DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)
Oleh Ayu Candra Kusumastuti I34070072
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT AYU CANDRA. DYNAMICS OF AGRARIAN STRUCTURE AND CHANGE IN AGRICULTURAL PRODUCTION . Case Of Simpang Nungki Transmigration Settlement Unit, District Of Cerbon, Barito Kuala Residence, South of Kalimantan Province. Under guidance of MARTUA SIHALOHO. Palm oil is a high priority commodity in Indonesia. Development of oil palm plantations in Indonesia became a progam of local government who has a wide area such as Barito Kuala District, South of Kalimantan. Changes in communities agricultural production into oil palm plantations will affect the mode of production and agrarian structure. This research has it purpose to determine the process of agricultural community production change into palm oil and the dinamic of agrarian structures that occur as the process of change in agricultural production. This research also aims to identify the factors that influence changes in agricultural production. The research was conducted in Simpang Nungki Transmigrasion Settlement Unit, Cerbon District, Barito Kuala Regency, South of Kalimantan by qualitative and quantitative approaches. Changes in agricultural community production into oil palm are affected by external and internal communities factors. External factors consist of government policies that support the development of oil palm plantations. While internal factors are the level of public knowledge and level of ownership capital for construction and maintenance the garden.The inclusion process of new capitalist commodities are linked to the dinamics agrarian structure of community. Agrarian structure wich consist of ownership, tenure, and land use has it changes in commodity and production system community. Government, private, and community are expected to cooperate in finding the best solution to the problems which rised in the process of change.
Keywords: Dinamics of agrarian structure, agricultural production change, and palm oil.
RINGKASAN AYU CANDRA KUSUMASTUTI. DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN. Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Di bawah bimbingan MARTUA SIHALOHO. Kelapa sawit adalah komoditas unggulan saat ini. Pemerintah daerah Barito Kuala telah menetapkan program-program pengembangan perkebunan dengan komoditas kelapa sawit. Program pengembangan kelapa sawit ini berakibat pada perubahan komoditas pertanian masyarakat yang menjadi penanda perubahan moda produksi masyarakat sekitar perkebunan. Proses perubahan produksi pertanian yang meliputi perubahan komoditas dan moda produksi masyarakat akan menimbulkan dinamika struktur agraria masyarakat yang terdiri dari perubahan tingkat kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit dan proses perubahan tingkat kepemilikan, tingkat penguasaan dan pengusahaan lahan sebagai dinamika struktur agraria yang terjadi seiring dengan proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit baik faktor eksternal masyarakat maupun internal. Penelitian ini dilakukan di Unit Pemukiman Transmigrasi Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dengan menggunakan pendekatan kulitatif dan kuantitatif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (puposive) dengan alasan: 1) UPT Simpang Nungki merupakan daerah sekitar perusahaan kelapa sawit yang menjadi wilayah plasma perusahaan. Selain itu, masyarakat sudah memulai mengenal dan menanam komoditas sawit sebelum menjadi plasma perusahaan yang akan di bangun pada akhir 2011; 2) masyarakat transmigran memiliki lahan awal yang sama dan status kepemilikan yang jelas sehingga data lebih mudah didapat; dan 3) lokasi tersebut terjangkau transportasi dan dekat dengan kabupaten sehingga memudahkan peneliti untu memperoleh data. Dinamika struktur agraria dan proses perubahan produksi masyarakat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki dijelaskan dalam periodisasi waktu. Periode pertama adalah periode pra masuknya komoditas kelapa sawit ke UPT Simpang Nungki yang terjadi sekitar tahun 2005 sampai 2006. Periode kedua adalah periode proses masuknya komoditas kelapa sawit yang dimulai pada akhir 2006 sampai 2011. Periode ketiga adalah periode pasca masuknya komoditas kelapa sawit. Periode dimulai pada akhir tahun 2011 saat disepakatinya peraturan dan perjanjian terkait kebun plasma masyarakat. Perubahan-perubahan terkait struktur agraria sangat terlihat pada periode ketiga. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor internal yang terdiri dari tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal memiliki hubungan yang positif. Perubahan komoditas pertanian dengan dinamika struktur agraria yang terjadi juga memiliki hubungan.
DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)
Oleh: Ayu Candra Kusumastuti I34070072
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Ayu Candra Kusumastuti
NIM
: I34070072
Judul Skripsi
: Dinamika Struktur Agraria dan Perubahan Produksi Pertanian (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Martua Sihaloho, SP, M.Si NIP. 19770417 200604 1 007 Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus: __________________________
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA TINGGI MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
Juli 2011
Ayu Candra K I34070072
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 18 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Dedy Indaryanto, BA dan Dra. Rijani Dana Subekti. Penulis menamatkan pendidikan Taman KanakKanak di TK RA Kusuma Mulia (1994-1995), SD Negeri Keling III (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Pare (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Pare (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selama di IPB, penulis tergabung dalam Leadership and Entrepreneurship School (2007-2008) sebagai siswa. Kemudian pada periode 2008-2009 penulis bergabung pada kementrian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB) kabinet IPB Gemilang sebagai staf sekaligus sebagai staf ahli acara manajemen Leadership and Entrepreneurship School (LES). Pada periode yang sama penulis juga menjadi pengurus Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni ESQ 165 (FOSMA ESQ 165) se-Bogor Raya sebagai staf Kominfo dan FOSMA Komisariat IPB sebagai staf Olahraga dan Seni. Pada periode 2009-2010 penulis kembali tergabung dalam Kementrian PSDM BEM KM IPB kabinet Generasi Inspirasi sebagai staff dan Manajer Akademik Leadership and Entrepreneurship School (LES). Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa event di IPB antara lain JAPAS tahun 2007 yang diadakan oleh Institut Pertanian Bogor, Politik Cerdas oleh BEM FEMA tahun 2008, kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2009, dan kepanitiaan beberapa training ESQ di IPB baik sebagai koordinator divisi maupun sebagai anggota. Pada tahun 2010, penulis juga melakukan Kuliah Kerja Profesi di PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) unit Jambi pada bagian Community Development.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Dinamika Struktur Agraria dan Perubahan Produksi Pertanian (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan). Skripsi ini ditujukan sebagai bagian persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengkaji proses perubahan produksi pertanian masyarakat beserta faktor yang mempengaruhinya. Tujuan lainnya ialah mengidentifikasi dinamika agraria yang terjadi di wilayah tersebut seperti perubahan kepemilikan, penguasaan serta pengusahaan sumber agraria yang ada di wilayah tersebut. Akhir kata semoga skripsi ini dapat menjadi laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2011
Ayu Candra Kusumastuti NIM I34070072
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skipsi ini, antara lain: 1.
Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karuniaNya yang luar biasa dan tiada habisnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini;
2
Ayahanda dan Ibunda tercinta, adik dan kakek-nenek yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil serta doa yang tiada henti;
3.
Martua Sihaloho, SP. M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi atas kesabarannya telah membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun serta memberikan motivasi pada penulis dalam penulisan skripsi ini;
4.
Prof. Dr. Endriatmo Sutanto sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, semangat dan selalu membantu penulis dalam menghadapi permasalahan akademik;
5.
Dr. Satyawan Sunito selaku penguji akademik dan Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA selaku perwakilan departemen atas masukan dalam skripsi;
6.
Pemerintah Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Dinsosnakertrans, Dinas Perkebunan, dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Barito Kuala atas bantuan dan kemudahan memperoleh informasi selama penelitian;
7.
Teman seperjuangan Eka, Laras, Turasih, Titania, Risma, dan teman-teman KPM 44 yang selalu menjadi teman diskusi saat menghadapi masalah penelitian;
8.
Sahabat Bateng 23 Kak Ides, Elok, Ambar, Lusi, dan Winda yang selalu mendengarkan keluh-kesah penulis serta selalu memberikan semangat, doa dan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi;
9.
Teman-teman seperjuangan di FOSMA IPB, PSDM BEM KM Kabinet Gemilang dan Generasi Inspirasi dan LES IPB atas kebersamaan dan pelajaran yang berharga, juga Dean dan Otri yang telah membantu memberikan solusi terhadap masalah teknis yang dihadapi penulis
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................
x
DAFTAR TABEL .........................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................
xv
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN..........................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................
1
1.2
Masalah Penelitian .................................................
3
1.3
Tujuan Penelitian ....................................................
4
1.4
Kegunaan Penelitian ...............................................
4
PENDEKATAN TEORITIS ..............................................
6
2.1
Tinjauan Pustaka ....................................................
6
2.1.1
Konsep Perkebunan ...................................
6
2.1.2
Konsep Transmigrasi .................................
7
2.1.3
Perubahan Produksi Pertanian ...................
8
2.1.4
Konsep Agraria ..........................................
9
2.1.5
Konsep Dinamika Struktur Agraria ...........
11
2.2
Kerangka Pemikiran ..............................................
13
2.3
Hipotesis ................................................................
14
2.4
Definisi Operasional dan Konseptual .....................
14
PENDEKATAN LAPANG .............................................
17
3.1
Metode Penelitian ...................................................
17
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................
17
3.3
Teknik Pengumpulan Data .....................................
18
3.4
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................
19
GAMBARAN UMUM LOKASI ....................................
20
4.1
Kondisi Umum Desa ..............................................
20
4.2
Kondisi Agronomi .................................................
21
4.3
Kondisi Demografi ................................................
22
4.4
Sarana dan Prasarana ..............................................
24
4.5
Konteks UPT Simpang Nungki .............................
25
xiii
BAB V
DINAMIKA
STRUKTUR
AGRARIA
UNIT
PEMUKIMAN TRANSMIGRASI (UPT) SIMPANG NUNGKI .......................................................................
28
5.1
28
Masa Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit ..... 5.1.1
Sejarah Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki .......................................
5.1.2
5.2
Sistem
Kepemilikan
dan
Penguasaan
Lahan .........................................................
29
5.1.3
Sistem Kelembagaan ................................
32
5.1.4
Pemanfaatan Lahan ....................................
33
Proses Masuknya Komoditas Kelapa Sawit ...........
34
5.2.1
Sejarah Masuknya Komoditas Kelapa Sawit .........................................................
5.2.2
5.3
Sistem
Kepemilikan
dan
34
Penguasaan
Lahan ........................................................
35
5.2.3
Sistem Kelembagaan .................................
40
5.2.4
Pemanfaatan Lahan ...................................
41
Pasca Masuknya Komoditas Kelapa Sawit dan Perubahan Agraria Lokal ....................................... 5.3.1
BAB VI
28
Sistem
Kepemilikan
dan
44
Penguasaan
Lahan ........................................................
44
5.3.2
Sistem Kelembagaan ................................
45
5.3.3
Pemanfaatan Lahan ...................................
46
5.4
Keberhasilan Program Transmigrasi .....................
46
5.5
Ikhtisar .................................................................
48
FAKTOR – FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN ..............................................
51
6.1
Faktor Eksternal ....................................................
51
6.2
Faktor Internal Masyarakat ...................................
54
6.2.1
Tingkat Pengetahuan .................................
54
6.2.2
Tingkat Kepemilikan Modal .....................
56
6.3
Hubungan
antara
Faktor
Internal
dengan
xiv
Keputusan
6.4
Membangun
Kebun
Kelapa
Sawit........................................................................
58
Ikhtisar ................................................................
63
BAB VII PENUTUP .......................................................................
65
7.1
Kesimpulan .............................................................
65
7.2
Saran ......................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
67
xv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1
Transmigran UPT Simpang Nungki Tahun 2011 ..............
Tabel 5.1.
Komoditas Pertanian Masyarakat UPT Simpang Nungki
25
Tahun 2005-2006................................................................
34
Tabel 5.2
Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Petani ......................
37
Tabel 5.3
Jumlah Transmigran Berdasarkan Luas Lahan ...................
38
Tabel 5.4
Jumlah Pendatang Berdasarkan Luas Lahan........................
39
Tabel 5.5
Jumlah Petani Kelapa Sawit Berdasarkan Tahun ...............
42
Tabel 6.1
Rumah
Tangga
Perkebunan
Peserta
Kelapa
Sawit
Program
Pengembangan
Berdasarkan
Keputusan
Membangun Kebun Kelapa Sawit ..................................... Tabel 6.2
Rumah Tangga Menurut Tingkat Pengetahuan Petani UPT Simpang Nungki .................................................................
Tabel 6.3
58
Hubungan antara Kepemilikan Modal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit ...................................
Tabel 6.6
57
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Keputusan Membangung Kebun Kelapa Sawit ....................................
Tabel 6.5
55
Rumah Tangga Menurut Tingkat Kepemilikan Modal Pembangunan dan Perawatan Kebun Kelapa Sawit ...........
Tabel 6.4
53
60
Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit .....................................
62
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Kerangka Pemikiran .......................................................
Gambar 2.
Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan Cerbon
Gambar 3. Gambar 4.
13
Tahun 2005 – 2009.....................................................
22
Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2010............................................................................... Minat Petani Plasma Terhadap Program Plasma ..........
23 43
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Peta Kecamatan Cerbon .................................................
70
Lampiran 2.
Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ................................
71
Lampiran 3.
Pelaksanaan Penelitian dan Skripsi ................................
73
Lampiran 4.
Peraturan Transmigrasi ...................................................
74
Lampiran 5
Daftar Nama Responden .................................................
79
Lampiran 6.
Daftar Nama Informan ..................................................
81
Lampiran 7.
Kuesioner .......................................................................
82
Lampiran 8.
Panduan Pertanyaan ........................................................
86
Lampiran 9.
Dokumentasi ...................................................................
87
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas yang diunggulkan saat ini. Permintaan CPO (crude palm oil) atau minyak kelapa sawit yang tinggi di pasar domestik maupun internasional membawa daya tarik tersendiri. Pemasukan devisa dan terbukanya lapangan pekerjaan dalam jumlah besar merupakan keunggulan lain sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit. Pada periode 1979-1980, Departemen Penerangan mencatat bahwa perkebunan kelapa sawit menduduki peringkat kedua penyumbang devisa terbesar dari sektor perkebunan. Fakta-fakta tersebut membuat pemerintah mendukung pengembangan industri kelapa sawit. Beragam kebijakan dan aturan yang mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit dibuat untuk meningkatkan iklim yang kondusif bagi investor dalam upaya pengembangan perkebunan terutama sawit. Pengembangan perkebunan khususnya kelapa sawit terus berlangsung dari waktu ke waktu sejak diperkenalkan oleh kolonial Belanda pada abad ke-19 (Bahari 2004). Perkebunan dibedakan menjadi beberapa jenis menurut Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Sirait, A. Surombo, Herbert Pane (2006). Pertama adalah perkebunan skala besar yakni perkebunan Negara ataupun swasta yang disebut Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dimiliki sepenuhnya oleh negara. Perkebunan ini beroperasi diseluruh wilayah di Indonesia. Di sektor swasta, perkebunan khususnya kelapa sawit terbagi dalam dua tipe besar yakni perusahaan yang lebih dari 50 persen sahamnya dimiliki oleh orang Indonesia dan perusahaan yang lebih dari 50 persen sahamnya dimiliki oleh investor asing. Seluruh jenis perusahaan berskala besar beroperasi di atas “Tanah Negara” dan diatur melalui berbagai perizinan di tingkat nasional maupun lokal. Jenis kedua adalah perusahaan skala menengah. Perusahaan ini biasanya berbentuk koperasi yang dimiliki bersama atau perseorangan dan beroperasi di “Tanah Negara” maupun tanah pribadi. Operasi perusahaan ini berdekatan dengan operasi skala besar dimana produknya dijual untuk pengolahan lebih lanjut atau
2
ekspor. Jenis ketiga adalah perusahaan skala kecil, yaitu perusahaan yang memiliki luas kurang dari 25 hektar dan biasanya dimiliki satu orang petani/keluarga dan disebut sebagai perkebunan rakyat. Pemerintah terus berupaya untuk mengembangkan perkebunan sawit. Pengembangan perkebunan kemudian dilakukan melalui berbagai program PIR (Perusahaan Inti Rakyat) sejak tahun 1977, seperti NES (Nucleus Estate Smallholder) yang dibiayai world bank, PIR Khusus (1980), dan PIR Trans (1985). Saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia, yakni sekitar 44,5 persen dari jumlah produksi sawit dunia. Upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit hingga menjadi penghasil sawit terbesar di dunia membutuhkan lahan yang luas. Saat ini Indonesia memiliki enam juta hektar lahan yang sudah ditanami, dan telah membuka hutan tiga kali lipat lahan yang telah ditanami. Pemerintah daerah sendiri telah menetapkan 20 juta hektar lahan untuk rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit terutama di wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat (Colchester M, Jiwan N, Andiko, Sirait M, Sirait A Y, Surombo A, Pane H 2006). Pemerintah daerah di luar jawa yang sebagian besar memiliki lahan luas seakan berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengembangkan perkebunan sawit. Selain pemasukan untuk pemerintah daerah, komoditas kelapa sawit dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan komoditas lain. Oleh karena itu, pemerintah mewajibkan seluruh Perkebunan Besar Swasta (PBS) untuk membangun kebun plasma1. Kebijakan tersebut seperti tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian No.26 Tahun 2007 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan bahwa setiap perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit wajib memiliki plasma minimal 20% dari luas HGU. Program plasma ini dilakukan dalam beberapa tipe program, seperti KKPA dan program revitalisasi perkebunan. Program-program tersebut melibatkan masyarakat secara langsung sebagai pemilik tanah. Keuntungan yang dijanjikan dalam program inti-plasma ini tentu menjadi daya tarik bagi masyarakat luas untuk ikut serta didalamnya. Sehingga nilai tanah sebagai sumber 1
Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan tanaman perkebunan.
3
daya utama meningkat. Proses masuknya sistem baru (perkebunan kelapa sawit) ke dalam masyarakat akan mempengaruhi kehidupan masyarakat petani. Hal tersebut mempengaruhi perubahan hubungan produksi diantara masyarakat. Widiono (2008) menjelaskan melalui penelitiannya bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit berdampak penegasan sampai polarisasi lapisan sosial dan dualistik strategi nafkah yakni sawah dan kebun. Penelitian lain menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan adalah stratifikasi sosial dalam banyak lapisan (Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A 2009). Proses masuknya komoditas baru berupa kelapa sawit menjadi lebih unik saat dilihat pada wilayah transmigrasi. Perubahan struktur agraria yang terjadi karena faktor-faktor lain, memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan proses masuknya komoditas kelapa sawit. Stratifikasi yang terbentuk pada stuktur agraria masyarakat yang awalnya memiliki kepemilikan lahan yang merata akan mempengaruhi proses masuknya komoditas tersebut. Oleh karena itu, proses perubahan produksi pertanian yang awalnya beragam menjadi mayoritas kelapa sawit serta gerak perubahan struktur agraria yang terjadi menarik untuk diuji. 1.2 Masalah Penelitian Pengembangan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sedang berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu program unggulan pemerintah daerah dalam bidang perkebunan. Beberapa wilayah yang lebih
dulu
membangun
perkebunan
kelapa
sawit
telah
menunjukkan
keberhasilannya dengan meningkatnya luas areal perkebunan kelapa sawit. Pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat perkebunan pun terlihat jelas. Oleh karena itu, penting halnya untuk mengetahui proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit. Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek. Sehingga akan dikaji apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan produksi menjadi kelapa sawit. Merujuk latar belakang di atas, yang menyatakan bahwa proses masuknya perkebunan sawit memiliki hubungan dengan perubahan struktur agraria masyarakat ternyata ditemui di lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian. Wilayah ini merupakan daerah pengembangan perkebunan kelapa sawit yang baru sehingga proses perubahan produksi pertanian masyarakat dapat terlihat. Perubahan-perubahan struktur agraria yang mengiringi
4
proses perubahan produksi menjadi kelapa sawit juga sangat terlihat. Saat ini, perencanaan pembukaan kebun baru di beberapa wilayah Kabupaten Barito Kuala telah dibuat dan akan direalisasikan beberapa waktu ke depan. Oleh karena itu penting untuk mengkaji bagaimana proses dinamika struktur agraria yang terjadi pada daerah tersebut seiring dengan masuknya perkebunan kelapa sawit. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit; 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit baik faktor eksternal masyarakat maupun internal; dan 3) mengetahui proses perubahan tingkat kepemilikan, tingkat penguasaan dan pengusahaan lahan sebagai dinamika struktur agraria yang terjadi seiring dengan proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1) bagi masyarakat, khususnya masyarakat UPT Simpang Nungki yang berada di wilayah yang mengalami perubahan produksi pertanian diharapkan dapat menambah wawasan bagaimana proses perubahan produksi pertanian beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya yang dikaitkan dengan dinamika struktur agraria yang terjadi di wilayah tersebut seiring dengan perubahan produksi pertanian tersebut; 2) bagi peneliti, penelitian ini diharapkan juga menambah literatur, wawasan, serta ilmu pengetahuan terkait dngan kajian agraria bagi para peneliti bidang yang
sama
sehingga
pengembangan studi; dan
diharapkan
dapat
memberi
sumbangan
bagi
5
3) bagi pemerintah dan swasta, informasi dan data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan ilmiah tentang peergeseran dan perubahan yang terjadi. Sehingga dapat dijadikan masukan dalam membuat kebijakan maupun program-program pemberdayaan masyarakat.
6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan2 dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pendekatan pengembangan komoditas perkebunan di Indonesia adalah “perkebunan rakyat” yang diusahakan oleh petani dan “perkebunan besar” yang diusahakan oleh perusahaan (Fadjar 2009). Pada proses pembukaan maupun pengembangan, pengusaha perkebunan akan melakukan ekspansi. Secara harfiah ekspansi berarti tindakan aktif untuk memperluas dan memperbesar cakupan usaha yang telah ada. Ekspansi dalam bidang perkebunan besar dapat berarti perluasan areal atau lahan perkebunan baik yang dikelola oleh perusahaan sebagai kebun inti maupun lahan yang akan di plasmakan. Pada perkebunan rakyat proses ekspansi dapat dilihat pada peningkatan jumlah lahan yang dikonversi menjadi areal perkebunan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai tahun 1900 dan perkebunan diusahakan berorientasi pada pasar ekspor. Pada tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestik karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan turunnya produksi kelapa. Pemerintah mengembangkan usaha perkebunan rakyat di daerah baru dengan menggunakan jasa perkebunan besar atau negara dalam bentuk keterkaitan antara kedua usaha tersebut pada tahun 1974/1975. Bentuk kerjasama macam ini 2
http://www.yousaytoo.com/pengertian-perkebunan-menurut-undang-undang/338977, diakses pada 18 November 2010
7
disebut Perusahaan inti Rakyat Perkebunan Besar (PIR BUN) yang merupakan terjemahan dari Nucleus Estate Smallholder Development Project (NES Project). Pola inti rakyat ini tercipta berdasarkan Keppres Nomor 11 tahun 1974, yang merupakan suatu pola unuk mewujudkan sistem kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan besar dengan usahatani yang berada di sekitarnya. Khusus untuk pengembangan kelapa sawit, pola pengembangannya adalah pola PIR (Ahmad 1998). Sampai saat ini terdapat 4 jenis PIR: 1. PIR-BUN lokal: PIRBUN tersebut dilaksanakan disekitar perkebunan yang telah ada sebagai inti, sumber dana dari dalam negeri dan petani pesertanya dari petani setempat (lokal); 2. PIR Bun khusus: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana dalam negeri dan petani peserta sebagian besar transmigran dan petani lokal; 3. PIR-BUN Berbantuan: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman kredit luarnegeri, dengan petani pesertanya dari transmigrasi dan petani local; dan 4. PIR-TRANS: Pir BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman bank oleh perusahaan inti, petani peserta dari transmigrasi dan penduduk lokal. Di masa mendatang semua pembangunan PIR BUN diarahkan pada pola PIR TRANS, sesuai INPRES tahun 1986. 2.1.2 Konsep Transmigrasi Transmigrasi3 merupakan suatu program pemerintah untuk memindahkan penduduk dari suatu wilayah yang padat penduduk ke wilayah yang lebih jarang penduduknya. Tujuan awal dari program transmigrasi adalah mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indoensia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru, yakni: 3
http://dinsosnakertransmgt.wordpress.com/2010/07/05/sejarah-transmigrasi/ diakses pada 26 Juli 2011
8
1. mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan; 2. mendukung kebijakan energi alternatif (bio-fuel); 3. mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia; 4. mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan; dan 5. menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan. Paradigma baru program transmigrasi semakin memperjelas bentuk dukungan pemerintah terhadap pengembangan perkebunan kelapa sawit seperti di jelaskan dalam sebelumnya. Program-program PIR pemerintah baik PIR-BUN khusus, PIR-BUN berbantuan, maupun PIR Trans adalah program yang melibatkan warga transmigran sebagai pelakunya. Program transmigrasi ditujukan kepada masyarakat dari golongan menengah ke bawah biasanya petani berlahan sempit atau tak berlahan dengan pendidikan yang umumnya rendah. Jenis-jenis transmigrasi adalah: 1. Transmigrasi Umum, yakni program transmigrasi yang disponsori dan dibiayai secara keseluruhan oleh pihak pemerintah melalui pemerintah melalui depnakertrans (departemen tenaga kerja dan transmigrasi); 2. Transmigrasi Spontan / Swakarsa, yakni perpindahan penduduk dari daerah padat ke pulau baru sepi penduduk yang didorong oleh keinginan diri sendiri namun masih mendapatkan bimbingan serta fasilitas penunjang dari pemerintah; dan 3. Transmigrasi Bedol Desa, yakni transmigrasi yang dilakukan secara massal dan kolektif terhadap satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah ke pulau yang jarang penduduk. Biasanya transmigrasi bedol desa terjadi karena bencana alam yang merusak desa tempat asalnya. 2.1.3 Perubahan Produksi Pertanian Perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditas non-kebun menjadi komoditas perkebunan merupakan proses perubahan dalam skala yang besar. Perubahan tersebut tidak hanya dilakukan oleh perseorangan, namun dilakukan oleh sekelompok orang. Kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditas non-perkebunan yang menjadi komoditas perkebunan yang lebih bersifat modern dan kapitalis. Keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit sebagai hal baru
9
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006) menjelaskan bahwa terdapat lima ciri-ciri inovasi berdasarkan penerimaan atau persepsi unit pengambil keputusan inovasi terhadap inovasi. Ciriciri tersebut adalah: 1. keuntungan relatif, yakni derajat dimana suatu inovasi dipandang sebagai jauh lebih baik dibanding gagasan/teknologi yang sebelumnya atau terdahulu; 2. kesesuaian, yakni derajat dimana suatu inovasi dipandang sebagai konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan-kebutuhan partisipan (subyek) penyuluhan terhadap inovasi; 3. kerumitan, yakni suatu derajat atau tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan; 4. kemungkinan dicoba, yakni suatu derajat dimana suatu inovasi dapat dicobakan dalam skala kecil; dan 5. kemungkinan diamati, yakni derajat dimana hasil-hasil penerapan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Widiono (2008) menjelaskan bahwa keputusan masyarakat untuk membuka kebun kelapa sawit dan bergabung dengan program KKPA (Koperasi Kelompok Petani Anggota) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: a. pengetahuan yang cukup. Pengetahuan tersebut diperoleh dari hasil interaksi dengan buruh perusahaan dan migran etnis Batak; b. ketersediaan modal untuk membuka dan merawat kebun kelapa sawit; dan c. jaminan pembelian dari perusahaan. 2.1.4 Konsep Agraria Sitorus (2002) menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai sumber-
10
sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi, sosial). Struktur agraria merupakan hal yang selalu berubah. Perubahan-perubahan tersebut terkait dengan perubahan pola penguasaan dan pemilikan lahan. Sedangkan unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumbersumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan (tenure institutions). Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan proporsi kedua menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Wiradi (1984) menjelaskan bahwa kata ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi - hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain (Sihaloho 2004). Kata
11
“pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi 1984). Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur. Hubungan pemanfaatan antara subjek-subjek agraria dengan sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi teknis atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan antar subjek agraria menghasilkan aturan-aturan penguasaan dan pengusahaan lahan. Aturan-aturan tersebut berlaku secara turun menurun dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. 2.1.5 Konsep Dinamika Struktur Agraria Pengertian dinamika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu. Dinamika dalam kaitannya dengan struktur agraria adalah gerak perubahan struktur agraria masyarakat yang terdiri dari kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan lahan. Wiradi (2002) menyebutkan bahwa tranformasi struktur agraria yang berlangsung dalam suatu masyarakat berkaitan dengan hal-hal berkut: 1) dinamika internal masyarakat, 2) intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakan, 3) intervensi pihak lain atau pengaruh eksternal, dan 4) warisan sejarah. Struktur agraria terkait dengan tingkat penguasaan, dan pemilikan lahan merupakan hal yang dinamis. Struktur agraria dalam masyarakat akan terus berubah seiring dengan pertambahan waktu dan fenomena sosial yang terjadi. Pada awal terbentuknya masyarakat, sebagian besar wilayah di Indonesia dikuasai secara kolektif terlebih untuk daerah luar Jawa, karena pada masa kolonial di Jawa seluruh wilayah adalah milik raja. Pola penguasaan kolektif membuat masyarakat memiliki akses yang sama terhadap lahan (Fadjar 2009). Seiring dengan masuknya moda produksi modern, terjadi perubahan pola kepemilikan lahan dari yang bersifat kolektif menjadi perseorangan. Perubahan ini berakibat pada perubahan akses masyarakat terhadap lahan yang awalnya terbuka menjadi tertutup. Masyarakat dengan pola kepemilikan kolektif memiliki hak untuk menggarap lahan yang diatur oleh lembaga adat. Status kepemilikan lahan berada di tangan lembaga adat dan yang menjadi hak milik penggarap hanyalah tanaman
12
yang tumbuh di atas tanah tersebut. Pola penguasaan perseorangan yang dikuatkan oleh kebijakan pemerintah tentang pengakuan pemilikan tanah melalui sertifikasi membuat masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tidak dapat mengakses lahan. Pola “petani pemilik-buruh tani” menjadi pilihan masyarakat dalam menghadapi keadaan ini. Kepemilikan lahan yang relatif sempit membuat petani lebih rentan untuk mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain dengan cara menjualnya (Indrizal 1997). Transfer kepemilikan melalui jual-beli merupakan hal yang wajar pada masyarakat dengan pola pemilikan perseorangan. Karena tanah memiliki nilai yang tinggi di mata masyarakat. Namun masyarakat yang pernah mengalami masa pemilikan kolektif memiliki kesulitan dalam menjalankan jual beli sebagai proses transfer kepemilikan. Karena tidak semua masyarakat memiliki cukup modal untuk membeli lahan. Masyarakat yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli lahan akan menjadi penggarap dengan sistem sewa dan bagi hasil ataupun menjadi buruh tani di lahan-lahan yang telah dimiliki secara perseorangan. Perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan pemilikan tanah membuat pola struktur agraria menjadi terstratifikasi oleh banyak lapisan bahkan dalam beberapa kasus menunjukkan gejala polarisasi, seperti dijelaskan oleh Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A (2009) dalam penelitiannya di dua desa perkebunan di Banten. Gejala polarisasi terlihat dari timpangnya tingkat kepemilikan lahan pada masyarakat. Ketersediaan lahan yang semakin sempit membuat masyarakat perkebunan memiliki peran ganda dalam penguasaan lahan baik permanen maupun sementara. Proses masuknya moda produksi modern ke dalam sistem pertanian masyarakat memunculkan peran-peran baru dalam masyarakat. Peran-peran baru ini terkait dengan penyediaan alat-alat/sarana produksi pertanian. Bertambahnya jenis lapisan masyarakat pada struktur agraris masyarakat menunjukkan diferensiasi sosial. Perubahan yang terjadi pada struktur agraria menyebabkan pergerakan pada pelaku didalamnya. Banyak pihak yang masuk ke dalam struktur yang ada, tetapi juga banyak pihak yang kemudian keluar dari struktur masyarakat karena akses terhadap lahan yang hilang. Penelitian Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A (2009) menyebutkan
13
lapisan-lapisan
yang
terbentuk
setelah
adanya
proses
pembukaan
dan
pengembangan perkebunan menjadi semakin beragam yakni “petani pemilik”, “petani pemilik + penggarap”, “petani pemilik + buruh tani”, “petani penggarap”, “petani penggarap + buruh tani”, dan “buruh tani”. 2.2 Kerangka Pemikiran
Faktor Eksternal Masyarakat: Kebijakan Pemerintah
Perubahan Produksi Pertanian: - Keputusan membuka Kebun - Keberlanjutan Kebun
Faktor Internal Masyarakat: -Tingkat Pengetahuan -Tingkat Kepemilikan Modal
Dinamika Struktur Agraria: - Perubahan Kepemilikan - Perubahan Penguasaan - Perubahan Pengusahaan Keterangan: : Berhubungan : Berhubungan bolak balik : Kuantitatif
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Komoditas yang ditanam masyarakat UPT Simpang Nungki pada awal kedatangannya beragam seperti padi, palawija, buah-buahan (jeruk), dan lain lain. Petani yang mengusahakan tanaman padi sawah pada umumnya lebih bersifat subsisten. Komoditas lain seperti palawija, sayur, dan jeruk lebih bersifat komersil. Perubahan produksi pertanian menjadi kelapa sawit yang merupakan komoditas baru dipengaruhi oleh beberapa hal yang dikelompokkan dalam dua aspek yakni faktor eksternal masyarakat yang terdiri dari kebijakan pemerintah terkait perluasan perkebunan kelapa sawit dan faktor internal masyarakat yang terdiri dari tingkat pengetahuan masyarakat dan tingkat pemilikan modal masyarakat untuk membangun maupun merawat kebun kelapa sawit. Tingkat pengetahuan ini ditinjau dari beberapa aspek yakni pengetahuan tentang
14
penanaman, perawatan, keuntungan serta kerugian menanam kelapa sawit, dan proses pasca produksi atau pasca kebun kelapa sawit. Perubahan produksi pertanian masyarakat dilihat dari dua hal yakni keputusan untuk membuka kebun kelapa sawit dan keberlanjutannya. Seiring dengan berlangsungnya proses perubahan komoditas pertanian masyarakat, berlangsung pula gerak perubahan dalam bidang struktur agraria masyarakat. Hal tersebut seperti di gambarkan pada kerangka pemikiran (Gambar 1). 2.3 HIPOTESIS PENELITIAN 1. faktor internal memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian; 2. faktor eksternal masyarakat memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian masyarakat; dan 3. dinamika struktur agraria memiliki hubungan dengan perubahan produksi pertanian masyarakat. 2.4 Definisi Operasional dan Konseptual 1.
Perubahan produksi pertanian adalah proses perubahan komoditas pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit. Pengukuran: a. tinggi (skor 3) jika responden memutuskan untuk membuka kebun kelapa sawit dan kebunnya bertahan sampai sekarang; b. sedang (skor 2) jika responden memutuskan membuka kebun tetapi kebunnya tidak bertahan sampai sekarang; dan c. rendah (skor 1) jika responden memutuskan untuk tidak membuka kebun kelapa sawit.
2.
Faktor internal masyarakat adalah keadaan responden yang mempengaruhi keputusan responden membuka kebun kelapa sawit dan keberlanjutan kebunnya. Faktor internal terdiri dari:
15
- tingkat pengetahuan adalah pengetahuan responden yang terdiri dari pengetahuan tentang tata cara pembangunan kebun, perawatan kebun, pengetahuan tentang pasca kebun (pasca produksi) dan keuntungan serta kerugian dari kebun kelapa sawit, Pengukuran: a. tinggi (skor 3) jika responden dapat menjawab dan menjelaskan jawaban dengan sangat baik dan memiliki pandangan positif terhadap kebun dan komoditas kelapa sawit; b. sedang (skor 2) jika responden dapat menjawab dan menjelaskan jawaban dengan baik dan memiliki pandangan negatif terhadap kebun kelapa sawit atau responden memiliki pandangan positif tentang kebun kelapa sawit namun tidak dapat menjawab pertanyaan tentang pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun dengan baik; dan c. rendah (skor 1) jika responden tidak dapat menjawab pertanyaan terkait pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit serta memiliki pandangan negatif tentang kebun kelapa sawit. - tingkat kepemilikan modal adalah jumlah uang yang dimiliki dan dialokasikan responden baik untuk membuka maupun merewat kebun kelapa sawit. Pengukuran: a. tinggi (skor 3) jika responden memiliki modal untuk membuka dan merawat kebun kelapa sawit; b. sedang (skor 2) jika responden hanya memiliki modal untuk membuka kebun kelapa sawit; dan c. rendah (skor 1) jika responden tidak memiliki modal untuk membuka maupun merawat kebun kelapa sawit.
16
3
Faktor eksternal masyarakat adalah faktor yang memengaruhi keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit yang berasal dari luar masyarakat. Faktor tersebut ditinjau dari kebijakan pemerintah yang memengaruhi keputusan masyarakat.
4.
Dinamika adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu.
-
Struktur agraria adalah pola hubungan secara teknis dengan objek agraria (lahan) dan pola hubungan sosial(antar subjek agraria). Struktur agraria di sini dimaknai sebagai pola hubungan dalam pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan. Dinamika struktur agraria akan dilihat dari:
a.
tingkat perubahan penguasaan lahan adalah perbandingan penguasaan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit .Penguasaan lahan adalah penguasaan dan atau pemilikan atas dasar milik yang hanya terbatas pada akses terhadap lahan berupa lahan pribadi, sewa,bagi hasil, dan gadai;
b.
tingkat perubahan kepemilikan adalah perbandingan pemilikan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit. Pemilikan lahan adalah penguasaan dan atau pemilikan lahan meliputi kemampuan akses dan kontrol secara formal meliputi lahan pribadi, sewa, bagi hasil dan gadai; dan
c.
tingkat perubahan pemanfaatan lahan adalah perbandingan pemanfaatan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit. Status dan bentuk pemanfaatan adalah berupa pemanfaatan sendiri dan dimanfaatkan orang lain. Bentuk pemanfaatan lahan diantaranya berupa budidaya tanaman pangan, budidaya holtikultura, budidaya tanaman buah,dan lainnya.
17
BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yaitu penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan data atas fenomena yang sama dalam beberapa titik waktu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang mampu memberikan pemahaman mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari subyek yang diteliti (Sitorus 2008). Pendekatan ini digunakan untuk menggali informasi tentang proses masuknya komoditas kelapa sawit dan proses perubahan struktur agraria. Pendekatan ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kebijakan yang terkait dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit dan mengatahui pengaruh kebijakan tersebut terhadap pembukaan perkebunan kelapa sawit masyarakat. Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatankegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono 2006). Pendekatan ini ditujukan untuk melihat struktur agraria masyarakat yang ada sekaligus dinamika yang terjadi di masyarakat. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di UPT (Unit Pemukiman Transmigran) Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. merupakan daerah sekitar perusahaan kelapa sawit yang menjadi wilayah plasma perusahaan. Selain itu, masyarakat sudah memulai mengenal dan menanam komoditas sawit sebelum menjadi plasma perusahaan yang akan di bangun pada akhir 2011;
18
2. masyarakat transmigran memiliki lahan awal yang sama dan status kepemilikan yang jelas sehingga data lebih mudah didapat; dan 3. lokasi tersebut terjangkau transportasi dan dekat dengan kabupaten sehingga memudahkan peneliti untu memperoleh data. Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan (lampiran 3). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi: 1. data sekunder, meliputi rencana pengembangan daerah terkait rencana perluasan perkebunan sawit, undang-undang dan daftar kebijakan terkait dengan perluasan perkebunan sawit dan kepemilikan lahan, Kecamatan dalam Angka, serta Kabupaten dalam Angka terkait data luas areal perkebunan sawit; dan 2. data primer, yang diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan. Penelitian ini memiliki dua subjek penelitian, yang terdiri dari informan dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling (teknik bola salju). Teknik snowballing juga digunakan untuk menentukan daftar populasi yang karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diteliti (kerangka sampling). Untuk melengkapi data yang didapatkan dari informan kunci, diperlukan data dari informan-informan lainnya yang kemudian didiskusikan dengan informan kunci. Informan penelitian ini sebanyak 14 orang terdiri dari tokoh masyarakat, pegawai kecamatan dan kabupaten, pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Transmigrasi Kabupaten Barito Kuala. Responden didefinisikan sebagai bagian dari kerangka sampling yang sebelumnya telah didapat melalui tekhnik full enumeration survei terhadap keadaan struktur agraria masyarakat dan dapat memberikan keterangan tentang
19
diri sendiri. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja terhadap petani pemilik lahan yang tinggal di UPT Simpang Nungki baik transmigran maupun pendatang sebanyak 134 rumah tangga. Unit analisis penelitian ini adalah rumah tangga petani. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah disusun. 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data primer dan sekunder dianalisis menggunakan metode data kualitatif dan kuantitatif. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga petani. Tahapan dalam pengolahan dan analisis data menggunakan metode kualitatif meliputi reduksi data, yakni penghilangan data yang tidak diperlukan serta penambahan data apabila dibutuhkan melalui penyusunan kembali fakta-fakta menurut urutan sejarah dan waktunya. Tahapan kedua adalah penyajian data yang dimaksudkan untuk menyusun sekumpulan informasi. Data yang mengalami proses reduksi, kemudian ditampilkan dalam bentuk lebih ringkas dan sederhana dengan mengunakan tabel atau gambar untuk memudahkan pembaca. Tahapan ketiga adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan didasarkan atas hubungan antara konsep agraria dengan fakta di lapangan. Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan dengan tahapan editing dan koding data. Setelah itu dilakukan perhitungan frekuensi yang telah dikategorikan berdasarkan jawaban yang ada. Terakhir, dilakukan tabulasi silang dalam bentuk tabel dan analisis data menggunakan spearman. Sesuai Koentjaraningrat (1977), pada tahap ini data dapat dianggap selesai diproses sehingga akan disusun ke dalam sebuah pola atau format yang telah dirancang.
20
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Kondisi Umum Desa Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantuil di sebelah utara, Desa Sawahan di sebelah timur, Desa Sungai Tunjang di sebelah barat, dan Kecamatan Mandastana di sebelah selatan. Desa Simpang Nungki berjarak satu kilometer dari kantor kecamatan Cerbon atau sekitar lima menit jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sedangkan jarak menuju ibu kota kabupaten atau Kota Marabahan sekitar tiga kilometer atau sekitar 15 menit dengan menggunakan sepeda motor. Akses masyarakat menuju pusat administrasi Kabupaten Barito Kuala menjadi lebih mudah setelah dibangunnya Jembatan Rumpiang yang menghubungkan Kecamatan Cerbon dengan Kecamatan Marabahan yang dipisahkan sungai Barito. Jarak tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi umum berupa angkot (taksi dalam bahasa lokal) dan ojek. Angkot yang beroperasi adalah angkot dengan rute Banjarmasin-Marabahan yang lewat 30 menit sekali sampai pukul 17.00 WIB. Desa Simpang Nungki memiliki wilayah seluas 19,5 kilometer persegi atau hanya sekitar 9,47 persen dari luas kecamatan Cerbon yang terdiri dari pemukiman, lahan terbuka, lahan pertanian, kebun, sungai, dan infrastruktur publik. Secara administratif Desa Simpang Nungki terdiri dari 8 RT yang terdiri dari dua wilayah yakni masyarakat asli pada RT 01 sampai RT 03 dan UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) pada RT 04 sampai RT 08. Pemukiman masyarakat lokal umumnya berada di tepi jalan utama desa. UPT atau kompleks transmigrasi sendiri dibagi menjadi 10 simpang (Ray) dan umumnya pemukiman transmigran berada di masing-masing gang. Hanya ada beberapa warung, mushola dan rumah kepala desa yang menghadap ke jalan inti. Bangunan rumah penduduk pada umumnya adalah rumah panggung terbuat dari kayu seperti rumah masyarakat asli Kalimantan.
21
Desa Simpang Nungki merupakan bagian dari Kabupaten Barito Kuala yang terletak di garis katulistiwa sehingga memiliki curah hujan yang tinggi. Temperatur rata-rata adalah 26-270C. Suhu maksimum adalah 27,50C pada bulan Oktober dan suhu minimum mencapai 26,50C pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan Maret dan Desember, sedangkan curah hujan terendah terjadi di bulan September. Namun beberapa tahun terakhir hal tersebut sudah banyak mengalami pergeseran dan tidak dapat diperkirakan lagi. Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang terdekat dengan perusahaan PBB yakni perusahaan swasta perkebunan kelapa sawit. Desa Simpang Nungki berada pada wilayah perencanaan kebun plasma perusahaan yang pembangunannya akan direalisasikan pada akhir tahun 2011. 4.2 Kondisi Agronomi Desa Simpang Nungki berada pada hamparan wilayah yang datar dengan kelerengan 0-2 persen, dengan ketinggian elevasi berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan laut. Desa Simpang Nungki berada di dekat Sungai Barito dan dilewati sungai-sungai kecil baik alami maupun buatan, sehingga sistem pertaniannya sangat bergantung pada sistem pasang-surut sungai. Secara umum daerah ini ditutupi oleh tumbuhan rawa, tumbuhan jingah, rambai yang tumbuh disepanjang sungai, tumbuhan galam, dan purun tikus yang hidup berdampingan dan kadang diselingi oleh tumbuhan rumput-rumputan. Di Desa Sumpang Nungki juga dijumpai beberapa jenis fauna khas seperti beberapa jenis ikan air tawar seperti gabus, papuyu, sepat, patin, dan lain-lain yang biasa ditangkap warga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Jenis reptil yang sering terlihat adalah ular sawah dan biawak. Hama yang banyak menyerang tanaman warga adalah tikus yang banyak muncul saat keadaan air pasang. Jenis tanah yang ada di Desa Simpang Nungki dan Kecamatan Cerbon umumnya ada jenis yakni organosol dan tanah aluvial. Tanah Organosol berwarna coklat hitam dan sering disebut tanah gambut atau peat (bahan yang mudah terbakar). Sifat keasamannya sangat tinggi sehingga kalau ingin mempergunakan tanah ini harus dengan sistem drainage. Kemampuan tanah di daerah ini tidak
22
sepenuhnya datar, yakni lereng 0,2 persen yang merupakan daerah endapan. Keadaan efektif tanah untuk alluvial lebih besar dari pada 90 centimeter tercatat hampir 60-64 persen dari luas wilayah, sedangkan daerah yang ketebalan gambutnya lebih besar dari 75 centimeter terdapat seluas 6,74 persen. Tekstur tanah 95 persen liat (halus) sedangkan drainage yang dominan yakni di daerah yang tergenang rawa. Penggunaan tanah berdasarkan peta kemampuan tanah dan jenis tanah yang diusahaakan penduduk, daerah alluvial pada umumnya digunakan untuk persawahan karena daerahnya yang cukup subur. Pada daerah organosol atau gambut juga diusahakan oleh penduduk dengan membuat handilhandil atau saluran pembuangan air sehingga daerah tersebut dapat diusahakan. Tanaman pertanian yang dibudidayakan oleh masyarakat pada umumnya adalah padi sawah, jeruk, palawija, kelapa sawit, kelapa dalam, sagu, karet, nanas, dan lain-lain. 4.3 Kondisi Demografi Desa Simpang Nungki adalah desa dengan penduduk terbesar ketiga di wilayah Kecamatan Cerbon. Pada tahun 2010, desa seluas 19,50 kilometer persegi ini di huni oleh 335 kepala keluarga yang tersebar pada delapan rukun tetangga. Penduduk Desa Simpang Nungki terdiri dari 625 laki-laki dan 613 perempuan.
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Jumlah Penduduk
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2005-2009 Pertambahan penduduk Kecamatan Cerbon dalam jumlah besar pada tahun 2007 terjadi karena adanya penempatan peserta program transmigrasi pada beberapa
23
desa di wilayah Kecamatan Cerbon. Desa di wilayah Cerbon yang menjadi tujuan program transmigrasi adalah Desa Simpang Nungki dan Desa Sawahan. Hal tersebut juga menyebabkan lonjakan tajam jumlah penduduk Desa Simpang Nungki pada tahun 2007. Namun, jumlah penduduk pada Kecamatan Cerbon pada tahun 2008 kembali menurun karena adanya peserta transmigran yang pergi meninggalkan daerah tersebut. Perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Cerbon dapat dilihat pada gambar 2 di atas. Sebagian besar masyarakat Desa Simpang Nungki bekerja sebagai petani sawah dan perkebunan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi wilayah yang cukup mendukung kegiatan pertanian. Sawah pasang surut yang banyak terdapat pada Kecamatan Cerbon mampu membuat Kecamatan Cerbon berada di posisi ke-8 penyumbang beras terbesar Kabupaten Barito Kuala yakni sekitar 5,32% dari total produksi beras Kabupaten Barito Kuala. Mata pencaharian utama penduduk dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Petani
PNS
Buruh
Pensiunan
Karyawan Swasta
Peternak/ Nelayan
TNI/Polri
Pedagang
Mengurus Rumah Tangga
Pelajar/mahasiswa
lain-lain
Gambar 3. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2010 Berdasarkan data profil Kecamatan Cerbon tahun 2009, mata pencaharian utama penduduk sangat beragam. Namun berdasarkan data lapang, seluruh masyarakat Desa Simpang Nungki yakni sebanyak 355 Kepala Keluarga memiliki lahan dan mengusahakan pertanian di samping pekerjaan utama. Sebagian besar penduduk
24
dengan mata pencaharian utama sebagai petani juga menjadi buruh di dua perusahaan besar swasta dalam bidang perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Desa Simpang Nungki. Hal tersebut dilakukan saat masa tanam padi selesai, sehingga petani memiliki banyak waktu luang untuk mengerjakan hal-hal lain untuk menambah pendapatan. 4.4 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Simpang Nungki sudah cukup lengkap. Sarana kesehatan terdiri dari satu puskesmas dan satu polendes dengan tenaga medis satu bidan. Masyarakat juga bisa memanfaatkan jasa dua dukun kampung yang terdapat di Desa Simpang Nungki. Sarana pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar, satu Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tenaga pengajar setingkat SD berjumlah 14 orang. Tenaga dan setingkat SMP terdiri dari 19 orang. Sarana ibadah yang tersedia adalah berupa langgar sebanyak empat buah. Kegiatan-kegiatan keagamaan selain ibadah wajib juga sering dilaksanakan di langgar-langgar tersebut seperti pengajian rutin. Hampir seluruh masyarakat lokal yang tinggal di Desa Simpang Nungki masih memiliki hubungan kekerabatan. Sehingga kegiatan pengajian dan selamatan juga rutin di laksanakan bergiliran di rumah warga. Hal ini membuat hubungan baik antara warga semakin terjalin. Kegiatan serupa juga sering di laksanakan di kompleks transmigran. Rasa senasib dan sepenanggungan membuat masyarakat memiliki hubungan yang masih sangat dekat. Jalan desa sudah di aspal, namun saat ini keadaannya sudah sangat rusak karena alat-alat berat perusahaan masuk ke area kebun melalui jalan desa tersebut. Jalan desa yang terdapat pada kompleks transmigran belum pernah di aspal namun pada tahun 2009 jalan tersebut dilapisi dengan pasir dan batu menggunakan biaya dari program PNPM Mandiri. Sebagian besar masyarakat Desa Simpang Nungki sudah memiliki kendaraan pribadi berupa sepeda motor untuk memudahkan transportasi ke luar desa. Namun, masyarakat juga masih menggunakan klotok (kapal motor kecil) untuk transportasi karena dianggap lebih efisien untuk beberapa hal.
25
4.5 Konteks Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki Unit Pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dibuka pada tahun 2005 sebagai salah satu daerah tujuan program transmigrasi. Masuknya peserta transmigrasi ke Desa Simpang Nungki dilakukan dalam tiga tahapan, yakni tahun 2005, 2006, dan 2007. Daerah asal transmigran beragam yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan daerah lain di luar jawa, masyarakat lokal dari Desa Simpang Nungki dan daerah lain di Kalimantan Selatan. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan rumah dan tanah seluas 1,5 hektar (satu hektar lahan usaha dan 0,5 hektar untuk lahan pekarangan). Fasilitas lain yang didapat adalah peralatan dapur dan jatah hidup yang diterima sebulan sekali selama satu tahun yang terdiri dari beras, minyak goreng, gula, ikan asin, sabun cuci, garam, minyak tanah, kacang hijau, dan kecap. Transmigran juga mendapatkan bantuan alat-alat pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayah dan saprodi (sarana produksi) seperti pupuk dan bibit (sayur, buah, dan padi). Suatu wilayah akan dinyatakan layak untuk dihuni transmigran, setelah ada kunjungan dari petugas terkait dan perwakilan transmigran untuk menilai apakah wilayah dan fasilitas yang tersedia sudah cukup layak untuk ditinggali. Seperti jalan, saluran air, kondisi rumah, keadaan lahan, dan lain-lain. Namun, setelah semua dinyatakan layak dan pemberangkatan transmigran di laksanakan, masih ada transmigran yang pergi meninggalkan rumah dan tanahnya. Data jumlah tansmigran tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Transmigran UPT Simpang Nungki Tahun 2011 Kategori
Jumlah (KK)
Persentase (%)
Transmigran Bertahan
121
37.23
Transmigran Pergi
204
62.77
Jumlah
325
100.00
Transmigran yang pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki sebagian adalah warga lokal yang berasal dari sekitar Simpang Nungki yang lebih memilih untuk tinggal di wilayah asalnya dan tidak menggarap lahannya. Transmigran yang meninggalkan UPT Simpang Nungki kurang dari 10 tahun penempatan lebih dari
26
50 persen. Hal ini menyalahi aturan dan ketentuan terkait program transmigrasi 4, namun juga menjadi hal yang banyak terjadi di seluruh wilayah transmigrasi. Alasan kepergian transmigran beragam, seperti kembali ke daerah asal, mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih menjanjikan, ada juga yang mengajukan untuk mengikuti program transmigrasi ke daerah lain. Kurang lengkapnya fasilitas di UPT Simpang Nungki juga menjadi alasan transmigran meninggalkan tempat tinggalnya. UPT Simpang Nungki tidak memiliki jaringan listrik dan saluran air bersih. Sehingga untuk mendapatkan air bersih masyarakat harus menampung air hujan, karena air tanah diwilayah ini asam. Jumlah kepala keluarga UPT Simpang Nungki juga bertambah dengan masuknya para pendatang yang tertarik untuk mengadu nasib di wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak SHL (50 tahun)5 dan TTK (40 tahun)6. “Transmigran banyak meninggalkan UPT dengan alasan sarana dan prasarana yang kurang baik. Padahal fasilitas yang diberikan sudah cukup lengkap untuk pemukiman yang baru dibuka termasuk fasilitas terkait pertanian. Keadaan wilayah juga sudah dijelaskan sebelum mereka diberangkatkan. Mereka sudah diberi pelatihan-pelatihan pertanian agar dapat bertahan di tempat yang baru. Tapi banyak yang pindah ke tempat lain. Bahkan memalsukan data untuk mengikuti program transmigrasi ke daerah yang baru. Itulah yang membuat dia tidak berhasil padahal teman-teman yang tetap bertahan dapat berhasil. Karena dia kan harus mulai lagi dari awal untuk adaptasi dan lain-lain.” “ Yah disini ya seperti ini mbak. Panas, kering, tanah dan airnya asam. Tidak seperti di Jawa yang enak. Untuk mandi harus mengambil air di rumah orang yang punya diesel. Trus buat minum kami nampung air hujan. Kalo tidak ada hujan ya beli air di orang lokal. Kan mereka sudah ada PAM. Air PAM nggak bisa masuk sampai sini karena tanahnya lebih tinggi. Kalau listrik sih katanya Agustus mulai masuk ke sini.”
4
Aturan dan ketentuan program transmigran dapat dilihat pada Lampiran Bapak SHL adalah kepala bagian Transmigrasi di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Barito Kuala. Hasil wawancara tanggal 28 April 2011. 6 Bapak TTK adalah salah satu transmigran yang bertahan. Hasil wawancara 26 April 2011. 5
27
Program-program pengembangan masyarakat transmigran juga beragam, seperti kredit usaha kecil, PNPM Mandiri, dan bantuan pengembangan perkebunan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Bantuan dana dari program PNPM Mandiri digunakan masyarakat untuk melapisi jalan Unit Pemukiman Transmigrasi dengan pasir dan batu. Bantuan pengembangan perkebunan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan berupa pembagian bibit karet dan kelapa sawit serta saprodi yang menunjang program tersebut.
28
BAB V DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA UNIT PEMUKIMAN TRANSMIGRASI (UPT) SIMPANG NUNGKI 5.1 Masa Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit (2005 – 2006) 5.1.1 Sejarah Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki7 Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Cerbon yang memiliki lokasi strategis, yakni dekat dengan jalan kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Barito Kuala. Namun, jumlah penduduk yang kecil dan pola pikir masyarakat lokal yang masih tradisional membuat wilayah tersebut sulit berkembang. Bapak EDS (50 tahun) selaku tokoh Desa Simpang Nungki yang juga bekerja sebagai pegawai kecamatan mendapatkan informasi dari Dinas Transmigrasi Barito Kuala bahwa akan dipilih beberapa wilayah untuk dijadikan lokasi transmigrasi. Tokoh masyarakat baik di tingkat desa maupun kecamatan mengoordinasikan hal tersebut dan mengajukan permohonan kepada dinas terkait. Para tokoh berpendapat bahwa dengan dibukanya Unit Pemukiman Transmigrasi di Desa Simpang Nungki, maka wilayah tersebut dapat lebih cepat berkembang. Persiapan suatu wilayah untuk dijadikan tujuan transmigrasi berlangsung dalam beberapa mekanisme, seperti pelepasan dan pembukaan lahan, pembangunan sarana dan prasarana dan pengecekan apakah tempat tersebut sudah layak untuk dihuni atau belum. Peserta program transmigrasi memiliki komposisi yang berbeda sesuai dengan periode berlangsungnya program tersebut. Saat ini, komposisi yang digunakan adalah 50 persen penduduk lokal dan 50 persen adalah pendatang. Keresediaan lahan yang tidak terlalu luas membuat mekanisme pemberian lahan untuk penduduk lokal sedikit berbeda. Pada umumnya lahan transmigrasi berada dalam satu luasan wilayah, tapi di Desa Simpang Nungki tidak demikian. Beberapa peserta transmigrasi lokal tidak mendapatkan bagian lahan pekarangan sebagaimana mestinya. Transmigran tersebut diperkenankan mendaftarkan lahan
7
Berdasarkan penuturan informan kunci bapak EDS selaku tokoh masyarakat dan pegawai kecamatan pada tanggal 28 April 2011
29
pribadi yang dimiliki dan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan harga lahan pada saat itu. Unit pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dibuka pada tahun 2005. Peserta program transmigrasi datang dalam tiga tahap yakni pada tahun 2005 sebanyak 150 kepala keluarga, tahun 2006 sebanyak 100 kepala keluarga, dan pada tahun 2007 sebanyak 75 kepala keluarga. Peserta transmigrasi mendapatkan fasilitas pertanian berupa saprodi, bibit, dan lain-lain untuk menunjang kegiatan pertaniannya. Oleh karena itu, jenis komoditas masyarakat pun hampir sama yakni padi, palawija, dan sayur-sayuran seperti benih-benih yang dibagikan oleh Dinas Transmigrasi. Kondisi tersebut mulai berubah setelah satu tahun penempatan, karena transmigran lokal mulai kembali ke daerah asal setelah jatah hidup tidak lagi diberikan oleh Dinas Transmigrasi. Transmigran lokal lebih memilih untuk tinggal di rumah sendiri karena sarana dan prasarana yang tersedia lebih memadai dibandingkan di Unit Pemukiman Transmigran (UPT). Transmigran lain yang berasal dari luar Kalimantan Selatan juga mulai meninggalkan lokasi transmigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Beberapa transmigran memilih untuk pulang kembali ke daerah asalnya seperti Jawa dan Lombok. Hal ini sesuai dengan penuturan SRI (46 tahun) di bawah ini.8 “Masyarakat lokal tertarik mengikuti program transmigrasi karena mendapatkan jadup selama setahun. Setelah jadup habis, ya mereka kembali lagi ke rumah mereka. Transmigran asal Jawa dan Lombok juga banyak yang kembali ke daerah asal karena tidak tahan. Sebagian besar lahan ditinggalkan begitu saja. Ada juga yang masih sering ke sini cuma untuk melihat lahan dan rumahnya saja.”
5.1.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial System) Transmigran Simpang Nungki mendapatkan lahan dari program transmigrasi. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan lahan seluas 1,5 hektar dengan rincian 0,5 hektar lahan pekarangan dan satu hektar lahan usaha. Kepemilikan lahan pada awal kedatangan transmigran masih sama, kecuali transmigran lokal yang telah memiliki lahan pribadi sebelum mengikuti program 8
Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 19 April 2011
30
transmigrasi. Transmigran berhak untuk menggarap lahan usaha dan menempati lahan pekarangan. Bukti kepemilikan tanah (sertifikat) akan diserahkan setelah lima tahun menempati dan menggarap lahan tersebut sesuai dengan ketentuan program transmigrasi. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat lokal yang umumnya hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala padang. Program pembuatan sertifikat gratis oleh pemerintah daerah Kabupaten Barito Kuala sedang berlangsung, namun masyarakat Desa Simpang Nungki harus menunggu giliran. Masyarakat harus mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk pembuatan sertifikat tersebut. Pengajuan permohonan dilakukan oleh pemerintah desa terkait. Namun banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran tentang pentingnya sertifikat tanah. Sehingga pemerintah desa harus berusaha untuk memberikan pengertian kepada masyarakat. Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang Nungki khususnya transmigran memiliki lahan pertanian. Namun, pada masa ini telah terbentuk beberapa lapisan status sosial masyarakat. Hal tersebut dikarenakan transmigran juga menggarap lahan masyarakat lokal melalui sistem bagi hasil dan juga menjadi buruh pertanian untuk menambah penghasilan. Saat ini status sosial masyarakat terdiferensiasi dalam beberapa lapisan atau kategori yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan majemuk. Lapisan status tersebut adalah sebagai berikut: 1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan melalui pola pemilikan tetap; 2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara (mengusahakan lahan orang lain melalui sistem bagi hasil); 3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan; dan
31
4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga sementara (menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil). Petani yang hanya memiliki status tunggal sebagai petani pemilik umumnya memiliki mata pencaharian lain selain sebagai petani seperti pedagang, pegawai pemerintah, wiraswasta, dan sebagainya. Petani yang berstatus sebagai penggarap umumnya menggarap lahan yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang berada di luar kompleks lahan transmigran. Buruh tani adalah salah satu pilihan bagi para transmigran untuk menambah pendapatan rumah tangga. Masyarakat lebih tertarik untuk menjadi buruh tani karena resiko yang ditanggung lebih kecil dibandingkan dengan menjadi penggarap yang membutuhkan modal lebih besar. Pemindahan kepemilikan lahan transmigran dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun atau setidaknya sebelum sertifikat lahan turun adalah hal yang melanggar hukum. Proses transfer kepemilikan lahan pada masa awal penempatan masih sangat jarang terjadi. Harga tanah juga masih rendah. Harga tanah kapling (bukan lahan transmigran) tahun 2005 sekitar Rp 300.000,- sampai Rp 500.000,per hektar. Sedangkan tanah transmigran yang telah bersertifikat sekitar Rp 1.500.000,- sampai Rp 2.000.000,- per kapling lahan usaha (dua hektar). Pada masa ini transfer kepemilikan melalui ganti rugi banyak terjadi pada kasus tanah kapling yang dimiliki masyarakat lokal. Lahan kapling adalah lahan yang dibuka oleh masyarakat lokal, sebagian besar belum memiliki sertifikat dan hanya memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah). Lahan kapling terletak di luar kompleks pemukiman warga sekitar satu sampai tiga kilometer. Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh SHT (45 tahun)9. “Sebelum tahun 2007, proses jual beli banyak terjadi pada lahan kapling, karena harganya murah dan memiliki SKT. Harganya cuma 300-500 ribu rupiah. Kalau lahan transmigran kan masih belum bersertifikat dan dilarang untuk digantirugikan.” Sistem transfer kepemilikan lain yang ada di Unit Pemukiman Transmigran Simpang Nungki adalah pemindahan hak kepemilikan lahan kepada saudara atau anak seperti yang dibenarkan dalam ketentuan transmigrasi. Sistem 9
Bapak SHT adalah sekretaris Kecamatan Cerbon sekaligus wakil ketua Koperasi Desa Simpang Nungki. Hasil wawancara tanggal 3 Mei 2011.
32
tersebut hampir sama dengan waris. Jika hal tersebut dilakukan sebelum sertifikat diserahkan kepada transmigran, maka proses pemindahan harus melalui tahapan yang ditentukan. Transmigran yang ingin memberikan haknya kepada anak atau saudara harus melapor dan mengajukan permohonan kepada dinas transmigrasi. Sistem transfer kepemilikan sebelum kurun waktu 10 tahun kepada orang lain tidak diperbolehkan. Jika transmigran pergi meninggalkan UPT tanpa izin dari kepala UPT dan melampaui batas waktu yang ditoleransi, maka haknya sebagai transmigran akan dicabut. Proses pemberian hak transmigran yang telah pergi kepada yang baru tidak dapat dilakukan secara langsung. Transmigran pengganti akan dipilih dari dinas transmigrasi daerah asal transmigran yang pergi. Transmigran pengganti harus melalui proses yang sama dengan transmigran sebelumnya, yakni melalui proses pendaftaran, seleksi, pelatihan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak dibenarkan jika seorang transmigran memberikan haknya kepada pendatang yang menggantikannya di lokasi UPT.
5.1.3 Sistem Kelembagaan (Tenancy System) Masyarakat lokal Simpang Nungki memiliki luas kepemilikan lahan yang beragam. Biaya besar yang harus dikeluarkan untuk menggarap lahan membuat petani dengan kepemilikan lahan luas tidak menggarap semua lahannya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem pertanian masyarakat lokal Simpang Nungki yang masih bersifat subsisten (untuk memenuhi kebutuhan sendiri). Banyak lahan yang dibiarkan bera dan ditumbuhi rumput liar. Hal ini menjadi peluang bagi transmigran dan masyarakat berlahan sempit untuk menggarap lahan-lahan tersebut. Sistem kelembagaan yang dijalankan Desa Simpang Nungki adalah sistem bagi hasil. Aturan-aturan bagi hasil berlaku untuk sekali masa panen. Bagi hasil ini menggunakan pola aturan pemilik lahan akan mendapatkan bagian 1 blek (kaleng) gabah atau setara dengan 10 kilogram per borong luas lahan yang digarap. Aturan-aturan tambahan diberlakukan sesuai kesepakatan. Misalnya, jika pembersihan lahan dilakukan oleh pemilik maka penggarap akan memberikan sejumlah uang sebagai uang jasa. Besar uang yang diberikan sesuai dengan luasan lahan dan kesepakatan antara pemilik dengan penggarap. Ukuran lahan yang
33
digunakan adalah per borong atau setara dengan 17 X 17 meter. Masyarakat lokal kadang juga menggunakan ukuran hektar untuk lahannya. Rasa saling percaya antar masyarakat Simpang Nungki masih sangat tinggi. Proses pembuatan kesepakatan-kesepakatan dilakukan dengan cara kekeluargaan. Termasuk dalam urusan tanah. Penggarap kadang tidak mengetahui pemilik tanah yang digarapnya. Penggarap biasanya menentukan kesepakatankesepakatan dengan perantara atau wakil dari pemilik lahan. Kesepakatan yang telah dibuat tidak di buat secara tertulis namun hanya berupa pembicaran saja. Hal ini seperti pengakuan TTK (40 tahun) di bawah ini10. “Saya nggak tau siapa pemilik lahan yang saya garap. Waktu itu perantara saya adalah Pak WSN. Katanya itu tanah saudaranya dan boleh digarap dengan sistem bagi hasil. Yah dasarnya saling percaya aja. Tiap satu borong lahan saya harus ngasih pemiliknya satu blek gabah.”
5.1.4 Pemanfaatan Lahan Transmigran yang ditempatkan di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki mendapatkan benih-benih tanaman pertanian, pupuk dan alatalat pertanian. Benih yang dibagikan berupa benih padi, palawija, sayur dan buahbuahan. Pada awal kedatangan, transmigran menanam semua jenis benih yang diberikan oleh Dinas Transmigrasi. Namun, tidak semua benih dapat ditanam dengan baik dan menghasilkan. Hal tersebut karena keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asal sehingga kemampuan bertani para transmigran kurang sesuai. Berikut disajikan jenis komoditas yang ditanam masyarakat pada awal kedatangan di UPT Simpang Nungki dan sebelum masuknya komoditas kelapa sawit (tahun 2005 sampai pertengahan 2006).
10
Hasil wawancara dengan transmigran tanggal 26 April 2011.
34
Tabel 5.1 Komoditas Pertanian Masyarakat UPT Simpang Nungki Tahun 2005 2006 Kategori Petani I
Komoditas Padi
Palawija
Jeruk
V
II
V
III
V
V
IV
V
V
V
V
V V
V VI
V
Berdasarkan data di atas, sebagian masyarakat lebih memilih untuk menanam beberapa komoditas yang berbeda dalam satu waktu. Komoditas padi pada umumnya disimpan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan akan dijual jika ada sisa hasil produksi atau saat membutuhkan uang. Sedangkan komoditas seperti palawija, jeruk ataupun sayuran (masyarakat lokal) biasanya dijual. 5.2 Proses Masuknya Komoditas Kelapa Sawit (2006-2011) 5.2.1 Sejarah Masuknya Komoditas Kelapa Sawit Komoditas kelapa sawit mulai gencar dikembangkan di wilayah Kalimantan Selatan sejak tahun 2006. Hal tersebut ditandai dengan dibangunnya beberapa perkebunan besar swasta di wilayah Kalimantan Selatan. Tiga perusahaan besar swasta yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit mendapatkan izin lokasi di wilayah Kabupaten Barito Kuala pada tahun 2007. Wacana pembangunan kebun plasma juga dibuat, sejak keluarnya izin lokasi tersebut. Perusahaan yang letaknya berada di sekitar Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki adalah PT PBB yang berada di perbatasan Desa Simpang Nungki dan PT ABS yang berada di wilayah Kecamatan Jejangkit yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Cerbon. Surat Izin Usaha kedua perusahaan tersebut diterbitkan pada tahun 2007, namun pembangunan sarana dan prasarana perusahaan sudah mulai dilakukan pada pertengahan 2006. Penduduk Desa Simpang Nungki khususnya transmigran banyak menjadi buruh lepas di dua perusahaan tersebut. Saat ini, PT ABS memiliki keadaan yang lebih stabil dibandingkan dengan PT PBB. Hal tersebut dikarenakan PT PBB beberapa kali
35
mengalami pemindahan kepemilikan dan pergantian manajemen. Kondisi tersebut membuat realisasi pembangunan kebun plasma PT PBB sampai menjadi terhambat. Masuknya dua perusahaan besar di sekitar wilayah Desa Simpang Nungki membawa informasi baru tentang komoditas dan kebun kelapa sawit kepada masyarakat Desa Simpang Nungki. Sumber lain pengetahuan masyarakat tentang perkebunan dan komoditas kelapa sawit adalah dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Kuala melalui program pengembangan perkebunan. Program tersebut bernama “Sharing Bibit Kelapa Sawit” untuk luasan 75 hektar. Dana pelaksanaan program ini berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan tingkat I Provinsi Kalimantan Selatan dan tingkat II Kabupaten Barito Kuala. Bantuan tersebut berupa dana pembersihan lahan, saprodi (herbisida, pertisida, dan pupuk), pembuatan gundukan, pemasangan ajir, dana penanaman, dan bibit kelapa sawit. Sosialisasi tentang perkebunan kelapa sawit terkait keuntungan, tata cara penanaman dan perawatan beberapa kali dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Tingkat I Kalimantan Selatan sebelum pembagian bibit dan lainnya. Hal ini membuat masyarakat yang awam tentang kelapa sawit mulai mengenal kelapa sawit sebagai komoditas baru yang menguntungkan. Pemerintah Kecamatan Cerbon juga berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif terhadap kemajuan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu pemerintah Kecamatan Cerbon juga membuat beberapa program untuk mendukung program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Programprogram tersebut adalah studi banding petani dan beberapa tokoh desa-desa yang ada di wilayah Barito Kuala ke petani kelapa sawit Kecamatan Pelaihari yang telah lebih dulu menanam kelapa sawit. Interaksi masyarakat dengan karayawan perkebunan juga menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat.
5.2.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial System) Sertifikat tanah masyarakat UPT Simpang Nungki diserahkan secara bertahap pada tahun 2010, 2011, dan 2012 sesuai dengan tahun kedatangan. Beberapa kasus perginya transmigran dari lokasi transmigrasi membuat pembagian sertifikat pada tahun 2010 sedikit terhambat. Dinas Transmigrasi
36
Kabupaten Barito Kuala meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menahan sertifikat masyarakat sampai pendataan selesai. Hal tersebut berpengaruh pada terhambatnya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kebun plasma di UPT Simpang Nungki karena belum semua masyarakat memiliki sertifikat tanah. Harga tanah semakin tinggi. Pendatang mulai masuk ke Desa Simpang Nungki seiring dengan berkurangnya jumlah transmigran yang bertahan. Masyarakat menyadari nilai tanah akan semakin tinggi karena minat orang luar Desa Simpang Nungki untuk memiliki lahan juga semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan wacana pembangunan PT PBB yang akan di laksanakan pada akhir tahun 2011. Pada tahun 2005-2009 pembukaan lahan besar-besaran di lakukan oleh tokoh masyarakat dan dibagikan kepada masyarakat lokal. Masingmasing kepala keluarga mendapatkan bagian dua kapling tanah. Pada akhir tahun 2009, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang pembukaan lahan negara. Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang Nungki khususnya di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) memiliki lahan pertanian. Data hasil sensus rumah tangga petani
di UPT Simpang Nungki, status sosial masyarakat
terdiferensiasi dalam beberapa lapisan atau kategori yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan majemuk seperti pada masa sebelum masuknya komoditas kelapa sawit. Struktur agraria masyarakat pada periode ini masih menunjukkan gejala stratifikasi dan belum mengarah para proses polarisasi. Lapisan status tersebut adalah sebagai berikut: 1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan melalui pola pemilikan tetap sebanyak 22 rumah tangga; 2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara (mengusahakan lahan orang lain melalui sistem bagi hasil) sebanyak dua rumah tangga; 3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan sebanyak 99 rumah tangga; dan
37
4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga sementara (menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil) sebanyak 11 rumah tangga. Selain itu, masyarakat juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan perkebunan swasta untuk menambah penghasilan. Jumlah petani tiap lapisan di UPT Simpang Nungki dapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 5.2). Jenis lapisan-lapisan tersebut sama dengan jenis lapisan pada masa sebelum masuknya komoditas kelapa sawit, namun jumlah petani tiap lapisan mengalami perubahan. Informan kunci Pak SRI (46 tahun) berpendapat bahwa setelah adanya perusahaan kelapa sawit, sulit mencari buruh pertanian karena banyak yang menjadi buruh lepas di perusahaan11. Para petani juga lebih memilih untuk menjadi buruh lepas perusahaan dibandingkan menjadi penggarap lahan masyarakat lokal. Berikut data kategori petani berdasarkan status kepemilikan lahannya. Tabel 5.2 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Petani, 2011 Kategori Petani Jumlah KK 22 Petani Pemilik 2 Petani Pemilik + Penggarap 99 Petani Pemilik + Buruh Tani 11 Petani Pemilik +Penggarap + Buruh Tani 134 Jumlah
Persentase (%) 16,42 1,49 73,88 8,21 100,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas petani UPT Simpang Nungki berstatus sebagai petani pemilik+buruh tani. Buruh tani yang dimaksud dalam kasus ini bukan hanya buruh tani di lahan masyarakat yang lain tetapi juga buruh lepas di perkebunan besar swasta yang letaknya tak jauh dari UPT Simpang Nungki. Sawah di Desa Simpang Nungki adalah sawah pasang surut yang umur tanamnya selama enam bulan sehingga masyarakat memiliki banyak waktu luang saat masa tanam selesai dan memasuki masa tunggu. Masyarakat yang menanam kelapa sawit juga memiliki banyak waktu luang. Waktu luang tersebut dapat di manfaatkan untuk bekerja sebagai buruh lepas perkebunan kelapa sawit.
11
Hasil wawancara dengan warga transmigran UPT Simpang Nungki pada tanggal 5 Mei 2011
38
Penghasilan dari pekerjaan sebagai buruh sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kepemilikan lahan masyarakat mengalami sedikit pergeseran pada masa ini. Transmigran yang meninggalkan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki mencapai lebih dari 50 persen dari jumlah transmigran awal. Hasil survei kepemilikan lahan tercatat hanya 121 kepala keluarga transmigran yang masih menetap di UPT Simpang Nungki. Sehingga dapat diketahui sekitar 204
transmigran
meninggalkan
kompleks
transmigrasi.
Sebagian
besar
transmigran yang berasal dari luar Kalimantan Selatan memilih untuk mengalihkan kepemilikan melalui ganti rugi kepada transmigran maupun pendatang. Berikut data transmigran UPT Simpang Nungki berdasarkan kepemilikan lahan. Tabel 5.3 Jumlah Transmigran Berdasarkan Luas Lahan, 2011 Luas Lahan (Ha)
Jumlah (KK)
Persentase (%)
0,5
1
0,83
1,5 2 - 4,5 15
108 11 1
89,26 9,08 0,83
Jumlah
121
100,00
Tabel di atas menunjukkan ada satu KK yang mengalami penurunan luas lahan dan satu KK yang mengalami peningkatan luas lahan yang signifikan hingga mencapai 15 hektar. Pemilik 15 hektar lahan transmigran ini juga memiliki lahan kapling yang dibeli dari masyarakat lokal12. Kepergian transmigran dengan beragam alasan membuka kesempatan bagi masyarakat bermodal besar untuk memperluas lahan yang dimiliki. Hal tersebut juga membuka kesempatan bagi pendatang untuk masuk. Berdasarkan data hasil sensus kepemilikan lahan di UPT Simpang Nungki tercatat sembilan kepala keluarga yang datang dan tinggal di pemukiman transmigrasi pada tahun 2009 dan 2010. Pendatang masuk ke wilayah UPT Simpang Nungki karena daerah tersebut dianggap strategis. Letaknya yang tidak jauh dari Kota Kabupaten dan berada di wilayah perkebunan kelapa sawit 12
Pemilik lahan terluas ini adalah EDS (50 tahun) yang menjadi informan dalam penelitian ini. Bapak EDS adalah tokoh masyarakat Simpang Nungki dan juga Kasie Bina Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat Kecamatan Cerbon. Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011.
39
membawa daya tarik ekonomi bagi para pendatang. Berikut data kepemilikan lahan pendatang pada tahun 2011. Tabel 5.4 Jumlah Pendatang Berdasarkan Luas Lahan, 2011 Luas Lahan (Ha)
Jumlah (KK)
Persentase (%)
1,5
7
77,78
2
1
11,11
2,5
1
11,11
Jumlah
9
100,00
Tabel di atas menyebutkan bahwa sebagian pendatang memiliki lahan seluas 1,5 hektar. Lahan ini diperoleh melalui proses ganti rugi lahan transmigran yang pergi meninggalkan kompleks transmigrasi. Pembeli lahan transmigran yang pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki tidak hanya pendatang yang menetap di wilayah tersebut. Pemilik modal yang berdomisili di Kabupaten Banjar juga membeli lahan transmigran. Hal ini sesuai dengan penuturan informan, yakni Pak SRI (46 tahun): “Sejak adanya wacana pembangunan kebun plasma, orang luar seperti Banjar dan sekitarnya banyak yang membeli lahan transmigran dan lahan kapling. Dari seluruh lahan yang ditinggal pergi pemiliknya, sekitar 25 persen yang mengalami ganti rugi. 10 persen diganti rugi orang-lokal dan transmigran lokal seperti Pak EDS, 10 persen diganti rugi oleh orang luar tadi, dan 5 persen di ganti rugi oleh sesama transmigran atau pendatang.” Status kepemilikan lahan UPT Simpang Nungki secara umum belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar transmigran yang berasal dari daerah sekitar Simpang Nungki meninggalkan lahan transmigrasi tanpa adanya pemindahan kepemilikan, sehingga hak milik lahan masih atas nama transmigran tersebut. Hal tersebut dikarenakan masyarakat lokal lebih nyaman untuk tinggal di daerah asal dengan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan wilayah UPT yang baru dibuka. Sebagian transmigran yang kembali ke daerah asal tidak bisa menjual lahan karena peraturan dan ketentuan terkait transmigrasi menyebutkan bahwa peralihan kepemilikan lahan transmigran di bawah 10 tahun merupakan hal yang illegal. Selain itu, pembeli kurang berminat membeli lahan transmigrasi
40
yang belum bersertifikat. Namun beberapa kasus proses transfer kepemilikan lahan transmigran tetap berlangsung. Sistem transfer kepemilikan yang ada di Desa Simpang Nungki umumnya waris dan ganti rugi. Sistem waris yang dilakukan di Desa Simpang Nungki adalah sistem waris yang sesuai dengan aturan agama Islam, karena seluruh masyarakat Desa Simpang Nungki beragama Islam. Pada wilayah transmigrasi sistem transfer kepemilikan yang umum dilakukan adalah ganti rugi. Data di lapang menyatakan bahwa hampir 25 persen lahan transmigrasi sudah mengalami pindah kepemilikan. Proses transfer kepemilikan lahan transmigrasi ini terjadi secara sembunyi-sembunyi. Harga lahan pada masa ini sudah semakin tinggi baik lahan transmigran maupun lahan kapling. Lahan transmigran yang sudah memiliki sertifikat memiliki harga sekitar Rp 3.500.000,- sampai Rp 5.000.000,- sesuai dengan keadaan lahan. Wacana pembangunan kebun plasma perusahaan dan dibangunnya jalan antar kabupaten membuat daya tarik bagi pemilik modal di luar Desa Simpang Nungki untuk membeli lahan masyarakat. 5.2.3 Sistem Kelembagaan (Tenancy System) Sistem kelembagaan terkait dengan penguasaan lahan melalui sistem bagi hasil tidak mengalami perubahan pada masa ini. Namun, minat masyarakat untuk menggarap lahan dengan sistem bagi hasil mulai menurun. Masyarakat terutama transmigran lebih memilih untuk menjadi buruh lepas di perkebunan kelapa sawit. Upah menjadi buruh lepas perkebunan sekitar Rp 37.000,- sampai Rp 47.000,- per hari. Perkebunan besar swasta harus bersaing dalam mendapatkan tenaga kerja karena banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan perkebunan sedangkan jumlah penduduk yang masih terbatas. PT PBB memiliki mekanisme tersendiri dalam menerima pekerja perkebunan. Para calon buruh harus mendaftar dulu melalui pembakal (kepala desa) untuk mendapatkan rekomendasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya pekerja yang tidak bertanggung jawab. Namun mekanisme ini justru membuat masyarakat lebih memilih bekerja di PT ABS yang letaknya lebih jauh. Karena upah buruh PT PBB yang masuk melalui pembakal harus dipotong sebagai uang jasa yang akan diberikan kepada pembakal. Potongan upah tersebut sekitar Rp 13.000,- per orang. Sehingga pekerja hanya menerima upah sebesar Rp 30.000,-
41
saja. Sedangkan di PT ABS upah yang didapatkan sebesar Rp 47.000,- tanpa harus ada potongan. Hal sesuai dengan penuturan EDS (50 tahun) di bawah ini13. “PT PBB itu, sekarang kebingungan mencari buruh, karena masyarakat sini pindah ke PT ABS yang upahnya lebih besar karena tidak ada potongan. Hari Jumat yang cuma kerja setengah hari upahnya juga tetap penuh. Yah resikonya harus berangkat lebih pagi, tapi dari perusahaan disediakan klotok yang mengantar jemput dari sungai besar sana. Jadi enak tidak perlu mengeluarkan biaya lagi.” Rancana pembangunan kebun plasma di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki memerlukan beberapa sarana dan prasarana khusus yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Salah satu sarana yang penting adalah koperasi anggota yang akan bertanggung jawab pada penjualan Tanda Buah Segar (TBS) petani plasma ke perusahaan. Saat ini, struktur koperasi sudah terbentuk dan sudah memiliki badan hukum. Namun, kesepakatan-kesepakatan baik antara koperasi dengan perusahaan maupun antara koperasi dengan anggota terkait kebun plasma belum dibuat. Persiapan-persiapan yang dilakukan untuk mempersiapkan pembangunan plasma adalah pendataan anggota koperasi yang akan memplasmakan lahannya. Penandatanganan kesepakatan terkait kebun plasma anatara perusahaan dengan koperasi dan petani belum dapat dilaksanakan karena sertifikat tanah masyarakat belum semua turun. Proses masuknya komoditas kelapa sawit dalam masyarakat transmigran Simpang Nungki adalah pertanda masuknya moda produksi yang lebih modern dan kompleks. Perubahan komoditas yang disertai perubahan komoditas produksi tersebut berjalan perlahan seiring pelaksanaan program plasma. 5.2.4 Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan pertanian masyarakat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki mengalami pergeseran yang cukup signifikan sejak masuknya komoditas kelapa sawit. Perubahan komoditas pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit lebih besar dibandingkan komoditas perkebunan yang lebih dulu masuk yakni karet. Masyarakat yang awalnya menanam padi, palawija, dan 13
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat pada tanggal 20 April 2011.
42
jeruk mulai menanam bibit kelapa sawit di lahan yang belum digarap. Beberapa petani menanam kelapa sawit dan jeruk di lahan yang sama karena perawatan lahannya tidak jauh berbeda. Berikut disajiakan data perubahan komoditas pertanian masyarakat berdasarkan tahun. Tabel 5.5 Jumlah Petani Kelapa Sawit Berdasarkan Tahun, 2005 - 2010 Tahun
Jumlah
Persentase (%)
2005
0
0
2006
2
2,78
2007
18
25,00
2008
27
37,50
2009
21
29,17
2010
4
5,55
Jumlah
72
100,00
Masyarakat yang memutuskan untuk menanam kelapa sawit di lahannya sebagian besar juga menanam komoditas lain yang lebih cepat menghasilkan. Misalnya saja kelapa sawit dan palawija, padi, atau jeruk. Hal itu dilakukan masyarakat untuk menunjang kebutuhan sehari-hari karena masa panen kelapa sawit dapat dinikmati setelah empat tahun masa tanam. Mayoritas petani yang menanam sawit pada masa ini adalah transmigran pendatang. Transmigran lokal lebih memilih untuk menanam komoditas yang telah biasa ditanam. Transmigran lokal lebih memilih untuk menjual bibit sawit dan pupuk yang didapat dari program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Lahan pertanian masyarakat UPT Simpang Nungki banyak yang dibirakan menganggur atau tidak digarap karena serangan hama tikus yang merusak kebun kelapa sawit warga saat air pasang. Modal yang besar untuk menanam kelapa sawit secara mandiri memberatkan warga. Begitu juga dengan komoditas pertanian selain kelapa sawit. Kesuburan tanah yang semakin menurun dan iklim yang tidak berubah-ubah membuat perawatan lahan pertanian semakin mahal. Keadaan tersebut membuat warga dengan modal kecil lebih memilih menjadi buruh lepas perkebunan dibandingkan menggarap lahannya.
43
Gambar 4. Minat Petani Terhadap Program Plasma Minat masyarakat akan semakin besar untuk membuka kebun kelapa sawit. Permasalahan tidak adanya modal atau pengetahuan tatacara perawatan kebun yang baik dan alur proses hasil produksi pasca kebun dapat diatasi dengan program plasma-inti. Berdasarkan survei yang dilakukan kepada transmigran yang tinggal di UPT Simpang Nungki, seratus persen masyarakat mengaku sangat berminat untuk beralih komoditas menjadi kelapa sawit. Sedangkan tidak semua petani berminat untuk mengikuti program plasma seperti dijelaskan pada gambar 4 di atas. Data di atas menjelaskan bahwa hampir semua masyarakat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki berminat dan berencana untuk menikuti program plasma yang diselenggarakan oleh PT PBB. Masyarakat yang tidak berminat memplasmakan lahannya hanya sekitar 13% saja. Mayoritas masyarakat yang tidak berminat untuk memplasmakan lahannya adalah petani yang telah membangun perkebunan kelapa sawit secara mandiri. Masyarakat rata-rata memiliki modal yang cukup untuk membangun dan merawat kebunnya sendiri. Masyarakat beranggapan bahwa keputusan bergabung dengan program plasmainti akan merugikan petani karena kredit yang diajukan oleh perusahaan sangat memberatkan.
44
5.3 Pasca Masuknya Komoditas Kelapa Sawit (Akhir 2011) dan Perubahan Agraria Lokal 5.3.1 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial System) Masyarakat telah mengenal komoditas kelapa sawit dengan sangat baik pada masa ini. Transmigran telah mendapatkan sertifikat sebagai bukti kepemilikan resmi atas lahan yang didapatkan dari program transmigrasi. Kebun plasma juga sudah dibangun. Kepemilikan lahan oleh orang luar atau pemodal juga semakin terlihat. Program plasma-inti kelapa sawit menarik perhatian pemilik modal yang berasal dari luar wilayah Simpang Nungki bahkan dari luar Kabupaten Barito Kuala untuk memiliki lahan dan ikut menjadi bagian dalam program tersebut. Masuknya komoditas baru membawa perubahan terhadap hubungan produksi masyarakat yang lebih modern dan kompleks. Perubahan ini ditandai dengan masuknya pendatang ke Desa Simpang Nungki yang berprofesi sebagai buruh perkebunan. Pendatang yang bermatapencaharian tunggal sebagai buruh adalah salah satu penanda bahwa struktur agraria masyarakat terdiferensiasi ke dalam lebih banyak lapisan. Lapisan struktur agraria juga bertambah dengan munculnya sektor jasa atau profesi non petani dalam hubungan produksi masyarakat seperti penyedia saprotan, pedagang pengumpul, dan sebagainya. Perubahan moda produksi pertanian masyarakat menjadi moda produksi kapitalis yang padat modal menimbulkan tekanan bagi petani bermodal kecil. Dampak lain dari perubahan moda produksi pertanian adalah munculnya golongan tunakisma di wilayah tersebut. Proses tansfer jual beli akan banyak terjadi pada saat proses pembangunan kebun plasma. Jeda waktu antara pembagian sertifikat lahan dan pendaftaran peserta program plasma akan memberi kesempatan bagi para pemodal bagi dari luar maupun sekitar Desa Simpang Nungki untuk mengganti rugi lahan transmigran. Pada saat ini harga lahan sudah semakin tinggi dibandingkan pada periode masuknya komoditas kelapa sawit. Harga lahan akan semakin tinggi saat
45
lahan telah dikonversi dan kebun kelapa sawit sudah dapat menghasilkan. Seperti diungkapkan oleh EDS ( 50 tahun) dibawah ini14. “Harga tanah pasti akan meningkat karena kebun sawit kan sudah ada jadi lebih meyakinkan. Apalagi nanti pasti sudah bersertifikat semua. Sekarang saja orang luar dari Banjar sudah banyak yang membeli tanah disini. Hari ini saja (pada saat wawancara) saya mau mengantar orang melihat tanah. Yang perlu dikhawatirkan kan orang kampung, harga tanah naik sedikit saja mereka sudah ingin menjualnya. Nah natinya kan mereka hanya bisa jadi penonton di tanahnya sendiri.” Program plasma memiliki ketentuan minimal luas lahan yang harus dimiliki oleh peserta program. Jika dilihat dari kepemilikan lahan masyarakat UPT Simpang Nungki saat ini, maka ada satu kepala keluarga yang tidak dapat mengikuti program tersebut karena luas lahannya hanya 0,5 hektar dengan kata lain transmigran ini sudah tidak memiliki lahan usaha. Tekanan yang ada akan membuat petani bermodal kecil dan berlahan sempit tersebut menjual lahannya jika tidak mampu bertahan dan beradaptasi. Namun, jika petani mampu beradaptasi maka lahan yang dimiliki dapat dipertahankan. Lahan plasma akan di konversi dalam waktu sekitar empat tahun. Selama empat tahun, petani harus mencari nafkah selain dari lahannya. Pada masa ini, petani plasma banyak yang bekerja sebagai buruh lepas perusahaan. Proses transfer kepemilikan lahan sulit dilakukan pada masa ini karena sertifikat lahan diserahkan pada bank untuk memeroleh kredit. Namun, bagi petani dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah tekanan untuk menjual lahan tetap besar. Kebutuhan yang besar dan harga tanah yang tinggi menjadi tekanan bagi petani untuk menjual lahannya. Mekanisme transfer kepemilikan lahan dan kebun plasma di sesuaikan dengan kondisi yang ada. 5.3.2 Sistem Kelembagaan (Tenancy System) Sistem kelembagaan yang ada mulai mengalami perubahan pada masa ini, misalnya sistem kelembagaan bagi hasil yang sulit diterapkan karena hampir semua lahan masyarakat telah diikutsertakan dalam program inti-plasma kelapa sawit. Sistem kelembagaan yang semakin berkembang adalah sistem kelembagaan koperasi. Koperasi adalah satu-satunya kelembagaan legal yang menjadi perantara 14
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat pada tanggal 30 April 2011
46
petani plasma dengan perusahaan. Aturan-aturan yang semakin kompleks dibuat seiring perkembangan kondisi. Pada umumnya, setelah lahan dikonversi akan muncul sistem kelembagaan informal yakni pedagang pengumpul atau biasa di sebut tengkulak. Pada beberapa kasus munculnya kelembagaan tengkulak ini akan merugikan koperasi sehingga dianggap sebagai permasalahan bagi sistem kerjasama yang telah ada antara petani, koperasi dan perusahaan. Namun, permasalahan tengkulak ini menjadi masalah yang sulit dipecahkan karena tak jarang melibatkan tokoh masyarakat atau orang terpandang di wilayah tersebut. Hal ini seperti penjelasan SHT (45 tahun) di bawah ini15. “Sekarang saja sudah ada yang ingin membuat koperasi tandingan, apalagi nanti saat kebun plasma sudah jalan dan menghasilkan. Pasti banyak pihak yang juga ingin mendapatkan keuntungan lebih. Yah, semoga apapun masalahnya bisa diselesaikan dengan baik.” Kelembagaan lain yang terbentuk adalah kelembagaan penyedia jasa dan sarana produksi pertanian masyarakat. Seperti penyedia jasa penyewaan truk, pupuk, mesin pertanian dan lain-lain. 5.3.3 Pemanfaatan Lahan Persiapan pembangunan kebun plasma dilakukan pada periode ini. Pendataan anggota dan penandatanganan kesepakatan antara perusahaan dengan koperasi selaku perwakilan petani kelapa sawit telah dilakukan. Perubahan komoditas pertanian masyarakat sangat terlihat di UPT Simpang Nungki. Komoditas pertanian masyarakat yang lama seperti padi, karet, jeruk, dan palawija diganti dengan komoditas kelapa sawit. Seiring berjalannya waktu, pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam membangun dan merawat kebun kelapa sawit meningkat. Tingginya minat masyarakat terhadap kelapa sawit dapat dilihat dari pemanfaatan lahan pekarangan transmigran yang kemudian juga ditanami kelapa sawit. Perubahan pemanfaatan lahan menjadi kebun kelapa sawit akan berpengaruh pada pasokan beras dan komoditas lain seperti palawija dan jeruk di Barito Kuala.
15
Hasil wawancara dengan sekretaris Kecamatan Cerbon pada tanggal 29 April 2011
47
5.4 Keberhasilan Program Transmigrasi Keberhasilan program transmigrasi dapat dilihat dari kesesuaian antara tujuan dari program transmigrasi dan capaian di lapangan. Tujuan awal program transmigrasi adalah mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau lain. Perubahanperubahan yang telah di jelaskan sebelumnya melalui periodisasi jenis komoditas pertanian masyarakat dapat membantu menjelaskan keberhasilan program transmigrasi di lapangan. Transmigrasi memberikan kesempatan pada masyarakat golongan menengah ke bawah untuk memiliki lahan dan mengusahakannya di wilayah tujuan transmigrasi. Lapangan kerja banyak tersedia di wilayah baru tersebut baik untuk menggarap lahan yang diberikan maupun untuk bekerja di sektor-sektor lain di sekitar wilayah transmigrasi. Jika di lihat sekilas, maka tujuan transmigrasi sudah tercapai. Namun, kenyataan lapang menjelaskan fakta yang berbeda. Transmigran umumnya memiliki pendidikan yang rendah (berdasarkan syarat menjadi transmigran) dengan ketrampilan terbatas. Kesempatan kerja yang tersedia untuk transmigran umumnya hanya pada lapisan bawah, misalnya sebagai buruh perkebunan dan pekerja bangunan. Kondisi lingkungan yang berbeda dengan daerah asal menjadi hambatan bagi transmigran untuk mendapatkan hasil besar dari lahan pertaniannya. Minimnya sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah juga mendorong kegagalan transmigran. Hal ini dibuktikan data lapang bahwa lebih dari 50 persen transmigran telah pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki. Transmigran sebagai orang baru di wilayah tujuan transmigrasi umumnya sulit membangun jejaring dengan pihak-pihak yang memiliki posisi strategis. Hal-hal tersebut membuat transmigran sulit berkembang, seperti pendapat Pak EDS (50 tahun) berikut: “Transmigran biasanya sulit berkembang di masa awal kedatangannya,
Ding.
Yah
memang
begitulah
keadaannya, dengan ketrampilan terbatas mereka ga bisa memasuki sektor-sektor yang lebih tinggi. Ada satu yang diterima sebagai pegawai negeri kabupaten karena
48
pendidikannya tinggi. Tapi yang lain kan umumnya rendah. Selain itu, kalo ada masalah misalnya modal atau yang lainnya mereka juga bingung mau minta bantuan ke siapa. Padahal asal ada kemauan aja banyak yang mau membantu tapi ya susah. Biasanya keadaan mereka membaik saat sudah di bangun plasma kelapa sawit seperti di daerah lain” Tekanan yang datang membuat transmigran tidak memiliki pilihan lain bagi transmigran yang minim akses dan jejaring selain menjual lahan kepada pemodal yang ingin bergabung dengan program plasma. Petani yang mampu bertahan juga tidak memiliki pilihan selain bergabung dengan plasma perusahaan yang ditentukan pemerintah. Pembentukan lapisan baru sebagai petani tak berlahan pada periode ketiga (akhir 2011) menunjukkan bahwa pemerintah sebagai penyelenggara program transmigrasi tidak mampu membantu transmigran mengatasi masalah. Pola yang terbentuk pada akhirnya tak jauh berbeda dengan keadaan di Jawa bahwa yang memiliki modal yang dapat bertahan dan berkembang. Hal ini membuktikan bahwa tujuan transmigrasi belum tercapai. 5.5 Ikhtisar Dinamika struktur agraria di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki dibagi dalam tiga periodisasi, yakni periode pra masuknya komoditas kelapa sawit, periode proses masuknya komoditas kelapa sawit dan pasca masuknya komoditas kelapa sawit. Masa pra masuknya komoditas kelapa sawit terjadi pada tahun 2005 sampai 2006. Masa ini adalah masa awal kedatangan transmigran di UPT Simpang Nungki karena transmigran masuk ke UPT Simpang Nungki dalam tiga tahap yakni pada tahun 2005, 2006, dan 2007. Perubahan struktur agraria belum terlalu banyak. Hal ini disebabkan sertifikat lahan masyarakat belum turun dan ketentuan transmigrasi tidak mengizinkan pemindahan kepemilikan lahan transmigrasi sebelum kurun waktu 10 tahun. Namun, proses pemindahan kepemilikan dan kasus perginya transmigran tetap terjadi. Lebih dari 50 persen transmigran yang berasal dari luar Pulau Kalimantan maupun transmigran lokal asal Kalimantan Selatan pergi meninggalkan kompleks transmigrasi dengan berbagai alasan seperti kurangnya sarana dan prasarana,
49
lahan yang kurang subur, dan sebagainya. Mayoritas transmigrasi pergi meninggalkan lahan dan tempat tinggalnya tanpa menjual lahan. Sistem transfer kepemilikan banyak terjadi pada lahan kapling yang dimiliki masyarakat lokal. Sistem kelembagaan yang ada pada periode ini adalah kelembagaan bagi hasil yang mengatur tentang aturan lahan garapan. Pada periode ini komoditas pertanian yang ditanam oleh masyarakat pada umumnya adalah padi, palawija, dan jeruk. Masa proses masuknya komoditas kelapa sawit terjadi pada tahun 2006 akhir sampai saat ini tahun 2011. Periode ini ditandai dengan beroperasinya dua perusahaan besar swasta yang bergerak dalam bidang usaha perkebunan kelapa sawit di sekitar Desa Simpang Nungki. Program dan kebijakan pemerintah terkait pengembangan program kelapa sawit juga menjadi penanda periode ini dimulai. Proses transfer kepemilikan terjadi pada masa ini. Harga lahan pertanian semakin tinggi terlebih untuk lahan yang telah bersertifikat. Lahan yang mengalami pemindahan kepemilikan sekitar 25 persen dari jumlah lahan transmigran yang pergi. Proses transfer kepemilikan ini terjadi melalui sistem ganti rugi dan terjadi dalam dua periode yakni masa pra masuknya komoditas kelapa sawit dan masa proses masuknya komoditas kelapa sawit. Sistem kelembagaan yang ada hampir sama dengan periode sebelumnya yakni kelembagaan bagi hasil dalam pengaturan lahan garapan. Kelembagaan baru yang muncul pada masa proses masuknya komoditas kelapa sawit adalah koperasi. Komoditas pertanian yang ditanam masyarakat sudah mulai berubah. Sekitar 50 persen kepala keluarga mulai menanam kelapa sawit pada masa ini. Pada peride pertama dan kedua, struktur agraria masyarakat belum mengalami perubahan yang besar. Seluruh kepala keluarga Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki memiliki lahan pertanian. Status sosial masyarakat terdiferensiasi ke dalam beberapa jenis lapisan yakni petani pemilik, petani pemilik+penggarap, petani pemilik +buruh tani, dan petani pemilik+penggarap+buruh tani. Periode pasca masuknya komoditas kelapa sawit ditandai dengan disepakatinya perjanjian-perjanjian terkait kebun plasma masyarakat dan mulai dibangunnya kebun plasma di UPT Simpang Nungki. Pendatang juga mulai masuk ke Desa Simpang Nungki untuk mengadu nasib. Sistem transfer
50
kepemilikan melalui ganti rugi banyak terjadi. Harga lahan yang semakin tinggi tidak menghilangkan minat pemodal untuk memiliki lahan yang akan diplasmakan. Proses transfer kepemilikan ini diperkirakan banyak terjadi pada masa jeda antara pembagian sertifikat transmigran dengan penetapan peserta program plasma. Masuknya buruh-buruh perkebunan baru dan proses trannsfer kepemilikan lahan akan mencetak tunakisma baru yang akan menambah lapisanlapisan dalam struktur agraria masyarakat UPT Simpang Nungki. Proses di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara dinamika struktur agraria dengan perubahan komoditas pertanian sehingga hipotesis 3 diterima. Kondisi transmigran setelah terjadi perubahan-perubahan menunjukkan bahwa program transmigrasi belum berhasil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat yang dapat bertahan dan semakin sejahtera adalah masyarakat yang memiliki modal dan posisi yang baik sejak awal.
51
BAB VI FAKTOR – FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Harga pasaran yang tinggi dan relatif stabil memberikan daya tarik tersendiri bagi pemerintah dan pengusaha. Perkembangan industri kelapa sawit di Indoensia sangat pesat. Keadaan ini membawa peluang bagi pemerintah untuk membuat kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut direalisasikan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian No.26 Tahun 2007 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan bahwa setiap perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit wajib memiliki plasma minimal 20 persen dari luas HGU. Keberhasilan program pengembangan kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat di beberapa daerah dengan meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat menambah daya tarik komoditas kelapa sawit. Pemerintah daerah Barito Kuala khususnya dan Kalimantan Selatan pada umumnya telah menetapkan program-program terkait dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat melalui program revitalisasi perkebunan.
Program
revitalisasi
perkebunan
adalah
upaya
percepatan
pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan, dan rehabilitasi tanaman perkebunan. Pelaksanaan program ini merupakan bentuk kerjasama dari beberapa pihak. Perbankan sebagai pihak penyedia kredit investasi, pemerintah sebagai fasilitator yang memberikan dukungan dan subsidi bunga, perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Pelaku utama dalam program ini adalah masyarakat sebagai peserta program dan pemilik lahan perkebunan.
52
Peraturan dan kebijakan yang mendukung program revitalisasi perkebunan antara lain: 1. Peraturan Menteri Pertanian RI, No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tanggal 26 Juli 2006, tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan; 2. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI, No.490/Kpts/OT.160/8/2006 tanggal 24 Agustus 2006, tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program Revitalisasi; 3. Peraturan Menteri Keuangan RI, No: 117/PMK.06/2006 tanggal 30 Nopember 2006, tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP); 4. Perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Departemen Keuangan RI dengan BRI No. PKP-01/KPEN-RP/DP3/2006 tanggal 20 Desember 2006; 5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/MENHUT-II/2007 tentang Perubahan Kedua atas KepMenHut No.292/KPTS-II/1995, tentang Tukar Menukar Kawasa Hutan; 6. Surat Menteri Keuangan RI NO. S-313/MK.05/2007 Tentang subsidi bungan KPEN-RP; 7. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3817-310.21-D.II tanggal 6 Desember 2007 tentang Standar Satuan Biaya Sertifikat Hak Milik Program Revitalisasi Perkebunan; 8. SK. Dirjend Perkebunan No135/Kpts/RC.110/10/2008 tgl 14 Oktober 2008 tentang Satuan Biaya Pembangunan Kebun Peserta Revitalisasi Perkebunan; 9. Surat Edaran No. 40-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang KPEN-RP dengan Pola Kemitraan; dan 10. Surat Edaran NO.41-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang KPEN-RP dengan Pola Non Kemitraan. Peraturan dan kebijakan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah daerah Kalimantan Selatan dan Barito Kuala untuk membuat program-program terkait pengembangan kelapa sawit. Seperti dijelaskan sebelumnya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Tingkat II Barito Kuala bekerjasama dengan Dinas
53
Perkebunan Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan memiliki beberapa program terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit. Program tersebut seperti sosialisasi tentang perkebunan kelapa sawit, pembagian bibit bersertifikat serta bantuan pupuk. Beberapa wilayah yang menjadi tujuan program pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah adalah desa-desa yang berada di sekitar perusahaan besar seperti Kecamatan Wanaraya, Cerbon, Jejangkit, dan lain-lain. Program pengembangan kebun kelapa sawit di Kecamatan Cerbon khususnya Desa Simpang Nungki dilaksanakan pada tahun 2007. Peserta program ini adalah transmigran yang kedatangannya pada tahun 2005 dan 2006. Beberapa sumber berpendapat bahwa tingkat keberhasilan dan keberlanjutannya hanya sekitar 50 persen saja. Namun, jika dilihat dari keadaan yang ada di lapangan, program tersebut telah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perkebunan kelapa sawit maupun proses produksinya. Berikut data reponden yang mengikuti program tersebut. Tabel 6.1 Rumah Tangga Peserta Program Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Kategori Peserta Membangun kebun Tidak membangun kebun Jumlah
Jumlah KK 65 32 97
Persentase (%) 67,01 32,99 100,00
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa dari seluruh peserta program yang masih betahan di UPT Simpang Nungki lebih dari 50 persen membangun kebun kelapa sawit. Sisanya sekitar 32 persen tidak membangun kebun kelapa sawit. Sebagian besar dari peserta program yang tidak membangun kebun kelapa sawit adalah transmigran lokal yang lebih memilih untuk menjual bibit dan pupuk yang didapat dari program tersebut untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Karena transmigran lokal berpendapat bahwa kebun kelapa sawit masih kurang menguntungkan, perawatannya lebih susah dan mahal, dan pengetahuan tentang pelaksanaan kebun kelapa sawit yang masih rendah. Hal ini berbeda dengan transmigran yang berasal dari luar Provinsi Kalimantan Selatan yang telah lebih dulu mengenal perkebunan kelapa sawit. Mayoritas transmigran pendatang membangun kebun kelapa sawit dengan fasilitas yang diberikan oleh Dinas
54
Kehutanan dan Perkebunan. Hal ini sesuai dengan penuturan Pak BNA (38 tahun) di bawah ini16. “Masyarakat lokal umumnya susah menerima hal baru, yah makanya susah maju. Oleh karena itu, programprogram seperti ini biasanya di lakukan di wilayah transmigrasi. Diharapkan masyrakat lokal nantinya dapat melihat keberhasilan transmigran dan mau menirunya. Program ini dilaksanakan di Desa Simpang Nungki sekitar tahun 2007, dan kebanyakan yang mau menanam kelapa sawit kan transmigran dari luar Kalimantan. Tahun ini juga ada lagi program serupa di UPT Desa Sawahan dan di Wanaraya karena memang program utama Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan kan pengembangan komoditas perkebunan kelapa sawit ini.”
6.2 Faktor Internal Masyarakat 6.2.1 Tingkat Pengetahuan Komoditas kelapa sawit merupakan hal yang baru bagi sebagian besar masyarakat Simpang Nungki. Pengetahuan masyarakat tentang kelapa sawit diperoleh dari berbagai sumber yakni program penyuluhan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabuapten Barito Kuala yang dilaksanakan pada tahun 2007, hasil interaksi dengan petani daerah lain yang telah lebih dahulu menanam kelapa sawit, dan dari tata cara penanaman perusahaan tempat masyarakat bekerja sebagai buruh lepas. Kecamatan Cerbon memiliki program studi banding ke Kecamatan Pelaihari yang telah terlebih dahulu berhasil dalam bidang perkebunan kelapa sawit. Program ini diikuti oleh beberapa petani dan pengurus koperasi dari desa-desa di wilayah Kecamatan Cerbon termasuk Desa Simpang Nungki. Tingkat pengetahuan masyarakat dilihat dari pengetahuan tentang keuntungan dan kerugian komoditas kelapa sawit, pengetahuan tengan proses pembangunan kebun kelapa sawit, perawatan kebun kelapa sawit, dan pengetahuan tentang proses pasca produksi atau pasca kebun. Berikut data tingkat pengetahuan masyarakat Unit Pemukiman (UPT) Simpang Nungki.
16
Pak BNA adalah pegawai Dinas Perkebunan Kabupaten Barito Kuala. Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011.
55
Tabel 6.2 Rumah Tangga Menurut Tingkat Pengetahuan Petani UPT Simpang Nungki, Kec. Cerbon, Kab. Barito Kuala, 2011 Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah KK 37 29 68 134
Persentase (%) 27,61 21,64 50,75 100,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat UPT Simpang Nungki sebagian memiliki pengetahuan yang tinggi tentang tatacara pembangunan kebun, perawatan kebun dan juga memiliki pandangan yang baik terhadap perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang memiliki pengetahuan tinggi mayoritas adalah adalah transmigran yang masuk pada tahun 2005 dan 2006 yang menjadi peserta program pengembangan kebun kelapa sawit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sedangkan masyarakat dengan pengetahuan rendah adalah transmigran dengan tahun kedatangan 2007. Pengetahuan yang diperoleh transmigran tidak hanya berasal dari luar individu (eksternal) melainkan juga dari pengalaman setelah mencoba sesuatu. Beberapa transmigran pernah merantau ke wilayah lain dengan komoditas kelapa sawit. Sehingga memiliki pengetahuan lebih dibanding transmigran lokal. Hal ini sesuai dengan penuturan Pak Sri (46 tahun) di bawah ini17. “Beberapa transmigran memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kebun kelapa sawit seperti Pak TRT. Dia sudah pernah merantau ke beberapa tempat seperti Sampit dan lain-lain sebelum ikut program transmigrasi. Kebetulan di sana komoditas yang diusahakan juga kelapa sawit. Makanya kebun kelapa sawit milik Pak TRT bagus. Kalo yang lain-lain seperti saya kan coba-coba dan ikut-ikut saja” Hubungan erat yang dimiliki antar transmigran membuat informasi mudah menyebar. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi akan menyebarkan pengetahuan yang dimiliki kepada masyarakat lain yang memiliki minat sama terhadap kelapa sawit. Hal ini menyebabkan tingkat pengetahuan masyarakat senantiasa meningkat seiring berjalannya waktu. Pengetahuan yang didapatkan masyarakat dari hasil mencoba juga akan disebarkan kepada masyarakat lain. Hal 17
Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 12 Mei 2011
56
ini terlihat dari cara penanaman sawit yang di lakukan oleh masyarakat Simpang Nungki. Menurut materi yang diberikan Dinas Perkebunan cara penanaman kelapa sawit di daerah berlahan gambut adalah dengan membuat gundukan sehingga
keasaman
tanah
dapat
berkurang.
Hal
tersebut
tidak
dapat
diimplementasikan oleh masyarakat karena jika angin besar maka pohon-pohon sawit akan tumbang. Kondisi tersebut membuat masyarakat menemukan solusi yakni dengan merendahkan gundukan dan membangun saluran air tiap pohon disekitar gundukan sehingga rendahnya gundukan tidak membuat tanah asam. Pengetahuan pemakaian pupuk yang pas juga didapat dari hasil mencoba atau eksperimen di lapangan. Banyak faktor yang menyebabkan materi-materi yang diberikan dinas tidak dapat diimplementasikan di lapangan. Namun tidak banyak petani yang senantiasa mencoba cara-cara baru untuk mencari jalan keluar dari permasalahan kebunnya. Sebagian besar masyarakat hanya menunggu atau melihat petani lain menemukan cara-cara yang lebih sesuai dan menirunya. 6.2.2 Tingkat Kepemilikan Modal Masyarakat UPT Simpang Nungki sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani (termasuk buruh lepas perkebunan kelapa sawit). Pendapatan yang didapat, sebagian diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian disimpan sebagai modal pertanian pada masa tanam selanjutnya. Biaya yang dikeluarkan untuk kebun kelapa sawit berbeda dengan komoditas pertanian yang lain. Modal untuk membangun dan merawat kebun kelapa sawit jumlahnya jauh lebih besar. Oleh karena itu perlu kesiapan khusus terutama modal untuk membangun kebun kelapa sawit. Biaya pembangunan dan perawatan kebun didaerah berlahan gambut selama kelapa sawit belum dipanen sekitar empat puluh juta rupiah. Jumlahnya jauh lebih besar daripada kebun kelapa sawit yang dibangun di daerah dataran tinggi seperti sebagian besar Pulau Sumatera. Tingkat kepemilikan modal memiliki hubungan yang tidak langsung dengan minat petani terhadap kebun kelapa sawit. Beberapa transmigran dengan minat tinggi mendapat tambahan modal membangun kebun dengan menjual aset yang dimiliki di daerah asal atau meminjam dari kerabat. Berikut data kepemilikan modal masyarakat untuk membangun dan merawat kebun kelapa sawit.
57
Tabel 6.3 Rumah Tangga Menurut Tingkat Kepemilikan Modal Pembangunan dan Perawatan Kebun Kelapa Sawit UPT Simpang Nungki, Kec. Cerbon, Kab. Barito Kuala, 2011 Tingkat Kepemilikan Modal Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah KK 30 64 40 134
Persentase (%) 22,39 47,76 29,85 100,00
Transmigran peserta program pengembangan perkebunan kelapa sawit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan mendapatkan bantuan modal untuk pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit. Bantuan berupa bibit kelapa sawit bersertifikat, pupuk, bantuan dana pembersihan lahan, pemasangan anjir dan pembuatan gundukan sangat membantu petani dengan kepemilikan modal yang terbatas untuk membangun kebun kelapa sawitnya. Masyarakat dengan kepemilikan modal tinggi tidak hanya mampu membiayai proses produksi tetapi juga akan memperluas lahan yang dimilikinya. Lahan yang luas akan menghasilkan lebih banyak dan menambah modal yang dimiliki. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat dengan modal terbatas seperti kebanyakan transmigran yang harus mencari tambahan modal dengan pekerjaan tambahan atau meminjam uang dari pihak lain. Modal yang ada akan sulit bertambah bahkan akan terus berkurang untuk menutupi biaya produksi dan biaya hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan STB (44 tahun) di bawah ini18. “ Kebun kelapa sawit itu membutuhkan modal yang besar dek. Saya saja sudah menjual sapi saya di Jawa. Saya juga pinjam uang adik saya. Yah demi masa depan lah, kan nantinya kalo sudah menghasilkan, uang yang diterima juga banyak. Tapi yah itu, tikus dan kebakaran lahan pas kemarau beberapa waktu lalu membuat kebun masyarakat sini rusak semua. cuma beberapa yang bisa diselamatkan. Sekarang kan bibit kalau beli sendiri mahal. Saya saja sudah hampir habis 2,5 juta untuk beli bibit buat nambal sulam bibit yang rusak dimakan tikus. Yah kalau ga kuat modal ya ga bertahan kebunnya”
18
Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 3 Mei 2011
58
6.3
Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit Faktor internal yang terdiri dari tingkat pengetahuan dan tingkat
kepemilikan modal memiliki peran terhadap pembuatan keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit pada periode kedua (2006-2011) yakni periode masuknya komoditas kelapa sawit. Pada periode ketiga (akhir 2011) faktor internal sudah tidak berperan karena pada dasarnya transmigran tidak memiliki pilihan selain bergabung dengan plasma perusahaan. Tingkat pengetahuan masyarakat Unit Pemukiman Transmigran tentang kebun kelapa sawit dilihat dari beberapa aspek yakni: a) pengetahuan tentang keuntungan dan kerugian menanam kelapa sawit yang akan mempengaruhi minat petani, b) pengetahuan tentang tatacara pembukaan kebun, c) tatacara perawatan kebun, dan d) pengetahuan tentang proses pasca produksi atau pasca kebun. Tingkat pengetahuan yang tinggi pada empat hal di atas akan mempengaruhi keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit atau dapat disebut dengan beralih komoditas. Berikut tabel yang menjelaskan hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan keputusan membangun kebun dan keberlanjutan kebun tersebut. Tabel 6.4 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi
Tidak Membangun Kebun 20 19 23
Persen (%) 54,05 65,52 33,82
Keputusan Petani (KK) Membangun Membangun Persen Tidak Kebun (%) Bertahan Bertahan 11 29,73 6 6 20,69 4 20 29,41 25
Persen Persen Jumlah (%) (%) 16,22 13,79 36,76
37 100,00 29 100,00 68 100,00
Keterangan: Hasil Uji Korelasi Rank Spearman sebesar 0,278 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,001)
Tabel di atas menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat UPT Simpang Nungki dengan keputusan membuka kebun dan keberlanjutan kebun kelapa sawit tersebut. Sebagian besar masyarakat dengan pengetahuan rendah tidak membuka kebun. Hanya enam KK yang memiliki
59
pengetahuan rendah dan dapat bertahan. Hal tersebut dikarenakan tahun pembangunan kebun belum terlalu lama atau sekitar tahun 2009 dan 2010. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan sedang sebagian besar tidak membuka lahan. Sedangkan masyarakat dengan tingkat pengetahuan perkebunan tinggi memiliki sebaran yang hampir merata pada ketiga keputusan yakni keputusan tidak membangun kebun, membangun kebun tidak bertahan, dan membangun kebun yang bertahan sampai sekarang. Sebagian besar masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi tidak membuka kebun dengan alasan tidak memiliki modal yang cukup. Modal awal yang didapatkan dari program pengembangan perkebunan kelapa sawit dari Dinas Perkebunan pada awal pengenalan terhadap komoditas kelapa sawit seperti bibit dan pupuk telah dijual karena minat terhadap kelapa sawit masih rendah. Keterbatasan modal juga menjadi masalah bagi masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi namun kebun kelapa sawit yang dibangunnya tidak dapat bertahan. Hal ini diperkuat dengan pendapat SHD (46 tahun) di bawah ini19. “Pengetahuan sangat berpengaruh terhadap keadaan kebunnya mbak. Karena yang punya pengetahuan tinggi kan tau apa yang harus dilakukan pada pohon kelapa sawit yang bermasalah. Kalo yang pengetahuannya rendah yah cuma ikut-ikut aja. Pas awal juga pengetahuan penting, banyak orang lokal tidak membangun kebun karena belum tahu kalo kelapa sawit itu menguntungkan” Uji korelasi menggunakan Rank Spearmen menunjukkan bahwa korelasi antara pengetahuan dengan keputusan membuka kebun dan keberlanjutannya adalah sebesar 0,278 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,001)
Hasil wawancara transmigran pada tanggal 15 April 2011
60
di mayoritas wilayah Kabupaten Barito Kuala memerlukan biaya yang lebih besar yakni sekitar 30-40 juta rupiah sampai kebun tersebut dapat berproduksi. Namun, masyarakat UPT Simpang Nungki memiliki keadaan yang berbeda, karena sebagian masyarakat pernah menjadi peserta program pengembangan perkebunan kelapa sawit yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan wilayah setempat. Bantuan yang diberikan tersebut meringankan beban biaya yang harus ditanggung petani dalam proses pembukaan dan perawatan kebun. Namun, beberapa kasus berbeda terjadi di masyarakat UPT Simpang Nungki. Masyarakat yang memiliki minat rendah untuk membangun kebun kelapa sawit memilih untuk menjual bibit dan pupuk yang diberikan oleh Dinas Perkebunan melalui program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kemudian, saat minat dan pengetahuan tentang perkebunan kelapa sawit meningkat, modal yang dimiliki tidak memadai untuk membangun dan merawat kebun tersebut. Hama tikus yang meningkat pada saat air pasang dan kebakaran lahan yang terjadi pada musim kemarau tahun 2008 dan 2009 menyebabkan banyak kebun kelapa sawit masyarakat rusak. Ketersediaan modal sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Berikut disajikan tabel yang menjelaskan hubungan antara tingkat
kepemilikan
modal
dengan
keputusan
pembukaan
kebun
dan
keberlanjutan kebun. Tingkat pengetahuan yang rendah dalam mengatasi masalah yang dihadapi petani juga membuat modal yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki keadaan kebun kelapa sawit semakin besar. Tabel 6.5 Hubungan antara Kepemilikan Modal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Tingkat Kepemilikan Modal Rendah Sedang Tinggi
Tidak Persen Membangun (%) Kebun 24 80,00 24 37,50 14 35,00
Keputusan Petani (KK) Membangun Membangun Persen Tidak Kebun (%) Bertahan Bertahan 1 3,33 5 21 32,81 19 15 37,50 11
Persen Persen Jumlah (%) (%) 16,67 29,69 27,50
30 100,00 64 100,00 40 100,00
Keterangan: Hasil Uji Korelasi dengan Rank Spearman sebesar 0,238 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,003)
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan petani membangun kebun tidak signifikan. Petani dengan tingkat kepemilikan modal rendah lebih memilih untuk tidak membangun kebun kelapa sawit. Hanya lima kelapa keluarga dengan tingkat kepemilikan modal
61
rendah namun kebun kelapa sawit yang dibangunnya dapat bertahan hingga saat ini. Hal itu dikarenakan waktu pembangunan kebun belum terlalu lama, sehingga kebun dapat bertahan hingga sekarang. Selain itu, beberapa transmigran meminjam modal kepada kerabat atau menjual aset yang dimiliki di daerah asal untuk terus memperbaiki kondisi kebun yang dibangunnya. Masyarakat pada kelompok tingkat kepemilikan modal sedang memiliki jumlah yang paling besar dibandingkan dua kelompok lain. Hal yang lebih berpengaruh terhadap keputusan dan keberlanjutan kebun kelapa sawit adalah akses terhadap modal yang dimiliki oleh petani. Akses terhadap modal dapat berupa akses kepada lembaga keuangan yang menyediakan modal, sehingga kebutuhan modal dapat selalu terpenuhi. Petani yang memiliki akses terhadap modal akan dapat membangun dan mempertahankan kebun kelapa sawit yang telah di bangun, walaupun pengetahuan dan modal yang dimiliki rendah. Sebagian kelompok masyarakat memilih untuk tidak membangun kebun. Alasan yang diungkapkan adalah karena tidak memiliki modal yang cukup untuk membangun dan merawat kebun, namun sebagian besar masyarakat dengan tingkat kepemilikan modal sedang memilih untuk membangun kebun walaupun sebagian tidak bertahan. Kebun yang tidak dapat bertahan disebabkan pengetahuan yang dimiliki kurang sehingga modal yang dimiliki tidak dapat digunakan untuk mempertahankan kebun yang telah dibangun. Hal serupa juga terjadi pada kelompok masyarakat dengan tingkat kepemilikan modal tinggi. Pada kelompok ini, kebun yang dimiliki sekitar 15 keluarga tidak dapat bertahan sampai sekarang. Pengetahuan yang rendah tetap menjadi alasan utama. Perasaan takut gagal setelah terjadi bencana kebakaran lahan dan serangan hama tikus setiap air pasang membuat masyarakat pada tingkat kepemilikan modal tinggi tidak memperbaiki kebun kelapa sawitnya. Bahkan, 14 kepala keluarga dengan tingkat kepemilikan modal tinggi memilih untuk tidak membangun kebun kelapa sawit. Hasil uji korelasi menggunakan rank spearman antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan membuka kebun sebesar 0,238 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,003)
62
memiliki hubungan yang kuat dan positif. Jika tingkat kepemilikan modal tinggi maka keputusan untuk membangun kebun kelapa sawit juga tinggi. Tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal merupakan faktor yang saling berkaitan. Berikut disajikan tabel hubungan antara faktor internal dengan keputusan petani. Tabel 6.6 Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Faktor Tidak Internal Membangun Kebun Rendah 26 Sedang 34 Tinggi 2
Persen (%) 76,47 40,48 12,50
Keputusan Petani (KK) Membangun Membangun Persen Tidak Kebun (%) Bertahan Bertahan 2 5,88 6 32 38,09 18 2 12,5 12
Persen Persen Jumlah (%) (%) 17,65 21,43 75,00
34 100,00 84 100,00 16 100,00
Keterangan: Hasil Uji Korelasi dengan Rank Spearman sebesar 0,397 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,000)
Tabel di atas menunjukkan bahwa faktor internal memiliki hubungan yang signifikan dengan keputusan petani membangun kebun kelapa sawit. Petani dengan tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal sedang lebih memilih untuk tidak membuka kebun atau membuka kebun namun tidak bertahan. Hasil uji korelasi Rank Spearman antara faktor internal dengan keputusan membuka kebun sebesar 0,397 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,000)
63
6.4 Ikhtisar Proses perubahan komoditas pertanian masyarakat Unit Pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki pada perode kedua (2006 – 2011) dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor eksternal masyarakat dan faktor internal. Faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hasil penelitian di UPT Simpang Nungki menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah sangat mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit di wilayah Barito Kuala pada umumnya dan Desa Simpang Nungki khususnya. Hal ini dapat dilihat dari izin usaha perusahaan besar swasta yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Barito Kuala dan Kalimantan Selatan untuk beroperasi di sekitar wilayah Simpang Nungki. Sekumpulan kebijakan yang dikeluarkan oleh berbagai departemen dan kementrian untuk mendukung dan mengatur berlangsungnya program revitalisasi perkebunan. Program-program Dinas Kehutanan dan Perkebunan terkait program pengembangan perkebunan kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat juga sangat berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan dan minat masyarakat terhadap kelapa sawit. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa hipotesis 2 “faktor eksternal memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian” diterima. Faktor internal terdiri dari tingkat pengetahuan masyarakat tentang perkebunan dan tingkat kepemilikan modal untuk membangun dan merawat kebun kelapa sawit. Faktor internal berperan pada periode kedua (2006-2011) yakni masa masuknya komoditas kelapa sawit. Tingkat pengetahuan meliputi pengetahuan untung dan rugi perkebunan kelapa sawit, pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit, serta pengetahuan tentang proses pasca kebun atau pasca produksi. Tingkat pengetahuan masyarakat ini akan berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk membuka kebun dan beralih komoditas menjadi kelapa sawit. Berdasarkan hasil uji korelasi menggunakan rank spearman dan tabulasi silang, tingkat pengetahuan memiliki hubungan positif dengan keputusan masyarakat untuk membuka kebun dan keberlanjutan kebunnya. Sehingga jika tingkat pengetahuan tinggi maka keputusan membuka kebun juga tinggi. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi dan minat besar
64
untuk membuka kebun kelapa sawit memutuskan tidak membuka kebun karena terbatasnya modal yang dimiliki untuk membangun dan merawat kebun. Tabulasi silang antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan membangun kebun tidak memiliki hubungan yang signifikan, namun hasil uji korelasi menggunakan rank Spearman menyebutkan bahwa tingkat kepemilikan modal memiliki hubungan positif dengan keputusan masyarakat untuk membuka kebun dan keberlangsungan kebunnya. Hal ini dikarenakan tidak hanya kepemilikan modal yang berpengaruh tetapi akses terhadap modal yang lebih berpengaruh terhadap pembangunan dan keberlanjutan kebun. Pengetahuan dan modal sebagai faktor internal tidak dapat di pisahkan. Tabulasi silang hubungan antara faktor internal dengan keputusan membangun kebun menunjukkan hubungan yang signifikan, begitu juga dengan hasil uji Rank Spearman. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis 1 “faktor internal memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian” diterima. Selain tingkat kepemilikan modal dan tingkat pengetahuan, terdapat beberapa faktor yang ditemukan dilapangan seperti tingkat keberanian petani untuk mencoba hal-hal baru dan menerima resiko. Selain itu jenis suku juga mempengaruhi keputusan petani. Sebagian besar petani yang tidak menanam kelapa sawit adalah masyarakat lokal suku banjar yang agak sulit menerima hal baru. Petani yang memutuskan tidak membuka kebun menganggap bahwa kelapa sawit sebagai komoditas baru memiliki keuntungan relatif, kesesuaian, kemungkinan dicoba, dan kemungkinan diamati yang rendah. Mereka juga beranggapan kerumitan dalam membangun kebun kelapa sawit tinggi.
65
BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Dinamika struktur agraria dan proses perubahan produksi masyarakat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki dijelaskan dalam periodisasi jenis komoditas masyarakat. Periode pertama adalah periode pra masuknya komoditas kelapa sawit ke UPT Simpang Nungki yang terjadi sekitar tahun 2005 sampai 2006. Periode kedua adalah periode proses masuknya komoditas kelapa sawit (akhir 2006 – 2011) yang ditandai dengan masuknya dua perusahaan swasta di sekitar Desa Simpang Nungki dan adanya program pemerintah terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit. Periode ketiga adalah periode pasca masuknya komoditas kelapa sawit (mulai akhir 2011). Periode ini ditandai dengan telah disepakatinya peraturan dan perjanjian terkait kebun plasma masyarakat. Masyarakat mengalami perubahan hubungan produksi dan penambahan lapisan dalam struktur agraria. Transfer lahan kepada pemilik modal dari luar UPT
Simpang
Nungki
yang
menyebabkan
transmigran
tergantikan
keberadaannya. Hal ini membuktikan bahwa tujuan transmigrasi untuk mengurangi kemiskinan belum tercapai. Faktor internal yang terdiri dari tingkat kepemilikan modal dan tingkat pengetahuan masyarakat tentang perkebunan kelapa sawit dengan keputusan membangun kebun dan keberlanjutan kebun memiliki hubungan yang kuat dan positif. Faktor eksternal yang terdiri dari kebijakan pemerintah terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit juga sangat berpengaruh terhadap perubahan komoditas dalam perubahan produksi masyarakat UPT Simpang Nungki.
8.2 Saran Saran yang diajukan peneliti berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. bagi Pemerintah Daerah Barito Kuala khususnya dan Provinsi Kalimantan Selatan, sebaiknya meningkatkan perhatian dan keberpihakan kepada masyarakat kecil di Barito Kuala pada umumnya dan UPT Simpang Nungki
66
khususnya. Sosialisasi terkait pentingnya kepemilikan lahan untuk masa depan dan sosialisasi tentang perkebunan kelapa sawit sangat penting untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Penerapan kebijakankebijakan yang mengatur transmigran dan kerjasama antara perusahaan dan petani plasma serta program-program untuk membantu menyelesaikan permasalahan transmigran perlu diperbaiki; 2. bagi PT PBB, sebaiknya kesepakatan-kesepakatan mengenai program plasma dibuat dengan mengikutsertakan masyarakat selaku calon peserta program untuk menghindari kesalahpahaman diantara kedua pihak. Kesepakatan yang dibuat terutama mekanisme pengembalian kredit dan konversi lahan sebaiknya tidak memberatkan petani; dan 3. bagi masyarakat UPT Simpang Nungki, sebaiknya dapat mempertahankan kepemilikan lahan saat ini dan terus menggali informasi tentang masalahmasalah pertanian dan solusi dari masalah tersebut dari dinas terkait dan petani-petani daerah lain yang pernah mengalami masalah serupa. Masyarakat hendaknya mencari tahu model kerjasama dari perusahaan lain sebagai pembanding sistem kerjasama dalam program plasma yang dibuat oleh PT PBB. Hal ini dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat. Sehingga menjadi pihak yang berdaya.
67
DAFTAR PUSTAKA Ahmad R. 1998. Perkebunan dari NES ke PIR. Jakarta [ID]: Puspa Swara. 182 hal. Alisadono S, Hardjosoenarto S, Mardjuki A, Notohadiprawiro T, Radjagukguk B. 2006. Kebijakan Transmigrasi Melalui Pendekatan Sistem. [Internet]. [diunduh 27 Juli 2011]. Dapat diunduh dari http://soil.faperta.ugm.ac.id/tj/19XX/19xx%20KEBIJAKAN.pdf. Bahari S. April 2004. Konflik Agraria di Wilayah Perkebunan: Rantai Sejarah yang Tak Berujung. Jurnal Analisis Sosial. 9(1): 37-45. Colchester M, Jiwan N, Andiko Sirait M, Firdaus AY, Surambo A, Pane H. 2006. Tanah yang Dijanjikan. Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia: Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. 210 hal. Departemen Penerangan. 1982. Peranan Komoditas Perkebunan Sebagai Sumber Devisa Negara. Jakarta [ID]. 25 hal. Fadjar U. 2009. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani: Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam. [Disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 294 hal. Hefner R. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta [ID]. 448 hal. Indrizal E. 1997. Ekstensifikasi Perkebunan Kayu Manis Rakyat dan Perubahan Sosial di Pedesaan: Studi Kasus di Desa Sukokayo Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. [Thesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 171 hal. McCarthy J F. 2008. Policy Narratives, Landholder Engagement, And Oil Palm Expansion On The Malaysian And Indonesian Frontiers. The Geographical Journal. 175(2): 112-123. Mirza I. 2001. Kepemilikan Atas Lahan Perkebunan Antara Masyarakat Dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit : Studi Kasus Kecamatan Kikim Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. [Thesis]. Yogyakarta [ID]: Universitas Gajah Mada. 119 hal. Mugniesyah S S. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Bogor [ID]: Sains KPM IPB Press. 235 hal. Sihaloho M. 2004. Konversi lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Thesis]. Bogor[ID]: Institut Pertanian Bogor. 138 hal.
68
Sihaloho M, Purwandari H, Supriyadi A. 2009. Reforma Agraria di Bidang Pertanian: Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten. Sodality. 3(1). 1 – 16. Sitorus M T F. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. [Thesis], Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 298 hal. Sitorus M T F. 2002. Lingkup Agraria dalam Menuju keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung [ID]: Yayasan AKATIGA. 357 hal. Sumardjono M. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta [ID]: Kompas. 299 hal. Tjondronegoro S. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan Tulisan Terpilih. Bogor [ID]: Laboraturium Sosiologi, Antropologi, dan Kependudukan Faperta IPB dan Akatiga. 201 hal. Wahyuni dan Muljono. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bahan Kuliah. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 102 hal. Wardini C. 2010. Dinamika Agraria Lokal Di Sekitar Kawasan Pertambangan Emas: Studi Kasus Kampung Pongkor, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 114 hal. Widiono S. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit serta Dampaknya Terhadap Pelapisan Sosial dan Strategi Nafkah: Studi Kasus Dua Desa Sawah Etnis Serawai dan Jawa di Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. [Thesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 112 hal. Wiradi G. 1984. Pola Penguasaan tanah dan reforma agraria. Tjondronegoro S M P dan Wiradi G, editor. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta [ID]: PT Gramedia. 413 hal. Wiradi, G dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. Kasryono, F, editor. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. 413 hal. Wiradi G dan Makali. 2009. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. Shohibuddin, M, editor. Ranah Studi Agraria Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris. Jakarta [ID]: Sekolah Tinggi Pertanahan Negara. 346 hal. Zuber A. 2007. Pendekatan dalam Memahami Perubahan Agraria di Pedesaan. [Blog]. [Internet]. [diunduh 20 Februari 2011]. Dapat diunduh dari http://ahmad.zuber70.googlepages.com.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1 Peta Kecamatan Cerbon
Sumber: Profil Kecamatan Cerbon 2011
71
Lampiran 2 Hasil Uji Korelasi Rank Spearmen NONPAR CORR /VARIABLES=Pengetahuan Keputusan /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE Correlations pengetahuan Spearman's rho
pengetahuan
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (1-tailed)
.256
.001
134
134
**
1.000
Sig. (1-tailed)
.001
.
N
134
134
Correlation Coefficient
.256
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
NONPAR CORR /VARIABLES=Modal Keputusan /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE . Correlations modal Spearman's rho
Modal
Correlation Coefficient
keputusan
1.000
Sig. (1-tailed)
.238
**
.
.003
134
134
**
1.000
Sig. (1-tailed)
.003
.
N
134
134
N keputusan
**
.
N keputusan
keputusan
Correlation Coefficient
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
.238
72
NONPAR CORR /VARIABLES=Internal Keputusan /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE . Correlations Internal Spearman's rho
Internal
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (1-tailed)
.397
**
.
.000
134
134
**
1.000
Sig. (1-tailed)
.000
.
N
134
134
N Keputusan
Keputusan
Correlation Coefficient
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
.397
73
Lampiran 3 Tabel Jadwal Pelaksanaan Penelitian No
Rencana Kegiatan 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
Pembuatan Proposal Kolokium Perbaikan Proposal Penjajagan lapang Pengumpulan Data Pengolahan Data dan Penulisan Skripsi Konsultasi dan Perbaikan Skripsi Ujian Skripsi Perbaikan Skripsi Perbanyakan
1
Maret 2 3
4
1
April 2 3
4
1
Mei 2 3
4
1
Juni 2 3
Juli 4
1
2
3
4
74
Lampiran 4 Peraturan Perundangan Transmigrasi
75
76
77
78
79
Lampiran 5 Daftar Nama Responden Nama
Etnis
T/P
Kedatangan
Nama
Etnis
T/P
Kedatangan
MSD
Jateng
T
2005
ADK
Jateng
T
2006
RSD
Jateng
T
2005
SPR
Jateng
T
2006
EDA
Jateng
T
2005
STN
Jateng
T
2006
SKR
Jateng
T
2005
NRS
Lokal
T
2006
EKS
Jateng
T
2005
ADS
Lokal
T
2006
HRT
Jateng
T
2005
NRC
Jateng
T
2006
HRM
Jabar
T
2005
TTK
Jateng
T
2006
SPM
Jateng
T
2005
KRL
Jateng
T
2006
AMR
Jabar
T
2005
MSR
Jateng
T
2006
ASP
Jateng
T
2005
AGS
Jatim
P
2006
YSP
Lokal
T
2005
UDN
Lokal
T
2006
JNR
Lombok
T
2005
SRT
Jateng
T
2006
DRS
Jateng
T
2005
SPT
Jateng
T
2006
NSR
Jabar
T
2005
NRS
Jateng
T
2006
MHY
Lokal
T
2005
AGP
Jateng
T
2006
DLH
Lokal
T
2005
DMN
Jateng
T
2006
DNS
Jateng
T
2005
AMT
Jateng
T
2006
CKM
Jabar
T
2005
YOS
Jateng
T
2006
MNR
Lombok
T
2005
BAR
Jateng
T
2006
ZNR
Lombok
T
2005
MKM
Jateng
T
2006
SHR
Lokal
T
2005
SNG
Jateng
T
2006
RML
Jateng
T
2005
LGM
Jateng
T
2006
JML
Lokal
T
2005
SHD
Jateng
T
2006
SHT
Lokal
T
2005
TMN
Jateng
T
2006
HST
Jateng
T
2005
PTM
Jateng
T
2006
MJK
Jabar
T
2005
SKR
Jateng
T
2006
TRM
Jateng
T
2005
SYK
Jateng
T
2006
TGN
Jateng
T
2005
MHM
Jateng
T
2006
SMT
Jateng
T
2005
GNW
Jateng
T
2006
SMR
Jateng
T
2005
WGM
Jateng
T
2006
SKL
Jateng
T
2005
SRW
Jateng
T
2006
ZMN
Lokal
T
2005
KSS
Lokal
T
2006
EDS
Lokal
T
2005
ABD
Lokal
T
2006
SRI
Jateng
T
2006
STM
Jateng
T
2006
IDR
Jateng
T
2006
STD
Jateng
T
2006
SPD
Jateng
T
2006
SPR
Jateng
T
2006
STR
Jateng
T
2006
PRL
Jateng
T
2006
TRT
Jateng
T
2006
SYH
Lokal
T
2006
80
Daftar Nama Responden Nama
Etnis
T/P
Kedatangan
Nama
Etnis
T/P
Kedatangan
SPN
lokal
T
2006
AMS
Lokal
T
2007
UDI
Lokal
T
2006
ARF
Jateng
T
2007
HSN
Lokal
T
2006
SPN
Jatim
T
2007
IJM
Lokal
T
2006
SGG
Jatim
T
2007
LMR
Lokal
T
2006
HRY
Jatim
T
2007
SBK
Lokal
T
2006
KSH
Jatim
T
2007
GYN
Jateng
T
2006
SFL
Jatim
T
2007
SGY
Jateng
T
2006
JSH
Lokal
T
2007
MRK
Lokal
T
2006
SPR
Jatim
T
2007
BSR
Lokal
T
2006
NRF
Jateng
T
2007
SMS
Lokal
T
2006
SHP
Lokal
T
2007
DPL
Lokal
T
2006
RYN
Jatim
T
2007
SDK
Jateng
T
2006
SYH
Lokal
T
2007
BMN
Lokal
T
2006
ALP
Lokal
T
2007
BHR
Lokal
T
2006
RHM
Lokal
T
2007
TRT
Jateng
T
2006
RHD
Jateng
T
2007
SHR
Jateng
T
2006
SBR
Jateng
T
2007
STB
Jateng
T
2006
SJN
Jateng
P
2008
WJN
Jatim
T
2007
AMD
Jatim
P
2009
RHM
Jateng
T
2007
SYT
Jateng
P
2009
KSM
Jateng
T
2007
SPY
Jateng
P
2009
MRD
Jatim
T
2007
SRD
Jateng
P
2009
LSN
Jatim
T
2007
HDS
Jateng
P
2009
RDI
Jatim
T
2007
AMD
Jatim
P
2009
SKM
Jateng
T
2007
BWS
Jatim
P
2010
MJT
Jateng
T
2007
SMR
Jateng
P
2010
81
Lampiran 6 Daftar Informan Nama AMT
Status Pembakal / Kepala Desa Simpang Nungki
BNA
Pegawai Dinas Perkebunan
BRN
Pegawai Kesbangpol Linmas
DNI
Pegawai BPN Tokoh Masyarakat dan Kepala
EDS
Seksi Bina Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat Kec. Cerbon
HNA
Pegawai Dinas Perkebunan
IND
Pegawai Dinas Perkebunan
RDW
Kepala Bagian Sumber Daya Alam Kabupaten Barito Kuala
SHD
Tranmigran
SHL
Kepala Bagian Transmigrasi
SHT
Sekretaris Kecamatan Cerbon
SRI
Transmigran
STB
Transmigran
TTK
Transmigran
82
Lampiran 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT PENELITIAN STRUKTUR AGRARIA MASYARAKAT TRANSMIGRAN Saya, Ayu Candra Kusumastuti, mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang saya lakukan, saya meminta kesediaan saudara/bapak/ibu untuk menjawab pertanyaan di kuesioner ini dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kerahasiaan jawaban saudara/bapak/ibu akan dijamin kerahasiaannya dan hanya untuk kepentingan penelitian ini. Terima kasih
A. KETERANGAN UMUM RESPONDEN No : Status Warga : Transmigran / Pendatang Nama : Masuk Tahun : Alamat : Pekerjaan : Etnis : B. PENGUASAAN LAHAN 1. Status Kepemilikan Lahan Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah bapak/ibu memiliki lahan pertanian yang berstatus milik? 2. Apakah bapak/ibu menggarapkan lahan pertanian pihak lain (Sewa/bagi hasil)? 3. Apakah bapak/ibu bekerja di lahan pertanian pihak lain (buruh)? Lahan Sendiri/Milik (Ha)
Lahan Garap (Sewa/Bagi Hasil)
2. Ceritakan tanah yang bapak miliki Luas (ha) Lokasi (dalam/luar desa) Tahun peroleh Cara perolehan Program transmigrasi, ganti rugi, waris,... Kondisi awal Sawah, kebun, lahan terbuka, lainnya... Sumber modal Bantuan, jual...., lainnya.... Riwayat Tahun: Jenis Tanaman: tanaman
83
Yang menggarap
Sendiri, keluarga inti, kerabat luas, tetangga/teman, orang lain, lainnya....
3. Jika lahan diperoleh dengan cara membeli/ganti rugi, ceritakan Tahun Luas Identitas penjual (nama,etnis) Harga lahan Harga beras 4. Jika kebun bapak diperoleh dengan bagi hasil, ceritakan pola kerjasama yang disepakati:
5. Jika ada kebun bapak yang digarap orang lain, ceritakan: - alsannya: - hubungan sosial dengan penggarap: - Jelaskan pola kerjasama yang disepakati:
6. Ceritakan lahan yang pernah dimiliki bapak, tetapi sekarang sudah di lepas Lokasi (dalam/luar desa) Jarak dari rumah (km) Luas (Ha) Tahun peroleh Tahun dilepas Alasan dilepas Cara melepas (jual beli, waris, lainnya..) Kepada (keluarga initi, kerabat luas, teman/tetangga, orang lain) Alamat penerima Asal etnis penerima 7.
Ceritakan kebun milik orang lain yang sedang bapak usahakan:
Lokasi (dalam/luar desa) Jarak dari rumah (km) Luas (Ha) Tahun mulai Pola hubungan kerja (sewa,bagi hasil, lainnya..) Hubungan sosial dg pemilik Pekerjaan pemilik Alamat pemilik
84
Jelaskan Pola Kerjasama yang disepakati
C. Minat Terhadap Kelapa Sawit Pertanyaan 1. Apakah Bapak/Ibu berencana untuk menanam kelapa
Ya
Tidak
sawit? Alasan 2. Jika Ya, apakah Bapak/Ibu berencana untuk bekerjasama dengan perusahaan (plasma)? Alasan 3. Apakah Bapak/Ibu tahu tatacara penanaman dan perawatan kelapa sawit? Jika Ya, darimana Bapak/ibu mendapatkan pengetahuan tersebut?Jelaskan:
D. Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Kepemilikan Modal D1. Pembangunan Kebun 1. Apakah bapak pernah membangun kebun kelapa sawit? Jelaskan alasannya!
2. Jelaskan tatacara membangun kebun?
3. Apa masalah yang sering muncul pada saat pembangunan kebun?
4. Berapa besar biaya pembangunan kebun seluas satu hektar lahan?
5. Apakah bapak memiliki modal yang cukup untuk membuka kebun? a. Tidak, darimana bapak mendapatkan b Punya, tapi kurang. Darimana mendapat tambahan.... c. Punya D2. Perawatan Kebun 1. Berapa tahun masa tanam sawit? a. 5-10 tahun
b.15-20 tahun
b.10-15 tahun
c. 20-25tahun
d.25-30 tahun
85
2. Pada usia berapa tahun kelapa sawit mulai menghasilkan tandan dengan berat normal? a. 4 tahun
c. 6 tahun
b. 5 tahun
d. Lainnya
3. Berapa kali anda melakukan pemupukan dalam sebulan? a. 0-1 kali
c. 2-4 kali
b. 1-2 kali
d. Lebih dari 4 kali
4. Berapa besar biaya perawatan yang diperlukan 1 hektar kebun kebun kelapa sawit ? 5. Jelaskan alokasi penggunaan biaya tersebut!
6. Menurut Anda apakah keuntungan dan kerugian menanam kelapa sawit dibandingkan komoditas yang lain?
7. Apakah masalah yang sering muncul pada perkebunan kelapa sawit di wilayah ini? Bagaimana cara mengatasinya?
8. Apakah kebun kelapa sawit Bapak/Ibu bertahan sampai sekarang? Jelaskan alasannya!
9. Jika kebun Bapak/Ibu masih bertahan, apakah sudah menghasilkan? Jelaskan!
10. Apakah Bapak/Ibu tahu proses pasca kebun dari hasil kebun (kemana menjual, dll)? Jelaskan!
86
Lampiran 8 Panduan Pertanyaan 1. Menurut Anda, bagaimana prospek perkebunan kelapa sawit di daerah Anda di masa yang akan datang? 2. Menurut Anda, apakah kebijakan pemerintah yang menjadi faktor pendorong dalam memperluas areal perkebunan sawit? 3. Menurut Anda, apakah alasan pemerintah (baik pusat dan daerah) mendukung pembangunan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit? 4. Menurut Anda, bagaimana posisi tawar komoditas kelapa sawit di pasar domestik maupun internasional? 5. Apakah permintaan pasar dan harga komoditas sawit di pasaran berpengaruh pada pertambahan areal perkebunan sawit di wilayah Anda? 6. Apakah alasan masyarakat membuka atau tidak membuka kebun kelapa sawit? 7. Apakah menurut Anda kepemilikan modal dan pengetahuan masyarakat tentang perkebunan kelapa sawit mempengaruhi keputusan mereka untuk membuka kebun kelapa sawit? 8. Bagaimana aktivitas perpindahan kepemilikan lahan setelah masuknya komoditas kelapa sawit? 9. Ceritakan perubahan-perubahan kepemilikan yang terjadi setelah masuknya komoditas sawit! 10. Menurut Anda apakah perkebunan kelapa sawit memberikan lebih banyak dampak positif atau negatif terhadap kesejahteraan masyarakat? 11. Bagaimana respon masyarakat UPT Simpang Nungki terhadap program pengembangan program kelapa sawit dan pembangunan kebun plasma? 12. Menurut Anda, bagaimana tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal masyarakat mempengaruhi keputusan untuk membuka kebun? 13. Apakah dengan tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal yang dimiliki, masyarakat mampu membangun kebun secara mandiri?
87
Lampiran 9 Dokumentasi
Gambar 1. Jalan Desa Simpang Nungki Gambar 2. Jalan UPT Simpang Nungki
Gambar 3. Unit Pemukiman Transmigrasi
Gambar 5. Tanaman Kelapa Sawit Pasca Kebakaran Lahan
Gambar 4. Kebun Kelapa Sawit Masyarakat yang Kurang Baik
Gambar 6. Kebun Kelapa Sawit yang Baik
88
Gambar 7. Bekas Kebun Kelapa Sawit Transmigran
Gambar 9. Kebun yang Mulai Menghasilkan Buah Pasir
Gambar 8. Jalan Kebun Transmigran
Gambar 10. Jembatan Rumpiang