BROADCASTING NASKAH “AKU INGIN MENIKAH”
Oleh : Tia Hapsari 10.21.0486
JURUSAN S1 TRANSFER TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA
1. NASKAH “AKU INGIN MENIKAH” Written by Tia Hapsari
INT.KAMAR – MALAM HARI RATNO (Mengetuk pintu kamarku) ―SAM, ada surat!‖ Bergegas aku keluar dari kamar, meninggalkan tumpukan laporan—tugas dari lab kimia—yang dari kemaren nggak kelar-kelar. Itu pasti surat dari Ibu, surat yang memang kutunggu-tunggu balasannya. Benar saja, dugaanku tidak meleset, surat itu memang dari Ibu di kampung. Kembali aku masuk ke kamar, mengunci pintu dari dalam, lalu mengambil posisi terbaik di atas tempat tidur. Sejenak aku lupa tugasku dikumpul esok hari. Aku menulis surat pada Ibu sebulan yang lalu. Isinya tidak minta dikirimi wesel sebagaimana surat-suratku sebelumnya. Juga bukan mengabarkan kalau aku lagi sakit dan sebagainya. Isi suratku itu sangat, mungkin itulah surat tersingkat yang pernah kubuat. Saking singkatnya, sampai sekarang aku masih ingat kata-kata yang kutulis, begini: Ibu, aku ingin menikah, apakah Ibu, Bapak, dan yang lainnya setuju dan merestui? Kutunggu balasan Ibu. Hanya itu, singkat bukan? Dan sekarang aku menerima balasannya. Keinginan untuk menikah sebenarnya sudah merasuki sejak setahun yang lalu, saat aku masih duduk di tingkat pertama kuliah. Selama setahun niat untuk menggenapkan seluruh dien itu jadi pikiran utamaku, di samping masalah kuliah tentunya. Tentu saja tak ada seorang pun yang tahu masalah ini hingga surat buat Ibu itu akhirnya kutulis. Tak sabar akhirnya kurobek amplop surat dari Ibu, dan mengeluarkan berlembar-lembar kertas dari dalamnya. Aku sudah yakin isinya pastilah ceramah panjang lebar yang intinya mereka menolak niat suci dan agung itu. Untuk lebih pasti ada baiknya langsung dibaca bukan? Pantas saja surat itu berlembar-lembar, rupanya bukan hanya Ibu yang menulis. Setelah kuhitung ada sembilan lembar, di bagian atasnya tertulis nama masing-masing penulis, rupanya Ibu telah bergerilya mengumpulkan pendapat saudara-saudaraku yang lain, mungkin itu sebabnya balasannya agak lambat kuterima. Ada surat dari Ibu, Bapak, enam lembar yang lain dari abang
dan kakakku dan tak ketinggalan keponakanku yang paling besar yang sudah duduk di bangku SMU juga turut menyumbangkan pendapatnya. Ibu, Terus terang Ibu kaget. Kau anak Ibu yang paling bungsu, yang sampai sekarang masih suka ngambek kalau d jahili abang dan kakakmu, ternyata sudah ingin menikah. Tidakkah kau merasa usiamu masih terlalu muda? Lagipula kau seorang lelaki, tak perlu cepat-cepat menikah. Lagian abangmu Rian dan kakakmu Ria belum menikah, apa kau ingin melangkahi keduanya? Tak baik itu. Pokoknya ibu tidak setuju. Ingat, jangan sampai kuliahmu terganggu karena masalah ini. Itulah inti surat dari Ibu, masih ada yang lainnya menanyakan kesehatanku, juga nasehat lain seperti biasanya, jangan lupa shalat, jangan telat makan, jangan sering keluar malam, dll. Batu sandungan pertama kujumpai, Ibu tidak menyetujui. Tapi apa hanya karena masalah usia? Tidakkah Ibu tahu usia berapa Aisyah saat menikah dengan Baginda Rasul? Atau apakah karena dia wanita lalu boleh cepat menikah sedangkan lelaki nggak usah buru-buru? Kurasa lelaki dan wanita tak bisa dibedakan dalam hal ini, semua punya hak yang sama. Lagipula kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari usianya. Sedang usiaku tidak belasan lagi, tapi sudah 22 tahun, bukankah cukup pantas untuk menikah? Argument Ibu masih bisa kutangkis, Insya Allah. Lalu kuambil surat kedua. Bapak, Ha..ha..ha..kamu serius, sam? Bapak nggak nyangka, kau yang dari dulu pendiam bisa melucu juga. Bapak tahu, kau hanya main-main. Anakku, menikah itu bukan hal main-main. Tanggung jawabnya besar. Apa kau sudah sanggup membiayai keluargamu nanti? Apa kau sanggung memberi makan anak orang? Sam, sampai selesai surat ini Bapak tulis, Bapak masih tertawa. Sama sekali tidak menyangka, kau ternyata punya bakat humor. Batu sandungan kedua. Sejak awal aku yakin Bapak akan marah besar. Tapi ternyata tidak, Bapak malah menganggap aku sedang melucu, apakah keinginan untuk menikah itu lucu? Nampak sekali kalau bapak meragukanku dalam hal keuangan. Apa kau sanggup memberi makan anak orang? Mengapa tidak? Bukankah aku sudah bekerja dan tak pernah minta dikirimi uang lagi kecuali untuk keperluan kuliah yang benar-benar mahal? Aku hanya kuliah pagi hari, siangnya aku jadi tentor disebuah Bimbingan Belajar dan malamnya mengajar privat, ditambah lagi dengan honor tulisanku yang dimuat di media massa. Dalam sebulan aku sudah bisa menghasilkan tak kurang dari enam ratus ribu rupiah, dan aku sudah menghitungkan kalau itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupi aku dan istriku nanti, tentu saja hidup yang sederhana, mencontoh Rasullulah tentunya.
Kak Arni, Hebat kamu, Sam. Kakak nggak nyangka kamu sudah memikirkan itu sekarang. Kakak sangat setuju. Untuk biaya pesta nanti, kakak yang akan tanggung jawab sepenuhnya. Tapi orangnya cantik, kan? Dari dulu kak Arni—kakakku paling besar—memang selalu mendukung apapun yang kuinginkan, termasuk untuk kuliah di kota Yogya ini, jauh dari orangtua dan kampung halaman. Biaya pesta? Terima kasih deh, kak. Tapi yang jelas nantinya takkan ada pesta besar-besaran seperti yang Kakak bayangkan. Itu cuma suatu pemborosan. Pesta pernikahan ku nanti mungkin juga pesta yang menurut semua orang di kampung kita adalah pesta yang aneh, di mana tamu pria dan tamu wanita di pisah, juga tak ada hiburan musik sebagaimana pesta-pesta biasanya. Dan mengenai calonku…tentu saja dia cantik, menurutku tentunya. Tapi belum tentu cantik menurut kakak, karena fisik bagiku bukan masalah utama, kecantikan hati dan akhlak bagiku adalah kriteria utama. Tapi walau bagaimanapun aku tetap berterima kasih pada kakakku, karena dia orang pertama yang mendukung niatku untuk menikah. Surat-surat yang lain tak jauh beda dari surat-surat yang sudah kubaca. Kak Ati—kakakku yang nomor dua—menolak habis-habisan. Katanya kuliahku harus selesai dulu, atau kalau aku mau melanjutkan S2 dia sanggup menanggung biayanya, setidaknya aku harus mendapatkan kerja dulu sesuai dengan ijazahku, kalau tidak maka jangan harap dia akan merestui pernikahanku. Inilah salah satu saudaraku yang begitu mengejar dunia, seolah dunia adalah segala-galanya dan akhirat adalah urusan kecil yang bisa dipikir belakangan. Surat dari Bang Rio tidak begitu panjang, dia hanya menurut, kalau Bapak dan Ibu setuju katanya silahkan saja. Tapi kalau tidak, katanya jangan coba-coba untuk melanggar, bahaya. Yang sedikit agak menyudutkan adalah surat dari Kak Ria—kakakku yang belum menikah. Dia bilang tidak akan menganggapku adik lagi kalau sampai aku melangkahinya. Katanya itu pantangan, bisa-bisa nanti tak dapat jodoh. Kata siapa? Kalau dia mau, sebenarnya dari dulu sudah bisa menikah. Sudah banyak pemuda yang melamarnya, tapi semua ditolaknya, nggak cakeplah, nggak kayalah, terlalu kampunganlah, dan sampai sekarang dia masih mencari pria yang sempurna menurutnya itu. Pernah suatu kali kukatakan padanya, kalau menunggu pria yang sempurna nggak bakalan datang deh, Kak, soalnya Baginda Rasul sudah meninggal. Dia langsung mencak-mencak. Surat itu sangat berbeda dengan surat Bang Rian yang juga belum menikah. Dia malahan sangat mendukung, katanya kalau memang sudah ada keinginan dan kemampuan sebaiknya dilaksanakan, dia sendiri katanya tidak usah dipikirkan, toh jodoh Tuhan yang ngatur. Begitulah, ada yang pro dan ada yang kontra, dan memang begitulah manusia. Oh ya, masih ada satu surat yang belum kubaca, dari Yogi, keponakanku.
Om Sam, Yogi sih setuju aja kalau Om mau menikah, tapi dengan satu syarat, Om harus ajari Yogi gimana cara menggaet gadis. Yogi heran, Om kan nggak cakep-cakep amat, tapi kok bisa dapat pacar, Yogi yang ganteng aja masih nggak tau cara dapetin pacar. Aku tersenyum sambil melipat kembali lembaran-lembaran surat itu. Masih banyak anggota keluarga yang perlu siraman rohani. Masih banyak hati mereka yang gersang, termasuk si Yogi yang mungkin takkan percaya kalau kukatakan bahwa pacaran itu dosa. CUT TO: Liburan semester sudah di depan mata. Aku sudah tak sabar ingin pulang kampung. Liburan semester lumayan lama, dua bulan, dan kurasa waktu itu cukup panjang bagiku untuk meyakinkan ibu bapak, juga saudara-saudaraku tentang keinginan rencana menikahku, dan kurasa juga masih tersisa waktu untuk melangsungkan pernikahan nantinya. Aku yakin bisa memberikan argument-argumen yang nantinya akan membuat mereka mengangguk-anggukan kepala. Menikah usia muda? Tak ada satupun ayat Alquran yang melarang, bahkan malah dianjurkan kepada pemuda dan pemudi yang sudah sanggup untuk segera melaksanakannya. Masalah usia, memang aku bungsu dikeluarga, tapi urusan pernikahan aku pakarnya, he..he..he.. Puluhan seminar, diskusi-diskusi dan kajian-kajian tentang menikah usia muda telah kuikuti, makanya aku optimis bisa meyakinkan seluruh anggota keluarga. DISSOLVE TO: *** INT.RUANG KELUARGA-SORE HARI Perjuanganku berhasil dengan sukses yang luara biasa. Ibu dan Bapak akhirnya merestuiku, setelah sebelumnya aku sudah berkali-kali meyakinkan dan menyitir beberapa ayat Alquran dan Hadist. Sedang saudara-saudaraku yang lain tidaklah begitu susah kuhadapi. Setelah Bapak dan Ibu merestui, secara serempak mereka semua juga turut mendukung. Bahkan Kak Ria yang katanya nggak mau menganggapku adik lagi kalau sampai aku melangkahinya malah mengatakan hal yang tak kusangka-sangka. KAK RIA (Menatapku sambil tersenyum senang) ―Sam, bagaimana kalau kita adakan acara pernikahannya barengan saja? Insya Allah kakak sudah punya calon dan Kakak yakin sesuai dengan kriteria dengan yang kamu sebutkan dalam memilih pasangan.‖
KAK ARNI ―Tapi, Sam, calon istrimu siapa?‖. Pertanyaan itu memang sudah kutunggu-tunggu. Dari tadi aku sibuk membayangkan reaksi semuanya seandainya aku menyebutkan siapa calonku. Sebelum aku menjawab, tiba-tiba Siti—pembantu di rumah ini—datang menghidangkan minuman. Seperti biasa, sambil tersenyum dia mempersilahkan kami minum, lalu kembali ke belakang. SAM / AKU ―Saya akan menikah dengan…Siti,‖. Sitilah temanku di SMP dulu yang hapalan Qurannya hampir 15juz. Reaksi yang kuterima sungguh luar biasa. Bola mata Ibu dan Bapak membulat. Kak Ria dan Kak Ati terlonjak. Bang Rian melongo, dan yang paling mengejutkan adalah Kak Arni, dia pingsan. Tapi apapun reaksi mereka, aku akan kembali meyakinkan, bahwa pilihanku tidak salah. Bahwa Siti memang memenuhi kriteria istri solehah yang kuidamkan, walaupun Siti lebih tua dariku. ***