DAMPAK PERILAKU PETANI DALAM BUDIDAYA BAWANG MERAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI AGROEKOSISTEM DI KABUPATEN BREBES Oleh : Yul Harry Bahar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor Email :
[email protected] ABSTRAK Brebes adalah salah satu kawasan utama produksi bawang merah secara nasional. Petani sudah terbiasa melakukan praktek budidaya secara intensif dengan ketergantungan sangat tinggi pada bahan kimiawi pertanian (agrochemical), terutama pupuk dan pestisida. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan kondisi agroekosistem sebagai dampak dari perilaku petani dalam praktek budidaya bawang merah di Brebes. Kegiatan dilaksanakan pada beberapa sentra utama, bulan OktoberNovember 2015. Perilaku petani dalam praktek budidaya bawang merah yang berpengaruh pada kondisi agroekosistem adalah: 1) penggunaan bahan kimiawi pertanian (agrochemical) secara intensif, tidak sesuai rekomendasi teknologi, baik jumlah, jenis dan cara aplikasinya, 2) ketergantungan tinggi akan bahan kimiawi pertanian, meskipun diperoleh dengan berhutang dan harga tinggi, 3) sedikit sekali kegiatan dan upaya untuk memperbaiki kualitas lahan dan air. Dampak negatif pada agroekosistem: 1) Pencemaran bahan kimiawi pertanian (agrochemical) pada sumber daya alam dan lingkungan, 2) Penurunan keanekaragaman hayati dan peningkatan kualitas serangan organisme pengganggu tanaman, dan 3) Kejenuhan produksi dan produktivitas serta penurunan daya dukung lingkungan. Rekomendasi untuk perubahan perilaku petani dan perbaikan agroekosistem antara lain adalah: 1) menerapkan teknologi budidaya sesuai rekomendasi teknis, 2) menerapkan budidaya dengan pendekatan GAP dan PHT, 3) mengintensifkan penggunaan pupuk organik dan amelioran, 4) meningkatkan dukungan program dan kegiatan untuk perbaikan kondisi agroekosistem dan penerapan budidaya yang baik, 5) peningkatan peranan lembaga penyuluhan. Kata kunci: Agroekosistem, amelioran, bahan kimiawi pertanian, Good Agriculture Practices, perilaku petani ABSTRACT Brebes District is one of the main shallot production cluster in Indonesia. Farmers usually carry out intensive shallot farming by application agrochemical, and they are very much depend on agrochemical, especially fertilizer and pesticide. Objective of this research is to study the change of agroecosystem condition as impact of farmer’s habit on shallot farming practices in Brebes. Research had been implemented at some main production centers in Brebes district on October- November 2015. Farmer’s habit on shallot farming practices which raise negetive impact to agroecosystem are; 1) intensively utilization of agrochemical, the farming practices are very much different from the technological recommendation in term of amount, kind and application method, 2) Highly dependent on agrochemical, even they bought through loan system and high price, 3) So limited activities and effort to improve the soil and water quality. Negative impacts to the agroecosystem are; 1) Agrochemical pollution to the natural resources and environment, 2) Decreasing of biodiversity and the increasing of plant pest and disease quality, and 3) Leveling of the production and productivity as well as decreasing of environmental carrying capacity. Recommendations to change farmer’s habit and improving the agroecosystem condition are; 1) Implementation the farming system based on recommended technology, 2) 23
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 11 No. 1, Mei 2016
Implementation of GAP and IPM approaches, 3) Intensive utilization of organic fertilizer and ameliorant, 4) Increase the program and activities which support on improving the agroecosystem condition as well as good agricultural practices, 5) Empowering the role of extension institution. Keywords: agrochemical, agroecosystem, ameliorant, good agriculture practices (GAP), shallot farmers behavior
PENDAHULUAN Bawang merah merupakan kelompok tanaman sayuran yang sangat penting sebagai penyedap masakan dalam bumbu masak. Kuliner masyarakat Indonesia tidak terlepas dari bawang merah ini. Semenjak tahun 2012, bawang merah telah ditetapkan sebagai salah satu komoditas utama pertanian. Selain budidayanya dilaksanakan oleh banyak petani atau pelaku usaha di berbagai kawasan dan sentra produksi, dan dibutuhkan dalam jumlah besar setiap tahunnya, komoditas ini juga berpengaruh pada tingkat inflasi nasional. Secara nasional, sekitar 75 persen produksi bawang merah nasional berasal dari pulau Jawa, dan kabupaten Brebes sebagai kawasan utama berkontribusi sekitar 30%. Pada tahun 2014, produksi bawang merah di Brebes sebanyak 361,46 ribu ton (berkontribusi 30,62% pada produksi nasional) dengan luas panen 30.854 Ha (berkontribusi 25,80% pada luas panen nasional). Di samping itu, pelaku usaha dari Brebes juga menguasai hampir 50 % dari perdagangan bawang merah nasional. Dengan demikian peranan dan kontribusi Brebes sangat menentukan pada agribisnis bawang merah secara nasional. Di lain pihak, budidaya bawang merah secara intensif bukan hanya memberikan keuntungan ekonomi dan kesejahteraan petani, akan tetapi juga membawa dampak negatif pada lingkungan dan kondisi sumber daya alam. Over eksploitasi sumber daya lahan dan over dosis penggunaan bahan
kimiawi pertanian (agrochemical) selama bertahun-tahun telah menibulkan akumulasi masalah lingkungan dan kerusakan agroekosistem. Dalam pengkajian ini dianalisis dan dipaparkan berbagai masalah dan dampak negatif pada agroekosistem tersebut. Pengkajian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan kondisi agroekosistem sebagai dampak perilaku petani dalam melaksanakan kegiatan budidaya bawang merah di Brebes. Sasaran kajian ini adalah memberikan masukan, rujukan dan rekomendasi teknis bagi perencanaan dan penyusunan kebijakan pengembangan bawang merah, baik di kabupaten Brebes maupun kawasan produksi bawang merah lainnya. METODE Pelaksanaan kajian bawang merah ini dilakukan di kabupaten Brebes sebagai kawasan produksi bawang merah terbesar di Indonesia. Kegiatan dilakukan pada bulan Oktober sampai Nopember 2015 dengan cakupan kegiatan: persiapan teknis dan pengumpulan data, observasi lapangan dengan melibatkan suatu tim, dan kunjungan ke berbagai instansi terkait. Aspek yang dicakup adalah pengembangan/ perencanaan kawasan dan sentra produksi, penerapan teknik budidaya bawang merah, kelembagaan petani dan penyuluhan pertanian, dampak lingkungan dan sosial. Metode pelaksanaan pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui: 24
Dampak Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah..................................................................(Yul Harry Bahar)
1. Observasi dan pengumpulan data dan informasi primer melalui kuesioner terstruktur kepada petani bawang merah terpilih, pengurus Poktan/Gapoktan, penangkar benih, pelaku usaha, dan champion agribisnis bawang merah di enam kecamatan sentra, yaitu: Brebes, Wanasari, Larangan, Ketanggungan, Tanjung dan Balakumba. 2. Pengamatan kondisi fisik agro-ekosistem di lahan usahatani, keadaan sumber daya alam (tanah dan air, biologi tanah dan air, dll) 3. Diskusi dan konsultasi dengan narasumber di pusat (Ditjen Hortikultura) dan lapangan (pejabat kabupaten dan staf teknis kantor pertanian, PPL, POPT, asosiasi bawang merah) serta dengan narasumber ahli di instansi peneliti dan pembina teknologi (BALITSA dan BPTP Jawa Barat). 4. Pengumpulan data dan informasi sekunder dari berbagai referensi, laporan dan hasil kajian baik di pusat maupun di daerah. Data yang terkumpul dari lapangan selanjutnya dilakukan tabulasi dan analisis perbandingan dengan kondisi ideal, data sekunder serta profesional judgemet dari nara sumber ahli. Hasil pengamatan, fakta, kondisi dan fenomena di lapangan juga dicermati dan dilakukan penelaahan untuk melihat dampak yang terjadi. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Produksi dan Lokasi Kabupaten Brebes mempunyai luas wilayah 166.296 Ha, peringkat pertama dalam produksi bawang merah nasional. Pada tahun 2013 produksi bawang merah di Brebes sebesar 304,75 ribu Ton (30,20 % dari produksi nasional), pada tahun 2014 sebesar 375,97 ribu Ton (30,62 % dari
produksi nasional). Sementara di tingkat provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2013 kabupeten Brebes memberikan kontribusi sebesar 72,65 % (dari produksi Jawa Tengah sebesar 419,47 ribu Ton), dan tahun 2014 kontribusinya 72,39 % (dari produksi sebesar 519,36 ribu ton). Dari segi luas lahan budidaya, kabupaten Brebes juga memberikan kontribusi besar terhadap nasional sekitar 25% areal panen dan terhadap provinsi Jawa Tengah berkontribusi sekitar 67%. Secara umum peranan Kabupaten Brebes dalam produksi dan areal panen pada tahun 2012 sampai 2014 dikemukakan pada Tabel 1 berikut. Besarnya produksi bawang merah di kabupaten Brebes disamping karena luas panen yang tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun, juga akibat tingginya produktivitas. Meskipun produktivitas memperlihatkan kejenuhan dan cenderung menurun, namun masih tetap yang terbaik di tingkat nasional. Pada tahun 2012, produktivitas bawang merah 11,31 Ton/Ha, tahun 2013 mencapai 12,00 Ton/ha dan tahun 2014 sedikit menurun menjadi 11,57 Ton/Ha. Bawang merah dapat ditanam di dataran rendah sampai 1000 m dpl, ketinggian optimal adalah 0-450 m dpl dan dengan jenis tanah aluvial. Kabupaten Brebes sangat cocok untuk budidaya bawang merah, karena berada pada ketinggian 3-23 m dpl. Dari 18 Kecamatan di kabupaten Brebes, sentra produksi bawang merah terdapat di 11 kecamatan, yaitu: Larangan, Wanasari, Brebes, Banjarharjo, Songgom, Ketanggungan, Losari, Tanjung, Kersana, Bulakamba dan Jatibarang. Dari data produksi tahun 2014, sentra produksi dengan kontribusi produksi terbesar yaitu Kecamatan Wanasari (27,28 %), Larangan (26,73 %), Brebes (10,17 %), Bulakamba (9,66 %). Gambaran tentang luas panen dan produksi 25
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 11 No. 1, Mei 2016
bawang merah di kecamatan sentra produksi pada tahun 2014 dikemukakan pada Tabel 2 berikut. Umumnya petani Brebes menganggap usahatani bawang merah menguntungkan dibandingkan komoditas lainnya, namun pada musim hujan
(November–Desember-Januari) butuh biaya produksi tinggi, mengingat risiko kegagalan usaha juga tinggi. Pada musim kering (Maret-Juni), usahatani bawang merah sangat menguntungkan dengan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan musim hujan.
Tabel 1 Peranan kabupaten brebes terhadap produksi dan areal panen bawang merah tingkat provinsi jawa tengah dan nasional Tingkatan Lokasi
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
304,75 419,47 1 009,18 72,65 % 30,20 %
375,97 519,36 1 227,84 72,39 % 30,62 %
24.910 36.715 98.293 67,85 % 25,34 %
30.954 46.233 119.966 66,95 % 25,80 %
Keadaan Produksi (000 Ton) Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah Nasional Kontribusi Brebes pada Provinsi Kontribusi Brebes pada Nasional Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah Nasional Kontribusi Brebes pada Provinsi Kontribusi Brebes pada Nasional
259,00 381,81 964,19 67,98 % 26,87 % Keadaan Luas Panen (Ha) 23.131 35.828 99.519 65,71 % 23,12 %
Tabel 2 Luas Panen dan Produksi Bawang Merah di Kecamatan Sentra Produksi pada Tahun 2014 di Kabupaten Brebes Luas Panen Produksi Kontribusi Produksi Kecamatan Sentra Produksi (Ha) (Ton) (%) Larangan 8.335 100.486,5 26,73 Wanasari 7.075 102.568,0 27,28 Bulakamba 3.817 36.303.5 9,66 Brebes 3.269 38.230.0 10,17 Tanjung 1.873 18.488,6 4,92 Jatibarang 1.742 23.441,2 6,23 Songgom 1.336 15.728,8 4,18 Ketanggungan 1.272 19.080,0 5,07 Kersana 947 9.033,9 2,45 Losari 938 8.666,0 2,35 Banjarharjo 223 2.649,0 0,86 Jumlah 30.954 375.974,2 100,00 Sumber: BPS Kab. Brebes (2014). 26
Dampak Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah..................................................................(Yul Harry Bahar)
Penerapan Teknologi Budidaya Secara umum para petani tidak menanam bawang merah sepanjang musim tetapi ada pergiliran tanam (tumpang gilir) dengan tanaman lain seperti cabai, jagung dan kedelai dengan waktu tanam bulan Januari sampai Desember sehingga tiap hari selalu ada panen, tetapi pada bulan Mei-Juni dan Agustus-September terjadi panen raya. Pola tanam bawang merah sebagai berikut: Pola tanam 1: padi - bawang merah - jagung-bawang merah Pola tanam 2: padi-kedelai-bawang merah-bawang merah-bawang merah Petani di kabupaten Brebes umumnya menggunakan benih bawang merah varietas lokal yaitu varietas Bima Brebes. Benih yang digunakan oleh petani sebagian besar ditangkarkan sendiri secara konvensional, sebagian kecil saja petani yang membeli dari kios setempat. Secara konvensional, petani melakukan seleksi benih dari hasil panen untuk ditanam pada periode berikutnya, bahkan benih yang diseleksi adalah hasil keturunan ketiga dari benih asal. Pengolahan tanah dilakukan 2-4 minggu sebelum tanam, dengan cara membuat parit sedalam 50-60 cm, tanah hasil galian dihamparkan diatas bedengan. Lebar bedengan 120-150 cm, jarak antar bedengan (lebar parit) 50-60 cm dan panjangnya disesuaikan dengan kondisi lahan. Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering sekitar 1-2 minggu, kemudian diolah lagi 2-3 kali sampai gembur sebelum dilakukan perbaikan bedengan-bedengan dengan rapi. Sebelum penanaman, benih bawang merah dirimpes dan dipotong ujungnya agar proses keluarnya tunas lebih cepat dan
serempak.Perimpesan dilakukan 1-2 hari sebelum tanam. Satu hari sebelum tanam, bedengan dibasahi, setelah agak kering, dibuat lubang tanam dengan menggunakan tugal sedalam rata-rata setinggi umbi. Setiap lubang diisi satu umbi bawang merah dengan posisi tegak dan agak ditekan ke bawah dengan jarak tanam 15 x 15 cm (tanam musim hujan) atau 15 x 10 cm (tanam musim kemarau). Kegiatan penyulaman dilakukan satu minggu setelah penanaman dan setelah tunas sudah mulai tumbuh. Penyulaman dilakukan terhadap benih yang tidak tumbuh (umumnya umbi yang busuk). Penyulaman dilakukan dengan mengganti benih baru. Pada umumnya petani menggunakan pupuk anorganik (pupuk kimiawi). Tidak banyak petani yang menggunakan pupuk organik sebagai pupuk dasar. Waktu dan dosis pemupukan adalah: 1) Pupuk dasar, 710 hari sebelum tanam berupa pupuk organik dengan dosis 5000 kg/ha, NPK: 300 kg/ha, dan ZA: 100 kg/Ha, 2) Pupuk susulan I, diberikan pada umur 10-15 HST (hari setelah tanam), yaitu NPK: 250 kg/ha, ZA 150 kg/Ha, 3) Pupuk susulan II, diberikan pada umur 30 HST, yaitu NPK: 250 kg/Ha dan ZA: 150 kg/Ha. Ketersediaan sumber air sangat penting, pada saat musim hujan sumber air dapat dipenuhi dari air irigasi ataupun air permukaan, akan tetapi pada musim kering (off season), penggunaan pompa air sangat diperlukan, baik untuk pengambilan air dari badan perairan (sungai, situ, dan, embung), maupun pemompaan air tanah. Pada musim kering, biaya yang dikeluarkan untuk pemompaan air ini cukup besar, belum lagi masalah kesulitan mencari sumber airnya. Serangan OPT sangat tinggi dan dapat mengakibatkan gagal panen. Di musim penghujan serangan jamur (fungi) cukup tinggi. Jenis terbanyak adalah Alternaria porri, Colletotrichum gloeosporioides, 27
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 11 No. 1, Mei 2016
Porenospora destructor, dan Fusarium oxysporum. Pengendalian cendawan dilakukan dengan fungisida, secara biologi dilakukan penanaman kacang panjang di 4 titik (setiap sudut) petakan/lahan. Penggunaan pestisida untuk pengendalian hama ulat bawang (S. exigua), ulat gerayak (S. litura) dan trips (T. tabaci) masih menjadi andalan utama, sehingga petani menjadikan insektisida sebagai jaminan utama keberhasilan usahatani. Volume larutan insektisida yang digunakan pada setiap aplikasi berkisar 560 – 1.588 liter per Ha (sudah over dosis). Petani melakukan penyemprotan secara berkala 3-4 hari sekali, sehingga dalam satu musim tanam melakukan penyemprotan 15- 20 kali. Pengendalian OPT umumnya dilakukan dengan mencampur 3 sampai 4 jenis insektisida dalam satu ember. Selain itu dalam pengendalian OPT, sangat jarang menerapkan prinsip K3 (Keamanan dan Keselamatan Kerja), sehingga berpengaruh buruk pada kondisi kesehatan mereka. Jika udara panas terus menerus, maka dilakukan pengendalian ulat dengan cara mekanis (mengambil dan membuang kelompok telur maupun ulat), meskipun cara aplikasi insektisida (interval 1-2 hari sekali) tetap dilakukan untuk mengendalikan populasi ulat S. exigua yang meningkat cepat. Ada juga kelompoktani yang melakukan dengan pemasangan perangkap lampu (lampunisasi) secara swadaya, setiap hektar lahan dipasang 50 buah lampu. Dengan cara ini maka jumlah dan intensitas penggunaan pestisida berkurang menjadi seperlimanya. Perangkap lampu neon (TL 10 watt) dengan waktu nyala pukul 18.00 sampai 24.00, paling efisien dan efektif untuk menangkap imago dan menekan serangan S. exigua, namun ada tabahan biaya
untuk pembelian lampu/penggunaan listrik berkisar Rp 3,6 juta/Ha dalam semusim. Pelaksanaan panen dan pascapanen merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar hasil yang diperoleh tetap memiliki kualitas yang tinggi. Umur panen bawang merah adalah 55-70 HST, oemanenan dilaksanakan pada keadaan kering dan cuaca cerah untuk mencegah serangan penyakit busuk umbi. Panen dilakukan dengan cara mencabut umbi secara hati-hati. Penanganan pascapanen yang dilakukan yaitu: 1) Pembersihan dari kotoran atau tanah yang menempel pada umbi, kemudian akarnya dibersihkan. Bawang merah yang sudah kering bersama daunnya diikat, satu ikatan beratnya ± 2-3 Kg agar mudah digantung di para-para, 2) Pelayuan, untuk menurunkan kadar air, agar warna kulit umbi bawang merah lebih merah dan mengkilat. Pelayuan dilakukan dengan penjemuran di bawah terik matahari selama 2-3 hari, tanpa terkena sinar matahari langsung, 3) Pengeringan, dilakukan dengan cara penjemuran di bawah terik matahari selama 6-12 hari, dengan mcnghamparkan di atas tikar atau anyaman bambu. Selama pengeringan dilakukan pembalikan 2-3 hari sekali, 4) Sortasi dan grading, pemisahan antara umbi yang sehat dengan umbi yang kualitasnya rendah. Secara umum, berdasarkan hasil analisis usahatani, rata-rata biaya produksi bawang merah di Kabupaten Brebes adalah Rp. 66,25 juta per hektar, dengan kontribusi terbesar adalah biaya tenaga kerja (mulai dari penyiapan lahan, pengolahan tanah, pemeliharaan tanam, sampai penanganan pascapanen). Gambaran umum biaya produksi untuk setiap jenis pengeluaran dalam budidaya bawang merah di Brebes dikemukakan pada Tabel 3 berikut.
28
Dampak Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah..................................................................(Yul Harry Bahar)
Tabel 3 Biaya Produksi dan Kontribusi Setiap Jenis Pengeluaran dalam Budidaya Bawang Merah di Kabupaten Brebes Jenis Pengeluaran Biaya (Rp) Kontribusi (%) Tenaga Kerja 33.340.000 50,40 Benih (1500 kg/Ha) 20.250.000 30,61 Pupuk kimiawi 3.445.000 5,21 Pestisida 4.078.000 6,16 Lain-lain 5.040.000 7,62 Total 66.153.000 Sumber : Monografi Bawang Merah, 2015 (data diolah)
Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah Petani Brebes sudah lama melakukan budidaya bawang merah, boleh dikatakan sudah turun temurun, sudah merupakan bagian dari kehidupan dan budaya pertanian mereka sehari-hari, bahkan bawang merah telah menjadi ciri khas (icon) dari masyarakat Brebes. Sehingga tidaklah berlebihan jika sebagian masyarakat mendengar kata Brebes, selalu mengaitkannya dengan bawang merah atau brambang. Meskipun petani bawang merah sudah banyak yang berhasil, namun dalam perilaku budidaya terdapat beberapa hal yang merugikan terhadap kondisi sumber daya alam dan lingkungan pertanian (agroekosistem), disamping berdampak pada pencapaian produksi dan kesehatan masyarakat. Beberapa perilaku petani yang merugikan adalah. 1. Ketergantungan dan penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi (agrochemical) secara berlebihan (over dosage) Karena takut akan risiko dan kerugian gagal panen, maka petani memilih untuk mengutamakan penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi untuk menjaga pertumbuhan tanamannya. Data pada Tabel 3 memperlihatkan
bahwa sebenarnya dari segi pengeluaran petani, proporsi biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida tidak begitu besar, yaitu 5,21% untuk pupuk kimiawi dan 6,16% untuk pestisida (total 11,37%). Akan tetapi dari segi jumlah penggunaan pupuk dan pestisida, kondisinya sudah berlebihan. Menurut SOP bawang merah Brebes (Dit BPSTO, 2010), pengendalian OPT dilakukan melalui pendekatan PHT, diupayakan melalui pengendalian hayati, penggunaan pestisida nabati dan musuh alami, penggunaan pestisida merupakan pilihan terakhir. Kenyataannya petani di Brebes lebih mengutamakan pestisida, bahkan dilakukan secara intensif dan over dosis. Pengendalian OPT dilakukan dengan penyemprotan pestisida secara berkala 3-4 hari sekali (bahkan jika udara panas bisa setiap 2 hari sekali). Rata-rata dalam satu musim tanam dilakukan penyemprotan 15-20 kali. Adiyoga dkk. (2013) melaporkan bahwa rata-rata penyemprotan pestisida oleh petani adalah setiap 2,8 hari; ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata praktek penyemprotan di kawasan produksi utama lainnya di pulau Jawa (Cirebon 3,1 hari, Bantul 3,5 hari dan Nganjuk 5,9 hari). Informasi sebelumnya, hasil penelitian Adiyoga dan DePutter (2011) 29
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 11 No. 1, Mei 2016
melaporkan bahwa petani Brebes melakukan penyemprotan pestisida biasanya 9-19 kali dalam setiap musim tanam (rata-rata 12 kali), rata-rata dilakukan setiap tiga hari, terdiri dari 22 jenis fungisida dan 32 jenis insektisida.
Kajian yang dilakukan pada tahun 2015 (Bahar dkk., 2015), terdapat 6 jenis pestisida dan 2 jenis fungisida utama yang banyak digunakan petani, dengan jumlah penggunaan sebagaimana dikemukakan pada Tabel 4.
Tabel 4 Penggunaan Pestisida dalam Budidaya Bawang Merah di Brebes (per hektar) Jenis Kimiawi Penggunaan* Rekomendasi Pestisida Kasib 3 Kg Dalam SOP bawang merah, Antracol 6 Kg pengendalian OPT dilakukan dengan Tumagon 5 Ltr prinsip PHT, di mana penggunaan Dursban 5 Ltr pestisida adalah pilihan terakhir Bestmor 5 Ltr Dustik 3 Ltr Fungisida Buldog 8 Ltr Dekonil 6 Kaleng Sumber : Bahar dkk. (2015)
Fakta lain kebiasaan pengendalian OPT, umumnya petani mencampur 3 sampai 4 jenis insektisida menjadi satu dalam satu ember/wadah. Penggunaan pestisida dengan pencampuran berbagai jenis (cocktail mixing of pesticide product) banyak dilakukan oleh petani, meskipun cara ini tidak dianjurkan karena bisa menimbulkan efek saling melemahkan dari pestisida. Penggunaan tidak sesuai dosis anjuran, dan terjadi pemborosan sehingga menimbulkan dampak merugikan. Terjadinya overdosis penggunaan pestisida karena petani menjadi panik saat melihat kondisi tanaman yang semakin menurun, sementara investasi sudah begitu besar. Gencarnya promosi dari petugas lapangan perusahan produsen pestisida (formulator), yang tidak dibarengi dengan kemampuan dan intensitas penyuluhan penyuluh pemerintah, semakin meningkatkan
jumlah penggunaan pestisida dan akumulasi permasalahan lingkungan. Penggunaan pupuk kimiawi dalam budidaya bawang merah juga sudah berlebihan, dan jenisnya juga lebih banyak dibandingkan dengan rekomendasi teknologi, sementara pupuk kandang/organik tidak digunakan meskipun diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan perbaikan lahan. Perbandingan penggunaan pupuk oleh petani dengan rekomendasi dari BALITSA dikemukakan pada Tabel 5 berikut. Penggunaan pupuk kimiawi sebanyak 6 jenis dengan jumlah penggunaan 1100 kg/ha ini jauh lebih besar dari rekomendasi yang hanya 720 Kg/Ha (4 jenis), sudah melebihi 52,78% dari yang direkomendasikan, sementara jenis pupuk rekomendasi penelitian hanya 4 jenis. Disamping itu penggunaan pupuk organik dan amelioran yang direkomendasikan sebagai pupuk dan 30
Dampak Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah..................................................................(Yul Harry Bahar)
perbaikan kondisi fisik tanah justru tidak digunakan oleh petani. Dalam rekomendasi teknologi penggunaan
pupuk organik (pupuk kandang atau kompos) minimal sebanyak 5 Ton/Ha.
Tabel 5 Perbandingan Penggunaan Pupuk dalam Budidaya Bawang Merah di Brebes (per hektar) Jenis Pupuk Penggunaan1) Rekomendasi 2) Pupuk Kimiawi KCl 100 kg 150 kg SP-36/TSP 250 kg 120 kg Urea 200 kg 150 kg ZA 200 kg 300 kg NPK 250 kg Kamas 100 kg Pupuk Organik (pupuk 5000 kg kandang/kompos) (Minimal) 1) Rata-rata penggunaan oleh petani di lapangan 2) Rekomendasi dari BALITSA, Bandung
2. Sedikit dan terbatasnya upaya yang dilakukan oleh petani untuk perbaikan kondisi fisik dan kesuburan lahan Sebagian petani bawang merah merupakan petani penggarap dengan pemilikan luas lahan usaha antara 2.5005000 m2. Kebanyakan petani melakukan budidaya bawang merah pada lahan sewa. Penyewaan lahan dilakukan per musim (sekitar Rp. 5 juta/Ha setiap musim), dan tidak ada jaminan keberlanjutan penyewaan lahan untuk musim tanam berikutnya ataupun jaminan untuk penanaman bawang merah pada musim berikutnya. Dengan kondisi lahan yang terbatas dan tidak ada jaminan keberlanjutan penyewaan di musim berikutnya, maka petani penyewa atau penggarap umumnya tidak mau atau enggan untuk menggunakan pupuk organik dan kapur pertanian, karena efek dari penggunaan pupuk organik dan kapur pertanian tersebut tidak muncul dalam waktu singkat, akan tetapi dalam waktu lama
(slow release). Dengan demikian, mereka cenderung menggunakan pupuk kimiawi yang langsung memberikan efek positif pada tanaman dalam waktu singkat, sebagaimana data yang dikemukakan pada Tabel 5, bahwa petani tidak menggunakan pupuk organik dalam kegiatannya. Adiyoga dkk (2013) melaporkan bahwa hanya 16,6% petani Brebes yang menggunakan pupuk organik, itupun dicampur dengan pupuk kimiawi, dan digunakan sebagai pupuk dasar. Pemerintah berupaya membantu petani melakukan perbaikan lahan melalui pemberian bantuan pupuk organik dan kapur pertanian sesuai rekomendasi teknologi, yang dimasukkan dalam komponen program dan kegiatan pengembangan kawasan bawang merah ataupun kegiatan lainnya, akan tetapi di tingkat petani banyak yang tidak jalan. Petani tidak mau menggunakan bantuan tersebut (mereka menyimpan saja pupuk organik dan kapur pertanian di rumahnya) karena kebanyakan budidaya 31
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 11 No. 1, Mei 2016
bawang merah dilaksanakan pada lahan sewaan, dan/atau lahan garapan. Dengan sistem sewa lahan dan kegiatan petani penggarap seperti ini tidak memberikan insentif dan motivasi bagi petani untuk menggunakan pupuk organik dan amelioran. Petani menyatakan bahwa pupuk organik dan amelioran tidak memberikan keuntungan langsung pada pertanaman dan peningkatan produksi, bahkan akan menambah biaya usahatani. 3. Budidaya bawang merah tanpa menerapkan inovasi teknologi, praktek budidaya yang baik (GAP) dan pertanian ramah lingkungan. Hampir semua petani (90%) mempunyai pengalaman budidaya bawang merah lebih dari 10 tahun dan dominan mengadopsi teknologi secara turun temurun dari orang tuanya. Selain itu 90% petani berusia antara 30-60 tahun dengan tingkat pendidikan; 80% SLTA ke bawah dan bahkan terdapat sekitar 16,7% tidak sekolah. Dengan kondisi petani seperti ini maka banyak ditemui hambatan dalam perubahan perilaku dan penerapan inovasi teknologi budidaya maupun memberikan pengertian dan pemahaman dalam perbaikan teknologi. Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk memperbaiki penerapan teknologi budidaya yang lebih baik, efisien dan ramah lingkungan, seperti penerapan Praktek Budidaya yang Baik (Good Agricultural Practices = GAP), SL-GAP, SL-PHT, percontohan budidaya penerapan GAP, penggunaan benih berlabel, penerapan rekomendasi teknologi, dll. Berbagai institusi juga sudah banyak terlibat dalam diseminasi teknologi ini, seperti Ditjen Hortikultura, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, BALITSA, BPTP, PKHT-IPB,
kerjasama dengan BI, dll. Akan tetapi ternyata berbagai kegiatan dan rekomendasi teknologi tersebut tidak banyak diterapkan petani. Sebagai ilustrasi, perubahan kebiasaan petani dalam pembuatan parit dan bedengan penanaman bawang merah sulit dilakukan. Dengan cara yang sekarang, maka sebesar 30,75% (Rp. 10,25 juta) dari Rp. 33,34 juta biaya digunakan sebagai upah tenaga kerja untuk biaya penyiapan dan pengolahan lahan. Hal ini karena penyiapan lahan penanaman bawang merah tidak efisien, dengan cara membuat parit sedalam 5060 cm. Sementara di kawasan dan sentra produksi lainnya pembuatan parit dan bedengan tidak sedalam dan setinggi yang di Brebes, sehingga biaya tenaga kerjanya tidak terlalu besar. Pelatihan dan praktek SL-GAP dan SL-PHT yang sudah banyak dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan, ternyata tidak mampu memberikan dampak perubahan perilaku petani dalam menerapkan teknologi yang lebih baik, termasuk dalam menekan penggunaan pestisida. Keterbatasan petugas teknis dan petugas lapangan (PPL dan POPT) menyebabkan kegiatan pembinaan dan penyuluhan untuk menerapkan GAP dan PHT tidak intensif. Dilain pihak promosi dan pendampingan intensif dari petugas/formulator perusahaan produsen pestisida dan pupuk, meningkatnya ketersediaan dan aneka jenis pupuk dan pestisida di kios-kios pertanian juga semakin meningkatkan penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi, yang akhirnya semakin menjauhkan petani dari budidaya sesuai rekomendasi dan penerapan pertanian ramah lingkungan. Peranan formulator dari perusahaan pestisida dan pupuk yang lebih menonjol 32
Dampak Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah..................................................................(Yul Harry Bahar)
juga telah memunculkan anggapan budidaya tanpa pestisida tidak mungkin akan berhasil. 4. Ketergantungan penyediaan sarana produksi (terutama pupuk dan pestisida) pada bandar/pemodal/kios pertanian dengan sistem bayar panen (YARNEN) Sebagian besar petani membeli input budidaya (pupuk, pestisida, ZPT, dll) kepada para bandar/pemodal atau kios sarana pertanian setempat dengan sistem berhutang dan dibayar setelah panen (YARNEN). Karena mereka berhutang, biasanya harga sudah dinaikkan antara 10-20 % dari harga tunai, cara ini sebenarnya memberatkan petani dan menambah biaya produksi. Akan tetapi dilain pihak ini adalah salah satu sumber permodalan petani, sekaligus ini cara termudah untuk mendapatkan input pertanian. Bandar atau kios sarana pertanian terdapat hampir di setiap desa dan kampung. Biasanya mereka juga berprofesi sebagai tengkulak atau pedagang yang menampung bawang merah produksi petani. Dengan sistem ini petani juga punya keterikatan penjualan produknya ke bandar/ pemodal atau kios tersebut. Selanjutnya pada saat petani melakukan penjualan hasil ke pedagang tersebut, maka hutang mereka akan langsung dipotong dari pendapatan penjualan. Praktek penyediaan sarana produksi sistem YARNEN ini terjadi karena keterbatasan modal petani, dan kemudahan yang ditawarkan oleh bandar/pemodal atau pengelola kios. Dengan cara YARNEN petani juga tidak punya banyak pilihan untuk mendapatkan input pertanian karena yang ditawarkan hanya tergantung dari apa yang tersedia
di bandar atau kios tersebut. Cara ini juga dimanfaatkan oleh perusahaan pestisida atau pupuk untuk menjual produknya melalui kios atau bandar, disamping mereka melakukan promosi intensif. Dampak Perilaku Petani terhadap Agroekosistem Perilaku petani Brebes dalam praktek budidaya bawang merah yang telah dilakukan secara turun temurun, tanpa perubahan norma dan tatacara, dalam jangka panjang telah menimbulkan akumulasi dampak yang merugikan pada agroekosistem, bahkan pada produk bawang merah dan kesehatan masyarakat. Beberapa dampak negatif terhadap agroekosistem adalah: 1. Pencemaran dari bahan kimiawi pertanian (agrochemical) pada sumber daya alam dan lingkungan Penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi berlebihan dan dalam jumlah tidak proporsional selama ini telah menyebabkan degradasi sumber daya alam dan pencemaran lingkungan, terutama pada tanah dan air, serta dikhawatirkan juga menyebabkan penyakit pada petani dan masyarakat lainnya (menimbulkan gejala penyakit syaraf). Penggunaan pestisida yang berlebihan, dan aplikasi tanpa memperhatikan waktu panen mengakibatkan tingginya residu pestisida pada bawang merah, sehingga menurunkan mutu produk serta mengancam kesehatan konsumen Pengeluaran petani untuk pembelian pupuk dan pestisida sebesar 11,37% dari total biaya produksi. Ini jumlah yang besar, apalagi ini terdiri dari berbagai jenis agrochemical. Jumlah, dosis dan cara aplikasi pupuk dan pestisida sudah jauh berbeda dan lebih tinggi dari rekomendasi teknologi. Aplikasi 33
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 11 No. 1, Mei 2016
pestisida dilakukan setiap 2 hari sekali, menggunakan berbagai jenis pestisida, pencampuran berbagai jenis pestisida dan penggunaan pupuk kimiawi melebihi kebutuhan tanaman. Dari aplikasi bahan kimiawi pertanian, tidak semua efektif untuk mengatasi masalah tanaman, serta tidak semuanya terserap dan dibutuhkan tanaman, apalagi penggunaanya melebihi rekomendasi teknologi. Kelebihan bahan kimiawi pertanian tersebut akan terbawa aliran air ke daerah hilir, masuk ke dalam tanah lapisan bawah, masuk ke aliran air tanah, ataupun terakumulasi di tanah, kesemuanya akan bermuara pada pencemaran lingkungan. Pencemaran pada aliran air permukaan maupun infiltrasi ke dalam air tanah akan menyebabkan penurunan kualitas air dan pencemaran air minum masyarakat, sehingga tidak dapat atau tidak layak lagi digunakan sebagai air pengairan maupun air minum. Petugas lapangan menyampaikan bahwa dari hasil penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes diketahui bah sumur penduduk sudah tercemar oleh bahan-bahan kimiawi pertanian, sehingga menimbulkan penurunan kualitas sumber air minum masyarakat. Pencemaran dan kerusakan lahan yang terjadi secara kimiawi adalah meningkatnya kemasaman tanah (turunnya pH tanah), dan penumpukan unsur garam. Sementara dampak fisik secara kasat mata dapat dilihat yaitu; tanah yang tidak remah, tidak gembur, tanah cepat berbongkah-bongkah pada saat musim kering. Dampaknya, menyebabkan tanah menjadi kurang baik bagi pertanaman, dan kesuburan tanah semakin menurun. Indikasi dampak negatif ini adalah tidak dijumpai lagi
cacing tanah pada habitat tersebut, dan timbulnya lapisan putih sebagai tanda adanya akumulasi garam-garam kimia di permukaan tanah yang membongkah. 2. Penurunan keanekaragaman hayati dan peningkatan kualitas serangan organisme pengganggu tanaman Penggunaan bahan kimiawi pertanian dengan intensitas tinggi, secara intensif, penggunaan berbagai jenis pestisida dan penggunaan yang melebihi dosis anjuran menyebabkan terbunuhnya organisme yang bukan menjadi sasaran, yang sebetulnya bermanfaat dan dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam. Dengan terbunuhnya organisme yang bukan menjadi sasaran, maka akan menurunkan keanekaragaman hayati, merusak keseimbangan tropic level (tingkatan tropik dalam meperoleh makanan) dan food chain (rantai makanan, proses makan memakan) dalam ekosistem tersebut. Indikator penurunan keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan ini dapat dilihat dengan sudah tidak ada atau jarangnya ditemukan cacing tanah dan belut di lahan sawah petani (Hanafiah dkk, 2005), sementara keberadaan berbagai jenis ikan di badan perairan juga semakin jarang. Ini sebagai indikator keberadaan organisme lainnya yang menjaga dan mengisi keseimbangan agroekosistem juga sudah berkurang. Penggunaan pestisida yang tidak tepat sasaran dan melebihi dosis anjuran menyebabkan kekebalan hama akan pestisida (resurgensi hama), sehingga untuk pengendalian selanjutnya dibutuhkan jenis pestisida lain yang lebih kuat atau dosis yang lebih tinggi. Bila cara-cara ini dilakukan maka akan menimbulkan dampak negatif yang lebih 34
Dampak Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah..................................................................(Yul Harry Bahar)
besar, yaitu semakin mengancam kehidupan organisme yang tidak menjadi sasaran, semakin menurunkan keanekaragaman hayati. Akibat lebih lanjut dari terjadinya resurgensi OPT adalah terjadinya biomagnifikasi OPT, yaitu ledakan/peningkatan serangan OPT tertentu, karena musnahnya pemangsa yang menghalangi kehidupan dan reproduksinya. Dengan tidak berjalannya fungsi-fungsi lingkungan (food chain, tropic level, niche bagi predator), maka dampaknya justru akan lebih besar dan lebih merugikan. 3. Kejenuhan (levelling off) produksi dan produktivitas serta penurunan daya dukung lingkungan Upaya perbaikan kondisi agroekosistem dengan pemupukan organik dan kapur pertanian (amelioran) tidak jalan, sementara penggunaan pupuk kimiawi sudah jenuh. Dampak selanjutnya adalah kerusakan agroekosistem yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas. Dampak negatif dari semakin menurunnya kondisi agroekosistem adalah tingkat produktivitas pertanaman bawang merah mengalami kejenuhan. Hal ini secara nyata dibuktikan dengan produktivitas bawang merah saat ini yang sudah menurun dibandingkan tahuntahun sebelumnya, dan cenderung terus menurun. Penurunan daya dukung sumber daya lahan karena teknologi dan manajemen usahatani tidak sesuai anjuran, terutama kurangnya kegiatan pemulihan lahan dengan pupuk organik dan amelioran. Dengan cara budidaya intensif ini, tidak ada bahan organik yang dikembalikan ke tanah. Minimnya penggunaan pupuk organik dan
amelioran menimbulkan kekurangan kandungan organik dan tidak seimbang komposisi tanah, dan menurunkan daya dukung agroekositem. Umumnya lahan bawang merah juga lahan budidaya padi dengan melakukan pergiliran pola tanam, yang jeraminya bisa dikembalikan ke tanah sebagai bahan organik. Akan tetapi karena pola tanam lebih banyak digunakan untuk bawang merah, maka pengembalian bahan organik tersebut tidak cukup. SIMPULAN Petani Kabupaten Brebes sudah terbiasa melakukan kegiatan budidaya dengan penggunaan bahan kimiawi pertanian (agrochemical), secara intensif. Akan tetapi penggunaan pupuk dan pestisida yang dilakukan selama ini tidak sesuai dengan jumlah dan cara aplikasi yang direkomendasikan. Ketergantungan petani akan bahan kimiawi pertanian sangat tinggi, meskipun untuk harus berhutang dengan sistem bayar saat panen (Sistem Yarnen). Kebanyakan petani adalah penyewa lahan dan petani penggarap, sehingga dalam praktek budidaya mereka enggan dan sedikit sekali menggunakan pupuk organik dan amelioran. Berbagai program dan fasilitasi untuk meningkatkan produksi, sekaligus memperbaiki teknologi budidaya dan menjaga keseimbangan lingkungan tidak banyak yang berhasil dan belum mampu merubah perilaku petani. Dampak perilaku budiaya petani bawang merah dengan penggunaan bahan kimiawi pertanian yang intensif, jumlah dan cara aplikasi tidak sesuai rekomendasi teknologi, telah menimbulkan dampak negatif pada agroekosistem setempat, berupa; 1) Pencemaran dari bahan kimiawi pertanian (agrochemical) pada sumber daya alam dan 35
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 11 No. 1, Mei 2016
lingkungan, 2) Penurunan keanekaragaman hayati dan peningkatan kualitas serangan organisme pengganggu tanaman, dan 3) Kejenuhan (leveling off) produksi dan produktivitas serta penurunan daya dukung lingkungan. Dalam mempertahankan Brebes sebagai kawasan bawang merah utama, diperlukan perbaikan kondisi agroekosistem melalui perubahan perilaku petani dalam melaksanakan kegiatan budidaya, yaitu: 1) Penerapan teknologi dan penggunaan bahan kimiawi pertanian sesuai rekomendasi teknis, 2) Menerapkan kegiatan budidaya dengan pendekatan GAP dan PHT, 3) Mengajak petani untuk melakukan perbaikan kondisi agroekosistem dengan penggunaan pupuk organik dan amelioran secara intensif, 4) meningkatkan dukungan program dan kegiatan untuk perbaikan agroekosistem dan penerapan budidaya yang baik, 5) Penguatan dan peningkatan peranan lembaga penyuluhan melalui peningkatkan kapasitas dan kinerja dalam memberikan pelayanan penyuluhan dan pendampingan intesif kepada petani.
DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W dan H. DePutter. 2011. Pesticide Use in Shallot-Hot Pepper Intercroping Cultivation System in Brebes, Central Java (Report Paper). Bandung: Indonesia Vegetable Research Institute. __________, dkk. 2013. Baseline Survey for Improving Shallot Sustainable Productivity in Indonesia. Central Java (unpublished Report). Bandung: Indonesia Vegetable Research Institute. Bahar, Yul H. 2006. Pengelolaan Hortikultura Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Direktorat Jenderal Hortikultura. _______________, dkk. 2015 Monografi Bawang Merah. Jakarta : Dit Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat. Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes. 2014. Kabupaten Brebes dalam Angka. Brebes : BPS Direktorat Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat. 2010. Standar Operasional Prosedur (SOP) Bawang Merah Brebes. Jakarta : Direktorat BPSTO. Hanafiah, Kemas Ali, dkk. 2005. Biologi Tanah; Ekologi dan Mikrobiologi Tanah. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
36