Dr. H. Abas Asyafah, M.Pd.
KONSEP TADABUR AL-QURAN
CV. MAULANA MEDIA GRAFIKA Jln. Yupiter VII Nomor 53 C Bandung Telepon (022) 756444281
i
Renungan: Jika ucapan orang berilmu lebih banyak didengarkan dari ucapan orang bodoh, dan ucapan ibu yang penyayang lebih banyak didengarkan daripada ucapan orang lain, maka berarti firman Allah Yang Maha Berilmu (al-‘Alim) lebih layak didengarkan, direnungkan lalu diamalkan. (Al-Muhasibi)
ii
© 2014 Asyafah, Abas KONSEP TADABUR AL-QURAN Edisi Revisi, Cetakan Ke-2 Bandung, Juli 2014 x + 203 halaman 23 X 16 Cm ISBN 979933051-3 ISBN 978-979-9330-51-2
9 789 799 3305 12
CV. MAULANA MEDIA GRAFIKA Jln. Yupiter VII Nomor 53 C Bandung Telepon (022) 756444281
iii
Kutipan Pasal 44, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia tentang HAK CIPTA: Tentang Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12Tahun 1997, bahwa: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menyebarkan suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1000.000,00.(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 500.000.000.- (lima ratus juta rupiah).
iv
KATA PENGANTAR EDISI REVISI
Al-hamdulillah, karena berkat taufik, hidayah, dan „inayah Allah-lah, penulis dapat menyelesaikan buku “Konsep Tadabur Al-Quran” ini sebagai edisi revisi yang telah diterbitkan pada bulan Juni 2009. Buku ini disusun untuk menggali dan merespons semangat Iqra‟ (Bacalah!). Sebuah titah Ilahi yang belum tuntas kita laksanakan. Al-Quran sebagai “bacaan utama” dan tuntunan hidup kaum muslimin ternyata masih belum banyak digali dan dikupas apalagi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh. Kalaupun ada yang melakukan kajian mungkin hanya sekelompok kecil saja, kalaupun diterapkan dalam kehidupan hanyalah sebagian ayat-ayatnya saja. Sisi lain umat Islam yang jumlahnya banyak ini umumnya masih menjadikan al-Quran sebagai kitab untuk sekadar dibaca saja (tidak ditadaburi) dan belum sampai dipahami, direnungkan apalagi diterapkan. Berangkat dari pemikiran ini maka penulis tergerak untuk mengajak semua komponen umat Islam bersama-sama untuk meningkatkan “semangat iqra” dengan memahami dan mengaplikasikan konsep tadabur al-Quran dalam kehidupan. Buku ini berisi pemikiran-pemikiran konseptual tentang tadabur al-Quran, yang materi-materinya dapat diterapkan dalam aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, buku ini –insya Allahbermanfaat bagi kaum muslimin secara umum, terutama bagi kiayi, ustadz, dosen/guru PAI, mubalig, orang tua, LPTQ, peneliti, mahasiswa, dan pelajar muslim. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus terutama kepada Prof. Dr. H. Abd. Majid, M.A., Prof. Dr. H. Djudju Sudjana, M.Ed. dan Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir sebagai promotor disestasi penulis, karena buku ini sebagai hasil studi pengembangan tahap I disertasi penulis, dan sebagai embrio penulisan disertasi tentang Pengembangan Metode Tadabur Qurani dalam PAI pada tahap selanjutnya. Tak lupa v
ucapan terima kasih disampaikan pula kepada seluruh guru penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Kepada Istriku Dra. Hj. Yayan Karyani, M.Pd. serta anak-anakku Sany Ulfah Mumtazan, S.Pd. S.Pt, Fikri Rasyid, S.Pd. dan Rahmi Qurota Aini buku ini didedikasikan untuk kalian. Sebagai manusia biasa, penulis sadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran membangun dari para pembaca sangat diharapkan untuk kesempurnaan buku ini. Akhirnya hanya kepada Allah saja diserahkan segalanya, semoga kita dapat mendataburi al-Quran, mendapatkan hikmah yang melimpah, serta dapat menerapkannya secara nyata dalam kehidupan sehingga kehidupan kita bahagia, selamat, dan selalu dalam lindungan Allah . Bandung, Juni 2014 Penulis, Abas Asyafah
vi
DAFTAR ISI v
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
vii
DAFTAR GAMBAR/BAGAN
ix 1
I.
PENDAHULUAN
II.
PEMAKNAAN TADABUR AL-QURAN A. Makna Tadabur B. Makna Tadabur Al-Quran C. Semangat Iqra; Makna Eskatologi Tadabur Al-Quran 1. Perintah Membaca Al-Quran 2. Perintah Tadabur Al-Quran 3. Medan makna Tadabur Al-Quran
5 5 8 10
INDIKATOR TADABUR AL-QURAN A. Menyatunya Pikiran, Hati dan Bacaan Al-Quran B. Menyentuh Emosi C. Khusyuk D. Meningkat Iman Jika Dibacakan Al-Quran
42 43 43 44 56
III.
10 16 25
IV. URGENSI TADABUR AL-QURAN A. Mengikuti Perintah Allah B. Membawa Keberkahan C. Memenuhi Kebutuhan Hati D. Mendapatkan Pujian Allah E. Celaan Bagi Yang Meninggalkan Tadabur F. Memperbaiki Kehidupan Muslim G. Mengefektifkan Komunikasi Ilahiyah H. Agar Iman Bertambah Mantap
59 60 61 64 67 70 72 79 79
V.
81 83 86 87 89 89
KOMUNIKASI ILAHIYAH A. Komunikasi Allah Kepada Manusia B. Para Rasul/Nabi C. Orang Mukmin D. Orang Non-Mukmin E. Al-Quran; Media Allah Berkomunikasi Kepada Manusia vii
F. Al-Quran; Media Manusia Berkomunikasi Kepada Allah G. Tadabur Sebagai Metode Komunikasi
98
METODOLOGI TADABUR AL-QURAN A. Konsep Dasar B. Pendekatan Metodologi Tadabur C. Sistematika Tadabur Al-Quran D. Adab Tadabur Al-Quran 1. Adab Lahir 2. Adab Batin
113 114 130 132 139 140 155
VII. TADABUR AL-QURAN DAN PENINGKATAN KEIMANAN A. Metode Al-Quran dalam Menambah Keimanan B. Kiat-Kiat Meningkatkan Keimanan Melalui Tadabur Al-Quran
167
VI.
99
170 179 201
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR GAMBAR/BAGAN No.
1.1 2.1 2.2 3.1 4.1 4.2 5.1 5.2 5.3 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 7.1 7.2
JUDUL GAMBAR/BAGAN TINGKAT DAN POSISI SESEORANG DALAM BERINTERAKSI DENGAN AL-QURAN PEMAKNAAN TADABUR AL-QURAN SEMANGAT IQRA INDIKATOR TADABBUR AL-QURAN URGENSI TADABBUR AL-QURAN PENYAKIT UMAT KOMUNIKASI ILAHIYAH NEUROFISIOLOGI MENDENGARKAN ALQURAN NEUROFISIOLOGI MEMBACA AL-QURAN METODOLOGI TADABUR AL-QURAN KONSEP DASAR TADABUR AL-QURAN SERTA FUNGSINYA KONSEP TILAWAH AYAT-AYAT ALLAH KONSEP TAZKIYAH KONSEP TA‟LIM AL-KITAB DAN AL-HIKMAH LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN TADABUR AL-QURAN ADAB TADABUR AL-QURAN ADAB BATIN TADABUR AL-QURAN; LATIHAN DAN PENGAMALANNYA TADABUR AL-QURAN DAN PENINGKATAN KEIMANAN MEMBINA PRIBADI MUKMIN MELALUI TADABUR AL-QURAN
ix
Hal.
4 5 11 42 59 73 82 101 103 113 115 117 124 129 138 139 166 170 200
x
0
BAB I PENDAHULUAN
ahyu pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad ialah iqra' (bacalah!). Walaupun amar (perintah) tersebut tersebut di luar kemampuan Nabi sendiri untuk melaksanakan perintah Allah karena ia seorang "ummi" (tidak bisa baca tulis). Namun, Allah telah menetapkan bahwa ada sesuatu yang tersirat di balik itu, sehingga atas perintah tersebut, al-Quran menjadi bacaan tetap Rasulullah, para sahabat, para pengikutnya, salafu al-shâlih, dan umat Islam kini hingga waktu yang akan datang. Amalan membaca al-Quran pada kalangan umat Islam tetap berjalan hingga hari ini. Namun, jika dinilai dari pelbagai sudut, maka perbedaannya amat kentara. Di sini kita tidak memfokuskan pembahasan pada soal frekuensi khatam (tamat membaca al-Quran seluruhnya), hapalan, kefasihan, kemerduan lagu, dan sebagainya seperti yang sering di-MTQ-kan. Karena yang amat penting ialah perbedaan dari sudut mengambil manfaat al-Quran yang merupakan sebesar-besar rahmat dan nikmat yang Allah limpahkan kepada umat manusia. Harus diakui bahwa kebanyakan umat Islam membaca alQuran sebagai suatu amalan yang dinilai ibadah dan diberi ganjaran atau pahala. Setiap satu huruf diberi satu kebajikan dan satu kebajikan itu akan digandakan pula sepuluh kali lipat. Kita tidak menafikan hal ini karena dinyatakan dalam hadits Nabi. Namun keadaan ini belum memenuhi tuntutan perintah "iqra" (bacalah!) yang sebenarnya. Imam al-Ghazali menyatakan dalam kitab Ihya' Ulûmudin bahwa “membaca al-Quran itu sebenarnya dengan penyertaan lisan, akal, dan hati”. Peranan lisan adalah agar dapat membaca al-Quran secara tartil, peranan akal adalah agar dapat memahami makna, dan peranan hati adalah agar manusia dapat mengambil
W
1
i‟tibâr (pelajaran). Membaca al-Quran dengan penyertaan lisan, akal, dan hati inilah yang dikatakan sebagai tadabur al-Quran secara sederhana. Kita dapat menemukan perintah “bacalah!” (Q.S. al-„Alaq [96]:1) dan “tadaburkanlah!” (Q.S. al-Nisa [4]: 82 dll.) dalam alQuran. Memang secara jelas dalam al-Quran ada perintah membaca al-Quran dan ada pula perintah mentadaburkan alQuran. Untuk mendapat manfaat yang lebih besar sesuai petunjuk kitab hidayah dan mukjizat (al-Quran) yang dikurniakan kepada Rasulullah haruslah memperhatikan perintah tadabur al-Quran. Sebab inilah yang diamalkan oleh Nabi Muhammad, para sahabat, tabi‟in, salafu al-shâlih, dan para ulama zaman dahulu. Hasilnya mereka berjaya dalam membina satu peradaban yang tiada tandingannya, baik dalam sisi lahiriah maupun kerohaniannya. Sampai saat ini, konsep tadabur al-Quran belum banyak ditulis. Sementara itu, sumber-sumbernya bersebaran dalam ayatayat al-Quran, hadits, maupun sejarah umat Islam. Sekarang kita amat menghajatkan sebuah kajian konseptual tadabur al-Quran. Kita membutuhkan hal itu agar dapat lebih memaknai semangat iqra`, sehingga dapat dijadikan pengangan untuk melakukannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Moeliono dkk. (1990: 456) mengartikan “konsep sebagai ide ataupun pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret”. Sedangkan Waney (1989: 68-70) mengungkapkan pula makna konsep yaitu “suatu istilah yang dipergunakan untuk mengelompokkan sejumlah objek, peristiwa atau proses yang mempunyai ciri-ciri sama”. Berdasarkan dua pengertian konsep di atas, maka kita dapat memahami bahwa konsep itu dapat diartikan sebagai gambaran atau abstraksi tentang sejumlah fenomena baik objek, proses, atau apapun yang dibuat oleh seseorang pada waktu tertentu dengan maksud membuat susunan, memberi makna atas pengalamannya, yang mempunyai ciri-ciri yang sama untuk memahami hal-hal lain. Mengenai tingkat kompleksitas dari setiap konsep, sangat tergantung dari banyaknya pengalaman dalam penciptaan konsep tersebut. Setiap konsep mengandung dua dimensi, yaitu 1) suatu bentuk atau separangkat komponen isi, dan 2) struktur atau pola hubungan dari komponen yang satu dengan yang lainnya dan hubungan secara keseluruhan. 2
Adapun ciri-ciri suatu konsep adalah sebagai berikut: 1. Konsep bukanlah merupakan hal yang sudah tersedia dan siap pakai, tetapi merupakan penemuan (invention). 2. Konsep diperoleh dari pengalaman. Hal ini bergantung dari banyaknya, jenisnya, dan frekuensi pengenalan terhadap fenomena yang menyangkut suatu konsep. 3. Konsep itu sangat pribadi, bersifat perorangan, tidak ada dua pengalaman dari dua orang yang persis sama (identik), dan pengamatan setiap orang berdasarkan kerangka acuannya (frame work reference) sendiri yang berbeda dengan orang lain walaupun terhadap fenomena yang sama. 4. Suatu konsep merupakan bentuk sementara (tentative version). Konsep itu akan makin canggih kalau pengalaman orang dalam konseptualisasi itu makin bertambah. Jadi konsep itu berkembang dan berubah sejalan dengan bertambahnya pengalaman. 5. Kesahihan (validitas) konsep itu tergantung kepada kemampuan konsep itu menjelaskan dan mengorganisasikan contoh-contoh yang tidak terbatas jumlahnya itu dari fenomena yang hendak diwakilinya. Pembahasan kita dalam tulisan ini merupakan upaya penelusuran penulis tentang “Konsep Tadabur Al-Quran”. Upaya ini diharapkan sebagai generator untuk menggerakkan langkah ke arah men-tadabur-kan al-Quran sebagaimana yang dilakukan oleh generasi umat Islam terdahulu, kita dituntut membaca al-Quran dengan lisan, akal, dan hati. Kita berharap tidak hanya mendapat ganjaran pahala dari bacaan biasa, tetapi mendapat limpahan nur Ilahi, yakni petunjuk dan hidayah untuk memantapkan keimanan dan ketakwaan. Kita juga dapat menggali khazanah berharga untuk membangun kemajuan di atas muka bumi. Inilah suatu upaya kita dalam memenuhi amar "bacalah!", ...semangat “Iqra”. Untuk sekadar melihat sejauh manakah kita sekarang ini berada dalam kaitannya dengan interaksi terhadap al-Quran, ada baiknya kita introspeksi diri kita masing-masing, untuk membaca kembali kemampuan diri sendiri, dan langkah apa yang selanjutnya yang harus diprogramkan ke depan. Bagan 1.1. berikut kita dapat melihatnya.
3
Bagan 1.1 TINGKAT DAN POSISI SESEORANG DALAM BERINTERAKSI DENGAN AL-QURAN Berpegang teguh 6 dengan al-Quran dalam segala akvitas Memperlajari tafsir al-Quran. 5 Berusaha sekuat tenaga mengamalkan al-Quran Mengetahui ilmu-ilmu 4 penunjang proses mempelajari al-Quran Mengetahui dasar-dasar makna 3 kosakata dan tafsir ayat-ayat al-Quran
Ranah Interaksi dengan Al-Quran
Membaca al-Quran dengan baik 2 sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan Membaca al-Quran 1 tanpa memperhatikan kaidah membaca
Pada anak tangga manakah posisi kita sekarang ?
Direka ulang dari Eldeeb (2009:7)
Keseluruhan pembahasan ini terdiri atas tujuh bab, yaitu 1) Pendahuluan 2) Pemaknaan tadabur al-Quran, 3) Indikator-indikator bertadabur al-Quran, 4) Urgensi tadabur al-Quran, 5) Komunikasi Ilahiyah, 6) Metodologi tadabur al-Quran, dan 7) Upaya-upaya meningkatkan keimanan melalui tadabur al-Quran. Berikut ini pembahasan masing-masing bab secara berurutan.
4
BAB II PEMAKNAAN TADABUR AL-QURAN
B
Ab kedua “Pemaknaan Tadabur Al-Quran” ini menyajikan tiga subbab, yaitu: a) Makna tadabur, b) Makna tadabur alQuran, dan c) Semangat iqra; makna eskatologi tadabur alQuran. Secara garis besar bab ini divisualkan pada peta konsep berikut ini. Bagan 2.1 PEMAKNAAN TADABUR AL-QURAN Etimologis MAKNA TADABUR
PEMAKNAAN TADABUR ALQURAN
Terminologis
MAKNA TADABUR AL-QURAN Perintah Membaca Al-Quran
MAKNA ESKATOLOGI TADABUR ALQURAN
Perintah Tadabur Al-Quran
Medan Makna Tadabur Al-Quran
A. Makna Tadabur 1. Makna Etimologis Istilah tadabur berasal dari bahasa Arab. Secara etimologis kata tadabur berasal dari kata dabara ) (دتشartinya "belakang". 5
Sedangkan tadabur itu artinya memikirkan, merenungkan, dan memperhatikan sesuatu di balik, di belakang, atau memperhatikan kesudahan perkara serta memikirkannya. Dengan kata lain, memperhatikan dan memikirkan pangkal dan ujungnya, kemudian mengulanginya beberapa kali. Adapun kalimat “memperhatikan bagian akhir dari perkara” maksudnya ujung dan kesudahannya. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah (Q.S.al-Mukminûn [23]: 68) sebagai berikut.
ِ َّ أَفَلَم يدَّبَّروا الْقو َل أَم جاءىم ما ََل َيْ ِت آَبءىم ي َ األول ُ َُ َ َ ْ َ ْ َُ َ ْ َْ ُ َ ْ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu? Moeliono dkk. (1990: 882) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kata tadabur itu diartikan “merenungkan”. Seperti dalam konteks kalimat “di samping membaca al-Quran, Anda juga harus mentadaburkan maknamaknanya”. Dalam telaahan ilmu Sharaf, kata tadabur ) (ذذتّشtermasuk fi'il tsulâtsi mazîd model kedua bab kedua. Asal katan tadabur adalah dabara ) (دتشartinya "belakang". Dengan menambahkan huruf yang sama (ba' = )بpada 'ain fiil kata tersebut dan dengan menambahkan huruf ta ) (خpada awal kata sehingga menjadi kata tadabbara ((ذذتّش. Adapun dampak dari perubahan kata tersebut untuk tujuan litta'diyah, artinya agar kata tersebut menjadi kata 'transitif' yang membutuhkan objek. Jadi arti tadabbara–yatadabbaru - tadabburan ((ذذتّش– يرذتّش– ذذتّشا adalah "memikirkan di balik atau di belakang sesuatu". Apa yang "di belakang atau di balik sesuatu" itu? Dengan mengkaji penggunaan kata tadabbur ( )ذذتّشdalam ayat-ayat al-Quran kita akan menemukan jawabannya, yaitu ayat-ayat al-Quran atau firman Allah (al-qaul). Oleh karena itu, maka istilah tadabbur lebih cocok untuk istilah “tadabur al-Quran”, bukan “tadabur alam”. Sedangkan kata tafakur lebih cocok untuk ayat-ayat kauniah (alam) sehingga kita sering menyebutnya dengan “tafakur alam” . 2. Makna Terminologis (Istilahi) Sebelum mengungkapkan makna tadabur secara terminologis, terlebih dahulu kita telusuri makna-makna tadabur yang telah dikemukan oleh para ulama. 6
Al-Lâhim (1425 H.: 14) mengartikan tadabur secara umum, yakni “merupakan perenungan integral yang bisa sampai pada makna-makna tersirat dari dilalat al-kalîm (Kalamullah dll.) dan pesan-pesannya yang paling jauh dan dalam”. Al-Qardhawi (2001: 245) dalam kitabnya Kaifa Nata‟ammalu ma‟a al-Quran (Cara Berinteraksi dengan al-Quran) menyatakan bahwa “makna tadabur adalah memperakibat segala sesuatu”. Artinya apa yang terjadi kemudian dan apa akibatnya. Makna ini lebih dekat kepada tafakur. Akan tetapi, tafakur adalah mengarahkan hati atau akal untuk memperhatikan dalil, sedangkan adalah mengarahkannya untuk memperhatikan akibat sesuatu dan apa yang terjadi selanjutnya. Sementara itu, As-Suaidi (2008:6) mengartikan tadabur, yaitu: Memahami arti dari lafazh-lafazhnya (al-Quran = pen.), merenungkan apa yang ditunjukkan oleh ayat-ayatnya secara eksplisit, apa yang masuk dalam kandungannya, dan apa yang mana makna-makna tersebut tidak akan utuh kecuali dengannya, yang tidak disebutkan (secara eksplisit) oleh lafazh berupa isyarat dan suatu peringatan. Syarifuddin (2004: 26) mengatakan bahwa "tadabur merupakan wacana dan salah satu model metodologi pemikiran Islam yang sangat signifikan dan efektif untuk pengembangan diri seseorang". Tafsiran atas firman Allah S. Shad ayat 29 bahwa maksud tadabur itu adalah agar mereka mentadaburi hujjah-hujjah Allah yang ada padanya (al-Quran), begitu juga syariat-syariat-Nya, agar mereka mengambil pelajaran dan mengamalkannya. Sedangkan kata tadzakkur dalam rangkaian perintah tadabbur yang tertera pada S. Shâd ayat 29 ini, bahwa asas tadzakkur (peringatan) mengandung tiga hal, yaitu a) mengambil manfaat dari nasihat, b) mengambil pelajaran dari pengalaman, dan c) mengambil buah pikiran atau ide. Lebih jauh Ulwan (1995:47) berkeyakinan bahwa bacaan yang disertai tadabur mampu: a) mempertajam pandangan yang sudah tumpul, b) merupakan pemusnah pandanganpandangan yang sempit, dan c) obat bagi hati yang sedang sakit.
7
Berdasarkan buah karya para ulama tersebut tentang makna tadabur, maka dapat dipetik pokok-pokok pikiran mereka, bahwa tadabur itu mencakup perkara-perkara sebagai berikut: 1) Mengetahui makna serta maksudnya. 2) Merenungkan apa yang ditunjukkan oleh satu atau beberapa ayat, yang dipahami dari konteks maupun susunan kalimat. 3) Memperhatikan akibat dari hasil perenungan. 4) Peran akal dan hati untuk mendapatkan hikmah; yakni mampu mengambil pelajaran dari hujjah-hujjahnya, menggerakkan hati membenarkannya, mengambil manfaat dari nasihat, mengambil pelajaran dari pengalaman, dan mengambil buah pikiran/ide, mempertajam pandangan yang sudah tumpul, pemusnah pandangan sempit, dan obat bagi hati yang sedang sakit. 5) Mengamalkan hikmah yang diterima dan dapat dikembangkan sebagai satu model metodologi pemikiran Islam yang efektif untuk pengembangan diri seseorang. Beranjak diri pokok-pokok pikiran para ulama mengenai makna tadabur di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tadabur itu merupakan upaya manusia dalam mengetahui dan memahami makna serta maksud yang terkandung dalam sesuatu (ayat) dengan merenungkannya secara mendalam melalui bantuan akal pikiran dan hati yang terbuka sehingga mendapatkan hikmah yang terkandung di balik ayat-ayat tersebut, serta berupaya untuk mengamalkannya dalam kehidupan. B. Makna Tadabur Al-Quran Seperti telah disebutkan di atas, istilah tadabur lebih cenderung menunjukkan pada upaya manusia untuk memikirkan makna di balik ayat-ayat Allah yang bersifat Quraniah. Sejatinya, istilah tadabur merupakan bagian dan/atau model dari membaca al-Quran, bahkan Al-Qordhowi (2007:126) menyebutnya sebagai salah satu adab batin dalam membaca al-Quran yang paling penting, karena mentadaburi al-Quran berarti memperhatikan makna-makna al-Quran, yakni:
. أي ج عقوهبا ومآالهتا،التدبّر ىو النظر ج األدَبر األمور 8
Artinya: Tadabur adalah memperhatikan bagian akhir dari suatu urusan, yakni akibat dan dampak-dampak urusan tersebut. Sehingga, Al-Qordhowi menyimpulkan bahwa tadabur itu mirip dengan tafakur (memikirkan), hanya saja tafakkur memiliki arti mengkonsentrasikan pikiran dengan memperhatikan ayat-ayat alQuran sebagai dalil, sedangkan tadabur memiliki makna atau pengertian memperhatikan akibat (dampak) dari ayat yang dibaca. Mengapa kata tadabur dalam ayat-ayat al-Quran objeknya (maf'ul-nya) selalu al-Quran? Tampaknya penjelasan Al-Qordhowi di atas dapat memberi jawaban, yakni karena Allah-lah yang menurunkan al-Quran itu telah menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menurunkan al-Quran kecuali agar ayatnya ditadaburi dan maknanya dipahami. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
ِ ِ ك مبارٌك لِيدَّبَّروا آَيتِِو ولِي تَ َذ َّكر أُولُو األلْب ِ اب ٌ َكت َ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ اب أَنْ َزلْنَاهُ إلَْي
Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadaburkan (memperhatikan) ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (Q. S. Shâd [38]:29). Al-Lâhim (1425 H.: 13) mendefinisikan tadabur al-Quran sebagai adalah mentafakkuri dan merenungi ayat-ayat al-Quran agar bisa memahaminya dan mengungkap di balik makna-makna serta menguak hikmah-hikmah hakiki dan maksud yang dikehendakinya. Sedangkan menurut Mubarak (2006:183) memaknai tadabur al-Quran yaitu membaca al-Quran yang tidak hanya memperhatikan makhârijul hurûf dan makrifatul wuqûf, tetapi juga tidak kalah pentingnya keterlibatan qalbu yang merupakan sasaran utama ke mana al-Quran diarahkan. Berbeda degan Attaxi (2008:100), karena ia memaknai tadabur al-Quran sebagai “meditasi nilai”, karena dalam pandangan bahwa tadabur diartikan sebagai sebuah proses menyerap energi al-Quran, kemudian memadukannya ke dalam sistem kita. Artinya, kita berusaha memadukan makna suatu ayat kepada diri dan kehidupan kita dengan bertanya, "Mengapa?" atau "Untuk apa?". Syadi (2003:126) mengatakan dalam mensifati tadabur alQuran bahwa “tadabur al-Quran itu merupakan jalan mudah yang akan menyampaikan manusia kepada keyakinan”. Oleh 9
karena itu, menurut Syadi, bahwa orang-orang yang sudah memiliki keyakinan jika ingin melihat dahsyatnya hari kiamat, maka bacalah al-Quran surat at-Takwîr [81], surat al-Infithâr [82], al-Quran surat al-Insiqâh [84]. Sekaitan dengan hal ini Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang ingin melihat hari kiamat seakan ia hadir di depan mata, maka bacalah:
كورت ّ اذا الشمس السمآء انفطرت ّ اذا السمآء انش ّقت ّ اذا
.1 .2 .3
Walaupun pengertian tadabur al-Quran di atas tampak beragam, namun kalau kita perhatikan benang merahnya akhirnya dapat kita mengambil kesimpulan pengertian tadabur al-Quran, yakni sebagai suatu usaha manusia yang sungguh-sungguh yang memadukan pikiran, emosional, dan spiritual yang dilakukan secara khusyuk untuk merenungkan kandungan ayat-ayat alQuran sehingga qalbu dapat menagkap pesan-pesan nilai yang lebih mendalam di balik ayat-ayat al-Quran yang tersurat. C. Semangat Iqra; Makna Eskatologi Tadabur Al-Quran Subbab ini terdiri atas tiga bahasan, yaitu 1) perintah membaca al-Quran, 2) perintah tadabur al-Quran, dan 3) medan makna tadabur al-Quran. Peta konsep subbab ini divisualkan dengan bagan 2.2 pada halaman berikut. 1. Perintah Membaca Al-Quran Sebagaimana kita maklumi bahwa al-Quran itu merupakan kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah. Kata "Quran" sendiri merupakan mashdar dari qara'a yang berarti bacaan. Oleh karena itu kitab suci ini – antara lain- disebut “al-Quran” karena berfungsi sebagai bacaan utama. Bahkan ayat al-Quran yang pertama-tama turun adalah ayat tentang perintah membaca. Sebagaimana firman Allah pada S. al-„Alaq [96]:1-5 berikut ini.
10
Bagan 2.2 SEMANGAT IQRA Paham Simbol bacaan
Perintah Membaca Al-Quran
Tau maksud yang dibaca Menghasilkan Sikap
Tujuan Membaca Al-Quran
Melaksanakan pesan Bacaan
SEMANGAT IQRA
Perintah Tadabur Al-Quran
S. al-Nisa [4] Ayat: 82
Kandungan alquran tidak ada pertentangan
S.Muhammad [47] Ayat: 24
Perenungan dengan Hati Terbuka
S. al-Mukminûn [23] Ayat :68 S.Shâd [38] Ayat: 29.
Al-Quran Kitab Yang Benar Al-Quran; Keberkatan bagi yang merenungi
[96]: 1 =Qira’ah
Lingkup Perintah Tadabur Al-Quran
[2]:121 =Tilawah [6]:50 =Tafakkur
HIKMAH
[8]:2 =Tadzawwuq Tashdîq [17]:111=Tajawwub
ِ ِاقْ رأْ َِبس ِم رب ك َ ُّ) اقْ َرأْ َوَرب٢( ) َخلَ َق اإلنْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق١( ك الَّذي َخلَ َق َ َّ ْ َ )٥( ) َعلَّ َم اإلنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم٤( ) الَّ ِذي َعلَّ َم َِبلْ َقلَ ِم٣( األ ْكَرُم
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (tulis-baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
11
Perintah membaca (iqra) diulangi oleh Malaikat Jibril sampai tiga kali dan perintah itu tidak disertai dengan objek. Sejarah Islam menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang "ummi", artinya tidak pandai membaca dan menulis teks, sebagaimana pernyataannya mâ anâ biqâri (saya tidak bisa bacatulis). Namun Jibril mengulangi perintah membaca (iqra‟) sampai tiga kali. Hal ini bukan berarti Jibril tidak tahu keadaan Nabi Muhammad yang tidak pandai membaca-menulis, kita yakin pula bahwa Malaikat Jibril mengetahui hal itu. Menurut Alwasilah (2006:200) bahwa dalam ayat itu, "imperatif 'bacalah' sebagai verba transitif tidak diikuti objek sebagaimana lazimnya. Arti pragmatif dari fenomena sintaksis ini adalah bahwa perintah membaca itu tidak terbatas pada teks tertulis saja, tetapi juga teks tidak tertulis". Membaca al-Quran tidak dapat disamakan dengan membaca buku biasa bahkan dengan hadits sekalipun. Allah berfirman dalam Q.S. al-Qiyamah [75]:18-19 sebagai berikut.
)١١( ُ) ُثَّ إِ َّن َعلَْي نَا بَيَانَو١١( ُفَِإذَا قَ َرأْ ََنهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْرآنَو
Apabila Kami (Allah) telah membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. Ayat di atas mengandung perintah membaca al-Quran sekaligus menekankan betapa pentingnya memperhatikan bacaan yang teratur sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah kepada sahabatnya sesuai tuntunan dari Jibril. Ayat ini mengisyaratkan kita pula untuk mengikuti bacaan al-Quran itu dengan cara melaksanakan apa yang terkandung di dalamnya. Karena dahsyatnya perintah membaca itu, maka tercatat dalam Encyclopedia Britanica di bawah entri Muhammad bahwa “Al-Quran adalah kitab yang paling luas dibaca manusia di muka bumi” (Al-Qardhawi, 2001: 225). Banyak ayat al-Quran maupun hadits yang mendorong kita untuk membaca al-Quran. Ada yang berbentuk perintah atau fi‟il amar (insyâiyah) dan ada pula yang berbentuk pernyataan (khabariyah) yang disertai imbalan, balasan, dan dampak positif atau hikmah (targhîb) di balik bacaan al-Quran tersebut. Pada bahasan berikut akan dikutipkan beberapa hal saja sebagai 12
gambaran umum bahwa membaca al-Quran itu penuh dengan keutamaan. Sebagaimana kita ketahui dan telah dituliskan di atas bahwa ayat-ayat al-Quran yang pertama kali diturunkan Allah kepada nabi Muhammad merupakan perintah membaca, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan” (Q.S. al-'Alaq [96]:1). Tidak semata-mata manusia diperintahkan untuk membaca kalau tidak ada manfaat di balik perintah itu. Oleh sebab itu, pada ayat lain yang diwahyukan Allah setelah Q. S. al-'Alaq [96]:1-5 itu adalah Q.S. al-Muzammil [73]:20, yang di dalamnya antara lain ada perintah membaca al-Quran (perhatikan kata yang dicetak tebal dan bergaris bawah) disertai dengan rangsangan berupa balasan dari sisi Allah. Ayat tersebut selengkapnya dikutip sebagai berikut.
ِ ِ َ ك يَ ْعلَ ُم أَن َ َّك إِ َّن َرب َ َِّإٌ سب ْ وم أ َْد َن م ْن ثُلُثَ ِي اللَّْي ِل َون ُص َفوُ َوثُلُثَو ُ َّك تَ ُق ِ ِ َّ وطَائَِفةٌ ِمن الَّ ِذين معك و ُصوه ُ َّه َار َعل َم أَ ْن لَ ْن ُُْت َ اّللُ يُ َق ّد ُر اللَّْي َل َوالن َ َ ََ َ َ َ ِ ِ ِ ِ س َر م َن الْ ُق ْرآن َعل َم أَ ْن َسيَ ُكو ُن مْن ُك ْم َّ َاب َعلَْي ُك ْم فَاق َْرءُوا َما تَي َ َفَت َِّ ض ِل ِ األر آخ ُرو َن ْ َض يَْب تَ غُو َن ِم ْن ف ْ َآخ ُرو َن ي َ َم ْر َ اّلل َو َ ضى َو ْ ض ِربُو َن ِح ِ ِ َّ اّلل فَاقْرءوا ما تَي ِ ِ َّ الصال َة َوآتُوا الزَكا َة َّ يموا َ َ ُ َ َّ يُ َقاتلُو َن ِح َسبِ ِيل ُ س َر م ْنهُ َوأَق َِّ اّلل قَرضا حسنا وما تُ َق ِّدموا ألنْ ُف ِس ُكم ِمن خ ٍي ََِت ُدوه ِعْن َد اّلل ُ َوأَقْ ِر َْ ْ ْ ُ ُ َ َ ً َ َ ً ْ ََّ ضوا ِ اّلل َغ ُف ِ َّ استَ ْغ ِفروا يم ْ ُى َو َخْي ًرا َوأ َْعظَ َم أ ٌ ََّ اّللَ إ َّن ٌ ور َرح ُ ْ َجًرا َو Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekalikali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka 13
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam al-Quran S. al-„Ankabût [29]: 45 Allah menyuruh kita untuk membaca al-Quran dan mendirikan shalat dengan firamnnya:
ِ َك ِمن الْ ِكت ِ ِ الصال َة تَْن َهى َع ِن َّ الصال َة إِ َّن َّ اب َوأَقِ ِم َ َ اتْ ُل َما أُوح َي إلَْي َِّ الْ َفحش ِاء والْمْن َك ِر ولَ ِذ ْكر صنَ عُو َن َّ اّلل أَ ْكبَ ُر َو ْ َاّللُ يَ ْعلَ ُم َما ت ُ َ ُ َ َْ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar, dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Perintah shalat disertakan dengan perintah membaca alQuran mengandung pengertian bahwa dalam shalat harus dibacakan al-Quran. Salat yang di dalamnya tidak dibacakan ayat al-Quran (minimal Q. S. al-Fatihah) tidak sah shalatnya. Maksud lain bahwa baik membaca al-Quran maupun shalat sama-sama diperintahkan oleh Allah. Setelah perintah itu, lalu Allah memberitahu kita tentang hikmah (manfaat) di balik membaca al-Quran dan shalat, yaitu mencegah dari perbuatan keji dan munkar serta keutamaan-keutamaan lainnya yang lebih besar. Pada al-Quran S. al-Naml [27]: 92 ditemukan pula perintah membaca al-Quran kepada Nabi Muhammad dan kepada kita sebagai umatnya, yaitu:
ِِ ِ ِ ض َّل فَ ُق ْل إََِّّنَا أ َََن َ َوأَ ْن أَتْ لَُو الْ ُق ْرآ َن فَ َم ِن ْاىتَ َدى فَِإََّّنَا يَ ْهتَدي لنَ ْفسو َوَم ْن ِ ِِ ين َ م َن الْ ُمْنذر
...dan supaya aku membacakan al-Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk, Sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya.
14
Pada lanjutan perintah membaca al-Quran tersebut kita dapati pula keutamaan membaca al-Quran berupa petunjuk dari Allah bagi orang yang membaca al-Quran tersebut. Jadi, di antara manfaat membaca al-Quran adalah agar manusia mendapat petunjuk dari Allah. Allah (dalam al-Quran) memuji sekelompok Ahli Kitab seperti firman-Nya pada Q.S. Ali Imran [3]: 113 sebagai berikut.
ِ اب أ َُّمةٌ قَائِمةٌ ي ْت لُو َن آَي ِ َلَْيسوا سواء ِمن أ َْى ِل الْ ِكت آَنءَ اللَّْي ِل َوُى ْم َّ ت َ ِاّلل َ َ َ ْ ً ََ ُ يَ ْس ُج ُدو َن
Mereka itu tidak sama di antara ahli kitab itu ada golongan yang merlaku lurus (yakni golongan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam), mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Jika mereka dipuji dan diberikan pahala dengan membaca ayat-ayat dari kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah sebelum alQuran, tentu akan lebih besar lagi pahala membaca kitab Allah yang paling agung ini (al-Quran), apabila yang dimaksud dengan "ayat-ayat Allah" dalam ayat di atas bukan al-Quran. Sekaitan dengan hal itu, dalam hadits sahih (muttafaq 'alaih) Rasulullah bersabda, yang artinya: Orang yang membaca al-Quran dan pandai dalam membacanya, ia bersama para malaikat yang mulia. Dan yang membaca al-Quran dengan mengeja dan ia membacanya dengan sulit, ia mendapatkan dua pahala” Pada terjemahan hadits di atas ditunjukkan keutamaan membaca al-Quran yang luar biasa. Pertama, disertai malaikat bagi yang sudah baik cara membacanya. Kedua ia akan mendapatkan dua pahala bagi yang terbata-bata (belum lancar). Ia diberikan dua pahala karena: a) ia diberikan pahala dengan membacanya dan b) mendapatkan pahala dengan kesulitan yang ia rasakan dalam membaca yang menunjukkan kesungguhannya untuk membaca alQuran dan kekuatan semangatnya, meskipun sulit ia rasakan. Adapun hikmah dari membaca al-Quran walaupun terasa sulit antara lain banyak individu muslim yang berat lidahnya dalam membaca al-Quran, namun ia terus berusaha untuk membaca dan membacanya lagi sehingga lidahnya menjadi ringan. 15
Masih banyak hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan membaca al-Quran seperti yang diriwayatkan oleh Abi Umamah bahwa Rasulullah bersabda: "Bacalah Al-Quran, karena ia akan datang pada hari kiamat menjadi penolong bagi para pembacanya" (H. R.Muslim). Kemudian dari Abi Sa'id mengatakan bawa Rasulullah bersabda: Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah akan mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali. Aku tidak katakan alif lam mim ( )انىsatu huruf namun alif ( )أsatu huruf lam ( )لsatu huruf dan mim ( )وsatu huruf (H.R. Tirmidzi). Selanjutnya berdasarkan H.R. Bukhari dan Muslim serta Nasai bahwa Rasulullah memberikan perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Quran seperti buah limau, baunya wangi dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau namun rasanya manis. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca al-Quran seperti tumbuhan wangi, baunya wangi sementara rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang membaca al-Quran seperti buah labu yang tidak berbau tetapi rasanya pahit. Perumpamaan (tamtsil) di atas mengisyaratkan kepa-da kita bahwa al-Quran memberikan pengaruh positif, seperti pengaruh wewangian yang harum bagi pemakainya dan harum juga bagi orang lain, sehingga al-Quran dapat berpengaruh positif, baik bagi yang membacanya maupun bagi orang lain mendendengarkannya termasuk orang munafik dan pembuat dosa. Pada contoh di atas, membaca al-Quran tidak dianalogikan dengan makanan yang pengaruhnya hanya enak bagi yang memakannya saja tapi orang lain tidak merasakan enaknya. 2. Perintah Mentadaburi Al-Quran Di samping banyak perintah untuk membaca al-Quran sebagaimana telah diuraikan di atas, yang kita tidak meragukan lagi keutamaannya, pahala dan berkah yang dapat diraih dari membaca al-Quran itu sampai dikatakan dalam sebuah hadits sebagai ibadah yang paling utama umat Nabi Muhammad. Akan tetapi belumlah jelas apa hikmah yang paling dalam dari membaca al-Quran bagi kemajuan kita secara pribadi, anggota masyarakat,
16
atau bagi suatu peradaban sebuah bangsa. Di manakah manakah kekurangannya? Tampaknya umat Islam, kini masih mengabaikan perintah membaca pada tingkat tadabur (merenungi kandungan ayat dan menangkap nilai di balik ayat itu), lebih memprioritaskan khatam (tamat seluruh al-Quran) dalam waktu singkat atau lebih bangga dapat melantunkan suara merdunya di atas panggung MTQ di bandingkan dengan mentadaburkannya dengan membaca yang pelan dan berulang-ulang tetapi disertai pemahaman yang mendalam sehingga dapat diperolereh kesan, dapat menangkap pesan, serta dapat menemukan hikmah di balik bacaannya itu. Sesungguhnya umat Islam telah mendapatkan sindiran keras atas fenomena di atas, seperti tercantum dalam S. Muhammad [47]: 24 sebagai berikut.
ٍ ُأَفَال ي تَ َدبَّرو َن الْ ُقرآ َن أ َْم َعلَى قُل وب أَقْ َفا ُُلَا ْ ُ َ
Maka apakah mereka tidak mentadaburkan (memperhatikan) al-Quran ataukah hati mereka terkunci?" . Ayat ini mempertanyakan “kita” yang sering membaca dan mendengar al-Quran, tetapi pengaruh al-Quran terhadap hati kita yang membacanya tidak membekas. Kita tidak meragukan lagi bahwa al-Quran adalah agung dan luhur, tetapi di manakah keagungan dan keluhuran ini pada saat membacanya, bukan pada saat membicarakan tema keutamaan-keutamaannya. Kita tidak meragukan lagi bahwa al-Quran itu sebagai hudan (petunjuk), tetapi sudahkah kita menjadikannya sebagai petunjuk hidup. Sejatinya, al-Quran itu mempunyai pengaruh yang sangat mengagumkan bagi hati manusia, diakui oleh semua orang yang mendengarkannya, baik muslim maupun kafir. Inilah yang membuat kaum musyrikin dari penduduk Makah berusaha untuk mengganggu orang yang membacanya karena takut berpengaruh terhadap kaum wanita, anak-anak, dan orang tua orang tua mereka, sehingga juga akan mempengaruhi mereka. Dan yang mereka takutkan, selanjutnya mereka beriman terhadap risalah Nabi yang diutus Allah kepada mereka. Allah berfirman dalam alQuran S. Fushshilat [41]: 26 sebagai berikut.
ِ ال الَّ ِذين َك َفروا ال تَسمعوا ُِل َذا الْ ُقر آن َوالْغَ ْوا فِ ِيو لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْغلِبُو َن ْ َ َُْ ُ َ َ ََوق 17
Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu men dengar dengan sungguh-sungguh akan al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)”. Dalam sejarah Islam dikisahkan bahwa sebagian kaum musyrikin mendengarkan al-Quran dengan mencuri-curi, sebagian orang di belakang yang lainnya, sehingga satu orang menemukan temannya sedang mencuri-curi untuk mendengarkan al-Quran. Suatu saat Walid bin Mughirah mendengarkan Nabi Muhammad membaca ayat (Q.S. al-Nahl [16]: 90) berikut ini.
ِ اّلل َيْمر َِبلْع ْد ِل واإلحس ِ ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرَب َويَْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َ ْ َ َ ُ ُ َ ََّ إ َّن َوالْ ُمْن َك ِر َوالْبَ ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, dan mungkaran, dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar ka-mu dapat mengambil pelajaran. Lalu Mughirah berkata kepada Beliau (Nabi), ulangilah lagi, lalu Nabi pun mengulanginya. Selanjutnya, ia berkomentar sebagai berikut: Demi Tuhan, ia mengandung kenikmatan dan penuh dengan keindahan, yang paling sederhana darinya menenggelamkan perasaan hati, dan puncaknya berkilauan bak mentari, ini bukan perkataan manusia (H.R. Baihaqi). Dalam al-Quran disebutkan banyak dorongan yang beragam untuk membaca, mendengarkan, memikirkan, memahami dan memperhatikan al-Quran, sebagaimana firman Allah yang artinya antara lain: "Maka dengarkanlah oleh kalian", "Ataukah mereka tidak memperhatikan", "Apakah mereka tidak berfikir" dan "Agar supaya mereka memahami". Adapun lafadl 'tadabur' (perenungan) itu ditampilkan sebanyak empat kali saja dalam al-Quran, namun di dalamnya itu memberikan kesimpulan bahwa al-Quran menekankan anjurannya yang sangat kuat agar manusia merenungkan kandungan al-Quran itu dengan sungguh-sungguh. Empat ayat yang mengandung kata dasar tadabar ) (ذذتّشdengan berbagai kata jadiannya yaitu pada: (a) 18
Q.S. al-Nisa [4]: 82, (b) Q.S. Muhammad [47]: 24, (c) Q.S. alMu'minûn [23]:68, dan (d) Q.S. Shâd [38]: 29. Berikut ini disajikan pembahasan ayat-ayat al-Quran yang di dalamnya menggunakan kata dasar ( ذذتّشtadabur) serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. a. Al-Quran S. al-Nisa [4]: 82
َِّ أَفَال ي تدبَّرو َن الْ ُقرآ َن ولَو َكا َن ِمن ِعْن ِد َغ ِي ِِ اختِالفًا َكثِ ًيا ْ اّلل لََو َج ُدوا فيو ْ ْ َْ ْ ُ َ ََ
Maka apakah mereka tidak merenungkan al-Quran? kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. Isi Pokok: Kandungan Al-Quran Tidak Ada Pertentangan
Pada ayat di atas Allah menginformasikan bahwa merenungi al-Quran itu dapat membuat seseorang akan menemukan kedamaian hati bahwa sesungguhnya al-Quran ini sunyi dari segala bentuk perselisihan. Sebagaimana yang difirmankan Allah karena se sungguhnya perkataan manusia sudah diketahui pasti dengan banyaknya perselisihan terjadi di dalamnya, baik perselisihan dari segi bentuk, kandungan, rangkaian keterangan, kemantapan retorika dan penterapan susunan, metode penyajian, dan lain-lain. Tatkala Allah Swt memberikan gambaran kepada manusia melalui pentadaburan itu dapat dipahami, maka manusia akan mengetahui dari celah-celahnya itu adanya suatu keutamaan dari al-Quran. Dengan merenungi al-Quran, manusia akan diberikan keinsyafan yang mendalam. Betapa banyak yang kita saksikan manusia di zaman sekarang ini yang tidak mengetahui „nilai‟ yang ada pada Ummul Kitab (al-Fatihah). Padahal mereka baca setiap kali shalat. Bila membaca satu atau dua ayat itu mereka tidak tahu maknanya, maksudnya, nilai yang terkandung di dalamnya, tidak menggetarkan jiwanya, tidak menjadi hikmah bagi kehidupannya. Tegasnya ayat al-Quran yang mereka baca tidak menjadi petunjuk bagi kehidupannya. Hal ini terjadi karena mereka tak mampu mentadaburkan al-Quran (al-Fatihah). 19
Mengapa mereka tidak mau memikirkan al-Quran itu dengan seksama? padahal al-Quran itu tidak lain terdiri dari hikmah, keluhuran dan kesempurnaan yang utuh, sehingga tidak diragukan lagi kalau sekiranya mereka ingin membandingkannya dengan kalam semua makhluk pasti mereka menjumpai bahwa Kalamullah itu menghimpun kekaguman yang indah memukau, seperti penciptanya manusia yang tidak mungkin seorangpun dapat melakukannya. Sebaliknya pasti mereka mendapatkan kalam manusia itu tidak dapat dipersamakan sedikit pun juga dengan apa yang telah disebutkan di atas. Siapa saja yang memiliki ilmu, akal, dan pikiran untuk merenung (bertadabur) pasti cenderung memihak kepada al-Quran dengan sepenuh hati dan pasti pula mereka mencintainya dengan tulus murni, setelah itu ia akan melakukan studi sebagai upaya pendalaman iman dan berupaya untuk memurnikannya, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk menguasai sesuatu, dan tidak ingin lagi mencari pengganti selainnya walau bagaimanapun kondisi alam wujud ini sampai dalam kemegahan dan kemahligaiannya. Itulah sebagian orang dari mereka yang berusaha untuk mengetahui makna dan/atau maksud ayat-ayat al-Quran, menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam-nya, berupaya agar menggetarkan jiwanya, menemukan hikmah yang ada di balik ayat-ayat yang dibaca serta berupaya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tegasnya ayat-ayat al-Quran yang mereka baca betul-betul berfungsi sebagai hudan (petunjuk) baginya. Oleh karena itu, hendaknya manusia senantiasa merenungi kandungan al-Quran ini, sebuah kitab yang di dalamnya tidak ada kebatilan sedikit pun, baik dahulu, sekarang dan yang akan datang sekalipun. Akan tetapi untuk merenungi itu ada beberapa syarat jika memang hendak menunaikannya pada haknya, agar Allah memberikan buah dari perenungan itu; ialah harus lebih dahulu bersikap membenarkan (tashdîq) terhadap apa yang dibawakan oleh al-Quran itu karena sesungguhnya ia sunyi dari perselisihan, berangkat dari sana dapat dipastikan firman-firman Dzat Yang Maha Menciptakan itu dapat dijadikan pegangan yang kuat.
20
b. Al-Quran S. Muhammad [47]: 24)
ٍ ُأَفَال ي تَ َدبَّرو َن الْ ُقرآ َن أ َْم َعلَى قُل وب أَقْ َفا ُُلَا ْ ُ َ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan (mentdabburkan) alQuran ataukah hati mereka terkunci?” Isi Pokok: Perenungan dengan Hati Terbuka Apabila hati telah tertutup rapat, apalagi yang dinantikan darinya, maka tentu saja tidak ada gunanya lagi, bahkan kalaupun dihadapkan padanya al-Quran al-Karim yang statusnya sebagi firman Allah yang berfungsi sebagai pemberi penjelasan yang bersifat abadi sekalipun. Sebab, keberadaan mereka ibarat sebuah rumah yang jendela-jendelanya tertutup dan telah terkunci rapat, sehingga sinar matahari tidak dapat memancarkan sinarnya yang akan menerangi ke dalam rumah itu. Jendela-jendela rumah merupakan sarana bagi masuknya sinar sang surya. Kita akan menyaksikan dari sana cahaya masuk yang menerangi rumah bagian dalam, dan bahkan berkat sinar matahari itulah kita bisa menyaksikan suatu yang hidup dan bisa hidup di dalamnya. Demikianlah, pentingnya pintu hati yang terbuka di hadapan alQuran, dan kita akan melihat sesudah itu, yakni sesudah al-Quran al-Karim itu dibaca dan direnungkan, suatu kehidupan yang kian terangkat dari kegelapan menuju kehidupan yang bermandikan cahaya Ilahi. Beberapa cara praktis antara lain dengan memperbanyak arahan yang baik, menjernihkan tujuan dan mengikhlaskan niat, dan meringankan dari beratnya beban hawa nafsu dan syahwat. Adapun penjelasan mengenai cara untuk membuka pintu hati, akan dijelaskan pada subbab yang lebih tepat nanti. Intinya di sini, kita butuh kesiapan hati untuk mengikuti kebenaran bagaimanapun konsekuensinya dan berbagai tekanan yang harus dihadapi. Jika tanpa adanya kesiapan hati sebagai tersebut di atas, maka kita akan sia-sia belaka, kita akan tetap berada dalam peti yang tertutup rapat di tengah kegelapan yang pengap, padahal di tangan kita ada kunci pembuka, hanya saja kita memang tidak ingin keluar dari ketertutupan selamanya.
21
c. Al-Quran S. al-Mukminûn [23]: 68-70):
ِ َّ ت آَبءىم ِ ي أ َْم ََلْ يَ ْع ِرفُوا َ األول ُ ُ َ َ ْأَفَلَ ْم يَدَّبَُّروا الْ َق ْو َل أ َْم َجاءَ ُى ْم َما ََلْ ََي َر ُسوَُلُْم فَ ُه ْم لَوُ ُمْن ِك ُرو َن أ َْم يَ ُقولُو َن بِِو ِجنَّةٌ بَ ْل َجاءَ ُى ْم َِب ْْلَ ِّق َوأَ ْكثَ ُرُى ْم لِْل َح ِّق َكا ِرُىو َن
Apakah karena mereka tidak mentadaburi (merenungi) perkataan (al-Quran) ini? Atau apakah karena kedatangan Rasul kepada mereka itu, mereka anggap sebagai peristiwa yang belum pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu? Atau apakah karena mereka belum mengenal Ra-sulnya itu, maka mereka mengingkarinya? Atau apakah karena mereka itu menganggapnya orang gila? Padahal dia itu datang kepada mereka dengan membawa kebenaran. Tetapi kebanyakan mereka itu benci terhadap kebenaran. Isi Pokok: Al-Quran kitab yang benar Al-Quran al-Karim ialah kitab yang berbobot penuh dengan dalil-dalil, keterangan-keterangan yang jelas, dan berbagai argumentasi yang menyebabkan akal manusia menjadi pandai. Jika akal manusia memang lurus, maka tidak diragukan lagi bahwa akal itu telah mendapatkan dalam al-Quran sesuatu yang hilang dari dirinya dan ia tidak akan membiarkan begitu saja alQuran itu berlalu tampa perhatian dan perenungan. Mengapa mereka tidak mengkaji Kalamullah dengan perenungan? Sesungguhnya al-Quran itu adalah ajaran tauhid yang – juga- dibawakan oleh para Rasul dan para Nabi secara berturutturut sejak Nabi Adam hingga Nabi terakhir Muhammad. Firmanfirman Allah tentang tauhid itu sudah dikenalkan lagi diikat kuat. Ataukah karena utusan mereka itu tidak dikenal di sisi mereka? Sesungguhnya Nabi Muhammad merupakan orang yang paling dikenalnya dari kalangan suku Qurasy. la hidup bersama mereka selama 40 tahun, sedangkan beliau itu paling utamanya orang sehingga mereka juluki dengan orang yang jujur (Al-Amin) dan bahkan mereka telah menemukan kepuasan besar terhadapnya karena yang meletakkan Hajar Aswad di tempatnya secara bijaksana bersama-sama pemimpin mereka. Untuk kembali 22
membina Ka'bah tatkala para tokoh dan pimpinan kabilah berselisih pandangan tentang siapakah yang berhak meletakkan Hajar Aswad di antara para pemuka yang ada saat itu, bahkan hampir saja mereka diwarnai oleh pertengkaran besar yang nyaris mengantarkan terjadinya pembunuhan, kalau sekiranya mereka tidak menjernihkan situasi ketika itu karena adanya nasihat yang mengundang mereka kepada suatu keputusan gemilang, yakni seseorang di antara mereka yang pertama kali masuk ke Masjidil Haram, ternyata dialah Muhammad yang berhasil melenyapkan problema pelik itu, seraya ia menghamparkan selendangnya dan meletakkan Hajar Aswad itu di atasnya, kemudian beliau mengundang para tokoh kabilah itu untuk memegang setiap ujung selendang itu dan selanjutnya mereka mengangkat Hajar Aswad itu mendekati tempatnya. Sesungguhnya Muhammad-lah yang paling dulu masuk mesjid dan paling berhak mengangkat Hajar Aswad itu dengan tangannya dan meletakkannya di Ka'bah itu. Ataukah mereka mengatakan sebagai orang gila, sebagaimana yang dituduhkannya oleh orang-orang bodoh daripada mereka. Apakah orang yang berakal sehat bisa membenarkan bahwa orang yang berbobot paling utamanya perangai di kalangan kaumnya dan paling tinggi kemuliaannya itu sebagai orang gila? Allah berfirman (artinya): “Padahal dia itu datang kepada mereka dengan membawa kebenaran”. Kebenaran inilah yang menjadi pangkal semua yang mereka tolak. Pada hakikatnya al-Quran tidak meridhai ajaran mereka yang tegak atas kebatilan-kebatilan dan karena al-Quran meletakkan neraca-neraca keadilan di antara manusia sehingga tidak terjadi suatu kehidupan yang kuat melahap yang lemah, dan tidak boleh terjadi suatu kepemimpinan yang membawa suatu ketetapan hukum secara dzalim (aniaya) dan bahwasanya ketetapan hukum semuanya adalah hak Allah Yang Menciptakan alam jagad raya dan Pemelihara semesta alam ini. d. Al-Quran S. Shâd [38]: 29
ِ ِ ك مبارٌك لِيدَّبَّروا آَيتِِو ولِي تَ َذ َّكر أُولُو األلْب ِ اب ٌ َكت َ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ اب أَنْ َزلْنَاهُ إلَْي
Ini sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkatan, agar mereka mentdaburi (merenungi) ayatayatnya, dan agar orang-orang yang mengerti memikirkan. Isi Pokok: Keberkatan Bagi yang Merenungi Al-Quran 23
Pemahaman ini berdasar pada firman Allah (Q.S. Shâd [38]: 29) yang erat kaitannya dengan perintah mentadaburkan al-Quran. Bahkan keberkatan yang Allah janjikan justru bagi orang-orang yang mentadaburi al-Quran dan memikirkannya. Kitab (al-Quran) itu diturunkan bukan untuk dibaca tergesagesa dan sembrono tanpa kesadaran terhadap kandungan maknamaknanya karena yang demikian ini merupakan sebagai kegersangan belaka. Oleh karenanya, seyogyanya manusia mengkajinya sambil merenunginya agar dapat melihat dengan penuh kesadaran apa yang sajikan oleh Allah berupa kebenaran, petunjuk dan keme-nangan, lalu dari al-Quran itu manusia dapat mengambilnya sebagai bagian keberuntungan yang melimpah ruah. Sebagai Kitab yang penuh dengan berkah, jika kita mau merenungi ayat-ayatnya yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Luas ilmu-Nya, isi kandungan al-Quran dijamin tidak akan pernah habis, apalagi punah. Al-Quran sebagai sumber ilmu akan terus bersambung hingga kelak hari kiamat tiba, dengan keberadaannya yang senantiasa cemerlang seiring dengan tingkatan kehidupan yang ada dalam semua zaman dan generasi. Apabila manusia mau merenungkan al-Quran niscaya mereka melihat kokohnya jalinan antara ayat-ayatnya dan fenomenafenomena alam jagad raya yang penuh dengan berbagai keluarbiasaan dalam penciptaan, pengadaan dan pengaturannya. Inilah bentuk keterikatan yang kuat antara ayat-ayat al-Quran dan alam jagad raya berikut berbagai muatan yang dikandungnya berupa berbagai macam keindahan yang memukau, guna memberikan pen-jelasan dengan sejelas-jelasnya kepada orangorang yang mengerti (ulul albab), yang benar-benar menekuni ilmu serta bersikap adil di hadapan makhluk-makhluk yang meliputi pemahaman mereka sehingga darinya itu mereka dapat menjernihkan kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang benar dan dapat mereka berikan segala yang mereka geluti itu berupa prinsip-prinsipnya dan nilai-nilainya menurut kadarnya, sehingga apabila kepada mereka datang ayat-ayat al-Quran, mereka berdialog dengan bahasa yang dihadapkan kepadanya. Adapun orang-orang yang tidak mengerti, yang tidak merenungkan tentang perkara-perkara yang terjadi pada 24
kebanyakan manusia lebih-lebih tatkala hawa nafsu dan syahwat bersewenang-wenang menerjang mereka, maka ketika itu syetan mendapati mereka itu sebagai mangsa yang mudah dilahap. Mereka tidak memahami ayat-ayat kauniah (alam jagad raya) dan belum benar-benar menekuni apa yang dilihatnya berupa keelokan penciptaan, pengadaan, dan pengaturannya, yang tatkala itu mereka berjalan di atas alam jagad raya ini dengan angkuh, sombong dan lain-lain karena mereka tidak meluangkan perhatian, akal dan kesungguhan untuk merenunginya. Tatkala ayat-ayat al-Quran itu mendatangi mereka, lagi-lagi mereka tidak mau memahaminya, bahkan justru mereka menerima setiap ayat yang dikemukakan atas mereka itu sebagai main-main, lelucon, penghinaan dan ocehan yang menyakiti. Yang demikian itu terjadi karena ia tidak tahu nasib diuntung dari pemahaman, kesadaran, serta kesungguhan dalam merenunginya itu. Dengan ayat tadabur ini (Q.S. Shâd [38]:29) kita ditugaskan untuk pentadaburan yang menyeluruh, dimaksudkan agar manusia tegak menatap al-Quran sekaligus merenunginya sehingga karenanya menjadi mantap keinsyafannya, berangkat dari sana lahir pemahaman yang jauh dari kebenaran Kitab alMajid yang berwawasan luas itu, yang karenanya Allah Yang alRahmân dan al-Rahîm itu akan melimpah ruahkan belaian kasih sayang-Nya atas manusia. Sebab orang yang merenungi dengan ketekunan yang mantap akan mendapati keterangan-keterangan yang rinci dan pemahaman yang benar, sesudah itu menginsafinya sebagaimana layaknya manusia yang diharapkan Allah sebagai uli al-albab. 3. Medan Makna Tadabur Al-Quran Pada al-Quran dan hadits kita dapati beberapa kata yang berkaitan dengan makna tadabur, yaitu makna-makna yang saling berdekatan, yang memiliki titik temu pada suatu hal, dan berbeda pada hal yang lain. Untuk memahami “konsep tadabur al-Quran” kita perlu memahami beberapa istilah tersebut yang terkait dengan sebagai medan makna (semantik) tadabur al-Quran. Adapun metode pengembangan konsep tadabur al-Quran ini kita butuh kemampuan menganalisis medan semantik terhadap ayat-ayat al-Quran tentang tadabur. 25
Bila kita amati, semua benda, kegiatan, peristiwa, proses, semuanya diberi label yang kita sebut lambang. Setiap lambang dibebani unsur yang disebut makna. Kadang-kadang, meskipun lambang itu berbeda-beda, tetapi makna lambang-lambang tersebut memperlihatkan hubungan makna. Misalnya kata-kata qira'ah, tilawah, dan tadabur, pertalian maknanya adalah aktifitas membaca sesuatu. Dalam bayangan kita, ada benda yang menjadi objek kegiatan, dan kegiatan dilaksanakannya. Makna yang terkandung dalam kata qira'ah, tilawah, dan tadabbur yakni 1) ada aktivitas; 2) aktifitas dilaksanakan oleh manusia; 3) orang yang melaksanakan kegiatan menggunakan alat (penghihatan, pikiran, penglihatan; dan 4) ada benda yang menjadi sasaran kegiatan. Makna yang baru disebutkan ini adalah jangkauan makna yang dimiliki oleh kata qira'ah, tilawah, dan tadabbur. Jangkauan makna inilah yang disebut medan makna suatu kata. Demikian halnya dengan kata-kata ta'aqul, tafakkur, tadabbur dan tadzawwuq memiliki medan makna tersendiri. Kita dapat saja melakukan pencarian seluruh kosakata dalam al-Quran, semua kata-kata penting yang mewakili konsepkonsep penting seperti tadabbur, dan lain sebagainya dan menelaah apa makna semua kata-kata itu dalam konteks tadabur al-Quran. Bagaimanapun, kenyataannya tidaklah begitu mudah. Kata-kata atau konsep-konsep dalam al-Quran itu tidak sederhana. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi sangat saling bergantung dan menghasilkan makna kongkret justeru dari seluruh sistem hubungan itu. Dengan kata lain, kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, demikian pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual. Terkait dengan hal ini, Izutsu (2003: 4) menyatakan: "Dan apa yang sungguh-sungguh penting bagi tujuan khusus kita adalah jenis sistem konseptual yang berfungsi dalam al-Quran, bukan konsep-konsep yang terpisah secara individual dan dipertimbangkan terlepas dari struktur umum atau Gestalt, ke dalam mana konsep-konsep tersebut diintegrasikan. Dalam menganalisis konsep-konsep kunci individual yang ditemukan dalam al-Quran kita tidak boleh
26
kehilangan wawasan hubungan ganda yang saling memberi muatan dalam keseluruhan sistem." Menurut Padeta (2001: 254), "Setiap bahasa sebagai sistem, memiliki tingkat keterhubungan medan makna yang tercermin dalam lambang-lambang yang digunakan". Medan makna tersebut merupakan kelompok kata yang maknanya saling terjalin, maka kata-kata umum dapat mempunyai anggota yang disebut hiponim. Deskripsi medan makna dapat saja berupa keberadaan medan makna itu sendiri, baik medan makna yang berdiri secara terpisah dari medan makna yang lain maupun medan makna yang terikat dalam hubungan dengan jaringan medan makna yang lebih luas. Selain itu deskripsi medan makna dapat berupa keberadaan medan makna yang menyiratkan struktur dalam diri medan makna itu sendiri yang dapat dilihat dari hubungan kata-kata yang membentuk jaringan keterkaitan makna. Berdasarkan penjelasan di atas, kosa kata suatu bahasa sebenarnya bukanlah berupa sejumlah kata yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi semuanya saling terjalin, berhubungan dan mengidentifikasikan kata yang satu dengan kata yang lain dalam satu jaringan makna atau medan makna. Dalam menganalisis makna, menurut Padeta (2001: 260), "kita perlu mengetahui makna inti, makna pelengkap, dan hubungan-hubungan makna yang ada di dalam kata-kata". Sejatinya memang, bahwa kata-kata itu saling berhubungan dalam jalinan yang disebut medan makna. Kata-kata, ada yang berdekatan makna, ada yang berjauhan, ada yang mirip, ada yang sama, bahkan ada yang bertentangan. Untuk mengetahui seberapa jauh kedekatan, kemiripan, kesamaan, dan ketidaksamaan makna, orang perlu mengetahui komponen makna. Untuk mengetahui makna sampai sekecil-kecilnya, perlu analisis. Karena yang dianalisis adalah makna yang tercermin dari komponenkomponennya, maka dibutuhkan analisis komponen makna. Dalam menganalisis komponen makna, kita perlu memperhatikan a) pembeda makna, b. hubungan antar komponen, dan c) prosedur menganalisis komponen makna, Perbedaan makna sebagai akibat perubahan bentuk diperlukan karena pemakai bahasa memerlukannya. Berdasarkan deretan bentuk tersebut terlihatlah kenyataan bahwa perbedaan 27
makna yang diakibatkan oleh adanya perubahan bentuk, terbatas pada derivasi leksemnya. Karena itu dapat dikatakan bahwa ada "makna dasar" dan ada juga "makna relasional". Terkait dengan hal ini Izutsu (2003: 12) menyatakan bahwa: " makna dasar' kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di mana pun kata itu diletakkan, sedangkan 'makna relasional' adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut". Kita perhatikan tadabur, qiraah, tilawah dan tafakkur dan lain sebagainya. Bidang atau jaringan konseptual yang dibangun oleh kata-kata tersebut, Izutsu (2003:12) menyebutnya sebagai medan makna eskatologis. Setelah diketahui tingkat keumuman penggunaan kata, kita melangkah kepada upaya memahami komponen diagnostik kata. Sebab komponen diagnostik kata akan membantu kita dalam menganalisis makna. Hubungan antara komponen kadang-kadang masih kabur bagi pembicara, pendengar atau pembaca. Untuk menjelaskan kepada pendengar atau pembaca, biasanya setiap kata diperluas atau komponennya ditambah yang dalam teori makna, disebut unsur konotatif (connotative features), atau fitur konotatif. Tetapi, menurut Pateda (2003:267), "dengan adanya fitur konotatif seperti itu, medan makna pada kata yang bersangkutan akan bergeser". Ada beberapa istilah dalam perspektif al-Quran yang memiliki makna eskatologi dalam konsep tadabur al-Quran. Beberapa istilah secara sepintas memiliki kesamaan arti. Namun ada penekanan makna yang berbeda dan berbeda pula dalam cakupannya, keluasannya, kedalamannya serta penggunaannya. Di sisi lain istilah-istilah tersebut berhubungan secara fungsional terhadap konsep tadabur al-Quran. Adapun istilah-istilah dalam alQuran dan Hadits yang memiliki medan makna eskatologi dalam membangun konsep tadabur al-Quran adalah istilah-istilah: a) Qira`ah, b) Tilâwah/Sima‟ah, c) Tafhîm, d) Tafakkur, e) Tadzakkur, f) Tadzawwuq, g) Tashdîq, dan o) Tajawwub.
28
Adapun penjelasan masing-masing istilah yang termasuk pada medan makna (eskatologi) tadabur al-Quran dapat diikuti pada uraian berikut ini.
a. Qira'ah Kata qira'ah dalam bahasa Indonesia mempunyai arti 'membaca'. Moeliono (1990: 62) mengartikan “membaca adalah melihat serta memahami apa yang tertulis dengan melisankan atau hanya dalam hati, mengeja atau melafalkan dan mengucapkannya, meramalkan atau menduga”. Tetapi makna qira‟ah (membaca) dalam al-Quran mencakup arti membaca: a) peristiwa, b) alam semesta, c) buku, d) al-Quran, dan e) kitab suci lainnya. Al-Quran membimbing kita untuk membaca semua ayat Allah, baik ayat qauliyah (al-Quran) maupun ayat kauniyah (alam semesta). Allah berfirman dalam al-Quran S. al-'Alaq [96]: 1-5).
ِ ِاقْ رأْ َِبس ِم رب ك َ ُّ)اقْ َرأْ َوَرب٢( ) َخلَ َق اإلنْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق١( ك الَّذي َخلَ َق َ َّ ْ َ )٥( ) َعلَّ َم اإلنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم٤( )الَّ ِذي َعلَّ َم َِبلْ َقلَ ِم٣( األ ْكَرُم
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat di atas mengandung perintah membaca tanpa disebut apa yang harus dibaca, karena yang dimaksud dengan membaca dalam ayat tersebut tidak hanya untuk al-Quran, namun meliputi semua makna membaca, termasuk membaca al-Quran dan membaca alam semesta. Semakna dengan pengertian ini apa yang dikatakan Alwasilah (2006:200) di atas. Contoh, dalam al-Quran (.S. al-Isra', [17]: 14) kita temukan ayat yang memerintahkan membaca dengan menggunakan kata dasar لشأ, yaitu:
ك َح ِسيبًا َ ك الْيَ ْوَم َعلَْي َ ك َك َفى بِنَ ْف ِس َ َاقْ َرأْ كِتَاب
Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu. Adapun yang dimaksud dengan membaca dalam ayat ini menurut Mubarak (2007:79) adalah membaca yang berlangsung pada hari kiamat, yaitu membaca amal yang telah dilakukan 29
ketika di dunia. Jadi membaca dalam konteks ayat di atas, bukan membaca al-Quran sebagai objeknya. Berbeda dengan ayat (Q.S. al-Qiyamah [75]: 18) berikut, yang sama-sama menggunakan kata dasar لشأ:
ُفَِإذَا قَ َرأْ ََنهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْرآنَو
Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa istilah qira`ah adalah membaca berbagai hal baik al-Quran (ayat-ayat qauliah) maupun alam (ayat-ayat kauniah). Oleh karena itu pembahasan ini terfokus pada membaca al-Quran dalam konteks tadabur, maka kita hanya memfokuskannya pada membaca ayat-ayat qauliah (al-Quran) saja. Membaca pada hakikatnya merupakan “aktivitas manusia agar terjadinya hubungan (komunikasi) antara bahasa ucapan dan lambang-lambang tulisan” (Ibrahim, 1962: 57). Makna atau pemahaman membaca pada garis besarnya dapat dibagi pada empat tingkatan, yaitu (a) Makna sederhana atau sempit, (b) Aktivitas akal yang menghasilkan pemahanan, (c) Interaksi antara pembaca dengan teks bacaan yang menghasikan sikap, dan (d) Melaksanakan pesan bacaan. Berikut ini penjelasan singkat tingkat-tingkat pemahaman membaca tersebut: 1) Sederhana dan sempit; Yakni aktivitas membaca yang terbatas pada kemampuan mata megenal lambang-lambang tulisan serta kemampuan mengenal dan mengucapkan tulisan tersebut. Oleh karena itu, dalam tingkatan ini seseorang dapat dikatakan sebagai pembaca yang baik bila seseorang mampu mengucapkan lambang-lambang tulisan secara baik, seperti seseorang sudah menguasai ilmu tajwid dan mempraktekkannya dalam membaca al-Quran. 2) Aktivitas akal pikiran yang mengarahkan pada pemahaman; Yaitu kemampuan seseorang yang dapat menterjemahkan lambanglambang tulisan yang dibaca pada argumen-argumen pemikiran. Dalam hal ini seorang pembaca dapat memahami maksud dari apa yang dibacanya. Keadaan ini seperti kemampuan seseorang yang sudah mampu menerjemahkan teks ayat-ayat al-Quran dan memahami maksudnya. 30
3) Interaksi antara pembaca dengan teks bacaan yang menghasilkan sikap; Yaitu suatu kemampuan seseorang untuk merespon bacaan dalam jiwanya seperti rasa senang, marah atau benci, terpesona, rindu, sedih dan lain-lain sebagai reaksi atas teks yang dibaca dan interaksi dengannya. Keadaan ini seperti kemampuan yang sudah meyakini kebenaran isi kandungan ayat -ayat al-Quran setelah memahami maksudnya. 4) Melaksanakan pesan bacaan; Maksudnya, pesan-pesan yang tertangkap atau dapat dipahami dan atau dirasakan oleh pembaca terhadap apa yang dihasilkan dari bacaan tersebut mampu melaksanakannya secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari. Jika tidak dapat memanfatkannya sama dengan tidak membaca. Membaca al-Quran dalam konteks tadabur, yang kita maksudkan di sini adalah pemahaman membaca al-Quran dari keseluruhan makna membaca di atas, yakni mulai tingkat 1) sampai dengan tingakat 4).
b. Tilâwah Kata tilawah tidak asing lagi pada telinga bangsa Indonesia karena kata itu sudah amat sering kita dengar seperti pada MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran). Padanan makna MTQ adalah perlombaan membaca al-Quran. Jadi kata tilawah sama artinya dengan membaca. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Moeliono dkk. (1990: 945) mengartikan tilawah dengan pembacaan atau penafsiran ayat al-Quran dengan baik tanpa mengubah, mengurangi, atau pun menambahnya. Mengenai penggunaan kata tilawah dalam al-Quran dapat kita temui antara lain dalam firman Allah (Q.S. al-Baqarah [2]:121) yaitu:
ِ َّ ِ ِ ك يُ ْؤِمنُو َن بِِو َوَم ْن يَ ْك ُف ْر َ ِالوتِِو أُولَئ ُ َين آتَْي ن َ َاى ُم الْكت َ اب يَْت لُونَوُ َح َّق ت َ الذ ِ اْل اس ُرو َن َ ِبِِو فَأُولَئ َْ ك ُى ُم
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya, dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
31
Dalam mencermati ayat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu untuk kita resapi, yaitu: Pertama; Kata tilâwah selalu dihubungkan dengan al-Quran. Kata tilâwah memang tidak biasa digunakan untuk selain alQuran. Kita tidak pernah mendengar istilah “tilâwah majalah”, atau “tilâwah koran”, “tilâwah surat” dan sebagainya. Hal ini menggambarkan suatu keistimewaan bagi al-Quran yang mendorong kita untuk mengetahui rahasia membacanya. Kedua; Dalam Shofwatu al-Tafâsir Jilid I, Ash-Shâbuni (1976: 91) menjelaskan bahwa: "yang dimaksud dengan ّ حك ذالٔذhaqqa tilâwatihi (bacaan yang sebenarnya) adalah bacaan sebagaimana Jibril membacakannya kepada Muhammad. Orang yang membaca dengan bacaan sebenarnya adalah orang yang beriman kepadanya". Hal ini menunjukkan bahwa membaca al-Quran mempunyai aturan tertentu yang tidak dimiliki oleh bacaan buku biasa. Pembaca hendaknya memperhatikan etika membaca al-Quran, hukum-hukum membacanya, ilmu tajwid, makhârij al-hurûf dan sifâtu al-hurûf. Ketiga; Ayat ini menjelaskan dua golongan manusia, yaitu (a) golongan yang beriman dan (b) golongan yang kufur (ingkar). Golongan yang pertama adalah orang-orang yang membaca alKitab dengan bacaan yang sebenarnya, yaitu sesuai dengan bacaan Rasul Muhammad. Menurut konteks ayat di atas, dapat dipahami siapa yang dimaksud dengan golongan yang kedua. Karena itu, mempelajari ilmu tajwid bukan masalah kecil sebab sangat berhubungan dengan keimanan. Bila kita sudah berusaha secara optimal mempelajari ilmu tajwid namun belum juga tercapai bacaan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, maka mudahmudahan Allah mengampuni kesalahan dan dosa hamba-Nya. Ilmu tajwid merupakan suatu ilmu untuk mengetahui bagaimana mengucapkan kata-kata dalam al-Quran dengan memerhatikan cara keluarnya huruf dari makhrajnya (artikulasinya) serta sifatsifatnya. Pengertian ini memperlihatkan bahwa kita harus mengetahui dan mempelajari bacaan al-Quran dengan benar dan dengan memperhatikan pengucapan huruf yang tepat dan semua sifat-sifatnya. Di samping itu, kita juga harus memperhatikan hubungan antara satu huruf dengan huruf lainnya dan hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya. Bila terjadi salah 32
pengucapan satu huruf saja, maka akan timbul makna yang berbeda bahkan dapat melahirkan makna yang berlawanan dengan maksud yang sebenarnya. Adapun hasil yang diharapkan dari kegiatan tilâwah adalah ( انفٓىal-fahmu) yaitu mengetahui makna ucapan atau bacaan. Setelah itu meningkat pada ّ( انفمal-fiqh), yaitu mengetahui maksud/indikasi ucapan/bacaan setelah merenungkannya. Tentu saja untuk mendapatkan makna ucapan atau bacaan yang baik perlu didukung oleh bacaan yang tartil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ذشذيم/tartîl belum masuk di dalamnya. Tampaknya, kata ini perlu dipertimbangkan menjadi salah satu kata serapan dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, Al-Munawir (1984: 507) mengartikan tartîl dengan pelan-pelan dan hati-hati, membaca al-Quran dengan tartîl artinya cara membaca al-Quran dengan pelan-pelan disertai dengan memperhatikan tajwidnya. Ma'luf (1986: 248) mengartikan tartîl dengan memperbaiki suara (tahsîn al-shaut), memelihara suara tatkala membaca (hifdzu al-shaut 'inda al-qira`ah), dan melagukan bacaan (al-Qur-an) dalam shalat (al-talhî fî al-ghinâ wa tilâwati alShalâh). Menurut Mubarak (2006:181), makna tartîl secara bahasa dapat diartikan mengikutkan satu bagian kepada bagian lainnya dengan cara perlahan dan disertai pemahaman. Kata tartîl diambil dari ungkapan para ulama al-Quran yang langsung ( ذهميtalaqqi) kepada Rasulullah, yaitu para sahabat atau para tabi'in yang juga masih dekat dengan zaman Rasulullah. Allah berfirman dalam alQuran (S. al- Furqan [25]: 32) sebagai berikut.
ِ ِاحد ًة َك َذل ِ َّ َ َوق ت بِِو َ ِ ين َك َف ُروا لَ ْوال نُِّزَل َعلَْي ِو الْ ُق ْرآ ُن ُجُْلَ ًة َو َ َ ِّك لنُثَب َ َ ال الذ فُ َؤ َاد َك َوَرتَّ ْلنَاهُ تَ ْرتِيال
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah] supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
Kata ِ( سذّهُاKami membacakannya) pada penghujung ayat (Q.S. al- Furqan [25]: 32) di atas memberi penjelasan bahwa yang pertama membaca dan mengajarkan al-Quran dengan tartîl adalah
33
Allah. Oleh karena itu, wajib atas setiap muslimin membaca alQuran dengan tartîl. Kewajiban ini juga ditegaskan dalam firmanNya yang mengandung perintah yang jelas dan langsung kepada Nabi Muhammad (Q.S. al-Muzammil [73]:4).
َوَرتِّ ِل الْ ُق ْرآ َن تَ ْرتِيال
"... dan bacalah al-Quran dengan tartil." Ayat di atas mengandung perintah dan penegasan tentang pentingnya memperhatikan perintah tersebut, yaitu dengan menggunakan kata tartîlan, yaitu bentuk mashdar taukid yang memberi penegasan akan makna yang terkandung di dalam kata kerja sebelumnya. Melalui dua ayat di atas, dapat diketahui bahwa barang siapa yang tidak membaca al-Quran dengan tartîl, ia telah meninggalkan perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Lebih-lebih, bila ia tidak mau atau menolak hukum mempelajarinya, berarti dia secara terang-terangan menolak sebagian aturan Allah. Membaca al-Quran menurut kehendak sendiri, bukan saja pengucapan hurufnya yang tidak tepat, namun juga akan menyebabkan pengurangan atau penambahan dalam bacaannya. Misalnya, pembacaan yang mesti dibaca dengan dua harakat (ketukan), malah dibaca dengan lebih dari dua harakat atau sebaliknya, yang mesti dibaca empat harakat, hanya dibaca dua harakat. Padahal, membaca al-Quran adalah ibadah mahdhah yang tidak boleh ditambah atau dikurangi. Terkait dengan hal yang dijelaskan di atas, Sayyidah Hafshah berkata: "Rasul pemah membaca satu surat al-Quran, beliau membacanya dengan cara tartîl. Sehingga, seolah-olah surat itu menjadi lebih panjang dari surat lainnya yang paling panjang”.
c. Tafakkur Istilah ) ذف ّكشtafakur( berasal dari bahasa Arab ( ذف ّكشtafakkara). Artinya memikirkan atau merenungkan. Moeliono dkk. (1990: 882) dalam kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan tafakur sebagai “perihal merenung, memikirkan, atau menimbangnimbang dengan sungguh-sungguh”. Dalam telaahan ilmu Sharaf kata tafakkur ) (ذف ّكشtermasuk fi'il tsulâtsi mazîd model kedua bab kedua. Asal katanya adalah fakara ) (فكشartinya "berfikir". Dengan menambahkan huruf yang sama 34
(kaf = )نpada 'ain fiil kata tersebut dan dengan menambahkan ta ) (خpada awal kata sehingga menjadi kata tafakkara ((ذف ّكش. Adapun dampak dari perubahan kata tersebut untuk tujuan litta'diyah, artinya agar menjadikan kata tersebut jadi kata 'transitif' yang membutuhkan objek. Jadi, arti tafakkur ( (ذف ّكشadalah "memi-kirkan sesuatu". Dengan menelusuri ayat-ayat al-Quran, maka kita menemukan 18 ayat yang mengandung kata dasar fakkara ) (ف ّكشdengan berbagai kata jadiannya. Dari 18 ayat tersebut kita kelompokkan berdasarkan tashrifnya menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) Kata fakkara ) )ف ّكشpada satu tempat. 2) Kata yatafakkarûn/yatafakkarû ) (يرف ّكشٌٔ – يرف ّكشٔاpada 13 tempat. 3) Kata tatafakkarûn/tatafakkarû ) ذف ّكشٔا- ٌٔ (ذرف ّكشpada empat tempat. Dengan memperhatikan seluruh ayat-ayat al-Quran yang mengandung kata “tafakkur” semuanya mengandung objek, yakni ayat-ayat Allah yang bersifat kauniah (alam semesta) dan ayat-ayat Allah yang bersifat Quraniah (al-Quran), namun ayat-ayat kauniah lebih banyak. Dengan demikian dapat kita gunakan istilah tafakkur alam, dan dapat pula kita gunakan istilah tafakkur al-Quran, sebagaimana Al-Qardhawi (2001:245) mengartikan tafakkur al-Quran dengan “mengarahkan hati atau akal untuk memperhatikan dalil”. Secara istilah, tafakkur al-Quran diartikan sebagai “Sebuah proses membuka ruang kesadaran dalam substansi spiritual tentang percikan cahaya llahi yang terkandung di dalam al-Quran (Attaki, 2008:99). Sebagaimana difirmankan Allah dalam alQuran (S. al-An'am [6]: 50) sebagai berikut.
َِّ ول لَ ُكم ِعْن ِدي خزائِن ول لَ ُك ْم إِِّن ُ ُب َوال أَق ْ ُ ُقُ ْل ال أَق ُ ََ َ اّلل َوال أ َْعلَ ُم الْغَْي ِ األعمى والْب ِ ِ ٌ َمل ص ُي أَفَال ََّ ِوحى إ َ َ َ ْ ل قُ ْل َى ْل يَ ْستَ ِوي َ ُك إ ْن أَتَّبِ ُع إال َما ي َ تَتَ َف َّك ُرو َن
Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat, aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah:
35
"Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"
Attaki (2008:99) menggolongkan tafakkur sebagai meditasi bentuk. Karena itu, dalam istilah meditasi proses tafakkur disebut sebagai rekognisi atau pengenalan. yaitu bertanya "Apa?" dan "Bagaimana?". Sebagai sebuah contoh dalam fenomena alam, kita dapat mengambil contoh kata "Mawar". Seseorang yang memikirkan kata "Mawar", maka otaknya akan langsung bekerja membentuk lukisan mawar di dalam pikirannya. Sehingga, tidaklah sulit baginya membayangkan bentuk bunga mawar. Tentunya lukisan ini akan semakin baik terbentuk seandainya orang tersebut sudah memiliki informasi seputar bunga mawar, atau paling tidak dia pernah melihat bunga mawar. Inilah yang kita sebut dengan ilmu (rekognisi). llmu diperoleh dari informasi, pengalaman atau pemahaman; yaitu pengalaman melihat mawar atau pemahaman tentang mawar. Tanpa pengalaman atau pemahaman, hampir mustahil seseorang bisa melukis objek yang ditafakuri di dalam imajinasinya dengan baik. Demikian pula dalam konteks mentafakuri ayat-ayat alQuran. Misalnya, jika kita mau mentafakuri ayat:"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." (Q.S. al-Fatihah [1]: 2). Kita fokuskan untuk mentafakkuri kata ( انحًذ هللsegala puji milik Allah) berarti kita bertanya tentang apa dan bagaimana pujian kepada Allah? Pujian adalah segala perkataan, perasaan dan perilaku yang mengacu kepada ridha Allah. Memuji Allah dengan lisan adalah berbicara tentang kebaikan, berzikir, berdo‟a, dan tilawah alQuran. Memuji Allah dengan hati adalah senantiasa dekat dan terikat kepada-Nya. Sedangkan memuji Allah dengan perilaku adalah beribadah serta berbuat baik kepada sesama makhluk-Nya. Ini semua merupakan bentuk kata puji kepada Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Selanjutnya, kita dapat memahami bentuk kata "puji" ( )انحًذtersebut dari pengalaman bergaul dan bermasyarakat, membaca dan mendengar. Tapi intinya bukan di sini, melainkan ada pada "kesadaran" kita sendiri. Karena ilmu dan pengalaman hanya sebagai piranti pendukung dalam proses bertafakkur (meditasi bentuk) terhadap sesuatu objek tafakkur, sedangkan kesadaran adalah sumbunya.
36
Istilah tafakkur sesungguhnya ada kaitannya dengan kata انثصيشج (al-bashîrah) atau pengetahuan yang sempurna sebagai hasil dari proses berfikir ( االسرثصاسal-istibshâr) yang terambil dari kata صش ّ انرث (al-tabashur) yang berarti jelas dan tersingkapnya sebuah perkara, serta tampaknya bagi bashîrah.
d. Tadzakkur Tadzakkur ) (انرز ّكشyang diambil dari kata ( انزّكشal-dzikru = ingat), antonim dari kata ٌ( انُسياal-nisyân = lupa); yaitu hadirnya ilustrasi pengetahuan sesuatu yang diingat di otak. Dalam alQuran (Q.S. al-A'râf [7]: 201) kita dapat menjumpai kata ذز ّكشٔا (tadzakkarû) yang terambil dari kata ( انرز ّكشal-tadzakkur) sebagai berikut:
ِ َّ ِ ِ ِ ان تَ َذ َّكروا فَِإذَا ىم مب ِ َف ِمن الشَّيط ص ُرو َن ُْ ْ ُ ْ َ ٌ ين اتَّ َق ْوا إِذَا َم َّس ُه ْم طَائ ُ َ إ َّن الذ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Bila kita perhatikan ayat di atas, maka tadzakkur berfungsi mengingatkan hati terhadap apa yang telah dimengerti dan diketahuinya supaya melekat dengan erat di dalamnya dan tidak hilang, sehingga jejaknya sirna dari hati. Adapun tafakur berfungsi mengoleksi pengetahuan, dan menghadirkan apa yang tidak ada pada hati. Maka dengan demikian makna dari tafakur adalah menghasilkannya kembali, sedangkan tadzakkur berfungsi untuk memeliharanya, dan masing-masing dari tadzakkur dan tafakur memiliki fungsi berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
e. Tadzawwuq Tadzawwuuq )(انرزٔق berasal dari kata ( رٔقdzauq) artinya rasa ّ dalam hati. Jadi tadzawwuq berarti merasakan dalam hati tentang pengaruh-pengaruh yang yang dikirim dari pikiran manusia. Proses tadzawwuq merupakan proses lanjutan dari tafakkur dan tadzakkur sebagaimana telah dijelaskan di atas, sehingga dengan proses tadzawwuq itu dapat memberikan pengaruh, kemudian membangkitkan, dapat menyentuh perasaan, dan mengobarkan sisi-sisi hati (Al-Hilali, 2008: 37). Keadaan yang dapat menggerakkan
37
(menggetarkan) perasaan dalam hati ini disebut dalam al-Quran jika disebut nama Allah (dzukira Allah) atau proses tadzakkur, sebagaimana dinyatakan al-Quran (Q. S. al-Anfal [8]: 2) bahwa:
ِ ِ َّ إََِّّنَا الْمؤِمنو َن الَّ ِذين إِذَا ذُكِر ُ ُْ ْ َت قُلُوبُ ُه ْم َوإِذَا تُلي ْ َاّللُ َوجل ُآَيتُو َ ت َعلَْي ِه ْم َ َ اَن َو َعلَى َرِّهبِ ْم يَتَ َوَّكلُو َن ً ََز َادتْ ُه ْم إِمي
Sesungguhnya orang-orang yang berimanialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. Sekali lagi, ayat di atas berhubungan erat dengan istilah tadzakkur sebagaimana telah dijelaskan pada deskripsi di atas. Dalam istilah al-Quran, hati (qalb) tidak sama halnya dengan akal. Jabbar (2001: 140) menjelaskan hubungan akal dengan hati bahwa: Akal berperan untuk menalar terhadap yang didengar, yang dilihat (dibaca) dan yang dirasakan serta memikirkan hati ihwalnya, begitu pula ia dapat memunculkan pendapat atau pandangan dari setiap sisinya, sedang keputusan akhir tentang diterima tidaknya bukanlah menjadi perhatian akal; sedangkan hati adalah sebagai tempat penyimpanan yang besar bagi perasaan, kesadaran dan kecenderungan-kecenderungan.
f. Tashdîq Tashdîq ) (ذصذيكartinya pembenaran atau persetujuan dengan kesadaran hati. Istilah ini sejalan dengan sunah Nabi Muhammad bahwa bila pembaca (qâri) telah selesai membaca al-Quran, maka ia disunatkan membaca صذق هللا انًٕالَا انعظيى, yang artinya “Maha benar (firman) Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung”. Pembenaran dengan hati (tashdîq bi al-qalbi) dapat terjadi bila pada diri pembaca (qâri) atau pendengar (mutami‟) sudah tidak ada lagi penghalang (ghisyâwah) yang menutupi datangnya hidayah (nur Ilahi) melalui penglihatan/pendengaran dan akal pikiran yang membawanya ke dalam hati. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akal berperan sebagai pemberi penjelasan yang dicetuskan dengan bentuk nasihat-nasihat; sedangkan hati, memainkan peranannya sebagai pembimbing yang memegang kendali sekaligus mengarahkannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Attaki (2008: 100) bahwa “proses 38
tadabur al-Quran adalah sebuah proses menyerap energi al-Quran, kemudian memadukannya ke dalam sistem kita”. Dalam proses meresapkan makna-makna al-Quran di dalam hati, kita hendaknya berusaha memadukan makna suatu ayat kepada diri dan kehidupan kita dengan bertanya "mengapa" atau "untuk apa". Pertanyaan “mengapa” dan “untuk apa” lebih dalam jangkauannya dari pada perta-nyaan "apa" dan "bagaimana" sebagaimana telah dibahas pada tema tafakkur di atas. Di samping itu, kita baru dapat menjawab “mengapa” dan “untuk apa” setelah kita dapat menjawab “apa?” dan “bagaima”. Jalan pikiran ini menunjukkan bahwa untuk mentadaburi al-Quran haruslah mentafakkurinya terlebih dahulu. Langkah tadzawwuq merupakan proses agar terjadi internalisasi nilai iman dalam hati. Pembenaran dalam hati atau iman dalam hati itulah yang menguasai tindak tanduk manusia, bukan iman kata-kata yang dihasilkan dari membaca atau mendengar, bukan pula iman istidlali (argumentatif) yang dihasilkan dari berfikir rasional semata. Tetapi hasil dari kedua proses di atas hendaknya dilanjutkan ke dalam hati, dan iman yang bersumberkan dari hati itu ialah iman yang hakiki. Hal yang diterangkan ini sejalan dengan firman Allah sebagai berikut:
ِ ِ ِ َقَال َسلَ ْمنَا َولَ َّما يَ ْد ُخ ِل اإلميَا ُن ْ ت ْ اب َآمنَّا قُ ْل ََلْ تُ ْؤمنُوا َولَك ْن قُولُوا أ ُ األعَر ِح قُلُوبِ ُك ْم
Orang-onang Arab pedalaman (badwi) itu berkata: Kami telah beriman". Katakanlah kepadanya: "Kamu belum beriman”. tetapi ucapkanlah "Kami telah tunduk", karena iman itu belum meresap ke dalam hatimu (Q.S. al-Hujarat [49]:14). Bila iman tidak meresap ke dalam hati dan hanya berupa ungkapan dalam ucapan-ucapan, maka yang demikian itu tidak menggambarkan iman yang hakiki. Adapun pernyataan lisan dengan ucapan-ucapan yang tidak didasari dengan pembenaran di dalam hati, kalaupun sudah dihiasi dengan kemampuan akal (ilmu), dan diiringi dengan perbuatan-perbuatan, maka yang demikian ini tidak cukup memadai menunjukkan kepada iman jika setelah beberapa lama kebohongannya itu terungkap, yang demikian itu tidak disangsikan lagi akan terjadi seperti yang terjadi pada satu kelompok orang yang hidup di Madinah pada masa 39
kenabian, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran (S. alMaidah [5]: 41) menyatakan:
ِ َّ ْول ال ََيزن ِ َّ ِ ين قَالُوا ُ الر ُس َّ ََي أَيُّ َها َ ُْ َ ين يُ َسا ِرعُو َن ِح الْ ُك ْف ِر م َن الذ َ ك الذ آمنَّا ِِبَفْ َو ِاه ِه ْم َوَلْ تُ ْؤِم ْن قُلُوبُ ُه ْم َ
Hai rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orangorang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, Yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", Padahal hati mereka belum beriman; Selanjutnya dinyatakan pula dalam ayat lain (S. al-Taubah [9]:8) bahwa:
ضونَ ُك ْم ُ ف َوإِ ْن يَظْ َه ُروا َعلَْي ُك ْم ال يَ ْرقُبُوا فِي ُك ْم إِال َوال ِذ َّم ًة يُ ْر َ َكْي ِ َِِبَفْ و ِاه ِهم و ََتْب قُلُوب هم وأَ ْكثَرىم ف اس ُقو َن ْ ُُ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َ
Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian, mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik (tidak menepati perjanjian). h. Tajawwub Kata tajawwub )ذجٕب ّ berasal kata jawwaba )جٕب ّ ( yang secara bahasa berarti menjawab, jawaban, respons, atau dialog. Attaki (2008: 103) mendefinisikan tajawwub dengan “sebuah proses memancarkan dan menuangkan energi-energi al-Quran ke dalam kehidupan yang kreatif”. Dalam al-Quran banyak ditemukan ayat yang menyuruh kita untuk merespons atau menjawabnya dengan ucapan dan atau tindakan. Salah satu contoh pada S. al-Isra [17]: 111 sebagai berikut:
َِِّ اْلم ُد ِ ّلل الَّ ِذي ََل ي ت ِ يك ِح الْم ْل ك َوََلْ يَ ُك ْن ٌ َّخ ْذ َولَ ًدا َوََلْ يَ ُك ْن لَوُ َش ِر ْ َْ َوقُ ِل َْ ُ ُّ ل ِمن الذ ِّل َوَكِِّْبهُ تَ ْكبِ ًيا َ ّّ ِلَوُ َو
Dan katakanlah (bacakanlah dan lakukanlah, pen.): Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula hina yang 40
memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. Dalam tarikh banyak diriwayatkan bahwa Rasuullah sering berhenti pada pesan-pesan tertentu untuk merenungi dan mentadaburinya. Jika beliau melewati ayat tasbih, maka beliau meresponnya dengan bertasbih (subhanallah). Jika melewati ayat do‟a, maka beliau memohon (berdo‟a). Jika melewati ayat ta'awwuzd, maka beliau beristiadzah (memohon perlindungan). Jika membaca atau mendengan ayat sajdah, maka beliau sujud tilâwah. Respons-respons itu disebut tajabbub sebagai jawaban atas apa yang beliau dengar dan baca dari ayat al-Quran. Hadits berikut merupakan dalil yang menerangkan tentang hal ini. Diriwayatkan dari Huzaifah ibnu Yaman ia berkata, "Aku pernah shalat bersama Nabi pada suatu malam. Beliau membuka surat al-Baqarah dan membacanya. Lalu beliau membuka surat alNisa dan membacanya. Lalu beliau membuka surat Ali 'Imran dan membacanya. Beliau membacanya secara perlahan. Jika beliau melewati ayat tasbih, maka beliau bertasbih. Jika melewati ayat do‟a, maka beliau memohon. Dan jika melewati ayat ta'awwuzd, maka beliau berta'awuzd. Kemudian beliau ruku'. (HR. Muslim, Nasai Abu Dawud , dan Tirmidzi). Ini adalah contoh respons langsung. Respons atas tadabur al-Quran ada yang berbentuk verbal dan ada juga dalam bentuk perilaku dan pola pikir untuk mengisi kehidupan yang qurani. Inti dari bertilawah al-Quran adalah agar dapat mengamalkannya dalam kehidupan atau mengikutinya dengan amal perbuatan.
41
BAB III INDIKATOR –INDIKATOR TADABUR AL-QURAN
S
ekaitan dengan pengertian tadabur, tadabur al-Quran, dan makna eskatologi tadabur al-Quran di atas, dan jika kita telaah ayat-ayat al-Quran al-Karim, maka ternyata Allah menunjukkan beberapa tanda atau indikator tadabur. Peta konsep bagan 3-1 berikut memvisualkan indikator tadabbur alQuran: Bagan 3.1 INDIKATOR TADABUR AL-QURAN Indikator Tadabur Al-Quran
Al-Maidah [5]:83
Al-Taubah [9]: 124
Al-Isra [17]: 109
Al-„Anfal [8]: 2
Pikiran dan hati menya tu dg. bacaan Al-Quran
Menyentuh Emosi
Khusyuk
Iman Meningkat
Thaha [20]: 108 Dalam Suara
al-Hadid [57]: 16
al-Isra' [17]: 109
al-Hasyr [59]: 21
al-Anbiya
[21]: 90
al-Qalam [68]: 43
Qalbu/ Hati
Menangis
Takut kepada Allah
Berharap Kepada Allah
Pandangan Tunduk
42
Beranjak dari peta konsep di atas, maka pada bab ini akan mendeskripsikan indikator-indikator tadabur al-Quran yang terdiri dari empat subbab, yaitu: (a) menyatunya pikiran dan hati dengan bacaan al-Quran, (b) menyentuh emosi, (c) khusyuk, dan (d) eningkat iman jika dibacakan al-Quran. A. Menyatunya Pikiran dan Hati dengan Bacaan Al-Quran Indikator bertadabur al-Quran adalah menyatunya pikiran dan hati dengan bacaan al-Quran. Argumen pernyataan ini adalah firman Allah (Q.S. al-Maidah [5] :83) sebagai berikut:
ِ ِ َّ وإِ َذا ََِسعوا ما أُنْ ِزَل إِ َل يض ِم َن الد َّْم ِع ِِمَّا َعَرفُوا ُ الر ُسول تَ َرى أ َْعيُنَ ُه ْم تَف َ ُ َ ِ ِ ِ ْ ِمن ين َ اْلَ ّق يَ ُقولُو َن َربَّنَا َآمنَّا فَا ْكتُ ْب نَا َم َع الشَّاىد َ
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari KitabKitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad).
Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa orang-orang yang memperhatikan (mendengarkan) al-Quran secara sungguhsunguh dan mendalam, me-mikirkan segala sesuatu yang ada di balik ayat-ayat tersebut serta menyentuh hati mereka, dalam artian menyatunya bacaan ayat al-Quran, pikiran dan hati menereka saat membaca atau mendengarkan ayat-ayat al-Quran, sehingga tergambarkan dampaknya, mata mereka mencucurkan air mata disebabkan ke-benaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui. Jadi salah satu indikator orang yang mentadaburi al-Qur-an itu adalah menyatunya bacaan al-Quran dengan pikiran dan hati orang yang membaca atau mendengarkan aya-ayat al-Quran. B. Menyentuh Emosi Sejalan dengan makna ayat di atas, indikator lainnya adalah tersentuh emosi, baik bagi yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Sekaitan dengan hal ini Allah (Q.S. al-Taubah [9]: 124) berfirman pula:
43
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Bila kita pertajam perhatian kita pada penggalan ayat terakhir, yakni "maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira". Perasaan gembira, sedih, haru, takjub dan sebangsanya termasuk ranah afeksi (emosi). Orang yang men-tadabur-kan ayatayat al-Quran yang memberi kabar gembira (targhîb) berupa pahala (balasan baik) yang akan diterima oleh orang yang beriman, kemudian orang yang beriman tersebut tambah yakin terhadap isi pesan yang terkandung di dalamnya, tentu saja akan merasa gembira. Demikian halnya kebalikannya, orang yang men-tadaburkan ayat-ayat al-Quran yang berisi pesan kesedihan, ancaman dan lain-lain (tarhîb) berupa siksa (balasan jelek) yang akan diterimanya, kemudian orang yang beriman tersebut tambah yakin terhadap isi pesan yang terkandung di dalamnya, tentu saja akan merasa sedih yang mendalam. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa orang yang men-tadabur-kan ayat-ayat al-Quran itu salahsatu idikatornya ada-lah emosionalnya tersentuh. C. Khusyuk Moeliono dkk. (1990: 437) dalam kamus Bahasa Indonesia mengartikan khusyuk sama dengan "sungguh-sungguh, penuh penyerahan dan kebulatan hati, penuh kerendahan hati". Orang yang bertadabur al-Quran terlihat dari khusyuknya. Allah berfirman dalam al-Quran (Q.S. al-Isra [17]: 107-109) sebagai berikut.
ِ َّ ِ ِ ِِ ِ ين أُوتُوا الْعِْل َم ِم ْن قَ ْبلِ ِو إِذَا يُْت لَى َعلَْي ِه ْم َ قُ ْل آمنُوا بو أ َْو ال تُ ْؤمنُوا إ َّن الذ ِ َََِيُّرو َن لِأل ْذق ، َويَ ُقولُو َن ُسْب َحا َن َربِّنَا إِ ْن َكا َن َو ْع ُد َربِّنَا لَ َم ْفعُوال،ان ُس َّج ًدا ِ َوََِي ُّرو َن لِأل ْذق .وعا ُ ان يَ ْب ُكو َن َويَ ِزي ُد ُه ْم ُخ ً ش َ
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Mahasuci Tuhan kami; sesungguhnya 44
janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. Nampaknya kata khusyuk sudah tidak asing bagi kaum muslimin di Indonesia, pada praktiknya dalam kehidupan seharihari masih perlu ada tambahan penjelasan. Bagaimana sebenarnya khusyuk menurut al Quran dan as-Sunnah? Dalam kajian ini, definisi khusyuk diperlukan, namun ada yang lebih diperlukan dari itu, yaitu mengetahui bagaimana khusyuknya Rasulullah. Karena itu, dalam pembahasan ini tidak akan dibahas definisi khusyuk yang mungkin banyak menimbulkan perbedaan pandangan terutama di kalangan para ahli fiqih. Berikut ini akan dikutipkan enam ayat al-Quran yang berhubungan dengan khusyuk dalam membaca al-Quran. 1. Khusyuk dengan suara:
ٍِ ِ ِ َّاعي ال ِعوج لَو و َخ َشع ات لِ َّلر ْْحَ ِن فَال تَ ْس َم ُع ُ األص َو ْ ت َ َ ُ َ َ َ يَ ْوَمئذ يَتَّبِعُو َن الد إِال ََهْ ًسا
Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru dengan tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua suara kepada Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (Q.S. Thâha [20]: 108). 2. Khusyuk dengan qalbu:
ِ َِّ ِ َِّ شع قُلُوب هم لِ ِذ ْك ِر اْلَ ِّق َوال ْ اّلل َوَما نََزَل ِم َن ْ ُ ُ َ َ ْين َآمنُوا أَ ْن ََت َ أَََلْ ََيْن للذ ِ َّ ِ ت َ َاب ِم ْن قَ ْب ُل فَط ْ األم ُد فَ َق َس َ َين أُوتُوا الْكت َ ال َعلَْي ِه ُم َ يَ ُكونُوا َكالذ ِ َقُلُوب هم وَكثِي ِمْن هم ف اس ُقو َن ْ ُ ٌ َ ْ ُُ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Hadid [57]: 16).
ِ َوََِيُّرو َن لِأل ْذق وعا ُ يد ُى ْم ُخ ُ ان يَْب ُكو َن َويَِز ً ش َ
45
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (Q.S. al-Isra' [17]: 109). 3. Khusyuk karena takut kepada Allah:
َِّ اّلل
ِ ص ِّد ًعا ِم ْن َخ ْشيَ ِة َ َلَ ْو أَنْ َزلْنَا َى َذا الْ ُق ْرآ َن َعلَى َجبَ ٍل لََرأَيْتَوُ َخاش ًعا ُمت ِ ض ِربُ َها لِلن َّاس لَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َف َّك ُرو َن ُ َاألمث ْ َال ن َ َوتِْل ْ ك
Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir." (Q.S. alHasyr [59]: 21). 4. Khusyuk karena harap-cemas;
َصلَ ْحنَا لَوُ َزْو َجوُ إِن َُّه ْم َكانُوا يُ َسا ِرعُو َن ِح ْ استَ َجْب نَا لَوُ َوَوَىْب نَا لَوُ ََْي َي َوأ ْ َف ِ ْ ِِ ي َ اْلَْي َرات َويَ ْدعُونَنَا َرغَبًا َوَرَهبًا َوَكانُوا لَنَا َخاشع
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (Q.S. alAnbiya' [21]: 90). 5. Khusyuk dalam pandangan;
ِ السج ِ ِ ِ ود َوُى ْم َ َْخاش َع ًة أَب ُص ُ ُّ ارُه ْم تَ ْرَى ُق ُه ْم ذلَّةٌ َوقَ ْد َكانُوا يُ ْد َع ْو َن إ َل َسالِ ُمو َن
Dalam keadaan pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan, dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera (bahwa mereka berkesempatan untuk melakukan sujud, tetapi mereka tidak melakukannya). (Q.S. al-Qalam [68]: 43). Enam ayat al-Quran yang dikutipkan di atas, memberi gambaran kepada kita tentang arti khusyuk secara bahasa dan hakikat khusyuk yang harus kita raih dalam bertadabur al-Quran. Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan memberi isyarat pula bahwa khusyuk akan teraih dengan melibatkan tunduknya seluruh
46
anggota tubuh berlandaskan iman yang terwujud dalam rasa takut dan harap kepada Allah. Adapun isyarat-isyarat indikator seseorang yang khusuk berdasarkan enam ayat di atas adalah: 1) khusyuk dengan suara, 2) khusyuk dengan qalbu, 3) khusyuk dengan menangis dan bersujud, 4) khusyuk karena takut kepada Allah, 5) khusyuk karena takut dan harap, 6) khusyuk dalam pandangan atau wajah. Namun demikian, menurut Mubarak (2007:17), khusyuk dalam ibadah sulit diukur dengan ilmu fiqih, sebab khusyuk adalah komunikasi seorang hamba dengan Allah yang tidak selalu melibatkan gerakan lisan atau anggota tubuh lainnya karena yang lebih menentukan kekhusyukan adalah penghayatan terhadap apa yang diungkapkan dalam hati. Namun demi-kian, tidak berarti bahwa khusyuk itu masalah gaib atau sesuatu yang tidak terukur. Justru, khusyuk adalah tingkatan yang mesti kita capai dan kita upaya-kan, baik dalam membaca al-Quran, shalat, berdo'a, maupun yang lainnya. Dalam Al Quran, ada dua kata yang terjemahan dalam bahasa Indonesianya tidak dapat dibedakan, yaitu kata آيُٕا (âmanû) dan ٌُٕ( انًؤيal-mukminûn) yang artinya orang-orang yang beriman. Kendati terjemahannya sama, namun penggunaannya berbeda. Pertama, kata ٌُٕ انًؤيadalah kata sifat bagi orang yang imannya tidak pernah lepas dari dirinya. Artinya, mereka senantiasa berpikir dan berbuat serta menggunakan perasaan berdasarkan keimanan. Kedua, kata آيُٕا, adalah kata kerja yang terikat dengan waktu. Artinya, iman mereka tidak selalu menyertai mereka dalam setiap saat. Terkait dengan ayat al-Quran S. al-Mu'minûn [23]: 1, dinyatakan bahwa: "Sungguh beruntung orang-orang mukmin". Selanjutnya dinyatakan bahwa orang-orang yang beruntung itu adalah orang yang mendapat jaminan kesuksesan dalam hidup adalah orang-orang yang memiliki sifat mu'minun, yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya. Kata ٌٕ( خاشعkhâsyi'uun) juga merupakan kata sifat yang memberi arti bahwa khusyuk ini sudah menjadi kebiasaan yang tidak pernah lepas dari shalat mereka. Jaminan surga ditujukan kepada orang yang menjadikan iman sebagai landasan hidupnya. Orang yang memiliki sifat tersebut pasti selalu shalat dengan khusyuk. Orang yang khusyuk adalah orang yang tunduk, merendah, menyadari akan kehinaan dirinya,
47
dan mengaku sebagai orang yang tak berdaya serta tidak memiliki apa pun. la hanya pemegang amanat Allah yang tidak lama lagi akan disidang di hadapan pemiliknya. Kekhusyukan seseorang dalam mentadaburi al-Quran ternyata beragam dalam cara meresponnya. Ada yang meresponnya dengan cara bersujud, tunduk, suara tangisan, suara desah dan lain-lain seperti dikisahkan dalam hadits berikut ini. Abdurrahman bin Saib berkata, "Saad bin Abi Waqash datang kepada kami dengan kedua mata yang telah buta. Maka aku mengucapkan salam kapadanya. Dia bertanya, 'Siapakah kamu?' Aku memberitahukan kepadanya dan dia pun menyapa, 'Selamat datang, wahai keponakanku. Aku mendengar bahwa suara kamu baik sekali ketika membaca al-Quran. Aku mendengar Rasulullah Bersabda, 'Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan sedih. Jika kamu membacanya, maka menangislah, dan jika tidak dapat menangis, maka upayakan untuk menangis.'." Jarir berkata, "Rasulullah bersabda kepada sekelompok sahabat, 'Sesungguhnya aku membacakan kepada kalian beberapa ayat dari surat al-Zumar. Siapa yang menangis di antara kalian, wajib baginya (mendapatkan) surga.' Maka beliau membacakan ّ ٔيا لذسٔا هللاhingga akhir surat. Di antara kami dari mulai ِحك لذس ada yang menangis dan ada pula yang tidak menangis. Orangorang yang tidak menangis berkata, 'Wahai Rasulullah, kami telah berupaya untuk menangis tapi tidak menangis juga.' Maka beliau bersabda, Akan kubacakan lagi pada kalian, siapa yang tidak menangis, maka upayakanlah menangis." (H.R. Thabrani). Berdasarkan hadits di atas, tidak setiap khusyuk membuat orang menangis dan tidak setiap orang yang menangis membuktikan kekhusyukan. Namun demikian, Rasulullah sering menangis saat mendengar atau membaca al-Quran, terutama saat beliau membaca al-Quran saat menunaikan shalat. Keadaan seperti ini menunjukkan kekhusyukan. Ketika seorang hamba menunaikan shalat dengan khusyuk, ia merasa bahagia bertemu dengan Yang Maha Tinggi. Akan tetapi, adakalanya kebahagiaan tersebut bercampur dengan rasa sedih dan malu karena menyadari sering melakukan kekhilafan di hadapan-Nya. Rasa harap akan rahmat-Nya selalu muncul saat terdengar ayat-ayat rahmat. Perasaan ini diikuti dengan rasa takut 48
akan murka dan siksa-Nya. Oleh karena itu, pada saat terdengar ayat tentang surga, seorang hamba akan menilai bahwa dirinya sangat tidak layak mendapatkan surga. Ia mengetahui bahwa surga yang penuh dengan kenikmatan abadi itu tidak mungkin dapat dibeli dengan harga murah atau diraih dengan kerja yang seadanya. Akhirnya, ia pun merintih kepada Allah dan takut tidak mendapat rahmat-Nya. Dalam kondisi penuh dengan ketakutan tersebut, tiba-tiba terdengar ancaman yang ditujukan kepada orang yang suka berbuat maksiat, ketika itu pula ia merasa terancam dengan siksa. Akhirnya tangisan tidak dapat dibendung lagi. Memang khusyuk tidak selalu identik dengan menangis. Demikian pula sebaliknya, orang yang menangis tidak selalu menunjukkan kekhusyukan. Hanya, orang yang biasa beribadah dengan khusyuk sangat mudah menangis; tangisan yang menjadi gelora semangat untuk berjuang. Nabi Muhamman sering menangis saat berdiri, ruku‟, sujud, dan membaca al-Quran, padahal ia adalah pejuang yang gagah berani saat berhadapan dengan orang yang memerangi risalah Ilahi. Para mujahidin sejak zaman Nabi hingga sekarang selalu menghiasi lembaran sejarah dengan tetesan darah di medan perang. Akan tetapi, saat mereka menghadap kepada Sang Pencipta, ternyata begitu mudah mereka menghiasi wajah dengan tetesan air mata, baik ketika menyendiri maupun saat menikmati kekhusyukan di tengah-tengah para ahli ibadah lainnya. Saat suasana hening, tangis seorang hamba akan semakin menjadi. Hal itu membuktikan bahwa hubungannya dengan Allah tidak pernah terputus. Pertemuan dengan Allah akan berlangsung dengan penuh arti jika air wudhu dan air mata menjadi teman setia dan bekal utama. Saat seorang hamba merasa lesu atau jenuh, maka hiburan mereka adalah tadabur al-Quran, karena al-Quran mempertemukan dirinya dengan sumber keindahan dan kenikmatan dari Allah. Musik rabbani, adalah bacaan al-Quran yang tidak dapat diiringi dengan musik buatan manusia. Saat seorang hamba mengalunkan gema wahyu Ilahi dengan irama yang mengikuti makna dan dengan seni tilawah yang menyentuh hati, maka ketika itulah puncak kenikmatan hiburan dapat dicapai.
49
Para shahabat adalah generasi pertama dan utama yang mesti kita jadikan teladan karena merekalah orang-orang yang mendapat bimbingan langsung dari Rasul dan merekalah pelaku sejarah diturunkannya al-Quran. Di antara mereka ada pemikir, politisi, ahli perang, penyair, pebisnis, tehnokrat, dan lain-lain. Kendati spesialisasi mereka berbeda-beda, namun ketika mereka tersentuh ayat-ayat al-Quran, mereka hanyut di kedalaman maknanya. Kendati di hadapan musuh mareka tampil dengan gagah berani, ketika mendengar ayat-ayat suci, mereka sangat mudah meneteskan air mata. Itulah orang-orang yang diabadikan sejarahnya dalam al-Quran.
ِ َّ ِأُولَئ ِ ِ ِاّلل علَي ِهم ِمن النَّبِي آد َم َوِِم َّْن َْحَْلنَا َم َع َ َ ي م ْن ذُِّريَّة َ ّ َ ْ ْ َ َُّ ين أَنْ َع َم َ ك الذ ِ ِوح وِمن ذُ ِريَِّة إِب ر ِاىيم وإِسرائ اجتَ بَ ْي نَا إِذَا تُْت لَى َعلَْي ِه ْم ْ يل َوِم َّْن َى َديْنَا َو َ َ ْ َ َ َ ْ ّ ْ َ ٍ ُن الر ْْحَ ِن َخُّروا ُس َّج ًدا َوبُ ِكيِّا َّ ت ُ آَي َ
Mereka adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (Q.S. Maryam [19]: 58). Ayat di atas menjelaskan bahwa para pahlawan Islam generasi awal sering menangis saat bersujud karena mereka tersentuh dengan ayat-ayat Allah. Orang yang tidak mampu menangisi dosa dan masih banyak tertawa meski telah banyak diperingati, maka orang tersebut mendapat teguran yang keras dari Allah. Tangisan sering diidentikkan dengan sujud. Hal itu memberi makna bahwa orang-orang yang khusyuk dalam shalat akan mudah menangis jika mereka sujud dengan penuh penghayatan. Sementara, penghayatan tidak akan tercapai tanpa ilmu. Itulah sebabnya orang-orang yang berilmu sejak zaman dahulu sangat mudah menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah.
50
ِ َإِ َّن الَّ ِذين أُوتُوا الْعِْلم ِمن قَبلِ ِو إِ َذا ي ْت لَى علَي ِهم ََِيُّرو َن لِأل ْذق ان ُس َّج ًدا ْ ْ َ ْ َْ ُ َ ِ ِ ِ ِ َويَ ُقولُو َن ُسْب َحا َن َربِّنَا إ ْن َكا َن َو ْع ُد َربِّنَا لَ َم ْفعُوال َوََيُّرو َن لأل ْذقَان يَْب ُكو َن وعا ُ َويَِز ً يد ُى ْم ُخ ُش
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahnan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Mahasuci Tuhan kami. Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi" Mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (Q.S. al-Isra' [17]: 107-109). Sungguh berbeda orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu adalah orang yang sering sujud karena mendengar ayat-ayat Allah dibacakan. Mereka sujud karena manyadari bahwa tiada yang memiliki kesucian selain Allah. Tiada yang dapat memenuhi janji dengan tepat selain-Nya. Sujud dengan ilmu sangat berbeda dengan sujud tanpa ilmu. Sujud dengan ilmu membimbing seorang hamba membaca kelemahan dirinya di hadapan Yang Mahatinggi dan Mahamulia. Sementara itu sujud tanpa ilmu hanyalah gerakan fisik yang tidak berpengaruh bagi kehdupan dan tidak meningkatkan kesadaran sebagai hamba yang lemah. Dengan kesadaran diri yang mendalam, maka air mata terus mengalir hingga membasahi pipi dan menghiasi tempat sujud. Itulah orang-orang yang tergolong khasyi'in, Dengan airmata, khusyuk mereka semakin meningkat dan dengan sujud, air mata mereka semakin deras mengalir dan membasahi tempat sujud. Para ulama bersepakat bahwa membaca al-Quran termasuk satu rukun shalat. Rasulullah pun ketika shalat, bisa berdiri dengan memakan waktu yang cukup lama karena banyak membaca al-Quran. Apalagi saat shalat malam, beliau sering menangis, dan tangisan tersebut terjadi karena interaksi beliau dengan al-Quran. Ibnu Umar berkata, "Beritakan kepadaku apa yang paling mengagungkan engkau dari Rasulullah."Aisyah terdiam lalu berkata, "Pada satu malam, beliau bersabda: 'lzinkan aku untuk beribadah malam ini.' Aku berkata, 'Sesungguhnya aku menyukai 51
dekat denganmu dan me-nyukai apa yang menyenangkanmu.' Maka beliau berdiri untuk berwudhu, lalu beliau berdiri untuk melaksanakan shalat." Aisyah berkata, "Beliau terus-menerus menangis hingga air matanya mengalir membasahi jenggotnya dan lantai" Maka, Bilal datang mengumandangkan adzan untuk shalat. Ketika Bilal melihat beliau sedang menangis, ia berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis, padahal Allah telah mengampuni semua dosamu, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?" Beliau bersabda, "Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur? Sungguh telah turun malam ini padaku satu ayat yang sangat rugi jika membacanya tanpa disertai dengan penghayatan, yaitu:
ِ ِض واخت ٍ الف اللَّي ِل والنَّها ِر ِ َّ إِ َّن ِح خ ْل ِق ِ ألول األلْب اب ْ َ ِ األر َ ْ الس َم َاوات َو َ ِ آلَيت َ َ َ ْ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orangorang yang berakal." (Q.S. Ali 'Imran [3]: 190) Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa kepada kita halhal sebagai berikut. a. Rasulullah meminta izin kepada istrinya untuk menunaikan shalat. Itulah teladan indah Rasulullah terhadap istrinya, b. Rasulullah mendidik keluarganya cara memanfaatkan waktu malam dengan tepat, c. Aisyah mengikuti perjalanan dari Rasulullah untuk beribadah pada malam hari hingga adzan subuh berkumandang. Ternyata, dari awal hingga akhir Aisyah menyaksikan beliau menangis terus-menerus. Air mata beliau tidak sekadar membasahi pipi, tetapi juga sampai membasahi jenggotnya dan tempat sujudnya. Hal itu memberi arti bahwa beliau menangis saat berdiri membaca al-Quran hingga air mata membasahi jenggot, juga waktu ruku' dan sujud hingga air mata berjatuhan ke lantai, dan d. Tangisan Rasulullah sudah dapat dipastikan bahwa shalat beliau berlangsung dengan khusyuk. Sahabat Rasulullah adalah ahli al-Quran. Mereka menerima al-Quran langsung dari Rasulullah. Mereka pula yang senantiasa memelihara al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, baik tatkala berinteraksi dengan Allah maupun dengan makhluk-Nya. Al52
Quran adalah petunjuk bagi setiap manusia, dan sahabat adalah generasi pertama yang bertugas mengaplikasikannya dalam kehidupan, maka merekalah ahli al-Quran yang pertama merasakan ketinggian mukjizat al-Quran dan mereka pula yang menjadi sasaran pertama yang diseru al-Quran. Oleh karena itu, mereka merasa bahwa setiap ayat yang mereka baca ditujukan kepada mereka sendiri. Dengan cahaya al-Quran, mereka dapat melihat perjalanan hidup demikian terang. Dengan cahaya Ilahi, mereka dapat membaca diri dengan detail, dan dengan bimbingan rabbani, mereka dapat membaca kehidupan masyarakat luas. Ternyata, kewajiban yang harus segera dilaksanakan masih banyak yang belum dikerjakan dan kemunkaran yang harus diberantas masih merajalela. Hal ini membuat para ahli al-Quran tidak bisa memejamkan mata. Mereka terus bekerja siang malam. Namun demikian, mereka tetap tidak pernah memandang diri mereka sebagai orang yang mulia. Dengan bimbingan al-Quran, rasa hina di hadapan yang Mahamulia semakin nampak. Begitulah yang tecermin pada diri Abu Bakar. Abu Bakar adalah sahabat terdekat Rasulullah. Dia mendapat julukan ash shiddiq karena selalu menyatakan benar terhadap semua yang dinyatakan Rasul. Dia ahli ibadah dan jauh dari maksiat. Dia seorang pemberani setiap kali menghadapi tirani, namun saat mengadap Yang Mahaperkasa, ia sangat lemah dan mudah meneteskan air mata, apalagi jika sedang mendengar firman-Nya. Pembawaan ini bukan hanya dimiliki Abu Bakar, melainkan juga para sahabat lainnya. Mereka semua mujahidin yang sering disebut ruhbân al lail fursan an nahâr (pahlawan pada siang hari dan ahli ibadah pada malam hari) yang gagah berani berhadapan dengan musyrikin, namun keberanian mereka tidak pernah menghalangi tetesan air mata saat menghadap Allah. Mereka berjihad di medan perang bersama mujahidin lainnya dan mereka menangis bersama orang lain yang sama-sama tunduk dan khusyuk di hadapan Yang Mahatinggi. Rasulullah bersabda: Abu Hurairah berkata: " Tatkala turun ayat أفًٍ ْزا انحذيث (afamin hâdza al-hadîtsi....)" menangislah (para sahabat) ahli Shufah sehingga air mata mereka membasahi pipi. Tatkala mendengar tangisan mereka, Rasulullah pun menangis bersama mereka. Kami pun larut dalam tangisan karena (terdorong oleh) 53
tangisannya. Beliau bersabda, "Tidak akan masuk neraka orang yang takut kepada Allah dan tidak akan masuk surga orang yang terus-menerus berbuat maksiat. Sekiranya kamu tidak berdosa, Allah akan mendatangkan satu kaum yang berdosa, maka Dia akan mengampuni mereka." Dari teks hadits tersebut di atas menjelaskan beberapa hal kepada kita, di antaranya adalah: a. Para sahabat menangis karena tersentuh oleh kandungan ayat al-Quran, b. Mereka meneteskan air mata sehingga membasahi pipi mereka, c. Tangisan mereka bukan hanya meneteskan air mata, melainkan juga sampai bersuara, d. Rasulullah menangis setelah mendengar suara tangisan sahabat, e. Abu Hurairah menangis karena tangisan Rasulullah, (f) Orang yang menangis karena takut kepada Allah tidak akan masuk neraka, dan f. Orang yang maksiat tidak akan masuk surga. Kehidupan para sahabat merupakan cerminan orang-orang yang selalu mentaati ajaran Rasulullah dan meneladani kehidupannya. Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa Abdullah bin Amar berkata, Rasulullah bersabda: "Kalaulah kamu mengetahui apa yang aku ketahui, pasti kamu akan sering menangis dan jarang tertawa, dan jika kamu sudah mengetahui apa yang kuketahui, pasti di antara kamu ada yang sujud hingga patah tulang rusuknya dan berteriak (menangis) hingga habis suaranya. Menangislah kamu (dengan menghadap) kepada Allah. Apabila kamu tidak mampu menangis, usahakan sampai menangis." Hadits di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menangis adalah kebalikan dari tertawa, yaitu bukan sekadar bersedih dalam hati, melainkan juga disertai dengan meneteskan air mata, bahkan sampai bersuara. Kebiasaan tersebut bukan hanya terjadi pada umat Nabi Muhammad, melainkan juga biasa terjadi sejak umat-umat terdahulu, bahkan sejak Nabi Adam para pengikutnya yang beriman.
54
ِ ت ْ َِّوَما َكا َن قَ ْوَُلُْم إِال أَ ْن قَالُوا َربَّنَا ا ْغف ْر لَنَا ذُنُوبَنَا َوإِ ْسَرافَنَا ِح أ َْم ِرََن َوثَب ِ ِ ين ُ ْأَقْ َد َامنَا َوان َ ص ْرََن َعلَى الْ َق ْوم الْ َكاف ِر
Tidak ada doa mereka selain ucapan: "Ya Tuhan Kami, ampunilah dosa-dosa Kami dan tindakan-tindakan Kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian Kami, dan tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir".(Q.S. Ali 'Imran [3]: 147). Adapun yang dimaksud “yang berlebih-lebihan” dalam ayat di atas adalah tindakan-tindakan melampaui batas-batas hukum yang telah ditetapkan Allah.
Mengapa manunusia menangis, apa lasannya? Semua manusia diciptakan dalam keadaan lemah, maka tidak ada alasan bagi orang yang tidak menangis di hadapan Allah selain karena kesombongan. Kelemahan manusia itu dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain: a) lemah dalam melaksanakan tugas sehingga masih banyak perintah Allah yang belum dilaksanakan, b) lemah dalam menjaga diri sehingga masih banyak laranganNya yang masih dilanggar, c) lemah dalam membaca diri, sehingga walaupun banyak kekurangan, mereka sering tidak menyadari akan kekurangannya, d) lemah dalam menegakkan kebenaran sehingga kerusakan moral terjadi di mana-mana, e) lemah dalam memahami prioritas sehingga sering mengerjakan yang kurang berguna dan kurang perhatian kepada tugas utama yang mesti dikerjakan, f) lemah dalam membaca kelemahan dirinya sehingga kurang merasa perlu akan pertolongan, dan g) lemah dalam membaca kekuatan sehingga sering berharap kepada yang tidak memiliki kemampuan dan lalai kepada Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa. Kelemahan-kelemahan di atas harus disadari oleh semua hamba yang beriman kepada al-Quran (kitab-kitab Allah). Dengan kesadaran ini, mereka akan terus merasa sebagai orang yang banyak berdosa. Pengakuan tersebut bukanlah ajaran yang asing, 55
atau dari luar Islam, melainkan merupakan ajaran umat bertauhid sejak zaman Nabi Adam hingga umat Nabi Muhammad.
ِ َّ ُيث كِتاَب متش ِاهبا مث ِان تَ ْقشعُِّر ِمْنو جل ِ ْ اّلل نََّزَل أَحسن ين َ َ َ َ ً َ َُ ً َ ِ اْلَد ُ ُ ُ َُّ َ ود الذ ََ ْ ِ َِّ اّللِ َذلِك ى َدى ِ اّلل ُ ُي ُجل ُ ََيْ َش ْو َن َربَّ ُه ْم ُثَّ تَل ُ َ َّ ود ُى ْم َوقُلُوبُ ُه ْم إِ َل ذ ْك ِر ِ اّللُ فَ َما لَوُ ِم ْن َى ٍاد َّ ضلِ ِل ْ ُيَ ْهدي بِِو َم ْن يَ َشاءُ َوَم ْن ي
Dan apabila dibacakan (al-Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: "Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; al-Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan Kami, tulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya." (Q.S. al-Zumar [39] :23). D. Meningkat Iman Jika Dibacakan Al-Quran Orang yang bertadabur al-Quran diindikasikan meningkat imannya jika dibacakan al-Quran. Allah dalam (Q.S. al-Anfal [8]: 2) berfirman:
ِ ِ َّ إََِّّنَا الْمؤِمنو َن الَّ ِذين إِ َذا ذُكِر ُ ُْ ْ َت قُلُوبُ ُه ْم َوإِ َذا تُلي ْ َاّللُ َوجل ُآَيتُو َ ت َعلَْي ِه ْم َ َ اَن َو َعلَى َرِّهبِ ْم يَتَ َوَّكلُو َن ً ََز َادتْ ُه ْم إِمي
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. Secara umum, ayat di atas menggambarkan tiga tanda orang yang beriman, yaitu mereka yang (a) gemetar hatinya bila disebut nama Allah, (b) bertambah atau meningkat imannya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, dan (c) bertawakkal hanya kepada kepada Allah. Sekaitan dengan konteks tadabur, kita fokuskan perhatian kita pada penggalan ayat "dan apabila dibaca-kan ayat-ayat Allah maka bertambahlah iman mereka". Penggalan ayat ini dapat dipahami bahwa orang yang sungguh-sungguh membaca ayat-ayat Allah (al-Quran), yang antara lain dengan cara men-tadabur56
kannya akan berdampak pada meningkatnya keimanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa indikator orang yang mentadaburi al-Quran akan bertambah imannya. Merujuk pada penjelasan ayat-ayat al-Quran serta hadits di atas, paling tidak terdapat tujuh indikasi dan karakteristik orang yang bertadabur al-Quran, yaitu (a) enyatunya hati dan pikiran saat membaca, (b) menangis karena takut kepada Allah, (c) meningkatnya kekhusyukan, (d) bertambahnya keimanan, (e) bahagia dan semangat, (f) jiwa merinding karena takut kepada Allah yang diganti dengan harapan dan ketenangan jiwa, dan (g) sujud sebagai ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Barang siapa yang memiliki salah satu dari sifat-sifat di atas atau lebih, maka ia bisa meraih kondisi tadabur. Sebaliknya, barang siapa yang tidak mendapatkan satu pun dari tanda dan ciri di atas, maka ia akan jauh dari tadabur al-Quran dan belum sampai menyentuh kandungan dan isi al-Quran, ia baru sampai pada taraf membaca tingkat rendah. Sekaitan dengan hal ini AlLahim (2008:29) berkata, "Barang siapa berilmu tapi tidak membuatnya menangis, maka hati-hatilah dengan ilmunya". Allah pun menjuluki ulama dengan karakter berikut ini:
ِ َّ ِ ِ ِِ ِ ين أُوتُوا الْعِْل َم ِم ْن قَ ْبلِ ِو إِ َذا يُْت لَى َعلَْي ِه ْم َ قُ ْل آمنُوا بو أ َْو ال تُ ْؤمنُوا إ َّن الذ ِ َََِيُّرو َن لِأل ْذق ان ُس َّج ًدا َويَ ُقولُو َن ُسْب َحا َن َربِّنَا إِ ْن َكا َن َو ْع ُد َربِّنَا لَ َم ْفعُوال ِ َوََِيُّرو َن لِأل ْذق وعا ُ ان يَْب ُكو َن َويَِز ً يد ُى ْم ُخ ُش َ
Katakanlah, 'Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Mahasuci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (Q.S. al-Isra [17]: 107-109) Satu hal yang kerap kali membuat kaum muslimin kebanyakan sulit mentadaburi al-Quran, mentafakuri maknanya, dan menyelami kandungannya yang begitu agung, adalah pandangan dan keyakinan mereka tentang sulitnya memahami al-Quran. Pandangan inilah
57
yang tidak lain termasuk dalam pemahaman yang kurang tepat tentang makna tadabur al-Quran. Keyakinan inilah yang tak jarang memalingkan kaum Muslimin dari tujuan al-Quran diturunkan, yaitu pertama, al-Quran sebagai kitab pendidikan dan pengajaran; kedua, al-Quran adalah kitab hidayah dan penerangan bagi seluruh manusia; ketiga, al-Quran sebagai petunjuk, rahmat, dan pemberi kabar gembira bagi kaum Muminin; keempat, alQuran ada-lah kitab yang telah Allah mudahkan untuk memahami dan mentadaburinya. Hal ini difirmankan Allah (Q.S. a1Qamar [54]:17) sebagai berikut.
ِّ ِولََق ْد ي َّسرَن الْ ُقرآ َن ل لذ ْك ِر فَ َه ْل ِم ْن ُم َّدكِ ٍر ْ َْ َ َ
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?
58
BAB IV URGENSI TADABUR AL-QURAN
S
eperti halnya telah dijelaskan di atas tentang pe-maknaan tadabur dan indikator bertadabur. Pada bab ini akan dibentangkan alasan-alasan perlunya mentadaburkan alQuran. Gambaran um-um mengenai bab ini divisualkan dengan bagan berikut. Bagan 4.1 URGENSI TADABUR AL-QURAN
URGENSI TADABUR AL-QURAN
S. Shaad [38]: 29)
Mengikuti Perintah Allah
S. Shad [38]: 29
Membawa Keberkahan
Dapat petunjuk (S. al-Isra [17]: 9)
Al-Hadid [57]: 16)
Memenuhi Kebutuhan Hati
Melihat bukti kebenaran Allah (S. al-An'am : 104).
Al-Anfal [8]: 2-4).
Mendapatkan Pujian Allah
Diberi pelajaran yang banyak (Al-„Ankabut : 51)
S.Luqman [31]: 7).
Celaan Bagi Yang Tidak Bertadabur
Keungtungan dunia akhirat (S. Fathir: 29-30)
H.R Ibnu Majah)
Memperbaiki Kehidupan Muslim
Pengaruh positif bagi diri & lingkungannya (Al-Hadits)
S. Ali Imran [3]:112)
Mengefektifkan Komunikasi Ilahiyah
Kenikmatan besar (Kom. Quranik) Suaidi (2007: 15)
S. Fushilat [41]:53)
Agar Iman Bertambah Mantap
59
Allah memerintahkan kita mentadaburi al-Quran tidaklah sunyi dari berbagai manfaat. Karena sesungguhnya mentadaburi al-Quran mengandung banyak manfaatnya. Dengan mengetahui manfaat tadabur al-Quran diharapkan dapat menjadi dorongan bagi kita untuk melakukannyanya sehingga kita dapat meraih manfaat-manfaat tadabur al-Quran itu. Dari kajian literatur banyak penjelasan mengenai hal ini, namun yang paling urgen (penting) kita fokuskan pada perkaraperkara berikut. A. Mengikuti Perintah Allah Allah menjelaskan kepada kita bahwa Dia telah menurunkan al-Quran di samping untuk dibaca dan dipahami, yang lebih penting lagi adalah untuk ditadaburi. Berhubungan dengan hal ini Allah berfirman:
ِ ِ ك مبارٌك لِيدَّبَّروا آَيتِِو ولِي تَ َذ َّكر أُولُو األلْب ِ اب ٌ َكت َ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ اب أَنْ َزلْنَاهُ إلَْي
Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (mentadaburkan) ayatayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (Q.S. Shâd [38]: 29). Bila kita perhatikan ayat di atas menunjukkan adanya perintah Allah bagi kita untuk mentadaburi al-Quran, yaitu: “supaya mereka memperhatikan (mentadaburkan)”. Sebagaimana kita ketahui bahwa adagium (kaidah) ushul mengatakan “al-ashlu fi alamri li al-wujûb” (asal dari suatu perintah menunjukkan kewajiban). Oleh karena itu, tadabur al-Quran itu diperintahkan oleh Allah, maka mentadaburi al-Quran merupakan suatu perintah yang wajib kita laksanakan. Berkitan dengan pentingnya mentadaburkan al-Quran ini, Al-Qordhowi (2007:127) menukilkan atsar dari Ibnu 'Abdil Bâr yang meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali berkata: "Ingatlah, tidak ada kebaikan bagi ibadah yang tidak disertai dengan fiqih, tidak ada kebaikan bagi ilmu yang tidak disertai dengan pemahaman, dan tidak ada kebaikan bagi bacaan al-Quran yang tidak disertai tadabur". Senada dengan keterangan di atas, hadits yang diterima dari Ibnu Umar, ia berkata: telah bersabda Rasulullah: 60
"Tidak ada (kesempurnaan) kebaikan dalam bacaan alQuran kecuali dengan tadabur, dan tidak ada ibadah (yang sempurna) kecuali dengan fiqih, dan majelis fiqih lebih baik dari ibadah enam puluh tahun". Terkait dengan konteks pembahasan ini, kedua keterangan di atas menandaskan kepada kita bahwa untuk mencapai kesempurnaan membaca al-Quran itu sebaiknya disertai dengan metadaburkannya. Hal ini, bukan pula berarti membaca al-Quran yang tidak disertai dengan tadabur tidak ada nilai kebaikannya, tetapi kebaikannya kurang maksimal. B. Membawa Keberkahan Keberkahan atau berkah adalah karunia Tuhan (Allah) yang membawa kebaikan dalam hidup manusia (Moeliono dkk., 1990: 108). Allah telah mensifati al-Quran dengan berbagai sifat mulia, antara lain al-mubarak (diberkahi) atau mengandung keberkahan, di samping sifat-sifat mulia lainnya. Terkait dengan sifat ini, Allah berfirman:
ِ ِ ك مبارٌك لِيدَّبَّروا آَيتِِو ولِي تَ َذ َّكر أُولُو األلْب ِ اب ٌ َكت َ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ اب أَنْ َزلْنَاهُ إلَْي
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadaburkan (memperhatikan) ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran."(Q.S. Shad [38]: 29). Mencermati ayat ini, ternyata Allah menggandengkan sifat al-Quran yang mengandung berkah ini dengan anjuran tadabur serta mengambil pelajaran. Hal ini berarti bahwa salahsatu urgensi tadabur al-Quran adalah karena al-Quran banyak mengandung berkah. Adapun kandungan keberkahan al-Quran bagi yang dari mentadaburinya antara lain sebagai berikut: 1. Al-Quran sebagai cahaya penerang agar manusia dapat mengikuti jalan lurus untuk mencapai ridla Allah. Sekaitan dengan hal ini Allah berfirman pada S. al-Maidah [5]: 15-16 berikut:
ِ ِ ِ ُاّلل ن ض َوانَوُ ُسبُ َل َّ ي يَ ْه ِدي بِِو ْ اّللُ َم ِن اتَّبَ َع ِر ٌ ِاب ُمب ٌ َور َوكت ٌ َّ قَ ْد َجاءَ ُك ْم م َن ِ الم وَُيْ ِرجهم ِمن الظُّلُم ٍ ات إِ َل النُّوِر ِبِِ ْذنِِو وي ه ِدي ِهم إِ َل ِصر ِ َّ اط ْ ََْ َ َ ْ ُ ُ َ الس َ ُم ْستَ ِقي ٍم 61
"Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orangorang yang mengikuti keridhaanNya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizingNya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” Senada dengan makna di atas adalah bentuk berkah al-Quran sebagai hidayah (petunjuk) sebagaimana dinyatakan dalam alQuran S. al-Isra [17]: 9 bahwa:
ِ َّ ِالْمؤِمن ين يَ ْع َملُو َن َ ُْ َ ي الذ
إِ َّن َى َذا الْ ُق ْرآ َن يَ ْه ِدي لِلَِّت ِى َي أَقْ َوُم َويُبَ ِّش ُر ِ َّ ِ اْل َّ ات أ َجًرا َكبِ ًيا ْ َن َُلُْم أ َ الص
Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. 2. Allah menjamin akan memberi manfaat bagi orang yang mentadaburi Al-Quran sehingga ia melihat bukti-bukti kebenaran Allah („ainul yaqin), tetapi sebaliknya akan memberi madharat bagi yang tidak yakin atas kebenaran Allah. Ia berfirman:
ِ ِ قَ ْد جاء ُكم ب صَر فَلِنَ ْف ِس ِو َوَم ْن َع ِم َي فَ َعلَْي َها َوَما َ ْصائ ُر م ْن َربِّ ُك ْم فَ َم ْن أَب ََْ ََ ٍ أ َََن علَي ُكم ِِب ِف يظ َ ْ َْ
Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; Maka Barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan Barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu). (Q.S. al-An'am [6]: 104). 3. Allah akan memberikan rahmat dan pelajaran yang berharga bagi orang yang mentadaburi al-Quran. Sebagaimana firman Allah berikut ini:
ِ ِ ِ َ ْف ِهم أ َََّن أَنْزلْنَا علَي ًك لََر ْْحَة َ اب يُْت لَى َعلَْي ِه ْم إِ َّن ِح َذل َْ َ َ َك الْكت ْ أ ََوََلْ يَك َوِذ ْكَرى لَِق ْوٍم يُ ْؤِمنُو َن 62
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. al-„Ankabut [29]: 51). 4. Allah akan memberi keuntungan baik di dunia maupun di akhirat bagi orang yang mentadaburi al-Quran. Sebagaimana dijelaskan oleh As-Suaidi (2008: 13) sebagai berikut. Barang siapa membaca al-Quran dan bermaksud berdagang (mencari untung) dari Allah, maka sesungguhnya dia akan diberikan-Nya laba yang tidak ada lagi laba yang lebih besar setelahnya, dan memperkenalkannya dengan berkah bisnis tersebut di dunia dan akhirat. Terkait dengan hal ini Allah berfirman:
ِ ِ َّ ِ ِ َّ اب َّ اّللِ َوأَقَ ُاموا ًاى ْم ِسِّرا َو َعالنِيَة ُ َالصال َة َوأَنْ َف ُقوا ِمَّا َرَزقْ ن َ َين يَْت لُو َن كت َ إ َّن الذ ِ ِ ي رجو َن َِتارًة لَن تَب ِ ِ ِ ْ َيد ُىم ِمن ف ور ٌ ور َش ُك ٌ ضلو إنَّوُ َغ ُف ْ ْ َ ورُى ْم َويَِز ُ ور ليُ َوفّيَ ُه ْم أ َ ُج َ ُ ْ َ َ ُ َْ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terangterangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha mensyukuri." (Q.S. Fâthir [35]: 29-30) 5. Allah akan memberi manfaat atau pengaruh dari mentadaburi al-Quran baik bagi dirinya maupun bagi yang orang lain di sekitarnya. Hal ini sejalan dengan gambaran dari Rasulullah telah menjelaskan efek keberkahan al-Quran yang kuat pengaruhnya, serta keistimewaannya dari mukjizat-mukjizat para nabi yang lain. Seperti halnya Rasulullah menggambarkan berkah al-Quran pada mukmin yang membaca al-Quran lalu mempraktikkannya, beliau bersabda: Seorang mukmin yang membaca al-Quran dan mengamalkannya (perumpamaannya) seperti buah utrujjah; rasanya enak dan baunya harum, sedangkan Mukmin yang tidak membaca alQuran dan mengamalkannya (perumpamaannya) seperti buah 63
kurma: rasanya enak, tapi tidak ada baunya. (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud). 6. Allah akan mengkaruniakan kenikmatan yang besar. Sebagaimana halnya dilukiskan oleh As-Suaidi (2008: 15-16) terhadap orang yang mentadaburi al-Quran bahwa hendaknya ia meyakini bahwa itu adalah limpahan nikmat yang Allah berikan kepadanya karena Dia telah menjadikannya berhak menjaga Kitab-Nya dan hendaknya ia menganggap seluruh keglamoran dunia di sisi apa yang Allah mandatkan kepadanya, serta berusaha kuat dalam mensyukurinya. Demikianlah beberapa bentuk keberkahan dari tadabur alQuran yang dapat terungkap, dan kita yakini masih banyak bentuk keberkahan yang belum terungkap di sini. C. Memenuhi Kebutuhan Hati Jasmani manusia membutuhkan udara (bernapas), minuman dan makanan untuk kelangsungan hidupnya, demikian pula rohani pasti membutuhkan santapan. Sesungguhnya di dalam hati ini terdapat sebuah kebutuhan yang tidak akan dapat memenuhinya kecuali dengan berdzikir kepada Allah serta menikmati Kalam-Nya yang mulia, sebagaimana juga terdapat rasa keterasingan yang tidak akan dapat menghilangkannya kecuali bergaul ramah dengan Kitab-Nya. Pada hati manusia terdapat rasa resah dan takut yang tidak dapat menenteramkannya. Tadabur al-Quran bagi seorang mukmin merupakan salah satu bentuk santapan rohani bagi hatinya. Dengan tadabur al-Quran, Allah menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya akan mencukupkan kebutuhan santapan rohani (hati) serta akan menyelamatkan penyakit-penyakit rohani sebagaimana disebutkan di atas sebagaimana firmannya:
الص ُدوِر ُّ َّاس قَ ْد َجاءَتْ ُك ْم َم ْو ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ُك ْم َو ِش َفاءٌ لِ َما ِح ُ ََي أَيُّ َها الن ِ َِّ ض ِل ِِ ِ ك فَ ْليَ ْفَر ُحوا ُى َو َخْي ٌر ْ ي قُ ْل بَِف َ اّلل َوبَِر ْْحَتِ ِو فَبِ َذل َ َوُى ًدى َوَر ْْحَةٌ ل ْل ُم ْؤمن ِِمَّا ََْي َمعُو َن
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang 64
yang beriman. Katakanlah, 'Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Q.S. Yunus [10]: 57-58). Seorang hamba Allah yang beriman, bagaimana pun tingkat ilmu dan juga kedudukan takwa yang dicapainya, dia pasti membuluhkan al-Quran sebagai pengokoh, petunjuk jalan, penyejuk, dan penolongnya. Jadi, bagaimanapun kita amat membutuhkan untuk mentadaburi al-Quran untuk kesehatan hati kita. Bila kita tidak pernah mengurusi hati dengan tadabur alQuran, hati akan semakin keras, kotor, sakit dan binal. Terkait dengan hal ini, bahwasanya Allah memperingatkan kita dengan ayat berikut:
اْلَ ِّق َوال ْ َوَما نََزَل ِم َن ت ْ األم ُد فَ َق َس َ َعلَْي ِه ُم
ِ َِّ ِ ِاّلل َّ ين َآمنُوا أَ ْن َِتْ َش َع قُلُوبُ ُه ْم لِ ِذ ْك ِر َ أَََلْ ََيْن للذ ِ َّ ِ ال َ َاب ِم ْن قَ ْب ُل فَط َ َين أُوتُوا الْكت َ يَ ُكونُوا َكالذ ِ َقُلُوب هم وَكثِي ِمْن هم ف اس ُقو َن ْ ُ ٌ َ ْ ُُ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Hadid [57]: 16). Adalah sahabat Ibnu Mas'ud yang menceritakan tentang kondisi hati yang akan mengambil man-faat dengan al-Quran, dia berkata "Sesungguhnya ada sekelompok manusia, mereka membaca al-Quran, namun tidak melampaui tenggorokannya, akan tetapi apabila al-Quran sampai pada hati, lalu meresap niscaya ia akan bermanfaat." Hal itu sesuai dengan firman Allah berikut:
ِ َّ ِ ين ُ ورةٌ فَ ِمْن ُه ْم َم ْن يَ ُق ً َول أَيُّ ُك ْم َز َادتْوُ َىذ ِه إِمي ْ ََوإِذَا َما أُنْ ِزل َ ت ُس َ اَن فَأ ََّما الذ اَن َوُى ْم يَ ْستَ ْب ِش ُرو َن ً ََآمنُوا فَ َز َادتْ ُه ْم إِمي
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?' 65
Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira. (Q.S. al-Taubah [9]: 124). Meresapnya al-Quran pada hati yang dengannya akan diperoleh manfaat bukanlah membaca al-Quran sekedar lantunan dingin dengan lisan tanpa pemahaman dan penghayatan, sebab hal itu tidak akan menggetarkan hati serta tidak merubah prilaku. As-Suaidi (2008: 19) mendeskripsikan bahwa seorang mukmin yang berakal ketika membaca al-Quran ia akan menjadikan alQuran di hadapainya, sehingga ia menjadikannya sebagai cermin yang ia gunakan untuk melihat baik dan buruknya perbuatannya; apa yang diperingatkan oleh Allah kepadanya maka ia berhati-hati terhadapnya, siksaan-siksaan yang dian-camkan oleh Allah kepadanya maka ia pun takut padanya, dan apa yang Allah anjurkan kepadanya maka dia menyukai dan mengharapkannya. Demikianlah gambaran karakter orang yang mentadaburi alQuran sehingga terlihat dampaknya pada pengambilan manfaat bagi dirinya, keluarganya dan juga lingkungannya. Semua kebaikan dunia dan akhirat akan ia peroleh karenaya. Firman Allah berikut ini menggambarkan hati orang-orang yang khusyuk dan berhasil dalam mentadaburi al-Quran.
ِ َّ ُجل ين ُ ُ َ ود الذ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ اّلل نََّزَل أَحسن ُاْلَديث كتَ ًاَب ُمتَ َشاهبًا َمثَ ِانَ تَ ْق َشعُّر مْنو َُّ ََ ْ َِّ ََيْشو َن ربَّهم ُثَّ تَلِي جلُودىم وقُلُوب هم إِ َل ِذ ْك ِر اّلل ْ ُُ َ ْ ُ ُ ُ ُ ْ ُ َ َْ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) alQuran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, karenanya gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (Q.S. al-Zumar [39]: 23). Kalimat “menjadi tenang kulit dan hati mereka” pada ayat di atas, terkandung makna hatinya menjadi lunak, tenang, dan tentram. Oleh karena itu, maka tidak ada sesuatu pun yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca al-Quran yang disertai tadabur. Hal tersebut akan menghasilkan sifat-sifat kecintaan, kerinduan, rasa takut, harap, perasaan ingin kembali kepada Allah (inabah), tawakal, ridha, menyerahkan segala sesuatu kepada Allah, syukur, sabar, dan sifat-sifat lainnya yang menjadi sumber kehidupan dan kesempurnaan hati. Demikian juga sebaliknya, ia
66
akan mencegah dari semua sifat-sifat dan perangai tercela yang menjadi sumber kerusakan dan matinya hati. Seandainya manusia tahu apa yang terdapat dalam mentadaburi al-Quran, niscaya ia akan menyibukkan diri dengannya. Bila ia membaca al-Quran akan berupaya dengan penuh tafakur, manakala ia melewati sebuah ayat yang ia butuhkan dalam mengobati hatinya, ia akan mengulang-ulanginya, Membaca satu ayat disertai tadabur lebih baik dari pada membaca seluruh ayat tapi tidak disertai tadabur, hal itu lebih bermanfaat bagi hati, lebih cepat untuk meraih iman serta untuk merasakan manisnya iman. Dengan demikian, maka membaca al-Quran yang di-sertai tadabur merupakan asas lurusnya hati. Sekaitan dengan kebutuhan hati kepada al-Quran digambarkan dalam do‟a Rasulullah yang indah dan agung, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah bersabda: Ya Allah! Aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, ubunubunku ada di tangan-Mu, hukum-Mu berjalan atasku, ketetapanMu adil terhadapku. Aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang menjadi milik-Mu, baik yang Engkau namakan diriMu dengannya, atau Engkau memberitahukannya kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkan di dalam kitabMu, atau yang Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Quran sebagai hiasan hati-ku, cahaya dadaku, pelipur kesedihanku, dan penghilang kesusahanku; kecuali Allah akan menghilangkan kesusah-an dan kesedihannya, serta memberinya ganti berupa senang pada posisinya. (H.R. Ahmad dan Thabrani). D. Mendapatkan Pujian Allah Hati siapa yang tidak senang tatkala mendapatkan pujian dari pihak lain, apalagi kalau yang memujinya itu Allah Dzat Yang Maha Terpuji serta Pemilik seluruh pujian (Wa lillâhi alhamdu). Dalam al-Quran banyak sekali ayat yang menunjukkan pujian bagi orang yang terpengaruh dengan al-Quran sebagai dampak dari tadabur al-Quran. Di antaranya Firman Allah sebagai beriut: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah
67
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenarbenarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb-nya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia." (Q.S. al-Anfâl [8]: 2-4). Pada penghujung rangkaian tiga ayat al-Quran di atas menunjukkan anugerah besar bagi orang yang beriman secara sungguh-sungguh (haqqa), yaitu mem-peroleh derajat yang tinggi di sisi Allah, mendapat ampunan Allah, dan mendapatkan nikmat yang mulia. Mereka menjadi orang yang beriman dengan sebenarbenarnya iman tidaklah diperoleh secara “gratis” (tanpa usaha dan perjuangan). Mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizkinya, dan yang tak kalah pentingnya adalah selalu menyebut dan mengingat Allah melalui tadabur sehingga keimanan mereka semakin bertambah mantap. Ayat-ayat al-Quran lainnya yang menunjukkan keterpujian orang-orang yang mentadaburi al-Quran dapat kita temui pada S. al-Isra [17]: 107-109, S. al-Zumar [39]: 24, S. Maryam [19]: 58, dan S. al-Furqan [25]: 73 sebagai berikut.
ِ َّ ِ ِ ِِ ِ ين أُوتُوا الْعِْل َم ِم ْن قَ ْبلِ ِو إِ َذا يُْت لَى َعلَْي ِه ْم َ قُ ْل آمنُوا بو أ َْو ال تُ ْؤمنُوا إ َّن الذ ِ َََِيُّرو َن لِأل ْذق ان ُس َّج ًدا َويَ ُقولُو َن ُسْب َحا َن َربِّنَا إِ ْن َكا َن َو ْع ُد َربِّنَا لَ َم ْفعُوال ِ َوََِيُّرو َن لِأل ْذق وعا ُ ان يَْب ُكو َن َويَِز ً يد ُى ْم ُخ ُش َ
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha suci Tuhan Kami, sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِاب ي وم الْ ِقيام ِة وق ِ ي ذُوقُوا َما َ يل للظَّالم َ َ َ َ َ ْ َ أَفَ َم ْن يَتَّقي ب َو ْجهو ُسوءَ الْ َع َذ ِ ُكْن تُم تَك ْسبُو َن ْ 68
Maka apakah orang-orang yang menoleh dengan mukanya menghindari azab yang buruk pada hari kiamat (sama dengan orang mukmin yang tidak kena azab)? dan dikatakan kepada orang-orang yang zalim: "Rasakanlah olehmu Balasan apa yang telah kamu kerjakan".
ِ َّ ِأُولَئ ِ ِ ِاّلل علَي ِهم ِمن النَّبِي آد َم َوِِم َّْن َْحَْلنَا َم َع َ َ ي م ْن ذُِّريَّة َ ّ َ ْ ْ َ َُّ ين أَنْ َع َم َ ك الذ ِ ِوح وِمن ذُ ِريَِّة إِب ر ِاىيم وإِسرائ اجتَ بَ ْي نَا إِ َذا تُْت لَى َعلَْي ِه ْم ْ يل َوِم َّْن َى َديْنَا َو َ َ ْ َ َ َ ْ ّ ْ َ ٍ ُن الر ْْحَ ِن َخُّروا ُس َّج ًدا َوبُ ِكيِّا َّ ت ُ آَي َ
Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu Para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orangorang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.
ِ َّ ِ ِ ِ ِ اَن ً َص ِّما َوعُ ْمي ُ ين إِ َذا ذُ ّك ُروا ِِب ََيت َرِّهب ْم ََلْ ََيُّروا َعلَْي َها َ َوالذ
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayatayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta. Pada ayat-ayat tersebut di atas, mereka menangis dan bersujud dan tersungkur secara khusyuk lantaran sentuhan untaian nasihat al-Quran pada hati mereka. Semakin lama mentadaburi alQuran menjadikan mereka semakin bertambah khusyuk serta semakin lembut hatinya. Orang yang hatinya lembut amat dicintai Allah, dan Allah memperhatikan apa yang terjadi pada hati kita. Renungkanlah ayat al-Quran S. al-Fath [48]: 18 berikut ini:
ِِ َّجَرِة فَ َعلِ َم َما ِف َّ لََق ْد َر ِض َي َ َي إِ ْذ يُبَايِعُون َ اّللُ َع ِن الْ ُم ْؤمن َ ك َُْت َ ت الش الس ِكينَةَ َعلَْي ِه ْم َوأَ ََثبَ ُه ْم فَ ْت ًحا قَ ِريبًا َّ قُلُوِبِِ ْم فَأَنْ َزَل
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon[1399], Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
69
Pada beberapa tafsir dijelaskan bahwa ayat ini menjelaskan peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikutpengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau, merekapun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah. E. Celaan Bagi Yang Meninggalkan Tadabur Jika mentadaburi al-Quran merupakan perintah Allah dan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka meninggalkan atau tidak melakukannya merupakan suatu yang salah atau celaan, sebab “amrun bi al-syai`i nahyun „an dhiddihi” (mememerintahkan pada sesuatu berarti meralang untuk sebaliknya. Adapun gambaran orang-orang yang meninggalkan tadabur al-Quran adalah semisal orang-orang yang asyik dengan perkataanperkataan batil yang tidak berfaidah, dan mengabaikan dari mentadaburi ayat-ayat-Nya, sehingga mencapai klimaksnya menjadi berpaling dari Allah. Allah menggambarkannya sebagai berikut:
ِ َّ َ َوإِ َذا تُْت لَى َعلَْي ِو َّ ِْبا َكأَ ْن ََلْ يَ ْس َم ْع َها َكأ َن ِح أُذُنَْي ِو َوقْ ًرا ً آَيتُنَا َول ُم ْستَك ٍ فَب ِّشره بِع َذ اب أَلِي ٍم َ ُْ َ
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri, seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; 70
maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. (Q.S. Luqman [31]: 7). Terkait dengan ayat di atas, sesungguhnya Allah hendak memotivasi untuk merenungkan nasihat-nasihat al-Quran, serta menjelaskan bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan tadabur. Bahkan andai saja al-Quran diarahkan kepada gunung serta diberikan akal, niscaya ia akan patuh kepada peringatanperingatannya walaupun begitu kokoh dan teguhnya, ia akan tunduk dan terpecah belah lantaran takut kepada Allah. Hal ini digambarkan pada Q.S. al-Hasyr [59]: 21. Sementara manusia yang mengaku beriman kepada kitab-kitab Allah masih juga tidak tertarik pada janjinya dan tidak takut dari ancamannya. Di dalam al-Quran, Allah telah mencela orang-orang yang meninggalkan tadabur al-Quran, tidak memahami ayat-ayatnya, dan tidak mentadaburi kalam-Nya dalam konteks yang berbedabeda, sebagaimana firman-firman-Nya sebagai berikut.
ك َو َج َعْلنَا َعلَى قُلُوهبِِ ْم أَكِنَّةً أَ ْن يَ ْف َق ُهوهُ َوِح آذَاِنِِ ْم َوقْ ًرا َ َوِمْن ُه ْم َم ْن يَ ْستَ ِم ُع إِلَْي ِ َّ ُ وك َُي ِادلُونَك ي ُق ِ ِ ٍ ِ ِ ين َك َفُروا َ َ َ َ َُوإ ْن يََرْوا ُك َّل آيَة ال يُ ْؤمنُوا هبَا َح َّّت إ َذا َجاء َ ول الذ ِ َّ اطي ِ إِ ْن ى َذا إِال أ ي َ األول َ َ ُ َس Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkani (bacaan)mu, Padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya, dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya, sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: "Al-Quran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu. (Q.S. al-An'am [6]: 25)
ِِ ِِ ِ ِ ين أُوتُوا الْعِْل َم َ َوِمْن ُه ْم َم ْن يَ ْستَ ِم ُع إِلَْي َ ك َح َّّت إ َذا َخَر ُجوا م ْن عْند َك قَالُوا للَّذ ِ َّ ِ َّ ِال آنًِفا أُولَئ ِِ ين َ ََماذَا ق َّ ين طَبَ َع َ َ اّللُ َعلَى قُلُوهب ْم َواتَّبَ ُعوا أ َْى َواءَ ُى ْم َوالذ َ ك الذ آَت ُى ْم تَ ْق َو ُاى ْم َ ْاىتَ َد ْوا َز َاد ُى ْم ُى ًدى َو
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang71
orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?" mereka Itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan oraang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan Balasan ketaqwaannya. (Q.S. Muhammad [47]: 16-17)
ٍ ُأَفَال ي تَ َدبَّرو َن الْ ُقرآ َن أ َْم َعلَى قُل )٢٤( وب أَقْ َفا ُُلَا ْ ُ َ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad [47]:24)
ِ َّ أَفَلَم يدَّبَّروا الْقو َل أَم جاءىم ما ََل َيْ ِت آَبءىم ي َ األول ُ َُ َ َ ْ َ ْ َُ َ ْ َْ ُ َ ْ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu? (Q.S. al-Mukminûn [23]: 68)
َّ ِ ِ ِّ ول َي ر ورا َ ََوق َّ ال ً ب إ َّن قَ ْومي اِتَ ُذوا َى َذا الْ ُق ْرآ َن َم ْه ُج َ َ ُ الر ُس Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan alQuran itu sesuatu yang tidak diacuhkan". (Q.S. al-Furqan [25]: 30)
َِّ أَفَال ي ت َدبَّرو َن الْ ُقرآ َن ولَو َكا َن ِمن ِعْن ِد َغ ِي ِِ اختِالفًا َكثِ ًيا ْ اّلل لََو َج ُدوا فيو ْ ْ َْ ْ ُ ََ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (Q.S. al-Nisa [4]: 82) Celaan-celaan tersebut di atas hendaklah direspons dengan kesediaan kita untuk mentadaburi al-Quran. Hal ini sekaligus juga akan memperbaiki kehidupan umat Islam secara keseluruhan sebagaimana akan dibahas pada bahasan berikut.
F. Memperbaiki Kehidupan Muslim Kenyataan ummat Islam saat ini banyak yang menjauhi alQuran akibat mengikuti kebiasaan-kebiasaan non-muslim, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Nabi bersabda:
72
"Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah um-mat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai seandainya mereka masuk kedalam lubang biawak, maka kalianpun akan mengikuti ju-ga.” (H.R. Ibnu Majah). Al-Quran mengungkapkan wujud-wujud penyakit umat terdahulu antara lain: 1) jahil (bodoh), 2) beriman secara parsial, 3) bangga kepada selain manhaj Allah, 4) tidak mengetahui kitab dan menyamakannya dengan cerita-cerita kuno, dan 5) meninggalkan al-Quran dan tidak dapat menerapkannya. Kelima penyakit umat terdahulu itu ternyata menjadi penyakit juga bagi umat Islam sekarang. Kelima penyakit ini divisualkan sebagai berikut:
Bagan 4.2 PENYAKIT UMAT PENYAKIT UMAT
Al-Baqarah [2]:78
Al-Baqarah [2]:84-86
Al-Baqarah [2]:170
Fushshilat [41]: 26-28
Al-Baqarah [2]: 41
Jahil/ ummi (Bodoh)
Beriman secara parsial
bangga kep. selain manhaj Allah
Tidak mengetahui Kitab
Meninggalkan al-Quran
1. Jahil (Bodoh) Dinyatakan dalam al-Quran bahwa umat terdahulu adalah sebagai umat yang jahil, artinya bodoh. Mengapa dikatakan bodoh? Karena mereka tidak dapat membaca dan memahami kitab mereka. Penyakit inilah yang pernah menimpa para ahli Kitab. Sekaitan dengan hal ini Allah berfirman:
ِ ِ ِ اب إِال أ ََم ِانَّ َوإِ ْن ُى ْم إِال يَظُنُّو َن َ ََومْن ُه ْم أ ُّميُّو َن ال يَ ْعلَ ُمو َن الْكت 73
Dan di antara mereka ada yang buta huruf (ummi), tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. (Q.S. al-Baqarah [2]:78). Dijelaskan oleh Ibnu Katsir (1977) bahwa kebodohan yang dimaksud pada ayat ini adalah bahwa kaum Yahudi kebanyakan tidak mengetahui tentang Kitab Taurat dan isinya. Ia berkata: "yaitu orang ahli Kitab yang sama sekali buta dan tidak memahami Kitab mereka dan mereka bicara tentang Kitab mereka hanya sangkaan dan kira-kira tanpa didasari hukumhukum Allah. Lalu mereka katakan bahwa pikiran-pikiran mereka itu dari al-Kitab." Sedangkan kata Ibnu Abbas (1992): "Mereka yang membaca tanpa mengetahui apa arti yang dibaca." Keadaan seperti itulah sehingga al-Quran mencap mereka ummi alias jahil (bodoh). Bagaimanakah dengan umat Islam sekarang? Kalaulah umat Islam belum dapat membaca al-Quran, atau belum dapat memahaminya, maka keadaan umat Islam sekarang pun dapat dikatakan jahil (bodoh). Oleh karena itulah maka tadabur al-Quran diharapkan dapat membangkitkan dari kebodohan umat Islam. 2. Beriman Secara Parsial Beriman secara parsial artinya beriman tidak utuh atau tidak kaffah. Maksudnya, umat terdahulu itu terhadap sebagian ayat Allah diyakininya sedangkan sebagian lainnya ditolak. Allah menjelaskan tentang hal ini sebagai berikut:
ِ ِ َض الْ ِكت ٍ اب َوتَ ْك ُف ُرو َن بِبَ ْع ِ أَفَتُ ْؤِمنُو َن بِبَ ْع ك َ ض فَ َما َجَزاءُ َم ْن يَ ْف َع ُل َذل ِ ْ ِمْن ُكم إِال ِخزي ِح ِ ِ ِ َش ِّد الْع َذ اب َوَما َ َ اْلَيَاة الدُّنْيَا َويَ ْوَم الْقيَ َامة يَُرُّدو َن إِ َل أ ٌْ ْ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ اْلَيَا َة الدُّنْيَا َبآلخَرة فَال ْ ين ا ْشتَ َرُوا َّ َ اّللُ بغَاف ٍل َع َّما تَ ْع َملُو َن أُولَئ َ ك الذ ص ُرو َن ُ َُيَف َ اب َوال ُى ْم يُْن ُ َّف َعْن ُه ُم الْ َع َذ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka 74
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. (Q.S alBaqarah [2]:85-86). Ayat di atas berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khajraj. sampai antara kedua suku Yahudi itu pun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. tapi jika Kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan. Sebagaimana orang Yahudi yang beriman pada sebagian isi al-Kitab tetapi menolak sebagian yang lain, demikian halnya di antara sifat-sifat orang Nasrani, Allah berfirman:
ِ َّ َكما أَنْزلْنا علَى الْم ْقت ِس ِم ِِ ي َ ين َج َعلُوا الْ ُق ْرآ َن عض َ َ ُ َ ََ َ َ ي الذ
Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang mem-bagi-bagi (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan al-Quran itu terbagi-bagi. (Q.S. al-Hijr [15]: 90-91).
Adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang membagibagi Kitab Allah ialah orang-orang yang menerima sebagian isi Kitab dan menolak sebahagian yang lain. Di antara sifat mereka yang membagi-bagi al-Quran, ada bagian yang mereka percayai dan ada pula bagian yang mereka ingkari. Ibnu Katsir (1977) berkata: "dalam ayat ini Allah menolak orang Yahudi Madinah yang saling membunuh di antara kelompok mereka jika terjadi peperangan". Menurut Ibnu Abbas (1992) r.a. "Mereka adalah orang Yahudi ahli Kitab yang hanya mau beriman pada sebagian saja isi al-Quran, tetapi menolak yang lain". Kedua ayat di atas memberikan gambaran kepada umat Islam tentang keadaan umat terdahulu (Yahudi dan Nasrani) yang meyakini kebenaran dan menerima sebagian al-Kitab dan menolak 75
sebagian yang lainnya. Kepada mereka diberikan ancaman oleh Allah dengan ancaman yang amat pedih. Umat Islam sekarang, masih ada yang hanya menerima kebenaran sebagian dari alQuran dan menolak sebagian yang lainnya. Kalau keadaannya demikian, maka kita telah mengikuti kebiasaan umat terdahulu, kebiasaan umat Yahudi dan Nasrani. Dengan mentadaburkan alQuran secara sungguh-sungguh diharapkan keimanan umat Islam akan semakin utuh, tidak pasrial, sehingga siap meyakini kebenaran Islam secara kaffah. 3. Bangga Pada Selain Manhaj Allah. Dikisahkan dalam al-Quran bahwa umat terdahulu bangga kepada warisan-warisan Jahiliyyah dan tradisi nenek moyangnya. Mengenai hal ini Allah menggambarkannya pada Q.S. al-Baqarah [2] ayat 170-171 sebagai berikut:
ِ ِ ِ آَبءَ ََن أ ََولَ ْو َّ يل َُلُُم اتَّبِعُوا َما أَنْ َزَل َ اّللُ قَالُوا بَ ْل نَتَّبِ ُع َما أَلْ َفْي نَا َعلَْيو َ َوإذَا ق آَب ُؤُى ْم ال يَ ْع ِقلُو َن َشْي ئًا َوال يَ ْهتَ ُدو َن َ َكا َن
Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat pe-tunjuk'?. (Q.S. al-Baqarah [2]:170)
ِ َّ ِ ِ ِ ِ ّّصم ُ ًين َك َف ُروا َك َمثَ ِل الَّذي يَْنع ُق ِبَا ال يَ ْس َم ُع إِال ُد َعاءً َون َداء َ َوَمثَ ُل الذ ْم عُ ْم ٌي فَ ُه ْم ال يَ ْع ِقلُو َن ٌ بُك
Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja, mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (Q.S. al-Baqarah [2]:171).
Dalam dua ayat di atas ini, Allah menerangkan bahwa orang umat terdahulu disamakan dengan binatang yang tidak mengerti arti panggilan penggembalanya. Berkata Ibnu Katsir (1977) bahwa "maksudnya adalah sifat-sifat orang-orang kafir musyrikin Makkah". Kata Ibnu Abbas (1992) ra: "Ayat ini turun tentang sebagian orang Yahudi yang saat diajak beriman oleh Nabi, 76
mereka menjawab: Kami hanya akan mengikuti nenek-nenek moyang kami". Dalam pandangan orang-orang kafir bahwa manhaj atau sistem buatan manusia yang dibuat oleh para pendahulu mereka dipandang lebih baik dari sistem yang dibuat Allah. Mereka meyakini dan bangga pada sistem buatan manusia sendiri sehingga menolak manhaj Ilahi. Mereka mengikuti Thagut seperti halnya prilaku Firaun pada masa lalu. Dalam kehidupan modern yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhidullah), tidaklah salah manusia membuat aturan sistem untuk mengantarkan manusia agar hidup lebih sejahtera, asal tetap berbasis pada tauhidullah serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsipnya. Dengan tadabur al-Quran, umat Islam diharapkan dapat memantapkan tauhidullah sehingga menjadi landasan yang kokoh untuk membagun kehidupan ini kearah yang lebih baik. 4. Meneka Meninggalkan Al-Quran Dikisahkan dalam al-Quran bahwa orang-orang kafir tidak mengacuhkan kitab suci mereka, mereka meninggalkan pesanpesannya dan mereka pun tidak melaksanakannya.
ِ ال الَّ ِذين َك َفروا ال تَسمعوا ُِل َذا الْ ُقر آن َوالْغَ ْوا فِ ِيو لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْغلِبُو َن َ ََوق ْ َ َُْ ُ َ ِ ِ َّ ِ َس َوأَ الَّ ِذي َكانُوا يَ ْع َملُو َن ً ين َك َف ُروا َع َذ ًاَب َشد ْ َّه ْم أ ُ يدا َولَنَ ْج ِزيَن َ فَلَنُذي َق َّن الذ َِّ َذلِك جزاء أَع َد ِاء اْلُْل ِد َجَزاءً ِِبَا َكانُوا ِِب ََيتِنَا ْ َّار َُلُْم فِ َيها َد ُار ْ ُ ََ َ ُ اّلل الن
ََْي َح ُدو َن
Dan orang-orang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Quran ini dan buatlah hirukpikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka". Maka sesungguhnya Kami akan merasakan azab yang keras kepada orang-orang kafir dan Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan seburuk-buruk pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami. (Q.S. Fushshilat [41]: 26-28)
77
Sebagian umat Islam pun ternyata banyak yang mengikuti tabiat orang-orang kafir sebagaimana digambarkan di atas, mereka banyak yang hanya mengakui al-Quran sebagai kitab sucinya tetapi enggan mempelajarinya, bahkan ada yang membacanyapun tidak bisa, apalagi memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan mereka. Keadaan seperti ini dinyatakan dalam alQuran sebagai berikut:
ِ َّ ِ ِ ِّ ول َي ر ك َج َع ْلنَا َ ََوق َّ ال َ ورا َوَك َذل ً ب إ َّن قَ ْومي اِتَ ُذوا َى َذا الْ ُق ْرآ َن َم ْه ُج َ َ ُ الر ُس ِ ِ ِ َك ى ِادَي ون ِِ ِ ِ ِ ص ًيا َ ب َع ُد ِّوا م َن الْ ُم ْج ِرم َ ً َ َ ّي َوَك َفى بَرب ٍّ َل ُك ّل ن
Berkata Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan". Dan seperti itulah, telah kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tu-hanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. (Q.S. al-Anfal [25]:30-31) Orang-orang musyrik tidak mengacuhkan bacaan al-Quran dan jika mereka mendengarnya maka mereka bermain-main dan berbicara, lebih tertarik pada lagu-lagu, sya‟ir-sya‟ir dan pendapatpendapat, sehingga mereka tidak mendengarnya. 5. Salah Menerapkan Al-Quran Di antara kelemahan umat Islam adalah salah menerapkan penggunaan al-Quran, misalnya al-Quran banyak dibaca untuk mendapatkan popularitas, al-Quran dibaca untuk simbol-simbol seremonial semata, untuk orang yang sudah mati saja, dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa al-Quran ynang begitu mulia dan banyak mengandung nilai bila dibaca, tetapi oleh banyak orang diganti dengan nilai yang rendah (tsamanan qalîlan). Allah melarang hal yang demikian sebagaimana firman-Nya:
ِ ِ ص ِّدقًا لِ َما َم َع ُك ْم َوال تَ ُكونُوا أ ََّو َل َكافِ ٍر بِِو َوال تَ ْشتَ ُروا ُ َْوآمنُوا ِبَا أَنْ َزل َ ت ُم ِ ِِبَيِت ََثَنًا قَلِيال وإِ ََّيي فَاتَّ ُق ون َ َ َ
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (al-Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. (Q.S. al-Baqarah [2]: 41). 78
G. Mengefektifkan Komunikasi Ilahiyah Manusia itu sebagai makhluk ciptaan Allah yang berasal dari Allah dan akan kembali juga kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 156) menghajatkan adanya komunikasi dengan Allah. Menurut al-Quran, manusia dijamin akan mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan manakala terjalin hubungan komunikasi dengan Allah dan dengan sesama manusia (Q.S. Ali Imran [3]: 112) sebagaimana firman-Nya:
ِّ ض ِربت علَي ِهم ِ اّللِ َو َحْب ٍل ِم َن الن َّاس َوََبءُوا َّ الذلَّةُ أَيْ َن َما ثُِق ُفوا إِال ِِبَْب ٍل ِم َن ُ َْ ْ َُ ِاّللِ وض ِربت علَي ِهم الْمس َكنةُ َذل ِك ِِبَنَّهم َكانُوا ي ْك ُفرو َن ِِبَيت ِ ٍ َبِغ َ َ ُ َ ْ ُ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ُ َ َّ ضب م َن َّاّللِ وي ْقت لُو َن األنْبِياء بِغ ِي ح ٍق َذلِك ِِبا عصوا وَكانُوا ي عتدو َن
ُ َْ َ
َ َْ َ َ َ
ّ َ َْ َ َ
ُ ََ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali hubungan dengan Allah dan tali hubungan dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu, karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu dise-babkan mereka durhaka dan melampaui batas. Tadabur al-Quran merupakan salah satu jalan untuk mengefektif komunikasi manusia dengan Allah yang kita sebut sebagai komunikasi Ilahiyah. Pembahasan ini insya Allah akan dibahas pada bab khusus nanti. H. Agar Iman Bertambah Mantap Subhanallah! Orang-orang yang beriman itu ketika mentadaburi al-Quran bertambah mantap imannya, bahkan kulit dan hati mereka dapat bergetar (merinding). Demikianlah keadaan orangorang beriman tatkala membaca kitab Allah, mereka seperti itu digambarkan al-Quran berikut ini:
ِ َّ ُيث كِتاَب متش ِاهبا مث ِان تَ ْقشعُِّر ِمْنو جل ِ ْ اّلل نََّزَل أَحسن ين َ َ َ َ ً َ َُ ً َ ِ اْلَد ُ ُ ُ َُّ َ ود الذ ََ ْ ِ َِّ اّللِ ذَلِك ى َدى ِ اّلل ُ ُي ُجل ُ ََيْ َش ْو َن َربَّ ُه ْم ُثَّ تَل ُ َ َّ ود ُى ْم َوقُلُوبُ ُه ْم إِ َل ذ ْك ِر ِ اّللُ فَ َما لَوُ ِم ْن َى ٍاد َّ ضلِ ِل ْ ُيَ ْهدي بِِو َم ْن يَ َشاءُ َوَم ْن ي 79
"Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan, yaitu alQuran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang; gemetar kerananya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian kulit dan hati mereka menjadi tenang pada waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu ia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya." (Q.S. az-Zumar [39]:23). Sebaliknya, hati manusia dapat saja tertutup jika tidak merenungkan kandungan isi al-Quran. Allah berfirman: "Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad [47]:24). Dengan mentadaburkan alQuran, Allah berjanji aka membukakan tabir penutup kebenaran, sehingga kebenaran dari Allah semakin jelas. Allah dalam alQuran (S. Fushilat [41]:53) berfirman:
ِ ِ سنُ ِري ِهم ِ اْلَ ُّق ْ ُي َُلُْم أَنَّو َ َّ َآَيتنَا ِح اآلفَاق َوِح أَنْ ُفس ِه ْم َح َّّت يَتَ ب َ ْ َ ِ أَوََل يك ك أَنَّوُ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهي ٌد َ ِّْف بَِرب ََْ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesung-guhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? Semua ayat yang ada dalam al-Quran adalah hidayah yang terbaik, kata-kata yang paling mulia, kisah yang paling tinggi, teman yang paling jujur dan da‟i yang paling alim dan sempurna. Oleh karena itu Ibnu Mas‟ud berkata: Jika kalian mendengar Allah berfirman: Wahai orangorang yang beriman, dengarkanlah dengan sebaik-baiknya, karena perintahnya adalah sebaik-baik perbuatan yang harus kalian lakukan, dan larangannya adalah seburuk-buruk bahaya bagi kalian semua!
80
BAB V KOMUNIKASI ILAHIAH (ALLAH-MANUSIA)
D
alam aktivitas berkomunikasi dikenal sejumlah istilah yang menunjukkan mengenai apa dan siapa terlibat di dalamnya, yaitu (1) Komunikator atau yang menyampaikan pesan, (2) pesan atau sebuah pernyataan yang biasanya didukung dengan lambang, (3) komunikan atau yang berperan sebagai penerima pesan, (4) media atau sarana/saluran yang mendukung penyampaian pesan, dan (5) efek yang merupakan akibat dari adanya dampak atau pengaruh dari pesan tersebut. Manusia sebagai salah satu makhluk Allah diperintahkan untuk menjaga hubungan (komunikasi) dengan-Nya dan dengan sesama manusia serta lingkungannya. Jika manusia terlepas komunikasinya dengan Allah dan dengan manusia, maka akan ditimpakan kehinaan kepadanya. Komunikasi tersebut kita kenal dengan istilah "hablun min Allah" dan "hablun min al-Nâs". Argumen ini tersurat dalam al-Quran (S. Ali 'Imran [3]:112) berikut:
ِ الن َّاس َكانُوا َوَكانُوا
ِّ ض ِربت علَي ِهم اّللِ َو َحْب ٍل ِم َن َّ الذلَّةُ أَيْ َن َما ثُِق ُفوا إِال ِِبَْب ٍل ِم َن ُ َْ ْ َُ ِ َِّ ب ِمن ٍض ك ِِبَن َُّه ْم َ ت َعلَْي ِه ُم الْ َم ْس َكنَةُ َذل ْ َض ِرب ُ اّلل َو َ ََوََبءُوا بِغ َ ِ ِ َ ِاّللِ وي ْقتُلُو َن األنْبِياء بِغَ ِي ح ٍق َذل ص ْوا َّ ْ َ َ َ ك ِبَا َع َ َ َّ يَ ْك ُف ُرو َن ِِب ََيت يَ ْعتَ ُدو َن
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. 81
Dalam keyakinan Islam, manusia itu berkedudukan sebagai hamba Allah ('abdullah) dan Allah sebagai Dzat yang disembah (ma'bûd), sudah sewajarnya terjadi komunikasi antara keduanya. Pada bab ini kita akan bahas komunikasi Ilahiyah ini. Untuk mendapatkan gambaran umum dan menyeluruh dapat diperhatikan peta konsepnya pada bagan 5.1 berikut ini: Bagan 5.1 KOMUNIKASI ILAHIYAH
KOMUNIKASI ILAHIYAH
Komunikasi Allah Swt. kepada manusia Rasul/ Nabi Orang mukmin Orang Kafir
Al-Quran; Media Allah berkomunikasi pada manusia
Al-Quran; Media manusia berkomunikasi kepada Allah
Gambaran mengenai Allah
Membangun Kesadaran Membangun Kekuatan
Keinginan Allah disampaikan melalalui Quran
Membangun ketahanan
Gambaran ttg. manusia & sikapnya Pd. al-Quran
Membangun kehidupan Pembekalan yang baik
Pesan AlQuran kpd. Manusia
Agar dapat ridla Allah
82
Tadabur sebagai metode komunikasi Membaca Mengingat Mempelajari Menemukan Pesan
Sejalan dengan peta konsep di atas, bab ini akan membahas empat subbab, yaitu (a) Komunikasi Allah kepada manusia, (b) Al-Quran; Media Allah berkomunikasi pada manusia, (c) AlQuran; Media manusia berkomunikasi kepada Allah, dan (d) Tadabbur sebagai metode komunikasi. A. Komunikasi Allah Kepada Manusia Hal-hal yang menunjukkan bahwa Allah berkomunikasi dengan manusia dapat kita temukan pada aspek-aspek sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini. Keinginan berkata-kata; Dalam ilmu tauhid, kita ketahui bahwa salah satu sifat Allah adalah sifat "kalam" atau berkata-kata. Bukti yang dapat dipegang untuk menunjukkan bahwa Allah ternyata melakukan aktivitas komunikasi melalui berkata-kata, dapat ditemukan misalnya pada ayat al-Quran:
ِ يما َّ … َوَكلَّ َم.. َ اّللُ ُم ً وسى تَكْل
".... dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung." (Q.S. an-Nisa [4]: 164) .
Maksudnya, Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa merupakan keistimewaan Nabi Musa dan karena itulah ia disebut "Kalimullah". Dalam hal ini, menurut sebagian mufasir, bahwa Allah berbicara kepada nabi Musa di belakang hijab, Nabi Musa mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti diterangkan pada ayat al-Quran Surah al-Syura [42] ayat 51 di bawah nanti. Sementara itu rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan malaikat Jibril. Dalam pada itu, kepada Nabi Muhammad Allah pernah berbicara secara langsung pada suatu malam tatkala mi'raj. Adapun kepada yang lainnya (orang-orang biasa) Allah tidak berbicara secara langsung, melainkan melalui rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan pada ayat al-Quran berikut:
ِ ِ ٍ اّلل إِال و ْحيا أَو ِمن ور ِاء ِحج اب أ َْو يُْرِس َل َ َ َ ْ ْ ً َ َُّ َُوَما َكا َن لبَ َش ٍر أَ ْن يُ َكلّ َمو ِ ِ ِ ِِ ِِ ِ يم ٌ َر ُسوال فَيُوح َي ِب ْذنو َما يَ َشاءُ إنَّوُ َعل ّّي َحك 83
Dan tidak ada bagi seorang manusia (basyar)-pun yang Allah akan berbicara kepadanya, melainkan melalui wahyu, atau di balik penghalang (hijab), atau dengan melalui utusan (malaikat) lain diwahyukan dengan izin-Nya sebagaimana kehendak-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana (Q.S. asySyura [42]: 51). Menanamkan pemahaman; Allah berfirman (berkomunikasi) kepada manusia antara lain untuk menunjukkan bahwa Allah ingin melakukan pemahaman. Hal ini dapat dicermati melalui makna yang terkandung di dalam ayat berikut:
ال ْ ْما َو ِع ْل ًما َو َس َّخ ْرََن َم َع َد ُاوَد َ َاْلِب َ َفَ َف َّه ْمن ً اىا ُسلَْي َما َن َوُكال آتَْي نَا ُحك ِِ ي َ يُ َسبِّ ْح َن َوالطَّْي َر َوُكنَّا فَاعل
Maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang tepat). Dan kepada masing-masing mereka (maksudnya Daud dan Sulaiman), telah Kami berikan hikmah dan ilmu, serta telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burungburung semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya. (Q.S. al- Anbiya [21]: 79). Terkait dengan makna "pemahaman" dalam ayat di atas, digambarkan oleh riwayat Ibnu Abbas (1992) bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. Maka pemilik tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud. Lalu Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada pemilik tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak, tetapi Nabi Sulaiman memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada pemilik tanaman untuk diambil manfaatnya. dan pemilik kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, pemilik kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman ini adalah keputusan yang tepat. Mengajarkan; Allah berfirman (berkomunikasi) kepada manusia antara lain untuk mengajarkan manusia. Allah mengajarkan manusia merupakan salah satu bagian atau tidak terpisahkan dari sistem komunikasi Allah dengan manusia. Hal ini dapat diketahui melalui pernyataan Allah di dalam ayat-ayat-Nya, anatara lain: 84
ِ ِاقْ رأْ َِبس ِم رب ك َ ُّ)اقْ َرأْ َوَرب٢( ) َخلَ َق اإلنْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق١( ك الَّذي َخلَ َق َ َّ ْ َ )٥( ) َعلَّ َم اإلنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم٤( )الَّ ِذي َعلَّ َم َِبلْ َقلَ ِم٣( األ ْكَرُم
Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan perantaraan kalam. Dan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al'Alaq [96]:1-5). Memberi Petunjuk; Memberikan petunjuk yang dilakukan oleh Allah adalah merupakan hal yang haq. Dalam hal ini tertangkap kesan bahwa Allah proaktif dalam berkomunikasi dengan manusia secara khusus. Ayat al-Quran yang menjelaskan hal ini antara lain sebagai beriut:
ِ ِ َكا َن النَّاس أ َُّمةً و ِِ ين َوأَنْ َزَل َم َع ُه ُم َّ ث َ اح َد ًة فَبَ َع َ ِّاّللُ النَّبِي َ ُ َ ين َوُمْنذر َ ي ُمبَ ّش ِر ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ي الن ف فيو إِال َ َاختَ ل ْ اختَ لَ ُفوا فيو َوَما ْ يما َ ْ َاب َِب ْْلَ ِّق ليَ ْح ُك َم ب َ َالْكت َ َّاس ف ِ َّ َّ الَّ ِذين أُوتُوه ِمن ب ع ِد ما جاءتْ هم الْبيِنات ب ْغيا ب ي ن هم فَهدى ين َ َ ْ ُ َ َْ ً َ ُ ََّ ُ ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ َ اّللُ الذ ٍ اّلل ي ه ِدي من ي َشاء إِ َل ِصر ِِ ِِ ِ ْ آمنُوا لِما اختَ لَ ُفوا فِ ِيو ِمن اط ْ َ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َُّ اْلَ ّق ِب ْذنو َو َ ُم ْستَ ِقي ٍم
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Q.S. al-Baqarah [2]:213). Mewahyukan; Hal lainnya, di dalam al-Quran dijelaskan bahwa Allah melakukan komunikasi terhadap manusia adalah menyampaikan wahyu yang ternyata tidak hanya kepada para 85
nabi dan rasul, tetapi kepada manusia biasa yang dikehendaki-Nya seperti kepada Ummi (ibu) Musa, hal ini dijelaskan dalam ayat alQuran berikut:
ِ وأَوحي نَا إِ َل أُِم موسى أَ ْن أَر ِضعِ ِيو فَِإ َذا ِخ ْف ت َعلَْي ِو فَأَلْ ِق ِيو ِح الْيَ ِّم َوال َْ ْ َ ْ َ ُ ّ ِ ِ ِ ِ ي َ َِتَ ِاح َوال َُْتَزِن إِ ََّن َر ُّادوهُ إِلَْيك َو َجاعلُوهُ م َن الْ ُم ْر َسل
Aku wahyukan (ilhamkan) kepada Ummi Musa: "Susuilah dia. Maka apabila kamu takut, jatuhkanlah ke sungai (Nil). Dan janganlah menjadi takut dan sedih. Sesungguhnya akan Aku kembalikan ia kepadamu, dan menjadikannya termasuk ke dalam orang-orang yang diutus. (Q.S. al-Qashas [28]: 7). Menjelaskan; Allah memberikan penjelasan atau menjelaskan berbagai hal kepada manusia. Dalam hal ini haruslah dipahami bahwa Allah melakukan aktivitas berkomunikasi yang sangat mendalam dan detil. Untuk itu, dapat disimak bunyi pernyataan Allah:
ِ ٍ َاىم بِ ِكت ص ْلنَاهُ َعلَى ِع ْل ٍم ُى ًدى َوَر ْْحَةً لَِق ْوٍم يُ ْؤِمنُو َن َّ َاب ف ْ ُ ََولََق ْد جْئ ن
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (alQuran) kepada mereka yang Kami telah men-jelaskan berdasarkan ilmu, memberikan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. al-A'râf [7]: 52). Mengajak; Ajakan merupakan sebuah bentuk dari adanya kegiatan mengajak. Kegiatan mengajak tidak selalu harus memanfaatkan lidah atau mulut semata, melainkan juga seringkali menggunakan metode-metode lainnya. Dalam aktivitas mengajak terjadi komunikasi antara yang mengajak dengan yang diajak. Keterangan mengenai hal ini antara lain dapat kita temukan antara lain pada ayat al-Quran berikut:
ٍ الم وي ه ِدي من ي َشاء إِ َل ِصر ِ َّ اّلل ي ْدعُو إِ َل َدا ِر اط ُم ْستَ ِقي ٍم َ َُّ َو ُ َ ْ َ ْ َ َ الس َ
Allah menyeru/mengajak ke Darussalam (negeri keselamatan), dan, menunjuki orang yang menghendaki kepada jalan yang lurus (Islam). (Q.S. Yunus [10]: 25). 1. Komunikasi Allah Kepada Para Rasul/Nabi Komunikasi Allah kepada para rasul dan nabi dapat melalui wahyu yang diturunkan kepada para Rasul/Nabi. Wahyu yang 86
ditunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. disebut al-Quran. Oleh karena itu definisi al-Quran adalah “kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah” (Depag, 15). Tidak semua wahyu Allah itu ditulis dalam al-Quran, sebab ada juga juga wahyu Allah yang tidak dihimpun dalam al-Quran karena redaksinya dari Nabi Muhammad, hal terakhir ini disebut hadits Qudsi. Adapun contoh komunikasi Allah dengan Nabi Muhammad secara jelas digambarkan pada ayat berikut:
ِ ِ ِ َ َي أَيُّها النَِّب إِ ََّن أَرس ْلن َِّ اعيا إِ َل ِ اّلل ِبِِ ْذنِِو ََْ ُّ َ َ ً اك َشاى ًدا َوُمبَ ّشًرا َونَذ ًيرا َوَد ِ اجا ُمنِ ًيا ً َوسَر
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (Q.S. al-Ahzab [33)]: 45-46). Terkait dengan ayat di atas, di samping sebagai contoh komunikasi antara Allah dengan Nabi Muhammad Saw, juga terkandung pesan bahwa Nabi Muhammad berkewajiban untuk menyampaikannya lagi kepada seluruh umat manusia dengan misi dakwahnya. Pemahaman ini sesuai dengan ayat al-Quran:
ِ ِ َّ اّللِ إِ َّن ِِ يم َّ ُب فَأَيْنَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َو ْجو ُ َو َّّلل الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر ٌ اّللَ َواس ٌع َعل
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu rasul di antara kamu, yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, mensucikanmu, mengajarkan hikmah al-Kitab, ilmu dan apa saja yang belum kamu ketahuiu". (Q.S. al-Baqarah [2]:151). 2. Komunikasi Allah dengan Orang Mukmin Orang-orang beriman dicantumkan dalam al-Quran dengan dua versi penyebutan. Yaitu yang menggunakan kata انّزيٍ آيُٕا (alladzîna âmanû) yang artinya orang-orang yang beriman, yang dalam al-Quran dapat kita temukan sebanyak 242 kali, sedangkan yang dituliskan ( اّيُٕاâmanû) saja ada sebanyak 16 kali. Di samping itu, dalam al-Quran ada kata yang terjemahan dalam bahasa Indonesianya tidak dapat dibedakan dengan kata di atas, yaitu kata ٌُٕ( انًؤيal-mu‟minûn) yang artinya orang-orang yang beriman. 87
Kedua kata tersebut terjemahannya sama yakni “orangorang yang beriman”. Menurut Mubarak (2007:22) kendati terjemahannya sama, namun penggunaannya berbeda. Pertama, انّزيٍ آيُٕاadalah kata kerja yang terikat dengan waktu. Artinya, iman mereka tidak selalu menyertai mereka dalam setiap saat. Sedangkan yang kedua, kata ٌُٕ انًؤيadalah kata sifat bagi orang yang imannya tidak pernah lepas dari dirinya. Artinya, mereka senantiasa berpikir dan berbuat serta menggunakan perasaan berdasarkan keimanan. Orang-orang yang beriman dengan mendapatkan tugas atau perintah untuk melakukan sesuatu, biasanya menggunakan kata ( ياأيٓاyâ ayyuha) yang merupakan kata panggilan dengan terjemahannya dalam bahasa indonesisia “wahai”, Kata ini ditemukan sebanyak 83 buah dalam al-Quran. Kalau kita perhatikan lebih dalam lagi, ayat-ayat al-Quran ini berarti orang-orang yang beriman sedang diajak komunikasi dengan Allah, di dalamnya ada tugas yang dikenakan kepada orang-orang yang beriman dengan sebutan “Yâ ayyuhalladzîna âmanû‟ (wahai orang-orang yang beriman). Ayat berikut ( Q.S. al-Hajj [22]:77) merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman diajak berkomunikasi dengan Allah agar mereka mengerjakan ruku‟ dan sujud (shalat) serta berbuat baik agar mereka memperoleh kemenangan.
ِ َّ اْلَْي َر لَ َعلَّ ُك ْم ْ اس ُج ُدوا َو ْاعبُ ُدوا َربَّ ُك ْم َوافْ َعلُوا ْ ين َآمنُوا ْارَكعُوا َو َ ََي أَيُّ َها الذ تُ ْفلِ ُحو َن
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan ( Q.S. al-Hajj [22]:77).
Dari hasil analisis Sensa (2005: 48-51) dalam hal komunikasi Allah dengan orang-orang yang beriman menyimpulkan bahwa komunikasi Allah dengan orang-orang yang beriman paling tidak menyangkut tiga aspek, yaitu: 1) mempunyai sejumlah kewajiban, 2) mitra untuk kebaikan dan ketakwaan, dan 3) membela sesamanya.
88
3. Komunikasi Allah dengan Non-Mukmin Sesungguhnya Rasulullah Muhammad bertugas menyampaikan risalahnya kepada seluruh manusia, sebab Beliau diutus kepada seluruh manususia (kâffatan linnâs) (Q.Saba [24]: 38). Dengan demikian maka secara tidak langsung Allah berkomunikai dengan manusia, baik ia sebagai mukmin atau non-mukmin. Jadi, melalui wahyu Allah itu secara tidak langsung merupakan komunilasi Allah kepada manusia juga. Dalam al-Quran banyak ayat yang diawali dengan يآايّٓا انُّاط (Wahai sekalian manusia), antara lain seperti ayat:
ِ َّ ِ َّ ين ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َ َّاس ْاعبُ ُدوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم َوالذ ُ ََي أَيُّ َها الن تَتَّ ُقو َن
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Q.S. alBaqarah [2]:21). Bukti lain bahwa risalah Allah harus disampaikan kepada orang non mukmin (kafir) seperti pada Surat al-Kafirun [109]: 1-6 sebagi berikut:
) َوال أَنْتُ ْم َعابِ ُدو َن َما٢( ) ال أ َْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدو َن١( قُ ْل ََي أَيُّ َها الْ َكافُِرو َن )٥( ) َوال أَنْتُ ْم َعابِ ُدو َن َما أ َْعبُ ُد٤( ) َوال أ َََن َعابِ ٌد َما َعبَ ْد ُْت٣( أ َْعبُ ُد ِ ِ )٦( ل ِدي ِن َ لَ ُك ْم دينُ ُك ْم َو
Katakanlah (olehmu Muhammad): "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu aga-mamu, dan untukkulah, agamaku. B. Al-Quran; Media Allah Berkomunikasi Kepada Manusia Dalam hal komunikasi Allah dengan manusia, ternyata Allah lebih dahulu mendekati manusia agar dapat terjadi aktivitas komunikasi yang utuh, tuntas, puncak dan abadi. Sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran sebagai berikut:
89
ِ ِ ٍ اّلل إِال و ْحيا أَو ِمن ور ِاء ِحج اب أ َْو يُْرِس َل َ َ َ ْ ْ ً َ َُّ َُوَما َكا َن لبَ َش ٍر أَ ْن يُ َكلّ َمو ِ ِ ِ ِِ ِِ ِ يم ٌ َر ُسوال فَيُوح َي ِب ْذنو َما يَ َشاءُ إنَّوُ َعل ّّي َحك
Dan tidak ada bagi seorang manusia pun, bahwa Allah berkatakata kepadanya, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seijin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Syura [42]:51) Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa al-Quran itu adalah kalamumullah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, lalu ditulis dalam mushhaf dan kini sampailah kepada kita. Dengan demikian daptlah dipahami bahwa al-Quran itu pada hakekatnya sebagai media komunikasi antara Allah dengan manusia. Allah berkomunikasi dengan manusia itu menggunakan media komunikasi berupa al-Quran yang berbasis bahasa Arab dan budaya setempat. Setidaknya terdapat delapan ayat yang menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan Allah dengan bahasa Arab (antara lain Q.S. Yusuf [12]:12) yang sesuai dengan bahasa kaum nabi Muhammad (Q.S. al-Ahqaf [46]:12). Kkudukan alQuran sebagai pedoman dan petunjuk hidup, tuntunan sikap dan perilaku, akan sulitlah bila al-Quran diturunkan bukan dengan bahasa Arab dan berbasis pada budaya Arab (kaum nabi Muhammad). Adapun maksud dari berpola sedemikian rupa, dijelaskan pula oleh al-Quran di antaranya: 1. Laalakum ta'qilûn = ٌٕ( نعهّكى ذعمهmudah-mudahan kamu menggunakan akal) seperti tercantum pada Q. S. Yusuf [12]: 2 dan az-Zuhruf [43]: 3.
آَن َعَربِيِّا لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْع ِقلُو َن ً إِ ََّن أَنْ َزلْنَاهُ قُ ْر
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. 2. Lighairi dzî 'iwaja la'allahum yattaqûn = ٌٕنغيش رٖ عٕج نعهّٓى يدّ ّّ ل (tidak mempunyai kebengkokan di dalamnya agar mereka menjadi bertaqwa) seperti tercantum pada Q.S. az-Zumar [39]: 28; 90
آَن َعَربِيِّا َغْي َر ِذي ِع َو ٍج لَ َعلَّ ُه ْم يَتَّ ُقو َن ً قُ ْر
ِ ِArtinya: Al-Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa. 3. Li qaumin ya'lamûn = ًٌٕ( نمٕو يعهagar kaum yang mau mengetahui/ menuntut ilmu) didapati pada Q.S. Fushshilat [41]: 3;
ِ ِ آَن َعَربِيِّا لَِق ْوٍم يَ ْعلَ ُمو َن ً ت َآَيتُوُ قُْر ْ َصل ٌ َكت ّ ُاب ف
Artinya: Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. 4. Litundzira umm al-qurâ wa man haulahû= ّنرُزس أ ّو انمشٖ ٔيٍ حٕن (untuk memberi peringatan penduduk kota Makkah dan siapa saja yang berada di sekitarnya) sebagaimana ditetapkan pada Q.S. Mu'min [42]: 7.
ِ آَن َعَربِيِّا لِتُ ْن ِذ َر أ َُّم الْ ُقَرى َوَم ْن َح ْوَُلَا َوتُْن ِذ َر يَ ْوَم ً ك قُ ْر َ ك أ َْو َحْي نَا إِلَْي َ َوَك َذل ِ ْ اْلم ِع ال ريب فِ ِيو فَ ِريق ِح السعِ ِي َّ يق ِح ٌ اْلَنَّة َوفَ ِر ٌ َ ْ َ ْ َْ
Artinya: Demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negerinegeri) sekelilingnya (dunia seluruhnya) serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. (Bahwa) segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam. Mengenai persoalan mengapa al-Quran menggunakan seting budaya Arab? Jawaban atas persoalan ini tidaklah mudah karena kita belum menemukan langsung jawabannya dalam al-Quran. Namun setidaknya pikiran kita dapat berperan untuk mengungkap jawaban yang tersembunyi ini, namun menurut Sensa (2003: 37) menyebutkan dua alasan berikut: 1. Agama Islam adalah kelanjutan agama-agama samawi terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani, yang ternyata diturunkan juga di wilayah Timur Tengah, dan seting yang terjadi pada negerinegeri tersebut pada umumnya adalah bahasa dan budaya Arab. 2. Boleh jadi di wilayah Timur Tengah (sekarang) yang pada umumnya adalah berbudaya Arab, telah memiliki peradaban 91
yang sudah sangat maju untuk ukuran saat itu. Sedangkan peradaban manusia yang lebih maju sangat memungkinkan untuk menyebarkan ke wilayah-wilayah lainnya. Lalu apa yang Allah komunikasikan kepada kita (manusia) ? Sesungguhnya seluruh isi yang terdapat dalam al-Quran (30 juz, 114 surat, 6666 ayat) itu yang Allah komunikasikan kepada kita. Namun secara garis besar, pokok-pokok kandungannya menurut Darajat (1984:178) meliputi pokok-pokok (1) keimanan, (2) prinsip-prinsip syari'ah, (3) janji dan ancaman, (4) sejarah umat terdahulu, dan (5) sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan menurut Sensa (2005:34) meliputi (1) apa dan siapakah Allah, (2) apa dan siapakah manusia, (3) apa saja yang termasuk hal-hal keghaiban, apakah unsur-unsur alam semesta, dan (4) apa dan bagaimana setelah kehidupan di alam dunia. Pada pembahasan berikut akan dideskripsikan apa yang menjadi objek-objek yang diinformasikan atau sebagai jenis-jenis informasi yang terkait dengan subbab bahasan ini yang dikandung di dalam al-Quran. Secara garis besar terbagi atas hal-hal yang berkaitan dengan unsur-unsur di bawah ini. 1. Gambaran Mengenai Allah Bila dicermati dengan saksama kita dapati bahwa al-Quran itu semacam autobiografi dari Allah tentang diri-Nya. Di dalamnya kita temui tentang siapa dan bagaimana Allah yang dominan diceriterakan sebagai tokoh sentral. Penggambarannya demikian rinci, menyeluruh, utuh, jelas dan tuntas. Dia (Allah) yang nama-nama-Nya al-husna, sifat-sifat-Nya yang agung dan mulia, kekayaan-Nya yang Maha Luas, pemberian-Nya yang tak dapat terukur, ayat-ayat-Nya yang terhampar. Jadi, tidaklah salah jika kita katakana bahwa al-Quran adalah semacam gambaran tentang Allah dalam bentuk verbalistik, yaitu berdimensi tulisan, ilustrasi dan suara. Berikut ini salah satu ayat (Q.S. al-Baqarah [2]: 255) yang menjelaskan tentang Allah dalam al-Quran.
92
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin diartikan dengan ilmu Allah dan ada pula yang mengartikan dengan kekuasaan-Nya.
2. Keinginan Allah Disampaikan Melalui Al-Quran Untuk mengetahui apa keinginan Allah itu, kita dapat juga mencermati al-Quran. Pendekatan yang dapat dipakai antara lain pendekatan dari Sensa (2008:24), yaitu: Pertama; menelaah ayat-ayat al-Quran yang mengandung makna memerintahkan dan menghendaki, seperti ayat-ayat yang mengandung kata-kata sebagai berikut: (a) Yurîdu = ( يشيذmenghendaki), contoh ditemukan pada firman Allah (Q.S. al-Baqarah [2]: 165) berikut: .... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(b) Kutiba = ( كرةdiwajibkan); contoh ditemukan pada firman Allah (Q.S. al-Baqarah [2]: 183) berikut:
93
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
(c) Yaqdhi = ٗ( يمضmenetapkan); contoh ditemukan pada firman Allah (Q.S. Ghofir [40]: 20) berikut: ...... dan Allah menetapkan (menghukum) dengan keadilan. dan sembahansembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.
(d) Ya'muru = ( يؤيشmemerintahkan); contoh ditemukan pada firman Allah (Q.S. an-Nahl [16]: 90) berikut: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(e) Yasyâ = ( يشآءmenghendaki); contoh ditemukan pada firman Allah (Q.S. al-Baqarah [2]: 213) berikut: Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
94
Kedua: kalimat perintah (fi'lu al-amri) atau yang menunjukkan perintah Allah. Contohnya seperti athî'ulllâha = ( أطيعٕا هللاTaatlah kamu sekalian kepada Allah) seperti kita temukan pada ayat (Q.S. Thaaha [20]: 90) sebagai berikut: Sesungguhnya Tuhanmu ialah (tuhan) yang Maha pemurah, Maka ikutilah aku dan taatilah perintahku".
3. Gambaran Mengenai Manusia dan Sikapnya Terhadap Al-Quran Dalam al-Quran manusia memiliki sejumlah sebutan, antara lain al-insân, al-basyar, bani âdam, dan lain-lain. Di samping itu dijelaskan pula asal mula, bahan dasar penciptaan, proses kejadiannya, unsur-unsurnya, pertumbuhan dan perkembangannya, kematiannya, tujuan hidupnya, tugas hidupnya, jalan hidupnya, teman hidupnya, musuh hidupnya, al-Quran sebagai pedoman hidupnya, dan lainlain. Dalam al-Quran dijelaskan pula secara prinsip bahwa manusia (bani Adam) dimuliakan oleh Allah (Q.S. al-Isra [17]:70), dan mereka menginginkan status-status dalam ukuran-ukuran kebahagiaan yang puncak seperti kemuliaan, kehormatan, kesenangan, kesejahteraan dan lain-lain. Dengan berpedoman pada al-Quran Allah menjamin manusia akan mendapatkan puncak kebahagiaan hidupnya, sebagaimana firman-Nya:
لََق ْد أَنْ َزلْنَا إِلَْي ُك ْم كِتَ ًاَب فِ ِيو ِذ ْك ُرُك ْم أَفَال تَ ْع ِقلُو َن
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? (Q.S. al-Anbiya [21]:10). Adapun mengenai sikap manusia terhadap al-Quran, dapat kita temukan pula dalam al-Quran sebagai berikut:
ِ َّ ُثَّ أَورثْنا الْ ِكت اصطََفْي نَا ِم ْن ِعبَ ِاد ََن فَ ِمْن ُه ْم ظَ ِاَلٌ لِنَ ْف ِس ِو َوِمْن ُه ْم ْ ين َ َ َ َْ َ اب الذ ِ َِّ ات ِبِِ ْذ ِن ِ ص ٌد وِمْن هم سابِق َِب ْْلي ر ِ ِ ْ ك ُى َو الْ َف َ اّلل َذل ُض ُل الْ َكبي َ َْ ٌ َ ْ ُ َ َُم ْقت 95
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka (manusia) ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.(Q.S. Fathir [35]: 32) Berdasarkan ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa sikap manusia terhadap al-Quran terbagi pada tiga golongan, yaitu: (a) ada yang menganiaya diri mereka sendiri, (b) ada yang pertengahan, dan (c) ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Adapun yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya ber-banding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan. 4. Pesan-Pesan Al-Quran Kepada Manusia Al-Quran sebagai media komunikasi Allah kepada manusia mengandung pesan-pesan. Pesan-pesan al-Quran itu pada garis besarnya meliputi hal-hal berikut: a) Membangun Kesadaran Hal-hal yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah aspek-aspek yang ditujukan untuk menciptakan sosok manusia yang menyadari keberadaan dirinya, keberadaan Allah, keberadaan kehidupan dengan pelbagai aspeknya, keberadaan alam akhirat dengan aneka kondisnya dan banyak lagi. Adapun gaya yang dipergunakan di dalam menyampaikan pesan-pesan ini antara lain dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, seperti apakah, tahukah, bagaimanakah, tidakkah berfikir, tidakkah menggunakan akal dan kenapa hatinya tidak terbuka dll. b) Membangun Kekuatan Pesan-pesan yang memiliki motif atau tujuan membangun kekuatan ini, tampaknya sebagai salah satu upaya agar manusia tetap mau menjalani kehidupannya dengan melakukan pelbagai hal dengan melaksanakan peribadatan, karena manusia sebagai 96
hamba Allahtugas utamanya adalah ibadah. Cara al-Quran yang umum ditemukan adalah dengan menggunakan perintah untuk melaksanakan sesuatu, yang ternyata kalau diceermati memiliki kandungan kekuatan sampai dengan tidak terbatas. Seperti di antaranya adalah shalat, berzakat, berhaji, berinfak, membaca alQuran sampai dengan kondisi harus berperang. c) Membangun Ketahanan Pesan-pesan al-Quran untuk membangun keta-hanan ini mirif dengan pesan-pesan di dalam mem-bangun kekuatan. Hanya saja ada perbedaan yang mendasar di antara keduanya, yaitu apabila kekuatan diorientasikan kepada aspek-aspek eksternal manusia, sedangkan ketahanan lebih bersifat ke aspak-aspek internal di dalam diri manusia. Adapun model penyampaiannya cenderung bersifat menyuruh untuk melaksanakan sesuatu, semisal memelihara diri sendiri dan keluarga, makan dan minum yang halal dan tidak berlebihan, dan lain-lain. d) Membangun Kelangsungan Kehidupan Salahsatu pesan penting al-Quran kepada manusia adalah kelangsungan hidup, baik hidup di dunia kini maupun kehidupan di akhirat kelak. Tampaknya pesan ini sebagai suatu cara agar kenikmatan-kenikmatan yang telah diterima agar terus dinikmati dengan ukuran-ukuran terus meningkat. Contohnya seperti dibolehkan memakan sesuatu yang sebelumnya diharamkan, disari'atkan menikah untuk kelangsungan keturunan, dan lain-lain. e) Pembekalan yang Baik dan Cukup Kehidupan di alam dunia ini secara pasti hanya akan dinikmati dalam ukuran-ukuran ruang dan waktu yang terbatas. Setelah itu pasti akan terjadi perpindahan kehidupan ke alam akhirat sesudah terlebih dahulu mengalami kematian. Di alam akhiratlah kehidupan manusia akan abadi dan dan tidak dapat untuk kembali lagi ke dunia. Di dunia perlu bekal hidup dan apalagi untuk alam akhirat. Untuk itulah al-Quran menyampaikan pelbagai pesan, yang bahkan sampai dengan diperlihatkannya (digambarkan) keadaan-keadaan alam akhirat tersebut. f) Agar Dapat Ridla Allah dan Masuk Surga Al-Quran yang berfungsi sebagai rahmat, petunjuk, penerang dan banyak lagi, pada intinya adalah sebuah alat bantu 97
untuk manusia dapat mencapai ridla Allah dan memperoleh surgaNya. Ridla Allah merupakan tujuan kehidupan yang sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang hakiki. Manusia yang mendapatkan kebahagiaan hakiki itu akan dibalas dengan surga disediakan sejumlah kenikmatan, baik yang bersifat kenikmatan materialistik dalam ukuran-ukuran yang pernah dirasakan, dibayangkan, sampai dengan kenikmatan-kenikmatan spiritual yang tidak dapat ditetapkan batasan-batasannya, bahkan yang belum pernah mata melihatnya ataupun telinga mendengarnya. C. Al-Quran; Media Manusia Berkomunikasi dengan Allah Berdasarkan keterangan al-Quran, al-Quranlah itu ternyata sebagai salah satu media berkomunikasi an-tara manusia dengan Allah di samping shalat, do‟a dan dzikir. Krena dengan al-Quran manusia mampu menciptakan tingkatan kualitasnya sampai pada tingkatan yang memang diinginkan oleh manusia itu sendiri, sebagaimana tertulis dalam al-Quran bahwa:
َِّ األولِي لَ ُكنَّا ِعباد ِ ِ ِ َّ لَو أ ِ ي ََ َ اّلل الْ ُم ْخلَص َ َّ َن عْن َد ََن ذ ْكًرا م َن ْ
Kalau seandainya di sisi Kami ada sebuah kitab semenjak dari orang-orang terdahulu. Benar-benar kami akan menjadi hamba Allah yang mensucikan." (Q.S. al-Shâffât [37]: 168). Ayat di atas diperkuat dengan ayat al-Quran yang isinya mengajak manusia mensucikan jiwanya untuk menuju kepada Allah dan sekaligus menjadi hanya takut kepada-Nya:
ِ )١١( ك فَتَ ْخ َشى َ ِّك إِ َل َرب َ َ) َوأ َْىدي١١( ك إِ َل أَ ْن تََزَّكى َ َفَ ُق ْل َى ْل ل
Maka katakanlah: "Adakah keinginan bagimu untuk mensucikan? dan kamu akan Kupimpin ke Rabb-mu, agar kamu menjadi takut kepada-Nya. (Q,S. an-Nâzi'at [79]: 18-19). Al-Quran itu merupakan sebuah media komunikasi dan sekaligus berisikan jaminan-jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan yang hanya dapat tercapai melalui aktivitas komunikasi. Karena itu, agar hal-hal demikian dapat diberlangsungkan dan mencapai posisi-posisi yang telah dijanjikan, hendaknya mengetahui secara saksama terlebih dahulu mengenai al-Quran sebagai pencetus dan sekaligus untuk alat penilaian aktivitas berkomunikasi. Terutama yang berkaitan dengan jenis komunikasi verbalistik yang ber-sifat edukatif, persuasif dan spiritualistik. 98
Al-Ouran memiliki sifat, karakter, kedudukan, fungsi, potensi dan melahirkan dampak kekuatan dengan pelbagai perwujudannya, terutama pada hal-hal yang menunjukkan sebagai perangsang, pemben-tuk dan pembangun, yang di antaranya adalah infor-masi atau sesuatu yang bersifat memberitahu dan menjadikan tahu. Karena hal ini merupakan sebuah persyaratan di dalam dapat mencapai kepada naksud dan tujuan tertentu. D. Tadabur Sebagai Metode Komunikasi Al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia tidak akan memiliki kekuatan pesan apa-apa jika manusia tidak menjadikannya sebagai media komunikasi. Sebagai media komunikasi ia memiliki aspek-aspek yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut: 1. Membaca Perintah membaca justru perintah yang pertama kali di dalam upaya memahami dan mengamalkan isi al-Quran. Sebagaimana yang dicantumkan dalam ayat al-Quran berikut:
ِ ِاقْ رأْ َِبس ِم رب ك َ ُّ) اقْ َرأْ َوَرب٢( ) َخلَ َق اإلنْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق١( ك الَّذي َخلَ َق َ َّ ْ َ )٥( ) َعلَّ َم اإلنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم٤( ) الَّ ِذي َعلَّ َم َِبلْ َقلَ ِم٣( األ ْكَرُم
1. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-'Alaq [96]:1-2).
Dalam membaca al-Quran audiosasi (pengaturan suara) penting untuk diperhatikan, karena suara memiliki banyak kelebihan atau keunggulan-keunggulan dibandingkan tulisan, apalagi gerakan tubuh, karena ia mampu menjelajah jarak yang sangat jauh, dapat menembus tutupan (hijab) atau dinding yang relatif rapat, sampai menembus hati mengetuk jiwa. Suara memiliki pengaruh-pengaruh terhadap pendengaran manusia, yang pada gilirannya dapat menciptakan rangsangan terhadap aspek-
99
aspek afektif, kognitif dan psikomotorik untuk mengaktualisasikan kemampuan dan ekspresi paling puncak dan berpengaruh. Menurut Sensa (2005:42) bahwa "suara memberi rangsanganrangsangan positif pada bagian otak kanan manusia". Bahkan sebenarnya bukan hanya itu, harmonisasi suara justru dapat mempengaruhi kondisi hati dan jiwa. Yang demikian itu menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa Allah memerintahkan membaca al-Quran secara tartil (Q.S. al-Muzammil [73]: 4). Nabi Muhammad menekankan perlunya membaca al-Quran dengan suara yang indah sebagaimana sabdanya banyak di kutip di atas. Masih terpaut dengan audiosasi al-Quran, nampaknya perlu untuk diperhatikan bahwa orang yang paling bagus suaranya adalah orang yang membaca al-Quran yang tampak khusyuk dan takut kepada Allah. Dalam sebuah hadits shahih, dijelaskan bahwa bacaan al-Quran itu membawa pengaruh, bahkan terhadap orang munafik dan yang durhaka sekalipun. 2. Terjamah Terjemah merupakan proses atau kegiatan pengalihbahasaan (Moeliono dkk., 1990: 938) dari bahasa al-quran (Arab) yang dibaca atau disimak seseorang ke dalam bahasa yang dipahaminya. Langkah ini merupakan langkah awal untuk memahami apa yang dibaca atau disimaknya. Pentingnya memahami ayat-ayat Alquran yang didengar atau yang dibaca karena mendengar (sima‟ah) bacaan Al-quran yang tidak mengetahui artinya tidak akan menghasilkan pemahaman. Tetapi walaupun tidak memahami maknanya, jika mendengarkannya dengan keikhlasan dan rasa cinta, maka ia akan berpengaruh positif terhadap suasana hati melalui kesan yang ditimbulkan dalam amigdala dan hipokampus. Pedak, M. (2009: 55) mengatakan bahwa “jika mendengarkan Alquran disertai dengan mengetahui maknanya, maka akan berbeda dampak yang ditimbulkannya, terutama dalam perjalanan impuls atau rangsangan”. Pada gambar berikut menunjukkan perbedaannya antara bacaan Al-quran yang tidak disertai pemahaman dengan yang disertai pemahaman. Lingkaran elips hitam merupakan pembeda antara keduanya.
100
Bagan 4.4 NEUROFISIOLOGI MENDENGARKAN ALQURAN
Daun Telinga
Telinga Tengah
Kokhlea
Hipotalamus
Amigdala
Talamus
Hipokampus
Area Wernicke
Area Prefrontal
Area Auditorik
Diadopsi dari Pedak, M. (2009: 55)
Seperti halnya mendengarkan (sima‟ah), bacaan (tilâwah) Alquran yang tidak disertai dengan pemahaman, maka rangsangan (impuls) yang masuk ke dalam otak hanya berasal dari area penglihatan sehingga efek yang ditimbulkannya lebih kecil bila dibandingkan dengan membacanya yang disertai dengan pemahaman (lingkaran putih dan elips hitam). Ini disebabkan karena tidak menimbulkan rangsangan yang masuk ke neokorteks (area kecerdasan manusia). Pedak (2009: 54) menggambarkan perbandingan perjalanan rangsangan (impuls) saat membaca Al-quran dengan lisan (jahr = nyaring), tetapi tidak mengetahui maknanya (lingkaran elips putih) dengan membaca Al-quran dengan lisan (jahr = nyaring) yang disertai dengan mengetahui maknanya (lingkaran putih dan elips hitam) sebagaimana divisualkan dengan bagan 4.5 pada halaman berikut. Berdasarkan bagan 4.5 tersebut, dapat dipahami bahwa membaca (tilâwah) dengan lisan yang disertai dengan pemahaman maknanya, rangsangan yang masuk ke otak terutama amigdala (pusat emosi), hipokampus (pusat ingatan emosional) , dan area 101
refrontal (pemaknaan peristiwa) akan semakin banyak sehingga memungkinkan pembacaan Al-quran akan lebih berkesan dan merangsang untuk berpikir. Tafakkur (berpikir) berfungsi sebagai upaya memberi nilai (valuing); yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespons nilai (tajawwub) sebagaimana telah diuraikan di atas. Bagan 4.5 NEUROFISIOLOGI MEMBACA AL-QURAN
Objek Al-quran
Retina
Traktus Opticus
Hipotala mus
Amigdal a
Talamus
Telinga Kohlea
Area Prefontal
Hipokam pus
Area Penglihaan
Suara Al-quran
Area Auditorik
Area Wrnicke
Area Broca
Area Motorik
Diadopsi dari Pedak. (2009: 55)
Al-Quran mempunyai pengaruh yang menakjubkan terhadap hati manusia. Hal ini telah disaksikan setiap orang yang mendengarnya, baik ia itu muslim maupun kafir. Inilah yang menjadikan orang-orang musyrik Makkah panik ketika mendengar al-Quran dibaca. Mereka khawatir kalau-kalau kaum wanita, anakanak dan orang-orang lemah dari mereka mendengarnya,lalu terpengaruh dan beriman kepada risalah yang diturunkan Allah
102
melalui al-Quran. Keadaan ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya:
ِ ال الَّ ِذين َك َفروا ال تَسمعوا ُِل َذا الْ ُقر آن َوالْغَ ْوا فِ ِيو لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْغلِبُو َن ْ َ َُْ ُ َ َ ََوق
Dan orang-orang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini dan buatlah hirukpikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka). (Q.S. Fushilat [41]: 26). Meskipun demikian, ada saja beberapa orang kafir (musyrik) mendengarkan al-Quran dengan sembunyi-sembunyi, yang satu sembunyi di belakang yang lain. Di antara mereka lalu saling mengolok-olok perbuatan mereka yang mencuri dengar bacaan alQuran itu. Al-Walid bin Mugirah, suatu ketika mendengar Nabi membaca ayat berikut:
ِ ِ ِِ ِ السم ِاء ماء لَ ُكم ِمْنو َشر ِ يمو َن ٌ َ ُ ْ ً َ َ َّ ُى َو الَّذي أَنْ َزَل م َن ُ اب َومْنوُ َش َجٌر فيو تُس
Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
ِ اّلل َيْمر َِبلْع ْد ِل واإلحس ِ ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرَب َويَْن َهى َع ِن َ ْ َ َ ُ ُ َ ََّ إ َّن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمْن َك ِر َوالْبَ ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat hebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q.S. al-Nahl [16]: 90). Al-Walid kemudian berkata: "Ulangi lagi bacaan itu untukku", maka Nabi pun mengulanginya. Setelah selesai, al-Walid berkata, "Demi Allah, itu sungguh enak didengar. Di bagian ujungnya ada keindahan, di bagian pangkalnya ada limpahan kebaikan, dan bagian atasnya sungguh rindang. Manusia tidak akan bisa membuatnya." Dikisahkan, pada suatu malam Abu Supyan, Abu Jahal dan Akhnas keluar rumah secara terpisah tanpa perjanjian 103
sebelumnya. Mereka bermaksud mendengarkan Muhammad membacakan al-Quran saat shalat di rumahnya. Masing-masing mencari tem-pat tersembunyi supaya tidak terlihat oleh orang lain. Pada saat pulang di pagi hari mereka bertemu dan masing-masing merasa kaget karena ternyata mereka pulang dari tempat yang sama. Karena itu mereka saling menyalahkan dan saling mengingatkan agar tidak mengulangi perbuatan yang sama. Malam berikutnya masing-masing kembali mendatangi tempat itu secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan yang lainnya. Tapi saat pulang mereka bertemu lagi. Mereka saling menyalahkan lagi, dan masing-masing berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Thufail bin Amr adalah seorang ahli sastra dan penyair yang sangat dikagumi dan disegani. Pada saat ia datang di Makah banyak orang yang menyambutnya dengan penuh hormat. Mereka berkata kepadanya; Wahai Thufail, selamat datang di Negeri kami. Di sini ada laki-laki yang berbahaya. Ia memecah belah kesatuan kami, ucapannya bagaikan sihir. Ia memisahkan seseorang dengan bapaknya, saudaranya, bahkan isterinya. Kami khawatir engkau dan kaummu terpengaruh olehnya, maka janganlah engkau berbicara dengannya. Thufail menjelaskan: "Demi Allah, setelah itu saya tidak perah mendengar atau berbicara dengannya, karena aku takut telingaku mendengar ucapannya, maka aku tutup dengan kapas”. Tapi ketika aku dekat ka'bah tiba-tiba terdengar pula ucapannya, padahal aku tidak mau mendengamya. Kata Tufail: Aku lihat Muhammad sedang shalat, dan aku dengar sebagian ucapannya. Sungguh indah susunannya, aku bergumam sendiri. Demi Allah, aku seorang ahli sastera (sair) yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jelek. Apa yang menghalangiku dari ucapan orang ini? Jika ucapan-nya baik, tentu aku akan menerimanya, dan jika jelek aku pun harus meninggalkannya. Aku terdiam sam-pai Muhammad pulang ke rumahnya. Lalu aku ikuti dia, dan masuk ke rumahnya, dan aku berkata: "Wahai Muhammad, mereka mengatakan bahwa engkau begini dan begitu. Demi Allah, karena aku takut mendengarmu aku tutupi telingaku dengan kapas. Namun Allah berkehendak, aku mendengar ucapan-mu sungguh indah luar biasa. Sampaikanlah kepadaku seluruh yang engkau terima. Maka Rasulullah 104
menyampaikan Islam dan mengajarkan al-Quran kepadaku. Demi Allah aku belum pernah mendengar ungkapan sebagus al-Quran atau sebanding denganya. Maka aku pun jadi muslim dan bersaksi atas kebenaran." Kisah di atas membuktikan bahwa pesona kemukjizatan alQuran sangat luar biasa. Orang-orang yang membenci dan memusuhi dibuatnya tidak berdaya untuk sekedar membencinya. Sesungguhnya mereka sangat membencinya dan tidak hentihentinya mencari jalan untuk menjatuhkannya melalu jalan apa saja yang dapat dilakukannya. Tapi pesona kemukjizatan al-Quran jauh lebih hebat dan terlalu indah untuk dibenci. Keindahan alQuran yang luar biasa terus menerobos relung-relung kejernihan fithrahnya sebagai manusia. Mereka benar-benar tidak mampu membencinya. Mereka beberapa kali datang lagi karena terpesona oleh keindahannya. Keindahan yang nyata memang tidak bisa diingkari. Al-Qardhawi (2007:99) melaporkan bahwa dokter Ahmad Qadhi beserta beberapa dokter muslim dari rumah sakit khusus dan terbesar di wilayah Florida, Amerika, melakukan percobaan dengan memperdengarkan bacaan al-Quran kepada sejumlah pasien. Untuk keperluan itu, mereka menyiapkan alat-alat khusus untuk mengetahui efek bacaan al-Quran terhadap para pasien yang terdiri dari orang Muslim, non-Muslim, Arab, dan non-Arab. Subhanallah! Hasilnya menakjubkan. Mereka menemukan fakta bahwa al-Quran memberikan pengaruh positif kepada semua pasien, dengan tingkat yang berbeda-beda. Orang Arab muslim berbeda dengan orang Arab non muslim, demikian juga berbeda dengan orang muslim non Arab. Tetapi semuanya menunjukkan adanya pengaruh (bacaan al-Quran), hingga terhadap orang non muslim dan non Arab sekalipun. Ini menunjukkan bahwa dalam kalimat-kalimat al-Quran terdapat keistimewaan khusus yang tidak dijumpai dalam kalimat-kalimat manusia. Maka dari itu, pemanfaatan unsur suara atau audiosasi terhadap ayat-ayat al-Quran adalah sebagai salah satu upaya, agar mereka mendengarkannya dapat dimasukkan sampai ke dalam hati, sebagaimana dikemukakan di dalam al-Quran sendiri bahwa:
105
ِ َّ ِ ين أُوتُوا الْعِْل َم َوَما ََْي َح ُد ٌ َت بَيِّن ٌ آَي ُ ات ِح َ بَ ْل ُى َو َ ص ُدور الذ ِِب ََيتِنَا إِال الظَّالِ ُمو َن
Sebenarnya, al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu, dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim. (Q.S. al-Ankabut [29]: 49).
Adapun maksud dari “ayat-ayat di dalam dada mereksa” pada ayat di atas adalah ayat-ayat Al Quran itu terpelihara dalam dada dengan dihapal oleh banyak kaum muslimin turun temurun dan dipahami oleh mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengubahnya. Anjuran Nabi Muhammad mengenai membaca al-Quran yang sebaiknya dihiasi dengan suara yang indah dan merdu, dapat memberikan pengaruh-pengaruh luar biasa kepada sejumlah seniman suara dari orang-orang Islam. Mereka ini kemudian menyu-sun dan mengembangkan seni membaca al-Quran atau qiraah al-Quran yang sampai hari ini banyak digemari dan dipelajari untuk diamalkan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui, bahwa ketentuan-ketentuan di dalam cara membaca al-Quran, yakni dalam hal panjang dan pendeknya, tipis dan tebalnya, jelas dan samarnya, dan hukum-hukum lain yang dijelaskan dalam ilmu tajwid serta ilmu dan latihan tarik suara di dalam membaca al-Quran, ternyata melahirkan suatu aktualisasi seni suara yang sangat bernilai tinggi dan memiliki kekuatan-kekuatan ruhaniah di dalam mengubah karakter kepribadian manusia. Untuk sekedar contoh yang sangat terkenal untuk kita jadikan argumen atas penjelasan di atas adalah berubahnya secara cepat kepribadian Umar bin Khattab, yang semula berniat membunuh Nabi Muhammad dan telah menyiksa adik kandungnya yang perempuan, tiba-tiba berubah drastis menjadi memeluk Islam dan menjadi tokoh besar di dalam Islam. Padahal, ketika al-Quran dibacakan kepadanya oleh adik kandungnya yang semula disiksa dan mengalami perdarahan di hidung dan mulutnya.
106
3. Mengingat Manusia sebagai salah satu makhluk Allah memiliki beberapa sifat, salah satunya sifat lupa. Lupa terhadap apa yang pernah diketahuinya, lupa terhadap perjanjian yang dibuatnya dan lain-lain. Tatkala ma-nusia lupa kepada Allah , maka Allah mengingat-kannya antara lain melalui al-Quran, dan al-Quran dalam hal ini berfungsi sebagaimana salah satu nama-nya al-dzikr (pemberi peringatan). Dua ayat al-Quran berikut erat kaitannya dengan hal yang sedang dijelaskan ini:
"Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (Q.S. al-Kahfi [18]: 24).
"Seliali-kali janganlah demikian. Sesungguhnya ajaran-ajaran Rabbmu itu adalah suatu peringatan. Maka siapa saja yang menghendaki, tentulah ia akan mengingatinya." (Q.S. 'Abasa [80]:11-12). 4. Mempelajari Al-Quran diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk selanjutkan dijadikan pedoman hidup bagi manusia dan media komunikasi dengan Allah . Seseorang tidak mungkin dapat berkomunikasi tanpa memahami media komunikasinya. Untuk tujuan memahami al-Quran itulah perlunya manusia mempelajari al-Quran sebagaimana diajarkan oleh Allah Yang Maha Rahman.
1. (Tuhan) yang Maha pemurah, 2. yang telah mengajarkan Al Quran. 3. Dia menciptakan manusia. 107
4. mengajarnya pandai berbicara. 5. Menemukan Pesan Setelah manusia mempelajari dan memahani al-Quran, maka ia akan menagkap pesan darinya. Sesorang yang mampu menangkap pesan Ilahi melalui membaca dari al-Quran itulah yang dimaksud berkomunikasi dengan Allah . Pesan-pesan Allah kepada manusia melalui al-Quran itu merupakan pesan yang haq (benar) dan sebaik-baik pesan. Sehubungan dengan hal ini, Allah berfirman:
"Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu se-suatu yang ganjil, melainkan Kami mendatangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya." (Q.S. al-Furqan [25]: 33). Akhirnya, setelah al-Quran itu dibaca, didengar, dipelajari, ditelaah atau direnungkan sehingga masuk ke dalam pikiran dan hati, akan membentuk sosok pribadi yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang digambarkan dalam al-Quran berikut ini: a) Beriman kepada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya (S. alBaqarah [2]:3-4):
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat], dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
108
b) Mengajarkan dan tetap mempelajari (Q.S. Ali Imran [3]:79):
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembahpenyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbanib (orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah) karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. c) Menambah iman dan berbahagia karena al-Quran (Q.S. atTaubah [9]:124).
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. d) Tidak duduk bersama dengan orang yang mengolok-olokkan alQuran (Q.S. an-Nisa [4:]140). Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), 109
maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. e) Tersungkur sujud, menangis, dan bertambah khusyuk apabila dibacakan al-Quran (Q.S. al-Isra [17]: 107-109).
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata: "Maha suci Tuhan Kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. f) Berjihad dengan al-Quran sebagai jihad yang besar kepada orang-orang kafir (Q.S. al-Furqan [25]:52).
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar. g) Apabila diperingatkan dengan al-Quran tidak tuli (Q.S. alFurqan [25]:73).
110
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayatayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. h) Mengakui bahwa al-Quran sesuatu yang hak dari Allah (Q.S. al-Qashash [28]:52-54).
Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka alKitab sebelum al-Quran, mereka beriman (pula) dengan al-Quran itu. Dan apabila dibacakan (al-Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: "Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; al-Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya). Mereka itu diberi pahala dua kali (pertama karena mereka beriman kepada Taurat dan kedua karena mereka beriman kepada al-Quran) disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan. i) Apabila diperingatkan dengan al-Quran tersungkur sujud, bertasbih memuji Allah dan tidak menyombongkan diri (Q.S. as-Sajdah [32]:15).
Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayatayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.
111
j) Jarang sekali tidur, berdo'a dengan rasa takut dan harap, dan menginfakkan rezeki yang ada padanya (Q.S. as-Sajdah [32]:16).
k)
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya] dan mereka selalu berdo‟a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan. Kulitnya menjadi gemetar ketika mendengarkan al-Qur`an karena rasa takut kepada Allah (Q.S. az-Zumar [39]:23).
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) alQuran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.
112
BAB VI METODOLOGI TADABUR AL-QURAN
D
alam bab metodologi tadabur ini akan disajikan hal-hal yang berkaitan dengan cara-cara tadabur al-Quran yang meliputi (a) Konsep dasar, (b) Pendekatan metodologi tadabur al-Quran, (c) Sistematikan tadabur al-Quran, dan (d) Adab tadabur al-Quran. Gambaran umum bab ini disajikan dengan bagan bagan 6.1 berikut. Bagan 6.1 METODOLOGI TADABUR AL-QURAN METODOLOGI TADABUR AL-QURAN
Konsep dasar
Pendekatan Tadabur al-Quran
Sistematika Tadabur al-Quran
Adab Tadabur al-Quran
Tilawah
Integratif
Persiapan
Adab Lahir
Tazkiyah
Tematik
Tilawah/Sima‟ah
Adab Batin
Ta‟lim
Terjemahan
Komparatif
Kandungan Ayat-ayat
Paradigmatik
Asbab nuzul
Empirik
Perenungan mendalam Tajawwub Tindak lanjut
113
A. Konsep Dasar Adapun konsep dasar metodologi tadabur al-Quran yang dikembangkan dalam kajian ini mengacu kepada firman Allah S. al-Baqarah [2] : 151) sebagai berikut:
"Sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul di antara kamu, yang membacakan (men-tilawah-kan) kepa-da kamu sekalian ayat-ayat Kami, membersihkan (men-tazkiah-kan) kamu, mengajarkan (men-ta'lim-kan) kepada-mu al-Kitab dan AlHikmah, dan megajarkan kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui." Ayat ini memformulasikan sistematika pemben-tukan manusia Qurani –sebagaimana Nabi Muhammad - dalam tiga tahapan dan proses yang dapat dilakukan secara simultan, yaitu: (a) tilawah, (b) tazkiyah, dan (c) ta‟lim al-Kitab wa al-hikmah. Izzuddin (2009: 183) menyebutnya tiga tahapan proses di atas sebagai “trilogi tarbiyah”. Menurut Izzuddin (2009: 183), bahhwa trilogi tilawah, tazkiyah, dan ta'lim merupakan sistem pembelajaran yang syamil (integral), shahih (benar) dan wadhih (gamblang) dalam membentuk kepribadian muslim yang unik (syakhsiyah islamiyah mutamayyizah). Secara umum konsep dasar tadabur al-Quran digambargan dengan tiga fungsi di bawah ini: 1. Tilawah; Fungsi informasi agar tahu 2. Tazkiyah;Fungsi membersihkan hati, memotivasi agar mau; 3. Ta'lim; Fungsi meningkatkan kapasitas diri agar mampu. Bagan 6.2 pada halaman berikut ini menggambarkan konsep dasar tadabur al-Quran dan masing-masing fungsinya.
114
Bagan 6.2 KONSEP DASAR TADABUR AL-QURAN Tilawah
Tazkiyah
Ta'lim
HASIL TADABUR AL-QURAN
TADABUR AL-QURAN
Agar tahu
Agar mampu
Agar mampu
Sebagaimana kita pahami bahwa pengetahuan itu akan bermanfaat apabila dibingkai dengan kemauan yang kuat untuk mengamalkan. Namun ilmu dan motivasi saja belum cukup untuk memandu amal sehingga perlu kemampuan atau skill. Di sini terjadi sinergi antara tahu (dzikir), mau (pikir) dan mampu (skill). 1. Tilawah Secara bahasa tilawah berarti membacakan atau mengikuti (to follow). Jika dihubungkan dengan al-Quran tilawah artinya membacakan ayat-ayat al-Quran, meperdengarkan ayat-ayat alQuran, mem-baca dengan mengikuti hukum bacaannya...haqqa tilaawatih." Menyampaikan informasi dan ilmu yang bersumber dari al-Quran. Sebab istilah tilawah (membaca) hanya dapat digunakan dalam konteks ayat-ayat al-Quran. Tilawah, membaca dan mengkaji ayat-ayat Allah agar memiliki pemahaman Islam yang benar untuk diikuti atau dilaksanakan. Allah berfirman:
"Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi" (Q.s. al-Baqarah [2]: 121). 115
Salah satu cara tilawah al-Quran yang benar adalah dengan cara tartil. Oleh karena itu Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk membaca al-Quran dengan tartil, ٔسذم انمشاٌ ذشذيال Warattilil Quraana tartiilaa... )dan bacalah al-Quran dengan tartil( (Q.S. al-Muzammil [73]: 4). Sejalan dengan makna dasar kata tilawah yang berarti “mengikuti” terkandung makna bahwa kegiatan membaca alQuran itu sejatinya haruslah dengan mengikutsertakan semua jiwa, hati, pikiran, lidah dan anggota badan. Maksudnya, pada saat membaca al-Quran, jiwa dan raga, alasan dan perasaan melebur menjadi satu. Sementara lidah membaca dan kata-kata keluar dari bibir, pikiran mempertimbangkan, hati merenungkan, jiwa meresapi, dan air mata mengembang di pipi, hati tergetar, kulit dan hati melunak, tidak ada lagi perbedaan antara dualitas yang ada, bahkan bulu roma pun ikut berdiri. Hal inilah gambaran umum yang difirmankan Allah (Q.S. al-Isra [17]: 107), bahwa:
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Ada sebuah ilustrasi menarik yang dikutip oleh Izzuddin (2009: 184) tentang haqqa tilawah al-Quran. (keseriusan membaca al-Quran). Ibarat orang menyimak (siaran pandangan mata, pen.) pertandingan sepak bola; ke mana bola bergerak, dia ikuti dengan cermat, jangan sampai kehilangan titik di mana bola itu jatuh. Benar-benar cermat dan hati-hati. Jadi tilawah al-Quran dalam rangka tadabur dimaksudkan di sini adalah tilawah yang benarbenar membaca dengan mengerahkan seluruh potensi tubuh, mata menyimak dengan cermat, lidah membaca dengan teliti, pikiran merenungkan maknanya dan hati meresapkan ke dalam jiwa untuk mengambil ruh dan kekuatan. Sehingga tilawah yang sungguh-sungguh akan mampu mengonsentrasikan jiwa, merasakan nikmatnya bacaan, khusyuk dan tawadhu', bahkan bila mampu mencucurkan air matanya.
116
Tilawah bersifat informatif agar tahu, tahu ten-tang Islam, tentang halal dan haram, tentang syariat Allah yang dituangkan dalam al-Quran. Tilawah itu bukan sekadar membaca, tetapi menghadirkan kebaruan hidup termasuk ilmu pengetahuan yang ber-kembang. Sebab tanpa penyampaian sejumlah informasi yang telah terumuskan, seperti paradigma, pers-pektif dan teori-teori ilmu pengetahuan, seseorang tidak mungkin dapat berfikir, apalagi untuk menyim-pulkan dan merumuskan sesuatu yang dihadapi dan dialaminya. Untuk itu kata-kata ّ) يرهٕا عهيٓى آياذmembacakan ayat-ayat Allah kepada mereka) mengisyaratkan kepada penguasaan informasi yang sudah terumuskan dan mudah dicerna. Ini sangat diperlukan terutama dalam pembentukan tatanan pemikiran sebagai awal pengembangan kecerdasan seseorang. Ayat-ayat al-Quran atau ayat-ayat qauliah (wahyu), secara bahasa dapat diartikan dengan tanda-tanda. Namun jika kita ungkap makna “ayat” melalui menelusuran makna-makna “ayat” dalam al-Quran, ternyata tidak hanya bermakna tanda-tanda. Menurut Al-Kailani (1985: 38-40) menemukan lima makna “ayat” dalam al-Quran, makna tilawah dalam kaitannya dengan ayat-ayat al-Quran secara umum dapat divisualkan sebagai berikut: Bagan 6.3 PETA KONSEP TILAWAH AYAT-AYAT ALLAH TILAWAH AYAT-AYAT (al-Baqarah 121
AlBaqarah [2]: 112
Ali Imran [3]:41
Yaasin [36]:33
Ali Imran [3]:13
An-Nahl [16]:101
معجزة
عالمت
برهان
عبرة
اياث قرانيت
Mukjizat
Tandatanda
Dalil
Pelajaran
Ayat-ayat Quran
117
a) Mukjizat ( ;( يعجضجMakna ini ditemukan antara lain seperti pada S. al-Baqarah [2]: 118 berikut ini:
“Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang ayatayat-Nya (mukjizat) kepada kami?" demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tandatanda ke-kuasaan (mukjizat) kami kepada kaum yang yakin”.
b) Tanda ) ;(عاليحMakna ini antara lain ditemukan seperti pada S. Ali Imran [3]: 41 berikut ini:
“Berkata (Zakariya): "Berilah aku suatu ayat (bahwa isteriku telah mengandung)". Allah berfirman: "Ayatnya (tandanya) bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari".
c) Dalil )ٌ ; (تشْاMakna ini ditemukan antara lain seperti pada S. Yaasin [36]: 33) berikut ini:
118
“Dan suatu ayat (dalil) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan dari padanya bijibijian, maka dari padanya mereka makan.” (Q.S. Yaasin [36]: 33).
d) Pelajaran ) ;(عثشجMakna ini ditemukan antara lain seperti pada S. Ali Imran [3]: 13 berikut ini:
“Sesungguhnya telah ada tanda (pelajaran) bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah mengua-kan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat (pel-ajaran) bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”.
e) Ayat-ayat Quran ) ;(آياخ لشآَيحMakna ini ditemukan antara seperti pada S. al-Nahl [16]: 101 berikut ini:
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat (ayat al-Quran) di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.” 2. Tazkiyah Tazkiyah artinya membersihkan diri sebagai pro-ses penyucian (purifikasi). Langkah ini jarang ditemukan dalam proses 119
pembelajaran dalam sistem pendidikan selain Islam. Padahal proses pembersihan yang diisyaratkan dalam ungkapan ayat ٔيض ّكيكى )dan membersihkan kamu( ini sangat diperlukan dalam menetralisir pemikiran, perasaan dan moral dari muatan-muatan negatif yang akan mengganggu dan merusak jaringan hidup manusia. Purifikasi akan berimplikasi pada potensi-potensi manusia akan teroptimalkan ke arah dan tujuan yang lebih efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan pemikiran, perasaan dan perilaku yang sia-sia dan negatif seringkali mengacaukan aktivitas berfikir, rasa, dan aksi seseorang yang lebih jauh lagi akan membawa kepada cacat kepribadian atau kepribadian yang tidak sehat. Namun demikian, langkah ini tidak berarti bahwa seseorang tidak perlu memahami hal-hal negatif atau buruk. Justru proses ini mendorong agar seseorang mengetahuinya agar ia terhindar dari bahaya keburukankeburukan itu. Izzuddin (2009: 186) mengisahkan. Suatu hari Imam Ibnul Jauzi ditanya oleh seseorang. "Manakah yang lebih baik bagiku, bertasbih atau beristighfar?" Dengan bijak, Ibnul Jauzy menjawab, "Pakaian yang kotor lebih membutuhkan sabun daripada minyak wangi." Jawaban telak. Padat makna. Sarat hikmah. Dengan kata lain, bagi Ibnul Jauzi, beristighfar lebih utama dilakukan untuk "mencuci pakaian yang kotor dari segala noda." Begitulah hati, ia lebih baik dibersihkan dari berbagai kotoran sebelum menghiasinya dengan wewangian." Sabun istighfar, itulah ilustrasi sederhana pembersihan jiwa. Bersihkan hati dengan banyak bersabunkan istighfar baru setelah itu taburi dengan minyak tasbih nan wangi. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia diciptakan dengan dianugrahi komponen komponen dasar, yaitu akal (al„aql), hati (al-qalb) dan jasad atau fisik (al-jism). Akal berfungsi untuk berfikir sehingga menghasilkan produk berupa pemikiran. Hati berfungsi untuk merasakan; cinta, takut, sayang, benci dan seba-gainya atau meyakini untuk menghasilkan produk berupa perasaan dan keyakinan. Dan jasad atau fisik berfungsi untuk berbuat atau bertindak (sebagi pelaksanaan atau eksekusi dari hasil keputusan akal dan hati), sehingga melahikan produk berupa perilaku atau perbuatan. Menurut Syarifuddin (2005:38) bahwa “ketiga produk inilah yang menjadi dasar terbentuknya
120
kepribadian manusia dengan susunan lapis terluar adalah perilaku kemudian pemikiran dan yang terdalam adalah keyakinan”. Tiga unsur pokok sebagaimana telah dijelaskan di atas hubungannya dengan tadabur al-Quran, manusia harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum mentadaburi al-Quran. Menurut Al-Kailani (1985: 42) bahwa unsur tazkiah ini terbagi atas tiga unsur pokok manusia di atas, yaitu ( a) Tazkiyatu al-nafs (b) Tazkiyatu al-‟aql; dan (c) Tazkiyatu aljism. Penjelasan singkat mengenai tiga hal ini diuraikan sebagai berikut: a) Tazkiyatu al-Nafsi; Yakni berusaha untuk membersihkan jiwa (batin) dan berusaha sekuat tenaga menjauhkan dari hal-hal yang akan mengotorinya seperti nafsu amarah, syetan, fitnah (godaan) dunia-wi yang mendorong manusia pada derajat yang hina. Adapun strategi untuk mendapatkan jiwa yang suci antara lain: b. Muhasabah al-nafs atau introspeksi diri (Q.S. al-Hasyr [59]: 18), bila merasa jiwa kotor segera membersihaknnya dengan taubat dan istigfar.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. c. Taubat, artinya perbaikan diri atau kembali ke jalan yang benar, penyesalan, dan tidak mengulangi lagi. Taubat ini merupakan strategi lanjutan dari strategi muhasabah (Q.S. alTahrim [66]: 8, dan Ali Imran [3]: 133).
121
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahankesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. d. Berdo‟a, meminta pertolongan Allah (Q.S. al-Mukmin [40]: 60).
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".
122
b) Tazkiyatu al-„-aql; Maksudnya mensucikan atau membersihkan pemikiran dari keyakinan-keyakinan yang mengagangu akal, seperti khurafat, tahayul dll. Di samping itu juga dituntut untuk menjauhkan diri dari cara-cara berfikir yang merusak berfikir Islami, seperti yang ghozwul fikri dll. c) Tazkiyatu al-Jism; Bembersihkan fisik (lahiriah) yang disimbulkan dengan berwudlu dan atau mandi (al-ghasl) untuk menghilangkan hadats, termasuk pengaturan kebutuhan biologis dan menjauhi sifat isyraf (berlebih-lebihan). Adapun tujuan dari penerapan konsep tazkiyah adalah agar manusia yang bertadabur al-Quran itu tidak keras dan mudah dibentuk, maka hati perlu dilembutkan sehingga tidak mudah retak atau pecah. Sebab menurut atsar Sahabat Nabi bahwa pada orang mukmin ada di antara lima kekerasan, yaitu mukmin yang dengki kepadamu, munafik yang membencimu, kafir yang memerangimu, syetan yang menyesat-kanmu, jiwa yang memusuhimu. Musuh kita sebenarnya bukan orang yang me-musuhi kita, tapi siapa yang kita musuhi. Sehingga kalau kita nggak akrab, sering bentrok dengan jiwa kita, galau dan kacau, bisa jadi itulah itulah sesung-guhnya musuh kita. Musuh terberat bukan yang nam-pak namun yang tersembunyi, menyelinap, dan akhir-nya menyergap kita. Izzuddin (2009: 187-189) menunjukkan beberapa manfaat atau urgensi tazkiyah. Berikut ini disadurkan pokok-pokoknya: a. Tazkiyah sangat dibutuhkan untuk membangun stabilitas ruhani agar terhindar dari bahaya besar. b. Tazkiyah merupakan risalah asasi para nabi, pokok risalah Rasulullah untuk membersihkan manusia dari kekotoran dan kegelapan jahiliyah menuju cahaya dan kesucian Islam. c. Tazkiyah memperbaiki nafs, mendidik tabiat, dan menguatkan manusia kepada derajat yang tertinggi sebagaimana dorongan yang terlintas dalam hati yang berusaha menjauhkannya. d. Tazkiyah menumbuhkan rasa keindahan dalam ibadah, piranti perbaikan jiwa yang cenderung pada kejah e. atan untuk membersihkannya dari kecenderungan negatif dan mengarahkannya pada kebaikan. 123
f. Tazkiyah itu pilar kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat. Yakni mulia di dunia, selamat dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga. g. Tazkiyah merupakan solusi bagi setiap permasalahan. Sebab, bila hati bersih maka masalah akan mudah terdeteksi. Seperti gelas yang bersih sehingga apa pun barang di dalamnya nampak jelas. Dengan "sabun istighfar" hati menjadi bersih. Pembahasan mengenai tazkiyah dalam kaitannya dengan orang yang melakukan tadabbur al-Quran sebagaimana telah diuraikan di atas secara umum dapat divisualkan sebagai berikut: Bagan 6.4 KONSEP TAZKIYAH TAZKIYAH
Manfaat:
Membangun stabilitas Risalah Rasul yang asasi utk membersihkan manusia Memperbaiki nafs, mendidik tabiat, dan menguatkan manusia kepada derajat yang tertinggi Menumbuhkan rasa keindahan dalam ibadah, piranti perbaikan jiwa Pilar kesuksesan hidup Solusi bagi setiap permasalahan.
Tazkiyah al-nafs Hati
Muhasabah al-Hasyr [59]: 18
Tazkiyah al-„aql Akal
Taubat al-Tahrim [66]: 8
124
Tazkiyah al-jism Badan
Berdo’a al-Mukmin [40]: 60
3. Ta'lim Istilah ta‟lim ini terambil kari kata ( ٔيعهًّكىdan membelajarkan kamu). Ini adalah sebagai proses pembelajaran dari adanya tilawah (pembacaan) atau sima‟ah (memperdengarkan) yang berdampak pada pe-nguasaan ilmu dari informasi yang diterima untuk dapat direspon oleh pikiran, hati dan jasad atau anggota badan. Ta'lim artinya tazwiidul 'uluum, menambah ilmu, pengayaan, pengajaran, pendalaman, pengkajian ajaran Islam dengan seluruh seluk-beluknya. Adapun objek yang diajarkannya adalah al-kitab (al-Quran) dan hikmah. Pembahasan tentang makna al-Quran (al-kitab) telah banyak dijelaskan di atas, sedangkan al-hikmah belum cukup memadai. Terkait dengan makna al-hikmah kita dapat merujuk pendapat Al-Kailani (1985: 50-51) yang menunjukkan tujuh makna al-hikmah berdasarkan al-Quran, yaitu: a. „Ibrah (pelajaran); Seperti tercantum pada al-Quran S. al-Qomar [54]: 4-5 sebagai berikut:
“Dan Sesung-guhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmah (pelajaran) yang sempurna maka peringatanperingatan itu tidak berguna (bagi mereka). b) Al-itqaan (bijaksana dan tahu secara mendalam); Seperti tercantum pada al-Quran S. Huud [11]: 1 sebagai berikut:
“(Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.” c) Al-huluul al-Malaikah (kedatangan Malaikat); Seperti tercantum pada al-Quran S. al-Zukhruuf [43]: 63 sebagai berikut:
125
“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: "Sesungguhnya Aku datang kepadamu dengan membawa hikmah (malaikat) dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) Ku". d) Al-qudrah ala al-tamyiz baina al-khatha wa al-shawab, al-naafi‟ wa al-dhaar (Kemampuan membedakan Nilai benar-salah/ manfaat-madarat); Seperti tercantum pada al-Quran S. alBaqarah [2]: 269 sebagai berikut:
Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). e) Al-fahm wa al-ma‟rifah (pemahaman dan makrifat); Seperti tercantum pada al-Quran S. Luqman [31]: 12 sebagai berikut:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan darangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
126
f) Shawabu al-Ra‟yi wa husnu al-nadhri fii al-umuur (pendapat yang betul dan pandangan yang lurus dalam segala urusan); Seperti tercantum pada al-Hadits bahwa: “Sesungguhnya dari syiir itu ada hikmah”. g) Husnu al-taqdir wa al-idarah wa al-tasharruf (perka-taan yang tegas, benar, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan); Seperti tercantum pada al-Quran S. al-Nahl [16]: 125 sebagai berikut:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Langkah ketiga (ta‟lim) ini merupakan langkah lebih jauh dari proses pembentukan generasi manusia agar lebih siap dalam menghadapi dan menjalani kehidupannya. Penguasaan sumbersumber ilmu dan informasi ini dapat dibagi dua, yaitu: a) aspek epistemologi dan metodologinya, dan b) aspek informasi dan masalah-masalah baru yang dinamis a. Aspek Epistemologi dan Metodologinya. Memahami ilmu tentang asal-usul (epistemologi) ilmu pengetahuan diperlukan untuk mengetahui sumber-sumbernya (sources) yang murni dan dapat diper-tanggungjawabkan sisi kebenarannya secara ilmiah dengan argumen-argumen (dalil-dalil) yang mendu-kung. Penguasaan metodologi ilmu diperlukan dalam upaya memahami cara bagaimana ilmu pengetahuan itu dirumuskan menjadi formula kehidupan yang dapat dipelajari dan diterapkan. 127
Ungkapan "dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan alHikmah" (Q.S. al-Baqarah [2]: 151) menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran harus memperhatikan penguasaan kedua sisi ini. Al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah merupakan sumber dan asal usul ilmu pengetahuan yang membekali seseorang dalam proses berfikir secara deduktif dan induktif, di samping mengajarkan metodologi (bagaimana cara) pemerolehan ilmu pengetahuan. Sementara ilmu pengetahuan lain seperti Sejarah, terutama sirah nabawiyah (sejarah hidup Rasulullah ), yang juga termasuk dalam kedua sumber di atas, menggambarkan bagaimana suatu ilmu itu diterapkan dalam kehidupan yang kongkret dan lebih pragmatis. b. Aspek Informasi dan Masalah-masalah Baru yang Dinamis. Aspek ini diisyaratkan dalam ungkapan "dan mengajakan kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui" (Q.S. al-Baqarah [2]: 151). Proses ini merupakan langkah antisipatif terhadap masa depan dan dinamika kehidupan yang terus berkembang. Penguasaan informasi dan masalah-masalah yang belum pernah diketahui terutama oleh orang lain adalah cara ter-baik dalam mengungguli dan mendahuluinya. Sehingga siap berkompetisi dalam meraih peluang masa depan. Dukungan dan pengembangan ilmu pengetahuan lain dan warisan pengalaman seseorang atau suatu bangsa mendapat perhatian dalam proses pendidikan Islam karena al-Hikmah (wisdom) adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukmin. Kapan dan di mana saja ia menemukannya maka ia lebih berhak (mengambilnya). Dengan demikian, kriteria "hamba-hamba Allah yang shaleh" pewaris bumi ini (Q.S. alAnbiya [21]:105) berikut ini dapat terpenuhi oleh generasi Qurani. Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi. Pembahasan mengenai ta‟lim al-Kitab (yu‟allimukum al-kitaab) serta kaitannya dengan hikmah (al-hikmah) dalam konsep dasar tadabur al-Quran sebagaimana telah diuraikan di atas secara umum dapat divisualkan sebagai berikut: 128
Bagan 6.5 KONSEP TA‟LIM AL-KITAB & HIKMAH KONSEP TA’LIM
AL-KITAB/ AL-QURAN
&
AL-HIKMAH
al-Qomar [54]: 4-5
Huud [11]: 1
al-Zukhruf [43]: 63
al-Baqarah [2]: 268
„Ibrah
Al-itqaan
Al-huluul al-Malaikah
Pelajaran
Kijaksana tahu mendalam
Al-qudrah ala al-tamyiz baina al-khatha wa al-shawab, al-naafi‟ wa al-dhaar
Kedatangan Malaikat
Kemampuan membedakan nilai-nilai
Luqman [31]: 12
Al-fahm wa al-ma‟rifah. Pemahaman dan makrifat
al-Hadits
al-Nahl [16]: 125
Shawabu alRa‟yi wa husnu al-nadhri fii al-umuur Pendapat dan pandangan yg benar &lurus
Husnu al-taqdir wa al-idarah wa al-tasharruf . Perkataan yg tegas/benar, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal
129
B. Pendekatan Metodologi Tadabur Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam metodologi tadabur al-Quran kita dapat gunakan tulisan Syarifuddin (2005: 39-44), yaitu: (1) Pendekatan integratif, (2) Pendekatan tematik, (3) Pendekatan komparatif, (4) Pendekatan paradigmatik, dan (5) Pendekatan empirik. Berikut ini penjelasan singkat lima pendekatan tersebut. 1. Pendekatan integratif Pendekatan integratif artinya memahami struktur pemahaman integral secara korelatif antara ayat-ayat (surat) alQuran dengan realitas kehidupan. Pendekatan ini, membantu kita memahami struktur suatu ayat atau surat secara terpadu. Tidak ada kesan dikotomi di dalamnya. Sehingga pesan dan gagasan utama ayat atau surat tersebut dapat ditangkap dengan baik. Kita akan menemukan hubungan satu konsep dengan konsep lain secara interaktif dan saling terkait. Sehingga mengerucut pada satu titik kesimpulan, yaitu berupa konsep, teori, paradigma atau cara tertentu tentang suatu permasalahan dalam kehidupan yang dibimbing oleh Al-Quran. 2. Pendekatan Tematik Pendekatan tematik artinya menemukan dan merumuskan topik dan tema utama, misalnya tema akidah, tema ibadah, tema akhlak, tema pendidikan, tema sains, tema politik, tema ekonomi dll. Pendekatan ini membimbing kita memiliki kemampuan merumuskan sebuah tema tertentu, sebagai salah satu mutiara dari sekian banyak mutiara al-Quran, yang terkait dengan permasalahan hidup. Dengan demikian kita akan selalu mendapat bimbingan al-Quran untuk selanjutnya memiliki kemampuan baru dan terus berkembang dalam menjalani kehidupan sesuai dengan tema-tema permasalahan yang kita hadapi. 3. Pendekatan Komparatif Pendekatan komparatif artinya memformulasikan setiap tema dan topik melalui analisa perbandingan dengan ayat, surat, realitas, fakta, dan ilmu pengetahuan, masa lalu dan masa 130
kontemporer lainnya. Pendekatan ini diperlukan untuk melihat perbedaan atau persamaan yang signifikan antara konsep dan realitas kehidupan yang digambarkan dalam ayat atau surat dengan realitas lainnya. 4. Pendekatan Paradigmatik Pendekatan paradigmatik berarti merumuskan sejumlah paradigma/cara pandang) aktual dari setiap topik dan tema sebagai kerangka membangun teori, konsep dan pisau analisis terhadap permasalahan yang berkembang. Pendekatan ini bertujuan untuk merumuskan sebuah paradigma. Apa yang dimaksud dengan "paradigma" di sini adalah seperti yang dipahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought (model pemikiran) atau mode of inquiry (model penyelidikan) tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing (model atau cara mengetahui) tertentu pula. Yang diharapkan dari pendekatan paradigmatik ini adalah upaya untuk mengkonstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagai-mana dijelaskan al-Quran. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh al-Quran dengan tujuan pertama dan utama ialah agar kita memiliki "hikmah" yang dengannya dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Quran, baik pada level moral maupun sosial.
5. Pendekatan Empirik Pendekatan empirik maksudnya mengaktualisasikan cara pandang (paradigma) Qurani terhadap permasalahan kontemporer yang lebih riil, empirik dan nyata sesuai pesan Islam sebagai rahmatan lil ‟alamin. Pendekatan ini adalah untuk memberikan jawaban terhadap tuntutan sekelompok kalangan intelektual yang cenderung melihat Islam sebagai konsep langitan atau kurang membumi. Padahal Islam dan al-Quran sebagai sumber utamanya merupakan kitab petunjuk manusia di bumi. Al-Quran sendiri sering mengajak para pembacanya mengamati hal-hal empirik seperti pengamatan (observasi) terhadap bumi, langit, gunung, atau binatang seperti onta. Perbedaaanya dengan pendekatan filsafat adalah terletak pada 131
cara mengambil kesimpulan atau pelajaran. Dalam paradigma Quran, fakta empirik bukan standar untuk mengukur kebenaran, tetapi untuk mengamati hasil yang disebabkan oleh sebuah nilai, prinsip atau keyakinan yang melatarbelakanginya. Atau sebaliknya, yaitu untuk melihat pengaruh terhadap nilai, sikap dan keyakinan seseorang. C. Sistematika Tadabbu Al-Quran Tadabur al-Quran yang dirancang sebagai sebuah konsep, dapat kita susun sistematikannya sebagai berikut:
1. Persiapan Sebelum bertadabur hendaknya melakukan persiapan atau perencanaan yang semestinya. Antara lain meluruskan niat, membersihkan diri dari hadats, pakaian dan tempat, menyiapkan sarana dan lain-lain. Istilah lain yang senada dengan ini adalah pengkondisian.
2. Tilawah/Sima‟ah Mebaca (tilawah) al-Quran secara tartil (tertib) atau mendengarkan bacaan (sima‟ah), hendaknya dilakukan sesuai dengan adab lahir dan batin sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah . Antara lain hendaknya dibaca secara perlahan-lahan (jangan tergesa-gesa), dengan suara merdu, memperhatikan hukum tajwidnya, jaga makharij dan sifat hurufnya, dan berulangulang.
3. Pemahaman Terjemahan; Bila tidak menguasai bahasa Arab ikutilah dengan membaca terjemahannya. Langkah ini merupakan kerangka pemahaman yang sangat global dari suatu kata, ayat, atau surat dari al-Quran. Dengan terjemahan ini pembaca dapat memahami kerangka utama yang dimaksudkan dengan firman Allah tersebut. Terjemahan sebenarnya merupakan tafsir (interpretasi) yang paling sederhana dari al-Quran karena sesungguhnya tidak ada terjemahan kata demi kata. Jika hal itu dilakukan maka akan membiaskan arti yang sesungguhnya dimaksudkan sebuah kata dalam al-Quran. Jika ingin lebih mendalam lagi dapat membaca kitab-kitab tafsir, asbabunuzul, kitab 132
Mu‟jam Mufahraas Litholibi Ayaati Al-Quran karya Muhammad Fuad Abdul Baqi yang diterbitkan oleh Dar al-Hadits, atau kitab Fathurrahman Litholibi Ayaatil Quran yang diterbitkan oleh Maktabah Dahlan, atau kitab Al-Mu‟jam Mufahraas Litholibi Ayaati Al-Quran karya Muhammad Said Alliham yang diterbitkan Darul Ma‟rifah, atau buku Konkordansi Qur`an; Panduan Kata dalam Mencari Ayat-ayat Al-Quran karya Ali Audah yang diterbitkan oleh Litera Antarnusa. Kandungan Ayat; Kandungan yang dimaksudkan adalah proses kategorisasi atau pengelompokan pokok-pokok bahasan setiap ayat atau kata ke dalam tema-tema atau konsep-konsep, bahkan berupa konstruksi teori seperti yang dikemukakan dalam metodologi tadabur. Dalam salah satu situs internet (manhaj-tadabbur.html) dijelaskan empat poin penting dalam metodologi tadabur alQuran, yaitu: 1) Al-Qurlan diterangkan dengan al-Quran, 2) Al-Quran diterangkan dengan al-Sunnah, 3) Dengan memperhatikan pendapat para sahabat Nabi Muhammad , 4) Dengan merujuk pada penggunaan bahasa Arab fusha. Sesungguhnya antara ayat-ayat al-Quran saling berhubungan, ayat-ayat tertentu membenarkan ayat-ayat yang lainnya, antara ayat dengan ayat lainnya saling menafsirkan satu sama lain. Ayatayat tertentu menjelaskan sesuatu secara umum dalam suatu ayat, maka rinciannya ada dalam ayat yang lain, sesuatu yang muthlaq dalam sebuah ayat menjadi muqayyad dalam ayat yang lain, ayat yang umum dikhususkan dalam ayat lainnya. Contohnya seperti Nabi menafsirkan Surat al-Ana'm [6] ayat ke-82 dengan Surat Luqman [31] ayat ke-13.
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang
133
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Ana'm [6]: 82) Ayat di atas ditafsirkan dengan ayat berikut ini:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Luqman [31]: 13). Al-Quran dan al-Sunnah merupakan dua sumber ajaran Islam yang tidak dapat dipisahkan, keterkaitan antara keduanya nampak antara lain: Pertama; Al-Sunnah menguatkan hukum yang ditetapkan alQuran, di sini al-Sunnah berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh al-Quran. Contohnya al-Quran menetapkan hukum puasa dalam firman Allah S. alBaqarah [2]: 183, lalu ayat tersebut dikokohkan dengan hadits yang berbunyi: "Islam dibangun dengan lima perkara ....dst.”. Kedua; Al-Sunnah memberikan rincian terhadap pernyataan al-Quran yang masih bersifat umum, misalnya al-Quran menyatakan perintah shalat "Dan dirikanlah shalat.…(Q.S. alBaqarah [2]: 110). Shalat pada ayat tersebut ternyata masih sangat umum, maka hadits menjelaskan cara-cara shalat dengan hadits: “Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat). Ketiga; Hadits membatasi kemutlakan al-Quran, misalnya alQuran mensyari'atkan wasiat pada S. al-Baqarah [2]: 180. Terhadap ayat ini ada hadits Nabi yang memberikan penjelasan dengan memberikan batasan maksimal memberikan wasiat tersebut, yaitu tidak boleh lebih dari sepertiga dari seruruh harta peninggalannya. Keempat; Al-Sunnah memberikan pengecualian terhadap pernyataan al-Quran yang bersifat umum, misalnya al-Quran mengharapkan bangkai dan darah sebagaimana dinyatakan dalam 134
al-Quran surat al-Maidah [5] ayat 3. Hadits yang diterima dari Umar dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dkk. Menjelaskan pengecualian bangkai dan darah tertentu, Jadi tidak semua darah dan bangkai itu haram. Kelima; Al-Sunnah menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Quran. Al-Quran itu bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetap-kan secara pasti. Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh al-Quran, contohnya hadits Rasulullah riwayat Muslim dari Ibnu Abbas (1992) yang melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar. Para sahabat Nabi Muhammad adalah orang-orang yang hidup bersama Nabi , jika ada keterangan yang shahih dari mereka, maka hendaklah kita ambil, karena al-Quran turun ditengah-tengah mereka, mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sebab-sebab turunnya, bahasa Arab merekapun lebih asli, kefahaman merekapun lebih bersih, keimanan merekapun lebih sempurna, kejujuran merekapun lebih teruji. Bahasa Arab merupakan alat untuk men-tadaburi al-Quran secara langsung karena al-Quran diturunkan dan ditulis dengan bahasa Arab. Namun dalam implementasi tadabur al-Quran bagi bangsa Indonesia yang belum bisa berbahasa Arab secara baik, tentu saja dapat dilakukan dengan yang ia pahami, atau melalui pemandunya yang terampil memimpin tadabur. Waktu dan sebab-sebab turunnya ayat/surat; Ketahuilah kapan dan apa sebab turun suatu ayat atau surat yang sedang kita tadaburkan. Hal ini dapat membantu kita dalam memberikan kerangka kontekstual atau latar belakang diturunkannya ayat atau surat tersebut. Akan tetapi, tidak setiap ayat atau surat diturunkan dengan suatu sebab tertentu. Pemahaman kontekstual yang terpadu dengan pernyataan tekstual adalah cara yang sangat diperlukan dalam memahami alQuran lebih utuh lagi. Di samping itu, cara ini akan menghindarkan memahami al-Quran dari jebakan pemahaman secara "ekstrim tekstual" yang terkesan kaku atau "ekstrem kontekstual" yang bisa menimbulkan bias.
135
4. Perenungan Mendalam Langkah ini merupakan langkah inti dari tadabur al-Quran. Langkah ini merupakan proses yang menjadi inti pembahasan. Langkah ini dimaksudkan untuk mengajak pembaca/pendengar agar terlibat bersama-sama dalam memikirkan, memahami, merenungkan dan mempelajari kata demi kata, konsep demi konsep, ayat demi ayat, dengan cara berulang-ulang, mengikuti pendekatan dan saran-saran yang telah dikemukakan di atas. Yang dimaksud paradigma di sini adalah sebagai usaha untuk membangun perspektif al-Quran dalam rangka memahami realitas. Sedangkan yang dimaksud analisis kandungan adalah menganalisis kandungan ayat atau surat yang sedang direnungkan makna-maknanya. Langkah ini dimaksudkan untuk mengajak pembaca terlibat secara aktif dan bersama-sama mengana-lisa dan mengurai ayat demi ayat. Dengan cara meng-konsentrasikan pemikiran, perasaan dan seluruh perhatian pada setiap tema dan pokok bahasan. Beri kesempatan sejenak kepada akal pikiran dan hati nurani untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari, dan usahakan untuk menghayati dan merasakan setiap pesan dan firman Allah seakanakan ditujukan untuk diri anda sendiri, bukan untuk orang lain. Visualkan diri kita seolah-olah kita sedang berkomunikasi dengan Allah melalui al-Quran. Hadirkanlah Allah dalam perasaan kita, yakinilah bahwa Allah melihat kita, bahkan Allah sedang bersama kita. Nikmati setiap sentuhan halus dari kalimat dan suara yang dilantunkan saat membacanya atau mendengarkannya. Pikiran dan hati hendaknya dibukakan seluas-luasnya untuk menerima curahan nikmat dan rahmat Allah saat tadabur ini. Konsentrasikan seluruh pikiran dan perasaan untuk menyatu dengan al-Quran. Di sela-sela mendalami kandungan al-Quran baik sekali diselingi do'a, seraya memohon bim-bingan, petunjuk dan taufiq-Nya agar selalu menjaga pesan-pesan setiap kalimat dan ayat yang dibaca dalam aktivitas sehari-hari. Bacalah do'a agar dapat perunjuk (hidayah), ilmu, hikmah, rahmat dan lain-
136
lain, baik yang diambil dari al-Quran, al-Hadits, maupun kata-kata sendiri.
5. Tajawwub (Merespon) Di antara indikator orang yang beriman adalah “kami dengar dan kami taat” seperti trtuang pada (Q.S. al-Baqarah [2]: 285). “Kami taat” artinya kami bersedia mengikuti petunjuk Allah dalam al-Quran. Dengan demikian maka jika dikaruniakan Allah ingin menangis, menangislah sepuas hati. Jika bertemu dengan ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk sujud (dalam alQuran ada 14 tempat/ayat sajdah), maka sujudlah (sujud tilawah) dengan penuh kerendahan hati dan penuh khusyuk. Jika bertemu dengan ayat yang menerangkan kebesaran Allah , maka bertakbirlah. Inilah langkah tajawwub (merespon) hal-hal yang dituntut oleh bacaan dalam al-Quran. Lebih dari itu, sebagai realisasi dari apa yang sudah kita yakini kebenaran al-Quran, kita nyatakan: “shodaqa Allahu almaulaana al-adhiim” (Maha Benar Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung), hal ini berarti al-tashdiiq (membenarkan). Namun pernyataan ini tidak cukup dalam lisan tetapi hendaknya dijiwai dalam dalam hati. Inilah yang dimaksud al-Tashdiiq bi alqalbi (membenarkan dalam hati) dalam definisi iman. Langkah inipun tidaklah sempurna jika tidak direalisasikan dengan bentuk amal nyata sebagaimana pembahasannya diuraikan berikut.
6. Tindak Lanjut Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tadabur al-Quran ini adalah merealisasikan dalam bentuk al-mumaratsah wa al-„amal (pengalaman dan pegamalan atau pembiasaan). Untuk mendukung kegiatan ini ada beberapa cara, antara lain sebagai berikut: a. Membuat Kesimpulan; Kegiatan ini dimaksudkan untuk membantu mengingat pokok-pokok pikiran dan kandungan nilai-nilai yang terdapat dalam setiap surat atau suatu ayat, bisa dalam bentuk pointer (menulis poin-poin penting), bagan, skema, atau dalam bentuk lainnya. Dengan cara ini diharapkan tetap dapat menjaga dan memelihara pemahamannya yang sistematis dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari sehingga perilaku kita selalu dikonlrol dengan paradigma Qurani yang 137
lebih menjanjikan masa depan hidup cemerlang dan suci dengan kepribadian dan peradabannya yang agung. b. Membuat Program Riyadhah; Yang dimaksud dengan langkah ini adalah membuat rencana kongkrit untuk merealisasikan konsep, ide atau pemikiran, pemahaman, atau keyakinan yang sudah tertanam dalam hati agar menjadi bentuk amal shaleh yang nyata. Kegiatan yang dirancang ini hendaknya dilakukan secara terus menerus (istiqamah) melaui proses pembiasaan, dan latihan yang konsisten sehingga menjadi karakter berbasis Qurani yang melekat pada diri kita.
Bagan 6.6 LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN TADABBUR AL-QURAN 6.
5.
Tindak Lanjut Dalam Kehidupan
Respon (Tajawwub)
4.
Renungan mendalam (pikiran & hati)
3
Terjemah/
Tafsir-penjelasan dan analisis
2.
1.
Tilawah/ Sima‟ah (Tartil)
Persiapan
Pengkondisian
138
Keterangan:
Nomor dalam kotak menunjukkan urutan langkah-langkah kegiatan mentadabburi alQuran. Tanda panah setengah melingkar menunjukkan langkah lanjutan. Tanda panah diagonal (miring ke kanan dan terputus-putus) menunjukkan orientasi program yang visioner tapi penuh tantangan.
D. Adab Tadabur Al-Quran Al-Quran adalah Kalam Allah "yang ayat-ayatnya disusun rapi serta dijelaskan secara terperinci dan diturunkan dari sisi (Allah)" (Q.S. Hud [11]: 1). Bacaan al-Quran bukanlah seperti bacaanbacaan lain dengan bahasa apapun. Apalagi bacaan dalam tingkat tadabur. Oleh karena itu, ada beberapa adab yang harus diperhatikan. Adab yang dimaksud di sini adalah kesopanan atau etika dalam cara berdatabur al-Quran. Dalam hal ini dapat kita klasifikasikan pada dua kelompok besar, yaitu (a) adab lahir, dan (c) adab batin. Berikut ini gambaran umum adab tadaburr alQuran dalam bentuk bagan.
Bagan 6.7 ADAB TADABBUR AL-QURAN ADAB TADABBUR AL-QURAN
ADAB LAHIR 1 2 3 b)4 c)5 d)6 e)7 f)8 g) 9 10 h)
ADAB BATIN
Keadaan suci Do‟a dan isti‟adzah Membaca dengan tartil Memperhatikan tajwid Membaca dengan nyaring Membaca dengan indah (merdu) Menyimak dengan baik (Konsentrasi) Memenuhi hak ayat-ayat alQuran Menangis Memuliakan mushaf
1 2 3 4 5 6 7 8 9
139
Mengagungkan Allah Memiliakan al-Quran Menghadirkan hati Khusyuk Menjauhkan penghambat pemahaman Melakukan takhshish Berusaha merasakan pengaruh al-Quran Al-taraaqi; Meningkatkan kualitas tadabbur Menjadikan al-Quran sbg. media komunikasi dg. Allah
1. Adab Lahir Adapun yang tergolong adab lahir dalam bertadabur alQuran ada sepuluh hal, yaitu sebagai berikut: a) Keadaan Suci Keberadaan pembaca al-Quran hendaklah suci, baik pakaiannya, tempatnya, maupun dirinya dari hadats dan najis. Suci pakaiannya dalam artian tidak memakai pakaian kotor apalagi kalau terkena najis, karena Allah itu suci dan menyenangi orang-orang yang suci (Q.S. al-Baqarah [2]: 222). Di samping itu pakaian yang dikenakannya sebaiknya yang paling wajar, layak dan pantas. Bahkan bila hal itu dilakukan di mesjid sebaiknya memakai pakaian (hiasan) yang baik setiap kali memasukinya (Q.S. al-A‟raf [7]: 31). Suci tempatnya artinya bahwa tempat yang digunakan untuk tadabur al-Quran hendaklah di tempat yang bersih, suci dan layak. Bukan di tempat yang kotor atau tempat yang tidak layakatau tidak kondusif untuk tadabur alQuran. Sedangkan suci dirinya maksudnya suci badannya, dan suci dari hadats kecil (dalam keadaan berwudlu) dan suci dari hadats besar (dalam keadaan tidak junub). Terkait dengan keadaan lahir orang yang bertadabur alQuran adalah merendahkan diri di hadapan Allah dan tenang, baik posisi berdiri atau duduk, sambil menghadap kiblat (ke arah Ka'bah di Mekkah), dengan menundukkan kepala, tidak bersandar pada sesuatu, atau duduk dengan gambaran sombong. Pembaca seharusnya duduk sebagaimana saat akan duduk di hadapan gurunya atau seperti posisi tasyahhud (tahiyat). Dari semua kondisi (pentadabur al-Quran) yang terbaik adalah ketika ia membaca al-Quran dalam shalat dan di masjid. Inilah salah satu amalan yang paling utama. Namun demikian, jika ia membaca al-Quran tanpa berwudhu sambil menyandarkan pinggangnya atau berbaring miring pada tempat tidur, ia tetap mendapat kebaikan, tapi kurang memenuhi adab (kesopanan) atau keutamaannya lebih rendah tingkatannya dari keadaan dia atas. Pandangan di atas sejalan dengan firman Allah bahwa "....orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka merenungkan tentang penciptaan 140
langit dan bumi.” (Q.S. Ali Imran [3]: 191). Terkait dengan keadaan/ kondisi berdiri, duduk dan berbaring dalam mengingatNya menunjukkan tadabur pada waktu shalat. Sedangkan masjid merupakan tempat terbaik di antara tempat-tempat lainnya di muka bumi. Nabi Muhammad bersabda: "Tempat-tempat di bumi yang paling dimuliakan di sisi Allah adalah masjid....” (H.R. Muslim). Dan pembacaan al-Quran yang merupakan bagian dari qiyam bi al-lail (shalat malam) adalah lebih utama dibandingkan dengan membacanya pada siang hari, apalagi di luar shalat. e) Do‟a dan Isti‟adzah Do‟a adalah permohonan seseorang tentang sesuatu kepada Allah . Sedangkan isti‟adzah artinya memohon perlindungan Allah . Membaca do‟a atau berdo‟a dan minta perlindungan Allah baik sebelum, setelah, maupun tatkala tadabur al-Quran merupakan salah satu dari adab-adab lahir tadabur al-Quran. Baik al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad banyak keterangan yang menyuruh kita untuk berdo‟a terkait dengan pelaksanaan tadabur al-Quran ini. Allah berfirman (Q.S. al-Nahl [16]: 98) ebagai berikut:
Apabila kamu membaca al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Berlindung kepada Allah dari gangguan syetan (isti‟adzah) waktu membaca dan mentadaburi al-Quran menjadi penting oleh karena hal-hal berikut: 1) Syetan paling giat menggoda manusia jika membaca al-Quran, oleh karena itu, Allah memerintahkan kita untuk beristiadzah (memohon perlindungan) kepada-Nya dari syetan ketika membaca al-Quran. 2) Al-Quran merupakan obat bagi penyakit hati, isti‟aadzah berguna sebagai pembersih hati dari keburukan yang ditanamkan oleh syetan.
141
3) Isti'adzah itu dapat menghalangi syetan dari usaha merusak apa yang akan diraih oleh hati, berupa petunjuk, cahaya, ilmu, dan kebaikan melalui pemahaman dan tadabur al-Quran. 4) Para malaikat mendekati pembaca al-Quran, lalu mendengarkannya dan memberikan ketentraman pada hati, sementara isti‟adzah mengusir syetan agar jangan mengganggu. 5) Syetan akan mengganggu orang yang membaca al-Quran, dia datang kepadanya, baik di dalam shalat maupun di kesempatan lainnya bersama pasukan dan balatentaranya. Dia sangat gigih mencurahkan segala usahanya dalam rangka menghalanghalangi antara hatinya dan maksud dibacanya al-Quran, yaitu mentadaburi, memahami, dan membuamya terpengaruh dengannya. Dan isti‟adzah menolak hal tersebut. Yang paling lazim dibacakan: اعوذ “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk". Dalam al-Quran banyak contoh permohonan kepada Allah , antara lain pada S. al-Mukminun [23]: 97-98 sebagai berikut:
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau Ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku." Pada akhir mentadabur al-Quran, baik sekali membacakan do‟a berikut: "Mahabenar Allah, Yang Mahatinggi, atas firman-Nya dan Yang mengutus Rasul kepada kami. Ya Allah, berilah kemanfaatan dan keberkahan dengan al-Quran ini kepada kami. Segala puji sanjung bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon ampun kepada Allah Yang Hidup Kekal lagi terusmenerus mengurus (makhluk-Nya)." 142
Sedangkan ketika menyelesaikan keseluruhan al-Quran, do‟anya sebagai berikut: "Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepadaku dengan al-Quran ini. Jadikanlah bagiku al-Quran ini sebagai pemimpin, cahaya, penuntun dan rahmat. Ya Allah, peringatkanlah aku atas kelalaianku (ketika membaca al-Quran), ajarilah aku atas kebodohanku memahami al-Quran, limpahkanlah pahala atas pembacaan al-Quran ini sepanjang malam dan siang, serta jadikanlah al-Quran sebagai hujjah (argumentasi) bagiku, wahai Tuhan seru sekalian semesta.” f)
Membaca dengan Tartil
Salah satu adab lahiriyah yaitu membaca al-Quran dengan tartil. Makna tartil dalam membaca (al-Quran) ialah pelanpelan dan perlahan-lahan, membaca huruf dan harakatnya dengan jelas (Al-Qardhawi, 2007: 100). Adab membaca al-Quran secara tartil ini didasarkan pada firman Allah (S. al-Muzzammil [73]: 4): "Dan bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)". Pada ayat ini menunjukkan adanya perintah Allah untuk membaca al-Quran secara tartil, oleh karena itu hukumnya wajib, sebab “al-ashlu fi al-amri li al-wujuub” (asal dari suatu perintah menunjukkan wajib). Khitab (arah pembicaraan) dalam ayat tersebut memang ditujukan kepada Nabi Muhammad , tetapi umat beliau turut tercakup. Karena itulah Az-Zarkasyi berkata, "Setiap orang Muslim harus membaca al-Quran dengan tartil” (Al-Qardhawi, 2007: 101). Nabi Muhammad pun bersabda pula bahwa "Bukan dari golongan kami orang yang tidak melagukan al-Quran." (H.R. Bukhari dan Muslim), dan "Sebaik-baik orang dalam hal bacaan adalah yang jika membaca kamu melihat bahwa dia takut kepada Allah.” Perlu diketahui bahwa membaca al-Quran secara tartil (pelan, tidak tergesa-gesa dan jelas), di samping sangat dianjurkan, cara ini diyakini sangat membantu dalam merenungkannya (mentadaburkannya). Sebagaimana dikemukakan oleh Quasem (2001:43) bahwa bagi orang non-Arab („ajami) yang belum atau tidak mengerti makna al-Quran juga sangat dianjurkan untuk 143
membacanya secara tartil dan berhenti sebentar di sela-sela kalimat. Sebab cara ini lebih dekat pada penghormatan (yang patut diterima al-Quran) juga lebih kuat kesannya dalam hati dibanding membacanya dengan tergesa-gesa. Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Qardhawi (2007: 103) merangkung penjelasan Syarhul al-Muhadz-dzab tentang bacaan alQuran secara tartil. Pada intinya dikemukakan bahwa: 1) para ulama bersepakat bahwa membaca al-Quran dengan cepat-cepat adalah makruh; 2) membaca satu ayat dengan tartil adalah lebih baik daripada membaca dua ayat tanpa tartil; 3) mem-baca dengan tartil itu disunnahkan untuk memper-mudah tadabur al-Quran dan lebih dekat kepada peng-agungan dan pemuliaan, serta lebih membekas di dalam hati; dan 4) membaca tartil juga disunahkan bagi orang non-Arab („ajami) yang tidak paham makna al-Quran. g) Memperhatikan Tajwidnya Membaca al-Quran termasuk ibadah dan karenanya harus sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Sikap memperbaiki bacaan al-Quran dengan menata huruf sesuai dengan tempatnya merupakan suatu ibadah. Sahabat Abdullah bin Mas'ud berpesan: Jawwid al- Quran (bacalah al-Quran itu dengan baik atau dengan memperhatikan ilmu bertajwid). Kaitannya dengan pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid, Rasulullah bersabda: "Barangsiapa suka membaca alQuran secara lembut sebagaimana Kitab Suci itu diturunkan, maka hendaklah dia membaca sesuai dengan bacaan Abdullah bin Mas'ud." (H.R. Ahmad). Seperti diketahui, sahabat Abdullah bin Mas'ud dikenal pakar dalam membaca al-Quran secara bertajwid. Seruan membaca al-Quran sesuai dengan bacaan sahabat Abdullah bin Mas'ud dalam hadits di atas berarti perintah untuk praktik membaca al-Quran secara bertajwid. Para ulama menyebut membaca al-Quran yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid sebagai al-lahn, yakni kekeliruan atau 144
cacat dalam membaca. Al-Lahn ini ada yang bentuknya kentara, bisa diketahui oleh masyarakat kebanyakan, dan ada yang bentuknya samar yang hanya bisa dideteksi oleh pakar-pakar ahli qira'ah. Al-Lahn harus dihindari sewaktu membaca al-Quran. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda: "Orang yang membaca al-Quran dan dia mahir dengannya bersama para malaikat yang mulia.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Dud). Membaca al-Quran dengan mahir dapat diperoleh dengan mempraktekkan ilmu tajwid secara benar termasuk memperhatikan makharij al-huruf serta sifat al-huruf. Sebagaimana kita maklumi bahwa perkataan dibangun di atas makna, dan tidak ragu lagi bahwa benarnya pengucapan (artikulasi) akan menambah pemahaman, menyempurnakan persepsi, dan akhirnya dapat membantu keberhasilan tadabur. Apabila salah dalam mengucapkan kata atau i'rabnya, maka maknanya akan berubah, atau kurang, atau tidak jelas, dan semua itu termasuk di antara faktor yang men-jauhkan hati dari tadabur dan memahami ayat. Adapun masalah yang dicakup dalam ilmu tajwid secara garis besar meliputi: makharij al-hnruf (tempat keluar huruf), sifaat al-huruuf (cara pengucapan huruf), ahkaam al-huruf (hubungan antarhuruf), ahkaam al-mad wa al-qashr (masalah panjang pendek ucapan), dan ahkaam al-waqf wa al-ibtida' (masalah memulai dan menghentikan bacaan). h) Membaca dengan Nyaring Dilihat dari segi caranya, kegiatan membaca dapat dikategorikan pada dua jenis, yaitu membaca secara pelan dan tidak diucapkan di mulut (sirriyah) dan membaca secara nyaring diucapkan di mulut (jahriyah). Untuk membantu pembaca alQuran agar tujuan tadabur tercapai, disunatkan agar memilih jenis menbaca secara nyaring (bersuara). Hal ini penting agar dapat memfokuskan hati dan pikiran pada makna, dan mencegah larinya pikiran, Rasulullah bersabda: "Bukan dari golongan kami orang yang tidak melagukan al-Quran dan mengeraskan suaranya.” (H.R. Bukhari). Bahkan sahabat „Uqbah bin Amir dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: "Orang yang mengeraskan suara dalam membaca al-Quran seperti orang yang terang-terangan dalam bersedekah, dan orang 145
yang merendahkan suara dalam membaca al-Quran seperti orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.” (H.R. Nasai). Tak disangkal lagi perlunya membaca al-Quran dengan nyaring, sehingga pembaca dapat mendengar suara bacaannya sendiri. Sebab, membaca berarti membedakan dengan jelas di antara suara-suara; jadi, suara adalah penting dalam tadabur alQuran. Batas-batas minimalnya adalah suara yang dapat didengar oleh si pembaca itu sendiri. Namun perlu diingat bahwa pembacaan al-Quran hendaknya dijauhkan dari perbuatan pamer ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain (riya). Jika tidak sanggup, maka dengan cara pelan-pelan (sirriyah) lebih dianjurkan agar dapat menjauhkan diri dari perbuatan pamer itu. Jika pembaca tidak khawatir berbuat riya, dan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat, maka membaca dengan suara keras adalah lebih baik. Ada beberapa pertimbangan, baiknya membaca al-Quran dengan cara jahr (keras), yaitu sebagai berikut: 1) Bacaan keras akan melibatkan aktivitas-aktivitas lain yang lebih banyak; 2) Di samping bermanfaat untuk pembancanya, ia bermanfaat bagi oleh orang lain, dan perbuatan baik yang dapat memberi manfaat kepada orang lain lebih baik dan lebih utama daripada kebaikan yang hanya menguntungkan diri sang pelaku; 3) Mampu dalam membangkitkan hati pembaca, dan menyatukan perhatiannya untuk merenungkan makna-makna al-Quran serta mengarahkan pendengarannya kepada bacaan itu; 4) Dapat menghalau kantuk dengan mengangkat suaranya; 5) Dapat menambah semangat dan mengurangi kemalasan; 6) Dapat membangunkan orang yang sedang tertidur, yang kemudian ia bisa diharapkan menggunakan waktu malamnya untuk beribadah; 7) Dapat merangsang dan mempengaruhi orang lain sehingga itut serta membaca al-Quran, minimal menyimaknya.
146
i) Membaca al-Quran dengan Indah (Merdu) Salah satu adab membaca al-Quran yang sudah disepakati para ulama adalah membacanya dengan membaguskan suara (tahsin al-shaut). Al-Quran sendiri, tidak perlu diragukan lagi, adalah sesuatu yang baik, bahkan ia adalah puncak kebaikan, tetapi suara yang bagus akan semakin menambah kebaikannya, membuat hati orang yang mendengarnya semakin bergetar dan semakin cinta. Demikian kata Al-Qardhawi (2007: 105). Jadi salah satu sunnah Nabi Muhammad dalam membaca al-Quran adalah membacanya dengan indah. Nabi Muhammad bersabda:"Hiasilah al-Quran dengan suaramu!" (H.R. Abu Daud). Lebih lanjut, beliau bersabda: “Barangsiapa tidak melagukan alQuran bukanlah golonganku". Ad-Darimi meriwayatkannya dengan redaksi lain: "Perbaguslah al-Quran dengan suara kalian, sesungguhnya bagusnya suara itu akan menambah bagusnya al-Quran." Sementara alBazzar meriwayatkan hadits ini: "Suara yang bagus adalah hiasan alQur an." (H.R. Thabrani). Beberapa ulama mengatakan bahwa dengan kata yataghanna (melagukan), yang dimaksudkan oleh Nabi adalah "merasa cukup", maksudnya melagukan dengan merdu dan mengontrol tinggi rendah (nada) suara. Hal ini sangat mendekati kebenaran menurut para ahli filologi. Terkait dengan hal di atas, kita sadurkan di sini beberapa pendapat para ulama dari tulisan AlQahrdhawi (2007: 106). Ibnu Katsir berkata: "Sesungguhnya, yang dituntut secara syar'i adalah memperindah suara, yang merupakan pendorong untuk mentadaburi al-Quran” sehingan ia dapat memahaminya, dan khusyu, tunduk, patuh, serta taat kepadanya. Sedangkan Al-Qurthubi berkata: "Tartil (membaca dengan perlahan) lebih afdhal dari pada cara cepat, karena tidak mungkin tadabur dica-pai dengan membaca cepat." Begitu juga As-Suyuthi berkata:"Disunnatkan membaca al-Quran dengan disertai tadabur dan pemahaman, karena itulah tujuan yang paling agung dan tuntutan yang paling penting." Sedangkan An-Nawawi berkata, "Para ulama berkata, 'Membaca al-Quran dengan tartil dianjurkan untuk tujuan tadabur dan lainnya, karena hal itu lebih dekat kepada sikap pengagungan dan penghormatan, serta lebih membekas di hati."
147
Jika seseorang tidak memiliki suara yang bagus, hendaklah ia melakukan semampunya, asal tidak melampaui batas. Sedangkan membaca dengan lahn ('cengkok', logat tertentu), menurut pendapat Asy-Syafi'i tidak apa-apa, tetapi menurut ArRabi' hukumnya makruh. Berlebih-lebihan dalam melagukan adalah haram dan bisa menjadikan pelakuknya fasik, dan orang yang mendengarnya ikut berdosa bila mampu meluruskan tetapi diam saja. Terpaut dengan hal ini ada sebuah hadits yang layak untuk diperhatikan, Rasulullah bersabda: "Bacalah al-Quran dengan lahn (logat) dan suara Arab. Berhati-hatilah kalian terhadap lahn ahli Kitab dan orang-orang fasik. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang mengulangulang bacaan al-Quran seperti para pe-nyanyi dan para pendeta. Apa yang mereka baca tidak me-lewati tenggorokan mereka. Hati mereka tertutup. Demi-kian pula hati orang-orang yang mengagumi mereka." (H.R. Thabrani dan Baihaqi) Sedangkan melagukan al-Quran dengan cara bermain-main, dibuatbuat hingga melewat batas, serta melanggar ketentuanketentuan yang telah ditetapkan hukum adalah haram karena kategori bid'ah (mengada-adakan hal baru yang tidak ada tuntunannya). Orang yang membacanya dianggap fasik dan orang yang mendengarkannya turut berdosa. Cara melagukan al-Quran yang dipandang bid'ah dinyatakan oleh Syarifuddin (2007: 91) seperti melagukannya dalam bentuk tar'id, tarqis, tatrib, dan Tarsid. Tar'id, yaitu suara pembacanya menggelegar bagai halilintar atau memekik seperti orang kesakitan, sedangkan tarqis yaitu seseorang membaca al-Quran seperti orang bernyanyi sambil menari dan tatrib seperti orang bernyanyi sambil menggoyanggoyang tubuhnya, dan tardid orang yang membacanya diikuti jamaah pada setiap akhir bacaan dengan cara tidak tepat karena tidak mengindahkan aturan ibtida' dan waqaf (memulai dan berhentinya). j) Menyimak dengan Baik (Konsentrasi) Adab ini berdasarkan firman Allah bahwa: 148
"Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baikbaik, dan perliatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." (Q.S. al-A'raf [7]: 204). Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita agar mendengarkan dan memperhatikan dengan tenang bacaan alQuran manakala dibacakan. Hal ini penting supaya kita memperoleh manfaat darinya, karena dengan menyimak secara baik kita dapat memperoleh peluang untuk mentadaburinya sehingga hikmah dan kebaikan-kebaikan yang ada padanya dapat kita peroleh. Maksud dari ayat di atas adalah tatkala dibacakan alQuran kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, jangan ada aktivitas lain, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah makmum boleh membaca al-Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran. Al-Baihaqi menceritakan bahwa sahabat Nabi Abdullah bin Umar bila sedang membaca al-Quran, ia tidak berbicara sama sekali dengan orang lain sampai selesai. Kegiatan membaca alQuran hendaknya tidak diputuskan hanya karena hendak berbicara dengan orang lain. Alasannya, karena firman Allah tidak seyogianya ditinggalkan demi mendahulukan ucapan manusia, apalagi jika diselingi dengan senda gurau, bermain-main, dan tengok kanan-kiri yang dapat mengganggu konsentrasi. Bacaan al-Quran hendaklah disimak secara baik dan konsentrasi atau khusyuk. Adab ini agar memberi kesan tidak meremehkan al-Quran atau tidak tidak menghormatinya. Meremehkan al-Quran merupakan tabiat orang-orang kafir. Sikap ini direkam dalam al-Quran S. Fushhshilat [41]: 26 yang artinya sebagai berikut:
149
“Dan orang-orang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Quran ini dan buatlah hirukpikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka". k) Memenuhi Hak Ayat-ayat al-Quran Dalam al-Quran ada beberapa ayat yang menuntut para pembacan atau pendengarnya untuk meresponnya secara langsung. Respon tersebut dalam istilah Arab sering disebut tajawwub. Tajawwub ini pada hakekatnya merupakan salah satu pemenuhan dari hak-hak ayat-ayat al-Quran yang dibaca atau didengarkannya. Ketika pembaca al-Quran sampai pada bacaan ayat yang menuntut sujud di hadapan Allah , hendaknya ia bersujud. Demikian juga, jika seseorang mendengar bacaan ayat sajdah dari orang lain, hendaknya ia ikut bersujud pembaca bersujud. Khusus dalam shalat, seorang makmum dalam shalat jamaah, harus ikut bersujud ketika imam bersujud, tetapi jika tidak sujud, maka makmun tidak boleh sujud. Tetapi perlu diingat bahwa bersujud itu dilakukan hanya ketika secara fisik (fiqih) dalam keadaan suci (Quasem, 2001: 45). Adapun syarat minimal sujud (untuk bacaan al-Quran) adalah dengan meletakkan kening di lantai, (tanpa bertakbir dan tanpa berdo‟a). Sedangkan yang lebih sempurnanya adalah dengan bertakbir, lalu sujud seraya berdo‟a. Sedangkan mengenai ayat sajdah dalam al-Quran adalah: 1. Q. S. al-A‟raf [7]:206
2. Q.S. a-Ra‟du [13]:15
150
3. Q.S. an-Nahl [16]:49
4. Q.S. al-Isra [17]:107
5. Q.S. Maryam [19]:58
6. Q.S. al-Hajj [22]:18
7. Q.S. al-Hajj [22]: 77
151
8. Q.S. al-Furqan [25]:60
9. Q.S. an-Naml [27]:26
10. Q.S. as-Sajdah [32]:15
11. Q.S. Shaad [38]:24
12. Q.S. Fushilat [41]:38
13. Q.S. an-Najm [53]:62
14. Q.S. al-Insyiqaq [84]:21
15. Q.S. al-„Alaq [96]:19
152
Dalam melakukan sujud untuk bacaan al-Quran (di luar shalat) seperti halnya persyaratan untuk melakukan shalat, yakni menutup aurat, menghadap kiblat, serta menjaga kebersihan pakaian dan badan dari hadats serta kotoran najis. Selama dalam bertadabur al-Quran, manakala pembaca bertemu dengan ayat tentang tasbih (penyucian Allah ), maka hendaknya ia bertasbih dan mengagungkan-Nya. Ketika bertemu dengan ayat tentang do‟a dan ampunan, maka pembaca hendaknya berdo‟a dan memohon ampun. Jika membaca ayat yang menerangkan tentang sesuatu yang penuh harapan, pembaca hendaknya berdo‟a kepada Allah (untuk itu). Akan tetapi, jika membaca ayat tentang sesuatu yang mengerikan, pembaca hendaknya memohon perlindungan (kepada Allah dari hal itu). Pembaca al-Quran hendaknya berdo‟a, baik dengan lisan maupun kalbunya. Pada saat mengagungkan Allah , pembaca hendaknya mengucapkan, ( سثحاٌ هللاMahasuci Allah); Pada saat memohon perlindungan Allah, pembaca hendaknya mengucapkan تالل ّ َعٕر (Kami berlindung kepada Allah); dan pada saat meng-ajukan harapan kepada Allah, pembaca hendaknya mengucapkan انهٓ ّى اسصلُأاسحًُا (Ya Allah, limpahkanlah rezeki kepada kami dan sayangilah kami). l) Menangis Di samping aktivitas batin, menangis juga merupakan aktivitas lahir. Menangis merupakan salah satu adab lahir dalam mentadaburi al-Quran. Menangis ketika membaca al-Quran sangat dianjurkan (mustahab). Rasulullah memerintahkan: "Bacalah al-Quran dan menangislah. Jika engkau tidak dapat menangis, maka usahakanlah dirimu untuk menangis.” (H.R. Ibnu Majah). Bahkan Abdullah bin Abbas berkata: "Ketika engkau membaca ayat sajdah yang di dalamnya ada kata subhana, jangan segera bersujud sampai engkau menangis. Apabila mata tidak dapat menangis, hendaknya hatinya menangis”. Adapun cara untuk memaksa diri sendiri agar menangis adalah membawa rasa sedih ke dalam hati. Dari kesedihan ini akan menimbulkan air mata. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya al-Quran ditu-runkan dengan membawa kabar sedih.
153
Maka ketika membacanya seharusnya engkau memaksa diri untuk bersedih". Melalui perenungan (tadabur) al-Quran kita dapat merasakan ancaman, peringatan, ketetapan dan janji-janji yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, pembaca hendaknya mengintrospeksi diri akan ke-kurangannya dalam memenuhi perintah-perintah alQuran itu dan terhadap ancaman-ancamannya. Demikianlah, hendaknya ia bersedih dan menangis. Jika masih juga tidak merasa sedih dan menangis seperti orang yang berjiwa suci, maka seharusnya ia me-nangis karena tidak mempunyai rasa sedih dan air mata. Sebab ini adalah kemalangan yang amat sangat. m) Memuliakan Mushaf Mushaf al-Quran adalah lembaran-lembaran yang di dalamnya tertulis ayat-ayat al-Quran. Sebagai tulisan tentang Kalamullah, menuntut untuk dihor-mati dan dimuliakan. Penghormatan dan memulia-kannya merupakan hak mushaf karena ia memuat firman Allah , Kata Syarifuddin ( 2004: 94) bahwa "barang mulia sudah selayaknya diperlakukan secara mulia." Dalam hadits yang sahih, Rasulullah me-larang menjadikan mushaf sebagai bantal tidur. Dalam hadits disebutkan, "Wahai ahli al-Quran, jangan kamu jadikan (mushaf) al-Quran sebagai bantal. Bacalah dengan sebenar-benar membaca, di tengah malam dan siang hari." (H.R. Baihaqi). Demi penghormatan, sebagian ulama berfatwa bahwa menyentuh atau membawa al-Quran harus dalam keadaan suci, yakni berwudhu terlebih dahulu. Para ulama juga berpendapat haram hukumnya membuang mushaf di tempat yang kotor. Orang Islam yang dengan sengaja menginjak-injak al-Quran atau dengan sengaja membuang hajat di atasnya, dia di-kategorikan telah murtad. Keberadaan mushaf memiliki nilai tersendiri yang utama bagi umat Islam. Bagian dari nilai keutamaan mushaf ialah membaca al-Quran dengan melihat mushaf nilainya lebih afdhal (utama) daripada membacanya secara hafalan. Dalam hadits Abi Ubaid dinyatakan bahwa keutamaan membaca al-Quran dengan 154
melihat mushaf dibanding dengan membacanya secara hafalan laksana keutamaan shalat fardhu dengan shalat sunnah. Sahabat Abdullah bin Mas'ud juga menyatakan, "Langgengkanlah kamu dalam melihat mushaf". 2. Adab Batin Tadabur Al-Quran Baik ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf (mutaakhir) menaruh perhatian istimewa terkait dengan adab batin dalam tadabur al-Quran. Imam Al-Ghazali termasuk ulama yang gigih sekali mewasiatkan adab batin dalam bertadabur alQuran sehingga banyak dikutip pendapatnya oleh para penulis sesudahnya. Pada halaman-halaman berikut ini akan diuraikan sembilan pokok adab batin tadabur al-Quran, yaitu: a) Mengagungkan Sifat-Sifat Al-Quran Sebagaimana kita kenal bahwa sifat-sifat al-Quran itu banyak, di antaranya adalah al-karim (mulia), al-„adhim (agung) atau al-majid (agung). Sifat-sifat ini melekat dengan sifat-sifat Allah yang salah satunya memahami keagungan al-Quran kalam (Allah) dan kemuliaanya, keutamaan Allah , besarnya perlindungan Allah kepada para makhluk-Nya, sehingga Dia menurunkan al-Quran dari 'Arsy-Nya yang agung ke dalam pemahaman makhluk ciptaan-Nya. Al-Qardhawi (2007: 134) mengajak kita untuk memperhatikan bagaimana Allah melindungi ciptaan-Nya dengan menyampaikan makna-makna kalam-Nya yang bersifat qadim ke dalam pemahaman ciptaan-Nya. Perhatikanlah bagaimana sifat-sifat yang agung itu meresap ke dalam inti huruf dan suara, padahal suara itu adalah sifat manusia. Manusia mempunyai keterbatasan tidak bisa memahami sifat-sifat Allah , kecuali melalui sifat-sifatnya sendiri. Memahami dan meyakini sifat-sifat atau nilai- nilai mulia yang melekat pada al-Quran merupakan adab batin yang penting untuk diperhatikan dalam mentadaburi al-Quran ini. b) Mengagungkan Allah Allah adalah Dzat yang memfirmankan al-Quran. Sebagaimana kita ketahui banyak sekali ayat yang menjelaskan 155
tentang hal ini. Oleh karena itu, ketika seseorang mulai mentadaburi al-Quran, semestinya di dalam hati ia menumbuhkan rasa hormat (ta‟dhim) kepada Dzat yang memfirmankannya. Sudah semestinya ia menyadari bahwa apa yang dibacanya bukanlah kalam biasa, tetapi kalam luar biasa, mukjizat terbesar yang disampaikan Allah kepada rasul pilihan Muhammad yang kemudian disebarkan kepada umatnya, termasuk kita. Ia harus menyadari bahwa di dalam membaca al-Quran terdapat kehormatan yang agung. Allah berfirman:
"Tidak (boleh) menyentuhnya hecuali hamba-hamba yang disucikan." (Q.S. al-Waqi'ah [56]: 79). Sebagaimana telah dijelaskan di atas (adab lahir), bahwa alQuran secara fisik terpelihara dari sentuhan tangan-tangan para penyentuh kecuali jika mereka telah bersuci dan dalam keadaan suci, demikian pula makna yang terkandung di dalamnya juga terpelihara. Dengan hukum Allah dan keagungan-Nya, bagian batin al-Quran (maksudnya, kandungan maknanya) terjaga dari segala macam sentuhan, kecuali sentuhan orang-orang yang telah menyucikan jiwanya dari segala kotoran, sehingga jiwa itu memancarkan cahaya pengagungan dan penghormatan ke-pada alQuran. Sebagaimana tidak semua tangan diperbolehkan menyentuh mushhaf al-Quran, demikian pula tidak sembarang lisan diperbolehkan membaca huruf-hurufnya, dan tidak semua hati bisa menyerap maknamaknanya. Disinilah letak pentingnya mengagungkan kalam Ilahi yang berarti pula mengagungkan Dzat yang memfirmankan kalam itu. Al-Qardhawi (2007: 136) menggambarkan bahwa seseorang tidak akan bisa merasakan keagungan Dzat yang memfirmankannya selama ia tidak berfikir tentang sifat-sifat-Nya, keagungankeagungan-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Jika di dalam pikiran-nya hadir ayat-ayat tentang ' Arsy, kursi, langit dan bumi, serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya, seperti jin, manusia, binatang melata, dan pepohonan, ia akan segera tahu bahwa ada yang men-ciptakan itu semua, berkuasa atas semuanya, dan memberi rizki kepada mereka semua. Bahwa semua itu ada di 156
dalam genggaman tangan-Nya, berada di antara rahmat karunia dan azab siksa-Nya. Bahwa Dia memberikan nikmat dengan karunia-Nya, dan menghukum dengan keadilan-Nya. Inilah puncak pengagungan terhadap Allah . Melalui jalan atau cara memikirkan contoh-contoh di atas, rasa hormat kepada Dzat yang berfirman akan muncul, kemudian muncullah penghormat-an kepada kalam-Nya. c) Menghadirkan Hati Imam al-Ghazali mewasiatkan pelunya menghadirkan hati (hudhuur al-qalb) dalam mentadaburi al-Quran, demikian halnya sebaliknya meninggalkan nafsu (tarku al-nafs). Adapun rujukan yang mendasari adab batin ini adalah firman Allah dalam S. Maryam [19]:12, bahwa: "Hai Yahya, ambillah al-Kitab itu dengan "quwwah" (sungguh-sungguh)". Lafazh "biquwwatin" dapat diartikan dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh. Mengambil al-Kitab dengan sepenuh hati artinya memusatkan seluruh perhatian saat membacanya, menepis semua urusan lain. Demikianlah AlQardhawi (2007: 136) mengutip pendapat para mufasir. Dengan demikian, dapatlah kita yakini bahwa pemusatan perhatian atau menghadirkan hati sebelum dan tatkala mentadaburi al-Quran amat penting. Sesungguhnya orang yang sudah memiliki rasa ta‟dzim terhadap al-Quran dan Allah lebih mudah untuk meraih adab ini, karena rasa ta'zhim tentu ia merasa bergembira dalam mem-bacanya dan fokus terhadapnya; ia juga akan menyenangi, sehingga tidak akan melupakannya. Alasan lainnya karena dalam al-Quran tersimpan banyak hal yang bisa membuat hati senang, asalkan membacanya dengan mendalam. Bagaimana mungkin seseorang mencari kesenangan dengan memikirkan hal lain, padahal dirinya berada di dalam suasana yang menyenangkan dan asyik dengannya. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad , para sahabat yang mulia, para pengikutnya dan para ulama mereka asyik berlamalama waktu sujud dalam shalat, membaca al-Quran dalam shalat, atau tatkala mentadaburi al-Quran, padahal ayat-ayat atau bacaanbacaannya sama dengan yang kita baca juga. d) Khusyuk Salah satu adab batin mentadaburi al-Quran ialah membacanya dengan khusyuk. Salah satu dasar yang menjadi rukukan mengenai hal ini adalah firman Allah sebagai berikut: 157
"Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti hamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah...." (Q.S. al-Hasyr [59]: 21). Jika seorang pembaca al-Quran hatinya tidak khusyuk, hendaklah itu menjadi beban baginya dan menjadi pertanyaan besar baginya, karena gunung saja yang tidak punya akal dan tidak punya hati bisa tunduk dan terpecah belah disebabkan oleh rasa takutnya kepada Allah . Oleh karena itu di antara adab mentadaburi al-Quran hendaklah ia berusaha melakukannya sekuat tenaga, dan inilah yang diperintahkan saat seseorang mentadaburi al-Quran, juga tatkala ia mendengar bacaan (sima‟ah) al-Quran. Firman Allah berikut ini cukup kuat dijadikan landasan mengenai adab khusyuk dalam metadaburi al-Quran.
"Belumlah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuh tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereha seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (Q. S. al-Hadid [57]: 16). Terkait dengan ayat di atas Al-Qardhawi (2007: 139) mengutip penjelasan Ibnu 'Abbas bahwa Allah menganggap hati orang-orang mukmin lamban, yakni pada tiga belas tahun pertama sejak diturunkannya al-Quran, maka Dia kemudian menegur mereka. Untuk itulah, Allah berfirman, "Belumlah datang 158
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka...dst.". Demikian halnya Ibnu Katsir (1977) memberikan komentar bahwa Allah mencegah orang-orang mukmin menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani yang sebelumnya telah lebih dulu diberi kitab oleh Allah . Setelah sekian lama waktu berlalu, mereka mengubah kitab Allah yang ada di tangan mereka. Mereka menjual kitab itu dengan harga murah. Mereka menyembunyikan kebenaran di balik punggung mereka dan menampilkan berbagai pendapat yang simpang siur dan perbuatan-perbuatan yang menipu. Karena itulah, Allah kemudian menutup hati mereka, sehingga mereka tidak dapat menerima nasehat, hati mereka tidak bisa melunak, baik dengan ancaman ataupun pemberian pahala. e). Menjauhkan Penghambat Pemahaman Inti tadabur al-Quran adalah pemahaman yang mendalam. Jika dalam praktek tadabur masih banyak aspek yang menghambat pemahaman tentu saja akan menghalangi suksesnya tadabur. Oleh karena itu pantas, Imam al-Ghazali memasukkan faktor ini sebagai salah satu adab batin dalam tadabur al-Quran. Sebagaimana dikutip oleh Al-Qardhawi (2007: 144) bahwa imam Al-Ghazali menyebut adab ini dengan ( انرخهّٗ يٍ يٕاَع انفٓىaltakhalli min mawaani‟ al- fahm), artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menghambat pemahaman. Menurutnya, bahwa orang tidak bisa memahami makna-makna al-Quran, karena beberapa sebab dan hijab yang diletakkan syetan di atas hati mereka, sehingga mereka 'buta' akan keajaiban-keajaiban dan rahasiarahasia al-Quran. Selanjutnya Al-Ghazali menunjuk empat hal yang dapat menghalangi pemahaman al-Quran, yaitu: Pertama; Hanya memperhatikan kedudukan huruf-huruf dan cara membacanya sesuai makhraj. Inilah salahsatu penyakit yang menghalangi tadabur al-Quran. Maksudnya, dalam bertadabur jangan hanya terfokus pada tajwid dan mengabaikan pe-mahaman berpaling dari memahami makna kalam Allah . Mereka telalu banyak terkonsentrasi pada makhraj huruf saja sehingga tidak efektif untuk menyingkap makna al-Quran. Kedua, Taklid kepada madzhab tertentu yang didengarnya, jumud, fanatik, dan hanya mau mengikuti madzhab tersebut, 159
tanpa memperhatikan dan memeriksa ulang serta menolak pemahaman baru. Sikap ini akan membelenggu oleh keyakinannya sendiri dan tidak bisa melepaskan diri darinya, sehingga yang muncul dalam pikirannya hanya apa yang sudah diyakininya. Akibatnya, perhatiannya terhenti pada madzhab yang didengarnya dan tidak ada kemajuan yang berarti dalam membuka wawasan yang lebih luas lagi. Sebab, bagaimana pemahaman itu bisa mun-cul dalam pikiran padahal bertentangan dengan keyakinan pendahulunya?" Lalu, orang itu akan melihat bahwa makna yang tersingkap tadi adalah tipuan syetan, sehingga ia menjauhinya, dan bersikap hati-hati terhadap makna lain yang sama. Al-Qardhawi (2007: 146) mengomentari tentang hal ini bahwa: “ilmu yang hakiki, yaitu yang menyingkap dan memperlihatkan kebenaran dengan cahaya bashirah (penglihatan mata hati), maka bagaimana mungkin ia disebut sebagai tabir penghalang padahal ia adalah akhir pencarian?” Oleh karena itu, sikap taklid merupakan kebatilan sehingga perlu dicegah, karena terkadang menghalangi usaha pemahaman dan penyingkapan makna (al-Quran). Karena manusia dibebani tugas untuk meyakini kebenaran yang tingkat dan bentuknya bermacam-macam, sementara kebenaran itu sendiri memiliki sisi lahir yang tampak dan sisi batin yang tersembunyi, maka kekakuan dalam melihat sisi lahir akan menghambat manusia dari pemahaman terhadap sisi batin. Ketiga, Terus-menerus melakukan dosa, terutama dosa-dosa hati, seperti mempunyai sifat takabur, atau mentaati sejumlah kesenangan duniawi. Inilah yang menyebabkan hati menjadi hitam dan pekat, mirip noda yang menutupi cermin, sehingga gam-baran kebenaran terhalang dan tidak bisa muncul di sana. Terkait dengan hal ini, Allah menyuruh kita untuk inabah (kembali, bertaubat dari dosa dan kesalahan) bagi orang yang hendak memahami (al-Quran) dan mengingat Allah . Allah berfirman: "Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (mengingat Allah)." (Q. S. Qaf [50]: 8). Mengapa harus 160
ber-inabah? Allah berfirman: "... tidaklah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (Q.S. al-Mukmin [40]: 13). Keempat, Tidak menerima tafsir birr`ayi. Sebab jika kita hanya dapat menerima tafsir tektual saja, pemikiran serta pemahaman tentahadap al-Quran akan mengalami keterlambatan. Terkait dengan hal ini berarti Al-Qardhawi (2007: 149) mengutip hadits 'Ali berkata, "Kecuali jika Allah memberikan pemahaman tentang al-Quran kepada seorang hamba”. f). Melakukan Takhshish Menurut Al-Qardhawi (2007: 149) Al-Ghazali-lah yang mempopulerkan adab batin ( انرخصيصal- takhshish) ini ketika membaca al-Quran. Adapun yang dimaksud dengan takhshish adalah menetapkan dalam batin pembaca maupun pendengan ayat-ayat al-Quran bahwa dirinyalah yang dituju oleh kalimatkalimat al-Quran yang dibaca atau didengarnya itu. Dengan pengertian tersebut, seorang pentadabur al-Quran hendaknya mengalihkan seruan (khithab) dari umum kepada khusus. Misalnya, ketika ia membaca atau mendengar perintah atau larangan dalam al-Quran, ia menetapkan dalam hatinya bahwa perintah atau larangan itu ditujukan pertama-tama kepada dirinya. Demikian pula ketika ia membaca atau mendengar janji pahala atau ancaman siksa, ia menganggap dirinyalah yang diberi janji pahala atau diancam dengan siksa itu. Demikian halnya, ketika ia membaca atau mendengar kisah orang-orang terdahulu, para Nabi dan umatnya, ia segera tahu bahwa maksud al-Quran menyajikan kisah-kisah itu bukanlah dipandang sebagai cerita masa lalu yang tidak bermakna, tetapi agar dirinya mengambil ibrah (pelajaran) dari apa yang dikisahkan Allah . Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:
161
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi ia membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (Q.S. Yusuf [12]: 111).
"Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman." (Q.S. Hud [11]: 120). Ibrah atau pelajaran merupakan salah satu bentuk hikmah yang dijanjikan Allah kepada orang yang mentadaburi al-Quran. Hal ini tidaklah mungkin dapat ia terima jika tidak merasa bahwa yang menjadi khitab (orang yang dituju) dari al-Quran itu adalah dirinya. Allah juga berfirman:
"Demikianlah Allah membuat untuk manusia pebandinganperbandingan bagi mereka." (Q,S. Muhammad [47]: 3). Kemudian juga pada ayat lain dinyatakan bahwa:
"Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu." (Q.S. al-Zumar [39]: 55).
"Al-Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini." (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 20),
"(Al-Quran) ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa." (Q.S. Ali 'Imran [3]: 138). 162
Pada ayat-ayat di atas Allah menyeru kepada manusia secara global, hal ini berarti seruan itu juga berlaku bagi tiap individu, karena kita sebagai individu juga bagian dari manusia secara global. Dengan demikian, baik pembaca maupun pendengar al-Quran itu tercakup di dalamnya. Maka, hendaklah pembaca maupun pengdengar al-Quran itu meng-anggap bahwa dialah yang dimaksud al-Quran. Inilah salah satu adab bertadabur yang penting untuk diperhatikan. g). Berusaha Merasakan Pengaruh Al-Quran Salah satu adab batin dalam membaca al-Quran sebagaimana dikatakan Al-Ghazali adalah ( انرّؤثّشal-ta`atsur), yakni berusaha merasakan pengaruh al-Quran di dalam hatinya, sesuai isi ayat yang dibaca (Al-Qardhawi, 2007: 155). Keberhasilan tadabur al-Quran salah satunya ditentukan oleh pengaruh yang diperoleh dari membaca atau mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Jika demikian, maka seorang yang mentadaburi al-Quran harus berupaya untuk memahami makna ayat-ayatnya, kemudian memasukkannya ke dalam hati, sehingga hatinya merasakan sedih, takut, harap-harap cemas, dan lain sebagainya. Menurut Al-Qardhawi (2007: 157) bahwa “merasakan pengaruh al-Quran adalah dengan menjadikan ayat yang dibaca sebagai sifat batin orang yang bersangkutan”. Dengan demikian maka salah satu caranya adalah taktala menjumpai ayat-ayat ancaman dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat-kan ampunan, hati kita menjadi ciut dan takut seolah-olah ia begitu dekat dengan kematian. Sebaliknya, tatkala menjumpai ayat tentang luasnya anugrah dan ampunan Allah , ia serasa terbang karena begitu gembira. Ketika menjumpai ayat yang bertutur ten-tang sifat-sifat kemuliaan Allah , ia menunduk dan bersimpuh, karena kebesaran Allah dirasakannya. Al-Qardhawi (2007: 161) memberikan perumpamaan yang bagus sekali sekaitan dengan hal-hal yang diterangkan di atas. Ibarat tukang maksiat yang membaca al-Quran dan mengulangulangnya tetapi tidak berpengaruh di hatinya adalah seumpama
163
orang yang berulang-ulang membaca sebuah surat dari sang raja. Setiap hari ia membacanya hingga berkali-kali. Dalam surat tersebut, raja menuliskan perintah agar dia membangun negerinya, tetapi ia hanya sibuk membaca surat tersebut, tanpa berbuat sedikitpun untuk membangun negri karena hatinya tidak tersentuh serta tidak ada upaya untuk mengambil pengaruh dari surat tersebut. Dalam al-Quran (S. al-Anfal [8]: 2) dinyatakan bahwa “orang-orang yang beriman itu apabila disebut nama Allah bergetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayatnya bertambah imannya”. Dengan demikian maka ayat ini menghendaki agar pengaruh bergetar-nya hati dari bacaan aya-ayat al-Quran, kemudian dilanjutkan dengan amal nyata. Jika tidak, maka membaca dengan sekedar menggerakkan lidah adalah sesuatu yang ringan atau tidak bernilai. Jika demikian, maka tujuan tadabur al-Quran tidak tercapai. h). Al-Taraaqi; Meningkatkan Kualitas Tadabur Al-Taraaqi artinya meningkat atau meningkatkan, dan istilah ini berasal dari Iman al-Ghazali. Menurutnya al-Taraaqi, yaitu seseorang „menaikkan jiwa‟, sehingga ketika mendengar bacaan kalam (al-Quran), seolah-olah ia mendengarnya dari Allah , bukan dari bacaan lidahnya sendiri (Al-Qardhawi, 2007: 164). Terkait denga teori al-taraaqi-nya Imam Al-Ghazali di atas, ada tiga tingkat-tingkat membaca al-Quran itu, yaitu: Pertama, Seseorang menetapkan di dalam hati-nya bahwa dia membaca al-Quran di hadapan Allah , dan Allah pun memperhatikan dan mendengar-kan bacaannya. Keadaannya pada tingkat ini adalah memohon, bergantung, merendah, dan berdo‟a se-penuh hati. Kedua, Seseorang mempersaksikan dengan hati-nya bahwa Allah melihatnya, berbicara kepadanya dengan penuh kelembutan, dan membisikinya dengan segala nikmat dan kebaikan. Keadaannya pada tingkat ini adalah merasa malu (alhaya) kepada Allah mengagungkan, memperhatikan, dan memahami firman-fir-man-Nya.
164
Ketiga, Seseorang merasa dirinya seolah-olah melihat sifatsifat Dzat yang memfirmankan kalimat-kalimat yang dibacanya atau didengarnya. Dengan demikian, ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri ataupun suara bacaannya, kemauannya dalam mem-baca tidak lagi bergantung kepada nikmat, karena Dzat yang memberi nikmat itu sekarang ada di hadapannya. Seluruh konsentrasinya terpusat kepada Dzat yang sedang berfirman. Ia hanya memikirkan-Nya, seolah ia terhanyut oleh Dzat yang berbicara kepadanya dan menjadi lupa hal yang lain. Ini adalah tingkatan yang paling tinggi. i) Berkomunikasi Allah Melalui Al-Quran Di atas telah dikemukakan bahwa al-Quran adalah kalamullah . Tatkala tadabur al-Quran adab batin yang seharusnya dimiliki adalah bahwa ia merasakan sedang berkomunikasi dengan Allah melalui bacaan al-Quran, yakni berinteraksi dengan akal dan hati saat membacanya, sehingga ia membaca dalam keadaan sadar dan aktif, bukan dalam keadaan lalai dan berpaling. Ilustrasinya ibarat orang yang membaca SMS dari seseorang yang ia hormati dan ia kagumi. Ia pahami apa maksud di balik tulisannya itu, ia bertanya dan terjadilah komunikasi batin dengan adanya SMS tersebut. Al-Qardhawi (2007: 167-168) mengajari kita dengan ciricirinya, yaitu: “....seseorang yang hatinya sibuk memikirkan makna lafal-lafal yang diucapkannya, mengenali makna setiap ayat, memperhatikan segala perintah dan larangan, dan beri'tikad menerimanya”. .... hendaklah ia tidak beranjak kepada ayat kedua sebelum paham makna ayat pertama”. Untuk mengimplementasikan adab batin tadabur al-Quran ini selayaknya disertai dengan pembiasaan yang dapat ditempuh melalui latihan dan pengamalannya sebagaimana digambarkan pada gambar 6.3 berikut ini.
165
Gambar 6.3 ADAB BATIN TADABUR AL-QURAN; LATIHAN DAN PENGAMALANNYA ADAB BATIN
Berkomunikasi dengan Allah Melalui Al-Quran Meningkatkan Kualitas (Al-Taraaqi) Rasakan Pengaruh Al-Quran (Terkesan) Lakukan Takhshish
Amalan batin dalam mentadabburi alQuran
Menjauhkan Penghambat Pemahaman Khusyuk Hadirkan Hati PengagunganAllah Muliakan Al-Quran
Hari/Minggu ke......
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Diolah dari: Eldeeb, (2008. hal. 165)
Keterangan: 1. Tanda panah ke atas menunjukkan amalan-amalan batin dalam mentadaburi al-Quran 2. Tanda panah ke kanan menunjukkan waktu latihan dan pengamalan 3. Tanda panah diagonal (miring ke kanan) menunjukkan orientasi program yang visioner 4. Tanda panah ke bawah terputus-putus menunjukkan pelaksanan latihan yang fleksibel dan simultan dan istikomah.
166
BAB VII TADABUR AL-QURAN DAN PENINGKATAN KEIMANAN
K
itab suci al-Quran adalah “tonggak penyeru” yang selalu menyeru manusia untuk menghadap kepada Allah dan mengambil tambahan keimanan darinya. Pemaknaan ini telah difirman Allah pada al-Quran .S. Ali 'Imran [3]: 193 sebagai berikut:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu) "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu," maka kami pun beriman.” Do‟a ini amat pantas dipanjatkan oleh orang yang mentadaburi al-Quran untuk meningkatkan keimanannya. Penyeru yang dimaksudkan dalam ayat di atas sejatinya adalah nabi Muhammad yang diutus Allah untuk mengajak manusia kepada “iman” dan “Darussalam” (kedamaian). Namun sepeninggal beliau, al-Quranlah sebagai warisannya yang paling berharga (di samping hadits dan ulama). Jadi tonggak penyeru kepada iman itu, sepeninggal nabi Muhammad adalah alQuran, karena kita tidak bertemu langsung dengan nabi Muhammad , dan karena al-Quran merupakan warisannya yang agung dan bila kita berpengang teguh dengannya tidak akan sesat untuk selamanya. Menurut Syadi (2003: 126), bahwa "tadabur al-Quran merupakan salah satu jalan yang akan menyampaikan manusia kepada keyakinan". Pendapat ini berlandaskan hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa: "Barangsiapa yang ingin melihat hari kiamat seakan ia hadir di depan mata, maka bacalah 167
Q. Al -Insyiqaaq [81] Q. Al -Infithaar2 [82] Q. Al-Takwiir [82]
Apabila tiga surat di atas kita pelajari dengan cara tadabur, ternyata isinya menjelaskan tentang dahsyatnya hari kiamat. Dengan mentadaburi surat-surat ini serta meyakini kebenaran alQuran akan membantu kita meningkatkan iman kepada hari akhir yang dijanjikan Allah . Sebagaimana kita maklumi, bahwa al-Quran adalah mukjizat abadi yang dikhususkan oleh Allah untuk nabi Muhammad dan para umatnya. Al-Quran merupakan mukjizat terpenting dan terkuat yang turun dari langit. Menurut Al-Hilali (2008: 49) bahwa “rahasia dari mukjizat ini adalah kemampuan untuk memberikan perubahan terhadap orang yang mampu berinteraksi baik dengannya”. Dari kekuatan mukjizat itu, orang akan menjadi hamba yang saleh dan ikhlas kepada Allah . Allah berfirman:
Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. al-'Ankabut [29]: 51). Perubahan yang dilakukan oleh mukjizat al-Quran ini mencakup semua sisi kepribadian manusia, yang selanjutnya akan mendorongnya untuk selalu berada pada sisi yang diinginkan oleh Allah . Muk-jizat ini akan mengubah keyakinan manusia yang salah serta membangun keyakinan yang benar di dalam akalnya, sehingga bayangan dan perhatiannya akan selalu mengarah pada segala hal yang diinginkan oleh Allah . 168
Dari perubahan-perubahan dalam akal manusia yang disebabkan karena menerima kebenaran al-Quran, lantas dikirim sinyal ke dalam hati. Hati yang sehat akan meresponnya dengan pembenaran (al-tashdiq bi al-Qalbi). Dengan demikian, maka berarti al-Quran juga membangun dasar-dasar keimanan di dalam hati. Selanjutnya al-Quran akan memurnikan perasaan dari segala hawa nafsu dan rasa cinta (yang berlebihan) kepada dunia, serta akan menjadi salah satu sebab dalam menambah kadar keimanan, meskipun al-Quran bukan merupakan faktor satu-satunya (mutlak) dalam menambah kadar keimanan seseorang. Terkait dengan penjelasan ini Allah berfirman dalam al-Quran (Sal-Anfal [8]: 2) sebagai berikut.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allahgemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. Terkait dengan keyakinan yang sudah mantap terhadap kebenaran al-Quran, Makhdlori (2008: 26) melukiskan sebagai berikut: "Bagi mereka yang mempercayainya, al-Quran mempunyai barakah yang sulit untuk diterangkan atau dianalisa secara logis. Tetapi justru barakah ini yang membuatnya bertahan sepanjang masa. Dan bagi mereka yang memang matang dalam keyakinan keberkahan ayat-ayat al-Quran akan sangat terasa bahwa setiap ayat yang terkandung mempunyai hik-mah magis yang sulit untuk dinalar. Inilah kekuatan besar yang berada dalam ayat-ayat al-Quran." Bagi orang yang orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah , dengan mendadaburi al-Quran merupakan magic power (ilmu hikmah) yang dapat mengantarkan jiwa manusia untuk dapat melampaui kesadaran rasio dalam menembus belantara trasendensi neotik. Menurut Makhdlori (2008: 26), "keadaan ini
169
berlaku bagi mereka orang-orang yang sudah menemukan tikik iman tertinggi dan titik kesadaran yang sempurna". Pembahasan bab ini pada garis berarnya ada dua subbab, yaitu a) Metode al-Quran dalam meningkatkan keimanan, dan b) Kiat-kiat meningkatnya keimanan melalui tadabbur al-Quran, Gambaran umumnya pada bagan 7.1 berikut: Bagan 7.1 TADABUR AL-QURAN DAN PENINGKATAN KEIMANAN PENINGKATAN KEIMANAN
Al-Quran dalam Meningkatkan Keimanan 1. Al-Quran menyajikan segala hakikat yang ada 2. Penyajian yang menyentuh pikiran dan hati 3. Pengulangan makna tetapi berbeda caranya 4. Sistematis dalam menggunakan metode 5. Mendorong kekuatan beramal
Kiat-Kiat Meningkatnya Keimanan 1. Menyibukkan diri dengan AlQuran 2. Persiapan mental 3. Terbuka dan menyatunya hati 4. Mentaatinya; baik larangan atau perintahnya 5. Membaca dengan tartil merdu 6. Memahami Bacaan Al-Quran 7. Pengambilan makna ayat secara umum 8. Merasakan terjadinya kumunikasi Ilahiyah 9. Pengulangan ayat-ayat yang berpengaruh ke dalam hati 10. Mengaplikasikan apa yang telah diyakini
A. Metode Al-Quran dalam Menambah Keimanan Mentadaburkan al-Quran merupakan salah satu metode khusus dalam usahanya menambah kadar keimanan seseorang. Metode ini memiliki banyak teknik yang kita yakini belum semuanya atau tidak semuanya dapat diungkap di sini, karena luas dan dalamnya ilmu Allah serta keterbatasan akal manusia. Di bawah ini akan dikemukakan gambaran sebagian teknik al-Quran dalam mewujudkan tujuan peningkatan keimanan tersebut: 170
1. Al-Quran Menyajikan Segala Hakikat yang Ada Bila kita telusuri ayat-ayat al-Quran ternyata menyajikan atau menerangkan segala hal (apa saja) yang sepatutnya diyakini keberadaannya; baik hakikat yang bisa diindrai (syahadah= nyata/konkrit) maupun yang gaib. Hakikat kehidupan itu disajikan al-Quran dalam satu teknik yang menarik sekali. Kita harus merujuk contoh agar lebih jelas mengenai hal ini. Pilih saja Q.S. (al-A'raf [7]: 97-99 sebagai berikut:
Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga). Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Ayat di atas menyajikan tentang hakikat yang ada sekaligus menggabungkan ide pikiran dengan perasaan, serta menimbulkan rasa takut berhati-hati dalam diri manusia. Teknik yang tersaji pada ayat al-Quran di atas dapat menetapkan keyakinan dalam diri setiap Muslim bahwa Allah itu adalah Dzat yang memiliki pembalasan sangat pedih, Dzat yang mempercepat hisab dan Dzat yang sewaktu-waktu dapat menyiksa manusia atas apa yang terjadi dengan mereka. Makna-makna tersebut banyak diulang dalam beberapa ayat al-Quran. Contoh lain yang akan membangun dasar keimanan kepada hari akhir. Dasar keimanan itu diperoleh dari mempengaruhi pikiran dan perasaan takut di dalam hati, karena Allah menyajikan segala hakikat yang ada dalam al-Quran. Allah
171
sedang berfirman kepada Anda wahai manusia! Silakan tadaburi ayat 1-2 pada S. al-Hajj [22] ini:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dan anak yang disusuinya dan gugurlah segala kandungan wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras. Pikiran siapa yang sulit menerima?, dan hati siapa pula yang tidak tersentuh dengan ayat yang agung ini? Hanya orang-orang yang bodohlah yang tidak dapat menerimanya, dan hanya orang yang hatinya keras saja yang menolak kebenaran ini. 2. Penyajian yang Menyentuh Pikiran dan Hati Sebagaimana telah di singgung pada poin kesatu di atas dan indikator tadabur sebelumnya, bahwa dalam rangka upaya untuk meningkatkan keimanan penyajian ayat-ayat al-Quran secara kompak menggabungkan pemikiran dan perasaan para pembacanya. Sentuhan-sentuhan lembut dan halus atas pemikiran dan perasaan pembaca al-Quran ini nantinya akan mampu berinteraksi dan diterima oleh akal dan hati tatkala mentadaburi ayat-ayat alQuran. Dampak akhir dari penyajian ayat-ayat tersebut akan menjadi peubah pada keimanan di dalam hati. Terkait dengan hal yang dijelaskan di atas, An-Nahlawi (1989: 44) menyatakan sebagai berikut:
172
“Al-Quran memperhatikan pemberian keterangan secara memuaskan dan rasional, disertai dengan perangsangan emosi dan kesan insani. Dengan demikian, al-Quran mendidik akal dan emosi sejalan dengan fitrah: sederhana dan tidak membebani, di samping langsung mengetuk pintu akal dan hati secara serempak.” 3. Pengulangan Makna Tetapi Berbeda Caranya Bila kita amati, ayat-ayat dalam al-Quran, ternyata banyak mengulang-ngulang suatu makna (meaning) yang sama dan patut diyakini kebenarannya. Pengulangan tersebut dijelaskan dalam beberapa ayat dengan cara-cara (teknik) yang berbeda-beda. Adapun pelajaran yang dapat ditarik dari hal ini, agar pemahaman “makna” tersebut dapat tertanam kuat dan menjadi satu keyakinan di dalam akal, yang kemudian dilanjutkan dengan menguatnya keimanan di dalam hati. Sedangkan berlainan cara atau teknik penyajian ayat dimaksudkan agar bila kita (manusia yang mentadaburi al-Quran) tidak/belum tersentuh melalui cara tertentu, maka ada harapan untuk tersentuh dengan cara lainnya yang berbeda-beda itu. Ibarat seorang pemecah batu, jika tidak pecah dengan dipukul dari arah kiri, maka dapat dipukul dari arah lainnya. Dengan demikian batu yang kesar itu akhirnya pecah juga. Baiklah kita ambil satu contoh ayat al-Quran lagi mengenai nisbah antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Bayak ayat al-Quran mengatakan bahwa dunia hanya merupakan permainan dan tipuan belaka. Sebaliknya, akhiratlah yang merupakan kebaikan dan akan abadi. “Bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Q.S. al-Hadid [57]: 20). Pembicaraan ini berulang-ulang di dalam al-Quran dengan cara dan metode yang berbeda-beda. Ayat-ayat ini diharapkan mampu menyentuh akal dan mengobarkan perasaan agar dapat menambah kadar keimanan di dalam hati, yang diperoleh dari sikap yang tidak lebih mementingkan duniawi dari pada ukhrawi, atau sikap lebih mementingkan kehidupan akhirat dari pada duniawi. Model ayat di atas diulang-ulang beberapa kali dengan meng-gunakan cara yang berbeda. Semuanya ini digunakan untuk 173
menguatkan pemahaman makna ayat di dalam jiwa dan akhirnya diharapkan dapat menumbuhkan keimanan. 4. Sistematis daam Menggunakan Metode Bila kita baca al-Quran yang disertai dengan pemikiran agak mendalam, dengan fokus perhatian pada masalah metode-metode penyajian informasi yang disuguhkan al-Quran kepada kita, maka kita akan dapati bebagai metode yang sistematis. Metode-metode itu menjadi alat atau sarana untuk mempengaruhi perasaan para pembacanya. Metode peningkatan keimanan dalam al-Quran beranjak dari hal-hal yang konkrit, dapat disaksikan diindrai dan diakui dengan mudah, seperti: hujan, angin, tumbuh-tumbuhan, petir dan kilat. Kemudian meningkat pada hal-hal dogmatis, seperti keharusan mengakui wujud, keagungan, kekuasaan dan seluruh sifat sempurna Allah . Terkadang disajikan dengan dengan kalimat bertanya (istifham), dan terkadang dengan disajikan dengan kalimat berita (khabariah), baik dengan maksud memberkan perhatian, membuat senang, mengingatkan dengan cara yang baik, maupun dengan maksudmaksud lain yang dapat merangsang kesan-kesan Rabbani, seperti: tunduk, bersyukur, cinta dan khusyu kepada Allah . Terkadang disajikan berbagai macam ibadah dan tingkah laku ideal untuk menerapkan akhlak Rabbani secara praktis sebagai wujuk keimanan dalam prilaku nyata. An-Nahlawi (1989: 44) mengomentari keragaman metode dan sistematika penyajiannya yang didemonstrasikan al-Quran untuk meningkatkan keimanan para pembacanya yang dilakukan dengan cara tadabur ini sebagai berikut: ”....Sungguh, ini merupakan metoda terbaik yang telah dijadikan pedoman oleh psikologi dalam mendidik emosi. Metoda ini merangsang berbagai emosi secara berulangulang dengan berbagai pengalaman tingkah laku afektif, disertai dengan suatu obyek tertentu. Jika setiap kali obyek ini dirangsangkan, orang akan mempunyai kesiapan untuk membangkitkan emosi itu. Emosi tidak lain adalah kesiapan instinktif dan impresif. Jika emosi dididik bersama-sama tingkah laku ideal yang dituntut oleh emosi, maka pendidikan akan benar-benar mampu mengintegrasikan diri 174
dan memanfaatkan segala potensinya demi kebaikan umat manusia.” Kita dapat merujuk dan mentadaburi S. al-Rahman [55] sebagai contoh penjelasan di atas. Dalam surat tersebut Allah mengingatkan kita akan nikmat dan bukti kekuasaan-Nya, dimulai dari manusia dan kemampuannya dalam mendidik, hingga sampai kepada matahari, bulan, bintang, pepohonan, buah-buahan, langit dan bumi. Pada beberapa ayat disaji-kan dengan kalimat tanya (istitifham), dan beberapa ayat bukan kalimat tanya, selang seling tampak indah, sehingga indra, akal, naluri, perasaan dan suara hati kita dapat terangsang atau tersentuh. Sehingga akal pikiran tidak akan dapat mengingkari apa yang diindranya, demikian pula hati kita tidak dapat membohonginya. Di antara ragam metode penyajian yang ditunjukkan alQuran antara lain metode kisah, metode tamtsil, metode hiwar washfi, hiwar jadali dan lain-lain, sebagaimana telah dibahas oleh AnNahlawi (1989: 283-426). 5. Mendorong Kekuatan untuk Beramal Ayat-ayat al-Quran yang tersajikan mampu melahirkan kekuatan atau dorongan terhadap jiwa para pembacanya. Kekuatan ini akan berdampak pada keinginan untuk melakukan amal shalih. Pada saat ayat-ayat al-Quran ditadaburi dan berhasil menemukan atau mendapatkan nilai-nilai yang bermakna bagi kehidupan, maka nilai-nilai itu menjadi motor penggerak agar segera dimiliki dan diraihnya. Semakin sering dan semakin banyak ayat-ayat itu dibaca, akan semakin menggelora dalam jiwa dan akan menyuburkan keimanan. Jika keyakinan atas nilai-nilai itu ditindak lanjuti mengan mengaktualisasikannya dalam pentuk prilaku nyata serta terus menerus dilakukan secara istikomah maka keimanan itupun akan tambah mantap dan akhirnya akan relatif kuat serta sulit tergoyahkan. Terkait dengan hal ini, AlHilali (2008: 54) mengilustrasikan dengan contoh sebagai berikut: “Tambahan keimanan tersebut akan terwujud menurut kadar amal yang dilakukan oleh manusia. Ketika seorang hamba melakukan zikir, misalnya bertasbih, kemudian 175
disaat melakukan tasbih hatinya ikut bergetar, maka dampak yang disebabkan olehnya akan kembali pada hati, yaitu dengan bertambahnya rasa penghormatan kepada Allah. Adapun dengan zikir al-hauqalah (laa haula walaa quwwata illa billah), ia akan menambah besar kadar rasa membutuhkan dan keinginan untuk mendapatkan bantuan Allah ”. Contoh lain dalam ibadah shalat, jika shalat bertolak dari hati dan iman yang hidup, serta terjadi interaksi antara hati, lisan, dan anggota tubuh saat melakukannya, maka ia akan dapat menambah rasa kewibawaan, pengagungan, kerendahan diri, dan pembiasan dalam hati terhadap Allah . Ibadah lain pun akan berjalan seperti ini. Al-Quran akan membangun sekuat mungkin dasar-dasar keimanan, melahirkan kekuatan jiwa dan mendorong manusia untuk melakukan amal shaleh. Dengan harapan agar dampaknya kembali kepada hati, yaitu bertambahnya kadar keimanan di dalamnya. B. Kiat-Kiat Meningkatnya Keimanan Melalui Tadabur AlQuran Ada seseorang yang berkata, "Aku telah banyak membaca al-Quran, tetapi tidak merasakan perubahan, tidak merasakan peningkatan keimanan, bahkan tidak pernah merasakan nikmatnya keimanan yang aku peroleh darinya". Ya, hal ini bisa terjadi karena pembacaan al-Quran yang dilakukan hanya ditujukan untuk mendapatkan kadar kebaikan sebesar mungkin, tanpa adanya pemahaman makna dan interaksi dengannya. Padahal, tujuan utama dari membaca al-Quran adalah untuk mengubah persepsi dan maksud agar dapat mengambil manfaat dari kemukjizatan al-Qur'an serta menambah keimanan dengannya. Tujuan ini merupakan satu hal yang membutuhkan kegigihan, kesabaran, dan ketekunan, terlebih bagi para pemula. Sekadar mengingatkan, bahwa cara yang telah disebutkan di atas (yaitu dengan memahami makna dan berinteraksi dengan alQuran) tidak akan menghalangi orang yang melakukannya untuk
176
mendapatkan pahala. Bahkan dengan izin Allah , pahala yang didapatkannya akan berlipat ganda. Hal yang tak boleh dilupakan, bahwa bertambahnya iman diartikan sebagai gerak proses interaksi pikiran dan perasaan dengan bacaan ayat-ayat al-Quran. Tanpa hal tersebut, kita tak akan bisa mewujudkan apa yang kita inginkan. Artinya, jika pembacaan yang kita lakukan tidak disertai dengan pemahaman, penghayatan, dan proses interaksi, maka bacaan itu tidak akan bisa menambah kadar keimanan, walaupun kita telah mengkhatamkan al-Quran beribu-ribu kali. Di saat yang sama, bacaan yang disertai dengan pemahaman secara akal pikiran, tetapi tidak diikuti dengan proses interaksi dan gerak hati, bacaan ini juga tidak akan bisa menambah kadar keimanan. Jika kita menginginkan tambahnya keimanan dan membangun dasardasarnya dalam hati, maka tidak ada alternatif lain kecuali dengan mempertajam kepekaan dan berinteraksi dengan bacaan secara intensif. Adapun tujuan yang kita inginkan melalui rutinitas pertemuan kita bersama al-Quran adalah mendapatkan rasa kepekaan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kepekaan tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan tadabur (penghayatan). Jadi, seyogyanya setiap kali kita membaca alQuran berupaya untuk memahami apa yang kita baca dan berusaha untuk merasakan pengaruh darinya. Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Janganlah kalian mempercepat bacaan al-Quran tanpa adanya tadabur seperti membaca syair. Janganlah kalian melagukan al-Quran tanpa aturan, seperti kurma basah dan buruk yang berjatuhan saat pelepahnya digoyangkan. Berusahalah untuk menemukan keajaibannya, gerakkanlah hati kalian dengannya, dan jangan sampai perhatian kalian hanya tertuju pada akhir surat saja (karena ingin cepat selesai dari bacaan)." Agar terwujud pertambahan iman melalui al-Quran, kedekatan diri kepada Allah , dan konsisten terhadap perintah Allah , maka diharuskan adanya kepekaan dan interaksi dengan al-Quran. Allah berfirman: 177
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) alQuran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karena nya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (Q.S. al-Zumar [39]: 23) Berdasarkan al-Quran, di bawah ini akan disajikan beberapa pokok penting yang terkait dengan peningkatan keimanan melalui tadabur al-Quran, yaitu sebagai berikut: a). Menyibukkan Diri dengan Al-Quran Adapun yang diaksud menyibukkan diri dengan al-Quran adalah memberikan waktu-waktu yang cukup setiap harinya, konsisten dan merutinkannya dalam situasi dan kondisi apa pun. Hal ini dapat kita lakukan jika kita tahu bahwa al-Quran akan memberkan manfaat besar kepada kita. Semakin besar perhatian kita terhadap al-Quran, maka akan lebih besar manfaat yang akan kita peroleh. Artinya, bahwa manfaat yang kita peroleh dari tadabur al-Quran itu berbanding lurus dengan besarnya perhatian tika terhadap program tadabur. Dalam hal menyusun program tadabur, yang paling penting adalah perolehan kualitas, bukan tamatnya program. jadi nampaknya kita akan lebih baik mengutamakan jadwal program lagi tidak dibatasi dengan banyaknya jumlah bacaan tertentu, tetapi kita membatasinya dengan ukuran waktu, misalnya satu atau dua jam. Sebab jika kita membatasi jadwal harian tersebut dengan banyaknya jumlah bacaan tertentu, seperti satu atau dua juz, maka hal ini akan mendorong kita untuk mempercepat bacaan tanpa disertai dengan penghayatan atau proses interaksi, sehingga akhirnya menjauhkan kita dari tujuan yang diharapkan. Bagi pemula, kita membutuhkan waktu yang relatif lama, agar perasaan kita terlatih sehingga terjadi proses interaksi antara kita dengan al-Quran. Seumpa-ma saja kita memulai bacaan, lalu tak lama kemudian kita mengakhirinya dalam jeda waktu yang 178
pendek, maka tidak akan terwujudkan interaksi yang efektif. Tegasnya, menyibukkan diri bersama al-Quran berarti harus cukup waktu, berkesinambungan, serta memberikan kesempatan agar ayat-ayat al-Quran meresap ke dalam diri kita, hingga dampaknya sedikit demi sedikit dapat ditangkap oleh perasaan, yang nantinya akan mewujudkan interaksi positif antara al-Quran dan hati kita, menggabungkan antara ayat dengan perasan dan darinya akan terwujud pencapaian diri kepada Allah . b). Persiapan Mental Persiapan mental untuk menghadapi dan memahami alQuran memiliki peran amat penting dalam proses interaksi dengannya. Mental kita harus dipersiapkan secara tangguh, sebab gangguan untuk melakukan hal yang baik pasti banyak, syetan pun pasti mengganggu dengan gigih. Oleh karenanya jangan lupa berlindung kepada Allah dari gangguan syetan (isti‟adzah) sebelum bertadabur diperintahkan Allah (Q.S. al-Nahl [16]: 98).
Apabila kamu membaca al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Jika mental dapat bertahan dan sudah mulai ajeg berarti kita sudah lulus dari gangguan syetan tahap pertama. Bila hal ini terus kita pertahankan, maka syetan pun akan menjauh dari lingkungan kita, syetan tidak akan kuat berada di dekat orang yang beriman dan berahati bersih, sebab syetan akan merasa panas dengan bacaan (dzikir-dzikir) orang-orang yang membaca al-Quran apalagi bacaan yang berkualitas (tadabur). Hal ini sejalan dengan firman Allah (Q.S. Al-Nahl [16]: 99-100) sebagai berikut: “Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orangorang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas orang-orang
179
yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah”. c). Terbuka dan Menyatunya Hati Allah berfirman dalam al-Quran (S. an-Nisa [4]:82) sebagai berikut:
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." Beberapa kali penulis berkesempatan memperhatikan bacaan al-Quran imam Masjid Al-Haram (seperti Imam Sudaisy) waktu shalat berjamaah di Masjidil Haram, Tanah suci Makkah, Beliau sering menangis tersedu, berhenti sejenak, lalu meneruskan lagi bacaannya. Pernahkah kita juga mengalaminya? Yakni tatkala membaca al-Quran lalu tiba-tiba berhenti... berhenti sejenak... ada sesuatu yang dirasakan, mungkin sedih, gembira, menyesal dan lain-lain. Bersyukurlah kalau pernah merasakannya, karena itu pertanda bahwa hati kita sudah tersentuh dengan bacaan al-Quran tersebut. Di antara tanda mentadaburi al-Quran adalah menyatunya hati dan pikiran ketika membaca al-Quran, dan menangis karena mengetahui keagungan dan kebenaran isi dikandungnya, dan inti dari semua itu adalah hati. Karena dengan hatilah kita memahami al-Quran, sebagaimana firman Allah (S. al-Hajj [22]:46 dan.S. al-Kahfi [18]: 57) sebagai berikut: "…maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
180
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. "
"Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menye-ru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya." Hati adalah layaknya raja bagi tubuh kita. Apabila baik hati itu, maka baik pula seluruh jasadnya, apabila buruk hati itu, maka buruk pulalah seluruh jasadnya. Ibrahim bin Adham, seorang ulama di za-man Imam Ahmad mengatakan salah satu tanda hati telah mati adalah "Engkau membaca al-Quran tetapi tidak mengamalkannya." Allah-lah yang berkuasa untuk menutup atau membukakan hati seseorang, seperti firman-Nya (Q.S. al-'Anfal [8]:24) berikut ini.
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan."
181
Tempat berlabuhnya cinta adalah hati. Kecintaan hati terhadap al-Quran amat besar peranannya dalam mentadaburi alQuran. Dalam bahasan berikut ada tiga hal yang akan dikaji: Pertama, hubungan kecintaan pada al-Quran dengan tadabur al-Quran; Diketahui bersama bahwa ketika hati mencintai sesuatu ia akan terikat dengannya sangat erat sekali, rindu, kangen dan tidak ingat dengan selain yang dicintai. Demikian pula ketika hati mencintai al-Quran, akan merasakan nikmat ketika membacanya. Berkumpul untuk memahaminya bersama dan perhatian penuh terhadapnya. Dengan demikian akan tercapailah tadabur atau pemaknaan yang kuat lagi mendalam. Sebaliknya, jika rasa cinta tidak tertanam kuat dalam hati, maka menghadapkan hati kepada al-Quran sangatlah sulit, menurutinya sangatlah berat bah-kan tidak akan berhasil kecuali dengan usaha sunguh-sungguh (mujahadah) dan perjuangan berat (mughala-bah). Dengan demikian kecintaan hati terhadap al-Quran sangat bermanfaat besar bagi tercapainya kualitas pemaknaan. Dalam dunia pendidikan, setiap kita seringkali menemukan fakta yang menunjukkan kebenaran apa yang disebutkan di atas. Sebab kita acapkali menemu-kan seorang pembelajar yang memiliki semangat membara, cinta dan gemar dalam proses belajarnya, akan mudah mengerti, paham apa yang disampaikan oleh gurunya dengan cepat, unggul dan kuat. Sehing-ga beban belajar dan kewajibannya dapat diselesaikan dalam tempo waktu yang tepat, bahkan lebih cepat dari yang lainnya. Padahal pelajar yang malas tidak akan bisa memahami apa yang disampaikan guru secara baik kecuali dengan pengulangan (remedial). Kita mendapatinya menghabiskan waktu banyak, tapi tanpa hasil yang baik dan hanya menghabiskan waktu dan kesempatan saja, karena kewajibannya tidak bisa ia tunaikan dengan baik. Kedua, Ciri kecintaan hati terhadap al-Quran; Al-Lahim (2008: 39) menunjukkan beberapa ciri kecintaan hati seseorang terhadap al-Quran sebagai berikut: a) Merasa bahagia jika bersentuhan dengan al-Quran, mereka bercengkerama dengannya di banyak waku tanpa merasa bosan.
182
b) Rindu ingin bersentuhan dengan al-Quran jika mereka lama tidak bercengkerama, karena terdapat halangan dan rintangan. Mengharapkannya, memandang dan berusaha menghilangkannya. c) Banyak bermusyawarah dan percaya atas segala arahanya. Kembali kepadanya jika ada masalah kehidupan dunia baik besar atau kecil masalah tersebut. d) Mentaatinya; baik larangan atau perintahnya. Segala sesuatu dikenal dengan tanda-tanda atau ciri-cirinya. Dememikian halnya dengan kecintaan seseorang terhadap al-Quran. Ketiga ciri di atas merupakan ciri yang paling penting tentang sejauhmana kecintaan hati seseorang kepada al-Quran. Jika kita menemukannya pada diri kita, maka berarti di hati kita telah tertanam cinta terhadap al-Quran. Jika sebaliknya, maka berarti kita tidak mencintai al-Quran. Bahkan jika sama sekali satu pun tidak ada maka rasa cintanya tidak ada karena ketiadaan ciri-ciri tersebut. Sebagai orang yang sudah dewasa, sangat dianjurkan bagi setiap muslim untuk introspeksi, menanyakan kepada dirinya. Apakah aku mencintai al-Quran? Pertayaan ini sangat penting untuk diajukan. Dan menjawabnya lebih penting lagi. Sebab jawaban yang diberikan mengandung banyak makna. Al-Lahim (2008: 40) mengutip perkataan Abu 'Ubaid: "Janganlah seseorang bertanya tentang dirinya kecuali dengan alQuran. Jika ia mencintai al-Quran maka ia berarti mencintai Allah dan rasul-Nya". Sudah semestinya kita mengaku (i'tiraf) secara jujur, kemudian kita berusaha mendapatkan jawaban 'ya' yang disertai dengan upaya-upaya meningkatkan kecintaan kita terhadap alQuran. Bahasan berikut akan membantu kita untuk mencapai tujuan ini. Ketiga, Medium agar hati mencintai al-Quran; Menurut AlLahim (2008: 41), Sebenarnya medium agar hati mencintai al-Quran ada dua: (1) memohon pertolongan Allah dan pasrah (tawakal) kepada-Nya dan (2) mengikuti kausalitas. a) Permohonan kepada Allah agar kita diberi rizki (berupa mencintai al-Quran). Banyak do'a mengenai hal ini dalam hadits atau dapat kita telukan dengan mudah di bagian akhir al-Quran (do'a khatam) seperti ... ٌ( انهٓ ّى اسحًُٗ تانمشآAllahumma irhamnii bi al183
Quran ….dst). Termasuk dalam hal ini adalah, apa yang disyari'atkan kepada pembaca al-Quran untuk memohon perlindungan kepada Allah dari syetan (isti'adzah), membaca bismilah pada tiap-tiap awal surat. Di dalamnya sudah termasuk permintaan "pertolongan dari Allah dalam pemahaman dan tadabur al-Quran secara umum, lebih khusus lagi surat yang hendak dibaca. b) Mengikuti kausalitas. Faktor terbaik dan paling bermanfaat dalam konteks ini adalah ilmu. Mediumnya adalah membaca atau mendengarkan. Membaca tentang keagungan al-Quran baik keterangan dari al-Quran maupun dari sunnah Rasulullah , pernyataan ulama salaf salih dalam pengagungan dan kcintaan mereka terhadap al-Quran. Terkait dengan hal ini, Al-Lahim (2008: 43) menulis: "Kita mesti tahu bahwa ketiadaan kecintaan dan pengagungan hati terhadap al-Quran adalah utamanya adalah ketidaktahuan nilai, posisi dan peran al-Quran itu sendiri dalam kehidupan". Seperti anak kecil yang diberi uang satu juta rupiah, malah menolaknya dan meminta hanya seribu saja. Begitu pula orang yang tidak tahu nilai al-Quran akan menolak dan memutuskanya dan malahan lebih sibuk dan disibukkan dengan hal-hal yang sebenanya lebih rendah jika dibandingkan dengan keagungan alQuran. Persiapan hati memang penting dalan mentadaburi alQuran. Persiapan ini diperoleh dengan cara mempersiapkan perasaan dan mengarahkannya untuk mendengarkan, membaca serta menangkap maksud-maksud yang terkandung dalam alQuran yang kita baca atau dengar. Dengan begitu, interaksi dengan al-Quran dapat terwujud dengan mudah. Oleh karena itu, amat baik jika kita melapangkan hati untuk menerima hidayah Allah melalui tadabur al-Quran. Bacalah do‟a sebagaimana diajarkan al-Quran (S. Taaha [20]:25-27) sebagai berikut:
184
"Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku”. Sesungguhnya Allah Maha Tau segala apa yang nampak dan apa yang kita sembunyikan dalam hati kita (Q.S. Ali Imran [3]: 29 dan 154, Huud [11]: 5). Oleh karena itu terus terang saja kepada Allah . Bila hati kita sudah pasrah dan siap menerima petunjuk Allah , Ia akan melapangkan hati kita: “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya kami telah menjelaskan ayat-ayat (kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran.” (Q.S. al-An‟am [6]: 125-126). Setelah menelaah dan menghayati al-Quran serta mendapatkan kesadaran hati darinya, maka pera-saan kita akan berubah dari keadaan yang keras dan jumud menjadi lemah lembut dan mudah peka. Pada saat seperti ini, tujuan dari pertemuan kita dengan al-Quran tidak akan berkurang sedikit pun, yaitu untuk menciptakan hubungan, interaksi, dan kepekaan hati. Inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa persiapan hati adalah salah satu sarana yang kita butuhkan pada awal kembali pada al-Quran (setelah lama tidak bertemu dengannya). Hal ini dipertegas oleh hadits Rasulullah : “Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dalam keadaan yang menyedihkan. jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika 185
kalian tidak menangis, maka kalian akan dibuat menangis olehnya” (H.R. Abu Daud dan Ahmad). Mengenai persiapan hati agar bisa menjadi sempurna, AlHilali (2008: 63) menunjukkan dua cara untuk mempersiapkannya, yaitu: a) Dengan memanfaatkan waktu-waktu di mana perasaan bisa bereaksi secara alami; baik itu saat membaca, melihat, mendengar kabar maupun peristiwa yang mampu mempengaruhi perasaan. Di saat kita membaca al-Quran dalam keadaan seperti itu, maka ia akan memberikan dampak positif dan mempercepat terjadinya interaksi dengan bacaan. Kisah sahabat 'Umar bin Khaththab saat masuk Islam adalah contoh nyata dari cara pertama ini. Perasaannya tersentuh saat melihat darah mengalir di wajah saudara perempuannya. Pada saat itu, dia mendengarkan bacaan al-Quran, lalu hatinya terbuka, dan akhirnya menyatakan masuk Islam. b) Sebelum membaca al-Quran, kita berusaha untuk mempengaruhi perasaan walau dalam jeda waktu beberapa menit saja. Hal itu bisa diperoleh dengan cara mengingat kematian, mendengarkan nasihat, atau membaca buku-buku yang menyentuh perasaan. Kita tidak boleh menyianyiakan cara ini dengan langsung melakukan bacaan tanpa mempersiapkan hati terlebih dahulu, apalagi bagi para pemula. Sikap tergesa-gesa seperti itu hanya akan memperlambat proses interaksi antara hati dengan al-Quran. Apa yang disarankan di atas, sesungguhnya bersumber dari nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah agar kita bersikap khusyuk dalam shalat. Rasulullah bersabda: Ingatlah kematian dalam shalatmu. Sesungguhnya jika seseorang ingat akan kematian di dalam shalatnya, maka sudah pasti dia akan memperbaiki shalatnya. Lakukanlah shalat seperti shalatnya seseorang yang tidak menyangka bahwa dia akan melakukan shalat lainnya (shalat terakhir, karena ajal segera menjemputnya). Mengingat mati dan merasakan bahwa shalat kita adalah sebuah amanah yang dititipkan di kehi-dupan dunia, memiliki
186
dampak besar dalam meng-hadirkan hati, kekhusyukan, dan proses interaksi hati dengan Allah saat shalat. Hal seperti inilah yang ingin kita terapkan tatkala kita bertadabur al-Quran, yakni dengan mengingat mati sebelum membaca al-Quran, agar terwujud sebuah dorongan untuk mempercepat proses interaksi dengan ayat-ayatnya. Di antara hal-hal yang mempercepat reaksi perasaan adalah berusa-ha menangis saat dibacakan ayat-ayat alQuran. e) Membaca dengan Tartil dan Suara Menarik Faktor lainnya yang membantu mentadaburi al-Quran adalah tenang (tartil) dalam membaca dan tidak terburu-buru. Ibnu Abbas (1992) ditanya tentang bacaan keras Nabi pada saat qiyamullail. la menjawab, "Beliau membacanya di kamarnya dengan bacaan, andai-kan seorang penghapal al-Quran mau menghapalnya niscaya ia mampu melakukannya." Sekaitan dengan hal ini Sahabat Anas bin Malik saat ditanya tentang bacaan Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, ia menjawab: "Beliau merenggangkan suaranya benar-benar renggang." Adapun dampak dari bacaan al-Quran yang tenang atau tidak tergesa-gesa akan memberi peluang baik bagi yang membacanya maupun yang mendengarkannya untuk merenungkan makna di balik setiap kata yang dibaca atau didengarnya. Oleh kare-nanya, bacaan al-Quran yang dilakukan dengan cara ini dapat menyentuh kalbu dan menarik hati. Jika hati sudah luluh maka keyakinanpun akan meningkat. Cara membaca al-Quran secara tartil dapat mem-percepat proses interaksi dalam bertadabur al-Quran. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Quran (S. al-Furqan [25]: 32 dan S. alMuzammil [73]:4) sebagai berikut:
“Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”
187
“Bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan”. Bacaan yang tartil akan lebih dahsyat lagi pengaruhnya ke dalam hati kita jika disertai dengan suara yang bagus dan enak didengar. Hal ini memiliki peran besar dalam mempercepat reaksi perasaan. Rasulullah bersabda, “Hiasilah al-Quran dengan suara kalian”(H.R. Abu Dawud). Suara yang indah akan menambah bacaan menjadi lebih baik. Jika bacaan dihiasi dan diperindah dengan suara yang bagus, maka akan ada daya tarik bagi hati untuk mendengarkan, memusatkan perhatian, dan menghayatinya. Faktor ini merupakan faktor seni, keindahan suara bacaan al-Quran akan membantu untuk mentadaburi al-Quran. Sekaitan dengan hal Rasulullah bersabda: "Bukan termasuk golonganku yang tidak bersenandung ketika membaca al-Quran". Rasulullah bersabada pula: "Manusia yang paling baik bacaannya adalah yang ketika membaca kamu lihat ia sangat takut pada Allah." Ibnu Katsir (1977) berkata: "Yang diharuskan menurut sari'at adalah memperindah suara yang bisa membangkitkan semangat untuk mentadaburi al-Quran, memahami, khusyu', khudhu', terikat dan penuh taat karenanya." f) Memahami Bacaan Al-Quran Secara sederhana tadabur artinya merenungkan. Perenungan al-Quran akan efektif jika kita paham apa yang sedang kita renungkan itu. Dengan demikian pemahaman mutlak diperlukan dalam hal ini. Walau kita lama sekali membaca ayat-ayat alQuran, jika kita tidak dapat memahaminya, maka tujuan tadabur ini tidak akan diperoleh. Namun bukan berarti hal ini tidak ada kebaikan di dalamnya. Kebaikan membaca al-Quran tanpa pemahaman ada baiknya pula, namun jauh lebih baik lagi jika disertai dengan pemahaman dan mendalam agar tercapai tujuan tadabur tersebut. Sebagaimana kita maklumi bahwa al-Quran di-wahyukan Allah dan ditulis dengan bahasa Arab, dan untuk memahaminya tentu harus memahami bahasa Arab itu. Jika kita tidak memahami bahasa Arab, maka kita tidak dapat berinteraksi 188
dengan al-Quran secara baik. Inilah logika yang lurus. Jadi jalan yang paling baik agar dapat berinteraksi dengannya haruslah paham bahasa Arab. Bagaimana seseorang bisa mengkap nasihat-nasihat yang tidak ia pahami? Bagaimana bisa melaksanakan perintah-perintah atau bisa menjauhi larangan-larangan yang tidak diketahui artinya? Bagaimana mungkin kita merasakan suatu kabar gembira atau ancaman jika tidak mengetahui isinya? Menjawab persoalanpersoalan ini tiada lain kecuali dengan memahami maksud dari ayat-ayat al-Quran yang kita baca. Namun demikian bukan berarti orang yang belum bisa bahasa Arab tertutup kemungkinannya untuk dapat bertadabur alQuran. Karena Allah berjanji akan memudahkannya (Q.S. alQomar [54]: 17, 22, 32, Maryam [19]: 97 dan al-Dukhan [44]: 58). Beberapa kiat dapat ditempuh antara lain (1) dengan bantuan terjemah al-Quran sesuai dengan bahasa yang dipahami oleh pentadabur, (2) dengan bantuan ustadz, kiayi dan guru/dosen agama, dan (3) ikut serta dalam program tadabur bersama dengan yang lain. Secara praktis, pada kalangan mahasiswa di PTU (Perguruan Tinggi Umum) misalnya, yang pada umumnya baru bisa membaca al-Quran dan belum bisa membaca tafsirnya yang bersumber dari bahasa Arab, maka membaca terjemah al-Quran dapat menjadi solusi, dengan membaca tafsir yang berbahasa Indonesia seperti Al-Azhar karya Hamka, Al-Mishbah karya Quraisy Shihab, atau Terjemah Al-Maraghi karya Syekh AlMaraghi dan lain-lain juga dapat menjadi solusi, atau dengan bimbingan dosen PAI dapat menjadi solusi. Tidak dapat disangkal, bahwa kemampuan seseorang dalam memahami ayat-ayat al-Quran berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dapat kita jumpai terkadang pemahaman itu terbatas dan dang-kal, terkadang lebih bagus sedikit, dan terkadang ada yang bagus sekali. Hal ini tidaklah menjadi masalah, karena tujuan utamanya tidak hanya untuk memahami al-Quran, tetapi untuk berinteraksi dengan al-Quran. Terkadang pemahaman seseorang terhadap suatu ayat sangatlah terbatas, tetapi karena keikhlasannya, kesediaanya untuk 189
membuka hati, kecintaannya terhadap al-Quran, ia berhasil mewujudkan dampak yang besar dalam meningkatkan keimanan dan dapat mewujudkannya dalam prilaku kehidupannya, subhanallah. Namun di sisi lain, ada juga fenomena pema-haman seseorang atas ayat yang sama sangatlah mendalam, tetapi dia tidak bisa menghasilkan dampak apa pun dalam meningkatkan keimanan, ia tidak pula merealisasikannya dalam kehidupan. Sesungguhnya ia hanya dapat menambah pengetahuan saja yang akan terus mengurung akalnya tanpa terwujud dampak positif dalam sikap dan akhlaknya, disebabkan tidak adanya interaksi antara ayat dengan hati. Jadi, yang terpenting adalah terwujudnya interaksi hati dengan apa yang dimaksudkan oleh ayat, walaupun pema-haman masih dalam kadar terbatas. Alkisah, telah terjadi pada seorang Arab Badwi saat mengikuti majelis Rasulullah , kemudian dia mendengarkan firman Allah yang dibacakan oleh beliau:
“Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat dzarah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan siapa yang mengerjakan kejahatan walau sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya) pula. (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8). Lantas seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, meskipun hanya seberat dzarah?" Rasul menjawab, "Ya." Lalu orang Badwi itu berkata, "Sekecil itukah?" Kemudian dia berdiri sambil mengucapkannya. Lalu Rasulullah bersabda, "Iman telah masuk ke dalam hati orang Badwi”. Kesimpulannya adalah, bahwa iman telah masuk ke dalam hati orang Badwi saat dia terpengaruh dengan ayat tersebut, walaupun pemahaman yang dia miliki masih terbatas. g) Pengambilan Makna Ayat Secara Umum Kesulitan bertadabur al-Quran dapat saja ter-jadi karena tidak dapat memahami ayat sepenuhnya, ada kalimat-kalimat yang tidak tahu artinya. Hal ini terutama bagi para pemula. Kesulitan ini dapat diatasi dengan (1) mengambil pemahaman 190
secara umum saja, (2) tangkaplah ide-ide pokoknya, (3) ambillah nilai-nilai intinya, dan (4) lewatlah –untuk sementara- kata yang dianggap sulit. Rasulullah menyatakan bahwa: “Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan untuk mem-benarkan satu sama lain. Apa saja yang kalian pahami darinya maka amalkanlah. Dan apa saja yang tidak kalian pahami darinya maka kembalikanlah ia pada yang mengerti (Allah)” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majjah). Terkait dengan hal ini Al-Hilali (2008: 67) me-nambahkan bahwa: “Untuk menghasilkan dampak dan interaksi hati dengan ayat, maka diharuskan adanya kesinambungan dan tidak memotong-motong bacaan. Selain itu, kita juga dituntut untuk memberikan kesempatan pa-da ayat agar masuk ke dalam hati, dengan harapan agar pengaruhnya sedikit demi sedikit mengantarkan kita pada fase kepekaan”. 7. Merasakan Terjadinya Kumunikasi Ilahiyah Seperti halnya mendengar, membaca itu sebagai salah satu alat komunikasi dengan 'apa yang ada di balik' bacaan. Seorang anak membaca surat dari orang tuanya berarti dia sedang berkomunikasi dengan orang tuanya yang mengirimkan surat tersebut. Banyak orang mengeluhkan sekian lama membaca dan berulang-ulang melafalkan al-Quran tapi tidak mampu mentadaburinya, tidak dapat mengambil nasihat dan menikmati isinya, penyebabnya karena tidak terjadi komunikasi dengan bacaannya itu. Persoalannya, bagaimana caranya agar terjadi komunikasi eksistensial antara pembaca al-Quran dengan "apa yang ada di balik" al-Quran itu? Kiranya kita dapat mengukuti langkah Salim Al-Khawwash sebagaimana dikutip oleh Syadi (2003: 127) bahwa: "Aku ini selalu membaca al-Quran, tapi tidak per-nah mendapatkan manisnya al-Quran. Aku berkata pada diriku sendiri, 'Bacalah terus seakan kau mendengarnya dari Rasulullah.' Lalu muncul sedikit manisnya bacaan. Aku pun terus memompa diriku, 'Bacalah seakan kau mendengarnya dari Jibril ketika ia mengabarkan al-Quran pada Rasulullah.'
191
Lalu ma-nisnya al-Quran terasa semakin bertambah. Kemudian aku katakan pada diriku, 'Bacalah seakan engkaulah yang diajak bicara olehnya.' Manisnya al-Quran pun secara penuh berhasil dirasakan." 8. Pengulangan Ayat yang Berpengaruh Ke Dalam Hati Nabi Muhammad sering sekali bangun malam, Beliau sering mengulang-ulang satu ayat hingga shubuh menjelang. Ayat tersebut antara lain:
"Jika Engkau menyiksa mereka, maka mereka adalah hambahamba-Mu. Jika Engkau mengampuni, Engkau adalah Dzat Maha Agung dan Mahabijaksana." (Q.S. al-Maidah [5]:118). Menurut sebagian riwayat ayat tersebut sangat menyentuh perasaan nabi Muhammad dan Beliau mengulang-ulang membacanya. Nama lain dari al-Quran adalah al-Nuur (yang memberi cahaya), karena sejatinya semua ayat-ayat al-Quran memberikan cahaya terang kepada manusia. Al-Quran sebagai al-Nuur akan dapat menerangi hati orang yang membaca ataupun mendengarkan al-Quran. Akan tetapi, jika hati ditutupi oleh awan kegelapan, kekotoran, kekerasan, kelalaian dan penyakit hati lainnya yang menyelimuti hati, maka cahaya ini akan menemukan kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam hati dan menggetarkan perasaan. Dari sekian banyak ayat yang dibaca, mungkin tidak semuanya dapat menyentuh hati. Mungkin hanya satu atau dua kalimat saja, Al-hamdulillah, ini karunia Allah yang patut disukuri. Terhadap kali-mat atau ayat-ayat yang telah menyentuh hati ini hendaknya sering diulang-ulang membacanya. Hal ini penting dilakukan agar sedikit demi sedikit dapat merangsang kepekaan hati. Jika hati sudah peka, maka akan semakin banyak dari ayat-ayat al-Quran yang dapat kita tangkap makna esensialnya di balik ayat-ayat tersebut. Ini adalah salah satu cara yang dapat dilatihkan.
192
Dengan kuasa dan idzin Allah , Jika persiapan hati yang telah kita usahakan sebelum membaca al-Quran, maka akan tiba masa-masa menyenangkan, di mana cahaya dari ayat-ayat tersebut akan membakar awan penghalang tadi walau sedikit demi sedikit, mengantarkan kilau cahayanya ke dalam hati, me-nyentuh dan menggerakkan perasaannya, yang nantinya akan mewujudkan interaksi, pencapaian tujuan, dan bertambahnya keimanan. Sekaitan dengan hal ini Al-Hilali (2008: 69) menandaskan: “Kita harus bisa memanfaatkan kesempatan yang ada. Kita berikan kesempatan yang sebesar-besarnya pada cahaya al-Quran agar masuk ke dalam hati, membersihkan perasaan kita dari cengkeraman hawa nafsu dan menambah kadar keimanan di dalam hati. Hal itu semua bisa diwujudkan dengan cara mengulang-ulang satu atau beberapa ayat yang bisa mewujudkan interaksi”. h) Mengaplikasikan Apa yang Telah Diyakini Dari berbagai pendekatan yang telah diterang-kan di atas, insya Allah telah ada nilai-nilai keimanan yang kita terima, kita meyakini kebenarannya, kita posisikan dalam peta bangunan keimanan yang sudah kita miliki sebelumnya dalam sebuah peta organisasi keimanan secara terpadu. Langkah kita selanjutnya adalah mulai mengaplikasikan nilai-nilai keimanan yang sudah kita yakini itu dalam kehidupan, kita lakukan secara simultan (intiqamah), jangan ditunda-tunda lagi. Sebab penundaan berarti kegagalan untuk meraih suksesnya tadabur al-Quran. Dampak dari pegamalan ajaran Islam yang didasari oleh keyakinan yang mantap akan mempengaruhi pada amal-amal positif lainnya. Sebagai contoh, shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (Q.S. al-„Ankabut [29]: 45). Hal ini berarti akan dapat menambah keimanan juga. Jadi dengan mengaplikasikan apa yang telah kita yakini kebenarannya, merupakan salah satu cara untuk mengantarkan kita pada pencapaian tujuan tadabur alQuran. Setelah masa-masa belalu, dan kita jalani dengan sepenuh hati akan menjadikan hati lebih siap untuk berinteraksi dengan hakikat keimanan lebih banyak lagi. Jika usaha itu dibarengi dengan amal yang dilakukan sepanjang masa pemfokuskan diri terhadap hakikat keimanan, maka ia sedikit pun tidak akan 193
mengurangi kedalaman dan kekuatan iman di dalam hati. Bahkan, hal itu akan mempercepat perubahan perangai dan hubungan seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Setiap kali keimanan seseorang hamba bertambah, makin bertambah pula tingkat kedekatan dirinya dengan Tuhannya. Dalam firman Allah disebutkan, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (Q.S. al-'Alaq [96]: 19). Adapun ibadah yang mampu menambah keimanan adalah ibadah yang mendapatkan respons dan ruang gerak di dalam hati; baik ruang gerak itu berupa kekhusyukan, ketundukan, kerendahan diri di hadapan Allah , ketakutan, maupun ketenangan. Bentuk ibadah yang dapat dijadikan contoh adalah berdo‟a, karena do‟a merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Akan tetapi, agar ia mampu mendorong pertumbuhan keimanan diharuskan adanya unsur ketundukan hati saat melakukannya. Allah berfirman:
“Berdo‟alah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut” (S.Q. al-A'raf [7]: 55). Respon hati terhadap ketaatan merupakan suatu hal yang harus dimanfaatkan untuk menambah kadar keimanan. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguh-nya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Q.S. al-lsra [17]: 107-109).
194
Jika mereka mampu berinteraksi dengan al-Quran, dan hati mereka dapat tersentuh saat mendengarnya, disusul dengan bersujud, bertasbih, dan menangis, maka hal itu semua akan semakin menambah rasa khusyuk mereka. Setelah selesai melaksanakan ketaatan, satu hal yang dapat menunjukkan apakah keimanan itu bertambah atau masih statis (stagnan) adalah dengan mengevaluasi akhlak (perangai) seseorang. Bila akhlaknya semakin membaik, maka meningkatlah keimanannya, demikian sebaliknya jika tetap saja berarti stagnan keimanannya. Akhlak atau amal shalih dijadikan alat ukur karena iman sebagai pendorong untuk melakukan amal. Setiap kali keimanan bertambah, maka dorongan untuk melakukan amal shaleh akan bertambah pula. Jika seseorang melakukan ketaatan, kemudian hatinya dapat terpengaruh olehnya, maka kadar keimanan yang dimiliki akan bertambah, yang akhirnya diikuti dengan membaiknya perangai di dalam dirinya. Ibnu Qudamah (2007: 58-59) dalam kitabnya Minhajul Qoshidin berkata dalam menasihati para pembaca al-Quran: "Seorang pembaca al-Quran hendaknya melepaskan diri dari penghalang-penghalang yang merintangi pemahaman terhadap al-Quran. Di antaranya, keinginan berbuat dosa, memiliki sifat sombong, mengikuti hawa nafsu. Sebab semuanya merupakan penyebab gulita dan kotornya hati. Sebab hati itu ibarat cermin. Sedang olah raga bagi hati adalah menyingkirkan syahwat agar terang seperti terangnya cer-min." Jika seseorang yang berupaya mentadaburi al-Quran tetapi tidak dapat menghindari dari perbuatan-perbuatan yang menghalangi pemahaman terhadap makna al-Quran, bagaimana bisa ia mengharapkan meraih karunia memahami Kalamullah dan diberi kemampuan mentadaburi maknanya. Jadi yakinlah kita bahwa untuk dapat mentadaburi al-Quran hendaknya ia berupaya untuk menghindari hal-hal yang dapat menghalangi atau merintangi pemahaman terhadap al-Quran. Memang manusia itu makhluk yang diwarnai dengan sifat lupa sebagaimana nabi Adam lupa terhadap apa yang telah ia ketahui (Q.S. Thaaha [20]: 115). Sifat lupa merupakan salah satu 195
faktor penyebab turunnya kualitas keimanan, Al-Badr (1996: 241) mensejajarkannya dengan sifat-sifat lalai dan berpaling. Terkait dengan sifat “lupa” ini ada dua macam, ada yang tidak sengaja, dan ada yang sengaja dalam arti “melupakan”. Kedua-duanya merupakan faktor yang dapat menurunkan keimanan. Namun yang paling parah adalah yang kedua, yaitu “melupakan”, karena ada unsur kesengajaan. Terhadap model yang pertama (lupa), Allah mengingatkan kita agar segera kembali mengingatnya dan bedzikir kepada-Nya (Q.S. al-Kahfi [18]: 24). Berdzikir dan mentadaburi al-Quran bisa menjadi sarana efektif untuk mengingatkan manusia saat lalai atau lupa. Tidak jarang kita melakukan apa yang Allah larang, berbuat dosa dan maksiat, padahal kita telah mengetahui bahwa perbuatan itu terlarang. Di sinilah pentingnya sebuah peringatan. Ada do‟a (dzikir) bagus sekali yang dicontohkan dalam al-Quran (S. al-Baqarah [2]: 286) terkait dengan hal ini, yaitu:
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." Karena itu, beruntung orang-orang yang selalu mendengarkan peringatan sehingga hatinya menjadi hidup. Allah menyebutkan bahwa ciri orang yang takut pada-Nya adalah orang-orang yang selalu mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah . Sebagaimana 196
firman-Nya: “Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan (dzikir) itu bermanfaat” (Q.S. A‟la [58]: 9). Allah menegaskan bahwa orang-orang yang memiliki rasa takut pada Allah hatinya akan terbuka untuk menerima pelajaran atau peringatan-peringatan-Nya. Dalam hadits riwayat Bukhari, Nabi pernah memberikan ilustrasi yang indah sekali, bahwa hati manusia dalam menerima peringatan atau pelajaran diumpamakan bagaikan tanah. Pada garis besarnya ada dua model tanah, yaitu: Pertama, Ada tanah yang subur, yaitu tanah yang mampu menyerap air dengan baik kalau tersiram hujan, lalu air tersebut disimpan dan bisa dimanfaatkan sebagai cadangan saat datang musim kemarau. Bukan hanya itu, tapi pada tanah tersebut akan tumbuh berbagai tanaman yang subur. Inilah gambaran orang yang hatinya hidup, kalau diberikan nasihat, hatinya akan menyerap pelajaran itu dan menjadi energi untuk beramal saleh. Itulah gambaran yang dijelaskan pada ayat: “orang yang takut akan mendapat pelajaran”Q.S. al-A‟la [87]: 10). Kedua, Ada tanah yang kalau diguyur hujan dia tidak dapat menyerap air, bahkan menjadi licin dan membahayakan. Inilah gambaran hati yang gersang, yaitu hati yang menolak ajaranajaran kebenaran. Hal ini digambarkan pada ayat berikutnya: “Dan orang-orang yang celaka akan menjauhinya” Q.S. al-A‟la [87]: 10). Allah menyebut orang-orang yang menjauhi pelajaran atau peringatan-peringatan-Nya dengan panggilan orang-orang yang celaka. Mengapa? Karena tidak ada orang yang paling celaka kecuali orang-orang yang hatinya tertutup dari ajaran-ajaran Allah . Tipe manusia seperti ini digambarkan dalam al-Quran lebih sesat dari binatang (Q.S. al-A'raf [7]: 179.
197
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayatayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. Dikatakan lebih sesat, sebab binatang hanya mengandalkan insting dan indrawinya, sementara manusia selain diberi naluri dan indra, diberi juga akal (pikiran) dan hati. Karena itu kalau manusia sudah sesat, dia akan lebih berbahaya dari binatang. Bagi orang kedua, yang seperti tanah tidak mampu menyerap air, atau model orang yang melupakan ayat-ayat Allah , ada ancaman dalam al-Quran (Q.S. al-Hasyr [59]: 19), yaitu:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka itulah orang-orang yang fasik”. Dengan ayat ini seorang muslim dituntut untuk menjaga dirinya dengan menjauhi sifat ini agar tidak terjerumus kepada halhal yang memadaratkan dirinya serta melemahkan keimanannya. Orang-orang yang tetap saja melupakan Allah , para rasul, kitab-kitab Allah, hari qiamat dan lain-lain, mereka akan dilupakan (diabaikan) oleh Allah , baik di dunia kini, maupun di akhirat kelak. Allah berfirman:
“Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari ini Kami (Allah) melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan 198
kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong" (Q.S. al-Jatsiah [45]: 35).
Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan." (Q.S. as-Sajdah [32]: 11)
Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu melupakan akan Pertemuan dengan harimu ini. Sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula) dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan. (Q.S. as-Sajdah [32]: 14) Setiap kali manusia melupakan hakikat kebenaran yang wajib ia yakini, maka hawa nafsu dalam dirinya akan menemukan celah untuk melaksanakan keinginannya, akhirnya akan mengurangi kadar keimanan di dalam hati, kemudian menarik segenap perasaannya untuk mengikuti arah hawa nafsu. Setiap kali kadar keimanan melemah, maka semua hal tersebut akan memberikan dampak negatif pada perangai. Dari sini, usaha untuk senantiasa menjaga faktor-faktor memperkuat keimanan serta mengindakan faktor-faktor yang melemahkan keimanan hendaknya dilakukan secara kontinu agar mampu menambah dan menguatkan kadar keimanan di dalam hati menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting. Dengan demikian, maka peran terbesar dari ketaatan adalah mampu menambal kekurangan iman, secara kontinu membantu untuk menemukan sebab-sebab keterjagaan dan kewaspadaan hati, serta memadamkan api dosa dan kelalaian dan lupa. Bagan 7.1 berikut ini menggambarkan langkah-langkah membina pribadi melalui tadabur qurani. Bagan 7.1 199
LANGKAH-LANGKAH PRAKTIS MEMBINA PRIBADI MELALUI TADABUR AL-QURAN Berinteraksi dengan Al-Quran Al-Karim
Mempelajari cara membaca al-Quran Rutin mengerjakan wirid harian dan endengarkan ayat-ayat al-Quran
Mempelajari Tafsir untuk Memahami Al-Quran
Mempelajari tafsir al-Quran mingguan Menyimpulkan dan mencatat nilai-nilai yang bisa dipetik dari kandungan al-Quran
Penghayatan AlQuran Secara Praktis
Membaca dan merenungi ayatayat al-Quran di malam hari Menyimpulkan dan mencatat pesan-pesan alQuran
Mujahadah dan Peningkatan Diri
Selalu berusaha mengerjakan wasiat/pesan al-Quran Memperbaiki dan mendalami pemahaman al-Quran Kontinuitas dan peningkatan diri
KEBERHASILAN: Terlihat dari Peningkatan Kualitas Hidup Diolah dari: Eldeeb (2008 hal. 141
200
DAFTAR PUSTAKA Al-Badr, Abdul Razzaq bin Abdul Muhsin, (1996), Ziyaadah alImaan Wa Nuqshaanih, Maktabah Dar Al-Qalam Wa AlKitab, Riyadh. Al-Hilali, Majdi, (2008), Power of The Quran (Kekuatan Al-Quran dalam Menambah Keimanan, Terjemahan Anas dan Nudiyanto, Maghfirah Pustaka, Jakarta. -------,(2008), Sukses Hidup Bersama Al-Quran, Terjemahan Aceng Abduk Qodir, Penus Religi, Bandung. Al-Kailani, Mahid Arsan, (1985), Tathowwuru Mafhuumi alNadhoriyyah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Turats, Madinah. Al-Lahim, Khalid bin Abdul Karim, (2006), Panduan Tadabur Dan Meraih Sukses Dengan Al-Quran, Terjemahan Nandang Burhanuddin, Fitrah Rabbani, Jakarta. Al-Munawir, Ahmad Warson, (1984), Kamus Al-Munawir; ArabIndonesia, Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pesantren Al-Munawir, Karapyak. Ash-Shâbuni, Muhammad Ali, (1976), Shofwatu al-Tafâsir; Tafsirul Quranil Karim Jami‟u Bainal Ma`tsur Wal Ma‟qul, Jilid I, II, dan III, „Alimul Kitab, Bairut. Al-Qardhawi, Yusuf, (2001), Berinteraksi Dengan Al-Quran, Gema Insani Press, Jakarta. -------,(2007), Menumbuhkan Cinta Kepada Al-Quran, Terjemahan Ali Imran, Mardhiyah Press, Jakarta. Alwasilah, A. Chaidar, (2006), Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Rosyda, Bandung. Alwasilah, A. Chaidar, (2006), Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Rosyda, Bandung.
An-Nahlawi, Abdurrahman, (1989), Ushûl Al-Tarbiyyah alIslamiyah wa Asâlibuhâ, Darul Fikti, Damsyik. 201
Anonim, Al-Quran dan Terjemahnya, Program Komputer. As-Suaidi, Salman bin Umar, (2008), Mudahnya Memahami AlQuran, Terjemahan Jamaludin, Darul Haq, Jakarta. Attaki, Hanan, (2008), Meditasi Al-Quran, Attaqie, Bandung. Eldeeb, Ibrahim, (2009), Be A Living Quran (Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-Ayat Al-Quran dalam Kehi-dupan Sehari-Hari), Terjemahan Faruq Zaini, Lentera Hati, Tanggerang. Ibnu Abbas, (1992), Tanwiir al-Miqbaas Min Tafsiir Ibnu Abbas, Dar al-Kutub Al-„Ilmiyyah, Bairut. Ibnu Katsir, (1977), Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Ma‟rifah, Bairut. Ibnu Katsir, (t.t.), Tafsir al-Quraan al-Azhim, (tahqiq: Tim Dar alQalam), Dar al-Qalam. Ibnu Qudamah (2007), Minhajul Qoshidin; Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, Terjemahan Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Ibrahim, Abdul „Alim, (1962), Al-Muwajjah Al-Fanniy, Dar AlMa‟arif, Kairo-Mesir. Izzuddin, Sholikhin Abu, (2009), New Quantum Tarbiyah, Pro-U Media, Yogyakarta.
Izutsu, Toshihiko, (2003), Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran, Terjemahan Agus Fachri Husein dkk., Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Jabbar, Syakir Abdul, (2001), Metode Ilmiah Bagi Suatu Aqidah, Terjemahan Abd. Qadir Hamid, Dua Putra Press, Jakarta. Makhdlori, Muhammad, (2008), Mukjizat-Mukjizat Membaca AlQuran, Diva Press, Jogjakarta. Ma'luf, Luis, (1986), Al-Munjid Fii al-Lughah, Dar al-Syuruq, Bairut. http// manhaj-tadabbur.html Moeliono, Anton M. dkk., (1990), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 202
Mubarak, Saiful Islam, (2006, Risalah Shalat Malam & Mabit, Syamil, Bandung. -------, (2007), Apa Cukup Dengan Khusyuk, Syamil, Bandung. Padeta, Mansoer, (2001), Semantik Leksikal, Rineka Cipta, Jakarta. Quasem, M. Abdul, (2001), Pemahaman Al-Quran Adab Kaum Sufi Prespektif Al-Ghazali, Risalah Gusti, Surabaya. Sensa, Muhammad Djarot, (2005), Komunikasi Qur-‟aniyah, Pustaka Islamika, Bandung. Syadi, (2003), Perjalanan Mencari Keyakinan, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Syafrudin, Amang, (2004), Muslim Visioner, Depok Bogor.
Pustaka Nauka,
Syarifuddin, Ahmad, (2007), Mendidik Anak Membaca, Menulis dan Mencintai Al-Quran, Gema Insani Press, Jakarta. Ulwan, Abdullah Nasih, (1995), Tarbiyah Ruhiyah; Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa, Terjemah Aziz Muslim, Rabbani Press, Jakarta. Waney, Max Helly, (1989) Wawasan Ilmu Pengetahuan Sosial, P2LPTK Dikti, Depdikbud, Jakarta.
203
204