Ketika penghasilan Anda kecil, mungkin tidak terpikirkan membeli barang-barang kebutuhan sekunder atau tersier. Seiring meningkatnya penghasilan, kebutuhan pribadi dan keluarga juga semakin meningkat sehingga boleh jadi tidak bersisa. Bahkan ada yang justru berani berhutang untuk memenuhi keinginannya yang memerlukan anggaran lebih besar dari penghasilan. Cara terbaik adalah menyiapkan pos anggaran khusus! Jumlahnya mengikuti besarnya penghasilan, minimal 2,5 persen. Bila dianggarkan lebih besar pasti manfaatnya akan lebih dahsyat. Itupun dikeluarkan di depan supaya tidak tergoda menggunakannya untuk keperluan lain. Jangan menunggu nishab! Bayangkan dalam pikiran bahwa Anda telah menjadi kaya, dan bulan depan Anda akan membayar lebih banyak. Allah pasti menyiapkan jalan untuk mewujudkannya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: “Aku bersama persangkaan hambaKu kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku (HR Muslim dari Abu Hurairah). Wallahu a’lam!
Bantul, 14 Rabi’ul Akhir 1433 Agus Sukaca EDISI 6/2012
5
Tafsir al-Qur’an SURAT AL-BAQARAH (2): 8-20 SIKAP ORANG-ORANG MUNAFIK (bag. ke-2)
6
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
“Artikel ini adalah bagian kedua dari tafsir surat al-Baqarah ayat 6-20 tentang Sikap Orang-orang Munafik. Pada bagian pertama, telah dijelaskan mengenai: tafsir mufradat dan tafsir ayat, yakni pada ayat 6-13...”
terhadap orang-orang mukmin. Kemudian Allah membalas olokolokan mereka itu dengan balasan yang lebih pedih, sebagaimana ditegaskan pada ayat berikutnya; yakni ayat 15.
S
ifat orang-orang munafik dilukiskan lebih jelas lagi pada ayat 14:
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” Demikianlah ciri-ciri orang-orang munafik pada masa turunnya al-Qur’an, pada masa Nabi Muhammad SAW. Kemunafikan dan kerusakan akhlaknya sudah tidak terukur lagi. Mereka menampakkan diri dengan dua wajah dan berkata dengan dua mulut. Ciri-ciri semacam itu telah diwarisi oleh orang-orang munafik masa kini, bahkan lebih canggih lagi, sehingga kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan lebih besar. Sebenarnya orang-orang munafik itu telah merahasiakan sikap mereka dengan sangat ketat, agar tidak ketahui oleh kaum mukminin. Tetapi Allah membukanya lewat ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah, sehingga dapat diketahui rencana jahat mereka
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Istihza’(olok-olokan) tersebut diwujudkan oleh Allah SWT dalam bentuk memperpanjang kenikmatan-kenikmatan kepada mereka, dan menunda siksaan terhadap mereka, sehingga pada akhirnya justru mereka merasa sangat tersiksa karena tertipu sendiri. (Rasyid Rida, II:164). Orang-orang munafik sebenarnya telah berusaha dengan seluruh kemampuannya untuk menipu Nabi dan orangorang mukmin, tetapi tipu daya Allah SWT. adalah lebih baik. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya (makar), dan Allah membalas tipu daya (makar) mereka itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya (QS. Ali Imran, 3: 54). Bentuk istihza’Allah kepada orangorang munafik diungkapkan juga dalam beberapa ayat lainnya dengan ungkapan EDISI 6/2012
7
yang berbeda, seperti dalam surat alHadid berikut.
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah, kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. Dikatakan (dijawab kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa (QS. alHadid, 57: 13). Dalam surat al-Muthaffifin Allah juga berfirman:
8
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang (dahulunya di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman (29). Dan apabila orangorang yang beriman berjalan di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya (30). Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira (31). Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu adalah benar-benar orang-orang yang sesat” (32). Padahal mereka itu tidak dikirim untuk menjadi penjaga bagi orang-orang mukmin (33). Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir (34). (QS. al-Muthaffifin, 57: 13). Kemudian pada ayat 16, kaum munafik itu dinyatakan bahwa usahanya tidak berhasil, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah berikut.
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah, 2: 16). Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa orang-orang munafik itu telah membeli kesesatan dengan petunjuk. Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa kesesatan mereka adalah karena perlakuan dan usaha mereka sendiri, bukan karena diciptakan demikian secara paksa. Sebab, pada dasarnya manusia
itu dilahirkan dalam keadaan beriman kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)” (QS al-A’raf: 172).
Kemudian ayat 16 surat al-Baqarah tersebut ditutup dengan firman-Nya:
Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. Karena usaha mereka tidak menghasilkan buah yang nyata, bahkan mereka merugi dan kecewa, karena perpanjangan kenikmatan kepada mereka dan penundaan hukuman bagi mereka tidaklah ada manfaatnya. Dan mereka tidak memperoleh petunjuk, karena mereka tidak dapat memahami al-Qur’an dengan pemahaman yang benar. Untuk mempermudah pemahaman tentang sifat-sifat kaum munafiqin, Allah membuat perumpamaan bagi mereka, karena penjelasan dengan perumpamaan lebih mudah dipahami. Maka, pada ayat 17-18, Allah mengungkapkan mereka dalam perumpamaan sebagai berikut.
GRIYA MUSLIM MENTARI Timur Pasar Tambak, Banyumas, Jawa Tengah
menyediakan: busana muslim / muslimah buku-buku Islam, produk herbal dan lain-lain Distributor NIBRAS Fashion
Agen Berkala Tuntunan ISLAM wilayah Kecamatan Tambak, dsk.
087.737.033.838 EDISI 6/2012
9
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (17). Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). (QS alBaqarah, 2: 17-18) Karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka dalam menjelaskan makna dan maksudnya dipergunakan uslub (susunan) bahasa Arab. Amsal (perumpamaan) adalah salah satu uslub yang banyak digunakan dalam al-Qur’an untuk menjelaskan berbagai masalah. Amsal atau perumpamaan lebih mudah dipahami, lebih mudah menembus jiwa seseorang, dan pengaruhnya sangat besar. Selain itu, dengan perumpamaan lebih mampu menampakkan hal-hal yang tersembunyi dan lebih kuat dalam menghapus serta menghilangkan kesamaran. Untuk itulah Allah menggunakan perumpamaan ini dalam menjelaskan keadaan orang-orang munafik pada ayat tersebut. Allah telah melukiskan gambaran keadaan orang-orang munafik ketika mula-mula masuk Islam, dan cahaya iman pun masuk dalam hati mereka. Tetapi kemudian, masuklah keraguan dalam jiwa mereka, lalu mereka mengingkari dan 10
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
meninggalkan cahaya iman, karena mereka tidak memperoleh keuntungan dan kebaikan. Maka mereka akhirnya tidak dapat melihat jalan hidayah dan tidak dapat mencapai jalan keselamatan, padahal cahaya iman itu telah menyinari orangorang yang berada di sekitar mereka, yaitu orang-orang mukmin. Keadaan mereka dilukiskan seperti orang yang menyalakan api untuk menghilangkan kegelapan di sekitar mereka. Tetapi setelah api itu menyinari tempat dan benda-benda di sekitarnya, turunlah kekuatan yang sangat rahasia dari langit, seperti hujan lebat atau seperti angin puyuh yang memporakporandakan dan memadamkan sinar tersebut, sehingga mereka berada dalam kegelapan dan tidak dapat melihat sesuatu pun yang berada di sekitar mereka. Selanjutnya, mereka seperti orang yang bisu, tuli dan buta, seperti orang yang kehilangan panca indera, karena tidak dapat memfungsikan panca inderanya. Apa gunanya pendengaran, jika tidak dimanfaatkan untuk mendengarkan petunjuk? Apa gunanya penglihatan, jika tidak dimanfaatkan untuk melihat sesuatu yang baik untuk dijadikan pelajaran guna menambah hidayah? Maka, barangsiapa tidak dapat memanfaatkan telinga, mulut dan mata untuk kebaikan, seakan-akan kehilangan seluruh panca inderanya. Sehingga, bagaimana mungkin mereka dapat keluar dari kesesatan atau kembali kepada kebenaran? Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang munafik, seperti dise-
butkan pada ayat 17 dan 18, karena mereka tidak memanfaatkan panca inderanya untuk kebaikan. (al-Maraghi, 1969, I: 59). Menurut al-Qasimy, amsal (perumpamaan) ini biasanya dipergunakan untuk menjelaskan keadaan, kisah-kisah atau sifat yang mempunyai keistimewaan dan keajaiban, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya ketika menjelaskan keajaiban surga berikut.
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); yang mengalir sungaisungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat terakhir bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat terakhir bagi orang-orang kafir ialah neraka. (QS. ar-Ra’d: 35) Pada ayat berikut, Allah berfirman tentang perumpamaan orang yang tidak beriman terhadap kehidupan akhirat:
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( QS an-Nahl, 60)
Pada surat al-Fath ayat 29, Allah berfirman menggambarkan amsal tentang kekuatan orang-orang beriman.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). (QS. Al Fath, 48: 29) Kisah surga adalah kisah yang sangat menakjubkan, baik keindahan maupun kenikmatannya, sifat Allah adalah sifat yang Maha Agung dan Maha Mulia, dan pengikut Nabi Muhammad juga sangat menakjubkan. Agar dapat dipahami secara lebih baik oleh manusia maka Allah menjelaskan dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. (alQasimiy, 1978, II: 56). Untuk lebih mengenal keadaan orangorang munafik, baik mereka yang hidup pada masa permulaan Islam maupun yang hidup pada masa kini atau pada masa yang akan datang, Allah menggambarkan mereka dengan perumpamaan yang lain, sebagaimana diEDISI 6/2012
11
sebutkan pada ayat 19 dan 20:
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan jarinya, karena (mendengar) petir, sebab takut akan mati. dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampirhampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS alBaqarah, 2: 19-20). Pada ayat 17 dan 18, Allah menggambarkan perumpamaan orang-orang munafik seperti orang yang menyalakan api, yang kemudian mereka padamkan lagi. Pada ayat 19 dan 20 ini Allah menggambarkan perumpamaan mereka seperti orang yang ditimpa hujan lebat, yang dapat melenyapkan pendengaran dan penglihatan. Yang demikian ini untuk 12
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Orang-orang munafik, menampakkan imannya, tetapi batin mereka tidak beriman sebagaimana orang-orang kafir. menggambarkan keadaan orang-orang munafik dan menjelaskan kekejian perbuatan mereka, dengan tujuan untuk memberi peringatan dan pelajaran agar berhati-hati terhadap mereka. Sebab mereka selalu menyebarkan fitnah dan kekacauan dalam masyarakat. Sebenarnya orang-orang munafik ini telah memperoleh hidayah Ilahiyah dari langit, tetapi kemudian mereka tertimpa kegoncangan iman dan kekacauan serta kegelapan taklid. Mereka juga merasa takut terhadap orang-orang kafir yang ada di sekitar mereka ketika mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan pendapat mereka. Lalu mereka mendapatkan cahaya hidayah lagi ketika didatangi seorang da’i, dan tampaklah bagi mereka tanda-tanda kekuasaan Allah dengan jelas, karena adanya bukti dan hujjah yang kuat. Maka, mereka pun mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk mengikuti kebenaran, karena cahaya hidayah tersebut. Namun, kemudian mereka kembali lagi kepada kegelapan dan kegoncangan jiwa, serta kebingungan. Bagaikan orang yang berada di padang pasir, yang ditimpa oleh kegelapan malam dan hujan lebat yang disertai angin ribut dan kilat, serta
guruh yang keras dan menakutkan, sehingga mereka harus menutupi telinga mereka dengan jari-jari tangannya. Tetapi usaha tersebut tidaklah dapat menyelamatkan mereka dari bencana yang telah ditetapkan Allah SWT. Semua itu mengandung hikmah dan kemaslhatan yang kadang-kadang tidak dapat kita ketahui. (al-Maraghi, I: 60). Rasyid Rida, dalam tafsirnya, memperingatkan agar berhati-hati terhadap penafsiran sebagian ulama yang kurang mengindahkan kesahihan sumbernya. Misalnya, al-Jalal as-Suyuti menafsirkan “ar-ra’ad” (guntur) adalah malaikat, atau suaranya, “al-baq” (kilat) adalah cambuknya, untuk menghalau awan. Seakanakan malaikat adalah makhluk yang bertubuh, sebab suara yang dapat didengar adalah ciri-ciri makhluk yang bertubuh. Dan seakan-akan awan adalah binatang khimar (keledai) yang bandel, tidak mau berjalan kecuali dengan dihardik dan dicambuk berkali-kali. Demikianlah pemahaman sebagian orang Arab. Sebenarnya, tidak boleh memalingkan dari makna alam syahadah (yang dapat dilihat) kepada makna alam ghaib (yang tidak dapat dilihat) yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Hanya saja, sebagian mufasir itu senang mengumpulkan penafsiran-penafsiran yang tidak ada sumbernya, seperti kisah-kisah israiliyat yang berasal dari orang-orang Yahudi, untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. (Rasyid Rida, I: 174). Sebagian besar kisah-kisah israiliyat disampaikan oleh empat tokoh yang terkenal, yaitu: Abdullah bin Salam,
Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibnu Munabbih dan Abdul Malik bin Abdil Aziz bin Juraij. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa periwayatan dari mereka tidak dapat dipercaya, dan harus ditinggalkan. (Az-Zahabi, 1976, at-Tafsir wa alMufassiruun, I:183). Ayat tersebut ditutup dengan firmanNya: Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Pernyataan ini sebagai ancaman terhadap orang-orang munafik, bahwa Allah berkuasa menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka jika berkehendak. Juga memberikan pengertian bahwa kehendak Allah amat erat kaitannya dengan kekuasaan-Nya. Kesimpulan Allah menyebutkan ciri-ciri orangorang munafik pada ayat-ayat tersebut dengan sepuluh sifat, yaitu al-kadzab (dusta), al-khida’ (reka daya), al-makr (makar), as-safih (dungu), istihza’ (penghinaan), al-ifsad (berbuat kerusakan), al-jahl (bodoh), adh-dhalal (sesat), at-tadzabdzub (terombangambing), dan as-sukhriyyah (sombong). Orang-orang munafik, menampakkan imannya, tetapi batin mereka tidak beriman sebagaimana orang-orang kafir. Karena itulah Rasulullah SAW. sangat berhati-hati terhadap mereka, dan memperingatkan kepada seluruh kaum muslim agar waspada, sebab sebenarnya mereka sangat berbahaya. Narasumber utama artikel ini: Prof. Drs. H. Saad Abdul Wahid EDISI 6/2012
13
Tuntunan Akidah Makna dan Konsekwensi
La IIaha Illa Allah (bagian ke-3, habis)
Pembatal dan Perusak Ikrar Lâ Ilâha illa Allâh
P
ada edisi sebelumnya telah dibahas makna, implikasi dan konsekwensi atas orang yang telah mengikrarkan kalimat tauhid Lâ Ilâha illa Allâh, yang realisasinya tidak dapat dipisahkan dengan ikrar Muhammadun Rasûlullâh. Kalimat La Ilaha illa Allah (syahadat tauhid) sebagai landasan prinsip, landasan ideologis bagi seorang Muslim, sedangkan kalimat Muhammadur Rasulullah (syahadat rasul) merupakan landasan metodologis yang harus dijalani setiap Muslim dalam mewujudkan makna Lâ Ilâha illa Allâh dalam kehidupannya. Allah menegaskan:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya 14
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Allah mengasihi dan mengampuni dosadosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imran: 31-32). Pada edisi ini, kajian diarahkan kepada perkara-perkara yang dapat menghalangi tegaknya nilai-nilai ikrar La Ilaha illa Allah, bahkan merusak dan membatalkannya, sehingga seorang Muslim kehilangan nikmat al-aqidah, al-iman dan al-Islam. Apabila perkara-perkara tersebut ada atau terdapat pada diri seorang Muslim, baik perkataan, tindakan dan keyakinan yang menghunjam dalam hati, upaya realisasi penegakan ajaran tauhid menjadi terhalang, atau hal-hal yang telah ditegakkan mengalami kerusakan bahkan batal, sehingga orang tersebut telah keluar dari Islam (murtad). Para ulama ahli ilmu aqidah, berdasarkan isyarat-isyarat dari ayat-ayat alQuran dan al-Sunnah al-Maqbulah,
telah merumuskan perkara-perkara yang dapat menghalangi tegaknya aqidah La Ilaha illa Allah, atau merusak bahkan membatalkannya yang biasa disebut dengan Nawaqid al-Aqidah. Dr. Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah al-Buraikan menyebutkan, ada tujuh perkara yang dapat merusak dan membatalkan kalimat La Ilaha illa Allah dengan segala konsekwensinya. Tujuh perkara tersebut adalah: Pertama, ketidaktahuan (al-jahl) terhadap makna syahadat karena tidak mau berusaha untuk tahu, dengan cara menuntut ilmu. Orang yang mengucapkan syahadat, baik syahadat tauhid maupun syahadat rasul tanpa mengetahui maknanya sama sekali tidak bermanfaat baginya, karena pasti tidak dapat menerapkan dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, bahkan bisa jadi malah melaksanakan yang bertentangan dengan nilai-nilai La Ilaha illa Allah. Kedua, keraguan (syakk), baik terhadap sebagian maupun seluruh dari makna dan kandungan syahadatain. Karena dengan demikian sebenarnya ia telah menganggap tauhid dan syirk, atau halal dan haram sama saja. Orang yang masih meragukan makna La Ilaha illa Allah, hampir mendekati orang yang tidak tahu. Karena dengan keraguannya itu, bahkan seandainya ia menganggap salah satu atas yang lain, hal itu tetap membutuhkan keyakinan. Ketiga, mempersatukan atau menyekutukan Allah subhanahu wataala dengan sesuatu selain Dia (syirk).
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim AS) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu . (QS az-Zukhruf : 26-28). Tentu dalam hal ini menuntut adanya pengetahuan tentang syirik dan batasanbatasannya, agar kita dapat menghindari syirik dan para pelakunya. Keempat, kedustaan dalam akidah (nifaq), yakni menampakkan iman dan menyembunyikan kekufuran.
Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: “Harta dan keluarga kami EDISI 6/2012
15
telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami”; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS al-Fath : 11). Kebalikan dari nifaq adalah mengetahui makna syahadat tauhid, menerimanya dengan hatinya, melaksanakan semua kewajiban yang menjadi konsekuensinya, dan hatinya jujur dengan apa yang diucapkan oleh lisannya. Kelima, membenci terhadap syahadat dengan segala maknanya, memusuhi orang-orang yang meyakini kebenarannya dan para penyerunya, serta berusaha menjauhkan manusia darinya dengan jalan menyeru kepada hal-hal yang bertentangan dengan kalimat itu, serta mendukung dan mencintai para penyeru tersebut dan menjadikan mereka sebagai sekutu selain Allah.
Dan diantara manusia, ada orangorang yang menyembah tandingan16
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS alBaqarah, 2: 165) Keenam, meninggalkan makna dan lafadh syahadat serta tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah menjadi konsekuensinya, baik secara umum maupun sebagian, dimana ia tidak melaksanakan rukun Islam dan perbuatan Islami; sekalipun ia mengklaim bahwa ia memahami, meyakini dan mencintai maknanya, serta memusuhi semua yang menyalahinya serta para pelakunya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasulrasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian
dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS an-Nisa, 4: 150-151) Ketujuh, menolak makna dan lafazh syahadat serta keyakinan akan kebenarannya. Kaum musyrikin Arab sebenarnya mengetahui makna syahadat, tetapi menolaknya dan tidak menyukainya.
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “La ilaha illa Allah” (tiada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahansembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS ash-Shaffat: 36). Tujuh perkara di atas merupakan perkara-perkara yang harus dicermati dan disikapi dengan hati-hati, supaya dapat dihindari dan tidak merasuk dalam jiwa kita. Tujuh perkarta tersebut lebih bersifat garis besar, yang kalau dirinci akan ditemukakan lebih banyak lagi. Dengan sikap yang hati-hati dan waspada baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain sesama mukmin, insya Allah aqidah la ilaha illallah dengan segala konsekwensinya dapat dijaga dan diperkuat. Nasrun Minallah. Narasumber utama artikel ini: Syamsul Hidayat, Dosen Fakultas Agama Islam UMS
EDISI 6/2012
17
Tuntunan Akhlak
Berlaku ADIL (Bagian ke-2) Pengantar ada edisi lalu telah dijelaskan bahwa Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ajaran adil. Dengan ajaran ini, misi Allah menurunkan ajaran Islam untuk menciptakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin dapat terwujud. Dewasa ini kita saksikan kehidupan umat manusia, khususnya di Indonesia, penuh dengan kekacauan dan kesengsaraan, hal ini karena nilai-nilai keadilan yang menjadi pokok ajaran Islam telah diabaikan. Berbagai kerusuhan dan tindak kekerasan, sebagian besar disebabkan oleh nilai keadilan yang telah hilang. Jika kita cermati kehidupan rumahtangga, apabila tanpa dilandasi nilai keadilan, dipastikan akan terjadi berbagai persoalan dan prahara, mulai dari kenakalan anak bahkan sampai perceraian. Umat Islam sengaja dipilih oleh Allah SWT, sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk memimpin manusia dalm memperoleh kemaslahatan mereka. Allah SWT berfirman:
P
18
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran, 3: 110) Memperhatikan ayat tersebut, maka umat Islam harus berada di posisi terdepan dalam menerapkan ajaran adil di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, umat Islam akan mampu melaksanakan misi mereka sebagai umat terbaik. Sebaliknya, tanpa penerapan ajaran adil tersebut, umat Islam tidak layak diperhitungkan sebagai umat terbaik. Penerapan Sikap dan Perilaku Adil Seorang muslim menyadari bahwa ajaran sikap dan perilaku adil adalah perintah Allah yang harus diterapkan dalam kehidupannya, meliputi: kehidupan pribadinya, kehidupan keluarganya, kehidupan masyarakatnya dan kehidupan negaranya.
Adil dalam Kehidupan Pribadi Pertama. Seorang muslim harus memiliki pandangan yang adil dalam melihat hukum-hukumAllah yang tampak berbeda antara dua jenis yang berlainan, khususnya antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam hal perannya dalam rumahtangga, pembagian warisan dan lain-lain. Artinya, seorang muslim harus melihat perbedaan hukum tersebut dalam perspektif keharusan adanya keseimbangan (tawazun) yang justru akan melahirkan kemaslahatan bagi manusia. Dia meyakini bahwa Allah SWT adalah Maha Adil. Dia menciptakan alam semesta didasarkan kepada adanya keseimbangan antara satu dengan yang lain. Maka dengan adanya keseimbangan inilah segala sesuatu di alam raya ini dapat berjalan dengan baik dan teratur. Allah SWT berfirman:
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.(QS al-Infithar, 82: 6-7) Dengan demikian seorang muslim akan menerima hukum-hukum Islam dengan hati yang ikhlas dan penuh kerelaan hati. Dia terhindar dari pemahaman keagamaan yang cenderung lebih mengedepankan kebebasan akal dan nafsu daripada keimanannya, seperti paham liberalisme, feminisme, dan lain-lain.
Kelompok feminisme, misalnya, dalam berbagai kesempatan menuduh ajaran Islam bersifat diskriminatif karena tidak memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, seorang istri dapat menjadi kepala rumahtangga seperti halnya seorang suami. Begitu pula ia dapat menjalankan pekerjaan-pekerjaan apa pun seperti yang dilakukan oleh laki-laki seperti menarik becak, sopir dan lain-lain. Sebenarnya, inilah awal dari adanya prahara rumahtangga dan kenakalan anak yang dewasa ini banyak terjadi, yaitu ketika dalam kehidupan rumahtangga tak ada lagi tawazun antara peran suami dan istri. Kedua. Seorang Muslim harus adil dalam menempatkan kepentingan duniawiyah nya dan ukhrawiyah, dalam pengertian mampu memenuhi keseimbangan antara amaliah-amaliah ukhrawiyah dengan duniawiyah. Yang dimaksud amaliah ukhrawiah adalah setiap perbuatan yang dilakukan untuk maksud memperoleh bekal di akhirat seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Sedangkan amaliah duniawiah adalah setiap usaha yang dilakukan seseorang guna memperoleh kesenangan dunia. Seperti: bekerja, makan, olahraga, dan lain-lain. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
EDISI 6/2012
19
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan.(QS alQashash, 28: 77)
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS al-Jumuah, 62: 6-7) Ayat di atas secara tegas memerintahkan seorang Muslim agar memenuhi keseimbangan (tawazun) antara kepentingan ukhrawiyah dengan menegakkan shalat dan kepentingan duniawiyah dengan bekerja untuk mencari karunia Allah di muka bumi. Selanjutnya, Allah SWT berfirman:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia 20
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS alBaqarah, 2: 143) Rasyid Ridla, dalam Kitab Tafsir alManar, menafsirkan kalimat ummatan wasathan dengan mengemukakan, bahwa sebelum kedatangan Islam umat manusia terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama, yang berlebihlebihan dalam memperturutkan kepentingan materi, seperti orang-orang Yahudi dan musyrikin. Kelompok kedua, yang berlebih-lebihan dalam memperturutkan kepentingan spiritual, seperti kaum Nasrani, Shabi’in dan para penyembah patung dari kalangan Hindu. Sedangkan umat Islam, sesuai ajaran agamanya, mempertemukan antara keduanya. Umat Islam disebut ummatan wasathan karena mereka mampu menempatkan hak-hak pada keduanya (hak-hak yang bersifat materi dan hak-hak yang bersifat spiritual) secara adil dalam pengertian adanya keseimbangan antara keduanya. Keseimbangan ini bukan berarti sama persis ukurannya, tetapi harus dengan mempertimbangkan aspek prioritas dan kepentingannya. Kepentingan ukhrawiyah jauh lebih penting daripada kepentingan duniawiyah, karena itu ia harus diprioritaskan melebihi kepentingan duniawiyah. Allah SWT berfirman:
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS al-A’la: 16-17)
Ketiga. Seorang muslim harus berlaku adil dalam pengertian mampu memberikan keseimbangan antara memenuhi hak pribadinya, hak Tuhannya dan hak keluarga serta masyarakat. Hak-hak pribadi misalnya: makan, minum, istirahat, berolahraga, dan lain-lain. Hak-hak
Tuhannya misalnya menegakkan shalat, berdzikir, berpuasa, menunaikan haji, dan lain-lain. Hak-hak keluarga misalnya memberi nafkah, pendidikan, kasih sayang, dan lain-lain. Sedangkan hak-hak masyarakat misalnya: berdakwah, tolongmenolong, berinteraksi sosial, dan lain.
Menyeimbangkan Hidup sebagai Manusia
S
eorang Muslim haruslah mencontoh Nabi SAW dalam hal keseimbangan pemenuhan hak-hak pibadi, hak Tuhan dan hak masyarakat. Sebaliknya, seorang Muslim tidak boleh terjebak kepada pemenuhan hak-hak tertentu dengan meninggalkan hak-hak lainnya, sebagaimana pernah terjadi pada masa Rasulullah. Suatu Hadits menyebutkan: Dari Anas RA, bahwa beberapa sahabat Nabi SAW. bertanya secara diamdiam kepada istri-istri Nabi tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: aku tidak akan memakan daging. Yang lain lagi mengatakan: aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu Nabi memuji Allah dan bersabda: “Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [HR. Muslim] Kasus yang terjadi pada masa Nabi tersebut harus menjadi perhatian setiap Muslim, karena umat Islam pada umumnya belum mampu memberikan keseimbangan dalam memenuhi hakhaknya. Sebagian umat Islam ada yang
lebih mementingkan memenuhi hak-hak pribadinya, hak-hak keluarga dan masyarakat namun mengabaikan hak-hak Tuhannya. Mereka sangat senang makan enak, rajin olahraga, giat bekerja, peduli anak dan istri dan aktif berorganisasi, namun mereka jarang shalat berjamaah di Masjid, jarang membaca al-Qur’an apalagi shalat malam. Sebaliknya, sebagian yang lain ada yang lebih mementingkan hak-hak Tuhannya dan mengabaikan hak-hak yang lain. Mereka rajin shalat berjamaah di Masjid, rajin mengikuti majlis-majlis dzikir, rajin berpuasa Senin-Kamis, namun dalam hal makan, minum, berpakaian serba kekurangan dan acapkali tidak memberi nafkah dan perhatian yang cukup terhadap keluarganya. Tidak jarang pula, dewasa ini kita saksikan sebagian umat Islam sangat besar perhatian dan kepeduliannya kepada halhal yang menyangkut kepentingan masyarakatnya, mereka sibuk mengadakan rapat-rapat dan bakti sosial, namun di sisi lain mereka kurang tidur, kurang makan dan kurang peduli terhadap kepentingan anak-anak dan istrinya. Inilah contoh-contoh ketidakseimbangan hidup yang pada gilirannya akan melahirkan ketidakharmonisan, yang akan berakibat kehidupan seorang muslim menjadi oleng dan tidak sehat. EDISI 6/2012
21
Seorang muslim harus berlaku adil, dalam pengertian selalu menjaga keseimbangan antara usahanya dalam mencari kepuasan batiniyah dengan kebutuhan orang lain yang menginginkan ketenangan. Seorang muslim diperintahkan Allah untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an sebanyak-banyaknya, agar mendapatkan ketenangan batin. Namun, perlu diingat, ia tidak boleh berdzikir dengan suara keras, sebab dapat mengganggu orang lain yang juga membutuhkan ketenangan. Rasulullah pernah menegur orang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras sementara di dekatnya ada orang sedang shalat. Maka, dalam konteks ini, seorang muslim yang sedang berdzikir di masjid, membaca al-Qur’an atau mengalunkan syair tertentu, hendaknya dengan suara pelan yang hanya bisa didengar sendiri agar tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau berdzikir. Adil dalam Kehidupan Rumahtangga Pertama. Seorang muslim wajib berbuat adil terhadap kedua orangtuanya dengan memenuhi hak-hak mereka secara baik. Hak-hak tersebut tercakup dalam perintah ihsan (berbuat baik), sebagaimana sering diungkapkan dalam alQur’an atau perintah birrul walidain (berbakti kepada kedua orangtua) sebagaimana sering dijelaskan dalam Hadits. Allah SWT berfirman:
22
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS al-Isra, 17: 23-24) Di dalam Hadits disebutkan:
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada awal waktunya.” Kemudian
aku bertanya, “Apa lagi?”, Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orangtua”. Lalu aku bertanya, “Apa lagi?”, Beliaumenjawab: “Jihad fi sabilillah”. (HR Muslim) Hak-hak ihsan yang harus diberikan seorang anak kepada orang tuanya berwujud antara lain: mengikuti keinginan atau saran keduanya, menghormati dan memuliakan keduanya, membantu secara fisik dan materi, serta mendo’akan keduanya agar dikaruniai ampunan dan rahmat Allah. Bila orang tua telah meninggal dunia, hak ihsan yang diberikan antara lain: menyelenggarakan jenazahnya dengan baik, melunasi hutang-hutang, melaksanakan wasiat, melanjutkan silaturrahmi yang dibinanya, memuliakan sahabatsahabatnya dan mendoakannya. Seorang Muslim menyadari bahwa perintah berbuat ihsan kepada kedua orangtua menempati peringkat kedua setelah perintah beribadah kepada Allah. Hal ini memberi petunjuk adanya prioritas utama untuk memberikan hak-hak kepada kedua orangtua sebelum kerabatkerabat lainnya. Seorang muslim akan berhati-hati dan tidak akan mengabaikan hak-hak kedua orangtuanya dengan melakukan kedurhakaan (uququl walidan), karena hal ini termasuk dosa besar, satu tingkat di bawah dosa syirik. Rasulullah SAW bersabda:
“Rasulullah SAW ditanya tentang dosadosa besar, Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa dan persaksian palsu”. (HR Bukhari) Selain kedua orang tua, seorang Muslim juga memberikan hak-hak kepada sanak kerabatnya berupa memberikan kasih sayang, bersillaturrahmi, memberi bantuan, nafkah dan waris sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Kedua. Seorang muslim wajib berlaku adil adil kepada suami atau istrinya, dalam pengertian memenuhi hak-hak suami atau istrinya menurut apa yang seharusnya diterimanya tanpa mengurangi hak-hak tersebut sedikit pun. Bagi seorang suami, hak-hak istri yang harus diberikan antara lain: memberikan tamattu’ badani (kenimatan badan), mahar, nafkah, pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf), bimbingan agama, nasab anak dan harta waris. Allah SWT berfirman:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani kecuali menurut kadar kesanggupannya.(QS al-Baqarah, 2: 233) Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman: Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara patut. (QS an-Nisa’, 4: 19) EDISI 6/2012
23
Bagi seorang istri, hak-hak suami yang harus diberikan antara lain: memberikan tamattu’ badani (kenimatan badan), nasab anak, patuh, pergaulan yang baik dan harta waris. Sabda Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairah: Pernah ditanyakan kepada Rasulullah SAW“Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab Beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”. (HR. An-Nasai) Rumahtangga seorang muslim dipastikan akan berjalan secara harmonis dan diliputi suasana sakinah, mawaddah wa rahmah manakala masing-masing suami atau istri mampu berbuat adil dengan cara mereka saling memberikan hak dengan semestinya, sesuai hukum agama dan kesepakatan bersama. Dengan sangat indah, Allah SWT mengibaratkan suami istri sebagai pakaian. Dia berfirman:
Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. (QS al-Baqarah, 2: 187) Pakaian yang baik, tidak ditentukan dari bahan yang mahal, tetapi oleh faktor pemakainya yang pandai menata dan menempatkannya sesuai proporsi dan 24
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
pemanfaatannya. Begitu pula seorang suami atau istri, dalam memperlakukan satu sama lain, mereka harus dapat menata dan menempatkan pasangannya secara benar dan proporsional. Itulah yang disebut adil, yakni ketika seseorang mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’us syai’i fi mahallihi) Ketiga. Seorang muslim wajib berbuat adil kepada anak-anaknya dalam bentuk memberikan hak-hak anak menurut yang semestinya. Hak-hak anak yang harus diberikan oleh orangtua antara lain: kasih sayang, nafkah yang halal, pendidikan agama, ilmu pengetahuan dan ketrampilan, harta waris, dan lain-lain. Rasulullah SAW mengingatkan kepada setiap orangtua akan tanggungjawabnya terhadap anak-anaknya. Sabda Nabi:
Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Wanita juga adalah pemimpin atas rumah suaminya dan akan dimintai pertang-
gung jawaban atas yang dipimpin. Pembantu adalah pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. (HR Bukhari) Diantara hak anak paling utama yang harus diperhatikan oleh orangtua saat ini adalah hak memperoleh pendidikan dan bimbingan agama yang memadai. Hal ini perlu dikemukakan, sebab hak inilah yang akan mengantarkan mereka menjadi anak shaleh yang sangat berguna bagi kehidupan orangtua di dunia dan akhirat, dan sebaliknya mampu menghindarkan anak dari kenakalan. Sabda Rasulullah:
Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya”. (HR Thabrani) Kewajiban lain yang harus diperhatikan oleh orang tua adalah memperlakukan anak-anaknya secara adil, yakni menempatkan mereka dalam posisi yang sama (musawah), dalam memperoleh pemberian dan kasih sayang. Pada masa Rasulullah, ketika ada seorang sahabat yang akan memberi hadiah kepada salah seorang anaknya, beliau mengingatkan sahabat tersebut dengan sabdanya:
“Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anakanakmu.” (HR. Bukhari) Perlakuan yang sama terhadap anak bukan berarti orangtua menyamakan secara persis dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya. Ia harus mempertimbangkan aspek kesesuaian (proporsionalitas) dengan kebutuhan masingmasing anak. Anak yang masih duduk di sekolah dasar sudah tentu kebutuhannya berbeda dengan anak yang telah duduk di perguruan tinggi. Keempat. Seorang muslim yang beristri lebih dari satu (poligami) harus harus berlaku adil kepada istri-istrinya dalam pengertian memberikan hak yang sama di antara mereka. Hak tersebut meliputi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat lahiriyah, seperti rumah, makanan, pakaian, giliran dan lain-lain. Firman Allah:
Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil atas (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. EDISI 6/2012
25
Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisa’: 3) Ayat di atas tegas membuka peluang bagi seorang laki-laki beristri lebih dari satu, sampai empat orang. Tetapi, dengan syarat ia harus bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, yakni memberikan hak yang sama terhadap semua istrinya dalam hal nafkah. Namun demikian, dalam urusan kecenderungan cinta, seorang suami tidak dituntut membagi sama untuk istri-istrinya. Karena hal ini tentu tidak mungkin dapat dilakukan oleh siapapun. Dalam konteks inilah Allah SWT berfirman:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS anNisa’, 4: 129) Dalam soal poligami, kini kita jumpai dua kelompok umat Islam yang memiliki sikap saling berlawanan. Kelompok pertama menentang poligami karena dianggap berlawanan dengan rasa keadilan dan hak asasi perempuan. Kelompok kedua menerima dan mempraktekkan poligami 26
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
dengan semau-maunya. Sikap kedua kelompok tersebut sama-sama tidak benar, karenanya perlu diluruskan. Poligami adalah hukum Allah yang ditetapkan dalam al-Qur’an, sehingga siapapun tidak berhak membatalkannya. Tetapi ia tidak bersifat wajib melainkan mubah belaka. Poligami adalah sebuah solusi sehat bagi laki-laki yang tidak tercukupi oleh hanya seorang istri, baik dalam urusan seksual maupun lainnya. Poligami juga dapat menjadi sarana bagi seorang laki-laki yang ingin memberikan pertolongan kepada seorang perempuan yang membutuhkan untuk dinikahi. Sekalipun demikian, seorang laki-laki baru diperbolehkan melakukan poligami manakala ia mampu berbuat adil dengan cara memberikan hak yang sama terhadap istri-istrinya. Terhadap suami yang tidak bisa berlaku adil, Rasulullah memberikan ancaman sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa memiliki dua istri dan ia cenderung kepada salah satu dari keduanya, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan sisi badannya condong.”(HR Abu Daud). (Bersambung)
Narasumber utama artikel ini: Zaini Munir Fadloli
Tuntunan Akhlak ADAB BERBICARA (6):
LARANGAN BERBOHONG Berbicara bohong adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya. Padan katanya adalah berdusta. Harus Diam Ketika Ada Dorongan Berbohong
Dari Abu Wail dari Abdullah ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah kebohongan, sebab kebohongan menggiring kepada keburukan, dan keburukan akan menggiring kepada neraka. Dan sungguh, jika seseorang berbohong dan terbiasa
dalam kebohongan hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai seorang pembohong. Dan hendaklah kalian jujur, sebab jujur menggiring kepada kebaikan, dan kebaikan akan menggiring kepada surga. Dan sungguh, jika seseorang berlaku jujur dan terbiasa dalam kejujuran hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai orang yang jujur.”1 “Nabi SAW juga melarang berbohong atas nama beliau dan menyatakan siapapun melakukannya akan masuk neraka.2 Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendzaliminya, tidak menelantarkannya, tidak membohonginya, dan tidak menghinanya.3 Bahkan seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya hingga ia meninggalkan berbohong ketika sedang bergurau dan meninggalkan debat meski ia benar.4 EDISI 6/2012
27
Bentuk-Bentuk Kebohongan 1) Kebohongan besar terhadap Allah Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ada 3 perbincangan yang merupakan kebohongan yang amat besar terhadap Allah5.’ (i) Berkata bahwa Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya. Sahabat Masyruq yang waktu itu berada di dekat ‘Aisyiyah bertanya: Bukankah Allah telah berfirman: “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain)6 ‘. Dan firman Allah: “Dan sungguh Muhammad telah melihat ‘dia’ dalam bentuk rupanya yang asal sekali lagi”7. Maka Aisyah menjawab: Aku adalah orang pertama yang bertanya kepada Nabi mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau menjawab: “Yang dimaksud ‘dia’ dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), aku tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan bumi.’ Kemudian Aisyah berkata lagi: “Apakah kamu tidak pernah mendengar bahwa Allah: “Dia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat dan mengetahui hakikat segala penglihatan mata, dan Dialah Yang Maha Bersifat Lemah Lembut lagi Maha Mendalam pengetahuannya”8. Atau, apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “Dan tidaklah layak bagi seorang manusia, bahwa Allah menga28
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
jaknya berbicara kecuali berupa wahyu (dengan diberi mimpi) atau dari balik dinding (dengan mendengar suara saja) atau dengan mengutus utusan (Malaikat), lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana”9. (ii) Berkata bahwa Rasulullah SAW menyembunyikan sebagian dari Kitab Allah. Orang yang melakukannya sungguh dia telah membesarkan pendustaan terhadap Allah, sebagaimana firman Allah: “Wahai Rasulullah, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu, dan jika kamu tidak melakukannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya”10 (iii) Berkata bahwa dia mampu mengabarkan tentang takdir yang akan terjadi besok. Orang yang melakukannya sungguh dia telah membesarkan kebohongan terhadap Allah. Allah berfirman: “Katakanlah (hai Muhammad), tidak satu pun makhluk yang di langit dan bumi yang mengetahui kegaiban kecuali Allah)11'. Aisyah berkata: “Kalau seandainya Muhammad telah menyembunyikan sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya, niscaya dia menyembunyikan ayat ini: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus
isterimu dan bertaqwalah kepada Allah’, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu sesuatu yang mana Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti”12 2) Kebohongan Besar Berdasarkan hadits dari Watsilah bin Al-Asyqa’13 Rasulullah SAW bersabda: “Sebesar-besarnya kebohongan ada tiga: kebohongan seorang dengan kedua matanya, ia berkata, “saya melihat” padahal ia tidak melihat. Kebohongan seorang dengan menasabkan diri kepada selain kedua orang tuanya, lalu ia dipanggil dengan nasab selain nama bapaknya, dan perkataan seorang bahwa ia mendengar dariku padahal ia tidak mendengar dariku”. Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berbohong kepadaku dengan sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”14 3) Sumpah Bohong Dari Abdullah bin Unais Al Juhani berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Yang termasuk dosa-dosa paling besar adalah: menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, dan sumpah bohong. Tidaklah bersumpah sese-orang dengan nama Allah di hadapan seorang hakim walau hanya untuk perkara sepele yang hanya senilai sayap nyamuk kecuali Allah akan membuat coretan hitam dalam hatinya sampai Hari Kiamat nanti”.15 DariAbu Wa`il dari Abdullah dari Nabi
SAW, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan bohong untuk mendapatkan harta seseorang atau saudaranya, maka akan bertemu Allah Azza wa Jalla dalam keadaan murka kepadanya.” Kemudian turunlah ayat sebagai pembenar hal itu: “Orang-orang yang membeli janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan bagian di akhirat..” hingga “Adzab yang pedih.” 16 4) Bohong sebagai bahan lawakan atau gurauan Dari Bahz bin Hakim telah menceritakan kepada kami bapakku, dari kakekku, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang-orang kemudian dia berbohong, celakalah baginya dan celakalah baginya”17 Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya hingga ia meninggalkan berbohong ketika sedang bergurau, dan meninggalkan berdebat meski ia benar.”18 5) Bohong kepada anak kecil Dari Abdullah bin Amir ia berkata, “Suatu hari ibuku memanggilku, sementara Rasulullah SAW telah duduk di dalam rumah kami. Ibuku berkata, “Hai kemarilah, aku akan memberimu.” Rasulullah kemudian bertanya kepada ibuku: “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibuku menjaEDISI 6/2012
29
wab, “Aku akan memberinya Kurma.” Rasulullah SAW bersabda kepada ibuku: “Jika kamu tidak jadi memberikan sesuatu kepadanya, maka itu akan ditulis sebagai kebohongan atasmu.”19 Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, bahwasanya beliau bersabda: “Barangsiapa mengatakan kepada anak kecil; ‘Kemarilah aku beri sesuatu, namun ia tidak memberinya maka ia telah berbohong.” 6) Bohong untuk menolak pemberian Dari Asma binti Umais dia berkata, “Aku menemani Aisyah untuk meriasnya sebelum bertemu dengan Nabi, sedangkan aku bersama beberapa wanita.” Asma berkata, “Demi Allah, kami tidak mendapatkan hidangan dari sisi beliau (Nabi) kecuali sebuah mangkuk berisi susu.” Asma berkata, “Kemudian beliau meminumnya lalu memberikannya kepada Aisyah, namun Aisyah malumalu, maka kami pun berkata, “Jangan kamu tolak pemberian dari Rasulullah, ambillah darinya.” Kemudian dia mengambilnya sambil tersipu malu untuk kemudian meminumnya. Setelah itu beliau bersabda: “Ambilkan untuk sahabat-sahabatmu.” Namun kami menjawab, “Kami tidak menginginkannya.” Beliau bersabda: “Jangan kalian kumpulkan rasa lapar dengan kebohongan.” Asma berkata, “Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kami mengatakan “aku tidak 30
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
menginginkannya”, padahal sebenarnya dia menginginkan sesuatu itu, apakah itu termasuk berbohong? ‘ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya setiap bohong itu pasti akan ditulis sebagai kebohongan, sehingga seseorang perempuan yang berbohong akan disebut sebagai tukang bohong.” 20 7) Berbohong untuk menampakkan kepuasan Dari Aisyah RA bahwa ada seorang wanita yang datang kepada Nabi SAW dan berkata; Wahai Rasulullah! saya memiliki seorang suami dan saya juga mempunyai teman yang juga isteri suamiku (madu), kukatakan kepada dia bahwa suamiku telah memberiku begini dan membelikan pakaian untukku seperti ini, padahal yang demikian itu hanya bohong (yakni mengungkapkan suatu hal yang tak ada faktanya). Kontan Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang menampak-nampakkan kepuasan dirinya padahal tidak ada faktanya, adalah bagaikan orang yang memakai pakaian palsu.”21 8) Menceritakan semua yang didengarnya Dari Hafsah bin Ashim dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.”22 9) Bohong dalam jual beli Dari ‘Abdullah bin Al-Harits yang dinisbatkannya kepada Hakim bin Hizam RA berkata; Rasulullah SAW bersabda:
islamicgarden.com
“Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah atau hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya”23. Kebolehan Berbohong Dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari ibunya Ummu Kultsum binti Uqbah ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberi keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga tempat. Rasulullah SAW mengatakan: “Aku tidak menganggapnya sebagai seorang pembohong: 1) seorang laki-laki yang memperbaiki hubungan antara manusia. Ia mengatakan suatu perkataan (bohong), namun ia tidak bermaksud dengan perkataan itu kecuali untuk mendamaikan. 2) Seorang laki-laki yang berbohong dalam peperangan. 3) Dan seorang laki-laki yang ber-
bohong kepada isteri atau isteri yang berbohong kepada suami (untuk kebaikan).”24 (Bersambung) Balikpapan, 29 Pebruari 2012 Catatan: 1 Kitab Abu Daud Hadits No 4337. Hadits sejenis diriwayatkan pula oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Darimi. 2 Kitab Bukhari hadits No 103 3 Kitab Ahmad Hadits No 7402 4 Kitab Ahmad Hadits No 8276 5 Kitab Muslim Hadits No 259 6 QS at-Takwir : 23) 7 QS an Najm : 13 8 QS al An’am: 103 9 QS as-Syura : 51 10 QS 5 (al Maidah) ayat 67 11 QS 27 (An Naml) ayat 65 12 QS 33 (al-Ahzab) ayat 37 13 Kitab Ahmad Hadits No 15434 14 Kitab Tirmidzi Hadits No 2583 15 Kitab Ahmad Hadits No 15465 16 Kitab Ahmad Hadits No 20842 17 Kitab Tirmidzi Hadits No 2237 18 Kitab Ahmad Hadits No 8276 19 Kitab Abu Daud Hadits No 4339 20 Kitab Ahmad Hadits No 26199 21 Kitab Ahmad Hadits no 24175 22 Kitab Muslim Hadits No 6 23 Kitab Bukhari Hadits No 1937 24 Kitab Abu Daud Hadits No 4275
Narasumber utama artikel ini: Agus Sukaca EDISI 6/2012
31
Tuntunan Ibadah
SHALAT LAYL RASULULLAH Format 4-4-3 dan 8-2-1 Nabi mencontohkan beberapa pilihan pembagian jumlah rakaat shalat malam.
B
anyak ayat dan hadits yang menunjukkan penting dan istimewanya shalat malam, sehingga Allah SWT dan Rasul-Nya sangat menganjurkan tahajjud (bangun malam) untuk melaksanakan shalat malam (shalât al-layl) atau Qiyâm al-Layl (bangun untuk shalat malam). Lihat, misalnya, firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’,17: 79.
Dan pada sebagian malam hari maka shalat tahajjudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudahmudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS alIsra’, 17: 79). (Lihat juga ciri-ciri orang beriman dalam QS as-Sajdah, 32: 15-16). Itulah sebabnya shalat ini disebut sebagai shalat tahajjud karena umumnya dikerjakan setelah bangun malam ketika yang lain sedang tertidur pulas. Bila shalat ini dikerjakan pada malam Ramadhan maka dikenal dengan Qiyâmu Ramadlân pada masa Nabi SAW atau 32
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Shalat Tarâwîh (banyak istirahatnya) meskipun istilah terakhir ini lebih dikenal pada pasca kenabian. Terkadang pula shalat ini disebut witr karena substansi pelaksanaannya sama, yakni Nabi SAW selalu menutup shalat malamnya dengan rakaat ganjil (witr). Waktu pelaksanaannya dari setelah shalat Isya dan lebih baik dikerjakan pada sepertiga akhir malam (Muttafaq ‘alayh) atau di dua-pertiga malam atau di pertengahan malam (QS al-Muzammil, 73: 20), yang penting dikerjakan sebelum masuk waktu Subuh. Cara Pelaksanaan Shalat Layl ebelum melaksanakan shalat layl maka disunnahkan untuk melaksanakan shalat dua rakaat yang ringan sebagai shalât iftitâh (artinya shalat pembuka). Nabi SAW bersabda:
S
“Apabila salah seorang kalian mendirikan shalat layl, maka hendaklah dibuka dengan dua rakaat yang ringan-ringan!” (HSR. Muslim, Ahmad) Maksud membuka shalat dengan dua rakaat yang ringan-ringan adalah membuka shalat malam dengan shalat dua
rakaat tanpa perlu membaca surat atau ayat setelah surat al-Fatihah. Bacaan doa iftitah pada shalat iftitah adalah:
Maha Suci Allah Dzat Yang Maha Memiliki Kerajaan, Kecukupan, Kebesaran dan Keagungan. (HHR. alThabrâni) Ada beberapa cara atau model pelaksanaan Shalat Malam Nabi SAW (lihat, antara lain: Himpunan Putusan Tarjih, hlm 341-355), berikut penjelasannya. a. 11 Rakaat dengan Format 4-4-3 ara ini didasarkan pada hadits fi‘li (perbuatan Nabi SAW) yang bersumber dari Aisyah istri Nabi. Ketika Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahmân ra bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat layl Nabi SAW di bulan Ramadlan:
C
empat rakaat lagi, jangan kamu tanya bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq ‘alayh) Hadits di atas menuntunkan bahwa shalat malam dikerjakan dalam format 44-3. Pertanyaan Abu Salamah tentang bagaimana shalat layl Nabi SAW di bulan Ramadhan, dijawab Âisyah bahwa baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, beliau mengerjakan shalat layl 4 rakaat-4 rakaat dengan baik dan lama, kemudian diakhiri dengan witir 3 rakaat. Selain itu, hadits ini dipahami oleh sebagian ulama bahwa 4 rakaat tersebut dikerjakan langsung tanpa duduk tahiyat awal pada rakaat kedua karena memang teks hadits ini dzahirnya tidak menjelaskan adanya hal tersebut. Bahkan Nabi pernah shalat 6 atau 8 rakaat langsung, tidak duduk kecuali saat rakaat ke-6 atau ke-8 lalu ditutup rakaat ganjil (witir). b. 11 Rakaat dengan Format 8-2-1 ari Sa‘d bin Hisyâm bin ‘Âmir RA bahwa ketika ia bertanya tentang shalat malam kepada Ibn ‘Abbâs maka Ibn ‘Abbâs RA mempersilahkan Sa‘d bin Hisyâm bertanya kepada UmmulMu’minîn: Âisyah karena dialah yang paling tahu tentang kegiatan Nabi di malam hari, termasuk witirnya Nabi . Maka Sa‘d pun berkata kepada Âisyah:“Wahai Ummul-Mu’minin beritahukan kepadaku tentang shalat witir Rasulullah SAW!” ‘Âisyah menjawab: “Kami menyiapkan untuk beliau siwaknya dan alat bersucinya, lalu Allah membangunkannya bagi apa saja yang Allah kehendaki untuk diba-
D
“Bagaimana shalat Rasulullah SAW di bulan Ramadhan?” Jawab Aisyah: “Rasulullah SAW tidak pernah menambah (rakaat), baik di dalam Ramadhan maupun di selainnya, di atas 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan kamu tanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat
EDISI 6/2012
33
ngunkan pada malam itu. Beliau lalu bersiwak dan berwudlu, lalu shalat 8 rakaat tanpa duduk kecuali pada rakaat ke-8 itu. Beliau dzikir dan berdoa, kemudian salam dengan suara yang kami dapat mendengarnya. Kemudian beliau shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk, setelah itu salam. Kemudian beliau shalat 1 rakaat. Demikian itulah 11 rakaat wahai anakku” (HSR. Al-Nasâ’i, Abu Dâwud) Dari hadis di atas dan beberapa hadits yang lain dapat disimpulkan bahwa terkadang istilah witir tidak terbatas pada hitungan rakaat ganjil terakhir saja, namun sejak rakaat awal yang genap pun kadang sudah diistilahkan dengan witir. Hal ini karena Nabi tidak pernah tidak, mesti menutup shalat malamnya dengan rakaat witir (ganjil). Inilah sebab beliau menegaskan supaya menjadikan witir sebagai penutup shalat malam:
“Jadikanlah akhir shalat laylmu menjadi ganjil!” (Muttafaq ‘alayh) Berdasarkan hadits tentang witir 8 rakaat ini, sebagian ulama, berpendapat bahwa hadits ini memperkuat pendapat bahwa shalat malam Nabi SAW 4 rakaat atau lebih, ternyata tidak harus dibatasi setiap 2 rakaat tasyahhud, tapi bisa juga 4 rakaat langsung, atau 8 rakaat langsung tanpa tasyahhud awal. Dalam redaksi yang lain juga berasal dari Sa‘d bin Hisyâm ra dari Âisyah ini bahwa Nabi pernah shalat witir 9 rakaat dengan format 8-1 yakni hanya duduk di rakaat ke 8 saja dan salam, kemudian 34
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
berdiri untuk rakaat ke-9 untuk witir 1 rakaat, lalu duduk dan salam. “Kemudian Beliau (Rasul) shalat 8 rakaat tanpa duduk kecuali pada rakaat ke-8 itu. Beliau bertahmid, berdzikir dan berdoa, dan tidak salam, langsung shalat ke-9 rakaat lalu bertahmid, berdzikir dan berdoa, kemudian salam dengan salam yang kami dapat mendengarnya… Tatkala Rasulullah semakin berumur (tua) dan gemuk, beliau hanya berwitir 7 rakaat…” (HSR. Al-Nasai, Abu Dâwud. Hadits ini juga mencantumkan jumlah tambahan dua rakaat sunnat fajar. Di dalam alNasâ’i, diriwayatkan bahwa bila beliau tertidur atau kelelahan, beliau menggantinya dengan shalat Dluha 12 rakaat). Pernah juga Nabi SAW shalat 9 rakaat hanya duduk di rakaat ke-8 saja, dan langsung berdiri untuk rakaat sembilan, lalu duduk dan salam. Hadis dengan tiga periwayat yang sama dari ’Âisyah di atas bahwa Rasulullah: “Apabila beliau (Rasul) shalat witir 9 rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat ke-8. Beliau bertahmid, berdzikir dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak salam, langsung shalat ke-9 rakaat lalu berdzikir dan berdoa, kemudian salam dengan suara yang kami dapat mendengarnya. Kemudian beliau shalat (sunat fajar) 2 rakaat dalam keadaan duduk. Tatkala Nabi semakin tua dan agak gemuk, beliau hanya berwitir 7 rakaat kemudian salam. Kemudian beliau shalat (sunat fajar) 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HHR. Al-Nasai, Abu Dâwud)
Hadits di atas berkenaan dengan tata cara Nabi SAW melaksanakan shalat witir. Dua hadits terakhir di atas secara jelas menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah mengerjakan shalat witir 9 rakaat dengan cara tidak duduk kecuali hanya pada saat rakaat ke-8 dan rakaat ke-9, lalu salam. Demikian pula Nabi SAW ketika sudah semakin tua dan lemah, pernah mengerjakan shalat witir 7 rakaat di mana beliau tidak duduk kecuali pada rakaat ke-6 dan atau ke-7 lalu salam (HSR. Al-Nasâ’i). Kesimpulan ini didasarkan pada HR. al-Nasâ’i melalui Miqsam dari Ummu Salamah ra. bahwa: “Rasulullah SAW pernah berwitir 5 rakaat dan pernah juga 7 rakaat tanpa memisahkannya antara ke-duanya dengan salam dan tidak pula dengan perkataan.” (HHR. Al-Nasâ’i, Ahmad, Ibn Majah) Karena semua hadits tentang hal ini sama-sama maqbûl, maka dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Nabi SAW di samping memang pernah melakukan shalat 8 rakaat langsung dan 6 rakaat juga langsung tanpa duduk kecuali di akhirnya, namun pada umumnya Nabi SAW mengerjakan pada setiap 2 rakaat beliau tasyahhud, meskipun tidak mesti salam kecuali di akhir rakaat. Berkenaan dengan teknis pelaksanaan shalat layl 4 rakaat di atas dan adanya hadits sahih yang lain riwayat al-Jama’ah dari Ibn ‘Umar yang menyatakan bahwa NabiSAW bersabda shalat layl itu dua rakaat-dua rakaat, maka sebagian ulama mengkompromikannya bahwa pelaksanaan 4 rakaat
itu dengan cara 2-2 rakaat. Namun sejauh ini, penulis belum menemukan satu pun redaksi yang muatannya secara jelas merinci pelaksanaan 4 rakaat menjadi 2-2 rakaat dengan duduk tahiyyat. Jika dipisah dengan salam maka tentu tidak layak disebut 4 rakaat. Umumnya rincian pelaksanaan 4 rakaat hanya didasarkan penafsiran dengan mengaitkannya dengan hadits yang berbeda lalu dikompromikan. Ini sangat berbeda dengan shalat layl yang 6 rakaat ataupun 8 rakaat yang secara jelas redaksinya ada yang menyatakan langsung dan ada juga yang menyatakan duduk pada setiap dua rakaat. Ini artinya, bahwa sangat mungkin, khusus dalam masalah 4 rakaat tersebut memang tidak dipisahkan oleh Nabi SAW dengan duduk pada setiap 2 rakaat, tetapi langsung mengerjakan 4 rakaat sebagai cara lain yang dicontohkan oleh Nabi SAW mengingat tidak ada satupun matan yang merinci pelaksanaannya kecuali matan: “Jangan engkau tanyakan baik dan panjangnya shalat Nabi.” Wallahu a’lam. Narasumber utama artikel ini: Syakir Jamaluddin Dosen Fakultas Agama Islam UMY
Catatan: 1. Hadits Sahih Riwayat. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan sempurna hapalannya, jalur sanadnya bersambung, serta tidak ada cacat, tidak janggal dan tidak menyimpang. 2. Hadits Hasan Riwayat. Hadits yang memenuhi syarat hadits sahih kecuali dalam hal kekuatan hapalan periwayatnya. EDISI 6/2012
35
SERBA-SERBI SHALAT NABI
ALAS SUJUD Tanya: i masjid-masjid, sebagian orang suka menggunakan sajadah kecil untuk tempat sujudnya meskipun di situ sudah ada tikar atau karpet. Apakah yang seperti dapat dibenarkan? Apakah Nabi SAW menuntunkan demikian?
D
Jawab: Alas kecil tempat sujud itu biasa disebut khumrah ( ). Hal tersebut di luar rukun dan wajibnya shalat. Tidak dilarang melakukannya. Namun, Nabi juga tidak pernah memerintahkan demikian. Hanya saja beliau memang mempraktekkannya, seperti termaktub dalam Sahih Bukhari (Hadits no. 368), “Nabi SAW shalat di atas tikar kecil.”
MENCEGAH ORANG LEWAT DI DEPAN ORANG SHALAT
H
adits yang panjang dari Bukhari (Hadits no. 479) menceritakan sahabat Abu Sa’id al-Khudri menghadangkan tangannya saat dia shalat, untuk menahan seorang pemuda yang akan lewat memintas di tempatnya shalat. Itu terjadi beberapa kali sampai si pemuda maklum, bahwa dia dilarang lewat situ. Pemuda tadi lalu melapor kepada sahabat Nabi yang bernama Marwan. Nah, Marwan kemudian mengkonfirmasi hal itu kepada Abu Sa’id. Kata Abu Sa’id, “Aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda: “Jika seorang dari kalian
36
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
shalat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang, kemudian ada seseorang yang hendak lewat di hadapannya, maka hendaklah dicegah. Jika dia tidak mau maka perangilah dia, karena dia adalah setan.” Ungkapan “dia adalah setan” adalah ungkapan untuk menyangatkan, yang menggambarkan seseorang yang membandel yang tidak dibenarkan membandel terus --supaya tidak seperti setan. Wallahu a’lam.
MENGGENDONG ANAK SAAT SHALAT
M
anakala sedang shalat, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk menghayati shalat, yakni merasa sedang menghadap kepada Allah; atau yakin bahwa Allah melihat kita. Namun, ternyata Nabi juga menggendong cucunda di saat shalat, seperti diriwayatkan Imam Bukhari (juga Abu Daud dan Ad Darimi) sebagai berikut: Rasulullah SAW pernah shalat dengan menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah. Jika sujud beliau letakkan anak itu dan bila berdiri beliau gendong lagi. Apa itu maknanya? Ketika shalat, Nabi bukannya tidak ingat apapun. Beliau tetap memperhitungkan kemungkinan bahwa jika si bocah tidak digendong, dia mungkin melakukan hal lain yang mengkhawatirkan atau mengganggu orang lain yang shalat.
Tuntunan Muamalah TUNTUNAN HUTANG PIUTANG (Bagian 4 - Habis)
Tuntunan Bagi yang Mempunyai Hutang Perlunya niat kuat dan berusaha sungguh-sungguh membayar hutang, insya Allah diberi barakah oleh Allah
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Mundzir telah menceritakan kepada kami Anas dari Hisyam dari Wahb bin Kaisan dari Jabir bin ‘Abdullah ra, bahwa dia mengabarkan kepadanya bahwa bapaknya wafat dan meninggalkan hutang sebanyak tiga puluh wasaq kepada orang Yahudi, kemudian Jabir meminta penangguhan pelunasannya, namun orang Yahudi itu menolaknya. Lalu Jabir menceritakannya kepada Rasulullah SAW agar membantuya dalam permasalahannya dengan orang itu. Maka Rasulullah mendatangi dan berbicara dengan orang Yahudi tersebut agar bersedia menerima kebun kurma Jabir sebagai pelunasan hutang bapaknya namun EDISI 6/2012
37
orang Yahudi tersebut tetap tidak mau. Kemudian Rasulullah mendatangi pohon korma milik Jabir lalu mengelilinginya kemudian berkata kepada Jabir: Bersungguh-sungguhlah kamu untuk membayar hutang dengan buah yang ada pada pohon kurma ini”. Maka Jabir menandainya setelah Rasulullah pergi lalu dia melunasi hutang sebanyak tiga puluh wasaq dan masih tersisa sebanyak tujuh belas wasaq kemudian Jabir datang menemui Rasulullah untuk mengabarkan apa yang terjadi namun didapatinya Beliau sedang melaksanakan shalat ‘Ashar. Ketika sudah selesai, Jabir mengabarkan kepada Beliau tentang sisa buah kurma tersebut. Maka Beliau bersabda: “Kabarkanlah hal ini kepada ‘Umar bin Al-Khaththob”. Maka Jabir pergi menemui ‘Umar lalu mengabarkannya, maka ‘Umar berkata: “Sungguh aku sudah mengetahui ketika Beliau mengelilingi pohon kurma tersebut untuk memberkahinya”. (HR Bukhari 2221)
38
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Ibnu Kaab bin Malik bahwa Jabir bin ‘Abdullah mengabarkan kepadanya bahwa bapaknya terbunuh dalam perang Uhud sebagai syahid sementara dia meninggalkan hutang, lalu para pemilik piutang mendesak agar hak-hak mereka ditunaikan, maka aku datang menemui Nabi SAW. Beliau meminta agar para pemilik piutang mau menerima kebunku sebagai pembayaran dan pelunasan hutang bapakku namun mereka menolaknya sehingga Nabi berkata: “Tunggu sampai besok”. Akhirnya besok paginya Beliau mengelilingi pohon-pohon kurma lalu berdoa minta keberkahan pada buahbuahannya. Maka aku dapatkan buahbuah kurma itu tumbuh banyak lalu aku berikan untuk membayar hutang kepada mereka dan buahnya masih tersisa untuk kami.”(HR Bukhari 2220)
Abu Bakar Melunasi Janji (Hutang) Nabi Karena Nabi Keburu Wafat
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Al Munkadir, dia mendengar Jabir r.a. berkata; Nabi SAW. berkata, kepadaku: “Seandainya tiba kepada kita harta dari negeri Bahrain aku pasti memberikan kepadamu sekian”. Beliau mengucapkannya tiga kali. Dan harta Bahrain itu belum juga datang hingga Nabi SAW. keburu wafat. Kemudian (setelah harta datang) Abu Bakar memanggil penyeru lalu berkata: “Siapa yang kepadanya Nabi SAW. pernah berjanji atau mempunyai hutang hendaklah datang kepada kami”. Maka aku datangi dia dan aku katakan; “Sesungguhnya Nabi SAW. per-
nah menjanjikan aku”. Maka Abu Bakar memberiku sebanyak tiga tangkup (ukuran dua belah telapak tangan)”. (HR. Bukhari 2408)
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah mengabarkan kepada kami Hisyam, dari Ibnu Juraij berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Dinar, dari Muhammad bin ‘Ali, dari Jabir bin ‘Abdullah r.a. berkata; Ketika Nabi SAW. wafat, Abu Bakar datang dengan membawa harta yang didapat dari Al-‘Alaa’ bin Al Hadhramiy lalu Abu Bakar berkata; “Siapa yang kepadanya Nabi SAW. memiliki hutang atau siapa yang EDISI 6/2012
39
pernah dijanjikan Beliau sesuatu hendaklah dia menemui kami”. Jabir berkata; Aku katakan: Rasulullah SAW. pernah berjanji kepadaku untuk memberikan aku sesuatu sekian-sekian”. Maka dia mengulurkan tangannya tiga kali. Jabir berkata: “Maka Abu Bakar memberikan ke tanganku lima ratus kemudian lima ratus kemudian lima ratus lagi”. (HR. Bukhari 2486)
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami ‘Amru, dia mendengar Muhammad bin ‘Ali, dari Jabir bin ‘Abdullah. berkata; Nabi SAW. bersabda: “Seandainya 40
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
tiba kepada kita harta dari negeri Bahrain aku pasti memberikan kepadamu sekian, sekian dan sekian”. Namun, harta dari Bahrain tidak kunjung datang hingga Nabi SAW. wafat. Ketika harta dari Bahrain datang, Abu Bakar memerintahkan dan berseru: “Siapa yang telah dijanjikan sesuatu atau dihutangi oleh Nabi SAW. hendaklah menemui kami”. Maka aku mendatanginya dan aku katakan bahwa Nabi SAW. telah berkata kepadaku begini dan begitu. Lalu ia (Abu Bakar) memberiku setangkup, lalu aku menghitungnya ternyata ia berjumlah lima ratus, lalu ia berkata; “Ambillah dua kali lagi seperti itu”. HR Bukhari 2132
Telah bercerita kepada kami ‘Ali, telah bercerita kepada kami Sufyan, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Al Munkadir, dia mendengar Jabir r.a. berkata; Rasulullah SAW. ber-sabda: “Seandainya sudah tiba harta (jizyah/upeti) dari negeri Bahrain sungguh aku akan memberi kamu sekian, sekian dan sekian. Dan harta yang beliau maksud tidak kunjung datang hingga nabi SAW. meninggal dunia”. Ketika datang harta Bahrain, Abu Bakr memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan: “Siapa yang Rasulullah SAW. berhutang kepadanya atau Beliau membuat janji hendaklah datang kepada kami”. Aku datang menemuinya lalu aku katakan;“Rasulullah pernah berkata kepadaku begini begini”.
Maka Abu Bakr memberiku sebanyak tiga kali tangkup (ukuran dua telapak tangan penuh) sementara Sufyan memenuhi kedua telapak tangannya kemudian dia berkata kepada kami; “Sebanyak ini”. Dan Ibnu Al Munjadir berkata kepada kami; dan dia (Sufyan) suatu kali berkata; “Maka aku menemui Abu Bakr untuk meminta bagian namun dia tidak memberiku lalu aku datangi lagi dan meminta bagian lagilagi dia tidak memberiku lalu aku datangi untuk kali ketiga seraya aku katakan; “Aku telah meminta bagian kepadamu namun kamu tidak memberiku lalu aku meminta lagi kamu juga tidak memberi dan kemudian aku meminta lagi namun kamu juga tetap tidak memberiku, apakah memang kamu tidak (patut) memberiku atau kamu pelit kepadaku”. Abu Bakr menjawab; “Kamu mengatakan (kepadaku) kamu pelit kepadaku. Tidaklah suatu kali aku tidak memberimu selain aku ingin memberimu”. Sufyan berkata, dan telah bercerita kepada kami ‘Amru dari Muhammad bin ‘Ali dari Jabir; “Maka dia memberiku sebanyak satu ciduk tangan”. Dan dia berkata; “Maka aku dapatkan jumlahnya sebanyak lima ratus”. Dia (Abu Bakr) berkata; “Ambillah sebanyak itu untuk yang kedua kali”. Dan berkata Ibnu Al-Munkadir; “Dan penyakit apa yang lebih buruk dari pada pelit?”. (HR Bukhari 2904)
EDISI 6/2012
41
Bersikap Baik Ketika Melunasi Hutang
hutang lalu para sahabat ingin (memberinya pelajaran), namun Beliau berkata: “Biarkanlah dia, karena bagi pemegang kebenaran berhak menyatakan kebenarannya”. Lalu Beliau berkata: “Belilah satu ekor anak unta lalu berikanlah kepadanya”. Orang-orang berkata: “Kami tidak mendapatkan anak unta yang dimaksud melainkan ada seekor anak unta yang umurnya lebih”. Beliau berkata: “Beli dan berikanlah kepadanya karena sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah siapa yang paling baik dalam membayar hutang”. (HR Bukhari 2416)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsman bin Jabalah berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku, dari Syu’bah, dari Salamah berkata, aku mendengar Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a. berkata; Ada seorang laki-laki yang kepadanya Rasulullah SAW. mempunyai
Kata yang dipakai dalam ungkapan “paling baik” adalah berasal dari kata dasar “ ” ﺣﺴﻦyang menurut Imam alRaghib Al-Isfahani berarti baik dilihat dari sisi akal pikiran (juga akhlaq), dari sisi selera, dan juga dari sisi panca indera. Intinya adalah segala macam kenikmatan yang bisa dicapai manusia untuk jiwanya, badannya dan kondisinya.
Peci Rajut
AL-’IZZA Bedukan RT 4/RW 4, Banguntapan, Bantul DIY
0818.02.693.529 / 0857.2942.0737 Peci Rajut Turki (6.000) Peci Vinel (7.000) Peci Bulat (7.000) Peci Rajut Lipat (11.000) Peci Rajut Pita (11.000) 42
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Grosir & Eceran
Hari-Hari Terakhir Umar bin Khaththab PENGANTAR ari itu, saat Umar bin Khaththab menjadi imam shalat shubuh, ia ditikam perutnya sampai luka parah. Si penikam itu semula turut shalat shubuh menjadi makmum di belakang Umar. Orang itu lalu bunuh diri setelah melukai belasan makmum lainnya. Hadits Bukhari tentang saat-saat terakhir Umar bin Khaththab itu dimuat di bawah ini (No. 3424 dalam kitabnya). Di bagian selanjutnya, terjemahan hadits tersebut diuraikan berdasar tema-tema di dalamnya yang (semuanya) relevan dengan problematika kehidupan saat ini. Setidaknya ada 11 topik dalam hadits di bawah ini, salah satunya tentang hutang-piutang. Kita akan menemukan bagaimana seorang Umar itu menyikapi datangnya maut dengan tenang, ringan, nyaris cool, berbincang tentang pelbagai hal, sekadar seperti seseorang yang akan pergi jauh.
H
*****
EDISI 6/2012
43
44
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
EDISI 6/2012
45
T
elah bercerita kepada kami Musa bin Ismail telah bercerita kepada kami Abu Awanah dari Hushain dari Amru bin Maimun berkata, “Aku melihat Umar bin alKhaththab radliallahu anhu di Madinah beberapa hari sebelum dia ditikam. Umar berdiri di hadapan Hudzaifah bin Al Yaman dan Utsman bin Hunaif.” 1. Pelajaran tentang Pemungutan Pajak Umar bertanya, “Bagaimana yang kalian berdua kerjakan? Apakah kalian berdua khawatir membebani penduduk Sawad (yang mereka tarik pajaknya) dengan sesuatu yang melebihi kemampuannya?” Keduanya menjawab, “Kami membebaninya dengan kebijakan yang sesuai kemampuannya, tidak ada kelebihan beban yang besar”. Umar berkata, “Jika Allah SWT menyelamatkan aku, tentu akan kubiarkan janda-janda penduduk Iraq tidak membutuhkan seorang laki-laki setelah aku untuk selama-lamanya”. Perawi berkata, “Setelah pembicaraan itu, Umar tidak melewati hari-hari kecuali hanya sampai hari ke empat semenjak dia terkena mushibah (tikaman) itu.” 2. Pelajaran tentang Meluruskan Shaf Perawi (Amru) berkata, “Aku berdiri dan tidak ada seorangpun antara aku dan Umar, kecuali Abdullah bin Abbas pada shubuh hari saat Umar terkena mushibah.
46
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Shubuh itu, Umar hendak memimpin shalat dengan melewati barisan shaf lalu berkata, “Luruskanlah shaf”. Ketika dia sudah tidak melihat lagi pada jama’ah ada celah-celah dalam barisan shaf tersebut, maka Umar maju lalu bertakbir. Sepertinya dia membaca surat Yusuf atau an-Nahl atau seperti surat itu pada rakaat pertama hingga memungkinkan semua orang bergabung dalam shalat. 3. Pelajaran tentang Tindakan Imam Shalat Manakala Berhalangan Ketika aku tidak mendengar sesuatu darinya kecuali ucapan takbir tiba-tiba terdengar dia berteriak, “Ada orang yang membunuhku, atau katanya, “Seekor anjing telah menerkamku”. Rupanya ada seseorang yang menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Penikam itu tidaklah melewati orang-orang di sebelah kanan atau kirinya melainkan dia menikamnya pula hingga dia telah menikam sebanyak tiga belas orang yang mengakibatkan tujuh orang diantaranya meninggal dunia. Ketika seseorang dari kaum muslimin melihat kejadian itu, dia melemparkan baju mantelnya dan tepat mengenai si pembunuh itu. Dan ketika dia menyadari bahwa dia musti tertangkap (tak lagi bisa menghindar), dia bunuh diri. Umar memegang tangan Abdur Rahman bin Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang berada dekat dengan Umar pasti dapat me-
lihat apa yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berada di sudutsudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, selain hanya tidak mendengar suara Umar. Mereka berkata, “Subhaanalah, Subhaanalah (Maha Suci Allah) “. Maka Abdur Rahman melanjutkan shalat jama’ah secara ringan. 4. Pelajaran tentang Menyongsong Kematian dengan Tenang Setelah shalat selesai, Umar bertanya, “Wahai Ibnu Abbas, lihatlah siapa yang telah membunuhku”. Ibnu Abbas berkeliling sesaat lalu kembali dan berkata, “Budaknya al-Mughirah”. Umar bertanya, “O, si budak yang pandai membuat pisau itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya, benar”. Umar berkata, “Semoga Allah membunuhnya, sungguh aku telah memerintahkan dia berbuat makruf (kebaikan). Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku beragama Islam. Sungguh dahulu kamu dan bapakmu suka bila orang kafir non-Arab banyak berkeliaran di Madinah.” Abbas adalah orang yang paling banyak memiliki budak. Ibnu Abbas berkata, “Jika Anda menghendaki, aku akan kerjakan apapun. Maksudku, jika kamu menghendaki kami akan membunuhnya”. Umar berkata, “Kamu berbohong, (sebab mana boleh kalian membunuhnya) padahal mereka telah telanjur bicara dengan bahasa kalian, shalat
menghadap qiblat kalian dan naik haji seperti haji kalian”. 5. Pelajaran tentang Betapa Hidup Sehari-hari Tetap Berjalan Wajar Kemudian Umar dibawa ke rumahnya dan kami ikut menyertainya. Saat itu orang-orang seakan-akan tidak pernah terkena mushibah seperti hari itu sebelumnya. Di antara mereka ada yang berkata, “Dia tidak apa-apa”. Dan ada juga yang berkata, “Aku sangat mengkhawatirkan nasibnya”. Kemudian Umar disuguhkan anggur lalu dia memakannya namun makanan itu keluar lewat perutnya. Kemudian diberi susu lalu diapun meminumnya lagi, namun susu itu keluar melalui lukanya. Akhirnya orang-orang menyadari bahwa Umar segera akan meninggal dunia. Maka kami pun masuk menjenguknya lalu diikuti oleh orang-orang yang datang dan memujinya. Tiba-tiba datang seorang pemuda seraya berkata, “Berbahagialah Anda, wahai Amirul Mu’minin dengan kabar gembira dari Allah untuk Anda karena telah hidup dengan mendampingi Rasulullah SAW dan yang terdahulu menerima Islam berupa ilmu yang Anda ketahui. Lalu Anda diberi kepercayaan menjadi pemimpin, dan Anda telah menjalankannya dengan adil, lalu Anda mati syahid”. Umar berkata, “Aku sudah merasa senang jika masa kekhilafahanku berakhir netral, aku tidak terkena dosa dan juga tidak mendapat pahala”. EDISI 6/2012
47
Ketika pemuda itu berlalu, tampak pakaiannya menyentuh tanah, maka Umar berkata, “Bawa kembali pemuda itu kepadaku”. Umar berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu karena yang demikian itu lebih mengawetkan pakaianmu dan lebih membuatmu taqwa kepada Rabbmu.” 6. Pelajaran tentang Penuntasan Hutang “Wahai Abdullah bin Umar, lihatlah berapa jumlah hutang yang menjadi kewajibanku,” kata Umar kepada putranya. Maka mereka menghitungnya dan mendapatan hasilnya bahwa hutangnya sebesar delapan puluh enam ribu atau sekitar itu. Umar berkata, “Jika harta keluarga Umar mencukupi bayarlah hutang itu dengan harta mereka. Namun apabila tidak mencukupi maka mintalah kepada Bani Adiy bin Kaab. Dan apabila harta mereka masih tidak mencukupi, maka mintalah kepada masyarakat Quraisy dan jangan mengesampingkan mereka dengan meminta kepada selain mereka lalu lunasilah hutangku dengan harta-harta itu. 7. Pelajaran tentang Meminta Ijin kepada Orang yang Berwenang Kata Umar, “Temuilah Aisyah, Ummul Mukminin Radliallahu Anha, dan sampaikan salam dari Umar dan jangan kalian sebut dari Amirul Mukminin, karena hari ini bagi kaum mukminin aku bukan lagi sebagai 48
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
pemimpin. Katakan bahwa Umar bin al-Khaththab meminta izin untuk dikuburkan di samping kedua shahabatnya”. Maka Abdullah bin Umar memberi salam, meminta izin lalu masuk menemui Aisyah. Ternyata Abdullah bin Umar mendapatkan Aisyah sedang menangis. Lalu Abdullah berkata, “Umar bin al-Khathtab menyampaikan salam buat Anda dan meminta ijin agar boleh dikuburkan disamping kedua sahabatnya, Rasulullah SAW dan Abu Bakar.”. Aisyah berkata, “Sebenarnya aku juga menginginkan hal itu untuk diriku namun hari ini aku tidak akan lebih mementingkan diriku”. Ketika Abdullah bin Umar kembali, dikatakan kepada Umar, “Ini dia, Abdullah bin Umar sudah datang”. Maka Umar berkata, “Angkatlah aku”. Maka seorang laki-laki datang menopangnya. Umar bertanya: “Berita apa yang kamu bawa?” Ibnu Umar menjawab, “Berita yang Anda sukai, wahai Amirul Mukminin. Aisyah telah mengizinkan Anda”. Umar berkata, “Alhamdulillah. Tidak ada sesuatu yang paling penting bagiku selain hal itu. Jika aku telah meninggal, bawalah jasadku kepadanya dan sampaikan salamku lalu katakan bahwa Umar bin al-Khaththab meminta izin. Jika dia mengizinkan maka masukkanlah aku (kuburkan) namun bila dia menolak maka
kembalikanlah jasadku ke kuburan Kaum Muslimin”. 8. Pelajaran tentang Adab Menjenguk Orang Sakit dan Menjaga Hijab Kemudian Hafshah, Ummul Mukminin, datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta izin masuk, maka Hafshah masuk ke kamar karena ada orang yang mau masuk. Maka kami dapat mendengar tangisan Hafshah dari balik kamar. 9. Pelajaran tentang Pergantian Kepemimpinan Atas Dasar Kemuliaan Orang-orang itu berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mukminin. Tentukanlah pengganti Anda”. Umar berkata, “Aku tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongan mereka yang ketika Rasulullah SAW wafat beliau ridla kepada mereka.” Maka dia menyebut nama Ali, Utsman, Az Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdur Rahman. Selanjutnya dia berkata, “Abdullah bin Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peran dalam urusan ini, dan tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya. Jika kepemimpinan jatuh ke tangan Saad, maka dialah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia,
maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja di antara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya karena alasan lemah atau berkhianat”. 10. Pelajaran tentang Wasiat Kebaikan untuk Masyarakat Selanjutnya Umar berkata, “Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada Kaum Anshar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. “Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada seluruh penduduk kota ini karena mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali harta lebih mereka dengan kerelaan mereka. “Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badui karena mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang fakir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar menunaikan perjanjian kepada ahlu dzimmah (warga EDISI 6/2012
49
non muslim yang wajib terkena pajak), yaitu orang-orang yang di bawah perlindungan Allah dan RasulNya (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahlu dzimmah) yang berniyat memerangi harus diperangi, mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka”. 11. Pelajaran tentang Sikap Ikhlas terhadap Kekuasaan Ketika ‘Umar sudah menghembuskan nafas, kami keluar membawanya lalu kami berangkat dengan berjalan. Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada Aisyah) lalu berkata, “Umar bin Al Khaththab meminta izin”. Aisyah berkata, “Masukkanlah”. Maka jasad Umar dimasukkan ke dalam liang lahad dan diletakkan berdampingan dengan kedua shahabatnya. Setelah selesai menguburkan jenazah Umar, orang-orang (yang telah ditunjuk untuk mencari pengganti khalifah) berkumpul. Abdur Rahman bin Auf berkata, “Jadikanlah urusan kalian ini kepada tiga orang diantara kalian.” Maka az-Zubair berkata, “Aku serahkan urusanku kepada ‘Ali.” Sementara Thalhah berkata, “Aku serahkan urusanku kepada Utsman. Sedangkan Saad berkata, “Aku serahkan urusanku kepada Abdur Rahman bin Auf. Kemudian Abdur Rahman bin Auf berkata, “Siapa diantara kalian berdua yang mau melepaskan urusan ini maka kami akan serahkan kepada 50
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
yang satunya lagi, Allah dan Islam akan mengawasinya. Sungguh seseorang dapat melihat siapa yang terbaik diantara mereka menurut pandangannya sendiri.” Dua pembesar (Utsman dan Ali) terdiam. Lalu Abdur Rahman berkata, “Apakah kalian menyerahkan urusan ini kepadaku. Allah tentu mengawasiku dan aku tidak akan semena-mena dalam memilih siapa yang terbaik diantara kalian”. Keduanya berkata, “Baiklah”. Maka Abdur Rahman memegang tangan salah seorang dari keduanya seraya berkata, “Engkau adalah kerabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dari kalangan pendahulu dalam Islam (senior) sebagaimana yang kamu ketahui dan Allah akan mengawasimu. Seandainya aku serahkan urusan ini kepadamu tentu kamu akan berbuat adil dan seandainya aku serahkan urusan ini kepada Utsman tentu kamu akan mendengar dan mentaatinya”. Kemudian dia berbicara menyendiri dengan ‘Utsman dan berkata sebagaimana yang dikatakannya kepada ‘Ali. Ketika dia mengambil perjanjian bai’at, Abdur Rahman berkata, “Angkatlah tanganmu wahai Utsman”. Maka Abdur Rahman membaiat Utsman lalu Ali ikut membaiatnya kemudian para penduduk masuk untuk membaiat Utsman”.
Syarah Hadits
Benarkah Perbedaan Itu Rahmat?
Ummu Salamah (isteri Nabi SAW) mengabarkan dari Rasulullah. Beliau suatu kali mendengar pertengkaran di depan pintu kamarnya. Beliau lalu keluar dan bersabda: “Saya hanyalah manusia biasa seperti kalian, dan aku sudah pula mendapatkan pengaduan. Padahal, siapa tahu di antara kalian lebih pandai bersilat lidah daripada yang lain, sehingga aku menyangka dirinya benar (padahal tidak), lalu aku putuskan sesuatu yang menguntungkan dirinya. Maka, barangsiapa kuputuskan menang dengan melanggar hak saudaranya semuslim, sama artinya aku mengambilkan suluh api baginya. Karena itu, silahkan ia ambil atau ia tinggalkan!” (HR Bukhari – Hadits No. 6645) Pengantar i tengah masyarakat kita sering menemukan perbedaan pendapat atau pertikaian yang meruncing begitu rupa. Perbedaan yang bisa menjadi konflik itu memang hampir merupakan bawaan, bahkan ada yang menyebut ada dalam DNA manusia. Maksudnya, tersimpan dalam “bakat” kita sebagai makhluk. Tidak jarang, berbeda pendapat itu dimaknai sebagai “hak”. Padahal karena manusia ini makhluk yang bisa keliru, maka kita bisa keliru setiap waktu. Artinya, pada saat kita bertikai dengan seseorang, saat itulah ada kemungkinan kita salah. Dengan demikian maka semua harus dikembalikan kepada pegangan yang kuat, yang benarnya bersifat hakiki, yakni
D
dikembalikan kepada Allah dan tuntunan Rasulullah. Namun, ternyata sejumlah hadits menyatakan bahwa Nabi mengembalikan keputusan tentang benar-salah itu kepada integritas orang itu sendiri. Karena orang itu yang kelak menanggung akibatnya di akhirat. Hadits dari Imam Bukhari di atas membuktikan hal itu. Apa yang disampaikan oleh Nabi di atas hendaknya jangan diulur kelewat jauh, begitu rupa sehingga menyimpang. Salah satu bentuk penyimpangan dilakukan mengikuti garis penalaran demikian: "Karena Nabi mengembalikan kepada mereka yang bertikai, dikembalikan kepada niat baiknya dan keikhlasannya kepada Allah, maka perbedaan itu bukan sesuatu yang perlu dikuatirkan. Sesuatu EDISI 6/2012
51
yang boleh-boleh saja, atau malah bisa merupakan rahmat." Nah, inilah bahayanya mengulur terlalu jauh sesuatu perkataan Nabi yang diucapkan dalam konteks tertentu. Ini hanyalah opini seseorang entah siapa di masa lalu. Tidak Diketahui Asal-muasalnya Demikianlah, kita sering mendengar ungkapan sebagai berikut:
Perselisihan di antara ummatku adalah rahmat Padahal, ungkapan tersebut tidak jelas asal usulnya. Tidak ada sumbernya. Kemungkinan besarnya atau kesimpulannya bukan hadis, bukan ucapan Nabi Muhammad SAW. Bunyi ungkapan di atas dikaji oleh Ustadz Al-Albani di dalam kitabnya yang terkenal (Silsilah Hadis Dha’if dan Maudhu’) nomor 57. Al-Albani menyatakan bahwa ungkapan itu tidak ada sumbernya, tidak diketemukan asal usulnya. Para pakar hadis sudah berusaha sekuat tenaga dan sangat serius untuk memperoleh rangkaian jalur periwayatan ungkapan itu dengan meneliti dan menelusuri sumbernya. Tetapi usaha itu tidak berhasill menemukannya. Sanadnya tidak diketemukan! Imam Al-Suyuthi menyatakan di dalam al-Jami’ush Shaghir bahwa jalur periwayatan itu tidak sampai padanya. Oleh karena itu, ungkapan itu tidak patut dan tidak layak diyakini oleh ummat Islam. Sementara itu al-Munawi mengutip 52
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
pendapat al-Subki yang menyatakan: “Ungkapan itu tidak dikenal di kalangan para pakar hadits. Saya tidak menemukan jalur periwayatan baik yang sahih, yang dha’if maupun yang maudhu’.” Di dalam kitab Tafsir al-Baidhawi yang menjelaskan ayat Ali Imron 105, alBaidhawi menyinggung hal ini juga.
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS Ali Imron 105) Al-Baidhawi menyatakan bahwa janganlah ummat Islam itu berselisih faham mengenai tauhid Allah, mensucikan Allah dari sifat-sifat dan bentuk manusiawi, dan berselisih faham mengenai akhirat. Terhadap dalil-dalil yang sudah jelas kebenarannya yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits shahih, maka jangan ada perselisihan dan wajib umat Islam untuk bersatupadu, bersepakat dan rukun. Namun, di dalam tafsirnya yang juga mengomentari ayat di atas al-Baidhawi juga mencantumkan ungkapan yang dia katakan sebagai hadits ucapan Nabi SAW yaitu yang kemudian dikomentari oleh Syaikh Zakariyya al-Anshari bahwa dia sepakat akan perlunya kesepakatan dan persatuan tanpa ada perselisihan ummat Islam. Hanya saja dia menyatakan bahwa dari segi makna, ungkapan itu sebagai sesuatu hal yang
sangat aneh dan menyalahi para ulama pakar hadits. Ungkapan yang Bisa Merusak Ulama dan pakar hadits Ibn Hazm di dalam kitabnya, Al-Ihkam fi Ushul alAhkam, 5: 64 menyatakan bahwa ungkapan itu bukan hadits. Selanjutnya, Ibn Hazm menyatakan bahwa ungkapan “Perselisihan di antara ummatku adalah rahmat” adalah ungkapan yang barangkali paling merusak dan membawa bencana. Mengapa? Karena, logikanya kalau perselisihan atau pertentangan atau perbedaan pendapat itu rahmat, maka pastilah kesepakatan, kerukunan, dan persamaan pendapat itu adalah merupakan kutukan, laknat (kemarahan). Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh orang Islam. Dalam hal ini hanya ada dua pilihan kesepakatan atau perselisihan, mendapat rahmat atau mendapat kutukan. Perhatikan ayat al-Qur’an berikut untuk memperkuat argumen bahwa ungkapan “Perselisihan di antara ummatku adalah rahmat” adalah ungkapan salah.
Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Anfal: 46) Sebagian dari dampak ungkapan itu adalah banyak orang Islam yang sudah merasa mantab dengan adanya perbedaan pendapat di antara golongangolongan dan madzhab-madzhab. Saking
mantabnya, mereka tidak mau lagi kembali kepada al-Qur’an dan Hadits Shahih sebagaimana diperintahkan para Imam madzhab. Para pengikut madzhab, golongan, kelompok, organisasi menganggap bahwa para pemimpin mereka itu seperti syari’at yang bermacam-macam. Banyak Ulama tahu bahwa perselisihan dan pertentangan tidak dapat disatukan atau diakurkan kecuali dengan mengembalikan persoalan kepada dalilnya dari alQur’an dan as-Sunnah. Langkahnya adalah menolak sesuatu yang yang menyalahi dalil dan menerima sesuatu yang sesuai dengan dalilnya. Selanjutnya, Imam Al-Albani menjelaskan bahwa bagaimana mungkin perselisihan atau pertentangan para ulama yang bermacam-macam itu dianggap sebagai syari’at. Dia mengutip sebuah ayat berikut:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan (perselisihan) yang banyak di dalamnya. (QS An Nisaa 82) Ayat di atas jelas sekali mengatakan bahwa pertentangan (perselisihan) itu bukan dari Allah. Bagaimana mungkin, orang menjadikan ikhtilaf (pertentangan, perselisihan, atau hal-hal yang saling bertentangan) itu sebagai syari’at yang harus diikuti dan dianggap rahmat.
Dan taatlah kepada Allah dan RasulEDISI 6/2012
53
Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Anfal, 8: 46) Karena perselisihan, berbantahbantahan dan pertentangan itu membuat ummat menjadi gentar dan kehilangan maka tentu saja perselisihan dan pertentangan dalam tubuh umat ini dilarang. Jadi, sama sekali bukan rahmat. Antara Perbedaan Pendapat dan Perselisihan Dalam beberapa kasus, seperti pelaksanaan shalat di Bani Quraidhah atau di tengah perjalanan, juga perbedaan bacaan para sahabat dalam membaca al-Qur’an dan juga hasil ijtihad para Imam, maka itu dibolehkan dan tidak dicela. Yang dicela adalah kalau kemudian terjadi saling mencela dan saling merendahkan bahkan kemudian saling memfitnah atau mengatakan yang tidak benar kepada kelompok lain yang berbeda pendapat.
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari (yang mengolok-olok) dan jangan pula para wanita (mengolok-olok) para wanita lain (karena) boleh jadi para wanita itu (yang diperolok-olok-kan) 54
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
lebih baik dari wanita (yang mengolokolok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orangorang yang lalim. (QS al-Hujurat: 11) Perbedaan pendapat menjadi tercela kalau ada yang dengan sengaja atau karena kebodohannya meninggalkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Bisa juga celaan atau kecaman terjadi karena orang hanya menuruti pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya saja. Menghadapi perbedaan pendapat ini jangan sampai membuat umat berselisih, saling merendahkan dan meremehkan kemudian menjadi bermusuhan. Hati perlu dijaga, jangan mudah panas hanya karena perbedaan kecil yang bukan merupakan pokok agama dan ketika dalil syar’i juga dalam suatu masalah kurang jelas dalilnya. Akhirnya, kita perlu berhati-hati dalam persoalan ini. Yang kita harapkan adalah keselamatan dan kesuksesan pada Hari yang tiada berguna harta dan anak keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang besih dan suci (salim).
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna; kecuali orangorang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (asy-Syu’ara’ 88-89). Tim Redaksi
Suplemen DINAMIKA
Pengajian Umum Ahad Pagi Mojokerto Ibarat Aliran Sungai Besar
foto: fbs
P
agi itu Ustadz Afrokhi dari Kediri datang untuk memberi tausiyah di Mojokerto. Beliau langsung menuju kantor PDM Kota Mojokerto di Jalan Taman Siswa nomor 25. Jalan beraspal di tengah kota seluas 17 kilometer persegi berpenduduk 125 ribu jiwa itu sudah ditutup separuhnya di kedua sisi, layaknya sedang ada perhelatan besar. Penutupan jalan itu tidak berlebihan. Pengunjung Pengajian Umum Ahad Pagi (PUAP) betul-betul tumpah ruah ke jalan aspal di depan Gedung PDM, bagaikan pasar malam yang berlangsung di sekujur
badan jalan. Pria-wanita, remaja dan dewasa, sebagian membawa anak-anak, duduk di atas karpet dan tikar yang digelar di atas permukaan jalan. Ada juga yang duduk di atas tembok rendah pengamping selokan; di trotoar; di bangkubangku yang disumbang oleh rumahrumah di kanan kiri jalan; berjongkok di halaman rumah sekitar; duduk di atas sepeda motor. Pendeknya, orang-orang bertebaran asal tidak terlalu jauh dari pengeras suara. Ada dua TV plasma ukuran besar di atas trotoar. Sehingga hadirin bisa melihat pembicara lewat layar kaca, sementara suaranya dipancarluaskan oleh pengeras suara ukuran besar ke semua jamaah. Termasuk diarahkan ke gedung Lembaga Pemasyarakatan (LP) di seberang jalan. Pemuda-pemuda, berseragam kaus merah bertuliskan “Outside Official” mengatur lalu-lalang manusia dan kendaraan. Mereka itu aktivis dari Ortom Muhammadiyah, yakni Pemuda, Tapak Suci, dan IPM. Sementara pemudipemudi NA bergiat di antara jamaah perempuan. Puluhan mobil dan ratusan
Redaksi menerima tulisan rubrik Sosok, Dinamika atau Sosok & Dinamika. Tulisan seputar kiprah tokoh (sosok), maupun dinamika dakwah komunitas (dinamika), atau gabungan keduanya (sosok & dinamika), tulisan bertujuan untuk inspirasi dan wawasan pengembangan dakwah. Kirim naskah beserta gambar ke:
[email protected] Jangan lupa, tulis identitas anda dan nomor rekening bank/alamat wesel pos. Terima kasih. EDISI 6/2012
55
sepeda dan sepeda motor diparkir teratur mulai dari mulut jalan barat dan timur jalan Taman Siswa itu. Tak ketinggalan, becakbecak diparkir menunggu penumpang yang mengontraknya pergi-pulang. Sopirnya betul-betul sambil menyelam minum air: menunggu penumpang sembari menyimak ceramah dengan tekun. Setiap Ahad pagi pekan genap, pemandangan demikian berulang. Saat itu pula penghuni LP Mojokerto dijadwal oleh Kepala LP untuk menyimak ceramah ustadz dari balik tembok penjara. Inilah keuntungan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan yang tepat di depan kantor PDM. Pihak LP bahkan meminta agar pengeras suara yang mengarah ke LP selalu dalam keadaan baik. Sebaliknya, panitia PUAP pun pamit memanfaatkan halaman LP untuk parkir kendaraan dan tempat jamaah. Jamaah yang hadir di PUAP, yang pada 6 Safar 1433 H lalu diperkirakan “hanya 1.200-an orang”, tidak semuanya anggota Muhammadiyah. Namun mereka sudah akrab dengan ‘cara’ Muhammadiyah yang, menurut seorang jamaah, “mencerdaskan dan mengajak berpikir benar”. Ini ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada penceramah atau komentar-komentar mereka saat menemui panitia seusai pengajian. Dan panitia pun mafhum. “Kalau ustadz penceramahnya memiliki pendapat yang ‘tidak berkemajuan’ atau agak kurang cerdas atau salah ucap,” ujar Ketua PUAP H. Sanoesi, “pasti ada jamaah yang menemui panitia dan mengutarakan pandangannya.” 56
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
Maka, panitia pun cermat memilih. Mereka rela menghadirkan penceramah dari luar kota, termasuk dari PWM Jawa Timur, PP Muhammadiyah Yogya atau Jakarta, atau penceramah dari kota lain seperti KH Afrokhi dari Pare Kediri itu. Jika KH Afrokhi datang beberapa kali, itu karena merespon keingintahuan jamaah tentang isu yang bergulir di masyarakat terkait dengan kritiknya terhadap kebiasaan amalan di tengah masyarakat yang tidak diajarkan Nabi SAW. Seperti diketahui, KH Afrokhi adalah sosok yang sejak 2004 mempertanyakan keabsahan amalan seperti meminta doa dengan ziarah kubur, tawasul yang mengarah ke syirik itu, dan amalanamalan lain yang (mengarah) bid’ah. Setelah itu bergulir pula pertanyaanpertanyaan tentang selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, 1.000 yang berakar pada tradisi Hindu itu. Panitia berseragam “outside official”
foto: fbs
foto: fbs
Selain beliau, Ustadz Muhammad Muqoddas dari PP Muhammadiyah sudah tiga kali hadir ke Mojokerto. Sementara Nanung Danardono, dosen UGM yang kini studi di Inggris, pernah membawakan tema makanan halal-haram dalam pandangan keilmuan modern, sedang digagas diundang lagi sepulang dari Universitas Glasgow kelak. Begitu juga Pak Yusron Asrofi, dari UIN Sunan Kalijaga atau Pak Agung Danarto, Sekjen PP Muhammadiyah. Insya Allah. Ketika dimulai, tahun 2009, saat itu Mojokerto secara administratif dibagi menjadi kabupaten dan kota, PUAP lalu menginduk ke PDM Kota. Sementara PUAP di Kabupaten dilaksanakan secara mobile bergiliran. Maklum, lingkup wilayah Mojokerto memang luas. Jadwalnya dicatat TI sebagai berikut: Pekan I dan V di SMP Muhammadiyah Gedeg dan Masjid Al-Basith Kenanten Kecamatan Puri; pekan III di Masjid AlAzhar Mojosari dan Al-Muqarrabin Brangkal Kecamatan Sooko.
Betul-betul memenuhi jalan.
Menariknya, jamaah yang ke PUAP ternyata tidak terpengaruh oleh pemilahan administrasi pemerintah itu. Jamaah tetap datang dari pelbagai penjuru Kabupaten dan Kota Mojokerto. Diketahui, mereka juga datang dari kecamatan di sisi selatan, seperti Gondang, Kutorejo, Jatirejo, Trowulan, Delanggu. Atau, dari sisi utara kabupaten berpendududuk 970 ribu jiwa itu, misalnya: Gedeg, Dawarblandong, Kemlagi. Bahkan seringkali jamaah dari Mojoagung dari Kabupaten Jombang datang dengan mencarter bis! Mereka itu pula yang meramaikan kegiatan plus dari PUAP, seperti bazar, donor darah triwulanan, sapa jamaah, pemberian santunan untuk dhuafa, senam kebugaran untuk kaum sepuh, khitanan umum. Pada sekitar bulan Juli-Agustus, biasanya juga digelar upaya syiar Islam dengan beberapa kegiatan termasuk jalan sehat. Untuk yang terakhir ini, Walikota Mojokerto, Kepala-Kepala Dinas atau Instansi dan anggota DPRD setempat biasanya juga ikut serta. EDISI 6/2012
57
MATA AIR “SUNGAI PENGAJIAN”
P
UAP sudah tentu tidak langsung tertata seperti sekarang. Situs www.puap-mojokerto.com yang memuat cerama-ceramah sepanjang perjalanan PUAP jelas menunjukkan pengalaman berproses yang tidak mainmain. Leaflet atau lembaran lepas seukuran folio bolak-balik, yang dinamai “Khulasoh Pengajian Ahad Pagi”, dan kini sudah sampai edisi ke-5 tahun ke10 itu, jelas menunjukkan keseriusan. Di halaman belakang Khulasoh itu dimuat pula laporan keuangan PUAP sampai kondisi terakhir. Lembaran itu dicetak 500 eksemplar dan dibagi cuma-cuma dengan biaya dari jamaah sendiri.
Praktek seperti itu sudah dilakukan semenjak awal PUAP dirintis. Yakni semenjak Pak Qawaid merintis Pengajian Kontemporer Al-Muasyirah tahun 1990an, yang mengambil bentuk pengajian dengan dialog dalam forum terbatas dengan mengupas tema-tema keislaman strategis. Pak Qawaid ini adalah seorang pegawai senior di Departemen Agama, yang dihormati karena kepribadiannya. Terkait dengan itu, pengajian yang berlangsung terus-menerus, mungkin dapat diibaratkan bagai sungai yang mengalir dari masa lalu hingga belasan tahun kemudian saat ini. Nah, Pak Qawaid itu insya Allah tepat disebut
foto: fbs
Kegiatan donor darah yang dikelola PUAP Mojokerto triwulanan. 58
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
foto: fbs
Qawaid
sebut “sungai” PUAP itu. Di masjid tersebut sudah dikelola beberapa kegiatan termasuk panti yatim dan kegiatan rukun kematian yang aktif dan melayani umat dengan baik, termasuk dengan inovasi tempat pemandian jenazah yang didesain secara syar’i dari bahan stainless. Selain Pak Qawaid dan Pak Sanoesi, sudah tentu ada nama-nama lain yang tidak terlihat publik. Sekadar yang sempat dicatat, mereka itu adalah Imam
NILAI PLUS PUAP MOJOKERTO 1. Berlangsung rutin lebih dari satu dasawarsa. 2. Penceramah dipilih yang berkompeten; jika perlu mendatangkan dari luar kota. Tema yang diangkat juga beragam dan menjawab kebutuhan umat; 3. Rekaman dari ceramah pekan sebelumnya dibuat CD; dikemas dengan sampul dan kover menarik. Jamaah yang tidak hadir pekan lalu, bisa membelinya seharga Rp10 ribu. Panitia menyiapkan 25-30 keping CD tiap edisi; dan semuanya laris manis, menandakan bahwa upaya itu memenuhi kebutuhan jamaah; 4. Setiap ceramah dibuat ringkasannya, dan dimuat dalam leaflet “Khulasoh” yang dicetak 500 eksemplar dan dibagi cuma-cuma; 5. Pertanggungjawaban keuangan dimuat dalam leaflet “Khulasoh” sehingga jamaah mengetahui dana umat yang dikelola panitia berikut peruntukannya; 6. Ceramah dan kegiatan PUAP diunggah dalam situs www.puap-mojokerto.com sehingga dapat disimak di mana pun dan kapan pun. EDISI 6/2012
59
m3circle.multiply.com
sebagai “penggali mata air pengajian”, yang belakangan memancarkan airnya mengalir ibarat sungai tak terputus sampai berwujud Pengajian Umum Ahad Pagi di Mojokerto ini. Sebagai pegawai negeri sipil, Qawaid sempat ditugaskan di Banyuwangi dan Ngawi. Di kota-kota itu pula dia “menggali mata air pengajian” di lingkungan Muhammadiyah setempat, yang konon kini juga masih berkelanjutan. Melalui pengajian itu, paradigma pikir jamaah dibina sejalan dengan konsep dakwah jamaah. “Yakni, bahwa Islam merupakan rahmatan lil alamin,” tutur Qawaid. “Dari situ kita memperoleh jamaah yang kritis, yang berwawasan luas, insya Allah yang semakin meyakini kebenaran agamanya, tetapi juga tahu mana ajaran Islam yang benar itu.” Dari cerita Pak Sanoesi, pengajian di Masjid Darul Aytam, kemudian ikut mengalir menyatu menjadi apa yang kita
VCD rekaman PUAP
Fakhrudin, Tibyanu Ar-Rahman, Ali Imron, Mashudo, Hasanuddin Saab, Qamari, Juwari, M. Okto Bhakti, Firdaus, Sugeng. Ada pula Agus Santosa, yang dikenal sebagai pengelola blog PUAP Mojokerto di internet. Sudah tentu ada nama-nama lain lagi belum dicatat di sini. Kita lihat, di situ juga tidak ada nama perempuan. Padahal, mereka juga memiliki andil besar seperti halnya kaum pria. Mereka itu semuanya memberi sumbangsih dalam posisinya masing-masing untuk menjadikan pengajian ini sebagai maslahat bagi umat. Namun, mereka tidak (mau) muncul ke permukaan. Insya Allah keikhlasan mereka itu dicatat cermat dalam buku para malaikat. Ketika pengajian itu lambat laun mulai membesar, panitia membuat variasi dan pengayaan kegiatan. Bentuknya adalah diadakannya kegiatan donor darah yang
60
BERKALA TUNTUNAN
ISLAM
melibatkan Palang Merah Indonesia setempat. Kegiatan ini diselenggarakan tiap triwulan. Selain itu, pada kegiatan Milad PUAP tiap tahun diisi dengan bazar, jalan santai, dakwah bil-hal berupa santunan kepada kaum dhuafa dan jamaah yang sedang sakit. Kegiatan-kegiatan ini merupakan keniscayaan, bentuk keluwesan dan kemajuan berpikir dalam menyikapi persoalan jamaah. Ini terlihat mulai dari perkembangan bina jamaah dengan pelatihan ustadz-ustadzah, TPA-TQA, pelatihan perawatan jenazah; sampai pengelolaan barang material. Yang terakhir ini meliputi inventaris yang semula kursi seng bertambah 800 biji kursi duduk plastik; tikar dan karpet; hijab dan mimbar; sound system, perangkat komputer, dan TV plasma besar. Farid B Siswantoro