88
BAB III KONSEP MODEL PEMBELAJARAN AKIDAH MENURUT ALQURAN Pembelajaran akidah merupakan suatu aktivitas (proses) yang sistematis dan sistemik terdiri atas beberapa komponen. Masing-masing komponen tidak bersifat parsial (terpisah), tetapi harus berjalan secara teratur, saling bergantung, komplementer dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan konsep
model
pembelajaran akidah yang baik. Konsep pembelajaran kidah tersebut dapat diuraikan pada penjelasan berikut: A. Konsep Model Pembelajaran Akidah 1. Pengertian Model. Pengertian model ditinjau dari aspek etimologis, adalah:
)a( contoh,
macam, tiruan, pola, acuan, bentuk, atau ragam, dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. (b) orang yang dipakai sebagai contoh untuk dilukis atau didiskripsikan. (c) orang yang memeragakan contoh. (d) barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru, atau dasar pola utama.1 Sedangkan istilah model dalam bahasa Arab yaitu: ِط َراز-طَ َرز, contoh: نموذج- قدوة-اسوة, pola: مخطط- تصميم,2 tiruan: مقلد-تقليد, يقلّد-قلّد, misal: مثال-مثّل – يمثّل,
1
Tim Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 751. Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Abditama, 2001), h. 281. Lihat juga: Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, (Surabaya: Alumni, 2005), h. 412. 2
Munir Ba’albaki dan Ramzi Munir Ba’albaki, Al-Maurîd al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi lil Mu’allimîn, 2007), h. 334.
89
dalam arti macam: مثال,ص ْنف ِ , نوع, acuan: قالب, acu/mengacu أشار– يشير.3 Model secara istilah diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan.4 Menurut Briggs, model adalah seperangkat prosedur dan berurutan untuk mewujudkan suatu proses”.5 Model juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti globe adalah model dari tempat kita hidup. Dalam pengertian lain, istilah ”model” diartikan sebagai pola dasar, benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, dan orang yang memeragakan atau dipakai sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa istilah yang identik dengan model, ditemukan dalam Alquran, yaitu: Qudwah, uswah, tamtsîl dan isyârah. a. Term Qudwah. Lafadz qudwah diartikan sebagai contoh, teladan atau ikutan, dalam bahasa Arab disebutkan قُ ْد َوةberasal dari kata dasar: يَ ْقدُو- قَدَا. Lafadz qudwah dalam Alquran disebutkan dengan dua derivasi, terdapat pada Q.S. al-An’âm [6]/55:90, dengan istilah اِ ْقتَ ِده
dengan arti “ikutilah” dan Q.S. az-Zukhruf
3 Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 102, h. 329, h. 350, h. 351, h. 329, h. 569, h. 3 dan h. 418. Kemudian akan ditelusuri pada ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa Al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, (BeirutLebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005),. Juga pada: Muhammmad Fu’ad ’Abd Al-Baqi, AlMu’jam al-Mufahras li-alfâdzi al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Ma’rifah, 1431H/2010M). 4 Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 127. 5
Lesslie Briggs, Instructional Design. (New Jersey: Ed. Techn. Publ, 1978), h. 23.
90
[43]/63:23, dengan istilah
َُم ْقتَ ُدوْ ن
dengan makna “pengikut/orang yang
mengikuti”.6 Ayat yang relevan dengan pembahasan terdapat pada Firman Allah swt. dalam Q.S. al-An’âm [6]/55:90 yang berbunyi: Ayat di atas menjelaskan bahwa para rasul adalah orang-orang yang telah mendapat hidayah Allah swt. Karena itu, Allah swt. memerintahkan Rasulullah saw. mencontoh dan mengikuti cara mereka dalam memberikan pembelajaran terutama dari aspek akidah dan akhlak yang mulia.7 Perintah mengikuti para rasul terdahulu berlaku juga untuk seluruh umat Rasulullah saw., terutama yang berilmu dan beramal sholeh.8 Rasulullah saw. juga diperintahkan menyampaikan kepada kaumnya, bahwa beliau tidak meminta imbalan dalam penyampaian pembelajaran akidah yang terdapat dalam Alquran ini,9 karena Alquran itu
6
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: PP. Krapyak, 1984), h. 1182. Juga pada: Ali Mutahar, Kamus Muthahhari, (Jakarta: Hikmah, 2005), h. 854. Lihat juga: Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqurâni al-Karîm, (BeirutLebanon: Dâr al-Ma’rifah, 2010 M/1431 H), h. 878. Dan pada: ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa Al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyah, 2005), h. 590. 7
Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 4, juz 7, (Damsyik: Dâr al-Fikri, 2009M/1430H),
h 296. 8
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1433H/2012M), h. 299. Dan pada: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Juz 3, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1434H/2013M), h. 236. Lihat juga: Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, juz 8, (Riyâdh: Maktabah Darussalâm, 1418H/1997M), h. 144. 9
Bahkan Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, mengharamkan mengambil upah atas penyampaian dakwah Islam. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid
91
sebagai peringatan bagi umat seluruh alam, baik dari kalangan jin maupun manusia. Konsep model pembelajaran qudwah berasumsi bahwa seseorang memerlukan contoh, teladan atau sesuatu yang bisa diikuti dalam kreativitas, inisiatif, ide dan inovasi dari pemberi potensi pembelajar kehidupan.10 Hanya saja konsep model pembelajaran qudwah ini, orang yang memeragakan contoh tidak bertemu langsung dengan peserta didik, sehingga perlu kreativitas dan usaha yang gigih untuk menggali dan memahami sosok teladan yang dapat diteladani, baik bersumber dari kitab suci, buku sejarah dan lainnya. Selain itu
model
pembelajaran ini lebih sesuai untuk pembelajaran orang dewasa terutama di fokuskan pada pendidik berdasarkan prinsip-prinsip androgogik. b. Term Uswah. Kata اسوةdisebutkan 3 kali dalam Alquran yaitu pada: Q.S. al-Ahzâb [33]/90:21, dan Q.S. al-Mumtahanah [60]/91:4 dan 6. Istilah اسوةartiya “suri tauladan”, “teladan atau sesuatu yang bisa di contoh.” 11 Ayat-ayat yang relevan dengan pembahasan ini adalah: 1). Q.S. al-Ahzâb [33]/90: 21
1, (Madinah: Maktabah al-‘Ulum al-Hukum, 1992 M/1412H), h. 417. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 539. 10
Endis Firdaus, Model-Model Pembelajaran Berbasis Nilai Islam, (Bandung: UPI, 2012), h. 323. 11 Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqur’âni al-Karîm, h. 117. Dan pada ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa Al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, h. 52.
92
Maksud ayat diatas, pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh yang baik dan patut diteladani, bagi siapa yang menginginkan keridhaan Allah swt., surga, dan rahmat-Nya pada Hari Kiamat, serta banyak mengingat Allah swt. dalam kondisi takut dan aman, perang dan damai.12 Kata ( اسوةuswah atau iswah) berarti keteladan. Ada dua kemungkinan tentang maksud keteladan yang terdapat pada diri rasul itu. Pertama dalam arti kepribadian beliau secara totalitasnya adalah teladan. Kedua dalam arti terdapat pada kepribadian beliau hal-hal yang patut diteladani. Pendapat pertama lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama. Kata fî dalam firman-Nya في رسول هللا/ fî rasûlillah berfungsi “mengangkat” dari diri rasul satu sifat yang hendaknya diteladani, tetapi ternyata yang diangkatnya adalah Rasul saw. sendiri dengan seluruh totalitas beliau.13 2). Q.S. al-Mumtahanah [60]/91:4
Maksud ayat di atas adalah: Sesungguhnya pada diri Ibrahim as. dan orang-orang yang beriman bersamanya terdapat teladan yang baik, baik ucapan
12
Uswatun Hasanah adalah teladan yang baik terutam kesabarana pada saat berperang dan keteguhan pada kebenaran Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 4, h. 256-h. 259. Lihat juga: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 4, juz 11, h. 21. 13 Q.S. al-Hasyr [59]/101:7. Ayat ini menunjukkan bahwa meneladani Nabi Muhammad saw. Secara totalitas adalah muthlak, berbeda ketika perintah meneladani Nabi Ibrahim as., ada pengecualiaan. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 4, juz 11, h. 508.
93
maupun perbuatan, terutama sikap mereka terhadap kaum musyrik. Tetapi, bukanlah suatu keteladan yang baik saat nabi Ibrahim as. memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah swt., hal ini tidak boleh ditiru, karena Allah swt. tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orangorang kafir.14 Ayat-ayat sebelumnya menuntun kaum beriman untuk tidak terpengaruh oleh hubungan kekerabatan yang dapat memberikan dampak negatif dalam kehidupan. Agama yang diajarkan Nabi Muhammad saw. merupakan agama dan tuntunan yang sama atas serupa dengan tuntunan dan cara hidup Nabi Ibrahim as. yang merupakan bapak para nabi serta leluhur orang-orang Arab yang juga mereka hormati dan kagumi. Karena itu, tidak heran jika ayat di atas mengemukakan sikap Nabi Ibrahim as. terhadap keluarganya yang berbeda keyakinan dengan beliau.15 3). Q.S. al-Mumtahanah [60]/91:6. Maksud ayat diatas, sesungguhnya pada diri Ibrahim as. dan orang-orang yang beriman bersamanya terdapat suri tauladan yang baik, yaitu bagi orang yang mengharapkan pahala Allah swt., karunia diakhirat, dan keselamatan dari adzab. Siapa yang menolak meneladani mereka, maka Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.
14 Q.S. an-Nisâ [4]/92:48. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 4, h. 323-h. 326. M. Quraisy Shihab, Tafsîr al-Misbah, volume 13, h. 591. 15
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 13, h. 590.
94
Sekali lagi ayat di atas menekankan perlunya meneladani Nabi Ibrahim as. Pengulangan ini juga bertujuan menguraikan bahwa peneladanan itu merupakan hal yang sangat penting bagi mereka yang pandangannya jauh melampaui hidup masa kini serta bagi mereka yang mendambakan kebahagiaan ukhrawi.16 Ini berarti yang tidak meneladani beliau terancam untuk tidak memperoleh kebahagiaan itu. Karena itu konsep pembelajaran dengan istilah uswah berasumsi bahwa untuk memperkuat dan memperindah akidah seseorang perlu contoh. Ada dua tokoh diperintahkan Allah swt. untuk dicontoh dan diikuti yaitu Nabi Muhammad saw. dan Nabi Ibrahim as. Konsep model uswah bisa aplikasikan pada semua jenjang pendidikan, dan sesuai untuk anak-anak, remaja maupun dewasa. c. Term Tamtsîl. Tamtsîl berasal dari matstsala-yumatstsilu, artinya memberi atau membuat contoh atau perumpamaan, disebutkan dalam Alquran sebanyak 147 kali, dengan berbagai derivasinya.17 Tamtsîl juga dikenal dengan istilah amtsâl yaitu bentuk jamak dari matsal. Kata matsal, mitsl dan matsil serupa dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafadz maupun maknanya.18 Istilah tamtsîl atau amtsâl dalam Alquran
16
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, jilid 14, juz 28, h. 501. Lihat juga: Iman Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, juz 106, bab 46, h. 317. Juga lihat: M. Quraisy Shihab, Tafsir alMisbah, volume 13, h. 594. 17
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqur’âni al-Karîm, h. 847-847. Dan pada ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa Al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, h. 668-779. 18
Syaikh Manna’ al-Qaththan, Mabâhits fî ‘ulum alqur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004 M/1425 H), cet. ke-13., h. 266.
95
ada tiga macam, yaitu: 1. Amtsâl musharrahah.19 2. Amtsâl kaminah.20 3. Amtsâl mursalah.21 Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amtsâl mursalah, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai tamtsîl. Sebagian ulama memandang bahwa hal seperti keluar dari adab Alquran. Seperti ar-Razi mengatakan ketika menafsirkan ayat: Menurut ar-Razi, sudah menjadi tradisi, menjadikan ayat ini sebagai tamtsîl ketika mereka saling meninggalkan satu sama lain (karena berselisih), padahal itu tidak dibenarkan. Sebab Allah swt. menurunkan Alquran bukan untuk dijadikan matsâl sebagai sarana perselisihan, tapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.
19
Amtsâl musharrahah, yaitu sesuatu yang dijelaskan dengan lafadz matsâl atau sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan). Misalnya: Q.S. al-Baqarah [2]/87:17-20, tentang orang munafik dengan api dan air dan Q.S. ar-Ra’d [13]/96:17 mengenai hak dan Batil, dengan air dan api. Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 1, h. 140 dan juz 13, h. 77. 20
Amtsâl kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz amtsal, tetapi ia menunjukkan makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat dan padat, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya.Contoh: Sebaikbaik perkara, tidak berlebihan, adil dan seimbang (Q.S. al-Baqarah [2]/87:68). Nafkah (Q.S. alFurqân [25]/42:67). Sholat (Q.S. al-Isrâ [17]/50:110). Infaq (Q.S. al-Isrâ [17]/50:29). Orang yang mendengar tidak sama dengan menyaksikan sendiri (Q.S. al-Baqarah [2]/87:260). Seperti yang telah kamu lakukan, maka seperti itu kamu akan dibalas (Q.S. an-Nisâ [4]/92:123). Orang mukmin tidak akan masuk dua kali lubang yang sama (Q.S. Yûsuf [12]/53:64 dan Q.S. al-Isrâ [17]/50:84). Lihat: Syaikh Manna’ al-Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulûm Alqur’ân, h. 284. 21
Amtsâl mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsâl, seperti pada: Q.S. Yûsuf [12]/53:41 dan 51, Q.S. an-Najm [53]/23:58, Q.S. Hûd [11]/52:81, Q.S. al-An’âm [6]/55:67, Q.S. Fâthir [35]/43: 43, Q.S.al-Baqarah [2]/87:216 dan 249, Q.S. al-Mudatstsir [74]/04:38. Q.S. arRahmân [55]/97:60, Q.S. al-Mukminun [23]/74, Q.S. al-Hajj [23]/103:73, Q.S. al-Shâffât [37]/56:61, Q.S. al-Mâidah [5]/112:100, dan Q.S. al-Hasyr [59]/101:14. Lihat: Syaikh Manna’ alQaththan, Mabâhits fî ‘Ulûm Alqur’ân, h. 268-285.
96
Ulama lain berperpendapat, bahwa tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Alquran sebagai tamtsîl, jika itu serius, tidak untuk main-main. Misalnya, ia sangat merasa bersedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab musabab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, ia lalu mengatakan: Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti itu, maka ia menjawab: Tetapi, menjadi dosa besar jika seseorang yang dengan sengaja menampakkan kehebatannya lalu ia menggunakan Alquran sebagai tamtsîl, meskipun saat bercanda dan bersenda-gurau.22 Faidah tamtsîl, adalah: 1. Menampilkan sesuatu yang ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya. Sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya Allah swt. membuat perumpamaan bagi keadaan orang yang menafkahkan hartanya secaranya secara riya bahwa ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun dari perbuatannya itu. 2. Mengungkapkan
22
Q.S. an-Najm [53]/23:58 dan Q.S. al-Kâfirun [109]/18:6. Lihat: Imam Fakhruddin arRazi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 16, juz 32, h.136-137.
97
hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.23 3. Menghimpun makna yang menarik dan indah dalam satu ungkapan yang padat, seperti amtsâl kaminah dan amtsâl mursalah. 4. Mendorong orang yang diberi matsâl untuk berbuat sesuai dengan isi tamtsîl, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah swt. membuat tamtsîl bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah swt., di mana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak. 5. Menjauhkan dan menghindarkan, jika isi tamtsîl berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya tentang larangan bergunjing. 6. Untuk memuji orang yang diberi tamtsîl. Seperti firman-Nya tentang para sahabat. 7. Untuk menggambarkan sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya tamtsîl tentang keadaan orang yang dikaruniai Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamalkannya. 8. Tamtsîl lebih berbekas dalam jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.24 Allah swt. banyak menyebutkan tamtsîl dalam Alquran untuk peringatan dan pelajaran. Seperti terdapat pada Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Hasyr [59]/101:21.
23 Q.S. al-Baqarah [2]/87:264 dan 275. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 3, h. 66. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 297 dan h. 289. 24
Q.S. al-Baqarah [2]/87:261 Q.S. al-Hujurat [49]/106:12. Q.S. al-Fath [48]/111:29. Q.S. al-A’râf [7]/39:175-176. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 277, jilid 2, h.241. Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 26, h. 200. Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 24, Juz 28, h. 91.
98
Maksud ayat di atas adalah perumpamaan-perumpamaan dibuat untuk manusia supaya mereka berfikir dan mendapat pelajaran. Kemudian pada ayat yang senada, perumpamaan hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berilmu. Namun disebutkan pula meskipun Allah swt. telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Alquran ini bermacam-macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai dan mengingkari (Nya).25 Kemudian Allah swt. berfirman dalam Q.S. an-Nûr [24]/102:34. Allah swt. menurunkan ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contohcontoh dari orang-orang yang terdahulu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.26 Banyak ayat yang relevan dengan pembahasan konsep tamtsîl, diantaranya adalah Firman Allah swt. dalam Q.S. Ibrâhîm [14]/72:24-26. Allah swt. menyerupakan kalimat thayyibah dengan pohon yag baik, sebab kalimat yang baik yaitu berdasarkan iman menghasilkan amal shaleh, sementara pohon yang baik menghasilkan buah yang bermanfaat. Kalimat yang baik adalah
25
Q.S. az-Zumar [39]/59:27, Q.S. al-Ankabut [29]/85:43, dan Q.S. al-Isrâ [17]/50:89. Lihat: Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 24, h. 36, juz 15, h. 118. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr alQur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h. 371. 26 Diriwayatkan dari Ali ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah menurunkan Alquran sebagai pembawa perintah dan larangan, tradisi masa lalu dan perumpamaan sebagai gambaran dan contoh. (HR. Tirmidzi).
99
syahadat yaitu kalimat asyahadu allâ ilâ ha illallâh yang terpatri di hati orang mukmin.27 Kalimat ini menghasilkan seluruh amal shaleh yang zahir dan batin. Setiap amal shaleh yang diridhai Allah swt. merupakan buah dari kalimat ini. Obyek yang dijadikan perumpamaan adalah kalimat thayyibah. Menurut ulama, kalimat thayyibah adalah tauhid, atau iman, seorang mukmin.28 Iman yang mantap itu bagaikan sebuah pohon yang baik, pohon ini memiliki akar yang kuat dan terhunjam ke dalam tanah, cabang-cabangnya menjulang ke atas, pada setiap musim selalu menghasilkan buah yang dapat dinikmati oleh manusia.29 Ini berarti, iman yang kuat itu terhunjam jauh ke lubuk hati (akar yang kuat dan terhunjam ke dalam tanah), amal-amalnya diterima Allah swt. (cabang-cabangnya menjulang ke atas), ganjaran Allah swt. selalu bertambah setiap saat (pada setiap musim selalu menghasilkan buah).30 Allah swt. membuat perumpamaan, yaitu memberi contoh dan perumpamaan agar manusia dapat menangkap makna-makna yang abstrak melalui hal-hal yang konkret, sehingga mereka selalu ingat. Konsep model pembelajaran tamtsîl berasumsi pentingnya menjelaskan makna yang abstrak melalui hal-hal yang konkrit. Selain itu tamtsîl mendatangkan dampak psikologi yang sangat kuat, sehingga bisa mempengaruhi kondisi
27
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 2, juz 2, h. 488.
28
Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 7, juz 13, h. 260. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 4, h. 477. 29
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 13, h. 139.
30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 7, h. 52-53.
100
emosional dan spritual seseorang.31 Konsep model pembelajaran ini juga dapat dipergunakan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat dan bangsa serta dapat melestarikan nilai-nilai budaya lokal, dengan memanfaatkan media yang ada di sekitar. d. Term Isyârah. Lafadz isyârah/syârah/syûrah berasal dari kata يشير- أشارdalam Alquran disebutkan satu kali yaitu dalam Firman Allah swt. Q.S. Maryam[19]/44:29,32 yang berbunyi: Maryam mendengar tuduhan kaumnya tetap tegar dan tenang, lalu sesuai petunjuk yang diterimanya, dia memberi isyarat kepada anaknya yang masih bayi, Isa as., untuk menjawab pertanyaan itu. Kaumnya berkata, “Bagaimana mungkin kami berbicara dengan bayi yang masih dalam ayunan?” Lalu serta merta Isa as. Mengucapkan sebagaimana direkam oleh ayat 30 hingga 33, bahwa: “Sungguh aku adalah hamba Allah swt. Allah Yang Maha Kuasa akan menganugerahiku Kitab Injil, sesuai dengan ketetapan-Nya sejak azali, dan Dia juga akan menjadikan aku kelak bila tiba masanya sebagai seorang nabi yang diutus-Nya menyampaikan tuntunan-tuntunan agama kepada Bani Israil. Allah swt. juga menjadikan aku seorang yang diberkati dengan aneka keberkatan di mana pun aku berada, dan Dia memerintahkan dengan sangat kepadaku agar melaksanakan
31
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 277 dan jilid 2, h. 241. Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 24, juz 28, h. 91. 32
Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqurâni al-Karîm,
h.117 .
101
shalat secara berkesinambungan dan menunaikan zakat secara sempurna selama aku hidup. Dia juga menganugerahkan kepadaku kemampuan lahir dan batin untuk berbakti, patuh, dan taat, serta selalu berbuat baik kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.33 Akhirnya, Isa as. menutup keterangannya dengan berkata atau berdoa, bahwa: “salâmun, yakni keselamatan besar dan kesejahteraan sempurna semoga tercurah atas diriku serta terhindar dari segala bencana, aib, serta kekurangan pada hari aku dilahirkan dan pada hari aku meninggal dunia, serta pada hari aku dibangkitkan hidup kembali, yakni di Padang Mahsyar nanti. Itulah sifat dan ucapan Isa putra Maryam, yakni apa yang Allah swt. sampaikan menyangkut Isa as. dan ibunya adalah firman Allah swt. yang haq. Allah Maha Benar, firman-Nya tidak disentuh oleh sedikit kebatilan pun. Lebih jauh, dijelaskan pada ayat 34 bahwa orang-orang kafir, yakni Yahudi maupun Nasrani, senantiasa berbantahbantahan dan meragukan kebenaran keterangan di atas, padahal ia adalah hakikat dan kenyataan yang sangat jelas.34 Ayat ini antara lain mengisyaratkan pertengkaran yang berkepanjangan serta keraguan yang terjadi di kalangan umat Kristen menyangkut hakikat Nabi Isa as. Dalam sejarah Kristen dikenal luas peranan Konstantin Emperor Romawi (280-337M) yang menghimpun para uskup agama Kristen untuk menyelesaikan 33
Q.S. Maryam [19]/44:30-32. Keutamaan surah Maryam, Ibnu Mas’ud menuturkan kisah hijrah yang pertama ke Habsyah, “Ja’far bin Abu Thalib membaca permulaan surah ini di hadapan Raja Najasyi dan para Punggawanya. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 8, juz 16, h. 420. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h. 108. Juga pada: Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h. 25. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi alKabîr, Jilid 3, h. 305. 34
Q.S. Maryam [19]/44:33-34. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 8, juz 16, h. 421.Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h. 108-110.
102
perbedaan pendapat mereka. Ketika itu berkumpul 2.170 uskup. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Isa as. adalah Tuhan yang turun ke bumi, yang menghidupkan dan mematikan siapa yang dikehendakinya, lalu naik ke langit (Keyakinan kaum Ya’qubiyah). Ada lagi yang berpendapat bahwa beliau adalah anak Tuhan (kepercayaan kaum Nastouriyah).35 Kelompok ketiga menyatakan bahwa beliau adalah salah satu oknum dari Ketiga Oknum (Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh Qudus). Ada yang percaya bahwa beliau adalah hamba Allah swt. dan Rasul-Nya, serta ruh dan kalimat-Nya. Dan masih banyak pendapat lain. Konstantin menetapkan satu pendapat, sebagaimana yang populer dewasa ini, dan menolak pendapat yang lain, bahkan penganut pendapat lain di kejar-kejar dan diintimidasi.36 Berdasarkan penjelasan ayat tersebut, maka konsep model pembelajaran isyârah berasumsi bahwa pada saat tertentu isyarat lebih kuat dan berbekas daripada perkataan dalam proses pembelajaran akidah. Berdasarkan term-term tersebut, pengertian model dari istilah umum maupun konsep model dalam Alquran, tidak ada perbedaan yang signifikan, terkecuali konsep model dalam Alquran penuh nuansa spritual. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model adalah teladan, pola atau rancangan yang merupakan
deskripsi
singkat
dari
sebuah
penjelasan
dengan
tujuan
menggambarkan sebuah bentuk yang sesungguhnya. Dengan kata lain model adalah “pola dasar atau contoh yang disusun menjadi seperangkat prosedur yang
35
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 16, h.30.
36
M. Quraish Shihab, Al-Lubab, Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur’an, jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 348.
103
berurutan
atau
kerangka
konseptual
untuk
mewujudkan
suatu
proses
pembelajaran”. yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan pembelajaran. 2. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran berasal dari belajar,37 dalam bahasa Inggris learn, kalau dalam bahasa Arab: يَتَ َعلَّ ُم, ُيَ ْدرُس, يَحْ فَظُ ع َْن ظَه ِْر قَ ْلب, يُ َعلِّ ُم, ُيَ ْكتَ ِشف, يَ ْعلَ ُم, dan jika berbentuk noun, yaitu learning, dalam bahasa Arab disebut: عرفَة ِ َم, تَ َعلَّم. Juga dekat dengan istilah teach (verb), dalam bahasa Arab يُ َعلِّ ُم,
ُيُ َدرِّس, ُيُلَقِّن, dan teaching (noun),
dalam bahasa Arab تَ ْعلِيْم, تَ ْد ِريْس, ُ َم ْذهَب, تَ َعالِيْم, sedangkan sebagian ahli yang lain menyebutkan berasal dari kata instruct (verb) dalam bahasa Arab: يُ َعلِّ ُم, يُرْ َش ُد, يُ ْع ِطى, تَ ْعلِ ْي َماتdan يَأْ ُم ُر. Dan dalam bentuk noun yaitu instruction, dalam bahasa Arab: َدرْ س, وصْ فِيَة, َ أَ ْمر, تَ ْعلِ ْي َمات, ذكر, موعظة, سلف, تَ ْعلِيْم, dan تَ ْد ِريْس.38 Berdasarkan penjelasan di atas diketahui ada sepuluh istilah yang identik dengan pembelajaran dalam Alquran, yaitu: Ta’lîm, tadrîs, tahfîzh, taksyîf, ta’rîf, tarsyîf, ta'thiyah, tadzkîr, tau’îzh dan taslîf.
37 Belajar akan bermuara pada satu hal yaitu perubahan tingkah laku seseorang, dengan kegiatan yang disengaja, disusun dengan sistematis dan terencana, dengan melakukan serangkaian kegiatan. Beberapa ciri perubahan perilaku yaitu: a) perubahan yang disadari dan disengaja (intensional). b) perubahan yang berkesinambungan (kontinyu). c) perubahan yang fungsional. d) perubahan yang bersifat positif. e) perubahan yang bersifat aktif. f) perubahan yang bersifat permanen. g) perubahan yang bertujuan dan terarah, dan h) perubahan perilaku secara keseluruhan. Lihat: Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 105-107. 38
Munir al-Ba’albaki, Al-Maurîd, Qamus Inklîzyi-Araby, (Beirut, Lebanon: Dâr El-Ilm Lil Malayâ, 2002), h. 471, h.519, dan h. 952-953.
104
a. Term Ta’lîm. Istilah ta’lîm berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Lafadz ta’lîm berasal dari kata ’alima, dalam berbagai bentuk kata ini ditemukan 531 kali dalam Alquran.39 Kata álima berasal dari huruf ’ainlam-mim, yang artinya menunjukkan bekas atas sesuatu sehingga membedakannya dengan yang lain.40 Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan
pembelajaran
difokuskan pada wazan ’allama-yu’allimu dengan berbagai derivasi disebutkan sebanyak 39 kali.41 Ayat yang relevan diantaranya adalah Firman Allah swt. dalam Q.S. al’Alaq [96]/01:4 dan 5. Maksud kedua ayat diatas adalah Allah swt. telah mengajarkan manusia menulis dengan pena, dan ini adalah nikmat yang sangat besar dari Allah swt. Dengan pena, Allah swt. mengajarkan manusia segala hal yang belum diketahuinya.42
39
Ar-Raghib al-Asfahani, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1992),
h. 580. 40
Abu al-Husain Ahmad Ibnu Fâris bin Zakariya, Mu’jam Muqâyis al-Lughah,IV, (Mesir: Mustafa al-Bâb al-Halabiy wa Syirkah, 1972), h. 109-110. 41
‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti alQur’ân, h. 515-516. 42
Kedua ayat ini berkaitan erat dengan ayat pertama sampai ayat kelima, karena hampir semua ulama sepakat bahwa lima ayat pertama dari surah al-’Alaq ini merupakan wahyu Alquran pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. pada tanggal 17 Ramadhan sebelum Nabi saw. berhijrah. Keutamaan surah al-‘Alaq: Permulaan surah ini merupakan wahyu pertama kali diturunkan. Adapun ayat selanjutnya turun, setelah dakwah Nabi tersebar ditengah kaum Qurais dan mereka melawan dan mengancam beliau. Lihat: Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 15, juz 30, h. 706. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 15, h. 451.
105
Kata ’allama yang berarti mengajar berasal dari kata ’alima. Kata ’alima mempunyai makna mengetahui hakikat sesuatu. Pengetahuan ini itu bisa berkenaan dengan zatnya (bendanya), dan bisa pula berkenaan dengan hukum ada tidaknya sesuatu. Pengetahuan itu ada yang bersifat teori dan ada yang bersifat praktis. Pengetahuan praktis adalah pengetahuan yang disertai dengan pelaksanaan, seperti pengetahuan tentang ibadah. Pengetahuan teori adalah pengetahuan yang tidak disertai tindakan, seperti pengetahuan tentang adanya alam ini. Subjek yang mengajar dalam kata ’allama itu adalah yang memiliki pengetahuan tentang apa yang diajarkan. Kata qalam
berarti alat untuk menulis. Qalam dalam ayat ini dapat
ditafsirkan dengan hasil dari penggunaan alat tersebut, yaitu tulisan. Hal ini dapat dimengerti, karena tulisan yang terbaca yang dapat menghasilkan pengajaran. Pena hanyalah berupa alat untuk menuliskan pengetahuan supaya dapat dibaca atau dipelajari. Pemilihan kata qalam sebagai ganti dari kitabah (tulisan) adalah untuk menggambarkan pentingnya peranan media alat tulis, baik berupa alat sederhana seperti pensil, maupun alat yang canggih berupa komputer.43 Kedua ayat di atas menerangkan bahwa Allah swt. telah mengajari manusia berkomunikasi dengan perantaraan qalam. Dia mengajar manusia bermacam-macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat baginya. Dengan pengetahuan itu, manusia lebih baik dari makhluk-makhluk lainnya.
43 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 98-99. Lihat juga: Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, jilid VI, (Kairo: Dâr al-Syuruq, 1992), h. 3939.
106
Manusia harus ’membaca’ yang tertulis dan tidak tertulis untuk mendapatkan pengetahuan. Mereka yang dapat melakukan ini adalah ulû al-bâb. Siapa ulû al-bâb telah Allah swt. gambarkan dalam Q.S. Ali Imrân [3]/89:190191. Dalam dua ayat tersebut tercantum dua kata yaitu ”pikir” dan ”dzikir”. Tafakkur (berpikir) mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya ini. Dzikir berarti mengingat-ingat yang ditujukan kepada Allah swt. Dzikir dapat dilakukan dengan menyebut asmâ Allah swt., baik dengan lisan atau dalam hati atau selalu menyebut asmâ Allah swt. dalam setiap akan melakukan aktivitas untuk memperoleh ridha-Nya. Hasil tafakkur ”ulû al-bâb” akan melahirkan sikap tasyakur. Sikap tasyakur melahirkan banyak amaliah yang dapat mensejahterakan manusia. Ayat-ayat ini bermula dengan tafakkur dan berakhir dengan amal.44 Firman Allah swt. dalam Q.S. at-Taubah [9]/113:122 menjelaskan betapa pentingnya belajar, Alquran memberikan gambaran bahwa dalam kondisi suatu negara dalam keadaan perang sekalipun, proses pembelajaran, khusus ilmu agama harus tetap dilaksanakan. Karena itu. konsep pembelajaran dengan istilah ta’lîm berasumsi pembelajaran merupakan transfer ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan IQ, EQ dan SQ peserta didik.
44
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1996), h. 443.
107
b. Term Tadrîs. Istilah تديرس/tadrîs artinya pembelajaran berasal kata dasar dal-ra-sin, ditemukan dalam Alquran sebanyak 6 kali.45 Ayat yang relevan dengan pembahasan diantaranya Firman Allah swt. dalam Q.S. al-An’âm [6]/112:105: Ayat di atas merupakan bantahan terhadap tuduhan orang-orang musyrik bahwa Nabi Muhammad saw. telah mendapat pembelajaran tentang Alquran dari Ahl Kitab. Dan menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak mempelajarinya dari manusia atau makhluk apa pun.46 Kata َ( د ََرسْتdarasta) berasal dari kata ( درسdarasa) yang berarti engkau pelajari, yakni membaca dengan seksama untuk menghapal atau mengerti. Ada juga yang membaca dengan memanjangkan huruf dâl, yakni ( دارستdârasta) dalam arti engkau membaca dan dibacakan, yakni oleh Ahl al-Kitab. Bacaan ketiga adalah ( درستdarasat) dalam arti telah berulang, maksudnya uraian-uraian Alquran telah berulang-ulang terdengar dalam dongeng-dongeng lama. Bacaan mayoritas adalah yang berarti engkau pelajari.47
45
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqurâni al-Karîm, h.496-497. Dan pada ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa Al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, h. 260. 46
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 3, h. 590.
47
Ini serupa dengan firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: ”Sesungguhnya Alquran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ’Ajam, sedang Alquran adalah dalam bahasa Arab yang terang. Q.S. an-Nahl [16]/70:103. Lihat: Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqidah wal Syari’ah wa al-Manhaj, jilid 7, juz 14, h.552. Lihat juga: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, bab10 4, juz 1, h. 424. Lihat juga: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, bab 105, juz 6, h. 427. Juga pada: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, bab 104, juz 3, h. 313.
108
Keanekaragaman dan keistimewaan yang dipaparkan oleh Alquran dan penjelasan-penjelasan yang diuraikan oleh Nabi Muhammad saw. sungguh mengagumkan setiap orang. Sehingga kaum Musyrikin menyatakan Nabi Muhammad saw. mempelajarinya dari orang lain karena uraian semacam itumenurut mereka- tidak mungkin datang kecuali dari seorang yang sangat berpengetahuan padahal Nabi saw. adalah seorang yang tidak dapat membaca dan menulis. Nabi Muhammad saw. sejak dini telah mengakui bahwa beliau adalah pelanjut dari risalah para nabi. Beliau mengibaratkan diri beliau dengan para nabi sebelumnya bagaikan seseorang yang membangun rumah, maka dibangunnya dengan sangat baik dan indah, kecuali satu bata di pojok rumah itu. Orang-orang berkeliling di rumah tersebut dan mengaguminya sambil berkata, ”Seandainya diletakkan bata di pojok rumah ini, (sungguh akan baik sekali). Maka, akulah (pembawa) bata itu dan akulah penutup para nabi.” Demikianlah sabda beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Jabir Ibn ’Abdilah.48 Firman Allah swt. dalam Q.S. al-An’âm [6]/112:156.
Ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelum dan sesudahnya yaitu 155 dan ayat 157, yang menyatakan: Allah swt. telah menurunkan kitab kepada Nabi Musa as. selain itu Allah swt. juga menganugerah kitab Alquran kepada Nabi 48
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 3, h. 591.
109
Muhammad saw. Alquran adalah kitab yang mulia diturunkan untuk seluruh manusia. Dan Alquran adalah kitab yang diberkahi maka hendaknya bersungguhsungguh mengerjakan petunjuk-petunjuk dan menjauhi larangan-larangan yang terdapat dalam Alquran serta selalu bertaqwa agar mendapat rahmat dari Allah swt.49 Oleh karena itu, orang yang menolak Alquran adalah orang-orang zalim, bahkan yang paling zalim, dan akan mendapat siksa dari Allah swt. karena orang yang menolak Alquran adalah orang yang berpaling dari kebenaran dan menyesatkan orang lain.50 Kata ( دراسةdirâsah) berarti mengulang-ulang membaca dengan penuh perhatian, untuk memahami atau menghapalnya. Dalam Q.S. Ali Imrân [3]/89:79, Allah swt. memerintahkan para pemuka Yahudi agar menjadi orang-orang rabbani karena mereka selalu mengajarkan al-Kitab dan dan karena mereka tetap mempelajarinya dengan tekun dan berulang-ulang, Ini tentu bukan berarti membaca kitab suci baru bermanfaat jika dibaca secara perlahan. Ada tiga macam cara membaca, yaitu: cepat, pertengahan, dan lambat. Membaca cepat dibenarkan selama keagungan Allah swt. diupayakan untuk dirasakan. Memang, ketika itu bisa saja pembacanya tidak menangkap kandungan pesan-pesannya, tetapi perlu diingat bahwa anjuran membaca Alquran buka sekedar untuk memahami kandungan pesannya, tetapi juga guna memperoleh ganjaran, dan ini dapat dicapai dengan merasakan kebesaran Allah swt. dan
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 3, h. 746.
50
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 3, h. 747.
110
keagungan Alquran ketika membacanya, baik maknanya dipahami maupun tidak.51 Konsep
tadrîs
berasumsi
bahwa
untuk
dapat
memahami
suatu
permasalahan peserta didik perlu mempelajari sesuatu dengan baik, melalui membaca dengan penuh perhatian dan dilakukan secara berulang baik bertujuan untuk menghapal maupun mengerti suatu topik. c. Term Tahfîzh. Pembelajaran dengan istilah tahfizh/hifzhun dengan kata dasar ha-fa-zha, disebutkan dalam Alquran 40 kali, dengan berbagai derivasi.52 Ayat yang relevan dengan pembahasan diantaranya Firman Allah swt. dalam Q.S. ath-Thâriq [86]/36:4. Setiap jiwa ada penjaga, yang ditugaskan untuk menjaga dan menghitung amal, yaitu para malaikat pencatat amal.53 Kata hâfizh digunakan untuk semua hal yang mengandung makna pengawasan dan pemeliharaan. Ingatan sesuatu yang dikuasai dinamakan hifzh atau hapal, pengawasan yang ketat sehingga bisa menguasai seseorang atau benda
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 3, h. 749.
52
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqurîni al-Karîm, h.434-435. Dan pada ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa Al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, h. 193-194. 53 Ayat senada terdapat juga terdapat pada Q.S. ar-Ra’d [13]/96:11, Q.S. al-An’âm [6]/55:6, Q.S. al-Infithâr [82]/82:10-11 dan Q.S. Qâf [50]/34:17-18. Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr alMunîr fi al-‘Aqidah wal Syari’ah wa al-Manhaj, jilid 15, juz 30, h. 554.
111
untuk dipelihara juga dinamakan hâfizh. Sehingga hâfizh identik dengan memelihara dan mengawasi.54 Karena itu, konsep tahfizh berasumsi bahwa pembelajaran merupakan proses penjagaan, pengawasan dan pemeliharaan. d. Term Taksyîf. Istilah تكشيف/( كشفtaksyîf/kasyfun) dari kata dasar kaf-syin-fa, disebutkan dalam Alquran sebanyak 20 kali dengan berbagai derivasinya.55 Kata taksyîf/kasyfun
dapat
diartikan
menyingkap
dan
juga
diartikan
menampik/menolak.56 Ayat yang relevan dengan pembahasan di antaranya Firman Allah swt. dalam Q.S. Yûnus [10]/51:107. Maksud ayat di atas, jika Allah swt. menyentuhkan sesuatu kemudharatan kepada seseorang, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hambahamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.57
54 Q.S. ar-Ra’d [13]/96:11, Q.S. al-Infithâr [82]/82:8-11. Lihat: M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h. 207-208. 55
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqurâni al-Karîm, h.366 dan 804. Dan pada ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, h. 639-640. 56
Q.S. an-Najm [53]/23:58. Lihat: M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 13, h.
214-215. 57
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, bab 107, juz 4, h. 299.
112
Ketika
membahas
tentang
”tidak
menyingkirkan
kemudharatan”
digunakan pengecualian, yakni ”kecuali Dia”. Tetapi tidak ditemukan pengecualian ketika berbicara tentang ”kehendak memberi kebaikan/anugerah. Hal ini disebabkan Allah swt. dapat saja menyingkirkan kemudharatan karena kasih sayang dan anugerah-Nya.58 Ayat ini menjelaskan keimanan kepada Allah swt. Istilah taksyîf
juga terdapat pada Q.S. Qâf [50]/34:22, menjelaskan
kondisi seseorang ketika sakaratul maut dan pada hari kiamat. Manusia pada saat di dunia ada ghithâ atau tabir yang menutup mata yaitu berupa kecenderungan yang berlebihan terhadap materi, kekuasaan dan aneka ajakan nafsu, pada saat sakaratul maut, tabir itu di angkat Allah swt., sehingga benar-benar yakin dan menghilangkan keraguan ketika di dunia. Begitu juga pada hari kiamat akan tampak hakikat-hakikat yang tersembunyi dalam kehidupan dunia ini, seperti melihat malaikat dan menyadari sepenuhnya bahwa Allah swt. adalah Penyebab semua Sebab.59 Konsep taksyîf berasumsi bahwa pembelajaran merupakan proses menyingkirkan kemudharatan dengan kasih sayang dari Maha Pendidik dan menyingkapkan hakikat kebenaran dengan mempertajam hati nurani dapat meningkatkan kualitas keimananan peserta didik.
58
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 5, h. 526.
59
Q.S. Qâf [50]/34:22. Lihat: M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 13, h. 36-37.
113
e. Term Ta’rîf. Lafadz ta’rîf/ma’rifah dari kata dasar ’ain-ra-fa, dalam Alquran disebutkan sebanyak 67 kali dengan berbagai derivasinya.60 Ayat yang relevan dengan pembahasan di antaranya Firman Allah swt. dalam Q.S. Muhammad [47]/95:6: Maksud arrafahâ lahum adalah telah diperkenalkan-Nya kepada mereka, yakni dengan memperkenalkan amal-amal kebaikan yang dapat mengantar ke surga serta memberi mereka taufik sehingga dapat mengamalkannya dengan baik. Dia juga menunjukkan kepada mereka tempat kediaman mereka di surga saat gugur di medan perang.61 Kemudian Firman Allah swt. pada Q.S. al-Baqarah [2] /87:146: Ayat di atas menjelaskan fanatisme dan sifat keras kepala sekelompok ahlul kitab. Disebutkan orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Allah swt. beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad saw. seperti mengenal anakanak mereka sendiri. Mereka mengenal Nabi saw., nama dan tanda-tandanya di kitab mereka, tapi sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
60
Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi Alqurâni al-Karîm, h.679. Dan pada ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti alQur’ân, h. 494-495. 61
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,volume 12, h.447.
114
Antara ayat 144-147 ada saling berkaitan, pembelajaran dari ayat-ayat tersebut adalah: Para ahli kitab sebenarnya sudah mengetahui tentang Nabi saw. sebagai nabi terakhir, tapi mereka menolak beriman dan mengikutinya, mereka lebih memilih dunia daripada akhirat. Ada sebagian segera memeluk agama Islam setelah melihat sifat dan tanda-tanda ada pada Nabi saw., seperti Abdullah bin Salam, salah seorang ulama Yahudi, setelah 'masuk Islam ia berkata: “Aku mengenalnya seperti mengenal anakku sendiri.” 62 Ayat ini menyingkap tabir dari suatu hakikat yang sangat penting. Yaitu sifat-sifat jasmani dan ruhani serta karakteristik Nabi saw. diungkapkan sejelasjelasnya dalam kitab-kitab samawi terdahulu. Semua itu tergambar secara sempurna dalam pikiran orang-orang yang telah menelaah kitab tersebut. Jadi ayat ini merupakan dalil akan kebenaran dakwah Rasul saw. dan keshahihan kenabiannya. Pembelajaran dengan konsep ta’rîf berasumsi bahwa awal penguasaan ilmu adalah pengenalan terhadap sesuatu. f. Term Tarsyîd. Istilah pembelajaran dengan lafadz ترشيد/tarsyîd berasal dari kata dasar ra-syin-dal, disebutkan dalam Alquran dengan berbagai derivasinya sebanyak 19 kali.63 Diantaranya Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah [2]/87:186:
62
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir Likalâmi al-‘Aliyyi al-Kabîr, Jilid 1, h.
105. 63
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras, h.318-319.
115
Maksud ayat di atas, jika ada hamba-hamba Allah swt. bertanya tentang Dia, maka Allah swt. adalah dekat, dan Dia mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Nya, maka hendaklah hamba-hamba Allah swt. itu memenuhi semua perintah-Nya dan beriman kepada-Nya, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.64 Ayat ini menyinggung masalah doa sebagai salah satu cara komunikasi antara hamba dengan Tuhan, karena do’a dan pendekatan diri kepada Allah swt. adalah inti segala ibadah.65 Abdullah bin Sinan meriwayatkan dari Imam Ja’far as. bahwa do’a menolak qadha’ setelah ditetapkan, maka seseorang sebaiknya perbanyak do’a karena do’a adalah pintu segala rahmat dan pencapai segala keperluan. Dan tidak akan teraih apa yang ada pada Allah swt. kecuali dengan do’a, karena tidak ada pintu yang sering diketuk melainkan dibukakan untuk yang mengetuknya.66
64
Sebab turun ayat ini, seseorag bertanya kepada Rasulullah saw. tentang Allah swt., ”Apakah Dia dekat sehingga dapat dipanggil dengan suara pelan atau Dia jauh sehingga dipanggil dengan suara keras? Maka turunlah ayat ini. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 1, juz 1, h. 515. 65 Ayat ini ditujukan kepada Nabi saw.: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Dia lebih dekat kepada kalian daripada diri kalian sendiri. Dan Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya. Sungguh Allah swt. sangat dekat karena bagaimana Dia jauh padahal Allah swt. berfirman, Allah berada di antara seseorang dengan hatinya. Lihat: Q.S. Qâf [50]/34:16 dan Q.S. al-Anfâl [8]/88:24. Lihat: Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 26, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982), h. 239. Juga lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, juz 15, h.117-118. 66 Kemudian ayat seterusnya, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk (selalu berada dalam
116
Do’a adalah kesadaran hati dan akal serta hubungan internal dengan Sumber segala Kelembutan dan Kebaikan. Oleh karena itu Amirul Mu’minin berkata: ”Allah swt. tidak menerima do’a hati yang lengah.” Dan Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: ”Sesungguhnya Allah swt. tidak mengabulkan doa dengan hati yang lalai.” 67 Selain itu, mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan ibadah, wajib memohon terkabul do’a kepada Allah swt. dengan iman dan amal saleh, taat kepada Allah swt. serta menjauhi maksiat.68 Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah [2]/87:256. Maksud ayat di atas, tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Jalan yang benar dan jalan yang sesat adalah jelas perbedaannya, karena itu, orang yang beriman kepada Allah swt. telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus.69 Karena itu, ar-Rusyd adalah petunjuk yang mengantarkan kepada kebahagiaan dan kesempurnaan.70
kebenaran.). Lihat: Syaikh Muhammad Ibnu Ya’qub al-Kulayni, Ushûl al-Kâfî, jilid 2, kitab alDo’a, hadits ke-7, (Beirut: Mansyurat al-Fajr, 2007M/1428H), h. 257. 67
Do’a bukan sekedar mencari perantara dengan faktor-faktor alami, tetapi lebih dari itu, do’a mendorong kita untuk berusaha memenuhi syarat-syarat dikabulkannya doa. Dengan demikian do’a akan menciptakan perubahan yang besar dalam kehidupan manusia dan pembaruan dalam perjalanan hidup serta memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Lihat: Syaikh Muhammad Ibnu Ya’qub Al-Kulayni, Ushûl al-Kâfî, h. 260. 68
Waktu mustajab doa: antara adzan dan iqamah, waktu sahur, idul fitri, dalam perjalanan, saat sakit, waktu sujud, setelah sholat lima waktu, ketika terzalimi. Lihat: Abu Bakar Jâbir alJazâiri, Aisar at-Tafâsir, Jilid 1, h. 135-136. 69
Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr., jilid 2, juz 3, h. 20.
70
Pembelajaran ayat di atas: 1) tidak dipaksakan ahlu kitab masuk Islam kecuali dengan kehendak mereka sendiri, dan jika menolak Islam mereka membayar pajak. 2) Islam seluruhnya
117
Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Hujurât [49]/106:7. Maksud ayat di atas bahwa ada Rasulullah saw. yang telah diutus untuk memberi pembelajaran, sehingga dengan petunjuk dari Allah swt. menjadikan orang-orang cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati, serta membenci kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.71 Pembelajaran dengan konsep tarsyîd berasumsi bahwa petunjuk dari râsyid/pendidik mengantarkan peserta didik untuk menempuh jalan yang lurus sehingga mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan. g. Term Ta’thiyah. Istilah تعطية/ta’thiyah, berasal dari kata dasar dari ’ain-tha-waw, disebutkan dalam Alquran sebanyak 14 kali,72 di antaranya Firman Allah swt. dalam Q.S. adh-Dhuhâ [93]/11:5.
adalah petunjuk agar senantiasa menjauhkan dari kesesatan dan bathil. 3) menjauhi kehinaan lebih didahulukan daripada menghiasi diri dengan keutamaan. 4) makna lailahaillallah yaitu iman kepada Allah swt. dan kafir kepada taghut. 5) kecintaan Allah diperoleh dengan iman dan taqwa. 6) pertolongan dan penjagaan Allah swt. hanya untuk kekasih-Nya tidak untuk musuh-Nya. Lihat: Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisar at-Tafâsir…, Jilid 1, h. 204. 71
Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 2, juz 3, h. 554.
72 Yaitu pada Q.S. Thâhâ [20]/45:50, Q.S. an-Najm [53]/23:34, Q.S. al-Lail [92]/09:5, Q.S. al-Kautsar [108]/15:1, Q.S. adh-Dhuhâ [93]/11:5, Q.S. at-Taubah [9]/113:58, 29, dan 58, Q.S. al-Qamar [54]/37:29, Q.S. al-Isrâ [17]/50:20, Q.S. Hûd [11]/52:108, Q.S. an-Nabâ [78]/80:36, Q.S. Shâd [38]38:39. Lihat: Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras, h. 502.
118
Ayat di atas berkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 4 yang menjelaskan alâkhirah lebih baik bagi Nabi Muhammad saw. dari permulaan. Kemudian dilanjutkan ayat kelima yaitu kelak Tuhan pasti memberikan karunia-Nya kepada sehingga hatimu menjadi ridha.
Menurut Quraish Shihab ayat ini berbicara
tentang kehidupan duniawi yang berkaitan dengan ketidakhadiran wahyu. Dan kehidupan ukhrawi lebih baik daripada kehidupan duniawi merupakan sesuatu yang jelas harus diyakini.73 Sedangkan menurut ar-Razi, akhirat lebih baik daripada kehidupan manusia karena kebahagiaan duniawi terbatas, sedangkan kebahagiaan ukhrawi melimpah.74 Firman Allah swt. dalam Q.S. Thâhâ [20]/45:50. Ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan memberikan kepada tiap sesuatu bentuk penciptaan (memberikan akal, instink (naluri) dan kodrat alamiyah untuk kelanjutan hidupnya masing-masing.), kemudian memberi petunjuk. Ayat ini merupakan jawaban Nabi Musa as. ketika Fir’aun menanyakan siapa Tuhan Nabi Musa as.75 Firman Allah swt. Q.S. al-Isrâ [17]/50:20.
73
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h. 384.
74
Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 16, juz 31, h. 192-194.
75
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h. 141.
119
Maksud ayat di atas, orang yang menginginkan memperoleh kenikmatan duniawi maupun
yang
menggabungkannya
dengan
kenikmatan
ukhrawi,
semua
memperoleh anugerah Allah swt. sehingga dapat berupaya meraih apa yang dikehendakinya itu. Anugerah Allah swt. tidak bisa dihalangi atau anugerah Alah swt. begitu banyak sehingga tidak akan pernah habis.76 Firman Allah swt. Q.S. Hûd [11]/52:108: Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.77 Ini merupakan rewad bagi orang-orang yang beriman. Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka konsep ta’thiyah berasumsi bahwa pembelajaran adalah suatu pemberian/rewad yang terus menerus baik berbentuk dzahir maupun batin. h. Term Tadzkîr. Lafadz تذكير/tadzkîr berasal dari kata dasar dza-ka-ra, disebutkan dalam Alquran sebanyak 164 kali dengan berbagai derivasinya.78 Ayat yang relevan dengan pembahasan di antaranya adalah Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah [2]/87:269:
76
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 7, h. 56.
77
Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 6, juz 12, h. 468.
78
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras, h.278-284.
120
Allah swt. menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya, dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak dan hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah swt.).79 Ayat ini berkaitan dengan keimanan kepada Alquran dan merupakan anugerah Allah swt. bagi yang dapat mengambil pembelajaran dari ayat-ayat Allah swt. Firman Allah swt. dalam Q.S. al-A’râf [7]/39:57. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa mempelajari fenomena alam untuk menambah keimanan. Ilmiah dan iman adalah perpaduan yang sangat baik.80 Firman Allah swt. dalam Q.S. al-A’râf [7]/39:201. Maksud ayat di atas, orang yang beriman dan bertaqwa dengan kemampuan tadzkîr dan mubsirah dapat menjadi kesalehan individu dan sosial.81
79
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisar at-Tafâsir, Jilid 1, h. 216.
80
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 4, h. 146-148.
81
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 4, h. 433-435.
121
Oleh karena itu konsep tadzkîr berasumsi bahwa pembelajaran merupakam proses untuk mengambil hikmah atau pelajaran dari semua kejadian dengan iman yang kuat dan kecerdasan yang luar biasa serta hati yang bersih. i. Term Tau’îzh. Lafadz توعيظ/tau’ îzh berasal dari kata dasar, waw-’ain-zha disebutkan dalam Alquran sebanyak 24 kali dengan berbagai derivasinya, 82 diartikan sebagai pembelajaran, nasehat dan peringatan.83 Firman Allah swt. dalam Q.S. al-A’râf [7]/39:164. Kata ta’izhûna berasal dari kata wa’izh yang dipahami oleh sementara ulama dalam arti nasihat dan ucapan-ucapan yang menyentuh hati.84 Kemudian, Firman dalam Q.S. al-A’lâ [87]/08:9.
82
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras, h.771.
83
Q.S. asy-Syu’arâ [26]/27:136, Q.S. al-’A’râf [7]39:164, Q.S. Luqmân [31]57:13, Q.S. al-Baqarah [2]/87:66, 231, 232, 275, Q.S. an-Nisâ [4]/92:34, 58, 63, 66 Q.S. an-Nahl [16]/70:90 dan 125, Q.S. an-Nûr [24]/102:17 dan 34, Q.S. Hûd [11]/52:46 dan 120, Q.S. as-Sabâ [34]/58:46, Q.S.ath-Thalâq [65]/99:2, Q.S. al-Mujâdalah [58]/105:3, Q.S. Ali Imrân [3/89]:138, Q.S. Yûnus [10]51:57, Q.S. al-Mâidah [5]/112:46, Q.S. al-A’râf [7]/39:145. Lihat: ‘Alamy Zâdahu Faidlullah Ibn Musa al-Hasany, Fathurrahmân lithâlibi âyâti al-Qur’ân, h.771. 84
Ayat di atas menggabarkan tiga kelompok. Pertama, kelompok pendurhaka yang diberi nasihat. Kedua, kelompok yang pernah memberi nasihat dan telah berputus asa melanjutkan nasihatnya karena merasa bahwa nasihat tidak berguna lagi. Yang ketiga, adalah yang masih melanjutkan nasihat, untuk dua tujuan, pertama melaksanakan kewajiban nasihat menasihati terlepas apakah mereka terima atau tidak, dan kedua, siapa tahu nasihat itu menyentuh hati mereka sehingga mereka sadar. Kelompok ketiga adalah yang terpuji. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 2, h.235.
122
Ayat ini ada yang memahaminya dalam arti: “Berilah peringatan kalau peringatan itu bermanfaat”85 Manfaat dimaksud antara lain ganjaran buat mereka yang menyampaikannya dan keterbatasan dari tanggung jawab sosial menyangkut amar ma’ruf dan nahi mungkar. Firman Allah swt. dalam Q.S. Luqmân [31]/57:13. Ayat di atas menjelaskan bahwa Luqman memberi nasehat kepada anaknya menyakut berbagai kebajikan dengan cara menyentuh hati. Beliau mengungkapkan nasehat tidak dengan membentak, tetapi dengan penuh kasih sayang. Kata bunayya mengisaratkan kasih sayang. Ini memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik. Luqman memulai nasehat dengan menekankan perlunya menghindari syirik. Redaksi yang membentuk larangan (menyekutukan Allah swt.) untuk menekankan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik.86 Orang tua merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya.87 Karena, selama dalam asuhan orang tua, anak belajar dari orang tua, segala tidak tanduk, perkataan, dan sikap orang tua selalu diamati dan diikuti oleh anak yag berada dalam pengasuhannya.
85
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 4, h.345.
86
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, jilid 21, juz 21, h. 159. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 11, h. 126-127. 87
Mahyuddin Barni, Pendidikan dalam Perspektif Al-qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2011), h. 59.
123
Konsep tau’ îzh berasumsi bahwa nasihat dengam ucapan yang baik, lemah lembut tidak kasar tapi tetap menyentuh hati adalah proses pembelajaran yang mendalam dan berkesan. Karena nasihat yang berpengaruh dapat langsung menembus dan menggugah perasaan serta membangkitkan kesadaran. j. Term Taslîf. Lafadz taslîf atau salafun berasal dari kata dasar, sin-lam-fa disebutkan dalam Alquran sebanyak 7 kali dengan berbagai derivasinya.88 Ayat yang relevan dengan pembahasan Firman Allah swt. dalam Q.S. az-Zukhruf [43]/63:56. Maksud ayat di atas, Allah swt. menjadikan Fir’aun sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. Ayat ini masih berkaitan dengan ayatayat sebelumnya, merupakan lanjutan kisah Fir’aun. Di sini, dikemukakan keangkuhan dan kesewenangannya yang mempengaruhi, mengelabui, dan memprovokasi, sehingga mereka patuh kepadanya dan mengakui kebesarannya bahkan ketuhanannya serta menolak kerasulan Musa as.
Sehingga mendapat
hukuman ditenggelamkan Allah swt. di Laut Merah. Lalu, Allah swt. menjadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian. Yakni, bagaimana Allah swt. menjatuhkan sanksi terhadap yang durhakabetapapun perkasanya-dan membela siapa yang taat walau tidak memiliki kekuatan fisik.89
88
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras, h.369.
89
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 12, h. 262.
124
Salah satu pelajaran dan contoh yang dimaksud adalah yang diisyaratkan dalam Q.S. Yûnus [10]/51:92, yakni diselamatkan badannya walau setelah ribuan tahun dari saat kematiannya. Hingga kini, jasad Fir’aun yang telah diawetkan (dalam bentuk mumi) dapat dilihat oleh pengunjung Museum Purpakala di Kairo. Konsep taslîf berasumsi bahwa mengambil pelajaran dari orang-orang atau benda masa lalu merupakan sebuah proses pembelajaran.
Berdasarkan paparan di atas, sepuluh term yang identik dengan istilah pembelajaran memiliki karakteristik masing-masing, misalnya: pembelajaran
ta’lîm
berasumsi
pembelajaran
merupakan
1) konsep
transfer
ilmu
pengetahuan yang dapat meningkatkan IQ, EQ dan SQ peserta didik. 2) konsep tadrîs berasumsi bahwa untuk dapat memahami suatu permasalahan peserta didik perlu mempelajari sesuatu dengan baik, melalui membaca dengan penuh perhatian dan dilakukan secara berulang baik bertujuan untuk menghapal maupun mengerti suatu topik. 3) konsep tahfidz berasumsi bahwa proses pembelajaran memerlukan penjagaan, pengawasan dan pemeliharaan. 4) konsep taksyîf berasumsi bahwa pembelajaran merupakan proses menyingkirkan kemudharatan dengan kasih sayang dari Maha Pendidik dan menyingkapkan hakikat kebenaran dengan mempertajam hati nurani dapat meningkatkan kualitas keimananan peserta didik. 5) pembelajaran dengan istilah ta’rîf berasumsi bahwa awal penguasaan ilmu adalah pengenalan terhadap sesuatu. 6) pembelajaran dengan konsep tarsyîd berasumsi bahwa petunjuk dari râsyid/pendidik mengantarkan peserta didik untuk menempuh jalan yang lurus sehingga mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan.
125
7) konsep ta’thiyah berasumsi bahwa pembelajaran adalah suatu pemberian/rewad yang terus menerus baik berbentuk zhâhir maupun bathîn. 8) konsep tadzkîr berasumsi bahwa pembelajaran merupakam proses untuk mengambil hikmah atau pelajaran dari semua kejadian dengan iman yang kuat dan kecerdasan yang luar biasa serta hati yang bersih. 9) konsep tau’îzh berasumsi bahwa nasihat dengam ucapan yang baik, lemah lembut tidak kasar tapi tetap menyentuh hati adalah proses pembelajaran yang mendalam dan berkesan. Karena nasihat yang berpengaruh dapat langsung menembus dan menggugah perasaan serta membangkitkan kesadaran. 10) konsep taslîf
berasumsi bahwa mengambil
pelajaran dari orang-orang atau benda masa lalu merupakan sebuah proses pembelajaran sangat berharga. Kesepuluh istilah pembelajaran tersebut jika dibandingkan dengan istilah pembelajaran secara
umum
ada beberapa
kemiripan, misalnya
istilah
pembelajaran ditinjau dari aspek pendidikan merupakan perkembangan dari suku kata belajar dan pengajaran.90 Konsep ini identik dengan konsep pembelajaran dengan istilah tadrîs. Istilah pembelajaran jika dilihat dari konsep pendidikan dimaknai sebagai proses transfer pengetahuan dan bimbingan yang berkelanjutan yang melibatkan pendidik dan peserta didik dalam kurun waktu yang telah ditentukan sehingga
90
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu sebagai hasil dari pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungan. Belajar bukan hanya sekedar menghapal, melainkan suatu proses mental yang terjadi dalam diri seseorang. Ada beberapa teori belajar, diataranya: Teori belajar menurut Gagne, teori belajar menurut Piaget, teori belajar menurut Roger, Lihat: Rusman, Model-Model Pembelajaran,Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:PT Raja Garafindo Persada,2011), h. 134. Lihat juga: Dimiyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 10.
126
tercapailah tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Pembelajaran adalah suatu
proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola
untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisikondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu.91 Pembelajaran secara sederhana diartikan sebagai sebuah usaha mempengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual seseorang agar mau belajar dengan kehendaknya sendiri. Melalui pembelajaran akan terjadi proses pengembangan moral keagamaan, aktivitas, dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar.92 Konsep ini identik konsep pembelajaran ta’lîm. Pembelajaran juga diartikan suatu proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, baik interaksi secara langsung maupun tidak langsung.93 Pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran sehingga
91
Syaiful Segala, Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, (Bandung: Alifbeta, 2006), h. 61. 92 Ada beberapa teori tentang pembelajaran diantaranya: teori constructivism, teori operant conditioning, teori conditioning, dan teori conectinism. Lihat: Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h.85. Lihat juga: Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 94. Lihat pula: Alex Sobur, Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 225. Juga: Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), h. 115. Sudirman, dkk., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 33. 93 Terdapat perbedaan pengertian antara pengajaran dan pembelajaran. Pengajaran terpusat pada pendidik, sedangkan pembelajaran terpusat pada keaktifan peserta didik dan pendidik. Lihat: Rusman, Model-Model Pembelajaran, h. 132.
127
menunjukkan adanya perolehan, penguasaan, hasil,94 proses atau fungsi belajar bagi si peserta belajar.95 Hal identik dengan konsep tau’îzh, tarsyîd, tadzkîr dan ta’thiyah. Tentu saja konsep pembelajaran dalam prspektif Alquran lebih detail dan mempunyai karakteristik sendiri dan penuh nuansa spritual yang mendalam. Karena itu konsep pembelajaran ini jika dihubungkan dengan konsep akidah,
maka
dapat
disimpulkan
pembelajaran
akidah
adalah
usaha
mempengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual seseorang agar mau belajar akidah dengan kehendak sendiri sekaligus sebagai proses transfer pengetahuan, proses interaksi langsung maupun tidak langsung, praktek kumonikasi traksaksional yang bersifat timbal balik, bimbingan yang berkelanjutan dan
proses dimana
lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. 3. Konsep Model Pembelajaran Akidah Pembelajaran akidah adalah pembelajaran tentang akidah Islam yang meliputi iman, kepercayaan atau keyakinan dasar Islam yang harus diyakini oleh
94
Pendidikan, latihan dan pembelajaran mempunyai pengertian yang berbeda, tapi berhubungan erat. Pendidikan lebih menitik beratkan pada pembentukan dan pengembangan kepribadian, jadi mengandung pengertian yang lebih luas, sedangkan latihan (training) lebih menekankan pada pembentukan keterampilan (skill). Pendidikan dilaksanakan dalam lingkungan sekolah, sedangkan penggunaan latihan umumnya dilaksanakan dalam lingkungan industri. Kedua istilah tersebut digabungkan dalam sistem proses pembelajaran (instruction), yaitu suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.Lihat: Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 66. Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 57. 95
Lesslie Briggs, Instructional Design, h.24.
128
setiap muslim, dan menjadi dasar bagi semua aktivitas.96 Atas dasar pemikiran tersebut, maka yang dimaksud dengan konsep model pembelajaran akidah adalah teladan, contoh, desain, pola atau rancangan proses pembelajaran yang merupakan deskripsi singkat dari sebuah penjelasan dengan tujuan menggambarkan bentuk proses pembelajaran akidah yang sesungguhnya. 97 Adapun konsep model pembelajaran akidah, jika ditinjau dari aspek pendidikan secara umum merupakan: pola, desain, rancangan, atau contoh, 98 dari suatu kegiatan pembelajaran akidah. Model pembelajaran akidah sebagaimana konsep model pembelajaran secara umum adalah suatu desain, rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk pembelajaran jangka panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lainnya.99 Selain itu, model pembelajaran akidah adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran akidah.
96
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa asâlîbihâ, (Damsyik: Dâr al-Fikr, [t.th]), h. 116. 97 Konsep adalah ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, dan rencana besar. Konsep juga diartikan sebagai abstraksi dari serangkaian peristiwa yang memiliki sifat-sifat yang sama, sehingga konsep merupakan landasan utama dalam menyusun teori. Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, h. 332. Nana Sudjana, dkk., Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, (Bandung: Sinar Baru, [t.th]), h. 9. 98
Model Pembelajaran juga diartikan pola dasar atau contoh yang disusun menjadi kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Lihat: Udin S Winata Putera, Model-Model Pembelajaran Inovatif, (Jakarta: UT, 2001), h. 3. Lihat juga: Edi Suresman, Model Pembelajaran Berbasis Islam, Model Pembelajaran Logika dengan Hiwar Jadali, dalam buku “Model-Model Pembelajaran Berbasis Nilai Islam,” (Bandung: UPI, 2012), h. 473. 99 Joyce, Bruce&Marsha Weil, Models of Teaching, Fifth Edition, USA: Ally and Bacon A Simon&Scuter Company, 1996, h.1. Lihat juga pada: Rusman, Model-Model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme Guru, h. 133
129
Istilah pendidikan, model, pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran Akidah dapat dilihat dari gambar berikut:
PENDIDIKAN
MODEL PEMBELAJARAN
PENDEKATAN STRATEGI METODE
TEKNIK
Berdasarkan gambar di atas dapat dipahami bahwa istilah
model
pembelajaran akidah dibedakan dari istilah pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran. Istilah model pembelajaran akidah mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu pendekatan,100 strategi,101 metode dan teknik
100 Pendekatan dari bahasa Inggris approach, artikan come near (menghampiri), go to (jalan ke) dan way path dengan (arti jalan), dalam pengertian ini dapat dikatakan bahwa pendekatan adalah cara menghampiri atau mendatangi sesuatu, atau cara pemprosesan subjek atas objek untuk mencapai tujuan, bisa juga diartikan cara pandang dalam konteks yang lebih luas. Pendekatan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang bisa digunakan adalah pendekatan pengalaman, pembiasaan, emosional, rasional, fungsional, keteladanan dan pendekatan terpadu. Pendekatan memerlukan pandangan falsafi terhadap subjek matter yang diajarkan, urutan selanjutnya melahirkan metode pembelajaran dan dalam pelaksanaannya dijabarkan dalam bentuk teknik pembelajaran. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum.Lihat: Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 169.
130
pembelajaran akidah.102 Dan pendidikan akidah lebih umum dari model pembelajaran akidah, karena model pembelajaran akidah adalah inti dari suatu pendidikan akidah. Sedangkan konsep model pembelajaran akidah yang akan didesain dalam penelitian disertasi ini adalah:
Tujuan
Penilaian Hasil Belajar dan Proses Pembelajarab
Prinsip Reaksi Model Pembelajaran
Akidah
Sistem Sosial
Sintakmatis
Sistem Pendukung
101 Strategi adalah a plan of operation achieving something, sedangkan metode a way in achieving something. Strategi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan pendidik dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Jadi strategi menunjukkan pada sebuah perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran.Sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi pembelajaran.Lhat: Rusman, Model-Model Pembelajaran, h. 132. 102
Menurut Suyono, Model pembelajaran adalah dipilih dalam rencana pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran dan dilaksanakan dengan suatu sintaks (langkah-langkah yang sistematis dan urut) tertentu. Pendekatan Pembelajaran: Latar pedagogis dan psikologis yang dilandasi filosofi pendidikan tertentu yang dipilih agar tujuan pembelajaran dapat tercapai atau dapat didekati secara optimal. Strategi pembelajaran: Rangkaian kegiatan terkait dengan pengelolaan siswa, pengelolaan lingkungan belajar, pengelolaan sumber belajar, dan penilaian untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode Pembelajaran: Langkah-langkah atau prosedur pembelajaran, termasuk penilaian, dalam rencana pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai. Teknik pembelajaran: Implementasi metode pembelajaran yang secara nyata berlangsung di dalam kelas, merupakan kiat atau taktik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Lihat: Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 22-23. Juga pada: TIM Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Model-Model Pembelajaran, (Jakarta: Pusdiklat Depag, 2006), h. 1.
131
Konsep model pembelajaran akidah dalam perspektif Alquran yang memungkin diteliti dan dikembangkan, setidaknya memiliki enam karakteristik, yaitu: a. Tujuan pembelajaran akidah. b. Prinsip reaksi, yaitu: Pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya pendidik melihat dan memperlakukan peserta didik, termasuk bagaimana respon peserta didik terhadap pendidik. c. Sintakmatis adalah: Tahap-tahap kegiatan dari model pembelajaran akidah, berupa strategi, metode atau teknik pembelajaran. d. Sistem pendukung,103 ialah: Semua sarana, alat/media dan bahan/materi yang diperlukan untuk melaksanakan model tersebut. e. Sistem sosial ialah: Situasi atau suasana, lingkungan dan norma yang berlaku dalam model tersebut.104 f. Penilaian hasil dan proses pembelajaran, popular juga disebut dengan dampak instruksional dan pendukung. Dampak instruksional ialah hasil belajar yang
103
Teori sistem mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) keseluruhan adalah hal yang utama dan bagian-bagian adalah hal yang kedua. (2) integrasi adalah kondisi saling hubungan antara bagian-bagian dalam satu sistem. (3) bagian-bagian membentuk sebuah keseluruhan yang tak dapat dipisahkan. (4) bagian-bagian memainkan peranan mereka dalam kesatuannya untuk mencapai tujuan dari keseluruhan. (5) sifat bagian dan fungsinya keseluruhan dan tingkah lakunya diatur oleh keseluruhan terhadap hubungan-hubungan bagiannya. (6) keseluruhan adalah sebuah sistem atau sebuah kompleks atau sebuah konfigurasi dari energi dan berperilaku seperti unsur tunggal yang tidak kompleks. (7) segala sesuatu haruslah dimulai dari keseluruhan sebagai suatu dasar, dan bagian-bagian serta hubungan-hubungan, baru kemudian terjadi secara berangsurangsur. Lihat: Redja Mudyhardjo, Flisafat Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 41. 104
Umumnya sistem sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Terdiri atas unsurunsur yang saling berkaitan antara satu sama lain. 2. Berorientasi kepada tujuan yang ditetapkan. 3. Didalamnya terdapat peraturan-peraturan dan tata tertib berbagai kegiatan tersebut. Lihat: JW. Getzel and E.G. Guba, Sosal Behaviour and Administrative Process, ([t.tp]: School Review,1975), h. 432.
132
dicapai langsung dengan cara mengarahkan peserta didik pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan dampak pendukung, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran,105 sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh peserta didik tanpa pengarahan langsung dari
pendidik. Dalam istilah kurikulum 2013 disebut sebagai
penilaian autentik, yaitu penilaian hasil belajar dan penilaian proses pembelajaran.
B. Karakteristik Konsep Model Pembelajaran Akidah Secara umum ada beberapa unsur
model pembelajaran yang menjadi
karakteristik model pembelajaran. Sedang secara khusus diantaranya adalah: (1) rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar. (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Menurut Joyce&Weil, setiap model pembelajaran memiliki unsur sebagai berikut: (1) sintakmatik, (2) sistem sosial, (3) prinsip reaksi. (4) sistem pendukung, dan (5) dampak intruksional dan pengiring.106 Sedangkan menurut Rusman unsur-unsur model pembelajaran adalah: (1) berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu, (2)
105
Udin S. Winata Putera, Model-Model Pembelajaran Inovatif, h. 10.
106
Joyce, Bruce&Marsha Weil, Models of Teaching, Fifth Edition, h. 5.
133
mempunyai misi dan tujuan pendidikan tertentu, (3) dapat dijadikan pedoman kegiatan pembelajaran, (4) memiliki bagian-bagian model, yaitu: urutan langkahlangkah pembelajaran, adanya prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung, (5) memiliki dampak sebagai akibat penerapan model pembelajaran, (6)
model
pembelajaran
dapat
dijadikan
pedoman
membuat
desain
pembelajaran.107 Pembelajaran akidah merupakan suatu aktivitas (proses) yang sistematis dan sistemik terdiri atas beberapa komponen. Masing-masing komponen tidak bersifat parsial (terpisah), tetapi harus berjalan secara teratur, saling bergantung, komplementer dan berkelanjutan. Karakteristik konsep model pembelajaran akidah meliputi:
1. Tujuan Pembelajaran Akidah. Tujuan identik dengan sasaran dan maksud, dalam bahasa Inggris disebutkan sebagai: aim, goal, objective, atau purpose.108 Sedangkan dalam bahasa Arab yaitu ghâyat, ahdâf atau maqâsid, secara umum istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu
107 TIM Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Model-Model Pembelajaran, h. 1. Juga pada: Udin S Winata Putera, Model-Model Pembelajaran Inovatif ,h 8. Lihat juga: Rusman, Model-Model Pembelajaran, h.136. 108
Aim, adalah tujuan umum, dicapai dengan perbuatan yang menentukan cara berkenaan dengan tujuan yang diharapkan. Jadi tujuan diperoleh melalui penekanan target khusus yang terdapatpada suatu distant tertentu. Tujuan dengan menggunakan istilah goal, tujuan tidak mungkin bisa dicapai melainkan dengan upaya yang dikerahkan sekuat tenaga, hal ini menunjukkan antara aim dan goal adalah kata yang sinonim. Objective, adalah tujuan khusus, atau purpose adalah hal-hal yang akan dilakukan atau yang akan dicapai. Lihat: Abdurrahman Salih Abdullah, Educational Theory: A Qur’anic Outlook, (Mekkah al-Mukarramah: Umm al-Qura University, [t.th]), h. 130-131.
134
tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktivitas.109 Tujuan pembelajaran akidah merupakan tujuan yang hendak dicapai setelah selesai diselenggarakan suatu proses pembelajaran akidah. Domain tujuan pembelajaran akidah dalam taksonomi pendidikan Islam, meliputi tujuh komponen, yaitu: a. Kontemplasi (tafakkur). Kontemplasi atau tafakkur merupakan domain pertama dari proses mencapai iman kepada Allah swt.110 Tafakkur ini didasarkan pada upaya Nabi Ibrahim as. dalam mencari kebenaran. Nabi Ibrahim as. mengeksplorasi alam dalam proses imannya kepada Allah swt., padahal Ibrahim as. hidup di tengah kaum dan bahkan bapaknya sendiri yang bernama Azar, menjadikan berhala sebagai Tuhan. Nabi Ibrahim as. melalui tafakkur dan tadabbur alam, mulai dari pengamatannya pada bintang, bulan, dan matahari untuk menuju kea rah iman kepada Allah swt.111 b. Pengakuan (tasyâhud). Pengakuan atau tasyâhud adalah domain kedua dari keimanan seseorang kepada Allah swt. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad saw. tentang
109
Abdurrahman Salih Abdullah, Educational Theory: A Qur’anic Outlook, (Mekkah alMukarramah: Umm al-Qura University, [t.th]), h. 114. Lihat juga: Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 133. 110
Q.S. Ali Imrân [3]/89:191. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 5, juz 9, h. 110. 111
Q.S. al-An’âm [6]/55:75-79. Lihat: Wahbah Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, jilid 4, juz 7,
h. 272.
135
hakikat seorang yang beragama Islam.112 Ketika Nabi Muhammad saw. ditanya tentang apa itu Islam, beliau menjawab bahwa Islam itu adalah pengakuan atau persaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah swt. (syahâdat tauhid), dan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah swt. (syahâdat rasûl). Selanjutnya, mengerjakan sholat, puasa, zakat dan haji yang merupakan bagian dari perilaku atau amaliah seseorang muslim.113 c. Percaya dengan bukti (burhân). Percaya dengan bukti (burhân) adalah domain ketiga dari keimanan seseorang kepada Allah swt. Hal ini diperoleh setelah melalui proses perenungan dan pengakuan sebelumnya. Bukti keimanan ini berasal dari alam semesta sebagai burhân kauni setelah dilakukan aktivitas penelitian dan pengamatan mendalam.114 d. Mampu membedakan kepercayaan (furqân). Domain keempat dari keimanan seseorang kepada Allah swt. yaitu mampu membedakan kepercayaan (furqân). Hal ini dapat diketahui dari kemampuan membedakan sistem kepercayaan yang dianut oleh orang lain beserta argumentasinya.115
112
Q.S. Ali Imrân [3]/89: 18. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 4, juz 7, h. 177, juz 15, h. 197. Lihat juga: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 1, h. 117 dan h.189. 113
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011),
h. 93. 114
Q.S. an-Naml [27]/48:64, Q.S. al-Fâthir [35]/43:27-28. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr alQur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h. 334. Lihat juga: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 26, juz 26, h. 18-20. 115 Q.S. al-Baqarah [2]/87:53 dan 185, Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 1,h. 239 dan h. 486. Juga pada: Q.S. al-Anbiya [21]/73: 48. Juga lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 22, juz 22, h. 154.
136
e. Yakin. Yakin adalah domain kelima dari keimanan seseorang kepada Allah swt.116 Yakin ini dapat dibagi dalam beberapa sub-komponen, yaitu taqlîd (ikut-ikutan), yakin, ‘ainul yaqîn (yakin dengan pengamatan), dan haqqul yaqîn (yakin yang sejati).117 Sampai pada tahap ini menyebabkan iman seseorang tidak mudah goyah dan teguh tertanam dalam diri pribadinya. Keyakinan ini termanivestasi dalam pelaksanaan rukun iman yang meliputi iman kepada Allah swt., malaikat, kitabkitab Allah swt., rasul, hari akhir, dan takdir. f. Ihsân. Ihsân merupakan domain keenam dari keimanan seseorang kepada Allah swt.118 Tahap ini di dasarkan dari hadis nabi Muhammad saw. tentang Islâm, imân dan ihsân. Yang dimaksud dengan ihsan sesuai dengan hadis adalah bahwasanya seseorang mengabdi kepada Allah swt. seolah-olah melihat Allah swt. dan jika tidak sanggup melakukan itu, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Melihat. Oleh karena itu, tahap ini dimaknai sebagai tahap ekspresi kepercayaan. g. Taqwa. Taqwa adalah domain tertinggi dari keimanan seseorang kepada Allah swt. Hal ini didasarkan pada yang memerintahkan orang-orang beriman untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat terdahulu, agar mereka 116
Lafadz yakin dan bentuk-bentuk tashrifannya ada 28 buah yang tersebar di 19 surat. Lihat: Muhammmad Fu’ad ’Abd al-Baqi, Al- Mu’jam al-Mufahras, h.1032. 117
Q.S. at-Takatsur [102]/16:1-8, Q.S. al-Waqi’ah [56]/46:95. Lihat: Imam Fakhruddin arRazi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 16, juz 32, h. 72-79. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Adzîm, jilid 4, h. 259. 118
Q.S. Luqman [31]/57:3. Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 13, juz 26, h.
123.
137
bertakwa kepada Allah swt. Takwa diartikan sebagai kemampuan untuk kepercayaan dengan cara menjalankan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan Allah swt.119 Selama hal ini tetap terjaga, maka keimanan seseorang akan terus meningkat. Sebaliknya, jika ia tidak mampu menjalankan perintah Allah swt. dan melanggar larangan Allah swt., maka tingkat keimanannya akan berkurang. Akidah diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan terwujud dalam perbuatan. Bukti keimanan seseorang diukur dari amalnya. Sebagai bukti bahwa seseorang itu beriman, tidak sekedar diukur dari kedalaman hati karena hal tersebut yang tahu hanyalah Allah swt. dan orang itu sendiri. Jika orang tersebut taat beribadah, beramal saleh, dan meninggalkan perbuatan maksiat atau dosa, dan itu dilakukannya ikhlas karena Allah swt., maka itulah wujud iman. Dengan demikian, akidah itu terwujud dalam perilaku yang proaktif dan dinamis dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari adanya rasa malu berbuat kejahatan, memberi salam, menyingkirkan duri dari jalan, berbicara yang baik-baik, menghormati tetangga, memuliakan tamu, dan lain sebaginya, semuanya termasuk dalam wujud atau bukti nyata dari adanya iman seseorang. Kualitas iman seseorang dinyatakan dalam ketaatan dan kesalehannya, dan hal ini bersifat subjektif, individual, serta batiniah.120 Jika dibandingkan dengan taksonomi Bloom yang membagi tujuan belajar dalam tiga domain, Bloom sebenarnya tidak memberikan perhatian secara khusus
119
Q.S. Yûnus [10]/51:63, Q.S. al-Baqarah [2]87:183, Q.S. al-Anfâl [8]/88:29. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h.382. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir AlMisbah, volume 1, h.484 dan volume 4, h. 514-515. 120
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, h. 95.
138
akan pentingnya agama dan keimanan. Berbeda dengan itu, pembelajaran akidah mengarahkan tujuannya pada peningkatan kualitas iman yang merupakan inti dari keberagamaan seorang muslim. Agar lebih mudah, keseluruhan domain, komponen
beserta
karakteristik
taksonomi
pembelajaran
akidah,
dapat
disistematisasi dalam bagan di bawah ini: Tabel 3.1: Domain, Komponen dan Karakteristik Taksonomi Konsep Model Pembelajaran Akidah DOMAIN
KOMPONEN Taqwa (Menjaga keyakinan) Ihsân (Ekspresi keyakinan) T A Q L Î D
Akidah (Dimensi Spritual, Emosional dan Intelektual)
Y A Q Î N
A I N U L Y A Q Î N
H A Q Q U L Q A Q Î N
KARAKTERISTIK Kualitas akidah ditunjukkan oleh perilaku ketaatan dan kesalehan yang bisa diamati. Bersifat subjektif, indivual dan batiniah. Akidah/Iman itu bisa bertambah karena ibadah, dan bisa berkurang karena maksiat. Akidah itu diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Akidah/iman memiliki banyak cabang. Rukun iman merupakan bentuk ekspresi keyakinan seseorang.
Yaqîn Furqân (Membedakan Kepercayaan) Burhân (Percaya dengan bukti) Tasyâhud (Pengakuan) Tafakkur (Kontemplasi)
Tabel di atas menggambarkan kualitas akidah/iman itu ditunjukkan oleh perilaku ketaatan dan kesalehan yang bisa diamati melalui kapasitas ilmu, akhlak,
139
dan amal seseorang. Domain iman bersifat subjektif, individual, dan batiniah. Itu sebabnya iman bisa bertambah karena ibadah dan bisa berkurang karena maksiat. Hakikat iman itu diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Iman itu memiliki banyak cabang, dan rukun iman merupakan bentuk ekspresi akidah seseorang. Iman yang membentuk akidah yang kokoh dalam diri seseorang sebenarnya juga diperoleh secara bertahap, yaitu berawal dari ikut-ikutan (taqlîd), yakin, yakin dengan bukti empiris (ainul yaqîn), dan iman yang sejati (haqqul yaqîn). Domain akidah ini sangat penting dalam pendidikan Islam, mengingat banyaknya ungkapan dan ajakan Alquran maupun hadis agar manusia senantiasa beriman kepada Allah swt. Jika diperhatikan secara seksama, taksonomi tujuan belajar yang dikemukakan oleh Bloom dkk., jelas memiliki warna yang dapat dibedakan dengan tujuan belajar akidah Islam. Taksonomi Bloom membagi tujuan belajar dalam tiga domain, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.121 Dalam hal ini, pembelajaran akidah Islam memiliki karakter yang khas bila dibandingkan dengan taksonomi Bloom, suatu hal yang tidak diperhitungkan oleh Bloom adalah dimensi spiritual dan keagamaan dalam proses pembelajaran, dimana point ini sangat urgen untuk pengembangan pendidikan ke depan.
121 Anderson, L. W. &Krathwohl, D.R., (Eds.), A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives:Complete, Edition, (New York: Longman, 2001), h. 67-68.
140
2. Prinsip Reaksi Pembelajaran Akidah. Prinsip Reaksi ialah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya pendidik melihat dan memperlakukan peserta didik, termasuk bagaimana respon peserta didik terhadap pendidik.122 a. Pendidik. Pendidik adalah guru yang memberi pelajaran kepada peserta didik. Pendidik merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaan sesuai dengan nilai-nilai Islam.123 Pendidik disebut dengan istilah: Murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, muzakki, ustâdz, dan mursyîd.124 Dalam konteks pembelajaran akidah, guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi murid.
122
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 membedakan antara pendidik dan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dan menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Undang-Undang Sisdiknas 2003 UU RI tahun 2003 Bab I Pasal 1 point 5 dan 6. 123
Ayat-ayat Alquran tentang pendidik, terdapat pada Q.S. ar-Rahmân [55]97:1-4, Q.S. an-Najm [53]/23:5-6, Q.S. an-Nahl [16]/70:43-44, Q.S. al-Kahfi [18]69: 66, Q.S. al-An’âm [6]/55: 75, Q.S. Luqmân [31]/57:13. Istilah pendidik dalam bahasa Arab: murabbi (orang yang mendidik), mu’allim (orang yang mengetahui), mu’addib (pendidik yang khusus mengajar di istana) , mudarris (orang yang memberi pelajaran), ustâdz (pendidik yang khusus mengajarkan pengetahuan agama), dan mursyîd (pendidik yang membimbing pada tarekat tertentu). Lihat: Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 41-42. Lihat juga: Mahyuddin Barni, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, h. 5 dan 49-58. 124 Q.S. al-Fâtihah [1]/05:2, Q.S. al-Isrâ [17]/50:24, Q.S. al-Baqarah [2]/87:151 dan 251, Q.S. al-An’âm [6]/55:105, Q.S. an-Nisâ [4]/92. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 1, juz 1, h. 186-187, Jilid 4, juz 4, h. 128. Dan lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 8,
141
Pendidik ada beberapa macam: 1). Allah swt. Ar-Razi membuat perbandingan antara Allah swt. sebagai pendidik dengan manusia sebagai pendidik sangatlah berbeda, Allah swt. sebagai pendidik mengetahui segala kebutuhan orang yang dididik-Nya sebab Dia adalah Zat Pencipta.
Pendidikan Allah swt. tidak terbatas hanya terhadap sekelompok
manusia saja, tetapi memperhatikan dan mendidik seluruh alam. 125 2). Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw. sebagai mu’allim menerima wahyu Alquran dan bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat manusia kemudian dilanjutkan dengan mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran tersebut.126 Hal ini pada intinya menegaskan bahwa kedudukan nabi sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh Allah swt. Sementara itu, sunnah sebagai sumber normatif kedua senantiasa memberikan perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan.127 Salah satu konsep pendidikan yang ditawarkan Rasulullah saw. adalah konsep pendidikan tanpa batas (no limits education), baik tanpa batas dalam arti ruang (tempat)
juz 15,h. 59. Juga lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 276 dan h. 410, jilid 2, h. 148. Juga pada: Seyd Muhammad al-Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur: Muslim Youth Men of Malaysia, ABM: 1980), h. 14. 125
Q.S.al-Fâtihah [1]/05:1-2 dan Q.S. al-Baqarah [2]/87:31-32. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 1, juz 1, h. 186-187. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir AlMisbah, volume 1, h.14-25 dan h.176-180. Juga lihat: Abdurrahman an-Nahlawi, Ushûl atTarbiyah al-Islâmiyyah wa asâlîbihâ, h. 88. 126 Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 2, juz 4, h. 128. Lihat juga: Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 59. 127
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 35.
142
maupun tanpa batas dalam arti waktu, yang sering disebut pendidikan sepanjang hayat (long life education). 3). Orang Tua. Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari kedua orang tua lah anak mulai mengenal pendidikan, dasar pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Alquran menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tua sebagai guru, yaitu memiliki kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio, dapat bersyukur kepada Allah swt., suka menasihati anaknya agar tidak menyekutukan Tuhan, memerintahkan anaknya agar menjalankan perintah sholat, sabar dalam menghadapi penderitaan.128 Itulah sebabnya orang tua disebut “pendidik qudrati” yaitu pendidik yang telah diciptakan oleh Allah swt. qudratnya menjadi pendidik. 4). Guru. Pendidik di lembaga pendidikan disebut dengan guru dan di perguruan tinggi disebut dosen, di Pesantren disebut kyai atau ustadz. Guru tidak sekedar menerima amanat dari orang tua untuk mendidik, melainkan juga dari setiap orang yang memerlukan bantuan untuk mendidikannya. Sebagai pemegang amanat, guru bertanggung jawab atas amanat yang diserahkan kepadanya. Allah swt. dalam Q.S. an-Nisâ [4]/92, ayat 58 berfirman:
128
Q.S. Lukmân [31]:12-19. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, jilid 11, juz 217, h.
153.
143
Maksud ayat di atas, Allah swt. memerintahkan menyampaikan amanat secara sempurna dan tepat waktu, kepada yang
berhak menerimanya, baik
amanah Allah swt. atau amanah manusia. Jika seseorang menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan adil, sesuai dengan apa yang diajarkan Allah swt., tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya lawan dan tidak memihak teman. Sesungguhnya Allah swt. memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah swt. adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.129 Kriteria pendidik, di antaranya: 1) bertakwa kepada Allah swt. 2) ikhlas. 3) berilmu.130 4) santun dan lemah lembut. 5) punya rasa tanggung jawab.131 6) zuhud.
129 Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Agama mengajarkan bahwa amanah adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi saw., “Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah.” Amanah memerlukan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyainan. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume2, h. 581-582. 130 Q.S. Ali Imrân [3]/89:79 dan 102, Q.S. al-Ahzâb [33]/90:70, Q.S. al-Baqarah [2]/87:272, Q.S. an-Nisâ [4]/92:114, Q.S. Sabâ’[34]/58:9, Q.S. al-Mujâdillah [58]/105:11. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, jilid 2, juz 3, h. 349, jilid 11, juz 13, h. 472-474. Juga lihat: Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 13, juz 25, h.201. Dan Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 3, h. 62, juz 14, h. 217. Lihat pula: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h.503-504. Juga pada: Athiyah al-Abrasyi, Ruh at-Tarbiyyât wa at-Ta’lîm, (Al-Qahirat: Isa al-Baby alHalaby, 1969), h. 136-139. 131 Q.S. Ali Imrân [3]/89:134, Q.S.al-A’râf [7]/39:199, Q.S. Thâhâ [20]/45:132, Q.S. alHijr [15]/54:92-93. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 262. Juga lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, jilid 8, juz 16, h. 660. Lihat pula: Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 124.
144
7) pemaaf.132 8) sifat rabbani, sesuai perintah Allah swt: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani.” 9) sabar. 10) jujur. 11) tegas dan konsisten. 12) adil dan bijaksana.133 Peran pendidik ditinjau dari aspek pendidikan secara umum adalah sebagai: 1) fasilitator yang menyediakan kemudahan bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar. 2) pembimbing yang membantu peserta didik mengatasi kesulitan dalam proses pembelajaran. 3) penyedia lingkungan yang berupaya menciptakan lingkungan yang menantang peserta didik agar melakukan kegiatan belajar. 4) komunikator yang melakukan komunikasi dengan siswa dan masyarakat. 5) model yang mampu memberikan contoh yang baik kepada peserta didik agar berperilaku yang baik. 6) evaluator yang melakukan penilaian terhadap kemajuan belajar siswa. 7) inovator yang turut menyebarluaskan usaha-usaha pembaruan kepada masyarakat. 8) agen moral dan politik yang turut membina moral masyarakat, peserta didik, serta menunjang upaya-upaya pembangunan. 9) agen kognitif yang menyebarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dan
132 Q.S. al-Hadîd [57]/94, Q.S. Ali Imrân [3]/89, Q.S. as-Asyûrâ [42]/62, Q.S. an-Nisâ [4]/92: 77, al-‘Alâ [87]/08:16-17 dan Q.S. as-Syûrâ [42]/62:40. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h. 255-228. Juga lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 4, h. 101. Juga pada:Assegaf, Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam, h. 111. 133
Q.S. Ali Imrân [3]/89:79, Q.S. al-Baqarah [2]/87:153, Q.S. at-Taubah [9]/113:119, Q.S. Fushilat [41]/61:6, Q.S. Hûd [11]/52:112, Q.S. an-Nisâ [4]/92:58 dan Q.S. Shâd [38]/38:20. Lihat: Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 3, h. 217. Lihat juga: Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, jilid 1, juz 1, h. 399. Dan lihat: Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 8, juz 16, h. 175. Juga lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 12, h. 13 dan volume 5, h. 763. Lihat pula: Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 5, h. 115, dan juz 23, h. 119-121. Dan lihat juga:Abdurrahman anNahlawi, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah wa asâlibihâ, h. 156-157.
145
masyarakat. 10) manajer yang memimpin kelompok peserta didik dalam kelas sehingga proses pembelajaran berhasil.134 Berbagai kriteria, peran, sifat dan perilaku yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik adalah untuk menghindari tidak terjadi kesalahan dalam proses pembelajaran sehingga dapat menelantarkan peserta didik dalam mencari nilainilai hidup dan mengembangkan kepribadiannya, serta pengetahuannya menurut ajaran Islam. Pendidik harus dapat menjadikan dirinya sebagai sosok teladan, tidak terbatas pada sikap dan perilaku, tetapi juga mencakup kemampuan untuk membimbing dan memotivasi peserta didik, disertai dengan kemampuan intelektual yang baik. b. Peserta Didik. Ada tiga istilah untuk peserta didik, yaitu pelajar (murid), anak didik dan peserta didik. Istilah murid khas pengaruh agama Islam. Istilah murid menunjukkan kepatuhan murid pada guru (mursyîd)-nya. Sebutan anak didik mengandung maksud guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Sedangkan istilah peserta didik mengisyaratkan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran.135
134
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 9.
135 Q.S. al-Alaq [96]/01:4-5. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h.463-465. Lihat pula: Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 165.
146
Karakteristik peserta didik , yaitu: 1)
peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.136
2) peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan pertumbuhan. 3)
peserta didik adalah makhluk Allah swt. yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.137
4) peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.138 5) kebutuhan peserta didik, yaitu: kebutuhan fisik, sosial, mendapatkan status, mandiri, berprestasi, ingin disayangi dan dicintai dan memiliki filsafat hidup.139 6) dimensi peserta didik, yaitu: dimensi fisik (jasmani), akal, keberagamaan, akhlak, rohani (kejiwaan), seni (keindahan), sosial.140
136
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 120.
137 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 48-50. 138
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 78.
139
Filsafat hidup disini adalah fitrah beragama. Menurut Hijazi, hakikat firah manusia adalah Islam, syaitanlah yang membedakannya dari agamannya. Dan salah satu sifat hakiki manusia adalah ingin mencapai kebahagiaan, sifat ini merupakan sunnatullah kepada manusia. Untuk mencapai kebahagiaan itu manusia memerlukan agama. Maraghi juga berpendapat bahwa Allah telah menjadikan fitrah manusia itu cenderung kepada Tauhid. Lihat: Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Wadhih, juz 21, (Qahirah: Muthba’ah al-istiqlat al-Kubra, 1968), h. 28. Lihat Sayyid Muhammad Husin Thaba, Thabai, Al-Mizân fi Tafsir Alqurân, juz 16 (Qum: Islamiah, 1972), h. 178-180. Lihat Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 7, (Beirut: Dâr al-Kutub, [t.th]), h. 45-46. 140
Q.S. at-Tîn [95]/28:4, Q.S. al-Muddatstsir [74]/04:4-5, Q.S. al-Anfâl [8]/88:60, Q.S. alA’râf [7]/39:31, 172, Q.S. al-Baqarah [2]/87:233, Q.S. al-Qalam [68]/02:4 dan Q.S. asy-Syu’ara [26]/47:137, Q.S. al-Hajr [15]/54:29, Q.S. asy-Syams [91]/26: 7-10, Q.S. an-Nahl [16]70:1 dan 6. Lihat: ‘Alamy Zadahu Faidullah Ibn Musa al-Hasan, Fathurrahmân li thâlibi âyâtil Qur’ân, h. 135-137. Juga pada: Azharuddin Sahil, Indeks Alquran, Panduan Mencari Ayat Alquran
147
7) intelegensi peserta didik, yaitu: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spritual, kecerdasan qalbiyah,141 8)
sifat peserta didik. Peserta didik sebaiknya memiliki sifat: Sabar, ikhlas, jujur, tawadhu’, qana’ah, toleran, ta’at, tawakal, khauf dan raja’, dan syukur.142
c. Prinsip Pembelajaran Akidah. Ada beberapa prinsip dalam pembelajaran akidah, di antaranya: 1). Aktivitas. Seorang anak berpikir sepanjang dia berbuat, tanpa berbuat anak tak berpikir, agar dia berpikir sendiri (aktif), ia harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri.143
Berdasarkan Kata Dasarnya, (Bandung: Al-Mizan, 1995), h. 16. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h.435 dan h. 344-347, volume14, h. 244. Muhammad Abduh, Tafsir alManâr, juz IV, (Mishr: Dar al-Manar, 1373 H), h. 119. Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 14, h. 218223. Juga lihat: Omar Muhammad al-Toumy al-Saybany, Al-Fikru at-Tarbawi, Baina alNadzariyah wa at-Tathbi, (Tharablis: Al-Mujahidyah al-Arabiyah al-Libiyah al-Sya’diyah alIsytiraqiyah, 1394 H/1985M), h. 137. Mila Hasanah, Pendidikan Karakter dalam Alquran, pada Jurnal Al-Adzka, Volume II, No.1, Banjarmasin: PGMI, Fakultas Tarbiyah, IAIN Antasari, Januari 2012, h. 37. Lihat juga: Al-Ghazali, Mi’raj as-Sâlikin, (Kairo: al-Saqafat al-Islamiyât, 1964), h. 16. 141
Mila Hasanah, IEQ dalam Perspektif Psikologi Qur’ani, dalam Jurnal Ittihad, Vol. 5, No. 8 Oktober 2007, (Kalimantan: Kopertais Wilayah XI, 2007), h. 62-65. Juga lihat: Mila Hasanah, Pendidikan Islam Berbasis IQ, EQ dan SQ, Makalah Pengembangan Teori dan Praktek Pendidikan, 2012, h. 4-6. Lihat pula: Mila Hasanah, Asma Al-Husna sebagai Paradigma Pengembangan Materi Pendidikan Islam, (Banjarmasin, Antasari Press, 2004), h. 104-110. Juga pada: Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 93-94. 142
Q.S. as-Sajadah [32]/75:24 dan 41, Q.S. al-Hujurât [49]/75:30, Q.S. adz-Dzâriyât [51]/67:51, Q.S. an-Nisâ [4]/92:103, Q.S. Thâhâ [20]/45:50, Q.S. Shâd [38]/38:82-83, Q.S. alA’râf [7]/39:56, Q.S. Ibrâhim [14]/72:7 dan Q.S. an-Nahl [16]/70:78. Lihat: Hamka, Tafsir AlAzhar, juz 14, h. 269 dan 274. 143 Q.S. al-Baqarah [2]/87:31-33. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 1, h. 176-177. Lihat juga: J. Piaget, dalam Ahad Aohani, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 6.
148
2). Motivasi. Ada tiga macam bentuk motivasi seperti termaktub dalam Alquran, yaitu: (a) janji. (b) ancaman. (c) pemanfaatan peristiwa-peristiwa penting.144 3). Individualitas. Peserta didik merupakan makhluk individu yang mempunyai perbedaan satu sama lain dalam segala hal, baik kecepatan atau keberhasilan dalam belajar yang dapat dikembangkan jika individu belajar sesuai dengan laju belajar masing-masing.145 4). Keperagaan. Peserta didik lebih senang belajar bila dapat perperan aktif dalam latihan/praktik dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.146 5). Ketauladanan. Peserta didik lebih suka memperoleh tingkah laku baru bila disajikan dengan suatu model perilaku yang dapat diamati dan ditiru.147 6). Pembinaan. Pendidik mengarahkan peserta didik untuk mengamati dan mengambil pelajaran dari orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan,
meyakini hanya Allah swt. yang memberi petunjuk. Peserta didik
belajar dari kesalahan orang lain, untuk mengambil pelajaran.148
144
Q.S. al-Baqarah [2]/87:81-82, Q.S. Yûsuf [12]/53:111, Q.S. at-Taubah [9]/113:25-26. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h.110-111. Lihat: Imam Fakhruddin arRazi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 8, juz 16, h. 16-19. 145
Q.S. al-An’âm [6]/55:165. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 4, juz 81, h. 486. Lihat juga: LAN RI, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: LAN RI, 2007), h. 38. 146
Q.S. al-Mâidah [5]/112:31. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 3, h. 97. Lihat juga: Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 68. 147
Q.S. al-Ahzâb [33]/90:21. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h. 424. Lihat juga: Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulâd fi al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Salâm li ath-Thiba’ah wa at-Tauzi, 1981), h. 125. Juga pada: Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 67. 148
Q.S. al-An’âm [6]/55:128, Q.S. al-Jatsiyah [45]/65:23. Lihat: Imam Fakhruddin arRazi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 4, juz 13, h. 156.
149
7). Minat dan perhatian. Penghargaan pendidik kepada peserta didik yang rajin beribadah dan berilmu pengetahuan, peserta didik membiasakan beribadah diwaktu malam dan selalu menuntut ilmu pengetahuan, agar memperoleh keberuntungan.149 8). Kasih sayang. Kasih sayang pada dasarnya memberi bentuk dan warna pada seluruh tindakan praktis pembelajaran, bahkan dapat dikatkan sebagai landasan yang membentuk bangunan teori dan praktik pembelajaran. Konsep ini lahir dari dasar keimanan yang memancarkan perasaan dan motivasi dalam seluruh tindakan pendidikan. Sentuhan kasih sayang yang tulus ditampilkan dalam komunikasi harmonis antara pendidik dan peserta didik.150 9). Keterbukaan. Prinsip keterbukaan lahir dari pandangan bahwa kualitas manusia terletak pada konteks hubungan dengan manusia lain dalam bentuk saling memberi kesempurnaan. Prinsip ini merupakan dasar-dasar penciptaan suasana dialogis antara pendidik dan peserta didik. Keterbukaan yang ditampilkan dalam suasana pembelajaran tersebut menjadi prinsip dasar keseluruhan konsep pembelajaran. Keterbukaan berarti pengakuan terhadap kekurangan dan kelebihan manusia (serta keyakinan bahwa Yang Maha Sempurna hanya Allah swt.), serta hasrat untuk meningkatkan dan
149
Q.S. al-A’râf [7]/39:204, Q.S. Ibrâhim [14]/72:24-25, Q.S. az-Zumar [39]/59:9. Lihat: Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 9, h. 228. 150 Q.S. al-An’âm [6]/55:12 dan 54. Lihat: Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 7, h.128 dan h. 212. Juga pada: Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, (Bandung:Alfabeta, 2009), h. 59.
150
mengembangkan kemampuan diri.151 Keterbukaan yang disadari dan dilakukan pendidikan dalam suatu tindakan pembelajaran akan mendorong peserta didik untuk membuka diri, sehingga bahan dan materi pembelajaran dapat diserap dan mejadi bagian dari diri terdidik, di samping dapat merangsang peserta didik untuk memperlihatkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dengan
demikian,
pendidikan
dapat
dengan
mudah
menuntun
dan
mengarahkan peserta didik sesuai denan perilaku dan sikap yang hendak diwujudkan sebagai hasil pembelajaran. 10). Keseimbangan (harmoni). Keseimbangan pada dasarnya merupakan prinsip yang diletakkan Allah swt. pada seluruh ciptaan-Nya. Dalam proses pembelajaran konsep ini ditujukan kepada kodrat dasar manusia sebagai makhluk Allah swt. yang memiliki dimensi fisik dan ruhani yang kualitasnya sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan-keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud berarti keselarasan seperti konsep sholat, amar ma’rûf, nahî munkar dan sabar. Bentuk keseimbangan antara peran individu dan sosial, yaitu hubungan individu dengan Allah swt., hubungan dengan sesama manusia serta hubungan individu dengan dirinya sendiri.152 Keseimbangan manusia dapat dilihat pula dari peran yang seyogyanya dilakukannya dalam kedudukannya sebagai ’abd (hamba) Allah swt., pengabdi yang tunduk dan patuh pada ketentuan dan perintah Allah swt. , sekaligus sebagai khalifah
151
Q.S. az-Zumar [39]/59:17-18. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 4, h. 42 dan h. 60. 152 Q.S. Luqmân [31]/57:16. Q.S. al-Mulk [67]/77:3. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir AlMisbah, volume 10, h. 305, dan volume 14, h. 198. Lihat juga: Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, h. 61.
151
(wakil) Allah swt. yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab memakmurkan dan memberi manfaat kepada siapapun di muka bumi. Kedua peran ini mewujudkan manusia yang sempurna (insân kâmil) yang menjadi tujuan model pembelajaran akidah. 11). Integralitas. Integralitas adalah gagasan yang menjadi prinsip model pembelajaran yang merupakan implikasi keutuhan pandangan Alquran terhadap manusia. Dalam prinsip ini terdidik dipandang sebagai manusia dengan segala atribut yang dimilikinya, yang terpadu secara utuh. Karena itu, dalam proses pembelajaran, upaya-upaya yang dilakukan pendidik senantiasa didasarkan pada keterpaduan dan integritas. Konsep integritas berarti pula memandang peserta didik bersama konteks waktu yang dialaminya. Ini berarti bahwa pendidik melihat peserta didik sekaligus dengan keikutsertaan situasi yang sedang terjadi dan dihayatinya berikut tempat yang sedang dihuninya. Dengan demikian, proses pembelajaran akan senantiasa mengikuti perkembangan dan perjalanan pengalaman yang sedang terjadi pada diri peserta didik.153 Karena
itu,
proses
pembelajaran
akidah
senantiasa
mengikuti
perkembangan dan perjalanan pengalaman yang sedang terjadi pada diri peserta didik.
153
Q.S. al-Qashash [28]/49:77. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 13, juz 25, h. 12. Lihat juga: Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, h. 59-62.
152
3. Sintakmatis Pembelajaran Akidah Sintakmatis adalah tahap-tahap kegiatan dari model pembelajaran akidah, berupa pendekatan, strategi, metode atau teknik pembelajaran. a.
Pendekatan Pembelajaran Akidah. Pendekatan pembelajaran merupakan suatu himpunan asumsi yang saling
berhubungan dan terkait dengan sifat pembelajaran. Berdasarkan tujuan utama dan fungsi pembelajaran akidah Islam yaitu mengembangkan fitrah keberagamaan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa melalui peningkatan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam.154 Ada
tiga
pendekatan
yang
memungkinkan
diaplikasikan
dalam
pembelajaran akidah,155 yaitu: 1) Pendekatan humanistik religius. Pendekatan ini memiliki enam ciri pokok yaitu akal sehat, individualisme yang mengarah kepada kemandirian bukan egoisme, haus pengetahuan, pendidikan pluraisme, haus pengetahuan kontektualisme yang lebih mementingkan fungsi daripada simbol, dan keseimbangan ganjaran dan hukuman. Lawan dari pendekatan ini adalah
154
Contoh pendekatan pembelajaran: pendekatan lingkungan, pendekatan ekspositori, pendekatan heuristik, pendekatan kontekstual, pendekatan konsep, pendekatan deduktif, pendekatan induktif, pendekatan sains lingkungan teknologi masyarakat, pendekatan kompetensi, pendekatan holistik, dan lainnya. Lihat: Suyono, dkk., Belajar dan Pembelajaran, Teori dan Konsep Dasar, h. 19. Achmadi, “Pendidikan Agama yang Mencerdaskan”, Jurnal Wahana Akademika, Vol 8, No.1 Pebruari 2006, (Semarang: Kopertais X Jateng, 2006), h. 9. 155
Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Keimana Kontemporer (Sebuah Pendekatan Qur’ani), (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 158-162.
153
pendekatan dehumanistik seperti pengajaran yang bersifat doktrin dan tidak berorientasi kepada kebutuhan peserta didik.156 2) Pendekatan rasional kritis. Pendekatan ini masih berhubungan dengan pendekatan humanistik karena manusia memang diberikan akal oleh Tuhan. Banyak ayat-ayat Alquran yang mendorong untuk menggunakan akal atau rasio untuk memahami fenomena yang ada di alam, misalnya dengan ungkapan ta’qilûn ada 24 ayat, pikiran dengan ungkapan tatafakkarûn ada 3 ayat dan yatafakkarûn ada 11 ayat.157 3) Pendekatan fungsional. Mengukur suatu kebaikan dan kebenaran atau kemanfaatan dengan sesuatu yang berfungsi secara nyata terhadap kehidupan. Misalnya akidah berkaitan dengan ingat kepada Allah swt., ingat kepada Allah swt. itu berfungsi bagi terciptanya ketenangan jiwa seseorang.158
156
Q.S. an-Nisâ [4]/92:39, Q.S. at-Tîn [95]/28:4. Dalam Alquran banyak ayat yang mengungkapkan al-Asmâ al-Husnâ dengan didahului penjelasan yang humanistik. Contoh pendekatan humanistik relegius seperti mengajarkan keadilan Tuhan dengan membeberkan peristiwa yang terjadi pada seorang penjahat yang akhirnya dia tidak bisa hidup tenang, karena dia menzalimi orang lain, maka dengan keadilan Tuhan terhadap dirinya dia merasa tidak tenang, kemana-mana dia selalu was-was takut ditangkap polisi atau dibalas oleh orang yang menzaliminya. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 10, h. 435. Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 154. Lihat: Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Keimanan Kontemporer (Sebuah Pendekatan Qur’ani), h. 158. 157
Q.S. al-Baqarah [2]/87:44, 73, 76, 219, 242, 266, Q.S. Ali Imrân [3]/89:65, 91 dan 118, Q.S. al-An’âm [6]/55:32, 50 dan 151, Q.S. al-A’râf [7]/39:169, 176, Q.S. Yûnus [10]/51:16, 24, Q.S. Hûd [11]/52:51, Q.S Yûsuf [12]/53:2 dan 109, Q.S. al-Anbiyâ [21]/73:10 dan 67, Q.S. alMu’minûn [23]/74:80, Q.S. an-Nûr [24]/102:61, asy-Syu’arâ [26]/47:28, Q.S. al-Qashash [28]/49:60, Q.S. Yâsin [36]/41:62, Q.S. ash-Shâffât [37]/56:138, Q.S. al-Mu’min [40]/60:67, Q.S. az-Zukhruf [43]/63:3, dan Q.S. al-Hadîd [57]/94:17. Q.S. ar-Ra’d [13]/96:3, Q.S. an-Nahl [16]/70:11, 41 dan 69, Q.S. ar-Rûm [30]/84:21, Q.S. az-Zumar [39]/59: 42, Q.S. al-Jâtsiyah [45]/65: 13, dan Q.S. al-Hasyr [59]/101:21. Lihat: Muhammmad Fu’ad ’Abd al-Baqi, Al- Mu’jam al-Mufahras, h. 330, h. 367,.dan h. 970. 158 Q.S. al-Fajr [89]/10:27-30. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h. 299. Lihat juga: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, ju 4, bab 21, h. 398-399.
154
Disamping tiga pendekatan di atas ada lagi lima pendekatan yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran akidah Islam, yaitu pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan rasional, pendekatan emosional, pendekatan keimanan dan pendekatan keteladanan.159 b. Strategi Pembelajaran Akidah. Strategi pembelajaran adalah a plan of operation achieving something, sedangkan metode a way in achieving something. Strategi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan pendidik dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Secara umum pengertian strategi adalah suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan sebagai pola-pola umum pendidik dan peserta didik dalam perwujudan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Strategi pada intinya adalah langkah-langkah terencana yang bermakna luas dan mendalam yang dihasilkan dari sebuah proses pemikiran dan perenungan yang mendalam yang dihasilkan dalam sebuah proses pemikiran dan perenungan yang mendalam berdasarkan pada teori dan pengalaman tertentu.160 Jadi strategi pembelajaran akidah menunjukkan pada sebuah perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran akidah yang ingin dicapai.
159
Ada lima pendekatan dalam GBPP PAI di SLTP yaitu: Pendekatan pengalaman, pembiasaan, emosonal, rasional dan fungsional. Lihat: GPP PAI SLTP tahun 2004. Dalam Kurikulum MTs tahun 2004 disebutkan tujuh pendekatan, yaitu: keimanan, pengalaman, pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, dan keteladanan. Kurikulum 2004 SK MTs 2004, bagian 2, Mata Pelajaran Akidah Akhlak, h. 24-25. . 160 Srategi pembelajaran: Rangkaian kegiatan terkait dengan pengelolaan siswa, pengelolaan lingkungan belajar, pengelolaan sumber belajar, dan penilaian untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi juga sering dipergunakan dalam istilah peperangan. Lihat: Rusman, Model-
155
Ada beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam menetapkan strategi pembelajaran, yaitu: 1) penetapan perubahan yang diharapkan. 2) penetapan pendekatan. 3) penetapan metode, dan 4) penetapan norma keberhasilan. Misalnya konsep model pembelajaran akidah dengan menggunakan strategi al-a’mâl al-qulûb, yaitu ibadah yang dilaksanakan seorang hamba dengan hati, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1)
Iman. Iman adalah membenarkan hati dengan wujud Allah swt., dan membenarkan apa yang diperintahkan Allah swt. 161
2)
Mahabbah. Mahabbah
yaitu mencintai Allah swt. dan mencintai semua
hamba Allah swt. yang cinta kepada-Nya. Berdasarkan Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah [2]/87: 165. Dan sabda Rasulullah saw:
وحب من بنفعين حبه. اللهم ارزقين حبك:كان النيب ـ صلى اهلل عليه وسلم ـ يقول يف دعائه وما زويت عين مما أحب فاجعله, اللهم ما رزقين مما أحب فاجعله قوة يل فيما حتب.عندك 162
)(رواه الرتمذى.فراغا يل فيما حتب
Model Pembelajaran…, h. 132. Lihat juga: Suyono, dkk., Belajar dan Pembelajaran, h. 22. Dan lihat: Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, h. 206. 161
Q.S. an-Nisâ [4]/92:136. Lihat: Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 70.
162
HR. At-Turmudzi, dengan sanad Hasan, dalam kitab ad-Da’awât, Lihat: Al-Imâm alHâfidz Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Jâmi’ at-Tirmidzi, (Beirut: Dâr as-Salâm), h. 73.
156
Ayat Alquran dan hadis diatas, mengisyaratkan hendaklah orang yang beriman mencintai Allah swt. dan mencintai hamba Allah swt. yang mencintai-Nya, mencintai baik dari segi keyakinan, perkataan dan perbuatan, dan tidak ada syarikat dalam cinta kepada Allah swt.163 3) Khasyah dan Khauf, yaitu takut hanya kepada Allah swt. Perbedaan antara khasyah dan khauf adalah: khasyah takut disertai memuliakan kepada yang ditakuti, sedangkan khauf takut tanpa adanya ta’dzim. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Mâidah [5]/112: 44. Dan Q.S. Ali Imrân [3]/89:175. Serta Q.S. al-Mulk [67]/77:12. Berdasar ayat-ayat tersebut, maka khasyah dan khauf adalah ibadah hati yang wajib disertai dengan mengesakan Allah ta’ala.164 4) Rajâ wa Raghbah. Rajâ adalah harapan kepada kepada kebaikan, sedangkan raghbah adalah cinta kepada kebaikan. Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. al-Kahfi [18]/69:110.
163 Q.S. Ali Imrân [3]/89 :31, dan Q.S. al-Baqarah [2]/87:165. Lihat: Abu Bakar Jâbir alJazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 71. 164
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 71.
157
Dan Q.S. al-Ahzâb [33]/90:21. Serta Q.S. al-Insyirah [94]/12:7-8. Adapun al-khair (kebaikan) itu semua milik dan kekuasaan Allah swt., dan Allah Maha Kuasa untuk memberikan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki, seperti Firman Allah swt. dalam Q.S. Ali Imrân [3]/89:26: Oleh karena itu raja (mengharap) dan mencintai kebaikan selain kepada Allah swt., merupakan sesat dan batil serta perbuatan musyrik dari aspek ibadah qalbiyah.165 5) Inabâh. Inâbah adalah menerima dan bertaubat kepada Allah swt. Inâbah adalah ibadah yang diperintahkan Allah swt. dalam Q.S. az-Zumar [39]/59:54. Sesungguhnya hidayah Allah swt. hanya kepada orang yang ber-inâbah, dan diperintahkan untuk mengikuti jalan orang yang berinabah kepada Allah swt.,
165
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 72.
158
sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran. Orang yang berinabah pada selain Allah swt. maka dia akan termasuk orang yang syirik. 166 6) Tawakkal adalah berserah diri dan menyerahkan persoalan hanya kepada Allah swt. Allah swt. memerintahkan untuk bertawakkal dan menjadikan tanda-tanda keimanan salah satunya adalah tawakkal. Firman Allah swt. dalam Q.S. alAhzâb[33]90:48. Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Mâidah [5]/112:23. Firman Allah swt. dalam Q.S. ath-Thalâq [65]/99:3. Firman Allah swt. dalam Q.S. Ibrâhim [14]/72:12. Berdasarkan ayat-ayat di atas tawakkal merupakan ibadah qalbiyah, yaitu ketentraman hati pada pemberian Allah swt., menyandarkan permasalahan dan usaha hanya kepada Allah swt.167 c. Metode Pembelajaran Akidah.
166
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 73..
167
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 71.
159
Metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi pembelajaran. Metode Pembelajaran merupakan langkah-langkah atau prosedur pembelajaran, termasuk penilaian, dalam rencana pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai. Metode dapat juga diartikan, sebagai cara-cara atau langkah-langkah yang
digunakan dalam menyampaikan sesuatu gagasan,
pemikiran atau wawasan yang disusun secara sistematis dan terencana serta didasarkan pada teori, konsep dan prinsip tertentu yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu terkait, tertutama ilmu psikologi, manajemen, dan sosiologi.168 Metode dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tharîqah yang berarti langkah-langkah strategis yang disiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Jika dikaitkan dengan pembelajaran, maka metode itu harus diwujudkan dalam proses pembelajaran, dalam rangka mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan baik.169 Metode pembelajaran diartikan sebagai alat yang dapat digunakan dalam
168
Ilmu psikologi, manajemen dan sosiologi erat kaitannya dengan metode karena didalamnya dijumpai pembahasan tentang jiwa dan perkembangan manusia sebagai salah satu pertimbangan dalam menyampaikan teori, konsep dan wawasan kepadanya. Secara bahasa, metode berasal dari kata metha yang berarti balik atau belakang, dan hodos yang berarti melalui atau melewati. Dalam bahasa Arab diartikan sebagai tharîqah atau jalan. Maka metode berarti jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kata metode selanjutnya dihubungkan denga logos yang berarti ilmu. Metodologi berarti ilmu tentang cara-cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. Lihat: Suyono, dkk., Belajar dan Pembelajaran, Teori dan Konsep Dasar, h. 19. Lihat juga: Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, h. 176. 169
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 131.
160
suatu proses pencapaian tujuan. Metode diartikan juga sebagai suatu cara untuk menyampaikan suatu nilai tertentu dari pendidik kepada peserta didik.170 Allah swt. telah memberikan berbagai macam metode dalam rangka memahami apa yang disampaikan-Nya kepada umat manusia melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya melalui Alquran, diantaranya: 1) metode
qirâ’ah.171 2)
metode al-qashash.172 3) metode basyîr wa nadzîr.173 4) metode dzikir.174
5)
pembiasaan dan disiplin dalam beramal.175 6) indoktrinasi.176 7) metode hidâyah.177
170 Adapun faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode pembelajaran yaitu: tujuan dan bahan pelajaran, peserta didik, lingkungan, alat dan sumber belajar, kesiapan guru. Lihat: Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, h. 43. 171
Q.S. Al-Alaq [96]/01:1-3. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h. 453-463. Lihat juga: Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Keimanan, h. 164-166. 172 Q.S. Yûsuf [12]:4, Misalnya kisah Maryam dalam Q.S. Maryam [20]/45:16-36, kisah Nabi Ibrahim dalam Q.S. Maryam [20]/45: 41-47, kisah kaum Saba’ dalam Q.S. Saba’ [34]/ 58:1517. Kisah kaum Nuh, ‘Ad dan Tsamud dalam Q.S. al-Qamar [54]/37:9-31, Q.S. al-Mu’min [40]/60:30-31, kisah Fir’aun dalam Q.S. al-Baqarah [2]/87: 49, 50, Q.S. al-Qashash [28]/49:4-13, Q.S. al-A’râf [7]/39:103, Q.S. al-Anfâl [8]/88:54, Q.S. Yûnus [10]/51:75, Q.S. Thâhâ [20]/45:56, dan Q.S. al-Mu’minûn [23]/74: 46. Lihat: Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Keimanan, h. 170. 173
Q.S. al-Mâidah [5]/112: 9, Q.S. at-Taubah [9]/113: 68, 72, Q.S. an-Nûr [24]/102: 55, Q.S. al-Fath [48]/111:29. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, h. 62 dan 176-177. Lihat juga: Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (Bandung:Penerbit MARJA, 2010), h. 43. 174
Kata dzakara ditemukan sebanyak 267 kali dalam Alquran. Berdzikir merupakan bentuk ibadah yang disunnahkan Rasulullah saw., agar selalu ingat kepada Allah disamping menjalankan ibadah-ibadah yang sudah ditentukan. Metode berdzikir banyak digunakan oleh pra ahli tarekat dalam rangka mendektkan diri kepada Allah swt. Thariqah adalah suatu metode praktis untuk membimbing seorang pencari dengan menelusuri suatu jalam berpikir, merasa, dan bertindak, memalui suatu urutan atau tahap-tahap menuju pengalaman tentang Realitas Ilahi (haqiqah). Lihat: Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 1, bab 7, h. 103. Lihat juga: J. Spencer Trimingham, Mazhab Sufi, (Bandung:Pustaka, 1999/1420), h. 3-4. 175
Q.S. an-Nisâ [4]/92:103 dan Q.S. al-Ankabût [29]/85:45. Lihat: Abû Bakar Jâbir alJazâiry, Aisar al-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 1, h.532-535, dan jilid 4, h. 136-139. 176 Ayat yang berkenaan dengan doktrin tentang Tuhan, misalnya didahului oleh kata “Qul”, meskipun tidak semua kata “Qul” menunjukkan indoktrinasi, setidaknya ada 311 kata “Qul” Alquran. KemudianaAda tiga jenis petunjuk bagi manusa yaitu: 1. Doktrin, 2. Ringkasan sejarah, dan 3. “magi” yang agung. Lihat: Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, Al-Mu’jam…, h.
161
9) metode ceramah.178 10) metode hiwâr.179 11) metode jadal,180 12) metode penugasan. 13) kerja kelompok. 16) metode pemberian mitsâl,181 17) targhîb dan tarhîb. 18) metode simulasi.182 d. Teknik Pembelajaran Akidah. Teknik pembelajaran adalah implementasi metode pembelajaran yang secara nyata berlangsung di dalam kelas, merupakan kiat atau taktik untuk mencapai tujuan pembelajaran.183 Teknik
pembelajaran
akidah,
pada
tahap
penanaman
keimanan,
diantaranya: 1) Penumbuhan kesadaran akan Yang Maha Pencipta, melalui tahap-tahap: a) mengarahkan pandangan manusia kepada alam raya.
571-575. Juga lihat: Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an, Eksistensi, Idealitas, Realitas, Normativitas, dan Historitas, (Yogyakarta: Pilar Media,2007), h. 26-27. 177
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min , h. 30 dan h. 38.
178
Q.S. Yûnus [10]/51:23. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar al-Tafâsir likalâmi al‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 2, h. 460-462. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 5, op cit., h. 376-377. 179
Q.S. al-‘Alaq [96]/01:9-10. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 16, juz 32, h. 20-21. 180
Q.S. ash-shâfât [37]/56: 20-23. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 4, h. 399-304. 181 Q.S. al-Muddatstsir [74]/04:1-7. Q.S. al-Qashas [28]/49:21. Q.S. al-Baqarah [2]/87:17. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 5, h. 462-464, Jilid 4, h. 60-62, Jilid 1, h. 29-31. Lihat juga: Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Alquran, h.77-90. 182
Q.S. al-Bayyinah [98]/100:7-8. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 5, h. 601-603. Lihat juga: Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 135. Juga pada: Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, h. 192. 183
Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, h. 23.
162
b) menjelaskan tentang Zat Pencipta. c) menjelaskan bagaimana seharusnya sikap manusia terhadap Pencipta. d) menjelaskan
pengertian
serta tata cara penerapan petunjuk Allah
swt. melalui Rasul-Nya baik berupa ucapan maupun sikap.184 2) Penumbuhan kesadaran akan Yang Maha Pencipta sebagai Tuhan. 3) Penekanan kesadaran bahwa Tiada Tuhan selain Allah swt.185 Teknik pembelajaran akidah, pada tahap pemantapan yaitu: 1) memahami keagungan kalam.186 2) melakukan penyucian hati dari dosa-dosa kemaksiatan dan kotoran keyakinan. Dalam tradisi tasawuf, proses penucian jiwa ini adalah dengan cara dzikir dan wirid secara teratur.187 3) menghadirkan hati dan meninggalkan kecenderungan jiwa.188 4) tadabbur: yakni merenungkan ayat-ayat Alquran, sehingga hati selalu terkait dengan Alquran. 5) istinbath: yakni berusaha menjelaskan isi kandungan setiap ayat. Dalam hal ini, tidak ada satu ilmupun kecuali dalam Alquran sumber, cabang, permulaan dan akhirnya. Kenyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan Ibnu Mas’ud
184
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan urutan turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 85. 185
Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Keimanan…, h. 177.
186
Mulla Shadra, Mafâtih al-Ghayb, (Iran: Takhsis at-Ta’liqat, 1343 H), h. 58.
187
Mulla Shadra, Mafâtih al-Ghayb, h. 59. Lihat juga: Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan BIntang, 1983), h. 77. 188 Barang siapa yang mampu mengeluarkan dari dalam hatinya kecintaan terhadap yang batil, maka akan masuk ke dalam hatinya cahaya-cahaya Ilahi. Lihat: Mulla Shadra, Mafâtih alGhayb, h. 59.
163
yang berkata, “Barangsiapa yang menghendaki ilmu awwalîn dan âkhirîn, maka kajilah Alquran.” Dan ilmu yang paling mulia dari ilmu Alquran adalah ilmu akan nama-nama Allah swt, sifat, perbuatan-Nya dan ilmu akhirat.189 6) mengosongkan (takhalli) akan penghalang-penghalang pemahaman. 7) takhshîs, mampu menangkap tujuan untuk tiap-tiap firman Allah swt. yang terdapat dalam Alquran, dan menganggap itu untuk dirinya, sehingga berusaha untuk melaksanakan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya.190 8) pengaruh dan menemukan, yaitu batin terpengaruh dan hati tercerahkan dengan cahaya kalam, sehingga seluruh aktivitas hidup selalu bersumber dari Alquran. 9) pendakian, yaitu melakukan pendakian untuk mendengar kalam Allah swt. dari Allah swt. secara langsung bukan dari jiwanya.191 10) ta’bara, yakni berbuat sesuai dengan keadaan dan kekuasaan-Nya, kemudian ia kembali pada jiwanya dengan keridhaan dan kesucian, sehingga ia mampu berakhlak dengan akhlak Allah swt.192
189
Menurut Mulla Shadra, istinbath adalah mengkaji dan meneliti relung-relung Alquran sesuai dengan gradasi keutamaan ayat-ayatnya, karena setiap ayat memiliki gradasi tersendiri. Ayat yang berbicara masalah mabda lebih utama dibandingkan dengan ayat yang berbicara masalah sulûk dan ma’âd. Demikian juga ayat-ayat yang berbicara mengenai masalah Dzat, kedudukannya lebih tinggi daripada ayat-ayat yang berbicara mengenai masalah sifat dan af’al. Lihat: Mulla Shadra, Mafâtih al-Ghayb, h. 60-61. 190 Misalnya pada Q.S. al-Baqarah [2]/87:213, Q.S. Ali Imrân [3]/89:8 dan Q.S. al-Anbiyâ [21]/73:10. Lihat: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 1, h. 190-193, h 286-288 dan jilid 3, h. 397-399. 191
Mulla Shadra mengklasifikasikan ada tingkatan: a) pembacaan seorang hamba terhadap Alquran dengan cara seolah-olah Allah swt. berada di hadapannya, sehingga dia melihat kepada-Nya dan mendengar dari-Nya. Kondisi orang semacam ini adalah melakukan dialog secara langsung dengan pengirim teks, sehingga ia merasa rendah hati dihadapan-Nya dan berdoa sepenuh hati. b) menyaksikan dengan hatinya, seolah-olah Tuhan mengajaknya bicara dengan kedekatan-Nya dan menyelamatkan-Nya dengan nikmat-nikmat dan kebaikan-Nya. c) melihat yang mengajak bicara. Mulla Shadra, Mafâtih al-Ghayb, h. 68.
164
4. Sistem Pendukung Pembelajaran Akidah Sistem pendukung dalam pembelajaran akidah,193 meliputi: a. Media Pembelajaran. Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang bisa menunjang kelancaran pembelajaran, bisa berbentuk tindakan, perbuatan, situasi atau benda, yang dengan dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.194 Para ahli mengklasifikasikan alat/media pembelajaran kepada dua bagian: Pertama: Media pembelajaran yang bersifat benda (hardware); seperti media tulis, benda-benda alam, gambar yang dirancang seperti grafik, gambar yang diproyeksikan, seperti video, transparan, in-focus, audio recording (alat untuk didengar), seperti kaset, tape radio. Kedua: Media pembelajaran yang bukan benda atau perangkat lunak (software), berupa keteladanan, perintah/larangan, ganjaran dan hukuman.195
192 Q.S. al-Hajj [21]/73:35. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 12, juz 23, h. 30-35. 193
Sistem secara teori mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) keseluruhan adalah hal yang utama dan bagian-bagian adalah hal yang kedua. b) integrasi adalah kondisi saling hubungan antara bagian-bagian dalam satu sistem. c) bagian-bagian membentuk sebuah keseluruhan yang tak dapat dipisahkan. d) bagian-bagian memainkan peranan mereka dalam kesatuannya untuk mencapai tujuan dari keseluruhan. e) sifat bagian dan fungsinya keseluruhan dan tingkah lakunya diatur oleh keseluruhan terhadap hubungan-hubungan bagiannya. f) keseluruhan adalah sebuah sistem atau sebuah kompleks atau sebuah konfigurasi dari energi dan berperilaku seperti unsur tunggal yang tidak kompleks. g) segala sesuatu haruslah dimulai dari keseluruhan sebagai suatu dasar, dan bagian-bagian serta hubungan-hubungan; baru kemudian terjadi secara berangsurangsur. Lihat: Redja Mudyhardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 41. 194
Jalaluddin, Teori Pendidikan , h. 109.
195
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 206.
165
Pertimbangan dalam memilih media pembelajaran adalah: 1) kesesuaian dengan tujuan pembelajaran. 2) ketetapan dalam memilih media pembelajaran. 3) objektivitas. 4) program pembelajaran. 5) sasaran program. 6) situasi dan kondisi. 7) kualitas teknik. 8) keefektifan dan efisiensi. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy, media pembelajaran akidah adalah: Iman, sholat, puasa, sedekah, haji, umrah, jihad dan ribath, membaca Alquran, dzikir dan tasbih, shalawat kepada Nabi, istighfâr, do’a, do.a orang mu’min, Asmaul Husna, perbuatan yang baik dan menjauhi yang diharamkan.196 Media pembelajaran akidah adalah: 1) Iman. Iman merupakan media yang paling utama dan mulia untuk bertawasul kepada Allah swt. agar mendapatkan kasih sayang dan ridha Allah swt.197 2) Sholat. Sholat fardhu dan sunat merupakan pekerjaan yang paling utama dan paling disukai oleh Allah swt.,198 karena Rasulullah ketika ditanya, amal apa yang paling dicintai Allah swt., beliau bersabda:
الصالة علي وقتهاyaitu sholat
pada waktunya. Jika seseorang ingin meminta sesuatu kepada Allah swt., maka hendaklah berwudhu dan sholat dua rakaat, dan berdoa, maka Allah swt. berkenan mengabulkan doanya.199
196
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 81-88.
197
Q.S. Ali Imrân [3]/89:19 dan 193. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 4, juz 7, h. 180 dan jilid 5, juz 98, h. 117-119. Juga pada: Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 81. 198 Q.S. al-Baqarah [2]/87: 3, 43, 238 dan 277. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr alKabîr, Jilid 1, juz 2, h. 22, juz 3, h. 41, jilid 3, juz 6, h.134 dan jilid 4, juz 7, h.84. 199
Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 82.
166
3) Puasa. Seseorang yang bertaqarrub kepada Allah swt. senantiasa melakukan puasa.200 Sebagaimana hadis Rasulullah saw.:
ِ ُ ال رس صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َما ِم ْن َ ول اللَّه ُ َ َ َق: قال- رضي اهلل عنه- عن أيب سعيد اخلدري ِ ِ ٍ ِ ِ )متفق.ني َخ ِري ًفا َ اع َد اللَّهُ بِ َذل َ َوم يـَ ْوًما ِيف َسبِ ِيل اللَّه إََِّّل ب َ ك الْيَـ ْوم َو ْج َههُ َع ْن النَّا ِر َسْبع ُص ُ ََعْبد ي 201 .(عليه Hadis tersebut menjelaskan taqarrub kepada Allah swt. dengan media puasa.
4) Sedekah. Sedekah merupakan media untuk dapat merasakan nikmatnya taqarrub kepada Allah.202 5) Haji. Ibadah haji ke Baitullah adalah media taqarrub kepada Allah swt., yang paling mulia. Haji berarti mengunjungi Baitullah untuk melaksanakan ibadah pada bulan Dzul Hijjah sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat.203 6) Umrah.
Pengertian
Umroh
Mengunjungi
Ka’bah
untuk
melakukan
serangkaian ibadah dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Umrah disunatkan bagi setiap muslim yang mampu.204
200
Q.S. al-Baqarah [2]/87:183. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 5,
juz 5, h.59. 201
Muhammad Fu’ad Abdul Baq, Lu’lu’ wa al-Marjân ,jilid 2, (Pakistan: Maktabah Qudsiyah, 1997), h. 20. Muhammad bin Isma’il al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, jilid 4, (Lebanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, [t.th]), h. 31-32. 202
Q.S. al-Baqarah [2]/87:195. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 5, juz 5, h. 114. 203
Q.S. Ali Imrân [3]/89:97. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 346.Lihat juga: Ahmad Taufiq, dkk., Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Karakter Berbasis Agama, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 48. 204
Q.S. Al-Baqarah [2]/87:196. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1,
h.231.
167
7) Jihad dan Ribath. Jihad adalah segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan agama Islam dan pemberantasan kedzaliman serta kejahatan, baik terhadap diri sendiri maupun dalam masyarakat. Sedangkan ribath bermakna menahan atau mengikat diri terhadap sesuatu. Atau berusaha menahan hawa nafsu agar senantiasa berada dalam ketaatan dan tidak mudah tergoda untuk berbuat maksiat”. 205 8) Membaca Alquran. Firman Allah swt. dalam Q.S. Fâthir[35]/34:29-30.
Ayat di atas menjelaskan bahwa membaca Alquran merupakan media untuk memperoleh berbagai manfaat dan keutamaan yang berikan Allah swt. Orang yang membaca Alquran dan mengamalkan Alquran dalam kehidupan sehariharinya, mereka akan mendapatkan balasan khusus dari Allah swt. Bahkan Ibnu Katsir sampai menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ayatul qurro, yaitu ayat yang ditujukan untuk pecinta Alquran, para keluarga Alquran, para ahli Quran, para pembaca, dan penghafal Alquran. Intinya, ayat tentang membaca dan mengamalkan Alquran.206 9) Dzikir dan tasbih. Kata "dzikr" menurut bahasa artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertian syariat adalah mengingat Allah swt. sebagai media
205 Q.S. al-Baqarah [2]/87:196 dan 216, Q.S. Ali Imrân [3]/89:200. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid14, h. 212. jilid 1, h.231 dan h.400. 206
Q.S. al-Fâthir [35]/43:29. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h 494.
168
untuk mendekatkan diri kepadaNya. Tasbih adalah salah satu bacaan dzikir kepada Allah swt. yang ringan untuk dilakukan tapi berat dalam timbangannya. 10) Shalawat kepada Nabi saw. Arti shalawat secara bahasa adalah do’a, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan dan ibadah. Sedangkan secara istilah dan syariat shalawat diartikan sebagai pujian kepada para nabi. 207 11) Istighfâr. Istighfâr adalah tindakan meminta maaf atau memohon keampunan kepada Allah swt.208 12) Do’a. Do’a adalah permohonan kepada Allah swt. yang disertai kerendahan hati untuk mendapatkan suatu kebaikan dan kemaslahatan yang berada di sisiNya. 13) Do’a orang mu’min. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi Muhammad saw. menjelaskan bahwa ketika seseorang mendo,akan orang lain secara diam-diam, maka malaikat akan mendo,akan dirinya seperti apa yang dimintakan terhadap orang itu. 209
207
Q.S. al-Ahzâb [33]/90:41-42 dan 56. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Jilid 13, juz 26, h. 20 dan h. 195. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h.441. 208
Istighfar dalam filosofi Islam bermakna seseorang yang selalu memohon ampunan atas kesalahan dan terus berusaha untuk menaati perintah Tuhan dan tidak melanggarnya. Dalam Islam, makna Istighfar tidak terletak pada pengucapannya, namun pada seberapa dalam seseorang yang beristighfar memaknai dan menghayati apa yang ia ucapkan, dalam konteks yang lebih jauh lagi, agar ia terus mengingat Tuhan di saat ia tergoda untuk melakukan perbuatan dosa, dan apabila telah melakukan dosa, maka istighfar adalah titik baginya untuk bertekad tidak mengulangi perbuatannya.Lihat: Syaikh Salim, Syarah Riyâdhus Shâlihin, jilid 4, Books Google.co.id. Lihat juga: M. Abdul Mujieb, Syafi’ah, Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, Books Google.co.id. Lihat juga: https://id.wikipedia.org/wiki/istighfar, 26-2-2016. 209 Q.S. an-Nisâ [4]/92:110, Q.S. al-A’râf [7]/39:55-56, Q.S. al-Hasyr [59]/101:10. Hadis Rasululullah saw. “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama, ”(HR. Muslim no. 4912).Ternyata mendoakan kebaikan sesama mukmin
169
14) Asmaul Husna. Asmaul Husna adalah nama-nama Allah swt. yang baik dan indah merupakan media untuk taqarrub dan ma’rifatullâh. 15) Perbuatan yang baik. Perbuatan baik disebut juga amal sholeh yaitu semua jenis kebaikan yang dilakukan kepada hamba Allah yang lain. Perbuatan baik merupakan media untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.210 16) Menjauhi yang diharamkan. Antara yang halal dan haram sudah sangat jelas dipaparkan dalam Alquran dan hadis.211 b. Materi Pembelajaran Akidah. Materi pembelajaran adalah sesuatu yang memiliki pesan untuk tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran merupakan komponen pembelajaran. Dalam suatu pembelajaran materi bukanlah tujuan tetapi sebagai alat mencapai tujuan. Karena itu penentuan materi didasarkan pada tujuan.212
merupakan salah satu doa yang mustajab. Mendoakan orang lain dengan keikhlasan dan ketuluasan selain memberi manfaat kepada orang lain ternyata juga akan berdampak terhadap diri sendiri. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h.502 dan jilid 4, h. 290. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 7, juz 14, h. 104. 210
Q.S. Saba' [34]/58:37. Juga pada Sabda Rasulullah saw.: "Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling berguna di antara manusia. Dan perbuatan yang paling dicintai oleh Allah adalah kegembiraan yang diberikan ke dalam diri orang muslim atau menghilangkan kegelisahan dari diri mereka, membayar utang atau bebannya dan menghilangkan rasa lapar mereka. Dan, sesungguhnya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi hajatnya adalah lebih aku senangi daripada beriktikaf di masjid selama satu bulan." (HR Thabrani). Lihat juga: Lihat: Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aqîdah al-Mu’min, h. 88. 211
Q.S. al-A’râf [7]/92: 80, Q.S. al-Isrâ [17]/50:110, Q.S. al-Hasyr [59]/101:24, Q.S. anNahl [16]/70:30, Q.S. al-Mâidah [5]/112:3. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, Jilid 7, juz 14, h. 136 dan jilid 11, juz 21, h. 58. Jilid 10, juz 20, h. 19. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 295. 212
Chabib Thoha, dll., Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 16.
170
Setidaknya ada empat hal pokok yang perlu dijadikan materi pembelajaran, yaitu: akidah/iman,213 ilmu, amal, dan akhlak.214 Materi pembelajaran akidah meliputi tiga bagian yaitu Islam, iman dan ihsan, karena akidah adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota tubuh. Oleh karena itu, ruang lingkup materi akidah disusun berdasarkan pendapat salafusshâlihîn yang bersumber dari Alquran dan hadis, kalau disederhanakan meliputi rukun iman, konsep manusia dan konsep alam, ketiga pembahasan materi ini dapat dibagi dalam tiga tahap materi pembelajaran akidah,215 yaitu: 1). Materi akidah untuk tingkat dasar: Penanaman. Pembelajaran akidah seperti menanam sebatang “pohon yang baik”, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ibrâhim [14]/72: 24, yang berbunyi:
213
Iman kepada Allah: Q.S. ar-Ra’du [13]/96:28, iman kepada hal ghaib: Q.S. al-Baqarah [2]/87:3, iman kepada Rasul: Q.S. al-Mu’minûn [23]/74:44, iman kepada hari akhir: Q.S. alBaqarah [2]/87: 4 dan QS. at-Taghâbun [64]/108: 7 dan iman kepada kitab Allah (Q.S. an-Nisâ [4]/92:113. Lihat: Muhammmad Fu’ad ’Abd Al-Baqi, Al- Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi alQur’ân al-Karîm, h.274-276. 214
Q.S. al-Baqarah [2]/87:31, Q.S. Fâthir [35]/43:28, Q.S. al-‘Alaq [96]/01: 1-2, Q.S. arRahmân [55]/97:1-4. Q.S. at-Taubah [9]/113:105. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr alKabîr, Jilid 1, juz 2, h. 161. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15, h. 455. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 2, h. 251. Lihat juga: Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, h. 71-75. 215 Mila Hasanah, Asma al-Husna sebagai Paradigma Pengembangan Materi Pendidikan Islam, h. 88. Juga lihat: Jurkani Jahya, Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 280.
171
Maksud “kalimatun thayyibah” (kalimat yang baik), di sini ialah kalimat syahadat, “akarnya teguh” ialah tertanam dihati mukmin, dan “cabangnya menjulang ke langit” ialah amalnya diterima Allah swt.216 Materi ini berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, karena tujuannya adalah agar setiap orang mengimani kebenaran materi akidah yang benar tanpa ragu-ragu.217 Orang yang sudah pada tingkat ini dianggap sudah menjadi mukmin, dan jika dia meninggal, maka dia terlepas dari siksaan kekal di dalam neraka. Ada dua hal penting untuk mencapai tujuan pada tahap ini, yaitu materi akidah yang dianggap benar dan metode menanamkan keyakinan terhadap kebenaran akidah itu dalam diri peserta didik. Adapun materi akidah-sebagai “pohon” yang mau ditanamkan itu-ialah kandungan arti dua kalimat syahadat, yang mencakup tiga pokok akidah Islam: Allah swt. dengan segala sifat-sifat-Nya, kerasulan Muhammad saw. dan hari akhirat.218 Materi akidah pada tahap ini disarikan dari Alquran dan Hadis, sesuai dengan potensi dan kondisi peserta didik pada umumnya sehingga tidak disertai argument apa pun, baik tekstual maupun kontekstual. Hasil dari materi Akidah pada tahap ini adalah “iman taklid”, yaitu mengimani kebenaran akidah tanpa mengetahui argumennya. 219 Iman dengan kualitas seperti ini disebut “iman orang awam.”
216
Ath-Thabari, Jami’al Bayân, Jilid XII, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), h.
203. 217
Al-Ghazali, Al-Arba’în fi Ushul ad-Dîn, (Mesir:Beirut Dar al-Khair, 1988), h. 31.
218
Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar al-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 1, juz 2, h. 403 dan 430. Juga pada:.Jurkani Jahya, Teologi Al-Ghazali, h. 107. 219
Al-Ghazali, Al-Ihyâ Ulûm ad-Dîn, Juz VIII, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980/1400), h. 26.
172
2). Materi akidah untuk tingkat menengah: Pemantapan. Materi pembelajaran akidah untuk tahap pemantapan bagian pertama ini dianjurkan banyak diajarkan Alquran dan tafsirnya, hadis dan pengertiannya, melaksanakan ibadah dengan intensif, banyak membaca Alquran dan bergaul dengan orang-orang sholeh. Dengan memahami argumen-argumen materi akidah yang berasal dari Alquran dan hadis, seseorang memperoleh efek psikologis dari ibadah yang dilaksanakan, dan dengan mengambil teladan dari sikap dan tingkah laku orang-orang sholeh, maka keyakinan akidah akan bertambah mantap. Pada tahap ini dilarang pemberian dalil-dalil rasional, yaitu dalam bentuk kalam dialektis yang disusun para teolog. Karena pemberian argument dalam bentuk seperti itu bisa berakibat sebaliknya dari tujuan yang diharapkan, bukan menambah mantap keyakinan malah menimbulkan keraguan terhadap akidah yang telah dimilikinya.220 Materi pembelajaran akidah pada tahap ini diajarkan secara keseluruhan dalam rangka pengkaderan ahli kalam dalam masyarakat. Para kader ini bertugas mengantisipasi gangguan ahli bid’ah di masyarakat.221 Fungsi materi pembelajaran
220 Materi yang diajarkan ada pada kitab Al-Jawahir. Lihat: Mila Hasanah, Asmâ alHusnâ sebagai Paradigma Pengembangan Materi Pendidikan Islam, h. 91. 221
Seorang yang disebut ahli bid’ah atau yang melakukan bid’ah adalah: Ungkapan “cara baru dalam agama” yang dibuat disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat berbagai cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari’at. Maka dalam agama yang termasuk kategori bid’ah adalah cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari’at. Lihat: Ali Hasan al-Halabi alAtsari, “Ilmu Ishul Bid’ah Dirasah Taklimiyah Muhimmah fi Ilmi Ishul al-Fiqh”, ( [tt.]: Dar Rayah, 1992), terj. Asmini Solihin Zamakhsyari, Membedah Akar Bid’ah, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001), h. 8. Lihat juga: Jurkani Jahya, Teologi Al-Ghazali, h. 110.
173
akidah tahap ini diibaratkan fungsi senjata untuk persiapan perang, yaitu bisa dipergunakan di kala diperlukan. Tujuan pembelajaran akidah tahap ini ialah agar keyakinan terhadap kebenaran akidah yang haq dalam diri seorang mukmin bertambah kuat, kukuh, tetap dan tak tergoyahkan. Tahap pemantapan diperlukan karena: Pertama: Ada sebagian orang yang puas dengan manerima materi akidah yang diberikan tanpa argumen, sehingga keyakinan mereka terhadap kebenaran materi akidah tersebut belum mantap, atau bisa ragu karenanya.222 Kedua: adanya gangguan ahli bid’ah, yang berusaha menarik orang-orang yang sudah berkeyakinan dengan akidah yang benar, menjadi ragu dan berpaling kepada akidah yang bathil, dengan mengggunakan argumen rasional.223 Adapun objek dalam tahap ini hanya orang-orang tertentu, tidak bersifat massal seperti tahap pertama. Karena tahap ini hanya untuk mengantisipasi kenyataan yang muncul dalam pribadi atau masyarakat. Adalah suatu anugerah Allah swt. yang besar kepada manusia, bahwa manusia bisa meyakini kebenaran materi akidah yang diajarkan kepadanya meskipun tanpa argumen, dan itu adalah salah satu fitrahnya. Tetapi “iman taklid” mempunyai banyak kelemahan. Karena orang yang muqallid bisa merasa yakin dan tenang jiwanya dengan akidah yang
222
Mila Hasanah, Asmâ al-Husnâ sebagai Paradigma Pengembangan Materi Pendidikan Islam,, h. 90. 223 Al-Ghazali, Al-Arba’în fi Ushûl ad-Dîn, h. 32. Juga lihat: Jurkani Jahya, Teologi AlGhazali, h. 108.
174
dianutnya, bila dia tidak menyadari bahwa dia muqallid.224Bila dia menyadari statusnya, mungkin karena kecerdasannya maka di saat itulah dia memerlukan peningkatan ilmunya dengan argumen-argumen yang bisa meyakinkannya, dan situasi ini tidak dialami setiap orang. Hasil tahap ini ialah orang yang memperoleh iman peringkat kedua, yaitu: “iman al-Mutakallimin,”225 karena kemampuan mereka dalam menyerap argument-argumen, baik tekstual maupun rasional statusnya setingkat lebih tinggi dari “iman al-awwam”. 3). Materi akidah untunk tingkat tinggi: Penghayatan dan Refleksi. Materi akidah pada tahap penghayatan bisa dihayati dengan ma’rifah mencakup semua materi akidah yang diimani. Misalnya: Hakikat sifat-sifat dan nama-nama Tuhan, arti kenabian, hakikat surga dan neraka, hakikat perhitungan amal, penimbangan amal, dan sebagainya. 226 Tujuan materi pembelajaran akidah pada tahap ini adalah agar orang mukmin dapat menghayati hakikat kebenaran akidah yang diyakininya. Hasil dari pembelajaran tahap ini adalah imân al-ârifin, setingkat lebih tinggi dari imân almutakallimin.227
224 Mila Hasanah, Asmâ al-Husnâ sebagai Paradigma Pengembangan Materi Pendidikan Islam, h. 196. 225
Al-Ghazali, Al-Ihyâ Ulum ad-Din, Juz VII, h. 26.
226
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, bab 64, juz2, h. 348. Lihat juga: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabîr, bab 45, juz 12, h.176. Juga pada: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, bab 31, juz 2, h. 130. 227
Hasil pengalaman batin ini bersifat individual, yang hanya diketahui pribadi itu sendiri dan Tuhan, jadi ada kemungkinan setiap orang punya pengalaman ma’rifah yang berbeda. Ibid., h.
175
Tahap ini tidak untuk semua orang secara massal, tetapi hanya disediakan bagi yang ingin menghayati kebenaran akidah sebagai peningkatan kualitas imannya.228 Materi pembelajaran akidah ini, sebaiknya dilalui dari tingkat dasar, menegah, baru tingkat tinggi. Tapi ada juga orang yang tidak memerlukan tingkat menengah, jadi dari tingkat dasar langsung pada tingkat tinggi. Meskipun format materi pembelajaran akidah ini disusun secara sistematis, namun tingkat kema’rifahan seorang hamba hanya Tuhan yang Maha Tahu.
5. Sistem Sosial Pembelajaran Akidah Sistem sosial ialah situasi atau suasana, lingkungan dan norma yang berlaku dalam model pembelajaran akidah. Umumnya sistem sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan antara satu sama lain. (b) berorientasi kepada tujuan yang ditetapkan. (c) didalamnya terdapat peraturan-peraturan dan tata tertib berbagai kegiatan tersebut.229 Alquran menyebutkan secara tersirat, ada tiga jenis lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap sikap seseorang. Tiga jenis lingkungan itu adalah:
163. Lihat juga: Al-Ghazali, Al-Arba’in, h. 31-32. Lihat pula: Al-Ghazali, Mizân al-Amal, ( [tt.]: Dâr al-Ma’ârif, 1965), h. 212 dan h. 26. 228
Tahap ini menggunakan praktek suluk (menapaki jalan menuju Tuhan)-suatu praktek sufisme sebagai metodenya. Praktek suluk yag ditawarkan dalam tahap ini “melakukan amal secara intensif, mentaqwakan pribadi, menahan diri dan memperturutkan hawa nafsu dan mengintensifkan riyâdhah dan mujâhadah. Lihat: Al-Ghazali, Al-Ihyâ Ulûm ad-Dîn, Juz I, h. 163. 229
JW. Getzel and E.G. Guba, Social Behaviour and Administrative Process, (School Review,65: 1975), h. 432.
176
a. Lingkungan alamiah. Alam merupakan salah satu penentu keberhasilan proses pembelajaran akidah.230 b. Lingkungan kultural, berupa lingkungan keluarga,231 dan lingkungan masyarakat.232 c. Lingkungan Religius.233 Lingkungan adalah segala sesuatu di sekitar yang bermakna/memberi pengaruh terhadap individu, baik positif maupun negatif.234 Lingkungan dalam arti luas merupakan suatu sistem yang disebut ekosistem. Ekosistem
meliputi
keseluruhan faktor lingkungan yang tertuju pada peningkatan mutu kehidupan di atas
bumi
ini.
Faktor-faktor
ekosistem
itu
meliputi:
a.
Lingkungan
manusiawi/interpersonal. b. Lingkungan sosial budaya/kultural. c. Lingkungan biologis meliputi flora dan fauna. d. Lingkungan geografis, seperti bumi, air dan sebagainya.
230
Q.S. al-Baqarah [2]/87:259 dan 260, Q.S. al-An’âm [6]/55: 74-79, Q.S. al-Mâidah [5]/112:31, Q.S. Fushshilat [41]/61:53, dan Q.S. al-Ankabut [29]/85: 20. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr, jilid 2, juz 3, h. 20. Lihat juga: Toto Suharto, FIlsafat Pendidikan Islam, h. 101103. 231 Q.S. al-Baqarah [2]/87:133, Q.S. at-Tahrim [66]/107: 6. Lihat: Hamka, Tafsir AlAzhar, juz 1, h. 313. Abdurrahman an-Nahlawi, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa asâlîhâ, h. 122. 232
Q.S. al-Furqân [25]/42:27-29, Q.S. an-Nisâ [4[/92: 69 dan Q.S. al-Hajj [22]/103: 45. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h.485. Abdurrahman al-Nahlawi, Ushûl atTarbiyah al-Islâmiyyah wa asâlîhâ, h. 160. 233
Q.S. at-Taubah [9]/113:18. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h.
311. 234
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 103.
177
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, secara umum lingkungan mencakup lingkungan fisik, sosial, intelektual dan nilai-nilai.235 Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di luar peserta didik dalam alam sekitar ini, lingkungan terbagi dua yaitu pertama: berupa hal-hal yang nyata dapat diamati seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, orang-orang, dan sebagainya. Kedua: Lingkungan yang bersifat abstrak, seperti situasi politik, ekonomi, sosial, kepercayaan, adat istiadat, kebudayaan dan lainnya. Sedangkan Sertain mendefinisikan lingkungan yaitu semua kondisi dalam dunia yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan atau life proceses manusia.236 Lingkungan adalah sejumlah rangsangan dari luar yang diterima sejak dari kandungan hingga meninggal.237 Lingkungan pembelajaran adalah kondisi dan situasi yang berada di luar peserta didik yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan peserta didik.238 Semakin manusia tumbuh dan berkembang, semakin meluas wilayah lingkungannya, baik lingkungan madiyah (fisik) seperti iklim, tempat tinggal, pakaian dan makanan, maupun lingkungan maknawi (non fisik) seperti lingkungan budaya, sosial, dan religious.
235
Nana Syaodih Sukmadinata, Kurikulum&Pembelajaran Kompetensi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), h. 3. 236
Kamrani Buseri, Ontologi Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 26. Lihat juga: Juga lihat: M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Badung: Rosdakarya, 2000), h. 28. 237
M.E. Banet, College and Life: Problem of Self Dispvery Self Direction, (M. C. Graw,Hill Book Company,1952), h. 210. 238 Dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran secara umum yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosial-psikologis.Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 19.
178
6. Penilaian Pembelajaran Akidah Penilaian dalam konsep model pembelajaran juga disebut sebagai dampak instruksional dan dampak pendukung atau penggiring. Dampak instruksional yaitu hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan peserta didik pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan dampak pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran,239 sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh peserta didik tanpa pengerahan langsung dari pendidik. Semua hal tersebut memerlukan penilaian, sedangkan nilai , dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa arti: Harga/taksiran, harga uang, angka kepandaian, banyak sedikitnya isi; kadar mutu, sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
manusia,
sesuatu
yang menyempurnakan
manusia
sesuai
dengan
hakikatnya.240 Nilai dalam bahasa Perancis valoir, artinya harga.241 Sedangkan nilai dalam bahasa Latin, valere artinya berguna, mampu, akar, berdaya, berlaku kuat. Nilai dalam bahasa Inggris disebut value berarti harga, penghargaan, atau tafsiran. Artinya, harga atau penghargaan yang melekat pada sebuah objek. 242 Objek yang dimaksud adalah berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, atau perilaku.
239
Udin S Winata Putera, Model-Model Pembelajaran Inovatif, h. 10
240
Tim Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
h. 783 241
Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
7. 242
John M. Echols, dkk., Kamus Inggris Indonesia ,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 626.
179
Nilai dalam bahasa Arab yaitu شأن, أه ّمية,قيمة, , قدر,ثمن,243 artinya harga atau nilai sesuatu.244 Dalam Alquran kata qadrun disebutkan sebanyak lima kali,245 sedangkan qimatun dengan istilah qayyimah disebutkan satu kali,246 adapun sya’nun disebutkan empat kali dalam Alquran.247 Juga ditemukan empat term yang bisa disepadankan dengan penilaian, yaitu su’âl, ibtalâ, hisâb, dan fitnah.248 Dilihat dari sisi subyeknya, ternyata dalam keempat term tersebut adalah Allah swt. Sementara itu, hal yang berhubungan dengan subyek manusia, secara tersirat merujuk kepada evaluasi diri. a. Ayat-Ayat Penilaian Berdasarkan Term Qadrun. Kata qadrun dalam Alquran disebutkan sebanyak lima kali,249 diantaranya Firman Allah swt. dalam Q.S. ath-Thalâq [65]/99:3:
243
Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, h. 367.
244
Ali Muthahar, Kamus Mutahari, Arab Indonesia, (Jakarta: Hikmah, 2005), h.378, 853
dan h. 882. 245
Q.S. ath- Thalâq [65]/99:3, Q.S. al-Qadr [97]/25: 1, 2, dan 3, Q.S. an-An’âm [6]/55: 91. Lihat: Muhammmad Fu’ad ’Abd al-Baqi, Al- Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi al-Qur’ân alKarîm, h. 746. 246
Q.S. al-Bayyinah [98]/100:3. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 15,
h. 514. 247
Q.S. Yûnus [10]/51:61, Q.S. ar-Rahmân [55]/97:29 dan Q.S. ‘Abasa [80]/24:37 dan Q.S. an- Nûr [24]/102:62. Lihat: Fathurraman, Fathurrahmân li thâlibi âyâtil Qur’ân, h. 233, 357, dan 373. 248
Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Hati yang Selamat Hingga Kisah Lukman, h. 96. 249 Q.S. ath- Thalâq [65]/99:3, Q.S. al-Qadr [97]/25:1, 2, dan 3, Q.S. al-An’âm [6]/55:91. Lihat: Muhammmad Fu’ad ’Abd al-Baqi, Al- Mu’jam al-Mufahras li-alfâdzi al-Qur’ân al-Karîm, h. 746.
180
Maksud ayat di atas, Allah swt. memberi rezeki dari arah yang tiada disangkasangka. dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah swt., maka Allah swt.akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah swt. melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah swt. telah membuat ketentuan (nilai) bagi tiap-tiap sesuatu.250 Kata qadran diartikan Allah swt. mengadakan ketentuan akan nilai bagi tiap-tiap sesuatu. b. Ayat-Ayat Penilaian Berdasarkan Term Sya’nun. Istilah sya’nun disebutkan empat kali dalam Alquran.251 Di antaranya adalah Firman Allah swt. dalam Q.S. Yûnus [10]/51:61: Maksud ayat di atas, Allah swt. menjelaskan ketika seseorang dalam keadaan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Allah swt. (Kami) menjadi saksi atas semua waktu yang dilewatkan, tidak luput dari pengetahuan Tuhan walau hanya sebesar zarrah (atom) di bumi
250
Q.S. ath-Thalâq [65]/99:3. Lihat: T. M. Hasbi Ashshiddiqi, Alquran wa tarjamtu ma’anihi ila al-lughati al-Indunisiyah, (Saudi Arabia: Mushaf Asy-Syarif Medinah Munawarah, 1418 H), h. 946. 251 Q.S. Yûnus [10]/51:61, Q.S ar-Rahman [55]/97:29, dan Q.S. ‘Abasa [80]/24:37 dan Q.S. an-Nûr [24]:62. Lihat: Fathurraman, Fathurrahmân li thâlibi âyâtil Qur’ân, h. 233, 357, dan 373.
181
ataupun di langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).252 Maksud fî sya’nin adalah menguraikan tentang Nabi Muhammad saw., kata digunakan menunjukkan aktivitas beliau yang mengandung makna kegiatan penting, bernilai lagi agung. Sedangkan ketika menguraikan tentang selain beliau, kata yang digunakan adalah ‘amal yang dapat mencakup aneka pekerjaan yang baik atau buruk, agung dan hina. Bahwa Nabi Muhammad saw., disebut dalam ayat itu untuk mengisyaratkan bahwa siapa pun, walau manusia teragung, dicatat dan diketahui segala aktivitasnya. Di sisi lain, itu juga untuk mengisyaratkan bahwa
semua
kegiatan
Rasulullah
saw.
agung lagi
bermanfaat
serta
mencerminkan tuntunan yang beliau baca dari ayat-ayat Alquran. Berbeda dengan siapapun selain beliau.253 c. Ayat-Ayat Penilaian Berdasarkan Term Hisâb: Sedangkan nilai dalam arti kata kerja yaitu penilaian dalam bahasa Arab, yang paling dekat adalah kata muhâsabah, berasal dari kata “ ”حسبyang berarti menghitung, kata “ ”حسبyang berarti memperkirakan. Al-Ghazali menggunakan kata tersebut dalam menjelaskan tentang penilaian terhadap diri sendiri ( النفس
)محاسبةsetelah melakukan aktivitas.254 Dalam Alquran ditemukan beberapa istilah yang identik dengan penilaian, seperti:
252
Q.S. Yûnus [10]/51:61. Lihat: T. M. Hasbi Ashshiddiqi, Alquran wa tarjamtu ma’anihi ila al-lughati al-Indunisiyah, h. 215. 253
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 5, h. 446.
254
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 105.
182
Al–Hisâb, mempunyai makna menghitung, manfsirkan atau mengira, dalam Firman Allah swt. Q.S. al-Baqarah [2]/87:284: Maksud ayat di atas, milik Allah swt. semua yang ada di langit dan di bumi, apa yang dinampakkkan dan disembunyikan, Allah swt. pasti akan membuat perhitungan dengan perbuatanmu itu. Allah Pengampun bagi siapa yang dikehandaki-Nya, menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.255 Hadis Rasululullah saw. menjelaskan konsep hisab, seperti berikut ini:
ِ َ َاب ق ِ َّاخلَط ِ اسبُوا َوتَـَزيـَّنُوا لِْل َع ْر َِِ ض ْاْلَ ْك ََِب َوإَِّّنَا ْ َويـُْرَوى َع ْن عُ َمَر بْ ِن َ َال َحاسبُوا أَنْـ ُف َس ُك ْم قَـْب َل أَ ْن ُحت ِ اْلِساب يـوم الْ ِقيام ِة علَى من حاسب نَـ ْفسه ِيف الدنْـيا ويـروى عن ميم ال ََّل يَ ُكو ُن َ َون بْ ِن ِم ْهَرا َن ق ُ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َْ ُ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ُْ َ َ ِ 256 ِ ِ ِ ُب َش ِري َكهُ م ْن أَيْ َن َمطْ َع ُمهُ َوَم ْلبَ ُسه ُ ب نَـ ْف َسهُ َك َما ُُيَاس َ الْ َعْب ُد تَقيًّا َح ََّّت ُُيَاس Hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab r.a. beliau berkata:
“Nilailah dirimu sebelum engkau dinilai dan perhiasilah untuk perbekalan yang besar sesungguhnya yang meringankan perhitungan pada hari kiamat tergantung atas perhitungannya di dunia. Diriwayatkan pula dari Maimun bin Mihran berkata: Seorang hamba tidak menjadi bertakwa sehingga menilai dirinya seperti penilaian temannya dari mana ia makan dan berpakaian. Menurut Kamus Mu’jam al Maqayis fi al Lughah, kata al-hisab dari kata hasiba yang pada dasarnya mempunyai empat makna sebagai berikut:
255
Q.S. al-Baqarah [2]/87:284. Lihat: Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 3, h. 87. Juga pada Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 301. 256
At-Turmudzi, Kitab Sunan At-Turmudzi, Juz 8, (Beirut, Dâr al Kutub al- Ilmiyyah, 2002), h. 499.
183
واْلاء والسني و الباء اصول اربعة,حسب الكفاية: واَّلصل الثاين. العد: فاَّلول وهي الوسادة الصغرية. وهي مجيع حسبانه, اْلسبان: واَّلصل الثالث257 . اَّلحساب الذى ابيضت جلدته من داء ففسدت شعرته: واَّلصل الرابعSecara bahasa kata hasaba memiliki arti empat dasar: Yang pertama menghitung, kedua mengira, ketiga mengukur isi dan keempat menilai. Sedangkan proses hisab, dideskripsikan dalam Q.S. al-Baqarah [2]/87:202, Q.S. Ali Imrân [3]/89:19, 119, dan 199, Q.S. al-Mâidah [5]/112:4, Q.S. ar-Ra’d [13]/96:40-41, Q.S. Ibrâhîm [14]/72:51, Q.S. Gâfir [40]/60:17, Q.S. an-Nûr [24]/102:39 dan Q.S. Shâd [38]/38:26.258 Term hisab pada ayat-ayat ini menjelaskan proses penilaian dengan sistem Ilahi. d. Ayat-Ayat Penilaian Berdasarkan Term Su’âl. 1) Firman Allah swt. dalam Q.S. ash-Shâffat [37]/56:24: Munasabah ayat: Pada dua ayat sebelumnya Allah swt. menggambarkan kondisi orang-orang kafir di hari pengadilan nanti. Pada saat itu mereka akan dikumpulkan bersama teman sejawatnya, kemudian mereka akan ditunjukkan jalan menuju neraka. Setelah itu Allah swt. akan mengajukan pertanyaan berkaitan dengan kondisi mereka yang tidak lagi melakukan tolong-menolong dengan sesama kawannya.
257
Abu al Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam al Maqayyis fi al Luhgah, (Beirut: Dâr al Fikr, 1994), h. 236. 258
Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Hati yang Selamat Hingga Kisah Lukman, h. 110-118.
184
Relasi antara ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya adalah bahwa walaupun mereka di akhirat kelak berada dalam satu komplek yang samabiasanya di kehidupan dunia mereka senantiasa saling menolong antar sesamamaka pada saat itu mereka tidak lagi menghiraukan teman sejawatnya. Bahkan mereka akan sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada dirinya.259 Karena itu, penilaian akhir yang diajukan Allah swt. kepada manusia harus dijawab sendiri, karena memang pada saat itu tidak mungkin seseorang meminta bantuan pada orang lain. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan dunia yang terkadang pada saat-saat yang menentukan ini masih saja banyak orang yang memberikan bantuan untuk menjawab soal-soal yang diajukan, sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas nilai yang dihasilkannya pun masih dipertanyakan.260 2) Firman Allah swt. dalam Q.S. at-Takâtsur [102]/16:8: Ayat di atas merupakan bagian akhir dari surah at-Takâtsur (yang berarti bermegah-megahan). Pada ayat pertama dari surah ini Allah swt. menyebutkan
259
Istilah waqifuhum bersalah dari kata waqafa, merupakan bentuk fi’il amr, sehingga maknanya adalah tahanlah mereka di tempat perhentian. Adapun istilah mas’ulun adalah isim maf’ul dari al-Madhi (sa’ala), yang mengandung arti orang-orang yang ditanya. Lihat: Wahbah Zuhayli, Tafsir al-Munir, vol. XII, h. 88. 260
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam sebuah riwayat disebutkan: “ Pada hari akhir nanti, setiap manusia tidak akan beranjak kakinya sehingga ditanya dalam empat hal: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya, dipergunakan untuk apa, tentang harta, dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia dikeluarkan, tentang ilmu, sejauhmana ia mengamalkannya. (HR. Tirmidzi dari Abi Barzakh). (HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 946). Lihat: Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jilid 10, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, [t.th]), h. 8.
185
salah satu sebab manusia lupa akan Tuhan dan kemanusiaannya. Penyebab tersebut adalah semangat bermegah-megahan, yang ketika berbuat demikian, orang baru sadar ketika kematian hendak menjemputnya. Kemudian pada ayatayat selanjutnya, Tuhan mengingatkan mereka yang bermegah-megahan itu dengan satu kenyataan bahwa kematian itu bukan akhir dari kehidupan, tetapi merupakan awal dari kehidupan. Dan di akhir ayat Allah swt. kembali menegaskan bahwa sikap bermegah-megahan itu haruslah di pertanggungjawabkan.261 Secara tidak langsung surah at-Takâtsur menyuruh setiap individu untuk menilai dirinya, apakah dengan hartanya ia sudah melupakan Tuhan atau dengan harta ia menjadi lebih bersyukurpada-Nya?262 Salah satu parameter untuk menilai sikap syukur tersebut adalah dengan mengajukan pertanyaan, apakah dalam pembelajaan harta yang diterimanya itu telah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan Tuhan atau belum. Jika seseorang telah membelanjakan hartanya sesuai dengan aturan syari’at, ia akan selamat kelak di hari perhitungan. 3). Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Isrâ [17]/50: 36.
261
Istilah latus’aluna, diawali dengan huruf lam at-taukid yang menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut benar-benar akan diajukan kepada setiap mausia. Dan Istilah ‘an al-na’im, ‘an dalam kalimat ini bukan ‘an yang menunjukkan sebagian, tetapi semakna dengan min, sehingga arti kalimat tersebut adalah dari semua nikmat yang telah Allah berikan pada setiap individu. Lihat: Fayruz Zuhayli, Tanwir al-Miqbas, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 758. Lihat juga: Abû Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir likalâmi al-‘Alyyi al-Kabîr, Jilid 5, h. 612. 262
Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Hati yang Selamat Hingga Kisah Lukman, h. 99.
186
Pada bagian awal dari ayat ini Allah swt. melarang manusia agar tidak mengucapkan sesuatu yang tidak diketahui olehnya. Dalam hal ini, paling tidak terdapat tiga penafsiran yang telah disampaikan oleh para mufasir, yaitu: (a) larangan menjadi saksi, ketik ia tidak menyaksikan secara langsung. Penafsiran semacam ini disampaikan Ibnu Abbas. (b) larangan mengaku pernah mendengar, melihat atau mengetahui, padahal ia belum pernah mendengar, melihat dan belum memahami. Penfsiran semacam ini disampaikan Qatadah. (c) melarang berkatakata tanpa pijakan ilmu, atau dengan kata lain melarang berkata-kata hanya bersandarkan pada prasangka.263 Jika dikaitkan dengan penilaian diri, dari ketiga penafsiran diatas, terlihat bahwa ketika seseorang mengaku telah melihat, mendengar dan memahami, sedangkan ia tidak pernah melihat, mendengar dan memahami, maka secara langsung
ketika
terjadi
mempertanggungjawabkan
evaluasi
akhir,
perkataannya.
Di
ia
tidak
samping
itu,
akan
mampu
ayat
tersebut
menunjukkan pula bahwa dari sekian banyak perangkat yang dimiliki manusia, pendengaran, penglihatan dan hati merupakan perangkat utama dalam melakukan penilaian diri, sehingga pada hari hisab nanti, ketiga perangkat itulah yang akan dinilai Tuhan. Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan: Pertama: Allah swt. akan menilai manusia di hari Kiamat nanti berkaitan dengan segala kenikmatan yang Dia berikan kepada manusia. Penilaian ini merupakan penilaian
263 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Hati yang Selamat Hingga Kisah Lukman, h. 100.
187
akhir yang akan menjadikan penentu kebahagiaan dan kesengsaraan abadi. Kedua: Penilaian yang dilaksanakan bersifat menyeluruh, mencakup segala perbuatan, perkataan dan hati. Ketiga: Tujuan penilaian adalah untuk mengetahui seberapa jauh manusia dapat mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan-Nya, sehigga akan diketahui mana yang layak masuk surga dan mana yang layak masuk neraka. Namun demikian, hal itu tidak menunjukkan ketidaktahuan Allah swt. terhadap semua apa yang telah diperbuat manusia. Hal ini dilakukan dengan alasan agar manusia tidak dizalimi oleh keputusan Tuhan, sehingga dilaksanaka ujian akhir yang sangat menentukan itu.
Keempat: Pada penilaian akhir itu,
Tuhan memberikan satu dispensasi kepada orang-orang tertentu dengan lulus tanpa mengikuti seleksi terlebih dahulu. Salah satu kelompok yang termasuk kategori ini adalah mereka yang mati dalam membela agama Allah swt. (mati syahid), mereka langsung masuk surga tanpa melalui jalur hisab (perhitungan). e. Ayat-Ayat Penilaian dengan Term Ibtalâ dan Fitnah. Firman Allah swt. dalam Q.S. Ali Imrân [3]/89: 186. Tujuan ayat di atas adalah agar umat Islam membentengi diri dengan kesabaran, yang diekspresikan dengan tidak banyak mengeluh. Sehingga, ketika suatu musibah menimpa dirinya, seperti musibah yang menimpa pada perang Uhud yang dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya, hal itu tidak akan dirasakan berat. Adapun bentuk cobaan berkaitan dengan harta itu adalah kewajiban mengeluarkan harta benda untuk jalan kebaikan yang akan menjadi salah satu
188
faktor terangkatnya harkat derajat umat Islam. Sementara cobaan jiwa ialah dengan kewajiban berjihad di jalan Allah swt. Di samping itu, Allah swt. menjelaskan bahwa terdapat ujian Allah swt. dalam bentuk tuduhan-tuduhan yang akan senantiasa dilontarkan orang kafir. Kemudian pada akhir ayat, Allah swt. menegaskan bahwa ujian yang terlihat begitu sulit hanya akan bisa dilalui dengan sikap sabar dan takwa.264 Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Anbiyâ [21]/73:35. Ayat di atas diawali dengan pernyataan yang menunjukkan sunnatullah yang akan mengenai setiap manusia, yakni setiap manusia akan mengalami kematian yang dianggap sebagai ujian terberat bagi manusia. Disamping itu, Allah swt. pun akan menguji manusia dengan kebaikan dan kepahitan. Hal ini menunjukkan bahwa ujian atau penilaian dari Tuhan tidak saja dengan hal-hal yang terasa pahit, tetapi juga dengan kesenangan-kesenangan hidup.265 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa variasi penilaian yang dilakukan Tuhan terhadap manusia. Secara tidak langsung, kenyataan ini menuntut seorang pendidik agar dalam melakukan penilaian itu tidak terpaku
264
Istilah Latublawunna semakna dengan imtahanah yang mengandung arti mengujinya. Istilah Amwalakum: dengan adanya kewajiban yang dibebankan kepada kamu akan harta tersebut. Istilah amfusakum: kewajiban taklifi yang terasa begiru berat seperti jihad dan haji, atau sakit dan mati. Istilah azmi al-‘mur: arti awal dari ‘azm adalah tetapnya nalar terhadap sesuatu juga diartikan tertambatnya hati pada satu urusan. Lihat: Ash-Shagabuni, Shafwah at-Tafsir, vol I, (Beirut, Dar Al-Fikr, 1996), h. 226. Juga pada: Abu Bakar Jâbir al-Jazâiry, Aisar at-Tafâsir, vol I, h. 421. Dan ‘Atif ad-Din, Tafsir Mufradat Alfâdz al-Qur’ân, (Libanon: Dâr al_kitab al-Lubnani, 1984), h. 586. 265 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 3, h. 159.
189
hanya pada satu cara, yang nantinya akan sulit menentukan kualitas peserta didiknya. Sementara itu, pada bagian akhir ayat dijelaskan bahwa setiap manusia itu akan kembali pada Tuhannya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa seberat apapun ujian yang diberikan Tuhan padanya, namun jika semua itu dihadapi dengan kesabaran, seraya menggantungkan harapan pada Allah swt., maka ia akan berhasil dalam menghadapinya dan ketika ia kembali kepada Tuhan, ia pun akan mudah dalam menjawab penilaian akhir yang akan diajukan kepadanya.266 Selain kedua ayat diatas, ada istilah ibtalâ dan fitnah.267 Dari kedua istilah tersebut, terlihat beberapa pokok permasalahan, diantaranya: Pertama: Allah swt. akan menilai manusia dalam bentuk proses. Kedua: Penilaian dapat berupa ujian psikis dan fisik. Ketiga: Penilaian pertujuan untuk memberikan motivasi bagi manusia agar senantiasa berbuat kebajikan. Keempat: Penilaian memberikan gambaran tentang kedewasaan seseorang. Kelima: Penilaian harus dilakukan terlebih dahulu oleh diri sendiri. Keenam: Penilaian yang diberikan Allah swt. tidak dikhususkan kepada kelompok tertentu, tetapi diarahkan pada setiap manusia. Ketujuh: Penilaian tersebut terjadi dikehidupan dunia yang salah satu tujuannya untuk mengelompokkan manusia. Sebab, dengan adanya ibtalâ dan fitnah, dari perspektif akidah Islam akan terlihat adanya beberapa kelompok manusia (mukmin, kafir dan munafik).
266
Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Hati yang Selamat Hingga Kisah Lukman, h. 110. 267 Q.S. al-Baqarah [2]/87:124, 155-156, Q.S. al-Mâidah [5]/112:48, Q.S. Muhammad [47]/95: 31, Q.S. al-Mulk [67]/77: 2. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 1,h. 151 dan h. 278-283, jilid 2, h. 106 dan jilid 4, h. 341.
190
f. Ayat-Ayat Penilaian Berdasarkan Term an-Nazhr. Kata an-nazhr, memiliki arti melihat atau menilai, seperti dalam firman Allah swt. Q.S. an-Naml [27]/48:27. Maksud ayat diatas, Nabi Sulaiman berkata: "Akan Kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.268 Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berikut ini:
إن اهلل َّل ينظر: قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: قال، رضي اهلل عنه،عن أيب هريرة 269 ) ولكن إّنا ينظر إىل قلوبكم وأعمالكم"(رواه مسلم،إىل صوركم وأموالكم Hadis di atas menjelaskan bahwa Allah swt. tidak menilai dari rupa/gambaran dan harta seseorang, tetapi Allah swt. menilai hati dan perbuatan seseorang. Beberapa term tersebut boleh jadi menunjukkan arti penilaian secara langsung, atau hanya sekedar alat atau proses dalam penilaian. Hal ini didasarkan asumsi bahwa Alquran dan Sunnah, sedangkan operasionalnya diserahkan kepada ijtihad umatnya.270 Di samping ayat-ayat yang menggunakan istilah-istilah di atas, terdapat pula ayat-ayat yang secara tersirat menunjukkan penilaian, termasuk di dalamnya penilaian yang dilakukan manusia. Ayat-ayat tersebut adalah Q.S. Thâhâ [20]/45: 24-35, Q.S. at-Taubah [9]/113: 25, dan Q.S. al-Hasyr [59]/101: 18.
268
Q.S. an-Naml [27]/48:27. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jilid 12, juz 24, h.164. 269 Muslim, Shahih Muslim, juz 4, no. 2564, (Lebanon: Dâr al-Fikr, [t.th]), h. 1987. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, juz 6, h. 522. 270
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 198-200.
191
Firman Allah swt. dalam Q.S. al-Hasyr [59]/101: 18. Ayat di atas diawali dengan terhadap umat beriman, sehingga dapat dikatakan bahwa ayat tersebut merupakan peringatan terhadap komunitas kaum beriman pada satu karakter yang harus dimiliki. Biasanya, ketika satu ayat diawali dengan seruan terhadap orang beriman, maka akan terdapat perintah atau larangan, dalam konteks ayat ini, perintah yang pertama dikemukakan adalah perintah untuk bertakwa kepada Allah swt.271 Bahkan perintah takwa ini dalam ayat tersebut sampai diulangi. Dalam hal ini, bertakwa kepada Allah swt. pada redaksi pertama dikaitkan dengan suatu sikap yang harus dimiliki manusia beriman agar senantiasa melakukan penilaian terhadap perbuatannya yang telah lalu, yang akan menjadi dasar dalam melakukan perbuatan selanjutnya. Sementara perintah takwa yang kedua dikaitkan dengan satu kenyataan bahwa Allah swt. senantiasa Maha Mengetahui apa yang dikerjakan setiap manusia.272 Berkaitan dengan penilaian terhadap apa yang telah dikerjakanberdasarkan Alquran dan Sunnah-terdapat beberapa waktu penilaian, yaitu: (1) Penilaian harian, yang biasa dilakukan pada setiap selesai sholat atau ketika seseorang hendak berangkat tidur. Kenyataan ini dapat dicermati baik dari
271
Q.S. al-Hasyr [59]/101:18. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, jilid 4, h.
294. 272
Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Hati yang Selamat Hingga Kisah Lukman, h. 123.
192
wirid-wirid pasca sholat atau dari do’a ketika hendak tidur. Dalam hal sholat, Rasulullah saw. mengajarkan beberapa dzikir, yang salah satu diantaranya mengucap istighfâr. Secara substansial istighfâr merupakan evaluasi terhadap perilaku yang telah dikerjakan seseorang sebelum salat. (2) Penilaian mingguan, penilaian ini dilakukan pada setiap Jumat. Dari beberapa sumber disebutkan para sahabat selalu ke mesjid jauh sebelum salat Jumat dilaksanakan, untuk melakukan perenungan terhadap perbuatan yang telah dilakukan selama satu minggu. Sehingga ia bisa mengukur apa saja kekurangannya dan dengan cara apa pula ia harus memperbaikinya. (3) Penilaian tahunan, dilakukan pada setiap bulan Ramadhan. Hadis Rasulullah saw. yang artinya: “Barangsiapa mengerjakan puasa karena iman dan ihtisâb diri, maka dosa masa lalu akan diampuni.” Oleh sebab itu, hal pertama yang harus diperhatikan orang yang berpuasa adalah basis atau niat melaksanakan puasa
tersebut.
Apakah
ia
melaksanakan
puasa
hanya
sekedar
memenuhi/menggugurkan kewajiban atau bahkan karena tuntutan masyarakat yang mendorongnya menjadi malu untuk tidak berpuasa. Atau selama melaksanakan puasa, ia dituntut menpertinggi kuantitas dan kualitas ibadah kepada Tuhan, yang menjadikan terbukanya pintu hati dengan lebih dahulu melakukan evaluasi diri, maka konsekuensi logisnya ia akan diampuni dari dosa-dosa masa lalunya. Lebih lanjut, pada akhir Ramadhan Rasulullah saw. menganjurkan umatnya agar melalukan i’tikâf disepuluh hari terakhir. Bahkan pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan Rasulullah saw. senantiasa melalukan muhâdharah dengan Jibril guna mengevaluasi hapalan Alquran beliau.
193
Ada empat kemampuan dasar yang merupakan sasaran penilaian pembelajaran akidah Islam yang berupakan standar keberhasilan seseorang: (1) Sikap dan pengamalan terhadap hubungan seseorang dengan Tuhan,273 yaitu: Sejauhmana kesungguhannya mengimani dan mengabdikan diri kepada Tuhan, dengan indikator berupa sikap dan tingkah laku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat pada ketaqwaannya kepada Tuhan, cara menanggapi atau respon sikapnya terhadap permasalahan hidup seperti sabar, syukur, dan tawakkal, kemudian ketekunan dalam beribadah dan kemampuan praktis dalam mengerjakan syariat agama. (2) Sikap dan pengamalan hubungan seseorang dengan masyarakat,274 yaitu: Sejauh mana seseorang mampu menerapkan nilai-nilai agamanya dalam kehidupan bermasyarakat, seperti berakhlak mulia kepada sesama, disiplin dalam menjalankan tugas, menunaikan amanah, dan jujur dalam bersikap serta tidak egois. (3) Sikap dan pengamalan seseorang dalam hubungannya dengan alam sekitar,275 yaitu: Sejauhmana ia berusaha untuk hidup secara harmonis dengan alam sekitar dan menjaga kelestariannya meskipun ia juga berusaha untuk mengadakan perubahan terhadap lingkungannya ke arah lingkungan yang lebih baik sehingga lebih bermanfaat untuk masyarakatnya.
273
Q.S. al-Baqarah [2]/87:285. Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsîr al-Kabîr, bab 1, juz 1, h. 285. 274
Q.S. al-Hujurat [49]/106: 11-12. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, jilid 13, juz
25, h. 576. 275
Q.S. al-An’âm [6]/55:38, dan Q.S. al-A’râf [7]/39: 56. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr alQur’ân al-’Adzîm, jilid 2, h. 120 dan h. 203.
194
(4) Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi,276 yaitu: sejauhmana dia memposisikan dirinya, misalnya apakah dia mampu menempatkan dirinya sebagai pelopor yang memiliki self-concept positif, mempunyai pendirian yang kokoh, dan peduli terhadap segala permasalahan hidup.
Berdasarkan paparan di atas, konsep model pembelajaran akidah Islam memilliki perbedaan yang signifikan dengan model pembelajaran akidah agama Kristen terutama dari aspek materi akidah yaitu konsep trinitas Kristiani, keyakinan Tuhan Yesus, penyaliban Yesus dan penebusan dosa.277 Di samping berbedaan di atas, Islam dan Kristen dua agama terbesar di dunia, memiliki ciri khas yang sama, yaitu sebagai agama samawi, agama rumpun Ibrahim dan agama semitis yag berasal dari Timur Tengah.278 Meskipun begitu, konsep model pembelajaran akidah Islam memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan model pembelajaran akidah agama lain.
276
Q.S. al-Baqarah [2]/87:30 dan Q.S. adz-Dzâriyat [51]/67:56. Ibnu Katsir, Tafsîr alQur’ân al-’Adzîm, jilid 1, h. 67 dan jilid 4, h. 204. Lihat juga: Burhanuddin Abdullah, Pendidikan Keimanan, h. 190. 277
Daniel Numahara, Pembimbing PAK, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), h. 137.
278
Sedangkan dari aspek proses pembelajaran akidah, agama Kristen mengunakan pendekatan dialogis partisipatoris yang berpusat pada kehidupan peserta didik (live centre). Proses pelaksanaannya dilakukan melalui 3 (tiga) paket kegiatan, yaitu: 1. Kegiatan belajar mengajar di kelas. 2. Kegiatan mandiri peserta didik. 3. Kegiatan keagamaan dalam rumah tangga. 4. Kegiatan keagamaan di gereja. 5. Kegiatan keagamaan di masyarakat. Lihat: Johnson Parulian Hottua, Sekelumit tentang Stratategi Pembelajaran PAK, negarakerta. Blogspot.co.id/2013/08. Zaenul Arifin, Menuju Dialog Islam-Kristen: Perjumpaan Gereja Ortodoks Syeria dengan Islam, dalam jurnal Walosongo, volume 20, Nomor 1, Mei 2012. (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), h. 1.