BAB III PENDAPAT M. QURAISH SHIHAB TENTANG DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM
A. Biografi M. Quraish Shihab, Pendidikan dan Karyanya Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944. Ia termasuk ulama dan cendikiawan muslim Indonesia yang dikenal ahli dalam bidang tafsir al-Qur'an. Ayah Quraish Shihab, Prof. KH Abdrurahman Shihab, seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki
reputasi baik
di
kalangan
masyarakat
Sulawesi
Selatan.
Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977. Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayatayat al-Qur'an.
36
37
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua sanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “alI’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujungpandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga sering memwakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celahcelah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
38
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul "Nazm al-Durar li al-Biqai Tahqiq wa Dirasah" dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude.1 Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur'an di Program Sl, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo. Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama sejak 1
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikaan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 363 – 364.
39
1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.2 Di samping kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.3 Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut, H.M. Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat prolifik. Buku-buku 2
Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm. 111. 3 Abuddin Nata, op.cit, hlm. 364 – 365.
40
yang ia tulis antara lain berisi kajian di sekitar epistemologi Al-Qur'an hingga menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain: disertasinya: Durar li al-Biga'i (1982), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Wawasan AlQur'an:Tafsir Maudlu'i atas Berbagai Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994), Mu'jizat Al-Qur'an Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Mishbah. Selain itu ia juga banyak menulis karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah dia mengasuh rubrik "Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh rubrik "Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas namanya sendiri, yaitu "M. Quraish Shihab Menjawab". Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesanpesan al-Qur'an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur'an lainnya. Dalam hal penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan sabar, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, yaitu tentang sabar kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayatayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap
41
masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan
pendapat-pendapat
al-Qur'an
tentang
berbagai
masalah
kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan alQur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an.4
B. Pendapat M. Quraish Shihab tentang Dasar Sistem Ekonomi Islam Menurut Quraish Shihab bahwa secara umum prinsip ekonomi Islam terangkum dalam empat prinsip pokok yaitu tauhid, keseimbangan, kehendak
4
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 366
42 bebas, dan tanggung jawab.5 Menurut Quraish Shihab bahwa berbicara dalam Seminar
Nasional
menyangkut
Sistem
Ekonomi
Islam
dengan
penyelenggaranya adalah Rumah Sakit Islam, mengingatkannya pada komentar sebagian pakar yang menyatakan bahwa sebagian dari kita memberikan perhatian yang sangat menonjol terhadap persoalan ekonomi, sehingga terkesan bahwa semua persoalan yang dihadapi satu masyarakat dapat terselesaikan dengan terselesaikannya masalah ekonomi. Ini adalah satu kesalahan fatal. Ini dapat diibaratkan dengan seorang dokter yang menemukan seorang pasien yang menderita penyakit pada salah satu organ tubuhnya. Jika pengobatan hanya dilakukan terhadap penyakit yang diderita oleh organ itu, lepas dari kaitannya dengan organ-organ tubuh lainnya, yang boleh jadi justru itulah penyebabnya, maka pasien yang diobati tidak pernah akan sembuh, bahkan boleh jadi akan menderita lebih parah. Bila upaya kita meraih "Kebangkitan Ekonomi Umat" seperti dilepaskan dari segala yang kait berkait dengannya, maka hasilnya akan serupa dengan hasil yang dicapai oleh dokter yang digambarkan di atas.6 Menurut Quraish Shihab al-Qur'an al-Karim dalam semua uraiannya, termasuk dalam bidang ekonomi, selalu memandang manusia secara utuh, sehingga
al-Qur'an
memaparkan
ajarannya
dengan
memperhatikan
kepentingan individu dan masyarakat. Individu dilihatnya secara utuh, fisik, akal, dan kalbu, dan masyarakat dihadapinya dengan menekankan adanya kelompok lemah dan kuat, tetapi tidak menjadikan mereka dalam kelas-kelas 5 6
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2011, hlm. 409. M.Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 193.
43
yang saling bertentangan sebagaimana halnya komunisme, namun mendorong mereka semua untuk bekerja sama guna meraih kemaslahatan individu tanpa mengorbankan masyarakat atau sebaliknya.7 Dalam QS. az-Zukhruf [43]: 32, Allah berfirman yang maksudnya lebih kurang sebagai berikut: Apakah mereka, yakni manusia musyrik, yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu wahai Nabi agung? Tidak! Kami telah membagi melalui hukumhukum kemasyarakatan yang Kami tetapkan antara mereka serta berdasar kebijaksanaan Kami – baik yang bersifat umum maupun khusus – Kami telah membagi-bagi sarana penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, karena mereka tidak dapat melakukannya sendiri dan Kami telah meninggikan sebagian mereka dalam harta benda, ilmu, kekuatan, dan lain-lain atas sebagian yang lain peninggian beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain sehingga mereka dapat saling tolongmenolong dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena masing-masing saling membutuhkan dalam mencari dan mengatur kehidupannya. Dan rahmat Tuhanmu yang berupa kenabian yang mengantarmu bersama pengikutpengikutmu meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi lebih balk daripada apa yang mereka kumpulkan walau seluruh kekayaan dan kekuasaan duniawi.8 Menurut Quraish Shihab salah satu bukti ketidakmampuan manusia membagi rezeki duniawi adalah keinginan semua manusia untuk meraih sebanyak mungkin untuk diri dan keluarganya, tetapi ternyata, banyak yang tidak memperoleh dambaannya, bahkan manusia durhaka tidak pernah merasa 7 8
Ibid., hlm. 194. Ibid., hlm. 195
44
puas dengan perolehannya. Karena itu Allah yang membaginya dengan cara dan kadar yang dapat mengantar terjalinnya hubungan timbal balik antara anggota masyarakat.9 Memang kehendak dan usaha manusia hanyalah sebagian dari sebabsebab guna memperoleh apa yang didambakannya, sebagian lainnya yang tidak terhitung banyaknya berada di luar kemampuan manusia, sedang apa yang didambakan itu tidak dapat tercapai kecuali jika sebab-sebab yang lain itu terpenuhi semuanya dan bergabung dengan sebab-sebab yang berada dalam jangkauan upaya manusia. Yang dapat mewujudkan sebab-sebab lain itu dan yang kuasa menggabungnya hanyalah Allah SWT. Dialah Penyebab dari segala sebab. Demikian terlihat al-Qur'an berbicara secara utuh, mengaitkan satu faktor dengan yang lain, sambil menyinggung faktor X yang ditentukan-Nya, yang tanpa itu, keberhasilan tidak akan tercapai. 1. Prinsip Dasar Ajaran Ekonomi Islam Menurut Quraish Shihab Ekonomi yang secara sederhana dapat dikatakan "perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapat uang dan membelanjakannya" memperoleh perhatian yang besar dari alQur'an dan Sunnah, karena memang hal ini adalah sesuatu yang sangat penting; dalam kehidupan, bahkan dapat mengakibatkan runtuh dan tegaknya kemanusiaannya. Sedemikian pentingnya persoalan ini sehingga al-Qur'an dalam mengajak manusia mempercayai dan mengamalkan tuntunan-
9
Ibid., hlm. 195
45
tuntunannya dalam segala aspek, sering kali menggunakan istilah-istilah yang dikenal oleh dunia ekonomi dan bisnis; seperti jual beli, untung rugi, kredit, dan sebagainya. Perhatikan, antara lain, firman-Nya:
ِ ﻪ ﻗَـﺮﺿﺎ ﺣﺴﻨًﺎ ﻓَـﻴ ِﺬي ﻳـ ْﻘ ِﺮض اﻟﻠﻣﻦ َذا اﻟ ٌَﺟٌﺮ َﻛ ِﺮﱘ َُ ََ ًْ َ ُ ُ ْ ﻀﺎﻋ َﻔﻪُ ﻟَﻪُ َوﻟَﻪُ أ َْ (11 :)اﳊﺪﻳﺪ Artinya: Siapakah yang ingin memberi qardh (kredit) kepada Allah dengan kredit Jang baik, maka Allah akan melipatkan gandakan qardh itu) untuknya dan dia akan memperoleh ganjaran yang banyak (QS. al-Hadid [57]: 11).10
ٍ ﺗُـْﻨ ِﺠﻴ ُﻜﻢ ِﻣﻦ َﻋ َﺬ اب أَﻟِﻴ ٍﻢ ْ ْ
ِ ﻬﺎ اﻟﻳﺎ أَﻳـ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ِﲡَ َﺎرٍةﻳﻦ آَ َﻣﻨُﻮا َﻫ ْﻞ أ َُدﻟ ﺬ َ َ َ (10 :)اﻟﺼﻒ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan satu perniagaan yang menyelamatkan kamu dari siksa yang pedih? (QS. ash-Shaff [61]: 10).11 Imbalan dari perniagaan itu, atau keuntungannya adalah:
ٍ ﻟَ ُﻜﻢ ذُﻧُﻮﺑ ُﻜﻢ وﻳ ْﺪ ِﺧ ْﻠ ُﻜﻢ ﺟﻨ ﺎت َْﲡ ِﺮي ِﻣ ْﻦ َْﲢﺘِ َﻬﺎ ْاﻷَﻧْـ َﻬ ُﺎر َوَﻣ َﺴﺎﻛِ َﻦ َ ْ َُ ْ َ ْ ِ ِ ﺒﺔً ِﰲ ﺟﻨﻃَﻴ ِ (12 :ﻴﻢ )اﻟﺼﻒ َ ﺎت َﻋ ْﺪ ٍن َذﻟ َ َ ُ ﻚ اﻟْ َﻔ ْﻮُز اﻟْ َﻌﻈ Artinya: Allah mengampuni dosa-dosa kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke ke tempat tinggi yang baik di dalam surga 'Adn. Itulah keuntungan yang besar (QS.ashShaff [61]: 1:2).12
10 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Terjemahnya, Jakarta: Depaq RI, 1989, hlm. 900. 11 Ibid., hlm. 910.. 12 Ibid., hlm. 928
al-Qur’an,
Al-Qur'an
dan
46
Mereka yang tidak ingin melakukan akfivitas kecuali bila memperoleh keuntungan, dilayani oleh al-Qur'an dengan menawarkan satu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan:13
ِِ ِ :ﺔَ )اﻟﺘﻮﺑﺔاﳉَﻨ ْ ن َﳍُ ُﻢ َﲔ أَﻧْـ ُﻔ َﺴ ُﻬ ْﻢ َوأ َْﻣ َﻮا َﳍُ ْﻢ ﺑِﺄ َ ﻪَ ا ْﺷﺘَـَﺮى ﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨن اﻟﻠ ِإ (111 Artinya: Sesungguhnya Allah Swt membeli dan orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka dan sebagai imbalannya mereka memperoleh surga QS. At-Taubah: 111).14 Ayat ini ditutup dengan pernyataan:
ِ ِ ِ ِ ِ َ ِﻪ ﻓوﻣﻦ أَو َﰱ ﺑِﻌﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣﻦ اﻟﻠ ﻚ َ ﺬي ﺑَﺎﻳَـ ْﻌﺘُ ْﻢ ﺑِﻪ َو َذﻟﺎﺳﺘَْﺒﺸُﺮوا ﺑِﺒَـْﻴﻌ ُﻜ ُﻢ اﻟ ْ َ ْ ْ ََ ْ َ ِ (111 :ﻴﻢ اﻟﺘﻮﺑﺔ ُ ُﻫ َﻮ اﻟْ َﻔ ْﻮُز اﻟْ َﻌﻈ Artinya: Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah. Maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Itulah keuntungan yang besar (QS. at-Taubah [9]: 111).15 Demikian terlihat al-Qur'an menggunakan logika pelaku bisnis dalam menawarkan ajaran-ajarannya. Menurut Quraish Shihab tentu saja tidak semua persoalan ekonomi dirinci oleh al-Qur'an, karena persoalan ini berkembang dari masa ke masa. Atas dasar itu;, al-Qur'an hanya, memberi tuntunan umum, berupa prinsipprinsip dasar yang dapat dijabarkan umat sepanjang masa sesuai dengan kebutuhan, serta kondisi sosial dan perkembangan masyarakat.16
13
M.Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, op. cit., hlm. 196. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Terjemahnya, op. cit., hlm. 300. 15 Ibid., 16 M.Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, op. cit., hlm. 197. 14
Al-Qur'an
dan
47
Kita dapat menyirnpulkan prinsip dasar ajaran Islam pada keyakinan Tauhid. Dari sinilah lahir prinsip-prinsip yang bukan saja dalam bidang ekonomi, tetapi juga menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akhirat. Tauhid dapat diibaratkan dengan matahari. Kalau di alam raya ini ada matahari yang diciptakan Allah menjadi sumber kehidupan makhluk di permukaan bumi ini dan yang berkeliling di sekitarnya planet-planet tata surya lagi tidak dapat melepaskan diri darinya, maka demikian juga dengan Tauhid. Di sekelilingnya ada kesatuan-kesatuan yang tidak boleh dilepaskan darinya, seperti kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, kesatuan hukum, dengan keadilan dan kemaslahatan, dan lainlain.17 Menurut Quraish Shihab kesatuan kemanusiaan mengantar pengusaha Muslim menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia, Muslim atau non-Muslim. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam mengharamkan bukan saja riba, tetapi juga penipuan atau dugaan dapat mengakibatkan
penipuan
walau
terselubung,
seperti
larangan
memperjualbelikan sesuatu yang tidak/belum jelas sifat dan keadaannya (Ba'i al-Gharar), sebagaimana melarang pula menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain. Kesatuan kemanusiaan mengharuskan manusia berpikir dan mempertimbangkan kepentingan umat manusia dalam semua tindakannya, bukan hanya untuk generasinya, tetapi juga generasi mendatang, sehingga dengan demikian
17
Ibid., hlm. 198.
48
terhindar penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk digunakan secara berlebihan oleh generasi masa kini saja.18 Keyakinan akan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seseorang untuk memiliki visi yang jauh ke depan, dan tidak hanya berupaya mengejar keuntungan duniawi saja. Dari sini pula al-Qur'an mengingatkan bahwa sukses yang diperoleh mereka yang berpandangan dekat, bisa melahirkan penyesalan dan bahwa kelak di masa depan mereka akan merugi dan dikecam (baca QS. al-Isra' [17]: 18-19). Tauhid juga melahirkan keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah dan berkesudahan kepada-Nya. Dialah Pemilik mutlak dan tunggal, yang dalam genggaman-Nya segala sesuatu, termasuk kepemilikan harta dan kewenangan menetapkan aturan pengelolaan dan pengembangannya. Dan karena Allah Maha Adil dan selalu memperhatikan kemaslahatan umat manusia, maka semua ketetapan hukum-Nya, atau produk ijtihad manusia yang dikaitkan dengan nama-Nya, tentulah harus bercirikan keadilan dan kemaslahatan. Di sini lahir ungkapan: "Di mana ada kemaslahatan di sanalah terdapat hukum Allah." Ada
tiga
kemungkinan
bagi
seorang
pemilik
harta
untuk
menggunakan hartanya. 1). Dibelanjakan, 2) Diinvestasikan, dan 3) Ditumpuk. Ketiga hal ini, jika menimbulkan kerusakan akhlak, dilarang keras oleh al-Qur'an.19
18 19
Ibid., hlm. 199. Ibid., hlm. 199.
49
Menurut Quraish Shihab seseorang boleh membelanjakan hartanya asal tidak mengakibatkan pemborosan atau membuang-buangnya. Seseorang tidak dibenarkan menggunakan hartanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang sejak awal telah diharamkan, seperti berjudi, berzina, dan minum minuman keras, bahkan seseorang yang terbiasa memberi Bantuan bukan
pada
tempatnya
dapat
dikenakan
pembatasan
kewenangan
menggunakan hartanya. Ini adalah salah satu kandungan pesan QS. an-Nisa' [4]: 5. Menginvestasikan harta pun tidak boleh terlepas dari aspek kemaslahatan dan keadilan itu. Dari sini lahir larangan riba. Apa pun definisi kita tentang riba, yang jelas unsur utamanya-adalah kezaliman, yakni eksploitasi yang lemah oleh yang kuat. Sedangkan penumpukan tanpa melaksanakan fungsi sosialnya diancam dengan siksa neraka (QS; at-Taubah [9]: 34, al-Humazah [104]: 12). Harta harus difungsikan, karena kalau ditumpuk dan tidak difungsikan maka jumlah m.odal kerja yang mestinya tersedia menjadi berkurang, dan ini dapat mengurangi kesejahteraan yang didambakan al-Qur'an. Semua kekayaan yang dimiliki seseorang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pemilik dan keluarganya, sedang yang berlebih harus diupayakan sedemikian rupa sehingga terjadi sirkulasi harta yang dapat menyentuh masyarakat banyak. Dari sini pula pemusatan kekayaan. pada satu atau dua kelompok Orang kaya saja sama sekali terlarang, "Agar harta tidak hanya
50
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. al-Hasyr [59]: 7). Menurut Quraish Shihab dari Tauhid lahir juga keyakinan dan keharusan adanya keseimbangan. Allah menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan "Engkau tidak melihat pada ciptaan ar-Rahman sedikit ketidakseimbangan pun" (QS. al-Mulk [67]: 3). Ketentuan-ketentuaan-Nya serta peraturan dan pengaturan yang direstui-Nya harus selalu berdasar keseimbangan itu sesuai pesan-Nya: "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurang neraca itu. (QS. ar-Rahmant55]:7-9].20 Dari keyakinan Tauhid lahir juga prinsip kebebasan manusia. Allah Yang Memiliki kebebasan mutlak, menganugerahkan kepada manusia kehendak bebas untuk memilih jalan yang hendak ditempuhnya. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah yang menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan nilai Tauhid. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab, baik secara individu (fardhu 'ain) maupun kolektif (fardhu kifayah).21 2. Landasan Ekonomi Islam Menurut Quraish Shihab Rasul SAW, pernah bersabda: "Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak yang dimaksud mencakup hubungan antara manusia dengan Allah, dengan sesama manusia, alam semesta, serta dengan din sendiri. 20 21
Ibid., hlm. 200. Ibid., hlm. 201.
51
Dalam menangani seluruh masalah kehidupan, Islam menekankan sisi moralitas, karena itu hukum-hukum (yang ditetapkan Allah berlaku di alam ini dan prinsip-prinsip kehidupan yang disinggung pada bagian yang lalu) tidak boleh dilanggar, termasuk ketika melakukan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi merupakan salah satu aspek dari hubungan antar manusia. Jika demikian, aspek moral tidak boleh ditanggalkan dalam setiap kegiatannya. Karena itu pula, peraturan-peraturan yang ditetapkan-Nya, termasuk dalam bidang ekonomi, selalu dikaitkan-Nya dengan memberi penekanan yang sangat besar terhadap aspek moral: Kejahatan, bukan saja yang dalam praktek tetapi juga yang dalam pikiran manusia, harus disingkirkan sampai ke akar-akarnya. Hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan dan syarat yang mengikat, serta sangsi yang menanti, merupakan tiga hal yang selalu berkaitan dengan bisnis, dan di atas ketiga hal tersebut ada etika. Ayat-ayat yang menganjurkan bersedekah melebihi kewajiban zakat atau anjuran untuk membebaskan utang atau sebagian darinya merupakan perintah yang seharusnya dipenuhi secara moral: "Dan jika (orang berutang) dalam kesukaran,
maka
berilah
tangguh
sampai
dia
berkelapangan.
Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu), lebih baik bag kamu, jika kamu mengetahui" (QS. al-Baqarah [2]: 280). Menurut Quraish Shihab di samping itu Rasul SAW memberi sekian banyak petunjuk guna mendukung terciptanya keharmonisan itu. Yang pertama dan utama adalah kejujuran. Dalam konteks ini beliau bersabda:
52
"Tidak dibenarkan seorang Muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib kecuali dia menjelaskan aibnya" (HR. al-Quzwaini) Keramahtamahan dan penawaran yang jujur tidak bertele-tele, juga merupakan pesan beliau: "Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam menjual, membeli, dan menagih" (HR. Bukhari dan at-Tirmidzi). Di sisi lain beliau melarang annajsy, yaitu mengajak orang lain untuk menawar padahal yang bersangkutan tidak bermaksud membeli, hanya agar orang lain mengikuti dalam tawarannya (HR. Bukhari). Dan masih bertebaran tuntunan lainnya, yang kesemuanya bertujuan melahirkan hubungan harmonis karena memang yang dituntut oleh al-Qur'an dalam berbisnis adalah 'an taradh(in) (QS. an-Nisa' [4]: 29), yakni berdasar suka sama suka dan kepuasan kedua pihak.22 Tetapi perlu diingat bahwa penekanan pada landasan moral ini, sama sekali tidak berarti menolak perolehan keuntungan material, atau tidak memperhitungkan manfaat ekonomi. Keberhasilan ekonomi dalam pandangan Islam, terletak pada kesesuaian antara kebutuhan moral dan material. Jika moralitas dipisahkan dari suatu kegiatan termasuk kegiatan ekonomi maka stabilitas dan keseimbangan sosial akan sangat rapuh dan akhirnya akan runtuh, karena ketika itu yang terjadi adalah persaingan tidak sehat dan antagonisme, curiga mencurigai, bukannya harmonisme kerjasama dan saling mencintai. Dalam konteks ini al-Qur'an mengingatkan:
(2-1 :﴾ )اﻟﺘﻜﺎﺛﺮ2﴿ ﱴ ُزْرُﰎُ اﻟْ َﻤ َﻘﺎﺑَِﺮ ﴾ َﺣ1﴿ َﻜﺎﺛـُُﺮأَ ْﳍَﺎ ُﻛ ُﻢ اﻟﺘ 22
Ibid., hlm. 202.
53
Artinya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.23 Maksudnya: "Kamu telah dibinasakan oleh persaingan tidak sehat guna memperbanyak materi hingga akhirnya atau sampai-sampai kamu berkunjung ke kubur-kubur" (QS. at-Takatsur [102]: 1-2). 3. Pembentukan Karakter Pelaku Ekonomi Menurut Quraish Shihab dalam upaya mewujudkan dan memelihara sistem ekonomi yang dikehendaki-Nya, maka al-Qur'an dan Sunnah memberi tuntunan kepada manusia, termasuk pelaku ekonomi. Dalam konteks ini di samping menegaskan bahwa Allah bersama manusia terlibat dalam perolehan rezeki, juga menegaskan bahwa Dia adalah Penjamin rezeki. 'Tidak ada satu binatang melatapun dipermukaan bumi ini, kecuali Allah menjamin rejekiNya" (QS. Hud [11]: 6). Di tempat lain ditegaskan-Nya kepada kaum yang tidak menganut ajaran Tauhid bahwa: "Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah tidak mampu memberikan rezeki kepada kamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya" (QS. al-Ankabut [29]: 17). Jaminan rezeki yang dijanjikan Allah kepada makhluk-Nya bukan berarti memberinya tanpa usaha. Organ-organ yang menghiasi tubuh manusia, insting yang mendorongnya untuk hidup dan makan, perasaaan dan kecenderungannya, selera dan keinginannya, rasa lapar dan hausnya, sampai kepada naluri mempertahankan hidupnya, adalah bagian dari jaminan rezeki
23
Yayasan Penyelenggara Terjemahnya, op. cit., hlm.1096.
Penterjemah/Pentafsir
al-Qur’an,
Al-Qur'an
dan
54
Allah swt. kepada makhluk-Nya. Tanpa itu semua, maka tidak akan ada dalam diri manusia dorongan untuk mencari makan dan mempertahankan'' hidup serta memperindahnya. Tidak pula akan terdapat pada manusia dan binatang pencernaan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan sebagainya. Jaminan rezeki yang diberikan Allah itu, tujuannya adalah untuk menanamkan rasa percaya diri, mengembangkan cinta kasih, serta ketenangan batin bila rezeki yang diharapkan belum kunjung tiba. Dengan demikian manusia tidak panik, apalagi berputus asa kalau ,tidak berhasil, dan tidak juga angkuh atau lupa daratan serta melupakan-Nya jika berhasil. Jaminan rezeki itu memberinya optimisme untuk terus berusaha walau berkali-kali didera kegagalan.24 Kalau manusia dalam mencari rezekinya bertitik tolak dari kesucian dan berupaya sekuat tenaganya, kemudian mengakhiri usaha maksimalnya itu dengan kepuasan, maka pasti kalaupun dia gagal meraih yang diharapkan Allah akan membantunya. Hajar, istri Nabi Ibrahim as., yang bertolak dari bukit Shafa (Kesucian) mencari air kehidupan untuk anaknya dan dirinya, berbolak-balik dari Shafa menuju Marwah (tempat kepuasan), akhirnya dianugerahi Allah rezeki yang bersinambung dari arah yang dia tidak pernah duga (baca QS. ath-Thalaq [65]: 2-3).25 Menurut Quraish Shihab perlu juga disadari bahwa al-Qur'an tidak memberi rincian menyangkut semua persoalan ekonomi. Prinsip dan nilai24 25
Ibid., hlm. 204. Ibid.,
55
nilai dasarnya antara lain yang disebut di atas dapat dijabarkan oleh manusia sesuai dengan situasi dan perkembangan masyarakatnya. Selama nilai-nilai, yang antara lain disebut di atas telah diperhatikan, maka itu telah dapat dinilai mencerminkan ajaran al-Qur'an dan Sunnah. "Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan pun" (QS. al-Haji [22]: 78). "Allah menghendaki buat kamu kemudahan dan Dia tidak menghendaki buat kamu kesulitan" (QS. al-Baqarah [2]: 185). 26 Tidak jarang karena didorong oleh kehati-hatian, kaum Muslim termasuk ulamanya meninggalkan hal-hal yang sebenarnya tidak terlarang, atau mengikat diri dengan ikatan yang dibuatnya sendiri. "Keragu-raguan terjerumus dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat meninggalkan sembilan persepuluh dari yang halal." Demikian Umar bin alKhaththab ra. Yang penulis kemukakan ini bukan berarti mempergampang, karena mengamalkan yang mudah dan direstui agama sama sekali bukan berarti mempergampang atau meremehkan agama.27
26 27
Ibid., hlm. 205 Ibid.,